peranan aceh monitoring mission dalam upaya peace
TRANSCRIPT
PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM
UPAYA PEACE BUILDING DI ACEH TAHUN 2005-2006
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Citra Dea Gemala NIM 208083000023
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul :
PERAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA
PEACE BUILDING DI ACEH PADA TAHUN 2005 – 2006
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 8 Desember 2013
Citra Dea Gemala
iii
PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA
PEACE BUILDING DI ACEH TAHUN 2005-2006
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Utnuk Memenuthi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
CITRA DEA GEMALA
NIM 208083000023
Dosen Pembimbing
Teguh Santosa MA,
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA
PEACE BUILDING DI ACEH TAHUN 2005-2006
Oleh
CITRA DEA GEMALA
NIM 208083000023
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 Januari 2014.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial
(S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.
Ketua, Sekretaris,
Agus Nilmada Azmi, M.Si Agus Nilmada Azmi, M.Si NIP.197808042009121002 NIP.197808042009121002
Penguji I, Penguji II,
Drs. Aiyub Mochsin, MA, Agus Nilmada Azmi, M.Si
02001540 NIP.197808042009121002
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 16 Januari 2014.
Ketua Pogram Studi Hubungan Internasional
Kiky Rizky, M.Si
NIP 197303212008011002
v
ABSTRAK
Pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinski, Finlandia, Pemerintah Republik Indonesia
dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani Nota Kesepahaman Untuk mengakhiri konflik
bersenjata yang telah berlangsung selama 30 tahun di Aceh. Perjanjian ini juga menjadi dasar
bagi Uni Eropa dan ASEAN untuk membentuk sebuah lembaga pemantau untuk mengawasi
implementasi Nota Kesepahaman di Aceh.
Aceh Monitoring Mission (AMM) menjalankan misi di Aceh selama 15 bulan. AMM
memainkan peran yang sangat penting bagi proses implementasi damai di Aceh. Diantara
beberapa keberhasilan peran dan tugas AMM, juga terdapat berbagai kelemahan atau
kegagalan. Kunci keberhasilan AMM sendiri adalah komposisi anggota-anggotanya yang
merupakan representasi dari dua organisasi regional yang sangat kredibel dan berpengaruh,
baik bagi GAM dan Pemerintah RI, yaitu Uni Eropa dan ASEAN.
Skripsi ini menganalisa tentang peran yang dilakukan Aceh Monitoring Mission
dalam upaya peacebuilding di Aceh pada periode tahun 2005-2006, melalui usaha-usahanya
sebagai mediator dan tim pemantau pelaksanaan MoU Helsinki dengan menggunakan
beberapa konsep yakni peranan, peace building, organisasi internasional dan teori resolusi
konflik. Dari hasil analisa yang menggunakan beberapa teori dan konsep dapat disimpulkan
bahwa lembaga pemantau dalam proses implementasi perjanjian perdamaian memang
diperlukan untuk menjaga kestabilan sistem pasca konflik.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Sang Pencipta, atas segala bimbingan-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan judul "Peranan Aceh
Monitoring Mission dalam Upaya Peace Building di Aceh tahun 2005-2006".
Pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, Pemerintah Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani Nota Kesepahaman (MoU)
utnuk mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung selama 30 tahun di Aceh.
MoU ini juga menjadi dasar bagi Uni Eropa dan ASEAN utnuk membentuk lembaga
pemantau untuk mengawasi implementasi MoU di Aceh. Aceh Monitoring Mission
menjalanan misi di Aceh selama 15 bulan, banyak kalangan mulai dari sipil hingga
pengamat politik menilai bahwa AMM berhasil membawa kedua belah pihak unt
mengimplementasikan dengan baik MoU Helsinki. Namun, tidak sedikit juga yang
menilai bahwa faktor-faktor yang dapat menggangu jalannya perdamaian ini belum
seluruhnya dapat dihilangkan dan memiliki kemungkinan untuk muncul kembali pasca
kepergian AMM. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan skripsi
ini baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama Kepada bapak Teguh
Santosa MA selaku pembimbing, yang sangat sabar meluangkan waktunya untuk
berbagi pengetahuan dan juga saran serta koreksi kepada penulis; kepada seluruh staf
pengajar program studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta; dan juga kepada dosen penguji skripsi bapak Agus Nilmada Azmi
Msi dan bapak Drs. Aiyub Mochsin MA yang telah meluangkan waktunya untuk
menguji dan memberikan masukan pada skrips ini.
vii
Secara khusus penulis ingin mempersembahkan skripsi ini kepada Ayahanda
dan Ibunda tercinta, M. Taufik Mandja SE dan Nurfauzi terimakasih atas cinta kasih,
kesabaran, dan dukungannya baik secara moril maupun materiil, yang telah diberikan
selama ini. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Satria Perwira & dr.
Erdiana beserta onah, Sandi Banta Hidayat S.Kom dan Nabilla Intan Medina atas
dukungan, canda tawanya. Kepada calon anakku dan suami terimakasih atas cinta kasih,
kesabaran , dukungan, dan pengertiannya selama penyelesaian skripsi ini.
Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada teman-teman seperjuangan
di program studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta ; HI2008c, HMI KomFISIP serta seluruh rekan-rekan mahasiswa yang tidak
dapat disebutkan satu per satu, pada program studi Hubungan Internasional Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 14 Januari 2014
CITRA DEA GEMALA
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................... vi
DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... ix
BAB I Pendahuluan ................................................................................................... 1
A. Latar belakang masalah .................................................................................... 1
B. Pertanyaan penelitian........................................................................................ 7
C. Kerangka pemikiran ......................................................................................... 7
D. Metode penelitian ............................................................................................. 14
E. Sistematika penulisan ....................................................................................... 15
BAB II Konflik Aceh ................................................................................................. 17
A. Identitas keacehan ............................................................................................ 17
B. Latar belakang konflik ...................................................................................... 20
C. Perlawanan kaum nasionalis Aceh ................................................................... 22
1. Pemberontakan Daud Beureureh.................................................................. 23
2. Pemberontakan Hasan Tiro dan lahirnya GAM ........................................... 29
D. Resolusi konflik oleh pemerintah RI ................................................................ 32
E. Upaya perdamaian dari Crisis Management Initiative ..................................... 38
viii
BAB III Aceh Monitoring Mission ............................................................................ 42
A. Profil Aceh Monitoring Mission ..................................................................... 42
B. Struktur dan mekanisme kerja Aceh Monitoring Mission .............................. 44
C. Tugas dan mandat Aceh Monitoring Mission ................................................. 47
BAB IV Analisa peran Aceh Monitoring Mission dalam Peace Building Process di
Aceh ........................................................................................................................... 48
A. Demobilisasi dan Decommissioning persenjataan GAM................................ 48
B. Redeployment TNI dan Polri........................................................................... 53
C. Amnesti ........................................................................................................... 54
D. Reintegrasi GAM ............................................................................................ 58
E. Undang-undang Pemerintahan Aceh ............................................................... 63
F. Pengaturan keamanan dan hak asasi manusia .................................................. 69
G. Hambatan dan tantangan AMM ...................................................................... 73
BAB V Kesimpulan dan saran ................................................................................... 78
A.Kesimpulan ..................................................................................................... 78
B. Saran ............................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ x
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Tabel III.B.1 Personel Internasional di AMM .. ........................................................ 44
Tabel IV.A.1 Statistik perlucutan senjata GAM ....................................................... 50
Tabel IV.B.1 Statistik penarikan Pasukan Non-organik TNI/POLRI ....................... 53
Tabel IV.E.1 Perbandingan UUPA dan Nota Kesepahaman..................................... 65
Tabel IV.F.1 Rekapitulasi tabel kekerasan satu tahun perjanjian damai RI
dan GAM 15 Agustus 2005 – 15 Agustus 2006 ........................................................ 70
1
BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Sejak berakhirnya perang dingin pada tahun 1990-an, isu keamanan non-
tradisional menjadi fokus utama dalam sistem perpolitikan internasional. Menurut
data yang ada, peperangan yang terjadi pasca Perang Dunia II tercatat dari awal tahun
1949 hingga 2001 terdapat sekitar 143 negara dunia diguncang 761 konflik di mana
diantaranya terdapat 457 kasus konflik yang melibatkan kekerasan. Dari 457 kasus
tersebut, 73.5% merupakan konflik internal yang sebagian besar terjadi di negara-
negara berkembang (the Post-Conflict Fund, 2003).
Isu-isu keamanan tradisional memang masih menyisakan masalah hingga kini
(Steans & Pettiford, 2009:436). meskipun isu keamanan non-tradisional seperti
masalah lingkungan, kemiskinan, populasi, migrasi, terorisme, intervensi
kemanusiaan, kejahatan yang terorganisir dan konflik separatis dapat mempengaruhi
keamanan suatu negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini pula
yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Beragam konflik internal (intra-
state conflict) yang terjadi di negeri ini banyak dilatarbelakangi oleh isu-isu etnis,
agama ataupun gerakan separatisme (Abdullah, 2011:87). Hal ini juga menjadi isu
yang menimbulkan konflik Aceh dengan pemerintah Indonesia hingga memunculkan
pada gerakan separatisme Aceh yang bernama GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
Jika dirunut ke belakang, sebetulnya gerakan separatisme Aceh telah
berlangsung sejak awal kemerdekaan RI dengan dimulainya pemberontakan rakyat
2
Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh pada tahun 1957. Pemberontakan ini
didasari oleh rasa kekecewaan rakyat Aceh atas sikap sentralisasi pemerintah pusat
dengan menghapus provinsi Aceh dan memasukkan Aceh menjadi bagian dari
provinsi Sumatera Utara. Hal tersebut bertolak belakang dengan janji Presiden
Soekarno pasca perang kemerdekaan akan menjadikan Aceh menjadi daerah otonomi
khusus. Namun sebelum hal itu terjadi, pergolakan serta pemberontakan terhadap
gerakan separatis kembali mencuat. Gejolak yang kian memanas antara pemerintah
pusat dengan Aceh, maka cara praktis untuk melunakkan hati rakyat Aceh,
pemerintah pusat kemudian memberikan Aceh dengan status Daerah Istimewa pada
26 Mei 1959 melalui Keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959 (Kawilarang,
2010:159). Pemberontakan Daud Beureureh berakhir pada 9 Mei 1962, ketika
Kolonel M. Jasin Panglima Kodam Iskandar Muda berhasil membujuk Daud
Beureureh untuk turun gunung.
Pada tahun 1976 rakyat Aceh kembali bergolak dengan diproklamirkannya
kemerdekaan Aceh pada tanggal 4 Desember oleh Hasan Di Tiro. Gerakan serta
perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan yang disebut dengan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) ini muncul akibat akumulasi ketidakpuasan Aceh terhadap
pemerintah pusat yang dianggap telah berlaku tidak adil disetiap sektor kehidupan
pada masyarakat Aceh, terutama dalam sektor ekonomi (Fahri Ali dkk, 2008:112).
Pemberontakan GAM ini juga dibangun dengan landasan ideologi keacehan oleh
Hasan Tiro. Ideologi keacehan ini adalah hasil dari pertautan antara fakta sejarah
Aceh yang melihat wilayahnya sebagai “Serambi Mekkah” yakni daerah penyebaran
3
agama Islam pertama di Asia Tenggara. Keyakinan Hasan Tiro dengan sejarah
kejayaan Aceh di masa lampau untuk berdiri sendiri dan didukung oleh melimpahnya
sumber daya alam tanpa harus tergantung pada pemerintah pusat.
Dari awal berdirinya, GAM telah mengalami tekanan dari pemerintah Orde
Baru dengan dilakukannya Daerah Operasi Militer (DOM), keadaan ini membuat
perjuangan serta kekuatan GAM melemah. Sekitar tahun 1980-an GAM mulai
kembali menemukan kekuatannya. Hal ini disebabkan sepanjang tahun 1986 hingga
1989 sebanyak 5000 personil GAM telah mendapat latihan militer di Libya. Aksi-aksi
militer anggota GAM dari alumni Libya ternyata lebih kuat dan lebih variatif (Fahri
Ali dkk, 2008:163). Keadaan ini membuat pemerintah pusat melancaran operasi
militer yang lebih keras dan ofensif, yang dikenal sebagai Operasi Jaring Merah dan
memjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer.
Seiring berjalannya waktu, penanganan konflik yang mengedepankan
pendekatan militer telah menyisakan pelanggaran HAM dalam skala besar, hal
demikian pula perlawanan GAM yang semain ofensif terhadap pemerintah pusat.
Pada akhirnya Pemerintah RI berinisiatif melakukan usaha untuk mewujudkan
perdamaian yakni dengan cara melakukan perudingan. Perundingan yang ditempuh
oleh RI dan GAM tergolong sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi
di Aceh.
Upaya menghadirkan pihak ketiga dalam bentuk perundingan belum pernah
dilakukan sebelumnya oleh pemerintah. Upaya penyelesaian konflik antara
Pemerintah RI dan GAM pun kemudian diprakarsai oleh Presiden Abdurrahman
4
Wahid (1999-2001) dan diteruskan pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri
(2001-2005). Dari upaya keseriusan tersebut hadirlah NGO Hendry Dunant Centre
(HDC) sebagai pihak ketiga dan mediator. Hasil dari perundingan ini adalah Jeda
Kemanusiaan (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh). Jeda
kemanusiaan ini adalah usaha untuk mencapai perdamaian dengan rentang waktu
penghentian konflik fisik. Dalam hal ini, Jeda Kemanusiaan I dimulai pada 2 Juni
hingga September 2000, namun dapat diperpanjang hingga 27 September 2000.
Asumsinya adalah bahwa rentang waktu itu cukup untuk mengambil langkah yang
lebih konstruktif dalam perdamaian. Ini dibuktikan dengan munculnya pelaksanaan
Jeda Kemanusiaan II yang berlangsung dari 16 September 2000 hingga 15 Januari
2001. (Hamid, 2008:61-64)
Setelah Jeda Kemanusiaan berlangsung kemudian diteruskan oleh Perjanjian
Penghentian Permusuhan atau yang dikenal sebagai Cessation of Hostilities
Agreement (CoHA) yang ditandatangani pada 9 Desember 2002. Akan tetapi,
perjanjian ini tidak berlangsung lama dikarenakan selama proses perjanjian
diterapkan berbagai kekerasan dan bentrokan antara Tentara RI dan GAM tidak
mengalami penurunan (Hamid; 141). Maka, melalui Keputusan Presiden Nomor 28
tahun 2003 yang ditandatangani pada 19 Mei, Presiden Megawati memberlakukan
Darurat Militer di Aceh dengan mengirimkan 40.000 pasukan Tentara Nasional
Indonesia dan 14.000 personel Polisi (Kawilarang, 2008;169)
Sejak berlangsungnya pernyataan Keadaan Bahaya oleh Megawati, pada
tanggal 26 Desember 2004 terjadi bencana gempa dan Tsunami di Aceh yang
5
menggemparkan dunia internasional yang menyebabkan sekitar 230.000 jiwa
meninggal dunia, 36.786 jiwa hilang, dan 174.000 jiwa tinggal di tenda pengungsian.
Sekitar 120.000 rumah hancur, 800 km jalan dan 260 jembatan rusak, 639 fasilitas
kesehatan hancur serta 2.224 sekolah hancur. Sejak peristiwa itu pula organisasi-
organisasi international mulai masuk ke Aceh untuk memberikan bantuan kepada
korban Tsunami. Walaupun pada awalnya perhatian dunia internasional lebih tertuju
kepada bantuan kemanusiaan, akan tetapi lama kelamaan bantuan secara politik juga
menjadi sorotan dunia internasional, yaitu mengusahakan perdamaian antara RI dan
GAM yang berkonflik selama kurang lebih 30 tahun (Kawilarang, 2010:177).
Adapun salah satu organisasi internasional yang turut memberikan bantuan
baik sosial ataupun politik di Aceh adalah Uni Eropa. Kontribusi Uni Eropa terhadap
proses perdamaian Aceh, telah dimulai sejak terjadinya bencana Tsunami. Program
bantuan kemanusiaan ini dilanjutkan dengan komitmen Komisi Eropa dan negara
anggota Uni Eropa untuk mendukung terciptanya perdamaian dan pembangunan
Aceh setelah konflik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun yaitu dengan
menghadirkan Crisis Management Initiative (CMI) sebagai mediator antara
pemerintah RI dan GAM untuk mencapai kesepakatan damai.
Setelah melalui proses negosiasi yang panjang, pada 15 Agustus
ditandatanganilah Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) di
Helsinski yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut ; a) Penyelenggaraan
Pemerintahan Khusus di Aceh, b) Menyelenggarakan Hak Azasi Manusia, C)
6
Amnesti dan Reintegrasi Mantan Kombatan ke dalam Masyarakat, d) Pengaturan
Keamanan, e) Pembentukan Misi Monitoring Aceh, f) Penyelesaian Perselisihan.
Salah satu langkah mendesak yang dilaksanakan seusai ditandatanganinya
MoU Helsinski adalah pembentuan Aceh Monitoring Mission (AMM) atau Misi
Pemantau Aceh. AMM mendapat mandat untuk memantau pelaksanaan komitmen
para pihak yang bersepakat dalam MoU Helsinski. Dalam MoU Helsinski pasal 5
ayat 1 disebutkan : “Misi Pemantau Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan
Negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan
komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.”.
Ada beberapa Mandat yang harus dijalankan oleh AMM sesuai dengan Nota
Kesepahaman yaitu memantau proses perubahan peraturan perundang-undangan
daerah Aceh, reintegrasi mantan kombatan GAM, mengadakan pemilu daerah di
Aceh, penarikan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan POLRI, memberikan
bantuan dalam penangananhak asasi manusia, memutuskan kasus amnesty yang
disengketakan dan membentuk serta memelihara hubungan baik dengan pihak yang
bertikai.
Untuk lebih jauh dalam menganalisis beberapa peran AMM lainnya, maka
diperlukan analisis komprehensif terhadap peran AMM. Yaitu dengan menganalisa
mandatnya sesuai yang dituangkan dalam Nota kesepahaman (Mou) Helsinki. Di lain
pihak juga penelitian ini bertujuan untuk mengalisa peran AMM selama melakukan
tugasnya di Aceh dan juga faktor-faktor apa saja yang membuatnya berhasil
7
menjadikan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk mematuhi Nota Nesepahaman
Helsinski.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat ditarik sebuah pokok
permasalahan yaitu :
Bagaimana peranan yang dilakukan Aceh Monitoring Mission (AMM) dalam
upaya Peace building di Aceh pada tahun 2005-2006 ?
