pengantar ilmu tafsir

32
1 SEJARAH AL QURAN PENGUMPULAN DAN PENYALINAN Kajian tentang pengumpulan dan penyalinan Al-Quran bukanlah hal baru. Sebab hampir dalam setiap kitab tafsir Al-Quean terdapat pembahasan tentang sejarah Al-Quran. Begitu bpula dalam kitab-kitab Ulum Al Quran. Hanya saja, kajian kritis terhadapnya dipandang masihmasih minim, terutama dari kalangan umat Islam. Sebaliknya, dari kalangan non-Muslim berkembang analisa kritis terhadap studi keislaman. Sejarah Al-Quran dan berbagai aspeknya mereka kaji dengan teliti dan seksama ditopang dengan berbagai data. Namun, terdapat tulisan- tulisan mereka yang dapat menimbulkan pandangan negatif terhadap Islam, khususya tentang kemurnian kitab suci Al- Quran. 1 Sayangnya, karya-karya ilmiyah dari kalangan Muslim yang menjawab tantangan tersebut masih langka, bahkan tidak sedikit yang masih sibuk bergelut dalam perbedaan pendapat. Pengumpulan dan penyalinan Al-Quran merupakan salah satu topikpembahasan yang diperselisihkan para ulama dan juga menjadi salah satu sarana yang digunakan para penulis non-muslim untuk menyerang keaslian dan keotentikan Al- Quran. Kajian tentang masalah ini sangat urgen, baik untuk menemukan penyelesaian perbedaan pendapat diantara para ulama maupun untuk menangkal sekaligus menjawab pemahaman- pemahaman keliru dari kalangan non-muslim. A. Pengertian Jm’ul Al-Quran Istilah jam’u biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan pengumpulan. Namun, pengertiannya diperselisihkan para ulama. Ibnu Hajar misalnya, membatasi pengertiannyapada pengumpulan ayat-ayat Al-Quran yang terdapat pada kepingan-kepingan batu dan pelepah kurma atau bahan lainnya ke dalam shuhuf-shuhuf yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit pada masa Abu Bakar serta pengumpulan shuhuf-shuhuf tersebut dalam satu mushaf yang dilakukan pada masa kekhalifahan ‘Utsman 2 . sedangkan kegiatan lainnya, yakni penyusunan ayat-ayat dalam satu surat dan penyusunan

Upload: ade-ifan

Post on 30-Jun-2015

627 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGANTAR ILMU TAFSIR

1SEJARAH AL QURAN

PENGUMPULAN DAN PENYALINAN

Kajian tentang pengumpulan dan penyalinan Al-Quran bukanlah hal baru. Sebab hampir dalam setiap kitab tafsir Al-Quean terdapat pembahasan tentang sejarah Al-Quran. Begitu bpula dalam kitab-kitab Ulum Al Quran. Hanya saja, kajian kritis terhadapnya dipandang masihmasih minim, terutama dari kalangan umat Islam.

Sebaliknya, dari kalangan non-Muslim berkembang analisa kritis terhadap studi keislaman. Sejarah Al-Quran dan berbagai aspeknya mereka kaji dengan teliti dan seksama ditopang dengan berbagai data. Namun, terdapat tulisan-tulisan mereka yang dapat menimbulkan pandangan negatif terhadap Islam, khususya tentang kemurnian kitab suci Al-Quran.1 Sayangnya, karya-karya ilmiyah dari kalangan Muslim yang menjawab tantangan tersebut masih langka, bahkan tidak sedikit yang masih sibuk bergelut dalam perbedaan pendapat.

Pengumpulan dan penyalinan Al-Quran merupakan salah satu topikpembahasan yang diperselisihkan para ulama dan juga menjadi salah satu sarana yang digunakan para penulis non-muslim untuk menyerang keaslian dan keotentikan Al-Quran. Kajian tentang masalah ini sangat urgen, baik untuk menemukan penyelesaian perbedaan pendapat diantara para ulama maupun untuk menangkal sekaligus menjawab pemahaman-pemahaman keliru dari kalangan non-muslim.

A. Pengertian Jm’ul Al-QuranIstilah jam’u biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan

pengumpulan. Namun, pengertiannya diperselisihkan para ulama. Ibnu Hajar misalnya, membatasi pengertiannyapada pengumpulan ayat-ayat Al-Quran yang terdapat pada kepingan-kepingan batu dan pelepah kurma atau bahan lainnya ke dalam shuhuf-shuhuf yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit pada masa Abu Bakar serta pengumpulan shuhuf-shuhuf tersebut dalam satu mushaf yang dilakukan pada masa kekhalifahan ‘Utsman2. sedangkan kegiatan lainnya, yakni penyusunan ayat-ayat dalam satu surat dan penyusunan surat-surat Al-Quran dipergunakan istilah ta’lif (penyusunan)3. Penngertian seperti ini dipergunakan pula oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Fadhail Al-Quran4. menurut Az-Zarqani istilah tersebut mengandung dua pengertian, menghapal Al-Quran dengan menyimpannya dalam hati serta menuliskannya huruf demi huruf, ayat demi ayat dan surat-surat5.

Kata “Jam’u” yang nenbentuk istilah tersebut secara harfiah berasal dari kata “Jama’a (fii’il Tsulasi)6. ia diulang sebanyak 31 kali dalam Al-Quran 7. sedangkan yang menjadi sumber terhadap pengertiaanya menurut istilah terdapat pada surat Al-Qiyamah ayat 17:

Artinya:“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.”

Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir menafsirkan lafadz tersebut dengan menghimpun Al-Quran dalam hati atau menghapal Al-Quran Tafsirannya itu berdasarkan pada sebab turunnya ayat tersebut8.

Page 2: PENGANTAR ILMU TAFSIR

Terlepas dari pengertian menghapal secara majazi atau hakiki namun kini lafadz “jama” mempunyai pengerian lebih luas. Jika pengertian-pengertian tersebut dihubungkan dengan perngertian yang dikemukakan para ulama, maka pengertian istilah tersebut ternyata tidak mencakup pengertian pengertian secara harfiah di atas. Dengan kata lain, para ulama dalam menyusun pengertiannya secara istilah telah berpandangan parsial dengan melepaskan makna ta’lif (penyusunan) dalam lafadzh “Jama’a”.

Dalam tinjauan sementara, pengertian operasional yang digunakan bertumpu pada ketiga makna yang ada, yakni menghapal, mengumpulkan, dan menyusun. Dalam kaitan ini, jam’ul Quran mencakup upaya pemeliharaan Al-Quran yang terdiri dari penghimpunan ayat-ayat dan surat-surat Al-Quran, penyusunannya secara tertib dan menghapalnya. Lantas apakah penulisan Al-Quran seperti yang dikemukakan oleh Az-Zarqani tersebut di atas termasuk ke dalam pengertian jam’u Al-Quran atau tidak?

B. Jam’ul Al-Quran Pada Zaman Abu BakarKetika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran belum disusun dalam

bentuk buku,. Al-Quran masih berupa naskah-naskah lepas yang tercatat pada keping-keping batu atau pelepah kurma. Penyusunannya dalam bentuk buku belum memungkinkan karena wahyu masih turun dan kemungkinan adanya nasakh (pembatalan ayat atau hukum) masih terbuka.

Pada zaman Nabi SAW., pengumpulan Al-Quran mengambil bentuk hapalan dan penyusunan Al-Quran. Bentuk pertama tidak diperselisihkan diantara para ulama, sebab selain adanya ayat di atas, penghapalan Al-Quran juga merupakanrealitas tidak hanya terbatas pada diri Nabi SAW. saja, tetapi juga dilakukan para sahabat. Yang diperselisihkan adalah bentuk kedua. Menurut Jumhur Ulama, penyusunan Al-Quran terbatas pada ayat-ayatnya saja sedangkan penyusunan surat-suratnya dilaksanakan kemudian. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa penyusunan Al-Quran bukan terbatas pada ayat-ayatnya saja, tetapi meliputi surat-suratnya.

Penyusunan ayat-ayat Al-Quran diketahui berdasarkan realitas bahwa setiap kali Nabi SAW. menerima wahyu Al-Quran, beliau menyuruh para sahabatnya menuliskan dan menempatkan ayat tersebut pada tempat-tempat yang ditinjuknya. Az-Zarqabi9 mengutip riwayat Ibnu Abbas bahwa apabila Rasulullah SAW. menerima wahyu beliau memanggil beberapa penulis wahyu dan berkata:

Artinya:“Letakkanlah surat ini pada tempat yang di dalamnya disebut

begini dan begitu!”

Page 3: PENGANTAR ILMU TAFSIR

Berdasarkan perintah tersebut, jelaslah bahwa kebijaksanaan menyusun surat Al-Quran adalah dari Nabi sendiri. Kebijaksanaan itu memerlukan penulisan, sehingga perintah penulisan Al-Quran merupakan wasilah dari penyusunan Al-Quran. Tampaknya, inilah sebabnya mengapa dalam pengertian jam’u Al-Quran tercakup makna kitabah (penulisan).

