perbaikan farmakoterapi asma
DESCRIPTION
asmaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan
perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun
zat-zat yang ada di dalam makanan. Salah satu penyakit alergi yang
banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma.
Asma adalah satu diantara beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan
secara total. Kesembuhan dari satu serangan asma tidak menjamin dalam
waktu dekat akan terbebas dari ancaman serangan berikutnya. Apalagi
bila karena pekerjaan dan lingkungannya serta faktor ekonomi, penderita
harus selalu berhadapan dengan faktor alergen yang menjadi penyebab
serangan. Biaya pengobatan simptomatik pada waktu serangan mungkin bisa
diatasi oleh penderita atau keluarganya, tetapi pengobatan profilaksis yang
memerlukan waktu lebih lama, sering menjadi problem tersendiri.
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu
episode mengi berulang, sesak napas dan batuk terutama pada malam atau dini
hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
(NAEPP,2007)
Dewasa ini penatalaksanaan penyakit harus berdasarkan bukti medis
(evidence based medicine). Ada 4 kriteria bukti medis yaitu bukti A, B, C dan
D. Bukti A adalah yang paling tinggi nilainya dan sangat dianjurkan untuk
diterapkan, sedangkan bukti D adalah yang paling rendah.
Tabel 1. Deskripsi tingkat bukti medis
Kategori Sumber bukti Definisibukti
A Penelitian secara acak Bukti berasal dari RCTs yang dirancangdengan kontrol dengan baik, dan memberikan hasil dengan(randomized controlled pola yang konsisten pada populasi yangtrials/ RCTs) direkomendasikan. Kategori A membutuhkanBerdasarkan banyak data jumlah penelitian yang cukup dan melibatkan
jumlah partisipan yang cukup
1
B Penelitian secara acak Bukti berasal dari penelitian intervensi yangdengan kontrol melibatkan jumlah penderita yang terbatas,(randomized controlled analisis RCTs posthoc/ subgrup atautrials/ RCTs) metaanalisis RCTs. Secara umum kategori BData terbatas merupakan penelitian secara acak yang
jumlahnya sedikit, skalanya kecil,dilaksanakan pada populasi yangdirekomendasikan atau hasilnya agak tidakkonsisten
C Penelitian tidak secara Bukti berasal dari hasil penelitian tidakacak. memakai kontrol atau tidak secara acak atauPenelitian observasi penelitian observasi
D Keputusan konsensus Kategori ini digunakan hanya pada keadaanpanel. yang beberapa ketentuan dianggap berharga
tetapi literatur klinis tentang topik ini tidakcukup untuk menempatkan pada salah satukategori.Konsensus panel berdasarkan padapengalaman klinis atau pengetahuan yangtidak memenuhi salah satu kriteria yangdisebut di atas
1.2 Pembatasan Masalah
Melihat dari latar belakang masalah serta memahami pembahasannya maka
saya dapat memberikan batasan-batasan pada materi mengenai :
1. Definisi Asma
2. Etiologi Asma
3. Patofisiologi Asma
4. Diagnosis & Klasifikasi Asma
5. Farmakoterapi Asma
1.3 Rumusan Masalah
Masalah yang dibahas dalam makalah ini yaitu mengenai :
1. Apakah Definisi dari Asma ?
2. Bagaimana Patofisiologi Asma ?
3. Apa saja penyebab dan pemicu Asma?
4. Apa saja tipe-tipe Asma?
5. Apa saja gejala yang tampak pada penderita Asma?
2
6. Apa saja Farmakoterapi Asma serta bagaimana mekanisme kerja dari obat-
obat asma, indikasi, kontraindikasi, efek samping, dosis penggunaan, serta
sediaan apa saja yang beredar dipasaran?
1.4 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah diharapkan agar mahasiswa mampu mengetahui
tentang penyakit asma (patofisiologi,penyebab dan pemicu, tipe-tipe, serta
gejala) serta mengetahui apa saja Farmakoterapi Asma (meliputi Mekanisme
Kerja, indikasi, kontra indikasi, dosis penggunaan, efek samping serta sediaan
obat yang beredar.
1.5 Manfaat
Hasil dari makalah ini dapat diharapkan bermanfaat bagi para membaca
dengan informasi yang ada didalamnya, secara keseluruhan mengenai asma
(asthma bronchiale) serta penggolongan obat-obat asma meliputi Indikasi,
Kontra indikasi, Efek samping obat, Dosis pemberian, dan Sediaan yang
beredar.
3
BAB II
ASMA
2.1 DEFINISI
Asma bronkial merupakan penyakit inflamasi dimana ukuran diameter
jalan napas menyempit secara kronis akibat edemadan tidak stabil. Selama
serangan pasien mengalami mengi dan kesulitan bernapas akibat
bronkospasme, edema mukosa, dan pembentukan mukus. (MJ.Neal, 2006)
Menurut Institut National NAEPP (The National Asthma Education
And Prevention Program) asma adalah gangguan Inflamasi Kronis dari
saluran nafas dimana banyak sel dan elemen seluler tertentu ikut berperan
(seperti sel mast, eosinofil, T-limfosit, makrofag, Neutrofil, dan sel-sel
epitel), dan ditandai dengan variabel dan gejala
berulang, obstruksi aliran udara, hiperresponsif bronkus (HRB), dan yang
mendasari peradangan. Pada individu yang rentan, peradangan ini terjadi
berulang menimbulkan gejala episodek berupa: mengi (wheezing), sesak
nafas, sesak dada, dan batuk terutama di malam hari atau pagi hari. (NAEPP,
2007).
Gambar 1. Keterkaitan dan Interaksi antara inflamasi saluran napas gejala klinis, dan
patofisiologi asma (NAEPP, 2007)
4
2.2 ETIOLOGI
Penderita asma terus meningkat, akan tetapi penyebab pasti penyakit ini
belum sepenuhnya diketahui.
Faktor utama yang dapat menyebabkan asma adalah:
Host Factor
Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik (sejarah asma pada
keluarga) yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu
genetik asma, alergik (atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin
dan ras.
Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma
untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya
eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap.
Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi
lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi saluran pernapasan
(virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga.
(NAEPP,2007)
Tabel 2. Daftar agen pemicu dan penyebab terjadinya asma (Dipiro, 2002)
5
Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi
pencetus asma, yaitu:
1. Pemicu (trigger)
yang mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran
pernafasan (bronkokonstriksi). Pemicu tidak menyebabkan peradangan.
Banyak kalangan kedokteran yang menganggap pemicu dan
bronkokonstriksi adalah gangguan pernafasan akut, yang belum berarti
asma, tapi bisa menjurus menjadi asma jenis intrinsik.
Gejala-gejala bronkokonstriksi yang diakibatkan oleh pemicu
cenderung timbul seketika, berlangsung dalam waktu pendek dan relatif
mudah diatasi dalam waktu singkat. Namun saluran pernafasan akan
bereaksi lebih cepat terhadap pemicu, apabila sudah ada, atau sudah
terjadi peradangan. Umumnya pemicu yang mengakibatkan
bronkokonstriksi termasuk stimulus sehari-hari seperti: perubahan cuaca
dan suhu udara, polusi udara, asap rokok, infeksi saluran pernafasan,
gangguan emosi, dan olahraga yang berlebihan.
2. Penyebab (inducer)
Yang mengakibatkan peradangan (inflammation) pada saluran
pernafasan. Penyebab asma (inducer) bisa menyebabkan peradangan
(inflammation) dan sekaligus hiperresponsivitas (respon yang berlebihan)
dari saluran pernafasan. Oleh kebanyakan kalangan kedokteran, inducer
dianggap sebagai penyebab asma sesungguhnya atau asma jenis
ekstrinsik.
Penyebab
asma (inducer)
dengan demikian
mengakibatkan
gejala-gejala yang
umumnya
berlangsung lebih
lama (kronis), dan
6
Gambar 2. Asthma Trigger
lebih sulit diatasi, dibanding gangguan pernafasan yang diakibatkan oleh
pemicu (trigger). Umumnya penyebab asma (inducer) adalah alergen,
yang tampil dalam bentuk: ingestan, inhalan, dan kontak dengan kulit.
Ingestan yang utama ialah makanan dan obat-obatan. Sedangkan alergen
inhalan yang utama adalah tepung sari (serbuk) bunga, tungau, serpih dan
kotoran binatang, serta jamur.
2.3 PATOFISIOLOGI
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan
sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai
penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma.
Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten
maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk
asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang
dicetuskan aspirin.
INFLAMASI AKUT
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor
antara lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi
akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus
diikuti reaksi asma tipe lambat.
1. Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan
terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan
preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated
mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
2. Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan
7
makrofag.
INFLAMASI KRONIK
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut
ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot
polos bronkus.
Berikut uraian mengenai masing-masing sel yang terlibat diantaranya :
a. Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe
Th2). Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas
dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan
GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2
dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE.
IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta
memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
b. Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada
penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti
molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau
khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme
terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi
plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa,
mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.
c. Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma
tetapi tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas
penderita asma adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan
sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5,
IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan
PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi,
aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang
8
mengandung granul protein ialah eosinophil cationic protein (ECP),
major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil
derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.
d. Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi.
