perjalanan lcs

38
1. Perjalanan LCS LCS diproduksi di Processus xypoideus v. Lateralis For. Monroe V. Tertius Aquaductus Mecencephali V. Quartus Apertura Lateral Apertura Medial (For. Luscha) (For. Magendie) Spatium Subarachnoid Granulationes Arachnoidea (di serap) Sirkulasi LCS (1,2,4) LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari ventriculus lateralis ke dalam ventriculus tertius, dan dari sini melalui aquaductus sylvii masuk ke ventriculus quartus. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor cerebrospinalis externum melalui foramen lateralis dan medialis dari ventriculus quartus. Cairan meninggalkan system ventricular melalui apertura garis tengah dan lateral

Upload: hafodhotusadiah

Post on 04-Dec-2015

109 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

1. Perjalanan LCS

LCS diproduksi di Processus xypoideus v. Lateralis For. Monroe

V. Tertius

Aquaductus Mecencephali V. Quartus

Apertura Lateral Apertura Medial

(For. Luscha) (For. Magendie)

Spatium Subarachnoid

Granulationes Arachnoidea (di serap)

Sirkulasi LCS (1,2,4) LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari

ventriculus lateralis ke dalam ventriculus tertius, dan dari sini melalui aquaductus

sylvii masuk ke ventriculus quartus. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor

cerebrospinalis externum melalui foramen lateralis dan medialis dari ventriculus

quartus. Cairan meninggalkan system ventricular melalui apertura garis tengah dan

lateral dari ventrikel keempat dan memasuki rongga subarachnoid. Dari sini cairan

mungkin mengalir di atas konveksitas otak ke dalam rongga subarachnoid spinal.

Sejumlah kecil direabsorpsi (melalui difusi) ke dalam pembuluh-pembuluh kecil di

piamater atau dinding ventricular, dan sisanya berjalan melalui jonjot arachnoid ke

dalam vena (dari sinus atau vena-vena) di berbagai daerah – kebanyakan di atas

konveksitas superior. Tekanan cairan cerebrospinal minimum harus ada untuk

mempertahankan reabsorpsi. Karena itu, terdapat suatu sirkulasi cairan cerebrospinal

yang terus menerus di dalam dan sekitar otak dengan produksi dan reabsorpsi dalam

keadaan yang seimbang.

2. Fissura Sylvii

Fissura lateralis serebri (fissura Sylvii) memisahkan lobus temporalis dari lobus

frontalis.

3. Fraktur basis cranii fossa anterior, media dan posterior

a. Fraktur Basis Cranii

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak

terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria

khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis.

Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak

akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu :

fossa cranii anterior, fossa cranii media dan fossa cranii posterior.

Fossa crania anterior

menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh permukaan dalam os

frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh pars

orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina cribiformis os etmoidalis di medial.

Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubung lubang

halus pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius.

Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera. Keadaan

ini abkan robeknya meningeal yang menutupi mukoperiostium. Pasien dapat mengalami

epistaksis dan terjadi rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung.

Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva

(raccoon eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari

fraktur basis cranii fossa anterior.

Fossa cranii media 

terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os sphenoidalis dan bagian

lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang menampung lobus

temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os sphenoidalis dan terdapat

canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan a.oftalmica, sementara bagian posterior

dibatasi oleh batas atas pars petrosa os temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars

os temporal.

Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor os

sphenoidalis dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n, occulomotorius dan n.

abducens.

Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini merupakan tempat

yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan oleh

banyak nya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani dan sinus sphenoidalis

merupakan daerah yang paling sering terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah

dari canalis acusticus externus sering terjadi (otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat

cedera pada saat terjadi cedera pada pars perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI

dapat cedera bila dinding lateral sinus cavernosus robek.

Fossa cranii posterior

 menampung otak otak belakang, yaitu cerebellum, pons dan medulla oblongata.

Di anterior fossa di batasi oleh pinggi superior pars petrosa os temporal dab di posterior

dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os occipital. Dasar fossa cranii posterior

dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan squamosa os occipital dan pars mastoiddeus

os temporal.

Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh medulla

oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis assendens n. accessories

dan kedua a.vertebralis.

Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot otot

postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot otot

trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap nasofaring dapat

robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai foramen jugularis n.X, X

dan XI dapat cedera.

b. Tanda-tanda fraktur basis cranii di fossa anterior, medial, posterior

Fraktur fossa anterior

Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi

lingkaran “biru” (Brill Hematoma atau Raccon’s Eyes), rusaknya Nervus

Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.

Fraktur fossa media

Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri

carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernosus sehingga terjadi hubungan

antara darah arteri dan darah vena.

Fraktur fossa posterior

Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas

foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati

seketika.

4. Perbedaan Ottorhea, Ottorhagia, Rhinorrea

a. Otorrhea adalah keluarnya cairan dari liang telinga yang dapat bersifat:

Encer/serosa jika berasal dari telinga luar

Mukoid jika berasal dari telinga tengah

Mengandung darah (serosanguinolen), misalnya jika terjadi meningitis bullosa

pada telinga luar

Telinga berair (otore) adalah keluarnya sekret dari liang telinga. Sekret yang keluar

bisa berupa darah, serumen telinga, pus, atau cairan lain dari liang telinga. Jenis

cairan yang keluar bisa serosa, mukoid, ataupun purulen.

b. Rinorea berasal dari bahasa yunani “rhinos” yaitu hidung dan “-rrhea” yang

berarti cairan. Rinore atau hidung berair secara umum dapat diartikan sebagai

keluarnya cairan dari hidung yang salah satunya disebabkan oleh adanya suatu

proses inflamasi atau iritasi. Cairan yang keluar dapat berwarna jernih, hijau

ataupun coklat.

(referat Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT FK Wijaya Kusuma Suraabaya

2015: Putu Ngurah Aeland Prilaksana K. Universitas Wijaya Kusuma Surabaya)

c. Othorragia adalah perdarahan dari telinga atau keluarmya darah dari dalam telinga

5. Trias Crushing

Trias Chusing adalah tampilan klasik pada peningkatan TIK yang disebabkan

oleh perdarahan intrakranial. Tiga gejala Chusing’s antara lain adanya hipertensi,

bradikardi, dan depresi pernafasan. Hal ini terjadi pada pasien dengan peningkatan

TIK yang sudah berlangsung lama dan jatuh pada kondisi gawat darurat. Trias

Chusing’s dapat menyebabkan defisit neurologis setempat yang dapat berkembang

menjadi massa atau herniasi.

6. Perbedaan Eksoftalmus, Ptosis, Lagoftalmus

a. Eksoftalmus adalah mata yang menonjol keluar.

b. Ptosis adalah kelopak mata yang sukar terangkat atau kelopak seperti terjatuh

c. Lagoftalmus adalah kelopak mata yang tidak dapat menutup sempurna.

7. Cara Pemeriksaan Bulbu Cavernosus Refleks

Cara Pemeriksaan Bulbu Cavernosus Refleks suatu reflex yang ditandai dengan

kontraksi dari otot bulbospongiosus ( otot spingter ani ) ketika dorsum penis ditarik atau

glans penis dikompresi. Juga disebut refleks penis.

Bulbo Cavernosus Refleks atau BCR adalah salah satu cara untuk

mengetahui apakah seseorang menderita dari shock spinal. Refleks ini merupakan refleks

polysynaptic yang berguna selain untuk mengetahui adanya syok spinal juga

memperoleh informasi tentang adanya cedera sumsum tulang belakang (SCI). Tes ini

melibatkan pemantauan kontraksi sfingter anal sebagai respon terhadap gerakan

meremas pada glans penis atau tertariknya kateter Foley. Refleks ini dimediasi oleh

syaraf tulang belakang S1-S4. Tidak adanya refleks tanpa trauma sumsum tulang

belakang sakral menunjukkan syok spinal. Biasanya iniadalah salah satu refleks pertama

yang kembali setelah syok spinal. Tidak adanya fungsi motorik dan fungsi sensorik

setelah refleks telah kembali menunjukkan adanya cidera spinal yang lengkap. Tidak

adanya refleks ini dalam kasus dimana syok tulang belakang tidak dicurigai dapat

menunjukkan lesi atau cedera medullaris konus atau akar saraf sakral. Bulbokavernosus

adalah istilah awal untuk m.bulbospongiosus, sehingga refleks ini seharusnya disebut

"Bulbospongiosus refleks".

