perkembangan sosial emosional erikson

23
BAB 1 PENDAHULUAN Remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun hingga 22 tahun. Monks, Knoers, dan Haditono membedakan masa remaja menjadi empat bagian, yaitu masa pra-remaja 10 – 12 tahun, masa remaja awal 12 – 15 tahun, masa remaja pertengahan 15 – 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 – 21 tahun. Masa remaja bermula pada perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi labil. Menurut aliran tradisionil yang dipelopori oleh G. Stanley Hall, perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada kelenjar-kelenjar hor-monal. Namun penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya menolak pendapat ini. Pada masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang baru. Ia dianggap bukan lagi anak-anak. Karena pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat cepat sehingga menyerupai orang dewasa, maka seorang remaja juga sering diharapkan bersikap dan bertingkahlaku seperti orang dewasa. Pada masa remaja, 1

Upload: irfan-abdurrahman

Post on 28-Oct-2015

533 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Perkembangan Sosial Emosional EriksonTeori Erikson (1902 – 1994) mengatakan bahwa kita berkembang dalam tahap-tahap psikososial. Erikson menekankan perubahan perkembangan sepanjang siklus kehidupan manusia. Dalam teori Erikson, 8 tahap perkembangan terbentang ketika kita melampaui siklus kehidupan. Masing-masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang khas yang menghadapkan individu dengan suatu krisis yang harus dihadapi, krisis ini bukanlah suatu bencana, tetapi suatu titik balik peningkatan kerentanan & peningkatan potensi.

TRANSCRIPT

BAB 1

PENDAHULUAN

Remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak anak hingga masa awal

dewasa, yang dimasuki pada usia kira kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun

hingga 22 tahun. Monks, Knoers, dan Haditono membedakan masa remaja menjadi empat

bagian, yaitu masa pra-remaja 10 – 12 tahun, masa remaja awal 12 – 15 tahun, masa remaja

pertengahan 15 – 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 – 21 tahun. Masa remaja bermula pada

perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan

bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada,

perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada umumnya remaja bersifat

emosional. Emosinya berubah menjadi labil. Menurut aliran tradisionil yang dipelopori oleh G.

Stanley Hall, perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada kelenjar-

kelenjar hor-monal. Namun penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya menolak pendapat ini.

Pada masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang baru. Ia dianggap bukan lagi

anak-anak. Karena pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat cepat sehingga

menyerupai orang dewasa, maka seorang remaja juga sering diharapkan bersikap dan

bertingkahlaku seperti orang dewasa. Pada masa remaja, seseorang cenderung untuk meng-

gabungkan diri dalam 'kelompok teman sebaya. Kelompok sosial yang baru ini merupakan

tempat yang aman bagi remaja. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga sangat kuat,

bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian

dan identitas sangat menonjol (pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis) dan semakin

banyak menghabiskan waktu di luar keluarga.

1

BAB 2

PEMBAHASAN

A. Perkembangan psikososial remaja menurut Erickson

Teori Erikson (1902 – 1994) mengatakan bahwa kita berkembang dalam tahap-tahap

psikososial. Erikson menekankan perubahan perkembangan sepanjang siklus kehidupan manusia.

Dalam teori Erikson, 8 tahap perkembangan terbentang ketika kita melampaui siklus kehidupan.

Masing-masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang khas yang menghadapkan individu

dengan suatu krisis yang harus dihadapi, krisis ini bukanlah suatu bencana, tetapi suatu titik balik

peningkatan kerentanan & peningkatan potensi. Semakin berhasil individu mengatasi krisis, akan

semakin sehat perkembangan mereka. Termasuk integrasi perkembangan personal, emosional

dan sosial, serta implikasinya dalam proses pembelajaran. Berikut adalah tahap perkembangan

menurut Erickson:

1. Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan).

Tahap ini berlangsung pada masa oral, pada umur 0-1 tahun atau 1 ½ tahun

(infancy) ialah tahap Psikososial pertama menurut Erikson yang dialami dalam tahun

pertama kehidupan.

2. Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu.

Tahap kedua ini adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya

disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 1- 3 tahun (Early Childhood). Pada

tahap ini Erikson melihat munculnya autonomy.

3. Inisiatif vs Kesalahan.

Tahap ini dialami saat anak menginjak usia 4-5 tahun (preschool age). Ketika

anak-anak sekolah menghadapi dunia sosial yang lebih luas, mereka lebih tertantang dan

perlu mengembangkan perilaku yang bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini.

