pengaturan hak atas informasi kesehatan bagi …
TRANSCRIPT
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
1
PENGATURAN HAK ATAS INFORMASI KESEHATAN BAGI
MASYARAKAT DALAM KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS
DI KABUPATEN SRAGEN.
Wisnu Retnaningsih
E-mail : [email protected]
UPTD. Puskesmas Sambirejo Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen
Pembimbing :
Isharyanto, E-mail : [email protected]
Hari Purwadi, E-mail : [email protected]
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
This study examines the regulation of the right to health information for the community in
the HIV/AIDS prevention policy in Sragen regency. The type of research used is normative
law, by reviewing some positive legal rules. In the health service is known the right of
medical secrecy. This right is the basic right of the individual that comes from human
rights, namely the right to selh determinant. The problem is when the secret of medicine is
related to someone who has the potential to transmit the disease to others, while one of the
earliest coping strategies is trough reporting which is a health information subsystem. The
next problem arises as to which rights need to take precedence, whether the right to health
information relating to infectious diseases or to the individual’s right to the medical secrets
to be protected and not informed of his illness to others. The right to public information in
relation to health services is the right of every person/ community to obtain information
from the government as responsible for ensuring the the right to healthy living for everyone.
In order to realize the right to health information, the government develops health
information system. In the health information there is information that is private or that
should not be opened to the public.
Key words: HIV; AIDS; medical secrets; The right to health information.
Abstrak
Penelitian ini mengkaji tentang pengaturan hak atas informasi kesehatan bagi
masyarakat dalam kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Sragen.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan
melakukan pengkajian beberapa peraturan hukum positif.
Dalam pelayanan kesehatan dikenal adanya hak atas rahasia medis (medical
secrecy). Hak ini merupakan hak dasar individual yang bersumber dari hak asasi
manusia, yakni the rights to self determinan. Persoalannya adalah saat rahasia
kedokteran tersebut terkait dengan seseorang yang berpotensi menularkan penyakit
kepada orang lain, sementara salah satu strategi penanggulangan yang paling awal
adalah melalui pelaporan yang merupakan subsistem informasi kesehatan. Problem
yang kemudian muncul adalah hak mana yang perlu didahulukan, apakah hak atas
informasi kesehatan terkait penyakit menular ataukah hak individu pasien atas
rahasia medisnya untuk dilindungi dan tidak diberitahukan mengenai penyakitnya
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2
kepada orang lain. Hak atas informasi publik dalam kaitannya dengan pelayanan
kesehatan adalah hak setiap orang/masyarakat untuk mendapatkan informasi dari
pemerintah selaku penanggung jawab untuk terjaminnya hak hidup sehat bagi
setiap orang. Dalam rangka perwujudan hak atas informasi kesehatan tersebut,
pemerintah mengembangkan sistem informasi kesehatan. Dalam informasi
kesehatan terdapat informasi yang bersifat publik atau dapat diinformasikan kepada
publik dan informasi yang bersifat privat atau yang tidak boleh dibuka kepada
publik.
Kata Kunci: HIV, AIDS; rahasia medis; hak atas informasi kesehatan.
A. Pendahuluan
Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah
ditetapkan bahwa kesejahteraan merupakan urusan pemerintaan yang menjadi
urusan daerah. Diantara urusan tersebut adalah penanggulangan penyakit
menular. Penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
menimbulkan kesakitan, kematian, dan kecacatan yang tinggi sehingga perlu
dilakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan yang efektif dan
efisien, secara komprehensif berkesinambungan sejak tingkat fasilitas kesehatan
tingkat primer sampai tingkat atas (Kemenkes, 2015: iii).
Salah satu penyakit yang kini dirasa sebagai permasalahan yang cukup
mendapat perhatian dari pemerintah dan pemerintah daerah adalah penyakit
HIV/AIDS. HIV/AIDS merupakan isu kesehatan yang cukup sensitif untuk
dibicarakan. Hal ini berkaitan dengan sifat yang unik dari penyakit ini. Selain
kasusnya yang seperti fenomena gunung es, yaitu persebaran kasus HIV/ AIDS
yang tidak dapat diprediksi pada fase awal.
Untuk mengatasi masalah tingginya jumlah kasus penyakit HIV/AIDS yang
terjadi di Jawa Tengah tersebut, maka pemerintah provinsi menetapkan sebuah
peraturan dalam mengendalikan penyakit HIV/AIDS, yaitu yang mengacu pada
Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV
dan AIDS. Target penerima kebijakan ini adalah seluruh masyarakat Jawa
Tengah, para stakeholder, dan khususnya para penerima program ini adalah
orang yang beresiko terkena HIV dan AIDS ataupun orang yang sudah terkena
HIV, dan AIDS (ODHA). Orang-orang yang beresiko terkena HIV dan AIDS
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3
seperti kelompok waria, gay, pekerja seks, lelaki beresiko tinggi, orang yang
menggunakan NAPZA, dan lainnya. Kelompok-kelompok inilah yang
seharusnya sudah mengetahui tentang adanya upaya-upaya dalam
penanggulangan HIV dan AIDS.
