pidato pengukuhan prof. drs. jumina ph.d.pdf

Upload: tri-febriyani

Post on 18-Oct-2015

21 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

pidato pengukuhan prof. drs. jumina ph.d.pdf

TRANSCRIPT

  • TANTANGAN DAN POTENSI PEMANFAATAN KARBON DIOKSIDA DALAM PEMBANGUNAN

    NASIONAL BERKELANJUTAN

    UNIVERSITAS GADJAH MADA

    Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

    Universitas Gadjah Mada

    Oleh: Prof. Drs. Jumina, Ph.D.

  • 2

    TANTANGAN DAN POTENSI PEMANFAATAN KARBON DIOKSIDA DALAM PEMBANGUNAN

    NASIONAL BERKELANJUTAN

    UNIVERSITAS GADJAH MADA

    Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

    Universitas Gadjah Mada

    Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada

    pada tanggal 23 Februari 2010 di Yogyakarta

    Oleh: Prof. Drs. Jumina, Ph.D.

  • 3

    TANTANGAN DAN POTENSI PEMANFAATAN KARBON DIOKSIDA DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

    BERKELANJUTAN

    Saya memilih judul tersebut dengan satu pertimbangan bahwa karbon dioksida saat ini menjadi masalah utama di bidang lingkungan, bukan hanya di tingkat nasional, tetapi sudah meluas di tingkat global. Rasanya tidak satu pun di antara kita yang belum mengenal istilah global warming atau pemanasan global, yang salah satu penyebab utamanya adalah gas karbon dioksida. Kita juga sangat faham bahwa fenomena pemanasan global yang ditandai dengan naiknya suhu rata-rata permukaan bumi tersebut telah menimbulkan sejumlah dampak ikutan seperti meningkatnya ketinggian permukaan laut, mencairnya es di kutub utara dan selatan, terjadinya perubahan iklim, pergeseran musim, bencana banjir, dan semakin seringnya terjadi bencana badai di berbagai belahan bumi, termasuk puting beliung di lingkungan Kampus UGM tahun 2009. Laju pemanasan global disinyalir terus meningkat dari waktu ke waktu sehingga ada sementara fihak berpendapat bahwa fenomena pemanasan global telah dan akan menjadi sebuah fakta yang tak terhindarkan. Penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim ke-15 di Kopenhagen Denmark pada tanggal 7-18 Desember 2009 yang dihadiri oleh 130 Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan termasuk Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono adalah juga dalam rangka menekan laju pemanasan global yang diyakini berdampak pada terjadinya perubahan iklim global (Asydhad, 2009 & Fajar, 2009).

    Kenyataan bahwa laju pemanasan global terus meningkat tentu memprihatinkan kita semua. Dilandasi keprihatinan inilah, maka saya memilih judul pidato tentang tantangan dan potensi pemanfaatan karbon dioksida dalam pembangunan nasional berkelanjutan, dengan harapan dapat menggugah kesadaran akan bahaya fenomena pemanasan global, serta untuk turut serta menyumbangkan gagasan dan pemikiran seputar penanganan dan potensi pemanfaatan karbon dioksida dalam pembangunan nasional. Sejujurnya, saya pun baru mulai melakukan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang karbon dioksida pada tahun 2008 sehingga belum banyak track record saya di bidang ini. Namun, tantangan besar seputar karbon dioksida

  • 4

    serta pengetahuan dan keahlian saya di bidang rekayasa molekul mendorong saya memilih tema ini daripada tema penelitian di bidang makromolekul siklik dan polimer kaliksarena serta penerapannya sebagai adsorben logam berat yang telah saya kembangkan sejak tahun 1998 hingga sekarang (Jumina dkk., 2007 & 2009), maupun penelitian di bidang piroloindol (Jumina dkk., 2008 & 2009), antibiotik C-9154 serta antimalaria N-alkil-1,10-fenantrolin.

    Pemanasan global sendiri didefinisikan secara sederhana sebagai fenomena kenaikan rata-rata suhu bumi dari waktu ke waktu. Terkait dengan isu dan fenomena pemanasan global ini, NASA melaporkan bahwa dewasa ini rata-rata suhu bumi telah mengalami kenaikan sebesar 0,2oC per 10 tahun (NASA, 2006). Kenaikan rata-rata suhu bumi tersebut disinyalir telah menyebabkan kenaikan permukaan laut setinggi 20 cm pada tahun 2000 jika dibandingkan dengan tinggi permukaan laut pada tahun 1900. Tanpa adanya upaya-upaya serius dan sistematis untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ke atmosfir bumi maka suhu rata-rata permukaan bumi yang pada tahun 2009 berada pada kisaran 14,6oC akan naik menjadi sekitar 25oC pada tahun 2500. Dengan demikian maka bumi bukan lagi menjadi tempat hunian yang nyaman bagi manusia, hewan, dan tumbuhan, bahkan mungkin manusia sendiri tidak akan dapat bertahan hidup pada kondisi demikian. Dengan kata lain, umat manusia, hewan, dan mungkin juga tumbuh-tumbuhan akan musnah dari permukaan bumi. Dalam rumusan 5+1 yang dikemukakan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono pada KTT Perubahan Iklim ke-15 di Kopenhagen pun beliau bertekad untuk melakukan upaya apa saja guna mencegah pemanasan global agar tidak lebih dari 2oC dari rata-rata temperatur bumi saat ini (Asydhad, 2009).

