persepsi guru dalam penerapan pendidikan lingkungan … filependidikan lingkungan hidup di sekolah...

142
PERSEPSI GURU DALAM PENERAPAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP DI SEKOLAH DASAR SEKITAR HUTAN KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH KABUPATEN BOGOR RESTI MEILANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Upload: truongthuy

Post on 21-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PERSEPSI GURU

DALAM PENERAPAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP

DI SEKOLAH DASAR SEKITAR HUTAN

KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH KABUPATEN BOGOR

RESTI MEILANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Persepsi Guru dalam Penerapan

Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah Dasar Sekitar Hutan Kawasan Gunung

Salak Endah Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2011

Resti Meilani

NRP E051050131

ABSTRACT

RESTI MEILANI. The Perception of Teachers in relation to the Implementation

of Environmental Education at Elementary Schools of Forest Margin Area,

Gunung Salak Endah, Bogor Regency. Under direction of E.K.S. HARINI

MUNTASIB and SOERYO ADIWIBOWO.

This research aimed at identifying teacher’s perception of the environment,

teacher’s perception of Environmental Education (EE) implementation, and the

influencing factors. Data were collected through structured questionnaire, guided

interview, field observation, as well as archives and secondary documents. Factor

analysis, Spearman correlation, Kruskal-Wallis test, and Mann-Whitney test were

used to analyse the data. The results showed that, first, according to the result of

the Draw-An-Environment-Test (DAET), teachers from forest margin area have

limited environmental perception due to lack of capacity in expressing their

thoughts in drawings and writings. However, since writing and drawing are not

yet internalized as an important behavior in education, the DAET instrument

should be critically improved or revised to make it fits for developing countries

such as Indonesia. Second, according to the result of Factor Analysis, the

perception of teachers toward EE is constructed from three major factors, i.e. the

EE teaching effectiveness, its benefits, and outcome expectancy. The first factor –

the EE teaching effectiveness – is formed by four variables i.e. perceived

competence, self-efficacy, pressure/tension and perceived choice. Further

analysis shows that the teacher often views him or herself as having low

competence and self-efficacy due to the EE course experience and his/her

educational level. The second factor resulted from Factor Analysis – the EE

benefits – is formed by three variables, i.e. interest/enjoyment, efforts, and

usefulness of the EE course. The EE benefits itself, according to Kruskal-Wallis

test, are determine by EE training course received, level of grade taught and the

nature-based organizational experienced by the teachers. Third, in order to reach

effective EE teaching, the capacity, motivation, perceived competence and self-

efficacy of the teachers should be strengthen. This includes but not limited to the

mastery of environment-related subjects particularly forest conservation topics,

strengthen skills for outdoor teaching and increased compassion on the

environmental issues and/or forest related problems.

Keywords: teacher, perception, environmental education implementation,

elementary school, forest margin area, Gunung Salak Endah

RINGKASAN

RESTI MEILANI. Persepsi Guru dalam Penerapan Pendidikan Lingkungan

Hidup di Sekolah Dasar Sekitar Hutan Kawasan Gunung Salak Endah Kabupaten

Bogor. Dibimbing oleh E.K.S. HARINI MUNTASIB dan SOERYO

ADIWIBOWO.

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dikembangkan sebagai salah satu

upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan, termasuk

permasalahan hutan, dengan mempersiapkan sumberdaya manusia (SDM) yang

memiliki kemampuan untuk mengelola dengan baik. PLH dapat diterapkan

melalui jalur pendidikan non formal di luar sekolah maupun jalur pendidikan

formal di sekolah. Sekolah di sekitar hutan memiliki potensi untuk

mempersiapkan SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta

dalam upaya konservasi hutan. Letak yang berdekatan dengan kawasan hutan

memungkinkan guru untuk membawa siswanya berinteraksi langsung dengan

hutan, memuaskan rasa ingin tahu siswa sekaligus memupuk motivasi belajar

siswa tentang hutan dan permasalahannya. Interaksi langsung dengan hutan akan

meningkatkan kepekaan siswa terhadap hutan dan meningkatkan motivasinya

untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan.

Anak usia sekolah dasar (SD) umumnya memiliki inisiatif, imajinasi, rasa

ingin tahu yang besar, serta semangat belajar dan motivasi mengerjakan tugas

yang tinggi, namun pada masa ini pula muncul perasaan rendah diri, tidak

produktif dan ketidakmampuan. Tahap perkembangan anak usia SD menjadikan

masa SD sebagai masa yang ideal dan penting untuk mempersiapkan SDM yang

memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta dalam upaya konservasi

hutan, dan guru SD memegang peran penting dalam mengembangkan potensi

positif anak dan menjaga agar anak tidak berkembang ke arah negatif.

Penerapan PLH di sekolah masih belum optimal, baik dari sisi ranah

pendidikan maupun praktek pengajaran yang digunakan oleh guru. Umumnya

guru merasa bahwa hambatan dalam melaksanakan PLH adalah keterbatasan

sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah. Berbagai penelitian menunjukkan

bahwa persepsi guru tentang lingkungan/hutan dan PLH mempengaruhi

cara/praktek pengajaran dan peran serta guru dalam program-program PLH,

namun penelitian mengenai persepsi guru tentang lingkungan dan PLH khususnya

di sekolah sekitar hutan di Indonesia masih sangat terbatas. Persepsi guru SD di

sekitar hutan tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH perlu diketahui untuk

dapat menentukan upaya pengembangan profesionalitas yang dibutuhkan guru

agar dapat menerapkan PLH secara optimal. PLH yang optimal akan dapat

menghasilkan siswa yang memiliki motivasi tinggi untuk ikut serta dalam upaya

konservasi hutan.

Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi persepsi guru dalam

penerapan PLH di sekolah sekitar hutan, yang meliputi persepsi tentang

lingkungan, persepsi tentang penyelenggaraan PLH, dan faktor yang

mempengaruhi persepsi. Penelitian dilakukan pada 4 SD contoh di sekitar hutan

kawasan Gunung Salak Endah Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor. SD

dipilih dengan metode purposive sampling berdasarkan kriteria utama jarak

sekolah yang dekat dengan hutan (≤2 km). Responden guru berjumlah total 31

orang berasal dari SD contoh. Persepsi guru tentang lingkungan diukur

menggunakan Draw-An-Environment Test (DAET) dan dianalisis menggunakan

DAET Rubric (DAET-R) yang dikembangkan oleh Moseley dan Desjean-Perrotta

(2010). Persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH diukur berdasarkan motivasi

dan sikap guru terhadap PLH, menggunakan modifikasi skala Intrinsic Motivation

Inventory (IMI, dikembangkan oleh Ryan 1982) dan adaptasi Environmental

Education Efficacy Belief Instrument (EEEBI, dikembangkan oleh Sia 1992).

Data juga dikumpulkan melalui wawancara terpandu, wawancara tidak terstruktur,

pengamatan lapang, pengumpulan arsip dan dokumen, serta studi pustaka.

Analisis dilakukan menggunakan statistik deskriptif, analisis faktor untuk

merangkum kedelapan peubah motivasi dan sikap menjadi beberapa faktor/variate

baru, serta korelasi Spearman, uji Mann-Whitney, dan Uji Kruskal-Wallis untuk

mengetahui faktor yang mempengaruhi persepsi guru.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, berdasarkan hasil Draw-

An-Environment-Test (DAET), guru dari sekolah dasar sekitar hutan memiliki

persepsi lingkungan terbatas yang disebabkan oleh kurangnya kemampuan guru

untuk mengekspresikan/mengungkapkan pemikiran atau gagasan yang

dimilikinya dalam bentuk gambar dan tulisan. Hal ini dapat terjadi karena

instrumen DAET yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan di negara

maju yang masyarakatnya lebih terbiasa mengungkapkan pemikiran melalui

gambar dan tulisan, sedangkan penggunaan gambar dan tulisan untuk

mengungkapkan pemikiran masih belum membudaya sebagai perilaku yang

penting dalam pendidikan di Indonesia. Instrumen DAET perlu diperbaiki atau

dikembangkan lebih lanjut agar penggunaannya dapat sesuai dengan Negara

berkembang seperti Indonesia.

Kedua, hasil Analisis Faktor menunjukkan bahwa persepsi guru tentang

penyelenggaraan PLH dibangun dari tiga faktor utama, yaitu efektivitas

pengajaran PLH, manfaat PLH dan luaran pengajaran PLH yang diharapkan.

Faktor pertama – efektivitas pengajaran PLH – dibentuk dari empat peubah, yaitu

kompetensi, efektivitas-diri, beban/tekanan, dan pilihan. Analisis lebih lanjut

menunjukkan bahwa guru seringkali memandang dirinya memiliki kompetensi

dan efektivitas diri yang rendah dalam mengajar PLH yang dipengaruhi oleh PLH

formal dan tingkat pendidikan yang dimiliki guru. Faktor kedua yang dihasilkan

dari Analisis Faktor – manfaat PLH – dibentuk oleh tiga peubah, yaitu

minat/kesenangan, upaya/arti penting, dan nilai/manfaat PLH. Uji Kruskal-Wallis

menunjukkan bahwa faktor manfaat PLH ditentukan oleh PLH non formal yang

diterima oleh guru, tingkat kelas yang diajar, dan pengalaman yang dimiliki oleh

guru dalam organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam. Faktor ketiga –

luaran pengajaran PLH– terbentuk dari satu peubah, yaitu luaran pengajaran PLH

yang diharapkan oleh guru. Guru berpendapat bahwa pengajaran PLH yang

efektif dapat memberikan respon positif dari siswa (hasil belajar tinggi). Analisis

statistik lebih lanjut tidak menunjukkan ada nilai yang berbeda nyata, sehingga

faktor yang mempengaruhi persepsi guru tentang luaran pengajaran PLH tidak

dapat ditentukan.

Ketiga, guru membutuhkan peningkatan/penguatan kapasitas, motivasi,

kompetensi dan efektivitas diri melalui berbagai kegiatan PLH agar dapat

melakukan pengajaran PLH yang efektif. Kegiatan PLH bagi guru sebaiknya

tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan guru akan materi yang

berkaitan dengan lingkungan, khususnya hutan dan konservasinya, tetapi juga

sikap dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan upaya pengelolaan

lingkungan dan konservasi hutan, meningkatkan penguasaan guru akan metode

pengajaran di luar kelas, dan meningkatkan kepekaan guru terhadap

lingkungan/hutan dan permasalahannya.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar bagi IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERSEPSI GURU

DALAM PENERAPAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP

DI SEKOLAH DASAR SEKITAR HUTAN

KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH KABUPATEN BOGOR

RESTI MEILANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Nurwanto, MM

Judul Tesis : Persepsi Guru dalam Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup

di Sekolah Dasar Sekitar Hutan Kawasan Gunung Salak Endah

Kabupaten Bogor

Nama : Resti Meilani

NRP : E051050131

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof.Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS Dr.Ir. Soeryo Adiwibowo, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 14 Desember 2010 Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-

Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2010 ini adalah persepsi,

dengan judul Persepsi Guru dalam Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup di

Sekolah Dasar Sekitar Hutan Kawasan Gunung Salak Endah Kabupaten Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib,

MS dan Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS selaku pembimbing, serta Bapak

Ir. Nurwanto, MM selaku penguji luar komisi, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Imam

Wahyudi, MSi selaku pimpinan sidang pada ujian tesis yang telah banyak

memberi saran. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Kepala UPTK Dinas

Pendidikan Kecamatan Pamijahan serta Para Kepala Sekolah dan Guru dari SDN

Gunung Bunder 04, SDN Gunung Bunder 03, SDN Gunung Sari 01, dan SDN

Gunung Picung 06 yang telah meluangkan waktu untuk menerima penulis dalam

melaksanakan penelitian, Eva dan Tri yang telah memberikan semangat, dorongan

dan bantuan dalam penyelesaian tesis ini, serta adik-adik alumni dan mahasiswa

(Muthe, Arman, Wani, Panda, Jadda, Abay dan Robinson) yang telah membantu

selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami

(Ismail) dan anak-anak (Sanabel dan Yadzka) tercinta, serta seluruh keluarga, atas

segala pengertian, do’a, kasih sayang dan semangatnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2011

Resti Meilani

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 14 Mei 1977 sebagai anak

sulung dari tiga bersaudara, dari pasangan Syaeful Bathir dan Ika Kartika (Alm).

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas

Kehutanan IPB, lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2005, penulis diterima di

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Program Pascasarjana IPB dan

mendapatkan Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) dari Departemen

Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis telah mengabdi sebagai asisten pengajar di Departemen Konservasi

Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE) Fakultas Kehutanan IPB sejak tahun

2000. Penulis diangkat sebagai staf pengajar tetap di DKSHE Fakultas Kehutanan

IPB pada tahun 2005 dan sejak saat itu menjadi staf pengajar dari Bagian Rekreasi

Alam dan Ekowisata.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1

1.2 Perumusan Masalah .......................................................................... 4

1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 6

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 6

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)

2.1.1 Definisi, tujuan, Sasaran dan Perkembangan PLH ................... 7

2.1.2 Peran Guru dalam Penerapan PLH ........................................... 9

2.2 Persepsi Guru dalam Penerapan PLH

2.2.1 Definisi dan Proses Pembentukan Persepsi ............................... 10

2.2.2 Persepsi Guru tentang Lingkungan dan Pengukurannya ........... 11

2.2.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan

Pengukurannya ......................................................................... 13

3 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 23

3.2 Hipotesis ........................................................................................... 24

4 BAHAN DAN METODE

4.1 Lokasi dan Waktu ............................................................................ 25

4.2 Bahan dan Alat ................................................................................. 25

4.3 Definisi Operasional .......................................................................... 25

4.4 Metode Penelitian ............................................................................. 26

4.4.1 Pemilihan Sekolah Contoh ....................................................... 26

4.4.2 Pemilihan Responden Guru ...................................................... 27

4.4.3 Pengumpulan Data ................................................................... 27

4.4.4 Pengolahan Data ...................................................................... 30

4.4.5 Analisis Data ............................................................................ 33

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Guru ........................................ 35

5.1.1 Karakteristik Guru sebagai Faktor Individu yang

Mempengaruhi Persepsi ........................................................... 35

5.1.2 Faktor Obyek/Sasaran yang Mempengaruhi Persepsi Guru

tentang PLH ............................................................................. 43

5.1.3 Faktor Situasi ........................................................................... 46

5.2 Persepsi Guru mengenai Lingkungan................................................. 49

5.3 Persepsi Guru mengenai Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) ......... 54

5.3.1 Persepsi Guru berdasarkan Motivasi Mengajar PLH ................. 54

5.3.2 Persepsi Guru berdasarkan Sikap terhadap PLH ....................... 65

5.3.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan Faktor

yang Mempengaruhinya ........................................................... 73

5.4 Upaya untuk Peningkatan Persepsi Guru tentang PLH ....................... 77

6 SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan .......................................................................................... 85

6.2 Saran ................................................................................................. 86

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 89

LAMPIRAN .................................................................................................. 95

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jenis data dan metode pengumpulan data ................................................. 27

2 Persentase guru berdasarkan usia, jenis kelamin, dan pendidikan ............. 36

3 Pengalaman mengajar yang dimiliki guru pada sekolah contoh ................ 37

4 PLH formal dan non formal yang pernah didapat guru ............................. 40

5 Pengalaman guru dalam organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam 40

6 Pengalaman guru berinteraksi dengan alam .............................................. 41

7 Harapan guru berkaitan dengan kapasitas guru, sarana prasarana, dan

pelaksanaan PLH di sekolah ..................................................................... 42

8 Penggunaan metode dan media untuk pengajaran PLH oleh guru ............. 45

9 Kondisi umum sekolah contoh ................................................................. 47

10 Analisis terhadap gambar yang dibuat guru .............................................. 50

11 Analisis terhadap definisi lingkungan yang dibuat guru ............................ 51

12 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala interest/enjoyment .......................................... 54

13 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala perceived competence .................................... 56

14 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala effort/importance ........................................... 58

15 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala pressure/tension............................................. 59

16 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala perceived choice ............................................ 60

17 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala value/usefulness ............................................. 62

18 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala self-efficacy belief/

personal EE teaching efficacy (PETE) ..................................................... 67

19 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala outcome expectancy/

EE teaching outcome expectancy (ETOE) ................................................ 71

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Robbins 2003) .................... 10

2 Kontinum determinasi-diri (Deci dan Ryan 2001) .................................... 15

3 Konsepsi skematis sikap (Rosenberg dan Hovland 1960 diacu dalam

Triandis 1971) ......................................................................................... 18

4 Skema kerangka penelitian persepsi guru dalam penerapan

pendidikan lingkungan hidup di sekolah ................................................... 24

5 Kondisi sekolah contoh: (a) SDN Gunung Sari 01; (b) SDN Gunung

Bunder 03; (c) SDN Gunung Bunder 04; (d) SDN Gunung Picung 06 ...... 47

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Analisis Faktor ......................................................................................... 97

2 Analisis Nonparametrik (Nonparametric Correlations) ............................ 101

3 Uji Kruskal-Wallis ................................................................................... 102

4 Uji Mann-Whitney ................................................................................... 123

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemerosotan kondisi lingkungan telah menjadi sorotan dunia internasional

selama beberapa dekade terakhir. Isu-isu lingkungan seperti kepunahan berbagai

jenis keanekaragaman hayati, deforestasi, pencemaran lingkungan, penipisan ozon

dan perubahan iklim global, telah mendorong berbagai pihak untuk melakukan

upaya-upaya perbaikan. Pendidikan merupakan sarana untuk mempersiapkan

sumberdaya manusia berkualitas yang akan mengelola lingkungannya. Undang-

undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menguraikan

pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

manusia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara.

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dikembangkan sebagai salah satu

upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan dengan

mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan dan

motivasi untuk mengelola lingkungan dengan baik. Perkembangan PLH mulai

didorong sejak diselenggarakannya konferensi PBB mengenai lingkungan

manusia di Stockholm, Swedia yang merekomendasikan dibangunnya suatu

program PLH internasional (Brauss dan Wood 1994). Lokakarya internasional

diadakan pada tahun 1975di Belgrade, Yugoslavia untuk merumuskan definisi dan

tujuan PLH yang dituangkan dalam Belgrade Charter (Brauss dan Wood 1994;

Kementerian Lingkungan Hidup 2004).

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) pada dasarnya ditujukan untuk

mendorong terjadinya perubahan perilaku masyarakat menjadi perilaku yang lebih

ramah lingkungan sehingga dapat meminimalkan dampak kegiatan manusia yang

merugikan lingkungan (McKeown dan Hopkins 2005 diacu dalam Darner 2009).

Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KLH 2004) dalam

kebijakannya mendefinisikan PLH sebagai upaya mengubah perilaku dan sikap

yang dilakukan oleh berbagai pihak atau elemen masyarakat yang bertujuan untuk

2

meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk

berperan aktif dalam upaya pelestarian dan keselamatan lingkungan untuk

kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.

KLH (2004) juga menyebutkan bahwa PLH dapat disampaikan kepada

masyarakat melalui jalur pendidikan nonformal dan informal di luar sekolah, serta

jalur pendidikan formal di sekolah. Zelezny (1999) diacu dalam Darner (2009)

menyatakan bahwa PLH melalui jalur pendidikan formal di sekolah secara umum

lebih efektif dibandingkan PLH melalui jalur pendidikan informal. Sekolah

memiliki potensi yang besar untuk dapat membentuk SDM yang berkualitas

dalam melakukan pengelolaan lingkungan.

Sekolah di sekitar hutan memiliki potensi untuk mempersiapkan SDM yang

memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta dalam upaya konservasi

hutan. Letak sekolah yang berdekatan dengan kawasan hutan memungkinkan

guru untuk membawa siswanya berinteraksi langsung dengan hutan. Interaksi

langsung dengan hutan akan memuaskan rasa ingin tahu siswa tentang hutan,

meningkatkan kepekaan siswa terhadap hutan, sekaligus memupuk motivasi

belajar siswa tentang hutan dan permasalahannya dan meningkatkan motivasinya

untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan.

Peran strategis sekolah dalam membentuk SDM yang memiliki kemampuan

dan motivasi untuk melakukan upaya konservasi dapat dipenuhi dengan

pengembangan PLH yang lebih ditekankan pada program Pendidikan Konservasi.

Program Pendidikan Konservasi yang dikembangkan sebaiknya memuat berbagai

materi berkaitan dengan konservasi hutan dalam ketiga ranah pendidikan, yaitu

kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) maupun psikomotorik (keterampilan).

Teori perkembangan rentang hidup yang dikembangkan oleh Erikson

menyebutkan bahwa anak usia sekolah dasar (SD) memiliki inisiatif, imajinasi,

rasa ingin tahu yang besar, serta semangat belajar dan motivasi mengerjakan tugas

yang tinggi, namun pada masa ini pula muncul perasaan rendah diri, tidak

produktif dan ketidakmampuan (Santrock 2008). Potensi yang dimiliki anak usia

SD menyebabkan masa SD merupakan masa yang ideal dan penting untuk

mempersiapkan SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta

dalam upaya konservasi hutan, dan guru SD memegang peran penting dalam

3

mengembangkan potensi positif anak/siswa dan menjaga agar anak/siswa tidak

berkembang ke arah negatif.

Muntasib et al. (2009) menguraikan bahwa ada lima faktor kunci dalam

model pendidikan hutan dan lingkungan (PHL) di sekolah (pendidikan hutan dan

lingkungan merupakan bagian dari PLH yang dikembangkan oleh Fakultas

Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan materi pembelajaran yang lebih

difokuskan pada hutan), yaitu kepala sekolah, guru, siswa, orangtua dan sarana

pendidikan. Meskipun paradigma pendidikan telah mengalami pergeseran dari

pendidikan yang berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa, namun tidak

dapat dipungkiri bahwa guru masih memegang peranan yang sangat penting

dalam dunia pendidikan. Guru merupakan pribadi yang menjadi model dan

teladan bagi para siswanya. Siagian (2004) menyatakan bahwa peran guru

terhadap sikap seorang anak merupakan pengaruh yang paling kuat, karena masa

sekolah merupakan masa peletakan dasar bagi pengembangan kepribadian, nilai,

dan sikap seseorang yang akan dianut sepanjang hidupnya. Guru sebagai

motivator, inisiator, dinaminator, fasilitator serta transformator pengetahuan,

keterampilan dan sikap peserta didik merupakan salah satu unsur penting yang

menentukan berhasil-tidaknya penyelenggaraan program pendidikan, termasuk

PLH, sehingga wawasan dan kesiapan guru perlu mendapat perhatian (Muntasib

2002).

KLH (2004) mengidentifikasi berbagai faktor yang menjadi permasalahan

dalam pelaksanaan PLH di Indonesia terkait dengan pelaku pendidikan (guru),

antara lain kurangnya pemahaman para pelaku pendidikan mengenai PLH,

kurangnya komitmen pelaku pendidikan dalam memberikan PLH, penggunaan

materi dan metode yang kurang memadai, serta sarana dan prasarana yang kurang

memadai yang menjadi faktor penghambat motivasi dalam pelaksanaan

pendidikan lingkungan hidup. Keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan

memang dirasakan oleh guru sebagai masalah yang menjadi faktor penghambat

dalam pelaksanaan PLH di sekolah. Namun penelitian Muntasib et al. (2009)

menunjukkan bahwa faktor sarana dan prasarana tampaknya tidak menjadi

penghambat bagi guru di SDN Gunung Bunder 04 dengan kondisi fisik dan

ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang minim dibandingkan sekolah

4

contoh lainnya, yang ditunjukkan oleh metode pengajaran yang digunakan guru

dan respon siswa yang lebih baik. Lebih lanjut Muntasib et al. (2009)

menyatakan bahwa guru dengan persepsi dan motivasi yang baik terhadap

pendidikan hutan dan lingkungan (sebagai bagian dari PLH yang dikembangkan

oleh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor), serta memiliki penguasaan

terhadap materi dan keterampilan mengajar yang memadai, akan dapat

menyampaikan materi dengan baik kepada siswa.

Keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan semestinya tidak menjadi

penghambat bagi guru dalam melaksanakan PLH di sekolah. Persepsi guru

tentang penyelenggaraan PLH yang lebih berperan dalam mempengaruhi praktek

pengajaran PLH oleh guru kepada siswa dan pada akhirnya mempengaruhi respon

siswa. Guru juga meneruskan persepsi mereka kepada siswanya di sekolah,

sehingga persepsi/pemahaman guru mengenai lingkungan menjadi hal yang

penting untuk diidentifikasi (Desjean-Perotta et al. 2008). Persepsi guru tentang

lingkungan akan diteruskan kepada siswanya, sedangkan persepsi guru tentang

penyelenggaraan PLH akan mempengaruhi praktek pengajaran PLH oleh guru

kepada siswa, sehingga akan diteliti mengenai persepsi guru tentang lingkungan

dan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH.

1.2 Perumusan Masalah

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) pada dasarnya bertujuan untuk

merubah perilaku individu menjadi perilaku yang positif terhadap lingkungan

(perilaku ramah lingkungan). Kenyataannya upaya pelaksanaan PLH di sekolah-

sekolah secara umum baru sampai pada tahap peningkatan pengetahuan, belum

mampu mendorong terjadinya perubahan perilaku siswa menjadi lebih ramah

lingkungan.

Para guru umumnya merasa bahwa keterbatasan sarana dan prasarana,

seperti fasilitas pendidikan dan buku sumber/ajar mengenai PLH, menjadi faktor

yang menghambat pelaksanaan PLH di sekolah, sehingga pelaksanaan PLH di

sekolah menjadi terbatas pada materi yang ada pada mata ajaran inti. Metode

yang digunakan oleh guru juga masih terbatas pada metode ceramah dan diskusi.

Namun demikian penelitian yang dilakukan oleh Muntasib et al. (2009)

menunjukkan bahwa pada sekolah-sekolah, ada guru yang dapat melaksanakan

5

PLH dengan baik dalam kondisi sekolah yang serba terbatas, yang telah

menggunakan berbagai metode dan media untuk mengajarkan PLH kepada

siswanya, melalui kegiatan observasi lapang dengan interaksi yang intensif

dengan alam sekitar, serta menuangkannya dalam nyanyian tentang alam tersebut.

Perbedaan praktek pengajaran guru tersebut menunjukkan adanya pengaruh suatu

faktor dalam diri guru.

Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya pengaruh persepsi guru

tentang praktek pengajaran dan peran serta guru dalam kegiatan pengajaran.

Smith-Sebasto (2007) menunjukkan bahwa peran serta guru dalam program PLH

residensial, yaitu program PLH menginap yang memberikan kesempatan kepada

peserta untuk berinteraksi dengan alam, dipengaruhi oleh persepsi guru bahwa

program PLH residensial tersebut memberikan pengaruh positif bagi siswanya.

Hardre dan Sullivan (2008) telah merangkum dari berbagai penelitian bahwa

perbedaan individu dan persepsi guru dapat mempengaruhi cara guru mengajar

dan memotivasi siswa sehingga mempengaruhi respon siswa. Desjean-Perrotta et

al. (2008) menyatakan bahwa konsepsi yang dimiliki oleh calon guru mengenai

lingkungan akan mempengaruhi pengajarannya mengenai lingkungan.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa praktek dan peran serta guru dalam

pengajaran PLH di sekolah dipengaruhi oleh persepsi guru tentang lingkungan

dan penyelenggaraan PLH.

Kondisi tersebut menimbulkan pemikiran bahwa pelaksanaan/penerapan

PLH di sekolah saat ini masih belum dapat mendorong timbulnya perilaku ramah

lingkungan pada siswa karena sebetulnya guru belum memiliki persepsi yang

baik/tinggi tentang lingkungan maupun penyelenggaraan PLH, bukan semata-

mata karena keterbatasan sarana prasarana seperti yang selama ini banyak

dijadikan alasan. Penelitian mengenai persepsi guru tentang lingkungan dan

penyelenggaraan PLH masih sangat terbatas, terutama pada sekolah-sekolah dasar

yang terletak di sekitar hutan. Pertanyaan tentang bagaimana sesungguhnya

persepsi guru tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH masih belum

terjawab, sedangkan upaya penerapan PLH di sekolah tentunya perlu

dioptimalkan agar dapat membentuk generasi penerus berkualitas, yang memiliki

kesadaran, pengetahuan, sikap dan keterampilan memadai untuk mengelola

6

lingkungan dan melakukan upaya konservasi hutan, serta memiliki motivasi dan

peran serta dalam pengelolaan lingkungan dan konservasi hutan.

Persepsi guru SD di sekitar hutan tentang lingkungan dan penyelenggaraan

PLH perlu diketahui untuk dapat menentukan upaya pengembangan

profesionalitas yang dibutuhkan guru agar dapat menerapkan PLH secara optimal,

sehingga dapat menghasilkan siswa yang memiliki motivasi tinggi untuk ikut serta

dalam upaya konservasi hutan. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi

persepsi guru dalam penerapan PLH di sekolah dasar sekitar hutan sebagai salah

satu upaya awal untuk mengoptimalkan penyelenggaraan PLH di Indonesia dan

mempersiapkan SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta

dalam upaya konservasi hutan.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi persepsi guru sekolah dasar

di sekitar hutan kawasan Gunung Salak Endah Kabupaten Bogor dalam penerapan

Pendidikan Lingkungan Hidup. Secara rinci penelitian ini dilakukan untuk:

1. Mengidentifikasi faktor obyek/sasaran, situasi dan individu yang

mempengaruhi persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH,

2. Mengidentifikasi persepsi guru tentang lingkungan,

3. Mengidentifikasi persepsi guru tentang penerapan/penyelenggaraan PLH.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian akan dapat memberikan masukan dalam membangun

persepsi guru tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH untuk

penyempurnaan penerapan/penyelenggaraan PLH di sekolah, sehingga dapat

membentuk SDM yang tidak hanya memiliki kemampuan, namun juga motivasi

untuk ikut serta dalam penyelesaian berbagai permasalahan lingkungan,

khususnya upaya konservasi hutan.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)

2.1.1 Definisi, Tujuan, Sasaran dan Perkembangan PLH

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) berawal dari dua program pendidikan

yang lebih banyak dilakukan di alam dengan tujuan untuk latihan, pengamatan

dan kegiatan pendidikan yang berkaitan dengan kesenangan (Ford 1981). PLH

didefinisikan sebagai suatu proses untuk membangun/mengembangkan populasi

dunia yang sadar dan memiliki keprihatinan akan lingkungan secara keseluruhan

beserta permasalahan terkait, dan yang memiliki pengetahuan, keterampilan,

sikap, motivasi dan komitmen untuk bekerja secara individu dan bersama dalam

memecahkan permasalahan yang ada dan mencegah timbulnya permasalahan baru

(UNESCO 1978 diacu dalam Monroe, Day dan Grieser 2000; Braus dan Wood

1994).

Rekomendasi No. 1 dari Konferensi Antar-Pemerintah mengenai PLH yang

diadakan di Tbilisi, USSR, pada Oktober 1977 (UNESCO 1980 diacu dalam

Biswas dan Biswas 1982) menyatakan bahwa tujuan dasar PLH adalah

keberhasilan dalam membuat individu dan masyarakat memahami sifat alamiah

lingkungan alam dan buatan yang kompleks yang dihasilkan dari interaksi aspek-

aspek biologis, fisik, sosial, ekonomi dan budaya, dan agar individu dan

masyarakat tersebut mendapatkan pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan

praktis untuk berperan serta secara bertanggungjawab dan efektif dalam

mengantisipasi dan memecahkan masalah-masalah sosial dan mengelola kualitas

lingkungan. PLH pada dasarnya ditujukan untuk membekali masyarakat dengan

kemampuan yang dibutuhkan agar masyarakat dapat mengelola lingkungan

hidupnya secara berkelanjutan.

