penegakan hukum hak-hak ekonomi, sosial, dan … · makalah ini difokuskan pada aspek peraturan...

24
PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA ANAK AGUNG SRI UTARI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Upload: vuongthu

Post on 16-Apr-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

0

PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA

ANAK AGUNG SRI UTARI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Page 2: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

PENEGAKAN HUKUM

HAK-HAK EKONOMI,

SOSIAL, DAN BUDAYA

ANAK AGUNG SRI UTARI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2015

Page 3: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

ii

ABSTRAK PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA

Lama diterima pendapat, bahwa sebagai hak-hak positif, maka hak-hak ekonomi sosial, dan budaya tidak dapat dituntut di muka pengadilan. Sebaliknya dengan hak-hak sipil dan politik, sebagai hak negatif dapat dituntut di muka pengadilan. Artinya, tidak terdapat mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam perkembangan pemikiran dan penerapan HAM, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dapat diberlakukan mekanisme penegakan hukum. Pandangan ini nampak dalam Prinsip-prinsip Limburg Tentang Pelaksanaan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang diolah lebih lanjut dalam Pedoman Maastricht Tentang Pelanggaran Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang mengemukakan bahwa pengadilan nasional harus mempertimbangkan ketentuan-ketentuan hukum HAM internasional dan regional yang relevan sebagai bantuan interpretasi dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Ketentuan yang relevan dipertimbangkan adalah ketentuan-ketentuan tentang larangan diskriminasi dan persamaan di hadapan hukum. Komite HAM, yang bertindak di bawah ICCPR, menyampaikan keputusan terhadap tiga kasus Belanda tentang jaminan sosial. Melalui tiga kasus ini, untuk pertama kalinya ditetapkan bahwa klausul non-diskriminasi dalam Pasal 26 ICCPR dapat dipakai juga dalam kaitannya dengan pengenyaman hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Page 4: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

iii

DAFTAR ISI ABSTRAK ................................................................................. Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI .............................................................................................................................. iii

BAB IPENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ........................................................... Error! Bookmark not defined.

1.2. Fokus Bahasan ........................................................................................................... 2

BAB II SISTEM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA: KERANGKA

TEORITIK DAN KERANGKA HUKUM .......................................................................... 3

2.1. Kerangka Teoritik ........................................................................................................ 3

2.2. Kerangka Hukum ........................................................................................................ 4

BAB III HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA: PENEGAKAN HUKUM DAN

PELANGGARAN .............................................................................................................. 7

3.1. Watak Hukum Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. ............................................. 7

3.2. Prinsip Penegakan Hukum Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya .......................... 8

3.3. Ruang Lingkup Pelanggaran Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ....................... 9

BAB IV PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA:

DUKUNGAN KOVENAN SIPIL DAN POLITIK DAN SISTEM HUKUM

INDONESIA .................................................................................................................... 13

4.1. Dukungan Kovenan Sipil dan Politik ................................................................... 13

4.2. Dukungan Instrumen Lainnya ................................................................................... 16

4.3. Dukungan Sistem Hukum Indonesia ........................................................................ 18

BAB V PENUTUP .................................................................................................................... 19

5.1. Simpulan.................................................................................................................... 19

5.2. Saran ......................................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 20

Page 5: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kurang lebih dari empat dekade gerakan advokasi hak-hak asasi manusia (HAM)

lebih menekankan advokasi pada isyu-isyu disekisar hak-hak sipil dan politik. Sedangkan

advokasi terhadap isyu-isyu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya kurang mendapat

perhatian yang memadai, ia seperti menjadi anak tiri dari gerakan advokasi HAM.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan sudah merupakan fenomena

global. Organisasi-organisasi HAM internasional seperti Amnesti Internasional atau Human

Rights Watch, mempunyai peranan yang sangat besar dalam mengarahkan gerakan-

gerakan advokasi HAM yang terpusatkan pada hak-hak sipil dan politik (Ifdhal Kasim

2001:viii-ix).

Penganaktirian advokasi HAM tersebut tidak terlepas dari padangan bahwa yang

dimaksudkan HAM hanyalah hak-hak sipil dan politik, sedangkan hak-hak ekonomi, sosial,

dan budaya bukanlah HAM, tapi lebih sebagai aspirasi. Pandangan ini tersimpul dari

pendapat Paula J. Dobriansky (1990:46):

Lagi pula, dalam keadaan seperti sekarang, hak-hak ekonomi dan sosial sebenarnya

lebih banyak bersifat aspirasi dan tujuan ketimbang hak. Perbedaan yang tampaknya hanya

dalam arti kata ini penting. Tidak adanya gunanya mengatakan bahwa manfaat ekonomi dan

sosial pada tingkat-tingkat tertentu merupakan hak sedangkan kebanyakan pemerintah tidak

dapat memberikannya. Sebaliknya, setiap pemerintah dapat dan harus menjamin hak alami

bagi para warganya (misalnya, bebas dari penyiksaan dan penahanan sewenang-wenang).

Lagi pula, menyamakan segala macam hak dan aspirasi berarti meremehkan konsep hak

asasi itu sendiri dan pada akhirnya bisa menyebabkan pelanggaran atas hak-hak mendasar

tersebut.

Pandangan bahwa yang merupakan HAM adalah hak-hak sipil dan politik, serta

berkeberatan menonjolkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya muncul di negara-negara

Barat, terutama Amerika Serikat. Sedangkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang

sesuai Perang Dunia II secara gigih diperjuangkan oleh Uni Soviet dan kawan-kawan,

dengan mendapat dukungan kuat dari negara-negara Dunia Ketiga. Kedua ragam HAM

dimasukan ke dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, sebagai hasil kompromi

antara negara-negara “Barat” dengan negara-negara “Timur”, yang kemudian mendapat

rumusan hukum dalam dua kovenan, yakni: Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik

(International Covenan on Cipil and Political Right) dan Kovenan Internasional Hak-hak

Page 6: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

2

Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenan on Economic, Social, and Cultural

Rights) (Miriam Budiardjo 1990: 41-42).

