pendahuluan a. latar belakang masalah · sisi pendukung rezim, kekerasan dikatakan sebagai bentuk...

27
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tepat pada tahun 1952 ketika Mesir masih dipimpin oleh Raja Farouk, sekelompok tentara melakukan kudeta terhadapnya. Sekelompok militer tersebut menamakan diri sebagai Perwira Bebas atau The Free Officers yang dipimpin oleh jenderal Muhammad Naguib. Kudeta tersebut dilandasi karena kekecewaan kubu militer Mesir terhadap Raja karena berkurangnya dana untuk militer dalam perang melawan Israel (Sihbudi dkk, 2001: 84). Militer Mesir, merupakan salah satu badan militer yang terkuat di kawasan Timur Tengah. Setelah Raja Farouk lengser dari jabatannya sebagai raja Mesir, militer Mesir memegang peranan penting dalam situasi perpolitikan saat itu. Tugas-tugas militer juga bukan hanya sebagai aparatur negara dalam menjaga keamanan, tapi juga berperan dalam berbagai kebijakan politik. Para perwira tersebut kemudian membentuk Dewan Komando Revolusi (RCC), yang pada akhirnya mengubah bentuk negara Mesir (Widyarsa, 2012: 275). Setahun setelah pembentukannya, RCC membubarkan bentuk negara monarki dan mendeklarasikan Mesir sebagai negara Republik. Pada 1954, Gamal Abdul Nasser resmi menjadi Presiden Mesir yang sah dengan Mesir yang telah berbentuk republik. Kelompok Ikhwa>nul Muslimi>n (IM) yang didirikan oleh Hasan Al-Banna dilarang keras setelah rezim militer mulai berkuasa. Hal ini menjadikan kekuasaan militer semakin kuat dalam ranah perpolitikan di Mesir. Kalangan ilmuwan pada tahun 1950-an juga menganggap militer sebagai badan 1

Upload: others

Post on 02-Sep-2019

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tepat pada tahun 1952 ketika Mesir masih dipimpin oleh Raja Farouk,

sekelompok tentara melakukan kudeta terhadapnya. Sekelompok militer tersebut

menamakan diri sebagai Perwira Bebas atau The Free Officers yang dipimpin oleh

jenderal Muhammad Naguib. Kudeta tersebut dilandasi karena kekecewaan kubu

militer Mesir terhadap Raja karena berkurangnya dana untuk militer dalam perang

melawan Israel (Sihbudi dkk, 2001: 84).

Militer Mesir, merupakan salah satu badan militer yang terkuat di kawasan

Timur Tengah. Setelah Raja Farouk lengser dari jabatannya sebagai raja Mesir,

militer Mesir memegang peranan penting dalam situasi perpolitikan saat itu.

Tugas-tugas militer juga bukan hanya sebagai aparatur negara dalam menjaga

keamanan, tapi juga berperan dalam berbagai kebijakan politik. Para perwira

tersebut kemudian membentuk Dewan Komando Revolusi (RCC), yang pada

akhirnya mengubah bentuk negara Mesir (Widyarsa, 2012: 275).

Setahun setelah pembentukannya, RCC membubarkan bentuk negara

monarki dan mendeklarasikan Mesir sebagai negara Republik. Pada 1954, Gamal

Abdul Nasser resmi menjadi Presiden Mesir yang sah dengan Mesir yang telah

berbentuk republik. Kelompok Ikhwa>nul Muslimi>n (IM) yang didirikan oleh

Hasan Al-Banna dilarang keras setelah rezim militer mulai berkuasa. Hal ini

menjadikan kekuasaan militer semakin kuat dalam ranah perpolitikan di Mesir.

Kalangan ilmuwan pada tahun 1950-an juga menganggap militer sebagai badan

1

2

otonom yang memiliki tingkat progesitas tinggi dalam proses demokratisasi

(Cook, 2007: 14). Dalam hal ini, politik menjadi tumpuan utama dalam

peningkatan peran militer di Mesir.

Nasser berambisi untuk menjadikan Mesir sebagai negara yang benar-benar

berada dibawah kendalinya. Hal itu dibuktikan dari berbagai kebijakannya yang

bersifat condong pada kekuasaan serta penyelesaian urusan-urusan yang tergolong

singkat. Setelah semua tuntas, konstitusi baru yang telah disahkan menjadikan

posisi presiden semakin kuat. Di sisi lain, Nasser ingin menyatukan negara-negara

Arab setelah melihat pasca PD I dunia Arab terpecah menjadi beberapa wilayah.

Namun usaha itu tidak membuahkan hasil.

Pemerintahan selanjutnya dipegang oleh Anwar Sadat yang juga berasal dari

kelompok militer. Sadat tidak seperti Nasser yang memperjuangkan nasionalisme

atau persatuan Arab. Sadat adalah penganut nasionalisme Mesir dan liberalis

(Sihbudi dkk, 1933: 94). Berbeda dengan Nasser, Sadat mengeluarkan kebijakan

dengan memperbolehkan sistem multi partai. Namun, ia juga mendirikan Partai

Nasional Demokrat (NDP). NDP tidak jauh berbeda dengan partai Persatuan

Sosialis Arab (ASU) yang pernah didirikan oleh Nasser. NDP berperan sebagai

basis kekuatan Sadat dalam melancarkan strategi politiknya. Meskipun dia

memperbolehkan sistem multi partai serta kebebasan pers yang dimulai sejak

perubahan konstitusi Mesir tahun 1980 dan 1981, NDP tetap menjadi partai

terbesar yang mendominasi pemerintahan dan tidak dapat tersaingi oleh partai-

partai lain.

Pemerintahan selanjutnya berpindah ke tangan Hosni Mubarak yang untuk

ketiga kalinya berasal dari kelompok militer. Hosni Mubarak adalah pemimpin

3

Mesir yang terlama. Masa jabatan hingga tiga puluh tahun memberikan kesan

tersendiri bagi Mesir sebagai negara yang perkasa akan kemiliteran. Kebijakan-

kebijakan yang dikeluarkan oleh Mubarak tidak jauh berbeda dengan para

pendahulunya. Meskipun kebebasan dalam partai politik lebih longgar dari pada

masa sebelumnya, NDP yang merupakan partai pemerintah masih unggul

dibanding partai lainnya. Ini terlihat saat pemilu Mei 1984, NDP memperoleh

390 kursi dalam pemerintahan, sedangkan partai Wafd Baru yang berkoalisi

dengan IM hanya memperoleh 58 kursi (Sihbudi dkk, 1933: 96). Mubarak ingin

menghidupkan Demokrasi di Mesir, namun dia juga telah memastikan bahwa

kelompoknya tetap akan menduduki posisi tertinggi dalam pemerintahan.