    Ironisnya, umat manusia setiap hari senantiasa memproduksi dan mengemisikan beribu-ribu ton karbon dioksida ke atmosfir. Emisi karbon dioksida tersebut terutama berasal dari pembakaran bahan bakar minyak (BBM) dan batubara, baik di sektor industri maupun transportasi. Sebetulnya hampir semua orang menyadari bahwa aktivitas pembakaran bahan bakar yang mereka lakukan tentu akan mempercepat laju terjadinya pemanasan global, namun hingga kini nampaknya umat manusia masih sulit untuk berpisah dengan bahan bakar minyak untuk menopang kenyamanan hidupnya. Bahkan tidak

  • 5

    sedikit di antara kita sendiri yang berlomba-lomba memacu terjadinya pemanasan global melalui penggunaan mobil-mobil mewah berkapasitas mesin besar (2000-4000 cc). Barangkali juga sangat sedikit di antara kita yang telah memanfaatkan Sepeda Hijau sebagai sarana transportasi bebas polusi di lingkungan kampus yang telah disediakan oleh Universitas. Tidak berlebihan rasanya bila dikatakan bahwa kita semua memang telah dimanjakan dan di-ninabobo-kan oleh BBM dalam kehidupan kita sehari-hari.

    Struktur dan Sifat-sifat Fisika Karbon Dioksida

    Karbon dioksida merupakan senyawa kimia yang terbentuk melalui penggabungan antara satu atom karbon dengan dua atom oksigen, dan dilambangkan dengan rumus molekul CO2. Senyawa ini memiliki struktur geometri linier dengan sudut ikat O-C-O sebesar 180o. Ikatan antara atom karbon dengan masing-masing atom oksigen terdiri atas satu ikatan dan satu ikatan . Ikatan C=O pada molekul CO2 memiliki energi ikat sebesar 178 kkal/mol dan panjang ikatan sebesar 1,20 (Stecher, 1968).

    Karbon dioksida memiliki massa molekul relatif 44,01 g per mol, merupakan gas tak berwarna, tak berbau, tidak mudah terbakar, berasa masam, menyublim pada suhu -78,48oC, memiliki temperatur kritis 31,3oC, tekanan kritis 72,9 atm, kalor pembentukan 94,05 kkal/mol, panas laten penguapan 83,12 kkal/mol, serta panas spesifik sebesar 0,19-0,21 Btu/lb. Senyawa ini bersifat larut dalam air dengan kelarutan sebesar 88 mL per 100 mL air pada temperatur 20oC. Karbon dioksida juga larut dalam sejumlah pelarut organik seperti etanol dan metanol, namun dengan nilai kelarutan lebih kecil dibandingkan dengan kelarutannya dalam air (Stecher, 1968).

    Karbon dioksida lazim dijumpai dan diperdagangkan dalam dua bentuk, yaitu gas dan padat. Gas karbon dioksida diperjualbelikan dalam tangki-tangki gas bertekanan tinggi (2000-4000 psi), sementara karbon dioksida padat diperdagangkan dalam bentuk balok-balok kecil yang dikenal dengan nama es kering atau dry ice.

  • 6

    Pembentukan Karbon Dioksida

    Karbon dioksida dapat diperoleh melalui 7 (tujuh) cara, yaitu (1) pemanasan batu gamping (CaCO3) menjadi gamping atau kalsium oksida (CaO), (2) pembakaran batubara, (3) pembakaran bahan bakar minyak (BBM), (4) pembakaran senyawa organik non bahan bakar, (5) fermentasi gula baik berupa sukrosa maupun pati, (6) pernafasan manusia dan hewan, dan (7) dekarboksilasi senyawa asam -karbonil, asam -halogen, serta asam -allilik. Sementara pemanasan batu gamping dan dekarboksilasi asam -karbonil serta analognya merupakan proses-proses yang sering dikerjakan dalam skala kecil di kebanyakan laboratorium, pembakaran batubara dan BBM serta fermentasi gula dan pati pada pabrik-pabrik penghasil etanol merupakan proses-proses yang menghasilkan CO2 dalam jumlah besar. Terjadinya peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfir bumi akhir-akhir ini pun disinyalir berkaitan secara langsung terutama dengan aktivitas pembakaran batubara dan BBM baik di sektor industri maupun transportasi.

    Dalam hal pembakaran senyawa organik non bahan bakar, sumbangan proses ini terhadap peningkatan kadar CO2 di atmosfir juga cukup besar walaupun tidak sebesar kontribusi sektor pembakaran bahan bakar minyak (BBM) dan batubara. Salah satu contoh kegiatan yang melibatkan pembakaran senyawa organik non bahan bakar tersebut adalah pembakaran sampah di tempat-tempat pembuangan akhir (TPA). Sebagaimana dimaklumi, sampah di TPA-TPA pada hakekatnya merupakan senyawa-senyawa organik non bahan bakar, walaupun bahan ini belum tentu bersifat mudah terbakar. Beberapa contoh material organik non BBM yang sering dijumpai di TPA-TPA antara lain adalah plastik, daun dan ranting pepohonan, kertas, serta sampah rumah tangga. Sementara itu, pernafasan manusia dan hewan merupakan aktivitas alamiah yang menghasilkan CO2 dan tidak dipandang sebagai sumber pencemaran.