C. Kerangka pemikiran
Pada penelitian ini, analisa mengenai peran Aceh Monitoring Mission dalam
upaya peace building di Aceh tahun 2005-2006 akan menggunakan dua teori dan dua
konsep. Teori yang akan menjadi dasar penelitian ini adalah resolusi konflik dan
organisasi internasional. Sedangkan dua konsep yang akan menjadi pisau analisis
dalam penelitian ini adalah peranan dan peace building.
Konflik adalah situasi dan kondisi dimana terjadi pertentangan dan kekerasan
dalam menyelesaikan masalah antara sesama anggota masyarakat, antara masyarakat
dengan pemerintah maupun antara masyarakat dengan organisasi etnis di suatu
wilayah. Berakhirnya Perang Dingin, telah mengakibatkan perubahan dalam peta
konflik dunia, dimana konflik lebih banyak terjadi dalam negara (intrastate) daripada
antar negara (interstate).
Tipologi konflik di Indonesia dapat dilihat dalam realitas konflik yang cukup
menonjol selama ini terjadi di Indonesia yaitu :
8
a) Konflik Horisontal, merupakan konflik yang terjadi antar kelompok agama,
kelompok pendatang dengan penduduk asli, kelompok etnis atau suku dan
organisasi bisnis yang berada di lokasi setempat.
b) Konflik Vertikal, merupakan konflik yang terjadi antara pemerintah dan
kelompok-kelompok sosial masyarakat tertentu. Asumsinya, konflik terjadi
karena merupakan akibat dari proses pembuatan kebijakan (policy)
pemerintah yang tidak partisipatif dan pada tahap berikutnya memunculkan
perbedaan pendapat, pertentangan, kekerasan serta separatisme (Hadi dkk
2005).
Dalam rangka mencari penyelesaian yang efektif dari sebuah konflik internal
maka perlu mengidentifikasikan sebab-sebab fundamental suatu konflik. Levy (Hadi
dkk 2007:24) berupaya menemukan variabel independen dari suatu konflik dengan
mengkaji sumber-sumber konflik dari empat level analisa yaitu level sistemik, sosial
kemasyarakatan, organisasi birokrasi dan individual. Penyelesaian konflik dapat
tercapai apabila sumber-sumber konflik disetiap level analisa yang berbeda dapat
ditangani secara optimal. Di pihak lain Burton melihat bahwa sumber-sumber utama
konflik berhubungan dengan keterkaitan yang berkesinambungan antara struktur
sosial, institusi sosial dan pemenuhan kebutuhan dasarmanusia. Identifikasi dari
kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat konflik adalah hal yang
sangat penting. Berbagai macam sebab terjadinya konflik internal termasuk gerakan
separatisme, seperti perbedaan etnis, faktor historis, perbedaan agama dan
kebudayaan serta ketidak-adilan politik dan ekonomi.
9
Resolusi konflik merupakan suatu proses penyelesaian masalah dalam
konflik. Pengambilan keputusan adalah bagian yang penting dalam resolusi konflik.
Sebelum meyimpulkan analisis pengambilan keputusan, ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan, seperti mengenai perbedaan persepsi pihak yang bertikai,
perselisihan yang dinegosiasikan, isu-isu yang krusial untuk mencari penyelesaian.
Resolusi konflik sebagai alternatif untuk menyelesaikan permasalahan dalam konflik
dengan tidak adanya pemaksaan dan kekerasan dalam mengkontrol konflik (Bavly,
2002:6)
Tujuan paling mendasar dari resolusi konflik (Sukma, 2009) adalah
tercapainya perdamaian yang bukan hanya menyangkut masalah militer, politik dan
ekonomi saja, tetapi juga harus menyangkut pemenuhan dari berbagai kebutuhan
ekonomi, aspirasi dan hak dari pihak-pihak yang bertikai. Usaha menciptakan
perdamaian berarti usaha mengurangi tingkat permusuhan dan kekerasan,
memanusiakan pihak lain, membangun rasa saling percaya dan merespon kebutuhan
dan kepentingan dari pihak-pihak yang bertikai. J.Galtung menyatakan bahwa usaha
perdamaian terdiri dari, membuat perdamaian (peace making), memelihara
perdamaian (peacekeeping) dan membangun perdamaian (peacebuilding) (Bavly,
2002)
Peace building adalah kegiatan menciptakan perdamaian mulai dari bawah
sampai ketingkat para pemimpin (bottom up). Menurut Fisher, Peace Building
menyangkut usaha-usaha meningkatkan hubungan dari pihak-pihak yang bertikai
sampai tercapainya rasa saling percaya dan kerja sama yang lebih tinggi, membangun
10
persepsi yanglebih akurat, menciptakan iklim yang lebih positif dan menciptakan
keinginan politik yang tidak bertahan lama karena perdamaian yang lebih kuat untuk
dapat melakukan perundingan-perundingan yang konstruktif ditengah adanya
perbedaan-perbedaan (Bavly 2002:8). Peace Making adalah usaha-usaha yang
dilakukan oleh negara-negara atau perwakilan-perwakilan resmi melalui kegiatan
diplomasi untukmencapai suatu penyelesaian dari pihak-pihak yang bertikai.
Sedangkan Peace Keeping adalah kegiatan intervensi dari pihak ketiga untuk
memisahkan pihak-pihakyang berperang dan menjaga agar tidak terjadi tindakan
kekerasan.
Konsep peace building mulai banyak digunakan setelah Sekretaris Jenderal
PBB Boutros Boutros-Ghali (1992: 11) mengeluarkan laporannya, An Agenda for
Peace, pada tahun 1992. Dalam laporan tersebut, peace building dipahami sebagai
serangkaian aktivitas yang dimaksudkan untuk “mengidentifikasikan dan mendukung
berbagai struktur yang bertujuan untuk memperkuat dan mempersolid perdamaian
sehingga dapat mencegah terulangnya kembali konflik”. Namun, dalam
perkembangannya, definisi peace building yang dikembangkan Boutros-Ghali
kemudian mencakup juga berbagai upaya untuk menanggulangi akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh konflik, menghilangkan akar penyebab konflik (root causes of
conflict), dan membuat negative peace atau ketiadaan kekerasan berubah menjadi
positive peace dimana masyarakat merasakan keadilan social, kesejahteraan ekonomi
dan keterwakilan politik yang efektif (Galtung: 1975).
11
Upaya penyelesaian suatu konflik dapat dapat dilihat dalam kerangka studi
mengenai resolusi konflik yang bertujuan untuk menelaah berbagai macam situasi,
pemerintahan atau kegiatan organisasi internasional yang dapat mencegah krisis
menjadi perang, atau jika perang sudah terjadi akan berupaya mengakhiri perang dan
melakukan upaya perdamaian hingga keakarnya.
Secara sederhana, Organisasi internasional adalah pihak yang berada di luar
konflik antara dua pihak atau lebih yang bertikai mencoba untuk membantu mereka
mencapai penyelesaian masalah melalui berbagai kesepakatan (Pruit dan Rubin,
2004:374). Tujuan masuknya organisasi internasional adalah merubah situasi konflik
destruktif dan menurunkan tingkat eskalasinya, mengalihkan para pelaku onflik
menuju ke arah penyelesaian konflik dan mendamaikannya.
Hal utama yang dituntut dari keterlibatan organisasi internasional adalah sikap
nertal untuk tidak memihak salah satu pihak yang bertikai. Pada awalnya, netralitas
atau impartial ini menjadi syarat mutlak keberhasilan resolusi konflik. Dalam
perjalanannnya kemudian, hal tersebut justru melahirkan dilema dan berjalan serba
salah. Di satu sisi diperlukan demi terlaksananya program secara fair, tetapi di sisi
lain tidak jarang netralitas itu sendiri justru membantu agresor atau pihak yang kuat
dalam memerangi pihak yang lemah. Netralitas organisasi internasional dituntut
dalam persoalan identitasi saja (Stedman, 1996:363). Keberpihakan terhadap
kelompok lemah dituntut dalam segala atifitas resolusi konflik, baik sejak pencegahan
sampai pada postconflict building, tidak hanya pada aktifitas militer tetapi juga
aktifitas politik dan kemanusiaan.
12
Titik paling krusial dalam menjalankan perdamaian yang berkelanjutan tahap
implementasi dari kesepakatan damai. Dari sekian banyak perjanjian damai yang
berhasil dilaksanakan, sebagian besar juga gagal dalam tahap ini. Ini menunjukkan
bahwa tahap implementasi jauh lebih sulit daripada menghasilkan sebuah
kesepakatan. Keberhasilan implementasi menjadi suatu keharusan dari suksesnya
sebuah resolusi konflik yang bertujuan untuk menyelesaikan semua penyebab konflik
dan juga sangat tergantung dari kemampuan institusi-institusi yang ada dalam negara
dalam menjaga kestabilan sistem pasca konflik (Rasmussen, 1997:40). Institusi
tersebut adalah lembaga yang terlibat langsung dalam pelaksanaan dan monitoring
perdamaian yang dilakukan secara bersama oleh pihak-pihak yang terlibat konflik
atau melibatkan organisasi internasional.
Menurut Kriesberg (1998), implementasi akan berhasil manakala ada sebuah
organisasi internasional kuat yang bertugas mengontrol jalannya kesepakatan damai
dengan mengkombinasikan berbagai metode baik kekuatan militer maupun ekonomi
dan politik (h. 99). Dengan catatan, metode kekerasan atau penggunaan kekuatan
militer harus dibatasi dan tidak bersifat berpihak kepada salah satu pihak yang terlibat
konflik (Kriesberg, 1998:100). Hal ini menjelaskan bahwa sebelum perdamaian
benar-benar tercipta dengan baik dan stabil perlu ada lembaga monitor di area
konflik.
Dalam kaitanya dengan proses perdamaian yang terjadi di Aceh, NGO seperti
Aceh Monitoring Mission (AMM) merupakan sebuah organisasi internasional yang
berperan dalam Peace building process Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Nanggroe
13
Aceh Darussalam. Peranan AMM dalam penyelesaian konflik tersebut merupakan
perilaku politik yang diharapakan dari pihak lain. Peran AMM dalam proses
perdamaian di Aceh merupakan peran yang di dapat karena permintaan dari kedua
belah pihak, yaitu GAM-RI. Dengan kata lain peran didapat karena diundang oleh
pihak lain bukan inisiatif sendiri.
Peranan merupakan aspek dinamis. Apabila seseorang melaksanakan hak dan
kewajibannnya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan.
Dari konsep peranan tersebut muncullah istilah peran. Peran adalah seperangkat
tingkat yang di harapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat.
Berbeda dengan peranan yang sifatnya mengkristal, peran bersifat insidental (Perwita
dan Yani, 2005:29).
Peranan (role) dapat didefinisikan sebagai berikut: Perilaku yang di harapkan
dari seseorang yang mempunyai status (Horton dan Hunt, 1987:132). Peranan dapat
dilihat sebagai tugas atau kewajiban atas suatu posisi sekaligus juga hak atas suatu
posisi. Peranan memiliki sifat saling tergantung dan berhubungan dengan harapan.
Harapan-harapan ini tidak terbatas hanya pada aksi (action), tetapi juga termasuk
harapan mengenai motivasi (motivation), kepercayaan (beliefs), perasaan (feelings),
sikap (attitudes) dan nilai-nilai (values) (Perwita dan Yani, 2005:30).
Teori peranan menegaskan bahwa perilaku politik adalah perilaku dalam
menjalankan peranan politik. Teori ini berasumsi bahwa sebagian besar perilaku
politik adalah akibat dari tuntutan atau harapan terhadap peran yang kebetulan
dipegang oleh aktor politik. Seseorang yang menduduki posisi tertentu di harapkan
14
akan berperilaku tertentu pula. Harapan itulah yang membentuk peranan (Mas‟oed,
1989:45).
Mengenai sumber munculnya harapan tersebut dapat berasal dari dua sumber,
yaitu:
1. Harapan yang dimiliki orang lain terhadap aktor politik.
2. Harapan juga bisa muncul dari cara si pemegang peran menafsirkan peranan
yang dipegangnya, yaitu harapannya sendiri tentang apa yang harus dan apa
yang tidak boleh dilakukan, tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan
(Mas‟oed, 1989:46-47).
Jadi, peranan dapat dikatakan sebagai pelaksanaan dari fungsi oleh struktur-
struktur tertentu. Peranan ini tergantung juga pada posisi atau kedudukan struktur itu
dan harapan lingkungan sekitar terhadap struktur tadi. Peranan juga di pengaruhi oleh
situasi dan kondisi serta kemampuan dari si pemeran.
D. Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah kajian pustaka berupa studi
literatur dengan memilih data yang relevan untuk mendukung penelitian yang diambil
dari buku referensi, artikel, jurnal, buku-buku ilmiah, internet, media massa dan
majalah.
Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian kualitatif.Cara pengumpulan data
dilakukan melalui teknik pengumpulan data sekunder atau library research. Dalam
hal ini, data yang diperlukan akan dihimpun dari berbagai buku bacaaan/literatur,
arsip-arsip dan laporan tahunan dari Aceh Monitoring Mission, jurnal-jurnal dari
15
lembaga penelitian bidang konflik, artikel media baik dari surat kabar maupun
majalah dan dari laman internet.
Dalam menganalisa data, penulis akan melakukan langkah-langkah sebagai
berikut : pertama, menghimpun literatur dan dokumen-dokumen yang relevan sebagai
sumber data dan informasi yang diperlukan. Kedua, memilah atau mengklasifikasikan
data atau informasi secara sistematis. Ketiga, mengadakan analisis dengan metode
dan teknik pengumpulan data yang tepat untuk dikaji berdasarkan kerangka dasar
teori. Keempat, pencapaian kesimpulan dari penelitian.
E. Sistematika Penulisan
Guna mempermudah penulisan, skripsi ini membagi pembahasan menjadi
beberapa BAB, Sub Bab, dan Sub-sub Bab yang diuraikan secara singkat dalam
sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Pertanyaan Penelitian
C. Kerangka Teori
D. Metode Penelitian
E. Sistematika Penulisan
Bab II Konflik Aceh
A. Identitas Keacehan
B. Latar Belakang Konflik Aceh
C. Perlawanan Kaum Nasionalis Aceh
16
1) Pemberontakan Daud Beureureh
2) Pemberontakan Hasan Tiro dan Lahirnya GAM
D. Resolusi Konflik Aceh Oleh Pemerintah RI
E. Upaya Perdamaian Dari Crisis Management Initiative
Bab III Profil Aceh Monitoring Mission
A. Profil AMM
B. Struktur dan Mekanisme kerja AMM
C. Tugas dan Mandat AMM
Bab IV Analis Peran Aceh Monitoring Mission dalam Peace Building Process di
Aceh
A. Demobilisasi dan Decommisioning persenjataan GAM
B. Redeployment TNI dan POLRI
C. Amnesti
D. Reintegrasi GAM
E. Undang-Undang Pemerintahan Aceh
F. Pengaturan keamanan dan Hak Asasi Manusia
G. Hambatan dan Tantangan AMM
Bab V Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran
17
BAB II
KONFLIK ACEH
Sebelum membahas lebih jauh mengenai konflik Aceh sangatlah penting
dipaparkan terlebih mengenai identitas keacehan, guna mendapatkan pemahaman
menyeluruh (holistic) dari apa yang melatar-belakangi terjadinya konflik Aceh.
Untuk itu penting menelusuri identitas keacehan sebagai variable penelusuran guna
mengetahui Latar Belakang Konfilk Aceh. Setelah itu barulah menjelaskan
perlawanan Kaum Nasionalis Aceh serta upaya Pemerintah dalam Resolusi Konflik
dalam konflik Aceh yang menghasilkan Nota Kesepahaman Helsinski sebagai
landasan terbentuknya Aceh Monitoring Mission dalam membangun perdamaian di
Aceh.
A. Identitas Keacehan
Aceh merupakan sebuah provinsi di Indonesia, lebih tepatnya Aceh terletak di
ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu
kotanya adalah Banda Aceh. Jumlah penduduk provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa.
Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan
oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah
utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera
Utara di sebelah tenggara dan selatan.
18
Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan
memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad
ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di
kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan
keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan pemerintah
Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah
yang sangat menjunjung tinggi nilai agama (Time Magazine, 15 Februari 2007).
Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka
hidup sesuai syariah Islam (Islamic studies: 2013).
Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak
bumi dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah
yang terbesar di dunia. Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak di
sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane diAceh Tenggara sampai Ulu
Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung
Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara.
Identitas daerah yang tersebar di Indonesia mempunyai ciri dan khas
tersendiri di setiap wilayahnya, salah satunya yaitu Aceh. Aceh merupakan suku
bangsa Indonesia yang dikenal memiliki identitas dan sejarah yang khas. Sebutan
sebagai Serambi Mekah bagi Aceh tidak hanya berarti sebagai pintu masuk pertama
penyebaran agama Islam di Indonesia, tetapi juga mempunyai konotasi tentang
tingginya pengaruh nilai-nilai Islam dalam adat istiadat dan semangat juang
masyarakat Aceh. Terkait dengan julukan Serambi Mekkah ini, ada dua pandangan
19
dalam memaknai istilah Serambi Mekkah (Reid, 2006: 38-39). Pertama, pengertian
tersebut terindikasi pada naskah kuno karya Ar-Raniri, terminologi Serambi Mekkah
yang pertama ini merujuk dengan pengertian Aceh merupakan Mekkah-nya kawasan
Timur (Mecca of the East). Kedua, pengertian ini yang merujuk pada pandangan
Snouck Hurgronje (ICG 2001:17) , yang mengartikan istilah Serambi Mekkah
Sebagai “gerbang ke Tanah Suci” (The Gate to the Holy Land). Penyebutan ini
disebaban terdapatnya fakta bahwa daerah Aceh sering digunakan oleh para calon
jemaah haji dari kepulauan di Timur sebagai tempat persinggahan sebelum mereka
melanjutkan perjalanannya ke Mekkah.
Dari pengertian di atas, terdapat pemahaman yang sangat khas antara
pengertian Aceh dengan Serambi Mekkah yaitu identitas keislaman (Islamic Identity).
Pada akhirnya ketika kita mengucapkan istilah Aceh dengan Serambi Mekkah maka
timbul pula pemahaman bahwa Aceh merupakan kawasan Islam di wilayah timur. Di
lain pihak, julukan Serambi Mekkah yang melekat pada wilayah Aceh dengan mudah
pula diasosiasikan dengan identitas keislaman Aceh. Identitas Islam yang sudah
melekat jauh sebelum Indonesia merdeka inilah dalam perjalanannya ternyata
menjadi pemicu konflik antara Aceh dan Republik Indonesia. Identitas keislaman
Aceh tidak hanya digunakan oleh para elit politik aceh untuk membangun sentimen
kolektif masyarakat ketika berhadapan dengan kelompok lain, tetapi juga
dimanfaatkan pemerintah pusat sebagai pilihan bagi Aceh dalam kerangka kebijakan
desentralisasi dan pemberian otonomi khusus.
