perbedaan psychological well-being lansia yang...
TRANSCRIPT
PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING LANSIA YANG
TINGGAL DI PANTI WERDA DAN DI RUMAH
Oleh
VeronikaPatrisiaPesik
802007093
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi guna memenuhi sebagian
dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING LANSIA YANG
TINGGAL DI PANTI WERDA DAN DI RUMAH
Veronika PatrisiaPesik
Christiana Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan psychologicalwell-beingantara lansia yang
tinggal di rumah dan di panti werda di kota Salatiga. Subyek penelitian 60 lansia meliputi 30
orang lansia yang tinggal di rumah dan 30 lansia yang tinggal di panti werda. Variabel
psychologicalwell beingdiukur dengan menggunakan skala psychological well beingmenurut
Ryff (dalam Van Dierendonck, 2008) mencakup: Penerimaan diri, hubungan positif dengan
orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan perkembangan pribadiyang
terdiri dari 42 aitem pernyataan. Data dianalisis dengan menggunakan teknik uji beda t-tes
sebesar -4,430 (p < 0,05), menunjukan ada perbedaan psychological well being antara lansia
yang tinggal di rumah dan lansia yang tinggal di panti werda.
Kata Kunci : Psychological well-being (PWB)
Abstract
The research study the differences of psychologicalwell-being between elderly which stay in
home and elderly stay in folks house in Salatiga. Subject of the research 60 elderly which consist
of 30 elderly who stay in home and 30 elerly who stay in folks home.Psychologicalwell being
variable is measured by psychological well being scale according to Ryff (in Van Dierendonck,
2008) such as: Self acceptance, positive relationship with others, autonomy, environment
mastery, life purpose, and self growth which represented in 42 items.The data is analyzed by
using differences t test, which its value -4,430 (p < 0,05). It means that there is a significant
differences of psychological well being among elerly who sty in home and in folks house.
Key Words: Psychological well-being (PWB)
PENDAHULUAN
Secara umum seorang individu akan mengalami setidaknya tiga masa dalam perjalanan
hidupnya yaitu masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Masa dewasa sendiri dapat
dibagi menjadi tiga macam yaitu masa dewasa awal, masa dewasa madya serta masa dewasa
akhir atau lebih dikenal dengan usia lanjut atau lansia (seterusnya disebut Lansia). Lansia adalah
periode penutup dalam rentang kehidupan seseorang yaitu periode dimana seseorang telah
beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu penuh
manfaat. Orang-orang yang dikatakan Lansia adalah orang-orang yang berusia lebih dari 60
tahun (Hurlock, 2008).
Selanjutnya, dalam setiap masa kehidupan tersebut kebahagiaan merupakan hal yang
dikehendaki setiap individu. Kebahagiaan hidup adalah suatu hal yang menjadi harapan di dalam
kehidupan banyak orang. Adapun kebahagian tersebut merupakan hal yang penting karena
melalui kebahagiaan yang dimiliki merupakan bukti konkrit bahwa seorang individu telah dapat
menyelesaikan tugas dalam masa perkembangannya tersebut (Hurlock, 2008). Hal tersebut
berbanding terbalik dengan keadaan saat individu tidak dapat mengatasi masalah yang sedang
dihadapinya maka akan timbul emosi yang tidak menyenangkan dalam dirinya. Keadaan ini
dapat menyebabkan individu yang bersangkutan merasa tidak puas dan tidak bahagia di dalam
kehidupannya.
Sejumlah pakar menyatakan bahwa kebahagiaan seharusnya bukan menjadi tujuan dalam
hidup tetapi seyogianya dijadikan produk kehidupan manusia. Menurut Allport (dikutip dalam
Compton, 2005), kebahagiaan bukanlah tujuan, tetapi merupakan konsekuensi yang mungkin
terjadi dari keterlibatan sepenuhnya dalam kehidupan. Kondisi kebahagiaan itu sendiri bukanlah
merupakan kekuatan yang memotivasi tetapi merupakan dampak dari termotivasinya aktivitas
seseorang. Hingga saat ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai sumber dan penyebab
kebahagiaan.
Kebahagiaan hidup bagi seorang lansia terlihat pada besarnya harapan hidup yang
dimiliki oleh lansia yang bersangkutan. Menurut data Departemen sosial, usia harapan hidup
masyarakat ditahun 2000 adalah mencapai usia 64,5 tahun (Kompas, 7 agustus 2006), sedangkan
menurut UU RI no.13/1998 tentang kesejahteraan lansia menetapkan bahwa yang termasuk
golongan lansia adalah yang sudah mencapai usia 60 tahun ( Hardywinoto dan Setia Budhi,
1999). Disamping peningkatan usia harapan hidup, jumlah kelompok lansia di Indonesia
menunjukkan peningktan yaitu 5,3 juta / 4,48% pada tahun 1971, 12,7 juta jiwa /6,56% pada
tahun 1990 dan akan meningkat menjadi 28,8 juta /11.34% pada tahun 2010 (Munandar, 2001).
Proses menjadi tua merupakan tahapan yang harus dilalui oleh setiap individu karena
menjadi tua adalah proses normal dalam sebuah kehidupan (Scharc dan Willis dikutip Martani,
1993). Pada umumnya ketika seorang berada pada masa lanjut, maka timbul masalah yang
bersifat penurunan meliputi fisik, mental, maupun sosial (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999).
Apabila tidak dipersiapkan dalam menghadapi masa menjadi tua maka akan terjadi guncangan-
guncangan psikologis dan gangguan keseimbangan serta penyesuaian diri yang sulit diatasi
(Havighurst, 1957). Karena kehidupan masa lalulah yang membuat para lansia mengalami rasa
takut dan khawatir saat mereka beranjak tua, sehingga kebanyakan lansia tidak memiliki
kebahagian saat mereka muda dulu. Dengan menerima diri, menerima kenyataan, bahwa dirinya
menjadi tua dengan senang memasuki hidup yang baru maka lansia akan lebih dapat menerima
perubahan-perubahan yang terjadi. Setiap orang harus menemukan caranya sendiri untuk
mendapatkan kebahagiaan dimasa tuanya, sehingga lansia pun harus memiliki kebahagiannya
sendiri misalnya saja bermain dengan cucu, mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan, olahraga
ringan, bersosialisasi dan bertukar pengalaman dengan para lansia yang lain. Dengan demikian
para lansia dapat menemukan kebahagiaan secara rohani maupun fisik.(Alfons Deeken, 1986).
