persepsi guru dalam penerapan pendidikan lingkungan … filependidikan lingkungan hidup di sekolah...
TRANSCRIPT
PERSEPSI GURU
DALAM PENERAPAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP
DI SEKOLAH DASAR SEKITAR HUTAN
KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH KABUPATEN BOGOR
RESTI MEILANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Persepsi Guru dalam Penerapan
Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah Dasar Sekitar Hutan Kawasan Gunung
Salak Endah Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2011
Resti Meilani
NRP E051050131
ABSTRACT
RESTI MEILANI. The Perception of Teachers in relation to the Implementation
of Environmental Education at Elementary Schools of Forest Margin Area,
Gunung Salak Endah, Bogor Regency. Under direction of E.K.S. HARINI
MUNTASIB and SOERYO ADIWIBOWO.
This research aimed at identifying teacher’s perception of the environment,
teacher’s perception of Environmental Education (EE) implementation, and the
influencing factors. Data were collected through structured questionnaire, guided
interview, field observation, as well as archives and secondary documents. Factor
analysis, Spearman correlation, Kruskal-Wallis test, and Mann-Whitney test were
used to analyse the data. The results showed that, first, according to the result of
the Draw-An-Environment-Test (DAET), teachers from forest margin area have
limited environmental perception due to lack of capacity in expressing their
thoughts in drawings and writings. However, since writing and drawing are not
yet internalized as an important behavior in education, the DAET instrument
should be critically improved or revised to make it fits for developing countries
such as Indonesia. Second, according to the result of Factor Analysis, the
perception of teachers toward EE is constructed from three major factors, i.e. the
EE teaching effectiveness, its benefits, and outcome expectancy. The first factor –
the EE teaching effectiveness – is formed by four variables i.e. perceived
competence, self-efficacy, pressure/tension and perceived choice. Further
analysis shows that the teacher often views him or herself as having low
competence and self-efficacy due to the EE course experience and his/her
educational level. The second factor resulted from Factor Analysis – the EE
benefits – is formed by three variables, i.e. interest/enjoyment, efforts, and
usefulness of the EE course. The EE benefits itself, according to Kruskal-Wallis
test, are determine by EE training course received, level of grade taught and the
nature-based organizational experienced by the teachers. Third, in order to reach
effective EE teaching, the capacity, motivation, perceived competence and self-
efficacy of the teachers should be strengthen. This includes but not limited to the
mastery of environment-related subjects particularly forest conservation topics,
strengthen skills for outdoor teaching and increased compassion on the
environmental issues and/or forest related problems.
Keywords: teacher, perception, environmental education implementation,
elementary school, forest margin area, Gunung Salak Endah
RINGKASAN
RESTI MEILANI. Persepsi Guru dalam Penerapan Pendidikan Lingkungan
Hidup di Sekolah Dasar Sekitar Hutan Kawasan Gunung Salak Endah Kabupaten
Bogor. Dibimbing oleh E.K.S. HARINI MUNTASIB dan SOERYO
ADIWIBOWO.
Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dikembangkan sebagai salah satu
upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan, termasuk
permasalahan hutan, dengan mempersiapkan sumberdaya manusia (SDM) yang
memiliki kemampuan untuk mengelola dengan baik. PLH dapat diterapkan
melalui jalur pendidikan non formal di luar sekolah maupun jalur pendidikan
formal di sekolah. Sekolah di sekitar hutan memiliki potensi untuk
mempersiapkan SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta
dalam upaya konservasi hutan. Letak yang berdekatan dengan kawasan hutan
memungkinkan guru untuk membawa siswanya berinteraksi langsung dengan
hutan, memuaskan rasa ingin tahu siswa sekaligus memupuk motivasi belajar
siswa tentang hutan dan permasalahannya. Interaksi langsung dengan hutan akan
meningkatkan kepekaan siswa terhadap hutan dan meningkatkan motivasinya
untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan.
Anak usia sekolah dasar (SD) umumnya memiliki inisiatif, imajinasi, rasa
ingin tahu yang besar, serta semangat belajar dan motivasi mengerjakan tugas
yang tinggi, namun pada masa ini pula muncul perasaan rendah diri, tidak
produktif dan ketidakmampuan. Tahap perkembangan anak usia SD menjadikan
masa SD sebagai masa yang ideal dan penting untuk mempersiapkan SDM yang
memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta dalam upaya konservasi
hutan, dan guru SD memegang peran penting dalam mengembangkan potensi
positif anak dan menjaga agar anak tidak berkembang ke arah negatif.
Penerapan PLH di sekolah masih belum optimal, baik dari sisi ranah
pendidikan maupun praktek pengajaran yang digunakan oleh guru. Umumnya
guru merasa bahwa hambatan dalam melaksanakan PLH adalah keterbatasan
sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa persepsi guru tentang lingkungan/hutan dan PLH mempengaruhi
cara/praktek pengajaran dan peran serta guru dalam program-program PLH,
namun penelitian mengenai persepsi guru tentang lingkungan dan PLH khususnya
di sekolah sekitar hutan di Indonesia masih sangat terbatas. Persepsi guru SD di
sekitar hutan tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH perlu diketahui untuk
dapat menentukan upaya pengembangan profesionalitas yang dibutuhkan guru
agar dapat menerapkan PLH secara optimal. PLH yang optimal akan dapat
menghasilkan siswa yang memiliki motivasi tinggi untuk ikut serta dalam upaya
konservasi hutan.
Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi persepsi guru dalam
penerapan PLH di sekolah sekitar hutan, yang meliputi persepsi tentang
lingkungan, persepsi tentang penyelenggaraan PLH, dan faktor yang
mempengaruhi persepsi. Penelitian dilakukan pada 4 SD contoh di sekitar hutan
kawasan Gunung Salak Endah Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor. SD
dipilih dengan metode purposive sampling berdasarkan kriteria utama jarak
sekolah yang dekat dengan hutan (≤2 km). Responden guru berjumlah total 31
orang berasal dari SD contoh. Persepsi guru tentang lingkungan diukur
menggunakan Draw-An-Environment Test (DAET) dan dianalisis menggunakan
DAET Rubric (DAET-R) yang dikembangkan oleh Moseley dan Desjean-Perrotta
(2010). Persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH diukur berdasarkan motivasi
dan sikap guru terhadap PLH, menggunakan modifikasi skala Intrinsic Motivation
Inventory (IMI, dikembangkan oleh Ryan 1982) dan adaptasi Environmental
Education Efficacy Belief Instrument (EEEBI, dikembangkan oleh Sia 1992).
Data juga dikumpulkan melalui wawancara terpandu, wawancara tidak terstruktur,
pengamatan lapang, pengumpulan arsip dan dokumen, serta studi pustaka.
Analisis dilakukan menggunakan statistik deskriptif, analisis faktor untuk
merangkum kedelapan peubah motivasi dan sikap menjadi beberapa faktor/variate
baru, serta korelasi Spearman, uji Mann-Whitney, dan Uji Kruskal-Wallis untuk
mengetahui faktor yang mempengaruhi persepsi guru.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, berdasarkan hasil Draw-
An-Environment-Test (DAET), guru dari sekolah dasar sekitar hutan memiliki
persepsi lingkungan terbatas yang disebabkan oleh kurangnya kemampuan guru
untuk mengekspresikan/mengungkapkan pemikiran atau gagasan yang
dimilikinya dalam bentuk gambar dan tulisan. Hal ini dapat terjadi karena
instrumen DAET yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan di negara
maju yang masyarakatnya lebih terbiasa mengungkapkan pemikiran melalui
gambar dan tulisan, sedangkan penggunaan gambar dan tulisan untuk
mengungkapkan pemikiran masih belum membudaya sebagai perilaku yang
penting dalam pendidikan di Indonesia. Instrumen DAET perlu diperbaiki atau
dikembangkan lebih lanjut agar penggunaannya dapat sesuai dengan Negara
berkembang seperti Indonesia.
Kedua, hasil Analisis Faktor menunjukkan bahwa persepsi guru tentang
penyelenggaraan PLH dibangun dari tiga faktor utama, yaitu efektivitas
pengajaran PLH, manfaat PLH dan luaran pengajaran PLH yang diharapkan.
Faktor pertama – efektivitas pengajaran PLH – dibentuk dari empat peubah, yaitu
kompetensi, efektivitas-diri, beban/tekanan, dan pilihan. Analisis lebih lanjut
menunjukkan bahwa guru seringkali memandang dirinya memiliki kompetensi
dan efektivitas diri yang rendah dalam mengajar PLH yang dipengaruhi oleh PLH
formal dan tingkat pendidikan yang dimiliki guru. Faktor kedua yang dihasilkan
dari Analisis Faktor – manfaat PLH – dibentuk oleh tiga peubah, yaitu
minat/kesenangan, upaya/arti penting, dan nilai/manfaat PLH. Uji Kruskal-Wallis
menunjukkan bahwa faktor manfaat PLH ditentukan oleh PLH non formal yang
diterima oleh guru, tingkat kelas yang diajar, dan pengalaman yang dimiliki oleh
guru dalam organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam. Faktor ketiga –
luaran pengajaran PLH– terbentuk dari satu peubah, yaitu luaran pengajaran PLH
yang diharapkan oleh guru. Guru berpendapat bahwa pengajaran PLH yang
efektif dapat memberikan respon positif dari siswa (hasil belajar tinggi). Analisis
statistik lebih lanjut tidak menunjukkan ada nilai yang berbeda nyata, sehingga
faktor yang mempengaruhi persepsi guru tentang luaran pengajaran PLH tidak
dapat ditentukan.
Ketiga, guru membutuhkan peningkatan/penguatan kapasitas, motivasi,
kompetensi dan efektivitas diri melalui berbagai kegiatan PLH agar dapat
melakukan pengajaran PLH yang efektif. Kegiatan PLH bagi guru sebaiknya
tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan guru akan materi yang
berkaitan dengan lingkungan, khususnya hutan dan konservasinya, tetapi juga
sikap dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan upaya pengelolaan
lingkungan dan konservasi hutan, meningkatkan penguasaan guru akan metode
pengajaran di luar kelas, dan meningkatkan kepekaan guru terhadap
lingkungan/hutan dan permasalahannya.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar bagi IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERSEPSI GURU
DALAM PENERAPAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP
DI SEKOLAH DASAR SEKITAR HUTAN
KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH KABUPATEN BOGOR
RESTI MEILANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Tesis : Persepsi Guru dalam Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup
di Sekolah Dasar Sekitar Hutan Kawasan Gunung Salak Endah
Kabupaten Bogor
Nama : Resti Meilani
NRP : E051050131
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof.Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS Dr.Ir. Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 14 Desember 2010 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2010 ini adalah persepsi,
dengan judul Persepsi Guru dalam Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup di
Sekolah Dasar Sekitar Hutan Kawasan Gunung Salak Endah Kabupaten Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib,
MS dan Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS selaku pembimbing, serta Bapak
Ir. Nurwanto, MM selaku penguji luar komisi, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Imam
Wahyudi, MSi selaku pimpinan sidang pada ujian tesis yang telah banyak
memberi saran. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Kepala UPTK Dinas
Pendidikan Kecamatan Pamijahan serta Para Kepala Sekolah dan Guru dari SDN
Gunung Bunder 04, SDN Gunung Bunder 03, SDN Gunung Sari 01, dan SDN
Gunung Picung 06 yang telah meluangkan waktu untuk menerima penulis dalam
melaksanakan penelitian, Eva dan Tri yang telah memberikan semangat, dorongan
dan bantuan dalam penyelesaian tesis ini, serta adik-adik alumni dan mahasiswa
(Muthe, Arman, Wani, Panda, Jadda, Abay dan Robinson) yang telah membantu
selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami
(Ismail) dan anak-anak (Sanabel dan Yadzka) tercinta, serta seluruh keluarga, atas
segala pengertian, do’a, kasih sayang dan semangatnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2011
Resti Meilani
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 14 Mei 1977 sebagai anak
sulung dari tiga bersaudara, dari pasangan Syaeful Bathir dan Ika Kartika (Alm).
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas
Kehutanan IPB, lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2005, penulis diterima di
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Program Pascasarjana IPB dan
mendapatkan Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) dari Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Penulis telah mengabdi sebagai asisten pengajar di Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE) Fakultas Kehutanan IPB sejak tahun
2000. Penulis diangkat sebagai staf pengajar tetap di DKSHE Fakultas Kehutanan
IPB pada tahun 2005 dan sejak saat itu menjadi staf pengajar dari Bagian Rekreasi
Alam dan Ekowisata.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah .......................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 6
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)
2.1.1 Definisi, tujuan, Sasaran dan Perkembangan PLH ................... 7
2.1.2 Peran Guru dalam Penerapan PLH ........................................... 9
2.2 Persepsi Guru dalam Penerapan PLH
2.2.1 Definisi dan Proses Pembentukan Persepsi ............................... 10
2.2.2 Persepsi Guru tentang Lingkungan dan Pengukurannya ........... 11
2.2.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan
Pengukurannya ......................................................................... 13
3 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 23
3.2 Hipotesis ........................................................................................... 24
4 BAHAN DAN METODE
4.1 Lokasi dan Waktu ............................................................................ 25
4.2 Bahan dan Alat ................................................................................. 25
4.3 Definisi Operasional .......................................................................... 25
4.4 Metode Penelitian ............................................................................. 26
4.4.1 Pemilihan Sekolah Contoh ....................................................... 26
4.4.2 Pemilihan Responden Guru ...................................................... 27
4.4.3 Pengumpulan Data ................................................................... 27
4.4.4 Pengolahan Data ...................................................................... 30
4.4.5 Analisis Data ............................................................................ 33
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Guru ........................................ 35
5.1.1 Karakteristik Guru sebagai Faktor Individu yang
Mempengaruhi Persepsi ........................................................... 35
5.1.2 Faktor Obyek/Sasaran yang Mempengaruhi Persepsi Guru
tentang PLH ............................................................................. 43
5.1.3 Faktor Situasi ........................................................................... 46
5.2 Persepsi Guru mengenai Lingkungan................................................. 49
5.3 Persepsi Guru mengenai Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) ......... 54
5.3.1 Persepsi Guru berdasarkan Motivasi Mengajar PLH ................. 54
5.3.2 Persepsi Guru berdasarkan Sikap terhadap PLH ....................... 65
5.3.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan Faktor
yang Mempengaruhinya ........................................................... 73
5.4 Upaya untuk Peningkatan Persepsi Guru tentang PLH ....................... 77
6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan .......................................................................................... 85
6.2 Saran ................................................................................................. 86
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 89
LAMPIRAN .................................................................................................. 95
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jenis data dan metode pengumpulan data ................................................. 27
2 Persentase guru berdasarkan usia, jenis kelamin, dan pendidikan ............. 36
3 Pengalaman mengajar yang dimiliki guru pada sekolah contoh ................ 37
4 PLH formal dan non formal yang pernah didapat guru ............................. 40
5 Pengalaman guru dalam organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam 40
6 Pengalaman guru berinteraksi dengan alam .............................................. 41
7 Harapan guru berkaitan dengan kapasitas guru, sarana prasarana, dan
pelaksanaan PLH di sekolah ..................................................................... 42
8 Penggunaan metode dan media untuk pengajaran PLH oleh guru ............. 45
9 Kondisi umum sekolah contoh ................................................................. 47
10 Analisis terhadap gambar yang dibuat guru .............................................. 50
11 Analisis terhadap definisi lingkungan yang dibuat guru ............................ 51
12 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing
pernyataan dalam subskala interest/enjoyment .......................................... 54
13 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing
pernyataan dalam subskala perceived competence .................................... 56
14 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing
pernyataan dalam subskala effort/importance ........................................... 58
15 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing
pernyataan dalam subskala pressure/tension............................................. 59
16 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing
pernyataan dalam subskala perceived choice ............................................ 60
17 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing
pernyataan dalam subskala value/usefulness ............................................. 62
18 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing
pernyataan dalam subskala self-efficacy belief/
personal EE teaching efficacy (PETE) ..................................................... 67
19 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing
pernyataan dalam subskala outcome expectancy/
EE teaching outcome expectancy (ETOE) ................................................ 71
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Robbins 2003) .................... 10
2 Kontinum determinasi-diri (Deci dan Ryan 2001) .................................... 15
3 Konsepsi skematis sikap (Rosenberg dan Hovland 1960 diacu dalam
Triandis 1971) ......................................................................................... 18
4 Skema kerangka penelitian persepsi guru dalam penerapan
pendidikan lingkungan hidup di sekolah ................................................... 24
5 Kondisi sekolah contoh: (a) SDN Gunung Sari 01; (b) SDN Gunung
Bunder 03; (c) SDN Gunung Bunder 04; (d) SDN Gunung Picung 06 ...... 47
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Analisis Faktor ......................................................................................... 97
2 Analisis Nonparametrik (Nonparametric Correlations) ............................ 101
3 Uji Kruskal-Wallis ................................................................................... 102
4 Uji Mann-Whitney ................................................................................... 123
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemerosotan kondisi lingkungan telah menjadi sorotan dunia internasional
selama beberapa dekade terakhir. Isu-isu lingkungan seperti kepunahan berbagai
jenis keanekaragaman hayati, deforestasi, pencemaran lingkungan, penipisan ozon
dan perubahan iklim global, telah mendorong berbagai pihak untuk melakukan
upaya-upaya perbaikan. Pendidikan merupakan sarana untuk mempersiapkan
sumberdaya manusia berkualitas yang akan mengelola lingkungannya. Undang-
undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menguraikan
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
manusia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dikembangkan sebagai salah satu
upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan dengan
mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan dan
motivasi untuk mengelola lingkungan dengan baik. Perkembangan PLH mulai
didorong sejak diselenggarakannya konferensi PBB mengenai lingkungan
manusia di Stockholm, Swedia yang merekomendasikan dibangunnya suatu
program PLH internasional (Brauss dan Wood 1994). Lokakarya internasional
diadakan pada tahun 1975di Belgrade, Yugoslavia untuk merumuskan definisi dan
tujuan PLH yang dituangkan dalam Belgrade Charter (Brauss dan Wood 1994;
Kementerian Lingkungan Hidup 2004).
Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) pada dasarnya ditujukan untuk
mendorong terjadinya perubahan perilaku masyarakat menjadi perilaku yang lebih
ramah lingkungan sehingga dapat meminimalkan dampak kegiatan manusia yang
merugikan lingkungan (McKeown dan Hopkins 2005 diacu dalam Darner 2009).
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KLH 2004) dalam
kebijakannya mendefinisikan PLH sebagai upaya mengubah perilaku dan sikap
yang dilakukan oleh berbagai pihak atau elemen masyarakat yang bertujuan untuk
2
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk
berperan aktif dalam upaya pelestarian dan keselamatan lingkungan untuk
kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.
KLH (2004) juga menyebutkan bahwa PLH dapat disampaikan kepada
masyarakat melalui jalur pendidikan nonformal dan informal di luar sekolah, serta
jalur pendidikan formal di sekolah. Zelezny (1999) diacu dalam Darner (2009)
menyatakan bahwa PLH melalui jalur pendidikan formal di sekolah secara umum
lebih efektif dibandingkan PLH melalui jalur pendidikan informal. Sekolah
memiliki potensi yang besar untuk dapat membentuk SDM yang berkualitas
dalam melakukan pengelolaan lingkungan.
Sekolah di sekitar hutan memiliki potensi untuk mempersiapkan SDM yang
memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta dalam upaya konservasi
hutan. Letak sekolah yang berdekatan dengan kawasan hutan memungkinkan
guru untuk membawa siswanya berinteraksi langsung dengan hutan. Interaksi
langsung dengan hutan akan memuaskan rasa ingin tahu siswa tentang hutan,
meningkatkan kepekaan siswa terhadap hutan, sekaligus memupuk motivasi
belajar siswa tentang hutan dan permasalahannya dan meningkatkan motivasinya
untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan.
Peran strategis sekolah dalam membentuk SDM yang memiliki kemampuan
dan motivasi untuk melakukan upaya konservasi dapat dipenuhi dengan
pengembangan PLH yang lebih ditekankan pada program Pendidikan Konservasi.
Program Pendidikan Konservasi yang dikembangkan sebaiknya memuat berbagai
materi berkaitan dengan konservasi hutan dalam ketiga ranah pendidikan, yaitu
kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) maupun psikomotorik (keterampilan).
Teori perkembangan rentang hidup yang dikembangkan oleh Erikson
menyebutkan bahwa anak usia sekolah dasar (SD) memiliki inisiatif, imajinasi,
rasa ingin tahu yang besar, serta semangat belajar dan motivasi mengerjakan tugas
yang tinggi, namun pada masa ini pula muncul perasaan rendah diri, tidak
produktif dan ketidakmampuan (Santrock 2008). Potensi yang dimiliki anak usia
SD menyebabkan masa SD merupakan masa yang ideal dan penting untuk
mempersiapkan SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta
dalam upaya konservasi hutan, dan guru SD memegang peran penting dalam
3
mengembangkan potensi positif anak/siswa dan menjaga agar anak/siswa tidak
berkembang ke arah negatif.
Muntasib et al. (2009) menguraikan bahwa ada lima faktor kunci dalam
model pendidikan hutan dan lingkungan (PHL) di sekolah (pendidikan hutan dan
lingkungan merupakan bagian dari PLH yang dikembangkan oleh Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan materi pembelajaran yang lebih
difokuskan pada hutan), yaitu kepala sekolah, guru, siswa, orangtua dan sarana
pendidikan. Meskipun paradigma pendidikan telah mengalami pergeseran dari
pendidikan yang berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa, namun tidak
dapat dipungkiri bahwa guru masih memegang peranan yang sangat penting
dalam dunia pendidikan. Guru merupakan pribadi yang menjadi model dan
teladan bagi para siswanya. Siagian (2004) menyatakan bahwa peran guru
terhadap sikap seorang anak merupakan pengaruh yang paling kuat, karena masa
sekolah merupakan masa peletakan dasar bagi pengembangan kepribadian, nilai,
dan sikap seseorang yang akan dianut sepanjang hidupnya. Guru sebagai
motivator, inisiator, dinaminator, fasilitator serta transformator pengetahuan,
keterampilan dan sikap peserta didik merupakan salah satu unsur penting yang
menentukan berhasil-tidaknya penyelenggaraan program pendidikan, termasuk
PLH, sehingga wawasan dan kesiapan guru perlu mendapat perhatian (Muntasib
2002).
KLH (2004) mengidentifikasi berbagai faktor yang menjadi permasalahan
dalam pelaksanaan PLH di Indonesia terkait dengan pelaku pendidikan (guru),
antara lain kurangnya pemahaman para pelaku pendidikan mengenai PLH,
kurangnya komitmen pelaku pendidikan dalam memberikan PLH, penggunaan
materi dan metode yang kurang memadai, serta sarana dan prasarana yang kurang
memadai yang menjadi faktor penghambat motivasi dalam pelaksanaan
pendidikan lingkungan hidup. Keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan
memang dirasakan oleh guru sebagai masalah yang menjadi faktor penghambat
dalam pelaksanaan PLH di sekolah. Namun penelitian Muntasib et al. (2009)
menunjukkan bahwa faktor sarana dan prasarana tampaknya tidak menjadi
penghambat bagi guru di SDN Gunung Bunder 04 dengan kondisi fisik dan
ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang minim dibandingkan sekolah
4
contoh lainnya, yang ditunjukkan oleh metode pengajaran yang digunakan guru
dan respon siswa yang lebih baik. Lebih lanjut Muntasib et al. (2009)
menyatakan bahwa guru dengan persepsi dan motivasi yang baik terhadap
pendidikan hutan dan lingkungan (sebagai bagian dari PLH yang dikembangkan
oleh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor), serta memiliki penguasaan
terhadap materi dan keterampilan mengajar yang memadai, akan dapat
menyampaikan materi dengan baik kepada siswa.
Keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan semestinya tidak menjadi
penghambat bagi guru dalam melaksanakan PLH di sekolah. Persepsi guru
tentang penyelenggaraan PLH yang lebih berperan dalam mempengaruhi praktek
pengajaran PLH oleh guru kepada siswa dan pada akhirnya mempengaruhi respon
siswa. Guru juga meneruskan persepsi mereka kepada siswanya di sekolah,
sehingga persepsi/pemahaman guru mengenai lingkungan menjadi hal yang
penting untuk diidentifikasi (Desjean-Perotta et al. 2008). Persepsi guru tentang
lingkungan akan diteruskan kepada siswanya, sedangkan persepsi guru tentang
penyelenggaraan PLH akan mempengaruhi praktek pengajaran PLH oleh guru
kepada siswa, sehingga akan diteliti mengenai persepsi guru tentang lingkungan
dan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH.
1.2 Perumusan Masalah
Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) pada dasarnya bertujuan untuk
merubah perilaku individu menjadi perilaku yang positif terhadap lingkungan
(perilaku ramah lingkungan). Kenyataannya upaya pelaksanaan PLH di sekolah-
sekolah secara umum baru sampai pada tahap peningkatan pengetahuan, belum
mampu mendorong terjadinya perubahan perilaku siswa menjadi lebih ramah
lingkungan.
Para guru umumnya merasa bahwa keterbatasan sarana dan prasarana,
seperti fasilitas pendidikan dan buku sumber/ajar mengenai PLH, menjadi faktor
yang menghambat pelaksanaan PLH di sekolah, sehingga pelaksanaan PLH di
sekolah menjadi terbatas pada materi yang ada pada mata ajaran inti. Metode
yang digunakan oleh guru juga masih terbatas pada metode ceramah dan diskusi.
Namun demikian penelitian yang dilakukan oleh Muntasib et al. (2009)
menunjukkan bahwa pada sekolah-sekolah, ada guru yang dapat melaksanakan
5
PLH dengan baik dalam kondisi sekolah yang serba terbatas, yang telah
menggunakan berbagai metode dan media untuk mengajarkan PLH kepada
siswanya, melalui kegiatan observasi lapang dengan interaksi yang intensif
dengan alam sekitar, serta menuangkannya dalam nyanyian tentang alam tersebut.
Perbedaan praktek pengajaran guru tersebut menunjukkan adanya pengaruh suatu
faktor dalam diri guru.
Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya pengaruh persepsi guru
tentang praktek pengajaran dan peran serta guru dalam kegiatan pengajaran.
Smith-Sebasto (2007) menunjukkan bahwa peran serta guru dalam program PLH
residensial, yaitu program PLH menginap yang memberikan kesempatan kepada
peserta untuk berinteraksi dengan alam, dipengaruhi oleh persepsi guru bahwa
program PLH residensial tersebut memberikan pengaruh positif bagi siswanya.
Hardre dan Sullivan (2008) telah merangkum dari berbagai penelitian bahwa
perbedaan individu dan persepsi guru dapat mempengaruhi cara guru mengajar
dan memotivasi siswa sehingga mempengaruhi respon siswa. Desjean-Perrotta et
al. (2008) menyatakan bahwa konsepsi yang dimiliki oleh calon guru mengenai
lingkungan akan mempengaruhi pengajarannya mengenai lingkungan.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa praktek dan peran serta guru dalam
pengajaran PLH di sekolah dipengaruhi oleh persepsi guru tentang lingkungan
dan penyelenggaraan PLH.
Kondisi tersebut menimbulkan pemikiran bahwa pelaksanaan/penerapan
PLH di sekolah saat ini masih belum dapat mendorong timbulnya perilaku ramah
lingkungan pada siswa karena sebetulnya guru belum memiliki persepsi yang
baik/tinggi tentang lingkungan maupun penyelenggaraan PLH, bukan semata-
mata karena keterbatasan sarana prasarana seperti yang selama ini banyak
dijadikan alasan. Penelitian mengenai persepsi guru tentang lingkungan dan
penyelenggaraan PLH masih sangat terbatas, terutama pada sekolah-sekolah dasar
yang terletak di sekitar hutan. Pertanyaan tentang bagaimana sesungguhnya
persepsi guru tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH masih belum
terjawab, sedangkan upaya penerapan PLH di sekolah tentunya perlu
dioptimalkan agar dapat membentuk generasi penerus berkualitas, yang memiliki
kesadaran, pengetahuan, sikap dan keterampilan memadai untuk mengelola
6
lingkungan dan melakukan upaya konservasi hutan, serta memiliki motivasi dan
peran serta dalam pengelolaan lingkungan dan konservasi hutan.
Persepsi guru SD di sekitar hutan tentang lingkungan dan penyelenggaraan
PLH perlu diketahui untuk dapat menentukan upaya pengembangan
profesionalitas yang dibutuhkan guru agar dapat menerapkan PLH secara optimal,
sehingga dapat menghasilkan siswa yang memiliki motivasi tinggi untuk ikut serta
dalam upaya konservasi hutan. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi
persepsi guru dalam penerapan PLH di sekolah dasar sekitar hutan sebagai salah
satu upaya awal untuk mengoptimalkan penyelenggaraan PLH di Indonesia dan
mempersiapkan SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta
dalam upaya konservasi hutan.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi persepsi guru sekolah dasar
di sekitar hutan kawasan Gunung Salak Endah Kabupaten Bogor dalam penerapan
Pendidikan Lingkungan Hidup. Secara rinci penelitian ini dilakukan untuk:
1. Mengidentifikasi faktor obyek/sasaran, situasi dan individu yang
mempengaruhi persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH,
2. Mengidentifikasi persepsi guru tentang lingkungan,
3. Mengidentifikasi persepsi guru tentang penerapan/penyelenggaraan PLH.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian akan dapat memberikan masukan dalam membangun
persepsi guru tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH untuk
penyempurnaan penerapan/penyelenggaraan PLH di sekolah, sehingga dapat
membentuk SDM yang tidak hanya memiliki kemampuan, namun juga motivasi
untuk ikut serta dalam penyelesaian berbagai permasalahan lingkungan,
khususnya upaya konservasi hutan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)
2.1.1 Definisi, Tujuan, Sasaran dan Perkembangan PLH
Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) berawal dari dua program pendidikan
yang lebih banyak dilakukan di alam dengan tujuan untuk latihan, pengamatan
dan kegiatan pendidikan yang berkaitan dengan kesenangan (Ford 1981). PLH
didefinisikan sebagai suatu proses untuk membangun/mengembangkan populasi
dunia yang sadar dan memiliki keprihatinan akan lingkungan secara keseluruhan
beserta permasalahan terkait, dan yang memiliki pengetahuan, keterampilan,
sikap, motivasi dan komitmen untuk bekerja secara individu dan bersama dalam
memecahkan permasalahan yang ada dan mencegah timbulnya permasalahan baru
(UNESCO 1978 diacu dalam Monroe, Day dan Grieser 2000; Braus dan Wood
1994).
Rekomendasi No. 1 dari Konferensi Antar-Pemerintah mengenai PLH yang
diadakan di Tbilisi, USSR, pada Oktober 1977 (UNESCO 1980 diacu dalam
Biswas dan Biswas 1982) menyatakan bahwa tujuan dasar PLH adalah
keberhasilan dalam membuat individu dan masyarakat memahami sifat alamiah
lingkungan alam dan buatan yang kompleks yang dihasilkan dari interaksi aspek-
aspek biologis, fisik, sosial, ekonomi dan budaya, dan agar individu dan
masyarakat tersebut mendapatkan pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan
praktis untuk berperan serta secara bertanggungjawab dan efektif dalam
mengantisipasi dan memecahkan masalah-masalah sosial dan mengelola kualitas
lingkungan. PLH pada dasarnya ditujukan untuk membekali masyarakat dengan
kemampuan yang dibutuhkan agar masyarakat dapat mengelola lingkungan
hidupnya secara berkelanjutan.
Ada lima sasaran PLH yang diidentifikasi dalam Konferensi Antar-
pemerintah Persatuan Bangsa-Bangsa mengenai PLH (Unesco 1978 diacu dalam
Monroe, Day, dan Grieser 2000 dan Brauss dan Wood 1994), yaitu:
1. Kesadaran – membantu peserta didik untuk mendapatkan kesadaran dan
kepekaan terhadap lingkungan secara keseluruhan dan permasalahan terkait.
