pembuktian alat bukti informasi dan transaksi...

105
PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DALAM PEMBOBOLAN ATM (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Perkara Nomor: 85/PID.B/2012/PN.PWT) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman OLEH : NUGRAHA IRMAN E1A007207 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013

Upload: trinhkhanh

Post on 06-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI DAN TRANSAKSI

ELEKTRONIK DALAM PEMBOBOLAN ATM

(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Perkara Nomor: 85/PID.B/2012/PN.PWT)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

OLEH :

NUGRAHA IRMAN

E1A007207

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2013

i

PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI DAN TRANSAKSI

ELEKTRONIK DALAM PEMBOBOLAN ATM

(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Perkara Nomor: 85/PID.B/2012/PN.PWT)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

OLEH :

NUGRAHA IRMAN

E1A007207

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2013

ii

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Saya, yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : NUGRAHA IRMAN

NIM : E1A007207

Judul Skripsi : PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI DAN

TRANSAKSI ELEKTRONIK DALAM

PEMBOBOLAN ATM

(TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN

PERKARA NOMOR:85/PID.B/2012/PN.PWT)

Menyatakan dengan sebenarnya, bahwa skripsi ini benar-benar merupakan

hasil karya saya. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa

skripsi ini hasil karya orang lain, maka saya bersedia mempertanggungjawabkan dan

menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku atas perbuatan saya tersebut.

Purwokerto, 26 Agustus 2013

NUGRAHA IRMAN

NIM. E1A007207

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil „Alamin

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah dan ridho-Nya,

akhirnya skripsi ini dapat Penulis selesaikan. Pada dasarnya skripsi ini mengkaji

mengenai Pembuktian Alat Bukti Informasi dan Transaksi Elektronik dalam

Pembobolan ATM. Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman Purwokerto.

Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa

bantuan dan dukungan, baik secara moril maupun materiil, dari berbagai pihak. Oleh

karenanya, dengan segala hormat, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman;

2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik dan juga

selaku Dosen Pembimbing Skripsi I dan/atau Penguji;

3. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II dan/atau Penguji;

4. Handri Wirastuti Sawaitri, S. H., M.H., selaku Dosen Penguji, atas segala

masukan dan arahannya;

v

5. Kedua Orang Tuaku tercinta Almarhum Mama akhirnya uga bisa buat Mama

bangga love u mam dan juga Papa atas semua yang telah diberikan, bang Heru

dan Uni atas dukungan moril maupun materil yang tak terhitung, buat Aul

atas support maupun masukan dan semangatnya, bang Pi atas pengalaman

hidup, Angga dan Caca juga.

6. Semua sahabat dan teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan satu

persatu,terima kasih semuanya atas apa yang kita lalui baik sedih maupun

senang;

7. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman;

Tidak luput ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan

mahasiswa dan pihak-pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu yang

turut mendukung baik secara teknis maupun non-teknis kepada penulis

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,

oleh karena itu penulis selalu terbuka untuk menerima saran dan kritikan yang

bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi setiap

pembacanya dan pada penelitian lainnya yang mempunyai bidang kajian ilmu hukum

yang sama.

Purwokerto, 26 Agustus 2013

Penulis

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii

HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................. iii

KATA PENGANTAR ............................................................................................. iv

DAFTAR ISI ............................................................................................................. vi

ABSTRAKSI ............................................................................................................ ix

ABSTRACT .............................................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1

B. Perumusan Masalah .................................................................................. 9

C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 10

D. Kegunaan Penelitian ................................................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hukum Acara Pidana ............................................................... 12

B. Tujuan Hukum Acara Pidana .................................................................... 14

C. Pembuktian

1. Pengertian pembuktian ....................................................................... 16

vii

2. Sistem pembuktian menurut KUHAP ................................................ 18

3. Alat-alat Bukti menurut KUHAP ....................................................... 22

D. Informasi dan Transaksi Elektronik

1. Pengertian Informasi dan Transaksi Elektronik ................................. 44

2. Asas dan Tujuan Informasi dan Transaksi Elektronik ....................... 46

3. Penyelenggaran Sistem Elektronik ..................................................... 48

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan .................................................................................. 54

B. Spesifikasi Penelitian ................................................................................ 55

C. Lokasi Penelitian ...................................................................................... 56

D. Jenis dan Sumber Data ............................................................................. 56

E. Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 57

F. Metode Penyajian Data ............................................................................. 57

G. Metode Analisis Data ............................................................................... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Duduk Perkara .................................................................................... 59

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ........................................................ 61

3. Pembuktian ......................................................................................... 63

B. Pembahasan

viii

1. Alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik dalam putusan Nomor:

85/PID.B/2012/PN.PWT jika dikaitkan terhadap Pasal 184 Undang-

Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana .................. 71

2. Kekuatan alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Tindak

Pidana Pencurian dengan pembobolan ATM terhadap Putusan Nomor:

85/PID.B/2012/PN.PWT .................................................................... 84

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................................... 91

B. Saran ....................................................................................................... 93

DAFTAR PUSTAKA

ix

ABSTRAK

Perkembangan ilmu pengetahuan , tentunya memberikan suatu dampak yang

cukup signifikan di bidang hukum acara pidana. Oleh karena itu, pengertian yang

limitative didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana dapat menjadi sempit, dikarenakan banyaknya terobosan-terobosan baru

dibidang ilmu teknologi dan informasi seperti telefon genggam (handphone), fax,

video, internet, dsb. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penggunaannya perlu

diperhatikan mengenai sisi keamanan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam

penggunaan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang

secara optimal dan tidak terjadi penyalahgunaan. Sehubungan dengan itu, Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

memberikan perluasan-perluasan arti alat bukti yang sah menurut hukum acara yang

berlaku di Indonesia.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penggunaan alat bukti Informasi

dan Transaksi Elektronik yang berupa CD rekaman CCTV dalam pembuktian di

persidangan mengenai Tindak Pidana pencurian dengan pembobolan ATM

berdasarkan putusan Nomor: 85/Pid.B/2012/PN.Pwt dan untuk mengetahui dasar

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana dalam kasus serupa.

Pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang

menggunakan legis positivis, yang menyatakan bahwa hukum identik dengan norma-

norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang

berwenang. Data kemudian dianalisis menggunakan metode analisis normatif

kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa alat bukti Informasi dan

Transaksi Elektronik merupakan “perluasan” dari pasal 184 Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengenai alat bukti yang sah dan sifat

dari alat bukti adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja.

Kata Kunci : Pembuktian Alat Bukti Informasi dan Transaksi Elektronik

x

ABSTRACT

Development of science gives a significant impact in the field of criminal

law. Therefore, understanding of limitative in Law No. 8 of 1981 on the Criminal

Procedure Law may be narrow, because many new breakthroughs in the field of

science and information technology, cell phones (mobile phones), fax, video, internet,

etc.. In this regard, it should be noted regarding the safety, usefulness, and legal

certainty in the use of information technology, media, and communications in order

to develop optimally and avoid misuse. Accordingly, the Law No. 11 Year 2008 on

Information and Electronic Transactions give meaning extensions valid evidence

under the applicable procedural law in Indonesia.

This study was conducted to determine the use of Information and

Electronic Transaction evidence in the form of CDs of CCTV footage in evidence at

the hearing concerning the Crime of the ATM burglary theft by Verdict Number:

85/Pid.B/2012/PN.Pwt and to know the basic considerations for judges to convict in

the same case.

The approach used is the normative juridical studies using legis positif,

stating that the law is identical to the written norms are created and was enacted by

institution or authorized officer.. Data were analyzed using qualitative methods of

normative analysis.

Based on the research result shows that the evidence is Information and

Electronic Transactions "extension" of Article 184 of Law No. 8 of 1981 on the

Criminal Procedure Law on valid evidence and the nature of the evidence is limitedly

or limited to a specified course.

Key word : Proving of Information and Transactions Electronic Evidence

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tugas utama hukum acara pidana yang khas, particular, itu adalah untuk

mencari kebenaran hukum dengan menetapkannya ke dalam satu putusan hakim,

dan putusan itu sendiri pun secara kumulatif harus sekaligus bermakna sebagai

pelaksanaan perlindungan yang adil dan berkepastian bagi korban dan atau

saksi/pelapor terjadinya perbuatan pidana. Oleh sebab itu, kebenaran yang

hendak diputuskan bukanlah sekedar benar, tetapi benar yang bisa

dipertanggungjawabkan sebagai kepastian perlindungan hukum dan hak-hak

asasi manusia (HAM).1

Perkara pidana itu ada jika diketahui ada tindak pidana atau peristiwa

pidana atau kejahatan yang dilakukan2, sehingga pemeriksaan suatu perkara

pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk

mencari kebenaran materiil (materiilewaarheid) terhadap perkara tersebut. Hal

ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilalukan oleh aparat penegak

hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu

1 Nikolas Simanjuntak, 2009, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia,

hal 234. 2 Mohammad Taufik Makarao, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia

Indonesia. Hal 11.

1

2

perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan

penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Tujuan dari hukum

acara pidana dapat dibaca pada Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang No 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diterbitkan oleh Menteri

Kehakiman adalah sebagai berikut:

“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang

selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan

ketentuan hukum secara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk

mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu

pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta dan putusan dari pengadilan

guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan

dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan pada tahap

persidangan perkara tersebut.3”

Berdasarkan kalimat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hukum

acara pidana bertujuan untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil yaitu

kebenaran yang sebenar-benarnya atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran

yang sesungguhnya.

Menurut Mr. J. M. Van Bemmelen dalam bukunya Leerboek van her

Nederlandse Straf Frocesrecht, menyimpulkan bahwa tiga fungsi pokok acara

pidana adalah:

a. Mencari dan menemukan kebenaran;

b. Pengambilan putusan oleh hakim;

c. Pelaksanaan daripada putusan.4

3 Andi Hamzah, 2008. Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sinar grafika. Jakarta. Hal 7-8. 4 Ibid, Hal 8-9.

3

Dari ketiga fungsi tersebut yang paling penting adalah mencari

kebenaran karena merupakan tumpuan dari kedua fungsi berikutnya, kemudian

setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti

itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat) yang

kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Bagaimanapun tujuan hukum acara pidana

adalah mencari kebenaran merupakan tujuan antara, dan tujuan akhir sebenarnya

adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan

kesejahteraan dalam masyarakat.5

Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari

kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya

kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana

ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa:

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena

alat bukti yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa

seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas

perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas, maka dalam proses

penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan

bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap

mungkin.

5 Ibid.

4

Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud di

atas dan yang telah ditentukan menurul ketentuan perundang-undangan adalah

sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana:

Alat bukti yang sah ialah:

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa

Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna

kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana seringkali para penegak hukum

dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat

diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan

atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting

diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi

para penegak hukum tersebut.

Dalam penegakannya untuk mencari kebenaran hukum diperlukannya

suatu pengaturan agar dapat dipertanggungjawabkan sebagai kepastian

perlindungan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM), pengaturan mengenai

Hukum Acara Pidana diatur dalam Undang - Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana yang dalam hal ini disebut Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana. Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ialah teori sistem pembuktian berdasar

5

undang-undang secara negatif (negatief wetteljike bewijs theorie), yang dalam

hal ini keyakinan hakim tetap ada, tetapi bukan atas keyakinan itu saja yang

menjadi pembuktian final melainkan menjadi dasar pertimbangan untuk menilai

apakah alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang (limitatif) sudah

terpenuhi dan pembuktian merupakan proses untuk menentukan hakikat adanya

fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis

terhadap fakta-fakta masa lalu yang tidak terang menjadi terang yang

berhubungan dengan adanya tindak pidana. Pembuktian dalam acara pidana

sangat penting karena nantinya akan terungkap kejadian yang sebenarnya

berdasarkan berbagai macam alat bukti yang ada dalam persidangan.

Adanya kemajuan teknologi, tentunya memberikan suatu dampak yang

positif maupun dampak yang negatif. Namun seiring perkembangan jaman,

pemanfaatan teknologi informasi telah mengubah baik perilaku masyarakat

maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi

dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas

(boardless) dan menyebabkan perubahan social, ekonomi, dan budaya secara

signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi dan komunikasi saat

ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi

peingkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradabaan manusia dapat sekaligus

menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, pengertian

mengenai alat bukti yang limitatif didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana dapat menjadi sempit, dikarenakan

6

banyaknya terobosan baru dibidang ilmu teknologi dan informasi seperti telefon

genggam (handphone), fax, video, internet dsb. Berkaitan dengan hal tersebut,

perlu diperhatikan mengenai sisi keamanan,kemanfaatan dan kepastian hukum

dalam penggunaan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat

berkembang secara optimal agar tidak terjadi penyalahgunaan. Sehubungan

dengan itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik memberikan perluasan perluasan arti alat bukti yang sah

menurut Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Dengan diundangkannya Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik yang kita kenal dengan istilah UNDANG-

UNDANG NO11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI

ELEKTRONIK merupakan suatu bentuk antisipasi dari Pemerintah Republik

Indonesia bersama dengan DPR dari adanya suatu kemungkinan-kemungkinan

dampak buruk yang dapat timbul.6

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

cetakannya merupakan alat bukti yang sah apabila menggunakan Sistem

Elektronik sesuai dengan alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang tersebut.

Selain itu dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan keyakinan bahwa

perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan terdakwalah yang melakukan

tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut hakim tidak menemukan

6 O. C. Kaligis. 2012. “Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik Dalam Prateknya”, Yarsif Watampone, Jakarta. Hal 505-506.

7

keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa dijadikan acuan untuk

membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana. Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik digunakan antara lain dalam perkara pembobolan

Automatic Tellet Machine (ATM), seperti yang digunakan dalam putusan Nomor

: 85/Pis.B/2012/PN.Pwt.

Agar dapat melakukan investigasi yang benar terhadap alat bukti

Informasi dan Transaksi Elektronik, sehingga sebuah kejahatan dapat terungkap,

maka diperlukan sisi positif dari kemajuan bidang komputer. Hal ini berarti

aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi komputer untuk memeriksa dan

menganalisis setiap barang bukti digital yang satu dengan yang lain, sehingga

kejahatan tersebut dapat menjadi terang dan keberadaan pelaku dapat dilacak

untuk kemudian ditangkap demi mempertanggungjawabkan kejahatannya.

Aplikasi tersebut dikenal dengan istilah digital forensic.7

Menurut Muhammad Nuh Al-Azhar adanya klasifikasi digital forensic

atau spesialisasi digital forensic yang memiliki cakupan yang luas, sehingga

pengelompokannya berdasarkan pada bentuk fisik maupun logis dari barang

bukti yang diperiksa/dianalisis, sebagai berikut:

1. Computer Forensic

Forensik ini berkaitan dengan pemeriksaan dan analisis barang bukti

elektronik berupa computer pribadi (personal computer-PC),

7 Muhammad Nuh Al-Azhar. 2012. “Digital Forensic Panduan Praktis Investigasi Komputer”.

Jakarta: Salemba Infotek. Hal 17.