Serangkaian perubahan fisik, sosial, maupun psikologis yang dialami selama proses
menua membutuhkan kesiapan individu untuk menghadapinya. Perubahan-perubahan yang
terjadi pada lansia antara lain perubahan fisiologis, perubahan kemampuan motorik, dan
perubahan sosial serta psikologis. Efek-efek dari perubahan tersebut menentukan apakah pria
atau wanita (Lansia) tersebut akan melakukuan penyesuaian diri secara baik atau buruk
(Hurlock, 1991). Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan Papalia (2001) yang menyebutkan
bahwa perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada lansia dapat menyebabkan perubahan pada
kondisi jiwanya.
Masalah-masalah lain yang terkait pada lansia antara lain kesepian, perasaan tidak
berguna, keinginan untuk cepat mati atau bunuh diri, dan membutuhkan perhatian lebih. Salah
satu cara yang dapat dilakukan oleh para lansia untuk menghadapi masalah-masalah adalah
dengan berusaha mencapai kesejahteraan psikologis (www.psikomedia.com/art/paf.php?id=2).
Bradburn (dalam Ryff, 1989) mendefinikan psychological well-being sebagai kebahagiaan dan
dapat diketahui melalui beberapa dimensi. Dimensi-dimensi tersebut antara lain otonomi lain,
penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup,
serta penerimaan diri (Ryff, 1989). Ryff juga menyebutkan bahwa psychological well-being
menggambarkan sejauh mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan
penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi-potensi mereka
sendiri. Apabila lansia tidak mengalami psychological well-being maka mereka belum menerima
perubahan-perubahan yang terjadi sehingga menjadikan mereka menjadi depresi, stres dan
kesepian. Sebaliknya apabila lansia mencapai psychological well-being akan dapat menerima
dirinya dan memiliki sikap positif.
Selanjutnya, ketidakmampuan keluarga lansia dalam mengatasi masalah-masalah yang
dihadapai para lansia, dapat menyebabkan munculnya alternatif agar para lansia dititipkan di
panti werda. Adapun Menurut Santrock (2002) panti werda merupakan lembaga perawatan atau
rumah perawatan yang dikhususkan untuk orang-orang dewasa lanjut. Disana tersedia berbagai
macam layanan yang dibutuhkan oleh para orang-orang lanjut usia dan tersedia juga fasilitas
kesehatan.
Secara umum lanjut usia cenderung tinggal bersama dengan anaknya yang telah menikah
(Rudkin, 1993). Tingginya penduduk lanjut usia yang tinggal dengan anaknya menunjukkan
masih kuatnya norma bahwa kehidupan orang tua merupakan tanggungjawab anak-anaknya.
Survei yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD
FEUI, 1993) terhadap 400 penduduk usia 60-69 tahun, yang terdiri dari 329 pria dan 71 wanita,
menunjukkan bahwa hanya sedikit penduduk lanjut usia yang tinggal sendiri (1,5%), diikuti oleh
yang tinggal dengan anak (3,3%), tinggal dengan menantu (5,0%), tinggal dengan suami/istri dan
anak (29,8%), tinggal dengan suami,istri dan menantu (19,5%), dan penduduk lanjut usia yang
tinggal dengan pasangannya ada 18,8%.
Sebagian masyarakat menganggap bahwa lansia lebih baik dirawat di dalam panti werda,
sebab mereka akan lebih terurus dan dapat bergaul dengan lansia yang lain daripada tinggal di
rumah sendirian merasa kesepian dan terlantar karena anak-anaknya sibuk dengan pekerjaannya.
Sebagian masyarakat yang lain masih menganggap bahwa keluarga adalah tempat yang terbaik
untuk lansia, anak memiliki kewajiban untuk merawatnya. Berkembangnya persepsi sosial yang
membentuk citra sosial bahwa panti merupakan tempat pemisahan bagi lansia terhadap
keluarganya merupakan salah satu fakta yang ada dimasyarakat (Syamsuddin, 2008).
Secara umum panti werda juga merupakan tempat yang relatif asing bagi orang lanjut
usia jika dibandingkan dengan tinggal dirumahnya sendiri bersama keluarganya. Bahkan
seringkali keberadaan para lansia panti werda cenderung mengurangi atau sebaliknya berpotensi
menambah beban psikologis dan kemuduran fisiknya dan beresiko pada kelupaan atas aktifitas
keseharian mereka karena ketergantungan kepada para perawat dan penjaga di tempat panti
werda tersebut. Sementara bagi para lansia yang tinggal dirumah akan dapat bersosialisasi
sehingga beban psikologis dapat diminimalkan dan kemunduran fisiknya dan beresiko pada
kelupaan akan teratasi melalui aktivitas keseharian mereka. Para lansia tersebut juga tidak
mutlak bergantung kepada para perawat dan penjaga karena mereka dapat melakukan
aktifitasnya secara mandiri.
Hasil temuan Yulmardi (1995) juga menunjukkan bahwa masyarakat lanjut usia di Sumatera,
khususnya di pinggiran kota Jambi sebagian besar tinggal dalam keluarga luas. Menurut Rudkin
(1993) penduduk lanjut usia yang hidup sendiri secara umum memiliki tingkat kesejahteraan
yang lebih rendah dibanding dengan lanjut usia yang tinggal dengan keluarganya.
Sistem pendukung lanjut usia ada tiga komponen menurut Joseph. J Gallo (1998), yaitu jaringan-
jaringan informal, sistem pendukung formal dan dukungan-dukungan semiformal. Jaringan
pendukung informal meliputi keluarga dan kawan-kawan. Sistem pendukung formal meliputi tim
keamanan sosial setempat, program-program medikasi dan kesejahteraan sosial. Dukungan-
dukungan semiformal meliputi bantuan-bantuan dan interaksi yang disediakan oleh organisasi
lingkungan sekitar seperti perkumpulan pengajian, gereja, atau perkumpulan warga lansia
setempat.
Suatu penelitian yang dilakukan Universitas UNIKA ATMAJAYA mengenai “quality of life
pada lanjut usia” studi perbandingan pada janda atau duda lansia antara yang tinggal dirumah
bersama keluarga dengan yang tinggal di panti werda. Secara umum, hasil menunjukkan suatu
perbedaan antara lansia yang tinggal dirumah bersama keluarga secara fisik, psikologis, dan
kepuasan terhadap lingkungan lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti werda. Dapat
disimpulkan bahwa lansia yang tinggal di rumah bersama keluarga memilki quality of life yang
lebih tinggi, dari pada lansia yang tinggal di panti werda. (http://lib.atmajaya.ac.id). Namun
pernyataan diatas berbeda yang dilakukan Universitas UNIKA ATMAJAYA mengenai
“perbedaan kecemasan antara lansia yang tinggal di panti werda dan yang tinggal dirumah”,
diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan tingkat kecemasan berdasarkan jenis kelamin dan
status pernikahan antara lansia yang tinggal di rumah dan di panti.
(http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=124629).
