perolehan hak waris anak mulĀ’anah studi …

28
50 PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI KOMPARATIF FIKIH DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010) M. Iqbal Institut Agama Islam Almuslim Aceh Email: [email protected] Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 telah memberikan hak perdata kepada anak yang lahir di luar perkawinan, putusan ini berlaku secara general, baik terhadap anak zina, kawin siri dan juga anak mulā’anah yang tidak di akui oleh ayahnya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan teori fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui konsep perolehan hak waris anak mulā’anah menurut fikih dan Perundang-undangan di Indonesia, serta akibat hukum paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 khususnya terkait hak waris anak mulā’anah. Penelitian ini tergolong kepada penelitian kepustakaan, yang bersifat deskriptif analysis, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, melalui pendekatan yuridis normatif. Untuk menggali informasi dan data-data yang akurat dalam penelitian hukum, maka diperlukan untuk mengelaborasi antara pendekatan undang-undang, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual, sehingga hukum yang dihasilkan itu memiliki nilai keadilan bagi segenap lapisan masyarakat.Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak mulā’anah hanya memiliki hubungan saling waris-mewarisi dengan ibu dan keluarga ibunya, tidak dengan ayah dan keluarga ayahnya. Namun untuk memberikan rasa keadilan, anak mulā’anah hanya diberikan waşiyyah al- wājibah, agar kehidupan si anak tidak terabaikan. Kata Kunci: Hak Waris, Anak Mulā’anah, Fikih, Perundang-Undangan Di Indonesia

Upload: others

Post on 23-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

50

PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI KOMPARATIF FIKIH DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

(ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010)

M. Iqbal

Institut Agama Islam Almuslim Aceh Email: [email protected]

Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 telah memberikan hak perdata kepada anak yang lahir di luar perkawinan, putusan ini berlaku secara general, baik terhadap anak zina, kawin siri dan juga anak mulā’anah yang tidak di akui oleh ayahnya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan teori fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui konsep perolehan hak waris anak mulā’anah menurut fikih dan Perundang-undangan di Indonesia, serta akibat hukum paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 khususnya terkait hak waris anak mulā’anah. Penelitian ini tergolong kepada penelitian kepustakaan, yang bersifat deskriptif analysis, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, melalui pendekatan yuridis normatif. Untuk menggali informasi dan data-data yang akurat dalam penelitian hukum, maka diperlukan untuk mengelaborasi antara pendekatan undang-undang, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual, sehingga hukum yang dihasilkan itu memiliki nilai keadilan bagi segenap lapisan masyarakat.Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak mulā’anah hanya memiliki hubungan saling waris-mewarisi dengan ibu dan keluarga ibunya, tidak dengan ayah dan keluarga ayahnya. Namun untuk memberikan rasa keadilan, anak mulā’anah hanya diberikan waşiyyah al-wājibah, agar kehidupan si anak tidak terabaikan. Kata Kunci: Hak Waris, Anak Mulā’anah, Fikih, Perundang-Undangan Di Indonesia

Page 2: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

51

A. Pendahuluan

Hukum Islam merupakan hukum ilāhī yangbersifat komperehensif dan

universal,unsur fleksibelitas yang melekat pada hukum Islam menjadikannya

tidak lekang oleh perkembangan zaman, perbedaan tempat dan waktu. Dengan

pemahaman dan pengamalan yang benar, hukum Islam dapat

diimplementasikan secara dinamis dalam berbagai aspek kehidupan kapanpun

dan dimanapun manusia berada.

Di antara hukum yang mengatur interaksi antar sesama manusia

adalah aturan tentang warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai

akibat dari suatu kematian. Hukum kewarisan Islam mengatur peralihan harta

dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup. Syari’at

Islam menetapkan aturan waris dalam bentuk yang sangat teratur dan adil. Di

dalamnya ditetapkan hak kepemilikan bagi setiap insan, baik laki-laki maupun

perempuan dengan cara yang legal. Islam tidak pernah menafikan hak

seseorang untuk memperoleh warisan, sesuai kekerabatannya dengan orang

yang telah meninggal. Jikalau posisi dia lebih dekat dengan orang yang telah

meninggal maka dia didahulukan dalam perolehan warisan. Para kerabat yang

jauh maka bisa di ḥijab oleh yang lebih dekat.

Dalam konteks kemasyarakatan, problematika yang dihadapihukum

mawaris terus terbarui seiring berkurunnya waktu. Tentunya, hal ini

dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perubahan social budaya masyarakat,

perubahan zaman, arah kebijakan pemerintah dan lain sebagainya. Realitas

tersebut mendorong disiplin ilmu fikih islam untuk terus berdinamika dalam

menanggapi perubahan tersebut, sesuai dengan keadaan dan kondisi sosial

masyarakat.Seperti halnya permasalahan anak mula’anah dalam mawaris.

Perubahan kecenderungan pernikahan bawah tangan yang semakin ramai,

serta banyaknya anak yang lahir di luar pernikahan menyebabkan para disiplin

ilmu ini untuk terus menjawab berbagai permasalahan yang agaknya bersifat

rancu dan perlu penyelesaian sebagaimana yang dimaksudkan ajaran islam.

Page 3: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

52

Salah satu contoh kasus yang berkenaan dengan hal tersebut adalah

kasus anak dari perkawinan sirri Machida dan Moerdiono. Dalam rangka

memenuhi rasa keadilan bagi anak sebagai korban, dan menegakkan hak

asasimanusianya, Machida mengadakan Judicial Review kepada Mahkamah

Konstitusi terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan 43 ayat (1) UU perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974, sehingga Mahkamah Konstitusi menerbitkan keputusan

Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Permohonan pengujian Pasal 2 ayat (2) dan 43 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan1 efek dari perceraian Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H.

Mochtar Ibrahim2 dengan Moerdiono, Moerdiono merupakan mantan

Mensesneg era Presiden Soeharto. Machica dinikahi Moerdiono secara siri

pada 20 Desember Tahun 1993, dan dikaruniai seorang anak bernama

Muhammad Iqbal Ramadhan. Kala itu, Moerdiono masih terikat perkawinan

dengan istrinya yang pertama, lantaran UUP menganut asas monogami

mengakibatkan perkawinan Machica dan Moerdiono tak bisa dicatatkan Kantor

Urusan Agama. Akibatnya, perkawinan mereka dinyatakan tidak sah menurut

hukum (negara),dan anaknya dianggap anak luar kawin yang hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Pada 1998

mereka bercerai, setelah perceraian, Iqbal tidak pernah berjumpa ayahnya,

sebagai ayah Moerdiono tidak pula menafkahi hidup Iqbal sejak berusia dua

tahun3. Iqbal juga kesulitan dalam pembuatan akta kelahiran, karena ibunya

tidak memiliki buku nikah.

Pada 18 Juni tahun 2008, kasus ini sempat bergulir ke Pengadilan Agama

Tigaraksa, Tangerang, atas permohonan ithbat nikah dan pengesahan anak

yang permohonannya tidak dapat dicatatkan.Meski pernikahannya dianggap

sah karena rukun dan syarat nikah terpenuhi, tetapi Pengadilan Agama tidak

berani menyatakan Iqbal sebagi anak yang sah karena terbentur dengan asas

1Dalam penulisan selanjutnya akan disingkat dengan UUP. 2Dalam penulisan selanjutnya akan disebut dengan Machica. 3Naurahafranzfh.blogspot.co.id/2016/01/perkara-kasus-machica-mochtar-

status.html?m=1 Diakses pada tanggal 4 januari 2016.

