pernikahan beda agama perspektif al-quran (kajian...
TRANSCRIPT
PERNIKAHAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF AL-QURAN
(Kajian Sosio-Historis terhadap QS. al-Mumtahanah/60: 10)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Dede Rihana
1110034000111
JURUSAN ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 M/2017 H
iii
iii
ABSTRAK
Maraknya praktik pernikahan beda agama di Indonesia dengan berbagai problemnya, serta kondisi masyarakat Indonesia yang semakin global. Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam lagi terkait kandungan ayat pernikahan beda agama yang terdapat dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 10. Sebab, ayat ini merupakan ayat yang melarang adanya pernikahan beda agama yang sebelumnya sempat terjadi di kalangan sahabat Nabi SAW., yang kemudian memunculkan perdebatan hingga saat ini. Sehingga, dengan mengkaji ayat ini lebih mendalam, diharapkan akan ada titik temu perihal pernikahan beda agama ini.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat kepustakaan (library research).Sumber data yang digunakan adalah sumber primer dan sekunder. Sumber primer berasal dari al-Qura’an dan sumber sekunder berasal dari kitab-kitab tafsir, di antaranya Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr karya Ibn ‘Âsyûr, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran karya Imam al-Qurṯubi, Tafsir al-Azhar karya Hamka dan buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan yang diteliti.
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa pada dasarnya terjadinya pernikahan beda agama yang dilakukan pada masa Nabi SAW., memiliki orientasi sebagai jalan dakwah Islam serta mengandung aspek sosial, dimana sebab pernikahan beda agama merupakan salah satu bentuk dalam melindungi kaum lemah, yaitu para wanita yang tertindas.
iv
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Penulisan transliterasi huruf Arab-Latin dalam skripsi ini berpedoman pada
buku Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri Hidayatullah Jakarta tahun
2012/2013.
A. Aksara Arab dan Padanannya dalam Aksara Latin
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا
tidak di lambangkan
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H h dengan garis di bawahi ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawahi ص
D de dengan garis di bawahi ض
T te dengan garis di bawahi ط
Z zet dengan garis di bawahi ظ
‘ عkoma terbalik ke atas mengahadap ke
kanan
v
v
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ’ ء
Y Ye ي
B. Vocal
Vocal dalam bahasa Arab, seperti vocal bahasa Indonesia, terdiri dari
vocal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong.
Vocal tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan A Fathah ـ I Kasrah ـ U Dammah ـ
Vocal rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i ـ ي
Au a dan u ـ و
vi
vi
C. Vocal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vocal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dengan topi di atas ا
Î i dengan topi di atas ٮي
Û u dengan topi di atas ٮو
D. Kata sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /1/, baik diikuti oleh
huruf syamsiyyah mauupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-
dîwân bukan ad-dîwân.
E. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal
ini tidak berlaku jika huruf yang diberi tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secara lisan
berbunyi ad-darûrah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,
demikian seterusnya.
F. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat kata
yang berdirisendiri, maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf /h/
vii
vii
(lihat contoh 1 di bawah ini). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na’at) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
marbûtah tersebut diikuti kata benda (isim), maka huruf tersebut dialih
aksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Bahasa
Tarîqah طریقة 1
al-jâmi'ah al-islamiyyah الجامعة اإلسالمیة 2
wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
viii
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, tiada kata yang pantas terungkap pada awal pengantar ini,
selain ungkapan rasa syukur sedalam-dalamnya kehadirat Allah, Tuhan yang telah
memberikan rahmat dan karunia kepada penulis, yang telah memberikan kasih sayang
berupa nikmat sehat, sehingga dengan izin dan kuasa-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang sangat sederhana ini. Merupakan suatu anugerah
terindah, rasa lega dan bahagia yang dirasakan penulis saat ini, karena luasnya kasih
sayang-Nya. Semoga apa yang telah penulis kerjakan ini, bermanfaat khususnya bagi
penulis dan bagi semua pembacanya.
Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada seorang tauladan yang
berjuang membawa umatnya dari kegelapan menuju terang, yakni Nabi Muhammad
SAW. yang telah memberikan tuntunan petunjuk jalan yang suci yang akan
menghantarkan kebahagiaan umatnya di dunia maupun di akhirat. Aamiin
Menyadari bahwa tulisan ini tidak hadir begitu saja namun telah banyak yang
ikut berkontribusi dalam penulisan ini, maka perlu kiranya penulis menyampaikan
rasa terima kasih secara khusus. Semoga segala kebaikan yang telah diberikan
menjadi amal tersendiri untuk mengumpulkan kita bersama seluruh umat Muhammad
di sisi Allah kalak di surga-Nya, Aamiin. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin,
beserta seluruh staf dekanat.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Quran dan
Tafsir Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan banyak masukan dalam
proses pembuatan proposal. Ibu Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris
Jurusan Ilmu al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin.
ix
ix
4. Bapak Muslih, M.Ag. selaku dosen pembimbing penulis yang sudah
meluangkan waktu untuk membantu dan memberikan masukan sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, khususnya Jurusan Ilmu al-Quran dan Tafsir yang telah
mentransfer ilmu pengetahuan serta pengalaman berharganya kepada penulis.
Semoga amal kebaikan Bapak dan Ibu Dosen dibalas dengan pahala yang
tidak terhingga. Aamiin
6. Pimpinan dan seluruh staf perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan juga perpustakaan Iman
Jama’, sehingga membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada keluarga yang senantiasa mendukung secara moral maupun materil.
Terutama kepada kedua orang tua penulis yang tidak henti-hentinya
memberikan do’a, kasih sayang, semangat dan nasihat-nasihat kepada penulis
agar menjadi orang yang bertaqwa dihadapan Allah SWT. Tak lupa juga
penulis ucapkan terima kasih kepada adik dan kakak penulis yang bersedia
mendengar cerita dan keluh-kesah penulis.
8. Seluruh teman-teman seperjuangan yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu. Khususnya kepada Hani, Sa’adah, lelly, Ai, Syari, Fatwa, dan Danisi
yang selalu ada untuk penulis. Tak lupa juga penulis ucapkan terimakasih
kepada ka Nurul dan Hanif yang telah menyumbangkan ilmunya kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.
9. Kepada semua pihak, penyusun hanya dapat mendo’akan semoga segala
kebaikan semua diterima dan dibalas oleh Allah SWT. Aamiin.
x
x
DAFTAR ISI
JUDUL ..........................................................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN …………………………………... iii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................iv
ABSTRAK ..................................................................................................................v
PEDOMAN TRANSLITERASI ...............................................................................vi
KATA PENGANTAR ..............................................................................................vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................viii
BAB PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................7
D. Kajian Pustaka ........................................................................................7
E. Metode Penelitian ..................................................................................10
F. Sistematika Penulisan ............................................................................11
BAB II TINJAUAN UMUM SEPUTAR PERNIKAHAN
A. Pengertian dan Ketentuan Pokoknya......................................................13
B. Pernikahan Pra Islam..............................................................................18
C. Pernikahan dalam Islam.........................................................................24
D. Pernikahan Beda Agama........................................................................35
1. Pada Masa Rasulullah SAW................................................................37
2. Pernikahan di Indonesia ......................................................................37
BAB III PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM QS. AL-
MUMTAHANAH/60:10
A. Penafsiran Para Mufassir terhadap QS. Al-Mumtaahanah/60:
10............................................................................................................40
xi
xi
B. Keterkaitan Ayat-ayat Pernikahan Beda Agama
..............………………........................................................................51
C. Pengaruh Pernikahan Beda Agama Terhadap Kehidupan Keluarga
……………………………………….................………………...........56
D. Relevansi Ayat Pernikahan Bede Agama dengan Realitas Status Sosial
Masyarakat Sekarang ………………………………………………… 60
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................70
B. Saran-saran........………………….............………………………........70
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................72
i
DAFTAR ISI
JUDUL ..........................................................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................iii
ABSTRAK ..................................................................................................................iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................v
KATA PENGANTAR ...............................................................................................vi
DAFTAR ISI .............................................................................................................vii
BAB PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................................10
D. Kajian Pustaka .......................................................................................10
E. Metode Penelitian ..................................................................................12
F. Sistematika Penulisan ............................................................................13
BAB II TINJAUAN UMUM SEPUTAR PERNIKAHAN
A. Pengertian dan Ketentuan Pokoknya......................................................15
B. Pernikahan Pra Islam..............................................................................20
C. Pernikahan dalam Islam.........................................................................26
D. Pernikahan Beda Agama........................................................................38
1. Pada Masa Rasulullah SAW................................................................41
2. Pernikahan di Indonesia ......................................................................41
BAB III PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM QS. AL-
MUMTAHANAH/60:10
A. Penafsiran Para Mufassir terhadap QS. Al-Mumtaahanah/60:
10............................................................................................................44
ii
B. Pengaruh Pernikahan Lintas Agama Terhadap Kehidupan Rumah
Tangga ...................................................................................................55
C. Relevansi Ayat dengan Realitas Status Sosial Masyarakat
Sekarang.…………………………….................………………...........61
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................70
B. Saran-saran........………………….............………………………........70
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................72
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw. sebagai pedoman hidup bagi manusia dalam menata kehidupannya, agar
mereka memperoleh kebahagiaan lahir dan batin di dunia dan akhirat kelak.
Konsep-konsep yang ditawarkan al-Quran diyakini selalu relevan dengan
problema yang dihadapi manusia, karena al-Quran turun untuk berdialog dengan
setiap umat yang ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan masalah terhadap
problema tersebut kapan dan dimanapun mereka berada.1
Sebagai pedoman hidup manusia, pembicaraan al-Quran terhadap suatu
masalah sangat unik, tidak tersusun secara sistematis seperti halnya buku-buku
ilmu pengetahuan yang ditulis manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa al-Quran
itu adalah sebuah kitab yang tidak sistematis bila dilihat dari segi metodologi
ilmiah. Di samping itu, al-Quran juga sangat jarang menyajikan suatu masalah
secara rinci dan detail. Pembicaraan al-Quran terhadap suatu masalah pada
umumnya bersifat global, parsial dan seringkali menampilkan masalah dalam
prinsip pokok-pokoknya saja.2 Keadaan demikian, sama sekali tidak mengurangi
nilai al-Quran. Sebaliknya, justru di sanalah terletak keunikan al-Quran yang tidak
dimiliki kitab-kitab lainnya, bahkan al-Quran menjadi objek kajian yang tidak
1 Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitâb Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina, 1998),
Cet. 1, h. 1 2 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Quran, Suatu Kajian Teologi dalam
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 5.
2
pernah kering oleh para cendikiawan baik muslim maupun non muslim, sehingga
ia tetap akurat sejak diturunkannya empat belas abad yang lalu.3
Dalam upaya memahami kandungan al-Quran, para ulama tafsir pada
umumnya menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf.
Namun dalam perkembangkan selanjutnya, muncul gagasan untuk mengungkap
petunjuk al-Quran terhadap suatu masalah tertentu dengan jalan menghimpun
seluruh atau sebagian ayat dari beberapa surah yang berbicara tentang topik yang
sama untuk kemudian dikaitkan satu ayat dengan ayat lainnya. Sehingga pada
akhirnya dapat diambil kesimpulan secara menyeluruh tentang masalah tersebut
menurut petunjuk al-Quran.4
Allah SWT. menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan
yang saling membutuhkan pasangan. Kebutuhan akan pasangan tersebut dalam
Islam diatur melalui akad pernikahan. Pernikahan selain dapat mengatur
hubungan suami istri, juga memiliki tujuan melestarikan keturunan. Selain itu,
pernikahan mengakibatkan terjadinya hubungan saling mewarisi. Dengan
demikian, adanya ketentuan hukum atau perundang-undangan pernikahan sangat
dibutuhkan.
Allah SWT. menciptakan makhluk hidup secara berpasang-pasangan.
Salah satu tujuan adanya pasangan tersebut adalah untuk melestarikan keturunan.
Pelestarian keturunan terjadi jika adanya reproduksi yang akan terjadi di
3Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Quran, Suatu Kajian Teologi dalam
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 156. 4M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 114.
3
antaranya melalui proses pernikahan. Oleh karena itu, pernikahan mempunyai
peran yang sangat penting dalam pelestarian keturunan.
Islam, selain menjadi fitrah kemanusiaan juga menjadi agama yang sangat
menghargai segala aktifitas manusia, selama tidak bertentangan dengan ajaran
Islam itu sendiri. Bahkan aktifitas tersebut seringkali dimasukkan dan diatur
sedemikian rupa di dalam ajarannya, salah satunya adalah masalah pernikahan.
Pernikahan bagi umat manusia merupakan sesuatu yang dianggap sakral
dan mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-
ketentuan yang ditetapkan syariat agama. Orang yang melangsungkan pernikahan
bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu jasmaniah saja, melainkan untuk
meraih ketenangan, ketentraman dan sikap saling mengayomi diantara suami istri
dengan dilandasi cinta dan kasih sayang.
Sebagai makhluk bermasyarakat, manusia tidak akan bisa hidup tanpa ada
hukum apa pun nama atau sebutannya yang mengatur pergaulan hidup mereka.5
Membahas tentang masalah praktik pernikahan beda agama merupakan
sebuah realitas dan sudah dianggap lazim di mana-mana. Di Indonesia pun,
banyak pasangan suami istri berbeda agama, dan mereka tampak hidup rukun.
Dari sini ada semacam anggapan dan usulan, dari sementara pihak, bahwa
perbedaan agama bukan penghalang bagi seseorang untuk menikah. Alasannya,
perkawinan adalah hak asasi.6
5Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004), Cet. I, h. 1 6Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama, dan
Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 64
4
Dalam hal ini, pernikahan bukan hanya masalah sosial kemanusiaan
belaka, tatpi pernikahan jiga merupakan ibadah, di mana konsekuensinya juga
panjang sampai ke akhirat. Dalam Islam, seorang pemimpin keluarga (suami/istri)
bertanggung jawab terhadap diri, pasangan dan juga keturunannya.7
Di samping itu, terlepas dari persoalan pengawasan orang tua, pasangan
berbeda agama ini bertekad melanjutkan rencananya untuk menikah. Masalahnya
adalah mencarikan jalan terbaik yang sesuai dengan tuntunan Islam. Yang perlu
ditekankan di sini bahwa pernikahan itu merupakan syari’at, bukan semata-mata
urusan keduniaan. Karenanya, semua masalah harus diselesaikan dalam koridor
syari’at.8
Di Indonesia, masalah pernikahan telah diatur dalam UU Pasal 1 Tahun
1974, bahwa: “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”9 Di samping itu,
pernikahan bukan hanya hubungan antara dua orang laki-laki dan perempuan yang
saling mencintai, namun terdapat esensi serta aturan yang harus dijalani setiap
individu baik terkait hukum, sosial, maupun agama. Sehingga dengan berbagai
7 Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama, dan
Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 65 أیھاٱلذین ئكة غالظ شداد ال یعصون ٱلحجارة و ٱلناس ءامنوا قوا أنفسكم وأھلیكم نارا وقودھا ی علیھا مل ما ٱہلل
٦أمرھم ویفعلون ما یؤمرون “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. al-Baqarah/2: 221)
8 Hamim Thohari, Smart Solving; Menjawab 101 Masalah Keluarga, (tt: Pustaka Inti dan Arga Publishing, 2007), Cet. 1, h. 22
9Muchlis M. Hanafi (ed), Tanggung Jawab Al-Quran, (Jakarta: Lajanah Pentashihan Mushaf al-Quran, 2011 ), Cet. 1, Jilid. 2, h. 67
5
pertimbangan para ulama dan ahli hukum di Indonesia, pernikahan beda agama
adalah dilarang.
