penanganan awal pasien asma bronkiale pada...
TRANSCRIPT
i
PENANGANAN AWAL PASIEN ASMA BRONKIALE
PADA SAAT SERANGAN
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Keperawatan
Oleh :
Anita Purwaningsih
NIM ST13003
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillahi robbil ‘alamin kehadirat Allah SWT, karena
rahmat dan petunjuk-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Penanganan Awal Pasien Asma Bronkiale pada Saat Serangan”. Dalam
penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bimbingan serta dukungan dari berbagai
pihak. Penulis menyadari tanpa adanya bimbingan dan dukungan maka kurang
sempurna penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Dra. Agnes Sri Harti, MSi. selaku ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta
2. Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Ketua Program Studi S-1
Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta.
3. Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Pembimbing Utama yang
telah memberikan banyak masukan dan bimbingan serta arahan dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Alfyana Nadya Rachmawati, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Pembimbing
Pendamping yang telah memberikan banyak masukan, bimbingan serta
arahan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Happy Indri Hapsari, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Penguji yang telah
memberikan saran dan masukan pada penyusunan skripsi ini.
6. Plt. Kepala UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri yang telah
memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian.
v
7. Seluruh staf pengajar dan akademik Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta yang telah membantu penulis
8. Bapak Sutar. H.S dan Ibu Harsiwi, Bapak dan Ibu tercinta yang selalu
mengajarkan arti kesabaran dan kekuatan, yang tak henti – hentinya
mendoakan dan selalu memberikan motivasi serta dukungan kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
9. Suamiku tercinta, Bapak Rudi Wiratno yang juga tak henti – hentinya
mendoakan dan selalu memberikan motivasi serta dukungan terbesar kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
10. Kakek, nenek serta saudara – saudara yang tersayang atas doa dan motivasi
yang diberikan kepada penulis.
11. Anak – anak tersayang, ananda Hammam Firdausi dan Huwaida Mumtazah
yang telah rela berbagi perhatian dengan proses studi maupun penyusunan
skripsi yang penulis lakukan.
12. Teman – teman seperjuangan dan seangkatan (ST13) Prodi S-1 Keperawatan
STIKes Kusuma Husada Surakarta yang tak pernah berhenti memberikan
dukungan kepada penulis dan telah berjuang bersama dalam penyelesaian
skripsi.
13. Perawat dan staff UPT Rawat Inap Purwantoro yang telah banyak
membantu dalam penyusunan skripsi ini.
14. Seluruh partisipan yang telah berkenan menjadi partisipan dalam penelitian
ini dan telah membantu penulis dalam memberikan informasi.
vi
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu – persatu dalam penyusunan
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan, untuk
itu penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak. Semoga
penelitian ini dapat memberikan manfaat.
Surakarta, Agustus 2015
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN LOGO i
LEMBAR JUDUL ii
LEMBAR PENGESAHAN iii
SURAT PERNYATAAN iv
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR SKEMA xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
DAFTAR SINGKATAN xv
ABSTRAK xvi
ABSTRACT xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang 1
1.2.Rumusan Masalah 8
1.3.Tujuan Penelitian 8
1.4. Manfaat Penelitian 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Penyakit Asma Bronkiale 10
2.1.1. Pengertian 10
2.1.2. Etiologi 10
viii
2.1.3. Manifestasi Klinik 11
2.1.4. Pathofisiologi 11
2.1.5. Faktor Resiko 13
2.1.6. Klasifikasi 15
2.1.7. Pemeriksaan Penunjang 16
2.1.8. Pengertian Serangan Asma 17
2.1.8.1.Pengertian Penanganan Awal Pada Pasien
Asma Pada Saat Serangan 17
2.1.8.2. Tujuan Penanganan Awal Pada Penderita
Asma 19
2.1.8.3. Tindakan Pertama yang Dilakukan Saat
Serangan Asma 19
2.1.9. Penatalaksanaan 19
2.1.9.1. Penatalaksanaan Asma Bronkiale Secara
Farmakologis 19
2.1.9.2. Penatalaksanaan Asma Bronkiale Secara
Non Farmakologis 20
2.1.9.2.1. Penatalaksanaan Asma Bronkiale
Secara Fisik 21
2.1.9.2.2. Fisioterapi pada Asma 24
2.1.9.2.3. Penanganan Asma Bronkiale
Secara Psikologis 32
ix
2.2. Keaslian Penelitian 34
2.3. Kerangka Teori 38
2.4. Fokus Penelitian 39
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian 40
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 41
3.3. Populasi dan Sampel 42
3.4. Instrumen dan Prosedur Pengumpulan Data 44
3.5. Analisa Data 53
3.6. Keabsahan Data 54
3.7. Etika Penelitian 56
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Tempat Penelitian 58
4.2. Gambaran Karakteristik Partisipan 59
4.3. Hasil Penelitian 72
4.3.1. Pemahaman Partispan tentang Penyakit Asma 73
4.3.1.1.Kategori Pengetahuan 73
4.3.2. Pemahaman Keluarga tentang Penanganan Fisik
pada Asma 85
4.3.2.1.Kategori Penanganan Fisik Pada Asma 85
4.3.3. Pemahaman Keluarga tentang Penanganan
Supportif pada Asma 94
x
4.3.3.1. Kategori Penanganan Supportif Pada Asma
94
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Pemahaman Partisipan tentang Penyakit Asma 103
5.1.1.Kategori Pengetahuan 103
5.2. Pemahaman Keluarga tentang Penanganan Fisik Pada
Asma 111
5.2.1.Kategori Penanganan Fisik pada Asma 111
5.3. Pemahaman Keluarga tentang Penanganan Supportif
Pada Asma 120
5.3.1.Kategori Penanganan Supportif pada Asma 120
BAB VI PENUTUP
6.1. Kesimpulan 127
6.2. Saran 128
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Judul Tabel
Halaman
2.1 Klasifikasi Asma Berdasarkan Derajat
Keparahannya
16
2.2
Keaslian Penelitian
35
xii
DAFTAR SKEMA
Nomor
Skema
Judul Skema Halaman
2.3 Kerangka Teori 38
2.4 FokusPenelitian 39
4.3.1.1 Tema Pengertian 76
4.3.1.2 Tema Tanda dan Gejala 78
4.3.1.3 Tema Waktu Pertama Mengalami Serangan Asma 79
4.3.1.4 Tema Faktor Pencetus 84
4.3.2.1 Tema Peran Keluarga pada Penanganan Fisik 87
4.3.2.2 Tema Metode Penanganan Fisik 89
4.3.2.3 Tema Efek Penanganan Fisik 93
4.3.3.1 Tema Peran Keluarga pada Penanganan Supportif 96
4.3.3.2 Tema Metode Penanganan Supportif 98
4.3.3.3 Tema Efek Penanganan Supportif 102
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Lampiran
Judul Lampiran Keterangan
1 Permohonan Studi Pendahuluan Penelitian dari
STIKes Kusuma Husada Surakarta
2 Surat Rekomendasi Studi Pendahuluan dari UPT
Rawat Inap Purwantoro
3
Pengantar Permohonan Penelitian dari STIKes
Kusuma Husada Surakarta
4 Surat Rekomendasi tentang
Survey/Riset/Penelitian/Pengabdian Masyarakat dari
Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten
Wonogiri
5 Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian dari
UPT Rawat Inap Purwantoro
6 Permohonan Menjadi Partisipan
7 Persetujuan Menjadi Partisipan
8 Lembar Biodata Partisipan
9 Pedoman Wawancara
10 Transkrip Wawancara dengan Salah Satu Partisipan
11 Analisa Tematik
12 Dokumentasi Proses Wawancara dengan Keempat
Partisipan
13 Lembar Konsultasi Pembimbing Utama
14 Lembar Konsultasi Pembimbing Pendamping
15 Lembar Konsultasi Penguji
16 POA Penyusunan Skripsi
xiv
DAFTAR SINGKATAN
NO Nama Singkatan Keterangan
1 APE Arus Puncak Ekspirasi
2 B2 Agonis Beta 2 Agonis Adrenoreseptor
3 BGA Blood Gas Analysis
4 CO Karbon Monoksida
5 CO2 Karbondioksida
6 E=MC2
Rumus Energi=Massa x Constanta kuadrat
7 FEV1 Force Expiratory Volume 1
8 FGD Focus Group Discussion
9 FVC Force Vital Capacity
10 GINA Global Initiative for Atsma
11 IgE Immunoglobulin E
12 mg Miligram
13 mmHg Milimeter Merkuri Hidrargyrum
14 NaCl Natrium Klorida
15 O2 Oksigen
16 PA O2 Partial Alveolar Oxygen
17 RISKESDAS Riset Kesehatan Dasar
18 UPT Unit Pelaksana Teknis
19 WHO World Health Organization
20 WIB Waktu Indonesia Barat
xv
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2015
Anita Purwaningsih
Penanganan Awal Pasien Asma Bronkiale pada Saat Serangan
Abstrak
Asma bronkiale merupakan penyakit yang mengganggu kerja sistem
pernapasan yang apabila tidak segera diobati dan ditangani akan mengakibatkan
gagal napas dan kegawatan, karena pernapasan adalah proses vital kehidupan.
Penanganan non farmakologis merupakan penanganan awal untuk mengatasi
serangan supaya keadaan tidak memburuk. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penanganan awal secara non farmakologis saat serangan asma.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
fenomenologis. Data diperoleh dari wawancara mendalam terhadap 4 partisipan
dewasa dengan asma bronkiale, kooperatif, mampu berkomunikasi verbal baik,
pernah mengalami serangan asma minimal dua tahun terakhir dan pernah
menjalani perawatan karena asma di UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten
Wonogiri. Pengambilan dan rekruitmen partisipan dengan purposive sampling.
Analisa data menggunakan metode Colaizzi.
Hasil penelitian didapatkan 10 tema: (a) pengertian; (b) tanda dan gejala;
(c) faktor pencetus; (d) waktu pertama mengalami serangan asma, (e) peran
keluarga pada penanganan fisik; (f) metode penanganan fisik; (g) efek
penanganan fisik, (h) peran keluarga pada penanganan supportif; (i) metode
penanganan supportif; (j) efek penanganan supportif. Penanganan awal saat
serangan secara fisik didukung support secara psikologis yang dilakukan
keluarga yang dilakukan dengan tepat efeknya mengurangi gejala saat serangan.
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi bagi pelayanan keperawatan di
institusi pelayanan kesehatan dan keluarga sehingga aplikasi pemberian asuhan
keperawatan terhadap penderita asma bronkiale dapat optimal.
Kata Kunci : Penanganan awal, Asma bronkiale, Saat serangan
Daftar Pustaka : 32 (2005-2014)
xvi
BACHELOR PROGRAM IN NURSING SCIENCE
KUSUMA HUSADA HEALTH SCIENCE COLLEGE OF SURAKARTA
2015
Anita Purwaningsih
Early Management of Bronchial asthma Patients at the Time of Its Attack
ABSTRACT
Bronchial asthma is a disease which interrupts the breathing system. It
must immediately be managed as it is a vital process of life. If the asthma is not
dealt with, this will cause the breathing failure and emergency. Non-
pharmacological management is the early management to deal with the attack so
that the condition will not get worse. The objective of this research is to
investigate the early non-pharmacological management at the time of asthma
attack.
This research used the qualitative phenomenological method. The data of
research were collected through in-depth interview with adult participants who
had bronchial asthma. They were cooperative and able to communicate verbally.
In addition, they ever experienced its attack at least during the last two years and
underwent the asthma treatment at the Technical Implementation in Patient Unit
of Public Health Center of Purwantoro, Wonogiri Regency. The participants of
research were taken by using the purposive sampling technique. The data of
research were analyzed by using the Colaizzi’s method.
The result of research shows that there were 10 themes, namely: (a)
definition bronchial asthma; (b) signs and symptoms of bronchial asthma; (c)
precipitating factors; (d) the first time of having asthma attack, (e) family’s role in
physical management; (f) method of physical management; (g) effect of physical
management; (h) family’s role in supportive management; (i) supportive
management method; and (j) effect of supportive management. The early
management at the time of asthma attack was physically supported by
psychological support which was extended the family. It was done properly so
that it reduced the symptoms at the time of its attack. The result of this research
was expected to give information to the nurses’ services at the health service
institutions and the family so that the application of the nursing care
administration to the bronchial asthma patients could be optimal.
Keywords: early management, bronchial asthma, at the time of attack
References: 32 (2005-2014)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif, intermitten, reversible
dimana trachea dan bronchi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi
tertentu (Musliha, 2010). Secara klinis asma adalah suatu serangan dengan
sesak yang disertai dengan suara napas “mengi” (wheezing/wheeze), yang
dapat timbul sewaktu - waktu dan dapat hilang kembali (sempurna ataupun
hanya sebagian), baik secara spontan maupun hanya dengan obat-obatan
tertentu/sifat reversibilitas (Danusantoso, 2011).
Asma disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik, secara intrinsik
asma bisa disebabkan oleh infeksi (virus influensa, pneumoni mycoplasmal),
fisik (cuaca dingin, perubahan temperatur), iritan seperti zat kimia, polusi
udara (CO, asap rokok, parfum), faktor emosional (takut, cemas dan tegang)
juga aktivitas yang berlebihan. Secara ekstrinsik/imunologik asma bisa
disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi dan inhalasi alergen (debu, serbuk,
bulu binatang) (Danusantoso, 2011).
Stadium dini gejala yang muncul pada asma antara lain: batuk
berdahak dengan pilek maupun tidak, ronchi hilang timbul, belum ada
wheezing, belum ada kelainan bentuk thorak, ada peningkatan eosinofil darah
dan IgE, sesak napas, penurunan tekanan parsial O2. Pada stadium lanjut,
tanda dan gejala yang muncul pada asma adalah: batuk, ronchi, napas berat,
2
dan dada seakan tertekan, dahak lengket, suara napas melemah dan bahkan
tak terdengar (silent chest), bentuk thorak barel chest, terdapat tarikan otot
sternokleidmastoideus, sianosis, BGA Pa O2 kurang dari 80%, rontgent paru
terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan kiri, hipokapnea,
alkalosis bahkan asidosis respiratorik (Danusantoso, 2011).
Secara garis besar penatalaksanaan asma bronkiale dibedakan menjadi
2 yaitu farmakologis dan non farmakologis. Secara farmakologis pengobatan
asma menggunakan reliever yaitu obat yang berfungsi untuk menghilangkan
obstruksi dan controller sebagai anti inflamasi. Termasuk golongan reliever
adalah agonis beta-2 (seperti salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol,
isoprenalin), anti kolinergik sebagai broncodilator misalnya: ipratropium
bromide dalam bentuk inhalasi, teofilin dan kortikosteroid sistemik. Obat
yang termasuk dalam golongan controller antara lain: kortikosteroid, natrium
kromoglikat, natrium nedokromil, dan antihistamin anti lambat (Rengganis,
2008).
Secara non farmakologis penatalaksanaan pada pasien asma pada
dasarnya dapat dibedakan secara fisik maupun psikologis, secara fisik pada
saat serangan dapat diberikan tindakan fisioterapi yang salah satu unsur di
dalamnya terdapat massage pada area punggung, adanya kesadaran penderita
asma akan arti penting exercise (karena dengan olah raga seperti senam asma,
renang dan jogging dan peningkatan aktivitas secara bertahap dapat
mengurangi gejala asma), latihan pernapasan dengan cara menghembuskan
napas secara tepat ( hal ini akan mengurangi CO2 di paru-paru dan membuat
3
rileks saluran pernapasan), mengetahui adanya faktor pencetus. Penanganan
secara psikologis antara lain: pentingnya edukasi pada penderita asma tentang
penyakitnya dan bagaimana menyikapinya, mengenali faktor alergi (tungau,
debu rumah, alergen dari hewan, jamur, zat dari tepung sari, polusi udara),
pemberian support untuk mengontrol emosi saat serangan sehingga pernapasan
berangsur teratur dan sesak napas berkurang. (Musliha, 2010).
Menurut WHO (2006) sebanyak 100 hingga 150 juta penduduk dunia
adalah penyandang asma. Jumlah ini terus bertambah sebanyak 180.000 orang
setiap tahunnya. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat
terutama di negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara – negara Asia
Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru – baru ini menunjukkan
tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan di
Amerika Serikat dan Eropa . Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah
dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat
setiap tahunnya (GINA, 2006).
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Pada
tahun 2003 dilaporkan 5,2%. Hasil survey prevalensi asma di beberapa kota di
Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta,
Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma berkisar 3,7– 6,4%.
Berdasarkan laporan riset kesehatan dasar yang dilakukan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Pemerintah dan Kesehatan tahun 2007,
prevalensi nasional adalah sebesar 4% (Yunus, 2012). Berdasarkan riset
kesehatan dasar nasional tahun 2013 adalah 4,5%, prevalensi asma bronkiale
4
adalah sebesar 3,01% dari total penduduk Jawa Tengah 4,3% dan untuk
Kabupaten Wonogiri sebesar1,6% (RISKESDAS, 2013),
Menurut Sudoyo (2006) tujuan utama penatalaksanaan asma adalah
meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat
hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pada
serangan akut/mendadak penanganan awal pada pasien asma saat serangan
bertujuan agar tidak terjadi obstruksi jalan napas atau keadaan yang semakin
memburuk yaitu kegagalan napas.
Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, di wilayah kerja UPT
Rawat Inap Purwantoro berdasarkan rekapitulasi laporan 10 besar penyakit
pada tahun 2013 jumlah kunjungan pasien dengan asma bronkiale adalah
sejumlah 68 pasien, tahun 2014 sejumlah 76 pasien dan bulan Februari sampai
dengan Juli 2015 sejumlah 44 pasien. Dari 10 pasien yang ditemui di tempat
pelayanan kesehatan UPT Rawat Inap Purwantoro, diperoleh data bahwa gejala
yang muncul saat terjadi serangan asma bronkiale adalah sesak napas, kadang
ada rasa seperti tercekik pada leher, pusing, nyeri dada, cemas, panik dan
secara obyektif pada auskultasi paru terdengar suara wheezing.
Empat dari sepuluh pasien yang ditemui peneliti mengatakan bahwa
datang ke tempat pelayanan kesehatan UPT Rawat Inap Purwantoro adalah
sebagai pilihan untuk mendapatkan perawatan dan penanganan secara
farmakologis saat serangan, dalam hal ini penanganan yang dimaksud adalah
pemberian terapi inhalasi (nebulizer, menggunakan 1 unit (2,5 ml) obat inhalasi
5
yang mengandung kombinasi ipratroprium bromide 0,5 mg dan salbutamol 2,5
mg yang diencerkan dengan NaCl dengan perbandingan 1:1).
Namun terdapat upaya non farmakologis sebelum mendapat
penanganan medis/farmakologis yang dilakukan oleh keluarga yang diyakini
keempat pasien dapat meringankan gejala saat serangan adalah penanganan
non farmakologis baik secara fisik maupun psikologis, penanganan fisik yang
dimaksud adalah massage ringan, “kerokan” dengan menggunakan minyak
kayu putih atau minyak. lain yang menghangatkan pada area dada dan
punggung. Keempatnya mengungkapkan bahwa setelah diberikan penanganan
fisik tersebut gejala yang muncul saat serangan seperti batuk, sesak napas
terasa berkurang, napas terasa lebih lega dan dada pun juga terasa longgar/tidak
tertekan. Menurut Monalisa (2012), berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan pada penanganan pasien asma, massage dada dengan minyak kayu
putih akan memberikan efek anti spasmodik sehingga mengurangi obstruksi
jalan napas.
Menurut Dessianti (2015), kondisi distress pernapasan, yaitu kondisi
di mana orang menderita ketidaknyamanan pada saluran pernapasan, seperti
pada serangan asma seseorang dapat menggunakan manfaat minyak kayu putih
untuk mendapatkan bantuan untuk meringankan rasa sesak pada dada serta
hidung tersumbat. Minyak kayu putih juga membantu dalam menyingkirkan
lendir serta membantu mengencerkan dahak, sehingga memberikan bantuan
ekstra. Kemudian juga memberikan efek menenangkan pada rongga hidung,
sehingga udara yang terasa dingin dan hidung tersumbat akan segera teratasi.
6
Campuran minyak kayu putih dengan air hangat dapat digunakan sebagai
inhalan atau dioleskan pada hidung, leher, dan tengkuk sehingga melonggarkan
pernapasan. Pada serangan asma dibutuhkan zat yang yang terkandung dalam
minyak kayu putih bersifat memberikan sebagai relaksasi otot sehingga dapat
mengurangi penyempitan pada saluran udara di saluran pernapasan (Ahmad,
2013). Menurut Masyoel dalam Nafiah 2013, “kerokan” yang di masyarakat
awam diyakini juga mampu meringankan gejala saat terjadi serangan asma,
maka mekanisme yang terjadi adalah ketika “kerokan” pinggiran uang logam
menggores permukaan kulit. Hal ini yang membuat panas tubuh berangsur
turun. Ketika pengerokan pingiran uang logam berperan seperti pemijatan,
sehingga membuat rasa nyeri dan pegal, pusing, sesak napas termasuk pada
asma berangsur hilang jika di sertai dengan istirahat yang cukup.
Penanganan secara psikologis/supportif yang diyakini oleh keempat
pasien dapat meringankan gejala adalah support keluarga untuk mengendalikan
pernapasan, tenang/tidak panik dan cemas. Keempatnya mengungkapkan
bahwa apabila mereka mampu mengendalikan diri, tenang, tidak cemas maka
gejala yang muncul seperti sesak napas berkurang dan dada terasa lebih
longgar. Menurut Setyoningsih (2008), berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan pada penanganan pasien asma, didapatkan hasil bahwa self
management (dalam hal ini kemampuan pasien dalam mengenali faktor
pencetus, mengendalikan stress dan emosi saat serangan) dapat mengurangi
gejala asma. Dinyatakannya pula bahwa secara psikologis keluarga merupakan
faktor penting yang membantu pasien asma dalam hal self management saat
7
mendapatkan serangan. Dalam hal ini support keluarga yang dimaksud adalah
pengendalian stress dan emosi pasien asma saat mendapatkan serangan
sehingga gejala yang muncul saat serangan tidak semakin parah.
Ketika ada gangguan dalam sistem pernapasan berupa batuk atau
serangan asma, maka kinerja otot-otot pernapasan pada dinding thorak akan
dibebani pekerjaan tambahan dengan frekuensi berkali lipat dari biasa berupa
kontraksi berlebihan yang begitu keras saat batuk. Begitu juga yang terjadi
pada penderita asma, bila dalam kondisi biasa otot-otot tersebut bekerja begitu
santai, maka ketika asma kambuh otot-otot pernapasan pada dinding thorak
harus bekerja extra keras untuk membantu paru memompa udara keluar dari
dalam paru agar segera berganti dengan udara yang baru. Itulah sebabnya
support untuk mengatur napas otot perut/diafragma begitu dianjurkan bagi
penderita asma, sebab support tersebut akan memberikan efek relaksasi secara
mental dan selanjutnya kondisi tenang tersebut akan menurunkan frekuensi
pernapasan yang meningkat saat serangan (Yudiono dalam Jakfisio, 2013).
Serangan asma merupakan kondisi kegawatan pada pernapasan yang
memerlukan penanganan awal secara fisik maupun supportif, karena apabila
kondisi serangan tidak tertangani dengan baik akan mengakibatkan kegagalan
napas sebagai salah satu proses vital kehidupan (Musliha, 2010). Berdasarkan
fenomena tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih
lanjut tentang penanganan awal secara fisik maupun psikologis/supportif
sebelum pengobatan medis yang dilakukan keluarga sebagai tindakan untuk
mengurangi gejala pada pasien asma saat mendapatkan serangan.
8
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah : “Bagaimana penanganan awal pasien asma bronkiale
saat terjadinya serangan?”
1.3. TUJUAN PENELITIAN
1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu untuk mengetahui
penanganan awal pada pasien asma bronkiale pada saat terjadinya
serangan.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui pemahaman partisipan tentang penyakit asma
bronkiale.
2. Mengetahui pemahaman partisipan dan keluarga tentang
penanganan awal secara fisik pada serangan asma.