8

laptop/notebook, netbook dan tablet. Pemeriksaan terhadap jenis

barang bukti ini biasanya berkaitan dengan files recovery

2. Mobile Forensic

Forensik ini berkaitan dengan jenis barang bukti elektronik yang

berupa handphone dan smartphone. Pemeriksaan ini biasanya

berkaitan dengan informasi digital yang tersimpan di barang bukti

tersebut.

3. Audio Forensic

Forensik ini berkaitan dengan rekaman suara pelaku kejahatan.

Rekaman biasanya diperiksa untuk kepentingan voice recognition.

4. Video Forensic

Forensic ini berkaitan dengan barang bukti berupa rekaman video,

yang biasanya berasal dari CCTV (closed cicuit tv). Rekaman CCTV

ini diperiksa berkaitan dengan kegiatan pelaku kejahatan yang

sempat terekam di kamera tersebut. Rekaman ini kemudian dianalisis

untuk mengambil screenshot dari wajah pelaku atau plat nomor polisi

dari mobil yang dicurigai. Permasalahan yang berkaitan dengan

rekaman CCTV ini adalah resolusi video rendah dan kualitas kamera

yang tidak bagus, sehingga ketika rekaman CCTV ini dianalisis,

hasilnya tidak maksimal. Selain permasalahan resolusi, ada faktor-

faktor lain yang ikut mempengaruhi bisa tidaknya pembesaran secara

maksimal terhadap objek, dan tingkat pencahayaan di sekitar objek.

5. Image Forensic

Forensik ini berkaitan dengan jenis barang bukti digital yang berupa

file-file gambar digital yang diperiksa dan dianalisis untuk

mengetahui peralatan kamera digital yang digunakan untuk

mengambil gambar tersebut.

6. Cyber Forensic

Forensik ini berkaitan dengan pemeriksaan dan analisis kasus-kasus

yang berhubungan dengan internet atau jaringan seperti LAN (local

area network).8

Dalam putusan perkara Nomor : 85/Pid.B/2012/PN.Pwt menyatakan

bahwa Yudi Irawan terdakwa pencurian dengan pembobolan ATM dalam

melakukan aksi pencuriaannya tersebut, terekam kamera CCTV yang terpasang

pada ATM BII Cabang Purwokerto yang kemudian rekaman CCTV tersebut

menjadi barang bukti digital. Oleh karena itu, melihat pentingnya alat bukti

8 Ibid. Hal 25-26.

9

Informasi dan Transaksi Eletronik dalam mengungkap pelaku tindak pidana

pencurian dengan pembobolan Automatic Teller Machine (ATM) tersebut, maka

penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan alat bukti

Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut dengan judul: “Pembuktian Alat

Bukti Informasi dan Transaksi Elektronik Dalam Pembobolan ATM

(Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Perkara Nomor

:85/Pid.B/2012/PN.Pwt.)”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengambil

pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Putusan Nomor

: 85/Pid.B/2012/PN.Pwt. sah jika dikaitkan dengan Pasal 184 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana?

2. Bagaimanakah kekuatan alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik

dalam Tindak Pidana Pencurian dengan pembobolan ATM dalam Putusan

Nomor : 85/Pid.B/2012/PN.Pwt.?

10

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penggunaan alat bukti Informasi dan Transaksi

Elektronik yang berupa CD Rekaman CCTV dalam pembuktian di

persidangan mengenai tindak pidana pencurian dengan pembobolan ATM

berdasarkan putusan Nomor : 85/Pid.B/2012/PN.Pwt.

2. Untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

pidana dalam kasus serupa berdasarkan Putusan Nomor :

85/Pid.B/2012/PN.Pwt.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Kegunaan Teoritis

a. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang bidang Hukum Pidana,

Hukum Acara Pidana, sehingga hukum dapat selalu selaras dengan

kenyataan peristiwa yang terjadi.

b. Memperluas cakrawala berpikir penulis dan memberikan sumbangan

pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana dan hukum

acara pidana dan menambah referensi kepustakaan Hukum acara pidana

di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

11

b. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dan

acuan bagi pihak-pihak yang membutuhkan, misalnya untuk penulisan

ilmiah ataupun penulisan skripsi yang menyangkut hukum acara pidana

dan juga dalam mengungkap pelaku tindak pidana dan mengenai alat

bukti yang sah menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hukum Acara Pidana

Secara umum, hukum yang berlaku dapat diklasifikasikan menjadi dua

yaitu hukum privat dan hukum publik. Hukum privat merupakan hukum yang

bertujuan untuk melindungi kepentingan perseorangan atau individu. Yang

termasuk dalam lingkungan hukum privat adalah hukum perdata. Sedangkan

hukum publik adalah hukum yang bertujuan untuk melindungi kepentingan

umum atau kepentingan masyarakat banyak. Hukum pidana termasuk dalam

bidang lapangan hukum publik karena bertujuan untuk melindungi kepentingan

masyarakat banyak dari perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban

dan kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dengan kata lain hukum acara pidana adalah kumpulan peraturan

peraturan yang memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur sebagai berikut:

a. Tindakan apa yang diambil apabila ada dugaan, bahwa telah terjadi

suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.

b. Apabila benar telah terjadi suatu tindak pidana yang telah dilakukan

oleh seseorang, maka perlu diketahui siapa pelakunya, dan cara

bagaimana melakukan penyelidikan terhadap pelaku

c. Apabila telah diketahui pelakunya maka penyelidik perlu menangkap,

menahan dan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan permulaan atau

dilakukan penyidikan.

d. Untuk membuktikan apakah tersangka benar-benar melakukan suatu

tindak pidana, maka perlu mengumpulkan barang-barang bukti,

menggeledah badan atau tempat-tempat yang diduga ada hubungannya

dengan perbuatan tersebut.

e. Setelah selesai dilakukan pemeriksaan permulaan atau penyidikan oleh

polisi, maka berkas perkara diserahkan pada kejaksaan negeri, yang

12

13

selanjutnya pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa

oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana.9

Hukum acara pidana secara sederhana dapat dirumuskan sebagai suatu

aturan-aturan tentang tata-cara proses penyelenggaraan peradilan pidana. Di

bawah ini beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian hukum acara

pidana:

a. Wiryono Prodjodikoro

Hukum acara pidana adalah merupakan suatu rangkaian peraturan-

peraturan yang memuat cara bagaimana badan pemerintah yang

berkuasa (Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan) harus bertindak guna

mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.

b. R.Achad Soemadipraja

Hukum acara pidana adalah hukum yang mempelajari peraturan yang

diadakan oleh negara dalam hal adanya persangkaan telah dilanggarnya

Undang-Undang Pidana.

c. Sudarto

Hukum acara pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk

apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum.

d. J. De Bosch Kemper

Hukum acara pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturan-peraturan

undang-undang yang mengatur hak negara untuk menghukum bilamana

undang-undang pidana dilanggar.

e. Simon

Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur cara-cara negara

dengan alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk

menghukum dan menjatuhkan hukuman.

f. Van Bemmelen

Hukum acara pidana adalah kumpulan ketentuan-ketentuan hukum yang

mengatur bagaimana cara negara, bila dihadapkan pada suatu kejadian

yang menimbulkan syak wasangka telah terjadi pelanggaran hukum

pidana, dengan perantara alat-alatnya mencari kebenaran, menetapkan di

muka hakim suatu keputusan mengenai perbuatan yang didakwakan,

bagaimana hakim harus memutuskan suatu hal yang telah terbukti, dan

bagaimana keputusan itu harus dilaksanakan.

9 Mochamad Faisal Salami. 2001. Hukum Acara Pidana dan Prektik. Mandar Maju. Bandung.

hal 3.

14

g. Bambang Poernomo

Mengkhasifikasikan hukum acara pidana menjadi tiga arti:

1) Dalam arti sempit, yang meliputi peraturan hukum tentang

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang sampai

dengan putusan pengadilan, dan peraturan tentang susunan

pengadilan.

2) Dalam arti luas, yaitu selain mencakup dalam pengertian sempit,

juga meliputi peraturan-peraturan kehakiman lainnya sekedar

peraturan itu ada urusannya dengan perkara pidana

3) Pengertian sangat luas, yaitu apabila materi peraturan sudah sampai

pada tahap eksekusi putusan hakim (pidana) kemudian

dikembangkan meliputi peraturan pelaksanaan hukuman (pidana)

yang mengatur tentang alternatif jenis pidana, dan cara

menyelenggarakan pidana sejak awal sampai selesai menjalani

pidana sebagai pedoman pelaksanaan pemberian pidana.10

Dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

tidak ada satu pasal pun yang memberikan definisi hukum acara pidana, tetapi

bagian-bagian dari hukum acara pidana seperti penyidikan, penuntutan,

mengadili, pra peradilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan,

penggeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam

Pasal 1 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

B. Tujuan Hukum Acara Pidana

Tujuan dan tugas ilmu hukum acara pidana pada dasarnya sama dengan

tugas dan tujuan ilmu hukum pada umumnya yaitu mempelajari hukum untuk

mewujudkan kedamaian yang meliputi ketertiban dan ketenangan dengan

memberikan kepastian hukum dan keadilan hukum kepada masyarakat.

10

Waluyadi. 1999. Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus).

Mandar Maju. Bandung. Hal . 9-11.

15

Tujuan dari Hukum Acara Pidana berdasarkan Pedoman Pelaksanaan

Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang

diterbitkan oleh Menteri Kehakiman adalah sebagai berikut:

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran matriil, ialah kebenaran yang

selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan

ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk

mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu

pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari

pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana

telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat

dipersalahkan.11

Dari kalimat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara

Pidana bertujuan untuk mencari dan mendapatkan kebenaran matriil yaitu

kebenaran yang sebenar-benarnya atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran

yang sesungguhnya.

Van Bemmelen, seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah, menyatakan

bahwa fungsi hukum acara pidana adalah:

a. Mencari dan menemukan kebenaran.

b. Pengambilan putusan oleh hakim.

d. Pelaksanaan daripada putusan yang telah diambil.12

Dari ketiga fungsi tersebut yang terpenting adalah “menemukan

kebenaran” karena hal tersebut mendasari ke dua fungsi lainnya. Setelah

menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan barang bukti, hakim

akan sampai pada putusan yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa.

11

Andi Hamzah.2008. Op. Cit..hal. 7-8 12

Ibid. hal. 9

16

Untuk mewujudkan tujuan Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana yaitu mencari suatu kebenaran matriil diperlukan barang

bukti yang cukup sesuai dengan ketentuan undang-undang. Proses mencari dan

mengumpulkan barang bukti dan alat bukti dilakukan pada tahap penyidikan.

B. Pembuktian

1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian merupakan proses acara pidana yang memegang

peranan penting dalam pemeriksaan sidang di pengadilan. Melalui

pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak.

Sesungguhnya, tujuan dari pembuktian adalah berusaha untuk melindungi

orang yang tidak bersalah. Dalam hal pembuktian, hakim perlu

memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa.

Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar

ketentuan perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal

dengan kesalahannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan

terdakwa adalah, terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada

seorang pun yang tidak bersalah akan mendapat hukuman atau sekalipun ia

bersalah ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini

terkandung asas (equality before the law).13

13

Luhut MP Pangaribuan. 2005. Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh

Advocat. Djambatan. Jakarta hal. 3-4. Asas equality before the law berarti adanya perlakuan yang sama

atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan.

17

Sekalipun secara konteks yuridis teoritis, proses pembuktian

dilakukan di pengadilan pada tahap pembuktian, sesungguhnya proses

pembuktian sendiri telah dimulai pada tahap penyidikan. Pada tahap ini,

penyidik mengolah apakah peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa

pidana atau hanya merupakan peristiwa biasa. Penyidik juga mencari dan

mengumpulkan serta menganalisis bukti yang ia temukan. Hal ini

sebagaimana ditegaskan pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai berikut:

Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang

No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana:

a. karena kewajibannya mempunyai wewenang:

1. menerima laporan atau pegaduan dari seorang tentang

adanya tindak pidana;

2. mencari keterangan dan barang bukti;

3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan

menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab.

b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:

1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat,

penggeledahan dan penyitaan;

2. pemeriksaan dan penyitaan surat;

3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

2. Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana

Sistem pembuktian negatif ini merupakan gabungan dari sistem

pembuktian menurut undang-undang dengan sistem pembuktian menurut

18

keyakinan atau conviction in time yang kemudian menimbulkan rumusan

salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang

didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-

undang.

Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem

pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen yaitu :

1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti

yang sah menurut undang-undang;

2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan

dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif”

dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling

dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah satu diantara dua unsur

itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.14

Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam membuat keputusan harus

didasarkan dengan alat-alat bukti dipersidangan dan dengan alat bukti

tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang tindak pidana tersebut.

Di Indonesia sendiri menganut sistem pembuktian menurut

undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Dapat dilihat dalam Pasal

183 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang

isinya :

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwa yang bersalah melakukannya.

14

Yahya Harahap, Op.cit, Hal.279.

19

Dengan demikian pasal 183 Undang-Undang No 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana mengatur untuk menentukan salah atau

tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa,

harus :

- Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah

- Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-

benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.15

Pembuktian merupakan proses untuk menentukan hakikat adanya

fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang

logis terhadap fakta-fakta masa lalu yang tidak terang menjadi terang yang

berhubungan dengan adanya tindak pidana. Pembuktian dalam acara pidana

sangat penting karena nantinya akan terungkap kejadian yang sebenarnya

berdasarkan berbagai macam alat bukti yang ada dalam persidangan.

Menurut M. Yahya Harahap, Pembuktian adalah ketentuan yang

beisi penggarisan dan pedoman kesalahan yang didakwakan kepada

terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-

alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan

hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan16

.

Dengan ketentuan tersebut menjadikan hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada seseorang, apabila dengan sekurang-kurangnya

dua alat bukti yang sah dan dengan itu hakim memperoleh keyakinan bahwa

tindak pidana tersebut apakah benar-benar terjadi dan terdakwa benar-benar

15

Ibid, hal. 280. 16

Ibid , Hal.252.

20

terbukti melakukan apa yang didakwakan ataupun dakwaan tersebut tidak

benar terjadi (Pasal 183 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana). Pembuktian tersebut harus didasarkan kepada Undang-

Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu alat bukti

yang sah yang terdapat dalam Pasal 184 Undang-Undang No 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana. Arti pembuktian ditinjau dari segi hukum

acara pidana merupakan ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam

usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Hakim, jaksa, dan terdakwa

ataupun penasehat hukum semua terikat dalam ketentuan mengenai tata cara

dan penilaian alat bukti yang telah ditentukan. Karena sesuai dengan aturan

kalau semua tata cara dalam beracara di acara pidana diatur seluruhnya

dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dan

tidak boleh menyimpanginya.

