penelitiansdpernas - website staff ui |staff.ui.ac.id/system/files/users/fuadg/publication/... ·...
TRANSCRIPT
Kebutuhan Informasi Siswa SD Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia dapat dilakukan dengan
memenuhi tiga kebutuhan penting yaitu makanan yang bergizi yang akan mempengaruhi
kekuatan fisik, kesehatan yang membantu lancarnya aktivitas sehari-hari dan pendidikan
yang menentukan kulitas intelektual. Pemenuhan makanan yang bergizi bagi masyarakat
banyak ditangani oleh instutusi di bidang pertanian, perikanan dan industri. Untuk
pemenuhan jaminan kesehatan dilakukan oleh lemabaga kesehatan yang makin menjamur
dibawah koordianasi Departemen Kesehatan. Sementara kebutuhan non-fisik dalam
bentuk pendidikan dipenuhi oleh institusi pendidikan seperti sekolah.
Dalam kegiatan proses belajar-mengajar di sekolah aktifitas yang paling dominan
adalah transfer pengetahuan atau informasi dari guru melalui presentasi lisan maupun
tercetak dalam bentuk buku bacaan. Pemenuhan buku bacaan umumnya dilakukan
melalui buku paket yang telah ditentukan oleh sekolah yang bersangkutan dan dalam
kondisi terbatas oleh perpustakaan sekolah. Padatnya materi pada buku paket yang harus
dipelajari oleh seorang siswa, membuat waktu siswa untuk membaca bahan bacaan
alternatif menjadi terbatas. Keadaan ini jelas tidak menguntungkan bagi keberadaan
sebuah perpustakaan di sekolah karena energi dan minat siswa sepertinya sudah terkuras
oleh bahan bacaan yang telah disediakan oleh guru kelas.
Tidaklah mengherankan sekarang ini kita melihat pemandangan keadaan sekolah
dasar pada umumnya yaitu:
1. Tidak ada perpustakaan sekolah itu sendiri;
2. Ada perpustakaan akan tetapi kondisinya sangat memprihatinkan;
3. Ada perpustakaan yang relatif baik akan tetapi tingkat pemanfaatan rendah.
Pada poin pertama masalahnya lebih banyak disebabkan kurangnya pemahaman
pengelola sekolah akan pentingnya sebuah perpustakaan sekolah dalam mendukung
peningkatan kualitas pendidikan peserta didik. Banyak faktor yang menjadi penyebab
tidak adanya perpustakaan di sebuah sekolah. Faktor tersebut antara lain: tidak adanya
ruangan, dana dan yang paling penting tidak adanya keinginan pengelola sekolah untuk
menyediakan perpustakaan itu sendiri.
Kondisi perpustakaan yang memprihatinkan biasanya ditandai oleh ruang
perpustakaan yang sangat kecil dan kumuh atau lebih buruk lagi yang disebut
perpustakaan adalah sebuah lemari yang di dalamnya terdapat buku-buku bacaan.
Koleksi yang sangat terbatas dan berantakan serta tidak adanya petugas ditunjuk untuk
mengelola perpustakaan adalah pemandangan umum lain yang sering dijumpai.
Keberadaan perpustakaan yang cukup memadai dalam hubungannya dengan
kondisi ruangan, koleksi dan pengelolaannya serta petugas yang ditunjuk khusus untuk
mengelola perpustakaan, sebenarnya mulai bermunculan di beberapa sekolah terutama
sekolah swasta atau sekolah-sekolah yang menawarkan program sehari penuh pada hari
tertentu khususnya bagi siswa kelas IV, V dan VI. Akan tetapi, sangat disayangkan
bahwa pemanfaatan perpustakaan, sebagai pendukung peningkatan kualitas proses-
belajar, masih sangat minim. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pemahaman
pihak-pihak terkait dengan perpustakaan sekolah mengenai misi sebuah perpustakaan dan
kebutuhan serta perilaku pemakai.
Misi mengacu pada alasan mengapa sebuah perpustakaan ada. Misi utama
perpustakaan adalah memenuhi kebutuhan berbagai macam informasi pemakainya.
Kebutuhan adalah suatu kondisi kekosongan atau kesenjangan (gap) dalam diri
seseorang, dalam hal ini menyangkut informasi, yang harus dipenuhi dan
2
dipuaskan(David Nicholas, 2000). Sementara perilaku mengacu pada bagaimana cara
seseorang memenuhi dan memuaskan kebutuhannya.Untuk mengetahui kebutuhan dan
perilaku pemakai perpustakaan, maka perlu dilakukan suatu penelitian baik secara
kualitatif maupun kuantitatif.
Dalam penelitian yang menggunakan metode kuantitatif ini yang menjadi subjek
penelitian siswa sekolah dasar kelas IV, V dan VI dan objeknya adalah kebutuhan bahan
bacaan dan perilaku mereka dalam hubungannya dengan perpustakaan.
Dijadikannya siswa kelas IV, V dan VI menjadi objek penelitian dikarenakan
pada usia mereka 10 -12 tahun kebutuhan informasi mereka mulai meningkat dan
bervariasi. Kemampuan membaca mereka yang mencakup kecepatan dan pemahaman
pun sudah cukup tinggi. Sementara tujuan membaca mereka juga mulai beragam mulai
dari memenuhi tugas guru, memperluas wawawasan, mendapat pengalaman dari bahan
bacaan sampai pada membaca sebagai hiburan.
Pada tingkatan inilah sebenarnya keberadaan dan peran perpustakaan sekolah
mulai terasa penting. Oleh karena itu mengetahui dan memahami kebutuhan para siswa
khususnya siswa kelas IV, V dan VI menjadi hal sangat penting bagi pengelola
perpustakaan sekolah.
Ada 50 (lima puluh) sekolah dasar baik negeri dan swasta di Wilayah Jakarta
yang menjadi tempat belajar siswa IV, V dan VI yang menajdi responden dalam
penelitian ini.
1.2. Perumusan Masalah
Siswa kelas IV, V dan VI dalam kegiatan belajar mereka memerlukan informasi dalam
bentuk bahan bacaan baik untuk mengerjakan tugas pelajaran kelas, menambah
pengetahuan maupun sekedar mendapat hiburan melalui membaca.
3
Untuk mendukung kualitas pendidikan yang tinggi dalam rangka menghasilkan
sumber daya manusia yang andal kelak, keberadaan bahan bacaan yang tepat sesuai
dengan kebutuhan pemakai adalah suatu keharusan. Perpustakaan sekolah perlu
memahami syarat ini berdasarkan penelitian yang dapat dipakai sebagai acuan atau
pedoman agar keberadaanya dirasakan manfaatnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini mempunyai rumusan masalah:
Bagaimana kebutuhan informasi siswa kelas IV, V dan VI dalam bentuk jenis buku
bacaan dan perilaku mereka dalam mendapatkannya?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui kebutuhan informasi dalam bentuk jenis bahan bacaan yang
diperlukan para siswa kelas IV, V dan VI;
b. Mengetahui perilaku pencarian informasi mereka.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pemahaman lebih
rinci mengenai kebutuhan dan perilaku pencarian informasi siswa sekolah dasar
khususnya siswa kelas IV, V dan VI. Di samping itu penelitian ini dapat memberikan
sumbangan yang berharga bagi pembuatan kebijakan dan strartegi pengembangan koleksi
perpustakaan sekolah.
1.5. Keterbatasan Penelitian
a. Penelitian ini tidak mengkaji kebutuhan informasi yang tersaji dalam media lain
selain buku.
b. Hasil penelitian ini tidak dapat menggambarkan motif pencarian informasi, dan
kebutuhan informasi siswa sekolah dasar secara utuh karena hanya disebarkan kepada
siswa kelas IV, V dan VI dan sifat penelitian adalah non-representative.
4
1.6. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan terhadap siswa
sekolah dasar yang ada di Jakarta untuk mengetahui gambaran perilaku pencarian
informasi dan kebutuhan informasi mereka. Penelitian deskriptif merupakan penelitian
yang memberi gambaran secermat mungkin mengenai individu atau kelompok tertentu
tentang keadaan dan gejala yang terjadi ( Kuntjaraningrat, 1993: 30). Dalam penelitian
ini maka kelompok yang akan diteliti adalah siswa kelas IV, V dan VI sekolah dasar
swasta. di lima wilayah di Jakarta. Sedangkan gejala yang akan diteliti adalah jenis-jenis
kebutuhan informasi dan bagaimana perilaku mereka dalam pencarian informasi,
khususnya dalam kaitannya dengan kegiatan proses belajar
Metode kuantitatif non-representative dipergunakan dengan memilih 50 sekolah
dasar swasta yang ada di lima wilayah DKI Jakarta. Sekolah itu adalah sebagai berikut:
No.
Nama Sekolah Alamat Sekolah
1.Surya Dharma
Jl. Taopekong No. 14 Keb. Lama
2. Kartika X-2 Jl. Anggrek Pesanggrahan Jak- Sel3. Harapan Ibu Jl. H. Banan No. 1 Komp. PU Pd.
Pinang4. MI – Al Falah Jl. Pancoran Barat VII Jak-Sel5. Muhammadiyah Jl. KH. Mas Mansyur 56 Jak – Pus6. Bethel Petamburan Jl. KS Tubun V No. 187. MI- Al Holidiyah Jl. Perintis Kemerdekaan Jak – Ut8. MI – Al Azhar Jl. Anoa Lestari I Klp. Gading9. ST. Theresia Taman Kedoya Permai Jak-Pus10. PSKD Jl Kramat IV No. 29 Kwitang11. MI – Ilham II Jl. Ancol Selatan II No. 12512. Trisula Perwari III Jl. Balai Pustaka Baru I/3813. Al Azhar Jl. Sentra Primer Baru Jak-Tim14. Milenia III Jl. Percetakan Negara No. 31 Jak-Pus15. Hangtuah Jl. Tabah Raya Jak-Ut
5
16. MI – Unwanul Huda Wr. Jati Kalibata Jak-Sel17. MI – Raudatul Mutaalimin Jl. Kuningan Barat Mampang
Prapatan18. Al Wathoniyah 43 Jl. Warudoyang Jakarta Timur19. MI – Almuttaqien Jl. Teratai No. 29 Jakarta Utara20. MI - Alwathoniyah XIV Jl. Rorotan II 07./04 Jak-Ut21. MI- Alhuda Kebon Sirih Barat Dalam 5022. Al Azhar Jl. Boulevar Gading Timur Jak-Ut23. Santa Ursula Jl. Pos No. 2 Jak-Pusat24. Muhammadiyah I Jl. Garuda No. 33 Jak-Pus25. Muhammadiyah 24 Jl. Balai Pustaka Barat No.II Jak-Tim 26. Usaha Kemajuan Jl. Industri VIII No. 8 Jak-Pus27. MI – Ukuwah Islamiyah Jl. Raya Kalibata Jak-Sel28. Sari Putra Jl. Mangga Besar V/15429. YWKA 2 Jl. Komp. PJKA30. Tunas Harapan Komp. BNI Pesing Jak-Bar31. Perguruan Cikini Jl. Cikini Raya 74 Jak-Pus32. Trisula Perwari II Jl. Pegangsaan Tengah No. 2 Jak-Pus33. Al Badar Jl. Menteng Sukabumi IV/75 Jak-Pus34. Lembaga Putra Kita Jl. Sukabumi III/2 Jak-Pus35. MI – Alma’muriyah Jl. Raden Saleh No. 30 Jak-Pus36. PSKD Kwitang I Jl. Taman Kebons Sirih III Jak-Pus37. Budi Mulya Gn. Sahari 91 Jak-Pus38. Taman Siswa Jl. Matraman Dalam II Jak-Pus39. Miranti Jl. Taman Amir Hamzah Jak-Pus40. BPS & K V Jl. Bg Rampai III, No.329 Jak-Tim41. MI – Asyuhada Jl. Malaka IV Jak-Tim42. Bhakti Tugas Jl. Raya Ragunan Jak-Sel43. Strada Jl. Pejaten Raya Jak-Sel44. MI – Assalam Jl. Swadaya I Pejaten Timur Jak-Sel45. MI – Raudhatussa’adah Jl. Tegal Parang Ut. I/136 Jak-Sel46. MI – Al Islamiyah Jl. Pancoran barat Jak-Sel47. YPBN Jl. Kredit C/III Komp. Bank Mandiri
Jak-Bar48. Candra Naya Jl. Jembatan Besi II Jak-Bar49. Kertapawitan Komp. Imigrasi Cengkareng Jak-Bar50. Hati Kudus Komp. Polri Blok A 3 Jak-Bar
Sebanyak 500 kuesioner disebarkan di sekolah-sekolah yang terdaftar di atas.
Setiap sekolah memilih 10 responden dari siswa kelas IV, V dan VI secara acak.
komposisi responden di masing-masing sekolah yang telah dipilih adalah sebagai berikut:
Siswa kelas IV adalah 3 orang;
6
Siswa kelas V adalah 3 orang;
Siswa kelas VI adalah 4 orang.
Kuesioner yang kembali diolah dengan menggunakan cara statistik deskritif yaitu
membuat tabulasi frekuensi dan presentase. Data statistik yang telah tersaji kemudian
dianalisa dengan pendekatan interpretatif (penafsiran). Pada bagian ini wawasan dan
pengetahuan peneliti sangat menentukan kualitas hasil penelitian.
1.7. Batasan Istilah
a. Kebutuhan informasi diartikan sebagai suatu kebutuhan untuk mengisi
kekosongan tertentu dalam diri manusia, yaitu kondisi pengetahuannya.