20
B. Latar Belakang Konflk Aceh
Sejak berlangsungnya konflik Aceh melalui pemberontakan yang dipimpin
oleh Daud Beureueh pada tahun 1957 (Kawilarang, 2010:159), beragam dampak
yang ditimbulkan amatlah parah pada masyarakat sipil Aceh. Ribuan rakyat sipil tak
berdosa telah gugur, mengalami penyiksaan dan cacat, menjadi janda dan anak yatim.
Ribuan orang telah kehilangan tempat tinggal dan ribuan lainnya kehilangan
pekerjaan dan mata pencaharian. Ratusan sekolah terbakar, sehingga mengganggu
proses pendidikan. Lebih jauh dari itu, masyarakat sipil hampir tidak memiliki akses
terhadap hukum, sementara sebagian besar lembaga pengadilan tidak berfungsi lagi.
Kekecewaan masyarakat Aceh diawali ketika Teungku Daud Beureuh masuk
dalam “Daftar Hitam” yang ingin disingkirkan oleh Pemerintah Pusat. Seperti kita
ketahui Teungku Daud merupakan salah satu tokoh rakyat Aceh dalam mengusir
penjajah dengan ikut sertanya Teungku Daud bersama Republik dengan cara
mengumpulkan dana untuk melawan penjajah. Janji dari Presiden Soekarno untuk
memberikan kebebasan rakyat Aceh menerapkan syariat Islam tidak ditepati, semakin
membuat pedih rakyat Aceh. Kekecewaan rakyat Aceh yang tidak terbendung
akhirnya menimbulkan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Pada tahun 1953. pemberontakan ini dapat ditumpas pada tanggal 26 Mei 1959 ketika
Aceh diberikan otonomi luas, terutama dalam bidang agama, adat dan pendidikan.
Konflik yang terjadi di Aceh khususnya Gerakan Separatisme Aceh berlatar belakang
tentang perjanjian antara Inggris dan Kesultanan Aceh pada tahun 1819 dan
Perjanjian Anglo Dutch yang menyatakan bahwa Aceh merupakan Negara yang
21
merdeka, hal inilah yang membuat GAM berusaha mengembalikan kedaulatan
tersebut kepada Kesultanan Aceh.
Aceh yang kita ketahui merupakan provinsi yang mempunyai ciri khas yakni
rakyat Aceh mempunyai identitas social-kultural dan religi yang kuat. Salah satu
alasan terjadinya pemberontakan Teungku Daud adalah keinginan Teungku Daud
untuk menerapkan syariat Islam di Aceh, yang pada saat itu disetujui oleh pemerintah
pada saat penumpasan pemberontakan DI/TII. Namun rezim Orde Baru membuat
sebuah keputusan yang lagi-lagi membuat kekecewaan di hati rakyat Aceh (Reid:
2006, 23).
Keputusan yang diambil oleh Rezim Orde Baru dengan model politik
sentralisme adalah melalui UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan
Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa, Orde
membuat penyeragaman di semua daerah tanpa memperhatikan nilai-nilai lokal (Tim
Peneliti LIPI, 2007, 54-55).
Akibat kedua UU tersebut, secara otomatis keistemewaan Aceh akan
tereliminasi. Syariat Islam yang sudah menjadi ciri khas dari rakyat Aceh menjadi
hilang karena lembaga-lembaga adapt yang ada sejak lama di Aceh harus digantikan
oleh struktur pemerintahan modern yang diinginkan oleh pemerintahan Orde Baru.
Hal inilah yang membuat kekcewaan rakyat Aceh terhadap pemerintahan pusat
semakin besar.
Faktor ekonomi juga turut serta menjadi penyebab terjadinya konflik yang
dilakukan oleh gerakan separatisme di Aceh (GAM). Pada masa Orde Baru kebijakan
22
Pemerintah ditekankan pada pembangunan dengan didasarkan pada pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas politik. Aset sumber daya alam di Aceh dieksploitasi dalam
konteks pembangunan ini. Pabrik LNG dan pupuk Iskandar Muda yang dibangun di
Aceh maju pesat. Bahkan Indonesia menjadi salah satu eksportir LNG terbesar dan
90% dari produksi pupuk ditujukan bagi ekspor.
Namun, berdasarkan kebijakan yang diambil pada masa rezim Orde Baru
yang sentralisasi, ekonomi Aceh terkonsentrasi oleh power dan otoritas yang berpusat
di Jakarta, maka pembangunan di Aceh tidak mengalami kemajuan yang signifikan
bila dibandingkan keuntungan pusat yang diperoleh dari wilayah Aceh. Akibat dari
pembangunan yang terlalu banyak di Jakarta adalah rakyat Aceh mengalami
kesengsaraan dan kesusahan dimana di wilayah Aceh Utara dan Aceh Timur tercatat
2.275 desa miskin pada tahun 1993 (Hadi 2007:50-51).
Hal itu semua membuat rakyat Aceh sadar bahwa yang seharusnya menikmati
hasil dari sumber daya alam adalah masyarakat Aceh sendiri bukan pusat. Hal inilah
yang membuat rakyat Aceh semakin kecewa dengan pemerintah pusat. Kesadaran
rakyat Aceh tentang ketidakadilan pusat terhadap Aceh dimanfaatkan oleh GAM,
dimana GAM memperoleh kekuatan setelah industri gas dan minyak di Aceh Utara
berdiri pada tahun 1970.
C. Perlawanan Kaum Nasionalis Aceh
Perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Aceh telah tercatat sebanyak dua kali
kepada Pemerintah Pusat. Pertama, pemberontakan yang dipimpin oleh Teuku M.
Daud Beureueh pada 1953 dan yang kedua oleh Hasan Tiro pada 1976. Daud
23
Beureueh merupakan tokoh ulama terkemuka di Aceh yang mendirikan dan menjadi
ketua PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) pada tahun 1939 (Reid, 2005:275).
Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, PUSA berhadapan dengan kelompok
Uleebalang dalam upaya mereka menguasai setiap sektor kekuasaan dan
pemerintahan di Aceh.
Pertentangan kaum ulama dengan kaum Uleebalang tersebut menimbulkan
konflik yang belangsung dari 22 Desember 1945 sampai dengan 13 Januari 1946
yang dikenal dengan insiden Cumbok.
1. Pemberontakan Daud Beureueh
Setidaknya ada tiga alasan utama pemberontakan yang dipimpin oleh Daud
Beureueh ini. Pertama, terkait dengan konsep dasar kenegaraan, terutama yang
berhubungan dengan dasar dan bentuk negara, sebelum kemerdekaan 17 Agustus
1945, wacana politik yang berkembang di kalangan para tokoh pejuang kemerdekaan
saat itu adalah mengenai dasar negara yang akan didirikan (Latif, 2011:65). Para
tokoh yang tergabung dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia), yang juga diwakili oleh kelompok Islam, pada 18 Agustus
1945 akhirnya menyetujui Pancasila sebagai Dasar Negara (Latif, 2011: 67-95).
Dengan ditetapkannya Undang-undang Dasar 1945 yang dalam Mukadimah
tidak memuat tujuh kata dalam sila pertama seperti yang terdapat pada Piagam
Jakarta, yaitu “ dengan kewajiban menjalanan syariat Islam bagi pemeluknya” pada
18 Agustus 1945, kelompok Islam merasa aspirasi mereka tidak terakomodasi dengan
24
baik dalam hal yang sangat prinsipil, yaitu dasar negara. Hal inilah yang menjadi
awal mula kekecewaan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan dari kelompok Islam.
Daud Beureueh sendiri pada mulanya dapat menerima realitas politik bahwa
Indonesia yang baru didirikan berdasarkan Pancasila. Sekalipun rakyat Aceh
menginginkan Negara yang berdasarkan Islam, para pemimpin Aceh mampu
meyakinkan rakyatnya bahwa untuk saat itu, ketika Indonesia yang baru lahir masih
menghadapi perjuangan fisik melawan Belanda, sebaiknya untuk sementara
menerima dahulu dan mendukung Indonesia yang berdasarkan Pancasila sampai nanti
diadakan pemilihan umum (Ibrahimy, 2001: 43).
Selain itu, kesediaan Daud Beureueh menerima konsep Negara Indonesia
yang berasaskan Pancasila lebih disebabkan oleh janji Presiden Soekarno yang
diucapkan pada kunjungannya yang pertamakali ke Aceh yakni memberikan
kebebasan kepada Aceh dalam menjalankan syariat Islam dan otonomi khusus sesuai
dengan syariat Islam (Santosa, 2006:142). Untuk menindaklanjuti janji Presiden
Soekarno tersebut, pada 1949 beberapa tokoh Aceh menghadap Wakil Perdana
Menteri Syafruddin Prawiranegara, yang saat itu juga menjadi Kepala Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia/PDRI guna mendesak Pemerintah Pusat guna
membentuk Provinsi Aceh yang otonom dalam mengurus rumah tangganya sendiri.
Akhirnya permintaan ini dikabulkan dengan dikeluarkannya Peraturan Wakil Perdana
Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.
8/Des/WKPM 17 Desember 1949 yang menyataan Aceh sebagai Provinsi dan Daud
Beureueh sebagai Gubernur (Kawilarang, 2010:154).
25
Keadaan berubah setelah Hindia Belanda resmi membubarkan diri pada 27
Desember 1945 dan RI berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam
pertemuan Dewan Menteri RIS pada 8 Agustus 1950 disepakati Indonesia terdiri dari
10 Provinsi hal ini menjadikan Aceh dan Sumatera Utara dijadikan 1 Provinsi. Pada
akhir tahun 1950, Mohammad Natsir yang pada saat itu menjabat sebagai Perdana
Menteri mengumumkan Provinsi Aceh dilebur menjadi satu dengan Provinsi
Sumatera Utara, sedangkan Daud Beureueh diangkat menjadi pejabat tinggi di
Kementerian Dalam Negeri di Jakarta. Keputusan ini sangat mengecewakan
masyarakat Aceh karena pusat pemerintahan daerah Aceh berubah bahkan peralatan
kantor dan mobil-mobil dinas pemerintahan yang berada di Banda Aceh dibawa ke
Medan. Padahal semua inventaris tersebut dibeli secara swadaya oleh masyarakat
Aceh.
Kekecewaan Daud Beureueh terhadap Pemerintah Pusat mencapai puncaknya
ketika Presiden Soekarno pada 27 Januari 1953 berpidato di Amuntai, Kalimantan
Selatan, yang menegaskan bahwa Indonesia tidak mungkin menggunakan Islam
sebagai dasar Negara. Pernyataan ini sekaligus menyatakan bahwa Negara Indonesia
berdasarkan pada Pancasila, bukan Islam. Dengan pernyataan Soekarno ini semakin
jelas bagi para tokoh Aceh bahwa Indonesia tidak memberikan peluang bagi Negara
untuk menggunakan Islam sebagai dasar Negara dan pupus juga harapan rakyat Aceh
utnuk menerapkan syariat Islam di Aceh. Hal ini telah membuat Daud Beureueh
kecewa, sehingga pada 21 September 1953 Daud Beureueh menyatakan Aceh
memisahkan diri dari Indonesia dan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia
26
(NII) mengikuti Kartosoewirjo lalu membubarkan Divisi X TNI yang berada di Aceh.
Pernyataan ini terjadi setelah kongres ulama di Titeue Pidie. Setelah membubarkan
Divisi X TNI, sejumlah pasukan TNI bergabung menjadi tentara Islam di bawah
komando Daud Beureueh.
Kedua, terkait dengan politik sentralisasi yang dijalankan oleh Pemerintah
Pusat pada masa-masa awal Republik berdiri. Kebijakan setralisasi yang membawa
kembali Indonesia menjadi negara kesatuan ini dapat dipahami dalam konteks situasi
politik nasional saat itu, yaitu selama periode 1949 sampai 1950. Pada saat itu
Indonesia sedang menghadapi masa perjuangan fisik dalam mempertahankan
kemerdekaan. Dalam upaya mempertahankan kekuasaannya di Indonesia, Belanda
menjalankan politik pecah belah dengan membentuk negara-negara yang berdiri
sendiri dan tidak tergabung dalam federasi yaitu, Jawa Tengah, Kalimantan Barat,
Dayak Besar, Daerah Banjar, Federasi Kalimantan Tenggara, Negara Kalimantan
Timur, Bangka, Belitung, dan Riau (Awaludin 2009).
Di tengah situasi politik yang masih labil dan eksistensi RI yang sangat rapuh
itu menjadikan RI lebih mementingkan upaya konsolidasi nasional dan memperkuat
kesatuan wilayah RI ke dalam sistem kenegaraan yang solid. Di tengah situasi yang
penuh dengan semangat perjuangan mempertahanan kemerdekaan dan ditambah
dengan dominasi kaum nasionalis dalam percaturan politik saat itu, maka muncul
desakan membubaran Negara federasi dan membentuk Negara kesatuan. Namun,
dalam perspektif rakyat Aceh, justru semangat kesatuan dan persatuan pada saat itu
27
harus dibayar mahal dengan hilangnya Provinsi Aceh yang dinilai sebagai
representatif identitas keislaman.
Alasan ketiga yang mendorong pemberontakan Daud Beureueh adalah tidak
terakomodasinya nilai Islam dalam pemerintahan di Aceh. Nilai-nilai Islam memang
telah lama berakar dalam kehidupan rayat Aceh dan mereka tetap mengharapkan
bahwa suatu saat Islam dapat kembali menjadi dasar dalam hidup berpemerintahan di
Aceh.
Aspirasi dan identitas Islam yang begitu mengakar di kalangan rakyat sejak
ratusan tahun, dan mencapai masa kejayaannya pada pemerintahan Sultan Iskandar
Muda (1607-1636), menemukan momentum baru untuk dimanifestasikan kembali
dalam tatanan kehidupan masyaraat Aceh ketika Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 (Ibrahimy, 2001:43). Namun, ketika
Soekarno menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara nasional yang berasaskan
Pancasila bukan Islam, Daud Beureueh semakin yain bahwa pemimpin pusat telah
menyimpang dari jalan yang benar. Republik Indonesia tidak berkembang menjadi
Negara yang berdasarkan Islam, satu-satunya kemungkinan yang terkandung dalam
prinsip Ketuhanan Yang Masa Esa, sila pertama Pancasila (Santosa, 2006:152).
Pandangan seperti ini menunjukkan bahwa ide Islam yang diyakini oleh Daud
Beureueh tidak hanya pas dalam lingkup Aceh, namun lebih jauh dari itu. Daud
Beureueh menilai bahwa Indonesia pun secara keseluruhan mestinya berdasarkan
Islam. Pada titik inilah Daud Beureueh membentur kenyataan politik bahwa aspirasi
Negara nasional lebih dominan saat itu, sehingga menyadarkan dirinya bahwa
28
Indonesia tidak mungkin akan mengakomodasi aspirasi Islam yang selama ini
menjadi identitas Aceh.
Dengan adanya kepastian bahwa Indonesia tidak akan menolerir bentuk
pemerintahan daerah yang berlandaskan Islam, pemimpin Aceh sudah dapat
memperkirakan bahwa pemerintah pusat akan menekan Aceh, baik dalam urusan
syariat Islam maupun dalam hal kepemerintahan. Kekhawatiran itulah yang akhirnya
memaksa banyak tokoh Islam di Aceh ikut mendukung pemberontakan Daud
Beureueh (Aguswandi & Large, 2009:3).
Pemberontakan Daud Beureueh tidak berhenti meski Pemerintah Pusat
akhirnya mengembalikan Aceh sebagai tersendiri yang terpisah dari Provinsi
Sumatera Utara dengan Undang-undang No. 24/1956. Undang-undang tersebut sama
sekali tidak menyebut pemberian otonomi Aceh dalam pemberlakuan syariat Islam
(Syukriy, 2009:3).
Seiring berjalannya waktu, tiga tahun setelah itu barulah perubahan status
mulai diberikan. Status “Daerah Istimewa” baru diberikan untuk Aceh pada 26 Mei
1959 melalui Keputusan Perdana Menteri RI No.1/Missi/1959, yang isinya antara lain
Daerah Istimewa Aceh dapat melaksakan otonomi daerah yang seluas-luasnya
terutama dalam bidang agama, pendidikan, dan peribadatan (Nurrohman, 2006:4).
Pemberontakan Daud Beureueh baru berakhir pada 9 Mei 1962, ketika Kolonel M.
Jasin, Panglima Kodam Iskandar Muda berhasil membujuk Daud Beureuh untuk
turun gunung.
29
2. Pemberontakan Hasan Tiro dan Lahirnya GAM
Perbedaan kedua terkait tujuan pemberontakan. Berbeda dengan
pemberontakan Daud Beureueh yang mulanya hanya menginginkan otonomi di
bidang pendidikan dan penerapan syariat Islam tetapi masih dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemberontakan Hasan Tiro sejak awal
memang bertujuan untuk membentukan Negara Aceh yang merdeka dan terpisahkan
Republik Indonesia (Schulze, 2004:1).
Dalam ungkapan Sukma (2003:149), tujuan pemberontakan Daud Beureueh
sama dengan pemberontakan Darul Islam Aceh yang menginginkan Indonesia
menjadi Negara Islam dan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam. Sedangkan
pemberontakan Hasan Tiro bertujuan untuk memisahkan diri secara utuh dari
Indonesia. Aspirasi untuk merdeka yang memotivasi pemberontakan Hasan Tiro ini
diperkuat juga oleh adanya sentimen nasionalisme Aceh, terkait dengan konstruksi
identitas Aceh yang berdasarkan pada etnik, bahasa, kultur, sejarah dan geografi
(Miller, 2008:12).
Pemberontakan Hasan Tiro ini dipicu oleh ketidakadilan yang dirasakan oleh
rakyat Aceh dalam hal pengelolaan sumber daya alam Aceh oleh Pemerintah Pusat, di
samping didorong pula oleh sentimen nasionalisme etnik (ethno nasionalism) yang
bertumpu pada kekhasan Aceh dalam hal sejarah, etnisitas, kultur, dan geografi.
Sentiment nasionalisme etnik ini tercermin dari bagaimana Hasan Tiro menarik garis
perbedaan tegas antara Indonesia dan Aceh dengan cara menyebut rakyat Aceh
sebagai “bangsa Aceh”. Dengan frasa “bangsa Aceh” ini Hasan Tiro bermaksud
30
memperkenalkan konsep bangsa Aceh sebagai lawan dari bangsa Indonesia
(Kawilarang, 2008:157).