4. Kerajinan vs Inferioritas.

Tahap ini adalah tahap laten yang terjadi pada usia 6-12 tahun (school age)di

tingkat ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke

2

sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu

mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya.

5. Ego-Identity vs Role Confusion (Identitas Diri vs Kekacauan Peran)

Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa

puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa Remaja (adolescence) ditandai

adanya kecenderungan identity – Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah

kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang dimilikinya

dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari

dirinya. Pada tahap ini remaja dihadapkan pada temuan siapa mereka? Bagaimana

mereka nantinya? atau Kemana tujuan mereka?.

Fase ini sebenarnya adalah sumber utama Erikson dalam menjelaskan

perkembangan remaja, sehingga dia tertarik untuk mengembangkan teori perkembangan

psikososisalnya Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan

penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam

pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara

seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak

hanya berada dalam area keluarga dan sekolah, tetapi juga dalam masyarakat yang ada di

lingkungannya. Semuanya itu terjadi karena mereka sudah dapat menemukan siapakah

dirinya. Identitas ego merupakan puncak nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego

sintesis. Dalam arti kata yang lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada

dalam tahap pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena

itu, salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya

berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak tidak

mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan

struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan

identitas.

Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan

dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi

terhadap masyarakat yang hidup bersama dalam lingkungannya. Erikson menyebut

maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini

3

menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalan terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan

identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebutnya

dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari

keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari

identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari

tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian

dalam kelompoknya.

Mereka yang berhasil memperoleh identitas diri yang sehat mencapai suatu

keadaan yang dinamai Fidelity oleh erikson, yaitu suatu kelegaan karena kita mengenal

siapa diri kita, tempat kita dalam masyarakat dan kontribusi macam apa yang kita bisa

sumbangkan untuk masyarakat. Sebaliknya, mereka yang gagal memiliki suatu identitas

diri akan gelisah karena tidak jelasnya identitas mereka. Orang-orang ini bisa menjadi

"drifter", si pengembara, atau si penolak (mereka bisa menolak untuk punya identitas,

menolak definisi masyarakat tentang anggota masyarakat dll) dan mereka hidup sendiri

bahkan ketika ada di tengah masyarakat. Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif

yang dapat dipetik dalam tahap ini, jika antara identitas ego dan kekacauan identitas

dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri

yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas

dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya. Ritualisasi yang nampak

dalam tahap adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.

4

Kedelapan tahapan perkembangan kepribadian dapat digambarkan dalam tabel

berikut ini:

Developmental Stage Basic Components

Infancy (0-1 thn)

Early childhood (1-3 thn)

Preschool age (4-5 thn)

School age (6-11 thn)

Adolescence (12-20 thn)

Young adulthood ( 21-40 thn)

Adulthood (41-65 thn)

Senescence (+65 thn)

Trust vs Mistrust

Autonomy vs Shame, Doubt

Initiative vs Guilt

Industry vs Inferiority

Identity vs Identity Confusion

Intimacy vs Isolation

Generativity vs Stagnation

Ego Integrity vs Despair

6. Keintiman vs Isolasi

Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan

memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30

tahun. Masa dewasa awal (Young adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy –

isolation.

7. Generativitas vs Stagnasi

Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh

orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai

adanya kecenderungan generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya masa dewasa,

pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala

kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga

perkembangan individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu

sangat luas, tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan,

sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan atau

mencapai hal– hal tertentu ia mengalami hambatan.

5

8. Integritas vs Keputusasaan

Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki

oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Masa hari tua (Senescence)

ditandai adanya kecenderungan ego integrity – despair. Pada masa ini individu telah

memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah

menjadi milik pribadinya.

B. Kemandirian

a. Pengertian

Hurlock (1980) menyatakan minat pada kemandirian berkembang pada masa awal

remaja. Menurut Steinberg (dalam Lewis, 2009) kemandirian itu apa yang dipikirkan, apa

yang dirasakan, dan keputusan yang dibuat adalah lebih berdasarkan pada diri sendiri

daripada mengikuti apa yang orang lain percayai. Hal yang sama juga dikemukakan oleh

