pengintegrasian pendidikan karakter dalam pengembangan kurikulum
TRANSCRIPT
PENGEMBANGAN KURIKULUM
BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER
OLEH
HM SARTONO
KATA PENGANTAR
Dengan selalu mengucap Puji Syukur Alhamdulillah dipanjatkan kepada Allah
SWT atas limpahan rahmat taufiq inayahNya, Makalah Disertasi ini dapat tersusun
meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Dan Makalah Disertasi ini berjudul
“PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER”
sebagai salah satu upaya untuk memahami dan menerapkan teori teori tentang
Pembentukan karakter didalam Kurikulum di masing masing Tingkat Satuan Pendidikan
merupakan upaya paling penting untuk membentuk kepribadian peserta didiknya
Tujuan utama makalah ini ialah agar diperoleh pemahaman (bahkan
kesepahaman) tentang bagaimana Basis Pendidikan karakter sebagai sebuah program
Pengembangsan didalam Kurikulum di masing masing Tingkat Satuan Pendidikan
merujuk pada Tujuan Pendidikan Nasional yaitu mengembangkan Potensi Peserta Didik
untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia, yang penulis memaknai
bahwa, Tujuan Pendidikan tidaklah semata-mata mengarahkan satuan pendidikan untuk
mencetak wujud manusia yang hanya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
atau memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi semata, tetapi harus diimbangi oleh
penguasaan dan kemampuan mengamalkan nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Penulis menyadari bahwa kesempatan mengembangkan diri, bukan hanya
semata-mata ditentukan oleh tingkat kecerdasan, bakat dan minatnya akan tetapi
kompetensi/ kemampuan dasar yang dimiliki dan disiplin, disamping itu juga memiliki
etos kerja yang tinggi, disiplin serta sangat dominan terlepas dari hal-hal yang
1
melatarbelakangi pengembangan diri suatu pekerjaan, tidak kalah pentingnya adalah
faktor lingkungan kerja yang pertama kali mempengaruhi pertumbuhan perkembangan
personal/individu Tidak semua orang dapat berbuat sesuai , dengan keadaan ataupun
harapan, hal ini disebabkan oleh kelayakan atau tidaknya suatu pekerjaan yang ditekuni.
Namun demikian sangat tergantung pada kemampuan menyesuaikan diri terhadap
kewajiban pekerjaan/ jabatan keprofesionalan dari masing-masing individu.
Makalah yang cukup sederhana ini akan menela’ah pengembangan Kurikulum
dan kurikulum itu sendiri adalah jantungnya pendidikan (curriculum is the heart of
education). Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum, saat ini, memberikan perhatian
yang lebih besar pada pendidikan karakter bangsa dibandingkan kurikulum masa
sebelumnya. Dan penulis menyadari pula bahwa rampungnya tugas ini tidak terlepas dari
keterlibatan semua pihak yang telah memberikan bantuan baik secara moril maupun
material oleh karenanya pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih.
Penulis telah berusaha merampungkan makalah ini dengan sebaik mungkin,
namun hasilnya masih belum sempurna dengan harapan agar kiranya makalah ini dapat
bermanfaat sebagai salah satu informasi dalam usaha untuk pengembangan pendididkan
pada umumnya melalui upaya upaya untuk meningkatkan kesesuaian mutu pendidikan
karakter dan pembentukan karakter yang merupakan salah satu tujuan pendidikan
nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 dinyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan
nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan,
kepribadian dan akhlak mulia, agar pendidikan tidak hanya membentuk insan manusia
yang pintar namun juga berkepribadian, sehingga nantianya akan lahir generasi muda
yang tumbuh dan berkembang denagan kepribadian yang bernafaskan nilai-nilai luhur
agama dan pancasila.
2
Sekolah/Madrasah mulai dari Pendidikan Usia Dini / Taman Kanak-Kanak
sampai dengan Perguruan Tinggi memiliki peran yang central dalam mengembangkan
dan menanamkan nilai-nilai karakter. Semua masyarakat akan sepakat tentang pentingnya
karakter dalam kehidupan, tetapi jauh lebih penting bagaimana menyusun dan mengatur
secara sistematis kurikulum berbasis karakter sehingga peserta didik dapat lebih
berkarakter dalam kehidupan, yang dipandang perlu mendapat perhatian dalam upaya
pengembangan kependidikan di masa yang akan datang.
3
1. Pendahuluan
Pendidikan dewasa ini hampir kehilangan keberadaannya sebagai suatu proses
yang mengantarkan setiap peserta didik menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang
secara pribadi dapat memerankan dirinya ditengah-tengah kehidupan masyarakat sebagai
problem solver, selanjutnya manusia disebut dengan makhluk sosial. Kenyataan ini dapat
dilihat dari adanya pergeseran paradigma (paradigm shift) pada masyarakat akan makna-
makna kebenaran, kebahagiaan, keadilan dan lain-lain.
Era Globalisasi menjadi satu tantangan tersendiri bagi pengelola pendidikan
untuk menyesuaikan kurikulum dan sarana pendidikan dan nampak jelas bahwa
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), dewasa ini dan di masa depan, dapat
memberikan dampak positif dan negative, sehingga terjadi perubahan masyarakat yang
bersifat global dengan bertumpu pada transpormasi sosial kekuatan iptek dan ekonom,
perubahan kehidupan berbangsa yang bersifat individualisme dan konsumerisme
Munculnya persoalan sosial dalam kehidupan berbangsa, dan persoalan-persoalan
tersebut, tercermin dari semakin maraknya korupsi yang merambah pada semua sektor
kehidupan masyarakat, kesenjangan sosial-ekonomi-politik yang semakin membesar,
kerusakan lingkungan yang terjadi di seluruh pelosok negeri, masih terjadinya
ketidakadilan hukum, pergaulan bebas dan pornografi/ sex bebas yang terjadi di
kalangan remaja, pemerkosaan di tempat umum atau sarana publik, kekerasan dan
kerusuhan (tindakan anarkis, konflik sosial dan kekerasan atas nama agama/ sara), serta
penuturan bahasa yang buruk. telah terjadi dekadensi moral, dan yang lebih fatal lagi
merosotnya moralitas, menyebabkan memudarnya karakter anak bangsa Prinsip-prinsip
moral, dan nilai-nilai budaya bangsa tidak lagi menjadi pegangan dalam kehidupan
mereka atau tidak lagi melekat sebagai karakteristik diri, kondisi semakin rapuhnya
karakter anak bangsa, internalisasi pendidikan karakter di lingkungan keluarga,
4
masyarakat dan lembaga pendidikan menjadi sangat penting untuk berupaya
memperkokohkannya kembali. Dengan perkembangan global dihadapi suatu masalah
yaitu nilai budaya asing yang masuk menyebabkan pola kehidupan secara perlahan
terpengaruh termasuk pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi
semakin mempercepat transformasi pola kehidupan masyarakat. Nilai negatif dari
globalisasi akan mempengaruhi identitas dan integritas bangsa. Dan kondisi bangsa
akhir-akhir ini, ketersediaan sumber daya manusia yang berkarakter merupakan
kebutuhan yang amat vital. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan
diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek
yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan
karakter bangsa. Upaya mengatasi kondisi tersebut maka diperlukan pemahaman dan
langkah untuk membangun kembali karakter bangsa sesuai nilai-nilai Pancasila.
Kurikulum adalah jantungnya pendidikan (curriculum is the heart of education),
oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum, saat ini, memberikan perhatian yang lebih
besar pada pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dalam pendidikan karakter harus
terintegrasi pada setiap mata pelajaran, dalam paradigma lama bahwa pendidikan
mengutamakan kognitif atau cipta yaitu pengetahuan atau olah pikir maka pada
paradigma baru bahwa afektif (rasa) atau sikap bisa juga disebut karakter harus lebih
diutamakan Membentuk karakter tidak semudah memberi nasihat, tidak semudah
member instruksi, tetapi memerlukan kesabaran, pembiasaan dan pengulangan,
sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits yang telah dikutip sebagaiberikut : “Ilmu
diperoleh dengan belajar, dan sifat santun diperoleh dengan latihan menjadi santun.” (HR
Bukhari) , hal ini mengandung makna bahwa proses pendidikan karakter merupakan
keseluruhan proses pendidikan yang dialami peserta didik sebagai pengalaman
5
pembentukan kepribadian melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai,
keutamaan-keutamaan moral, nilai-nilai ideal agama, nilai -nilai moral
Pesan dari UU Sisdiknas tahun 2003 bertujuan agar pendidikan tidak hanya
membentuk insan manusia yang pintar namun juga berkepribadian, sehingga nantianya
akan lahir generasi muda yang tumbuh dan berkembang denagan kepribadian yang
bernafaskan nilai-nilai luhur Agama dan Pancasila. Sekolah/Madrasah Pendidikan Usia
Dini sampai dengan Perguruan Tinggi memiliki peran yang central dalam
mengembangkan dan menanamkan nilai-nilai karakter. berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia : 1)Yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, 2) Berakhlak mulia, 3) Sehat jasmani dan rohani, 4) Berilmu, 5) Cakap, 6) Kreatif,
7) Mandiri, dan 8) menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia
yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan dan menjadi dasar dalam
pengembangan pendidikan karakter bangsa, kebutuhan itu, secara imperatif, adalah
sebagai kualitas manusia Indonesia yang dirumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan didefinisikan sebagai kurikulum
operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
Salah satu prinsip pengembangan KTSP di antaranya kurikulum dikembangkan
berdasarkan prinsip-prinsip yang berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan
kepentingan peserta didik dan lingkungannya, meletakkan dasar kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia , serta keterampilan untuk hidup mandiri dan
mengikutu pendidikan lebih lanjut.
6
2.Pentingnya Pendidikan Karakter
Proses pembelajaran yang masih menekankan penguasaan materi dan lebih
terlihat lagi adalah target evaluasi yang masih bertumpu pada angka-angka menunjukkan
bahwa konsep pendidikan masih berkisar pada peningkatan dimensi kognitif, tapi lemah
pada dimensi yang lain, seperti psikomotorik dan afektif. Bahkan, secara nasional,
keberhasilan pendidikan diukur melalui pengujian materi yang hanya berisi aspek
kognitif saja. Hal ini terbukti pada pelaksanaan Ujian Nasional. Sedangkan pendidikan
yang lain, seperti akhlak, kekerasan, belum tersentuh.
Pendidikan karakter juga belum diimplementasikan dalam kurikulum yang
dijadikan acuan dalam kegiatan pembelajaran. Yang ada hanyalah siswa dididik untuk
mendapatkan nilai yang tinggi dan mendapatkan prestasi yang bagus. Akhirnya lulusan
yang dihasilkan kurang memiliki karakter yang jelas. Bahkan lulusan yang dihasilkan
masih jauh dari yang diharapkan oleh masyarakat, baik dari segi mentalitas maupun
moralitas. Lulusan yang memiliki nilai yang bagus belum tentu memiliki moralitas dan
mentalitas yang bagus. Konsep pendidikan yang tidak hanya mengacukepada nilai
seharusnya sudah dilaksanakan oleh lembaga pendidikan agar manusia Indonesia
memiliki karakter yang jelas. Jangan sampai generasi mendatang sama saja dengan
generasi-generasi sebelumnya yang belum sadar terhadap nilai-nilai sosial yang
seharusnya dibangun.
Paparan makalah ini menyajikan beberapa basis dari pendidikan karakter,
khususnya didalam Kurikulum di masing masing Tingkat Satuan Pendidikan
sebagaimana pertanyaan yang selalu hadir dalam diri penulis makalah ini ketika
berhadapan dengan Pengembangan Kurikulum Berbasis Pendidikan Karakter yaitu : (1)
Sejauh mana pentingnya pendidikan karakter itu sendiri ? (2).Apakah ”karakter” dapat
dikembangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ? (3) Karakter apa yang
7
perlu menjadi Basis Pengembangan KTSP? (4) Bagaimana menerapkan Basis karakter
secara efektif dalam implementasi pembelajaran ? (5) Bagaimana mengukur
keberhasilan Pengembangan Kurikulum Berbasis PendidikanKarakter? (6) Siapa yang
harus melakukan Pengembangan Kurikulum Berbasis PendidikanKarakter ?
2.1. Sejauh mana pentingnya pendidikan karakter itu sendiri ?
Proses pendidikan karakter didasarkan pada potensi individu manusia
Kognitif, Afektif, Psikomotorik dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi
pada keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat
Totalitas Karakter dimaksud dalam Pendidikan adalah Karakter Bangsa
Indonesia yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila :Beriman dan Bertakwa; Jujur dan
Bersih; Santun dan Cerdas; Bertanggung Jawab dan Kerja Keras; Disiplin dan Kreatif;
Peduli dan Suka Menolong
Secara psikologis karakter individu dimaknai sebagai hasil keterpaduan
empat bagian yakni (1) Olah hati`berkenaan dengan perasaan sikap dan
keyakinan/keimanan. (2) Olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan
menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif dan inovatif. (3) Olah raga berkenaan
dengan proses persepsi , persiapan peniruan manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru
disertai sportivitas. (4) Olah rasa dan karsa berkenaan dengan kemauan dan kreativitas
yang tercermin dalam kepedulian, pencitraan dan penciptaan.