Pemberontakan Hasan Tiro ini terjadi pada saat Pemerintahan Soeharto, yang
mana rezim ini terfokus pada masalah pembangunan ekonomi yang membutuhan
stabilitas politik, sehingga Pemerintah Pusat tidak pernah menolerir adanya aspirasi
daerah yang menuntut otonomi, apalagi memisahkan diri. Oleh karena itu, tidak lama
setelah Hasan Tiro memproklamasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Pemerintah
Pusat mengambil langkah tegas, yaitu dengan melancarkan tindakan militer atau hard
power.
Sejak Hasan Tiro melancarkan pemberontakan terhadap Pemerintahan Pusat
dengan mendeklasikan GAM dan sebelum tercapai perdamaian pada tahun 2005, ada
fase-fase penting yang dialami oleh GAM (Schulze, 2004:4).
Pertama, periode kelahiran (1976-1989), ketika GAM masih merupakan
sebuah kelompok kecil yang beranggotakan kira-kira 70 orang tetapi memiliki ikatan
ideologi yang kuat. Anggota GAM saat itu terdiri dari orang-orang terdidik, seperti
dokter, insinyur, akademi, dan pengusaha. Untuk mematahkan pemberontakan ini,
Soeharto melancarkan operasi militer, sehingga banyak anggota organisasi ini yang
tewas dan pemimpinnya banyak yang dipenjara atau melarikan diri. Pada periode ini,
akibat oprasi militer yang keras dari Pemerintah Pusat, pengikut GAM tercerai-berai
ke berbagai tempat dan mulai melakukan gerakan bawah tanah. Pada tahun 1986
banyak pemuda Aceh yang dikirim oleh Hasan Tiro untuk mengikuti pelatihan militer
di beberapa Negara asing termasuk Libya (Schulze, 2004:14). Hal ini dikarenakan
31
Pemerintah Pusat mengirimkan ribuan pasukan ke Aceh dan tidak ada dukungan
internasional terhadap GAM, hingga pada akhirnya Hasan Tiro pindah ke Swedia dan
menjadi warganegara disana.
Kedua, periode kebangkitan GAM (1989-1998). Pada tahun 1989 banyak
pemuda Aceh yang telah mengikuti pelatihan militer di Libya kembali ke Aceh dan
bergabung dengan GAM. Dengan kembalinya pejuang-pejuang yang terampil secara
militer ini GAM mulai mengkonsolidasikan organisasinya, terutama penentuan
struktur dan garis komando organisasi di Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh
Timur. Para alumni Libya ini juga merekrut dan melatih ratusan anggota baru
mengenai kemiliteran, sehingga jumlah pengikut GAM bertambah banyak. Pada
tahun inilah perlawanan GAM secara militer menunjukkan peningkatan, sehingga
Pemerintah Pusat melancarkan Operasi Jaring Merah dan menjadikan Aceh sebagai
Daerah Operasi Militer (DOM). Selama DOM ini militer Indonesia menjalankan
operasi pembersihan terhadap penduduk atau desa yagn dicurigai memberikan
bantuan logistic dan tempat perlindungan bagi para gerilyawan GAM. Operasi seperti
ini dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi penduduk desa, agar tidak
memberikan dukungan kepada GAM (Schulze, 2004:4).
Ketiga, Periode kematangan GAM (1998-2005). Pada periode ini perlawanan
GAM berkurang secara signifikan pada 1991. Pada tahun ini, akibat operasi militer
Pemerintahan Pusat yang keras, dapat dikatakan GAM sebenarnya sudah habis.
Namun demikian, GAM masih bias eksis karena GAM masih memiliki pemimpin-
pemimpin mereka di pengasingan yang terus memperjuangkan kemerdekaan Aceh.
32
Di samping itu, GAM masih bias menyuarakan kemerdekaan Aceh karena beberapa
pemimpin mereka melancarkan perjuangan dari Negara tetangga, Malaysiam dengan
dukungan orang Aceh yang tersebar di berbagai tempat di luar negeri. Sekalipun
secara fisik keberadaan GAM di Aceh jauh berjurang, tindak kekerasan yang
dilakukan tentara justru melahirkan generasi baru di Aceh yang bersimpati terhadap
GAM. Generasi baru inilah yang kelak, ketika Soeharto jatuh pada 1998, menjadi
motor penggerak bagi gerakan massa yang mendesak Pemerintah Pusat untuk
menyelesaikan konflik Aceh.
D. Resolusi Konflik Aceh Oleh Pemerintah RI
Resolusi konflik pada era Soeharto lebih banyak ditangani dengan pendekatan
keamanan (security approach) atau hard power daripada soft power. Pada era
Soeharto tidak pernah ada keinginan untuk menyelesaikan konflik Aceh melalui cara-
cara negosiasi atau soft power. Pemerintah Pusat juga berusaha untuk mencoba
mencari simpati rakyat (winning hearts and minds). Program simpatik seperti ini
dilakukan hanya dalam konteks untuk mencegah agar rakyat Aceh tidak ikut
bergabung dengan GAM. Aspinal dan Crouch (2003:3) mengungkapkan bahwa
hanya sebagian kecil dari elit TNI yang benar-benar memahami konsep
“memenangkan hati rakyat” itu. Bagi sebagian besar elit TNI, pemberian konsesi
kepada rakyat Aceh yang menginginkan merdeka hanya memicu perlawanan yang
lebih kuat.
Pasca jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, gelombang arus reformasi
melanda Indonesia telah mengubah landasan politik domestic. Dari yang berhaluan
33
otoriter menjadi rezim demokratis. Perubahan sistem politik demokratis disertai juga
dengan tuntutan untuk penegakan hukum telah mengubah cara pandang pemerintah
baru. Presiden Habibie melihat bahwa Aceh tidak lagi dianggap sebagai musuh
bangsa Indonesia, melainkan saudara kandung Bangsa Indonesia (Ali, 2008:197).
Pada Mei 1998, muncul gerakan anti-militer dan anti-Jakarta. Di tengah
situasi politik yang tidak berpihak pada TNI dan di tengah derasnya tuntutan
pengungkapan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan TNI di Aceh selama era
Soeharto, Panglima ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) Jendral
Wiranto berusaha untuk meraih kembali kepercayaan masyarakat dengan mencabut
status DOM di Aceh pada 7 Agustus 1998. Di samping pencabutan status DOM,
Jendral Wiranto juga meminta maaf atas perilaku individu TNI selama masa DOM.
Lalu setelah itu Presiden Habibie pun ketika berkunjung ke Aceh pada Maret 1999
juga meminta maaf atas apa yang telah dilakukan oleh TNI (Aspinal & Crouch,
2003:6). Perubahan dalam pendekatan untuk menyelesaikan konflik pada era Habibie
mengubah pendekatan penyelesaian konflik yang dilakukan pada Orde Baru yakni
security approach menjadi prosperity approach.
Presiden Habibie juga memberikan amnesti kepada sejumlah tahanan politik
yang terkait dengan GAM, menyalurkan bantuan dana untuk anak yatim dan janda
korban konflik serta memberikan kesempatan kepada anak-anak mantan anggota
GAM untuk menjadi pegawai negeri. Pada masa pemerintahan Habibie juga disahkan
Undang-undang No.44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh. Undang-undang tersebut memberikan otonomi dan
34
kewenangan khusus kepada Aceh hanya di bidang pendidikan, agama, adat, dan
peran ulama. Pada masa pemerintahan Habibie inilah titik kebijakan soft power dalam
resolusi konflik di Aceh berawal yang kelak juga akan digunakan pada pemerintahan
setelah Habibie. Namun demikian, Habibie sendiri tidak pernah sempat
menindaklanjuti kebijakannya yang lebih menekankan pada kesejahteraan karena
masa kepemimpinannya yang singkat.
Pada Oktober 1999, Habibie digantikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid
atau yang akrab disapa Gus Dur, yang dikenal sebagai orang yang memiliki
komitmen kuat terhadap demokrasi dan pluralisme. Pada masa kepemimpinannya
Gus Dur menawarkan kepada Aceh tiga opsi, yakni otonomi total (total autonomy) ,
pembagian pendapatan 75% dan 25% antara Aceh dan Jakarta, dan status provinsi
istimewa (Aspinal & Crouch, 2003:9). Pada masa kepemimpinan Gus Dur untuk
pertama kalinya sejak konflik Aceh dimulai pada tahun 1976, Indonesia bersedia
mengadakan dialog dan perundingan dengan GAM yang difasilitasi oleh Henry
Dunant Center (HDC), sebuah lembaga swadaya masyarakat berkedudukan di
Jenewa, Swiss. Hasil dari perundingan tersebut berakhir dengan ditandatanganinya
dokumen Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh pada 12 Mei 2000
yang berisi antara lain kesepakatan kedua belah pihak untuk menghentikan kekerasan
di Aceh.
Terjadinya perundingan Jeda Kemanusiaan ini menghadirkan perkembangan
penting dalam konflik Aceh, baik bagi Indonesia maupun GAM. Bagi Indonesia
perundingan ini adalah yang pertama sejak 23 tahun resolusi konflik Aceh dilakukan
35
dengan jalan militer. Karena adanya paradigm baru dalam resolusi konflik di Aceh
yakni melalui jalan perundingan, bagi Indonesia sendiri adalah pilihan politik yang
terbaik. Sementara bagi GAM, perundingan Jeda Kemanusiaan memberi tiga arti
penting bagi profil gerakan mereka. Pertama, dari tataran kelembagaan, perundingan
tersebut dinilai sebagai langkah strategis dalam konteks perlawanan terhadap
Pemerintah Pusat. Kenyataan GAM duduk satu meja dengan Pemerintah Indonesia
secara resmi menyodorkan suatu realitas politik baru yaitu eksistensi GAM sebagai
“entitas politik” diakui oleh pemerintah Indonesia. Kedua, dari tataran internasional.
GAM berharap perundingan Jeda Kemanusiaan dapat membangaun citra GAM di
mata dunia. Terlebih perundingan ini difasilitasi oleh lembaga internasional, GAM
berharap bahwa perundingan ini dapat dijadikan sebgai kendaraan untuk membuat isu
aceh mendunia, dengan harapan masyarakat internasional memberikan dukungannya
kepada GAM. Ketiga, dari tataran taktis. Jeda Kemanusiaan digunaan oleh GAM
untuk memperluas pengaruhnya di Aceh. Dengan diberhentikannya kekerasan, GAM
yang secara militer jauh lebih lemah dari TNI justru mendapat kesempatan untuk
memperluas basis dukungan di kalangan penduduk local dan mengkonsolidasikan
kekuatan militernya. (Huber, 2008 dalam Aguswandi & Large, 2008:17).
Ketika GAM memanfaatkan Jeda Kemanusiaan untuk konsolidasi organisasi
dan perluasan pengaruhnya, TNI dan Polri malah diimbau untuk tidak melakukan
tindakan ofensif. Sikap TNI dan Polri yang tidak ofensif sesuai dengan imbauan itu
dimanfaatkan GAM untuk meningkatkan kegiatan militernya. Hal inilah yang pada
akhirnya memicu kembali kekerasan antara TNI/Polri dan GAM, sehingga samapi
36
pada akhir Jeda Kemanusiaan pada Januari 2001, kekerasan tetap saja terjadi. Dapat
dikatakan selama tahun 2000 implementasi Jeda Kemanusiaan mengalami kegagalan.
Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan gagalnya Jeda Kemanusiaan ini.
Pertama, karena tidak adanya kepercayaan dari kedua belah pihak yang berkonflik.
Kedua, Jeda Kemanusiaan ini hanya mengatur tentang aspek keamanan dari konflik
Aceh, yaitu penghentian kekerasan dan operasi militer. Dan ketiga, tidak adanya
komitmen pada level aparat di lapangan terhadap kesepakatan penghentian kekerasan.
Gagalnya implementasi Jeda Kemanusiaan meberikan indikasi bahwa perundingan
damai dengan GAM tidak aan berjalan baik tanpa ada dukungan dari TNI dan Polri.
Naiknya Megawati Soekarnoputri ke kursi Presiden pada Juli 2001
merupakan titik balik peran TNI dalam pentas politik nasional dalam konteks resolusi
konflik Aceh. Komitmen politik Presiden Megawati yang nasionalis dan sangat
menekankan pada integritas wilayah menjadikan resolusi konflik di Aceh pun
bergeser kembali menjadi hard power (operasi militer) dan soft power (pemberi
otonomi luas) secara bersamaan dalam periode yang sama. Kedua kebijakan itu
dijalankan secara berbarengan untuk menekan GAM mau menerima otonomi luas
seperti yang ditawarkan oleh pusat (Aspinal & Crouch, 2003:26).
Strategi pemerintah yang mengkombinasikan hard power dan soft power
dalam waktu yang bersamaan ternyata memang membuahkan hasil. Dapat dikatakan,
pendekatan kombinasi seperti ini, pada tingkat tertentu, telah “memaksa” GAM untuk
mau berunding lagi. Hal ini terlihat dari kesediaan GAM untuk berunding kembali
dengan Pemerintah Pusat untuk yang kedua kalinya. Pada 9 Desember 2002 tercapai
37
kesepakatan Cessation of Hostilities Agreementi/COHA, yang isinya antara lain
mengatur tentang demiliterisasi kedua belah pihak, penyaluran bantuan kemanusiaan
dan pembangunan kembali fasilitas yang rusak akibat perang. Namun, kesepakatan
COHA ini juga tidak bertahan lama dikarenakan kedua belah pihak masing-masing
memiliki interpretasi tersendiri terhadap COHA.
Perbedaan interpretasi seperti ini membuat pelaksanaan di lapangan menjadi
sulit, sehingga mudah memancing kedua belah pihak kembali melakukan kekerasan.
Kesulitan implementasi ini diperparah lagi oleh tidak singkronnya sikap antara aparat
di lapangan dan elit TNI/Polri maupun antar petinggi TNI/Polri sendiri serta
minimnya dukungan politik dari militer (Tempo, 5 Juli 2009:66).
Presiden Megawati akhirnya menandatangani darurat militer di Aceh pada 19
Mei 2003. Hal ini yang mengawali hard power dalam resolusi konflik Aceh.
Keberanian Presiden Megawati dalam menerapkan darurat militer ini disebabkan oleh
dua hal. Pertama, pemerintahannya merasa sudah menunjukkan kepada khalayak
Indonesia dan dunia internasional bahwa Pemerintah sudah cukup banyak member
kesempatan kepada GAM untuk merundingkan kembali tuntutan merdeka dengan
menerima otonomi yang sudah sangat luas, namun GAM tidak menunjukkan tanda-
tanda untuk melepas tuntutan kemerdekaannya. Kedua, Megawati merasa “aman”
secara politik dengan keputusan darurat militernya karena keputusan tersebut
didukung oleh TNI/Polri, DPR, serta opini publik dan media massa (Aspinal &
Crouch, 2003:45).
38
Perubahan pendekatan dalam resolusi konflik Aceh menemukan momentum
baru ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) memenangi
Pemilu Presiden pada 2004. Secara umum dapat dikatakan bahwa selama era SBY-
JK, resolusi konflik Aceh dilakukan dengan soft power atau dengan cara damai.
Setidanya ada dua faktor yang mendorong digunakannya soft power selama era SBY-
JK.
Pertama, faktor politik. Pemilu Presiden 2004 adalah pemilu presiden pertama
dalam sejarah politik Indonesia yang dilakukan secara langsung oleh rakyat. Naiknya
SBY-JK ke tampuk kekuasaan melalui pemilu langsung menandai mulainya era baru
dalam politik nasional Indonesia, yaitu sistem politik yang lebih demokratis. Sistem
politik yang demokratis ini memberi pengaruh yang signifikan dalam cara
Pemerintahan SBY-JK menyikapi konflik Aceh. SBY-JK yang terpilih melalui proses
demokrasi langsung menunjukkan sikap politik yang lebih mengedepankan cara-cara
damai dalam menyelesaikan konflik.
Kedua, faktor personal, yaitu terkait dengan sikap politik SBY-JK secara
pribadi dalam melihat konflik Aceh. Dimulainya pendekatan soft power dalam
resolusi konflik Aceh didorong oleh kenyataan yang diyakini SBY-JK yang percaya
bahwa konflik Aceh hanya bisa diselesaikan melalui dialog dan perundingan
(Aspinal, 2005:66).
E. Upaya Perdamaian Dari Crisis Management Initiative
Sejak berlangsungnya pernyataan Keadaan Bahaya oleh Megawati seperrti
yang dinyatakan di atas, sekitar satu tahun lebih setelah itu, lebih tepatnya 25
39
Desember 2004 terjadi bencana gempa dan Tsunami di Aceh yang menggemparkan
dunia internasional yang menyebabkan sekitar 230.000 jiwa meninggal dunia,
36.786 jiwa hilang, dan 174.000 jiwa tinggal di tenda pengungsian. Sekitar 120.000
rumah hancur, 800 km jalan dan 260 jembatan rusak, 639 fasilitas kesehatan hancur
serta 2.224 sekolah hancur. Sejak peristiwa itu pula organisasi-organisasi
international mulai masuk ke Aceh untuk memberikan bantuan kepada korban
Tsunami. Walaupun pada awalnya perhatian dunia internasional lebih tertuju kepada
bantuan kemanusiaan, akan tetapi lama kelamaan dialihkan kepada bantuan secara
politik, yaitu mengusahakan perdamaian antara RI dan GAM yang berkonflik selama
kurang lebih 30 tahun (Kawilarang, 2010:177).
Adapun salah satu organisasi internasional yang turut memberikan bantuan
baik sosial ataupun politik di Aceh adalah Uni Eropa. Kontribusi Uni Eropa terhadap
proses perdamaian Aceh, telah dimulai sejak terjadinya bencana Tsunami. Dalam
kurun beberapa jam setelah terjadinya Tsunami, Uni Eropa segera merespon dengan
memberikan bantuan darurat, disusul beberapa hari kemudian dengan bantuan
tambahan untuk kesehatan dasar, sistem peringatan dini epidemik dan bantuan
psikososial bagi para korban. Sampai Januari tahun 2006, Komisi Eropa telah
menyediakan dana sebesar 60 juta Euro untuk bantuan kemanusiaan Aceh (Pardo,
2012).
Program bantuan kemanusiaan ini dilanjutkan dengan komitmen Komisi
Eropa dan negara anggota Uni Eropa untuk mendukung terciptanya perdamaian dan
pembangunan Aceh setelah konflik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.
40
Komisi Eropa dan negara-negara anggota Uni Eropa masing-masing telah
menjanjikan sebesar 285 juta Euro dan 670 juta Euro untuk digunakan sebagai
bantuan kemanusiaan, rekonstruksi dan proses perdamaian di Aceh (Pardo, 2012).
Dana tersebut antara lain diberikan kepada CMI (Crisis Management Initiative) untuk
membiayai perundingan damai di Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM.
