perkawinan antar agama dewasa ini di indonesia, …

9
, 235 "PERKAWINAN ANTAR AGAMA DEWASA INI DI INDONESIA, DITINJAU DARI SEGI HUKUM ANTAR TATA HUKUM" _______ Oleh: Ny. Zulfa Djoko Basuki, S.H. ______ _ PENDAHULUAN Perkawinan antar agama semakin ramai dibicarakan akhir-akhir ini, ter- utama yang menyangkut perkawinan antara calon mempelai yang beragama Islam dan yang beragama non-Islam, baik antara calon mempelai laki-Iaki Islam dengan calon mempelai wanita non-Islam, maupun antara calon mem- pelai wanita Islam dengan cajon mem- pelai laki-Iaki non-Islam. Sebenarnya perkawinan an tar aga- rna tersebut tidak hanya terjadi antara calon mempelai Islam dengan non-Is- lam, tetapi juga terjadi antara calon mempelai yang beragama Hindu de- ngan yang beragama Budha atau antara calon mempelai yang beragama Kristen dengan Budha, tetapi perkawinan an- tar agama yang belakangan ini tidak banyak menimbulkan masalah di da- lam pelaksanaannya sebagaimana per- kawinan an tara calon mempelai Islam dengan non-Islam an tara lain karena: Pencatatan Perkawinan bagi yang beraga- rna non-Islam sarna, yaitu di Catatan Sipil (baik un tuk . yang beragama Kris- ten, Katholik, Budha maupun Hindu). Pengadilan yang berwenang untuk me- mutus segala sesuatu mengenai masalah perkawinan tersebut adalah sarna yaitu Pengadilan Negeri. Sedangkan Pencatatan Perkawinan bagi yang beragama Islam adalah oleh Pega- wai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, dan Pengadilan yang berwenang un tuk memutus segala sesuatu mengenai perka- , winan tersebut adalah pengadilan Aga- rna. Tidak diaturnya masalah perkawin- an antar agama ini oleh Undang-un- dang No. 1/1974 mengenai Perkawin- an, lebih mempersulit keadaan, sehing- ga menimbulkan berbagai pendapat yang saling simpang-siur yang sama- sekali tidak memecahkan masalah. Ada pendapat yang sarna sekali menentang- nya, yang menyatakan hal tersebut bertentangan dengan U ndang-undang No. 1/1974 Pasal 2, karena itu tidak bisa ditolerir. Tetapi ada pula penda- pat yang mentolerir perkawinan antar agama tersebut dengan alasan hal ter- sebut tidak bisa dihindari sebagai aki- bat dari negara kita yang Pancasila, di mana diperkenankan hidup dan ber- kembang berbagai agama secara ber- dampingan "Daripada mereka Kum- pul Kebo". J alan keluar apa yang harus ditem- puh untuk mengatasi kemelut terse- but, sebelum keluarnya peraturan per- undang-undangan yang mengatur per- kawinan antar agama tersebut ? Apakah Perkawinan Antar Agama ini me.rupakan Perkawinan Campuran atau dengan kata-kata lain, masih te- patkah sekarang ini bila dipergunakan Istilah Perkawinan Campuran Antar Agama dengan adanya pengertian Per- kawinan Campuran yang sempit ber- dasarkan Pasal 57 Undang-undang No. Juni 1987

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERKAWINAN ANTAR AGAMA DEWASA INI DI INDONESIA, …

,

235

"PERKAWINAN ANTAR AGAMA DEWASA INI DI INDONESIA, DITINJAU DARI SEGI

HUKUM ANTAR TATA HUKUM"

_______ Oleh: Ny. Zulfa Djoko Basuki, S.H. ______ _

PENDAHULUAN Perkawinan antar agama semakin

ramai dibicarakan akhir-akhir ini, ter­utama yang menyangkut perkawinan antara calon mempelai yang beragama Islam dan yang beragama non-Islam, baik antara calon mempelai laki-Iaki Islam dengan calon mempelai wanita non-Islam, maupun antara calon mem­pelai wanita Islam dengan cajon mem­pelai laki-Iaki non-Islam.