IM memang telah dilegalkan oleh Mubarak, namun pergerakannya masih

dibatasi. Sebab, IM merupakan kelompok yang condong ke salah satu Agama

(baca : Islam). Meskipun dalam konstitusi tahun 1971 pasal 2, telah disebutkan

bahwa Islam adalah agama resmi negara dan syariat Islam adalah sumber

perundang-undangan, Mubarak belum menjalankannya secara sempurna. Mubarak

tetap ingin menjadikan kelompoknya sebagai kekuatan terbesar dalam kursi-kursi

pemerintahan Mesir dan tidak mempedulikan pihak yang tak sejalan dengannya.

Estafet pemerintahan mulai menunjukan aroma pergantian. Tepat pada 11

Februari 2011 rezim Hosni Mubarak berhasil ditumbangkan oleh rakyatnya sendiri

karena kediktatorannya. Salah seorang demonstran, Essam Abdul Qader

mengatakan bahwa masyarakat sudah muak melihat pola kepemimpinan politik di

Mesir (republika.co.id: 1 Februari 2011).

Kemarahan masyarakat Mesir hingga ke permukaan juga tidak dapat

dibendung oleh kekuatan militer dan aparat kepolisian. Semua elemen masyarakat

4

bersatu untuk perubahan sistem pemerintahan Mesir yang lebih baik. Elemen

tersebut bukan hanya berasal dari satu kelompok (Islam), tetapi terdiri dari kubu

Muslim, Kristen, dan sekuler Mesir. Para pemimpin di Eropa mengindikasikan

bahwa Islam adalah dibalik kekacauan pemerintahan Mubarak. Tetapi, wartawan

Al Jazi>ra Ayman, Mohyeldin, menyebutkan bahwa sinyalemen gerakan massa

hanya dimotori kubu Islamis adalah salah besar. Demo melibatkan semua

masyarakat yang marah dengan Mubarak. Kaum Muslim, Kristen, dan sekuler

bergandengan tangan di Tahrir Square (republika.co.id: 2 Februari 2011).

Selain demo besar-besaran yang dilakukan para demonstran pasca

pengunduran Mubarak dari jabatannya, jalan-jalan di kota-kota Mesir juga

semakin dipenuhi dengan seni grafiti-grafiti baik pro-demokrasi maupun pro-

Mubarak. Para seniman grafiti itu terus bekerja, baik menggunakan dinding,

bangunan, jembatan dan trotoar sebagai kanvas untuk mengecam para jenderal

yang mengambil kekuasaan setelah Mubarak lengser. Mereka menuntut revolusi

yang sebenar-benarnya (republika.co.id: 29 Januari 2012).

Kemarahan rakyat Mesir atas kebobrokan pemerintahan Hosni Mubarak

menciptakan suasana perlawanan rakyatnya sendiri dari segala arah. Terjadinya

ledakan perlawanan tersebut, tentu menimbulkan luka yang pilu bagi setiap

individu. Tetapi atas rasa nasionalisme yang tinggi, perubahan menuju Mesir yang

lebih baik akan selalu ditempuh oleh seluruh rakyat apapun resikonya. Hal ini

sudah terbukti dengan peristiwa pelengseran Mubarak dengan demonstrasi dan

cara-cara lainnya (baca: media sosial) dari seluruh elemen masyarakat.

Setahun setelah pelengseran Hosni Mubarak, Mesir merayakan

kemenangannya dengan mengadakan pesta demokrasi rakyat. Melalui pemilihan

5

langsung, posisi presiden akhirnya dimenangkan oleh seorang tokoh yang berlatar

belakang agamis dan berasal dari kelompok IM, Muhammad Mursi. Mursi adalah

presiden yang nyata dipilih secara demokratis untuk pertama kalinya. Mursi yang

berasal dari kelompok agamis telah menunjukan beberapa perbedaan dalam pola-

pola demokrasi yang akan dia terapkan. Hal itu juga telah dibuktikan dengan

beberapa kebijakannya yang pro-IM serta Islam. Namun, tindakan tersebut

memunculkan respon negatif dari berbagai kalangan termasuk badan militer yang

sebelumnya berkuasa.

Salah satu kebijakan yang paling kontroversial dari Mursi adalah Dekrit

Presiden 22 November 2012 yang berisi bahwa segala keputusannya melebihi

hukum legal sampai parlemen baru terpilih. Hal ini oleh lawan politiknya dianggap

sebagai kejahatan hukum. Sameh Ashour, ketua sindikasi pengacara kelompok

oposisi mengatakan bahwa itu sama dengan kudeta melawan legitimasi (bbc.com:

23 November 2012).

Meskipun Mursi mengatakan bahwa dekrit tersebut dikeluarkan demi

membersihkan institusi negara serta menghancurkan infrastruktur rezim lama,

masyarakat Mesir dan seluruh komponen negara yang mengimpikan demokrasi

merasa dicederai. Dekrit tersebut juga mendapatkan komentar dari Wael Ghonim

–salah satu tokoh kunci dalam penggulingan Hosni Mubarak- bahwa revolusi tidak

dibuat untuk menjadi “diktator baik”1 (kompas.com: 23 November 2012).

Ujung pangkal dari permasalahan-permasalahan tersebut, membangkitkan

kembali badan militer yang didahului dengan aksi protes besar-besaran oleh massa

1 Maksudnya adalah bahwa Mursi dianggap sebagai seorang diktator yang berkedok agamis, sehingga terlihat baik dan nasionalis namun dibalik itu adalah seorang yang otoriter.

6

penentang Mursi. Kudeta terhadap Mursi yang langsung dilakukan oleh para

tentara Mesir menjadi jawaban atas sikap Mursi. Pihak militer kemudian

membekukan konstitusi Mesir serta membentuk komite independen yang

beranggotakan berbagai macam unsur masyarakat untuk menyusun konstitusi baru

Mesir. Bahkan pengumuman “Peta Jalan Bagi Masa Depan Mesir” oleh pihak

militer juga dihadiri dari berbagai pihak seperti Syeikh Agung Al-Azhar Prof. Dr.