CMI adalah sebuah lembaga independen yang mempunyai misi meningkatkan
kapasitas manajemen komunitas internasional untuk pencegahan krisis dan
melakukan rehabilitasi pasca konflik. Dalam mediasi konflik Aceh ini dalam catatan
yang diterbitkan oleh CSIS oleh Hamid Awaluddin (2008), baik GAM maupun
Pemerintah RI yang yang sedang bersengketa bersama-sama sepakat untuk menunjuk
CMI sebagai mediator dalam proses perdamaian. Negosiasi yang menjadi pusat
perhatian internasional ini dilakukan dalam lima putaran yang terpisah selama
delapan bulan.
Setelah melalui proses negosiasi yang panjang, pada 15 Agustus
ditandatanganilah Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) di
Helsinski yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut ; a) Penyelenggaraan
Pemerintahan Khusus di Aceh, b) Menyelenggarakan Hak Azasi Manusia, C)
Amnesti dan Reintegrasi Mantan Kombatan ke dalam Masyarakat, d) Pengaturan
Keamanan, e) Pembentukan Misi Monitoring Aceh, f) Penyelesaian Perselisihan.
Salah satu langkah mendesak yang dilaksanakan seusai ditandatanganinya
MoU Helsinski adalah pembentuan Aceh Monitoring Mission (AMM) atau Misi
Pemantau Aceh. AMM mendapat mandat untuk memantau pelaksanaan komitmen
41
para pihak yang bersepakat dalam MoU Helsinski. Dalam MoU Helsinski pasal 5
ayat 1 disebutkan
“Misi Pemantau Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan Negara-
negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan
komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.”
Sebagai wujud kegembiraan terhadap perundingan damai, warga Aceh
melakukan pawai keliling sambil memukul rapa-i-pase sebagai simbol perang telah
dihentikan, sementara mantan anggota GAM melaukan konvoi keliling Aceh dengan
menggunakan kendaraan roda dua. Dari pihak pemerintah, meski penarikan pasukan
atau aparat keamanan non-organik dilakukan satu bulan setelah Nota Kesepahaman
ditandatangani, penarikan pasukan dilakukan lebih cepat bahkan sebagian telah
dipulangkan sebelum Nota Kesepahaman ditandatangani. Demikian juga dengan
pihak GAM. Puluhan anggota GAM memutuskan untuk turun gunung terlebih dahulu
begitu mendengar kesepakatan Nota Kesepahaman ditandatangani meskipun perintah
demobilisasi dilaksanakan tanggal 15 September 2005.
42
BAB III
Aceh Monitoring Mission
A. Profil Aceh Monitoring Mission
Aceh Monitoring Mission (AMM) merupakan misi sipil yang terdiri dari para
pemantau dari Negara-negara Uni Eropa dan Negara-negara ASEAN serta Norwegia
dan Swiss. Sesuai dengan MoU Helsinski Pasal 5 butir 8, Anggota-anggotanya tidak
dipersenjatai dan terdiri dari orang-orang yang dianggap memiliki keahlian dan
kompetensi beragam yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas dalam misi
ini. Kendati misi sipil, bukan berarti AMM menolak keanggotaan militer. Anggota
yang memiliki keterkaitan dengan teknis kemiliteran.
AMM memiliki perbedaan dengan lembaga monitoring yang dibentuk Henry
Dunant Centre (HDC), untuk memantau implementasi damai, HDC membentuk Joint
Security Commitee (JSC) yang memiliki tugas : a) memformulasikan proses
implementasi kesepakatan. b) memonitor situasi keamanan di Aceh. c) melakukan
investigasi secara penuh terhadap kekerasan keamanan. d) memperbaiki situasi
keamanan dan memberikan sanksi. e) meyakinkan tidak adanya kekuatan paramiliter
baru. f) mendesain dan mengimplementasikan proses demiliterisasi. Struktur dari JSC
adalah pejabat-pejabat senior yang ditunjuk sebagai wakil Pemertintah dan GAM dan
seorang pihak ketiga (HDC) yang disetujui kedua belah pihak. Kemudian untuk
memutuskan perselisihan yang muncul di lapangan, dibentuk Joint Council (JC) yang
terdiri atas wakil-wakil senior Pemerintah dan GAM dan juga pihak ketiga (HDC).
43
Berdasarkan pengalaman sebelumnya dari hasil HDC, Marti Ahtisari
memasukkan AMM dalam kesepakatan damai yang harus direalisasikan dan
menjadikan Uni Eropa sebagai lembaga monitoring yang juga mengikutsertakan
ASEAN. Karena itu kemudian dalam Nota Kesepahaman damai dibentuk kerjasama
Eropa – ASEAN sebagai pihak yang akan memonitor kesepakatan damai di Aceh.
Bentuk kerjasama tersebut dicantumkan dalam artikel 5 dalam Nota Kesepahaman
antara Pemerintah RI dan GAM.
Kerjasama yang terjalin antara Uni Eropa dan ASEAN dinilai sebagai sesuatu
hal yang tidak lazim, tetapi terbukti efektif (Grevi, 2005:5). Namun sebenarnya,
keterlibatan ASEAN harusnya dilihat sebagai institusi regional antara Negara-negara
di wilayah Asia Tenggara dan Indonesia adalah salah satu anggotanya. Keterlibatan
Uni Eropa karena ASEAN memiliki konsep kerjasama ASEAN Community Security
dengan beberapa negara, diantaranya Uni Eropa.
AMM memiliki mandat yang tercantum dalam MoU Helsinki pasal 5.2 yaitu
untuk : a) memantau demobilisasi GAM dan decommissioning persenjataannya, b)
memantau relokasi tentara dan polisi non-organik, c) memantau reintegrasi anggota-
anggota GAM yang aktif ke dalam masyarakat, d) memantau situasi hak asasi
manusia dan memberikan bantuan dalam bidang HAM, e) memantau proses
perubahan peraturan perundang-undangan, f) memutuskan kasus-kasus amnesti yang
disengketakan, g) menyelidiki dan memutuskan kasus-kasus amnesti yang
disengketakan, h) menyelidiki dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelanggaran
44
terhadap MOU Helsinski, i) membentuk dan memelihara hubungan dan kerjasama
yang baik dengan para pihak.
Sesuai dengan mandat yang terdapat dalam MoU Helsinki, AMM seharusnya
sudah berada di Aceh sejak hari pertama MoU Helsinki diberlakukan yaitu pada
tanggal 15 Agustus 2005. Namun, karena ada keterlambatan dari Uni Eropa, AMM
baru berada di Aceh secara resmi pada tanggal 15 September 2005. Misi ini
berlangsung dari 15 september 2005 hingga 15 Juni 2006 (aceh-mm.org), dan
kemudian diperpanjang oleh Uni Eropa hingga pelaksanaan Pemilihan kepada daerah
(Pilkada), namun tidak melebihi 15 September 2006, seperti yang ditetapkan dalam
pertemuan Komisi Uni Eropa di Brussels, Kamis, 11 Mei 2006 (Kompas, 2006).
Namun terkait dengan tertundanya pelaksaan Pilkada, tugas AMM akhirnya
diperpanjang hingga 15 Desember 2006 (aceh-mm.org).
B. Struktur AMM
AMM diketuai oleh seorang warganegara Belanda, Pieter Feith. Anggota
AMM terdiri dari 220 orang, 120 orang dari Eropa dan sisanya dari Negara-negara
ASEAN (Brunei Darussalam, Malaysia, Philipina, Singapura, dan Thailand). Jumlah
total staf AMM adalah 231 orang. Ketua AMM dibantu oleh tiga deputi, masing-
masing dari Thailand, Finlandia dan India. Kepala staf AMM berasal dari Eropa,
sementara deputinya Philipina. Secara umum, struktur AMM, seperti departemen atau
unitdikepalai oleh anggota dari negara-negara Eropa dengan deputi dari negara
ASEAN. Penunjukan anggota dari negara Eropa debagai kepala unit atau departemen
45
dimaksudkan sebagai upaya untuk menghadirkan rasa kepercayaan, terutama dari
pihak GAM, terhadap lembaga AMM. Pembagian kerja ini menunjukkan adanya
komitmen dan kerjasama yang baik antara Eropa dan ASEAN (Grevi, 2008). Untuk
jelasnya lihat tabel dibawah ini.
Tabel III.B.1 Personel Internasional di AMM
Ketua AMM didampingi empat penasehat, meliputi penasehat politik,
hukum, penasehat khusus dan seorang yang memiliki tanggung jawab sebagai liaison
dengan Presiden Uni Eropa. Departemen yang paling luas adalah departemen
operasional yang bertugas untuk menyusun segala laporan dan analisa kejadian di
ASEAN
Brunei 20
Malaysia 20
Philipina 17
Singapura 15
Thailand 21
Total 93
Eropa
Austria 3
Denmark 8
Finlandia 15
Perancis 5
Jerman 11
Irlandia 1
Italia 1
Lithuania 2
Belanda 9
Spanyol 10
Swedia 25
Ingggris 9
Uni Eropa 2
Norwegia 4
Swiss 2
Total 107
46
lapangan. Departemen lainnya adalah departemen decommisioning, informasi dan
media, keamanan, kesehatan, juga pelayanan kesekretariatan yang mencakup
financial, accounting, dan logistic.
Jumlah pemantau AMM sekitar 80 orang pemantau internasional tidak
bersenjata dimana hampir 2/3 diantaranya berasal dari Negara-negara Uni Eropa,
Swiss, dan Norwegia. Selain itu sekitar 1/3 anggota pemantau berasal dari lima
negara ASEAN. AMM sendiri dalam situs resminya menegaskan bahwa merea
berstatus imparsial dan tidak memihak ataupun mewakili pihak manapun (Occasional
paper, 2005:28)
Komposisi struktural pimpinan di kantor pusat AMM sebagai berikut ;
Pieter Feith (Head of Mission), Lieutenant General nipat Thonglek (Principal Deputy
Head of Mission), Mayor General Rozi Baharom (Principal Deputy Head of
Mission), Mayor General Jaakko Oksanen (Deputy Head of Mission), Renata Tardioli
(Deputy Head of Mission for Amnesty, Reintegration, and Human Right), dan Justin
Davies (Chief of Staff) (AMM, 2006).
AMM bermarkas di Banda Aceh dan membentuk kapabilitas pemantauan
secara geografis melalui 11 kantor wilayah di beberapa penjuru provinsi Aceh, yaitu :
Sigli, Bireun, Lhokseumawe, Langsa, Tapak Tuan, Blang Pidie, Meulaboh, Lamno,
Banda Aceh, Kutacane dan Takengon.
47
C. Tugas dan mandat AMM
AMM memainan peran yang sangat penting dalam membangun rasa
percaya antara pihak-pihak yang terlibat konflik di Aceh, sebagai lembaga yang
memiliki otoritas tinggi untuk menjaga konsistensi pihak-pihak yang berseteru untuk
tetap komitmen pada kesepakatan yang telah ada. Keberadaannya sangat penting
karena adanya transisi dari situasi konflik menjadi damai memerlukan waktu panjang
dan penuh dengan resiko (Grevi, 2005:27).
Tugas utama AMM dalam MoU Helsinki disebutkan membentuk dan
memelihara hubungan dan kerjasama yang baik dengan para pihak yang terlibat
dalam konflik, membantu pemerintah Indonesia dan GAM dalam melaksanakan Nota
Kesepahaman. Mandat yang diberikan kepada AMM yang tercantum dalam Nota
Kesepahaman meliputi demobilisasi dan decommissioning GAM, relokasi aparat
keamanan nonorganik, reintegrasi mantan anggota GAM ke dalam masyarakat,
pemantauan HAM, memantau transisi sosial politik yang diakibatkan adanya
kesepakatan damai serta penyelesaian sengketa.
Hal-hal lain yang tidak termasuk dalam mandat AMM sesuai dengan Nota
Kesepahaman, AMM tidak mengambil peran dalam hal negosiasi. Jika hal ini
dibutuhkan selama proses pelasanaan, adalah tanggung jawab dari kedua belah pihak
dan fasilitator awal yaitu Crisis Management Initiative (CMI).
48
BAB IV
Peran Aceh Monitoring Mission (AMM)
dalam Upaya Peacebuilding di Aceh
Seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang masalah, bahwa salah satu
langkah mendesak yang dilaksanakan seusai ditandatanganinya MoU Helsinski
adalah pembentukan Aceh Monitoring Mission (AMM) atau Misi Pemantau Aceh.
AMM mendapat mandat untuk memantau pelaksanaan komitmen para pihak yang
bersepakat dalam MoU Helsinski. Dalam MoU Helsinski yang tertuang dalam pasal
5 ayat 1 yaitu : “Misi Pemantau Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan
Negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan
komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.”.
A. Demobilisasi dan Decommissioning GAM
Berdasaran MOU Helsinski, GAM harus melakukan demobilisasi 3000
pasukannya yang telah dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 2005 dimana GAM
secara resmi membubarkan sayap militernya (Teuntara Nanggroe Aceh/TNA).
Berdasarkan MOU juga, GAM diharuskan untuk menyerahkan 840 pucuk senjata
yang pelaksanaannya dilakukan mulai satu bulan setelah MOU ditandatangani (15
September 2005) sampai dengan 31 Desember 2005 (MOU Helsinski, pasal 4.2-4.3).
Jumlah senjata termasuk berdasarkan hasil perhitungan dari kedua belah pihak,
Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan GAM. Setelah dilakukan Cross-check antara
49
laporan intelegen TNI dengan laopran GAM, secara mengejutkan, menurut Hamid
Awaluddin (2006), perbedaannya hanya 14 pucuk senjata saja.
Inilah pertama kali dalam sejarah konflik Aceh, GAM bersedia menyerahkan
senjata. Bagi GAM, penyerahan senjata sebagai bagian dari isi Nota Kesepahaman
merupakan sebuah pengorbanan besar. Karena tanpa senjata, mereka tidak bisa
melakukan penyerangan ataupun mempertahankan diri dari serangan TNI. Ini
sekaligus menandakan terjadinya sebuah perubahan strategi perjuangan dari
perjuangan senjata menjadi perjuangan politik seperti apa yang dikatakan oleh Abrar
Muda, Mantan Panglima GAM Wilayah Lhok Tapak Tuan yang kini menjadi Ketua
Komite Peralihan Aceh (KPA) Tapak Tuan “kami tidak butuh lagi senjata,
seandainya hak-hak demokrasi dan politik kami tersalurkan dengan baik” (Dharmi,
2010:79)
Juru Bicara Militer GAM Sofyan Dawood juga mengatakan “Kalau tidak ada
senjata lagi, maka TNA akan dibubarkan, sementara organisasi GAM tetap, karena
TNA dan GAM tidak sama” (Kompas, 2005).
Proses ini sempat menimbulkan ketegangan diantara pihak pemerintah RI dan
GAM, karena dalam MOU tidak disebutkan dengan jelas proses dan mekanisme
penyerahan senjata GAM. Hal ini kemudian memunculkan penafsiran dari masing-
masing pihak. Pihak TNI meminta agar proses penyerahan senjata dilakukan secara
terbuka, tidak hanya melibatkan AMM dan GAM saja, dan TNI akan menerima
laporan. Permintaan TNI didasarkan pada MoU dimana Pemerintah Indonesia
50
melaukan pengumpulan semua senjata ilegal, amunisi dan alat peledak yang dimiliki
setiap kelompok dan pihak-pihak ilegal manapun (MoU Helsinski, 4:9). TNI
menuntut agar tetap harus ada wakil TNI utnuk memastikan proses berjalan sesuai
prosedur. Perbedaan ini deselesaikan di tingkat COSA Meeting di AMM, disepakati
bahwa penyerahan senjata hanya dilakukan secara tertutup antara GAM dan AMM
dengan alasan untuk menghindarkan adanya kesalahpahaman yang memicu
kontroversi. Namun disepaati bahwa sebelum dihancurkan, senjata-senjata tersebut
lebih dahulu harus diverifikasi oleh TNI. Pada tahap ini AMM mendorong dan
memfasilitasi kedua pihak untuk menyelesaikan perbedaan pendapat antara pihak
yang berseteru. Disamping itu, ada suatu pemahaman yang sama diantara kedua pihak
untu mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang tidak diatur dalam Nota
Kesepahaman (Seumike, 2007:14). Penyerahan senjata GAM ditangani empat tim
khusus AMM yang bertugas mengambil senjata di titik tertentu dan
mengumpulkannnya untuk kemudian didokumentasi, diverifikasi oleh wakil
Pemerintah RI dan dimusnahkan.
Tabel IV.A.1 Statistik perlucutan senjata GAM
Tahap Diserahkan
oleh GAM
Dikualifikasi Diterima Dipermasalahakan oleh
Pemerintah Indonesia
Jumlah senjata yang
tidak di permasalahkan
I (Sept, 05) 279 36 243 17 226
II (Okt. 05) 291 58 233 35 198
III (Nov. 05) 286 64 222 15 207
IV ( Des. 05) 162 20 242 4 138
TOTAL 1018 178 840 71 769
Sumber : http//www.aceh-mm.org/indo/headquarter_menu/decom.html
51
Tahap pertama penyerahan senjata dibagi dalam tiga hari yaitu tanggal 15-17
September 2005 di tiga tempat berbeda yaitu Aceh Besar, Bireun, dan Pidie. Tahapan
penatikan senjata dilakuan seiring dengan penarikan pasukan TNI non-organis dari
Aceh. Pada tahap awal, GAM diharapkan menyerahkan 210 pucuk senjata atau
sebesar 25% dari total 840 pucuk senjata yang disepakati dalam MoU. Berdasarkan
laporan AMM, hingga hari ketiga penyerahan senjata tahap pertama, GAM telah
menyerahkan senjata sebanya 279 pucuk senjata. Dari jumlah itu setelah diverifikasi,
yang memenuhi penilaian standar sebanyak 226 pucuk senjata. Jumlah tersebut lebih
banyak 16 pucuk dari jumlah senjata yang ditargetkan semula yaitu 210 (Kompas,
2005).
Senjata-senjata tersebut kemudian diserahkan GAM kepada Misi Pemantau
Aceh (AMM). Sebelum dimusnahkan, seluruh senjata tersebut lebih dahulu diperiksa
ondisinya oleh AMM dan diverifikasi keabsahannya oleh TNI. Berdasarkan penilaian
TNI, beberapa senjata dianggap tidak lolos verifikasi karna dianggap senjata rakitan
atau karena tidak berfungsi. Mengenai senjata rakitan, GAM menolak keberatan TNI
karena tidak ada klausul dalam MoU yang melarang senjata rakitan.