Namun, realita masalah pernikahan beda agama masih terjadi di tengah-
tengan masyarakat sampai saat ini. Maka, tidak bisa dipungkiri dalam hal tersebut
selalu memunculkan banyak perspektif, baik dari para mufassir, pembuat
kebijakan dan negara. Dengan demikian, antara fenomena, realitas dan teori
belum meminimalisir sebuah kenyataan pernikahan beda agama oleh karena
perbedaan penafsiran dan kebijakan baik secara tertulis di dalam al-Quran atau
hukum undang-undang itu sendiri.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi perihal
masalah pernikahan beda agama. Bukan pada masalah kriteria kafir (QS. al-
Mumtahanah/60: 10), musyrik (al-Baqarah/2: 221) ataupun ahlu kitab (al-
Mâidah/5: 5), yang selama ini selalu dijadikan perdebatan.
Dari ketiga ayat tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi
perihal pernikahan beda agama yang terdapat dalam QS. Al-Mumtahanah/60: 10.
Di mana, dalam ayat tersebut pernikahan telah terjalin namun karena terjadinya
perbedaan agama, maka pernikahannya harus terputus.
Berdasarkan uraian di atas, penulis berusaha mengkaji lebih dalam ayat al-
Quran yang berbicara perihal pernikahan beda agama ini dengan judul
“PERNIKAHAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF AL-QURAN: KAJIAN
SOSIO HISTORIS TERHADAP QS. AL-MUMTAHANAH/60: 10”
6
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana Islam memandang “perkawinan”, apakah ia merupakan
bagian dari perbuatan sosial belaka, ataukah ada unsur-unsur
keagamaan di dalamnya?
b. Bagaimana orientasi pernikahan beda agama dalam Qs. Al-
Mumtahanah/60: 10? Mengapa sebelumnya pernikahan itu terjalin,
dan akhirnya terputus serta adakah korelasi antara ketiga ayat tersebut
satu sama lainnya?
c. Sebagai salah satu bentuk perbuatan yang berkelanjutan, bagaimana
akibatnya jika perkawinan lintas agama, dinyatakan tidak sah atau
batal? Dan bagaimana sebenarnya status perkawinan lintas agama
bagi umat Islam, seperti yang ditentukan dalam al-Quran?
d. Apakah makna kafir, musyrik, dan ahl al-Kitâb?
e. Adakah pengaruh situasi sosial terhadap ketentuan hasil penafsiran al-
Quran? Dan apakah perubahan situasi sosial tersebut juga dapat
merubah ketentuan-ketentuan (hukum) dalam perkawinan lintas
agama?
f. Setiap perbuatan manusia pasti menimbulkan konsekuensi dan akibat-
akibat tertentu. Apa saja akibat yang akan muncul dari perkawinan
lintas agama, baik akibat secara individu maupun sosial?
7
2. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan ini dapat dibahas secara komprehensip dan lebih
terarah, maka penulis membatasi penelitian ini pada kajian QS. Al-
Mumtahanah/60: 10, serta mengkorelasikannya dengan QS. Al-Baqarah/2: 221
dan Al-Maidâh/5: 5, sebagai pendukung.
3. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini,
berikut penulis paparkan dengan pertanyaan: Bagaimana orientasi pernikahan
beda agama dalam Qs. Al-Mumtahanah/60: 10?
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah dalam rangka memenuhi salah satu
syarat dan tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana strata (S1). Adapun yang
menjadi tujuan umum penelitian ini diharapkan bagi umat Islam, hendaknya dapat
benar-benar mempertimbangkan dalam memilih pasangan, terutama yang
beragama non muslim. mempertimemberikan pemahaman kepada umat Islam
tentang hal-hal yang perlu diketahuinya sebelum memutuskan untuk menjalin
hubungan pernikahan dengan non muslim. Adapun manfaat penelitian ini
diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam
bidang tafsir, dan hukum Islam yang bersumber dari al-Quran.
C. Kajian Pustaka
Setelah penulis melakukan tinjauan serta kajian data kepustakaan yang
sedikit banyak telah membahas materi yang akan diteliti, penulis menemukan
8
bahwa, terdapat beberapa penelitian telah melakukan pembahasan dan kajian
tentang perkawinan lintas agama. Diantaranya yaitu:
1. Konsep Nikah Lintas Agama dalam al-Quran, Dede Setiawan, Jakarta, 2005.
Skripsi ini lebih menitik beratkan pada isi tafsir al-Quran dan argumen ulama
tafsir.
2. Pernikahan Beda Keyakinan dalam al-Quran : Analisis Penafsiran al-
Maraghi atas Qs. Al-Baqarah/2: 221 dan Qs. Al-Mâidah/5: 5, Dedi Irawan,
Jakarta, 2011. Skripsi ini lebih fokus membahas pemahaman al-Maraghi
tentang pernikahan beda agama yang terkandung 2 ayat tersebut (Qs. Al-
Baqarah/2: 221 dan al-Mâidah/5: 5).
3. Menikahi Orang Musyrik Perspektif al-Jasas dan al-Qurṯubi: Analisa
terhadap Qs. Al-Baqarah/2: 221 dalam Tafsir Ahkam al-Quran dan al-Jami’
Li Ahkam al-Quran, Budy Prestiawan, Jakarta, 2014. Skripsi ini merupakan
kajian perbandingan antara pemikiran al-Jashash dan al-Qurtubi tentang
pernikahan beda agama yang terkandung dalam Qs. Al-Baqarah/2: 221.
4. Pernikahan Beda Agama Menurut Islam dan Katolik, Abdi Pujiasih, 2008.
Sakripsi ini fokus membahas pernikahan beda agama di lihat dari sisi agama
Islam dan Agama Katolik.
5. Perkawinan Dalam Pandangan Agama Islam dan Buddha: Sebuah Studi
Perbandingan, Iman Firmansyah, 2010. Skripsi lebih fokus pada
perbandingan pandangan agama Islam dengan agama Buddha tentang
pernikahan beda agama.
9
6. Islamic fundamental responses on inter faith marriage, karya Yowan Tamu.
Ini adalah sebuah artikel yang membahas tentang perkawinan beda agama
sebelum dan sesudah perkawinan dan menggambarkan fungsi dari integrasi
sosial antara pasangan yang berbeda agama, sebelum dan sesudah
perkawinan. Dan sosialisasi nilai dan peranan terhadap anak dari hubungan
pasangan yang berbeda agama.
7. Perkawinan Lintas Agama dalam Kajian Tafsir Tematik Sosio-Historis karya
Much. Mu’alim, Jakarta, 2008. Karya ini kami temukan masih dalam bentuk
“Tesis“ yang diajukan untuk memperoleh gelar Magister di Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam karya ini, penulisnya banyak fokus
mengkaji ulang pendapat dan teori-teori penafsiran ayat-ayat al-Quran seputar
perkawinan lintas agama yang selama ini masih menjadi perdebatan.
Kemudian melakukan kajian ulang terhadap permasalahan tersebut dengan
menggunakan metode tematik/maudhui serta pendekatan sosio-historis.
Dalam kajian tesis ini, penulisnya menyimpulkan bahwa perihal perkawinan
lintas agama disebabkan oleh adanya perbedaan di dalam menetapkan kriteria
tentang musyrik dan Ahl al-Kitâb.
Yang membedakan tulisan-tulisan lain yang telah ada dengan tulisan yang
penulis bahas dalam penelitian ini, penulis lebih menitikberatkan pada
pembahasan dasar pernikahan beda agama yang terdapat dalam Qs. Al-
Mumtahanah/60: 10 berdasarkan historis sebelum dan setelah ayat ini turun.
Dengan demikian, diharapkan dengan adanya penelitian ini akan ditemukan
pemahaman perihal pernikahan beda agama.
10
D. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan hasil yang ilmiah dan akurat tentang penulisan skripsi
ini, maka sangat tergantung pada sejauh mana cara penulis memperoleh
pengumpulan data pada skripsi ini, maka langkah-langkah yang ditempuh oleh
penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Metode pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data melalui penelusuran
kepustakaan, baik dengan cara membaca, memahami, dan menganalisa buku-buku
serta literatur yang berkaitan dengan pembahasan yang penulis buat.
Karena studi ini menyangkut tentang al-Quran, maka sumber utamanya
adalah al-Quran dan terjemahannya. Kemudian penulis menganalisa ayat-ayat
tersebut melalui beberapa buku tafsir baik klasik maupun kontemporer yang
diantaranya tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr karya Muhammad Ibn ‘Asyur, tafsir al-
Jami’ li Ahkam al-Quran karya Imam al-Qurṯubi, tafsir al-Azhar karya Hamka
dan karya-karya lainnya yang berkaitan dengan tema skripsi ini sebagai data
sekunder.
2. Metode Pembahasan
Dalam pembahasan ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis. Di
mana, penulis menjelaskan segala hal tentang pernikahan beda agama dengan
menggunakan suatu kajian Qurani dengan pendekatan sosio historis yang terdapat
dalam kandungan ayat tersebut.
11
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam memahami skripsi ini, maka penulis
membagi skripsi ini menjadi empat bab, dan masing-masing bab terbagi lagi ke
dalam sub bab, adapun sistematika pembahasan tersebut yaitu:
Bab Pertama diawali dengan Pendahuluan, bab ini merupakan acuan bagi
penulis dalam menyusun skripsi ini dan menjadi landasan dalam pembahasan bab-
bab selanjutnya. Bab ini mengemukakan latar belakang masalah dan
signifikansinya, hal ini akan menjadi penjelas mengapa penulis mengangkat judul
ini, dilanjutkan dengan pokok permasalahan, tujuan penelitian, hal ini berguna
untuk menjelaskan pokok kajian yang akan penulis bahas, kemudian tinjauan
pustaka, metode penulisan serta sistematika penulisan penelitian ini.
Bab kedua, memuat tentang penelusuran serta pemetaan perihal pengertian
pernikahan dan ketentuan pokoknya, pernikahan pra Islam, pernikahan dalam
Islam, serta pernikahan beda agama yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. dan
saat ini. Dalam hal ini agar dapat ditemukan pemahaman yang utuh menyangkut
pernikahan secara umum yang terjadi pada masa lalu. Kemudian dilanjutkan
dengan pembahasan tentang kasus pernikahan beda agama yang terjadi selama ini.
Bab ketiga, membahas pernikahan dalam QS. al-Mumtahanah/60: 10,
merupakan usaha mengkaji ayat dengan pola analisis komprehensif yang dimulai
dengan pembahasan tentang penafsiran ayat tentang pernikahan beda agama
dalam QS. al-Mumtahanah/60: 10, dan berlanjut pada pembahasan pengaruh
pernikahan beda Agama terhadap kehidupan rumah tangga, kemudian
memaparkan relevansi ayat dengan realitas status sosial mayarakat sekarang.
12
Bab keempat adalah penutup, pada bab ini penulis menarik jawaban yang
diambil berdasarkan perumusan masalah dan pembahasan pada bab-bab
sebelumnya dan juga penulis membuat saran-saran serta pada akhir tulisan penulis
menjabarkan referensi-referensi yang dapat dijadikan rujukan penulis dalam
penulisan penelitian ini.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM SEPUTAR PERNIKAHAN
Dalam bab ini, penulis bermaksud melakukan kajian seputar pernikahan
yang meliputi pengertian dan ketentuan pokok dalam pernikahan, pernikahan pra
Islam yang terjadi di Jazirah Arab, dimana Arab merupakan tempat di mana Islam
lahir. Hal ini ditandai dengan banyaknya ayat yang membicarakan Jazirah Arab.
Bahkan sejarah Islam, biasanya dimulai dengan sebuah survei terhadap kondisi
politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan di Semenanjung Arabia.1 Begitupun
masalah pernikahan. Dimana masalah pernikahan merupakan salah satu masalah
yang kompleks, seperti halnya pernikahan beda agama yang merupakan isu klasik
yang sampai saat ini masih menarik untuk dibahas. Misalnya di Indonesia, dimana
tidak sedikit kasus pernikahan beda agama dengan berbagai problemnya terjadi.
Maka dengan memaparkan tinjauan umum pernikahan yang meliputi pengertian
dan ketentuan dalam pernikahan, pernikahan pra Islam, pernikahan dalam Islam,
serta pernikahan beda agama, akan menarik warna dan respon al-Quran itu
sendiri, dan dapat diketahui dasar terjadinya pernikahan beda agama.
A. Pengertian dan Ketentuan Pokok Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan istilah yang lazim terdengar oleh masyarakat.
Pernikahan adalah sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua pada semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuhan. Ia adalah salah satu
1 Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarah Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. I, h. 23
14
cara yang dipilih oleh Allah SWT., sebagai jalan bagi makhluknya untuk
berkembang biak dan melestarikan hidupnya.
Menurut bahasa Indonesia nikah berarti ikatan (akad) atau kawin
(membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau
persetubuhan). Secara umum masyarakat memaknai nikah sebagai akad
(perjanjian), sedangkan kawin dipahami dengan hubungan seksual, sehingga
kedua kalimat ini selalu disandingkan dalam pengucapannya untuk
menyempurnakan makna keduanya. Nikah berarti akad yang membolehkan
berhubungan seksual dengan lafaz nikah atau semisalnya.2
Secara bahasa pernikahan berasal dari kata serapan bahasa Arab yang
mempunyai makna menghimpun atau mengumpulkan. Dalam literatur fiqih Islam,
pernikahan lazim diistilahkan dengan sebutan an-nikâh atau at-tazwîj.3
Dalam bahasa Arab, kata zauj (pasangan) berarti suami dan juga istri,
yang merupakan kebalikan dari kata fard (seorang diri tanpa yang lain).4
Adapun mengenai makna pernikahan secara istilah, masing-masing ulama
fikih mendefinisikan pernikahan berbeda-beda, sekalipun demikian makna dan
tujuannya adalah sama. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa pernikahan adalah
suatu akad dengan menggunakan lafal nikah atau dengan zawaj yang dengannya
menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita. Sedangkan ulama
Hanafiyah memandang pernikahan sebagai suatu akad yang berguna untuk
memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya seorang laki-laki dapat menguasai
2 M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 29 3 M. Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, (Tangerang: Lentera Hati, 2015),
Cet. I, h. 18 4 M. Nabil Kazhim, Buku Pintar Nikah: Strategi Jitu Menuju Pernikahan Sukses, Terj.
