perolehan hak waris anak mulĀ’anah studi …
TRANSCRIPT
50
PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI KOMPARATIF FIKIH DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
(ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010)
M. Iqbal
Institut Agama Islam Almuslim Aceh Email: [email protected]
Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 telah memberikan hak perdata kepada anak yang lahir di luar perkawinan, putusan ini berlaku secara general, baik terhadap anak zina, kawin siri dan juga anak mulā’anah yang tidak di akui oleh ayahnya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan teori fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui konsep perolehan hak waris anak mulā’anah menurut fikih dan Perundang-undangan di Indonesia, serta akibat hukum paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 khususnya terkait hak waris anak mulā’anah. Penelitian ini tergolong kepada penelitian kepustakaan, yang bersifat deskriptif analysis, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, melalui pendekatan yuridis normatif. Untuk menggali informasi dan data-data yang akurat dalam penelitian hukum, maka diperlukan untuk mengelaborasi antara pendekatan undang-undang, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual, sehingga hukum yang dihasilkan itu memiliki nilai keadilan bagi segenap lapisan masyarakat.Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak mulā’anah hanya memiliki hubungan saling waris-mewarisi dengan ibu dan keluarga ibunya, tidak dengan ayah dan keluarga ayahnya. Namun untuk memberikan rasa keadilan, anak mulā’anah hanya diberikan waşiyyah al-wājibah, agar kehidupan si anak tidak terabaikan. Kata Kunci: Hak Waris, Anak Mulā’anah, Fikih, Perundang-Undangan Di Indonesia
51
A. Pendahuluan
Hukum Islam merupakan hukum ilāhī yangbersifat komperehensif dan
universal,unsur fleksibelitas yang melekat pada hukum Islam menjadikannya
tidak lekang oleh perkembangan zaman, perbedaan tempat dan waktu. Dengan
pemahaman dan pengamalan yang benar, hukum Islam dapat
diimplementasikan secara dinamis dalam berbagai aspek kehidupan kapanpun
dan dimanapun manusia berada.
Di antara hukum yang mengatur interaksi antar sesama manusia
adalah aturan tentang warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai
akibat dari suatu kematian. Hukum kewarisan Islam mengatur peralihan harta
dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup. Syari’at
Islam menetapkan aturan waris dalam bentuk yang sangat teratur dan adil. Di
dalamnya ditetapkan hak kepemilikan bagi setiap insan, baik laki-laki maupun
perempuan dengan cara yang legal. Islam tidak pernah menafikan hak
seseorang untuk memperoleh warisan, sesuai kekerabatannya dengan orang
yang telah meninggal. Jikalau posisi dia lebih dekat dengan orang yang telah
meninggal maka dia didahulukan dalam perolehan warisan. Para kerabat yang
jauh maka bisa di ḥijab oleh yang lebih dekat.
Dalam konteks kemasyarakatan, problematika yang dihadapihukum
mawaris terus terbarui seiring berkurunnya waktu. Tentunya, hal ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perubahan social budaya masyarakat,
perubahan zaman, arah kebijakan pemerintah dan lain sebagainya. Realitas
tersebut mendorong disiplin ilmu fikih islam untuk terus berdinamika dalam
menanggapi perubahan tersebut, sesuai dengan keadaan dan kondisi sosial
masyarakat.Seperti halnya permasalahan anak mula’anah dalam mawaris.
Perubahan kecenderungan pernikahan bawah tangan yang semakin ramai,
serta banyaknya anak yang lahir di luar pernikahan menyebabkan para disiplin
ilmu ini untuk terus menjawab berbagai permasalahan yang agaknya bersifat
rancu dan perlu penyelesaian sebagaimana yang dimaksudkan ajaran islam.
52
Salah satu contoh kasus yang berkenaan dengan hal tersebut adalah
kasus anak dari perkawinan sirri Machida dan Moerdiono. Dalam rangka
memenuhi rasa keadilan bagi anak sebagai korban, dan menegakkan hak
asasimanusianya, Machida mengadakan Judicial Review kepada Mahkamah
Konstitusi terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan 43 ayat (1) UU perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, sehingga Mahkamah Konstitusi menerbitkan keputusan
Nomor 46/PUU-VIII/2010.
Permohonan pengujian Pasal 2 ayat (2) dan 43 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan1 efek dari perceraian Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H.
Mochtar Ibrahim2 dengan Moerdiono, Moerdiono merupakan mantan
Mensesneg era Presiden Soeharto. Machica dinikahi Moerdiono secara siri
pada 20 Desember Tahun 1993, dan dikaruniai seorang anak bernama
Muhammad Iqbal Ramadhan. Kala itu, Moerdiono masih terikat perkawinan
dengan istrinya yang pertama, lantaran UUP menganut asas monogami
mengakibatkan perkawinan Machica dan Moerdiono tak bisa dicatatkan Kantor
Urusan Agama. Akibatnya, perkawinan mereka dinyatakan tidak sah menurut
hukum (negara),dan anaknya dianggap anak luar kawin yang hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Pada 1998
mereka bercerai, setelah perceraian, Iqbal tidak pernah berjumpa ayahnya,
sebagai ayah Moerdiono tidak pula menafkahi hidup Iqbal sejak berusia dua
tahun3. Iqbal juga kesulitan dalam pembuatan akta kelahiran, karena ibunya
tidak memiliki buku nikah.
Pada 18 Juni tahun 2008, kasus ini sempat bergulir ke Pengadilan Agama
Tigaraksa, Tangerang, atas permohonan ithbat nikah dan pengesahan anak
yang permohonannya tidak dapat dicatatkan.Meski pernikahannya dianggap
sah karena rukun dan syarat nikah terpenuhi, tetapi Pengadilan Agama tidak
berani menyatakan Iqbal sebagi anak yang sah karena terbentur dengan asas
1Dalam penulisan selanjutnya akan disingkat dengan UUP. 2Dalam penulisan selanjutnya akan disebut dengan Machica. 3Naurahafranzfh.blogspot.co.id/2016/01/perkara-kasus-machica-mochtar-
status.html?m=1 Diakses pada tanggal 4 januari 2016.
53
monogami sehingga perkawinan itu tidak diakui oleh negara4.
Kenyataannya,setelah perceraian pada tahun 1998, Moerdiono yang tidak
menafkahi Iqbal, ditambah lagi dengan pernyataan keluarga Moerdiono pada
juli 2008 yang tidak mengakui Iqbal sebagai anak Moerdiono.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyatakan bahwa : “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Kemudian Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut
menetapkan bahwa “anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”Oleh karena itu, Machicha
maupun Iqbal merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh ketentuan Pasal 2
ayat 2 dan Pasal 23 ayat (1) UUP tersebut karena perkawinan Machica tidak
diakui menurut hukum, dan anaknya Iqbal tidak mempunyai hubungan
perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.
Menurut pemohon, keadaan ini bertentangan dengan konstitusi, yakni
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945), Pasal 28 b
ayat (1) menyatakan bahwa” setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”, Pasal 28 b ayat (2) UUD 1945
menyatakan bahwa : “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Maka
ketentuan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut bertentangan dengan konstitusi
karena menutup hak anak yang lahir di luar perkawinan5 atas adanya
hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.