Dalam pelaksanaan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS ada beberapa
upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan dalam kebijakan Perda ini. Ketiga
upaya (upaya pencegahan, upaya penanganan, dan upaya rehabilitasi) tersebut
telah dilakukan oleh agen-agen pelaksana misalnya seperti telah ada sosialisasi
yang dilakukan kepada masyarakat umum ataupun ODHA, adanya pemberian
layanan kesehatan, pengembangan kapasitas orang-orang yang terkena HIV dan
AIDS, adanya Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) yang berjalan lancar,
pemberian jarum suntik steril dalam langkah pencegahan sebagai program
pengurangan dampak buruk Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif lainnya
(NAPZA) suntik, dan upaya lainnya. Akan tetapi, upaya-upaya yang ada belum
berjalan maksimal sehingga masih ada tujuan-tujuan kebijakan yang belum
sepenuhnya dapat direalisasikan.
Diantara persoalan yang menyebabkan upaya-upaya penanggulangan HIV/
AIDS tidak maksimal adalah ketentuan Perda Jateng Nomor 5 Tahun 2009
dalam penanggulangan HIV/AIDS terkait dengan Bab X KETENTUAN
PIDANA pasal 18, adanya ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) bagi
setiap orang yang melanggar pasal 12 khususnya ayat (3) yaitu setiap orang yang
karena pekerjaannya dan atau jabatannya mengetahui dan memiliki informasi
status HIV dan AIDS seseorang wajib merahasiakannya. Dengan adanya
ketentuan ini menyebabkan ketakutan terhadap petugas kesehatan sehingga
diantara petugas layanan kesehatan dan diantara fasyankes yang ada di
Kabupaten Sragen menjadi tidak ada keterbukaan dalam penanganan seorang
penderita HIV/AIDS yang pada akhirnya justru akan berdampak yang tidak baik
kepada petugas pemberi layanan kesehatan itu sendiri, masyarakat pada
umumnya, dan bahkan berdampak pada penanggulangan penyakit HIV/AIDS.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
4
Secara hukum, hal ini berhubungan dengan informasi medis yaitu informasi
tentang kondisi kesehatan seseorang, yang merupakan salah satu “hak pasien”.
Pada Pasal 7 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dijelaskan bahwa,
“Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang
kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab”. Selanjutnya pada Pasal 8
dinyatakan bahwa, “Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data
kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang
akan diterimanya dari tenaga kesehatan”. Pada ketentuan ini dapat dijelaskan
pula bahwa informasi kesehatan dalam konteks ketentuan ini adalah informasi
kesehatan yang bersifat privat, sehingga yang boleh mengetahui hanyalah yang
berhak terutama pasien yang bersangkutan.
Dalam Permenkes tersebut juga menyatakan bahwa isi rekam medis adalah
milik pasien, sedangkan dokumen adalah milik sarana pelayanan kesehatan.
Rekam medis merangkum kontak pasien dengan sarana pelayanan kesehatan
yang isinya meliputi data pasien, pemeriksaan, pengobatan dan tindakan yang
diberikan, korespondensi demi kesinambungan pelayanan (biasanya dalam
bentuk kartu). Medical records yang berisi data pasien merupakan hak pasien
dan menjadi kewajiban dokter untuk membuatnya. Data pasien yang dituangkan
dalam medical records merupakan informasi yang berisikan data yang
mengandung kerahasiaan, sehingga provider wajib mengelola data tersebut
dengan sebaik-baiknya.
Jaminan perlindungan hak atas medical records diatur pada Pasal 79 huruf b
UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran dalam rumusan tentang
sanksi pidana yang menyebutkan bahwa: “Di pidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang: dengan sengaja tidak
membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1).”
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269 Tahun 2008 Tentang Rekam Medis
juga mengatur bahwa sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab terhadap
rekam medis. Di samping itu, sarana pelayanan kesehatan juga membuat atau
mencatat semua kejadian terkait dengan layanan yang dilakukan terhadap
pasien; mengelola sebaik-baiknya; dan menjaga kerahasiaannya. Oleh karena
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5
itu, rekam medis yang berisi data pribadi pasien sifatnya rahasia dan
dikecualikan dalam ketentuan keterbukaan informasi publik. Hal tersebut
dikarenakan informasi yang tercatat dalam rekam medis merupakan data
seseorang (personal), bersifat rahasia, hak pribadi dan terkait rahasia jabatan.
Oleh sebab itu, persepsi mengenai karakter penyediaan informasi kesehatan
dihubungkan dengan kewajiban merahasiakan rekam medis perlu ditelaah lebih
lanjut sehubungan dengan kepentingan publik yang lebih luas.
