pemodelan gizi buruk pada balita di kota surabaya …
TRANSCRIPT
1
PEMODELAN GIZI BURUK PADA BALITA DI KOTA SURABAYA
DENGAN SPATIAL AUTOREGRESSIVE MODEL (SAR)
1Qurrota A’yunin, dan
2Dr. Brodjol Sutijo S.U, M.Si
1,2
Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
e-mail : [email protected] ,
ABSTRAK
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di
bawah standar. Gizi buruk banyak dialami oleh bayi dibawah lima tahun (balita). Surabaya adalah salah
satu kota yang memiliki kasus gizi buruk yang relatif tinggi. Oleh sebab itu gizi buruk menjadi perhatian
khusus oleh pemerintah kota Surabaya untuk ditangani. Regresi spasial adalah salah satu metode yang
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel respon dengan variabel prediktor dengan
memperhatikan aspek keterkaitan wilayah atau spasial. Oleh sebab itu pada penelitian saat ini akan
digunakan Spatial Autoregressive Model (SAR). Metode SAR dipilih karena dinilai dapat mewakili
permasalahan yang ada yaitu perbedaan karakteristik wilayah berpengaruh terhadap gizi buruk di
Surabaya. Hasil pemodelan gizi buruk balita dan faktor-faktor yang mempengaruhi di Kota Surabaya
melalui SAR menunjukkan selain dependensi lag yang signifikan, juga pada variabel variabel RT yang
memiliki akses air bersih (X5), dan rasio tenaga kesehatan dengan jumlah balita (X9). Model SAR
menghasilkan R2 sebesar 55,26% dan AIC sebesar 77,8996 yang lebih baik dibandingkan regresi metode
Ordinary Least Square (OLS) dengan R2 sebesar 39,57% dan AIC sebesar 83,2002.
Kata kunci : Gizi Buruk Balita , Moran’s I, Spatial Autoreggressive Model (SAR)
1. Pendahuluan Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya
di bawah standar rata-rata. Gizi buruk masih menjadi masalah yang belum terselesaikan sampai
saat ini. Gizi buruk banyak dialami oleh bayi dibawah lima tahun (balita). Masalah gizi buruk
dan kekurangan gizi telah menjadi keprihatinan dunia sebab penderita gizi buruk umumnya
adalah balita dan anak-anak yang tidak lain adalah generasi generus bangsa. Kasus gizi buruk
merupakan aib bagi pemerintah dan masyarakat karena terjadi di tengah pesatnya kemajuan
zaman (Republika, 2009). Upaya pencegahan yang dilakukan di antaranya dengan selalu
meningkatkan sosialisasi, kunjungan langsung ke para penderita gizi buruk, pelatihan petugas
lapangan, pengarahan mengenai pentingnya ASI eksklusif pada ibu yang memiliki bayi, serta
koordinasi lintas sektor terkait pemenuhan pangan dan gizi (Antara News, 2011), Namun
sampai saat ini penanganan yang diberikan, hanya mampu mengurangi sedikit kasus gizi buruk
pada balita.
Banyak faktor- faktor yang dianggap mempengaruhi gizi buruk. Namun penyebab dasar
terjadinya gizi buruk ada dua hal yaitu sebab langsung dan sebab tidak langsung. Sebab
langsung adalah kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya penyakit bawaan
yang mengakibatkan mudah terinfeksi penyakit DBD, HIV/ AIDS, dan lain-lain. Sedangkan
kemiskinan diduga menjadi penyebab utama terjadinya gizi buruk. Kurangnya asupan gizi bisa
disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak
memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yakni kemiskinan
(Republika, 2009). Selain kemiskinan, faktor lingkungan dan budaya turut andil dalam kasus
gizi buruk.
Surabaya adalah salah satu kota yang memiliki kasus gizi buruk yang relatif tinggi.
Kenaikan angka gizi buruk di daerah lain di Jawa Timur mencapai 2% sedangkan di Surabaya
tahun 2010 mencapai 1,06%. Namun Dinas Kesehatan berupaya menekan angka tersebut sesuai
dengan target harapan yakni 0%. (Surabayakita, 2010). Untuk mengetahui secara tepat program-
program apa saja yang harus dilakukan pemerintah, maka perlu diketahui faktor- faktor yang
berpengaruh terhadap gizi buruk. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan UNICEF
2
faktor- faktor yang diduga berpengaruh terhadap kasus gizi buruk pada balita adalah kemiskinan,
tingkat pengetahuan orang tua, asupan gizi, layanan kesehatan/ sanitasi, dan faktor penyakit
bawaan. Dengan mengetahui faktor- faktor tersebut, peneliti ingin mengetahui faktor- faktor apa
saja yang mempengaruhi jumlah kasus jumlah kasus gizi buruk pada balita khususnya di
Surabaya.