8
2. Pengetahuan – untuk mendapatkan beragam pengalaman dan pemahaman
mendasar mengenai lingkungan dan permasalahan terkait.
3. Sikap – untuk mendapatkan serangkaian nilai dan rasa keprihatinan akan
lingkungan dan motivasi untuk berperan secara aktif dalam pengembangan
dan perlindungan lingkungan.
4. Keterampilan – untuk mendapatkan keterampilan dalam mengidentifikasi dan
memecahkan permasalahan lingkungan.
5. Partisipasi – untuk mendorong warga masyarakat agar terlibat aktif pada
semua level dalam mencari resolusi permasalahan lingkungan.
Perkembangan PLH di Indonesia tidak terlepas dari Konferensi PBB tentang
lingkungan hidup sedunia yang dikenal dengan Konferensi Stockholm, Juni 1972
(Pokja PKSDHL 1998). Pokja PKSDHL (1998) menguraikan bahwa berbagai
usaha telah dilakukan sebagai perwujudan komitmen Indonesia terhadap deklarasi
Stockholm, antara lain pengembangan Lembaga Ekologi oleh Universitas
Padjajaran Bandung, berbagai kebijakan pemerintah, penyusunan Garis-garis
Besar Program Pengajaran Pendidikan Lingkungan Hidup. Dalam
perkembangannya PLH terwujud dalam berbagai bentuk, seperti Pendidikan
Hutan dan Lingkungan (PHL), Pendidikan Konservasi (PK), Pendidikan
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH), serta Pendidikan untuk
Pembangunan Berkelanjutan (PuPB).
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2004 menerbitkan
Kebijakan PLH yang menguraikan bahwa PLH dapat dilaksanakan melalui jalur
pendidikan formal, non-formal maupun informal. Zelezny (1999) diacu dalam
Darner (2009) menyatakan bahwa umumnya PLH formal lebih efektif daripada
PLH informal. PLH formal adalah kegiatan pendidikan di bidang lingkungan
hidup yang diselenggarakan melalui sekolah, terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dan dilakukan secara terstruktur dan
berjenjang dengan metode pendekatan kurikulum yang terintegrasi maupun
kurikulum yang monolitik/tersendiri (KLH 2004). Pada tahun 2007 Gubernur
Jawa Barat telah menerbitkan kebijakan yang mendorong pelaksanaan PLH
formal di sekolah secara lebih intensif, sehingga semakin meningkatkan peran
guru dalam penerapan PLH di sekolah.
9
2.1.2 Peran Guru dalam Penerapan PLH
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menempatkan
guru sebagai pendidik, yaitu tenaga professional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pasal 40 ayat (2) UU
Sisdiknas tersebut menguraikan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan
berkewajiban untuk (a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna,
menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis, (b) mempunyai komitmen
secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan (c) memberi
teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan
kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Guru adalah orang yang menterjemahkan filosofi dan tujuan pendidikan
menjadi pengetahuan dan keterampilan dan mentransfernya kepada siswa
(Ofoegbu 2004). Muntasib (2002) menyebutkan bahwa guru sebagai motivator,
inisiator, dinaminator, fasilitator serta transformator pengetahuan, keterampilan
dan sikap peserta didik merupakan salah satu unsur penting yang menentukan
berhasil-tidaknya penyelenggaraan program pendidikan, termasuk PLH, sehingga
wawasan dan kesiapan guru perlu mendapat perhatian.
Guru memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk sikap anak
(sebagai siswanya), karena masa sekolah merupakan masa peletakkan dasar-dasar
yang kuat bagi pengembangan kepribadian, nilai dan sikap seseorang (Siagian
2004). Muntasib et al. (2009) menyatakan bahwa guru merupakan salah satu
faktor kunci dalam penerapan PLH melalui jalur formal di sekolah (Muntasib et
al. 2009). Kurangnya tenaga guru yang terlatih merupakan salah satu hal yang
menghambat pelaksanaan PLH di sekolah pada Negara-negara Asia Pasifik
(Nirarita 2003), sedangkan pelaksanaan PLH di sekolah sangat dipengaruhi oleh
keterampilan dan komitmen guru serta dukungan yang didapat guru dari kepala
sekolah dan sesama rekan guru. Sedemikian besar peran guru dalam penerapan
PLH di sekolah sehingga guru perlu mendapatkan perhatian besar, terutama dalam
hal peningkatan kemampuan guru untuk menerapkan PLH.
10
2.2 Persepsi Guru dalam Penerapan PLH
2.2.1 Definisi dan Proses Pembentukan Persepsi
Persepsi berhubungan dengan pendapat dan penilaian individu terhadap
suatu stimulus, baik berupa benda, isyarat, informasi maupun situasi dan kondisi
tertentu, yang akan berakibat terhadap motivasi, kemauan, dan perasaan individu
terhadap stimulus tersebut (Langevelt 1966 diacu dalam Harihanto 2001).
Persepsi dapat dipahami dengan melihatnya sebagai suatu proses aktif yang
dilakukan seseorang untuk memberikan makna tertentu kepada lingkungannya
(manusia, obyek, peristiwa, situasi dan fenomena-fenomena lainnya) dengan
memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan lingkungan tersebut
(Robbins 2003; Siagian 2004; Robbins 2005; Wood 2007). Proses aktif tersebut
terdiri dari tiga proses yang kontinyu dan saling berpadu, yaitu seleksi/pemilihan,
pengorganisasian, dan interpretasi stimulasi terhadap sensori/indera sehingga
menjadi suatu gambaran dunia yang bermakna dan koheren (Berelson dan Steiner
1964 diacu dalam Severin dan Tankard 1979; Wood 2007).
Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Robbins 2003).
Faktor Situasi:
Waktu
Suasana/Kondisi kerja
Kondisi Sosial
Faktor Individu:
Sikap
Motif
Minat/keinginan
Pengalaman
Harapan
Persepsi
Faktor Obyek/Sasaran:
Kebaharuan/Novelty
Pergerakan
Suara
Ukuran
Latarbelakang
Kedekatan
Kemiripan
11
Persepsi (kognisi/pandangan) terbentuk saat seseorang melihat obyek yang
terorganisasi dan mengenalinya sebagai obyek yang bermakna, memilih obyek,
dan memilih karakteristik obyek yang sesuai dengan konsepsinya mengenai dunia
(Krech et al. 1965). Severin dan Tankard (1979) menyatakan bahwa persepsi
dipengaruhi sejumlah faktor psikologis yang meliputi asumsi-asumsi berdasarkan
pengalaman masa lalu (yang seringkali bekerja pada suatu tingkatan yang hampir
tidak disadari), harapan-harapan budaya, motivasi (kebutuhan), mood/suasana hati,
dan sikap. Robbins (2003, 2005) dan Siagian (2004) menguraikan bahwa persepsi
dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang terkait dengan karakteristik individu,
obyek atau sasaran, dan situasi (Gambar 1). Wood (2007) menjelaskan bahwa
individu-individu berbeda dalam menangkap suatu situasi dan orang, dan
perbedaan tersebut antara lain dipengaruhi oleh faktor fisiologis (kemampuan alat
indera dan kondisi fisiologis), umur (dan pengalaman), budaya, peran dalam
masyarakat (pengaruh sosial), kemampuan kognitif, dan kepribadian individu.
Dengan demikian, semua persepsi selalu parsial dan subyektif; parsial karena
individu tidak mampu menangkap semua hal, dan subyektif karena persepsi
dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut.
Guru membawa dua persepsi dalam dirinya di dalam penerapan PLH di
sekolah, yaitu persepsi guru tentang lingkungan dan persepsi guru tentang
penyelenggaraan PLH sebagai sebuah program pengajaran. Persepsi guru tentang
lingkungan akan diteruskan kepada siswanya, sedangkan persepsi guru tentang
penyelenggaraan PLH sebagai sebuah program pengajaran akan mempengaruhi
guru dalam memilih metode dan media untuk menyampaikan materi kepada
siswa, yang selanjutnya akan mempengaruhi hasil belajar siswa.
2.2.2 Persepsi Guru tentang Lingkungan dan Pengukurannya
Ilmu lingkungan mengenal konsep “persepsi mengenai lingkungan
(environmental perception)”, yang didefinisikan sebagai cerminan penglihatan,
kekaguman, kepuasan, serta harapan individu terhadap lingkungan (Edmund dan
Letey 1973 diacu dalam Harihanto 2001). Haryadi dan Setiawan (1995) diacu
dalam Harihanto (2001) menguraikan persepsi tentang lingkungan adalah
interpretasi tentang suatu seting (lingkungan) oleh individu, yang didasarkan pada
latar belakang budaya, nalar dan pengalaman, sehingga setiap individu dapat
12
memiliki persepsi lingkungan yang berbeda meskipun dimungkinkan beberapa
kelompok individu mempunyai kecenderungan persepsi lingkungan yang sama
atau mirip. Persepsi tentang lingkungan juga diuraikan sebagai model mental atau
gambaran yang dimiliki oleh seseorang mengenai lingkungan yang digunakannya
untuk memberikan makna bagi peristiwa yang terjadi di sekitarnya (Moseley dan
Desjean-Perrotta 2010).
Persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya.
Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar tentang lingkungan, kemungkinan
besar orang tersebut berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian
lingkungan (Surata 1993 diacu dalam Muntasib 2002). Hal tersebut dapat
dijelaskan dengan pernyataan Heathcote (1980) bahwa persepsi tentang lingkungan
tidak hanya mencerminkan skala peristiwa dan hubungan individu dengan peristiwa
tersebut, namun juga mencerminkan beragam motif yang tersirat dalam sikap
individu terhadap lingkungan. Siagian (2004) juga menyatakan bahwa persepsi
seseorang mengenai lingkungan akan sangat berpengaruh pada perilakunya dan
akan menentukan faktor-faktor apa yang dipandang sebagai faktor motivasional
yang kuat. Edmund & Letey (1973) diacu dalam Muntasib (2002) menyampaikan
bahwa salah satu sebab timbulnya masalah lingkungan adalah kegagalan untuk
memiliki persepsi-persepsi yang benar tentang lingkungan sebagai suatu
keseluruhan dan untuk memahami serta menerima ketergantungan dasar dalam
sistem ekologi termasuk manusia. Asngari (1984) diacu dalam Harihanto (2001)
mengatakan bahwa persepsi individu terhadap lingkungannya merupakan faktor
penting, karena akan berlanjut dalam menentukan tindakan individu tersebut.
Guru meneruskan persepsi mereka kepada siswanya di sekolah, sehingga
pemahaman guru mengenai lingkungan menjadi hal yang penting untuk
diidentifikasi (Desjean-Perotta et al. 2008). Potensi terjadinya kesalahpahaman
dan pembentukan konsepsi yang salah mengenai lingkungan pada siswa akan
dapat diidentifikasi dengan memahami persepsi guru tentang lingkungan. Guru
yang memiliki persepsi yang benar/positif mengenai lingkungan kemungkinan
besar akan berperilaku positif terhadap lingkungan, yaitu perilaku yang ramah
lingkungan. Perilaku yang positif/ramah lingkungan ini akan dapat menjadi
teladan/contoh yang baik dan tepat bagi siswa. Keteladanan dari guru merupakan
13
salah satu cara yang baik dalam mengajarkan PLH kepada siswa, karena belajar
PLH juga belajar melalui keteladanan.
Penelitian ini menggali persepsi guru tentang lingkungan yang dibatasi pada
gambaran mental yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan. Persepsi guru
tentang lingkungan tersebut digali dengan menggunakan metode survey Draw-An-
Environment Test (DAET) yang terdiri dari dua bagian, yaitu (1) guru diminta
untuk membuat gambar lingkungan, dan (2) guru diminta menuliskan definisi
mereka mengenai lingkungan dengan melengkapi sebuah kalimat terbuka
(Desjean-Perrotta et al. 2008; Moseley dan Desjean-Perrotta 2010). Tulisan
merupakan refleksi/cerminan dari persepsi dan pengetahuan guru mengenai
lingkungan (Desjean-Perrotta et al. 2008) sedangkan gambar merupakan
representasi atau gambaran model mental atau citra seseorang sebagai salah satu
cara untuk menganalisa kepercayaan pribadi (Thomas, Pederson dan Finson 2001
diacu dalam Moseley dan Desjean-Perrotta 2010) guru terhadap lingkungan.
Penilaian DAET didasarkan pada konsep mengenai lingkungan dalam NAAEE
Guidelines, yaitu interdependensi, pendekatan sistem dan interaksi empat faktor
pembentuk lingkungan, yaitu: manusia, organisme hidup/biotik lainnya,
lingkungan fisik/abiotik dan lingkungan buatan (Desjean-Perrotta et al. 2008;
Moseley dan Desjean-Perrotta 2010).
2.2.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan Pengukurannya
Perbedaan individu dan persepsi guru dapat mempengaruhi cara guru
mengajar dan memotivasi siswa (Brophy dan Good 1974; Skinner dan Belmont
1993; diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Motivasi yang terbentuk pada
siswa selanjutnya akan mempengaruhi luaran-luaran penting terkait sekolah,
seperti misalnya perhatian, upaya, tujuan, kualitas kerja, perilaku, kesejahteraan,
skor ujian, peringkat, dan penyelesaian sekolah (Hidi dan Harackiewicz 2000;
Linnenbrink dan Pintrich 2002a; Pintrich 2003; Reeve 1996; diacu dalam Hardre
dan Sullivan 2008).
Perbedaan individu guru (seperti umur, gender, pengalaman mengajar) dan
perbedaan kontekstual guru (seperti mata ajaran dan tingkat kelas yang diajar)
dapat mempengaruhi praktek pengajaran guru (Hardre dan Sullivan 2008). Umur
dan gender telah terbukti relevan terhadap seberapa dekat guru mendukung dan
14
menjalin hubungan interpersonal dengan siswanya (Jacobs et al. 1998 diacu dalam
Hardre dan Sullivan 2008). Pengalaman mengajar terkait dengan fleksibilitas dan
kepercayaan diri guru, yang mempengaruhi praktek kelas (Bransford, Brown, dan
Cocking 1999 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Mata ajaran dan tingkat
kelas yang diajarkan dapat mempengaruhi upaya dan investasi guru, karena guru
dapat mengajar mata ajaran dan siswa dengan kisaran yang sempit ataupun lebar
(Lemke 1994 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008).
Penelitian mengenai persepsi guru tentang program PLH residensial (yaitu
program PLH menginap yang memberikan kesempatan kepada pesertanya untuk
berinteraksi dengan alam) di New Jersey School of Conservation mengungkapkan
bahwa para guru merasa bahwa pendidikan lingkungan seharusnya dimasukkan
dalam persiapan akademik para siswanya karena memiliki pengaruh positif, dan
para guru yang terlibat langsung memandang program PLH residensial tersebut
sebagai suatu tuntutan pekerjaan (Smith-Sebasto 2007). Simmons (1988) diacu
dalam Smith-Sebasto (2007) menyatakan bahwa para guru ikut serta dalam program
PLH residensial karena memiliki persepsi bahwa program tersebut memberikan
pengaruh positif bagi siswanya; karena percaya bahwa program tersebut
memberikan siswa kesempatan pertumbuhan personal dan sosial serta memberi
kesempatan untuk lebih mempelajari lingkungan dan diri mereka sendiri; para siswa
menikmati keberadaan mereka di alam dan menikmati pengalaman itu sendiri.
Schartner (2000) diacu dalam Smith-Sebasto (2007) mengungkapkan bahwa para
guru mengikuti program PLH residensial karena merasa bahwa mereka diharapkan
untuk mengikuti program tersebut jika mengajar pada tingkat kelas tertentu, yang
berdasarkan keputusan administratif atau lingkup sekolah, sesuai untuk
mendapatkan pengalaman di alam.
Penelitian Muntasib et.al. (2009) yang dilaksanakan di 2 Sekolah Dasar (SD)
contoh (SDN Gunung Bunder 04 dan SDN Gunung Picung 05) dan 1 Sekolah
Menengah Pertama (SMPN I Pamijahan) di Kabupaten Bogor, serta 2 SD (SDN
Lembur Sawah 03 dan SDN Bojongwaru) di Kabupaten Sukabumi menunjukkan
bahwa persepsi guru dari SDN Gunung Bunder Kabupaten Bogor yang memandang
PLH/PHL bukan hanya sebagai beban tugas namun juga sebagai sesuatu hal yang
penting dan bernilai positif bagi siswanya serta motivasi yang baik dari guru di
15
SDN tersebut untuk menerapkan PLH/PHL di sekolahnya telah memberikan hasil
pengetahuan dan pemahaman siswa yang relatif lebih luas dibandingkan empat
sekolah contoh lainnya. Dengan demikian, persepsi guru tentang penyelenggaraan
PLH akan mempengaruhi peran serta guru dalam kegiatan PLH dan cara guru
mengajarkan PLH kepada siswanya, dan pada akhirnya mempengaruhi respon
siswa. Artinya bahwa persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH merupakan hal
yang penting untuk diidentifikasi sebagai langkah awal untuk mencapai efektivitas
pengajaran PLH.
Robbins (2003) menguraikan bahwa motif/motivasi dan sikap merupakan
bagian dari faktor individu yang mempengaruhi terbentuknya persepsi. Dengan
demikian, persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH dapat diidentifikasi
berdasarkan motivasi guru dalam mengajar PLH dan sikap guru terhadap PLH.
Motivasi guru dalam mengajar PLH
Motivasi guru secara alamiah berkaitan dengan sikap guru terhadap
pekerjaannya, yaitu hasrat/keinginan untuk berperan serta dalam proses-proses
pedagogis (pembelajaran) di dalam lingkungan sekolah, minat/perhatian guru
terhadap disiplin siswa dan kendali di dalam kelas, sehingga menjadi dasar
keterlibatan guru dalam kegiatan-kegiatan akademik dan non-akademik di sekolah
(Ofoegbu 2004). Ryan dan Deci (2000) dalam Teori Determinasi-Diri (Self-
Determination Theory - SDT) membedakan berbagai tipe motivasi berdasarkan
alasan atau tujuan yang menyebabkan dilakukannya suatu tindakan, yaitu
amotivasi, motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik yang berada pada suatu
kontinum determinasi-diri yang semakin tinggi (Gambar 2).
Perilaku Non determinasi diri Determinasi-diri
Tipe
Motivasi Amotivasi Motivasi Ekstrinsik
Motivasi
Intrinsik
Tipe
Pengaturan/
Regulasi
Non-regulasi Regulasi
Eksternal
Regulasi ter-
introjeksi
Regulasi ter-
identifikasi
Regulasi ter-
integrasi
Regulasi
intrinsik
Lokus
Kausalitas Impersonal Eksternal
Agak
eksternal
Agak
internal internal internal
Gambar 2 Kontinum determinasi-diri (Deci dan Ryan 2001).
16
Amotivasi adalah suatu kondisi saat seseorang kurang memiliki keinginan
untuk melakukan sesuatu dan kurang memiliki motivasi, yaitu saat mereka tidak
mampu untuk mengatur diri sendiri dalam suatu perilaku tertentu (Pelletier et al.
1999 diacu dalam Deci dan Ryan 2001). Motivasi intrinsik mengacu pada
perilaku yang dilakukan karena secara melekat perilaku tersebut bersifat menarik
dan menyenangkan (Ryan dan Deci 2000). Perilaku tersebut memiliki internal
perceived locus of causality/lokus kausalitas yang dirasa berasal dari dalam
(deCharms 1968 diacu dalam Niemic dan Ryan 2009). Motivasi ekstrinsik
merupakan suatu konstruk yang terjadi saat suatu aktivitas dilakukan untuk
memperoleh suatu luaran tertentu yang terpisah dari aktivitas itu sendiri (Ryan
dan Deci 2000), yang dikelompokkan menjadi empat tipe motivasi berdasarkan
derajat otonomi yang dialami individu, yaitu regulasi eksternal, regulasi
terintrojeksi, regulasi teridentifikasi dan regulasi terintegrasi (Niemic dan Ryan
2009), yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut:
1) Regulasi eksternal. Perilaku dilakukan untuk mendapatkan penghargaan
(reward) atau menghindari hukuman (punishment).
2) Regulasi terintrojeksi. Perilaku dilakukan untuk memuaskan kontingensi
internal, seperti peningkatan-diri atau menghindari penghinaan-diri. Salah
satu tipe regulasi terintrojeksi adalah keterlibatan ego yang mengacu pada
harga diri (self-esteem) seseorang sebagai bagian dari performanya. Ego
memberikan tekanan internal untuk menghindari rasa malu atau untuk merasa
diri berguna.
3) Regulasi teridentifikasi. Perilaku dilakukan karena dianggap bernilai atau
penting bagi individu tersebut.
4) Regulasi terintegrasi merupakan tipe motivasi ekstrinsik yang paling bersifat
otonomi. Regulasi yang teridentifikasi telah bersintesis dengan aspek lainnya
dalam pribadi seseorang, sehingga dorongan yang timbul dirasakan berasal
dari diri seseorang.
Brookhart dan Freeman (1992) diacu dalam Watt dan Richardson (2008)
menyebutkan bahwa motivasi intrinsik, ekstrinsik dan altruistik telah disoroti
sebagai kelompok alasan yang paling penting bagi seseorang dalam memutuskan
untuk mengajar. Vallerand, et al. (2008) menyatakan bahwa motivasi intrinsik
17
akan memberikan luaran yang paling positif. Motivasi intrinsik dapat diukur
dengan dua cara, yaitu dengan ukuran keperilakuan dari motivasi intrinsik yang
disebut “free choice” atau kebebasan memilih (Deci 1971 diacu dalam Ryan dan
Deci 2000), dan penggunaan self-report atau laporan-pribadi mengenai daya-
tarik dan kesenangan dari suatu aktivitas itu sendiri (Ryan 1982; Harackiewicz
1979 diacu dalam Ryan dan Deci, 2000). Robbins (2003) menguraikan mengenai
model motivasi intrinsik Ken Thomas yang berpendapat bahwa motivasi intrinsik
akan dicapai jika orang mengalami perasaan choice (memilih), competence
(kompeten), meaningfulness (berarti), dan progress (kemajuan), yang diuraikan
sebagai berikut:
1. Choice adalah kesempatan untuk dapat memilih aktivitas tugas yang masuk
akal bagi seseorang dan melakukannya dengan cara yang dirasa sesuai.
2. Competence adalah pencapaian yang dirasakan saat dengan terampil
melakukan aktivitas tugas yang dipilih.
3. Meaningfulness adalah kesempatan untuk mengejar tujuan tugas yang
berharga, tujuan yang berarti di dalam skema hal-hal yang lebih besar.
4. Progress adalah perasaan bahwa seseorang membuat kemajuan yang nyata
dalam mencapai tujuan tugas.
Motivasi guru untuk mengajar PLH dapat diukur berdasarkan daya tarik dari
kegiatan mengajar PLH dan kesenangan/kenikmatan yang dirasakan guru dalam
mengajar PLH, rasa memiliki kompetensi/kemampuan untuk mengajar PLH,
upaya yang dicurahkan dalam pengajaran PLH, nilai/manfaat pengajaran PLH
bagi guru, tekanan dan beban yang dirasakan guru dalam mengajarkan PLH, serta
rasa adanya kebebasan memilih dalam mengajar PLH. Ryan (1982) telah
mengembangkan skala untuk mengukur motivasi intrinsik yang disebut sebagai
Intrinsic Motivation Inventory (IMI scale) yang terdiri dari subskala
interest/enjoyment, perceived competence, effort/importance, value/usefulness,
pressure/tension, dan perceived choice.
Sikap guru terhadap PLH
Sikap merupakan suatu pernyataan evaluatif seseorang terhadap obyek,
orang atau peristiwa tertentu, yang mencerminkan perasaan seseorang terhadap
sesuatu (Siagian 2004; Robbins 2003, 2005). Hollander (1981) menyatakan ada
18
dua hal mendasar mengenai sikap, yaitu bahwa (1) sikap memberikan dasar
untuk menginterpretasikan dunia dan memproses informasi baru, dan (2)
sikap merupakan suatu cara untuk memperoleh dan mempertahankan identifikasi
sosial.
Triandis (1971) menguraikan bahwa sikap adalah suatu gagasan yang
didorong oleh emosi yang mempengaruhi kecenderungan sekelompok tindakan
terhadap suatu kelompok situasi sosial tertentu. Definisi tersebut menggambarkan
bahwa sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yaitu komponen
kognitif, komponen afektif dan komponen konatif/perilaku (Triandis 1971;
Shavitt dan Brock 1994; Azwar 1995; Robbins 2003, 2005).
Gambar 3 Konsepsi skematis sikap (Rosenberg dan Hovland 1960 diacu dalam
Triandis 1971)
Hollander (1981) menguraikan bahwa komponen kognitif kepercayaan-
ketidakpercayaan adalah hal-hal yang telah dipelajari oleh seorang individu
mengenai sesuatu hal yang membentuk kepercayaan-ketidakpercayaan terhadap
hal tersebut; komponen afektif suka-tidak suka mengacu pada emosi seorang
STIMULI (individu,
situasi, isu-isu sosial,
kelompok-kelompok
sosial, dan “obyek-
obyek sikap” lainnya)
SIKAP
Respon sistem
syaraf simpatetik
Pernyataan verbal
afeksi
AFEKSI
Respon perseptual
Pernyataan verbal
tentang kepercayaan KOGNISI
Tindakan nyata
Pernyataan verbal
terkait perilaku PERILAKU
Variabel
bebas terukur
Variabel antara Variabel terikat/tak
bebas terukur
19
individu, sedangkan komponen aksi adalah kesiapan untuk berperilaku sejalan
dengan sikap yang dimiliki seorang individu. Mann (1969) diacu dalam Azwar
(1995) menjelaskan bahwa: 1) komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan
dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu; 2) komponen afektif
merupakan perasaan individu terhadap obyek sikap dan menyangkut masalah
emosi, dan aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai
komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-
pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang; 3) komponen perilaku
berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu
dengan cara-cara tertentu.
Sikap seseorang terbentuk karena pengaruh orang lain, yaitu orang tua, guru
dan rekan-rekannya, dan dapat berubah dipengaruhi situasi dan pengalaman
seseorang (Siagian 2004). Hollander (1981) menyatakan bahwa sikap dan nilai
memiliki persistensi, namun juga dinamis dalam arti keduanya dapat berubah,
meskipun umumnya sikap lebih mudah berubah.
Shavitt dan Brock (1994) menyatakan bahwa sikap tidak dapat diamati
secara langsung, namun harus disimpulkan berdasarkan respon-respon teramati
(dan terukur) dari tiga komponen sikap. Azwar (1995) mengungkapkan bahwa
pengukuran sikap sebagai salah satu aspek yang sangat penting guna memahami
sikap dan perilaku manusia dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain
observasi perilaku, penanyaan langsung, pengungkapan langsung, skala sikap dan
pengukuran terselubung. Skala sikap Likert merupakan teknik pengukuran sikap
yang paling banyak digunakan karena mudah disusun dan dapat digunakan,
sehingga skala ini secara rutin menunjukkan korelasi tinggi dengan skala sikap
lainnya (Shavitt dan Brock 1994).
Sikap guru terhadap PLH dapat diukur melalui dua ukuran sikap, yaitu self-
efficacy dan outcome expectancy (Sia 1992; Moseley et al. 2002; Moseley dan
Utley 2008). Bandura (1977) diacu dalam Sia (1992) dan Moseley et al. (2002)
menguraikan bahwa self-efficacy (efektivitas diri) adalah persepsi atau
kepercayaan diri seseorang terhadap kemampuannya untuk melakukan sesuatu,
sedangkan outcome expectancy (luaran yang diharapkan) adalah kepercayaan atau
harapan seseorang untuk mendapatkan suatu luaran tertentu dari perilaku yang
20
ditunjukkannya. Efektivitas diri yang diyakini oleh seseorang berkaitan dengan
tingkat motivasi dan capaian kinerja individu tersebut (Bandura 1977 diacu dalam
Moseley dan Utley 2008). Enoch dan Riggs (1990) diacu dalam Sia (1992) dan
Moseley et al. (2002) menguraikan efektivitas diri guru sebagai kemampuan guru
untuk mengajar secara efektif. Efektivitas guru juga didefinisikan sebagai tingkat
kepercayaan guru terhadap kemampuannya dalam mempengaruhi kinerja siswa
(Berman dan McLauglin 1977 diacu dalam Moseley dan Utley 2008).
Kepercayaan guru memiliki dampak yang sangat besar terhadap perilakunya
di kelas (Pajares 1992 dan Richardson 1996 diacu dalam Moseley dan Utley
2008), karena kepercayaan memainkan bagian penting dalam pengorganisasian
pengetahuan dan informasi oleh guru dan penting dalam membantu guru
beradaptasi, memahami dan memaknai diri dan dunianya (Schommer 1990,
Taylor 2003, Taylor dan Caldarelli 2004 diacu dalam Moseley dan Utley 2008).
Guru yang memiliki kepercayaan diri dalam kemampuannya mengajar (self-
efficacy beliefs) akan bertahan lebih lama, memberikan fokus akademik yang
lebih besar di kelas, dan menunjukkan tipe umpan balik berbeda dibandingkan
guru yang memiliki harapan yang lebih rendah berkaitan dengan kemampuannya
untuk mempengaruhi pembelajaran siswa (Gibson dan Dembo 1984 diacu dalam
Moseley et al. 2002). Czerniak (1990) diacu dalam Moseley et al. (2002)
menemukan bahwa guru dengan self-efficacy/efektivitas diri yang tinggi lebih
cenderung menggunakan strategi pengajaran inkuiri dan berpusat pada siswa,
sedangkan guru dengan efektivitas diri yang rendah lebih cenderung
menggunakan strategi yang terarah pada guru seperti ceramah dan membaca teks.
Efektivitas diri guru dalam kaitannya dengan PLH dapat diuraikan sebagai
tingkat kepercayaan guru terhadap kemampuannya mengajarkan PLH secara
efektif, sedangkan outcome expectancy guru terhadap PLH diuraikan sebagai
perkiraan guru mengenai pengaruh yang diberikannya terhadap siswa dalam
pembelajaran PLH (Moseley et al. 2002). Sikap guru yang positif terhadap PLH,
dalam hal ini memiliki efektivitas diri dan outcome expectancy yang tinggi, akan
dapat memberi arah yang positif terhadap perilaku guru dalam mengajarkan PLH
kepada siswa melalui penyajian berbagai materi dengan menggunakan metode-
metode pengajaran aktif yang lebih berpusat pada siswa, sehingga diharapkan
21
efektivitas pembelajaran PLH dapat tercapai dengan terbentuknya sikap positif
dan terwujudnya perilaku ramah lingkungan pada siswa. Sia (1992) telah
mengembangkan skala untuk mengukur sikap guru terhadap PLH berdasarkan
self-efficacy dan outcome expectancy, yang disebut Environmental Education
Efficacy Beliefs Instrument (EEEBI). Skala EEEBI yang telah diadaptasikan ke
dalam bahasa Indonesia digunakan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi
sikap guru terhadap PLH dalam upaya mengetahui persepsi guru tentang
penyelenggaraan PLH.
3 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Pemikiran
Guru membawa dua persepsi dalam penerapan PLH di sekolah, yaitu
persepsi guru tentang lingkungan dan persepsi guru tentang penyelenggaraan
PLH. Persepsi guru tentang lingkungan dipandang sebagai representasi
penguasaan guru akan materi-materi lingkungan hidup, yang akan mempengaruhi
persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH, terutama dalam kaitannya dengan
kompetensi dan efektivitas diri (self-efficacy) yang dirasakan oleh guru dalam
mengajar PLH kepada siswanya. Persepsi guru tentang lingkungan diukur
berdasarkan gambaran mental yang dimiliki guru mengenai lingkungan melalui
gambar dan definisi lingkungan yang dibuat oleh guru, sedangkan persepsi guru
tentang penyelenggaraan PLH diukur melalui motivasi dan sikap guru terhadap
PLH berdasarkan pernyataan Robbins (2005) bahwa sikap dan motivasi individu
terhadap suatu obyek/sasaran tertentu merupakan faktor individu yang
mempengaruhi persepsi.