Sebenarnya perkawinan an tar aga­rna tersebut tidak hanya terjadi antara calon mempelai Islam dengan non-Is­lam, tetapi juga terjadi antara calon mempelai yang beragama Hindu de­ngan yang beragama Budha atau antara calon mempelai yang beragama Kristen dengan Budha, tetapi perkawinan an­tar agama yang belakangan ini tidak banyak menimbulkan masalah di da­lam pelaksanaannya sebagaimana per­kawinan an tara calon mempelai Islam dengan non-Islam an tara lain karena:

Pencatatan Perkawinan bagi yang beraga­rna non-Islam sarna, yaitu di Catatan Sipil (baik un tuk . yang beragama Kris­ten, Katholik, Budha maupun Hindu). Pengadilan yang berwenang untuk me­mutus segala sesuatu mengenai masalah perkawinan tersebut adalah sarna yaitu Pengadilan Negeri. Sedangkan Pencatatan Perkawinan bagi yang beragama Islam adalah oleh Pega­wai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, dan Pengadilan yang berwenang un tuk memutus segala sesuatu mengenai perka-

,

winan tersebut adalah pengadilan Aga­rna.

Tidak diaturnya masalah perkawin­an antar agama ini oleh Undang-un­dang No. 1/1974 mengenai Perkawin­an, lebih mempersulit keadaan, sehing­ga menimbulkan berbagai pendapat yang saling simpang-siur yang sama­sekali tidak memecahkan masalah. Ada pendapat yang sarna sekali menentang­nya, yang menyatakan hal tersebut bertentangan dengan U ndang-undang No. 1/1974 Pasal 2, karena itu tidak

bisa ditolerir. Tetapi ada pula penda­pat yang mentolerir perkawinan antar agama tersebut dengan alasan hal ter­sebut tidak bisa dihindari sebagai aki­bat dari negara kita yang Pancasila, di mana diperkenankan hidup dan ber­kembang berbagai agama secara ber­dampingan "Daripada mereka Kum­pul Kebo".

J alan keluar apa yang harus ditem­puh untuk mengatasi kemelut terse­but, sebelum keluarnya peraturan per­undang-undangan yang mengatur per­kawinan antar agama tersebut ?

Apakah Perkawinan Antar Agama ini me.rupakan Perkawinan Campuran atau dengan kata-kata lain, masih te­patkah sekarang ini bila dipergunakan Istilah Perkawinan Campuran Antar Agama dengan adanya pengertian Per­kawinan Campuran yang sempit ber­dasarkan Pasal 57 Undang-undang No.

Juni 1987

Page 2: PERKAWINAN ANTAR AGAMA DEWASA INI DI INDONESIA, …

,

236

1/1974 ? Peninjauan masalah sekarang ini, di­

titikberatkan pada segi Hukum Antar Tata Hukum, baik Hukum Antar Tata Hukum Ekstern maupun Hukum An­tar Hukum Intern.

Hukum Antar Tata Hukum Intern ia· lah:

Hukum yang mengatur hubungan-hu­bungan hukum antara orang-orang yang tunduk padasistem hukum yang berbeda di dalam satu negara .

Hukum Antar Tata Hukum Ekstern

ialah :

Hukum yang mengatur hubungan-hu­bungan hukum antara orang-orang yang tunduk pada sistem hukum dari dua negara atau lebih.

Pembahasan

Terjadinya masalah tersebut di at as sebenarnya erat kaitannya dengan seja­rah masa lalu, yaitu sebagai akibat ber­lakunya Pasal 163 jo. 131 IS pada zaman penjajahan Belanda, yang mem­

bagi-bagi penduduk di Indonesia dalam berbagai golongan penduduk, di mana untuk masing-masing golongan pendu­duk tersebut diperlakukan hukum ser­ta peradilan yang berbeda yaitu: untuk golongan Eropa, Tionghoa, Timur Asing lainnya serta golongan yang di­persamakan diperlakukan Kitab U n­dang-undang Hukum Perdata (BW) dengan Raad van Justitie sebagai peng­adilan sehari-harinya, sedangkan untuk penduduk asli diperlakukan Hukum Adat dengan Landraad sebagai Peng­adilan sehari-harinya. Di samping itu untuk sebagian penduduk lainnya di­perlakukan hukum Islam yang telah diresepiir oleh hukum adat. Hal ter-

Huhum dan Pembangunan

sebut mengakibatkan di Indonesia ter­dapat pluralisme hukum di bidang hukum perdata.