Landasan hukum jam’u Al-Quran di zaman Abu Bakar adalah perintah khalifah pada Zaid bin Tsabit berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari. Sedangkan ide pengumpulan Al-Quran lahir dari Umar bin Khatab setelah melihat banyaknyta huffadz Al-Quran yang wafat dalam perang Yamamah. Umar merasa khawatir, jika para huffadz banyak yang meninggak karena perang, Al-Quran akan lenyap. Oleh karena itu, ia mengusulkan kepada khalifah agar Al-Quran dikumpulkan. Semula khalifah Abu Bakar menolak usul tersebut, tetapi setelah diyakinkan tentang kemaslahatannya, ia menyetujuinya. Tugas tersebut diserahkan kepada Zaid.

Artinya:”engkau adalah seorang lelaki muda yang pandai. Aku sungguh tidak meragukanmu. Engkau juga telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah. Oleh karena itu, periksalah Al-Quran dan kumpulkannlah.”Berdasarkan tanggapan Zaid bin Tsabit, tang pada mulanya

menolak perintah taersebut, dapat diketahui sampai mana pengertian Zaid terhadap makna jam’u Al-Quran. Ia enggan menghimpun Al-Quran pada satu tempat. Menurut Zaid perintah tersebut bukannlah perintah menuliskan Al-Quran, sebab ia mengetahui dengan pasti bahwa menuliskan dengan Al-Quran dilaksanakan pada zaman Nabi Saw. Dengan demikian makna kitabat tidaklah esensial dalam term di atas.

Pengumpulan Al-Quran dilakukan oleh Zaid bin Tsabit berdasarkan arahan yang diberikan oleh khalifah demi terjaminnya keotentikan Al-Quran. Oleh karena itu, ia bekerja tidak berdasar pada hapalan sendiri, melaikan srsuai dengan pernyataan bahwa ia berpegang pada dua sumber, yakni naskah-naskah yang tertulis di depan Rasulullah SAW. dan hapalan para sahabat.

Selain itu, naskah yang tertulis tidaklah diterima begitu saja, tetapi harus disertai dua saksi. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang kesaksian ini. Menurut As-Sayuthi, kedua saksi itu harus menyaksikan bahwa ayat yang dibaca itu teer,asuk ayat-ayat yang dibaca oleh Nabi pada pemeriksaan tilawat Nabi oleh Jibril menjelang akhir hayatnya10. Namun, syarat tersebut sebenarnya tidakada dasar yang kuat, sebab tidak ada riwayat yang menyatakan adanya orang lain yang menghadiri pemeriksaan tersebut selain Zaid11. Ibnu Hajar

Page 4: PENGANTAR ILMU TAFSIR

meriwayatkan pendapat As-Sakhawi bahwa kedua saksi itu menyaksikan pencatatan ayat di depan Nabi SAW. atau keduanya menyaksikan turunnya ayat itu. Selanjutnya, Ibnu Hajar mengenukakan alternative lain bahwa yang dimaksud dua saksi itu adalah hapalan dan tulisan12. Mana di antara kedua pendapat tersebut yang lebih kuat, ini masih membutuhkan dalil pendukung. Akan tetapi, berdasarkan pendapat-pendapat tersebut tampaknya para ulama mempunyai kecenderungan memperlihatkan ketelitian kerja Zaid bin Tsabit, sekalipun alas an yang diberikan untuk itu sering tidak rasionl.

Kasus Al-Haris bin Khuzaimah dapat dijadikan factor dalam menentukan masalah saksi. Bahkan kasus tersebut dalam kaitan dengan pengumpulan Al-Quran memiliki arti penting dan kritis.

Menurut Zaid bin Tsabit, seperti diriwayatkan oleh Bukrari13, ia menemukan dua ayat terakhir suraat at-taubah pada Abu Khuzaimah (Al-Haris bin Khuzaimah) yang tidak ia temukan pada orang lain. Menurut Ibnu Hajar, ayat yang dimaksud adalah kedua ayat tersebut. Menurut riwayat Ibnu Abi Dawud` Abu Khuzaimah pernah berkata:

Sedangkan menurut riwayat lainnya:

Pemahaman yang dapat diambiol dari kedua pernyataan di atas tidak mendukung penjelasan Ibnu Hajar tersebut, yang berarti Zaid bukan menemukan tulisan, tetapi hapalan. Dengan demikian, Zaid bekerja tidak seuai dengan pedomannya.

Perhatikan dengan seksama pernyataan Zaid:

Pernyataan tersebut ternyata merupakan laporan kerja bagaimana ia melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, mengambil kesimpulan bahwa Zaid harus bekerja dengan berpedoman pada hapalan dan tulisan tidaklah berdasar, kecuali jika sekikranya pernyataan itu berupa kalam insyai, maka kesimpulan tersebut meyakinkan.

Zaid menyatakan bahwa ia telah mengumpulkan Al-Quran dari catatan-catatan yang ada dan hapalan yang diperiksakan. Dalam pekerjaannya tersebut terdapat ayat hapalannya yang hanya ditemukan pada Abu Khuzaimah. Dengan demikian, Zaid tidak melanggar pedoman yang diberikan dan tidak menyimpang dari kebijaksanaan yang ada.

Page 5: PENGANTAR ILMU TAFSIR

Sedangkan tentang orang yang membantu Zaid dalam melaksanakan tugasnya, tidak diperoleh data yang tegas. Beberapa nama disebutkan dalam riwayat yang berbeda-beda, yakni:

1. Umar bin Khathab (dalam riwayat Ibvnu Abi Dawud yang berasal dari riwayat Zubair).

2. Utsman bin Affan (dalam riwayat Ibnu Abi Dawud yang berasal dari Abd Al-Rahman Ibni Hatib) dan

3. Ubay Ibni Ka’ab (dalam riwayat Ibn Abi Dawud yang berasal dari riwayat Abi Al-Aliyah.14

Zaid bin Tsabit bersama stafnya bersama-sama bekerja meneliti catatan-catatan yang telah ditulis pada zaman Nabi dan setelah menentukan hapalan dari masyarakat yang memenuhi syarat berupa saksi-saksi yang adil, maka ayat-ayat itu dicatatkan dalam shuhuf. Demikianlah, untuk pertamakalinya Al-Quran yang telah berkontak dengan benda-benda budaya memperoleh kemajuan. Al-Quran telah ditulis dalam shuhuf-shuhuf, tidak lagi dalam benda-benda yang beragam. Al-Quran telah terhimpun belum dalam bentuk buku. Dengan demikian, Al-Quran leblih terpelihara dari kebinasaan.15

C. Penyalinan Al-Quran pada Zaman UtsmanMenurut satu riwayat, ide penyalinan Al-Quran pertama kali

diungkapkan oleh Khuzaimah bin Al-Yaman. Dalam peperangan untuk menaklukan Armenia, ia menyaksikan perselisihan bacaan Al-Quran di antara pasukan gabungan Islam yang berasal dari Irak dan Syam. Pasukan Irak membaca Al-Quran menurut bacaan Abdullah bin Mas’ud sedangkan pasukan Syam membacanya menurut bacaan Ubay bin Ka’ab. Karena satu sama lain merasakan keasingan bacaan temannya, timbullah perselisihan dan saling mengkafirkan.

Riwayat Abi Qilabah yang dikeluarkan oleh Ibnu Abu Dawud juga menggambarkan betapa Utsman merasakan ada gejala perselisihan dalam masyarakat. Ia telah mengangkat guru-guru untuk mEngajarkan Al-Quran yang bertugas mengajar anak-anak muslim menurut bacaan maasing-masing yang telah mereka terima. Murid-murid mereka kemudian berselisih dan saling menyalahkan sedemikian jauh sehingga melibatkan guru-guru mereka. Ibn Sirin pernah meriwayatkan bahwa Utsman sendiri sering menerima pengaduan dari masyarakat. Laporan Khuzafah setibanya dari medan perang.16

Shuhuf yang ada di tangan Hafsah dipinjam untuk dinasakh (disalin) oleh Zaid bin Tsabit yang is Angkat sebagai ketua dibantu oleh Abdullah bin Zubair, Said bin Al’_Ash dan Abd Ar-rahman bin Haris bin Hisyam. Menurut briwayat yang masyhur, lembaga itu menyalin lima mushaf dari shuhuf, tetapi Abu Hatim As-Sajastani menyatakan enam

Page 6: PENGANTAR ILMU TAFSIR

mushaf kemudian masing-masing dikirim ke kota-kota pusat pemerintahan daerah Mekah, Syam, Yaman, Bahrain, Basrah dan Kuffah, sedangkan satu lagi disimpan di Madinah.17

Az-Zarqani mengemukakan pedoman pelaksanaan tugas lembaga yang dipimpin Zaid ini, sebagai berikut:1. Lajnah tidak menulis sesuatu dalam mushaf kecuali telah diyakini

bahwaitu adalah ayat Al-Quran yang dibaca Nabi pada pemeriksaan terakhir Jibril dan tilawah-nya tidak mansukh.