Pembedaan antara kedua ragam HAM tersebut berlanjut pada klasifikasi hak-hak

positif dan hak-hak negatif. Dinyatakan bahwa hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya

merupakan hak-hak positif (positif rights), sedangkan hak-hak sipil dan politik dikatakan

sebagai hak-hak negatif (negative rights). Ada tiga konsekuesni dari pembedaan ini, yang

masing masing dilihat dari segi pemenuhan hak, pelanggaran hak, dan pengajuan tuntutan

hukum atas pelanggaran hak.

Pertama, dari segi realisasi hak, sebagai hak-hak positif, maka untuk

merealisasikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang diakui dalam kovenan diperlukan

keterlibatan negara. Sebaliknya sebagai hak-hak negatif, maka negara harus abstain atau

tidak bertindak dalam rangka merealisasikan hak-hak sipil dan politik yang diakui dalam

kovenan. Kedua, dari segi pelanggaran, dalam hak-hak positif dikatakan terjadi

pelanggaran, manakala negara tidak berperan aktif dalam pemenuhan hak-hak ekonomi

sosial dan budaya. Sebaliknya dalam hak-hak negatif, justru ketika negara bertindak aktif,

dikatakan terjadi pelanggaran hak-hak sipil dan politik. Ketiga, dari segi pengajuan tuntutan

hukum, sebagai hak-hak positif, maka hak-hak ekonomi sosial, dan budaya tidak dapat

dituntut di muka pengadilan. Misalnya, orang yang kehilangan pekerjaannya tidak dapat

menuntut negara ke muka pengadilan. Sebaliknya dengan hak-hak sipil dan politik, sebagai

hak negatif dapat dituntut di muka pengadilan. Misalnya, orang yang disiksa oleh aparatur

negara dapat menuntut ke pengadilan (Ifdhal Kasim 2001:xiii-xiv. Hendardi 1998:38-43).

Artinya, tidak terdapat mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran hak-hak

ekonomi, sosial, dan budaya.

1.2. Fokus Bahasan

Makalah ini bermaksud untuk mendiskusikan bahwa dalam dinamika

perkembangan pemikiran dan penerapan HAM telah terjadi perubahan pandangan,

bahwa penegakan hukum dapat juga diberlakukan terhadap hak-hak ekonomi,

sosial, dan budaya. Dinamika perkembangan ini, relevan diwacanakan dalam upaya

penegakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia.

Page 7: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

3

BAB II SISTEM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA:

KERANGKA TEORITIK DAN KERANGKA HUKUM

2.1. Kerangka Teoritik Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Sistem hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya merupak sub sistem dari sistem

hak-hak asasi manusia, dan terakhir ini merupakan sub sistem dari sistem hukum,

tepatnya adalah hukum (-internasional) tentang hak asasi manusia. Sistem hukum,

menurut Lawrence M. Friedman terdiri dari unsur-unsur isi hukum, kelembagaan

hukum, dan budaya hukum (dalam Soerjono Soekanto 1986:45). Sedangkan

menurut Seidman, sistem hukum itu terdiri dari pembentuk undang-undang, undang-

undang (peraturan-peraturan), dan agen pelaksana (Ann Seidman, Robert B.

Seidman, dan Nalin Abeyserkere 2001:14). Dalam konteks makalah ini, HAM dapat

dipahami dengan menggunakan kerangka sistem hukum.

Dalam konteks sistem hukum Friedman, menyangkut isi hukum (contens of

law) adalah ketentuan-ketentuan tentang HAM yang dituangkan dalam instrumen

hukum internasional, dalam hal ini terutama adalah Kovenan Internasional Hak-hak

Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Kelembagaan hukum (structure of law), yakni semua

perangkat kelembagaan dan pelaksana dari ketentuan-ketentuan tentang hak-hak

ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam hal ini penegakan hukum oleh pengadilan

terhadap pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Menyangkut unsur

budaya hukum, yakni persepsi, pemahaman, sikap penerimaan tentang dua unsur

sistem hukum terdahulu.

Dalam konteks sistem hukum Seidman, HAM dapat dipahami sebagai berikut.

Unsur pembentuk undang-undang adalah lembaga-lembaga internasional dan

negara-negara yang terkait dengan pembentukan instrumen hukum internasional

tentang HAM, khususnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Peraturan-peraturan

adalah instrumen hukum internasional tentang HAM khususnya Kovenan

Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Agen pelaksana adalah badan-

badan baik internasional, regional, maupun nasional yang melaksanakan hak-hak

ekonomi, sosial, dan budaya, terutama lembaga pengadilan yang menyelesaikan

kasus-kasus pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Page 8: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

4

Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan

kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial, dan

budaya. Menyangkut isi hukum, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, selain

dituangkan dalam Kovenan, untuk peningkatan pelaksanaannya oleh sejumlah ahli

hukum internasional telah dirumuskan Prinsip-Prinsip Limburg, yang ditindaklanjuti

dengan Pedoman Maastricht.

Prinsip Limburg dirumuskan oleh satu kelompok ahli terkemuka di bidang

hukum internasional, yang diundang oleh Komisi Internasional Ahli Hukum, Fakultas

Hukum Universitas Limburg (Belanda) dan Institut Urban Morgan untuk Hak Asasi

Manusia Universitas Cincinnati (Ohio, Amerika Serikat), berkumpul di Maastricht

pada 2-6 Juni 1986 untuk membahas sifat dan ruang lingkup kewajiban negara-

negara pihak pada Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Sedangkan Pedoman Maastricht, dirumuskan pada peringatan ulang tahun ke-10

Prinsip Limburg, oleh sekelompok ahli di Maastricht pada 23-26 Januari 1997 dalam

sebuah pertemuan yang diadakan oleh Komisi Internasional Ahli Hukum, Lembaga

HAM Urban Morgan (Cicinnati, Amerika Serikat), dan Pusat HAM Fakultas Hukum

Universitas Maastricht (Belanda). Tujuan pertemuan adalah untuk menguraikan

Prinsip Limburg, mengenai sifat dan ruang lingkup pelanggaran hak-hak ekonomi,

sosial, dan budaya (Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus , ed. 2001:339-340,

370-371).