Analisis regresi merupakan salah satu analisis statistika yang bertujuan untuk
memodelkan hubungan antara variabel respon Y dengan variabel prediktor X. Regresi spasial
adalah salah satu metode yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel respon
dengan variabel prediktor dengan memperhatikan aspek keterkaitan wilayah atau spasial.
Regresi spasial dibedakan menjadi dua pendekatan yaitu titik dan area. Regresi spasial ini
banyak digunakan di berbagai bidang antara lain kesehatan, sosial, klimatologi, dan lain- lain.
Berbagai penelitian telah dilakukan terkait dengan faktor- faktor yang mempengaruhi
gizi buruk diantaranya Hayati (2009) meneliti faktor- faktor yang mempengaruhi gizi buruk
balita di jawa Timur dengan metode Analisis Diskriminan, Marice (2006) yang meneliti
klasifikasi status gizi balita dengan pendekatan diskriminan bootstrap menyimpulkan bahwa
variabel yang berpengaruh adalah frekuensi pemberian gizi. Mugiyono (2000) meneliti analisis
status kesehatan balita di jawa Timur dengan menggunakan metode regresi logistik polikotomus
menyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi terhadap status kesehatan balita adalah umur
balita, pemberian ASI, imunisasi, dan sumber air minum. Berdasarkan penjelasan diatas
diketahui bahwa belum ada penelitian yang mengkaji gizi buruk balita dan faktor-faktornya
dengan memperhatikan aspek spasial. Oleh sebab itu pada penelitian saat ini akan digunakan
Spatial Autoregressive Model (SAR). Metode SAR dipilih karena dinilai dapat mewakili
permasalahan yang ada yaitu perbedaan karakteristik wilayah berpengaruh terhadap gizi buruk
di Surabaya. Oleh sebab itu, penggunaan model regresi spasial diharapkan mampu
menghasilkan model gizi buruk balita yang spesifik di setiap daerah sehingga hasilnya
diharapkan mampu memberi informasi serta masukan yang positif bagi pemerintah dalam
menekan jumlah gizi buruk di Surabaya.
2. Tinjauan Pustaka
Spasial Area Model umum Spatial Autoregressive Models (model spasial autore-gressive)
dinyatakan pada persamaan (1) dan (2) (LeSage, 1999; dan Anselin 1988).
uXβyWy 1 (1)
dengan
εuWu 2 (2)
),0(~ 2Iε N
Dimana y adalah vektor variabel dependen (n x 1), X matrik variabel independen (n x
(k+1)), β vektor parameter koefisien regresi ((k+1) x 1), parameter koefisien spasial lag
variabel dependen, parameter koefisien spasial lag pada error, u dan ε error (n x 1), 1W dan
2W matrik pembobot (n x n), I matrik identitas, berukuran n x n, n banyaknya amatan atau
lokasi (i=1,2,3,...,n), dan k banyaknya variabel independen (k=1,2,3,...,l).
Dari persamaan (1), ketika X = 0 dan 02 W akan menjadi model spasial
autoregressive order pertama εyWy 1 . Model tersebut menunjukkan variansi pada y
sebagai kombinasi linear variansi antar lokasi yang berdekatan dengan tanpa variabel
independen. Jika 02 W atau 0
maka akan manjadi model regresi spasial Spatial
Autoregressive Model (SAR) atau Spatial Lag Model (SLM) εXβyWy 1 . Model
tersebut mengasumsikan bahwa proses autoregressive hanya pada variabel dependen.
3
Ketika 01 W atau 0
maka akan manjadi model regresi spasial autoregressive
dalam error atau spatial error model (SEM) εuWXβy 2 . Dengan uW2 menun-
jukkan spasial struktur 2W pada spatially dependent error (ε ). Ketika 0, 21 WW , 0 ,
atau 0 maka disebut Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA) dengan persamaan
sama seperti pada persamaan (1). Jiika 0 dan 0
maka akan manjadi model regresi
linear sederhana εXβy , yang estimasi parameternya dapat dilakukan melalui Ordinary
Least Square (OLS). Dalam model tersebut tidak terdapat efek spasial.