Kepentingan nasional Indonesia merupakan kepentingan bangsa dan
negara dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan Nasional Indonesia yang di
dalamnya mencakup usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Rumusan
mencerdasakan kehidupan bangsa itu memiliki 2 (dua) arti penting yaitu
membangun manusia Indonesia yang cerdas dan berbudaya. Pengertian cerdas
harus dimaknai, bukan saja sebagai kemampuan dan kapasitas untuk menguasai
8
ilmu pengetahuan, budaya serta kepribadian yang tangguh akan tetapi juga
memiliki kecerdasan emosional yang dengan bahasa umum disebut sebagai
berkarakter mulia atau berbudi luhur, berakhlak mulia. Sedangkan berbudaya
memiliki makna sebagai kemampuan dan kapasitas untuk menangkap dan
mengembangkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang beradab dalam sikap dan
tindakan berbangsa dan bernegara (karakter bangsa) dengan penuh tanggung jawab.
disadari, bahwa pembentukan karakter dan watak atau kepribadian ini sangat
penting, bahkan sangat mendesak dan mutlak adanya (tidak bisa ditawar-tawar
lagi). Mengingat begitu pentingnya pendidikan karakter itu sendiri karena
terindikasi munculnya Degradasi Moral Perusak Karakter Bangsa . Eksistensi,
kemuliaan dan kejayaan sebuah bangsa tergantung akhlaknya, demikian juga
keterpurukan, kehinaan dan kehancurannya. Awal dan sumber segala kebaikan
adalah akhlak, demikian juga segala keburukan bersumber dan bermuara kepada
akhlak. Apabila sebuah bangsa mengalami krisis moral dan akhlak, maka bangsa
tersebut akan berbuat dlalim, berbuat kerusakan terhadap alam maupun kedlaliman
terhadap sesamanya. Dampak dari kedlaliman tersebut adalah timbulnya berbagai
musibah, balak dan bencana, baik yang bersumber dari alam seperti maupun
manusia. Seorang psikolog dan ahli pendidikan Amerika bernama Thomas Lichona
mengidentifikasi adanya 10 tanda-tanda degradasi moral yang dapat merusak
karakter bangsa. Degradasi moral itu ialah (1) Mmeningkatnya kekerasan pada
remaja (2) Penggunaan kata-kata yang memburuk (3) Pengaruh peer group (rekan
kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan (4) Meningkatnya penggunaan
narkoba, alkohol dan seks bebas (5) kaburnya batasan moral baik-buruk (6)
Menurunnya etos kerja (7) Rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru (8)
Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga Negara (9) Membudayanya
9
ketidakjujuran (10) Adanya saling curiga dan kebencian diantara sesama.
(www.cortland.edu/character/aboutus.html)
Pentingnya pendidikan karakter itu sendiri jika dilihat dari berbagai
peristiwa, seperti tuntutan demokrasi yang diartikan sebagai kebebasan tanpa
aturan, tuntutan otonomi sebagai kemandirian tanpa kerangka acuan yang
mempersatukan seluruh komponen bangsa, hak asasi manusia yang terkadang
mendahulukan hak pribadi daripada kewajiban sebagai bangsa. Pada akhirnya
berkembang ke arah berlakunya hukum rimba yang memicu tumbuhnya pandangan
sempit seperti kesukubangsaan (ethnicity) dan unsur SARA lainnya. Kerancuan ini
menyebabkan masyarakat frustasi dan cenderung meluapkan jati diri dan tanggung
jawab tanpa kendali dalam bentuk "amuk massa atau amuk sosial".
Pentingnya proses Pendidikan Karakter didasarkan pada totalitas
psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif,
psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam
keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Totalitas psikologis dan sosiokultural
dapat dikelompokkan sebagaimana yang digambarkan dalam bagan berikut:
10
Karakter dimaksud dalam pendidikan adalah karakter bangsa Indonesia
yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila anatara lain Beriman dan Bertakwa; Jujur
dan Bersih; Santun dan Cerdas; Bertanggung Jawab dan Kerja Keras; Disiplin dan
Kreatif; Peduli dan Suka Menolong.
Dalam pendidikan karakter maksudnya agar karakter bangsa seperti
yang sudah disebutkan diatas harus terintegrasi pada setiap mata pelajaran, dalam
paradigma lama bahwa pendidikan mengutamakan kognitif atau cipta yaitu
pengetahuan atau olah pikir maka pada paradigma baru bahwa afektif (rasa) atau
sikap bisa juga disebut karakter harus lebih diutamakan Maka dengan adanya
pendidikan karakter diharapkan dimasa depan Indonesia akan lebih baik karena
yang namanya pendidikan adalah investasi bangsa dalam jangka panjang
Karakter dimaksud dalam pendidikan adalah karakter bangsa Indonesia
yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila anatara lain Beriman dan Bertakwa; Jujur
dan Bersih; Santun dan Cerdas; Bertanggung Jawab dan Kerja Keras; Disiplin dan
Kreatif; Peduli dan Suka Menolong dalam aspek pengetahuan (cognitive), perasaan
(feeling), dan tindakan (action).
11
Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana
yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan
kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi
paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif)
nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain,
pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan
yang baik (moral knowing), akan tetapi juga “merasakan dengan baik atau loving
good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter
menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan yang
diharapkan dengan adanya pendidikan karakter(character education) tersebut
sesuai dengan Teori taksonomi Bloom dimana pendidikan memiliki tiga domaian
yaitu Domaian Kognitif, Afektif Psikomotor atau menurut bapak Pendidikan
Indonesia Ki Hajar Dewantara menggunakan istilah lain dengan tiga domain yang
maksudnya sama yaitu cipta, rasa dan karsa. Sebagaimana uraian diatas tersimpul
12
bahwa ada 4 Pilar Dasar Nilai Moral yang tercermin dalam pendidikan karakter
seperti dalam gambar berikut :
Itulah karakter bangsa Indonesia yang diharapkan secara psikologis
karakter individu dimaknai sebagai hasil keterpaduan empat bagian yakni olah hati,
olah pikir. olah raga, olah rasa dan karsa. Olah hati`berkenaan dengan perasaan
sikap dan keyakinan/keimanan. Olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna
mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif dan inovatif. Olah
raga berkenaan dengan proses persepsi , persiapan peniruan manipulasi, dan
penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas. Olah rasa dan karsa berkenaan dengan
kemauan dan kreativitas yang tercermin dalam kepedulian, pencitraan dan
penciptaan. Pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral,
pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
13
memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik & mewujudkan
kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Secara psikologis karakter individu dimaknai sebagai hasil keterpaduan
empat bagian yakni (1) Olah hati`berkenaan dengan perasaan sikap dan
keyakinan/keimanan. (2) Olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari
dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif dan inovatif. (3) Olah raga
berkenaan dengan proses persepsi , persiapan peniruan manipulasi, dan penciptaan
aktivitas baru disertai sportivitas. (4) Olah rasa dan karsa berkenaan dengan
kemauan dan kreativitas yang tercermin dalam kepedulian, pencitraan dan
penciptaan.
2.2. Apakah ”karakter” dapat dikembangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan ?
”karakter” dapat dikembangkan dalam KTSP adalah Pendidikan budi
pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak bertujuan mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara
apa yang baik & mewujudkan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan
sepenuh hati. Mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, dan
menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta
didik menjadi paham (kognitif) tentang benar dan salah, mampu merasakan
(afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Merupakan basis
pengembangan KTSP
Pengembangan Kurikulum dimana Kurikulum itu sendiri adalah
jantungnya pendidikan curriculum is the heart of education Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan didefinisikan sebagai Kurikulum Operasional yang disusun
oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan Kurikulum
14
dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip yang berpusat pada potensi,
perkembangan, kebutuhan, kepentingan peserta didik dan lingkungannya,
meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia , serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikutu pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan karakter bersumber dari Agama, Pancasila, budaya, dan
tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin,
(5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10)
Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13)
Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli
Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab
Pendidikan karakter adalah Pendidikan budi pekerti, pendidikan moral,
pendidikan watak berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik,
berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku
bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif
dalam pergaulan dunia. Merupakan basis pengembangan KTSP.
Pendidikan karakter merupakan satu kesatuan program KTSP, dan
Program pendidikan karakter secara terdokumentasi diintegrasikan tertera dalam
KTSP, mulai dari visi, misi, tujuan, struktur dan muatan kurikulum, kalender
pendidikan, silabus, RPP
Tahapan Pengembangan KTSP melibatkan seluruh warga satuan
pendidikan, orangtua siswa, dan masyarakat sekitar Prosedur pengembangan
kurikulum yang mengintegrasikan pendidikan karakter melalui tahapan 1.
Melaksanakan sosialisasi pendidikan karakter dan melakukan komitmen bersama
antara seluruh komponen warga sekolah/Madrasah (tenaga pendidik dan
kapendidikan serta komite sekolah/Madrasah 2. Membuat komitmen dengan semua
15
stakeholder (seluruh warga sekolah/Madrasah , orang tua siswa, komite, dan tokoh
masyarakat setempat) untuk mendukung pelaksanaan pendidikan karakter. 3.
Melakukan analisis konteks terhadap kondisi sekolah (internal dan eksternal) yang
dikaitkan dengan nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan pada satuan
pendidikan yang bersangkutan. Analisis ini dilakukan untuk menetapkan nilai-nilai
dan indikator keberhasilan yang diprioritaskan, sumber daya, sarana yang
diperlukan, serta prosedur penilaian keberhasilan 4. Menyusun rencana aksi
sekolah berkaitan dengan penetapan nilai-nilai pendidikan karakter. 5. Membuat
perencanaan dan program pelaksanaan pendidikan karakter, yang berisi:
Pengintegrasian melalui pembelajaran Penyusunan mata pelajaran muatan lokal
Kegiatan lain Penjadwalan dan penambahan jam belajar di sekolah/ Madrasah 6.
Melakukan pengkondisian, seperti: Penyediaan sarana Keteladanan Penghargaan
dan pemberdayaan 7. Melakukan penilaian keberhasilan dan supervisi Untuk
keberlangsungan pelaksanaan pendidikan karakter perlu dilakukan penilaian
keberhasilan dengan menggunakan indikator-indikator berupa perilaku semua
warga dan kondisi sekolah/instansi yang teramati. Penilaian ini dilakukan secara
terus menerus melalui berbagai strategi. Supervisi dilakukan mulai dari menelaah
kembali perencanaan, kurikulum, dan pelaksanaan semua kegiatan yang berkaitan
dengan pendidikan karakter, yaitu: Implementasi program pengembangan diri
berkaitan dengan pengembangan nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa
dalam budaya sekolah/ madrasah Kelengkapan sarana dan prasarana pendukung
implementasi pengembangan nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa nilai
dalam pembelajaran belajar aktif dalam pembelajaran Ketercapaian Rencana Aksi
Sekolah berkaitan dengan penerapan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter
bangsa Penilaian penerapan nilai pendidikan karakter dan budaya bangsa pada
16
pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik (sebagai kondisi akhir)
Membandingkan kondisi awal dengan kondisi akhir dan merancang program
lanjutan.
Penyiapan Perangkat dalam rangka Pelaksanaan Pendidikan Karakter di
Satuan Pendidikan Penyiapan perangkat itu telah dilakukan kegiatan-kegiatan
berikut: 1. Pembentukan Tim “Penggerak” 2. Pemetaan kesiapan pelaksanaan
pendidikan karakter dengan Sumber: Bantuan Teknis Profesional Tim Pengembang
Kurikulum 3. Menyiapkan bahan pelaksanaan pendidikan karakter pada setiap
satuan pendidikan (Buku Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter ) 4. Penyiapan
bahan sosialisasi berupa bahan/materi pelatihan untuk pelaksanaan pendidikan
karakter dengan waktu/masa pelatihan yang bervariasi berupa booklet, leaflet
diperuntukan bagi pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pendidikan karakter
di setiap satuan pendidikan 5. Contoh-contoh Best practice pelaksanaan pendidikan
karakter di setiap jenjang pendidikan
PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER melibatkan staf/karyawan
Sekolah/ Madrasah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi
tanggungjawab untuk pendidikan karakter serta berupaya untuk mengikuti nilai-
nilai inti yang sama yang memandu pendidikan para peserta didik memupuk
kepemimpinan moral dan dukungan jangka-panjang terhadap inisiatif basis dari
pendidikan karakter. melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra
dalam upaya pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter.
17
Pendidkan Karakter/ Budi Pekerti adalah suatu program
(Sekolah/Madrasah dan luar Sekolah/Madrasah ) yang mengorganisasikan
dan menyederhanakan sumber moral serta disajikan dengan memperhatikan
pertimbangan psikologis untuk tujuan pendidikan . pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan
pesrta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
The golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang
pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar adalah: cinta kepada
Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat
dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja
18
Agama religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin
tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif,
cinta damai, senang membaca, peduli sosial,
dan peduli lingkunga
adanya motivasi dan dukungan dari warga sekolah
(peserta didik, guru dan pegawai);
motivasi dan dukungan dari orang tua peserta didik dan
masyarakat,
Fundamen kehidupan
Bangsa Indonesia
Budaya dan Tujuan Pendidikan Nasional.
keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah
hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan
bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan
perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan,
berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas.
Pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak bertujuan
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-
buruk, memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan dalam kehidupan
sehari-hari dengan sepenuh hati. Juga tidak sekedar mengajarkan mana yang benar
dan mana yang salah, dan menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana
yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang benar dan salah,
mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor).
Merupakan basis pengembangan KTSP.
19
MORAL KNOWING : Memahamkan dengan baik pada anak tentang arti
kebaikan. Mengapa harus berperilaku baik. Untuk apa berperilaku baik. Dan apa
manfaat berperilaku baikMORAL FEELING : Membangun kecintaan berperilaku baik pada anak yang akan
menjadi sumber energi anak untuk berperilaku baik. Membentuk karakter adalah dengan cara menumbuhkannya.