Penjelasan dalam Pasal 183 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana mengatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk

menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi

seorang. Menurut Dr Simons bahwa berdasarkan undang-undang

pengakuan terhadap teori pembuktian hanya berlaku untuk keuntungan

terdakwa , tidak dimaksudkan untuk menjurus kepada dipidananya

orang yang tidak bersalah hanya kadang-kadang memaksa

dibebaskannya orang bersalah. Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa

sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif

dipertahankan dengan alasan bahwa memang sudah selayaknya harus

ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat

menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa

memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan

terdakwa. Sedangkan yang kedua berfaedah jika ada aturan yang

mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-

21

patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan

peradilan.17

Setiap pembuktian baik oleh polisi, jaksa dan hakim harus

memperhatikan prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan

terhadap harkat dan martabat manusia, dan perlindungan terhadap

kepentingan dan ketertiban masyarakat dan tidak boleh berorientasi pada

kekuasaan semata karena akan menjadikan pembuktian yang dilakukan

menjadi tidak obyektif seperti apa yang tercermin dalam Undang-Undang

No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam Undang-Undang No

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sekarang mengandung sistem

akusatur (accusatiry procedure) yang berbeda dengan HIR yang

menggunakan sistem inkisitur yang lebih mengedepankan pengakuan.

Accusatoir menurut pengertian kamus hukum adalah menuduh, penuduhan,

pemeriksaan si terdakwa di depan sidang pengadilan adalah merupakan

perlawanan antara jaksa sebagai penuduh merupakan satu pihak, sedangkan

sedangkan si terdakwa diberikan kesempatan mengakui, atau memungkiri

tuduhan itu dimana Hakim berfungsi mengadili setelah mendengar,

memeriksa dan mempertimbangkan kesalahan si terdakwa berdasarkan

bukti-bukti yang ada. Pemeriksaan didepan siterdakwa di depan sidang

pengadilan adalah bersifat accusatoir.

17

Andi Hamzah, Op.cit, Hal.276-257.

22

Sistem akusatur menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa

dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah subyek bukan sebagai obyek

pemeriksaan karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukan dan

diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan

martabat harga diri, sedangkan yang menjadi obyek pemeriksaan dalam

prinsip akusatur adalah kesalahan (tindak pidana), yang dilakukan tersangka

atau tedakwa. Dalam hal ini Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana menerapkan asas praduga tidak bersalah sehingga

setiap tersangka/terdakwa yang disangka, ditangkap, ditahan dituntut dan

dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai

adanya putusan pengadilan yang mengatakan kesalahannya dan memperoleh

kekuatan hukum tetap. Dalam penyidikan dan penyelidikan pun digunakan

sistem yang bersifat alamiah atau scientific crime detection dimana

pembuktian ini menekankan pada kejadian atau fakta-fakta yang alamiah

dialami oleh pelaku yang melihat pada bukti-bukti permulaan yang cukup.

3. Alat-alat bukti menurut Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana

Tidak ditemukan suatu definisi khusus mengenai apa itu alat bukti,

namun secara umum yang dimaksud dengan alat bukti adalah alat bukti yang

tercantum dalam Pasal 184 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana sebagai berikut:

(1) Alat bukti yang sah ialah:

a. keterangan saksi;

23

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Fungsi dari alat bukti itu sendiri adalah untuk membuktikan adalah

benar terdakwa yang melakukan tindak pidana dan untuk itu terdakwa harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya.18

Apabila berdasarkan Undang-

Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, maka yang dinilai

sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian”

hanya terbatas kepada alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1)

Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dengan

kata lain, sifat dari alat bukti menurut Undang-Undang No 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana adalah limitatif atau terbatas pada yang

ditentukan saja.

Urutan dalam pasal 184 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana bukan merupakan urutan kekuatan pembuktian.

Kekuatan pembuktian diatur pada Pasal 183 Undang-Undang No 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan asas unus testis nullus testis.

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah dan keyakinan hakim. Ketentuan Pasal 183 Undang-Undang

No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

18

M. Yahya Harahap. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan

dan penuntutan). Sinar Grafika. Jakarta. hal. 285.

24

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya.

1. Keterangan Saksi

Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam Pasal 185

ayat 1 sampai 7 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana. Keterangan saksi agar menjadi kuat maka harus

dihadirkan saksi lebih dari seorang dan minimal ada dua alat bukti

karena keterangan dari seorang saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain

tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa benar-benar bersalah

terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus

testis).

Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui

kesalahan yang didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi

sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena

disamping keterangan saksi tunggal itu, telah terpenuhi ketentuan

minimum pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan

saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Dengan ini

dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185

ayat (2) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana adalah :

i. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit

harus didukung oleh dua orang saksi;

ii. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka

kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan

salah satu alat bukti yang lain.19

Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama

dalam pemeriksaan perkara pidana. Dalam pasal 185 ayat (6) Undang-

19

Ibid, Hal.288.

25

Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk menilai

kebenaran keterangan saksi hakim harus memperhatikan:

a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya;

b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;

c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi

keterangan yang tertentu;

d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada

umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu

dipercaya.

Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan

disumpah agar mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan

nantinya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus suatu

perkara pidana. Disebutkan dalam Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang

No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa saksi wajib

untuk disumpah atau janji dalam setiap akan dimintai keterangannya di

persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing. Kemudian lafal

sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa saksi akan memberikan

keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya

yang dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam

persidangan dan jika dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan

sumpah atau janji ini dapat diucapkan sesudah saksi memberikan

keterangannya sesuai dengan Pasal 160 ayat (4) Undang-Undang No 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Jika saksi yang dihadirkan

tidak disumpah karena permintaan sendiri atau pihak yang lain tidak

bersedia saksi untuk disumpah karena saksi ditakutkan akan berpihak

26

pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi tersebut tetap

digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai tambahan alat

bukti sah yang lain. Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat

menjadi saksi akan tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka

dapat diperiksa oleh hakim akan tetapi tidak disumpah karena itu

merupakan perkecualian relatif karena menyimpan rahasia jabatan.

Saksi yang dihadirkan diharapkan sudah dewasa sehingga

keterangannya bisa dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan.

Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan

pengadilan saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah

maka saksi tersebut dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan

hakim ketua sidang paling lama penyanderaan adalah empat belas hari

(Pasal 161 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana).

Tidak setiap keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat

bukti, berdasarkan Pasal 1 angka 27 Undang-Undang No 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa yang dapat menjadi saksi

adalah yang mengetahui mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat

sendiri, dengar, alami sendiri dan dapat menyebutkan alasan dari

pengetahuannya itu. Berdasarkan ketentuan tersebut maka testimonium

de auditu atau lebih dikenal dengan keterangan yang diperoleh sebagai

hasil mendengar dari orang lain tidak mempunyai kekuatan sebagai alat

27

bukti dikarenakan tujuan acara pidana adalah mencari kebenaran

materiil sehingga keterangan yang didengar dari orang lain tidak

menjamin kebenaran keterangannya. Meskipun demikian testimonium

de auditu dapat digunakan untuk memperkuat keyakinan hakim yang

bersumber dari dua alat bukti yang lain yang dihadirkan dipersidangan.

Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan,

selain karena ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat

menjadi terutama karena mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa

karena cenderung tidak bernilai obyektif dan cenderung membela

terdakwa, diantaranya :

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke

bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama

sebagai terdakwa;

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,

saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai

hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa

sampai derajat ketiga;

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang

bersama-sama sebagai terdakwa;

28

d. Orang yang mempunyai hubungan pekerjaan, harkat, martabat, atau

jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia yang ditentukan undang-

undang.20

Kemudian dalam Pasal 171 Undang-Undang No 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana ditentukan saksi yang tidak disumpah

yaitu :

a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum

pernah kawin;

b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik

kembali.

Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum

berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan,

sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam

ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat

dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana

maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam

memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya

dipakai sebagai petunjuk saja.

2. Keterangan Ahli

Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli terdapat dalam

Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, Pasal 180 dan Pasal

186 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Keterangan ahli merupakan keterangan dari pihak diluar kedua pihak

yang sedang berperkara, dimana yang digunakan adalah keterangan

berkaitan dengan ilmu pengetahuannya dalam perkara yang

dipersidangkan sehingga membuat terang suatu perkara pidana guna

20

Andi Hamzah, 2008. Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sinar grafika. Jakarta. Hal 260.

29

kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli sebagai alat bukti diatur

dalam Pasal 186 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana menunjukkan keterangan ahli dari segi pembuktian, selain

itu dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana menerangkan lebih lanjut mengenai keterangan

ahli yaitu:

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang

yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk

membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan

pemeriksaan.

Pada Pasal 184 (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana, pembentuk undang-undang meletakkan

keterangan ahli dalam urutan kedua hal ini dinilai bahwa dalam

pemeriksaan perkara pidana sangat dibutuhkan dikarenakan

perkembangan ilmu dan teknologi telah berdampak terhadap kualitas

metode kejahatan yang memaksa para penegak hukum harus bisa

mengimbanginya dengan kualitas metode pembuktian yang memerlukan

pengetahuan, dan keahlian.

Dikatakan, bahwa keterangan ahli amat diperlukan dalam setiap

tahapan pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap

penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang

pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas

keterangan ahli atau para ahli didasarkan pengetahuan dan

pengalamannya dalam bidang-bidang keilmuannya, akan dapat

menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat ditarik oleh

Hakim dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan

hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang

bersangkutan. Sudah tentu, masiih harus dilihat dari kasus perkasus

30

dari perkara tindak pidana tersebut masing-masing, atas tindak

pidana yang didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari

penuntut umum di sidang pengadilan.21

Keterangan yang diberikan oleh ahli harus diberikan di suatu

persidangan yang terbuka untuk umum. Keterangan ahli disini

disumpah dalam persidangan agar keterangan yang diberikan sesuai

dengan pengetahuan yang dimilikinya. Jika dalam persidangan seorang

ahli tidak dapat hadir, maka dapat memberikan keterangannya dalam

surat yang nantinya dibacakan disidang pengadilan yang sebelumnya

juga diangkat sumpah pada ahli.

Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang

Pengadilan (Pasal 186 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana). Penjelasan :

- Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu

pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang

dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengikat

sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

- Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan di penyidik

atau penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang,

diminta untuk memberikan keterangan (ahli) dan dicatat dalam

Berita Acara Pemeriksaan (berita acara pemeriksaan

persidangan) Pasal 179 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Maka setiap orang yang diminta pendapatnya untuk memberikan

keterangan ahli secara lisan di persidangan jo. Pasal 180 ayat (1),

Pasal 186 dan penjelasan jo. Pasal 1 butir 28 Undang-Undang No 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, jo. Pasal 184 ayat (1)

sub b Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, jo. sbt. 1937 No.350, yang mendasarkan dari berbagai pasal

tersebut, berdasarkan fungsi dan tugas serta kewenangan yang

dimiliki masing-masing ahli itu, disebabkan alasan karena

keahliannya itu, dapat meliputi :

21

R. Soeparmono, 2002, Keterangan Ahli & Visum et repertum dalam aspek hukum acara

pidana, Mandar Maju, Bandung, Hal. 3.

31

1. Ahli kedokteran forensik atau;

2. Dokter, bukan ahli kedokteran forensik (jo.stb.1937 no.3500;

atau;

3. Ahli lainnya, yaitu keterangan yang diberikan setipa orang

yang memenuhi syarat-syarat atau kriteria Pasal 1 butir 28

Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana; atau

4. Saksi ahli yaitu keterangan orang ahli yang menyaksikan

tentang suatu hal (pokok soa, materi pokok) yang diperlukan,

kemudian memeriksa (meneliti, menganalisa) serta

mengemukakan pendapatnya berdasarkan keahliannya yaitu,

selanjutnya dengan menarik kesimpulan daripadanya, untuk

membuat jelas suatu perkara pidana, yang berguna bagi

kepentingan pemeriksaan.22

Keterangan ahli dapat juga diberikan untuk membantu pada

waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum sesuai dalam

Pasal 120 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana yang nantinya dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan ahli

mengingat sumpah jabatan waktu pertama menerima jabatannya dan

diucapkan dimuka penyidik bahwa ahli akan memberi keterangan

menurut pengetahuannya sebaik-baiknya. Akan tetapi dalam suatu hal

karena pekerjaan atau jabatan, harkat dan martabat yang mewajibkan

ahli menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan

yang diminta.

Pada pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186 Undang-Undang No

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, agar keterangan ahli

dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah :

1. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang

mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada

hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.

22

Ibid, hal.72-73.

32

2. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak

mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada

hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak

mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-

undang.23

3. Surat

Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 Undang-

Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menurut

ketentuan ini surat yang dinilai dengan alat bukti yang sah di

persidangan menurut undang-undang yaitu surat yang dibuat atas

sumpah jabatan dan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Alat

bukti surat menurut definisi Asser-Anema yaitu segala sesuatu yang

mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk

mengeluarkan isi pikiran.24

Berdasarkan Pasal 187 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana:

“Surat sebagaimana dimaksud pasal 184 ayat (1) huruf c Undang-

Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dibuat atas

sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh

pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya,

yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang

didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan

alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal

yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung

jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal

atau sesuatu keadaan;

23

Yahya Harahap, Op.cit, Hal.299. 24

Andi Hamzah, Op.cit, Hal. 276.

33

c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat

berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu

keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya

dengan isi dan alat pembuktian yang lain”.

Berdasarkan Pasal 187 huruf d Undang-Undang No 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana berbeda dengan ketentuan dalam

Pasal 187 huruf a,b dan c Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana. Hal ini karena dalam Pasal 187 huruf d Undang-

Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menunjukkan

surat secara umum yang tidak berlandaskan sumpah jabatan dan sumpah

di sidang pengadilan yang bersifat resmi dan cenderung bersifat pribadi.

Penjelasan selanjutnya juga menyebutkan bahwa berlakunya alat bukti

surat lain harus mempunyai hubungan dengan alat bukti yang lain agar

mempunyai kekuatan pembuktian artinya alat bukti surat lain tidak

dapat berdiri sendiri secara utuh.

Bentuk surat lain yang diatur dalam huruf d “hanya dapat berlaku”

jika isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang lain.

Nilai berlakunya masih digantungkan dengan alat bukti yang lain.