Ada lima sasaran PLH yang diidentifikasi dalam Konferensi Antar-

pemerintah Persatuan Bangsa-Bangsa mengenai PLH (Unesco 1978 diacu dalam

Monroe, Day, dan Grieser 2000 dan Brauss dan Wood 1994), yaitu:

1. Kesadaran – membantu peserta didik untuk mendapatkan kesadaran dan

kepekaan terhadap lingkungan secara keseluruhan dan permasalahan terkait.

8

2. Pengetahuan – untuk mendapatkan beragam pengalaman dan pemahaman

mendasar mengenai lingkungan dan permasalahan terkait.

3. Sikap – untuk mendapatkan serangkaian nilai dan rasa keprihatinan akan

lingkungan dan motivasi untuk berperan secara aktif dalam pengembangan

dan perlindungan lingkungan.

4. Keterampilan – untuk mendapatkan keterampilan dalam mengidentifikasi dan

memecahkan permasalahan lingkungan.

5. Partisipasi – untuk mendorong warga masyarakat agar terlibat aktif pada

semua level dalam mencari resolusi permasalahan lingkungan.

Perkembangan PLH di Indonesia tidak terlepas dari Konferensi PBB tentang

lingkungan hidup sedunia yang dikenal dengan Konferensi Stockholm, Juni 1972

(Pokja PKSDHL 1998). Pokja PKSDHL (1998) menguraikan bahwa berbagai

usaha telah dilakukan sebagai perwujudan komitmen Indonesia terhadap deklarasi

Stockholm, antara lain pengembangan Lembaga Ekologi oleh Universitas

Padjajaran Bandung, berbagai kebijakan pemerintah, penyusunan Garis-garis

Besar Program Pengajaran Pendidikan Lingkungan Hidup. Dalam

perkembangannya PLH terwujud dalam berbagai bentuk, seperti Pendidikan

Hutan dan Lingkungan (PHL), Pendidikan Konservasi (PK), Pendidikan

Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH), serta Pendidikan untuk

Pembangunan Berkelanjutan (PuPB).

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2004 menerbitkan

Kebijakan PLH yang menguraikan bahwa PLH dapat dilaksanakan melalui jalur

pendidikan formal, non-formal maupun informal. Zelezny (1999) diacu dalam

Darner (2009) menyatakan bahwa umumnya PLH formal lebih efektif daripada

PLH informal. PLH formal adalah kegiatan pendidikan di bidang lingkungan

hidup yang diselenggarakan melalui sekolah, terdiri atas pendidikan dasar,

pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dan dilakukan secara terstruktur dan

berjenjang dengan metode pendekatan kurikulum yang terintegrasi maupun

kurikulum yang monolitik/tersendiri (KLH 2004). Pada tahun 2007 Gubernur

Jawa Barat telah menerbitkan kebijakan yang mendorong pelaksanaan PLH

formal di sekolah secara lebih intensif, sehingga semakin meningkatkan peran

guru dalam penerapan PLH di sekolah.

9

2.1.2 Peran Guru dalam Penerapan PLH

UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menempatkan

guru sebagai pendidik, yaitu tenaga professional yang bertugas merencanakan dan

melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan

pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada

masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pasal 40 ayat (2) UU

Sisdiknas tersebut menguraikan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan

berkewajiban untuk (a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna,

menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis, (b) mempunyai komitmen

secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan (c) memberi

teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan

kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Guru adalah orang yang menterjemahkan filosofi dan tujuan pendidikan

menjadi pengetahuan dan keterampilan dan mentransfernya kepada siswa

(Ofoegbu 2004). Muntasib (2002) menyebutkan bahwa guru sebagai motivator,

inisiator, dinaminator, fasilitator serta transformator pengetahuan, keterampilan

dan sikap peserta didik merupakan salah satu unsur penting yang menentukan

berhasil-tidaknya penyelenggaraan program pendidikan, termasuk PLH, sehingga

wawasan dan kesiapan guru perlu mendapat perhatian.

Guru memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk sikap anak

(sebagai siswanya), karena masa sekolah merupakan masa peletakkan dasar-dasar

yang kuat bagi pengembangan kepribadian, nilai dan sikap seseorang (Siagian

2004). Muntasib et al. (2009) menyatakan bahwa guru merupakan salah satu

faktor kunci dalam penerapan PLH melalui jalur formal di sekolah (Muntasib et

al. 2009). Kurangnya tenaga guru yang terlatih merupakan salah satu hal yang

menghambat pelaksanaan PLH di sekolah pada Negara-negara Asia Pasifik

(Nirarita 2003), sedangkan pelaksanaan PLH di sekolah sangat dipengaruhi oleh

keterampilan dan komitmen guru serta dukungan yang didapat guru dari kepala

sekolah dan sesama rekan guru. Sedemikian besar peran guru dalam penerapan

PLH di sekolah sehingga guru perlu mendapatkan perhatian besar, terutama dalam

hal peningkatan kemampuan guru untuk menerapkan PLH.

10

2.2 Persepsi Guru dalam Penerapan PLH

2.2.1 Definisi dan Proses Pembentukan Persepsi

Persepsi berhubungan dengan pendapat dan penilaian individu terhadap

suatu stimulus, baik berupa benda, isyarat, informasi maupun situasi dan kondisi

tertentu, yang akan berakibat terhadap motivasi, kemauan, dan perasaan individu

terhadap stimulus tersebut (Langevelt 1966 diacu dalam Harihanto 2001).

Persepsi dapat dipahami dengan melihatnya sebagai suatu proses aktif yang

dilakukan seseorang untuk memberikan makna tertentu kepada lingkungannya

(manusia, obyek, peristiwa, situasi dan fenomena-fenomena lainnya) dengan

memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan lingkungan tersebut

(Robbins 2003; Siagian 2004; Robbins 2005; Wood 2007). Proses aktif tersebut

terdiri dari tiga proses yang kontinyu dan saling berpadu, yaitu seleksi/pemilihan,

pengorganisasian, dan interpretasi stimulasi terhadap sensori/indera sehingga

menjadi suatu gambaran dunia yang bermakna dan koheren (Berelson dan Steiner

1964 diacu dalam Severin dan Tankard 1979; Wood 2007).

Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Robbins 2003).

Faktor Situasi:

Waktu

Suasana/Kondisi kerja

Kondisi Sosial

Faktor Individu:

Sikap

Motif

Minat/keinginan

Pengalaman

Harapan

Persepsi

Faktor Obyek/Sasaran:

Kebaharuan/Novelty

Pergerakan

Suara

Ukuran

Latarbelakang

Kedekatan

Kemiripan

11

Persepsi (kognisi/pandangan) terbentuk saat seseorang melihat obyek yang

terorganisasi dan mengenalinya sebagai obyek yang bermakna, memilih obyek,

dan memilih karakteristik obyek yang sesuai dengan konsepsinya mengenai dunia

(Krech et al. 1965). Severin dan Tankard (1979) menyatakan bahwa persepsi

dipengaruhi sejumlah faktor psikologis yang meliputi asumsi-asumsi berdasarkan

pengalaman masa lalu (yang seringkali bekerja pada suatu tingkatan yang hampir

tidak disadari), harapan-harapan budaya, motivasi (kebutuhan), mood/suasana hati,

dan sikap. Robbins (2003, 2005) dan Siagian (2004) menguraikan bahwa persepsi

dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang terkait dengan karakteristik individu,

obyek atau sasaran, dan situasi (Gambar 1). Wood (2007) menjelaskan bahwa

individu-individu berbeda dalam menangkap suatu situasi dan orang, dan

perbedaan tersebut antara lain dipengaruhi oleh faktor fisiologis (kemampuan alat

indera dan kondisi fisiologis), umur (dan pengalaman), budaya, peran dalam

masyarakat (pengaruh sosial), kemampuan kognitif, dan kepribadian individu.

Dengan demikian, semua persepsi selalu parsial dan subyektif; parsial karena

individu tidak mampu menangkap semua hal, dan subyektif karena persepsi

dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut.

Guru membawa dua persepsi dalam dirinya di dalam penerapan PLH di

sekolah, yaitu persepsi guru tentang lingkungan dan persepsi guru tentang

penyelenggaraan PLH sebagai sebuah program pengajaran. Persepsi guru tentang

lingkungan akan diteruskan kepada siswanya, sedangkan persepsi guru tentang

penyelenggaraan PLH sebagai sebuah program pengajaran akan mempengaruhi

guru dalam memilih metode dan media untuk menyampaikan materi kepada

siswa, yang selanjutnya akan mempengaruhi hasil belajar siswa.

2.2.2 Persepsi Guru tentang Lingkungan dan Pengukurannya

Ilmu lingkungan mengenal konsep “persepsi mengenai lingkungan

(environmental perception)”, yang didefinisikan sebagai cerminan penglihatan,

kekaguman, kepuasan, serta harapan individu terhadap lingkungan (Edmund dan

Letey 1973 diacu dalam Harihanto 2001). Haryadi dan Setiawan (1995) diacu

dalam Harihanto (2001) menguraikan persepsi tentang lingkungan adalah

interpretasi tentang suatu seting (lingkungan) oleh individu, yang didasarkan pada

latar belakang budaya, nalar dan pengalaman, sehingga setiap individu dapat

12

memiliki persepsi lingkungan yang berbeda meskipun dimungkinkan beberapa

kelompok individu mempunyai kecenderungan persepsi lingkungan yang sama

atau mirip. Persepsi tentang lingkungan juga diuraikan sebagai model mental atau

gambaran yang dimiliki oleh seseorang mengenai lingkungan yang digunakannya

untuk memberikan makna bagi peristiwa yang terjadi di sekitarnya (Moseley dan

Desjean-Perrotta 2010).

Persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya.

Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar tentang lingkungan, kemungkinan

besar orang tersebut berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian

lingkungan (Surata 1993 diacu dalam Muntasib 2002). Hal tersebut dapat

dijelaskan dengan pernyataan Heathcote (1980) bahwa persepsi tentang lingkungan

tidak hanya mencerminkan skala peristiwa dan hubungan individu dengan peristiwa

tersebut, namun juga mencerminkan beragam motif yang tersirat dalam sikap

individu terhadap lingkungan. Siagian (2004) juga menyatakan bahwa persepsi

seseorang mengenai lingkungan akan sangat berpengaruh pada perilakunya dan

akan menentukan faktor-faktor apa yang dipandang sebagai faktor motivasional

yang kuat. Edmund & Letey (1973) diacu dalam Muntasib (2002) menyampaikan

bahwa salah satu sebab timbulnya masalah lingkungan adalah kegagalan untuk

memiliki persepsi-persepsi yang benar tentang lingkungan sebagai suatu

keseluruhan dan untuk memahami serta menerima ketergantungan dasar dalam

sistem ekologi termasuk manusia. Asngari (1984) diacu dalam Harihanto (2001)

mengatakan bahwa persepsi individu terhadap lingkungannya merupakan faktor

penting, karena akan berlanjut dalam menentukan tindakan individu tersebut.

Guru meneruskan persepsi mereka kepada siswanya di sekolah, sehingga

pemahaman guru mengenai lingkungan menjadi hal yang penting untuk

diidentifikasi (Desjean-Perotta et al. 2008). Potensi terjadinya kesalahpahaman

dan pembentukan konsepsi yang salah mengenai lingkungan pada siswa akan

dapat diidentifikasi dengan memahami persepsi guru tentang lingkungan. Guru

yang memiliki persepsi yang benar/positif mengenai lingkungan kemungkinan

besar akan berperilaku positif terhadap lingkungan, yaitu perilaku yang ramah

lingkungan. Perilaku yang positif/ramah lingkungan ini akan dapat menjadi

teladan/contoh yang baik dan tepat bagi siswa. Keteladanan dari guru merupakan

13

salah satu cara yang baik dalam mengajarkan PLH kepada siswa, karena belajar

PLH juga belajar melalui keteladanan.

Penelitian ini menggali persepsi guru tentang lingkungan yang dibatasi pada

gambaran mental yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan. Persepsi guru

tentang lingkungan tersebut digali dengan menggunakan metode survey Draw-An-

Environment Test (DAET) yang terdiri dari dua bagian, yaitu (1) guru diminta

untuk membuat gambar lingkungan, dan (2) guru diminta menuliskan definisi

mereka mengenai lingkungan dengan melengkapi sebuah kalimat terbuka

(Desjean-Perrotta et al. 2008; Moseley dan Desjean-Perrotta 2010). Tulisan

merupakan refleksi/cerminan dari persepsi dan pengetahuan guru mengenai

lingkungan (Desjean-Perrotta et al. 2008) sedangkan gambar merupakan

representasi atau gambaran model mental atau citra seseorang sebagai salah satu

cara untuk menganalisa kepercayaan pribadi (Thomas, Pederson dan Finson 2001

diacu dalam Moseley dan Desjean-Perrotta 2010) guru terhadap lingkungan.

Penilaian DAET didasarkan pada konsep mengenai lingkungan dalam NAAEE

Guidelines, yaitu interdependensi, pendekatan sistem dan interaksi empat faktor

pembentuk lingkungan, yaitu: manusia, organisme hidup/biotik lainnya,

lingkungan fisik/abiotik dan lingkungan buatan (Desjean-Perrotta et al. 2008;

Moseley dan Desjean-Perrotta 2010).

2.2.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan Pengukurannya

Perbedaan individu dan persepsi guru dapat mempengaruhi cara guru

mengajar dan memotivasi siswa (Brophy dan Good 1974; Skinner dan Belmont

1993; diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Motivasi yang terbentuk pada

siswa selanjutnya akan mempengaruhi luaran-luaran penting terkait sekolah,

seperti misalnya perhatian, upaya, tujuan, kualitas kerja, perilaku, kesejahteraan,

skor ujian, peringkat, dan penyelesaian sekolah (Hidi dan Harackiewicz 2000;

Linnenbrink dan Pintrich 2002a; Pintrich 2003; Reeve 1996; diacu dalam Hardre

dan Sullivan 2008).

Perbedaan individu guru (seperti umur, gender, pengalaman mengajar) dan

perbedaan kontekstual guru (seperti mata ajaran dan tingkat kelas yang diajar)

dapat mempengaruhi praktek pengajaran guru (Hardre dan Sullivan 2008). Umur

dan gender telah terbukti relevan terhadap seberapa dekat guru mendukung dan

14

menjalin hubungan interpersonal dengan siswanya (Jacobs et al. 1998 diacu dalam

Hardre dan Sullivan 2008). Pengalaman mengajar terkait dengan fleksibilitas dan

kepercayaan diri guru, yang mempengaruhi praktek kelas (Bransford, Brown, dan

Cocking 1999 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Mata ajaran dan tingkat

kelas yang diajarkan dapat mempengaruhi upaya dan investasi guru, karena guru

dapat mengajar mata ajaran dan siswa dengan kisaran yang sempit ataupun lebar

(Lemke 1994 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008).

Penelitian mengenai persepsi guru tentang program PLH residensial (yaitu

program PLH menginap yang memberikan kesempatan kepada pesertanya untuk

berinteraksi dengan alam) di New Jersey School of Conservation mengungkapkan

bahwa para guru merasa bahwa pendidikan lingkungan seharusnya dimasukkan

dalam persiapan akademik para siswanya karena memiliki pengaruh positif, dan

para guru yang terlibat langsung memandang program PLH residensial tersebut

sebagai suatu tuntutan pekerjaan (Smith-Sebasto 2007). Simmons (1988) diacu

dalam Smith-Sebasto (2007) menyatakan bahwa para guru ikut serta dalam program

PLH residensial karena memiliki persepsi bahwa program tersebut memberikan

pengaruh positif bagi siswanya; karena percaya bahwa program tersebut

memberikan siswa kesempatan pertumbuhan personal dan sosial serta memberi

kesempatan untuk lebih mempelajari lingkungan dan diri mereka sendiri; para siswa

menikmati keberadaan mereka di alam dan menikmati pengalaman itu sendiri.

Schartner (2000) diacu dalam Smith-Sebasto (2007) mengungkapkan bahwa para

guru mengikuti program PLH residensial karena merasa bahwa mereka diharapkan

untuk mengikuti program tersebut jika mengajar pada tingkat kelas tertentu, yang

berdasarkan keputusan administratif atau lingkup sekolah, sesuai untuk

mendapatkan pengalaman di alam.

Penelitian Muntasib et.al. (2009) yang dilaksanakan di 2 Sekolah Dasar (SD)

contoh (SDN Gunung Bunder 04 dan SDN Gunung Picung 05) dan 1 Sekolah

Menengah Pertama (SMPN I Pamijahan) di Kabupaten Bogor, serta 2 SD (SDN

Lembur Sawah 03 dan SDN Bojongwaru) di Kabupaten Sukabumi menunjukkan

bahwa persepsi guru dari SDN Gunung Bunder Kabupaten Bogor yang memandang

PLH/PHL bukan hanya sebagai beban tugas namun juga sebagai sesuatu hal yang

penting dan bernilai positif bagi siswanya serta motivasi yang baik dari guru di

15

SDN tersebut untuk menerapkan PLH/PHL di sekolahnya telah memberikan hasil

pengetahuan dan pemahaman siswa yang relatif lebih luas dibandingkan empat

sekolah contoh lainnya. Dengan demikian, persepsi guru tentang penyelenggaraan

PLH akan mempengaruhi peran serta guru dalam kegiatan PLH dan cara guru

mengajarkan PLH kepada siswanya, dan pada akhirnya mempengaruhi respon

siswa. Artinya bahwa persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH merupakan hal

yang penting untuk diidentifikasi sebagai langkah awal untuk mencapai efektivitas

pengajaran PLH.

Robbins (2003) menguraikan bahwa motif/motivasi dan sikap merupakan

bagian dari faktor individu yang mempengaruhi terbentuknya persepsi. Dengan

demikian, persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH dapat diidentifikasi

berdasarkan motivasi guru dalam mengajar PLH dan sikap guru terhadap PLH.

Motivasi guru dalam mengajar PLH

Motivasi guru secara alamiah berkaitan dengan sikap guru terhadap

pekerjaannya, yaitu hasrat/keinginan untuk berperan serta dalam proses-proses

pedagogis (pembelajaran) di dalam lingkungan sekolah, minat/perhatian guru

terhadap disiplin siswa dan kendali di dalam kelas, sehingga menjadi dasar

keterlibatan guru dalam kegiatan-kegiatan akademik dan non-akademik di sekolah

(Ofoegbu 2004). Ryan dan Deci (2000) dalam Teori Determinasi-Diri (Self-

Determination Theory - SDT) membedakan berbagai tipe motivasi berdasarkan

alasan atau tujuan yang menyebabkan dilakukannya suatu tindakan, yaitu

amotivasi, motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik yang berada pada suatu

kontinum determinasi-diri yang semakin tinggi (Gambar 2).

Perilaku Non determinasi diri Determinasi-diri

Tipe

Motivasi Amotivasi Motivasi Ekstrinsik

Motivasi

Intrinsik

Tipe

Pengaturan/

Regulasi

Non-regulasi Regulasi

Eksternal

Regulasi ter-

introjeksi

Regulasi ter-

identifikasi

Regulasi ter-

integrasi

Regulasi

intrinsik

Lokus

Kausalitas Impersonal Eksternal

Agak

eksternal

Agak

internal internal internal

Gambar 2 Kontinum determinasi-diri (Deci dan Ryan 2001).

16

Amotivasi adalah suatu kondisi saat seseorang kurang memiliki keinginan

untuk melakukan sesuatu dan kurang memiliki motivasi, yaitu saat mereka tidak

mampu untuk mengatur diri sendiri dalam suatu perilaku tertentu (Pelletier et al.

1999 diacu dalam Deci dan Ryan 2001). Motivasi intrinsik mengacu pada

perilaku yang dilakukan karena secara melekat perilaku tersebut bersifat menarik

dan menyenangkan (Ryan dan Deci 2000). Perilaku tersebut memiliki internal

perceived locus of causality/lokus kausalitas yang dirasa berasal dari dalam

(deCharms 1968 diacu dalam Niemic dan Ryan 2009). Motivasi ekstrinsik

merupakan suatu konstruk yang terjadi saat suatu aktivitas dilakukan untuk

memperoleh suatu luaran tertentu yang terpisah dari aktivitas itu sendiri (Ryan

dan Deci 2000), yang dikelompokkan menjadi empat tipe motivasi berdasarkan

derajat otonomi yang dialami individu, yaitu regulasi eksternal, regulasi

terintrojeksi, regulasi teridentifikasi dan regulasi terintegrasi (Niemic dan Ryan

2009), yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut:

1) Regulasi eksternal. Perilaku dilakukan untuk mendapatkan penghargaan

(reward) atau menghindari hukuman (punishment).

2) Regulasi terintrojeksi. Perilaku dilakukan untuk memuaskan kontingensi

internal, seperti peningkatan-diri atau menghindari penghinaan-diri. Salah

satu tipe regulasi terintrojeksi adalah keterlibatan ego yang mengacu pada

harga diri (self-esteem) seseorang sebagai bagian dari performanya. Ego

memberikan tekanan internal untuk menghindari rasa malu atau untuk merasa

diri berguna.

3) Regulasi teridentifikasi. Perilaku dilakukan karena dianggap bernilai atau

penting bagi individu tersebut.

4) Regulasi terintegrasi merupakan tipe motivasi ekstrinsik yang paling bersifat

otonomi. Regulasi yang teridentifikasi telah bersintesis dengan aspek lainnya

dalam pribadi seseorang, sehingga dorongan yang timbul dirasakan berasal

dari diri seseorang.

Brookhart dan Freeman (1992) diacu dalam Watt dan Richardson (2008)

menyebutkan bahwa motivasi intrinsik, ekstrinsik dan altruistik telah disoroti

sebagai kelompok alasan yang paling penting bagi seseorang dalam memutuskan

untuk mengajar. Vallerand, et al. (2008) menyatakan bahwa motivasi intrinsik

17

akan memberikan luaran yang paling positif. Motivasi intrinsik dapat diukur

dengan dua cara, yaitu dengan ukuran keperilakuan dari motivasi intrinsik yang

disebut “free choice” atau kebebasan memilih (Deci 1971 diacu dalam Ryan dan

Deci 2000), dan penggunaan self-report atau laporan-pribadi mengenai daya-

tarik dan kesenangan dari suatu aktivitas itu sendiri (Ryan 1982; Harackiewicz

1979 diacu dalam Ryan dan Deci, 2000). Robbins (2003) menguraikan mengenai

model motivasi intrinsik Ken Thomas yang berpendapat bahwa motivasi intrinsik

akan dicapai jika orang mengalami perasaan choice (memilih), competence

(kompeten), meaningfulness (berarti), dan progress (kemajuan), yang diuraikan

sebagai berikut:

1. Choice adalah kesempatan untuk dapat memilih aktivitas tugas yang masuk

akal bagi seseorang dan melakukannya dengan cara yang dirasa sesuai.

2. Competence adalah pencapaian yang dirasakan saat dengan terampil

melakukan aktivitas tugas yang dipilih.

3. Meaningfulness adalah kesempatan untuk mengejar tujuan tugas yang

berharga, tujuan yang berarti di dalam skema hal-hal yang lebih besar.

4. Progress adalah perasaan bahwa seseorang membuat kemajuan yang nyata

dalam mencapai tujuan tugas.

Motivasi guru untuk mengajar PLH dapat diukur berdasarkan daya tarik dari

kegiatan mengajar PLH dan kesenangan/kenikmatan yang dirasakan guru dalam

mengajar PLH, rasa memiliki kompetensi/kemampuan untuk mengajar PLH,

upaya yang dicurahkan dalam pengajaran PLH, nilai/manfaat pengajaran PLH

bagi guru, tekanan dan beban yang dirasakan guru dalam mengajarkan PLH, serta

rasa adanya kebebasan memilih dalam mengajar PLH. Ryan (1982) telah

mengembangkan skala untuk mengukur motivasi intrinsik yang disebut sebagai

Intrinsic Motivation Inventory (IMI scale) yang terdiri dari subskala

interest/enjoyment, perceived competence, effort/importance, value/usefulness,

pressure/tension, dan perceived choice.

Sikap guru terhadap PLH

Sikap merupakan suatu pernyataan evaluatif seseorang terhadap obyek,

orang atau peristiwa tertentu, yang mencerminkan perasaan seseorang terhadap

sesuatu (Siagian 2004; Robbins 2003, 2005). Hollander (1981) menyatakan ada

18

dua hal mendasar mengenai sikap, yaitu bahwa (1) sikap memberikan dasar

untuk menginterpretasikan dunia dan memproses informasi baru, dan (2)

sikap merupakan suatu cara untuk memperoleh dan mempertahankan identifikasi

sosial.

Triandis (1971) menguraikan bahwa sikap adalah suatu gagasan yang

didorong oleh emosi yang mempengaruhi kecenderungan sekelompok tindakan

terhadap suatu kelompok situasi sosial tertentu. Definisi tersebut menggambarkan

bahwa sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yaitu komponen

kognitif, komponen afektif dan komponen konatif/perilaku (Triandis 1971;

Shavitt dan Brock 1994; Azwar 1995; Robbins 2003, 2005).

Gambar 3 Konsepsi skematis sikap (Rosenberg dan Hovland 1960 diacu dalam

Triandis 1971)

Hollander (1981) menguraikan bahwa komponen kognitif kepercayaan-

ketidakpercayaan adalah hal-hal yang telah dipelajari oleh seorang individu

mengenai sesuatu hal yang membentuk kepercayaan-ketidakpercayaan terhadap

hal tersebut; komponen afektif suka-tidak suka mengacu pada emosi seorang

STIMULI (individu,

situasi, isu-isu sosial,

kelompok-kelompok

sosial, dan “obyek-

obyek sikap” lainnya)

SIKAP

Respon sistem

syaraf simpatetik

Pernyataan verbal

afeksi

AFEKSI

Respon perseptual

Pernyataan verbal

tentang kepercayaan KOGNISI

Tindakan nyata

Pernyataan verbal

terkait perilaku PERILAKU

Variabel

bebas terukur

Variabel antara Variabel terikat/tak

bebas terukur

19

individu, sedangkan komponen aksi adalah kesiapan untuk berperilaku sejalan

dengan sikap yang dimiliki seorang individu. Mann (1969) diacu dalam Azwar

(1995) menjelaskan bahwa: 1) komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan

dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu; 2) komponen afektif

merupakan perasaan individu terhadap obyek sikap dan menyangkut masalah

emosi, dan aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai

komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-

pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang; 3) komponen perilaku

berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu

dengan cara-cara tertentu.

Sikap seseorang terbentuk karena pengaruh orang lain, yaitu orang tua, guru

dan rekan-rekannya, dan dapat berubah dipengaruhi situasi dan pengalaman

seseorang (Siagian 2004). Hollander (1981) menyatakan bahwa sikap dan nilai

memiliki persistensi, namun juga dinamis dalam arti keduanya dapat berubah,

meskipun umumnya sikap lebih mudah berubah.

Shavitt dan Brock (1994) menyatakan bahwa sikap tidak dapat diamati

secara langsung, namun harus disimpulkan berdasarkan respon-respon teramati

(dan terukur) dari tiga komponen sikap. Azwar (1995) mengungkapkan bahwa

pengukuran sikap sebagai salah satu aspek yang sangat penting guna memahami

sikap dan perilaku manusia dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain

observasi perilaku, penanyaan langsung, pengungkapan langsung, skala sikap dan

pengukuran terselubung. Skala sikap Likert merupakan teknik pengukuran sikap

yang paling banyak digunakan karena mudah disusun dan dapat digunakan,

sehingga skala ini secara rutin menunjukkan korelasi tinggi dengan skala sikap

lainnya (Shavitt dan Brock 1994).

Sikap guru terhadap PLH dapat diukur melalui dua ukuran sikap, yaitu self-

efficacy dan outcome expectancy (Sia 1992; Moseley et al. 2002; Moseley dan

Utley 2008). Bandura (1977) diacu dalam Sia (1992) dan Moseley et al. (2002)

menguraikan bahwa self-efficacy (efektivitas diri) adalah persepsi atau

kepercayaan diri seseorang terhadap kemampuannya untuk melakukan sesuatu,

sedangkan outcome expectancy (luaran yang diharapkan) adalah kepercayaan atau

harapan seseorang untuk mendapatkan suatu luaran tertentu dari perilaku yang

20

ditunjukkannya. Efektivitas diri yang diyakini oleh seseorang berkaitan dengan

tingkat motivasi dan capaian kinerja individu tersebut (Bandura 1977 diacu dalam

Moseley dan Utley 2008). Enoch dan Riggs (1990) diacu dalam Sia (1992) dan

Moseley et al. (2002) menguraikan efektivitas diri guru sebagai kemampuan guru

untuk mengajar secara efektif. Efektivitas guru juga didefinisikan sebagai tingkat

kepercayaan guru terhadap kemampuannya dalam mempengaruhi kinerja siswa

(Berman dan McLauglin 1977 diacu dalam Moseley dan Utley 2008).

Kepercayaan guru memiliki dampak yang sangat besar terhadap perilakunya

di kelas (Pajares 1992 dan Richardson 1996 diacu dalam Moseley dan Utley

2008), karena kepercayaan memainkan bagian penting dalam pengorganisasian

pengetahuan dan informasi oleh guru dan penting dalam membantu guru

beradaptasi, memahami dan memaknai diri dan dunianya (Schommer 1990,

Taylor 2003, Taylor dan Caldarelli 2004 diacu dalam Moseley dan Utley 2008).

Guru yang memiliki kepercayaan diri dalam kemampuannya mengajar (self-

efficacy beliefs) akan bertahan lebih lama, memberikan fokus akademik yang

lebih besar di kelas, dan menunjukkan tipe umpan balik berbeda dibandingkan

guru yang memiliki harapan yang lebih rendah berkaitan dengan kemampuannya

untuk mempengaruhi pembelajaran siswa (Gibson dan Dembo 1984 diacu dalam

Moseley et al. 2002). Czerniak (1990) diacu dalam Moseley et al. (2002)

menemukan bahwa guru dengan self-efficacy/efektivitas diri yang tinggi lebih

cenderung menggunakan strategi pengajaran inkuiri dan berpusat pada siswa,

sedangkan guru dengan efektivitas diri yang rendah lebih cenderung

menggunakan strategi yang terarah pada guru seperti ceramah dan membaca teks.

Efektivitas diri guru dalam kaitannya dengan PLH dapat diuraikan sebagai

tingkat kepercayaan guru terhadap kemampuannya mengajarkan PLH secara

efektif, sedangkan outcome expectancy guru terhadap PLH diuraikan sebagai

perkiraan guru mengenai pengaruh yang diberikannya terhadap siswa dalam

pembelajaran PLH (Moseley et al. 2002). Sikap guru yang positif terhadap PLH,

dalam hal ini memiliki efektivitas diri dan outcome expectancy yang tinggi, akan

dapat memberi arah yang positif terhadap perilaku guru dalam mengajarkan PLH

kepada siswa melalui penyajian berbagai materi dengan menggunakan metode-

metode pengajaran aktif yang lebih berpusat pada siswa, sehingga diharapkan

21

efektivitas pembelajaran PLH dapat tercapai dengan terbentuknya sikap positif

dan terwujudnya perilaku ramah lingkungan pada siswa. Sia (1992) telah

mengembangkan skala untuk mengukur sikap guru terhadap PLH berdasarkan

self-efficacy dan outcome expectancy, yang disebut Environmental Education

Efficacy Beliefs Instrument (EEEBI). Skala EEEBI yang telah diadaptasikan ke

dalam bahasa Indonesia digunakan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi

sikap guru terhadap PLH dalam upaya mengetahui persepsi guru tentang

penyelenggaraan PLH.