2.2. Kerangka Hukum Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah

diratifikasi mendapat pengesahan dari Pemerintah Negara Republik Indonesia, yakni

dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International

Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang

Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 118,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4557).

Adapun dasar pertimbangan pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-

Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dengan Undang-Undang, sebagaimana

dikemukakan dalam Menimbang Undang Nomor 11 Tahun 2005, adalah :

a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;

Page 9: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

5

b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia;

c. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam sidangnya tanggal 16 Desember 1966 telah mengesahkan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak¬-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya);

d. bahwa instrumen internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan sifat negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan yang menjamin persamaan kedudukan semua warga negara di dalam hukum, dan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus¬ menerus memajukan dan melindungi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).

Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya tersebut disertai dengan deklarasi. Ini ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, mengesahkan International Covenant on

Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1

(cetak tebal dari penulis).

Dalam Lampiran Undang-Undang tersebut dinyatakan, Deklarasi atau

Pernyataan terhadap Pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,

Sosial, dan Budaya: Merujuk Pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak-hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya, Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa,

sejalan dengan Deklarasi mengenai Pemberian Kemerdekaan Kepada Negara dan

Rakyat Terjajah, dan Deklarasi Tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional

Mengenai Hubungan Persahabatan dan Kerjasama Antar Negara, serta pasal-pasal

terkait dari Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993, istilah ‘hak untuk menentukan

nasib sendiri’ sebagaimana yang tercantum dalam pasal ini tidak berlaku untuk

bagian rakyat dalam suatu negara merdeka yang berdaulat dan tidak dapat diartikan

sebagai mensahkan atau mendorong tindakan-tindakan yang akan memecah belah

atau merusak, seluruh atau sebagian, dari integritas atau kesatuan wilayah politik

dari negara yang berdaulat dan merdeka’ (Declaration to Article 1 of the International

Page 10: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

6

Covenant on Economic, Social and Cultural Rights: With reference to Article 1 of the

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, the Government of

the Republic of Indonesia declares that, consistent with the Declaration on the

Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples, and the Declaration on

Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation

Among States, and the relevant paragraph of the Vienna Declaration and Program of

Action of 1993, the words ‘the right of self-determination’ appearing in this article do

not apply to a section of people within a sovereign independent state and can not be

construed as authorizing or encouraging any action which would dismember or

impair, totally or in part, the territorial integrity of political unity of sovereign and

independent states’).

Sebelum tahun 2005, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya telah juga diterima

dalam sistem hukum perundang-undangan Indonesia, yakni di dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886). Penjelasan Umum Undang-

Undang ini menjelaskan:

Dalam Undang-undang ini, pengaturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak, dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Anak kalimat “berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai

hak asasi manusia” yang tercantum dalam Penjelasan Umum tersebut dapat berarti

Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Dengan

perkataan lain, pengaturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan

berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-

hak Anak, dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai hak

asasi manusia, antara lain Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial,

dan Budaya.

Page 11: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

7

BAB III

HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA:

PENEGAKAN HUKUM DAN PELANGGARAN

3.1. Watak Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya memuat antara

lain: jaminan mengenai hak untuk bekerja (Pasal 6); hak untuk jaminan sosial

termasuk asuransi sosial (Pasal 9); hak untuk perlindungan seluas mungkin dan

bantuan untuk keluarga, ibu-ibu, anak-anak dan kaum muda (Pasal 10); hak untuk

memperoleh standar hidup yang memadai (Pasal 11); hak untuk penikmatan suatu

standar kesehatan fisik dan mental setinggi mungkin sesuai dengan kemampuan

(Pasal 12); hak untuk pendidikan (Pasal 13 dan 14); dan hak untuk mengambil

bagian dalam kehidupan kebudayaan (Pasal 15). Kovenan ini dipersoalkan watak

hukumnya (Peter Baehr, Pieter van Dijk, Adnan Buyung Nasution, dan Leo Zwaak

2001:338-346).

Masalah yang berkaitan dengan watak hukum hak ekonomi dan sosial tidak

berhubungan dengan validitasnya tetapi lebih pada penerapannya. Banyak penulis

berpendapat bahwa hak ekonomi dan sosial, karena wataknya juga tidak dapat

diadli (non-justicable) dalam arti bahwa hak-hak itu tidak dapat dituntut dalam sidang

pengadilan dan diberlakukan oleh hakim (Martin Scheinin 2001:53). Sebagaimana

telah diungkapkan dalam pendahuluan makalah ini, sebagai hak-hak positif, maka

hak-hak ekonomi sosial, dan budaya tidak dapat dituntut di muka pengadilan.

Misalnya, orang yang kehilangan pekerjaannya tidak dapat menuntut negara ke

muka pengadilan. Berbeda dengan hak-hak sipil dan politik, sebagai hak negatif

dapat dituntut di muka pengadilan. Misalnya, orang yang disiksa oleh aparatur

negara dapat menuntut ke pengadilan. Artinya, tidak terdapat mekanisme

penegakan hukum

Dalam dinamika perkembangan pemikiran dan penerapan HAM, nampaknya

pandangan tersebut ditinggalkan. Ini nampak dalam pemikiran para ahli hukum

internasional sebagaimana dirumuskan dalam Prinsip-Prinsip Limburg Mengenai

Pelaksanaan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang

Page 12: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

8

diolah lebih lanjut dalam Pedoman Maastricht Untuk Pelanggaran Hak-hak Ekonomi,

Sosial, dan Budaya.