Dalam informasi kesehatan terdapat informasi yang bersifat publik atau
dapat diinformasikan kepada publik dan informasi yang bersifat privat atau yang
tidak boleh dibuka kepada publik. Informasi kesehatan yang dapat
diinformasikan kepada publik terdiri dari bermacam bentuk dan jenis. Sebagai
contoh, sistem informasi kesehatan di rumah sakit yang diinformasikan kepada
publik antara lain: menyangkut bentuk dan jenis layanan rumah sakit, prosedur
layanan, biaya, fasilitas pelayanan kesehatan, dan sistem pembiayaan. Contoh
yang lebih khusus adalah sistem informasi terkait pemberantasan penyakit antara
lain berupa: informasi hasil survei jenis penyakit tertentu (melalui pelaporan,
pendataan, pemetaan), program pencegahan penyakit, tindakan penanggulangan
penyakit, data perkembangan jenis-jenis penyakit menular dan daerah
penularannya, informasi tentang angka kejadian penyakit tertentu, yang
kesemuanya diamanatkan oleh undang-undang.
Adapun informasi kesehatan yang bersifat privat adalah data dan kondisi
kesehatan, baik yang dituangkan dalam medical record maupun yang diketahui,
dilihat, atau didengar oleh tenaga kesehatan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis dan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji tentang
pengaturan hak atas informasi kesehatan bagi masyarakat dalam kebijakan
penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Sragen.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6
B. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
normatif, dengan melakukan pengkajian beberapa peraturan hukum positif yang
akan digunakan untuk mengembangkan teori dan menjawab permasalahan yang
ada. Penelitian ini melakukan evaluasi secara kritis terhadap aturan hukum,
doktrin, konsep, dan perundang-undangan sesuai dengan konteksnya. Sesuai
karakter masalah yang ingin dicari jawabannya, maka studi ini menggabungkan
strategi studi tekstual dan dokumen. Studi tekstual digunakan untuk
menganalisis bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Telaah bahan
hukum primer ini untuk menentukan bagaaimanakah regulasi yang mengatur
tentang kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Sragen dan
pengaturan hak atas informasi kesehatan dalam kebijakan penanggulangan
HIV/AIDS di Kabupaten Sragen. Bahan hukum sekunder mencakup buku,
jurnal, makalah, dan hasil penelitian yang secara substantif relevan dengan tema
dan masalah yang dikaji.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Tinjauan Terhadap Hak Atas Informasi Kesehatan
Istilah “hak “ mengandung makna yang berbeda-beda. Disini kita hanya
berkepentingan dengan apa yang dipandang sebagai “hak hukum”. Konsep
ini harus didefinisikan dari sudut pandang teori hukum murni. Jika hak itu
adalah hak hukum, hak tersebut pasti merupakan hak atas perbuatan orang
lain, atas perbuatan yang menurut hukum merupakan kewajiban dari orang
lain itu. Tidak ada hak hukum bagi seseorang tanpa suatu kewajiban hukum
bagi orang lain. Isi dari hak seseorang pada dasarnya merupakan pemenuhan
kewajiban dari orang lain.( Hans Kelsen, 2016:109-111).
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada manusia karena
kelahirannya sebagai manusia. Karena itu hak asasi manusia bila dicabut atau
dikurangi akan mengakibatkan berkurang derajat kemanusiannya. Hak dasar
yang pertama adalah hak hidup yang membawa konsekuensi adanya hak-hak
seperti hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mendapatkan kewargnegaraan
dan hak mengeluarkan pendapat, berserikat, dan berkumpul. Pada
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7
perkembangan selanjutnya, derajat kemanusiaan juga ditentukan oleh tingkat
pendidikan dan kesehatannya, sehingga pendidikan dan kesehatan pun
kemudian menjadi hak asasi manusia dengan segala perangkat hak lain untuk
mendapatkan pendidikan dan kesehatan. (Sunny Ummul Firdaus, dkk, 2016 :
9).
Secara sederhana, hak asasi manusia dapat diartikan sebagai hak dasar
(asasi) yang dimiliki dan melekat pada manusia karena kedudukannya
sebagai manusia. Tanpa adanya hak tersebut, manusia akan keholangan
harkat dan martabatnya sebagai manusia. Hak asasi manusia adalah hak dasar
atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan
Yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau penguasa. Hak ini sifatnya
sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia, serta bersifat kodrati,
yakin ia tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia sebagai
penyandang hak tersebut.
Jenis-jenis hak asasi manusia menurut Konvenan internasional hak-hak sipil
dan politik atau International Convenan on Civil and Political Rights
(ICCPR) :
a. Non-Derogable right
Non-derogable rights adalah hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun. Non-derogable rights demikian
dirumuskan dalam Perubahan UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) yang
menyatakan sebagai berikut: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak di siksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Sebelum non-derogable rights dirumuskan dalam UUD 1945, sudah
ditegaskan pula di dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia, Pasal 7 yang menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun (non–derogable)”.
Selanjutnya Pasal 4 UU No. 29 Tahun 1999 tentang HAM juga
menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun dan oleh siapapun”.