Ibnu Abdil Jamil, (Solo: Samudra, 2007), Cet. I, h. 20
15
perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan dan
kepuasan. Adapun ulama Malikiyah mendefinisikan pernikahan sebagai akad
yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita, arti esensialnya di
sini adalah dengan akad tersebut maka terhindarlah seseorang dari bahaya fitnah
perbuatan haram.5
Menurut Fikih, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling
utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan
hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga
perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya. Pernikahan adalah
ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dalam suatu rumah tangga berdasarkan
kepada tuntunan agama.6
Pernikahan adalah perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan untuk melaksanakan kehidupan suami istri, hidup berumah
tangga dan melanjutkan keturunan sesuai dengan ketentuan agama.7
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan atau
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedang Kompilasi
Hukum Islam pasa 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad
yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaannya adalah
merupakan ibadah. Sehingga perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga
5 M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 31-32 6 M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 31 7 Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 8
16
antara suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan
yang aman dan tentram (Sakinah), pergaulan yang saling mencintai (Mawaddah)
dan saling menyantuni (Rohmah).8
Dengan demikian pernikahan dapatlah dipahami sebagai akad perjanjian
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan maksud saling
memberi dan mengambil manfaat dari keduanya untuk membentuk sebuah
keluarga yang saleh dengan syarat dan ketentuan yang telah ditentukan menurut
syariat agama.9
2. Ketentuan Pokok Pernikahan
Dalam Islam, pernikahan tidak serta merta dapat dilakukan sesuai
kehendak, namun Islam telah mengaturnya dengan berbagai syarat-syarat tertentu
agar kedudukan manusia terjada. Oleh karena itu, Islam mengharuskan dua pihak
yang menjalani pernikahan untuk melaksanakan akad, dengan memenuhi syarat-
syarat sahnya akad, sesuai dengan hukum-hukum syariat. Aturan syari’at tentang
rumah tangga ini sudah pasti dan sempurna, yang harus dilaksanakan dan
dipenuhi serta harus menjadi rujukan saat terjadi perbedaan pendapat. Masing-
masing pihak juga harus tunduk kepada aturan itu. Maka ada baiknya jika kamu
sebutkan beberapa sisi dalam masalah akad nikah ini, yaitu:10
a. Perwalian
b. Kesaksian
8 M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 31-32 9 M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 32 10 Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 62
17
c. Penyelenggara akad nikah dalam pernikahan orang muslim harus orang
muslim
Hakim atau pejabat yang bertugas melangsungkan akad nikah,
disyaratkan yang beragma Islam. Jika tidak, maka akad nikah batal.11
d. Mahar
e. Shighah
Hukum Islam yang digambarkan sebagai jalan Tuhan untuk menuju
pembebasan manusia di dunia ini dan akhirat nanti, secara teoritis mengatur
segala aspek kehidupan manusia. Ia mengontrol, mengatur, dan menata seluruh
tindak tanduk pribadi maupun perilaku publik. Cakupannya yang begitu luas
membuat ia harus mendekati persoalan perilaku sehari-hari individu baik secara
historis maupun eklektis.12 Sikap dan perilaku manusia diatur dan dibagi menjadi
dua klasifikasi besar yang dipercayai tidak bisa dipisahkan dan saling
mempengaruhi. Yang pertama, hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam
hubungan ini, praktik keagamaan (ibadah) dijelaskan kepada semua umat muslim
untuk kehidupan sehari-hari mereka sebagai cerminan penyerahan diri kepada
Tuhan. Kedua, hubungan sesama manusia (muamalah). Dalam hubungan ini
ditetapkan berbagai hukum untuk mengatur berbagai aktivitas sehari-hari manusia
dalam perjumpaan mereka dengan yang lain.13
Membangun sebuah sistem hukum yang siap pakai bukanlah kepentingan
utama pada saat itu, karena perhatian utama Nabi saw. dicurahkan untuk
11 Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 64 12 Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 62 13 Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 62-63
18
membangun umat mukmin dimana manusia menyerahkan dirinya kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Di lain pihak, pluralisme hukum sudah menjadi kenyataan hidup
umat yang hidup pada masa Nabi. Ketika ia mengawali misinya, pada saat itu
sudah banyak orang Yahudi dan Kristen yang hidup dengan hukum mereka
sendiri, termasuk hukum Romawi di samping banyak lagi hukum-hukum chthonic
Arab yang masih memiliki banyak pengikut. Akibatnya, aspek substantif dari
hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad bisa dikatakan merupakan campuran
antara konsep hukum sakral yang berasal dari wahyu dan entitas hukum lainnya
(terutama hukum chthonic masyarakat Arab) yang hidup pada saat itu.14
B. Pernikahan Pra Islam
Semenanjung Arabia merupakan tempat lahirnya Islam. Di situ Islam
lahir, tumbuh, hingga kemudian menyempurna semenjak kemunculannya, Islam
dan kepriba`diannya yang unggul, tumbuh dan memiliki bentuk yang khas di
kota-kota Arabia, yakni Makkah dan Madinah.15
Dalam sejarahnya, kaum wanita pernah mengalami nasib yang paling
buruk. Kaum wanita telah menjadi korban kebodohan. Tidak lebih, mereka
dianggap sebagai sampah masyarakat atau keluarga yang merepotkan, tidak
mampu mengangkat nama keluarga, tidak patut dibanggakan, bahkan bikin
malu.16
14Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 64 15Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarah Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. I, h. 13
16Syekhul Islam Muhammad bin Umar An-Nawawi, Kunci Kebahagiaan Suami Istri dalam Islam, Terj. Muhammad Qodirun Nur, (Solo: Ramadhhani, 1994), Cet. 5, h. 7-8
19
Di semenanjung Jazirah Arab, sebelum Isla, terdapat berbagai model
pernikahan. Sebagian besar dari model pernikahan itu kemudian dilarang oleh
ajaran Islam karena sangat merendahkan derajat perempuan. Di antara model-
model pernikahan yang lazim terjadi di kalangan mereka adalah:
Dahulu masyarakat Arab merupakan masyarakat yang didominasi kaum
lelaki. Kaum wanita tidak memiliki status apa pun kecuali sebagai objek seks
belaka. Jumlah wanita yang dapat dinikahi seorang lelaki tidak terbatas. Bila
seorang lelaki meninggal dunia, maka putranya mewarisi seluruh istri yang
ditinggalkannya, kecuali ibu kandung anak tersebut.17
Kondisi yang tersaji dalam potret ini menunjukkan bahwa kehidupan di
Semenanjung Arabia sebelum kelahiran Islam adalah kehidupan yang kosong dari
kesantunan sosial atau kearifan historis. Dengan kata lain, masyarakat Arab pada
masa itu dalam kebangkrutan moral dan kehampaan spiritual. Kehidupan mereka
sungguh nihil dari makna, arah, dan tujuan. Saat itu, jiwa manusia yang telah
terbelenggu sedang menanti isyarat untuk melancarkan perjuangan besar-besaran
demi menghirup kebebasan.18
Pada dasarnya, kondisi sosial dan interaksi seseorang dengan masyarakat
akan mempengaruhi jiwa seseorang tersebut, baik dalam hal bertindak maupun
pemikirannya. Pola-pola kehidupan yang ia terima setiap hari akan tetap
membekas dalam pikirannya dan selalu mempengaruhi pendapatnya, baik itu
17Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 29
18Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 34
20
disadari ataupun tidak. Namun hal ini tidak berlaku atas diri Nabi Muhammad
saw. walaupun nabi hidup dalam kehidupan yang sangat keras, akan tetapi ia tetap
menjadi pribadi yang santun dan selalu bersifat pemaaf. Bahkan meskipun Nabi
sering mendapatkan ejekan, penganiayaan dan penghinaan atas dirinya, namun hal
itu tidak menggoyahkan semangatnya untuk tetap menjunjung tinggi agama Ilahi.
Maka setelah pengikut Nabi mulai banyak, maka segala masalah yang dihadapi
oleh orang dikembalikan kepada Nabi.19
Agar dapat dipahami lebih jelas, maka sebelum membahas tentang
pernikahan yang terjadi pada pra Islam, penulis akan menguraikan hal-hal yang
berkaitan dengan keadaan mayarakatnya terlebih dahulu. Disamping itu, beberapa
hal yang dapat menggambarkan keadaan masyarakat Arab saat itu, meliputi
berbagai bidang, baik sosial, politik, dan agama.
a. Kondisi Agama
Dalam sejarah orang-orang Arab sebelum datangnya Islam dikenal
sebagai masa jahiliah. Dengan memperhatikan keyakinan-keyakinan dan dan
praktik-praktik pagan (pemuja berhala) yang dilakukan orang-orang Arab
waktu itu.
19 Muhammad Fathurrohman, History of Islamic Civilization: Peristiwa-peristiwa
Sejarah Peradaban Islam Sejak Zaman Nabi Sampai Abbasiyah, (Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2017), h. 2-3
21
Pada masa itu, orang-orang arab terdiri dari berbagai agama yang
diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori berikut ini:20
1. Kaum penyembah berhala. Sebagian besar masyarakat Arab adalah
penyembah berhala.
2. Kaum Ateis21
3. Kaum Zindiq. Mereka dipengaruhi doktrin yang dianut orang-orang Persia
mengenai adanya dualisme (keberadaan Tuhan) dalam masing-masing
mewakili kekuatan baik dan buruk atau cahaya dan kegelapan.
4. Kaum Sabin (kaum yang terdapat dalam sejarah kuno Italia), mereka adalah
para penyembah bintang-bintang
5. Kaum Yahudi
6. Kaum Nasrani
7. Kaum Monoteis. Sebelum kelahiran dan kebangkitan Islam, kaum
monoteis merupakan kelompok paling kecil sejazirah Arab.22
b. Kondisi Politik
Ciri paling menonjol dari kehidupan politik di Jazirah Arab sebelum
kedatangan Islam adalah tidak adanya organisasi politik dalam bentuk apa pun.
20 Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 31
21Ateis adalah kelompok yang terdiri dari kalangan materialis yang percaya bahwa kehidupan ini bersifat abadi. Lihat: Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 31
22Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 32
22
Orang-orang Arab tak mengenal otoritas siapa pun kecuali otoritas kepala
sukunya masing-masing.23
c. Kondisi Sosial
Bangsa Arab pada masa pra Islam terdiri dari berbagai kelas. Kelas
bangsawan lebih diunggulkan daripada kelas yang lainnya. Kelas budak paling
dinistakan diantara kelas yang lainnya. Budak ibarat permainan kaum bangsawan.
Jika seseorang ingin dipuji dan menjadi terpandang di mata bangsa Arab karena
kemuliaan dan keberaniannya, ia harus banyak dibicarakan oleh kaum wanita.
Seorang laki-laki dianggap pemimpin dalam keluarga dan tidak boleh dibantah
perkataannya. Hubungan laki-laki dan wanita tidak bisa menentukan pilihannya
sendiri.24 Kaum wanita tidak memiliki status apa pun kecuali sebagai objek seks
belaka. Bahkan bila seorang laki-laki peninggal dunia, maka putra-putranya
mewarisi seluruh istriyang ditinggalkannya, kecuali ibu kandungnya.25
Pada masa pra Islam, betul-betul menganggap perempuan tidak memiliki
hak, Nabi saw mengubah situasi tersebut dengan mereformasi institusi pernikahan
dari domain yang betul-betul dikuasai oleh laki-laki menuju hubungan gender
yang setara di mana persetujuan perempuan adalah faktor penting. Pengaruh
praktik adat dan kebudayaan Arab pra Islam tentu saja sangat dominan sehingga
tidak mudah bagi Nabi untuk menghilangkan nilai-nilai lama tanpa membiarkan
23Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 23
24Muhammad Fathurrohman, History of Islamic Civilization: Peristiwa-peristiwa Sejarah Peradaban Islam Sejak Zaman Nabi Sampai Abbasiyah, (Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2017), h. 4
25Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 29
23
beberapa elemen hukum terdahulu tetap dipertahankan dalam kehidupan
masyarakat. Oleh sebab itu jalan tengah tampaknya merupakan alternatif terbaik
di mana nilai-nilai Islam yang baru dicangkokkan ke dalam sistem lama yang
sudah ada di dalam masyarakat. Jadi, Nabi tidak hanya sekedar mengganti
praktik-praktik lama dengan praktik-praktik yang baru tapi juga mempertahankan
adat kebiasaan sebelumnya yang tidak berlawanan dengan nilai-nilai Islam yang
dibawa oleh al-Quran.26
Dilihat dari kondisi sosial masyarakat Arab yang mendeskreditkan
perempuan. Maka hal ini berimbas pada pernikahan-pernikahan yang terjadi pada
saat itu.Berikut lembaga pernikahan yang terjadi di zaman jahiliah (pra Islam)
terdiri dari empat tipe, yaitu:
1. Pernikahan sebagaimana yang terjadi pada saat ini, di mana seorang lelaki
mempertunangkan seorang wanita yang berada di bawah perwaliannya atau
saudara perempuannya kepada lelaki lain, yang kemudian menyerahkan
mahar (maskawin) kepadanya dan menikahinya.
2. Pernikahan istibda’27
3. Poliandri (wanita dikumpuli banyak laki-laki dan setelah melahirkan anak,
wanita tersebut memanggil dan menunjuk salah satu laki-laki yang
mengumpulinya untuk menjadi ayah), pelacuran.28
26 Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 66-67 27 Istibda’ ialah suami menyuruh istrinya berkumpul dengan orang lain, karena
menginginkan keturunan yang pintar. Lihat: Muhammad Fathurrohman, History of Islamic Civilization: Peristiwa-peristiwa Sejarah Peradaban Islam Sejak Zaman Nabi Sampai Abbasiyah, (Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2017), h. 4-5.
28Muhammad Fathurrohman, History of Islamic Civilization: Peristiwa-peristiwa Sejarah Peradaban Islam Sejak Zaman Nabi Sampai Abbasiyah, (Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2017), h. 4-5
24
4. Pernikahan yang dimana sejumlah lelaki senantiasa mengunjungi seorang
wanita, sementara ia (wanita tersebut) tidak menutup dirinya dari siapa pun
yang datang kepadanya. Wanita-wanita seperti ini adalah para pelacur.
Mereka biasanya menghias pintu rumahnya dengan bendera sebagai tanda,
dan lelaki manapun dapat mendatanginya. Bila ia mengandung dan
melahirkan anak, para lelaki tersebut akan mendatanginya dan memanggil
seorang ahli mengenai keturunan. Lalu mereka menyerahkan anaknya itu
kepada seorang lelaki yang dianggap sebagai ayahnya. Anak tersebut hidup
bersama lelaki yang telah dipilih itu sebagai anaknya.
