prak farmako14 - analgesik.doc

Upload: carrie-klein

Post on 19-Oct-2015

40 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PRAKTIKUM FARMAKOLOGI BLOK 14

ANALGESIK

KELOMPOK A9

NAMA ANGGOTA KELOMPOK:

1. KRISTIAN NOPRIADI

102008035

2. WELMIN SORAYALEATOMU

102009146

3. AYU ANAS SILVYA

102010072

4. PRILIA PRATIWI MUNDA

102010150

5. ELISTIA TRIPUSPITA

102010173

6. STEPHANIE VANIA EMBANG

102010188

7. GRACE IRENE L TORUAN

102010248

8. YUNISTIN AMBEUA

102010269

9. ALITHA RACHMA OKTAVIA

102010278Tujuan Percobaan

:

1. Menguji dan Mengamati Efek pada Beberapa Obat Analgesik

2. Mengamati Efek Samping pada Beberapa Obat Analgesik

Sasaran belajar

:1. Mampu melakukan praktikum tersamar ganda atau double blind clinical trial.2. Mampu melakukan observasi efek analgesik dari beberapa jenis analgesik.

3. Mampu melakukan observasi pada efek samping yang mungkin timbul pada masing-masing analgesik.

4. Mampu mancatat hasil praktikum dan membuat laporan yang baik.

Alat-alat yang diperlukan:1. Tensimeter, stetoskop, termometer kulit, termometer kimia, penggaris.

2. Baskom plastik berisi bongkahan es + air dengan suhu 3 derajat Celcius.

3. Obat-obat analgesik :Parasetamol

600 mg

Kodein

30 mg

Ibuprofen

600 mg

Tramadol

50 mg

Plasebo

Yang dikemas dalam kapsul yang sama bentuk, besar dan warnanya.Persiapan

1. Tiap kelompok mahasiswa menyediakan 2 orang percobaan (o.p.) yang siap dalam keadaan puasa 4 jam sebelum percobaan. Hal ini perlu dipahami oleh mahasiswa, agar absorbsi obat cepat dan sempurna, maka sebaiknya lambung dalam keadaan kosong. Untuk praktikum analgesik tidak ada kontra indikasi khusus, dimana mahasiswa tidak boleh menjadi orang percobaan, hanya hati-hati pada mahasiswa yang pernah punya riwayat ulkus peptikum atau gastritis kronis.

2. Instruktur telah mempersiapkan obat-obat diatas dengan kemasan (kapsul) yang sama bentuk, besar dan warnanya, dan telah diberi kode tertentu, dicatat dan disimpan oleh salah satu instruktur. Karena percobaan ini adalah tersamar ganda, dimana para instruktur dan para orang percobaan tidak dapat memilih sendiri obat yang akan diberi/diminum, dengan tujuan untuk menghindari faktor subyektivitas yang akan mempengaruhi keabsahan hasil pengamatan.

3. Tiap kelompok telah menyiapkan alat-alat yang diperlukan diatas.

Tatalaksana1. Mintalah orang percobaan yang telah dipilih oleh masing-masing kelompok untuk berbaring di meja praktikum.

2. Lakukan pengukuran tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi nafas, suhu kulit, dan diameter pupil mata, serta gejala subyektif; seperti pusing, demam, mual, dll). Pengukuran sehu tubuh dilakukan dengan termometer kulit yang diletakkan pada leher depan di bawah dagu (daerah flushing).

Pengukuran pupil mata dilakukan dengan penggaris dalam keadaan mata orang percobaan menatap lurus ke atas, pada saat berbaring.

Lakukan pengukuran diatas 2 kali, dan diambil rata-ratanya, dan catat sebagai parameter dasar.

3. Untuk membangkitkan rasa sakit maka dilakukan :

a. Untuk orang percobaan pertama, dalam keadaan duduk, celupkan tangan kanan sampai pergelangan tangan dan dalam keadaan jari-jari terkepal ke dalam baskom plastik berisi air es dengan suhu 2-3 derajat Celsius. Catatlah waktu tangan dimasukkan sampai terasa sakit yang tidak dapat ditahan lagi.

Lakukan dengan tangan kiri, dan ambilah rata-rata waktu antara tangan kanan dan kiri sebagai parameter dasar.

b. Untuk orang percobaan lain, dalam keadaan berbaring pasanglah manset tensi meter pada lengan kanan atas, pompalah sampai 180 mmHg, lalu tutuplah kunci air raksanya, mintalah orang percobaan melakukan gerakan membuka dan menutup jari-jari (mengepal) tiap detik sampai rasa nyeri yang tak tertahankan lagi. Catat waktu saat mulai gerakan sampai rasa sakit yang tak tertahankan. Lakukan pada lengan yang satu dan ambil rata-rata waktu ke dua lengan sebagai parameter dasar.

4. Mintalah obat pada instruktur, dan tiap orang percobaan minum obatnya setelah kawannya mencatat kode obat yang diminumnya.

5. Orang percobaan berbaring tenang selama 60 menit, sedang kawan-kawannya tetap berada di sisinya dan mendiskusikan tentang obat analgesik.

6. Setelah 60 menit, lakukanlah kembali pengukuran parameter; tanda vital, suhu kulit, diameter pupil mata, dan waktu timbulnya rasa nyeri.