Walau demikian, jumlah senjata yang harus diserahkan GAM ini memiliki
persoalan. Berdasarkan data intelegen dari Badan Intelejen Nasional (BIN),
persenjataan yang dimiliki GAM jauh lebih besar dari yang diisyaratkan MoU,
mencapai dua kali lipat atau sekitar 1600 pucuk senjata. Dalam Rapat dengar
pendapat antara BIN dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beredar informasi bahwa
AMM sendiri menghitung GAM memiliki senajta sekitar 1400 pucuk (Kompas,
52
2005). Polisi juga menduga GAM masih memiliki banyak senjata yang disimpan di
berbagai tempat terutama ditanam di bawah tanah. Dugaan itu muncul berkenaan
dengan ditemukannya 12 pucuk senjata laras panjang dari dalam tanah di Ulee Lheu,
Kecamatan Meuraksa, Banda Aceh yang dibungkus dalam sebuah kantong terpal
kedap air dan disimpan dalam lubang berlapis semen (Kompas, 2005).
Peran AMM dalam mengumpulkan dan memusnahkan senjata di lapangan
Blang Padang relatif berjalan dengan baik. Walaupun sebelumnya terjadi perdebatan
baik dalam tataran penafsiran Nota Kesepahaman mengenai keterlibatan TNI secara
langsung maupun tidak serta perbedaan penilaian mengenai layak dan tidaknya
senjata yang dimusnahkan masuk dalam hitungan, secara keseluruhan prosesnya
berjalan dengan lancar.
Yang paling mungkin menggangu kelancaran proses ini yaitu Menteri
Pertahanan GAM yakni Zakaria Saman yang dikenal juga dengan sebutan Karim
Bangkok, seorang pemimpin yang memiliki pengaruh sangat kuat di kalangan militer
GAM. Ia bersikeras bahwa dalam Nota Kesepahaman menyebutkan GAM hanya
menyerahkan lebih dari 856 pucuk senjata, menurut Zakaria berarti GAM telah
memenuhi janjinya, dengan maupun persetujuan AMM atau TNI, dan tidak perlu
menyerahkan lebih banyak senjata lagi (ICG, 2005:1).
Peran AMM dalam proses ini adalah menjembatani perbedaan penafsiran
antara TNI dan GAM tentang mekanisme dan tempat pengumpulan senjata serta
penilaian kelayakan persenjataan itu sendiri. Ketentuan bahwa senjata yang
53
diserahkan haruslah yang masih layak digunakan dan merupakan buatan pabrik, buan
rakitan sendiri, adalah hasil diskusi dari Komisi Pengaturan Keamanan AMM. Dalam
proses ini, AMM dapat dikatakan berhasil melakukan pendekatan kepada pihak TNI
dan GAM
B. Penarikan TNI dan POLRI dari Aceh
Sejalan dengan penyerahan senjata GAM, Pemerintah RI diharuskan menarik
semua elemen tenrata dan polisi non-organik dari Aceh yang akan dilaksanakan satu
bulan setelah penandatanganan Nota Kesepahaman, yaitu 15 September 2005.
Penarikan pasukan TNI/POLRI non-organik dilakukan dalam emapt tahap sejalan
dengan penyerahan senjata oleh GAM. Dengan penarikan pasukan non-organik itu,
jumlah personel aparat keamanan baik TNI maupun POLRI yang berada di Aceh
adalah sejumlah 14.700 personel TNI dan 9.100 personel POLRI (MoU Helsinski,
4.5-4.7).
Sebagai wujud komitmen, pemerintah menunjukkan keseriusannya dalam
tahap pelaksanaan penarikan pasukan ini. Penarikan dilakukan jauh sebelum jatuhnya
tanggal pelaksanaan
Tabel IV.B.1 Statistik penarikan Pasukan Non-organik TNI/POLRI
Tahapan TNI POLRI TOTAL
I (September ‟05) 6.671 1.300 7.971
II (Oktober ‟05) 6.097 1.050 7.147
III (November ‟05) 5.596 1.350 6.964
IV (Desember ‟05) 7.628 2.150 9.778
TOTAL 25.890 5.791 31.681
Sumber: http://www.aceh-mm.org/indo/headquarter_menu/decon.htm
54
Pada tahap pertama, pada tanggal 15 Agustus 2005, pemerintah memulangkan
703 personel polisi. Menyusul berikutnya 1.300 personel Brigade Mobil pada tanggal
23 dan 25 Agustus 2005 (Kompas, 22 Agustus 2005). Demikian juga TNI
mempercepat proses penarikan pasukan non-organik dari Aceh. Penarikan pasukan
TNI tahap pertama dimulai hari minggu, 18 September 2005 di Pelabuhan Krueng
Geukueh, Lhokseumawe. Sekitar 800 personel TNI dari Komando Daerah Militer
(KODAM) Bukit Barisan dipulangkan (Kompas, 19 September 2005). Kemudian
sekitar 6.000 anggota TNI yang terdiri dari 10 batalyon atau 25% dari kekuatan TNI
di Aceh direncanakan keluar dari Aceh paling lambat tanggal 25 September 2005,
dua minggu lebih cepat dari agenda yang telah dijadwalkan semula yaitu 7 Oktober
2005. Pelepasan tersebut dipimpin oleh Panglima KODAM Iskandar Muda, Mayor
Jendral Supiadin AS, dan dihadiri ketua AMM Pieter Feith serta pelaksana harian
Senior Representative pemerintah RI Mayor Jendral Bambang Dharmono dan Senior
Representative GAM Irwandi Yusuf (Kompas, 26 September 2005). Jumlah
keseluruhan TNI non-organk yang direlokasi dalam empat tahap adalah 25.890
personel dan jumlah polisi non-organik sebanyak 5.791 personel.
C. Amnesti
Paling lambat 15 hari setelah MoU ditandatangani, pemerintah diwajibkan
memberikan amnesti kepada anggota GAM. Berkaitan dengan hal tersebut,
pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 2005 tentang
Amnesti dan Abolisi untuk GAM pada hari Selasa, tanggal 30 Agustus 2005.
55
Menurut Pemerintah, sekitar 1877 GAM yang menjadi tahanan atau
narapidana akan diberikan amnesti. Dari sejumlah orang tersebut, 1.405 terdiri dari
1.219 narapidana dan 186 tahanan yang berada di Aceh. Sisanya adalah narapidana
yang ditahan di sejumlah Lembaga Permasyarakatan (LP) di luar Aceh, seperti di
Bengkulu (3 orang), LP Sukamiskin Jawa Barat (74 orang), Jawa Barat (224 orang)
dan Jawa Timur (171 orang) (Kompas,9 Agustus 2005). Mayoritas diantara mereka
divonis 15 sampai 16 tahun. Pemerintah juga secara otomatis memberikan amnesti
kepada semua anggota GAM lain yang berada di berbagai lokasi di luar tahanan.
Berapa tepatnya jumlah tanahan GAM tidak pasti. Jika memegang klaim TNI,
setahun setelah diberlakukannya darurat militer di Aceh yang telah menahan 2000
anggota GAM (Huber, 2004:2), maka hitungan jumlah tahanan GAM jauh melebihi
1877 orang seperti pernyataan pemerintah melalui Hamid Awaludin. Tidak menutup
kemungkinan apa yang dinyatakan TNI tersebut hanyalah kalim sebagai strategi
untuk melumpuhkan semangat juang GAM. Hal ini diperlihatkan dengan tidak
adanya data yang mendukung di lapangan bahwa para pejuang tersebut semuanya
berada di dalam tahanan.
Sejak penandatanganan Nota Kesepahaman di Helsinski pada tanggal 15
Agustus, 1.789 tahanan telah dibebaskan. Sebagian besar telah dilepaskan pada
tanggal 31 Agustus 2005 sebagai konsekuensi langsung dari pasal Nota Kesepahaman
tentang Amnesti. Pada tanggal 17 Agustus 2005 selang dua hari setelah
penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinski, 298 anggota GAM yang berada
dalam tahanan pemerintah dibebaskan dengan pemberian amnesti tahunan dalam
56
rangka Hari Kemerdekaan Indonesia, ini juga termasuk para anggota GAM yang
ditahan di dalam daerah dan yang telah dipindahkan ke rumah-rumah tahanan di
Pulau Jawa (AMM, 2005). Ada insiden yang cukup menarik pada saat pembebasan
hendak dilakukan. Terjadi keributan di sebuah rumah tahanan Jantho antara aparat
kepolisian dengan anggota GAM. Saat itu aparat kepolisian meminta dengan paksa
anggota GAM untuk menurunkan atribut GAM berupa bendera, namun ditolak oleh
anggota GAM tersebut, aparat pun kemudian mengeluarkan senjata api. Insiden ini
kemudian menimbulkan kekhawatiran diantara anggota GAM mengenai keselamatan
mereka ketika keluar penjara. Lebih menarik lagi, insiden ini justru terjadi ketika
Nota Kesepahaman baru dua hari ditandatangani (Kompas, 18 Agustus 2005).
Tentang status tahananan GAM secara teratur didiskusikan pada pertemuan-
pertemuan antara kedua belah pihak pada COSA Meeting yang didorong dan
difasilitasi oleh AMM. Persoalan kunci pada kasus-kasus tersebut adalah
ketidaktentuan apakah mereka dituduh berhubungan dalam kegiatan GAM atau tidak.
Hal ini terkait dengan laporan GAM yang menerangkan bahwa masih ada 91
anggotanya yang belum dibebaskan dari penjara dan diberi amnesti. Menurut
pemerintah, mereka tidak dilepaskan karena vonis hukuman yang dijatuhkan kepada
mereka adalah vonis pidana.
Menurut pemerintah, amnesti hanya akan diberikan kepada mereka yang
terlibat dalam aktivitas politik saja. Amnesti tidak diberikan kepada anggota GAM
yang terlibat atau dipenjara karena kasus kriminal atau pidana. Pemilahan apakah
seorang anggota GAM itu melakukan tindak pidana atau kriminal atau aktivitas
57
politik sangat kabur, dimana tindakan pidana bisa saja terjadi karena dorongan
politik. Sebagai contoh, seorang anggota GAM melakukan pemerasanl, perampokan
atau penculikan mungkin didasari oleh motif politik agar mereka mendapatkan uang
atau keuntungan politik lain yang akan digunakan untuk berjuang melawan
pemerintah.
Sebagai contoh kasus yang dipermasalahan yaitu kasus Teuku Ismuhadi bin
Jafar, seorang mantan Komandan GAM untuk daerah Jabodetabek, yang saat ini
sedang menjalankan hukuman seumur hidup di Lembaga Permasyarakatan Cipinang,
atas tuduhan mendalangi pengeboman gedung Bursa Efek Jakarta pada tanggal 13
September 2000. Ismuhadi dan seorang pelaku pengeboman yang lain semula tidak
masuk dalam daftar yang menerima amnesti. Pemerintah berargumentasi bahwa
kasus tersebut adalah kasus kriminal ditunjang oleh fakta bahwa selama proses
persidangan, Ismuhadi terus menyangkal bahwa ia adalah anggota GAM. Para
pemimpin GAM juga menyangkal tuduhan bahwa mereka terlibat, dan menyatakan
bahwa mereka tidak pernah memperluas jangkauan perjuangan bersenjata mereka
diluat Aceh. Namun setelah Nota Kesepahaman ditandatangani, mereka
berargumentasi bahwa pengadilan tidak berlaku adil dan informasi telah diambil
paksa lewat penyiksaan (ICG, 2005:4).
Banyak anggota GAM yang dilaporkan kecewa dengan berlanjutnya
penahanan rekan-rekan mereka. Seorang anggota GAM di Bireun mengatakan rasa
kecewa tersebut dapat mendorong mereka melakukan tindakan kriminal. Seperti yang
terjadi di Dumai, Provinsi Riau pada tanggal 22 Oktober 2005, ketika lima orang
58
bersenjata menyerang ke dalam penjara dan membebaskan dua orang anggota GAM,
yaitu Taufik Ismail dan Samiun Fuadi. Dalam aksi pengejaran, Fuadi mencoba
melemparkan granat ke arah polisi, tetapi ia kemudian tertembak dan tewas. Polisi
berhasil menangkap salah seorang dari lima penyerang, tetapi yang lain, termasuk
Taufik berhasil melarikan diri. Kapolresta Dumai mengatakan bahwa para penyerang
bersenjata tersebut berasal dari Aceh, tetapi tidak jelas apakah mereka anggota GAM
atau bukan. Salah seorang dari dua tahanan yang dibebaskan tidak termasuk dalam
anggota GAM yang ditahan, baik yang disiapkan oleh pemerintah maupun yang
disiapkan oleh GAM. Namun juru runding GAM, M Nur Djuli, mengatakan kejadian
tersebut sebagai insiden kriminal murni dan tidak ada hubungannya dengan GAM
karena menurutnya, sudah tidak ada lagi anggota GAM yang bersenjata (ICG,
2005:4).
Untuk menjelasna beberapa kasus, AMM memfasilitasi proses pembahasan
terkait perbedaan persepsi antara Pemerintah RI dan GAM tentang status tahanan
dengan mendatangkan mantan Hakim Swedia yang berpengalaman secara
internasional dalam menangani persoalan-persoalan amnesti (AMM, 2006).
D. Reintegrasi GAM
Setelah mendapatkan amnesti dan bebas dari penjara, para tahanan GAM
emudian diberi dana jatah hidup dan dipulangkan kembali ke Aceh bagi sebagian
mantan tahanan yang ditahan di luar Aceh. Tidak semua mantan tahanan atau
narapidana GAM yang mendapat amnesti kembali ke Aceh. Sebagian ada juga yang
59
ingin menetap di daerah lain, seperti di kota-kota Pulau Jawa (Kompas,18 Agustus
2005).
Setelah pulang ke Aceh, mereka diharapkan dapat membaur dan berintegrasi
serta menjalani hidup layaknya warga masyarakat biasa. Untuk memperlancar proses
tersebut, pemerintah diwajibkan memberikan bantuan berupa jatah hidup, lahan
pertanian dan dana rehabilitasi bagi para mantan anggota GAM, serta memberikan
kemudahan dalam pencarian pencarian seperti yang tertulis dalam Nota Kesepahaman
pad artikel 3.2.3 – 3.2.5. Pemerintah kemudian menetapkan dana integrasi untuk jatah
hidup setiap mantan anggota GAM sejumlah Rp.5000,- perhari selama tiga samapai
enam bulan. Dana itu diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
tahun 2005 serta bantuan dari donatur. Dana sejumlah itu sama besarnya dengan dana
jatah hidup yang diberikan kepada masyarakat korban gempa dan gelombang
tsunami. Untk bantuan lahan pertanian, pemerintah merencanakan akan memberikan
bantuan lahan kepada setiap mantan anggota GAM masing-masing seluas 2 hektar.
Untuk keseluruhan, setidaknya dibutuhkan lahan seluas 40.000 hektar.
Menurut Jusuf Kalla (2005), pemberian kompensasi lahan seluas 40.000
hektar utnuk GAM masih dalam batas kewajaran karena mereka adalah orang yang
baru turun gunung, tidak mempunyai lahan dan pekerjaan, sementara untuk warga,
pemerintah sendiri pernah memberikan bantuan melalui program transmigrasi yang
jumlahnya mencapai puluhan ribu hektar dan biaya trilyunan rupiah (Kompas, 18
Agustus 2005).
60
Fasilitas ekonomi dalam Nota Kesepahaman diperuntukkan bagi mantan
prajurit, tahanan yang mendapat pengampunan dan masyarakat sipil yang terkena
dampak dari konflik. Dana reintegrasi akan diatur dalam kewenangan administrasi
Aceh. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk memberikan fasilitas ekonomi
untuk mantan anggota GAM, sementara GAM akan menghentikan pergerakan 3000
anggotanya. Pendistribusian dana jatah hidup tahap pertama sebesar Rp.1,000,000 per
orang untuk 3000 mantan anggota GAM telah selesai pada tanggal 12 Oktober 2005,
sedangkan tahap kedua selesai pada tanggal 18 November 2005, bantuan tahap ketiga
dalam jumlah dan sasaran yang sama juga berhasil dituntaskan pendistribusiannya
pada tahun 2005. Lembaga International Organization for Migration (IOM) telah
memberikan dan mendistribusikan paket awal reintegrasi untuk mantan tahanan,
terdiri dari uang Rp. 2,000,000 dan sejumlah paket barang pribadi. Bantuan ini
diberikan kepada tahanan GAM pada saat keluar dari penjara. Dalam ketentuan
reintegrasi, paket tambahan senilai Rp. 1,500,000 akan diberikan setelah 90 hari dan
135 hari setelah keluar dari penjara (AMM, 2005). Kesemua tahapan bantuan
tersebut, berhasil dituntaskan pada tahun 2006.
Selain itu, kompensasi yang diberikan pemerintah kepada GAM dinilai tidak
adil. Ada tuntutan agar kompensasi tidak hanya diberikan kepada GAM, tetapi juga
pada warga lain yang justru kerap menjadi korban konflik. Riswanda Imawan (2005),
Guru Besar Ilmu Politik dari UGM menilai kompensasi untuk GAM terlalu besar,
sementara untuk TNI/POLRI sangat minim.
61
Proses reintegrasi ini bukan perkara mudah bagi anggota GAM ataupun bagi
warga yang menerimanya, terutama pada tahun pertama proses damai berlangsung.
Beberapa mantan anggota GAM memang mudah berbaur dengan masyarakat. Tetapi
itu lebih dikarenakan mereka bukan anggota penuh GAM, melainkan anggota GAM
“part time” saja. Banyak pertanyaan tentang jaminan keamanan dan keselamatan bagi
anggota GAM yang turun gunung dan masyarakat yang menerimanya. Proses
reintegrasi GAM dalam masyarakat majemuk sperti di Aceh memang rumit. Tidak
semua warga dan daerah di Aceh dengan begitu mudah mau menerima dan
berintegrasi kembali dengan para mantan GAM, terutama di beberapa daerah yang
memiliki sejarah atau basis perlawanan yang kuat terhadap GAM seperti di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah yaitu Front Pembela Merah Putih
(FPMP), yang dipimpin oleh Misriadi, seorang petani kopi. Diperkirakan anggota
GAM yang memiliki sejarah konfrontasi dengan masyarakat dan aparat pemerintah
akan sulit kembali bergabung dengan masyarakat yang sering menjadi korban
konflik. Salah seorang tokoh FPMP, Safrisyah alias Buyung (2005), mengatakan
bahwa FPMP memiliki sekitar enam anggota di setiap desa dan mereka dalam
keadaan siaga apabila proses perdamaian gagal. Tetapi, ia mengatakan, FPMP juga
telah melakukan langkah perdamaian dengan para anggota GAM setempat ke tengah
masyarakat mereka, pada waktu Nota Kesepahaman ditandatangani (ICG, 2005:7).