    Statistik emisi karbon dioksida dan kredit karbon

    Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, karbon dioksida merupakan penyebab utama terjadinya pemanasan global. Efek

  • 7

    pemanasan yang ditimbulkan oleh gas karbon dioksida sesungguhnya lebih kecil dibandingkan dengan efek panas yang ditimbulkan oleh metana dan dinitrogen oksida. Namun demikian, disebabkan oleh konsentrasi CO2 di udara yang jauh lebih tinggi dibandingkan konsentrasi metana dan dinitrogen oksida maka CO2 diklasifikasikan sebagai penyebab utama terjadinya fenomena pemanasan global. Data dari Energy Information Administration menunjukkan bahwa jumlah total emisi karbon dioksida di dunia pada tahun 1990 adalah 21,6 juta metrik ton, dan meningkat menjadi 23,9 juta metrik ton pada tahun 2001. Jumlah emisi CO2 tersebut diproyeksikan meningkat menjadi 27,7 juta metrik ton pada tahun 2010 dan menjadi 37,1 juta metrik ton pada tahun 2025 (Anonim, 2008).

    Terjadinya peningkatan emisi CO2 secara terus menerus inilah yang menyebabkan para pakar lingkungan merasa sangat prihatin. Usaha untuk mengurangi emisi CO2 pun dilakukan antara lain melalui penandatanganan Protokol Kyoto pada tahun 1999 (Anonim, 2008). Sayangnya, sebagai penyumbang terbesar emisi CO2 di dunia, hingga saat ini Amerika Serikat belum menandatangani Protokol Kyoto tersebut. Demikian pula dengan China yang pada KTT Perubahan Iklim ke-15 di Kopenhagen 7-18 Desember 2009 lalu juga tidak mau memberikan komitmen target pengurangan emisi CO2 di Negeri Tirai Bambu tersebut. Di Indonesia sendiri, jumlah total emisi CO2 pada tahun 1986 adalah 117 juta ton. Jumlah ini diproyeksikan meningkat empat kali lipat atau menjadi 469 juta ton pada tahun 2010. Sebagian besar dari emisi CO2 ini berasal dari pembakaran BBM di sektor industri dan transportasi (Anonim, 2008).

    Sebagai upaya untuk mengurangi emisi CO2 ke atmosfir bumi, di dalam Protokol Kyoto juga telah disepakati pemberlakuan kredit karbon yang didefinisikan sebagai hak bagi sebuah negara atau lembaga industri untuk mengemisikan CO2 ke atmosfir setelah negara atau lembaga industri tersebut membayar sejumlah nominal tertentu sebagai kompensasi atas volume CO2 yang diemisikannya. Pada gilirannya, dana kredit karbon tersebut dibayarkan atau dapat diklaim oleh negara atau lembaga yang telah terbukti melalukan aktivitas pengurangan emisi CO2 ke atmosfir, yang antara lain dilakukan melalui kegiatan penghijauan, penanaman hutan, penggantian bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang ramah lingkungan dan tidak

  • 8

    menghasilkan emisi CO2 seperti energi surya, angin, panas bumi, gelombang laut dan lain-lain. Harga kredit karbon ini berkisar antara USD 10-30 per ton CO2 dan mekanisme pembayaran serta klaimnya dikoordinasikan oleh sejumlah badan dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia, dan European Union (EU).

    Kenyataan menunjukkan bahwa masih tersedia dana kredit karbon bernilai triliunan rupiah di PBB, Bank Dunia, atau EU yang belum diklaim oleh negara atau lembaga-lembaga yang bergerak dalam pengurangan emisi CO2. Persyaratan untuk dapat mengajukan klaim kredit karbon ini memang ketat sesuai standar internasional, namun hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Sebagai contoh, PT. Semen Gresik telah mendapatkan pembayaran kredit karbon senilai Rp 30 milyar pada tahun 2008 sebagai kompensasi atas penggantian bahan bakar fosil yang digunakannya dengan bahan bakar biomassa (Aliya, 2009). Walaupun penggunaan bahan bakar biomassa juga menghasilkan CO2, bahan bakar ini dikelompokkan sebagai bahan bakar ramah lingkungan karena CO2 yang dihasilkannya dikategorikan sebagai CO2 alami.

    Masalah kredit karbon ini sesungguhnya merupakan area bisnis yang menjanjikan. Jika penghijauan, penanaman hutan, dan penyuntikan CO2 ke dalam perut bumi (geosequestration) dianggap sebagai cara-cara yang biasa, lambat, dan rentan terhadap kebocoran untuk metoda yang terakhir, maka sebenarnya terdapat cara revolusioner yang dapat digunakan untuk mengurangi emisi CO2 ke atmosfer, yaitu melalui pengolahan CO2 menjadi produk-produk yang bermanfaat bagi masyarakat. Emisi CO2 yang berasal dari sektor transportasi memang kurang layak untuk dimanfaatkan akibat kesulitan dan kerumitan proses penampungannya. Namun, emisi CO2 yang berasal dari sektor industri yang bersifat lebih terkumpul sangatlah mungkin untuk diolah lebih lanjut. Dengan konsumsi solar sebesar 12,2 juta kiloliter pada tahun 2008, sektor industri di Tanah Air telah menyumbang emisi CO2 sebesar 29,5 juta ton (Jumina dkk., 2009). Dengan harga rata-rata kredit karbon sebesar USD 20 per ton CO2, maka nilai kredit karbon yang dapat diklaim oleh sektor industri nasional pada tahun 2008 mencapai USD 590 juta atau sekitar Rp 5,9 triliun.