Pendapat lain mengatakan bahwa kebutuhan informasi adalah pengakuan tentang
adanya ketidakpastian dalam diri seseorang untuk mencari informasi (Krikelas,
1983) dalam Wijayanti (2001).
b. Perilaku pencarian informasi
merupakan aktivitas seseorang yang selalu terus bergerak mencari informasi
untuk menjawab segala tantangan yang dihadapi, memecahkan masalah,
menjawab pertanyaan dan memahami suatu masalah. Perilaku pencarian
informasi dimulai dari adanya kebutuhan informasi dari dalam diri si pencari
informasi.
Merupakan proses dalam bentuk ketrampilan yang diamati (overt) dan yang
tersembunyi atau tidak dapat diamati (covert) yang merupakan salah satu
bagian dari perwujudan sikap.
c. Informasi adalah:
Fakta, data, kepercayaan, pendapat dan pengetahuan yang dapat
memberikan individu jalan keluar dari permasalahannya dan
direpresentasikan dalam bentuk tulisan, ucapan, gambar atau simbol yang
7
tersimpan di dalam dokumen seperti misalnya buku, jurnal, atau bahan
pandang dengar, atau non-dokumen misalnya dalam benak manusia.
Sesuatu alat berharga dan berguna bagi individu dalam usahanya untuk
bertahan hidup. Informasi berguna dan berharga karena dapat mengurangi
ketidakpastian yang dihadapi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengetahuan mengenai teori kebutuhan dan perilaku pencarian informasi penting
dalam memahami munculnya aneka ragam kebutuhan akaninformasi dalam diri
seseorang. Kebutuhan pada prinsipnya bersifat kondisional atau bersyarat. Hal yang sama
juga berlaku pada perilaku yang selalu menyertai sebuah kebutuhan. Artinya sebuah
kebutuhan muncul akibat adanya dorongan baik internal aksternal untukmengisi suatu
kesenjangan (gap).
2.1. Kebutuhan Pemakai
Kebutuhan Informasi menurut Maurice B.Line ( 1988) didefinisikan
sebagai“what an individual ought to have for his work, his research , his edification,
etc”. Sesuatu yang harus dimiliki seseorang untuk pekerjaannya, penelitiannya,
peningkatan moralnya, dan lain sebagainya. Bouzza (1989); Krikelas (1983) dalam
Wijayanti (2001) menyebutkan bahwa kebutuhan informasi merupakan pengakuan
seseorang atas adanya ketidakpastian dalam dirinya. Rasa ketidakpastian ini mendorong
seseorang untuk mencari informasi. Banyaknya informasi yang beredar sekarang ini,
meningkatkan kualitas hidup masyarakat, yang dikenal sebagai masyarakat informasi
( Martin, 1988), dimana pada masyarakat ini standar hidup, bentuk pekerjaan dan sistem
pendidikan dipengaruhi oleh informasi. Satu hal yang menonjol pada masyarakat
informasi ini adalah adanya kesadaran tentang pentingnya informasi dalam kehidupan
sehari-hari, dan kemampuan untuk memperoleh, mengevaluasi dan menggunakannya
8
untuk tujuan-tujuan tertentu yang lebih luas. Ciri ini disebut melek informasi atau
information literacy .
Menurut Wilson (1997) dalam Wijayanti (2001) akar permasalahan dari perilaku
pencarian informasi adalah konsep kebutuhan informasi. Sebenarnya kebutuhan tersebut
merupakan pengalaman subjektif yang hanya ada di benak orang yang memerlukannya,
yang karenanya tidak dapat diketahui secara langsung oleh seorang peneliti. Pengalaman
akan kebutuhan ini hanya dapat ditemukan melalui proses deduksi dari perilaku atau
melalui laporan dari orang yang melakukannya.
Wilson lebih lanjut menyatakan bahwa kebutuhan informasi bukan merupakan
kebutuhan primer, tetapi merupakan kebutuhan sekunder yang muncul karena kebutuhan
yang sifatnya lebih mendasar yang oleh Maslow (Goble, 1987) dikategorikan sebagai
kebutuhan fisiologis dan psikologis. Wilson menyebut kebutuhan-kebutuhan dasar
tersebut sebagai kebutuhan afeksi, kebutuhan fisiologis dan kebutuhan kognitif. Baik
menurut Maslow atau Wilson kebutuhan-kebutuhan itu kemungkinan tidak dapat saling
dipisahkan. Kebutuhan-kebutuhan itu dapat saling berkaitan, atau bahkan dalam
melakukan suatu kegiatan seseorang dapat memenuhi beberapa kebutuhan sekaligus.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, orang memerlukan
informasi. Berdasarkan beberapa pendapat tentang kebutuhan informasi, maka kondisi
yang menyebabkan munculnya kebutuhan informasi adalah pada saat seseorang menemui
suatu problem yang belum dapat dicari solusinya secara pribadi, sehingga ia memerlukan
informasi dari sumber-sumber di luar dirinya. Dalam pengertian ini kebutuhan dijelaskan
sebagai suatu objek dari kebutuhan, yakni informasi (sebagai obyek) yang dibutuhkan
oleh individu dalam rangka memenuhi kebutuhan dasarnya.
Kebutuhan informasi dalam ilmu informasi diartikan sebagai sesuatu yang lambat
laun muncul dari kesadaran yang samar-samar mengenai sesuatu yang hilang dan pada
tahap berikutnya menjadi keinginan untuk mengetahui tempat informasi yang akan
memberikan kontribusi pada pemahaman akan makna (Kulthau 1993). Wersig dalam
Pendit (1997:75) mengajukan teori yang menyatakan bahwa kebutuhan informasi
didorong oleh apa yang dinamakannya sebagai ’a problematic situation’. Ini merupakan
situasi yang terjadi dalam diri manusia (pada’lingkungan internalnya’) yang dirasakan
9
tidak memadai oleh manusia yang bersangkutan untuk mencapai tujuan tertentu dalam
hidupnya. Ketidakmemadaian ini menyebabkan ia merasa harus memperoleh masukan
(input) dari sumber-sumber di luar dirinya maupun yang telah dimilikinya.
Informasi dapat tersimpan dalam dokumen dan non-dokumen. Sarana
penyimpanan informasi disebut sumber informasi (Suwanto, 1997). Sumber informasi
yang berupa dokumen dapat berbentuk buku, majalah, tesis, disertasi, laporan penelitian,
artikel jurnal, abstrak jurnal, sedangkan sumber informasi non-dokumen adalah manusia.
Sumber informasi yang berupa manusia antara lain teman, pusakawan, pakar, dan
spesialis informasi. Apabila dikaitkan dengan pendapat Suwanto, maka pengertian
sumber informasi yang berupa dokumen ini adalah sama dengan pendapat Dervin (1993).
mengenai informasi menurut paradigma fisik.
Perbedaan kebutuhan informasi pada tiap pemakai dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, misalnya latar belakang profesi maupun aktivitas sosial. Menurut Prasad
(1982) terdapat 5 (lima) faktor yang mempengaruhi kebutuhan informasi seseorang,
antara lain adalah:
1) cakupan sumber informasi yang tersedia;
2) pemanfaatan informasi;
3) latar belakang, motivasi, orientasi profesional serta karakteristik individu lain dari
pemakai;
4) sistem politik, ekonomi, sosial yang mengelilingi pemakai;
5) konsekwensi atas pemakaian informasi.
Atherton (1986:124) mengungkapkan bahwa kebutuhan informasi seorang
pemakai tergantung pada pekerjaannya, tujuan menggunakan informasi, usia,
kecakapan, kedudukan profesional, dan karakteristik lainnya.
Sedangkan Mauperon ( 1967: 238-239) dalam Purbosari (1994) menyatakan
bahwa ada 5 (lima ) faktor yang mempengaruhi kebutuhan informasi yaitu tipe pemakai,
bidang ilmu pemakai, kemajuan kerja, senioritas serta lingkungan pemakai itu. Dari
pendapat ke tiga ahli tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa latar belakang
pendidikan dan bidang/lingkungan kerja merupakan faktor utama yang mempengaruhi
kebutuhan informasi seseorang, diikuti oleh faktor usia atau senioritas.
10
Dengan demikian terlihat bahwa kebutuhan informasi adalah pernyataan
seseorang atas adanya ketidakcocokan antara tingkat kepastiannya dengan obyek
lingkungan yang sedang dihadapinya. Atau dengan kata lain bahwa kebutuhan informasi
ini muncul pada saat seseorang mulai menganggap bahwa keadaan pengetahuan yang ia
miliki saat itu kurang dari yang dibutuhkannya untuk menyelesaikan suatu masalah.
Kebutuhan informasi ini nantinya akan mendorong adanya perilaku pencarian
informasi ( Information seeking behavior). Proses pencarian informasi akan berakhir,
apabila kebutuhan yang dirasakan telah terpenuhi ( Krikelas, 1983 dalam Hayden, 2001:
6 p.)
Dalam penelitian ini kebutuhan informasi dikelompokkan dalam beberapa sub-
variabel yakni: subjek informasi yang diperlukan pengajar untuk penelitiannya, sumber-
sumber yang dimanfaatkan, serta lokasi perolehan sumber informasi .
Perilaku pencarian informasi dalam pembahasan psikologi merupakan suatu
proses kognitif dalam bentuk ketrampilan yang sangat berkaitan dengan sikap,
pandangan, dan penilaian seseorang terhadap objek tertentu. Kognitif (pengetahuan)
merupakan dominan yang sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan (overt
behavior). Tindakan yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku
yang tidak didasari pengetahuan.
2.2. Perilaku
Perilaku (behaviour) dapat diartikan sebagai (a) tingkah laku yang ditimbulkan
dari diri seseorang, (b) segala sesuatu yang dilakukan oleh benda hidup yang meliputi
tindakan dan respon terhadap rangsangan serta (c) respon seseorang, sekelompok orang
atau spesies terhadap lingkungan (Salim, 1996). Dalam pengertian umum perilaku adalah
segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh makhluk hidup. Kwick (1974) dalam
Notoatmodjo (1985) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu
organisme yang dapat diamati dan bahhkan dapat dipelajari.
11
Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap hanyalah suatu kecenderungan untuk
mengadakan tindakan terhadap suatu obyek dengan suatu cara yang menyatakan adanya
tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi obyek tersebut. Dapat
disiimpulkan bahwa sikap adalah sebagian dari perilaku manusia. Menurut Notoatmodjo
(1989:9) perilaku yaitu suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya. Reaksi
dapat digolongkan menjadi dua yakni dalam bentuk (tanpa tindakan konkrit/nyata) dan
dalam bentuk aktif ( dengan tindakan nyata). Perilaku dapat juga bersifat potensial, yakni
dalam bentuk pengerahuan, motivasi dan persepsi. Bloom (1956) membedakannya 3
(tiga) macam perilaku yakni: cognitive, affective dan psikomotor. Ahli lain menyebut
Knowledge (pengetahuan), attitude (sikap) dan practice (tindakan). Ki Hajar Dewantoro,
menyebutnya: cipta, rasa dan karsa, atau peri akal, peri rasa dan peri tindak.Menurut
Ensiklopedia Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme
terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru akan terwujud bila ada
sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan tanggapan, yakni yang disebut rangsangan.
Dengan demikian maka suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan perilaku tertentu
pula.
Sedangkan menurut Blum (1975) dalam Notoatmodjo (1985) dikatakan bahwa
perilaku itu sendiri adalah suatu yang kompleks, merupakan resultante dari berbagai
aspek internal maupun eksternal, psikologis maupun fisik. Perilaku tidak berdiri sendiri ia
selalu berkaitan dengan faktor-faktor yang lain. Sebaliknya perilaku ini juga berpengaruh
terhadap faktor-faktor lain.
Dalam penelitian ini perilaku diartikan sebagai tingkah laku dari diri seseorang
yang diwujudkan dalam bentuk aktivitas yang berkaitan dengan pencarian informasi.
Pencarian informasi terdiri dari suatu rangkaian aktivitas dan perilaku yang kompleks.
Penggunaan suatu layanan informasi perpustakaan hanyalah sebuah fragmen dari
keseluruhan proses kegiatan seseorang dalam suatu lingkungan pekerjaan tertentu.
Kenyataan ini memperlihatkan bahwa perilaku pencarian informasi tidak dapat dilihat
hanya dari pengamatan terhadap permintaan informasi ketika seseorang memasuki
sebuah perpustakaan atau sistem layanan informasi lainnya.
12
Proses perubahan perilaku atau penerimaan ide baru adalah hasil dari suatu proses
yang kompleks, yang biasanya memerlukan waktu yang cukup lama. Rogers (1971)
menggunakan istilah “innovation descision process” yang berrarti proses kejiwaan yang
dialami individu sejak pertama kali memperoleh informasi atau memperoleh pengetahuan
mengenai suatu hal yang baru, sampai pada saat ia memutuskan untuk menerima atau
menolak informasi baru tersebut. Dengan kata lain dari seseorang tersebut memperoleh
informasi sampai dengan menerima (mengadopsi) perilaku baru atau tyindakan nyata.
Tahap-tahap dalam proses ini:
pengetahuan ( knowledge) , dalam hal ini subyek mulai mengenal informasi baru
dan belajar memahaminya,
persuasi, dimana individu membentuk sikap positif atau negatif terhadap
informasi baru tersebut,
Mengambil keputusan, dimana individu aktif dalam menentukan keputusan untuk
menerima atau menolak informasi yang baru tersebut,
Konfirmasi, dimana individu mencari dukungan dari orang lain di lingkungannya
terhadap keputsan yang telah dibuatnya.