Robbins (2005) juga menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi oleh faktor
individu, situasi dan obyek/sasaran, dengan demikian persepsi guru tentang
penyelenggaraan PLH juga dipengaruhi faktor-faktor tersebut. Data yang akan
dikumpulkan berkaitan dengan faktor individu guru adalah informasi pribadi guru
seperti umur, jenis kelamin, pendidikan dan pengalaman guru serta harapan guru
berkaitan dengan PLH.
Faktor situasi menurut Robbins (2003) meliputi waktu, suasana/kondisi
kerja dan kondisi sosial. Faktor situasi dalam kaitannya dengan penelitian ini
dibatasi pada kondisi lingkungan sekolah dan sekitarnya yang meliputi
lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik
dibatasi pada ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, seperti bangunan,
lahan sekolah, buku sumber/buku ajar, dan alat bantu/media pengajaran.
Lingkungan biologis dibatasi pada sumberdaya biologis yang terdapat di sekolah
dan sekitarnya yang dapat digunakan sebagai sumber dan media pembelajaran
bagi siswa, terutama letak sekolah dengan kawasan hutan di dekat sekolah.
24
Lingkungan sosial dibatasi pada dukungan kepala sekolah dan sesama rekan guru
dalam penerapan PLH.
Faktor obyek/sasaran dalam penelitian ini adalah PLH sebagai sebuah
program pengajaran, dengan berbagai faktor terkait seperti kebijakan dan
keberadaan kurikulum PLH yang diuraikan dalam mata ajaran, tingkat kelas,
materi, metode dan media yang digunakan di sekolah. Alur pikir penelitian ini
digambarkan dalam skema kerangka pemikiran (Gambar 4).
Gambar 4 Skema kerangka pemikiran penelitian persepsi guru dalam penerapan
pendidikan lingkungan hidup di sekolah.
3.2 Hipotesis
Guru yang memahami kondisi lingkungan hidup di sekitarnya (memiliki
persepsi lingkungan yang utuh), memiliki atribut individu positif, dan mengajar
pada sekolah yang: berada di sekitar hutan, memiliki kurikulum PLH, serta
kondisi lingkungan dan sosial sekolah yang menunjang, akan membuahkan guru
dengan persepsi PLH yang tinggi.
PENERAPAN PLH DI SEKOLAH
GURU
Faktor Individu:
Umur
Jenis Kelamin
Pengalaman (mengajar,
organisasi alam)
Pendidikan (formal, non formal)
Harapan
Persepsi tentang
Penyelenggaraan PLH:
Motivasi, Sikap
Persepsi
tentang
Lingkungan
Faktor Situasi
Penerapan PLH di
sekolah
Faktor Obyek:
PLH sebagai
Program
Pengajaran
4 BAHAN DAN METODE
4.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada 4 (empat) sekolah dasar (SD) yang terletak
di sekitar hutan kawasan Gunung Salak Endah (GSE), Kecamatan Pamijahan,
Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat selama 3 bulan, mulai Februari – April
2010.
4.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan panduan
wawancara, sedangkan alat yang digunakan adalah alat bantu berupa perekam
suara, kamera, dan komputer.
4.3 Definisi Operasional
1. Persepsi guru tentang lingkungan diukur berdasarkan gambaran mental yang
dimiliki oleh guru mengenai lingkungan.
2. Persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH diukur berdasarkan motivasi
guru dalam menerapkan/mengajar PLH di sekolah dan sikap guru terhadap
PLH.
3. Motivasi guru dalam menerapkan/mengajar PLH di sekolah diukur
berdasarkan minat/kesenangan (interest/enjoyment) guru terhadap PLH,
kompetensi yang dirasakan (perceived competence) dalam mengajar PLH,
upaya/arti penting (effort/importance) PLH, beban/tekanan (pressure/tension)
yang dirasakan dalam mengajar PLH, pilihan (perceived choice) yang dirasa
dalam mengajar PLH, serta nilai/kegunaan (value/usefulness) PLH yang
dirasakan guru.
4. Sikap guru terhadap PLH diukur melalui dua ukuran sikap, yaitu self-efficacy
(efektivitas diri) dan outcome expectancy (luaran yang diharapkan).
5. Self-efficacy (efektivitas diri) guru dalam PLH adalah persepsi atau
kepercayaan diri guru terhadap kemampuannya untuk mengajar PLH secara
efektif.
26
6. Outcome expectancy (luaran yang diharapkan) guru terhadap PLH adalah
perkiraan/harapan guru mengenai pengaruh yang diberikannya terhadap siswa
dalam pembelajaran PLH.
4.4 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan strategi penelitian deskriptif,
yaitu strategi penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan suatu variabel
tunggal atau untuk memperoleh deskripsi terpisah untuk setiap variabel jika ada
beberapa variabel yang terlibat dalam penelitian (Gravetter dan Forzano 2006).
Keterbatasan informasi dan pustaka mengenai persepsi, sikap dan motivasi guru
sekolah dasar dalam pengajaran PLH menjadi pertimbangan untuk menggunakan
strategi penelitian deskriptif. Desain penelitian survei yang bertujuan untuk
mendapatkan gambaran akurat mengenai individu yang dikaji (Gravetter dan
Forzano 2006) digunakan karena penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
gambaran mengenai persepsi guru dalam penerapan PLH di sekolah. Penelitian
dilakukan melalui tahapan pemilihan sekolah contoh, pemilihan responden guru,
pengumpulan data, serta pengolahan dan analisa data untuk mendapatkan
gambaran persepsi guru sekolah dasar terhadap PLH.
4.4.1 Pemilihan Sekolah Contoh
Sekolah-sekolah yang dijadikan sebagai sekolah contoh dalam penelitian ini
adalah 4 (empat) sekolah dasar (SD) yang berada di sekitar hutan kawasan
Gunung Salak Endah Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa
Barat. Pemilihan sekolah contoh dilakukan dengan menggunakan teknik
purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel nonrandom (tidak acak)
untuk populasi yang spesifik (Neuman 2006), dengan pertimbangan tertentu
(Sugiyono 2008). Kriteria/pertimbangan yang digunakan untuk memilih sekolah
contoh adalah:
1. Sekolah dekat dengan hutan (≤ 2 km)
2. Mempunyai interaksi dengan hutan
Selanjutnya, dari sekolah contoh yang memenuhi dua kriteria tersebut akan
dipilih 2 (dua) sekolah dasar contoh dengan kriteria bahwa guru sekolah tersebut
pernah mendapatkan intervensi PLH dari instansi luar sekolah (seperti Lembaga
27
Swadaya Masyarakat/LSM, Perguruan Tinggi/PT, dll), dan 2 (dua) sekolah dasar
contoh yang gurunya belum pernah mendapatkan intervensi PLH dari pihak
manapun. Berdasarkan kriteria tersebut, empat sekolah yang menjadi sekolah
contoh adalah:
1) SDN Gunung Bunder 04,
2) SDN Gunung Sari 01,
3) SDN Gunung Bunder 03, dan
4) SDN Gunung Picung 06.
4.4.2 Pemilihan Responden Guru
Populasi dalam penelitian ini adalah guru dari sekolah-sekolah dasar yang
terletak di sekitar hutan kawasan Gunung Salak Endah (GSE) Kecamatan
Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah guru-guru dari keempat sekolah dasar contoh. Jumlah
total responden guru dari keempat sekolah contoh sebanyak 31 orang guru.
4.4.3 Pengumpulan Data
Data dikumpulkan melalui studi pustaka, pengumpulan arsip dan dokumen,
wawancara terstruktur dengan kuesioner, wawancara tidak terstruktur, wawancara
terstruktur dengan panduan wawancara, serta observasi lapang (Tabel 1).
Tabel 1 Jenis data dan metode pengumpulan data
Jenis Data Metode Pengumpulan Data
Sekolah dasar di kawasan GSE
Kebijakan PLH
Kurikulum PLH
Pelaksanaan PLH di sekolah
Informasi pribadi responden guru
Motivasi guru dalam penerapan PLH
Sikap guru terhadap PLH
Persepsi guru tentang lingkungan
Harapan terkait PLH
Kondisi lingkungan sekolah dan
sekitar
Permasalahan terkait penerapan PLH
Pengumpulan arsip dan dokumen
Pengumpulan arsip dan dokumen
Pengumpulan arsip dan dokumen
Studi pustaka, wawancara, observasi
Kuesioner
Studi pustaka, kuesioner
Studi pustaka, kuesioner
Studi pustaka, kuesioner (DAET)
Kuesioner, wawancara
Pengumpulan arsip dan dokumen,
observasi
Wawancara
28
a. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data mengenai berbagai hasil
penelitian dan kegiatan mengenai:
(1) pelaksanaan PLH di sekolah
(2) persepsi guru tentang lingkungan
(3) persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH
(4) motivasi guru dalam penerapan PLH
(5) sikap guru terhadap PLH
b. Pengumpulan Arsip dan Dokumen
Arsip dan dokumen dikumpulkan untuk mendapatkan data mengenai:
(1) sekolah-sekolah dasar yang berada di sekitar hutan kawasan Gunung Salak
Endah (GSE) Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor;
(2) kebijakan PLH dari Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah Provinsi
Jawa Barat dan Kabupaten Bogor;
(3) kurikulum, mata ajaran, tingkat kelas, materi, media dan metode yang
digunakan dalam pengajaran PLH di sekolah;
(4) kondisi lingkungan sekolah, meliputi kondisi fisik (bangunan, lahan, sarana
dan prasarana lainnya) dan biologis sekolah.
c. Wawancara Terstruktur dengan Kuesioner
Wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner dilakukan terhadap
responden guru dari setiap tingkat kelas (kelas 1 – 6 SD) untuk mendapatkan data
mengenai:
(1) informasi pribadi dan faktor kontekstual responden guru yang meliputi umur,
jenis kelamin, pengalaman berinteraksi dengan alam, latar belakang
pendidikan, pendidikan/pelatihan yang pernah didapat berkaitan dengan PLH,
dan pengalaman mengajar (ditunjukkan oleh lama mengajar, tingkat kelas
yang pernah dan saat ini diasuh, mata ajaran yang pernah dan saat ini
diajarkan, pengalaman mengajar PLH);
(2) motivasi guru dalam penerapan PLH di sekolah;
(3) sikap guru terhadap PLH;
(4) harapan guru berkaitan dengan PLH;
(5) persepsi guru tentang lingkungan.
29
Kuesioner yang diberikan kepada guru terdiri dari 5 bagian, yaitu:
(1) Bagian I, ditujukan untuk mengumpulkan mengumpulkan data mengenai
informasi pribadi dan faktor kontekstual responden guru.
(2) Bagian II, ditujukan untuk mengumpulkan data mengenai motivasi guru
dalam mengajar PLH. Motivasi guru diukur menggunakan skala tipe Likert
dengan 5 poin jawaban/respon yang berkisar dari selalu benar sampai selalu
tidak benar. Skala yang digunakan adalah modifikasi dari skala Intrinsic
Motivation Inventory (Ryan 1982). Skala tersebut disusun berdasarkan
minat/kesenangan guru terhadap PLH, upaya/arti penting PLH, nilai/manfaat
PLH, serta kompetensi, beban/tekanan, dan pilihan yang dirasakan oleh guru
dalam melakukan pengajaran PLH.
(3) Bagian III, ditujukan untuk mengumpulkan data mengenai sikap guru
terhadap PLH. Pengukuran sikap guru terhadap PLH dibatasi pada dua
ukuran sikap, yaitu self-efficacy dan outcome expectancy guru terhadap PLH
dengan menggunakan adaptasi dari skala Environmental Education Efficacy
Belief Instrument (EEEBI; Sia, 1992; Moseley et al., 2002) yang merupakan
skala tipe Likert dengan 5 poin jawaban/respon yang berkisar dari sangat
setuju sampai sangat tidak setuju.
(4) Bagian IV, ditujukan untuk mengumpulkan data mengenai harapan guru
berkaitan dengan PLH dengan menggunakan struktur pertanyaan terbuka.
(5) Bagian V, ditujukan untuk menggali persepsi guru tentang lingkungan.
Bagian ini berisi survei dua bagian yang disebut Draw An-Environment Test
(DAET; Desjean-Perrotta et al. 2008; Moseley dan Desjean-Perrotta, in
press). Bagian pertama meminta guru untuk menggambar lingkungan, dan
bagian kedua meminta guru untuk memberikan definisi mereka mengenai
lingkungan dengan melanjutkan sebuah kalimat terbuka. Struktur pertanyaan
terbuka ini digunakan karena struktur tersebut merupakan suatu sarana untuk
mendapatkan deskripsi yang bebas, tidak bias, dan tidak terbatas (Desjean-
Perrotta et al. 2008).
30
d. Wawancara tidak terstruktur
Wawancara tidak terstruktur dilakukan terhadap guru untuk menggali lebih
dalam mengenai berbagai pertanyaan atau permasalahan terkait PLH yang timbul
di lapangan ataupun yang timbul saat pengisian kuesioner.
e. Wawancara terstruktur dengan panduan wawancara
Wawancara terstruktur dengan menggunakan panduan wawancara dilakukan
terhadap:
(1) dinas terkait (Dinas Pendidikan, Dinas Kehutanan, dan Bagian Lingkungan
Hidup) dan pengelola kawasan hutan (Taman Nasional Gunung Halimun
Salak, Perum Perhutani) untuk mendapatkan data berkaitan dengan
pelaksanaan PLH pada sekolah di Kabupaten Bogor,
(2) kepala sekolah, untuk mendapatkan data mengenai pelaksanaan PLH di
sekolah yang meliputi: kebijakan kepala sekolah, dukungan terhadap guru,
permasalahan yang dihadapi, dan harapan terkait PLH.
f. Observasi Lapang
Observasi/pengamatan lapang dilakukan untuk mendapatkan gambaran
mengenai kondisi lingkungan sekolah dan sekitarnya, serta mengamati
pelaksanaan PLH oleh guru di sekolah.
4.4.4 Pengolahan Data
Data yang dihasilkan dari penelitian ini secara umum diolah melalui tahapan
pemeriksaan jawaban responden, penentuan kategori jawaban untuk pertanyaan
terbuka dan penentuan kode untuk tiap jawaban, serta scoring/penentuan skor
terhadap jawaban responden dan tabulasi data. Pengolahan data secara khusus
untuk tiap aspek penelitian dijelaskan sebagai berikut:
a. Motivasi guru untuk mengajarkan PLH
Motivasi guru untuk mengajarkan PLH diukur dengan menggunakan skala
tipe Likert dengan 5 poin jawaban/respon. Skor yang digunakan untuk pernyataan
positif adalah sebagai berikut: selalu benar (skor 5), seringkali benar (skor 4),
kadang benar (skor 3), seringkali tidak benar (skor 2), selalu tidak benar (skor 1),
sedangkan untuk pernyataan negatif skor yang digunakan adalah kebalikannya,
yaitu: selalu benar (skor 1), seringkali benar (skor 2), kadang benar (skor 3),
31
seringkali tidak benar (skor 4), selalu tidak benar (skor 5). Semakin tinggi skor
yang didapat responden guru, menunjukkan bahwa motivasi guru untuk mengajar
PLH semakin tinggi.
b. Sikap guru terhadap PLH
Sikap guru terhadap PLH dibatasi pada self-efficacy dan outcome
expectancy guru dalam pengajaran PLH. Pengukuran dilakukan menggunakan
modifikasi dari Environmental Education Efficacy Belief Instrument/EEEBI (Sia
1992; Moseley et al. 2002; Moseley dan Utley 2008) yang terdiri dari dua skala,
yaitu skala pertama yang mengukur self-efficacy guru dan skala kedua yang
mengukur outcome-expectancy guru dalam pengajaran PLH. Skala tersebut
menggunakan skala tipe Likert dengan 5 poin jawaban/respon yang berkisar
antara sangat setuju sampai sangat tidak setuju.
Skor yang digunakan untuk tiap pernyataan positif adalah: sangat setuju
(skor 5), setuju (skor 4), ragu-ragu (skor 3), tidak setuju (skor 2), sangat tidak
setuju (skor 1), sedangkan untuk tiap pernyataan negatif skornya adalah
kebalikannya, yaitu: sangat setuju (skor 1), setuju (skor 2), ragu-ragu (skor 3),
tidak setuju (skor 4), sangat tidak setuju (skor 5). Semakin tinggi skor yang
didapatkan oleh responden guru menunjukkan bahwa persepsi guru tentang
penyelenggaraan PLH semakin positif.
c. Persepsi guru tentang lingkungan
Persepsi guru tentang lingkungan digali dengan menggunakan instrument
Draw An-Environment Test (DAET) Moseley dan Desjean-Perrotta 2010).
Tulisan definisi lingkungan yang dibuat oleh responden dianalisis dengan
mengkodekan jawaban responden berdasarkan konsep lingkungan dalam NAAEE
Guidelines (Desjean-Perrotta et al. 2008), sedangkan untuk gambar dilakukan
dengan menggunakan DAET Rubric (DAET-R; Moseley dan Desjean-Perrotta
2010).
Pengolahan data untuk definisi lingkungan
Analisis isi dilakukan terhadap definisi lingkungan yang dituliskan oleh
responden guru, dengan mengelompokkan jawaban responden guru dalam
kategori berdasarkan konsep yang ada dalam NAAEE Guidelines (Desjean-
32
Perrotta et al. 2008). Kode yang digunakan adalah: 1 = manusia, 2 = organism
hidup lainnya/biotik, 3 = lingkungan fisik/abiotik, 4 = lingkungan buatan, dan 5 =
interaksi dan saling ketergantungan. Setiap respon tertulis dari guru ditelaah dan
diberi kode sesuai dengan konsep yang diuraikan dalam tulisan tersebut,
kemudian dicatat jumlah respon yang telah terkodekan untuk setiap kategori
konsep.
Pengolahan data untuk gambar lingkungan
Gambar lingkungan dianalisis menggunakan DAET-Rubric (DAET-R).
DAET-R dikembangkan berdasarkan deskripsi lingkungan yang digambarkan
dalam NAAEE Guidelines for the Preparation and Professional Development of
Environmental Educators (2004), yang menguraikan empat faktor pembentuk
lingkungan (yaitu manusia, organisme hidup lainnya, lingkungan fisik alamiah
dan lingkungan buatan) dan konsep sistem, salingketergantungan dan interaksi
antara keempat faktor tersebut.
DAET-R dibagi dalam empat bagian yang menekankan pada derajat
keberadaan interaksi antara keempat faktor lingkungan, yaitu faktor tidak ada,
faktor ada, faktor berinteraksi dengan faktor lainnya, dua atau lebih faktor
berinteraksi dalam suatu pendekatan sistem. Skor persepsi guru didapatkan
dengan melihat keberadaan empat faktor lingkungan dan derajat interaksi dari
keempat faktor lingkungan tersebut. Skor yang digunakan berkisar antara 0 – 3,
dengan penilaian sebagai berikut:
1) Gambar menunjukkan adanya kehadiran suatu faktor: skor 1;
2) Gambar menunjukkan adanya interaksi antara suatu faktor dengan satu atau
lebih faktor lainnya: skor 2;
3) Gambar menunjukkan adanya interaksi diantara faktor-faktor lingkungan
dengan penekanan pada pendekatan sistem dalam definisi lingkungan: skor 3;
4) Gambar tidak menunjukkan keberadaan suatu faktor tertentu: skor 0.
Skor total yang mungkin didapatkan berkisar antara 0 – 12. Semakin tinggi
skor yang didapatkan menunjukkan bahwa pemahaman responden terhadap
interaksi antara keempat faktor lingkungan seperti yang diuraikan dalam NAAEE
Guidelines (2004) semakin tinggi.
33
4.4.5 Analisis Data
a. Statistik Deskriptif
Data secara umum dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif, yaitu
metode yang membantu untuk mengorganisasikan, merangkum dan
menyederhanakan data yang dihasilkan dari penelitian (Gravetter dan Forzano
2006). Perhitungan dilakukan untuk mendapatkan rata-rata dan persentase guru,
yang kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel ataupun grafik, sehingga dapat
digunakan untuk menunjukkan pola yang dapat teramati dari jawaban responden
guru.
Statistik deskriptif juga digunakan dalam analisis terhadap tulisan definisi
lingkungan dan gambar lingkungan yang dibuat oleh guru. Statistik deskriptif
digunakan untuk mendapatkan persentase guru yang menuliskan dan/atau
menggambarkan masing-masing komponen dan konsep lingkungan (persentase
guru yang menulis dan/atau menggambar manusia, biotik, abiotik, lingkungan
buatan, interaksi dan saling ketergantungan), serta persentase guru berdasarkan
jumlah komponen lingkungan yang dituliskan dan/atau digambarkan (persentase
guru yang menuliskan dan/atau menggambarkan satu, dua, tiga, dan empat
komponen lingkungan).
b. Analisis Faktor
Analisis faktor dilakukan untuk meringkas informasi yang ada dalam
variabel asli (awal) menjadi satu set dimensi baru atau variate (faktor) dengan
cara menentukan struktur lewat data summarization atau lewat data
reduction/pengurangan data (Ghozali 2005). Analisis faktor dilakukan terhadap
skor dari 6 subskala motivasi dan 2 subskala sikap untuk mendapatkan faktor
yang dapat menggambarkan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH.
Faktor yang didapatkan dari hasil analisis tersebut kemudian dianalisis lebih
lanjut menggunakan Spearman correlation, uji Kruskal-Wallis dan uji Mann-
Whitney, untuk mengetahui hubungan dan/atau perbedaan berbagai variabel yang
diukur (seperti sekolah, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman, dsb.) dengan
faktor persepsi tersebut.
34
c. Spearman Correlation
Analisis statistik dengan menggunakan Spearman correlation digunakan
untuk menentukan arah dan derajat hubungan/asosiasi antara berbagai
variabel/peubah dari faktor individu, obyek/sasaran dan situasi dengan persepsi
guru tentang penyelenggaraan PLH. Hasil analisis korelasi dengan Spearman
correlation menunjukkan peubah apa saja yang mempengaruhi persepsi guru
dalam penerapan PLH di sekolah (persepsi guru tentang lingkungan dan persepsi
guru tentang penyelenggaraan PLH).
Analisis korelasi dengan Spearman correlation dilakukan terhadap peubah
usia, pendidikan, masa kerja, lama mengajar dan persepsi lingkungan dengan
faktor persepsi yang dihasilkan dari analisis faktor. Hubungan/asosiasi antara
persepsi guru tentang lingkungan dengan persepsi guru tentang penyelenggaraan
PLH juga dianalisis.
d. Uji Kruskal-Wallis
Uji Kruskal-Wallis digunakan untuk membandingkan tiga atau lebih
kelompok data contoh. Uji ini dilakukan terhadap peubah sekolah (tempat
mengajar), tingkat kelas yang diasuh saat ini, tingkat kelas yang pernah diasuh,
mata ajaran khusus yang saat ini diasuh, mata ajaran khusus yang pernah diasuh,
tugas lainnya, PLH formal yang pernah diikuti, PLH non formal yang pernah
diikuti, pengalaman organisasi yang kegiatannya fokus pada alam, serta
pengalaman interaksi dengan alam dan waktu mendapatkan pengalaman tersebut.
e. Uji Mann-Whitney
Uji Mann-Whitney dilakukan untuk membandingkan dua kelompok data
contoh. Uji ini dilakukan terhadap peubah pengalaman mengajar PLH dan jenis
kelamin yang hanya terdiri dari dua kategori, yaitu pernah dan tidak pernah serta
laki-laki dan perempuan. Uji ini memungkinkan untuk mengetahui apakah guru
yang pernah mengajar PLH memiliki persepsi yang sama atau berbeda dengan
guru yang tidak pernah mengajar PLH sebelumnya, dan apakah guru perempuan
berbeda dengan guru laki-laki.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Guru sebagai salah satu faktor kunci dalam penerapan Pendidikan
Lingkungan Hidup (PLH) di sekolah membawa dua persepsi dalam mengajarkan
PLH kepada para siswanya, yaitu persepsi tentang lingkungan dan persepsi
tentang penyelenggaraan PLH. Penelitian ini mengukur kedua persepsi tersebut
dan berbagai faktor yang diperkirakan mempengaruhi persepsi, seperti faktor
individu guru (umur, jenis kelamin, pendidikan formal dan non formal, serta
pengalaman dan harapan) yang mempengaruhi persepsi guru tentang lingkungan
dan penyelenggaraan PLH, serta program pengajaran PLH di sekolah sebagai
faktor obyek/sasaran dan kondisi sekolah sebagai faktor situasi yang
mempengaruhi persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH.
5.1 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Guru
Persepsi individu dipengaruhi oleh faktor individu, faktor obyek/sasaran,
dan faktor situasi (Robbins 2003). Faktor individu guru berkaitan dengan
karakteristik pribadi guru, pendidikan dan pengalaman guru yang diuraikan
sebagai karakteristik guru.
Faktor obyek/sasaran dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang
berkaitan dengan penerapan PLH, yaitu kebijakan PLH dan keberadaan kurikulum
PLH di sekolah, sedangkan faktor situasi dibatasi pada kondisi lingkungan
sekolah dan sekitarnya yang meliputi lingkungan fisik (ketersediaan sarana dan
prasarana pendidikan, seperti bangunan, lahan sekolah, buku sumber/buku ajar,
dan alat bantu/media pengajaran), lingkungan biologis (peluang penggunaan
sumberdaya biologis yang terdapat di sekolah dan sekitarnya sebagai sumber dan
media pembelajaran) dan lingkungan sosial (dukungan kepala sekolah dan sesama
rekan guru). Faktor obyek/sasaran dan situasi selanjutnya dirangkum dalam satu
kategori peubah, yaitu sekolah, untuk keperluan analisis statistik lebih lanjut.
5.1.1 Karakteristik Guru sebagai Faktor Individu yang Mempengaruhi
Persepsi
Data yang dikumpulkan berkaitan dengan faktor individu guru adalah
usia/umur, jenis kelamin, pendidikan formal terakhir, pengalaman mengajar,
36
pengalaman berorganisasi yang kegiatannya fokus pada alam, pendidikan PLH
formal/nonformal yang pernah didapatkan, dan pengalaman guru berinteraksi
dengan alam. Total jumlah guru yang menjadi responden dari keempat sekolah
contoh sebesar 31 orang guru.
a. Karakteristik demografis guru
Berdasarkan usia, 51,61% guru pada sekolah contoh berusia ≤ 30 tahun dan
9,68% berusia ≥ 51 tahun, sisanya berusia antara 31 – 50 tahun. Persentase guru
perempuan lebih besar daripada guru laki-laki, yaitu 54,84% guru perempuan, dan
45,16% guru laki-laki. Sebagian besar guru sekolah contoh memiliki pendidikan SMA
(51,61%). Adapula guru yang berpendidikan diploma sebanyak 16,13% dan sarjana (S1)
sebanyak 32,27% guru.
Tabel 2 Persentase guru berdasarkan usia, jenis kelamin, dan pendidikan
Sekolah Usia Jenis Kelamin Pendidikan
≤ 30 31 - 50 ≥ 51 L P SMA Dipl. S1 S2
SDN Gunung Sari 01 6,45 12,90 3,23 9,68 12,90 9,68 3,23 9,68 0,00
SDN Gunung Bunder 03 19,35 3,23 3,23 6,45 19,35 16,13 6,45 3,23 0,00
SDN Gunung Bunder 04 9,68 16,13 3,23 12,90 16,13 19,35 0,00 9,68 0,00
SDN Gunung Picung 06 16,13 6,45 0,00 16,13 6,45 6,45 6,45 9,68 0,00
Total 51,61 38,71 9,68 45,16 54,84 51,61 16,13 32,27 0,00
b. Pengalaman mengajar
Pengalaman mengajar guru merupakan faktor kontekstual individu guru.
Pengalaman mengajar guru dilihat berdasarkan lama mengajar, kelas yang saat ini
diasuh, kelas yang pernah diasuh, mata ajaran yang saat ini diasuh, mata ajaran
yang pernah diasuh, dan pengalaman mengajar PLH (Tabel 3). Guru dari sekolah
contoh sebagian besar (70,97%) memiliki pengalaman mengajar selama ≤ 10
tahun. Satu orang guru (3,23%) belum memiliki pengalaman mengajar pada kelas
lainnya sebelumnya karena baru mengajar selama 1 tahun di sekolah tempatnya
mengajar. Sebesar 54,84 % guru tidak mengasuh mata ajaran khusus karena
bertugas sebagai guru kelas yang mengasuh hampir semua mata ajaran pada
tingkat kelas yang diasuhnya. Namun demikian ada guru yang bertugas
mengasuh mata ajaran khusus/tertentu, baik untuk semua tingkat maupun untuk
tingkat kelas tertentu, seperti mata ajaran agama, matematika, bahasa Inggris,
PJOK (olahraga) dan SBK (Seni Budaya dan Keterampilan).
37
Tabel 3 Pengalaman mengajar yang dimiliki guru pada sekolah contoh
Jenis Pengalaman Jumlah %
Lama mengajar
<=10 tahun 22 70,97
11 - 20 tahun 4 12,90
21 -30 tahun 4 12,90
> 30 tahun 1 3,23
Saat ini mengajar pada kelas Kelas rendah (1 – 3 SD) 13 41,94
Kelas tinggi (4 – 6 SD) 15 48,39
Kelas rendah dan tinggi 3 9,68
Sebelumnya pernah mengajar kelas Kelas rendah (1 – 3 SD) 10 32,26
Kelas tinggi (4 – 6 SD) 9 29,03
Kelas rendah dan tinggi 11 35,48
belum ada pengalaman 1 3,23
Mata ajaran yang saat ini diasuh Tidak ada m.a. khusus 17 54,84
Agama 5 16,13
Olahraga 3 9,68
Bahasa Inggris 2 6,45
Lainnya 2 6,45
Agama dan Bahasa Inggris 1 3,23
Olahraga dan Lainnya 1 3,23
Mata ajaran yang pernah di asuh Tidak ada m.a. khusus 17 54,84
Agama 3 9,68
Olahraga 3 9,68
Bahasa Inggris 3 9,68
Lainnya 3 9,68
Agama dan Bahasa Inggris 1 3,23
Agama dan Lainnya 1 3,23
Pengalaman mengajar PLH Tidak Pernah (1) 4 12,90
Pernah (2) 27 87,10
38
Sebagian besar (87,10%) guru menyatakan pernah mengajar PLH (Tabel 3).
Pengalaman mengajar PLH tersebut berupa pengalaman mengajarkan materi-
materi mengenai lingkungan hidup yang terintegrasi dalam mata ajaran yang
diasuh oleh guru tersebut, maupun pemberian materi mengenai lingkungan hidup
yang dilaksanakan dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Namun
demikian ada 4 orang guru (12,90%) yang menyatakan tidak memiliki
pengalaman mengajar PLH. Guru yang menyatakan tidak pernah mengajar PLH
tersebut satu orang bertugas khusus mengasuh mata ajaran matematika untuk
kelas 4 di SDN Gunung Sari 01, sedangkan 3 guru lainnya adalah guru agama,
guru kelas 1 dan guru kelas 3 dari SDN Gunung Bunder 03.
