pemeriksaan protein
DESCRIPTION
fdsfdsfdsfdsTRANSCRIPT
Pemeriksaan Protein & Proteinuria
1) Pemeriksaan Kualitatif
a. Metode Sulfosalisilat
Metode pemeriksaan urin ini menggunakan prinsip yaitu dengan
penambahan sulfosalisilat pada urin (tanpa pemanasan) akan
menimbulkan kekeruhan yang sifatnya menetap. Bahan yang digunakan
adalah urin jernih, dan reagen yang digunakan adalah sulfosalisilat 20%.
(PK, 2010)
Positif palsu terjadi bila kekeruhan yang timbul hilang dengan
pemanasan, urin mungkin mengandung urat atau karbonat. Negatif palsu
terjadi bila urin terlalu encer. (PK, 2010)
Penentuan protein urin metode sulfosalisilat ini memiliki berbagai
kelebihan diantaranya adalah harga lebih murah, pembuatan reagen dapat
disesuaikan dengan jumlah pasien sehingga lebih ekonomis, serta reagen
yang mudah diperbarui. Sedangkan kekurangannya adalah membutuhkan
waktu yang lebih lama.
b. Metode Rebus atau Asam Asetat
Metode ini menggunakan reagen asam asetat 6%. Terjadi positif palsu
jika kekeruhan timbul oleh obat yang dikeluarkan lewat urin dan negatif
palsu jika urin terlalu encer. Urin yang terlalu encer memiliki berat jenis
rendah sehingga tidak baik digunakan dalam tes ini. Prinsip metode ini
adalah dengan pemanasan akan menyebabkan denaturasi protein dan
terjadi presipitasi. Proses presipitasi dibantu oleh garam-garam yang ada
dalam urin atau sengaja ditambahkan. (PK, 2010)
c. Metode Tes Strip Urin
Tes strip urin digunakan untuk menentukan proteinuria berdasarkan
fenomena “kesalahan penetapan PH karena adanya protein”. Derajat
perubahan warna ditentukan oleh kadar protein dalam cairan, sehingga
perubahan warna menjadi ukuran semi kuantitatif pada proteinuri.
Indikator yang biasanya ada adalah tetabrom phenol blue, yanh
berwarna kuning saat berada pada PH 3 dan akan berubah warna menjadi
hijau sampai biru tergantung dengan kandungan protein urin didalamnya.
2) Pemeriksaan Kuantitatif
Pemeriksaan kuantitatif menggunakan urin 24 jam dan harus asam.
Hasil pemeriksaan ini dibaca gram per liter urin. Metode yang digunakan bisa
dengan cara esbach yaitu dengan diencerkan 2-3 kali terlebih dahulu baru
dimasukkan dalam perhitungan. Namun cara ini memiliki ketelitian dan
ketepatan yang rendah, sehingga untuk mendapatkan hasil yang lebih baik
digunakan cara pengendapan protein secara sempurna.
3) Aplikasi Klinis
a. Sindrom Nefrotik
Sindrom Nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinis
glomerulonefritis ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif ≥3,5
g/hari, hipoalbuminemia ˂3,5 g/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria.
(Prodjosudjadi, 2006)
Penyebab atau etiologi dari sindrom nefrotik terbagi menjadi dua, yaitu
:
a. Glomerulonefritis Primer
1. Glomerulonefritis lesi minimal
2. Glomerulosklerosis fokal
3. Glomerulonefritis membranosa
4. Glomerulonefritis membranoproliferatif
5. Glomerulonefritis proliferatif lain (Prodjosudjadi, 2006).
b. Glomerulonefritis Sekunder
1. Infeksi : HIV, HBC, sifilis, malaria, skistosoma, TB, lepra
2. Keganasan : adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma
Hodgkin, mieloma multipel, dan karsinoma ginjal.
3. Penyakit jaringan penghubung : SLE, artritis reumatoid,
MCTD
4. Efek obat dan toksin : NSAID, preparat emas, penisilinamin,
probenesid, air raksa, kaptopril, heroin
5. Lain-lain : DM, amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi alograf
kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.
Pada anak, sindrom nefrotik diawali dengan pembengkakan wajah
yang kemudian diikuti pembengkakan seluruh tubuh. Sedangkan pada
dewasa, ditandai dengan edema anasarka, urin yang berbusa, dan
komplikasi trombosis, seperti trombosis vena dalam dari betis atau bahkan
embolus paru. Sindrom Nefrotik juga dikaitkan dengan pemakaian
NSAID dan menderita DM selama 10 tahun terakhir. (Cohen & Batuman,
2011)
Sindrom Nefrotik ini, dapat mengakibatkan berbagai komplikasi
diantaranya adalah : (Prodjosudjadi, 2006)
1. Proteinuria masif akan menyebabkan keseimbangan nitrogen
menjadi negatif, sehingga terjadi penurunan massa otot.