3.2. Prinsip Penegakan Hukum Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Tidak ada manfaatnya pengakuan adanya hak-hak ekonomi, sosial, dan

budaya dalam sejumlah instrumen hukum, baik internasional maupun nasional,

manakala terjadi pelanggaran tidak terdapat upaya untuk memperjuangkan

perolehan hak-hak tersebut. Artinya, penghormatan, perlindungan, dan pelaksanaan

hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak hanya berhenti pada perumusannya

dalam sejumlah produk hukum legilatif, tapi harus ditindaklanjuti antara lain melalui

upaya hukum peradilan.

Dalam Prinsip-Prinsip Limburg dimuat di dalamnya sejumlah prinsip

penegakkan hukum oleh badan peradilan dalam upaya pemenuhan hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya, sebagaimana dikutip berikut ini (dalam Ifdhal Kasim

dan Johanes da Masenus Arus, ed., 2001:339-369).

Prinsip 8, meskipun pelaksanaan sepenuhnya hak-hak yang diakui dalam

Kovenan akan dicapai secara bertahap, pelaksanaan beberapa hak dapat

dibenarkan dengan segera, sementara hak-hak lainnya dapat dibenarkan setelah

beberapa waktu kemudian.

Prinsip 13, semua badan yang memantau Kovenan seharusnya memberikan

perhatian khusus kepada prinsip-prinsip non-diskriminasi dan persamaan di

hadapan hukum pada saat menilai kepatuhan negara pihak terhadap Kovenan.

Prinsip 17, pada tingkat nasional, negara pihak seharusnya menggunakan

semua sarana yang tepat, termasuk tindakan-tindakan legislatif, administratif,

yudisial, ekonomi, sosial dan pendidikan, sesuai dengan sifat dari hak-hak untuk

memenuhi kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini.

Prinsip 19, negara pihak seharusnya menyediakan upaya perbaikan efektif

yang meliputi, apabila tepat, upaya perbaikan yudisial.

Prinsip 78, dalam melaporkan langkah-langkah hukum yang diambil untuk

memberikan pengaruh pada Kovenan, negara pihak seharusnya tidak hanya

menggambarkan suatu ketentuan legislatif yang relevan. Mereka seharusnya

merinci, apabila tepat, upaya perbaikan lewat pengadilan, prosedur administratif dan

tindakan-tindakan lain yang telah diambil untuk memberlakukan hak-hak tersebut

dan praktek-praktek berdasarkan upaya perbaikan dan prosedur tersebut.

Page 13: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

9

Dari prinsip-prinsip tersebut menyimpulkan suatu dinamika perkembangan

pemikiran, bahwa pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dapat

diajukan ke pengadilan. Jadi, argumentasi bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan

budaya pelaksanaannya secara bertahap dan tidak dapat diajukan ke pengadilan,

sebagaimana tampil pada saat perumusan hukum DUHAM ke dalam dokumen

perjanjian, tidak lagi diikuti sepenuhnya.

Penggunaan lembaga peradilan dalam pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial,

dan budaya adalah melalui penggunaan prinsip non-diskriminasi. Dikatakan oleh

Katarina Tomasevski, perlunya penekanan prinsip non-diskriminasi yang merupakan

prinsip hak asasi manusia yang mendasar, karena merupakan titik awal yang paling

jelas dalam melaksanakan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (Manfred Nowak

2001:235). Dilanjutkan oleh Manfred Nowak (2001:235) semua usaha untuk

menghapus diskriminasi, baik secara de jure maupun de facto, serta upaya untuk

mengadopsi tindakan-tindakan khusus untuk menyediakan kesempatan bagi

kelompok-kelompok yang tidak beruntung dalam menikmati hak-hak ekonomi,

sosial, dan budaya, memainkan peran yang penting dalam PrinsipPrinsip Limburg.

Yang dimaksudkan oleh Manfred Nowak adalah Prinsip 37 dan 38 dari

Prinsip-Prinsip Limburg, yang rumusan selengkapnya adalah sebagai berikut:

37. Setelah menjadi pihak dari Kovenan ini, negara-negara harus menghilangkan diskriminasi de jure dengan menghapuskan tanpa menunda lagi setiap undang-undang, peraturan dan praktek yang diskriminatif (termasuk melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan) yang mempengaruhi dinikmatinya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

38. Diskriminasi de facto yang terjadi sebagai akibat dari dinikmatinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tidak seimbang, yang disebabkan oleh kekurangan sumber daya atau lainnya, seharusnya diakhiri secepat mungkin.

3.3. Ruang Lingkup Pelanggaran Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Agar suatu pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dapat diajukan

ke pengadilan, maka harus jelas arti dan ruang lingkup pelanggaran hak-hak

ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam bagian II Pedoman Maastricht diuraikan arti

pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, sebagaimana dikutip

berikut ini (Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, ed. 2001:374-383).

Page 14: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

10

Seperti halnya dengan hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial, dan

budaya membedakan tiga tipe kewajiban yang berbeda pada negara, yakni

kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan melaksanakan, Kegagalan dalam

melaksanakan salah satu kewajiban ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak

tersebut.

Kewajiban untuk menghormati, mengharuskan negara menahan diri untuk

tidak campur tangan dalam dinikmatinya hak-hak ekonomi, sosial, budaya. Jadi, hak

untuk mendapatkan perumahan dilanggar, apabila negara tersangkut dalam

penggusuran paksa secara sewenang-wenang.

Kewajiban untuk melindungi, mengharuskan negara untuk mencegah

pelanggaran hak tersebut oleh pihak ketiga. Sehingga kegagalan untuk memastikan

agar pengusaha swasta memenuhi standar dasar tenaga kerja dapat berarti

pelanggaran terhadap hak untuk bekerja atau hak untuk mendapatkan kondisi kerja

yang adil dan menyenangkan.