7. Berdasarkan hasil observasi anda, diskusikan dan tentukan obat apa yang diminum teman anda tadi, dan cocokkan dengan instruktur yang memegang kode obat tadi. Bila anda melakukan semua dengan tatalaksana dengan baik maka tebakan obat yang diminum kawan anda sama dengan yang tertera di kodenya.

8. Tanyakan dan catatlah gejala-gejala lain yang dirasakan orang percobaan misalnya : ngantuk, demam, gatal-gatal, sakit kepala, perih ulu hati, berkeringat, mual, muntah, dll. Mintalah orang percobaan juga melaporkan gejala-gejala yang timbul selama 24 jam setelahnya : misalnya konstipasi, dll.

9. Akhirnya diskusikan dalam kelompok apakah hasil observasi yang dilakukan sesuai dengan sifat-sifat analgesik yang diminum orang percobaan. Kalau tidak sesuai kenapa hal itu dapat terjadi?

10. Buatlah laporan mengenai praktikum ini sesuai dengan percobaan yang telah dikemukakan dalam buku ini.

Landasan TeoriPEMERIKSAAN METODE TERSAMAR GANDA1Merupakan metode penelitian terhadap efek dan efek samping obat dimana baik peneliti maupun penderita tidak mengetahui obat yang akan diberikan.NON STEROIDAL ANTI INFLAMATORY DRUGS (NSAID)2Obat-obat antiradang, analgesik, dan antipiretik merupakan suatu kelompok senyawa yang heterogen, yang sering tidak berkaitan secara kimiawi, namun memiliki kerja terapeutik dan efek samping tertentu yang sama. Prototipenya adalah aspirin; oleh karena itu, senyawa-senyawa ini sering disebut sebagai obat mirip aspirin (aspirin like drugs); dan juga disebut sebagai obat antiradang nonsteroid, atau NSAID.

Kebanyakan obat-obat antiradang nonsteroid (NSAID) yang saat ini tersedia menghambat aktivitas siklooksigenase-1 (COX-1; terdapat dalam kebanyakan sel normal) dan siklooksigenase-2 (COX-2; terinduksi saat terjadi peradangan), dan dengan demikian sintesis prostaglandin dan tromboksan juga terhambat. Penghambatan COX-2 diduga memperantarai, paling tidak sebagian, kerja antipiretik, analgesik, dan antiradang NSAID, tetapi penghambatan COX-1 yang terjadi bersamaan menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, terutama yang menyebabkan ulser lambung akibat berkurangnya pembentukan prostaglandin.

NSAID mencakup aspirin, yang mengasetilasi siklooksigenase secara ireversibel, serta beberapa golongan asam organik lain, termasuk turunan asam propionat (ibuprofen, naproksen, dan lain-lain), turunan asam asetat (misalnya indometasin, dan yang lainnya), serta asam enolat (misalnya piroksikam), yang semuanya bersaing dengan asam arakidonat pada tempat aktif siklooksigenase.

Asetaminofen merupakan obat antiradang yang sangat lemah tapi efektif sebagai zat antipiretik dan analgesik dan tidak memiliki efek samping NSAID tertentu, seperti ulserasi lambung dan blokade agregasi platelet.

Berdasarkan mekanisme kerjanya NSAID digolongkan menjadi dua golongan, yaitu sebagai inhibitor COX-Nonselektif dan inhibitor COX-2 Selektif. Yang termasuk dalam golongan golongan inhibitor COX-Nonselektif diantaranya adalah turunan asam salisilat (aspirin, natrium salisilat, kolin magnesium triasilat, salsalat, diflunisal, sulfasalazin, olsalazin), turunan para-aminofenol (asetaminofen), asam asetat indol dan inden (indometasin, sulindak), asam asetat heteroaril (tolmetin, diklofenak, ketorolak), asam arilpropionat (ibuprofen, naproksen, flubiprofen, ketoprofen, fenoprofen, oksaprozin), asam antranilat/fenamat (asam mefenamat, asam meklofenamat), asam enolat (oksikam; piroksikam dan meloksikam), dan alkanon (nabumeton). Sedangkan yang termasuk dalam golongan inhibitor COX-2 selektif diantaranya adalah furanon tersubstitusi diaril (rofekoksib), pirazol tersubstitusi diaril (selokoksib), asam asetat indol (Etodolak), dan sulfonanilid (nimesulid).

Aspirin secara kovalen memodofikasi COX-1 dan COX-2, dengan demikian menyebabkan penghambatan aktivitas siklooksigenase yang ireversibel. Ini merupakan perbedaan aspirin, karena durasi efek aspirin berkaitan dengan laju pergantian siklooksigenase di jaringan target yang berbeda. Sedangkan kebanyakan NSAID yang telah disebutkan diatas merupakan asam organik, dan berbeda dari aspirin, bekerja sebagai inhibitor aktivitas siklooksigenase yang reversibel dan kompetitif. Sebagai asam organik, senyawa tersebut umumnya diabsorpsi dengan baik secara oral, banyak yang berikatan dengan protein plasma, dan diekskresikan melalui filtrasi glomerulus atau melalui sekresi tubulus. Berbeda dengan aspirin, yang durasi kerjanya ditentukan oleh laju sintesis enzim siklooksigenase baru, durasi kerja semua NSAID yang lain, yang merupakan inhibitor siklooksigenase reversibel terutama berkaitan dengan bersihan farmakokinetik obat ini dari tubuh.