Pengklasifikasian non-derogable rights dan derogable rights adalah
sesuai Konvenan internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau
International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR). Ifdhal
Kasim dalam tulisannya “Konvensi Hak Sipil dan Politik, Sebuah
Pengantar”, yang diterbitkan ELSAM, hak-hak non-derogable yaitu hak-
hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh
negara-negara pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun.
Miriam Budiarjo dalam “Perlukah Non-Derogable Rights Masuk
Undang-Undang Dasar 1945”, mengatakan dengan dimasukkannya non-
derogable rights dalam UUD, maka kita telah mengikat tangan sendiri.
Misalkan saja, fakir miskin dan anak terlantar dalam UUD dinyatakan
sebagai hak non-derogable, maka kita akan dituduh negara pelanggar
HAM jika tidak memenuhinya karena berhubung dengan keterbatasan
dana (Eko Riyadi, 2012 : 4-5).
Sesuai dengan Pasal 28 I, ICCPR menyatakan hak-hak yang sama
sekali tidak boleh dikurangi karena sangat mendasar yaitu: (i) hak atas
hidup (rights to life); (ii) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free
from torture); (iii) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from
slavery); (iv) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi
perjanjian (utang); (v) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut;
(vi) hak sebagai subjek hukum; dan (vii) hak atas kebebasan berpikir,
keyakinan dan agama. Negara-negara pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan mendapat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9
kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak
asasi manusia (gross violation of human rights).
Sedangkan intinya, sesuai dengan ICCPR, The European Convention
on Human Rights dan The American Convention on Human Rights
terdapat empat hak non-derogable umum. Atau beberapa pendapat
menyebut The core of rights (hak inti) dari non derogable rights
berjumlah empat. Ini adalah hak untuk hidup, hak untuk bebas dari
penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi atau merendahkan atau
hukuman lainnya, hak untuk bebas dari perbudakan atau penghambaan
dan hak untuk bebas dari penerapan retroaktif hukum pidana. Hak-hak
ini juga dikenal sebagai norma hukum internasional yg harus ditaati atau
jus cogens norms.
b. Derogable Right
Derogable right adalah, hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi
pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Hak dan kebebasan yang
termasuk dalam jenis ini adalah: (i) hak atas kebebasan berkumpul secara
damai; (ii) hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan
menjadi anggota serikat buruh; dan (iii) hak atas kebebasan menyatakan
pendapat atau berekpresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan
memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan
batas (baik melalui lisan atau tulisan).
Sebagaimana ditulis Ifdhal Kasim atau pendapat Prof. Laica
Marzuki, negara-negara pihak boleh mengurangi atau menyimpangi
kewajiban memenuhi hak-hak jenis non-derogable. Sedangkan non-
derogable tidak diperkenankan. Tetapi penyimpangan itu hanya dapat
dilakukan jika sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak
bersifat diskriminatif, yaitu demi: (i) menjaga keamanan nasional atau
ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas umum; dan (ii)
menghormati hak atau kebebasan orang lain. Prof. Rosalyn Higgins
menyebut sebagai ketentuan “clawback’, yang memberikan suatu
keleluasaan yang dapat disalahgunakan oleh negara. Untuk menghindari
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10
hal ini ICCPR menggariskan bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi
“melebihi dari yang ditetapkan oleh Kovenan ini”. Selain itu diharuskan
juga menyampaikan alasan-alasan mengapa pembatasan tersebut
dilakukan kepada semua negara pihak ICCPR.
Di lihat dari segi hukum dalam arti baik sebagai adil, sebagai peraturan
perundang-undangan, maupun sebagai hak, pada asasnya bila dikaitkan
dengan hak- hak dasar yang telah melekat pada diri manusia sejak lahirnya,
hukum kesehatan, pada asasnya bertumpu pada dua hak manusia yang asasi.
Dasar yang pertama ialah hak atas pemeliharaan kesehatan (the right to
healthcare), dan yang kedua ialah hak untuk menentukan nasib sendiri (the
right to self-determination atau zelfbeschikkinggrecht).
Dari kedua dasar tumpuan hukum kesehatan itu apabila kita berbicara dan
membahas hukum kesehatan, kita tidak dapat melepaskan diri dari hak
manusia dalam kesehatan. Hak dasar manusia atau lebih lazim dikenal
sebagai hak asasi manusia bertolak dari suatu ide yang tidak kalah modernnya
dengan kemajuan dan perkembangan ilmu dan tekhnologi pada abad kedua
puluh yang pada asasnya adalah untuk mencapai tujuan pokok dari hidup
manusia.