Namun, setelah Islam datang dibawa Rasulullah saw, seluruh tipe
pernikahan yang terjadi pada zaman jahiliah tersebut dihancurkan. Kecuali
pernikahan tipe pertama yang sekarang ini dipraktikkan.29
C. Pernikahan dalam Islam
Islam merupakan tatanan yang selaras dengan fitrah manusia dan
pembentukannya, seiring dengan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Islam juga
sangat memperhatiakan penataan eksistensi manusia dan berkepentingan menjaga
kebersihan masyarakat.30
Islam adalah agama yang mengatur kehidupan rumah tangga. Dalam
Islam, rumah tangga merupakan dasar bagi kehidupan manusia dan merupakan
faktor utama dalam membina masyarakat. Dari sebuah rumah tangga, segala
29Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 30
30Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 15
25
persoalan kehidupan manusia timbul. Hal ini merupakan kehendak Tuhan untuk
memulai adanya kehidupan manusia di atas bumi melalui satu keluarga.31
Salah satu perhatian Islam terhadap kehidupan keluarga adalah
diciptakannya aturan dan syariat yang luwes, adil dan bijaksana. Andaikata aturan
ini dijalankan dengan jujur dan setia, maka tidak akan ditemukan adanya
pertentangan dan pertikaian. Kehidupan keluarga akan berjalan damai dan
sentosa. Kedamaian ini tidak saja dapat dirasakan oleh keluarga yang
bersangkutan, tetapi juga dapat dinikmati oleh anggota masyarakat sekitarnya.32
Adapun muslim sejati memiliki pandangan bahwa pernikahan sebagai cara
untuk membangun keluarga islami yang mulia, serta cara untuk memakmurkan
dunia dengan keturunan dan anak sholeh yang menjamin keberlangsungannya
kehidupan di bumi ini.33 Maka dari itu, dengan adanya pernikahan diharapkan
sebuah keluarga mendapatkan keturunan yang akan menggantikan orang tuanya
melanjutkan kehidupan di dunia ini.
Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ibadah dan ketaatan.
Dengannya seorang mukmin meraih pahala dan balasan, tentu bila ia
mengikhlaskan niat, menuluskan kehendak, serta memaksudkan pernikahnnya
demi menjaga diri darinya dari hal-hal yang diharamkan, bukan sekedar dorongan
kebinatangan yang menjadi tujuan mendasar dari pernikahan.34 Oleh sebab itu,
31Abduuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. I, h. 6 32Abduuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. I, h. 7 33Muhammad Ali Ash-Shobni, Pernikahan Islami, Terj. Ahmad Nurrohim, (Solo:
Mumtaza, 2008), Cet. I, h. 18 34Muhammad Ali Ash-Shobni, Pernikahan Islami, Terj. Ahmad Nurrohim, (Solo:
Mumtaza, 2008), Cet. I, h. 20
26
pada dasarnya semua yang dilakukan manusia di muka bumi ini haruslah karena
Allah SWT, begitupun dalam pernikahan.
Pernikahan menurut pandangan Islam, dilaksanakan sebagai pemenuhan
terhadap Allah pada penciptaan manusia, dengan statusnya sebagai khalifah di
muka bumi, untuk memakmurkan alam dan menyibak kebaikan-kebaikan yang
terpendam di dalamnya. Di samping itu, pernikahan ini selaras dengan tabiat yang
sudah tersusun pada diri manusia, berupa naluri seksual yang cenderung kepada
terjalinnya hubungan ini, menggerakkan rasa dan mendorong kepada jalinan
dengan lawan jenis.35
Selain itu, pernikahan merupakan hubungan manusia yang berlawanan
jenis, yang menghasilkan kedamaian jiwa, ketenangan fisik dan hati, ketentraman
hidup dan penghidupan, keceriaan ruh dan rasa, kedamaian laki-laki dan wanita,
kebersamaan di antara keduannya untuk meretas kehidupan baru dan
membuahkan generasi baru pula.36 Dengan demikian, pernikahan bukan hanya
masalah dorongan fitrah pasangan lawan jenis, namun juga harus adanya
ketentraman dan damaian lahir dan batin diantara keduanya.
Pernikahan dalam pandangan Islam merupakan hubungan yang suci,
mendasar dan mulia, tidak boleh ada gangguan yang mengusiknya dan tidak boleh
ada campur tangan untuk merusaknya, walaupun hanya perselisihan sekecil apa
pun.37
35Abduuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. I, h. 7 36 Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 19 37Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 19-20
27
Di samping itu, pernikahan merupakan suatu bentuk jalinan yang paling
kuat dan paling langgeng antara manusia setelah jalinan akidah. Karena dengan
pernikahan itu tercipta kebersamaan antara laki-laki dan perempuan dalam segala
aspek kehidupan dan tuntutan-tuntutannya.38 Oleh karena itu, tidak heran bila
pernikahan berkaitan erat dengan suatu agama maupun keyakinan setiap individu.
Dengan demikian, apabila akidah sudah tertanam di dalam hati suami istri,
maka tujuan yang hendak digapai suami istri juga bisa dipersatukan, sehingga
pernikahan bisa memberikan faidah yang optimal dan sempurna, tanpa ada yang
kurang dan saling berbenturan.39
Menurut Sayyid Quṯub, pernikahan merupakan hubungan yang paling kuat
dan paling langgeng, mempertemukan antara dua orang dari jenis manusia,
mencakup pemenuhan yang amat luas, yang bisa dirasakan oleh masing-masing
pihak. Oleh karena itu mereka harus saling menyatu, dalam ikatan yang juga
menyatu dan arah yang satu pula. Akidah Agama merupakan sesuatu yang paling
mendalam dan paling luas untuk mengisi jiwa, mempengaruhinya, membentuk
perasaannya, membatasi pengaruh-pengaruhnya dan membantu setiap jalan
kehidupan yang hendak ditempuh.40 Dengan demikian, bila hal tersebut telah
tertanam dalam masing-masing pasangan, maka tujuan dari pernikahan tersebut
akan tercapai.
38Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 21 39Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 21 40Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 22
28
Di antara faidah pernikahan dan tujuannya ialah perhatian terhadap
pendidikan generasi dalam masalah agama dan menjaga mereka agar tidak
terlantar. Adapun di antara hikmah pernikahan ialah menumbuhkan hubungan
kekeluargaan dan memperluas jaringannya.41
Adanya aturan dan syari’at Allah yang lurus dan bijaksana itu jelas
menunjukkan semangat Islam untuk menjaga kelangsungan kehidupan rumah
tangga yang bahagia dan sejahtera.42
Dengan demikian, tujuan utama pernikahan dalam Islam bukanlah
tercapainya hubungan biologis dan kepuasan seksual semata-mata antara lelaki
dan perempuan, seperti halnya hewan dan binatang dan orang yang biasa
melakukan perzinahan, melainkan untuk membangun suatu kehidupan rumah
tangga yang penuh rasa kasih sayang, tenggang rasa, toleransi, solidaritas dan
kesempurnaan akhlak yang semuanya akan membawa seseorang pada keimanan
dan ketakwaan yang sempurna.dengan demikian, keluarga merupakan tempat
yang sangat urgen dalam mendidik anak-anak dan menyiapkan mereka untuk
menjadi pemimpin-pemimpin yang bertanggung jawab dan bijaksana yang akan
mengantarkan umat manusia pada kebaikan dunia dan akhirat.43
Di dalam Islam, berbagai persoalan manusia dipenuhi oleh ketentuan-
ketentuan. Salah satunya dalam hal pernikahan. Aturan mengenai persoalan
pernikahan tampaknya merupakan hukum yang sangat disakralkan.
41 Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 17 42Abduuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. I, h. 12 43Abduuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. I, h. 10
29
Bahkan, tampaknya pemahaman tersebut tetap mempertahankan identitas
ketuhanannya sampai pada masa belakangan ini, yaitu sebuah situasi baru di mana
ketentuan substantif Islam termarginalkan oleh ekspansi proses modernisasi.
Dalam arena hukum keluarga ini, Nabi tidak berpretensi menghilangkan segala
praktik hukum yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat. Apa yang
dilakukannya hanyalah membatalkan praktik-praktik hukum yang berlawanan
dengan prinsip-prinsip akal sehat dan kesadaran. Maka berdasarkan alasan ini
Nabi menghapuskan sejumlah praktik adat masyarakat Arab sebelumnya seperti
poliandri, perzinahan, pembunuhan bayi perempuan, adopsi, perceraian berulang-
ulang dan lain-lain. Dengan demikian, tujuan utama pernikahan di dalam Islam
adalah mempertahankan kemurnian dan “kebersihan” hubungan geneologis
manusia. Hal itu bisa dilakukan pertama-tama melalui upacara keagamaan yang
diadakan untuk mengungkapkan keinginan dan persetujuan timbal balik dari
kedua pasangan pengantin. tapi tidak berarti pernikahan menurut Islam tidak bisa
dilangsungkan tanpa ada upacara. Hukum Islam tidak menetapkan ritual khusus
atau formalitas-formalitas yang rumit dalam soal pernikahan ini.44
Menurut Islam, pernikahan bukan hanya sekedar urusan hubungan kontrak
antara kedua pengantin. Islam memandang pernikahan sebagai institusi yang
terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek hukum, aspek sosial dan aspek keagamaan.
Dari sudut pandang hukum, pernikahan memang sebuah kontrak, oleh karenanya
ia tidak bisa dilangsungkan tanpa ada persetujuan dari kedua belah pihak atau
tanpa membuat ketentuan tentang pemutusan hubungan kontrak. Pernikahan
44Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 64
30
dalam hukum Islam juga memiliki aspek sosial. Pernikahan memberikan
penghormatan bagi perempuan memberinya status sosial lebih tinggi dari yang
dimilikinya ketika belum menikah. Lebih dari itu, pernikahan juga memiliki aspek
keagamaan. Ia adalah kesepakatan sakral dan tidak bisa dilakukan tanpa
keterlibatan petugas keagamaan. Lebih jauh lagi pernikahan dianggap sebagai
basis masyarakat, karena dalam pernikahan seseorang punya sarana yang
terhormat untuk melanjutkan kelangsungan ras manusia. Karenanya Islam pada
dasarnya melihat pernikahan sebagai institusi yang harus dipertahankan
selamanya.45 Dengan demikian, karakter sakral pernikahan dalam Islam adalah
sebagai kesatuan antara ibadah dan muamalah.
Oleh sebab itu pernikahan memiliki signifikansi khusus dalam hukum
Islam. Pernikahan bukan hanya perihal kontrak hukum, secara umum pernikahan
merupakan langkah awal dalam membangun keluarga dan keluarga itu sendiri
merupakan elemen paling mendasar dari bangunan masyarakat.
Apapun keragaman yang dimunculkan oleh nilai adat dan budaya itu, para
ahli hukum sepakat bahwa ada tiga syarat yang paling penting, yaitu (1)
pernyataan penawaran (ijab) dari pengantin laki-laki, atau seseorang atas
namanya, (2) pernyataan penerimaan (qabul) dari pihak mempelai perempuan
atau walinya, dan (3) melaksanakan penawaran dan penerimaan pada pertemuan
yang sama di hadapan kehadiran saksi yang memadai (biasanya dua orang).46
Sejarah hukum Islam memperlihatkan bahwa perkembangan aspek
substantif hukum semenjak awalnya tidak menentang adanya pengaruh asing.
45Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 65 46Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 66
31
Semenjak perkembangan tahap awalnya hukum selalu bisa menerima nilai-nilai
dari luar yang dianggap masih berada di dalam batasan keyakinan Islam. Di lain
pihak, pluralisme hukum sudah menjadi kenyataan hidup umat yang hidup pada
masa Nabi saw.47
Islam adalah anugerah terbesar yang pernah diberikan kepada umat
manusia. Ia membebaskan kaum lelaki dan wanita dari segala bentuk perbudakan
dengan menyerukan kepatuhan kepada Sang Maha Pencipta. Rasulullah saw.,
merupakan tokoh pembebas umat manusia yang paling agung. Beliau selalu
bertujuan untuk memerdekakan manusia dari belenggu kehidupan.48
Agama Islam diturunkan oleh Allah SAW melalui Nabi Muhammad saw
dengan maksud untuk menyempurnakan agama (yang diturunkan sebelumnya),
sebagai penyempurnaan nikmat Allah, dan menjadi agama yang diridhai-Nya.
Sebagaiman QS. Al-Mâidah/5: 349
Kehadiran Islam untuk pertama kalinya, dikalangan masyarakat Quraisy
Mekkah menuai tantangan dan gangguan yang sangat berat. Ia dianggap sebagai
hal baru yang dapat merusak kelestarian ajaran warisan nenek moyang mereka.
Dan karena preseden buruk tersebut, Islam menjadi agama yang sulit berkembang
pada sepuluh tahun pertama sejak kelahirannya. Sehingga, daftar para pengikut
47Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 63 48Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 34
49Ahmad Rofiq, Fikih Kontekstual: dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Cet. I, h. 111
م دینا فمن ٱضطر … سل في مخمصة غیر ٱلیوم أكملت لكم دینكم وأتممت علیكم نعمتي ورضیت لكم ٱإلحیم غفور ر ثم فإن ٱہلل متجانف إل
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Mâidah/5: 3)
32
Islam pada saat itu hanya dipenuhi oleh keluarga, karib-kerabat, dan orang-orang
dekat yang mempunyai kekaguman terhadap pribadi nabi Muhammad saw.
Kendati demikian, Islam menjadi mudah untuk diterima oleh kaum lemah,
terutama pada budak dan orang-orang tertindas, karena mereka berharap, Islam
akan mampu mengakhiri penindasan dan penderitaan yang mereka alami. Tercatat
beberapa orang budak yang telah masuk Islam sejak periode Mekah, seperti Zaid
ibn Harits, Bilal ibn Rabah, Yasir, dan anaknya; Amar ibn Yasir. Mereka
menyembunyikan keimanan demi menyelamatkan nyawa dari kekejaman para
majikan. Namun ketika rahasia mereka terbongkar, penyiksaan demi penyiksaan
pun tidak dapat dihindarkan lagi. Bahkan tak sedikit dari mereka yang harus
kehilangan nyawa demi mempertahankan akidah, walaupun beberapa di antaranya
berhasil diselamatkan dan dimerdekakan oleh sahabat-sahabat lain. Berbeda
dengan kebiasaan orang-orang kafir, di dalam Islam, kemuliaan seseorang tidak
lagi diukur dengan status sosial maupun kekayaan, melainkan ketaqwaan kepada
Allah SWT. oleh karenanya, Rasulullah saw memperlakukan budak dan orang-
orang lemah sebagaimana perlakuan beliau terhadap sahabat lainnya. Bahkan
beliau sering berbincang-bincang dan duduk bersama dengan mereka.50
Kehidupan Rasulullah saw dan para sahabat, dipandang sebagai tata
kehidupan sosial ideal dalam Islam, sehingga ia menjadi rujukan bagi umat Islam
di dalam menjalani kehidupan mereka. Namun yang perlu dijadikan acuan
(teladan) dalam hal ini, tak lain adalah nilai-nilai kehidupan tersebut, bukan
kenyataan kehidupan yang ada pada mereka, karena bagaimanapun permasalahan
50Ibn Katsir,al-Bidâyah wa al-Nihayah, Juz. VI, 56
33
manusia selalu berkembang seiring dengan perkembagan zaman. Dalam
pembahasan ini, hal penting yang harus diketahui adalah perihal status umat Islam
dalam pergaulan sosial pada masa turunnya wahyu; ayat-ayat al-Quran. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui tentang status perkawinan lintas agama pada saat
itu, dan beberapa hal lain yang barkaitan dengannya.51
Dari kenyataan diatas, dapat dilihat bahwa para pengikut Islam pada saat
itu merupakan kelompok kecil yang tersisihkan dari pergaulan masyarakat secara
luas. Bahkan seringkali menerima perlakuan tidak adil dari para penguasa dan
orang-orang kaya, termasuk boikot perekonomian. Namun berbagai penderitaan
yang mereka rasakan, justru semakin mempertebal keimanan serta mempererat
persaudaraan di antara mereka. Dan dengan prinsip al-ukhuwwah, mereka berbagi
kesenangan dan kesedihan satu sama lain.