Ahmed Al-Thayeb, Pemimpin Gereja Koptik Mesir Baba Tawadrous II, dan Tokoh

Oposisi Mesir Muhammad El-Baradei. Ketiga tokoh nasional Mesir itu juga

memberikan tanggapan singkatnya terhadap kudeta militer baik yang bernada

netral maupun mendukung secara terang-terangan (Hamdani, 2013: 1).

Berdasarkan urutan kejadian sejak pelengseran Hosni Mubarak hingga

kudeta terhadap Mursi, penulis melihat bahwa Mesir merupakan negara yang

belum siap untuk menerapkan sistem demokrasi secara utuh. Hal ini dikarenakan

Mesir dapat mengalami dua kali revolusi dalam dua setengah tahun. Dari jumlah

tersebut kedua-duanya dilakukan dengan cara kekerasan baik dari sisi masyarakat

sipil, aparat kepolisian, maupun badan militer itu sendiri. Kekerasan dalam

pergantian pemerintahan di Mesir seolah menjadi suatu budaya yang terbentuk

akibat buruknya sistem pemerintahan di Era Hosni Mubarak.

1. Kekerasan sebagai Budaya

Kekerasan yang diangkat dalam kasus ini adalah kekerasan yang dilakukan

secara kolektif. Kekerasan kolektif atau kelompok dilakukan oleh segerombolan

orang (mob) dan kumpulan orang banyak (crowd) dan dalam pengertian sempitnya

dilakukan oleh gang (Douglas dan Waksler dalam ed. Santoso, 2002: 9). Untuk

7

memahami bagaimana kekerasan tersebut menjadi sebuah budaya tentu diperlukan

pandangan konkrit tentang kekerasan itu sendiri.

Budaya-budaya dapat dibayangkan dan bahkan dapat dijumpai tidak saja

dengan satu aspek tetapi juga pelbagai aspek, sehingga domain budaya itu, yang

bermula dari pembicaraan tentang kasus kekerasan budaya sampai budaya yang

penuh kekerasan dapat diketahui (Galtung dalam ed. Sanstoso, 2002: 183). Studi

kekerasan budaya menyoroti cara bagaimana suatu perbuatan kekerasan langsung

dan fakta kekerasan struktural dilegitimasi dan menjadi bisa diterima di

masyarakat (Galtung dalam ed. Sanstoso, 2002: 184). Berdasarkan pernyataan

tersebut, maka sesuatu yang telah diimplementasikan secara berkala dapat

dikatakan sebagai budaya apabila telah mendapatkan legitimasi dari seluruh pihak

baik yang terlibat maupun tidak. Untuk lebih menguatkan argumen bahwa

kekerasan dapat digolongkan sebagai suatu budaya, maka penulis mempunyai

beberapa rasionalisasi dengan merujuk kepada para pendapat pakar bidang

kebudayaan.

Rasionalisasi pertama adalah memahami kebudayaan dari karakteristiknya.

Menurut Sulasman dan Gumilar (2013) dalam melihat dan memahami suatu

kebudayaan, kita harus mengacu pada sejumlah karakteristik kebudayaan pada

umumnya. Secara teoritis, kebudayaan sebagai objek pengamatan dan penelitian

memiliki karakteristik berikut:

1) dapat dipelajari dan diperoleh melalui belajar;

2) berasal dari segi biologis, lingkungan, psikologis, dan komponen eksistensi

manusia

3) berstruktur, bersistem, dan bersifat simbolis;

8

4) sebagai struktur, kebudayaan mempunyai variabel yang dapat dipecah-

pecah ke dalam berbagai aspek;

5) bersifat relatif dan universal;

6) bersifat dinamis, adaptif, dan adakalanya mal adaptif;

7) memperlihatkan keteraturan yang dapat dianalisis dengan metode ilmiah;

8) kebudayaan merupakan alat bagi seseorang (individu) untuk mengatur

keadaan totalnya dan menambah arti kesan kreatif (Sulasman & Gumilar,

2013: 63-64).

Jika mengacu pada karakteristik kebudayaan diatas, maka kekerasan dalam

kasus yang diangkat dapat dikategorikan sebagai suatu kebudayaan yang telah

terbukti secara empiris. Kekerasan yang dilakukan ketika revolusi Mesir dapat

dipelajari oleh seluruh masyarakat Mesir yang diperoleh melalui proses belajar.

Perilaku tersebut muncul dari adanya suatu reaksi psikologis yang diakibatkan

oleh lingkungan yang mendukung untuk melahirkan kekerasan. Pada tahapan

selanjutnya, kekerasan yang terjadi menyebar luas serta mempunyai sistem yang

terbentuk secara alamiah. Kekerasan dalam hal ini juga dapat dipecah ke dalam

berbagai aspek seperti aspek politik, aspek ekonomi, dan aspek teknologi.

Berbagai kejadian didalamnya juga menimbulkan penilaian yang relatif. Dari

sisi pendukung rezim, kekerasan dikatakan sebagai bentuk kejahatan, namun bagi

penentang rezim adalah sebuah upaya tepat yang harus dilalui. Adakalanya juga,

kekerasan dalam peristiwa revolusi Mesir 2011 dan 2013 bersifat dinamis dan

adaptif. Hal ini dikarenakan kekerasan yang muncul adalah sebagai reaksi dari

respon pemerintah terhadap tuntutan rakyat. Sehingga, berbagai kejadian

kekerasan ini memperlihatkan keteraturan dan dapat dianalisis secara ilmiah. Pada

akhirnya, kekerasan dijadikan alat untuk mengembalikan keadaan total Mesir

meskipun tidak di tempuh dengan segala resiko. Keseluruhan karakteristik

9

kebudayaan diatas mempunyai relevansi yang erat dengan kekerasan yang

diangkat dalam kasus ini.

Rasionalisasi kedua adalah memandang kekerasan dari segi unsur-unsur

kebudayaan. Koentjaraningrat membagi unsur kebudayaan menjadi tujuh,

diantaranya; 1) bahasa; 2) sistem pengetahuan; 3) organisasi sosial; 4) sistem

peralatan hidup dan teknologi; 5) sistem mata pencaharian hidup; 6) sistem religi;

7) kesenian. Secara keseluruhan, ketujuh unsur tersebut tidak ada yang

menyebutkan secara eksplisit kata “kekerasan”. Hal ini sudah tentu karena

kekerasan bukan termasuk ke dalam unsur, melainkan dampak dari adanya suatu

konflik. Tetapi, Linton (1963) (dalam Koentjaraningrat, 1986: 205-206) membuat

sebuah metode pemerincian unsur-unsur kebudayaan dengan merincikan setiap

unsur kebudayaan hingga empat kali.