Cross-linking reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan
sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed
mediator seperti histamin dan protease serta newly generated mediators
antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan
sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
e. Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik
pada orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan
seluruh percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai
mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain
berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi
airway remodeling. Peran tersebut melalui a.l sekresi growth-promoting
factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-.
Konsekuensi Klinis Inflamasi Kronik
AIRWAY REMODELING
Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan
jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan
(healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel
sel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut
melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel
parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan
jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma, kedua
proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi
yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai
mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan
9
airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses
yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel
sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh
restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami
sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan
remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling,
juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular
basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan
inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
Penebalan membran reticular basal
Pembuluh darah meningkat
Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
Perubahan struktur parenkim
Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
10
11
Gambar 4. Inflamasi dan proses remodeling
Gambar 3. Bronkus penderita asma dibandingkan dengan bronkus normal (kanan atas). Setiap bagian menunjukkan bagaimana lumen yang menyempit. Hipertrofi membran basal, terdapat mukus plugging, hipertrofi otot polos, dan penyempitan berkontribusi (bagian bawah). Dalam sel inflamasi di Infiltrasi, memproduksi edema submukosa, dan epitel deskuamasi mengisi lumen jalan
nafas dengan puing-puing selular dan paparan saluran napas otot polos ke mediator lainnya (kiri atas). (Dipiro, 2005)
12
Gambar 5. Mekanisme inflamasi akut dan kronik pada asma dan
proses remodeling
Gambar 6. Hubungan antara inflamasi akut, inflamasi kronik dan airway remodeling dengan gejala klinis
2.4 DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI
2.4.1 Diagnosis
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh
dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas
dan beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat
episodik sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma
didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas,
mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan
faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Riwayat penyakit / gejala :
Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
Riwayat keluarga (atopi)
Riwayat alergi / atopi
Penyakit lain yang memberatkan
Perkembangan penyakit dan pengobatan
Pemeriksaan Jasmani
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani
dapat normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan
adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat
terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah
terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot
13
polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas;
maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih
besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja
pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan
hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi
paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada
serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya
sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot
bantu napas
Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai
dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru
antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter
objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
1. obstruksi jalan napas
2. reversibiliti kelainan faal paru
3. variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif
jalan napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).
1). Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan
kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa
melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada
kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas
dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil
nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi
14
jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80%
nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%
atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau
setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma
Menilai derajat berat asma
2). Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow
meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari
plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan
termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter
relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun penderita,
sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau
kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari,
atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan
variabiliti APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat
digunakan menilai derajat berat penyakit (lihat klasifikasi)
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari
15
untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh
melalui 2 cara :
Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan
nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari
sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum
bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator
menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20%
dipertimbangkan sebagai asma.
APE malam - APE pagi
Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %
1/2 (APE malam + APE pagi)
Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah
APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu,
dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE
malam hari).
Peran Pemeriksaan Lain untuk Diagnosis
1) Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma.
Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya
dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus
mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil
negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil
positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif
dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai
gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis
dan fibrosis kistik.
2). Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui
pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut
mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu
16
mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan
kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status
alergi/atopi, umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit
merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat
menghasilkan positif maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi
terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala
harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada
keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism,
dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain).
Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis
alergi/ atopi.
2.4.2 Klasifikasi asma
Secara umum, asma dibagi ke dalam dua jenis, yaitu asma pada
anak (child-onset asthma) dan asma pada orang dewasa (adult-onset
asthma).
Akan tetapi terdapat juga tipe-tipe penyakit asma lainnya, yang
dibedakan berdasarkan situasi dan pemicu terjadinya, yaitu:
a. Asma alergik (Allergic Asthma/ Extrinsic Asthma)
Asma alergik (allergic asthma) adalah tipe yang paling banyak
terjadi mencapai 90% dari semua kasus asma. Asma ini adalah jenis
asma yang disebabkan oleh allergen (zat pemicu alergi).
Alergen adalah substansi-substansi tidak berbahaya dilingkungan,
namun akan menimbulkan reaksi tidak normal pada tubuh orang yang
memiliki alergi. Umumnya, asma yang terjadi pada anak-anak adalah
asma alergik. Menghirup substansi-substansi alergen seperti bulu
binatang, jenis makanan tertentu, debu, jamur, serbuk sari, dan zat-zat
alergen lainnya yang akan memicu datangnya gejala atau serangan
asma.
b. Asma non-alergi (Non-Allergic Asthma/Intrinsic Asthma)
17
Asma tipe ini terpicu oleh suatu zat mengganggu yang terdapat di
udara, namun tidak termasuk sebagai allergen. Zat-zat seperti parfum,
debu dalam rumah, asap rokok, dan polusi udara dapat menimbulkan
gejala kesusahan bernapas bagi penderita asma tipe ini.
c. Occupational Asthma
Seperti namanya, asma tipe ini adalah asma yang berhubungan dengan
pekerjaan. Banyak penderita asma yang mengalami gejala/serangan
asma saat berada di tempatnya bekerja. Ini disebabkan oleh faktor-
faktor lingkungan yang dapat memicu asma, misalnya kondisi udara,
debu, asap rokok, atau bahkan situasi stres yang sering muncul di
lokasi pekerjaan.
d. Exercise-induced asthma (EIA)
Penyakit asma ini adalah tipe asma yang dipicu akibat gerak
badan/aktifitas fisik yang berat. Setelah aktifitas tersebut mencapai
titik tertentu, serangan asma akan terjadi dan menyebabkan mengi
(berbunyi saat bernapas), dada terasa sesak dan batuk.
e. Nocturnal asthma
Ini adalah tipe asma yang biasanya sangat parah di malam hari. Gejala
asma itu sendiri bisa muncul kapan saja, akan tetapi pada malam hari,
atau bahkan saat tidur, serangan asma akan semakin parah.
f. Cough-variant asthma
Tipe penyakit asma ini didominasi oleh batuk kering yang sangat
parah, dan biasanya tidak memiliki gejala-gejala asma lainnya (sesak
napas, mengi, dll). Itu menyebabkan tipe asma ini terlambat dideteksi
dan ditangani, karena serangan asma yang terjadi hanya berupa batuk.
Pemicunya bisa karena kondisi udara yang buruk atau akibat aktifitas
fisik yang berat.
18
Klasifikasi Asma berdasarkan waktu perjalanan penyakit
Dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Asma Kronis
Asma kronis adalah penyakit menahun eksaserbasi dan remisi,
sehingga pasien mungkin tidak memiliki tanda-tanda atau gejala pada
saat dilakukan pengujian.
Gejala : Pasien mungkin mengeluhkan episode dispnea, sesak
dada, batuk (terutama pada malam hari), mengi, atau suara bersiul saat
bernafas. Ini sering terjadi berhubungan dengan olahraga, tetapi juga
terjadi secara spontan atau dalam hubungan dengan alergen yang
dikenal.
Tanda : Mengi ekspirasi pada auskultasi, batuk kering, atau
tanda-tanda atopi (alergi rhinitis dan / atau eksim) dapat terjadi.
(Dipiro,2005)
b. Asma Akut Parah
Asma yang terjadi secara mendadak dalam waktu singkat dan parah.
Sebuah episode dapat berkembang selama beberapa hari atau jam (atau
berlangsung cepat selama 1 sampai 2 jam.
Gejala : Pasien mengeluh parah dyspnea, sesak napas, sesak dada,
atau rasa terbakar .Pasien hanya mampu mengucapkan beberapa kata
dengan setiap napas.
Tanda : Tanda-tanda meliputi mengi ekspirasi dan inspirasi pada
auskultasi (suara napas dapat berkurang dengan obstruksi sangat
parah), batuk kering hacking, takipnea, takikardia, pucat atau
kulit sianotik, hyperin fl diciptakan dada dengan interkostal dan
supraklavikular retraksi, kejang hipoksia jika sangat parah, suhu tubuh
normal atau sedikit meningkat. (Dipiro,2005)
19
Klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahan penyakit (derajat
asma) yaitu:
1. Intermiten
Intermitten ialah derajat asma yang paling ringan. Pada tingkatan
derajat asma ini, serangannya biasanya berlangsung secara singkat.
Dan gejala ini juga bisa muncul di malam hari dengan intensitas sangat
rendah yaitu ≤ 2x sebulan.
2. Persisten Ringan
Persisten ringan ialah derajat asma yang tergolong ringan. Pada
tingkatan derajat asma ini, gejala pada sehari-hari berlangsung lebih
dari 1 kali seminggu, tetapi kurang dari atau sama dengan 1 kali sehari
dan serangannya biasanya dapat mengganggu aktifitas tidur di malam
hari.
3. Persisten Sedang
Persisten sedang ialah derajat asma yang tergolong lumayan berat.
Pada tingkatan derajat asma ini, gejala yang muncul biasanya di atas 1
x seminggu dan hampir setiap hari. Serangannya biasanya dapat
mengganggu aktifitas tidur di malam hari.
4. Persisten Berat
Persisten berat ialah derajat asma yang paling tinggi tingkat
keparahannya. Pada tingkatan derajat asma ini, gejala yang muncul
biasanya hampir setiap hari, terus menerus, dan sering kambuh.