Page 4: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

53

monogami sehingga perkawinan itu tidak diakui oleh negara4.

Kenyataannya,setelah perceraian pada tahun 1998, Moerdiono yang tidak

menafkahi Iqbal, ditambah lagi dengan pernyataan keluarga Moerdiono pada

juli 2008 yang tidak mengakui Iqbal sebagai anak Moerdiono.

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menyatakan bahwa : “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku”. Kemudian Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut

menetapkan bahwa “anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”Oleh karena itu, Machicha

maupun Iqbal merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh ketentuan Pasal 2

ayat 2 dan Pasal 23 ayat (1) UUP tersebut karena perkawinan Machica tidak

diakui menurut hukum, dan anaknya Iqbal tidak mempunyai hubungan

perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.

Menurut pemohon, keadaan ini bertentangan dengan konstitusi, yakni

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945), Pasal 28 b

ayat (1) menyatakan bahwa” setiap orang berhak membentuk keluarga dan

melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”, Pasal 28 b ayat (2) UUD 1945

menyatakan bahwa : “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan

berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Maka

ketentuan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut bertentangan dengan konstitusi

karena menutup hak anak yang lahir di luar perkawinan5 atas adanya

hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.

Dalam Pasal 43 ayat (1) UUP sebelum direvisi menyatakan bahwa : “anak

yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan

ibunya dan keluarga ibunya.”Di sini terdapat frase “hanya” yang berarti

pembatasan, yaitu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

4Naurahafranzfh.blogspot.co.id..., Diakses pada tanggal 4 januari 2016. 5Maksud dari anak yang lahir di luar perkawinan di sini adalah anak yang lahir dari

pernikahan yang tidak tercatat dalam buku catatan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA).

Page 5: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

54

keluarga ibunya. Kemudian Pasal 43 ayat (1) hasil review MK menyatakan

bahwa: “ anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata

dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan lelaki-laki sebagai ayahnya yang

dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi atau alat bukti lain,

yang menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata

dengan keluarga ayahnya, frase “hanya” dihapus diganti dengan frase “serta”,

yang mana berarti penambahan hubungan perdata anak dengan ayahnya dan

keluarga ayah.

Kasus tersebut menerangkan bahwa anak tersebut bukanlah anak dari

hasil zina, melainkan anak yang lahir dari suatu perkawinan yang memenuhi

unsur rukun dan syarat sah nikah, namun cacat dimata hukum karena tidak

adanya catatan dari pegawai pencatat nikah, anak tersebut dianggap sebagai

anak yang cacat menurut perspektif hukum. Karena dalam aturan hukum

Indonesia, apabila seseorang ingin haknya diproses oleh hukum tentunya harus

memenuhi syarat formil dan syarat materil. Syarat formil dari kasus di atas

telah dipenuhi yaitu sahnya perkawinan karena terpenuhi rukun dan syarat

Perkawinan. Sedangkan syarat materil belum terpenuhi, yaitu catatan dari

pegawai pencatat nikah. Sehingga kasus ini menjadi cacat di mata hukum.

Merujuk kepada kitab-kitab fikih klasik, keingkaran ayah kandung

terhadap anaknya di sebut dengan li’ān. Dalam kasus ini Moerdiono telah

mengingkari keberadaan Iqbal sebagai anak kandungnya, walaupun

Moerdiono tidak pernah mengucapkan sumpah li’ān.

B. Perolehan Hak Waris Anak Mulā’anah dalam Fikih

Kata li’ān adalah bentuk masdar dari fi’il maḍi lā’ana (لاعن) yang berasal

dari kata al-la’nu (اللعن) yang maknanya adalah at-thardu ( دالطر )yaitu penolakan

dan al-ib’ād ( دالإبعا ) yaitu menjauhkan. Adapun terkait dengan definisi dan

Page 6: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

55

batasan makna li’ān dalam ruang lingkup fikih para ulama memberikan redaksi

yang berbeda-beda.6

Li’ān itu terjadi bila tuduhan zina yang dilemparkan oleh suami itu

dibantah oleh isteri, kemudian si suami tidak dapat mendatangkan empat saksi.

Termasuk dalam rangkaian tuduhan si suami adalah pengingkaran terhadap

anak yang dilahirkannya. Dalam konteks li’ān secara substansial lebih menitik

beratkan kepada penyangkalan anak, sehingga jika suami hanya menuduh

isterinya berzina tanpa menyangkal anak yang dikandung oleh isterinya maka

tidak dikatakan li’ān, melainkan tuduhan zina. Jadi jalur hukumnya hanya

dikenakan had saja, sedangkan yang dikandung mengikuti nasab suami, hal ini

disebabkan karena suami tidak menyangkal anak yang dikandung oleh

isterinya.

Ketentuan li’ān yang menjadi acuan dalam penetapan hukum li’ān

temaktub dalam surat al-nūr ayat 6-9.7 Pada surah al-Nur ayat 6-

6Mazhab Ḥanafi dan Ḥanbali memberikan definisi yaitu: kesaksian yang terjadi di antara

suami dan isteri yang dikuatkan dengan sumpah dan disertai laknat dari pihak suami dan marah dari pihak isteri.Mazhab Maliki mendefinisikan li’ān dengan sumpah yang dilakukan oleh seorang suami yang beragama Islam dan sudah mukallaf (akil baligh), atas perbuatan zina yang dituduhkan kepada isterinya, atau atas pengingkaran atas anak yang dikandungnya, dimana suaminya bersumpah bahwa isterinya telah berdusta yang tiap shigathnya berisi: ”aku bersaksi kepada Allah bahwa aku telah melihat kamu berzina” dengan dihadiri oleh hakim, baik nikah antara suami isteri itu nikah şaḥih atau nikah fāsid. Bagi mereka li’ān yang dilakukan suami yang kafir, anak kecil, orang gila, dan orang mAbūk tidak sah.

Sedangkan dalam mazhab Syafi’ī sebagaimana di ungkapkan oleh Khātib Syarbainī6 bahwa li’ānitu adalah suatu kata-kata tertentu yang dijadikan argumentasi untuk menekankan tuduhan atas orang yang menodai ranjangnya, dengan disertakan ancaman atasnya, atau atas penolakannya atas sahnya anak. Definisi ini tidak menentukan pilihan kata atau kalimat yang digunakan, namun memuat dua kemungkinan tuduhan, yaitu zina yang dilakukan isteri, atau penolakan atas sahnya anak yang dikandung isterinya dari benihnya.Sebab terjadinya li’ān itu menurut Wahbah al-Zuḥailī ada dua, yakni, 1) Suami menuduh isterinya dengan telah melakukan zina dengan orang lain; 2) Suami menafikan kehamilan atau anak yang dilahirkan oleh isterinya, meskipun dari senggama syubhāt atau nikah fāsid.Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, jilid VII,(Dimasyq: Dār al-Fikr, 2009), hlm. 528

7 Peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat ini ialah ketika Ḥilal bin Umayyah menuduh isterinya berzina dengan Syarik bin Samha dihadapan Rasulullah Muhammad SAW. kemudian Rasulullah bersabda: “Kamu harus dapat membuktikan, atau (kalau tidak) hukuman had menimpa punggungmu,” lalu Hilal bin Umayyah berkata: “Ya Rasulullah, jika seorang di antara kami telah melihat serang laki-laki telah berada di atas isterinya, masihkah di tuntut untuk mencari bukti?”, Rasulullah bersabda: “Kamu harus dapat mebuktikan, dan jika tidak maka hukuman had di punggungmu”, Hilal berkata: “demi dzat yang telah mengutusmu