Sebenarnya dengan keluarnya Ins­truksi Presidium Kabinet Ampera No . 31/U /IN/ 1966, penggolongan-penggo­longan penduduk tersebut sudah ha-

pus, dengan demikian yang ada hanyalah warganegara atau orang asing. Tetapi hapusnya penggolongan penduduk tersebut tidak berarti hapus pula hukum yang berlaku untuk go­longan penduduk tersebut; kenyataan­nya sampai saat ini pluralisme hukum perdata tersebut masih berlaku. Tidak ada satu hukum perdata yang bisa berlaku untuk seluruh penduduk Indo-

• neSla. Diundangkannya U ndang-undang

No. 1/1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya yaitu Per­aturan ~emerintah No. 9/1975, juga

. belum membawa kesatuan yang tuntas dalam hukum perkawinan. Kesatuan yang dicapai hanyalah merupakan ke­satuan dalam kebhinekaan terbukti dari bunyi Pasal 2 sebagai berikut:

ayat 1 : Perkawinan adalah sah bila di­lakukan menurut hukum ma­sing-masing agama dan keper­cayaannya itu.

ayat 2 : Setiap perkawinan dicatat me­nurut Peraturan perundang­undangan yang berlaku. Dalam hal ini untuk yang beraga11la Islam oleh Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk dan untuk selain yang beraga11la Islam di Catatan Si­pil. (pasal2 P.P . No. 9/1975).

Dari hal-hal tersebut dapat ditafsir­kall sebagai beriku t: - Terdapat pluralisme aga11la dan plu-

Page 3: PERKAWINAN ANTAR AGAMA DEWASA INI DI INDONESIA, …

Perkawinal! Antar Agama

ralisme hukum agama dan keperca­yaan yang berlaku di Indonesia.

- Sahnya perkawinan di Indonesia adalah sesuai dengan hukum agama/ kepercayaan ; dengan demikian per­kawinan di Indonesia adalah perka­winan agama/kepercayaan

_ Terdapat pluralisme dalam hal Pen­catatan Perkawinan atau tepatnya tidak ada ' satu instansi pencata t perkawinan yang berlaku untuk se­luruh penduduk Indonesia.

Sebagaimana diketahui U ndang-un-dang No. l / l974, tidak mengatur mengenai Perkawinan Antar Agama. Dengan membaca ketentuan Pasal 2 U ndang-undang No. 1/ 1974 tersebut , maka berarti sejak berlakunya undang­undang tersebut pada tanggal 1 Okto­ber 1975, di Indonesia tidak mungkin lagi terjadi perkawinan antar agama/ kepercayaan , dengan kata-kata lain, tidak ada lagi perkawinan yang teljadi di luar hukum agama dan kepercayaan masing-ma~ing. Seandainya terjadi juga maka perkawinan tersebut adalah ti­dak sah, karen a bertentangan dengan Pasal2

Demikianlah pendapat sementara orang, terutama kalangan ulama Islam serta sebagian besar Hakim-hakim Pengadilan Agama di Jakarta serta pejabat-pejabat Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama, sehubung­an dengan perkawinan an tara calon pengantin yang beragama Islam de­ngan yang non-Islam yang dapat kami kumpulkan.

Memang sepengetahuan kami, per­kawinan antara wanita Islam dengan laki-lakinon-Islam dilarang - haram hukumnya - hal tersebut telah sa­ma-sama kita ketahui. Tetapi bagai­mana dengan perkawinan antara laki-

237

laki Islam dengan wanita bukan Islam tetapi termasuk ke dalam golongan ahli kitab ? Perkawinanantara laki-laki Islam dengan wanita bukan ahli kitab jelas dilarang, tetapi selama ini yang kita pelajari , seorang laki-laki Islam tidak dilarang untuk menikah dengan wanita ahli kitab seperti wanita Yahu­di atau wan ita Nasrani. Bagaimana pendapat yang berkembang sekarang ini? Menurut M. Yunan Nasution, yang dimuat dalam Harian Pelita tang­gal 6 November 1986 halaman 12, "Adalah merupakan kesepakatan para ulama, perkawinan antara laki-laki Is­lam dengan perempuan· Yahudi dan Nasrani dilarang. Alasannya ialah; karena pernikahan yang dibolehkan dalam AI-Quran an tara Muslin1 laki­laki dengan perempuan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah ahli kitab zaman Nabi Muhammad SAW, yang mereka itu masih bertauhid. Na­mun keadaan mereka sekarang ini su­dah berubah, dan mereka itu tidak bisa lagi dikategorikan ahli kitab".

Selanjutnya dikatakan pula, kawin campuran muslim dan nonmuslim me­nyulitkan. Akan timbul problem ber­kepanjangan. Yang jelas, dalam per­kawinan antar agama tersebut bila Ayah Islam, sedangkan Ibu non­Islam dan si anak ikut agama Ibu, anak terse but tidak mewaris dari ayahnya.