3. Mengetahui pemahaman partisipan dan keluarga tentang
penanganan awal secara psikologis/supportif pada serangan asma
1.4. MANFAAT PENELITIAN
1.4.1. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan / Puskesmas Rawat Inap
1. Sebagai bahan masukan/referensi dalam meningkatkan pemberian
perawatan pada pasien asma bronkiale dengan terapi supportif dan
massage ringan untuk mengurangi gejala yang muncul seperti
sesak napas, nyeri dada, cemas dan tegang.
9
2. Memberikan pengetahuan yang dapat diaplikasikan dalam praktik
layanan keperawatan kepada klien khususnya pada pasien dengan
asma bronkiale.
1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan/referensi bagi institusi
pendidikan keperawatan untuk materi pembelajaran dalam asuhan
keperawatan pada pasien asma bronkiale.
1.4.3. Bagi Peneliti lain
Merupakan acuan atau sumber bagi penelitian terkait.
1.4.4. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat menjadi pengalaman belajar dalam meningkatkan
pengetahuan dan skill peneliti dalam memberikan asuhan keperawatan
terhadap pasien asma bronkiale saat terjadinya serangan.
1.4.5. Bagi Klien dengan Asma dan Keluarga
Sebagai pengetahuan dalam upaya pencegahan terjadinya serangan di
rumah dan memberikan dukungan secara fisik maupun psikologis
pada klien saat terjadi serangan asma di rumah.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori
2.1.1. Pengertian
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif, intermitten,
reversible dimana trachea dan bronchi berespon secara hiperaktif terhadap
stimulasi tertentu (Musliha, 2010). Secara klinis asma adalah suatu
serangan dengan sesak yang disertai dengan suara napas “mengi”
(wheezing/wheeze), yang dapat timbul sewaktu-waktu dan dapat hilang
kembali (sempurna ataupun hanya sebagian), baik secara spontan maupun
hanya dengan obat-obatan tertentu/sifat reversibilitas (Danusantoso,
2011).
2.1.2. Etiologi
Asma disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik, secara
intrinsik asma bisa disebabkan oleh infeksi (virus influensa, pneumoni
mycoplasmal), fisik (cuaca dingin, perubahan temperatur), iritan seperti
zat kimia, polusi udara (CO, asap rokok, parfum), faktor emosional (takut,
cemas dan tegang) juga aktivitas yang berlebihan. Secara
ekstrinsik/imunologik asma bisa disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi
dan inhalasi alergen (debu, serbuk, bulu binatang) (Danusantoso, 2011).
11
2.1.3. Manifestasi Klinis
Pada stadium dini gejala yang muncul antara lain: batuk berdahak
dengan pilek maupun tidak, ronchi hilang timbul, belum ada wheezing,
belum ada kelainan bentuk thorak, ada peningkatan eosinofil darah dan
IgE, sesak napas, penurunan tekanan parsial O2. Pada stadium lanjut,
tanda dan gejala yang muncul adalah: batuk, ronchi, sesak napas berat dan
dada seakan tertekan, dahak lengket, suara napas melemah dan bahkan tak
terdengar (silent chest) bentuk thorak barel chest, terdapat tarikan otot
sternokleidomastoideus, sianosis, BGA Pa O2 kurang dari 80%, rontgent
paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan kiri,
hipokapnea (alkalosis bahkan asidosis respiratorik) (Danusantoso, 2011).
2.1.4. Patofisiologi
Triger (pemicu) yang berbeda akan menyebabkan eksaserbasi
asma oleh karena inflamasi saluran napas atau bronchospasme akut atau
keduanya. Sesuatu yang dapat memicu serangan asma ini sangat bervariasi
antara satu individu dengan individu yang lain dan dari satu waktu ke
waktu yang lain. Beberapa hal diantaranya adalah allergen, polusi udara,
infeksi saluran napas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat atau
ekspresi emosi yang berlebihan. Mekanisme keterbatasan aliran udara
yang bersifat akut ini bervariasi sesuai dengan rangsangan. Allergen akan
memicu terjadinya bronkhokontriksi akibat pelepasan Ig-E dependent dari
mast sel saluran pernapasan dari mediator, termasuk diantaranya histamin,
prostaglandin, leukotrin sehingga akan terjadi kontraksi otot polos.
12
Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini kemungkinan juga terjadi
oleh karena saluran pernapasan pada pasien asma sangat hiperresponsif
terhadap bermacam – macam jenis rangsangan. Pada asma akut
mekanisme yang menyebabkan bronchokonstriksi terdiri dari kombinasi
antara pelepasan mediator sel inflamasi dan rangsangan yang bersifat lokal
atau refleks saraf pusat. Akibatnya keterbatasan aliran udara timbul oleh
karena adanya pembengkakan dinding saluran napas dengan atau tanpa
kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas dan kebocoran
mikrovaskular berperan terhadap penebalan dan pembengkakan pada sisi
luar otot polos saluran pernapasan.
Penyempitan saluran pernapasan yang bersifat progesif yang
disebabkan oleh inflamasi saluran pernapasan dan atau peningkatan tonus
otot polos bronkhioler merupakan gejala serangan asma akut dan berperan
terhadap peningkatan resistensi aliran, hiperinflasi pulmoner dan
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi. Apabila tidak dilakukan koreksi
terhadap obstruksi saluran pernapasan ini, akan terjadi gagal napas yang
merupakan konsekuensi dari peningkatan kerja pernapasan,
ketidakefektifan pertukaran gas dan kelelahan otot- otot pernapasan.
Interaksi kardiopulmoner dan sistem kerja paru berhubungan erat dengan
obstruksi saluran napas.
Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting
pada asma akut. Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama
inspirasi dan ekspirasi. Ketika terjadi obstruksi aliran udara saat ekspirasi
13
yang relatif cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang
kecil untuk mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan
atmosfer maka akan terjadi hiperinflasi dinamik. Besarnya hiperinflasi
dapat dinilai dengan derajat penurunan kapasitas cadangan fungsional dan
volume cadangan. Fenomena ini dapat pula terlihat pada foto toraks, yang
memperlihatkan gambaran volume paru yang membesar dan diafragma
yang mendatar.
Hiperinflasi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan
aktifitas otot pernapasan, mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan
kardiovaskular. Hiperinflasi paru akan meningkatkan afterload pada
ventrikel kanan oleh karena peningkatan efek kompresi langsung terhadap
pembuluh darah paru (Sudoyo, 2006 ).
2.1.5. Faktor Resiko
Menurut Wong (2006), resiko berkembangnya asma merupakan
interaksi antara faktor penjamu (host) dan faktor lingkungan. Faktor
penjamu tersebut adalah: predisposisi genetik asma, alergi, hiperreaktifitas
bronkus, jenis kelamin, ras/etnik.
Faktor lingkungan dibagi 2, yaitu :
a. Yang mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi asma
untuk berkembang menjadi asma.
b. Yang menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan/atau menyebabkan
gejala asma menetap.
14
2.1.5.1 Faktor lingkungan yang mempengaruhi individu dengan predisposisi
asma untuk berkembang menjadi asma adalah :
a. Allergen di dalam maupun di luar ruangan, seperti minyak, kosmetik,
alergen binatang, alergen kecoa, jamur, tepung sari bunga.
b. Sensitisasi (bahan) lingkungan kerja.
c. Asap rokok.
d. Polusi udara di luar maupun di dalam ruangan.
e. Infeksi pernapasan (virus).
f. Diet.
g. Status sosioekonomi.
h. Besarnya keluarga.
i. Obesitas.
2.1.5.2 Faktor lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan/atau
menyebabkan gejala asma menetap adalah :
a. Allergen di dalam maupun di luar ruangan.
b. Polusi udara di luar maupun di dalam ruangan.
c. Infeksi pernapasan.
d. Olah raga dan hiperventilasi.
e. Perubahan cuaca.
f. Makanan, additif (pengawet, penyedap, pewarna makanan).
g. Obat-obatan, seperti asetil salisilat.
h. Ekspresi emosi yang berlebihan.
i. Asap rokok.
15
j. Iritan antara lain parfum, bau-bauan yang merangsang.
2.1.6. Klasifikasi
Menurut GINA(2006), klasifikasi asma adalah suatu kontinum,
yang berarti bahwa derajat berat asma persisten dapat berkurang atau
bertambah. Derajat gejala eksaserbasi atau serangan asma dapat
bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya.
2.1.6.1 Klasifikasi Menurut Etiologi.
Usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi,
terutama dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu
sulit dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak
diketahui.
2.1.6.2 Klasifikasi Menurut Kontrol Asma
Dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya, istilah
kontrol menunjukkan penyakit yang beratnya hiperreaktivitas bronkus.
Berbagai cara digunakan untuk mengukur hiperreaktivitas bronkus
tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara
dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat non spesifik.
16
2.1.6.3 Klasifikasi asma bronkiale menurut derajat keparahannya
dapat dibedakan seperti di bawah ini:
Tabel 2.1
Klasifikasi asma bronkiale menurut derajat keparahan asma.
(Sumber : GINA, 2006 ).
Keparahan Asma Gejala Klinis Fungsi Paru
Step I
Intermiten
Gejala kurang dari 1x / bulan
kekambuhan singkat
Gejala malam hari kurang dari 2x
/ bulan
Arus Puncak Ekspirasi
(APE) > 80 %
Varibilitas APE < 20
%
Step II
Persistant Ringan
Gejala lebih dari 1x / minggu
tetapi kurang dari 1x / hari
Kekambuhan mengganggu
aktivitas tidur
Gejala malam hari lebih dari 2x /
bulan
APE >80 %
Variabilitas APE 20 –
30%
Step III
Persistant Sedang
Gejala setiap hari kekambuhan
Mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala malam hari >1x /minggu
Penggunaan B2 agonis setiap hari
APE 60 – 80 %
Variabilitas APE > 30
%
Step IV
Persistant Berat
Gejala setiap hari
Kekambuhan sering
Gejala malam hari
Aktifitas fisik terbatas
APE < 60 %
Variabilitas APE 30
%
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
Pada asma bronkiale pemeriksaan diagnostik yang dilakukan antara lain :
1. Test faal paru dan ukur APE (dilakukan pada pagi dan malam hari).
2. Tes kulit, misalnya ditemukan debu dan serpih kulit berarti mempunyai
atopi.
3. Tes darah eosinofil.
17
4. Tes profokasi, dengan cara bernapas dalam lingkungan pekerjaan,
muncul dalam beberapa saat/malam harinya diukur dengan APE, atau
lari selama 6 menit, catat APE sebelum dan sesudah lari.
5. Scanning paru, dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari
bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada
paru – paru.
6. Spirometri untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible,
cara paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon
pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan
sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau
nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 (Force Expiratory
Volume) atau FVC lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak
adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan
spirometri tidak saja penting untuk menilai berat obstruksi dan efek
pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan obstruksi (Musliha, 2010).
2.1.8 Pengertian Serangan Asma
Serangan asma adalah terdapatnya tanda-tanda sulit untuk bernapas
disertai bunyi “mengi” (wheezing), cemas, kulit wajah pucat dan
membiru dan apabila dibiarkan akan menyebabkan pingsan (Musliha,
2010). Menurut Danusantoso (2011) serangan pertama asma (waktu
pertama didapatkan serangan) dapat timbul pada masa kanak – kanak
sampai masa setengah umur. Menurut Sudoyo (2006) dengan
18
mengetahui gambaran klinis pada anak dan saat pertama timbulnya
serangan asma, maka dapat dilihat luas permasalahan dan seberapa jauh
dilakukannya upaya untuk mencegah serangan asma.
Berikut episode serangan pertama asma berdasarkan kriteria usia
pada masa anak – anak:
1. Asma Episodik Jarang
Sering ditemukan pada usia 3-6 tahun, 70-75% dari populasi asma
pada anak.
2. Asma Episodik Sering
Dua pertiga pada golongan ini serangan pertam terjadi pada umur
sebelum 3 tahun. Pada permulaan serangan terjadi pada usia 5-6
tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi.
3. Asma Kronik Persisten
25% anak golongan ini serangan pertama terjadi sebelum anak
berusia 6 bulan, 75% sebelum usia 3 tahun. 50% mendapat serangan
asma secara episodik pada dua tahun pertama dan hampir selalu
terjadi “mengi” setiap hari.
2.1.8.1 Pengertian Penanganan Awal pada Pasien Asma pada Saat Serangan
Penanganan awal pada pasien asma pada saat serangan adalah
tindakan awal yang diberikan pada penderita asma saat tiba – tiba
mendapatkan serangan yang bertujuan untuk mengurangi intensitas
sesak napas agar tidak semakin parah atau mengakibatkan gagal napas
(Musliha, 2010).
19
2.1.8.2 Tujuan Penanganan Awal pada Penderita Asma
Tujuan penanganan awal pada penderita asma adalah untuk
mengurangi intensitas sesak napas agar tidak semakin memburuk
(Musliha, 2010).
2.1.8.3 Tindakan Pertama yang Dilakukan saat Terjadi Serangan Asma
Tindakan yang pertama dilakukan saat terjadi serangan asma
adalah tenangkan penderita dengan membantunya untuk duduk dan
istirahat, menghindarkan dari faktor alergen, memberikan posisi yang
nyaman, bantu pasien menggunakan inhaler dan mengambil obatnya,
melakukan fisioterapi dada dan latihan napas, dan bila serangan terlihat
berkepanjangan maka sesegera mungkin membawa penderita ke tempat
pelayanan medis (Musliha, 2010).
2.1.9 Penatalaksanaan
Menurut Rengganis (2008), secara garis besar penatalaksanaan
asma bronkiale dibedakan menjadi 2 yaitu farmakologis dan non
farmakologis.
2.1.9.1 Penatalaksanaan Asma Bronkiale Secara Farmakologis
Secara farmakologis pengobatan asma menggunakan reliever
yaitu obat yang berfungsi untuk menghilangkan obstruksi dan
controller sebagai anti inflamasi.Termasuk golongan reliever adalah
agonis beta-2 (seperti salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol,
isoprenalin), anti kolinergik sebagai broncodilator misalnya:
ipratropium bromide dalam bentuk inhalasi, teofilin dan kortikosteroid
20
sistemik. Obat yang termasuk dalam golongan controller antara lain:
kortikosteroid, natrium kromoglikat, natrium nedokromil dan
antihistamin anti lambat (Rengganis, 2008).
2.1.9.2 Penatalaksanaan Asma Bronkiale Secara Non Farmakologis
Secara non farmakologis penatalaksanaan pada pasien asma
meliputi penanganan secara fisik dan psikologis (Rengganis, 2008).
Penatalaksanaan ini pada dasarnya dapat dibedakan secara fisik maupun
psikologis, secara fisik pada saat serangan dapat diberikan tindakan
fisioterapi yang salah satu unsur di dalamnya terdapat massage pada area
punggung, meningkatkan kesadaran penderita asma akan arti penting
exercise (karena dengan olah raga seperti senam asma, renang dan
jogging dan peningkatan aktivitas secara bertahap untuk mengurangi
gejala asma), latihan pernapasan dengan cara menghembuskan napas
secara tepat (karena hal ini akan mengurangi CO2 di paru-paru dan
membuat rileks saluran pernapasan) serta mengetahui adanya faktor
pencetus dan allergi. Penanganan asma secara psikologis antara lain:
edukasi pada penderita asma tentang penyakitnya dan bagaimana
menyikapinya, pemberian support untuk mengontrol emosi saat serangan
sehingga pernapasan berangsur teratur dan sesak napas berkurang.
(Musliha, 2010).
Menurut Monalisa (2012), berdasarkan peneltian yang sudah
dilakukan pada pasien asma bahwa, upaya pengobatan penderita asma
mencakup upaya pengobatan medis (farmakologis) dan non
21
farmakologis, seperti massage dengan minyak kayu putih pada area dada
dan punggung, sebab massage itu sendiri memberikan efek relaksasi
yang mampu melebarkan jalan napas dan minyak kayu putih yang
memberikan rasa hangat memberikan efek anti spasmodik sehingga
mengurangi obstruksi jalan napas. Secara non farmakologis
penatalaksanaan asma bronkiale dibedakan menjadi 2, yaitu penanganan
secara fisik dan psikologis.
2.1.9.2.1 Penanganan Asma Bronkiale Secara Fisik
Menurut Musliha (2010), penanganan asma bronkiale secara fisik
pada dasarnya adalah bagaimana penderita asma mengetahui adanya
faktor pencetus (seperti penggunaan aspirin dan anti inflamasi non
steroid), mengenali faktor alergi (tungau, debu rumah, alergen dari
hewan, jamur, zat dari tepung sari, polusi udara). Hal yang tak kalah
penting adalah kesadaran penderita asma akan arti penting exercise
karena dengan olah raga sepeti senam asma dan jogging dan peningkatan
aktivitas secara bertahap dapat mengurangi gejala asma.
Secara fisik penanganan pada saat serangan yaitu dapat diberikan
tindakan fisioterapi yang salah satu unsur di dalamnya terdapat massage
pada area punggung, meningkatkan kesadaran penderita asma akan arti
penting exercise (karena dengan olah raga seperti senam asma, renang
dan jogging dan peningkatan aktivitas secara bertahap dapat mengurangi
gejala asma), latihan pernapasan dengan cara menghembuskan napas
secara tepat (karena hal ini akan mengurangi CO2 di paru-paru dan
22
membuat rileks saluran pernapasan), mengetahui adanya faktor pencetus
dan alergi (Musliha, 2010).
Menurut Dessianti (2015), saat serangan asma dibutuhkan
tindakan massage dengan media zat yang bersifat memberi relaksasi otot
sehingga dapat mengurangi penyempitan pada saluran udara di saluran
pernapasan. Kondisi distress pernapasan, yaitu kondisi di mana orang
menderita ketidaknyamanan pada saluran pernapasan, seperti pada
serangan asma seseorang dapat menggunakan manfaat minyak kayu
putih untuk mendapatkan bantuan untuk meringankan rasa sesak pada
dada serta hidung tersumbat. Minyak kayu putih juga membantu dalam
menyingkirkan lendir serta membantu mengencerkan dahak, sehingga
memberikan bantuan ekstra. Kemudian juga memberikan efek
menenangkan pada rongga hidung, sehingga udara yang terasa dingin
dan hidung tersumbat akan segera teratasi. Campuran minyak kayu putih
dengan air hangat juga dapat digunakan sebagai inhalan atau dioleskan
pada hidung, leher, dan tengkuk sehingga melonggarkan pernapasan.
Pada serangan asma dibutuhkan zat yang terkandung dalam minyak kayu
putih yang bersifat memberikan sebagai relaksasi otot sehingga dapat
mengurangi penyempitan pada saluran pernapasan (Ahmad, 2013).
Menurut Masyoel dalam Nafiah 2013, “kerokan” yang di
masyarakat awam diyakini juga mampu meringankan gejala saat terjadi
serangan asma, maka proses yang terjadi adalah pinggiran uang logam
menggores permukaan kulit. Kondisi ini yang membuat panas tubuh
23
berangsur turun. Goresan/pengerokan dengan pingiran uang logam
tersebut mekanismenya seperti pemijatan, sehingga membuat rasa nyeri
dan pegal, pusing, sesak napas termasuk pada asma berangsur hilang jika
di sertai dengan istirahat yang cukup.
Penanganan secara psikologis/supportif yang diyakini oleh
keempat pasien dapat meringankan gejala adalah support keluarga untuk
mengendalikan pernapasan, tenang/tidak panik dan cemas. Keempatnya
mengungkapkan bahwa apabila mereka mampu mengendalikan diri,
tenang, tidak cemas maka gejala yang muncul seperti sesak napas
berkurang dan dada terasa lebih longgar. Menurut Setyoningsih (2008),
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada penanganan pasien
asma, didapatkan hasil bahwa self management (dalam hal ini
kemampuan pasien dalam mengenali faktor pencetus, mengendalikan
stress dan emosi saat serangan) dapat mengurangi gejala asma.
Dinyatakannya pula bahwa secara psikologis keluarga merupakan faktor
penting yang membantu pasien asma dalam hal self management saat
mendapatkan serangan. Dalam hal ini support keluarga yang dimaksud
adalah pengendalian stress dan emosi pasien asma saat mendapatkan
serangan sehingga gejala yang muncul saat serangan tidak semakin
parah.
24
2.1.9.2.2 Fisioterapi pada Asma
Menurut Wong (2008), pada penderita asma selain
meresepkan obat, dokter biasanya juga menyarankan fisioterapi. Terapi
pada paru-paru ini akan membantunya mengeluarkan lendir, sehingga
pasien bisa bernapas lega kembali. Umumnya untuk kasus batuk pilek
atau asma yang ringan hanya dibutuhkan 1-2 kali fisioterapi tapi untuk
kasus yang berat bisa dibutuhkan sampai 7 kali, bahkan lebih.
Manfaat fisioterapi bukan hanya meringankan batuk pilek
karena infeksi saja, tapi juga gangguan pernapasan akibat asma atau
pilek karena alergi. Namun fisioterapi di rumah harus dijadikan satu
paket dengan kunjungan ke dokter. Maksudnya, tetap harus diingat
bahwa tujuan fisioterapi adalah memperingan gejala sementara
pengobatan tetap harus dilakukan berdasarkan pemeriksaan dokter.
Fisioterapi dada bertujuan untuk merelaksasi fisik dan mental,
memperkuat otot pernapasan, serta membantu pola pernapasan yang
efisien. Kegiatan yang dilakukan pada fisioterapi dada adalah melatih
bernapas dan pengendalian napas yang dapat mencegah inflamasi
berlebih dan meningkatkan efektifitas batuk.
Menurut Wong (2008) fisioterapi di rumah dapat dilakukan
pada semua usia, dari bayi hingga dewasa. Tahapan - tahapan fisioterapi
antara lain :
25
a. Inhalasi
Inhalasi adalah pengobatan dengan cara memberikan obat
dalam bentuk uap kepada penderita langsung melalui alat
pernapasannya (hidung ke paru-paru). Alat terapi inhalasi
bermacam-macam. Salah satunya yang efektif bagi adalah alat
terapi dengan kompresor (nebulizer) yang di dalamnya digunakan
kombinasi ipratroprium bromide 0,5 mg dan salbutamol 2,5 mg
yang diencerkan dengan NaCl dengan perbandingan 1:1. Cara
penggunaannya cukup praktis yaitu pasien diminta menghirup
uap yang dikeluarkan nebulizer dengan menggunakan masker.
Obat-obatan yang dimasukkan ke dalam nebulizer bertujuan
melegakan pernapasan atau menghancurkan lendir. Semua
penggunaan obat harus selalu dalam pengawasan dokter. Dosis
obat pada terapi inhalasi jelas lebih sedikit tapi lebih efektif
daripada obat oral/obat minum seperti tablet atau sirup, karena
dengan inhalasi obat langsung mencapai sasaran. Bila tujuannya
untuk mengencerkan lendir/sekret di paru-paru, obat akan
langsung menuju ke paru.
b. Latihan batuk
Batuk merupakan cara efektif dan efisien untuk
mengeluarkan lendir di saluran pernapasan. Agar batuk jadi
efektif maka perlu diberikan latihan batuk. Namun latihan ini
hanya bisa dilakukan pada penderita yang sudah bisa diajak
26
sedikit bekerja sama (kooperatif) atau mulai di usia batita. Untuk
bayi, teknik batuk pada fisioterapi di rumah biasanya ditiadakan.
Bayi biasanya mengeluarkan lendir dengan cara
memuntahkannya. Adapun latihan batuk yang bisa dilakukan
adalah pasien duduk dengan agak membungkuk. Instruksikan
pasien untuk menarik napas dalam-dalam lalu tahan dan
kontraksikan otot perut. Tiup napas lebih kuat dan batukkan.
c. Latihan pernapasan (Breathing exercise)
Pada penderita asma, latihan pernapasan selain ditujukan
untuk memperbaiki fungsi alat pernapasan, juga bertujuan melatih
penderita untuk mengatur pernapasan jika terasa akan datang
serangan, ataupun sewaktu serangan asma. Breathing Exercise
berbeda dengan gim atau latihan-latihan yang bertujuan
memperbaiki kelenturan rongga dada serta diafragma. Tujuan
utamanya pada penderita asma adalah untuk melakukan
pernapasan yang benar (efisien). Pada penderita asma, latihan
pernapasan selain ditujukan untuk memperbaiki fungsi alat
pernapasan, juga bertujuan melatih penderita untuk mengatur
pernapasan jika terasa akan datang serangan, ataupun sewaktu
serangan asma. Latihan pernapasan utama bagi penderita asma
adalah latihan napas perut atau diafragma. Kekhususan di dalam
latihan yakni waktu mengeluarkan napas dikerjakan secara aktif.