Mata ajaran Matematika memang sangat kurang relevansinya dengan PLH
sehingga sulit dijadikan wadah integrasi materi-materi PLH. Selain itu daya serap
siswa terhadap mata ajaran matematika biasanya tidak terlalu tinggi. Padahal
pertimbangan dalam memilih mata ajaran untuk dijadikan wadah integrasi materi-
materi PLH adalah relevansi mata ajaran tersebut dengan PLH dan daya serap
siswa terhadap mata ajaran tersebut tinggi, sehingga mempermudah guru
mengintegrasikan materi PLH ke dalam suatu mata ajaran.
Materi PLH pada dasarnya dapat diintegrasikan ke dalam mata ajaran
apapun, termasuk Matematika. Guru perlu memiliki penguasaan materi-materi
PLH dan kreativitas untuk dapat mengintegrasikan materi PLH ke dalam mata
ajaran inti yang diasuhnya. Relevansi mata ajaran dengan materi PLH, daya serap
siswa, dan kompetensi guru diduga menjadi penyebab guru matematika tersebut
tidak mengintegrasikan materi PLH ke dalam pengajarannya, sehingga
menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki pengalaman mengajar PLH.
Berkaitan dengan guru dari SDN Gunung Bunder 03, Kepala sekolah SDN
Gunung Bunder 03 dalam wawancara menyatakan bahwa pelaksanaan PLH di
sekolah tersebut memang belum intensif karena keterbatasan kondisi sekolah.
Kepala sekolah baru sebatas memberikan himbauan kepada para guru agar
menyisipkan materi-materi PLH ke dalam mata ajaran yang ada, namun belum
ada dorongan yang lebih kuat agar guru memperkaya pengajarannya dengan
materi-materi PLH lain. Sekolah ini juga belum pernah mendapatkan
intervensi/kegiatan PLH (Environmental Education intervention) dari lembaga
39
manapun sehingga guru-gurunya belum memiliki pemahaman maupun
kemampuan mengenai PLH. Selain itu, materi-materi terkait PLH pada tingkat
kelas 1 dan 3 terbatas pada topik mengenai kebersihan diri, lingkungan rumah dan
sekolah, yang sudah termuat dalam silabus tematik kurikulum tingkat kelas
tersebut. Hal-hal tersebut diduga menjadi penyebab guru kelas 1 dan 3 pada SDN
Gunung Bunder 03 tersebut merasa belum memiliki pengalaman mengajar PLH.
Penyebab lain yang membuat guru agama dari SDN Gunung Bunder 03
merasa belum memiliki pengalaman mengajar PLH berkaitan dengan kurikulum
mata ajaran agama. Mayoritas siswa di sekolah beragama Islam, sehingga
pengajaran yang diberikan adalah Agama Islam. Kurikulum pendidikan Agama
Islam di sekolah dasar lebih menekankan pada pengetahuan-pengetahuan
keagamaan dan ibadah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah
SWT. Bahasan mengenai hubungan manusia dengan alam/lingkungan memang
ada namun belum menjadi fokus pengajaran dalam mata ajaran Agama Islam.
Marten (2001) menyatakan bahwa Islam lebih mementingkan kehidupan setelah
kematian serta hubungan manusia dengan Tuhannya dibandingkan dunia materil
dan kehidupan manusia di bumi yang hanya sementara saja. Hal tersebut juga
menjadi salah satu sebab guru agama di SDN Gunung Bunder 03 merasa tidak
memiliki pengalaman mengajar PLH.
c. Pendidikan dan pelatihan berkaitan dengan PLH
Pelaksanaan PLH oleh guru di sekolah akan dapat lebih efektif jika guru
memiliki bekal kemampuan untuk mengajarkan PLH. Guru bisa mendapatkan
bekal kemampuan tersebut melalui PLH formal maupun nonformal. Guru dari
sekolah-sekolah contoh sebagian besar (67,74%) belum pernah mendapatkan PLH
melalui jalur pendidikan formal sebelumnya, sebaliknya PLH non formal sudah
didapatkan oleh 58,06% guru melalui berbagai kegiatan (Tabel 4). Kegiatan-
kegiatan PLH non formal yang pernah diikuti sebagian guru dari sekolah contoh
adalah seminar PLH, pelatihan PLH, kegiatan tafakur alam saat masih SMA,
Search and Rescue (SAR) Sayaga Tagana dan Karang Taruna, Pecinta Alam,
kegiatan penanaman dan permainan alam dari pihak luar sekolah, serta kegiatan
terkait program WSLIC (Water Sanitation for Low Income Community) dari Bank
Dunia.
40
Tabel 4 PLH formal dan non formal yang pernah didapat guru Jenis PLH Jumlah %
PLH formal
Tidak ada 21 67,74
PLH formal di SD/sederajat 6 19,35
PLH formal di SMP/sederajat 2 6,45
PLH formal di SMA/sederajat 0 0,00
PLH formal di Perguruan Tinggi 2 6,45
PLH non Formal
Tidak ada 13 41,94
Seminar PLH 3 9,68
Lokakarya/Workshop PLH 0 0,00
Pelatihan PLH 2 6,45
Seminar dan Lainnya 4 12,90
Lokakarya dan Lainnya 3 9,68
Lainnya 6 19,35
d. Pengalaman organisasi yang kegiatannya fokus pada alam
Pengalaman guru mengikuti organisasi yang kegiatannya berfokus pada
alam, seperti misalnya Saka Wana Bakti (organisasi Pramuka yang kegiatannya
fokus pada kehutanan) dan organisasi pecinta alam, juga dapat memberikan bekal
kemampuan untuk mengajarkan PLH kepada guru. Keikutsertaan dalam
kegiatan-kegiatan organisasi tersebut dapat menumbuhkan persepsi positif
terhadap lingkungan yang dapat ditransfer oleh guru kepada siswanya.
Pengalaman organisasi seperti itupun dapat menumbuhkan minat dan kesenangan
guru terhadap PLH.
Tabel 5 Pengalaman guru dalam organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam
Pengalaman Organisasi Jumlah %
Tidak pernah 21 67,74
Saka Wana Bakti dan Pecinta Alam 1 3,23
Saka Wana Bakti, Pecinta Alam dan Lainnya 1 3,23
Pramuka 6 19,25
SAR 1 3,23
Kegiatan Penanaman pohon 1 3,23
41
Sebagian besar guru dari sekolah contoh (67,74%) tidak memiliki
pengalaman dalam organisasi yang kegiatannya fokus pada alam, sedangkan
sisanya menyatakan pernah mengikuti organisasi yang kegiatannya fokus pada
alam. Organisasi yang pernah diikuti oleh guru yaitu Saka Wana Bakti, Pecinta
Alam, Pramuka, dan SAR (Tabel 5).
e. Pengalaman berinteraksi dengan alam
Seorang tenaga pendidik lingkungan harus memiliki kemampuan untuk
mempelajari dan mengevaluasi permasalahan lingkungan serta peran serta dalam
pemecahan masalah lingkungan tersebut (NAAEE 2004). Kemampuan tersebut
dapat diasah dengan melakukan interaksi dengan alam/lingkungan. Pengalaman
guru berinteraksi dengan alam dapat menumbuhkan kepekaan guru terhadap
alam/lingkungan dan permasalahan terkait.
Tabel 6 Pengalaman guru berinteraksi dengan alam
Interaksi dengan Alam Jumlah %
Jenis Pengalaman
pengalaman positif 23 74,19
pengalaman negatif 2 6,45
pengalaman positif dan negatif 2 6,45
Tidak memberi jawaban 2 6,45
Jawaban tidak jelas 2 6,45
Waktu Mendapatkan Pengalaman
2005 – 2010 13 41,94
< 2005 3 9,68
Jawaban tidak jelas 9 29,03
Tidak memberi jawaban 6 19,35
Pengalaman positif saat berinteraksi dengan alam dinyatakan oleh 74,19%
guru, sedangkan masing-masing 6,45% guru menyatakan memiliki pengalaman
negatif, positif dan negatif, tidak memberikan jawaban, dan jawaban tidak
jelas/tidak dapat ditentukan positif atau negatifnya. Sebesar 41,94% guru
mendapatkan pengalaman pada kurun waktu 2005 – 2010 dan 9,68%
mendapatkan pengalaman interaksi dengan alam pada kurun waktu sebelum 2005.
42
f. Harapan guru
Pelaksanaan PLH di sekolah menumbuhkan berbagai harapan pada diri
guru. Harapan guru berkaitan dengan kapasitas guru untuk mengajar PLH kepada
siswanya di sekolah, sarana dan prasarana pendukung kegiatan belajar mengajar
PLH di sekolah, dan harapan terhadap pelaksanaan PLH secara umum di sekolah.
Tabel 7 Harapan guru berkaitan dengan kapasitas guru, sarana prasarana dan
pelaksanaan PLH di sekolah
Harapan Guru Jumlah %
Berkaitan dengan Kapasitas Guru
Ada upaya peningkatan kapasitas guru 13 41,94
PLH dapat meningkatkan kapasitas siswa 10 32,26
Tidak memberi jawaban 4 12,90
Lainnya 4 12,90
Berkaitan dengan Sarana Prasarana
Ketersediaan buku ajar dan alat bantu pengajaran 3 9,68
Ketersediaan media belajar/alat bantu pengajaran 2 6,45
Ketersediaan lahan yang luas 1 3,23
Peningkatan sarana prasarana 10 32,26
Ketersediaan kurikulum, buku penunjang dan media/alat bantu
pengajaran
2 6,45
Tidak memberi jawaban 4 12,90
Lainnya 9 29,03
Berkaitan dengan Pelaksanaan PLH
PLH dapat meningkatkan kapasitas guru, siswa 12 38,71
PLH membantu menciptakan lingkungan bersih, indah,
nyaman
3 9,68
Adanya peningkatan pelaksanaan PLH di sekolah 4 12,90
Ada keterlibatan pihak terkait 2 6,45
Tidak memberikan jawaban 4 12,90
Lainnya 6 19,35
Sebanyak 41,94% guru mengharapkan adanya upaya peningkatan kapasitas
guru melalui berbagai kegiatan. Selain itu 32,26% guru juga mengharapkan
adanya peningkatan sarana prasarana untuk mendukung kegiatan belajar mengajar
43
PLH di sekolah, tanpa menyebutkan secara spesifik sarana dan prasarana yang
dimaksud. Ketersediaan buku ajar dan alat bantu pengajaran diharapkan oleh
9,68% guru, ketersediaan media belajar/alat bantu pengajaran dan ketersediaan
kurikulum, buku penunjang dan media/alat bantu pengajaran masing-masing
diharapkan oleh 6,45% guru (Tabel 7).
PLH diharapkan dapat meningkatkan kapasitas guru dan siswa (38,71%),
membantu menciptakan lingkungan yang bersih, indah dan nyaman (9,68%).
Guru juga berharap ada peningkatan pelaksanaan PLH tanpa menyebutkan secara
rinci peningkatan yang diharapkannya (12,90%). Keterlibatan pihak terkait dalam
pelaksanaan PLH di sekolah nampaknya dirasa masih kurang, sehingga ada 6,45%
guru yang mengharapkan adanya keterlibatan pihak terkait, seperti perguruan
tinggi dan instansi terkait lainnya.
Sekolah-sekolah contoh letaknya berdekatan dengan kawasan hutan yang
juga menjadi kawasan wisata alam, namun sekolah-sekolah tersebut belum
mendapatkan dukungan yang intensif dalam pelaksanaan dan pengembangan PLH
sekolah dari pihak pengelola hutan, baik Perum Perhutani, maupun Taman
Nasional Gunung Halimun Salak. Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor sebagai
instansi yang bertanggung jawab terhadap perkembangan sekolah juga masih
lebih fokus pada pengembangan mata ajaran inti, sehingga belum menyentuh
PLH.
PLH adalah wadah dan sarana untuk membentuk generasi penerus yang
memiliki kemampuan untuk mengelola lingkungan dengan baik. Khusus untuk
sekolah di sekitar hutan, PLH dapat menjadi wadah untuk membentuk generasi
penerus yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk melakukan kegiatan
konservasi hutan. Para pengelola hutan dan institusi terkait seharusnya
mendukung sekolah sekitar hutan secara intensif dalam pengembangan dan
penyelenggaraan PLH agar sekolah dapat mengoptimalkan perannya dalam
menghasilkan SDM yang berkualitas.
5.1.2 Faktor Obyek/Sasaran yang Mempengaruhi Persepsi guru tentang
Penyelenggaraan PLH
Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) sebagai obyek/sasaran persepsi guru
merupakan hal dan istilah yang relatif baru bagi sebagian besar guru pada sekolah
44
dasar contoh, meskipun pada dasarnya materi-materi mengenai lingkungan sudah
sejak lama diajarkan kepada siswa di sekolah dasar. PLH sebagai suatu program
pengajaran baru mulai diterapkan secara lebih intensif di sekolah-sekolah contoh
tersebut setelah terbitnya SK Gubernur Jawa Barat No. 25 tahun 2007 mengenai
PLH. PLH pada keempat sekolah contoh dilaksanakan dengan pendekatan
kurikuler secara integratif pada berbagai mata ajaran dan pendekatan
ekstrakurikuler pada kegiatan Pramuka.
a. Pelaksanaan PLH dengan pendekatan kurikuler
Integrasi/penyisipan materi PLH ke dalam berbagai mata ajaran yang ada
disesuaikan dengan kurikulum yang digunakan dan relevansi mata ajaran dengan
materi PLH yang akan disisipkan. Kurikulum yang digunakan untuk tingkat kelas
1 – 3 SD menggunakan model silabus tematik, sedangkan kelas 4 – 6 sudah
menggunakan silabus masing-masing mata ajaran.
Materi PLH yang diberikan di keempat sekolah contoh bervariasi, mulai
dari materi yang murni bersumber dari kurikulum mata ajaran inti yang sudah ada,
sampai pengayaan dengan berbagai materi di luar kurikulum mata ajaran inti
namun masih memiliki relevansi kuat. Guru pada SDN Gunung Bunder 03 dan
Gunung Picung 06 masih mempergunakan materi yang murni bersumber dari
kurikulum mata ajaran inti yang ada, namun guru SDN Gunung Sari 01 mulai
memperkaya bahan ajarnya dengan mempergunakan materi dari buku ajar PLH
untuk sekolah dasar, sedangkan guru SDN Gunung Bunder 04 bahkan sudah
mempergunakan lebih banyak lagi buku sumber diluar buku ajar dari mata ajaran
inti yang ada guna memperkaya materi pengajarannya. Guru SDN Gunung
Bunder 04 juga sudah mulai menambah materi PLH pada mata ajaran inti seperti
Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (PJOK), dan Seni Budaya dan
Keterampilan (SBK), contohnya guru PJOK menambahkan indikator kemampuan
siswa untuk menirukan gerak binatang/satwa dalam kegiatan olahraga, dan guru
SBK memperkenalkan keterampilan berwawasan lingkungan dengan
mempergunakan bahan-bahan yang didapat dari lingkungan sekitar.
Metode instruksional yang sangat sesuai untuk mengajarkan PLH adalah
pengamatan dan penemuan langsung di lingkungan (NAAEE 2004). Metode
tersebut memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara siswa dengan
45
lingkungan yang menjadi sumber belajarnya. Pembelajaran di alam membantu
siswa memahami metode ilmiah tertentu, mendapatkan pengalaman lapang dan
meningkatkan kepekaan terhadap alam/lingkungan (Kenney et al. 2003).
Guru dari sekolah contoh yang telah menggunakan metode dan media yang
memberikan kesempatan bagi siswa untuk berinteraksi langsung dengan
lingkungan baru sebanyak 32,26% (Tabel 8). Guru yang terbanyak menggunakan
metode dan media yang memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara siswa
dengan lingkungan/alam adalah guru dari SDN Gunung Bunder 04. Keterbatasan
sarana prasarana fisik bangunan dan lahan sekolah, serta lokasi sekolah SDN
Gunung Bunder 04 yang sangat dekat dengan hutan, mendorong guru untuk
memanfaatkan lingkungan sekitar (kawasan hutan) sebagai media dan sumber
belajar bagi siswanya.
Tabel 8 Penggunaan metode dan media untuk pengajaran PLH oleh guru
Metode dan Media
Persentase Guru pada Sekolah Contoh Persentase
Guru
Keseluruhan Gunung
Sari 01
Gunung
Bunder 03
Gunung
Bunder 04
Gunung
Picung 06
Metode dan media
tidak memberikan
kesempatan siswa
berinteraksi langsung
dengan alam
71,43 25,00 22,22 57,14 41,94
Metode dan media
yang digunakan
memberikan
kesempatan siswa
berinteraksi langsung dengan alam
14,29 37,50 44,44 42,86 32,26
Lainnya 14,29 37,50 33,33 0,00 25,81
b. Pelaksanaan PLH dengan pendekatan ekstrakurikuler
PLH juga dilaksanakan dengan pendekatan ekstrakurikuler melalui
Pramuka. Pembina Pramuka pada keempat sekolah contoh adalah guru di sekolah
tersebut. Pembina Pramuka di SDN Gunung Sari 01 adalah guru kelas 5 dibantu
guru kelas 2 sebagai pembina putri, pembina Pramuka di SDN Gunung Bunder 03
adalah guru bidang studi Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
(PJOK/Penjaskes), pembina Pramuka di SDN Gunung Bunder 04 adalah guru
46
PJOK/Penjaskes dan dibantu guru kelas 3 sebagai pembina putri, pembina
Pramuka di SDN Gunung Picung 06 adalah guru kelas 6 dan guru kelas 4.
Kegiatan PLH yang diintegrasikan dalam Pramuka antara lain dilaksanakan
dalam bentuk kemah, pengamatan, penjelajahan dan penanaman. Peserta
Pramuka yang ikut dalam kegiatan pengenalan lingkungan pada keempat sekolah
contoh adalah siswa kelas 4 – 6 yang memiliki minat terhadap Pramuka, sehingga
tidak semua siswa mendapatkan pengalaman yang sama. Sejak tahun 2008,
Pramuka dari SDN Gunung Bunder 04 seringkali mengadakan latihan
gabungan/bersama dengan pramuka dari SDN Gunung Bunder 03. Pada kegiatan
tersebut terjalin kerjasama antara guru pembina pramuka dari dua sekolah yang
berbeda tersebut. Kerjasama tersebut dapat terjadi karena letak kedua sekolah
yang cukup berdekatan (sekitar 1 km), dan guru pembina Pramuka pada SDN
Gunung Bunder 04 dan SDN Gunung Bunder 03 sama-sama mengajar pada SMP
terbuka yang diselenggarakan di SDN Gunung Bunder 03.
Pada dua sekolah contoh lainnya belum ada kegiatan latihan gabungan
semacam itu. Wawancara dengan Pembina Pramuka dari SDN Gunung Bunder
mengungkapkan bahwa anggota Pramuka dari SDN Gunung Bunder 04 lebih
sering terlibat dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan PLH dibandingkan
dengan ketiga sekolah lainnya. Hal tersebut juga berkaitan dengan seringnya
SDN Gunung Bunder menjadi lokasi berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
PLH non formal yang diadakan oleh pihak luar sekolah, seperti misalnya kegiatan
penanaman dan permainan di alam.
5.1.3 Faktor Situasi
Faktor situasi yang membentuk/mempengaruhi persepsi guru tentang
penyelenggaraan PLH diidentifikasi dari kondisi fisik, biologis dan sosial sekolah.
Identifikasi kondisi fisik dan biologis sekolah dibatasi pada keberadaan sarana-
prasarana fisik maupun lingkungan biologis yang dapat digunakan untuk
mendukung kegiatan belajar mengajar PLH. SDN Gunung Bunder 04 memiliki
sarana fisik berupa bangunan sekolah dengan jumlah lokal/ruang kelas yang
paling sedikit dan lahan yang paling sempit jika dibandingkan dengan ketiga
sekolah contoh lainnya, namun sekolah ini terletak pada tepi jalan utama dan
paling dekat dengan kawasan hutan yang sekaligus juga menjadi tempat kegiatan
47
rekreasi/wisata alam (Tabel 9). Hal tersebut membuat SDN Gunung Bunder 04
sering dilibatkan dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak luar
sekolah, seperti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa, dan kegiatan
permainan alam yang diadakan oleh komunitas masyarakat peduli lingkungan.
Tabel 9 Kondisi umum sekolah contoh
Kondisi Sekolah
Sekolah Contoh
Gunung Sari
01
Gunung
Bunder 03
Gunung
Bunder 04
Gunung
Picung 06
Perkiraan jarak
dengan hutan (km)
1 2 0,8 2
Jumlah lokal/ruang kelas (ruang)
6 6 4 6
Lahan sisa Luas Agak luas Sempit Paling luas
Letak sekolah Agak masuk
gang
Tepi jalan
utama
Tepi jalan
utama
Masuk jauh ke
dalam gang
Buku sumber PLH Ada tambahan buku PLH
Buku ajar m.a. inti
Ada tambahan beberapa buku
sumber dari
berbagai pihak
Buku ajar m.a. inti
Intervensi PLH Guru, sebelum 2005
Belum ada Guru, 2009 Siswa, setelah 2005 (WSLic)
Gambar 5 Kondisi sekolah contoh: (a) SDN Gunung Sari 01; (b) SDN Gunung
Bunder 03; (c) SDN Gunung Bunder 04; (d) SDN Gunung Picung 06
(a) (b)
(c) (d)
48
Faktor lingkungan sosial pada keempat sekolah diidentifikasi berdasarkan
dukungan kepala sekolah dan sesama rekan guru. Dukungan kepala sekolah
dilihat dari rencana pengembangan PLH yang dimiliki oleh kepala sekolah pada
masing-masing sekolah contoh, sedangkan dukungan sesama guru dilihat dari
kerjasama guru dalam pelaksanaan PLH.
Kepala SDN Gunung Bunder 04 memiliki semangat dan keinginan yang
tinggi untuk pengembangan PLH di sekolahnya, dan memiliki rencana untuk
melaksanakan PLH secara monolitik bagi siswa di sekolahnya dengan
memanfaatkan cadangan waktu 2 jam pelajaran yang belum terpakai. Kepala
SDN Gunung Sari 01 merupakan kepala sekolah baru, masih beradaptasi dan
melanjutkan program dari kepala sekolah lama, namun memiliki keinginan untuk
mengembangkan berbagai kegiatan nonkurikuler yang dapat mendukung
pelaksanaan PLH di sekolah tersebut. Kepala sekolah SDN Gunung Bunder 03
dan SDN Gunung Picung 06 masih fokus pada pelaksanaan mata ajaran inti,
sehingga belum memiliki rencana untuk pengembangan PLH di sekolah.
Fasilitas untuk membangun dukungan dan kerjasama sesama rekan guru
sebetulnya sudah ada, yaitu berupa Kelompok Kerja Guru dan Himpunan Guru
Kelas yang mempertemukan para guru dari berbagai sekolah dalam suatu forum
untuk berdiskusi dan bertukar informasi dan pengetahuan, baik mengenai bahan
ajar maupun metode pengajaran, namun demikian diskusi serta tukar menukar
informasi dan pengetahuan yang terjadi dalam kedua forum tersebut masih
terbatas pada mata ajaran inti. Forum yang ada belum dimanfaatkan untuk
mendiskusikan mengenai pelaksanaan PLH.
Kerjasama dan dukungan antara sesama guru dalam pelaksanaan PLH
terutama terwujud pada SDN Gunung Bunder 04 dan SDN Gunung Sari 01. Para
guru menyatakan bahwa materi mengenai lingkungan hidup pada mata ajaran inti
seperti Bahasa Indonesia, PKN, IPS dan Agama, biasanya diberikan dalam bentuk
teori di kelas. Kesempatan praktek dan interaksi langsung dengan lingkungan
terlaksana pada mata ajaran IPA, PJOK, serta Seni Budaya dan Keterampilan
(SBK). Selain itu, kegiatan Pramuka juga melengkapi siswa dengan pengalaman
berinteraksi dengan lingkungan melalui berbagai kegiatannya. Pelaksanaan PLH
pada dua sekolah contoh lainnya masih sebatas materi yang ada pada mata ajaran
49
inti. Guru di sekolah tersebut melaksanakan pengajaran sesuai tanggung jawab
masing-masing di kelas atau pada bidang studi tertentu yang diajar, belum ada
kerjasama antar guru untuk saling melengkapi pengajaran PLH-nya.
Faktor obyek/sasaran dan situasi selanjutnya dirangkum dalam satu peubah
untuk keperluan melakukan analisis statistik lebih lanjut. Peubah dimaksud
adalah sekolah, karena keempat sekolah contoh memiliki kondisi yang berbeda-
beda dalam kaitannya dengan penerapan PLH pada masing-masing sekolah.
5.2 Persepsi guru tentang Lingkungan
Persepsi guru tentang lingkungan diinterpretasikan dari gambar dan definisi
yang dibuat oleh guru mengenai lingkungan. Gambar digunakan untuk
mengidentifikasi model mental yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan,
sedangkan definisi lingkungan digunakan untuk mengidentifikasi
gagasan/pengetahuan yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan.
Analisis terhadap gambar maupun tulisan dilakukan berdasarkan konsep
lingkungan North American Association for Environmental Education (NAAEE).
Guideliness for the Preparation and Professional Development of Environmental
Educators - Panduan untuk Persiapan dan Pengembangan Profesional Pendidik
Lingkungan Hidup (NAAEE 2004) menyebutkan bahwa seorang tenaga pendidik
lingkungan hidup harus dapat menjelaskan mengenai lingkungan dengan
memasukkan konsep-konsep sistem, saling ketergantungan, serta interaksi
diantara manusia, organisme hidup lainnya, lingkungan fisik/abiotik, dan
lingkungan buatan. Analisis terhadap gambar dan tulisan dilakukan dengan
melihat keberadaan keempat komponen lingkungan (manusia, biotik, abiotik dan
lingkungan buatan) serta konsep interaksi dan saling ketergantungan diantara
komponen tersebut, dalam gambar dan tulisan yang dibuat oleh guru.
Moseley dan Desjean-Perotta (2010) menyatakan bahwa model kognitif atau
model mental dibentuk oleh setiap individu berdasarkan pengetahuan, gagasan-
gagasan yang dimiliki, dan pengalaman yang dimilikinya dalam upaya
menginterpretasikan dan menjelaskan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya.
Gambar yang dibuat oleh para guru hampir seluruhnya menunjukkan suasana
pegunungan, namun ada pula yang menggambarkan hutan, pemukiman dan
50
sekolah. Suasana pegunungan tersebut merupakan lingkungan di sekitar sekolah
tempat guru mengajar maupun lingkungan di sekitar tempat tinggal guru tersebut,
suasana yang sudah lekat dalam keseharian guru sehingga membentuk model
mental guru mengenai lingkungan.
Hasil analisis terhadap gambar yang dibuat oleh para guru dari sekolah contoh
menunjukkan hanya ada dua gambar (6,45%) yang mencerminkan adanya
pemahaman guru akan interaksi, dan hanya ada tiga gambar (9,68%) yang
menggambarkan manusia (Tabel 10). Berdasarkan jumlah komponen lingkungan
yang digambarkan oleh guru, ada dua gambar (6,45%) yang menunjukkan
keberadaan keempat komponen lingkungan, sedangkan 70,97% gambar
menunjukkan tiga komponen lingkungan.
Tabel 10 Analisis terhadap gambar yang dibuat guru
Hasil Jumlah %
Konsep lingkungan yang digambarkan
Manusia 3 9,68
Biotik 25 80,65
Abiotik 28 90,32
lingkungan buatan 24 77,42
interaksi (skor 5 - 8) 2 6,45
interaksi sistem (skor >8) 0 0,00
gambar tidak jelas 2 6,45
tidak menggambar 1 3,23
Jumlah komponen digambarkan
Satu 0 0,00
Dua 4 12,90
Tiga 22 70,97
Empat 2 6,45
Berdasarkan konsep lingkungan NAAEE, sebagian besar (83,87%) gambar
yang dibuat para guru menunjukkan bahwa model mental yang dimiliki oleh guru
mengenai lingkungan tidak utuh. Sebagian besar gambar yang dibuat tampak
menempatkan manusia pada posisi di luar lingkungan yang digambarkan. Hal ini
dikarenakan saat guru diminta untuk menggambarkan lingkungan menurut
pemikirannya, maka guru melihat lingkungan sebagai sesuatu yang ada di luar
dirinya, menempatkan diri sebagai pengamat yang melihat kondisi di luar.
51
Faktor penyebab lainnya karena guru kurang memiliki kemampuan untuk
mengekspresikan pemikiran, gagasan ataupun persepsi yang dimilikinya mengenai
lingkungan dalam bentuk gambar. Hal tersebut tampak pada saat pengambilan data,
ada guru yang secara terus terang menyatakan ketidakmampuannya untuk membuat
gambar dan bahkan ada guru yang tidak membuat gambar apapun. Konsekuensi
dari hal tersebut adalah skor untuk gambar guru sebagian besar rendah, rata-rata
skor gambar guru sebesar 3 dari total kemungkinan skor tertinggi sebesar 12.
Hanya ada dua gambar yang mendapatkan skor antara 5 – 8, yang menunjukkan
pemahaman guru akan adanya interaksi dalam lingkungan.
Hal berbeda terlihat pada definisi lingkungan yang dibuat oleh para guru dari
keempat sekolah contoh. Jika pada gambar hanya ada tiga gambar manusia,
definisi yang dibuat oleh guru menunjukkan hal sebaliknya. Manusia disebutkan
pada 14 (45,16%) definisi lingkungan yang dituliskan oleh guru, dengan 6 definisi
(19,35%) diantaranya menyebutkan manusia dan saling ketergantungan dengan
lingkungan sekitarnya tanpa penyebutan faktor lingkungan secara spesifik (Tabel
11). Marten (2001) menyebutkan mengenai persepsi umum mengenai alam pada
masyarakat tradisional yang menekankan fakta bahwa segala sesuatu di alam saling
berhubungan, segala kegiatan manusia ada konsekuensinya, namun pandangan
tersebut tidak menekankan pada hubungan tersebut secara rinci.
Tabel 11 Analisis terhadap definisi lingkungan yang dibuat guru
Hasil Jumlah %
Konsep lingkungan yang disebutkan:
Manusia 14 45,16
Biotik 7 22,58
Abiotik 4 12,90
lingkungan buatan 2 6,45
interaksi dan saling ketergantungan 12 38,71
jawaban tidak jelas 15 48,39
Tidak memberi jawaban 1 3,23
Jumlah komponen lingkungan yang disebutkan: Satu 8 25,81
Dua 3 9,68
Tiga 3 9,68
Empat 1 3,23
52
Definisi yang dituliskan oleh guru 48,39% tidak jelas, sehingga keberadaan
faktor/komponen lingkungan tidak dapat diidentifikasi, dan satu guru (3,23%)
bahkan tidak menuliskan jawaban apapun (Tabel 11). Banyaknya jawaban guru
yang tidak jelas saat diminta untuk menuliskan definisi mengenai lingkungan
berdasarkan pemikirannya mengarah pada kesimpulan bahwa guru tidak memiliki
pemahaman yang baik tentang lingkungan. Guru tidak menguasai konsep
lingkungan secara utuh. Jika dibandingkan antara gambar dan tulisan yang dibuat
oleh guru, terlihat bahwa sebagian besar guru kurang memiliki kemampuan untuk
mengungkapkan gagasan, pemikiran ataupun persepsinya tentang lingkungan dalam
bentuk gambar maupun tulisan. Diskusi dengan guru juga menunjukkan bahwa
guru memang tidak terbiasa dan kurang mampu mengungkapkan pemikirannya
dalam bentuk gambar dan tulisan.
Instrumen DAET yang digunakan untuk mengukur persepsi guru tentang
lingkungan dikembangkan di negara maju yang masyarakatnya telah terbiasa
mengungkapkan pemikiran, gagasan ataupun persepsi yang dimiliki dalam bentuk
gambar ataupun tulisan. Penggunaan gambar dan tulisan sebagai bentuk
pengungkapan gagasan, pemikiran atau persepsi belum membudaya sebagai suatu
perilaku yang penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. Masyarakat Indonesia
lebih terbiasa mengungkapkan pemikirannya secara lisan. Pendidikan di Indonesia
belum mendorong penggunaan bentuk ekspresi gambar dan tulisan tersebut. Hal
tersebut telah membuat guru tidak dapat mengekspresikan/mengungkapkan
pemahamannya mengenai konsep lingkungan dengan baik dalam DAET.