Masyarakat Arab terkenal sebagai masyarakat yang dapat memegang
tradisi leluhur dengan sangat kuat. Sehingga aktifitas keagamaan mereka, tidak
lebih hanya sekedar pelestarian budaya yang mereka wrisi secara turun temurun.
Dan siapapun dari kalangan mereka yang tidak menjalankan ajaran tersebut, atau
mengajarkann sesuatu yang berbeda dengannya, dianggap sebagai penyeleweng
dan tidak menghargai para leluhur. Mereka tidak meyakini kehidupan akhirat,
dengan segala kenikmatan maupun siksaan yang ada di dalamnya. Kehidupan
mereka hanya didasarkan pada norma-norma yang berkembang pada saat itu,
sehingga tidak ada aturan baku yang menjadi pedoman dalam menjalankan
aktifitas mereka sehari-hari. Kenyataan ini diperparah oleh kebiasaan mereka
51 Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 29
34
yang saling menindas dan merampas hak-hak orang lain, demi mendapatkan
superioritas di antara suku-suku yang ada.52
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, tidak ada cara lain kecuali berusaha
memperkuat kelompok masing-masing dengan mempersiapkan pasukan perang
berikut segala perlengkapannya. Dalam keadaan demikian, para wanita, anak-anak
dan orang-orang lemah sama sekali tidak mendapatkan tempat, bahkan menjadi
kelompok yang termarginalkan, karena tidak dapat diandalkan dalam peperangan
tersebut. sehingga, posisi wanita pada saat itu tak lebih hanya sebagai pemuas
hawa nafsu semata. Sedangkan anak-anak perempuan yang dirasa tidak membawa
keuntungan, mereka rampas hak hidupnya. Dan walaupun dibiarkan hidup,
keberadaan mereka sama sekali tidak diperhitungkan.
Pernikahan menurut Islam bukan hanya sekedar urusan hubungan kontrak
antara kedua pengantin. Hukum Islam memandang pernikahan sebagai institusi
yang terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek hukum, aspek sosial dan aspek
keagamaan.53
Dalam keadaan demikian, status perkawinan bukanlah sesuatu yang
mendapat perhatian khusus, dikalangan mereka. Apalagi tidak ada aturan tentang
perkawinan dan perceraian, sehingga memungkinkan seseorang untuk mengawini
wanita berapapun ia mau dan mampu.
52 Muhammad Fathurrohman, History of Islamic Civilization: Peristiwa-peristiwa Sejarah
Peradaban Islam Sejak Zaman Nabi Sampai Abbasiyah, (Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2017), h. 3
53Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 65
35
D. Pernikahan Beda Agama
Sejarah mencatat bahwa, lahirnya Islam di Jazirah Arabia melalui
perjuangan panjang dan proses yang berkesinambungan. Setidaknya, Rasulullah
saw. membutuhkan waktu dua puluh tiga tahun untuk meletakkan dasar-dasar
agama Islam sampai pada masa kesempurnaannya. Pada kondisi-kondisi tertentu,
adakalanya agama antara suami istri berbeda.54
Pernikahan beda agama merupakan suatu perkawinan campuran yang
secara umum diartikan bahwa suatu perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita yang tunduk pada hukum yang berbeda. Perbedaan hukum ini
mungkin antara lain disebabkan perbedaan agama yang dianut oleh mereka.55
Masyarakat Islam yang muncul pertama kalinya di kota Makkah tidak
mengizinkan pada awal mulanya perpisahan masyarakat secara total, seperti
pemisahan perasaan keyakinan (akidah) yang telah ada di dalam jiwa kaum
muslimin. Karena, penataan masyarakat membutuhkan waktu dan pengaturan
secara perlahan-lahan. Maka, ketika Allah berkehendak agar kaum muslimin
mempunyai tempat yang independen di kota Madinah, dan kepribadian
masyarakatnya berbeda dan istimewa dengan yang lainnya, sebagaimana
keistimewaan kepribadian keyakinannya, mulailah tatanan baru melangkahi
jalannya, dan turunlah ayat QS. Al-Baqarah ayat 221. Ayat ini turun
mengharamkan jalinan pernikahan dalam bentuk baru, yaitu antara kaum
muslimin dan kaum musyrikin. Adapun perkawinan yang memang telah ada
54Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 32 55Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di
Indonesia, (Serang: Saudara: 1995), h. 33.
36
antara kaum muslimin dan kaum musyrikin (sebelum turunnya ayat ini) terus
berlangsung sampai tahun keenam Hijriah, yaitu ketika turunnya ayat kesepuluh
dari surat al-Mumtahanah.56 Dengan turunnya ayat ini, berakhirlah segala
hubungan pernikahan antara umat Islam dan kaum musyrikin.57
Hubungan pernikahan antara dua hati yang tidak mungkin dapat disatukan
dalam satu akidah (muslim-musyrik). Pernikahan dengan berlainan akidah itu
adalah ikatan yang palsu dan rapuh. Keduanya tidak bertemu pada Allah SWT.
Dan ikatan kehidupannya tidak berdiri di atas manhaj-Nya.58
Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa selama masa tersebut,
sangat mungkin terjadi perubahan aturan demi aturan karena adanya proses.
Setidaknya atas dasar inilah, di dalam menjalankan misinya, nabi saw
menggunakan berbagai strategi dan pendekatan yang dapat diterima oleh
masyarakat Arab, khususnya. Di samping itu, obyek dakwah beliau pertama kali
adalah keluarga, kerabat dekat, teman karib, serta orang-orang yang mempunyai
kedekatan dengan beliau.59
Periode Makah adalah masa penanaman dasar-dasar akidah Islam,
sehingga ayat-ayat yang tergolong Makiyah tidak banyak berbicara tentang aturan
hukum ataupun tatanan kehidupan sosial yang dicita-citakan Islam, sebagaimana
tergambar pada ayat-ayat Madaniyah selanjutnya. Dengan demikian, perhatian
56 Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim? Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 32
57 Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim? Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 33
58 Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim? Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 33-34
59 Lihat: Qs. Tâhâ/20: 132
37
beliau sama sekali belum tertuju pada pengambilan sikap atas kasus-kasus
pernikahan beda agama yang terjadi pada saat itu. Bahkan, ketika di Mekah beliau
menikahkan putri beliau “Zainab” dengan seorang musyrik, Abû al-‘Ass ibn al-
Rabî’.60 Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pada masa awal datangnya Islam
pernikahan beda agama terjadi. Sebab, penyebaran Islam belum begitu luas.
1. Masa Rasulullah
Adapun peristiwa terkait dengan pernikahan beda agama antara laki-laki
muslim dengan perempuan non muslimah telah dilakukan oleh beberapa orang
sahabat Nabi Muhammad saw., diantaranya Hudzaifah bin al-Yaman yang
menikahi wanita Yahudiah dari suku al-Madâ’in, ‘Utsman bin ‘Affân yang
menikahi Nashraniyah (Nâ’ilah binti al-Farafishah al-Kalbiyyah) yang kemudian
masuk Islam.61
2. Pernikahan di Indonesia
Perkawinan sebagai cikal bakal keluarga yang memiliki peran penting
dalam kontribusi pembangunan bangsa. Dalam hal ini, pembangunan bangsa
harus dimulai dari keluarga, karena keluarga adalah tempat pembentukan peran,
nilai, sikap dan perilaku masyarakat.62
Pernikahan merupakan ikatan yang terdalam, terkuat, dan paling
berkesinambungan, yang menghubungkan antara dua orang manusia, dan juga
mencakup jawaban-jawaban terluas yang saling dilakukan antara dua manusia.
Oleh karena itu, haruslah ada persatuan hati, bertemunya hati-hati itu dalam satu
60 Imam al-Qurtubi, (Kairo, Dâr al-Syu’ab, 1372), Jld. 18, Cet. 2, h. 55 61Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, (Tangerang: Lentera Hati,
2015), Cet. I, h. 99 62 Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama,
dan Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 6
38
ikatan yang tidak mungkin dapat dilepaskan. Agar hati-hati itu bersatu dan
berpadu, wajib adanya persatuan keyakinan, persatuan tujuan. Adapun akidah
agama adalah ikatan yang paling dalam, paling komprehensif, yang dapat
menghidupkan jiwa, mempengaruhi dan mengatur perasaannya, serta membatasi
keterpengaruhannya dan interaksinya, serta membantu perjalanannya di dalam
mengarungi kehidupan.63
Dengan demikian, pernikahan sangat dibutuhkan dalam kehidupan
bermasyarakat guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk
mempertahankan eksistensi kemanuisaan di muka bumi ini. Ia sangat disenangi
oleh setiap pribadi manusia dan merupakan hal yang fitrah bagi setiap makhluk
Tuhan. Dengan perkawinan akan tercipta suatu masyarakat kecil dalam bentuk
keluarga dan dari sana pula akan lahir beberapa suku dan bangsa.64
Di Indonesia, masalah pernikahan/perkawinan telah di atur dalam UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 disebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian dalam pasal kedua disebutkan bahwa
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.65
63 Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 31
64Musifin As’ad dan Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya, (Terj), Ibnu Ahmad Dahri (Ed), (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar,1993), Cet. 2, h. 14
65Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 329
39
Dengan demikian, bagi umat Islam yang menjadi penganut mayoritas di
Indonesia harus melakukan pernikahannya sesuai dengan hukum pernikahan yang
telah diatur dalam Islam. Dalam agama Islam, pernikahan telah diatur dengan
baik, yaitu dengan adanya syarat-syarat dan rukun-rukun dalam pernikahan, salah
satu syarat dalam pernikahan yaitu calon pasangan suami istri harus sama-sama
beragama Islam.66 Oleh sebab itu, penduduk Indonesia tidak diberikan izin untuk
melakukan pernikahan beda agama, walaupun aturan tersebut tidak tegas. Hal ini
terbukti dengan tidak sedikitnya masyarakat Indonesia yang melakukan
pernikahan beda agama. Diantaranya, ada yang melakukan konversi agama, ada
juga yang menikah luar negeri agar pernikahannya dapat tercatat serta diakui oleh
negara.
66 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1993), h. 850
40
BAB III
PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM QS. AL-MUMTAHANAH/60: 10
A. Penafsiran Para Mufassir terhadap QS. al-Mumtahanah/60: 10
Seperti halnya para Sahabat Khulafa al-Rasyidin, yang harus mengatasi
persoalan baru akibat persentuhan peradaban dengan wilayah non Islam yang
telah ditaklukkan oleh para pasukan umat Islam. Beberapa ulama mulai dari klasik
hingga modern, merasa perlu melakukan penafsiran ulang terhadap syariat-syariat
yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran. Adapun ayat yang melatar belakangi
syariat tentang pernikahan beda agama yaitu QS. Al-Mumtahanah: 10
أیھا ت ٱءامنوا إذا جاءكم لذین ٱ ی ت ف لمؤمن جر متحنوھن ٱمھ
ٱ ت فال ترجعوھن إلى ہلل نھن فإن علمتموھن مؤمن أعلم بإیم
ا أنفقوا لھن ال ھن حل لھم وال ھم یحلون لكفار ٱ وءاتوھم م
وال جناح علیكم أن تنكحوھن إذا ءاتیتموھن أجورھن وال
لكم ٴ س لوا ما أنفقتم ولی ٴ وس لكوافر ٱتمسكوا بعصم لوا ما أنفقوا ذ
ٱحكم ٱبینكم و م یحك ہلل ۱۰علیم حكیم ہلل “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang
41
ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al-Mumtahanah/60: 10) Menurut Ibn ‘Asyûr, turunnya ayat ini dilatarbelakangi oleh dampak dari
perjanjian yang terjadi antara Nabi Saw. dengan kaum musyrik di daerah
Hudaibiyah. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah “pihak Quraisy yang
mendatangi Muhammad tanpa izin walinya, maka dikembalikan kepada
keluarganya, dan kaum Muhammad yang mendatangi kaum Quraisy maka tidak
dikembalikan.” Setelah perjanjian tersebut, belum juga Nabi Saw. berangkat ke
Madinah. Saat itu, Ummu Kultsûm binti ‘Uqbah melarikan diri dari suaminya
dalam rangka berhijrah. Begitu pula Subai’ah al-Aslamiyah dan Umaimah binti
Bisyr. Kemudian, para suami meminta istri mereka kembali, sebagian dari mereka
menyusulnya ke Madinah. Mereka mengingatkan pihak Muhammad akan
perjanjian yang belum lama dibuat, yakni harus mengembalikan orang Quraisy
yang lari dari keluarganya tanpa izin. Lalu, turunlah ayat ini yang menahan
mereka untuk tetap berada di Madinah. Tidak ada satu pun dari perempuan-
perempuan itu yang dikembalikan kepada keluarganya.1
Ayat ini masih berkaitan dengan ayat sebelumnya, yakni ayat tentang
larangan menyerahkan urusan kepada orang-orang musyrik. Hal ini berimbas
kepada hubungan pernikahan dan perbesanan yang terjadi antara orang muslim
1Muhammad al-Ṯahir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunisia: al-Dâr al-
Nasyr wa al-Tauzî’ wa al-‘Ilân, t.th), Juz. 28 , h. 154-155. Ulama berbeda pendapat mengenai pembatalan perjanjian Hudaibiyah yang terlihat sepihak. Apakah larangan pengembalian perempuan kepada keluarganya telah mengabrogasi syarat perjanjian Hudaibiyah, atau isi perjanjian masih ambigu karena memakai redaksi global yakni jama’ mudzakkar. Turunnya ayat berfungsi sebagai pemerinci ambiguitas tersebut. Lihat: Ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, h. 155
42
dengan orang musyrik. Sebab pada saat Islam datang, sebagian kaum Arab saat itu
masuk Islam, dan sebagian lagi tetap masih terikat hubungan tersebut.2
Imam al-Qurṯubi penggalan ayat ت أیھا ٱلذین ءامنوا إذا جاءكم ٱلمؤمن ی
ت فٱمتحنوھن جر Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah“ مھ
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka”. Ketika Allah memerintahkan kaum muslimin untuk tidak
menjadikan sebagai teman setia atau penolong, maka hal ini menghendaki
hijrahnya kaum muslimin dari negeri kemusyrikan ke negeri Islam. Sementara itu,
pernikahan merupakan salah satu faktor yang paling kuat adanya pengangkatan
seseorang sebagai teman setia atau penolong. Oleh karena itu, Allah menerangkan
hukum-hukum wanita yang berhijrah. P2F
3
Nabi SAW. diperintah oleh Allah SWT. untuk menguji para perempuan
tersebut, agar bersumpah bahwa mereka hijrah karena Allah SWT., bukan karena
keduniaan marah kepada suami, ingin pindah ke daerah lain, atau karena ada
orang mukmin yang disukai, tapi harus murni kecintaannya kepada Allah SWT.