Kewajiban untuk melaksanakan, mengharuskan negara untuk mengambil

tindakan-tindakan legislatif, administratif, anggaran, hukum dan semua tindakan lain

yang memadai guna pelaksanaan sepenuhnya dari semua hak tersebut. Dengan

demikian, kegagalan negara untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada

yang membutuhkan berarti sebuah pelanggaran.

Berikutnya dirumuskan, bahwa pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan

budaya dapat berupa Pelanggaran Melalui Tindakan Pejabat (Acts of Commision)

dan Pelanggaran Melalui Pembiaran (Acts of Omission).

Pelanggaran Melalui Tindakan Pejabat adalah pelanggaran hak-hak ekonomi,

sosial, dan budaya melalui tindakan langsung negara atau pihak lain yang tidak

diatur secara memadai oleh negara. Contoh pelanggaran semacam ini termasuk:

(a) Penghapusan secara formal atau penundaan undang-undang yang penting bagi kelanjutan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya yang dinikmati saat ini;

(b) Pengingkaran aktif atas hak tersebut bagi individu atau kelompok tertentu, apakah melalui diskriminasi berdasarkan undang-undang atau dengan paksaan;

(c) Dukungan aktif atas tindakan yang diambil pihak ketiga yang tidak sejalan dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya;

(d) Pemberlakuan undang-undang atau kebijakan yang jelas-jelas tidak sejalan dengan kewajiban hukum yang sudah ada sebelumnya sehubungan dengan hak-hak ini, kecuali jika hal ini dilakukan dengan tujuan dan akibat yang meningkatkan persamaan dan menempatkan

Page 15: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

11

pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya bagi kelompok tertentu;

(e) Pelaksanaan tindakan yang berlaku surut secara sengaja yang menurunkan tingkat di mana setiap hak tersebut dijamin;

(f) Hambatan yang diperhitungkan, atau penghentian, terhadap kemajuan pelaksanaan secara bertahap atas hak-hak yang dilindungi Kovenan, kecuali jika negara bertindak dalam batasan yang diizinkan oleh Kovenan atau negara bertindak begitu karena kekurangan sumber daya atau keadaan di luar kendali (force majeure);

(g) Pengurangan atau pengalihan pengeluaran publik khusus, ketika pengurangan atau pengalihan tersebut berakibat pada tidak dipenuhinya hak tersebut dan tidak dibarengi oleh tindakan yang cukup untuk menjamin penghasilan minimun bagi setiap orang.

Pelanggaran Melalui Pembiaran adalah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan

budaya melalui pembiaran atau kegagalan negara untuk mengambil tindakan

lanjutan yang perlu atas kewajiban hukum. Contoh dari pelanggaran ini termasuk:

(a) Kegagalan untuk mengambil langkah yang tepat seperti yang diisyaratkan oleh Kovenan;

(b) Kegagalan untuk mengubah atau mencabut undang-undang yang jelas-jelas tidak sesuai dengan kewajiban terhadap Kovenan;

(c) Kegagalan untuk memberlakukan undang-undang atau melaksanakan kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk melaksanakan ketetapan dalam Kovenan;

(d) Kegagalan untuk mengatur kegiatan dari perorangan atau kelompok sehingga mencegah mereka agar tidak melakukan pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya;

(e) Kegagalan memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara maksimum ke arah pelaksanaan penuh dari Kovenan ini;

(f) Kegagalan untuk memantau pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk perkembangan dan penerapan kriteria dan indikator untuk menilai kepatuhan terhadap pelaksanaanya;

(g) Kegagalan untuk menghilangkan dengan segera hambatan di mana negara yang bersangkutan berkewajiban untuk menghilangkannya, sehingga memungkinkan dipenuhinya dengan segera hak-hak yang dijamin oleh Kovenan;

(h) Kegagalan untuk melaksanakan tanpa ditunda-tunda lagi, hak yang dikehendaki oleh Kovenan untuk segera dilaksanakan;

(i) Kegagalan untuk memenuhi standar minimum pencapaian yang diterima dunia internasional secara umum yang berada dalam kekuasaan negara untuk memenuhinya;

(j) Kegagalan suatu negara untuk memperhitungkan kewajiban hukum internasionalnya dalam bidang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya ketika mengadakan perjanjian bilateral dan multilateral dengan negara lain, organisasi inyernasional, atau perusahaan multinasional.

Page 16: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

12

Dengan demikian ada tiga macam pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan

budaya, yakni: (1) Pelanggaran karena kegagalan negara memenuhi kewajiban

untuk menghormati, melindungi, dan melaksanakan hak-hak ekonomi, sosial, dan

budaya; (2) Pelanggaran melalui tindakan pejabat adalah pelanggaran hak-hak

ekonomi, sosial, dan budaya melalui tindakan langsung negara atau pihak lain yang

tidak diatur secara memadai oleh negara; dan (3) Pelanggaran melalui pembiaran

adalah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui pembiaran atau

kegagalan negara untuk mengambil tindakan lanjutan yang perlu atas kewajiban

hukum.

Mengaitkan Prinsip-prinsip Limburg dengan Pedoman Maastricht membawa

makna, bahwa pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, baik karena tidak

dipenuhinya kewajiban negara, tindakan aktif, maupun pembiaran seharusnya

diatasi melalui upaya perbaikan efektif, antara lain melalui upaya perbaikan

yudisial.

Page 17: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

13

BAB IV

PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN

BUDAYA: DUKUNGAN KOVENAN SIPIL DAN POLITIK DAN SISTEM

HUKUM INDONESIA

4.1. Dukungan Kovenan Sipil dan Politik

Komite Hak Asasi Manusia, yang bertindak di bawah Kovenan Sipil dan Politik ,

yang diadopsi pada 9 April 1987, menyampaikan keputusan terhadap tiga kasus

Belanda tentang jaminan sosial. Melalui tiga kasus ini, untuk pertama kalinya

ditetapkan bahwa klausul non-diskriminasi dalam Pasal 26 Kovenan Sipil dan Politik

dapat dipakai juga dalam kaitannya dengan pengenyaman hak-hak ekonomi, sosial,

dan budaya.