Kemampuan guru untuk dapat mengungkapkan pemikiran, ide/gagasan dan
persepsi dengan berbagai cara sesungguhnya akan membuka pilihan yang lebih luas
bagi guru untuk menggunakan cara yang dapat lebih dipahami oleh siswanya.
Analisis statistik dengan menggunakan Spearman correlation dilakukan
terhadap hasil skor persepsi dari gambar yang dibuat guru dengan menggunakan
Draw-An-Environment-Test Rubric (DAET-R) untuk mengetahui keberadaan
asosiasi atau hubungan antara persepsi lingkungan guru dengan peubah usia,
pendidikan, masa kerja dan lama mengajar. Hasil analisis korelasi menunjukkan
bahwa tidak ada satupun nilai dari keempat peubah tersebut yang secara statistik
berbeda nyata, artinya keempat peubah tersebut tidak memiliki asosiasi/hubungan
53
dengan persepsi lingkungan. Persepsi mengenai lingkungan pada guru-guru dari
sekolah contoh tidak dipengaruhi oleh usia guru tersebut, pendidikan yang pernah
diikuti, masa kerja maupun lama mengajar.
Uji statistik dengan Mann-Whitney dan Kruskal-Wallis dilakukan untuk
melihat apakah peubah seperti tingkat pendidikan, sekolah tempat mengajar, jenis
kelamin, kelas yang pernah diasuh, kelas yang saat ini diasuh, mata ajaran khusus
yang pernah diasuh, mata ajaran khusus yang saat ini diasuh, tugas lainnya,
pengalaman mengajar PLH, PLH formal yang pernah diikuti, PLH non formal
yang pernah diikuti, pengalaman mengikuti organisasi yang kegiatannya berfokus
pada alam, serta pengalaman berinteraksi dengan alam dan waktu
mendapatkannya membentuk perbedaan persepsi lingkungan diantara guru. Hasil
analisis menunjukkan tidak ada satupun nilai yang secara statistik berbeda nyata,
sehingga dapat disimpulkan bahwa kesemua peubah tersebut tidak memberikan
perbedaan persepsi lingkungan pada guru.
Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di sekolah dilaksanakan oleh guru,
sehingga semestinya guru menguasai konsep lingkungan karena konsepsi
lingkungan atau persepsi lingkungan tersebutlah yang akan ditransfer kepada anak
didiknya. Guru juga perlu memiliki kemampuan untuk mengungkapkan
pemikirannya dengan berbagai bentuk ekspresi, yaitu lisan, tulisan, dan gambar,
sehingga guru memiliki pilihan yang lebih terbuka untuk menggunakan berbagai
kemampuannya bereskpresi yang dapat disesuaikannya dengan kondisi kelas dan
anak didiknya. Jika yang disampaikan oleh guru adalah persepsi yang tidak
utuh/terbatas, baik karena persepsi yang memang terbatas ataupun kemampuan
untuk mengungkapkannya yang terbatas, maka akan membentuk persepsi yang
juga tidak utuh/terbatas pada anak didik yang kemudian akan mempengaruhi
perilakunya terhadap lingkungan.
Persepsi lingkungan yang kurang lengkap atau terbatas, ataupun
kemampuan guru yang terbatas dalam mengungkapkan persepsinya tersebut
membutuhkan perhatian dari para pihak yang berkepentingan dengan pendidikan.
Tenaga pendidik lingkungan hidup harus memiliki pemahaman, keterampilan dan
sikap yang berkaitan dengan literasi lingkungan (NAAEE 2004). Para guru dari
sekolah contoh membutuhkan berbagai kegiatan untuk peningkatan kapasitasnya,
54
sehingga guru dapat memiliki pemahaman dan sikap yang baik mengenai
lingkungan, serta keterampilan yang dibutuhkan untuk dapat menyampaikan
pemahaman tersebut kepada para siswa/anak didiknya dengan efektif.
5.3 Persepsi guru tentang Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)
Persepsi guru tentang Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) diidentifikasi
melalui motivasi dan sikap guru terhadap PLH. Motivasi diukur pada enam
subskala/peubah, sedangkan sikap terhadap PLH diukur pada dua
subskala/peubah. Analisis faktor dilakukan terhadap skor yang didapat oleh guru
sekolah contoh dari kedelapan subskala/peubah tersebut, sehingga didapatkan
faktor baru yang secara ringkas menggambarkan persepsi guru terhadap PLH.
5.3.1 Persepsi Guru berdasarkan Motivasi Mengajar PLH
Motivasi diukur pada enam subskala/peubah, yaitu interest/enjoyment,
perceived competence, effort/importance, pressure/tension, perceived choice, dan
value/usefulness. Persepsi guru berdasarkan keenam peubah tersebut diuraikan
sebagai berikut.
a. Minat/Kesenangan Guru terhadap PLH
Subskala interest/enjoyment (minat) digunakan untuk mengukur minat dan
kesenangan guru terhadap PLH yang dapat menumbuhkan motivasi intrinsik pada
guru dalam mengajarkan PLH. Subskala minat diwakili oleh pernyataan nomor 1,
7, 13 dan 19 pada kuesioner bagian motivasi.
Tabel 12 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing
pernyataan dalam subskala interest/enjoyment
No. Pernyataan
Skor
5 4 3 2 1
% % % % %
1 Saya sangat menikmati kegiatan mengajar
PLH kepada siswa 35,48 51,61 9,68 3,23 0,00
7 Kegiatan mengajar PLH sangat
menyenangkan. 32,26 45,16 16,13 3,23 3,23
13 Saya rasa mengajar PLH adalah kegiatan
yang membosankan. 51,61 38,71 6,45 0,00 3,23
19 Mengajar PLH sama sekali tidak menarik
bagi saya. 74,19 25,81 0,00 0,00 0,00
Rata-rata 48,39 40,32 8,06 1,61 1,61
55
Skor 5 pada subskala interest/enjoyment yang diwakili oleh pernyataan
nomor 1, 7, 13 dan 19 berturut-turut menunjukkan bahwa kegiatan mengajar PLH
selalu sangat dinikmati oleh guru, selalu sangat menyenangkan bagi guru, selalu
tidak membosankan bagi guru, dan selalu menarik bagi guru. Selanjutnya skor 4
menunjukkan kegiatan mengajar PLH seringkali sangat dinikmati, seringkali
sangat menyenangkan, seringkali tidak membosankan dan seringkali menarik
bagi guru. Skor 3 menunjukkan kegiatan mengajar PLH kadang sangat
dinikmati, kadang sangat menyenangkan, kadang tidak membosankan dan
kadang menarik bagi guru. Skor 2 menunjukkan bahwa kegiatan mengajar PLH
seringkali tidak dapat dinikmati, seringkali tidak menyenangkan, seringkali
membosankan dan seringkali tidak menarik bagi guru, dan skor 1 menunjukkan
kegiatan mengajar PLH selalu tidak dapat dinikmati oleh guru, selalu tidak
menyenangkan, selalu membosankan dan selalu tidak menarik.
Sebagian besar guru mendapatkan skor 5 dan 4 pada keempat nomor
pernyataan subskala interest/enjoyment (Tabel 12). Hanya 8,06% guru yang
mendapatkan skor 3 dan masing-masing 1,61% guru yang mendapatkan skor 2
dan 1. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar guru dapat
menikmati kegiatan mengajar PLH dan merasa bahwa kegiatan tersebut sangat
menyenangkan, tidak membosankan, dan menarik. Hampir semua guru dari
sekolah contoh memiliki minat/kesenangan untuk mengajar PLH yang dapat
menumbuhkan motivasi intrinsik guru untuk mengajar PLH. Hal tersebut berarti
bahwa guru memiliki persepsi positif tentang PLH dalam hal minat/kesenangan
guru untuk mengajar PLH.
b. Kompetensi yang Dirasakan Guru dalam Mengajar PLH
Subskala perceived competence (kompetensi) mengukur persepsi guru
tentang kompetensi/kemampuan guru untuk mengajar PLH kepada siswanya.
Subskala kompetensi diwakili oleh pernyataan nomor 2, 8, 14, 20 dan 25 dalam
kuesioner bagian motivasi. Skor 5, 4, 3, 2, dan 1 pada masing-masing pernyataan
tersebut berturut-turut berarti bahwa guru selalu, seringkali, kadang, seringkali
tidak, dan selalu tidak merasa sangat mampu mengajar PLH, merasa
kemampuannya mengajar PLH cukup baik jika dibandingkan guru lain, merasa
56
sangat puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya, merasa terampil
mengajar PLH, dan merasa dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya.
Guru yang merasa sangat mampu mengajar PLH (skor 5 dan 4) lebih sedikit
persentasenya dibandingkan guru yang merasa sebaliknya (skor 2 dan 1),
sedangkan persentase guru yang kadang merasa sangat mampu dan kadang
sebaliknya cukup besar, yaitu 38,71% (Tabel 13). Jika diminta membandingkan
kemampuannya mengajar PLH dengan guru lainnya (pernyataan nomor 8), lebih
dari 50% guru merasa kemampuannya mengajar PLH tidak cukup baik. Hal
tersebut berarti bahwa guru kurang percaya diri akan kemampuannya mengajar
PLH dibandingkan guru lainnya.
Tabel 13 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing
pernyataan dalam subskala perceived competence
No Pernyataan
Skor
5 4 3 2 1
% % % % %
2 Saya merasa sangat mampu mengajar
PLH. 3,23 25,81 38,71 25,81 6,45
8 Saya rasa kemampuan saya mengajar PLH
cukup baik jika dibandingkan dengan guru
lain. 0,00 6,45 29,03 38,71 25,81
14 Saya sangat puas dengan pengajaran PLH yang saya lakukan. 9,68 19,35 48,39 19,35 3,23
20 Saya merasa terampil mengajar PLH. 3,23 6,45 35,48 38,71 16,13
25 Saya tidak dapat mengajar PLH sebaik
materi lainnya. 0,00 25,81 48,39 12,90 12,90
Rata-rata 3,23 16,77 40,00 27,10 12,90
Persentase guru yang mendapatkan skor 5 (9,68%) pada pernyataan nomor
14 lebih besar daripada guru yang mendapatkan skor 1 (3,23%), sedangkan guru
yang mendapatkan skor 4 dan 2 sama banyak (19,35%). Persentase guru terbesar
(48,39%) mendapatkan skor 3. Hal tersebut menunjukkan bahwa persentase guru
yang selalu merasa sangat puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya lebih
besar dibandingkan guru yang selalu merasa sangat tidak puas dengan pengajaran
PLH yang dilakukannya. Hampir setengah jumlah guru terkadang merasa sangat
puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya, yang juga berarti bahwa guru
kadang merasa sangat tidak puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya.
Kepuasan guru akan pengajaran PLH yang dilakukannya dapat bersumber dari
57
harapan dan upaya yang telah dilakukan dalam pengajaran PLH kepada siswa dan
hasil respon siswa yang didapatkan dari upayanya tersebut. Guru yang selalu
merasa sangat puas menunjukkan bahwa hasil yang didapatkan sesuai dengan
harapan dan upaya yang telah dilakukannya, sebaliknya guru yang merasa tidak
puas mendapatkan respon yang tidak sesuai dengan harapan dan upaya yang telah
dilakukannya.
Penilaian guru terhadap keterampilannya mengajar PLH diwakili dalam
pernyataan nomor 20. Persentase guru yang mendapatkan skor tinggi pada
pernyataan ini lebih rendah dibandingkan guru yang mendapatkan skor rendah
(Tabel 13). Persentase guru yang seringkali merasa tidak terampil mengajar PLH
paling besar, yaitu sebesar 38,71%. Guru yang selalu merasa tidak terampil
mengajar PLH sebesar 16,13%, persentase yang lebih besar daripada guru yang
merasa terampil mengajar PLH. Ini berarti lebih banyak guru yang merasa tidak
terampil mengajar PLH.
Pernyataan nomor 25 mengacu pada kemampuan guru mengajar PLH
dibandingkan materi lainnya. Pada pernyataan ini persentase guru yang terbesar,
yaitu 48,39%, menyatakan bahwa guru kadang dapat mengajar PLH sebaik materi
lainnya. Tidak ada guru yang menyatakan selalu dapat mengajar PLH sebaik
materi lainnya, namun ada 25,81% guru yang seringkali dapat mengajar PLH
sebaik materi lainnya, dan masing-masing 12,90% guru menyatakan seringkali
tidak dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya dan selalu tidak dapat mengajar
PLH sebaik materi lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa guru masih kurang
percaya diri dengan kemampuannya mengajar PLH dibandingkan pengajaran
materi lain.
Secara keseluruhan pada subskala kompetensi ini, lebih banyak guru yang
merasa kemampuan/kompetensi yang dimilikinya dalam mengajar PLH masih
kurang. Persepsi guru tentang kompetensi atau kemampuannya dalam mengajar
PLH sesungguhnya akan mempengaruhi cara guru mengajar PLH. Guru yang
merasa memiliki kemampuan akan lebih percaya diri dalam memberikan materi-
materi PLH kepada siswanya dan dapat menumbuhkan kepercayaan siswa
terhadap guru dan materi yang diberikannya, sehingga dapat memberikan respon
yang baik dari siswa.
58
c. Upaya/Arti Penting PLH bagi Guru
Effort/importance (upaya/arti penting) merupakan subskala yang mengukur
upaya yang dilakukan guru dalam mengajar PLH dan pandangan guru terhadap
arti PLH bagi dirinya. Subskala ini diwakili oleh pernyataan nomor 3, 9, 15, 21
dan 26. Pernyataan nomor 3, 9, dan 26 merujuk pada upaya keras yang dilakukan
guru untuk mengajarkan PLH kepada siswa, pernyataan nomor 21 merujuk pada
energi yang harus dikeluarkan oleh guru untuk mengajarkan PLH kepada siswa,
dan pernyataan nomor 15 mengacu pada arti penting pengajaran PLH bagi guru.
Sebagian besar guru (ditunjukkan oleh persentase guru yang mendapatkan
skor 5 dan 4) merasa selalu atau seringkali harus berupaya keras untuk
mengajarkan PLH kepada siswa, berusaha sangat keras untuk dapat mengajarkan
PLH kepada siswa dan mencoba sangat keras untuk dapat mengajar PLH dengan
baik (Tabel 14). Sebanyak 45,16% guru merasa harus mengeluarkan banyak
energi untuk mengajarkan PLH kepada siswa. Guru juga merasakan pentingnya
mengajarkan PLH dengan baik kepada siswa.
Tabel 14 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing
pernyataan dalam subskala effort/importance
No Pernyataan
Skor
5 4 3 2 1
% % % % %
3 Saya harus berupaya keras untuk dapat
mengajarkan PLH kepada para siswa. 38,71 41,94 16,13 0,00 3,23
9 Saya tidak perlu berusaha sangat keras untuk
dapat mengajarkan PLH kepada para siswa. 45,16 41,94 9,68 3,23 0,00
15 Bagi saya, mengajar PLH dengan baik
adalah hal yang penting. 74,19 22,58 3,23 0,00 0,00
21 Saya tidak mengeluarkan banyak energi
untuk mengajar PLH kepada para siswa. 9,68 45,16 19,35 25,81 0,00
26 Saya mencoba sangat keras untuk dapat
mengajar PLH dengan baik. 32,26 41,94 25,81 0,00 0,00
Rata-rata 40,00 38,71 14,84 5,81 0,65
Hasil dari subskala upaya/arti penting ini menunjukkan bahwa pandangan
guru mengenai pentingnya mengajarkan PLH dengan baik kepada siswa
nampaknya diwujudkan oleh guru dengan mencurahkan upaya keras dan energi
yang besar dalam mengajarkan PLH tersebut. Guru memiliki dorongan/motivasi
59
yang kuat dalam mengajarkan PLH kepada siswa dengan baik karena merasakan
pentingnya hal tersebut bagi guru.
d. Beban/Tekanan yang Dirasakan Guru dalam Mengajar PLH
Beban/tekanan yang dirasakan guru dalam mengajar PLH diukur dengan
subskala pressure/tension (beban). Subskala ini mencoba menggali apakah guru
merasa bahwa mengajar PLH merupakan sebuah beban/tekanan bagi dirinya
dengan berbagai pernyataan yang merujuk pada perasaan gugup, tegang, tidak
tenang, gelisah dan tertekan yang dirasakan oleh guru jika harus mengajar PLH.
Skor 5 dan 4 menunjukkan bahwa mengajar PLH bukan merupakan beban bagi
guru. Guru selalu dan seringkali merasa tidak gugup, tidak tegang, tenang, tidak
gelisah dan tidak tertekan saat mengajar PLH. Skor 2 dan 1 menunjukkan hal
berlawanan, yaitu bahwa mengajar PLH merupakan beban bagi guru. Guru
seringkali dan selalu merasa gugup, tegang, tidak tenang, gelisah dan tertekan saat
mengajar PLH.
Tabel 15 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing
pernyataan dalam subskala pressure/tension
No Pernyataan
Skor
5 4 3 2 1
% % % % %
4 Saya sama sekali tidak merasa gugup saat
mengajar PLH. 25.81 35.48 19.35 12.90 6.45
10 Saya merasa sangat tegang saat mengajar
PLH. 35.48 32.26 29.03 3.23 0.00
16 Saya merasa tenang saat mengajar PLH. 16.13 45.16 35.48 3.23 0.00
22 Saya merasa gelisah jika mengajar PLH. 38.71 32.26 25.81 0.00 3.23
27 Saya merasa tertekan jika mengajar PLH. 48.39 32.26 12.90 0.00 6.45
Rata-rata 32.90 35.48 24.52 3.87 3.23
Secara keseluruhan lebih banyak guru yang merasakan bahwa mengajar
PLH bukan beban bagi dirinya, karena guru tidak merasa gugup, tegang, tidak
tenang, gelisah dan tertekan saat mengajar PLH (ditunjukkan oleh persentase guru
yang mendapatkan skor 5 dan 4 pada Tabel 15). Pada sekolah-sekolah tersebut
pengajaran PLH masih dilaksanakan secara integratif dalam berbagai mata ajaran
inti yang ada, belum menjadi sebuah program pengajaran tersendiri. Selain itu
tidak ada target pencapaian kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah berkaitan
60
dengan PLH, sehingga guru tidak harus mengejar target pencapaian kurikulum
seperti halnya pada mata ajaran inti. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian
besar guru tidak merasa pengajaran PLH menjadi suatu beban, namun ada juga
sebagian guru (24,52%) yang merasa PLH kadang menjadi beban. Hal tersebut
diduga berkaitan dengan kompetensi guru untuk mengajar PLH.
e. Pilihan yang Dirasakan Guru dalam Mengajar PLH
Subskala perceived choice (pilihan) mengukur pilihan yang dirasakan guru
dalam mengajar PLH, sehingga dapat memberikan gambaran motivasi yang
dimiliki guru untuk mengajar PLH. Ryan et al. (1991) menyatakan bahwa saat
termotivasi secara intrinsik, orang akan merasakan minat/kesenangan dan pilihan
terhadap sesuatu yang dilakukannya. Skor tinggi pada subskala minat
(interest/enjoyment) dan subskala pilihan ini menunjukkan bahwa guru memiliki
motivasi intrinsik.
Tabel 16 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing
pernyataan dalam subskala perceived choice
No. Pernyataan
Skor
5 4 3 2 1
% % % % %
5 Saya percaya bahwa saya punya pilihan
dalam mengajarkan PLH. 16,13 29,03 22,58 19,35 12,90
11 Saya tidak punya pilihan dalam mengajar
PLH. 29,03 35,48 25,81 6,45 3,23
17 Saya merasakan adanya keharusan untuk
mengajar PLH. 6,45 3,23 19,35 22,58 48,39
23 Saya mengajar PLH karena saya tidak punya
pilihan lain. 58,06 25,81 9,68 6,45 6,45
28 Saya mengajar PLH karena saya ingin
melakukannya. 38,71 29,03 25,81 6,45 0,00
30 Saya mengajar PLH karena saya harus
melakukannya. 3,23 3,23 19,35 25,81 48,39
Rata-rata 25,3 21,0 20,4 14,5 19,9
Pernyataan nomor 5, 11 dan 23 mengukur pilihan yang dirasakan oleh guru
dalam mengajar PLH. Pernyataan 5 dan 11 berimplikasi pada pilihan pola
pengajaran PLH guru, sedangkan pernyataan 23 berimplikasi pada pilihan
mengajar PLH sebagai sebuah tugas. Tabel 16 menunjukkan bahwa pada ketiga
pernyataan yang berkaitan dengan pilihan tersebut persentase guru yang merasa
61
punya pilihan (skor 5 dan 4) terkait pengajaran PLH lebih besar daripada guru
yang merasa tidak punya pilihan (skor 2 dan 1). Lebih banyak guru yang merasa
punya pilihan dalam mengajar PLH, baik dalam kaitannya dengan pola pengajaran
maupun PLH sebagai sebuah tugas.
Pernyataan nomor 17 dan 30 berkaitan dengan keharusan yang dirasakan
guru dalam mengajar PLH. Pada kedua pernyataan tersebut guru yang merasakan
keharusan dalam mengajar PLH (skor 2 dan 1) lebih besar persentasenya
dibandingkan guru yang merasakan ketidak harusan mengajar PLH. Ryan et al.
(1991) menyatakan bahwa saat orientasi seseorang dalam melakukan sesuatu
bergeser dari keinginannya untuk melakukan sesuatu dengan baik menjadi
keharusan untuk melakukan sesuatu dengan baik untuk mempertahankan harga
dirinya, maka motivasi intrinsiknya menurun. Namun guru nampaknya
merasakan keharusan untuk mengajar PLH karena memandang PLH sebagai hal
yang penting untuk dilakukan, bukan semata-mata untuk mempertahankan harga
diri, mengingat PLH belum dibakukan dalam kurikulum standar dengan target
yang harus dikejar guru. Sebagian besar guru juga menyatakan mengajar PLH
karena ingin melakukannya (pernyataan nomor 28).
Secara keseluruhan pada subskala ini, rata-rata persentase guru yang
mendapatkan skor 5 dan 4 lebih besar dibandingkan persentase guru yang
mendapatkan skor 2 dan 1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara
keseluruhan guru yang memiliki motivasi intrinsik untuk mengajar PLH lebih
besar persentasenya dibandingkan guru yang tidak memiliki motivasi intrinsik.
f. Nilai/Kegunaan PLH menurut Guru
Nilai/kegunaan PLH menurut guru diukur dengan menggunakan subskala
value/usefulness yang diwakili oleh pernyataan nomor 6, 12, 18, 24 dan 29.
Pernyataan nomor 6 merujuk pada kepercayaan guru bahwa mengajar PLH
bermanfaat bagi dirinya, pernyataan nomor 12 merujuk pada kepercayaan guru
bahwa mengajar PLH berguna untuk membentuk kepedulian siswa terhadap
lingkungan, pernyataan nomor 18 merujuk pada kepercayaan guru bahwa PLH
penting untuk diajarkan karena dapat memberi pengaruh positif bagi siswa,
pernyataan nomor 24 merujuk pada kesediaan guru untuk kembali mengajar PLH
62
karena dirasa bermanfaat bagi dirinya, dan pernyataan nomor 29 merujuk pada
pendapat guru bahwa pengajaran PLH merupakan hal yang penting.
Ada 9,68% guru yang menyatakan bahwa pernyataan nomor 6 selalu tidak
benar bagi dirinya, artinya guru tersebut merasa bahwa mengajar PLH selalu tidak
bermanfaat bagi dirinya (Tabel 17). Pernyataan tersebut diberikan oleh guru yang
mengajar pada tingkat kelas rendah (kelas 1 – 3 SD). Pada pernyataan nomor 12
“Saya rasa mengajar PLH berguna untuk membentuk kepedulian siswa terhadap
lingkungan”, ada 3,23% guru yang menyatakan pernyataan nomor 12 kadang
benar (kadang tidak benar) bagi dirinya. Selebihnya guru menyatakan dengan
intensitas kebenaran berbeda (selalu benar dan seringkali benar) bagi dirinya
bahwa mengajar PLH berguna untuk membentuk kepedulian siswa terhadap
lingkungan.
Tabel 17 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing
pernyataan dalam subskala value/usefulness
No. Pernyataan
Skor
5 4 3 2 1
% % % % %
6 Saya percaya mengajar PLH bermanfaat
bagi saya. 67,74 16,13 6,45 0,00 9,68
12 Saya rasa mengajar PLH berguna untuk
membentuk kepedulian siswa terhadap lingkungan 74,19 22,58 3,23 0,00 0,00
18 Saya rasa PLH penting untuk diajarkan
karena dapat memberi pengaruh positif bagi
siswa. 77,42 19,35 0,00 0,00 3,23
24 Saya akan bersedia untuk mengajar PLH lagi
karena mengajarkan PLH bermanfaat bagi
saya 41,94 32,26 19,35 3,23 3,23
29 Menurut saya mengajar PLH adalah hal
yang penting 64,52 19,35 12,90 3,23 0,00
Rata-rata 65,16 21,94 8,39 1,29 3,23
Pada pernyataan nomor 18 bahwa PLH penting untuk diajarkan karena
dapat memberi pengaruh positif bagi siswa, ada 3,23% guru yang menyatakan
selalu tidak benar. Pernyataan tersebut diberikan oleh guru kelas 2. Pengajaran
PLH yang diberikan oleh guru tersebut kepada siswa kelas 2 nampaknya belum
memberikan pengaruh positif pada siswa. Pernyataan nomor 24 merujuk pada
kesediaan guru untuk mengajar PLH lagi karena mengajarkan PLH bermanfaat
bagi dirinya. Ada masing-masing 3,23% guru yang mendapatkan skor 1 dan 2
63
pada pernyataan tersebut. Artinya ada guru yang merasa kondisi dalam
pernyataan tersebut selalu tidak benar dan seringkali tidak benar bagi dirinya.
Guru yang mendapatkan skor 1 pada pernyataan tersebut adalah guru kelas 1,
sedangkan guru dengan skor 2 pada pernyataan tersebut adalah guru kelas 3.
Ada 3,23% guru yang merasa mengajar PLH seringkali bukan menjadi hal
yang penting (pernyataan nomor 29), yang berimplikasi bahwa ada materi
pengajaran lain yang lebih penting baginya. PLH yang belum menjadi prioritas
pengembangan dan pelaksanaan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor sebagai
instansi yang bertanggung jawab dalam pengembangan sekolah diduga sebagai
salah satu penyebab hal tersebut. Pada dinas tersebut mata ajaran inti masih
menjadi fokus untuk pengembangan dan pelaksanaannya. Selain itu target
kelulusan siswa dari sekolah dasar masih sepenuhnya berdasar pada mata ajaran
inti sehingga guru memiliki tekanan untuk mengejar target kurikulum mata ajaran
inti, yang mengakibatkan PLH tidak atau belum menjadi prioritas di sekolah,
sehingga guru merasa PLH menjadi tidak penting.
Persentase guru yang berpendapat bahwa mengajar PLH memiliki nilai dan
kegunaan/manfaat baik bagi dirinya maupun bagi siswanya secara keseluruhan
jauh lebih besar daripada guru yang merasa bahwa mengajar PLH kurang atau
tidak memiliki nilai dan kegunaan/manfaat bagi dirinya dan siswanya. Guru yang
merasa kurangnya nilai/manfaat PLH baik bagi dirinya maupun siswanya
merupakan guru yang mengajar tingkat kelas rendah (kelas 1 – 3 SD), pada SDN
Gunung Bunder 03 dan SDN Gunung Bunder 04.
Guru merasa pengajaran PLH pada kelas rendah tidak bermanfaat dan tidak
bersedia melakukan pengajaran PLH lagi dapat disebabkan beberapa hal.
Pertama, pengajaran PLH pada kelas rendah masih sangat terbatas pada materi
lingkungan yang terdapat dalam kurikulum mata ajaran inti yang sifatnya
sederhana dan teoritis diberikan di kelas, sehingga guru pada kelas rendah tidak
merasakan manfaat pengajaran PLH bagi dirinya. Kedua, pengajaran yang
bersifat teoritis di kelas belum dapat memberikan respon positif pada perilaku
siswa terhadap lingkungan.
Ketiga, anak usia 6 – 9 tahun (usia siswa SD pada tingkat kelas rendah, 1 –
3 SD) biasanya masih membawa perilaku masa balita yang masih sulit
64
memfokuskan perhatian dan mempertahankan perhatian dalam jangka waktu
lama. Anak usia tersebut biasanya masih senang bermain-main, meskipun sudah
mulai dapat diarahkan, karena anak usia 6 – 11 tahun (periode middle dan late
childhood) mulai menguasai keahlian membaca, menulis dan menghitung serta
semakin mampu mengendalikan diri (Santrock 2008). Santrock (2008) juga
menguraikan tahapan perkembangan kognitif Piaget yang menyatakan bahwa
anak usia 6 – 7 tahun berada pada tahap pra-operasional dan anak usia 8 – 9 tahun
berada pada tahap operasional konkret. Tahap pra-operasional, yaitu masa
seorang anak berpikir secara egoistis dan intuitif berdasarkan perspektif dirinya
sendiri, dan memusatkan perhatian hanya pada satu karakteristik dan
mengabaikan karakteristik lainnya dari sesuatu. Tahap operasional konkret adalah
tahap saat pemikiran logis mulai menggantikan pemikiran intuitif, namun pada
situasi konkret.
Karakteristik perkembangan siswa pada tingkat kelas rendah yang demikian
menuntut guru untuk memiliki kesabaran, kesediaan mencurahkan upaya dan
kemampuan mengendalikan perilaku siswa yang lebih besar. Hal tersebut dapat
dirasa sebagai sesuatu yang memberatkan guru, terutama dalam pengajaran PLH
yang menuntut dibukanya kesempatan bagi siswa untuk dapat berinteraksi
langsung dengan alam/lingkungan. Interaksi langsung dengan alam berarti
membawa siswa keluar kelas yang berarti adanya tuntutan curahan waktu dan
energi lebih dari guru dalam mengarahkan siswanya, terutama guru tingkat kelas
rendah tersebut. Pengajaran PLH dengan praktek interaksi langsung dengan alam
pada SDN Gunung Bunder 04 diberikan pada mata ajaran PJOK yang ditangani
oleh satu guru khusus, bukan oleh guru kelas, sehingga guru kelas rendah menjadi
tidak merasakan manfaat pengajaran PLH bagi dirinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi positif
berdasarkan motivasinya untuk mengajar PLH, namun guru juga memiliki
persepsi bahwa kompetensinya rendah untuk mengajar PLH. Sebagian besar guru
memiliki pandangan bahwa mengajar PLH dapat dinikmati, menyenangkan, tidak
membosankan dan menarik. Guru juga memandang PLH sebagai program yang
penting dan memiliki manfaat, baik bagi dirinya, siswanya, maupun lingkungan.
65
Guru merasa memiliki pilihan dalam mengajar PLH dan tidak merasa terbebani,
Persepsi tersebut berkembang karena PLH belum dibakukan dalam sebuah
kurikulum standar dengan target yang harus dicapai oleh guru, sehingga guru
masih memiliki kebebasan dan pilihan dalam mengajar PLH, baik berkaitan
dengan materi, maupun metode yang digunakan. Hal-hal tersebut menunjukkan
bahwa guru memiliki motivasi yang bersifat intrinsik atau otonomi yang dapat
menjadi modal dasar guru untuk melaksanakan PLH yang efektif.