Steinberg (dalam Newman, 2006) dimana kemandirian itu adalah kemampuan untuk

mengatur perilaku sendiri untuk memilih dan memutuskan keputusan sendiri serta

mampu melakukannya tanpa terlalu tergantung pada orang tua. Memberikan kemandirian

pada remaja bukan berarti orang tua menolak, mengabaikan atau memisahkan fisik dari

anak mereka, melainkan lebih pada kebebasan psikologis dimana orang tua dan remaja

menerima perbedaan masing-masing namun remaja dan orang tua tetap merasakan cinta,

kasih sayang, saling pengertian, tetap menjalin hubungan, komunikasi yang baik dan

mencapai puncaknya menjelang periode ini berakhir. Selain itu, Emil Durkheim melihat

makna dan perkembangan kemandirian dari sudut pandang yang berpusat pada

masyarakat (Sunaryo dalam Muhammad Ali, 2009).

b. Dimensi kemandirian

Menurut Steinberg (2002), ada tiga dimensi kemandirian yaitu:

a. Emotional

Kemandirian emosional menurut merupakan aspek kemandirian yang menyatakan

perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu, seperti hubungan emosional

6

antara remaja dengan ibunya dan hubungan emosional antara remaja dengan ayahnya.

Steinberg dan Silverberg (1986), membagi kemandirian emosional menjadi empat

komponen, yaitu:

1. de-idealized yaitu remaja mampu memandang orangtuanya sebagaimana

adanya, maksudnya tidak memandangnya sebagai orang yang idealis dan sempurna yang

dapat melakukan kesalahan,

2. seeing parents as people yaitu remaja mampu memandang orangtua mereka

seperti orang dewasa lainnya yang dapat menempatkan posisinya sesuai situasi dan

kondisi.

3. non dependency, atau suatu tingkat dimana remaja lebih bersandar pada

kemampuan dirinya sendiri, daripada membutuhkan bantuan pada orangtua mereka tetapi

tidak sepenuhnya lepas dari pengaruh orangtuanya,

4. individuated, mampu dan memiliki kelebihan secara pribadi untuk mengatasi

masalah didalam hubungannya dengan orang tua. Remaja percaya bahwa ada sesuatu

tentang remaja tersebut yang tidak diketahui oleh orangtuanya.

b. Behavioral

Kemandirian perilaku berarti “bebas” untuk berbuat atau bertindak sendiri tanpa

terlalu bergantung pada bimbingan orang lain. Kemandirian perilaku mencakup

kemampuan untuk meminta pendapat orang lain jika diperlukan, menimbang berbagai

pilihan yang ada dan pada akhirnya mampu mengambil kesimpulan untuk suatu

keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Steinberg, (2002) menyatakan bahwa ada

tiga domain kemandirian perilaku pada remaja, yaitu:

1. changes in decision-making abilities yaitu perubahan dalam kemampuan untuk

mengambil keputusan, dengan indikator meliputi: (a) remaja menyadari resiko yang

timbul; (b) remaja menyadari konsekuensi yang muncul kemudian; (c) remaja dapat

menggunakan orangtua, teman, atau ahli seagai konsultan; (d) remaja dapat merubah

pendapatnya karena ada informasi baru yang dianggap sesuai; (e) remaja menghargai dan

berhati-hati terhadap saran yang diterimanya

7

2. changes in susceptibility to the influence yaitu perubahan remaja dalam

penyesuain terhadap kerentanan pengaruh-pengaruh dari luar, remaja menghabiskan

banyak waktu diluar keluarga sehingga nasehat dan pendapat dari teman dan orang

dewasa lainnya sangat penting, remaja mampu mempertimbangkan alternatif dari

tindakannya secara bertanggung jawab, remaja mengetahui secara tepat kapan harus

meminta saran dari orang lain

3. changes in feelings of self-reliance yaitu perubahan dalam rasa percaya diri,

remaja mencapai kesimpulan dengan rasa percaya diri, remaja mampu mengekspresikan

rasa percaya diri dalam tindakan-tindakannya.

c. Value

Value autonomy menunjuk kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan-

keputusan dan menetapkan pilihan yang lebih berpegang atas dasar prinsip-prinsip

individual yang dimilikinya, daripada mengambil prinsip-prinsip dari orang lain. Dengan

kata lain bahwa value autonomy menggambarkan kemampuan remaja untuk bertahan

pada tekanan apakah akan mengikuti seperti permintaan orang lain yang dalam arti ia

memiliki seperangkat prinsip tentang benar atau salah, tentang apa yang penting dan

tidak penting. Perkembangan value autonomy dapat dilihat dari moral development,

political thinking dan religious belief pada masa remaja.

1. Moral development berkaitan dengan bagaimana individu berpikir tentang dilema

moral yang sedang terjadi dan bagaimana mereka bertindak dalam situasi tersebut.