Page 7: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

56

7dijelaskansanksi hukum terhadap orang-orang yang menuduh isterinya

berbuat zina, padahal tidak ada bagi mereka saksi-saksi yang menguatkan

tuduhannya itu selain dirinya sendiri, maka pesaksian salah seorang mereka,

yaitu suami dengan empat kali kesaksian yakni bersumpah sambil

menggandengkan ucapan sumpahnya itu dengan nama Allah, bahwa

sesungguhnya dia termasuk kelompok orang-orang yang benar dalam

tuduhannya kepada isterinya itu, dan sumpah yang kelima adalah bahwa

denganmembawa kebenaran, sesungguhnya saya benar-benar jujur. Maka saya berharap sudi kiranya Allah SWT.. Menurunkan ayat al-Quran yang bisa membebaskan punggungku dari hukuman dera”. Sehingga turunlah ayat ini. Menurut jumhur ulama kasus yang menimpa Ḥilal bin Umayyah dengan insterinya ini merupakan awal mulanya li’ān dalam Islam, ada juga sebahagian sahabat mengatakan ini kisah dari Uwaimir al-Ujlāni dengan isterinya. Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī…, jilid VII, hlm. 532. Keterangan lebih lanjut tentang li’an juga terdapat dalam hadits riwayat Sa’id bin Zubair tentang sunnah Nabi Muhammad SAW, dalam menyelesaikan masalah perceraian karena tuduhan yang dituduhkan suami terhadap isterinya tanpa dapat menghadirkan saksi-saksi, namun hanya memiliki keyakinan atas dirinya dan bukti-bukti yang nyata. Maka Rasulullah Muhammad SAW. bersabda sesuai dengan wahyu yang diturunkan kepadanya dan menganjurkan kepada pasangan suami isteri itu untuk mengucapkan sumpah li’ān, dengan bunyi hadits:

“Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata : Aku pernah ditanya di masa pemerintahan Mush’ab (bin Zubair) tentang suami-isteri yang melakukan li’ān, apakah keduanya itu harus dipisahkan. (Ia berkata) : maka aku tidak tahu apa yang harus aku katakan, lalu aku pergi ke rumah Ibnu ‘Umar di Makkah, aku berkata kepada anak lelaki yang di rumahnya, “izinkanlah aku untuk bertemu dengannya”. Ia menjawab, “ ia sedang tidur siang”. Lalu ia mendengar suaraku, ia bertanya, “Ibnu Jubair?”. Aku menjawab, “Ya”. Ia berkata, “masuklah. Demi Allah, tidaklah membuatmu datang kemari di saat seperti ini, kecuali ada perlu“. Lalu aku masuk. Ternyata ia sedang tiduran dengan bertikar alas pelana dan memakai bantal yang isinya sAbūt. Aku berkata, “hai Abū Abdurrahman, apakah suami isteri yang telah berli’ān itu harus diceraikan antara keduanya?”. Ia menjawab, “Subhaanallah, ya!. Sesungguhnya pertama kali orang yang bertanya tentang hal itu adalah fulan bin fulan”. Ia bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkau kalau salah seorang di antara kami mendapati isterinya berbuat zina, apa yang harus ia lakukan? jika ia berbicara berarti berbicara tentang urusan besar dan jika ia diam berarti ia mendiamkan perkara besar juga”. Ibnu Umar berkata, “maka Nabi Muhammad SAW. diam, tidak menjawabnya”. Kemudian ia datang lagi kepada Nabi Muhammad lalu berkata:“Sesungguhnya yang saya tanyakan kepada engkau menimpa diriku sendiri”. Lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat-ayat dalam surat Al-Nūr “Dan orang-orang yang menuduh isteri-isterinya (berzina)...”. Kemudian Nabi Muhammad SAW. membacakan ayat-ayat tersebut kepadanya dan menasehatinya serta mengingatkannya dan memberitahu, bahwa adzab di dunia itu lebih ringan dari pada azab di akhirat. Lalu orang itu berkata, “tidak ! demi Tuhan yang mengutusmu dengan benar, aku tidak berdusta tentang isteriku”. Kemudian Nabi SAW memanggil isteri orang itu lalu menasehatinya, mengingatkannya dan memberitahu, bahwa azab di dunia itu lebih ringan dari pada azab di akhirat. Wanita itu berkata, “Tidak! Demi Tuhan yang mengutusmu dengan benar, suamiku itu dusta”. Lalu Nabi Muhammad SAW. memulai dari si laki-laki. Maka laki-laki itu bersumpah dengan nama Allah empat kali bahwa dia sungguh di pihak yang benar, dan ke limanya semoga la’nat Allah menimpa kepadanya jika ia berdusta. Lalu Rasulullah Muhammad SAW. beralih kepada si wanita, kemudian wanita itu bersaksi dengan nama Allah empat kali bahwa sesungguhnya suaminya itu berdusta, dan kelimanya semoga murka Allah ditimpakan kepadanya jika suaminya itu benar. Lalu beliau menceraikan keduanya”. (HR. Muslim). Lihat Muslim bin al-Hajjaj, Şaḥih Muslim, jilid II, (Bairut: Dār Ihyyā at-Turath al-Arabī, t.th), hlm. 1130.

Page 8: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

57

laknat Allah atasnya, jika ia berbohong sehingga dengan kebohongannya

menuduh isterinya secara tidak sah menjadikan ia termasuk kelompok para

pembohong.8

Seterusnya dalam Firman Allah SWT.. surah al-nūr ayat 8-9

menerangkan bahwa bahwasanya apabila isteri tidak membantah, maka ia

dijatuhi hukuman perzinaan, namun menurut ayat 8 sanksi hukuman itu dapat

dihindarkan darinya dengan jalan bersumpah demi Allah SWT. sebanyak

empat kali sumpah, bahwa: “sungguh suaminya itu termasuk kelompok para

pembohong”, lalu sumpah kelima yang harus diucapkan oleh isterinya tersebut

sesuai dengan surah an-Nur ayat 9yaitu: “murka Allah SWT. menimpanya jika

suaminya itu termasuk kelompok orang-orang yang benar.9

Sebagai akibat dari li’ān ada dua hal besar yang berkaitan dengan

masalah kewarisan. Pertama: putus hubungan kewarisan antara suami-isteri,

dan kedua: putus hubungan antara suami yang me li’ān dengan anak yang

dilahirkan. Bagaimana hubungan kewarisan antara si suami di satu pihak dan

anak dengan ibunya di pihak lain menjadi pembicaraan di kalangan ulama.10

Para ulama telah sepakat bahwa bila kedua belah pihak telah selesai

mengucapkan sumpah li’ān dan menafikan anak yang dilahirkan, kemudian

keduanya telah dipisah oleh hakim maka putuslah hubungan kewarisan

dengan anak yang lahir dan begitu pula antara suami-isteri yang telah

diceraikan itu. Tetapi bila kedua belum selesai me li’ān atau belum dipisahkan

oleh hakim dan salah seorang keduanya meninggal dunia atau suami dalam

proses li’ān nya tidak menafikan anak yang akan lahir, para ulama berbeda

pendapat dalam menetapkan hubungan kewarisan di antara mereka.11

8M. Quraish Syihab, al-Lubab Makna Tujuan dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an,