Perilaku dapat diartikan perbuatan yang nampak (performance) dalam
hubungannya dengan kegiatan pencarian informasi, perilaku adalah perbuatan yang
bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu dalam pencarian informasi tersebut.
Pengertian tersebut dapat diterima, karena perilaku pencarian informasi tidak akan
tampak tanpa adanya kemampuan yang dimilikinya dalam mencari informasi.
Dalam spesifikasi pencarian informasi terkandung beberapa unsur :
1) Unsur perilaku nyata (performance) yang berisi unsur-unsur kelakuan yang pasti
diperlihatkan dalam kegiatan pencarian informasi;
2) Unsur isi informasi yang dicarinya, yang dapat dikaitkan dengan tujuan dari
pencarian informasi;
13
3) Unsur penyesuaian, yang berisi unsur-unsur yang memungkinkan seseorang dapat
menyesuaikan diri dengan situasi tertentu yang berkaitan antara proses interaksi
dengan unit informasi. Unsur penyesuaian dapat berupa pengambilan keputusan
untuk menghadapi situasi tertentu yang berkaitan dengan kebutuhan dan perilaku
pencarian informasi;
4) Unsur proses yang berisi unsur-unsur yang berhubungan dengan proses pencarian.
Unsur ini penting sehingga seseorang dapat menemukan informasi yang
dicarinya.
(Diadaptasi dengan beberapa perubahan dari Siswoyo 1981, dalam WA Perwono:
1998: 16-17).
Keempat unsur tersebut mencerminkan bahwa perilaku pencarian informasi tidak hanya
nampak saja (perbuatan yang teramati) dan bersifat ketrampilan, dalam pencarian
informasi. Keempat unsur tersebut menunjukkan bahwa unsur pertama merupakan unsur
ketrampilan sedangkan unsur kedua, ketiga dan keempat adalah merupakan unsur yang
bersifat kognitif.
2.2.1 Pencarian Informasi
Berdasarkan pada strata, tata nilai dan kedudukan pencari informasi pada
komunitasnya, Palmer (1990: 125-129) dalam Suwarsih (2001: 34-35) merumuskan
enam model kelompok pencari informasi sebagai berikut:
1) Kelompok Information overload, “beroperasi” pada sistem secara intensif dan
terkendali serta berusaha menghubungi sejumlah besar sumber informasi, mencari
informasi secara aktif, dan menerima informasi dari berbagai sumber.
2) Kelompok Information enterpreneur, adalah kelompok yang kurang
menunjukkan kepercayaan terhadap sumber-sumber formal, meskipun juga
berhubungan dengan sistem informasi secara ektensif, namun kelompok ini
kurang terkendali bila dibandingkan dengan kelompok overload.
3) Kelompok Information hunter, yang dalam aktivitasnya menentukan sasaran
pencarian informasi yang lebih sempit, sekaligus merupakan pemburu yang aktif.
Pola perilaku pencarian informasi kelompok ini dapat dideteksi dengan mudah.
14
4) Kelompok Information pragmatist, merupakan kelompok pengkonsumsi
informasi yang serba tidak teratur, karena sangat tergantung pada kesempatan
yang ada. Kelompok ini tidak mempedulikan pengendalian sehingga pola
pencarian informasi yang dilakukan tidak beraturan.
5) Kelompok Information plodder, jarang mencari informasi dari sumber-sumber
formal, tetapi mengandalkan pada pengetahuan dan sumber informasi yang
dimilikinya. Mereka tidak pernah memperdulikan sumber informasi yang tersedia,
serta jarang mencari informasi, sehingga tidak pernah ada pengendalian.
6) Kelompok information derelict, dalam aktivitasnya, kelompok ini tidak
menelusuri satu pun sistem informasi dan tidak menggunakan atau membutuhkan
informasi.
2.2.2 Sumber Informasi
Terdapat beberapa kriteria yang digunakan pemakai dalam memilih sumber
informasi. Kemudahan dalam memperoleh informasi merupakan salah satu kriteria yang
digunakan. Ketersediaan informasi sering lebih penting daripada ketepatan informasinya
(Pfeiser, 1981 dalam Purnomowati,1995). Urutan kriteria yang digunakan untuk memilih
sumber informasi adalah kemudahan perolehannya, keakraban dengan sumber karena
sering menggunakan, kualitas tekniknya, relevansi, kedalaman, kemudahan digunakan,
dan biaya untuk memperolehnya. Berdasarkan efektifitas, efesiensi dan daya guna dari
bermacam-macam sumber informasi, pengalaman pribadi dianggap paling efektif,
sedangkan pustakawan dan spesialis informasi menempati urutan paling bawah (Pinneli,
1991).
Menurut Turner (2001: 24p.) secara khusus terdapat dua komponen yang
membedakan sifat dan arti dari perilaku pemakai perpustakaan yaitu:
1) Interaksi antara perpustakaan dan pemakai;
2) Pemanfaatan dan penyimpanan informasi.
Perilaku pemakai perpustakaan mencakup proses pencarian informasi – dari mulai
menyatakan adanya kebutuhan informasi tertentu hingga pengiriman bahan pustaka yang
relevan yang dibutuhkan untuk mengatasi kebutuhan tersebut.
15
Pengertian “tradisional” mengasumsikan bahwa setiap orang yang masuk ke
sebuah perpustakaan sudah mempunyai gambaran yang sangat jelas dan tepat tentang
kebutuhan informasinya, serta sudah dengan jelas dan tepat pula dapat mewujudkan
kebutuhan itu menjadi permintaan (demand). Selanjutnya untuk menyimpulkan
perilakunya, pustakawan tinggal mendata saja jenis permintaan itu. Padahal seorang
pemakai walau bagaimana, adalah bagian dari suatu sistem tertentu. tempat pemakai
hidup dan berkerja. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi perilaku pencarian
informasinya. Jadi konteks lingkungan responden ini harus pula diamati, dan hal ini tidak
dapat dilakukan hanya dengan mendata permintaan informasinya. Untuk mengamati
konteks lingkungan pemakai itulah maka dilakukan penelitian pemakai perpustakaan
mengenai motivasi, kebutuhan informasi, dan perilaku pencariannya yang dilihat dari sisi
pemakai (user-oriented). Hal ini sudah dibuktikan oleh penelitian tentang Perilaku
Pencarian Informasi Staf Pengajar FSUI ( Wijayanti: 2001). Dalam salah satu
kesimpulannya diungkapkan bahwa :” Faktor-faktor penghambat dalam pencarian
informasi adalah hambatan yang berasal dari lingkungan ( Environmental barriers) yang
antara lain terdiri:
Kurangnya fasilitas akses
Terbatasnya koleksi yang memadai
Kebijakan pengelolaan perpustakaan
Waktu perolehan informasi, faktor alam, politik dan ideologi
Kurangnya fasilitas pelayanan perpustakaan “
2.3. Membaca
Kegiatan membaca pada masyarakat kita khususnya mereka yang tinggal di kota-
kota besar telah menjadi pemandangan umum di era reformasi ini. Sering kita lihat di
tempat kios koran dan majalah banyak orang berkerumun memeperhatikan dengan
seksama judul-judul berita yang tertera pada koran, tabloid dan majalah. Kegiatan yang
dianggap sebagai hal yang biasa ini sebenarnya terkandung suatu proses yang
16
mempunyai pengaruh yang besar bagi orang yang melakukan kegiatan yang disebut
membaca ini.
Beberapa ahli mencoba memberikan definisi mengenai pengertian membaca:
1. Membaca adalah memahami bahasa tulisan.
Definisi ini mengisyaratkan pengertian sederhana mengenai kegiatan membaca.
Membaca dinilai sebagai semata memahami simbol-simbol tulisan dengan pemahaman
datar.
2. Membaca adalah suatu proses mental yang rumit
Membaca dalam pengertian ini berarti melibatkan banyak komponen pikiran dan
kejiwaan dengan segala kemungkinan dampak yang ditimbulkan bagi orang
bersangkutan.
3. Membaca adalah berpikir.
Pemahaman bacaan adalah rekonstruksi, interpretasi, dan evaluasi arti isi tulisan
pengarang dengan menggunakan pengalaman yang didapat dari pengalaman hidup. Pada
kegiatan membaca dalam pengertian ini menandakan sebagai kegiatan yang melibatkan
kemampuan komprehensip dari orang yang melakukannya.
2.3.1. Tujuan Membaca
Selama proses membaca, ada semacam interaksi antara pengetahuan yang dimiliki
pemabaca dan isi bacaan. Kemampuan membaca adalah suatu proses aktif dimana
pemabaca memakai pengalaman, bahasa, konsep, dan pengetahuan untuk mengantisipasi
atau memperkirakan dan memahami pemikiran, konsep, dan bahasa pengarang. Dengan
demikian pembaca membawa makna pada bacaan dan mengambil makna dari bacaan.
Keadaan proses membaca berubah seiring kedewasaan seorang pelajar. Pada
masa-masa awal membaca, identifikasi kata menjadi fokus utama. Akan tetapi secara
bertahap, seiring dengan berkembangnya kemampuan membaca, pembaca dapat
17
menggunakan kemampuan membaca untuk hiburan, apresiasi, penambahan pengetahuan,
dan tujuan-tujuan fungsional. seperti untuk memahami karya-karya Hamka.
Pembaca membaca dengan tingkat pemahaman mulai dari tingkat literal,
kemudian meningkat ke tingkat interpretasi, dan mencapai puncaknya pada tingkat kritis
dan kreatif.
1. Tingkat literal berarti pembaca mengenal dan mengingat informasi yang yang
dinyatakan dalam bahan bacaan;
2. Tingkat penafsiran terjadi jika pembaca menggabungkan gagasan dan informasi dari
bahan bacaan dengan pengetahuan, pengalaman, dan imajinasi untuk membentuk suatu
hipotesa. Tingkatan ini menunjukkan bahwa pemabaca menggunakan gagasan dan
informasi yang tidak dinyatakan pada bacaan;
3. Tingkat kritis mengisyratkan bahwa pembaca mampu memberi penilaian pada isi
bacaan dengan membandingkan dengan kriteria diluar bacaan tersebut. Pembaca
mungkin mendaptkan kriteria ini dari pengalaman, bahan sumber lainnya, dan akses i
nformasi yang diberikan oleh ahli masalah yang sedang dibahas.
4. Tingkat kreatif berhubungan dengan respon emosional yang diberikan seorang
pembaca terhadapa bahan bacaan. Pemahaman kreatif dibentuk oleh level-level
sebelumnya. Pembaca mungkin memberikan respon terhadap gaya penulis, simbol-
simbol yang dipakai oleh pengarang.
Membaca bukanlah suatu keterampilan tunggal. akan tetapi ia merupakan
kumpulan keterampilan dan kemampuan. Ada model membaca yang populer yaitu model
Gray-Robinson. Model ini menggabungkan lima komponen utama dalam membaca yaitu:
1. Persepsi: kemampuan pembaca untuk mengidentifikasi sebuah kata dan
menghubungkan makna dengan simbol yang tercetak. Persepsi kata menyangkut
memori, analisis konteks, analisa phonetik, analisa struktural dan pemakaian kamus;
18
2. Pemahaman: menyangkut pemahaman pemabaca terhadap gagasan-gagasan baik
yang eksplisit maupun yang implisit;
3. Reaksi: berhubungan dengan membaca kritis. misal apa pemikiran saya mengenai
bacaan ini? Bagaimana saya menerapkan pengetahuan ini.
4. Asimilasi: penyatuan yang dilakukan oleh pembaca antara pengetahuan yang didapat
dari bacaan dengan pengatahuan yang telah dimilikinya;
5. Kecepatan: penyesuaian kecepatan membaca dengan isi bacaan, tujuan pemabaca, dan
pengetahuan pemabaca terhadap isi bacaan.
2.3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Membaca
1. Faktor fisik; Kemampuan pancaindra;
a. pengelihatan termasuk didalamanya kemapuan memahami simbol yang dilihat
b. pendengaran ketika membaca bahan bacaan.
c. kesehatan
2. Faktor intelektual; membaca melibatkan kemampuaan berpikir atau beralasan,
analisis abstrak, sintesis dan pemahaman lainnya;
3. Faktor emosional; seperti merasa terisolasi, merasa tidak bisa, tidak stabil, kurang
motivasi, gugup, tidak memperhatikan;
4. Faktor bahasa; bahasa merupakan faktor intelektual;
5. Faktor rumah; suasana rumah yang tenang, nyaman, aman dan peduli akan memicu
seseorang anak untuk membaca;
6. Faktor pendidikan; masih banyak kelemahan dalam pengajaran membaca baik dari
19
tingkat dasar sampai tingkat univesitas.