Jika refleks telah kembali tapi masih ada kurangnya fungsi sensorik dan

motorik maka ini hanya menunjukkan Spinal Cord Injury lengkap. Dalam hal ini tidak

mungkin bahwa fungsi neurologis penting yang pernah akan kembali. Jika syok spinal

tidak terlibat belum ada tidak adanya refleks ini maka bisa mengindikasikan cedera akar

saraf sakral. Nama lain untuk bulbokavernosus refleks Bulbospongiosus refleks. Hal ini

juga dapat diuji secara electrophysiologik melalui ransangan listrik pada penis dan

rekaman dari kontraksi anus. Tes ini biasanya dilakukan untuk mengkonfirmasi jika ada

motor atau fungsi sensori dari akarsakral dan di medullaris konus.

  Syok spinal biasanya berlangsung empat puluh delapan jam dan pengakhiran

shock spinal sinyal itu datang belakang bulbokavernosus refleks. Tetapi harus diingat

bahwa shock spinal tidak diamati pada cedera yang terjadi di bawah level injurynya.

Karena ini tidak menyebabkan shock spinal sehingga tidak adanya refleks

bulbokavernosus menunjukkanadanya cedera cauda equina atau cedera conus medullaris.

8. Klasifikasi Diffuse injury dan Kelainannya

Klasifikasi Diffuse Brain Injury menurut studi TCDB

Derajat I : Tidak tampak kelainan patologis intrakranial pada CT scan

Derajat II : Tidak tampak pendesakan sisterna mesensefalik, dengan midline shift

0-5 mm dan tampak lesi dengan densitas tinggi atau densitas campuran

dengan volume < 25 cc (termasuk fragmen fraktur dan benda asing)

Derajat III : Sisterna mesensefalik terdesak atau tidak tampak, dengan atau tanpa

midline shift 0-5 mm dan atau tampak lesi dengan densitas tinggi atau

densitas campuran dengan volume < 25 cc

Derajat IV : Midline shift >5 mm, dengan atau tanpa lesi dengan densitas tinggi

atau densitas campuran dengan volume < 25 cc

Diffuse axonal injurydibagi atas tiga derajat, yaitu : (Graham DI, McIntosh TK,

1996).

Derajat satu kelainan terbatas secara histologik yaitu kerusakan akson

sepanjang substansia alba tanpa penekanan fokal pada corpus callosum

maupun batang otak.

Derajat dua bila selain terdapat distribusi luas dari kerusakan aksonal, juga

terdapat lesi fokal pada corpus callosum.

Derajat tiga ditandai dengan kerusakan difus akson disertai dengan lesi fokal

pada cospus callosum dan batang otak.

9. Klasifikasi Hernia Serebral

a) ` Supratentorial herniasi

1. Uncal

Pada herniasi uncal, sebuah subtipe umum herniasi transtentorial,

bagian terdalam dari lobus tempral, dapat ditekan begitu banyak sehingga

terjadi oleh tentorium dan memberikan tekanan pada batang otak, terutama

otak tengah. Tentorium jaringan dapat dilucuti dari korteks otak dalam

proses yang disebut decortication. Uncus dapat menekan saraf kranial III,

dapat mempengaruhi parasimpatis kepada mata disisi dari saraf yang

terkena, menyebabkan pupil mata terpengaruh untuk melebar dan

mengerut gagal dalam merespon terhadap cahaya sebagaimana mestinya.

Pelebaran pupil sering mendahului terkena kompresi saraf kranial III (serat

parasimpatis adalah radial terletak diserat eferen somatik umum di CNIII),

yang merupakan penyimpangan dari mata ke bawah dan keluar posisi

karena hilangnya persarafan untuk semua pergerakan otot mata kecuali

untuk rektus lateral (diinervasi oleh VI saraf kranial) dan oblik superior

(diinervasi oleh saraf kranial IV). Gejala terjadi dalam urutan ini karena

serat parasimpatis eksentrik mengelilingi serat motor dari CNIII dan

karenanya yang pertama di kompresi.