  • 9

    Pada saat yang sama, industri bioetanol berbahan baku tetes tebu dan singkong di Tanah Air yang memiliki kapasitas produksi sebesar 240 juta liter pada tahun 2008 (Setiadi, 2009), telah menyumbang emisi CO2 sebagai produk samping sebesar 180 ribu ton. Jika emisi CO2 ini dapat dikonversi menjadi produk yang berdaya guna, maka nilai kredit karbon sebesar Rp 36 milyar per tahun akan dapat diklaim oleh perusahaan-perusahaan bioetanol tersebut. Sekiranya biaya pengolahan CO2 menjadi produk-produk olahan tersebut sama dengan nilai jualnya maka perusahaan masih akan mendapatkan keuntungan dari penjualan kredit karbon. Namun, sekiranya produk-produk hasil pengolahan CO2 tersebut adalah produk-produk yang bernilai ekonomi tinggi serta terdapat surplus antara nilai jual dengan biaya proses, maka perusahaan tentu akan menikmati keuntungan, baik dari selisih margin maupun penjualan kredit karbon. Dengan demikian maka bisnis pengolahan CO2 menjadi produk-produk bernilai ekonomi tinggi ini mestinya merupakan peluang bisnis sangat menjanjikan khususnya bagi produsen bioetanol di Tanah Air maupun sektor industri lain yang menggunakan bahan bakar industri dalam jumlah besar.

    Manfaat karbon dioksida dalam kehidupan sehari-hari

    Secara langsung maupun tidak langsung, karbon dioksida sesungguhnya merupakan bahan yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kita mungkin tidak dapat bertahan hidup tanpa kehadiran CO2. Benarkah demikian? Memang benar demikian adanya. Mari kita tengok baik-baik bahwa makanan pokok kita sehari-hari adalah padi, terigu, gandum, jagung, ataupun singkong sebagai sumber karbohidrat. Sebagai sumber protein nabati kita lazim mengkonsumsi kedelai atau kacang-kacangan yang lain. Adapun sebagai sumber lemak nabati maka kita menggunakan minyak goreng baik berupa minyak sawit, minyak kelapa, minyak jagung, minyak wijen dan sebagainya. Bahan makanan tersebut semuanya berasal dari tumbuh-tumbuhan, dan tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh serta hidup dengan menggunakan karbon dioksida sebagai sumber makanan utamanya.

  • 10

    Kita faham bahwa tumbuh-tumbuhan memperoleh makanannya melalui proses fotosintesis, yaitu dengan cara mengolah CO2 dan uap air yang berasal dari udara dengan bantuan klorofil serta sinar matahari menghasilkan karbohidrat dan oksigen. Karbohidrat inilah yang kemudian digunakan oleh tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan energi untuk pertumbuhan dan kehidupannya. Barangkali ada yang membantah pernyataan ini dengan mengatakan bahwa bukankah kita juga dapat memenuhi kebutuhan hidup khususnya protein dan lemak dari sumber hewani? Memang benar demikian, namun hewan-hewan yang kita gunakan sebagai sumber protein dan lemak tersebut juga mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

    Maha Suci Allah SWT atas segala ciptaanNYA. Sementara manusia dan hewan memerlukan oksigen dan membuang CO2 pada proses pernafasannya, tumbuh-tumbuhan memerlukan CO2 dan membuang oksigen pada proses fotosintesisnya. Dengan demikian, antara manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan memang terdapat siklus rantai makanan yang bersifat sangat hakiki.

    Contoh kedua dari pemanfaatan CO2 dalam kehidupan sehari-hari adalah apa yang telah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan minuman bersoda seperti PT. Coca-Cola dan PT. Pepsi-Cola yang menambahkan gas CO2 ke dalam produk minumannya. Melalui penambahan CO2 ini maka produk-produk minuman bersoda yang kita jumpai dalam sejumlah merek terasa lebih segar dan menarik sehingga digemari di seluruh penjuru dunia. Teknologi yang hampir sama juga digunakan pada produk-produk efferfessen yang langsung berbuih ketika dimasukkan ke dalam air akibat terlepasnya gas CO2.

    Pemanfaatan lain dari CO2 dalam kehidupan kita sehari-hari adalah penggunaannya dalam produk-produk aerosol. Perlu disadari bahwa minyak parfum yang tersimpan dalam botol-botol parfum yang kita miliki dapat disemprotkan ke baju atau kulit adalah berkat dorongan gas atau aerosol yang seringkali diperankan oleh CO2. Selain itu, CO2 juga dimanfaatkan sebagai zat anti api pada proses pemadaman kebakaran, zat pendingin pada penyimpanan makanan serta spesimen beku, zat pengembang pada pembuatan roti, dan enhanced oil recovery (EOR) pada pengambilan sisa-sisa minyak di sumur-sumur tua yang tersebar di persada nusantara.

  • 11

    Peranan karbon dioksida pada industri urea

    Apa yang telah saya uraikan di atas telah menggambarkan secara nyata pemanfaatan CO2 dalam industri berskala kecil hingga menengah. Pemanfaatan CO2 dalam industri berskala besar juga telah lama dikenal dan salah satu yang terpenting adalah dalam industri urea. Sebagaimana diketahui, urea merupakan jenis pupuk nitrogen yang paling banyak digunakan oleh petani baik di Tanah Air maupun di manca negara. Data produksi nasional urea pada tahun 2009 mencapai 6,8 juta ton dan diproyeksikan naik sebesar 7,35 % menjadi 7,3 juta ton pada tahun 2010 (Wahyuni, 2009). Produksi urea tersebut dilakukan oleh raksasa pabrik pupuk yang antara lain meliputi PT. Pupuk Sriwijaya (PUSRI) - Palembang, PT. Pupuk Kujang Jawa Barat, PT. Pupuk Kalimantan Timur (PKT), PT. Pupuk Iskandar Muda Aceh, dan PT. Petrokimia Gresik. Total produksi nasional urea tersebut sesungguhnya telah melebihi tingkat konsumsi urea nasional pada tahun berjalan, namun patut disayangkan bahwa kita masih sering mendengar adanya kelangkaan urea di sejumlah daerah yang berakibat pada melonjaknya harga urea dan berkurangnya tingkat produksi sejumlah produk pertanian seperti padi dan jagung.