Aktivitas Terapeutik dan Efek Samping Umum NSAID

Efek terapeutik. Semua NSAID, termasuk inhibitor COX-2 selektif, merupakan antipiretik, analgesik, dan antiradang, satu kekecualian adalah asetaminofen, yang merupakan antipiretik dan analgesik tetapi tidak memiliki aktivitas antiradang. Hal ini dapat dijelaskan bahwa asetaminofen hanya dapat bekerja pada lingkungan dengan peroksid yang rendah, sedangkan pada daerah peradangan di jaringan perifer yang mengalami peradangan mengandung jumlah peroksid yang cukup tinggi.

Jika digunakan sebagai analgesik, obat-obat ini biasanya hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah hingga sedang. Walaupun efek maksimalnya jauh lebih rendah, obat ini tidak mempunyai efek samping opioid yang tidak diinginkan terhadap sistem saraf pusat (SSP) seperti depresi pernapasan dan berkembangnya ketergantungan fisik. Sebagai antipiretik, NSAID menurunkan suhu tubuh pada keadaan demam.

Penggunaan klinis utama NSAID adalah sebagai antiradang dalam penanganan gangguan otot rangka, seperti artritis rematoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa. Pada umumnya, NSAID hanya memberikan peredaan simptomatik pada nyeri dan peradangan yang menyertai penyakit dan tidak menghentikan berlangsungnya cedera patologis pada jaringan.

Efek samping terapi NSAID. Selain memiliki banyak aktivitas terapeutik yang sama, NSAID mempunyai beberapa efek samping yang tidak diinginkan yang sama. Yang paling umum adalah kecenderungan menginduksi ulser lambung dan usus yang kadang-kadang mungkin disertai dengan anemia akibat kehilangan darah. Efek samping lain obat-obat ini yang merupakan akibat blokade sintesis prostaglandin dan tromboksan A2 endogen mencakup gangguan fungsi platelet, perpanjangan masa hamil atau persalinan spontan, penutupan dini saluran yang terbuka dan tidak tersumbat, serta perubahan fungsi ginjal.

TURUNAN PARA-AMINOFENOL : ASETAMINOFEN2Asetaminofen (parasetamol; N-asetil-p-aminofenol; TYLE-NOL, dan lain-lain) merupakan metabolit aktif dari fenasetin. Asetaminofen merupakan obat lain pengganti aspirin yang efektif sebagai obat analgesik-antipiretik. Karena asetaminofen ditoleransi dengan baik, banyak efek samping aspirin tidak dimilki oleh asetaminofen, dan dapat diperoleh tanpa resep, obat ini mendapat tempat yang menonjol sebagai analgesik yang umum di rumah tangga. Namun, overdosis akut menyebabkan kerusakan hati yang fatal.

Sifat farmakologis. Asetaminofen memiliki sifat analgetik dan antipiretik yang tidak berbeda secara signifikan dengan aspirin. Ketidakmampuan asetaminofen memberikan efek antiradang mungkin berkaitan dengan fakta bahwa asetaminofen hanya merupakan inhibitor siklooksigenase yang lemah dengan adanya peroksida konsentrasi tinggi yang ditemukan pada lesi radang. Sebaliknya efek antipiretiknya dapat dijelaskan dengan kemampuannya menghambat siklooksigenase di otak, yang tonus peroksidanya rendah. Selain itu, asetaminofen tidak menghambat aktivasi neutrofil, sedangkan NSAID lain menghambat aktivitas tersebut. Asetaminofen dosis terapeutik tunggal atau berulang tidak berefek terhadap sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan. Perubahan asam-basa tidak terjadi, dan juga tidak menyebabkan iritasi, erosi atau perdarahan lambung yang mungkin terjadi setelah pemberian salisilat. Asetaminofen tidak memiliki efek terhadap platelet, waktu perdarahan, atau ekskresi asam urat.

Farmakokinetik dan Metabolisme. Asetaminofen diabsorpsi dengan cepat dan hampir sempurna dari saluran cerna. Konsentrasi dalam plasma mencapai kadar puncak dalam 30 sampai 60 menit, waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam setelah dosis terapeutik. Asetaminofen terdistribusi relatif seragam hampir di seluruh cairan tubuh. Pengikatan obat ini pada protein plasma beragam; hanya 20% sampai 50% yang mungkin terikat pada konsentrasi yang ditemukan selama intoksikasi akut. Setelah dosis terapeutik, 90% sampai 100% obat ini mungkin ditemukan dalam urin selama hari pertama.

Penggunaan Terapeutik. Asetaminofen merupakan pengganti aspirin yang cocok untuk penggunaan analgesik-antipiretik; obat ini sangat bermanfaat bagi pasien yang dikontraindikasikan menggunakan aspirin misalnya pasien ulser lambung atau jika perpanjangan waktu perdarahan akibat aspirin akan merugikan. Dosis oral asetaminofen yang biasa sebesar 325 1000 mg (secara rectal 650 mg); dosis harian tidak boleh melebihi 4000 mg. Untuk anak-anak dosis tunggal sebesar 40 480 mg, bergantung pada usia dan bobot badan; tidak boleh lebih dari lima dosis diberikan dalam 24 jam. Dosis 10mg/kgBB juga bisa digunakan.