2. Untuk menjamin ketujuh huruf turunnya Al-Quran, tulisan mushaf bebas dari titik dan syakal.

3. Lafadz yang tidak dibaca dengan bermacam-macam bacaan ditulis dengan bentuk unik, sedangkan lafadz yang dibaca dengan lebih satu qira’at ditulis dengan rasam yang berbeda pada masing-masing mushaf. Mereka tidak menuliskan bacaan tersebut dalam satu mushaf karena merasa khawatir akan ada anggapan bahwa lafadz tersebut diturunkan berulang kali dalam bacaan yang berbeda. Padahal sebenarnya lafadz tersebut hanya turun sekali nyang dapat dibaca dengan bacaan lebih dari satu macam. Mereka juga menghindari penulisan lafadz dengan dua rasam dalam satu mushaf untuk menghindari dugaan bahwa rasam itu satu sama lain merupakan koreksi.

4. Berkaitan dengan terjadinya perbedaan mengenai bahasa maka ditetapkan bahasa suku Quraisy yang digunakan karena Al-Quran diturunkan dalam bahasa tersebut.18

Berkaitan dengan kerja lembaga penyain Al-Quran telah timbul berbagai masalah, baik menyangkut pedman, pelaksanaan tugas dan hasil yang dicapai. Sebagai contoh, apakah syarat pertama tidak menurunkan citra shuhuf yang disalin.pertanyaan ini muncul, karena shuhuf itu dikerjakan oleh tangan kepercayaan dengan syarat yang ketatpula. Jumhur ulama berpendapat bahwa tugas lembaga ini dalam pelaksanaannya mengambil bentuk menyusun surat-surat Al-Quran. Masalah ini menyangkut perselisihan para ulama tentang susunan surat berdasarkan ijtihad sahabat atau tauqif (ketetapan) Rasulullah SAW.

Al-Qurthubi meriwayatkan pernyataan Ibnu Ath-Thib bahwa tertib surat Al-Quran diperselisihkan.19 Dalam hal ini terdapat tiga golongan:

1. Tertib surat berdasarkan ijtihad para sahabat. Pendapat ini diikuti oleh jumhur ulama seperti imam Malik, al-Qodhi Abu Bakr At-Thib. Alasan yang dsikemukakan adalah, Pertama, kenyataan berupa perbedaan tertib mushap ulama salaf (para sahabat). Perbedaan itu mengandung arti bahwa susunan surat tidak ditetapkan Rasul. Alasan lain adalah riwayat abu Muhamad Al-Qarasyi bahwa umar memerintahkan agar mengurutkan surat At-Thiwal. Akan tetapi, riwayat ini diberi catatan kaki oleh As-Sayuti agar diteliti kembali.

Page 7: PENGANTAR ILMU TAFSIR

2. Susunan surat berdasarkan petunjuk Rasulullah. Diantara ulam yang berpendapat demikian adalah Al-Qadhi Abu Bakar Al-Anbari, Ibnu Hajar, Ibn Al-Zarkasyi dan As-Sayuti. Alasan yang dikemukakan:

a. Ijma sahabat terhadap mushaf Utsman. Ijma ini tek mungkin terjadi kecuali kalau tertib itu tauqifi. Sekiranya bersifat ijtihadi, niscaya pemilik mushaf lainnya akan tetap berpegang pada mushafnya.20

b. Hadis tentang Hizb Al-Quran yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Abu Daud dari Khuzaifah Ats-Tsaqofi.21 Dengan meneliti pembagian yang dikemukakan hadis tersebut didapatkan pembagian Al-Quran dalam tujuh pembagian yang seimbang.

c. Hadis Ibnu Abas tentang penyatuan surat Al-Taubah dan Al-Anfal. Ibn Hajar menyatakan bahwa kebijakan tersebut menunjukan bahwa susunan surat Al-Quran Taukiqi, hanya karena Nabi tidak menjelaskan kepada Utsman, maka surat Al-Taubat disatukan dengan Al-Anfal. Selanjurnya Ibnu Hajar menyatakan bahwa dalam mushaf Ibnu Mas’ud terdapat basmalah di awal Al-Taubah tetapi tidak diambil oleh lembaga.22

d. As-Sayuti memberikan bukti dengan menunjukkan tertib surat-surat kelompok ba mim dan tha sin secara berurutan, sedang surat-surat kelompok subbaha dipisahkan surat lain.23

e. Al-Zarkasyi mengemukakan beberapa alasan. Diantaranya persesuaian antara awal sebuah surat dengan akhir surat sebelumnya, wazan lafadz seperti akhir surat Al-Lahab dengan awal surat Al-Ikhlash(?) dan kesamaan jumlah surat yang satu dengan jumlah surat yang lain, seperti surat Ad-Duha dan surat Al-Insyirah(?).24

3. Tertib surat sebagian tauqifi dan sebagian lainnya ijtihadi. Diantara yang berpendapat demikian adalah Al-Baihaqi. Menurutnya:”seluruh suraat susunannya berdasarkan tauqif Rasul kecuali surat Baraah dan Al-Anfal”.25 Al-Qadhi Abu Muhammad Ibnu Athiyah termasuk golongan ini.26

Az-Zarqani menukilkan perbedaan pendapat tersebut dengan melakukan pengkajian secara mendalam terhadap pendapat masing-masing pihak. Ia berkesimpulan bahwa persoalan ini adalah masalah ringan saja dengan menunjukkan bahwa Az-Zarkasyi mencoba melihatnya sebagai seuatu perbedaan dari sisi lafazh saja27. dalam hal ini pendapat yang ia sandarkan kepada Az-Zarkasyi adalah pendapat satu golongan karena pendapatnya sendiri terdapat pada halaman lain. Sedangkan pernyataanya bahwa masalah ini sebagai persoalan ringan perlu dipertanyakan. Sebab, seperti yang diulas pada

Page 8: PENGANTAR ILMU TAFSIR

pendahuluan bab ini bahwa masalah ini merupakan salah satu pintu masuknya serangat ke dalam Islam khusunya terhadap Al-Quran.

Secara historis, argumen kelompokyang pertama tidak berkembang yang berarti bahwa pendapat tersebut tidak memiliki dinamika. Hal itu mudah dimengerti apabila memerhatikan pendekatan yang mereka gunakan yaitu pendekatan formak struktural secara labil. Mereka melihat tidak ada nash dari Rasul tentang tertib surat dan kenyataan tertib surat dalam mushaf ulama salaf tidak seragam, serta tidak memerhatikan dasar dan landasar tugas lembaga, tetapi melihat proses opreasionalnya, sehingga kesimpulannya seperti telah disebutkan di atas.

Pedman atau syarat pemeriksaan terakhir Jibril memberikan isyarat bahwa penyalinan mushap itu hendaknya mengikutin tilawat Nabi. Sukar dimengerti, Zaid seorang kepercayaan meninggalkan tilawat Nabi termasuk tertib surat hanya karena ijtihad. Oleh karena itu, perlu kajian mendalam tentang masalah ini.

Menurut riwayat Al-Bukhari tentang sumber masalah ini ditemukan bahwa:

1. Maksud Utsman meminjam shuhuf dari Hafsah untuk di nasakh (disalin) kedalam beberapa mushaf.

2. Lajnah (panitia) pimpinan Zaid telah menasakh shuhuf tersebut.

3. Bahasa suku Quraisy ditetapkan sebagai bahasa Al-Quran.

Arti nasakh secara harfiyah adalah memindahkan, yakni menyalin sesuatu menurut adanya. Sebagai knsekwensi lgis dan teknis, nasakh tidak mengandung arti menyusun (ta’lif). Ini berarti pula bahwa susunan Al-Quran termasuk surat-suratnya telah selesai pada masa pertama. Keja Zaid pada masa ini mewujudkan secara konkret tertib tersebut dalam sebuah kitab.

Pertanyaan yang akan muncul apabila susunan surat tidak demikian (tauqifi); benarkah surat-surat itu belum tersusun seperti sekarang padan masa pertama dan kedua? Pertanyaan ini harus dibuktikan dengan data, bukan hanya dengan argumentasi. Bukti sejarah yang peling akurat adalah shuhuf itu sendiri telah dihancurkan dengan sengaja oleh gubernur Madinah, Marwan, di Zaman Muawiyyah.28 data lain berupa riwayat tak ada. Yang paling sulit dimengerti adalah riwayat tertrib surat-surat L-Quran dalam mushaf ulama salaf masih dinukilkan.

Pendekatan parsial yang dipergunakan sehingga menghasilkan kesimpulan yang dipersalkan menimbulkan pula ancaman bukan saja terhadap kemurnian Al-Quran tetapi juga terhadap keimanan yang mendasar.