Sedangkan sewaktu menarik napas, lebih banyak secara pasif.
27
Mengeluarkan napas melalui mulut yang mencucu seperti
sewaktu meniup lilin atau bersiul, pelan-pelan, dengan
mengempiskan dinding perut. Sewaktu inspirasi, dinding perut
relaks (pasif) dan udara masuk ke paru-paru melalui hidung.
d. Penggunaan Minyak Kayu Putih dalam Massage Dada dan
Kerokan pada Asma
Asma adalah suatu kondisi kronis yang terjadi pada sistem
pernapasan, dan bisa merespon aromaterapi (minyak kayu putih
atau minyak gosok lain yang memberikan sensasi rasa hangat)
dengan cukup baik. Minyak kayu putih atau minyak gosok yang
memiliki sensasi hangat, merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari aromaterapi, menunjukkan sifat dekongestan dan
antispasmodic yang membantu meringankan gejala asma
(Faishal, 2007).
Minyak kayu putih/minyak gosok yang diekstrak dari
tanaman umumnya digunakan untuk aromaterapi dalam
mengobati berbagai macam penyakit termasuk asma. Penggunaan
minyak kayu putih untuk mendapatkan manfaat terapeutik bisa
dilakukan dengan cara menghirup atau memijatkannya.
Penggunaan minyak kayu putih atau minyak gosok yang
memberikan sensasi hangat untuk asma telah didukung oleh
testimonial yang positif, telah banyak diterima dalam pengobatan
terkait masalah-masalah pernapasan. Minyak kayu putih
28
membantu membuka saluran pernapasan yang menyempit karena
asma, sehingga membantu bernapas bisa lebih mudah (Dessianti,
2013).
Penggunaan minyak kayu putih atau minyak lain yang
memberikan sensasi hangat dengan cara menggosok dada dan
punggung bisa efektif untuk mengurangi gejala asma. Minyak
kayu putih memiliki sifat anti inflamasi dan antispasmodic,
sehingga dapat membantu mengurangi gejala saat serangan asma.
Menggosokkan minyak kayu putih di dada dan punggung pada
saat serangan asma sebenarnya bisa membantu menghentikan
gangguan pernapasan dalam beberapa saat, sebelum pasien
mendapatkan penanganan secara farmakologis/medis (Ahmad,
2013).
Minyak kayu putih atau minyak yang memberikan sensasi
hangat juga bekerja sebagai bronchodilator, artinya bisa
memperlebar saluran pernapasan. Dengan demikian akan
memungkinkan aliran udara ke paru-paru menjadi lebih lancar.
Karena bisa meringankan saluran pernapasan, selanjutnya juga
bisa untuk meringankan masalah yang terkait pernapasan
termasuk asma bronkiale (Faishal, 2007). Menurut Dessianti
(2015), saat serangan asma dibutuhkan tindakan massage dengan
media zat yang bersifat memberi relaksasi otot sehingga dapat
mengurangi penyempitan pada saluran udara di saluran
29
pernapasan. Kondisi distress pernapasan, yaitu kondisi di mana
orang menderita ketidaknyamanan pada saluran pernapasan,
seperti pada serangan asma seseorang dapat menggunakan
manfaat minyak kayu putih untuk mendapatkan bantuan untuk
meringankan rasa sesak pada dada serta hidung tersumbat.
Minyak kayu putih juga membantu dalam menyingkirkan
lendir serta membantu mengencerkan dahak, sehingga
memberikan bantuan ekstra. Kemudian juga memberikan efek
menenangkan pada rongga hidung, sehingga udara yang terasa
dingin dan hidung tersumbat akan segera teratasi. Campuran
minyak kayu putih dengan air hangat juga dapat digunakan
sebagai inhalan atau dioleskan pada hidung, leher, dan tengkuk
sehingga melonggarkan pernapasan. Pada serangan asma
dibutuhkan zat yang terkandung dalam minyak kayu putih yang
bersifat memberikan sebagai relaksasi otot sehingga dapat
mengurangi penyempitan pada saluran udara di saluran
pernapasan (Ahmad, 2013).
Menurut Masyoel dalam Nafiah 2013, “kerokan” yang di
masyarakat awam diyakini juga mampu meringankan gejala saat
terjadi serangan asma, maka proses yang terjadi adalah ketika
“kerokan” pinggiran uang logam menggores permukaan kulit.
Kondisi ini yang membuat panas tubuh berangsur turun.
Goresan/pengerokan dengan pingiran uang logam tersebut
30
mekanismenya seperti pemijatan, sehingga membuat rasa nyeri
dan pegal, pusing, sesak napas termasuk pada asma berangsur
hilang jika di sertai dengan istirahat yang cukup. Ternyata
Kerokan tidak hanya populer di indonesia, tetapi juga sering di
lakukan oleh orang-orang di negara asia lainnya, seperti di
Vietnam menyebut kerokan sebagai "cao giodi", sedangkan di
Kamboja menyebutnya "goh kyol", bahkan di China yang
terkenal dengan akupunturnya menyebut kerokan dengan sebutan
"gua sua", namun bedanya orang China memakai batu giok
sebagai alat pengerok, bukan kepingan uang logam seperti yang
umumnya dipakai oleh orang Indonesia. (Deimon, 2013).
Kerokan ini pun dipercaya sebagai bukti nyata dalam
perwujudan ilmu Einstein (E=MC2) yang menerangkan bahwa
energi muncul karena pergesekan dua benda. Jika permukaan
tubuh kita digosok-gosokan dengan tangan atau benda tumpul
dengan cepat, maka suhu panas dalan tubuh akan meningkat.
Karena meningkatnya panas dalam tubuh, maka akan terjadilah
perlebaran pembuluh darah sehingga oksigenasi menjadi lebih
baik karena peredaran darah kembali lancar dan rasa sakit
ditubuhpun mereda. (Deimon, 2013).
Prinsip kerokan menurut dr. Koosnadi Saputra, Sp.R,
akupunkturis klinik, mirip prinsip pemanasan dengan
menggunakan moxa yang sering dipakai saat jarum akupunktur
31
ditusukkan pada tubuh untuk mengatasi masuk angin. Prinsip ini
juga tidak jauh berbeda dengan model terapi kop yang biasanya
menggunakan alat seperti tanduk, gelas, karet, tabung bambu dan
lain-lain. Di negeri asal teknik akupunktur, model terapi ini sudah
resmi dipakai sebagai sarana penyembuhan. (Forumviva, 2011).
Menurut Mochtar Wijayakusuma, putra Hembing
Wijayakusuma yang juga seorang akupunkturis, penelitian
mengapa “kerokan” memiliki efek menyembuhkan juga pernah
dilakukan di Universitas Ghuan Thou, sebuah universitas terkenal
di Cina. (Forumviva, 2011). Dengan terlalu sering kerokan
muncul anggapan kulit rusak, pori-pori melebar,pembuluh darah
pecah. Tetapi menurut penelitian yang ada dengan kerokan tidak
ada kulit yang rusak ataupun pembuluh darah yang pecah. Tetapi
terjadi pori-pori yang melebar. Melebarnya pori-pori ini justru
membuat aliran darah lancar dan suplai oksigen dalam darah jadi
meningkat. Sehingga kulit ari juga akan terlepas seperti halnya
saat luluran. Dalam sebuah penelitian menyebutkan bahwa kadar
endorfin orang-orang yang di”kerok” naik signifikan. Dengan
adanya peningkatan endorfin ini membuat mereka nyaman, rasa
sakit hilang termasuk seak napas pada asma, tubuh menjadi lebih
segar dan bersemangat. (sahabathawa, 2013)
32
e. Penanganan Asma Bronkiale Secara Psikologis/Supportif saat
Serangan
Secara psikologis pasien asma saat menghadapi serangan
membutuhkan dukungan mental dari orang terdekat, terutama
keluarga. Berdasarkan Skripsi Pajarani Mogar Setyoningsih
(2008), penerapan self management pada pasien asma dengan
meminimalisasi serangan asma bertujuan agar pasien asma dapat
hidup dengan normal, sehingga kualitas hidupnya meningkat. Self
management pada pasien asma yang dimaksud adalah bagaimana
seorang penderita asma mengenali faktor pencetus asma,
mengendalikan stress dan emosi, tidak panik saat menghadapi
serangan asma, memilih olah raga secara bijaksana untuk upaya
pencegahan, seperti jogging, renang, senam asma dan menentukan
tindakan yang tepat untuk mengatasi serangan. Self management
yang baik pada penderita asma akan mampu mengontrol dan
mengendalikan gejala yang muncul saat serangan, sehingga
mengurangi derajat keparahan.
Fisioterapi dada juga memberikan efek secara psikologis.
Fisioterapi dada bertujuan untuk merelaksasi fisik dan mental,
memperkuat otot pernapasan, serta membantu pola pernapasan
yang efisien. Kegiatan yang dilakukan pada fisioterapi dada
adalah melatih bernapas dan pengendalian napas yang dapat
mencegah inflamasi berlebih dan meningkatkan efektifitas batuk
33
(Wong, 2008). Secara psikologis penanganan awal serangan asma
adalah pentingnya edukasi pada penderita asma tentang
penyakitnya dan bagaimana menyikapinya, diberikan latihan
relaksasi/support dengan kontrol emosi saat serangan sehingga
pernapasan berangsur teratur dan sesak napas berkurang.
(Musliha, 2010).
Ketika ada gangguan dalam sistem pernapasan berupa
batuk atau serangan asma, maka kinerja otot-otot pernapasan pada
dinding thorak akan dibebani pekerjaan tambahan dengan
frekuensi berkali lipat dari biasa berupa kontraksi berlebihan yang
begitu keras saat batuk. Begitu juga yang terjadi pada penderita
asma, bila dalam kondisi biasa otot-otot tersebut bekerja begitu
santai, maka ketika asma kambuh otot-otot pernapasan pada
dinding thorak harus bekerja extra keras untuk membantu paru
memompa udara keluar dari dalam paru agar segera berganti
dengan udara yang baru. Itulah sebabnya support untuk mengatur
napas otot perut/diafragma begitu dianjurkan bagi penderita asma,
sebab support tersebut akan memberikan efek relaksasi secara
mental dan selanjutnya kondisi tenang tersebut akan menurunkan
frekuensi pernapasan yang meningkat saat serangan (Yudiono
dalam Jakfisio, 2013).
34
2.2 Keaslian Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada pasien asma bronkiale yang
mengalami serangan/kekambuhan dengan menekankan pada aspek
penanganan farmakologis dan non farmakologis (mencakup penanganan
fisik dan psikologis) pada penderita asma bronkiale untuk mengurangi
gejala saat mendapatkan serangan.
35
Tab
el 2
.2
Kea
slia
n P
enel
itia
n
Nam
a P
enel
iti
Jud
ul
Pen
elit
ian
M
eto
de
Pen
elit
ian
H
asil
Pen
elit
ian
1.
Mo
nal
isa
(20
12)
Pen
gal
aman
Ib
u
Mer
awat
A
nak
Pen
der
ita
Asm
a
yan
g
Men
gal
ami
Mas
alah
K
ual
itas
Hid
up
Ku
alit
atif
den
gan
pen
dek
atan
fen
om
eno
log
i
1.
Gej
ala
asm
a b
iasa
nya
dim
ula
i d
eng
an b
atu
k y
ang
kad
ang
dis
erta
i
pil
ek,
adan
ya
gej
ala
yan
g t
erk
ait
per
nap
asan
sep
erti
ses
ak n
apas
,
bun
yi
“men
gi”
, ta
rik
an d
ind
ing
dad
a d
an s
amp
ai t
erja
di
sia
no
sis.
Dam
pak
d
ari
sera
ng
an
asm
a ad
alah
k
ebu
tuh
an
tid
ur
pad
a an
ak
terg
ang
gu
, an
ak se
rin
g
abse
n se
ko
lah
, d
an te
rdap
at
ket
erb
atas
an
akti
vit
as b
erm
ain
den
gan
tem
an.
2.
Asm
a yan
g
tid
ak
tert
ang
ani
den
gan
b
aik
d
apat
m
eng
gan
gg
u
ku
alit
as h
idup
an
ak yan
g b
erup
a h
amb
atan
ak
tivit
as d
an
men
yeb
abk
an k
ehil
ang
an h
ari
sek
ola
h.
3.
Pen
gal
aman
ib
u d
alam
mer
awat
pas
ien
asm
a ak
an b
erd
amp
ak p
ada
cep
atn
ya
tin
dak
an y
ang
dil
aku
kan
ib
u s
aat
dih
adap
kan
pad
a g
ejal
a
sera
ng
an a
sma.
4.
Ibu
m
erup
akan
o
ran
g
yan
g
pal
ing
b
erta
ng
gu
ng
ja
wab
d
alam
mem
ber
ikan
per
awat
an a
sma
pad
a an
ak m
erek
a. K
emam
pu
an i
bu
men
cap
ai p
eran
yan
g k
om
pet
en d
ipen
gar
uh
i o
leh
fak
tor
pan
dan
gan
dir
i, p
eng
har
gaa
n d
an b
entu
k p
ener
imaa
n d
iri
ibu
dal
am p
eran
nya.
5.
Up
aya
pen
gob
atan
un
tuk
pas
ien
asm
a m
enca
kup
up
aya
pen
gob
atan
med
is
(far
mak
olo
gis
),
pen
gob
atan
tr
adis
ion
al
atau
pu
n
no
n
farm
ako
log
is s
eper
ti m
ass
ag
e d
ada
dan
pem
ber
ian
ob
at t
rad
isio
nal
sep
erti
m
ass
ag
e p
ada
dad
a d
an
pu
ng
gu
ng
d
eng
an
min
yak
k
ayu
pu
tih
d
apat
m
erin
gan
kan
g
ejal
a,
kar
ena
min
yak
k
ayu
p
uti
h
mem
ilik
i ef
ek
an
ti
spasm
od
ik
yan
g
mam
pu
m
emp
erle
bar
at
au
men
gu
ran
gi
ob
stru
ksi
pad
a ja
lan
nap
as.
36
6.
Ibu
pad
a p
asie
n d
eng
an a
sma
bro
nk
iale
ser
ing
mel
apo
rkan
bah
wa
sera
ng
an a
sma
per
tam
a p
ada
anak
nya
seri
ng
did
apat
kan
ket
ika
anak
ber
ada
pad
a u
sia
bem
ain
.
2.
Paj
aran
i
M
og
ar
S
etyo
nin
gsi
h
(
20
08
)
Sel
f M
an
ag
emen
t
Mah
asis
wa
Pen
der
ita
Asm
a
yan
g
Tin
gg
al
di
Ko
st
Ku
alit
atif
den
gan
pen
dek
atan
fen
om
eno
log
i
1.
Pen
erap
an
se
lf
ma
nag
emen
t (d
alam
h
al
ini
bag
aim
ana
pas
ien
men
gen
ali
fak
tor
pen
cetu
s as
man
ya)
pad
a p
asie
n a
sma
ber
tuju
an
agar
pen
der
ita
asm
a d
apat
hid
up
den
gan
no
rmal
.
2.
Den
gan
mem
inim
alis
asi
sera
ng
an a
sma
dih
arap
kan
ku
alit
as h
idup
pen
der
ita
asm
a m
enin
gk
at.
3.
Pen
der
ita
asm
a yan
g k
ura
ng
mem
ilik
i in
form
asi
yan
g m
end
asar
men
gen
ai
asm
a d
apat
d
ipas
tik
an
bah
wa
dal
am
mel
aku
kan
pen
gel
ola
an a
sman
ya
ku
ran
g m
aksi
mal
.
4.
Pen
der
ita
asm
a sa
ng
at
dia
nju
rkan
u
ntu
k b
ero
lah
rag
a, m
esk
ipu
n
mer
eka
har
us
mem
ilih
jen
is o
lah
rag
anya
seca
ra b
ijak
san
a. O
lah
rag
a yan
g
dia
nju
rkan
u
ntu
k
pen
der
ita
asm
a ad
alah
jo
gg
ing
,
ren
ang
, se
nam
asm
a.
5.
Ola
h
rag
a b
agi
pen
der
ita
asm
a
ber
tuju
an
mel
atih
o
tot
–
oto
t
per
nap
asan
.
6.
Sec
ara
psi
ko
log
is
kel
uar
ga
mer
up
akan
fa
kto
r p
enti
ng
yan
g
mem
ban
tu
pas
ien
as
ma
dal
am
hal
se
lf
ma
nag
emen
t sa
at
men
dap
atk
an
sera
ng
an.
Dal
am
hal
in
i su
pp
ort
k
elu
arg
a yan
g
dim
aksu
d
adal
ah
dal
am
pen
gen
dal
ian
st
ress
d
an
emo
si
pas
ien
asm
a sa
at m
end
apat
kan
se
ran
gan
se
hin
gg
a g
ejal
a yan
g m
un
cul
saat
ser
ang
an t
idak
sem
akin
par
ah.
7.
Ket
idak
no
rmal
an su
ara
per
nap
asan
p
ada
pas
ien
as
ma
bro
nk
iale
37
saat
se
ran
gan
d
itan
dai
d
eng
an
mu
ncu
lnya
suar
a
wh
eezi
ng
/”m
eng
i”,
sesa
k
nap
as,
pen
ing
kat
an
resp
iras
i sa
mp
ai
den
gan
ob
stru
ksi
jala
n n
apas
.
38
2.3 Kerangka Teori (Sumber: Setyoningsih, 2008)
Gambar 2.1
INTRINSIK EKSTRINSIK
ASMA
BRONKIALE
FISIK
PENANGANAN
AWAL
MUNCUL
SERANGAN ASMA
MUNCUL
GEJALA ASMA
FARMAKOLOGIS
BERHASIL
MELAKUKAN
PSIKOLOGIS
NON
FARMAKOLOGIS
TIDAK
MELAKUKAN
MELAKUKAN
TAPI GAGAL
MUNCUL
GEJALA ASMA
JARANG /TIDAK
MUNCUL
GEJALA ASMA
39
2.4 Fokus Penelitian
Gambar 2.2
Keterangan : - - - - - - - - Tidak diteliti
Diteliti
Asma
Bronkiale Non
Farmakologis
Farmakologis
Fisik
Psikologis
40
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologis. Saryono & Anggraeni (2010), penelitian
kualitatif efektif digunakan untuk memperoleh informasi yang spesifik
mengenai nilai, opini, perilaku dan konteks sosial menurut keterangan
populasi. Pendekatan fenomenologis merupakan pendekatan yang berusaha
untuk memahami makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia
didalam situasinya yang khusus. Fenomenologi menggambarkan riwayat
hidup seseorang dengan cara menguraikan arti dan makna hidup serta
pengalaman suatu peristiwa yang dialaminya. Penelitian ini dilakukan dalam
situasi penelitian yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai
atau memahami fenomena yang diteliti. Dengan demikian cara fenomenologis
menekankan pada berbagai aspek subyektif dari perilaku manusia supaya
dapat memahami tentang bagaimana dan makna apa yang mereka bentuk dari
berbagai peristiwa di dalam kehidupan partisipan sehari – harinya (Sutopo,
2006).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk
mengeksplorasi pengalaman pasien asma bronkiale yang mendapatkan terapi
fisik (massage pada dada dan punggung dengan minyak yang memberikan
rasa hangat) dan psikologis (motivasi dari orang terdekat terutama keluarga
41
dalam pengendalian napas, pengendalian kepanikan) saat mendapatkan
serangan asma di rumah dan selanjutnya mendapatkan penanganan secara
medis/famakologis. Pendekatan ini juga memberikan kesempatan kepada
partisipan untuk mengungkapkan dampak yang terjadi setelah dilakukan
massage dada dan punggung dengan minyak yang memberikan rasa hangat
dan dukungan psikologis dari orang terdekat (keluarga) dalam pengendalian
napas dan kepanikan pada saat mengalami serangan asma.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat dan waktu penelitian sangat berpengaruh terhadap hasil
yang diperoleh dalam penelitian. Pemilihan tempat penelitian harus
disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, sehingga
tempat ditentukan benar – benar menggambarkan kondisi partisipan yang
sesungguhnya. Tempat penelitian adalah tempat interaksi partisipan dengan
lingkungannya yang akan membangun pengalaman hidupnya (Saryono &
Anggraeni, 2010).
Penelitian ini telah dilakukan di UPT Rawat Inap Purwantoro
Kabupaten Wonogiri terhadap pasien asma bronkiale yang dirawat di ruang
perawatan Dahlia (ruang perawatan pasien dewasa) UPT Rawat Inap
Purwantoro dan telah memenuhi kriteria penelitian yang telah ditetapkan oleh
peneliti. Alasan dilakukan penelitian ini dikarenakan belum pernah dilakukan
penelitian serupa mengenai penanganan awal pada pasien asma bonkiale pada
saat serangan sebelumnya di UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten
Wonogiri. UPT Rawat Inap Purwantoro telah berdiri sejak tahun 1988,
42
terbagi dalam dua ruang perawatan, yaitu Ruang Dahlia untuk ruang
perawatan pasien dewasa dan Ruang Anggrek untuk ruang perawatan pasien
anak. Khusus Ruang Dahlia berkapasitas 14 tempat tidur dengan standar
ruang perawatan kelas II berkapasitas 7 tempat tidur dan kelas III
berkapasitas 7 tempat tidur.
Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan yaitu mulai tanggal 12
Februari sampai dengan 02 Mei 2015.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian adalah setiap subyek (misalnya:
manusia, pasien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam,
2011). Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat
dipergunakan sebagai subyek penelitian melalui sampling. Sampling adalah
proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili sampel yang ada
(Nursalam, 2011). Saryono & Anggraeni (2010), konsep sampel dalam
penelitian kualitatif berkaitan dengan bagaimana memilih partisipan atau
situasi sosial tertentu yang dapat memberikan informasi yang adekuat dan
terpercaya mengenai elemen – elemen yang ada yang akan diteliti. Pada
penelitian fenomenologi sampel yang diambil adalah sampel yang pernah
mengalami substansi yang akan diteliti, yang artinya sampel tersebut pernah
mengalami sesuatu hal yang akan diteliti oleh peneliti. Dalam penelitian
kualitatif sampel diartikan sebagai partisipan.
Partisipan dalam penelitian ini adalah pasien dewasa yang dirawat
di Ruang Perawatan Dahlia UPT Rawat Inap Puwantoro Kabupaten
43
Wonogiri. Pengambilan dan rekruitmen partisipan dilakukan dengan cara
purposive sampling, yaitu penelitian mendasarkan pada landasan kaitan teori
yang digunakan, keingintahuan pribadi, dan karakteristik empiris yang
dihadapi. Dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informasinya
berdasarkan posisi dengan akses terentu yang dianggap memiliki informasi
yang berkaitan dengan permasalahannya secara mendalam dan dapat
dipercaya menjadi sumber data yang akurat (Sutopo, 2006).
Kekhususan penelitian ini adalah pasien yang pernah mengalami
serangan asma yang dapat mengungkapkan pengalamannya setelah
mendapatkan massage pada dada dan punggung dengan minyak yang
memberikan rasa hangat dan dukungan psikologis untuk pengendalian
pernapasan dan kepanikan pada saat mengalami serangan asma. Partisipan
yang terpilih untuk mengikuti penelitian adalah individu yang memiliki
kriteria sebagai berikut :
1. Pasien dewasa dengan serangan asma bronkiale.
2. Pernah menjalani perawatan karena asma di Ruang Dahlia UPT Rawat
Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri.
3. Berusia 30 – 50 tahun.
4. Telah menderita asma bronkiale sejak minimal 2 tahun terakhir.
5. Mampu berkomunikasi secara verbal dengan baik.
6. Pasien yang kooperatif.
7. Bersedia menjadi partisipan selama penelitian berlangsung.
44
Rekruitmen partisipan dimulai dengan mengidentifikasi nama –
nama partisipan yang didapatkan di rekam medik atau catatan nama – nama
pasien yang menjalani perawatan di UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten
Wonogiri. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah empat orang sesuai
dengan kriteria yang telah dibuat. Hal ini sesuai pendapat Saryono &
Anggraeni (2010), bahwa fokus penelitian kualitatif adalah pada kedalaman
dan proses sehingga pada penelitian ini hanya melibatkan jumlah partisipan
yang sedikit dan sampai dengan saturasi jenuh, artinya peneliti tidak
menemukan data baru.