Spatial Autoregressive Model (SAR) Spatial Autoregressive Model (SAR) disebut juga Spatial Lag Model (SLM) adalah salah
satu model spasial dengan pendekatan area dengan memperhitungkan pengaruh spasial lag pada
variabel dependen saja. Model ini dinamakan Mixed Regressive-Autoregressive karena
mengkombinasikan regresi biasa dengan model regresi spasial lag pada variabel dependen
(Anselin,1988).
εXβyWy 1 (3)
Persamaan (3) dapat dinyatakan menjadi persamaan (4).
εWIXβWIy1
1
1
1
(4)
T
N1
1
21
1
1
1 ,~
WIIWIXβWIy
Estimasi Parameter Spatial Autoregressive Model (SAR) Estimasi parameter Spatial Autoregressive Model (SAR) pada penelitian ini dilakukan
melalui metode Maximum Likelihood Estimation (MLE). Langkah pertama adalah dengan
membentuk fungsi likelihood dari persamaan (3). Pembentukan fungsi likelihood tersebut
dilakukan melalui error ε sehingga menjadi persamaan (6) dan persamaan (7).
εXβyWy 1 XβyWyε 1
XβyWIε )( 1 (5)
(6)
(7)
Dengan1WI
y
ε-
J
adalah fungsi jacobian, yaitu differensial persamaan (5) terhadap y.
Substitusi persamaan (6) pada persamaan (7) menghasilkan persamaan (8) maka didapatkan
fungsi likelihood sebagai berikut.
1
2/
2
2
2
1)|,,( WIyβ
-
n
L
XβyWIXβyWI )()(
2
1exp 112
T (8)
εεε
T
2
2/
2
2
2
1exp
2
1);(
n
L
εεy|β
T
2
2/
2
2
2
1exp
2
1),,(
JL
n
4
Operasi logaritma naturalnya pada persamaan (9).
Estimasi parameter β diperoleh dengan memaksimumkan fungsi logaritma natural
likelihood persamaan (9), yaitu dengan menurunkan persamaan tersebut terhadap β Sehingga
didapatkan estimasi parameternya adalah
yWIXXXβ )(ˆ1
1
TT
(10)
Sedangkan fungsi logaritma natural untuk mengestimasi adalah
Selanjutnya estimasi parameter ̂ didapatkan dengan optimalisasi persamaan (11)
(11)
Dengan 2
1)nln(
2
n)2ln(
2
n c
00 Xy e dan dde XyW 1
n
002 dd eeee
T
Pengujian hipotesis untuk signifikansi parameter pada Penelitian ini dinggunakan Wald
test adalah sebagai berikut (Anselin, 1988).
Hipotesis :
H0 : 0...., 0p T
kββ
H1 : 0p
Statistik uji :
Dengan 2ˆp : estimasi parameter ke-p
)ˆvar( p : varians estimasi parameter ke-p
Ho ditolak jika statistik uji Wald > 2
1,
Moran’s I
Koefisien Moran’s I digunakan untuk uji dependensi spasial atau autokorelasi antar
amatan atau lokasi. Hipotesis yang digunakan adalah :
Ho : I = 0 (tidak ada autokorelasi antar lokasi)
H1 : I 0 (ada autokorelasi antar lokasi)
12
ln2
1ln
2
n)ln( WI
-L XβyWIXβyWI )()(
2
1112
T
1
2 ln)ln(2
n)2ln(
2
nWI - XβyWIXβyWI )()(
2
1112
T
2
1ln
nln
2
n)2ln(
2
n))(ln( 1
00
WI
-
T
dd eeeeL
)nln(2
nln
2
n)2ln(
2
n))(ln( 00 dd eeeeL
T
2
1ln 1 WI -
100 lnln2
n)( WI -
T dd eeeecf
)ˆvar(
ˆ
p
2
p
Wald
5
Statistik uji (Lee dan Wong, 2001):
)Ivar(
I-I o hitungZ
dimana
n
1i
2
i
n
1i
n
1j
jiij
)(
))((
I
xxS
xxxxw
o
Ms
n
1n
1IIE Ms
o
,
Dengan xi adalah data ke-i, xj data ke-j, x rata-rata data, var (I) varians Moran’s I, dan E(I)
expected value. Pengambilan keputusan Ho ditolak jika 2/ZZhitung . Nilai dari indeks I
adalah antara -1 dan 1. Apabila I > Io maka data memiliki autokorelasi positif, jika I < Io maka
data memiliki autokorelasi negatif.
