peran lembaga swadaya masyarakat (lsm) solidaritas … · 2019. 1. 31. · suci fitriah tanjung...
TRANSCRIPT
PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) SOLIDARITAS
PEREMPUAN DALAM ADVOKASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN AIR
DI JAKARTA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Suci Fitriah Tanjung
1111112000012
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018
i
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai peran Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) Solidaritas Perempuan dalam advokasi kebijakan pengelolaan air di
Jakarta. Tujuannya adalah untuk melihat peran LSM Solidaritas Perempuan dalam
mendorong perubahan kebijakan pengelolaan air di Jakarta yang dilakukan baik
melalui jalur litigasi maupun non litigasi. Teori yang digunakan dalam penelitian
ini adalah teori peran dengan pendekatan perilaku yang dipaparkan Soerjono
Soekanto serta teori advokasi kebijakan dengan tahapan advokasi yang ditinjau
dari sudut pandang sistem hukum yang dikemukakan oleh Roem Topatimasang,
termasuk pembagian peran di dalamnya. Di mana pembagian peran tersebut
dibagi menjadi tiga, yakni tim kerja basis, tim kerja pendukung, dan tim garis
depan. Selain itu, strategi advokasi juga ditentukan berdasarkan aras advokasi
yang terbagi ke dalam aras mikro, mezzo, dan makro dengan pembagian tipe
advokasi, yakni advokasi kasus dan kelas sebagaimana dipaparkan oleh Edi
Suharto.
Dapat disimpulkan bahwa Aras yang digunakan dalam advokasi kebijakan
pengelolaan air di Jakarta merupakan aras makro yang menggunakan tipe
advokasi kelas dengan masyarakat Jakarta sebagai kliennya sehingga peran dari
pekerja sosial, dalam hal ini LSM, lebih cenderung sebagai analis kebijakan yang
melakukan analisis serta aksi-aksi sosial untuk mendorong lahirnya perubahan
kebijakan. Dalam advokasi tersebut, Solidaritas Perempuan berperan sebagai tim
kerja basis yang berfungsi melakukan mobilisasi serta pengorganisasian dalam
kerangka pendidikan politik kepada masyarakat, khususnya perempuan. Namun,
Solidaritas Perempuan sebagai satu-satunya organisasi perempuan yang
melakukan advokasi kebijakan pengelolaan air di Jakarta masih perlu melakukan
pendekatan pada organisasi perempuan lainnya agar kebijakan pengelolaan air di
Jakarta dapat membawa substansi sesuai dengan kepentingan masyarakat yang
dibela, yakni perempuan yang juga merupakan mandat dari LSM Solidaritas
Perempuan itu sendiri.
Kata Kuci: Peran, LSM, Solidaritas Perempuan, Tim Basis, Advokasi, Kebijakan,
Pengelolaan Air.
ii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Seiring berjalannya penulisan karya ilmiah ini, dalam prosesnya penelitian ini
melibatkan banyak pihak yang sangat membantu penulis dalam menyusun
argumentasi dan analisa bahkan menjadi penentu dalam penyelesaian skripsi ini.
Hasil dari penelitian ini tentunya tidak akan muncul tanpa adanya bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Prof. Dede Rosyada, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Dzulkifli selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Dzuriyatun Thoyibah, M.Si, Dr. Bakir Ikhsan, M.Si, dan Dr. Agus
Nugraha, MA. Selaku Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Iding Rosyidin Hasan sebagai Ketua Program Studi Ilmu Politik Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sekaligus selaku dosen pembimbing yang sabar dan penuh perhatian dalam
menyelesaikan skripsi ini.
5. Suryani, M.Si sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
6. Kepada semua dosen pada Program Studi Ilmu Politik yang tidak bisa
disebutkan satu per satu. Terima kasih atas segala ilmu yang telah diberikan
dalam perjalanan akademik penulis selama menimba ilmu di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Kedua Orang Tua penulis: Zakiah dan Akhlak Abdul Ghalib. Tiada kata yang
pantas untuk membalas segala bentuk kasih sayang dan doa yang tidak henti-
hentinya diberikan. Doa selalu dipanjatkan untuk kesehatan dan keselamatan
keduanya, Rabbighfirli Wali Walidayya Warhamhuma Kama Rabbayani
Shagiraa.
8. Untuk adik-adik tercinta Putri Lalla Tanjung yang selalu memotivasi dan
berdiskusi tentang banyak hal terkait penelitian ini dan Fani Afnanil Jannah
yang selalu menjadi penghibur selama menyusun skripsi ini.
9. Risma Umar, Wahidah Rustam, Ruth Murtiasih, Musta’ana, Anita, Puspa
Dewy, Dinda Yura, Nia Rala, Yudith Dewi, Aliza Yuliana, Arieska
Kurniawati, Donna Swita, Riska Dwi, Enday Hidayat, Yuni Warlif, Ega
Melindo, Panji Perdana, Andriyeni, Sarah Amelia, Wilda, Nurahyati,
Maesaroh, Nurasiah, Zakiatunnisa, Nisa Anisa, Destri, Danang, Parto,
Sutiyono, Satiman dan Seluruh keluarga besar Solidaritas Perempuan yang
telah sangat terbuka membantu dan memberikan kesempatan kepada penulis
untuk belajar, mengobservasi dan menganalisis kerja-kerjanya.
iv
10. Teman-teman di rumah perjuangan Komite Mahasiswa dan Pemuda Anti
Kekerasan (KOMPAK) yang telah sangat setia menemani penulis dalam
berproses.
11. Teman-teman seperjuangan di Program Studi Ilmu Politik angkatan 2010,
2011, 2012 dan 2013 yang telah berbagi dan membantu penulis melewati
berbagai tantangan selama masa perkuliahan.
12. Tutur, Baini, Winty, Fia, Agam, Fani, Rizky, Indra di Program Studi Sastra
Arab angkatan 2009 yang telah memberikan banyak masukan dan motivasi.
13. Teman-teman di KPA Arkadia, khususnya angkatan Nabelo Mpu.
14. KKN GAMMA 2014: Alfian, Eka, Peri, Ical, Ita, Rahma, dan lainnya.
15. Devy, Endang, Sari, Endah, Desy, Yuli, Hanin yang telah menjadi sahabat
terbaik selama lebih dari sepuluh tahun.
16. Seluruh kawan-kawan di YouthFeM
Tanpa adanya mereka, mustahil penelitian ini dapat terselesaikan. Semoga Allah
membalas segala kebaikan mereka. Penulis juga mengharapkan saran dan kritikan
dari para pembaca untuk dapat menjadi penilaian dan masukan bagi penulis untuk
dapat lebih baik lagi.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 09 Juli 2018
Suci Fitriah Tanjung
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ v
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Pernyataan Masalah ........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 8
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 10
E. Metode Penelitian.......................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 16
BAB II LANDASAN TEORI .............................................................................. 18
A. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ............................... 18
B. Advokasi Kebijakan ...................................................................... 25
BAB III GAMBARAN UMUM SOLIDARITAS PEREMPUAN ..................... 39
A. Sejarah Lahirnya Solidaritas Perempuan ...................................... 39
B. Landasasan ,Visi, dan Misi Organisasi ......................................... 41
C. Entitas Organisasi dan Struktur Pengambilan Keputusan ............. 43
D. Program Kerja dan Struktur Organisasi Solidaritas Perempuan ... 46
E. Solidaritas Perempuan Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat .. 50
BAB IV PERAN SOLIDARITAS PEREMPUAN DALAM ADVOKASI
KEBIJAKAN PENGELOLAAN AIR DI JAKARTA ......................... 52
A. Advokasi Kebijakan Pengelolaan Air di Jakarta ........................... 52
B. Landasan Solidaritas Perempuan Terlibat dalam Advokasi
Kebijakan Pengelolaan Air di Jakarta ........................................... 57
C. Peran Solidaritas Perempuan dalam Advokasi Kebijakan
Pengelolaan Air Di Jakarta............................................................ 59
D. Tantangan Solidaritas Perempuan dalam Melaksanakan Perannya
pada Advokasi Kebijakan Pengelolaan Air di Jakarta .................. 74
vi
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 76
A. Kesimpulan ................................................................................... 76
B. Saran .............................................................................................. 77
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 78
LAMPIRAN .......................................................................................................... 84
vii
DAFTAR TABEL
Tabel II.B.2. Strategi Advokasi menurut Dubois dan Miley ................................. 33
Tabel IV.B.1. Daftar Penggugat CLS Kebijakan Pengelolaan Air Jakarta .............. 53
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1. Sasaran dan Strategi Advokasi menurut Topatimasang, dkk ........... 32
Gambar III.2. Struktur Pengurus Solidaritas Perempuan ........................................ 48
Gambar III.3. Struktur Kerja Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan ............ 49
Gambar IV.4 Pembagian Peran dalam Lingkaran Inti KMMSAJ ......................... 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Air sangat berhubungan erat dengan kehidupan manusia dan telah diakui oleh
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM)
pada Juli 2010 melalui sidang Majelis Umum PBB yang disetujui oleh 122 Negara,
termasuk Indonesia.1 Sebelumnya, pada tahun 2002, Komite Hak Ekonomi, Sosial,
Budaya (Ekosob) merilis komentar umum mengenai Hak Atas Air yang menyatakan
bahwa hak atas air merupakan hak semua manusia dengan memenuhi standar cukup,
aman, dan terjangkau baik secara fisik maupun finansial untuk penggunaan pribadi
atau rumah tangga. Komentar umum tersebut merupakan penerjemahan dari Kovenan
Hak Ekosob yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang (UU)
Nomor 11 Tahun 2005.
Selain itu, dalam secara konstitusi sebagaimana yang terdapat dalam pasal 33
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi “bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat” juga menjadi satu instrument yang memberikan jaminan
1 “General Assembly Adopts Resolution Recognizing Access to Clean Water, Sanitation as
Human Right, by Recorded Vote of 122 in Favour, None Against, 41 Abstention” (United Nation, 2010), diakses melalui https://www.un.org/press/en/2010/ga10967.doc.htm pada 1 April 2018
2
bagi warga negara atas hak air yang pengelolaannya diserahkan kepada negara untuk
kemakmuran rakyat.
Dalam laporan penelitian MK mengenai Analisis Impelementasi Putusan
Mahkamah Konstitusi atas Pengelolaan Sumber Daya Alam, MK menggunakan
pendekatan hak penguasaan oleh negara yang telah dianut ke dalam sistem hukum
Indonesia di mana klausul pada Pasal 33 UUD 1945 telah menjadi konsensus sejak
awal bahwa negara dimandatkan untuk turut campur dalam pengaturan dan
pengelolan sumber daya alam, termasuk air, sebagai alat produksi dengan mengacu
pada kepentingan publik, dalam hal ini seluruh warga negara Indonesia.2
Hal tersebut direkognisi oleh teori domain lama dalam filsafat hukum yang
menitikberatkan penguasaan sumber daya alam oleh negara karena sifat dan
peruntukannya sehingga tidak boleh dimiliki oleh perseorangan3 maupun menjadi
objek yang diperdagangkan.4 Dasar filosofis ini telah diakui dalam sistem hukum di
Indonesia dan telah masuk ke dalam berbagai kebijakan negara, termasuk dalam
kebijakan pengelolaan air. Oleh karenanya, kewenangan negara perlu dibatasi oleh
UUD 1945 di mana berbagai kebijakan yang diproduksi negara tidak boleh
bertentangan dengan peraturan hukum yang di atasnya agar tidak berdampak pada
2 Rachmad Safaat, dkk, Analisis Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi atas
Pengelolaan Sumber Daya Alam (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, 2017), hal 10
3 Ronald Z. Titahelu, Penetapan Asas-Asas Hukum Umum dalam Penggunaan Tanah untuk
Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat (Yogyakarta: Deepublish, 2015), Hal. 132-133 4 Rachmad Safaat, dkk, Analisis Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi atas
Pengelolaan Sumber Daya Alam (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, 2017), hal 11
3
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, kebijakan negara juga perlu
dibatasi secara substansi agar tetap berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai, dalam hal ini adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.5
Hal tersebut pula yang menjadi basis dikabulkannya permohonan pembatalan
UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang membolehkan pengelolaan air
diserahkan kepada swasta, oleh individu dan beberapa kelompok masyarakat sipil,
seperti Muhammadiyah, melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 85/PPU-
XI/2013 Putusan tersebut. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan:
“Menimbang bahwa pengakuan akses terhadap air sebagai hak asasi
manusia mengindikasikan dua hal; di satu pihak adalah pengakuan terhadap
kenyataan bahwa air merupakan kebutuhan yang demikian penting bagi manusia, di
pihak lain perlunya perlindungan kepada setiap orang atas akses untuk mendapatkan
air. Demi perlindungan tersebut perlu dipositifkan hak atas air menjadi hak yang
tertinggi dalam bidang hukum, yakni hak asasi manusia. permasalahan yang timbul
demikian adalah bagaimana posisi negara dalam hubungannya dengan air sebagai
benda publik atau benda sosial yang bahkan telah diakui sebagai hak asasi manusia.
sebagaimana hak-hak asasi manusia lainnya, posisi negara dengan kewajiban yang
ditimbulkan oleh hak asasi manusia, negara harus menghormati (to respect),
melindungi (to protect), dan memenuhinya (to fulfill).”
Namun, pendekatan HAM sebagaimana dipaparkan di atas belum sepenuhnya
diarusutamakan oleh pemerintah DKI Jakarta dalam kebijakan pengelolaan airnya.
Pada tahun 1997, PT. Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya yang merupakan
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta menandatangani Perjanjian Kerja
Sama (PKS) dengan dua konsorsium perusahaan penyedia air bersih, yakni Thames
Water yang digandeng PT. Kekar Pola Airindo dan Lyonnaise Des Eaux yang
bekerjasama dengan Salim Group. Dua konsorsium tersebut mulai bekerja pada tahun
5 Frans Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 94-96
4
1998 dengan pembagian kawasan yang dibatasi oleh sungai Ciliwung, yakni sebelah
timur dikelola Thames Water dan PT. Kekar Pola Airindo dan bagian barat yang
dikelola oleh Lyonnaise Des Eaux dan Salim Group. Selain memasok modal, dua
konsorsium tersebut juga melakukan pengelolaan pada aspek produksi, distribusi, dan
penagihan pada pelanggan. Pada tahun 2001, terjadi perubahan (addendum)
perjanjian antara PAM Jaya dengan kedua konsorsium tersebut. Di mana fungsi
penagihan dan pengelolaan infrastruktur air dilakukan PAM Jaya.
Thames Water kemudian berubah nama menjadi PT. Thames PAM Jaya dan 5
persen sahamnya diakuisisi oleh PT. Terra Metta Phora dan pada tahun 2007 berubah
nama menjadi PT. Aertra Air setelah terjadi pembelian saham oleh Acuatico. Ltd.
Sementara Lyonnaise Des Eaux berubah nama menjadi PT. PAM Lyonnaise Jaya
(Palyja). 6
Kepemilikan saham kemudian terus berganti hingga saat ini namun tetap
dengan nama yang sama.
Luas jangkauan pelayanan kedua perusahaan tersebut, berdasarkan laporan
dari PAM Jaya, adalah seluas 62 persen dengan total pelanggan mencapai 806.153
pelanggan, yang terdiri dari 419.776 pelanggan Palyja dan 386.377 pelanggan
Aertra. Namun, dari keseluruhan jumlah tersebut, sekitar 22, 60 persen atau sebesar
94.856 pelanggan Palyja dan 14,14 persen atau sebesar 54.474 pelanggan tidak dapat
mengakses air bersih (0 meter kubik). Sementara, sisanya belum tentu mendapatkan
akses air yang memenuhi standar. Terbukti, sebanyak 23,25 persen atau 97.603
6 Pengelolaan Air Bersih Jakarta: Swasta Untuk, PAM Jaya Buntung, diakses melalui
https://tirto.id/pengelolaan-air-bersih-jakarta-swasta-untung-pam-jaya-buntung-cJ7l pada 8 Mei 2018
5
pelanggan Palyja dan sebanyak 22,49 persen atau 86.670 pelanggan Aertra mendapat
pasokan air yang minim, yakni maksimal hanya 10 meter kubik perhari.
7
Selain itu, tingkat kebocoran air juga relatif tinggi di Jakarta. Menurut, Tim
Investigasi yang dibentuk PAM Jaya, tingkat kebocoran air di Jakarta mencapai 46
persen dengan jumlah air sekitar 245,4 juta meter kubik. Tingkat kebocoran tersebut
menghasilkan kerugian hingga Rp. 1.764 Milyar. Tingkat kebocoran tersebut terjadi
karena infrastruktur dalam distribusi air sangat buruk. Hal tersebut tidak sebanding
dengan tingginya tarif air Jakarta , yakni sebesar Rp. 7.800 per meter kubik untuk
Palyja dan Rp. 6.800 per meter kubik untuk Aertra.8 Tarif tersebut merupakan tarif
tertinggi dibanding kota-kota besar lainnya di Asia.