Akibat pendekatan ini, pemahaman terhadap lafazh menjadi terbatas\, sehingga jam’u Al-Quran di zaman Abu Bakar bahkan di

Page 9: PENGANTAR ILMU TAFSIR

zaman Nabi sendiri terbatas pada pengumpulan dalam bentuk hafalan dan penulisan. Penyusunan tertib surat tidak tercakup. Yang terakhir ini merupakan salah satu aspek kesempurnaan Al-Qur’an. Kesimpulan terakhir dapat diperkirakan, kesempurnaan al-Qur’an merupakan wujud tangan manusia, atau lebih ekstrim lagi manusia turut campur untuk menyempuranakan Al-Qur’an yang sesungguuhnya menurut aqidah Islam adalah karya Ilahi. Sebaliknya, pendekatan holistik yang integral memberikan kesimpulan bahwa Al-Qur’an sudah sempurna di zaman Nabi, sehingga tak perlu lagi adanya campur tangan manusia. Nikmat Allah sudah sempurna.29

Diilihat dari sudut sistematika Al-Qur’an dan dengan memperluas argumentasi As-Suyuthi dan Az-Zarkasyi, sebuah dalil dapat diajukkan untuk mendukung aliran tauqifi. Dalil tersebut adalah dalil keharmonisan surat-surat Al-Qur’an secara keseluruhan dengan pendekatan fungsional.

Al-Qur’an adalah wahyu yang menjadi hidayah bagi manusia. Al-Qur’an (sebagai suatu sistem wahyu) ibarat gudang yang berisi pedman hidup. Untuk memasuki gudang itu, seseorang harus memasukipintu depan (Al-Fatihah). Disiniia memperoleh pengantar dengan memperoleh pengetahuan tentang metode danapa yang harusdicari dalam gudang. Atas dasar pengetahuan ini, ia memasuki gudang pedoman dan memilih bakal yang diperlukannya dari sekian banyak pedoman hidup yang ada, yangdapat dipergunakan dalam hidupnya. Setelah selesai hajatnya didalam gudang, ia dipersilakan keluar dengan dibekali senjata (Al-Ikhlas) dan waspada terhadap bahaya yang mengancam di luar sana serta godaan dari dalam, manusia dan jin (Al-Falaq dan An-Nas).

D. KesimpulanKarya-karya tentang sejarah Al-Qur’an yang kini berkembang

dalam dunia Isalam seperti halnya karya sejarah pada umumnya dimaksudkan untuk menjelaskan peristiwa sejarah seobjektif mungkin sehingga terbentuk opini yang benar dalam menghadapi peristiwa sejarah. Tujuan yang dimaksud secara khusus telah dirints oleh para ulama Islam dalam bidang tafsir dan ilmu tafsir / ulum Al-Qur’an dengan mendeskripsikan peristiwa-peristiwa sejarah disertai analisa. Namun demikian, dalam masalah pengumpulan dan penyalinan Al-Qur’an telah timbul serangan-serangan yang tidak sejalan dengan penulisan sejarah itu sendiri. Hal ini dasebabkan oleh kelemahan sistem dan metode pengetahuan sejarah yang dipergunakan, yakni sistem pengetahuan yang terpecah dan metode serta pendekatan yang parsial.

Tujuan yang hendak dicapai dengan penulisan sejarah Al-Qur’an memerlukan sistem dan pendekatan baru. Dari uraian terdahulu telah dicoba pola dengan sistem dan pendekatan baru yaitu sistem yang integral dan pendekatan holistik sekalipun masih dalam bentuk

Page 10: PENGANTAR ILMU TAFSIR

sederhana. Pengumpulan dan penyalinan Al-Qur’an dilihat dari berbagai aspek dan ditempatkan pada satu posisi dalam suatu sistem pengetahuan keisalman.

Pengumpulan Al-Qur’an di zaman Nabi telah mencapai kesempurnaan dengan mengambil bentuk hapalan secara utuh sistematik, baik oleh beliau maupun oleh sebagian sahabatnya. Kemurnian dan kesempurnaan Al-Qur’an diwujudkan dengan jalan hapalan dan penulisan sejak masa awal, sehingga usaha-usaha selanjutnya pada masa kedua setelah Rasulullah, pada hakikatnya merupakam pengembangan aspek kebudayaan dari Al-Qur’an.

Akhirnya perlu dikemukakan bahwa dengan tema yang sama masih banyak masalah yang perlu diteliti. Misalnya, apakah penetapan bahasa Quraisy sebagai bahasa resmi Al-Qur’an tidak mempunyai efek terhadap Al-Qur’an? Apakah akibat dari penulisan lafazh dalam rasam yang berbeda? Dan sebagiannya. Semuanya diwariskan untuk diteliti kembali.

2ASBAB AN-NUZUL AYAT AL-QUR’AN

Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan perkataan manusia.1 Firman tersebut berbentuk wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Muhammad SAW. untuk umat manusia sebagai petunjuk yang dibukukan dalam satu kitab Al-Quran merupakan sumber pertama dan utama dari ajaran Islam. Setiap umat Islam wajib meyakini wujud dan kEbenarannya. Dalam pandangan Az-Zarqani, Al-Quran adalah penutukp semua kitab yang diturunkan Allah dan diturunkan kepada penutup semua Nabi. Ia menjadi kitab suci yang persifat umum dan abadi. Ia juga merupakan ajaran akhlaq untuk kemaslahatan makhluq; menjadi petunjuk bagi penghuni langit dan bumi....2

Para ulama Islam sangat memahami bahwa Al-Quran tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad sekaligus dalam bentuk satu kiktab seperti yang kita lihat sekarang. Al-Quran diturunkan secara bertahap, terkasang hanya satu ayat, terkadang beberapa ayat, dan terkadang sebagian ayat, namun ada juga yang turun satu surat. Ada ayat yang turun berhubungan dengan suatu peristiwa dan ada pula yang berbentuk suatu cereita atau ajaran tanpa dihubungkan dengan peristiwa apapun ketika itu. Realitas inilah tampaknya yang mrnyebabkan Az-Zarqani membagi turunnya ayat Al-Quran itu menjadi

Page 11: PENGANTAR ILMU TAFSIR

dua bagian, yaitu bagian yang diturunkan tanpa ada hubungan dengan sebab, dan bagian yang ada hubungannya dengan suatu sebab.3

Namun demikian seyogyanya kita harus memahami bahwa turunnya suatu ayat Al-Quran, pasti berkaitan dengan suatu situasi dan kondisi ketika itu, baik memiliki hubungan dengan ayat yang turun tersebut maupun tidak. Situasi itu mungkin berbentuk kejadian umum, mungkin berbentuk pertanyaan, mungkin berbentuk perbuatan orang dan sebagainya.

Oleh karena itu, agar Al-Quran benar-benar menjadi petunjuk dalam kehidupan, dibutuhkan penjelasan dari Nabi, dari para sahabatnya dan dari para ulama. Kemudian, hal itu diformulasikan oleh para ulama dalam ruang lingkup pengetahuan aqidah (tauhid), fiqih, akhlaq dan sebagainya, yang seharusnya dapat berkembang dalam segala situasi, kondisi dan waktu. Berkembang dalam arti meluas dan membesar, namun tidak keluar dari lingkaran inti. Dengan demikian, Al-Quran menempati posisi sebagai sumber ajaran agama yang un iversal; dapat diterapkan dalam segala masa, tempat dan keadaan; sehingga kehadirannya menjadi rahmat bagi alam semesta.

Agar para sahabat Nabi dan para ulama dapat memberi penjelasan sesuai dengan maksud turunnya ayat tersebut, selain dari pengetahuan bahasanya, mereka harusd mengetahui dan memahami dalam situasi dan kondisi seperti apa ayat tersebut diturunkan; dan munculnya berhubungan peristiwa apa. Mereka harus meneliti apakah situasi, kondisi, dan peristiwa itu ada hubungannya dengan ayat yang diturunkan? Selain itu, khusus para sahabat Nabi yang merasa belum memahami makna dan maksud dari turunya ayat tersebut, ketika ada kesempatan, tentunya mereka dapat langsung menanyakan kepada Nabi.

A. Pengertian IstilahSecara etimologi, asbab an-nuzul ayat itu berarti sebab-sebab

turun ayat dalam pengertian sederehana, turunnya suatu ayat disebabkan oleh suatu peristiwa, sehingga tanpa adanya pristiwa itu, ayat tersebut tidak turun. Jika memang seperti itu pengertiannya, tidaklah sesuai dengan hakikat Al-Quran itu sendiri, sebab ayat itu sudah ada dan lengkap di lauh mahfuzh diciptakan oleh Allah dibawa oleh malaikat Jibril, dan disampaikan kepada Nabi. Maksud Allah menurunkan ajaran itu dalam bentuk wahyu (ayat), tentu tidak diikat atau dihukum oleh alam yang berbentuk peristiwa itu, sehingga tanpa sebab peristiwa alam ini, suatu ayat Al-Quran itu tidak turun. Hal itu tidak sesuai dengan sifat Allah Yang Maha Kuasa. Allah tidak terikat dengan alam atau makhluq dalam menyampaikan rencana dan kehendak-Nya.