3.4 Instrumen dan Prosedur Pengumpulan Data
3.4.1 Instrumen Pengumpulan Data
Saryono & Anggraeni (2010), dalam proses pengumpulan data
penelitian kualitatif, manusia berfungsi sebagai instrumen utama
penelitian. Manusia yang dimaksud adalah peneliti sebagai alat atau
instrumen utama pengumpul data. Kompetensi dan kredibilitas peneliti
dalam hal ini sangat penting, karena pada penelitian kualitatif peneliti
merupakan subyek yang menentukan hasil akhir penelitiannya (Afiyanti,
2014). Adapun proses pengumpulan data pada penelitian ini diawali
peneliti dari menentukan topik penelitian, mengeksplorasi dan
memperoleh informasi sampai melakukan interpretasi atau memberikan
deskripsi akhir dari hasil penelitian. Sebagai alat/instrumen utama
penelitian, peneliti juga berespons dan beradaptasi terhadap respons –
respons yang dialami atau diungkapkan oleh pasien dengan asma
45
bronkiale ketika menghadapi serangan. Selain itu peneliti juga
mengembangkan pemahamannya terhadap pasien asma bronkiale melalui
komunikasi interpersonal secara verbal maupun non verbal, melakukan
klarifikasi untuk akurasi interpretasinya dan mengeksplorasi berbagai
respons yang luar biasa dan tak terduga dari fenomena yang diteliti
(Sutopo, 2006).
3.4.2 Prosedur Pengumpulan Data
3.4.2.1 Cara Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif terdapat banyak cara yang dipakai
untuk mengumpulkan data, cara pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah sesuai dengan pedoman menurut Saryono & Anggraeni (2010) :
a. Wawancara
Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian
terhadap informasi terhadap informasi atau keterangan yang
diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara mendalam (In dept interview).
Wawancara mendalam (In dept interview) adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka antara pewawancara dengan partisipan atau orang
yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman dan
partisipan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.
Pedoman wawancara dalam penelitian ini dibuat sesuai dengan
46
indikator – indikator pasien asma bronkiale yang mengalami
serangan.
b. Dokumen
Sejumlah besar data tersimpan dalam bahan yang
berbentuk dokumentasi. Dalam penelitian ini mengambil sumber
data dari dokumen rekam medik dan dokumentasi laporan 10 besar
penyakit di UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri yang
bertujuan untuk mengetahui data nama pasien yang dirawat dengan
asma bronkiale.
c. Observasi
Observasi dilakukan untuk mengetahui dan mendapatkan
data mengenai hal – hal yang dapat dinilai secara obyektif dari
partisipan. Dalam penelitian ini pengumpulan data secara observasi
dilakukan untuk mengetahui indikator - indikator seperti adanya
wheezing, silent chest, barel chest, ronchi, tarikan otot napas
sternokleidmastoideus, hipokapnea, alkalosis atau bahkan asidosis
respiratorik.
47
3.4.2.2 Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data penelitian ini terdiri dari :
a. Lembar alat pengumpulan data mengenai nama, umur, alamat
dan lembar transkrip wawancara dan pertanyaan.
Lembar alat pengumpul data aalah berupa lembar yang
digunakan peneliti untuk mencatat biodata partisipan seperti: nama,
umur dan alamat partisipan (Kavler, 2011).
Transkrip data pada alat pengumpul data di penelitian ini berisi
teks tetulis yang bersumber dari hasil pengumpulan data dari catatan
rekam medik dan transkrip wawancara bersumber dari kegiatan hasil
wawancara dengan partisipan. Adapun isi transkrip wawancara pada
penelitian ini berupa transformasi dari bahasa dan ekspresi verbal atau
berbagai interaksi yang terjadi pada kegiatan penelitian yang ditulis
mengikuti aturan tertentu dalam bentuk tulisan perkataan para
partisipan (Kavler, 2011).
b. Alat tulis.
Sebelum memulai wawancara peneliti juga menyiapkan alat
tulis untuk mencatat hasil wawancara dan hasil catatan lapangan dan
hal – hal dalam konteks percakapan (Kavler, 2011).
c. Alat perekam.
Rekaman sangat membantu peneliti untuk mengingat kata demi
kata partisipan sehingga akan mudah dibuat transkrip. Alat perekam
dipilih yang ukurannya tidak terlalu besar tetapi mampu menangkap
48
suara dari jarak yang cukup. Alat tersebut diletakkan di tempat yang
tidak mengganggu peneliti sebagai pewawancara dengan partisipan
(Afiyanti, 2014). Dalam hal ini peneliti menggunakan alat perekam
digital dan handphone sebagai back up alat perekam.
Sebelum memulai wawancara, peneliti memastikan bahwa alat
perekam berfungsi dengan baik dan dalam kondisi sempurna agar
menghasilkan rekaman yang berkualitas. Langkah berikutnya, peneliti
melakukan test terhadap alat perekam baik kondisinya, jumlah
baterainya maupun kapasitas memorinya. Selanjutnya, peneliti
menyediakan alat perekam cadangan untuk memback up alat perkam
utama. Langkah peneliti untuk mendapatkan suasana kondusif da hasil
rekaman yang jelas, peneliti memastikan ruangan tidak bising/gaduh
dan jarak perekam dengan partisipan dengan peneliti cukup dekat
yaitu satu meter. (Afiyanti, 2014).
Setelah wawancara, alat perekam diberi label berupa nama dan
tanggal dan dipindahkan pada hardisk dan disalin atau dibuat back up
untuk menghindari hal- hal yang tidak diinginkan. Hanya nama
samaran (inisial) yang ditulis pada rekaman atau transkrip, nama
partisipan dan samaran/inisialnya disimpan di tempat yang berbeda
(Kavler, 2011).
49
d. Lembar catatan lapangan.
Lembar catatan lapangan adalah dokumen tertulis peneliti
yang berasal dari hasil observasi yang khusus, berisi catatan pribadi,
berbagai respons subyektif dan berbagai interpretasi dari proses-
proses sosial yang ditemui peneliti selama mengambil data, deskripsi
tentang hal-hal yang diamati. Catatan ini juga digunakan untuk
mencatat ekspresi wajah, bahasa tubuh dan reaksi patisipan ketika
berbicara. Catatan lapangan ini dibuat sepanjang wawancara seperti
halnya dengan kontak mata yang harus dilakukan peneliti (Saldana,
2009).
3.4.2.3 Tahap Pengumpulan Data
a. Tahap Orientasi
Peneliti melakukan pengumpulan data segera dilakukan setelah
peneliti memperoleh izin dari UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten
Wonogiri dan selanjutnya peneliti melihat data identitas calon
partisipan di dokumen rekam medik dan laporan bulanan 10 besar
penyakit. Setelah menentukan calon partisipan yang sesuai dengan
kriteria penelitian dan mendiskusikannya dengan kepala puskesmas
dan perawat di ruang perawatan Dahlia UPT Rawat Inap Purwantoro
Kabupaten Wonogiri, peneliti bertemu langsung dengan calon
partisipan untuk menjelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian,
prosedur penelitian, hak – hak partisipan serta peran partisipan dalam
penelitian.
50
Setelah membina hubungan saling percaya, kemudian peneliti
menanyakan kesediaan calon partisipan untuk menjadi partisipan
dalam penelitian ini. Jika calon partisipan bersedia menjadi partisipan
dalam penelitian ini, selanjutnya peneliti membuat perjanjian tempat
dan waktu dilakukannya wawancara. Partisipan menandatangani
lembar persetujuan (informed consent).
b. Tahap Pelaksanaan
Setelah peneliti melakukan kontrak waktu dengan calon
partisipan dan bersedia untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini
serta telah menandatangani informed consent, selanjutnya adalah
wawancara mendalam terhadap partisipan. Peneliti memberikan
pertanyaan kepada partisipan sesuai dengan pedoman wawancara
yang telah dibuat pada saat persiapan sebelum penelitian dilakukan.
Setelah wawancara selesai, peneliti segera melakukan transkrip hasil
wawancara dan melakukan konsultasi dengan pembimbing tentang
pertanyaan yang mungkin perlu untuk dikembangkan dan
ditambahkan.
Pertanyaan sesuai dengan pedoman wawancara dibuat
berdasarkan data yang telah dikumpulkan pada saat studi pendahuluan
dan sesuai dengan kategori – kategori dimensi penanganan awal pada
pasien asma bronkiale saat serangan dengan berbagai macam
pengembangan sesuai dengan keadaan partisipan. Wawancara
dilakukan dengan pedoman wawancara namun tidak bersifat santai
51
atau luwes karena pertanyaan dapat berkembang sesuai dengan proses
yang belangsung selama wawancara, dengan tanpa meninggalkan
landasan teori yang telah ditetapkan dalam penelitian. Hal ini
bertujuan untuk memungkinkan peneliti mendapatkan respon yang
luas dari partisipan. Informasi yang disampaikan partisipan terbebas
dari pengaruh orang lain baik dari keluarganya maupun orang terdekat
dari partisipan, mengingat dampak positif dari massage pada dada
dan punggung dengan minyak yang menghangatkan serta dukungan
psikologis dalam pengendalian napas dan kepanikan merupakan hal
subyektif yang hanya dapat diungkapkan oleh partisipan penderita
asma bronkiale yang sebelumnya mengalami serangan mendadak,
sehingga informasi tersebut diperoleh langsung dari sumbernya.
Saat tahap pengumpulan data, peneliti melakukan analisa data
dengan metode Colaizzi yang sesuai dengan transkrip wawancara yang
telah dibuat, setelah menemukan kata kunci dan makna serta tema
sementara dari analisa yang dilakukan peneliti melakukan wawancara
terhadap partisipan selanjutnya. Peneliti menggunakan alat perekam
sebagai alat bantu perekaman wawancara.
Jumlah pertemuan antar peneliti dengan partisipan dua kali
pertemuan. Peneliti selalu memperhatikan kondisi partisipan sehingga
jika pada saat pertemuan pertama belum tercapai semua tujuan
penelitian maka peneliti dan partisipan membuat kesepakatan waktu
dan tempat untuk pertemuan yang selanjutnya, mengingat partisipan
52
tidak selalu dalam kondisi yang baik pada saat dilakukan wawancara
dan pengambilan data sehingga wawancara disesuaikan dengan kondisi
partisipan.
Wawancara kedua dilakukan setelah semua data dari hasil
wawancara pertama telah dibuat dalam suatu transkrip data serta telah
ditetapkan kata kunci, makna dan tema sementara dari berbagai
pengalaman yang dideskripsikan para partisipan. Selama wawancara
ini, partisipan diminta untuk mengkonfirmasi tema – tema yang
sementara dihasilkan berhubungan dengan pengalaman mereka
mengenai kualitas hidup berdasarkan intepretasi data yang telah dibuat
oleh peneliti.
Pada wawancara kedua peneliti juga merasa penting melakukan
recheking hasil wawancara untuk memberikan kesempatan kepada
para partisipan melakukan verifikasi/ konfirmasi, memperluas dan
menambah deskripsi mereka dari pengalaman – pengalaman mereka
mengenai dampak positif yang dirasakan partisipan setelah
mendapatkan terapi massage dada dan punggung dan dukungan
psikologis dalam pengendalian napas dan kepanikan ketika
mendapatkan serangan asma untuk lebih menambah keakuratan dari
penelitian ini. Setelah wawancara kedua selesai dan dilakukan
transkrip wawancara, transkrip dirujuk kedalam kata kunci dan makna
serta tema – tema yang telah dibuat sebelumnya sehingga setelah
53
wawancara kedua ini, tema – tema sudah ditetapkan sebagai
pernyataan yang tegas.
3.5. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode fenomenologis
deskriptif dengan metode Colaizzi (Polit & Beck 2006), metode Colaizzi
dinilai efektif digunakan dalam penelitian ini, dikarenakan dengan metode
Colaizzi fenomena – fenomena dapat terungkap dengan jelas sesuai dengan
makna – makna yang didapat. Adapun langkah – langkah analisa data adalah
sebagai berikut :
1. Peneliti menggambarkan fenomena dari pengalaman hidup partisipan yang
diteliti yaitu penanganan awal pada pasien asma bronkiale pada saat
serangan.
2. Peneliti mengumpulkan gambaran fenomena partisipan berupa
pengalaman pasien asma bronkiale yang pada saat menghadapi serangan
mendapatkan massage dada, “kerokan” pada punggung/seluruh tubuh serta
dukungan psikologis/supportif dari keluarga untuk mengendalikan napas
dan kepanikan.
3. Peneliti membaca semua protokol atau transkrip untuk mendapatkan
perasaan yang sesuai dari partisipan. Kemudian mengidentifikasi
pernyataan partisipan yang relevan. Serta membaca transkrip secara
berulang – ulang hingga ditemukan kata kunci dari pernyataan –
pernyataan mengenai penanganan awal pada pasien asma bronkiale saat
serangan.
54
4. Kemudian peneliti mencari makna dan dirumuskan ke dalam tema. Setelah
tema dianalisa, merujuk kelompok tema kedalam transkrip dan protokol
asli untuk memvalidasi.
5. Peneliti mengintegrasikan hasil kedalam deskripsi lengkap dari fenomena
yang diteliti mengenai penanganan awal pasien asma bronkiale saat
serangan.
6. Merumuskan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai
pernyataan tegas dan diidentifikasi kembali.
7. Kembali kepada partisipan untuk langkah validasi akhir/verifikasi tema
– tema segera setelah proses verifikasi dilakukan dan peneliti tidak
mendapatkan data tambahan baru mengenai penanganan awal pasien asma
bronkiale selama verifikasi.
3.6. Keabsahan Data
Kualitas data atau hasil temuan suatu penelitian kualitatif ditentukan
dari keabsahan data yang dihasilkan atau lebih tepatnya keterpercayaan,
keautentikan dan kebenaran terhadap data, informasi atau temuan yang
dihasilkan dari hasil penelitian yang dilakukan (Afiyanti, 2014).
Peneliti meyakini bahwa penelitian yang peneliti lakukan dijelaskan
keabsahan atau validitasnya baik dari definisi, istilah untuk
mendeskripsikannya dan prosedur untuk menetapkannya. Aspek – aspek
untuk menilai validitas data pada penelitian kualitatif meliputi credibility,
transferability, dependebelity dan confirmability (Afiyanti, 2014) :
55
a. Credibility atau Keterpercayaan Data
Kredibilitas data atau ketepatan dan keakurasian suatu data
diyakini oleh peneliti dengan melakukan triangulasi, artinya peneliti
menggunakan metode wawancara sekaligus observasi terhadap partisipan
yang memastikan temuan tersebut sesuai dengan pengalamannya
(Sugiyono, 2011). Triangulasi merupakan cara yang paling umum
digunakan untuk peningkatan validitas data dalam penelitian kualitatif (
Sutopo, 2006). Dalam penelitian ini menggunakan triangulasi peneliti,
data, metodologi dan teoritis. Alasan menggunakan triangulasi tersebut
dikarenakan focus group discussion tidak dapat dilakukan mengingat
masing – masing partisipan tidak memungkinkan dilakukan FGD dalam
penelitian ini .
b. Tansferability atau Keteralihan Data
Transferability adalah seberapa mampu suatu hasil penelitian
kualitatif dapat diaplikasikan dan dialihkan pada keadaan atau konteks
lain atau kelompok atau partisipan lainnya. Transferability pada
penelitian kualitatif merupakan tipe generalisasi analitik dan teoritis,
artinya aspek ini diyakini peneliti untuk memahami suatu fenomena atau
situasi kehidupan manusia secara mendalam (Polit & Beck, 2010).
Penelitian ini menggunakan generalisasi dalam konteks mencapai tujuan
utama penelitian yaitu kedalaman data tentang pengalaman hidup pasien
asma bronkiale yang mendapatkan penanganan awal secara non
farmakologis saat serangan.
56
c. Dependebility atau Ketergantungan
Dependebility atau reliabilitas dalam penelitian kualitatif adalah
bagaimana studi yang sama dapat diulang atau direplikasi pada saat yang
berbeda dengan metode yang sama, partisipan yang sama dan dalam
konteks yang sama. Dalam hal ini peneliti meyakini untuk memperoleh
hasil penelitian atau data yang konsisten maka dilakukan suatu analisis
data yang terstruktur dan mengupayakan untuk hasil studi dengan benar,
sehingga diharapkan pembaca dapat membuat kesimpulan yang sama
dalam menggunakan perspektif, data mentah dan dokumen analisis studi
yang sedang dilakukan (Afiyanti, 2014).
d. Confirmability
Confirmability merupakan aspek obyektivitas pada penelitian
kualitatif, yaitu adanya kesediaan peneliti mengungkap secara terbuka
proses dan elemen – elemen penelitiannya. Dalam hal ini peneliti
meyakini bahwa untuk mengontrol hasil penelitiannya adalah dengan
merefleksikannya pada jurnal terkait, konsultasi dengan peneliti ahli dan
melakukan konfirmasi informasi dengan partisipan.
3.7. Etika Penelitian
Etika penelitian adalah suatu sistem nilai normal yang harus dipatuhi
oleh peneliti saat melakukan aktivitas penelitian yang melibatkan partisipan,
meliputi kebebasan dari adanya ancaman, kebebasan dari adanya eksploitasi
keuntungan dari penelitian tersebut, dan resiko yang didapatkan (Polit &
Hungler, 2005).
57
Peneliti meyakini bahwa partisipan harus dilindungi dengan
memperhatikan aspek – aspek : Informed consent, Anonimity dan
Confidentiality (Polit & Hungler, 2005) :
1. Informed Consent
Peneliti menegaskan kembali mengenai maksud dan tujuan penelitian
yaitu untuk mengetahui penanganan awal pada pasien asma bronkile
secara non farmakologis baik secara fisik maupun psikologis. Setelah
partisipan mengerti, peneliti memberikan lembar informed consent kepada
partisipan.
2. Anonymity
Nama partisipan selama penelitian tidak digunakan melainkan
diganti dengan nomor dan inisial penelitian. Nomor dan inisial dari
partisipan ini digunakan dengan tujuan untuk menjaga kerahasiaan
partisipan dan mencegah kekeliruan peneliti dalam memasukkan data.
Berikut kode partisipan yang digunakan dalam penelitian ini: Partisipan I
(P1), Partisipan II (P2), Partisipan III (P3), Partisipan IV (P4) .
3. Confidentiality
Confidentiality atau kerahasiaan data merupakan kewajiban peneliti
untuk menjaga kerahasiaan berbagai informasi yang diberikan oleh
partisipan dengan sebaik – baiknya. Dalam hal ini peneliti menyimpan
seluruh dokumen hasil pengumpulan data berupa lembar persetujuan
mengikuti penelitian, biodata, hasil rekaman dan transkrip wawancara
dalam tempat khusus yang hanya bisa diakses oleh peneliti.
58
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai karakteristik seluruh partisipan dan
berbagai pengalaman kehidupan pasien dengan asma bronkiale yang pernah
menjalani perawatan di UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri. Pada
penelitian ini telah ditemukan tema – tema yang memberikan suatu gambaran
mengenai pengalaman pasien asma bronkiale yang mendapatkan penanganan
awal secara non farmakologis saat mengalami serangan.
4.1 GAMBARAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Ruang Perawatan Dahlia UPT Rawat Inap
Purwantoro Kabupaten Wonogiri yang telah lama melayani masyarakat
Kecamatan Purwantoro dan sekitarnya dibidang kesehatan sehingga
memuaskan masyarakat dalam bidang pelayanan kesehatan masyarakat.
UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri telah berdiri sejak
tahun 1988 sebagai unit pelayanan kesehatan dasar yang melayani masyarakat
di bidang kesehatan di wilayah Kecamatan Purwantoro dan sekitarnya. UPT
Rawat Inap Purwantoro terletak pada kilometer 43 dari pusat pemerintahan
Kabupaten Wonogiri dan merupakan daerah strategis karena merupakan
wilayah yang berbatasan dengan tiga wilayah Kabupaten di Provinsi Jawa
Timur. Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Magetan, sebelah
59
selatan dengan Kabupaten Pacitan dan sebelah timur berbatasan langsung
dengan Kabupaten Ponorogo. Seiring dan sejalan tuntutan publik, maka
pembenahan di segala aspek dilakukan oleh UPT Rawat Inap Purwantoro
Kabupaten Wonogiri dengan memperbaiki gedung, menambah sarana dan
prasarana dan mengupayakan peningkatan mutu sumber daya manusia untuk
menunjang pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat.
UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri memiliki satu
ruangan Unit Gawat Darurat dan dua ruang perawatan (bangsal) yang terdiri
dari satu ruang perawatan dewasa (Bangsal Dahlia) dengan kapasitas 14
tempat tidur dan satu ruang perawatan anak (Bangsal Anggrek) dengan
kapasitas 12 tempat tidur. Pada lini layanan keperawatan UPT Rawat Inap
Purwantoro memiliki 11 orang perawat sebagai pelaku layanan keperawatan.
4.2 GAMBARAN KARAKTERISTIK PARTISIPAN
4.2.1 Partisipan I (P1)
Ny.DS, seorang Pegawai Negeri Sipil, umur 32 tahun berjenis
kelamin perempuan yang beralamat di Dusun Karanglo, RT. 003 RW. 001,
Desa Tegalrejo, Kecamatan Purwantoro, Kabupaten Wonogiri. Ny. DS
merupakan partisipan kesatu yang diwawancarai pertama kali pada hari
Kamis, 12 Februari 2015 pukul 14.30 WIB setelah selesai bekerja di
tempat kerjanya. Pada wawancara pertama ini pasien sudah membaik
setelah tiga hari sebelumnya (pada tanggal 09 Februari 2015 dirawat di
UPT Rawat Inap Purwantoro karena mengalami serangan asma dan pada
60
tanggal 11 Februari 2015 dokter menyatakan membaik dan diperbolehkan
pulang). Jarak antara partisipan dengan peneliti adalah 1 meter.
Wawancara kedua dilakukan pada hari sabtu, 15 Februari 2015 pukul
14.40 WIB setelah Ny. DS selesai bekerja. Wawancara kedua juga
berlangsung di ruang kerja tempat kerja Ny. DS. Saat wawancara kedua
kondisi Ny.DS sudah semakin membaik. Jarak antara partisipan dengan
peneliti pada wawancara kedua adalah satu meter.
Ny.DS merupakan pasien asma bronkiale yang menderita asma
sejak kecil (sejak usia 5 tahun) dan seringkali berobat atau bahkan dirawat
di UPT Rawat Inap Purwantoro apabila mengalami serangan asma yang
berat yang digambarkan Ny. DS dengan terdapatnya keluhan dada seakan
terasa tertekan, sesak napas yang teramat sangat, atau sulit bernapas. Ny.
DS sering mengalami serangan asma apabila terpapar oleh debu, sensasi
rasa dingin termasuk minum es dan juga temperatur yang dingin. Pada
tanggal 09 Februari 2015 kurang lebih pada pukul 22.00 WIB Ny. DS
merasakan kegerahan karena cuaca terasa panas sehingga hal tersebut
mendorong Ny. DS untuk menyalakan kipas angin hampir semalam
dengan harapan bisa tidur nyenyak tanpa rasa gerah, bahkan untuk
mengimbangi rasa haus yang muncul Ny. DS juga minum segelas es teh.
Keesokan harinya kurang lebih pukul 05.0 WIB (pada tanggal 10
Februari 2015) Ny. DS mulai merasakan batuk, gatal pada tenggorokan,
sesak napas dengan suara wheezing yang teramat sangat dan juga pusing.
Untuk mengatasi keadaan yang demikian, keluarga Ny. DS segera
61
mengambil tindakan dengan memposisikan Ny. DS pada posisi tidur
setengah duduk, memberinya minum hangat dan melakukan massage dada
dan punggung Ny. DS dengan minyak kayu putih. Penanganan semacam
ini sudah sering dilakukan Ny. DS sejak dahulu sewaktu – waktu Ny. DS
mengalami serangan asma.
Pukul 07.00 WIB pada tanggal yang sama (10 Februari 2015) Ny.