(Tangerang: Lentera Hati, 2012), hal. 586. 9 M. Quraish Syihab, Al-Lubab…, hal. 586. 10Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 144. 11Dalam hal putusnya hubungan kewarisan antara suami-isteri jumhur ulama

berpendapat hal tersebut terlaksana setelah kedua suami isteri menyelesaikan sumpah li’ān-nya. Hal ini berarti bila terjadi kematian salah satu orang di antaranya tetapi keduanya belum

Page 9: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

58

Menurut Wahbah al-Zuḥailī12 jumhur ulama telah bersepakat (ijma’)

bahwa anak zina dan anak li’ān tidak akan dapat mewarisi dari ayahnya dan

kerabat ayahnya, dia hanya dapat mewarisi dari sisi ibunya dan keluarga

ibunya saja, karena nasab dia dengan ayahnya terputus, maka dia tidak akan

dapat mewarisi, sedangkan nasab dia dengan ibunya itu thabit (pasti), maka dia

hanya dinasabkan kepada ibunya saja. Syariat Islam tidak menganggap bahwa

perbutan zina itu merupakan cara untuk menetapkan nasab, begitu juga dengan

anak li’ān tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya.

C. Perolehan Hak Waris anak Mulā’anah dalam Perundang-Undangan di

Indonesia.

Dalam wilayah hukum Indonesia suatu perkawinan dianggap sah

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya

itu. Begitu juga tiap-tiap perkawinan mestilah dicatat menurut peraturan

selesai mengucapkan li’ān-nya maka hubungan kewarisan di antara keduanya tidak terputus dalam arti masih saling mewarisi. Imām Syafi’ī berpendapat bahwa terjadinya putus hubungan kewarisan itu semenjak suami telah menyelesaikan sumpah li’ān-nya dan tidak perlu menunggu selesainya isteri melakukan li’ān. Imām Malik berpendapat bahwa bila suami meninggal setelah selesai mengucapkan li’ān dan isteri tetap me-li’ān maka putuslah hubungan kewarisan, tetapi kalau isteri tidak me-li’ān, sesudah kematian suaminya itu ia tetap dapat mewarisi. Kalau yang meninggal dunia adalah isteri setelah suami me-li’ān maka suami dapat mewarisi dari isterinya.

Hubungan kewarisan antara laki-laki dengan anak dari isteri yang di li’ān nya terputus semenjak selesainya li’ān yang mengandung maksud menafikan anak itu, dan tidak dari pemisahan yang dilakukan oleh hakim, oleh karena hubungan antara anak tersebut dan laki-laki itu dinafikan semenjak laki-laki tersebut menafikannya dan bukan disebabkan oleh tindakan hakim yang menceraikan antara suami dan isteri. Kalau seandainya dalam li’ān itu tidak langsung disebutkan menafikan anak yang akan lahir oleh si suami, maka hubungan antara anak tersebut dan laki-laki itu tidak terputus, dengan sendirinya hubungan kewarisan di antara keduanya tidak terputus. Ini adalah pendapat yang sahih di kalangan Ḥanabilah.

Abū Bakar berpendapat bahwa anak yang lahir dari si perempuan yang di li’ān itu putus hubungannnya dengan si laki-laki terhitung semenjak perkawinan di antara keduanya dinyatakan putus, meskipun dalam ucapan li’ān tidak disebutkan menafikan anak. Alasannya ialah bahwa Nabi Muhammad SAW. sendiri menafikan anak dari laki-laki yang di li’ān dan menghubungkan nasabnya dengan si ibu, bahkan waktu itu li’ān dari suami tersebut tidak menyebutkan penafian (mengingkari) si anak.Sedangkan jumhur ulama mengharuskan suami itu harus menyebutkan penafian anak. Lihat Ibn al-Qudāmah, al-Mughnī al-Syarh al-Kabīr, jilid VII, (Bairut: Dār al-Kitab al-Arabī, 1304 H, 1983 M), hlm. 121-122.

12Wahbahal-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī…, hlm. 421.

Page 10: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

59

perundang-undangan yang berlaku.13 Dan sebuah Perkawinan hanya dapat

dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.14

Maka anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan ini dianggap sebagai anak

sah, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan bahwa

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah”.15 Begitu juga dengan definisi anak sah menurut KHI

yaitu: “anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah dan hasil

perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri

tersebut”.16 Maka anak yang lahir di luar dari kriteria yang disebutkan diatas

dalam hukum disebut dengan anak di luar nikah atau anak di luar perkawinan

sah.

Anak di luar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang

perempuan , sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan

yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian di luar

kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat

melahirkan keturunan. Sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan

perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya.17

Dalam praktek hukum perdata pengertian anak di luar kawin ada dua

macam. Pertama: apabila orang tua salah satu atau keduanya masih terikat

dengan perkawinan ini, kemudian mereka melakukan hubungan seksual

dengan wanita atau pria lain yang mengakibatkan kehamilan dan melahirkan

anak, maka anak tersebut dinamakan dengan anak zina, bukan anak luar

kawin, kedua: apabila orang tua anak luar kawin itu masih sama-sama bujang,

mereka melakukan hubungan seksual, kemudian hamil serta melahirkan, maka

13Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, BAB I

Dasar Perkawinan, Pasal 2, ayat (1) dan (2), hal. 2. 14Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam,

Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001. Buku I, Hukum Perkawinan,

BAB II Dasar-Dasar Perkawinan, Pasal 4, hal. 2. 15Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 16Kompilasi Hukum Islam di Indonesia…, BAB XIV, Pasal 99, hlm. 111. 17Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika,2006), cet Ke-1, hal. 45.

Page 11: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

60

anak itu disebut dengan anak luar nikah. Beda keduanya adalah anak zina

dapat diakui oleh orang tua biologisnya, sedangkan anak luar kawin dapat di

akui oleh orang tua biologisnya apabila mereka menikah, dalam akta

perkawinan dapat dicantumkan pengakuan (erkennen) di pinggir akta

perkawinannya.18

Penyebutan anak luar nikah dalam hukum Islam tidak saja dengan

melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan

sah, bahkan anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang di-liʻān suaminya,

hukumnya sama saja dengan anak zina, anak ini disebut dengan anak

mulāʻanah, ia tidak mengikuti nasab suami ibunya yang me-liʻān, tetapi

mengikuti nasab ibu yang melahirkannya, ketentuan ini berlaku juga terhadap

hukum kewarisan, perkawinan, dan lain-lain. Begitu juga dengan kedudukan

anak syubhāt, anak syubhāt tidak akan memiliki hubungan nasab dengan laki-

laki yang menggauli ibunya, kecuali jika laki-laki itu mengakuinya.19

Jadi dalam Undang-undang di Indonesia baik itu dalam UUP Nomor 1

Tahun 1974 atau dalam KHI kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan

yang sah maka dia hanya dinasabkan kepada ibunya saja. Ketentuan ini juga

berlaku terhadap hukum kewarisan, perkawinan dan lain-lain. Terkait hukum

kewarisan Anak zina atau anak li’ān bisa mewarisi dari ibunya dan keluarga

dari pihak ibu.