Memang benar bahwa para ahli ilmu tafsir menggunakan istilah asbab an-nuul ini. Shubhi Shalih misalnya, menggunakan istilah ini dengan pengertian:

Page 12: PENGANTAR ILMU TAFSIR

Pengertian tersebut, memiliki agak berbeda dengan pengertian yang dikemukakan oleh Az-Zarqani yang menyatakan:

Dalam pengertian yang dikemukakan oleh Az-Zarqani tersebut tidak ada kata “sebab”. Ini berarti ayat yang turun itu tidak disebabkan oleh peristiwa yang terjadi, tetapi peristiwa itu hanya sebagain suatu kasus yang dapat menjelaskan makna ayat. Atau ayat yang turun itu dapat memberi penjelasan pada peristiwa yang menjadi kasus itu, sehingga kalau ada kasus yang ada atau mirip dengan itu, dapat pula dikenai penjelasan ayat tadi.sebenarnya dapat juga dipahami bahwa ayat yang turun itu akan menjelaskan sesuatu yang kasusnya seperti peristiwa itu. Yang terakhir ini lebih sesuai dengan msksud Al-Quran itu sendiri sebagai tibyan likuli syai yang kasusnya seperti peristiwa itu. Walaupun tidak ada peristiwa ketika itu, ayat itu akan turun juga untuk menjelaskan sesuatu yang mungkin terjadi. Tidak ada bukti yang tegas bahwa memang suatu peristiwa menjadi penyebab turunnya ayat. Az-Zarkasyi menjelaskan dalam Al-Burhan bahwa telah umum dikenal dari kebiasaan para sahabat dan tabi’in, bahwa bila mereka berkata:

maksudnya ayat ini mengandung hukum ini; bukan menjadi sebab turunnya ayat.6 Meskipun demikian, kasus dalam bentuk peristiwa itu, perlu dipahami oleh para mufasir dan perumus ayat menjadi ajaran praktis yang dapat dan mudah diamalkan.

Dilihat dari segi pemakaian istilah asbab an-nuzul ayat al-Quran ini, kita belum akan menggantinya dengan istilah lain, karena sudahumum digunakan oleh para ahli ilmu tafsir. Bukan penggunaan istilah ini sudah berkembang dalam berbagai tulisan dan uraian. Meskipun asbab an-nuzul ini satu bagian saja dari ilmu tafsir dan ilmu tafsir sendiri merupakan cabang pula dari ulumul quran, ia sudah mengarah menjadi ilmu yang berdiri sendiri dengan nama ilmu asbab an-nuzul. Penggunaan istilah asbab an-nuzul ini biarlah demikian saja, tetapi dengan pengertian ”ilmu yangmembahas peristiwa-peristiwa yang terjadi, yang ada hubungannya dengan turunnya ayat Al-Quran, yang dapat dijadikan kasus dalam penjelasan ayat ini”.

B. ruang lingkup PembahasanSesuai dengan pengembangan ilmu pengetahuan, ruang lingkup

pembahasan asbab an-nuzul ini makin bertambah luas dan mungkin

Page 13: PENGANTAR ILMU TAFSIR

dapat bertambah luas lagi. Az-Zarqani mengembangkan ruang lingkup pembahasan ilmu asbab an-nuzul itu menjadi sebelas pembahasan:

1. Makna sebab nuzul;2. Faedah mengetahui sebab nuzul;3. Cara mengetahui sebab nuzul;4. Ungkapan-ungkapan yang mengandung arti sebab nuzul;5. Beberapa riwayat yang menerangkan turunya suatu ayat;6. Satu riwayat yang mrnerangkan beberapan ayat yang turun;7. Masalah ’am dan khas yang terdapat dalam lafal ayat dan

hubungannya dengan sebab turun ayat itu;8. Masalah umum lafal dan khusus sebab;9. Dalil-dalil jumhur dalam masalah ‘am dan khas itu;10. Keraguan-raguan orang yang tidak setuju dengan jumhur

beserta dalil dan uraiannya;11. Sebab yang khas untuk lafal yang ‘am.7

Sedangkan yang akan menjadi sasaran utama dari pembahasan ini adalah peristiwa yang terjadi di tempat dan waktu ayat Al-Quran diturunkan dan ada hubungannya dengan ayat yang turun itu,baik peristiwa itu dijelaskan oleh ayat hukumnya, ataupun peristiwa itu dianggap sebagai kasus bagi ketentuan yang digariskan oleh ayat itu. Pekerjaan pokok ialah meneliti apakah peristiwa itu memang sebagai kasus memang ada hubungannya dengan ayat. Kalau sebagai kasus atau peristiwa itu saling memegaruhi. Apakah ayat itu hanya berlaku untuk peristiwa itu saja? Apakah peristiwa seperti itu mungkin terjadi di kemudian hari? Sejauh mana pengaruh situasi dan kondisi atau arti istilah dan redaksi pada hubungan ayat dan kejadian? Jika peristiwa itu berwujud pertanyaan yang ditujukan oleh ayat jawabannya, apakah pertanyaan itu benar-benar atau main-main, atau bermaksud menghina dan mengejek? Dalam hal ini pembahasan lebih banyak tertuju pada situasi, kondisi, dan penggunaan bahasa.

C. Sumber dan Cara Mengetahui PeristiwaBagi para sahabat Nabi, sumber itu tentunya dika sendiri atau

Nabi langsung memberi penjelasan. Sahabat sebagai sumber kalau dia sendiri yang mengamati atau menyaksikan peristiwa turunnya ayat itu. Atau para sahabat yang tidak mengamati sendiri peristiwanya, ia menerima berita dari sahabat lain yang mengamatinya, atau dia bertanya-tanya kepada orang yang menyaksikannya. Bagi para tabi’in cerita sahabatlah yang dia pegang. Para mufasir, selain dari para sahabat, mengambil sumber dari cerita, baik dari kitab tafsir maupun dari hasil wawancara., atau berita dari orang lain yang diperolehnya darin sahabat. Tafsir Ibnu Abbas dan tafsir Ibnu Mas’ud dapat dipandang sebagai sumber yang dapat dikembangkan. Pengetahuan sejarah dan cerita para sahabat Nabi yang mengamati atau mengetahui sebab nuzul ayat. Biasanya cerita para sahabat tentang peristiwa turunnya wahyu itu dimuat dalam kitab-kitab tafsir yang

Page 14: PENGANTAR ILMU TAFSIR

ditulis oleh para sahabat itu seperti Abdullah Ibnu Abbas, Abdullah Ibnu Mas’ud, dan lain-lain atau dapat juga dilihat pada riwayat hidup para sahabat itu sendiri. Para mufasir berusaha keras untuk mencari berita atau penjelasan para sahabat tentang peristiwa turunnya satu ayat. Apabila mereka menemukan beberapa ayat, mereka berusaha menggabungkanya atau merincinya. Mungkin saja ayat itu turun dua atau beberapa kali sesuai dengan berita itu. Contoh ini dikemukakan oleh Az-Zarkasyi tentang turunya ayat: ayat ini diturunkan dalam kasus pertanyaan orang Yahudi di Madinah, padahal ayat itu ayat Makiyyah.8

Sumber yang berbeda mungkin saja memuat berita yang berlainan. Untuk ini, para mufasir dapat saja menggabungkan. Kalau tidak mungkin, diusahakan mentarjihkannya.

D. Metode Penelitian dan Peranan AkalDilihat dari segi teksnya, susunan kalimat ayat Al-Quran itu ada

yang jelas makna yang ditunjukkannya, adapula yang tersembunyi atau kurang jelas. Dalam melaksanakannya (mengamalkannya), yang sudah jelas ditunnjuk oleh teks ayat itu sendiripun masih ada saja yang meragukan. Apalagi yang ditunjukkannya agak tersembyunyi. Misalnya, ayat yang menerangkan bahwa pencuri harus dipotong tangannya. Dalam pengalamannya timbul kesulitan; walaupun artinyua jelas, dan yang ditujunya jelas, yaitu pencuri. Kesulitannya ialah pencuri yang mana; pencuri jarum pentul yang sangat murah harganya pencuri berlian yang sangat mahal harganya, ataukah pencuri kain kafan mayat yang sudah berada dalam kubur? Selain dari meminta bantuan dari hadis Nabi dan pengetahuan bahasa, sebab nuzul ayat ini memegang peranan yang penting untuk dapat menafsirkan dan merumuskan ketentuan hukumya. DR Muhammad Adib Sholih sudah menguraikan panjang lebar dalam bukunya Tafsir An Nushushu Al_Fiqh Al Islami tentang cara memahami ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang dirumuskan dalam hukum-hukum fiqih yang mudah diamalkan. Ia membagi teks (Al Quran dan hadis) itu menjadi dua macam:1. petunjuknyua jelas sebagai mana ditunjukkan artinya. Ini tidak membutuhkan sesuatu di luar teks itu untuk memahami makna yang dimaksudnya, atau untuk melaksanakannya;2. maksud yang ditunjukkanya tersembunyi. Ini mrmbutuhkan bantuan diluar teks itu untuk memahami apa yang dimaksud oleh teks itu.9

Cara memahami teks itu dibahas panjang lebar, sehingga kita melihat bahwa pengetahuan asban nuzul memegang peranan yang sangat penting dalam menjelaskan arti teks itu.