Efek toksik. Pada dosis terapeutik yang dianjurkan, asetaminofen biasanya ditolerir dengan baik. Kadang-kadang terjadi ruam kulit dan alergi lain. Ruam tersebut biasanya berupa eritema atau urtikaria, tetapi kadang-kadang lebih parah dan mungkin disertai demam obat dan lesi mukosa. Pasien yang menunjukkan reaksi hipersensitivitas terhadap asetaminofen. Pada kasus tertentu, penggunaan asetaminofen menyebabkan neutropenia, trombositopenia, dan pansitopenia. Efek merugikan yang paling serius akibat overdosis asetaminofen akut berupa nekrosis hati yang mungkin fatal dan tergantung dosis. Nekrosis tubulus ginjal dan koma hipoglikemik mungkin juga terjadi. Pada orang dewasa hepatotoksik dapat terjadi setelah penggunaan asetaminofen dosis tunggal 10-15 g; dosis 20 sampai 25 g atau lebih kemungkinan menyebabkan kematian. Pecandu alkohol dapat mengalami hepatotoksik dengan dosis yang jauh lebih rendah, bahkan dengan dosis pada rentang terapeutik.

TURUNAN ASAM PROPIONAT2Turunann asam arilpropionat merupakan suatu golongan NSAID yang efektif dan berguna. Senyawa-senyawa ini mungkin menawarkan keuntungan yang bermakna melebihi aspirin dan indometasin untuk banyak pasien, karena senyawa ini biasanya ditoleransi lebih baik. Namun, turunan asam propionat ini memiliki semua sifat buruk keseluruhan golongan tersebut. Indikasi yang diizinkan untuk penggunaan salah satu turunan asam propionat adalah penanganan simtomatik artritis reumatoid, osteoartritis, spondilitis ankilosa, dan artritis pirai akut; senyawa ini juga digunakan sebagai analgesik, untuk tendinitis, dan bursitis akut, dan untuk dismenore primer.

Sifat farmakodinamik turunan-turunan asam propionat tidak berbeda secara signifikan. semua merupakan inhibitor siklooksigenase yang efektif, walaupun potensinya sangat beragam. Kemungkinan interaksi obat yang merugikan dengan turunan asam propionat yang sangat mengkhawatirkan disebabkan oleh derajat ikatannya yang tinggi terhadap albumin dalam plasma. Namun, turunan asam propionat tidak mengubah efek obat hipoglikemik oral atau warfarin.

IBUPROFEN. Ibuprofen tersedia berupa tablet yang mengandung 200 sampai 800 mg, hanya tablet 200 mg dapat diperoleh tanpa resep. Untuk RA dan OA, dapat diberikan dosis harian sampai 3200 mg dalam dosis terbagi, walaupun dosis total lazimnya sampai 1200 mg sampai 1800 mg. Juga memungkinkan mengurangi dosis untuk pemeliharaan. Untuk nyeri yang ringan sampai sedang, terutama dismenore primer, dosis lazimnya 400 mg setiap 4 sampai 6 jam sesuai keperluan. Obat ini dapat diberikan dengan susu atau makanan untuk meminimalkan efek samping saluran cerna.

Farmakokinetik dan Metabolisme. Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian oral, dan konsentrasi puncak dalam plasma teramati setelah 15 sampai 30 menit. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam. Ibuprofen banyak (99%) terikat pada protein plasma, tetapi obat ini hanya menduduki sebagian dari seluruh tempat ikatan obat pada konsentrasi biasa. Ibuprofen melintas dengan lambat ke dalam ruang sinovial dan mungkin tetap berada pada konsentrasi tinggi jika konsentrasi dalam plasma menurun. Pada percobana, ibuprofen dan metabolitnya dengan mudah melintasi plasenta. Ekskresi ibuprofen cepat dan sempurna. Lebih dari 90% dosis yang teringesti diekskresikan dalam urin sebagai metabolit atau konjugatnya. Metabolit utamnya adalah suatu senyawa hidroksilasi dan senyawa terkarboksilasi.

Efek toksik. Ibuprofen telah digunakan pada pasien dengan riwayat intoleransi saluran cerna terhadap NSAID lain. efek samping saluran cerna dialami oleh 5% sampai 15% pasien yang menggunakan ibuprofen; nyeri epigastrik, mual, nyeri ulu hati, dan rasa penuh di saluran cerna merupakan gangguan umum. Namun insiden efek samping ibuprofen ini lebih sedikit daripada dengan aspirin atau indometasin. Efek samping lain yang lebih jarang ditemui, yaitu trombositopenia, ruam kulit, salit kepala, pusing, dan penglihatan kabur, dan pada beberapa kasus, ambliopia toksik, retensi cairan dan edema. Ibuprofen tidak dianjurkan untuk digunakan pada ibu hamil maupun menyusui.ANALGESIK OPIOID2Efek opioid yang digunakan secara klinis.Morfin dan kebanyakan agonis opioid lain yang digunakan secara klinis memberikan efeknya melalui reseptor opioid . Obat ini mempengaruhi system fisiologis secara luas. Obat ini menyebabkan analgesia, mempengaruhi mood dan perilaku puas, dan mengubah fungsi pernpasan, kardiovaskular, gartrointestinal, dan neurendokrin. Agonis reseptor opioid juga merupakan analgesic poten pada hewan, dan pada kasus terisolsi telah terbukti bermanfaat pada manusia. Rintangan utama penggunaan klinis agonis adalah bahwa kebanyakan obat yang tersedia merupakan peptide dan tidak menembus sawar darah-otak, sehingga memerlukan pemberian intraspinal. Namun, saat ini banyak upaya untuk mengembangkan agonis yang berguna secara klinis. Agonis selektif menghasilkan analgesia yang diperlihatkan pada hewan yang diperantarai terutama pada tempat spinal. Depresi pernapasan dan miosis kemungkinan tidak begitu parah parah dengan agonis . Alih-alih euphoria, agonis reseptor menyebabkan efek disforik dan psikomimetik.Senyawa agonis dan antagonis campuran dikembangkan untuk penggunaan klinik dengan harapan bahwa senyawa ini akan memiliki potensi adiktif dan depresi pernapasan lebih kecil dibandingkan morfin atau obat lain yang sejenis. Namun, pada praktiknya, terbukti bahwa untuk tingkat analgesia yang sama, intensitas efek samping yang sama akan terjadi. Suatu efek langit-langit, yang membatasi tingkat analgesia yang dapat dicapai, sering terlihat pada obat ini. Beberapa obat agonis-antagonis campuran, seperti pentazosin dan nalorfin, dapat menyebabkan efek psikomimetik parah yang tidak terpulihkan dengan nalokson. Juga, pentazosin dan nalorfin dapat menyebabkan reaksi putus obat pada pasien yang toleran opioid. Untuk alasan ini, penggunaan klinis obat agonis antagonis campuran ini dibatasi.