Pola pengelompokan dan penyebaran antar lokasi dapat juga disajikan dengan Moran’s
Scatterplot yang menunjukkan hubungan antara nilai amatan pada suatu lokasi (distandarisasi)
dengan rata-rata nilai amatan dari lokasi-lokasi yang bertetanggaan dengan lokasi yang
bersangkutan (Lee dan Wong, 2001). Scatterplot tersebut terdiri atas empat kuadran, yaitu
kuadran I, II, III, dan IV. Lokasi-lokasi yang banyak berada di kuadran I dan III cenderung
memiliki autokorelasi positif. Sedangkan lokasi-lokasi yang banyak berada di kuadran II dan IV
cenderung memiliki autokorelasi negatif. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing kuadran
(Perobelli dan Haddad, 2003).
- Kuadran I (High-High), menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi dikelilingi
oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi.
- Kuadran II (Low-High), menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah
dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi.
- Kuadran III (Low-Low), menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah
dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah.
- Kuadran IV (High-Low), menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi
dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah.
Matriks Pembobot 1. Kode biner
2. Row Standardization
n
1j
ijio ww
n
1j
jioi ww
1
1
)3)(2n)(1n(
]3n)nk[(n2
2
21
2
nSn
SSS
o
o
22n
1i1
4 ))/(()( xxxxkn
i ii
2
2
21
2
Ms)3)(2n)(1n(
]2n)3n3n[(n)Ivar(
o
o
Sn
SSS
n
1i
2
oiio2 )( wwS
n
ji
2
jiij1 )(2
1wwS
n
1i
n
1j
ijwSo
lainnyauntuk
berdekatanyangjdaniuntuk
w0
,1
ij
n
1j
ij
ij*
ij
w
ww
6
3. Varians stabilization
Untuk mendapatkan model yang terbaik sejumlah model harus dievaluasi. Ada
beberapa kriteria dalam menentukan model terbaik. Dalam penelitian ini digunakan kriteria AIC
(Akaike’s Information Criterion). AIC dirumuskan sebagai berikut.
AIC = -2Lm +2 m
dimana : Lm = maksimum log-likelihood
m = jumlah parameter dalam model.
Gizi Buruk dan Faktor yang Mempengaruhi Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya
di bawah standar rata-rata. Status gizi buruk dibagi menjadi tiga bagian, yakni gizi buruk karena
kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut
marasmus), dan kekurangan keduaduanya (Dinas Kesehatan Jatim, 2006).
Ada banyak faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya gizi buruk pada balita.
Menurut UNICEF (1988), ada 2 faktor penyebab utama, antara lain :
1. Penyebab Langsung : Asupan Makanan, Infeksi Penyakit
2. Penyebab Tidak Langsung : Pola Asuh Anak, Ketersediaan Pangan, Layanan
Gambar 2.1 Bagan Faktor yang Mempengaruhi Gizi Buruk Balita
3. Metodologi
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dari Dinas Kesehatan Kota
Surabaya tahun 2009. Unit observasi yang digunakan adalah kecamatan-kecamatan di
kota Surabaya yang terdiri dari 31 kecamatan. Observasi (amatan) adalah pada tingkat
kecamatan dan diasumsikan pengambilan sampel pada masing-masing variabel di setiap
kecamatan tersebut adalah sama. Variabel yang digunakan dalam penelitian meliputi variabel
dependen dan independen pada Tabel 1.
nji,
1ji,
ij
ij*
ij
w
ww
7
Tabel 1. Variabel Penelitian
Kode Variabel Definisi Skala
Pengukuran
Variabel dependen :
y Kasus gizi buruk pada balita Persentase balita penderita gizi buruk
yang ada di setiap kecamatan Surabaya.
Rasio/
persentase
Variabel independen :
X1 Bayi yang lahir dengan berat
badan rendah (BBLR)
Persentase bayi yang lahir dengan berat
badan rendah.