2. Hiperlipidemia dan lipiduria
3. Hiperkoagulasi yaitu sering ditemukannya komplikasi
tromboemboli.
4. Kadar vitamin D dan hormon tiroid yang terikat protein
menurun.
5. Infeksi akibat defek imunitas humoral, selular, dan gangguan
sistem
6. Gangguan fungsi ginjal
Pengobatan sindrom nefrotik terdiri dari pengobatan spesifik yang
ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk
mengurangi proteinuria,mengontrol edema, dan mengobati komplikasi.
Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu
mengontrol edema. Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 g/kg BB/hari dapat
mengurangi proteinuria. Obat penurun lemak golongan statin seperti
simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL,
trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL. (Prodjosudjadi, 2006)
Pengobatan spesifik pada sindrom nefrotik diberikan berdasarkan
penyakit dasar. Pada nefropati yang mengalami sedikit perubahan dan
glukokortikosteroid diberikan prednison.(Waldman, 2007) Namun jika
kambuh kembali dapat diganti dengan rituximab. Pada lupus nefritis,
digunakan prednison dan cyclophospamide.(Fervenza, 2010)
b. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah penyakit yang sering dijumpai dalam praktek
klinik sehari-hari dan merupakan penyebab pwnting penyakit ginjal tahao
akhir. Berdasarkan terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer jika penyakit dasarnya
berasal dari ginjal sendiri, sedangkan sekunder jika kelainan ginjal terjadi
akibat sistemik lain seperti DM, SLE, dll. (Prodjosudjadi, 2006)
Gejala klinis glomerulonefritis merupakan konsekuensi langsung
akibat kelainan struktur dan fungsi glomerolus, yaitu ditandai dengan
proteinuria, hematuria, penurunan fungsi ginjal, dan perubahan ekskresi
garam dengan akibat edema,kongesti aliran darah, dan hipertensi.
(Prodjosudjadi, 2006)
Untuk membantu diagnosis glomerulonefritis, diperlukan pemeriksaan
urin, gula darah, serum albumin, profil lemak, dan fungsi ginjal. Selain itu,
pemeriksaan serologi seperti ASTO, C3, C4, ANA, dan anti-dsDNA,
antibodi anti-GBM, ANCA diperlukan untuk menegakkan diagnosis
glomerulonefritis serta membedakan primer dan sekunder. Pemeriksaan
USG ginjal dan biopsi ginjal juga bisa dilakukan. (Prodjosudjadi, 2006)
Pengobatan spesifik pada glomerulonefritis ditujukan terhadap
penyebab sedangkan non-spesifik untuk menghambat progresivitas
penyakit. Obat-obat yang bermanfaat diantaranya adalah kortikosteroid,
siklofosfamid, klorambusil, azatioprin, prednison, prednisolon, dll.
(Prodjosudjadi, 2006)
a) Aplikasi Klinis Bilirubin Urin
a. Dubin Johnson-Syndrome
Dubin-johnson syndrome pertama kali dikenal pada tahun 1954,
Penyakit ini merupakan penyakit dengan gangguan metabolisme bilirubin
yang diatur oleh kromosom autosom, penampakan pada hati terlihat gelap,
dengan ditandai hiperbilirubinia terkonjugasi dan dengan transaminase hati
yang normal (Habashi, 2006).
Cacat utama dalam Dubin-Johnson syndrome adalah mutasi pada
protein membran apikal canalicular bertanggung jawab untuk ekskresi
bilirubin, dan anion garam organik non empedu lainnya. Awalnya disebut
anion transporter beberapa canalicular organik (cMOAT), juga dikenal sebagai
multidrug resistensi protein 2 (MRP2) dan merupakan anggota dari
superfamili transporter ABC. gen yang mengkodekan transporter yang
ABCC2 dan ditemukan pada kromosom 10 (Kruh,2001).
Defek resesif autosomal protein pengangkut yang berperan dalam
ekskresi hepatoseluler bilirubin glukoronidamelewati membran kanalikulus
mengakibatkan para pasien memperlihatkan hiperbilirubinemia terkojugasi.
Selain memiliki hati yang berwarna gelap(akibat metabolit epinefrin polimer,
bukan bilirubin) dan hepatomegali, pasien tidak mengalami gangguan
fungsi(Crawford,2007).
Hiperbilirubinemia terkonjugasi yang diamati pada Sindrom Dubin-
Johnson merupakan hasil dari cacat transportasi bilirubin glukuronida
melintasi membran yang memisahkan hepatosit dari canaliculi empedu.