2.3.3. Kegiatan Membaca bagi Siswa
1. Adalah sangat penting para guru membaca buku yang akan dibicarakan di kelas karena
tidak mungkin bagi seorang guru untuk merencanakan tahap-tahap instruksi tanpa
memahami atau akrab dengan isi buku yang akan dibicarakan di kelas;
2. Mengidentifikasi tema-tema yang terdapat pada buku yang bersangkutan. Pengarang
sering memaparkan banyak tema dalam buku karyanya. Buku Siti Nurbaya misalnya
menggambarkan tema kawin paksa, kesetiaan dan keserakahan Pilihlah tema yang
cocok bagi siswa yang akan dilibatkan dalam membaca;
3. Rencanakan kegiatan untuk tiga tingkatan dalam belajar membaca: sebelum, selama
dan sesudah membaca.
a. Kegiatan sebelum membaca merupakan hal yang penting dalam proses
membaca. Tujuannya adalah:
membangun dan/atau mengaktifkan pengetahuan dasar siswa
mengenai topik atau konsep yang terdapat dalam buku;
membangkitkan perasaan dan reaksi di kalangan siswa terhadap
ide atau masalah yang terdapat pada buku;
membantu siswa untuk mengidentifikasi karakter-karekter dalam
buku;
.membangkitkan keingintahuan siswa dan memotivasi mereka
untuk membaca.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah:
identifikasikan tema-tema besar dalam bacaan yang dipilih;
tulis tiga sampai lima pernyataan yang berhubungan dengan tema
yang dipilih;
20
beri waktu beberapa menit kepada siswa untuk memberikan
responnya terhadap pernyataan-pernyataan yang telah ditulis;
Ajak siswa untuk berdiskusi mengenai pernyataan-pernyataan
tersebut. Siswa diminta memberikan alasan-alasan terhadap
pendapat yang mereka kemukakan.
b. Kegiatan selama membaca dilakukan untuk:
membantu pemahaman siswa;
memfokuskan perhatian siswa pada tema, masalah dan karekter
tertentu;
merangsang siswa untuk bereaksi terhadap ide, peristiwa dan
karekter;
meminta perhatian siswa mengenai pemakaian bahasa yang efektif;
membiarkan siswa menemukan apa yang mereka anggap paling
bermakna pada bacaan yang dipilih.
c. Kegiatan sesudah membaca dimaksudkan untuk:
membangkitkan renungan tentang ide, tema masalah yang
ditemukan pada bacaan;
membantu membuat anlisa dan sintesa ide;
menyatukan pengetahuan awal dengan informasi baru;
memperluas pemahaman di luar bahan bacaan yang disajikan;
membantu mengorganisasi informasi.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan minat baca oleh
perpustakaan sekolah anatara lain:
1. menciptakan ruang perpustakaan yang nyaman, santai tanpa menghilangkan kesan
serius;
2. menyajikan bacaan-bacaan yang dapat menghibur, menambah pengetahuan agama dan
pengtahuan keilmuan;
3. membantu guru-guru dalam menyiapkan bahan bacaan yang menarik dan bermanfaat
21
untuk kelas yang mereka ajar;
4. melakukan kegiatan bedah buku;
5. menyelenggarakan perlombaan membaca cerpen, membuat ringkasan bacaan;
6. memberikan pelatihan kepada guru dan siswa mengenai cara membaca yang baik.
2.3.4 Kendala-Kendala Pengembangan Minat Baca di Indonesia
1. Maraknya telivisi swasta.
2. Kurangnya bacaan anak yan bermutu dan mempunyai muatan lokal.
3. Kurangnya kesadaran guru bahwa membaca adalah suatu yang penting dan harus
dipelajari.
4, Perpustakaan sekolah yang belum berkembang.
5. Industri buku yang terbatas.
6. Perhatian orang tua terhadap kemampun membaca anak yang kurang.
7. Pengaruh budaya barat telah banyak merusak anak-anak melalui bacaan.
8. Kurangnya pemahaman mengenai arti membaca itu sendiri. Kebanyakan kita melihat
membaca sebagai proses sederhana yaitu dari tidak tahu menjadi tahu.
9. Budaya kita masih didominasi oleh budaya menonton dan mendengar dan ini
merupakan tantangan.
10. Kemampuan bahasa yang masih sangat terbatas.
Kebiasaan membaca merupakan suatu proses yang panjang, yang tewujud melalui
kegiatan membaca sejak dini yaitu sejak masa kanak-kanak. Untuk membiasakan
membaca, ketertarikan dan minat baca anak perlu dirangsang sehingga anak akan terbiasa
dan memiliki memiliki keinginan untuk baca.
2.4. Buku Bacaan
Hasan (1994) menyatakan bawa sejak di sekolah dasar anak diperkenalkan
dengan dua jenis buku yaitu buku pelajaran (buku teks) dan buku bacaan. Buku pelajaran
berisi sumber informasi yang dibaca secara terjadwal, sedangkan buku bacaan lebih
menyediakan hiburan dan bisa dibaca kapan saja. Tapi ditegaskan bahwa batas antara
22
kedua buku ini sangat tipis, dimungkinkan sebuah buku bacaan mengandung banyak
bahan yang bersifat informatif, tetapi juga bisa dibaca sebagai hiburan diwaktu senggang.
Buku pelajaran dan buku bacaan diperlukan sebagai penunjang bagi perkembangan anak
menuju kedewasaannya. Buku pelajaran disekolah lazimnya dibakukan dan anak tidak
bebas memilih sendiri buku pelajarannya. Menurut Haryadi (2000), buku teks tidak boleh
menyimpang dari ketentuan yang tercantum di kurikulum. Bahasa yang digunakan adalah
ragam ilmiah. Penyajian pada umumnya menggunakan ragam karangan prosa eksposisi.
Materi yang disajikan dengan ragam lain jumlahnya sangat terbatas, bahkan sering tidak
sama sekali. Pemberian buku teks atau buku pelengkap biasanya dilakukan oleh guru
pada waktu disekolah.
Berbeda dengan buku pelajaran, pada buku bacaan anak bisa leluasa untuk
memilih sendiri sesuai dengan minat masing-masing. Bisa dikatakan bahwa buku
pelajaran menimbulkan tuntutan dan tantangan bagi anak untuk menguasai bahannya,
sedangkan buku bacaan lebih menampilkan ajakan dan imbauan untuk dinikmati sesuka
hari dan sesuai dengan selera.
Minat anak terhadap sesuatu cerita sangat ditentukan oleh sejauh mana anak dapat
tertarik dan memahami isi ceritanya sehingga dia dapat membaurkan diri dengan tokoh
cerita dan berlanjut kepada penghayatan akan berbagai peristiwa yang terjadi dalam
cerita tersebut. Peluang bagi terjadinya pembauran diri dan penghayatan itulah yang
membangkitkan minat anak hingga menuntaskan bacaan isi suatu cerita. Tanpa peluang
tersebut sesuatu cerita niscaya akan menjemukan, karena sang anak tidak merasa turut
menghuni dan terlibat dalam dunia yang disajikan cerita tersebut..
Cerita yang dimuat dalam buku anak sebaiknya memuat tokoh-tokoh yang
berbuat sesuatu. Anak tertarik untuk menyaksikan cara bagaimana seseorang mengatasi
kesuliatan yang dihadapinya, bagaimana menyelesaikan suatu keadaan dan tampil sebagi
penolong. Bahkan kenakalan dalam batas tertentu bisa menarik dibandingkan cerita
dalam cara yang monoton yang sarat dengan moralitas.
23
Pada dasarnya bacaan anak dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu fiksi dan non-fiksi.
Margaret R Marshal (1982) membagi bacaan fiksi menjadi bebrapa kelompok penting
yaitu cerita rakyat, cerita berlatar belakang sejarah, cerita tentang sekolah, cerita
keluarga, mite, dongeng, cerita binatang, legenda. Pengelompokan pada ini pada
prinsipnya bersifat tidak mutlak karena bisa dalam suatu cerita beberapa kelompok ini
dipresentasikan misalnya cerita tentang binatang juga mengambarkan cerita petualangan
yang dibumbui oleh mite dan cerita rakyat. Diakui bahwa tidak ada pengelompokan
mutlak dalam bacaan anak. Hal ini disebabkan bagaiman cara ahli melihat isi sebuah
cerita anak. The World Book Encyclopedia misalnya membagi bacaan anak dalam
kelompok besar yaitu fiksi, cerita rakyat, puisi, buku informasi dan biografi. Sementara
Danajaya (1991) membagi bacaan anak menjadi sastra rakyat tradisional, fantasi, fiksi
realitis, puisi, buku informasi dan biografi.
Dalam proses membaca pengelompokan tentunya tidak akan dirasakan oleh
pembaca disebabkan mereka telah terbawa oleh suasana atau setting yang dibuat oleh si
pengarang, dan hampir semua kategori pengelompokan menyatu dalam satu cerita. Kisah
Harry Potter karya J.K. Rowling, pengarang Inggris, yang terjual jutaan eksemplar ini
membawa pembacanya, terutama anak-anak, pada dunia magis dan sihir seperti
tergambar dari buku pertamanya, Sorcerer’s Stone.
Dalam dunia buku bacaan anak cerita fiksi yang ditulis J.K. Rowling telah
menjadi fenomena abad awal abad 21. Jutaan anak diseluruh dunia menantikan
kelanjutan petualangan Harry Potter dalam berbagai macam bahasa. Akan tetapi, para
ahli di bidang budaya seperti Andrew Blake, profesor kajian budaya dari Inggris, yang
menulis dalam The Irresistible Rise of Harry Potter dengan subjudul “Sastra Anak di
Dunia Global” menyamakan buku Harry Potter dengan makanan cepat saji. Ia
menggambarkan buku Harry Potter sama buruknya dengan makanan cepat saji yang
membanjiri negara-negara berkembang.
Sementara itu Jean Bethke Elshtain, pakar filsafat politik dari Universitas Chicago
yang meneliti tentang pengaruh sosial budaya sebuah karya tulis mengatakan bahwa
24
orang perlu bersikap tenang menghadapi cerita Harry Potter. Menurutnya, setan dan
kekuatan jahat tetap dibutuhkan , sebab tanpa itu anak tak akan tahu konsep hidup bersih.
(Koran Tempo , Desember 2003).
Pro dan kontra mengenai Harry Potter memunculkan pemikiran pentingnya
pemahaman sebuah teks secara bulat oleh pembaca agar ia bisa mendapatkan pilihan
terbaik dari pesan-pesan yang disampaikan dalam sebuah karangan.
2.4.1. Jenis Bacaan
Seperti telah disinggung sebelumnya, tidak ada standar mengenai pengelompokan
jenis bacaan. Dalam penelitian ini dicoba dijelaskan mengenai bebrapa jenis cerita yaitu:
1. Legenda sering menggambarkan manusia yang mempunyai kekuatan supranatural
karena dibantu oleh kekuatan yang tidak terlihat atau gaib. Sering legenda
menjadi catatan menganai asal usul suatu kejadian, nama atau tempat;
2. Dongeng menggambarkan aspek moral, kebenaran dan sering juga sindiran.
Dongen sering dianggap mampu membangkitkan imajinasi anak sering tanpa
batas. Dongeng Cinderella atau contoh klasik yang mendunia. Bahkan sekarang
ada istilah Cindrella Sindrom yang mengacu menjadi berhasil edalam sekejap;
3. Fantasi adalah cerita yang sering berkesan tidak masuk akal atau mustahil dan
futuristik. Cerita ini sering menjadi sumber ide kreatifitas;
4. Fiksi ilmiah mengacu pada cerita dengan alur dan peristiwa yang dapat diuji
keilmiahannya. Di beberapa negara maju fiksi ilmiah mendorong terbentuknya
kelompok-kelompok baca yang khusus meggemari buku ini. Anggotanya sering
bertukar pikir mengenai isi dalam buku fiksi ilmiah;
5. Buku Informasi mengenalkan anak kepada dunia penegtahuan ilmiah seperti ilmu
alam, seni, sejarah. Buku kuat dalam segi fakta dan otentik;
6. Biografi berisi catatan perjalanan hidup seseorang terutama mereka yang
dianggap sebagi tokoh dalam masyarakat seperti di bidang politik, ekonomi,
teknologi. Penulisan biografi mulai menjadi tren di Indonesia terutama yang
menyangkut tokoh masyatakat atau bisnis’
25
Dari beragam jensi bacaan ini, pembaca jelas dihadapi berbagi macam pilihan
yang kreteria seharusnya banyak dibuat oleh para orang tuan guru dan pustakawan.
Bab III
Pengolahan dan Analisa Data
Penelitian ini melibatkan 50 sekolah dasar yang tersebar di 5 (lima) wilayah
Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta swasta. Kuesioner yang disebar pada
setiap sekolah adalah sepuluh orang dengan perincian setiap sekolah menyediakan 3
responden murid kelas IV, 3 responden murid kelas V dan 4 responden murid kelas VI.
Total kuesioner tersebar adalah 500 buah dengan jumlah kembali dan valid adalah 490
(98%). Tingginya tingkat pengembalian ini tidak terlepas dari pendekatan aktif yang
dilakukan dan antusias dan partispasi tinggi sekolah yang terlibat. (lihat Tabel I dan 2)
Tabel ISekolah dan Jumlah Responden
No.