Rasio/
persentase
X2 Bayi tidak mendapat ASI
ekslusif
Merupakan persentase bayi yang tidak
diberi ASI eksklusif
Rasio/
persentase
X3 Keluarga yang tidak
menggunakan garam beryodium
Persentase rumah tangga (RT) yang
tidak menggunakan garam beryodium
Rasio/
persentase
X4 Balita yang tidak mendapat
vitamin A
Persentase balita yang tidak mendapat
vitamin A
Rasio/
persentase
X5 Keluarga yang mempunyai akses
air bersih
Merupakan persentase rumah tangga
(RT) yang memiliki akses air bersih
meliputi sumur pompa (SPT), sumur
gali (SGL), air hujan (PAH)
Rasio/
persentase
X6 Tempat umum yang tidak sehat Merupakan persentase tempat- tempat
yang sanitasinya tidak memenuhi
syarat. Tempat umum meliputi : pasar,
sekolah, tempat wisata, hotel, RS,
ponpes
Rasio/
persentase
X7 Keluarga yang berperilaku hidup
bersih sehat (PHBS)
Persentase rumah tangga (RT) yang
berperilaku hidup bersih sehat.
Rasio/
persentase
X8 Keluarga miskin Persentase keluarga miskin yang ada di
setiap kecamatan di Surabaya.
Rasio/
persentase
X9 Rasio tenaga kesehatan dengan
jumlah balita
Merupakan jumlah tenaga kesehatan
(medis, bidan, perawat, ahli gizi,
sanitasi, farmasi, kesmas) di setiap
kecamatan dibagi dengan jumlah balita.
Dikali dengan 100
Rasio/
persentase
X10 Rasio jumlah posyandu dengan
jumlah balita
Merupakan jumlah posyandu yang ada
ditiap kecamatan dibagi dengan jumlah
balita.
Dikali dengan 100
Rasio/
persentase
Adapun langkah analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :
1. Melakukan eksplorasi data peta tematik untuk mengetahui pola penyebaran dan dependensi
pada masing- masing variabel serta korelasi untuk mengetahui pola hubungan variabel X dan
Y.
2. Menentukan pembobot spasial (W) yaitu Queen Contiguity.
3. Uji dependensi spasial atau korelasi dengan Moran’s I pada masing- masing variabel.
Hipotesis yang digunakan untuk uji dependensi spasial :
H0 : I = 0 (tidak ada autokorelasi antar lokasi)
H1 : I ≠ 0 (ada autokorelasi antar lokasi)
8
4. Melakukan pemodelan regresi dengan metode Ordinary Least Square (OLS) yang meliputi
estimasi parameter, estimasi signifikansi model, uji asumsi residual (identik, independen,
dan berdistribusi normal.
5. Melakukan pemodelan Spatial Autoregressive Model (SAR) dengan tahapan sebagai
berikut.
a. Setelah matriks W terbentuk dengan elemen-elemennya (wij) bernilai 1 dan 0, dilakukan
koding pembobotan untuk mendapatkan matriks W yang standar dengan menset jumlah
elemen baris sama dengan 1. Caranya dengan membagi setiap elemen dengan jumlah
elemen barisnya (Row Standardization).
b. Melakukan estimasi parameter, pengujian signifikansi parameter dengan Wald, dan uji
asumsi residual regresi dari model spasial yang terbentuk.
c. Pemilihan model terbaik dengan kriteria AIC (Akaike’s Information Criterion).
d. Menginterpretasikan dan menyimpulkan hasil yang diperoleh.