Empat tahapan yang dibagi oleh Linton (1963) digunakan Koentjaraningrat

(1989) untuk merincikan unsur-unsur kebudayaan yang dikemukakan olehnya.

Tahapan tersebut diantaranya: 1) cultural activities; 2) complexes; 3) traits; 4)

items. Setiap unsur kebudayaan diatas bersifat universal. Setiap unsurnya juga

mempunyai tiga wujud, yaitu wujud sistem budaya, wujud sistem sosial, dan

wujud kebudayaan fisik (Koentjaraningrat, 1986: 206). Oleh karena itu,

pemerincian dari ketujuh unsur diatas masing-masing juga harus dilakukan

mengenai tiga wujud itu. Berikut adalah bagan untuk memahami proses

pemerincian unsur kebudayaan dengan tetap memperhatikan tiga wujud budaya

seperti yang telah disebutkan diatas.

10

Wujud sistem budaya dari suatu unsur kebudayaan universal adalah berupa

adat. Pada tahap pertamanya adat dapat diperinci ke dalam beberapa kompleks

budaya. Tiap kompleks budaya dapat diperinci lebih lanjut ke dalam beberapa

tema budaya dan akhirnya pada tahap ketiga dapat diperinci ke dalam gagasan

(Koentjaraningrat, 1986: 206).

Kemudian dalam bentuk proses yang sama, wujud sistem sosial dari suatu

unsur kebudayaan yang berupa aktivitas-aktivitas sosial yang dapat diperinci pada

tahap pertamanya ke dalam berbagai kompleks sosial. Pada tahap ke dua, tiap

kompleks sosial dapat diperinci lebih khusus ke dalam pola sosial. Pada tahap

terakhir, tiap pola sosial dapat diperinci lebih khusus ke dalam berbagai tindakan

(Koentjaraningrat, 1986: 206).

Gambar 1. Bagan Pemerincian Kebudayaan ke dalam Unsur-Unsurnya Yang Khusus

Sumber: Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Hlm. 207

11

Ketujuh unsur kebudayaan itu masing-masing tentu memiliki wujud fisik,

meskipun tidak ada satu wujud fisik untuk mewakili keseluruhan unsur-unsur

kebudayaan. Itulah sebabnya kebudayaan fisik tidak perlu diperinci melalui empat

tahap seperti yang dilakukan pada sistem budaya dan sistem sosial. Namun, semua

unsur kebudayaan fisik sudah tentu secara khusus terdiri dari benda-benda

kebudayaan (Koentjaraningrat, 1986: 206).

Berdasarkan penjelasan Koentjaraningrat diatas, maka kekerasan dalam

revolusi Mesir 2011 dan 2013 dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan.

Meskipun kekerasaan bukan termasuk ke dalam unsur-unsur kebudayaan, namun

pemerincian unsur-unsur budaya menunjukan relevansi langsung untuk

mengkategorikan kekerasan sebagai suatu kebudayaan. Kekerasan berada pada

tahap keempat pemerincian unsur kebudayaan yang diistilahkan sebagai sebuah

tindakan (pada wujud sistem sosial/wujud kedua). Tindakan ini didahului dengan

sebuah gagasan (pada wujud sistem budaya/wujud pertama).

Jika kekerasan berada pada tahap pemerincian hingga tahap keempat, maka

kekerasan juga harus dapat di masukan ke dalam salah satu induk dari unsur

kebudayaan universal. Unsur kebudayaan yang paling dekat adalah unsur universal

sistem pengetahuan. Sistem pengetahuan yang dimaksud oleh Koentjaraningrat

adalah yang berkaitan dengan beberapa kajian. Diantaranya; 1) alam; 2) tumbuhan;

3) binatang; 4) tubuh manusia; 4) sifat dan tingkah laku; 5) ruang dan waktu

(Sutardi, 2007: 44-45). Kekerasan dapat dimasukan ke dalam kateogri sifat dan

tingkah laku manusia, karena pada hakikatnya kekerasan merupakan implikasi dari

suatu kondisi yang membuat manusia harus melakukannya, khususnya dalam

kasus yang diangkat ini. Meskipun kekerasan pada awalnya tidak digolongkan

12

sebagai sebuah budaya, namun kekerasan dapat menjadi suatu budaya jika telah

mempunyai sistem dan dijadikan alat untuk mencapai sebuah tujuan.

Rasionalisasi yang terakhir adalah menggolongkan kasus kekerasan yang

diangkat ini sesuai dengan tiga wujud kebudayaan yang di rumuskan oleh J.J.

Hoeningman. Merujuk pada pendapat J.J. Hoeningman bahwa wujud kebudayaan

dibagi menjadi tiga; 1) Gagasan; 2) Aktivitas; 3) Artefak. Kekerasan yang muncul

ke permukaan masyarakat pada revolusi Mesir 2011 diawali dari sebuah gagasan

beberapa individu yang kemudian diwujudkan dalam aktivitas atau nyata dengan

dukungan legitimasi kaum yang bertindak. Pada revolusi Mesir 2013 kekerasan

kembali terjadi ketika ingin menurunkan rezim. Namun prosesnya bukan di awali

dari gagasan sekelompok orang, melainkan oleh lawan politik (oposisi) yang

akhirnya mampu mengajak masyarakat Mesir untuk menuntut turun Presiden

Muhammad Mursi dengan memanfaatkan trauma rakyat Mesir ketika berada di

bawah rezim yang otoriter. Maka dari itu, wujud tindakan tersebut akhirnya

memunculkan sebuah sistem sosial yang bersifat konkret, dapat diamati serta

dapat didokumentasikan (Sulasman & Gumilar, 2013: 36).

Adapun kekerasan yang diangkat, tidak selalu berwujud konflik antar fisik.

Namun dengan bentuk yang halus dan yang tersembunyi (tidak tampak) dibalik

pemaksaan dominasi kekuasaan simbolik yang dimiliki oleh rakyat (Bourdieau

dalam Purnomo, 2009: 5). Perwujudan menuju kekerasan fisik yang terjadi di

Mesir –khususnya pada revolusi Mesir 2011- melewati beberapa tahapan yang

memanfaatkan lingkungan sekitar. Sosial media berupa Facebook dan Twitter

digunakan untuk meraih tujuan yang diimpikan bersama (Tamburaka, 2011: 81-

82). Masing-masing dari media jejaring sosial tersebut mempunyai ciri khas

13

tersendiri yang berguna untuk menyusun agenda bersama dalam penggulingan

Presiden Hosni Mubarak.