DS dibawa oleh keluarganya ke UPT Rawat Inap Purwantoro sebagai
upaya keluarga agar Ny. DS mendapatkan penanganan secara
farmakologis/medis dan perawatan lebih lanjut terkait dengan serangan
asmanya. Setelah diperiksa oleh dokter jaga akhirnya Ny. DS disarankan
untuk dirawat dan diberikan O2, terapi oral untuk asma, terapi cairan dan
juga terapi inhalasi.
Keesokan harinya pada tanggal 11 Februari pukul 09.00 WIB
kondisi umum Ny. DS menunjukkan perbaikan yang signifikan. Keluhan
sesak napas sudah tidak ada, gatal di tenggorokan tidak ada, bunyi
wheezing tidak ada dan tanda – tanda vital dalam batas normal yaitu
tekanan darah: 110/70 mmHg, temperatur: 36,8 derajat celcius, nadi : 84
kali per menit, respiratory rate: 20 kali per menit. Dengan kondisi yang
demikian Ny. DS diijinkan dokter untuk dibawa pulang.
Setelah dirawat di UPT Rawat Inap Purwantoro dan pulang dengan
kondisi membaik Ny. DS merasa bahwa sensasi dingin termasuk es dan
kipas angin juga debu merupakan dua hal yang semakin disadari dapat
62
mengakibatkan serangan asma baginya. Dengan serangan asma yang
dirasakan teramat sangat seperti yang Ny. DS rasakan saat terakhir
mendapatkan serangan, maka hal tersebut dirasakan Ny. DS sangat
mengganggu aktivitasnya.
Kehadiran orang terdekat dalam hal ini suami dan ibunya,
dirasakan Ny. DS merupakan sesuatu yang penting dan teramat berarti
untuk Ny. DS saat menghadapi serangan asma. Penanganan awal berupa
massage ringan dengan minyak kayu putih pada dada dan “kerokan” pada
punggung dirasakan Ny. DS sebagai terapi non farmakologis secara fisik
yang pertama dan utama harus didapatkannya saat mengalami serangan,
karena massage yang demikian dirasakan Ny. Ds memberikan sensasi rasa
hangat dan juga melonggarkan pernapasan.
Selain itu tindakan lain yang diberikan keluarga Ny. DS yang
mampu meringankan gejala saat serangan adalah kehadiran dan support
mental/dukungan psikologis dari keluarganya terutama suami dan ibunya.
Motivasi keduanya saat serangan berupa support untuk mengendalikan
pernapasan, tenang dan tidak panik dirasakan Ny. DS juga memberikan
efek perasaan nyaman, tenang dan rileks. Kehadiran keluarga dan
supportnya saat serangan dirasakan Ny. DS merupakan wujud empati dari
keluarga sehingga kepanikan dan keluhan saat serangan berkurang dan
pernapasan pun berangsur - angsur dapat dikendalikan.
63
4.2.2 Partisipan II (P2)
Tn. M seorang laki – laki yang bekerja sebagai wiraswasta dan
berumur 42 tahun merupakan partisipan kedua yang diwawancarai pada
hari Rabu tanggal 25 Oktober 2015 pukul 16.00 – 17.00 WIB di ruang
tunggu UPT Rawt Inap Purwantoro setelah Tn. M selesai melakukan
kontrol kondisi kesehatannya. Tn. M bertempat tinggal di Dusun
Blimbing, RT.03/RW.01 Kelurahan/Kecamatan Purwantoro Kabupaten
Wonogiri. Wawancara kedua dilakukan pada tanggal 29 Maret 2015 pukul
14.00 – 15.00 WIB di rumh Tn. M. Jarak antara partisipan dengan peneliti
saat dua kali wawancara adalah 1 meter. Tn. M merupakan penderita
asma bronkiale yang sejak puluhan tahun yang lalu berkunjung ke UPT
Rawat Inap Purwantoro untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan
apabila mengalami serangan asma.
Tn. M menderita asma bronkiale sejak kecil (usia 5 tahun). Sejak
masih duduk dibangku sekolah menengah Tn. M sudah mengenal rokok
dan sejak saat itu pula Tn. M menjadi perokok aktif sampai dengan saat
ini. Meskipun demikian sebenarnya Tn. M menyadari bahwa polusi udara
oleh asap termasuk rokok merupakan faktor pencetus kambuhnya asma
bronkiale yang dideritanya. Selain asap rokok Tn. M juga bisa mengalami
serangan asma ketika sedang mendapatkan tekanan psikologis artinya
sedang mempunyai masalah yang pelik, kedinginan, kecapaian.
64
Saat serangan asma datang biasanya Tn. M merasa sesak napas
sampai terdengar bunyi wheezing, batuk berdahak, tenggorokan terasa
gatal bahkan kadang terasa seperti tercekik, dada terasa sakit dan pusing.
Sebelum serangan yang terakhir (tanggal 13 Maret 2015), pada malam
harinya mengendarai motor keluar rumah bermaksud membeli bubur tanpa
mengenakan jaket maupun helm. Kondisi cuaca saat itu dingin dan sehabis
turun hujan. Sesampainya di rumah Tn. M tidak segera menghangatkan
tubuh (mengenakan baju hangat) tetapi masih berbincang – bincang
dengan saudaranya yang rumahnya bersebelahan sambil menyulut rokok.
Dini harinya (sekitar pukul 03.00 WIB) dengan udara yang
semakin terasa dingin Tn. M mulai merasakan batuk, gatal di tenggorokan,
sesak napas dan pusing. Sebagai upaya awal (secara non farmakologis)
untuk mengatasi keluhannya, Tn. M meminta istrinya untuk memijit
punggungnya, mengerok punggung juga dengan menggunakan koin dan
minyak kayu putih. Sambil memijit punggung Tn. M istri Tn. M pun juga
tak segan – segan untuk memberi nasehat dan support mental kepada Tn.
M untuk tidak panik saat terjadi serangan dan juga tidak mengulangi
kegiatan yang sekiranya memicu serangan asma. Tn. M mengatakan
meskipun minum obat kalau belum dipijit/dikerok punggungnya dengan
minyak kayu putih rasanya belum lega. Selain itu kesabaran sang istri
untuk selalu memberi support mental menjadikan Tn. M tabah dan tenang
saat mengalami serangan.
65
Keesokan harinya masih pada tanggal 13 Maret 2015 sekitar pukul
05.00 WIB oleh keluarganya Tn. M dibawa ke sarana pelayanan kesehatan
terdekat yaitu UPT Rawat Inap Purwantoro yang berjarak kurang lebih 1
kilometer dari rumahnya untuk mendapatkan terapi farmakologis/medis.
Saat itu meskipun bunyi wheezing masih ada tetapi Tn. M merasakan
sesak napas dan pusingnya sudah berkurang. Setelah diperiksa oleh dokter
setempat Tn. M disarankan untuk diobservasi sampai keadaan umumnya
membaik dengan diberikan terapi inhalasi, cairan untuk memulihkan
keadaan umum dan juga terapi oral. Pada saat itu ditemukan wheezing
meskipun dengan pernapasan yang sudah terkendali. Pada sore harinya
Tn. M sudah merasa semakin membaik dan wheezing sudah tidak ada,
tidak ada sesak napas, tanda-tanda vital dalam batas normal: tekanan
darah: 110/70 mmHg, temperatur: 36,6 derajat celcius, nadi: 84 kali per
menit dan respiratory rate: 20 kali per menit sehingga dokter
memperbolehkan Tn. M pulang.
Setelah menjalani perawatan pada saat serangan asma yang
terakhir,Tn. M semakin menyadari bahwa asap terutama yang bersumber
dari rokok dan dingin adalah hal yang diantaranya dapat menimbulkan
serangan asma dan secara tidak langsung hal tersebut mengganggu
aktivitasnya sebagai seorang wiraswasta. Kehadiran istri/keluarga terdekat
merupakan faktor pendukung yang berperan penting dalam upaya
mengatasi keluhan Tn. M saat menghadapi serangan asma. Terapi non
farmakologis secara fisik berupa massage ringan dengan minyak kayu
66
putih pada dada dan punggung juga kening serta support mental/dukungan
psikologis dari keluarga untuk tenang, tidak panik saat serangan dirasakan
Tn. M merupakan hal yang teramat berarti, karena dua hal tersebut
memberikan rasa hangat, melonggarkan pernapasan, relaksasi, tenang,
tidak panik dan napas terkendali.
4.2.3 Partisipan III (P3)
Ny. K seorang perempuan berumur 54 tahun yang mempunyai
mata pencaharian sebagai pedagang merupakan partisipan ketiga yang
diwawancarai pertama kali pada tanggal 5 April 2015 pukul 17.0 – 18.00
WIB di rumah Ny. K di Dusun Blimbing RT 01/RW 03, Kelurahan dan
Kecamatan Purwantoro Kabupaten Wonogiri. Jarak antara partisipan
dengan peneliti adalah 1 meter. Wawancara kedua dengan Ny. K
dilakukan pada tanggal 6 April 2015 pada pukul 17.00 – 18.00 WIB di
tempat yang sama. Jarak partisipan dengan peneliti adalah 1 meter. Waktu
wawancara disepakati selalu mulai pukul 17.00 WIB karena pada jam
tersebut Ny. K sudah berada posisi beristirahat dan santai bersama
keluarga setelah seharian bekerja sebagai pedagang di pasar.
Ny. K merupakan penderita asma bronkiale sejak ia kecil (usia 6
tahun) dan merupakan pasien yang sering berkunjung dan dirawat di UPT
Rawat Inap Purwantoro apabila mengalami serangan asma yang berat
yang dikarakteristikkan oleh Ny. K dengan terdapatnya rasa sesak napas
yang teramat sangat sampai dada terasa tertekan, bunyi napas berbunyi
67
“ngik- ngik”, dan terbatuk- batuk. Pada tanggal 01 Maret 2015 pukul
21.00 WIB Ny. K mengalami serangan asma yang dirasakannya berat
setelah pada sore harinya Ny. K sepulang dari pasar dalam kondisi capai
masih memaksakan diri untuk membersihkan meja kursi dan meubelar di
rumahnya yang terlihat berdebu dan setelah itu pada malam harinya
kurang lebih pada pukul 19.00 WIB dengan temperatur udara yang sudah
dirasakan dingin Ny. K masih memaksakan diri untuk mandi dengan air
dingin.
Akhirnya seiring waktu yang semakin malam dan dingin pada
pukul 22.00 WIB Ny. K mengalami serangan asma yang dirasakan cukup
berat. Pada keadaan yang demikian upaya awal keluarga Ny. K adalah
dengan mengerok/memijat Ny.K pada bagian dada dan punggung dengan
menggunakan minyak kayu putih. Selain itu kehadiran suami sebagai
orang terdekat dalam hidup Ny. K merupakan hal yang teramat berarti
sebab selain mengerok/memijat suami Ny. K selalu memberikan support
mental/dukungan psikologis pada Ny. K saat serangan dengan selalu
memotivasi Ny. K untuk tenang, tidak panik dan mengendalikan
pernapasan.
Sebagai upaya lanjutan dari keluarga setelah dilakukan penanganan
non farmakologis maka keluarga Ny. K kemudian membawa Ny. K pada
pukul 22.45 WIB ke UPT Rawat Inap Purwantoro untuk mendapatkan
perawatan dan penanganan medis. Setelah sesampainya di UPT Rawat
Inap Purwantoro akhirnya dokter yang memeriksa menganjurkan agar Ny.
68
K dirawat dan diberikan terapi medis sehubungan dengan serangan
asmanya. Keesokan harinya, kondisi Ny. K sudah membaik dengan tidak
adanya keluhan sesak napas, batuk jarang, wajah tampak segar, bunyi
wheezing pada kedua paru - paru tidak ada dan tanda – tanda vital dalam
batas normal, tekanan darah: 120/80 mmHg, temperatur: 36,5 derajat
celcius, nadi: 88 kali per menit, respiratory rate: 20 kali per menit.
Dengan kondisi yang demikian akhirnya pada tanggal 02 Maret 2015
dokter yang memeriksa mengijinkan Ny. K untuk pulang.
Penanganan awal asma yang dilakukan oleh keluarga Ny. K
tersebut merupakan terapi non farmakologis pilihan yang sejak dahulu
diterapkan pada Ny. K saat mendapatkan serangan asma. Dengan adanya
serangan asma yang terakhir didapatkannya Ny. K semakin menyadari
bahwa debu dan dingin merupakan dua hal diantara beberapa faktor yang
menyebabkan serangan asma pada Ny. K. Penanganan awal oleh keluarga
berupa massage ringan/kerokan pada dada dan punggung dengan minyak
kayu putih dirasakan Ny. K dapat mengurangi keluhan sesak napas yang
berat, memberi rasa hangat, napas terasa longgar, sementara support
mental/dukungan psikologis dari keluarga saat serangan juga berdampak
mengurangi stress, kepanikan dan akhirnya napas terkendali.
69
4.2.4 Partisipan IV (P4)
Tn.HS seorang laki – laki yang bekerja sebagai petani umur 58
tahun merupakan partisipan keempat yang keempat diwawancarai pertama
kali pada tanggal 28 Maret 2015 mulai pukul 16.00 -17.00 WIB di rumah
Tn. HS. Wawancara kedua dengan Tn. HS sebagai kelanjutan wawancara
pertama juga dilakukan di rumah Tn. HS pada tanggal 29 Maret 2015 pukul
14.00 – 15.00 WIB. Jarak antara partisipan dengan peneliti saat wawancara
adalah 1 meter. Tn. HS beralamat di Dusun Jangglengan RT. 03/RW.02,
Desa Krandegan, Kecamatan Bulukerto, Kabupaten Wonogiri.
Tn. HS merupakan penderita asma bronkiale sejak kecil (usia 5
tahun) dan merupakan pasien asma bronkiale yang sejak puluhan tahun
yang lalu berkunjung ke UPT Rawat Inap Purwantoro untuk mendapatkan
perawatan dan pengobatan apabila mengalami serangan asma. Tn. HS.
sudah mengenal rokok sejak remaja saat itu pula Tn. HS kadang - kadang
merokok apabila timbul keinginan merokok sampai dengan saat ini.
Meskipun demikian sebenarnya Tn. HS menyadari bahwa polusi udara
oleh asap termasuk rokok merupakan faktor pencetus terjadinya serangan
asma bronkiale yang dideritanya. Selain asap rokok Tn. HS juga bisa
mengalami searangan asma ketika sedang mengalami stress, dan juga
kecapaian.
Saat serangan asma datang biasanya Tn. HS merasakan sesak
napas sampai terdengar bunyi wheezing, napas terengah – engah dan sulit
70
bernapas. Sebelum serangan yang terakhir (tanggal 23 April 2015), pada
siang harinya Tn. HS membajak sawahnya seorang diri dan saat selesai
bekerja bersama dengan tetangganya Tn. HS berulang kali menyulut rokok
sebagai teman istirahat dan bersantai sejenak. Saat itu sebenarnya Tn. HS
sudah mulai terbatuk – batuk tapi keluhan itu tak dihiraukannya dan
bahkan beranggapan nanti kalau sudah selesai bekerja dan istirahat pasti
batuk akan hilang. Dengan beranggapan seperti itu akhirnya Tn. HS tetap
melanjutkan pekerjaannya sampai selesai.
Malam harinya (sekitar pukul 23.00 WIB) dengan didukung udara
yang semakin terasa dingin Tn. HS mulai merasakan batuk, gatal di
tenggorokan, sesak napas, napas terengah – engah dan semakin sulit
bernapas. Sebagai upaya awal (secara non farmakologis) untuk mengatasi
keluhannya, Tn. HS meminta istrinya untuk memijit punggungnya,
punggung juga kening dan telapak kakinya dengan menggunakan minyak
kayu putih. Sambil memijit punggung Tn. HS istri Tn. HS pun juga tak
segan – segan untuk memberi nasehat dan support mental kepadaTn. HS
untuk tidak panik, bernapas panjang dan teratur, mengendalikan napas dan
tidak bingung saat terjadi serangan dan juga tidak mengulangi lagi bekerja
dengan memforsir tenaganya dan juga tidak lagi merokok yang keduanya
sudah disadari Tn. HS dapat memicu serangan asma. Tn. HS mengatakan
meskipun minum obat kalau belum dipijit punggungnya dengan minyak
kayu putih rasanya belum lega. Selain itu kesabaran sang istri untuk selalu
71
memberi support mental saat serangan menjadikan Tn. HS lebih tenang
saat mengalami serangan.
Keesokan harinya pada tanggal 24 April 2015 sekitar pukul 05.00
WIB oleh keluarganya Tn. HS dibawa ke sarana pelayanan kesehatan
terdekat yaitu UPT Rawat Inap Purwaantoro yang berjarak kurang lebih 10
kilometer dari rumahnya untuk mendapatkan terapi farmakologis/medis.
Saat itu meskipun bunyi wheezing masih ada tetapi Tn. HS merasakan
sesak napasnya sudah berkurang. Setelah diperiksa oleh dokter setempat
Tn. HS disarankan untuk diobservasi sampai keadaan umumnya membaik,
dalam hal ini terapi medis yang diberikan dokter kepada Tn. HS adalah
terapi inhalasi, cairan untuk memulihkan keadaan umum dan juga terapi
oral. Pada saat itu ditemukan wheezing meskipun dengan pernapasan yang
sudah terkendali. Pada sore harinya Tn. HS sudah merasa semakin
membaik dan dokter memperbolehkan pulang.
Setelah menjalani perawatan pada saat serangan asma yang
terakhir Tn. HS semakin menyadari bahwa asap terutama yang bersumber
dari rokok dan kecapaian adalah hal yang diantaranya dapat menimbulkan
serangan asma dan secara otomatis hal tersebut mengganggu aktivitasnya
sebagai seorang petani. Kehadiran istri/keluarga terdekat merupakan faktor
pendukung yang berperan penting dalam upaya mengatasi keluhan Tn. HS
saat menghadapi serangan asma. Terapi non farmakologis secara fisik
berupa massage ringan dengan minyak kayu putih pada dada dan
punggung juga kening dan telapak kaki serta support mental/dukungan
72
psikologis dari keluarga untuktenang, tidak panik saat serangan dirasakan
Tn. HS merupakan hal yang teramat berarti, karena dua hal tersebut
memberikan rasa hangat, melonggarkan pernapasan, relaksasi, tenang,
tidak panik dan napas terkendali.
4.3 HASIL PENELITIAN
Dalam analisa tematik akan dijelaskan mengenai tema yang telah
didapat dan telah teridentifikasi dari hasil wawancara. Tema – tema yang
telah dihasilkan tersebut mengacu pada kategori pengetahuan, kategori
penanganan fisik dan kategori penanganan supportif. Masing – masing
kategori akan menghasilkan beberapa tema, dan masing – masing tema
menghasilkan sub tema.
Tema – tema yang telah dihasilkan dan telah teridentifikasi dari
hasil wawancara tersebut akan secara rinci dibahas untuk mengungkapkan
makna – makna atau arti dari berbagai pengalaman pasien asma bronkiale
yang apabila mengalami serangan dan mendapatkan terapi non farmakologis
secara baik fisik, maupun secara psikologis. Tema – tema dan makna –
makna yang telah dihasilkan akan saling berhubungan satu per satu dengan
yang lain. Berikut penjelasan mengenai masing – masing tema dari tiga
kategori pada konteks penanganan awal pasien asma bronkiale.
Tema - tema yang didapatkan berasal dari analisa terhadap
kategori – kategori yang didapat dari ungkapan keseluruhan partisipan.
Kategori – kategori ditetapkan dari tujuan penelitian yang telah ditetapkan.
73
Berikut penjelasan mengenai tema - tema dan sub - sub tema dari kategori -
kategori tersebut:
4.3.1 Tujuan 1: Pemahaman Partisipan tentang Penyakit Asma Bronkiale
4.3.1.1 Kategori Pengetahuan
1. Tema Pengertian (Sub Tema: a) Sesak Napas; b) Mengi; c)
Terengah – engah).
a. Sesak Napas.
Seluruh partisipan telah mengetahui tentang pengertian asma
yang dikarakteristikkan oleh keempatnya dengan adanya keluhan
sesak napas pada saat serangan.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai keluhan sesak napas
yang timbul saat serangan asma :
“...setahu saya ya sesak napas mbak... .”(P1)
“...yen pangertosan saya gangguan nggen pernapasan mbak, sesak
napas ngaten (setahu saya adanya gangguan pernapasan mbak, ada
sesak napas)... .”(P2)
“...yen ngertos kulo nggih sesak napas mbak ( setahu saya sesak
napas mbak)... .”(P3)
“...itu ya sesak napas mbak (setahu saya sesak napas mbak)... .”(P4)
Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa pengertian asma
bronkiale adalah suatu kondisi pada gangguan pernapasan dengan
74
adanya keluhan sesak napas sebagai salah satu gejala yang
dirasakan saat serangan.
b. Mengi
Dua partisipan mengungkapkan bahwa pengertian asma
adalah suatu kondisi terjadinya gangguan pernapasan yang pada
saat terjadinya serangan timbul suara abnormal “mengi” yang
merupakan kekhasan bunyi pernapasan pada pasien asma saat
mengalami serangan.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pengertian asma adalah
adanya suara pernapasan yang secara awam dikenal dengan suara
“mengi” sebagai ciri khas bunyi pernapasan saat serangan asma:
“...tapi khas ada bunyi ”ngik – ngik”, orang tua bilang,“mengi”
begitu mbak... .”(P1)
“...yang ada “mengi – mengi”nya itu mbak ... .”(P4)
Terdapat dua partisipan yang mengungkapkan bahwa
pengertian asma diantaranya adalah gangguan pada saluran
pernapasan yang terdapat karakteristik suara pernapasan yang khas
dan secara awam keduanya menyebutnya dengan suara “mengi”.
Sementara dua partisipan lainnya mengungkapkan dengan istilah
atau karakteristik yang berbeda.
75
c. Terengah – engah
Dua diantara empat partisipan mengungkapkan bahwa
pengertian asma adalah terjadinya gangguan pernapasan yang
apabila terjadi serangan maka keluhan yang timbul salah satunya
adalah rasa terengah- engah saat bernapas.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai adanya keluhan
pernapasan yang terasa terengah- engah apabila mengalami
serangan asma :
“...menggeh – menggeh” ngoten nika pokoke mbak (terengah-
engah begitu mbak)... .”(P2)
“...mengkas-mengkis mbak yen kimat (terasa terengah-engah saat
kambuh mbak)... .” (P3)
Terdapat dua partisipan yang mengungkapkan bahwa pengertian
asma adalah apabila terjadi serangan, maka pernapasan akan terasa
terengah – engah. Dua partisipaan yang lain mendeskripsikan
dengan istilah yang berbeda.
76
2. Tema Tanda dan Gejala (Sub tema: a) Batuk; b) Sesak Napas; c)
Kesulitan Bernapas)
a. Batuk
Empat dari dua partisipan mengungkapkan bahwa salah
satu dari tanda dan gejala saat mengalami serangan.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai adanya keluhan batuk
yang dikarakteristikkan oleh partisipan sebagai tanda dan gejala
terjadinya serangan asma :
“...biasanya didahului batuk mbak ... .”(P1)
“...enten “watuke” mbak (ada batuknya mbak) ... .”(P2)
Terdapat dua partisipan yng mengungkapkan bahwa batuk
merupakan salah satu dari gejala apabila serangan asma terjadi,
sementara dua partisipan lainnya menyatakan dengan adanya
tanda dan gejala yang berbeda.
4.3.1.1 Skema Tema Pengertian
Pengertian Pengetahuan “Mengi”
Terengah-
engah
Sesak
napas
77
b. Sesak Napas
Tiga dari empat partisipan mengungkapkan bahwa tanda
dan gejala terjadinya serangan asma adalah juga adanya keluhan
sesak napas.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai adanya keluhan sesak
napas yang juga dikarakteristikkan oleh partisipan merupakan
tanda dan gejala terjadinya serangan asma :
“...napas ini rasanya terus sesek mbak... .”(P1)
“...dada niki mbak sing kraos pas serangan, sesek
ngoten(ketika serangan dada terasa sesak mbak)... .”(P2)
“...dada sesek raose yen pas kimat mbak(saat kambuh dada
terasa sesak mbak)... .”(P3)
Terdapat tiga partisipan yang mengungkapkan bahwa
diantara tanda dan gejala terjadinya serangan asma adalah sesak
napas.
c. Kesulitan Bernapas
Keempat partisipan mengungkapkan bahwa tanda dan
gejala yang lain pada serangan asma adalah adanya keluhan sulit
untuk bernapas.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai adanya kesulitan
untuk benapas saat serangan asma :
“...rasanya napas tidak lancar... .”(P1)
78
“...ajeng ambegan susah mbak (susah untuk bernapas mbak), leher
terasa seperti tercekik ... .”(P2)
“...ambegan kados tertahan,angel ngoten (pernapasan seperti
tertahan dan sulit)... .”(P3)
“...rasanya sulit bernapas, terengah-engah mbak... .” (P4)
Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa diantara tanda dan
gejala apabilamengalami serangan asma adalah adanya kesulitan
untuk bernapas.