    Pada kenyataannya, pabrik-pabrik urea memang tidak memproduksi urea secara langsung dari karbon dioksida sebagai bahan baku, melainkan dari gas alam yang kandungan utamanya adalah metana. Proses produksi urea dilakukan melalui proses methane steam reforming (MCR) yang pada intinya adalah reaksi antara metana dengan uap air menghasilkan gas karbon monoksida dan hidrogen. Reaksi tersebut biasanya dikerjakan pada suhu dan tekanan tinggi. Tahap selanjutnya adalah proses water gas shift (WGS) yang intinya adalah reaksi antara karbon monoksida dan uap air menjadi karbon dioksida dan hidrogen. Secara keseluruhan, hasil akhir dari proses methane steam reforming dan water gas shift adalah karbon dioksida dan hidrogen. Kedua gas ini dipisahkan melalui proses filtrasi, dan gas hidrogen yang diperoleh digunakan untuk pembuatan amoniak sesuai proses Haber-Bosch melalui reaksi dengan nitrogen (N2) yang berasal dari udara. Proses yang ditemukan oleh Prof. Fritz Haber (Profesor Kimia di Karlshure dan Berlin University) dan Carl Bosch (ahli Kimia yang bekerja di BASF sebuah

  • 12

    perusahaan zat warna Jerman) tersebut biasanya dikerjakan pada temperatur 450oC dan tekanan 200 atm dengan menggunakan katalis oksida besi. Suhu dan tekanan ekstrim ini diperlukan mengingat bahwa N2 merupakan senyawa gas yang bersifat inert (stabil).

    Ketika proses Haber-Bosch telah dilewati, gas NH3 yang diperoleh selanjutnya direaksikan dengan karbon dioksida yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya. Proses ini berlangsung pada suhu sekitar 250oC dan tekanan 200-250 atm, dan pada awalnya menghasilkan amonium karbamat. Selanjutnya dilakukan pemanasan amonium karbamat untuk menghasilkan urea sebagai produk akhir.

    Proses produksi urea sebagaimana diuraikan di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa walaupun bahan bakunya adalah metana yang berasal dari gas alam, sebenarnya urea terbentuk melalui reaksi antara karbon dioksida (CO2) dengan amoniak. Selain sebagai sumber CO2, arti penting dari metana dalam proses tersebut adalah sebagai sumber hidrogen yang kelak direaksikan dengan nitrogen menghasilkan gas amoniak. Dengan demikian, tak dapat dipungkiri bahwa peran karbon dioksida dalam industri urea berbasis gas alam adalah mutlak. Peran ini pun tak dapat digantikan oleh karbon monoksida yang juga dihasilkan pada proses steam reforming metana. Memang urea juga dapat diperoleh melalui pemanasan amonium sianat (NH4CNO) (Stecher, 1968), namun proses ini kurang ekonomis sehingga belum diadopsi oleh pelaku industri.

    Peranan karbon dioksida dalam industri farmasi

    Selanjutnya akan saya uraikan contoh pemanfaatan karbon dioksida dalam industri farmasi. Saya yakin tidak seorang pun di antara kita yang belum pernah mengalami sakit kepala atau pusing. Ketika pusing menyerang, maka yang kita cari biasanya adalah obat sakit kepala seperti bodrex, poldan mig dan lain-lain yang komponen aktifnya adalah asam asetilsalisilat atau lazim dikenal dengan nama aspirin atau asetosal (Sirait, 2007). Di antara kita atau keluarga kita tentu juga pernah mengalami sakit asma, dan obat antiasma yang sering diberikan oleh dokter adalah salbron, ventolin dan lain-lain yang komponen aktifnya adalah salbutamol. Ketika terserang flu, kita

  • 13

    biasanya juga segera mencari obat-obatan pereda flu seperti neozep, revagan dan lain-lain yang komponen aktifnya adalah salisilamida.

    Obat-obatan yang memiliki komponen aktif aspirin, salbutamol, dan salisilamida sebagaimana saya sebutkan di atas semuanya diproduksi dengan menggunakan asam salisilat sebagai bahan dasarnya. Sementara aspirin diperoleh melalui asetilasi asam salisilat menggunakan asetat anhidrid, salisilamida diperoleh melalui amidasi asam salisilat baik secara langsung maupun melalui derivat ester dan asil halidanya. Pada sisi lain, salbutamol diperoleh melalui 4 tahapan reaksi dari asam salisilat (Warren, 1994).

    Secara alami, asam salisilat diperoleh dari tumbuhan Gandapura yang memiliki nama latin Gaultheria procumbens (Guenther, 1990). Tanaman ini antara lain banyak dijumpai di daerah Wonosobo, Boyolali, dan lereng pegunungan Bukit Barisan di Sumatera. Destilasi uap terhadap dahan dan ranting tanaman gandapura menghasilkan 2-5 % minyak atsiri yang dikenal dengan nama minyak gandapura. Komponen utama minyak atsiri ini adalah metil salisilat dengan kandungan sekitar 90 %, dan bilamana dihidrolisis maka metil salisilat akan berubah menjadi asam salisilat. Namun demikian, jumlah produksi asam salisilat dari sumber alami ini tidak dapat memenuhi kebutuhan asam salisilat secara keseluruhan. Oleh karena itu asam salisilat dan derivat-derivatnya yang banyak digunakan dalam bidang farmasi dipenuhi secara sintesis melalui karbonilasi natrium fenoksida dengan karbon dioksida yang dikenal sebagai proses Kolbe-Schmitt (Stecher, 1968).

    Potensi karbon dioksida dalam industri metanol & etanol

    Metanol dan etanol merupakan senyawa alkohol yang paling populer dan banyak menyita perhatian masyarakat akhir-akhir ini, khususnya di era pencarian sumber energi terbarukan sebagai antisipasi terhadap habisnya cadangan minyak bumi di perut bumi. Memang secara global cadangan minyak bumi dunia diperkirakan masih dapat dimanfaatkan hingga 200 tahun ke depan, namun untuk Indonesia sendiri, cadangan minyak bumi nasional diperkirakan akan habis kurang dari 23 tahun ke depan jika tidak ditemukan sumur-sumur baru (Sediawan, 2009). Oleh karenanya wajar jika berbagai

  • 14

    daya dan upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mencari sumber-sumber energi terbarukan. Masih segar pula dalam ingatan kita bahwa proyek Blue Energy dan Banyugeni yang sempat menjadi kontroversi beberapa waktu yang lalu sesungguhnya juga merupakan wujud keprihatinan dan antisipasi pemerintah terhadap krisis minyak bumi yang sudah di depan mata.

    Naiknya popularitas metanol dan etanol dewasa ini barangkali disebabkan oleh potensinya untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan (Weissermel & Arpe, 1978; Muspahaji, 2007; Purwadi, 2008). Sementara etanol atau bioetanol telah dimanfaatkan secara langsung sebagai pengganti premium baik dalam bentuk murni maupun dalam bentuk campuran dengan premium yang dikenal sebagai gasohol, metanol merupakan reagen pokok yang harus direaksikan dengan trigliserida sawit, jarak, jagung, maupun trigliserida hewani dalam pembuatan biodiesel yang merupakan pengganti solar (Lilik, 2008). Selain itu, metanol dalam bentuk murni juga telah digunakan sebagai bahan bakar fuel cell.

    Seperti halnya urea, metanol juga diproduksi secara besar-besaran dari gas alam melalui proses methane steam reforming menghasilkan gas-synthesis atau syn-gas yang merupakan campuran antara hidrogen dan karbon monoksida, diteruskan dengan hidrogenasi katalitik karbon monoksida berdasar proses Fischer-Tropsch (Gallucci dkk., 1989; Siswantini, 2008). Raksasa industri metanol berbasis gas alam yang telah beroperasi di Tanah Air antara lain adalah PT. Kaltim Methanol Indonesia dan PT. Pertamina Unit Pulau Bunyu. Proses Fischer-Tropsch sendiri merupakan proses kimia yang sangat terkenal dan telah diterapkan oleh sektor industri global sejak tahun 1930-an hingga sekarang untuk pengolahan gas synthesis menjadi metanol dan hidrokarbon. Nama proses Fischer-Tropsch sendiri berasal dari nama penemunya, yaitu Franz Fischer (1877-1947) seorang Kimiawan Jerman yang bekerja di Kaiser Wilhelm Institute for Coal Research, Jerman- dan Hans Tropsch (1889-1935) seorang Organic Chemist berkebangsaan Cekoslowakia- yang juga bekerja di Kaiser Wilhelm Institute for Coal Research sebagai staf dari Franz Fischer, namun kemudian pindah ke Institute for Coal Research di Praha dan diangkat sebagai Profesor di lembaga tersebut.

  • 15

    Pada sisi lain, etanol atau bioetanol lazim diproduksi secara petrokimia melalui hidrasi etilena oksida (Weissermel & Arpe, 1978) atau melalui fermentasi tetes tebu dan singkong menggunakan Saccharomyces cerevisea (BPPT, 2005; Nurdyastuti, 2007; Siswantini, 2008). Proses pembuatan metanol dan etanol sebagaimana tersebut di atas memiliki kelemahan setidaknya dari sisi bahan baku. Sementara gas alam dan bahan bakar fosil sebagai bahan dasar proses petrokimia merupakan bahan baku yang bersifat tidak terbarukan, tebu sebagai penghasil tetes tebu jumlah produksinya relatif sulit ditingkatkan di Tanah Air akibat keterbatasan lahan.

    Mencermati keadaan sebagaimana diuraikan di atas dan dalam rangka mencari alternatif solusi masalah pemanasan global, sudah selayaknya jika para cerdik pandai termasuk kita semua mencoba untuk memanfaatkan karbon dioksida untuk pembuatan metanol dan etanol. Dalam hal metanol, tim peneliti dari Institute of Bioengineering and Nanotechnology Singapore (Zhang & Ying, 2009) telah berhasil mengkonversi karbon dioksida menjadi metanol melalui reduksi menggunakan difenilsilan dengan katalisator senyawa karbena N-heterosiklik. Reduksi menggunakan difenilsilan ini masih dinilai mahal dan saat ini tim peneliti Singapore tersebut sedang berusaha untuk menemukan metoda konversi yang lebih murah. Efisiensi yang tergolong rendah dan mahalnya teknologi nampaknya juga menjadi alasan mengapa beberapa teknik konversi karbon dioksida menjadi metanol melalui hidrogenasi katalitik yang telah dilaporkan oleh beberapa peneliti terdahulu belum diadopsi oleh pelaku industri (Arakawa, 1993; Anonim, 2006; Birbara, 1984).