Apabila dikaitkan dengan perilaku menolong, individu bersedia menolong sesama.

Pada tahap perkembangan moral menurut Kohlberg (dalam Steinberg, 2002), remaja

berada pada tahap postconventional moral reasoningdimana peraturan pada

masyarakat dipandang lebih pada subjektif dan relative bukan yang absolut dan

terdefenisi. Postconventional thinking itu lebih luas tidak sebatas berorientasi pada

peraturan yang berlaku pada masyarakat dan prinsip lebih abstrak. Menyadari adanya

konflik dengan moral standard yang berlaku dan dapat membuat penilaian

berdasarkan pada kebenaran, kejujuran dan keadilan. Tingkah laku moral lebih

dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri, misalnya seorang istri yang sakit

kanker dan dapat ditolong dengan obat seharga $2000 tetapi sang suami hanya dapat

8

mengumpulkan duit sebanyak $1000, dia minta keringanan kepada dokter tetapi

dokter tidak bersedia menjual lebih murah. Tak tahu lagi harus berbuat apa, akhirnya

suami pun mencuri obat tersebut. Sebagian orang mungkin akan merespon bahwa

sikap suaminya itu salah melanggar peraturan karena mencuri, tetapi sebagian pihak

akan menerima perbuatan sikap suaminya karena istrinya butuh dan melindungi hidup

itu lebih penting.

2. Political Thinking, berkaitan dengan bagaimana remaja menjadi mampu berpikir lebih

abstrak (misalnya pada saat ditanya apa tujuan hukum, remaja mungkin akan

menjawab untuk memberi kenyamanan, untuk menuntun orang sehingga tidak sebatas

pada untuk membuat orang untuk tidak membunuh, mencuri), berkurangnya otoritas

dan tidak kaku pada pihak yang berkuasa sehingga lebih bersifat fleksibel (ketika

ditanya apa yang harus dilakukan saat hukum tidak bekerja sesuai dengan yang

direncanakan, maka remaja akan menjawab bahwa hukum tersebut butuh kaji ulang

dan jika perlu untuk diamanden tidak sebatas memaksa dengan keras pada hukum

tersebut), serta meningkatnya penggunaan prinsip (seperti kebebasan mengemukakan

pendapat, persamaan hak, dan memberi kebebasan).

3. Religious belief, sama seperti moral dan political belief menjadi lebih abstrak, lebih

prinsip dan lebih bebas. Kepercayaan remaja menjadi lebih berorientasi pada spiritual

dan ideologis tidak sebatas pada ritual biasa dan bukan hanya mengamati kebiasaan

pada agama.

c. Terbentuknya kemandirian

Kemandirian bukanlah kemampuan yang dibawa anak sejak lahir, melainkan hasil

dari proses belajar. Sebagai hasil belajar, kemandirian pada diri seseorang tidak terlepas

dari faktor bawaan dan faktor lingkungan. Lie & Prasasti (2004) memberikan gambaran

perkembangan kemandirian dalam beberapa tahapan usia. Perkembangan kemandirian

tersebut diidentifikasikan pada usia 0 – 2 tahun; usia 2 – 6 tahun; usia 6 – 12 tahun; usia

12 – 15 tahun dan pada usia 15 – 18 tahun. Tahap perkembangan kemandirian pada

gambar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Usia 0 sampai 2 tahun

9

Sampai usia dua tahun, anak masih dalam tahap mengenal lingkungannya,

mengembangkan gerak-gerik fisik dan memulai proses berbicara. Pada tahap ini anak

masih sangat bergantung pada orang tua atau orang dewasa lainnya dalam memenuhi

kebutuhan dan keinginannya.

b. Usia 2 sampai 6 tahun

Pada masa ini anak mulai belajar untuk menajdi manusia sosial dan belajar

bergaul. Mereka mengembangkan otonominya seiring dengan bertambahnya berbagai

kemampuan dan keterampilan seperti keterampilan berlari, memegang, melompat,

memasang dan berkata-kata. Pada masa ini pula anak mulai dikenalkan pada toilet

training, yaitu melatih anak dalam buang air kecil atau air besar.

c. Usia 6 sampai 12 tahun

Menurut Erikson (dalam Lie & Prasasti, 2004) pada masa ini anak belajar untuk

menjalankan kehidupan sehari-harinya secara mandiri dan bertanggung jawab. Pada masa

ini anak belajar di jenjang sekolah dasar. Beban pelajaran merupakan tuntutan agar anak

belajar bertanggung jawab dan mandiri.

d. Usia 12 sampai 15 tahun

Pada usia ini anak menempuh pendidikan di tingkat menengah pertama (SMP).