Salah satu pembelajaran penting dalam respon terhadap HIV/AIDS adalah
desentralisasi, penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat ke
daerah. Penyerahan ini bukan merupakan hal yang mudah. Sering terjadi
tumpang tindih atau kekosongan dalam pembagian urusan. Akibatnya, sistem
kesehatan menjadi sulit dikelola. Oleh karena itu diperlukan pengembangan
sistem kesehatan yang inovatif untuk meningkatkan status kesehatan
masyarakat. Sistem kesehatan nasional (Perturan Presiden Nomor 72 Tahun
2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional Pasal 1 angka 2) menunjukkan
bahwa pengelolaan kesehatan diselenggarakan oleh semua komponen bangsa
Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya serta bersifat
berjenjang di pusat dan daerah dan memperhatikan otonomi daerah dan
otonomi fungsional di bidang kesehatan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11
Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang
Keterbukaan Informasi Publik disebutkan bahwa :
a. Setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap
pengguna informasi publik
b. Informasi publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas
c. Setiap informasi publik harus dapat diperoleh setiap pemohon informasi
publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana
d. Informasi publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan undang-
undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian
tentang konsekuensi yang timbul bila suatu informasi diberikan kepada
masyarakat serta dipertimbangkan dengan seksama bahwa menutup
informasi publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada
membukanya atau sebaliknya.
Adapun tujuan dari undang-undang keterbukaan informasi publik ini adalah
:
a. Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan
kebijakan publik, proses pengambilan keputusan publik, serta alasannya
b. Mendorong partisipasi masyarakat dalam mewujudkan penyelenggaraan
negara yang baik
c. Mengembangkan iptek dan mencerdaskan kehiduan bangsa
d. Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan badan
publik
Selanjutnya dalam ketentuan pasal 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik disebutkan bahwa : (1) Badan
publik berhak menolak memberikan informasi yang “di kecualikan” sesuai
dengan peraturan perundang-undangan; (2) Badan publik berhak menolak
memberikan informasi publik apabila tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; (3) Informasi publik yang tidak dapat
diberikan oleh badan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) khususnya
butir c dan d adalah : informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi dan
informasi yang berkaitan dengan “rahasia jabatan” ; salah satu informasi yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12
dikecualikan diatur pada pasal 17 huruf h UU KIP adalah informasi publik
yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat
mengungkap rahasia pribadi, seperti dirumuskan dalam butir 2 yaitu riwayat,
kondisi, dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang.
Jadi, dapat ditegaskan bahwa salah satu informasi publik yang “dikecualikan”
untuk dibeberkan adalah informasi tentang kondisi kesehatan seseorang.
Pengembangan sistem informasi dilakukan untuk mewujudkan pelayanan
kesehatan yang berkualitas, yang mengacu pada pengertian quality of care
atau standar pelayanan yang berkualitas, yakni pelayanan yang menghrmati
hak-hak konsumen karena setiap konsumen memiliki hak yang dilindungi
undang-undang. Demikian pula konsumen pelayanan keehatan (pasien),
sistem informasi kesehatan tersebut harus menjamin hak-hak pasien untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan tidak melanggar hak
asasinya sebagai pasien.
1. Menurut Pasal 168 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dirumuskan sebagai berikut :
2. Untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang efektif dan efisien
diperlukan informasi kesehatan.
3. Informasi kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui sistem informasi dan melalui lintas sektor.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya pada Pasal 169 Undang-Undang Kesehatan diatur bahwa
“Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memperoleh
akses terhadap informasi kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.” Ketentuan tersebut didasarkan pada amanat
konstitusi yang dirumuskan dalam Pasal 28 E ayat (2) dan 28 F yang
menjamin bagi perolehan, pemilikan, dan penyebaran informasi. Sedangkan
menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen pada ketentuan Pasal 4 ayat (3) dengan jelas diberikan hak bagi
konsumen yaitu hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13
kondisi dan jaminan barang dan atau jasa, artinya konsumen barang dan jasa
pelayanan kesehatan berhak atas informasi yang jelas dan jujur. Menurut
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada ketentuan
pasal 29 ayat (1) butir a diatur bahwa salah satu kewajiban rumah sakit adalah
memberikan informasi yang benar dan jujur tentang pelayanan rumah sakit
kepada masyarakat. Jika dikaitkan dengan kewajiban rumah sakit untuk
mengembangkan sistem informasi kesehatan tersebut, sebenarnya yang
dimaksud informasi kesehatan adalah terkait dengan : bentuk dan macam
layanan, transparansi anggaran, kemudahan akses, dan kewajiban publik lain
dalam kedudukannya sebagai badan layanan publik (Endang wahyati Yustina,
2014: 251-252).
Dari uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa hak atas informasi publik
dalam kaitannya dengan pelayanan kesehatan adalah hak setiap
orang/masyarakat untuk mendapatkan informasi dari pemerintah selaku
penanggung jawab untuk terjaminnya hak hidup sehat bagi setiap orang.