2. Central (transtentorial)

Pada herniasi sentral diencephalon dan bagian lobus temporal dari kedua

belahan otak ditekan melalui lekukan di cerebelli tentorium. Herniasi

transtentorial dapat terjadi saat otak bergerak baik atas atau bawah

diseluruh tentorium, yang disebut naik dan turun herniasi transtentorial

masing, namun turun heniasi jauh lebih umum.

3. Cingulate (subfalcine)

Pada herniasi cingulata, bagian terdalam dari lobus frontalis adalah turun

dibawah bagian dari falx serebri, duramater di bagian atas kepala antara

dua belahan otak. Cingulate herniasi dapat disebabkan ketika salah satu

belahan membengkak dan mendorong cingulate gyrus oleh falx serebri.

4. Transcalvarial

Pada herniasi ini, otak meremas melalui fraktur atau situs bedah dalam

tengkorak. Juga disebut “herniasi eksternal”, jenis herniasi ini mungkin

terjadi selama kraniotomi.

b) Infratentorial herniasi

1. Upward (upward cerebellar or upward transtentorial)

Herniasi upward atau herniasi keatas, yaitu terjadi akibat tekanan pada

fossa posterior dapat menyebabkan otak kecil untuk naik melalui

pembukaan tentorial diatas, atau herniasi cerebellar. Otak tengah didorong

melalui takik tentorial. Hal ini juga mendorong otak tengah ke bawah.

2. Herniasi Tonsillar

Pada herniasi tonsillar atau herniasi ke bawah atau “coning”, amandel

cerebral bergerak ke bawah melalui foramen magnum mungkin

menyebabkan kompresi batang otak yang lebih rendah dan saraf tulang

belakang leher atas, ketika mereka melalui foramen magnum. Peningkatan

tekanan pada batang otak bisa mengakibatkan disfungsi pusat di otak yang

bertanggung jawab untuk mengendalikan fungsi pernafasan dan jantung.

10. Fase Interval

Yaitu adanya fase sadar diantara 2 fase tidak sadar karena bertambahnya

volume darah.

11. Pemeriksaan Shifting dulness

Pemeriksaan pekak alih (shifting dullness). Prinsipnya adalah cairan bebas akan

berpindah ke bagian abdomenterendah. Pasien tidur terlentang, lakukan perkusi

dan tandai peralihansuara timpani ke redup pada kedua sisi. Lalu pasien diminta tidur

miringp a d a s a t u s i s i , l a k u k a n p e r k u s i l a g i , t a n d a i t e m p a t

p e r a l i h a n s u a r a timpani ke redup maka akan tampak adanya peralihan suara redup.

12. Pemeriksaan Nyeri Sumbu

Nyeri sumbu adalah rasa nyeri yang timbul apabila tulang itu ditekan dari

ujung ke ujung.

13. Perbedaan fraktur colles dan smith

Fraktur Colles adalah fraktur radius bagian distal (sampai 1 inchi dari ujung distal)

dengan angulasi ke posterior, dislokasi ke posterior, dan deviasi fragmen distal ke

radial; dapat bersifat kominutiva dan dapat disertai fraktur prosesusstiloid ulna.

Dislokasi ini menyebabkan bentuk lengan bawah dan tangan bila dilihat darisamping

menyerupai bentuk garpu ( dinner-fork deformity). Abraham Colles adalah orangyang

pertama kali mendeskripsikan fraktur radius distalis pada tahun 1814 dan

sekarangdikenal dengan nama fraktur Colles (Armis, 2000). Cedera yang

digambarkan oleh Abraham Colles pada tahun 1814 adalah fraktur melintang pada

radius tepat di atas pergelangan tangan, dengan pergeseran dorsal fragmen distal.

Sejak saat itu frakturjenis ini diberi nama sebagai fraktur Colles sesuai dengan nama

Abraham Colles. Biasanya penderita jatuh terpeleset sedang tangan berusaha menahan

badan dalam posisi terbuka dan pronasi. Gaya akan diteruskan ke daerah metafisis

radius distal yang akanmenyebabkan patah radius 1/3 distal di mana garis patah

berjarak 2 cm dari permukaan persendian pergelangan tangan.