Dalam Pasal 43 ayat (1) UUP sebelum direvisi menyatakan bahwa : “anak
yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.”Di sini terdapat frase “hanya” yang berarti
pembatasan, yaitu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
4Naurahafranzfh.blogspot.co.id..., Diakses pada tanggal 4 januari 2016. 5Maksud dari anak yang lahir di luar perkawinan di sini adalah anak yang lahir dari
pernikahan yang tidak tercatat dalam buku catatan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA).
54
keluarga ibunya. Kemudian Pasal 43 ayat (1) hasil review MK menyatakan
bahwa: “ anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan lelaki-laki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi atau alat bukti lain,
yang menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya, frase “hanya” dihapus diganti dengan frase “serta”,
yang mana berarti penambahan hubungan perdata anak dengan ayahnya dan
keluarga ayah.
Kasus tersebut menerangkan bahwa anak tersebut bukanlah anak dari
hasil zina, melainkan anak yang lahir dari suatu perkawinan yang memenuhi
unsur rukun dan syarat sah nikah, namun cacat dimata hukum karena tidak
adanya catatan dari pegawai pencatat nikah, anak tersebut dianggap sebagai
anak yang cacat menurut perspektif hukum. Karena dalam aturan hukum
Indonesia, apabila seseorang ingin haknya diproses oleh hukum tentunya harus
memenuhi syarat formil dan syarat materil. Syarat formil dari kasus di atas
telah dipenuhi yaitu sahnya perkawinan karena terpenuhi rukun dan syarat
Perkawinan. Sedangkan syarat materil belum terpenuhi, yaitu catatan dari
pegawai pencatat nikah. Sehingga kasus ini menjadi cacat di mata hukum.
Merujuk kepada kitab-kitab fikih klasik, keingkaran ayah kandung
terhadap anaknya di sebut dengan li’ān. Dalam kasus ini Moerdiono telah
mengingkari keberadaan Iqbal sebagai anak kandungnya, walaupun
Moerdiono tidak pernah mengucapkan sumpah li’ān.
B. Perolehan Hak Waris Anak Mulā’anah dalam Fikih
Kata li’ān adalah bentuk masdar dari fi’il maḍi lā’ana (لاعن) yang berasal
dari kata al-la’nu (اللعن) yang maknanya adalah at-thardu ( دالطر )yaitu penolakan
dan al-ib’ād ( دالإبعا ) yaitu menjauhkan. Adapun terkait dengan definisi dan
55
batasan makna li’ān dalam ruang lingkup fikih para ulama memberikan redaksi
yang berbeda-beda.6
Li’ān itu terjadi bila tuduhan zina yang dilemparkan oleh suami itu
dibantah oleh isteri, kemudian si suami tidak dapat mendatangkan empat saksi.
Termasuk dalam rangkaian tuduhan si suami adalah pengingkaran terhadap
anak yang dilahirkannya. Dalam konteks li’ān secara substansial lebih menitik
beratkan kepada penyangkalan anak, sehingga jika suami hanya menuduh
isterinya berzina tanpa menyangkal anak yang dikandung oleh isterinya maka
tidak dikatakan li’ān, melainkan tuduhan zina. Jadi jalur hukumnya hanya
dikenakan had saja, sedangkan yang dikandung mengikuti nasab suami, hal ini
disebabkan karena suami tidak menyangkal anak yang dikandung oleh
isterinya.
Ketentuan li’ān yang menjadi acuan dalam penetapan hukum li’ān
temaktub dalam surat al-nūr ayat 6-9.7 Pada surah al-Nur ayat 6-
6Mazhab Ḥanafi dan Ḥanbali memberikan definisi yaitu: kesaksian yang terjadi di antara
suami dan isteri yang dikuatkan dengan sumpah dan disertai laknat dari pihak suami dan marah dari pihak isteri.Mazhab Maliki mendefinisikan li’ān dengan sumpah yang dilakukan oleh seorang suami yang beragama Islam dan sudah mukallaf (akil baligh), atas perbuatan zina yang dituduhkan kepada isterinya, atau atas pengingkaran atas anak yang dikandungnya, dimana suaminya bersumpah bahwa isterinya telah berdusta yang tiap shigathnya berisi: ”aku bersaksi kepada Allah bahwa aku telah melihat kamu berzina” dengan dihadiri oleh hakim, baik nikah antara suami isteri itu nikah şaḥih atau nikah fāsid. Bagi mereka li’ān yang dilakukan suami yang kafir, anak kecil, orang gila, dan orang mAbūk tidak sah.
Sedangkan dalam mazhab Syafi’ī sebagaimana di ungkapkan oleh Khātib Syarbainī6 bahwa li’ānitu adalah suatu kata-kata tertentu yang dijadikan argumentasi untuk menekankan tuduhan atas orang yang menodai ranjangnya, dengan disertakan ancaman atasnya, atau atas penolakannya atas sahnya anak. Definisi ini tidak menentukan pilihan kata atau kalimat yang digunakan, namun memuat dua kemungkinan tuduhan, yaitu zina yang dilakukan isteri, atau penolakan atas sahnya anak yang dikandung isterinya dari benihnya.Sebab terjadinya li’ān itu menurut Wahbah al-Zuḥailī ada dua, yakni, 1) Suami menuduh isterinya dengan telah melakukan zina dengan orang lain; 2) Suami menafikan kehamilan atau anak yang dilahirkan oleh isterinya, meskipun dari senggama syubhāt atau nikah fāsid.Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, jilid VII,(Dimasyq: Dār al-Fikr, 2009), hlm. 528
7 Peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat ini ialah ketika Ḥilal bin Umayyah menuduh isterinya berzina dengan Syarik bin Samha dihadapan Rasulullah Muhammad SAW. kemudian Rasulullah bersabda: “Kamu harus dapat membuktikan, atau (kalau tidak) hukuman had menimpa punggungmu,” lalu Hilal bin Umayyah berkata: “Ya Rasulullah, jika seorang di antara kami telah melihat serang laki-laki telah berada di atas isterinya, masihkah di tuntut untuk mencari bukti?”, Rasulullah bersabda: “Kamu harus dapat mebuktikan, dan jika tidak maka hukuman had di punggungmu”, Hilal berkata: “demi dzat yang telah mengutusmu
56
7dijelaskansanksi hukum terhadap orang-orang yang menuduh isterinya
berbuat zina, padahal tidak ada bagi mereka saksi-saksi yang menguatkan
tuduhannya itu selain dirinya sendiri, maka pesaksian salah seorang mereka,
yaitu suami dengan empat kali kesaksian yakni bersumpah sambil
menggandengkan ucapan sumpahnya itu dengan nama Allah, bahwa
sesungguhnya dia termasuk kelompok orang-orang yang benar dalam
tuduhannya kepada isterinya itu, dan sumpah yang kelima adalah bahwa