    Pada tahun 2009 yang baru saja kita lewati, sebuah paten untuk pengolahan karbon dioksida menjadi metanol telah diberikan kepada George Olah (2009). Berkat usahanya yang gigih, pria kelahiran Hongaria tahun 1927 yang kemudian menjadi Guru Besar Kimia di University of Southern California Amerika Serikat dan merupakan pemenang hadiah Nobel Kimia tahun 1994 untuk karyanya di bidang karbokation ini telah berhasil mengkonversi karbon dioksida menjadi metanol melalui 4 tahap. Pertama, reduksi karbon dioksida menghasilkan campuran formaldehida dan asam format. Kedua, oksidasi campuran formaldehida dan asam format menjadi asam format. Ketiga, esterifikasi asam format dengan metanol

  • 16

    menghasilkan metil format. Keempat, reduksi metil format melalui hidrogenasi katalitik menghasilkan metanol. Paten ini merupakan karya terbaru George Olah di bidang energi sejak beliau memperkenalkan konsep Methanol Economy pada tahun 2003 (Olah dkk., 2003, 2005 & 2009). Metoda konversi karbon dioksida menjadi metanol karya George Olah ini merupakan metode yang cukup efisien dan tidak melibatkan bahan-bahan kimia yang mahal. Semoga metoda konversi karbon dioksida menjadi metanol ini segera dapat diterapkan oleh para pelaku industri.

    Terkait dengan konversi karbon dioksida menjadi metanol sebagaimana tersebut di atas, saya bersama beberapa teman di Jurusan Kimia FMIPA UGM juga sedang mengembangkan teknologi yang insyaAllah tidak kalah efisien dibandingkan dengan metoda George Olah maupun metoda karbena dari tim peneliti Singapore (Jumina dkk., 2009). Proses ini terdiri atas 2 tahap, yaitu (1) pengubahan karbon dioksida menjadi produk intermediate dengan bantuan logam divalen, dan (2) reduksi produk intermediate menjadi metanol melalui hidrogenasi katalitik. Proses yang memiliki peluang aplikasi industri sangat tinggi ini sedang saya usahakan perlindungan patennya ke Ditjen HKI sehingga belum dapat saya uraikan secara lengkap pada tulisan ini.

    Berbeda dengan konversi CO2 menjadi metanol yang telah diupayakan oleh beberapa peneliti, konversi CO2 menjadi etanol kurang mendapat perhatian dari para peneliti. Dalam keadaan seperti ini, saya bersama Dr. Dwi Siswanta, M.Eng. dan Ir. Arief Budiman, MS., D.Eng. melalui program RUSNAS UGM, bekerjasama dengan PT. Madubaru Yogyakarta, telah berhasil mengembangkan teknologi konversi karbon dioksida menjadi etanol melalui perlakuan menggunakan pereaksi Grignard diteruskan dengan reduksi menggunakan senyawa boran. Teknologi ini cukup efisien sebagaimana ditunjukkan oleh konversi totalnya yang mencapai 60-70 %. Sebagai alternatif, etanol juga dapat diperoleh dari karbon dioksida melalui perlakuan dengan pereaksi Grignard diteruskan dengan esterifikasi dan reduksi. Walaupun terdapat satu langkah ekstra, namun teknologi alternatif ini memberikan konversi total sedikit lebih tinggi (65-75 %) dibandingkan dengan proses yang pertama (Jumina dkk., 2009). Seperti halnya teknologi konversi karbon dioksida

  • 17

    menjadi metanol, teknologi konversi karbon dioksida menjadi etanol ini juga sedang saya ajukan perlindungan patennya ke Ditjen HKI.

    Penutup

    Sebagai penutup kiranya perlu saya ingatkan kembali bahwa dalam rangka menjaga kelestarian bumi serta sistem kehidupan yang ada di dalamnya, termasuk kehidupan manusia, maka kita semua hendaknya memikirkan dan menawarkan alternatif pemecahan masalah pemanasan global sesuai dengan keahlian dan kemampuan kita masing-masing. Sungguh merupakan paradoks besar bilamana kemajuan teknologi yang telah dikembangkan oleh umat manusia dan aktivitas pembangunan yang digalakkan di seluruh dunia termasuk oleh Pemerintah RI akan berujung pada percepatan terjadinya kepunahan hidup manusia itu sendiri, atau percepatan terjadinya Hari Kiamat, yang dalam film 2012 diramalkan akan terjadi pada bulan Desember tahun 2012.

    Sebagai umat yang beriman kita pun harus meyakini bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah SWT tentu tidak akan sia-sia. Dalam terminologi lain, pakar positivisme juga mengatakan bahwa di balik sebuah bencana akan selalu ada barokah. Demikian pula nampaknya dengan makhluk Allah SWT yang kita beri nama karbon dioksida. Makhluk Allah SWT ini saat ini sedang menjadi masalah besar bagi kelangsungan hidup manusia, namun dengan sentuhan teknologi yang kita kembangkan, bukan mustahil jika kelak karbon dioksida akan menjadi pengganti bahan bakar fosil sehingga kehadirannya sangat didambakan oleh umat manusia.

    Untuk itu maka dengan segala kerendahan hati saya mohon doa restu dari para hadirin sekalian, semoga upaya-upaya pengolahan dan pemanfaatan karbon dioksida menjadi metanol, etanol, urea, dan produk-produk lain yang telah, sedang, dan akan saya kembangkan bersama mahasiswa dan teman-teman khususnya dari Jurusan Kimia FMIPA UGM dan Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UGM akan membuahkan hasil yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia, dan mengharumkan nama Universitas Gadjah Mada serta Bangsa dan Negara Indonesia, amien, amien, amien ya robbal alamin.

  • 18

    DAFTAR PUSTAKA

    Aliya, A., 2009, Semen Gresik Targetkan Kredit Karbon Rp 30 Milyar Per Tahun, detikFinance, 20 Maret 2009.

    Anonim, 2006, Efficient and Selective Conversion of CO2 to MeOH, MeOMe and Derived Products, WO/113293 Patent, 201-206.

    Anonim, 2008, Prospek Metanol untuk Bahan Bakar, Media Kita, 19/4/2007.

    Anonim, 2008, World Energy Consumption and Carbon Dioxide Emissions, 1990-2025, Energy Information Administration (EIA), www.eia.doe.gov/iea/, April 10th, 2009.

    Anonim, 2008, Protocol Kyoto, www.menlh.go.id, 10 April 2009. Arakawa, H., Kusama, H., Sayama, K., and Okabe, K., 1993,

    Effective Conversion of CO2 to Methanol and Dimethylether, Proc. of International Conference of CO2 Utilization, 95-102.

    Asydhad, A., 2009, KTT Perubahan Iklim Alot, SBY Tetap Optimistis, detikNews, 18/12/2009.

    Birbara, P.J., Galasco, F.S., and Veltri, R.D., 1984, CO2 Conversion System for Oxygen Recovery, US Patent 4452676, 422-428.

    BPPT, 2005, Kajian Lengkap Prospek Pemanfaatan Biodiesel dan Bioetanol pada Sektor Transportasi di Indonesia, Jakarta.

    Fajar, N.R., 2009, Makin Optimistis di KTT Perubahan Iklim Kopenhagen, ANTARA News, 14/12/2009.

    Gallucci, F., Basile, A., Drioli, E., 1989, Methanol as An Energy Source, Sep. and Purif. Reviews, 36 (2), pp. 175-202.

    Guenther, E., The Essential Oils, terjemahan oleh Ketaren, S., 1990, Minyak Atsiri, Jilid II, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

    Jumina, Sarjono, R.E., Siswanta, D., Santosa, S.J., Anwar, C., Sastrohamidjojo, H., Ohto, K., and Oshima, T., 2007, Adsorption of Pb(II) and Cr(III) by C-4-Methoxyphenyl-calix[4] resorcinarene , J. Chin. Chem. Soc., 54(5), 1167-1178.

    Jumina, Keller, P.A., Kumar, N., and Black, D.St.C., 2008, Effective Synthetic Routes to Activated Pyrroloindoles, Tetrahedron, 64(51), 11603-11610.

    Jumina, Kumar, N., and Black, D.St.C., 2009, Synthetic Approaches to Activated Pyrroloindoles, Tetrahedron, 65(12), 2524-2531.

  • 19

    Jumina, Kumar, N., and Black, D.St.C., 2009, Some Reactions of 6,8-Dimethoxypyrroloindoles, Tetrahedron, 65(10), 2059.

    Jumina, Siswanta, D., dan Budiman, A., 2009, Inovasi Teknologi Konversi CO2 Menjadi Bioetanol, Hibah RUSNAS UGM.

    Lilik, I., 2008, Indonesia Produsen Utama Biodiesel, Suara Pembaruan, 4/12/2008.

    Muspahaji, M., 2007, Mengganti BBM dengan Bioetanol, Suara Merdeka, 23/10/2007.

    NASA, 2006, Global Warming, Proceeding of the National Academy of Science, mongabay.com, September 25, 2006.

    Nurdyastuti, I., 2007, Teknologi Proses Produksi Bio-ethanol, BPPT, 75-83.

    Olah, G.A., 2003, The Methanol Economy, Chemical Engineering News, 81(38, 5.

    Olah, G.A., 2005, Beyond Oil and Gas: The Methanol Economy, Angewandte Chemie International, 44(18), 2636-2639.

    Olah, G.A. and Prakash, G.K.S., 2009, US Patent 7605293. Olah, G.A., Prakash, G.K.S. & Goeppert, A., 2009, Chemical

    Recycling of Carbon Dioxide, J. Org. Chem., 74(2), 487-498. Purwadi, 2008, Industri Sudah Pakai Bioetanol, Kontan, 20/8/2008. Sediawan, W.B., 2009, Penyediaan Energi Nasional: Problematika &

    Strategi, Pidato Ilmiah Dies Natalis UGM ke-60, Yogyakarta. Setiadi, I.Y., 2009, Produksi Nasional Bioetanol, Wawancara. Sirait, M., 2007, Informasi Spesialite Obat Indonesia, Volume 42,

    ISSN: 0854-4492, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta. Siswantini, 2008, LIPI Siapkan Lima Konsep Pengembangan Energi

    Alternatif, Media Indonesia, 24/6/2008. Stecher, P.G., 1968, The Merck Index, 8th Edition, Merck & Co., Inc.,

    Rahway, USA, 29-30, 207-208. Wahyuni, N.D., 2009, Produksi Pupuk Urea Naik 7,35 % Tahun

    2010, detikFinance, 08/12/2009. Warren, S., 1994, Organic Synthesis: The Disconnection Approach,

    1st Edition, John Wiley & Sons, New York, 57-59. Weisermel, K. and Arpe, H.-J., 1978, Industrial Organic Chemistry,

    First Edition, Verlag Chemie, New York, pp. 15-51, 171-189. Zhang, Y. and Ying, J., 2009, physorg.com; 16/4/2009.