4.3.1.2 Skema Tema Tanda dan Gejala
2. Tema Waktu Pertama Mengalami Serangan Asma (Sub Tema:
Sejak Kecil)
Keempat partisipan mengungkapkan bahwa mereka telah
menyadari dengan kondisi mereka sebagai penderita asma.
Keempatnya mengungkapkan bahwa sejak kecil telah sering
mengalami serangan asma, sehingga saat sekarang apabila
Tanda dan
Gejala
Pengetahuan Sesak
Napas
Kesulitan
Bernapas
Batuk
79
mengalami serangan bukan merupakan serangan yang pertama
dialami.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai waktu yang
dikarakteristikkan oleh partisipan sebagai waktu pertama kalinya
diketahui terkena asma:
“...sejak kecil mbak, kira – kira usia 5 tahun, waktu masih TK...
.”(P1)
“...wit alit mpun gadhah asma mbak, yen mboten klentu umur 5
tahun (sejak kecil saya sudah terkena asma mbak, kalau tidak
salah usia 5 tahun)... .”(P2)
“...sejak kecil mbak, kalau saya ndak salah pas saya 6 tahun...
.”(P3)
“...wiwit alit mbak mpun “menginen”, nggih kinten – kinten 5
tahunan umur kula (sejak kecil sudah mulai punya “mengi” mbak,
kira-kira usia 5 tahun)... .”(P4)
Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa sejak kecil
mereka sudah terdeteksi terkena asma. Rentang usia pada saat
mengalami serangan asma yang diungkapkan seluruh partisipan
adalah 5-6 tahun.
4.3.1.3 Skema Waktu Pertama Mengalami Serangan
Sejak kecil
Waktu
Pertama
Mengalami
Serangan
Asma
Pengetahuan
80
3. Tema Faktor Pencetus (Sub Tema: a) Temperatur Dingin; b)
Debu; c) Asap; d) Kelelahan Fisik; e) Emosi)
a. Temperatur Dingin
Tiga dari empat partisipan mengungkapkan bahwa
terpaparnya mereka pada temperatur yang dingin akan
mengakibatkan tercetusnya serangan asma.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai paparan terhadap
temperatur dingin yang merupakan salah satu faktor pencetus
yang menimbulkan serangan asma:
“...saya paling ndak tahan dengan dingin mbak, membuat asma
saya kambuh... ”(P1)
“...yen kenging angin malam terus kimat mbak (bila terkena
angin malam terus kambuh mbak)... .”(P2)
“...yen kademen nggih kimat mbak (bila kedinginan kambuh
mbak)... .”(P3)
Terdapat tiga partisipan yang mengungkapkan bahwa
terpaparnya mereka dengan temperatur yang dingin
mengakibatkan terjadinya serangan asma. Debu
Keempat partisipan mengungkapkan bahwa terpaparnya
mereka dengan debu juga merupakan faktor pencetus serangan
asmanya.
81
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai paparan terhadap
debu yang dapat menimbulkan serangan asma:
“...saya juga tidak tahan debu mbak... .”(P1)
“...yen kenging debu nggih kimat mbak (bila terkena debu juga
kambuh mbak)... .”(P2)
“...yen kenging bleduk niku nggih sesek mbak (bila terkena debu
juga menimbulkan sesak napas mbak)... .”(P3)
“...kalau terkena debu nggih kambuh sesek mbak (kalau terkena
debu juga menyebabkan kambuh mbak)... .”(P4)
Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa debu merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya serangan asma
adalah apabila terpapar dengan debu.
b. Asap
Keempat partisipan mengungkapkan bahwa asap
merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan serangan.
Diungkapkan pula oleh keempat partisipan bahwa asap yang berasal
dari sisa pembakaran maupun rokok yang terhirup akan mengganggu
kerja pernapasannya dan selanjutnya menimbulkan serangan asma.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai paparan
terhadap asap baik dari hasil pada proses pembakaran maupun rokok
merupakan faktor yang dapat menimbulkan terjadinya serangan asma:
82
“...kalau ada asap atau ada yang merokok di dekat saya itu
menyebabkan saya terus sesak napas mbak... .”(P1)
“...yen bibar ngrokok utawi enten asap niku dadi sesek mbak (setelah
merokok atau terkena asap menyebabkan saya menjadi sesak mbak)...
.”(P2)
“...kulo yen mambu asap utawi kebul rokok mbak niku jan mboten
remen, lha trus sesek le mbak (saya paling tidak suka kalau membau
asap rokok, karena menyebabkan saya sesak napas mbak)... .”(P3)
“...kalau habis merokok atau ada asap jadi sesek mbak... .”(P4)
Terdapat dua partisipan yang berjenis kelamin laki – laki yang
mengungkapkan bahwa asap rokok maupun asap dari sumber lain
merupakan faktor yang dapat menimbulkan terjadinya serangan asma.
Kedua partisipan merupakan perokok meskipun dengan intensitas
yang jarang (merokok sesekali saat timbul keinginan untuk merokok
saja). Sementara dua partisipan lainnya yang berjenis kelamin
perempuan bukan merupakan perokok tetapi sedapat mungkin
menghindarkan diri dari kepulan asap dan asap rokok, karena asap dan
juga asap rokok di sekitarnya juga menimbulkan serangan asma,
dengan demikian dapat dikatakan bahwa seluruh partisipan
mengungkapkan bahwa asap dari sisa proses pembakaran maupun
rokok dapat menimbulkan serangan asma.
c. Kelelahan Fisik
Dua partisipan mengungkapkan bahwa sebenarnya mereka
menyadari dengan kesibukan mereka saat bekerja kadang – kadang
akan menimbulkan kelelahan fisik. Keadaan yang demikian apabila
83
diabaikan (tidak segera beristirahat), maka hal tersebut diakui
keduanya akan menimbulkan serangan asma.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai kelelahan pada fisik yang
menyebabkan munculnya serangan asma:
“...yen kekeselen mbak terus kambuh (kalau kecapaian menyebabkan
kambuh mbak)... .”(P3)
“...kecapaian juga menyebabkan kambuh mbak... .” (P4)
Terdapat dua partisipan yang mengungkapkan bahwa
kelelahan secara fisik dapat menimbulkan serangan asma, sementara
dua partisipan yang lain mengungkapkan kelelahan secara fisik
didukung dengan faktor- faktor lain akan menimbulkan serangan
asma.
d. Emosi
Tiga partisipan mengungkapkan bahwa adanya respon
emosi yang berlebihan/stress akan mengakibtkan serangan asma.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai emosi/stress yang
menyebabkan munculnya serangan asma:
“...yen kepikiran awrat nggih kimat mbak (bila ada masalah berat
akan mnyebabkan kambuh mbak) ... .”(P2)
“...yen kepikiran awrat kimat mesti kambuh mbak (bila ada masalah
berat pasti kambuh mbak)... .”(P3)
“...yen kepikiran mesti kambuh mbak (bila banyak yang dipikirkan
pasti kambuh mbak)... .”(P4)
84
Terdapat tiga partisipan yang mengungkapkan bahwa
adanya stressor dapat menimbulkan serangan asma, sementara satu
partisipan lainnya tidak menyebutkan stress dalam mengidentifikasi
tanda dan gejala asma.
4.3.1.4 Skema Tema Faktor Pencetus
Temperatur
Dingin
Faktor Pencetus Pengetahuan
Debu
Asap
Kelelahan Fisik
Emosi
85
4.3.2 Tujuan 2: Pemahaman Partisipan dan Keluarga tentang Penanganan
Fisik pada Serangan Asma.
4.3.2.1 Kategori Penanganan Fisik
1. Tema Peran Keluarga pada Penanganan Fisik (Sub Tema: a)
Pasangan Hidup; b) Saudara)
a. Pasangan Hidup
Keempat partisipan mengungkapkan bahwa pasangan
hidupnya merupakan orang terdekat dalam hidupnya dan selalu
mengambil langkah penting yang pertama ketika partisipan
mengalami serangan asma. Diungkapkan keempatnya langkah
penting yang dimaksud yang dapat meringankan gejala saat serangan
adalah penanganan secara fisik berupa massage ringan dengan
minyak kayu putih pada dada, punggung/seluruh tubuh.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai keluarga dalam hal ini
pasangan hidup yang selalu berperan memberikan terapi fisik pada
partisipan saat serangan:
“...suami saya yang mijeti (memijat/melakukan massage) saya saat
serangan mbak... .”(P1)
“...biasane istri kulo bertindak mijeti, ngeroki ngoten pas kimat
mbak (biasanya istri yang memijat saat saya kambuh mbak)... .”(P2)
“...suami biasane sing sregep mijeti kula pas kimat mbak (suami
saya orangnya telaten memijat saya pas kambuh mbak)... .”(P3)
“...istri saya yang menolong pertama kali saat saya kambuh, saya
dipijat di dada,punggung,kening dan telapak kaki mbak... .”(P4)
86
Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa pasangan hidup
(suami/istri)nya adalah orang yang berperan penting dan selalu ambil
bagian memberikan penanganan fisik saat partisipan mengalami
serangan asma
b. Saudara
Selain pasangan hidupnya, kadang-kadang saudara juga
merupakan keluarga terdekat yang juga turut ambil bagian ketika
partisipan mengalami serangan. Diungkapkan oleh dua partisipan
bahwa saudara juga merupakan orang yang peduli saat serangan,
yaitu dengan melakukan massage ringan dengan minyak kayu putih
pada dada dan punggung/seluruh tubuh saat partisipan mengalami
srangan asma.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai saudara yang
juga turut berperan memberi penanganan fisik saat serangan asma:
“...mbak kulo nggih bertindak sok mijeti ngoten mbak (kakak saya
kadang-kadang juga bertindak dengan memijat saya mbak)... .”(P2)
“...yen mboten kadang – kadang nggih adik kula sing mijeti mbak
(kadang-kadang adik juga memijat saya mbak) ... .”(P3)
Terdapat dua partisipan yang mengungkapkan bahwa
saudara terdekat juga merupakan orang yang berperan memberikan
penanganan fisik saat partisipan mengalami serangan asma. Dua
partisipan lainnya tidak mengungkapkan hal serupa, karena
bertempat tinggal agak jauh dari saudaranya.
87
4.3.2.1 Skema Tema Peran Keluarga Pada Penanganan Fisik
2. Tema Metode Penanganan Fisik (Sub Tema: a) “Kerokan”; b)
Massage)
4.3.2.2.1 Kerokan
Cara tradisional yang maknanya sama dengan
memijat/massage dikenal masyarakat dengan istilah “kerokan”. Pada
orang-orang tertentu “kerokan” diyakini mampu mengurangi atau
bahkan menyembuhkan suatu keluhan, termasuk keluhan/gejala yang
timbul saat serangan asma. Dua partisipan mengungkapkan bahwa
“kerokan” merupakan salah satu metode penanganan fisik pilihan
untuk mengurangi gejala saat mengalami serangan asma
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai kerokan sebagai
metode penanganan fisik oleh keluarga terhadap partisipan saat
mengalami serangan asma:
Pasangan
Hidup
Penanganan
Fisik
Saudara
Peran
Keluarga
Dalam
Penanganan
Fisik
88
“... yang dilakukan suami saat saya serangan adalah ngeroki saya
pakai minyak kayu putih mbak... .”(P1)
“... yen pas kimat kula dikeroki sak awak niki mbak (bila mengalami
serangan saya di”keroki” pada seluruh tubuh mbak)... .”(P2)
Terdapat dua partisipan yang mengungkapkan bahwa
metode tradisional “kerokan” merupakan salah satu metode pilihan
pertama yang dipilih saat partisipan mengalami serangan asma. Dua
partisipan lain memilih metode penanganan fisik yang lain yang
diyakini mampu meringankan gejala saat partisipan mengalami
serangan asma.
b. Massage
Keempat pasien mengungkapkan bahwa penanganan fisik
saat mengalami serangan dengn massage ringan pada dada dan
punggung/seluruh tubuh dengan menggunakan minyak kayu putih
adalah penanganan awal pilihan yang diyakini efektif mengurangi
gejala saat serangan.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai massage
sebagai metode penanganan fisik oleh keluarga terhadap partisipan
saat mengalami serangan asma:
“...suami mijeti (memijat) dada dan punggung saya dengan minyak
kayu putih mbak ... .”(P1)
“...dipijeti nggen punggung, dada, iga, pilingan, ngangge minyak
kayu putih ngaten mbak (dipijat pada dada, iga, kening dengan
minyak kayu putih)... .”(P2)
89
“...dipijet nggen bagian belakang niki, nggen punggung nggih
dipliriti ngangge minyak kayu putih (dipijat di bagian belakang dan
punggung dengan minyak kayu putih)... .”(P3)
“...dipijat pada kening, dada, punggung, iga, telapak kaki pakai
minyak kayu putih mbak... .”(P4)
Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa massage dengan
minyak kayu putih terutama pada area dada dan punggung
merupakan metode pilihan yang diyakini mampu mengurangi
gejala saat partisipan mengalami serangan asma.
4.3.2.2 Skema Tema Metode Penanganan Fisik
3. Tema Efek Penanganan Fisik (Sub Tema: a) Sesak Napas
Berkurang; b) Pernapasan Longgar ; c) Tubuh Hangat; d)
Penurunan Tingkat Stress )
a. Sesak Napas Berkurang
Penanganan
Fisik
Massage
Metode
Penanganan
Fisik
“Kerokan”
90
Penanganan fisik berupa massage ringan pada dada,
punggung/seluruh tubuh dengan minyak kayu putih
diungkapkan oleh keempat partisipan sebagai metode
penanganan fisik yang efektif untuk mengurangi gejala saat
serangan. Cara ini diakui keempatnya mampu memberikan
efek mengurangi sesak napas pada saat serangan.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai
berkurangnya sesak napas setelah mendapat penanganan fisik
oleh keluarganya:
“...sesek (sesak napas) berkurang mbak ... .”(P1)
“...raose sesek sudo mbak (rasa sesak napas berkurang
mbak)... .”(P2)
“...sesekipun nggih sudo mbak (sesak napas juga berkurang)...
.”(P3)
“...sesak napas berkurang mbak... .”(P4)
Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa efek dari
penanganan fisik yang dilakukan keluarga saat serangan adalah
mampu mengurangi keluhan sesak napas.
b. Pernapasan Longgar
Penanganan fisik berupa massage dada dan
punggung/seluruh tubuh dengan minyak kayu putih
diungkapkan tiga partisipan merupakan metode penanganan
91
fisik pada pasien asma yang memberikan efek melonggarkan
pernapasan saat serangan.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai
“longgarnya” pernapasan setelah mendapat penanganan fisik
oleh keluarganya saat mengalami serangan asma:
“...napas nggih dados “longgar” mbak (napas menjadi
longgar mbak)... .”(P1)
“...napas kulo dados longgar mbak (napas saya menjadi
longgar mbak)... .”(P3)
“...dada dan napas terasa longgar mbak... .”(P4)
Terdapat tiga partisipan yang mengungkapkan bahwa
efek dari penanganan fisik yang diberikan saat serangan dapat
membantu me”longgar”kan pernapasan. Satu partisipan
lainnya mengungkapkan berkurangnya gejala setelah
penanganan fisik dengan istilah yang lain.
c. Tubuh Hangat
Minyak kayu putih merupakan salah satu media/bahan
untuk melakukan massage pada dada dan punggung/seluruh
tubuh pada pasien asma saat serangan. Dua partisipan
92
mengungkapkan bahwa efek penggunaan minyak kayu putih
tersebut adalah sensasi rasa hangat pada tubuh.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai perasaan
hangat pada tubuh setelah mendapat penanganan fisik oleh
keluarganya saat serangan asma:
“...sak awak niki raose anget mbak (seluruh tubuh terasa
hangat mbak)... .”(P2)
“...tubuh terasa hangat... .”(P4)
Terdapat dua partisipan yang mengungkapkan rasa
hangat pada tubuh setelah dilakukan massage dengan minyak
kayu putih. Dua partisipan lainnya mengungkapkan dengan
karakteristik yang lain.
d. Penurunan Tingkat Stress
Penanganan fisik saat serangan asma tidak saja
berpengaruh pada relaksasi fisik tetapi juga akan merelaksasi
mental sehingga stress saat serangan juga berkurang.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai berkurangnya
stress setelah mendapat penanganan fisik oleh keluarganya
saat serangan asma:
“...yen bar dipijet nggen pilingan niki raose stess kula nggih
ical mbak (setelah dipijat pada kening stress saya terasa
hilang mbak)... .”(P2)
93
“...bar dipijet ngoten stress kula juga berkurang mbak (setelah
dipijat stress saya juga berkurang mbak)... .”(P4)
Terdapat dua partisipan yang mengungkapkan
bahwa penanganan fisik yang dilakukan oleh keluarga saat
partisipan mengalami serangan juga mampu mengurangi stress
yang menyertai serangan asma.
4.3.2.3 Skema Tema Efek Penanganan Fisik
4.3.3 Tujuan 3: Mengetahui Pemahaman Partisipan dan Keluarga tentang
Penanganan Supportif pada Serangan Asma.
4.3.3.1 Kategori Penanganan Supportif
Efek
Penanganan
Fisik
Penanganan
Fisik
Sesak Napas
Berkurang
Pernapasan
“longgar”
Tubuh Hangat
Penurunan
Tingkat Stress
94
1. Tema Peran Keluarga pada Penanganan Supportif (Sub Tema: a)
Pasangan Hidup; b) Ibu)
a. Pasangan Hidup
Pasangan hidup (suami/istri) sebagai orang terdekat dalam
hidup partisipan merupakan orang penting yang supportnya sangat
dinantikan oleh partisipan terutama saat serangan. Support dari
pasangn hidup bermakna secara psikologis mengurangi kecemasan
dan membuat perasaan tenang saat menghadapi serangan.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai keluarga yang berperan
memberikan penanganan supportif (support psikologis) kepada
partisipan saat mengalami serangan asma :
“...jelas ada mbak, suami saya selalu menunggui dan menasehati
saya untuk tenang dan mengendalikan napas saat serangan...
.”(P1)
“...nggih mbak, suami kulo biasane yen pas kimat ngrencangi kalih
ngandhan – ngandhani kula (ya mbak, pada saat serangan
biasanya suami saya menemani dan menasehati/memotivasi
saya)... .”(P2)
“...suami saya sinambi mijeti biasane kalih ngandhani ken tenang,
mboten panik mbak (sambil memijat biasanya suami saya
memotivasi saya untuk tenang dan tidak panik mbak)... .”(P3)
“...nggih mbak (ya mbak), biasanya istri saya yang menasehati
untuk tenang pas kambuh... .”(P4)
Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa pasangan hidup
(suami/istri)nya merupakan orang yang berperan penting dalam
memberikan support secara psikologis saat mengalami serangan
95
asma. Support mental tersebut diyakini seluruh partisipan mampu
memberikan efek mengurangi gejala saat serangan asma.
c. Ibu
Ibu merupakan orang yang paling mengerti bagaimana dan
bagaimana harus menangani anaknyasaat serangan. Meskipun
telah dewasa dan berkeluarga support dari ibu juga merupakan
hal yang dinantikan partisipan untuk dapat menenangkan saat
mengalami serangan.
“...ibu saya itu orangnya cukup sabar menunggui dan
menenangkan saya saat serangan mbak.. .”(P1)
“...ibu kula mbak, ngandhani kula supados mboten panik mbak
(ibu memotivasi saya supaya tidak panik mbak)... .”(P3)
Terdapat dua partisipan yang mengungkapkan bahwa ibu
juga merupakan orang yang berperan memberikan support saat
partisipan mengalami serangan asma, sehingga partisipan merasa
tenang dan gejala saat serangan berkurang.
96
4.3.3.1 Skema Tema Peran Keluarga pada Penanganan Supportif
2. Tema Metode Penanganan Supportif (Sub Tema: a) Support
untuk Tenang; b) Support untuk Pengendalian Pernapasan)
a. Support untuk Tenang
Support untuk tenang dari keluarga merupakan
metode/bentuk support yang sangat diharapkan oleh partisipan
saat mengalami serangan karena dengan support tersebut
partisipan merasa ada empati dari keluarga yang hal tersebut
dapat mengurangi kepanikan saat serangan.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai support dari
keluarganya untuk tenang saat mengalami serangan asma:
Penanganan
Supportif
Ibu
Peran
Keluarga
pada
Penanganan
Supportif
Pasangan
Hidup
97
“...suami saya sambil mijiti juga memotivasi saya untuk tenang
mbak... .”(P1)
“...kalih dikandhani supados mboten panik mbak (juga
dinasehati supaya tidak panik mbak)... .”(P2)
“...dikandhani supados nyantai mawon, ampun panik, ampun
stress ngoten mbak (dinasehati supaya santai saja, tidak panik,
tidak stress, seperti itu mbak) ... .”(P3)
“...istri bilang jangan stress pak, jangan panik.. .”(P4)
Seluruh partisipan mengungkapkan support dari keluarga
untuk tenang saat serangan asma merupakan support yang mampu
memberikan motivasi dan efek ketenangan jiwa dan tidak panik
saat partisipan mmengalami serangan asma.
b. Support untuk Pengendalian Pernapasan
Saat serangan asma yang terjadi adalah peningkatan
kerja otot pernapasan sehingga frekuensi pernapasan meningkat
dan menimbulkan sesak napas yang teramat sangat. Dengan
support dari keluarga untuk tetap mengendalikan pernapasan
saat serangan, maka hal tersebut akan memotivasi partisipan
untuk tetap mengendalikan pernapasan meskipun dalam keadaan
menghadapi serangan.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai support dari
keluarganya untuk mengendalikan pernapasan saat serangan
asma:
“...supados ngatur napas ngoten mbak (supaya mengatur
pernapasan begitu mbak)... .”(P2)
98
“...ngaken kula supaya mengatur napas mbak (memotivasi saya
supaya mengatur napas mbak)... .”(P3)
“...napasnya diatur ngoten niku mbak (napasnya diatur, seperti
itu mbak)... .”(P4)
Terdapat tiga partisipan yang mengungkapkan
bahwa pada saat serangan asma terjadi keluarganya selalu
memberikan support agar pernapasannya sedapat mungkin
dikendalikan agar gejala yang timbul saat serangan berkurang.
Satu partisipan lainnya mengungkapkan metode atau bentuk
support yang lain.
4.3.3.2 Skema Tema Metode Penanganan Supportif
Penanganan
Supportif
Support untuk
Pengendalian
Pernapasan
Metode
Penanganan
Supportif
Support
untuk tenang
99
3. Tema Efek Penanganan Supportif (Sub Tema: a) Ketenangan; b)
Sesak Napas Berkurang; c) Pernapasan Terkendali):
a. Ketenangan
Support dari keluarga untuk selalu tenang saat mengalami
serangan akan memberikan efek perasaan menjadi tenang,
merasa tidak sendiri, stress dan juga rasa panik berkurang.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai perasaan lebih tenang
apabila secara psikologis keluarga memberikan support saat
partisipan mengalami serangan asma:
“...rasanya saya ayem (tenang) mbak, tidak panik lagi... .”(P1)
“...rasanya saya tenang mbak, panike ical (hilang paniknya)...
.”(P2)
“...raose mboten stress malih mbak, mboten panik ngaten
(rasanya tidak stress lagi mbak, tidak panik juga)... .”(P3)
“...rasanya saya tenang dan juga tidak panik mbak... .”(P4)
Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa support
psikologis dari keluarga saat partisipan mengalami serangan akan
memberikan efek perasaan tenang dan mengurangi kepanikan,
sehingga gejala yang timbul saat serangan asma juga berkurang.
b. Sesak Napas Berkurang
100
Support secara psikologis dari keluarga juga merupakan
hal yang berarti pada partisipan saat mengalami serangan, karena
juga akan memberikan efek berkurangnya keluhan sesak napas.