Fraktur Colles adalah Deformitas pada fraktur ini berbentuk seperti sendok

makan (dinner fork deformity). Pasien terjatuh dalam keadaan tangan terbuka dan

pronasi, tubuh beserta lengan berputar ke ke dalam (endorotasi). Tangan terbuka yang

terfiksasi di tanah berputar keluar (eksorotasi/supinasi).

Manifestasi Klinis

o Fraktur metafisis distal radius dengan jarak _+ 2,5 cm dari permukaan sendi distal

radius

o Dislokasi fragmen distalnya ke arah posterior/dorsal

o Subluksasi sendi radioulnar distal

o Avulsi prosesus stiloideus ulna.

Penatalaksanaan

Pada fraktur Colles tanpa dislokasi hanya diperlukan imobilisasi dengan pemasangan

gips sirkular di bawah siku selama 4 minggu. Bila disertai dislokasi diperlukan

tindakan reposisi tertutup. Dilakukan dorsofleksi fragmen distal, traksi kemudian

posisi tangan volar fleksi, deviasi ulna (untuk mengoreksi deviasi radial) dan diputar

ke arah pronasio (untuk mengoreksi supinasi). Imobilisasi dilakukan selama 4 - 6

minggu.

-Fraktur Smith

Fraktur Smith merupakan fraktur dislokasi ke arah anterior (volar), karena itu sering

disebut reverse Colles fracture. Fraktur ini biasa terjadi pada orang muda. Pasien jatuh

dengan tangan menahan badan sedang posisi tangan dalam keadaan volar fleksi pada

pergelangan tangan dan pronasi. Garis patahan biasanya transversal, kadang-kadang

intraartikular.

Manifestasi Klinis

Penonjolan dorsal fragmen proksimal, fragmen distal di sisi volar pergelangan, dan

deviasi ke radial (garden spade deformity).

Penatalaksanaan

Dilakukan reposisi dengan posisi tangan diletakkan dalam posisi dorsofleksi ringan,

deviasi ulnar, dan supinasi maksimal (kebalikan posisi Colles). Lalu diimobilisasi

dengan gips di atas siku selama 4 - 6 minggu.

14. Fraktur Epifisis

Fraktur epifisis merupakan suatu fraktur tersendiri dan di bagi dalam :

(1) Fraktur Avulsi akibat tarikan ligamen

(2) fraktur kompressi yang bersifat komunitif

(3) Fraktur osteokondral (bergeser).

Fraktur pada anak-anak berbeda dengan orang dewasa ,karena adanya

perbedaan anatomi, biomekanik, dan fisiologi tulang.

Lempeng epifisis merupakan suatu diskus tulang rawan yang terletak diantara

epifisis dan metafisis. Fraktur lempeng epifisis merupakan 1/3 dari seluruh fraktur

pada anak-anak. Tulang rawan lempeng epifisis lebih lemah daripada tulang lain.

Daerah yang paling lemah dari lempeng epifisis adalah zona transformasi tulang

rawan pada daerah hipertrofi dimana biasanya terjadi garis fraktur disebabkan oleh

meningkatnya aktfifitas metabolik dan berkurangannya suplai darah

Periosteum pada anak-anak lebih tebal daripada orang dewasa, yang

memungkinkan penyembuhan tulang pada anak – anak lebih cepat dibandingkan pada

orang dewasa. Pada pasien fraktur epifisis digunakan klasifikasi salter-Harris untuk

membantu dalam menegakan diagnosa, penatalaksanaan dan prognosis pada pasien

fraktur.

Klasifikasi

Banyak klasifikasi fraktur lempeng epifisis antara lain menurut Salter-Harris,

Polland, Aitken, Weber, Rang, Ogend. Tapi klasifikasi menurut Salter-Harris yang

paling mudah dan praktis serta memenuhi syarat untuk terapi dan prognosis.

Klasifikasi menurut Salter-Harris merupakan klasifikasi yang dianut dan dibagi dalam

lima tipe :

1. Tipe I

Terjadi pemisahan total lempeng epifisis tanpa adanya fraktur pada tulang, sel-sel

pertumbuhan lempeng epifisis masih melekat pada epifisis. Fraktur ini meliputi zona

hipertrofi dan zona kalsifikasi. Fraktur ini terjadi oleh karena adanya

shearing force dan sering terjadi pada bayi baru lahir dan pada anak-anak yang lebih

muda.