Dalam rangka perwujudan hak atas informasi kesehatan tersebut, pemerintah
mengembangkan sistem informasi kesehatan. Dalam informasi kesehatan
terdapat informasi yang bersifat publik atau dapat diinformasikan kepada
publik dan informasi yang bersifat privat atau yang tidak boleh dibuka kepada
publik. Sebagai contoh, sistem informasi kesehatan di rumah sakit yang
diinformasikan kepada publik antara lain : menyangkut dan jenis layanan
rumah sakit, prosedur layanan, biaya, fasilitas pelayanan kesehatan, dan
sistem pembiayaan. Contoh yang lebih khusus adalah sistem informasi terkait
pemberantasan penyakit antara lain berupa: informasi hasil survey jenis
penyakit tertentu, program pencegahan penyakit, data perkembangan jenis-
jenis penyakit menular dan daerah penularannya, informasi tentang angka
kejadian penyakit tertentu, yang kesemuanya diamanatkan oleh undang-
undang. Adapun informasi yang bersifat privat adalah data dan kondisi
kesehatan, baik yang dituangkan dalam medical record maupun yang
diketahui, dilihat, atau didengar oleh tenaga kesehatan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 269 Tahun 2008
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14
tantang Rekam Medis dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 tahun
2012 tentang Rahasia Kedokteran.
Setiap orang atau setiap warga masyarakat mempunyai hak atas informasi
kesehatan, lebih-lebih yang menyangkut diri pribadinya. Dan sebagai akibat
dari hak atas informasi ini terdapat pula kewajiban dokter untuk memberikan
informasi kepada pasiennya. Dalam hal ini pasien mempunyai hak untuk
memutuskan sendiri, apakah ia menggunakan haknya atau tidak. Pasien
berhak untuk menentukan pilihannya. Hal inilah yang merupakan hak untuk
menentukan nasib sendiri/the right to self determination atau Autonomy (
J.Guwandi, 2010 : 26)
Kemudian pada tahun 2009 hak tentang kesehatan diatur dalam Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada pasal 4 dikatakan,
“Setiap orang berhak atas kesehatan“. Lalu pada pasal 5 dikatakan : “Setiap
orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya
dibidang kesehatan. Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
pelayaanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Setiap orang
berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan
kesehatan yang diperlukan bagi dirinya” (C.B.Kusmaryanto, 2016: hlm 99).
Pada pasal 7 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
dikatakan “ Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi
tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. Dan pada pasal 8
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dikatakan bahwa“
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya
termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya
dari tenaga kesehatan “.
2. Pengaturan Hak Atas Informasi Kesehatan Terkait Dengan Kewajiban
Menyimpan Rahasia Medis Dalam Kebijakan Penaggulangan HIV/AIDS di
Kabupaten Sragen.
Sebagai sebuah profesi, maka dokter atau tenaga kesehatan lainnya diikat
oleh sebuah kode etik yang harus dipatuhi dan dilaksanakan serta dijadikan
pedoman dalam menjalankan profesi kedokterannya. Kode etik kedokteran
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15
secara yuridis tercantum dalam SK Menteri Kesehatan No.
434/Men.Kes/X/1983 tentang berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia,
yang menyebutkan secara khusus hubungan hukum dokter dan pasien dalam
pelayanan kesehatan, sebagai berikut :(Erdiansyah, Jurnal Ilmu Hukum
Volume 3 No.2)
1) Transaksi Terapeutik ini hanya khusus mengatur hubungan hukum antara
dokter dan pasien
2) Dilakukan dalam nuansa saling percaya atau konfidensial, yang
mengandung makna bahwa pasien atau keluarga pasien harus percaya
kepada dokter yang melakukan upaya pengobatan penyembuhan
terhadap sakit pasien, demikian pula dokter harus mempercayai pasien.
Pasien harus jujur menceritakan tentang segala keluhannya dan segala
ketidaktahuannya terhadap obat-obat tertentu, agar dokter dapat
memberikan terapi yang tepat
3) Hubungan hukum antara dokter dan pasien yang bersifat khusus ini
meliputi pula hubungan emosional, harapan dan kekhawatiran makhluk
insani atas kesembuhan pasien. Perjanjian terapeutik dalam undang-
undang masuk dalam kategori perjanjian untuk melakukan jasa tertentu.
Oleh karena itu, apabila telah dilakukan perjanjian terapeutik dengan
baik, maka masing-masing pihak baik dokter maupun pasien memiliki
hak dan kewajiban yang dilindungi oleh undang-undang.
Hubungan yang terjadi antara dokter dan pasien inilah yang
melahirkan aspek hukum “ inspaning verbintenis “, yang merupakan
hubungan hukum antara dua subyek hukum yaitu dokter dan
pasien(Hermien Hadiati Koeswadji, 2010:63). Dalam hubungan ini
melahirkan hak dan kewajiban bagi pasien dan dokter. Dokter dan pasien
mempunyai hak dan kewajiban sebagai konsekuensi adanya transaksi
terapeutik. Dalam melakukan praktik kedokteran, dokter memiliki hak dan
kewajiban, yang sudah diatur didalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran. Selain itu masih ada hak dan kewajiban
umum lainnya yang mengikat dokter.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16
Kewajiban dokter dalam memberikan pelayanan medis salah satunya
adalah merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Merahasiakan keadaan
pasien diwajibkan dalam sumpah dokter, kode etik kedokteran /kedokteran
gigi, dan beberapa peraturan perundang-undangan. Sebagian pakar
menyatakan bahwa kewajiban tersebut absolut sifatnya,sebagian
menyatakan relatif (Konsil Kedokteran Indonesia, 2006:33). Menurut
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 57 ayat
(1) dikatakan bahwa “ setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan
pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan
kesehatan.”