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai
berkurangnya sesak napas apabila keluarga memberikan support
psikologis saat partisipan mengalami serangan asma:
“...sesak napas rasanya juga berkurang mbak... .”(P1)
“...sesak napas terasa berkurang mbak... .”(P2)
“...seseke raose nggih sudo mbak (rasa sesak napas juga
berkurang mbak)... .”(P3)
“...sesak napas terasa berkurang mbak... .”(P4)
Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa support dari keluarga
saat partisipan mengalami serangan asma mampu memberikan
efek mengurangi sesak napas sebagai salah satu gejala yang
muncul saat terjdi serangan asma.
c. Pernapasan Terkendali
Efek lain support psikologis dari keluarga adalah
terkendalinya frekuensi pernapasan saat serangan. Dengan
support tersebut partisipan termotivasi untuk dapat
mengendalikan pernapasan saat serangan meskipun terasa
sangat sesak.
101
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai
terkendalinya pernapasan apabila mendapatkan support
psikologis dari keluarganya saat mengalami serangan asma:
“...rasane (rasanya) napas terkendali mbak... .”(P1)
“...gek napas niki rumaos kula nggih terus saget diatur mbak
(rasanya napas ini juga bisa diatur mbak)... .”(P3)
“...napas bisa dikendalikan mbak... .”(P4)
Terdapat tiga partisipan yang mengungkapkan bahwa
support psikologis dari keluarga saat serangan asma dapat
memberikan efek terkendalinya pernapasan yang tidak teratur.
Satu partisipan lain mengungkapkan dengan ungkapan sesak
napas yang berkurang
4.3.3.3 Skema Tema Efek Penanganan Supportif
Penanganan
Supportif
Pernapasan
Terkendali
Efek
Penanganan
Supportif
Ketenangan
Sesak napas
berkurang
102
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dijelaskan tentang perbandingan hasil penelitian dengan
teori. Pembahasan mengarah pada hasil yang didapat dan analisa serta pemecahan
masalah. Dalam bab ini juga diungkapkan masalah – masalah yang ditemui pada
pasien dengan asma bronkiale pada dimensi penanganan awal secara non
farmakologis saat mengalami serangan sesuai hasil penelitian dengan teori dan
hasil penelitian terdahulu pada tema yang sama.
5.1 Tujuan 1: Pemahaman partisipan tentang penyakit asma bronkiale
5.1.1 Kategori Pengetahuan
5.1.1.1 Tema Pengertian
Keempat partisipan mengungkapkan bahwa pengertian asma
bronkiale adalah suatu gangguan pada pernapasan yang ditandai dengan
adanya keluhan sesak napas, terdapat bunyi khas yang secara awam
disebut “mengi” dan pernapasan dirasakan terengah – engah. Pemahaman
partisipan tentang pengertian asma ini penting untuk diketahui oleh
partisipan dan keluarganya, karena dengan pemahaman terhadap
pengertian asma maka hal ini akan membantu partisipan dan keluarga
untuk mengambil langkah penanganan awal apabila sewaktu-waktu
mengalami kondisi tersebut.
103
Pernyataan partisipan tentang pengertian asma ini sesuai dengan
teori menurut Danusantoso (2011), yang menyatakan bahwa secara klinis
pengertian asma adalah suatu serangan dengan sesak napas yang disertai
dengan suara napas “mengi” (wheezing/wheeze), yang dapat timbul
sewaktu – waktu dan dapat hilang kembali (sempurna ataupun hanya
sebagian), baik secara spontan maupun hanya dengan obat – obatan
tertentu/sifat reversibilitas. Teori lain yang menguatkan kesesuaian
pernyataan partisipan tentang pengertian asma adalah teori menurut
Sudoyo (2006), yang menyatakan bahwa asma adalah penyempitan
saluran pernapasan yang bersifat progresif yang akan menimbulkan
peningkatan kerja pernapasan yang dimanifestasikan dengan terdapatnya
suara pernapasan wheezing.
Pendapat lain yang tentang pengertian asma yang sesuai dengan
pernyataan seluruh partisipan adalah pendapat Vitahelt dalam Monalisa
(2012), yang menyatakan bahwa serangan asma merupakan suatu kondisi
terganggunya saluran pernapasan yang dimulai dengan adanya batuk
dengan atau tanpa pilek dan gejala tersebut terkait erat dengan munculnya
keluhan sesak napas, bunyi “mengi”, tarikan dinding dada sampai dengan
sianosis. Pendapat tentang pengertian asma yang juga sesuai dengan
pernyataan seluruh partisipan adalah pendapat Fahrani dalam
Setyoningsih (2008), yang menyimpulkan bahwa asma adalah suatu
kondisi ketidaknormalan pada saluran pernapasan penderita asma pada
104
saat serangan yang dikarakteristikkan dengan adanya gejala wheezing,
sesak napas, obstruksi jalan napas dan peningkatan respirasi.
Pemahaman partisipan tentang pengertian asma tidak hanya
penting dalam mengambil langkah penanganan saat terjadi serangan agar
tidak semakin memburuk tetapi dengan pemahaman ini kesadaran
partisipan pada kondisinya meningkat dan juga dapat menjadikan
pengetahuan bagi partisipan dan keluarganya untuk mengambil langkah
preventif dalam upaya mengurangi intensitas serangan. Dari pernyataan
keempat partisipan dapat disimpulkan bahwa seluruh partisipan telah
memahami pengertian asma dan pemahaman seluruh partisipan yang
diungkapkan melalui pernyataan tentang pengertian asma tersebut telah
sesuai dengan teori tentang asma.
5.1.1.2 Tema Tanda dan Gejala
Keempat partisipan mengungkapkan bahwa pada saat mengalami
serangan asma gejala yang timbul dikarakteristikkan dengan adanya
batuk, sesak napas, sampai dengan kesulitan bernapas. Pemahaman
partisipan tentang tanda dan gejala asma ini penting bagi partisipan dan
keluarganya karena dengan memahami hal tersebut partisipan akan
segera menyadari ketika sewaktu-waktu merasakan tanda dan gejala
tersebut merupakan awal terjadinya serangan dan bagi keluarga
partisipan dapat segera memberikan langkah penanganan yang tepat.
105
Pernyataan partisipan tentang tanda dan gejala asma ini sesuai
dengan teori menurut Danusantoso (2011), yang menyatakan bahwa
manifestasi klinis stadium dini serangan asma adalah batuk berdahak
dengan pilek maupun tidak, ronchi hilang timbul dan belum ada wheezing
tetapi bila meningkat pada stadium lanjut maka gejala yang timbul antara
lain: batuk, ronchi, sesak napas, napas berat, wheezing, dada terasa
tertekan, suara napas melemah, terjadi asidosis bahkan alkalosis
respiratorik. Teori lain tentang tanda dan gejala asma yang sesuai dengan
pernyataan partisipan adalah pendapat Sudoyo (2006), yang menyatakan
bahwa pasien asma saat mengalami serangan akut maka pada saluran
pernapasannya akan terjadi peningkatan resistensi aliran udara,
hiperinflasi pulmonar dan obstruksi jalan napas dan sebagai
konsekuensinya maka akan menimbulkan gejla peningkatan kerja otot
pernapasan, kelelahan otot- otot pernapasan, sesak napas sampai dengan
kesulitan bernapas.
Pendapat tentang tanda dan gejala asma yang juga sesuai dengan
pernyataan seluruh partisipan adalah pendapat Tonsman dalam Monalisa
(2012), yang menyatakan bahwa gejala asma dimulai dengan timbulnya
gejala batuk dengan atau tanpa pilek, sesak napas, bunyi “mengi” dan
tarikan dinding dada sampai dengan sianosis sehingga mengakibatkan
pasien kesulitan bernapas. Satu pendapat lain tentang tanda dan gejala
asma yang menguatkan kesesuaian pernyataan seluruh partisipan adalah
pendapat Fahrani dalam Setyoningsih (2008), yang menyatakan bahwa
106
gejala yang muncul saat serangan asma diakibatkan oleh penyempitan otot
pernapasan yang ditandai dengan adanya keluhan sesak napas, wheezing
sampai kesulitan bernapas.
Pemahaman partisipan tentang tanda dan gejala asma ini
merupakan hal penting yang perlu untuk ditingkatkan karena dengn
pemahaman pada hal tersebut partisipan dapat melaukan langkah preventif
agar tidak timbul tanda dan gejala yang demikian sebagai tanda terjadinya
serangan dan bagi keluarga pemahaman ini juga penting karena apabila
sewaktu-waktu muncul tanda dan gejala tersebut keluarga dapat segera
menentukan metode apa dan sejauh mana penanganan terhadap partisipan
akan dilakukan. Dari ungkapan keempat partisipan maka dapat
disimpulkan bahwa seluruh partisipan telah memahami tanda dan gejala
asma dan pemahaman seluruh partisipan yang diungkapkan melalui
pernyataan tentang tanda dan gejala tersebut telah sesuai dengan teori
tentang asma.
5.1.1.3 Tema Waktu Pertama Mengalami Serangan Asma
Keempat partisipan mengungkapkan bahwa waktu pertama kali
terdeteksi terkena asma adalah sejak mereka masih kecil. Ungkapan
keempat partisipan tersebut diperkuat oleh pernyataan keluarga terdekat
(ibu atau saudaranya) yang menyatakan hal serupa. Melihat ungkapan
keempatnya tentang hal ini, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh
partisipan mendapatkan serangan pertama asma pada rentang usia 5- 6
107
tahun. Ungkapan seluruh partisipan tentang waktu pertama mengalami
serangan asma ini sesuai dengan teori Danusantoso (2011), yang
menyatakan bahwa serangan pertama dapat timbul pada masa kanak-
kanak sampai masa setengah umur. Teori lain tentang waktu pertama
mengalami serangan asma yang sesuai dengan ungkapan seluruh
partisipan adalah pendapat menurut Sudoyo (2006), yang menyatakan
bahwa adanya episode serangan pertama asma berdasarkan kriteria usia
dapat diklasifiksikan berdasarkan kriteria usia pada masa anak – anak.
Menurut Sudoyo (2006), klasifikasi episode serangan pertama
asma berdasarkan kriteria usia pada masa anak-anak adalah sebagai
berikut: episode jarang, ditemukan pada usia 3-6 tahun, 70-75% dari
populasi asma pada anak, episode sering, serangan pertama terjadi pada
umur sebelum 3 tahun dan permulaan serangan terjadi pada usia 5-6
tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi dan pada episode kronik
persisten, 25% serangan pertama terjadi sebelum anak berusia 6 bulan,
75% sebelum usia 3 tahun serta 50% mendapat serangan asma secara
episodik pada dua tahun pertama dan hampir selalu terjadi “mengi”
setiap hari.
Kesadaran dan pemahaman partisipan tentang waktu pertama
kalinya mengalami serangan asma merupakan pengetahuan yang
penting untuk semakin disadari karena dengan memahami dan
menyadari bahwa sejak kecil telah mengetahui bahwa mereka
merupakan penderita asma, maka perilaku hidup maupun hal-hal yang
108
sekiranya sejak dulu dapat menimbulkan serangan asma dapat dihindari
dan cara/metode yang efektif dalam penanganan saat serangan dapat
dilanjutkan hingga sekarang. Dari pernyataan keempat partisipan
tentang waktu pertama mengalami serangan asma tersebut dapat
disimpulkan bahwa seluruh partisipan mengalami serangan pertama
asma pada rentang usia 5-6 tahun dan masuk pada kategori asma
episodik sering (Sudoyo, 2006), dalam hal ini seluruh partisipan juga
telah menyadari dan memahami bahwa mereka telah menderita asma
sejak kecil dan pemahaman seluruh partisipan yang diungkapkan
melalui pernyataan tentang waktu pertama mengalami serangan asma
tersebut telah sesuai dengan teori tentang asma.
5.1.1.4 Tema Faktor Pencetus
Keempat partisipan mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan timbulnya serangan asma antara lain: temperatur dingin,
debu, asap/asap rokok, kelelahan fisik, emosi. Pernyataan seluruh
partisipan tersebut sesuai dengan teori Danusantoso (2011), yang
menyatakan bahwa asma disebabkan oleh faktor intrinsik dan
ekstrinsik. Secara intrinsik asma disebabkan oleh infeksi (virus,
influensa, pneumonia, mycoplasmal) dan secara ekstrinsik asma
disebabkan oleh faktor fisik (cuaca dingin, perubahan temperatur),
polusi udara (CO, asap/asap rokok) dan faktor emosional. Pendapat lain
tentang faktor pencetus asma yang sesuai dengan pernyataan seluruh
partisipan adalah pendapat Wong (2006), yang menyatakan bahwa
109
faktor predisposisi asma yang menimbulkan serangan antara lain: asap
rokok, polusi udara, perubahan cuaca dan ekspresi emosi yang
berlebihan. Pendapat lain tentang faktor pencetus asma yang sesuai
dengan pernyataan partisipan adalah teori Musliha (2010), yang
menyatakan bahwa faktor pencetus asma antara lain: faktor alergi
(tungau, debu, polusi udara) dan ekspresi emosi yang berlebihan.
Menurut Mangoen Prasodjo dalam Setyoningsih (2008), tentang
faktor pencetus asma yang juga sesuai dengan pernyataan seluruh
partisipan adalah pendapat yang menyatakan bahwa penerapan self
management yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan normalisasi
hidup pada penderita asma dipengaruhi oleh bagaimana seorang
penderita asma mengenali faktor pencetus asma yang bersifat intrinsik
(genetik, alergi) maupun faktor ekstrinsik (debu, polusi udara, emosi,
asap rokok). Kesadaran partisipan tentang faktor-faktor yang dapat
mencetuskan asmanya adalah pengetahuan penting yang sangat baik
untuk ditingkatkan dan disadari oleh seluruh partisipan, karena dengan
kesadaran tinggi akan hal ini partisipan dapat berhati-hati agar tidak
terpapar pada faktor-faktor pencetus tersebut. Dari ungkapan keempat
partisipan tentang faktor pencetus serangan asma tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa seluruh partisipan telah memahami dan menyadari
faktor apa saja yang dapat mencetuskan serangan asmanya dan
pemahaman seluruh partisipan tentang faktor pencetus asma yang
110
diungkapkan melalui pernyataan tentang hal tersebut telah sesuai
dengan teori tentang asma.
5.2 Tujuan 2: Pemahaman partisipan tentang tindakan non farmakologis
secara fisik pada serangan asma.
5.2.1 Kategori Penanganan Fisik
5.2.1.1 Tema Peran Keluarga pada Penanganan Fisik
Keempat partisipan mengungkapkan bahwa keluarga dalam hal ini
pasangan hidup (suami/istri) dan keluarga (saudara) merupakan orang
yang berperan penting dalam memberikan penanganan fisik saat partisipan
mengalami serangan asma. Pernyataan seluruh partisipan tersebut sesuai
dengan teori menurut Wong (2008), yang menyatakan bahwa fisioterapi
dada merupakan salah satu metode penanganan fisik pada pasien asma
bronkiale saat mengalami serangan dan hal ini merupakan metode yang
bisa dipelajari dan dilakukan oleh keluarga. Pendapat lain tentang peran
keluarga yang sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah teori
menurut Musliha (2010), yang menyatakan bahwa pengetahuan keluarga
dalam memberikan penanganan fisik dan mendukung pasien asma saat
mengalami serangan penting untuk dieksplorasi dan didiskusikan bersama
pasien dan keluarga sehingga efektif untuk diterapkan dengan tujuan
mengurangi intensitas serangan maupun pencegahan komplikasi.
Pendapat lain tentang peran keluarga pada penanganan fisik asma
adalah pendapat Shidartani dalam Monalisa (2012), yang menyatakan
111
tentang bahwa ibu merupakan orang yang paling bertanggung jawab
dalam memberikan upaya penanganan non farmakologis baik secara fisik
maupun psikologis saat anak menghadapi serangan. Pendapat tentang
metode penanganan fisik pada asma yang juga sesuai dengan pernyataan
partisipan adalah pendapat Fahrani dalam Setyoningsih (2008), yang
menyatakan bahwa keluarga terdekat (suami, istri, saudara) merupakan
orang yang berperan penting dan secara langsung membantu pasien dalam
self management saat mengalami serangan asma baik secara fisik maupun
psikologis. Kesadaran dan pengertian keluarga pada pasien asma tentang
arti penting keterlibatan/perannya dalam menangani anggota keluarganya
yang mengalami serangan asma perlu untuk semakin ditingkatkan,
mengingat penanganan awal oleh keluarga saat serangan merupakan hal
yang sangat menentukan dalam keberhasilan upaya penanganan asma dan
mencegah keberlanjutan/semakin buruknya kondisi saat serangan.
Berdasarkan pernyataan keempat partisipan tentang peran
keluarga ini maka dapat disimpulkan bahwa seluruh partisipan dan
keluarganya telah menyadari arti penting peran keluarga dalam
memberikan penanganan fisik saat serangan. Pemahaman keempat
partisipan tentang peran keluarga pada penanganan fisik saat serangan
yang diungkapkan melalui pernyataan seluruh partisipan tentang hal
tersebut telah sesuai dengan teori tentang asma.
5.2.1.2 Tema Metode Penanganan Fisik
112
Keempat partisipan mengungkapkan bahwa metode penanganan
fisik pilihan saat mengalami serangan asma adalah dengan “kerokan” dan
massage ringan pada dada dan punggung atau seluruh tubuh dengan
menggunakan minyak kayu putih/minyak lain yang memberikan sensasi
rasa hangat. Pernyataan seluruh pasien tentang hal tersebut sesuai dengan
pendapat Rengganis (2008), yang menyatakan bahwa penatalaksanaan
asma bronkiale dibedakan menjadi dua secara farmakologis dan non
farmakologis (fisik dan psikologis) dan juga teori menurut Musliha (2010),
yang menyatakan bahwa fisioterapi dada pada pasien asma dapat
dilakukan dengan menggunakan minyak kayu putih dan dikombinasikan
dengan inhalasi, latihan batuk dan breathing exercise.
Menurut Dessianti (2015), saat serangan asma dibutuhkan
tindakan massage dengan media zat yang bersifat memberi relaksasi otot
sehingga dapat mengurangi penyempitan pada saluran udara di saluran
pernapasan. Kondisi distress pernapasan, yaitu kondisi di mana orang
menderita ketidaknyamanan pada saluran pernapasan, seperti pada
serangan asma seseorang dapat menggunakan manfaat minyak kayu putih
untuk mendapatkan bantuan untuk meringankan rasa sesak pada dada serta
hidung tersumbat. Minyak kayu putih juga membantu dalam
menyingkirkan lendir serta membantu mengencerkan dahak, sehingga
memberikan bantuan ekstra. Kemudian juga memberikan efek
menenangkan pada rongga hidung, sehingga udara yang terasa dingin dan
hidung tersumbat akan segera teratasi. Campuran minyak kayu putih
113
dengan air hangat juga dapat digunakan sebagai inhalan atau dioleskan
pada hidung, leher, dan tengkuk sehingga melonggarkan pernapasan. Pada
serangan asma dibutuhkan zat yang terkandung dalam minyak kayu putih
yang bersifat memberikan sebagai relaksasi otot sehingga dapat
mengurangi penyempitan pada saluran udara di saluran pernapasan
(Ahmad, 2013).
Menurut Masyoel dalam Nafiah 2013, “kerokan” yang di
masyarakat awam diyakini juga mampu meringankan gejala saat terjadi
serangan asma, maka proses yang terjadi adalah ketika “kerokan”
pinggiran uang logam menggores permukaan kulit. Kondisi ini yang
membuat panas tubuh berangsur turun. Goresan/pengerokan dengan
pingiran uang logam tersebut mekanismenya seperti pemijatan, sehingga
membuat rasa nyeri dan pegal, pusing, sesak napas termasuk pada asma
berangsur hilang jika di sertai dengan istirahat yang cukup. Ternyata
“kerokan” tidak hanya populer di Indonesia, tetapi juga sering di lakukan
oleh orang-orang di negara asia lainnya, seperti di Vietnam menyebut
“kerokan” sebagai "cao giodi", sedangkan di Kamboja menyebutnya "goh
kyol", bahkan di China yang terkenal dengan akupunturnya menyebut
“kerokan” dengan sebutan "gua sua", namun bedanya orang China
memakai batu giok sebagai alat pengerok, bukan kepingan uang logam
seperti yang umumnya dipakai oleh orang Indonesia. (Deimon, 2013).
“Kerokan” ini pun dipercaya sebagai bukti nyata dalam
perwujudan ilmu Einstein (E=MC2) yang menerangkan bahwa energi
114
muncul karena pergesekan dua benda. Jika permukaan tubuh kita digosok-
gosokan dengan tangan atau benda tumpul dengan cepat, maka suhu panas
dalan tubuh akan meningkat. Karena meningkatnya panas dalam tubuh,
maka akan terjadilah perlebaran pembuluh darah sehingga oksigenasi
menjadi lebih baik karena peredaran darah kembali lancar dan rasa sakit
ditubuhpun mereda. (Deimon, 2013).
Prinsip “kerokan” menurut Dr. Koosnadi Saputra, Sp.R,
akupunkturis klinik, mirip prinsip pemanasan dengan menggunakan moxa
yang sering dipakai saat jarum akupunktur ditusukkan pada tubuh untuk
mengatasi masuk angin. Prinsip ini juga tidak jauh berbeda dengan model
terapi kop yang biasanya menggunakan alat seperti tanduk, gelas, karet,
tabung bambu dan lain-lain. Di negeri asal teknik akupunktur, model terapi
ini sudah resmi dipakai sebagai sarana penyembuhan. (Forumviva.co.id,
2011).
Menurut Mochtar Wijayakusuma, putra Hembing
Wijayakusuma yang juga seorang akupunkturis, penelitian mengapa
kerokan memiliki efek menyembuhkan juga pernah dilakukan di
Universitas Ghuan Thou, sebuah universitas terkenal di Cina.
(Forumviva.co.id 2011). Dengan terlalu sering kerokan muncul anggapan
kulit rusak, pori-pori melebar,pembuluh darah pecah. Tetapi menurut
penelitian yang ada dengan kerokan tidak ada kulit yang rusak ataupun
pembuluh darah yang pecah. Tetapi terjadi pori-pori yang melebar.
Melebarnya pori-pori ini justru membuat aliran darah lancar dan suplai
115
oksigen dalam darah jadi meningkat. Sehingga kulit ari juga akan terlepas
seperti halnya saat luluran. Dalam sebuah penelitian menyebutkan bahwa
kadar endorfin orang-orang yang di”kerok” naik signifikan. Dengan
adanya peningkatan endorfin ini membuat mereka nyaman, rasa sakit
hilang termasuk seak napas pada asma, tubuh menjadi lebih segar, dan
bersemangat. (sahabathawa.com, 2013)
Teori lain tentang metode penanganan fisik pada serangan asma
yang sesuai dengan pernyataan partisipan adalah pendapat Faishal (2007),
yang menyatakan bahwa penggunaan minyak kayu putih dengan cara
menggosok dada dan punggung efektif untuk membantu mengurangi
gejala saat serangan asma, meringankan saluran pernapasan dan masalah
lain yang terkait dengan pernapasan termasuk asma bronkiale. Pendapat
terkait dengan metode penanganan fisik yang sesuai dengan pernyataan
seluruh partisipan adalah pendapat Fahrani dalam Setyoningsih (2008),
yang menyatakan bahwa upaya pengobatan untuk pasien asma bronkiale
dengan minyak kayu putih. Penanganan fisik pada serangan asma yang
salah satunya dengan massage ringan pada dada, punggung dan seluruh
tubuh dengan minyak kayu putih merupakan upaya non farmakologis yang
sering dipilih partisipan dan keluarganya untuk menangani saat terjadi
serangan. Upaya dengan metode ini merupakan metode yang efektif dan
praktis karena dapat langsung dilakukan oleh keluarga terdekat tanpa harus
berpedoman dengan teori khusus, karena dengan minyak kayu putih,
massage tersebut dapat memperlebar saluran pernapasan dan mencegah
116
obstruksi jalan napas, namun demikian keefektifan massage dengan cara
tersebut akan semakin efektif dan efeknya akan lebih signifikan apabila
pengetahuan keluarga ditingkatkan dan dilengkapi dengan fisioterapi dada.