Kalau isi surat itu atau kalau alat pembuktian yang lain itu terdapat

salng hubungan, barulah surat itu berlaku dan dinilai sebagai alat

bukti surat.25

Berdasarkan Pasal diatas Undang-Undang No 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana tidak mengatur tentang kekuatan

pembuktian dari surat lain karena tidak mempunyai bobot sebagai alat

bukti hanya mengatur surat-surat resmi saja. penerapan surat lain

25

Yahya Harahap, Op.cit, Hal.309

34

sebagai bentuk alat bukti surat terlihat ganjil karena jika suatu alat bukti

surat digantungkan dengan alat bukti yang lain yaitu jika mempunyai

hubungan isinya dengan alat bukti yang lain sehingga terkesan tidak

mempunyai nilai pembuktian bahkan cenderung menjadi alat bukti

petunjuk yang intinya saling menghubungkan antara alat bukti satu

dengan yang lainnya sehingga tercipta suatu urutan suatu peristiwa yang

terjadi dalam perkara pidana yang diperiksa di sidang pengadilan.

Sebagai syarat mutlak dalam menentukan dapat atau tidaknya

suatu surat itu dapat dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah

ialah bahwa surat-surat itu harus dibuat diatas sumpah jabatan atau

dikuatkan dengan sumpah. Surat resmi yang dimaksud dalam Pasal 187

Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

berbentuk berita acara, akte, surat keterangan ataupun surat lain yang

mempunyai hubungan dengan perkara yang diadili.

Pasal 187 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana dapat diartikan bahwa pejabat yang mempunyai

wewenang untuk membuat surat-surat tersebut, dibebaskan untuk

menghadap sendiri dipersidangan dan pembacaan surat-surat tersebut

telah dianggap mempunyai kekuatan bukti yang sama dengan apabila

mereka menerangkan sendiri secara lisan dihadapan persidangan

pengadilan.

35

Surat yang dijadikan sebagai alat bukti dipengadilan biasanya

berasal dari kedokteran forensik yang meneliti barang bukti yang

ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) yang kemudian diteliti

dimana barang bukti mati kemudian dituangkan dalam bentuk surat dan

dapat dijadikan suatu pegangan bagi hakim untuk memutus suatu tindak

pidana yang bersangkutan karena barang bukti mati tersebut tidak bisa

berbohong dan terdakwa tidak bisa mengelak jika barang bukti tersebut

telah nyata menunjukkan bahwa terdakwalah yang telah melakukan

tindak pidana yang dituntutkan kepadanya.

Nilai kekuatan pembuktian surat menurut Yahya Harahap jika

dinilai dari segi teoritis serta dihubungkan dengan prinsip pembuktian

dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :

1. Ditinjau dari segi formal

Alat bukti yang disebut pada Pasal 187 huruf a,b dan c Undang-

Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah alat

bukti yang sempurna sebab bentuk surat-surat ini dibuat secara

resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-

undangan. Alat bukti surat resmi mempunyai nilai pembuktian

formal yang sempurna dengan sendirinya bentuk dan isi surat

tersebut :

a. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti

yang lain;

b. Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan

pembuatannya;

c. Juga tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang

dituangkan pejabat yang berwenang didalamnya sepanjang isi

keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti

yang lain;

36

d. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang

tertuang di dalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat

bukti lain, baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan

ahli atau keterangan terdakwa.

2. Ditinjau dari segi materiil

Alat bukti surat tidak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan

alat bukti saksi, dan ahli yang sama-sama mempunyai nilai

pembuktian yang bersifat bebas yang penilaiannya digantungkan

dari pertimbangan hakim. Ketidakterikatannya hakim atas alat bukti

surat tersebut didasarkan pada beberapa asas, antara lain :

a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari

kebenaran materiil atau kebenaran sejati (materiel waarheid),

bukan mencari kebenaran formal. Nilai kebenaran dan

kesempurnaan formal dapat disingkrkan demi untuk mencapai

dan mewujudkan kebenaran materiil atau kebenaran sejati yang

digariskan oleh penjelasan Pasal 183 Undang-Undang No 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang memikul

kewajiban bagi hakim untuk menjamin tegaknya kebenaran,

keadilan, kepastian hukum bagi seseorang.

b. Asas keyakinan hakim sesuai yang terdapat dalam Pasal 183

Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana yang menganut ajaran sistem pembuktian menurut

undang-undang secara negatif. Dimana hakim dalam memutus

harus berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,

dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan

bahwa terdakwa itu bersalah atau tidak. Hakim diberi

kebebasan untuk menentukan putusan yang diambilnya dengan

tetap memperhatikan tanggung jawab dengan moral yang tinggi

atas landasan tanggung jawab demi mewujudkan kebenaran

sejati.

c. Asas batas minimum pembuktian yaitu sesuai dengan Pasal 183

Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana hakim dalam memberikan putusan harus berdasarkan

minimal dua alat bukti dan dengan alat bukti tersebut hakim

memperoleh keyakinan untuk memberikan keputusan

dipersidangan.26

26

Ibid, Hal.309-312.

37

4. Petunjuk

Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat (1), (2), (3)

Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Didalam Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidanz, petunjuk diartikan sebagai perbuatan, kejadian

atau keadaan yang karena penyesuaiannya, baik antara satu dengan yang

lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah

terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Di dalam Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana dijumpai kata-kata “menandakan”

yang maksudnya adalah bahwa justru oleh karena tidak mungkin

dapat diperoleh oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh

kepastian mutlak bahwa terdakwa benar-benar telah bersalah

melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya secara pasti,

maka dari kata-kata demikian dipergunakan kepadanya secara pasti,

maka dari kata-kata demikian dipergunakan, sehingga dari sekian

banyak petunjuk yang ada telah dapat terbukti. Bahwa perbuatan,

kejadian atau keadaan yang dianggap sebagai petunjuk haruslah ada

kesesuaian antara satu dengan yang lain, karena justru pada

persesuaian itulah letak kekuatan utama dari petunjuk-petunjuk

sebagai sebagai alat bukti. Dan dari bunyi Pasal 188 (1) Undang-

Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang

menyatakan bahwa diantara petunjuk-petunjuk itu harus ada

“persesuaian”, maka hal itu berarti bahwa sekurang kurangnya

harus ada dua petunjuk untuk memperoleh bukti yang sah, namun

kalau bunyi pasal itu lebih diteliti lagi ternyata satu satu perbuatan

saja yang ada persesuaiannya dengan tindak pidana itu, ditambah

dengan satu alat bukti yang lain dan yang berkesesuaian

keseluruhannya, maka sudah cukup alasan untuk menyatakan

bahwa menurut hukum perbuatan yang didakwakan telah terbukti.27

27

I Ketut Martika, SH & Djoko Prakoso, SH., 1992, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran

Kehakiman, Rineka Cipta, Hal.44.

38

Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana menegaskan bahwa petunjuk itu diperoleh dari

keterangan saksi, surat, dan juga keterangan dari terdakwa dimana

diantara ketiganya harus ada kesesuaian dan saling berhubungan.

Persesuaian antara perbuatan, kejadian satu sama lain menunjukkan

adanya suatu tindak pidana atau tidak, jika tidak ada persesuaian

diantara ketiga alat bukti diatas maka belum bisa ditentukan itu

merupakan petunjuk dan yang dapat melakukan penilaian itu merupakan

petunjuk dalam setiap keadaan atau bukan adalah hakim, dimana harus

melakukan pemeriksaan secara seksama dan cermat berdasarkan hati

nuraninya.

Pasal 188 ayat (3) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana menerangkan bahwa:

Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam

setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi

bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh

kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Berdasarkan Pasal 188 ayat (3) Undang-Undang No 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana sangat berpengaruh dalam setiap

penggunaan alat bukti petunjuk sebagai dasar penilaian pembuktian

kesalahan terdakwa, karena nantinya akan berpengaruh terhadap

tanggung jawab sebagai seorang hakim yang merangkai alat bukti yang

ada sehingga menjadi dasar penjauhan hukuman. Dalam praktek

penggunaan alat bukti petunjuk dalam persidangan sangat dihindari bila

39

perlu menggunakan alat bukti yang lainnya kecuali jika dalam keadaan

yang penting dan mendesak sekali maka alat bukti petunjuk dapat

digunakan jika alat bukti yang lain belum mencukupi untuk

membuktikan kesalahan terdakwa. Dinilai juga bahwa alat bukti

petunjuk digunakan manakala alat bukti yang lain belum mencukupi

batas minimum pembuktian yang sesuai dala Pasal 183 Undang-Undang

No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Alat bukti petunjuk dalam persidangan dilihat dari persesuaian

antara alat bukti satu dengan yang lainnya sehingga hakim memperoleh

gambaran mengenai proses terjadinya tindak pidana dan penyebab

terjadinya tindak pidana. Sumber dari alat bukti petunjuk diperoleh

hakim dengan memperhatikan alat bukti yang lain sehingga diperoleh

persesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan yang sebenarnya.

Pada Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana ditentukan secara limitatif untuk mencari bukti

petunjuk yaitu diperoleh dari :

- Keterangan saksi

- Surat

- Keterangan terdakwa

Alat bukti petunjuk tidak mencantumkan alat bukti ahli karena

keterangan ahli diperoleh dari keterangan dari pakar dalam bidang

keilmuan yang terkait yang bersifat subyektif dari pengetahuan masing-

masing ahli dan dalam hal ini kemungkinan besar sudah telah

40

bercampur dengan nilai-nilai budaya, keyakinan, latar belakang hidup,

pendidikan dari ahli itu sendiri dan cenderung akan selalu

membenarkan pendapatnya sehingga tidak bernilai obyektif.

Alat bukti petunjuk baru ada jika sudah ada alat bukti yang lain

sehingga sifatnya menggantungkan alat bukti yang lain atau “asessoir”.

Dengan kata lain alat bukti petunjuk tidak akan pernah ada jika jika alat

bukti lain. Nilai kekuatan pembuktian petunjuk dilihat dari :

- Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang

diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas

menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya

pembuktian,

- Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri

membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada

prinsip batas pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk

mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus

didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang

lain.28

5. Keterangan terdakwa

Pengaturan tentang keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal

189-193 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, dan dalam Pasal 189 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana mengartikan mengenai keterangan

terdakwa yaitu :

“keterangan terdakwa ialah apa yang didakwakan di sidang tentang

perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami

sendiri.”

28

Yahya Harahap, Op.cit, Hal.317.

41

Keterangan terdakwa disini bukan berarti pengakuan terdakwa

yang ada dalam HIR. Akan tetapi keterangan terdakwa bersifat lebih

luas baik yang merupakan penyangkalan, pengakuan, ataupun

pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Suatu perbedaan yang

jelas antara keterangan terdakwa dengan pengakuan terdakwa sebagai

alat bukti ialah keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi

membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada

terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.

Dengan dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai

alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua

keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berbentuk

penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagai dari

perbuatan atau keadan. Tidak perlu hakim mempergunakan seluruh

keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian menurut HR

dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944, NJ.44/45 No.59.

sedangkan pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat

berikut.

- Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan

- Mengaku ia bersalah.29

Menurut Memorie van Toelichting Ned Sv. Penyangkalan

terdakwa atas dakwaan yang ditujukan pada dirinya boleh menjadi alat

bukti yang sah, hal ini lah yang menjadi konsekuensi penggunaan kata

keterangan terdakwa sehingga hakim harus mendengarkan

penyangkalan dan pengakuan dari terdakwa.

Keterangan terdakwa yang dapat diambil sebagai alat bukti

yang sah harus mengandung beberapa asas, yaitu :

29

Andi Hamzah, Op.cit, Hal.278.

42

a. Keterangan terdakwa dinyatakan disidang pengadilan. Keterangan

terdakwa bisa menjadi alat bukti jika dikemukakan disidang

pengadilan, baik itu yang berbentuk penjelasan yang diutarakan

sendiri, penjelasan ataupun jawaban terdakwa yang diajukan

kepadanya oleh hakim, penuntut umum atau penasehat hukum baik

yang berbentuk penyangkalan ataupun pengakuan. Ada juga

keterangan terdakwa yang dikemukakan diluar persidangan seperti

pada waktu penyidikan dan penyelidikan di kepolisian dapat

digunakan untuk membantu untuk menemukan bukti disidang

asalkan keterangan didukung oleh suatu alat yang sah sepanjang

mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat (2)

Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana)

dan keterangan yang dinyatakan di luar sidang sepanjang mengenai

hal yang didakwakan kepadanya. Selain itu keterangan yang

diberikan haruslah dinyatakan di depan penyidik, dicatat dalam

berita acara penyidik, kemudian ditanda tangani oleh penyidik dan

terdakwa;

b. Keterangan terdakwa berisi tentang perbuatan yang ia lakukan atau

yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;

c. Keterangan terdakwa hanya mempunyai alat bukti terhadap diri

sendiri.

43

Mengenai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, bahwa

seperti alat bukti yang lainnya untuk menemukan kebenaran materiil

maka harus memenuhi Pasal 183 Undang-Undang No 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana yaitu paling tidak harus memenuhi batas

minimum pembuktian dengan 2 alat bukti yang sah, oleh karena itu pada

Pasal 189 (4) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana juga menjelaskan:

“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa

ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,

melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.”

Paling tidak dalam suatu tindak pidana selain keterangan

terdakwa harus ada satu alat bukti lain yang mendukung sehingga hakim

dapat mengambil putusan, selain itu dengan alat bukti tersebut timbul

keyakinan hakim atas tindak pidana tersebut bahwa terdakwa bersalah

atau tidak atas dakwaan yang ditujukan padanya. Kemudian sifat nilai

kekuatan pembuktiannya adalah bebas, maka dengan ini hakim tidak

terikat pada nilai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa atau

menyingkirkan kebenaran yang terkandung didalamnya, karena segala

sesuatunya harus ada alasan yang logis yang bisa diterima oleh hakim.

Alat bukti yang ada dalam Pasal 184 Undang-Undang No 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana tersebut dapat dihadirkan oleh terdakwa

dan juga oleh pihak kejaksaan. Alat bukti yang dihadirkan oleh terdakwa

biasanya terkait untuk meringankan hukuman terdakwa yang sering disebut

44

saksi yang meringankan sedangkan alat bukti yang dihadirkan oleh jaksa

terkesan memberatkan atau untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi

tindak pidana karena peran dari jaksa penuntut umum dalam persidangan

adalah sebagai wakil negara yang harus menyandarkan sikapnya kepada

kepentingan masyarakat dan negara sehingga sifatnya harus bersifat

obyektif. Selain itu dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan

keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan

terdakwalah yang melakukan tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut

hakim tidak menemukan keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa

dijadikan acuan untuk membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana.

Dalam pemeriksaan perkara pidana yang sifatnya ingin mengejar kebenaran

materiil agar terdakwa diperiksa jangan membawa-bawa orang lain yang

tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan untuk menghindari adanya

fitnah terhadap diri orang lain yang tak bersalah.