Berdasarkan hasil temuan tersebut, maka diketahui bahwa tempat tinggal yang mendukung para
lansia untuk dapat memiliki dan membangun jaringan sosial yang lebih maksimal dan melakukan
aktivitas sosialnya, memiliki kualitas dan kuantitas aktifitas yang bermanfaat, dan mendukung
dilakukannya kontak sosial serta berperan aktif membangun dan memiliki interaksi sosial yang
bagus, maka individu yang bersangkutan akan dapat memiliki psychological well-being. Hal
tersebut juga memungkinkan para lansia yang bersangkutan untuk lebih mengembangkan
kompetensi pribadi dalam kehidupan kesehariannya. Sebagai akibatnya keberadaan atau status
tinggal lansia sangat membantu para lansia tersebut untuk lebih dapat mencapai psychological
well-being.
Berangkat dari fenomena tersebut, dan asumsi yang ada, maka peneliti tertarik untuk
mengadakan penelitian mengenai perbedaan psychological well-being lansia berdasarkan tempat
tinggal, dengan judul penelitian “Perbedaan psychological well-being antara lansia yang tinggal
di rumah dan panti werda”.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah adakah perbedaan psychological well-being antara
lansia yang tinggal di rumah dan panti werda. Tujuan penelitian ini peneliti ingin mengetahui
apakah ada perbedaan psychological well being pada lansia yang tinggal di rumah dan panti
werda.
TINJAUAN PUSTAKA
Psychological Well-Being
Konsep kesejahteraan psikologis pada awalnya diperkenalkan oleh Neugarten, (1961)
yang merupakan kondisi psikologis yang dicapai oleh seseorang pada saat berada pada usia
lanjut (Haditono, 1992), dengan teori kepuasan hidup (Life satisfaction). Orang yang mencapai
kesejahteraan psikologis pada masa usia lanjut dapat diukur dengan kepuasan hidup. Ryff,
(1995) juga meneliti masalah kesejahteraan psikologis. Konsep Ryff berawal dari adanya
keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar tidak adanya penyakit fisik saja.
Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis
(psychologically-well). Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang
memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers (1995) tentang orang yang
berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow (1986) tentang aktualisasi diri
(self actualization), pandangan Jung (1979) tentang individuasi, konsep Allport (1963) tentang
kematangan. Juga sesuai dengan konsep Erikson (1977) dalam menggambarkan individu yang
mencapai integrasi dibanding putus asa, konsep Neugarten tentang kepusaan hidup, serta kriteria
positif tentang orang yang bermental sehat yang dikemukakan Johada. Menurut Ryff (1995),
pondasi untuk diperolehnya kesejahteraan psikologis adalah individu yang secara psikologis
dapat berfungsi secara positif (positive psycholigical functioning). Menurut Bradburn, dkk
(dalam Ryff, 1989) kebahagiaan (happiness) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan
merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.
Faktor Yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
Selanjutnya faktor – faktor yang mempengaruhi psychological well-being seseorang
yaitu :
a. Status sosial ekonomi, meliputi besarnya pendapatan keluarga, tingkat pendidikan,
keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi, status sosial dimasyarakat. (Pinquart &
Sorenson, 2000).
b. Jaringan sosial, berkaitan dengan aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif
dalam pertemuan – pertemuan atau organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas yang
dilakukan, dan dengan siapa kontak sosial dilakukan (Pinquart & Sorenson, 2000).
c. Kompetensi pribadi, yaitu kemampuan atau skill pribadi yang dapat digunakan sehari-
hari, didalamnya mengandung kompetensi kognitif.
d. Religiusitas, hal ini berkaitan dengan transendensi segala persoalan hidup kepada Tuhan.
Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian
hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna (Bastaman, 2000),
terhindar dari stres dan depresi (Hadjam, 1999).
e. Kepribadian, individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial, seperti
penerimaan diri, mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, coping
skill yang efektif cenderung terhindar dari konflik dan stres (Santrock, 1999; Ryff, 1995).
f. Jenis kelamin, wanita cenderung lebih memiliki kesejahteraan psikologis dibandingkan
laki- laki. Hal ini dikaitkan dengan pola pikir yang berpengaruh terhadap strategi coping
yang dilakukan, serta aktivitas sosial yang dilakukan. Wanita lebih mampu
mengekspresikan emosi dengan curhat kepada orang lain. Wanita juga lebih senang
menjalin relasi sosial dibanding laki- laki.
Aspek Psychological Well-Being
Menurut Ryff (dalam Van Dierendonck, 2008) well being pada lansia adalah suatu kondisi
yang mencakup beberapa aspek:
a. Penerimaan diri (self- acceptance)
Lansia yang dapat menerima dirinya dengan baik ditandai dengan sikap yang positif
terhadap diri, mengakui dan menerima semua aspek dalam dirinya yang baik maupun yang
buruk dan memiliki pandangan yang posif terhadap masalalunya.
b. Hubungan positif dengan orang lain
Lansia yang memiliki kehangatan, kesenangan, kepercayaan pada individu lain dengan
memperhatikan kesejahteraan individu lain, mampu melakukan empati, memiliki afeksi
dan keintiman, memahami cara berhubungan dengan orang lain adalah lansia yang
memiliki hubungan yang baik dengan individu lain.
c. Kemandirian
Kemandirian yaitu kemampuan untuk membuat keputusan sendiri dan mandiri, mampu
untuk bertahan terhadap tekanan sosial dengan bepikir dan bertindak melalui cara tertentu,
serta mampu untuk mengatur tingkah laku, dan mengevaluasi diri dengan standar pribadi.
d. Penguasaan Lingkungan (environmental mastery)
Lansia yang memiliki penagusaan lingkungan yang baik adalah lansia yang memiliki
kemampuan mengatur lingkungan, mengontrol, dan menyusun sejumlah aktivitas
eksternal, mampu untuk membuat efektif setiap kesempatan di sekitarnya, serta mampu
untuk memilih atau mengubah kondisi agar sesuai dengan kebutuhan nilai pribadi. Selain
itu individu yang bersangkutan memiliki peran dalam masyarakat. Hal tersebut terkait
dengan adanya pengakuan dalam masyarakat terhadap lansia di dalam hidup sehari- hari.
e. Tujuan Hidup (purpose in life)
Memiliki tujuan hidup dan semangat untuk mencapainya, perasaan bahwa masa sekarang
dan masa lalu memiliki arti , memiliki keyakinan yang memberi tujuan hidup, serta
memiliki tujuan dan sasaran untuk hidup.
f. Perkembangan Pribadi
Memiliki semangat untuk berkembang, melihat dirinya sebagai individu yang tumbuh dan
berkembang, terbuka terhadap pengalaman–pengalaman baru, memilik dorongan untuk
merealisasikan potensinya, serta senantiasa melihat perubahan dalam diri dan tingkah laku.