Berbeda dengan yang disampaikan Buyung, para anggota FPMP justru
mengaku sulit untuk berdamai dengan GAM. Mereka akan cepat berbalik jika
berpapasan dengan mantan anggota GAM. Bahkan Sofyan Ali (2005), pemimpin
62
kelompok ini mengatakan setelah empat bulan Nota Kesepahaman ditandatangani, ia
menolak undangan untuk berbuka puasa di markas Polri bersama dengan Darwis
Jeunieb, Komandan GAM wilayah Batee Iliek (ICG, 2005:7).
Di Aceh Utara, Satria Insan Kamil pemimpin Benteng Rakyat Anti Deparatis
(Berantas) telah maporkan beberapa tindak penyerangan terhadap anggotanya kepada
kantor AMM setempat (ICG, 2005:7). Saat itu, anggotanya Herman Sulaiman telah
diculik oleh para mantan anggota GAM dikecamatan Nisam, tetapi berhasil
melolosan ditri. Perwakilan GAM kepada AMM menyebut kasus Sulaiman sebagai
“masalah pribadi” antara anggota GAM dan Berantas di wilayah dimana Berantas
pernah membakar rumah-rumah setempat pada masa darurat militer. Beberapa
anggota Berantas merasa takut untuk embali ke daerah itu sekarang karena khawatir
akan tindakan balas dendam dari mantan anggota GAM yang telah kembali. Para
penduduk di Kecamatan Nisam mengatakan mereka belum pernah melihat anggota
Berantas setempat sejak Nota Kesepahaman ditandatangani (ICG, 2005:8).
Gangguan langsung dalam proses reintegrasi memang tidak terjadi, baik oleh
TNI maupun milisi. Tetapi mantan anggota GAM ini merasakan adanya intimidasi
dari pihak TNI dan milisi yang mengunjungi rumah mereka untuk memperkenalkan
diri dan menunjukan rasa persahabtan. Namun para mantan anggota GAM merasa
tidak nyaman dengan kunjungan tersebut. Hal ini disebabkan oleh anggota TNI yang
masih membawa persenjataan sedangkan mereka tidak ada lagi senjata (ICG,
2005:8).
63
Di kasus yang lain, GAM telah mencoba untuk memperbaiki reputasinya
dengan cara memberantas praktek kemungkinan pajak perang. GAM menangkap
Muammar Khadafi yang mengaku anggota GAM yang tengah menarik pajak dan
kemudian menyerahkan Khadafi kepada pihak kepolisian untuk di proses. Menurut
Irwandi Yusuf (2005) perwakilan senior GAM di AMM, sejak penandatanganan Nota
Kesepahaman pajak naggroe telah dihapuskan dan siapapun yang masih memungut
pajak tak resmi berarti ia telah melakukan tindakan kriminal dan harus dilaporkan
kepada AMM (ICG, 2005:8).
E. Undang-undang Pemerintahan Aceh
Diantara sekian banyak tugas dan peran AMM, perumusan Rancangan
Undang-undang Pemerintahan Aceh mungkin tugas yang paling pelik dan
problematik karena banyaknya kepentingan yang bermain di dalamnya, terutama
berkaitan dengan peraturan atau undang-undang nasional. Wewenang yang diberikan
kepada AMM dalam hal ini adalah memantau proses perubahan perundang-undangan
(MoU Helsinski, artikel 5.2), yaitu perubahan perundang-undangan yang
memungkinkan kedua belah pihak untuk mengimplementasikan hasil kesepakatan
damai yang telah ditandatangani. Pemerintah Indonesia menyiapkan suatu Undang-
undang sebagai landasan pelaksanaan pemerintahan di Aceh pasca penandatanganan
Nota Kesepahaman. Banyak aktivis Aceh serta pihak lain yang terlibat dalam proses
perancangan undang-undang baru telah beberapa kali berkunjung ke Jakarta dalam
rangka meminta dukungan dari pemerintah dan masyarakat sipil serta melobi para
64
pembuat untang-undang di DPR agar sesuai dengan harapan rakyat Aceh dan tetap
mengacu pada Nota Kesepahaman.
UUPA ini dimaksudkan untuk menggantikan UU Otonomi Khusus 2001,
yang mewakili posisi konsensus masyarakat Aceh. Pada tanggal 5 Desember 2005,
sebuah delegasi dari DPRD Aceh menyerahkan salinan draf yang dihasilkan dari
konsultasi yang luas dengan masyarakat Aceh yang berada di Aceh maupun yang
berada di daerah lain di Indonesia, kepada Ketua DPR dan DPD. Proses konsultasi
atas draf ini bermula pada pertengahan bulan September, ketika pejabat sementara
(Pjs) Gubernur Azwar Abubakar mengundang tiga Universitas di Aceh yakni
Universitas Syiah Kuala, Universitas Malikussaleh dan IAIN Ar Raniry, untuk
menyusun UU Otonomi versi mereka dengan mempertimbangkan ketentuan-
ketentuan dalam Nota Kesepahaman Helsinski. Setelah draf-draf ini digabungkan dan
diolah menjadi sebuah dokumen, Pjs Gubernur kemudian menyerahkan proses
selanjutnya kepada DPRD, yang dibulan Oktober membentuk sebuah Panitia Khusu
(Pansus) yang beranggotakan 18 orang untuk menyatukan dan memperbaiki isi
dokumen tersebut. Dibantu oleh beberapa ahli teknis dan dengan bantuan dana dari
program Partnership for Governance Reform dari UNDP (United Nation
Development Program), panitia khusus tersebut terlibat dalam proses konsultasi
hingga selama satu bulan bersama dengan GAM, para tokoh agama, LSM para dosen
dan para anggota Pemerintahan Daerah. Draf akhir yang berisi hingga 209 pasal
merupakan gabungan dari banyak dokumen yang disusun oleh GAM, masyakat
madani, dan kantor gubernur. Teuku Kamaruzzaman (2005), ketua tim draf dari
65
GAM mengatakan GAM tidak mendukung ataupun menolak hasil terakhir draf, tetapi
ini sudah sangat menampung aspirasi rakyat (ICG, 2005:10-11).
Setelah melalui proses pembahasan dengan pengawalan yang cuup ketat dari
wakil masyarakat Aceh dari berbagai pihak (GAM, DPRD, dan LSM). UUPA
akhirnya dapat diselesaikan. Presiden kemudian mensahkan Undang Undang
Pemerintahan Aceh (UUPA) dengan nomor 11 tahun 2006. Undang-undang tersebut
adalah revisi baru yang diajukan pemerintah dan mendapat beberapa revisi dari
Dewan.
Menanggapi UUPA tersebut, ratusan mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa
menolak revisi yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan menuntut agar Undang-
undang yang disahkan harus mengacu pada Nota Kesepahaman dan draf Undang-
undang versi masyarakat Aceh. Para demonstran mengusung spanduk yang antara
lain tertulis „Pemerintah Pusat jangan Mengkhianati Aspirasi Rakyat Aceh‟ (Burdock,
2006:1). Sementara itu pihak GAM meminta pemerintah merevisi sejumlah pasal
dalam UUPA karena dinilai tidak sesuai dengan Nota Kesepahaman. (lihat tabel
IV.E.1)
Tabel IV.E.1 Perbandingan UUPA dan Nota Kesepahaman
Nota Kesepahaman UUPA
Artikel 1.2.3 butir b, c, d
Pemerintah dan Legislatif Indonesia
dituntut untuk mendapat “persetujuan”
dari Legislatif dan Pemerintah Aceh
dalam beberapa perkara.
Pasal 8
Pemerintah dan Legislatif Indonesia
harus melakukan “konsultasi‟ dari
Legislatif dan Pemerintah Aceh dalam
beberapa perkara.
66
Artikel 1.1.2 butir a
Disebutkan dengan jelas tentang
pemisahan wewenang antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Aceh.
Pasal 11
Menunjukkan masih ada intervensi
langsung dari Pemerintah Pusat
terhadap kewenangan Pemerintah
Aceh. Bahkan, GAM menganggap
pasal 11 ini menginfiltrasi pasal-pasal
124.3, 142.1, 147, 154.6, 165.8,
213.2-5, 214.1, 235 dan pasal 249.
Artikel 1.3.8
Disebutkan bahwa auditor yang
digunakan adalah auditor luar dan tidak
mengharuskan melalui BPK.
Pasal 194 ayat 2
Dalam melaksanakan prinsip
transparansi, Pemerintah Aceh dalam
menggunakan auditor independen
diharuskan menggunakan auditor
yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK).
Artikel 1.4.5
Tidak disebutkan adanya pembatasan
waktu dalam UUPA
Pasal 228 ayat 1
Pengadilan Hak Azasi Manusia
(HAM) di Aceh hanya untuk
mengadili pelanggaran HAM yang
dilakukan setelah UUPA disahkan.
Artikel 1.3.7
Aceh akan menikmati akses langsung
dan tanpa hambatan ke negara-negara
lain melalui laut dan udara.
Tidak disebutkan
Artikel 4.7
Batas maksimum TNI organik di Aceh
adalah 14.700 personil dengan
fungsinya di bidang pertahanan luar
Tidak disebutkan
Diolah dari berbagai sumber
67
Dari beberapa pasal yang dipermasalahkan, yang paling krusial adalah adanya
perbedaan antara Nota Kesepahaman poin 1.1.2 butir b.c. dan d dengan UUPA pasal
8. Dalam Nota Kesepahaman disebut bahwa Pemerintah dan Legislatif Indonesia
dituntut untuk mendapat “persetujuan” dari legislatif dan Pemerintah Aceh dalam
beberapa perkara. Sementara dalam UUPA pasal 8, berubah menjadi “konsultasi”.
Pasal 194 ayat 2 dalam UUPA, dijelaskan bahwa dalam melaksanakan prinsip
transparansi, Pemerintah Aceh dalam menggunakan auditor independen, diharuskan
menggunakan auditor yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sedangkan dalam Nota Kesepahaman poin 1.3.8 disebutkan bahwa auditor yang
digunakan adalah auditor luar dan tidak mengharuskan melalui BPK.
Kemudian, dalam UUPA pasal 228 ayat 1 disebutkan, pengadilah Hak Azasi
Manusia (HAM) di Aceh hanya untuk mengadili pelanggaran HAM yang dilakukan
setelah UUPA disahkan. Sedangkan di dalam Nota Kesepahaman pasal 1.2.5 tidak
disebutkan adanya pembatasan waktu seperti tersebut dalam UUPA.
Pasal 11 UUPA adalah yang menunjukkan masih adanya intevensi langsung
dari Pemerintah Pusat terhadap kewenangan Pemerintah Aceh. Bahkan, GAM
menganggap Pasal 11 ini menginfiltrasi pasal-pasal 124.3, 142.1, 147, 154.6, 165.8,
213.2-5, 214.1, 235, dan pasal 249. Sedangkan dalam Nota Kesepahaman poin 1.1.2
butir a telah jelas menyebutkan pemisahan wewenang antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Aceh.
68
Selain itu, pihak GAM juga mempertanyaan sejumlah isi Nota Kesepahaman
yang tidak ditemukan lagi dalam UUPA. Seperti, pion 1.3.7 yang menyatakan bahwa
Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara lain
melalui laut dan udara. Emudian juga poin Nota Kesepahaman yang menyatakan
bahwa batas maksimum TNI organik di Aceh adalah 14.700 personil dengan
fungsinya di bidang pertahanan luar. Namun, di dalam UUPA ini tidak disebutkan
lagi jumlah dari batas maksimum dan fungsi dari TNI organik di Aceh (Kompas, 2
Agustus 2006).
Atas dasar penolakan tersebut, pemerintah bersikeras menyatakan bahwa
UUPA sama sekali tidak bertentangan dengan Nota Kesepahaman. Penambahan atau
penyebutan sesuatu serta tidak disebutkannya beberapa ketentuan dalam Nota
Kesepahaman bukan berarti pelanggaran karena UUPA dan Nota Kesepahaman
bukan dua hal yang saling menegasikan. GAM sendiri mengakui UUPA secara umum
sudah memuaskan (Abdurrahman, 2006). Menanggapi beberapa pasal yang
dipermasalahkan GAM, Ketua AMM Pieter Fieth (2006) menyampaikan kepada
GAM : “jika anda tidak puas, jalannya adalah Mahkamah Konstitusi. Jika anda
melakukan upaya lain itu tidak on the right track”.
Menurut Sidney Jones (2006), UUPA memang tidak dapat memuaskan semua
pihak. Tetapi itu tidak cukup uat untuk menggagalkan proses damai. “UUPA, meski
dianggap oleh sebagian kalangan belum menampung seluruh aspirasi masyarakat
Aceh, tetapi UU ini jauh lebih baik dibandingkan berbagai produk UU sebelumnya
69
serta telah memberikan peluang pembentukan partai politik lokal dan penguatan
Pemerintah Daerah yang lebih demokratis.
F. Pengaturan keamanan dan hak asasi manusia
Hadirnya AMM sebagai lembaga yang memonitor perdamaian di Aceh sangat
berpengaruh terhadap peningkatan penghargaan terhadap Hak Azasi Manusia (HAM)
yang semakin menunjukkan pergerakan ke arah yang lebih baik atau positif, simana
kekerasan jarang terjadi lagi. Dalam laporannya, Crisis Group menemukan bahwa
tanggapan masyarakat terhadap proses perdamaian cukup positif, bahkan di wilayah-
wilayah yang GAM memiliki banyak pendukung dimana konflik paling parah terjadi,
seperti di Bireun, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tengah. Ada upaya keras dari
pimpinan GAM dan TNI untuk mengendalikan pasukannya agar tidak terlibat konflik
(ICG, 2005:8).
Kendati demikian, bukan berarti pelanggaran HAM sama seali tidak terjadi,
hanya saja relatif berkurang sangat jauh.sejak ditandatanganinya Nota Kesepahaman,
koalisi NGO HAM di Aceh mencatat 75 kasus kekerasan berupa penganiayaan,
kontak senjata, pembunuhan dan perkosaan (Kontras, 2007:20). Kontras banyak
mencatat berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh dalam kurun waktu
satu tahun setelah penandatanganan Nota Kesepahaman (lihat tabel IV.F.1).
70
Tabel IV.F.1 Rekapitulasi tabel kekerasan satu tahun perjanjian damai RI dan
GAM 15 Agustus 2005 – 15 Agustus 2006
No Kasus Event TNI POLRI OTK MILISI MANTAN
GAM
LK PR AA Mantan
GAM
Jumlah
1 Pembunuhan 8 2 2 4 0 0 9 1 1 3 14
2 Penghilangan
orang
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 Penyiksaan 26 13 6 4 1 2 54 0 5 1 60
4 Penangkapan 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1
5 Pembakaran
Rumah
0 00 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 Pengrebekan 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1
7 Pengrusakan 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1
8 Pemerasan 9 1 4 1 0 3 10 1 0 0 11
9 Intimidasi/teror 2 1 0 1 0 0 2 0 0 0 2
Jumlah 48 18 13 10 1 6 76 3 7 4 90
Sumber : Kontras 2008
Bandingkan misalnya dengan data kekerasan Huber (2004) dan The Jakarta
Post (2004) setahun pasca pelaksanaan darurat militer di Aceh dimana TNI
mengklaim telah membunuh 2.000 anggota GAM, menahan 2.100 orang dan sekitar
1.300 orang menyerahkan diri dan ratusan warga sipil tewas, 100.000 mengungsi
(Huber, 2004:2). Dibandingkan dengan suasana yang keruh dan paranoid setelah
Perjanjian Penghentian Permusuhan (CoHA) tahun 2003, dengan masa pasca
penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinski tumbuh rasa keyakinan dan harapan
di Aceh. Tanda kepercayaan dan komitmen terhadap proses perdamaian terlihat
dimana-mana. Warga Aceh yang melarikan diri akibat pertempuran sekarang merasa
71
aman untuk kembali ke daerah lain di Indonesia, Malaysia, Eropa dan Amerika
Serikat. Masyarakat berani melakukan hal-hal yang sebelumnya dianggap berbahaya,
seperti membuat api di pantai dampai larut malam dan mendaki bukit di daerah
pegunungan (Burdock, 2006:4).
Dalam Nota Kesepahaman, AMM diberikan mandat untuk memonitor situasi
Hak Azasi Manusia dan memberikan bantuan dalam bidang ini, termasuk kepada para
mantan anggota GAM yang berintegrasi ke dalam masyarakat. AMM menangani
persoalan-persoalan melalui kasus-kasus individu maupun dalam bentuk investigasi
dan diskusi dengan pihak-pihak terkait. Ini juga bertujuan untuk menguatkan
masyarakat sipil dan lembaga-lembaga nasional dalam bidang Hak Azasi manusia.
Beberapa kasus insiden yang terjadi pasca penandatanganan Nota
Kesepahaman dikaji oleh AMM dengan mempertimbangkan alasan kedua belah
pihak dan hasil investigasi di lapangan. Kasus tersebut kemudian dibawa dalam
pertemuan Komisi Pengaturan Keamanan (COSA), baik pada level pusat maupun di
level distrik. Cosa cukup efektif sebagai forum yang mengangkat persoalan bersama
untuk diselesaikan secara bersama oleh pimpinan kedua belah pihak. Kantor-kantor
distrik secara rutin melaukan investigasi terhadap insiden-insiden seperti penggunaan
kekuasaan yang berlebihan, pemerasan dan intimidasi.
Bentrokan antara GAM dan TNI setelah Nota Kesepahaman ditandatangani
tanggal 15 Agustus memang tidak dapat dihindari seratus persen. Selalu terjadi
kesalapahaman diantara kedua belah pihak. Apabila terjadi insiden, sesuai dengan
72
Nota Kesepahaman kewajiban AMM adalah mengusut setiap insiden dan
memutuskan siapa yang bersalah. Walaupun sejauh ini kedua belah pihak belum ada
yang merasa puas dengan keputusan tersebut.
Crisis group mencatat setidaknya terjadi sembilan kali insiden tembak
menembak antara TNI dan GAM yang mengakibatkan dua orang tewas. Tetapi, tak
satupun dari insiden tersebut begitu serius sehingga dapat mengancam perdamaian.
Salah satu peristiwa yang cukup menonjol adalah insiden Jeuram. Insiden ini terjadi
pada tanggal 12 Oktober 2006, di kabupaten Nagan Raya. Seorang anggota GAM
tewas tertembak ketika polisi mengambil tindakan atas sebuah laporan bahwa sebuah
kendaraan milik seorang karyawan PT Sucofindo, yaitu sebuah perusahaan Indonesia
yang cukup besar, dicuri. Polisi berusaha untuk menghentikan sebuah mobil yang
berisi empat orang penumpang, tetapi mereka menolak untuk memperlambat laju
kendaraan dan baru berhenti ketika polisi melepaskan tembakan ke arah mobil
tersebut dan menewaskan Syafruddin yang mana merupakan anggota GAM. Dalam
kasus ini, meskipun sangat disesalkan tindakan aparat yang dianggap tidak
proporsional, AMM menilainya sebagai peristiwa kriminal murni (ICG 2005:7).