Dalam dua dari tiga kasus tersebut, ditemukan pelanggaran terhadap Pasal 26

oleh Komite. Kasus-kasus itu antra lain, Zwaan-de Vries v. The Netherlands dan

Broeks v. The Netherlands berkaitan dengan perundang-undangan Belanda yang

menetapkan bahwa perempuan yang menikah, kehilangan tunjangan

penganggurannya, yang diberikan pada perempuan yang belum menikah dan

semua laki-laki, tanpa memperhatikan apakah mereka sudah kawin atau belum.

Perbedaan ini diberlakukan karena prasangka hukum bahwa perempuan yang

sudah menikah dianggap bukan “pencari nafkah” dalam keluarganya. Hanya melalui

pengajuan bukti yang menyatakan bahwa dirinya sebagai pencari nafkah,

perempuan yag menikah dapat menerima tunjangan-tunjangan pengangguran

tertentu, suatu syarat yang tidak berlaku bagi laki-laki menikah (dalam Martin

Scheinin 2001:57-59).

Di bawah Konvensi negara-negara Eropa tentang HAM (selanjutnya disebut

Konvensi Eropa), memberikan perlindungan tambahan terhadap berbagai hak yang

juga dilindungi oleh perjanjian-perjanjian HAM lainnya. Dalam hal ini adalah klausul

peradilan yang jujur (Pasal 6 ayat 1. Ian Brownlie 1993:318), paling tidak hingga

sekarang, telah menjadi titik-tolak bagi interpretasi yang paling penting yang

memberikan perlindungan bagi beberapa hak ekonomi dan sosial.

Dalam kasus Salesi v. Italy, Pengadilan HAM Eropa memutuskan telah terjadi

pelanggaran terhadap Pasal 6 (1) Konvensi Eropa, karena lamanya proses

pemeriksaan yakni lebih dari enam tahun. Kasus itu tentang dana bulanan yang

Page 18: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

14

merupakan salah satu bentuk bantuan sosial, yang bertujuan melaksanakan Pasal

38 Konstitusi Italia: “Semua warga negara yang tidak sehat untuk bekerja dan

kekuarangan uang untuk hidup, berhak memperoleh bantuan kesejahteraan dan

biaya hidup sehari-hari. Laporan pemeriksaan domestik tentang sengketa itu sudah

berlangsung selama lebih dari enam tahun.

Dalam kasus Schuler-Zgragge v. Swizerland, Pengadilan HAM Eropa

memperluas porosedur perlindungan di bawah Pasal Pasal 6 Konvensi Eropa, pada

hak-hak ekonomi dan sosial. Dalam kasus ini, Swizwerland menolak permohonan

penggugat untuk mendapatkan asuransi sosial dan bantuan kesehatan, karena ia

seorang perempuan menikah dengan satu anak, dan tidak akan kembali bekerja

bahkan apabila ia tidak mempunyai masalah kesehatan. Gugatan penggugat bahwa

penolakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 14 dan Pasal 6

Konvensi Eropa.

Pengadilan mempertimbangkan : “keputusan umum yang berlaku saat ini

adalah bahwa Pasal 6 paragraf 1 berlaku untuk asuransi sosial, bahkan termasuk

bantuan kesehatan”. Dikatakan pula bahwa keputusan tersebut dibenarkan

berdasarkan fakta bahwa pemohon/penggugat “mengklaim hak ekonomi individu

yang berasal dari undang-undang yang secara khusus terdapat dalam undang-

undang federal” (dalam Martin Scheinin 2001:64-65).

Martin Scheinin (2001:66-67) memberikan catatan bahwa jika seandainya

hak-hak ekonomi dan sosial lainnya, selain asuransi sosial dan bantuan sosial,

sudah dilindungi sebagai hak hukum pada tingkat domestik, maka tentu hak-hak itu

bisa masuk ruang lingkup Pasal 6 Kovensi Eropa. Sejauh hukum domestik itu

menentukan bahwa, misalnya, setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh

pelayanan sekolah taman kanak-kanak negeri, atau hak atas perumahan atau

pelayanan-pelayanan tertentu bagi orang cacat, sebagai hak individu, maka hak-hak

seperti itu tentu akan memperoleh perlindungan tambahan dalam ketentuan itu.

Dalam kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hak-

hak ekonomi, sosial, dan budaya bisa diajukan ke pengadilan dengan menggunakan

klausul-klausul non-diskriminasi, persamaan di hadapan hukum, maupun peradilan

yang jujur, yang terdapat dalam Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovensi

Eropa tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 26 Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik memuat di dalamnya klausul

larangan diskriminasi dan persamaan di hadapan hukum. Klausul ini nampak jelas

Page 19: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

15

dalam kalimat pertama Pasal ini: “Semua orang sama di hadapan hukum dan berhak

atas perlindungan hukum yang sama, tanpa disriminasi apa pun” . Atas dasar apa

pun diskriminasi dilarang dilakukan, seperti kesukuan, warna kulit, jenis kelamin,

bahasa, agama, pandangan politik dan lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial,

kekayaan, kelahiran, atau status lain, demikian ketentuan yang tersimpul daribagian

kalimat kedua Pasal 26.

Dalam kasus-kasus Zwaan-de Vries v. The Netherlands dan Broeks v. The

Netherlands menampakkan adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin

perempuan dan statusnya telah menikah, yang menyebabkan kehilangan tunjangan

penganggurannya, sedangkan bagi laki-laki, tanpa memperhatikan apakah mereka

sudah kawin atau belum, mendapatkan tunjangan penganggurannya. Perbedaan ini

diberlakukan karena prasangka hukum bahwa perempuan yang sudah menikah

dianggap bukan “pencari nafkah” dalam keluarganya. Hanya melalui pengajuan bukti

yang menyatakan bahwa dirinya sebagai pencari nafkah, perempuan yag menikah

dapat menerima tunjangan-tunjangan pengangguran tertentu, suatu syarat yang

tidak berlaku bagi laki-laki menikah. Jadi, jelaslah bahwa telah terjadi pelanggaran

ketentuan non-diskriminasi.