Lanjut Usia (Lansia)
Menurut Papalia (2001) usia tua atau sering disebut senescence merupakan suatu periode
dari rentang kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi tubuh, biasanya
mulai pada usia yang berbeda untuk individu yang berbeda. Ketika seorang individu memasuki
masa usia lanjut pada umumnya didahului atau diiringi oleh penyakit kronis, kemungkinan
untuk ditinggalkan pasangan, pemberhentian aktivitas atau kerja, dan tantangan untuk
mengalihkan energi dan kemampuan ke peran baru dalam keluarga, pekerjaan dan hubungan
intim (Wolman; dalam Agustine,2009). Menurut Papalia (2002), ada beberapa hal yang dapat
digunakan untuk memahami usia tua antara lain:
a. Primary aging.
Suatu proses penurunan atau kerusakan fisik yang terjadi secara bertahap dan bersifat
inevitable (tidak dapat dihindarkan).
b. Secondary Aging
Merupakan hasil dari penyakit pada tubuh yang dapat dihindari dan dikontrol oleh individu
dibandingkan dengan primary aging, misalnya dengan pola makan yang baik, menjaga
kebugaran fisik dan lain – lain.
Selanjutnya Hurlock (2008) mengatakan masa tua adalah periode penutup dalam rentang hidup
individu yaitu suatu periode individu telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih
menyenangkan. Pada tahap akhir dalam rentang kehidupan individu dibagi menjadi usia lanjut
dini, yaitu usia 60 sampai 70 dan usia lanjut akhir yaitu 70 sampai akhir hidup individu.
Menurut Monks dkk, (2004) usia 65 tahun merupakan usia yang menunjukkan mulainya
proses menua, sehingga individu yang telah mencapai isia 65 telah berusia lanjut. Secara lebih
terperinci, maka Burnsidi (dalam Agustine, 2009) mengungkapkan batasan Lansia berdasarkan
usia kronologis adalah:
a. Young old (60 sampai 69) : masa ini dianggap sebagai masa transisi utama dari masa
dewasa akhir kemasa tua. Biasanya ditandai dengan penurunan pendapatan dan keadaan
fisik yang menurun. Sehubungan dengan berkurangnya peran, individu sering merasa
kurang memperoleh penghargaan dari lingkungan.
b. Middle – Age Old (70 sampai 79) : periode ini identik dengan periode kehilangan karena
banyak pasangan hidup dan teman yang meninggal. Selain itu ditandai dengan kesehatan
yang semakin menurun, partisipasi dalam organisasi formal menurun, muncul rasa gelisah
dan mudah marah serta aktivitas seks menurun.
c. Old - Old ( 80 sampai 89 ) : pada masa ini lansia telah mengalami kesulitan dalam
beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan, selain itu ketergantungannya terhadap
individu lain dalam melakukan kegiatan sehari-hari sudah semakin besar.
d. Very Old – Old ( lebih dari 90 tahun ) : lebih parah dari masa sebelumnya pada masa ini
lansia benar-benar tergantung pada individu lain dengan kesehatan yang semakin menurun.
Status Tinggal Lansia
Tempat tinggal memiliki pengaruh dan peranan penting terhadap kualitas kehidupan
lansia. Status tinggal dirumah adalah keberadaan manusia dalam sebuah lingkungan rumah
tangga yang merupakan Keluarga inti yang memiliki keterikatan hubungan darah dan
kekeluargaan, serta yang terdiri dari satu atau kedua orang tua beserta anak-anaknya (Papalia,
2007).
Sementara, Santrock (2002) mendefinsikan bahwa panti werda merupakan lembaga perawatan
atau rumah perawatan yang dikhususkan untuk orang-orang dewasa lanjut. Disana tersedia
berbagai macam layanan yang dibutuhkan oleh para orang-orang lanjut usia dan tersedia juga
fasilitas kesehatan. Cowie (1994), mengartikan panti werda adalah rumah tinggal yang didiami
oleh sekelompok orang yang berusia lanjut (dengan berbagai macam latar belakang keluarga,
ekonomi, sosial dan budaya) yang berkumpul dan berinteraksi secara bersama-sama. Panti werda
merupakan unit pelaksanaan teknis yang memberikan pelayanan sosial bagi lanjut usia, yaitu
berupa pemberian penampungan, jaminan hidup seperti makanan dan pakaian, pemeliharaan
kesehatan, pengisian waktu luang termasuk rekreasi, bimbingan sosial, mental serta agama,
sehingga mereka dapat menikmati hari tuanya dengan diliputi ketentraman lahir batin (DEPSOS
RI, 2003).
PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING ANTARA LANSIA YANG TINGGAL
DIRUMAH DENGAN LANSIA DI PANTI WERDA
Secara umum lanjut usia cenderung tinggal bersama dengan anaknya yang telah
menikah (Rudkin, 1993). Tingginya penduduk lanjut usia yang tinggal dengan anaknya
menunjukkan masih kuatnya norma bahwa kehidupan orang tua merupakan tanggungjawab
anak-anaknya. Survey yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia (LD FEUI, 1993) terhadap 400 penduduk usia 60-69 tahun, yang terdiri dari 329 pria
dan 71 wanita, menunjukkan bahwa hanya sedikit penduduk lanjut usia yang tinggal sendiri
(1,5%), diikuti oleh yang tinggal dengan anak (3,3%), tinggal dengan menantu (5,0%), tinggal
dengan suami/istri dan anak (29,8%), tinggal dengan suami,istri dan menantu (19,5%), dan
penduduk lanjut usia yang tinggal dengan pasangannya ada 18,8%.
Secara umum keluarga merupakan sumber kepuasaan bagi para lansia. Para lansia yang
tinggal di panti werda seringkali merasa tersisihkan, karena ada bagian dari kehidupan mereka
yang belum lengkap, yaitu sebagai orang tua dan juga sebagai kakek, dan nenek. Bahkan sistem
pendukung lanjut usia ada tiga komponen menurut Joseph. J Gallo (1998), yaitu jaringan-
jaringan informal, system pendukung formal dan dukungan-dukungan semiformal. Melalui
jaringan pendukung informal meliputi keluarga dan kawan-kawan maka para lansia akan lebih
merasa diterima dan dihargai.
Sebagai bagian dari sumber dukungan informal, keluarga yang memiliki hubungan yang
telah terjalin sekian lama memiliki peran yang penting bagi para lansia dalam menjalankan
perannya. Lanjut usia harus mengambil langkah awal untuk mengikuti sumber-sumber dukungan
di atas. Dorongan, semangat atau bantuan dari anggota-anggota keluarga, masyarakat, sangat
dibutuhkan oleh lanjut usia. Melalui dukungan yang diterima tersebut, maka para lansia yang
berada di lingkungan keluarga akan memiliki tingkat kesejahteraan (Psychological well being)
yang baik pula.