Membutuhkan bronkodilator setiap hari dan serangannya biasanya
dapat mengganggu aktifitas tidur di malam hari.
20
Tabel 3. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
(Sebelum Pengobatan)
21
Tabel 4. Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan
22
BAB III
PENATALAKSANAAN ASMA
3.1 Tujuan Terapi
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari.
1. ASMA KRONIK
Tujuan penanganan asma kronik : 1. Mempertahankan tingkat aktivitas
normal (termasuk latihan fisik); 2. Mempertahanlkan fungsi paru-paru
(mendekati) normal; 3. Mencegah gejala kronis dan yang menggangu (cth.
Batuk atau kesulitan bernafas pada malam hari, pada pagi hari, atau setelah
latihan berat); 4. Mencegah memburuknya asma secara berulang dan
meminimalisasi kebutuhan untk masuk ICU atau rawt inap; 5.
Menyediakan farmakoterapi optimum dengan tidak ada atau sedikit efek
samping; 6. Memenuhi keinginan pelayanan terhadap pasien dan keluarga.
2. ASMA PARAH AKUT
Tujuan penanganan adalah sebagai berikut: 1. Perbaikan hipoksemia
signifikan; 2. Perbalikan cepat penutup jalan udara (dalam hitungan
menit); 3. Pengurangan kecendrungan penutupan aloran udara yang parah
timbul kembali; 4. Pengembangan rencana aksi tertulis jika keadaan
memburuk.
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma
dikatakan terkontrol bila :
a. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
23
b. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
c. Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal
(idealnya tidak diperlukan)
d. Variasi harian APE kurang dari 20%
e. Nilai APE normal atau mendekati normal
f. Efek samping obat minimal (tidak ada)
g. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
3.2 PENATALAKSANAAN PENGOBATAN JANGKA PANJANG
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut
sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam
waktu satu bulan.
Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk
mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat 3
faktor yang perlu dipertimbangkan :
1. Medikasi (obat-obatan)
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
a. Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :
Kortikosteroid inhalasi, Kortikosteroid sistemik, Sodium
kromoglikat, Nedokromil sodium, Metilsantin, Agonis beta-2 kerja
lama (inhalasi), Agonis beta-2 kerja lama oral, Leukotrien modifiers,
Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1) dan Lain-lain.
b. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan
24
dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif
jalan napas. Termasuk pelega adalah : Agonis beta2 kerja singkat,
Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat
pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi
hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan
bronkodilator lain), Antikolinergik, Aminofillin, Adrenalin.
2. Tahapan pengobatan
Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma seperti
telah dijelaskan sebelumnya (lihat klasifikasi), agar tercapai tujuan
pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal mungkin.
Pendekatan dalam memulai pengobatan jangka panjang harus melalui
pemberian terapi maksimum pada awal pengobatan sesuai derajat asma
termasuk glukokortikosteroid oral dan atau glukokortikosteroid inhalasi
dosis penuh ditambah dengan agonis beta-2 kerja lama untuk segera
mengontrol asma (bukti D); setelah asma terkontrol dosis diturunkan
bertahap sampai seminimal mungkin dengan tetap mempertahankan
kondisi asma terkontrol. Cara itu disebut stepdown therapy. Pendekatan
lain adalah step-up therapy yaitu memulai terapi sesuai berat asma dan
meningkatkan terapi secara bertahap jika dibutuhkan untuk mencapai
asma terkontrol.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan
stepdown therapy untuk penanganan asma yaitu memulai pengobatan
dengan upaya menekan inflamasi jalan napas dan mencapai keadaan
asma terkontrol sesegera mungkin, dan menurunkan terapi sampai
seminimal mungkin dengan tetap mengontrol asma. Bila terdapat
keadaan asma yang tetap tidak terkontrol dengan terapi awal/maksimal
tersebut (misalnya setelah 1 bulan terapi), maka pertimbangkan untuk
evaluasi kembali diagnosis sambil tetap memberikan pengobata asma
sesuai beratnya gejala.
25
Tabel 5. Pengobatan sesuai berat asmaSemua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak
melebihi 3-4 kali sehari.Berat Asma Medikasi pengontrol Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain
harianAsma Intermiten Tidak perlu -------- -------Asma Persisten Glukokortikosteroid Teofilin lepas lambat ------Ringan inhalasi Kromolin
(200-400 ug BD/hari Leukotriene modifiersatau ekivalennya)
Asma Persisten Kombinasi inhalasi Glukokortikosteroid inhalasi Ditambah agonis beta-2Sedang glukokortikosteroid (400-800 ug BD atau kerja lama oral, atau
(400-800 ug BD/hari ekivalennya) ditambahatau ekivalennya) dan Teofilin lepas lambat ,atau Ditambah teofilin lepasagonis beta-2 kerja lama lambat
Glukokortikosteroid inhalasi(400-800 ug BD atauekivalennya) ditambahagonis beta-2 kerja lamaoral, atau
Glukokortikosteroid inhalasidosis tinggi (>800 ug BDatau ekivalennya) atau
Glukokortikosteroid inhalasi(400-800 ug BD atauekivalennya) ditambahleukotriene modifiers
Asma Persisten Kombinasi inhalasi Prednisolon/ metilprednisolonBerat glukokortikosteroid oral selang sehari 10 mg
(> 800 ug BD atau ditambah agonis beta-2 kerjaekivalennya) dan agonis lama oral, ditambah teofilinbeta-2 kerja lama, lepas lambatditambah 1 di bawahini:- teofilin lepas lambat- leukotriene modifiers- glukokortikosteroidoral
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol
3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
Sistem penanganan asma mandiri membantu penderita memahami
kondisi kronik dan bervariasinya keadaan penyakit asma. Mengajak
penderita memantau kondisinya sendiri, identifikasi perburukan asma
26
sehari-hari, mengontrol gejala dan mengetahui kapan penderita
membutuhkan bantuan medis/ dokter. Penderita diperkenalkan kepada 3
daerah (zona) yaitu merah, kuning dan hijau dianalogkan sebagai kartu
menuju sehat balita (KMS) atau lampu lalu lintas untuk memudahkan
pengertian dan diingat penderita. Zona`merah berarti berbahaya, kuning
hati-hati dan hijau adalah baik tidak masalah. Pembagian zona
berdasarkan gejala dan pemeriksaan faal paru (APE).
Tabel 6. Pelangi asmaPelangi Asma, monitoring keadaan asma secara mandiri
Hijau Kondisi baik, asma terkontrol Tidak ada / minimal gejala APE : 80 - 100 % nilai dugaan/ terbaikPengobatan bergantung berat asma, prinsipnya pengobatan dilanjutkan. Bila tetap berada pada warna hijau minimal 3 bulan, maka pertimbangkan turunkan terapiKuning Berarti hati-hati, asma tidak terkontrol, dapat terjadi serangan akut/ eksaserbasi Dengan gejala asma (asma malam, aktiviti terhambat, batuk, mengi, dada terasaberat baik saat aktiviti maupun istirahat) dan/ atau APE 60 - 80 % prediksi/ nilai terbaikMembutuhkan peningkatan dosis medikasi atau perubahan medikasiMerah Berbahaya Gejala asma terus menerus dan membatasi aktiviti sehari-hari. APE < 60% nilai dugaan/ terbaikPenderita membutuhkan pengobatan segera sebagai rencana pengobatan yang disepakati dokter-penderita secara tertulis. Bila tetap tidak ada respons, segera hubungi dokter atau ke rumah sakit.
3.3 PENATALAKSANAAN SERANGAN AKUT
Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat bersifat
fatal atau mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan
penanganan asma sehari-hari yang kurang tepat. Dengan kata lain
penanganan asma ditekankan kepada penanganan jangka panjang, dengan
tetap memperhatikan serangan asma akut atau perburukan gejala dengan
memberikan pengobatan yang tepat.
Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan
serangan akut (lihat tabel 4). Langkah berikutnya adalah memberikan
pengobatan tepat, selanjutnya menilai respons pengobatan, dan berikutnya
27
memahami tindakan apa yang sebaiknya dilakukan pada penderita (pulang,
observasi, rawat inap, intubasi, membutuhkan ventilator, ICU, dan lain-lain).
Tabel 7. Klasifikasi berat serangan asma akut
Gejala dan Berat Serangan Akut KeadaanTanda Ringan Sedang Berat Mengancam jiwa
Sesak napas Berjalan Berbicara Istirahat
Posisi Dapat tidur Duduk Dudukterlentang membungkuk
Cara berbicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kataKesadaran Mungkin Gelisah Gelisah Mengantuk,
gelisah gelisah, kesadaranmenurun
Frekuensi napas <20/ menit 20-30/ menit > 30/menitNadi < 100 100 –120 > 120 BradikardiaPulsus paradoksus - + / - 10 – 20 + -
10 mmHg mmHg > 25 mmHg Kelelahan ototOtot Bantu Napas - + + Torakoabdominaldan retraksi paradoksalsuprasternalMengi Akhir Akhir Inspirasi dan Silent Chest
ekspirasi ekspirasi ekspirasipaksa
APE > 80% 60 – 80% < 60%
PaO2 > 80 mHg 80-60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg
SaO2 > 95% 91 – 95% < 90%
Penderita asma mutlak untuk memahami bagaimana mengatasi saat
terjadi serangan, apakah cukup diatasi di rumah saja dengan obat yang
sehari-hari digunakan, ataukah ada obat tambahan atau bahkan harus
pergi ke rumah sakit. Konsep itu yang harus dibicarakan dengan
dokternya (lihat bagan penatalaksanaan asma di rumah). Bila sampai
membutuhkan pertolongan dokter dan atau fasiliti rumah sakit, maka
dokter wajib menilai berat serangan dan memberikan penanganan yang
tepat (lihat bagan penatalaksanaan asma akut di rumah sakit).