Selain motivasi intrinsik atau otonomi sebagai modal dasar guru,
pelaksanaan PLH yang efektif juga harus didukung oleh kompetensi guru yang
baik. Persepsi positif guru terhadap kompetensinya dapat lebih meningkatkan
rasa percaya diri dan memperluas pilihan guru dalam mengajar PLH. Persepsi
guru yang merasa bahwa dirinya kurang atau tidak kompeten dalam mengajar
PLH menjadi permasalahan yang menyebabkan pengajaran PLH yang efektif
menjadi sulit untuk dicapai. Assor dan Oplatka (2003) diacu dalam Roth et al.
(2007) menyatakan bahwa kepala sekolah dapat membantu meningkatkan
motivasi otonomi guru untuk mengajar dengan mendorong keterlibatan guru
dalam pengambilan keputusan besar, mendelegasikan kewenangan, berupaya
memahami kebutuhan guru, dan membantu berkembangnya struktur organisasi
dan iklim yang mendukung rasa keterikatan dan kompetensi guru. Fasilitasi perlu
pula dilakukan agar guru dapat mengeksplorasi identitas profesionalnya dan
membentuk visi diantara guru, sehingga guru dapat mengeksplorasi nilai dan tipe
pengetahuan yang ingin mereka sampaikan kepada siswa, dan materi yang mereka
anggap penting dan dapat dinikmati/menyenangkan (Roth et al. 2007).
5.3.2 Persepsi Guru berdasarkan Sikap terhadap PLH
Sikap guru terhadap PLH diukur pada dua subskala, yaitu self-efficacy
belief/personal EE teaching efficacy (PETE) dan outcome expectancy/EE teaching
outcome expectancy (ETOE). Skor 5 pada kedua subskala tersebut menunjukkan
bahwa guru sangat setuju terhadap pernyataan positif dan sangat tidak setuju
terhadap pernyataan negatif, skor 4 menunjukkan bahwa guru setuju terhadap
pernyataan positif dan tidak setuju terhadap pernyataan negatif, skor 3
menunjukkan bahwa guru tidak dapat menentukan kesetujuannya, skor 2
menunjukkan bahwa guru tidak setuju terhadap pernyataan positif dan setuju
66
terhadap pernyataan negatif, skor 1 menunjukkan bahwa guru sangat tidak setuju
terhadap pernyataan positif dan sangat setuju terhadap pernyataan negatif. Skor 5
dan 4 menunjukkan bahwa guru memiliki sikap positif, skor 3 menunjukkan
bahwa guru tidak dapat menentukan sikap, sedangkan skor 2 dan 1 menunjukkan
bahwa guru memiliki sikap yang negatif.
a. Efektivitas Diri Guru dalam Mengajar PLH
Subskala self-efficacy belief/personal EE teaching efficacy (PETE),
mengukur kepercayaan diri guru terhadap kemampuannya untuk mengajar PLH
secara efektif. Subskala efektivitas diri ini diwakili 13 pernyataan, yaitu
pernyataan nomor 2, 3, 5, 6, 8, 12, 17, 18, 19, 20, 21, 22, dan 23 dalam kuesioner
bagian sikap.
Seluruh guru menyatakan kesetujuannya terhadap pernyataan nomor 2
dengan derajat kesetujuan masing-masing, yaitu 74,19% sangat setuju dan 25,81%
setuju (Tabel 18), artinya semua guru dari sekolah contoh akan terus berusaha
untuk menemukan cara yang lebih baik dalam mengajar PLH. Sebagian guru
(19,35%) memperoleh skor 5 dan lebih dari setengah jumlah guru (51,84%)
memperoleh skor 4 pada pernyataan nomor 3, artinya sebagian besar guru
memiliki persepsi bahwa jika berusaha keras, guru akan dapat mengajar PLH
sebaik pada mata ajaran lainnya. Namun adapula guru yang meragukan
kemampuannya mengajar PLH akan dapat sebaik pada mata ajaran lainnya
meskipun telah berusaha keras (19,35%), dan ada guru yang merasa bahwa
meskipun berusaha keras tetap tidak akan dapat mengajar PLH sebaik pada mata
ajaran lain (6,45%). Guru tersebut tampaknya kurang memiliki kepercayaan diri
untuk mengajar PLH.
Pernyataan nomor 5 berkaitan dengan pengetahuan guru akan langkah
pengajaran PLH yang efektif. Sebanyak 12,90% guru sangat setuju dan 38,71%
guru setuju terhadap pernyataan tersebut. Artinya guru tersebut berpandangan
bahwa dirinya tahu langkah-langkah untuk mengajar PLH secara efektif. Namun
ada pula guru (45,16%) yang ragu terhadap pengetahuannya akan langkah-
langkah mengajar PLH secara efektif, dan 3,23% guru yang merasa bahwa dirinya
tidak tahu. Persentase guru yang ragu terhadap pengetahuannya akan langkah-
langkah mengajar PLH secara efektif cukup besar, sehingga perlu mendapatkan
67
perhatian. Guru yang meragukan pengetahuannya akan sulit untuk dapat
menerapkan pengajaran PLH yang efektif.
Tabel 18 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing
pernyataan dalam subskala personal EE teaching efficacy (PETE)
No. Pernyataan
Persentase Guru pada Skor
5 4 3 2 1
% % % % %
2 Saya akan terus berupaya menemukan cara
yang lebih baik dalam mengajar PLH 74,19 25,81 0,00 0,00 0,00
3 Meskipun saya berusaha keras, saya tidak
akan dapat mengajar PLH sebaik pada mata
ajaran lainnya 19,35 54,84 19,35 6,45 0,00
5 Saya tahu langkah-langkah yang diperlukan untuk mengajar PLH secara efektif 12,90 38,71 45,16 3,23 0,00
6 Saya tidak bisa melakukan kegiatan
monitoring secara efektif 0,00 41,94 45,16 6,45 6,45
8 Secara umum saya tidak dapat mengajar PLH secara efektif 9,68 48,39 25,81 12,90 3,23
12 Saya memahami PLH dengan cukup baik
sehingga dapat mengajar PLH secara efektif 12,90 41,94 29,03 12,90 3,23
17 Saya akan menemui kesulitan untuk menjelaskan kepada siswa mengapa
percobaan ilmiah yang melibatkan topik
lingkungan dapat dilakukan 3,23 25,81 32,26 29,03 9,68
18 Biasanya saya bisa menjawab pertanyaan
siswa tentang PLH 12,90 61,29 25,81 0,00 0,00
19 Saya tidak yakin apakah saya memiliki
ketrampilan yang diperlukan untuk mengajar
PLH 3,23 38,71 51,61 3,23 3,23
20 Jika diberi pilihan, saya tidak akan meminta
kepala sekolah untuk mengevaluasi
pengajaran PLH saya 12,90 61,29 12,90 12,90 0,00
21 Jika siswa mengalami kesulitan untuk
memahami suatu konsep PLH, biasanya saya
tidak tahu bagaimana cara membantu siswa
tersebut. 25,81 48,39 19,35 6,45 0,00
22 Saat mengajar PLH, biasanya saya memberi
kesempatan kepada siswa untuk bertanya 48,39 48,39 0,00 0,00 3,23
23 Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan
untuk menarik minat siswa pada PLH 6,45 51,61 29,03 6,45 6,45
Rata-rata 18,61 45,16 25,81 7,94 3,23
Kemampuan guru untuk melakukan kegiatan monitoring secara efektif
dinyatakan pada pernyataan nomor 6. Sebanyak 41,94% guru setuju terhadap
pernyataan tersebut, namun 45,16% guru ragu akan kemampuannya melakukan
kegiatan monitoring secara efektif, dan masing-masing 6,45% guru tidak setuju
68
dan sangat tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Artinya lebih dari setengah
jumlah guru merasa kurang atau tidak dapat melakukan kegiatan monitoring
secara efektif.
Guru yang merasa dirinya secara umum dapat mengajar PLH secara efektif
(pernyataan 8) sebesar 9,68% (skor 5) dan 48,39% (skor 4). Sebanyak 25,81%
guru menyatakan keraguan, 12,90% guru tidak setuju dan 3,23% guru sangat tidak
setuju. Persentase guru yang menyatakan memahami PLH dengan cukup baik
sehingga dapat mengajar PLH secara efektif (pernyataan 12) lebih dari
setengahnya (total 54,84%). Namun cukup besar pula persentase guru yang ragu
akan pemahamannya terhadap PLH, dan bahkan ada pula yang tidak memahami
PLH dengan cukup baik. Sebanyak 32,26% guru meragukan kemampuannya
untuk menjelaskan kepada siswa mengenai relevansi percobaan ilmiah dengan
topik yang dibahas, dan sebesar total 38,71% merasa tidak mampu melakukannya.
Guru memandang kemampuannya menjelaskan relevansi metode dan materi
kepada siswanya rendah.
Persepsi positif terhadap kemampuan guru untuk menjawab pertanyaan
siswa mengenai PLH dimiliki oleh total 74,19% guru, dan 25,81% guru ragu akan
kemampuannya untuk menjawab pertanyaan PLH dari siswa (Tabel 18).
Sebagian besar guru (51,61%) meragukan dirinya memiliki keterampilan yang
diperlukan untuk mengajar PLH. Jika diberi pilihan, 74,19% guru akan meminta
kepala sekolah untuk mengevaluasi pengajaran PLH yang dilakukannya.
Sebagian besar guru menyatakan dirinya mengetahui cara membantu siswa
memahami suatu konsep PLH (25,81% sangat setuju dan 48,39% setuju). Namun
ada sebesar 19,35% guru ragu-ragu dan 6,45% tidak setuju. Sebagian besar guru
setuju pada pernyataan bahwa guru biasanya memberikan kesempatan kepada
siswa untuk bertanya saat guru mengajar PLH, namun ada 3,23% guru yang
menyatakan sangat tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Sebanyak 6,45%
guru sangat setuju dan 51,61% setuju pada pernyataan bahwa guru tahu apa yang
harus dilakukan untuk menarik minat siswa pada PLH. Ada 29,03% guru ragu-
ragu, dan masing-masing 6,45% tidak setuju dan sangat tidak setuju pada
pernyataan tersebut, yang artinya guru tersebut merasa tidak tahu apa yang harus
dilakukannya untuk menarik minat siswa pada PLH.
69
Subskala ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa guru memiliki
persepsi positif terhadap kemampuannya mengajar PLH secara efektif pada 10
pernyataan (lebih dari 50% guru setuju dengan derajat kesetujuan berbeda), dan
persepsi negatif pada 3 pernyataan (total lebih dari 50% guru yang menyatakan
ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju). Kecenderungan persepsi negatif
dinyatakan guru berkaitan dengan kemampuan guru untuk melakukan monitoring
secara efektif, kemampuan untuk menjelaskan relevansi metode dengan materi
yang diajarkan, dan penguasaan keterampilan yang diperlukan untuk mengajar
PLH secara efektif.
Sebagian besar guru menyatakan akan terus berusaha keras menemukan
cara yang lebih baik dalam mengajar PLH, guru percaya akan dapat mengajar
PLH sebaik pada mata ajaran lainnya jika berusaha keras, guru percaya dirinya
mengetahui langkah-langkah yang diperlukan untuk mengajar PLH secara efektif
dan secara umum dapat mengajar PLH secara efektif, guru percaya bahwa dirinya
memahami PLH dengan cukup baik sehingga dapat mengajar PLH secara efektif,
dapat menjawab pertanyaan siswa tentang PLH, dapat membantu siswa
memahami suatu konsep PLH, memberikan kesempatan bertanya kepada siswa
dan tahu apa yang harus dilakukan untuk menarik minat siswa pada PLH. Namun
demikian guru mengakui bahwa dirinya kurang menguasai kemampuan untuk
melakukan monitoring, kemampuan untuk menjelaskan relevansi metode dengan
materi yang diajarkan dan kurang menguasai keterampilan yang diperlukan untuk
mengajar PLH secara efektif.
Sia (1992) menemukan bahwa calon guru memiliki persepsi rendah
(persepsi positif hanya pada 3 pernyataan dari 13 pernyataan) terhadap
kemampuannya mengajar PLH. Moseley et al. (2002) menemukan hal yang
berlawanan, yaitu bahwa calon guru memiliki persepsi tinggi terhadap
kemampuannya mengajar PLH (self-efficacy) di luar kelas sebelum dan setelah
program pengajaran PLH di luar kelas, namun persepsi tersebut menurun saat
diukur 7 minggu setelah program pengajaran yang diduga disebabkan oleh
evaluasi ulang yang dilakukan calon guru terhadap kemampuannya mengajar PLH
sejalan dengan pembelajaran yang didapat calon guru tersebut mengenai metode
pengajaran.
70
Hasil temuan dalam penelitian ini sejalan dengan Moseley et al. (2002)
dalam hal guru memiliki persepsi tinggi/positif terhadap efektivitas dirinya dalam
mengajar PLH secara umum. Temuan dalam penelitian ini juga sejalan dengan
temuan Sia (1992) dalam hal persepsi rendah/negatif yang dimiliki guru berkaitan
dengan penguasaan keterampilan, monitoring dan kemampuan menjelaskan
relevansi metode dan materi yang dimiliki oleh guru. Persepsi guru yang
rendah/negatif terhadap kemampuan dirinya dalam ketiga hal tersebut
menunjukkan bahwa guru membutuhkan peningkatan kemampuan berkaitan
dengan ketiga hal tersebut, yang bisa dilakukan melalui berbagai kegiatan.
b. Harapan Guru terhadap Hasil Pengajaran PLH
Harapan guru terhadap hasil pengajaran PLH diukur dengan menggunakan
subskala EE teaching outcome expectancy (ETOE). Outcome expectancy adalah
harapan seseorang bahwa perilaku tertentu akan menghasilkan luaran yang
diinginkan (Sia 1992). Subskala ETOE diwakili oleh 10 pernyataan, yaitu
pernyataan nomor 1, 4, 7, 9, 10, 11, 13, 14, 15, dan 16.
Persentase guru yang mendapatkan skor 5 dan 4 pada sembilan pernyataan
(1, 4, 7, 9, 11, 13, 14, 15 dan 16) lebih besar daripada guru yang mendapatkan
skor 3 serta skor 2 dan 1 (Tabel 19). Persentase guru yang mendapatkan skor 3
(ragu-ragu) pada salah satu dari kesembilan pernyataan tersebut (pernyataan
nomor 7) sebesar 25,81%. Persentase yang cukup besar, sehingga jika ditotalkan
persentase guru yang mendapatkan skor 3, 2 dan 1 menjadi sebesar 51,61%.
Dengan demikian pada pernyataan ini guru dapat dikelompokkan memiliki
persepsi negatif atau rendah. Pada pernyataan nomor 10 persentase guru yang
mendapatkan skor 5 dan 4 sama dengan persentase guru yang mendapatkan skor 2
dan 1. Artinya pada pernyataan tersebut jumlah guru yang setuju dengan
pernyataan tersebut sama dengan jumlah guru yang tidak setuju, dan dengan
adanya guru yang ragu akan pernyataan tersebut, maka persepsi guru pada
pernyataan tersebut digolongkan kedalam persepsi negatif. Jadi pada subskala ini,
guru memiliki persepsi negatif pada dua pernyataan, yaitu pernyataan nomor 7
dan 10.
71
Tabel 19 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing
pernyataan dalam subskala EE teaching outcome expectancy (ETOE)
No. Pernyataan
Skor
5 4 3 2 1
% % % % %
1 Saat siswa menunjukkan hasil yang lebih
baik dalam PLH dibandingkan biasanya,
seringkali karena gurunya telah melakukan upaya lebih dalam mengajar. 45,16 54,84 0,00 0,00 0,00
4 Saat hasil belajar PLH siswa meningkat, seringkali karena gurunya telah
menemukan cara mengajar yang lebih
efektif 48,39 48,39 0,00 0,00 3,23
7 Jika siswa tidak dapat mencapai tujuan
pembelajaran PLH, kemungkinan karena
pengajaran PLHnya tidak efektif 9,68 38,71 25,81 19,35 6,45
9 Kurangnya latarbelakang PLH siswa
dapat diatasi dengan pengajaran yang baik 32,26 45,16 16,13 3,23 3,23
10 Guru tidak dapat disalahkan atas rendahnya hasil belajar sebagian
siswanya. 9,68 32,26 16,13 32,26 9,68
11 Jika seorang siswa yang hasil belajarnya
rendah menunjukkan kemajuan belajar
dalam PLH, biasanya disebabkan
perhatian ekstra yang diberikan oleh gurunya. 12,90 51,61 12,90 19,35 3,23
13 Peningkatan upaya pengajaran PLH hanya menghasilkan sedikit perubahan
pada hasil belajar sebagian siswa. 9,68 64,52 12,90 12,90 0,00
14 Secara umum guru bertanggung jawab
terhadap hasil belajar siswa dalam PLH. 32,26 51,61 0,00 16,13 0,00
15 Hasil belajar siswa dalam PLH berhubungan langsung dengan efektivitas
gurunya dalam pengajaran PLH 32,26 64,52 0,00 3,23 0,00
16 Jika orangtua berkomentar bahwa
anaknya menunjukkan minat yang lebih
terhadap PLH di sekolah, hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh kinerja
gurunya. 22,58 70,97 3,23 3,23 0,00
Rata-rata 25,48 52,26 8,71 10,97 2,58
Pernyataan nomor 7 terkait dengan pandangan guru bahwa pengajaran PLH
yang tidak efektif sebagai penyebab siswa tidak dapat mencapai tujuan
pembelajaran. Sebesar 25,81% guru menyatakan ragu-ragu, 19,35% guru
menyatakan tidak setuju dan 6,45% guru menyatakan sangat tidak setuju.
72
Pernyataan nomor 10 berkaitan dengan kesalahan guru atas rendahnya hasil
belajar sebagian siswa. Persentase guru yang merasa bahwa rendahnya hasil
belajar siswa merupakan kesalahan guru seimbang dengan persentase guru yang
merasa bahwa guru tidak dapat disalahkan atas rendahnya hasil belajar sebagian
siswa, dan ada 16,13% guru yang menyatakan keraguannya akan pernyataan
tersebut.
Persentase guru yang menyatakan kesetujuan dengan derajat kesetujuan
masing-masing pada 8 pernyataan lainnya lebih besar dari pada guru yang
menyatakan ketidak setujuan. Persentase guru yang menyatakan kesetujuan
berkisar antara 9,68% sampai 48,39% (skor 5) dan 32,26% sampai 70,97% (skor
4), sedangkan guru yang menyatakan ragu-ragu (skor 3) berkisar antara 0,00%
sampai 16,13%, tidak setuju (skor 2) berkisar antara 0,00% - 19,35%, dan sangat
tidak setuju berkisar antara 0,00% sampai 3,23%. Hasil tersebut menunjukkan
guru percaya bahwa hasil belajar siswa dalam PLH dapat ditingkatkan dengan
pengajaran PLH yang efektif, namun merasa bahwa hasil belajar siswa yang
rendah bukan sepenuhnya kesalahan guru maupun pengajaran PLH yang tidak
efektif.
Persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH yang diukur menggunakan
subskala PETE dan ETOE menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi tinggi
terhadap efektivitas dirinya (persepsi positif pada 10 dari 13 pernyataan), serta
persepsi tinggi terhadap luaran yang diharapkannya (persepsi positif pada 8 dari
10 pernyataan). Guru menyadari bahwa kemampuannya terkait monitoring,
keterampilan mengajar PLH serta penguasaan metode dan materi PLH rendah
(persepsi negatif pada 3 pernyataan dalam subskala PETE), namun guru percaya
bahwa pengajaran PLH yang efektif dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam
PLH (persepsi positif pada subskala ETOE). Paduan persepsi tersebut semakin
menegaskan adanya kebutuhan guru akan peningkatan kapasitas guru dalam
pengajaran PLH. Hal tersebut juga berimplikasi pada kesediaan dan kesiapan
guru untuk menerima berbagai program kegiatan untuk meningkatkan
kapasitasnya.
73
5.3.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan Faktor yang
Mempengaruhinya
Ekstraksi dengan analisis faktor terhadap skor yang didapat guru pada enam
peubah dari subskala motivasi dan dua peubah dari subskala sikap guru berkaitan
dengan PLH menghasilkan tiga faktor/variate baru (Lampiran 1). Peubah
kompetensi (perceived competence), beban/tekanan (pressure/tension), pilihan
(perceived choice) dan efektivitas diri guru dalam pengajaran PLH (personal EE
teaching efficacy/PETE) mengelompok pada faktor 1 (satu), yang selanjutnya
disebut sebagai faktor efektivitas pengajaran PLH. Peubah yang mengelompok
pada faktor 2 (dua) adalah minat/kesenangan (interest/enjoyment), upaya/arti
penting (effort/importance), dan nilai/manfaat (value/usefulness) yang selanjutnya
disebut sebagai faktor manfaat PLH. Faktor 3 (tiga) hanya terdiri dari satu
peubah, yaitu luaran pengajaran PLH yang diharapkan (EE teaching outcome
expectancy/ETOE). Faktor 3 (tiga) selanjutnya disebut sebagai faktor luaran
pengajaran PLH yang diharapkan. Analisis korelasi dengan Spearman
correlation (Lampiran 2), serta uji denganUji Kruskal-Wallis (Lampiran 3) dan
Uji Mann-Whitney (Lampiran 4) dilakukan untuk melihat peubah-peubah dari
faktor individu maupun obyek/sasaran dan situasi yang mempengaruhi ketiga
faktor/variate persepsi tersebut.
a. Persepsi Guru tentang Efektivitas Pengajaran PLH dan Faktor yang
Mempengaruhinya
Persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH (faktor 1) dibangun dari 3
peubah motivasi dan 1 peubah sikap, yaitu kompetensi, beban/tekanan, pilihan
dan efektivitas diri. Guru SD sekitar hutan memiliki persepsi positif tentang
efektivitas pengajaran PLH dalam kaitannya dengan beban/tekanan dan pilihan.
Guru memandang bahwa mereka tidak terbebani ataupun tertekan jika mengajar
PLH, dan mereka merasa memiliki pilihan dalam mengajar PLH. Penerapan
PLH di sekolah dasar yang sampai saat ini belum diformalisasikan dalam
kurikulum baku memberi sumbangan terhadap persepsi guru terhadap PLH
tersebut. Kurikulum berimplikasi pada target yang harus dicapai guru yang
seringkali bersifat kaku, membebani dan memberikan tekanan pada guru.
Kurikulum yang belum dibakukan berarti guru tidak dibebani dengan target yang
74
harus dicapai, sehingga guru dapat lebih lentur, tidak terbebani dan memiliki
pilihan dalam mengajar PLH.
Guru SD sekitar hutan juga memiliki persepsi/pandangan bahwa kompetensi
dan efektivitas dirinya rendah. Secara khusus efektivitas diri yang rendah
dirasakan oleh guru pada tiga hal, yaitu kemampuan untuk melakukan monitoring
secara efektif, kemampuan untuk menjelaskan relevansi metode dengan materi
yang diajarkan, dan penguasaan keterampilan yang diperlukan untuk mengajar
PLH secara efektif.
Analisis korelasi dengan Spearman correlation yang dilakukan antara
peubah usia, pendidikan, masa kerja, lama mengajar dan persepsi lingkungan
terhadap persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH menunjukkan satu nilai
korelasi yang secara statistik signifikan/berbeda nyata pada taraf uji 0,05, yaitu
korelasi antara persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH dengan
pendidikan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,441. Persepsi guru tentang
efektivitas pengajaran PLH dipengaruhi oleh pendidikan yang dimiliki oleh guru
dengan korelasi yang cukup kuat. Uji Kruskal-Wallis dengan taraf uji 10%
menunjukkan bahwa ada perbedaan persepsi pada guru dengan PLH formal
berbeda. Guru yang mendapatkan PLH formal di perguruan tinggi memiliki
persepsi tertinggi (mean skor sebesar 3,75) dibandingkan tingkat pendidikan
lainnya.
Hasil analisis dengan korelasi Spearman dan uji Kruskal-Wallis
menunjukkan adanya pengaruh tingkat pendidikan formal dan PLH yang diterima
guru dalam pendidikan formalnya tersebut terhadap persepsi guru tentang
efektivitas pengajaran PLH. Persepsi guru yang memandang kompetensi dan
efektivitas dirinya rendah dalam mengajar PLH dapat ditingkatkan melalui
pendidikan formal dan PLH dalam pendidikan formal tersebut. Perguruan tinggi,
khususnya perguruan tinggi bidang keguruan dan ilmu pendidikan, yang
mengintegrasikan PLH dalam kurikulumnya dapat meningkatkan kemampuan
guru untuk melakukan pemantauan dan evaluasi, meningkatkan keterampilan
mengajar PLH yang memungkinkan guru memilih metode yang sesuai untuk
materi tertentu, dan berbagai kemampuan lainnya yang dibutuhkan untuk
75
melakukan pengajaran PLH yang efektif. Hal tersebut lebih lanjut akan dapat
meningkatkan persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH.
b. Persepsi Guru tentang Manfaat PLH dan Faktor yang
Mempengaruhinya
Peubah minat/kesenangan, upaya/arti penting, dan nilai/manfaat
membangun persepsi guru tentang manfaat PLH. Sebagian besar guru memiliki
persepsi positif tentang manfaat PLH, baik bagi dirinya, siswanya, maupun
lingkungannya. Persepsi yang positif tercermin dari persetujuan guru terhadap
pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan minat, kesediaan untuk
mencurahkan upaya dan energi, serta pandangan positif terhadap manfaat PLH.
Uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa ada perbedaan persepsi guru
tentang manfaat PLH diantara guru yang mengajar/mengasuh tingkat kelas
berbeda (taraf uji 10%), guru dengan berbagai pengalaman PLH non formal (taraf
uji 1%), serta guru dengan pengalaman organisasi yang kegiatannya berfokus
pada alam (taraf uji 10%).
Tingkat kelas yang saat ini diasuh oleh guru dikelompokkan dalam tiga
kategori, yaitu tingkat kelas rendah (1 – 3 SD), tingkat kelas tinggi (4 – 6 SD),
serta keduanya (tingkat kelas rendah dan tinggi). Guru yang mengajar kedua
tingkat kelas sekaligus memiliki mean skor persepsi tertinggi. Perbedaan tersebut
timbul akibat tingkat kesulitan mengajar dan respon siswa yang berbeda. Lemke
1994 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008 menyatakan bahwa tingkat kelas
yang diajarkan oleh guru dapat mempengaruhi upaya dan investasi yang
dicurahkan oleh guru, karena guru dapat mengajar mata ajaran dan siswa dengan
kisaran yang sempit ataupun lebar. Guru yang mengajar pada kedua tingkat kelas
memiliki kesempatan untuk mengajar dengan kisaran tingkat kesulitan lebar yang
memberikan pengalaman lebih beragam bagi guru dalam menghadapi siswa
dengan tingkat perkembangan berbeda. Ada tantangan lebih bagi guru untuk
dapat dengan cepat menyesuaikan pola pengajarannya terhadap tingkat kelas yang
berbeda tersebut, sehingga guru lebih merasakan manfaat pengajaran PLH bagi
perkembangan profesionalitasnya serta bisa merasakan adanya respon positif yang
nyata dari para siswa pada tingkat kelas yang lebih tinggi dibandingkan para siswa
yang masih duduk di tingkat kelas yang lebih rendah.
76
Kegiatan PLH non formal yang pernah diikuti juga memberikan perbedaan
persepsi diantara guru. Guru yang pernah mendapatkan pengalaman mengikuti
kegiatan PLH non formal berupa seminar, pelatihan dan kegiatan lainnya yang
memberikan kesempatan guru berinteraksi langsung dengan alam memiliki mean
skor persepsi yang lebih tinggi dibandingkan guru yang tidak pernah mengikuti
kegiatan PLH non formal sebelumnya, sedangkan kegiatan PLH non formal
berupa lokakarya tidak memberikan persepsi yang lebih tinggi dibandingkan tidak
adanya pengalaman PLH non formal. Lokakarya yang umumnya berupa
pendalaman atau diadakan untuk merumuskan sesuatu nampaknya tidak dapat
memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai PLH kepada guru. Kegiatan
PLH non formal dalam bentuk berbagai kegiatan yang memberikan kesempatan
bagi guru untuk berinteraksi langsung dengan alam, seperti kegiatan penanaman
dan permainan di alam membuahkan guru dengan mean skor persepsi paling
tinggi diantara kegiatan PLH non formal lainnya. Kegiatan PLH non formal
untuk peningkatan kapasitas guru sebaiknya didesain agar dapat memberikan
kesempatan kepada guru untuk berinteraksi langsung dengan alam, sehingga guru
dapat mengembangkan kepekaan terhadap alam dan lebih lanjut meningkatkan
persepsi guru terhadap manfaat PLH.
Peubah lainnya yang mempengaruhi persepsi guru tentang manfaat PLH
adalah pengalaman organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam. Guru yang
memiliki pengalaman organisasi dalam Pramuka memiliki mean skor persepsi
tertinggi (4,5817), diikuti pengalaman organisasi dalam Saka Wana Bakti dan
Pecinta Alam (4,5700), pengalaman organisasi lainnya (4,5700), dan terendah
adalah guru yang tidak memiliki pengalaman organisasi apapun (4,1590).
Kegiatan-kegiatan dalam organisasi tersebut memberikan kesempatan kepada
guru untuk berinteraksi langsung dengan alam, sehingga meningkatkan kepekaan
guru terhadap alam. Hal tersebut membuka wawasan guru tentang manfaat PLH
bagi dirinya, siswanya, maupun lingkungannya.
c. Persepsi Guru tentang Luaran Pengajaran PLH yang Diharapkan dan
Faktor yang Mempengaruhinya
Peubah Environmental Education (EE) teaching outcome expectancy/ETOE
atau luaran pengajaran PLH yang diharapkan merupakan satu-satunya peubah
77
yang membangun faktor 3, yaitu persepsi guru tentang luaran pengajaran PLH
yang diharapkan. Mean skor guru pada peubah ETOE cukup tinggi, yaitu sebesar
3,8710. Guru berpendapat bahwa pengajaran PLH yang efektif dapat memberikan
respon positif dari siswa (hasil belajar tinggi). Namun demikian guru berpendapat
bahwa penyebab kegagalan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran PLH
(hasil belajar rendah) bukan hanya PLH yang tidak efektif, dan bukan sepenuhnya
tanggung jawab guru. Artinya ada faktor lain yang dipandang oleh guru menjadi
penyebab rendahnya hasil belajar siswa dalam PLH tersebut. Uji statistik dengan
menggunakan korelasi Spearman, uji Kruskal-Wallis, maupun Mann-Whitney
tidak menunjukkan adanya nilai yang secara statistik berbeda nyata, sehingga
faktor yang berpengaruh terhadap persepsi guru SD sekitar hutan tentang luaran
pengajaran PLH yang diharapkan tidak dapat ditentukan.
5.4 Upaya untuk Peningkatan Persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH
PLH bertujuan untuk membentuk manusia yang memiliki kesadaran,
pengetahuan, sikap dan keterampilan serta peran serta dalam memecahkan
permasalahan lingkungan dan mencegah timbulnya permasalahan baru. Manusia
pada dasarnya adalah makhluk yang penuh rasa ingin tahu dan minat, yang secara
alamiah senang belajar dan memiliki hasrat untuk menjadikan pengetahuan,
budaya dan nilai-nilai yang ada di sekitarnya sebagai bagian internal dari dirinya
(Niemic dan Ryan 2009). Cara guru menyampaikan PLH bisa memberikan
pengaruh positif ataupun negatif terhadap perilaku lingkungan dari anak didiknya
(Desjean-Perrotta et al. 2008). Darner (2009) merangkum dari berbagai sumber
bahwa PLH dapat berhasil meningkatkan kemauan/keinginan siswa untuk
bertindak dengan cara yang ramah lingkungan apabila dalam proses belajar-
mengajar PLH tersebut siswa dilibatkan sebagai peserta aktif. Menurut Niemic
dan Ryan (2009) dalam dunia pendidikan guru seringkali menggunakan kendali
eksternal, supervisi dan monitoring yang ketat, serta evaluasi yang dibarengi
penghargaan dan hukuman untuk memastikan siswanya belajar, yang
menyebabkan rasa senang, antusiasme dan minat belajar seringkali berubah
menjadi keresahan, kejenuhan dan rasa keterasingan, sehingga siswa tidak lagi
tertarik pada materi yang diajarkan dan guru harus menggunakan kendali
eksternal untuk memastikan terjadinya pembelajaran.