MORAL ACTION : Bagaimana membuat pengetahuan moral
menjadi tindakan nyata. Moral action ini merupakan outcome dari dua
tahap sebelumnya dan harus dilakukan berulang-ulang agar
menjadi moral behavior
Karena adanya krisis ekonomi dan moral yang terus berkelanjutan
melanda bangsa dan negara kita sampai saat ini belum ada solusi secara jelas dan
tegas, lebih banyak berupa wacana yang seolah-olah bangsa ini diajak dalam dunia
mimpi. Tentu masih ingat beberapa waktu yang lalu Pemerintah mengeluarkan
pandangan, bahwa bangsa kita akan makmur, sejahtera nanti di tahun 2030. Sebuah
mimpi panjang yang melenakan jika konsep pendidikan masih seperti ini.
Karakter dapat dikembangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan pendidikan karakter masih bersifat pencanangan dalam arti
kebijakannya dulu. Ditjen Pendidikan Dasar sebetulnya sudah merintis program-
program pendidikan karakter. Pendidikan karakter dimensinya berbagai macam,
ada dimensi kreativitas, kejujuran, kedisiplinan. pendidikan karakter yang
menekankan dimensi disiplin. Pendidikan antikorupsi, kita juga sudah terapkan.
Juga ada pendidikan lingkungan hidup. Ini sebetulnya merupakan dimensi-dimensi
pendidikan karakter yang sudah diterapkan di jenjang pendidikan dasar.
Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “charakter”,
yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian
atau akhlak (Oxford). Sedangkan secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat
manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung
dari faktor kehidupannya sendiri. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Definisi dari “The
stamp of individually or group impressed by nature, education or habit. Karakter
merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
20
Karakter dalam perspektif Islam dapat juga diartikan sama dengan
akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa
atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang berakhlak
dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter adalah bangsa yang
tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma dan perilaku yang
baik. Dasar pembentukan karakter itu adalah nilai baik atau buruk. Nilai baik
disimbolkan dengan nilai Malaikat dan nilai buruk disimbolkan dengan nilai Setan.
Karakter manusia merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk
energi positif dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa
nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan
energi negatif itu berupa nilai-nilai yang a-moral yang bersumber dari taghut
(Setan). Nilai-nilai etis moral itu berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian
dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani). Energi positif
itu berupa: Pertama, kekuatan spiritual. Kekuatan spiritrual itu berupa îmân, islâm,
ihsân dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada
manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm); Kedua,
kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus salîm (akal yang sehat), qalbun
salîm (hati yang sehat), qalbun munîb (hati yang kembali, bersih, suci dari dosa)
dan nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang), yang kesemuanya itu merupakan modal
insani atau sumber daya manusia yang memiliki kekuatan luar biasa. Ketiga, sikap
dan perilaku etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan
spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan konsep-
konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis itu meliputi:
istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd dan amal saleh.
21
Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang
yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-
mutmainnah) dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam
hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki
personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan
competency yang bagus pula (professional).
Kebalikan dari energi positif di atas adalah energi negatif. Energi
negatif itu disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-
nilai destruktif). Kalau nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian,
pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani), nilai-
nilai material (thâghût ) justru berfungsi sebaliknya yaitu pembusukan, dan
penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi
negatif terdiri dari: Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût itu berupa kufr
(kekafiran), munafiq (kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang
kesemuanya itu merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis
dan kemanusiaannya yang hakiki (ahsani taqwîm) menjadi makhluk yang serba
material (asfala sâfilîn); Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu pikiran
jahiliyah (pikiran sesat), qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun
mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah (jiwa yang
tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah
selain Allah berupa harta, sex dan kekuasaan (thâghût). Ketiga, sikap dan perilaku
tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan implementasi dari kekuatan
thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif yang kemudian melahirkan konsep-
konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak etis (budaya busuk). Sikap dan
perilaku tidak etis itu meliputi: takabur (congkak), hubb al-dunyâ (materialistik),
22
dlâlim (aniaya) dan amal sayyiât (destruktif). Energi negatif tersebut dalam
perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang
yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs lawwamah dan ’amal al sayyiât
(destruktif). Aktualisasi orang yang bermental thâghût ini dalam hidup dan bekerja
akan melahirkan perilaku tercela, yaitu orang yang memiliki personality tidak
bagus (hipokrit, penghianat dan pengecut) dan orang yang tidak mampu
mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.
Adapun hal berkaitan dengan karakter adalah prakondisi pendidikan
karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya pada saat ini diperkuat
dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing
values) yang dimaksud antara lain takwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun. Dalam
rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18
nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan
nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras,
(6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat
Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13)
Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli
Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab (Pusat Kurikulum.
Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah.
2009:9-10). Meskipun telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun
satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya dengan cara
melanjutkan nilai prakondisi yang diperkuat dengan beberapa nilai yang
diprioritaskan dari 18 nilai di atas. Dalam implementasinya jumlah dan jenis
karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang
satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan
23
pendidikan masing-masing. Di antara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam
pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah
dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah/wilayah, yakni bersih,
rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun.
2.3. Karakter apa yang perlu menjadi Basis Pengembangan KTSP?
Karakter yang perlu menjadi basis pengembangan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan adalah nilai-nilai kejujuran, disiplin, dan kreativitas, apalagi
nilai-nilai lain yang diangkat sehingga siswa menginternalisasi nilai-nilai tersebut
Jika dilihat, sebenarnya, karakter bukan pada aspek kognitif, tapi aspek afektifnya.
Cuma aspek afektif tidak bisa teraktualisasi secara maksimal tanpa ada kognitif.
Orang menjadi jujur, juga harus tegas. Karena definisi kejujuran itu memerlukan
pertimbangan-pertimbangan intelektual sehingga dia bisa tidak kelihatan naif saat
jujur. Kreativitas juga sebuah aspek yang non-kognitif, tetapi untuk bisa kreatif
orang juga harus cerdas dalam mengaktualisasikan kreativitas tersebut. Umat
24
Domaian
Kognitif
Domaian
Afektif
Moral Knowi
ng
Domaian
Psikomotor
INOFATIVE
MADANI
KREATIF
JUJUR
Dimensi Pendidikan Karakter
character education 3
Domaian
Karakter
Moral Action
Muslim merupakan Mayoritas Penduduk Indonesia Umat Muslim Indonesia patut
bersyukur karena dapat bersatu dalam jumlah yang besar dan menjadi mayoritas di
negerinya. Indonesia adalah karya besar umat Muslim dan kemerdekaan Indonesia
adalah rahmat Allah Yang Maha Kuasa kepada seluruh Bangsa Indonesia utamanya
Umat Muslim. Pembangunan karakter bangsa pada hakekatnya adalah
pembangunan karakter umat, dan kalau Bangsa Indonesia memiliki karakter,
berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang luhur, sudah barang tentu umat Muslim
yang paling berkepentingan. Kesenjangan antara Muslim Cita dan Muslim Fakta
adalah apabila umat Muslin Indonesia dapat menjadi Muslim yang baik maka
jayalah Indonesia, dan sebaliknya kondisi bangsa Indonesia yang banyak
mengalami krisis dan keterpurukan mencerminkan muslim Indonesia belum
menjadi sebagaimana diharapkan. Bahkan dalam perspektif pembangunan bangsa,
umat Muslim dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok: (1) Muslim berideologi
Islam politik, yaitu Muslim yang sadar politik atau mind set-nya politik dan
kekuasaan, menjadikan Islam sebagai ideologi politik, bertujuan mendirikan negara
atau khilafah islamiah, dan biasanya bersifat radikal, tidak merasa menjadi
Indonesia, sedikit kontribusinya bagi pembangunan bangsa dan negara dan bahkan
selalu merongrong kedaulatan RI; (2) Muslim mistik, yaitu Muslim yang
disibukkan dengan urusan ritual keagamaan bahkan yang bersifat mistik, tidak
mempersoalkan keindonesiaan tetapi juga tidak memberikan kontribusi yang berarti
dalam pembangunan bangsa dan negara dan tidak membahayakan negara; (3)
Muslim moderat, yaitu Muslim yang ideal karena memiliki prinsip keseimbangan
antara urusan dunia dan akhirat, selalu berusaha menjadi ummatan wasathan (umat
moderat), dan dimanapun berada selalu memberikan manfaat bagi lingkungannya.
Ciri-ciri Muslim moderat antara lain: at home di Indonesia, mencintai, berjuang dan
25
rela berkorban untuk bangsa dan negaranya, dan memberikan kontribusi bagi
pembangunan bangsa dan negara. Sampai sekarang ini, ketiga kelompok Muslim
tersebut masih ada, bahkan Muslim politik semakin menguat pada era reformasi
atau pasca Orde baru. Muslim mistik juga tetap eksis. Dalam konteks pembangunan
karakter bangsa, pembangunan karakter harus diarahkan untuk menjadi Muslim
moderat atau Muslim ideal. Mengawinkan antara keislaman, keindonesiaan dan
kemodernan. Gagasan ini pertama kali dikemukakan oleh Nur Cholis Madjid pada
era 70 an, dan sekarang ini dirasakan pentingnya gagasan tersebut direaktualisasi
dalam konteks pembangunan karakter bangsa. Muslim Indonesia akan dapat
mewujudkan rahmatan lil’alamin (merahmati semua) apabila dapat mengawinkan
ketiga komponen tersebut. Dengan mengawinkan ketiga komponen tersebut
seorang muslim akan memiliki tiga kesadaran: kesadaran ideal (keislaman),
kesadaran tempat (keindonesiaan) dan kesadaran waktu (kemodernan). Dengan
memiliki tiga kesadaran ini seorang Muslim akan memiliki kearifan, kemuliaan dan
kejayaan. Etika dan Moral dalam Islam Kehadiran Islam di muka bumi adalah
sebagai pedoman hidup manusia dan untuk memberikan solusi yang tegas terhadap
berbagai persoalan kemanusiaan. Salah satu persoalan kemanusiaan yang perlu
mendapat perhatian besar dari umat Islam adalah persoalan etika. Etika dan
moralitas adalah puncak nilai keberagamaan seorang muslim. Hal ini sejalan
dengan Hadis Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa beliau diutus untuk
menyempurnakan keagungan. Berislam yang tidak membuahkan akhlak adalah sia-
sia. Menurut Raghib al-Isfahani, etika Islam berbentuk ethical individual social
egoism dalam motivasi moral. Maksudnya, pengejaran perilaku moral individu
tidak mesti mengorbankan perilaku moral etis sosial. Etika Islam tidak hendak
memasung otoritas individu untuk sosial sebagaimana paham komutarianisme atau
26
pengorbanan sosial untuk individu sebagaimana paham universalisme (Amril M.
200: 2ix). Etika Islam harus berlandaskan pada cita-cita keadilan dan kebebasan
bagi individu untuk melakukan kebaikan sosial. Etika Islam adalah sebuah
pandangan moralitas agama yang mengarahkan manusia untuk berbuat baik antar
sesamanya agar tercipta masyarakat yang baik dan teratur.
Pentingnya sekolah-Madrasah memperhatikan masalah pembentukan
akhlak pada anak-anak didiknya “innama bu’itstu liutammima makaarimal
akhlaaq Pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi
pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara
apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan
sepenuh hati. Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana
yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan
kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi
paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif)
nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain,
pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan
yang baik (moral knowing), akan tetapi juga “merasakan dengan baik atau loving
good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter
menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan
dilakukan. Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang
tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong,
berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan
teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha
Esa berdasarkan Pancasila. Pendidikan karakter berfungsi (1) mengembangkan
27
potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2)
memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan
peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan karakter
dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan,
masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.
2.4. Bagaimana menerapkan Basis karakter secara efektif dalam implementasi
pembelajaran ?
Pendidikan karakter merupakan satu kesatuan program KTSP, dan
Program pendidikan karakter secara terdokumentasi diintegrasikan tertera dalam
KTSP, mulai dari visi, misi, tujuan, struktur dan muatan kurikulum, kalender
pendidikan, silabus, RPP. Penerapannya / Pelaksanaan pendidikan karakter
melibatkan seluruh warga satuan pendidikan, orangtua siswa, dan masyarakat
sekitar Prosedur pengembangan kurikulum yang mengintegrasikan pendidikan
karakter melalui tahapan : 1. Melaksanakan sosialisasi pendidikan karakter dan
melakukan komitmen bersama antara seluruh komponen warga sekolah/Madrasah
(tenaga pendidik dan kapendidikan serta komite sekolah/Madrasah 2. Membuat
komitmen dengan semua stakeholder (seluruh warga sekolah/Madrasah , orang tua
siswa, komite, dan tokoh masyarakat setempat) untuk mendukung pelaksanaan
pendidikan karakter. 3. Melakukan analisis konteks terhadap kondisi sekolah
(internal dan eksternal) yang dikaitkan dengan nilai-nilai karakter yang akan
dikembangkan pada satuan pendidikan yang bersangkutan. Analisis ini dilakukan
untuk menetapkan nilai-nilai dan indikator keberhasilan yang diprioritaskan,
sumber daya, sarana yang diperlukan, serta prosedur penilaian keberhasilan 4.