28
3.4 Algoritme Penatalaksanaan Serangan Asma Di Rumah Sakit
29
3.5 Algoritme Penatalaksanaan Serangan Asma Di Rumah
30
BAB IV
FARMAKOTERAPI ASMA
31
Terapi farmakologi (Pharmacology therapy )merupakan salah satu
bagian dari penanganan asma yang bertujuan mengurangi dampak penyakit
dan kualiti hidup; yang dikenal dengan tujuan pengelolaan asma. Pemahaman
bahwa asma bukan hanya suatu episodik penyakit tetapi asma adalah suatu
penyakit kronik menyebabkan pergeseran fokus penanganan dari pengobatan
hanya untuk serangan akut menjadi pengobatan jangka panjang dengan tujuan
mencegah serangan, mengontrol atau mengubah perjalanan penyakit.
Pada prinsipnya pengobatan asma dibagi menjadi 2 golongan yaitu
antiinflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol
penyakit serta mencegah serangan dikenal dengan pengontrol, dan
bronkodilator yang merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi
eksaserbasi/ serangan, dikenal dengan pelega.
Tabel 8. Obat asma yang tersedia di Indonesia (tahun 2004)
32
Jenis Obat Golongan Nama Generik Bentuk/ kemasan obat
PengontrolAntiinflamasi Steroid Inhalasi Flutikason propionat IDT
Budesonide IDT, TurbuhalerKromolin IDT
Sodium kromoglikat Nedokromil IDTNedokromil Zafirlukast Oral (tablet)Antileukotrin Metilprednisolon Oral ,InjeksiKortikosteroid sistemik Prednisolon OralAgonis beta-2 kerja lama Prokaterol Oral
Bambuterol OralFormoterol Turbuhaler
Pelega Agonis beta-2 kerja Salbutamol Oral, IDT, rotacap, rotadisk,Bronkodilator singkat Solutio
Terbutalin Oral, IDT, Turbuhaler, solutioAmpul (injeksi)
Prokaterol IDTFenoterol IDT, solutio
Antikolinergik Ipratropium bromide IDT, SolutioMetilsantin Teofilin Oral
Aminofilin Oral, InjeksiTeofilin lepas lambat Oral
Agonis beta-2 kerja lama Formoterol TurbuhalerKortikosteroid sistemik Metilprednisolon Oral, injeksi
Prednison Oral
Keterangan tabel 7IDT : Inhalasi dosis terukur = Metered dose Inhaler / MDI , dapat digunakan bersama dengan spacerSolutio: larutan untuk penggunaan nebulisasi dengan nebulizerOral : dapat berbentuk sirup, tabletInjeksi : dapat untuk pengggunaan subkutan, im dan iv
Tabel 9. Sediaan dan dosis obat pengontrol asma
Medikasi Sediaan obat Dosis dewasa Dosis anak Keterangan
KortikosteroidsistemikMetilprednisolon Tablet 4-40 mg/ hari, dosis 0,25 – 2 mg/ kg Pemakaian jangka panjang
4 , 8, 16 mg tunggal atau terbagi BB/ hari, dosis dosis 4-5mg/ hari atau 8-10 mgtunggal atau selang sehari untuk mengontrol
Prednison Tablet 5 mg Short-course : terbagi asma , atau sebagai pengganti20-40 mg /hari steroid inhalasi pada kasusdosis tunggal atau Short-course : yang tidak dapat/ mamputerbagi selama 3-10 1-2 mg /kgBB/ menggunakan steroid inhalasihari hari
Maks. 40 mg/hari,selama 3-10 hari
Kromolin &Nedokromil
Kromolin IDT 1-2 semprot, 1 semprot, - Sebagai alternatif5mg/ semprot 3-4 x/ hari 3-4x / hari antiinflamasi
Nedokromil IDT 2 semprot 2 semprot - Sebelum exercise atau2 mg/ semprot 2-4 x/ hari 2-4 x/ hari pajanan alergen, profilaksis
efektif dalam 1-2 jam
Agonis beta-2kerja lama
Salmeterol IDT 25 mcg/ 2 – 4 semprot, 1-2 semprot, Digunakan bersama/semprot 2 x / hari 2 x/ hari kombinasi dengan steroidRotadisk 50 inhalasi untuk mengontrolmcg asma
Bambuterol Tablet 10mg 1 X 10 mg / hari, --malam
Prokaterol Tablet 25, 50 2 x 50 mcg/hari 2 x 25 mcg/hari Tidak dianjurkan untukmcg mengatasi gejala padaSirup 5 mcg/ ml 2 x 5 ml/hari 2 x 2,5 ml/hari eksaserbasi
Kecuali formoterol yangmempunyai onset kerja cepat
Formoterol IDT 4,5 ; 9 4,5 – 9 mcg 2x1 semprot dan berlangsung lama,mcg/semprot 1-2x/ hari (>12 tahun) sehingga dapat digunakan
mengatasi gejala padaeksaserbasi
Medikasi Sediaan obat Dosis dewasa Dosis anak Keterangan
Metilxantin
Aminofilin lepas Tablet 225 mg 2 x 1 tablet ½ -1 tablet, Atur dosis sampai mencapailambat 2 x/ hari kadar obat
(> 12 tahun) dalam serum 5-15 mcg/ ml.
Teofilin lepas Tablet 2 x125 – 300 2 x 125 mg Sebaiknya monitoring kadar obat
33
Lambat 125, 250, 300 mg (> 6 tahun) dalammg – 2 x/ hari; serum dilakukan rutin, mengingat
sangat bervariasinya metabolic400 mg 200-400 mg clearance dari teofilin, sehingga
1x/ hari mencegah efek samping
Antileukotrin
Zafirlukast Tablet 20 mg 2 x 20mg/ hari --- Pemberian bersama makananmengurangi bioavailabiliti.Sebaiknya diberikan 1 jamsebelum atau 2 jam setelah makan
Steroid inhalasi
Flutikason IDT 50, 125 125 – 500 mcg/ 50-125 mcg/ Dosis bergantung kepada derajatpropionat mcg/ semprot hari hari berat asma
IDT , 100 – 800 Sebaiknya diberikan denganBudesonide Turbuhaler mcg/ hari 100 –200 spacer
100, 200, 400 mcg/ harimcg
IDT, rotacap, 100 – 800Beklometason rotahaler, mcg/ hari 100-200 mcg/dipropionat rotadisk hari
Tabel 10. Sediaan dan dosis obat pelega untuk mengatasi gejala asma
Medikasi Sediaan obat Dosis dewasa Dosis anak Keterangan
Agonis beta-2 kerjasingkat
Terbutalin IDT 0,25 mg/ semprot 0,25-0,5 mg, Inhalasi Penggunaan obatTurbuhaler 0,25 mg ; 0,5 3-4 x/ hari 0,25 mg pelega sesuaimg/ hirup 3-4 x/ hari kebutuhan, bila perlu.Respule/ solutio 5 mg/ 2ml (> 12 tahun)Tablet 2,5 mg oral 1,5 – 2,5 mg, oralSirup 1,5 ; 2,5 mg/ 5ml 3- 4 x/ hari 0,05 mg/ kg
BB/ x,3-4 x/hari
Salbutamol IDT 100 mcg/semprot inhalasi 100 mcg Untuk mengatasiNebules/ solutio 200 mcg 3-4x/ hari eksaserbasi , dosis2,5 mg/2ml, 5mg/ml 3-4 x/ hari 0,05 mg/ kg pemeliharaanTablet 2mg, 4 mg oral 1- 2 mg, BB/ x, berkisar 3-4x/ hariSirup 1mg, 2mg/ 5ml 3-4 x/ hari 3-4x/ hari
Fenoterol IDT 100, 200 mcg/ 200 mcg 100 mcg,semprot 3-4 x/ hari 3-4x/ hari
10-20 mcg, 10 mcg,Solutio 100 mcg/ ml
Prokaterol 2-4 x/ hari 2 x/ hariIDT 10 mcg/ semprot 2 x 50 mcg/hari 2 x 25 mcg/hariTablet 25, 50 mcg 2 x 5 ml/hari 2 x 2,5 ml/hari
Sirup 5 mcg/ mlAntikolinergik
Ipratropium IDT 20 mcg/ semprot 40 mcg, 20 mcg, Diberikan kombinasibromide 3-4 x/ hari 3-4x/ hari dengan agonis beta-2
kerja singkat, untukSolutio 0,25 mg/ ml 0,25 mg, setiap 6 0,25 –0,5 mg mengatasi serangan(0,025%) jam tiap 6 jam(nebulisasi) Kombinasi dengan
agonis beta-2 pada
34
pengobatan jangkapanjang, tidak adamanfaat tambahan
4.1 Pengontrol (Controllers)
1. Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol
asma karena menanggulangi peradangan lokal di bronkhi. Berbagai
penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan
memperbaiki kualiti hidup (bukti A). Steroid inhalasi adalah pilihan
bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi
ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis yang direkomendasikan.