Suatu penelitian yang dilakukan Universitas UNIKA ATMAJAYA mengenai “quality
of life pada lanjut usia” studi perbandingan pada janda atau duda lansia antara yang tinggal
dirumah bersama keluarga dengan yang tinggal di panti werda. Secara umum, hasil menunjukkan
suatu perbedaan yang tinggal dirumah bersama keluarga secara fisik, psikologis, dan kepuasan
terhadap lingkungan lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti werda. Dapat disimpulkan
bahwa lansia yang tinggal di rumah bersama keluarga memilki quality of life yang lebih tinggi,
dari pada lansia yang tinggal di panti werda
(http://lib.atmajaya.ac.id?default.aspx?tabID=61&src=k&id=124555). Sementara temuan serupa
dikemukakan oleh Rudkin (1993) yang menyatakan bahwa penduduk lanjut usia yang hidup
sendiri secara umum memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih rendah dibanding dengan lanjut
usia yang tinggal dengan keluarganya.
Berdasarkan hasil temuan tersebut, maka diketahui bahwa rumah merupakan tempat
tinggal yang mendukung para lansia untuk dapat memiliki dan membangun jaringan sosial yang
lebih maksimal dan melakukan aktivitas sosialnya, memiliki kualitas dan kuantitas aktifitas yang
bermanfaat, dan medukung dilakukannya kontak sosial serta berperan aktif membangun dan
memiliki interaksi sosial yang bagus, maka individu yang bersangkutan akan dapat memiliki
kesejahteraan psikologis (Psychological well being). Hal ini sangat dimungkinkan karena para
lansia yang tinggal dirumah akan dapat bersosialisasi sehingga beban psikologis dapat
diminimalkan dan kemunduran fisiknya dan beresiko pada kelupaan akan teratasi melalui
aktivitas keseharian mereka, dan juga tidak mutlak bergantung kepada para perawat dan penjaga
karena mereka dapat melakukan aktifitasnya secara mandiri. Berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan dapat disimpulkan ada perbedaan Psychological well-being lansia di rumah dan di
panti werda di kota Salatiga. Lansia yang tinggal di rumah memiliki psychological well-being
yang lebih tinggi dibandingkan lansia yang tinggal di panti werda.
HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis dalam penelitian ini ada perbedaan psychological well-being antara lansia yang tinggal
di rumah dan di panti werda.
Hipotesis Statistik:
H0 Tidak ada perbedaan Psychological well-being antara lansia yang tinggal di dalam
dengan di luar panti werda di Salatiga.
H1 Ada perbedaan psychological well-being antara lansia yang tinggal di dalam dengan di
luar panti werda di Salatiga.
METODE
Desain Penelitian
Penelitian “Perbedaan psychological well-being antara lansia yang tinggal di rumah dan dipanti
werda” adalah penelitian kuantitatif dan termasuk jenis penelitian komparatif.
Partisipan
Penelitian ini dilakukan di kota Salatiga dengan partisipan 60 orang lansia (mencakup 30 lansia
yang tinggal di panti werda dan 30 lansia yang tinggal di rumah) yang berusia 65 tahun keatas.
Dalam penelitian ini partisipan yang digunakan adalah lansia yang masih memiliki kognitif yang
baik. Partisipan lansia yang tinggal di rumah tidak tinggal sendiri dan mengikuti komunitas
lansia gereja (GKJ, Bethany). Teknik pengumpulan data menggunakan teknik insidental
sampling yaitu pengambilan sampel hanya pada subyek penelitian yang kebetulan ditemui dan
sesuai dengan ciri atau karakteristik subyek penelitian yang telah ditentukan (Hadi, 1991).
Alat Ukur
Skala psychological well-being terdiri dari 42 aitem meliputi 2 kelompok aitem yaitu aitem
favorable (searah dengan teori) dan aitem yang unfavorable (tidak searah dengan teori). Bentuk
jawabannya adalah pilihan jawaban berupa skala Likert (SS: sangat sesuai, S: sesuai, TS: tidak
sesuai, STS: sanagat tidak sesuai). Skala pshychological well-being menggunakan skala
pshychological well-being dari Ryff mencakup aspek penerimaan diri, hubungan positif dengan
orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan perkembangan pribadi.
Selanjutnya, penulis melakukan uji beda item dan uji reliabilitas. Uji beda item dan uji
reliabilitas alat ukur psychological well-being dilakukan dengan menggunakan SPSS 17.0. Uji
beda item dengan correct item-total correlation (Azwar, 2012). Uji beda reliabilitas
menggunakan Alpha Cronbach. Makin mendekati koefisien korelasi, makin reliabel (Azwar,
2012).
Selanjutnya data yng diperoleh dianalisis dengan mengguakan teknik statistik (Uji t).
Penggunaan teknik statistik ini bertujuan untuk mencari perbedaan satu variabel . Uji t dilakukan
dengan menggunakan SPSS for windows versi 17.0. dasar yang dipakai untuk pengambilan
keputusan adalah
1. Jika P > 0,05 maka Ho diterima Hi ditolak
2. Jika P < 0,05 maka Ho ditolak Hi diterima
PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
Pelaksanaan Penelitian
Pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 10 dan 11 Juni 2015 di panti werda Sosial
Salib Putih dan panti werda Maria Martha di Salatiga. Sementara untuk para lansia yang tinggal
di rumah, pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 7 dan 8 Juni 2015 yaitu para lansia yang
mengikuti komunitas lansia di gereja (GKJ dan Bethany). Kemudian penulis mendistribusikan
angket bagi lansia yang bersedia memberikan waktunya.
Dalam menyebarkan angket di panti werda maupun di rumah, penulis menemukan
beberapa subyek yang memiliki keterbatasan fisik (penglihatan kurang jelas, tidak bisa menulis
dan membaca) karena bertambahnya usia, akan tetapi lansia masih memiliki kognitif yang baik.
Maka dari itu penulis membantu para lansia untuk mengisi angket dengan cara membacakan
pernyataan yang ada dalam angket penelitian.
Dalam penelitian ini, penulis menyebarkan angket sejumlah 66 angket, dengan perincian
sebagai berikut: 33 angket bagi lansia yang tinggal di panti werda dan 33 angket bagi lansia yang
tinggal di rumah. Namun dari seluruh angket yang disebarkan oleh penulis, yang kembali
berjumlah 60 angket dengan perincian 30 angket dari lansia yang tinggal di panti werda dan 30
angket berasal dari para lansia yang tinggal di rumah. Sedangkan sisa 6 angket yang penulis
bagikan kembali dengan tidak diisi oleh responden. Jadi dalam penelitian ini total angket yang
digunakan adalah 60 angket.