Dalam kasus itu nampak pula perkembangan pemikiran dan penerapan

hukum, bahwa pelanggran ketentuan non-diskriminasi dalam Pasal 26 Kovenan

Hak-hak Sipil dan Politik diperluas keberlakuannya pada hak-hak yang diakui dalam

kovenan lainnya, dalam hal ini adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang

diakui dalam Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Dalam Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya juga terdapat klausul

non-diskriminasi, yakni tertuang dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 3. Dalam Pasal 2

ayat (3) ditentukan, setiap negara peserta Kovenan ini berusaha untuk menjamin

hak-hak yang tercantum dalam kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi

apa pun misalnya mengenai ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,

pendapat politik atau pendpat yang lain, asal usul kebangsaan atau sosial,

kekayaan, kelahiran atau status lain. Pasal 3 mempertegas lagi bahwa jenis

kelamin, pria dan wanita, tidak boleh menjadi faktor pembeda dalam pemenuhan

hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Jelasnya pasal ini merumuskan: “Setiap

Negara Peserta Kovenan ini berusaha untuk menjamin hak yang sama bagi pria dan

wanita atas nikmat dari semua hak ekonomi, sosial dan budaya sebagaimana

tercantum dalam Kovenan ini”.

Page 20: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

16

Namun karena rumusan norma tersebut dirumuskan sebagai kewajiban bagi

negara untuk berusaha, maka tidak kuat dijadikan dasar penuntutan maupun dasar

pengujian bagi hakim. Lain halnya dengan Pasal 26 Kovenan Hak-hak sipil dan

Politik yang merumuskannya sebagai hak setiap (semua) orang. Sebagai hak,

memberikan kesempatan untuk melakukan tuntutan ketika haknya dilanggar. Lebih

dari itu, Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tidak mengenal mekanisme

pengaduan perorangan, sebagaimana yang diadopsi dalam Kovenan Sipil dan

Politik melalui Protokol Opsional.

4.2. Dukungan Instrumen Lainnya

Dalam Konvensi Eropa, klausul non-diskriminasi tertuang pada Pasal 14,

bahwa perolehan hak-hak dan kebebasan yang dinyatakan dalam Konvensi ini

harus dapat dilindungi tanpa diskriminasi dengan alasan jenis kelamin, ras, warna

kulit, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain; asal kebangsaan atau

sosial, hubungannya dengan kaum minoritas, harta kekayaan, kelahiran atau status

lainnya. Sedangkan Pasal 6 ayat (1) Konvensi Eropa, sebagaimana dikemukakan di

atas digunakan untuk memperluas perlindungan pada hak-hak ekonomi, sosial dan

budaya, mengatur tentang klausul peradilan yang jujur. Pasal 6 ayat (1) paragraf

pertama menentukan:

Dalam penetapan mengenai hak dan kewajiban warga negara atau setiap tuntutan kejahatan terhadapnya, setiap orang diberi hak untuk memperoleh pemeriksaan yang jujur dan terbuka untuk umum dalam waktu yang layak oleh pengadilan yang bebas dan netral yang dibentuk oleh undang-undang (Ian Brownlie 1993:318).

Atas dasar klausul peradilan yang jujur, dalam pengertian pemeriksaan yang

jujur dalam jangka waktu yang layak, Pengadilan HAM Eropa, dalam kasusu Salesi

v. Italy, memutuskan telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 6 (1) Konvensi Eropa,

karena lamanya proses pemeriksaan secara layak, yakni lebih dari enam tahun.

Dalam kasus Schuler-Zgragge v. Swizerland, Swizwerland menolak

permohonan penggugat untuk mendapatkan asuransi sosial dan bantuan kesehatan,

karena ia seorang perempuan menikah dengan satu anak, dan tidak akan kembali

bekerja bahkan apabila ia tidak mempunyai masalah kesehatan. Oleh penggugat

klausul non-diskriminasi (Pasal 14) dan peradilan yang jujur (Pasal 6) dijadikan

dasar gugatan, dengan perkataan lain, gugatan penggugat bahwa penolakan

tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 14 dan Pasal 6 Konvensi Eropa.

Page 21: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

17

Kemudian Pengadilan mempertimbangkan : “keputusan umum yang berlaku saat ini

adalah bahwa Pasal 6 paragraf 1 berlaku untuk asuransi sosial, bahkan termasuk

bantuan kesehatan”. Dikatakan pula bahwa keputusan tersebut dibenarkan

berdasarkan fakta bahwa pemohon/penggugat “mengklaim hak ekonomi individu

yang berasal dari undang-undang yang secara khusus terdapat dalam undang-

undang federal”. Dengan demikian, menurut Pengadilan HAM Eropa bahwa hak-hak

ekonomi dan sosial yang telah tercantum dalam undang-undang, harus dapat

dinikmati oleh setiap orang tanpa memperhatikan, apakah ia seorang perempuan

menikah atau tidak, dan harus pula mendapatkan hak untuk diperiksa secara jujur

dalam memperjuangkan perolehan hak-haknya.

Dari kasus-kasus tersebut menegaskan bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan

budaya juga mempunyai watak hukum dalam penerapannya, artinya bisa dituntut ke

pengadilan, namun melalui penggunaan interpretasi ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam Kovenan lain, dalam hal ini adalah Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik

dan Konvensi Eropa Tentang Hak Asasi Manusia.