Tabel 11. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensiDewasa Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi
ObatBeklometason dipropionat 200-500 ug 500-1000 ug >1000 ugBudesonid 200-400 ug 400-800 ug >800 ugFlunisolid 500-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug
35
Flutikason 100-250 ug 250-500 ug >500 ugTriamsinolon asetonid 400-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug
Anak Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggiObatBeklometason dipropionat 100-400 ug 400-800 ug >800 ugBudesonid 100-200 ug 200-400 ug >400 ugFlunisolid 500-750 ug 1000-1250 ug >1250 ugFlutikason 100-200 ug 200-500 ug >500 ugTriamsinolon asetonid 400-800 ug 800-1200 ug >1200 ug
2. Glukokortikosteroid sistemik : hidrokortison, prednison,
deksametason
Kortikosteroid berkhasiat meniadakan efek mediator, seperti
peradangan dan gatal-gatal. Daya antiradang ini berdasarkan blokade
enzim fosfolipase-A2, sehingga pembentukan mediator peradangan
prostaglandin dan leukotrien dari asam arakhidonat tidak terjadi.
Singkatnya kortikosteroida menghambat mekanisme kegiatan alergen
yang melalui IgE dapat menyebabkan degranulasi mast cell, juga
meningkatkan kepekaan reseptor β2 hingga efek β-mimetika (β-
adrenergik) diperkuat. (T.H Tjay, 2007)
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan
digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat
(setiap hari atau selang sehari), tetapi penggunaannya terbatas
mengingat risiko efek sistemik (osteoporosis, tukak dan perdarahan
lambung, hipertensi, diabetes,dll). Harus selalu diingat indeks terapi
(efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik
daripada steroid oral jangka panjang. Beberapa hal yang harus
dipertimbangkan saat memberi steroid oral :
gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena
mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh
pendek dan efek striae pada otot minimal
bentuk oral, bukan parenteral
penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari
3. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
36
Kromolin natrium dan nedokromil natrium mempunyai efek-efek
menguntungkan yang diyakini menghambat penglepasan mediator dari
sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung kepada
dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu (makrofag,
eosinofil,monosit); selain dari kemungkinan menghambat saluran
kalsium pada sel target. Mereka menginhibisi respon terhadap paparan
allergen dan broncospasme diinduksi latihan tetapi tidak menyebabkan
bronkodilatasi. Agen-agen hanya efektif jika dihirup dan tersedia
sebagai obat inhalasi dosis terukur; kromolin juga tersedia dalam
larutan nebulizer. (Dipiro, 2005)
Studi klinis menunjukkan pemberian sodium kromoglikat dapat
memperbaiki faal paru dan gejala, menurunkan hiperesponsif jalan
napas walau tidak seefektif glukokortikosteroid inhalasi (bukti B).
Kedua obat ini tidak toksik. Batuk dan bersin dilaporkan efek
samping setelah penggunaan masing-masing zat, dan rasa tidak enak
serta sakit kepala untuk nedokromil.
Kromolin dan nedokromil diindikasikan untuk profilaksis asma
peristen ringan pada anak-anak dan dewasa tanpa melihat etiologinya.
Mereka Dapat efektif parsial terhadap asma alergik pada kondisi
musiman atau hanya sebelum paparan akut (cth. Hewan atau
membersihkan halaman). Nedokromil juga dapat menurunkan dosis
steroid inhaler pada beberapa pasien. (Goodman & Gilman.,2011)
Kromolin merupakan obat pilihan kedua untuk pencegahan
bronkospasma yang diinduksi latihan fisik dan dapat digunakan
bersama agonis β2 dalam kasus yang lebih parah yang tidak merespon
terhadap tiap zat masing-masing.
Kebanyakan pasien menunjukkan peningkatan dalam 1 hingga 2
minggu, tetapi mungkin memerlukan waktu lebih lama mencapai
keuntungan maksimum. Pasien pada awalnya menerima kromolin atau
nedokromil 4 kali sehari; setelah stabilisasi gejala frekunesi dapat
diturunkan hingga 2 kali sehari untuk nedokromil dan 3 kali sehari
37
untuk kromolin. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk
menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak. (PDPI,2003)
4. Metilxantin
Daya bronchorelaksasinya diperkirakan berdasarkan blokade reseptor
adenosin. Selain itu tteofilin seperti kromoglikat mencegah
meningkatnya hiperaktivitas dan berdasarkan ini bekerja profilaksis.
(T.H Tjay, 2007)
Teofilin menghasilkan bronkodilatasi dengan menginhibisa
fofodiesterase, yang juga menghasilkan antiinflamasi dan aktivitas
nonbronkodilatasi lain melalui penurunan pelepasan mediator sel mast,
penurunan pelepasan protein dasar eosinofil, penurunan proliferasi
limfosit T, penurunan pelepasan sitokin sel T, dan penurunaneksudasi
plasma. Teofilin juga menginhibisi permeabilitas vascular,
menigkatkan klirens mukosiliar, dan memperkuat kontraksi
diagfragma yang kelelahan.
Metilxanthin tidak selektif dalam bentik aerosol dan harus
diberikan secraa sitemik (oral atau IV). Teofilin lepas lambat lebih
disukai untuk pemberian oral, sedangkan dalam bentuk kompleksnya
dengan etilendiamin (aminofilin) lebih disukai untuk sediaan
parenteral karena peningkatan kelarutannya. Sediaam teofilin IV juga
tersedia.
Teofilin dieliminasi terutama dengan metabolism melalui enzim
mikrosomal oksidase sitokorm P450 fungsi campur hati (terutama
CYP1A2 dan CYP3A4) dengan 10% atau lebih sedikit dieksresikan
melalui ginjal. Enzim sitokorm P450 hati rentan terhadap induksi dan
inhibisi dari pengaruh lingkungan dan obat-obatan. Pengurangan
secara signifikan secra klinik pada bersihan disebabkan oleh ko-terapi
dengan simetidin, eritromosin, klaritromisin, alopurinol,
siprofloksasin, interferon, tiklopidin, ziluton, dan obat lainnya.
Beberapa senyawa yang meningkatkan bersihan termasuk rifampin,
38
karbamazepin, fenobarbital, fenotoin, daging yang dipanggang dengan
arang, dan merokok.
Karena besarnya variabilitas antar pasien dalam bersihan teofilin,
monitoring rutin konsentrasi serum teofilin penting untukpenggunaan
yang aman dan efektif. Suatu rentang steady-state 5-15 mcg/mL efektif
dan aman untuk kebanyakan pasien.Memberikan rekomendasi dosis,
jadual monitoring, dan penyesuaian dosis untuk teofilin.
Sediaan oral sustained-release lebih disukai untuk terapi pasien
luar, tapi setiap produk memiliki karakteristik pelepasan berbeda dan
beberapa produk dapat berubah absopsinya akibat makanan atau
perubahan phH lambung. Sediaan yang tak terpengaruh makanan yang
diebrikan minimal setiap 12 jam lebih disukai kebanyakan pasien.
Pemberian teofilin kronik pasien luar dapat mengurangi gejala asma,
mengurangu jumlah agonis β2 inhaler yang digunakan, dan mengurangi
kebutuhan kortikosteroid oral pada penderita asma yang tergantung
steroid. Teofilin sustained-release yang diberikan sekali semalam
efektik untuk asma nocturnal. Pada pemburukan asma parah akut,
penambahan aminofilin terhadap agonis β2 optimal tidak memberikan
keuntungan tambahan, dan tidak direkomendasikan.
Kerugian signifikan terapi teofilin krinik adalah bahayanya yang
menyertai pemberian suatu obat yang dapat menyebabkan aritmia,
seizure, dan kematian pada konsentrasi serum yang hanya dua kali
lebih besar dari pada konsentrasi terapetik optimal. Karena tingginya
rasio untung-ruginya, teofilin dianggap agen terapi kedua atau ketiga
dalam penanganan asma. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)
5. Agonis beta-2 (β2-adrenergik, β2-mimetik) kerja lama
Salah satu terapi farmakologi yang dapat dilakukan adalah dengan
obat Agonis β2 .Agonis β2 merupakan bronkodilator yang paling
efektif.Stimulasi reseptor β2-Adrenergik mengaktivasi adenil siklase,
39
yang menghasilkan peningkatan AMP siklik intraselular.Hal ini
menyebabkan relaksasi otot polos, stabilisasi membrane sel mast, dan
stimulasi otot skelet. Albuterol dan inhalasi agonis β2 selektif aksi
pendek lain diindikasikan untuk penanganan episode bronkospasmus
irregular dan merupakan pilihan pertama dalam penanganan asma
parah akut. Karena agonis β2 inhaler aksi pendek tidak meningkatkan
kontrol gejala jangka panjang, pemakaiannya dapat digunakan sebagai
ukuran kontrol asma. Obat ini hanya digunakan jika diperlukan untuk
mengatasi gejala. (Sukandar dkk., 2009)
Agonis β2 merupakan bronkodilator yang paling efektif. Stimulasi
reseptor β2-adrenergik mengaktifasi adenil siklase, yang menghasilkan
peningkatan AMP siklik intraselular. Hal ini menyebabkan relaksasi
otot polos, stabilisasi membrane sel mast, stimulasi otot skelet,
meningkatkan pembersihan mukosilier, dan menurunkan permeabiliti
pembuluh darah.