Bahwa perkawinan antar agama me­nyulitkan, hal itu dapat kami sepakati. Banyak contoh, perkawinan tersebut walaupun pada mulanya dilakukan de­ngan "menggebu-gebu", tetapi ber­akhir dengan perceraian. Sering per­kawinan terjadi dengan jalan salah satu pihak masuk ke agama pasangannya

misalnya masuk Islam dengan janji, akan betul-betul menjadi Islam de-

luni 1987

Page 4: PERKAWINAN ANTAR AGAMA DEWASA INI DI INDONESIA, …

238

ngan menjalankan segala syariahnya, untuk mana diadakan upacara "peng­Islaman" secara meriah. Atau ada kata sepakat antara kedua calon mem­pelai "demi menyenangkan hati calon mertua", pura-pura masuk Islam, ha­nya sekedar untuk upacara Akad Ni­kah di Kantor Urusan Agama (KUA), dan setelah itu ia kembali ke agama asalnya.

Adakalanya toleransi masih dapat dipertahankan pada tahun-tahun per­tama perkawinan, setelah itu kedua­duanya mulai ribut ; tetapi kadang­kadang keributan tersebut sudah ter­jadi pada bulan-bulan pertama perka­winan, karena su.ami/istri tidak me­nempati janji untuk betul-betul menja­di Islam.

Kalau perkawinan tersebut terjadi/ dicatat di Catatan Sipil yaitu bagi perkawinan non-Islam, maka masalah­nya tidak ruwet. Bila mereka ingin bercerai, pengadilannya sudah pasti yaitu Pengadilan Negeri. Dengan dila­kukannya perkawinan di KUA, maka seyogyanya perceraian akan dilakukan di Pengadilan Agama. Tetapi pada umumnya pihak yang sudah beralih ke agama non-Islam tersebut misalnya menjadi agama Kristen kembali, meno­lak (mengajukan eksepsi) bila perkara perceraiannya diajukan ke Pengadilan Agama dengan alasan Pengadilan Aga­rna hanya untuk mereka yang beraga­rna Islam, sedangkan ia tidak Islam la­gi, karena itu harus diajukan ke Peng­adilan Negeri.

Apabila keduanya telah beralih menjadi agama Kristen, maka menurut yurisprudensi, antara lain yang recent, yaitu P,utusan Mahkamah Agung RI No. 1650/Sip/1974 tertanggal 13 No­vember '1979, Pengadilan yang Qerwe-

Hukum dan PembanflUnan

nang mengadili perceraian mereka me­nurut Pasal 72 HOCI (Huwelijke Or­donnantie voor Christen Indonesiers, Java, Minahasa en Amobina) adalah Pengadilan Negeri, walaupun sebelum­nya pasangan tersebut menikah di KUA, Tetapi bagaimana halnya bila hanya salah satu pihak yang berubah menjadi agama Kristen? Menurut yu­risprudensi terakhir yang penulis per­oleh, yaitu Putusan Mahkamah Agung RI No, 32 K/ AG/1983 tertanggal 22 September 1983, perceraian tetap harus dilakukan di Pengadilan Agama, Eksepsi dari pihak suami, yang menya­takan perceraian harus dimintakan me­lalui . Pengadilan Negeri yang telah ditolak oleh Pengadilan Agama Cire­bon, dikuatkan , dengan pertimbangan se bagai ~e rik u t ,

- ", . , perkara ini termasuk wewenang Pengadilan Agama, karena pernikahan dilakukan di KUA, meskipun sesudahnya pemohon kasasi/tergugat asal memeluk agama lain dari agama Islam (murtad".

Yang amat menarik di sini adalah per­timbangan Pengadilan Agama Cirebon yang dalam menolak eksepsi tergugat tersebut telah mempertimbangkan se­bagai berikut:

- " , .. Penggugat dan Tergugat bahwa pa­da saat akad nikah berstatus Muslim dan Muslimat. Perkawinan telah dilangsung­kan berdasarkan Hukum Islam, yang ter­bukti dari dikeluarkannya Surat Kawin oleh Pegawai Pencatat Nikah .. . dan se­terusnya. Hal ini berarti pula Penggugat dan Tergllgat menerima dall mellunduk­kan diri terhadap hukum Islam, . ,".

J adidi sini dalam pembenaran dalil­nya terse but Hakim telah pula mem­pergunakan /embaga penundukan diri, yang kita kenaI di dalam Hukum An­tar Tata Hukum Intern.