Berdasarkan kerangka desentralisasi seperti itu maka program
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia secara nyata masih
menghadapi dua tantangan, yaitu pertama secara internal dalam sistem
kesehatan yaitu keterpaduan antara kebijakan, perencanaan dan
penganggaran, serta pelaksanaan. Kedua dalam hubungannya dengan
sektor lain, lemahnya sinergi dalam penyusunan kegiatan lintas program
dan disharmoni hukum terutama terkait dengan benturan ketentuan rahasia
medis dengan kebutuhan informasi kesehatan terkait dengan
penanggulungan HIV dan AIDS.
Dalam ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun
2008, diamanatkan bahwa medical secrecy tidak boleh dibuka kecuali (a)
Atas permintaan pasien yang bersangkutan; (b) Atas perintah undang-
undang; dan (c) Untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas (misalnya
terkait pemberantasan penyakit menular). Secara lebih tegas dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012 diatur tentang
Rahasia Kedokteran, yang prinsipnya dalam hal tertentu rahasia dapat
dibuka meskipun dengan pembatasan yang cukup ketat. Hal ini
dirumuskan pada Pasal 5 dan terkait informasi kesehatan secara khusus
diatur pada Pasal 6 dan Pasal 9. Pada ketentuan Pasal 5 disebutkan bahwa:
Pertama, Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan
kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17
rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kedua, Pembukaan rahasia kedokteran terbatas dilakukan terbatas sesuai
kebutuhan.
Sementara itu, pada Pasal 9 disebutkan bahwa pembukaan rahasia
kedokteran berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
dilakukan tanpa persetujuan pasien dalam rangka kepentingan penegakan
kode etik atau disiplin serta kepentingan umum. Kemudian, pembukaan
rahasia kedokteran dalam rangka kepentingan penegakan kode etik atau
disiplin diberikan atas permintaan tertulis dari Majelis Kehormatan Etik
Profesi atau Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Selanjutnya, pembukaan rahasia kedokteran dalam rangka kepentingan
umum dilakukan tanpa membuka identas pasien.
Perbuatan / tindakan yang bertentangan dengan kode etik adalah
menyebarluaskan informasi yang terkandung dalam laporan rekam medis
HIV AIDS yang dapat merusak citra profesi rekam administrator
informasi kesehatan. Disisi lain rumah sakit sebagai institusi tempat
dilaksanakannya pelayanan medis, memiliki Kode Etik Rumah Sakit
(Kodersi) dalam kaitannya manajemen informasi kesehatan :
Pasal 4 : Rumah sakit harus memelihara semua catatan / arsip, baik
medik maupun non medik secara baik.
Pasal 9 : Rumah sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien
Pasal 10: Rumah sakit harus memberikan penjelasan apa yang diderita
pasien dan tindakan apa yang hendak dilakukan.
Pasal 11: Rumah sakit harus meminta persetujuan pasien ( informed
consent ) sebelum melakukan tindakan medik.
Selain itu, kerahasiaan rekam medis diatur di dalam Undang-Undang
Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 pasal 47 ayat (2) sebagaimana
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18
disebutkan di atas. UU tersebut memang hanya menyebut dokter, dokter
gigi dan pimpinan sarana yang wajib menyimpannya sebagai rahasia,
namun Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan
Rahasia Kedokteran tetap mewajibkan seluruh tenaga kesehatan dan
mereka yang sedang dalam pendidikan di sarana kesehatan untuk menjaga
rahasia kedokteran.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1966 tentang Wajib
Simpan Rahasia Kedokteran Pasal 3 yang diwajibkan menyimpan rahasia
kedokteran adalah :
1. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 undang-undang tentang tenaga
kesehatan
2. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan
pemeriksaan, pengobatan dan atau perawatan dan orang lain yang
ditetapkan oleh menteri kesehatan pada waktu atau selama melakukan
pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.
Dokter wajib menyimpan rahasia medis pasien. Hal ini berdasarkan KODEKI
maupun kode etik petugas kesehatan Pasal 13 :
”Dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang penderita bahkan juga setelah meninggal dunia.
Pelanggaran mengenai ketentuan wajib simpan rahasia kedokteran dapat
dipidana dengan pasal 322 KUHP :
Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya
karena jabatan atau pencariaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu,
diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak
enam ratus rupiah.Tujuan dari rahasia kedokteran dalam kasus HIV/AIDS,
selain untuk kepentingan jabatan adalah untuk menghindarkan pasien dari
hal-hal yang merugikan karena terbongkarnya status kesehatan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19
Tidak semua informasi atas pengakuan, dokumen, data, jiwa dan raga,
atau informasi yang diperoleh dokter dari seorang pasiennya atau dari pihak
lain yang berhubungan dengan pasiennya itu merupakan kerahasiaan yang
akan dilindungi. Kerahasiaan tertentu saja yang merupakan rahasia yang
dilindungi, yakni rahasia-rahasia yang memenuhi syarat sebagai berikut.