Nama Sekolah Alamat Sekolah Jml Responden
1.Surya Dharma
Jl. Taopekong No. 14 Keb. Lama 10
2. Kartika X-2 Jl. Anggrek Pesanggrahan Jak- Sel 10 3. Harapan Ibu Jl. H. Banan No. 1 Komp. PU Pd. Pinang 104. MI – Al Falah Jl. Pancoran Barat VII Jak-Sel 10
5. Muhammadiyah Jl. KH. Mas Mansyur 56 Jak – Pus 10 6. Bethel Petamburan Jl. KS Tubun V No. 18 10 7. MI- Al Holidiyah Jl. Perintis Kemerdekaan Jak – Ut 10 8. MI – Al Azhar Jl. Anoa Lestari I Klp. Gading 7 9. ST. Theresia Taman Kedoya Permai Jak-Pus 1010. PSKD Jl Kramat IV No. 29 Kwitang 1011. MI – Ilham II Jl. Ancol Selatan II No. 125 1012. Trisula Perwari III Jl. Balai Pustaka Baru I/38 1013. Al Azhar Jl. Sentra Primer Baru Jak-Tim 11
26
14. Milenia III Jl. Percetakan Negara No. 31 Jak-Pus 1015. Hangtuah Jl. Tabah Raya Jak-Ut 1016. MI – Unwanul Huda Wr. Jati Kalibata Jak-Sel 1017. MI – Raudatul
MutaaliminJl. Kuningan Barat Mampang Prapatan 10
18. Al Wathoniyah 43 Jl. Warudoyang Jakarta Timur 1019. MI – Almuttaqien Jl. Teratai No. 29 Jakarta Utara 1020. MI - Alwathoniyah
XIVJl. Rorotan II 07./04 Jak-Ut 10
21. MI- Alhuda Kebon Sirih Barat Dalam 50 1022. Al Azhar Jl. Boulevar Gading Timur Jak-Ut 323. Santa Ursula Jl. Pos No. 2 Jak-Pusat 924 Muhammadiyah I Jl. Garuda No. 33 Jak-Pus 1025. Muhammadiyah 24 Jl. Balai Pustaka Barat No.II Jak-Tim 1026. Usaha Kemajuan Jl. Industri VIII No. 8 Jak-Pus 1027. MI – Ukuwah
IslamiyahJl. Raya Kalibata Jak-Sel 10
28. Sari Putra Jl. Mangga Besar V/154 1029. YWKA 2 Jl. Komp. PJKA 1030. Tunas Harapan Komp. BNI Pesing Jak-Bar 1031. Perguruan Cikini Jl. Cikini Raya 74 Jak-Pus 1032. Trisula Perwari II Jl. Pegangsaan Tengah No. 2 Jak-Pus 1033. Al Badar Jl. Menteng Sukabumi IV/75 Jak-Pus 1034. Lembaga Putra Kita Jl. Sukabumi III/2 Jak-Pus 1035. MI – Alma’muriyah Jl. Raden Saleh No. 30 Jak-Pus 1036. PSKD Kwitang I Jl. Taman Kebons Sirih III Jak-Pus 1037. Budi Mulya Gn. Sahari 91 Jak-Pus 1038. Taman Siswa Jl. Matraman Dalam II Jak-Pus 1039. Miranti Jl. Taman Amir Hamzah Jak-Pus 1040. BPS & K V Jl. Bg Rampai III, No.329 Jak-Tim 1041. MI – Asyuhada Jl. Malaka IV Jak-Tim 1042. Bhakti Tugas Jl. Raya Ragunan Jak-Sel 1043. Strada Jl. Pejaten Raya Jak-Sel 1044. MI – Assalam Jl. Swadaya I Pejaten Timur Jak-Sel 1045. MI –
Raudhatussa’adahJl. Tegal Parang Ut. I/136 Jak-Sel 10
46. MI – Al Islamiyah Jl. Pancoran barat Jak-Sel 1047. YPBN Jl. Kredit C/III Komp. Bank Mandiri Jak-
Bar10
48 Candra Naya Jl. Jembatan Besi II Jak-Bar 1049. Kertapawitan Komp. Imigrasi Cengkareng Jak-Bar 1050. Hati Kudus Komp. Polri Blok A 3 Jak-Bar 10
Jumlah Responden 490
Tabel 2
27
Komposisi Responden
Kelas Jumlah Persentase Keterangan
IV 147 30%V 151 30,816%VI 192 39,183%
Jumlah 490 100% Dari 500 (98%)
Secara keseluruhan responden yang mengenal perpustakaan sangat tinggi yaitu
97,34%. Tingginya angka ini merupakan hal yang menggembirakan mengingat
pengenalan perpustakaan semenjak sekolah dasar merupakan modal dasar dalam
membangun kebiasaan mengunjungi perpustakaan ketika mereka melanjutkan ke
pendidikan yang lebih tinggi. Mengenal dan mengunjungi perpustakaan adalah langkah
awal untuk memakai perpustakaan secara efesien dan efektif yang pada gilirannya akan
memberikan manfaat yang tinggi bagi yang bersangkutan dalam kehidupan baik dari segi
ekonomi dan sosial serta yang tak kalah pentingnya adalah segi budaya.
Masalah yang muncul dalam membangunan perilaku positif ini sering bersumber
pada minimnya fasilitas dan koleksi perpustakaan dan tidak terampilnya pengelola dan
kurangnya perhatian pimpinan sekolah. Keadaan yang tidak menguntungkan ini
ditakutkan akan merusak atau mengurangi semangat para murid untuk mengunjungi
perpustakaan, dan akan dapat memberikan cerita negatif tentang perpustakaan dalam diri
peserta didik kelak.
Penelitian ini tidak mengumpulkan data mengenai dari mana para siswa mengenal
perpustakaan. Pengenalan perpustakaan bisa dimulai dari lingkungan keluarga, teman
atau guru. Selama ini di lingkungan sekolah dasar, pengenalan kepada perpustakaan
seakan-akan hanya menjadi tanggungjawab guru Bahasa Indonesia saja. Suatu persepsi
yang jelas salah karena seharusnya penegnalan kepada perpustakaan adalah
tanggungjawab semua pihak di sekolah.
28
Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara murid kelas IV, V dan VI
dalam mengenal terhadap perpustakaan. Hal ini berarti mengenal perpustakaan sudah
terjadi sejak dini. (lihat Tabel 3)
Tabel 3Mengenal Perpustakaan
Kelas Ya Tidak
IV 142 (96,598%) 5 (3,401%)V 147 (97,350%) 4 (2,650%)VI 188 (97,916%) 4 (2,083%)
Jumlah 477 (97,347%) 13 (2,653%)
Satu perlima atau 20% siswa yang menjadi responden menyatakan bahwa di
sekolah mereka tidak ada ada perpustakaan. Dengan kata lain ada 8 (delapan) sekolah
yang dijadikan tempat penelitian tidak mempunyai perpustakaan. Bagi siswa yang telah
mengenal perpustakaan akan tetapi sekolah mereka tidak mempunyai perpustakaan,
keadaan ini tentulah sangat tidak menguntungkan karena akan mengurangi semangat
mereka untuk membaca dan mencari informasi di perpustakaan.
Kebanyakan penyebab dari ketidakberadaan perpustakaan adalah ketidakadaan
ruangan, pengelola perpustakaan, dana dan perhatian pimpinan sekolah. Dari faktor-
faktor dominan ini biasanya faktor dana dianggap yang paling menentukan ada atau
tidaknya sebuah perpustakaan di sekolah (lihat Tabel 4).
Melihat keadaan ini sudah waktunya bagi pihak-pihak terkait terutama
Departemen Pendidikan Nasional untuk membuat standarisasi Sekolah Dasar di
Indonesia di mana di dalamnya ada keharusan untuk mempunyai perpustakaan yang
memadai sebagai syarat operasi kegiatan belajar-mengajar di sekolah.
29
Di samping itu perlu juga menyamakan persepsi para pelaku operasional sekolah
baik itu kepala sekolah dan guru-guru untuk menyadari pentingnya keberadaan
perpustakaan dalam menentukan kualitas mutu pendidikan yang mereka berikan. Mereka
harus menyadari bahwa pengetahuan peserta didik jangan hanya terpaku pada buku paket
yang ditentukan oleh manajemen sekolah. Buku-buku lain yang merangsang
keingintahuan, dan kreatifitas anak, buku-buku yang menumbuhkan apresiasi anak
terhadap karya seni dan budaya dan buku-buku pendalaman agama dan budi pekerti serta
buku-buku yang menyenangkan dan menghibur jiwa perlu juga disediakan.
Tabel 4Keberadaan Perpustakaan
Kelas Ya % Tidak %
IV 112 (76,190%) 35 (23,809%)V 118 (78,145%) 33 (21,855%)VI 159 (82,813%) 33 (17,187%)
Jumlah 389 (79,387%) 101 (20,612%)
Tabel 5 memperlihatkan kurang dari setengah (46,7%) dari jumlah responden
keseluruhan yang sering meminjam buku perpustakaan. Padatnya kegiatan belajar di
kelas dan sering tutupnya perpustakaan sekolah karena ketidakberadaan petugas
merupakan faktor dominan penyebab jarangnya siswa miminjam buku dari perpustakaan
sekolah. Pola pengajaran di sekolah dasar pada umumnya bersandar pada buku paket
yang telah ditentukan oleh pengelola sekolah. Kondisi ini jelas tidak memicu keinginan
siswa untuk mencari sumber bacaan atau informasi di luar buku paket yang telah
diberikan. Di samping itu kreatifitas dan pengetahuan tambahan siswa juga akan kurang
berkembang.
Kegiatan kunjungan ke perpustakaan sekolah biasanya dilakukan ketika mata
pelajaran Bahasa Indonesia atau ketika guru kelas tidak hadir. Hal ini berarti kegiatan
kunjungan ke perpustakaan bukan suatu kegiatan yang dirancang sebagai bagian proses
30
belajar-mengajar. Sekolah-sekolah dasar yang menawarkan program “full-day” pun tidak
menjadikan kunjungan ke perpustakaan sebagai bagian strategi pengajaran.
Penelitian ini tidak mengidentifikasi apa saja dilakukan seorang siswa ketika
mereka berada di perpustakaan. Selama ini yang terjadi ketika siswa berada di
perpustakaan adalah mencari informasi yang diperintahkan oleh guru. Siswa tidak diajak
ke perpustakaan untuk membaca buku pilihan mereka untuk kemudian dilaporkan dalam
bentuk laporan lisan atu tulisan kepada guru yang bersangkutan. Hal ini dapat disebabkan
padatnya pekerjaan yang harus dilakukan seorang guru mengingat mereka adalah guru
kelas yang mengasuh seluruh materi mata ajaran yang ditawarkan pada satu tingkatan
kelas.
Sementara pengumpulan data lainnya memperlihatkan bahwa siswa yang paling
banyak tidak pernah meminjam buku dari perpustakaan berasal dari kelas IV. Sedangkan
yang paling sedikit adalah siswa kelas VI. Mengingat kelas VI merupakan tingkatan
terakhir pendidikan dasar, kebutuhan bahan bacaan dalam rangka persiapan menghadapi
ujian akhir mendorong para siswa kelas untuk pergi ke perpustakaan.
Buku-buku yang akan menarik untuk dipergunakan adalah yang menyangkut
latihan soal-soal ujian akhir. Dengan demikian ditemukan di sini bahwa dalam beberapa
hal kebutuhan tingkat kelas siswa akan berbeda sehingga perpustakaan harus
menyediakan buku yang bervariasi. Mary Leonhardt (1997) mengatakan bahwa anak-
anak harus mempunyai banyak pilihan buku di sekolah. Banyaknya buku di sekolah juga
menunjukkan bahwa sekolah yang bersangkutan menghargai membaca.
Tabel 5
Meminjam Buku Perpustakaan
Kelas Sering Kadang-Kadang Tidak Pernah Keterangan
IV 64 (43,537%) 37 (25,170%) 43 (29,251%) Invalid 3 (2,040%)
V 71 (47,019%) 45 (29,801%) 35 (23,178%)VI 94 (48,958%) 70 (36,583%) 28 (14,583%)
Jumlah 229 (46,734%) 152 (31,020%) 106 (21,632%) 3 (0,512%)
31
Menarik sekali melihat tabel 6 bahwa mata pelajaran IPA dan Matematika disukai
oleh lebih setengah jumlah responden. Sedangkan untuk bidang Ilmu Sosial jumlahnya
mendekati 30% dan Bahasa Indonesia jumlahnya tidak begitu berbeda dengan IPA dan
Matematika.
Diperlakukan sebagai ibu dari logika berpikir, Matematika sering menjadi mata
pelajaran yang sering kali menakutkan. Akan tetapi, di beberapa sekolah saat ini sistem
pengajaran matematika dirancang menjadi menarik. Siswa diberikan contoh-contoh
penerapan hitungan matematika pada kehidupan sehari-hari. Di samping itu
menjamurnya bimbangan belajaran Aritmatika dengan metode Kumon dan Sempoa
membantu membangun citra pelajaran matematika sebagai pelajaran yang dapat dikuasai
oleh siapapun. Hal ini telah menjadikan matematika sebagai mata pelajaran yang
menarik dan mengasyikan.
Sementara itu dalam penelitian ini terlihat bahwa mata pelajaran sejarah hanya
disukai oleh 20% responden. Relatif rendahnya peminat mata pelajaran ini adalah sesuatu
yang memprihatinkan, karena memahami sejarah terutama sejarah bangsa sendiri
merupakan landasan pembentukan ideologi dan jati diri sebagai bangsa Indonesia, yang
perlu dibina semenjak dini. Kurangnya minat siswa terhadap mata pelajaran ini lebih
banyak disebabkan sistem pengajaran yang terkesan monoton dan isi yang normatif.
Siswa tidak diajak berpikir mengapa suatu peristiwa dalam sejarah terjadi dan apa
konsekuensinya. Selama ini siswa diminta untuk mengahapal tanggal, bulan dan tahun
terjadinya suatu peristiwa sejarah. Pada kenyataannya, belajar sejarah apa pun
tingkatannya adalah suatu yang perlu dan menarik. Sejarah memberikan bahan pelajaran
dan informasi serta pengetahuan. Generasi muda akan belajar dari peristiwa kesalahan
masa lalu dan akan berusaha untuk tidak mengulangi. dan kejayaan masa lalu menjadi
motivasi untuk berkarya. Masih banyak sebenarnya yang dapat diepelajari dari suatu
pelajaran sejarah. Oleh karena itu sistem pengajaran sejarah sebaiknya mengalami
32
perubahan tidak lagi menajdi monoton dan cendrung normatif tetapi memberikan ruang
bagi siswa untuk untuk menilai suatu.