Analgesia. Pada manusia, obat mirip morfin menyebabkan analgesia, mengantuk, perubahan mood, dan gangguan mental. Analgesia terjadi tanpa hilangnya kesadaran, yang merupakan ciri khasnya. Bila morfin dosis terapeutik diberikan pada pasien yang mengalami nyeri, pasien tersebut melaporkan bahwa nyerinya menjadi berkurang, semakin berkurang, atau hilang sama sekali; mengantuk umumnya terjadi. Selain meredakan penderitaan, beberapa pasien mengalami euphoria.Bila morfin dalam dosis yang sama diberikan pada individu normal yang tidak mengalami nyeri, akibatnya mungkin tidak menyenangkan. Mual adalah hal yang umum, dan muntah juga dapat terjadi. Mungkin ada perasaan mengantuk, kesulitan aktivitas mental, apati, dan aktivitas fisik berkurang. Dengan meningkatnya dosis, maka efek subjektif, analgesic, dan toksik, termasuk depresi pernapasan, semakin jelas. Morfin tidak memiliki aktivitas antikonvulsan dan biasanya tidak menyebabkan gangguan bicara, labilitas emosional, atau inkoordinasi motorik yang signifikan.

Peredaan nyeri oleh opioid mirip morfin relative selektif, artinya persepsi sensori lainya tidak terpengaruh. Pasien seringkali melaporkan bahwa nyeri tersebut masih ada, tetapi merasa lebih nyaman. Nyeri yang ringan dan terus menerus diredakan secara lebih efektif dibandingkan nyeri yang tajam dan berselang, tetapi dengan jumlah opioid yang cukup, nyeri yang parah dapat diredakan bahkan mungkin nyeri parah yang disebabkan kolik renal atau empedu.

KODEIN1,2Berbeda dengan morfin, keefektifan kodein oral sekitar 60% pemberian parenteralnya, baik sebagai analgesic maupun sebagai depresan pernapasan. Kodein, sama seperti levorfanol, oksikodon, dan metadon, memiliki perbandingan potensi oral terhadap parenteral yang tinggi. Begitu diabsorpsi, kodein dimetabolisme di hati, dan metabolitnya diekskresi terutama di urin, sebagian besar dalam bentuk tidak aktif. Sebagian kecil kodein yang diberikan mengalami O-demetilasi membentuk morfin, dan baik morfin bebas maupun morfin yang terkonjugasi dapat ditemukan di urin setelah pemberian kodein dosis terapeutik. Kodein memiliki afinitas yang luar biasa rendah untuk reseptor opioid, dan efek analgesiknya disebabkan oleh konversinya menjadi morfin. Akan tetapi, kerja antitusifnya mungkin melibatkan reseptor khusus yang mengikat kodein sendiri. Waktu paruh kodein dalam plasma adalah 2 sampai 4 jam.

Konversi kodein menjadi morfin dipengaruhi oleh enzim sitokrom P450 CYP2D6. Polimorfisme genetic pada CYP2D6 yang telah terkarakterisasi dengan baik menyebabkan ketidakmampuan untuk mengkonversi kodein menjadi morfin, sehingga menjadikan kodein tidak efektif sebagai analgesic pada sekitar 10% dari populasi kaukasia. Polimorfisme lain dapat menyebabkan peningkatan sensitivitas terhadap efek kodein. Menariknya, tampaknya ada keragaman dalam efisiensi metabolic di antara kelompok etnis yang berbeda. Sebagai contoh, orang Cina memproduksi lebih sedikit morfin dari kodein dibanding dengan orang Kaukasia dan juga kurang sensitive terhadap efek morfin daripada orang Kaukasia. Penurunan sensitivitas terhadap morfin mungkin disebabkan oleh penurunan produksi morfin 6-glukuronid. Jadi, penting untuk mempertimbangkan kemungkinan polimorfisme enzim metabolic pada setiap pasien yang tidak memperoleh analgesia yang memadai dari kodein atau tidak memberikan suatu respons yang memadai terhadap prodrug lain yang diberikan.Indikasi. Kodein digunakan untuk terapi simptomatis batuk non-produktif. Kodein merupakan obat reference standard dalam penelitian obat batuk lain. Dalam dosis antitusif biasa, kodein memiliki efek analgesik ringan dan efek sedatif. Efek analgesik kodein ini dapat dimanfaatkan untuk batuk yang disertai dengan nyeri dan ansietas.