denganmembawa kebenaran, sesungguhnya saya benar-benar jujur. Maka saya berharap sudi kiranya Allah SWT.. Menurunkan ayat al-Quran yang bisa membebaskan punggungku dari hukuman dera”. Sehingga turunlah ayat ini. Menurut jumhur ulama kasus yang menimpa Ḥilal bin Umayyah dengan insterinya ini merupakan awal mulanya li’ān dalam Islam, ada juga sebahagian sahabat mengatakan ini kisah dari Uwaimir al-Ujlāni dengan isterinya. Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī…, jilid VII, hlm. 532. Keterangan lebih lanjut tentang li’an juga terdapat dalam hadits riwayat Sa’id bin Zubair tentang sunnah Nabi Muhammad SAW, dalam menyelesaikan masalah perceraian karena tuduhan yang dituduhkan suami terhadap isterinya tanpa dapat menghadirkan saksi-saksi, namun hanya memiliki keyakinan atas dirinya dan bukti-bukti yang nyata. Maka Rasulullah Muhammad SAW. bersabda sesuai dengan wahyu yang diturunkan kepadanya dan menganjurkan kepada pasangan suami isteri itu untuk mengucapkan sumpah li’ān, dengan bunyi hadits:
“Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata : Aku pernah ditanya di masa pemerintahan Mush’ab (bin Zubair) tentang suami-isteri yang melakukan li’ān, apakah keduanya itu harus dipisahkan. (Ia berkata) : maka aku tidak tahu apa yang harus aku katakan, lalu aku pergi ke rumah Ibnu ‘Umar di Makkah, aku berkata kepada anak lelaki yang di rumahnya, “izinkanlah aku untuk bertemu dengannya”. Ia menjawab, “ ia sedang tidur siang”. Lalu ia mendengar suaraku, ia bertanya, “Ibnu Jubair?”. Aku menjawab, “Ya”. Ia berkata, “masuklah. Demi Allah, tidaklah membuatmu datang kemari di saat seperti ini, kecuali ada perlu“. Lalu aku masuk. Ternyata ia sedang tiduran dengan bertikar alas pelana dan memakai bantal yang isinya sAbūt. Aku berkata, “hai Abū Abdurrahman, apakah suami isteri yang telah berli’ān itu harus diceraikan antara keduanya?”. Ia menjawab, “Subhaanallah, ya!. Sesungguhnya pertama kali orang yang bertanya tentang hal itu adalah fulan bin fulan”. Ia bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkau kalau salah seorang di antara kami mendapati isterinya berbuat zina, apa yang harus ia lakukan? jika ia berbicara berarti berbicara tentang urusan besar dan jika ia diam berarti ia mendiamkan perkara besar juga”. Ibnu Umar berkata, “maka Nabi Muhammad SAW. diam, tidak menjawabnya”. Kemudian ia datang lagi kepada Nabi Muhammad lalu berkata:“Sesungguhnya yang saya tanyakan kepada engkau menimpa diriku sendiri”. Lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat-ayat dalam surat Al-Nūr “Dan orang-orang yang menuduh isteri-isterinya (berzina)...”. Kemudian Nabi Muhammad SAW. membacakan ayat-ayat tersebut kepadanya dan menasehatinya serta mengingatkannya dan memberitahu, bahwa adzab di dunia itu lebih ringan dari pada azab di akhirat. Lalu orang itu berkata, “tidak ! demi Tuhan yang mengutusmu dengan benar, aku tidak berdusta tentang isteriku”. Kemudian Nabi SAW memanggil isteri orang itu lalu menasehatinya, mengingatkannya dan memberitahu, bahwa azab di dunia itu lebih ringan dari pada azab di akhirat. Wanita itu berkata, “Tidak! Demi Tuhan yang mengutusmu dengan benar, suamiku itu dusta”. Lalu Nabi Muhammad SAW. memulai dari si laki-laki. Maka laki-laki itu bersumpah dengan nama Allah empat kali bahwa dia sungguh di pihak yang benar, dan ke limanya semoga la’nat Allah menimpa kepadanya jika ia berdusta. Lalu Rasulullah Muhammad SAW. beralih kepada si wanita, kemudian wanita itu bersaksi dengan nama Allah empat kali bahwa sesungguhnya suaminya itu berdusta, dan kelimanya semoga murka Allah ditimpakan kepadanya jika suaminya itu benar. Lalu beliau menceraikan keduanya”. (HR. Muslim). Lihat Muslim bin al-Hajjaj, Şaḥih Muslim, jilid II, (Bairut: Dār Ihyyā at-Turath al-Arabī, t.th), hlm. 1130.
57
laknat Allah atasnya, jika ia berbohong sehingga dengan kebohongannya
menuduh isterinya secara tidak sah menjadikan ia termasuk kelompok para
pembohong.8
Seterusnya dalam Firman Allah SWT.. surah al-nūr ayat 8-9
menerangkan bahwa bahwasanya apabila isteri tidak membantah, maka ia
dijatuhi hukuman perzinaan, namun menurut ayat 8 sanksi hukuman itu dapat
dihindarkan darinya dengan jalan bersumpah demi Allah SWT. sebanyak
empat kali sumpah, bahwa: “sungguh suaminya itu termasuk kelompok para
pembohong”, lalu sumpah kelima yang harus diucapkan oleh isterinya tersebut
sesuai dengan surah an-Nur ayat 9yaitu: “murka Allah SWT. menimpanya jika
suaminya itu termasuk kelompok orang-orang yang benar.9
Sebagai akibat dari li’ān ada dua hal besar yang berkaitan dengan
masalah kewarisan. Pertama: putus hubungan kewarisan antara suami-isteri,
dan kedua: putus hubungan antara suami yang me li’ān dengan anak yang
dilahirkan. Bagaimana hubungan kewarisan antara si suami di satu pihak dan
anak dengan ibunya di pihak lain menjadi pembicaraan di kalangan ulama.10
Para ulama telah sepakat bahwa bila kedua belah pihak telah selesai
mengucapkan sumpah li’ān dan menafikan anak yang dilahirkan, kemudian
keduanya telah dipisah oleh hakim maka putuslah hubungan kewarisan
dengan anak yang lahir dan begitu pula antara suami-isteri yang telah
diceraikan itu. Tetapi bila kedua belum selesai me li’ān atau belum dipisahkan
oleh hakim dan salah seorang keduanya meninggal dunia atau suami dalam
proses li’ān nya tidak menafikan anak yang akan lahir, para ulama berbeda
pendapat dalam menetapkan hubungan kewarisan di antara mereka.11
8M. Quraish Syihab, al-Lubab Makna Tujuan dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an,
(Tangerang: Lentera Hati, 2012), hal. 586. 9 M. Quraish Syihab, Al-Lubab…, hal. 586. 10Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 144. 11Dalam hal putusnya hubungan kewarisan antara suami-isteri jumhur ulama
berpendapat hal tersebut terlaksana setelah kedua suami isteri menyelesaikan sumpah li’ān-nya. Hal ini berarti bila terjadi kematian salah satu orang di antaranya tetapi keduanya belum
58
Menurut Wahbah al-Zuḥailī12 jumhur ulama telah bersepakat (ijma’)
bahwa anak zina dan anak li’ān tidak akan dapat mewarisi dari ayahnya dan
kerabat ayahnya, dia hanya dapat mewarisi dari sisi ibunya dan keluarga
ibunya saja, karena nasab dia dengan ayahnya terputus, maka dia tidak akan
dapat mewarisi, sedangkan nasab dia dengan ibunya itu thabit (pasti), maka dia
hanya dinasabkan kepada ibunya saja. Syariat Islam tidak menganggap bahwa
perbutan zina itu merupakan cara untuk menetapkan nasab, begitu juga dengan
anak li’ān tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya.