Sementara, beban shortfall9 yang harus ditanggung oleh PAM Jaya adalah
sebesar Rp. 266,5 Milyar untuk Palyja dan Rp. 273,8 Milyar untuk Aertra. Hal ini
juga sejalan dengan data yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan DKI Jakarta sebagaimana dikutip oleh Tirto.id, beban kerugian negara
akibat perjanjian kerja sama tersebut per tahun 2016 mencapai Rp. 1,2 Triliyun.10
Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), pengaduan atas
buruknya pelayanan air di Jakarta ke YLKI masuk ke dalam urutan 10 besar
7 Maurits Napitupulu, Kondisi Pelayanan Air Minum di DKI Jakarta, Presentasi pada tanggal
10 Juni 2011, slide ke 4 8 Ibid, slide ke 6
9 Shortfall adalah selisih yang harus dibayarkan oleh PAM Jaya kepada pihak swasta akibat
realisasi pendapatan lebih rendah daripada yang telah ditetapkan dalam perjanjian. 10
Pengelolaan Air Bersih Jakarta: Swasta Untuk, PAM Jaya Buntung, diakses melalui https://tirto.id/pengelolaan-air-bersih-jakarta-swasta-untung-pam-jaya-buntung-cJ7l pada 8 Mei 2018
6
pengaduan yang paling sering diadukan. Per tahun 2012, YLKI menerima pengaduan
terkait pelayanan air: berupa 1) perubahan golongan tarif; 2) pembengkakan tagihan;
3) tagihan susulan; 4) denda keterlambatan penggantian meteran; 5) tagihan yang
tidak dikirim; 6) kualitas dan kuantitas debit air.11
Situasi tersebut membuat kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat yang
tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ)
melayangkan gugatan warga negara atau dikenal dengan Citizen Law Suit12
ke
Pengadilan Negeri Jakarta pada tahun 2011. Gugatan tersebut ditujukan kepada
Presiden Indonesia, Wakil Presiden Indonesia, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri
Keuangan, Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) DKI Jakarta, PT. PAM Jaya, PT. Palyja, dan PT. Aertra karena dianggap
memiliki andil terhadap kerugian negara dan tidak terpenuhinya hak masyarat atas
pemenuhan kebutuhan air di Jakarta. Pada 24 Maret 2015, Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan penggugat melalui putusan Nomor
527/PDT.G/2012/PN/JKT.PST dan menyatakan bahwa tergugat lalai dalam
melakukan pemenuhan hak asasi manusia atas air bagi warga DKI Jakarta.
11
Catatan Hitam Layanan Air PAM, diakses melalui https://ylki.or.id/2012/02/catatan-hitam-layanan-air-pam/ pada 2 April 2018
12 Citizen LawSuit (CLS) adalah satu mekanisme hukum yang memberikan hak kepada warga
negara untuk menggugat negara dan institusi pemerintah yang melahirkan kebijakan yang bertentangan dengan undang-undang atau yang melakukan kegagalan dalam memenuhi kewajiban dalam pelaksanaan undang-undang. Dalam CLS, penggugat diperbolehkan bukan berasal dari masyarakat terdampak langsung karena pembuktian kerugian negara yang bersifat nyata tidak diperlukan. (lihat: Hukum Indonesia Sudah Akui Konsep Citize Lawsuit, diakses melalui http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5191da19d9d8b/hukum-indonesia-sudah-akui-konsep-icitizen-law-suit-i pada tanggal 13 Juni 2018)
7
Tidak selesai sampai di situ, tergugat kemudian mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pada 12 Januari 2016, melalui putusan Nomor
588/PDT/2015/PT DKI Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. KMMSAJ kemudian mengajukan kembali kasasi ke tingkat Mahkamah
Agung dan pada Oktober 2017, gugatan kembali dimenangkan oleh masyarakat sipil
melalui putusan MA Nomor 31/K/Pdt/2017.
Putusan tersebut memerintahkan kepada tergugat untuk menghentikan
pengelolaan air oleh swasta di Jakarta dan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi
Jakarta yang memenangkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Putusan tersebut
direspon oleh Pemerintah Provinsi DKI dengan mengambil langkah-langkah untuk
restrukturisasi dan melakukan pengambilalihan pengelolaan air di Jakarta.13
Saat ini,
pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui PAM Jaya baru melakukan restrukturisasi
perjanjian dengan Aertra melalui Perjanjian Restrukturisasi Nomor
003/PAM/F/K.KH/III/2018 atau Nomor 018/AGR-PAM/III/2018 Oleh dan Antara
Perusahaan Daerah Air Minum Daerah Ibu Kota Jakarta (PAM JAYA) dan PT.
Aertra Air Jakarta.
Solidaritas Perempuan merupakan satu-satunya organisasi perempuan yang
tergabung dalam KMMSAJ. Persoalan air yang dekat dengan kehidupan perempuan
di mana perempuan memiliki kebutuhan spesifik terhadap air menjadi motif utama
keterlibatan Solidaritas Perempuan dalam advokasi tersebut. Terlebih, Solidaritas
13
MA Larang Swastanisasi Air, PAM Jaya Restrukturisasi Palyja dan Aertra, diakses melalui https://news.detik.com/berita/3696190/ma-larang-swastanisasi-air-pam-jaya-restrukturisasi-palyja-aetra pada 8 Mei 2018
8
Perempuan merupakan organisasi yang berkerja langsung di basis masa, khususnya
basis masa perempuan dan memberikan kontribusinya terhadap perubahan-perubahan
kebijakan yang terjadi terkait dengan pengelolaan air di Jakarta sejak tahun 2011
melalui berbagai pengerahan sumber daya organisasi. Sehingga perubahan kebijakan
yang terjadi tidak terlepas dari peran-peran yang dilakukan Solidaritas Perempuan.
Oleh karenanya, penulis berkeinginan untuk melihat bagaimana Solidaritas
Perempuan menjalankan peran-perannya untuk mendorong perubahan kebijakan
pengelolaan air di Jakarta melalui proses advokasi yang dilakukan bersama koalisi.
Penelitian ini dilaksanakan dengan judul “PERAN LEMBAGA SWADAYA
MASYARAKAT (LSM) SOLIDARITAS PEREMPUAN DALAM ADVOKASI
KEBIJAKAN PENGELOLAAN AIR DI JAKARTA”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penyataan masalah di atas, penulis merumuskan masalah tersebut
ke dalam sebuah pertanyaan, yakni: bagaimana peran Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) Solidaritas Perempuan dalam advokasi kebijakan pengelolaan air di Jakarta?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk melihat peran Lembaga Swadaya
masyarakat dalam mendorong perubahan kebijakan melalui pembelaan/advokasi
9
yang dilakukan. Peran LSM sendiri dalam keilmuan politik dapat menjadi kekuatan
yang dapat mendorong terjadinya perubahan, khususnya dalam kebijakan. Namun,
penelitian ini juga memiliki tujuan khusus yang dibagi berdasarkan targetnya, yakni
sebagai berikut:
1. Manfaat untuk Masyarakat Luas
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi pemicu bagi masyarakat dalam
memahami haknya sebagai warga negara sekaligus juga memberi pemahaman
mengenai mekanisme dan tahapan kebijakan di mana warga negara berhak
mengajukan keberatan melalui berbagai cara yang telah diakui oleh hukum termasuk
berdampingan dengan organisasi/kelompok masyarakat sipil dalam mendorong
perubahan kebijakan.
2. Manfaat untuk Pemerintah
Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan bahan
pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Bahwa kebijakan publik harus melalui
berbagai proses dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
3. Manfaat untuk Akademisi
10
Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi, khususnya
dalam kajian kebijakan serta memperkaya analisis mengenai LSM sebagai kekuatan-
kekuatan politik, khususnya mengenai perannya didalam advokasi kebijakan.
D. Tinjauan Pustaka
Telah banyak sekali penelitian yang memaparkan tentang peran Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Seperti penelitian skripsi di Universitas Indonesia yang
dilakukan oleh Lovely Christina Manafe (2012) yang berjudul Peran NGO dalam
Penanggulangan Isu Perubahan Iklim: Studi Kasus Peran Friends Of The Earth dalam
Mendorong Climate Change Act di Inggris melalui Kampanye “The Big Ask”.14
Penelitian ini pada dasarnya memiliki kemiripan pendekatan dengan penulis, namun
yang membedakan adalah objek yang diangkat dalam penelitian tersebut merupakan
lembaga Internasional yang berbasis di Inggris di mana proses advokasi kebijakan
yang dilakukan menggunakan mekanisme yang berbeda karena sistem hukum yang
berkembang di setiap negara berbeda pula.
Selain itu, terdapat pula penelitian skripsi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang dilakukan oleh Jajang Heriyana (2008) yang berjudul “Peran LSM Forum
Peduli Pendidikan (FORPPENDIK) dalam Monitoring Pendidikan di Kota Depok
14
Lovely Christina Manafe, Skripsi: Peran NGO dalam Penanggulangan Isu Perubahan Iklim: Studi Kasus Peran Friends Of The Earth dalam Mendorong Climate Change Act di Inggris melalui Kampanye “The Big Ask” (Depok: UI, 2012), 1-89
11
(Studi Kasus SDN Tugu 8 Cimanggis).15
Penelitian tersebut juga menggunakan teori
peran sebagai pendekatan penelitian. Namun, sudut pandang yang digunakan adalah
pada aspek fungsi pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil.
Terdapat pula sebuah penelitian skripsi yang berjudul “Partisipasi LSM
Pendidikan dalam Perumusan Kebijakan di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah
Raga DIY” yang dilakukan oleh Rohajji Nugroho (2015) dari Universitas Negeri
Yogyakarta.16
Penelitian ini menggunakan studi kebijakan, namun dilihat dari proses
perumusan kebijakan.
Dari ketiga penelitian yang telah ada dan dipaparkan di atas, penulis lebih
banyak menggunakan pendekatan dengan menggunakan teori peran namun ditinjau
dari proses advokasi kebijakan yang dilakukan LSM dengan menggunakan berbagai
perangkat demokrasi yang ada.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian adalah cara sistematik yang digunakan penulis dalam
pengumpulan data yang diperlukan untuk proses identifikasi dan penjelasan
15
Jajang Heriyana, Skripsi: Peran LSM Forum Peduli Pendidikan (FORPPENDIK) dalam Monitoring Pendidikan di Kota Depok (Studi Kasus SDN Tugu 8 Cimanggis) (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), 1-84
16 Rohajji Nugroho, skripsi: Partisipasi LSM Pendidikan dalam Perumusan Kebijakan di Dinas
Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga DIY (Yogyakarta: UNY, 2015), hal. 1-107
12
fenomena sosial yang tengah diteliti.17
Secara dikotomis, dalam ilmu sosial dikenal
dua jenis metode penelitian yaitu kuantitatif dan kualitatif. Pada penelitian ini,
penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena dianggap
tepat dalam menganalisis perilaku dan sikap politik yang tidak dapat dikuantifikasi.18
2. Sumber Data
Sumber data dari penelitian ini adalah data kualitatif. Sumber data utama
adalah kata-kata dan tindakan serta penambahan data–data untuk memperkuat
analisis yakni berupa dokumen yang dikeluarkan baik oleh pemerintah maupun
organisasi. Data-data yang akan digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
bagian, yaitu:
a. Data Primer
Data primer diperoleh langsung dari informan berupa wawancara mendalam
dan dokumen-dokumen resmi terkait advokasi kebijakan pengelolaan air di
Jakarta, baik yang dikeluakan oleh organisasi maupun pemerintah, yang akan
diteliti.
17
Gumilar Rusliwa Somantri, “Memahami Metode Kualitatif” Makara Sosial Humaniora, Vol. 9, No. 2 (Desember 2005), 57-65
18 Lisa Harison, Metodologi Penelitian Politik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007)
86
13
b. Data Sekunder
Data sekunder ini diperoleh dari berbagai sumber informasi yang terkait
dengan penelitian ini seperti media massa, media cetak, buku-buku, jurnal-
jurnal ataupun artikel di media sosial yang menunjang dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan
data, diantaranya:
a. Dokumentasi
Dalam dokumentasi, penulis mengumpulkan data dan informasi melalui
dokumen-dokumen yang relevan dalam penelitian ini.
b. Wawancara
Untuk menambah kedalaman informasi, penulis juga melakukan wawancara
mendalam (in-depth interview) dengan beberapa narasumber yang relevan,
diantaranya adalah Puspa Dewy sebagai pimpinan organisasi Solidaritas
Perempuan dan Aliza Yuliana yang merupakan penanggungjawab advokasi
kebijakan pengelolaan air Solidaritas Perempuan di Koalisi Masyarakat
Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ).
14
c. Observasi
Secara luas, observasi atau pengamatan berarti setiap kegiatan untuk
melakukan pengukuran. Akan tetapi secara sempit, observasi diartikan
sebagai pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan yang berarti
tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan.19
Hal tersebut dilakukan ketika
penulis turut hadir dalam kegiatan-kegiatan yang membicarakan mengenai
kebijakan pengelolaan air di Jakarta yang diselenggarakan Solidaritas
Perempuan bersama koalisi, seperti seminar, konferensi pres, dan lain-lain.
Hal tersebut, penulis lakukan untuk melihat peran-peran Solidaritas
Perempuan di dalam advokasi kebijakan pengelolaan air di Jakarta.
4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, penulis melakukan teknik analisis data yang bersifat
deskriptif. Teknik ini menekankan pada penggambaran objek secara tepat
sehingga mampu menjawab masalah penelitian.
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan model interaktif yang
dikembangkan oleh Miles dan Huberman yang dimulai dengan pengumpulan
data, reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan atau
19
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), 69.
15
verifikasi.20
Proses analisis data dilakukan secara terus menerus dalam proses
pengumpulan data selama penelitian berlangsung.
1. Reduksi Data
Reduksi data merujuk pada proses pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan,
abstraksi, dan pentransformasian data mentah yang terjadi dalam catatan
lapangan yang tertulis. Pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh
terutama dari kelengkapannya, kejelasan makna, kesesuaian serta
relevansinya dengan data lain yang diperoleh. Proses ini diharapkan mampu
meningkatkan kualitas data yang hendak diolah dan dianalisis.
2. Penyajian Data
Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun yang
memungkinkan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.21
Penyajian data yang lazim digunakan pada langkah ini adalah dalam bentuk
teks naratif. Peneliti berusaha menyusun data yang relevan sehingga menjadi
informasi yang dapat disimpulkan dan memiliki makna tertentu. Prosesnya
dapat dilakukan dengan cara menampilkan dan membuat hubungan antar
fenomena untuk memaknai apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang perlu
ditindak lanjuti untuk mencapai tujuan penelitian.
20
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2014), 246 21
Ibid
16
3. Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan dapat ditinjau sebagai makna yang muncul dari data yang harus
diuji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya, yaitu merupakan
validitasnya22
yang kemudian digunakan penulis untuk merumuskan saran
dari penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah memahami penelitian dan hasilnya, maka sistematika
penulisan laporan penelitian ini dibagi ke dalam dari lima bab, diantaranya:
BAB I Pendahuluan, yakni terdiri dari: 1) Pernyataan masalah; 2)
rumusan masalah; 3) manfaat penelitian; 4) tinjauan pustaka;
5) metodologi penelitian; dan 6) sistematika penulisan.
BAB II Landasan Teori, Penulis akan secara spesifik membahas teori-
teori yang berkenaan dengan penelitian dalam satu bab,
khususnya mengenai teori peran dan teori advokasi kebijakan.
BAB III Penulis menjabarkan mengenai gambaran umum objek
penelitian, dalam hal ini adalah LSM Solidaritas Perempuan.
22
Ibid,
17
BAB IV Penulis menjabarkan analisis mendalam dan spesifik mengenai
peran LSM Solidaritas Perempuan dalam advokasi kebijakan
pengelolaan air di Jakarta.
BAB V Penulis melakukan penarikan kesimpulan dan memberikan
rekomendasi serta menyajikan daftar pustaka.
18
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
1. Teori Peran
Teori peran pada awalnya digunakan dalam perspektif sosiologi dan psikologi
sosial. Namun,kemudian berkembang masuk ke dalam ranah kajian politik karena
sangat relevan dalam melihat perilaku-perilaku yang bertindak atas dasar dan untuk
tujuan politik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), peran didefinisikan sebagai
perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam
masyarakat. Selain itu, banyak ilmuwan juga berpendapat mengenai definisi peran.
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa peran adalah aspek dinamis dari kedudukan
(status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya maka sebenarnya ia
telah menjalani suatu peran.23
Levinson, sebagaimana dikutip Soerjono, membagi
peran ke dalam tiga unsur,24
yakni:
1. Peran ideal, merupakan peran yang dirumuskan dan diharapkan oleh
masyarakat yang kemudian termanifestasikan ke dalam hak dan kewajiban
yang terkait pada status tertentu
23
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers,2010) hal.212 24
Ibid, hal. 213
19
2. Peran yang dianggap oleh diri sendiri. Peran ini merupakan hal yang harus
dilakukan individu pada situasi tertentu.