Berdasarkan pernyataan keempat partisipan tentang metode
penanganan fisik tersebut maka dapat disimpulkan bahwa seluruh
partisipan dan keluarganya telah memahami cara memberikan penanganan
awal secara fisik pada partisipan saat mengalami serangan asma.
Pemahaman seluruh partisipan yang diungkapkan melalui pernyataan
tentang metode penanganan fisik saat serangan tersebut telah sesuai
dengan teori tentang asma.
5.2.1.3 Tema Efek Penanganan Fisik
Keempat partisipan mengungkapkan bahwa setelah dilakukan
penanganan fisik (massage pada dada, punggung dan atau seluruh tubuh)
pada saat mengalami serangan asma maka efek yang dirasakan adalah
sesak napas berkurang, pernapasan menjadi longgar, tubuh terasa hangat
dan tingkat stress menurun. Pernyataan seluruh partisipan tentang efek
penanganan fisik tersebut sesuai dengan pendapat Wong (2008), yang
menyatakan bahwa massage atau fisoterapi dada pada pasien asma
bronkiale saat serangan akan memberikan efek berupa pengendalian
pernapasan, mencegah inflamasi berlebih dan secara psikologis
mengurangi kecemasan.
Dua teori lain tentang efek penanganan fisik (massage) pada
serangan asma yang sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah
117
teori menurut Faishal (2007), yang menyatakan bahwa minyak kayu putih
untuk massage pada pasien asma bronkiale berperan sebagai
bronchodilator yang dapat memperlebar saluran penapasan, mengurangi
obstruksi jalan napas, mengurangi sesak napas dan secara psikologis
memberikan efek relaks. Satu teori lain tentang efek penanganan fisik
yang sesuai dengan pernyataan partisipan adalah teori menurut Musliha
(2010), yang menyatakan bahwa penanganan fisik pada asma bronkiale
berupa massage dan exercise berupa latihan bernapas dapat mengurangi
gejala asma dan kepanikan.
Pendapat yang lain tentang efek penanganan fisik pada asma
yang sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah pendapat Vitahelt
dalam Monalisa (2012), menyatakan bahwa massage dada dengan minyak
kayu putih pada pasien asma bronkiale saat mengalami serangan
memberikan efek anti spasmodik sehingga mengurangi obstruksi jalan
napas dan secara psikologis mampu mengurangi tingkat kecemasan/stress
akibat serangan asma. Pengetahuan partisipan dan keluarga tentang sejauh
mana efek penanganan fisik yang dilakukan pada saat serangan sangat baik
untuk ditingkatkan, karena dengan memahami tentang hal tersebut maka
bagi partisipan dapat menjadi sesuatu yang menimbulkan afirmasi positif,
yaitu partisipan akan berasumsi dan tertanam dalam pemikirannya bahwa
massage akan memperingan gejala yang timbul pada saat mengalami
serangan. Selain itu bagi keluarga partisipan hal ini juga akan
118
menimbulkan keberanian untuk segera memberikan penanganan fisik
apabila partisipan mengalami serangan.
Minyak kayu putih dapat membantu dalam menyingkirkan
lendir serta membantu mengencerkan dahak, sehingga memberikan
bantuan ekstra. Kemudian juga memberikan efek menenangkan pada
rongga hidung, sehingga udara yang terasa dingin dan hidung tersumbat
akan segera teratasi. Campuran minyak kayu putih dengan air hangat juga
dapat digunakan sebagai inhalan atau dioleskan pada hidung, leher, dan
tengkuk sehingga melonggarkan pernapasan. Pada serangan asma
dibutuhkan zat yang terkandung dalam minyak kayu putih yang bersifat
memberikan sebagai relaksasi otot sehingga dapat mengurangi
penyempitan pada saluran udara di saluran pernapasan (Ahmad, 2013).
Menurut Masyoel dalam Nafiah 2013, efek “kerokan” yang di
masyarakat awam diyakini juga mampu meringankan gejala saat terjadi
serangan asma, goresan pinggir uang logm permukaan kulit. membuat
panas tubuh berangsur turun. Goresan/pengerokan tersebut mekanismenya
seperti pemijatan, sehingga membuat rasa nyeri dan pegal, pusing, sesak
napas termasuk pada asma berangsur hilang jika di sertai dengan istirahat
yang cukup.
Berdasarkan ungkapan keempat partisipan tentang efek
penanganan fisik tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh partisipan
telah memahami tentang arti penting dan efek dari metode penanganan
fisik berupa massage ringan pada dada dan “kerokan” pada punggung serta
119
seluruh tubuh saat serangan. Pemahaman seluruh partisipan yang
diungkapkan melalui pernyataan tentang hal tersebut telah sesuai dengan
teori tentang asma.
5.3 Tujuan 3: Pemahaman partisipan tentang penanganan non farmakologis
secara psikologis/tindakan supportif pada serangan asma.
5.3.1 Kategori Penanganan Supportif
5.3.1.1 Tema Peran Keluarga pada Penanganan Supportif
Keempat partisipan mengungkapkan bahwa keluarga yang
berperan memberikan penanganan supportif/dukungan psikologis saat
mengalami serangan asma adalah pasangan hidupnya (suami/istri). Dua
partisipan mengungkapkan bahwa selain pasangan hidupnya, ibu juga
merupakan orang yang turut mengambil peran memberikan
support/dukungan psikologis saat mengalami serangan. Pernyataan
seluruh partisipan tentang keluarga yang berperan memberikan
penanganan supportif saat serangan tersebut sesuai dengan teori menurut
Wong (2008), yang menyatakan bahwa fisioterapi dada penting dilakukan
keluarga saat pasien asma bronkiale mengalami serangan dan tindakan
tersebut tidak hanya memberikan efek relaksasi pada fisik tetapi juga
merelaksasi mental. Teori lain tentang efek penanganan fisik pada asma
yang sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah teori menurut
Musliha (2010), yang menyatakan bahwa keluarga berperan penting dalam
menentukan pilihan terapi atau penanganan baik secara fisik maupun
120
mental pada pasien asma bronkiale saat mengalami serangan asma, yang
penanganan tersebut akan meringankan gejala saat serangan.
Pendapat Mangoen Prasodjo dalam Monalisa (2012), tentang peran
keluarga pada efek penanganan fisik yang sesuai dengan pernyataan
seluruh partisipan adalah ibu merupakan orang yang paling bertanggung
jawab dalam memberikan perawatan asma pada anak mereka. Pendapat
yang lain tentang hal tersebut yang juga sesuai dengan pernyataan seluruh
partisipan adalah pendapat Fahrani dalam Setyoningsih (2008), yang
menyatakan bahwa secara psikologis keluarga merupakan faktor penting
yang membantu pasien asma dalam pengendalian stress dan emosi saat
mengalami serangan sehingga gejala yang muncul tidak semakin parah.
Peran keluarga pada penanganan supportif saat partisipan mengalami
serangan asma sangat penting untuk diketahui, ditingkatkan dan
dimotivasi, karena support dari keluarga terdekat sebagai orang yang
paling dapat memahami partisipan akan memberikan arti dan efek berupa
relaksasi secara mental maupun fisik, sehingga diharapkan dengan upaya
tersebut gejala yang muncul saat serangan akan berkurang dan mencegah
terjadinya kondisi yang lebih buruk.
5.3.1.2 Tema Metode Penanganan Supportif
Keempat partisipan mengungkapkan bahwa saat mengalami
serangan asma maka keluarga sebagai orang terdekat selalu memberikan
support/dukungan psikologis untuk tetap tenang menghadapi serangan dan
121
sedapat mungkin mengendalikan pernapasan. Ungkapan seluruh partisipan
tentang efek dari penanganan supportif saat serangan asma tersebut sesuai
dengan teori menurut Musliha (2010), yang menyatakan bahwa tindakan
pertama yang dianjurkan untuk menangani pasien asma bronkiale adalah
dengan menenangkan penderita, membantunya untuk duduk dan
beristirahat, melakukan fisioterapi dada, memberikan posisi nyaman dan
memberi support untuk melakukan latihan/pengendalian asma. Pendapat
lain tentang metode pananganan supportif tersebut yang juga sesuai
dengan pernyataan seluruh partisipan adalah teori menurut Wong (2008),
yang menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukan pada fisioterapi dada
adalah melatih/memberi support untuk bernapas dan mengendalikan napas
yang keduanya dapat mencegah inflamasi berlebih dan efektifitas batuk.
Pendapat tentang metode penanganan supportif yang sesuai dengan
pernyataan seluruh partisipan adalah pendapat Tonsman dalam
Setyoningsih (2008), yang menyatakan bahwa secara psikologis keluarga
merupakan faktor penting yang membantu pasien asma dalam hal self
management pada saat mendapatkan serangan, dalam hal ini yang
dimaksud adalah pengendalian stress dan emosi pada saat serangan
sehingga gejala yang muncul pada saat serangan tidak semakin parah.
Pengetahuan tentang metode penanganan supportif tersebut penting
ditingkatkan bagi keluarga partisipan asma, karena dengan demikian pada
saat partisipan mengalami serangan keluarga sedapat mungkin
mendampingi dan berempati terhadap gejala yang dirasakan partisipan
122
dengan terus memberinya support untuk tidak panik dan tetap
mengendalikan pernapasan sehingga gejala yang muncul pada saat
serangan dapat berkurang dan juga dapat mencegah terjadinya kondisi
yang semakin memburuk.
Secara psikologis penanganan awal serangan asma adalah
pentingnya edukasi pada penderita asma tentang penyakitnya dan
bagaimana menyikapinya, diberikan latihan relaksasi/support dengan
kontrol emosi saat serangan sehingga pernapasan berangsur teratur dan
sesak napas berkurang. (Musliha, 2010). Ketika ada gangguan dalam
sistem pernapasan berupa batuk atau serangan asma, maka kinerja otot-
otot pernapasan pada dinding thorak akan dibebani pekerjaan tambahan
dengan frekuensi berkali lipat dari biasa berupa kontraksi berlebihan yang
begitu keras saat batuk. Begitu juga yang terjadi pada penderita asma, bila
dalam kondisi biasa otot-otot tersebut bekerja begitu santai, maka ketika
asma kambuh otot-otot pernapasan pada dinding thorak harus bekerja
extra keras untuk membantu paru memompa udara keluar dari dalam paru
agar segera berganti dengan udara yang baru. Itulah sebabnya support dari
keluarga sebagai orang terdekat untuk mengatur napas otot
perut/diafragma begitu dianjurkan bagi penderita asma, sebab support
tersebut akan memberikan efek relaksasi secara mental dan selanjutnya
kondisi tenang tersebut akan menurunkan frekuensi pernapasan yang
meningkat saat serangan (Yudiono dalam Jakfisio, 2013).
123
Berdasarkan ungkapan keempat partisipan tentang metode
pennganan supportif tersebut maka dapat disimpulkan bahwa seluruh
patisipan telah memahami dan mengakui bahwa support keluarga pada
saat serangan sangat dibutuhkannya. Pemahaman keempat partisipan
tentang peran keluarga pada penanganan supportif yang diungkapkan
melalui pernyataan tentang hal tersebut telah sesuai dengan teori tentang
asma.
5.3.1.2 Tema Efek Penanganan Supportif
Keempat pasien mengungkapkan bahwa efek diberikannya
penanganan supportif oleh keluarga adalah adanya ketenangan, tidak
cemas/panik, sesak napas berkurang dan pernapasan juga dapat
dikendalikan. Pernyataan seluruh partisipan tentang efek penanganan
supportif tersebut sesuai dengan teori menurut Wong (2008), yang
menyatakan bahwa efek psikologis dari fisioterapi dada adalah
merelaksasi mental dan secara fisik memperkuat otot pernapasan, karena
di dalam fisioterapi dada terdapat tindakan memberi support untuk
melakukan latihan batuk dan breathing exercise yang keduanya dapat
dilakukan keluarga saat mendampingi penderita asma yang mengalmi
serangan.
Teori lain tentang efek penanganan supportif pada pasien asma
saat serangan yang sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah
teori menurut Musliha (2010), yang menyatakan bahwa tindakan supportif
124
pertama oleh keluarga dalam membantu pasien asma saat mengalami
serangan dapat dilakukan dengan cara menenangkan pasien, memberinya
posisi nyaman dan memberi support untuk latihan napas. Tindakan
tersebut diharapkan akan mampu memberikan ketenangan, mengurangi
kepanikan dan mengendalikan pernapasan yang abnormal saat serangan.
Pendapat yang lain tentang efek penanganan supportif pada
serangan asma yang sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah
pendapat Walujani dan Rahmawati dalam Setyoningsih (2008), yang
menyatakan bahwa support keluarga dalam pengendalian stress dan emosi
pasien asma pada saat mengalami serangan akan mampu mengurangi
gejala yang muncul saat serangan sehingga penderita tenang dan dapat
mengendalikan pernapasannya.
Secara psikologis penanganan awal serangan asma adalah
pentingnya edukasi pada penderita asma tentang penyakitnya dan
bagaimana menyikapinya, diberikan latihan relaksasi/support dengan
kontrol emosi saat serangan sehingga pernapasan berangsur teratur dan
sesak napas berkurang. (Musliha, 2010). Ketika ada gangguan dalam
sistem pernapasan berupa batuk atau serangan asma, maka kinerja otot-
otot pernapasan pada dinding thorak akan dibebani pekerjaan tambahan
dengan frekuensi berkali lipat dari biasa berupa kontraksi berlebihan yang
begitu keras saat batuk. Begitu juga yang terjadi pada penderita asma,
support keluarga terhadap penderita asma untuk mengatur napas otot
perut/diafragma begitu dianjurkan, sebab support tersebut akan membawa
125
kondisi tenang dan selanjutnya akan menurunkan frekuensi pernapasan
yang meningkat saat serangan (Yudiono dalam Jakfisio, 2013).
Kesadaran dan pengetahuan partisipan dan keluarganya terhadap
efek penanganan supportif yang dilakukan keluarga pada saat serangan
merpakan pengetahuan penting untuk ditingkatkan, karena dengan
kesadaran keluarga untuk selalu bersedia memberi support saat partisipan
mengalami serangan akan membantu partisipan untuk dapat
mengendalikan pernapasan, tetap tenang dan tidak stress saat serangan,
dengan demikian gejala yang muncul saat serangan diharapkan akan
berkurang dan tidak tidak semakin memperburuk keadaan. Pemahaman
keempat partisipan tentang efek penanganan supportif yang diungkapkan
melalui pernyataan tentang hal tersebut telah sesuai dengan teori tentang
asma.
126
BAB VI
PENUTUP
6.1 KESIMPULAN
Berdasarkan analisa dari kata kunci yang telah didapatkan dalam
penelitian ini, maka diperoleh kesimpulan bahwa dari tujuan pertama yaitu
pemahaman partisipan tentang penyakit asma bronkiale diperoleh kategori
pengetahuan yang menghasilkan tema: a) pengertian (sub tema: sesak
napas, “mengi”, terengah-engah); b) tanda dan gejala (sub tema: batuk,
sesak napas, kesulitan bernapas); c) waktu pertama mengalami serangan
asma (sub tema: sejak kecil); d) faktor pencetus (sub tema: temperatur
dingin, debu, asap/asap rokok, kelemahan fisik, emosi)
Berdasarkan tujuan kedua yaitu pemahaman keluarga tentang
penanganan fisik pada serangan asma, diperoleh kategori penanganan fisik
yang menghasilkan tema: a) peran keluarga pada penanganan fisik (sub
tema: pasangan hidup, saudara); b) metode penanganan fisik (sub tema:
“kerokan”, massage); c) efek penanganan fisik (sub tema: sesak napas
berkurang, pernapasan “longgar”, tubuh hangat, penurunan tingkat stress)
Berdasarkan tujuan ketiga yaitu pemahaman keluarga tentang
penanganan supportif pada serangan asma, diperoleh kategori penanganan
supportif yang menghasilkan tema: a) peran keluarga pada penanganan
supportif (sub tema: pasangan hidup, ibu); b) metode penanganan supportif
127
(sub tema: support untuk tenang, support untuk pengendalian pernapasan);
c) efek penanganan supportif (sub tema: tenang, sesak napas berkurang,
pernapasan terkendali).
6.2 SARAN
Saran bagi institusi pelayanan kesehatan/puskesmas rawat inap,
penelitian ini dapat menjadi bahan masukan/referensi untuk meningkatkan
pengetahuan dan skill, khususnya bagi perawat komunitas pada tingkat
pelayanan kesehatan dasar/puskesmas rawat inap, sehingga dapat
diaplikasikan khususnya pada perawatan pasien asma bronkiale dengan
metode penanganan non farmakologis baik secara fisik
(massage/fisioterapi dada) maupun secara psikologis (terapi supportif),
tanpa mengesampingkan terapi farmakologis. Metode ini juga dapat
diaplikasikan oleh perawat komunitas sebagai sarana dalam memberikan
edukasi kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan asma
bronkiale sehingga dapat memberikan penanganan yang tepat pada pasien
asma bronkiale pada saat serangan.
Saran bagi institusi pendidikan keperawatan, hasil penelitian ini
dapat menjadi acuan/referensi untuk memperkaya materi pembelajaran
asuhan keperawatan pada pasien asma bronkiale. Saran bagi peneliti,
penelitian ini dapat menjadi motivator untuk semakin meningkatkan
pengetahuan dan skill peneliti dalam memberikan asuhan keperawatan
terhadap pasien asma bronkiale saat mengalami serangan.
128
Saran untuk klien asma dan keluarganya, penelitian ini dapat
meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan keluarga khususnya dalam
pemberian terapi non farmakologis dalam memberi perawatan dan
penanganan pasien asma bronkiale saat terjadi serangan di rumah.
Keluarga juga dapat berperan memberikan edukasi atau berbagi
pengalaman kepada keluarga lain yang mempunyai anggota keluarga
dengan asma, karena keluarga merupakan orang pertama yang
berhubungan langsung dengan klien sehingga perannya secara langsung
pada saat serangan akan membantu klien asma menghadapi serangan
dengan berbagai gejala yang timbul. Dengan upaya non farmakologis
secara fisik maupun psikologis tersebut derajat keparahan asma berkurang
dan dengan pengelolaan asma yang baik maka intensitas serangan juga
berkurang sehingga normalisasi hidup dapat terpenuhi.
Mengingat penelitian ini belum mampu mengungkap indikator
pada kategori – kategori atau tema – tema lain yang terkait dengan aspek
pada kehidupan klien dengan asma seperti kategori hubungan sosial
(adanya keterbatasan fisik dan tingkat ketergantungan pada orang lain),
maka diharapkan untuk peneliti selanjutnya dapat meneliti mengenai hal
ini dengan metode penelitian yang berbeda, misalnya dengan metode
penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif dengan analisa data
jalinan dikarenakan indikator – indikator tersebut membutuhkan observasi
secara kontinyu dan mendalam.
129
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad. (2013). Manfaat Pijat Aromatherapi. Diakses tanggal 05 Agustus 2015
pukul 20.00 WIB dari http :
//metropolitan.inilah.com/read/detail/12705/meringankan-asma dengan-
pijat.html.
Afiyanti, Y, Rachmawati, N.I. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif dalam
Riset Keperawatan, Cetakan ke-1. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Danusantoso, Halim. (2011). Buku Saku Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 2,
Jakarta:EGC 2
Dessianti. (2013). Pertolongan Pertama pada Penderita Asma. Diakses tanggal 06
Agustus 2015 dari www.Gejala Penyebab Sakit.blogspot.com/2015/03
Deimon. (2013). Khasiat dan Efek Samping Kerokan Ketika Masuk Angin.
Diakses tanggal 06 Agustus 2015 pukul 16.00 WIB dari
http://deimon.pun.bz/khasiat-dan-efek-samping-kerokan.html
Faishal. (2007). Cara mengobati asma dengan aromatherapi. Diakses tanggal 18
Oktober 2014 pukul.20.45 WIB dari http :
//www.carakhasiat.com/artikel.html.
Faizatin, Nafiah (2013). Bahaya Kerokan bagi Kesehatan. Diakses tanggal 05
Agustus 2015 pukul 16.00 WIB dari http://juzmanggis.wordpress.com
/2011/02/21/ kerokan-bahaya-bagi-penderita gangguan-jantung/html
Forumviva. (2011). “Tips Masuk Angin dengan Kerokan”. Diakses tanggal 05
Agustus 2015 pukul 16.15 WIB dari http:
//forum.viva.co.id/kesehatan/111643-tips-masuk-angin-dengan-kerokan.html
GINA (Global Initiative for Astma). (2006). Klasifikasi Asma. Diakses tanggal 4
Agustus 2014 pukul 20.00 WIB, dari www.Ginaastma.org.2006
GINA (Global Initiative for Astma). (2006). Pocket Guide for Astma Management
and Prevension In Children. Diakses tanggal 4 Agustus 2014 pukul 20.00
WIB dari www.Ginaastma.org.2006.
Indah. (2011). “Khasiat dan Bahaya Kerokan”. Diakses tanggal 05 Agustus 2015
pukul 16.00 WIB dari http://www.beritaunik.net/unik-aneh/khasiat-dan-
bahaya-kerokan.html
Kavler, S. (2011). Doing Interviews, Thousand Oaks: Sage Publications
130
Monalisa (2012). Pengalaman Ibu Merawat Anak Penderita Asma yang
Mengalami Kualitas Hidup. Diakses tanggal 28 September 2014, pukul
16.10 WIB dari www.indonesia.digitaljournalis.org.
Muchid (2007). Buku Pharmauteceutical Care untuk Penyakit Asma, Edisi V,
Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Kefarmasian
dan Alat Kesehatan Depkes RI.
Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat, Edisi I, Yogyakarta: Nuha Medika.
Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian
Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika.
Polit, DF & Beck, CT. (2006). Essentials of Nursing Research Methods,
Appraiseland Utilization, 6th
Edition, Lippincott Williams & Wilkins:
Philadelphia
Polit, DF & Hungler, BP. (2005). Nursing Research: Principles and Methods, 6th
Edition, Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia.
Potter, PA & Perry, Ag. (2005). Fundamental of Nursing Concept, Process and
Practice, 4th
Edition, Mosby Company: St. Lo
Rengganis, Iris. (2008): Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkiale. Diakses
tanggal 12 Oktober 2014 pukul 16.45 WIB, dari
www.indonesia.digitaljournalis.org.
RISKESDAS. (2013). Prevalensi Asma di Jawa Tengah. Diakses tanggal 28
September 2014, pukul 16.00 WIB, dari
http://health.kompas.read/2012/05/09/02341280/Polusi.
Sahabathawa. (2013). “Positif dan Negatif kerokan”. Diakses tanggal 05 Agustus
2015 pukul 16.35 WIB dari http://sahabathawa.com/positif-dan-negatif-
kerokan/html
Saldana, J. (2009). The Coding Manual for Qualitative Researcher. Thousand
Oaks: Sage Publications
Saryono & Anggraeni, MD. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif dalam
Bidang Kesehatan, Nuha Medika: Yogyakarta.
131
Setyoningsih, Mogar, Pajarani. (2008). Self Management Mahasiswa Penderita
Asma yang Tinggal di Kost, Skripsi. Diakses tanggal 28 September
2014,pukul 16.10 WIB dari www.indonesia.digitaljournalis.org
Sudoyo, W.Aru. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid II, Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia: Jakarta
Sugiyono. (2011). Memahami Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Alfabeta:
Bandung
Sutopo, H.B. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Tori dan
Penerapannya dalam Penelitian, Edisi Kedua, Universitas Negeri Sebelas
Maret Surakarta: Surakarta
Taufik. (2009). Penatalaksanan Asma Masa Kini. Diakses tanggal 24 November
2014, pukul 16.35 WIB dari Yayanakhyar.files.wordpress.com 2009.
Wong, D.L., Hockenberry, M., Wilson, D., Winkelstein, M.L., & Schwatz,
P.(2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatric, Jakarta: EGC.
Yudiono, Hekso. (2013). Terapi Pijat untuk Asma. Diakses tanggal 05 Agustus
2015pukul 11.00 WIB dari http://www.Jakfisio/public_html/wp_html/wp-
content/plugins/schreikasten/schreikasten.phponline 804.com
Yunus,F. (2012). Polusi Tingkatkan Jumlah Penderita Asma, Diakses tanggal 28
September 2014 pukul.16.00 WIB, dari http://health.kompas.read / 2012
05/ 09/02341280/Polusi