Pigmen yang tidak dikeluarkan dari hepatosit disimpan dalam lisosom dan
menyebabkan hati berwatna hitam,yang merupakan tanda dari sindrom Dubin-
Johnson, mekanisme yang tidak sepenuhnya dipahami, adalah kebalikan dari
rasio yang biasa antara produk sampingan biosintesis heme: kemih
coproporphyrin I, tingkat yang lebih tinggi dari tingkat coproporphyrin III.
Pada individu terpengaruh, rasio coproporphyrin III untuk coproporphyrin I
adalah sekitar 3-4:1 (Frank,1990).
Protein cMOAT/MRP2 dikodekan oleh gen tunggal-salinan kromosom
terletak pada 10q24, MRP2 memainkan peran penting dalam detoksifikasi dari
banyak obat yang dengan mengangkut berbagai senyawa, terutama konjugat
glutathione, glucuronate, dan sulfat., yang secara kolektif dikenal sebagai
produk tahap II biotransformasi. Tidak seperti anggota lain dari keluarga MRP
/ ABCC, MRP2 hanya diekspresikan pada domain membran apikal sel
terpolarisasi. Selain hepatosit, MRP2 terletak di sel-sel tubulus proksimal
ginjal, enterosit, dan syncytiotrophoblasts plasenta. Energi yang berasal dari
ATP Sangat penting untuk fungsi sekresi dari MRP2. Mutasi di wilayah ATP-
mengikat mewakili proporsi yang signifikan dari cacat genetik yang diakui di
Dubin-Johnson syndrome (Jedlitschky,2006)
Pemahaman yang disempurnakan tentang biologi molekul sindrom
Dubin-Johnson berasal dari investigasi dari mutasi missense Delta (R, M). Hal
ini menyebabkan hilangnya 2 asam amino dari domain ATP-mengikat kedua
MRP2. Para MRP2 bermutasi Delta (R, M) dikaitkan dengan tidak adanya
glikoprotein MRP2 dari membran apikal hepatosit. Dalam mutasi ini,
glikosilasi protein hanya terjadi di inti, yang nantinya mengganggu
transportasi dari retikulum endoplasma ke membran hepatosit canalicular.
Protein bermutasi sensitif terhadap pencernaan endoglycosidase H di
retikulum endoplasma. selain itu proteasomes juga terlibat dalam degradasi
protein bermutasi (Keitel,2000).
Mekanisme diatas mengakibatkan defisiensi pengangkutan bilirubin
dihati, sehingga bilirubin terkonjugasi beredar dalam tubuh dan
mengakibatkan ikterus berkepanjangan, bilirubin terkonjugasi ini bersifat larut
air, nonoksik, dan hanya berikatan secara lemah dengan albumin, kelebihan
bilirubin terkonjugasi dalam plasma akan dikeluarkan melalui sistem ginjal
dan mengakibatkan bilirubinuria (Crawford,2007).
Kruh GD, Zeng H, Rea PA, Liu G, Chen ZS, Lee K, et al. MRP subfamily transporters and
resistance to anticancer agents. J Bioenerg Biomembr. Dec 2001;33(6):493-501.
PK, Tim. (2010). Buku Petunjuk Praktikum Patologi Klinik Blok Nefro-Urinarius.
Purwokerto: FKIK UNSOED.
Prodjosudjadi, W. (2006). Sindrom Nefrotik. Dalam A. W. Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV (hal. 547-549). Jakarta: FK UI.
Crawford, J. M. (2007). Hati dan Saluran Empedu. In S. L. Robbins, Buku Ajar Patologi
Edisi 7 (pp. 666-669). Jakarta: EGC.
Frank M, Doss M, de Carvalho DG. Diagnostic and pathogenetic implications of urinary
coproporphyrin excretion in the Dubin-Johnson syndrome. Hepatogastroenterology.
Feb 1990;37(1):147-51.
Fervenza FC, Abraham RS, Erickson SB, et al. Rituximab therapy in idiopathic membranous
nephropathy: a two year study. Clin J Am Soc Nephrol. 2010;5:2188-2198.
Habashi SL, Lambiase L R. Dubin-Johnson Syndrome. eMedicine from WebMD [serial
online]. October 2006;Available access at
http://emedicine.medscape.com/article/173517-overview. Recently access : 10.54.20
September 2011.
Crawford, J. M. (2007). Hati dan Saluran Empedu. In S. L. Robbins, Buku Ajar Patologi
Edisi 7 (pp. 666-669). Jakarta: EGC.
Jedlitschky G, Hoffmann U, Kroemer HK. Structure and function of the MRP2 (ABCC2)
protein and its role in drug disposition. Expert Opin Drug Metab Toxicol. Jun
2006;2(3):351-66.
Keitel V, Kartenbeck J, Nies AT, Spring H, Brom M, Keppler D. Impaired protein maturation
of the conjugate export pump multidrug resistance protein 2 as a consequence of a
deletion mutation in Dubin-Johnson syndrome. Hepatology. Dec 2000;32(6):1317-28.