3. Peran yang dilaksanakan, yakni peran yang dilakukan oleh individu dalam
perilaku nyata dan sangat dipengaruhi oleh kepribadian pelaku.
Sementara peran dalam konteks perilaku organisasi, Soejono juga mengutip
Soleman Taneko yang mendefinisikan peran sebagai kegiatan organisasi yang
menjalankan tujuan untuk mecapai hasil yang ditetapkan.25
Artinya, kajian peran
dalam konteks ini berpijak pada mekanisme kerja organisasi untuk mencapai tujuan-
tujuan yang menjadi ketetapan organisasi.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa peran merupakan perangkat
tingkah atau tindakan individu dalam masyarakat maupun masyarakat dalam
organisasi dengan melaksanakan hak dan kewajibannya untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
2. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
a. Definisi LSM
Menurut Indonesian Center for Civic Education (ICCE), Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) merupakan salah satu wadah atau organisasi/asosiasi yang dibuat
oleh masyarakat di luar pengaruh negara dan juga menjadi perwujudan dari civil
25
Ibid, hal. 213-214
20
society.26
Hal ini sejalan dengan definisi civil society yang dibangun oleh Ernest
Gellner. Bahwa civil society adalah masyarakat yang terdiri atas institusi non
pemerintah yang cukup kuat dan independen untuk mengemban peran penyeimbang
negara.27
Hal serupa dipertegas kembali oleh Hikam dalam karyanya berjudul
Masyarakat dan Civil Society yang mengatakan bahwa civil society adalah satu
wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri,
tidak terkungkung oleh kondisi material, dan tidak terserap di dalam jaringan
lembaga-lembaga politik resmi.28
Karena secara definitif Hikam mengatakan bahwa:
Civil Society merupakan suatu entitas yang keberadaannya menerobos batas-
batas kelas serta memiliki kapasitas politik yang cukup tinggi sehingga mampu
menjadi kekuatan pengimbang (balancing force) dari kecenderungan intevensionis
negara, pada saat yang sama mampu melahirkan pula kekuatan kritis reflektif
(revlective force) di dalam masyarakat yang mencegah atau mengurangi derajat
konflik internal sebagai akibat dari formasi sosial modern. Yang terakhir ini,
terutama perlu untuk mencegah akibat-akibat negative dari sistem ekonomi pasar
serta institusionalisasi politik yang dapat mengakibatkan terjadinya proses formalis
dan kekakuan birokratis.29
Lebih lanjut Jordan dan Peter juga mengatakan bahwa LSM melekat pada
civil society yang berbeda dari masyarakat politik lainnya sehingga tidak bertujuan
26
Tim ICCE, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: Kencana Prenada, 2000), 158
27 Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju Kebebasan (Bandung:
Mizan), 2 28
Muhammad Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1999), 200 29
Ibid, 86
21
untuk mengendalikan kekuasaan negara seperti partai politik. Kerja LSM lebih
kepada aktivitas pelayanan dan advokasi untuk mengangkat isu-isu tertentu.30
Kesimpulan yang dapat diambil dari pernyataan di atas adalah bahwa LSM
merupakan organisasi masyarakat sipil yang secara independen menjalankan peran
penyeimbang negara serta tidak berorientasi profit dan kekuasaan sehingga dapat
mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat melalui aktivitas pelayanan dan
advokasi.
b. Budaya Organisasi dan Karakteristik LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai sebuah organisasi memiliki
budaya yang berkembang di dalamnya yang kemudian mempengaruhinya dalam
melakukan tindakan.
Budaya organisasi, oleh Robbins dan Judge dalam bukunya Perilaku
Organisasi, didefinisikan sebagai sebuah sistem nilai yang dianut oleh sebuah
organisasi yang kemudian dapat menjadi ciri khas yang dapat menjadi identitas dan
karaktiristik dari organisasi tersebut.31
LSM yang lekat dengan civil society juga memiliki karakteristik yang berbeda
dengan organisasi-organisasi lainnya. Menurut Tocqueville, sebagaimana dikutip
Azra, menyebutkan beberapa karakteristik civil society yakni berasas kesukarelaan
30 Lisa Jordan dan Peter Van T, Akuntabilitas LSM (Jakarta: LP3ES, 2009), 12-13
31 Stephen P. Robbins dan Timobthy A. Judge, Perilaku Organisasi (Jakarta: Salemba Empat,
1996), 289
22
(voluntary), keswasembadaan (self-generating), keswadayaan (self-supporting),
kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma
atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.32
Hal yang tidak jauh berbeda
diungkapkan Vakil yang kemudian dikutip oleh Jordan dan Peter, bahwa karakter
utama LSM, yakni Mandiri, tidak terikat pada pemerintah, nirlaba, dan memiliki misi
sosial yang jelas.33
Namun, Clark secara lebih mendalam memaparkan karakteristik
LSM ditinjau dari pelaksanaan misinya adalah sebagai berikut:34
1. Melayani kelompok miskin marjinal
2. Mendorong dibukanya partisipasi bagi masyarakat dalam proses
pelaksanaan kebijakan
3. Mengembangkan inovasi-inovasi yang bermanfaat dan memecahkan
masalah. Terkadang inovasi ini melahirkan konsep tandingan bagi
kebijakan pemerintah.
4. Program yang dilaksanakan adalah skala kecil agar mudah dipantau
dan terukur pencapaiannya serta tepat sasaran
5. Memiliki komitmen staf yang tinggi karena secara luas memberi andil
nilai dan keyakinan tentang misi perubahan sosial
32
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), 3 33
Lisa Jordan dan Peter Van T, Akuntabilitas LSM, hal. 12 34
John Clark, NGO dan Pembangunan Demokrasi (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1995), 59-68
23
Berbeda dengan Clark, Abidin dan Rukmini juga memberikan pendapat yang
lebih sederhana mengenai karakteristik LSM,35
yakni:
1. LSM adalah lembaga non pemerintah dan tidak birokratis
2. LSM berdiri atas asas suka rela
3. LSM berbeda dengan lembaga usaha. Kegiatannya tidak berorientasi
pada keuntungan (nirlaba)
4. LSM bekerja untuk melayani masyarakat umum, bukan anggota atau
aktivisnya sendiri.
c. Peran Lembaga Swadaya Masyakarat
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memiliki peran dan fungsi yang
penting dalam pemberdayaan dan juga melakukan pembelaan atau advokasi terhadap
permasalahan yang berkembang di masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan
kebijakan. Menurut Hikam, sesuai dengan karakteristiknya, LSM melakukan
berbagai misi penguatan dan pemberdayaan masyarakat tanpa sedikitpun bergantung
pada negara dan sektor swasta lainnya, yang merupakan substansi gagasan dan
praktek hidup masyarakat sipil.36
Hikam juga mengatakan bahwa kemampuan LSM
adalah memperkuat masyarakat akar rumput melalui berbagai aktivitas
pendampingan, pembelaan, dan penyadaran sekaligus menyebarluasan pelaksanaan
program untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat maupun memberikan
35
Hamid Abidin dan Mimin Rukmini, Kritik dan Otokritik LSM (Jakarta: Piramedia, 2004), 21 36
Muhammad Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1999), 200
24
pembelaan kepada masyarakat agar hak-hak dasarnya dipenuhi oleh negara.37
Hal
serupa juga diungkapkan Adi Sasono, sebagaimana dikutip Khrisna Anggara, bahwa
terdapat tiga peranan LSM, yaitu: advokasi kebijakan terhadap negara, mendorong r
sektor swasta untuk mengembangkan sistem kemitraan sosial, dan meningkatkan
kapasitas kelembagaan kelompok-kelompok civil society dan masyarakat umum,
termasuk juga produktifitas dan kemandiriannya. Ide tersebut pada dasarnya adalah
mengenai partisipasi dalam pembangunan secara bersama tanpa harus menciptakan
konflik sosial antara kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan maupun kelas-
kelas ekonomi yang berbeda.38
Bastian merangkum pendapat Ismail Hadad mengenai peran LSM
berdasarkan fungsinya, yakni: 1) LSM berperan memberikan motivasi, menggali
potensi, menumbuhkan, serta mengembangkan kesadaran masyarakat mengenai
masalah-masalah yang dihadapi diri maupun lingkungannya; 2) LSM juga berperan
sebagai komunikator yang mengamati, merekam, serta menyalurkan aspirasi dan
kebutuhan masyarakat agar dijadikan acuan dalam proses perumusan kebijakan dan
perencanaan program pembangunan serta mengawasi proses pelaksanaan kebijakan
maupun program pembangunan masyarakat sekaligus memberikan penjelasan kepada
masyarakat tentang program pembangunan dengan bahasa yang mudah dipahami
masyarakat dan membangun hubungan kerja sama antar LSM yang memiliki
kepentingan dan tujuan yang sama; 3) Sebagai Dinamisator yang mengembangkan
37
Ibid, 256 38
Krisna Anggara, Tesis: “Pemberdayaan Lembaga Masyarakat (LSM) dalam Upaya Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba” (Depok: UI, 2008), 26
25
berbagai strategi dan inovasi dan pengelolaan organisasi yang belum familiar di
lingkungan masyarakat; 4) Berperan sebagai fasilitator, yakni memberikan berbagai
bantuan teknis dalam pelaksanaan program seperti penyediaan dana, modal kerja,
peralatan, dan sebagainya yang menjadi kebutuhan masyarakat.39
Dari berbagai peran
tersebut, peran LSM akhirnya mampu menjadi penumbuh partisipasi melalui berbagai
pelaksanaan program yang dijalankan.
Dalam negara yang menjunjung tinggi asas keterbukaan dan transparansi,
LSM juga berperan sebagai penghubung sekaligus penengah dari berbagai
kepentingan yang belum terwakili baik oleh partai politik maupun ormas.40
Hal ini
juga menjadi faktor pendorong bagi LSM untuk melakukan berbagai kerja advokasi
non partisan yang berkaitan dengan kebijakan publik.
B. Advokasi Kebijakan
1. Definisi Advokasi Kebijakan
Istilah advokasi dalam Bahasa Belanda disebut dengan istilah advocaat atau
advocateur yang berarti pengacara atau pembela. Sementara dalam bahasa inggris, to
advocate tidak sekedar to defend (membela) tetapi juga to promote (mengemukakan
atau memajukan), to create (menciptakan), to change (melakukan perubahan).41
Advokasi pada umumnya lebih dikenal sebagai istilah yang dekat dengan
profesi hukum. Mansour Faqih dalam pengantar Topatimasang berpendapat bahwa
39
Indra Bastian, Akuntansi untuk LSM dan Partai Politik (Jakarta: Graha Ilmu, 2011), 35 40
Hamid Abidin dan Mimin Rukmini, Kritik dan Otokritik LSM, 21 41
Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri, (Bandung: Alfabeta, 2009), 165
26
advokasi merupakan usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan
mendesakan terjadinya perubahan kebijakan publik yang bertahap maju melalui
semua saluran dan piranti demokrasi perwakilan, proses-proses politik, dan legislasi
yang terdapat di dalam sistem yang berlaku.42
Penyataan serupa juga diungkapkan
oleh Sheila Espine-Villaluz sebagaimana dikutip oleh Miller dan Covey bahwa
Advokasi adalah aksi strategis dan terpadu yang dilakukan perorangan atau kelompok
untuk memasukan masalah ke dalam agenda kebijakan dan mendorong
penyelesaiannya. Termasuk di dalamnya membangun basis dukungan atas kebijakan
yang diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut.43
Selain itu, Wayne Parson mengatakan bahwa advokasi pada hakikatnya
merupakan pembelaan terhadap hak dan kepentingan publik (public interest) dan
bukan kepentingan individu.44
Hal tersebut dipertegas oleh Kurniawan yang
mengatakan bahwa tindakan advokasi tidak dapat bebas nilai dan semua advokasi
data dipastikan dimulai dengan berposisi pada masalah yang ada dan hendak
diselesaikan. Namun, nilai-nilai tersebut bukanlah nilai profit atau pelanggengan
kekuasaan politik elit tetapi ditujukan untuk membela kelompok-kelompok marjinal
yang tidak cukup memiliki akses atas informasi dan tidak cakap hukum.45
42
Roem Topatimasang, dkk, Mengubah Kebijakan Publik (Yogyakarta: Insistpress, 2007), iv-viii
43 Valerie Miller dan Jane Covey, Pedoman Advokasi: Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi
(Jakarta: Yayasan Obor, 2005), hal 8. 44
Wayne Parson, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 70
45 Nanang Indra Kurniawan, “Advokasi Berbasis Jejaring” dalam Sigit Pamungkas, ed.,
Advokasi Berbasis Jejaring (Yogyakarta: Research Centre for Politics and Government, 2010), 12
27
Sementara kebijakan menurut Miriam Budiardjo merupakan suatu kumpulan
keputusan yang diambil oleh pelaku politik dalam usaha memilih tujuan dan cara
untuk mencapai tujuan tersebut dengan memegang prinsip fisibilitas di mana pihak
yang membuat kebijakan memiliki kuasa untuk melaksanakannya.46
Thomas R. Dye
juga mengatakan bahwa kebijakan adalah semua tindakan pemerintah bahkan ketika
pemerintah tidak melakukan apapun. Artinya pemerintah mengambil kebijakan untuk
tidak mengambil kebijakan.47
Dari berbagai penyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa advokasi
kebijakan merupakan serangkaian upaya pendekatan yang sistematis, strategis, dan
terorganisir yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok dengan tujuan
mengubah keputusan pemerintah (kebijakan) agar sesuai dengan kepentingan publik.
Advokasi kebijakan, pada prinsipnya, hanya salah satu dari perangkat dan
proses demokrasi yang dilakukan oleh warga negara untuk mengawasi dan
melindungi kepentingannya. Sejatinya, Demokrasi menjadi prasyarat bagi kerja-kerja
advokasi kebijakan sebagaimana ditulis oleh Dahl yang mengatakan bahwa
demokrasi melalui perangkat-perangkatnya dapat membantu rakyat untuk melindungi
kepentingan dasarnya.48
Oleh karenanya, advokasi kebijakan sulit dilakukan di
negara-negara yang tidak menganut sistem demokrasi.
46
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 20 47
Inu Kencana, Ilmu Politik (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), 86 48
Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), 72
28
Advokasi kebijakan tidak saja dapat menggugah kesadaran warga negara akan
pentingnya berpartisipasi dan memanfaatkan berbagai peluang yang tersedia, tetapi
juga menggugah kesadaran para pengambil kebijakan tentang pentinganya
melibatkan seluruh entitas yang berkepentingan dalam seluruh proses kebijakan.
Terdapat dua tipe advokasi yang dikemukakan Edi Suharto,49
yakni advokasi
kasus dan advokasi kelas.
a) Advokasi kasus adalah sebuah kegiatan yang dilakukan pekerja sosial
untuk membantu individu atau sekumpulan kecil individu agar dapat
mengakses sumber daya dan melindungi hak-haknya.
b) Advokasi kelas adalah kegiatan yang dilakukan pekerja sosial atas
nama kelas atau kelompok masyarakat untuk memperoleh dan
melindungi hak-haknya. Fokus advokasi ini adalah melakukan
reformasi yang mengarah pada perubahan kebijakan pada tingkat lokal
maupun nasional.
2. Sasaran dan Strategi Advokasi Kebijakan
Dalam advokasi kebijakan sebagai upaya memperbaiki dan mengubah
kebijakan sesuai dengan kepentingan warga negara, diperlukan pemahaman yang
holistik mengenai kebijakan yang dilihat dari sudut pandangan sistem hukum yang
49
Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri, (Bandung: Alfabeta, 2009), 165
29
kemudian akan sangat berkaitan dengan sasaran dan proses penentuan stategi
advokasi yang akan dijelaskan penulis kemudian.
Topatimasang, dkk membagi kebijakan dalam sudut pandang sistem hukum
ke dalam tiga bagian, yang terdiri dari:50
a) Isi Hukum (content of law), merupakan uraian tertulis dari satu
kebijakan yang termaktub dalam berbagai undang-undang, peraturan-
peraturan maupun keputusan-keputusan pemerintah di berbagai level.
Terdapat pula kebijakan yang merupakan kesepakatan yang bersifat
tidak tertulis, namun dalam konteks ini kajian difokuskan pada aspek
tekstual.
b) Tata Laksana Hukum (structure of law), adalah perangkat
kelembagaan dan pelaksana yang ditetapkan oleh peraturan yang
berlaku. Seperti lembaga hukum semacam pengadilan, birokrasi, partai
politik, pemerintahan, dll beserta dengan aparatur pelaksananya
misalnya hakim, jaksa, pengacara, polisi, tentara, pejabat
pemerintahan, anggota parlemen, dll.
c) Budaya Hukum (culture of law), merupakan penafsiran dan praktek
pelaksanaan terhadap dua aspek sistem hukum yang telah dijelaskan
sebelumnya, yakni isi dan tata laksana hukum di mana tercakup juga
didalamnya bentuk-bentuk respon dan reaksi masyarakat luas terhadap
50
Roem Topatimasang, dkk, Mengubah Kebijakan Publik (Yogyakarta: Insistpress, 2007), 45
30
penerapan sistem hukum tersebut. Jika Isi hukum bersifat tektual,
budaya hukum merupakan lebih bersifat kontekstual.
Masing-masing ketiga aspek tersebut dapat memberikan peluang bagi proses
advokasi kebijakan. Namun, dalam pada itu memerlukan pendekatan dan strategi
yang berbeda karena ketiganya dibentuk dengan proses yang berbeda-beda pula.
Topatimasang menjelaskan proses pembentukan dari ketiga aspek tersebut, sebagai
berikut:
Isi hukum dibentuk melalui proses-proses legislasi dan jurisdiksi, sementara
tata laksana hukum dibentuk melalui proses-proses politik dan menejemen birokrasi,
dan budaya hukum dibentuk melalui proses-proses sosialisasi dan mobilisasi.
Masing-masing proses ini memiliki tata caranya sendiri. Karena itu, kegiatan
advokasi juga harus mempertimbangkan dan menempuh proses yang sesuai.51
Lebih lanjut Topatimasang menjelaskan unsur dan strategi pendekatan yang
dilakukan berdasarkan sasaran advokasi sesuai dengan aspek-aspek yang telah
dijelaskan di atas.
Pada proses legislasi dan yurisdiksi dapat menngunakan strategi dengan
melakukan penyusunan legal drafting yang sesuai dengan konstitusi dan sistem
ketatanegaraan yang berlaku. Namun proses legislasi dan yurisdiksi dapat juga
diartikan sebagai proses pengajuan rancangan tandingan serta pengujian substansi
dan peninjauan kembali peraturan-peraturan yang berlaku yang dianggap tidak sesuai
dengan kepentingan publik atau bertentangan dengan kebijakan dan peraturan yang
lebih tinggi (judicial review) maupun berkaitan dengan yurisprudensi atau keputusan
51
Ibid, 47
31
hukum yang telah dilakukan sebelumnya melalui lembaga-lembaga peradilan. Pada
proses ini sasaran advokasi ditujukan pada lembaga-lembaga yang memiliki
kewenangan dalam mengubah kebijakan dari segi konten hukum, seperti Mahkamah
Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), dsb.
Sementara, pada proses politik dan birokrasi meliputi tahap formasi dan
konsolidasi organisasi pemerintaan sebagai pelaksana kebijakan. Oleh karenanya,
strategi yang digunakan untuk melakukan pendekatan biasanya menggunakan cara-
cara lobby, audiensi, dengar pendapat, kolaborasi dan sebagainya. Sasaran yang
dituju dalam melaksanakan strategi tersebut adalah aparatur pelaksana kebijakan,
seperti kementerian, dinas-dinas, perangkat pemerintahan, dll.
Pada proses sosialisasi dan mobilisasi, biasanya menggunakan strategi yang
meliputi kegiatan pembentukan kesadaran dan opini publik agar membentuk tekanan
publik untuk mengubah kebijakan tertentu. Proses ini biasanya berbentuk kampanye,
pengorganisasian masyarakat, melakukan pendidikan politik, hingga melakukan
pengerahan masa seperti unjuk rasa, dll. Sasaran dari strategi ini biasanya masyarakat
yang mengalami dampak dari kebijakan yang dihasilkan.
Gambar II.1. Sasaran dan Strategi Advokasi menurut Topatimasang, dkk
32
Namun, Dubois dan Miley sebagaimana dikutip Edi Suharto membagi strategi
advokasi ke dalam tiga aras, yakni aras mikro, mezzo, dan makro di mana pada setiap
aras memiliki tipe advokasi yang berbeda-beda dan melahirkan peran pekerja sosial,
dalam hal ini Lembaga Swadaya Masyarakat, yang berbeda-beda pula.52
Untuk
mempermudah memahami konsep ini, penulis mengutip Edi Soeharto menjabarkan
melalui tabel di bawah ini.
52
Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri, (Bandung: Alfabeta, 2009), 167-169
33
Aspek
Setting
Mikro Mezzo Makro
Tipe Advokasi Advokasi Kasus Advokasi Kelas Advokasi Kelas
klien Individu dan
keluarga
Kelompok formal
dan organisasi
Masyarakat lokal
dan nasional
Peran Pekerja
Sosial
Broker/pialang Mediator Aktivis dan analis
kebijakan
Tekhnik Utama Menejemen kasus Jejaring Aksi sosial dan
analisis kebijakan
Ketiga aras advokasi tersebut membedakan beberapa hal, yakni: tipe
advokasi, klien, dan peran pendamping atau pekerja sosial. Perbedaan aras tersebut
juga melahirkan perbedaan penentuan strategi advokasi yang akan dilakukan.53
Pada aras mikro, misalnya, skalanya yang tidak terlalu besar dan bersifat
kasuistik, peran pendamping atau pekerja sosial hanya sebatas pada broker atau
pialang yang bertugas membangun strategi dan perkara menejemen kasus. Beberapa
kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah: 1) Melakukan asesmen terhadap situasi
dan kebutuhan dari individu yang didampingi (Suharto menyebutnya sebagai klien);
2) Memfasilitasi pilihan-pilihan dan memberikan informasi dan sumber alternative;
3) Mengumpulkan informasi mengenai berbagai jenis dan lokasi pelayanan sosial dan
53
Ibid
Tabel II.B.2. Strategi Advokasi menurut Dubois dan Miley
34
kriteria kelayakannya; 4) Membangun kontak antara klien dan lembaga pelayanan
sosial; 5) menjalin relasi kerja sama dengan berbagai profesi kunci; dsb.54
Pada aras mezzo, tipe advokasi yang dilakukan tidak lagi bersifat kasuistik.
Skalanya menjadi lebih besar dibandingkan dengan aras mikro. klien yang
didampingi tidak lagi individu, tetapi kelompok formal atau organisasi dan
pendamping/pekerja sosial berperan sebagai mediator. Strategi yang diterapkan
adalah berjejaring dan membangun koalisi dalam rangka menyatukan kepentingan
dan menyelaraskan pandangan dalam melakukan kerja-kerja advokasi agar menjadi
satu kekuatan pendorong yang dapat melakukan perubahan kebijakan.55
Sementara pada aras makro, kepentingan yang bermain semakin banyak
karena skalanya yang semakin luas. Klien yang didampingi bukan individu maupun
kelompok tetapi masyarakat pada umumnya, baik pada level lokal maupun nasional.
Peran yang dimainkan oleh pendamping atau pekerja sosial adalah sebagai aktivis
dan analis kebijakan yang terlibat langsung dalam gerakan perubahan dan aksi sosial
bersama masyarakat. Selain itu, strategi yang digunakan lebih menyasar pada
peningkatan kesadaran publik terhadap masalah ketidakadilan yang dihadapi serta
memobilisasi sumber daya untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih
baik.56
54
Ibid, 55
Ibid, 168 56
Ibid, 169
35
Analis kebijakan pada aras makro tidak melakukan perannya secara langsung
dalam melakukan reformasi kebijakan. Di awali terlebih dahulu dengan melakukan
identifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat, mengevaluasi respon pemerintah
terhadap masalah tersebut, dan mengajukan kebijakan alternatif (tandingan) serta
melakukan pemantauan terhadap implementasi kebijakan.
Pada kerja-kerja yang bersangkutan dengan analisis kebijakan, Suharto
mengatakan, setidaknya ada tiga pendekatan yang dilakukan dalam menganalisis,
yakni:57
1) Pendekatan prospektif, yakni analisis yang dilakukan sebelum
kebijakan diterapkan.
2) Pendekatan retrospektif, yakni analisis dampak yang ditimbulkan
akibat implementasi kebijakan.
3) Pendekatan itegratif, yakni merupakan pendekatan yang memadukan
pendekatan prospektif dan retrospektif. Artinya analisis dilakukan
pada saat kebijakan belum diterapkan dan dampak dari implementasi
kebijakan.
Bersandar pada analisis awal penulis, advokasi yang dilakukan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan lebih mendekati pada aras mezzo
dan makro. Sehingga penulis akan lebih fokus pada kedua aras tersebut dengan
57
Ibid.
36
melihat pada strategi-strategi yang dilakukan menurut teori yang dikemukakan
Topatimasang serta Dubois dan Miley sebagaimana dikutip oleh Suharto.
3. Prinsip Advokasi Kebijakan
Dalam setiap advokasi, tantang terbesar yang dihadapi adalah resistensi dari
para pengambil kebijakan. Karena, pada dasarnya, tidak semua dapat dengan mudah
menerima perubahan. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu memperhatikan
prinsip-prinsip di bawah ini:58
a. Realistis, untuk mencapai keberhasilan advokasi maka perlu bersandar
pada isu dan agenda yang jelas dan terukur dengan memilah berbagai
kemungkinan yang paling bisa dilakukan untuk mencapai tujuan.
Menentukan skala prioritas pada agenda-agenda yang paling
memungkinkan untuk dicapai dalam tenggat waktu yang terbatas
menjadi penting dalam hal ini.
b. Sistematis, dalam advokasi, perlu perencanaan matang dan sistematis
dalam menentukan strategi. Kegagalan dalam advokasi hanya bisa
terjadi jika kegagalan itu memang direncanakan atau terdapat alur
advokasi yang tidak sistematis.
c. Taktis, dalam advokasi kebijakan, langkah taktis merupakan hal yang
penting dilakukan. Seperti mengkonsolidasikan kelompok atau
58
Ibid, 170
37
organisasi yang memiliki kesamaan pandangan dan kepentingan
terkait kebijakan yang akan diadvokasi dalam wadah koalisi.
Prinsip-prinsip tersebut kemudian sangat berpengaruh pada tahapan
pelaksanaan advokasi kebijakan yang akan dilakukan.
4. Tahapan dan proses Advokasi Kebijakan
Tahapan advokasi merupakan langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam
proses advokasi kebijakan. Membentuk lingkaran inti merupakan langkah awal yang
paling penting dilakukan dalam advokasi kebijakan. Fungsinya sebagai tim kerja
yang dapat bekerja secara purna waktu, kohesif, dan solid dalam membangun strategi
advokasi di mana di dalamnya mengandung prasyarat inti seperti terdapat kesamaan
visi, misi, dan analisis.59
Lingkaran inti tersebut terdiri dari: 1) tim kerja pendukung
yang berfungsi sebagai penyedia informasi, data, dan akses; 2) tim kerja garis depan
yang melaksanakan fungsi lobby, perunding, terlibat dalam proses legislasi dan
yurisdiksi; dan 3) tim kerja basis yang berfungsi membangun basis masa, melakukan
pendidikan politik, melakukan mobilisasi masa.60
Setelah tim kerja dalam lingkaran inti dibentuk, hal yang selanjutnya
dilakukan adalah merancang sasaran dan strategi. Sasaran dan strategi harus
memenuhi prinsip-prinsip advokasi agar pencapaian terukur dan dapat dijangkau.
59
Roem Topatimasang, dkk, Mengubah Kebijakan Publik, 61 60
Ibid.
38
Advokasi juga perlu mempersiapkan data dan informasi yang cukup. Tidak hanya
digunakan sebagai bahan advokasi tetapi juga dapat diolah untuk kepentingan
penggalangan dukungan publik untuk memperluas tekanan terhadap para pengambil
kebijakan. Selain itu, advokasi kebijakan berbasis data menjadi satu strategi yang
kuat karena memiliki standar akademis yang hanya dapat dibantah dengan melakukan
kajian serupa. Selain itu, membangun basis gerakan, khususnya pada masyarakat
terdampak, dengan memperkuat kesadaran politik mejadi satu tahap penting. Karena
sejatinya kebijakan ditujukan pada masyarakat sehingga masyarakat harus bersama-
sama membangun tekanan dengan kesadaran kritis terhadap pentingnya berpartisipasi
dalam ruang-ruang demokrasi yang tersedia. Tahap selanjutnya adalah melakukan
pemantauan dan evaluasi karena tahap advokasi yang sangat dinamis sehingga
strategi dapat berubah sewaktu-waktu mengikuti arah perubahan.61
61
Ibid, 61-191
39
BAB III
GAMBARAN UMUM SOLIDARITAS PEREMPUAN
A. Sejarah Lahirnya Solidaritas Perempuan
Solidaritas Perempuan merupakan Organisasi/Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang saat ini beranggota 781 orang, perempuan dan laki-laki, di seluruh
Indonesia yang secara resmi berdiri sejak 10 Desember 1990 di Jakarta. Digagas oleh
tujuh orang aktivis perempuan, diantaranya: Ati Nurbaiti, Darmiyanti Muchtar,
Gracia Tjita Andang Sedjati, Nursyahbani Kantjasungkana, Tati Krinawaty, Veronika
Indriani, dan Wardah Hafidz.
Sebelum menjadi organisasi bernama Solidaritas Perempuan, sekelompok
aktivis yang kemudian bergabung telah sejak awal memfokuskan kerjanya pada
wilayah-wilayah konflik, di mana terjadi penggusuran dan konflik lahan antara
masyarakat dan pemerintah, melihat bahwa perempuan memiliki persoalan dan
situasi yang berbeda dibandingkan dengan entitas masyarakat lainnya. Di satu sisi,
perempuan harus melaksanakan peran gendernya, seperti mengurus keluarga, dsb,
sementara di sisi lain juga harus menghadapi tekanan akibat konflik. Akhirnya, pada
40
tahun 1989, sekelompok aktivis tersebut membetuk kelompok kerja dengan sturuktur
organisasi sederhana bernama Kelompok Kerja Solidaritas Perempuan .62
Dengan semangat voluntarisme, kelompok kerja tersebut menjalankan berbagai
aktivitas seperti pengumpulan data dan fakta lapangan, pendampingan masyarakat
sampai menggaungkan aksi protes secara terbuka dengan tujuan utama melakukan
penguatan masyarakat untuk memperoleh kembali tanah-tanah yang telah digarap.
Sadar bahwa kerja-kerja organisasi hanya bersifat kasuistik yang berpotensi
tidak memiliki keberlanjutan, maka dibentuklah Solidaritas Perempuan dalam bentuk
yayasan. Bentuk yayasan dipilih sebagai strategi bertahan karena pemerintahan
Soeharto hanya berkenan memberikan pengakuan terhadap organisasi yang berbentuk
yayasan dan untuk menghindari represi pemerintah pada saat itu.
Di awal berdirinya Yayasan Solidaritas Perempuan bertujuan untuk
mengembangkan kelembagaan yayasan dengan cita-cita mencapai masyarakat yang
demokratis dan egaliter.63
Seiring berjalannya waktu, bentuk Yayasan tidak lagi dianggap cukup untuk
memperluas ruang gerak organisasi dalam memperjuangkan demokrasi. Sehingga
bentuk organisasi diubah dari yayasan menjadi perserikatan dengan keanggotan
individu pada tahun 1992. Perubahan struktur pun menjadi implikasi dari perubahan
62
Sejarah Solidaritas Perempuan, diakses melalui http://www.solidaritasperempuan.org/tentang-sp/sejarah-sp/ pada 3 Juni 2018
63 Ibid,
41
bentuk organisasi. Pada kongresnya yang pertama di tahun 1995, Solidaritas
Perempuan yang awalnya dipimpin oleh direktur kemudian diubah menjadi dipimpin
dengan pola kepemimpinan kolektif. Hingga saat ini, Solidaritas Perempuan dipimpin
oleh Badan Eksekutif yang terdiri dari ketua, bendahara, dan koordinator program
yang dipilih melalui kongres.
Pada awal tahun 2000, Solidaritas Perempuan mulai membangun perluasan
kerja ke berbagai daerah melalui pembentukan komunitas-komunitas untuk
melakukan penguatan terhadap perempuan dan mengadvokasi berbagai kebijakan di
tingkat daerah. Saat ini, Solidaritas Perempuan telah bekerja di beberapa wilayah
seperti Aceh, Lampung, Palembang, Jabotabek, Yogyakarta, Mataram, Sumbawa,
Makassar, Kendari, Poso, Palu dan hendak melalukan perluasan wilayah ke
Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
B. Landasasan ,Visi, dan Misi Organisasi
1. Landasan
Sejak awal berdirinya, Solidaritas Perempuan telah meneguhkan landasan
organisasinya, yakni menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi
Perempuan yang utuh dan universal.64
Landasan ini yang kemudian menjadi dasar
bagi perumusan visi dan misi organisasi.
2. Visi
64
Pasal 2 Anggaran Dasar (AD) Perserikatan Solidaritas Perempuan
42
Setiap organisasi menjalankan dan mengarahkan kerja-kerjanya pada sebuah
tujuan yang merupakan situasi ideal yang ingin dicapai, yang kemudian
diejanwantahkan melalui berbagai strategi kerja untuk mencapai tujuan tersebut.
Solidaritas Perempuan sebagai sebuah organisasi/Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) tentu juga memiliki visi sebagai dasar berpijak bagi kerja-kerja yang
dilakukan.
Visi Solidaritas Perempuan sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasarnya
adalah
“Terwujudnya tatanan sosial yang demokratis, dengan prinsip keadilan,
keutuhan ekologis, menghargai keberagaman, menolak diskriminasi, dan kekerasan,
dengan berdasarkan pada sistem hubungan laki-laki dan perempuan yang setara, di
mana keduanya dapat berbagi akses dan kontrol atas sumber daya alam, sosial,
budaya, ekonomi, dan politik secara adil.”65
3. Misi
Misi merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk mencapai visi. Sebagai
Sebuah organisasi yang memiliki visi, Solidaritas Perempuan melakukan
pengejawantahan terhadap visi tersebut melalui berbagai ikhtiar, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1) Turut membangun kekuatan gerakan perempuan seluruh Indonesia
2) Menjalin kerja sama dengan gerakan perempuan seluruh dunia
3) Memperjuangkan dan melakukan pembelaan terhadap kaum perempuan,
terutama kelas bawah dan marjinal yang tertindas
4) Memajukan, membela, dan meningkatkan kesadaran HAM dengan
berfokus pada hak perempuan
65
Pasal 3 Anggaran Dasar (AD) Perserikatan Solidaritas Perempuan
43
5) Memperjuangkan terjadinya perubahan nilai, sikap, dan perilaku yang
menjadi manifestasi dari ideologi patriarki
6) Memperjuangkan nilai-nilai feminis ke dalam berbagai sistem hukum,
sistem pengambilan keputusan, dan sistem pengelolaan kekayaan alam
7) Melakukan ikhtiar lain yang sah dan tidak bertentangan dengan asas dan
tujuan perserikatan66
C. Entitas Organisasi dan Struktur Pengambilan Keputusan
1. Entitas Organisasi
Dalam organisasi yang berbentuk perserikatan, ada beberapa entitas yang
diakui di dalam organisasi, yakni anggota, yang merupakan entitas yang paling tinggi
dan pengurus yang terdiri dari Badan Eksekutif dan Dewan Pengawas baik di
nasional maupun komunitas. Sementara, Staf yang bekerja diangkat oleh Badan
Eksekutif sebagai bagian dari perangkat kerja yang mendukung kerja-kerja
pencapaian mandat organisasi. Staf dapat berasal dari entitas anggota maupun non
anggota.
2. Struktur Pengambilan Keputusan
Sebagai organisasi berbasis keanggotaan individu, Solidaritas Perempuan
secara rutin menjalankan agenda-agenda yang menjadi bagian dari sistem
pengambilan keputusan di mana seluruh entitas dalam organisasi, termasuk
anggotanya, dapat merumuskan berbagai strategi, kebijakan, maupun tindakan yang
akan dilakukan dengan memperhatikan aspek internal organisasi dan perkembangan
66
Pasal 4 Anggaran Dasar (AD) Perserikatan Solidaritas Perempuan
44
situasi eksternal, seperti konstelasi dan trend politik yang berkembang dari tingkat
daerah, nasional, hingga internasional.
Adapun struktur pengambilan keputusan Solidaritas Perempuan di tingkat
nasional adalah sebagai berikut:
a. Kongres, merupakan pengambilan keputusan tertinggi dalam organisasi
Solidaritas Perempuan di mana seluruh anggota berkumpul dan
merumuskan mandat organisasi yang dilaksanakan setiap empat tahun
sekali. Kongres tersebut, memiliki kewenangan untuk menetapkan mandat
organisasi dalam satu periode yang akan datang yang disesuaikan dengan
analisa organisasi terhadap perkembangan situasi, baik di internal
maupaun eksternal organisasi, mengevaluasi pelaksanaan program dan
kebijakan selama satu periode ke depan, serta memilih dan menetapkan
Badan Eksekutif Nasional dan Dewan Pengawas Nasional.
b. Kongres Luar Biasa. Kongres luar biasa memiliki fungsi dan wewenang
yang sama. Hanya saja dilaksanakan berdasarkan situasi khusus seperti
terjadi pengunduran diri Badan Eksekutif Nasional secara kolektif, ada
permintaan dari dua per tiga anggota, dan jika ada permintaan
pembubaran organisasi.
c. Rapat Nasional Dewan Komunitas (RNDK), merupakan forum konsultasi
dan pengambilan keputusan tertinggi setelah kongres. Dihadiri oleh
Dewan Komunitas yang merupakan gabungan dari seluruh Badan
45
Eksekutif di Komunitas, yang memiliki wewenang untuk melakukan
evaluasi kerja selama satu tahun dan penyusunan strategi kerja satu tahun
yang akan datang.
d. Rapat Koordinasi Dewan Pengawas Nasional dan Badan Eksekutif
Nasional, merupakan rapat yang mengkoordinasikan fungsi pengawasan
dan fungsi eksekutif dalam organisasi yang dilaksanakan setiap enam
bulan sekali. Rapat ini memiliki wewenang mengesahkan rencana kerja
enam bulanan dan rutin mengevaluasi kerja selama enam bulan ke
belakang.
e. Rapat Pleno Dewan Pengawas Nasional,, merupakan rapat rutin yang
diadakan minimal tiga bulan sekali di mana salah satu wewenangnya
adalah membahas hasil pengawasan baik di tingkat Badan Eksekutif
Nasional maupun komunitas.
f. Rapat Kerja Badan Eksekutif Nasional, merupakan rapat internal eksekutif
yang memiliki wewenang, salah satunya, membahas strategi kerja dan
pengelolaan anggaran.
Sementara pada tingkat komunitas, struktur pengambilan keputusan mengikuti
logika struktur pengambilan keputusan pada tingkat nasional, yang membedakan
hanya ruang lingkup pengaturannya, yakni pada tingkat komunitas. Adapun yang
masuk dalam struktur pengambilan keputusan di komunitas adalah: 1) Musyawarah
Komunitas; 2) Musyawarah Komunitas Luar Biasa; 3) Rapat Konsultasi Anggota; 4)
46
Rapat Koordinasi Dewan Pengawas Komunitas dan Badan Eksekutif Komunitas; 5)
Rapat Pleno Dewan Pengawas Komunitas; dan 6) Rapat Kerja Badan Eksekutif
Komunitas.
D. Program Kerja dan Struktur Organisasi Solidaritas Perempuan
1. Program Kerja
Dari landasan serta visi dan misi organisasi yang dibangun, Solidaritas
Perempuan kemudian menerjemahkannya menjadi beberapa program kerja yang
terbagi ke dalam beberapa divisi. Divisi-divisi tersebut merupakan pengejawantahan
dari mandat yang dibangun saat kongres. Jadi, sangat tergantung pada kebutuhan dan
analisis yang berkembang dan penerjemahannya melalui pokok-pokok kebijakan
organisasi.
Di tingkat nasional, seluruh pokok-pokok kebijakan organisasi yang menjadi
dasar lahirnya divisi kerja harus diadopsi secara utuh karena berkaitan dengan
jangkauan kerja organisasi yang menyeluruh. Sementara pada tingkat komunitas,
pokok-pokok kebijakan diturunkan berdasarkan kebutuhan dan situasi yang relevan
dengan konteks daerah masing-masing.
Saat ini, Solidaritas Perempuan memiliki, setidaknya, lima program kerja atau
divisi, yakni:
1) Divisi Penguatan Organisasi;
47
2) Divisi Kedaulatan Perempuan atas Seksualitas;
3) Divisi Kedaulatan Perempuan atas Tanah;
4) Divisi Kedaulatan Perempuan Melawan Perdagangan Bebas dan Investasi;
5) Divisi Perlindungan Perempuan dan Kaluarganya
Kelima divisi tersebut bekerja secara integral karena Solidaritas Perempuan
menganggap bahwa isu yang dikerjakan pada setiap divisi sangat berkaitan satu sama
lain.
2. Struktur Organisasi Solidaritas Perempuan
Struktur organisasi dalam Solidaritas Perempuan pada prinsipnya tidak
bernilai hirarkis, melainkan hanya untuk menunjukan fungsi dan tanggung jawab
serta relasi antar masing-masing entitas. Penulis menelaah dan membagi struktur
Solidaritas Perempuan ke dalam dua struktur berdasarkan perbedaan cara
pembentukannya, yakni struktur pengurus dan struktur kerja.
a. Struktur Pengurus
Struktur pengurus merupakan entitas organisasi yang bertanggungjawab
langsung kepada anggota. Dipilih melalui rapat pengambilan keputusan tertinggi,
baik di Nasional (Kongres) maupun Musyawarah Komunitas (Muskom). Struktur
Pengurus terdiri dari Badan Eksekutif Nasional (BEN) dan Dewan Pengawas
Nasional (DPN) yang dipilih melalui kongres serta Badan Eksekutif Komunitas
48
(BEK) dan Dewan Pengawas Komunitas (DPK) yang dipilih melalui Muskom.
Semua entitas dipilih dalam periode kerja empat tahunan. Penulis memvisualkan
struktur pengurus sebagai berikut:
b. Struktur Kerja
Struktur kerja dalam Solidaritas Perempuan dibentuk oleh Badan eksekutif.
BEN/BEK diberikan hak melalui AD/ART untuk melakukan pengangkatan dan
membentuk tim kerja yang membantunya dalam upaya pencapaian mandat. Berikut
adalah struktur kerja Solidaritas Perempuan di Sekretariat Nasional. Sementara
struktur kerja di Komunitas Solidaritas Perempuan pada prinsipnya sama, hanya saja
disesuaikan dengan pogram kerja yang diambil berdasarkan konteks masing-masing
daerah.
Gambar III.2. Struktur Pengurus Solidaritas Perempuan
49
Gambar III.3. Struktur Kerja Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan67
67
Struktur Kepengurusan, diakses melalui http://www.solidaritasperempuan.org/tentang-sp/struktur-kepengurusan/ pada 22 Juni 2018
50
E. Solidaritas Perempuan Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat
Solidaritas Perempuan lahir karena kritik para pendirinya terhadap sistem
otoritarian Orde Baru yang banyak melahirkan berbagai ketidakadilan yang
dialami, khususnya terhadap perempuan.
Meski mendeklarasikan diri sebagai organisasi perserikatan, namun
Solidaritas Perempuan dapat dikategorikan sebagai LSM. Terbukti dari
karakteristiknya yang independen dan tidak berorientasi pada kekuasaan ataupun
profit serta bekerja secara sukarela dengan didasarkan pada satu tujuan yang telah
dirumuskan bersama dan memiliki mekanisme kepemimpinan dan pengambilan
keputusan yang jelas namun tidak bersifat birokratis.
Namun salah satu karakteristik Solidaritas Perempuan sedikit berbeda
dengan apa yang dinyatakan oleh Abidin dan Rukmini, bahwa LSM bekerja untuk
melayani masyarakat umum, bukan anggota maupun aktivisnya.68
Solidaritas
Perempuan, pada prinsipnya, bekerja untuk perempuan marjinal yang tidak
memiliki akses dan kontrol terhadap pendidikan, pelayanan publik, hukum,
sumber daya ekonomi, dsb. Dari 781 anggota Solidaritas Perempuan,
mayoritasnya merupakan bagian dari perempuan yang dimaksudkan menjadi
sasaran dari kerja-kerja Solidaritas Perempuan. Meski tetap terdapat perbedaan
antara perempuan yang menjadi anggota dengan yang bukan anggota.
“Secara umum, sasaran dari kerja-kerja SP (Solidaritas Perempuan)
adalah perempuan akar rumput karena mereka yang termarjinalkan dan tidak
memiliki akses dan kontrol ke banyak hal. Anggota kami juga gak banyak dari
kalangan terpelajar atau aktivis. Lebih banyak adalah perempuan yang memang
pernah dikuatkan oleh SP, tetapi dengan menjadi anggota memang mereka punya
68
Hamid Abidin dan Mimin Rukmini, Kritik dan Otokritik LSM (Jakarta; Piramedia, 2004), 21
51
hak dan kewajiban yang diatur dalam AD/ART . Walaupun sama-sama jadi
sasaran tapi dalam hal yang berbeda”.69
69
Wawancara dengan Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan di Kantor Solidaritas Perempuan, Jakarta Selatan pada 5 Juni 2018
52
BAB IV
PERAN SOLIDARITAS PEREMPUAN DALAM ADVOKASI
KEBIJAKAN PENGELOLAAN AIR DI JAKARTA
A. Advokasi Kebijakan Pengelolaan Air di Jakarta
Pada tahun 2012, beberapa LSM yang terdiri dari Solidaritas Perempuan,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Koalisi Rakyat untuk Hak Air
(KRuHA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Urban Poor
Consortium (UPC), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, dan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang
tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta
(KMMSAJ) melayangkan gugatan Citizen Law Suit (CLS) yang ditujukan kepada
Presiden, Wakil Presiden, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan
Umum, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta,
Gubernur Provinsi DKI Jakarta, dan Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan register Perkara Nomor:
527/PDT.G/2012/PN.JKT.PST. Dalam gugatan tersebut, menjadi turut tergugat
diantaranya Palyja dan Aertra, dua perusahaan konsorsium yang mengelola air di
Jakarta. Saat itu, KMMSAJ menuntut pengelolaan air dikembalikan ke Negara,
dalam hal ini, PAM Jaya dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagaimana yang
tercantum dalam Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perusahaan
Daerah Air Minum Jakarta. Berikut adalah daftar nama para penggugat dimana
53
dua di antaranya, yakni Nurhidaya dan Risma Umar, merupakan penggugat yang
berasal dari Solidaritas Perempuan.
Tabel IV.B.1. Daftar Penggugat (Citizen Lawsuit) Kebijakan Pengelolaan Air
Jakarta70
No. Nama Pekerjaan Kewarganegaraan Alamat
1. Nurhidayah Ketua Badan
Eksekutif
Komunitas
Solidaritas
Perempuan
Indonesia Jl. Kalibaru Timur
VIII L No. 8
RT/RW 015/003,
Kelurahan
Kalibaru,
Kecamatan
Cilincing, Jakarta
Utara
2. Suhendi Nur Swasta Indonesia Jln. Merbabu No.
7 RT/RW 005/001
Guntur, Setia
Budi, Jakarta
Selatan.
3. Achmad
Djiddan
Safwan
Swasta Indonesia Jl. Kereta No. 1
Komplek PLN,
Klender, Jakarta
13930
4. Aguswandi
Tanjung
Wiraswasta Indonesia Muara Karang
Blok E7 S/20
RT/RW 01/08
Jakarta Utara
5. Hamong
Santono
Koordinator
Nasional
Koalisi Rakyat
untuk Hak
atas Air
Indonesia Jln. Rambutan VI.
No. 2 Kav. A2,
Pejaten Barat,
Pasar Minggu,
Jakarta Selatan
70
Dokumen Perbaikan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (Gugatan Warga Negara) dalam Perkara Nomor: /PDT.G/2012/PN.JKT.PST, Tim Advokasi Hak atas Air.
54
6. Ecih
Kusumawati
Ibu Rumah
Tangga
Indonesia Jln. Muara Baru
Ujung RT/RW
020/017,
Kelurahan
Penjaringan,
Kecamatan
Penjaringan,
Jakarta Utara
7. Wahidah Ibu Rumah
Tangga
Indonesia Kp. Japat RT/RW
001/001,
Kelurahan Ancol,
Kecamatan
Pademangan,
Jakarta Utara
8. Abdul Rasid Buruh Indonesia Jl. Kp. Melayu
Kec I no. 47
RT/RW 12/10 –
Bukit Duri, Tebet,
Jakarta Selatan
9. Risma Umar Ketua Badan
Eksekutif
Nasional
Solidaritas
Perempuan
Indonesia Kalibata Tengah
RT/RW 004/003
Kelurahan
Kalibata,
Kecamatan
Pancoran, Jakarta
Selatan
10. Beka Ulung
Hapsara
Karyawan
Swasta
Indonesia Kemanggisan
Gang C3/52
RT/RW 007/009,
Palmerah, Jakarta
Barat
11. Edi Saidi Koordinator
Urban Poor
Consortium
Indonesia Jelambar Ilir
RT/RW 10/10
No.17, Kel.
Jelambar Baru,
Jakarta Barat
12. Ubaidilah Direktur
Walhi Jakarta
Indonesia Jln. Lada Dalam
No. 2, Taman Sari,
Jakarta Barat
55
11110
Pada 27 Maret 2013, KMMAJ melakukan dialog dengan Joko Widodo
yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, Gubernur
memberikan dukungan kepada LSM atas Gugatan CLS yang dilayangkan. Saat itu
Gubernur DKI Jakarta mengakui bahwa negara mengalami kerugian yang tidak
sedikit akibat Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan pihak swasta dalam
pengelolaan air di Jakarta. Namun, pada November 2013, Gubernur menarik
dukungannya dan mengajukan tawaran perdamaian serta berjanji akan mengambil
alih pengelolaan air di Jakarta dengan mengakuisisi seluruh saham Palyja dan
Aertra. Pada tanggal 10 April 2014, KMMSAJ menjawab tawaran tersebut dengan
mengeluarkan kertas posisi yang disampaikan kepada Gubernur DKI Jakarta
sebagai syarat dari tawaran perdamaian tersebut. Tuntutan yang dilakukan di
antaranya: 1) Pemerintah mengakui telah melakukan perbuatan melawan hukum
kerena menyerahkan pengelolaan air kepada swasta; 2) Pemerintah dituntut untuk
mengumumkan kepada publik tentang kerugian materi dan imateri yang dialami
Negara dan warga Negara; 3) Pemerintah harus mengambil langkah taktis dan
strategis dalam rangka pembatalan kontrak kerja sama antara PT. PAM Jaya
dengan dua konsorsium perusahaan penyedia layananan air, Palyja dan Aertra; 4)
Negara harus melakukan evaluasi yang komperhensif. Selain itu, Solidaritas
Perempuan juga menuntut untuk
1) Memastikan konsultasi publik yang sejati dengan membuka rencana
pengelolaan air Jakarta dari, oleh dan untuk publik, dengan
56
memastikan keterlibatan penuh (meaningful participation)
perempuan;
2) Memastikan akses air bagi masyarakat miskin kota, khususnya
perempuan dan masyarakat pesisir, di mana perempuan karena
peran gendernya terkena dampak yang berlapis dan yang menjadi
kelompok rentan di mana 1/3 masyarakat miskin Indonesia berada di
pesisir;
3) Pembentukan kelembagaan dan mekanisme pengawasan pengelolaan
air oleh publik. Pembentukan kelembagaan dan mekanisme
pengawasan pengelolaan air oleh publik, dengan menerapkan prinsip
inklusif, sensitif dan responsif gender.71
Pada 24 Maret 2015, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan
memenangkan penggugat dan menyatakan bahwa: 1) tergugat telah lalai
memenuhi dan melindungi hak atas air warga Jakarta; 2) Tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum karena melakukan swastanisasi air di
Jakarta; 3) tergugat merugikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Masyarakat;
4) perjanjian kerjasama dengan Palyja dan Aertra dinyatakan batal demi hukum
dan tidak berlaku; 5) menghentikan swastanisasi air di Jakarta dan
mengembalikan pengelolaan air minum sesuai prinsip hak atas air.72
Pada 8 April 2015, tergugat dari pemerintah pusat mengajukan banding
sementara pemerintah provinsi DKI Jakarta dan PAM Jaya menerima gugatan
tersebut. Pada 12 Januari 2016, Pengadilan Tinggi Jakarta memutuskan melalui
putusan Nomor 588/PDT/2015/PT DKI membatalkan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
71
Kertas Posisi Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) atas Tawaran Perdamaian oleh Gubernur DKI Jakarta yang disampaikan pada 10 April 2014
72 Hasil Pemantauan Hak Perempuan atas Air di Jakarta, (Jakarta: Solidaritas Perempuan
Jabotabek, 2016), 24
57
Tidak hanya sampai di situ, para penggugat mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung dan memenangkan perkara pada 11 Oktober 2017 melalui
putusan Mahkamah Agung Nomor 31 K/Pdt/2017 yang menyatakan tergugat lalai
dalam memenuhi hak atas air warga Jakarta. Putusan MA tersebut sekaligus
membatalkan putusan yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi Jakarta.73
Sepanjang proses tersebut, LSM-LSM dalam KMMSAJ juga melakukan
kajian dan dialog dengan berbagai pemangku kepentingan.
B. Landasan Solidaritas Perempuan Terlibat dalam Advokasi Kebijakan
Pengelolaan Air di Jakarta
Setiap organisasi tidak dapat dilepaskan dari nilai dan karakteristik yang
terbentuk menjadi budaya organisasi. Sistem nilai ini kemudian yang menjadi
etika dan landasan bertindak.
Solidaritas Perempuan, sejak awal berdirinya, telah mendeklarasikan diri
sebagai organisasi yang membela kepentingan perempuan dalam kerangka
berfikir feminisme yang didefinisikan sebagai“Paham atau ideologi yang
meyakini bahwa perempuan mengalami penindasan sehingga perempuan harus
sadar dan bergerak melawan penindasan dan ketidakadilan yang dialami”74
73
MA Batalkan Privatisasi Air Jakarta, Pengusaha Tunggu Langkah Pemprov, diakses melalui https://katadata.co.id/berita/2017/10/11/ma-batalkan-privatisasi-air-jakarta-pengusaha-tunggu-langkah-pemprov pada 15 Juni 2018
74 Wawancara dengan Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas
Perempuan di Kantor Solidaritas Perempuan, Jakarta Selatan pada 5 Juni 2018
58
Feminisme sebagai ideologi organisasi kemudian dirumuskan dalam nilai-
nilai yang terejawantahkan dalam cara pandang, pengelolaan dan pengaturan
terhadap organisasi dan individu-individu yang terlibat di dalamnya, baik anggota
maupun non anggota (staf yang bekerja). Nilai-nilai tersebut, yakni: Demokrasi,
adil, lestari, non partisan, non sektarian, anti diskriminasi, anti kekerasan, setara,
dan menghargai keberagaman.
Fakta yang diyakini bahwa perempuan mengalami penindasan membuat
fokus kerja Solidaritas Perempuan tertuju pada perempuan, meski tidak juga
menafikan fakta bahwa laki-laki juga dapat menjadi korban dari ketidakadilan
berbasis gender namun di sisi lain juga dapat menjadi bagian dari support system
bagi gerakan perempuan. Itulah mengapa laki-laki bisa menjadi anggota
Solidaritas Perempuan dengan kuota tidak lebih dari 10 persen, sebagaimana
termaktub di dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
Seperti halnya dalam persoalan air, buruknya pengelolaan air di Jakarta
bukan saja menjadi persoalan perempuan, tetapi juga persoalan laki-laki. Namun,
perempuan menghadapi situasi yang lebih khusus. Kehidupan perempuan yang
lekat dengan air tidak dipandang hanya karena perempuan adalah manusia yang
tidak bisa hidup tanpa air, lebih dari itu, karena cara pandang masyarakat yang
meletakan peran perempuan dalam ranah domestik sehingga kebutuhan keluarga
akan air menjadi beban dan tanggung jawab perempuan.
Dalam masyarakat, perempuan diberi tanggung jawab untuk pasokan air
dan sanitasi serta memelihara lingkungan rumah agar senantiasa bersih dan
59
higienis. Tanggung jawab tersebut kemudian menjadi beban yang berlebih ketika
pengelolaan air yang menjadi tanggung jawab negara tidak dilaksanakan dengan
baik.75
Di sisi lain, kebutuhan perempuan akan air juga lebih spesifik, yakni untuk
kebutuhan reproduksinya. Kualitas dan kuantitas air yang buruk akan berdampak
pada kerentanan infeksi pada organ reproduksi perempuan.76
Oleh karenanya, Solidaritas Perempuan memutuskan untuk melakukan
advokasi kebijakan pengelolaan air. Advokasi ini tidak hanya dilakukan di Jakarta
tetapi juga diberbagai daerah, seperti Makassar dan Aceh. Tidak hanya itu,
Solidaritas Perempuan juga melakukan advokasi kasus dan pendampingan
masyarakat, khususnya perempuan, yang mengalami konflik air akibat monopoli
yang dilakukan perusahaan sawit dan perusahaan semen.
C. Peran Solidaritas Perempuan dalam Advokasi Kebijakan Pengelolaan
Air Di Jakarta
Advokasi merupakan salah satu istilah yang tidak asing bagi Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) pada era reformasi. Pasalnya, demokrasi yang
menjadi prasyarat bagi kerja advokasi tidak terjadi pada era sebelumnya sehingga
peluang-peluang intervensi dalam proses kebijakan tidak terjadi.
Peran LSM sebagai jembatan antara masyarakat dengan pemerintah
membuat advokasi menjadi salah satu cara yang cukup efektif sebagai wujud
pembelaan dan mendorong perubahan kebijakan agar sesuai dengan kepentingan
75
Wawancara dengan Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan di Kantor Solidaritas Perempuan, Jakarta Selatan pada 5 Juni 2018
76 Gangguan Kesehatan Akibat Air yang Tidak Bersih, diakses melalui
http://hesperian.org/wp-content/uploads/pdf/id_cgeh_2010/id_cgeh_2010_05.pdf pada 5 Juni 2018
60
masyarakat. Oleh karenanya, sejak awal advokasi dilakukan, LSM telah berpihak
pada masyarakat, khususnya pada masyarakat marjinal yang tidak cakap hukum
serta sulit mengakses informasi. Begitu pula pada advokasi kebijakan pengelolaan
air di Jakarta. Pun halnya dengan Solidaritas Perempuan yang tergabung dalam
Koaliasi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ)
Sebagai sebuah perangkat tingkah atau tindakan individu maupun
organisasi, sebesar atau sekecil apapun peran yang dilakukan oleh individu
maupun organisasi merupakan upaya untuk melaksanakan hak dan kewajiban
untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Solidaritas Perempuan sebagai sebuah LSM, tentu diharapkan oleh
masyarakat untuk menjalankan peran idealnya, namun di sisi lain Solidaritas
Perempuan juga telah mengambil peran-peran tertentu, yakni hadir untuk
menumbuhkan pemahaman dan membangun kesadaran perempuan untuk
memperjuangkan hak-haknya. Peran-peran tersebut dilakukan sebagai
konsekuensi dari nilai-nilai yang sejak awal diteguhkan sebagai identitas
organisasi.
Dapat dilihat dari kerja-kerjanya, Solidaritas Perempuan menerapkan tiga
strategi utama, yakni: pengorganisasian, advokasi, dan kampanye. Tiga hal
tersebut menjadi satu kesatuan strategi yang dilakukan untuk semua permasalahan
yang didampingi.
a) Pengorganisasian, dilakukan untuk menguatkan sasaran
(perempuan akar rumput) baik dari segi pemahaman, kesadaran,
61
dan kapasitas agar dapat membangun kekuatan bersama untuk
menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi. Selain itu,
pengorganisasian juga dilakukan untuk mengkonsolidasikan data
dan informasi yang dapat digunakan untuk memperkuat kerja
advokasi.
b) Advokasi, dilakukan untuk membawa permasalahan yang terjadi di
lapangan ke dalam ranah pengambil kebijakan, baik melalui jalur
lembaga peradilan hukum maupun legislasi, agar dapat mendorong
perubahan dan menjawab permasalahan yang ada. Advokasi dalam
kerja Solidaritas Perempuan harus bermula dari hasil
pengorganisasian. Solidaritas Perempuan kemudian membangun
strategi dan berkonsolidasi dengan kelompok atau organisasi lain
yang memiliki keselarasan pemahaman dan cara pandang.
c) Kampanye, merupakan upaya dari Solidaritas Perempuan untuk
menyuarakan masalah yang dihadapi perempuan rumput yang
biasanya sulit mengakses media komunikasi. Hal tersebut
dilakukan untuk menggugah kesadaran publik dan menggalang
dukungannya untuk kepentingan perubahan kebijakan.
“ketiga strategi itu gak bisa dipisahkan. gak bisa kita melakukan advokasi
tanpa melakukan pengorganisasian. Nanti advokasinya dianggap mengawang-
ngawang. Kita bisa melakukan advokasi tanpa pengorganisasian kalau ada
respon aktual aja tetapi effort dan energi yang dikeluarkan juga gak banyak dan
harus tetap berlandaskan prinsip organisasi atau memang ada permintaan secara
langsung dari masyarakat yang wilayahnya tidak menjadi basis pengorganisasian
SP…….. selanjutnya, SP hanya memfasilitasi perempuan saja, yang bergerak
harus tetap mereka, yang bicara harus tetap mereka. SP hanya berbicara
berdasarkan hasil data yang telah dihimpun dan dianalisis, secara fakta di
62
lapangan kan perempuan-perempuan itu yang lebih tau karena mengalami dan
menghadapi langsung.”77
Dari penyataan di atas, sebagai LSM, Solidaritas Perempuan dapat
disimpulkan telah mengambil peran sebagai fasilitator, Komunikator, dan juga
dinamisator di masyarakat. Sebagaimana peran-peran tersebut merupakan peran-
peran LSM yang telah dirumuskan oleh berbagai sarjana sosial. Begitu pula pada
advokasi kebijakan pengelolaan air di Jakarta di mana peran Solidaritas
Perempuan dapat dianalisis dalam setiap tahap advokasi.
1. Tahapan Advokasi Kebijakan Pengelolaan Air di Jakarta
Topatimasang, dkk membagi jenis advokasi berdasarkan kebijakan yang
dilihat dalam sudut pandang sistem hukum, yakni: Isi Hukum, Tata Laksana
Hukum, dan Budaya Hukum.78
Sementara Edi Suharto, yang mengutip Dubois
dan Miley, membagi tipe advokasi menjadi dua, yakni: Advokasi kasus dan
advokasi kelas. Jenis advokasi yang dipilih dipengaruhi oleh ruang lingkupnya,
yakni mikro, mezzo, dan makro.79
Berdasarkan pada pernyataan Topatimasang dan Suharto, tipe advokasi
yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan untuk mendorong kebijakan
pengelolaan air di Jakarta merupakan advokasi kelas dalam skala makro yang
menyangkut pada keseluruhan kebijakan, baik isi hukum, tata laksana hukum,
77
Wawancara dengan Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan di Kantor Solidaritas Perempuan, Jakarta Selatan pada 5 Juni 2018
78
Roem Topatimasang, dkk, Mengubah Kebijakan Publik (Yogyakarta: Intipress, 2007), 45
79 Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri (Bandung: Alfabeta, 2009), 165
63
maupun budaya hukum. Hal tersebut didasari pada advokasi yang dilakukan
merupakan pembelaan atas kepentingan kelas atau masyarakat untuk memperoleh
hak-haknya dan mengarahkan advokasinya pada perubahan kebijakan pengelolaan
air di Jakarta.
Berikut adalah tahapan yang dilalui dalam advokasi kebijakan yang
berskala makro dalam pengelolaan air di Jakarta di mana Solidaritas Perempuan
terlibat di dalamnya:
a. Membentuk Lingkaran Inti
Pada Hari Air Sedunia tahun 2011, kelompok LSM yang terdiri
dari Solidaritas Perempuan, Koalisi Rakyat untuk Hak Air (KRuHA),
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Urban Poor
Consortium (UPC), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, dan Indonesia
Corruption Watch (ICW), Indonesia Human Right Comitte for Social
Justice (IHCS) dan Koalisi Anti Utang (KAU) berkumpul untuk
melakukan peringatan Hari Air Sedunia. Pada Juni 2011, LSM-LSM
tersebut bersepakat untuk membentuk sebuah koalisi yang dinamakan
Koalisi Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ).
Solidaritas Perempuan merupakan salah satu organisasi yang
menjadi inisiator dari pembentukan koalisi tersebut. Berawal dari
lahirnya Komunitas Solidaritas Perempuan Jabotabek pada 2004 yang
bekerja di wilayah Rawa Badak dan Cilincing di mana perempuan
64
pada dua wilayah tersebut telah sejak lama menjadi pelanggan Aertra
namun mengalami masalah kesulitan air. Ketika perluasan wilayah
kerja dilakukan ke Duri Kepa, perempuan yang rumah tangganya
menjadi pelanggan Palyja juga mengalami persoalan yang sama.
Berdasarkan permasalahan tersebut, Solidaritas Perempuan dan
LSM lainnya berinisiatif untuk membentuk koalisi dan melakukan
pembagian peran untuk mendorong perubahan kebijakan melalui
proses advokasi.
Gambar IV.4 Pembagian Peran dalam Lingkaran Inti KMMSAJ80
Peran tersebut dibagi berdasarkan fokus kerja dan kapasitas
setiap LSM. Seperti, LSM yang fokus kerjanya melakukan
pendampingan hukum seperti IHCS dan LBH Jakarta diposisikan
menjadi tim kerja garis depan. Sementara KIARA menjadi tim garis
80
Wawancara melalui telepon dengan Aliza Yuliana, Ketua Divisi Kedaulatan Perempuan atas Tanah pada 19 Juni 2018
65
depan karena dalam LSMnya memiliki sumber daya pengacara.
Sementara ICW, KRUHA, dan KAU memiliki fokus dan kapasitas
dalam melakukan penelitian-penelitian kebijakan. Sementara, LSM
yang memiliki basis masa dan bekerja pada tataran masyarakat seperti
Solidaritas Perempuan, UPC, Walhi Jakarta dan JRMK diperankan
untuk menjadi tim kerja basis yang bergerak pada tataran masyarakat
untuk melakukan penguatan dan memobilisasi masa untuk menjadi
kelompok penekan. Namun, panjangnya masa advokasi yang
dilakukan (2011 sampai sekarang) membuat dinamika dalam koalisi
juga terus bergerak dan cukup mengganggu proses advokasi. Pada tim
basis, praktis hanya tinggal Solidaritas Perempuan yang bertahan.
JRMK, UPC, dan Walhi Jakarta memutuskan untuk tidak terlibat
dalam koalisi di tengah-tengah perjalanan advokasi. Sehingga
Solidaritas Perempuan menjadi satu-satunya organisasi di dalam
koalisi yang diharapkan menjalankan peran penguatan dan mobilisasi
masa saat diperlukan tekanan dalam proses advokasi.
Sebagai tim basis, Solidaritas Perempuan melalui
Komunitasnya di Jabotabek melakukan penguatan kesadaran dan
pemahaman di tiga wilayah, yakni Cilincing, Rawa Badak, dan Duri
Kepa. Penguatan kesadaran dan pemahaman tersebut dilakukan dengan
metode diskusi kampung di mana perempuan berkumpul untuk
membicarakan berbagai masalah air yang dihadapi oleh perempuan
sehari-hari. Dari diskusi tersebut ditemukan fakta bahwa air yang
66
didistribusikan oleh Palyja dan Aertra tidak dapat memenuhi standar
kualitas dan kuantitas yang memadai. Air hanya mengalir pada pukul
19.00 sampai 20.00 WIB bahkan pada dini hari dengan debit yang
kecil. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk membayar tagihan
bulanan juga menjadi masalah tersendiri. Dalam satu bulan, setiap
rumah tangga harus membayar tagihan air ke perusahaan lebih dari Rp.
100.000 dengan kualitas dan kuantitas yang tidak memenuhi standar.
Untuk menutupi kebutuhan air, masyarakat memutuskan untuk
membeli air keliling dengan biaya Rp. 15.000 per jeriken sebanyak dua
jeriken per hari. Untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga, setiap
Kepala Keluarga (KK) harus menyisihkan 30 persen pendapatannya.81
Solidaritas Perempuan Jabotabek juga melakukan pemantauan
hak atas air yang dilakukan di lima wilayah di Jakarta, yakni;
Kecamatan Kebon Jeruk; Kecamatan Koja; Kecamatan Tebet;
Kecamatan Cilincing; dan Kecamatan Penjaringan. Pemantauan air
tersebut dilakukan selama lima bulan sejak September 2015 hingga
Februari 2016. Dalam pemantauan tersebut, terlibat di dalamnya 1.158
perempuan dan 10 laki-laki. Pemantauan tersebut bertujuan untuk
assessment fakta di lapangan mengenai persoalan air yang kemudian
digunakan sebagai materi advokasi dan kampanye.82
sebelumnya,
perempuan di wilayah kerja Solidaritas Perempuan telah menerapkan
81
Wawancara melalui telepon dengan Aliza Yuliana, Ketua Divisi Kedaulatan Perempuan atas Tanah pada 19 Juni 2018
82 Hasil Pemantauan Hak Perempuan atas Air di Jakarta (Solidaritas Perempuan
Jabotabek, 2016), 5-7
67
sistem kalender air dan mencatat setiap kali air mengalami masalah
seperti debit yang kurang, kualitas yang buruk, dsb. Data tersebut
kemudian juga dipakai sebagai materi advokasi dan kampanye.
Dari fakta dan penguatan yang dilakukan, Solidaritas
Perempuan mengajukan dua orang yang bersedia menjadi saksi di
pengadilan, yakni Halimah, ibu rumah tangga dari bilangan Rawa
Badak, Jakarta Utara dan Habibah, seorang nelayan dari wilayah
Marunda Kepu.83
b. Memilih Isu Strategis
Pemilihan isu strategis dilakukan melalui berbagai kajian dan
diskusi serta dengan memperhatikan aspek kebutuhan dan hak
masyarakat. Kerugian negara dan tidak terpenuhinya hak masyarakat
Jakarta atas air bersih yang memenuhi standar kelayakan juga
dilakukan dengan berbagai kajian dan penghimpunan data dari
berbagai sumber.
Dari kajian-kajian tersebut kemudian dirangkum dan dijadikan
basis argumentasi dari tuntutan besar yang ditujukan kepada para
pengambil kebijakan, yakni agar negara mengambil alih pengelolaan
air di Jakarta dan harus melakukan pengelolaan dengan mengacu pada
kewajiban negara dalam memenuhi hak masyarakat atas air.
83
Sidang Gugatan Warga Negara: Perempuan Bersaksi Memperjuangkan Hak atas Air, diakses melalui http://www.solidaritasperempuan.org/sidang-gugatan-warga-negara-perempuan-bersaksi-memperjuangkan-hak-atas-air-di-pengadilan-negeri/ pada 22 Juni 2018
68
Solidaritas Perempuan dalam hal ini berperan melakukan
assessment dan mengkaji dampak yang terjadi kepada perempuan
akibat dari kebijakan pengelolaan air Jakarta yang diselenggarakan
dengan kerja sama pemerintah dan swasta. Namun, karena gugatan
bersifat umum dan Solidaritas Perempuan tidak terlibat dalam proses
advokasi di lembaga peradilan, maka substansi yang dibawa
Solidaritas Perempuan tidak masuk ke dalam memori putusan.
Substansi berupa informasi dan fakta yang dihimpun Solidaritas
Perempuan banyak digunakan dalam proses advokasi non litigasi
(proses melalui lembaga non peradilan) dan kampanye yang akan
penulis paparkan kemudian.
c. Merancang Sasaran dan Strategi
Perubahan kebijakan pengelolaan air di Jakarta sebagai tujuan
advokasinya, menggunakan tiga strategi yang dirancang dengan
menggunakan beberapa pendekatan, yakni menggunakan proses
legislasi dan yurisdiksi untuk mendorong perubahan isi hukum,
menggunakan proses politik dan birokrasi untuk mendorong perubahan
tata laksana hukum, serta menggunakan proses sosialisasi dan
mobilisasi untuk mendorong perubahan budaya hukum.84
1) Proses Legislasi dan Yurisdiksi
84
Roem Topatimasang, dkk, Mengubah Kebijakan Publik (Yogyakarta: Intipres, 2007), 45
69
LSM yang terlibat dalam advokasi kebijakan pengelolaan
air di Jakarta menganggap Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, PAM Jaya, serta dua perusahaan
konsorsium Palyja dan Aertra bertentangan dengan berbagai
peraturan hukum baik pada tingkat nasional maupun daerah.
Sehingga perlu menggunakan lembaga peradilan
(litigasi/yurisprudensi) untuk mendorong perubahan kebijakan.
Citizen Lawsuit (Gugatan Warga Negara) dipilih karena gugatan
ditujukan pada penyelenggara negara yang berkewajiban
memenuhi hak atas air dan dimungkinkan setiap individu untuk
melayangkan gugatan meski bukan menjadi bagian dari
masyarakat terdampak.85
Penentuan sasaran gugatan juga
dilakukan dengan melakukan kajian kronologis ditandatanganinya
perjanjian kerja sama antara PAM Jaya dengan Palyja dan Aertra.
Hal tersebut dilakukan untuk menentukan kepada pihak mana
gugatan dilayangkan.
2) Proses Politik dan Birokrasi
Proses politik dan birokrasi juga menjadi satu bagian dari
strategi yang dipilih di luar jalur peradilan resmi, yang dikenal
sebagai proses non litigasi. LSM yang tergabung dalam KMMSAJ
juga merancang strategi untuk melakukan pendekatan ke berbagai
85
Wawancara melalui telepon dengan Aliza Yuliana, Ketua Divisi Kedaulatan Perempuan atas Tanah pada 19 Juni 2018
70
lembaga negara yang relevan dengan advokasi kebijakan
pengelolaan air di Jakarta, seperti Pemerintahan Provinsi DKI
Jakarta, PAM Jaya, dll. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan
pandangan dan mempengaruhi lembaga tersebut, tetapi juga untuk
mendapatkan pandangan baru yang berguna bagi proses advokasi.
Seperti proses dialog dengan Gubernur DKI Jakarta, yang saat itu
masih dijabat oleh Joko Widodo, yang dilakukan pada 10 April
2014. Dalam dialog tersebut, Solidaritas Perempuan
menyampaikan beberapa fakta yang dihadapi perempuan yang
merupakan hasil assessment yang dilakukan sebelumnya. Proses
ini melahirkan kesepakatan bahwa Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta akan mengakuisisi saham Palyja dan Aertra melalui jalur
hukum atau proses b-to-b (bussiness to bussines).86
Dalam
pertemuan ini juga, Pemerintah Provinsi menginisiasi pengelolaan
air dilakukan oleh PT. Jakarta Propertindo yang merupakan Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta, 87
namun usulan
tersebut ditolak oleh Solidaritas Perempuan dan anggota koalisi
lainya karena dilakukan tanpa melakukan pemutusan kontrak
dengan Palyja dan Aertra di mana kontrak tersebut baru akan
berakhir pada 2022.
86
Akuisisi Palyja, Koalisi dan Pemda DKI Sepakat, 11 Maret 2014, 1 87
Belum “Go Public”, Jakpro Dipercaya Basuki Pimpin Palyja, Data Media Covering Solidaritas Perempuan, 22-23 (diakses oleh Solidaritas Perempuan melalui: http://megapolitan.kompas.com/read/2013/08/27/1258393/Belum.Go.Public.PT.Jakpro.Dipercaya.Basuki.Pimpin.Palyja pada 27 Agustus 2013.
71
“10 April 2014 diadakan pertemuan tertutup dengan
jokowi di kantor Gubernur, namun ternyata juga menghadirkan
PAM Jaya dan Jakpro. Hasil dari pertemuan tersebut adalah
Koalisi menyampaikan posisi koalisi dan apabila ingin ada
kesepakatan, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan
terlebih dahulu oleh Gubernur. Terhadap posisi koalisi, Gubernur
sepakat seluruhnya dan menginstruksikan kepada Jakpro dan PAM
jaya untuk mendiskusikan langkah-langkah teknisnya bersama
koalisi. Yang disepakati Jokowi antara lain: pembukaan informasi
mengenai rencana pembelian saham Palyja oleh Jakpro dan PD
Pembangunan jaya termasuk harga sahamnya kepada publik;
penyusunan langkah-langkah teknis untuk tindak lanjut
kesepakatan bersama koalisi dan pencabutan SK Swastanisasi air
dengan mengeluarkan SK baru yang sejalan denngan tujuan untuk
mengembalikan layanan air ke tangan publik…… Rencana
Pertemuan lanjutan dengan Jokowi tidak terjadi karena masih ada
ketidaksepakatan di Koalisi.”88
3) Proses Sosialisasi dan Mobilisasi
Strategi dalam melakukan sosialisasi dan mobilisasi juga
penting dirancang. Proses ini dilaksanakan untuk membangun
pendapat publik dari masyarakat luas dan dapat menjadi strategi
untuk menekan para pengambil kebijakan untuk melakukan
perubahan kebijakan. Sosialisasi dan mobilisasi dilakukan, baik
dengan cara melakukan pengorganisasian masa maupun kampanye
dengan menggunakan beberapa momentum, seperti Hari Air yang
jatuh pada 22 Maret, atau ketika sidang di pengadilan
diselenggarakan, dll.
88
Notulensi Rapat Advokasi dan Strategi Kampanye Air pada 6 juni 2014, 10
72
Solidaritas Perempuan yang bekerja pada tim basis memiliki
peranan signifikan dalam hal ini. Perempuan yang telah dikuatkan
oleh Solidaritas Perempuan dalam berbagai metode dimobilisasi
untuk menjadi kelompok penekan dan menyuarakan pengalaman
yang dihadapi sebagai dampak dari kebijakan pengelolaan air di
Jakarta.
d. Mengolah Data dan Mengemas Informasi
Pengolahan data dan mengemas informasi adalah kegiatan
yang dilakukan untuk mendukung advokasi dan kampanye. Dalam
advokasi kebijakan pengelolaan air di Jakarta, informasi dan data
banyak digunakan untuk mendukung advokasi baik litigasi maupun
non litigasi, seperti membuat memori gugatan, briefing paper, kertas
posisi, dan lain-lain. Selain itu, juga digunakan untuk menggalang
dukungan publik. pengolahan data dan pengemasan informasi berguna
untuk menurunkan bahasa agar mudah dipahami publik, seperti
penggalangan dukungan melalui tanda tangan petisi online Change.org
berjudul “Jangan Jual Pengelolaan Air ke Perusahaan Asing” yang
dilakukan oleh Suhendi Nur (Penggugat) yang difasilitasi oleh Koalisi,
yang berhasil menggalang dukungan hingga 8.934 orang.89
Solidaritas Perempuan juga melakukan pengemasan data dan
informasi untuk kampanye dengan memproduksi beberapa campaign
89
https://www.change.org/p/basuki-btp-jangan-jual-pengelolaan-air-ke-perusahaan-asing
73
kit seperti poster, leaflet, dll yang disebarkan baik secara langsung
maupun tidak langsung, yakni menggunakan media sosial, dan lain
sebagainya. Solidaritas Perempuan juga menggalang opini publik
dengan memasukan pendapatnya dalam media masa baik melalui
siaran pers maupun penulisan opini seperti The Jakarta Post, The
Jakarta Globe, dll.
e. Mengajukan Rancangan Tanding
Dalam hal merancang dan mengajukan rancangan tanding, organisasi
yang tergabung dalam KMMSAJ masih memperdebatkan mengenai
konsepnya. Mengingat sumber air di Jakarta tidak cukup memadai
karena aliran sungai tercemar limbah, di sisi lain menyedotan air tanah
mengakibatkan penurunan permukaan tanah yang akan mengakibatkan
genangan air jika musim hujan tiba atau ketika air laut pasang.
Rancangan tanding yang semula didorong agar negara memfasilitasi
pengelolaan air berbasis komunitas menjadi sulit direalisasikan tanpa
tersedianya sumber air yang layak.
Selain itu, rancangan tanding pasca putusan Mahkamah Agung juga
masih diperdebatkan. LBH Jakarta yang bekerja sama dengan Amrta
Insitute for Water Literacy dan salah satu lembaga internasional
mengambil contoh pengelolaan air di Paris, Perancis. Di mana Dewan
Kota Paris menghentikan perjanjian kerja sama dengan swasta dan
74
melakukan konsep remunisipalisasi.90
Sementara, anggota koalisi yang
lain menganggap bahwa konsep remunisipalisasi tidak cocok
diterapkan di Jakarta dan mendorong konsep deprivatisasi. Meski
secara definisi keduanya berarti pengembalian sarana publik dari pihak
swasta namun konsep yang diterapkan berbeda. Remunisipalisasi
dianggap masih memberikan peluang bagi swasta untuk melakukan
privatisasi air. Sebagaimana yang terjadi di Mali di mana pemerintahan
setempat masih membuka peluang bagi kerja sama internasional terkait
investasi air.91
Dalam hal ini, Solidaritas Perempuan belum percaya diri untuk
mengeluarkan konsep tandingan yang diharapkan berbentuk
pengelolaan air berbasis komunitas karena belum melakukan banyak
kajian.
D. Tantangan Solidaritas Perempuan dalam Melaksanakan Perannya
pada Advokasi Kebijakan Pengelolaan Air di Jakarta
Dalam menjalankan perannya, Solidaritas Perempuan mengadapi berbagai
tantangan, diantaranya:
90
Remunisipalisasi: Negara dan Kota yang Telah Berhasil, Amrta Institute for Water Literacy, diakses melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/Remunisipalisasi-amrta-bahasa.pdf pada 22 Juni 2018, 1
91 Amrta Institute for Water Literacy, Remunisipalisasi: Negara dan Kota yang Telah
Berhasil, diakses melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/Remunisipalisasi-amrta-bahasa.pdf pada 22 Juni 2018, 2
75
1. Kapasitas dan pemahaman pengambil kebijakan yang kurang mengenai
gender dan feminisme membuat Solidaritas perempuan mengalami
tantangan tersendiri untuk mendorong kebijakan pengelolaan air yang
mengakomodir kepentingan perempuan.
2. Belum adanya kebijakan pengarusutamaan gender dalam pembangunan di
Jakarta sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
3. Solidaritas Perempuan merupakan satu-satunya organisasi perempuan
yang terlibat dalam koalisi, sehingga pengawalan substansi gender dalam
setiap tahapan advokasi tidak begitu kuat.
4. Proses advokasi yang panjang dan dinamika di internal koalisi
membutuhkan berbagai penyesuaian-penyesuaian. Dalam kerja Tim Basis,
beberapa organisasi tidak lagi terlibat dan membuat Solidaritas Perempuan
harus mengerahkan sumber daya lebih untuk melaksanakan peran-
perannya dalam tim basis.