Sebab-sebab nuzul ayat itu perlu dipelajari untuk memahami ayat yang turun berkenaan dengan itu. Menurut Az-Zarqani, tidakada jalan lain untuk mengetahui sebab-sebab nuzul itu kecuali naql yang shahih.10 Artinya dengan membaca dan memahami penjelasan Nabi,

Page 15: PENGANTAR ILMU TAFSIR

sahabat atau tabi’in yang terpercaya wurud dan rawinya. Kalau bukan dari mereka semua, orang tidak akan mengetahui sebab nuzul itu. Oleh karena itu, orang tidak boleh bercerita tentang sebab nuzul kecuali ada riwayat dari mereka, atau mendengar sendiri dari orang yang menyaksikannya, atau melihat sendiri peristiwa turunnya ayat itu. Wahidi lebih tegas lagi menyatakan bahwa seseorang tidak boleh berkata tentang sabab nuzul Al-Quran itu, kecuali denagan riwayat dan mendengar orang yang menyaksikan turunnya ayat dan berpegang pada sebab itu, menyrlidiki ilmunya, dan bersungguh-sungguh mencari beritanya.11 Az-Zarqani menambahkan bahwa jika sahabat Nabi itu benar telah menceritakan seban nuzul suatu ayat, itu terima saja, karena ini sudah dianggap langsung dari pengamat peristiwanya. Atau ini sama dengan hadis marfu’, dan tidak ada tempat bagi otak untuk berijtihad tentang berita itu. Artinya, akal tidak boleh dikerahkan untuk menerima atau tidak, sebab peranan akal tidak diperlukan di sini. Berita sahabat itu harus diterima begitu saja, karena peristiwanya tidak akan berulang kembali, pengamatnyapun tidak mungkin diganti. Akan tetapi, riwayat itu berstatus seperti hadis mursal, seperti sahabat yang meriwayatkannya tidak dikenal, maka riwayat itu tidak dapat diterima sebagai riwayat sebab nuzul.12

Berita yang disampaikan oleh sahabat Nabi tentang turunnya wahyu itu tidak mungkin diteliti dengan menguji kebenarannya. Kejadian itu sudah berlalu dan tidak mungkin akan berulang kembali. Untuk mencari saksi yang akan membenarkan berita itu pun tidak mungkin. Paling-paling diteliti, sahabat mana yang membawa berita itu; apakah sahabat itu sendiri menyaksikan peristiwa itu atau mendengar dari sahabat lain. Selanjutnya, dapat juga diteliti sanad dan rawinya, tabi’in (rawi) mana yang menceritakannya; apakah rawi yang memenuhi persyaratan rawi yang umum digunakan oleh para ahli hadis? Apakah berta itu dimuat dalam kitab hadis shahih yang mu’tabar ( kutub as-sitah)? Para ahli hadis yang meriwayatkan berita sebeb nuzul ini cukup berhati-hati dalam menerima berita atau ketetangan tentang berita dari sahabat ;yang mrnceritakan sebab nuzul itu. Para ahli tafsir yang menulis kitab tafsir dengan susah payah juga mengumpulkan riwayat yang berisi sebab nuzul ayat ini. Mereka mengambilnya dari kitab-kitab tafsir shahaby seperti tafsir Ibnu Abbas dan tafsir Ibnu Mas’ud. Mereka mengambil juga dari kitab hadis Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan lain lain. Mereka juga mengambil dari riwayat hidup para shahabat Nabi. Jika mereka menjumpai riwayat tertulis, mereka melakukan wawancara dengan para ulama yang ahli dalam bidang ini. Muhamad Adib Sahih menjelaskan bahwa para imam dan ulama hadis telah membuat ketentuan yang teliti untuk membedakan hadis sahih dan hadis yang tidak sahih. Mereka telah merumuskan kaidah-kaidah untuk menguji dan menilai setiap perawi hadis. Dengan menggunakan kaidah itulah, para perawi dinilai keahlian dan kedudukannya.13

Page 16: PENGANTAR ILMU TAFSIR

Selain dengan meneliti para perawi, dapat juga diperhatikan redaksi hubungan antara peristiwa dan ayat yang turun ketika itu. Ada sahabat yang menegaskan bahwa ayat itu turun dengan sebab itu. Redaksi ini biasanya menggunakan kalimat atau (سQQبب نQQزل األيةكQQدا) setelah menyebutkan peristiwa (sebab) langsung diiring dengan (فأنزلنا) atau (فيوحى) atau yang sama dengan itu. Contohnya ialah perkataan Jabir: Orang Yahudi berkata: من أتى امرأة من دبرها (في قبلها) جQاء الولQد أحQول. فQأنزل اللQه: نسQاءكم

حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شأتم.Ada lagi redaksi sahabat yang tidak tegas menunjukkan bahwa

peristiwa itu langsung menjadi sebab nuzul. Misalnya, perkataan Ibnu Umar:

في اتيان النساء في أدبارهن.–أنزلت: نساءكم حرث لكم Penelitian tentang asbab nuzul ayat ini pada zaman sekarang

tidaklah sesulit zaman dahulu, karena sudah banyak kitab tafsir yang menerangkannya. Hamper semua kitab tafsir besar telah memuat peristiwa sebab nuzul itu, terutama pada ayat-ayat hokum. Tentunya, seseorang meneliti apakah berita tentang sebab nuzul itu diberitakan oleh perawi yang dapat dipercaya. Apakah betul sahabat yang menceritakan demikian? Apakah peristiwa itu betul-betul merupakan kasus yang dapat dibandingkan dengan yang terjadi padan zaman sekarang? Apakah itu ayat khusus? Alas an apa yang dipakai untuk menggunakan kasus itu sebagai contoh yang dapat diterapkan pada zaman sekarang?

Jika orang setuju dengan kaidah-kaidah yang disusun oleh para ahli ilmu tafsir tentang ketentuan redaksional, syarat rawi, dan berbagai syarat yang berkaitan dengan asbab nuzul itu, tinggal diperiksa dan diteliti teks perawi yang terdapat dalam kitab-kitab tasfsir dan hadis. Untuk melengkapinya, tinggaln meneliti buku-buku riwayat para sahabat dan rijalul hadis (tokoh-tokoh hadis) yang sudah ada. Meskipun hadis-hadis (sebenarnya asar sahabat) yang meriwayatkan sebab nuzul ayat itu seluruhnya mauquf (tidak sampau pada Rasul, hanya sampau pada sahabat saja), namun untuk membantu memahami makna ayat-ayat al Quran, dapat digunakan. Ia dapat dipandang sebagai hadis marfu’ (hadis yang sanadnya sampai pada Nabi). Sikap ini dipegang oleh para mufasir secara umum, karena di tangan para sahabat itulah riwayat sanad yang paling tinggi dan berakhir untuk riwayat sebab nuzul. Apalagi riwayat sebab nuzul yang mereka bawakan itu hanya sekedar membantu memahami maksud ayat, bukan sebagai sumber hokum; ia jelas tidak setingkat dengan hadis Nabi. Riwayat mereka pun tidak membentuk hukum.

E. Fungsi dan KegunaanDengan memerhatikan pengertian, ruang lingkup pembahasan

dan materi yang dibahas, kita dapat menentukan fungsi asbab an-

Page 17: PENGANTAR ILMU TAFSIR

nuzul ini dalam ilmu tafsir; yaitu sebagai pengetahuan pembantu dalam memahami, menafsirkan serta memformulasikan ayat Al-Qur’an menjadi ajaran praktis yang dapat dan mudah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Rumusan ini didukung oleh kenyataan bahwa para fuqaha menyusun hokum-hukum fiqih berpedoman pada kitab-kitab tafsir yang menggunakan berita sebab nuzul itu, di samping memerhatikan hadis Nabi yang banyak menceritakan sebab nuzul itu, serta diceritakan pula asbab al-wurud-nya. Demikian pula, tentang penyusunan ilmu tauhid, ilmu kalam, dan akhlak.14

Adapun kegunaannya banyak disebutkan oleh para ahli ilmu tafsir. Dalam kitab Al-Itqan dapat kita baca enam faedah, yaitu:1. Mengetahui hikmah yang timbul ketika Allah mensyariatkan ajaran dengan ayat yang diturunkan itu.2. Kekhususan hukum pada peristiwa (sebab) turunnya ayat ( ini bagi mereka yang berpendapat bahwa yang dipegang ialah kekhususan sebab, bukan keumuman lafazh).3. Bahwa kadang-kadang teks ayat menggunakan lafazh yang umum dan sebab nuzul, merupakan kekhususan sebagai satu contoh.4. Ibn Daqiqil ’id berpendapat bahwa penjelasan sebab nuzul merupakan cara yang kuat dalam memahami makna Al-Qur’an.5. Ibnu Taimiyah menganggap bahwa pengetahuan sebab nuzul itu menjelaskan pemahaman ayat, karena tahu sebab, akan mengakibatkan tahu pula penyebanya.6. Menolak keraguan pada kekhususan arti yang terdapat dalam teks ayat.15

Az-Zarqani menuturkan faedah yang hampir sama dengan yang ada dalam Al-Itqan dengan sedikit perbedaan redaksi dan tambahan. Faedah yang dikemukakan oleh Zarqani itu adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui tentanghikmah Allah secara jelas dalam mensyariatkan hukum melalui ayat yang diturunkan-Nya itu.

2. Menolong untuk memahami ayat dan mengurangi, kesulitan memehaminya.

3. Menolak keragu-raguan pada kekhususan arti yang tersebut dalam ayat.

4. Mengetahui kekhususan hukum pada sebab (peristiwa) yang menyebabkan ayat itu turun.

5. Mengetahui peristiwa yang mejadi sebab nuzul ayat itu, hukumnya tidak keluar dari yang dimaksud oleh ayat.

6. Mengetahui orang yang menjadi sebab diturunkannya ayat itu secara jelas.

7. Memudahkan untuk menghapal dan memahami ayat yang turun.16

Al-Qasimi mengutip perkataan Syatibi dalam Al-Muwapaqat yang menegaskan bahwa pengethuan sebab nuzul itu perlu bagi orang yang

Page 18: PENGANTAR ILMU TAFSIR

menginginkan ilmu Al-Qur’an .... Pengetahuan sebab nuzul akan menghilangkan setiap kesulitan semacam itu. Pengetahuan ini merupakan suatu yang penting dalam memahami Al-Qur’an. Mengetahui sebab berarti mengetahui kemestiannya (yaitu ayat yang turun karenanya) .... Tidak tahu sebab nuzul akan menempatkan seseorang dalam keragu-raguan dan kesulitan (memahami ayat).17

Walaupun orang mengetahui artu ayat, tetapi tidak tahu dalam hubungan apa ayat itu diturunkan, ia mungkin akan keliru dalam merumuskan ketentuan dalam pengamalan; atau keliru dalam mengamalkannya. Kekeliruan ini pernah terjadi pada sahabat sendiri. Pernah ditanyakan kepada Ibn Abbas, bagaimana orang berselisih tentang ajaran agama ini, padahal nabinya satu, kiblatnya satu, dan Al-Qur’an satu? Menurut Ibn Abbas,” Al-Qur’an diturunkan kepada kami, kami baca, kami pahami, dan kami tahu dalam kaitan apa ayat itu diturunkan. Mungkin sesudah kami ini akan ada orang-orang yang juga membaca Al-Qur’an itu dan mengerti arti lafalnya, tetapi tidak memahami maksudnya. Mereka kembali hanya kepada arti lafal dan makna uslub. Akhirnya, mereka berbeda pendapat, berselisih, berperang dan saling membunuh”.18 Apa yang dikatakan Ibn Abbas ini sebenarnya menunjukkan pentingnya faedah tentang pengetahuan sebab nuzul. Demikian pentingnya ilmu ini, para ulama sudah berusaha mengembangkannya dan mungkin saja menjadi subdisiplin ilmu yang berdiri sendiri. Demikian banyak materi yang dibahas dalam ruang lingkup yang luas, wajar kalau ilmu ini berkembang, apalagi dalam masa pengembangan ilmu sekarang ini. Hal ini sangat dirasakan pentingnya dalam rangka memformulasikan kembali ajaran agama yang praktis dapat diterapkan dalam dunia modern yang disibukkan oleh pengaruh modernisasi, kemajuan ilmu dan teknologi.

F. Kesimpulan1. Asbab an-nuzul ialah suatu pengetahuan yang memuat dan

membicarakan peristiwa yang berkaitan langsung dengan turunnya ayat Al-Qur’an yang dapat digunakan sebagai suatu keterangan tentang ayat yang diturunkan itu.

2. Asbab an-nuzul mempunyai ruang lingkup pembahasan yang berkaitan langsung dengan peristiwa diturunkannya ayat Al-Qur’an, terutama dalam hubungan peristiwa dan ungkapan kata; baik teks ayat ataupun redaksi rawi.

3. Sumber yang digunakan ialah berita dari Nabi sendiri, dari para sahabat dan sekarang dari tulisan-tulisan yang sudah ada, baik buku tafsir, hadis, riwayat hidup para sahabat Nabi dan tarikh Islam zaman klasik.

4. Sebelum dibukukan, para sahabat mengamati sendiri peristiwa turunnya wahyu itu, kemudian mereka menceritakannya, baik kepada sesama sahabat, atau kepada para tabi’in, yang selanjutnya

Page 19: PENGANTAR ILMU TAFSIR

dibukukan dalam buku tafsir atau hadis, dan lain-lain; sehingga orang yang hidup sesudah ,ereka dapat mempelajarinya.

5. Para perawi dan kita sekarang dapat membaca dan meneliti keabsahan berita tentang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an itu, dandengan demikian, dapat dipahami Al-Qur’an dengan baik; selanjutnya dapat berusaha merumuskannya dalam bentuk ajaran praktis yang dapat dan mudah diamalkan.

6. Apabila penelitian sudah sampai pada kebenaran sahabat dalam mengamati dan memberitakan sebab nuzul itu, pada situasi dan kondisi tertentu, maka ijtihad tidak perlu digunakan lagi. Dan akal tidak boleh bercampur dalam menilai berita itu.

7. Pengetahuan tentang sebab nuzul ini menduduki fungsi yangpenting dan sangat berguna dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an dan merumuskan ajaran Islam supaya mudah diamalkan.

8. Asbab an-nuzul ini mungkin dan dapat berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri dalam rumpun ilmu tafsir pada kelompok ilmu Al-Qur’an.

Page 20: PENGANTAR ILMU TAFSIR

3MUNASABAH

Perbedaan pangkal tolak dalam menelaah Al-Qur’an antara sarjana Muslim dan bukan Muslim menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Sarjana Muslim dalam melakukan usahanya didasari oleh titik tolak imani disertai nuansa jiwa tersendiri. Sedangkan sarjana bukan Muslim (orientalis), tidak mempunyai ikatan batin sama sekali dengan Al-Qur’an. Mereka menerapkan kebiasaan ilmiah yang bertolak dari ”keraguan” dan ”menyangsikan” sesuatu untuk menemukan ”kebenaran” ilmiah.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila para orientalis menganggap bahwa penafsiran Al-Qur’an oleh para penafsir modern Muslim tetap bersifat apologegik yang sukar mereka terima.1 Bahkan para orientalis tidak merasa rikuh bila menyetarakan proses keluarnya dan tersusunnya Al-Qur’an dengan proses kreatif yang dipunyai seorang Shakespeare. Bagi mereka, Muhammad hidup di lingkungan masyarakat Arab tentu dipengaruhi oleh konsepsi dan budaya Arab yang sudah ia kenal dan ia hayati.2 Dan itulah yang mewarnai isi Al-Qur’an. Namun demikian, Watt3 mengakui juga bahwa telaah tentang Al-Qur’an masih akan terus berlangsung baik oleh sarjana Muslim maupun bukan Muslim, kini dan di masa depan.

Seorang Muslim, tidak dapat menghindarkan diri dari keterikatannya dengan Al-Qur’an. Seoran Muslim mempelajari Al-Qur’an tidak hanya mencari ”kebenaran” ilmiah, tetapi juga mencari isi kandungan Al-Qur’an.

Begitu juga telaah tentang munasabah yang merupakan bagian dari telaah tentang Al-Qur’an. Seluruh usaha membereskan berbagai bentuk hubungan dan kemiripan-kemiripan dalam Al-Qur’an adalah tidak terlepas dari usaha membuktikan Al-Qur’an sebagai “sesuatu yang sangat luar biasa”.

Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah bahwa munasabah termasuk kajian yang bersifat ijtihadi. Karena sifatnya ijtihadi, maka timbul:1. Hubungan logis yang dapat diterima.2. Hubungan logis bagi masing-masing ahli.

Akhirnya, timbul dua aliranyang berpendapat bahwa:1. Semua ayat / surat memiliki hubungan2. Tidak semua ayat / surat memiliki hubungan

Page 21: PENGANTAR ILMU TAFSIR

Di antara manfaat menpelajari munasabah, antara lain:1. Menghindari kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an, sebab

munculnya kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah karena tidak mengetahuimunasabah.

2. Intensifikasi pengertian ayat.

A. Pengertian MunasabahMunasabah adalah salah satu bagian pembahasan ’ulum Al-

Qur’an. Pembahasan tentang munasabah pertama kali diperkenalkan oleh seorang alim bernama Al-Imam Abu Bakar An-Naisabury atau Abu Bakr ’Abdullah ibn Muhammad Ziyad Al-Naisavury (wafat tahun 324 H).4

Dalam pertumbuhannya kemudian, terdapat dua aliran5 tentang munasabah ini. Pertama, pihak yang mengatakan secara pasti adanya pertalian yang erat antara surat dengan surat dan antara ayat dengan ayat. Pihak ini diwakili oleh As-Syaikh ‘Izz Ad-Din Ibn ‘Abd As-Salam atau ‘Abd Al-‘Aziz ibn, Abd As-Salam (577-600 H).

Menurut aliran ini, munasabah adalah ilmu yang mensyaratkan bahwa baiknya kaitan pembicraan ( ) itu bila antara permulaan dan akhirnya terkait menjadi satu. Apabila hubungan itu terjadi karena sebab yang berbeda-beda, tidaklah disyaratkan adanya pertalian salah satunya dengan yang lain.

‘Izz Ad-Din memberikan alasan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada masa dua puluh tahun lebih. Al-Qur’an berisikan berbagai hukum dengan sebab-sebab yang berbeda pula. Lantas, apakah lalu tidak ada peraturan satu sama lain?