Masa ini merupakan masa remaja awal di mana mereka sedang mengembangkan jati diri

dan melalui proses pencarian identitas diri. Sehubungan dengan itu pula rasa tanggung

jawab dan kemandirian mengalami proses pertumbuhan.

e. Usia 15 sampai 18 tahun

Pada usia ini anak sekolah di tingkat SMA. Mereka sedang mempersiapkan diri

menuju proses pendewasaan diri. Setelah melewati masa pendidikan dasar dan

menengahnya mereka akan melangkah menuju dunia Perguruan Tinggi atau meniti

karier, atau justru menikah. Banyak sekali pilihan bagi mereka. Dan pada masa ini

mereka diharapkan dapat membuat sendiri pilihan yang sesuai baginya tanpa terlalu

tergantung pada orangtuanya. Pada masa ini orangtua hanya perlu mengarahkan dan

membimbing anak untuk mempersiapkan diri dalam meniti perjalanan menuju masa

depan, berani membuat keputusan sendiri dan memperoleh kebebasan perilaku sesuai

dengan keinginannya, tentunya dengan disertai tanggung jawab.

10

d. Faktor yang mempengaruhi kemandirian

Menurut Hurlock (dalam Lukman, 2000) terdapat lima faktor yang mempengaruhi

kemandirian yaitu:

1. Keluarga

Setiap orang tua berbeda-beda dalam menerapkan disiplin pada anaknya.

Penerapan disiplin ini identik dengan pola asuh. Setiap tipe pola asuh mengakibatkan

efek yang berbeda. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberikan

pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembangnya remaja. Dengan kata lain, secara ideal

perkembangan remaja akan optimal apabila mereka bersama keluarganya. Di dalam

keluarga, orangtualah yang berperan dalam mengasuh, membimbing dan membantu

mengarahkan anak untuk menjadi mandiri.

2.Sekolah

Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan demokratisasi

pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan menghambat

perkembangan kemandirian remaja. Perlakuan guru, teman dapat juga mempengaruhi

kemandirian seorang anak.

3. Media komunikasi massa

Jenis-jenis media komunikasi masa sekarang sangat bervariasi, salah satu

contohnya adalah majalah, koran. Dari pencarian info dan yang terjadi di dunia melalui

media dapat menambah wawasan para anak. Anak dapat mencari pengetahuan dan info

dari kecanggihan teknologi sekarang.

4. Agama

Agama dapat mempengaruhi kemandirian seseorang misalnya sikap terhadap

agama yang kuat. Dikatakan bahwa dengan anak yang mempunyai agama yang kuat

dapat membantu anak dalam bersikap dan menjadikan anak lebih mandiri.

5. Pekerjaan atau tugas yang menuntut sikap pribadi tertentu

Pekerjaaan seperti mengurus keperluan diri sendiri, menuntut sikap kita untuk

mandiri dan dapat melakukannya sendiri. Tugas harian yang sederhana dapat diselesaikan

11

sendiri tanpa harus ada bantuan. Pekerjaan atau tugas akan membiasakan seseorang untuk

bertanggung jawab termasuk tugas yang menuntut tanggung jawab dalam mengambil

keputusan.

C. Keterampilan sosial

1. Definisi

Keterampilan sosial adalah kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif

dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi

yang ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari.

Remaja dengan keterampilan sosial akan mampu mengungkapkan perasaan baik positif

maupun negatif dalam hubungan interpersonal, tanpa harus melukai orang lain (Hargie,

Saunders, & Dickson dalam Gimpel & Merrell, 1998). Keterampilan sosial membawa

remaja untuk lebih berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan

yang dihadapi dan sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga mereka

tidak mencari pelarian ke hal-hal lain yang justru dapat merugikan diri sendiri maupun

orang lain.

Mu’tadin (2006) mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan yang

harus dikuasai remaja yang berada dalam fase perkembangan masa remaja madya dan

remaja akhir adalah memiliki ketrampilan sosial (social skill) untuk dapat menyesuaikan

diri dengan kehidupan sehari-hari. Keterampilanketerampilan sosial tersebut meliputi

kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri

sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi

atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan

aturan yang berlaku, dsb. Apabila keterampilan sosial dapat dikuasai oleh remaja pada

fase tersebut maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Hal

ini berarti pula bahwa sang remaja tersebut mampu mengembangkan aspek psikososial

dengan maksimal.