Farmakokinetik. Kodein diserap baik pada pemberian oral dan puncak efeknya ditemukan 1 atau 2 jam , dan berlangsung selama 4-6 jam. Metabolisme terutama di hepar, dan diekskresi komplet setelah 24 jam. Dalam jumlah kecil ditemukan dalam air susu ibu.

Sedian. Kodein terdapat dalam bentuk tablet kodein sulfat atau kodein fosfat berisi 10, 15, 20 mg. Dosis biasa dewasa : 10-30 mg setiap 4-6 jam. Dosis yang lebih besar tidak lagi menambah besar efek secara proporsional. Dosis anak : 1-1,5 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi.

Efek samping dan dosis berlebihan. Dosis kecil (10-30 mg) kodein sering digunakan sebagai obat batuk, jarang ditemukan efek samping, kalau ada tidak lebih tinggi dari plasebo. Efek samping dapat berupa mual, pusing, sedasi, anoreksia, dan sakit kepala. Dosis lebih tinggi (60-80mg) dapat menimbulkan kegelisahan, hipotensi ortostatik dan vertigo. Dosis lebih besar lagi (100-500 mg) dapat menimbulkan nyeri abdomen dan konstipasi. Kadang-kadang timbul reaksi alergi, seperti dermatitis, hepatitis, trombositopenia, dan anafilaksis. Depresi pernapasan dapat terlihat pada dosis 60 mg dan depresi nyata terjadi pada dosis 120 mg setiap beberapa jam. Oleh karena itu, dosis tinggi berbahaya untuk penderita dengan kelemahan pernapasan, khususnya pada penderita dengan retensi CO2. Dosis fatal kodein ialah 800-1000 mg. Untuk dapat menimbulkan ketergantungan fisik, kodein harus diberikan dalam dosis tinggi setiap beberapa jam untuk jangka waktu lama, mungkin 1 bulan atau lebih.TRAMADOL2Tramadol adalah suatu analog kodein sintetik yang merupakan suatu agonis reseptor agonis yang lemah. Sebagian efek analgesiknya dihasilkan oleh penghambatan ambilan norepinefrin dan serotonin. Tramadol tampaknya sama efektifnya dengan opioid lemah lainnya. Dalam penanganan nyeri ringan sampai sedang. Tramadol sama efektifnya dengan morfin atau meperidin. Akan tetapi, untuk penanganan nyeri parah atau kronis, tramadol kurang efektif. Tramadol sama efektifnya dengan meperidin dalam penanganan nyeri persalinan dan dapat menyebabkan depresi pernapasan neonatal yang lebih kecil.

Ketersediaan hayati tramadol 68% setelah dosis oral tunggal dan 100% bila diberikan secara intramuscular. Afinitasnya terhadap reseptor opioid hanya 1/6000 afinitas morfin. Akan tetapi, metabolit utama dari tramadol yang mengalami O-demetilasi 2 sampai 4 kali lebih kuat daripada obat induknya dan dapat menjadi penyebab sebagian efek analgesic. Senyawa ini mengalami metabolism hepatic dan ekskresi ginjal. Dengan waktu paruh eliminasi selama 6 jam untuk tramadol dan 7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia bermula dalam 1 jam setelah pemberian dosis oral, dan efeknya memuncak dalam 2 sampai 3 jam. Durasi analgesianya sekitar 6 jam. Dosis harian maksimum yang dianjurkan adalah 400 mg.

Efek samping tramadol yang umum meliputi nausea, muntah, pusing, mulut kering, sedasi, dan sakit kepala. Depresi pernapasan tampak lebih kecil daripada morfin dalam dosis analgesia yang sama, dan tingkat konstipasinya lebih kecil daripada yang teramati setelah pemberian kodein dalam dosis yang setara. Tramadol dapat menyebabkan seizure dan mungkin memperparah seizure pada penderita yang memiliki faktor rentan. Analgesianya yang diinduksi tramadol tidak sepenuhnya dapat dipulihkan dengan nalokson, sedangkan dperesi pernapasan yang diinduksi tramadol dapat dipulihkan dengan nalokson. Namun, penggunaan nalokson meningkatkan resikmo seizure. Ketergantungan fisik dan penyalahgunaan tramadol pernah dilaporkan. Walaupun potensi penyalahgunaan tramadol tidak jelas, tramadol mungkin harus dihindari pada pasien yang memiliki riwayat adiksi. Karena efek penghambatannya pada ambilan serotonin, tramadol tidak boleh diguakan pada pasien yang menggunakan inhibitor monoamin aksodase (MAO).PLASEBO1,3Sebagian pasien cenderung memberikan respons yang positif terhadap tiap tindakan terapeutik yang dilakukan oleh petugas medis yang penuh perhatian. Manifestasi fenomena ini pada subjek disebut respons plasebo dan melibatkan perubahan biokimiawi dan fisiologik yang objektif seperti halnya perubahan pada keluhan subjektif yang berhubungan dengan penyakit. Dalam bahasa latin plasebo berarti I shall please. Pada mulanya suatu plasebo adalah suatu formulasi senyawa yang tidak aktif secara farmakologik dan diberikan kepada penderita yang hanya untuk menyenangkan. Namun, penggunaan istilah plasebo di zaman modern menjadi lebih luas. Sekarang, plasebo dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu (a) plasebo inert (yang tidak mengandung senyawa aktif secara farmakologik), dan (b) palsebo aktif (yang mengandung persenyawaan yang memiliki aktivitas farmakologik). Berbagai efek samping dan toksisitas plasebo juga dapat terjadi tetapi biasanya melibatkan berbagai efek subjektif: nyeri perut, insomnia, sedasi, dan lainnya.Penggunaan plasebo inert