Ia memberikan alasan selanjutnya dengan mengajukan pertanyaan apakah artinya Tuhan mencipta hukum dan makhluk-Nya; Perbedaan ‘illah dan sebab, upaya para mufti dan penguasa, serta upaya manusia tentang hal-hal yang disepakati, diperselisihkan, dan dipertentangkan. Tentunya, tidak akan ada orang yang mau mencari-cari hubungan itu apabila tidak ada artinya.

Kedua, pihak yang menyatakan bahwa tidak perlu ada munasabah ayat, sebab peristiwa-peristiwa tersebut saling berlainan. Al-Qur’an disusun dan diturunkan serta diberi hikmah secara tauqifi dan tersusun atas petunjuk Allah SWT.

Terlepas dari kedua pendapat di atas, munasabah telah merupakan bagian tak terpisahkan dari ’ulum Al-Qur’an. Apakah adanya munasabah itu ijtihadi atau tauqifi barangkali akan dapat dijawab ketika memerhatikan telaah tentang kaitan ayat dengan ayat atau surat dengan surat.

Munasabah berasal dari kata yang berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat sama artinya dengan yakni mendekatkannya dan menyesuaikannya;

Page 22: PENGANTAR ILMU TAFSIR

artinya (dekat dan berkaitan). Misalnya, dua orang bersaudara dan anak paman. Ini terwujud bila kedua-duanya saling berdekatan dalam artian ada ikatan atau hubungan antara kedua-duanya.An-Nasib juga berarti ar-rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan.6

Secara terminologis, munasabah adalah kemiripam-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al-Qur’an baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.7

Dalam hal ini, munasabah bisa berarti suatu pengetahuan yang diperoleh secara ‘aqli dan bukan diperoleh melelui tauqifi. Dengan demikian, akallah yang berusaha mencari dan menemukan hubungan-hubungan, pertalian, atau keserupaan anatara sesuatu itu.8

Demikianlah Az-Zarkasyi mengemukakan pendapatnya tentang persoalan munasabah. Selanjutnya, ia memberikan perincian bahasan dalam munasabah itu sebagai berikut.

Munasabah adalah perkara yang menyangkut tafsiran akal. Bila sesuatu muncul dan disampaikan berdasarkan akal, ia akan diterima. Munasabah al-ayat terdiri dari hubungan antara permulaan dan penutup ayat dikembalikan kepada arti yang terkait di antaranya. Kaitan itu bisa berupa ‘am atau khas, ‘aqli atau perasaan atau khayali. Bisa juga berupa faktor pemikiran, seperti ; dua hal yang berlawanan, atau ia berupa faktor luar, seperti yang tersusun menurut urutan peristiwa.9

B. Macam-Macam MunasabahJika bertolak dari batasan di atas, kita dapat memperoleh

patokan bahwa pada garis besarnya munasabah itu menyangkut dua hal, yaitu hubungan antara ayat dengan ayat dan hubungan surat dengan surat. Dua pokok hubungan itu diperinci sebagai berikut: Hubungan ayat dengan ayat meliputi:1. Hubungan kalimat dengan kalimat dalam ayat;2. Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat;3. Hubungan penutup ayat dengan kandungan ayatnya.

Hubungan surat dengan surat meliputi:1. Hubungan awal uraian surat dengan akhir uraian surat;2. Hubungan nama surat dengan tujuan turunnya;3. Hubungan surat dengan surat sebelumnya;4. Hubungan penutup surat terdahulu dengan awal surat berikutnya.10

1. Hubungan Kalimat dengan Kalimat dalam AyatFakhruddin Ar-Razi menyatakan bahwa ”kehalusan/kelembutan”

Al-Qur’an terletak pada keserasian tata urut dan hubungannya. Sebagian ulama lain menyatakan bahwa sebaik-baiknya pembicaraan adalah yang bagian satu berkaitan dengan bagian lain sehingga tidak terputus.11 Subhi As-Shalih 12 menegaskan bahwa para ulama

Page 23: PENGANTAR ILMU TAFSIR

mensyaratkan adanya munasabah dalam ayat itu apabila dua ayat atau lebih saling berhampiran.

Hubungan antara ayat dengan ayat itu tidak selalu ada pada semua ayat Al-Qur’an. Ayat yang satu dengan ayat lain ada kalanya muncul secara jelas menunjukkan hubungan kalimat satu dengan lainnya. Hubungan itu memberikan kejelasan satu sama lain tentang maksud keseluruhan ayat.13

Namun , ada juga hubungan yang tidak jelas. Kandungan makna suatu ayat menjadi kabur karena kaitan kalimat satu dengan kalimat lain tidak dipahamkan secara utuh. Hubungan ”tidak” yang mengakibatkan samarnya makna suata ayat bila dikaitkan dengan kalimat berikutnya dipersambungkan oleh (huruf ’athaf). Muhammad ’Abduh memberikan tekanan dan perhatian pada ayat-ayat yang dimulai dengan

, tetapi Al-Baqi’i justru menyatakan bahwa semua ayat bahkan kalimat-kalimat dalam Al-Qur’an mempumyai ikatan satu sama lain.14 Munasabah ayat dengan ayat dalam setiap surat menambah keyakinan para mufasir bahwa ikatan antara satu ayat dengan ayat lain memang erat. Oleh karena itu, hubungan tersebut juga mendukung keyakinan tentang adanya kaitan ayat dengan sebab turunnya.15

Hubungan antara ayat dengan ayat Al-Qur’an terbsgi dalam dua macam. pertama, hubungan yang sudah jelas antara kalimat terdahulu dengan kalimat kemudian, atau akhir kalimat berikutnya, atau masalah yang terdahulu dengan masalah yang dibahas kemudian. Hubungan ini dapat berbentuk , dan . 16

Kedua, hubungan yang belum jelas antara ayat dengan ayat atau kalimat dengan kalimat. Hubungan demikian terdiri dari dua macam lagi, yaitu: Dan .17

a. Ma’thufahsecara umum dapat dikatakan bahwa adanya huruf ‘athaf ini mengisyaratkan

adanya hubungan pembicaraan. Ini dapat dilihat misalnya dalam surat Al-Baqarah (2):245: atau dalam surat Al-Hadid (57):4:

Namun demikian, ayat-ayat yang ma’thuf itu dapat diteliti melalui bentuk susunan berikut.

1). (perlawanan/bertolak belakang antara suatu kata dengan kata lain).

Page 24: PENGANTAR ILMU TAFSIR

Misalnya kata disebut setelah ; kata sesudah ;menyebut janji dan ancaman sesudah menyebut hukum-hukum. Hubungan seperti banyak terdapat dalam surat Al-Baqarah, An-Nisa, dan Al-Maidah.

2). (pindah ke kata lain yang ada hubungannya atau penjelasan lebih lanjut).Misalnya, kaitan antara dengan memasuki rumah dari belakang dalam ayat 189 surat Al-Baqarah (2). Pada musim haji, kaum Anshar mempunyai kebiasaan tidak memasuki pintu rumah dari depan. Sebelum itu mereka menanyakan . lalu ayat ini menjelaskan bahwa yang dimaksud itu adalah takwa kepada Allah dengan menjalankan apa yang Allah tentukan dalam berhaji. Mereka telah melupakan masalah tadi karena beralih ke soal memasuki rumah dari belakang dalam kaitannya dengan ibadah haji. Masalah ini berkaitan pula dengan pertanyaan mereka tentang berwudhu dengan air laut yang diceritakan dalam hadis riwayat Ibn Majah dari Abu Hurairah.Atau hubungan libas al-taqwa dengan;

Dalam surat Al-A’raf (7): 26.3). (melepaskan kata satu ke kata lain, tetapi masih berkaitan)

Misalnya, ayat 35 surat An-Nur (24): .... Ada lima , yaitu: Menyebut dengan perumpamaannya, lalu di-takhallush-kan ke .

dengan menyebut sifatnya. Kemudian menyebut dan yang meminta bantu darinya, lalu di-

takhallus dengan menyebut . Dari di-takhallush dengan menyebut sifat zaitun. Lalu di-takhallush dari menyebut sifat ke sifat ; Kemudian dari di-takhallush ke nikmat Allah berupa hidayah bagi orang

yang Allah kehendaki.Atau bisa juga terjadi takhallush ayat dengan ayat lain. Misalnya surat Al-Ma’arij (70):1 dan 4, dimulai dengan ayat 1:

Allah menyebutkan azab bagi orang kafir yang tidak dapat mereka tolak.

Kemudian ayat ini di-takhallush-kan ke ayat 4:

Dengan menyebut sifat Allah yang berkedudukan sangat tinggi (ayat 3). Atau dalam surat Al-Ghasiyyah (88): 17:

Lalu di takhallush-kan ke ayat 18: Orang yang mempunyai kebiasaan menggantungkan penghidupan mereka pada unta ( ). Al-Ibil tidak bermanfaat apa-apa kecuali menggantungkan hidup dari air; dan air itu dari hujan sedangkan hujan itu turun dari langit.