C. Informasi dan Transaksi Elektronik

1. Pengertian Informasi dan Transaksi Elektronik

Didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik terdapat perluasan dari pengertian alat bukti

(limitatif) yang terdapat di Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimaksud dengan

Informasi Elektronik adalah:

45

“satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas

pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data

interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks,

telecopy atau sejenisnya, huruf, angka, Kode Akses, symbol, atau

perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami

oleh orang yang mampu memahaminya.”

Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE), informasi

elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti

hukum yang sah. Yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap

informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau

disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau

sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui

komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,

suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,

kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat

dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.30

Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE), informasi

elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti

hukum yang sah. Yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap

informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau

disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau

30

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c47cc2381f7a/Talk!hukumonline-discussion. Diakses pada tanggal 21 September 2012.

46

sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui

komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,

suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,

kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat

dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.31

Menurut Pasal 5

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik yang sah sebagai berikut:

(1) Informasi dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat

bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah

apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam undang-undang ini.

(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk

tertulis; dan

b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus

dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat

pembuat akta.

2. Asas dan Tujuan Informasi dan Transaksi Elektronik

Dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik

dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian,

itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi

berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

31

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c47cc2381f7a/Talk!hukumonline-discussion. Diakses pada tanggal 21 September 2012.

47

Informasi dan Transaksi Elektronik. Dimana didalam penjelasan undang-

undang tersebut terdapat pengertian yang lebih rinci yaitu sebagai berikut:

a. Asas kepastian hukum yang berarti landasan hukum bagi pemanfaatan

Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala sesuatu yang

mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum

di dalam dan di luar pengadilan.

b. Asas manfaat yang berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi Informasi

dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung proses

berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

c. Asas kehati-hatian berarti landasan bagi pihak yang bersangkutan harus

memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian,

baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam pemanfaatan Teknologi

Informasi dan Transaksi Elektronik.

d. Asas itikad baik berarti asas yang digunakan para pihak dalam

melakukan Transaksi Elektronik tidak bertujuan untuk secara sengaja

dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak

lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut.

e. Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi berarti asas

pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik tidak

terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti

perkembangan pada masa yang akan datang.

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik, pemanfaatan Teknologi Informasi dan

Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:

a. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat

informasi dunia;

b. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam

rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

c. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;

d. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk

memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan

pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan

bertanggung jawab; dan

e. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi

pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.

48

3. Penyelenggaran Sistem Elektronik

Keberadaan barang bukti sangat penting dalam investigasi kasus-

kasus computer crime maupun computer-related crime karena dengan

barang bukti inilah investigator dan analis forensik dapat mengungkap

kasus-kasus tersebut dengan kronologis yang lengkap, untuk kemudian

melacak keberadaan pelaku dan menangkapnya. Oleh karena posisi barang

bukti ini sangat strategis, investigator dan analis forensik harus paham jenis-

jenis barang bukti. Adapun klasifikasi barang bukti menurut Muhammad

Nuh Al-Azhar sebagai berikut:

1. Barang bukti elektronik

Barang bukti ini bersifat fisik dan dapat dikenali secara visual,

sehingga investigator dan anlis forensik harus sudah memahami serta

mengenali masing-masing barang bukti elektronik ini ketika sedang

melakukan proses pencarian (searching) barang bukti di TKP. Jenis-

jenis barang bukti elektronik adalah sebagai berikut:

1) Computer PC, laptop/notebook, netbook, tablet;

2) Handphone, smartphone;

3) Flashdisk/thumb drive;

4) Floppydisk;

5) Harddisk;

6) CD/DVD;

7) Router, switch,hub;

8) Kamera video, CCTV;

9) Kamera digital;

10) Digital recorder;

11) Music/video player, dan lain-lain.

2. Barang bukti digital

Barang bukti ini bersifat digital yang idekstrak atau di-recover dari

barang bukti elektronik. Barang bukti ini dalam Undang-Undang

No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dikenal

dengan istilah informasi elektronik dan dokumen elektronik. Jenis

barang bukti inilah yang dicari oleh analis forensik untuk kemudian

dianalisis secara teliti keterkaitan masing-masing file dalam rangka

49

mengungkap kasus kejahatan yang berkaitan dengan barang bukti

elektronik. Berikut adalah contoh-contoh barang bukti digital.

a. Audio file, yaitu file yang berisikan suara, music, dan lain-lain,

yang biasanya berformat wav, mp3, dan lain-lain.

b. Video file, yaitu file yang memuat rekaman video, baik dari

kamera digital, handphone, handycam, maupun CCTV. File

video ini sangat memungkinkan memuat wajah pelaku kejahatan

sehingga file ini perlu dianalisis secara detail untuk memastian

bahwa yang ada di file tersebut dalah pelaku kejahatan.

c. Image file, yaitu file gambar digital yang sangat memungkinkan

memuat informasi-informasi penting yang berkaitan dengan

kamera dan waktu pembuatannya (time stamps).32

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa ada

perbedaan antara barang bukti elektronik dengan barang bukti digital.

Barang bukti elektronik berbentuk fisik, sementara barang bukti digital

memiliki isi yang bersifat digital.33

Tidak sembarang informasi elektronik/dokumen elektronik dapat

dijadikan alat bukti yang sah. Menurut Pasal 16 Undang-Undang No 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, suatu informasi

elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti

apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu

sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan

minimum, sehingga dapat:

32

Muhammad Nuh Al-Azhar. 2012. “Digital Forensic Panduan Praktis Investigasi Komputer”.

Jakarta: Salemba Infotek. Hal 27-29. 33

Ibid. Hal 29.

50

1. Menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen

elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan

dengan peraturan perundang-undangan;

2. Melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan

keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem

elektronik tersebut;

3. Beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam

penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan

bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang

bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

dan

5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,

kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Disamping itu, ada beberapa jenis dokumen yang tidak dapat

dijadikan sebagai alat bukti yang sah apabila dibuat dalam bentuk informasi

elektronik dan/atau dokumen elektronik berdasarkan Pasal 5 angka 4

Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik. Dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut:

1. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk

tertulis; dan

2. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus

dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat

pembuat akta.

Dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat ketentuan lain selain

yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik yang mensyaratkan bahwa suatu

informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum

51

didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat

dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Dalam penjelasan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik, hanya disebutkan bahwa surat yang

menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis itu meliputi

namun tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat

yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana dan

administrasi Negara.34

Dengan kata lain, kekuatan alat bukti tersebut sangat tergantung

pada keyakinan hakim sebagai pemutus perkara. Di lapangan, ada yang

mempersoalkan legalitasnya, tetapi ada juga yang menerima seperti

ungkapan yang pernah diucapkan oleh Taverne: Geed me goede rechter,

goede rechter commissarissen, goede officieren van justitie en goede politie

ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede

beruken. Beliau mengatakan bukan rumusan undang-undang yang menjamin

kebaikan pelaksanaan hukum acara pidana, tetapi hukum acara pidana yang

jelek pun dapat menjadi baik jika pelaksanaan ditangani oleh aparat penegak

hukum yang baik.35

34

http://arijuliano.blogspot.com/2008/04/apakah-dokumen-elektronik-dapat-menjadi.html. diakses pada tanggal 21 September 2012.

35 M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Dalam

Penyidikan dan penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 6.

52

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis normatif,

yaitu penelitian yang menggunakan legis positivis, yang menyatakan bahwa

hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh

lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsepsi ini memandang

hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas

dari kehidupan masyarakat.36

Sedangkan metode pendekatan yang digunakan

adalah:

1. Pendekatan PerUndang-Undang (Statute Approach)

Peneliti melihat hukum sebagai sistem tertutup yang memiliki sifat-sifat

Comprehensive adalah norma-norma hukum yang ada didalamnya terkait

satu dengan yang lainnya, All Inclusive adalah hukum tersebut cukup mampu

menampung permasalahan hukum yang ada sehingga tidak ada kekurangan

hukum, dan Systematic adalah disamping antar satu dengan yang lainnya,

norma hukum tersebut harus tersusun secara hierarkis.37

2. Pendekatan Kasus (Case Approach)

36

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Edisi Pertama Cetakan Ke-7, Jakarta,

Kencana, hal.37. 37

Ibid, hal. 19

52

53

Pendekatan kasus digunakan untuk mempelajari penerapan norma-norma

atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama kasus-

kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam

yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian.

Dalam suatu penelitian normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk

memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu

aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya

untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum.38

3. Pendekatan Analisis (Analitycal Approach)

Maksud utama analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui makna

yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan

perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui

penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum.39

B. Spesifikasi Penelitian

Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan

terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan

hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan

norma-norma hukum.40

38

Johnny Ibrahim. 2005. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia

Publishing. hlm 321. 39

Ibid., hlm 310-311. 40

Ibid, hal 22.

54

Dalam usaha memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun penulisan

hukum, maka akan dipergunakan spesifikasi penelitian Preskriptif. Spesifikasi

penelitian ini adalah Preskriptif, yaitu suatu penelitian yang menjelaskan keadaan

obyek yang akan diteliti melalui kaca mata disiplin hukum, atau sering disebut

oleh Peter Mahmud Marzuki sebagai yang seyogyanya.41

Soerjono Soekanto

menambahkan bahwa, penelitian preskriptif yaitu suatu penelitian yang

dimaksudkan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus

dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.42

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Purwokerto.

D. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, dan bahan hukum tersier untuk mendapatkan hasil yang

obyektif dari penelitian ini, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat

berupa peraturan per-Undang-Undangan yang berlaku.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer, antara lain pustaka di bidang

ilmu hukum, hasil penelitian di bidang hukum, artikel-arikel maupun

jurnal ilmiah, baik dari koran maupun internet.

41

Ibid, hal. 91 42

Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal. 10.

55

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data akan dilakukan dengan cara studi kepustakaan dengan

menginventarisir peraturan PerUndang-Undangan , dokumen-dokumen resmi,

hasil penelitian, makalah, dan buku-buku yang berkaitan dengan materi yang

menjadi objek penelitian untuk selanjutnya dipelajari dan dikaji sebagai satu

kesatuan yang utuh.

F. Metode Penyajian Data

Data yang berupa bahan-bahan hukum yang diperoleh kemudian akan disajikan

dalam bentuk teks naratif , uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis

dan rasional. Keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan

yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga

merupakan satu kesatuan yang utuh.

G. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis menggunakan metode

analisis normatif kualitatif, yaitu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut logis,

tidak tumpang tindih dan efektif, kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan

hasil pembahasan diambil kesimpulan secara induktif sebagai jawaban terhadap

permasalahan yang diteliti. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji dalam hal ini

memberikan pendapatnya bahwa normatif kualitatif yaitu dilakukan dengan cara

menjabarkan data-data yang diperoleh berdasarkan norma-norma hukum, teori-

56

teori, serta doktrin hukum dan kaidah yang relevan dengan pokok

permasalahan.43

43

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 2010. Hal 98.

57

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian diperoleh data sebagai berikut:

1. Duduk Perkara:

Berawal pada hari Kamis tanggal 1 Maret 2012 sekitar jam 09.30

WIB, terdakwa yaitu Y.I berkumpul dengan A.N., L.K., dan A.B. disamping

SPBU Ovis Isdiman Purwokerto Kabupaten Banyumas untuk membagi

tugas, dimana A.N. bertugas masuk kedalam ATM dan mengganjal dengan

korek api, dan terdakwa bertugas untuk memasang stiker diatas mesin ATM,

kemudian L.K. bertugas mengawasi mesin ATM setelah memasang korek

api dan stiker, sedangkan A.B. bertugas yang menyarankan agar setelah

kartu ATM tersangkut untuk menghubungi call center yang ada di stiker dan

selanjutnya A.N. yang menjawabnya.

Setelah pembagian tugas masing-masing dilaksanakan kemudian

sekitar jam 10.00 WIB datang saksi korban W.S. hendak mengambil uang

yang ada di ATM BII. Ketika saksi korban W.S. hendak mengambil uang,

terdapat gangguan karena kartu ATM tidak dapat keluar dan tiba-tiba masuk

teman Terdakwa A.B. menyarankan agar menghubungi nomor HP yang

tertera pada stiker di mesin ATM, setelah itu saksi korban menghubungi

57

58

nomor tersebut dan disuruh mengikuti panduan untuk mengeluarkan kartu

ATM, dan saksi korban W.S. mengikuti panduan tersebut namun tidak

berhasil, kemudian A.N. (DPO) meminta segera melakukan pemblokiran

kartu ATM dan meminta data pribadi termasuk nomor PIN kartu ATM

selanjutnya saksi korban W.S. memberikan nomor PIN kartu ATM tersebut.

Bahwa kemudian setelah saksi korban W.S. menunggu beberapa

saat, petugas yang teknisi dari BII tidak datang juga , dan saksi korban W.S.

masuk kembali kedalam, stiker bertuliskan nomor call center yang

sebelumnya terpasang di mesin ATM BII sudah tidak ada dan melihat kartu

ATM BII miliknya sudah tidak ada didalam mesin ATM.

Bahwa selanjutnya saksi korban W.S. melaporkan kepada pihak

BII, komplain terhadap kartu ATM miliknya yang sudah hilang dan

melakukan pemblokiran, selanjutnya pihak BII membuat surat komplain dari

saksi korban W.S. dan melakukan pemblokiran terhadap kartu ATM, setelah

di printout rekening tabungan milik saksi korban W.S. yang semula

berjumlah Rp. 1.556.762,- (satu juta lima ratus lima puluh lima enam ribu

tujuh ratus enam puluh dua rupiah) berkurang hingga saldo terakhir menjadi

Rp. 96.762,- (Sembilan puluh enam ribu tujuh ratus enam puluh dua

rupiah).

Bahwa kemudian pada hari Rabu tanggal 28 Maret 2012 sekitar jam

10.00 WIB di ATM BII SPBU Ovis Isdiman Purwokerto terdakwa bersama-

sama dengan temannya A.N., L.K., A.B. melakukan kembali perbuatannya,

59

yaitu pada saat saksi korban A.S. hendak melakukan transaksi pengambilan,

saat hendak menekan nomor PIN ATM nya, muncul tulisan dilayar “mesin

tidak dapat digunakan” dan kemudian berusaha mengeluarkan kartu ATM

tersebut namun tidak berhasil, tiba-tiba datang teman terdakwa A.B. masuk

dan menyarankan agar menghubungi call center teknisi yang ada pada stiker

di mesin ATM BII lalu teman terdakwa A.B. keluar dari kamar ATM.

Setelah saksi korban A.S. menghubungi nomor telepon yang tertera

pada stiker, lalu datang petugas dari BII yaitu saksi Arif dan saksi Didik

yang menyarankan agar tetap berbicara sampai teman Terdakwa A.N. (DPO)

tersebut meminta nomor PIN, dan saksi korban A.S. memberikan nomor PIN

palsu.