Tidak kalah memprihatinkan yang ditemukan dalam penelitian in adalah
rendahnya minat siswa dalam pelajaran bahasa daerah. Siswa kelas VI dalam penelitian
ini hanya 0,5 % yang menyukai bahasa daerah. Melihat kondisi Jakarta yang telah
menjadi kota megapolitan berbagai macam suku bangsa berbaur, keengganan siswa untuk
belajar bahasa daerah dapat dimaklumi. Akan tetapi masalahnya menjadi lain kalau usaha
mempelajari bahasa daerah dinilai sebagai usaha melestarikan kekayaan budaya bangsa
melalui bahasa. Banyak bahasa yang menjadi bahasa mati akibat tidak adanya lagi
masyarakat pemakainya. Oleh karena itu perlu adanya suatu pemikiran dan strategi baru
dalam pengajaran bahasa daerah agar peserta didik tertarik untuk mempelajari dan
mempraktekannya.
Tabel 6Mata Pelajaran yang Disukai
No Mata Pelajaran
Kelas IV(%)
Kelas V(%)
Kelas VI(%)
1. Matematika 88 (59,863) 85 (56,291) 106 (55,208)2. B. Indonesia 83 (56,462) 75 (49,668) 101 (52,604)3. B. Daerah 9 (6, 122) 5 (3, 311) 1 (0,520)4. IPA 81 (55,102) 73 (48,344) 104 (54,166)5. IPS 43 (29,251) 51 (33,774) 70 (36,458)6. Sejarah 30 (20,408) 33 (21,854) 45 (23,437)7. PPKN 40 (27,210) 53 (35,099) 68 (35,416)8. Olah Raga 76 (51,700) 81 (53,642) 120 (62,5)9. Agama 72 (48,978) 71 (47,019) 83 (43,229)
Cerita yang berbasis keagamaan dan kepahlawanan merupakan buku lain yang
paling banyak dibaca oleh 46%-52% responden.(lihat tabel 7). Cerita keagamaan
memberikan suri tauladan dan ajaran moral tentang kebaikan dan keburukan. Cerita para
nabi misalnya menggambarkan kesetiaan, kesabaran, ketabahan dan keikhlasan mereka
dalam menyampaikan pesan Tuhan kepada hambaNya. Pemahaman siswa mengenai
33
konsep Ketuhanan sangat berguna bagi mereka. Pengakuan mereka atas kekuasaan dan
kebesaran Tuhan.
Cerita tentang kepahlawanan memberikan konsep pengorbanan dan kesetiaan
kepada tanah air. Para siswa diajarkan mengenai gigihnya perjuangan yang dilakukan
oleh para pahlawan baik yang merebut maupun yang mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Cerita tentang kepahlawanan kaya akan pesan moral tentang hak dan
kewajiban. Ketulusan dan sikap tanpa pamrih mendominasi warna isi cerita
kepahlawanan. Dengan demikian banyak sekali nilai luhur yang didapat dalam membaca
buku yang bercetita tentang kepahlawanan.
Penelitian ini memberikan gambaran yang menggembirakan mengenai kegemaran
jenis bahan bacaan yang diminati oleh para siswa kelas IV, V dan VI. Kombinasi dua
jenis bacaan ini memberikan landasan moral kuat bagi para siswa untuk melangkah lebih
jauh dalam kehidupan. Perpustakaan sekolah hendaknya menyediakan bahan bacaan
jenis ini agar minat baca siswa yang sudah cukup tinggi ini lebih bisa ditingkatkan dan
pemahaman mereka mengenai keagamaan dan kepahlawanan juga makin mendalam.
Cerita lain yang betemakan lingkungan, cerita detektif dan sastra dalam penelitian
ini juga terlihat relatif banyak juga diminati oleh para siswa. Beragamnya bahan bacaan
yang diminati tentunya menimbulkan konsekuensi bagi pengelola perpustakaan untuk
meragamkan koleksinya dalam rangka memuaskan kebutuhan bahan bacaan pemakainya.
Data yang tersaji dalam penelitian ini memperlihatkan sesuatu yang lain dari apa
yang disarankan Mary Leonhardt dalam bukunya (versi terjemahan) yang berjudul 99
Cara Menjadikan Anak Anda Kerajingan Membaca. Mary menyarankan agar anak
diberikan buku bacaan yang bertemakan kisah-kisah sentimentil, anak yang berusaha
menjadi anak baik, saling menolong anatar sesama, kisah petualangan anak dan
kehudupan desa.
34
Tidak muncul kisah bertemakan keagamaan dan kepahlawanan dalam saran Mary
mengisyaratkan bahwa pola berpikirnya mengacu pada masyarakat barat yang sekuler
dan kolonial. Dalam masyarakat seperti ini pemahaman nilai-nilai keagamaan, moral dan
kepahlawanan menajdi barang langka. Dengan demikian jelas disini bahwa kebiasaan
membaca dan kandungan isinya juga harus memperhatikan faktor kondisi sosial dan
budaya masyarakat yang bersangkutan. Saran Mary dalam beberapa hal nampak tidak
dapat diterapkan dalam masyarakat kita. Dan penelitian ini cukup membuktikannya.
Tabel 7Buku Lain yang Dibaca
No Jenis Buku Kelas IV(%)
Kelas V(%)
Kelas VI(%)
1. Lingkungan 52 (35,374) 49 (32,450) 66 (34,375)2. Sastra Anak 32 (21,768) 42 (27,814) 64 (33,333)3. Cerita Agama 82 (55,782) 73 (48,344) 88 (45,833)4. C. Pahlawan 61 (41,496) 79 (52,317) 99 (51,563)5. C. Detektif 36 (24,489) 43 (28,476) 74 (38,542)
Membeli dan meminjam dari perpustakaan dilakukan oleh setengan jumlah
keseluruhan responden (tabel 8). Sedangkan meminjam dari teman menjadi alternatif cara
untuk mendapatkan bahan bacaan oleh sekitar 17% responden.
Relatif tingginya ketergantungan siswa kepada perpustakaan sekolah selain
dengan cara membeli, sebagai sumber untuk mendapatkan bahan bacaan adalah suatu
yang menggembirakan. Data ini sejalan dengan data yang terpampang pada tabel 5
mengenai kunjungan ke perpustakaan sekolah. Artinya siswa yang datang ke
perpustakaan umumnya melakukan transaksi peminjaman koleksi. Bagi perpustakaan
sekolah data ini dapat menjadi indikator perlunya keberadaan sebuah perpustakaan
sekolah menyediakan buku bacaan untuk dipinjam.
Mendapatkan bahan bacaan dengan cara membeli juga merupakan tanda yang
positif perilaku para orang tua murid dalam memenuhi kebutuhan bacaan anak mereka.
35
Banyak orang tua sekarang ini lebih banyak menghadiahkan anaknya dengan mainan atau
mengajak ke restoran cepat saji. Tidak ada salahnya membeli mainan yang bersifat
edukatif atau mengunjungi restoran cepat saji sekali-sekali, sejauh membeli bahan bacaan
yang dapat menambah pengetahuan, wawasan dan merangsang kreatifitas tidak
terlupakan. Idealnya meminjam buku dari perpustakaan dan membeli menjadi cara yang
paling banyak dilakukan oleh siswa untuk mendapatkan bahan bacaan yang mereka
butuhkan.
Data pada tabel 8 menunjukkan rendahnya pemanfaatan perpustakaan umum oleh
siswa untuk mendapatkan bahan pustaka. Di Jakarta terdapat 5 perpustakaan umum
wilayah yang berada dibawah koordianasi Kantor Perpustakaan Umum Daerah
(PERPUMDA) Pemprop DKI Jakarta. Sejauh ini keberadaan perpustakaan tersebut
sudah cukup memadai dilihat dari segi gedung dan fasilitasnya, koleksi, dana dan
SDMnya. Dari 5 perpustakaan umum tersebut dua berada pada atau dekat lingkungan
sekolah dasar yaitu Perpustakaan Umum Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
Kantor PERPUMDA sudah beberapa kali memberikan pelatihan pengolahan
perpustakaan sekolah kepada guru-guru SD di Jakarta sekaligus juga mempromosikan
keberadaan layanan perpustakaan umum dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang positif
seperti lomba menulis dan bedah buku. Akan tetapi data pada tabel 8 menunjukkan
kurang 4% responden menjadikan perpustakaan umum sebagai tempat untuk
mendapatkan bahan bacaan. Jika dilihat dari segi positifnya data ini dapat dijadikan
pendorong banyak lini pada jajaran PERPUMDA dimana diperlukan usaha yang lebih
keras lagi dalam untuk merangsang siswa memanfaatkan perpustakaan umum.
Meminjam buku bacaan dari teman cukup banyak dilakukan oleh siswa, rata-rata
sekitar 15% responden. Fenomena ini cukup menarik jika dilihat dari segi pemakaian
buku bacaan yang dimiliki, peningkatan minat baca, dan langkah pengehematan dalam
membeli buku, oleh siswa. Kegiatan peminjaman buku bacaan antar teman perlu
dikembangkan sebagai usaha membangun perilaku positif dalam diri siswa. Selama ini
dorongan aktifitas peminjaman buku antar teman merupakan sesuatu yang terlewatkan
36
dalam rangka meningkatkan kebiasaan membaca pada anak-anak. Bahkan dalam buku-
buku teks mengenai perpustakaan dan informasi jarang membahas tentang kegiatan
pinjam meminjam buku ini. Buku Mary Leonhardt, misalnya, tidak menyinggung hal ini.
Walapun masih perlu diteliti, fenomena peminjaman buku bacaan antar teman, dapat
merugikan penerbit yang bersangkutan karena volume penjualan buku mereka dapat
berkurang.
Membeli, meminjam dari perpustakaan sekolah, meminjam dari teman
merupakan cara yang paling dominan dalam usaha siswa mendapatkan buku bacaan.
Masih tingginnya ketergantungan siswa kepada perpustakaan sekolah untuk mendapatkan
bahan bacaan harus minimal dipertahankan dan jika bisa ditingkatkan.
Tabel 8Cara Memperoleh Bahan Bacaan
No Cara Mendapatkan
Kelas IV Kelas V Kelas VI
1. Beli 78 (53,061%) 82 (54,304%) 106 (55,208%)2. Pinj. dr perp. Sek. 67 (45,578%) 76 (50,331%) 107 (55,729%)3. Pinj. dr perp. Um 5 ( 3,041%) 9 ( 5,960%) 2 (1,042%) 4. Pinj. dr teman 18 (12,244%) 25 (16,556%) 33 (17,187%)5. Lain-lain 2 ( 1,360%) 3 ( 1,986%) -
Kisah perang Mahabrata atau Kisah Rama dan Sintha yang terdapat dalam cerita
wayang misalnya sangat minim diminati oleh siswa sekolah dasar. Hanya kurang dari
2% responden (Tabel 9) yang sering membaca cerita wayang. Konflik keluarga Pandawa
dan Kurawa yang mengantarkan pada perang besar Mahabrata sebenarnya sarat dengan
pesan moral dan falsafah hidup.
Tubrukan antara kebaikan yang diwakili oleh Pandawa dengan kejahatan yang
tercermin dalam perilaku Kurawa sebenarnya adalah potret kehidupan sehari-hari umat
manusia. Kesabaran, kejujuran, kesetiaan dan patriotisme selalu mendapat ujian dari
mereka yang menjadikan kebohongan dan penghianatan sebagai jalan hidup. Setelah
melewati rintangan dan kesulitan yang sangat berat, pada akhirnya kebaikan selalu
muncul sebagai pemenang. Banyak gambaran kebajikan yang dapat dijadikan bahan
37
acuan dalam Kisah Mahabrata oleh anak-anak. Akan tetapi membaca epik Mahabrata
dianggap sebagai membaca cerita masa lalu yang hanya pantas dilakukan oleh orang-
orang tua. Anak-anak sekarang merasa bangga membawa-bawa buku Harry Potter
sebagai simbol mengikuti tren jaman. Dengan demikian dapat dimaklumi mengapa kisah
Mahabrata sedikit diminati.
Kesucian dan kesetiaan Dewi Sintha dijaga dengan segala pengorbanan. Di
bawah cengkraman Rahwana, yang ingin memperistrinya, Sintha memperlihatkan
kesetian seorang istri untuk menjaga kehormatan suaminya. Sementara Hanoman
mewakili kesetiaan seorang teman terhadap teman lainnya yaitu Sri Rama yang sedang
dirundung malang karena istrinya diculik oleh Rahwana. Banyak contoh kebaikan yang
dapat ditemui dalam kisah abadi ini. Akan tetapi cerita bernilai tinggi ini bernasib sama
dengan kisah Mahabrata. Anak-anak dan para remaja menganggap ke dua karya besar ini
sebagai cerita usang yang sulit dicerna.
Keadaan ini seakan memaksa kita untuk menggalakan kembali gerakan membaca
kisah-kisak klasik yang banyak mengandung ajaran luhur kepada kalangan generasi
muda. Banyak sekali cara hidup yang dipraktikan oleh sebagian masyarakat sebenarnya
bersumber pada kisah epik Ramayana dan Mahabrata. Tokoh Bima, yang sering diartikan
sebagai simbol kekuatan dan kejujuran, banyak dijadikan idiola oleh para orang tua.
Sedangkan kesucian dan kesetiaan sering diasosiasikan dengan tokoh Sintha.