Analisis Aitem dan Reliabilitas Alat Ukur
1. Analisis Aitem
Dari hasil skala psychological well being pada lansia menurut Ryff (dalam Van
Dierendonck, 2008) yang mencakup aspek: Penerimaan diri (self- acceptance), hubungan
positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan (environmental mastery),
tujuan hidup (purpose in life), dan perkembangan pribadi yang terdiri dari 42 aitem terdapat
7 aitem gugur, yaitu nomor 4, 5, 9, 14, 32, 41 dan 42. Uji daya beda aitem menggunakan
Corrected Aitem- Total Correlation. Batasan aitem gugur yaitu minimal ≥ 0,25 (Azwar,
2012).
2. Uji Reliabilitas
Setelah masing-masing aitem skala psychological well being pada lansia menurut
Ryff diuji validitasnya, selanjutnya dari aitem-aitem yang valid dilakukan pengujian
reliabilitas dengan menggunakan program SPSS versi 17.0 dengan menggunakan teknik
Alpha Cronbach. Hasil pengujian diperoleh reliabilitas angket sebesar 0,908 Hal ini dapat
dikatakan bahwa angket psychological well being pada lansia menurut Ryff tersebut reliabel.
Uji Asumsi
Sebelum melakukan uji hipotesis dengan menggunakan teknik Independet- Sampel t-
tes, penulis terlebih dahulu melakukan uji asumsi yang terdiri dari uji normalitas dan uji
homogenitas. Tujuan dilakukannya uji normalitas dan uji homogenitas adalah sebagai salah satu
syarat dilakukannya uji t-tes. Melalui uji normalitas, akan diketahui apakah distribusi variabel
tersebut normal atau tidak. Uji asumsi dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 17.0.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji one sample-Kolmogrov Smirnov.
Berdasarkan uji normalitas terhadap sampel, didapat nilai Kolmogrov Smirnov pada sampel
lansia yang tinggal di panti werda adalah 0,781 dan signifikansi pada p = 0,576 (p > 0,05)
dan nilai Kolmogrov Smirnov pada sampel lansia yang tinggal di rumah adalah 0,934 dan
signifikansi pada p = 0,347 (p > 0,05). Hal ini berarti data variabel tersebut berdistribusi
normal. Hasil uji normalitas dan grafik uji normalitas dapat dilihat pada lampiran.
2. Uji Homogenitas
Berdasarkan hasil uji homogenitas diperoleh nilai f pada Levene’s Test for Equality of
Variances adalah sebesar 0,056 dengan probabilitas 0,813. Dapat disimpulkan bahwa data
memiliki varians yang homogen sebab probabilitas > 0,05, sehingga uji t dilakukan dengan
menggunakan asumsi equal variance assumed (Ghozali, 2006).
C. Hasil Penelitian
1. Analisa Deskriptif
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dengan uji t, maka didapat rata-rata dari
masing-masing variabel, yaitu lansia yang tinggal di panti werda dan lansia tinggal di rumah.
Pengkategorian tinggi rendahnya atau interval psychological well being pada lansia yang
tinggal di panti werda dapat dilihat pada tabel 4.3 sebagai berikut:
Tabel 4.3: Interval Psychological Well Being lansia yang tinggal di panti werda
Skor Kriteria F Prosentase min max Mean
35 ≤ x ≤ 56 Sangat rendah
73
123
98,6
56 < x ≤ 77 Rendah 1 3,33%
77 < x ≤ 98 Sedang 12 40,00%
98 < x ≤ 119 Tinggi 16 53,33%
119 < x ≤ 140 Sangat tinggi 1 3,34%
Jumlah 30 100% SD = 9,91898
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa psychological well being para lansia yang
tinggal di panti werda memiliki mean sebesar 98,6 dengan standar deviasi sebesar
9,91898 Mean termasuk dalam kategori tingkat psychological well being tinggi.
Selanjutnya, pengkategorian tinggi rendahnya atau interval psychological well
being lansia yang tinggal di rumah dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini:
Tabel 4.4: Interval Psychological Well Being lansia yang tinggal di rumah
Skor Kriteria F Prosentase min max Mean
35 ≤ x ≤ 56 Sangat rendah
92
110,1
56 < x ≤ 77 Rendah
77 < x ≤ 98 Sedang 3 10%
98 < x ≤ 119 Tinggi 22 73,33%
119 < x ≤ 140 Sangat tinggi 5 16,67% 136
Jumlah 30 100% SD = 10,18907
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat psychological well being para lansia
yang tinggal di rumah memiliki mean sebesar 110,1 dengan standar deviasi sebesar
10,18907. Mean lansia yang tinggal di rumah termasuk dalam kategori tingkat
psychological well being tinggi.
Selanjutnya, pengkategorian tinggi rendahnya atau interval psychological well
being lansia yang tinggal di rumah dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut ini:
Tabel 4.5: Interval Psychological Well Being lansia yang tinggal di Panti Werda dan di
rumah
Skor Kriteria F Prosentas
e
min max Mean
35 ≤ x ≤ 56 Sangat rendah
73
136
104,35
56 < x ≤ 77 Rendah 1 1,7%
77 < x ≤ 98 Sedang 15 25,0%
98 < x ≤ 119 Tinggi 38 63,3%
119 < x ≤ 140 Sangat tinggi 6 10,0%
Jumlah 60 100% SD = 11,53304
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat psychological well being para lansia,
yaitu mean sebesar 104,35 dengan standar deviasi sebesar 11,53304. Mean lansia,
termasuk dalam kategori tingkat psychological well being tinggi.
2. Uji Analisa
Melihat hasil dari uji homogenitas dapat disimpulkan bahwa data memiliki varians
yang homogen, maka analisis uji beda t-tes menggunakan equal variance assumed (Ghozali,
2006). Dari output SPSS terlihat bahwa nilai t pada equal variance assumed adalah -4,430
dengan probabilitas signifikansi = 0,000 (p < 0,05). Melihat hasil perhitungan tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa tolak Hi dan terima Ho. Jadi dapat disimpulkan bahwa tingkat
psychological well being para lansia yang tinggal di panti werda dan lansia yang tinggal di
rumah adalah berbeda secara signifikan. Dari hasil uji t, didapat hasil bahwa rata-rata tingkat
psychological well being para lansia yang tinggal di panti werda lebih rendah daripada rata-
rata tingkat psychological well being para lansia yang tinggal di rumah. Berikut pada tabel
4.6 adalah tabel hasil perhitungan uji t:
Tabel 4.6: Tabel Hasil perhitungan Uji t
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of
Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Difference
F Sig. T df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference Lower Upper
Psychology
Well-being
Equal variances assumed .056 .813 -4.430 58 .000 -11.50000 2.59617 -16.69681 -6.30319
Equal variances not assumed -4.430 57.958 .000 -11.50000 2.59617 -16.69688 -6.30312
D. Pembahasan
Dengan menggunakan teknik uji beda teknik Independet Sampel t-test yang dianalisa
melalui SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 17.0 windows yang merupakan
program (software) khusus pengolahan data statistik untuk ilmu sosial, diperoleh uji beda t-tes
sebesar -4,430 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara tingkat
psychological well-being lansia yang tinggal di panti werda dan lansia yang tinggal di rumah
sendiri.