Setelah saksi korban A.S. selesai berbicara kemudian datang

terdakwa menuju kamar ATM BII tersebut, berusaha untuk mengeluarkan

kartu ATM milik saksi korban A.S. namun tidak berhasil, dan perbuatan

terdakwa diketahui oleh saksi Arif dan saksi Didit kemudian dilakukan

penangkapan terhadap terdakwa berikut barang bukti berupa 1 buah kartu

ATM BII guna pemeriksaan lebih lanjut.

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum:

Dakwaan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam

perkara Nomor: 85/Pid.B/2012/PN.Pwt. adalah dakwaan Alternatif. Adapun

dakwaan sebagai berikut:

60

DAKWAAN PERTAMA:

Bahwa Y.I. bersama-sama dengan A.N., L.K., A.B., pada hari Kamis

Tanggal 1 Maret 2012 sekitar jam 10.00 WIB setidak-tidaknya pada suatu

waktu dalam bulan Maret Tahun 2012 bertempat di ATM BII SPBU Ovis

Isdiman Purwokerto Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya pada suatu

tempat lain masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri

Purwokerto yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini,

mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan

orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum,

yang dlakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, atau,

DAKWAAN KEDUA:

Bahwa Y.I. bersama-sama dengan A.N., L.K., A.B., pada hari Kamis

Tanggal 1 Maret 2012 sekitar jam 10.00 WIB setidak-tidaknya pada suatu

waktu dalam bulan Maret Tahun 2012 bertempat di ATM BII SPBU Ovis

Isdiman Purwokerto Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya pada suatu

tempat lain masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri

Purwokerto yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, dengan

maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu,

dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, mengerakan

orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya

61

member hutang maupun menghapuskan piutang, yang melakukan,

yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan.

3. Pembuktian

Hakim dalam perkara ini memeriksa beberapa alat bukti dan barang

bukti di persidangan, yaitu:

1. Alat Bukti Saksi

a. Saksi A.H.

- Bahwa saksi pernah diperiksa di Kepolisian dan keterangan

yang saksi berikan sudah benar dan saksi diperiksa oleh Polisi

karena saksi tahu adanya pengganjalan di mesin ATM BII yang

berlokasi di SPBU Ovis Isdiman Purwokerto.

- Bahwa saksi bekerja di BII cabang Purwokerto.

- Bahwa kejadian tersebut pada hari Rabu 28 Maret 2012, di

lokasi SPBU Ovis Isdiman Purwokerto.

- Bahwa keterangan saksi sama dengan saksi ke 1 D.K., karena

saksi satu team dari Bank BII yang mendapat tugas dari

pimpinan.

- Bahwa pada saat saksi menangkap terdakwa, terdakwa bilang

mau ambil ATMnya yang bermasalah.

- Bahwa saksi menanyakan kartu ATMnya dan terdakwa

memperlihatkan ATM BII tapi tidak bisa keluar masih didalam

mesin.

62

- Bahwa sebelum saksi A.S. ada orang lain yang ambil di ATM

BII tersebut tetapi tidak bisa.

- Bahwa saksi melihat ada kartu ATM milik A.S. (saksi 1).

- Bahwa benar dilayar monitor ATM ditempel stiker nomor

telepon pengaduan dan sudah ketahuan yang memasang adalah

terdakwa sendiri.

- Bahwa benar terdakwa orang yang diperlihatkan Hakim adalah

terdakwa yang saksi tangkap.

- Bahwa ATM BII bisa ke jaringan apa saja.

- Bahwa pada saat saksi menerima laporan, nasabah bilang

ATMnya terganjal.

- Bahwa saksi melihat memang kartu terganjal, akan tetapi tidak

terlihat terganjal.

- Bahwa saksi menyita dari terdakwa kartu ATM BII yang sudah

matimilik terdakwa dan saksi mencurigai terdakwa sejak

tertangkap.

- Bahwa saksi tahu terdakwa yang memasang stiker di layar

ATM, melihat dari CCTV di ATM dan saksi juga melihat

terdakwa memasang stiker di ATM BRI.

- Bahwa saksi tahu terdakwa memasang stiker di ATM BRI saksi

diperlihatkan oleh Polisi dari CCTV yang ada di Kepolisian

ternyata terlihat terdakwa yang memasang stiker di ATM BRI.

63

- Bahwa pada saat saksi menangkap terdakwa, terdakwa sudah

membawa ATM BII yang dijadikan sebagai barang bukti.

b. Saksi S.A.

- Bahwa saksi pernah diperiksa di Kepolisian dan keterangan

yang saksi berikan sudah benar.

- Bahwa saksi bekerja di BII Cabang Purwokerto dan bekerja di

di bagian OB yang tugasnya sehari-hari adalah jadwal rutin

bergantian setiap seminggu sekali dengan B.D.dan A.D.(bukan

saksi) dengan jadwal kegiatan sekitar pukul 06.00 WIB datang

kekantor BII Cabang Purwokerto untuk membersihkan ruangan

kantor dan mesin ATM di SPBU Ovis Isdiman Purwokerto.

- Bahwa saksi membersihkan mesin ATM BII cabang

Purwokerto di lokasi ATM Ovis Isdiman sekitar pukul 08.00

WIB, pukul 10.00 WIB, pukul 13.00 WIB, dan ukul 15.00

WIB, di ATM Moro pukul 08.15 WIB dan pukul 15.15 WIB, di

mesin ATM Sri Ratu pukul 08.30 WIB dan 15.30 WIB.

- Bahwa saksi tahu kejadian tersebut saat itu saksi dilapori oleh

salah satu nasabah yang katanya ATMya macet.

- Bahwa setelah saksi mendapat laporan, saksi menelepon

melaporkan ke kantor Bank BII cabang Purwokerto ke bagian

ATM BII.

64

- Bahwa saksi melihat ada CCTV di ruang mesin ATM bagian

sebelah barat.

- Bahwa benar hasil yang diperlihatkan di CCTV adalah benar

terdakwa yang melakukan.

- Bahwa benar baju, sepatu yang diperlihatkan di muka

persidangan adalah yang dipakai terdakwa waktu itu.

- Bahwa pada saat saksi diperlihatkan oleh Polisi hasil CCTV di

ATM Bank BRI, orangnya sama dengan terdakwa.

- Bahwa saksi melihat pada saat terdakwa diatangkap, terdakwa

memegang ATM tersebut.

c. Saksi A.I.

- Bahwa saksi pernah diperiksa di Kepolisian dan keterangan

yang saksi berikan sudah benar, dan saksi dijadikan saksi

karena saksi mendapat SMS Gesper diaman ada mesin ATM

yang trobel.

- Bahwa saksi bekerja di Bank BII cabang Purwokerto dibagian

ITE sudah 9 tahun.

- Bahwa tugas dan tanggung jawab saksi di Bank cabang

Purwokerto adalah tentang hardware, software, komunikasi

data, intrastruktur, ATM dan pelatihan

65

- Bahwa saksi pernah mendatangi ATM di lokasi SPBU Ovis

Isdiman Purwokerto karena saksi menerima laporan mengenai

kartu ATM yang menyangkut.

- Bahwa setelah saksi mendapat laporan, saksi mendatangi

lokasi, setelah saksi sampai di TKP saksi ketemu D.K., Agus,

Arif dan Jito semuanya karyawan BII Purwokerto (team ATM)

serta korban (W.S.) selanjutnya saksi melihat seorang laki-laki

(sebagaimana terekam file CCTV) dan saksi membuka lemari

CCTV pada mesin ATM tersebut untuk mengambil video

rekaman, setelah rekaman diputar dihadapan pelaku dan

petugas/Anggota Reskrim Polsek Purwokerto Timur, benar

bahwa seorang laki-laki yang telah diamankan sama dan cocok

dengan rekaman, selanjutnya pelaku diamankan oleh

petugas/Reskrim Polsek Purwokerto Timur.

- Bahwa saksi melihat terdakwa yang melakukan pengganjalan

ATM dan pemasangan stiker palsu di ATM dari CCTV dan

saksi melihat di CCTV terdakwa masuk ruang mesin ATM

tersebut dua kali dengan jarak 10 menit sampai 15 menit.

- Bahwa saksi melihat pelkunya di CCTV ada 4 orang pelaku.

- Bahwa pada waktu penangkapan terdakwa sendirian.

- Bahwa dari kejadian tersebut awalnya saksi tidak mengetahui

ada uang yang terambil, setelah nasabah BII KC Purwokerto

66

An. W.S. yang pada saat transaksi dimesin ATM SPBU Ovis

Isdiman Purwokerto kartu ATM nya tersangkut pada tanggal 1

Maret 2012, dan setelah korban mengecek ternyata saldonya

hilang Rp. 1.450.000,--.

- Bahwa saksi membenarkan baju dan sepatu yang diperlihatkan

dimuka persidangan adalah yang dipakai oleh terdakwa waktu

tertangkap.

2. Keterangan Terdakwa

Menimbang, bahwa dipersidangan telah didengarkan

keterangan Terdakwa yang pada pokoknya menerangkan sebagai

berikut:

- Bahwa terdakwa pernah diperiksa di Kepolisian dan keterangan

yang terdakwa berikan sudah benar.

- Bahwa terdakwa diperiksa karena ada permasalahan terdakwa

bersama teman-teman melakukan pengganjalan di ATM BII.

- Bahwa teman-teman terdakwa adalah A.N., L.K. dan A.B..

- Bahwa yang punya ide untuk mengambil uang di ATM dengan cara

merusak/mengganjal mesin ATM adalah A.N..

- Bahwa sasaran yang terdakwa dan teman terdakwa tuju di ATM BII

Pom Bensin Jl. Ovis Isdiman Purwokerto.

- Bahwa yang masuk pertama memasang batang korek api pada

mesin ATM adalah A.N..

67

- Bahwa kejadiannya pertama tanggal 1 Maret 2012 dan yang kedua

pada tanggal 28 Maret 2012.

- Bahwa terdakwa ketahuan karena ada orang masuk ke ATM BII

tersebut.

- Bahwa terdakwa ditangkap pada tanggal 28 Maret 2012 sekitar

pukul 10.00 WIB di ATM BII di Pom Bensin Jl. Ovis Isdiman

Purwokerto.

- Bahwa ATM yang terganjal masih berada di mesin ATM dan

terdakwa tidak bisa mengambil.

- Bahwa terdakwa tidak tahu teman-teman terdakwa yang bernama

A.N., L.K. dan A.B. kemana perginya.

- Bahwa dalam melakukan kejahatan ini terdakwa bertugas

mengambil uang di ATM apabila sudah berhasil mengambil kartu

ATMnya.

- Bahwa terdakwa bersama teman-temannya mengambil kartu ATM

yang terganjal di mesin dengan cara membongkar mesin ATM

pakai alat.

- Bahwa terdakwa bersama teman-temannya berhasil mengambil

uang ATM pada kejadian tanggal 1 Maret 2012.

- Bahwa uang yang berhasil diambil pada waktu itu oleh terdakwa

dan teman-temannya sejumlah Rp. 1.450.000,--.

68

- Bahwa uang yang diambil sudah habis dibagi-bagi dengan teman-

temannya dan terdakwa mendapat bagian Rp. 200.000,-- dan

selebihnya untuk dipergunakan bersama.

- Bahwa kejadian pada tanggal 28 Maret 2012 belum berhasil dan

terus ketangkap.

- Bahwa yag menyuruh korban menghubungi No. Call Center yang

ada di mesin ATM BII tersebut adalah teman terdakwa bukan

terdakwa.

- Bahwa pada saat ditangkap terdakwa sudah tidak pegang uang,

uangnya sudah habis.

- Bahwa terdakwa sudah pernah dihukum di LP Kebonwaru

Bandung, karena masalah penipuan cek kosong.

- Bahwa teman-teman terdakwa bernama A.N. bertugas memasang

ganjal di mesin ATM, L.K. serta A.B. mengawasi dari luar mesin

ATM.

- Bahwa benar terdakwa telah mengambil uang di ATM BRI

Purwokerto, dan sudah dua kali mengambil bersama teman-

temannya.

3. Barang Bukti

Menimbang, bahwa Penuntut Umum dipersidangan telah

mengajukan barang bukti berupa:

69

1. 1 (satu) buah kartu ATM BII @ May bank

Nomor:5104811022101772 warna merah.

2. 1 (satu) buah baju hem warna abu-abu tua merek “GUESS”, 1

(satu) pasang sepatu merek FINZONI warna hitam berikut kaos

kakinya warna hitam dikembalikan kepada terdakwa.

3. 1 (satu) buah handphone merek Nokia warna hitam silver tipe 2330

C, 1 (satu) lembar stiker berlogo BII @ Maybank bertuliskan

“CALL CENTER TEKNISI HUB: 08212012342”, 4 (empat)

batang potongan batang korek api; dirampas untuk dimusnakan.

4. 1 (satu) buah kartu kredit warna kuning emas nomor: 5452 9902 51

3001 An.SIWI CHANDRA I; dikembalikan kepada saksi korban

A.S..

5. 2 (dua) buah copy CD CCTV ATM BII SPBU Ovis Isdiman

Purwokerto tertanggal 1 Maret 2012 dan 28 Maret 2012, 1 (satu)

copy CD CCTV ATM BII SPBU Ovis Isdeman Pruwokerto

tertanggal 1 Maret 2012, 1 (satu) lembar keterangan dari BII

Purwokerto dikembalikan kepada BII cabang Purwokerto melalui

saksi Didik Budi Hasyono.

B. Pembahasan

1. Alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor

:85/Pid.B/2012/PN.Pwt jika dikaitkan terhadap Pasal 184 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

70

Keberadaan barang bukti sangat penting dalam investigasi kasus-

kasus computer crime maupun computer-related crime karena dengan

barang bukti inilah investigator dan analis forensik dapat mengungkap

kasus-kasus tersebut dengan kronologis yang lengkap, untuk kemudian

melacak keberadaan pelaku dan menangkapnya. Oleh karena posisi barang

bukti ini sangat strategis, investigator dan analis forensik harus paham jenis-

jenis barang bukti. Adapun klasifikasi barang bukti menurut Muhammad

Nuh Al-Azhar44

sebagai berikut:

3. Barang bukti elektronik

Barang bukti ini bersifat fisik dan dapat dikenali secara visual, sehingga

investigator dan anlis forensik harus sudah memahami serta mengenali

masing-masing barang bukti elektronik ini ketika sedang melakukan

proses pencarian (searching) barang bukti di TKP. Jenis-jenis barang

bukti elektronik adalah sebagai berikut:

1) Computer PC, laptop/notebook, netbook, tablet;

2) CD/DVD;

3) Kamera video, CCTV;

4) Kamera digital;

5) Digital recorder;

6) Music/video player, dan lain-lain.