Pada penggalan ayat merupakan penegasan dari ayat bahwasanya wajib berpisah
antara perempuan mukmin dengan suaminya yang kafir.4
Ahli Ilmi bebeda pendapat apakah kaum perempuan termasuk ke dalam
nota gencatan senjata, kemudian Allah menghapus hal itu dari nota tersebut dan
2 Muhammad al-Ṯahir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunisia: al-Dâr al-
Nasyr wa al-Tauzî’ wa al-‘Ilân, t.th), Juz. 28 , h. 154 3Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 366 4 Muhammad al-Ṯahir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunisia: al-Dâr al-
Nasyr wa al-Tauzî’ wa al-‘Ilân, t.th), Juz. 28 , h. 156
43
melarang hal itu. Akan tetapi Allah menetapkan hal itu pada kaum laki-laki
sebagaimana adanya.5
Namun sekelompok Ahli Ilmi berkata: “Rasulullah saw. tidak
mensyaratkan pengembalian kaum perempuan pada nota kesepakatan.
Kesepakatan itu hanya mengatakan pengembalian terhadap orang yang masuk
Islam.”6 Namun, sebelum diizinkannya untuk berhijrah, perempuan-perempuan
tersebut harus diuji terlebih dahulu.
Menurut Ibnu ‘Abbas, ujian tersebut adalah perempuan tersebut harus
bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak kecuali Allah dan bahwa Muhammad
adalah utusan Allah.7Disamping harus bersumpah dengan nama Allah, bahwa dia
juga tidak boleh keluar (meninggalkan suaminya) karena marah terhadap
suaminya, tidak pula karena benci terhadap suatu daerah kemudian pindah ke
daerah lain, tidak karena mencari dunia, tidak karena cinta terhadap seseorang dari
kami (kaum muslim), akan tetapi karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Apabila telah bersumpah, maka Nabi saw akan memberikan maharnya kepada
suaminya dan apa yang telah dinafkahkan kepadanya, namun beliau tidak akan
mengembalikannya. Begitulah maksud penggalan ayat berikut ini. فإن
ت فال ترجعوھن إلى ٱلكفار ال ھن حل لھم وال ھم یحلون علمتموھن مؤمن
◌ لھن “Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman
5Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 368 6 Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 369 7Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, jilid. 18, h. 370
44
maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-
orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir
itu tiada halal pula bagi mereka.”8
Dalam hal ini, Aisyah berkata: “Rasulullah tidak pernah menguji kecuali
dengan ayat dimana Allah berfirman, ” ت یبایعنك أیھا ٱلنبي إذا جاءك ٱلمؤمن ,ی
“Apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk
mengadakan janji setia.”(QS. al-Mumtahanah: 12)P8F
9
Pendapat lain mengatakan bahwa mayoritas ulama telah meghapus apa
yang telah Rasul syaratkan terhadap orang-orang Quraisy, dimana beliau akan
mengembalikan kepada mereka orang-orang yang datang kepada beliau dalam
keadaan muslim, dimana kaum wanita telah dinasakh dari sarat tersebut.10
Sedangkan ayat tersebut dilanjutkan dengan penjelasan ayat هللا أعلم
Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka”. Penjelasan ayat ini“ بإٮمنھن
ingin menunjukkan bawa Tuhan mengetahui garis keimanan setiap manusia,
karena Tuhan mengetahui segala hal meski yang tersembunyi”. فإن علمتمو ھن
8Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 370 9Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h.371 HR. At-Tirmidzi pada pembahasan tafsir (5/411). Hadis ini dikeluarkan oleh At-Tirmidzi,
dan ia berkata bahwa hadis ini termasuk hadis hasan sahih. Lihat: Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h.373
10Pendapat ini merupakan pendapat ynag mebolehkan sunnah menghapus al-Quran. Menurut mereka pendapat yang sahih adalah pendapat yang menyatakan bahwa dalam ayat ini tidak ada nassakh. Sebab, ayat tersebut hanya mengkhususi atau membatasi keumumman Sunnah. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa mayoritas ushuliyyin membolehkan menghususkan sunnah dengan al-Qur’an. Lihat: Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 373. lihat juga Ithaf al-Anam bi Takhsis al-Am,tth
45
.”Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman“ مؤمنت
Menurut satu pendapat, jika kalian mengetahui bahwa mereka benar-benar
beriman sebelum di uji, “maka janganlah kamu kembalikan mere kepada mereka
suami-suami mereka yang kafir. Mereka tiada halal pula bagi orang kafir itu dan
orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Maksudnya adalah Allah tidak
menghalalkan wanita yang beriman bagi laki-laki yang kakfir, dan tidak pula
menghalalkan pernikahan laki-laki yang beriman kepada yang musyrik. Ini
merupakan dalil yang sangat menunjukkan faktor mewajibkan pisahnya seorang
muslimah dari suaminya yang kafir adalah keislamannya dan bukan hijrahnya.11
Dengan demikian, manusia cukup menguji dengan berbagai pertanyaan sebab
manusia hanyalah dapat melihat kesungguhan manusia dari lahir saja. Karena
Allah SWT yang Maha Mengetahui segalanya.
Selanjutnya dari penggalan ayat وأتوھم ما أنفقوا“Dan berikanlah kepada
suami-suami mereka mahar yang telah mereka bayar”. Apabila wanita muslimah
itu tidak dikembalikan kepada suaminya yang kafir, maka Allah memerintahkan
agar apa yang sudah inafkahkan untuk dirinya dikembalikan lagi keada suaminya.
Hal tersebut termasuk pemenuhan janji. Bagi Qurthubi, hal ini dilakukan agar
seorang suami tidak merasa kehilangan semuanya baik istrinya dan hartanya.12
Adapun apabila dia datang dan meminta agar istrinya dikembalikan, maka
kita harus melarang untuk mengembalikan istrinya namun kita wajib membayar
11 Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 373 12 Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 374
46
denda. Jika istrinya sudah meninggal ketika suami belum datang, maka tidak
wajib menanggung kewajiban mahar, sebab larangan kembali itu belum nyata.
Selanjutnya, Allah memerintahkan agar mengembalikan nafkah kepada
para suami, seperti yang telah mereka berikan. Orang yang diperintahkan untuk
melaksanakan perintah ini adalah imam atau pemerintah. Dia harus melaksanakan
perintah tersebut dengan mengambil harta yang ada di baitul mal, yang belum
jelas alokasinya. Pendapat lain dari Qatadah bahwa “Hukum mengembalikan
mahar itu khusus untuk wanita dari kalangan yang menandatangani perjanjian.
Adapun orang yang tidak mengikat pperjanjian dengan kaum muslimin, mahar
tidak boleh dikembalikan kepada mereka.
Kemudian, terkait pernikahan mereka dijelaskan dalam penggalan ayat
حو ھن وال جناح علیكم أن تنك “Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka”. Jika
mereka telah masuk Islam dan telah menyelesaikan masa iddahnya. Sebab
ditetapkan bahwa menikahi wanita yang musyrik dan wanita yangs edang
menjalani masa iddah adalah suatu hal yang diharamkan. Jika wanita tersebut
telah masuk Islam sebelum melakukan hubungan badan, maka pernikahan dapat
ditetapkan secara langsung, dan wanita itupun berhak untuk menikah.
Orang muslim yang menikah dengan berbeda agama tersebut bisa
langsung menikah dengan orang muslim lainnya dengan syarat harus membayar
terlebih dahuklu mahar yang diberikan suaminya dahulu yang bukan muslim.
Sebagaimana penggalan ayat إذا أتیتمو ھن أجورھن “Apabila kamu bayar
maharnya kepada mereka”. Allah membolehkan menikah mereka dengan syarat
47
mahar (yang dulu telah diberikan suaminya dikembalikan kepada suaminya).
Sebab Islam telah memisahkan dia dengan suaminya yang kafir.
Sedangkan, larangan terjadinya pernikahan beda agama ini didasarkan
pada penjelasan penggalan ayat وال تمسكوا بعصم الكوافر “Dan janganlah kamu
tetap berpegang teguh pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan
kafir”. Namun, dalam memahami bacaan kalimat تمسكوا memunculkan
perbedaan makna pernikahan dan tali. Maksud ayat tersebut adalah bahwa wanita
muslimah yang bergabung ke wilayah perang kemudian dia menjadi kafir. Pada
saat itu, orang kafir menikahi wanita muslimah, dan laki-laki muslim pun
menikahi wanita yang musyrik. Pada saat itu juga turun perintah larangan dari
Islam, sehingga Umar bin al-Khattab menceraikan kedua istrinya yang musyrik.13
Dari penggalan ayat tersebut penulis menyimpulkan, bahwa pernikahan
yang dilakukan antara seorang muslim dan non muslim adalah dilarang. Baik
yang belum melakukan pernikahan, maupun telah terjadinya pernikahan.
Selanjutnya, penggalan ayat بعصم الكوافر“Pada tali (perkawinan)
dengan perempuan kafir”. Yang dimaksud dengan kafir disini adalah orang
penyembah berhala yaitu perempuan-perempuan yang sejak awal memang
terlarang untuk dinikahi oleh seorang muslim dengan demikian, lafadz kafir disini
khusus untuk perempuan kafir yang bukah ahlul kitab.14
13Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 380 14 Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h.380
48
Imam Malik berpendapat bahwa jika seorang istri belu digauli tidak perlu
menunggu masa iddah untuk melanjutkan pernikahan kembali dengan pria lain.
Sebaliknya, imam Syafi’I tetap memberikan aturan kepada laki-laki agar tetap
menunggu masa iddah perempuan itu selesai meski perempuan tersebut belum
digauli. Sedangkan, jika suami istri adalah nasrani dan satu ketika istri masuk
Islam, maka dalam hal ini pun terjadi perbedaan pendapat. Madzhab imam Malik,
Ahmad, dan Syafi’i mewajibkan sang istri untuk sampai menunggu masa
iddahnya sempurna. Pendapat tersebut dikategorikan sebagai pendapat mujahid.15
Maka ayat ini diakhiri dengan penggalan ayat ذلكم حكم هللا “Demikian
hukum Allah”. Beberapa penjelasan ayat di atas merupakan sebuah ketetapan
hukum yang diatur oleh Tuhan untuk umat Islam. P15F
16P
Pada saat itu kedudukan perempuan sangat berlainan dengan laki-laki.
Bahkan dalam membuat isi perjanjian perdamaian tersebut aturan terhadap
perempuan tidak disebutkan secara tertulis. Maka ketika Nabi saw. didatangi
perempuan-perempuan yang meminta untuk diterima sebagai muhajirâh, maka
Nabi menimbang bahwa kalau perempuan yang hijrah itu dikembalikan ke
Makkah, artinya mengembalikan mereka dalam penindasan dan mereka akan
ditimpa dengan berbagai fitnah. Sebab perempuan-perempuan pada saat itu
lemah.17
15 Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h.381 16 Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 385 17 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), Cet. I, Juz. 28, h. 108
49
Dari ayat ini Rasulullah saw dan orang-orang yang beriman telah
mendapat keputusan yang tegas dari Allah SWT. Yaitu bahwa perempuan-
perempuan itu pertama sekali adalah orang-orang yang beriman, kedua, Nabi
menguji perempuan-perempuan tersebut karena agar dapat
dipertanggungjawabkan, baik terhadap masyarakat sesama Islam sendiri, atau
untuk membela mereka di hadapan kaum musyrikin yang hendak mengutik-utik
kepindahan mereka kelak. Dengan demikian, hijrah itu hendaklah benar-benar
dilakukan karena agama, karena iman, karena keyakinan. Bukan hanya karena
semata-mata hendak melepaskan diri dari suami yang memeliharanya dengan
baik, meskipun sama-sama musyrik. Bukan karena mencari keuntungan diri
sendiri, bukan karena ada orang yang dicintai di Madinah, lalu hijrah dan agama
dijadikan topeng.18
Bila perempuan itu telah bersumpah bahwa dia benar-benar hijrah bukan
karena mengharap dunia, namun semata-mata karena cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya. Selain itu, Ibn Abbas juga menerangkan bahwa di samping bersumpah
“Billah” (Demi Allah), mereka juga disuruh mengucapkan dua kalimat syahadat.19
Berkenaan dengan pernikahan beda agama, dalam penggalan ayat وال
سكوا بعصم ٱلكوافر تم “Dan janganlah kamu berpegang dengan tali-tali
perempuan-perempuan kafir.” Dari kalimat ‘Isham kita ambil arti tali-tali. Yaitu
tali-tali yang masih menghubungkan cinta kasih di antara suami yang telah Islam
dengan istrinya yang masih kafir. Bahwa ayat ini mengandung penjelasan bahwa
18 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), Cet. I, Juz. 28, h. 109 19 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), Cet. I, Juz. 28, h. 109
50
mulai saat diturunkannya ayat ini, tali (hubungan) suami istri antara laki-laki
yang Islam dan telah hijrah, dengan sendirinya diputuskan dengan istri-istrinya
yang masih kafir.20
Maka dari keterangan ayat ini, hamka menerangkan bahwa seorang laki-
laki kafir yang telah Islam tidak dibolehkan nikah dengan perempuan yang masih
kafir, baik apa saja agama yang mereka anut, kecuali dalam surat Al-Maidah ayat
5. Namun dalam hal ini perempuan ahlul kitab ini diberi penjelasan lagi,
hendaklah laki-laki Islam itu yang kuat imannya dan dapat membimbing istrinya
dengan perlahan-lahan ke dalam akidah Islam. Kalau tidak kuat iman laki-laki,
sama saja dengan mempermain-mainkan dan meringan-ringankan agama.21
Maka penulis menyimpulkan, bahwa dalam ayat ini tidak hanya
menjelaskan masalah perempuan-perempuan Makkah yang berhijrah ke Madinah,
namun juga terkait ikatan pernikahan orang Islam dengan yang masih kafir
terputus.