Bila kita mempelajari lebih menda-

Page 5: PERKAWINAN ANTAR AGAMA DEWASA INI DI INDONESIA, …

-

lam putusan Mahkamah Agung No. ini dapat pula ditafsirkan bahwa Mah-32 K/ AG/ 1983 tertanggal 22 Septem- kamah Agung telah menerima pertim­ber 1983 ini, sebenarnya keputusan bangan Pengadilan Agama Cirebon da­ini sejalan dengan Putusan Mahkamah lam keputusan a quo yang memper­Agung No. 1650/Sip/1974 tertanggal gunakan lembaga penundukan diri ter-13 November 1979. Sebagaimana ter- hadap hukum Islam. Dengan demikian lihat di atas, pada putusan tahun dapatkah hal ini diartikan pula, sejak 1979, Mahkamah Agung dengan te- yurisprudensi 1983 ini, bila pernikah­rang-terangan menyebut sebagai pem- an telah dilangsungkan di KUA, bila benaran dalilnya Pasal 72 HOC I (yaitu akan terjadi perceraian tetap Pengadil­ayat pertamanya ,pen-) yang menya- an Agama yang berwenang meskipun takan bila kedua mempelai setelah keduanya telah menjadi agama Kris­perkawinan beralih menjadi Nasrani, ten, dengan alasan pada saat menik<lh maka terhadapnya berlaku ketentuan keduanya telah menundukkan diri pa­HOC!. Dengandemikian Pengadilan da hukum Islam? Menurut hemat kami yang berwenang adalah Pengadilan Ne- bila hal ini diterapkan, ini adalah seja­geri. putusan Mahkamah Agung tahun Ian dengan apa yang berlaku bila suatu 1983 ini memang sam a sekali tidak perkawinan terjadi/ dicatat di Catatan menyebut-nyebut ketentuan HOCI ini. Sipil, tanpa memperhatikan apakah Tetapi bila kita membaca ayat kedua mereka itu pada saat perkawinan dua­(2) dari Pasal 72 HOCI ini maka di duanya non-Islam, atau salah satu pi­sana diatur: bila hanya satu pihak bak Islam, atau dua-duanya Islam, yang menjadi Nasrani, maka Hukum yang penting dengan mereka menca­Perkawinan yang lama, tetap berlaku; tatkan perkawinannya di Catatan Sipil kecuali sesuai dengan Pasal 73 HOCI, mereka telah dianggap "menundukkan apabila kedua suami-istri tersebut de- diri pada Hukum Perdata Barat (BW)", ngan menjadi Nasraninya salah se- karena itu Pengadilan yang berwenang orang. meminta diputus oleh Pengadil- bila akan diajukan perceraian dan seba­an Negeri, bahwa perkawinan mereka gainya tetap Pengadilan Negeri dan untuk selanjutnya tunduk pada HOC!. tidak mungkin berubah menjadi wewe­Dengan demikian barulah yang berwe- nang Pengadilan Agama. nang dalam hal ini Pengadilan Negeri. Terlepas dari fakta-fakta tersebut di Di dalam kasus tahun 1983 ini, tidak atas, faktanya dalam kehidupan sehari­terbukti suami-istri -tersebut pernah hari perkawinan antar agama tersebut

}11inta kepada Pengadilan Negeri agar masih sering terjadi, baik antara laki-perkawinan mereka setelah murtadnya laki Islam dengan wanita non-Islam sang suami, untuk selanjutnya diatur atau antara wanita Islam dengan laki HOC!. Jadi dengan demikian yang laki non-Islam, tanpa mempertimbang­berwenang untuk mengadili perceraian kan misalnya dari segi hukum waris, tersebut adalah tetap Pengadilan Aga- yaitu anak-anak yang bukan Islam ti­ma. dak mewaris dari ayahnya yang Islam

Dengan tidak disebutnya ketentuan dan sebagainya, karena sering warisan Pasal 72 HOCI ini pada putusan Mah- tersebut tidak dibagi menurut hukum kamah Agung RI No. 32 K/ AG/ 1983 Islam tetapi berdasarkan hukum ad at,

,

Juni 1987

Page 6: PERKAWINAN ANTAR AGAMA DEWASA INI DI INDONESIA, …

240 •

tanpa memperhatikan agarna yang di­anut sang anak.

Sebagaimana diuraikan di atas, bila •

diikuti ketentuan Pasal 2 Undang-undang No. 1/1974 secara konsekuen, maka perkawinan antar agama tidak boleh terjadi. Tetapi bagaimana bila calon mempelai tersebut tetap ngotot ingin menikah dengan tetap memper­tahankan agama masing-masing dengan alasan itu adalah "hak asasi" mereka? J alan ke luar apa yang dapat ditempuh? Apakah dapat ditolerir mereka meni­kah dua kali, sesuai dengan hukum agama masing-masing? Yaitu sekali di KUA, dan setelah itu di gereja. Yang mana di antara kedua perkawinan ter sebut yang dianggap sah? Apakah ke­dua-duanya? Hal ini tentu tidak mung­kin. Kalau menikah secara hukum Islam dahulu, yaitu di KUA, kemudian menikah lagi di gereja, maka menurut hukum Islam ia sudah mui-tad dan perkawinan pertamanya sudah bubar. Dari sudut pencatatan, apa jadinya bila terjadi dua kali pencatatan? Yang jelas statistik angka perkawinan akan membengkak tanpa didukung kenyata­an sebenarnya. Lalu bagaimana bila terjadi keretakan/ketidakcocokan dan kedua-duanya ingin bercerai? Apa ha­rus dimohonkan perceraian melalui kedua instansi tersebut ?