Adapun dasar ketetapan ini sesuai dengan isi dari Pasal 43 UUP yaitu:

”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata

dengan ibunya dan keluarga ibunya”.20 Begitu juga dalam KHI pada Pasal 100,

yaitu: ”Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab

dengan ibunya dan keluarga ibunya”.21 Dengan demikian anak luar nikah tidak

18Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum…, hal. 81. 19Huzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshar, Problematika Hukum Islam Komtemporer,

(Jakarta: Firdaus, 2002), hal. 129. 20Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal

43, hlm. 10. 21Kompilasi Hukum Islam di Indonesia…, BAB XIV, Pasal 100, hal. 111.

Page 12: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

61

memiliki hubungan nasab dengan bapak dan keluarga bapaknya tetapi hanya

memiliki hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya, hal tersebut sama

dengan apa yang ada di dalam fikih.

Namun dalam Pasal 44 ayat (1) UUP mengatur tentang konsep li’ān

yaitu: “suami dapat menyangkal sahnya anak yang di lahirkan oleh isterinya, bila

mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari

perzinaan tersebut”.Dari Pasal ini dapat dipahami bahwa pengingkaran suami

terhadap anak yang dilahirkan oleh isterinya, dan isterinya telah berzina adalah

dengan pembuktian.

Dalam Kompilasi Hukum Islam konsep li’ān dijelaskan lebih rinci,

sebagaimana tencantum dalam Pasal 125,126,127 dan Pasal 128.22KHI

menjelaskan secara terperinci bagaimana prosedur penyelesaian perkara li’ān.

Dan yang perlu ditegaskan bahwa bahwa akibat dari li’ān itu dapat

menyebabkan putusnya perkawinan.

22Pasal 125: “Li`ān menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk

selama-lamnya”. Pasal 126: “Li`ān terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau

mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.

Pasal 127: Tata cara li`ān diatur sebagai berikut : a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran

anaktersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”;

b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya :tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”;

c. tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;

d. apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`ān.

Pasal 128: Li`ān hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama.Kompilasi Hukum Islam di Indonesia…, BAB XIV, Pasal 100, hal. 111.

Page 13: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

62

D. Akibat Hukum Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010

Pokok permohonan para Pemohon dalam putusan Mahkamah

Konstitusi adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang

menyatakan, “Tiap-tiapperkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku”, dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang

dilahirkan di luarperkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluargaibunya”, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum

anak. Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan

perkawinan menurut peraturan Perundang-undangan adalah mengenai makna

hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan

tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau

prinsip-prinsip perkawinan menyatakan,“bahwa suatu perkawinan adalah sah

bilamana dilakukan menuruthukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;

dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturanperundang-

undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinanadalah sama halnya dengan

pencatatan peristiwa-peristiwa pentingdalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran,

kematian yangdinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga

dimuatdalam daftar pencatatan”.

Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas nyatalah bahwa pencatatan

perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya

perkawinan; dan pencatatan merupakan kewajiban administratif yang

diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun faktor yang

menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh

agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya

pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang- undangan

merupakan kewajiban administratif.23

23 Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut,

menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif: Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan

Page 14: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

63

Adapun pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di

luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) maka pasal 43

ayat 1 Undang-undang Perkawinan yang menyatakan “ Anak yang dilahirkan di

luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

ibunya “frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Maka untuk memperoleh

jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan

terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Secara alamiah, tidaklah

mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum

dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara

lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya

pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum

menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan

seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan

tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum

membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan

terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya

perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.23 Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang 34 dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. (Pasal 28 J ayat (4) UUD 1945); Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya.

Page 15: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

64

sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak

anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya.

Berdasarkan uraian di atas maka Pasal 43 ayat (1) Undang-undang No 1

tahun 1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinanhanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harusdibaca,

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdatadengan

ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yangdapat

dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat buktilain

menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdatadengan

keluarga ayahnya”.

Mahkamah Konstitusi mengabūlkan yudisial review Pasal 43 ayat 1 UU

Perkawinan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak

tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga

didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-

laki tersebut sebagai bapak. Jika kita pahami isi amar putusan MK tersebut

telah membuka sebuah kemungkinan untuk ditemukannya subjek hukum

baru untuk mempertanggung jawabkan perbuatan hukum terhadap anak yang

lahir di luar perkawinan, yaitu dengan melakukan tes DNA.

Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/ administrasi

perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum.

Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar

perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar

kehendaknya. Tidak dapat disangkal bahwa anak yang dilahirkan tanpa

memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak

adil dan stigma negative di tengah-tengah masyarakat. Maka hukum harus

memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang

anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak

yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.

Page 16: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

65

Menimbang bahwa, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka

dalil para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak

beralasan menurut hukum. Adapun Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang

menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyaihubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan Undang-

undang Dasar 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni

inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan

perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan

dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan

darah sebagai ayahnya.

Dengan adanya Putusan MK ini maka ayah dari anak diluar kawin ini

selama si anak dapat mebuktikan dengan ilmu pengetahuan atau secara

biologis maka akan masuk ke dalam pencatatan sipil di adminitrasi

kependudukan, dengan adanya pencatatan sipil di administrasi kependudukan

ini maka akan menjamin kepastian hukum bagi si anak sehingga akan

memperoleh hak-hak si anak untuk diakui oleh bapak biologis.

Majelis Hakim Konstitusi dalam memutuskan perkara Nomor 46/PUU-

VIII/2010 memfokuskan permasalahan pada dua perkara, yaitu:

Petama, mengenai anak yang dilahirkan diluar perkawinan adalah

mengenai makna hukum (legal meaning), frasa “yang dilahirkan diluar

perkawinan”. Majelis Hakim Konstitusi memandang bahwa, hubungan

anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak, tidak semata-mata karena

adanya ikatan perkawinan dengan ibunya, akan tetapi dapat juga pada

pembuktian adanya hubungan darah dengan laki-laki yang

membenihkannya tersebut sebagai bapaknya. Maka dirasa tidak tepat

dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang

dilahirkan dari hubungan seksual diluar perkawinan hanya memiliki

hubungan keperdataan dengan ibunya serta keluarga ibunya, dan

memberikan kebebasan bagi si laki-laki yang melakukan perbuatan

Page 17: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

66

seksual dengan ibunya lepas dari tanggung jawab seorang bapak. Kedua,

terhadap anak di luar kawin adalah berkaitan tentang eksistensi seorang

anak. Anak yang dilahirkan pada dasarnya tidak patut untuk dirugikan

dengan tidak terpenuhinya hak-haknya, karena anak tersebut yang

dimaksud lahir bukan atas dasar kehendaknya. Hak seorang anak tidak

boleh dipandang dari status perkawinan kedua orang tuanya, anak

tersebut harus mendapat perlindungan dan kepastian hukum yang

seadil-adilnya. Demikian pula bahwa seorang anak walaupun ia berada

didalam rahim (janin) ibunya, ia sudah mempunyai hak-hak

keperdataan yang harus dan wajib dipenuhi. Bahkan Islam telah

mengatur hak waris bagi seorang anak ketika dia masih dalam

kandungan. Selain itu juga, anak yang dilahirkan tanpa kejelasan status

bapaknya sering mendapat perlakuan yang tidak adil dan perlakuan

yang berbeda di tengah-tengah masyarakatnya.24

Putusan MK ini banyak menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat,

menanggapi keresahan umat sebagai dampak putusan MK Nomor 46/PUU-

VIII/2010 tentang anak-anak di luar perkawinan ini Majelis Ulama

Indonesia25merespon dengan mengeluarkan fatwa mengenai “Kedudukan

Anak Hasil Zina dan Perlakukan Terhadapnya,” yang dikeluarkan pada hari

Sabtu tanggal 10 Maret 2012. Fatwa tersebut mencoba menepis berbagai syubhāt

(kerancuan) di tengah umat Islam dan menyatakan dengan tegas kedudukan

anak hasil zina dalam Islam.26 Meskipun dalam fatwa tersebut tidak disebutkan

secara ekplisit anak mulā’anah, namun secara implisit dapat dipahami bahwa

kedudukan anak mulā’anah ini sama dengan anak zina.

Dalam Fatwa tersebut MUI menyatakan bahwa dalam Islam, anak

terlahir dalam kondisi suci dan tidak membawa dosa turunan, sekalipun ia

terlahir sebagai hasil zina. Namun dalam realitas kehidupan masyarakat, anak

24 Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi tahun 2010. 25Dalam penulisan selanjutnya akan di singkat dengan MUI. 26Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya,

http://www.voa-Islam.com, diakses tanggal 10 Maret 2013.

Page 18: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

67

hasil zina seringkali terlantar karena laki-laki yang menyebabkan kelahirannya

tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, serta

seringkali anak dianggap sebagai “anak haram” dan terdiskriminasi karena

dalam akte kelahiran hanya dinisbatkan kepada ibu.

Dalam menentukan hukum terhadap anak hasil zina MUI mengaskan

bahwa Anak hasil zina dan li’ān tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah,

waris, dan nafkah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, anak hasil

zina dan li’ān hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafkah dengan

ibunya dan keluarga ibunya dan anak hasil zina dan li’ān tidak menanggung

dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya.

Dapat dipahami bahwa putusan MK dan fatwa MUI memiliki perbedaan

dan persamaan antara keduanya, perbedaan tersebut terletak dalam

memandang makna nasab, dimana MK lebih melihat kepada hubungan darah

yang tidak mungkin terjadi jika tidak ada hubungan biologis antara laki-laki

dan perempuan, baik itu secara sah ataupun tidak sah. Sedangkan fatwa MUI

memaknai nasab tidak sebatas hubungan darah saja, tetapi hubungan tersebut

harus dalam ikatan yang sah, sehingga anak tersebut bisa dinasabkan kepada

ayah biologisnya.

Adapun persamaan antara putusan MK dengan fatwa MUI, keduanya

sama-sama berpandangan bahwa ayah biologis harus bertanggung jawab atas

anak di luar nikah. Dimana MK dengan menggunakan konsep pembuktian

DNA sebagai dasar untuk menghukum ayah biologis bertanggung jawab atas

anak tersebut, begitu juga dengan fatwa MUI dengan menggunakkan konsep

waşiyyah al-wājibah sebagai dasar untuk menghukum ayah biologis bertanggung

jawab terhadap anak luar nikah tersebut.

Pada dasarnya waşiyyah al-wājibah adalah suatu pemberian yang

diberikan atas dasar kemauan sendiri, tanpa ada paksaan, namun para

penguasa dapat membuat kebijakan yang bersifat memaksa untuk memberikan

Page 19: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

68

wasiat kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu27. waşiyyah al-wājibah28

juga merupakan suatu wasiat yang diperuntukkan kepada ahli waris atau

kerabat yang tidak memperoleh bagaian harta warisan dari orang yang sudah

meninggal. Disebabkan karena terhijab atau adanya suatu halangan syarak,

seperti berbeda agama.29

Besaran waşiyyah al-wājibahdalam hukum Islam dan dalam Kitab

Undang-Undang Mesir menurut Pasal 76-79 ialah sebesar sepertiga (1/3) dari

harta tidak boleh lebih, apabila lebih dari sepertiga maka harus atas izin ahli

waris. Tapi ada sebahagian fuqahā yang mengatakan wasiat kepada para

kerabat yang bukan ahli waris itu tidak dibatasi. 30

Dalam KHI Pasal 209 juga mengatur tentang waşiyyah al-wājibah, yaitu:

“(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-

banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”. Dalam Pasal ini dapat

dipahami bahwa waşiyyah al-wājibah bisa dijadikan sebagai wasilah untuk

memberikan bagian harta warisan kepada anak angkat, orang tua angkat dan

anak yang tidak diakui oleh orang tuanya, selama tidak melebihi sepertiga dari

harta.

Berdasarkan ketentuan Pasal 209 KHI, para penguasa dapat

menggunakan metode penemuan hukum argumentum per analogium, untuk

memperluas keberlakuan waşiyyah al-wājibahkepada anak mulā’anah. Dalam hal

ini, antara anak mulā’anah dengan ayah biologisnya sama-sama terhalang untuk

mendapatkan warisan, namun keduanya sama-sama memiliki ikatan

kekeluargaan antara ayah dan anak, dengan adanya kesamaan ‘illāt (rasio legis)

berupa ikatan kekeluargaan inilah dijadikan sebagai landasan untuk dapat

menerapkan waşiyyah al-wājibahkepada anak mulā’anah.

27 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al-Maarif, 1994), hal. 63. 28Dasar pemberian waşiyyah al-wājibahadalah firman Allah SWT..Dalam surat al-

Baqarah ayat 180 dengan bunyi “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.

29 Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī…, jilid VIII, hal. 120. 30 Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī…, jilid VIII, hal. 120.

Page 20: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

69

Pemberian waşiyyah al-wājibahkepada anak mulā’anah adalah untuk

mengobati dan menjawab permasalahan yang dihadapi oleh mereka, tentunya

sejalan dengan ruh syariat Islam. Hal ini juga sejalan dengan kaidah fiqhiyyah

yang menyatakan31:

’تصرف الإمام على الرّعية منوط بالمصلحة‘

“kebijakan pemimpin/pemerintah kepada rakyatmya beriorentasi kepada

kemaslahatan.”32

Menurut Wahbah al-Zuḥailī33, Maşhlahah ditinjau dari segi objek dan

kegunaanya terbagi kepada tiga macam maşhlahah, yaitu maşhlahah ḍaruriyah,

maşhlahah ḥājiyah, dan maşhlahah tahsiniyah34.Suatu ketentuan perundang-

undangan atau hukum yang dibentuk berdasarkan maşhlahah, esensinya adalah

untuk menciptakan kebaikan, ketertiban, keselamatan, dan kebahagian

sehingga hidup manusia itu harmonis dan terhindar hal-hal yang dapat

merugikan manusia itu sendiri.

31Jalāluddin Abdurrahman as-Sayuti, al-Asybah Wa an-Nazāir fi Qawaid Wa al-Furu’ al-

Syafi’iyyah, (Bairut: Dār al-Fikr 1995), hlm. 83. 32 Dalam kajian hukum Islam, maşlahah memiliki arti jalb al-naf’i aw daf’u al-ḍarar aw raf’ū

ḥaraj, artinya menjaga manfaat atau menolak kemudharatan atau menghilangkan kesusahan. Para ulama fikih sepakat bahwa terbentuknya syariah melalui penarapan fikih merupakan turunan dari al-Quran dan hadis yang tujuan utamanya adalah teciptanya kemaslahatan yang merupakan rahmat Allah kepada manusia secara umum, agar dapat menjalani tatanan kehidupan yang lebih manusiawi dan terhindar dari segala hal yang dapat merusak tatanan kehidupan itu. Lihat ‘Abd al-Wāḥab Khalāf, Ilm Uşhūl Fiqh, (al-Qāhirah: Dār Al-Hadis, 2003), hlm. 93.