78
Ryan dan Brown (2005) diacu dalam Niemic dan Ryan (2009) menyatakan
bahwa penyebab utama guru menggunakan strategi pengajaran terkendali
dibandingkan strategi pengajaran yang mendukung otonomi siswa di kelas adalah
adanya tekanan eksternal pada guru. Pelletier et al. (2002) diacu dalam Niemic
dan Ryan (2009) menyatakan bahwa semakin besar tekanan yang dirasakan oleh
guru dari atas (misalnya, harus mengejar target kurikulum, adanya tekanan dari
standar kinerja), guru akan semakin kurang mendukung otonomi siswa dalam
pengajarannya, dan lebih mengendalikan siswanya. Padahal motivasi intrinsik
dan motivasi ekstrinsik tipe otonomi (motivasi otonomi) sangat mendukung
keterlibatan dan pembelajaran optimal siswa dalam konteks pendidikan (Niemic
dan Ryan 2009).
Roth et al. (2007) menyatakan bahwa motivasi otonomi untuk mengajar
berhubungan positif dengan motivasi otonomi siswa untuk belajar, artinya
motivasi otonomi untuk mengajar akan meningkatkan pengajaran yang
mendukung otonomi siswa sehingga meningkatkan motivasi otonomi siswa untuk
belajar yang selanjutnya akan meningkatkan respon pembelajaran siswa. Roth et
al. (2007) lebih lanjut menjelaskan bahwa motivasi otonomi untuk mengajar
meningkatkan pengajaran yang mendukung otonomi siswa dengan melibatkan
beberapa proses, yaitu:
1. Proses pertama melibatkan peningkatan pemahaman guru akan nilai materi
yang mereka ajarkan dan keragaman cara untuk menguasai materi tersebut.
Guru yang termotivasi secara otonomi akan mengembangkan pemahaman
yang mendalam akan manfaat dari materi yang mereka ajarkan dan metode
yang digunakan, sehingga mereka dapat memberikan penjelasan dan contoh
yang meyakinkan bagi siswa mereka mengenai nilai dan relevansi materi
tersebut dan metode pengajaran yang digunakan. Pemahaman guru tersebut
terhadap materi yang diajarkan juga akan membuat mereka memahami
berbagai faset/bagian dari materi tersebut dan berbagai cara untuk
mempelajarinya, sehingga guru dapat memberikan pilihan bagi siswa mereka.
2. Proses kedua melibatkan pemahaman guru terhadap motivasi otonomi dan
manfaatnya berdasarkan pengalaman pribadi guru. Guru yang telah
merasakan manfaat motivasi otonomi akan menginginkan siswanya juga
79
bertindak dan belajar dengan motivasi otonomi karena guru tersebut
memahami bahwa tipe motivasi tersebut akan mengarah pada pembelajaran
yang berkualitas tinggi dan meningkatkan apresiasi terhadap materi yang
mereka ajarkan dan cintai. Guru tersebut akan melakukan tindakan
pengajaran yang mendukung otonomi siswa, seperti menjelaskan relevansi
berbagai materi dengan tujuan siswa, dan mengijinkan siswa memilih
aktivitas belajar yang mereka sukai.
3. Proses ketiga melibatkan daya tahan yang lebih besar, yang dimiliki oleh guru
dengan motivasi otonomi, terhadap tekanan untuk pencapaian dan
keprihatinan akan pembentukan kesan, serta investasi lebih besar yang
dicurahkan guru dalam pembelajaran berkualitas tinggi. Guru yang lebih
termotivasi secara otonomi akan lebih bersedia untuk memberikan pilihan
bagi siswanya dan menggunakan lebih banyak waktu untuk menjelaskan
relevansi berbagai materi karena mereka tidak terlalu merasakan tekanan
untuk memberikan pencapaian formal yang cepat dan mengesankan, dan
mereka lebih berkeinginan untuk memperdalam pemahaman akan materi
yang mereka ajarkan.
Guru perlu menggunakan strategi pengajaran yang mendukung otonomi
siswa dalam belajar untuk dapat mencapai pembelajaran PLH efektif. Hal
tersebut dapat dilakukan jika guru memiliki motivasi intrinsik ataupun motivasi
otonomi (motivasi eksternal yang bersifat otonomi) dalam mengajar PLH, serta
sikap yang positif pula terhadap PLH. Motivasi intrinsik dan sikap positif
berkaitan dengan pengajaran PLH berarti bahwa guru memiliki persepsi yang
positif tentang efektivitas pengajaran PLH dan manfaat PLH baik bagi dirinya,
siswanya, maupun lingkungannya, serta luaran pengajaran PLH yang diharapkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi lingkungan
yang terbatas, sebagian besar karena guru kurang mampu mengungkapkan
gagasan/pemikiran melalui gambar dan tulisan, yang berarti bahwa kompetensi
guru rendah dalam mengungkapkan pemikiran melalui gambar dan tulisan. Guru
seharusnya memiliki kemampuan untuk mengungkapkan pemikirannya melalui
berbagai macam cara, termasuk gambar dan tulisan, sehingga guru memiliki lebih
banyak pilihan cara untuk mengungkapkan persepsi/pemikirannya mengenai
80
lingkungan dan materi terkait kepada siswanya. Hal ini lebih lanjut akan dapat
meningkatkan persepsi guru tentang kompetensi dirinya dalam mengajar PLH.
Persepsi positif tentang lingkungan yang diwujudkan dalam perilaku yang positif
akan menjadikan guru sebagai teladan yang baik bagi siswanya dalam
pembelajaran PLH.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi positif
terhadap penyelenggaraan PLH, namun guru juga memiliki persepsi bahwa
kompetensi dan efektivitas dirinya rendah dalam mengajar PLH. Guru seharusnya
juga memiliki persepsi yang tinggi terhadap kompetensi dan efektivitas diri dalam
mengajar PLH. Persepsi tinggi terhadap kompetensi dan efektivitas diri dalam
mengajar PLH dapat berkembang jika guru memahami dasar-dasar PLH serta cara
mengimplementasikan PLH, termasuk berbagai metode dan media yang sesuai
untuk digunakan dalam pengajaran PLH. NAAEE (2004) menyatakan bahwa
seorang tenaga pendidik lingkungan hidup seharusnya menguasai literasi
lingkungan, menguasai dasar-dasar PLH, memahami tanggung jawab profesional
seorang tenaga pendidik lingkungan hidup, mampu membuat perencanaan dan
melaksanakan PLH, dapat membantu pembelajaran, dan memiliki pengetahuan,
kemampuan dan komitmen untuk melakukan penilaian dan evaluasi.
Agar guru dapat memenuhi kriteria sebagai seorang tenaga pendidik
lingkungan hidup yang berkualitas, maka perlu dilakukan peningkatan persepsi
guru yang berarti peningkatan kapasitas guru berkaitan dengan PLH. Peningkatan
kapasitas guru dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan dalam jalur pendidikan
formal maupun non formal. Guru perlu diberikan kesempatan dan dukungan
untuk dapat meningkatkan kompetensinya melalui PLH formal di perguruan
tinggi, ataupun berbagai kegiatan PLH non formal.
Kenney et al. (2003) menguraikan bahwa ada beberapa unsur kunci yang
perlu diperhatikan agar program pelatihan/pendidikan bagi guru efektif sehingga
guru bisa mengaplikasikan hasil dari program tersebut kepada siswanya di
sekolah, antara lain:
1. Pendidikan bagi guru sebaiknya didesain secara spesifik agar sesuai dengan
karakteristik dan isu-isu lingkungan lokal, dan dapat memenuhi kurikulum
sekolah dan standar PLH yang ditetapkan.
81
2. Materi yang diberikan mencakup materi-materi mengenai lingkungan hidup
dan praktek-praktek instruksional/pengajaran yang efektif, termasuk cara
mengajar di luar kelas. Guru diberi materi mengenai berbagai strategi
pengajaran di luar kelas, seperti strategi mengendalikan perilaku siswa,
melakukan peralihan antara satu kegiatan ke kegiatan lainnya, menjaga fokus
pada tujuan pembelajaran, serta menjadi fleksibel/lentur dan kreatif pada
kondisi luar kelas yang terus menerus berubah.
3. Model pelatihan on-the-job terbukti efektif dalam membangun kepercayaan
diri guru untuk melaksanakan pengajaran PLH. Model ini memungkinkan
guru mempelajari pola pengajaran PLH yang efektif dengan mengamati
instruktur PLH berpengalaman dan kemudian mengambil alih praktek
pengajaran dengan bimbingan instruktur tersebut. Dengan demikian guru
tidak perlu meninggalkan kelas, mencurahkan waktu yang lama setelah
selesai kegiatan di sekolah, atau menggunakan waktu yang biasanya
diperuntukkan untuk membuat perencanaan kegiatan belajar mengajar di
rumah untuk mengikuti pelatihan, dan pihak administrasi sekolah juga tidak
perlu mencarikan guru pengganti untuk mengajar selama guru tersebut
mengikuti pelatihan.
4. Lokakarya untuk memperkenalkan materi dan membahas berbagai proses
terkait (misalnya, cara membantu siswa menemukan tempat untuk eksplorasi
di luar kelas) harus dilakukan terlebih dahulu sebelum guru mengikuti
kegiatan pengamatan dan praktek pengajaran.
5. Guru diakrabkan dengan lingkungan sekolah dan sekitarnya dengan cara
mengajak guru mengikuti kegiatan jalan-jalan singkat secara periodik dengan
dipandu oleh instruktur berpengalaman.
Program-program pendidikan dan pelatihan yang diperuntukkan bagi guru
dengan demikian seharusnya didesain tidak hanya memasukkan materi-materi
lingkungan hidup yang spesifik sesuai lingkungan lokal guru ke dalam
kurikulumnya, namun juga materi mengenai strategi pengajaran dan metode
instruksional yang efektif untuk mengajarkan PLH, khususnya strategi pengajaran
di luar kelas, sehingga guru dapat melaksanakan pengajaran PLH secara efektif.
Program-program PLH untuk guru sebaiknya juga didesain untuk memberikan
82
kesempatan kepada guru agar dapat berinteraksi langsung dengan lingkungan
sekitar sehingga dapat meningkatkan pengalaman guru dengan hutan yang lebih
lanjut diharapkan dapat meningkatkan kepekaan guru terhadap hutan dan
permasalahannya.
Secara khusus pada sekolah sekitar hutan, peningkatan pengetahuan, sikap
dan keterampilan yang spesifik sesuai lingkungan lokal artinya meningkatkan
pengetahuan dan sikap guru mengenai hutan, konservasi hutan dan berbagai
permasalahan terkait, serta peningkatan keterampilan untuk melakukan upaya-
upaya konservasi. Sebagai contoh, guru perlu dibekali pengetahuan mengenai
cara melakukan penyelamatan terhadap satwa langka, sehingga dapat
mengarahkan siswanya untuk melakukan tindakan yang tepat jika menemukan
satwa langka yang perlu diselamatkan, seperti apa yang harus dilakukan, siapa
yang harus dihubungi, dan sebagainya.
Guru SD sekitar hutan perlu dibekali keterampilan untuk dapat
memanfaatkan kawasan hutan sebagai sarana dan media pembelajaran konservasi
hutan bagi siswanya, seperti cara menemukan lokasi yang tepat untuk
melaksanakan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan topik bahasan. Guru juga
perlu dibekali keterampilan mengajar di hutan, seperti cara untuk mengendalikan
perilaku siswa di hutan, bersikap fleksibel dalam menghadapi kondisi hutan yang
selalu berubah, menjaga fokus pembelajaran pada tujuan dari topik bahasan yang
sedang dipelajari, dan sebagainya.
Kemampuan guru untuk melakukan monitoring/pemantauan dan evaluasi
terhadap kegiatan belajar mengajar (KBM) yang diasuhnya juga perlu
ditingkatkan. Evaluasi untuk materi-materi konservasi hutan mestinya tidak
hanya diarahkan pada ranah kognitif saja. Evaluasi juga perlu dilakukan untuk
melihat pencapaian ranah afektif dan psikomotorik, misalnya melalui pengamatan
perilaku siswa sehari-hari di sekolah ataupun di rumah dengan melibatkan
keluarga dan masyarakat sekitar.
Peningkatan kompetensi guru akan meningkatkan persepsi guru tentang
kompetensi dan efektivitas dirinya dalam penyelenggaraan PLH, khususnya dalam
mengajarkan berbagai materi tentang konservasi hutan. Hal tersebut akan
mengarah pada terwujudnya pola pengajaran PLH yang lebih terpusat pada siswa,
83
melibatkan siswa sebagai peserta didik yang aktif dalam kegiatan belajar
mengajar PLH di sekolah, sehingga akan terwujud pengajaran PLH yang efektif
Pada SD sekitar hutan, pengajaran PLH yang efektif, dengan fokus materi tentang
konservasi hutan, akan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa
terkait berbagai permasalahan hutan dan konservasinya, serta menanamkan sikap
dan motivasi untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan konservasi hutan sesuai
tahapan perkembangan siswa tersebut.
6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Penelitian ini berangkat dari hipotesis bahwa guru yang memahami kondisi
lingkungan hidup di sekitarnya (memiliki persepsi lingkungan yang utuh),
memiliki atribut individu positif, dan mengajar pada sekolah yang: berada di
sekitar hutan, memiliki kurikulum PLH, serta kondisi lingkungan dan sosial
sekolah yang menunjang, akan membuahkan guru dengan persepsi PLH yang
tinggi. Hasil studi menunjukkan bahwa:
1. Guru pada SD sekitar hutan memiliki persepsi lingkungan yang terbatas
berdasarkan hasil analisa dengan menggunakan rubrik Draw-An-
Environment-Test (DAET). Hal tersebut diduga karena guru kurang
memiliki kemampuan untuk mengekspresikan pemikiran dalam bentuk
gambar maupun tulisan. Penggunaan gambar dan tulisan sebagai bentuk
ekspresi pemikiran memang belum membudaya sebagai sebuah perilaku yang
penting dalam pendidikan di masyarakat Indonesia, sehingga instrumen
DAET yang digunakan perlu lebih disesuaikan dengan budaya masyarakat
Indonesia.
2. Hasil Analisis Faktor menunjukkan bahwa persepsi guru tentang
penyelenggaraan PLH dibangun dari tiga faktor utama, yaitu efektivitas
pengajaran PLH, manfaat PLH dan luaran pengajaran PLH. Faktor pertama –
efektivitas pengajaran PLH – dibentuk dari empat peubah, yaitu kompetensi,
efektivitas-diri, beban/tekanan, dan pilihan. Analisis lebih lanjut
menunjukkan bahwa guru seringkali memandang dirinya memiliki
kompetensi dan efektivitas diri yang rendah dalam mengajar PLH yang
dipengaruhi oleh PLH formal dan tingkat pendidikan yang dimiliki guru.
Faktor kedua – manfaat PLH – dibentuk oleh tiga peubah, yaitu
minat/kesenangan, upaya/arti penting, dan nilai/manfaat PLH. Uji Kruskal-
Wallis menunjukkan bahwa faktor manfaat PLH ditentukan oleh PLH non
formal yang diterima oleh guru, tingkat kelas yang diajar, dan pengalaman
yang dimiliki oleh guru dalam organisasi yang kegiatannya berfokus pada
alam. Faktor ketiga – luaran pengajaran PLH– terbentuk dari satu peubah,
86
yaitu luaran pengajaran PLH yang diharapkan oleh guru. Guru berpendapat
bahwa pengajaran PLH yang efektif dapat memberikan respon positif dari
siswa (hasil belajar tinggi). Analisis statistik lebih lanjut tidak menunjukkan
ada nilai yang berbeda nyata, sehingga faktor yang mempengaruhi persepsi
guru tentang luaran pengajaran PLH tidak dapat ditentukan.
3. Guru membutuhkan peningkatan/penguatan kapasitas, motivasi, kompetensi
dan efektivitas diri melalui berbagai kegiatan PLH agar dapat melakukan
pengajaran PLH yang efektif. Kegiatan PLH bagi guru sebaiknya tidak hanya
ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan guru akan materi yang berkaitan
dengan lingkungan, khususnya hutan dan konservasinya, tetapi juga sikap dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan upaya pengelolaan
lingkungan dan konservasi hutan, meningkatkan penguasaan guru akan
metode pengajaran di luar kelas, dan meningkatkan kepekaan guru terhadap
lingkungan/hutan dan permasalahannya.
Hasil penelitian tidak sepenuhnya mendukung hipotesis, karena guru yang
mengajar pada sekolah di sekitar hutan memiliki persepsi lingkungan yang
terbatas (berdasarkan instrumen DAET), namun memiliki persepsi yang tinggi
tentang PLH. Persepsi tentang PLH lebih dipengaruhi oleh atribut individu positif
yang dimiliki oleh guru, yaitu tingkat pendidikan, pengalaman guru dalam
mengikuti PLH formal dan non formal, pengalaman guru dalam mengikuti
organisasi alam, serta pengalaman mengajar pada berbagai tingkat kelas berbeda.
Guru yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dan memiliki berbagai
pengalaman tersebut memiliki persepsi tentang PLH yang lebih tinggi pada ketiga
faktor persepsi. Namun kajian mengenai persepsi lingkungan guru perlu
dilakukan dengan menggunakan instrumen lain untuk mendapatkan gambaran
yang lebih baik mengenai persepsi guru tentang lingkungan.
6.2 Saran
1. Perlu dilakukan peningkatan kapasitas guru pada SD sekitar hutan berkaitan
dengan PLH, sehingga guru dapat memenuhi standar pengetahuan dan
kemampuan yang dibutuhkan untuk dapat mengajar PLH secara efektif.
Peningkatan kapasitas berkaitan dengan penguasaan terhadap pengetahuan
mengenai materi konservasi hutan, baik teoritis maupun praktis, keterampilan
87
untuk melakukan upaya konservasi hutan, serta keterampilan mengajar
dengan menggunakan kawasan hutan sebagai media/sarana pembelajaran.
Peningkatan kapasitas guru akan meningkatkan persepsi guru, yang juga
berarti meningkatkan sikap dan motivasi intrinsik guru dalam mengajar PLH,
sehingga akan dapat dibentuk SDM yang memiliki kemampuan, motivasi dan
peran serta dalam upaya penyelesaian permasalahan lingkungan, khususnya
upaya konservasi hutan.
2. Peningkatan kapasitas guru membutuhkan dukungan/fasilitasi dari berbagai
instansi terkait, seperti Kementerian Pendidikan Nasional dan Dinas
Pendidikan, Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan, serta pengelola
kawasan hutan (misalnya pada lokasi penelitian pengelola kawasan hutan
adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Perum Perhutani),
Perguruan Tinggi, berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak
dalam bidang PLH, serta para pelaku PLH lainnya.
3. Materi-materi mengenai lingkungan hidup dan praktek pengajaran/metode
instruksional yang efektif untuk mengajarkan materi tersebut seharusnya
diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan pada perguruan tinggi yang
mempersiapkan para calon guru.
4. Faktor-faktor yang dapat membangun motivasi guru untuk secara mandiri
mengembangkan kompetensi dirinya perlu diperhatikan dan ditelaah lebih
lanjut, sehingga guru akan mampu menggunakan kesempatan yang ada dan
bahkan mencari sendiri kesempatan untuk melakukan pengembangan diri.
5. Penggunaan instrumen DAET perlu disesuaikan, khususnya pada rubrik yang
digunakan untuk melakukan penilaian (scoring) terhadap gambar. Salah satu
langkah penyesuaian yang dapat dilakukan adalah dengan memasukkan
komponen gambar dan definisi sebagai satu kesatuan yang diberi skor.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar S. 1995. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Ed Ke-2.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Brauss JA, Wood D. 1994. Environmental Education in The Schools: Creating a
Program that Works!. Ohio: North American Association for
Environmental Education (NAAEE) in conjunction with the ERIC
Clearinghouse for Science, Mathematics and Environmental Education, the
Ohio State University.
Darner R. 2009. Self-Determination Theory as a Guide to Fostering
Environmental Motivation. The Journal of Environmental Education 40
(2):39-49. http://www.proquest.com/pqdweb [18 Jun 2009]
Desjean-Perrotta B, Moseley C, Cantu L. 2008. Preservice Teachers’ Perceptions
of the Environment: Does Ethnicity or Dominant Residential Experience
Matter? The Journal of Environmental Education 39(2):21-31.
http://www.proquest.com/pqdweb [20 Juni 2009]
Ford PM. 1981. Principles and Practices of Outdoor/Environmental Education.
New York, Chichester, Brisbane, Toronto: John Wiley & Sons.
Franken RE. 1939. Human Motivation. Monterey, California: Brooks/Cole
Publishing Company.
Gravetter FJ, Forzano LA. 2006. Research Methods for The Behavioral Sciences.
Ed ke-2. Belmont: Thomson Wadsworth.
Hardre PL, Sullivan DW. 2008. Teacher Perceptions and Individual Differences:
How They Influence Rural Teachers’ Motivating Strategies. Teaching and
Teacher Education 24:2059-2075. http://www.proquest.com/pqdweb [21
Jul 2009]
Harihanto. 2001. Persepsi, Sikap dan Perilaku Masyarakat terhadap Air Sungai:
Kasus di DAS Kaligarang, Jawa Tengah [disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Heathcote RL, editor. 1980. Perception on Desertification. Tokyo, Japan: The
United Nation University.
Henning DH, Pakpahan A. 1991. Pendidikan Lingkungan dan Taman Nasional:
Strategi Konservasi Dunia dan Kegiatan Interpretasi Alam. Media
Konservasi 3(2): 1-9.
Hollander EP. 1981. Principles and Methods of Social Psychology. Ed ke-4.
New York, Oxford: Oxford University Press.
90
Kaplan L. 1965. Foundations of Human Behavior. New York, Evanston and
London: Harper & Row, Publishers.
Kenney JL, Militana HP, Donohue MH. 2003. Helping Teachers to Use Their
School’s Backyard as an Outdoor Classroom: A Report on the Watershed
Learning Center Program. The Journal of Environmental Education 35
(1):18-26. http://www.proquest.com/pqdweb [18 Jun 2009]
[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Kebijakan Pendidikan
Lingkungan Hidup. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup Republik
Indonesia.
Kiesler CA, Collins BE, Miller N. 1969. Attitude Change: A Critical Analysis of
Theoretical Approaches. New York, London, Sydney, Toronto: John Wiley
& Sons, Inc.
Krech D, Crutchfield RS, Ballachey EL. 1962. Individual in Society: A Textbook
of Social Psychology. New York, San Francisco, Toronto, London:
McGraw-Hill Book Company Inc.
Marten GG. 2001. Human Ecology: Basic Concepts for Sustainable
Development. London: Earthscan Publication Ltd.
Monroe MC, Day BA, Grieser M. 2000. GreenCOM Weaves Four Strands. Di
dalam Day BA, Monroe MC, editor. Environmental Education and
Communication for A Sustainable World: Handbook for International
Practitioners. Washington, DC: Academy for Educational Development.
Moseley C, Desjean-Perrotta B. 2010. The Draw-An-Environment Test Rubric
(DAET-R): Exploring Preservice Teachers’ Mental Model of the
Environment. Environmental Education Research 16(2):189-208.
Moseley C, Reinke K, Bookout V. 2002. The Effect of Teaching Outdoor
Environmental Education on Preservice Teachers’ Attitudes toward Self-
efficacy and Outcome Expectancy. The Journal of Environmental
Education 34 (1):9-15.
http://find.galegroup.com/gtx/start.do?prodId=SPJ.SP01&userGroupName=
ptn003 [22 Des 2009]
Moseley C, Utley J. 2008. An Exploratory Study of Preservice Teachers’ Beliefs
About the Environment. The Journal of Environmental Education 39(4):15-
29. http://www.proquest.com/pqdweb [18 Jun 2009]
Muntasib EKSH. 2002. Khasanah Pendidikan Lingkungan Hidup. Makalah
disampaikan dalam Magang Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Tim
BAPEDALDA PAPUA. Bogor: Kelompok Kerja Pendidikan Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Lingkungan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
91
Muntasib EKSH, Masy’ud B, Hermawan R, Rushayati SB, Rachmawati E,
Meilani R, Yudiarti Y, Rahayuningsih T. 2009. Laporan Akhir Penelitian
Strategis Aplikatif Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup bagi Sekolah-
sekolah di Sekitar Kawasan Hutan. Bogor: Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
Neuman WL. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches. Ed ke-6. Boston, New York, San Fransisco, Mexico City,
Montreal, Toronto, London, Madrid, Munich, Paris, Hong Kong, Singapore,
Tokyo, Cape Town, Sydney: Allyn and Bacon Pearson Education, Inc.
Niemiec CP, Ryan RM. 2009. Autonomy, Competence, and relatedness in the
classroom: Applying self-determination theory to educational practice.
Theory and Research in Education 7(2):133-144.
http://www.psych.rochester.edu/SDT/documents/2009_NiemiecRyan_TRE.
pdf [7 Des 2009]
Nirarita ECh. 2003. Pendidikan Lingkungan Hidup dalam Sekolah Formal. Di
dalam: Muntasib EKSH, Meilani R, editor. Model Pengembangan
Pendidikan tentang Hutan dan Lingkungan Bagi Anak Sekolah. Prosiding
Workshop Model Pengembangan Pendidikan tentang Hutan dan
Lingkungan bagi Anak Sekolah. Bogor: 24 Apr 2003. Bogor: Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan
Departemen Kehutanan, dan The Nature Conservancy.
[NAAEE] North American Association for Environmental Education. 2004.
Guidelines for The Preparation and Professional Development of
Environmental Educators. Washington, DC: NAAEE.
http://www.naaee.org [30 Nov 2009]
Ofoegbu F. 2004. Teacher Motivation: a Factor for Classroom Effectiveness and
School Improvement in Nigeria. College Student Journal, 38(1):81-89.
http://find.galegroup.com/gtx/start.do?prodId=SPJ.SP01&userGroupName=
ptn003 [31 Okt 2009]
[Pokja PKSDHL] Kelompok Kerja Pendidikan Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Lingkungan. 1998. Perkembangan Pendidikan Lingkungan Hidup di
Indonesia. Bogor: Kelompok Kerja Pendidikan Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Lingkungan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL).
[RI] Republik Indonesia. 2003. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Republik Indonesia.
Robbins SP. 2003. Organizational Behavior. Ed ke-10. New Jersey: Prentice
Hall Pearson Education International.
92
Robbins SP. 2005. Essentials of Organizational Behavior. Ed ke-8. New
Jersey: Prentice Hall Pearson Education International.
Roth G, Assor A, Kanat-Maymon Y, Kaplan H. 2007. Autonomous Motivation
for Teching: How Self-Determined Teaching May Lead to Self-Determined
Learning. Journal of Educational Psychology 99(4):761-774
Ryan, RM. 1982. Control and Information in the Intrapersonal Sphere: An
Extension of Cognitive Evaluation Theory. Journal of Personality and
Social Psychology 43:450-461.
Ryan RM, Deci EL. 2000. Intrinsic and Extrinsic Motivations: Classic
Definitions and New directions. Contemporary Educational Psychology
25:54-67.
http://www.psych.rochester.edu/SDT/documents/2000_RyanDeci_IntExtDe
fs.pdf [7 Des 2009]
Santrock JW. 2008. Psikologi Pendidikan. Ed ke-2. Tri Wibowo B.S.,
penerjemah. Jakarta: Kencana.
Severin WJ, Tankard JW. 1979. Communication Theories: Origins, Methods,
Uses. New York: Hastings House, Publishers.
Shavitt S, Brock TC, editor. 1994. Persuasion: Psychological Insights and
Perspectives. Boston, London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore: Allyn
and Bacon.
Sia AP. 1992. Preservice Elementary Teachers’ Perceived Efficacy in Teaching
Environmental Education: A Preliminary Study. Paper presented at the
Annual Meeting of the ECO-ED North American Association for
Environmental Education, Toronto, Ontario, Canada, 20 Okt 1992.
http://www.eric.gov.edu [29 Jan 2010]
Siagian SP. 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Cet ke-3. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Smith MK, Mergel B, Furse E, Carver JM, Hagwood S, Huitt WG. 2009. Teori
Pembelajaran dan Pengajaran: Mengukur Kesuksesan Anda dalam Proses
Belajar Mengajar Bersama Psikolog Pendidikan Dunia. Saleh AQ,
penerjemah. Yogyakarta: Mirza Media Pustaka.
Smith-Sebasto NJ. 2007. A Reinvestigation of Teacher’s Motivation Toward and
Perception of Residential Environmental Education: A Case Study of the
New Jersey School of Conservation. The Journal of Environmental
Education 38(4):34-42. http://www.proquest.com/pqdweb [18 Jun 2009]
Spittle M, Jackson K, Casey M. 2009. Applying Self-Determination Theory to
Understand the Motivation for Becoming a Physical Education Teacher.
Teaching and Teacher Education 25:190-197.
http://www.proquest.com/pqdweb [20 Jun 2009]
93
Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta.
Triandis HC. 1971. Attitude and Attitude Change. New York, London, Sydney,
Toronto: John Wiley & Sons, Inc.
Vallerand RJ, Koestner R, Pelletier LG. 2008. Reflections on Self-Determination
Theory. Canadian Psychology, 49(3):257-262.
Watt HMG, Richardson PW. 2008. Motivations, Perceptions and Aspiration
Concerning Teaching as a Career for Different Types of Beginning
Teachers. Learning and Instruction 18:408-428.
http://www.proquest.com/pqdweb [21 Jul 2009]
Wood JT. 2007. Interpersonal Communication: Everyday Encounters. Ed ke-5.
Belmont, CA: Thomson Wadsworth.
Lampiran 1. Analisis Faktor
Descriptive Statistics
4,3387 ,45069 31
2,7032 ,57474 31
4,1161 ,40257 31
3,8968 ,56064 31
3,1968 ,49765 31
4,4452 ,59264 31
3,6935 ,38465 31
3,8710 ,35326 31
Interest/enjoyment
Perceived Competence
Ef fort/Importance
Pressure/Tension
Perceived Choice
Value/Usefulness
Self -ef f icacy
ETOE
Mean Std. Dev iat ion Analysis N
Correlation Matrixa
1,000 ,007 ,639 ,032 -,005 ,482 ,105 ,129
,007 1,000 ,062 ,340 ,337 ,299 ,392 -,211
,639 ,062 1,000 -,040 ,082 ,503 ,237 ,221
,032 ,340 -,040 1,000 ,577 ,243 ,334 ,015
-,005 ,337 ,082 ,577 1,000 ,371 ,380 -,198
,482 ,299 ,503 ,243 ,371 1,000 ,545 -,060
,105 ,392 ,237 ,334 ,380 ,545 1,000 ,006
,129 -,211 ,221 ,015 -,198 -,060 ,006 1,000
,485 ,000 ,432 ,489 ,003 ,286 ,245
,485 ,371 ,030 ,032 ,051 ,015 ,127
,000 ,371 ,416 ,331 ,002 ,099 ,116
,432 ,030 ,416 ,000 ,094 ,033 ,469
,489 ,032 ,331 ,000 ,020 ,018 ,143
,003 ,051 ,002 ,094 ,020 ,001 ,373
,286 ,015 ,099 ,033 ,018 ,001 ,487
,245 ,127 ,116 ,469 ,143 ,373 ,487
Interest/enjoy ment
Perceived Competence
Ef fort/Importance
Pressure/Tension
Perceived Choice
Value/Usefulness
Self -ef f icacy
ETOE
Interest/enjoy ment
Perceived Competence
Ef fort/Importance
Pressure/Tension
Perceived Choice
Value/Usefulness
Self -ef f icacy
ETOE
Correlation
Sig. (1-tailed)
Interest/e
njoyment
Perceived
Competence
Ef fort/
Importance
Pressure/
Tension
Perceived
Choice
Value/
Usefulness Self -ef f icacy ETOE
Determinant = ,085a.
Lanjutan Inverse of Correlation Matrix
1,987 ,113 -1,049 -,301 ,374 -,717 ,345 ,033
,113 1,351 -,082 -,303 -,043 -,127 -,337 ,279
-1,049 -,082 2,089 ,475 -,276 -,481 -,142 -,435
-,301 -,303 ,475 1,741 -,941 ,004 -,186 -,341
,374 -,043 -,276 -,941 1,849 -,392 -,133 ,361
-,717 -,127 -,481 ,004 -,392 2,240 -,836 ,235
,345 -,337 -,142 -,186 -,133 -,836 1,699 -,168
,033 ,279 -,435 -,341 ,361 ,235 -,168 1,242
Interest/enjoy ment
Perceived Competence
Ef fort/Importance
Pressure/Tension
Perceived Choice
Value/Usefulness
Self -ef f icacy
ETOE
Interest/e
njoyment
Perceived
Competence
Ef fort/
Importance
Pressure/
Tension
Perceived
Choice
Value/
Usefulness Self -ef f icacy ETOE
KMO and Bartlett's Test
,642
65,351
28
,000
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling
Adequacy.
Approx. Chi-Square
df
Sig.
Bart lett 's Test of
Sphericity
Anti-image Matrices
,503 ,042 -,253 -,087 ,102 -,161 ,102 ,014
,042 ,740 -,029 -,129 -,017 -,042 -,147 ,166
-,253 -,029 ,479 ,131 -,071 -,103 -,040 -,167
-,087 -,129 ,131 ,574 -,292 ,001 -,063 -,157
,102 -,017 -,071 -,292 ,541 -,095 -,042 ,157
-,161 -,042 -,103 ,001 -,095 ,446 -,220 ,084
,102 -,147 -,040 -,063 -,042 -,220 ,588 -,080
,014 ,166 -,167 -,157 ,157 ,084 -,080 ,805
,580a ,069 -,515 -,162 ,195 -,340 ,188 ,021
,069 ,778a -,049 -,197 -,027 -,073 -,223 ,216
-,515 -,049 ,620a ,249 -,141 -,222 -,075 -,270
-,162 -,197 ,249 ,571a -,524 ,002 -,108 -,232
,195 -,027 -,141 -,524 ,641a -,193 -,075 ,238
-,340 -,073 -,222 ,002 -,193 ,723a -,428 ,141
,188 -,223 -,075 -,108 -,075 -,428 ,717a -,116
,021 ,216 -,270 -,232 ,238 ,141 -,116 ,368a
Interest/enjoy ment
Perceived Competence
Ef fort/Importance
Pressure/Tension
Perceived Choice
Value/Usefulness
Self -ef f icacy
ETOE
Interest/enjoy ment
Perceived Competence
Ef fort/Importance
Pressure/Tension
Perceived Choice
Value/Usefulness
Self -ef f icacy
ETOE
Anti-image Covariance
Anti-image Correlation
Interest/e
njoyment
Perceived
Competence
Ef fort/
Importance
Pressure/
Tension
Perceived
Choice
Value/
Usefulness Self -ef f icacy ETOE
Measures of Sampling Adequacy (MSA)a.
Lanjutan
Communalities
1,000 ,732
1,000 ,508
1,000 ,782
1,000 ,735
1,000 ,651
1,000 ,757
1,000 ,550
1,000 ,899
Interest/enjoy ment
Perceived Competence
Ef fort/Importance
Pressure/Tension
Perceived Choice
Value/Usefulness
Self -ef f icacy
ETOE
Initial Extract ion
Extract ion Method: Principal Component Analysis.
Total Variance Explained
2,761 34,518 34,518 2,761 34,518 34,518 2,333 29,160 29,160
1,850 23,122 57,640 1,850 23,122 57,640 2,138 26,726 55,887
1,003 12,533 70,172 1,003 12,533 70,172 1,143 14,286 70,172
,758 9,477 79,649
,619 7,737 87,387
,437 5,464 92,850
,317 3,961 96,811
,255 3,189 100,000
Component
1
2
3
4
5
6
7
8
Total % of Variance Cumulat iv e % Total % of Variance Cumulat iv e % Total % of Variance Cumulat iv e %
Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings Rotation Sums of Squared Loadings
Extraction Method: Principal Component Analy sis.
Lanjutan
Rotated Component Matrixa
,850
,593
,872
,830
,796
,717
,665
,938
Interest/enjoy ment
Perceived Competence
Ef fort/Importance
Pressure/Tension
Perceived Choice
Value/Usefulness
Self -ef f icacy
ETOE
1 2 3
Component
Extract ion Method: Principal Component Analysis.
Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization.
Rotation converged in 4 iterations.a.
Component Transformation Matrix
,788 ,605 -,114
-,531 ,761 ,372
,312 -,232 ,921
Component
1
2
3
1 2 3
Extraction Method: Principal Component Analy sis.
Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization.
Lampiran 2. Analisis Korelasi Spearman
Correlations
1,000 ,272 ,076 -,212 -,011 -,058 -,081 -,012
. ,138 ,686 ,252 ,952 ,758 ,666 ,950
31 31 31 31 31 31 31 31
,272 1,000 ,207 -,144 -,061 ,441* -,091 -,200
,138 . ,263 ,440 ,744 ,013 ,628 ,281
31 31 31 31 31 31 31 31
,076 ,207 1,000 ,059 -,076 ,077 -,107 -,158
,686 ,263 . ,753 ,684 ,679 ,568 ,395
31 31 31 31 31 31 31 31
-,212 -,144 ,059 1,000 ,061 -,063 ,187 ,114
,252 ,440 ,753 . ,744 ,735 ,315 ,542
31 31 31 31 31 31 31 31
-,011 -,061 -,076 ,061 1,000 ,190 ,849** ,740**
,952 ,744 ,684 ,744 . ,307 ,000 ,000
31 31 31 31 31 31 31 31
-,058 ,441* ,077 -,063 ,190 1,000 ,171 ,094
,758 ,013 ,679 ,735 ,307 . ,357 ,614
31 31 31 31 31 31 31 31
-,081 -,091 -,107 ,187 ,849** ,171 1,000 ,841**
,666 ,628 ,568 ,315 ,000 ,357 . ,000
31 31 31 31 31 31 31 31
-,012 -,200 -,158 ,114 ,740** ,094 ,841** 1,000
,950 ,281 ,395 ,542 ,000 ,614 ,000 .
31 31 31 31 31 31 31 31
Correlation Coef f icient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coef f icient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coef f icient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coef f icient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coef f icient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coef f icient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coef f icient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coef f icient
Sig. (2-tailed)
N
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
Usia
Pendidikan
Masa Kerja (tahun)
Lama Mengajar (tahun)
Spearman's rho
persepsi
lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3 Usia Pendidikan
Masa Kerja
(tahun)
Lama
Mengajar
(tahun)
Correlation is signif icant at the 0.05 level (2-tailed).*.
Correlation is signif icant at the 0.01 level (2-tailed).**.
Lampiran 3. Uji Kruskal-Wallis
Descriptives
7 2,8557 1,51321
8 2,7500 1,89276
9 3,2600 1,54455
7 2,8100 ,37776
31 2,9355 1,41581
7 3,4400 ,38362
8 3,4675 ,39633
9 3,1733 ,36373
7 3,4443 ,32969
31 3,3706 ,37373
7 4,1871 ,15510
8 4,3500 ,39666
9 4,3478 ,45486
7 4,2671 ,54914
31 4,2939 ,40193
7 3,7429 ,33594
8 4,0125 ,35229
9 3,9111 ,30185
7 3,7857 ,43370
31 3,8710 ,35326
Gn Sari 01
Gn Bunder 03
Gn Bunder 04
Gn Picung 06
Total
Gn Sari 01
Gn Bunder 03
Gn Bunder 04
Gn Picung 06
Total
Gn Sari 01
Gn Bunder 03
Gn Bunder 04
Gn Picung 06
Total
Gn Sari 01
Gn Bunder 03
Gn Bunder 04
Gn Picung 06
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Std. Dev iat ion
Lanjutan
Ranks
7 16,79
8 15,63
9 17,11
7 14,21
31
7 18,43
8 17,75
9 11,67
7 17,14
31
7 12,43
8 18,13
9 17,28
7 15,50
31
7 11,64
8 19,38
9 17,78
7 14,21
31
Sekolah
Gn Sari 01
Gn Bunder 03
Gn Bunder 04
Gn Picung 06
Total
Gn Sari 01
Gn Bunder 03
Gn Bunder 04
Gn Picung 06
Total
Gn Sari 01
Gn Bunder 03
Gn Bunder 04
Gn Picung 06
Total
Gn Sari 01
Gn Bunder 03
Gn Bunder 04
Gn Picung 06
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Rank
Test Statisticsa,b
,489 2,952 1,719 3,408
3 3 3 3
,921 ,399 ,633 ,333
Chi-Square
df
Asy mp. Sig.
persepsi
lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3
Kruskal Wallis Testa.
Grouping Variable: Sekolahb.
Lanjutan
Descriptives
13 3,3592 1,15919
15 2,6667 1,52753
3 2,4433 1,89727
31 2,9355 1,41581
13 3,2877 ,37654
15 3,3873 ,37287
3 3,6467 ,33171
31 3,3706 ,37373
13 4,1415 ,44708
15 4,3407 ,31999
3 4,7200 ,25981
31 4,2939 ,40193
13 3,7385 ,30967
15 3,9400 ,38322
3 4,1000 ,20000
31 3,8710 ,35326
kelas rendah
kelas tinggi
kelas rendah dan tinggi
Total
kelas rendah
kelas tinggi
kelas rendah dan tinggi
Total
kelas rendah
kelas tinggi
kelas rendah dan tinggi
Total
kelas rendah
kelas tinggi
kelas rendah dan tinggi
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Std. Dev iat ion
Lanjutan
Ranks
13 18,38
15 14,03
3 15,50
31
13 13,92
15 16,47
3 22,67
31
13 12,92
15 16,77
3 25,50
31
13 13,50
15 16,80
3 22,83
31
Saat ini mengasuh kelas
kelas rendah
kelas tinggi
kelas rendah dan tinggi
Total
kelas rendah
kelas tinggi
kelas rendah dan tinggi
Total
kelas rendah
kelas tinggi
kelas rendah dan tinggi
Total
kelas rendah
kelas tinggi
kelas rendah dan tinggi
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Rank
Test Statisticsa,b
1,667 2,332 4,880 2,864
2 2 2 2
,434 ,312 ,087 ,239
Chi-Square
df
Asy mp. Sig.
persepsi
lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3
Kruskal Wallis Testa.
Grouping Variable: Saat ini mengasuh kelasb.
Lanjutan
Descriptives
10 3,5010 1,27952
9 2,7022 1,90321
11 2,5455 1,02581
1 3,6700 .
31 2,9355 1,41581
10 3,3030 ,42358
9 3,3089 ,40548
11 3,4664 ,32358
1 3,5500 .
31 3,3706 ,37373
10 4,2380 ,44307
9 4,2978 ,17775
11 4,3018 ,51035
1 4,7300 .
31 4,2939 ,40193
10 3,6900 ,31780
9 3,9333 ,37417
11 4,0091 ,32697
1 3,6000 .
31 3,8710 ,35326
kelas rendah
kelas tinggi
kelas rendah dan tinggi
belum ada pengalaman
Total
kelas rendah
kelas tinggi
kelas rendah dan tinggi
belum ada pengalaman
Total
kelas rendah
kelas tinggi
kelas rendah dan tinggi
belum ada pengalaman
Total
kelas rendah
kelas tinggi
kelas rendah dan tinggi
belum ada pengalaman
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Std. Dev iation
Lanjutan
Ranks
10 19,15
9 14,94
11 13,23
1 24,50
31
10 14,85
9 14,72
11 17,68
1 20,50
31
10 15,10
9 16,22
11 15,73
1 26,00
31
10 12,25
9 16,39
11 20,00
1 6,00
31
Pernah mengasuh kelas
kelas rendah
kelas tinggi
kelas rendah dan tinggi
belum ada pengalaman
Total
kelas rendah
kelas tinggi
kelas rendah dan tinggi
belum ada pengalaman
Total
kelas rendah
kelas tinggi
kelas rendah dan tinggi
belum ada pengalaman
Total
kelas rendah
kelas tinggi
kelas rendah dan tinggi
belum ada pengalaman
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Rank
Test Statisticsa,b
3,343 ,959 1,325 5,184
3 3 3 3
,342 ,811 ,723 ,159
Chi-Square
df
Asy mp. Sig.
persepsi
lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3
Kruskal Wallis Testa.
Grouping Variable: Pernah mengasuh kelasb.
Lanjutan
Descriptives
17 3,0788 1,32631
5 2,7340 ,76041
4 2,3325 1,69967
2 4,5000 2,12132
3 2,2200 2,00905
31 2,9355 1,41581
17 3,3341 ,38777
5 3,4200 ,44159
4 3,3575 ,47409
2 3,4150 ,44548
3 3,4833 ,16442
31 3,3706 ,37373
17 4,2688 ,43683
5 4,2600 ,46733
4 4,4000 ,31654
2 4,3850 ,16263
3 4,2900 ,50715
31 4,2939 ,40193
17 3,7412 ,28076
5 3,9400 ,40988
4 4,0750 ,32016
2 4,2000 ,70711
3 4,0000 ,36056
31 3,8710 ,35326
tidak ada m.a. Khusus
agama
olahraga
bahasa inggris
lainny a
Total
tidak ada m.a. Khusus
agama
olahraga
bahasa inggris
lainny a
Total
tidak ada m.a. Khusus
agama
olahraga
bahasa inggris
lainny a
Total
tidak ada m.a. Khusus
agama
olahraga
bahasa inggris
lainny a
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Std. Dev iat ion
Lanjutan
Ranks
17 16,91
5 14,10
4 13,50
2 23,25
3 12,50
31
17 14,91
5 16,20
4 17,38
2 17,50
3 19,00
31
17 15,65
5 16,00
4 17,50
2 18,25
3 14,50
31
17 12,76
5 19,20
4 20,88
2 21,75
3 18,67
31
Saat ini mengasuh M.A.
tidak ada m.a. Khusus
agama
olahraga
bahasa inggris
lainny a
Total
tidak ada m.a. Khusus
agama
olahraga
bahasa inggris
lainny a
Total
tidak ada m.a. Khusus
agama
olahraga
bahasa inggris
lainny a
Total
tidak ada m.a. Khusus
agama
olahraga
bahasa inggris
lainny a
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Rank
Test Statisticsa,b
2,501 ,719 ,339 5,105
4 4 4 4
,644 ,949 ,987 ,277
Chi-Square
df
Asy mp. Sig.
persepsi
lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3
Kruskal Wallis Testa.
Grouping Variable: Saat ini mengasuh M.A.b.
Lanjutan
Descriptives
17 3,1182 1,36433
4 2,7500 ,74113
3 1,7767 1,57469
3 4,4433 1,50321
4 2,0825 1,25985
31 2,9355 1,41581
17 3,2918 ,35678
4 3,4700 ,48546
3 3,2867 ,55411
3 3,5000 ,34771
4 3,5725 ,26525
31 3,3706 ,37373
17 4,2435 ,43628
4 4,1850 ,33161
3 4,2433 ,05508
3 4,2800 ,21517
4 4,6650 ,49082
31 4,2939 ,40193
17 3,8000 ,33354
4 3,8000 ,34641
3 4,0000 ,34641
3 4,0000 ,60828
4 4,0500 ,31091
31 3,8710 ,35326
tidak ada mata
ajaran khusus
agama
olahraga
bahasa inggris
lainny a
Total
tidak ada mata
ajaran khusus
agama
olahraga
bahasa inggris
lainny a
Total
tidak ada mata
ajaran khusus
agama
olahraga
bahasa inggris
lainny a
Total
tidak ada mata
ajaran khusus
agama
olahraga
bahasa inggris
lainny a
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Std. Dev iat ion
Lanjutan
Ranks
17 17,41
4 14,00
3 9,00
3 25,00
4 10,50
31
17 13,74
4 18,00
3 15,50
3 20,00
4 21,00
31
17 15,26
4 13,50
3 13,83
3 15,50
4 23,63
31
17 14,74
4 15,13
3 18,33
3 16,50
4 20,13
31
Pernah mengasuh M.A.tidak ada mata ajaran
khusus
agama
olahraga
bahasa inggris
lainny a
Total
tidak ada mata ajaran
khusus
agama
olahraga
bahasa inggris
lainny a
Total
tidak ada mata ajaran
khusus
agama
olahraga
bahasa inggris
lainny a
Total
tidak ada mata ajaran
khusus
agama
olahraga
bahasa inggris
lainny a
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Rank
Test Statisticsa,b
7,048 3,049 3,412 1,431
4 4 4 4
,133 ,550 ,491 ,839
Chi-Square
df
Asy mp. Sig.
persepsi
lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3
Kruskal Wallis Testa.
Grouping Variable: Pernah mengasuh M.A.b.
Lanjutan
Descriptives
18 2,8339 1,39211
8 3,2913 1,49705
5 2,7320 1,58875
31 2,9355 1,41581
18 3,4072 ,36314
8 3,4338 ,40387
5 3,1380 ,34644
31 3,3706 ,37373
18 4,2472 ,36327
8 4,4563 ,43811
5 4,2020 ,49170
31 4,2939 ,40193
18 3,8778 ,41096
8 3,9250 ,30119
5 3,7600 ,19494
31 3,8710 ,35326
tidak ada
pembina pramuka
lainny a
Total
tidak ada
pembina pramuka
lainny a
Total
tidak ada
pembina pramuka
lainny a
Total
tidak ada
pembina pramuka
lainny a
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Std. Dev iation
Ranks
18 15,58
8 16,44
5 16,80
31
18 16,75
8 18,25
5 9,70
31
18 15,25
8 19,06
5 13,80
31
18 16,39
8 17,00
5 13,00
31
Tugas Lain
tidak ada
pembina pramuka
lainny a
Total
tidak ada
pembina pramuka
lainny a
Total
tidak ada
pembina pramuka
lainny a
Total
tidak ada
pembina pramuka
lainny a
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Rank
Test Statisticsa,b
,099 3,014 1,325 ,691
2 2 2 2
,952 ,222 ,515 ,708
Chi-Square
df
Asy mp. Sig.
persepsi
lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3
Kruskal Wallis Testa.
Grouping Variable: Tugas Lainb.
Lanjutan
Descriptives
21 2,8100 1,18114
6 3,3883 1,68059
2 3,1650 4,00930
2 2,6650 ,47376
31 2,9355 1,41581
21 3,4352 ,32768
6 3,0650 ,43666
2 3,2300 ,18385
2 3,7500 ,28284
31 3,3706 ,37373
21 4,3119 ,36935
6 3,9983 ,40187
2 4,6850 ,26163
2 4,6000 ,46669
31 4,2939 ,40193
21 3,8143 ,34247
6 3,8833 ,28577
2 4,4000 ,42426
2 3,9000 ,42426
31 3,8710 ,35326
tidak ada
PLH f ormal di SD
PLH f ormal di SMP
PLH f ormal di PT
Total
tidak ada
PLH f ormal di SD
PLH f ormal di SMP
PLH f ormal di PT
Total
tidak ada
PLH f ormal di SD
PLH f ormal di SMP
PLH f ormal di PT
Total
tidak ada
PLH f ormal di SD
PLH f ormal di SMP
PLH f ormal di PT
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Std. Dev iat ion
Lanjutan
Ranks
21 16,02
6 16,83
2 16,50
2 12,75
31
21 17,52
6 9,08
2 11,50
2 25,25
31
21 16,26
6 9,83
2 25,50
2 22,25
31
21 14,76
6 17,17
2 26,25
2 15,25
31
PLH Formal
tidak ada
PLH f ormal di SD
PLH f ormal di SMP
PLH f ormal di PT
Total
tidak ada
PLH f ormal di SD
PLH f ormal di SMP
PLH f ormal di PT
Total
tidak ada
PLH f ormal di SD
PLH f ormal di SMP
PLH f ormal di PT
Total
tidak ada
PLH f ormal di SD
PLH f ormal di SMP
PLH f ormal di PT
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Rank
Test Statisticsa,b
,324 6,625 5,917 3,120
3 3 3 3
,955 ,085 ,116 ,373
Chi-Square
df
Asy mp. Sig.
persepsi
lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3
Kruskal Wallis Testa.
Grouping Variable: PLH Formalb.
Lanjutan
Descriptives
13 3,2308 1,00346
7 3,0471 2,10432
3 3,0000 ,88255
2 1,8350 2,59508
6 2,5000 1,29598
31 2,9355 1,41581
13 3,4546 ,34626
7 3,2486 ,31429
3 3,0000 ,41037
2 3,2000 ,77782
6 3,5733 ,24663
31 3,3706 ,37373
13 4,1215 ,35725
7 4,4057 ,25488
3 3,9133 ,34034
2 4,1500 ,18385
6 4,7750 ,25344
31 4,2939 ,40193
13 3,9154 ,41402
7 3,7571 ,26367
3 3,7000 ,00000
2 3,7500 ,63640
6 4,0333 ,30768
31 3,8710 ,35326
tidak ada
seminar PLH
lokakarya/workshop PLH
pelatihan PLH
lainny a
Total
tidak ada
seminar PLH
lokakarya/workshop PLH
pelatihan PLH
lainny a
Total
tidak ada
seminar PLH
lokakarya/workshop PLH
pelatihan PLH
lainny a
Total
tidak ada
seminar PLH
lokakarya/workshop PLH
pelatihan PLH
lainny a
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Std. Dev iat ion
Lanjutan
Ranks
13 17,27
7 15,64
3 17,50
2 13,00
6 13,92
31
13 17,42
7 13,29
3 7,17
2 14,50
6 21,00
31
13 12,31
7 18,64
3 7,50
2 12,00
6 26,50
31
13 17,46
7 11,93
3 12,50
2 13,25
6 20,25
31
PLH Non Formal
tidak ada
seminar PLH
lokakarya/workshop PLH
pelatihan PLH
lainny a
Total
tidak ada
seminar PLH
lokakarya/workshop PLH
pelatihan PLH
lainny a
Total
tidak ada
seminar PLH
lokakarya/workshop PLH
pelatihan PLH
lainny a
Total
tidak ada
seminar PLH
lokakarya/workshop PLH
pelatihan PLH
lainny a
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Rank
Test Statisticsa,b
,913 5,645 13,771 3,771
4 4 4 4
,923 ,227 ,008 ,438
Chi-Square
df
Asy mp. Sig.
persepsi
lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3
Kruskal Wallis Testa.
Grouping Variable: PLH Non Formalb.
Lanjutan Descriptives
21 3,1271 1,44738
2 3,1650 1,18087
6 2,6117 1,30722
2 1,6650 1,88798
31 2,9355 1,41581
21 3,2814 ,39395
2 3,5600 ,01414
6 3,5617 ,31594
2 3,5450 ,26163
31 3,3706 ,37373
21 4,1590 ,37744
2 4,5700 ,42426
6 4,5817 ,30116
2 4,5700 ,42426
31 4,2939 ,40193
21 3,8762 ,39485
2 3,9500 ,49497
6 3,8167 ,23166
2 3,9000 ,28284
31 3,8710 ,35326
tidak ada
saka wana bakti
dan pecinta alam
pramuka
lainny a
Total
tidak ada
saka wana bakti
dan pecinta alam
pramuka
lainny a
Total
tidak ada
saka wana bakti
dan pecinta alam
pramuka
lainny a
Total
tidak ada
saka wana bakti
dan pecinta alam
pramuka
lainny a
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Std. Dev iat ion
Lanjutan
Ranks
21 16,60
2 18,00
6 15,33
2 9,75
31
21 13,76
2 21,75
6 20,58
2 20,00
31
21 13,00
2 21,25
6 23,00
2 21,25
31
21 16,26
2 17,25
6 14,33
2 17,00
31
Pengalaman Organisasi
tidak ada
saka wana bakti dan
pecinta alam
pramuka
lainny a
Total
tidak ada
saka wana bakti dan
pecinta alam
pramuka
lainny a
Total
tidak ada
saka wana bakti dan
pecinta alam
pramuka
lainny a
Total
tidak ada
saka wana bakti dan
pecinta alam
pramuka
lainny a
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Rank
Test Statisticsa,b
1,209 3,986 7,189 ,288
3 3 3 3
,751 ,263 ,066 ,962
Chi-Square
df
Asy mp. Sig.
persepsi
lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3
Kruskal Wallis Testa.
Grouping Variable: Pengalaman Organisasib.
Lanjutan
Descriptives
23 3,0435 1,37222
2 3,0000 ,00000
2 2,3300 2,82843
2 1,8350 2,59508
2 3,3350 ,47376
31 2,9355 1,41581
23 3,3252 ,35010
2 3,7550 ,27577
2 3,3450 ,02121
2 3,2000 ,77782
2 3,7050 ,43134
31 3,3706 ,37373
23 4,2209 ,39699
2 4,9300 ,00000
2 4,6350 ,33234
2 4,1500 ,18385
2 4,3000 ,16971
31 4,2939 ,40193
23 3,8870 ,36718
2 3,9000 ,42426
2 3,8500 ,35355
2 3,7500 ,63640
2 3,8000 ,14142
31 3,8710 ,35326
pengalaman positif
pengalaman negatif
pengalaman positif dan
negatif
tidak memberi jawaban
tidak jelas
Total
pengalaman positif
pengalaman negatif
pengalaman positif dan
negatif
tidak memberi jawaban
tidak jelas
Total
pengalaman positif
pengalaman negatif
pengalaman positif dan
negatif
tidak memberi jawaban
tidak jelas
Total
pengalaman positif
pengalaman negatif
pengalaman positif dan
negatif
tidak memberi jawaban
tidak jelas
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Std. Dev iat ion
Lanjutan
Ranks
23 15,85
2 16,50
2 15,75
2 13,00
2 20,50
31
23 14,85
2 26,00
2 13,50
2 14,50
2 23,25
31
23 14,50
2 30,50
2 23,25
2 12,00
2 15,50
31
23 16,54
2 15,25
2 13,75
2 13,25
2 15,50
31
Pengalaman interaksi
dengan alampengalaman positif
pengalaman negatif
pengalaman positif dan
negatif
tidak memberi jawaban
tidak jelas
Total
pengalaman positif
pengalaman negatif
pengalaman positif dan
negatif
tidak memberi jawaban
tidak jelas
Total
pengalaman positif
pengalaman negatif
pengalaman positif dan
negatif
tidak memberi jawaban
tidak jelas
Total
pengalaman positif
pengalaman negatif
pengalaman positif dan
negatif
tidak memberi jawaban
tidak jelas
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Rank
Test Statisticsa,b
,750 4,268 7,391 ,418
4 4 4 4
,945 ,371 ,117 ,981
Chi-Square
df
Asy mp. Sig.
persepsi
lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3
Kruskal Wallis Testa.
Grouping Variable: Pengalaman interaksi dengan alamb.
Lanjutan
Descriptives
13 3,1023 1,33630
3 2,7800 1,01799
9 2,6289 1,17145
6 3,1117 2,19953
31 2,9355 1,41581
13 3,3508 ,35203
3 3,7000 ,38432
9 3,4144 ,31389
6 3,1833 ,46068
31 3,3706 ,37373
13 4,2477 ,53090
3 4,3933 ,40067
9 4,3200 ,32909
6 4,3050 ,20608
31 4,2939 ,40193
13 3,8923 ,44057
3 3,9667 ,30551
9 3,9000 ,27839
6 3,7333 ,30111
31 3,8710 ,35326
2005-2010
seb 2005
tidak jelas
tidak jawab
Total
2005-2010
seb 2005
tidak jelas
tidak jawab
Total
2005-2010
seb 2005
tidak jelas
tidak jawab
Total
2005-2010
seb 2005
tidak jelas
tidak jawab
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Std. Dev iation
Lanjutan
Ranks
13 17,23
3 15,00
9 14,17
6 16,58
31
13 15,50
3 23,33
9 16,50
6 12,67
31
13 15,58
3 17,50
9 16,11
6 16,00
31
13 16,65
3 19,83
9 16,00
6 12,67
31
Waktu mendapatkanny a
2005-2010
seb 2005
tidak jelas
tidak jawab
Total
2005-2010
seb 2005
tidak jelas
tidak jawab
Total
2005-2010
seb 2005
tidak jelas
tidak jawab
Total
2005-2010
seb 2005
tidak jelas
tidak jawab
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Rank
Test Statisticsa,b
,691 2,826 ,111 1,442
3 3 3 3
,875 ,419 ,990 ,696
Chi-Square
df
Asy mp. Sig.
persepsi
lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3
Kruskal Wallis Testa.
Grouping Variable: Waktu mendapatkannyab.
Lampiran 4 Uji Mann-Whitney
Descriptives
14 2,5000 1,18300
17 3,2941 1,52276
31 2,9355 1,41581
14 3,4071 ,36793
17 3,3406 ,38700
31 3,3706 ,37373
14 4,3821 ,44061
17 4,2212 ,36431
31 4,2939 ,40193
14 3,9357 ,31527
17 3,8176 ,38281
31 3,8710 ,35326
Laki-Laki
Perempuan
Total
Laki-Laki
Perempuan
Total
Laki-Laki
Perempuan
Total
Laki-Laki
Perempuan
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Std. Deviation
Ranks
14 13,64 191,00
17 17,94 305,00
31
14 16,71 234,00
17 15,41 262,00
31
14 17,93 251,00
17 14,41 245,00
31
14 17,61 246,50
17 14,68 249,50
31
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
Total
Laki-Laki
Perempuan
Total
Laki-Laki
Perempuan
Total
Laki-Laki
Perempuan
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
86,000 109,000 92,000 96,500
191,000 262,000 245,000 249,500
-1,335 -,397 -1,073 -,904
,182 ,691 ,283 ,366
,200a
,710a
,297a
,377a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]
persepsi
lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3
Not corrected f or ties.a.
Grouping Variable: Jenis Kelaminb.
Lanjutan
Descriptives
4 2,2500 1,50000
27 3,0370 1,40367
31 2,9355 1,41581
4 3,2650 ,58592
27 3,3863 ,34580
31 3,3706 ,37373
4 4,2200 ,44632
27 4,3048 ,40305
31 4,2939 ,40193
4 4,0750 ,20616
27 3,8407 ,36296
31 3,8710 ,35326
tidak pernah
pernah
Total
tidak pernah
pernah
Total
tidak pernah
pernah
Total
tidak pernah
pernah
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Std. Dev iat ion
Ranks
4 12,75 51,00
27 16,48 445,00
31
4 13,50 54,00
27 16,37 442,00
31
4 15,88 63,50
27 16,02 432,50
31
4 22,50 90,00
27 15,04 406,00
31
Pengalaman
Mengajar PLHtidak pernah
pernah
Total
tidak pernah
pernah
Total
tidak pernah
pernah
Total
tidak pernah
pernah
Total
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
N Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
41,000 44,000 53,500 28,000
51,000 54,000 63,500 406,000
-,781 -,589 -,029 -1,551
,435 ,556 ,976 ,121
,476a
,589a
,977a
,137a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]
persepsi
lingkungan Faktor1 Faktor2 Faktor3
Not corrected f or ties.a.
Grouping Variable: Pengalaman Mengajar PLHb.