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah
salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12
jam). Kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai efek
antiinflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2 kerja lama yang
diberikan jangka lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang
bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama,
menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat
oral.
Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-2Onset Durasi (Lama kerja)
Singkat LamaCepat Fenoterol Formoterol
ProkaterolSalbutamol/ AlbuterolTerbutalinPirbuterol
Lambat Salmeterol
6. Leukotriene modifiers
40
Pada pasien asma leukotrien menimbulkan bronkokontriksi dan
sekresi mukus. (T.H Tjay,2007)
Obat anti LT ini merupakan antiasma yang relatif baru dan
pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerjanya sebagai
Lipoksigenase-blokers yang menghambat 5-lipoksigenase sehingga
memblok sintesis semua leukotrin (contohnya zileuton) atau sebagai
LT-receptorblockers yang memblok reseptor-reseptor leukotrien
sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas).
Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal
dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan
exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek
antiinflamasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan
leukotriene modifiers dapat menurunkan kebutuhan dosis
glukokortikosteroid inhalasi penderita asma persisten sedang sampai
berat, mengontrol asma pada penderita dengan asma yang tidak
terkontrol walau dengan glukokortikosteroid inhalasi (bukti B).
Diketahui sebagai terapi tambahan tersebut, leukotriene modifiers tidak
seefektif agonis beta-2 kerja lama (bukti B). Kelebihan obat ini adalah
preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan.
Penderita dengan aspirin induced asthma menunjukkan respons yang
baik dengan pengobatan leukotriene modifiers.
Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis
reseptor leukotrien sisteinil). Efek samping jarang ditemukan. Zileuton
dihubungkan dengan toksik hati, sehingga monitor fungsi hati
dianjurkan apabila diberikan terapi zileuton. (PDPI, 2003)
4.2 Pelega (Reliever/ Bronchodilator)
1. Agonis beta-2 kerja singkat
Otot polos saluran napas mempunyai sedikit serabut saraf
adrenergik, tetapi mempunyai banyak reseptor β-2 yang bila
41
distimulasi dengan agonisnya menyebabkan bronkodilatasi. (MJ Neal,
2006)
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol,
dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu
mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai onset cepat dan
durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian
inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/
tidak ada. (PDPI, 2003)
Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yang menstimulasi
reseptor β-2 yang banyak terdapat di trakea dan bronkhi yang
menyebabkan aktivasi bronkhi sehingga berefek me- relaksasi otot
polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan
permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari
sel mast. (T.H Tjay,2007)
Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat
bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma (bukti A).
Penggunaan agonis beta-2 kerja singkat direkomendasikan bila
diperlukan untuk mengatasi gejala. Kebutuhan yang meningkat atau
bahkan setiap hari adalah petanda perburukan asma dan menunjukkan
perlunya terapi antiinflamasi. Demikian pula, gagal melegakan jalan
napas segera atau respons tidak memuaskan dengan agonis beta-2 kerja
singkat saat serangan asma adalah petanda dibutuhkannya
glukokortikosteroid oral.
Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot
rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit
menimbulkan efek samping daripada oral. Dianjurkan pemberian
inhalasi, kecuali pada penderita yang tidak dapat/mungkin
menggunakan terapi inhalasi. (PDPI,2003)
2. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih
42
lemah dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat. Aminofillin kerja
singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walau disadari
onsetnya lebih lama daripada agonis beta-2 kerja singkat (bukti A).
Teofilin kerja singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis beta-
2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk
respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernapasan dan
mempertahankan respons terhadap agonis beta-2 kerja singkat di antara
pemberian satu dengan berikutnya.
Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana
metilsantin, tetapi dapat dicegah dengan dosis yang sesuai dan
dilakukan pemantauan. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak
diberikan pada penderita yang sedang dalam terapi teofilin lepas
lambat kecuali diketahui dan dipantau ketat kadar teofilin dalam
serum. (PDPI, 2003)
3. Antikolinergik
Antikolinergik memblok reseptor muskarinik dari saraf saraf
kolinergis di otot polos bronchi (sehingga pelepasan asetilkolin tidak
terjadi), hingga aktivitas saraf adrenergik menjadi dominan dengan
efek bronkodilatasi. (TH Tjay,2007)
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas.
Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik
vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi
yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-
2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk
mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe
cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap
inflamasi.
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan
tiotropium bromide. Analisis meta penelitian menunjukkan
43
ipratropium bromide mempunyai efek meningkatkan bronkodilatasi
agonis beta-2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru
dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna (bukti
B). Oleh karena disarankan menggunakan kombinasi inhalasi
antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator
pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang
kurang respons dengan agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek
bronkodilatasi maksimal. Tidak bermanfaat diberikan jangka panjang,
dianjurkan sebagai alternatif pelega pada penderita yang menunjukkan
efek samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi seperti
takikardia, aritmia dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di
mulut dan rasa pahit. Tidak ada bukti mengenai efeknya pada sekresi
mukus. (PDPI,2003)
4. Adrenalin
Zat adrenergik dengan efekα & β adalah bronchodilator terkuat
dengan kerja cepat tetapi singkat. (TH.Tjay, 2007)
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat,
bila tidak tersedia agonis beta-2, atau tidak respons dengan agonis
beta-2 kerja singkat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-
hati pada penderita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular.
Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus
dengan pengawasan ketat (bedside monitoring). (PDPI,2003)
Pendekatan farmakologi lainnya :
1. Kombinasi Terapi Pengontrol
Guideline NAEPP 2002 merekomendasikan mengkombinasik
kortokosteroid hirup dan agonis β2 hirup kerja lama untuk
44
tahap 3 asma persisten sedang. Kombinasi ini lebih kuat dari
pada mendulikasi dosiskortikosteroid hirup atau menambahkan
antagonis leikotrien ke kortikosteroid hirup. (NAEPP,2002)
Advair merupakan sediaan kombinasi yang mengobati
inflamasi dan bronkokontriksi asma persisten sedang hingga
parah dari flukitason (100, 250, atau 500 mcg) dengan
salmeterol dosis tetap (50 mcg). Kombinasi ini mempunyai
onset yang cepat (dalam 1 minggu), dan salmoterol dapat
mengurangu dosis kortikosteroid hirup hingga 50% pada
pasien dengan asma persisten.
2. Omalizumab (anti-IgE)
Omalizumab merupakan antibody anti-IgE yang digunakan
untuk pengobatan asma yang tidak dapat ditangan dengan baik
oleh kostokosteroid hirup dosis tinggi. Obat ini hanya
diindikasi untuk pasien atopik bergantung kortoksteroid yang
memerlukam kostokosteroid oral atau menkonsumsi
kortokosteroid dosis tinggi degan berlanjutnya gejalan dan
kadar IgE tinggi. Dosis ditentukan berdasakan IgE serum total
dasar (UI/ml)dan berat badan pasien (kg). dosis berkisar natara
150 hingga 375 mg diberikan secara subkutan dengan interval
pemberian 2 atau 4 minggu. (Dipiro, 2005)
3. Methotreksat
Methotreksat dalam dosis rendah (150mg/minggu) telah
digunakan untuk mengurangi dosis kortikosteroid sistemik ada
pasien dengan asma parah akut bergantung steroid. Terjadi
pengurangan dosis steroid sistemik (sekitar 23%) pada
beberapa pasien. Methotreksat harus dipertimbangkan secara
eksperimetal dan ditunda untuk asma parah akut bergantung
45
steroid dibawah pengawasan ahli, dengan pemantauan yang
cermat terhadap fungsi hati dan paru-paru. (Dipiro, 2005)
BAB V
NON-FARMAKOTERAPI ASMA
46
Terapi yang dimaksud disini adalah berupa tindakan pencegahan untuk
mencegah timbulnya penyakit asma ini. Pencegahan meliputi pencegahan primer
yaitu mencegah tersensitisasi dengan bahan yang menyebabkan asma, pencegahan
sekunder adalah mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang
menjadi asma; dan pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak terjadi
serangan / bermanifestasi klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma.
Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan
perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan pencegahan
primer penyakit asma. Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan atau
menurunkan sensitisasi alergen pada fetus, tetapi pengaruh faktor-faktor tersebut
sangat kompleks dan bervariasi dengan usia gestasi, sehingga pencegahan primer
waktu ini adalah belum mungkin. Walau penelitian ke arah itu terus berlangsung
dan menjanjikan.
Pencegahan sekunder
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa pencegahan sekunder mencegah
yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma. Studi terbaru
mengenai pemberian antihitamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada
penderita anak dermatitis atopik. Studi lain yang sedang berlangsung, mengenai
peran imunoterapi dengan alergen spesifik untuk menurunkan onset asma.
Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan
alergen sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan
sudah dengan gejala asma, adalah lebih menghasilkan pengurangan /resolusi total
dari gejala daripada jika pajanan terus berlangsung.