3 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Pemikiran

Guru membawa dua persepsi dalam penerapan PLH di sekolah, yaitu

persepsi guru tentang lingkungan dan persepsi guru tentang penyelenggaraan

PLH. Persepsi guru tentang lingkungan dipandang sebagai representasi

penguasaan guru akan materi-materi lingkungan hidup, yang akan mempengaruhi

persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH, terutama dalam kaitannya dengan

kompetensi dan efektivitas diri (self-efficacy) yang dirasakan oleh guru dalam

mengajar PLH kepada siswanya. Persepsi guru tentang lingkungan diukur

berdasarkan gambaran mental yang dimiliki guru mengenai lingkungan melalui

gambar dan definisi lingkungan yang dibuat oleh guru, sedangkan persepsi guru

tentang penyelenggaraan PLH diukur melalui motivasi dan sikap guru terhadap

PLH berdasarkan pernyataan Robbins (2005) bahwa sikap dan motivasi individu

terhadap suatu obyek/sasaran tertentu merupakan faktor individu yang

mempengaruhi persepsi.

Robbins (2005) juga menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi oleh faktor

individu, situasi dan obyek/sasaran, dengan demikian persepsi guru tentang

penyelenggaraan PLH juga dipengaruhi faktor-faktor tersebut. Data yang akan

dikumpulkan berkaitan dengan faktor individu guru adalah informasi pribadi guru

seperti umur, jenis kelamin, pendidikan dan pengalaman guru serta harapan guru

berkaitan dengan PLH.

Faktor situasi menurut Robbins (2003) meliputi waktu, suasana/kondisi

kerja dan kondisi sosial. Faktor situasi dalam kaitannya dengan penelitian ini

dibatasi pada kondisi lingkungan sekolah dan sekitarnya yang meliputi

lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik

dibatasi pada ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, seperti bangunan,

lahan sekolah, buku sumber/buku ajar, dan alat bantu/media pengajaran.

Lingkungan biologis dibatasi pada sumberdaya biologis yang terdapat di sekolah

dan sekitarnya yang dapat digunakan sebagai sumber dan media pembelajaran

bagi siswa, terutama letak sekolah dengan kawasan hutan di dekat sekolah.

24

Lingkungan sosial dibatasi pada dukungan kepala sekolah dan sesama rekan guru

dalam penerapan PLH.

Faktor obyek/sasaran dalam penelitian ini adalah PLH sebagai sebuah

program pengajaran, dengan berbagai faktor terkait seperti kebijakan dan

keberadaan kurikulum PLH yang diuraikan dalam mata ajaran, tingkat kelas,

materi, metode dan media yang digunakan di sekolah. Alur pikir penelitian ini

digambarkan dalam skema kerangka pemikiran (Gambar 4).

Gambar 4 Skema kerangka pemikiran penelitian persepsi guru dalam penerapan

pendidikan lingkungan hidup di sekolah.

3.2 Hipotesis

Guru yang memahami kondisi lingkungan hidup di sekitarnya (memiliki

persepsi lingkungan yang utuh), memiliki atribut individu positif, dan mengajar

pada sekolah yang: berada di sekitar hutan, memiliki kurikulum PLH, serta

kondisi lingkungan dan sosial sekolah yang menunjang, akan membuahkan guru

dengan persepsi PLH yang tinggi.

PENERAPAN PLH DI SEKOLAH

GURU

Faktor Individu:

Umur

Jenis Kelamin

Pengalaman (mengajar,

organisasi alam)

Pendidikan (formal, non formal)

Harapan

Persepsi tentang

Penyelenggaraan PLH:

Motivasi, Sikap

Persepsi

tentang

Lingkungan

Faktor Situasi

Penerapan PLH di

sekolah

Faktor Obyek:

PLH sebagai

Program

Pengajaran

4 BAHAN DAN METODE

4.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada 4 (empat) sekolah dasar (SD) yang terletak

di sekitar hutan kawasan Gunung Salak Endah (GSE), Kecamatan Pamijahan,

Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat selama 3 bulan, mulai Februari – April

2010.

4.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan panduan

wawancara, sedangkan alat yang digunakan adalah alat bantu berupa perekam

suara, kamera, dan komputer.

4.3 Definisi Operasional

1. Persepsi guru tentang lingkungan diukur berdasarkan gambaran mental yang

dimiliki oleh guru mengenai lingkungan.

2. Persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH diukur berdasarkan motivasi

guru dalam menerapkan/mengajar PLH di sekolah dan sikap guru terhadap

PLH.

3. Motivasi guru dalam menerapkan/mengajar PLH di sekolah diukur

berdasarkan minat/kesenangan (interest/enjoyment) guru terhadap PLH,

kompetensi yang dirasakan (perceived competence) dalam mengajar PLH,

upaya/arti penting (effort/importance) PLH, beban/tekanan (pressure/tension)

yang dirasakan dalam mengajar PLH, pilihan (perceived choice) yang dirasa

dalam mengajar PLH, serta nilai/kegunaan (value/usefulness) PLH yang

dirasakan guru.

4. Sikap guru terhadap PLH diukur melalui dua ukuran sikap, yaitu self-efficacy

(efektivitas diri) dan outcome expectancy (luaran yang diharapkan).

5. Self-efficacy (efektivitas diri) guru dalam PLH adalah persepsi atau

kepercayaan diri guru terhadap kemampuannya untuk mengajar PLH secara

efektif.

26

6. Outcome expectancy (luaran yang diharapkan) guru terhadap PLH adalah

perkiraan/harapan guru mengenai pengaruh yang diberikannya terhadap siswa

dalam pembelajaran PLH.

4.4 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan strategi penelitian deskriptif,

yaitu strategi penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan suatu variabel

tunggal atau untuk memperoleh deskripsi terpisah untuk setiap variabel jika ada

beberapa variabel yang terlibat dalam penelitian (Gravetter dan Forzano 2006).

Keterbatasan informasi dan pustaka mengenai persepsi, sikap dan motivasi guru

sekolah dasar dalam pengajaran PLH menjadi pertimbangan untuk menggunakan

strategi penelitian deskriptif. Desain penelitian survei yang bertujuan untuk

mendapatkan gambaran akurat mengenai individu yang dikaji (Gravetter dan

Forzano 2006) digunakan karena penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan

gambaran mengenai persepsi guru dalam penerapan PLH di sekolah. Penelitian

dilakukan melalui tahapan pemilihan sekolah contoh, pemilihan responden guru,

pengumpulan data, serta pengolahan dan analisa data untuk mendapatkan

gambaran persepsi guru sekolah dasar terhadap PLH.

4.4.1 Pemilihan Sekolah Contoh

Sekolah-sekolah yang dijadikan sebagai sekolah contoh dalam penelitian ini

adalah 4 (empat) sekolah dasar (SD) yang berada di sekitar hutan kawasan

Gunung Salak Endah Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa

Barat. Pemilihan sekolah contoh dilakukan dengan menggunakan teknik

purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel nonrandom (tidak acak)

untuk populasi yang spesifik (Neuman 2006), dengan pertimbangan tertentu

(Sugiyono 2008). Kriteria/pertimbangan yang digunakan untuk memilih sekolah

contoh adalah:

1. Sekolah dekat dengan hutan (≤ 2 km)

2. Mempunyai interaksi dengan hutan

Selanjutnya, dari sekolah contoh yang memenuhi dua kriteria tersebut akan

dipilih 2 (dua) sekolah dasar contoh dengan kriteria bahwa guru sekolah tersebut

pernah mendapatkan intervensi PLH dari instansi luar sekolah (seperti Lembaga

27

Swadaya Masyarakat/LSM, Perguruan Tinggi/PT, dll), dan 2 (dua) sekolah dasar

contoh yang gurunya belum pernah mendapatkan intervensi PLH dari pihak

manapun. Berdasarkan kriteria tersebut, empat sekolah yang menjadi sekolah

contoh adalah:

1) SDN Gunung Bunder 04,

2) SDN Gunung Sari 01,

3) SDN Gunung Bunder 03, dan

4) SDN Gunung Picung 06.

4.4.2 Pemilihan Responden Guru

Populasi dalam penelitian ini adalah guru dari sekolah-sekolah dasar yang

terletak di sekitar hutan kawasan Gunung Salak Endah (GSE) Kecamatan

Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Sampel yang digunakan

dalam penelitian ini adalah guru-guru dari keempat sekolah dasar contoh. Jumlah

total responden guru dari keempat sekolah contoh sebanyak 31 orang guru.

4.4.3 Pengumpulan Data

Data dikumpulkan melalui studi pustaka, pengumpulan arsip dan dokumen,

wawancara terstruktur dengan kuesioner, wawancara tidak terstruktur, wawancara

terstruktur dengan panduan wawancara, serta observasi lapang (Tabel 1).

Tabel 1 Jenis data dan metode pengumpulan data

Jenis Data Metode Pengumpulan Data

Sekolah dasar di kawasan GSE

Kebijakan PLH

Kurikulum PLH

Pelaksanaan PLH di sekolah

Informasi pribadi responden guru

Motivasi guru dalam penerapan PLH

Sikap guru terhadap PLH

Persepsi guru tentang lingkungan

Harapan terkait PLH

Kondisi lingkungan sekolah dan

sekitar

Permasalahan terkait penerapan PLH

Pengumpulan arsip dan dokumen

Pengumpulan arsip dan dokumen

Pengumpulan arsip dan dokumen

Studi pustaka, wawancara, observasi

Kuesioner

Studi pustaka, kuesioner

Studi pustaka, kuesioner

Studi pustaka, kuesioner (DAET)

Kuesioner, wawancara

Pengumpulan arsip dan dokumen,

observasi

Wawancara

28

a. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data mengenai berbagai hasil

penelitian dan kegiatan mengenai:

(1) pelaksanaan PLH di sekolah

(2) persepsi guru tentang lingkungan

(3) persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH

(4) motivasi guru dalam penerapan PLH

(5) sikap guru terhadap PLH

b. Pengumpulan Arsip dan Dokumen

Arsip dan dokumen dikumpulkan untuk mendapatkan data mengenai:

(1) sekolah-sekolah dasar yang berada di sekitar hutan kawasan Gunung Salak

Endah (GSE) Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor;

(2) kebijakan PLH dari Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah Provinsi

Jawa Barat dan Kabupaten Bogor;

(3) kurikulum, mata ajaran, tingkat kelas, materi, media dan metode yang

digunakan dalam pengajaran PLH di sekolah;

(4) kondisi lingkungan sekolah, meliputi kondisi fisik (bangunan, lahan, sarana

dan prasarana lainnya) dan biologis sekolah.

c. Wawancara Terstruktur dengan Kuesioner

Wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner dilakukan terhadap

responden guru dari setiap tingkat kelas (kelas 1 – 6 SD) untuk mendapatkan data

mengenai:

(1) informasi pribadi dan faktor kontekstual responden guru yang meliputi umur,

jenis kelamin, pengalaman berinteraksi dengan alam, latar belakang

pendidikan, pendidikan/pelatihan yang pernah didapat berkaitan dengan PLH,

dan pengalaman mengajar (ditunjukkan oleh lama mengajar, tingkat kelas

yang pernah dan saat ini diasuh, mata ajaran yang pernah dan saat ini

diajarkan, pengalaman mengajar PLH);

(2) motivasi guru dalam penerapan PLH di sekolah;

(3) sikap guru terhadap PLH;

(4) harapan guru berkaitan dengan PLH;

(5) persepsi guru tentang lingkungan.

29

Kuesioner yang diberikan kepada guru terdiri dari 5 bagian, yaitu:

(1) Bagian I, ditujukan untuk mengumpulkan mengumpulkan data mengenai

informasi pribadi dan faktor kontekstual responden guru.

(2) Bagian II, ditujukan untuk mengumpulkan data mengenai motivasi guru

dalam mengajar PLH. Motivasi guru diukur menggunakan skala tipe Likert

dengan 5 poin jawaban/respon yang berkisar dari selalu benar sampai selalu

tidak benar. Skala yang digunakan adalah modifikasi dari skala Intrinsic

Motivation Inventory (Ryan 1982). Skala tersebut disusun berdasarkan

minat/kesenangan guru terhadap PLH, upaya/arti penting PLH, nilai/manfaat

PLH, serta kompetensi, beban/tekanan, dan pilihan yang dirasakan oleh guru

dalam melakukan pengajaran PLH.

(3) Bagian III, ditujukan untuk mengumpulkan data mengenai sikap guru

terhadap PLH. Pengukuran sikap guru terhadap PLH dibatasi pada dua

ukuran sikap, yaitu self-efficacy dan outcome expectancy guru terhadap PLH

dengan menggunakan adaptasi dari skala Environmental Education Efficacy

Belief Instrument (EEEBI; Sia, 1992; Moseley et al., 2002) yang merupakan

skala tipe Likert dengan 5 poin jawaban/respon yang berkisar dari sangat

setuju sampai sangat tidak setuju.

(4) Bagian IV, ditujukan untuk mengumpulkan data mengenai harapan guru

berkaitan dengan PLH dengan menggunakan struktur pertanyaan terbuka.

(5) Bagian V, ditujukan untuk menggali persepsi guru tentang lingkungan.

Bagian ini berisi survei dua bagian yang disebut Draw An-Environment Test

(DAET; Desjean-Perrotta et al. 2008; Moseley dan Desjean-Perrotta, in

press). Bagian pertama meminta guru untuk menggambar lingkungan, dan

bagian kedua meminta guru untuk memberikan definisi mereka mengenai

lingkungan dengan melanjutkan sebuah kalimat terbuka. Struktur pertanyaan

terbuka ini digunakan karena struktur tersebut merupakan suatu sarana untuk

mendapatkan deskripsi yang bebas, tidak bias, dan tidak terbatas (Desjean-

Perrotta et al. 2008).

30

d. Wawancara tidak terstruktur

Wawancara tidak terstruktur dilakukan terhadap guru untuk menggali lebih

dalam mengenai berbagai pertanyaan atau permasalahan terkait PLH yang timbul

di lapangan ataupun yang timbul saat pengisian kuesioner.

e. Wawancara terstruktur dengan panduan wawancara

Wawancara terstruktur dengan menggunakan panduan wawancara dilakukan

terhadap:

(1) dinas terkait (Dinas Pendidikan, Dinas Kehutanan, dan Bagian Lingkungan

Hidup) dan pengelola kawasan hutan (Taman Nasional Gunung Halimun

Salak, Perum Perhutani) untuk mendapatkan data berkaitan dengan

pelaksanaan PLH pada sekolah di Kabupaten Bogor,

(2) kepala sekolah, untuk mendapatkan data mengenai pelaksanaan PLH di

sekolah yang meliputi: kebijakan kepala sekolah, dukungan terhadap guru,

permasalahan yang dihadapi, dan harapan terkait PLH.

f. Observasi Lapang

Observasi/pengamatan lapang dilakukan untuk mendapatkan gambaran

mengenai kondisi lingkungan sekolah dan sekitarnya, serta mengamati

pelaksanaan PLH oleh guru di sekolah.

4.4.4 Pengolahan Data

Data yang dihasilkan dari penelitian ini secara umum diolah melalui tahapan

pemeriksaan jawaban responden, penentuan kategori jawaban untuk pertanyaan

terbuka dan penentuan kode untuk tiap jawaban, serta scoring/penentuan skor

terhadap jawaban responden dan tabulasi data. Pengolahan data secara khusus

untuk tiap aspek penelitian dijelaskan sebagai berikut:

a. Motivasi guru untuk mengajarkan PLH

Motivasi guru untuk mengajarkan PLH diukur dengan menggunakan skala

tipe Likert dengan 5 poin jawaban/respon. Skor yang digunakan untuk pernyataan

positif adalah sebagai berikut: selalu benar (skor 5), seringkali benar (skor 4),

kadang benar (skor 3), seringkali tidak benar (skor 2), selalu tidak benar (skor 1),

sedangkan untuk pernyataan negatif skor yang digunakan adalah kebalikannya,

yaitu: selalu benar (skor 1), seringkali benar (skor 2), kadang benar (skor 3),

31

seringkali tidak benar (skor 4), selalu tidak benar (skor 5). Semakin tinggi skor

yang didapat responden guru, menunjukkan bahwa motivasi guru untuk mengajar

PLH semakin tinggi.

b. Sikap guru terhadap PLH

Sikap guru terhadap PLH dibatasi pada self-efficacy dan outcome

expectancy guru dalam pengajaran PLH. Pengukuran dilakukan menggunakan

modifikasi dari Environmental Education Efficacy Belief Instrument/EEEBI (Sia

1992; Moseley et al. 2002; Moseley dan Utley 2008) yang terdiri dari dua skala,

yaitu skala pertama yang mengukur self-efficacy guru dan skala kedua yang

mengukur outcome-expectancy guru dalam pengajaran PLH. Skala tersebut

menggunakan skala tipe Likert dengan 5 poin jawaban/respon yang berkisar

antara sangat setuju sampai sangat tidak setuju.

Skor yang digunakan untuk tiap pernyataan positif adalah: sangat setuju

(skor 5), setuju (skor 4), ragu-ragu (skor 3), tidak setuju (skor 2), sangat tidak

setuju (skor 1), sedangkan untuk tiap pernyataan negatif skornya adalah

kebalikannya, yaitu: sangat setuju (skor 1), setuju (skor 2), ragu-ragu (skor 3),

tidak setuju (skor 4), sangat tidak setuju (skor 5). Semakin tinggi skor yang

didapatkan oleh responden guru menunjukkan bahwa persepsi guru tentang

penyelenggaraan PLH semakin positif.

c. Persepsi guru tentang lingkungan

Persepsi guru tentang lingkungan digali dengan menggunakan instrument

Draw An-Environment Test (DAET) Moseley dan Desjean-Perrotta 2010).

Tulisan definisi lingkungan yang dibuat oleh responden dianalisis dengan

mengkodekan jawaban responden berdasarkan konsep lingkungan dalam NAAEE

Guidelines (Desjean-Perrotta et al. 2008), sedangkan untuk gambar dilakukan

dengan menggunakan DAET Rubric (DAET-R; Moseley dan Desjean-Perrotta

2010).

Pengolahan data untuk definisi lingkungan

Analisis isi dilakukan terhadap definisi lingkungan yang dituliskan oleh

responden guru, dengan mengelompokkan jawaban responden guru dalam

kategori berdasarkan konsep yang ada dalam NAAEE Guidelines (Desjean-

32

Perrotta et al. 2008). Kode yang digunakan adalah: 1 = manusia, 2 = organism

hidup lainnya/biotik, 3 = lingkungan fisik/abiotik, 4 = lingkungan buatan, dan 5 =

interaksi dan saling ketergantungan. Setiap respon tertulis dari guru ditelaah dan

diberi kode sesuai dengan konsep yang diuraikan dalam tulisan tersebut,

kemudian dicatat jumlah respon yang telah terkodekan untuk setiap kategori

konsep.

Pengolahan data untuk gambar lingkungan

Gambar lingkungan dianalisis menggunakan DAET-Rubric (DAET-R).

DAET-R dikembangkan berdasarkan deskripsi lingkungan yang digambarkan

dalam NAAEE Guidelines for the Preparation and Professional Development of

Environmental Educators (2004), yang menguraikan empat faktor pembentuk

lingkungan (yaitu manusia, organisme hidup lainnya, lingkungan fisik alamiah

dan lingkungan buatan) dan konsep sistem, salingketergantungan dan interaksi

antara keempat faktor tersebut.

DAET-R dibagi dalam empat bagian yang menekankan pada derajat

keberadaan interaksi antara keempat faktor lingkungan, yaitu faktor tidak ada,

faktor ada, faktor berinteraksi dengan faktor lainnya, dua atau lebih faktor

berinteraksi dalam suatu pendekatan sistem. Skor persepsi guru didapatkan

dengan melihat keberadaan empat faktor lingkungan dan derajat interaksi dari

keempat faktor lingkungan tersebut. Skor yang digunakan berkisar antara 0 – 3,

dengan penilaian sebagai berikut:

1) Gambar menunjukkan adanya kehadiran suatu faktor: skor 1;

2) Gambar menunjukkan adanya interaksi antara suatu faktor dengan satu atau

lebih faktor lainnya: skor 2;

3) Gambar menunjukkan adanya interaksi diantara faktor-faktor lingkungan

dengan penekanan pada pendekatan sistem dalam definisi lingkungan: skor 3;

4) Gambar tidak menunjukkan keberadaan suatu faktor tertentu: skor 0.

Skor total yang mungkin didapatkan berkisar antara 0 – 12. Semakin tinggi

skor yang didapatkan menunjukkan bahwa pemahaman responden terhadap

interaksi antara keempat faktor lingkungan seperti yang diuraikan dalam NAAEE

Guidelines (2004) semakin tinggi.

33

4.4.5 Analisis Data

a. Statistik Deskriptif

Data secara umum dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif, yaitu

metode yang membantu untuk mengorganisasikan, merangkum dan

menyederhanakan data yang dihasilkan dari penelitian (Gravetter dan Forzano

2006). Perhitungan dilakukan untuk mendapatkan rata-rata dan persentase guru,

yang kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel ataupun grafik, sehingga dapat

digunakan untuk menunjukkan pola yang dapat teramati dari jawaban responden

guru.

Statistik deskriptif juga digunakan dalam analisis terhadap tulisan definisi

lingkungan dan gambar lingkungan yang dibuat oleh guru. Statistik deskriptif

digunakan untuk mendapatkan persentase guru yang menuliskan dan/atau

menggambarkan masing-masing komponen dan konsep lingkungan (persentase

guru yang menulis dan/atau menggambar manusia, biotik, abiotik, lingkungan

buatan, interaksi dan saling ketergantungan), serta persentase guru berdasarkan

jumlah komponen lingkungan yang dituliskan dan/atau digambarkan (persentase

guru yang menuliskan dan/atau menggambarkan satu, dua, tiga, dan empat

komponen lingkungan).

b. Analisis Faktor

Analisis faktor dilakukan untuk meringkas informasi yang ada dalam

variabel asli (awal) menjadi satu set dimensi baru atau variate (faktor) dengan

cara menentukan struktur lewat data summarization atau lewat data

reduction/pengurangan data (Ghozali 2005). Analisis faktor dilakukan terhadap

skor dari 6 subskala motivasi dan 2 subskala sikap untuk mendapatkan faktor

yang dapat menggambarkan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH.

Faktor yang didapatkan dari hasil analisis tersebut kemudian dianalisis lebih

lanjut menggunakan Spearman correlation, uji Kruskal-Wallis dan uji Mann-

Whitney, untuk mengetahui hubungan dan/atau perbedaan berbagai variabel yang

diukur (seperti sekolah, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman, dsb.) dengan

faktor persepsi tersebut.

34

c. Spearman Correlation

Analisis statistik dengan menggunakan Spearman correlation digunakan

untuk menentukan arah dan derajat hubungan/asosiasi antara berbagai

variabel/peubah dari faktor individu, obyek/sasaran dan situasi dengan persepsi

guru tentang penyelenggaraan PLH. Hasil analisis korelasi dengan Spearman

correlation menunjukkan peubah apa saja yang mempengaruhi persepsi guru

dalam penerapan PLH di sekolah (persepsi guru tentang lingkungan dan persepsi

guru tentang penyelenggaraan PLH).

Analisis korelasi dengan Spearman correlation dilakukan terhadap peubah

usia, pendidikan, masa kerja, lama mengajar dan persepsi lingkungan dengan

faktor persepsi yang dihasilkan dari analisis faktor. Hubungan/asosiasi antara

persepsi guru tentang lingkungan dengan persepsi guru tentang penyelenggaraan

PLH juga dianalisis.

d. Uji Kruskal-Wallis

Uji Kruskal-Wallis digunakan untuk membandingkan tiga atau lebih

kelompok data contoh. Uji ini dilakukan terhadap peubah sekolah (tempat

mengajar), tingkat kelas yang diasuh saat ini, tingkat kelas yang pernah diasuh,

mata ajaran khusus yang saat ini diasuh, mata ajaran khusus yang pernah diasuh,

tugas lainnya, PLH formal yang pernah diikuti, PLH non formal yang pernah

diikuti, pengalaman organisasi yang kegiatannya fokus pada alam, serta

pengalaman interaksi dengan alam dan waktu mendapatkan pengalaman tersebut.

e. Uji Mann-Whitney

Uji Mann-Whitney dilakukan untuk membandingkan dua kelompok data

contoh. Uji ini dilakukan terhadap peubah pengalaman mengajar PLH dan jenis

kelamin yang hanya terdiri dari dua kategori, yaitu pernah dan tidak pernah serta

laki-laki dan perempuan. Uji ini memungkinkan untuk mengetahui apakah guru

yang pernah mengajar PLH memiliki persepsi yang sama atau berbeda dengan

guru yang tidak pernah mengajar PLH sebelumnya, dan apakah guru perempuan

berbeda dengan guru laki-laki.

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Guru sebagai salah satu faktor kunci dalam penerapan Pendidikan

Lingkungan Hidup (PLH) di sekolah membawa dua persepsi dalam mengajarkan

PLH kepada para siswanya, yaitu persepsi tentang lingkungan dan persepsi

tentang penyelenggaraan PLH. Penelitian ini mengukur kedua persepsi tersebut

dan berbagai faktor yang diperkirakan mempengaruhi persepsi, seperti faktor

individu guru (umur, jenis kelamin, pendidikan formal dan non formal, serta

pengalaman dan harapan) yang mempengaruhi persepsi guru tentang lingkungan

dan penyelenggaraan PLH, serta program pengajaran PLH di sekolah sebagai

faktor obyek/sasaran dan kondisi sekolah sebagai faktor situasi yang

mempengaruhi persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH.

5.1 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Guru

Persepsi individu dipengaruhi oleh faktor individu, faktor obyek/sasaran,

dan faktor situasi (Robbins 2003). Faktor individu guru berkaitan dengan

karakteristik pribadi guru, pendidikan dan pengalaman guru yang diuraikan

sebagai karakteristik guru.

Faktor obyek/sasaran dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang

berkaitan dengan penerapan PLH, yaitu kebijakan PLH dan keberadaan kurikulum

PLH di sekolah, sedangkan faktor situasi dibatasi pada kondisi lingkungan

sekolah dan sekitarnya yang meliputi lingkungan fisik (ketersediaan sarana dan

prasarana pendidikan, seperti bangunan, lahan sekolah, buku sumber/buku ajar,

dan alat bantu/media pengajaran), lingkungan biologis (peluang penggunaan

sumberdaya biologis yang terdapat di sekolah dan sekitarnya sebagai sumber dan

media pembelajaran) dan lingkungan sosial (dukungan kepala sekolah dan sesama

rekan guru). Faktor obyek/sasaran dan situasi selanjutnya dirangkum dalam satu

kategori peubah, yaitu sekolah, untuk keperluan analisis statistik lebih lanjut.

5.1.1 Karakteristik Guru sebagai Faktor Individu yang Mempengaruhi

Persepsi

Data yang dikumpulkan berkaitan dengan faktor individu guru adalah

usia/umur, jenis kelamin, pendidikan formal terakhir, pengalaman mengajar,

36

pengalaman berorganisasi yang kegiatannya fokus pada alam, pendidikan PLH

formal/nonformal yang pernah didapatkan, dan pengalaman guru berinteraksi

dengan alam. Total jumlah guru yang menjadi responden dari keempat sekolah

contoh sebesar 31 orang guru.

a. Karakteristik demografis guru

Berdasarkan usia, 51,61% guru pada sekolah contoh berusia ≤ 30 tahun dan

9,68% berusia ≥ 51 tahun, sisanya berusia antara 31 – 50 tahun. Persentase guru

perempuan lebih besar daripada guru laki-laki, yaitu 54,84% guru perempuan, dan

45,16% guru laki-laki. Sebagian besar guru sekolah contoh memiliki pendidikan SMA

(51,61%). Adapula guru yang berpendidikan diploma sebanyak 16,13% dan sarjana (S1)

sebanyak 32,27% guru.

Tabel 2 Persentase guru berdasarkan usia, jenis kelamin, dan pendidikan

Sekolah Usia Jenis Kelamin Pendidikan

≤ 30 31 - 50 ≥ 51 L P SMA Dipl. S1 S2

SDN Gunung Sari 01 6,45 12,90 3,23 9,68 12,90 9,68 3,23 9,68 0,00

SDN Gunung Bunder 03 19,35 3,23 3,23 6,45 19,35 16,13 6,45 3,23 0,00

SDN Gunung Bunder 04 9,68 16,13 3,23 12,90 16,13 19,35 0,00 9,68 0,00

SDN Gunung Picung 06 16,13 6,45 0,00 16,13 6,45 6,45 6,45 9,68 0,00

Total 51,61 38,71 9,68 45,16 54,84 51,61 16,13 32,27 0,00

b. Pengalaman mengajar

Pengalaman mengajar guru merupakan faktor kontekstual individu guru.

Pengalaman mengajar guru dilihat berdasarkan lama mengajar, kelas yang saat ini

diasuh, kelas yang pernah diasuh, mata ajaran yang saat ini diasuh, mata ajaran

yang pernah diasuh, dan pengalaman mengajar PLH (Tabel 3). Guru dari sekolah

contoh sebagian besar (70,97%) memiliki pengalaman mengajar selama ≤ 10

tahun. Satu orang guru (3,23%) belum memiliki pengalaman mengajar pada kelas

lainnya sebelumnya karena baru mengajar selama 1 tahun di sekolah tempatnya

mengajar. Sebesar 54,84 % guru tidak mengasuh mata ajaran khusus karena

bertugas sebagai guru kelas yang mengasuh hampir semua mata ajaran pada

tingkat kelas yang diasuhnya. Namun demikian ada guru yang bertugas

mengasuh mata ajaran khusus/tertentu, baik untuk semua tingkat maupun untuk

tingkat kelas tertentu, seperti mata ajaran agama, matematika, bahasa Inggris,

PJOK (olahraga) dan SBK (Seni Budaya dan Keterampilan).

37

Tabel 3 Pengalaman mengajar yang dimiliki guru pada sekolah contoh

Jenis Pengalaman Jumlah %

Lama mengajar

<=10 tahun 22 70,97

11 - 20 tahun 4 12,90

21 -30 tahun 4 12,90

> 30 tahun 1 3,23

Saat ini mengajar pada kelas Kelas rendah (1 – 3 SD) 13 41,94

Kelas tinggi (4 – 6 SD) 15 48,39

Kelas rendah dan tinggi 3 9,68

Sebelumnya pernah mengajar kelas Kelas rendah (1 – 3 SD) 10 32,26

Kelas tinggi (4 – 6 SD) 9 29,03

Kelas rendah dan tinggi 11 35,48

belum ada pengalaman 1 3,23

Mata ajaran yang saat ini diasuh Tidak ada m.a. khusus 17 54,84

Agama 5 16,13

Olahraga 3 9,68

Bahasa Inggris 2 6,45

Lainnya 2 6,45

Agama dan Bahasa Inggris 1 3,23

Olahraga dan Lainnya 1 3,23

Mata ajaran yang pernah di asuh Tidak ada m.a. khusus 17 54,84

Agama 3 9,68

Olahraga 3 9,68

Bahasa Inggris 3 9,68

Lainnya 3 9,68

Agama dan Bahasa Inggris 1 3,23

Agama dan Lainnya 1 3,23

Pengalaman mengajar PLH Tidak Pernah (1) 4 12,90

Pernah (2) 27 87,10

38

Sebagian besar (87,10%) guru menyatakan pernah mengajar PLH (Tabel 3).

Pengalaman mengajar PLH tersebut berupa pengalaman mengajarkan materi-

materi mengenai lingkungan hidup yang terintegrasi dalam mata ajaran yang

diasuh oleh guru tersebut, maupun pemberian materi mengenai lingkungan hidup

yang dilaksanakan dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Namun

demikian ada 4 orang guru (12,90%) yang menyatakan tidak memiliki

pengalaman mengajar PLH. Guru yang menyatakan tidak pernah mengajar PLH

tersebut satu orang bertugas khusus mengasuh mata ajaran matematika untuk

kelas 4 di SDN Gunung Sari 01, sedangkan 3 guru lainnya adalah guru agama,

guru kelas 1 dan guru kelas 3 dari SDN Gunung Bunder 03.