Menyusun rencana aksi sekolah berkaitan dengan penetapan nilai-nilai pendidikan
28
karakter. 5. Membuat perencanaan dan program pelaksanaan pendidikan karakter,
yang berisi: Pengintegrasian melalui pembelajaran Penyusunan mata pelajaran
muatan lokal Kegiatan lain Penjadwalan dan penambahan jam belajar di sekolah/
Madrasah 7. Melakukan penilaian keberhasilan dan supervisi Untuk
keberlangsungan pelaksanaan pendidikan karakter perlu dilakukan penilaian
keberhasilan dengan menggunakan indikator-indikator berupa perilaku semua
warga dan kondisi sekolah/instansi yang teramati. Penilaian ini dilakukan secara
terus menerus melalui berbagai strategi. Supervisi dilakukan mulai dari menelaah
kembali perencanaan, kurikulum, dan pelaksanaan semua kegiatan yang berkaitan
dengan pendidikan karakter, yaitu: Implementasi program pengembangan diri
berkaitan dengan pengembangan nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa
dalam budaya sekolah/ madrasah Kelengkapan sarana dan prasarana pendukung
implementasi pengembangan nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa nilai
dalam pembelajaran belajar aktif dalam pembelajaran Penilaian penerapan nilai
pendidikan karakter dan budaya bangsa pada pendidik, tenaga kependidikan, dan
peserta didik (sebagai kondisi akhir) Membandingkan kondisi awal dengan kondisi
akhir dan merancang program lanjutan. 8. Melakukan penyusunan KTSP yang
memuat pengembangan nilai-nilai pendidikan karakter dan budaya bangsa Mendata
kondisi dokumen awal (mengidentifikasi nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter
bangsa dalam dokumen I) Merumuskan nilai-nilai pendidikan karakter dan budaya
bangsa di dalam (latar belakang pengembangan KTSP, Visi, Misi, Tujuan Sekolah,
Struktur dan Muatan Kurikulum, Kalender Pendidikan, dan program
Pengembangan Diri) • Mengitengrasikan nilai-nilai pendidikan karakter dan budaya
bangsa dalam dokumen II (silabus dan RPP)
29
Pendidikan karakter dapat diimplementasikan sebagaimana di
gambarkan dalam tabel berikut :
Berhadapan dengan berbagai masalah dan tantangan, pendidikan
nasional pada saat yang sama (masih) tetap memikul peran multidimensi. Berbeda
dengan peran pendidikan pada negara-negara maju, yang pada dasarnya lebih
terbatas pada transfer ilmu pengetahuan, peranan pendidikan nasional di Indonesia
memikul beban lebih berat Pendidikan berperan bukan hanya merupakan sarana
transfer ilmu pengetahuan saja, tetap lebih luas lagi sebagai pembudayaan
(enkulturisasi) yang tentu saja hal terpenting dan pembudayaan itu adalah
pembentukan karakter dan watak bangsa (nation and character building), yang pada
gilirannya sangat krusial, dalam bahasa lebih populer menuju rekonstruksi negara
dan bangsa yang lebih maju dan beradab. Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa
pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik
rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, masyarakat luas. Oleh
karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang
mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan
berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan
30
keharmonisan. Pendidikan karakter diawali dari keinginan mengubah perilaku
siswa. Kira-kira dalam jangka pendek dan menengah, perilaku apa yang diharapkan
berubah, seperti tak lagi tawuran Perubahan sikap bukan sesuatu yang berdiri
sendiri. Diketahui bahwa sekolah madrasah tidak bisa mengontrol perilaku anak
ketika di luar ruang kelas. Dari sudut padang pedagogis, ruang kelas anak tidak
hanya ruang kelas dalam arti konvensional. Tetapi ketika dia ada di luar, itu ruang
kelas anak di mana dia berguru pada orang dewasa. Ini yang kita katakan tidak
independen, steril dari pengaruh-pengaruh di luar kehidupan ruang kelas itu.
Efektivitas implementasi program juga dipengaruhi oleh bagaimana
strategi-strategi pembelajarannya dilakukan. Ada beberapa model dan strategi
pembelajaran pendidikan karakter yang dapat dipergunkan, antara lain: (1)
mengartikan “karakter” secara utuh termasuk pemikiran, perasaan dan perilaku
(cipta, rasa, karsa dan karya dalam slogan pendidikan di tingkat satuan
pendidikan ). (2) menggunakan pendekatan yang komprehensif, bertujuan dan
proaktif untuk perkembangan karakter. (3) menciptakan suatu kepedulian pada
masyarakat kampus. (4) memberikan para mahasiswa peluang untuk melakukan
tindakan moral. (5) memasukkan kurikulum akademik yang bermakna dan
menantang dengan menghormati semua peserta didik, mengembangkan
kepribadiannya, dan membantu mereka berhasil. (6) mendorong pengembangan
motivasi diri mahasiswa. (7) melibatkan staf/karyawan kampus sebagai komunitas
pembelajaran dan moral yang berbagi tanggungjawab untuk pendidikan karakter
serta berupaya untuk mengikuti nilai-nilai inti yang sama yang memandu
pendidikan para mahasiswa. (8) memupuk kepemimpinan moral dan dukungan
jangka-panjang terhadap inisiatif pendidikan karakter. (9) melibatkan keluarga dan
anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter.
31
Apabila kita cermati bersama, bahwa desain pendidikan yang mengacu
pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas sesungguhnya sejak masa
kemerdekaan sudah digagas oleh para pendidik kita, seperti
Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, Prof. HA. Mukti Ali, Ki
Hajar Dewantara misalnya, mengajarkan praktek pendidikan yang mengusung
kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan
"tuntunan" bukan "tontonan". Sangat jelas cara mendidik seperti ini dikenal dengan
pendekatan "among"' yang lebih menyentuh langsung pada tataran etika, perilaku
yang tidak terlepas dengan karakter atau watak seseorang.
KH. Ahmad Dahlan berusaha "mengadaptasi" pendidikan modern Barat
sejauh untuk kemajuan umat Islam, sedangkan
Mukti Ali mendesain mengintegrasikan kurikulum dengan
penambahan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Namun mengapa dunia
pendidikan kita yang masih berkutat dengan problem internalnya, seperti penyakit
dikotomi, profesionalitas pendidiknya, sistem pendidikan yang masih lemah,
perilaku pendidiknya dan lain sebagainya. Oleh karena itu, membangun karakter
dan watak bangsa melalui pendidikan mutlak diperlukan, bahkan tidak bisa ditunda,
mulai dari lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat dengan meneladani
para tokoh yang memang patut untuk dicontohi.
2.5. Bagaimana mengukur keberhasilan Pengembangan Kurikulum Berbasis
PendidikanKarakter?
Apabila kita cermati bersama, bahwa desain pendidikan yang mengacu
pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas sesungguhnya sejak masa
kemerdekaan sudah digagas oleh para pendidik kita, seperti Ki Hajar Dewantara,
KH. Ahmad Dahlan, Prof. HA. Mukti Ali, Ki Hajar Dewantara misalnya,
32
mengajarkan praktek pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak
didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan "tuntunan" bukan "tontonan".
Sangat jelas cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan "among"' yang
lebih menyentuh langsung pada tataran etika, perilaku yang tidak terlepas dengan
karakter atau watak seseorang. KH. Ahmad Dahlan berusaha "mengadaptasi"
pendidikan modern Barat sejauh untuk kemajuan umat Islam, sedangkan Mukti Ali
mendesain integrasi kurikulum dengan penambahan berbagai ilmu pengetahuan dan
keterampilan. Karakter itu, semacam nilai-nilai gabungan (komposit). Ada satu
pihak yang disiplin dan pandai, disiplin dan jujur, disiplin dan kreatif, ada juga
kreatif dan disiplin. Kombinasi-kombinasi. Kita sekarang belum mempunyai suatu
alat ukur untuk mengukur keberhasilan pendidikan karakter. Sekarang kita masih
mengarahkan bahwa keberhasilan anak dalam mengikuti program pendidikan tidak
hanya pintar saja, tetapi paling tidak pintar dan jujur, pintar dan berakhlak mulia.
Kreatif tentunya juga kita harapkan. Kalau dari ilmu sosial bisa diukur, cuma kita
harus menggunakan konstrak-konstrak yang jelas tentang apa yang namanya
berkarakter. Hal ini akan dapat terukur secara afektif yaitu bagaimana keterlibatan
semua fihak dalam kegiatan-kegiatan yang mencerminkan disiplin. Sementara
dianggap keberhasilan pada tahap awal.
Penyiapan Perangkat dalam rangka Pelaksanaan Pendidikan Karakter di
Satuan Pendidikan Penyiapan perangkat itu telah dilakukan kegiatan-kegiatan
berikut: 1. Pembentukan Tim “Penggerak” 2. Pemetaan kesiapan pelaksanaan
pendidikan karakter dengan Sumber: Bantuan Teknis Profesional Tim Pengembang
Kurikulum 3. Menyiapkan bahan pelaksanaan pendidikan karakter pada setiap
satuan pendidikan (Buku Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter) 4. Penyiapan
bahan sosialisasi berupa bahan/materi pelatihan untuk pelaksanaan pendidikan
33
karakter dengan waktu/masa pelatihan yang bervariasi berupa booklet, leaflet
diperuntukan bagi pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pendidikan karakter
di setiap satuan pendidikan 5. Contoh-contoh Best practice pelaksanaan pendidikan
karakter di setiap jenjang pendidikan
2.6. Siapa yang harus melakukan Pengembangan Kurikulum Berbasis
PendidikanKarakter ?
Melibatkan staf/karyawan Sekolah/ Madrasah sebagai komunitas
pembelajaran dan moral yang berbagi tanggungjawab untuk pendidikan karakter
serta berupaya untuk mengikuti nilai-nilai inti yang sama yang memandu
pendidikan para peserta didik memupuk kepemimpinan moral dan dukungan
jangka-panjang terhadap inisiatif basis dari pendidikan karakter. melibatkan
keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pengembangan
kurikulum berbasis pendidikan karakter.
Pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua
pihak baik Rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan
pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana
disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah
untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan
kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah). Sedangkan
pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan
semata, tatapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi
pekerti yang luhur. Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan
hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang
baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai
yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter
34
(characterbase education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada
di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti; pelajaran
Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan kebudayaan asli bangsa Indonesia. Di
samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan
masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang.
Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan
penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais
Shihab (1996 ; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya,
mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan, dan
pandangan mereka terbatas. Berarti harus ada upaya melibatkan orangtua dan
masyarakat Sebetulnya yang mudah harus ada role model, contoh. Contoh itu
anggota masyarakat, anggota partai. Guru contoh langsung. Orangtua juga. Dalam
sudut pandang pedagogis, ruang kelas itu ruang kelas tanpa dinding, borderless
classroom. Ini yang tidak bisa guru kendalikan. Siswa, kan, tidak boleh dihadapkan
pada nilai-nilai yang kontradiktif. Apa yang diajarkan sekolah harus kurang-lebih
sejalan dengan apa yang ada di luar ruang kelas
3. Disain Pendidikan Karakter
35
Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-
nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak
atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan,
kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri. Terminologi ”karakter” itu sendiri sedikitnya
memuat dua hal: values (nilai-nilai) dan kepribadian. Suatu karakter merupakan cerminan
dari nilai apa yang melekat dalam sebuah entitas. ”Karakter yang baik” pada gilirannya
adalah suatu penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu,
di luar persoalan apakah ”baik” sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar kamuflase.
Dari hal ini, maka kajian pendidikan karakter akan bersentuhan dengan wilayah filsafat
moral atau etika yang bersifat universal, seperti kejujuran. Pendidikan karakter sebagai
pendidikan nilai menjadikan “upaya eksplisit mengajarkan nilai-nilai, untuk membantu
siswa mengembangkan disposisi-disposisi guna bertindak dengan cara-cara yang pasti”
(Curriculum Corporation, 2003: 33).
36
Persoalan baik dan buruk, kebajikan-kebajikan, dan keutamaan-keutamaan
menjadi aspek penting dalam pendidikan karakter semacam ini. Sebagai aspek
kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang:
mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter semacam ini lebih tepat sebagai
pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat,
menjadikan pendidikan karakter semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku
aktual tentang bagaimana seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik
berdasarkan norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural. Terlepas dari berbagai
kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional
pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi
pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan dapat dicapai dengan baik.
Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta
direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya,
37
pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan
norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu
pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design
pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design
menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian
pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.
Disain Sasaran Pendidikan Karakter adalah seluruh Sekolah/Madrsah di
Indonesia negeri maupun swasta. Semua warga Sekolah/Madrsah , meliputi para peserta
didik, Tenaga Pendidik dan Kependidikann , dan pimpinan Sekolah/Madrsah menjadi
sasaran program ini. Sekolah/Madrsah yang selama ini telah berhasil melaksanakan
pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh
untuk disebarluaskan ke Sekolah/Madrsah lainnya.
Disain pengembangan Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam
pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan
norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan,
dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-
nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan
pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Disain dari
Kegiatan ekstrakurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu
media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta
didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran
untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat,
dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan
atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di Sekolah/Madrsah.
38
Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa
tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik. Pendidikan karakter di
Sekolah/Madrsah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan
Sekolah/Madrsah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter
direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di
Sekolah/Madrsah secara memadai.
Disain Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu
ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga
kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen
Sekolah/Madrsah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di
Sekolah/Madrsah. Melalui program telah didisain ini diharapkan lulusan memiliki
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter
mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang
baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan
karakter nantinya diharapkan menjadi budaya Sekolah/Madrsah. Dan pada tataran
Sekolah/Madrsah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya
Sekolah/Madrsah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang
dipraktikkan oleh semua warga Sekolah/Madrsah, dan masyarakat sekitar
Sekolah/Madrsah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.