Dari berbagai pendapat yang berha­sil kami kumpulkan, baik dari kalang­an teoretisi maupun dari kalangan praktisi seperti pengacara-pengacara, Hakim Senior pada Pengadilan Negeri pada waktu kami mengadakan peneli­tian mengenai hal yang sama pada ta­hun 1983, pada umumnyaberpenda­pat yang sah adalah perkawinan yang . pertama. J adi bila menikah dua kali, yaitti yang pertama di KUA dan yang

Hukum dan Pembanllunan

kedua di gereja, maka yang sah adalah pernikahan yang dilakukan di KU A.

Pada akhir-akhir ini ada pula penda­pat yang menurut hemat kami kurang tepat, yaitu karena perkawinan te­lah terjadi di dua instansi yaitu di KUA dan Gereja , di mana masing-ma­sing dicatat di Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk serta Catatan Sipil, maka perceraian harus dimintakan pula pada baik Pengadilan Agama maupun Peng­adilan Negeri. Kalau kedua-duanya membawa hasil yang sarna, yaitu sa­rna-sarna dikabulkan atau tidak dika­bulkannya perceraian, tidak masalah. Tetapi bagaimana kalau di Pengadilan Agama perceraian dikabulkan, yang berarti secara hukum Islam sudah ber­cerai , tetapi di Pengadilan Negeri tidak diperkenankan perceraian? Karena me­rasa sudah bercerai secara Islam di KUA, maka yang beragama Islam ter­sebut menikah lagi dengan laki/perem­puan lain. Apa terhadapnya dapat di­tuntut bigami, karena perceraian di Pengadilan Negeri belum putus? Bu­kankah perceraian telah terjadi sesuai dengan hukum agamanya sejalan de­ngan maksud Pasal 2 Undang-undang No. 1/1974?

Untuk menghindari hal-hal tersebut di atas yaitu adanya dualisll1e penca­tatan dan dualisme Badan Pengadilan yang berwenang terhadap kedua mem­pelai yang sam a dapat diusulkan hal­hal sebagai beriku t:

1. Menikah di KUA yang berarti dica­tat oleh Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, setelah itu meni­kah lagi di gereja tanpa dicatat di Catatan Sipil atau sebaliknya, per­tama menikah di Gereja dengan di­catat oleh Catatan Sipil, setelah itu menikah secara Islam di bawah

Page 7: PERKAWINAN ANTAR AGAMA DEWASA INI DI INDONESIA, …

pel'llQwinan Antar Agama

tallgan. Dengan demikian ketentuan Pasal 2 Undang-undang No. 1/ 1974 terpenuhi, dan hanya ada satu kali pencatatan berarti hanya ada Satu Buku Nikah yaitu dari KUA atau dari Catatan Sipil. Dengan de­mikian bila timbul keretakan/keti­dakcocokan dan ingin bercerai, ha­nya ada satu pengadilan yang ber­wenang, yaitu Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri. Kesulitan memang tetap ada bila pasangan tersebut ingin bercerai di KUA , se­dangkan salah satu pihak adalah non-Islam, yang untuk pemecahan­nya telah kami kemukakan dalam bagian terdahulu.

2. Jalan ke luar lain yang dapat ditem puh untuk menghindari dualisme pencatatan ini adalah melalui penaf­siran Pasal 66 U ndang-U ndang No. 1/1974 secara a contrario yaitu sepanjang tidak diatur oleh Undang­undang No. 1/ 1974, maka ketentu­an-ketentuan sebelumnya seperti GHR (regeling op de gemengde huwelijken S.1898 No. 158) , HOCI , masih tetap berlaku. Di dalam GHR ada ketentuan yaitu Pasal 7 ayat 2 yang menyatakan: Perbedaan aga­ma, bangsa atau keturunan tidak menjadi penghalang untuk terjadi­nya suatu perkawinan. Kemudian Pasal 2 GHR pada pokoknya me nyatakan, dalam suatu perkawinan campuran maka si istri mengikuti status dari suami baik secara hukum perdata maupun secara hukum pub­lik. ,

Dalam hal ini bila pernikahan ter­sebut adalah antara calon mempelai wanita beragama Islam dan calon mempelai laki-laki beragama non-Is· lam, maka perkawinan dapat dilang-

241

sungkan dan dicatat di Catatan Sipil dengan terlebih dahulu mohon izin kepada Pengadilan Negeri, setelah ada­nya penolakan dari KUA. Hal ini sam­pai tulisan ini dibuat masih bisa dila­kukan oleh Catatan Sipil, terutama un­tuk wilayah DKI Jakarta.