2. Tipe II

Merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan. Garis fraktur melalui

sepanjang lempeng epifisis dan membelok ke metafisis dan akan membentuk suatu

fragmen metafisis yang berbentuk segitiga yang disebut dengan tanda Thurston-

Holland. Sel-sel pertumbuhan pada lempeng epifisis juga masih melekat. Trauma

yang menghasilkan jenis fraktur ini biasanya terjadi karena trauma shearing force dan

membengkok dan umumnya terjadi pada anak-anak yang lebih tua. Periosteum

mengalami robekan pada daerah konveks tetapi begitu sulit kecuali bila reposisi

terlambat harus dilakukan tindakan operasi.

Fraktur salter haris tipe II Fraktur salter haris tipe II pada

distal tibia

3. Tipe III

` Fraktur lempeng epifisis tipe III merupakan fraktur intra-artikuler. Garis

fraktur mulai permukaan sendi melewati lempeng epifisis kemudian sepanjang garis

lempeng epifisis. Jenis ini bersifat intra-artikuler dan biasanya ditemukan pada epifisis

tibia distal.

Fraktur salter haris tipe III Fraktur salter haris tipe III pada distal tibia

4. Tipe IV

Fraktur tipe IV juga merupakan fraktur intra-artikuler yang melalui sendi

memotong epifisis serta seluruh lapisan lempeng epifisis dan berlanjut pada sebagian

metafisis. Jenis fraktur ini misalnya fraktur kondilus lateralis humeri pada anak-anak.

fraktur salter Haris tipe IV fraktur salter Haris tipe IV distal tibia

5. Tipe V

Fraktur tipe V merupakan fraktur akibat hancurnya epifisis yang diteruskan. Pada

lempeng epifisis. Biasanya terjadi pada daerah sendi penopang badan yaitu sendi

pergelangan kaki dan sendi lutut. Diagnosis sulit karena secara radiologik tidak dapat

dilihat.

Derajat fraktur epifisis

Tipe I

Menyebabkan pemisahan melalui lempeng epifisis sebagian epifisis

terpisah dari metafisis. Tidak ada tulang yang fraktur dari epifisis atau

metafisis. Garis pembelahan berjalan melalui zona hipertrofi dari fisis, dengan

pertumbuhan sel yang tersisa di epifisis, dalam kelanjutan dengan suplai darah

nutrisi.

Tipe II

75% dari jejas fisis. Garis fraktur berjalan melalui zona sel hipertrofik dari

fisis dan kemudian keluar melalui segmen tulang metafisis. Segmen tulang

metafisis disebut sebagai fragmen “Thurston Holland”.

Tipe III

Fraktur epifisis intraartikuler dengan ekstensi melalui lapisan sel hipertrofik

dari fisis.

Tipe IV

Fraktur Salter-Harris tipe IV berasal dari permukaan artikular, melintasi

epiphysis, meluas melalui penuh ketebalan fisis, dan keluar melalui segmen

metafisis.

Tipe V

Cedera ini paling sering terjadi di lutut atau pergelangan kaki dan merupakan

hasil dari cedera abduksi atau adduksi yang mengirimkan tekanan kompresi

yang mendalam di fisis. Hasil dari kompresi aksial ini akan menghancurkan

fisis dan khususnya melukai sel-sel di zona cadangan proliferasi.

15. Cara Pemeriksaan Logroll

Logroll adalah sebuah teknik yang digunakan untuk memiringkan klien yang

badannya harus setiap saat dijaga pada posisi lurus sejajar (seperti sebuah batang kayu).

Contohnya untuk klien yang mengalami cedera spinal. Asuhan yang benar harus

dilakukan untuk mencegah cedera tambahan. Teknik ini membutuhkan 2-5 orang

perawat. Untuk klien yang mengalami cedera servikal, seorang perawat harus

mempertahankan kepala dan leher klien tetap sejajar.