Untungnya kondisi yang memprihatinkan ini masih diimbangi oleh cukup
tingginya (sekitar 50%) siwa yang menjadi responden dalam penelitian ini membaca
cerita rakyat. Kekuatan supranatural dan misteri kekuatan alam yang tanpa batas serta
muncul dewa atau manusia setengah dewa yang mempunyai kekuatan luar biasa
mendominasi isi cerita rakyat. Tema besar ini banyak dijumpai dalam mite dan legenda.
Cerita rakyat dikategorikan sebagai cerita tradisional yang mengambil setting
dekat dengan masyarakat pembacanya. Mite Sangkuriang atau legenda Si Pitung
menggambarkan kehidupan masyarakat Sunda dan Betawi pada jamannya. Dalam banyak
hal cerita ini juga sarat dengan ajaran moral tentang kebaikan dan kejahatan.
38
Dalam penelitian ini didapat data menarik mengenai cukup tingginya minat siswa
terhadap cerita terjemahan (45%). Cerita terjemahan yang membanjiri Indonesia tidak
saja berasal dari Barat. Cerita terjemahan dari bahasa Jepang mulai mendominasi rak-rak
toko buku atau juga perpustakaan. Di satu pihak kita melihat kecendrungan anak-anak
membaca cerita terjemahan sebagai hal yang positif dalam variasi bacaan dan juga
memperluas wawasan. Akan tetapi juga kita melihat ancaman laten bagi eksistensi cerita
lokal mengingat buku cerita terjemahan sering bersifat futuristik dan sering kaya dengan
adegan kekerasan yang sangat digemari oleh generasi muda. Diakui sangat sulit
membendung kehadiran buku cerita terjemahan karena sudah menyangkut bisnis dengan
keuntungan yang menjanjikan. Hampir tidak mungkin memcegah anak-anak membaca
buku jenis bacaan ini. Oleh karena itu jalan satu-satunya adalah memperbaiki mutu cerita
lokal dengan cara memvariasikan dan mencari tema cerita yang banyak diminati oleh
kelompok generasi muda.
Disadari bahwa isi cerita yang dibaca sangat menentukan dalam membangun
mentalitas seseorang yang pada gilirannya akan mempengaruhi perilakunya dalam
masyarakat. Sudah banyak media masa baik cetak maupun elektronik melaporkan
beberapa kasus yang menggambarkan pengaruh buruk bahan bacaan pada diri remaja.
Kembali lagi disini perlunya promosi yang lebih gencar mengenai buku-buku cerita asli
Indonesia kepada generasi muda. Hal ini penting agar mereka tidak kehilangan jati diri
bangsanya.
Tabel 9Cerita Fiksi Yang Sering Dibaca
No Jenis cerita Kelas IV Kelas V Kelas VI
1. Crt. Rakyat 62 (42,176%) 72 (47,682%) 112 (58,333%)2. Crt. Binatang 56 (38,095%) 49 (32,450%) 62 (32,292%)3. Crt. Terjemahan 59 (40,136%) 71 (47,019%) 96 (50%)4. Crt. Wayang 1 ( 1,360%) 1 ( 0,662%) 3 (1,562%)
39
Para ahli pendidikan Jerman kini menempatkan komik, seperti Donald Duck dan
Micky Mouse, sebagai bahan bacaan yang mempunyai pengaruh positif terhadap
pengaruh terhadap kebiasaan membaca. Bodo Franzmann dari Asosiasi Membaca Jerman
mengatakan bahwa sangat normal bagi anak-anak untuk melihat komik ketika masih
terlalu muda untuk bisa membaca. Kombinasi antara citra dan teks pendek dalam sebuah
komik merupakan hal yang ideal untuk anak-anak yang sedang belajar membaca. Ia
menambahkan bahwa cara ini tidak menghalangi kebiasaan membaca mereka di masa
yang akan datang. Bahkan remaja yang masih suka membaca komik tidak jadi masalah
( The Jakarta Post, 24 Desember 2003).
Pernyataan Bodo ini sejalan dengan penemuan dalam penelitian ini yang
menunjukkan bahwa 86% responden (tabel 10) menyatakan kegemarannya membaca
komik. Komik dengan dominasi gambarnya sangat membantu dalam memahami pesan-
pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Gambarnya juga membantu imajinasi
membaca terhadap peristiwa atau karekter yang dipaparkan. Membaca komik, yang
hemat kata-kata relatif lebih cepat dibanding dengan membaca cerita buku bacaan
lainnya. Sebab itu wajar bagi anak-anak atau siswa sekolah dasar untuk menyukai komik.
Mempertimbangkan tingginya kegemaran siswa membaca buku komik, maka
perpustakaan sekolah harus juga meletakan bahan bacaan ini di rak-rak mereka sebagai
usaha menarik siswa untuk memakai perpustakaan. Salah satu kendala komik bagi
perpustakaan adalah cepat usang jenis bacaan ini baik karena isi cerita atau kondisi fisik.
Konsekuensinya perpustakaan sekolah harus meningkatkan frekuensi pergantian
koleksinya. Hal ini tentu saja akan berdampak bagi peningkatan kesedian dana bagi
perpustakaan sekolah dalam pembelian jenis koleksi ini.
Tingginya kegemaran siswa sekolah dasar terhadap komik tidak perlu membuat
cemas para orang tua atau para guru. Tindakan penting yang perlu dilakukan oleh mereka
adalah menyeleksi isi komik itu sendiri agar dampak positif yang diharapkan tercapai.
Keterlibatan para orang tua dan guru dalam membantu memilih jenis komik yang dibaca
oleh para siswa mencerminkan pembangunan komunikasi yang baik diantara mereka.
40
Pentingnya seleksi terhadap jenis komik juga diungkapkan oleh Franzmann,
peneliti Jerman di bidang membaca yang menekankan pentingnya para orang tua untuk
memperhatikan jenis komik yang dibaca oleh anak mereka. Beberapa komik Manga
Jepang misalnya tidak cocok dibaca oleh anak belasan tahun seperti murid sekolah dasar
kelas IV, V dan VI. Jenis komik ini dinilai mempunyai kandungan gambar kekerasan
yang tinggi karena kekerasan merupaka sesuatu yang tabu ( The Jakarta Post, 24
Desember 2003).
.
Sebenarnya gambaran kekerasan bukan hanya ditemui dalam komik. Media lain
seperti telivisi pun kaya dengan tayangan kekerasan. Banyak film kartun atau sinetron
anak di Indonesia misalnya mengetengahkan tema kekerasan sebagai daya tariknya.
Keterangan ini makin mengukuhkan semakin pentingnya keterlibatan para orang tua
untuk menyeleksi isi cerita baik dalam bentuk media tercetak maupun eletronik.
Tabel 11 memperlihatkan ketatnya persaingan komik asli Indonesia dengan
komik terjemahan. Siswa kelas IV dan V masih lebih sedikit menyukai komik asli
Indonesia dibandingkan kakak kelasnya. Akhir ini banyak usaha yang dilakukan oleh
pengarang komik Indonesia dalam rangka menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Berbagai
macam pameran dan pekan komik serta seminar telah diselenggarakan untuk
meningkatakan apresiasi masyarakat terhadapa komik lokal. Gejala jalan pintas banyak
juga dilakukan oleh beberapa pengarang lokal dengan meniru beberapa karekter dalam
komik impor. Tentu saja gejala ini menimbulkan keprihatinan bagi sekelompok
pengarang komik yang sudah lama berkecimpung lama dalam dunianya seperti Yan
Mintaraga.
Siswa kelas VI merupakan kelompok yang paling banyak membaca komik
terjemahan (64%). Walaupun perlu diteliti lebih lanjut, variasi atau kebosanan terhadap
komik lokal menjadi pemicu siswa kelas VI untuk membaca komik import terejemahan.
Sisi baik dari peralihan ini adalah bertambahahnya ide atau tema cerita yang diketahui
siswa yang pada gilirannya memperkaya pengetahuan mereka. Cerita Petualangan Tin
41
Tin (dibaca Tan Tan) mengajak pembaca ke tempat-tempat yang jauh dan penih
rintangan seperti padang pasir, kutub utara atau hutan yang sangat luas di pedalaman
Amerika dengan sungai Amazonnya yang luar biasa besar dan buas. Latar seperti ini jelas
jarang ditemukan atau boleh dikatakan tidak ada dalam komik lokal.
Banyak sebab yang menjadikan komik lokal miskin dengan tema. Salah satunya
adalah terbatasnya pengetahuan pengarang itu sendiri. Para pengarang lokal nampaknya
hanya mengandalkan pengetahuan yang telah dipunyai. Mereka jarang melakukan riset
perpustakaan untuk menambah pengetahuan. Timbul kesan bahwa proses penciptaan
karekter dan latar menjadi hak prerogatif pengarang tanpa perlu menghubungkan dengan
realita. Fiksi adalah fiksi itu sendiri. Ada bebrapa pengarang mengambil jalan singkat
dengan meniru tema komik luar. Cara ini jelas akan merugikan usaha mempertahankan
kekhasan dan keunikan komik lokal. Pembaca lokal pun akan bingung membedakan
antara komik lokal dengan komik impor. Jati diri komik lokal akan hilang.
Para penerbit pun menyadari besarnya minat siswa sekolah dasar terhadap komik
seperti tercermin dalam penelitian ini menjadi peluang yang tidak boleh disia-siakan.
Rak-rak toko buku sekarang ini dipenuhi oleh buku komik yang kebanyakan didominasi
oleh komik impor seperti Doraemon, Petualangan Lima Sekawan, Donald Bebek dan Tin
Tin.
Sementara pemandangan berbeda ditemui di perpustakaan sekolah. Rak-rak buku
masih diisi oleh buku-buku pelajaran atau buku serius lainnya. Sudah waktunya
pengelola perpustakaan sekolah merybah paradigma kebijakan pengembangan
koleksinya.
Tabel 10Kegemaran Membaca Komik
Kelas Ya % Td % Keterangan
IV 120 (81,632%) 21 (14,285%) Inv. 6 (4,081%)V 133 (88,079%) 18 (11,920%) -VI 169 (88.020%) 23 (11,979%) -
Jumlah 422 (86,122%) 62 (12,653%) 6 (1,224%)
42
Tabel 11Jenis Komik Yang Sering Dibaca
Kelas Indonesia Asli Terjemahan Keterangan
IV 72 (48,979%) 65 (44,217%) Jml responden ygV 74 (49,006%) 79 (52,317% Menjawab 481VI 68 (35,416%) 123 (64,062%)
Jumlah 214 (44,490%) 267 (54,489%)
Berdasarkan data yang terkumpul, penelitian ini membuat urutan prioritas
komposi jenis buku koleksi bagi perpustakaan sekolah yaitu:
1. Buku Pelajaran;
2. Buku Pengetahuan Umum;
3. Buku Keagamaan;
4. Buku Fiksi;
5. Buku Kesenian;
6. Buku Keterampilan.
Buku pelajaran menjadi kebutuhan utama bagi siswa oleh karena itu harapan
responden akan banyak buku pelajaran pada jajaran koleksinya adalah hal yang wajar.
Sisi menarik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah posisi buku fiksi yang berada di
atas buku kesenian dan keterampilan sebagi koleksi yang diharapkan ada di perpustakaan
sekolah. Buku fiksi yang banyak menawarkan cerita menarik menjadi variasi yang paling
efektif untuk mengatasi kejenuhan membaca buku pelajaran yang serius. Jika komposi ini
diikuti oleh perpustakaan sekolah, maka konsep “Serius dan Gembira” dalam proses
belajar siswa dapat mereka berikan. Dengan demikian peran perpustakaan nyata terlihat
makin strategis dan penting.
43
Kenyataan lapangan menggambarkan konsep komposisi koleksi sebagai hal yang
terabaikan oleh para pengelola perpustakaan sekolah. Pengembangan koleksi di
perpustakaan sekolah lebih bersifat insidental dan tidak terencana. Kebiasaan ini
seharusnya berubah. Pengelola perpustakaan harus memahami kebutuhan dan perilaku
pemakainya agar pengembangan koleksinys dapat memuaskan kebutuhan mereka.
Dengan demikian perpustakaan dapat berperan penting dalam mendukung keberhasilan
kegiatan proses belaja-mengajar di sekolah yang bersangkutan
Tabel 12Harapan Terhadap Koleksi Perpustakaan
No. Jenis Buku Kelas IV (%)
Kelas V(%)
Kelas VI(%)
1. Pelajaran 84 (57,142) 75 (49,668) 99 (51,562)2. Penget. Umum 70 (47,619) 87 (57,615) 121 (63,020)3. Keterampilan 21 (14,285) 31 (20,529) 38 (19,791)4. Kesenian 21 (14,285) 23 (15,231) 43 (22,395)5. Cerita Agama 49(33,333) 43 (28,476) 55 (28,645)6. Cerita Fiksi 26 (17,687) 36 (23,841) 79 (41,145)
44
Bab IV
Kesimpulan dan Saran
Penelitian ini mencoba membuat beberapa kesimpulan dan saran berdasarkan data
dan analisanya. Kesimpulan yang ditarik dalam penelitian ini, karena beberapa kondisi
tidak selalu sama dengan kenyataan yang terdapat di lapangan. Hal ini disebabkan
keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian ini sendiri seperti sifat penelitian yang non-
representative. Akan tetapi terlepas dari semua itu, kesimpulan dalam penelitian ini dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola perpustakaan sekolah terutama
dalam kaitannya dengan kebutuhan jenis bacaan siswa dan bagaimana mereka
mendapatkannya.