Dan takalah pentingnya bahwa desain dari pengintegrasian Program imtaq
ditetapkan sebagai salah satu program pengembangan diri wajib, artinya merupakan jenis
pengembangan diri yang wajib diikuti oleh seluruh peserta didik. Program imtaq juga
dijadikan sebagai salah satu sumber untuk memberikan nilai akhlak mulia bagi peserta
didik, namun hendaknya disesuaikan dengan kondisi lingkungan Sekolah/ Madrasah itu
sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut diatas dapatlah dijadikan suatu acuan dalam
39
pengembangan pendidikan karakter di satuan pendidikan, yang merupakan salah satu
tujuan pendidikan nasional, dan dituangkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Desain Program ini disusun dan ditetapkan
setelah melalui tahapan sosialisasi dan mendapatkan persetujuan dari dewan pendidik dan
stakeholder sekolah Madrasah lainnya (komite Sekolah/ Madrasah dan orang tua peserta
didik). Salah satu cara yang dapat dipercaya adalah penerapan Pendidikan karakter untuk
mencegah merosotnya nilai-nilai moral dan etika pada generasi penerus bangsa, harus
dimulai sejak usia dini karena pada usia dini, anak masih dapat dibentuk dan diarahkan
sesuai dengan keinginan kita.
Adapun prosedur mendisain cara mengimplementasikan pendidikan karakter
mulai dari pendidikan anak usia dini yaitu penciptaan lingkungan yang penuh dengan
kasih sayang, memperkenalkan pentingnya cinta, melalui metode pembiasaan, metode
keteladanan, metode bercerita, pengurangan kegiatan yang mengembangkan kognitif dan
diganti dengan kegiatan yang mengembangkan afektif, serta pemanfaatan permainan
tradisional. Sekolah Madrasah dituntut mengembangkan pendidikan berkarakter melalui
pengembangan intelligence guotient, emotional quotient, dan spiritual quotient pada diri
peserta didik dalam proses pembelajarannya. Disain dari Nilai-nilai yang harus
dikembangkan dalam pendidikan karakter bangsa diidentifikasi dan berangkat dari empat
sumber dan pilar dasar yang sangat fundamental dalam kehidupan bangsa Indonesia, yaitu
Agama, Pancasila, Budaya dan Tujuan Pendidikan Nasional. Nilai-nilai itu mencakup
tujuh belas aspek nilai, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai
prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca, peduli sosial, dan peduli
lingkungan. Disain pengembangannya bisa dilakukan melalui kegiatan Intrakurikuler,
ekstrakurikuler dan kegiatan pengembangan diri. Disain dari Keterlaksanaan program
40
didukung oleh beberapa faktor pendukung. Misalnya: 1) adanya motivasi dan dukungan
dari warga sekolah (peserta didik, guru dan pegawai); 2) motivasi dan dukungan dari
orang tua peserta didik dan masyarakat,
Disain dari Basis Pendidikan karakter bukan merupakan mata pelajaran baru
yang berdiri sendiri ,bukan pula dimasukkan sebagai standar kompetensi dan kompetensi
dasar baru,tetapi terintegrasi kedalam mata pelajaran yang sudah ada,pengembangan diri
dan budaya sekolah serta muatan lokal. oleh karna itu,guru dan sekolah perlu
mengintegrasi nilai – nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter kedalam
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP),silabus,dan rencana program pembelajaran
(RPP) yang sudah ada . Adapun Prinsip yang digunakan dalam pengembangan
pendidikan karakter adalah : (1) Berkelanjutan: mengandung makna bahwa proses
pengembangan nilai-nilai karakter merupakan proses yang tiada henti ,dimulai dari awal
peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan bahkan sampai terjun
kemasyarakat (2) Melalui semua mata pelajaran pengembangan diri dan budaya
sekolah ,serta muatan local (3) Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan dan
dilaksanakan .satu hal yang selalu harus diingat bahwa suatu aktivitas belajar dapat
digunakan untuk mengembangkan kemampuan ranah kongnitif,afektif dan psikomotorik
(4) Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan.guru harus
merencanakan kegiatan belajar yang menyebabkan peserta didik aktif merumuskan
pertanyaan mencari sumber informasi ,dan mengumpulkan informasi dari sumber
memgolah informasi yang sudah dimiliki,dan menumbuhkan nilai-nilai budaya dan
karakter pada diri mereka melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi dikelas ,
sekolah,dan tugas-tugas diluar Sekolah/Madrsah .
Pemahaman mengenal arti pendidikan karakter akan ikut menentukan isi
pendidikan karakter bagi pengikut paham yang mengartikan pendidikan moral untuk
41
menjadikan seseorang berkarakteter,maka isi pendidikan merupakan pilihan yang paling
tepat untuk mengantarkan seseorang hidup bermasyarakat.bahan pendidikan yang
diperkirakan tidak sesuai dengan tujuan karakter tidak dimasukkan dalam
kurikulum.kalaupun terpaksa disebut dalam isi pelajaran,maka bahan pelajaran itu disebut
close area,yaitu bahan pelajaran tabu dan secret untuk dibicarakan ,seperti yang berkenaan
dengan ras,politik,dan kesukuan. Oleh karna itu ,pilihan isi pelajaran harus tersaring dan
terseleksi secara ketat ,yaitu bahan pelajaran yang sudah masuk dalam appa yang disebut
public culture.bagi paham yang beranggapan bahwa pendidikan karakter sebagai
pendidikan tenteng karakter,penyusunan isi pelajaran hamper tidak ada pembatasan. bahan
pelajaran bisa diambil dari berbagai cabang ilmu pengetahuan dan masalah nyata dalam
kehidupan sehari – hari .paham ini percaya bahwa penalaran moral dan konflik kongnitif
(cognitive conflict) dalam membicarakan moral ,suatu hal yang sangat penting dalam
menumbuhkan inteligensi. Paham ini percaya bahwa penyusunan isi bahan pelajaran
yang menekankan pada segi kognitif pada akhirnya akan mengembangkan moral kognitif
(cognitive moral development). Namun paham ini tidak percaya terhadap tingkat
keberhasilan penanaman nilai moral seperti dikemukakan oleh durkheimian,sociological
ethcists yang meramalkan akan terjadi internalisasi melalui proses pengkondisian dan
latihan moral.penemuan atau kesimpulan kholberg tentang tahap- tahap perkembangan
moral (pre-conventional,conventional,post-conventional,autonomus, principle levels)
membuktikan bahwa teori internalisasi dari suatu buku”yang beranggapan benar” ternyata
tidak sesuai dengan perkiraan kalangan durkheimian.oleh karna itu ,ia menggunakan
istilah cognitive development untuk merujuk pada asumsi mengenai teori pilihan tentang
moral seperti telah dikemukakan oleh Dewey (1909),mead (1934), Baldwin (1906) dan
Piaget (1932) Bahaya penyusunan bahan seperti di atas dapat terjadi transfer negative
yang menimbulkan pilihan sikap yang tidak positif terhadap kawasan nilai-nilai sentral
42
yang dicapai.hal ini bisa terjadi manakala guru kekurangan bahan dan pengetahuan untuk
membahas sesuatu topik yang problematis.
Berkaitan dengan penyajian materi pendidikan karakter di Sekolah/Madrsah
muncul paham yang menghendaki agar materi pendidikan karakter disampaikan dengan
memperhatikan faktor psikologi anak,sehingga dapat menjamin tingkat keberhasilan
tujuan pendidikan. Paham ini berpendapat bahwa untuk mencapai terjadinya internalisasi
moral,hendaknya pada tahap permulaan dikembangkan pengkondisian dan latihan moral
disajikan dengan baik dan menarik,walaupun hanya dengan teknik ceramah ,hal ini
menghasilkan internalisasi.penalaran moral dan penyajian pendidikan moral dan langkah
– langkah berpikir ilmuan sosial hanya akan menimbulkan kegaduhan saja, di lain
pihak ,paham yang mementingkan perkembangan penalaran moral tidak setuju kalau
pendidikan budi pekerti atau moral menekankan pada pengkondisian dan latihan moral
dalam rangka upaya internalisasi nilai moral,seperti dianut para Durkheimian.
Paham yang didukung oleh faculty psychology ini hanya menimbulkan
kebosanan dan menyebabkan jenis- jenis berpikir yang kurang berkembang.Dengan
perkataan lain,keadaan ini dapat menimbulkan perilaku yang tidak konstruktif bagi
seseorang dalam menghadapi suatu masalah yang menyangkut moral ,yang oleh para ahli
kesehatan mental dianggap bisa menimbulkan psikosomatik,tanpa alasan. Oleh karna
itu ,pihak ini cenderung untuk menggunakan cognitive development sebagai pusat
pendekatan dalam pendidikan budi pekerti dan tidak mengikuti cara transmisi nilai-nilai
budi pekerti yang pasti benar.cognitive development sebagai pusat pendekatan dalam
pendidikan budi pekerti akan di jadikan dorongan agar seseorang dapat melakukan
reksturisasi dalam pengalaman dirinya melalui berbagai pengalaman dalam melakukan
pilihan moral dan pertimbangan moral (moral choice and moral judgement).Paham ini
pada dasarnya mengikuti aliran fieldpsycology dan convigurational psychology,proses
43
pengambilan keputusan dan pendekatan masalah dapat di kembangkan suatu pengalaman
belajar yang membiasakan seseorang untuk mampu menyusun konnsteruksi berpikir serta
mendorong perkembangan penalaran moral maupun berpikir ilmiah. Banyak orang
berpikir,pihak yang dianggap bertanggung jawab dalam mendidik karakter atau budi
pekerti adalah guru dan guru pendidikan budi pekerti.Pikiran demikian jelas kurang tepat
karena masalah karakter/budi pekerti/moral ini akan berkaitan satu dengan lainbaik
program pendidikan disekolah maupun masalah lingkungan,terutama masalah
keadilan.perlakuan yang tidak adil dapat berupa keputusan hakim atau pejabat
Negara,juga tindakan seseorang.Masyarakat bisa memiliki pertimbangan moral yang
berbeda-beda. Seseorang bisa saja mengambil sikap”komplasen,agnostic,regresif-
liberal,bahkan radikal’sekalipun terhadap ketidak adilan. Pendidikan karakter atau budi
pekerti sangatlah luas sehingga sesuatu yang tidak mungkin manakala ia hanya menjadi
tanggung jawab guru. Oleh karna itu, timbul gagasan tentang pentingnya kurikulum
tersembunyi[hidden curriculum] dealam pendidikan karakter/budi pekerti,yang tidak
secara eksplisit di tulis dalam kurikulum.Pendapat ini beranggapan bahwa seluruh
kegiatan guru,orang tua, masarakat, dan negara di harapkan untuk membantu dan
melakukan pelayanan ekstra dalam memmbantu pencapaian tujuaqn pendidikan
karakter/budi pekerti. Guru bidang studi dapat mengaitkan masalah bidang studinya
dengan karaqkter/budi pekerti.Demikian pula kepala sekolah dan orang tua dapat berbuat
sesuatu dalam kaitannya dalam masalah karakter/budi pekerti, walupunmaasalah
lingkungan masarakat seperti keadilan,kemakmuran,keamanan,dan kesetia kawanan sosiai
mempengaruhi penentuan sikap dan pertimbangan moral seseorang.Dengan perkataan
lain, ppandangan ini menuntut adanya tanggung jawab kolektif dari semua pihak terhadap
keberhasilan pendidikan budi pekerti.
44
4.PENGEMBANGAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
45
Pentingnya Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendididkan Berbasis
Pendidikan Karakter dalam hal ini Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan
untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak
mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini
sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana
diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Di samping itu, berbagai
persoalan yang dihadapi oleh bangsa kita dewasa ini makin mendorong semangat dan
upaya pemerintah untuk memprioritaskan pendidikan karakter sebagai dasar
pembangunan pendidikan. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional, di mana Pemerintah menjadikan pembangunan
karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Upaya
pembentukan karakter sesuai dengan budaya bangsa ini tentu tidak semata-mata hanya
dilakukan di sekolah melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar dan luar sekolah,
46
akan tetapi juga melalui pembiasaan (habituasi) dalam kehidupan, seperti: religius, jujur,
disiplin, toleran, kerja keras, cinta damai, tanggung-jawab, dan sebagainya. Pembisaan itu
bukan hanya mengajarkan (aspek kognitif) mana yang benar dan salah, akan tetapi juga
mampu merasakan (aspek afektif) nilai yang baik dan tidak baik serta bersedia
melakukannya (aspek psikomotorik) dari lingkup terkecil seperti keluarga sampai dengan
cakupan yang lebih luas di masyarakat. Nilai-nilai tersebut perlu ditumbuhkembangkan
peserta didik yang pada akhirnya akan menjadi pencerminan hidup bangsa Indonesia. oleh
karena itu, sekolah memiliki peranan yang besar sebagai pusat pembudayaan melalui
pengembangan budaya sekolah (school culture). Pedoman ini ditujukan kepada semua
warga pada setiap satuan pendidikan(dasar sampai menengah) melalui serangkaian
kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian yang bersifat komprehensif.