Adapun, dari kedua kelompok lansia diperoleh data bahwa lansia yang yang tinggal di
panti werda Sosial Salib Putih dan Maria Martha tingkat psychological well being memiliki nilai
rata-rata 98,6, sedangkan lansia yang tinggal di rumah tingkat psychological well being memiliki
nilai rata-rata 110,1.
Adanya perbedaan tingkat psychological well being antara lansia yang tinggal di panti
werda dan lansia yang tinggal di rumah karena psychological well being pada lansia adalah suatu
kondisi yang mencakup beberapa aspek, yaitu: Penerimaan diri (self- acceptance), hubungan
positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan
hidup (purpose in life), dan perkembangan pribadi (Ryff dalam Van Dierendonck, 2008). Dilihat
dari 6 aspek tersebut, psychological well being lansia yang tinggal di panti werda dan di rumah
memiliki perbedaan yang signifikan.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa lansia yang tinggal di panti
werda sebagian besar ke panti werda bukan atas keinginan mereka sendiri, melainkan lansia
diantar oleh keluarga, pihak gereja dan dinas sosial. Adapun, lansia yang memilih tinggal di
panti werda karena bermasalah dengan anak, isteri atau keluarga. Lansia yang diantar oleh pihak
gereja karena lansia tersebut tidak menikah dan tinggal sendiri di rumah. Para lansia yang
dibawa oleh pihak gereja merupakan bagian dari komunitas gereja. Sedangkan lansia yang
diantar oleh dinas sosial, dikarenakan pihak dinas sosial bekerjsama langsung dengan lembaga
lingkungan untuk mengantarkan lansia ke panti werda, karena lembaga lingkungan dan dinas
sosial menemukan ada beberapa lansia yang tinggal sendiri, dan merasa lansia akan jauh lebih
baik, terurus, dan terjaga bila lansia tersebut tinggal di panti werda. Peneliti juga melakukan
wawancara ke sebagian besar lansia yang memiliki keterbatasan fisik (penglihatan kurang jelas,
tidak bisa menulis, dan membaca) karena sudah lanjut usia. Ungkapan-ungkapan perasaan dari
para lansia yaitu, ada lansia yang mengatakan lebih merasa nyaman tinggal di rumah sendiri
sekalipun rumah tak layak untuk ditinggali, ada juga yang mengatakan lebih merasa bebas
tinggal di rumah sendiri karena masih bisa melakukan banyak aktivitas (pergi ke pasar, mencuci
baju, dan mencuci piring). Lansia yang tinggal di panti werda merasa tidak sebebas di rumah
karena tinggal di panti werda tidak bisa bebas keluar panti, contohnya saat lansia membeli
jajanan di pagi hari hanya bisa melalui pagar. Lansia juga merasa terbatas tidak bisa mencuci
pakaian sendiri karena mencuci pakaian sudah termasuk dalam fasilitas yang ada didalam panti
werda. Ada juga lansia yang berprinsip tidak ingin menjadi beban bagi anak-anaknya, tetapi
peneliti menemukan ungkapan beberapa lansia yang ingin tetap dikunjungi oleh keluarganya
dalam waktu yang cukup sering (sebulan 2 sampai 3 kali dikunjungi). Secara tidak langsung
lansia merasa bahwa tinggal bersama keluarga merupakan sumber kepuasan. Sedangkan
sebagian lansia yang tidak menikah merasa nyaman tinggal di panti werda karena hidupnya jauh
lebih baik, terawat, bisa makan, dan mendapat tempat tinggal. Ada juga beberapa permasalahan
psikologis yang muncul yaitu, lansia merasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi, ketidakikhlasan
menerima kenyataan baru seperti penyakit yang tidak kunjung sembuh, dan merasa kesepian,
Sementara penelitian yang didapat dari lansia yang tinggal di rumah, para lansia merasa
nyaman tinggal di rumah karena lansia merasa bisa bebas beraktivitas, seperti pergi ke pasar,
pergi ke gereja, dan mencuci piring. Ada juga lansia yang mengungkapkan bahwa lansia merasa
senang pada sore hari bertemu dengan tetangga dan bercengkrama. Disisi lain, peneliti
menemukan ungkapan lansia yang merasa bahagia bisa tetap tinggal bersama keluarganya,
menggendong cucu, dan bertemu sanak sodara pada perayaan hari-hari besar (hari Natal, Idul
Fitri, Imlek, dan tahun baru). Adapun lansia yang merasa pendapat mereka tetap diterima ketika
lansia berkumpul bersama keluarga, hal ini membuat para lansia merasa masih dihargai oleh
keluarga. Bagi para lansia yang tinggal dirumah, beban psikologis dapat diminimalkan dan
kemunduran fisiknya yang beresiko pada kelupaan bisa sedikit teratasi melalui aktivitas
keseharian mereka, seperti melakukan aktifitasnya secara mandiri dan perasaan bahagia bisa
tetap tinggal bersama keluarga.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Ada perbedaan tingkat psychological well being para lansia yang tinggal di panti werda
Sosial Salib Putih dan Maria Martha dengan lansia yang tinggal di rumah.
2. Tingkat psychological well being para lansia yang tinggal di panti werda Sosial Salib
Putih dan Maria Martha lebih rendah dibandingkan tingkat psychological well being para
lansia yang tinggal di rumah.
B. Saran
1) Lansia
Agar lansia yang tinggal di panti werda dapat lebih aktif dalam membangun interaksi dan
bersosialisasi. Karena melalui lingkungan sosial yang kondusif maka seorang lansia dapat
tetap merasa nyaman dengan eksistensinya yang memiliki banyak keterbatasan dan mendapat
pengakuan dari lingkungan di sekitarnya. Jika dilihat dari hasil penelitian lansia yang tinggal
di rumah memiliki psychological well being yang tinggi karena pada umumnya para lansia
masih terlibat aktif dalam berbagai kegiatan.
2) Bagi Perawat dan Pengelola Panti Werda
Agar perawat lebih waspada dan dapat melakukan pendekatan yang lebih pada lansia. Karena
dengan adanya penelitian ini perawat juga diharapkan mampu untuk membimbing dan
merawat para lansia, dengan cara memberikan waktu dan kesempatan kepada para lansia
untuk berkonsultasi dengan perawat pada saat mereka menghadapi kesulitan. Tidak hanya
saat para lansia mengalami kesulitan, akan tetapi para perawat dan pengelola diharapkan
cukup mampu untuk menjadi pendengar yang baik dan sabar untuk para lansia. Bagi
pengelola panti werda diharapkan memberikan kegiatan yang dapat membantu para lansia
untuk tetap mampu berosialisasi, memilki penerimaan diri yang baik, harapan untuk tetap
hidup dan merasa bahagia.