Mata ajaran Matematika memang sangat kurang relevansinya dengan PLH

sehingga sulit dijadikan wadah integrasi materi-materi PLH. Selain itu daya serap

siswa terhadap mata ajaran matematika biasanya tidak terlalu tinggi. Padahal

pertimbangan dalam memilih mata ajaran untuk dijadikan wadah integrasi materi-

materi PLH adalah relevansi mata ajaran tersebut dengan PLH dan daya serap

siswa terhadap mata ajaran tersebut tinggi, sehingga mempermudah guru

mengintegrasikan materi PLH ke dalam suatu mata ajaran.

Materi PLH pada dasarnya dapat diintegrasikan ke dalam mata ajaran

apapun, termasuk Matematika. Guru perlu memiliki penguasaan materi-materi

PLH dan kreativitas untuk dapat mengintegrasikan materi PLH ke dalam mata

ajaran inti yang diasuhnya. Relevansi mata ajaran dengan materi PLH, daya serap

siswa, dan kompetensi guru diduga menjadi penyebab guru matematika tersebut

tidak mengintegrasikan materi PLH ke dalam pengajarannya, sehingga

menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki pengalaman mengajar PLH.

Berkaitan dengan guru dari SDN Gunung Bunder 03, Kepala sekolah SDN

Gunung Bunder 03 dalam wawancara menyatakan bahwa pelaksanaan PLH di

sekolah tersebut memang belum intensif karena keterbatasan kondisi sekolah.

Kepala sekolah baru sebatas memberikan himbauan kepada para guru agar

menyisipkan materi-materi PLH ke dalam mata ajaran yang ada, namun belum

ada dorongan yang lebih kuat agar guru memperkaya pengajarannya dengan

materi-materi PLH lain. Sekolah ini juga belum pernah mendapatkan

intervensi/kegiatan PLH (Environmental Education intervention) dari lembaga

39

manapun sehingga guru-gurunya belum memiliki pemahaman maupun

kemampuan mengenai PLH. Selain itu, materi-materi terkait PLH pada tingkat

kelas 1 dan 3 terbatas pada topik mengenai kebersihan diri, lingkungan rumah dan

sekolah, yang sudah termuat dalam silabus tematik kurikulum tingkat kelas

tersebut. Hal-hal tersebut diduga menjadi penyebab guru kelas 1 dan 3 pada SDN

Gunung Bunder 03 tersebut merasa belum memiliki pengalaman mengajar PLH.

Penyebab lain yang membuat guru agama dari SDN Gunung Bunder 03

merasa belum memiliki pengalaman mengajar PLH berkaitan dengan kurikulum

mata ajaran agama. Mayoritas siswa di sekolah beragama Islam, sehingga

pengajaran yang diberikan adalah Agama Islam. Kurikulum pendidikan Agama

Islam di sekolah dasar lebih menekankan pada pengetahuan-pengetahuan

keagamaan dan ibadah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah

SWT. Bahasan mengenai hubungan manusia dengan alam/lingkungan memang

ada namun belum menjadi fokus pengajaran dalam mata ajaran Agama Islam.

Marten (2001) menyatakan bahwa Islam lebih mementingkan kehidupan setelah

kematian serta hubungan manusia dengan Tuhannya dibandingkan dunia materil

dan kehidupan manusia di bumi yang hanya sementara saja. Hal tersebut juga

menjadi salah satu sebab guru agama di SDN Gunung Bunder 03 merasa tidak

memiliki pengalaman mengajar PLH.

c. Pendidikan dan pelatihan berkaitan dengan PLH

Pelaksanaan PLH oleh guru di sekolah akan dapat lebih efektif jika guru

memiliki bekal kemampuan untuk mengajarkan PLH. Guru bisa mendapatkan

bekal kemampuan tersebut melalui PLH formal maupun nonformal. Guru dari

sekolah-sekolah contoh sebagian besar (67,74%) belum pernah mendapatkan PLH

melalui jalur pendidikan formal sebelumnya, sebaliknya PLH non formal sudah

didapatkan oleh 58,06% guru melalui berbagai kegiatan (Tabel 4). Kegiatan-

kegiatan PLH non formal yang pernah diikuti sebagian guru dari sekolah contoh

adalah seminar PLH, pelatihan PLH, kegiatan tafakur alam saat masih SMA,

Search and Rescue (SAR) Sayaga Tagana dan Karang Taruna, Pecinta Alam,

kegiatan penanaman dan permainan alam dari pihak luar sekolah, serta kegiatan

terkait program WSLIC (Water Sanitation for Low Income Community) dari Bank

Dunia.

40

Tabel 4 PLH formal dan non formal yang pernah didapat guru Jenis PLH Jumlah %

PLH formal

Tidak ada 21 67,74

PLH formal di SD/sederajat 6 19,35

PLH formal di SMP/sederajat 2 6,45

PLH formal di SMA/sederajat 0 0,00

PLH formal di Perguruan Tinggi 2 6,45

PLH non Formal

Tidak ada 13 41,94

Seminar PLH 3 9,68

Lokakarya/Workshop PLH 0 0,00

Pelatihan PLH 2 6,45

Seminar dan Lainnya 4 12,90

Lokakarya dan Lainnya 3 9,68

Lainnya 6 19,35

d. Pengalaman organisasi yang kegiatannya fokus pada alam

Pengalaman guru mengikuti organisasi yang kegiatannya berfokus pada

alam, seperti misalnya Saka Wana Bakti (organisasi Pramuka yang kegiatannya

fokus pada kehutanan) dan organisasi pecinta alam, juga dapat memberikan bekal

kemampuan untuk mengajarkan PLH kepada guru. Keikutsertaan dalam

kegiatan-kegiatan organisasi tersebut dapat menumbuhkan persepsi positif

terhadap lingkungan yang dapat ditransfer oleh guru kepada siswanya.

Pengalaman organisasi seperti itupun dapat menumbuhkan minat dan kesenangan

guru terhadap PLH.

Tabel 5 Pengalaman guru dalam organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam

Pengalaman Organisasi Jumlah %

Tidak pernah 21 67,74

Saka Wana Bakti dan Pecinta Alam 1 3,23

Saka Wana Bakti, Pecinta Alam dan Lainnya 1 3,23

Pramuka 6 19,25

SAR 1 3,23

Kegiatan Penanaman pohon 1 3,23

41

Sebagian besar guru dari sekolah contoh (67,74%) tidak memiliki

pengalaman dalam organisasi yang kegiatannya fokus pada alam, sedangkan

sisanya menyatakan pernah mengikuti organisasi yang kegiatannya fokus pada

alam. Organisasi yang pernah diikuti oleh guru yaitu Saka Wana Bakti, Pecinta

Alam, Pramuka, dan SAR (Tabel 5).

e. Pengalaman berinteraksi dengan alam

Seorang tenaga pendidik lingkungan harus memiliki kemampuan untuk

mempelajari dan mengevaluasi permasalahan lingkungan serta peran serta dalam

pemecahan masalah lingkungan tersebut (NAAEE 2004). Kemampuan tersebut

dapat diasah dengan melakukan interaksi dengan alam/lingkungan. Pengalaman

guru berinteraksi dengan alam dapat menumbuhkan kepekaan guru terhadap

alam/lingkungan dan permasalahan terkait.

Tabel 6 Pengalaman guru berinteraksi dengan alam

Interaksi dengan Alam Jumlah %

Jenis Pengalaman

pengalaman positif 23 74,19

pengalaman negatif 2 6,45

pengalaman positif dan negatif 2 6,45

Tidak memberi jawaban 2 6,45

Jawaban tidak jelas 2 6,45

Waktu Mendapatkan Pengalaman

2005 – 2010 13 41,94

< 2005 3 9,68

Jawaban tidak jelas 9 29,03

Tidak memberi jawaban 6 19,35

Pengalaman positif saat berinteraksi dengan alam dinyatakan oleh 74,19%

guru, sedangkan masing-masing 6,45% guru menyatakan memiliki pengalaman

negatif, positif dan negatif, tidak memberikan jawaban, dan jawaban tidak

jelas/tidak dapat ditentukan positif atau negatifnya. Sebesar 41,94% guru

mendapatkan pengalaman pada kurun waktu 2005 – 2010 dan 9,68%

mendapatkan pengalaman interaksi dengan alam pada kurun waktu sebelum 2005.

42

f. Harapan guru

Pelaksanaan PLH di sekolah menumbuhkan berbagai harapan pada diri

guru. Harapan guru berkaitan dengan kapasitas guru untuk mengajar PLH kepada

siswanya di sekolah, sarana dan prasarana pendukung kegiatan belajar mengajar

PLH di sekolah, dan harapan terhadap pelaksanaan PLH secara umum di sekolah.

Tabel 7 Harapan guru berkaitan dengan kapasitas guru, sarana prasarana dan

pelaksanaan PLH di sekolah

Harapan Guru Jumlah %

Berkaitan dengan Kapasitas Guru

Ada upaya peningkatan kapasitas guru 13 41,94

PLH dapat meningkatkan kapasitas siswa 10 32,26

Tidak memberi jawaban 4 12,90

Lainnya 4 12,90

Berkaitan dengan Sarana Prasarana

Ketersediaan buku ajar dan alat bantu pengajaran 3 9,68

Ketersediaan media belajar/alat bantu pengajaran 2 6,45

Ketersediaan lahan yang luas 1 3,23

Peningkatan sarana prasarana 10 32,26

Ketersediaan kurikulum, buku penunjang dan media/alat bantu

pengajaran

2 6,45

Tidak memberi jawaban 4 12,90

Lainnya 9 29,03

Berkaitan dengan Pelaksanaan PLH

PLH dapat meningkatkan kapasitas guru, siswa 12 38,71

PLH membantu menciptakan lingkungan bersih, indah,

nyaman

3 9,68

Adanya peningkatan pelaksanaan PLH di sekolah 4 12,90

Ada keterlibatan pihak terkait 2 6,45

Tidak memberikan jawaban 4 12,90

Lainnya 6 19,35

Sebanyak 41,94% guru mengharapkan adanya upaya peningkatan kapasitas

guru melalui berbagai kegiatan. Selain itu 32,26% guru juga mengharapkan

adanya peningkatan sarana prasarana untuk mendukung kegiatan belajar mengajar

43

PLH di sekolah, tanpa menyebutkan secara spesifik sarana dan prasarana yang

dimaksud. Ketersediaan buku ajar dan alat bantu pengajaran diharapkan oleh

9,68% guru, ketersediaan media belajar/alat bantu pengajaran dan ketersediaan

kurikulum, buku penunjang dan media/alat bantu pengajaran masing-masing

diharapkan oleh 6,45% guru (Tabel 7).

PLH diharapkan dapat meningkatkan kapasitas guru dan siswa (38,71%),

membantu menciptakan lingkungan yang bersih, indah dan nyaman (9,68%).

Guru juga berharap ada peningkatan pelaksanaan PLH tanpa menyebutkan secara

rinci peningkatan yang diharapkannya (12,90%). Keterlibatan pihak terkait dalam

pelaksanaan PLH di sekolah nampaknya dirasa masih kurang, sehingga ada 6,45%

guru yang mengharapkan adanya keterlibatan pihak terkait, seperti perguruan

tinggi dan instansi terkait lainnya.

Sekolah-sekolah contoh letaknya berdekatan dengan kawasan hutan yang

juga menjadi kawasan wisata alam, namun sekolah-sekolah tersebut belum

mendapatkan dukungan yang intensif dalam pelaksanaan dan pengembangan PLH

sekolah dari pihak pengelola hutan, baik Perum Perhutani, maupun Taman

Nasional Gunung Halimun Salak. Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor sebagai

instansi yang bertanggung jawab terhadap perkembangan sekolah juga masih

lebih fokus pada pengembangan mata ajaran inti, sehingga belum menyentuh

PLH.

PLH adalah wadah dan sarana untuk membentuk generasi penerus yang

memiliki kemampuan untuk mengelola lingkungan dengan baik. Khusus untuk

sekolah di sekitar hutan, PLH dapat menjadi wadah untuk membentuk generasi

penerus yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk melakukan kegiatan

konservasi hutan. Para pengelola hutan dan institusi terkait seharusnya

mendukung sekolah sekitar hutan secara intensif dalam pengembangan dan

penyelenggaraan PLH agar sekolah dapat mengoptimalkan perannya dalam

menghasilkan SDM yang berkualitas.

5.1.2 Faktor Obyek/Sasaran yang Mempengaruhi Persepsi guru tentang

Penyelenggaraan PLH

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) sebagai obyek/sasaran persepsi guru

merupakan hal dan istilah yang relatif baru bagi sebagian besar guru pada sekolah

44

dasar contoh, meskipun pada dasarnya materi-materi mengenai lingkungan sudah

sejak lama diajarkan kepada siswa di sekolah dasar. PLH sebagai suatu program

pengajaran baru mulai diterapkan secara lebih intensif di sekolah-sekolah contoh

tersebut setelah terbitnya SK Gubernur Jawa Barat No. 25 tahun 2007 mengenai

PLH. PLH pada keempat sekolah contoh dilaksanakan dengan pendekatan

kurikuler secara integratif pada berbagai mata ajaran dan pendekatan

ekstrakurikuler pada kegiatan Pramuka.

a. Pelaksanaan PLH dengan pendekatan kurikuler

Integrasi/penyisipan materi PLH ke dalam berbagai mata ajaran yang ada

disesuaikan dengan kurikulum yang digunakan dan relevansi mata ajaran dengan

materi PLH yang akan disisipkan. Kurikulum yang digunakan untuk tingkat kelas

1 – 3 SD menggunakan model silabus tematik, sedangkan kelas 4 – 6 sudah

menggunakan silabus masing-masing mata ajaran.

Materi PLH yang diberikan di keempat sekolah contoh bervariasi, mulai

dari materi yang murni bersumber dari kurikulum mata ajaran inti yang sudah ada,

sampai pengayaan dengan berbagai materi di luar kurikulum mata ajaran inti

namun masih memiliki relevansi kuat. Guru pada SDN Gunung Bunder 03 dan

Gunung Picung 06 masih mempergunakan materi yang murni bersumber dari

kurikulum mata ajaran inti yang ada, namun guru SDN Gunung Sari 01 mulai

memperkaya bahan ajarnya dengan mempergunakan materi dari buku ajar PLH

untuk sekolah dasar, sedangkan guru SDN Gunung Bunder 04 bahkan sudah

mempergunakan lebih banyak lagi buku sumber diluar buku ajar dari mata ajaran

inti yang ada guna memperkaya materi pengajarannya. Guru SDN Gunung

Bunder 04 juga sudah mulai menambah materi PLH pada mata ajaran inti seperti

Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (PJOK), dan Seni Budaya dan

Keterampilan (SBK), contohnya guru PJOK menambahkan indikator kemampuan

siswa untuk menirukan gerak binatang/satwa dalam kegiatan olahraga, dan guru

SBK memperkenalkan keterampilan berwawasan lingkungan dengan

mempergunakan bahan-bahan yang didapat dari lingkungan sekitar.

Metode instruksional yang sangat sesuai untuk mengajarkan PLH adalah

pengamatan dan penemuan langsung di lingkungan (NAAEE 2004). Metode

tersebut memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara siswa dengan

45

lingkungan yang menjadi sumber belajarnya. Pembelajaran di alam membantu

siswa memahami metode ilmiah tertentu, mendapatkan pengalaman lapang dan

meningkatkan kepekaan terhadap alam/lingkungan (Kenney et al. 2003).

Guru dari sekolah contoh yang telah menggunakan metode dan media yang

memberikan kesempatan bagi siswa untuk berinteraksi langsung dengan

lingkungan baru sebanyak 32,26% (Tabel 8). Guru yang terbanyak menggunakan

metode dan media yang memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara siswa

dengan lingkungan/alam adalah guru dari SDN Gunung Bunder 04. Keterbatasan

sarana prasarana fisik bangunan dan lahan sekolah, serta lokasi sekolah SDN

Gunung Bunder 04 yang sangat dekat dengan hutan, mendorong guru untuk

memanfaatkan lingkungan sekitar (kawasan hutan) sebagai media dan sumber

belajar bagi siswanya.

Tabel 8 Penggunaan metode dan media untuk pengajaran PLH oleh guru

Metode dan Media

Persentase Guru pada Sekolah Contoh Persentase

Guru

Keseluruhan Gunung

Sari 01

Gunung

Bunder 03

Gunung

Bunder 04

Gunung

Picung 06

Metode dan media

tidak memberikan

kesempatan siswa

berinteraksi langsung

dengan alam

71,43 25,00 22,22 57,14 41,94

Metode dan media

yang digunakan

memberikan

kesempatan siswa

berinteraksi langsung dengan alam

14,29 37,50 44,44 42,86 32,26

Lainnya 14,29 37,50 33,33 0,00 25,81

b. Pelaksanaan PLH dengan pendekatan ekstrakurikuler

PLH juga dilaksanakan dengan pendekatan ekstrakurikuler melalui

Pramuka. Pembina Pramuka pada keempat sekolah contoh adalah guru di sekolah

tersebut. Pembina Pramuka di SDN Gunung Sari 01 adalah guru kelas 5 dibantu

guru kelas 2 sebagai pembina putri, pembina Pramuka di SDN Gunung Bunder 03

adalah guru bidang studi Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan

(PJOK/Penjaskes), pembina Pramuka di SDN Gunung Bunder 04 adalah guru

46

PJOK/Penjaskes dan dibantu guru kelas 3 sebagai pembina putri, pembina

Pramuka di SDN Gunung Picung 06 adalah guru kelas 6 dan guru kelas 4.

Kegiatan PLH yang diintegrasikan dalam Pramuka antara lain dilaksanakan

dalam bentuk kemah, pengamatan, penjelajahan dan penanaman. Peserta

Pramuka yang ikut dalam kegiatan pengenalan lingkungan pada keempat sekolah

contoh adalah siswa kelas 4 – 6 yang memiliki minat terhadap Pramuka, sehingga

tidak semua siswa mendapatkan pengalaman yang sama. Sejak tahun 2008,

Pramuka dari SDN Gunung Bunder 04 seringkali mengadakan latihan

gabungan/bersama dengan pramuka dari SDN Gunung Bunder 03. Pada kegiatan

tersebut terjalin kerjasama antara guru pembina pramuka dari dua sekolah yang

berbeda tersebut. Kerjasama tersebut dapat terjadi karena letak kedua sekolah

yang cukup berdekatan (sekitar 1 km), dan guru pembina Pramuka pada SDN

Gunung Bunder 04 dan SDN Gunung Bunder 03 sama-sama mengajar pada SMP

terbuka yang diselenggarakan di SDN Gunung Bunder 03.

Pada dua sekolah contoh lainnya belum ada kegiatan latihan gabungan

semacam itu. Wawancara dengan Pembina Pramuka dari SDN Gunung Bunder

mengungkapkan bahwa anggota Pramuka dari SDN Gunung Bunder 04 lebih

sering terlibat dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan PLH dibandingkan

dengan ketiga sekolah lainnya. Hal tersebut juga berkaitan dengan seringnya

SDN Gunung Bunder menjadi lokasi berbagai kegiatan yang berkaitan dengan

PLH non formal yang diadakan oleh pihak luar sekolah, seperti misalnya kegiatan

penanaman dan permainan di alam.

5.1.3 Faktor Situasi

Faktor situasi yang membentuk/mempengaruhi persepsi guru tentang

penyelenggaraan PLH diidentifikasi dari kondisi fisik, biologis dan sosial sekolah.

Identifikasi kondisi fisik dan biologis sekolah dibatasi pada keberadaan sarana-

prasarana fisik maupun lingkungan biologis yang dapat digunakan untuk

mendukung kegiatan belajar mengajar PLH. SDN Gunung Bunder 04 memiliki

sarana fisik berupa bangunan sekolah dengan jumlah lokal/ruang kelas yang

paling sedikit dan lahan yang paling sempit jika dibandingkan dengan ketiga

sekolah contoh lainnya, namun sekolah ini terletak pada tepi jalan utama dan

paling dekat dengan kawasan hutan yang sekaligus juga menjadi tempat kegiatan

47

rekreasi/wisata alam (Tabel 9). Hal tersebut membuat SDN Gunung Bunder 04

sering dilibatkan dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak luar

sekolah, seperti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa, dan kegiatan

permainan alam yang diadakan oleh komunitas masyarakat peduli lingkungan.

Tabel 9 Kondisi umum sekolah contoh

Kondisi Sekolah

Sekolah Contoh

Gunung Sari

01

Gunung

Bunder 03

Gunung

Bunder 04

Gunung

Picung 06

Perkiraan jarak

dengan hutan (km)

1 2 0,8 2

Jumlah lokal/ruang kelas (ruang)

6 6 4 6

Lahan sisa Luas Agak luas Sempit Paling luas

Letak sekolah Agak masuk

gang

Tepi jalan

utama

Tepi jalan

utama

Masuk jauh ke

dalam gang

Buku sumber PLH Ada tambahan buku PLH

Buku ajar m.a. inti

Ada tambahan beberapa buku

sumber dari

berbagai pihak

Buku ajar m.a. inti

Intervensi PLH Guru, sebelum 2005

Belum ada Guru, 2009 Siswa, setelah 2005 (WSLic)

Gambar 5 Kondisi sekolah contoh: (a) SDN Gunung Sari 01; (b) SDN Gunung

Bunder 03; (c) SDN Gunung Bunder 04; (d) SDN Gunung Picung 06

(a) (b)

(c) (d)

48

Faktor lingkungan sosial pada keempat sekolah diidentifikasi berdasarkan

dukungan kepala sekolah dan sesama rekan guru. Dukungan kepala sekolah

dilihat dari rencana pengembangan PLH yang dimiliki oleh kepala sekolah pada

masing-masing sekolah contoh, sedangkan dukungan sesama guru dilihat dari

kerjasama guru dalam pelaksanaan PLH.

Kepala SDN Gunung Bunder 04 memiliki semangat dan keinginan yang

tinggi untuk pengembangan PLH di sekolahnya, dan memiliki rencana untuk

melaksanakan PLH secara monolitik bagi siswa di sekolahnya dengan

memanfaatkan cadangan waktu 2 jam pelajaran yang belum terpakai. Kepala

SDN Gunung Sari 01 merupakan kepala sekolah baru, masih beradaptasi dan

melanjutkan program dari kepala sekolah lama, namun memiliki keinginan untuk

mengembangkan berbagai kegiatan nonkurikuler yang dapat mendukung

pelaksanaan PLH di sekolah tersebut. Kepala sekolah SDN Gunung Bunder 03

dan SDN Gunung Picung 06 masih fokus pada pelaksanaan mata ajaran inti,

sehingga belum memiliki rencana untuk pengembangan PLH di sekolah.

Fasilitas untuk membangun dukungan dan kerjasama sesama rekan guru

sebetulnya sudah ada, yaitu berupa Kelompok Kerja Guru dan Himpunan Guru

Kelas yang mempertemukan para guru dari berbagai sekolah dalam suatu forum

untuk berdiskusi dan bertukar informasi dan pengetahuan, baik mengenai bahan

ajar maupun metode pengajaran, namun demikian diskusi serta tukar menukar

informasi dan pengetahuan yang terjadi dalam kedua forum tersebut masih

terbatas pada mata ajaran inti. Forum yang ada belum dimanfaatkan untuk

mendiskusikan mengenai pelaksanaan PLH.

Kerjasama dan dukungan antara sesama guru dalam pelaksanaan PLH

terutama terwujud pada SDN Gunung Bunder 04 dan SDN Gunung Sari 01. Para

guru menyatakan bahwa materi mengenai lingkungan hidup pada mata ajaran inti

seperti Bahasa Indonesia, PKN, IPS dan Agama, biasanya diberikan dalam bentuk

teori di kelas. Kesempatan praktek dan interaksi langsung dengan lingkungan

terlaksana pada mata ajaran IPA, PJOK, serta Seni Budaya dan Keterampilan

(SBK). Selain itu, kegiatan Pramuka juga melengkapi siswa dengan pengalaman

berinteraksi dengan lingkungan melalui berbagai kegiatannya. Pelaksanaan PLH

pada dua sekolah contoh lainnya masih sebatas materi yang ada pada mata ajaran

49

inti. Guru di sekolah tersebut melaksanakan pengajaran sesuai tanggung jawab

masing-masing di kelas atau pada bidang studi tertentu yang diajar, belum ada

kerjasama antar guru untuk saling melengkapi pengajaran PLH-nya.

Faktor obyek/sasaran dan situasi selanjutnya dirangkum dalam satu peubah

untuk keperluan melakukan analisis statistik lebih lanjut. Peubah dimaksud

adalah sekolah, karena keempat sekolah contoh memiliki kondisi yang berbeda-

beda dalam kaitannya dengan penerapan PLH pada masing-masing sekolah.

5.2 Persepsi guru tentang Lingkungan

Persepsi guru tentang lingkungan diinterpretasikan dari gambar dan definisi

yang dibuat oleh guru mengenai lingkungan. Gambar digunakan untuk

mengidentifikasi model mental yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan,

sedangkan definisi lingkungan digunakan untuk mengidentifikasi

gagasan/pengetahuan yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan.

Analisis terhadap gambar maupun tulisan dilakukan berdasarkan konsep

lingkungan North American Association for Environmental Education (NAAEE).

Guideliness for the Preparation and Professional Development of Environmental

Educators - Panduan untuk Persiapan dan Pengembangan Profesional Pendidik

Lingkungan Hidup (NAAEE 2004) menyebutkan bahwa seorang tenaga pendidik

lingkungan hidup harus dapat menjelaskan mengenai lingkungan dengan

memasukkan konsep-konsep sistem, saling ketergantungan, serta interaksi

diantara manusia, organisme hidup lainnya, lingkungan fisik/abiotik, dan

lingkungan buatan. Analisis terhadap gambar dan tulisan dilakukan dengan

melihat keberadaan keempat komponen lingkungan (manusia, biotik, abiotik dan

lingkungan buatan) serta konsep interaksi dan saling ketergantungan diantara

komponen tersebut, dalam gambar dan tulisan yang dibuat oleh guru.

Moseley dan Desjean-Perotta (2010) menyatakan bahwa model kognitif atau

model mental dibentuk oleh setiap individu berdasarkan pengetahuan, gagasan-

gagasan yang dimiliki, dan pengalaman yang dimilikinya dalam upaya

menginterpretasikan dan menjelaskan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya.

Gambar yang dibuat oleh para guru hampir seluruhnya menunjukkan suasana

pegunungan, namun ada pula yang menggambarkan hutan, pemukiman dan

50

sekolah. Suasana pegunungan tersebut merupakan lingkungan di sekitar sekolah

tempat guru mengajar maupun lingkungan di sekitar tempat tinggal guru tersebut,

suasana yang sudah lekat dalam keseharian guru sehingga membentuk model

mental guru mengenai lingkungan.

Hasil analisis terhadap gambar yang dibuat oleh para guru dari sekolah contoh

menunjukkan hanya ada dua gambar (6,45%) yang mencerminkan adanya

pemahaman guru akan interaksi, dan hanya ada tiga gambar (9,68%) yang

menggambarkan manusia (Tabel 10). Berdasarkan jumlah komponen lingkungan

yang digambarkan oleh guru, ada dua gambar (6,45%) yang menunjukkan

keberadaan keempat komponen lingkungan, sedangkan 70,97% gambar

menunjukkan tiga komponen lingkungan.

Tabel 10 Analisis terhadap gambar yang dibuat guru

Hasil Jumlah %

Konsep lingkungan yang digambarkan

Manusia 3 9,68

Biotik 25 80,65

Abiotik 28 90,32

lingkungan buatan 24 77,42

interaksi (skor 5 - 8) 2 6,45

interaksi sistem (skor >8) 0 0,00

gambar tidak jelas 2 6,45

tidak menggambar 1 3,23

Jumlah komponen digambarkan

Satu 0 0,00

Dua 4 12,90

Tiga 22 70,97

Empat 2 6,45

Berdasarkan konsep lingkungan NAAEE, sebagian besar (83,87%) gambar

yang dibuat para guru menunjukkan bahwa model mental yang dimiliki oleh guru

mengenai lingkungan tidak utuh. Sebagian besar gambar yang dibuat tampak

menempatkan manusia pada posisi di luar lingkungan yang digambarkan. Hal ini

dikarenakan saat guru diminta untuk menggambarkan lingkungan menurut

pemikirannya, maka guru melihat lingkungan sebagai sesuatu yang ada di luar

dirinya, menempatkan diri sebagai pengamat yang melihat kondisi di luar.

51

Faktor penyebab lainnya karena guru kurang memiliki kemampuan untuk

mengekspresikan pemikiran, gagasan ataupun persepsi yang dimilikinya mengenai

lingkungan dalam bentuk gambar. Hal tersebut tampak pada saat pengambilan data,

ada guru yang secara terus terang menyatakan ketidakmampuannya untuk membuat

gambar dan bahkan ada guru yang tidak membuat gambar apapun. Konsekuensi

dari hal tersebut adalah skor untuk gambar guru sebagian besar rendah, rata-rata

skor gambar guru sebesar 3 dari total kemungkinan skor tertinggi sebesar 12.

Hanya ada dua gambar yang mendapatkan skor antara 5 – 8, yang menunjukkan

pemahaman guru akan adanya interaksi dalam lingkungan.

Hal berbeda terlihat pada definisi lingkungan yang dibuat oleh para guru dari

keempat sekolah contoh. Jika pada gambar hanya ada tiga gambar manusia,

definisi yang dibuat oleh guru menunjukkan hal sebaliknya. Manusia disebutkan

pada 14 (45,16%) definisi lingkungan yang dituliskan oleh guru, dengan 6 definisi

(19,35%) diantaranya menyebutkan manusia dan saling ketergantungan dengan

lingkungan sekitarnya tanpa penyebutan faktor lingkungan secara spesifik (Tabel

11). Marten (2001) menyebutkan mengenai persepsi umum mengenai alam pada

masyarakat tradisional yang menekankan fakta bahwa segala sesuatu di alam saling

berhubungan, segala kegiatan manusia ada konsekuensinya, namun pandangan

tersebut tidak menekankan pada hubungan tersebut secara rinci.

Tabel 11 Analisis terhadap definisi lingkungan yang dibuat guru

Hasil Jumlah %

Konsep lingkungan yang disebutkan:

Manusia 14 45,16

Biotik 7 22,58

Abiotik 4 12,90

lingkungan buatan 2 6,45

interaksi dan saling ketergantungan 12 38,71

jawaban tidak jelas 15 48,39

Tidak memberi jawaban 1 3,23

Jumlah komponen lingkungan yang disebutkan: Satu 8 25,81

Dua 3 9,68

Tiga 3 9,68

Empat 1 3,23

52

Definisi yang dituliskan oleh guru 48,39% tidak jelas, sehingga keberadaan

faktor/komponen lingkungan tidak dapat diidentifikasi, dan satu guru (3,23%)

bahkan tidak menuliskan jawaban apapun (Tabel 11). Banyaknya jawaban guru

yang tidak jelas saat diminta untuk menuliskan definisi mengenai lingkungan

berdasarkan pemikirannya mengarah pada kesimpulan bahwa guru tidak memiliki

pemahaman yang baik tentang lingkungan. Guru tidak menguasai konsep

lingkungan secara utuh. Jika dibandingkan antara gambar dan tulisan yang dibuat

oleh guru, terlihat bahwa sebagian besar guru kurang memiliki kemampuan untuk

mengungkapkan gagasan, pemikiran ataupun persepsinya tentang lingkungan dalam

bentuk gambar maupun tulisan. Diskusi dengan guru juga menunjukkan bahwa

guru memang tidak terbiasa dan kurang mampu mengungkapkan pemikirannya

dalam bentuk gambar dan tulisan.