Pelaksanaan

a. Jelaskan kepada klien apa yang akan Anda lakukan, mengapa hal tersebut perlu

dilakukan, dan bagaimana klien dapat bekerja sama. Diskusikan bagaimana hasilnya

akan digunakan untuk merencanakan perawatan dan pengobatan selanjutnya.

b. Cuci tangan dan observasi prosedur pengendalian infeksi lainnya yang sesuai

c. Beri privasi klien

d. Atur posisi Anda dan klien secara tepat sebelum melakukan perubahan posisi

- Berdiri pada sisi tempat tidur yang sama, dan ambil jarak berdiri yang luas dengan

satu kaki berada di depan kaki lainnya

- Letakkan lengan klien menyilang di dada.tindakan tersebut memastikan lengan tidak

akan cedera atau terperangkap di bawah tubuh saat tubuh dimiringkan

- Condongkan tubuh Anda, dan fleksikan pinggul, lutut, dan pergelangan kaki Anda

- Letakkan lengan Anda di bawah klien. Setiap anggota staf kemudian terbebani

daerah berat badan klien yang utama yang dipusatkan di antara lengan masing-

masing perawat

- Kencangkan otot gluteal, abdomen, tungkai, dan lengan Anda.

e. Tarik klien ke sisi tempat tidur

- Seorang perawat memberi aba-aba, “satu, dua, tiga, ya.” Kemudian, pada

waktu yang bersamaan, seluruh anggota staf menarik klien ke sisi tempat

tidur dengan mengalihkan berat badan mereka ke kaki belakang.

Memindahkan klien secara bersamaan akan mempertahankan kesejajaran

tubuh klien.

- Naikkan pagar tempat tidur pada sisi yang dekat dengan klien. Tindakan ini

mencegah klien jatuh saat berbaring begitu dekat dengan tepi tempat tidur

f. Pindah ke sisi tempat tidur yang lain, dan letakkan peralatan penyangga (bantal) untuk

klien saat dimiringkan. Bantal yang dibutuhkan 2-4 (tergantung pada ukuran postur

klien).

- Letakkan bantal pada tempat yang akan menyangga kepala klien setelah klien

dimiringkan. Bantal mencegah fleksi lateral pada leher dan memastikan spinal

servikal sejajar.

- Letakkan bantal di antara tungkai klien untuk menyangga tungkai bagian atas

saat klien dimiringkan. Bantal ini mencegah adduksi tungkai bagian atas dan

menjaga kedua tungkai paralel dan sejajar.

- Letakan bantal di belakang punggung klien mulai dari bahu/pundak dan satu

bantal di belakang pantat klien. Bantal ini untuk memfiksasi punggung agar

tetap miring dan menjaga punggung tetap sejajar.

g. Gulingkan dan atur posisi klien agar sejajar dengan benar.

- Setiap perawat memfleksikan pinggul, lutut, dan pergelangan kaki mereka

serta mengambil jarak berdiri yang luas dengan satu kaki di depan.

- Setiap perawat menjangkau klien dan meletakkan tangan ke sisi lateral klien

yang berseberangan dengan perawat. Posisi ini memusatkan daerah berat

badan klien yang utama di antara lengan setiap perawat.

- Seorang perawat memberi aba-aba, “satu, dua, tiga ya.” Kemudian, pada

waktu yang bersamaan, semua perawat menggulingkan klien ke posisi lateral

- Sangga kepala, punggung, dan ekstremitas atas dan bawah klien dengan bantal

- Naikkan pagar tempat tidur dan letakkan bel panggil pada tempat yang

terjangkau klien

Variasi: Menggunakan Seprai Pemindah

Gunakan seprai pemindah untuk memfasilitasi proses logroll. Pertama,

berdiri dengan perawat yang lain di sisi tempat tidur yang sama. Ambil jarak

berdiri yang luas dengan satu kaki di depan, dan genggaman sebagian seprai

yang melipat atau tepi seprai yang digulung. Dengan aba-aba, tarik klien ke

arah kedua perawat

Sebelum memiringkan klien, letakkan bantal penyangga untuk kepala dan

tungkai, seperti yang dijelaskan pada tahap 6. Bantal ini akan membantu

mempertahankan kesejajaran klien saat dimiringkan. Kemudian, pergilah ke

sisi tempat tidur yang lain (yang terjauh dari klien), dan ambil jarak berdiri

yang stabil. Jangkau klien, dan genggam sisi terjauh dari seprai pemindah

dan gulingkan klien menghadap ke Anda. Perawat kedua (di belakang klien)

membantu memiringan klien dan memberikan bantal penyangga untuk

memastikan kesejajaran tubuh yang baik pada posisi lateral.