Dalam merespon keputusan AMM, GAM pun tidak mempermasalahkan kejadian ini.
Representatif GAM di AMM, Irwandi Yusuf hanya mengkritik polisi yang langsung
menembak pengemudi, bukan rodanya. Padahal menurutnya kendaraan itu tidak
dicuri melainkan dipinjam saja (ICG, 2005:8).
73
Namun tindakan kekerasan tidak hanya dilakukan oleh Polri/TNI saja. Para
mantan GAM, yang terwadahi dalam KPA, juga pernah melakukan tindak kekerasan.
Hanya saja, jumlah kekerasan yang mereka lakukan sangat jauh lebih rendah dari apa
yang telah aparat keamanan atau TNI lakukan dan merupakan tindakan reaktif atau
balas dendam atas apa yang telah mereka alami sebelumnya, yaitu dianiaya polisi
atau TNI. Sebagai contoh, di wilayah Aceh Barat Daya, pada 13 Oktober 2006,
puluhan anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) mengeroyok dua polisi sebagai aksi
balas dendam terhadap tindakan lima polisi yang memukuli dua anggota KPA dan
dua warga menjelang buka puasa (Kontras, 2006:4).
Untuk semakin mengeliminasi berbagai pelanggaran tersebut, pihak AMM
melakukan dialog dan berkomusikasi secara insentif dengan berbagai pihak atau
aparat yang berwenang, baik sipil maupun militer, untuk meningkatkan kesadaran
atau pemahaman mengenai standar penghormatan internasional terhadap hak asasi
manusia. Disamping itu, kehadiran AMM sebagai tim monitoring internasional,
sedikit banyak mendorong kedua belah pihak untuk saling menahan diri dari kegiatan
yang bisa dianggap melanggar kaidah HAM, yang selama masa konflik kerap mereka
lakukan.
G. Tantangan dan Hambatan AMM
Hasil kerja AMM yang pada umumnya cukup baik, telah membuat banyak
warga Aceh menginginkan agas masa tugas AMM di perpanjang dari masa tugas
enam bulan yang sebelumnya sampai selesai masa pilkada yaitu Desember 2006.
74
Diantara beberapa keberhasilan peran dan tugas AMM yang telah dijabarkan diatas,
juga terdapat berbagai kelemahan atau kegagalan. Kedati skalanya lebih kecil
daripada keberhasilannya, jika diabaikan dan tidak diantisipasi, kendala tersebut
bukan tidak mustahil akan semakin membesar dan mengancam proses perdamaian.
Dalam kasus demobilisasi dan Decommissioning GAM, peran AMM dapat
berjalan mulus. Mudahnya proses tersebut sebenarnya bukan mutlak karena upaya
AMM, melainkan karena faktor GAM itu sendiri yang terlihat sudah merasa lelah dan
jenuh terlibat konflik terus menerus atau menemui jalan buntu dalam prospek
mencapai tujuannya, Aceh merdeka (Aspinal, 2007:7). Demikian juga dalam
tugasnya memonitor redeployemnt aparat TNI dan Polri. Keberhasilan AMM karena
TNI sendiri melalui Panglima TNI Endriartono (2005) secara tegas mendukung
perdamaian tersebut setelah sekian lama ternyata tidak mampu menumpas
pemberontakan dan perlawanan yang terjadi kendati mampu mengalahkan GAM.
Ketidakmampuan TNI tersebut menyiratkan perlunya comprehensive measures,
termasuk dilakukannya kembali perundingan (Aspinal, 2007:12).
Dalam kasus perlucutan senjata GAM, keberhasilan AMM patut
dipertanyakan mengingat pernyataan Zakaria Saman (2005) mengindikasikan bahwa
GAM masih memiliki senjata yang belum diserahkan pada AMM untuk
dimusnahkan. Ia bersikeras GAM hanya akan menyerahkan 840 senjata seperti
kesepakatan dalam MoU dan tidak perlu menyerahkan senjata lebih banyak lagi dari
apa yang telah dilakukan GAM (ICG, 2005:1). Dugaan ini bukan tanpa alasan.
75
Terkait dengan kekecewaan beberapa mantan anggota GAM terhadap ketidakadilan
dalam penyaluran dana integrasi, salah seorang mantan anggota GAM membenarkan
apa yang dikatakan oleh Zakaria Saman tersebut (ICG, 2005:7).
Menurut data Kepolisian Daerah (Polda) Aceh, pasca MoU hingga April
2007, telah disita 46 senjata api ilegal dari orang yang tidak berhak menggunakannya.
Tuduhan itu sepertinya lebih banyak diarahkan kepada GAM. Dari senjata api itu, 18
pucuk diantaranya adalah laras panjang dan selebihnya laras pendek (pistol). Selain
itu, polisi juga mengamankan 1.134 butir peluru, lima magazen AK-56 dan tujuh
magazen M-16, 11 butir granat, 7 butir GLM dan 38 bom rakitan (Seumike, 2007).
Untuk amnesti, besarnya peran AMM terlihat menyelesaikan perdebatan-
perdebatan mengenai status tahanan GAM yang ditahan atas tuduhan tindak pidana
dengan mendatangkan seorang mantan hakim dari Swedia yang memiliki pengalaman
internasional. Tetapi pelaksanaan amnesti ini sangat terlambat. Dalam MoU butir
3.1.1. disebutkan bahwa Pemerintah RI harus sesegera mugnkin memberikan amnesti
kepada semua tahanan GAM tidak lewat dari 15 hari seja penandatanganan MoU.
Dalam kenyataannya hampir satu tahun MoU, sekitar 43 tahanan GAM di Sumatera
Utara baru dibebaskan, sementara 14 orang lainnya masih tertahan (Kompas, 2006).
Tantangan terbesar pasca kepergian AMM adalah reintegrasi GAM. Masih
ada banyak anggota GAM yang tersebar di luar negeri, seperti Malaysia, Swedia atau
Thailand. Menurut Norwegian Refugee Council, sampai tahun 2004, jumlah
pengungsi anggota GAM yang tersebar di luar negeri mencapai 125.000 orang yang
76
sebagian besar berada di Malaysia dan Thailand (CSIS, 2006:128). Tidak ada jaminan
bahwa semua anggota GAM tersebut akan patuh kepada pimpinan GAM yang berada
di tanah air.
Bagi sebagian anggota GAM garis keras yang menamakan dirinya The
Preparatory Committee of the Free Acheh Democratic Movement atau Komite
Persiapan Aceh Merdeka Demokratik , apa yang telah terjadi mulai dari MoU sampai
dengan pilkada pertama yang dimenangkan oleh pasangan Irwandi Yusuf dan
M.Nazar, merupakan jebakan bagi GAM dan siapapun yang terlibat di dalamnya,
terutama mereka yang terlibat dalam proses pilkada adalah pengkhianat yang mudah
ditiou negara kolonialis jawa ( The Aceh Institute, 2007). komite ini juga berupaya
memboikot pilkada dan mnganjurkan agar para pengikutnya merusak surat suara
dengan cara memilih calon lebih dari satu sehingga surat suara tidak sah. Dengan
banyaknya surat suara yang tidak sah, komite ini ingin menunjukkan pada dunia
internasional bahwa MoU Helsinski dan juga pilkada bukanlah aspirasi mayoritas
rakyat Aceh. Kendati demikian upaya mereka untuk memboikot pilkada tidak
berhasil, ini merupakan indikasi bahwa tidak semua GAM tunduk dan patuh pada
MoU Helsinski (Tempo, 24 juli 2005). Walau Hasan Tiro sang proklamator Aceh
Merdeka pada tahun 1976 telah menyatakan diri bersedia berdamai dengan Indonesia
melalui penandatanganan MoU Helsinski, sebagian dari para pengikutnya justru
menentang perdamaian tersebut yang dinilai menciderai tujuan perjuangan Aceh
Merdeka 1976 (Mukadimah GAM).
77
Dari beberapa kasus yang dijelaskan diatas, terlihat bahwa peran AMM tidak
mampu seratus persen bertindak secara adil dan mampu memutuskan persoalan
dengan cepat, baik dan memuaskan. Tetapi sangat tidak bijak jika menjadikan
sebagian kecil kegagalan itu untuk menilai AMM telah gagal dalam menjalankan
tugasnya.
78
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan
AMM memainkan peranan yang sangat penting bagi proses implementasi
damai di Aceh. Keberhasilan AMM ditunjang oleh kuatnya dorongan dari negara dan
organisasi regional, dalam hal ini Uni Eropa dan ASEAN. Tanpa Uni Eropa di
belakangnya, sangat suka bagi AMM untuk dapat secara maksimal memainkan
perannya tersebut. Ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh HDC yang hanya
melibatkna pihak-pihak yang berkonflik sebagai lembaga monitor dalam Joint
Security Committee (JSC). Faktor ASEAN dan Uni Eropa merupakan kunci utama
dibalik keberhasilan peran AMM, karena dari negara-negara Eropa (baik secara
individu maupun organisasi) dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana
dan konflik mengalir.
Harus diakui bahwa peran AMM dalam memonitor jalannya kesepakatan
damai sangat besar. Atas keberhasilan itu, Pemerintah Indonesia memberikan
penghargaan kepada Ketua dan beberapa anggota AMM yang dinilai berjasa besar,
yaitu Ketua AMM Pieter Fieth yang dianugrahi Medali Bintang Jasa Utama, Wakil
Ketua (ex) Letjen Nipat Thongklek dari Thailand dan Penasehat AMM Juha
Christensen dari Finlandia yang mendapat penghargaan Bintang Jasa Pratama.
Penghargaan ini diberikan sebagai ucapan terima kasih atas upaya mereka yang telah
79
mendukung terciptanya perdamaian di Aceh. Penghargaan ini diberikan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada hari Jumat tanggal 18 Agustus 2006 di Istana
Merdeka (Serambi Indonesia, 2006).
B. Saran
Bagi wilayah atau daerah yang tengah mengalami proses damai, keberadaan
pihak ketiga yang bertugas memonitor proses perdamaian sangatlah penting
keberadaannya banyak proses damai yang gagal akibat ketiadaan lembaga yang
mengontrol. Berbagai insiden di Aceh walaupun kecil bisa saja menjadi ancaman
yang serius jika tidak ada lembaga yang serius dalam menangani kasus yang ada.
Karena itulah sikap optimis terhadap keberlangsungan perdamaian di Aceh harus
tetap ditunjukkan.
x
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Adli. 2011. Membedah Sejarah Aceh. Aceh: Bandar Publishing.
Aspinall, Edward. 2005. The Helsinski Agreement : A More Promising Basis for Aceh
Peace ? Policy Studies 20. Washington: East West Centre.
Awaludin, Hamid. 2008, Damai di Aceh, Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki,
CSIS.
Bennet, Le Roy A. 1997. International Organizations : Principles and Issues. New
Jersey: Prentice Hall Inc.
Charles W . Kegley dan Eugene Wittkopf. 2004. World Politics: Trend and
Transformation. California: Wadsworth.
Fahri Ali, Suharso Monoarfa, & Bahtiar Effendi.2008.Kalla dan Perdamaian
Aceh.Jakarta: Lspeu.
Hadi, Syamsul dkk,. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru. CIRes, FISIP UI: Yayasan
Obor. Jakarta.
Hass, Michael.1969. International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research
and Theory.dalam James N Rosenau. Newyork: The Free Pers.
Hauss, Charles. 2001. International Conflict Resolution: International Relations for
the 21st Century. London & New York: Continum.
Hoffman, Stanley. 1998, “A World of Complexity” dalam Douglas J.Murray dan
Paul Viotti, The Defense Policies of Nations: A Comparative Study,
Lexington: Lexington Books.
Hugh Miall, Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse, 1999. Contemporary
Conflict Resolution Cambridge: Polity Press.
Husain, Farid. 2011. Keeping Trust for Peace: Kisah dan Kiat
Menumbuhkembangkan Damai di Aceh. Jakarta: Rajut Publishing.
Ibrahimy, M. Nur El. 2001. Peranan Teungku M. Daud Beureureh dalam Pergolakan
Aceh. Aceh : Media Dakwah.
xi
James A. Wall, Jr, Mediation, a Current Review and Theory Development
Columbia: University of Missouri.
Jill Steans & Lloyd Pettiford. 2009. International Relations: Perspective and Themes,
England: Pearson Education Limited.
John J.Marsheimer, 1995. The Promise of Liberalism, A Comparative Analysis of
Consensus Politics, London: Darmouth Publishing.
John W Creswell, 1994, Research Design Qualitative and Quantitative
Approaches. United Kingdom: Sage Publications.
J. Lewis Rasmussen, 1997. Peacemaking in the Twenty-First Century: New Rules,
New Roles, New Actors”. Washington D.C: USIP.
Kawilarang, Harry. 2008. Aceh Dari Sultan Iskandar Muda Ke Helsinki.Aceh:
Bandar Publishing.
Kriesberg, Louis. 1998. Constructive Conflict; From Escalation to Resolution.
Lanham: Rowman and Littlefield Publisher.
Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mas’oed, Mohtar, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi
Dictionary, Jakarta:LP3ES.
M. Hasyim. 1995, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Lembaga Peneliti UI.
Paul R.Viotti dan Mark V.Kauppi. 1990, International Relations Theory: Realism,
Pluralism, Globalism, and Beyond. New York: Allyn & Bacon.
Reid, Anthony, 2005, Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur
Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, Yayasan Obor, Jakarta.
R. Michael Feener & Partick Daly. 2011.Memetakan Masa Lalu Aceh. Jakarta:
Pustaka Larasan.
Santosa, Kholid O. 2011. Jejak-jejak Sang Pejuang Pemberontak, Pemikiran,
Gerakan dan Ekspresi Politik S.M. Kartosuwiryo dan Daud Beureureh,
SegaArsy.
Situmorang dalam Adre Pareira ed. 1999. Perubahan Global dan Perkembangan
xii
Studi Hubungan Internasional. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Smith, Calvin. 2000. Facilitating „Perspectival Reciprocity‟ in Mediation: Some
Reflection on a Failed Case.Springer.
Syamsuddin Haris, et.al. 1999. Indonesia di Ambang Perpecahan ?. Jakarta:
Erlangga.
Laporan dokumen dan surat kabar
Awaludin, Hamid. 2008. Damai di Aceh, Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinski.
CSIS.
Boutros Boutros-Ghali, 1992. An Agenda for Peace. New York: United Nations.
BRR dan Mitra Internasional.”Aceh dan Nias Satu Tahun Setelah Tsunami, Upaya
Pemulihan dan Langkah ke Depan”, Desember 2005.
BRR dan Mitra Internasional “Aceh dan Nias Dua Tahun Setelah Tsunami”,
Desember 2006.
ICG Asia Report, Aceh : Kenapa Kekuatan Militer Tidak akan Membawa pada
Perdamaian Kekal, No. 17, 12 Juni 2001.
ICG Asia Report, Aceh : Perdamaian yang Rapuh. No. 17, 12 Juni 2001.
ICG Asia Report, Aceh : So Far So Good, No. 44, 3 Desember 2005.
Nurrohman. 2006. Hukum Islam di Era Demokrasi: Tantangan dan Peluang bagi
Formalisasi Syariat Islam di Indonesia. Islamic Studies. Bandung.
Nota Kesepahaman Pemerintah RI dan GAM
Schulze, Kristen E. 2004. The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist
Organization. Policy Studies 2. Washington.
Surat Kabar Harian Jakarta Post
Surat Kabar Harian Kompas
Surat Kabar Harian Republika
Surat Kabar Harian Serambi Indonesia
Tabloid Mingguan Kontras
Tabloid Seumike
The Post-conflict Fund
xiii
Time Magazine
Tim Peneliti LIPI
INTERNET
46 senjata api ilegal berhasil disita pasca-MoU, Jumat 20 April 2007. Tersedia di
internet : diunduh tanggal 12 Februari 2013.
http://www.acehkita.com/?dir=news&file=detail&id=1793
Aspinal, Edward. Pada Akhirnya Perdamaian Terjadi ?. Tersedia di internet :
Diunduh tanggal 13 Februari 2013.
http://www.acheheye.org/data_files/bahasa_format/analysis_bhs/analysis_insi
deind/analysis_insideind_2006/analysis_insideind_2005_08_00_01.html
Burdock, Daniel. Prospek Perdamaian. Tersedia di internet : diunduh tanggal 4
Maret 2013.
http://www.acheheye.org/data_files/bahasa_format/analysis_bhs/analysis_insi
deind/analysis_insideind_2006/analysis_insideind_2006_04_06_01.html
GAM Menolak Sejumlah Pasal UUPA, 2 Agustus 2006. Tersedia di internet : diunduh
tanggal 3 Maret 2013. http://www.kompas.com
Herrberg, Ance. (2012), Brussels “di belakang layar‟ Proses Perdamaian Aceh,
tersedia di internet; diunduh tanggal 10 November 2012. http://www.c-
r.org/our-work/accord/aceh/bahasa/backstage.php
Kebijakan Uni Eropa dalam membentuk AMM, tersedia di internet; diunduh tanggal
9 Juni 2012. http://www.delidn.ec.europa.eu/en/newsroom/aricle-060227
ID.pdf
Mawardi, Dr.Ir.Moch.Ikhwanuddin, (2005), Strategi Dasar Penanganan Daerah
Konflik di Indonesia, tersedia di internet; diunduh tanggal 10 November 2012.
http://www.pda-undp.tripod.com/plenary52.pdf.
Pasca MoU, Kriminalitas meningkat. 1 Juni 2006, tersedia di internet : di unduh
tanggal 3 Maret 2013. http://www.acehkita.com
Pemantau Perdamaian Aceh, Januari 2007 Interpeace mulai bertugas, tersedia di
internet: di unduh tanggal 12 Februari 2013. http://www.acehkita.com
Situs resmi Aceh Monitoring Mission. Tersedia di Internet; diunduh pada tanggal
9 Juni 2012 http://www.aceh-mm.org/indo/amm_menu/about.html
xiv
TNI Dukung Perundingan di Helsinski, Pernyataan Panglima TNI Endriartono, 13
April 2005. Tersedia di internet: di unduh tanggal 3 Maret 2013.
http://www.kompas.com
Kejayaan Aceh dan Politisasi Syariat Islam,Tersedia di internet: di unduh tanggal 3
Maret 2013. http://syukriy.wordpress.com/2009/09/24/kejayaan-aceh-dan-politisasi-
syariat-islam