Tetapi bagaimana halny~ bila yang beragama Islam itu adalah calon mem pelai laki-Iaki dan yang non-Islam ada­lah calon mempelai wanita? Bila di­ikuti ketentuan Pasal 2 GHR tersebut , maka pernikahan seyogyanya dilaku­kan di KUA. Tetapi nyatanya KUA ti­dak akan mungkin menikahkan kedua­nya, bila calon mempelai wanita bu­kan beragama Islam, apalagi ditam­bah dengan berbagai fatwa seperti diuraikan di muka oleh para ulama Islam. Begitu pula Catatan Sipil ter­u tama di Jakarta sekarang ini sej ak Agustus 1986 tidak lagi mau mela­kukan pencatatan perkawinan terha­dap perkawinan an tara laki-Iaki Islam dengan wan ita non-Islam. Demikian­lah dikemukakan oleh salah seorang pejabat Catatan Sipil DKI mewakili Kepala Kantor Catatan Sipil DKI yang dimuat dalam Harian Berita Buana tanggal 13 September 1986. Pernyata­an tersebut belakangan diperkuat pula oleh Pernyataan Kcpala Kantor Catat­an Sipil DKI Jakarta , yang dimuat dalam Harian Kompas tanggal 4 Juni 1987. Penjelasan terakhir ini dikaitkan dcngan perkawinan antara Aktor Dja­mal Mirdad dan Aktris Lidya Kan­douw, di mana untuk dapat berlang­sungnya pernikahan mereka karcna berbeda agama (Djamal Mirdad - Islam, Lydia- Kristen), telah dimintakan izin melalui. Pengadilan N egeri Jakarta Se­latan. Tidak jelas bagi kami, dasar hukum bagi Hakim dalam memberi­kan izin terhadap perkawinan tersebut.

funi 1987

Page 8: PERKAWINAN ANTAR AGAMA DEWASA INI DI INDONESIA, …

242

Apabila pendapat Kepala Kantor Catatan Sipil DKI tersebut diikuti, apakah hal ini tidak berarti akan me­nambah semakin banyaknya pasangan "kumpul kebo" di Indonesia, terutama di wilayah DKI Jakarta? Mereka se­benarnya ingin menikah secara baik­baik tetapi menemui jalan buntu.

Menurut hemat kami, sebenarnya Catatan Sipil tidak boleh terlalu kaku dalarn hal ini. Kalau U ndang-undang No. 1/1974 tidak mengaturnya, maka sejalan dengan yang berlaku untuk wa­nita Islam yang akan menikah dengan pria non-Islam, dapat diperlakukan Pa­sal 2 GHR jo. Pasal 7 ayat 2 GHR melalui Pasal 66 Undang-undang No. 1/1974, yaitu dengan izin Pengadilan Negeri Perkawinan dapat dicatat di Ca­tatan Sipil, maka mengapa Catatan Sipil dengan melalui Pasal 66 U ndang­undang No. 1/1974 juga, tidak dapat melakukan pencatatan perkawinan ter­hadap pasangan mempelai laki-Iaki Is­lam dengan wanita non-Islam? Bukan· kah untuk ini dapat pula diperlakukan Pasal 75 HOCI yaitu penundukan diri kepada hukum perdata Barat yang ber­laku untuk calon mempelai wanita yap.g non-Islam. Apakah untuk ini di­perlukan pula izin pengadilan atau ti­dak bukan masalah. Bukankah bila kita melihat yurisprudensi di muk'a yaitu putusan Mahkamah Agung No. 1650 K/Sip/1974 tertanggal 13 No­vember 1979 dipergunakan ketentuan dalam HOC I yaitu Pasal 72 HOCI ayat 1 dan dalam putusan Mahkamah Agung No. 32 K/AG/1983 dapat pula disimpulkan telah dipakai lembaga pe­nundukan diri ini yaitu dalam hal ini kepada hukum Islam. J adi dalam ka­sus tersebut, Catatan Sipil dapat me­Iakukan pencatatan pencatatan yaitu