3) Bagi keluarga
Agar keluarga lebih memperhatikan kegiatan para lansia dan diharapkan mampu memberikan
waktu dan perhatian pada lansia. Selain itu, keluarga juga dapat terus membantu lansia untuk
tetap aktif bersosialisasi dengan lingkungannya.
4) Bagi masyarakat
Lebih memperhatikan individu yang telah masuk usia lanjut di sekitar mereka sehingga
bersama-sama tetap dapat membangun psychological well being melalui kegiatan-kegiatan
yang dilakuan oleh para lansia yang ada disekitar mereka.
5) Bagi peneliti lain
Adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi yang memadai untuk dapat
dilakukan penelitian selanjutnya mengenai psychological well being para lansia. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi penelitian selanjutnya, seperti
penggunaan sampel. Pada penelitian selanjutnya penggunaan sampel bisa diperbanyak
jumlahnya, selain itu bisa juga ditambah dari komunitas lansia lainnya (komunitas senam
jantung sehat), dan bisa juga ditambah dengan variabel-variabel lainnya, seperti variabel
habituasi (kebiasaan) yang berkaitan dan perlu diteliti lebih dalam.
DAFTAR PUSTAKA
Agustine, R.W. (2009). Kesejahteraan psikologis (Psychological Well-Being) ditinjau dari
keikutsertaan klub olahraga (Tai-Chi) pada lanjut usia. Skripsi . Salatiga: Universitas
Kristen Satya Wacana.
Allport, G. (1963). The ego contemporary psychology. In G. Allport (ed) personality and social
encorner: Selceted Eassy Bosto. MA: Bacon.
Azwar. (2012). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta : Sigma Alpha.
Bastaman, H.P. (2000). Logoterapi dan Islam sejalankah dalam metodelogi psikologi Islam.
Rendra K, Yogyakarta : Kanisius.
Compton, W.C. (2005). "1". An introduction to positive psychology. Wadsworth publishing.
pp. 1–22. ISBN 0-534-64453-8.
Cowie. (1994). Oxpord advanced learners dictionary. New York ; Oxford University.
Deeken, A. (1986). Usia lanjut. Yogyakarta: Kanisius.
Departemen Sosial RI. (2003). Kelembagaan lanjut usia dalam kehidupan bangsa. Jakarta:
Departemen Sosial RI.
Departemen Sosial RI. (2006). Kebahagiaan hidup lansia. Kompas Cyber Media.
www.kompas.com Diakses 6 Juni 2014.
Erikson, E.H. (1977). Identity and life cycle: Reissue. New York: Norton.
Gallo, J.J. (1998). Buku saku gerontologi edisi 2. Jakarta : EGC.
Ghozali, I. (2006). Aplikasi analisis multivariate dengan program SPSS. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Haditono, S.R. (1992). Psikologi perkembangan. Pengantar dalam Berbagai Bagiannya.
Jogjakarta: Gadjah Mada University Press.
Hadjam, M.N.R. (1999). Stress dan pengelolaannya. Seminar Nasional Manajemen Stresss dan
Relaksasi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Guna Darma.
Hardywinoto dan Setiabudhi, T. (1999). Panduan gerontologi : menjaga keseimbangan kualitas
hidup para lanjut usia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Havighurst, RY. (1957). Human development and education, New York : Logmas, Green and
Co.
Hurlock, E.B. (1991). Psikologi perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Jakarta : Erlangga.
___________. (2008). Psikologi perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Jakarta : Eralangga.
Jung, H.G. and D.A. Deetz. (1979). Cell wall lignification and degradability. in: Jung HG,
Buxton DR, Hatfield RD, Ralph J, (Eds). Forage Cell Wall Structure and Digestibility.
Madison, WI: ASA-CSSA-SSSA. Hlm. 315.
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. (1993). Pengembangan kebijakan
tingkah laku tentang konsekuensi dari penduduk lansia: Kasus Indonesia. Jakarta:
lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Indonesia.
Martani, W., Ardiyanti, M. G., dan Indati, A. (1993). Ciri kepribadian lanjut usia. Jurnal
Psikologi. 1, 1-6.
Maslow. (1986). Farther reaches of human nature. New York: Orbis Book.
MonksF.J., Knoers, Siti Rahayu Haditono. (1992). Psikologi perkembangan pengantar dalam
berbagai bagiannya. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.
______________. (2004). Psikologi Psikologi perkembangan pengantar dalam berbagai
bagiannya. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Press.
Munandar, S. C. U., dkk. 2001. Bunga rampai perkembangan masa hidup. Jakarta :UI-Press.
Papalia, D. E, Stern, H. L, Felman, R.D, & Camp, C. J. (2001). Adult development and aging.
Boston :Mc Graw Hill.
______________. (2007). Adult development and aging (3rded.). New York: Mc. Graw Hill
Companies, Inc.
Pinquart, M & Sorenson, S.(2000). Influences of socioeconomic status, social network and
competence on subjective well-being in later life : A meta-analisysis. psychology and
aging, Vol. 15, 2, 187 – 224.
Rogers, E.M. (1995). Diffusion of innovation. New York: The Free Express.
Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? exploration on the meaning of
psychological well-being. Journal of personality and social psychology. 57, 1069-1081.
Sugiyono. 2000. Statistic untuk penelitian. Bandung : CV. ALFABETA.
Ryff, Carol D., & Keyes, Corey Lee M. (1995). The structure of psychological well
being revisited. Journal of personality and social psychology, 69, 719727.
Setiadi, Riany. (2006). Perbedaan kecemasan antara lansia yang tinggal di panti werda
dan yang tinggal di rumah.
(http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=124629).
Syamsudin. (2008). Mencapai optimum aging pada lansia. Diperoleh Maret
Santrock, J. W. (1999). Life-span development. New York: McGraw-Hill College
Santrock, W. J. (2002). Life span development, (5th ed). Jilid 1, terj. Damanik. Jakarta:
Erlangga.
Suhartini R, (2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian orang lanjut usia. Thesis.
Surabaya: Universitas Airlangga.
Undang- undang RI Nomor 13 (1998) Tentang kesejahteraan lansia.
Van Dierendonck, dkk. (2008). Ryff’s six-factor model of psychological well-being,
A Spanish exploration. Soc Indic Res (2008) 87, 473–479.
Yulmardi. 1995. Kehidupan usia lanjut di pinggiran kota Jambi : Studi Kasus.