4. Barang bukti digital

Barang bukti ini bersifat digital yang idekstrak atau di-recover dari

barang bukti elektronik. Barang bukti ini dalam Undang-Undang No.11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dikenal dengan

istilah informasi elektronik dan dokumen elektronik. Jenis barang bukti

inilah yang dicari oleh analis forensik untuk kemudian dianalisis secara

teliti keterkaitan masing-masing file dalam rangka mengungkap kasus

kejahatan yang berkaitan dengan barang bukti elektronik. Berikut adalah

contoh-contoh barang bukti digital.

a. Audio file, yaitu file yang berisikan suara, music, dan lain-lain, yang

biasanya berformat wav, mp3, dan lain-lain.

44

Muhammad Nuh Al-Azhar. 2012. “Digital Forensic Panduan Praktis Investigasi Komputer”.

Jakarta: Salemba Infotek. Hal 27-29.

71

b. Video file, yaitu file yang memuat rekaman video, baik dari kamera

digital, handphone, handycam, maupun CCTV. File video ini

sangat memungkinkan memuat wajah pelaku kejahatan sehingga

file ini perlu dianalisis secara detail untuk memastian bahwa yang

ada di file tersebut dalah pelaku kejahatan.

c. Image file, yaitu file gambar digital yang sangat memungkinkan

memuat informasi-informasi penting yang berkaitan dengan kamera

dan waktu pembuatannya (time stamps).45

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa ada

perbedaan antara barang bukti elektronik dengan barang bukti digital.

Barang bukti elektronik berbentuk fisik, sementara barang bukti digital

memiliki isi yang bersifat digital.46

Dalam perkara Nomor:

85/PID.B/2012/PN.PWT terdapat barang bukti yaitu 3 buah CD berupa hasil

rekaman CCTV yang telah diekstrak dan dimuat dalam bentuk kepingan CD

yang berdasarkan penjelasan diatas termasuk kedalam jenis barang bukti

elektronik dan data ekstrakannya yang berupa video file yang berupa hasil

rekaman CCTV merupakan barang bukti digital.

Walaupun demikian, menurut Hakim Mohammed Chawki47

dari

Komputer Crime Research Center mengklasifikasikan bukti elektronik

menjadi 3 (tiga) kategori, sebagai berikut.

a. Real Evidence atau Physical Evidence

Bukti yang terdiri dari objek nyata atau berwujud yang dapat dilihat dan

disentuh. Real evidence juga merupakan bukti lansgung berupa rekaman

otomatis yang dihasilkan oleh komputer itu sendiri dengan menjalankan

45

Ibid. Hal 27-29. 46

Ibid. Hal 29. 47

http://tansrik.blogspot.com/2009/12/usulan-peneltian-kekuatan-pembuktian.html diakses pada

tanggal 1 Maret 2013.

72

software dan receipt dari informasi yang diperoleh dari alat yang lain,

misalnya computer log files.48

b. Testamentary Evidence

Dikenal dengan istilah hearsay evidence, dimana keterangan dari saksi

maupun ahli dapat diberikan selama persidangan, berdasarkan

pengalaman dan pengamatan individu. Perkembangan ilmu dan

teknologi sedikit banyak membawa dampak terhadap kualitas metode

kejahatan, memaksa kita untuk mengimbanginya dengan kualitas dan

metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan keahlian (skill

and knowledge).49

Kedudukan seorang ahli dalam memperjelas tindak

pidana yang terjadi serta menerangkan atau memperjelas bukti

elektronik sangat penting dalam memberikan keyakinan hakim dalam

memutus perkara kejahatan.

c. Circumstantial Evidence

Bukti elektronik terperinci yang diperoleh beradasarkan ucapan atau

pengamatan dari kejadian sebenarnya yang mendorong untuk

mendukung suatu kesimpulan, tetapi bukan untuk membuktikannya.

Circum evidence merupakan kombinasi dari real evidence dan hearsay

evidence.

Dari pendapat Hakim Mohammed Chawki lebih memperjelas

bahwa barang bukti kepingan CD rekaman CCTV yang terdapat dalam

perkara putusan Nomor: 85/PID.B/2012/PN.PWT yang merupakan barang

bukti elektronik, karena hasil ekstrakannya merupakan bukti langsung yang

berupa rekaman kronologi berlangsungnya kejadian pembobolan ATM

tersebut yang berupa video file yang merupakan barang bukti digital yang

termasuk kedalam kategori real evidence.

Pembuktian terhadap suatu tindak pidana akan selalu berkaitan

dengan alat bukti. Namun demikian, tidak ditemukan suatu definisi khusus

48

Edmon Makarim, Tindak Pidana Terkait dengan Komputer dan Internet: Suatu Kajian Pidana

Materiil dan Formil, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia, FHUI, Jakarta,

12 April 2008. 49

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I dan II, (Jakarta:

Sinar Grafika), hlm. 297.

73

mengenai apa itu alat bukti, namun secara umum yang dimaksud dengan

alat bukti adalah alat bukti yang tercanturn dalam Pasal 184 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai berikut:

(1) Alat bukti yang sah ialah:

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan

Fungsi dari alat bukti itu sendiri adalah untuk membuktikan adalah

benar terdakwa yang melakukan tindak pidana dan untuk itu terdakwa harus

mempertanggungiawabkan perbuatannya. Apabila berdasarkan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, maka yang

dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai "kekuatan

pembuktian" hanya terbatas kepada alat bukti yang tercantum dalam Pasal

184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana. Dengan kata lain, sifat dari alat bukti menurut Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah limitatif atau

terbatas pada yang ditentukan saja, sehingga apabila ada barang bukti yang

tidak termasuk dalam klasifikasi alat bukti menurut pasal 184 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maka

barang bukti tersebut tidak sah menurut Undang-Undang tersebut. Seiring

berkembangnya teknologi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana mengenai alat bukti sudah tidak dapat lagi mengikuti

74

pesatnya perkembangan jaman. Oleh karena itu, diundangkannya Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik terdapat perluasan dari pengertian alat bukti

(limitatif) yang terdapat di Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk

setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun

di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah

hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan

kepentingan Indonesia.50

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan definisi

mengenai apa yang dimaksud dengan Informasi Elektronik, yaitu:

“satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada

tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange

(EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau

sejenisnya, huruf, angka, Kode Akses, symbol, atau perforasi yang telah

diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

memahaminya.”

Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa:

50

http://selalucintaindonesia.wordpress.com/2013/01/15/undang-undang-informasi-dan-transaksi-

elektronik/ diakses pada tanggal 1 Maret 2013

75

“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

cetaknya... merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan

Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.”

Ketentuan ini menegaskan bahwa alat bukti elektronik telah

diterima dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia di berbagai

peradilan, seperti peradilan pidana, perdata, agama, militer, tata usaha

negara, mahkamah konstitusi, termasuk arbitrase.51

Pemahaman “perluasan” tersebut haruslah dihubungkan dengan

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik. Perluasan yang dimaksud ialah sebagai berikut:

1. Memperluas jumlah alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana diatur 5

(lima) alat bukti. Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 maka alat bukti dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana ditambah satu alat bukti yaitu Alat Bukti

Informasi dan Transaksi Elektronik.

2. Memperluas cakupan alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang No

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hasil cetak dari Informasi

Elektronik atau Dokumen Elektronik secara hakiki ialah surat. Alat

51

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt502a53fad18dd/legalitas-hasil-cetak-tweet-sebagai-alat-bukti-penghinaan diakses pada tanggal 1 Maret 2013.

76

bukti surat telah diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana.

3. Perluasan juga dimaksudkan bahwa Informasi Elektronik atau Dokumen

Elektronik dapat dijadikan sumber petunjuk sebagaimana dimungkinkan

dalam beberapa Undang-Undang.52

Berdasarkan penjelasan diatas, ketentuan ini telah menegaskan

bahwa alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik yang berupa barang

bukti elektronik pada perkara Nomor : 85/Pid.B/2012/PN.Pwt yaitu 3 (tiga)

keping CD rekaman CCTV merupakan alat bukti yang berdiri sendiri atau

lebih tepatnya Lex Specialis Derogat legi Generalie dari pasal 184 Undang-

Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, hal ini juga

diperkuat pada Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa informasi elektronik dan

dokumen elektronik merupakan alat bukti lain, selain alat bukti yang

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang sudah

ada, sedangkan barang bukti digital berupa video file yang akan dilakukan

proses hashing untuk melihat keaslian dari suatu file maka banyak ahli yang

menyatakan bahwa hash sebagai digital fingerprint (sidik jari digital), hasil

dari proses tersebut akan dicetak menjadi alat bukti surat sebagai bukti

keotentikan dari alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut.

52

http://warungcyber.web.id/?p=84 diakses pada tanggal 1 Maret 2013

77

Apa yang dimaksud dengan digital signature/digital fingerprint

bukan merupakan digitized image of handwritten signature. Tanda Tangan

Elektronik (TTE) bukan tanda tangan yang dibubuhkan diatas kertas

sebagaimana lazimnya suatu tanda tangan. Tanda Tangan Elektronik adalah

tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan,

terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan

sebagai alat verifikasi dan autentikasi53

, agar suatu barang bukti elektronik

untuk dapat dikatagorikan alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik

yang sah.

Dalam pemanfaatannya, teknologi informasi dan transaksi

elektronik harus dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat,

kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral

teknologi berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dimana didalam penjelasan

undang-undang tersebut terdapat pengertian yang lebih rinci yaitu sebagai

berikut:

a. Asas kepastian hukum yang berarti landasan hukum bagi pemanfaatan

Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala sesuatu yang

mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum

di dalam dan di luar pengadilan.

b. Asas manfaat yang berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi Informasi

dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung proses

berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

53

Soemarno Partodihardjo. 2009. “Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang No.11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 86.

78

c. Asas kehati-hatian berarti landasan bagi pihak yang bersangkutan harus

memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian,

baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam pemanfaatan Teknologi

Informasi dan Transaksi Elektronik.

d. Asas itikad baik berarti asas yang digunakan para pihak dalam

melakukan Transaksi Elektronik tidak bertujuan untuk secara sengaja

dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak

lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut.

e. Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi berarti asas

pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik tidak

terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti

perkembangan pada masa yang akan datang.

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik, pemanfaatan Teknologi Informasi dan

Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:

a. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat

informasi dunia;

b. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam

rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

c. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;

d. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk

memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan

pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung

jawab; dan

e. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna

dan penyelenggara Teknologi Informasi.

Beberapa manfaat dari Undang-Undang. No 11 Tahun 2008 tentang

(ITE), diantaranya:

1. Menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi

secara elektronik.

2. Mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia

3. Sebagai salah satu upaya mencegah terjadinya kejahatan berbasis

teknologi informasi

79

4. Melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi

informasi.54

Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE), informasi

elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti

hukum yang sah. Yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap

informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau

disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau

sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui

komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,

suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,

kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat

dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.55

Menurut Pasal 5

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik yang sah sebagai berikut:

(1) Informasi dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat

bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah

apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam undang-undang ini.

(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk

tertulis; dan

b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus

dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat

pembuat akta.

54

http://christinamoetz.blogspot.com/2013/03/jelaskan-keterbatasan-uu-telekomunikasi.html diakses pada tanggal 1 Maret 2013.

55http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c47cc2381f7a/Talk!hukumonline-discussion.

Diakses pada tanggal 21 September 2012.

80

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik memberikan dasar penerimaan alat bukti elektronik

dalam hukum acara di Indonesia. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan

dasar hukum bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

dan/atau hasil cetaknya ialah merupakan alat bukti hukum yang sah. Dari

ketentuan ini maka alat bukti dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu:

1. Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik

2. Hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik

Tidak sembarang informasi elektronik/dokumen elektronik dapat

dijadikan alat bukti yang sah. Menurut Pasal 16 Undang-Undang No 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, suatu informasi

elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti

apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu

sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan

minimum, sehingga dapat:

1. Menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen

elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan

dengan peraturan perundang-undangan;

2. Melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan

keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem

elektronik tersebut;

3. Beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam

penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan

bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang

bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan

5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,

kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Dengan diterapkannya unsur informasi maupun dokumen elektronik

yang mana melalui mekanisme sistem elektronik yang ketentuannya telah

81

diatur tersebut, maka sudahlah cukup memenuhi sebagai alat bukti yang sah

di persidangan melalui penerapan Undang-Undang No 11 Tahun 2008

tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik lebih-lebih jika digunakan

bersamaan dengan alat bukti lain dalam Pasal 184 Undang-Undang No 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.56

Disamping itu, ada beberapa jenis dokumen yang tidak dapat

dijadikan sebagai alat bukti yang sah apabila dibuat dalam bentuk informasi

elektronik dan/atau dokumen elektronik berdasarkan Pasal 5 ayat (4)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik. Dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut:

1. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;

dan

2. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat

dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat

akta.

Dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat ketentuan lain selain

yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik yang mensyaratkan bahwa suatu

informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum

56

http://tersaji.blogspot.com/2012/06/pengaruh-uu-no-11-tahun-2008-tentang.html diakses pada tanggal 1 Maret 2013.

82

didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat

dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Dalam penjelasan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik, hanya disebutkan bahwa surat yang

menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis itu meliputi

namun tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat

yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana dan

administrasi Negara.57

Berdasarkan penjelasan diatas maka dalam perkara Putusan Nomor

: 85/Pid.B/2012/PN.Pwt terdapat 3 (tiga) keping CD rekaman CCTV yang

termasuk klasifikasi barang bukti elektronik yang hasil rekaman dapat

diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat

dipertanggungjawabkan berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik termasuk alat bukti

Informasi dan Transaksi Elektronik yang sah yang berdiri sendiri yang

diperkuat oleh pasal 44 Undang-Undang tersebut, sedangkan barang bukti

digital berupa video file yang menjelaskan mengenai kronologis terjadinya

tindak pidana pembobolan ATM tersebut yang didalamnya terekam

terdakwa bersama teman-temannya, barang bukti yang digunakan, serta

korban akan dilakukan proses hashing untuk melihat keaslian atau

57

http://arijuliano.blogspot.com/2008/04/apakah-dokumen-elektronik-dapat-menjadi.html.

diakses pada tanggal 21 September 2012.

83

keotentikan suatu alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut

yang kemudian hasilnya dicetak dalam bentuk surat, yang termasuk dalam

alat bukti surat yang terdapat didalam Pasal 184 Undang-Undang No 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

2. Kekuatan alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Tindak

Pidana Pencurian dengan pembobolan ATM terhadap Putusan Nomor :

85/Pid.B/2012/PN.Pwt.