Instrumen DAET yang digunakan untuk mengukur persepsi guru tentang

lingkungan dikembangkan di negara maju yang masyarakatnya telah terbiasa

mengungkapkan pemikiran, gagasan ataupun persepsi yang dimiliki dalam bentuk

gambar ataupun tulisan. Penggunaan gambar dan tulisan sebagai bentuk

pengungkapan gagasan, pemikiran atau persepsi belum membudaya sebagai suatu

perilaku yang penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. Masyarakat Indonesia

lebih terbiasa mengungkapkan pemikirannya secara lisan. Pendidikan di Indonesia

belum mendorong penggunaan bentuk ekspresi gambar dan tulisan tersebut. Hal

tersebut telah membuat guru tidak dapat mengekspresikan/mengungkapkan

pemahamannya mengenai konsep lingkungan dengan baik dalam DAET.

Kemampuan guru untuk dapat mengungkapkan pemikiran, ide/gagasan dan

persepsi dengan berbagai cara sesungguhnya akan membuka pilihan yang lebih luas

bagi guru untuk menggunakan cara yang dapat lebih dipahami oleh siswanya.

Analisis statistik dengan menggunakan Spearman correlation dilakukan

terhadap hasil skor persepsi dari gambar yang dibuat guru dengan menggunakan

Draw-An-Environment-Test Rubric (DAET-R) untuk mengetahui keberadaan

asosiasi atau hubungan antara persepsi lingkungan guru dengan peubah usia,

pendidikan, masa kerja dan lama mengajar. Hasil analisis korelasi menunjukkan

bahwa tidak ada satupun nilai dari keempat peubah tersebut yang secara statistik

berbeda nyata, artinya keempat peubah tersebut tidak memiliki asosiasi/hubungan

53

dengan persepsi lingkungan. Persepsi mengenai lingkungan pada guru-guru dari

sekolah contoh tidak dipengaruhi oleh usia guru tersebut, pendidikan yang pernah

diikuti, masa kerja maupun lama mengajar.

Uji statistik dengan Mann-Whitney dan Kruskal-Wallis dilakukan untuk

melihat apakah peubah seperti tingkat pendidikan, sekolah tempat mengajar, jenis

kelamin, kelas yang pernah diasuh, kelas yang saat ini diasuh, mata ajaran khusus

yang pernah diasuh, mata ajaran khusus yang saat ini diasuh, tugas lainnya,

pengalaman mengajar PLH, PLH formal yang pernah diikuti, PLH non formal

yang pernah diikuti, pengalaman mengikuti organisasi yang kegiatannya berfokus

pada alam, serta pengalaman berinteraksi dengan alam dan waktu

mendapatkannya membentuk perbedaan persepsi lingkungan diantara guru. Hasil

analisis menunjukkan tidak ada satupun nilai yang secara statistik berbeda nyata,

sehingga dapat disimpulkan bahwa kesemua peubah tersebut tidak memberikan

perbedaan persepsi lingkungan pada guru.

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di sekolah dilaksanakan oleh guru,

sehingga semestinya guru menguasai konsep lingkungan karena konsepsi

lingkungan atau persepsi lingkungan tersebutlah yang akan ditransfer kepada anak

didiknya. Guru juga perlu memiliki kemampuan untuk mengungkapkan

pemikirannya dengan berbagai bentuk ekspresi, yaitu lisan, tulisan, dan gambar,

sehingga guru memiliki pilihan yang lebih terbuka untuk menggunakan berbagai

kemampuannya bereskpresi yang dapat disesuaikannya dengan kondisi kelas dan

anak didiknya. Jika yang disampaikan oleh guru adalah persepsi yang tidak

utuh/terbatas, baik karena persepsi yang memang terbatas ataupun kemampuan

untuk mengungkapkannya yang terbatas, maka akan membentuk persepsi yang

juga tidak utuh/terbatas pada anak didik yang kemudian akan mempengaruhi

perilakunya terhadap lingkungan.

Persepsi lingkungan yang kurang lengkap atau terbatas, ataupun

kemampuan guru yang terbatas dalam mengungkapkan persepsinya tersebut

membutuhkan perhatian dari para pihak yang berkepentingan dengan pendidikan.

Tenaga pendidik lingkungan hidup harus memiliki pemahaman, keterampilan dan

sikap yang berkaitan dengan literasi lingkungan (NAAEE 2004). Para guru dari

sekolah contoh membutuhkan berbagai kegiatan untuk peningkatan kapasitasnya,

54

sehingga guru dapat memiliki pemahaman dan sikap yang baik mengenai

lingkungan, serta keterampilan yang dibutuhkan untuk dapat menyampaikan

pemahaman tersebut kepada para siswa/anak didiknya dengan efektif.

5.3 Persepsi guru tentang Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)

Persepsi guru tentang Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) diidentifikasi

melalui motivasi dan sikap guru terhadap PLH. Motivasi diukur pada enam

subskala/peubah, sedangkan sikap terhadap PLH diukur pada dua

subskala/peubah. Analisis faktor dilakukan terhadap skor yang didapat oleh guru

sekolah contoh dari kedelapan subskala/peubah tersebut, sehingga didapatkan

faktor baru yang secara ringkas menggambarkan persepsi guru terhadap PLH.

5.3.1 Persepsi Guru berdasarkan Motivasi Mengajar PLH

Motivasi diukur pada enam subskala/peubah, yaitu interest/enjoyment,

perceived competence, effort/importance, pressure/tension, perceived choice, dan

value/usefulness. Persepsi guru berdasarkan keenam peubah tersebut diuraikan

sebagai berikut.

a. Minat/Kesenangan Guru terhadap PLH

Subskala interest/enjoyment (minat) digunakan untuk mengukur minat dan

kesenangan guru terhadap PLH yang dapat menumbuhkan motivasi intrinsik pada

guru dalam mengajarkan PLH. Subskala minat diwakili oleh pernyataan nomor 1,

7, 13 dan 19 pada kuesioner bagian motivasi.

Tabel 12 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala interest/enjoyment

No. Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

1 Saya sangat menikmati kegiatan mengajar

PLH kepada siswa 35,48 51,61 9,68 3,23 0,00

7 Kegiatan mengajar PLH sangat

menyenangkan. 32,26 45,16 16,13 3,23 3,23

13 Saya rasa mengajar PLH adalah kegiatan

yang membosankan. 51,61 38,71 6,45 0,00 3,23

19 Mengajar PLH sama sekali tidak menarik

bagi saya. 74,19 25,81 0,00 0,00 0,00

Rata-rata 48,39 40,32 8,06 1,61 1,61

55

Skor 5 pada subskala interest/enjoyment yang diwakili oleh pernyataan

nomor 1, 7, 13 dan 19 berturut-turut menunjukkan bahwa kegiatan mengajar PLH

selalu sangat dinikmati oleh guru, selalu sangat menyenangkan bagi guru, selalu

tidak membosankan bagi guru, dan selalu menarik bagi guru. Selanjutnya skor 4

menunjukkan kegiatan mengajar PLH seringkali sangat dinikmati, seringkali

sangat menyenangkan, seringkali tidak membosankan dan seringkali menarik

bagi guru. Skor 3 menunjukkan kegiatan mengajar PLH kadang sangat

dinikmati, kadang sangat menyenangkan, kadang tidak membosankan dan

kadang menarik bagi guru. Skor 2 menunjukkan bahwa kegiatan mengajar PLH

seringkali tidak dapat dinikmati, seringkali tidak menyenangkan, seringkali

membosankan dan seringkali tidak menarik bagi guru, dan skor 1 menunjukkan

kegiatan mengajar PLH selalu tidak dapat dinikmati oleh guru, selalu tidak

menyenangkan, selalu membosankan dan selalu tidak menarik.

Sebagian besar guru mendapatkan skor 5 dan 4 pada keempat nomor

pernyataan subskala interest/enjoyment (Tabel 12). Hanya 8,06% guru yang

mendapatkan skor 3 dan masing-masing 1,61% guru yang mendapatkan skor 2

dan 1. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar guru dapat

menikmati kegiatan mengajar PLH dan merasa bahwa kegiatan tersebut sangat

menyenangkan, tidak membosankan, dan menarik. Hampir semua guru dari

sekolah contoh memiliki minat/kesenangan untuk mengajar PLH yang dapat

menumbuhkan motivasi intrinsik guru untuk mengajar PLH. Hal tersebut berarti

bahwa guru memiliki persepsi positif tentang PLH dalam hal minat/kesenangan

guru untuk mengajar PLH.

b. Kompetensi yang Dirasakan Guru dalam Mengajar PLH

Subskala perceived competence (kompetensi) mengukur persepsi guru

tentang kompetensi/kemampuan guru untuk mengajar PLH kepada siswanya.

Subskala kompetensi diwakili oleh pernyataan nomor 2, 8, 14, 20 dan 25 dalam

kuesioner bagian motivasi. Skor 5, 4, 3, 2, dan 1 pada masing-masing pernyataan

tersebut berturut-turut berarti bahwa guru selalu, seringkali, kadang, seringkali

tidak, dan selalu tidak merasa sangat mampu mengajar PLH, merasa

kemampuannya mengajar PLH cukup baik jika dibandingkan guru lain, merasa

56

sangat puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya, merasa terampil

mengajar PLH, dan merasa dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya.

Guru yang merasa sangat mampu mengajar PLH (skor 5 dan 4) lebih sedikit

persentasenya dibandingkan guru yang merasa sebaliknya (skor 2 dan 1),

sedangkan persentase guru yang kadang merasa sangat mampu dan kadang

sebaliknya cukup besar, yaitu 38,71% (Tabel 13). Jika diminta membandingkan

kemampuannya mengajar PLH dengan guru lainnya (pernyataan nomor 8), lebih

dari 50% guru merasa kemampuannya mengajar PLH tidak cukup baik. Hal

tersebut berarti bahwa guru kurang percaya diri akan kemampuannya mengajar

PLH dibandingkan guru lainnya.

Tabel 13 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala perceived competence

No Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

2 Saya merasa sangat mampu mengajar

PLH. 3,23 25,81 38,71 25,81 6,45

8 Saya rasa kemampuan saya mengajar PLH

cukup baik jika dibandingkan dengan guru

lain. 0,00 6,45 29,03 38,71 25,81

14 Saya sangat puas dengan pengajaran PLH yang saya lakukan. 9,68 19,35 48,39 19,35 3,23

20 Saya merasa terampil mengajar PLH. 3,23 6,45 35,48 38,71 16,13

25 Saya tidak dapat mengajar PLH sebaik

materi lainnya. 0,00 25,81 48,39 12,90 12,90

Rata-rata 3,23 16,77 40,00 27,10 12,90

Persentase guru yang mendapatkan skor 5 (9,68%) pada pernyataan nomor

14 lebih besar daripada guru yang mendapatkan skor 1 (3,23%), sedangkan guru

yang mendapatkan skor 4 dan 2 sama banyak (19,35%). Persentase guru terbesar

(48,39%) mendapatkan skor 3. Hal tersebut menunjukkan bahwa persentase guru

yang selalu merasa sangat puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya lebih

besar dibandingkan guru yang selalu merasa sangat tidak puas dengan pengajaran

PLH yang dilakukannya. Hampir setengah jumlah guru terkadang merasa sangat

puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya, yang juga berarti bahwa guru

kadang merasa sangat tidak puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya.

Kepuasan guru akan pengajaran PLH yang dilakukannya dapat bersumber dari

57

harapan dan upaya yang telah dilakukan dalam pengajaran PLH kepada siswa dan

hasil respon siswa yang didapatkan dari upayanya tersebut. Guru yang selalu

merasa sangat puas menunjukkan bahwa hasil yang didapatkan sesuai dengan

harapan dan upaya yang telah dilakukannya, sebaliknya guru yang merasa tidak

puas mendapatkan respon yang tidak sesuai dengan harapan dan upaya yang telah

dilakukannya.

Penilaian guru terhadap keterampilannya mengajar PLH diwakili dalam

pernyataan nomor 20. Persentase guru yang mendapatkan skor tinggi pada

pernyataan ini lebih rendah dibandingkan guru yang mendapatkan skor rendah

(Tabel 13). Persentase guru yang seringkali merasa tidak terampil mengajar PLH

paling besar, yaitu sebesar 38,71%. Guru yang selalu merasa tidak terampil

mengajar PLH sebesar 16,13%, persentase yang lebih besar daripada guru yang

merasa terampil mengajar PLH. Ini berarti lebih banyak guru yang merasa tidak

terampil mengajar PLH.

Pernyataan nomor 25 mengacu pada kemampuan guru mengajar PLH

dibandingkan materi lainnya. Pada pernyataan ini persentase guru yang terbesar,

yaitu 48,39%, menyatakan bahwa guru kadang dapat mengajar PLH sebaik materi

lainnya. Tidak ada guru yang menyatakan selalu dapat mengajar PLH sebaik

materi lainnya, namun ada 25,81% guru yang seringkali dapat mengajar PLH

sebaik materi lainnya, dan masing-masing 12,90% guru menyatakan seringkali

tidak dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya dan selalu tidak dapat mengajar

PLH sebaik materi lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa guru masih kurang

percaya diri dengan kemampuannya mengajar PLH dibandingkan pengajaran

materi lain.

Secara keseluruhan pada subskala kompetensi ini, lebih banyak guru yang

merasa kemampuan/kompetensi yang dimilikinya dalam mengajar PLH masih

kurang. Persepsi guru tentang kompetensi atau kemampuannya dalam mengajar

PLH sesungguhnya akan mempengaruhi cara guru mengajar PLH. Guru yang

merasa memiliki kemampuan akan lebih percaya diri dalam memberikan materi-

materi PLH kepada siswanya dan dapat menumbuhkan kepercayaan siswa

terhadap guru dan materi yang diberikannya, sehingga dapat memberikan respon

yang baik dari siswa.

58

c. Upaya/Arti Penting PLH bagi Guru

Effort/importance (upaya/arti penting) merupakan subskala yang mengukur

upaya yang dilakukan guru dalam mengajar PLH dan pandangan guru terhadap

arti PLH bagi dirinya. Subskala ini diwakili oleh pernyataan nomor 3, 9, 15, 21

dan 26. Pernyataan nomor 3, 9, dan 26 merujuk pada upaya keras yang dilakukan

guru untuk mengajarkan PLH kepada siswa, pernyataan nomor 21 merujuk pada

energi yang harus dikeluarkan oleh guru untuk mengajarkan PLH kepada siswa,

dan pernyataan nomor 15 mengacu pada arti penting pengajaran PLH bagi guru.

Sebagian besar guru (ditunjukkan oleh persentase guru yang mendapatkan

skor 5 dan 4) merasa selalu atau seringkali harus berupaya keras untuk

mengajarkan PLH kepada siswa, berusaha sangat keras untuk dapat mengajarkan

PLH kepada siswa dan mencoba sangat keras untuk dapat mengajar PLH dengan

baik (Tabel 14). Sebanyak 45,16% guru merasa harus mengeluarkan banyak

energi untuk mengajarkan PLH kepada siswa. Guru juga merasakan pentingnya

mengajarkan PLH dengan baik kepada siswa.

Tabel 14 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala effort/importance

No Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

3 Saya harus berupaya keras untuk dapat

mengajarkan PLH kepada para siswa. 38,71 41,94 16,13 0,00 3,23

9 Saya tidak perlu berusaha sangat keras untuk

dapat mengajarkan PLH kepada para siswa. 45,16 41,94 9,68 3,23 0,00

15 Bagi saya, mengajar PLH dengan baik

adalah hal yang penting. 74,19 22,58 3,23 0,00 0,00

21 Saya tidak mengeluarkan banyak energi

untuk mengajar PLH kepada para siswa. 9,68 45,16 19,35 25,81 0,00

26 Saya mencoba sangat keras untuk dapat

mengajar PLH dengan baik. 32,26 41,94 25,81 0,00 0,00

Rata-rata 40,00 38,71 14,84 5,81 0,65

Hasil dari subskala upaya/arti penting ini menunjukkan bahwa pandangan

guru mengenai pentingnya mengajarkan PLH dengan baik kepada siswa

nampaknya diwujudkan oleh guru dengan mencurahkan upaya keras dan energi

yang besar dalam mengajarkan PLH tersebut. Guru memiliki dorongan/motivasi

59

yang kuat dalam mengajarkan PLH kepada siswa dengan baik karena merasakan

pentingnya hal tersebut bagi guru.

d. Beban/Tekanan yang Dirasakan Guru dalam Mengajar PLH

Beban/tekanan yang dirasakan guru dalam mengajar PLH diukur dengan

subskala pressure/tension (beban). Subskala ini mencoba menggali apakah guru

merasa bahwa mengajar PLH merupakan sebuah beban/tekanan bagi dirinya

dengan berbagai pernyataan yang merujuk pada perasaan gugup, tegang, tidak

tenang, gelisah dan tertekan yang dirasakan oleh guru jika harus mengajar PLH.

Skor 5 dan 4 menunjukkan bahwa mengajar PLH bukan merupakan beban bagi

guru. Guru selalu dan seringkali merasa tidak gugup, tidak tegang, tenang, tidak

gelisah dan tidak tertekan saat mengajar PLH. Skor 2 dan 1 menunjukkan hal

berlawanan, yaitu bahwa mengajar PLH merupakan beban bagi guru. Guru

seringkali dan selalu merasa gugup, tegang, tidak tenang, gelisah dan tertekan saat

mengajar PLH.

Tabel 15 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala pressure/tension

No Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

4 Saya sama sekali tidak merasa gugup saat

mengajar PLH. 25.81 35.48 19.35 12.90 6.45

10 Saya merasa sangat tegang saat mengajar

PLH. 35.48 32.26 29.03 3.23 0.00

16 Saya merasa tenang saat mengajar PLH. 16.13 45.16 35.48 3.23 0.00

22 Saya merasa gelisah jika mengajar PLH. 38.71 32.26 25.81 0.00 3.23

27 Saya merasa tertekan jika mengajar PLH. 48.39 32.26 12.90 0.00 6.45

Rata-rata 32.90 35.48 24.52 3.87 3.23

Secara keseluruhan lebih banyak guru yang merasakan bahwa mengajar

PLH bukan beban bagi dirinya, karena guru tidak merasa gugup, tegang, tidak

tenang, gelisah dan tertekan saat mengajar PLH (ditunjukkan oleh persentase guru

yang mendapatkan skor 5 dan 4 pada Tabel 15). Pada sekolah-sekolah tersebut

pengajaran PLH masih dilaksanakan secara integratif dalam berbagai mata ajaran

inti yang ada, belum menjadi sebuah program pengajaran tersendiri. Selain itu

tidak ada target pencapaian kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah berkaitan

60

dengan PLH, sehingga guru tidak harus mengejar target pencapaian kurikulum

seperti halnya pada mata ajaran inti. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian

besar guru tidak merasa pengajaran PLH menjadi suatu beban, namun ada juga

sebagian guru (24,52%) yang merasa PLH kadang menjadi beban. Hal tersebut

diduga berkaitan dengan kompetensi guru untuk mengajar PLH.

e. Pilihan yang Dirasakan Guru dalam Mengajar PLH

Subskala perceived choice (pilihan) mengukur pilihan yang dirasakan guru

dalam mengajar PLH, sehingga dapat memberikan gambaran motivasi yang

dimiliki guru untuk mengajar PLH. Ryan et al. (1991) menyatakan bahwa saat

termotivasi secara intrinsik, orang akan merasakan minat/kesenangan dan pilihan

terhadap sesuatu yang dilakukannya. Skor tinggi pada subskala minat

(interest/enjoyment) dan subskala pilihan ini menunjukkan bahwa guru memiliki

motivasi intrinsik.

Tabel 16 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala perceived choice

No. Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

5 Saya percaya bahwa saya punya pilihan

dalam mengajarkan PLH. 16,13 29,03 22,58 19,35 12,90

11 Saya tidak punya pilihan dalam mengajar

PLH. 29,03 35,48 25,81 6,45 3,23

17 Saya merasakan adanya keharusan untuk

mengajar PLH. 6,45 3,23 19,35 22,58 48,39

23 Saya mengajar PLH karena saya tidak punya

pilihan lain. 58,06 25,81 9,68 6,45 6,45

28 Saya mengajar PLH karena saya ingin

melakukannya. 38,71 29,03 25,81 6,45 0,00

30 Saya mengajar PLH karena saya harus

melakukannya. 3,23 3,23 19,35 25,81 48,39

Rata-rata 25,3 21,0 20,4 14,5 19,9

Pernyataan nomor 5, 11 dan 23 mengukur pilihan yang dirasakan oleh guru

dalam mengajar PLH. Pernyataan 5 dan 11 berimplikasi pada pilihan pola

pengajaran PLH guru, sedangkan pernyataan 23 berimplikasi pada pilihan

mengajar PLH sebagai sebuah tugas. Tabel 16 menunjukkan bahwa pada ketiga

pernyataan yang berkaitan dengan pilihan tersebut persentase guru yang merasa

61

punya pilihan (skor 5 dan 4) terkait pengajaran PLH lebih besar daripada guru

yang merasa tidak punya pilihan (skor 2 dan 1). Lebih banyak guru yang merasa

punya pilihan dalam mengajar PLH, baik dalam kaitannya dengan pola pengajaran

maupun PLH sebagai sebuah tugas.

Pernyataan nomor 17 dan 30 berkaitan dengan keharusan yang dirasakan

guru dalam mengajar PLH. Pada kedua pernyataan tersebut guru yang merasakan

keharusan dalam mengajar PLH (skor 2 dan 1) lebih besar persentasenya

dibandingkan guru yang merasakan ketidak harusan mengajar PLH. Ryan et al.

(1991) menyatakan bahwa saat orientasi seseorang dalam melakukan sesuatu

bergeser dari keinginannya untuk melakukan sesuatu dengan baik menjadi

keharusan untuk melakukan sesuatu dengan baik untuk mempertahankan harga

dirinya, maka motivasi intrinsiknya menurun. Namun guru nampaknya

merasakan keharusan untuk mengajar PLH karena memandang PLH sebagai hal

yang penting untuk dilakukan, bukan semata-mata untuk mempertahankan harga

diri, mengingat PLH belum dibakukan dalam kurikulum standar dengan target

yang harus dikejar guru. Sebagian besar guru juga menyatakan mengajar PLH

karena ingin melakukannya (pernyataan nomor 28).

Secara keseluruhan pada subskala ini, rata-rata persentase guru yang

mendapatkan skor 5 dan 4 lebih besar dibandingkan persentase guru yang

mendapatkan skor 2 dan 1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara

keseluruhan guru yang memiliki motivasi intrinsik untuk mengajar PLH lebih

besar persentasenya dibandingkan guru yang tidak memiliki motivasi intrinsik.

f. Nilai/Kegunaan PLH menurut Guru

Nilai/kegunaan PLH menurut guru diukur dengan menggunakan subskala

value/usefulness yang diwakili oleh pernyataan nomor 6, 12, 18, 24 dan 29.

Pernyataan nomor 6 merujuk pada kepercayaan guru bahwa mengajar PLH

bermanfaat bagi dirinya, pernyataan nomor 12 merujuk pada kepercayaan guru

bahwa mengajar PLH berguna untuk membentuk kepedulian siswa terhadap

lingkungan, pernyataan nomor 18 merujuk pada kepercayaan guru bahwa PLH

penting untuk diajarkan karena dapat memberi pengaruh positif bagi siswa,

pernyataan nomor 24 merujuk pada kesediaan guru untuk kembali mengajar PLH

62

karena dirasa bermanfaat bagi dirinya, dan pernyataan nomor 29 merujuk pada

pendapat guru bahwa pengajaran PLH merupakan hal yang penting.

Ada 9,68% guru yang menyatakan bahwa pernyataan nomor 6 selalu tidak

benar bagi dirinya, artinya guru tersebut merasa bahwa mengajar PLH selalu tidak

bermanfaat bagi dirinya (Tabel 17). Pernyataan tersebut diberikan oleh guru yang

mengajar pada tingkat kelas rendah (kelas 1 – 3 SD). Pada pernyataan nomor 12

“Saya rasa mengajar PLH berguna untuk membentuk kepedulian siswa terhadap

lingkungan”, ada 3,23% guru yang menyatakan pernyataan nomor 12 kadang

benar (kadang tidak benar) bagi dirinya. Selebihnya guru menyatakan dengan

intensitas kebenaran berbeda (selalu benar dan seringkali benar) bagi dirinya

bahwa mengajar PLH berguna untuk membentuk kepedulian siswa terhadap

lingkungan.

Tabel 17 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala value/usefulness

No. Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

6 Saya percaya mengajar PLH bermanfaat

bagi saya. 67,74 16,13 6,45 0,00 9,68

12 Saya rasa mengajar PLH berguna untuk

membentuk kepedulian siswa terhadap lingkungan 74,19 22,58 3,23 0,00 0,00

18 Saya rasa PLH penting untuk diajarkan

karena dapat memberi pengaruh positif bagi

siswa. 77,42 19,35 0,00 0,00 3,23

24 Saya akan bersedia untuk mengajar PLH lagi

karena mengajarkan PLH bermanfaat bagi

saya 41,94 32,26 19,35 3,23 3,23

29 Menurut saya mengajar PLH adalah hal

yang penting 64,52 19,35 12,90 3,23 0,00

Rata-rata 65,16 21,94 8,39 1,29 3,23

Pada pernyataan nomor 18 bahwa PLH penting untuk diajarkan karena

dapat memberi pengaruh positif bagi siswa, ada 3,23% guru yang menyatakan

selalu tidak benar. Pernyataan tersebut diberikan oleh guru kelas 2. Pengajaran

PLH yang diberikan oleh guru tersebut kepada siswa kelas 2 nampaknya belum

memberikan pengaruh positif pada siswa. Pernyataan nomor 24 merujuk pada

kesediaan guru untuk mengajar PLH lagi karena mengajarkan PLH bermanfaat

bagi dirinya. Ada masing-masing 3,23% guru yang mendapatkan skor 1 dan 2

63

pada pernyataan tersebut. Artinya ada guru yang merasa kondisi dalam

pernyataan tersebut selalu tidak benar dan seringkali tidak benar bagi dirinya.

Guru yang mendapatkan skor 1 pada pernyataan tersebut adalah guru kelas 1,

sedangkan guru dengan skor 2 pada pernyataan tersebut adalah guru kelas 3.

Ada 3,23% guru yang merasa mengajar PLH seringkali bukan menjadi hal

yang penting (pernyataan nomor 29), yang berimplikasi bahwa ada materi

pengajaran lain yang lebih penting baginya. PLH yang belum menjadi prioritas

pengembangan dan pelaksanaan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor sebagai

instansi yang bertanggung jawab dalam pengembangan sekolah diduga sebagai

salah satu penyebab hal tersebut. Pada dinas tersebut mata ajaran inti masih

menjadi fokus untuk pengembangan dan pelaksanaannya. Selain itu target

kelulusan siswa dari sekolah dasar masih sepenuhnya berdasar pada mata ajaran

inti sehingga guru memiliki tekanan untuk mengejar target kurikulum mata ajaran

inti, yang mengakibatkan PLH tidak atau belum menjadi prioritas di sekolah,

sehingga guru merasa PLH menjadi tidak penting.

Persentase guru yang berpendapat bahwa mengajar PLH memiliki nilai dan

kegunaan/manfaat baik bagi dirinya maupun bagi siswanya secara keseluruhan

jauh lebih besar daripada guru yang merasa bahwa mengajar PLH kurang atau

tidak memiliki nilai dan kegunaan/manfaat bagi dirinya dan siswanya. Guru yang

merasa kurangnya nilai/manfaat PLH baik bagi dirinya maupun siswanya

merupakan guru yang mengajar tingkat kelas rendah (kelas 1 – 3 SD), pada SDN

Gunung Bunder 03 dan SDN Gunung Bunder 04.

Guru merasa pengajaran PLH pada kelas rendah tidak bermanfaat dan tidak

bersedia melakukan pengajaran PLH lagi dapat disebabkan beberapa hal.

Pertama, pengajaran PLH pada kelas rendah masih sangat terbatas pada materi

lingkungan yang terdapat dalam kurikulum mata ajaran inti yang sifatnya

sederhana dan teoritis diberikan di kelas, sehingga guru pada kelas rendah tidak

merasakan manfaat pengajaran PLH bagi dirinya. Kedua, pengajaran yang

bersifat teoritis di kelas belum dapat memberikan respon positif pada perilaku

siswa terhadap lingkungan.

Ketiga, anak usia 6 – 9 tahun (usia siswa SD pada tingkat kelas rendah, 1 –

3 SD) biasanya masih membawa perilaku masa balita yang masih sulit

64

memfokuskan perhatian dan mempertahankan perhatian dalam jangka waktu

lama. Anak usia tersebut biasanya masih senang bermain-main, meskipun sudah

mulai dapat diarahkan, karena anak usia 6 – 11 tahun (periode middle dan late

childhood) mulai menguasai keahlian membaca, menulis dan menghitung serta

semakin mampu mengendalikan diri (Santrock 2008). Santrock (2008) juga

menguraikan tahapan perkembangan kognitif Piaget yang menyatakan bahwa

anak usia 6 – 7 tahun berada pada tahap pra-operasional dan anak usia 8 – 9 tahun

berada pada tahap operasional konkret. Tahap pra-operasional, yaitu masa

seorang anak berpikir secara egoistis dan intuitif berdasarkan perspektif dirinya

sendiri, dan memusatkan perhatian hanya pada satu karakteristik dan

mengabaikan karakteristik lainnya dari sesuatu. Tahap operasional konkret adalah

tahap saat pemikiran logis mulai menggantikan pemikiran intuitif, namun pada

situasi konkret.

Karakteristik perkembangan siswa pada tingkat kelas rendah yang demikian

menuntut guru untuk memiliki kesabaran, kesediaan mencurahkan upaya dan

kemampuan mengendalikan perilaku siswa yang lebih besar. Hal tersebut dapat

dirasa sebagai sesuatu yang memberatkan guru, terutama dalam pengajaran PLH

yang menuntut dibukanya kesempatan bagi siswa untuk dapat berinteraksi

langsung dengan alam/lingkungan. Interaksi langsung dengan alam berarti

membawa siswa keluar kelas yang berarti adanya tuntutan curahan waktu dan

energi lebih dari guru dalam mengarahkan siswanya, terutama guru tingkat kelas

rendah tersebut. Pengajaran PLH dengan praktek interaksi langsung dengan alam

pada SDN Gunung Bunder 04 diberikan pada mata ajaran PJOK yang ditangani

oleh satu guru khusus, bukan oleh guru kelas, sehingga guru kelas rendah menjadi

tidak merasakan manfaat pengajaran PLH bagi dirinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi positif

berdasarkan motivasinya untuk mengajar PLH, namun guru juga memiliki

persepsi bahwa kompetensinya rendah untuk mengajar PLH. Sebagian besar guru

memiliki pandangan bahwa mengajar PLH dapat dinikmati, menyenangkan, tidak

membosankan dan menarik. Guru juga memandang PLH sebagai program yang

penting dan memiliki manfaat, baik bagi dirinya, siswanya, maupun lingkungan.

65

Guru merasa memiliki pilihan dalam mengajar PLH dan tidak merasa terbebani,

Persepsi tersebut berkembang karena PLH belum dibakukan dalam sebuah

kurikulum standar dengan target yang harus dicapai oleh guru, sehingga guru

masih memiliki kebebasan dan pilihan dalam mengajar PLH, baik berkaitan

dengan materi, maupun metode yang digunakan. Hal-hal tersebut menunjukkan

bahwa guru memiliki motivasi yang bersifat intrinsik atau otonomi yang dapat

menjadi modal dasar guru untuk melaksanakan PLH yang efektif.

Selain motivasi intrinsik atau otonomi sebagai modal dasar guru,

pelaksanaan PLH yang efektif juga harus didukung oleh kompetensi guru yang

baik. Persepsi positif guru terhadap kompetensinya dapat lebih meningkatkan

rasa percaya diri dan memperluas pilihan guru dalam mengajar PLH. Persepsi

guru yang merasa bahwa dirinya kurang atau tidak kompeten dalam mengajar

PLH menjadi permasalahan yang menyebabkan pengajaran PLH yang efektif

menjadi sulit untuk dicapai. Assor dan Oplatka (2003) diacu dalam Roth et al.

(2007) menyatakan bahwa kepala sekolah dapat membantu meningkatkan

motivasi otonomi guru untuk mengajar dengan mendorong keterlibatan guru

dalam pengambilan keputusan besar, mendelegasikan kewenangan, berupaya

memahami kebutuhan guru, dan membantu berkembangnya struktur organisasi

dan iklim yang mendukung rasa keterikatan dan kompetensi guru. Fasilitasi perlu

pula dilakukan agar guru dapat mengeksplorasi identitas profesionalnya dan

membentuk visi diantara guru, sehingga guru dapat mengeksplorasi nilai dan tipe

pengetahuan yang ingin mereka sampaikan kepada siswa, dan materi yang mereka

anggap penting dan dapat dinikmati/menyenangkan (Roth et al. 2007).

5.3.2 Persepsi Guru berdasarkan Sikap terhadap PLH

Sikap guru terhadap PLH diukur pada dua subskala, yaitu self-efficacy

belief/personal EE teaching efficacy (PETE) dan outcome expectancy/EE teaching

outcome expectancy (ETOE). Skor 5 pada kedua subskala tersebut menunjukkan

bahwa guru sangat setuju terhadap pernyataan positif dan sangat tidak setuju

terhadap pernyataan negatif, skor 4 menunjukkan bahwa guru setuju terhadap

pernyataan positif dan tidak setuju terhadap pernyataan negatif, skor 3

menunjukkan bahwa guru tidak dapat menentukan kesetujuannya, skor 2

menunjukkan bahwa guru tidak setuju terhadap pernyataan positif dan setuju

66

terhadap pernyataan negatif, skor 1 menunjukkan bahwa guru sangat tidak setuju

terhadap pernyataan positif dan sangat setuju terhadap pernyataan negatif. Skor 5

dan 4 menunjukkan bahwa guru memiliki sikap positif, skor 3 menunjukkan

bahwa guru tidak dapat menentukan sikap, sedangkan skor 2 dan 1 menunjukkan

bahwa guru memiliki sikap yang negatif.

a. Efektivitas Diri Guru dalam Mengajar PLH

Subskala self-efficacy belief/personal EE teaching efficacy (PETE),

mengukur kepercayaan diri guru terhadap kemampuannya untuk mengajar PLH

secara efektif. Subskala efektivitas diri ini diwakili 13 pernyataan, yaitu

pernyataan nomor 2, 3, 5, 6, 8, 12, 17, 18, 19, 20, 21, 22, dan 23 dalam kuesioner

bagian sikap.

Seluruh guru menyatakan kesetujuannya terhadap pernyataan nomor 2

dengan derajat kesetujuan masing-masing, yaitu 74,19% sangat setuju dan 25,81%

setuju (Tabel 18), artinya semua guru dari sekolah contoh akan terus berusaha

untuk menemukan cara yang lebih baik dalam mengajar PLH. Sebagian guru

(19,35%) memperoleh skor 5 dan lebih dari setengah jumlah guru (51,84%)

memperoleh skor 4 pada pernyataan nomor 3, artinya sebagian besar guru

memiliki persepsi bahwa jika berusaha keras, guru akan dapat mengajar PLH

sebaik pada mata ajaran lainnya. Namun adapula guru yang meragukan

kemampuannya mengajar PLH akan dapat sebaik pada mata ajaran lainnya

meskipun telah berusaha keras (19,35%), dan ada guru yang merasa bahwa

meskipun berusaha keras tetap tidak akan dapat mengajar PLH sebaik pada mata

ajaran lain (6,45%). Guru tersebut tampaknya kurang memiliki kepercayaan diri

untuk mengajar PLH.

Pernyataan nomor 5 berkaitan dengan pengetahuan guru akan langkah

pengajaran PLH yang efektif. Sebanyak 12,90% guru sangat setuju dan 38,71%

guru setuju terhadap pernyataan tersebut. Artinya guru tersebut berpandangan

bahwa dirinya tahu langkah-langkah untuk mengajar PLH secara efektif. Namun

ada pula guru (45,16%) yang ragu terhadap pengetahuannya akan langkah-

langkah mengajar PLH secara efektif, dan 3,23% guru yang merasa bahwa dirinya

tidak tahu. Persentase guru yang ragu terhadap pengetahuannya akan langkah-

langkah mengajar PLH secara efektif cukup besar, sehingga perlu mendapatkan

67

perhatian. Guru yang meragukan pengetahuannya akan sulit untuk dapat

menerapkan pengajaran PLH yang efektif.

Tabel 18 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala personal EE teaching efficacy (PETE)

No. Pernyataan

Persentase Guru pada Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

2 Saya akan terus berupaya menemukan cara

yang lebih baik dalam mengajar PLH 74,19 25,81 0,00 0,00 0,00

3 Meskipun saya berusaha keras, saya tidak

akan dapat mengajar PLH sebaik pada mata

ajaran lainnya 19,35 54,84 19,35 6,45 0,00

5 Saya tahu langkah-langkah yang diperlukan untuk mengajar PLH secara efektif 12,90 38,71 45,16 3,23 0,00

6 Saya tidak bisa melakukan kegiatan

monitoring secara efektif 0,00 41,94 45,16 6,45 6,45

8 Secara umum saya tidak dapat mengajar PLH secara efektif 9,68 48,39 25,81 12,90 3,23

12 Saya memahami PLH dengan cukup baik

sehingga dapat mengajar PLH secara efektif 12,90 41,94 29,03 12,90 3,23

17 Saya akan menemui kesulitan untuk menjelaskan kepada siswa mengapa

percobaan ilmiah yang melibatkan topik

lingkungan dapat dilakukan 3,23 25,81 32,26 29,03 9,68

18 Biasanya saya bisa menjawab pertanyaan

siswa tentang PLH 12,90 61,29 25,81 0,00 0,00

19 Saya tidak yakin apakah saya memiliki

ketrampilan yang diperlukan untuk mengajar

PLH 3,23 38,71 51,61 3,23 3,23

20 Jika diberi pilihan, saya tidak akan meminta

kepala sekolah untuk mengevaluasi

pengajaran PLH saya 12,90 61,29 12,90 12,90 0,00

21 Jika siswa mengalami kesulitan untuk

memahami suatu konsep PLH, biasanya saya

tidak tahu bagaimana cara membantu siswa

tersebut. 25,81 48,39 19,35 6,45 0,00

22 Saat mengajar PLH, biasanya saya memberi

kesempatan kepada siswa untuk bertanya 48,39 48,39 0,00 0,00 3,23

23 Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan

untuk menarik minat siswa pada PLH 6,45 51,61 29,03 6,45 6,45

Rata-rata 18,61 45,16 25,81 7,94 3,23

Kemampuan guru untuk melakukan kegiatan monitoring secara efektif

dinyatakan pada pernyataan nomor 6. Sebanyak 41,94% guru setuju terhadap

pernyataan tersebut, namun 45,16% guru ragu akan kemampuannya melakukan

kegiatan monitoring secara efektif, dan masing-masing 6,45% guru tidak setuju

68

dan sangat tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Artinya lebih dari setengah

jumlah guru merasa kurang atau tidak dapat melakukan kegiatan monitoring

secara efektif.

Guru yang merasa dirinya secara umum dapat mengajar PLH secara efektif

(pernyataan 8) sebesar 9,68% (skor 5) dan 48,39% (skor 4). Sebanyak 25,81%

guru menyatakan keraguan, 12,90% guru tidak setuju dan 3,23% guru sangat tidak

setuju. Persentase guru yang menyatakan memahami PLH dengan cukup baik

sehingga dapat mengajar PLH secara efektif (pernyataan 12) lebih dari

setengahnya (total 54,84%). Namun cukup besar pula persentase guru yang ragu

akan pemahamannya terhadap PLH, dan bahkan ada pula yang tidak memahami

PLH dengan cukup baik. Sebanyak 32,26% guru meragukan kemampuannya

untuk menjelaskan kepada siswa mengenai relevansi percobaan ilmiah dengan

topik yang dibahas, dan sebesar total 38,71% merasa tidak mampu melakukannya.

Guru memandang kemampuannya menjelaskan relevansi metode dan materi

kepada siswanya rendah.

Persepsi positif terhadap kemampuan guru untuk menjawab pertanyaan

siswa mengenai PLH dimiliki oleh total 74,19% guru, dan 25,81% guru ragu akan

kemampuannya untuk menjawab pertanyaan PLH dari siswa (Tabel 18).

Sebagian besar guru (51,61%) meragukan dirinya memiliki keterampilan yang

diperlukan untuk mengajar PLH. Jika diberi pilihan, 74,19% guru akan meminta

kepala sekolah untuk mengevaluasi pengajaran PLH yang dilakukannya.

Sebagian besar guru menyatakan dirinya mengetahui cara membantu siswa

memahami suatu konsep PLH (25,81% sangat setuju dan 48,39% setuju). Namun

ada sebesar 19,35% guru ragu-ragu dan 6,45% tidak setuju. Sebagian besar guru

setuju pada pernyataan bahwa guru biasanya memberikan kesempatan kepada

siswa untuk bertanya saat guru mengajar PLH, namun ada 3,23% guru yang

menyatakan sangat tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Sebanyak 6,45%

guru sangat setuju dan 51,61% setuju pada pernyataan bahwa guru tahu apa yang

harus dilakukan untuk menarik minat siswa pada PLH. Ada 29,03% guru ragu-

ragu, dan masing-masing 6,45% tidak setuju dan sangat tidak setuju pada

pernyataan tersebut, yang artinya guru tersebut merasa tidak tahu apa yang harus

dilakukannya untuk menarik minat siswa pada PLH.

69

Subskala ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa guru memiliki

persepsi positif terhadap kemampuannya mengajar PLH secara efektif pada 10

pernyataan (lebih dari 50% guru setuju dengan derajat kesetujuan berbeda), dan

persepsi negatif pada 3 pernyataan (total lebih dari 50% guru yang menyatakan

ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju). Kecenderungan persepsi negatif

dinyatakan guru berkaitan dengan kemampuan guru untuk melakukan monitoring

secara efektif, kemampuan untuk menjelaskan relevansi metode dengan materi

yang diajarkan, dan penguasaan keterampilan yang diperlukan untuk mengajar

PLH secara efektif.

Sebagian besar guru menyatakan akan terus berusaha keras menemukan

cara yang lebih baik dalam mengajar PLH, guru percaya akan dapat mengajar

PLH sebaik pada mata ajaran lainnya jika berusaha keras, guru percaya dirinya

mengetahui langkah-langkah yang diperlukan untuk mengajar PLH secara efektif

dan secara umum dapat mengajar PLH secara efektif, guru percaya bahwa dirinya

memahami PLH dengan cukup baik sehingga dapat mengajar PLH secara efektif,

dapat menjawab pertanyaan siswa tentang PLH, dapat membantu siswa

memahami suatu konsep PLH, memberikan kesempatan bertanya kepada siswa

dan tahu apa yang harus dilakukan untuk menarik minat siswa pada PLH. Namun

demikian guru mengakui bahwa dirinya kurang menguasai kemampuan untuk

melakukan monitoring, kemampuan untuk menjelaskan relevansi metode dengan

materi yang diajarkan dan kurang menguasai keterampilan yang diperlukan untuk

mengajar PLH secara efektif.

Sia (1992) menemukan bahwa calon guru memiliki persepsi rendah

(persepsi positif hanya pada 3 pernyataan dari 13 pernyataan) terhadap

kemampuannya mengajar PLH. Moseley et al. (2002) menemukan hal yang

berlawanan, yaitu bahwa calon guru memiliki persepsi tinggi terhadap

kemampuannya mengajar PLH (self-efficacy) di luar kelas sebelum dan setelah

program pengajaran PLH di luar kelas, namun persepsi tersebut menurun saat

diukur 7 minggu setelah program pengajaran yang diduga disebabkan oleh

evaluasi ulang yang dilakukan calon guru terhadap kemampuannya mengajar PLH

sejalan dengan pembelajaran yang didapat calon guru tersebut mengenai metode

pengajaran.

70

Hasil temuan dalam penelitian ini sejalan dengan Moseley et al. (2002)

dalam hal guru memiliki persepsi tinggi/positif terhadap efektivitas dirinya dalam

mengajar PLH secara umum. Temuan dalam penelitian ini juga sejalan dengan

temuan Sia (1992) dalam hal persepsi rendah/negatif yang dimiliki guru berkaitan

dengan penguasaan keterampilan, monitoring dan kemampuan menjelaskan

relevansi metode dan materi yang dimiliki oleh guru. Persepsi guru yang

rendah/negatif terhadap kemampuan dirinya dalam ketiga hal tersebut

menunjukkan bahwa guru membutuhkan peningkatan kemampuan berkaitan

dengan ketiga hal tersebut, yang bisa dilakukan melalui berbagai kegiatan.

b. Harapan Guru terhadap Hasil Pengajaran PLH

Harapan guru terhadap hasil pengajaran PLH diukur dengan menggunakan

subskala EE teaching outcome expectancy (ETOE). Outcome expectancy adalah

harapan seseorang bahwa perilaku tertentu akan menghasilkan luaran yang

diinginkan (Sia 1992). Subskala ETOE diwakili oleh 10 pernyataan, yaitu

pernyataan nomor 1, 4, 7, 9, 10, 11, 13, 14, 15, dan 16.

Persentase guru yang mendapatkan skor 5 dan 4 pada sembilan pernyataan

(1, 4, 7, 9, 11, 13, 14, 15 dan 16) lebih besar daripada guru yang mendapatkan

skor 3 serta skor 2 dan 1 (Tabel 19). Persentase guru yang mendapatkan skor 3

(ragu-ragu) pada salah satu dari kesembilan pernyataan tersebut (pernyataan

nomor 7) sebesar 25,81%. Persentase yang cukup besar, sehingga jika ditotalkan

persentase guru yang mendapatkan skor 3, 2 dan 1 menjadi sebesar 51,61%.

Dengan demikian pada pernyataan ini guru dapat dikelompokkan memiliki

persepsi negatif atau rendah. Pada pernyataan nomor 10 persentase guru yang

mendapatkan skor 5 dan 4 sama dengan persentase guru yang mendapatkan skor 2

dan 1. Artinya pada pernyataan tersebut jumlah guru yang setuju dengan

pernyataan tersebut sama dengan jumlah guru yang tidak setuju, dan dengan

adanya guru yang ragu akan pernyataan tersebut, maka persepsi guru pada

pernyataan tersebut digolongkan kedalam persepsi negatif. Jadi pada subskala ini,

guru memiliki persepsi negatif pada dua pernyataan, yaitu pernyataan nomor 7

dan 10.

71

Tabel 19 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing

pernyataan dalam subskala EE teaching outcome expectancy (ETOE)

No. Pernyataan

Skor

5 4 3 2 1

% % % % %

1 Saat siswa menunjukkan hasil yang lebih

baik dalam PLH dibandingkan biasanya,

seringkali karena gurunya telah melakukan upaya lebih dalam mengajar. 45,16 54,84 0,00 0,00 0,00

4 Saat hasil belajar PLH siswa meningkat, seringkali karena gurunya telah

menemukan cara mengajar yang lebih

efektif 48,39 48,39 0,00 0,00 3,23

7 Jika siswa tidak dapat mencapai tujuan

pembelajaran PLH, kemungkinan karena

pengajaran PLHnya tidak efektif 9,68 38,71 25,81 19,35 6,45

9 Kurangnya latarbelakang PLH siswa

dapat diatasi dengan pengajaran yang baik 32,26 45,16 16,13 3,23 3,23

10 Guru tidak dapat disalahkan atas rendahnya hasil belajar sebagian

siswanya. 9,68 32,26 16,13 32,26 9,68

11 Jika seorang siswa yang hasil belajarnya

rendah menunjukkan kemajuan belajar

dalam PLH, biasanya disebabkan

perhatian ekstra yang diberikan oleh gurunya. 12,90 51,61 12,90 19,35 3,23

13 Peningkatan upaya pengajaran PLH hanya menghasilkan sedikit perubahan

pada hasil belajar sebagian siswa. 9,68 64,52 12,90 12,90 0,00

14 Secara umum guru bertanggung jawab

terhadap hasil belajar siswa dalam PLH. 32,26 51,61 0,00 16,13 0,00

15 Hasil belajar siswa dalam PLH berhubungan langsung dengan efektivitas

gurunya dalam pengajaran PLH 32,26 64,52 0,00 3,23 0,00

16 Jika orangtua berkomentar bahwa

anaknya menunjukkan minat yang lebih

terhadap PLH di sekolah, hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh kinerja

gurunya. 22,58 70,97 3,23 3,23 0,00

Rata-rata 25,48 52,26 8,71 10,97 2,58

Pernyataan nomor 7 terkait dengan pandangan guru bahwa pengajaran PLH

yang tidak efektif sebagai penyebab siswa tidak dapat mencapai tujuan

pembelajaran. Sebesar 25,81% guru menyatakan ragu-ragu, 19,35% guru

menyatakan tidak setuju dan 6,45% guru menyatakan sangat tidak setuju.

72

Pernyataan nomor 10 berkaitan dengan kesalahan guru atas rendahnya hasil

belajar sebagian siswa. Persentase guru yang merasa bahwa rendahnya hasil

belajar siswa merupakan kesalahan guru seimbang dengan persentase guru yang

merasa bahwa guru tidak dapat disalahkan atas rendahnya hasil belajar sebagian

siswa, dan ada 16,13% guru yang menyatakan keraguannya akan pernyataan

tersebut.

Persentase guru yang menyatakan kesetujuan dengan derajat kesetujuan

masing-masing pada 8 pernyataan lainnya lebih besar dari pada guru yang

menyatakan ketidak setujuan. Persentase guru yang menyatakan kesetujuan

berkisar antara 9,68% sampai 48,39% (skor 5) dan 32,26% sampai 70,97% (skor

4), sedangkan guru yang menyatakan ragu-ragu (skor 3) berkisar antara 0,00%

sampai 16,13%, tidak setuju (skor 2) berkisar antara 0,00% - 19,35%, dan sangat

tidak setuju berkisar antara 0,00% sampai 3,23%. Hasil tersebut menunjukkan

guru percaya bahwa hasil belajar siswa dalam PLH dapat ditingkatkan dengan

pengajaran PLH yang efektif, namun merasa bahwa hasil belajar siswa yang

rendah bukan sepenuhnya kesalahan guru maupun pengajaran PLH yang tidak

efektif.

Persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH yang diukur menggunakan

subskala PETE dan ETOE menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi tinggi

terhadap efektivitas dirinya (persepsi positif pada 10 dari 13 pernyataan), serta

persepsi tinggi terhadap luaran yang diharapkannya (persepsi positif pada 8 dari

10 pernyataan). Guru menyadari bahwa kemampuannya terkait monitoring,

keterampilan mengajar PLH serta penguasaan metode dan materi PLH rendah

(persepsi negatif pada 3 pernyataan dalam subskala PETE), namun guru percaya

bahwa pengajaran PLH yang efektif dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam

PLH (persepsi positif pada subskala ETOE). Paduan persepsi tersebut semakin

menegaskan adanya kebutuhan guru akan peningkatan kapasitas guru dalam

pengajaran PLH. Hal tersebut juga berimplikasi pada kesediaan dan kesiapan

guru untuk menerima berbagai program kegiatan untuk meningkatkan

kapasitasnya.

73

5.3.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan Faktor yang

Mempengaruhinya

Ekstraksi dengan analisis faktor terhadap skor yang didapat guru pada enam

peubah dari subskala motivasi dan dua peubah dari subskala sikap guru berkaitan

dengan PLH menghasilkan tiga faktor/variate baru (Lampiran 1). Peubah

kompetensi (perceived competence), beban/tekanan (pressure/tension), pilihan

(perceived choice) dan efektivitas diri guru dalam pengajaran PLH (personal EE

teaching efficacy/PETE) mengelompok pada faktor 1 (satu), yang selanjutnya

disebut sebagai faktor efektivitas pengajaran PLH. Peubah yang mengelompok

pada faktor 2 (dua) adalah minat/kesenangan (interest/enjoyment), upaya/arti

penting (effort/importance), dan nilai/manfaat (value/usefulness) yang selanjutnya

disebut sebagai faktor manfaat PLH. Faktor 3 (tiga) hanya terdiri dari satu

peubah, yaitu luaran pengajaran PLH yang diharapkan (EE teaching outcome

expectancy/ETOE). Faktor 3 (tiga) selanjutnya disebut sebagai faktor luaran

pengajaran PLH yang diharapkan. Analisis korelasi dengan Spearman

correlation (Lampiran 2), serta uji denganUji Kruskal-Wallis (Lampiran 3) dan

Uji Mann-Whitney (Lampiran 4) dilakukan untuk melihat peubah-peubah dari

faktor individu maupun obyek/sasaran dan situasi yang mempengaruhi ketiga

faktor/variate persepsi tersebut.

a. Persepsi Guru tentang Efektivitas Pengajaran PLH dan Faktor yang

Mempengaruhinya

Persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH (faktor 1) dibangun dari 3

peubah motivasi dan 1 peubah sikap, yaitu kompetensi, beban/tekanan, pilihan

dan efektivitas diri. Guru SD sekitar hutan memiliki persepsi positif tentang

efektivitas pengajaran PLH dalam kaitannya dengan beban/tekanan dan pilihan.

Guru memandang bahwa mereka tidak terbebani ataupun tertekan jika mengajar

PLH, dan mereka merasa memiliki pilihan dalam mengajar PLH. Penerapan

PLH di sekolah dasar yang sampai saat ini belum diformalisasikan dalam

kurikulum baku memberi sumbangan terhadap persepsi guru terhadap PLH

tersebut. Kurikulum berimplikasi pada target yang harus dicapai guru yang

seringkali bersifat kaku, membebani dan memberikan tekanan pada guru.

Kurikulum yang belum dibakukan berarti guru tidak dibebani dengan target yang

74

harus dicapai, sehingga guru dapat lebih lentur, tidak terbebani dan memiliki

pilihan dalam mengajar PLH.

Guru SD sekitar hutan juga memiliki persepsi/pandangan bahwa kompetensi

dan efektivitas dirinya rendah. Secara khusus efektivitas diri yang rendah

dirasakan oleh guru pada tiga hal, yaitu kemampuan untuk melakukan monitoring

secara efektif, kemampuan untuk menjelaskan relevansi metode dengan materi

yang diajarkan, dan penguasaan keterampilan yang diperlukan untuk mengajar

PLH secara efektif.

Analisis korelasi dengan Spearman correlation yang dilakukan antara

peubah usia, pendidikan, masa kerja, lama mengajar dan persepsi lingkungan

terhadap persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH menunjukkan satu nilai

korelasi yang secara statistik signifikan/berbeda nyata pada taraf uji 0,05, yaitu

korelasi antara persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH dengan

pendidikan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,441. Persepsi guru tentang

efektivitas pengajaran PLH dipengaruhi oleh pendidikan yang dimiliki oleh guru

dengan korelasi yang cukup kuat. Uji Kruskal-Wallis dengan taraf uji 10%

menunjukkan bahwa ada perbedaan persepsi pada guru dengan PLH formal

berbeda. Guru yang mendapatkan PLH formal di perguruan tinggi memiliki

persepsi tertinggi (mean skor sebesar 3,75) dibandingkan tingkat pendidikan

lainnya.

Hasil analisis dengan korelasi Spearman dan uji Kruskal-Wallis

menunjukkan adanya pengaruh tingkat pendidikan formal dan PLH yang diterima

guru dalam pendidikan formalnya tersebut terhadap persepsi guru tentang

efektivitas pengajaran PLH. Persepsi guru yang memandang kompetensi dan

efektivitas dirinya rendah dalam mengajar PLH dapat ditingkatkan melalui

pendidikan formal dan PLH dalam pendidikan formal tersebut. Perguruan tinggi,

khususnya perguruan tinggi bidang keguruan dan ilmu pendidikan, yang

mengintegrasikan PLH dalam kurikulumnya dapat meningkatkan kemampuan

guru untuk melakukan pemantauan dan evaluasi, meningkatkan keterampilan

mengajar PLH yang memungkinkan guru memilih metode yang sesuai untuk

materi tertentu, dan berbagai kemampuan lainnya yang dibutuhkan untuk

75

melakukan pengajaran PLH yang efektif. Hal tersebut lebih lanjut akan dapat

meningkatkan persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH.

b. Persepsi Guru tentang Manfaat PLH dan Faktor yang

Mempengaruhinya

Peubah minat/kesenangan, upaya/arti penting, dan nilai/manfaat

membangun persepsi guru tentang manfaat PLH. Sebagian besar guru memiliki

persepsi positif tentang manfaat PLH, baik bagi dirinya, siswanya, maupun

lingkungannya. Persepsi yang positif tercermin dari persetujuan guru terhadap

pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan minat, kesediaan untuk

mencurahkan upaya dan energi, serta pandangan positif terhadap manfaat PLH.

Uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa ada perbedaan persepsi guru

tentang manfaat PLH diantara guru yang mengajar/mengasuh tingkat kelas

berbeda (taraf uji 10%), guru dengan berbagai pengalaman PLH non formal (taraf

uji 1%), serta guru dengan pengalaman organisasi yang kegiatannya berfokus

pada alam (taraf uji 10%).

Tingkat kelas yang saat ini diasuh oleh guru dikelompokkan dalam tiga

kategori, yaitu tingkat kelas rendah (1 – 3 SD), tingkat kelas tinggi (4 – 6 SD),

serta keduanya (tingkat kelas rendah dan tinggi). Guru yang mengajar kedua

tingkat kelas sekaligus memiliki mean skor persepsi tertinggi. Perbedaan tersebut

timbul akibat tingkat kesulitan mengajar dan respon siswa yang berbeda. Lemke

1994 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008 menyatakan bahwa tingkat kelas

yang diajarkan oleh guru dapat mempengaruhi upaya dan investasi yang

dicurahkan oleh guru, karena guru dapat mengajar mata ajaran dan siswa dengan

kisaran yang sempit ataupun lebar. Guru yang mengajar pada kedua tingkat kelas

memiliki kesempatan untuk mengajar dengan kisaran tingkat kesulitan lebar yang

memberikan pengalaman lebih beragam bagi guru dalam menghadapi siswa

dengan tingkat perkembangan berbeda. Ada tantangan lebih bagi guru untuk

dapat dengan cepat menyesuaikan pola pengajarannya terhadap tingkat kelas yang

berbeda tersebut, sehingga guru lebih merasakan manfaat pengajaran PLH bagi

perkembangan profesionalitasnya serta bisa merasakan adanya respon positif yang

nyata dari para siswa pada tingkat kelas yang lebih tinggi dibandingkan para siswa

yang masih duduk di tingkat kelas yang lebih rendah.

76

Kegiatan PLH non formal yang pernah diikuti juga memberikan perbedaan

persepsi diantara guru. Guru yang pernah mendapatkan pengalaman mengikuti

kegiatan PLH non formal berupa seminar, pelatihan dan kegiatan lainnya yang

memberikan kesempatan guru berinteraksi langsung dengan alam memiliki mean

skor persepsi yang lebih tinggi dibandingkan guru yang tidak pernah mengikuti

kegiatan PLH non formal sebelumnya, sedangkan kegiatan PLH non formal

berupa lokakarya tidak memberikan persepsi yang lebih tinggi dibandingkan tidak

adanya pengalaman PLH non formal. Lokakarya yang umumnya berupa

pendalaman atau diadakan untuk merumuskan sesuatu nampaknya tidak dapat

memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai PLH kepada guru. Kegiatan

PLH non formal dalam bentuk berbagai kegiatan yang memberikan kesempatan

bagi guru untuk berinteraksi langsung dengan alam, seperti kegiatan penanaman

dan permainan di alam membuahkan guru dengan mean skor persepsi paling

tinggi diantara kegiatan PLH non formal lainnya. Kegiatan PLH non formal

untuk peningkatan kapasitas guru sebaiknya didesain agar dapat memberikan

kesempatan kepada guru untuk berinteraksi langsung dengan alam, sehingga guru

dapat mengembangkan kepekaan terhadap alam dan lebih lanjut meningkatkan

persepsi guru terhadap manfaat PLH.

Peubah lainnya yang mempengaruhi persepsi guru tentang manfaat PLH

adalah pengalaman organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam. Guru yang

memiliki pengalaman organisasi dalam Pramuka memiliki mean skor persepsi

tertinggi (4,5817), diikuti pengalaman organisasi dalam Saka Wana Bakti dan

Pecinta Alam (4,5700), pengalaman organisasi lainnya (4,5700), dan terendah

adalah guru yang tidak memiliki pengalaman organisasi apapun (4,1590).

Kegiatan-kegiatan dalam organisasi tersebut memberikan kesempatan kepada

guru untuk berinteraksi langsung dengan alam, sehingga meningkatkan kepekaan

guru terhadap alam. Hal tersebut membuka wawasan guru tentang manfaat PLH

bagi dirinya, siswanya, maupun lingkungannya.

c. Persepsi Guru tentang Luaran Pengajaran PLH yang Diharapkan dan

Faktor yang Mempengaruhinya

Peubah Environmental Education (EE) teaching outcome expectancy/ETOE

atau luaran pengajaran PLH yang diharapkan merupakan satu-satunya peubah

77

yang membangun faktor 3, yaitu persepsi guru tentang luaran pengajaran PLH

yang diharapkan. Mean skor guru pada peubah ETOE cukup tinggi, yaitu sebesar

3,8710. Guru berpendapat bahwa pengajaran PLH yang efektif dapat memberikan

respon positif dari siswa (hasil belajar tinggi). Namun demikian guru berpendapat

bahwa penyebab kegagalan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran PLH

(hasil belajar rendah) bukan hanya PLH yang tidak efektif, dan bukan sepenuhnya

tanggung jawab guru. Artinya ada faktor lain yang dipandang oleh guru menjadi

penyebab rendahnya hasil belajar siswa dalam PLH tersebut. Uji statistik dengan

menggunakan korelasi Spearman, uji Kruskal-Wallis, maupun Mann-Whitney

tidak menunjukkan adanya nilai yang secara statistik berbeda nyata, sehingga

faktor yang berpengaruh terhadap persepsi guru SD sekitar hutan tentang luaran

pengajaran PLH yang diharapkan tidak dapat ditentukan.

5.4 Upaya untuk Peningkatan Persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH

PLH bertujuan untuk membentuk manusia yang memiliki kesadaran,

pengetahuan, sikap dan keterampilan serta peran serta dalam memecahkan

permasalahan lingkungan dan mencegah timbulnya permasalahan baru. Manusia

pada dasarnya adalah makhluk yang penuh rasa ingin tahu dan minat, yang secara

alamiah senang belajar dan memiliki hasrat untuk menjadikan pengetahuan,

budaya dan nilai-nilai yang ada di sekitarnya sebagai bagian internal dari dirinya

(Niemic dan Ryan 2009). Cara guru menyampaikan PLH bisa memberikan

pengaruh positif ataupun negatif terhadap perilaku lingkungan dari anak didiknya

(Desjean-Perrotta et al. 2008). Darner (2009) merangkum dari berbagai sumber

bahwa PLH dapat berhasil meningkatkan kemauan/keinginan siswa untuk

bertindak dengan cara yang ramah lingkungan apabila dalam proses belajar-

mengajar PLH tersebut siswa dilibatkan sebagai peserta aktif. Menurut Niemic

dan Ryan (2009) dalam dunia pendidikan guru seringkali menggunakan kendali

eksternal, supervisi dan monitoring yang ketat, serta evaluasi yang dibarengi

penghargaan dan hukuman untuk memastikan siswanya belajar, yang

menyebabkan rasa senang, antusiasme dan minat belajar seringkali berubah

menjadi keresahan, kejenuhan dan rasa keterasingan, sehingga siswa tidak lagi

tertarik pada materi yang diajarkan dan guru harus menggunakan kendali

eksternal untuk memastikan terjadinya pembelajaran.

78

Ryan dan Brown (2005) diacu dalam Niemic dan Ryan (2009) menyatakan

bahwa penyebab utama guru menggunakan strategi pengajaran terkendali

dibandingkan strategi pengajaran yang mendukung otonomi siswa di kelas adalah

adanya tekanan eksternal pada guru. Pelletier et al. (2002) diacu dalam Niemic

dan Ryan (2009) menyatakan bahwa semakin besar tekanan yang dirasakan oleh

guru dari atas (misalnya, harus mengejar target kurikulum, adanya tekanan dari

standar kinerja), guru akan semakin kurang mendukung otonomi siswa dalam

pengajarannya, dan lebih mengendalikan siswanya. Padahal motivasi intrinsik

dan motivasi ekstrinsik tipe otonomi (motivasi otonomi) sangat mendukung

keterlibatan dan pembelajaran optimal siswa dalam konteks pendidikan (Niemic

dan Ryan 2009).

Roth et al. (2007) menyatakan bahwa motivasi otonomi untuk mengajar

berhubungan positif dengan motivasi otonomi siswa untuk belajar, artinya

motivasi otonomi untuk mengajar akan meningkatkan pengajaran yang

mendukung otonomi siswa sehingga meningkatkan motivasi otonomi siswa untuk

belajar yang selanjutnya akan meningkatkan respon pembelajaran siswa. Roth et

al. (2007) lebih lanjut menjelaskan bahwa motivasi otonomi untuk mengajar

meningkatkan pengajaran yang mendukung otonomi siswa dengan melibatkan

beberapa proses, yaitu:

1. Proses pertama melibatkan peningkatan pemahaman guru akan nilai materi

yang mereka ajarkan dan keragaman cara untuk menguasai materi tersebut.

Guru yang termotivasi secara otonomi akan mengembangkan pemahaman

yang mendalam akan manfaat dari materi yang mereka ajarkan dan metode

yang digunakan, sehingga mereka dapat memberikan penjelasan dan contoh

yang meyakinkan bagi siswa mereka mengenai nilai dan relevansi materi

tersebut dan metode pengajaran yang digunakan. Pemahaman guru tersebut

terhadap materi yang diajarkan juga akan membuat mereka memahami

berbagai faset/bagian dari materi tersebut dan berbagai cara untuk

mempelajarinya, sehingga guru dapat memberikan pilihan bagi siswa mereka.

2. Proses kedua melibatkan pemahaman guru terhadap motivasi otonomi dan

manfaatnya berdasarkan pengalaman pribadi guru. Guru yang telah

merasakan manfaat motivasi otonomi akan menginginkan siswanya juga

79

bertindak dan belajar dengan motivasi otonomi karena guru tersebut

memahami bahwa tipe motivasi tersebut akan mengarah pada pembelajaran

yang berkualitas tinggi dan meningkatkan apresiasi terhadap materi yang

mereka ajarkan dan cintai. Guru tersebut akan melakukan tindakan

pengajaran yang mendukung otonomi siswa, seperti menjelaskan relevansi

berbagai materi dengan tujuan siswa, dan mengijinkan siswa memilih

aktivitas belajar yang mereka sukai.

3. Proses ketiga melibatkan daya tahan yang lebih besar, yang dimiliki oleh guru

dengan motivasi otonomi, terhadap tekanan untuk pencapaian dan

keprihatinan akan pembentukan kesan, serta investasi lebih besar yang

dicurahkan guru dalam pembelajaran berkualitas tinggi. Guru yang lebih

termotivasi secara otonomi akan lebih bersedia untuk memberikan pilihan

bagi siswanya dan menggunakan lebih banyak waktu untuk menjelaskan

relevansi berbagai materi karena mereka tidak terlalu merasakan tekanan

untuk memberikan pencapaian formal yang cepat dan mengesankan, dan

mereka lebih berkeinginan untuk memperdalam pemahaman akan materi

yang mereka ajarkan.

Guru perlu menggunakan strategi pengajaran yang mendukung otonomi

siswa dalam belajar untuk dapat mencapai pembelajaran PLH efektif. Hal

tersebut dapat dilakukan jika guru memiliki motivasi intrinsik ataupun motivasi

otonomi (motivasi eksternal yang bersifat otonomi) dalam mengajar PLH, serta

sikap yang positif pula terhadap PLH. Motivasi intrinsik dan sikap positif

berkaitan dengan pengajaran PLH berarti bahwa guru memiliki persepsi yang

positif tentang efektivitas pengajaran PLH dan manfaat PLH baik bagi dirinya,

siswanya, maupun lingkungannya, serta luaran pengajaran PLH yang diharapkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi lingkungan

yang terbatas, sebagian besar karena guru kurang mampu mengungkapkan

gagasan/pemikiran melalui gambar dan tulisan, yang berarti bahwa kompetensi

guru rendah dalam mengungkapkan pemikiran melalui gambar dan tulisan. Guru

seharusnya memiliki kemampuan untuk mengungkapkan pemikirannya melalui

berbagai macam cara, termasuk gambar dan tulisan, sehingga guru memiliki lebih

banyak pilihan cara untuk mengungkapkan persepsi/pemikirannya mengenai

80

lingkungan dan materi terkait kepada siswanya. Hal ini lebih lanjut akan dapat

meningkatkan persepsi guru tentang kompetensi dirinya dalam mengajar PLH.

Persepsi positif tentang lingkungan yang diwujudkan dalam perilaku yang positif

akan menjadikan guru sebagai teladan yang baik bagi siswanya dalam

pembelajaran PLH.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi positif

terhadap penyelenggaraan PLH, namun guru juga memiliki persepsi bahwa

kompetensi dan efektivitas dirinya rendah dalam mengajar PLH. Guru seharusnya

juga memiliki persepsi yang tinggi terhadap kompetensi dan efektivitas diri dalam

mengajar PLH. Persepsi tinggi terhadap kompetensi dan efektivitas diri dalam

mengajar PLH dapat berkembang jika guru memahami dasar-dasar PLH serta cara

mengimplementasikan PLH, termasuk berbagai metode dan media yang sesuai

untuk digunakan dalam pengajaran PLH. NAAEE (2004) menyatakan bahwa

seorang tenaga pendidik lingkungan hidup seharusnya menguasai literasi

lingkungan, menguasai dasar-dasar PLH, memahami tanggung jawab profesional

seorang tenaga pendidik lingkungan hidup, mampu membuat perencanaan dan

melaksanakan PLH, dapat membantu pembelajaran, dan memiliki pengetahuan,

kemampuan dan komitmen untuk melakukan penilaian dan evaluasi.

Agar guru dapat memenuhi kriteria sebagai seorang tenaga pendidik

lingkungan hidup yang berkualitas, maka perlu dilakukan peningkatan persepsi

guru yang berarti peningkatan kapasitas guru berkaitan dengan PLH. Peningkatan

kapasitas guru dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan dalam jalur pendidikan

formal maupun non formal. Guru perlu diberikan kesempatan dan dukungan

untuk dapat meningkatkan kompetensinya melalui PLH formal di perguruan

tinggi, ataupun berbagai kegiatan PLH non formal.

Kenney et al. (2003) menguraikan bahwa ada beberapa unsur kunci yang

perlu diperhatikan agar program pelatihan/pendidikan bagi guru efektif sehingga

guru bisa mengaplikasikan hasil dari program tersebut kepada siswanya di

sekolah, antara lain:

1. Pendidikan bagi guru sebaiknya didesain secara spesifik agar sesuai dengan

karakteristik dan isu-isu lingkungan lokal, dan dapat memenuhi kurikulum

sekolah dan standar PLH yang ditetapkan.

81

2. Materi yang diberikan mencakup materi-materi mengenai lingkungan hidup

dan praktek-praktek instruksional/pengajaran yang efektif, termasuk cara

mengajar di luar kelas. Guru diberi materi mengenai berbagai strategi

pengajaran di luar kelas, seperti strategi mengendalikan perilaku siswa,

melakukan peralihan antara satu kegiatan ke kegiatan lainnya, menjaga fokus

pada tujuan pembelajaran, serta menjadi fleksibel/lentur dan kreatif pada

kondisi luar kelas yang terus menerus berubah.

3. Model pelatihan on-the-job terbukti efektif dalam membangun kepercayaan

diri guru untuk melaksanakan pengajaran PLH. Model ini memungkinkan

guru mempelajari pola pengajaran PLH yang efektif dengan mengamati

instruktur PLH berpengalaman dan kemudian mengambil alih praktek

pengajaran dengan bimbingan instruktur tersebut. Dengan demikian guru

tidak perlu meninggalkan kelas, mencurahkan waktu yang lama setelah

selesai kegiatan di sekolah, atau menggunakan waktu yang biasanya

diperuntukkan untuk membuat perencanaan kegiatan belajar mengajar di

rumah untuk mengikuti pelatihan, dan pihak administrasi sekolah juga tidak

perlu mencarikan guru pengganti untuk mengajar selama guru tersebut

mengikuti pelatihan.

4. Lokakarya untuk memperkenalkan materi dan membahas berbagai proses

terkait (misalnya, cara membantu siswa menemukan tempat untuk eksplorasi

di luar kelas) harus dilakukan terlebih dahulu sebelum guru mengikuti

kegiatan pengamatan dan praktek pengajaran.

5. Guru diakrabkan dengan lingkungan sekolah dan sekitarnya dengan cara

mengajak guru mengikuti kegiatan jalan-jalan singkat secara periodik dengan

dipandu oleh instruktur berpengalaman.

Program-program pendidikan dan pelatihan yang diperuntukkan bagi guru

dengan demikian seharusnya didesain tidak hanya memasukkan materi-materi

lingkungan hidup yang spesifik sesuai lingkungan lokal guru ke dalam

kurikulumnya, namun juga materi mengenai strategi pengajaran dan metode

instruksional yang efektif untuk mengajarkan PLH, khususnya strategi pengajaran

di luar kelas, sehingga guru dapat melaksanakan pengajaran PLH secara efektif.

Program-program PLH untuk guru sebaiknya juga didesain untuk memberikan

82

kesempatan kepada guru agar dapat berinteraksi langsung dengan lingkungan

sekitar sehingga dapat meningkatkan pengalaman guru dengan hutan yang lebih

lanjut diharapkan dapat meningkatkan kepekaan guru terhadap hutan dan

permasalahannya.

Secara khusus pada sekolah sekitar hutan, peningkatan pengetahuan, sikap

dan keterampilan yang spesifik sesuai lingkungan lokal artinya meningkatkan

pengetahuan dan sikap guru mengenai hutan, konservasi hutan dan berbagai

permasalahan terkait, serta peningkatan keterampilan untuk melakukan upaya-

upaya konservasi. Sebagai contoh, guru perlu dibekali pengetahuan mengenai

cara melakukan penyelamatan terhadap satwa langka, sehingga dapat

mengarahkan siswanya untuk melakukan tindakan yang tepat jika menemukan

satwa langka yang perlu diselamatkan, seperti apa yang harus dilakukan, siapa

yang harus dihubungi, dan sebagainya.

Guru SD sekitar hutan perlu dibekali keterampilan untuk dapat

memanfaatkan kawasan hutan sebagai sarana dan media pembelajaran konservasi

hutan bagi siswanya, seperti cara menemukan lokasi yang tepat untuk

melaksanakan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan topik bahasan. Guru juga

perlu dibekali keterampilan mengajar di hutan, seperti cara untuk mengendalikan

perilaku siswa di hutan, bersikap fleksibel dalam menghadapi kondisi hutan yang

selalu berubah, menjaga fokus pembelajaran pada tujuan dari topik bahasan yang

sedang dipelajari, dan sebagainya.

Kemampuan guru untuk melakukan monitoring/pemantauan dan evaluasi

terhadap kegiatan belajar mengajar (KBM) yang diasuhnya juga perlu

ditingkatkan. Evaluasi untuk materi-materi konservasi hutan mestinya tidak

hanya diarahkan pada ranah kognitif saja. Evaluasi juga perlu dilakukan untuk

melihat pencapaian ranah afektif dan psikomotorik, misalnya melalui pengamatan

perilaku siswa sehari-hari di sekolah ataupun di rumah dengan melibatkan

keluarga dan masyarakat sekitar.

Peningkatan kompetensi guru akan meningkatkan persepsi guru tentang

kompetensi dan efektivitas dirinya dalam penyelenggaraan PLH, khususnya dalam

mengajarkan berbagai materi tentang konservasi hutan. Hal tersebut akan

mengarah pada terwujudnya pola pengajaran PLH yang lebih terpusat pada siswa,

83

melibatkan siswa sebagai peserta didik yang aktif dalam kegiatan belajar

mengajar PLH di sekolah, sehingga akan terwujud pengajaran PLH yang efektif

Pada SD sekitar hutan, pengajaran PLH yang efektif, dengan fokus materi tentang

konservasi hutan, akan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa

terkait berbagai permasalahan hutan dan konservasinya, serta menanamkan sikap

dan motivasi untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan konservasi hutan sesuai

tahapan perkembangan siswa tersebut.

6 SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Penelitian ini berangkat dari hipotesis bahwa guru yang memahami kondisi

lingkungan hidup di sekitarnya (memiliki persepsi lingkungan yang utuh),

memiliki atribut individu positif, dan mengajar pada sekolah yang: berada di

sekitar hutan, memiliki kurikulum PLH, serta kondisi lingkungan dan sosial

sekolah yang menunjang, akan membuahkan guru dengan persepsi PLH yang

tinggi. Hasil studi menunjukkan bahwa:

1. Guru pada SD sekitar hutan memiliki persepsi lingkungan yang terbatas

berdasarkan hasil analisa dengan menggunakan rubrik Draw-An-

Environment-Test (DAET). Hal tersebut diduga karena guru kurang

memiliki kemampuan untuk mengekspresikan pemikiran dalam bentuk

gambar maupun tulisan. Penggunaan gambar dan tulisan sebagai bentuk

ekspresi pemikiran memang belum membudaya sebagai sebuah perilaku yang

penting dalam pendidikan di masyarakat Indonesia, sehingga instrumen

DAET yang digunakan perlu lebih disesuaikan dengan budaya masyarakat

Indonesia.

2. Hasil Analisis Faktor menunjukkan bahwa persepsi guru tentang

penyelenggaraan PLH dibangun dari tiga faktor utama, yaitu efektivitas

pengajaran PLH, manfaat PLH dan luaran pengajaran PLH. Faktor pertama –

efektivitas pengajaran PLH – dibentuk dari empat peubah, yaitu kompetensi,

efektivitas-diri, beban/tekanan, dan pilihan. Analisis lebih lanjut

menunjukkan bahwa guru seringkali memandang dirinya memiliki

kompetensi dan efektivitas diri yang rendah dalam mengajar PLH yang

dipengaruhi oleh PLH formal dan tingkat pendidikan yang dimiliki guru.

Faktor kedua – manfaat PLH – dibentuk oleh tiga peubah, yaitu

minat/kesenangan, upaya/arti penting, dan nilai/manfaat PLH. Uji Kruskal-

Wallis menunjukkan bahwa faktor manfaat PLH ditentukan oleh PLH non

formal yang diterima oleh guru, tingkat kelas yang diajar, dan pengalaman

yang dimiliki oleh guru dalam organisasi yang kegiatannya berfokus pada

alam. Faktor ketiga – luaran pengajaran PLH– terbentuk dari satu peubah,

86

yaitu luaran pengajaran PLH yang diharapkan oleh guru. Guru berpendapat

bahwa pengajaran PLH yang efektif dapat memberikan respon positif dari

siswa (hasil belajar tinggi). Analisis statistik lebih lanjut tidak menunjukkan

ada nilai yang berbeda nyata, sehingga faktor yang mempengaruhi persepsi

guru tentang luaran pengajaran PLH tidak dapat ditentukan.

3. Guru membutuhkan peningkatan/penguatan kapasitas, motivasi, kompetensi

dan efektivitas diri melalui berbagai kegiatan PLH agar dapat melakukan

pengajaran PLH yang efektif. Kegiatan PLH bagi guru sebaiknya tidak hanya

ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan guru akan materi yang berkaitan

dengan lingkungan, khususnya hutan dan konservasinya, tetapi juga sikap dan

keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan upaya pengelolaan

lingkungan dan konservasi hutan, meningkatkan penguasaan guru akan

metode pengajaran di luar kelas, dan meningkatkan kepekaan guru terhadap

lingkungan/hutan dan permasalahannya.

Hasil penelitian tidak sepenuhnya mendukung hipotesis, karena guru yang

mengajar pada sekolah di sekitar hutan memiliki persepsi lingkungan yang

terbatas (berdasarkan instrumen DAET), namun memiliki persepsi yang tinggi

tentang PLH. Persepsi tentang PLH lebih dipengaruhi oleh atribut individu positif

yang dimiliki oleh guru, yaitu tingkat pendidikan, pengalaman guru dalam

mengikuti PLH formal dan non formal, pengalaman guru dalam mengikuti

organisasi alam, serta pengalaman mengajar pada berbagai tingkat kelas berbeda.

Guru yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dan memiliki berbagai

pengalaman tersebut memiliki persepsi tentang PLH yang lebih tinggi pada ketiga

faktor persepsi. Namun kajian mengenai persepsi lingkungan guru perlu

dilakukan dengan menggunakan instrumen lain untuk mendapatkan gambaran

yang lebih baik mengenai persepsi guru tentang lingkungan.

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan peningkatan kapasitas guru pada SD sekitar hutan berkaitan

dengan PLH, sehingga guru dapat memenuhi standar pengetahuan dan

kemampuan yang dibutuhkan untuk dapat mengajar PLH secara efektif.

Peningkatan kapasitas berkaitan dengan penguasaan terhadap pengetahuan

mengenai materi konservasi hutan, baik teoritis maupun praktis, keterampilan

87

untuk melakukan upaya konservasi hutan, serta keterampilan mengajar

dengan menggunakan kawasan hutan sebagai media/sarana pembelajaran.

Peningkatan kapasitas guru akan meningkatkan persepsi guru, yang juga

berarti meningkatkan sikap dan motivasi intrinsik guru dalam mengajar PLH,

sehingga akan dapat dibentuk SDM yang memiliki kemampuan, motivasi dan

peran serta dalam upaya penyelesaian permasalahan lingkungan, khususnya

upaya konservasi hutan.

2. Peningkatan kapasitas guru membutuhkan dukungan/fasilitasi dari berbagai

instansi terkait, seperti Kementerian Pendidikan Nasional dan Dinas

Pendidikan, Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan, serta pengelola

kawasan hutan (misalnya pada lokasi penelitian pengelola kawasan hutan

adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Perum Perhutani),

Perguruan Tinggi, berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak

dalam bidang PLH, serta para pelaku PLH lainnya.

3. Materi-materi mengenai lingkungan hidup dan praktek pengajaran/metode

instruksional yang efektif untuk mengajarkan materi tersebut seharusnya

diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan pada perguruan tinggi yang

mempersiapkan para calon guru.

4. Faktor-faktor yang dapat membangun motivasi guru untuk secara mandiri

mengembangkan kompetensi dirinya perlu diperhatikan dan ditelaah lebih

lanjut, sehingga guru akan mampu menggunakan kesempatan yang ada dan

bahkan mencari sendiri kesempatan untuk melakukan pengembangan diri.

5. Penggunaan instrumen DAET perlu disesuaikan, khususnya pada rubrik yang

digunakan untuk melakukan penilaian (scoring) terhadap gambar. Salah satu

langkah penyesuaian yang dapat dilakukan adalah dengan memasukkan

komponen gambar dan definisi sebagai satu kesatuan yang diberi skor.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar S. 1995. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Ed Ke-2.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Brauss JA, Wood D. 1994. Environmental Education in The Schools: Creating a

Program that Works!. Ohio: North American Association for

Environmental Education (NAAEE) in conjunction with the ERIC

Clearinghouse for Science, Mathematics and Environmental Education, the

Ohio State University.

Darner R. 2009. Self-Determination Theory as a Guide to Fostering

Environmental Motivation. The Journal of Environmental Education 40

(2):39-49. http://www.proquest.com/pqdweb [18 Jun 2009]

Desjean-Perrotta B, Moseley C, Cantu L. 2008. Preservice Teachers’ Perceptions

of the Environment: Does Ethnicity or Dominant Residential Experience

Matter? The Journal of Environmental Education 39(2):21-31.

http://www.proquest.com/pqdweb [20 Juni 2009]

Ford PM. 1981. Principles and Practices of Outdoor/Environmental Education.

New York, Chichester, Brisbane, Toronto: John Wiley & Sons.

Franken RE. 1939. Human Motivation. Monterey, California: Brooks/Cole

Publishing Company.

Gravetter FJ, Forzano LA. 2006. Research Methods for The Behavioral Sciences.

Ed ke-2. Belmont: Thomson Wadsworth.

Hardre PL, Sullivan DW. 2008. Teacher Perceptions and Individual Differences:

How They Influence Rural Teachers’ Motivating Strategies. Teaching and

Teacher Education 24:2059-2075. http://www.proquest.com/pqdweb [21

Jul 2009]

Harihanto. 2001. Persepsi, Sikap dan Perilaku Masyarakat terhadap Air Sungai:

Kasus di DAS Kaligarang, Jawa Tengah [disertasi]. Bogor: Program

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Heathcote RL, editor. 1980. Perception on Desertification. Tokyo, Japan: The

United Nation University.

Henning DH, Pakpahan A. 1991. Pendidikan Lingkungan dan Taman Nasional:

Strategi Konservasi Dunia dan Kegiatan Interpretasi Alam. Media

Konservasi 3(2): 1-9.

Hollander EP. 1981. Principles and Methods of Social Psychology. Ed ke-4.

New York, Oxford: Oxford University Press.

90

Kaplan L. 1965. Foundations of Human Behavior. New York, Evanston and

London: Harper & Row, Publishers.

Kenney JL, Militana HP, Donohue MH. 2003. Helping Teachers to Use Their

School’s Backyard as an Outdoor Classroom: A Report on the Watershed

Learning Center Program. The Journal of Environmental Education 35

(1):18-26. http://www.proquest.com/pqdweb [18 Jun 2009]

[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Kebijakan Pendidikan

Lingkungan Hidup. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup Republik

Indonesia.

Kiesler CA, Collins BE, Miller N. 1969. Attitude Change: A Critical Analysis of

Theoretical Approaches. New York, London, Sydney, Toronto: John Wiley

& Sons, Inc.

Krech D, Crutchfield RS, Ballachey EL. 1962. Individual in Society: A Textbook

of Social Psychology. New York, San Francisco, Toronto, London:

McGraw-Hill Book Company Inc.

Marten GG. 2001. Human Ecology: Basic Concepts for Sustainable

Development. London: Earthscan Publication Ltd.

Monroe MC, Day BA, Grieser M. 2000. GreenCOM Weaves Four Strands. Di

dalam Day BA, Monroe MC, editor. Environmental Education and

Communication for A Sustainable World: Handbook for International

Practitioners. Washington, DC: Academy for Educational Development.

Moseley C, Desjean-Perrotta B. 2010. The Draw-An-Environment Test Rubric

(DAET-R): Exploring Preservice Teachers’ Mental Model of the

Environment. Environmental Education Research 16(2):189-208.

Moseley C, Reinke K, Bookout V. 2002. The Effect of Teaching Outdoor

Environmental Education on Preservice Teachers’ Attitudes toward Self-

efficacy and Outcome Expectancy. The Journal of Environmental

Education 34 (1):9-15.

http://find.galegroup.com/gtx/start.do?prodId=SPJ.SP01&userGroupName=

ptn003 [22 Des 2009]

Moseley C, Utley J. 2008. An Exploratory Study of Preservice Teachers’ Beliefs

About the Environment. The Journal of Environmental Education 39(4):15-

29. http://www.proquest.com/pqdweb [18 Jun 2009]

Muntasib EKSH. 2002. Khasanah Pendidikan Lingkungan Hidup. Makalah

disampaikan dalam Magang Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Tim

BAPEDALDA PAPUA. Bogor: Kelompok Kerja Pendidikan Konservasi

Sumberdaya Hutan dan Lingkungan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

91

Muntasib EKSH, Masy’ud B, Hermawan R, Rushayati SB, Rachmawati E,

Meilani R, Yudiarti Y, Rahayuningsih T. 2009. Laporan Akhir Penelitian

Strategis Aplikatif Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup bagi Sekolah-

sekolah di Sekitar Kawasan Hutan. Bogor: Departemen Konservasi

Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian

Bogor.

Neuman WL. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative

Approaches. Ed ke-6. Boston, New York, San Fransisco, Mexico City,

Montreal, Toronto, London, Madrid, Munich, Paris, Hong Kong, Singapore,

Tokyo, Cape Town, Sydney: Allyn and Bacon Pearson Education, Inc.

Niemiec CP, Ryan RM. 2009. Autonomy, Competence, and relatedness in the

classroom: Applying self-determination theory to educational practice.

Theory and Research in Education 7(2):133-144.

http://www.psych.rochester.edu/SDT/documents/2009_NiemiecRyan_TRE.

pdf [7 Des 2009]

Nirarita ECh. 2003. Pendidikan Lingkungan Hidup dalam Sekolah Formal. Di

dalam: Muntasib EKSH, Meilani R, editor. Model Pengembangan

Pendidikan tentang Hutan dan Lingkungan Bagi Anak Sekolah. Prosiding

Workshop Model Pengembangan Pendidikan tentang Hutan dan

Lingkungan bagi Anak Sekolah. Bogor: 24 Apr 2003. Bogor: Fakultas

Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan

Departemen Kehutanan, dan The Nature Conservancy.

[NAAEE] North American Association for Environmental Education. 2004.

Guidelines for The Preparation and Professional Development of

Environmental Educators. Washington, DC: NAAEE.

http://www.naaee.org [30 Nov 2009]

Ofoegbu F. 2004. Teacher Motivation: a Factor for Classroom Effectiveness and

School Improvement in Nigeria. College Student Journal, 38(1):81-89.

http://find.galegroup.com/gtx/start.do?prodId=SPJ.SP01&userGroupName=

ptn003 [31 Okt 2009]

[Pokja PKSDHL] Kelompok Kerja Pendidikan Konservasi Sumberdaya Hutan

dan Lingkungan. 1998. Perkembangan Pendidikan Lingkungan Hidup di

Indonesia. Bogor: Kelompok Kerja Pendidikan Konservasi Sumberdaya

Hutan dan Lingkungan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas

Kehutanan Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Badan

Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL).

[RI] Republik Indonesia. 2003. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Republik Indonesia.

Robbins SP. 2003. Organizational Behavior. Ed ke-10. New Jersey: Prentice

Hall Pearson Education International.

92

Robbins SP. 2005. Essentials of Organizational Behavior. Ed ke-8. New

Jersey: Prentice Hall Pearson Education International.

Roth G, Assor A, Kanat-Maymon Y, Kaplan H. 2007. Autonomous Motivation

for Teching: How Self-Determined Teaching May Lead to Self-Determined

Learning. Journal of Educational Psychology 99(4):761-774

Ryan, RM. 1982. Control and Information in the Intrapersonal Sphere: An

Extension of Cognitive Evaluation Theory. Journal of Personality and

Social Psychology 43:450-461.

Ryan RM, Deci EL. 2000. Intrinsic and Extrinsic Motivations: Classic

Definitions and New directions. Contemporary Educational Psychology

25:54-67.

http://www.psych.rochester.edu/SDT/documents/2000_RyanDeci_IntExtDe

fs.pdf [7 Des 2009]

Santrock JW. 2008. Psikologi Pendidikan. Ed ke-2. Tri Wibowo B.S.,

penerjemah. Jakarta: Kencana.

Severin WJ, Tankard JW. 1979. Communication Theories: Origins, Methods,

Uses. New York: Hastings House, Publishers.

Shavitt S, Brock TC, editor. 1994. Persuasion: Psychological Insights and

Perspectives. Boston, London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore: Allyn

and Bacon.

Sia AP. 1992. Preservice Elementary Teachers’ Perceived Efficacy in Teaching

Environmental Education: A Preliminary Study. Paper presented at the

Annual Meeting of the ECO-ED North American Association for

Environmental Education, Toronto, Ontario, Canada, 20 Okt 1992.

http://www.eric.gov.edu [29 Jan 2010]

Siagian SP. 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Cet ke-3. Jakarta: PT.

Rineka Cipta.

Smith MK, Mergel B, Furse E, Carver JM, Hagwood S, Huitt WG. 2009. Teori

Pembelajaran dan Pengajaran: Mengukur Kesuksesan Anda dalam Proses

Belajar Mengajar Bersama Psikolog Pendidikan Dunia. Saleh AQ,

penerjemah. Yogyakarta: Mirza Media Pustaka.

Smith-Sebasto NJ. 2007. A Reinvestigation of Teacher’s Motivation Toward and

Perception of Residential Environmental Education: A Case Study of the

New Jersey School of Conservation. The Journal of Environmental

Education 38(4):34-42. http://www.proquest.com/pqdweb [18 Jun 2009]

Spittle M, Jackson K, Casey M. 2009. Applying Self-Determination Theory to

Understand the Motivation for Becoming a Physical Education Teacher.

Teaching and Teacher Education 25:190-197.

http://www.proquest.com/pqdweb [20 Jun 2009]

93

Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta.

Triandis HC. 1971. Attitude and Attitude Change. New York, London, Sydney,

Toronto: John Wiley & Sons, Inc.

Vallerand RJ, Koestner R, Pelletier LG. 2008. Reflections on Self-Determination

Theory. Canadian Psychology, 49(3):257-262.

Watt HMG, Richardson PW. 2008. Motivations, Perceptions and Aspiration

Concerning Teaching as a Career for Different Types of Beginning

Teachers. Learning and Instruction 18:408-428.

http://www.proquest.com/pqdweb [21 Jul 2009]

Wood JT. 2007. Interpersonal Communication: Everyday Encounters. Ed ke-5.

Belmont, CA: Thomson Wadsworth.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis Faktor

Descriptive Statistics

4,3387 ,45069 31

2,7032 ,57474 31

4,1161 ,40257 31

3,8968 ,56064 31

3,1968 ,49765 31

4,4452 ,59264 31

3,6935 ,38465 31

3,8710 ,35326 31

Interest/enjoyment

Perceived Competence

Ef fort/Importance

Pressure/Tension

Perceived Choice

Value/Usefulness

Self -ef f icacy

ETOE

Mean Std. Dev iat ion Analysis N

Correlation Matrixa

1,000 ,007 ,639 ,032 -,005 ,482 ,105 ,129

,007 1,000 ,062 ,340 ,337 ,299 ,392 -,211

,639 ,062 1,000 -,040 ,082 ,503 ,237 ,221

,032 ,340 -,040 1,000 ,577 ,243 ,334 ,015

-,005 ,337 ,082 ,577 1,000 ,371 ,380 -,198

,482 ,299 ,503 ,243 ,371 1,000 ,545 -,060

,105 ,392 ,237 ,334 ,380 ,545 1,000 ,006

,129 -,211 ,221 ,015 -,198 -,060 ,006 1,000

,485 ,000 ,432 ,489 ,003 ,286 ,245

,485 ,371 ,030 ,032 ,051 ,015 ,127

,000 ,371 ,416 ,331 ,002 ,099 ,116

,432 ,030 ,416 ,000 ,094 ,033 ,469

,489 ,032 ,331 ,000 ,020 ,018 ,143

,003 ,051 ,002 ,094 ,020 ,001 ,373

,286 ,015 ,099 ,033 ,018 ,001 ,487

,245 ,127 ,116 ,469 ,143 ,373 ,487

Interest/enjoy ment

Perceived Competence

Ef fort/Importance

Pressure/Tension

Perceived Choice

Value/Usefulness

Self -ef f icacy

ETOE

Interest/enjoy ment

Perceived Competence

Ef fort/Importance

Pressure/Tension

Perceived Choice

Value/Usefulness

Self -ef f icacy

ETOE

Correlation

Sig. (1-tailed)

Interest/e

njoyment

Perceived

Competence

Ef fort/

Importance

Pressure/

Tension

Perceived

Choice

Value/

Usefulness Self -ef f icacy ETOE

Determinant = ,085a.

Lanjutan Inverse of Correlation Matrix

1,987 ,113 -1,049 -,301 ,374 -,717 ,345 ,033

,113 1,351 -,082 -,303 -,043 -,127 -,337 ,279

-1,049 -,082 2,089 ,475 -,276 -,481 -,142 -,435

-,301 -,303 ,475 1,741 -,941 ,004 -,186 -,341

,374 -,043 -,276 -,941 1,849 -,392 -,133 ,361

-,717 -,127 -,481 ,004 -,392 2,240 -,836 ,235

,345 -,337 -,142 -,186 -,133 -,836 1,699 -,168

,033 ,279 -,435 -,341 ,361 ,235 -,168 1,242

Interest/enjoy ment

Perceived Competence

Ef fort/Importance

Pressure/Tension

Perceived Choice

Value/Usefulness

Self -ef f icacy

ETOE

Interest/e

njoyment

Perceived

Competence

Ef fort/

Importance

Pressure/

Tension

Perceived

Choice

Value/

Usefulness Self -ef f icacy ETOE

KMO and Bartlett's Test

,642

65,351

28

,000

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling

Adequacy.

Approx. Chi-Square

df

Sig.

Bart lett 's Test of

Sphericity

Anti-image Matrices

,503 ,042 -,253 -,087 ,102 -,161 ,102 ,014

,042 ,740 -,029 -,129 -,017 -,042 -,147 ,166

-,253 -,029 ,479 ,131 -,071 -,103 -,040 -,167

-,087 -,129 ,131 ,574 -,292 ,001 -,063 -,157

,102 -,017 -,071 -,292 ,541 -,095 -,042 ,157

-,161 -,042 -,103 ,001 -,095 ,446 -,220 ,084

,102 -,147 -,040 -,063 -,042 -,220 ,588 -,080

,014 ,166 -,167 -,157 ,157 ,084 -,080 ,805

,580a ,069 -,515 -,162 ,195 -,340 ,188 ,021

,069 ,778a -,049 -,197 -,027 -,073 -,223 ,216

-,515 -,049 ,620a ,249 -,141 -,222 -,075 -,270

-,162 -,197 ,249 ,571a -,524 ,002 -,108 -,232

,195 -,027 -,141 -,524 ,641a -,193 -,075 ,238

-,340 -,073 -,222 ,002 -,193 ,723a -,428 ,141

,188 -,223 -,075 -,108 -,075 -,428 ,717a -,116

,021 ,216 -,270 -,232 ,238 ,141 -,116 ,368a

Interest/enjoy ment

Perceived Competence

Ef fort/Importance

Pressure/Tension

Perceived Choice

Value/Usefulness

Self -ef f icacy

ETOE

Interest/enjoy ment

Perceived Competence

Ef fort/Importance

Pressure/Tension

Perceived Choice

Value/Usefulness

Self -ef f icacy

ETOE

Anti-image Covariance

Anti-image Correlation

Interest/e

njoyment

Perceived

Competence

Ef fort/

Importance

Pressure/

Tension

Perceived

Choice

Value/

Usefulness Self -ef f icacy ETOE

Measures of Sampling Adequacy (MSA)a.

Lanjutan

Communalities

1,000 ,732

1,000 ,508

1,000 ,782

1,000 ,735

1,000 ,651

1,000 ,757

1,000 ,550

1,000 ,899

Interest/enjoy ment

Perceived Competence

Ef fort/Importance

Pressure/Tension

Perceived Choice

Value/Usefulness

Self -ef f icacy

ETOE

Initial Extract ion

Extract ion Method: Principal Component Analysis.

Total Variance Explained

2,761 34,518 34,518 2,761 34,518 34,518 2,333 29,160 29,160

1,850 23,122 57,640 1,850 23,122 57,640 2,138 26,726 55,887

1,003 12,533 70,172 1,003 12,533 70,172 1,143 14,286 70,172

,758 9,477 79,649

,619 7,737 87,387

,437 5,464 92,850

,317 3,961 96,811

,255 3,189 100,000

Component

1

2

3

4

5

6

7

8

Total % of Variance Cumulat iv e % Total % of Variance Cumulat iv e % Total % of Variance Cumulat iv e %

Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings Rotation Sums of Squared Loadings

Extraction Method: Principal Component Analy sis.

Lanjutan

Rotated Component Matrixa

,850

,593

,872

,830

,796

,717

,665

,938

Interest/enjoy ment

Perceived Competence

Ef fort/Importance

Pressure/Tension

Perceived Choice

Value/Usefulness

Self -ef f icacy

ETOE

1 2 3

Component

Extract ion Method: Principal Component Analysis.

Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization.

Rotation converged in 4 iterations.a.

Component Transformation Matrix

,788 ,605 -,114

-,531 ,761 ,372

,312 -,232 ,921

Component

1

2

3

1 2 3

Extraction Method: Principal Component Analy sis.

Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization.

Lampiran 2. Analisis Korelasi Spearman

Correlations

1,000 ,272 ,076 -,212 -,011 -,058 -,081 -,012

. ,138 ,686 ,252 ,952 ,758 ,666 ,950

31 31 31 31 31 31 31 31

,272 1,000 ,207 -,144 -,061 ,441* -,091 -,200

,138 . ,263 ,440 ,744 ,013 ,628 ,281

31 31 31 31 31 31 31 31

,076 ,207 1,000 ,059 -,076 ,077 -,107 -,158

,686 ,263 . ,753 ,684 ,679 ,568 ,395

31 31 31 31 31 31 31 31

-,212 -,144 ,059 1,000 ,061 -,063 ,187 ,114

,252 ,440 ,753 . ,744 ,735 ,315 ,542

31 31 31 31 31 31 31 31

-,011 -,061 -,076 ,061 1,000 ,190 ,849** ,740**

,952 ,744 ,684 ,744 . ,307 ,000 ,000

31 31 31 31 31 31 31 31

-,058 ,441* ,077 -,063 ,190 1,000 ,171 ,094

,758 ,013 ,679 ,735 ,307 . ,357 ,614

31 31 31 31 31 31 31 31

-,081 -,091 -,107 ,187 ,849** ,171 1,000 ,841**

,666 ,628 ,568 ,315 ,000 ,357 . ,000

31 31 31 31 31 31 31 31

-,012 -,200 -,158 ,114 ,740** ,094 ,841** 1,000

,950 ,281 ,395 ,542 ,000 ,614 ,000 .

31 31 31 31 31 31 31 31

Correlation Coef f icient

Sig. (2-tailed)

N

Correlation Coef f icient

Sig. (2-tailed)

N

Correlation Coef f icient

Sig. (2-tailed)

N

Correlation Coef f icient

Sig. (2-tailed)

N

Correlation Coef f icient

Sig. (2-tailed)

N

Correlation Coef f icient

Sig. (2-tailed)

N

Correlation Coef f icient

Sig. (2-tailed)

N

Correlation Coef f icient

Sig. (2-tailed)

N

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

Usia

Pendidikan

Masa Kerja (tahun)

Lama Mengajar (tahun)

Spearman's rho

persepsi

lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3 Usia Pendidikan

Masa Kerja

(tahun)

Lama

Mengajar

(tahun)

Correlation is signif icant at the 0.05 level (2-tailed).*.

Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.

Lampiran 3. Uji Kruskal-Wallis

Descriptives

7 2,8557 1,51321

8 2,7500 1,89276

9 3,2600 1,54455

7 2,8100 ,37776

31 2,9355 1,41581

7 3,4400 ,38362

8 3,4675 ,39633

9 3,1733 ,36373

7 3,4443 ,32969

31 3,3706 ,37373

7 4,1871 ,15510

8 4,3500 ,39666

9 4,3478 ,45486

7 4,2671 ,54914

31 4,2939 ,40193

7 3,7429 ,33594

8 4,0125 ,35229

9 3,9111 ,30185

7 3,7857 ,43370

31 3,8710 ,35326

Gn Sari 01

Gn Bunder 03

Gn Bunder 04

Gn Picung 06

Total

Gn Sari 01

Gn Bunder 03

Gn Bunder 04

Gn Picung 06

Total

Gn Sari 01

Gn Bunder 03

Gn Bunder 04

Gn Picung 06

Total

Gn Sari 01

Gn Bunder 03

Gn Bunder 04

Gn Picung 06

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Std. Dev iat ion

Lanjutan

Ranks

7 16,79

8 15,63

9 17,11

7 14,21

31

7 18,43

8 17,75

9 11,67

7 17,14

31

7 12,43

8 18,13

9 17,28

7 15,50

31

7 11,64

8 19,38

9 17,78

7 14,21

31

Sekolah

Gn Sari 01

Gn Bunder 03

Gn Bunder 04

Gn Picung 06

Total

Gn Sari 01

Gn Bunder 03

Gn Bunder 04

Gn Picung 06

Total

Gn Sari 01

Gn Bunder 03

Gn Bunder 04

Gn Picung 06

Total

Gn Sari 01

Gn Bunder 03

Gn Bunder 04

Gn Picung 06

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Rank

Test Statisticsa,b

,489 2,952 1,719 3,408

3 3 3 3

,921 ,399 ,633 ,333

Chi-Square

df

Asy mp. Sig.

persepsi

lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3

Kruskal Wallis Testa.

Grouping Variable: Sekolahb.

Lanjutan

Descriptives

13 3,3592 1,15919

15 2,6667 1,52753

3 2,4433 1,89727

31 2,9355 1,41581

13 3,2877 ,37654

15 3,3873 ,37287

3 3,6467 ,33171

31 3,3706 ,37373

13 4,1415 ,44708

15 4,3407 ,31999

3 4,7200 ,25981

31 4,2939 ,40193

13 3,7385 ,30967

15 3,9400 ,38322

3 4,1000 ,20000

31 3,8710 ,35326

kelas rendah

kelas tinggi

kelas rendah dan tinggi

Total

kelas rendah

kelas tinggi

kelas rendah dan tinggi

Total

kelas rendah

kelas tinggi

kelas rendah dan tinggi

Total

kelas rendah

kelas tinggi

kelas rendah dan tinggi

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Std. Dev iat ion

Lanjutan

Ranks

13 18,38

15 14,03

3 15,50

31

13 13,92

15 16,47

3 22,67

31

13 12,92

15 16,77

3 25,50

31

13 13,50

15 16,80

3 22,83

31

Saat ini mengasuh kelas

kelas rendah

kelas tinggi

kelas rendah dan tinggi

Total

kelas rendah

kelas tinggi

kelas rendah dan tinggi

Total

kelas rendah

kelas tinggi

kelas rendah dan tinggi

Total

kelas rendah

kelas tinggi

kelas rendah dan tinggi

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Rank

Test Statisticsa,b

1,667 2,332 4,880 2,864

2 2 2 2

,434 ,312 ,087 ,239

Chi-Square

df

Asy mp. Sig.

persepsi

lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3

Kruskal Wallis Testa.

Grouping Variable: Saat ini mengasuh kelasb.

Lanjutan

Descriptives

10 3,5010 1,27952

9 2,7022 1,90321

11 2,5455 1,02581

1 3,6700 .

31 2,9355 1,41581

10 3,3030 ,42358

9 3,3089 ,40548

11 3,4664 ,32358

1 3,5500 .

31 3,3706 ,37373

10 4,2380 ,44307

9 4,2978 ,17775

11 4,3018 ,51035

1 4,7300 .

31 4,2939 ,40193

10 3,6900 ,31780

9 3,9333 ,37417

11 4,0091 ,32697

1 3,6000 .

31 3,8710 ,35326

kelas rendah

kelas tinggi

kelas rendah dan tinggi

belum ada pengalaman

Total

kelas rendah

kelas tinggi

kelas rendah dan tinggi

belum ada pengalaman

Total

kelas rendah

kelas tinggi

kelas rendah dan tinggi

belum ada pengalaman

Total

kelas rendah

kelas tinggi

kelas rendah dan tinggi

belum ada pengalaman

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Std. Dev iation

Lanjutan

Ranks

10 19,15

9 14,94

11 13,23

1 24,50

31

10 14,85

9 14,72

11 17,68

1 20,50

31

10 15,10

9 16,22

11 15,73

1 26,00

31

10 12,25

9 16,39

11 20,00

1 6,00

31

Pernah mengasuh kelas

kelas rendah

kelas tinggi

kelas rendah dan tinggi

belum ada pengalaman

Total

kelas rendah

kelas tinggi

kelas rendah dan tinggi

belum ada pengalaman

Total

kelas rendah

kelas tinggi

kelas rendah dan tinggi

belum ada pengalaman

Total

kelas rendah

kelas tinggi

kelas rendah dan tinggi

belum ada pengalaman

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Rank

Test Statisticsa,b

3,343 ,959 1,325 5,184

3 3 3 3

,342 ,811 ,723 ,159

Chi-Square

df

Asy mp. Sig.

persepsi

lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3

Kruskal Wallis Testa.

Grouping Variable: Pernah mengasuh kelasb.

Lanjutan

Descriptives

17 3,0788 1,32631

5 2,7340 ,76041

4 2,3325 1,69967

2 4,5000 2,12132

3 2,2200 2,00905

31 2,9355 1,41581

17 3,3341 ,38777

5 3,4200 ,44159

4 3,3575 ,47409

2 3,4150 ,44548

3 3,4833 ,16442

31 3,3706 ,37373

17 4,2688 ,43683

5 4,2600 ,46733

4 4,4000 ,31654

2 4,3850 ,16263

3 4,2900 ,50715

31 4,2939 ,40193

17 3,7412 ,28076

5 3,9400 ,40988

4 4,0750 ,32016

2 4,2000 ,70711

3 4,0000 ,36056

31 3,8710 ,35326

tidak ada m.a. Khusus

agama

olahraga

bahasa inggris

lainny a

Total

tidak ada m.a. Khusus

agama

olahraga

bahasa inggris

lainny a

Total

tidak ada m.a. Khusus

agama

olahraga

bahasa inggris

lainny a

Total

tidak ada m.a. Khusus

agama

olahraga

bahasa inggris

lainny a

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Std. Dev iat ion

Lanjutan

Ranks

17 16,91

5 14,10

4 13,50

2 23,25

3 12,50

31

17 14,91

5 16,20

4 17,38

2 17,50

3 19,00

31

17 15,65

5 16,00

4 17,50

2 18,25

3 14,50

31

17 12,76

5 19,20

4 20,88

2 21,75

3 18,67

31

Saat ini mengasuh M.A.

tidak ada m.a. Khusus

agama

olahraga

bahasa inggris

lainny a

Total

tidak ada m.a. Khusus

agama

olahraga

bahasa inggris

lainny a

Total

tidak ada m.a. Khusus

agama

olahraga

bahasa inggris

lainny a

Total

tidak ada m.a. Khusus

agama

olahraga

bahasa inggris

lainny a

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Rank

Test Statisticsa,b

2,501 ,719 ,339 5,105

4 4 4 4

,644 ,949 ,987 ,277

Chi-Square

df

Asy mp. Sig.

persepsi

lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3

Kruskal Wallis Testa.

Grouping Variable: Saat ini mengasuh M.A.b.

Lanjutan

Descriptives

17 3,1182 1,36433

4 2,7500 ,74113

3 1,7767 1,57469

3 4,4433 1,50321

4 2,0825 1,25985

31 2,9355 1,41581

17 3,2918 ,35678

4 3,4700 ,48546

3 3,2867 ,55411

3 3,5000 ,34771

4 3,5725 ,26525

31 3,3706 ,37373

17 4,2435 ,43628

4 4,1850 ,33161

3 4,2433 ,05508

3 4,2800 ,21517

4 4,6650 ,49082

31 4,2939 ,40193

17 3,8000 ,33354

4 3,8000 ,34641

3 4,0000 ,34641

3 4,0000 ,60828

4 4,0500 ,31091

31 3,8710 ,35326

tidak ada mata

ajaran khusus

agama

olahraga

bahasa inggris

lainny a

Total

tidak ada mata

ajaran khusus

agama

olahraga

bahasa inggris

lainny a

Total

tidak ada mata

ajaran khusus

agama

olahraga

bahasa inggris

lainny a

Total

tidak ada mata

ajaran khusus

agama

olahraga

bahasa inggris

lainny a

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Std. Dev iat ion

Lanjutan

Ranks

17 17,41

4 14,00

3 9,00

3 25,00

4 10,50

31

17 13,74

4 18,00

3 15,50

3 20,00

4 21,00

31

17 15,26

4 13,50

3 13,83

3 15,50

4 23,63

31

17 14,74

4 15,13

3 18,33

3 16,50

4 20,13

31

Pernah mengasuh M.A.tidak ada mata ajaran

khusus

agama

olahraga

bahasa inggris

lainny a

Total

tidak ada mata ajaran

khusus

agama

olahraga

bahasa inggris

lainny a

Total

tidak ada mata ajaran

khusus

agama

olahraga

bahasa inggris

lainny a

Total

tidak ada mata ajaran

khusus

agama

olahraga

bahasa inggris

lainny a

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Rank

Test Statisticsa,b

7,048 3,049 3,412 1,431

4 4 4 4

,133 ,550 ,491 ,839

Chi-Square

df

Asy mp. Sig.

persepsi

lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3

Kruskal Wallis Testa.

Grouping Variable: Pernah mengasuh M.A.b.

Lanjutan

Descriptives

18 2,8339 1,39211

8 3,2913 1,49705

5 2,7320 1,58875

31 2,9355 1,41581

18 3,4072 ,36314

8 3,4338 ,40387

5 3,1380 ,34644

31 3,3706 ,37373

18 4,2472 ,36327

8 4,4563 ,43811

5 4,2020 ,49170

31 4,2939 ,40193

18 3,8778 ,41096

8 3,9250 ,30119

5 3,7600 ,19494

31 3,8710 ,35326

tidak ada

pembina pramuka

lainny a

Total

tidak ada

pembina pramuka

lainny a

Total

tidak ada

pembina pramuka

lainny a

Total

tidak ada

pembina pramuka

lainny a

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Std. Dev iation

Ranks

18 15,58

8 16,44

5 16,80

31

18 16,75

8 18,25

5 9,70

31

18 15,25

8 19,06

5 13,80

31

18 16,39

8 17,00

5 13,00

31

Tugas Lain

tidak ada

pembina pramuka

lainny a

Total

tidak ada

pembina pramuka

lainny a

Total

tidak ada

pembina pramuka

lainny a

Total

tidak ada

pembina pramuka

lainny a

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Rank

Test Statisticsa,b

,099 3,014 1,325 ,691

2 2 2 2

,952 ,222 ,515 ,708

Chi-Square

df

Asy mp. Sig.

persepsi

lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3

Kruskal Wallis Testa.

Grouping Variable: Tugas Lainb.

Lanjutan

Descriptives

21 2,8100 1,18114

6 3,3883 1,68059

2 3,1650 4,00930

2 2,6650 ,47376

31 2,9355 1,41581

21 3,4352 ,32768

6 3,0650 ,43666

2 3,2300 ,18385

2 3,7500 ,28284

31 3,3706 ,37373

21 4,3119 ,36935

6 3,9983 ,40187

2 4,6850 ,26163

2 4,6000 ,46669

31 4,2939 ,40193

21 3,8143 ,34247

6 3,8833 ,28577

2 4,4000 ,42426

2 3,9000 ,42426

31 3,8710 ,35326

tidak ada

PLH f ormal di SD

PLH f ormal di SMP

PLH f ormal di PT

Total

tidak ada

PLH f ormal di SD

PLH f ormal di SMP

PLH f ormal di PT

Total

tidak ada

PLH f ormal di SD

PLH f ormal di SMP

PLH f ormal di PT

Total

tidak ada

PLH f ormal di SD

PLH f ormal di SMP

PLH f ormal di PT

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Std. Dev iat ion

Lanjutan

Ranks

21 16,02

6 16,83

2 16,50

2 12,75

31

21 17,52

6 9,08

2 11,50

2 25,25

31

21 16,26

6 9,83

2 25,50

2 22,25

31

21 14,76

6 17,17

2 26,25

2 15,25

31

PLH Formal

tidak ada

PLH f ormal di SD

PLH f ormal di SMP

PLH f ormal di PT

Total

tidak ada

PLH f ormal di SD

PLH f ormal di SMP

PLH f ormal di PT

Total

tidak ada

PLH f ormal di SD

PLH f ormal di SMP

PLH f ormal di PT

Total

tidak ada

PLH f ormal di SD

PLH f ormal di SMP

PLH f ormal di PT

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Rank

Test Statisticsa,b

,324 6,625 5,917 3,120

3 3 3 3

,955 ,085 ,116 ,373

Chi-Square

df

Asy mp. Sig.

persepsi

lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3

Kruskal Wallis Testa.

Grouping Variable: PLH Formalb.

Lanjutan

Descriptives

13 3,2308 1,00346

7 3,0471 2,10432

3 3,0000 ,88255

2 1,8350 2,59508

6 2,5000 1,29598

31 2,9355 1,41581

13 3,4546 ,34626

7 3,2486 ,31429

3 3,0000 ,41037

2 3,2000 ,77782

6 3,5733 ,24663

31 3,3706 ,37373

13 4,1215 ,35725

7 4,4057 ,25488

3 3,9133 ,34034

2 4,1500 ,18385

6 4,7750 ,25344

31 4,2939 ,40193

13 3,9154 ,41402

7 3,7571 ,26367

3 3,7000 ,00000

2 3,7500 ,63640

6 4,0333 ,30768

31 3,8710 ,35326

tidak ada

seminar PLH

lokakarya/workshop PLH

pelatihan PLH

lainny a

Total

tidak ada

seminar PLH

lokakarya/workshop PLH

pelatihan PLH

lainny a

Total

tidak ada

seminar PLH

lokakarya/workshop PLH

pelatihan PLH

lainny a

Total

tidak ada

seminar PLH

lokakarya/workshop PLH

pelatihan PLH

lainny a

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Std. Dev iat ion

Lanjutan

Ranks

13 17,27

7 15,64

3 17,50

2 13,00

6 13,92

31

13 17,42

7 13,29

3 7,17

2 14,50

6 21,00

31

13 12,31

7 18,64

3 7,50

2 12,00

6 26,50

31

13 17,46

7 11,93

3 12,50

2 13,25

6 20,25

31

PLH Non Formal

tidak ada

seminar PLH

lokakarya/workshop PLH

pelatihan PLH

lainny a

Total

tidak ada

seminar PLH

lokakarya/workshop PLH

pelatihan PLH

lainny a

Total

tidak ada

seminar PLH

lokakarya/workshop PLH

pelatihan PLH

lainny a

Total

tidak ada

seminar PLH

lokakarya/workshop PLH

pelatihan PLH

lainny a

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Rank

Test Statisticsa,b

,913 5,645 13,771 3,771

4 4 4 4

,923 ,227 ,008 ,438

Chi-Square

df

Asy mp. Sig.

persepsi

lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3

Kruskal Wallis Testa.

Grouping Variable: PLH Non Formalb.

Lanjutan Descriptives

21 3,1271 1,44738

2 3,1650 1,18087

6 2,6117 1,30722

2 1,6650 1,88798

31 2,9355 1,41581

21 3,2814 ,39395

2 3,5600 ,01414

6 3,5617 ,31594

2 3,5450 ,26163

31 3,3706 ,37373

21 4,1590 ,37744

2 4,5700 ,42426

6 4,5817 ,30116

2 4,5700 ,42426

31 4,2939 ,40193

21 3,8762 ,39485

2 3,9500 ,49497

6 3,8167 ,23166

2 3,9000 ,28284

31 3,8710 ,35326

tidak ada

saka wana bakti

dan pecinta alam

pramuka

lainny a

Total

tidak ada

saka wana bakti

dan pecinta alam

pramuka

lainny a

Total

tidak ada

saka wana bakti

dan pecinta alam

pramuka

lainny a

Total

tidak ada

saka wana bakti

dan pecinta alam

pramuka

lainny a

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Std. Dev iat ion

Lanjutan

Ranks

21 16,60

2 18,00

6 15,33

2 9,75

31

21 13,76

2 21,75

6 20,58

2 20,00

31

21 13,00

2 21,25

6 23,00

2 21,25

31

21 16,26

2 17,25

6 14,33

2 17,00

31

Pengalaman Organisasi

tidak ada

saka wana bakti dan

pecinta alam

pramuka

lainny a

Total

tidak ada

saka wana bakti dan

pecinta alam

pramuka

lainny a

Total

tidak ada

saka wana bakti dan

pecinta alam

pramuka

lainny a

Total

tidak ada

saka wana bakti dan

pecinta alam

pramuka

lainny a

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Rank

Test Statisticsa,b

1,209 3,986 7,189 ,288

3 3 3 3

,751 ,263 ,066 ,962

Chi-Square

df

Asy mp. Sig.

persepsi

lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3

Kruskal Wallis Testa.

Grouping Variable: Pengalaman Organisasib.

Lanjutan

Descriptives

23 3,0435 1,37222

2 3,0000 ,00000

2 2,3300 2,82843

2 1,8350 2,59508

2 3,3350 ,47376

31 2,9355 1,41581

23 3,3252 ,35010

2 3,7550 ,27577

2 3,3450 ,02121

2 3,2000 ,77782

2 3,7050 ,43134

31 3,3706 ,37373

23 4,2209 ,39699

2 4,9300 ,00000

2 4,6350 ,33234

2 4,1500 ,18385

2 4,3000 ,16971

31 4,2939 ,40193

23 3,8870 ,36718

2 3,9000 ,42426

2 3,8500 ,35355

2 3,7500 ,63640

2 3,8000 ,14142

31 3,8710 ,35326

pengalaman positif

pengalaman negatif

pengalaman positif dan

negatif

tidak memberi jawaban

tidak jelas

Total

pengalaman positif

pengalaman negatif

pengalaman positif dan

negatif

tidak memberi jawaban

tidak jelas

Total

pengalaman positif

pengalaman negatif

pengalaman positif dan

negatif

tidak memberi jawaban

tidak jelas

Total

pengalaman positif

pengalaman negatif

pengalaman positif dan

negatif

tidak memberi jawaban

tidak jelas

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Std. Dev iat ion

Lanjutan

Ranks

23 15,85

2 16,50

2 15,75

2 13,00

2 20,50

31

23 14,85

2 26,00

2 13,50

2 14,50

2 23,25

31

23 14,50

2 30,50

2 23,25

2 12,00

2 15,50

31

23 16,54

2 15,25

2 13,75

2 13,25

2 15,50

31

Pengalaman interaksi

dengan alampengalaman positif

pengalaman negatif

pengalaman positif dan

negatif

tidak memberi jawaban

tidak jelas

Total

pengalaman positif

pengalaman negatif

pengalaman positif dan

negatif

tidak memberi jawaban

tidak jelas

Total

pengalaman positif

pengalaman negatif

pengalaman positif dan

negatif

tidak memberi jawaban

tidak jelas

Total

pengalaman positif

pengalaman negatif

pengalaman positif dan

negatif

tidak memberi jawaban

tidak jelas

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Rank

Test Statisticsa,b

,750 4,268 7,391 ,418

4 4 4 4

,945 ,371 ,117 ,981

Chi-Square

df

Asy mp. Sig.

persepsi

lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3

Kruskal Wallis Testa.

Grouping Variable: Pengalaman interaksi dengan alamb.

Lanjutan

Descriptives

13 3,1023 1,33630

3 2,7800 1,01799

9 2,6289 1,17145

6 3,1117 2,19953

31 2,9355 1,41581

13 3,3508 ,35203

3 3,7000 ,38432

9 3,4144 ,31389

6 3,1833 ,46068

31 3,3706 ,37373

13 4,2477 ,53090

3 4,3933 ,40067

9 4,3200 ,32909

6 4,3050 ,20608

31 4,2939 ,40193

13 3,8923 ,44057

3 3,9667 ,30551

9 3,9000 ,27839

6 3,7333 ,30111

31 3,8710 ,35326

2005-2010

seb 2005

tidak jelas

tidak jawab

Total

2005-2010

seb 2005

tidak jelas

tidak jawab

Total

2005-2010

seb 2005

tidak jelas

tidak jawab

Total

2005-2010

seb 2005

tidak jelas

tidak jawab

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Std. Dev iation

Lanjutan

Ranks

13 17,23

3 15,00

9 14,17

6 16,58

31

13 15,50

3 23,33

9 16,50

6 12,67

31

13 15,58

3 17,50

9 16,11

6 16,00

31

13 16,65

3 19,83

9 16,00

6 12,67

31

Waktu mendapatkanny a

2005-2010

seb 2005

tidak jelas

tidak jawab

Total

2005-2010

seb 2005

tidak jelas

tidak jawab

Total

2005-2010

seb 2005

tidak jelas

tidak jawab

Total

2005-2010

seb 2005

tidak jelas

tidak jawab

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Rank

Test Statisticsa,b

,691 2,826 ,111 1,442

3 3 3 3

,875 ,419 ,990 ,696

Chi-Square

df

Asy mp. Sig.

persepsi

lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3

Kruskal Wallis Testa.

Grouping Variable: Waktu mendapatkannyab.

Lampiran 4 Uji Mann-Whitney

Descriptives

14 2,5000 1,18300

17 3,2941 1,52276

31 2,9355 1,41581

14 3,4071 ,36793

17 3,3406 ,38700

31 3,3706 ,37373

14 4,3821 ,44061

17 4,2212 ,36431

31 4,2939 ,40193

14 3,9357 ,31527

17 3,8176 ,38281

31 3,8710 ,35326

Laki-Laki

Perempuan

Total

Laki-Laki

Perempuan

Total

Laki-Laki

Perempuan

Total

Laki-Laki

Perempuan

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Std. Deviation

Ranks

14 13,64 191,00

17 17,94 305,00

31

14 16,71 234,00

17 15,41 262,00

31

14 17,93 251,00

17 14,41 245,00

31

14 17,61 246,50

17 14,68 249,50

31

Jenis Kelamin

Laki-Laki

Perempuan

Total

Laki-Laki

Perempuan

Total

Laki-Laki

Perempuan

Total

Laki-Laki

Perempuan

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

86,000 109,000 92,000 96,500

191,000 262,000 245,000 249,500

-1,335 -,397 -1,073 -,904

,182 ,691 ,283 ,366

,200a

,710a

,297a

,377a

Mann-Whitney U

Wilcoxon W

Z

Asy mp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)]

persepsi

lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3

Not corrected f or ties.a.

Grouping Variable: Jenis Kelaminb.

Lanjutan

Descriptives

4 2,2500 1,50000

27 3,0370 1,40367

31 2,9355 1,41581

4 3,2650 ,58592

27 3,3863 ,34580

31 3,3706 ,37373

4 4,2200 ,44632

27 4,3048 ,40305

31 4,2939 ,40193

4 4,0750 ,20616

27 3,8407 ,36296

31 3,8710 ,35326

tidak pernah

pernah

Total

tidak pernah

pernah

Total

tidak pernah

pernah

Total

tidak pernah

pernah

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Std. Dev iat ion

Ranks

4 12,75 51,00

27 16,48 445,00

31

4 13,50 54,00

27 16,37 442,00

31

4 15,88 63,50

27 16,02 432,50

31

4 22,50 90,00

27 15,04 406,00

31

Pengalaman

Mengajar PLHtidak pernah

pernah

Total

tidak pernah

pernah

Total

tidak pernah

pernah

Total

tidak pernah

pernah

Total

persepsi lingkungan

Faktor1

Faktor2

Faktor3

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

41,000 44,000 53,500 28,000

51,000 54,000 63,500 406,000

-,781 -,589 -,029 -1,551

,435 ,556 ,976 ,121

,476a

,589a

,977a

,137a

Mann-Whitney U

Wilcoxon W

Z

Asy mp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)]

persepsi

lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3

Not corrected f or ties.a.

Grouping Variable: Pengalaman Mengajar PLHb.