Dari penjelasan Qs. al-Mumtahanah: 10 tersebut telah dijelaskan bahwa
seorang laki-laki kafir yang telah Islam tidak dibolehkan kawin dengan
perempuan yang masih kafir, baik apa saja agama yang mereka anut, dikecualikan
perempuan Ahl al-Kitâb (Yahudi dan Nasrani) yang diberi pengecualian dalam
Qs. al-Maidah: 5. Namun tentang perempuan Ahl al-Kitâb ini diberi penjelasan
lagi, hendaklah laki-laki Islam itu yang kuat imannya dan dapat membimbing
isterinya dengan perlahan-lahan ke dalam akidah Islam.22
20 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000), Cet. II, Juz. 28, h. 111 21 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000), Cet. II, Juz. 28, h. 111-112 22Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000), Cet. II, Juz. 28, h. 111
51
B. Keterkaitan Ayat-Ayat Pernikahan Beda Agama
Pelarangan ikatan pernikahan beda agama yang dikandung ayat ....
ditunjukkan kepada orang-orang Arab pada saat turunnya ayat tersebut,
1. QS. Al-Baqarah/2: 221
شركة ن م ؤمنة خیر م ت حتى یؤمن وألمة م ولو وال تنكحوا ٱلمشرك
ن ؤمن خیر م أعجبتكم وال تنكحوا ٱلمشركین حتى یؤمنوا ولعبد م
یدعوا إلى ٱلجنة ئك یدعون إلى ٱلنار وٱہلل شرك ولو أعجبكم أول م
رون وٱلمغفرة بإذنھۦ ویبی تھۦ للناس لعلھم یتذك ۲۲۱ن ءای
”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah/2: 221) Para ulama sepakat bahwa kandungan dari ayat tersebut mengandung
larangan seorang Muslim maupun Muslimah menikah dengan orang non
Muslim. Non muslim yang disebutkan dalam ayat ini adalah kata musyrik
Sebab menurut Quraish Shihab, pemilihan pasangan adalah batu pertama
pondasi bangunan rumah tangga. Ia harus kukuh, agar bangunan tersebut
tidah roboh hanya dengan sedikit goncangan, apalagi jika beban yang
ditampungnya semakin berat dengan kelahiran anak-anak. Karena
52
merurutnya, pondasi yang kokoh adalah yang bersandar pada iman kepada
Yang Maha Kuasa.23
Sementara Qurthubi menjelaskan ayat ini secara detail bahwa pernikahan
kepada orang-orang musyrik itu tidak sah meskipun pada awalnya Allah
memerintahkan agar para lelaki menggauli anak yatim dalam pernikahan
namun tetap saja pernikahan dengan orang musyrik tidaklah sah.
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat tersebut;
sekelompok menyatakan bahwa Allah telah mengharamkan menikahi wanita
musyrik dalam surah al-Baqarah, namun sebagian laragan yang tertuju pada
wanita ahlul kitab telah dinasakh. Artinya Allah telah menhalalkan mereka
dalam surah al-Maidah.
Disisi lainnya, jika ada seorang wanita muslimah menikahi laki-laki ahlul
kitab dan mereka termasuk orang-orang yang memerangi kaum Muslim,
maka hal tersebut tidak dihalalkan. Ibn Abbas pernah ditanya tentang hal
tersebut dan ia berkata bahwa: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan tidak pula pada hari kemudian dan mereka tidak
mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tidak
beragama dengan agama yang benar, yaitu orang-orang yang diberikan al-
Kitab kepada mereka sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang
mereka dalam keadaan tunduk”. (QS. at-Taubah:29). Penjelasan lain yang
23 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid. I, h. 472-473
53
berkaitan dengan ayat tersebut adalah tentang menikahi budak dan menikahi
wanita majusi dimana keduanya ditetapkan tidak boleh oleh al-Qur’an.24
Beberapa masalah yang ditekankan dalam penjelasan ayat di atas
diantaranya ialah: tidak dibolehkan untuk menikahkan wanita muslimah
dengan laki-laki musyrik, pernikahan harus ada walinya. Dalam
permasalahan wali ini ada perbedaan dimana boleh siapa saja yang dianggap
baik oleh keluarga baik keluarga dekat semahram, orang lain atau orang yang
menerima wasiat.. namun pendapat yang lain menyatakan bahwa wali itu
harus dari pihak keluarga atau ashabah.
Bagi Quraish Shihab, pernikahan yang dikehendaki Islam adalah
pernikahan yang menjalin hubungan harmonis antar suami istri, sekaligus
antar keluarga, bukan saja keluarga masing-masing tetapi juga antar keluarga
kedua mempelai. Dari sini, peranan orang tua sangat penting baik dengan
memberi kepada orang tua wewenang besar, maupun sekedar restu tanpa
mengurangi hak anak. Karena itu, meski Rasul memerintahkan orangtua
untuk meminta persetujuan anak gadisnya, namun karena tolak ukur anak
tidak jarang berbeda dengan tolak ukur orang tua maka tolak ukur anak dan
orangtua harus menatu dalam mengambil keputusan pernikahan.25
Dalam hal ini Quraish Shihab juga sependapat dengan Qurthubi bahwa
orang tua dilarang menikahkan anak wanita muslimah dengan laki-laki
musyrik. Meski ada sebahagian kelompok tidak memasukkan ahlul kitab
24 Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 3, h. h.155 25M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid. I, h. 475
54
sebagai yang haram namun ini tidak tentu bahwa wanita muslimah juga boleh
menikahi laki-laki ahlul kitab. Bagi Quraish, meski ayat tersebut tidak
menyebutkan secara jelas tentang ahlul kitab namun baginya ahlul kitab
adalah termasuk dari kelompok orang orang kafir dan musyrik. Alasan
mendasar dari pelarangan ini bagi Quraish adalah perbedaan iman yag akan
membawa dampak besar dalam sebuah kehidupan termasuk keyakinan seoran
anak yang lahir dari kedua orangtua yang berbeda keyakinan.
2. QS. Al-Maidah/5: 5
ت ٱأحل لكم لیوم ٱ ب ٱأوتوا لذین ٱوطعام لطیب حل لكم وطعامكم لكت
ت ٱحل لھم و ت ٱمن لمحصن ت ٱو لمؤمن ب ٱأوتوا لذین ٱمن لمحصن لكت
فحین وال ورھن من قبلكم إذا ءاتیتموھن أج محصنین غیر مس
ن ٱمتخذي أخدان ومن یكفر ب یم من ألخرة ٱوھو في ۥفقد حبط عملھ إل
سرین ٱ ٥ لخ“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maida/5: 5) Dalam penjelasan tafsir al-Azhar ayat ini menjelaskan perihal bahwa
kehalalan memakan makanan non muslim. Maksud Allah memberitahu bahwa
makanan kita halal bagi non muslim, begitupun sebaliknya, yaitu supaya di dalam
55
pergaulan hidup sehari-hari kita berelaku baik kepada mereka.26 Penggalan ayat
trakhir surah al-Maidah bukan lagi membahas makanan, melainkan pernikahan.
Di sini diterangkan bahwa laki-laki muslim halal menikahi perempuan muslimah
dan perempuan Ahlul Kitab. Artinya dengan tidak usah dia masuk Islam terlebih
dahulu, sebab dalam hal agama tidak ada paksaan, sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 256.27
Pada bagian akhir ayat tersebut yakni ت ت وٱلمحصن ت من ٱلمؤمن وٱلمحصن
Qurthubi menjelaskan bahwa ada kejelasan hukum kebolehan menikahi wanita
yang menjaga kehormatannya dan wanita yang beriman juga wanita yang menjaga
kehormatan diantara orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu. Hal ini juga
dijelaskan dalam surah al-Baqarah dan an-Nisa. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa
kebolehan menikah dengan ahlul kitab ini juga memiliki batas dan syarat yakni
boleh menikahi golongan ahlul kitab yang telah mengikat perjanjian dengan
Muslim dan bukan mereka yang berada di zona perang, sehingga firman Allah ini
menjadi khusus. P27F
28
Sementara Quraish Shihab menjelaskan melalui penjelasan makna kata al-
Quran bahwa والمحصنت adalah wanita wanita yang menjaga kehormatannya yang
layak dinikahi baik dari wanita mukminah ataupun ahlul kitab. Selanjutnya,
didahulukan penyebutan wanita mukminah bagi Quraish mempunyai tujuan utama
bahwa wanita mukmin yang harus didahulukan untuk dinikahi. Karea betapapun
persamaan agama dan pandangan hidup sangat membantu melahirkan ketenangan,
26Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000), Cet. Ke-2, Juz. 6, h. 143 27Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000), Cet. Ke-2, Juz. 6, h. 143 28Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I,h.193
56
bahkan sangat menentukan kelanggengan rumah tangga. Pada kesimpulannya
Quraish menyatakan bahwa tidak dibenarkan menjalin hubungan pernikahan
dengan wanita ahlul kitab bagi yang tidak mampu menampakkan ajaran Islam
lebih-lebih yang diduga akan terpengaruh oleh ajaran non-Islam yang dianut oleh
calon istri atau keluarga calon istrinya.29
Berbicara tentang pernikahan beda agama yang dalam ayat ini sebagian
ulama perbendapat bahwa pernikahan beda agama tidak dilarang, namun dengan
syarat tertentu. Yaitu laki-lakinya dari kalangan muslim, sedangkan
perempuannya dari kalangan ahl al-kitab. Namun, di akhir penggalan ayat ini, di
katakan bahwa ن ٱومن یكفر ب یم سرین ٱمن ألخرة ٱوھو في ۥفقد حبط عملھ إل لخ
“Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)
maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”
Maka, dengan ini diharapkan manusia benar-benar beriman, bukan hanya dalam
ucapannya saja. Sehingga dalam pernikahannya selalu terjalin keimanan kepada
Allah SWT. (imannya tidak tergoyah).
C. Pengaruh Pernikahan Beda Agama Terhadap Kehidupan Keluarga
Rumah tangga atau keluarga adalah suatu struktur dalam masyarakat yang
bersifat khusus, satu sama lain saling mengikat.30
Keluarga adalah unit sosial terkecil yang secara literal diartiakan sebagai
orang yang berada dalam satu rumah tangga yang karena suatu ikatan pernikahan,
sebagai gabungan yang khas, dan sama-sama memperteguh gabungan itu untuk
29M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid. I, h.35 30Anshari Thayib, Struktur Rumah Tangga Muslim, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), Cet.
3, h. 1
57
kebahagiaan, kesejahteraan, dan ketentraman semua anggota yang ada dalam
keluarga tersebut.31
Pernikahan termasuk faktor terpenting dan agung dalam kehidupan
manusia. Oleh karenanya, Islam sangat menganjurkan agar kiranya pernikahan
tersebut menjadi sebuah amalan yang memiliki orientasi yang jelas, sehingga
pelakunya akan mendapatkan pahala dan ganjaran. Pernikahan bukan sekedar
amalan manusia yang bersifat duniawi semata. Namun, ia adalah salah satu
langkah menuju perbaikan individu dan masyarakat.32
Suami-istri harus saling memberikan pesan untuk tidak terjerumus ke
dalam dosa. Bahkan kehidupan rumah tangga itu sendiri harus menjadi perisai
dari aneka kemungkaran. Melalui keluarga, nilai-nilai agama diteruskan kepada
anak cucu, karena kedua orang tua amat besar peranannya dalam pendidikan anak,
sampai Rasulullah SAW menegaskan: “Semua anak terlahir membawa (potensi)
fitrah keberagamaan yang benar. Kedua orang tuannya yang menjadikan ia
menganut agama Yahudi atau Nasrani, atau Majusi.”33
Kedua orang tuanya pula yang dapat mengukuhkan fitrah tersebut
sehingga tampak secara actual dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, untuk
suksesnya fungsi ini, agama menuntut persamaan keyakinan suami-istri, dan atas
dasar ini pula Nabi SAW mengingatkan agar umatnya memilih pasangan yang
baik agamanya.
31 Abuddin Natta (Ed), Kajian Tematik al-Quran Tentang Kemasyarakatan, (Bandung:
Penerbit Aksara, 2008), h. 171 32‘Adil Fathi ‘Abdulloh, Pentj. Abu Hudzaifah, Editor. Muhammad Izzuddin, Sudah
Islamkah Keluarga Anda?, () h. 19 33 Muchlis M. Hanafi (ed), Tanggung Jawab Al-Quran, (Jakarta: Lajanah Pentashihan
Mushaf al-Quran, 2011 ), Cet Ke-1, Jilid. 2, h. 74
58
ات ذ ب ر ف اظ ا ف ھ ن ی د ل ا و ھ ال م ج ل ا و ھ ب س ح ل ا و ھ ال م : ل ع ب ر أل ة أ ر م ال ح ك ن ت
. (رواه البخاري ومسلم عن أبى ھریرة)اك د ی ت ب ر ت ن ی الد
“Wanita dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena derajatnya, karena kecantikannya dank arena agamanya. Raihlah yang memiliki agama, (karena kalau tidak) engkau akan sengsara.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)34 Di dalam kehidupan berumah tangga sudah pasti terdapat hubungan timbal
balik antara suami dengan istri, orang tua dengan anak dan sebaliknya. Banyak
ungkapan tentang keluarga ideal, bahagia, rukun, damai dan seterusnya. Hal ini
disebabkan hubungan timbal balik berlangsung secara harmonis.35
Allah SWT telah memberi perhatian yang sangat besar terhadap hak
orangtua, sehingga perintah untuk untuk memuliakannya disejajarkan dengan
perintah ibadah dan mengesakan kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS. An-Nisa/4: 3636
ٱ عبدوا ٱو لدین ٱا وب ٴ شی ۦوال تشركوا بھ ہلل نا وبذي لو لقربى ٱإحس
مى ٱو كین ٱو لیت احب ٱو لجنب ٱ لجار ٱو لقربى ٱذي لجار ٱو لمس لص
نك لسبیل ٱ بن ٱو لجنب ٱب ٱإن م وما ملكت أیم ال یحب من كان ہلل
۳٦مختاال فخورا “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
34 Muchlis M. Hanafi (ed), Tanggung Jawab Al-Quran, (Jakarta: Lajanah Pentashihan
Mushaf al-Quran, 2011 ), Cet Ke-1, Jilid. 2, h. 74 35A. Mudjad Mahali, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, (Solo: Ramadhani,
1994), Cet. III, h. 7. 36A. Mudjad Mahali, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, (Solo: Ramadhani,
1994), Cet. III, h. 17.
59
menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” Demikian Islam memberikan tuntunan yang indah lagi mulia terhadap
orangtua, agar seorang anak selalu memelihara hubungan dengan orangtua,
bahkan meskipun terhadap orangtua yang musyrik. Selaku anak, berkewajiban
menyantuni dan mengurus keperluannya di dunia.
Setiap anak berkewajiban melaksanakan birrul walidain37, sesuai dengan
perintah agama, sepanjang orangtua tidak memerintahkan kepada hal-hal yang
dimurkai Allah SWT. Perintah yang menyimpang dari tata aturan agama, anjuran
yang bertentangan dengan syariat, sekalipun datang dari orangtua, maka tidak
pantas untuk ditaati.38
Dengan demikian, taat dan patuh terhadap perintah orangtua merupakan
salah satu kewajiban yang sangat utama dalam mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Disamping itu, Orangtua adalah perantara bagi kehadiran kita di muka
bumi ini, yang pertama kali mengasuh, mengajar dan mendidik kita.39
Sebenarnya, problem utama pernikahan beda agama, bukan hanya masalah
sah atau tidaknya perkawinan itu, tetapi masalah tanggung jawab seseorang yang
beragama (baik muslim maupun non muslim) akan diri dan keluarga.40
37Birrul Walidain merupakan istilah perilaku anak kepada orangtuanya yang berarti
berbakti dan berbuat baik kepada orangtua, mengasih sayangi, mendoakan, taat dan patuh kepadanya, menunaikan hak kewajiban terhadapnya, serta melakukan hal-hal yang membuat kedua orangtua ridha dan meninggalkan sesuatu yang membuatnya murka. Lihat A. Mudjad Mahali, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, (Solo: Ramadhani, 1994), Cet. III, h. 17-18.
38A. Mudjad Mahali, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, (Solo: Ramadhani, 1994), Cet. III, h. 18.
39A. Mudjad Mahali, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, (Solo: Ramadhani, 1994), Cet. III, h. 19.
40Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama, dan Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 30
60
Selain itu, masalah krusial pernikahan beda agama adalah masalah
tanggung jawab sebagai seorang suami atau istri dalam keluarga di hadapan
Tuhannya baik bagi orang Islam maupun non Islam. Sebab, dalam praktiknya,
memang tidak mudah sebuah pernikahan dapat berlangsung nyaman akibat
perbedaan agama ini, kecuali kedua belah pihak berani menghilangkan sekat-sekat
ajaran agama masing-masing.41
Islam sendiri mengakui adanya toleransi dalam kehidupan masyarakat
yang plural dan berbaur dengan umat lain. Tetapi, di dalam bertoleransi, seorang
muslim tidak harus kehilangan kepribadian dan identitas keislamannya. Karena
kebenaran Islam tidak aniaya, merusak atau merugikan orang Islam atau di luar
Islam.42
D. Relevansi Ayat Pernikahan Beda Agama dengan Realitas Status Sosial
Masyarakat Sekarang
Berbicara tentang pernikahan beda agama, Imam Abu al-A’la al-Maududi
berpendapat bahwa pernikahan orang muslim dengan non muslim, walaupun
dibolehkan bagi laki-laki muslim dengan hukum “makruh” di samping ada juga
sebagian ulama yang berpendapat hukumnya haram. Tapi yang pasti ulama
sepakat bahwa perkawinan itu diharamkan bagi wanita muslimah selamanya.43
Pernikahan termasuk faktor terpenting dan agung dalam kehidupan
manusia. Oleh karenanya, Islam sangat menganjurkan agar kiranya pernikahan
41 Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama,
dan Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 65 42Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama, dan
Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 65 43 Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 27
61
tersebut menjadi sebuah amalan yang memiliki orientasi yang jelas, sehingga
pelakunya akan mendapatkan pahala dan ganjaran. Pernikahan bukan sekedar
amalan manusia yang bersifat duniawi semata. Namun, ia adalah salah satu
langkah menuju perbaikan individu dan masyarakat.44
Namun, tidak dapat dipungkiri pernikahan beda agama dari zaman dahulu
hingga saat ini ada saja yang melakukannya. Adapun alasan yang mendukung
diperbolehkannya laki-laki muslim menikahi wanita ahl al-kitâb, telah
disimpulkan oleh jumhur ulama sebagai berikut:
1. Ahl al-kitab termasuk orang yang paling dekat pada petunjuk apabila
disampaikan bukti penjelasan kepada mereka. Seorang wanita ahl al-
kitab yang bergaul dengan suaminya yang muslim, tentu ia akan
mendapatkan keadilan Islam. Keadilan itu setiap hari semakin jelas di
hadapannya, sehingga besar kemungkinan cahaya Islam akan merasuk
ke dalam sanubarinya, lalu ia memeluk agama yang lurus. Dan inilah
yang dituntut dari perkawinan itu, agar ia mendapat kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
2. Boleh jadi seorang laki-laki muslim jatuh hati kepada wanita bukan
Islam dan sangat mencintainya. Sehingga andaikata terbuka jalan
baginya untuk mendapatkan apa yang diingingkan, ia bisa terjerumus
dalam perbuatan yang diharamkan. Boleh jadi seorang laki-laki muslim
menetap di suatu daerah yang di situ tak ada seorang pun wanita
muslimah. Ia takut akhlaknya lama-kelamaan menjadi rusak bila harus
44‘Adil Fathi ‘Abdulloh, Pentj. Abu Hudzaifah, Editor. Muhammad Izzuddin, Sudah
Islamkah Keluarga Anda?, () h. 19
62
bidup membujang. Maka dalam keadaan seperti ini harus ada
keringanan dengan suatu batasan tertentu, dengan tetap memperhatikan
segi kemaslahatan dan menekan madharat seminim mungkin.45
Selain itu, karena seorang perempuan bersifat reaksioner dan juga di
dalam dirinya terdapat sifat siap mendengarkan lebih banyak dari sifat
membentuk. Ia juga sangat cepat menerima pengaruh laki-laki dan pengaruh
lingkungannya. Sebab dalam kehidupan berkeluarga, umumnya tunduk kepada
laki-laki. Oleh karena itu, apabila ia menikah dengan seorang laki-laki non
muslim, dikhawatirkan kemungkinan ia akan terputus dari Islam dan
peradabannya bahkan anak yang dilahirkannya menganut agama sang ayah (non
muslim).46 Karena, tidak dapat dipungkiri setiap penganut agama pasti akan
menganggap baik terhadap agama yang dianutnya, sehingga saat memberikan
pemahaman keagamaan terhadap anak akan terjadi masalah.
Oleh sebab itu, meskipun dalam pernikahan beda agama ini berbeda-beda
pendapat, namun dalam akhir penggalan ayat QS. al-Maidâh ayat 5 telah
diperingatkan bahwa perkawinan seorang laki-laki muslim dengan seorang wanita
non muslim sangat membahayakan keimanan. Maka, apabila sekilas terlihat
syariat membolehkan umat Islam menikahi non muslim, hal itu hanya
diperbolehkan pada kondisi yang luar biasa dan karena ada kebutuhan serta
45Syaikh Humaidhy bin Abdul Aziz bin Muhammad al-Humaidhy, Pentj. Kathur Suhardi,
Ahkamu Nikahil Kuffar Alal Madzahibil Arba’ah/Kawin Campur dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Pustaka alkautsar, 1992), Cet. Ke-1, h. 29-30
46 Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim? Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 28
63
kemaslahatan yang luar biasa.47 Umar bin Khaṯṯab telah mengingatkan dari
perkawinan tersebut, walaupun Islam saat itu merupakan kekuatan mayoritas.48
Menurut Abdul Hamid Hakim, pernikahan beda agama untuk konteks saat
ini tidak bisa dijadikan alasan untuk berdakwah, yaitu agar perempuan ahl al-
kitab yang dinikahi itu masuk Islam dan anak-anak yang dilahirkannya juga
mengikuti agama ayahnya (Islam). Alasan tersebut sulit diwujudkan, karena saat
ini banyak perempuan non muslim yang sudah maju dan mandiri dalam berpikir,
sehingga tidak bisa dipengaruhi oleh laki-laki, apalagi dalam hal keyakinan
beragama.49
Dengan kata lain, pernikahan tidak lagi efektif untuk media dakwah yaitu
yaitu bahwa perempuan mengikuti agama suaminya karena sudah tidak lagi
relevan dengan realitas modern saat ini.50
Di Indonesia, para ulama Indonesia melarang pernikahan orang muslim
dengan non muslim, baik laki-laki muslim dengan perempuan non muslim atau
perempuan muslimah dengan laki-laki non muslim. Hal ini berdasarkan
pertimbangan kemaslahatan umat Islam di Indonesia.
Tidak hanya Islam yang melarang adanya pernikahan beda agama. Agama
Katholik pada dasarnya juga menganggap tidak sah perkawinan antara orang yang
beragama Katholik dengan orang yang bukan Katholik. Begitu pula dengan
47 Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim? Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 29
48 Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim? Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 29
49 Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama, dan Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 63
50 Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama, dan Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 63
64
agama Hindu. Sedangkan agama Budha tidak melarang pernikahan beda agama
(orang Budha dengan non Budha) asal pelaksanaannya dilaksanakan berdasarkan
tatacara atau upacara agama Budha.51
Di samping itu, sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa melepaskan diri
dari ikatan dan pergaulan sosial. Ikatan sosial pertama yang paling utama adalah
keluarga, yang didalamnya terjadi proses sosialisasi paling elementer, sehingga
paling dominan dalam mewarnai kepribadian anggota keluarganya ketika terjun di
tengah-tengah masyarakat. Karena di sinilah masing-masing pihak saling
menyesuaikan diri, dimana suami menyesuaikan diri dengan watak dan kondisi
istri, istri menyesuaikan diri dengan watak dan kondisi suami, anak-anak pun tak
lepas dari pengaruh pergaulan ayah dan ibu mereka.52
Karena wanita memiliki watak emosional yang tinggi. Ia lebih banyak
terpengaruh oleh orang lain dari pada mempengaruhi orang lain untuk mengikuti
dirinya. Karena itu, ia cepat terpengaruh oleh suami dan lingkungannya.
Umumnya, wanita dalam kehidupan berumah tangga selalu menurut apa kata
suami. Jika ia menikah dengan laki-laki non Islam, maka tingkat kekhawatiran
atas dirinya untuk keluar dari agama Islam dan peradabannya cukup tinggi.
Sehingga kelak anak keturunannya menjadi orang-orang non muslim.53
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwasanya
pernikahan beda agama yang dilakukan dahulu, dimana perempuan masih
51Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama, dan
Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 63 52 Dewan Pimpinan Pusat Majelis Dakwah Islamiah, Sosok Ideal Keluarga Muslim-
Pancasila, (Jakarta: tt, 1994), h. 30 53 Abdul Muta’al M. Al-Jabry, Perkawinan AntarAgama: Suatu Dilema, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1992), Cet. I, h. 10
65
dianggap lemah serta selalu tunduk terhadap laki-laki. Sehingga bila laki-laki
muslim menikahi perempuan non muslim (ahlu kitab), hal itu disebabkan dakwah.
Sedangkan, bila dibandingkan dengan saat ini, dimana perempuan tidak
lagi dibedakan dengan kaum laki-laki. Disamping itu, perempuan saat ini telah
mandiri, bahkan dan bisa tidak bisa dipengaruhi oleh hal-hal yang telah merka
yakini.
Maka dari itu, menyimpulkan bahwa suatu pernikahan bagi umat Islam
bukan hanya masalah cinta, namun harus bertujuan untuk membangun
kebahagiaan bukan hanya di dunia namun juga diakhirat kelak. Yaitu dengan
saling mengiangatkan agar selalu dekat dengan Allah SWT.
67
BAB IV
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Setelah mencermati pembahasan ini dari awal penulis sampai pada akhir
pembahasan dari tema ini, penulis menyimpulkan bahwa pernikahan bagi umat
manusia merupakan sesuatu yang dianggap sakral dan mempunyai tujuan yang
sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syariat
agama. Orang yang melangsungkan pernikahan bukan semata-mata untuk
memuaskan nafsu jasmaniah saja, melainkan untuk meraih ketenangan,
ketentraman dan sikap saling mengayomi diantara suami isti.
Di samping itu, QS. Al-Mumtahanah ayat 10, memiliki keterkaitan dengan
keadaan yang berbeda-beda namun tujuannya sama yaitu agar dapat menjaga
keimanan kepada Allah SWT. agar kelak tidak rugi. Sebagaimana akhir penggalan
surat al-Maidâh ayat 5. Begitupun dalam surat al-Baqarah ayat 221 telah
diperingatkan agar umat muslim tidak terpengaruh agama lain.
Oleh karena itu, terkait pernikahan yang dilangsungkan dengan yang
berbeda agama bagi umat Islam diharapkan benar-benar harus dipertimbangkan
dari berbagai aspeknya, agar nantinya tidak terjadi problem yang akan
mempengaruhi aturan yang disyariat agama.
68
B. Saran-saran
Dari penulisan karya ini, penulis sadar jauhnya dari kesempurnaan serta
terbatasnya waktu dalam penelitian ini. Maka pasti ada hal-hal yang perlu di kaji
lagi.
Maka dalam hal ini, penulis merekomendasikan agar penelitian ini tidak
hanya sampai di sini saja. Maka dari itu, penulis merekomendasikan agar ada
penelitian selanjutnya yang dapat terjun langsung kepada pelaku-pelaku
pernikahan beda agama atau kepada pelaku konversi agama. Dengan begitu dapat
diketahui alasan-alasan pelakunya dalam mengambil keputusan tersebut. Agar
dapat diketahui kesesuaiannya dengan pernikahan jaman dahulu pada saat awal
penyebaran Islam.
69
DAFTAR PUSTAKA
‘Âsyûr, Muhammad al-Ṯahir ibn, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Tunisia: al-Dâr al-Nasyr wa al-Tauzî’ wa al-‘Ilân, t.th
As’ad, Musifin dan Basyarahil, Salim Perkawinan dan Masalahnya, (Terj), Ibnu
Ahmad Dahri (Ed), Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar,1993 Cawidu, Harifuddin, Konsep Kufr dalam al-Quran, Suatu Kajian Teologi dalam
Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Bulan Bintang, 1991 Dewan Pimpinan Pusat Majelis Dakwah Islamiah, Sosok Ideal Keluarga Muslim-
Pancasila, Jakarta: tt, 1994 Ensiklopedi Islam, Jakarta: Departemen Agama, 1993 Fathurrohman, Muhammad, History of Islamic Civilization: Peristiwa-peristiwa
Sejarah Peradaban Islam Sejak Zaman Nabi Sampai Abbasiyah, Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2017.
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000, Juz. 2 ---------------, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000, Juz. 6 ---------------, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000, Juz. 28 Hanafi, Muchlis M. (ed), Tanggung Jawab Al-Quran, Jakarta: Lajanah
Pentashihan Mushaf al-Quran, 2011 Al-Humaidhy, Syaikh Humaidhy bin Abdul Aziz bin Muhammad, Pentj. Kathur
Suhardi, Ahkamu Nikahil Kuffar Alal Madzahibil Arba’ah/Kawin Campur dalam Syari’at Islam, Jakarta: Pustaka alkautsar, 1992
Al-Iraqy, Butsainah As-Sayyid, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, Jakarta: Pustaka Azzam, 1997 Al-Jabri, Abdul Muta’al, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, Jakarta: Gema Insani Press, 2003
Katsir, Ibn, al-Bidâyah wa al-Nihayah, Juz. VI Lukito, Ratno, Tradisi Hukum Indonesia, Cianjur: IMR Press, 2012
70
Mahali, A. Mudjad, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, Solo: Ramadhani, 1994.
Mukhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Mu’alim, Much, Perkawinan Lintas Agama dalam Kajian Tafsir Tematik Sosio-
Historis, Jakarta, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Natta, Abuddin (Ed), Kajian Tematik al-Quran Tentang Kemasyarakatan,
Bandung: Penerbit Aksara, 2008 Al-Qurṯubi, Imam, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009, Jilid. 3 ---------------, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009, Jilid. 6. ---------------, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009, Jilid. 18. Razwy, Sayed Ali Asgher, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap
Kehidupan dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarah Timur dan Barat, Terj. Nurmansyah, Dede Azwar, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004.
Rofiq, Ahmad, Fikih Kontekstual: dari Normatif ke Pemaknaan Sosial,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Shihab, M. Quraish Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
Jakarta: Lentera Hati, 2002, Jilid. 1. ---------------, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
Jakarta: Lentera Hati, 2002, Jilid. 3. ---------------, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992. Sirin, Khaeron, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara,
Agama, dan Perempuan, Yogyakarta: Deepublish, 2016. Suma, Muhammad Amin, Kawin Beda Agama di Indonesia, Tangerang: Lentera
Hati, 2015. ---------------, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
71
Thohari, Hamim, Smart Solving; Menjawab 101 Masalah Keluarga, tt: Pustaka Inti dan Arga Publishing, 2007.
Usman, Suparman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum
Perkawinan di Indonesia, Serang: Saudara: 1995.