Dalam perkara Nomor: 85/Pid.B/2012/PN.Pwt terdapat beberapa

barang bukti berupa 1 (satu) buah kartu ATM BII @ May bank

Nomor:5104811022101772 warna merah, 1 (satu) buah baju hem warna

abu-abu tua merek “GUESS”, 1 (satu) pasang sepatu merek FINZONI warna

hitam berikut kaos kakinya warna hitam dikembalikan kepada terdakwa, 1

(satu) buah handphone merek Nokia warna hitam silver tipe 2330 C, 1 (satu)

lembar stiker berlogo BII @ Maybank bertuliskan “CALL CENTER

TEKNISI HUB: 08212012342”, 4 (empat) batang potongan batang korek

api; dirampas untuk dimusnakan, 1 (satu) buah kartu kredit warna kuning

emas nomor: 5452 9902 51 3001 An.SIWI CHANDRA I; dikembalikan

kepada saksi korban A.S., dan 2 (dua) buah copy CD CCTV ATM BII

SPBU Ovis Isdiman Purwokerto tertanggal 1 Maret 2012 dan 28 Maret

2012, 1 (satu) copy CD CCTV ATM BII SPBU Ovis Isdeman Pruwokerto

tertanggal 1 Maret 2012, 1 (satu) lembar keterangan dari BII Purwokerto

84

dikembalikan kepada BII cabang Purwokerto melalui saksi Didik Budi

Hasyono.

Barang bukti yang dimaksud adalah barang bukti yang ada dan

ditemukan di TKP (Tempat Kejadian Perkara) pidana yang berkaitan

langsung mengenai tindak pidana yang terjadi kemudian diteliti lebih lanjut

oleh tim penyidik baik melalui pemeriksaan barang-barang yang ada di TKP.

Pada akhirnya ditemukan kesimpulan sementara mengenai proses terjadinya

tindak pidana dan penyidik dapat menemukan orang yang disangka

melakukan tindak pidana. Setelah ditemukan maka dilakukan penyitaan

terhadap barang bukti yang ditemukan di TKP oleh penyidik untuk diselidiki

lebih lanjut oleh tim ahli kepolisian yang berwenang.

Para ahli mencoba untuk mencari definisi mengenai barang bukti

dalam hukum acara pidana agar mempunyai batasan dan apa saja yang dapat

dikategorikan sebagai barang bukti.

a. Barang bukti adalah benda yang digunakan untuk meyakinkan atas

kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang dituduhkan

kepadanya; barang yang dapat dijadikan sebagai bukti dalam suatu

perkara.

b. Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam

penyitaan dan atau pengeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk

mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda

bergerak atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam

penyidikan, penuntutan dan peradilan.

c. Barang bukti adalah benda-benda yang biasa disebut Corpora Delicti

dan Instrumenta Delicti

d. Barang bukti adalah benda atau barang yang digunakan untuk

meyakinkan hakim atas kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana

yang diturunkan kepadanya.

85

e. Barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tanda sesuatu perbuatan

(kejahatan dan sebagainya).58

Antara barang bukti dan alat bukti itu berbeda alat bukti ialah

sesuatu yang jika dihadirkan ke hadapan hakim dipersidangan yang dapat

bercerita sendiri karena mempunyai kekuatan pembuktian sesuai dalam

Pasal 184 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,

sedangkan barang bukti belum bisa bercerita sendiri di persidangan karena

sebelumnya pada proses penyidikan dan penuntutan sebelumnya harus

diproses terlebih dahulu agar menjadi alat bukti yang sah dipengadilan,

barang bukti belum bisa “bercerita” sendiri, maka yang dapat menceritakan

keterkaitan barang tersebut dengan perkara yang disidangkan adalah

terdakwa, saksi, atau ahli. Keterangan terdakwa, saksi, ahli, surat dan

petunjuk itulah yang kelak akan menjadi alat bukti, yang dapat dipergunakan

oleh hakim sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan dan barang bukti dapat

dihadirkan dipersidangan untuk memperkuat keterangan dari saksi, terdakwa

yang diperiksa secara langsung di persidangan oleh hakim.

Menurut Andi Hamzah bahwa barang bukti adalah sesuatu untuk

meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian atau dakwaan. Sedangkan

alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang

diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara

pidana dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa,

kesaksian, keterangan ahli, surat dan petunjuk sedang dalam perkara

perdata termasuk persangkaan dan sumpah.59

58

http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum09/205711025/bab2.pdf, hal 31-32 59

Andi Hamzah, Op. Cit, hal.34.

86

Dalam beberapa barang bukti tersebut terdapat 2 (dua) buah copy

CD CCTV ATM BII SPBU Ovis Isdiman Purwokerto tertanggal 1 Maret

2012 dan 28 Maret 2012, 1 (satu) copy CD CCTV ATM BII SPBU Ovis

Isdeman Pruwokerto tertanggal 1 Maret 2012 yang termasuk klasifikasi

barang bukti elektronik. Sedangkan, pada proses pemeriksaan acara pidana

diperlukan ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana yang dalam acara

pemeriksaan biasa terkesan sulit dalam pembuktiannya dan membutuhkan

penerapan hukum yang benar dan pembuktian yang obyektif agar terhindar

dari rekayasa-rekayasa pada pelaksana persidangan. Untuk menemukan

suatu kebenaran yang obyektif diperlukan suatu pembuktian yang obyektif

juga salah satunya dengan menggunakan alat bukti. Melalui pembuktian

inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak, M. Yahya

Harahap mendefinisikan pembuktian sebagai;

“pembuktian adalah ketentuan yang beisi penggarisan dan pedoman

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga

merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan

undang-undang yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan

kesalahan yang didakwakan.60

Selain itu dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan

keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan

terdakwalah yang melakukan tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut

60

M. Yahya harahap, 2002, pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaaan

sidang Pengadilan Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.252.

87

hakim tidak menemukan keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa

dijadikan acuan untuk membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana.

Urutan dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana bukan merupakan urutan kekuatan

pembuktian. Kekuatan pembuktian diatur pada Pasal 183 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan asas unus testis

nullus testis. Ketentuan tersebut menjadikan hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kepada seseorang, apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah dan dengan itu hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana

tersebut apakah benar-benar terjadi dan terdakwa benar-benar terbukti

melakukan apa yang didakwakan ataupun dakwaan tersebut tidak benar

terjadi (Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana). Pembuktian tersebut harus didasarkan kepada Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu alat bukti

yang sah yang terdapat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ketentuan Pasal 183 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam membuat keputusan harus

didasarkan dengan alat-alat bukti dipersidangan dan dengan alat bukti

88

tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang tindak pidana tersebut,

karena apabila alat bukti tersebut tidak dapat meyakinkan hakim bahwa

benar terdakwa bersalah maka alat bukti tersebut dianggap hanya sekedar

barang bukti yang tidak mempunyai kekuatan pembuktian.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana tidak mengambil pengetahuan hakim sebagai alat bukti karena sistem

pembuktian yang dianut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana mencakup dubbelen grondslag dengan adanya elemen

keyakinan terhadap pembuktian berdasar undang-undang secara negatif

(negatief wetteljike bewijs theorie). Dengan itu, pengetahuan hakim menjadi

nyata di dalam keyakinan yang dirumuskan sebagai dasar pertimbangan

untuk menilai apakah alat-alat bukti untuk menghukum atau membebaskan

sudah terpenuhi.61

Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut

sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua

komponen yaitu :

1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang;

2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan

dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan

subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada

yang paling dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah satu

diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian

kesalahan terdakwa.62

61

Nikolas Simanjuntak, 2009, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia,

hal 263. 62

Yahya Harahap, Op.cit, Hal.279.

89

Dalam perkara Nomor 85/Pid.B/2012/PN.Pwt terdapat barang bukti

elektronik berupa 3 (tiga) kepingan CD rekaman CCTV yang hasil

ekstraknya merupakan barang bukti digital berupa video file yang memuat

rekaman kronologis kejadian tindak pidana pencurian dengan pembobolan

ATM yang termasuk dalam kategori Real Evidence, sedangkan suatu alat

bukti Informasi dan Transaksi Elektronik untuk dapat dijadikam alat bukti

hukum yang sah harus konsisten anatara sumber yang menghasilkan dengan

print out atau digital fingerprint. Sumber dari alat bukti digital adalah

penting untuk menjamin keabsahan dan keaslian suatu alat bukti digital,

dikarenakan alat bukti digital sangat rentan untuk dilakukan perubahan oleh

siapapun sehingga dapat menyesatkan pembuktian perkara. Dalam perkara

Nomor: 85/Pid.B/2012/PN.Pwt tidak diajukannya alat bukti surat yang

merupakan hasil proses hashing yang sanagt vital untuk melihat keaslian

dari suatu file pada barang bukti elektronik berupa 3 keping CD rekaman

CCTV yang dicetak kedalam bentuk surat, sehingga tidak mempunyai

kekuatan hukum yang mengikat karena peraturan yang mengatur mengenai

barang bukti digital yang akan diajukan di persidangan harus mempunyai

sidik jari digital atau digital fingerprint yang diatur didalam peraturan RFC

3227 yang sudah berlaku secara internasional.63

63

O. C. Kaligis. 2012. “Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Dalam Prateknya”, Yarsif Watampone, Jakarta. Hal 153.

90

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Setelah dilakukan analisis dari hasil penelitian dan pembahasan maka

penulis mendapat kesimpulan sebagai berikut:

1. Alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik didalam perkara

Nomor:85/Pid.B/2012/PN.Pwt merupakan perluasan dari pasal 184 ayat (1)

Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

mengenai alat bukti yang sah. Perluasan yang dimaksud ialah:

a. Memperluas jumlah alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang No 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam Undang-Undang No

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana diatur 5 (lima) alat bukti.

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang

Informasi Dan Transaksi Elektronik maka alat bukti dalam Undang-

Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ditambah satu

alat bukti yaitu Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik. Inilah

yang disebut dengan Alat Bukti Elektronik.

b. Memperluas cakupan alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang No

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hasil cetak dari Informasi

Elektronik atau Dokumen Elektronik secara hakiki ialah surat. Alat

90

91

Bukti surat telah diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana.

2. Dalam perkara Nomor 85/Pid.B/2012/PN.Pwt terdapat barang bukti

elektronik berupa 3 (tiga) kepingan CD rekaman CCTV yang tidak

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dikarenakan tidak diajukannya

alat bukti surat yang merupakan hasil proses hashing yang dicetak dalam

bentuk surat untuk melihat keaslian dari suatu file.

B. Saran

Seharusnya diatur lebih terperinci atau khusus dan tegas mengenai alat

bukti Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan “perluasan” dari alat

bukti didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana yang bersifat limitatif tersebut, agar tidak ada kerancuan dan multitafsir

dalam menjelaskan mengenai alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik sah

atau tidak jika dikaitkan dengan alat bukti yang ada didalam Undang-Undang No

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

92

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Al-Azhar, Muhammad Nuh. 2012. Digital Forensic Panduan Praktis Investigasi

Komputer. Jakarta: Salemba Infotek.

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Harahap, M. Yahya. 2001. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP

Dalam Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan

Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.

Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP

Dalam Penyidikan dan penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

Ibrahim, Johnny. 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang :

Bayu Media Publising.

Kaligis, O. C. 2012. Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik Dalam Prateknya. Yarsif

Watampone, Jakarta.

Makarao, Mohammad Taufik, 2011, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek.

Ghalia Indonesia, Jakarta.

Martika, I Ketut & Djoko Prakoso, 1992, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman,

Rineka Cipta

Marzuki, Peter Mahmud. 2008. Penelitian Hukum. Edisi Pertama Cetakan Ke-7.

Jakarta. Kencana.

Pangaribuan, Luhut MP. 2005. Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di

Pengadilan oleh Advocat. Djambatan. Jakarta

Partodihardjo, Soemarno. 2009. “Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang No.11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Simanjuntak, Nikolas, 2009, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum. Jakarta:

Ghalia Indonesia.

93

Salami, Mochamad Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana dan Prektik. Mandar Maju.

Bandung.

Soekanto, Soerjono, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 2010. Penelitian Hukum Normatif, suatu

Tinjauan Singkat. Rajawali Pers. Jakarta.

Soeparmono, R. 2002, Keterangan Ahli & Visum et repertum dalam aspek hukum

acara pidana, Mandar Maju, Bandung.

Waluyadi. 1999. Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan

Khusus). Mandar Maju. Bandung.

Peraturan Perundang-undangan :

Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana.

, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik.

, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pengadilan Negeri Purwokerto, Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.85/Pid.

B/20l2/PN. Pwt.

Sumber-Sumber Lain:

Analisis Dokumen Elektronik oleh Ari Juliano diakses melalui

http://arijuliano.blogspot.com/2008/04/apakah-dokumen-elektronik-

dapat-menjadi.html. pada tanggal 21 September 2012.

Diskusi Hukum mengenai faksimili sebagai alat bukti oleh Hukum Online diakses

melalui

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d4134d98d224/faksimili-

sebagai-alat-bukti. pada tanggal 21 September 2012.

94

Edmon Makarim, Tindak Pidana Terkait dengan Komputer dan Internet: Suatu Kajian

Pidana Materiil dan Formil, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber

Crime di Indonesia, FHUI, Jakarta, 12 April 2008.

Hukum Online mengenai legalitas hasil cetak tweet sebagai alat bukti penghinaan

oleh Joshua Sitompul diakses melalui

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt502a53fad18dd/legalitas-

hasil-cetak-tweet-sebagai-alat-bukti-penghinaan pada tanggal 1 Maret

2013.

OpenMind diakses melalui http://tersaji.blogspot.com/2012/06/pengaruh-uu-no-11-

tahun-2008-tentang.html pada tanggal 1 Maret 2013.

Pengaturan Alat Bukti Elektronik dalam UU ITE oleh Joshua Sitompul diakses

melalui http://warungcyber.web.id/?p=84. pada tanggal 1 Maret 2013

Rikhtan Website diakses melalui http://tansrik.blogspot.com/2009/12/usulan-

peneltian-kekuatan-pembuktian.html pada tanggal 1 Maret 2013.

Selalucintaindonesia wordpress diakses melalui

http://selalucintaindonesia.wordpress.com/2013/01/15/undang-undang-

informasi-dan-transaksi-elektronik/ pada tanggal 1 Maret 2013.

Sharing Informasi diakses melalui

http://christinamoetz.blogspot.com/2013/03/jelaskan-keterbatasan-uu-

telekomunikasi.html pada tanggal 1 Maret 2013.

TalkShow mengenai Alat Bukti Informasi dan Transaksi Elektronik oleh Hukum

Online diakses melalui

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c47cc2381f7a/Talk!hukumo

nline-discussion. pada tanggal 21 September 2012.

http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum09/205711025/bab2.pdf pada tanggal 25

Juni 2013.