33Wahbah al-Zuḥailī, Uşhūl al-Fiqh al-Islāmī, jilid II, (Dimasq: Dār al-Fikr, 2009), hlm. 35. 34Maşhlahah ḍaruriyah adalah maşhlahah yang keberadaannya berhubungan langsung

dengan kebutuhan esensi (pokok/primer) bagi manusia, baik kebutuah duniawi ataupun ukhrawi, yang mana apabila salah satu dari maşhlahah ini hilang maka kehidupan manusia di dunia ini akan goyang dan akan mendapat siksaan di akhirat, maşhlahah yang harus dijaga ini diantaranya berhubungan dengan penjagaan dan perlindungan agama (ḥifẓ al-din), pemeliharaan dan perlindungan jiwa (ḥifẓ al-nafs), pemeliharan dan perlindungan akal (ḥifẓ al-aql), pemeliharaan dan perlindungan keturunan (ḥifẓ al-nasl), dan pemeliharaan dan perlindungan harta (ḥifẓ al-mal). Maşhlahah hajjiyah adalah maşhlahah yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sekunder (tidak esensial) bagi kehidupan manusia, sedangkan maşhlahah tahsiniyyah adalah maşhlahah yang berhubungan dengan kebutuhan manusia yang bersifat estetika.

Page 21: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

70

Maşhlahah dalam hal ini terbagi kepada tiga macam, yaitu maşhlahah

mu’tabarah, maşhlahah al-mulgha, dan maşhlahah al-mursalah35. Menurut Wahbah

al-Zuḥailī36maşhlahah al-mursalah adalah beberapa sifat yang melekat (al-

mulāimah) pada tindakan dan selaras dengan tujuan syarak tetapi tidak ada

dalil tertentu yang membenarkannya atau menolaknya baik itu naş atau ijmā’.

Hukum yang dibagun berdasarkan maşhlahah mursalah ini akan mencapai

kemashlahatan yang sejati dan terhindar sari kerusakan. Inilah yang

dinamakan dengan hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat, karena

mengakomodir setiap kebutuan yang diperlukan manusia selama tidak

merusak tatanan syariat.37

Penerapan teori maşhlahah al-mursalah dalam pemberian warisan dengan

cara waşiyyah al-wājibahuntuk anak mulā’anah bertujuan untuk mencapai

kemashlahatan dengan harapan anak mulā’anah ini dapat terhindar dari hal-hal

yang merugikan dia.

Namun untuk menjerat pelaku untuk bertanggung jawab atas

prilakunya sebagaimana Fatwa MUI maka mengharuskan laki-laki yang

mengakibatkan lahirnyaanak mulā’anah dan anak zina untuk berwasiat

35Maşhlahah mu’tabarah adalah maşhlahah yang ditunjuk syarak baik secara langsung

maupun tidak langsung dan berfungsi sebagai dalil dalam pembentukan suatu hukum, maşhlahah al-mulgha adalah maşhlahah yang secara rasional dianggap baik, tetapi tidak tercantum dalam naş, dan ada petunjuk nsh yang menolaknya, sedangkan maşhlahah al-murshalah yaitu suatu maşhlahah yang dipandang baik oleh akal pikiran, sejalan dengan syara’ dengan hokum syarak dalam nenetapkan hukum, akan tetapi tidaka ada naş syarakyang mengakuinya dan tidak ada pula yang menolaknya.

36 Wahbah al-Zuḥailī, Uşhūl al-Fiqh…, hlm. 35. 37 Syarīʻah (hukum Islam) dalam bentuk nilai-nilai dasar berdimensi absolut, abstrak,

abadi dan universal. Ia bersifat transendental karena bersumber wahyu ilahiyah. Sedangkan syarīʻah dalam bentuk asas-asas umum dan asas-asas hukum yang praktis berfungsi sebagai jembatan antara nilai-nilai dasar yang harus dipertimbangkan dengan norma hukum praktis, baik dalam bentuk fikih maupun perundang-undangan. Sehingga penerapan syariat dalam bentuk peraturan hukum konkrit baik yang dimuat dalam doktrin hukum (Fikih) maupun perundangan yang berlaku dalam suatu negara substansinya harus konkrit, relatif, temporer, dan lokal. Ia bersifat dinamis logis dan transendental. Dinamis berimplikasi bahwa norma hukum yang diciptakan disesuaikan dengan kebutuhan kemaslahatan (elastisitas atau ḥarākah) yang tidak berhenti pada suatu titik tertentu, melainkan terus menerus berkembang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi. Lihat Wahbah al-Zuhailī, Uşhūl al-Fiqh…, hlm. 307.

Page 22: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

71

memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya melalui waşiyyah al-

wājibah.

Akibat hukum dari putusan MK berlaku secara general baik terhadap

anak sebagai akibat perzinaan, sebagai akibat perkawinan monogami di bawah

tangan, sebagai akibat perkawinan poligami di bawah tangan atau anak yang

tidak di akui oleh ayahnya maka akan berakibat adanya hubungan hukum

keperdataan antara anak dengan ayah biologisnya, sehingga akan lahirnya hak

dan kewajiban menurut hukum antara kedua belah pihak secara timbal balik.

Adapun hak-hak itu menurut hukum adalah:

Pertama, Hak atas nafkah Status anak yang lahir di luar perkawinan

menurut hukum yang dimuat pada putusan MK mempunyai hubungan

nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan ayah dan

keluarga ayahnya, maka yang wajib memberikan nafkah terhadap anak

tersebut adalah ayahnya dan keluarga ayahnya. Baik sebagai ayah yang

memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan ibunya ataupun ayah

alami (genetik). Kewajiban tersebut adalah memberikan nafkah kepada

anaknya, karena anak dalam hal ini tidak ada perbedaan antara anak sah

dan anak tidak sah. Dengan demikian ayah berkewajiban memberikan

nafkah dan penghidupan yang layak seperti nafkah, kesehatan,

pendidikan dan lain sebagainya kepada anak-anaknya sesuai dengan

penghasilannya.

Landasan putusan MK yang mereview ketentuan Pasal 43 ayat (1) UUP

Nomor 1 Tahun 1974 pada dasarnya adalah “tidak tepat dan tidak adil

jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual

yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut

dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan

itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap laki-laki tersebut sebagai

ayahnya”. Landasan inilah yang menjadi dasar bahwa seorang laki-laki

yang menghamili seorang perempuan kemudian melahirkan anak,

Page 23: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

72

dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) tersebut akan melepaskan tanggung

jawabnya sebagai ayah biologis, dengan demikian setelah Pasal 43 ayat

(1) direview, ayah biologis tersebut dipaksa oleh hukum untuk

mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang dilakukannya.

Andaikata landasan putusan MK ini hanya berkaitan dengan

pertanggung jawaban nafkah, maka sejalan dengan logika hukum Islam,

karena nafkah yang diperlukan untuk menunjang kehidupan anak tidak

hanya berlaku dengan orang yang ada hubungan nasab, seperti apabila

ada orang yang ingin mengadopsi anak, maka nafkah akan beralih

kepada ayah angkatnya. Jadi apabila orientasi putusan MK bertujuan

untuk menjerat ayah biologis dari tanggungjawab, menurut hemat

penulis dapat diterima, namun langkah terbaik adalah tanpa harus

meriview pasal tersebut, melainkan cukup menambahkan satu ayat yang

membebankan tanggung jawab nafkah terhadap ayah yang

menyebabkan anak lahir di luar perkawinan. Dengan penambahan ayat

ini, hemat penulis putusan MK ini akan lebih fleksibel dan jauh dari

polemik kontroversi yang berkepanjangan dalam masyarakat.