4.1. Kesimpulan
Ada bebarapa kesimpulan yang dianggap penting dalam penelitian ini. Kesimpulan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hampir seluruh siswa sekolah dasar mengenal perpustakaan;
2. Tidak semua sekolah dasar mempunyai perpustakaan ;
3. Jumlah siswa yang sering mempergunakan perpustakaan sekolah masih
tergolong tidak memuaskan disebabkan banyak faktor;
4. Mata pelajaran IPA dan Matematika disukai oleh banyak siswa sekolah dasar;
5. Membeli dan meminjam dari perpustakaan dan teman merupakan cara yang paling
banyak dilakukan oleh siswa sekolah dasar untuk mendapatkan buku bacaan yang
mereka butuhkan;
6. Cerita rakyat dan cerita dalam bentuk terjemahan merupakan bahan bacaan yang
banyak disukai oleh siswa sekolah dasar. Sementara cerita wayang kurang diminati
oleh mereka;
7. Kebanyakan siswa sekolah dasar gemar membaca komik baik karya penulis lokal
maupun penulis luar negeri;
45
8. Buku pelajaran, buku pengetahuan umum dan buku mengenai keagamaan merupakan
buku yang paling diharapkan kehadirannya di perpustakaan.
4.2. Saran
Penelitian ini memberikan awal bagi pemahaman lebih jauh lagi mengenai
kebutuhan informasi siswa sekolah dasar dan juga perilaku mereka untuk memenuhinya.
Beberapa saran yang dikemukakan disini adalah sebagi berikut:
1. Keberadaan sebuah perpustakaan yang memenuhi standar seharusnya menjadi syarat
beroperasinya sebuah sekolah dasar;
2. Perlu lebih digalakan kegiatan pendayagunaan perpustakaan oleh siswa sekolah dasar;
3. Sebaiknya pengasuh mata pelajaran lain seperti sejarah meniru cara yang diterapkan
pengasuh mata pelajaran matematika dan IPA;
4. Para orang tua dan guru mendorong kegiatan meminjam bahan bacaan antar siswa.
Kegiatan ini juga dapat merupakan pembangunan budaya kerja sama yang positif dan
saling menguntungkan;
5. Para orang tua dan guru sebaiknya memotivasi anak-anak untuk menyukai cerita yang
banyak mengajarkan keluhuran perilaku seperti yang terdapat dalam cerita wayang;
6. Kegiatan membaca komik dapat dijadikan sarana untuk menumbuhkan kebiasaan anak
membaca;
7. Para pengelola perpustakaan sekolah harusnya memahami kebutuhan informasi siswa
yang dilayani agar pemanfaatan koleksinya menjadi maksimal.
46
DAFTAR PUSTAKA
Atherton, Pauline (1992). Sistem dan pelayanan informasi. Edisi Bahasa Indonesia oleh :
Bambang Hartono.—Jakarta : Arga Kencana Abadi.
Bouazza, Abdelmajed (1989). Information user studies dalam Allen Kent (Ed.).
Encyclopedia of library and information science.—New York : Marcel Dekker.
Dana Djaja, James. Foklor Indonesia : ilmu gosip, dongeng dan lain-lain. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1991
Dervin, B. & Nilan, M. “Information needs and uses” dalam M. Williams (Ed). Annual
review of information science and technology , Vol. 25 1986: 3 – 33.
Ellis, David. The Derivation of a behavioural model for information retrieval system
design. Disertasi Doktor di University of Sheffield Department of Information
Studies-Sheffield, 1987.
Foster dalam Panuti Sadjiman. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta : Pustaka Jaya, 1992.
Heyden, K. Alix (2001:6p). Information seeking models. EDCI 701- The University of
Calgary.
Hildick, Wallace. Children and fiction: a critical study in depth of the artistic and psycological factors involved in writing fiction for and about children. London: Evan Brothers, 1974.
Hudson dalam Panuti Sadjiman. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta : Pustaka Jaya, 1992
Kulthau, Carol C. (1991). Inside the searching process information seeking from the
user’s perspective. – Journal of the American Society for Information Science, 43
(5) : 361-71.
Krikelas, James. “Information-seeking behaviour:patterns and concepts”. Drexel Library
Quarterly, 19 (2) Spring 1983: 1-
Norton, Donna E. Through the eyes of a child: an introduction to children’s literature. Colombus: Merril, 1992.
Sarumpaet, Riris K. Toha. Bacaan Anak-anak: Suatu penyelidikan pendahuluan ke dalam hakekat, sifat dan corak bacaan anak-anak serta minat anak pada bacaannya. Jakarta : Pustaka Jaya,1976.
Wilson, T.D.(1981). “On user studies and information need”. The Journal of Documentation, 37 (1) March.
47
LAMPIRAN
Tabel 2Komposisi Responden
Komposisi Responden
147; 30%
151; 31%
192; 39%IV
V
VI
Tabel 3Mengenal Perpustakaan
Gambar 1
Mengenal Perpustakaan Oleh Siswa kelas IV
142; 97%
5; 3%
ya
tidak
48
Gambar 2
Mengenal Perpustakaan Oleh Siswa Kelas V
147; 97%
4; 3%
ya
tidak
Gambar 3
Mengenal Perpustakaan Oleh Siswa Kelas VI
188; 98%
4; 2%
ya
tidak
Gambar 4
Mengenal Perpustakaan Oleh Siswa Kelas IV, V dan VI
477; 97%
13; 3%
ya
tidak
Tabel 4
49
Keberadaan PerpustakaanGambar 1
Keberadaan Perpustakaan oleh Siswa Kelas IV
112; 76%
35; 24%
yatidak
Gambar 2
Keberadaaan Perpustakaan oleh Siswa Kelas V
118; 78%
33; 22%
ya
tidak
Gambar 3
Keberadaan Perpustakaan oleh Siswa Kelas VI
159; 83%
33; 17%
yatidak
Gambar 4
50
Keberadaan Perpustakaan oleh Siswa Kelas IV, V dan VI
389; 79%
101; 21%
ya
tidak
Tabel 5
Meminjam Buku PerpustakaanGambar 1
Meminjam Buku Perpustakaan oleh Siswa Kelas IV
64, 44%
37, 25%
43, 29%3, 2%
Sering
Kadang-kadang
Tidak Pernah
Invalid
Gambar 2
Meminjam Buku di Perpustakaan Oleh Siswa Kelas V
71; 47%
45; 30%
35; 23%
sering
kadang-kadang
tidak pernah
Gambar 3
51
Meminjam Buku Perpustakaan oleh Siswa Kelas VI
94, 49%
70, 36%
28, 15%SeringKadang-kadangTidak Pernah
Tabel 6
Mata Pelajaran yang DisukaiGambar 1
Mata Pelajaran yang Disukai Kelas IV
88; 16%
83; 15%
9; 2%
81; 16%43; 8%30; 6%
40; 8%
76; 15%
72; 14%
Matematika
B. Indonesia
B. Daerah
IPA
IPS
Sejarah
PPKN
Olah Raga
Agama
Gambar 2
Mata Pelajaran yang Disukai Kelas V
85; 17%
75; 14%
5; 1%
73; 14%51; 10%33; 6%
53; 10%
81; 15%
71; 13%
MatematikaB. IndonesiaB. DaerahIPAIPSSejarahPPKNOlah RagaAgama
Gambar 3
52
Mata Pelajaran Yang Disukai Kelas VI
106; 15%
101; 14%
1; 0%
104; 15%70; 10%45; 6%
68; 10%
120; 18%
83; 12%MatematikaB. IndonesiaB. DaerahIPAIPSSejarahPPKNOlah RagaAgama
Gambar 4
Mata Pelajaran Yang Disukai Kelas IV, V dan VI
88; 16%
83; 15%
9; 2%
81; 16%43; 8%30; 6%
40; 8%
76; 15%
72; 14% MatematikaB. IndonesiaB. DaerahIPAIPSSejarahPPKNOlah RagaAgama
Tabel 7Buku Lain yang Dibaca
Gambar 1
53
Buku Lain yang Dibaca Oleh Siswa Kelas IV
52; 20%
32; 12%
82; 31%
61; 23%
36; 14%Lingkungan
Sastra Anak
Cerita Agama
C. Pahlawan
C. Detektif
Gambar 2
Buku Lain Yang Dibaca Siswa Kelas V
49; 17%
42; 15%
73; 26%
79; 27%
43; 15%Lingkungan
Sastra Anak
Cerita Agama
C. Pahlawan
C. Detektif
Gambar 3
Buku Lain Yang Dibaca Siswa Kelas VI
66; 17%
64; 16%
88; 23%
99; 25%
74; 19%Lingkungan
Sastra Anak
Cerita Agama
C. Pahlawan
C. Detektif
Gambar 4
54
Buku Lain Yang Dibaca Oleh Siswa Kelas IV, V dan VI
52; 20%
32; 12%
82; 31%
61; 23%
36; 14%
Lingkungan
Sastra Anak
Cerita Agama
C. Pahlawan
C. Detektif
Tabel 8Cara Memperoleh Bahan Bacaan
Gambar 1
Cara Mendapatkan Buku Oleh Kelas IV
78; 46%
67; 39%
5; 3%
18; 11% 2; 1%
Beli
Pinj. dr perp. Sek.
Pinj. dr perp. Um
Pinj. dr teman
Lain-lain
Gambar 2
55
Cara Memperoleh Buku oleh Siswa Kelas V
82; 41%
76; 39%
9; 5%
25; 13% 3; 2%Beli
Pinj. dr perp. Sek.
Pinj. dr perp. Um
Pinj. dr teman
Lain-lain
Gambar 3
Cara Mendapatkan Buku Oleh Siswa Kelas VI
106; 43%
107; 43%
2; 1%
33; 13%
Beli
Pinj. dr perp. Sek.
Pinj. dr perp. Um
Pinj. dr teman
Gambar 4
Car Mendapatkan Buku oleh Siswa Kelas IV, V dan VI
78, 46%
67, 39%
5, 3%
18, 11% 2, 1%Beli
Pinj. dr perp. Sek.
Pinj. dr perp. Um
Pinj. dr teman
Lain-lain
Tabel 9
56
Cerita Fiksi Yang Sering DibacaGambar 1
Buku Cerita yang Sering Dibaca Siswa Kelas IV
62; 35%
56; 31%
59; 33%
1; 1%
Crt. Rakyat
Crt. Binatang
Crt. Terjemahan
Crt. Wayang
Gambar 2
Buku Fiksi Yang Sering Dibaca Siswa Kelas V
72, 37%
49, 25%
71, 37%
1, 1%
Crt. Rakyat
Crt. Binatang
Crt. Terjemahan
Crt. Wayang
Gambar 3
Buku Fiksi yang Sering Dibaca Siswa Kelas VI
112; 41%
62; 23%
96; 35%
3; 1%
Crt. Rakyat
Crt. Binatang
Crt. Terjemahan
Crt. Wayang
Gambar 4
57
Buku Fiksi yang Sering Dibaca Siswa Kelas IV, V dan VI
62, 35%
56, 31%
59, 33%
1, 1%
Crt. Rakyat
Crt. Binatang
Crt. Terjemahan
Crt. Wayang
Tabel 10Kegemaran Membaca Komik
Gambar 1
Kegemaran Membaca Komik Siswa Kelas IV
120; 82%
21; 14%6; 4%
Ya %
Td %
Invalid
Gambar 2
Kegemaran Membaca Komik Siswa Kelas V
133; 88%
18; 12%
Ya %
Td %
Gambar 3
58
Kegemaran Membaca Komik Siswa Kelas VI
169, 88%
23, 12%
Ya %
Td %
Gambar 4
Kegemaran Membaca Komik Siswa Kelas IV, V dan VI
422, 86%
62, 13% 6, 1%
Ya %
Td %
Invalid
Tabel 11Jenis Komik Yang Sering Dibaca
59
Gambar 1
Jenis Komik Yang Sering Dibaca Siswa Kelas IV
72; 53%65; 47% Indonesia Asli
Terjemahan
Gambar 2
Jenis Komik Yang Sering Dibaca Siswa Kelas V
74, 48%79, 52%
Indonesia AsliTerjemahan
Gambar 3
Jenis Komik Yang Sering Dibaca Siswa Kelas VI
68; 36%
123; 64%
Indonesia AsliTerjemahan
Gambar 4
60
Jenis Komik yang Sering Dibaca Siswa Kelas IV, V dan VI
214, 44%267, 56%
Indonesia Asli
Terjemahan
Tabel 12Harapan Terhadap Koleksi Perpustakaan
Gambar 1
Harapan Siswa Kelas IV Terhadap Koleksi Perpustakaan
84; 30%
70; 26%21; 8%
21; 8%
49; 18%
26; 10%Pelajaran
Penget. Umum
Keterampilan
Kesenian
Cerita Agama
Cerita Fiksi
Gambar 2
Harapan Siswa Kelas V Terhadap Koleksi Perpustakaan
75; 25%
87; 29%31; 11%
23; 8%
43; 15%
36; 12%
Pelajaran
Penget. Umum
Keterampilan
Kesenian
Cerita Agama
Cerita Fiksi
Gambar 3
61
Harapan Siswa Kelas Kelas VI Terhadap Koleksi Perpustakaan
99; 23%
121; 27%38; 9%
43; 10%
55; 13%
79; 18%Pelajaran
Penget. Umum
Keterampilan
Kesenian
Cerita Agama
Cerita Fiksi
Gambar 4
Harapan Siswa Kelas IV, V dan VI Terhadap Koleksi Perpustakaan
84; 30%
70; 26%21; 8%
21; 8%
49; 18%
26; 10%Pelajaran
Penget. Umum
Keterampilan
Kesenian
Cerita Agama
Cerita Fiksi
62