HUkum dan Pembangunan

dengan syarat pada saat melakukan perkawinan calon mempelai laki-laki menyatakan menundukkan diri terha­dap hukum yang berlaku bagi calon mempelai wanita. Sebagaimana diketa­hui , Pasal 75 HOCI ini memberi ke­sempatan kepada laki-Iaki non-Nasrani pada saat dilangsungkannya perkawin­an dengan wanita Nasrani untuk me­nundukkan diri kepada hukum Nasrani tanpa harus menjadi Nasrani. Hal ini tentu saja terlepas dari maksud semula pembentuk undang-undang la­ma itu untuk "mengeloni" hukum Nasrani, guna mencegah wanita Eropa tunduk pada hukum perkawinan Islam yang poligami, bila menikah dengan

• laki-Iaki pribumi, sebagai akibat berla-kunya Pasal 2 GHR (Perkawinan tun­duk pada hukum suami).

Yang penting sekarang ini, ada jalan ke luar. Walaupun menurut hukum agama masing-masing perkawinan ter­sebut tidak sah (sebagaimana juga per­kawinan antara wanita Islam dengan non-Islam yang bisa dilakukan dan dicatat di Catatan Sipil), tetapi menu­rut hukum Negara, perkawinan terse­but adalah sah. Anak-anak yang dila­hirkan adalah anak sah yang mempu­

nyai hubungan hukum dengan kedua orang tuanya, bukan hanya dengan ibu, seperti halnya anak tidak sah. Hal yang sama seyogyanya berlaku pula untuk perkawinan antar agama yang terjadi baik antara warga negara Indo­nesia dengan orang asing maupun anta­ra sesama warga negara asing yang di­lakukan di Indonesia. Hanya untuk mereka yang terakhir ini dengan mem­perhatikan pula ketentuan-ketentuan lain baik dalam Undang-undang No. 1/1974 an tara lain Pasal 57 dan sete­rusnya serta ketentuan-ketentuan da-

Page 9: PERKAWINAN ANTAR AGAMA DEWASA INI DI INDONESIA, …

Perkawinan Antar Aiama

lam Pasal 16 AB mengenai status personal yaitu syarat materiil yang harus dipenuhi oleh masing-masing ca­Ion mempelai yang berbeda kewarga­negaraannya itu , yaitp sesuai dengan hukum nasional mereka misalnya me­ngenai batas umur untuk menikah, izin kawin dan sebagainya. Begitu pu­la harus diperhatikan Pasal 18 AB, mengenai syarat formal, yaitu me­ngenai tata cara dilangsungkannya per­kawinan harus sesuai dengan hukum di mana perkawinan dilangsungkan

Kesimpulan dan Saran

Dengan melihat fakta-fakta di atas dapat diambil kesimpulan dan saran

Daftar Pustaka

243 .

sebagai berikut:

1. Adanya U ndang-undang yang meng­atur mengenai Perkawinan Antar Agama ini sudah mendesak.

2. Sebelum keluarnya undang-undang tersebut, untuk menjaga kesimpang-

. siuran dalam pelaksanaan perkawin­an antar agama tersebut, seyogya­nya Mahkamah Agung atau Depar­temen Kehakiman mengeluarkan petunjuk kepada Kantor Catatan Sipil untuk tetap dapat mencatat perkawinan-perkawinan antar aga­rna baik yang dilakukan an tara ca­Ion mempelai wan ita Islam de­ngan non-Islam maupun sebaliknya antara laki-laki Islam dengan wanita non-Islam.

Bahan-bahan Pokok Penyuluhan Hukum, BPHN, Departemen Kehakiman Pusat Penyuluhan Hukum Tahun 1983.

Gautama, S. , Hukum Antar Golongan, (Jakarta: PT. Penerbit Balai Buku Ikhtiar, eet. 3/ 1971 ).

Harian Berita Buana tangga113 September 1986. Harian Kompas tangga14 Juni 1987. Harian Pelita tangga11 November 1986. Ibid., Penganlar Hukum Perdata Internasional, (Jakarta: Penerbit Bina Cipta, Mei, 1977) . Segi-segi Hukum Antar Tata Hukum pada Keputusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama,

Mahkamah Agung di Indonesia sejak tahun 1966 (Instruksi Presidium Kabinet Am­pera No. 31/U/IN/1966; hingga sekarang), Laporan Penelitian, FHUI, Jakarta 1983 .

Wantjik Saleh, K., Himpunan Peraturan Undang-undang ten tang Perkawinan , (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru - van Hoeve - Cet. kedua, 1954).

Zulfa Djoko Basuki, Komentar Putusan Hakim, Hukum dan Pembangunan, Th. ke-IV, Januari 1984.

• •

• •

Juni 1987 •