Setelah tercapainya satu opini publik yang dimulai dari media jejaring sosial,

massa akhirnya turun ke jalan dan melakukan demonstrasi besar-besaran.

Demonstrasi tersebut (2011) sudah diprediksi akan melahirkan berbagai bentuk-

bentuk kekerasan di antara pasukan keamanan dan pengunjuk rasa. Peristiwa

serupa lantas kembali terjadi pada revolusi Mesir 2013 yang tidak dimulai dari

media jejaring sosial. Melainkan tindakan langsung dari pihak oposisi dan militer

sebagai respon dari pola kebijakan Mursi yang tidak disukai oleh beberapa pihak

di Mesir khususnya kelompok oposisi.

2. Kerangka Berpikir

Dibawah ini adalah bagan kerangka berpikir untuk memudahkan pemahaman

kasus.

Gambar 2. Bagan Kerangka Berpikir

14

3. Tinjauan Pustaka

Berkaitan dengan penelitian ini, penulis melihat beberapa penelitian skripsi,

jurnal, serta berita yang berkaitan dengan kasus ini sebagai tinjauan pustaka.

Tinjauan yang pertama adalah skripsi yang ditulis oleh Rizfa Amalia,

Program Studi Arab Universitas Indonesia dengan judul “Kebijakan-Kebijakan

Hosni Mubarak di Mesir (1981-2011)”. Dalam skripsi tersebut dipaparkan bahwa

kebijakan politik, agama, dan ekonomi adalah faktor yang membuatnya mampu

berkuasa selama 30 tahun. Namun ketika di akhir kepemimpinannya ketiga

kebijakan tersebut juga yang membuatnya harus menanggalkan jabatannya. Di

awal pembahasan skripsi ini juga dibahas profil Mesir secara singkat sehingga

dapat lebih mudah dalam mempelajari isi pembahasan inti yang diangkat. Diakhir

pembahasan dipaparkan proses-proses turunnya Mubarak, namun pembahasan

yang disajikan masih secara umum dan kronologi kejadian tidak diurutkan secara

detail. Demonstrasi yang di paparkan juga masih terbatas pada detik-detik

pernyataan Mubarak untuk mundur.

Tinjauan yang kedua adalah skripsi yang ditulis oleh Ulil Amri, Program

Studi Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin dengan judul “Masa Depan

Mesir Pasca Pemerintahan Hosni Mubarak”. Dalam skripsi tersebut dijelaskan

bahwa pada era Presiden Hosni Mubarak masih diterapkan undang-undang darurat

negara yang diberlakukan sejak masa Anwar Sadat. Hal ini berdampak pada

kekuasaan pemerintah secara penuh dalam penangkapan dan penahanan tanpa

proses peradilan terhadap mereka yang dianggap teroris dan mengancam

keamanan nasional. Hal ini dimanfaatkan secara maksimal untuk menyingkirkan

kelompok-kelompok oposisi yang berpotensi sebagai penentang rezim mereka.

15

Kemudian, Amri menambahkan bahwa suasana Dinastyc Republicanism juga

sangat mencolok dimana subjektivitas Mubarak terhadap kelompoknya dan

keturunannya sangat terlihat. Masyarakat yang menyadari hal itu merasa diingkari

oleh pemimpinnya yang telah berjanji untuk menegakkan demokrasi Mesir. Dua

permasalahan tersebut merupakan diantara banyak penyebab yang menghadirkan

hujan massa di Tahrir Square. Berbeda dengan tinjauan yang pertama, tinjauan

yang kedua lebih merincikan urutan kronologi demonstrasi secara urutan tanggal

serta disajikan. Peranan media jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter yang

ikut membentuk terjadinya demonstrasi di Tahrir Square juga disajikan lebih rinci.

Tetapi, bentuk kekerasan yang di lakukan oleh masyarakat dalam media sosial

berupa kata-kata provokasi maupun aksi kekerasan nyata tidak dipaparkan.

Tinjauan ketiga adalah artikel ilmiah dalam jurnal Info Singkat DPR RI Vol

V, No.14/II/P3DI/Juli/2013 seri Hubungan Internasional yang ditulis oleh Lisbet

dengan judul “Krisis Politik di Mesir dan Posisi Indonesia”. Jurnal tersebut

menjelaskan bahwa demokrasi masih membayangi ketidakpastian revolusi di

Mesir. Hal tersebut dikarenakan militer yang telah berkuasa selama masa

Pemerintahan Mubarak dan menjadi penyelenggaraan pemerintahan transisi tak

sepenuhnya menyerahkan kekuasaan kepada Presiden terpilih. Presiden Mursi dan

IM yang awalnya dipuji oleh negara-negara Barat sebagai penyelamat kapitalisme

Mesir, telah dilucuti dengan adanya revolusi. Penyajian kasus dalam jurnal ini

menitikberatkan pada permasalahan ekonomi dan sosial politik. Namun

kekurangannya adalah penyajian tidak dipaparkan secara tuntas sehingga masih

menimbulkan pertanyaan.

16

Tinjauan keempat adalah artikel ilmiah dan masih dalam jurnal yang sama

Vol V, No.14/II/P3DI/Juli/2013 ditulis oleh Poltak Partogi Nainggolan dengan

judul “Kegagalan Transmisi Demokratis dan Masa Depan Mesir”. Dalam

tulisannya di paparkan ada empat alasan mengapa militer memilih untuk

menjatuhkan Mursi. Pertama, kelompok militer adalah kelompok yang berkuasa

dan berperan dominan dalam politik domestik negeri piramid tersebut pasca

Gamal Abdul Nasser. Kedua, kelompok pesaing militer sejak lama, yaitu kelompok

Islam garis keras IM yang sejak dulu merupakan pengusung Syariah dan gagasan

pan-Islamisme di kawasan timur tengah. Ketiga, kelompok Islam moderat,

kelompok minoritas Kristen Koptik dan Katholik, serta gabungan kalangan sekuler

dari kelompok-kelompok agama tersebut jika digabung jumlah mereka menjadi

lebih banyak dari pada IM. Keempat, kelompok lain, yang walaupun jumlahnya

jauh lebih minoritas, namun karena kewenangan monopoli penggunaan kekerasan

secara sah yang diberikan negara kepadanya, ia mempunyai kepentingan laten

untuk memulihkan kembali pengaruh dan kekuasaannya dalam politik nasional.

Empat alasan tersebut yang dijadikan oleh Lisbet sebagai opini dasar mengapa

Mursi harus dijatuhkan. Artikel tersebut hanya memusatkan perhatian pada

pematangan opini bahwa kudeta terhadap Mursi adalah langkah yang benar.

Tinjauan kelima adalah artikel ilmiah yang ditulis oleh Muhammad Riza

Widyarsa dalam jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial dengan judul

“Rezim Militer dan Otoriter Mesir, Suriah dan Libya”. Pada bagian pembukaan,

Widyarsa memberikan pernyataan bahwa untuk menjadi presiden Mesir, seakan-

akan harus dari kalangan militer dikarenakan pemimpin Mesir dalam kurun waktu

lebih dari 50 tahun berasal dari militer. Selanjutnya, terdapat sub bab khusus yang

17

membahas estafet pemerintahan Mesir sejak masa Turki Utsmani. Dalam

pembahasan selanjutnya di paparkan perjalanan perpolitikan kelompok militer

dalam memulai dan mempertahankan kekuasaannya di Mesir. Namun, pada

pembahasan militer, yang dikaji hanya sampai pada masa Anwar Sadat dan tidak

membahas lebih lanjut rezim militer dibawah pemerintahan Hosni Mubarak.

Tinjauan keenam adalah berita dari Harian Jurnal Asia dengan judul “Militer

Kudeta Morsi”. Berita tersebut mengabarkan bahwa terjadi bentrokan antara

massa pendukung Mursi dan militer. Bentrokan terjadi akibat kekecewaan

masyarakat terhadap militer yang dengan secara paksa menurunkan Mursi yang

baru setahun berkuasa. Diakhir berita juga sebutkan bahwa Mursi jatuh karena

tekanan masyarakat yang memuncak dan bergabung dengan kubu posisi. Tetapi

tidak dijelaskan lebih lanjut terkait massa yang kontra dengan Mursi.

Tinjauan ketujuh adalah buku yang ditulis oleh M. Agastya ABM dengan

judul “Arab Spring Badai Revolusi Timur Tengah yang Penuh Darah”. Pada buku

tersebut terdapat sub bab yang khusus membahas konflik Mesir pada 2011 dan

2013. Pembahasan disajikan dengan mengungkapkan kronologi kejadian-kejadian

menjelang revolusi Mesir 2011 dan 2013 juga diurutkan sesuai tanggal. Biografi

kedua tokoh pemimpin Mesir (Hosni Mubarak dan Muhammad Mursi) juga

dijelaskan secara lengkap dan komprehensif. Selanjutnya, juga terdapat

pembahasan terkait perbedaan massa demonstran penentang Mursi dan pendukung

Mursi. Terdapat empat poin yang diungkap terkait perbedaan demonstran; 1)

kekerasan versus aksi damai; 2) saat tiba waktu sholat; 3) kemaksiatan versus

shalat malam; 3) umpatan versus takbir; 4) dukungan media barat. Keempat poin

tersebut diungkapkan hanya untuk menunjukan sisi positif pendukung Mursi dan

18

menimbulkan efek negatif dari massa penentang Mursi yang berhaluan nasionalis-

sekuler. Kemudian di bagian akhir pembahasan di paparkan tentang keterlibatan

luar negeri dalam Revolusi Mesir. Tetapi secara keseluruhan, dilihat dari

penggunaan gaya bahasa dan cara penyajian, unsur subjektivitas (membela) Mursi

sangat diperlihatkan sehingga memberikan kesan “penelitian subjektif”.

Tinjauan kedelapan sekaligus yang terakhir adalah skripsi yang ditulis oleh

Wahyu Ardianti Woro Seto, Program Studi Sastra Arab UNS dengan judul

“Demokratisasi Mesir Pasca Husni Mubarak sampai Muhammad Mursi Tahun

2011-2013 (Studi Kepustakaan)”. Skripsi tersebut membahas proses demokrasi

Mesir yang melalui tahapan alot hingga menciptakan revolusi dalam dua setengah

tahun. Seto membagi transisi demokrasi menjadi tiga; 1) persiapan; 2) keputusan;

3) konsolidasi. Kemudian dikaji tentang kondisi Mesir saat jeda pemerintahan

setelah Hosni Mubarak. Pada akhir pemerintahan Mursi kronologi menjelang

kudeta terhadap Mursi di paparkan secara urut. Diantaranya dijelaskan bahwa

terjadi konflik antara kelompok Islamis dan Kristen Koptik, demo massa penuntut

Mursi, dan diakhiri dengan kudeta oleh militer. Dalam pembahasan kudeta oleh

militer, dijelaskan respon militer berupa tindakan represif terhadap kebijakan-

kebijakan Mursi, namun tindakan (kekerasan) yang dipaparkan hanya terhadap

massa pendukung Mursi sedangkan tindakan lanjutan terhadap Mursi tidak

disajikan.

Berdasarkan beberapa tinjauan kepustakaan yang penulis lakukan, semuanya

memusatkan pembahasan pada pergantian-pergantian pemerintahan Mesir yang

menimbulkan gejolak. Meskipun terdapat sedikit pembahasan terkait kronologi

maupun peristiwa penurunan Hosni Mubarak dan kudeta terhadap Mursi, kajian

19

tentang kekerasan dalam objek tersebut tidak dilakukan secara mendalam. Bahkan

boleh dikatakan belum ada yang mengkhususkan pada kekerasan yang terjadi.

Maka dari itu pada penelitian ini, memfokuskan pembahasan pada kekerasan yang

diimplementasikan sebagai buah dari gagasan pikiran baik dari sisi masyarakat

maupun militer yang kemudian berkembang menjadi sebuah budaya.

B. Perumusan Masalah

Rumusah masalah dari penelitian ini terdiri dari dua pokok permasalahan,

yaitu:

1. Apa saja kekerasan yang dilakukan masyarakat, polisi dan militer Mesir

dalam peristiwa turunnya Hosni Mubarak dan Muhammad Mursi ?

2. Apa penyebab lahirnya kekerasan tersebut ?

C. Tujuan Pembahasan

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menggambarkan berbagai kekerasan yang

dilakukan oleh masyarakat sipil, polisi dan militer pada revolusi Mesir

2011 dan 2013.

2. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya kekerasan yang terjadi pada

peristiwa penurunan Hosni Mubarak dan Muhammad Mursi dari

jabatannya.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang

budaya kekerasan yang tercipta di tengah masyarakat sipil, polisi, dan badan

militer Mesir.

20

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan penelitian selanjutnya

tentang iklim kekerasan masyarakat Mesir pada peristiwa jatuhnya pemerintahan

Hosni Mubarak juga tentang peristiwa kudeta Mursi oleh militer Mesir, karena

hingga saat ini penelitian ilmiah tentang kekerasan di Mesir masih tergolong

minim.

E. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, akan membahas berbagai proses kekerasan yang terjadi

pada saat jatuhnya pemerintahan Hosni Mubarak (2011) dan Muhammad Mursi

(2013). Adapun alur pembahasannya dimulai dari mengulas kembali profil negara

Mesir yang berhubungan dengan sejarah pemerintahannya, jenis-jenis kekerasan

yang terjadi pada revolusi Mesir 2011 dan 2013, serta bentuk-bentuk kekerasan

yang dilakukan.

F. Teori

Penelitian skripsi ini menggunakan teori hegemoni. Teori hegemoni pertama

kali di cetuskan oleh Antonio Gramci (1891-1937). Teori Hegemoni yang

dimaksud oleh Gramci menunjuk pada kuatnya pengaruh kepemimpinan, dalam

bentuk moral maupun intelektual, yang membentuk sikap kelas yang dipimpin

dalam karakter konsensual (Purwasito, 2011: 45). Menurut Arif (dalam Purwasito,

2011: 45) konsensus yang terjadi dalam dua kelas ini (yang dipimpin dan yang

memimpin) bisa diciptakan melalui cara pemaksaan maupun pengaruh secara

terselubung, lewat pengetahuan yang disebarkan melalui perangkat-perangkat

kekuasaan.

21

Kepemimpinan hegemoni juga harus memerhatikan sentimen-sentimen dari

masyarakat-bangsa dan tidak boleh tampak sebagai makhluk aneh atau asing yang

terpisah dari massa. Dalam konsep hegemoni Gramci, terdapat pemikiran tentang

negara-bangsa. Negara dan bangsa adalah dua konsep yang berbeda dalam politik

dunia. Dalam terminologi Gramci, dapat dikatakan bahwa bangsa dan identitas-

identitas etnis yang lain, dibentuk dalam masyarakat sipil. Masyarakat sebagian

dibentuk dalam sistem pendidikan. Adapun negara, sebagai suatu aparat koersif

yang mengontrol hukum dan administrasi “keadilan” dalam wilayah tertentu dan

lembaga hukum didalamnya membantu membentuk “suatu masyarakat” yang

tunduk terhadapnya (Bocock, 2007: 38-39).

Bagi Gramci, hegemoni tidak dilakukan dengan cara anarkis maupun

tindakan-tindakan persuasif, tetapi proses emansipasi dengan memberikan

kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat (individu) untuk mengembangkan

potensi dan bakat yang dimilikinya (Purwasito, 2011:46). Kenyataan yang telah

kita saksikan bersama bahwa pada peristiwa lengsernya Hosni Mubarak akibat

kemarahan rakyat Mesir telah membuktikan bahwa pemerintahan yang sangat

membatasi masyarakat dengan kediktatoran yang cukup lama pada akhirnya dapat

menjadi bumerang. Menurut Gramci, apabila kekuasaan hanya dicapai dengan

mengandalkan kekuasaan memaksa (baca : diktator), maka hasil yang dicapai

hanya sebatas kata “dominasi” dan itu tidak akan bersifat langgeng (Sulasman &

Gumilar, 2013 : 209).

Menurut Heryanto (dalam Sulasman dan Gumilar, 2013 : 208) melalui

konsep hegemoni, Gramci beragumentasi bahwa jika ingin kekuasaan dapat abadi

dan langgeng membutuhkan dua perangkat kerja. Pertama, perangkat kerja yang

22

mampu melakukan berbagai tindak kekerasan yang bersifat memaksa, dengan kata

lain membutuhkan perangkat kerja yang bernuansa Law Enforcement. Perangkat

kerja ini biasa dilakukan oleh pranata negara melalui hukum, militer, polisi, bahkan

penjara. Kedua, perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta

pranata-pranata negara untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan

beragama, pendidikan, kesenian, bahkan keluarga.

Apabila kita mengalihkan pandangan ke Mesir dengan berdasarkan

pandangan dari Gramci, pelengseran Hosni Mubarak dan kudeta terhadap Mursi,

disebabkan karena tidak seimbangnya eksistensi antar perangkat kerja. Pada masa

Hosni Mubarak, badan militer berkuasa melalui dirinya dan membatasi kebebasan

masyarakat serta ditambah dengan memburuknya kondisi negara. Sedangkan masa

Muhammad Mursi, kekuatan politik Islam yang diusung oleh IM seperti belum

mendapatkan restu seutuhnya dari seluruh pihak di Mesir.

Keadilan dalam kehidupan bernegara perlu mempertimbangkan unsur

keseimbangan antar kelompok manusia yang sama-sama menjadi “penghuni

negara”. Bagi penguasa yang benar-benar ingin melanggengkan kekuasannya

tentunya pasti akan mempertimbangkan perangkat kerja yang kedua agar

keseimbangan itu dapat tercapai. Dengan demikian, supremasi kelompok

(penguasa) atau kelas sosial tampil dalam dua cara, yaitu dominasi atau penindasan

dan kepemimpinan intelektual dan moral. Tipe yang kedua merupakan hegemoni,

sehingga hegemoni berarti kekuasaan melalui persetujuan atau konsensus. Pada

kesimpulannya, Hegemoni adalah rantai kemenangan yang didapat melalui

mekanisme konsensus (consenso) dari pada melalui penindasan terhadap kelas

sosial lain (Sulasman & Gumilar, 2013: 210).

23

G. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber data

primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara para pengamat

atau ahli Timur Tengah, dan melalui beberapa kuesioner yang diisi oleh informan

langsung di Mesir. Adapun data sekunder diperoleh dari buku-buku, jurnal, dan

berita/koran yang membahas seputar kasus yang diangkat oleh peneliti. Untuk

sumber data kepustakaan diantaranya adalah :

1. Teori-Teori Kekerasan editor oleh Thomas Santoso

2. Revolusi Timur Tengah karya Apriadi Tamburaka

3. Arab Spring Badai Revolusi Timur Tengah yang Penuh Darah karya

M. Agastya ABM

4. Dari Istana ke Liang Lahat: Mursi karya Badriyah Huriyah

5. Liberation Square, Inside The Egyptian Revolution and The Rebirth of A

Nation karya Ashraf Khalil

6. Tweets From Tahrir karya Nadia Iddle dan Alex Nuns

H. Metode dan Teknik Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kualitatif. Penelitian kualitatif cenderung berkembang dan banyak berkembang

dalam ilmu-ilmu sosial yang berhubungan dengan perilaku sosial atau manusia

(Subana dan Sudrajat, 2001: 11). Metode pembahasan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode deduktif yaitu memfokuskan pembahasan dari umum

ke khusus.

24

Model pembahasan yang diterapkan adalah studi kasus tunggal. Studi kasus

tunggal ini berhubungan dengan penyikapan dimana peneliti mempunyai

kesempatan untuk mengamati dan menganalisis suatu fenomena yang tak

mengizinkan penelitian ilmiah (Yin, 1996: 47). Selanjutnya, model studi kasus

tunggal yang dimaksud adalah studi kasus tunggal terpancang yaitu pembahasan

kasus secara mendalam dan bukan menyeluruh (Yin, 1996: 51-53). Studi kasus

yang mendalam berarti memfokuskan pada satu kasus yang ekstrem atau unik

kemudian berusaha untuk mengungkap hal ihwal terkait yang masih dianggap

abstrak oleh khalayak umum.

Paradigma penelitian yang digunakan adalah paradigma naturalistik. Pada

paradigma ini peneliti berusaha menafsirkan fenomena budaya yang ditemuinya,

tidak memanipulasi atau mengontrolnya, dan lebih mengutamakan logic in action

(Endraswara, 2006 : 39).

2. Pengambilan dan Penyeleksian Data

Data dan sumber diperoleh melalui hasil wawancara beberapa informan

profesional, observasi, dan penelusuran dokumen.

a. Wawancara dilakukan dengan para peneliti di bidang Kajian Timur

Tengah, pejabat diplomat Kemlu RI, dan tokoh Pendeta Koptik. Hasil

dari wawancara kemudian di transkripsi dan dijadikan sumber data

primer atau menjadi rujukan berpikir peneliti.

b. Observasi dilakukan dengan memantau perkembangan berita melalui

surat kabar cetak maupun media online pada tahun 2011 dan 2013. Selain

itu, peneliti menyebarkan beberapa kuesioner di Mesir melalui kerja

sama mahasiswa Sastra Arab UNS yang sedang berada di Canal Suez

25

University. Kuesioner diberikan kepada beberapa WNI yang tinggal di

Mesir sekaligus menjadi saksi mata pada saat kejadian terjadi. Pemilihan

WNI sebagai informan dikarenakan kasus yang diangkat masih sangat

sensitif bagi warga Mesir sendiri baik di kalangan akademisi maupun

umum.

c. Penelusuran dokumen dilakukan dengan studi pustaka (library research)

di beberapa perpustakaan dan jurnal-jurnal terkait.

Setelah data dikumpulkan, tahap selanjutnya adalah penyeleksian data. Data

hasil penelitian di lapangan dijadikan sebagai data primer sedangkan data dari

buku, berita, dan jurnal ilmiah dijadikan sebagai data sekunder. Data sekunder

dijadikan sebagai pendukung data primer agar data primer dapat dipertanggung

jawabkan validitasnya. Untuk menguji keabsahan data maka peneliti

menggunakan teknik triangulasi, yaitu usaha memahami data melalui berbagai

sumber, subjek peneliti, cara (teori, metode, teknik) dan waktu (Ratna, 2010: 241).

Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi

sumber, yaitu dengan membandingkan berbagai sumber data yang diterima dan

melakukan pengujian data melalui sumber data yang berbeda, pengecekan data

melalui pembanding ini berfungsi untuk menguji elemen data agar data yang

diperoleh valid dan bersifat objektif. Cara dalam menguji validitas data adalah:

a. Membandingkan hasil wawancara, pengamatan dan dokumen yang

diperoleh

b. Membandingkan pengakuan seorang informan secara pribadi dengan

pernyataan-pernyataannya di depan umum

26

c. Perbandingan pendapat sebagai orang biasa dan birokrat dengan situasi

pemberitaan media

3. Analisis Data

Setelah pengumpulan data, pengujian, dan penyeleksian data selesai maka

tahap selanjutnya adalah analisis data. Teknik analisis data menggunakan analisis

model interaktif. Menurut Miles dan Huberman analisis data dilakukan melalui

tiga tahapan utama: reduksi data, penyajian data dan penarikan simpulan (Ulber,

2009: 27).

Tahapan pertama, reduksi data dilakukan dengan cara mengklasifikasikan

data sesuai dengan esensinya. Pemilahan data pada tahap reduksi yang dilakukan

adalah dengan cara menetapkan data yang akan dianalisis melalui kegiatan

observasi non-partisipan serta wawancara. Pemilihan data dilakukan berdasarkan

derajat keabsahan data. Tahapan kedua, penyajian data yakni dengan melakukan

proses pemahaman makna melalui deskripsi dalam bentuk narasi hingga akhirnya

mengantarkan data menuju ulasan akhir. Pada tahapan terakhir yaitu penarikan

simpulan dari seluruh proses penelitian dengan menyertakan kritik dan saran.

Gambar 3. Tahapan Analisis Data Menurut Miles dan Huberman

Sumber: Silalahi. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 27

27

I. Sistematika Penyajian

Hasil penelitian ini akan disajikan dalam empat bab dengan masing-masing

beberapa sub bab untuk memudahkan pembaca dalam memahami penelitian ini.

Adapun rinciannya adalah sebagai berikut :

Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, teori, sumber

data, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II merupakan pembahasan rumusan masalah pertama yang terdiri dari

empat sub bab yaitu; 1) Profil Mesir dan Pemerintahannya; 2) Agresi, Kekersan,

Revolusi; 3) Kekerasan Simbolik pada revolusi 2011; dan 4) Kekerasan fisik pada

revolusi 2011 dan 2013.

Bab III adalah pembahasan rumusan masalah kedua yaitu sebab-sebab

terjadinya kekerasan yang terdiri dari dua sub bab; 1) Kekerasan Simbolik pada

revolusi Mesir 2011; dan 2) Kekerasan fisik pada revolusi Mesir 2011 dan 2013.

Bab IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan

saran yang bermanfaat untuk penelitian selanjutnya. Bagian paling terakhir di

sertakan juga daftar pustaka dan lampiran-lampiran selama penelitian berlangung.