Plasebo inert paling sering digunakan sebagai suatu dummy medication untuk kontrol terhadap pengobabtan yang sesungguhnya dalam suatu uji klinik, dengan tujuan mengurangi faktor bias subjektif. Kadang-kadang plasebo inert diberikan pada pasien yang mengeluh rasa nyeri secara berlebihan/tampaknya dibesar-besarkan. Kira-kira sepertiga dari seluruh popukasi manusia adalah placebo reactor sehingga dengan plasebo inert dapat menghilangkan rasa nyeri pada 20-40% penderita dengan keluhan nyeri. Namun, cara penggunaan ini tidak dibenarkan karena apabila penderita benar-benar asakit dan kebeulan seorang placebo reactor, akan terjadi kelambatan diagnosis dari suatu penyakit yang dapat diobati.

Penggunaan Plasebo Aktif

Untuk mengakhiri suatu kunjungan pasien, kadang-kadang seorang dokter meresepkan suatu obat yang tidak ada hubungannya dengan keluhan penderita, misalnya menuliskan sedian vitamin dengan menjelaskan kepada pasien bahwa itu adalah obat penguat tubuh.Hasil Percobaan

Orang Percobaan ASebelum Minum ObatSetelah Minum Obat

TDNadiRR/Suhu(d) pupilWaktu timbul nyeriTDNadiRR/Suhu(d) pupilWaktu timbul nyeri

100/70 mmHg75x15x34,75oC0,5 cm1 menit 18,5 detik90/70 mmHg77x20x34,9o C0,4 cm2 menit 10 detik

Dalam nilai rata-rataKode Obat 141 : TRAMADOLGejala Subjektif Sebelum Minum Obat : -Gejala Subjektif Setelah Minum Obat

: Mengantuk dan perut terasa tidak enakSetelah 24 jam minum obat OP merasakan mual, pusing, dan meriang.Orang Percobaan B

Sebelum Minum ObatSetelah Minum Obat

TDNadiRR/Suhu(d) pupilWaktu timbul nyeriTDNadiRR/Suhu(d) pupilWaktu timbul nyeri

100/90 mmHg76x19x35,81o C0,5 cm 25 detik120/90 mmHg68x22x35,14o C0,3 cm2 menit 50 detik

Dalam nilai rata-rata

Kode Obat 99 : IBUPROFENGejala Subjektif Sebelum Minum Obat : -Gejala Subjektif Setelah Minum Obat

: Mengantuk Setelah 24 jam minum obat OP tidak merasakan efek obat.Analisis DataDalam percobaan dengan penggunaan metode tersamar ganda ini, peneliti dan orang percobaan sama sekali tidak mengetahui obat analgesic jenis apa yang diberikan, sehingga dapat meminimalisir penilaian subjektivitas dari orang percobaan tersebut.

Dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital orang percobaan pertama didapatkan hasil dimana nilai rata-rata dari tekanan darah sedikit dibawah tekanan darah normal, sedangkan frekuensi pernapasan, suhu kulit sedikit diatas angka normal. Pengukuran nadi dan diameter pupil dalam batas normal seperti yang terlihat dalam tabel hasil percobaan. Dimana nilai suhu kulit dalam keadaan normal atau nyaman berkisar pada 340C serta diameter pupil pada keadaan normal adalah 0,4-0,6 cm.4Tahapan selanjutnya adalah memberikan rangsangan nyeri pada orang percobaan. Orang percobaan kedua diberikan rangsangan nyeri berupa pembendungan darah pada bagian lengan dengan manset sambil memintanya untuk membuka dan mengepalkan tangannya. Rangsangan nyeri yang didapatkan dengan cara ini adalah akibat anoksia jaringan perifer, terutama pada bagian tangan dan jari-jari tangan. Dari hasil percobaan, waktu yang dibutuhkan untuk menimbulkan rasa nyeri yang tidak tertahankan adalah sekitar 2 menit 50 detik.Setelah 50 menit waktu berselang. OP kembali diukur tanda-tanda vital, serta diameter pupilnya. Dari hasil pemeriksaan didapatkan hasil penurunan tekanan darah menjadi 120/90 mmHg disertai dengan penurunan denyut nadi dan penurunan frekuensi pernapasan, namun keduanya masih dalam batas ambang normal. Diameter pupil tidak berubah, suhu kulit mengalami peningkatan menjadi 35,14oC hampir mendekati suhu tubuh.OP kembali diberikan rangsangan nyeri yang sama seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Rangsangan ini kembali diberikan untuk melihat apakah efek analgesik dari obat yang dikonsumsi tersebut menunjukkan hasil positif. Dari hasil pemeriksaan didapatkan pengurangan waktu timbulnya nyeri yang semula 2 menit 50 detik menjadi 2 menit. Penurunan waktu timbulnya nyeri yang tidak terlalu besar ini, kemungkinan disebabkan karena penilaian subjektif dari OP terhadap rasa nyeri yang di rasakannya.Dari hasil pengamatan didapatkan adanya reaksi alergi yang ditandai dengan munculnya kemerahan pada wajah disertai peningkatan suhu kulit yang menjadi salah satu efek samping dari paracetamol dalam dosis terapeutik seperti yang telah dibahas sebelumnya. Apabila dibandingkan dengan hasil dari kelompok lain yang menerima obat yang sama, hasil pengukuran tanda-tanda vital mengalami penuruan khususnya pada tekanan darah, dan peningkatan suhu tubuh. Sedangkan pengukuran lainnya masih dalam batas normal.Dalam dosis toksiknya paracetamol dapat menunjukkan terjadinya penurunan tekanan darah/hipotensi. Namun dalam percobaan kali ini dosis yang diberikan merupakan dosis teraupetik sehingga efek hipotensi dari obat tersebut seharusnya tidak nyata terlihat walaupun pada kenyataannya terdapat penurunan tekanan darah pada OP.

Sama halnya dengan orang percobaan pertama, pengukuran pada tanda-tanda vital dan diameter pupil dari OP kedua juga dilakukan. Dari pengukuran didapatkan hasil yang normal kecuali pada suhu kulit, dimana hasil pengukuran menunjukkan peningkatan suhu kulit diatas suhu kulit yang nyaman, yaitu 37oC. Pada orang percobaan kedua diberikan suatu rangsangan nyeri dengan memasukkan tangan OP pada baskom berisi air bersuhu 2oC sambil menutup dan mengepalkan tangannya seperti yang dilakukan oleh OP pertama. Rasa nyeri pada percobaan ini didapatkan akibat aktivitas vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer di bagian tangan. Sebelum OP diminta mengkonsumsi obat, OP mengeluh merasa ngantuk karena OP kurang tidur pada malam sebelumnya. Oleh sebab itu, rasa ngantuk yang kemudian timbul dalam pengamatan efek dan efek samping obat menjadi tidak signifikan sebagai efek samping dari obat yang diberikan. Setelah OP mengkonsumsi obat dan diamati dalam selang waktu yang cukup panjang, OP mengeluh kantuk yang dirasakannya bertambah dan merasa sedikit pusing. Dengan inisiatif mengajak OP berbicara, ternyata rasa kantuk yang dirasakannya dapat sedikit ditahan dan OP terlihat senang dan lebih sering tertawa.Setelah 50 menit berlalu, kembali pengukuran tanda-tanda vital dilakukan dan hasil yang didapatkan menunjukkan perbedaan yang tidak mencolok. Kembali rangsang nyeri diberikan, dan dari hasil pemeriksaan didapatkan penurunan waktu nyeri sekitar 7 detik. Dengan adanya penurunan waktu nyeri dan tidak ditemukannya keluhan lain selain keluhan yang disebutkan sebelum mengkonsumsi obat, membuat plasebo menjadi obat pilihan yang diduga diberikan kepada OP kedua ini.Namun pada kenyataannya justru obat yang diberikan adalah kodein. Efek samping sedasi yang seharusnya dapat ditimbulkan oleh kodein tersamarkan oleh keluhan mengantuk yang dirasakan OP sebelum mengkonsumsi obat. Selain itu efek analgesik pada nyeri ringan yang berulang yang diberikan oleh analgesik opiod juga tidak terlihat pada OP. Justru yang terjadi adalah penurunan waktu timbulnya nyeri. Salah satu efek yang juga sudah disebutkan sebelumnya dapat dihasilkan oleh analgesik opiod ini adalah rasa senang dan perbaikan mood, hal inilah yang mungkin menjadi alasan OP lebih sering tertawa dan merasa senang.Depresi nafas dan penurunan diameter pupil tidak jelas terlihat karena dosis yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah dosis terapeutik dalam pengobatan batuk non produktif. Sehingga dari hasil pengukuran diameter pupil setelah mengkonsumsi obat masih dalam keadaan normal. Namun dari hasil percobaan kelompok lainnya yang mendapatkan tramadol, efek miosis ditunjukkan dengan adanya perubahan diameter pupil hingga 0,3 cm. Efek samping lainnya setelah beberapa jam mengkonsumsi Ibuprofen adalah adanya keluhan konstipasi yang dirasakan oleh OP.Kesimpulan

Dari keseluruhan hasil pemeriksaan yang didapatkan, pada sebagian percobaan yang dilakukan oleh tiap-tiap kelompok didapati waktu timbulnya nyeri sebelum dan sesudah mengkonsumsi obat analgesik yang mengalami penurunan. Kondisi ini tidak sesuai dengan harapan, dimana setelah pemberian obat analgesik diharapkan waktu timbulnya nyeri akan memanjang. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor subjektivitas dari masing-masing orang untuk merasakan rangsangan nyeri yang diberikan tidak dapat secara mutlak sama dari satu waktu ke waktu yang lainnya walaupun diberikan rangsangan nyeri dengan intensitas dan kadar nyeri yang sama.Daftar Pustaka

1. Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Kumpulan kuliah farmakologi. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2009. h. 62-3

2. Hardman JG, Limbird LE. Editors. Goodman & Gilman dasar farmakologi terapi. Edisi ke-10 (1). Jakarta: Balai Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2008. h.553-691

3. Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi ke-10. Jakarta: Balai Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012. h. 70

4. Cameron JR, Skofronick JG, Grant RM. Fisika tubuh manusia. Jakarta: Balai Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. h. 313