Perencanaan di tingkat satuan pendidikan pada dasarnya adalah melakukan penguatan
dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Sedangkan pelaksanaan
dan penilaian tidak hanya menekankan aspek pengetahuan saja, melainkan juga sikap
perilaku yang akhirnya dapat membentuk akhlak mulia. Pedoman ini dikembangkan
berdasarkan atas pengalaman beberapa satuan pendidikan yang telah
mengimplementasikannya. Hasil-hasil pengalaman itu diperoleh melalui pelaksanaan
(piloting) yang dilakukan Pusat Kurikulum
4.1. Komponen Kurikulum Tingkat Satuan Pendididkan (KTSP)
Pendidikan karakter merupakan satu kesatuan program kurikulum
satuan pendidikan. Oleh karena itu program pendidikan karakter secara dokumen
diintegrasikan ke dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Dengan kata
lain, pendidikan karakter harus tertera dalam KTSP mulai dari visi, misi, tujuan,
struktur dan muatan kurikulum, kalender pendidikan, silabus, rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP)
47
4.2. Tahapan Pengembangan
Pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan perlu
melibatkan seluruh warga satuan pendidikan, orangtua siswa, dan masyarakat
sekitar. Prosedur pengembangan kurikulum yang mengintegrasikan pendidikan
karakter di satuan pendidikan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
(1). Melaksanakan sosialisasi pendidikan karakter dan melakukan
komitmen bersama antara seluruh komponen warga sekolah (tenaga pendidik dan
kapendidikan serta komite sekolah). (2). Membuat komitmen dengan semua
stakeholder (seluruh warga sekolah, orang tua siswa, komite, dan tokoh masyarakat
setempat) untuk mendukung pelaksanaan pendidikan karakter. (3). Melakukan
analisis konteks terhadap kondisi sekolah (internal dan eksternal) yang dikaitkan
dengan nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan pada satuan pendidikan yang
bersangkutan. Analisis ini dilakukan untuk menetapkan nilai-nilai dan indikator
keberhasilan yang diprioritaskan, sumber daya, sarana yang diperlukan, serta
prosedur penilaian keberhasilan. (4). Menyusun rencana aksi sekolah berkaitan
dengan penetapan nilai-nilai pendidikan karakter. (5). Membuat perencanaan dan
program pelaksanaan pendidikan karakter, yang berisi: Pengintegrasian melalui
pembelajaran, Penyusunan mata pelajaran muatan lokal Kegiatan lain,
Penjadwalan dan penambahan jam belajar di sekolah (6). Melakukan
pengkondisian, seperti: Penyediaan sarana, Keteladanan, Penghargaan dan
pemberdayaan (7). Melakukan penilaian keberhasilan dan supervisi Untuk
keberlangsungan pelaksanaan pendidikan karakter perlu dilakukan penilaian
keberhasilan dengan menggunakan indikator-indikator berupa perilaku semua
warga dan kondisi sekolah/instansi yang teramati. Penilaian ini dilakukan secara
terus menerus melalui berbagai strategi. Supervisi dilakukan mulai dari menelaah
48
kembali perencanaan, kurikulum, dan pelaksanaan semua kegiatan yang berkaitan
dengan pendidikan karakter, yaitu: Implementasi program pengembangan diri
berkaitan dengan pengembangan nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa
dalam budaya sekolah Kelengkapan sarana dan prasarana pendukung
implementasi pengembangan nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa
Implementasi nilai dalam pembelajaran Implementasi belajar aktif dalam
pembelajaran Ketercapaian Rencana Aksi Sekolah berkaitan dengan penerapan
nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa Penilaian penerapan nilai
pendidikan karakter dan budaya bangsa pada pendidik, tenaga kependidikan, dan
peserta didik (sebagai kondisi akhir) Membandingkan kondisi awal dengan kondisi
akhir dan merancang program lanjutan. 8. Melakukan penyusunan KTSP yang
memuat pengembangan nilai-nilai pendidikan karakter dan budaya bangsa.
Mendata kondisi dokumen awal (mengidentifikasi nilai-nilai pendidikan budaya
dan karakter bangsa dalam dokumen I. Merumuskan nilai-nilai pendidikan karakter
dan budaya bangsa di dalam (latar belakang pengembangan KTSP, Visi, Misi,
Tujuan Sekolah, Struktur dan Muatan Kurikulum, Kalender Pendidikan, dan
program Pengembangan Diri) Mengitengrasikan nilai-nilai pendidikan karakter dan
budaya bangsa dalam dokumen II (silabus dan RPP)
4.3. Penyiapan Perangkat dalam rangka Pelaksanaan
Pendidikan Karakter di Satuan Pendidikan
Terkait dengan penyiapan perangkat itu telah dilakukan kegiatan-
kegiatan berikut: 1. Pembentukan Tim “Penggerak” Tingkat Nasional, Tingkat
Propinsi, Tingkat Kabupaten/Kota, dan Tingkat Satuan Pendidikan 2. Pemetaan
kesiapan pelaksanaan pendidikan karakter di PAUD, SD/MI, SMP/MTs,
SMA/MA, SMK, SLB dan PKBM untuk setiap Kabupaten/Kota (Sumber: Bantuan
49
Teknis Profesional Tim Pengembang Kurikulum di Tingkat Propinsi dan
Kab/Kota, 2010; ToT Tingkat Utama dan Tingkat Nasional terhadap 1.200 orang
peserta dari unsur-unsur unit Utama Kemendiknas, Dinas Pendidikan Provinsi &
Kab/Kota, P4TK; LPMP; dan Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta) 3.
Menyiapkan bahan pelaksanaan pendidikan karakter pada setiap satuan pendidikan
4.4. Pengintegrasian dalam mata pelajaran
Pengembangan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakater bangsa
diintegrasikan dalam setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Nilai-nilai
tersebut dicantumkan dalam silabus dan RPP. Pengembangan nilai-nilai itu dalam
silabus ditempuh melalui cara-cara berikut ini: a. mengkaji Standar Kompetensi
(SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada Standar Isi (SI) untuk menentukan apakah
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang tercantum itu sudah tercakup di
dalamnya; b. menggunakan tabel 1 yang memperlihatkan keterkaitan antara SK
dan KD dengan nilai dan Indikator untuk menentukan nilai yang akan
dikembangkan; c. mencantumkankan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam
tabel 1 itu ke dalam silabus; d. mencantumkan nilai-nilai yang sudah tertera dalam
silabus ke dalam RPP; e. mengembangkan proses pembelajaran peserta didik
secara aktif yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan
internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai; dan f.
memberikan bantuan kepada peserta didik, baik yang mengalami kesulitan
untuk menginternalisasi nilai maupun untuk menunjukkannya dalam perilaku.
4.5. Pengembangan Proses Pembelajaran
Pembelajaran pendidikan budaya dan karakter bangsa menggunakan
pendekatan proses belajar peserta didik secara aktif dan berpusat pada anak;
dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas, sekolah, dan masyarakat.
50
1. Kelas, melalui proses belajar setiap mata pelajaran atau kegiatan yang dirancang
sedemikian rupa. Setiap kegiatan belajar mengembangkan kemampuan
dalam ranah kgnitif, afektif, dan psikmtr. Oleh karena itu, tidak selalu
diperlukan kegiatan belajar khusus untuk mengembangkan nilai-nilai pada
pendidikan budaya dan karakter bangsa. Meskipun demikian, untuk
pengembangan nilai-nilai tertentu seperti kerja keras, jujur, Toleransi,
disiplin, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan gemar
membaca dapat melalui kegiatan belajar yang biasa dilakukan guru. Untuk
pegembangan beberapa nilai lain seperti peduli sosial, peduli lingkungan,
rasa ingin tahu, dan kreatif memerlukan upaya pengkondisian sehingga
peserta didik memiliki kesempatan untuk memunculkan perilaku yang
menunjukkan nilai-nilai itu.
2. Sekolah, melalui berbagai kegiatan sekolah yang diikuti seluruh peserta didik,
guru, kepala sekolah, dan tenaga Kependidikan di sekolah itu,
direncanakan sejak awal tahun pelajaran, dimasukkan ke Kalender
Akademik dan yang dilakukan sehari-hari sebagai bagian dari budaya
sekolah. Contoh kegiatan yang dapat dimasukkan ke dalam program
sekolah adalah lomba vcal grup antarkelas tentang lagu-lagu bertema cinta
tanah air, pagelaran seni, lomba pidat bertema budaya dan karakter
bangsa, pagelaran bertema budaya dan karakter bangsa, lomba olah raga
antarkelas, lomba kesenian antarkelas, pameran hasil karya peserta didik
bertema budaya dan karakter bangsa, pameran ft hasil karya peserta didik
bertema budaya dan karakter bangsa, lomba membuat tulisan, lomba
mengarang lagu, melakukan wawancara kepada tokoh yang berkaitan
dengan budaya dan karakter bangsa, mengundang berbagai narasumber
51
untuk berdiskusi, gelar wicara, atau berceramah yang berhubungan
dengan budaya dan karakter bangsa.
3. Luar sekolah, melalui kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan lain yang diikuti leh
seluruh atau sebagian peserta didik, dirancang sekolah sejak awal tahun
pelajaran, dan dimasukkan ke dalam Kalender Akademik. Misalnya,
kunjungan ke tempat-tempat yang menumbuhkan rasa cinta terhadap
tanah air, menumbuhkan semangat kebangsaan, melakukan pengabdian
masyarakat untuk menumbuhkan kepedulian dan kesetiakawanan sosial
(membantu mereka yang tertimpa musibah banjir, memperbaiki atau
membersihkan tempat-tempat umum, membantu membersihkan atau
mengatur barang di tempat ibadah tertentu).
4.6. Penilaian Hasil Belajar
Penilaian pencapaian pendidikan nilai budaya dan karakter didasarkan
pada Indikator. Sebagai contoh, Indikator untuk nilai jujur di suatu semester
dirumuskan dengan “mengatakan dengan sesungguhnya perasaan dirinya
mengenai apa yang dilihat, diamati, dipelajari, atau dirasakan” maka guru
mengamati (melalui berbagai cara) apakah yang dikatakan serang peserta didik itu
jujur mewakili perasaan dirinya. Mungkin saja peserta didik menyatakan
perasaannya itu secara lisan tetapi dapat juga dilakukan secara tertulis atau bahkan
dengan bahasa tubuh. Perasaan yang dinyatakan itu mungkin saja memiliki gradasi
dari perasaan yang tidak berbeda dengan perasaan umum teman sekelasnya sampai
bahkan kepada yang bertentangan dengan perasaan umum teman sekelasnya.
Penilaian dilakukan secara terus menerus, setiap saat guru berada di
kelas atau di sekolah. Mdel anecdtal recrd (catatan yang dibuat guru ketika melihat
adanya perilaku yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan) selalu dapat
52
digunakan guru. Selain itu, guru dapat pula memberikan tugas yang berisikan suatu
persoalan atau kejadian yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menunjukkan nilai yang dimilikinya. Sebagai contoh, peserta didik dimintakan
menyatakan sikapnya terhadap upaya menlng pemalas, memberikan bantuan
terhadap rang kikir, atau hal-hal lain yang bersifat bukan kntrversial sampai kepada
hal yang dapat mengundang konflik pada dirinya.
4.7. Indikator Sekolah dan Kelas
Ada 2 (dua) jenis Indikator yang dikembangkan dalam pedoman ini.
Pertama, Indikator untuk sekolah dan kelas. Kedua, Indikator untuk mata
pelajaran. Indikator sekolah dan kelas adalah penanda yang digunakan oleh kepala
sekolah, guru, dan personalia sekolah dalam merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi sekolah sebagai lembaga pelaksana pendidikan budaya dan karakter
bangsa. Indikator ini berkenaan juga dengan kegiatan sekolah yang diprogramkan
dan kegiatan sekolah sehari-hari (rutin). Indikator mata pelajaran menggambarkan
perilaku afektif serang peserta didik berkenaan dengan mata pelajaran tertentu.
Indikator dirumuskan dalam bentuk perilaku peserta didik di kelas
dan sekolah yang dapat diamati melalui pengamatan guru ketika serang peserta
didik melakukan suatu tindakan di sekolah, tanya jawab dengan peserta didik,
jawaban yang diberikan peserta didik terhadap tugas dan pertanyaan guru, serta
tulisan peserta didik dalam laporan dan pekerjaan rumah. Perilaku yang
dikembangkan dalam Indikator pendidikan budaya dan karakter bangsa bersifat
progresif. Artinya, perilaku tersebut berkembang semakin kmpleks antara satu
jenjang kelas ke jenjang kelas di atasnya ( 1-3; 4-6; 7-9; 10-12), dan bahkan dalam
jenjang kelas yang sama. Guru memiliki kebebasan dalam menentukan berapa
lama suatu perilaku harus dikembangkan sebelum ditingkatkan ke perilaku yang
53
lebih kmpleks. Misalkan,”membagi makanan kepada teman” sebagai Indikator
kepedulian sosial pada jenjang kelas 1 – 3. Guru dapat mengembangkannya
menjadi “membagi makanan”, membagi pensil, membagi buku, dan sebagainya.
Indikator berfungsi bagi guru sebagai kriteria untuk memberikan pertimbangan
tentang perilaku untuk nilai tertentu telah menjadi perilaku yang dimiliki peserta
didik. Untuk mengetahui bahwa suatu sekolah itu telah melaksanakan
pembelajaran yang mengembangkan budaya dan karakter bangsa, maka ditetapkan
Indikator sekolah dan kelas antara lain seperti berikut ini.
4.8. Keterkaitan jenjang Kelas dan Indikator
NILAI INDIKATOR
7 – 9 10- 12
Religius:
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, Toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
Mengagumi kebesaran Tuhan melalui kemampuan manusia dalam melakukan sinkronisasi antara aspek fisik dengan aspek kejiwaan.
Mensyukuri keunggulan manusia sebagai makhluk pencipta dan penguasa dibandingkan makhluk lain
Mengagumi kebesaran Tuhan karena kemampuan dirinya untuk hidup sebagai anggota masyarakat.
Bersyukur kepada Tuhan karena menjadi warga bangsa Indonesia.
Mengagumi kekuasaan Tuhan yang telah menciptakan berbagai alam semesta.
Merasakan kekuasaan Tuhan yang telah menciptakan berbagai keteraturan di alam semesta.