Selain itu masih ada pilihan lain untuk penegakan hukum hak-hak ekonomi,

sosial dan budaya adalah melalui penggunaan judicial review. Dikatakan oleh

Asbjorn Eide (2001:37) ketika membahas fungsi produktif negara merupakan salah

satu aspek kewajiban negara terpenting dalam kaitannya dengan hak-hak ekonomi,

sosial dan budaya; dan ini mirip dengan peran negara sebagai pelindung terhadap

hak-hak sipil dan politik. Komponen penting dalam kewajiban itu ini yaitu

“melindungi”. Perundang-undangan semacam itu dapat diatur untuk proses

peninjauan hukum (judicial review), dan karena itu mematahkan alasan bahwa hak-

hak ekonomi, sosial dan budaya, secara inheren tak dapat dituntut ke pengadilan

(non-justiciable).

4.3. Dukungan Sistem Hukum Indonesia

Untuk Indonesia, nampaknya sudah mulai dipertimbangkan untuk penegakan

hukum hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dengan mengambil bandingan kasus-

kasus tersebut di atas. Mengingat di Indonesia, selain telah melakukan pengesahan

Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dengan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, juga telah dibentuk Undang-Undang Nomor

39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang di dalamnya tertuang baik hak-

hak ekonomi, sosial dan budaya maupun hak-hak sipil dan politik, maka selayaknya

Page 22: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

18

pengadilan dapat menggunakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang

tersebut sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan putusan, manakala terjadi

pelanggaran atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Penegakan hukum atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dapat juga

dilakukan melalui mekanisme judicial review. Dasar hukum penegakan hukum ini

adalah Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menentukan: “Mahkamah

Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, ... “,

yang sebelum dibentuknya Mahkamah Konstitusi, kewenangannya dijalankan oleh

Mahkamah Agung (Pasal III Aturan Peralihan Perubahan Keempat UUD 1945

(dalam Anonim 2002: 72, 80). Dasar hukum lainnya adalah Pasal 26 ayat (1) UU

No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999, yang menentukan bahwa

Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan-

peraturan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-undang atas alasan

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (dalam Hadi

Setia Tunggal 2002: 19). Ketentuan ini lebih dirinci rumusannya dalam Pasal 31 UU

No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung:

(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undang-undang atas lasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(3) (3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang bersangkutan (dalam Soedirjo 1987: 86).

Tulisan ini tidak bermaksud terlalu mendalam membahas mekanisme

pengujian Undang-undang maupun peraturan perundang-undangan di bawah

Undang-undang, namun hanya mengetengahkan bahwa penegakan hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya dapat dilakukan melalui mekanisme judicial review,

manakala terdapat Undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah

Undang-undang tidak menjamin perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Page 23: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

19

BAB V

PENUTUP

5.1. Simpulan

Dari uraian mengenai penegakan hukum hak-hak ekonomi, sosial, dan

budaya tersebut di atas, ditarik simpulan:

1. Terdapat perkembangan pemikiran yang semula dipandang hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya tidak dapat dimajukan ke pengadilan

ketika terjadi pelanggaran menjadi dapat diajukan kepengadilan.

Perubahan pemikiran tersebut didukung oleh yurisprudensi.

2. Penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial dan budaya oleh badan

yang menjalankan fungsi peradilan adalah dengan menggunakan

interpretasi klasul non-diskriminasi yang terdapat dalam Kovenan

Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, serta klausul peradilan yang

jujur dalam Kovensi Eropa tentang Hak-hak Asasi Manusia.

3. Penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dapat juga

dilakukan melalui penggunaan mekanisme judicial review.

5.2. Saran

Berdasarkan uraian mengenai penegakan hukum hak-hak ekonomi, sosial, dan

budaya, dan simpulan tersebut di atas, diajukan saran:

1. Selayaknya pengadilan dapat menggunakan ketentuan-ketentuan dalam

UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM sebagai dasar pertimbangan dalam

pengambilan putusan ketika mengadili perkara-perkara yang menunjukan

pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

2. Agar diberdayakan mekanisme judicial review dalam upaya penegakan

hukum atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, manakala terdapat

Undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-

undang yang tidak menjamin perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan

budaya.

Page 24: PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN … · Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial,

20

BAHAN BACAAN

Anonim, 2002, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Surabaya: Bina Pustaka Utama. Baehr, Peter; Pieter van Dijk; Adnan Buyung Nasution; dan Leo Zwaak, ed., 2001,

Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Brownlie, Ian, ed., 1993, Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Dobriansky, Paula J., 1990, “Hak Asasi Manusia dan Tradisi Amerika”, dalam Titian No. 4, Jakarta: United States Information Service (USIS) Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Hadi Setia Tunggal, ed., 2002, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: Harvarindo.

Hendardi, 1998, Penghilangan Paksa Mengungkap Kebusukan Politik Orde Baru, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Eide, Asbjorn, 2001, “Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Sebagai Hak Asasi Manusia”, dalam Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, ed., Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Jakarta: Elsam.

Ifdhal Kasim, 2001, “Kata Pengantar Memajukan Advokasi Terhadap Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya”, dalam Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, ed., Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Jakarta: Elsam.

Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, ed., 2001, Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Jakarta: Elsam.

Miriam Budiardjo, 1990, “Hak-Hak Asasi Manusia dalam Dimensi Global’, dalam Jurnal Ilmu Politik No. 10, , Jakarta: AIPI dan LIPI.

Nowak, Manfred, 2001, “Hak Atas Pendidikan” dalam Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, ed., Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Jakarta: Elsam.

Scheinin, Martin, 2001, “Hak Sosial Ekonomi Sebagai Hak Hukum”, dalam Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, ed., Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Jakarta: Elsam.

Seidman, Ann; Robert B. Seidman dan Nalin Abeyserkere, 2001, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Jakarta: ELIPS.

Soedirjo, 1987, Mahkamah Agung Uraian Singkat tentang Kedudukan, Susunan dan Kekuasaannya Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Jakarta: Media Sarana Press.

Soerjono Soekanto, 1986, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali.