pencegahan stroke pada pasien fibrilasi atrium

39
PENCEGAHAN STROKE PADA PASIEN FIBRILASI ATRIAL BERDASARKAN EVIDENCE BASED MEDICINE Ismail Setyopranoto Bagian I.P. Saraf FK UGM/ Unit Stroke SMF Saraf RSUP Dr Sardjito Yogyakarta Abstract Atrial fibrillation (AF) the most commonly encountered cardiac arrhythmia in clinical practice, accounts for the majority of arrhythmia-related hospital admissions. The incidence of AF increases significantly with age. AF is a major risk factor for stroke, making a person five times more likely to have a stroke. About 15% of all people who have strokes have AF, too. People who have been diagnosed with AF have already taken the first step to preventing AF-related stroke. Currently, management of patients with AF involves 2 key objectives; prevention of thromboembolism and correction of the rhythm disturbance or rate control. Rate- and/or rhythm-control strategies are adopted to address the AF itself and manage symptoms. However, regardless of whether the rate-control or rhythm-control strategy is pursued, antithrombotic therapy is required for prevention of thromboembolism. Consequently, the decision to adopt a management strategy of rhythm control does not eliminate the need for effective antithrombotic therapy, except perhaps in patients at lowest thromboembolic risk (CHADS2 score <1). The CHADS2 score integrates elements from several stroke risk classification schemes and is based on a point system for risk aiming to identify those patients who are at higher risk and who may benefit most from oral anticoagulant therapy. Aspirin is recommended for patients with AF who have a low risk for stroke, but aspirin only provides modest protection. Vitamin K antagonists, such as warfarin, are the only oral 1

Upload: peter-prast

Post on 18-Dec-2015

20 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

stroke dan AF

TRANSCRIPT

PENCEGAHAN STROKE PADA PASIEN FIBRILASI ATRIUM: DARI SUDUT PANDANG DOKTER SPESIALIS SARAF

PENCEGAHAN STROKE PADA PASIEN FIBRILASI ATRIAL BERDASARKAN EVIDENCE BASED MEDICINEIsmail Setyopranoto

Bagian I.P. Saraf FK UGM/ Unit Stroke SMF Saraf RSUP Dr Sardjito Yogyakarta

Abstract

Atrial fibrillation (AF) the most commonly encountered cardiac arrhythmia in clinical practice, accounts for the majority of arrhythmia-related hospital admissions. The incidence of AF increases significantly with age. AF is a major risk factor for stroke, making a person five times more likely to have a stroke. About 15% of all people who have strokes have AF, too. People who have been diagnosed withAF have already taken the first step to preventing AF-related stroke. Currently, management of patients with AF involves 2 key objectives; prevention of thromboembolism and correction of the rhythm disturbance or rate control. Rate- and/or rhythm-control strategies are adopted to address the AF itself and manage symptoms. However, regardless of whether the rate-control or rhythm-control strategy is pursued, antithrombotic therapy is required for prevention of thromboembolism. Consequently, the decision to adopt a management strategy of rhythm control does not eliminate the need for effective antithrombotic therapy, except perhaps in patients at lowest thromboembolic risk (CHADS2 score 200 kali per menit) menunjukkan adanya jalur aksesori atau takikardi ventrikel.Fibrilasi atrial adalah gangguan irama jantung berkelanjutan yang paling umum dijumpai, dan insidensinya meningkat dengan peningkatan usia, dan sering dikaitkan dengan penyakit jantung struktural, meskipun kebanyakan pasien tidak terdeteksi mempunyai penyakit jantung. Gangguan hemodinamik dan kejadian tromboembolik akibat fibrilasi atrial berhubungan secara sigifikan dengan morbiditas, mortalitas dan biaya (Jacobs et al., 2011). Pasien dengan fibrilasi atrial, riwayat stroke sebelumnya atau TIA akan meningkatkan risikonya terhadap serangan stroke, dan masih menjadi kontroversi terhadap penanganannya apakah diberikan heparin intravena atau low-molecular-weight heparin (LMWH) (Douketis et al., 2008).

Direkomendasikan untuk pasien dengan stroke iskemik atau TIA paroksismal atau fibrilasi atrial permanen, diberikan antikoagulan yaitu antagonis vitamin K, dengan target INR 2,5 pada rentang 2,0-3,0 (Klas I, Level of Evidence A). Sedangkan untuk pasien yang tidak bisa diberikan antikoagulan oral, maka dianjurkan pemberian aspirin saja (Klas I, Level of Evidence A). Kombinasi aspirin dengan clopidogrel mempunyai risiko perdarahan yang sama dengan pemberian warfarin, sehingga tidak dianjurkan untuk pasien perdarahan (Klas III, Level of Evidence B). Selanjutnya untuk pasien fibrilasi atrial yang mempunyai risiko tinggi terjadinya serangan stroke selama masa 3 bulan, dengan skor CHADS2 yaitu 5 atau 6, juga didapatkan adanya penyakit katup mekanik atau rematik, maka dianjurkan pemberian LMWH subkutan (Klas IIa, Level of Evidence C).

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk melihat kualitas terhadap bukti-bukti penelitian yang direkomendasikan terhadap manajemen fibrilasi atrial pada pasien stroke dengan mengikuti aturan yang berlaku, yaitu A,B, C atau D. Selanjutnya juga untuk melihat tingkat evidence yang diperlihatkan dengan nomor I, II, III atau IV, dan tingkatan ini menunjukkan sumber-sumber yang dapat dipercaya. Tabel 1. memperlihatkan masing-masing tingkat evidence beserta penjelasannya. Tabel 1. Level of evidence (LoE) dan tingkat rekomendasiL o ETipe bukti klinikRekomendasi

IaMeta-analisis atau randomized controlled trials (RCT)A

Ib Randomized controlled trials (RCT)A

IiaMempunyai desain yang baik, terdapat kontrol walaupun tanpa randomisasiB

IibMempunyai desain yang baik, quasi-experimental studyB

IIIMempunyai desain yang baik, non-experimental descriptive study (studi komparasi, studi korelasi, studi kasus kontrol)B

IVLaporan, opini atau pengalaman para ahli.C

Consensus of working partyRekomendasi dari organisasi profesi berdasarkan pengalaman klinik atau pengembangan dari Guideline Development GroupD

Klasifikasi rekomendasi

Kelas I: Terdapat bukti dan / atau kesepakatan umum bahwa sebuah prosedur yang diberikan / terapi bermanfaat, berguna, dan efektif. Kelas II: Terdapat bukti yang bertentangan dan / atau perbedaan pendapat tentang manfaat / efikasi prosedur / terapi. Klas IIa: Bukti yang kuat / opini yang mengabulkan gugatan kegunaan / efikasi

Klas IIb: Berdasarkan bukti bahwa kegunaan / efikasi kurang kuat. Klas III: Terdapat bukti dan / atau konsensus bahwa prosedur / terapi tidak bermanfaat atau tidak efektif dan dalam beberapa kasus mungkin berbahaya.2. Patofisiologi fibrilasi atrialBerdasarkan beberapa eksperimen yang sudah dilakukan maka akhir-akhir mekanisme fibrilasi atrial mulai mendapat kejelasan dan dipahami dalam hal terjadinya gelombang yang tidak teratur dari eksitasi. Aritmia kardial disebabkan oleh kelainan pengaturan dan lokasi impuls jantung atau adanya gangguan tertentu pada konduksi impuls sehingga urutan aktivasi normal pada atrium dan ventrikel terganggu, misalnya adalah kelainan inisiasi impuls (berupa automatisitas abnormal), kelainan konduksi impuls (re-entry) dan / atau keduanya (Miller & Zipes, 2001).Tabel 2. Beberapa penyebab fibrilasi atrial (Isa et al., 2004)

Kardial

Paling sering dijumpai: Penyakit jantung rematik

Hipertensi

Kardiomiopati atau penyakit otot-otot jantung

Penyakit jantung iskemik

Penyakit perikardial: perikarditis

Sick sinus syndrome

Jarang dijumpai:

Atrial septal defect

Atrial myxomaNon Kardial

Paling sering dijumpai: Infeksi akut: pneumonia

Tirotoksikosis

Konsumsi alkohol berlebihan

Efusi pleura

Tromboemboli pulmonum

Sindroma Pre-eksitasi

Jarang dijumpai:

Karsinoma paru Torakotomi

Timbulnya automatisitas abnormal berasal dari kemampuan seluruh jaringan jantung dalam situasi tertentu untuk menghasilkan impuls sendiri. Aliran cepat dari fokus otomatic dapat bersaing dengan node sinus yang mendominasi irama jantung, seperti misalnya pada takikardi akibat toksisitas obat. Namun demikian, re-entry terjadi ketika impuls jantung bersirkulasi dalam sebuah ruang tertutup dengan gelombang eksitatorik yang menyebar sampai ke seluruh jantung pada setiap sirkuit, misalnya adalah takikardia junctional dan kebanyakan ventrikel takikardi, dilaporkan dari penelitian sebelumnya bahwa fibriasi atrial tidak dapat timbul dari fokus ektopik otomatis, baik tunggal maupun multipel (Isa et al., 2004). Gangguan hemodinamik oleh karena fibrilasi atrial pada dasarnya berasal dari tidak adanya sistole atrium dan juga dari cepatnya maupun ketidakteraturan respon ventrikel, yang berakibat berkurangnya cardiac output. Denyut jantung yang cepat akan mengurangi interval pengisian diastolik, dan kehilangan tambahan dari mekanisme kontraksi atrioventrikular berurutan pada fibrilasi atrial dapat menyebabkan penurunan hebat dari cardiac output dan gangguan hemodinamik lainnya. Dilatasi atrium dan hilangnya sistole atrium menyebabkan terjadinya stasis intra-atrium sehingga menyebabkan pembentukan trombus. Juga, dengan onset yang cepat maupun respon kontraksi ventrikel, maka akan mengakibatkan katup mitral mengalami inkompetens sehingga menurunkan aliran berikutnya (Miller & Zipes, 2001).Terdapat beberapa klasifikasi fibrilasi atrial yang ditujukan untuk manajemen praktis sesuai dengan pola kejadiannya (Roberts et al., 2001), yaitu:

2.1. Fibrilasi Atrial Paroksismal

Istilah ini digunakan untuk menggambarkan setidaknya satu episode dari fibrilasi atrial yang mengakhiri. Durasi episode mungkin berbeda pada setiap waktu dan interval antara episode berurutan tidak dapat diprediksi. Riwayat perjalanan penyakit pada kondisi tersebut adalah adanya progresifitas lebih kearah episode berkepanjangan pada fibrilasi atrial, baik berupa fibrilasi atrial yang persisten maupun permanen, dan hal ini dapat terjadi dalam beberapa tahun. Sehingga tujuan terapi pada fibrilasi atrial paroksismal adalah untuk mencegah kekambuhan.

2.2. Fibrilasi Atrial Persisten

Istilah ini digunakan untuk menggambarkan situasi klinis di mana sebuah episode fibrilasi atrial tidak secara spontan kembali ke irama sinus, walaupun pengobatan maupun kardioversi langsung terkini mampu mengembalikannya. Kemungkinan untuk mengembalikan ke irama sinus tergantung pada berbagai faktor, khususnya durasi dari episode fibrilasi atrial (kurang dari satu tahun) dan derajad pembesaran atrium kiri. Biasanya, kemungkinan untuk memulihkan dan mempertahankan irama sinus kurang berhasil jika diameter atrium kiri lebih dari 6 cm yang diukur dengan EKG (Roberts et al., 2001). Sebaliknya, jika diameter atrium kiri kurang dari 5 cm, hasil kardioversi dan berkurangnya risiko kekambuhan dengan pemberian obat-obat anti-aritmia, maka secara umum hasilnya lebih baik. Pasien dengan diameter atrium kiri antara 5-6 cm umumnya mempunyai kemungkinan besar untuk berhasilnya kardioversi.

2.3. Fibrilasi Atrial Permanen

Istilah ini digunakan jika usaha untuk memulihkan ke irama sinus gagal atau kemungkinan keberhasilan kardioversi rendah sehingga tidak ada usaha lain yang bisa dilakukan. Setelah ditentukan bahwa pada pasien tersebut adalah fibrilasi atrial permanen, maka terapi pada pasien ini lebih ditujukan terhadap pengendalian dan pencegahan kejadian tromboemboli.

3. Strategi pemberian antitrombotik untuk prevensi stroke iskemikSebelum tahun 1990, terapi antitrombotik untuk pencegahan stroke iskemik dan emboli sistemik pada pasien fibrilasi atrial dibatasi terutama hanya untuk pasien penyakit jantung rematik atau katup jantung prostetik (Wolf et al., 1991). Antikoagulan juga diberikan kepada pasien stroke iskemik untuk mencegah stroke ulang tetapi pemberiannya kadang-kadang ditangguhkan untuk menghindari transformasi hemoragik. Didapatkan sebanyak 24 publikasi penelitian yang melibatkan pasien fibrilasi atrial nonvalvular sebanyak 20.012 peserta dengan rata-rata follow up selama 1,6 tahun, rata-rata pasien berumur 71 tahun dan sebanyak 36% adalah perempuan. Sebagian besar penelitian dilakukan di Eropa (14 penelitian, 7273 subjek) dan Amerika Utara (7 penelitian, 8349 subjek). Kebanyakan penelitian tersebut menggunakan inhibitor vitamin K atau aspirin dengan berbagai variasi dosis, juga antikoagulan lain (low-molecular-weight heparin, ximelagatran) serta obat-obat antiplatelet (dipyridamole, indobufen, trifulsal). Terdapat 9 penelitian tentang pemberian antiplatelet yang menggunakan desain double-blind (Benavente et al., 2000; Lechat et al., 2001) dan antikoagulan (Albers et al., 2005).4. Pemberian antikoagulan dengan antagonis vitamin K

Lima penelitian uji acak yang diterbitkan antara tahun 1989 dan 1992 yang mengevaluasi pemberian antikoagulan oral terutama untuk pencegahan primer tromboemboli pada pasien fibrilasi atrial nonvalvular. Kemudian didapatkan juga penelitian yang mengfokuskan pada pencegahan sekunder terhadap pasien yang survive dari stroke atau TIA (EAFT, 1993). Suatu meta-analisis sesuai dengan prinsip-prinsip intention to treat menunjukkan bahwa dosis penyesuaian antikoagulan oral mempunyai efikasi yang tinggi untuk pencegahan semua jenis stroke (baik iskemik maupun perdarahan), dengan pengurangan risiko 62% (95% CI: 0,48-0,72) dibandingkan plasebo (Hart et al., 1999). Penurunan ini adalah serupa untuk pencegahan primer dan sekunder pada stroke. Sedangkan untuk analisis terhadap perlakuan (tidak termasuk pasien yang tidak menerima antikoagulan oral pada saat stroke), efikasi antikoagulan oral untuk pencegahan stroke lebih dari 80%. Empat dari penelitian plasebo kontrol, dimana 2 dari penelitian tersebut adalah buta ganda berhubungan dengan antikoagulan (Ezekowitz et al., 1992), satu penelitian dihentikan lebih awal karena bukti eksternal didapatkan antikoagulan oral terlalu superior dibandingkan dengan plasebo, dan penelitian lainnya dihentikan oleh karena tidak memiliki subjek perempuan. Pada 3 penelitian tersebut, dosis antikoagulan oral disesuaikan dengan rasio prothrombin time, 2 penelitian menggunakan target INR berkisar 2,5-4,0 dan 2,0-3,0. Durasi follow-up umumnya antara 1 sampai 2 tahun, dan yang terlama adalah 2,2 tahun, sedangkan dalam praktek klinis, penggunaan antitrombotik untuk pasien fibrilasi atrial biasanya lebih lama.

Semua melaporkan tentang dikeluarkannya dari penelitian pasien yang dianggap berisiko tinggi terjadinya perdarahan. Usia pasien dan intensitas pemberian antikoagulan adalah prediktor terkuat terhadap kejadian perdarahan (Fang et al., 2004; Odn et al., 2006). Usia rata-rata subjek penelitian adalah 69 tahun, seleksi subjek dilakukan secara hati-hati, walaupun demikian tidak jelas apakah subjek dengan tingkat yang relatif rendah terjadinya pendarahan juga diamati pada pasien fibrilasi atrial dalam praktek klinis, pada penelitian tersebut untuk subjek yang berusia lebih dari 75 tahun memang lebih diperhatikan dalam pemberian antikoagulan (Sudlow et al., 1998; Biblo et al., 2001). Target pemberian antikoagulan adalah terjadinya keseimbangan antara pencegahan stroke iskemik dan mencegah terjadinya komplikasi perdarahan. Penargetan intensitas terendah secara adekuat pada pemberian antikoagulan terhadap pasien fibrilasi atrial pada lanjut usia adalah untuk meminimalkan risiko perdarahan. Proteksi maksimal terhadap terjadinya stroke iskemik pada pasien fibrilasi atrial dapat dicapai pada nilai INR antara 2,0-3,0 (Hylek et al., 2003). Dua penelitian uji randomisasi dengan target INR antara 1,4-2,8 (dengan rentang nilai INR antara 2,0-2,1) didapatkan adanya pengurangan tertinggi risiko relatif terjadinya stroke iskemik. Suatu penelitian pada pasien fibrilasi atrial dengan riwayat stroke sebelumnya atau TIA secara randomisasi dibandingkan nilai INR antara 2,2-3,5 dengan 1,5-2,1; dan ditemukan rata-rata lebih tinggi adanya kejadian perdarahan luas dengan intensitas yang lebih tinggi pada nilai INR antara 2,2-3,5 (Gorter, 1999). Pada pasien fibrilasi atrial nonvalvular, nilai INR antara 1,6-3,0 adalah efikasius terhadap pencegahan stroke dan relatif aman. Untuk prevensi primer pada pasien fibrilasi atrial usia dibawah 75 tahun dan juga untuk prevensi sekunder, dianjurkan nilai INR kurang lebih 2,5 (antara 2,0-3,0), sedangkan untuk pasien usia lebih dari 75 tahun yang berisiko tinggi terjadinya perdarahan dianjurkan target INR adalah 2,0 (antara 1,6-2,5). Kejadian perdarahan luas pada penelitian 5 uji klinis acak adalah 1,2% per tahun (Hart & Halperin, 2001). Walaupun demikian pemberian antikoagulan terhadap pasien lanjut usia dengan fibrilasi atrial, didapatkan rata-rata kejadian perdarahan intraserebral yang lebih rendah yaitu antara 0,1% hingga 0,6%, hal ini mungkin mencerminkan intensitas pemberian antikoagulan yang lebih rendah, pemberian dengan dosis yang lebih hati-hati, atau kontrol yang lebih baik terhadap hipertensinya (Albers et al., 2005; Hart et al., 2005). Berdasarkan dua kali analisis terhadap penelitian tentang nilai INR pada pemberian antikoagulan terhadap pasien lanjut usia secara kohort, kejadian perdarahan intrakranial meningkat pada nilai INR antara 3,5-4,0; dan tidak terjadi peningkatan perdarahan dengan nilai INR antara 2,0 dan 3,0 (Hylek et al., 2003; Fang et al., 2004). Berdasarkan gabungan hasil dari penelitian uji acak secara kohort dan dengan subjek yang lebih besar disarankan nilai aman untuk INR adalah antara 2,0-2,5 (Go et al., 2003). Selain intensitas dosis, usia lanjut dan hipertensi, faktor yang terkait dengan peningkatan risiko perdarahan intraserebral selama pemberian antikoagulan pada pasien stroke dan juga pemberian antiplatelet secara bersamaan, maka harus diperhatikan juga risiko lain yang dapat meningkatkan perdarahan intraserebral, misalnya adalah mengkonsumsi rokok atau alkohol, etnis, genotipe, dan kelainan vaskular tertentu berdasarkan pemeriksaan pencitraan otak, seperti angiopati amiloid, leukoaraiosis atau terjadinya perdarahan mikro (Hart et al., 2005). Hingga saat ini belum ada skema stratifikasi untuk memprediksi kejadian perdarahan intraserebral selama pemberian terapi antikoagulan.

5. Pemberian aspirin sebagai terapi antitrombotik pada pasien fibrilasi atrialAspirin memang hanya memberikan prevensi yang minimal terhadap serangan stroke pada pasien fibrilasi atrial (ESPS, 1990). Berdasarkan meta-analisis terhadap 5 penelitian acak menunjukkan adanya pengurangan kejadian stroke sebesar 19% (95% CI: 0,02-0,34) (Hart et al., 1999). Pengaruh aspirin pada stroke pada penelitian tersebut kurang konsisten dibandingkan dengan antikoagulan oral (Hart et al., 1999), namun perbedaan pengaruh terhadap prevensi primer maupun sekunder mungkin mempengaruhi efikasi aspirin. Sebagai contoh, aspirin menurunkan kejadian stroke sebesar 33% pada penelitian tentang prevensi primer dibandingkan dengan 11% untuk penelitian terhadap prevensi sekunder (Hart et al., 1999). Pada penelitian tersebut aspirin mungkin lebih efikasi untuk pasien fibrilasi atrial dengan hipertensi atau diabetes dan juga untuk menurunkan kejadian stroke iskemik non-kardioembolik dibandingkan dengan kardioembolik pada pasien fibrilasi atrial (Miller et al., 1993). Stroke oleh karena kardioembolik lebih fatal dibandingkan dengan stroke non-kardioembolik (Hart et al., 2000). Pemberian aspirin lebih baik untuk mencegah stroke yang non fatal dibandingkan dengan stroke yang berakibat fatal (Hart et al., 1999). Sehingga semakin besar risiko stroke kardioembolik yang berakibat fatal pada pasien fibrilasi atrial, maka semakin rendah sifat proteksi yang diberikan oleh aspirin (Hart et al., 2000).

Informasi tambahan tentang rata-rata pemberian aspirin atau tidak dilakukan terapi antitrombotik diperoleh dari data kohort ATRIA terhadap 13.428 pasien fibrilasi atrial rawat jalan di Kaiser Permanente Medical Care Program di North Carolina selama periode 1996-1999. Didapatkan 11.526 pasien tanpa kontraindikasi pemberian antikoagulan, dan 6.320 dari pasien tersebut diberi terapi warfarin (Go et al., 2003). Kemudian diantara 5.089 pasien yang tidak diobati dengan warfarin, kejadian tromboemboli adalah 2,0% per tahun (Go et al., 2000). Terhadap pasien dengan riwayat stroke atau TIA, hanya 4% dari pasien tersebut yang tidak diobati dengan antikoagulan, dan yang lainnya dilakukan pencegahan primer (Go et al., 2003). Dilakukan follow up selama 2,2 tahun, didapatkan kejadian tromboemboli sebanyak 249 kasus (231 stroke iskemik dan 18 kejadian emboli non stroke), dan kasus tersebut terjadi pada kelompok yang tidak diberi terapi anticoagulan dengan insidensi 2,0% per tahun (95%CI: 0,18-0,23). Suatu penelitian kasus-kontrol terhadap 294 pasien, dimana diperkirakan kurang lebih 45% menggunakan aspirin. Ketika dilakukan pengamatan secara kohort terhadap kelompok subjek yang lebih besar dan subjek tersebut kontraindikasi terhadap pemberian warfarin (pasien lansia yang lebih berisiko stroke atau sebelumnya terdapat riwayat stroke maupun TIA), maka tingkat kejadian tromboemboli adalah 2,5% per tahun. Sebagai perbandingan, diantara 1.853 pasien tanpa riwayat tromboembolik sebelumnya yang diberi aspirin pada penelitian SPAF I, II dan III, didapatkan kejadian stroke iskemik adalah 2,7% per tahun (Go et al., 2000). Terdapat klasifikasi lain tentang faktor risiko stroke, dikenal sebagai CHADS2 (Cardiac Failure, Hypertension, Age, Diabetes, Stroke) yang mengintegrasikan beberapa faktor risiko. Masing-masing faktor risiko pada CHADS2 mempunyai skor yang berbeda, yaitu untuk Cardiac Failure, hipertensi, umur lebih dari 75 tahun, dan diabetes masing-masing mempunyai skor 1, sedangkan untuk riwayat stroke atau TIA mempunyai skor 2 (Table 3) (van Walraven et al., 2003; Gage et al., 2001).Nilai prediktif dari skor CHADS2 telah dilakukan evaluasi terhadap 1733 pasien fibrilasi atrial non valvular yang mendapatkan pengobatan terhadap faktor-faktor risikonya, pasien tersebut berumur antara 65-95 tahun dan tidak diberi warfarin sewaktu pulang dari rumah sakit. Pada penelitian yang sama secara kohort dengan modifikasi AFI terhadap pasien yang berisiko tinggi (adanya riwayat stroke sebelumnya atau TIA, hipertensi maupun diabetes) dan tingkat risiko moderat (usia lebih dari 65 tahun tanpa faktor risiko lainnya), didapatkan rerata kejadian stroke pada kelompok risiko tinggi sebesar 5,4% per tahun (95%CI: 0,42-0,65), sedangkan pada kelompok tingkat risiko moderat didapatkan 2,2% per tahun (95%CI: 0,11-0,35). Penelitian lain berdasarkan kriteria SPAF, pada kelompok tingkat risiko tinggi (mempunyai riwayat stroke atau TIA, perempuan usia lebih dari 75 tahun, atau didapatkan adanya cardiac failure), maka rerata kejadian stroke sebesar 5,7% per tahun (95%CI: 0,44-0,70), pada kelompok tingkat risiko moderat (riwayat hipertensi dan tidak ada fakot risiko lainnya) didapatkan rerata kejadian stroke sebesar 3,3% per tahun (95%CI: 0,17-0,52); sedangkan pada kelompok risiko rendah (tanpa faktor risiko) didapatkan rerata kejadian stroke sebesar 1,5% per tahun (95%CI: 0,05-0,28).Tabel 3. Indeks CHADS2

Kriteria Risiko CHADS2Skor

Cardiac Failure

HipertensiAge >75 y

Diabetes melitu

Stroke sebelumnya atau TIA1

1

1

1

2

Walaupun skor CHADS2 menunjukkan adanya manfaat untuk pencegahan kejadian stroke, namun demikian pemberian antikoagulan masih kontroversial, terutama untuk kelompok dengan tingkat risiko moderat. Beberapa ahli menganjurkan penggunaan secara rutin antikoagulan untuk pasien dengan tingkat risiko moderat, sementara ahli lain menyarankan secara selektif pemberian antikoagulan pada pasien dengan tingkat risiko moderat, dengan selalu memperhatikan kejadian risiko perdarahan (Hart & Halperin, 1999). Ambang batas dosis kemanfaatan antikoagulan yang diberikan kepada pasien fibrilasi atrial bervariasi. Pada beberapa pasien dengan tingkat risiko moderat dapat diberi antikoagulan, tetapi ahli lain tidak memberikan (Howitt & Armstrong, 1999). Rekomendasi pemberian antitrombotik pada pasien dengan fibrilasi atrial dapat dilihat pada tabel 4.

Table 4. Terapi antitrombotik untuk pasien fibilasi atrialKategori risikoRekomendasi terapi

Tidak ada faktor risiko Satu faktor risiko moderat

Satu faktor risiko tinggi atau >1 faktor risiko moderatAspirin dosis 81-325 mg/hrAspirin dosis 81-325 mg/hr, atau warfarin (INR: 2,0-3,0; target 2,5)Warfarin (INR: 2,0-3,0; target 2,5)*

Faktor risiko kecil atau tidak adaFaktor risiko moderatFaktor risiko tinggi

Perempuan

Umur 65-74 tahunPenyakit Arteri Koroner TirotoksikosisUmur >75 tahunHipertensi

Heart failure

LV fraksi ejeksi 35% atau kurang

Diabetes melitusRiwayat stroke, TIA atau emboli

Mitral stenosis

Katup jantung prosthetic*

*Jika katup mekanik, target INR harus lebih dari 2,5.

INR: International Normalized Ratio; LV: Left Ventricular; TIA: Transient Ischemic Attack.

Meskipun risiko kejadian tromboemboli yang berhubungan dengan atrial flutter mungkin sedikit lebih rendah dibandingkan dengan fibrilasi atrial, tetapi akan lebih baik jika digunakan kriteria stratifikasi yang sama untuk kedua aritmia tersebut untuk mencegah kejadian stroke.

Diantara 210 pasien pada penelitian populasi yang dilakukan Cardiovascular Health Study dengan usia rata-rata subjek adalah 74 tahun) tanpa pemberian antikoagulan, maka didapatkan kejadian stroke sebesar 2,6% per tahun (Feinberg et al., 1999). Penelitian ATRIA secara kohort dengan menggunakan kriteria CHADS2 untuk risiko stroke tunggal dan pasien tidak diberi antikoagulan, maka kejadian stroke dan emboli sistemik sebesar 1,5% per tahun (95%CI: 0,12-0,19) (Go et al., 2003). Selanjutnya dari 670 pasien yang diberi aspirin pada 6 penelitian klinis, didapatkan kejadian stroke sebesar 2,2% per tahun untuk mereka yang skor CHADS2 1 (95% CI: 0,16-0,31) (Gage et al., 2004). Sehingga dapat disimpulkan bahwa antikoagulan oral mempunyai efikasi lebih tinggi jika dibandingkan dengan aspirin untuk mencegah kejadian stroke pada pasien fibrilasi atrial, dengan pengurangan risiko sebesar 33% (95%CI: 0,13-0,49) berdasarkan hasil meta-analisis dari 5 penelitian (Hart et al., 1999). Penelitian randomisasi yang melibatkan pasien fibrilasi atrial risiko tinggi (tingkat kejadian stroke lebih dari 6% per tahun) menunjukkan adanya penurunan lebih besar pada risiko relatif dengan pemberian antikoagulan oral dibandingkan dengan aspirin, sedangkan pengurangan risiko relatif secara konsisten lebih kecil pada pasien fibrilasi atrial dengan risiko kejadian stroke yang lebih rendah. Pemberian antikoagulan oral mungkin paling bermanfaat untuk pasien fibrilasi atrial yang mempunyai risiko tinggi terjadinya tromboemboli, sedangkan aspirin hanya menurunkan sedikit baik terhadap risiko relatif maupun dan risiko mutlak terhadap kejadian stroke. Secara individual risiko kejadian stroke bervariasi berdasarkan waktu, sehingga pemberian antikoagulan tetap harus selalu dievaluasi secara berkala pada semua pasien fibrilasi atrial.Table 5. Rekomendasi pemberian antitrombotik pada pasien fibrilasi atrial

Profil pasienTerapi AntitrombotikRekomen-dasi

Umur 75 tahun, laki-laki, faktor risiko lain (-)Antikoagulan oral (INR: 2,0-3,0) atau aspirin 81-325 mg/hrI

Umur >65, heart failure (+)Antikoagulan oral (INR: 2,0-3,0)I

Fraksi ejeksi venterikel kiri