Mengagumi kebesaran Tuhan karena adanya agama yang menjadi sumber keteraturan hidup masyarakat.
Merasakan kebesaran Tuhan dengan keberagaman agama yang ada di dunia.
Mengagumi kebesaran Tuhan melalui berbagai
Mengagumi kebesaran Tuhan melalui berbagai
54
pokok bahasan dalam berbagai mata pelajaran.
pokok bahasan dalam berbagai mata pelajaran.
Jujur:
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai rang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
Tidak menyontek ataupun menjadi plagiat dalam mengerjakan setiap tugas.
Melaksanakan tugas sesuai dengan aturan akademik yang berlaku di sekolah.
Mengemukakan pendapat tanpa ragu tentang suatu pokok diskusi.
Menyebutkan secara tegas keunggulan dan kelemahan suatu pokok bahasan.
Mengemukakan rasa senang atau tidak senang terhadap pelajaran.
Mau bercerita tentang permasalahan dirinya dalam menerima pendapat temannya.
Menyatakan sikap terhadap suatu materi diskusi kelas.
Mengemukakan pendapat tentang sesuatu sesuai dengan yang diyakininya.
Membayar barang yang dibeli di tk sekolah dengan jujur.
Membayar barang yang dibeli dengan jujur.
Mengembalikan barang yang dipinjam atau ditemukan di tempat umum.
Mengembalikan barang yang dipinjam atau ditemukan di tempat umum.
Toleransi:
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan rang lain yang berbeda dari dirinya.
Tidak menggangu teman yang berbeda pendapat.
Memberi kesempatan kepada teman untuk berbeda pendapat.
Menghormati teman yang berbeda adat-istiadatnya.
Bersahabat dengan teman lain tanpa membedakan agama, suku, dan etnis
Bersahabat dengan teman dari kelas lain.
Mau mendengarkan pendapat yang dikemukakan teman tentang budayanya.
Mau menerima pendapat yang berbeda dari teman sekelas.
Disiplin: Selalu tertib dalam Selalu teliti dan tertib
55
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
melaksanakan tugas-tugas kebersihan sekolah.
dalam mengerjakan tugas.
Tertib dalam berbahasa lisan dan tulis.
Tertib dalam menerapkan kaidah-kaidah tata tulis dalam sebuah tulisan.
Patuh dalam menjalankan ketetapan-ketetapan rganisasi peserta didik.
Menaati pesedur kerja labratrium dan prosedur pengamatan permasalahan sosial.
Menaati aturan berbicara yang ditentukan dalam sebuah diskusi kelas.
Mematuhi jadwal belajar yang telah ditetapkan sendiri.
Tertib dalam menerapkan aturan penulisan untuk karya tulis.
Tertib dalam menerapkan aturan penulisan untuk karya tulis ilmiah.
Kerja keras:
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar, tugas, dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
Mengerjakan semua tugas kelas selesai dengan baik pada waktu yang telah ditetapkan.
Mengerjakaan tugas dengan teliti dan rapi.
Tidak putus asa dalam menghadapi kesulitan dalam belajar.
Menggunakan waktu secara efektif untuk menyelesaikan tugas-tugas di kelas dan luar kelas.
Selalu fokus pada pelajaran. Selalu berusaha untuk mencari informasi tentang materi pelajaran dari berbagai sumber.
Kreatif:
Berpikir dan melakukan sesuatu yang menghasilkan cara atau hasil baru dari yang telah dimiliki.
Mengajukan pendapat yang berkenaan dengan suatu pokok bahasan.
Mengajukan suatu pikiran baru tentang suatu pokok bahasan.
Bertanya mengenai penerapan suatu hukum/teri/prinsip dari materi lain ke materi yang sedang dipelajari.
Menerapkan
hukum/teri/prinsip yang sedang dipelajari dalam aspek kehidupan masyarakat.
Mandiri: Melakukan sendiri tugas kelas yang menjadi
Mencari sumber di perpustakaan untuk
56
Sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada rang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
tanggung jawabnya. menyelesaikan tugas sekolah tanpa bantuan pustakawan.
Mencari sendiri di kamus terjemahan kata bahasa asing untuk bahasa Indonesia atau sebaliknya.
Menerjemahkan sendiri kalimat bahasa Indonesia ke bahasa asing atau sebaliknya.
Demokratis:
Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan rang lain.
Memilih ketua kelompok berdasarkan suara terbanyak.
Membiasakan diri bermusyawarah dengan teman-teman.
Memberikan suara dalam pemilihan di kelas dan sekolah.
Menerima kekalahan dalam pemilihan dengan ikhlas.
Mengemukakan pikiran tentang teman-teman sekelas.
Mengemukakan pendapat tentang teman yang menjadi pemimpinnya.
Ikut membantu melaksanakan program ketua kelas.
Memberi kesempatan kepada teman yang menjadi pemimpinnya untuk bekerja.
Rasa ingin tahu:
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar.
Bertanya kepada guru dan teman tentang materi pelajaran.
Bertanya atau membaca sumber di luar buku teks tentang materi yang terkait dengan pelajaran.
Bertanya kepada sesuatu tentang gejala alam yang baru terjadi.
Membaca atau mendiskusikan gejala alam yang baru terjadi.
Bertanya kepada guru tentang sesuatu yang didengar dari ibu, bapak, teman, radi, atau televise.
Membaca atau mendiskusikan beberapa peristiwa alam, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan teknologi yang baru didengar.
Semangat kebangsaan:
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan
Turut serta dalam upacara peringatan hari pahlawan dan Proklamasi kemerdekaan.
Turut serta dalam panitia peringatan hari pahlawan dan Proklamasi kemerdekaan.
Mengemukakan pikiran dan sikap mengenai ancaman
Mengemukakan pikiran dan sikap terhadap
57
negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
dari negara lain terhadap bangsa dan negara Indonesia.
pertentangan antara bangsa Indonesia dengan negara lain.
Mengemukakan sikap dan tindakan yang akan dilakukan mengenai hubungan antara bangsa Indonesia dengan negara bekas penjajah Indonesia.
Mengemukakan sikap dan tindakan mengenai hubungan Indonesia dengan negara-negara lain dalam masalah politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Cinta tanah air:
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
Menyenangi keunggulan geografis dan kesuburan tanah wilayah Indonesia.
Mengemukakan sikap mengenai kondisi geografis Indonesia.
Menyenangi keragaman budaya dan seni di Indonesia.
Mengemukakan sikap dan kepedulian terhadap keberagaman budaya dan seni di Indonesia.
Menyenangi keberagaman suku bangsa dan bahasa daerah yang dimiliki Indonesia.
Mengemukakan sikap dan kepedulian terhadap kekayaan budaya bangsa Indonesia.
Mengagumi keberagaman hasil-hasil pertanian, perikanan, flora, dan fauna Indonesia.
Rasa bangga dan peduli terhadap berbagai unggulan produk Indonesia dalam pertanian, perikanan, flora, dan fauna.
Mengagumi dan menyenangi produk, industri, dan teknologi yang dihasilkan bangsa Indonesia
Rasa bangga atas berbagai produk unggulan bangsa Indonesia di bidang industri dan teknologi.
Menghargai prestasi:
Sikap dan tindakan yang mendrng dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, mengakui, dan menghormati keberhasilan rang lain.
Mengerjakan tugas dari guru dengan sebaik-baiknya.
Rajin belajar untuk berprestasi tinggi.
Berlatih keras untuk berprestasi dalam olah raga dan kesenian.
Berlatih keras untuk menjadi pemenang dalam berbagai kegiatan olah raga dan kesenian di sekolah.
Hormat kepada sesuatu yang sudah dilakukan guru,
Menghargai kerja keras guru, kepala sekolah, dan
58
kepala sekolah, dan personalia sekolah lain.
personalia lainnya.
Menceritakan prestasi yang dicapai orang tua.
Menghargai upaya orangtua untuk mengembangkan berbagai potensi dirinya melalui pendidikan dan kegiatan lain.
Menghargai hasil kerja pemimpin di masyarakat sekitarnya.
Menghargai hasil kerja pemimpin dalam mensejahteraan kesejahteraan masyarakat dan bangsa.
Menghargai tradisi dan hasil karya masyarakat di sekitarnya.
Menghargai temuan-temuan yang telah dihasilkan manusia dalam bidang ilmu, teknologi, sosial, budaya, dan seni.
Bersahabat/ komunikatif: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan rang lain
Bekerja sama dalam kelompok di kelas.
Memberikan pendapat dalam kerja kelompok di kelas.
Berbicara dengan teman sekelas.
Memberi dan mendengarkan pendapat dalam diskusi kelas.
Bergaul dengan teman sekelas ketika istirahat.
Aktif dalam kegiatan sosial dan budaya kelas.
Bergaul dengan teman lain kelas.
Aktif dalam kegiatan rganisasi di sekolah.
Aktif dalam kegiatan sosial dan budaya sekolah.
Berbicara dengan guru, kepala sekolah, dan personalia sekolah lainnya.
Berbicara dengan guru, kepala sekolah, dan personalia sekolah lainnya.
Cinta damai:
Sikap, perkataan, dan tindakan yang
Melindungi teman dari ancaman fisik.
Ikut serta dalam berbagai kegiatan cinta damai.
Berupaya mempererat pertemanan.
Berkomunikasi dengan teman-teman setanah air.
59
menyebabkan rang lain
Ikut berpartisipasi dalam sistem keamanan sekolah.
Ikut berpartisipasi dalam menjaga keamanan sekolah.
Gemar membaca:
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
Membaca buku atau tulisan keilmuan, sastra, seni, budaya, teknologi, dan humanira.
Membaca koran/majalah dinding.
Membaca buku atau tulisan keilmuan, sastra, seni, budaya, teknologi, dan humanira.
Membaca buku atau tulisan tentang alam, sosial, budaya, seni, dan teknologi.
Membaca koran.
Peduli sosial:
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan bagi rang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
Ikut dalam berbagai kegiatan sosial.
Meminjamkan alat kepada teman yang tidak membawa atau tidak punya.
Merancang dan melaksanakan berbagai kegiatan sosial.
Menghormati petugas-petugas sekolah.
Membantu teman yang sedang memerlukan bantuan.
Menyumbang darah.
Peduli lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
Mengikuti berbagai kegiatan berkenaan dengan kebersihan, keindahan, dan pemeliharaan lingkungan.
Merencanakan dan melaksanakan berbagai kegiatan pencegahan kerusakan lingkungan.
5. Penerapan Konsep Pendidikan Holistik Berbasis Karakter
Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itu
menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata
60
pelajaran yang ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi,
sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama, pendidikan
jasmani dan lahraga, seni, serta ketrampilan). Dalam mengembangkan pendidikan
karakter bangsa, kesadaran akan siapa dirinya dan bangsanya adalah bagian yang teramat
penting. Kesadaran tersebut hanya dapat terbangun dengan baik melalui sejarah yang
memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai siapa diri bangsanya di masa lalu yang
menghasilkan dirinya dan bangsanya di masa kini. Selain itu, pendidikan harus
membangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan
lingkungan tempat diri dan bangsanya hidup (geografi), nilai yang hidup di masyarakat
(antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem
ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik (ketatanegaraan/politik/ kewarganegaraan),
bahasa Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi,
dan seni. Artinya, perlu ada upaya terbsan kurikulum berupa pengembangan nilai-nilai
yang menjadi dasar bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan terbsan
kurikulum yang demikian, nilai dan karakter yang dikembangkan pada diri peserta didik
akan sangat kokoh dan memiliki dampak nyata dalam kehidupan diri, masyarakat,
bangsa, dan bahkan umat manusia.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-
nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa. Kebajikan
yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu
pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai
yang berasal dari pandangan hidup atau idelgi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan
nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan Budaya Karakter diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir,
nilai, mral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem
61
berpikir, nilai, mral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan
sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, mral, norma dan keyakinan
itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem
ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya.
Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, mral, norma,
dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam
kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, mral, norma, dan keyakinan yang
telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang
berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan,
ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan upaya terencana dalam
mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai,
mral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan
tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seserang yang
terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan
digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, mral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak,
dapat dipercaya, dan hormat kepada rang lain. Interaksi seserang dengan rang lain
menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan
karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu
seserang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya
tertentu, maka pengembangan karakter individu seserang hanya dapat dilakukan dalam
lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan
karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak
melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa.
62
Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan
karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik
budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri
peserta didik melalui pendidikan hati, tak, dan fisik.
5.1. Fungsi pendidikan Konsep Holistik budaya dan karakter bangsa adalah:
(1) . pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi
pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap
dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa;
(2) perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung
jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih
bermartabat; dan
(3) penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa
lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang
bermartabat.
5.2. Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
1. mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan
warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
2. mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan
dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
3. menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai
generasi penerus bangsa;
4. mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri,
kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
63
5. mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang
aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan
yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
5.3. Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan
karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini.
1. Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu,
kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran
agama dan kepercayaannya. Secara plitis, kehidupan kenegaraan pun
didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar
pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter
bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari
agama.
2. Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila.
Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih
lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya,
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang
mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan,
budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan
mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik,
yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan
menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga
negara.
64
3. Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup
bermasyarakat yang tidak didasari leh nilai-nilai budaya yang diakui
masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian
makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota
masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan
masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam
pendidikan budaya dan karakter bangsa.
4. Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki
setiap warga negara Indonesia, dikembangkan leh berbagai satuan
pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional
memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara
Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber
yang paling perasinal dalam pengembangan pendidikan budaya dan
karakter bangsa.