Kedua, Hak Perwalian. Eksistensi wali dalam perkawinan sesuai dengan

ketentuan dalam Pasal 19 dan Pasal 20 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam,

yaitu: a) Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus

dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk

menikahkannya; b) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-

laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.

Kemudian Pasal 20 ayat (2) KHI menyatakan bahwa wali nikah terdiri

dari dua kelompok, yaitu wali nasab dan wali hakim.

Ketentuan Pasal ini mengidentifikasikan bahwa orang-yang berhak

menjadi wali nikah bagi anak perempuan adalah ayah yang memiliki

hubungan nasab dengannya yang lahir dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah sesuai dengan ketentuan Pasal 42 UU Nomor 1

Page 24: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

73

Tahun 1974. Ketentuan pasal ini melahirkan kaidah hukum bahwa anak

perempuan yang memiliki hubungan nasab dengan kedua orang

tuanya, melalui perkawinan yang sah menyebabkan ayahnya memiliki

hak wali, khususnya dalam pernikahan. Dengan demikian kelahiran

anak selain yang ditentukan dalam pasal tersebut tidak memiliki

hubungan nasab dengan ayahnya, dan berakibat hukum ayah dalam

kondisi seperti ini tidak berhak menjadi wali nikah dalam perkawinan

anak perempuannya, dan hak perwalian anak itu berada pada wali

hakim.

Karena Pasal 2 UU nomor 1 Tahun 1974 tidak direview oleh MK, maka

ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana tersebut tetap berlaku

sebagaimana mestinya dan mengikat semua pihak. Oleh karena itu

meskipun Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 telah direview oleh MK

yang mengakomodir hak perdata seorang anak dengan ibunya dan

ayahnya serta dengan keluarga ibu dan ayahnya, tidak berlaku dalam

hal perwalian, khususnya wali nikah, yang berhak menjadi wali nikah

bagi anak perempuan yang lahir di luar perkawinan khususnya anak

mulā’anah adalah wali hakim.

Ketiga, Hak Kewarisan. Dalam hukum kewarisan Islam, yang dapat

dikatagorikan sebagai ahli waris, sebagaimana di sepakati oleh jumhur

adalah mereka yang memiliki hubungan muşāharah (perkawinan),

nasabiyah, yaitu melalui keturunan yang sah, qarābah (karib kerabat) dan

al-walā (memerdekakan hamba sahaya). Jadi untuk memperoleh

kewarisan, hukum hanya mengakui keabsahan anak yang lahir sesuai

dengan ketentuan Pasal 42 ayat (1) Tahun 1974. Kepada anak yang lahir

diluar perkawinan khusunya anak mulā’anah keperdataan mereka

dikecualikan dalam hal kewarisan. Karena terbentur dengan norma-

norma hukum, atas dasar keadilan mereka hanya bias memperoleh harta

melalui waşiyyah al-wājibah, bukan melalui kewarisan.

Page 25: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

74

E. Penutup

Dalam literatur fikih, nasab merupakan faktor untuk mendapatkan hak

kewarisan, apabila terjadi li’ān maka, secara otomatis hilanglah hak nasab anak

dari si mulā’in (yang meli’ān), dengan hilangnya hak nasab maka hilanglah hak

kewarisan. Sementara Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan terutama

dengan Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan bertentangan

dengan Syari’at Islam. Oleh karena itu Putusan MK ini mengandung polemik

bagi masyarakat Muslim. Putusan ini dikhawatirkan akan melahirkan

ketentuan-ketentuan normatif baru yang akan mendorong untuk tidak taat

hukum, melainkan berupaya melegalisasikan suatu akibat dari perbuatan yang

melanggar hukum.

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 senada dengan

Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam,yang substansinya tidak bertentangan

bahkan sejalan dengan Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar

1945 juga sejalan dengan Syari’at Islam, yakni anak li’ān hanya mempunyai

hubungan kewarisan dengan ibu, dan juga dengan orang-orang yang bertalian

dengan ibu. Tidak dengan ayah dan keluarga ayahnya.

Untuk memberikan rasa keadilan kepada anak mulā’anah maka

dianjurkan untuk memberikan waşiyyah al-wājibah.Pendekatan teori maşhlāhah

al-Mursālah dalam memberikan waşiyyah al-wājibahkepada anak mulā’anah

sangat tepat sebagai upaya tidak lepasnya tanggung jawab seorang ayah

kepada anaknya.

Ketika anak li’ān meninggal dan mempunyai harta atau sisa harta

sesudah dibagikan kepada ahli waris furudhnya, maka yang akan menjadi

‘asabahnya adalah, 1) Ibu serta kerabat ibu dapat mewarisi darinya sesuai

dengan kaidah waris-mewarisi yang sudah diketahui; 2) ‘Ashabah anak li’ān

adalah mereka yang menjadi ashabah Ibunya atau mereka yang mewarisi dari

ibunya.’Ashabah anak li’ān dan anak yang lahir karena perbutan zina adalah

Page 26: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

75

ibunya, karena ibu bagi mereka sama seperti kedua orang tua, bapak dan ibu.

Jika tidak ada ibu, maka ’ashabahnya adalah mereka yang menjadi ’ashabah ibu.

Page 27: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

76

DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-Wāḥab Khalāf, Ilm Uşhūl Fiqh, (al-Qāhirah: Dār Al-Hadis, 2003)

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika,2006)

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008)

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al-Maarif, 1994)

Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan

Terhadapnya, http://www.voa-Islam.com, diakses tanggal 10 Maret 2013.

Huzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshar, Problematika Hukum Islam

Komtemporer, (Jakarta: Firdaus, 2002)

Ibn al-Qudāmah, al-Mughnī al-Syarh al-Kabīr, jilid VII, (Bairut: Dār al-Kitab al-

Arabī, 1304 H, 1983 M)

Jalāluddin Abdurrahman as-Sayuti, al-Asybah Wa an-Nazāir fi Qawaid Wa al-

Furu’ al-Syafi’iyyah, (Bairut: Dār al-Fikr 1995)

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama

Islam, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001.

Buku I, Hukum Perkawinan, BAB II Dasar-Dasar Perkawinan, Pasal 4.

M. Quraish Syihab, al-Lubab Makna Tujuan dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-

Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2012)

Muslim bin al-Hajjaj, Şaḥih Muslim, jilid II, (Bairut: Dār Ihyyā at-Turath al-

Arabī, t.th)

Naurahafranzfh.blogspot.co.id/2016/01/perkara-kasus-machica-mochtar-

status.html?m=1 Diakses pada tanggal 4 januari 2016.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik IndonesiaNomor46/PUU/VIII/2010.

Page 28: PEROLEHAN HAK WARIS ANAK MULĀ’ANAH STUDI …

77

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

BAB I Dasar Perkawinan, Pasal 2, ayat (1) dan (2)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, pasal 43.

Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, jilid VII,(Dimasyq: Dār al-Fikr,

2009).

Wahbah al-Zuḥailī, Uşhūl al-Fiqh al-Islāmī, jilid II, (Dimasq: Dār al-Fikr, 2009)