C. Perolehan Hak Waris anak Mulā’anah dalam Perundang-Undangan di
Indonesia.
Dalam wilayah hukum Indonesia suatu perkawinan dianggap sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
itu. Begitu juga tiap-tiap perkawinan mestilah dicatat menurut peraturan
selesai mengucapkan li’ān-nya maka hubungan kewarisan di antara keduanya tidak terputus dalam arti masih saling mewarisi. Imām Syafi’ī berpendapat bahwa terjadinya putus hubungan kewarisan itu semenjak suami telah menyelesaikan sumpah li’ān-nya dan tidak perlu menunggu selesainya isteri melakukan li’ān. Imām Malik berpendapat bahwa bila suami meninggal setelah selesai mengucapkan li’ān dan isteri tetap me-li’ān maka putuslah hubungan kewarisan, tetapi kalau isteri tidak me-li’ān, sesudah kematian suaminya itu ia tetap dapat mewarisi. Kalau yang meninggal dunia adalah isteri setelah suami me-li’ān maka suami dapat mewarisi dari isterinya.
Hubungan kewarisan antara laki-laki dengan anak dari isteri yang di li’ān nya terputus semenjak selesainya li’ān yang mengandung maksud menafikan anak itu, dan tidak dari pemisahan yang dilakukan oleh hakim, oleh karena hubungan antara anak tersebut dan laki-laki itu dinafikan semenjak laki-laki tersebut menafikannya dan bukan disebabkan oleh tindakan hakim yang menceraikan antara suami dan isteri. Kalau seandainya dalam li’ān itu tidak langsung disebutkan menafikan anak yang akan lahir oleh si suami, maka hubungan antara anak tersebut dan laki-laki itu tidak terputus, dengan sendirinya hubungan kewarisan di antara keduanya tidak terputus. Ini adalah pendapat yang sahih di kalangan Ḥanabilah.
Abū Bakar berpendapat bahwa anak yang lahir dari si perempuan yang di li’ān itu putus hubungannnya dengan si laki-laki terhitung semenjak perkawinan di antara keduanya dinyatakan putus, meskipun dalam ucapan li’ān tidak disebutkan menafikan anak. Alasannya ialah bahwa Nabi Muhammad SAW. sendiri menafikan anak dari laki-laki yang di li’ān dan menghubungkan nasabnya dengan si ibu, bahkan waktu itu li’ān dari suami tersebut tidak menyebutkan penafian (mengingkari) si anak.Sedangkan jumhur ulama mengharuskan suami itu harus menyebutkan penafian anak. Lihat Ibn al-Qudāmah, al-Mughnī al-Syarh al-Kabīr, jilid VII, (Bairut: Dār al-Kitab al-Arabī, 1304 H, 1983 M), hlm. 121-122.
12Wahbahal-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī…, hlm. 421.
59
perundang-undangan yang berlaku.13 Dan sebuah Perkawinan hanya dapat
dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.14
Maka anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan ini dianggap sebagai anak
sah, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan bahwa
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah”.15 Begitu juga dengan definisi anak sah menurut KHI
yaitu: “anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah dan hasil
perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut”.16 Maka anak yang lahir di luar dari kriteria yang disebutkan diatas
dalam hukum disebut dengan anak di luar nikah atau anak di luar perkawinan
sah.
Anak di luar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang
perempuan , sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan
yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian di luar
kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat
melahirkan keturunan. Sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan
perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya.17
Dalam praktek hukum perdata pengertian anak di luar kawin ada dua
macam. Pertama: apabila orang tua salah satu atau keduanya masih terikat
dengan perkawinan ini, kemudian mereka melakukan hubungan seksual
dengan wanita atau pria lain yang mengakibatkan kehamilan dan melahirkan
anak, maka anak tersebut dinamakan dengan anak zina, bukan anak luar
kawin, kedua: apabila orang tua anak luar kawin itu masih sama-sama bujang,
mereka melakukan hubungan seksual, kemudian hamil serta melahirkan, maka
13Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, BAB I
Dasar Perkawinan, Pasal 2, ayat (1) dan (2), hal. 2. 14Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam,
Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001. Buku I, Hukum Perkawinan,
BAB II Dasar-Dasar Perkawinan, Pasal 4, hal. 2. 15Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 16Kompilasi Hukum Islam di Indonesia…, BAB XIV, Pasal 99, hlm. 111. 17Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika,2006), cet Ke-1, hal. 45.
60
anak itu disebut dengan anak luar nikah. Beda keduanya adalah anak zina
dapat diakui oleh orang tua biologisnya, sedangkan anak luar kawin dapat di
akui oleh orang tua biologisnya apabila mereka menikah, dalam akta
perkawinan dapat dicantumkan pengakuan (erkennen) di pinggir akta
perkawinannya.18
Penyebutan anak luar nikah dalam hukum Islam tidak saja dengan
melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan
sah, bahkan anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang di-liʻān suaminya,
hukumnya sama saja dengan anak zina, anak ini disebut dengan anak
mulāʻanah, ia tidak mengikuti nasab suami ibunya yang me-liʻān, tetapi
mengikuti nasab ibu yang melahirkannya, ketentuan ini berlaku juga terhadap
hukum kewarisan, perkawinan, dan lain-lain. Begitu juga dengan kedudukan
anak syubhāt, anak syubhāt tidak akan memiliki hubungan nasab dengan laki-
laki yang menggauli ibunya, kecuali jika laki-laki itu mengakuinya.19
Jadi dalam Undang-undang di Indonesia baik itu dalam UUP Nomor 1
Tahun 1974 atau dalam KHI kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan
yang sah maka dia hanya dinasabkan kepada ibunya saja. Ketentuan ini juga
berlaku terhadap hukum kewarisan, perkawinan dan lain-lain. Terkait hukum
kewarisan Anak zina atau anak li’ān bisa mewarisi dari ibunya dan keluarga
dari pihak ibu.
Adapun dasar ketetapan ini sesuai dengan isi dari Pasal 43 UUP yaitu:
”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya”.20 Begitu juga dalam KHI pada Pasal 100,
yaitu: ”Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya”.21 Dengan demikian anak luar nikah tidak
18Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum…, hal. 81. 19Huzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshar, Problematika Hukum Islam Komtemporer,
(Jakarta: Firdaus, 2002), hal. 129. 20Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal
43, hlm. 10. 21Kompilasi Hukum Islam di Indonesia…, BAB XIV, Pasal 100, hal. 111.
61
memiliki hubungan nasab dengan bapak dan keluarga bapaknya tetapi hanya
memiliki hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya, hal tersebut sama
dengan apa yang ada di dalam fikih.
Namun dalam Pasal 44 ayat (1) UUP mengatur tentang konsep li’ān
yaitu: “suami dapat menyangkal sahnya anak yang di lahirkan oleh isterinya, bila
mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari
perzinaan tersebut”.Dari Pasal ini dapat dipahami bahwa pengingkaran suami
terhadap anak yang dilahirkan oleh isterinya, dan isterinya telah berzina adalah
dengan pembuktian.
Dalam Kompilasi Hukum Islam konsep li’ān dijelaskan lebih rinci,
sebagaimana tencantum dalam Pasal 125,126,127 dan Pasal 128.22KHI
menjelaskan secara terperinci bagaimana prosedur penyelesaian perkara li’ān.
Dan yang perlu ditegaskan bahwa bahwa akibat dari li’ān itu dapat
menyebabkan putusnya perkawinan.
22Pasal 125: “Li`ān menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk
selama-lamnya”. Pasal 126: “Li`ān terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau
mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
Pasal 127: Tata cara li`ān diatur sebagai berikut : a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran
anaktersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”;
b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya :tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”;
c. tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d. apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`ān.
Pasal 128: Li`ān hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama.Kompilasi Hukum Islam di Indonesia…, BAB XIV, Pasal 100, hal. 111.
62
D. Akibat Hukum Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010
Pokok permohonan para Pemohon dalam putusan Mahkamah
Konstitusi adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang
menyatakan, “Tiap-tiapperkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”, dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang
dilahirkan di luarperkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluargaibunya”, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum
anak. Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan
perkawinan menurut peraturan Perundang-undangan adalah mengenai makna
hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan
tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau
prinsip-prinsip perkawinan menyatakan,“bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menuruthukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturanperundang-
undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinanadalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa pentingdalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran,
kematian yangdinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga
dimuatdalam daftar pencatatan”.
Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas nyatalah bahwa pencatatan
perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya
perkawinan; dan pencatatan merupakan kewajiban administratif yang
diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun faktor yang
menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh
agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya
pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang- undangan
merupakan kewajiban administratif.23
23 Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut,
menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif: Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan
63
Adapun pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di
luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) maka pasal 43
ayat 1 Undang-undang Perkawinan yang menyatakan “ Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya “frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Maka untuk memperoleh
jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan
terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Secara alamiah, tidaklah
mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum
dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara
lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya
pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum
menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan
seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan
tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum
membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan
terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.23 Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang 34 dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. (Pasal 28 J ayat (4) UUD 1945); Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya.
64
sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak
anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya.
Berdasarkan uraian di atas maka Pasal 43 ayat (1) Undang-undang No 1
tahun 1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinanhanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harusdibaca,
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdatadengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yangdapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat buktilain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdatadengan
keluarga ayahnya”.
Mahkamah Konstitusi mengabūlkan yudisial review Pasal 43 ayat 1 UU
Perkawinan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak
tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga
didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-
laki tersebut sebagai bapak. Jika kita pahami isi amar putusan MK tersebut
telah membuka sebuah kemungkinan untuk ditemukannya subjek hukum
baru untuk mempertanggung jawabkan perbuatan hukum terhadap anak yang
lahir di luar perkawinan, yaitu dengan melakukan tes DNA.
Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/ administrasi
perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum.
Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar
kehendaknya. Tidak dapat disangkal bahwa anak yang dilahirkan tanpa
memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak
adil dan stigma negative di tengah-tengah masyarakat. Maka hukum harus
memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang
anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak
yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.
65
Menimbang bahwa, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka
dalil para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak
beralasan menurut hukum. Adapun Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang
menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyaihubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan Undang-
undang Dasar 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni
inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan
perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah sebagai ayahnya.
Dengan adanya Putusan MK ini maka ayah dari anak diluar kawin ini
selama si anak dapat mebuktikan dengan ilmu pengetahuan atau secara
biologis maka akan masuk ke dalam pencatatan sipil di adminitrasi
kependudukan, dengan adanya pencatatan sipil di administrasi kependudukan
ini maka akan menjamin kepastian hukum bagi si anak sehingga akan
memperoleh hak-hak si anak untuk diakui oleh bapak biologis.
Majelis Hakim Konstitusi dalam memutuskan perkara Nomor 46/PUU-
VIII/2010 memfokuskan permasalahan pada dua perkara, yaitu:
Petama, mengenai anak yang dilahirkan diluar perkawinan adalah
mengenai makna hukum (legal meaning), frasa “yang dilahirkan diluar
perkawinan”. Majelis Hakim Konstitusi memandang bahwa, hubungan
anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak, tidak semata-mata karena
adanya ikatan perkawinan dengan ibunya, akan tetapi dapat juga pada
pembuktian adanya hubungan darah dengan laki-laki yang
membenihkannya tersebut sebagai bapaknya. Maka dirasa tidak tepat
dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang
dilahirkan dari hubungan seksual diluar perkawinan hanya memiliki
hubungan keperdataan dengan ibunya serta keluarga ibunya, dan
memberikan kebebasan bagi si laki-laki yang melakukan perbuatan
66
seksual dengan ibunya lepas dari tanggung jawab seorang bapak. Kedua,
terhadap anak di luar kawin adalah berkaitan tentang eksistensi seorang
anak. Anak yang dilahirkan pada dasarnya tidak patut untuk dirugikan
dengan tidak terpenuhinya hak-haknya, karena anak tersebut yang
dimaksud lahir bukan atas dasar kehendaknya. Hak seorang anak tidak
boleh dipandang dari status perkawinan kedua orang tuanya, anak
tersebut harus mendapat perlindungan dan kepastian hukum yang
seadil-adilnya. Demikian pula bahwa seorang anak walaupun ia berada
didalam rahim (janin) ibunya, ia sudah mempunyai hak-hak
keperdataan yang harus dan wajib dipenuhi. Bahkan Islam telah
mengatur hak waris bagi seorang anak ketika dia masih dalam
kandungan. Selain itu juga, anak yang dilahirkan tanpa kejelasan status
bapaknya sering mendapat perlakuan yang tidak adil dan perlakuan
yang berbeda di tengah-tengah masyarakatnya.24
Putusan MK ini banyak menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat,
menanggapi keresahan umat sebagai dampak putusan MK Nomor 46/PUU-
VIII/2010 tentang anak-anak di luar perkawinan ini Majelis Ulama
Indonesia25merespon dengan mengeluarkan fatwa mengenai “Kedudukan
Anak Hasil Zina dan Perlakukan Terhadapnya,” yang dikeluarkan pada hari
Sabtu tanggal 10 Maret 2012. Fatwa tersebut mencoba menepis berbagai syubhāt
(kerancuan) di tengah umat Islam dan menyatakan dengan tegas kedudukan
anak hasil zina dalam Islam.26 Meskipun dalam fatwa tersebut tidak disebutkan
secara ekplisit anak mulā’anah, namun secara implisit dapat dipahami bahwa
kedudukan anak mulā’anah ini sama dengan anak zina.
Dalam Fatwa tersebut MUI menyatakan bahwa dalam Islam, anak
terlahir dalam kondisi suci dan tidak membawa dosa turunan, sekalipun ia
terlahir sebagai hasil zina. Namun dalam realitas kehidupan masyarakat, anak
24 Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi tahun 2010. 25Dalam penulisan selanjutnya akan di singkat dengan MUI. 26Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya,
http://www.voa-Islam.com, diakses tanggal 10 Maret 2013.
67
hasil zina seringkali terlantar karena laki-laki yang menyebabkan kelahirannya
tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, serta
seringkali anak dianggap sebagai “anak haram” dan terdiskriminasi karena
dalam akte kelahiran hanya dinisbatkan kepada ibu.
Dalam menentukan hukum terhadap anak hasil zina MUI mengaskan
bahwa Anak hasil zina dan li’ān tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah,
waris, dan nafkah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, anak hasil
zina dan li’ān hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafkah dengan
ibunya dan keluarga ibunya dan anak hasil zina dan li’ān tidak menanggung
dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya.
Dapat dipahami bahwa putusan MK dan fatwa MUI memiliki perbedaan
dan persamaan antara keduanya, perbedaan tersebut terletak dalam
memandang makna nasab, dimana MK lebih melihat kepada hubungan darah
yang tidak mungkin terjadi jika tidak ada hubungan biologis antara laki-laki
dan perempuan, baik itu secara sah ataupun tidak sah. Sedangkan fatwa MUI
memaknai nasab tidak sebatas hubungan darah saja, tetapi hubungan tersebut
harus dalam ikatan yang sah, sehingga anak tersebut bisa dinasabkan kepada
ayah biologisnya.
Adapun persamaan antara putusan MK dengan fatwa MUI, keduanya
sama-sama berpandangan bahwa ayah biologis harus bertanggung jawab atas
anak di luar nikah. Dimana MK dengan menggunakan konsep pembuktian
DNA sebagai dasar untuk menghukum ayah biologis bertanggung jawab atas
anak tersebut, begitu juga dengan fatwa MUI dengan menggunakkan konsep
waşiyyah al-wājibah sebagai dasar untuk menghukum ayah biologis bertanggung
jawab terhadap anak luar nikah tersebut.
Pada dasarnya waşiyyah al-wājibah adalah suatu pemberian yang
diberikan atas dasar kemauan sendiri, tanpa ada paksaan, namun para
penguasa dapat membuat kebijakan yang bersifat memaksa untuk memberikan
68
wasiat kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu27. waşiyyah al-wājibah28
juga merupakan suatu wasiat yang diperuntukkan kepada ahli waris atau
kerabat yang tidak memperoleh bagaian harta warisan dari orang yang sudah
meninggal. Disebabkan karena terhijab atau adanya suatu halangan syarak,
seperti berbeda agama.29
Besaran waşiyyah al-wājibahdalam hukum Islam dan dalam Kitab
Undang-Undang Mesir menurut Pasal 76-79 ialah sebesar sepertiga (1/3) dari
harta tidak boleh lebih, apabila lebih dari sepertiga maka harus atas izin ahli
waris. Tapi ada sebahagian fuqahā yang mengatakan wasiat kepada para
kerabat yang bukan ahli waris itu tidak dibatasi. 30
Dalam KHI Pasal 209 juga mengatur tentang waşiyyah al-wājibah, yaitu:
“(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”. Dalam Pasal ini dapat
dipahami bahwa waşiyyah al-wājibah bisa dijadikan sebagai wasilah untuk
memberikan bagian harta warisan kepada anak angkat, orang tua angkat dan
anak yang tidak diakui oleh orang tuanya, selama tidak melebihi sepertiga dari
harta.
Berdasarkan ketentuan Pasal 209 KHI, para penguasa dapat
menggunakan metode penemuan hukum argumentum per analogium, untuk
memperluas keberlakuan waşiyyah al-wājibahkepada anak mulā’anah. Dalam hal
ini, antara anak mulā’anah dengan ayah biologisnya sama-sama terhalang untuk
mendapatkan warisan, namun keduanya sama-sama memiliki ikatan
kekeluargaan antara ayah dan anak, dengan adanya kesamaan ‘illāt (rasio legis)
berupa ikatan kekeluargaan inilah dijadikan sebagai landasan untuk dapat
menerapkan waşiyyah al-wājibahkepada anak mulā’anah.
27 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al-Maarif, 1994), hal. 63. 28Dasar pemberian waşiyyah al-wājibahadalah firman Allah SWT..Dalam surat al-
Baqarah ayat 180 dengan bunyi “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
29 Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī…, jilid VIII, hal. 120. 30 Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī…, jilid VIII, hal. 120.
69
Pemberian waşiyyah al-wājibahkepada anak mulā’anah adalah untuk
mengobati dan menjawab permasalahan yang dihadapi oleh mereka, tentunya
sejalan dengan ruh syariat Islam. Hal ini juga sejalan dengan kaidah fiqhiyyah
yang menyatakan31:
’تصرف الإمام على الرّعية منوط بالمصلحة‘
“kebijakan pemimpin/pemerintah kepada rakyatmya beriorentasi kepada
kemaslahatan.”32
Menurut Wahbah al-Zuḥailī33, Maşhlahah ditinjau dari segi objek dan
kegunaanya terbagi kepada tiga macam maşhlahah, yaitu maşhlahah ḍaruriyah,
maşhlahah ḥājiyah, dan maşhlahah tahsiniyah34.Suatu ketentuan perundang-
undangan atau hukum yang dibentuk berdasarkan maşhlahah, esensinya adalah
untuk menciptakan kebaikan, ketertiban, keselamatan, dan kebahagian
sehingga hidup manusia itu harmonis dan terhindar hal-hal yang dapat
merugikan manusia itu sendiri.
31Jalāluddin Abdurrahman as-Sayuti, al-Asybah Wa an-Nazāir fi Qawaid Wa al-Furu’ al-
Syafi’iyyah, (Bairut: Dār al-Fikr 1995), hlm. 83. 32 Dalam kajian hukum Islam, maşlahah memiliki arti jalb al-naf’i aw daf’u al-ḍarar aw raf’ū
ḥaraj, artinya menjaga manfaat atau menolak kemudharatan atau menghilangkan kesusahan. Para ulama fikih sepakat bahwa terbentuknya syariah melalui penarapan fikih merupakan turunan dari al-Quran dan hadis yang tujuan utamanya adalah teciptanya kemaslahatan yang merupakan rahmat Allah kepada manusia secara umum, agar dapat menjalani tatanan kehidupan yang lebih manusiawi dan terhindar dari segala hal yang dapat merusak tatanan kehidupan itu. Lihat ‘Abd al-Wāḥab Khalāf, Ilm Uşhūl Fiqh, (al-Qāhirah: Dār Al-Hadis, 2003), hlm. 93.
33Wahbah al-Zuḥailī, Uşhūl al-Fiqh al-Islāmī, jilid II, (Dimasq: Dār al-Fikr, 2009), hlm. 35. 34Maşhlahah ḍaruriyah adalah maşhlahah yang keberadaannya berhubungan langsung
dengan kebutuhan esensi (pokok/primer) bagi manusia, baik kebutuah duniawi ataupun ukhrawi, yang mana apabila salah satu dari maşhlahah ini hilang maka kehidupan manusia di dunia ini akan goyang dan akan mendapat siksaan di akhirat, maşhlahah yang harus dijaga ini diantaranya berhubungan dengan penjagaan dan perlindungan agama (ḥifẓ al-din), pemeliharaan dan perlindungan jiwa (ḥifẓ al-nafs), pemeliharan dan perlindungan akal (ḥifẓ al-aql), pemeliharaan dan perlindungan keturunan (ḥifẓ al-nasl), dan pemeliharaan dan perlindungan harta (ḥifẓ al-mal). Maşhlahah hajjiyah adalah maşhlahah yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sekunder (tidak esensial) bagi kehidupan manusia, sedangkan maşhlahah tahsiniyyah adalah maşhlahah yang berhubungan dengan kebutuhan manusia yang bersifat estetika.
70
Maşhlahah dalam hal ini terbagi kepada tiga macam, yaitu maşhlahah
mu’tabarah, maşhlahah al-mulgha, dan maşhlahah al-mursalah35. Menurut Wahbah
al-Zuḥailī36maşhlahah al-mursalah adalah beberapa sifat yang melekat (al-
mulāimah) pada tindakan dan selaras dengan tujuan syarak tetapi tidak ada
dalil tertentu yang membenarkannya atau menolaknya baik itu naş atau ijmā’.
Hukum yang dibagun berdasarkan maşhlahah mursalah ini akan mencapai
kemashlahatan yang sejati dan terhindar sari kerusakan. Inilah yang
dinamakan dengan hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat, karena
mengakomodir setiap kebutuan yang diperlukan manusia selama tidak
merusak tatanan syariat.37
Penerapan teori maşhlahah al-mursalah dalam pemberian warisan dengan
cara waşiyyah al-wājibahuntuk anak mulā’anah bertujuan untuk mencapai
kemashlahatan dengan harapan anak mulā’anah ini dapat terhindar dari hal-hal
yang merugikan dia.
Namun untuk menjerat pelaku untuk bertanggung jawab atas
prilakunya sebagaimana Fatwa MUI maka mengharuskan laki-laki yang
mengakibatkan lahirnyaanak mulā’anah dan anak zina untuk berwasiat
35Maşhlahah mu’tabarah adalah maşhlahah yang ditunjuk syarak baik secara langsung
maupun tidak langsung dan berfungsi sebagai dalil dalam pembentukan suatu hukum, maşhlahah al-mulgha adalah maşhlahah yang secara rasional dianggap baik, tetapi tidak tercantum dalam naş, dan ada petunjuk nsh yang menolaknya, sedangkan maşhlahah al-murshalah yaitu suatu maşhlahah yang dipandang baik oleh akal pikiran, sejalan dengan syara’ dengan hokum syarak dalam nenetapkan hukum, akan tetapi tidaka ada naş syarakyang mengakuinya dan tidak ada pula yang menolaknya.
36 Wahbah al-Zuḥailī, Uşhūl al-Fiqh…, hlm. 35. 37 Syarīʻah (hukum Islam) dalam bentuk nilai-nilai dasar berdimensi absolut, abstrak,
abadi dan universal. Ia bersifat transendental karena bersumber wahyu ilahiyah. Sedangkan syarīʻah dalam bentuk asas-asas umum dan asas-asas hukum yang praktis berfungsi sebagai jembatan antara nilai-nilai dasar yang harus dipertimbangkan dengan norma hukum praktis, baik dalam bentuk fikih maupun perundang-undangan. Sehingga penerapan syariat dalam bentuk peraturan hukum konkrit baik yang dimuat dalam doktrin hukum (Fikih) maupun perundangan yang berlaku dalam suatu negara substansinya harus konkrit, relatif, temporer, dan lokal. Ia bersifat dinamis logis dan transendental. Dinamis berimplikasi bahwa norma hukum yang diciptakan disesuaikan dengan kebutuhan kemaslahatan (elastisitas atau ḥarākah) yang tidak berhenti pada suatu titik tertentu, melainkan terus menerus berkembang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi. Lihat Wahbah al-Zuhailī, Uşhūl al-Fiqh…, hlm. 307.
71
memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya melalui waşiyyah al-
wājibah.
Akibat hukum dari putusan MK berlaku secara general baik terhadap
anak sebagai akibat perzinaan, sebagai akibat perkawinan monogami di bawah
tangan, sebagai akibat perkawinan poligami di bawah tangan atau anak yang
tidak di akui oleh ayahnya maka akan berakibat adanya hubungan hukum
keperdataan antara anak dengan ayah biologisnya, sehingga akan lahirnya hak
dan kewajiban menurut hukum antara kedua belah pihak secara timbal balik.
Adapun hak-hak itu menurut hukum adalah:
Pertama, Hak atas nafkah Status anak yang lahir di luar perkawinan
menurut hukum yang dimuat pada putusan MK mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan ayah dan
keluarga ayahnya, maka yang wajib memberikan nafkah terhadap anak
tersebut adalah ayahnya dan keluarga ayahnya. Baik sebagai ayah yang
memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan ibunya ataupun ayah
alami (genetik). Kewajiban tersebut adalah memberikan nafkah kepada
anaknya, karena anak dalam hal ini tidak ada perbedaan antara anak sah
dan anak tidak sah. Dengan demikian ayah berkewajiban memberikan
nafkah dan penghidupan yang layak seperti nafkah, kesehatan,
pendidikan dan lain sebagainya kepada anak-anaknya sesuai dengan
penghasilannya.
Landasan putusan MK yang mereview ketentuan Pasal 43 ayat (1) UUP
Nomor 1 Tahun 1974 pada dasarnya adalah “tidak tepat dan tidak adil
jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual
yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut
dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan
itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap laki-laki tersebut sebagai
ayahnya”. Landasan inilah yang menjadi dasar bahwa seorang laki-laki
yang menghamili seorang perempuan kemudian melahirkan anak,
72
dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) tersebut akan melepaskan tanggung
jawabnya sebagai ayah biologis, dengan demikian setelah Pasal 43 ayat
(1) direview, ayah biologis tersebut dipaksa oleh hukum untuk
mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang dilakukannya.
Andaikata landasan putusan MK ini hanya berkaitan dengan
pertanggung jawaban nafkah, maka sejalan dengan logika hukum Islam,
karena nafkah yang diperlukan untuk menunjang kehidupan anak tidak
hanya berlaku dengan orang yang ada hubungan nasab, seperti apabila
ada orang yang ingin mengadopsi anak, maka nafkah akan beralih
kepada ayah angkatnya. Jadi apabila orientasi putusan MK bertujuan
untuk menjerat ayah biologis dari tanggungjawab, menurut hemat
penulis dapat diterima, namun langkah terbaik adalah tanpa harus
meriview pasal tersebut, melainkan cukup menambahkan satu ayat yang
membebankan tanggung jawab nafkah terhadap ayah yang
menyebabkan anak lahir di luar perkawinan. Dengan penambahan ayat
ini, hemat penulis putusan MK ini akan lebih fleksibel dan jauh dari
polemik kontroversi yang berkepanjangan dalam masyarakat.
Kedua, Hak Perwalian. Eksistensi wali dalam perkawinan sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 19 dan Pasal 20 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam,
yaitu: a) Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya; b) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-
laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.
Kemudian Pasal 20 ayat (2) KHI menyatakan bahwa wali nikah terdiri
dari dua kelompok, yaitu wali nasab dan wali hakim.
Ketentuan Pasal ini mengidentifikasikan bahwa orang-yang berhak
menjadi wali nikah bagi anak perempuan adalah ayah yang memiliki
hubungan nasab dengannya yang lahir dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah sesuai dengan ketentuan Pasal 42 UU Nomor 1
73
Tahun 1974. Ketentuan pasal ini melahirkan kaidah hukum bahwa anak
perempuan yang memiliki hubungan nasab dengan kedua orang
tuanya, melalui perkawinan yang sah menyebabkan ayahnya memiliki
hak wali, khususnya dalam pernikahan. Dengan demikian kelahiran
anak selain yang ditentukan dalam pasal tersebut tidak memiliki
hubungan nasab dengan ayahnya, dan berakibat hukum ayah dalam
kondisi seperti ini tidak berhak menjadi wali nikah dalam perkawinan
anak perempuannya, dan hak perwalian anak itu berada pada wali
hakim.
Karena Pasal 2 UU nomor 1 Tahun 1974 tidak direview oleh MK, maka
ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana tersebut tetap berlaku
sebagaimana mestinya dan mengikat semua pihak. Oleh karena itu
meskipun Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 telah direview oleh MK
yang mengakomodir hak perdata seorang anak dengan ibunya dan
ayahnya serta dengan keluarga ibu dan ayahnya, tidak berlaku dalam
hal perwalian, khususnya wali nikah, yang berhak menjadi wali nikah
bagi anak perempuan yang lahir di luar perkawinan khususnya anak
mulā’anah adalah wali hakim.
Ketiga, Hak Kewarisan. Dalam hukum kewarisan Islam, yang dapat
dikatagorikan sebagai ahli waris, sebagaimana di sepakati oleh jumhur
adalah mereka yang memiliki hubungan muşāharah (perkawinan),
nasabiyah, yaitu melalui keturunan yang sah, qarābah (karib kerabat) dan
al-walā (memerdekakan hamba sahaya). Jadi untuk memperoleh
kewarisan, hukum hanya mengakui keabsahan anak yang lahir sesuai
dengan ketentuan Pasal 42 ayat (1) Tahun 1974. Kepada anak yang lahir
diluar perkawinan khusunya anak mulā’anah keperdataan mereka
dikecualikan dalam hal kewarisan. Karena terbentur dengan norma-
norma hukum, atas dasar keadilan mereka hanya bias memperoleh harta
melalui waşiyyah al-wājibah, bukan melalui kewarisan.
74
E. Penutup
Dalam literatur fikih, nasab merupakan faktor untuk mendapatkan hak
kewarisan, apabila terjadi li’ān maka, secara otomatis hilanglah hak nasab anak
dari si mulā’in (yang meli’ān), dengan hilangnya hak nasab maka hilanglah hak
kewarisan. Sementara Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan terutama
dengan Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan bertentangan
dengan Syari’at Islam. Oleh karena itu Putusan MK ini mengandung polemik
bagi masyarakat Muslim. Putusan ini dikhawatirkan akan melahirkan
ketentuan-ketentuan normatif baru yang akan mendorong untuk tidak taat
hukum, melainkan berupaya melegalisasikan suatu akibat dari perbuatan yang
melanggar hukum.
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 senada dengan
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam,yang substansinya tidak bertentangan
bahkan sejalan dengan Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 juga sejalan dengan Syari’at Islam, yakni anak li’ān hanya mempunyai
hubungan kewarisan dengan ibu, dan juga dengan orang-orang yang bertalian
dengan ibu. Tidak dengan ayah dan keluarga ayahnya.
Untuk memberikan rasa keadilan kepada anak mulā’anah maka
dianjurkan untuk memberikan waşiyyah al-wājibah.Pendekatan teori maşhlāhah
al-Mursālah dalam memberikan waşiyyah al-wājibahkepada anak mulā’anah
sangat tepat sebagai upaya tidak lepasnya tanggung jawab seorang ayah
kepada anaknya.
Ketika anak li’ān meninggal dan mempunyai harta atau sisa harta
sesudah dibagikan kepada ahli waris furudhnya, maka yang akan menjadi
‘asabahnya adalah, 1) Ibu serta kerabat ibu dapat mewarisi darinya sesuai
dengan kaidah waris-mewarisi yang sudah diketahui; 2) ‘Ashabah anak li’ān
adalah mereka yang menjadi ashabah Ibunya atau mereka yang mewarisi dari
ibunya.’Ashabah anak li’ān dan anak yang lahir karena perbutan zina adalah
75
ibunya, karena ibu bagi mereka sama seperti kedua orang tua, bapak dan ibu.
Jika tidak ada ibu, maka ’ashabahnya adalah mereka yang menjadi ’ashabah ibu.
76
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd al-Wāḥab Khalāf, Ilm Uşhūl Fiqh, (al-Qāhirah: Dār Al-Hadis, 2003)
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika,2006)
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008)
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al-Maarif, 1994)
Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan
Terhadapnya, http://www.voa-Islam.com, diakses tanggal 10 Maret 2013.
Huzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshar, Problematika Hukum Islam
Komtemporer, (Jakarta: Firdaus, 2002)
Ibn al-Qudāmah, al-Mughnī al-Syarh al-Kabīr, jilid VII, (Bairut: Dār al-Kitab al-
Arabī, 1304 H, 1983 M)
Jalāluddin Abdurrahman as-Sayuti, al-Asybah Wa an-Nazāir fi Qawaid Wa al-
Furu’ al-Syafi’iyyah, (Bairut: Dār al-Fikr 1995)
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama
Islam, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001.
Buku I, Hukum Perkawinan, BAB II Dasar-Dasar Perkawinan, Pasal 4.
M. Quraish Syihab, al-Lubab Makna Tujuan dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-
Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2012)
Muslim bin al-Hajjaj, Şaḥih Muslim, jilid II, (Bairut: Dār Ihyyā at-Turath al-
Arabī, t.th)
Naurahafranzfh.blogspot.co.id/2016/01/perkara-kasus-machica-mochtar-
status.html?m=1 Diakses pada tanggal 4 januari 2016.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik IndonesiaNomor46/PUU/VIII/2010.
77
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
BAB I Dasar Perkawinan, Pasal 2, ayat (1) dan (2)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, pasal 43.
Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, jilid VII,(Dimasyq: Dār al-Fikr,
2009).
Wahbah al-Zuḥailī, Uşhūl al-Fiqh al-Islāmī, jilid II, (Dimasq: Dār al-Fikr, 2009)