4. Hasil dan Pembahasan
Nilai Moran’s I
Berdasarkan hasil pengujian autokorelasi spasial dengan Moran’s I dengan tingkat
signifikansi 5%, diketahui bahwa terdapat autokorelasi spasial pada variabel persentase gizi
buruk balita (Y), RT yang tidak menggunakan garam beryodium (X3), tempat-tempat umum
yang tidak bersih (X6), RT yang berPHBS (X7), penduduk miskin (X8), dan rasio posyandu
dengan jumlah balitanya (X10). Tabel 4.1 Pengujian Dependensi Spasial Moran’s I
Variabel Moran’s I Z hitung
Kasus gizi buruk (Y) 0,2436 2,2941*
Berat badan bayi lahir rendah (X1) -0,2018 -1,628
Bayi yang tidak mendapat ASI ekslusif (X2) 0,0265 0,465
RT yang tidak menggunakan garam
beryodium (X3)
0,2480 2,7205*
Balita yang tidak diberi vitamin A (X4) -0,0923 -0,485
RT yang mempunyai akses air bersih (X5) -0,1270 0,18676
Tempat-tempat umum yang tidak bersih (X6) 0,3315 3,3529 *
RT yang berPHBS (X7) 0,1589 1,98759*
Penduduk miskin (X8) 0,4930 4,30687*
Rasio tenaga kesehatan (X9) -0,1336 -0,0687
Rasio posyandu (X10) 0,2698 2,54278*
Ket : *) signifikan pada α=5% , 96,1025,0 Z
Sebagian besar variabel memiliki nilai Moran’s I lebih besar dari Io = -0,0333 yang
menunjukkan bahwa terdapat autokorelasi positif atau pola yang mengelompok dan memiliki
kesamaan karakteristik pada lokasi yang berdekatan. Variabel gizi buruk balita memiliki nilai
Moran’s I sebesar 0,2436 yang signifikan pada α=5% mempunyai autokorelasi positif. Variabel
lain yang memiliki pola mengelompok adalah RT yang tidak menggunakan garam beryodium
(X3), tempat-tempat umum yang tidak bersih (X6) RT yang berPHBS (X7), penduduk miskin
(X8), dan rasio posyandu dengan jumlah balitanya (X10). Hal ini sesuai dengan Moran’s
scatterplot yang menunjukkan hubungan antara nilai pengamatan pada suatu kecamatan dengan
nilai kecamatan lain. Berdasarkan gambar tersebut, dapat diketahui bahwa terjadi
pengelompokan kecamatan pada beberapa variabel yang memiliki nilai Moran’s I signifikan.
Pada variabel gizi buruk balita, memiliki pola mengelompok. Hal ini sesuai dengan
Moran’s Scatterplot yang menunjukkan pola mengelompok pada kuadran I dan III. Sedangkan
pada variabel bayi yang lahir dengan berat badan rendah (BBLR) memiliki menyebar atau tidak
terjadi pengelompokan kecamatan. Jika dibandingkan dengan Io menunjukkan bahwa data
berpola menyebar karena nilai Moran’s I mendekati nol. Pola menyebar tersebut menunjukkan
9
bahwa antar kecamatan memiliki karakteristik BBLR yang berbeda. Selain itu, variabel lain
yang memiliki pola menyebar adalah bayi yang tidak mendapat ASI ekslusif (X2), balita yang
tidak mendapat vitamin A (X4), dan rasio tenaga kesehatan dengan jumlah balita (X9).
Model Regresi Pada langkah pemodelan, dimulai dengan menggunakan metode Ordinary Least Square
(OLS). Metode ini menghasilkan variabel yang signifikan pada taraf α = 5% adalah variabel RT
yang memiliki akses air bersih (X5), dan rasio tenaga kesehatan dengan jumlah balita (X9).
Model regresi yang terbentuk mempunyai nilai R2 sebesar 54,9% yang berarti model dapat
menjelaskan keragaman gizi buruk balita sebesar 54,9% sedangkan sisanya sebesar 45,1%
dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Tabel 4.2 Estimasi Parameter Regresi OLS
Parameter Estimasi Std. Error T P-value
β0 -1,183 2,215 -0,53 0,599
β1 0,2184 0,1728 1,26 0,221
β2 -0,00162 0,01937 -0.08 0,934
β3 -0,3371 0,4787 -0,70 0,489
β4 0,03134 0,02461 1,27 0,217
β5 -0,02119 0,01002 -2,11* 0,047
β6 -0,003565 0,006122 -0,58 0,567
β7 0,002841 0,007545 0,38 0,710
β8 0,05591 0,033 1,69 0,106
β9 1,3491 0,4766 2,83* 0,010
β10 0,0204 0,3113 0,07 0,948
R2
54,9%
Ket : *) signifikan pada α=5%, 725,120;95,0 t
Selanjutnya pada pengujian asumsi residual didapatkan residual yang independen atau
tidak terdapat autokorelasi, mengikuti distribusi normal, dan identik atau tidak terdapat
heterodeskisitas. Asumsi tidak ada multikolinieritas sudah terpenuhi oleh model karena nilai VIF
kurang dari 10. Metode OLS memiliki kinerja kurang baik, karena Oleh karena itu perlu
dilakukan permodelan spasial. Tabel 4.3 Estimasi parameter SAR
Parameter Estimasi Std. Error Wald 0.4618769 0,1620926 8,11944
a
β0 -0,8989927 1,568569 0,328477
β1 0,162688 0,1210025 1,807683 c
β2 -0,008151792 0,01358288 0,360182
β3 -0,2392547 0,3321726 0,518792