Pencegahan Tersier
Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan
47
oleh berbagai jenis pencetus. Sehingga menghindari pajanan pencetus akan
memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi/ obat.
Tabel 12. Mengontrol alergen di dalam dan di luar ruangan
Faktor Pencetus Asma Kontrol Lingkungan
Debu rumah (Domestik Cuci sarung bantal, guling, sprei, selimut dengan air panasmite) (55-60C) paling lama 1 minggu sekali
Ganti karpet dengan linoleum atau lantai kayuGanti furnitur berlapis kain dengan berlapis kulitBila gunakan pembersih vakum, pakailah filter HEPA dankantung debu 2 rangkapCuci dengan air panas segala mainan kain
Serpihan kulit (Alergen Pindahkan binatang peliharaan dari dalam rumah, atau palingbinatang) tidak dari kamar tidur dan ruang utama.
Gunakan filter udara (HEPA) terutama di kamar tidur danruang utamaMandikan binatang peliharaan 2 x/ mingguGanti furniture berlapis kain dengan berlapis kulitGanti karpet dengan tikar atau lantai kayuGunakan pembersih vakum dengan filter HEPA dan kantungdebu 2 rangkap
Eliminasi lingkungan yang disukai kecoa seperti tempatKecoa lembab, sisa makanan, sampah terbuka dll
Gunakan pembasmi kecoa
Perbaiki semua kebocoran atau sumber air yang berpotensiJamur menimbulkan jamur , misalnya dinding kamar mandi,
bakmandi, kran air, dsb. Jangan gunakan alat penguap.Pindahkan karpet basah atau yang berjamur
Tepung sari bunga dan Bila di sekitar ruangan banyak tanaman berbunga danjamur di luar ruangan merupakan pajanan tepung sari bunga, tutup jendela rapat-
rapat, gunakan air conditioning. Hindari pajanan tepung saribunga sedapat mungkin.
Tabel 13. Mengontrol polusi udara di dalam dan di luar ruangan
Faktor Pencetus Asma Kontrol LingkunganPolusi udara dalam ruangan Tidak merokok di dalam rumahAsap rokok (perokok pasif) Hindari berdekatan dengan orang yang sedangAsap kayu/ masak merokokSpray pembersih rumah Upayakan ventilasi rumah adekuatObat nyamuk Hindari memasak dengan kayuDll Hindari menggunakan spray pembersih rumah
Hindari menggunakan obat nyamuk yangmenimbulkan asap atau spray dan mengandung
48
bahan polutan
Polusi udara di luar`ruangan Hindari aktiviti fisis pada keadaan udara dinginAsap rokok dan kelembaban rendahCuaca Tinggalkan/ hindari daerah polusiOzonGas buang kendaraan bermotorDll
Pajanan di lingkungan kerja Hindari bahan polutanRuang kerja dengan ventilasi yang baikLindungi pernapasan misalnya dengan maskerBebaskan lingkungan dari asap rokok
Tabel 14. Mengontrol faktor pencetus lain
Faktor Pencetus Asma Mengontrol Pencetus
Refluks gastroesofagus Tidak makan dalam 3 jam sebelum tidur.Pada saat tidur, posisi kepala lebih tinggi dari badan.Gunakan pengobatan yang tepat untuk meningkatkan tekananesofagus bawah dan mengatasi refluks
Obat-obatan Tidak menggunakan Beta-bloker (termasuk tetes mata, dsb)Tidak mengkonsumsi aspirin atau antiinflamasi non-steroid
Infeksi pernapasan (virus) Menghindari infeksi pernapasan sedapat mungkin denganhidup sehat,bila terjadi minta bantuan medis/ dokter.Vaksinasi influenza setiap tahun
BAB VI
TERAPI OBAT UNTUK ASMA DALAM KONDISI KHUSUS
5.1 Asma pada anak-anak
49
Patofisiologi asma pada anak-anak tampaknya serupa dengan
patofisiologi pada orang dewasa ( Hill et al., 1992). Pedoman internasional
(Rachelefsky and Warner, Moffitt et al., 1994) mengenai pengobatan asma
pada anak-anak telah dipublikasikan.
Secara umum, strategi pengobatan untuk anak-anak tidak terlalu
berbeda dengan startegi untuk dewasa, kecuali percobaan lebih ditekankan
pada terapi antileukotrien, nedokromil (untuk usia 12 atau lebih) atau
kromolin ( Van Bever and Stevens, 1992) untuk menghindari kemungkinan
komplikasi akibat glukokortikoid. Walaupun glukokortikoid inhalasi dapat
mengganggu kecepatan pertumbuhan, suatu meta-analisis yang besar
menemukan bahwa tinggi badan terakhir saat dewasa tampaknya tidak
dipengaruhi oleh penggunaan senyawa-senyawa ini (Allen et al., 1994). Tentu
saja, pengendalian asma dengan baik kemungkinan penting dalam menjaga
pertumbuhan berjalan dengan baik, karena asma yang tak terkontrol dengan
baik itu sendiri menghambat pertumbuhan. Penggunaan prednison oral pada
asma menyebabkan pertumbuhan sedikit berkurang, dalam hal untuk
mencapai perkiraan tinggi badan akhir (Allen et al., 1994). Pemakaian inhaler
dosis terukur memerlukan keterampilan khusus dan tidak dapat digunakan
oleh anak-anak di bawah usia 5 tahun. Keterbatasan ini menyebabkan
ditetapkannya penggunaan larutan nebulizer atau terapi parenteral untuk
kelompok pasien ini.
5.2 Pasien di Ruang Gawat Darurat.
Agonis β-adrenergik merupakan satu-satunya obat yang telah terbukti
efektif dalam penanganan segera pada eksaserbasi asma yang berat. Beberapa
penelitian (Fanta et al., 1986; Fanta et al., 1982, Rossing et al., 1980),
membandingkan penggunaan agonis β-adrenergik dan aminofilin untuk
penanganan asma pada keadaan darurat. Pasien memberikan respon yang
lebih baik pada pemberian agonis β-adrenergik inhalasi tunggal daripada
dengan pemberian aminofilin tunggal. Penambahan infus aminofilin agonis β-
adrenergik inhalasi tidak memperbaiki fungsi paru-paru atau gejala-gejala
50
pada pasien. Penelitian lain menyatakan bahwa pasien yang dirawat di bagian
gawat darurat yang menerima infus aminofilin untuk mengobati tidak berbeda
dengan subjek kontrol dalam hal spirometri, gejala-gejala, atau penilaian
dokter secara global, tetapi pasien yang diobati berkemungkinan lebih kecil
dirujuk ke rumah sakit dibandingkan yang menerima plasebo (Wernn et al.,
1991). Penelitian lebih yang menegaskan laju angka rawat inap yang lebih
rendah akan diperlukan sebelum terapi teofilin dapat dianggap sebagai
pengobatan standar untuk keadaan darurat (Mc Fadden, 1991). Jika
glukokortikoid diberikan secara sistemik selama masuk ruang gawat darurat
karena asma, tingkat rawat inap di rumah sakit (Chapman et al., 1991).
Glukokortikoid memerlukan waktu minimum 6 sampai 12 jam agar efektif.
Pemberian obat secara oral kecepatan onsetnya sama dengan pemberian
parenteral. Bagi sebagian besar pasien dewasa dan banyak pasien anak-anak
penderita asma yang eksaserbasinya memerlukan penanganan d ruang gawat
darurat, diindikasikan pemberian singkat glukokortikoid, misalnya 40 hingga
60mg prednison/hari secara oral (1mg/kg per hari selama 5 hari).
5.3 Pasien Rawat Inap
Selain penggunaan reguler agonis β-adrenergik inhalasi untuk terapi
bronkodilator, pasien asma yang dirawat inap harus diobati dengan
glukokortikoid sistemik dosis tinggi (Mc Fadden, 1993). Kebanyakan dokter
merekomendasikan 30 sampai 120mg metilprednisolon secara intravena
setiap 6 jam. Jika pasien tersebut dapat menggunakan obat secara oral,
prednison dan sediaan glukokortikoid lain absorbsi dengan baik dan seefektif
sediaan intravena (Ratto et al., 1988; Mc Fadden, 1993). Dosis optimum dan
frekuensi pemberian glukokortikoid belum ditetapkan dengan baik. Suatu
sinopsis dari 20 penelitian yang berbeda telah dipublikasikan (Mc Fadden,
1993). Berbagai penyelidikan logis telah menunjukkan bahwa 30mg
metilprednisolon setiap 6 jam mungkin sama efektifnya dengan dosis yang
lebih tinggi. Walaupun efek glukokortikoid yang menguntungkan dapat
mencapai plateau pada dosis 30 hingga 45 mg metilprednisolon secara
51
intravena tiap 6 jam (setara dengan 40 hingga 60 mg prednison setiap 6 jam),
efek-efek yang merugikan terus meningkat pada tingkat dosis yang lebih
tinggi. Kebanyakan peneliti akan setuju dengan pemberian dosis yang lebih
tinggi untuk pengobatan asma yang sangat parah, meskipun tampaknya
merupakan kekeliruan; namun, dosis lebih besar dari 120mg metilprednisolon
setiap 6 jam tidak dianjurkan. Profilaksis untuk ulserasi gastrik dan
duodenum menggunakan antagonis reseptor histamin H2 dianjurkan jika
menggunakan glukokortikoid sistemik dosis tinggi untuk eksaserbasi asma.
Penanganan eksaserbasi asma pada anak yang memerlukan perawatan
di rumah sakit pada dasarnya tidak berbeda dengan penaganan untuk pasien
dewasa; diperlukan pengobatan dengan glukokortikoid sistemik. Dosis yang
dianjurkan adalah 1 sampai 2 mg/kg per hari, dibagi dalam 4 dosis.
Pemberian infus isoproterenol kontinu pada anak-anak yang mengalami
eksaserbasi asma yang dulu biasa dilakukan, belum terbukti efektif. Maguire
et al., (1986) menunjukkan bahwa pemberian infus tersebut pada anak-anak
berkaitan dengan kadar kreatinin kinase yang spesifik pada jantung yang
dapat terdeteksi di dalam serum. Infus-infus ini juga dapat dihubungkan
dengan takiaritmia. Pada saat ini, hanya sedikit yang merekomendasikan
pemberian infus ini.
5.4 Penyakit Asma Selama Hamil dan Menyusui.
Asma yang tidak dikontrol dengan baik dapat membahayakan
kehamilan dan bahkan dapat menyebabkan kematian ibu atau janinnya. Asma
memengaruhi sampai 5% wanita hamil. Di masa lalu, asma sering
menyebabkan kesulitan yang sangat berarti selama kehamilan. Setelah pasien
dan dokter mengetahui tentang perlunya kontrol pencegahan asma yang baik
selama kehamilan, komplikasi kehamilan akibat asma jarang terjadi. Salah
satu pertemuan yang menghasilkan konsensus mempublikasikan
rekomendasinya sehubungan dengan penanganan asma selama kehamilan
(NIH, 1993). Secara umum, pada dasarnya pedoman yang digunakan untuk
perawatan pasien-pasien asma yang tidak hamil. Walaupun kebanyakan obat
52
yang digunakan untuk mengobati asma adalah obat kategori C menurut FDA
(tidak terbukti aman untuk digunakan selama kehamilan), beberapa termasuk
kategori B (kromolin, nedokromil, terbutalin, pemodifikasi, leukotrien) dan
terdapat banyak pengalaman klinis dengan agonisβ-adrenergik dan
glukokortikoid inhalasi pada wanita hamil. Secara umum, efek merugikan
yang telah diketahui pada asma yang tidak terkontrol dengan baik diduga
melampaui kemungkinan teoritis keabnormalan janin akibat obat.
Kecuali untuk beberapa penelitian pada hewan yang menggunakan obat
sistemik dosis tinggi, tidak ada bukti bahwa agonis-agonis β-adrenergik
menyebabkan keabnormalan pada janin. Tidak semua penelitian pada hewan
menunjukkan efek-efek yang merugikan, pada dosis tinggi sekalipun. Selain
itu, pengalaman klinis tidak menunjukkan keabnormalan apapun pada
perkembangan janin yang disebabkan oleh penggunaan agonis β-adrenergik.
Selama bronkospasme akut, agonis β-adrenergik inhalasi diindikasikan untuk
memperbaiki fungsi pernapasan ibu dan mencegah distres janin. Efek
merugikan pada ibu janin jarang terjadi bila agonis β-adrenergik inhalasi
digunakan pada dosis yang dianjurkan. Agonis β-adrenergik sistemik dapat
meneybabkan takikardia janin serta takikardia, hipoglikemia, dan tremor pada
neonatus. Telah menjadi perhatian bahwa agonis-agonis nonselektif, misalnya
epinefrin, dapat menyebabkan vasokontriksi uterus akibat suatu efek α-
adrenergik. Pada praktiknya, penggunaan epinefrin untuk eksaserbasi asma
yang berat tampaknya tidak mungkin menyebabkan cedera yang signifikan
pada janin atau ibu. Namun, agonis β-adrenergik inhalasi tampaknya lebih
efektif dan tidak membawa resiko vasokontriksi uterus. Tidak ada
kontraindikasi pada penggunaan agonis β-adrenergik inhalasi selama
menyusui.
Terapi antiradang untuk mencegah eksaserbasi asma diindikasikan jika
pasien asma yang hamil memerlukan agonis β-adrenergik inhalasi harian
untuk mengendalikan gejala-gejala asma. Terapi yang dianggap aman pada
kehamilan terutama kromolin inhalasi karena sangat sedikit diabsorbsi dari
saluran gastrointestinal. Hanya sedikit pengalaman penggunaan nedokromil
53
pada kehamilan. Glukokortikoid inhalasi juga dianggap cukup aman pada
kehamilan. Pengalaman terbanyak dan terlama penggunaan glukokortikoid
inhalasi pada kehamilan adalah penggunaan beklometason, dan beberapa
penulis lebih memilih penggunaanya karena alasan-alasan tersebut (NIH
1993). Walaupun glukokortikoid sistemik dosis tinggi yang diberikan pada
tikus hamil secara konsisten menyebabkan kerusakan pada langit-langit mulut
anak tikus, dosis yang diberikan jauh melampaui dosis yang biasa diresepkan
untuk asma pada manusia. Pemberian korkitosteroid sistemik pada ibu hamil
dalam waktu lama telah dikaitkan dengan sedikit penurunan bobot anak pada
saat lahir. Baik kortikosteroid inhalasi maupun sistemik tidak kontraindikasi
untuk ibu menyusui (NIH, 1993).
Walaupun ada sejarah yang panjang tentang keberhasilan pengunaan
sediaan teofilin pada kehamilan, obat ini jarang digunakan, sebagian karena
efektivitasnya yang terbatas dan rentang terapeutiknya yang sempit. Eliminasi
teofilin dipengaruhi oleh kehamilan, tetapi dengan tingkat yang beragam.
Penigkatan laju filtrasi glomerulus akibat kehamilan meningkatkan laju
eliminasi teofilin, sebaliknya eliminasi metabolik teofilin oleh hati menurun.
Pada trisemester terakhir kehamilan, efek keseluruhan berupa menurunnya
laju eliminasi teofilin kira-kira sekitar 30%. Karena keragaman antara
individu yang sangat jelas dan berbagai perubahan yang menyertai progesi
kehamilan, pemantauan terhadap kadar obat harus sering dilakukan. Bila
kadar pada ibu hamil melebihi 20µg/ml, takikardia dapat terjadi pada janin.
Kadar pada neonatus yang lebih besar dari 10µg/ml disertai dengan
kepanikan, muntah, dan takikardia, hal ini sering muncul jika kada obat
dalam plasma ibu lebih besar dari 12µg/ml pada saat kelahiran. Dalam
praktik, teofilin hanya boleh digunakan sebagai terapi pilihan ketiga setelah
obat-obat antiradang inhalasi dan agonis β-adrenergik, karena kesulitan-
kesulitan yang ditimbulkan pada pemberian obat tersebut telah diuraikan
sebelumnya dan karena berpotensi menimbulkan efek-efek merugikan yang
serius. Teofilin tidak dikontraindikasikan selama menyusui.
54
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
55
Asma adalah penyakit yang rumit dengan banyak presentasi klinis.
kerusakan yang terjadi pada asma belum dapat ditentukan, dan itu
mungkin menjadi asma yang merupakan presentasi umum dari
kelompok penyakit heterogen. Asma didefinisikan dan ditandai dengan
reaktivitas yang berlebihan dari bronkus terhadap berbagai rangsangan
yang dianggap berbahaya. Reaksi ini ditandai dengan bronkospasme,
produksi lendir yang berlebihan, dan peradangan. Peran sentral dari
peradangan dalam mendorong dan mempertahankan BHR kini
menjadi luas dihargai dan dipelajari.
Tujuan terapi asma adalah untuk menormalkan kehidupan pasien
dan mencegah perubahan paru-paru ireversibel kronis. Obat adalah
terapi utama asma. Tujuan dari terapi obat adalah dengan
menggunakan jumlah minimum obat mungkin untuk sepenuhnya
mengendalikan penyakit ini. Pada asma kronis, terapi harus ditujukan
pada kedua bronkospasme dan peradangan untuk menghasilkan hasil
terbaik.
7.2 Saran
Sebaiknya Penatalaksanaan penyakit Asma ini harus berdasarkan bukti
medis (evidence based medicine) agar tujuan terapi dapat tercapai, dan
pasien harus selalu diikuti dan dipantau untuk menghindari terjadinya
toksisitas.
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, Joseph T. Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G.
Wells, L. Michael Posey. 2005. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach,
56
Sixth Edition. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc. the United States of
America
Goodman & Gilman. 2011. Manual Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Buku
kedokteran, EGC.
Goodman & Gilman. 2007. Dasar Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Buku
kedokteran, EGC.
National Asthma Education and Prevention Program . 2007: Guidelines for the
diagnosis and management asthma. USA : National heart, lung, and blood
institute
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis Dan
Penatalaksanaan Asma Indonesia.
Sukandar E.Y., R. Andrajati, J.I. Sigit., K. Adnyana., A.P. Setiadi dan Kusnandar.
2009. ISO Farmakoterapi. Jakarta : ISFI Penerbitan.
Tjay T.H, kirana rahardja. 2007. Obat-Obat Penting khasiat,penggunaan, dan
efek sampingnya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
57