Prosedur Tindakan

a. Cuci tangan Anda

b. Kaji dan identifikasi pasien (dengan memeriksa gelang pasien), jelaskan prosedur

(menggunakan istilah yang sederhana dan menunjukkan manfaat)

c. Jaga privasi

d. Posisikan tempat tidur

h. Tempat tidur harus dalam posisi datar pada ketinggian kerja yang nyaman

i. Turunkan bedrel pada sisi tubuh di mana Anda bekerja.

e. Posisikan diri Anda dengan kaki terpisah dan lutut menekuk dekat dengan sisi tempat

tidur

f. Lipat lengan pasien di dadanya

g. Tempatkan tangan Anda di bawah pasien sehingga sebagian besar dari berat badan

pasien berpusat di antara lengan Anda. Lengan dari salah satu perawat harus

mendukung kepala dan leher pasien

h. Pada hitungan ketiga, pindahkan pasien ke sisi tempat tidur, ayun mundur tumit Anda

dan jaga tubuh pasien dalam keselarasan yang benar

i. Pasang rel di sisi tempat tidur

j. Pindah ke sisi lain tempat tidur

k. Tempatkan bantal di bawah kepala pasien dan satu lagi di antara kedua kakinya

l. Posisikan lengan di dekat pasien ke arah Anda

m. Pegang ujung tubuh pasien dengan tangan Anda mulai dari bahu hingga paha

n. Pada hitungan ketiga, roll pasien ke posisi lateral, ayun mundur ke tumit Anda.

o. Tempatkan bantal di depan dan di belakang badan pasien untuk mendukung

keselarasan dalam posisi lateral

p. Berikan kenyamanan dan keselamatan pasien

q. Posisikan bel panggilan

r. Tempatkan barang-barang pribadi pasien dalam jarak yang mudah di jangkau

s. Pastikan bedrel terpasang dan aman

t. Dokumentasikan yang sesuai

16. Laki-laki 50 tahun dengan ileus obstruksi dehidrasi berat panas 39O C BB=50 kg

tatalaksana rehidrasi dan tatalaksana pasien.

Jawab:

Rumatan

: 2 cc / KgBB/ Jam

: 2 X 50

: 100cc/jam

: 100 X 24

: 2400

Dehidrasi Suhu

Berat : 8% X BB (gr) : x – Normal (37c) X 12,5% X Rumatan

:8% X 50.000 : (39 – 37 ) X 12,5% X 2400

:4000 : (2) X 12,5

: 600

6 jam pertama : ½ (4000+600) + 2400

: 3500cc

18 jam ke-2 : ½ (4000+600) + 2400

: 3500cc

Pemberian Tetesan 6 jam pertama : 3500cc X 15 : 6

= 52500/6 jam

= 8750 / jam

= 145 tetes/ menit

Pemberian Tetesan 18 jam ke II = 3500cc X 15 : 18jam

= 52500/18

= 2916/jam

= 48 tetes/menit

17. Bb= 25 kg dehidrasi sedang panas 38O C pemberian cairan bagaimana?

Jawab :

Rumatan

BB 10 kg 1 = 10 X 100cc

= 1000

BB 10kg II = 10 X 50cc

= 500

BB 5kg III = 5 X 20cc

= 100

Total Rumatan = 1600

Dehidrasi Suhu

Sedang: 10% X BB (gr) : (x – N) X 12,5% x Rumatan

: 10% X 25000 : (38 – 37) X 12,5% X Rumatan

: 2.500 : 1 X 12,5% X 1600

: 200

Pemberian Cairan

6 jam I : ½ X (rumatan+Koreksi)

= ½ X (1600+(2500+200))

= ½ X 4300

= 2150

Tetesan = 2150 X 15cc : 6 Jam

= 32250tetes/6jam

= 5375tetes/jam

= 90 tetes/menit

18 jam ke II : ½ X (Rumatan + Koreksi)

= ½ X (1600+(2500+200))

= ½ X 4300

= 2150

Tetesan = 2150X 15cc/18jam

= 32250/18jam

= 1792/18jam

= 30 tetes / menit