5. Pergantian fokus kerja divisi di internal Solidaritas Perempuan di mana
advokasi kebijakan pegelolaan air dalam kerangka investasi dilakukan
oleh Divisi Kedaulatan Perempuan atas Tanah, pasca kongres 2015
dipindahkan menjadi fokus kerja Divisi Kedaulatan Perempuan Melawan
Perdagangan Bebas dan Investasi. Proses transisi ini membutuhkan
berbagai penyesuaian-penyesuaian.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa Solidaritas Perempuan
sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang bekerja berlandaskan visi, misi, dan
garis politik serta nilai-nilai yang diinternalisasikan menjadi budaya organisasi
memiliki peran dalam advokasi kebijakan pengelolaan air di Jakarta, yakni
sebagai tim kerja basis yang bekerja melakukan pengorganisasian dan mobilisasi
masyarakat, khususnya perempuan. Namun di sisi lain, juga memiliki peran di
dalam pengelolaan data dan informasi yang digunakan untuk menunjang advokasi
non litigasi dan kampanye. Sementara dalam proses litigasi, Solidaritas
Perempuan melalui dua orang anggotanya, yakni Risma Umar dan Nurhidayat
menjadi penggugat. Pada berjalannya proses persidangan, Solidaritas Perempuan
mengajukan perempuan sebagai saksi di mana perempuan tersebut merupakan
perempuan yang dikuatkan pemahamannya oleh Solidaritas Perempuan melalui
pengorganisasian.
Hal tersebut didasarkan pada strategi organisasi, yakni pengorganisasian,
advokasi, dan kampanye, sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran
perempuan dan sebagai bentuk pembelaan terhadap perempuan marjinal yang
tidak cakap hukum dan tidak memiliki akses terhadap informasi serta menggalang
dukungan publik agar berposisi pada persoalan-persoalan perempuan. Peran yang
dilakukan Solidaritas Perempuan juga dilandasi oleh kapasitas organisasi dan
77
analisis terhadap permasalahan yang dihadapi perempuan yang dirumuskan dalam
mandat organisasi, termasuk pada permasalahan yang dihadapi perempuan dalam
kebijakan pengelolaan air, khususnya di Jakarta.
Meski di sisi lain, perumusan dan perubahan kebijakan yang terjadi, baik
berupa putusan dalam setiap jenjang lembaga peradilan maupun pada tingkat
pemerintah DKI Jakarta masih melihat persoalan pengelolaan air dalam perspektif
yang netral gender. Artinya, fakta yang terjadi, yang dihadapi perempuan dalam
kebijakan pengelolaan air di Jakarta belum mempertimbangkan kebutuhan
spesifik perempuan atas air.
B. Saran
1. Saran Akademis
Penelitian ini pada prinsipnya memiliki beberapa kekurangan, yakni tidak
banyak memaparkan sudut pandang dari pengambil kebijakan, khususnya yang
berkenaan dengan kebijakan pengelolaan air di Jakarta. Di sisi lain, penulis juga
tidak secara definitif memaparkan peran Solidaritas Perempuan berdasarkan
runutan tahun pelaksanaan advokasi sehingga peran-peran Solidaritas Perempuan
yang muncul sebagai temuan penelitian tidak dipaparkan terlalu sistematis.
Sehingga pada penelitian berikutnya aspek-aspek yang menjadi kekurangan dalam
penelitian ini dapat dijadikan pembelajaran sehingga dapat menghasilkan
penelitian yang komperhensif, sistematis, dan memenuhi standar akademik yang
baik.
78
2. Saran Praktis
Penulis juga melihat masih banyak tantangan yang dihadapi Solidaritas
Perempuan dalam mendorong perubahan kebijakan pengelolaan air di Jakarta,
termasuk tantangan untuk menginfiltrasi perspektif pengarusutamaan gender
dalam kebijakan. Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus bekerja
melakukan pembelaan terhadap perempuan, Solidaritas Perempuan perlu
melakukan pendekatan kepada LSM-LSM yang memiliki kesamaan fokus isu,
yakni isu perempuan. Agar dapat memperluas jangkauan dan memperkuat daya
tekan dalam setiap advokasi agar persoalan yang dihadapi perempuan dapat
menjadi isu utama dan tidak hanya digunakan untuk memperkaya analisis semata.
Selain itu, aspek pendokumentasian juga perlu diperbaiki agar Solidaritas
Perempuan dapat terlihat perannya secara jelas dalam mendorong kepentingannya
sesuai dengan mandat organisasi yang diputuskan melalui mekanisme
pengambilan keputusan yang telah ditetapkan.
Di sisi lain, pemerintah sebagai pengambil kebijakan perlu melakukan
evaluasi kebijakan dengan melibatkan seluruh entitas masyarakat khususnya pada
kebijakan pengelolaan air yang sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat di
Jakarta.
79
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
A. Dahl, Robert. 2001. Perihal Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Abidin, Hamid dan Mimin Rukmini. 2004. Kritik dan Otokritik LSM. Jakarta:
Piramedia.
Azra, Azyumardi. 1999 Menuju Masyarakat Madani. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Bastian, Indra. 2011. Akuntansi untuk LSM dan Partai Politik. Jakarta: Graha
Ilmu.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Clark, John. 1995. NGO dan Pembangunan Demokrasi. Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya.
Gellner, Ernest. 1994. Membangun Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju
Kebebasan Bandung: Mizan.
Harison, Lisa. 2007. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Hikam, Muhammad. 1999. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES.
Jordan, Lisa dan Peter Van T. 2009. Akuntabilitas LSM. Jakarta: LP3ES.
Kurniawan, Nanang Indra. 2010. “Advokasi Berbasis Jejaring” dalam Sigit
Pamungkas, ed., Advokasi Berbasis Jejaring. Yogyakarta: Research
Centre for Politics and Government.
80
Miller, Valerie dan Jane Covey. 2005. Pedoman Advokasi: Perencanaan,
Tindakan, dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor.
Parson, Wayne. 2005. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis
Kebijakan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Robbins, Stephen P. dan Timobthy A. Judge. 1996. Perilaku Organisasi. Jakarta:
Salemba Empat.
Safaat, Rachmad, dkk. 2017. Analisis Implementasi Putusan Mahkamah
Konstitusi atas Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta: Pusat Penelitian
dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan
Komunikasi.
Soehartono, Irawan. 2011. Metode Penelitian Sosial, Suatu Teknik Penelitian
Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Soekanto, Soerjono, 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Sugiyono.2014. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suharto, Edi. 2009. Pekerjaan Sosial di Dunia Industri. Bandung: Alfabeta.
Suseno, Frans Magnis. 1993. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.
Tim ICCE. 2002. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani.
Jakarta: Kencana Prenada.
Titahelu, Ronald Z. 2015. Penetapan Asas-Asas Hukum Umum dalam
Penggunaan Tanah untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat.
Yogyakarta: Deepublish.
Topatimasang, Roem dkk. 2007. Mengubah Kebijakan Publik. Yogyakarta:
Insistpress.
81
DOKUMEN ORGANISASI:
Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga Solidaritas Perempuan
Dokumen Perbaikan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (Gugatan Warga
Negara) dalam Perkara Nomor: /PDT.G/2012/PN.JKT.PST, Tim Advokasi
Hak atas Air.
Hasil Pemantauan Hak Perempuan atas Air di Jakarta 20015-2016, Solidaritas
Perempuan Jabotabek
Kertas Posisi Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ)
atas Tawaran Perdamaian oleh Gubernur DKI Jakarta yang disampaikan
pada 10 April 2014
Notulensi Rapat Advokasi dan Strategi Kampanye Air pada 6 juni 2014
Presentasi Direktur PT. PAM Jaya, Maurits Napitupulu tentang Kondisi
Pelayanan Air Minum di DKI Jakarta, Tahun 2011
PENELITIAN/JURNAL:
Anggara, Krisna. 2008. Tesis: “Pemberdayaan Lembaga Masyarakat (LSM)
dalam Upaya Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba”. Depok: UI.
Heriyana, Ajang. 2008. Skripsi: Peran LSM Forum Peduli Pendidikan
(FORPPENDIK) dalam Monitoring Pendidikan di Kota Depok (Studi
Kasus SDN Tugu 8 Cimanggis).Tangerang Selatan: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Manafe, Lovely Christina. 2012. Skripsi: Peran NGO dalam Penanggulangan Isu
Perubahan Iklim: Studi Kasus Peran Friends Of The Earth dalam
Mendorong Climate Change Act di Inggris melalui Kampanye “The Big
Ask”. Depok: UI.
82
Nugroho, Rohajji. 2015. Skripsi: Partisipasi LSM Pendidikan dalam Perumusan
Kebijakan di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga DIY.
Yogyakarta: UNY.
Somantri, Gumilar Rusliwa. “Memahami Metode Kualitatif” Makara Sosial
Humaniora, Vol. 9, No. 2 (Desember 2005).
WEBSITE:
http://hesperian.org
http://megapolitan.kompas.com
http://www.hukumonline.com
http://www.solidaritasperempuan.org
http://www.waterjustice.org
https://katadata.co.id
https://news.detik.com
https://tirto.id
https://www.change.org
https://www.un.org
https://ylki.or.id
83
KORAN
Kuisisi Palyja, Koalisi dan Pemda DKI Sepakat, Bisnis Indonesia, 11 Maret 2014
WAWANCARA
Wawancara dengan Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas
Perempuan di Kantor Solidaritas Perempuan, Jakarta Selatan pada 5 Juni
2018
Wawancara melalui telepon dengan Aliza Yuliana, Ketua Divisi Kedaulatan
Perempuan atas Tanah pada 19 Juni 2018
84
LAMPIRAN
Siaran Pers Bersama
Untuk Segera Dipublikasikan
Jakarta,22 Juni 2011
Jakarta Miskin Air, Putus Kontrak PT Palyja dan PT AETRA Sekarang
Ibukota Jakarta berulangtahun yang ke-484, Rabu (22/6) ini. Tapi sampai hari ini,
permasalahan krisis air bersih masih menjadi isu utama di Jakarta, bahkan
Jakarta masuk kategori kota miskin air. Data BPS 2010 menyatakan hanya 25%
warga Jakarta yang mendapat akses layanan air pipa. Itu pun kualitasnya buruk
dengan pasokan air yang tidak 24 jam/7hari. Situasi tersebut sangat
mempengaruhi kehidupan masyarakat, khususnya perempuan, karena peran
gender yang melekat pada perempuan. Krisis air bersih, berdampak pada
meningkatnya beban perempuan dalam menyediakan air bersih bagi kebutuhan
rumah tangga dan keluarganya dan juga pada kesehatan masyarakat, akibat
sanitasi yang buruk.
Ketidakmampuan pemerintah kota Jakarta (PAM JAYA) dalam memenuhi
kebutuhan air bersih masyarakat, menjadi salah satu alasan melibatkan
perusahaan swasta – PT.PALYJA dan PT.AETRA dalam pengelolaan air bersih
tersebut.
Buruknya layanan air pipa menimbulkan masalah lain seperti ekstrasi air tanah
berlebihan hingga amblasnya tanah Jakarta, pencemaran bakteri e-coli di sumur
dangkal milik warga miskin yang hidup berdempetan serta terus naiknya tarif air
pipa tanpa perbaikan layanan. PAM JAYA juga mengakui berutang Rp 580
miliar sejak kontrak dengan PT AETRA dan PALYJA dilaksanakan. Aplikasinya,
utang ini dibebankan ke masyarakat lewat APBD DKI Jakarta.
Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Privatisasi Air yang terdiri dari 8
kelompok masyarakat sipil (KRuHA, Solidaritas Perempuan Jabotabek, SP
PDAM Jakarta, FPPI, WALHI JAKARTA, JRMK, LBH Jakarta dan Koalisi Anti
Utang) menuntut Pemerintah Daerah DKI Jakarta segera memutus kontrak
Salah satu Siaran Pers yang dikeluarkan koalisi dimana terdapat analisis dan kajian
Solidaritas Perempuan di dalamnya
85
PAM JAYA dengan dua perusahaan swasta asing PT AETRA dan PT
PALYJA.
”Sebagai langkah konkrit pertama, kami mendesak Gubernur DKI Jakarta Fauzi
Bowo memenuhi janjinya menerima audiensi Koalisi Masyarakat Sipil membahas
pemutusan kontrak PT AETRA dan PT PALYJA,” kata Alghiffari Aqsa,
Pengacara Publik dari LBH Jakarta. Saat menerima audiensi wakil-wakil aksi
massa Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Privatisasi Air di Balai Kota, Senin, 6/6,
Asep Jatneka, Kepala Biro Sarana dan Prasarana Kota menyatakan Gubernur
DKI Jakarta Fauzi Bowo bersedia menerima audiensi Koalisi Masyarakat Sipil
untuk membahas pemutusan kontrak ini.
Desakan tersebut tidak hanya karena pelayanan PT. PALYJA dan PT. AETRA
yang buruk dan tarif mahal, tetapi juga telah merugikan DKI Jakarta. “ Publikasi
laporan audit BPK DKI yang menyatakan bahwa kontrak kerjasama PAM Jaya
dengan PALYJA dan AETRA merugikan Jakarta dan “tidak sah” karena tidak
ditanda tangani oleh Gubernur saat itu” Ujar Reza – Koordinator Koalisi. Sebagai
pembanding, harga rata-rata air pipa Jakarta Rp 7000/m3 dengan kualitas tak
bisa diminum. Sementara air pipa Singapura Rp 5000/m3 dengan kualitas bisa
langsung diminum dan selalu mengalir
Audiensi, kata Alghiffari, untuk memberikan masukan para pakar hukum air dari
Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Privatisasi Air ke Gubernur Jakarta bagaimana
langkah memutus kontrak PT AETRA dan PALYJA tanpa mengharuskan Pemda
DKI Jakarta membayar penalti ganti rugi.
Sejak kontrak distribusi air Jakarta ditangani PT AETRA dan PALYJA 13 tahun
lalu, belum terlihat adanya perbaikan layanan air pipa di ibukota. Sebaliknya, tarif
air telah naik 10 kali lipat dengan kondisi 50 % pipa PAM JAYA mengalami
kebocoran. Semua ini telah membuat masyarakat Jakarta kesulitan mendapat air
bersih, terutama warga ekonomi menengah ke bawah.
Seruan ini juga sekaligus peringatan hukum kepada Pemprov DKI dan undangan
ke konsumen air jakarta untuk bersama-sama mengajukan gugatan pemutusan
kontrak antara mereka dengan Pemprov DKI/PDAM
Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta
KRuHA - Solidaritas Perempuan Jabotabek - SP PDAM Jakarta
FPPI – WALHI JAKARTA – JRMK - LBH Jakarta - Koalisi Anti Utang
Untuk informasi lebih lanjut dapat hubungi Hamong Santono
081511485137, M.Reza 081370601441.
86
Pendidikan Politik yang dilakukan Solidaritas Perempuan kepada
masyarakat dalam rangka pemantauan dampak kebijakan
Pengelolaan air di Cilincing (atas) dan Tebet (bawah)
(Sumber : Dokumentasi Solidaritas Perempuan)
87
Booklet Hasil Pemantauan Hak Perempuan atas Air yang dilakukan
Solidaritas Perempuan pada September 20015- Februari 2016
(Sumber : Dokumentasi Solidaritas Perempuan)
88
Pertemuan dengan Gubernur DKI Jakarta pada 10 April 2014
Sumber: Dokumentasi Solidaritas Perempuan
89
Opini Solidaritas Perempuan di Harian Jakarta Post
Sumber: Dokumentasi Solidaritas Perempuan
90
Salah Satu Media Yang Mengutip Penyataan Solidaritas Perempuan Terkait Advokasi
Kebijakan Pengelolaan Air di Jakarta
Sumber: http://jakartaglobe.id/news/jakarta-water-trust-plays-alleged-obfuscation-game/
91
Contoh pengelolaan data dan informasi yang dilakukan Solidaritas Perempuan untuk
kampanye publik
(Sumber : Dokumentasi Solidaritas Perempuan)
92
Contoh pengelolaan data dan informasi yang dilakukan Solidaritas Perempuan untuk
kampanye publik
(Sumber : Dokumentasi Solidaritas Perempuan)
93
Salah satu bentuk dari mobilisasi masa yang dilakukan Solidaritas Perempuan dalam
proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 13 Januari 2015 (Sumber : Dokumentasi Solidaritas Perempuan)
94
Salah satu proses persidangan Gugatan Warga Negara atas Hak Air yang dilakukan di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
(Sumber : Dokumentasi Solidaritas Perempuan)
95
Mobilisasi masa yang dilakukan di depan Mahkamah Agung untuk mendorong segera
dikeluarkannya putusan MA yang membatalkan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara
pemerintah dan swasta terkait pengelolaan air di Jakarta
(Sumber : Dokumentasi Solidaritas Perempuan)
96
Mobilisasi Masa pasca putusan Mahkamah Agung di depan kantor Gubernur Provinsi DKI
Jakarta dengan tuntutan agar pemerintah DKI Jakarta segera melaksanakan putusan MA
tersebut
(Sumber : Dokumentasi Solidaritas Perempuan)