Rahasia tersebut merupakan informasi substansial dan penting bagi pasien
atau bagi pengobatannya, rahasia tersebut sebelumnya belum pernah terbuka
untuk umum secara meluas, apabila rahasia tersebut telah terbuka untuk
umum tetapi belum meluas atau jika rahasia tersebut sudah dibuka sebagai
alat bukti, rahasia tersebut tetap tidak boleh dibuka oleh dokter kepada orang
lain, rahasia tersebut bukanlah informasi yang memang tersedia untuk publik,
dan rahasia ini jika dibuka akan menimbulkan rasa malu bagi pasien, dokter,
atau pihak-pihak lainnya, rahasia yang jika dibuka akan merugikan
kepentingan pasiennya, rahasia yang jika dibuka akan mempersulit
pengobatan dokter kepada pasiennya, rahasia yang jika dibuka menimbulkan
kemungkinan pasien tidak lagi memberikan informasi kepada dokternya.
Bagi pasien informasi tersebut sangat penting dan sangat sensitif. Jika dibuka
rahasia tersebut akan menimbulkan kemarahan/gejolak/sikap masyarakat
yang merugikan kepentingan pengobatan pasien. Pasien tidak pernah
mengijinkan secara tegas atau secara tersirt untuk membuka rahasia tersebut
(Ratna Wahyu Lestari Dewi, 2013: 139-140)
D. Simpulan
Hak atas informasi publik dalam kaitannya dengan pelayanan kesehatan
adalah hak setiap orang/masyarakat untuk mendapatkan informasi dari
pemerintah selaku penanggung jawab untuk terjaminnya hak hidup sehat bagi
setiap orang. Dalam rangka perwujudan hak atas informasi kesehatan tersebut,
pemerintah mengembangkan sistem informasi kesehatan. Dalam informasi
kesehatan terdapat informasi yang bersifat publik atau dapat diinformasikan
kepada publik dan informasi yang bersifat privat atau yang tidak boleh dibuka
kepada publik. Pengaturan hak atas informasi kesehatan bagi masyarakat terkait
dengan penularan penyakit berhubungan dengan kebijakan penanggulangan
HIV/AIDS di Kabupaten Sragen dapat dilakukan penerobosan yaitu informasi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20
terkait penyakit HIV/AIDS dapat dibuka untuk kepentingan masyarakat yang
lebih luas terkait pemberantasan penyakit menular khususnya penyakit
HIV/AIDS. Pembukaan rahasia kedokteran tersebut dilakukan tanpa membuka
identitas pasien.
E. Saran
Pengaturan hak atas informasi kesehatan dalam kebijakan penanggulangan
HIV/AIDS di Kabupaten Sragen dalam kaitannya dengan kewajiban menyimpan
rahasia medis harus tetap memperhatikan tujuan maupun kegunaan dari
pelepasan informasi tersebut. Pembukaan rahasia medis yang terkait dengan
informasi tentang penyakit HIV/AIDS tersebut dapat dilakukan dengan tanpa
membuka identas pasien.
F. Daftar Pustaka
C.B.Kusmaryanto. 2016. Bioetika. Mendiskusikan Pertanyaan Dasar Tentang
Hidup Manusia Yang Menyangkut Berbagai Disiplin Ilmu. Jakarta : PT. Kompas
Media Nusantara.
Endang Wahyati Yustina. 2014. Hak Atas Informasi Publik dan Hak Atas
Rahasia Medis-Problem Hak Asasi Manusia Dalam Pelayanan Kesehatan.
Bandung. Padjajaran. Jurnal Ilmu Hukum. vol 1-No 2.
Eko Riyadi. 2012. Kecenderungan Paradigma Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Makalah Advanced Training Hak Ekonomi, sosial, dan Budaya Bagi Dosen
Hukum dan HAM.
Erdiansyah, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Dokter Atas Kesalahan dan
Kelalaian Dalam Memberikan Pelayanan Medis di Rumah Sakit, Jurnal Ilmu
Hukum Volume 3 No.2.
Hans Kelsen. 2016. Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara. Bandung: Nusa
Media.
Hermien Hadiati Koeswadji. 2010. Hukum Kedokteran ( Studi Tentang
Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak ). Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti.
J.Guwandi. 2010 Rahasia Medis hlm 26. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-
Pasien. Jakarta.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21
Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis Ibu ke
Anak. 2015. Kementrian Kesehatan.
Ratna Wahyu Lestari Dewi. 2013. Wajib Simpan Rahasia Kedokteran Versus
Kewajiban sebagai Saksi Ahli. Perspektif : Vol.XVIII No.3 Edisi September.
Sunny Ummul Firdaus, Munawar Kholil, Kukuh Tejomurti, Tegar Adi
Wicaksono. 2016. Orang Dengan HIV & AIDS (ODHA) Dalam Perspektif
Hukum. Yogyakarta: A.Com Printing.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22