β4 0,02575329 0,01723133 2,233715 c
β5 -0,02161235 0,007009189 9,507546 a
β6 -0,005022952 0,004274713 1,380715
β7 0,003551511 0,005290077 0,450715
β8 0,04591866 0,02368845 3,757553 b
β9 1,253979 0,3337644 14,11564 a
β10 -0,03143222 0,2184473 0,020704
Ket : a) signifikan pada α=5%,
b) signifikan pada α=10%,
c) signifikan pada α=20%,
841,32
1;05,0 ,
706,22
1;10,0 ,
642,12
1;20,0
Berdasarkan estimasi parameter Spatial Autoregressive Model (SAR), diketahui bahwa
terdapat dependensi lag pada variabel dependen yang ditunjukkan oleh parameter yang
10
signifikan pada α = 5%. Sedangkan variabel-variabel independen yang signifikan berpengaruh
pada α = 5% adalah variabel RT yang memiliki akses air bersih (X5), dan rasio tenaga kesehatan
dengan jumlah balita (X9). Variabel lainnya yaitu Persentase keluarga miskin (X8) signifikan
pada taraf α = 10%. Sedangkan variabel BBLR (X1) dan balita yang tidak mendapat vitamin A
(X4) signifikan pada taraf α = 20%.
Secara umum model SAR yang menggunakan taraf signifikan 5% dapat dinyatakan
sebagai berikut. Tabel 4.4 Persamaan Regresi Spatial Autoregressive Model
Model SAR R2
iiij
n
jij
iji XXywy
95
,1
13,102,0469,0
0,5526
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa nilai R2 sebesar 0,5526. Hal ini berarti bahwa model
tersebut mampu menjelaskan variasi dari gizi buruk balita sebesar 55,26% dan sisanya 44,74%
dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Selanjutnya pada pengujian asumsi residual
didapatkan residual yang independen atau tidak terdapat autokorelasi, mengikuti distribusi
normal, pada uji Glejser didapatkan residual sudah identik atau tidak terdapat heterodeskisitas.
Pemilihan model terbaik antara model regresi OLS dan model SAR bertujuan untuk
mengetahui model mana yang lebih baik diterapkan pada kasus gizi buruk pada balita di Kota
Surabaya. Kriteria kebaikan model yang digunakan adalah dengan membandingkan nilai R2 dan
nilai AIC (Akaike’s Information Criterion) dari kedua model tersebut. Berikut perbandingan
modelnya. Tabel 4.5 Perbandingan Nilai R
2 dan AIC Model
Model R2
AIC
Model OLS 0,3957 83,2002
Model SAR 0,5526 77,8996 Berdasarkan Tabel 4.4 terlihat bahwa model dengan nilai R
2 tertinggi dan nilai AIC
terkecil yaitu model SAR. Sehingga model SAR lebih baik digunakan untuk menganalisis data
kasus gizi buruk balita di Kota Surabaya dibandingkan dengan model regresi dengan
menggunakan metode OLS.
Faktor- faktor yang Mempengaruhi Gizi Buruk Balita Setelah mendapat model yang terbaik, selanjutnya dilakukan analisis lebih lanjut
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi gizi buruk balita.
Gambar 4.2 Persebaran Wilayah Berdasarkan Gizi Buruk, Air Bersih, dan Rasio Tenaga Kesehatan
11
Gambar 4.2 terdiri dari sembilan 9 tabulasi, dimana tiga tabulasi diantaranya tidak ada
isinya (tabulasi 2,3 dan 6). Tabulasi 9 hanya berisi 1 wilayah yaitu Kecamatan Bulak yang
mempunyai gizi buruk tinggi, rasio tenaga kesehatan tinggi, dan RT yang memiliki akses air
bersih rendah. Tabulasi 8 berisi 2 kecamatan yaitu Kecamatan Benowo dan Kecamatan
Lakarsantri. Tabulasi 4 dan 5 masing-masing memiliki 3 wilayah anggota. Tabulasi 4 memiliki
anggota antara lain Kecamatan Semampir, Gununganyar, dan Gayungan yang memiliki nilai
gizi buruk dan rasio tenaga kesehatan ketegori rendah, air bersih kategori sedang. Tabulasi 5
memiliki wilayah Kecamatan Genteng, Wonocolo, dan Tenggilis yang mempunyai nilai gizi
buruk, rasio tenaga kesehatan dan air bersih kategori menengah. Tabulasi 1 memiliki
karakteristik air bersih tinggi, rasio tenaga kesehatan dan gizi buruk rendah. Tabulasi 7 adalah
tabulasi yang memiliki anggota terbanyak. Kuadran ini memiliki karakteristik air bersih dan
rasio tenaga kesehatan kategori rendah. Kecamatan yang memiliki nilai gizi buruk tertinggi
adalah Kecamatan Tandes, yang terlihat berwarna merah menunjukkan gizi buruk sangat tinggi
5. Kesimpulan Pemodelan regresi dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS)
menghasilkan sebagian besar parameter tidak signifikan pengaruhnya terhadap gizi buruk balita
baik pada taraf α = 5% atau α = 10%. Hal ini menunjukkan bahwa metode OLS kurang
maksimal, karena banyak parameter yang tidak signifikan, dan nilai R2 yang relatif kecil.