5.4. Metode Pendidikan 9 Pilar Karakter
Setiap tema Pilar Karakter diatur untuk dapat diterapkan selama 2
sampai 3 minggu. Masing -masing tema Pilar terdiri dari berbagai macam contoh
kegiatan praktis bagi para pendidik yang terfokus pada metode: knowing the good,
feeling and loving the good and acting the good. 9 Pilar Karakter tersebut adalah:
1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya (love Allah, trust, reverence, loyalty)
2. Tanggung jawab, Kedisiplinan dan Kemandirian (responsibility, excellence, self
reliance, discipline, orderliness)
3. Kejujuran/Amanah dan Arif (trustworthines, honesty, and tactful)
4. Hormat dan Santun (respect, courtesy, obedience )
65
5. Gotong-royong/Kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity,
moderation, cooperation)
6. Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity,
resourcefulness, courage, determination, enthusiasm)
7. Kepemimpinan dan Keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)
8. Baik dan Rendah Hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
9. Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity)
Disamping 9 Pilar karakter di atas, IHF juga mengembangkan materi
untuk mengajarkan kebersihan, kesehatan, kerapian dan keamanan pada anak.
Metode yang digunakan disebut sebagai “Refleksi Rutin” atau Apperception.
Setiap pagi anak-anak diminta untuk mengikuti kegiatan refleksi Pilar selama 15 -
20 menit sesuai dengan Pilar yang sedang diterapkan saat itu. Pemberian waktu
khusus untuk refleksi memberikan kesempatan pada anak untuk mengekspresikan
secara verbal pengetahuannya, kecintaannya dan bagaimana seharusnya mereka
bertindak sesuai pilar.
5.5. · Perangkat Modul 9 Pilar Karakter
Buku modul petunjuk pilar juga dilengkapi dengan 112 buku cerita (TK)
dan 140 buku cerita (SD) yang berhubungan dengan pilar yang diajarkan. Dan
dilengkapi juga dengan 10 buah buku kegiatan pendidikan karakter untuk anak.
Modul Pilar juga dilengkapi dengan contoh surat pemberitahuan, rekomendasi
serta kuesioner untuk orang tua. Surat-surat ini bertujuan mendorong orang tua
untuk berpartisipasi dalam menumbuhkan dan mengembangkan karakter positif
pada anak-anak mereka.
5.6. · Kurikulum Holistik Berbasis Karakter (Implementasi KBK 2004)
66
Kurikulum Holistik Berbasis Karakter akan membantu seluruh pendidik
dalam menerapkan pedidikan karakter sepanjang tahun ajaran, yang diintegrasikan
dalam seluruh disiplin ilmu. Masing -masing aspek dari kurikulum diterapkan
dengan menggunakan pendekatan Student Active Learning, Developmentally
Appropriate Practices, Integrated Learning, Contextual Learning, Collaborative
Learning, dan Multiple Intelligences, yang dapat menciptakan pengalaman belajar
yang efektif dan menyenangkan.
5.7. Penerapan Modul 9 Pilar Karakter dan Kurikulum Holistik Berbasis
Karakter
IHF menyediakan pelatihan guru selama 5 hari untuk menerapkan
program ini. Materi-materi yang akan diberikan adalah:
1. Wawasan Perlunya Pendidikan Karakter (Heartstart Paradigm)
2. Konsep Diri (Training Motivasi)
3. Developmentally Appropriate Practices
4. Bagaimana Mengalirkan Karakter di Kelas
5. Praktek Pengaplikasian Modul 9 Pilar Karakter
6. Brain Based Learning and Teaching
7. Aplikasi Pembelajaran Holistik Berbasis Karakter (KBK 2004)
Program pelatihan ini juga terintegrasi dengan praktek nyata di kelas
oleh para peserta pelatihan. Dengan demikian guru mempunyai pengalaman nyata
dalam menerapkan program dan bersama dengan instruktur dapat melakukan
evaluasi.
Sumber nilai itu, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya
dan karakter bangsa sebagai berikut ini :
67
NILAI DESKRIPSI
1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, Toleran terhadap pelaksanaan ibadah
agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai rang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku,
etnis, pendapat, sikap, dan tindakan rang lain yang berbeda
dari dirinya.
4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara
atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada rang
lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak
dan kewajiban dirinya dan rang lain.
9. Rasa Ingin
Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui
lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya,
dilihat, dan didengar.
10. Semangat
Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
68
kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah
Air
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsa.
12. Menghargai
Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendrng dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan rang lain.
13. Bersahabat/
Komunikatif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,
bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan rang lain
merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15. Gemar
Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli
Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan
alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada
rang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung-
jawab
Sikap dan perilaku seserang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya),
negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
6. Simpulan
69
6.1. Pendidkan Karakter/ Budi Pekerti adalah suatu program (Sekolah/Madrasah dan luar
Sekolah/Madrasah ) yang mengorganisasikan dan menyederhanakan sumber moral serta
disajikan dengan memperhatikan pertimbangan psikologis untuk tujuan pendidikan .
pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan pesrta
didik yang berlangsung sepanjang hayat.
6.2. Pendidkan Karakter/ Budi Pekerti pada dasarnya bersumer dan bertujuan untuk
menumbuhkan public culture tetapi bahan tersebut tidak dapat dilepaskan dan erat
hubungannya dengan upaya meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah
SWT.sebaliknya ,walaupun pendidikan agama pada dasarnya bersumber pada upaya
menumbuhkan public culture.
6.3. Pendidkan Karakter/ Budi Pekerti hendaklah disusun dalam bentuk generalisasi
memungkinkan seseorang untuk mengkaji kebenaran generalisasi tersebut .pendidikan
diselenggarakan dengan member keteladanan ,membangun kemauan dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran .
6.4. Pendidkan Karakter/ Budi Pekerti diperlukan adanya latihan moral (moral training) dan
pengkondisian moral (moral conditioning) agar kelihatannya menonjolkan dalam
pendidikan budi pekerti ,maka penambahan berbagai bahan ilmu pengetahuan dan
masalah sosial hendaknya memperkaya pendidikan moral agar terjadi pula penalaran
moral (moral reasoning) dan perkembangan moral kognitif (cognitive moral
development).
6.5. Konsisteni dari muatan pendidikan Karakter /Adab/Akhlak itu sangat penting dan karena
itu merupakan prioritas utama dibandingkan metodenya. Dalam pendidikan Islam
berangkat dari pandangan bahwa karena manusia itu bersifat dualistis, ilmu pengetahuan
yang dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik adalah yang memiliki dua aspek.
70
Pertama, yang memenuhi kebutuhannya yang bersifat permanen dan spiritual. Kedua,
yang memenuhi kebutuhan material dan emosional.
6.6. Struktur ilmu pengetahuan dan pengengembangan Kurikulum Berbasis Pendidikan
Karakter seharusnya menggambarkan manusia dan hakekatnya yang harus
diimplementasikan pertama-tama pada tingkat Satuan Pendidikan Tinggi , yang
kemudian secara bertahap diaplikasikan pada tingkat pendidikan rendah. Secara alami,
kurikulum tersebut diambil dari hakekat manusia yang bersifat ganda (dual nature); aspek
fisikalnya lebih berhubungan dengan pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu fisikal dan
teknikal, atau fardu kifayah; sedangkan keadaan spiritualnya sebagaimana terkandung
dalam istilah-istilah ruh, nafs, qalb, dan ‘aql lebih tepatnya berhubungan dengan ilmu inti
atau fardu ‘ain.
7. Saran
7.1. Dari semua komponen sekolah/Madrasah, yang paling berperan mensukseskan program
pendidikan berbasis karakter di sekolah, adalah Tenaga Pendidik/Guru. Diharapkan
Tentunya diperlukan Tenaga Pendidik/Guru untuk menghasilkan Siswa yang
Berkarakter . Meski diperlukan kesabaran dan ketekunan, menghasilkan peserta didik
yang berakhlak dan berkarakter baik tentunya sangat membahagiakan, karena menjadi
penyebab seseorang mendapatkan kebaikan itu lebih baik dari dunia dan seisinya
7.2. Dengan tiga tahapan ini, proses pembentukan karakter akan jauh dari kesan dan praktik
doktrinasi yang menekan, justru sebaliknya, siswa akan mencintai berbuat baik karena
dorongan internal dari dalam dirinya sendiri maka diharapkan semua komponen
sekolah/Madrasah menanamkan MORAL KNOWING : Memahamkan dengan baik pada
anak tentang arti kebaikan. Mengapa harus berperilaku baik. Untuk apa berperilaku baik.
71
Dan apa manfaat berperilaku baik MORAL FEELING : Membangun kecintaan
berperilaku baik pada anak yang akan menjadi sumber energi anak untuk berperilaku
baik. Membentuk karakter adalah dengan cara menumbuhkannya. MORAL ACTION :
Bagaimana membuat pengetahuan moral menjadi tindakan nyata. Moral action ini
merupakan outcome dari dua tahap sebelumnya dan harus dilakukan berulang-ulang agar
menjadi moral behavior
7.3. Semua komponen warga sekolah/Madrasah membentuk keperibadian diri dengan
mencerminkan pilar- pilar karakter yang harus ditumbuhkan dalam diri masing masing
yaitu Cinta Allah, dg segenap ciptaanNya , Kemandirian ,tanggung jawab 3. Kejujuran,
bijaksana Hormat, santun Dermawan, suka menolong, gotong royong Percaya diri,
kreatif, bekerja keras Kepemimpinan, keadilan Baik hati, rendah hati Toleransi,
Kedamaian, kesatuan
DAFTAR PUSTAKA
Alberta Education. (2005). The Heart of Matter: Character and Citizenship Education in
Alberta School. Alberta: Alberta Education, Learning and Teaching Resources
Branching, Minister of Education
Berkowitz, Marvin W. dan Bier, Mellinda C. (2005). What Works in Character Education: A
Research-driven Guide for Educators. Washington: Character Education Partnership
Character Education Partnership. (2003). Character Education Quality Standards.
Washington: Character Education Partnership
Cholisin. (2004). “Konsolidasi Demokrasi Melalui Pengembangan Karakter
Kewarganegaraan,” Jurnal Civics, Vol. 1, No. 1, Juni, pp. 14-28
Curriculum Corporation. (2003). The Values Education Study: Final Report. Victoria:
Australian Government Dept. of Education, Science and Training.
Khoiruddin Bashori. (2010). Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa. Media
Indonesia.com, 3 Mei 2010.
72
Lewa Karma. (2004). Merancang Pendidikan Moral dan Budi Pekerti. Artikel Pendidikan
Network, 30 April 2010.
Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character. New York: Bantam Books.
Lili Pramudji. (2008). Pendidikan Moral, Kompetensi Kepribadian Guru, dan Sertifikasi,
diunduh pada tanggal 30 April 2010
Marihot Manullang. (2010). Grand Design Pendidikan Karakter Bangsa. Harian Sinar
Indonesia Baru, diunduh pada tanggal 30 April 2010.
Nur Arifah D. (2010). Peranan Guru dalam Pendidikan Karakter, Budaya, dan Moral,
diunduh pada tanggal 5 Mei 2010.
Udin S. Winataputra. (2005). Materi dan Pembelajaran PKN SD. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Ruminiati. (2007). Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan SD. Jakarta: Depdiknas.
Halstead, J. Mark dan Taylor, Monica J. (2000). “Learning and Teaching about Values: A
Review of Recent Research.” Cambridge Journal of Education. Vol. 30 No.2, pp. 169-
202.
Kerr, D. (1999). “Citizenship Education in the Curriculum: An International Review,” The
School Field. Vol. 10, No. 3-4
Kirschenbaum, Howard. (2000).”From Values Clarification to Character Education: A
Personal Journey.” The Journal of Humanistic Counseling, Education and
Development. Vol. 39, No. 1, September, pp. 4-20
Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character: How Our schools can teach respect and
responsibility. New York: Bantam Books
Samsuri. (2004). “Civic Virtues dalam Pendidikan Moral dan Kewarganegaraan di Indonesia
Era Orde Baru” Jurnal Civics, Vol. 1, No. 2, Desember.
Samsuri. (2007). “Civic Education Berbasis Pendidikan Moral di China.” Acta Civicus, Vol.
1 No. 1, Oktober.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Williams, Mary M. (2000). “Models of Character Education: Perspectives and
Developmental Issues.” The Journal of Humanistic Counseling, Education and
Development. Vol. 39, No. 1, September, pp. 32-40
Halstead, J. Mark dan Taylor, Monica J. (2000). “Learning and Teaching about Values: A
Review of Recent Research.” Cambridge Journal of Education. Vol. 30 No.2, pp. 169-
202.
73
Kerr, D. (1999). “Citizenship Education in the Curriculum: An International Review,” The
School Field. Vol. 10, No. 3-4
Kirschenbaum, Howard. (2000).”From Values Clarification to Character Education: A
Personal Journey.” The Journal of Humanistic Counseling, Education and
Development. Vol. 39, No. 1, September, pp. 4-20
Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character: How Our schools can teach respect and
responsibility. New York: Bantam Books
Samsuri. (2004). “Civic Virtues dalam Pendidikan Moral dan Kewarganegaraan di Indonesia
Era Orde Baru” Jurnal Civics, Vol. 1, No. 2, Desember.
Samsuri. (2007). “Civic Education Berbasis Pendidikan Moral di China.” Acta Civicus, Vol.
1 No. 1, Oktober.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Williams, Mary M. (2000). “Models of Character Education: Perspectives and
Developmental Issues.” The Journal of Humanistic Counseling, Education and
Development. Vol. 39, No. 1, September, pp. 32-40
74