12

2. Ciri-ciri Keterampilan Sosial

Gresham & Reschly (dalam Gimpel dan Merrell, 1998)

mengidentifikasikan keterampilan sosial dengan beberapa ciri, antara

lain:

1. Perilaku Interpersonal

Perilaku interpersonal adalah perilaku yang menyangkut keterampilan yang

digunakan selama melakukan interaksi sosial yang disebut dengan keterampilan menjalin

persahabatan.

2. Perilaku yang Berhubungan dengan Diri Sendiri

Perilaku ini merupakan ciri dari seorang yang dapat mengatur dirinya sendiri

dalam situasi sosial, seperti: keterampilan menghadapi stress, memahami perasaan orang

lain, mengontrol kemarahan dan sebagainya.

3. Perilaku yang Berhubungan dengan Kesuksesan Akademis

Perilaku ini berhubungan dengan hal-hal yang mendukung prestasi belajar di

sekolah, seperti: mendengarkan guru, mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, dan

mengikuti aturan-aturan yang berlaku di sekolah.

4. Penerimaan Teman Sebaya

Hal ini didasarkan bahwa individu yang mempunyai keterampilan sosial yang

rendah akan cenderung ditolak oleh teman-temannya, karena mereka tidak dapat bergaul

dengan baik. Beberapa bentuk perilaku yang dimaksud adalah: memberi dan menerima

informasi, dapat menangkap dengan tepat emosi orang lain, dan sebagainya.

5. Keterampilan Berkomunikasi

Keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan sosial yang baik,

berupa pemberian umpan balik dan perhatian terhadap lawan bicara, dan menjadi

pendengar yang responsif.

3. Dimensi Keterampilan Sosial

Caldarella dan Merrell (dalam Gimpel & Merrell, 1998)

mengemukakan 5 (lima) dimensi paling umum yang terdapat dalam

keterampilan sosial, yaitu :

13

1. Hubungan dengan teman sebaya (Peer relation), ditunjukkan melalui

perilaku yang positif terhadap teman sebaya seperti memuji atau

menasehati orang lain, menawarkan bantuan kepada orang lain, dan

bermain bersama orang lain.

2. Manajemen diri (Self-management), merefleksikan remaja yang memiliki

emosional yang baik, yang mampu untuk mengontrol emosinya,

mengikuti peraturan dan batasan-batasan yang ada, dapat

menerima kritikan dengan baik.

3. Kemampuan akademis (Academic), ditunjukkan melalui pemenuhan

tugas secara mandiri, menyelesaikan tugas individual, menjalankan

arahan guru dengan baik.

4. Kepatuhan (Compliance), menunjukkan remaja yang dapat mengikuti

peraturan dan harapan, menggunakan waktu dengan baik, dan

membagikan sesuatu.

5. Perilaku assertive (Assertion), didominasi oleh kemampuankemampuan

yang membuat seorang remaja dapat menampilkan perilaku yang

tepat dalam situasi yang diharapkan.

14

BAB 3

PENUTUP

Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini

anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan

psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak, baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak,

tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang. Salah satu ciri-ciri remaja adalah

berkurangnya egoisme, sebaliknya tumbuh perasaan saling memiliki. Salah satu tanda yang khas

adalah tumbuh kemampuan untuk mencintai orang lain dan alam sekitarnya. Kemampuan untuk

bertenggangrasa dengan orang yang dicintainya, untuk ikut merasakan penderitaan yang dialami

oleh orang yang dicintainya. Ciri lainnya adalah berkembangnya “ego ideal” berupa cita-cita,

idola dan sebagainya yang menggambarkan bagaimana wujud ego (diri sendiri) di masa depan.

Perkembangan sosial pada masa remaja (pubertas) merupakan masa yang unik, masa

pencarian identitas diri dan ditandai dengan perkembangan fisik dan psikis anak. Pada masa ini

sosialisasi anak lebih luas dan berkembang, mereka mulai menjalin hubungan dengan teman-

teman laki-lakinya dan mengadakan kencan-kencan (dating). Keterampilan sosial akan

membantunya dalam pergaulan sosialnya.

Perkembangan emosi pada remaja ditandai dengan emosi yang tidak stabil dan penuh

gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Rata-rata remaja

memerlukan waktu yang singkat untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar

biasa”, sementara orang dewasa memerlukan yang lebih lama untuk hal yang sama. Perubahan

emosi ini erat kaitannya dengan kemasakan hormon astrogen dan testosteron yang terjadi pada

remaja.

15

16