Sedangkan hasil pemodelan SAR menunjukkan bahwa lag variabel dependen berperan penting
pada pemodelan gizi buruk balita di Surabaya. Sedangkan untuk faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi gizi buruk balita didapatkan bahwa dari 10 variabel bebas, hanya 2 variabel yang
signifikan pada α = 5% yaitu variabel RT yang memiliki akses air bersih (X5), dan rasio tenaga
kesehatan dengan jumlah balita (X9 ). Kemudian pemilihan model terbaik didapatkan model
SAR lebih baik dibandingkan model regresi dengan metode OLS dengan R2 sebesar 39,57% dan
AIC sebesar 83,2002, sedangkan nilai R2 SAR sebesar 55,26% dan AIC 77,8996. Sehingga
model SAR yang didapat adalah
Daftar Pustaka
Anselin, L. (1988). Spatial Econometrics : Methods and Models, Kluwer Academic Publishers,
Netherlands.
Bekti, R.D. (2011), Spatial Durbin Model (SDM) Untik Mengidentifikasi Faktor-Faktor Yang
Berpengaruh Terhadap Kejadian Diare Di Kabupaten Tuban, Tesis, Jurusan Statistika
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Dinas Kesehatan Jatim. (2006), Profil Kesehatan Propinsi Jawa Timur 2006, Surabaya.
http://www.dinkesjatim.go.id/pdf , [diunduh pada tanggal 9 Februari 2011].
Hayati, M. (2009). Analisis Diskriminan pada Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Gizi Buruk
Balita Di Jawa Timur, Tugas akhir, Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh
Nopember, Surabaya.
Kissling, W. D. dan Carl, G. (2007). “Spatial Autocorrelation and the Selection of Simultaneous
Autoregressive Models”, Global Ecology and Biogeography, Journal Compilation.
Kompas. (2009). Penderita Gizi Buruk di Surabaya Meningkat 72 Persen,
http://www.regional.kompas.com, [diunduh pada tanggal 2 maret 2011].
Lee Jay, Wong S W David.(2000). Statistical Analysis with Arcview GIS. John Willey & Sons,
INC: United Stated of America.
LeSage, J.P. (1999). The Theory and Practice of Spatial Econometrics, http://www.
econ.utoledo.edu, [diunduh pada tanggal 5 Maret 2011].
iiij
n
jij
iji XXywy
95
,1
25,102,049,0
12
LeSage, J.P and Pace, R.K. (2009). Introduction to Spatial Econometrics, http://www.
econ.utoledo.edu, [diunduh pada tanggal 5 Maret 2011].
Marice, D. (2006). Klasifikasi Status Gizi balita dengan Pendekatan Analisis Diskriminan
Bootstrap, Tugas akhir, Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya.
Mugiyono. (2000), Analisis Statistik Status Kesehatan Balita Di Jawa Timur, Tugas akhir,
Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Pudjiadi, S. (2004). Ilmu Gizi Klinis Pada Anak, edisi keempat, Fakultas Kedokteran UI :
Jakarta, 2000.
Sudayasa, P. (2010), Faktor- Faktor Penyebab Kurang Gizi Pada Balita,
http://www.puskel.com/faktor-faktor-penyebab-kekurangan-gizi-pada-balita. [diunduh
pada tanggal 9 Februari 2011]
Winarno, D. (2009), Analisis Angka Kematian Bayi di Jawa Timur dengan Pendekatan Model
Regresi Spatial, Tesis, Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya.