pembuktian alat bukti informasi dan transaksi...
TRANSCRIPT
1
PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK DALAM PEMBOBOLAN ATM
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Perkara Nomor: 85/PID.B/2012/PN.PWT)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
OLEH :
NUGRAHA IRMAN
E1A007207
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
i
PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK DALAM PEMBOBOLAN ATM
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Perkara Nomor: 85/PID.B/2012/PN.PWT)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
OLEH :
NUGRAHA IRMAN
E1A007207
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : NUGRAHA IRMAN
NIM : E1A007207
Judul Skripsi : PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK DALAM
PEMBOBOLAN ATM
(TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN
PERKARA NOMOR:85/PID.B/2012/PN.PWT)
Menyatakan dengan sebenarnya, bahwa skripsi ini benar-benar merupakan
hasil karya saya. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa
skripsi ini hasil karya orang lain, maka saya bersedia mempertanggungjawabkan dan
menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku atas perbuatan saya tersebut.
Purwokerto, 26 Agustus 2013
NUGRAHA IRMAN
NIM. E1A007207
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil „Alamin
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah dan ridho-Nya,
akhirnya skripsi ini dapat Penulis selesaikan. Pada dasarnya skripsi ini mengkaji
mengenai Pembuktian Alat Bukti Informasi dan Transaksi Elektronik dalam
Pembobolan ATM. Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto.
Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa
bantuan dan dukungan, baik secara moril maupun materiil, dari berbagai pihak. Oleh
karenanya, dengan segala hormat, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman;
2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik dan juga
selaku Dosen Pembimbing Skripsi I dan/atau Penguji;
3. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II dan/atau Penguji;
4. Handri Wirastuti Sawaitri, S. H., M.H., selaku Dosen Penguji, atas segala
masukan dan arahannya;
v
5. Kedua Orang Tuaku tercinta Almarhum Mama akhirnya uga bisa buat Mama
bangga love u mam dan juga Papa atas semua yang telah diberikan, bang Heru
dan Uni atas dukungan moril maupun materil yang tak terhitung, buat Aul
atas support maupun masukan dan semangatnya, bang Pi atas pengalaman
hidup, Angga dan Caca juga.
6. Semua sahabat dan teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu,terima kasih semuanya atas apa yang kita lalui baik sedih maupun
senang;
7. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
Tidak luput ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan
mahasiswa dan pihak-pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu yang
turut mendukung baik secara teknis maupun non-teknis kepada penulis
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis selalu terbuka untuk menerima saran dan kritikan yang
bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi setiap
pembacanya dan pada penelitian lainnya yang mempunyai bidang kajian ilmu hukum
yang sama.
Purwokerto, 26 Agustus 2013
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ............................................................................................. iv
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vi
ABSTRAKSI ............................................................................................................ ix
ABSTRACT .............................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Perumusan Masalah .................................................................................. 9
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 10
D. Kegunaan Penelitian ................................................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Acara Pidana ............................................................... 12
B. Tujuan Hukum Acara Pidana .................................................................... 14
C. Pembuktian
1. Pengertian pembuktian ....................................................................... 16
vii
2. Sistem pembuktian menurut KUHAP ................................................ 18
3. Alat-alat Bukti menurut KUHAP ....................................................... 22
D. Informasi dan Transaksi Elektronik
1. Pengertian Informasi dan Transaksi Elektronik ................................. 44
2. Asas dan Tujuan Informasi dan Transaksi Elektronik ....................... 46
3. Penyelenggaran Sistem Elektronik ..................................................... 48
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan .................................................................................. 54
B. Spesifikasi Penelitian ................................................................................ 55
C. Lokasi Penelitian ...................................................................................... 56
D. Jenis dan Sumber Data ............................................................................. 56
E. Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 57
F. Metode Penyajian Data ............................................................................. 57
G. Metode Analisis Data ............................................................................... 57
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Duduk Perkara .................................................................................... 59
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ........................................................ 61
3. Pembuktian ......................................................................................... 63
B. Pembahasan
viii
1. Alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik dalam putusan Nomor:
85/PID.B/2012/PN.PWT jika dikaitkan terhadap Pasal 184 Undang-
Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana .................. 71
2. Kekuatan alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Tindak
Pidana Pencurian dengan pembobolan ATM terhadap Putusan Nomor:
85/PID.B/2012/PN.PWT .................................................................... 84
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................................... 91
B. Saran ....................................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA
ix
ABSTRAK
Perkembangan ilmu pengetahuan , tentunya memberikan suatu dampak yang
cukup signifikan di bidang hukum acara pidana. Oleh karena itu, pengertian yang
limitative didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana dapat menjadi sempit, dikarenakan banyaknya terobosan-terobosan baru
dibidang ilmu teknologi dan informasi seperti telefon genggam (handphone), fax,
video, internet, dsb. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penggunaannya perlu
diperhatikan mengenai sisi keamanan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam
penggunaan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang
secara optimal dan tidak terjadi penyalahgunaan. Sehubungan dengan itu, Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
memberikan perluasan-perluasan arti alat bukti yang sah menurut hukum acara yang
berlaku di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penggunaan alat bukti Informasi
dan Transaksi Elektronik yang berupa CD rekaman CCTV dalam pembuktian di
persidangan mengenai Tindak Pidana pencurian dengan pembobolan ATM
berdasarkan putusan Nomor: 85/Pid.B/2012/PN.Pwt dan untuk mengetahui dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana dalam kasus serupa.
Pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang
menggunakan legis positivis, yang menyatakan bahwa hukum identik dengan norma-
norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang
berwenang. Data kemudian dianalisis menggunakan metode analisis normatif
kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa alat bukti Informasi dan
Transaksi Elektronik merupakan “perluasan” dari pasal 184 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengenai alat bukti yang sah dan sifat
dari alat bukti adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja.
Kata Kunci : Pembuktian Alat Bukti Informasi dan Transaksi Elektronik
x
ABSTRACT
Development of science gives a significant impact in the field of criminal
law. Therefore, understanding of limitative in Law No. 8 of 1981 on the Criminal
Procedure Law may be narrow, because many new breakthroughs in the field of
science and information technology, cell phones (mobile phones), fax, video, internet,
etc.. In this regard, it should be noted regarding the safety, usefulness, and legal
certainty in the use of information technology, media, and communications in order
to develop optimally and avoid misuse. Accordingly, the Law No. 11 Year 2008 on
Information and Electronic Transactions give meaning extensions valid evidence
under the applicable procedural law in Indonesia.
This study was conducted to determine the use of Information and
Electronic Transaction evidence in the form of CDs of CCTV footage in evidence at
the hearing concerning the Crime of the ATM burglary theft by Verdict Number:
85/Pid.B/2012/PN.Pwt and to know the basic considerations for judges to convict in
the same case.
The approach used is the normative juridical studies using legis positif,
stating that the law is identical to the written norms are created and was enacted by
institution or authorized officer.. Data were analyzed using qualitative methods of
normative analysis.
Based on the research result shows that the evidence is Information and
Electronic Transactions "extension" of Article 184 of Law No. 8 of 1981 on the
Criminal Procedure Law on valid evidence and the nature of the evidence is limitedly
or limited to a specified course.
Key word : Proving of Information and Transactions Electronic Evidence
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tugas utama hukum acara pidana yang khas, particular, itu adalah untuk
mencari kebenaran hukum dengan menetapkannya ke dalam satu putusan hakim,
dan putusan itu sendiri pun secara kumulatif harus sekaligus bermakna sebagai
pelaksanaan perlindungan yang adil dan berkepastian bagi korban dan atau
saksi/pelapor terjadinya perbuatan pidana. Oleh sebab itu, kebenaran yang
hendak diputuskan bukanlah sekedar benar, tetapi benar yang bisa
dipertanggungjawabkan sebagai kepastian perlindungan hukum dan hak-hak
asasi manusia (HAM).1
Perkara pidana itu ada jika diketahui ada tindak pidana atau peristiwa
pidana atau kejahatan yang dilakukan2, sehingga pemeriksaan suatu perkara
pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk
mencari kebenaran materiil (materiilewaarheid) terhadap perkara tersebut. Hal
ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilalukan oleh aparat penegak
hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu
1 Nikolas Simanjuntak, 2009, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia,
hal 234. 2 Mohammad Taufik Makarao, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia
Indonesia. Hal 11.
1
2
perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan
penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Tujuan dari hukum
acara pidana dapat dibaca pada Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang No 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diterbitkan oleh Menteri
Kehakiman adalah sebagai berikut:
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum secara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta dan putusan dari pengadilan
guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan
dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan pada tahap
persidangan perkara tersebut.3”
Berdasarkan kalimat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hukum
acara pidana bertujuan untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil yaitu
kebenaran yang sebenar-benarnya atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran
yang sesungguhnya.
Menurut Mr. J. M. Van Bemmelen dalam bukunya Leerboek van her
Nederlandse Straf Frocesrecht, menyimpulkan bahwa tiga fungsi pokok acara
pidana adalah:
a. Mencari dan menemukan kebenaran;
b. Pengambilan putusan oleh hakim;
c. Pelaksanaan daripada putusan.4
3 Andi Hamzah, 2008. Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sinar grafika. Jakarta. Hal 7-8. 4 Ibid, Hal 8-9.
3
Dari ketiga fungsi tersebut yang paling penting adalah mencari
kebenaran karena merupakan tumpuan dari kedua fungsi berikutnya, kemudian
setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti
itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat) yang
kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Bagaimanapun tujuan hukum acara pidana
adalah mencari kebenaran merupakan tujuan antara, dan tujuan akhir sebenarnya
adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan
kesejahteraan dalam masyarakat.5
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari
kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya
kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana
ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa:
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena
alat bukti yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas
perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas, maka dalam proses
penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan
bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap
mungkin.
5 Ibid.
4
Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud di
atas dan yang telah ditentukan menurul ketentuan perundang-undangan adalah
sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana:
Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa
Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana seringkali para penegak hukum
dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat
diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan
atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting
diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi
para penegak hukum tersebut.
Dalam penegakannya untuk mencari kebenaran hukum diperlukannya
suatu pengaturan agar dapat dipertanggungjawabkan sebagai kepastian
perlindungan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM), pengaturan mengenai
Hukum Acara Pidana diatur dalam Undang - Undang No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana yang dalam hal ini disebut Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ialah teori sistem pembuktian berdasar
5
undang-undang secara negatif (negatief wetteljike bewijs theorie), yang dalam
hal ini keyakinan hakim tetap ada, tetapi bukan atas keyakinan itu saja yang
menjadi pembuktian final melainkan menjadi dasar pertimbangan untuk menilai
apakah alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang (limitatif) sudah
terpenuhi dan pembuktian merupakan proses untuk menentukan hakikat adanya
fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis
terhadap fakta-fakta masa lalu yang tidak terang menjadi terang yang
berhubungan dengan adanya tindak pidana. Pembuktian dalam acara pidana
sangat penting karena nantinya akan terungkap kejadian yang sebenarnya
berdasarkan berbagai macam alat bukti yang ada dalam persidangan.
Adanya kemajuan teknologi, tentunya memberikan suatu dampak yang
positif maupun dampak yang negatif. Namun seiring perkembangan jaman,
pemanfaatan teknologi informasi telah mengubah baik perilaku masyarakat
maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas
(boardless) dan menyebabkan perubahan social, ekonomi, dan budaya secara
signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi dan komunikasi saat
ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi
peingkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradabaan manusia dapat sekaligus
menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, pengertian
mengenai alat bukti yang limitatif didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana dapat menjadi sempit, dikarenakan
6
banyaknya terobosan baru dibidang ilmu teknologi dan informasi seperti telefon
genggam (handphone), fax, video, internet dsb. Berkaitan dengan hal tersebut,
perlu diperhatikan mengenai sisi keamanan,kemanfaatan dan kepastian hukum
dalam penggunaan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat
berkembang secara optimal agar tidak terjadi penyalahgunaan. Sehubungan
dengan itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik memberikan perluasan perluasan arti alat bukti yang sah
menurut Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Dengan diundangkannya Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang kita kenal dengan istilah UNDANG-
UNDANG NO11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK merupakan suatu bentuk antisipasi dari Pemerintah Republik
Indonesia bersama dengan DPR dari adanya suatu kemungkinan-kemungkinan
dampak buruk yang dapat timbul.6
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetakannya merupakan alat bukti yang sah apabila menggunakan Sistem
Elektronik sesuai dengan alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang tersebut.
Selain itu dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan keyakinan bahwa
perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan terdakwalah yang melakukan
tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut hakim tidak menemukan
6 O. C. Kaligis. 2012. “Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik Dalam Prateknya”, Yarsif Watampone, Jakarta. Hal 505-506.
7
keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa dijadikan acuan untuk
membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana. Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik digunakan antara lain dalam perkara pembobolan
Automatic Tellet Machine (ATM), seperti yang digunakan dalam putusan Nomor
: 85/Pis.B/2012/PN.Pwt.
Agar dapat melakukan investigasi yang benar terhadap alat bukti
Informasi dan Transaksi Elektronik, sehingga sebuah kejahatan dapat terungkap,
maka diperlukan sisi positif dari kemajuan bidang komputer. Hal ini berarti
aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi komputer untuk memeriksa dan
menganalisis setiap barang bukti digital yang satu dengan yang lain, sehingga
kejahatan tersebut dapat menjadi terang dan keberadaan pelaku dapat dilacak
untuk kemudian ditangkap demi mempertanggungjawabkan kejahatannya.
Aplikasi tersebut dikenal dengan istilah digital forensic.7
Menurut Muhammad Nuh Al-Azhar adanya klasifikasi digital forensic
atau spesialisasi digital forensic yang memiliki cakupan yang luas, sehingga
pengelompokannya berdasarkan pada bentuk fisik maupun logis dari barang
bukti yang diperiksa/dianalisis, sebagai berikut:
1. Computer Forensic
Forensik ini berkaitan dengan pemeriksaan dan analisis barang bukti
elektronik berupa computer pribadi (personal computer-PC),
7 Muhammad Nuh Al-Azhar. 2012. “Digital Forensic Panduan Praktis Investigasi Komputer”.
Jakarta: Salemba Infotek. Hal 17.
8
laptop/notebook, netbook dan tablet. Pemeriksaan terhadap jenis
barang bukti ini biasanya berkaitan dengan files recovery
2. Mobile Forensic
Forensik ini berkaitan dengan jenis barang bukti elektronik yang
berupa handphone dan smartphone. Pemeriksaan ini biasanya
berkaitan dengan informasi digital yang tersimpan di barang bukti
tersebut.
3. Audio Forensic
Forensik ini berkaitan dengan rekaman suara pelaku kejahatan.
Rekaman biasanya diperiksa untuk kepentingan voice recognition.
4. Video Forensic
Forensic ini berkaitan dengan barang bukti berupa rekaman video,
yang biasanya berasal dari CCTV (closed cicuit tv). Rekaman CCTV
ini diperiksa berkaitan dengan kegiatan pelaku kejahatan yang
sempat terekam di kamera tersebut. Rekaman ini kemudian dianalisis
untuk mengambil screenshot dari wajah pelaku atau plat nomor polisi
dari mobil yang dicurigai. Permasalahan yang berkaitan dengan
rekaman CCTV ini adalah resolusi video rendah dan kualitas kamera
yang tidak bagus, sehingga ketika rekaman CCTV ini dianalisis,
hasilnya tidak maksimal. Selain permasalahan resolusi, ada faktor-
faktor lain yang ikut mempengaruhi bisa tidaknya pembesaran secara
maksimal terhadap objek, dan tingkat pencahayaan di sekitar objek.
5. Image Forensic
Forensik ini berkaitan dengan jenis barang bukti digital yang berupa
file-file gambar digital yang diperiksa dan dianalisis untuk
mengetahui peralatan kamera digital yang digunakan untuk
mengambil gambar tersebut.
6. Cyber Forensic
Forensik ini berkaitan dengan pemeriksaan dan analisis kasus-kasus
yang berhubungan dengan internet atau jaringan seperti LAN (local
area network).8
Dalam putusan perkara Nomor : 85/Pid.B/2012/PN.Pwt menyatakan
bahwa Yudi Irawan terdakwa pencurian dengan pembobolan ATM dalam
melakukan aksi pencuriaannya tersebut, terekam kamera CCTV yang terpasang
pada ATM BII Cabang Purwokerto yang kemudian rekaman CCTV tersebut
menjadi barang bukti digital. Oleh karena itu, melihat pentingnya alat bukti
8 Ibid. Hal 25-26.
9
Informasi dan Transaksi Eletronik dalam mengungkap pelaku tindak pidana
pencurian dengan pembobolan Automatic Teller Machine (ATM) tersebut, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan alat bukti
Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut dengan judul: “Pembuktian Alat
Bukti Informasi dan Transaksi Elektronik Dalam Pembobolan ATM
(Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Perkara Nomor
:85/Pid.B/2012/PN.Pwt.)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengambil
pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Putusan Nomor
: 85/Pid.B/2012/PN.Pwt. sah jika dikaitkan dengan Pasal 184 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana?
2. Bagaimanakah kekuatan alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik
dalam Tindak Pidana Pencurian dengan pembobolan ATM dalam Putusan
Nomor : 85/Pid.B/2012/PN.Pwt.?
10
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penggunaan alat bukti Informasi dan Transaksi
Elektronik yang berupa CD Rekaman CCTV dalam pembuktian di
persidangan mengenai tindak pidana pencurian dengan pembobolan ATM
berdasarkan putusan Nomor : 85/Pid.B/2012/PN.Pwt.
2. Untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana dalam kasus serupa berdasarkan Putusan Nomor :
85/Pid.B/2012/PN.Pwt.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Kegunaan Teoritis
a. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang bidang Hukum Pidana,
Hukum Acara Pidana, sehingga hukum dapat selalu selaras dengan
kenyataan peristiwa yang terjadi.
b. Memperluas cakrawala berpikir penulis dan memberikan sumbangan
pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
2. Kegunaan Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana dan hukum
acara pidana dan menambah referensi kepustakaan Hukum acara pidana
di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
11
b. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dan
acuan bagi pihak-pihak yang membutuhkan, misalnya untuk penulisan
ilmiah ataupun penulisan skripsi yang menyangkut hukum acara pidana
dan juga dalam mengungkap pelaku tindak pidana dan mengenai alat
bukti yang sah menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Acara Pidana
Secara umum, hukum yang berlaku dapat diklasifikasikan menjadi dua
yaitu hukum privat dan hukum publik. Hukum privat merupakan hukum yang
bertujuan untuk melindungi kepentingan perseorangan atau individu. Yang
termasuk dalam lingkungan hukum privat adalah hukum perdata. Sedangkan
hukum publik adalah hukum yang bertujuan untuk melindungi kepentingan
umum atau kepentingan masyarakat banyak. Hukum pidana termasuk dalam
bidang lapangan hukum publik karena bertujuan untuk melindungi kepentingan
masyarakat banyak dari perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban
dan kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dengan kata lain hukum acara pidana adalah kumpulan peraturan
peraturan yang memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur sebagai berikut:
a. Tindakan apa yang diambil apabila ada dugaan, bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.
b. Apabila benar telah terjadi suatu tindak pidana yang telah dilakukan
oleh seseorang, maka perlu diketahui siapa pelakunya, dan cara
bagaimana melakukan penyelidikan terhadap pelaku
c. Apabila telah diketahui pelakunya maka penyelidik perlu menangkap,
menahan dan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan permulaan atau
dilakukan penyidikan.
d. Untuk membuktikan apakah tersangka benar-benar melakukan suatu
tindak pidana, maka perlu mengumpulkan barang-barang bukti,
menggeledah badan atau tempat-tempat yang diduga ada hubungannya
dengan perbuatan tersebut.
e. Setelah selesai dilakukan pemeriksaan permulaan atau penyidikan oleh
polisi, maka berkas perkara diserahkan pada kejaksaan negeri, yang
12
13
selanjutnya pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa
oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana.9
Hukum acara pidana secara sederhana dapat dirumuskan sebagai suatu
aturan-aturan tentang tata-cara proses penyelenggaraan peradilan pidana. Di
bawah ini beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian hukum acara
pidana:
a. Wiryono Prodjodikoro
Hukum acara pidana adalah merupakan suatu rangkaian peraturan-
peraturan yang memuat cara bagaimana badan pemerintah yang
berkuasa (Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan) harus bertindak guna
mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.
b. R.Achad Soemadipraja
Hukum acara pidana adalah hukum yang mempelajari peraturan yang
diadakan oleh negara dalam hal adanya persangkaan telah dilanggarnya
Undang-Undang Pidana.
c. Sudarto
Hukum acara pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk
apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum.
d. J. De Bosch Kemper
Hukum acara pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturan-peraturan
undang-undang yang mengatur hak negara untuk menghukum bilamana
undang-undang pidana dilanggar.
e. Simon
Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur cara-cara negara
dengan alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk
menghukum dan menjatuhkan hukuman.
f. Van Bemmelen
Hukum acara pidana adalah kumpulan ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur bagaimana cara negara, bila dihadapkan pada suatu kejadian
yang menimbulkan syak wasangka telah terjadi pelanggaran hukum
pidana, dengan perantara alat-alatnya mencari kebenaran, menetapkan di
muka hakim suatu keputusan mengenai perbuatan yang didakwakan,
bagaimana hakim harus memutuskan suatu hal yang telah terbukti, dan
bagaimana keputusan itu harus dilaksanakan.
9 Mochamad Faisal Salami. 2001. Hukum Acara Pidana dan Prektik. Mandar Maju. Bandung.
hal 3.
14
g. Bambang Poernomo
Mengkhasifikasikan hukum acara pidana menjadi tiga arti:
1) Dalam arti sempit, yang meliputi peraturan hukum tentang
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang sampai
dengan putusan pengadilan, dan peraturan tentang susunan
pengadilan.
2) Dalam arti luas, yaitu selain mencakup dalam pengertian sempit,
juga meliputi peraturan-peraturan kehakiman lainnya sekedar
peraturan itu ada urusannya dengan perkara pidana
3) Pengertian sangat luas, yaitu apabila materi peraturan sudah sampai
pada tahap eksekusi putusan hakim (pidana) kemudian
dikembangkan meliputi peraturan pelaksanaan hukuman (pidana)
yang mengatur tentang alternatif jenis pidana, dan cara
menyelenggarakan pidana sejak awal sampai selesai menjalani
pidana sebagai pedoman pelaksanaan pemberian pidana.10
Dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
tidak ada satu pasal pun yang memberikan definisi hukum acara pidana, tetapi
bagian-bagian dari hukum acara pidana seperti penyidikan, penuntutan,
mengadili, pra peradilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan,
penggeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam
Pasal 1 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
B. Tujuan Hukum Acara Pidana
Tujuan dan tugas ilmu hukum acara pidana pada dasarnya sama dengan
tugas dan tujuan ilmu hukum pada umumnya yaitu mempelajari hukum untuk
mewujudkan kedamaian yang meliputi ketertiban dan ketenangan dengan
memberikan kepastian hukum dan keadilan hukum kepada masyarakat.
10
Waluyadi. 1999. Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus).
Mandar Maju. Bandung. Hal . 9-11.
15
Tujuan dari Hukum Acara Pidana berdasarkan Pedoman Pelaksanaan
Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
diterbitkan oleh Menteri Kehakiman adalah sebagai berikut:
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran matriil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana
telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat
dipersalahkan.11
Dari kalimat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara
Pidana bertujuan untuk mencari dan mendapatkan kebenaran matriil yaitu
kebenaran yang sebenar-benarnya atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran
yang sesungguhnya.
Van Bemmelen, seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah, menyatakan
bahwa fungsi hukum acara pidana adalah:
a. Mencari dan menemukan kebenaran.
b. Pengambilan putusan oleh hakim.
d. Pelaksanaan daripada putusan yang telah diambil.12
Dari ketiga fungsi tersebut yang terpenting adalah “menemukan
kebenaran” karena hal tersebut mendasari ke dua fungsi lainnya. Setelah
menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan barang bukti, hakim
akan sampai pada putusan yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa.
11
Andi Hamzah.2008. Op. Cit..hal. 7-8 12
Ibid. hal. 9
16
Untuk mewujudkan tujuan Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana yaitu mencari suatu kebenaran matriil diperlukan barang
bukti yang cukup sesuai dengan ketentuan undang-undang. Proses mencari dan
mengumpulkan barang bukti dan alat bukti dilakukan pada tahap penyidikan.
B. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan proses acara pidana yang memegang
peranan penting dalam pemeriksaan sidang di pengadilan. Melalui
pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak.
Sesungguhnya, tujuan dari pembuktian adalah berusaha untuk melindungi
orang yang tidak bersalah. Dalam hal pembuktian, hakim perlu
memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa.
Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar
ketentuan perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal
dengan kesalahannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan
terdakwa adalah, terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada
seorang pun yang tidak bersalah akan mendapat hukuman atau sekalipun ia
bersalah ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini
terkandung asas (equality before the law).13
13
Luhut MP Pangaribuan. 2005. Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh
Advocat. Djambatan. Jakarta hal. 3-4. Asas equality before the law berarti adanya perlakuan yang sama
atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan.
17
Sekalipun secara konteks yuridis teoritis, proses pembuktian
dilakukan di pengadilan pada tahap pembuktian, sesungguhnya proses
pembuktian sendiri telah dimulai pada tahap penyidikan. Pada tahap ini,
penyidik mengolah apakah peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa
pidana atau hanya merupakan peristiwa biasa. Penyidik juga mencari dan
mengumpulkan serta menganalisis bukti yang ia temukan. Hal ini
sebagaimana ditegaskan pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai berikut:
Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang
No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana:
a. karena kewajibannya mempunyai wewenang:
1. menerima laporan atau pegaduan dari seorang tentang
adanya tindak pidana;
2. mencari keterangan dan barang bukti;
3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penyitaan;
2. pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
2. Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana
Sistem pembuktian negatif ini merupakan gabungan dari sistem
pembuktian menurut undang-undang dengan sistem pembuktian menurut
18
keyakinan atau conviction in time yang kemudian menimbulkan rumusan
salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang
didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-
undang.
Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem
pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen yaitu :
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang;
2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif”
dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling
dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah satu diantara dua unsur
itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.14
Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam membuat keputusan harus
didasarkan dengan alat-alat bukti dipersidangan dan dengan alat bukti
tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang tindak pidana tersebut.
Di Indonesia sendiri menganut sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Dapat dilihat dalam Pasal
183 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
isinya :
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwa yang bersalah melakukannya.
14
Yahya Harahap, Op.cit, Hal.279.
19
Dengan demikian pasal 183 Undang-Undang No 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana mengatur untuk menentukan salah atau
tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa,
harus :
- Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah
- Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.15
Pembuktian merupakan proses untuk menentukan hakikat adanya
fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang
logis terhadap fakta-fakta masa lalu yang tidak terang menjadi terang yang
berhubungan dengan adanya tindak pidana. Pembuktian dalam acara pidana
sangat penting karena nantinya akan terungkap kejadian yang sebenarnya
berdasarkan berbagai macam alat bukti yang ada dalam persidangan.
Menurut M. Yahya Harahap, Pembuktian adalah ketentuan yang
beisi penggarisan dan pedoman kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-
alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan
hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan16
.
Dengan ketentuan tersebut menjadikan hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang, apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah dan dengan itu hakim memperoleh keyakinan bahwa
tindak pidana tersebut apakah benar-benar terjadi dan terdakwa benar-benar
15
Ibid, hal. 280. 16
Ibid , Hal.252.
20
terbukti melakukan apa yang didakwakan ataupun dakwaan tersebut tidak
benar terjadi (Pasal 183 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana). Pembuktian tersebut harus didasarkan kepada Undang-
Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu alat bukti
yang sah yang terdapat dalam Pasal 184 Undang-Undang No 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana. Arti pembuktian ditinjau dari segi hukum
acara pidana merupakan ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam
usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Hakim, jaksa, dan terdakwa
ataupun penasehat hukum semua terikat dalam ketentuan mengenai tata cara
dan penilaian alat bukti yang telah ditentukan. Karena sesuai dengan aturan
kalau semua tata cara dalam beracara di acara pidana diatur seluruhnya
dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dan
tidak boleh menyimpanginya.
Penjelasan dalam Pasal 183 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana mengatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk
menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi
seorang. Menurut Dr Simons bahwa berdasarkan undang-undang
pengakuan terhadap teori pembuktian hanya berlaku untuk keuntungan
terdakwa , tidak dimaksudkan untuk menjurus kepada dipidananya
orang yang tidak bersalah hanya kadang-kadang memaksa
dibebaskannya orang bersalah. Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa
sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif
dipertahankan dengan alasan bahwa memang sudah selayaknya harus
ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat
menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa
memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan
terdakwa. Sedangkan yang kedua berfaedah jika ada aturan yang
mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-
21
patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan
peradilan.17
Setiap pembuktian baik oleh polisi, jaksa dan hakim harus
memperhatikan prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia, dan perlindungan terhadap
kepentingan dan ketertiban masyarakat dan tidak boleh berorientasi pada
kekuasaan semata karena akan menjadikan pembuktian yang dilakukan
menjadi tidak obyektif seperti apa yang tercermin dalam Undang-Undang
No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam Undang-Undang No
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sekarang mengandung sistem
akusatur (accusatiry procedure) yang berbeda dengan HIR yang
menggunakan sistem inkisitur yang lebih mengedepankan pengakuan.
Accusatoir menurut pengertian kamus hukum adalah menuduh, penuduhan,
pemeriksaan si terdakwa di depan sidang pengadilan adalah merupakan
perlawanan antara jaksa sebagai penuduh merupakan satu pihak, sedangkan
sedangkan si terdakwa diberikan kesempatan mengakui, atau memungkiri
tuduhan itu dimana Hakim berfungsi mengadili setelah mendengar,
memeriksa dan mempertimbangkan kesalahan si terdakwa berdasarkan
bukti-bukti yang ada. Pemeriksaan didepan siterdakwa di depan sidang
pengadilan adalah bersifat accusatoir.
17
Andi Hamzah, Op.cit, Hal.276-257.
22
Sistem akusatur menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa
dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah subyek bukan sebagai obyek
pemeriksaan karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukan dan
diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan
martabat harga diri, sedangkan yang menjadi obyek pemeriksaan dalam
prinsip akusatur adalah kesalahan (tindak pidana), yang dilakukan tersangka
atau tedakwa. Dalam hal ini Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana menerapkan asas praduga tidak bersalah sehingga
setiap tersangka/terdakwa yang disangka, ditangkap, ditahan dituntut dan
dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang mengatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap. Dalam penyidikan dan penyelidikan pun digunakan
sistem yang bersifat alamiah atau scientific crime detection dimana
pembuktian ini menekankan pada kejadian atau fakta-fakta yang alamiah
dialami oleh pelaku yang melihat pada bukti-bukti permulaan yang cukup.
3. Alat-alat bukti menurut Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana
Tidak ditemukan suatu definisi khusus mengenai apa itu alat bukti,
namun secara umum yang dimaksud dengan alat bukti adalah alat bukti yang
tercantum dalam Pasal 184 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana sebagai berikut:
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
23
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Fungsi dari alat bukti itu sendiri adalah untuk membuktikan adalah
benar terdakwa yang melakukan tindak pidana dan untuk itu terdakwa harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya.18
Apabila berdasarkan Undang-
Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, maka yang dinilai
sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian”
hanya terbatas kepada alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1)
Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dengan
kata lain, sifat dari alat bukti menurut Undang-Undang No 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana adalah limitatif atau terbatas pada yang
ditentukan saja.
Urutan dalam pasal 184 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana bukan merupakan urutan kekuatan pembuktian.
Kekuatan pembuktian diatur pada Pasal 183 Undang-Undang No 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan asas unus testis nullus testis.
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah dan keyakinan hakim. Ketentuan Pasal 183 Undang-Undang
No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
18
M. Yahya Harahap. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan
dan penuntutan). Sinar Grafika. Jakarta. hal. 285.
24
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
1. Keterangan Saksi
Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam Pasal 185
ayat 1 sampai 7 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana. Keterangan saksi agar menjadi kuat maka harus
dihadirkan saksi lebih dari seorang dan minimal ada dua alat bukti
karena keterangan dari seorang saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain
tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa benar-benar bersalah
terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus
testis).
Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui
kesalahan yang didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi
sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena
disamping keterangan saksi tunggal itu, telah terpenuhi ketentuan
minimum pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan
saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Dengan ini
dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185
ayat (2) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana adalah :
i. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit
harus didukung oleh dua orang saksi;
ii. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka
kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan
salah satu alat bukti yang lain.19
Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama
dalam pemeriksaan perkara pidana. Dalam pasal 185 ayat (6) Undang-
19
Ibid, Hal.288.
25
Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk menilai
kebenaran keterangan saksi hakim harus memperhatikan:
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.
Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan
disumpah agar mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan
nantinya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus suatu
perkara pidana. Disebutkan dalam Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang
No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa saksi wajib
untuk disumpah atau janji dalam setiap akan dimintai keterangannya di
persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing. Kemudian lafal
sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa saksi akan memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya
yang dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam
persidangan dan jika dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan
sumpah atau janji ini dapat diucapkan sesudah saksi memberikan
keterangannya sesuai dengan Pasal 160 ayat (4) Undang-Undang No 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Jika saksi yang dihadirkan
tidak disumpah karena permintaan sendiri atau pihak yang lain tidak
bersedia saksi untuk disumpah karena saksi ditakutkan akan berpihak
26
pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi tersebut tetap
digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai tambahan alat
bukti sah yang lain. Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat
menjadi saksi akan tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka
dapat diperiksa oleh hakim akan tetapi tidak disumpah karena itu
merupakan perkecualian relatif karena menyimpan rahasia jabatan.
Saksi yang dihadirkan diharapkan sudah dewasa sehingga
keterangannya bisa dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan.
Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan
pengadilan saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah
maka saksi tersebut dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan
hakim ketua sidang paling lama penyanderaan adalah empat belas hari
(Pasal 161 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana).
Tidak setiap keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat
bukti, berdasarkan Pasal 1 angka 27 Undang-Undang No 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa yang dapat menjadi saksi
adalah yang mengetahui mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat
sendiri, dengar, alami sendiri dan dapat menyebutkan alasan dari
pengetahuannya itu. Berdasarkan ketentuan tersebut maka testimonium
de auditu atau lebih dikenal dengan keterangan yang diperoleh sebagai
hasil mendengar dari orang lain tidak mempunyai kekuatan sebagai alat
27
bukti dikarenakan tujuan acara pidana adalah mencari kebenaran
materiil sehingga keterangan yang didengar dari orang lain tidak
menjamin kebenaran keterangannya. Meskipun demikian testimonium
de auditu dapat digunakan untuk memperkuat keyakinan hakim yang
bersumber dari dua alat bukti yang lain yang dihadirkan dipersidangan.
Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan,
selain karena ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat
menjadi terutama karena mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa
karena cenderung tidak bernilai obyektif dan cenderung membela
terdakwa, diantaranya :
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke
bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa
sampai derajat ketiga;
c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa;
28
d. Orang yang mempunyai hubungan pekerjaan, harkat, martabat, atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia yang ditentukan undang-
undang.20
Kemudian dalam Pasal 171 Undang-Undang No 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana ditentukan saksi yang tidak disumpah
yaitu :
a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum
pernah kawin;
b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik
kembali.
Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum
berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan,
sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam
ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana
maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam
memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya
dipakai sebagai petunjuk saja.
2. Keterangan Ahli
Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli terdapat dalam
Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, Pasal 180 dan Pasal
186 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Keterangan ahli merupakan keterangan dari pihak diluar kedua pihak
yang sedang berperkara, dimana yang digunakan adalah keterangan
berkaitan dengan ilmu pengetahuannya dalam perkara yang
dipersidangkan sehingga membuat terang suatu perkara pidana guna
20
Andi Hamzah, 2008. Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sinar grafika. Jakarta. Hal 260.
29
kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli sebagai alat bukti diatur
dalam Pasal 186 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana menunjukkan keterangan ahli dari segi pembuktian, selain
itu dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana menerangkan lebih lanjut mengenai keterangan
ahli yaitu:
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan.
Pada Pasal 184 (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, pembentuk undang-undang meletakkan
keterangan ahli dalam urutan kedua hal ini dinilai bahwa dalam
pemeriksaan perkara pidana sangat dibutuhkan dikarenakan
perkembangan ilmu dan teknologi telah berdampak terhadap kualitas
metode kejahatan yang memaksa para penegak hukum harus bisa
mengimbanginya dengan kualitas metode pembuktian yang memerlukan
pengetahuan, dan keahlian.
Dikatakan, bahwa keterangan ahli amat diperlukan dalam setiap
tahapan pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap
penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang
pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas
keterangan ahli atau para ahli didasarkan pengetahuan dan
pengalamannya dalam bidang-bidang keilmuannya, akan dapat
menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat ditarik oleh
Hakim dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan
hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang
bersangkutan. Sudah tentu, masiih harus dilihat dari kasus perkasus
30
dari perkara tindak pidana tersebut masing-masing, atas tindak
pidana yang didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari
penuntut umum di sidang pengadilan.21
Keterangan yang diberikan oleh ahli harus diberikan di suatu
persidangan yang terbuka untuk umum. Keterangan ahli disini
disumpah dalam persidangan agar keterangan yang diberikan sesuai
dengan pengetahuan yang dimilikinya. Jika dalam persidangan seorang
ahli tidak dapat hadir, maka dapat memberikan keterangannya dalam
surat yang nantinya dibacakan disidang pengadilan yang sebelumnya
juga diangkat sumpah pada ahli.
Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
Pengadilan (Pasal 186 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana). Penjelasan :
- Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang
dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengikat
sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
- Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan di penyidik
atau penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang,
diminta untuk memberikan keterangan (ahli) dan dicatat dalam
Berita Acara Pemeriksaan (berita acara pemeriksaan
persidangan) Pasal 179 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Maka setiap orang yang diminta pendapatnya untuk memberikan
keterangan ahli secara lisan di persidangan jo. Pasal 180 ayat (1),
Pasal 186 dan penjelasan jo. Pasal 1 butir 28 Undang-Undang No 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, jo. Pasal 184 ayat (1)
sub b Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, jo. sbt. 1937 No.350, yang mendasarkan dari berbagai pasal
tersebut, berdasarkan fungsi dan tugas serta kewenangan yang
dimiliki masing-masing ahli itu, disebabkan alasan karena
keahliannya itu, dapat meliputi :
21
R. Soeparmono, 2002, Keterangan Ahli & Visum et repertum dalam aspek hukum acara
pidana, Mandar Maju, Bandung, Hal. 3.
31
1. Ahli kedokteran forensik atau;
2. Dokter, bukan ahli kedokteran forensik (jo.stb.1937 no.3500;
atau;
3. Ahli lainnya, yaitu keterangan yang diberikan setipa orang
yang memenuhi syarat-syarat atau kriteria Pasal 1 butir 28
Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana; atau
4. Saksi ahli yaitu keterangan orang ahli yang menyaksikan
tentang suatu hal (pokok soa, materi pokok) yang diperlukan,
kemudian memeriksa (meneliti, menganalisa) serta
mengemukakan pendapatnya berdasarkan keahliannya yaitu,
selanjutnya dengan menarik kesimpulan daripadanya, untuk
membuat jelas suatu perkara pidana, yang berguna bagi
kepentingan pemeriksaan.22
Keterangan ahli dapat juga diberikan untuk membantu pada
waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum sesuai dalam
Pasal 120 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana yang nantinya dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan ahli
mengingat sumpah jabatan waktu pertama menerima jabatannya dan
diucapkan dimuka penyidik bahwa ahli akan memberi keterangan
menurut pengetahuannya sebaik-baiknya. Akan tetapi dalam suatu hal
karena pekerjaan atau jabatan, harkat dan martabat yang mewajibkan
ahli menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan
yang diminta.
Pada pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186 Undang-Undang No
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, agar keterangan ahli
dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah :
1. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang
mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada
hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
22
Ibid, hal.72-73.
32
2. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak
mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada
hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak
mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-
undang.23
3. Surat
Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 Undang-
Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menurut
ketentuan ini surat yang dinilai dengan alat bukti yang sah di
persidangan menurut undang-undang yaitu surat yang dibuat atas
sumpah jabatan dan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Alat
bukti surat menurut definisi Asser-Anema yaitu segala sesuatu yang
mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk
mengeluarkan isi pikiran.24
Berdasarkan Pasal 187 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana:
“Surat sebagaimana dimaksud pasal 184 ayat (1) huruf c Undang-
Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya,
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan
alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal
atau sesuatu keadaan;
23
Yahya Harahap, Op.cit, Hal.299. 24
Andi Hamzah, Op.cit, Hal. 276.
33
c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dan alat pembuktian yang lain”.
Berdasarkan Pasal 187 huruf d Undang-Undang No 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana berbeda dengan ketentuan dalam
Pasal 187 huruf a,b dan c Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana. Hal ini karena dalam Pasal 187 huruf d Undang-
Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menunjukkan
surat secara umum yang tidak berlandaskan sumpah jabatan dan sumpah
di sidang pengadilan yang bersifat resmi dan cenderung bersifat pribadi.
Penjelasan selanjutnya juga menyebutkan bahwa berlakunya alat bukti
surat lain harus mempunyai hubungan dengan alat bukti yang lain agar
mempunyai kekuatan pembuktian artinya alat bukti surat lain tidak
dapat berdiri sendiri secara utuh.
Bentuk surat lain yang diatur dalam huruf d “hanya dapat berlaku”
jika isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang lain.
Nilai berlakunya masih digantungkan dengan alat bukti yang lain.
Kalau isi surat itu atau kalau alat pembuktian yang lain itu terdapat
salng hubungan, barulah surat itu berlaku dan dinilai sebagai alat
bukti surat.25
Berdasarkan Pasal diatas Undang-Undang No 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana tidak mengatur tentang kekuatan
pembuktian dari surat lain karena tidak mempunyai bobot sebagai alat
bukti hanya mengatur surat-surat resmi saja. penerapan surat lain
25
Yahya Harahap, Op.cit, Hal.309
34
sebagai bentuk alat bukti surat terlihat ganjil karena jika suatu alat bukti
surat digantungkan dengan alat bukti yang lain yaitu jika mempunyai
hubungan isinya dengan alat bukti yang lain sehingga terkesan tidak
mempunyai nilai pembuktian bahkan cenderung menjadi alat bukti
petunjuk yang intinya saling menghubungkan antara alat bukti satu
dengan yang lainnya sehingga tercipta suatu urutan suatu peristiwa yang
terjadi dalam perkara pidana yang diperiksa di sidang pengadilan.
Sebagai syarat mutlak dalam menentukan dapat atau tidaknya
suatu surat itu dapat dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah
ialah bahwa surat-surat itu harus dibuat diatas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah. Surat resmi yang dimaksud dalam Pasal 187
Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
berbentuk berita acara, akte, surat keterangan ataupun surat lain yang
mempunyai hubungan dengan perkara yang diadili.
Pasal 187 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana dapat diartikan bahwa pejabat yang mempunyai
wewenang untuk membuat surat-surat tersebut, dibebaskan untuk
menghadap sendiri dipersidangan dan pembacaan surat-surat tersebut
telah dianggap mempunyai kekuatan bukti yang sama dengan apabila
mereka menerangkan sendiri secara lisan dihadapan persidangan
pengadilan.
35
Surat yang dijadikan sebagai alat bukti dipengadilan biasanya
berasal dari kedokteran forensik yang meneliti barang bukti yang
ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) yang kemudian diteliti
dimana barang bukti mati kemudian dituangkan dalam bentuk surat dan
dapat dijadikan suatu pegangan bagi hakim untuk memutus suatu tindak
pidana yang bersangkutan karena barang bukti mati tersebut tidak bisa
berbohong dan terdakwa tidak bisa mengelak jika barang bukti tersebut
telah nyata menunjukkan bahwa terdakwalah yang telah melakukan
tindak pidana yang dituntutkan kepadanya.
Nilai kekuatan pembuktian surat menurut Yahya Harahap jika
dinilai dari segi teoritis serta dihubungkan dengan prinsip pembuktian
dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Ditinjau dari segi formal
Alat bukti yang disebut pada Pasal 187 huruf a,b dan c Undang-
Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah alat
bukti yang sempurna sebab bentuk surat-surat ini dibuat secara
resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-
undangan. Alat bukti surat resmi mempunyai nilai pembuktian
formal yang sempurna dengan sendirinya bentuk dan isi surat
tersebut :
a. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti
yang lain;
b. Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan
pembuatannya;
c. Juga tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang
dituangkan pejabat yang berwenang didalamnya sepanjang isi
keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti
yang lain;
36
d. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang
tertuang di dalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat
bukti lain, baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan
ahli atau keterangan terdakwa.
2. Ditinjau dari segi materiil
Alat bukti surat tidak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan
alat bukti saksi, dan ahli yang sama-sama mempunyai nilai
pembuktian yang bersifat bebas yang penilaiannya digantungkan
dari pertimbangan hakim. Ketidakterikatannya hakim atas alat bukti
surat tersebut didasarkan pada beberapa asas, antara lain :
a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari
kebenaran materiil atau kebenaran sejati (materiel waarheid),
bukan mencari kebenaran formal. Nilai kebenaran dan
kesempurnaan formal dapat disingkrkan demi untuk mencapai
dan mewujudkan kebenaran materiil atau kebenaran sejati yang
digariskan oleh penjelasan Pasal 183 Undang-Undang No 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang memikul
kewajiban bagi hakim untuk menjamin tegaknya kebenaran,
keadilan, kepastian hukum bagi seseorang.
b. Asas keyakinan hakim sesuai yang terdapat dalam Pasal 183
Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana yang menganut ajaran sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif. Dimana hakim dalam memutus
harus berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan
bahwa terdakwa itu bersalah atau tidak. Hakim diberi
kebebasan untuk menentukan putusan yang diambilnya dengan
tetap memperhatikan tanggung jawab dengan moral yang tinggi
atas landasan tanggung jawab demi mewujudkan kebenaran
sejati.
c. Asas batas minimum pembuktian yaitu sesuai dengan Pasal 183
Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana hakim dalam memberikan putusan harus berdasarkan
minimal dua alat bukti dan dengan alat bukti tersebut hakim
memperoleh keyakinan untuk memberikan keputusan
dipersidangan.26
26
Ibid, Hal.309-312.
37
4. Petunjuk
Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat (1), (2), (3)
Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Didalam Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidanz, petunjuk diartikan sebagai perbuatan, kejadian
atau keadaan yang karena penyesuaiannya, baik antara satu dengan yang
lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Di dalam Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana dijumpai kata-kata “menandakan”
yang maksudnya adalah bahwa justru oleh karena tidak mungkin
dapat diperoleh oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh
kepastian mutlak bahwa terdakwa benar-benar telah bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya secara pasti,
maka dari kata-kata demikian dipergunakan kepadanya secara pasti,
maka dari kata-kata demikian dipergunakan, sehingga dari sekian
banyak petunjuk yang ada telah dapat terbukti. Bahwa perbuatan,
kejadian atau keadaan yang dianggap sebagai petunjuk haruslah ada
kesesuaian antara satu dengan yang lain, karena justru pada
persesuaian itulah letak kekuatan utama dari petunjuk-petunjuk
sebagai sebagai alat bukti. Dan dari bunyi Pasal 188 (1) Undang-
Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang
menyatakan bahwa diantara petunjuk-petunjuk itu harus ada
“persesuaian”, maka hal itu berarti bahwa sekurang kurangnya
harus ada dua petunjuk untuk memperoleh bukti yang sah, namun
kalau bunyi pasal itu lebih diteliti lagi ternyata satu satu perbuatan
saja yang ada persesuaiannya dengan tindak pidana itu, ditambah
dengan satu alat bukti yang lain dan yang berkesesuaian
keseluruhannya, maka sudah cukup alasan untuk menyatakan
bahwa menurut hukum perbuatan yang didakwakan telah terbukti.27
27
I Ketut Martika, SH & Djoko Prakoso, SH., 1992, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran
Kehakiman, Rineka Cipta, Hal.44.
38
Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana menegaskan bahwa petunjuk itu diperoleh dari
keterangan saksi, surat, dan juga keterangan dari terdakwa dimana
diantara ketiganya harus ada kesesuaian dan saling berhubungan.
Persesuaian antara perbuatan, kejadian satu sama lain menunjukkan
adanya suatu tindak pidana atau tidak, jika tidak ada persesuaian
diantara ketiga alat bukti diatas maka belum bisa ditentukan itu
merupakan petunjuk dan yang dapat melakukan penilaian itu merupakan
petunjuk dalam setiap keadaan atau bukan adalah hakim, dimana harus
melakukan pemeriksaan secara seksama dan cermat berdasarkan hati
nuraninya.
Pasal 188 ayat (3) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana menerangkan bahwa:
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi
bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh
kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Berdasarkan Pasal 188 ayat (3) Undang-Undang No 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana sangat berpengaruh dalam setiap
penggunaan alat bukti petunjuk sebagai dasar penilaian pembuktian
kesalahan terdakwa, karena nantinya akan berpengaruh terhadap
tanggung jawab sebagai seorang hakim yang merangkai alat bukti yang
ada sehingga menjadi dasar penjauhan hukuman. Dalam praktek
penggunaan alat bukti petunjuk dalam persidangan sangat dihindari bila
39
perlu menggunakan alat bukti yang lainnya kecuali jika dalam keadaan
yang penting dan mendesak sekali maka alat bukti petunjuk dapat
digunakan jika alat bukti yang lain belum mencukupi untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Dinilai juga bahwa alat bukti
petunjuk digunakan manakala alat bukti yang lain belum mencukupi
batas minimum pembuktian yang sesuai dala Pasal 183 Undang-Undang
No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Alat bukti petunjuk dalam persidangan dilihat dari persesuaian
antara alat bukti satu dengan yang lainnya sehingga hakim memperoleh
gambaran mengenai proses terjadinya tindak pidana dan penyebab
terjadinya tindak pidana. Sumber dari alat bukti petunjuk diperoleh
hakim dengan memperhatikan alat bukti yang lain sehingga diperoleh
persesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan yang sebenarnya.
Pada Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana ditentukan secara limitatif untuk mencari bukti
petunjuk yaitu diperoleh dari :
- Keterangan saksi
- Surat
- Keterangan terdakwa
Alat bukti petunjuk tidak mencantumkan alat bukti ahli karena
keterangan ahli diperoleh dari keterangan dari pakar dalam bidang
keilmuan yang terkait yang bersifat subyektif dari pengetahuan masing-
masing ahli dan dalam hal ini kemungkinan besar sudah telah
40
bercampur dengan nilai-nilai budaya, keyakinan, latar belakang hidup,
pendidikan dari ahli itu sendiri dan cenderung akan selalu
membenarkan pendapatnya sehingga tidak bernilai obyektif.
Alat bukti petunjuk baru ada jika sudah ada alat bukti yang lain
sehingga sifatnya menggantungkan alat bukti yang lain atau “asessoir”.
Dengan kata lain alat bukti petunjuk tidak akan pernah ada jika jika alat
bukti lain. Nilai kekuatan pembuktian petunjuk dilihat dari :
- Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang
diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas
menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya
pembuktian,
- Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri
membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada
prinsip batas pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus
didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang
lain.28
5. Keterangan terdakwa
Pengaturan tentang keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal
189-193 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, dan dalam Pasal 189 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana mengartikan mengenai keterangan
terdakwa yaitu :
“keterangan terdakwa ialah apa yang didakwakan di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami
sendiri.”
28
Yahya Harahap, Op.cit, Hal.317.
41
Keterangan terdakwa disini bukan berarti pengakuan terdakwa
yang ada dalam HIR. Akan tetapi keterangan terdakwa bersifat lebih
luas baik yang merupakan penyangkalan, pengakuan, ataupun
pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Suatu perbedaan yang
jelas antara keterangan terdakwa dengan pengakuan terdakwa sebagai
alat bukti ialah keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi
membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada
terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.
Dengan dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai
alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua
keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berbentuk
penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagai dari
perbuatan atau keadan. Tidak perlu hakim mempergunakan seluruh
keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian menurut HR
dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944, NJ.44/45 No.59.
sedangkan pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat
berikut.
- Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan
- Mengaku ia bersalah.29
Menurut Memorie van Toelichting Ned Sv. Penyangkalan
terdakwa atas dakwaan yang ditujukan pada dirinya boleh menjadi alat
bukti yang sah, hal ini lah yang menjadi konsekuensi penggunaan kata
keterangan terdakwa sehingga hakim harus mendengarkan
penyangkalan dan pengakuan dari terdakwa.
Keterangan terdakwa yang dapat diambil sebagai alat bukti
yang sah harus mengandung beberapa asas, yaitu :
29
Andi Hamzah, Op.cit, Hal.278.
42
a. Keterangan terdakwa dinyatakan disidang pengadilan. Keterangan
terdakwa bisa menjadi alat bukti jika dikemukakan disidang
pengadilan, baik itu yang berbentuk penjelasan yang diutarakan
sendiri, penjelasan ataupun jawaban terdakwa yang diajukan
kepadanya oleh hakim, penuntut umum atau penasehat hukum baik
yang berbentuk penyangkalan ataupun pengakuan. Ada juga
keterangan terdakwa yang dikemukakan diluar persidangan seperti
pada waktu penyidikan dan penyelidikan di kepolisian dapat
digunakan untuk membantu untuk menemukan bukti disidang
asalkan keterangan didukung oleh suatu alat yang sah sepanjang
mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat (2)
Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana)
dan keterangan yang dinyatakan di luar sidang sepanjang mengenai
hal yang didakwakan kepadanya. Selain itu keterangan yang
diberikan haruslah dinyatakan di depan penyidik, dicatat dalam
berita acara penyidik, kemudian ditanda tangani oleh penyidik dan
terdakwa;
b. Keterangan terdakwa berisi tentang perbuatan yang ia lakukan atau
yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;
c. Keterangan terdakwa hanya mempunyai alat bukti terhadap diri
sendiri.
43
Mengenai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, bahwa
seperti alat bukti yang lainnya untuk menemukan kebenaran materiil
maka harus memenuhi Pasal 183 Undang-Undang No 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana yaitu paling tidak harus memenuhi batas
minimum pembuktian dengan 2 alat bukti yang sah, oleh karena itu pada
Pasal 189 (4) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana juga menjelaskan:
“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.”
Paling tidak dalam suatu tindak pidana selain keterangan
terdakwa harus ada satu alat bukti lain yang mendukung sehingga hakim
dapat mengambil putusan, selain itu dengan alat bukti tersebut timbul
keyakinan hakim atas tindak pidana tersebut bahwa terdakwa bersalah
atau tidak atas dakwaan yang ditujukan padanya. Kemudian sifat nilai
kekuatan pembuktiannya adalah bebas, maka dengan ini hakim tidak
terikat pada nilai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa atau
menyingkirkan kebenaran yang terkandung didalamnya, karena segala
sesuatunya harus ada alasan yang logis yang bisa diterima oleh hakim.
Alat bukti yang ada dalam Pasal 184 Undang-Undang No 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana tersebut dapat dihadirkan oleh terdakwa
dan juga oleh pihak kejaksaan. Alat bukti yang dihadirkan oleh terdakwa
biasanya terkait untuk meringankan hukuman terdakwa yang sering disebut
44
saksi yang meringankan sedangkan alat bukti yang dihadirkan oleh jaksa
terkesan memberatkan atau untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi
tindak pidana karena peran dari jaksa penuntut umum dalam persidangan
adalah sebagai wakil negara yang harus menyandarkan sikapnya kepada
kepentingan masyarakat dan negara sehingga sifatnya harus bersifat
obyektif. Selain itu dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan
keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan
terdakwalah yang melakukan tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut
hakim tidak menemukan keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa
dijadikan acuan untuk membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana.
Dalam pemeriksaan perkara pidana yang sifatnya ingin mengejar kebenaran
materiil agar terdakwa diperiksa jangan membawa-bawa orang lain yang
tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan untuk menghindari adanya
fitnah terhadap diri orang lain yang tak bersalah.
C. Informasi dan Transaksi Elektronik
1. Pengertian Informasi dan Transaksi Elektronik
Didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik terdapat perluasan dari pengertian alat bukti
(limitatif) yang terdapat di Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimaksud dengan
Informasi Elektronik adalah:
45
“satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas
pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks,
telecopy atau sejenisnya, huruf, angka, Kode Akses, symbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.”
Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE), informasi
elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti
hukum yang sah. Yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap
informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.30
Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE), informasi
elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti
hukum yang sah. Yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap
informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau
30
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c47cc2381f7a/Talk!hukumonline-discussion. Diakses pada tanggal 21 September 2012.
46
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.31
Menurut Pasal 5
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang sah sebagai berikut:
(1) Informasi dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat
bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah
apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk
tertulis; dan
b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus
dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat
pembuat akta.
2. Asas dan Tujuan Informasi dan Transaksi Elektronik
Dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik
dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian,
itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi
berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
31
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c47cc2381f7a/Talk!hukumonline-discussion. Diakses pada tanggal 21 September 2012.
47
Informasi dan Transaksi Elektronik. Dimana didalam penjelasan undang-
undang tersebut terdapat pengertian yang lebih rinci yaitu sebagai berikut:
a. Asas kepastian hukum yang berarti landasan hukum bagi pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala sesuatu yang
mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum
di dalam dan di luar pengadilan.
b. Asas manfaat yang berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung proses
berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
c. Asas kehati-hatian berarti landasan bagi pihak yang bersangkutan harus
memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian,
baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam pemanfaatan Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik.
d. Asas itikad baik berarti asas yang digunakan para pihak dalam
melakukan Transaksi Elektronik tidak bertujuan untuk secara sengaja
dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak
lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut.
e. Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi berarti asas
pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik tidak
terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti
perkembangan pada masa yang akan datang.
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat
informasi dunia;
b. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk
memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan
pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan
bertanggung jawab; dan
e. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi
pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
48
3. Penyelenggaran Sistem Elektronik
Keberadaan barang bukti sangat penting dalam investigasi kasus-
kasus computer crime maupun computer-related crime karena dengan
barang bukti inilah investigator dan analis forensik dapat mengungkap
kasus-kasus tersebut dengan kronologis yang lengkap, untuk kemudian
melacak keberadaan pelaku dan menangkapnya. Oleh karena posisi barang
bukti ini sangat strategis, investigator dan analis forensik harus paham jenis-
jenis barang bukti. Adapun klasifikasi barang bukti menurut Muhammad
Nuh Al-Azhar sebagai berikut:
1. Barang bukti elektronik
Barang bukti ini bersifat fisik dan dapat dikenali secara visual,
sehingga investigator dan anlis forensik harus sudah memahami serta
mengenali masing-masing barang bukti elektronik ini ketika sedang
melakukan proses pencarian (searching) barang bukti di TKP. Jenis-
jenis barang bukti elektronik adalah sebagai berikut:
1) Computer PC, laptop/notebook, netbook, tablet;
2) Handphone, smartphone;
3) Flashdisk/thumb drive;
4) Floppydisk;
5) Harddisk;
6) CD/DVD;
7) Router, switch,hub;
8) Kamera video, CCTV;
9) Kamera digital;
10) Digital recorder;
11) Music/video player, dan lain-lain.
2. Barang bukti digital
Barang bukti ini bersifat digital yang idekstrak atau di-recover dari
barang bukti elektronik. Barang bukti ini dalam Undang-Undang
No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dikenal
dengan istilah informasi elektronik dan dokumen elektronik. Jenis
barang bukti inilah yang dicari oleh analis forensik untuk kemudian
dianalisis secara teliti keterkaitan masing-masing file dalam rangka
49
mengungkap kasus kejahatan yang berkaitan dengan barang bukti
elektronik. Berikut adalah contoh-contoh barang bukti digital.
a. Audio file, yaitu file yang berisikan suara, music, dan lain-lain,
yang biasanya berformat wav, mp3, dan lain-lain.
b. Video file, yaitu file yang memuat rekaman video, baik dari
kamera digital, handphone, handycam, maupun CCTV. File
video ini sangat memungkinkan memuat wajah pelaku kejahatan
sehingga file ini perlu dianalisis secara detail untuk memastian
bahwa yang ada di file tersebut dalah pelaku kejahatan.
c. Image file, yaitu file gambar digital yang sangat memungkinkan
memuat informasi-informasi penting yang berkaitan dengan
kamera dan waktu pembuatannya (time stamps).32
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa ada
perbedaan antara barang bukti elektronik dengan barang bukti digital.
Barang bukti elektronik berbentuk fisik, sementara barang bukti digital
memiliki isi yang bersifat digital.33
Tidak sembarang informasi elektronik/dokumen elektronik dapat
dijadikan alat bukti yang sah. Menurut Pasal 16 Undang-Undang No 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, suatu informasi
elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti
apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu
sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan
minimum, sehingga dapat:
32
Muhammad Nuh Al-Azhar. 2012. “Digital Forensic Panduan Praktis Investigasi Komputer”.
Jakarta: Salemba Infotek. Hal 27-29. 33
Ibid. Hal 29.
50
1. Menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan
dengan peraturan perundang-undangan;
2. Melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan
keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem
elektronik tersebut;
3. Beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan
bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang
bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
dan
5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,
kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Disamping itu, ada beberapa jenis dokumen yang tidak dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang sah apabila dibuat dalam bentuk informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik berdasarkan Pasal 5 angka 4
Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk
tertulis; dan
2. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus
dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat
pembuat akta.
Dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat ketentuan lain selain
yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang mensyaratkan bahwa suatu
informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum
51
didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Dalam penjelasan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, hanya disebutkan bahwa surat yang
menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis itu meliputi
namun tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat
yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana dan
administrasi Negara.34
Dengan kata lain, kekuatan alat bukti tersebut sangat tergantung
pada keyakinan hakim sebagai pemutus perkara. Di lapangan, ada yang
mempersoalkan legalitasnya, tetapi ada juga yang menerima seperti
ungkapan yang pernah diucapkan oleh Taverne: Geed me goede rechter,
goede rechter commissarissen, goede officieren van justitie en goede politie
ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede
beruken. Beliau mengatakan bukan rumusan undang-undang yang menjamin
kebaikan pelaksanaan hukum acara pidana, tetapi hukum acara pidana yang
jelek pun dapat menjadi baik jika pelaksanaan ditangani oleh aparat penegak
hukum yang baik.35
34
http://arijuliano.blogspot.com/2008/04/apakah-dokumen-elektronik-dapat-menjadi.html. diakses pada tanggal 21 September 2012.
35 M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Dalam
Penyidikan dan penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 6.
52
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis normatif,
yaitu penelitian yang menggunakan legis positivis, yang menyatakan bahwa
hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh
lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsepsi ini memandang
hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas
dari kehidupan masyarakat.36
Sedangkan metode pendekatan yang digunakan
adalah:
1. Pendekatan PerUndang-Undang (Statute Approach)
Peneliti melihat hukum sebagai sistem tertutup yang memiliki sifat-sifat
Comprehensive adalah norma-norma hukum yang ada didalamnya terkait
satu dengan yang lainnya, All Inclusive adalah hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada sehingga tidak ada kekurangan
hukum, dan Systematic adalah disamping antar satu dengan yang lainnya,
norma hukum tersebut harus tersusun secara hierarkis.37
2. Pendekatan Kasus (Case Approach)
36
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Edisi Pertama Cetakan Ke-7, Jakarta,
Kencana, hal.37. 37
Ibid, hal. 19
52
53
Pendekatan kasus digunakan untuk mempelajari penerapan norma-norma
atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama kasus-
kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam
yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian.
Dalam suatu penelitian normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk
memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu
aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya
untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum.38
3. Pendekatan Analisis (Analitycal Approach)
Maksud utama analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui makna
yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan
perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui
penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum.39
B. Spesifikasi Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan
terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan
hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan
norma-norma hukum.40
38
Johnny Ibrahim. 2005. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia
Publishing. hlm 321. 39
Ibid., hlm 310-311. 40
Ibid, hal 22.
54
Dalam usaha memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun penulisan
hukum, maka akan dipergunakan spesifikasi penelitian Preskriptif. Spesifikasi
penelitian ini adalah Preskriptif, yaitu suatu penelitian yang menjelaskan keadaan
obyek yang akan diteliti melalui kaca mata disiplin hukum, atau sering disebut
oleh Peter Mahmud Marzuki sebagai yang seyogyanya.41
Soerjono Soekanto
menambahkan bahwa, penelitian preskriptif yaitu suatu penelitian yang
dimaksudkan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus
dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.42
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Purwokerto.
D. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier untuk mendapatkan hasil yang
obyektif dari penelitian ini, yaitu :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat
berupa peraturan per-Undang-Undangan yang berlaku.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, antara lain pustaka di bidang
ilmu hukum, hasil penelitian di bidang hukum, artikel-arikel maupun
jurnal ilmiah, baik dari koran maupun internet.
41
Ibid, hal. 91 42
Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal. 10.
55
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data akan dilakukan dengan cara studi kepustakaan dengan
menginventarisir peraturan PerUndang-Undangan , dokumen-dokumen resmi,
hasil penelitian, makalah, dan buku-buku yang berkaitan dengan materi yang
menjadi objek penelitian untuk selanjutnya dipelajari dan dikaji sebagai satu
kesatuan yang utuh.
F. Metode Penyajian Data
Data yang berupa bahan-bahan hukum yang diperoleh kemudian akan disajikan
dalam bentuk teks naratif , uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis
dan rasional. Keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan
yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga
merupakan satu kesatuan yang utuh.
G. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis menggunakan metode
analisis normatif kualitatif, yaitu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut logis,
tidak tumpang tindih dan efektif, kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan
hasil pembahasan diambil kesimpulan secara induktif sebagai jawaban terhadap
permasalahan yang diteliti. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji dalam hal ini
memberikan pendapatnya bahwa normatif kualitatif yaitu dilakukan dengan cara
menjabarkan data-data yang diperoleh berdasarkan norma-norma hukum, teori-
56
teori, serta doktrin hukum dan kaidah yang relevan dengan pokok
permasalahan.43
43
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 2010. Hal 98.
57
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian diperoleh data sebagai berikut:
1. Duduk Perkara:
Berawal pada hari Kamis tanggal 1 Maret 2012 sekitar jam 09.30
WIB, terdakwa yaitu Y.I berkumpul dengan A.N., L.K., dan A.B. disamping
SPBU Ovis Isdiman Purwokerto Kabupaten Banyumas untuk membagi
tugas, dimana A.N. bertugas masuk kedalam ATM dan mengganjal dengan
korek api, dan terdakwa bertugas untuk memasang stiker diatas mesin ATM,
kemudian L.K. bertugas mengawasi mesin ATM setelah memasang korek
api dan stiker, sedangkan A.B. bertugas yang menyarankan agar setelah
kartu ATM tersangkut untuk menghubungi call center yang ada di stiker dan
selanjutnya A.N. yang menjawabnya.
Setelah pembagian tugas masing-masing dilaksanakan kemudian
sekitar jam 10.00 WIB datang saksi korban W.S. hendak mengambil uang
yang ada di ATM BII. Ketika saksi korban W.S. hendak mengambil uang,
terdapat gangguan karena kartu ATM tidak dapat keluar dan tiba-tiba masuk
teman Terdakwa A.B. menyarankan agar menghubungi nomor HP yang
tertera pada stiker di mesin ATM, setelah itu saksi korban menghubungi
57
58
nomor tersebut dan disuruh mengikuti panduan untuk mengeluarkan kartu
ATM, dan saksi korban W.S. mengikuti panduan tersebut namun tidak
berhasil, kemudian A.N. (DPO) meminta segera melakukan pemblokiran
kartu ATM dan meminta data pribadi termasuk nomor PIN kartu ATM
selanjutnya saksi korban W.S. memberikan nomor PIN kartu ATM tersebut.
Bahwa kemudian setelah saksi korban W.S. menunggu beberapa
saat, petugas yang teknisi dari BII tidak datang juga , dan saksi korban W.S.
masuk kembali kedalam, stiker bertuliskan nomor call center yang
sebelumnya terpasang di mesin ATM BII sudah tidak ada dan melihat kartu
ATM BII miliknya sudah tidak ada didalam mesin ATM.
Bahwa selanjutnya saksi korban W.S. melaporkan kepada pihak
BII, komplain terhadap kartu ATM miliknya yang sudah hilang dan
melakukan pemblokiran, selanjutnya pihak BII membuat surat komplain dari
saksi korban W.S. dan melakukan pemblokiran terhadap kartu ATM, setelah
di printout rekening tabungan milik saksi korban W.S. yang semula
berjumlah Rp. 1.556.762,- (satu juta lima ratus lima puluh lima enam ribu
tujuh ratus enam puluh dua rupiah) berkurang hingga saldo terakhir menjadi
Rp. 96.762,- (Sembilan puluh enam ribu tujuh ratus enam puluh dua
rupiah).
Bahwa kemudian pada hari Rabu tanggal 28 Maret 2012 sekitar jam
10.00 WIB di ATM BII SPBU Ovis Isdiman Purwokerto terdakwa bersama-
sama dengan temannya A.N., L.K., A.B. melakukan kembali perbuatannya,
59
yaitu pada saat saksi korban A.S. hendak melakukan transaksi pengambilan,
saat hendak menekan nomor PIN ATM nya, muncul tulisan dilayar “mesin
tidak dapat digunakan” dan kemudian berusaha mengeluarkan kartu ATM
tersebut namun tidak berhasil, tiba-tiba datang teman terdakwa A.B. masuk
dan menyarankan agar menghubungi call center teknisi yang ada pada stiker
di mesin ATM BII lalu teman terdakwa A.B. keluar dari kamar ATM.
Setelah saksi korban A.S. menghubungi nomor telepon yang tertera
pada stiker, lalu datang petugas dari BII yaitu saksi Arif dan saksi Didik
yang menyarankan agar tetap berbicara sampai teman Terdakwa A.N. (DPO)
tersebut meminta nomor PIN, dan saksi korban A.S. memberikan nomor PIN
palsu.
Setelah saksi korban A.S. selesai berbicara kemudian datang
terdakwa menuju kamar ATM BII tersebut, berusaha untuk mengeluarkan
kartu ATM milik saksi korban A.S. namun tidak berhasil, dan perbuatan
terdakwa diketahui oleh saksi Arif dan saksi Didit kemudian dilakukan
penangkapan terhadap terdakwa berikut barang bukti berupa 1 buah kartu
ATM BII guna pemeriksaan lebih lanjut.
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum:
Dakwaan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam
perkara Nomor: 85/Pid.B/2012/PN.Pwt. adalah dakwaan Alternatif. Adapun
dakwaan sebagai berikut:
60
DAKWAAN PERTAMA:
Bahwa Y.I. bersama-sama dengan A.N., L.K., A.B., pada hari Kamis
Tanggal 1 Maret 2012 sekitar jam 10.00 WIB setidak-tidaknya pada suatu
waktu dalam bulan Maret Tahun 2012 bertempat di ATM BII SPBU Ovis
Isdiman Purwokerto Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya pada suatu
tempat lain masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
Purwokerto yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini,
mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum,
yang dlakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, atau,
DAKWAAN KEDUA:
Bahwa Y.I. bersama-sama dengan A.N., L.K., A.B., pada hari Kamis
Tanggal 1 Maret 2012 sekitar jam 10.00 WIB setidak-tidaknya pada suatu
waktu dalam bulan Maret Tahun 2012 bertempat di ATM BII SPBU Ovis
Isdiman Purwokerto Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya pada suatu
tempat lain masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
Purwokerto yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu,
dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, mengerakan
orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya
61
member hutang maupun menghapuskan piutang, yang melakukan,
yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan.
3. Pembuktian
Hakim dalam perkara ini memeriksa beberapa alat bukti dan barang
bukti di persidangan, yaitu:
1. Alat Bukti Saksi
a. Saksi A.H.
- Bahwa saksi pernah diperiksa di Kepolisian dan keterangan
yang saksi berikan sudah benar dan saksi diperiksa oleh Polisi
karena saksi tahu adanya pengganjalan di mesin ATM BII yang
berlokasi di SPBU Ovis Isdiman Purwokerto.
- Bahwa saksi bekerja di BII cabang Purwokerto.
- Bahwa kejadian tersebut pada hari Rabu 28 Maret 2012, di
lokasi SPBU Ovis Isdiman Purwokerto.
- Bahwa keterangan saksi sama dengan saksi ke 1 D.K., karena
saksi satu team dari Bank BII yang mendapat tugas dari
pimpinan.
- Bahwa pada saat saksi menangkap terdakwa, terdakwa bilang
mau ambil ATMnya yang bermasalah.
- Bahwa saksi menanyakan kartu ATMnya dan terdakwa
memperlihatkan ATM BII tapi tidak bisa keluar masih didalam
mesin.
62
- Bahwa sebelum saksi A.S. ada orang lain yang ambil di ATM
BII tersebut tetapi tidak bisa.
- Bahwa saksi melihat ada kartu ATM milik A.S. (saksi 1).
- Bahwa benar dilayar monitor ATM ditempel stiker nomor
telepon pengaduan dan sudah ketahuan yang memasang adalah
terdakwa sendiri.
- Bahwa benar terdakwa orang yang diperlihatkan Hakim adalah
terdakwa yang saksi tangkap.
- Bahwa ATM BII bisa ke jaringan apa saja.
- Bahwa pada saat saksi menerima laporan, nasabah bilang
ATMnya terganjal.
- Bahwa saksi melihat memang kartu terganjal, akan tetapi tidak
terlihat terganjal.
- Bahwa saksi menyita dari terdakwa kartu ATM BII yang sudah
matimilik terdakwa dan saksi mencurigai terdakwa sejak
tertangkap.
- Bahwa saksi tahu terdakwa yang memasang stiker di layar
ATM, melihat dari CCTV di ATM dan saksi juga melihat
terdakwa memasang stiker di ATM BRI.
- Bahwa saksi tahu terdakwa memasang stiker di ATM BRI saksi
diperlihatkan oleh Polisi dari CCTV yang ada di Kepolisian
ternyata terlihat terdakwa yang memasang stiker di ATM BRI.
63
- Bahwa pada saat saksi menangkap terdakwa, terdakwa sudah
membawa ATM BII yang dijadikan sebagai barang bukti.
b. Saksi S.A.
- Bahwa saksi pernah diperiksa di Kepolisian dan keterangan
yang saksi berikan sudah benar.
- Bahwa saksi bekerja di BII Cabang Purwokerto dan bekerja di
di bagian OB yang tugasnya sehari-hari adalah jadwal rutin
bergantian setiap seminggu sekali dengan B.D.dan A.D.(bukan
saksi) dengan jadwal kegiatan sekitar pukul 06.00 WIB datang
kekantor BII Cabang Purwokerto untuk membersihkan ruangan
kantor dan mesin ATM di SPBU Ovis Isdiman Purwokerto.
- Bahwa saksi membersihkan mesin ATM BII cabang
Purwokerto di lokasi ATM Ovis Isdiman sekitar pukul 08.00
WIB, pukul 10.00 WIB, pukul 13.00 WIB, dan ukul 15.00
WIB, di ATM Moro pukul 08.15 WIB dan pukul 15.15 WIB, di
mesin ATM Sri Ratu pukul 08.30 WIB dan 15.30 WIB.
- Bahwa saksi tahu kejadian tersebut saat itu saksi dilapori oleh
salah satu nasabah yang katanya ATMya macet.
- Bahwa setelah saksi mendapat laporan, saksi menelepon
melaporkan ke kantor Bank BII cabang Purwokerto ke bagian
ATM BII.
64
- Bahwa saksi melihat ada CCTV di ruang mesin ATM bagian
sebelah barat.
- Bahwa benar hasil yang diperlihatkan di CCTV adalah benar
terdakwa yang melakukan.
- Bahwa benar baju, sepatu yang diperlihatkan di muka
persidangan adalah yang dipakai terdakwa waktu itu.
- Bahwa pada saat saksi diperlihatkan oleh Polisi hasil CCTV di
ATM Bank BRI, orangnya sama dengan terdakwa.
- Bahwa saksi melihat pada saat terdakwa diatangkap, terdakwa
memegang ATM tersebut.
c. Saksi A.I.
- Bahwa saksi pernah diperiksa di Kepolisian dan keterangan
yang saksi berikan sudah benar, dan saksi dijadikan saksi
karena saksi mendapat SMS Gesper diaman ada mesin ATM
yang trobel.
- Bahwa saksi bekerja di Bank BII cabang Purwokerto dibagian
ITE sudah 9 tahun.
- Bahwa tugas dan tanggung jawab saksi di Bank cabang
Purwokerto adalah tentang hardware, software, komunikasi
data, intrastruktur, ATM dan pelatihan
65
- Bahwa saksi pernah mendatangi ATM di lokasi SPBU Ovis
Isdiman Purwokerto karena saksi menerima laporan mengenai
kartu ATM yang menyangkut.
- Bahwa setelah saksi mendapat laporan, saksi mendatangi
lokasi, setelah saksi sampai di TKP saksi ketemu D.K., Agus,
Arif dan Jito semuanya karyawan BII Purwokerto (team ATM)
serta korban (W.S.) selanjutnya saksi melihat seorang laki-laki
(sebagaimana terekam file CCTV) dan saksi membuka lemari
CCTV pada mesin ATM tersebut untuk mengambil video
rekaman, setelah rekaman diputar dihadapan pelaku dan
petugas/Anggota Reskrim Polsek Purwokerto Timur, benar
bahwa seorang laki-laki yang telah diamankan sama dan cocok
dengan rekaman, selanjutnya pelaku diamankan oleh
petugas/Reskrim Polsek Purwokerto Timur.
- Bahwa saksi melihat terdakwa yang melakukan pengganjalan
ATM dan pemasangan stiker palsu di ATM dari CCTV dan
saksi melihat di CCTV terdakwa masuk ruang mesin ATM
tersebut dua kali dengan jarak 10 menit sampai 15 menit.
- Bahwa saksi melihat pelkunya di CCTV ada 4 orang pelaku.
- Bahwa pada waktu penangkapan terdakwa sendirian.
- Bahwa dari kejadian tersebut awalnya saksi tidak mengetahui
ada uang yang terambil, setelah nasabah BII KC Purwokerto
66
An. W.S. yang pada saat transaksi dimesin ATM SPBU Ovis
Isdiman Purwokerto kartu ATM nya tersangkut pada tanggal 1
Maret 2012, dan setelah korban mengecek ternyata saldonya
hilang Rp. 1.450.000,--.
- Bahwa saksi membenarkan baju dan sepatu yang diperlihatkan
dimuka persidangan adalah yang dipakai oleh terdakwa waktu
tertangkap.
2. Keterangan Terdakwa
Menimbang, bahwa dipersidangan telah didengarkan
keterangan Terdakwa yang pada pokoknya menerangkan sebagai
berikut:
- Bahwa terdakwa pernah diperiksa di Kepolisian dan keterangan
yang terdakwa berikan sudah benar.
- Bahwa terdakwa diperiksa karena ada permasalahan terdakwa
bersama teman-teman melakukan pengganjalan di ATM BII.
- Bahwa teman-teman terdakwa adalah A.N., L.K. dan A.B..
- Bahwa yang punya ide untuk mengambil uang di ATM dengan cara
merusak/mengganjal mesin ATM adalah A.N..
- Bahwa sasaran yang terdakwa dan teman terdakwa tuju di ATM BII
Pom Bensin Jl. Ovis Isdiman Purwokerto.
- Bahwa yang masuk pertama memasang batang korek api pada
mesin ATM adalah A.N..
67
- Bahwa kejadiannya pertama tanggal 1 Maret 2012 dan yang kedua
pada tanggal 28 Maret 2012.
- Bahwa terdakwa ketahuan karena ada orang masuk ke ATM BII
tersebut.
- Bahwa terdakwa ditangkap pada tanggal 28 Maret 2012 sekitar
pukul 10.00 WIB di ATM BII di Pom Bensin Jl. Ovis Isdiman
Purwokerto.
- Bahwa ATM yang terganjal masih berada di mesin ATM dan
terdakwa tidak bisa mengambil.
- Bahwa terdakwa tidak tahu teman-teman terdakwa yang bernama
A.N., L.K. dan A.B. kemana perginya.
- Bahwa dalam melakukan kejahatan ini terdakwa bertugas
mengambil uang di ATM apabila sudah berhasil mengambil kartu
ATMnya.
- Bahwa terdakwa bersama teman-temannya mengambil kartu ATM
yang terganjal di mesin dengan cara membongkar mesin ATM
pakai alat.
- Bahwa terdakwa bersama teman-temannya berhasil mengambil
uang ATM pada kejadian tanggal 1 Maret 2012.
- Bahwa uang yang berhasil diambil pada waktu itu oleh terdakwa
dan teman-temannya sejumlah Rp. 1.450.000,--.
68
- Bahwa uang yang diambil sudah habis dibagi-bagi dengan teman-
temannya dan terdakwa mendapat bagian Rp. 200.000,-- dan
selebihnya untuk dipergunakan bersama.
- Bahwa kejadian pada tanggal 28 Maret 2012 belum berhasil dan
terus ketangkap.
- Bahwa yag menyuruh korban menghubungi No. Call Center yang
ada di mesin ATM BII tersebut adalah teman terdakwa bukan
terdakwa.
- Bahwa pada saat ditangkap terdakwa sudah tidak pegang uang,
uangnya sudah habis.
- Bahwa terdakwa sudah pernah dihukum di LP Kebonwaru
Bandung, karena masalah penipuan cek kosong.
- Bahwa teman-teman terdakwa bernama A.N. bertugas memasang
ganjal di mesin ATM, L.K. serta A.B. mengawasi dari luar mesin
ATM.
- Bahwa benar terdakwa telah mengambil uang di ATM BRI
Purwokerto, dan sudah dua kali mengambil bersama teman-
temannya.
3. Barang Bukti
Menimbang, bahwa Penuntut Umum dipersidangan telah
mengajukan barang bukti berupa:
69
1. 1 (satu) buah kartu ATM BII @ May bank
Nomor:5104811022101772 warna merah.
2. 1 (satu) buah baju hem warna abu-abu tua merek “GUESS”, 1
(satu) pasang sepatu merek FINZONI warna hitam berikut kaos
kakinya warna hitam dikembalikan kepada terdakwa.
3. 1 (satu) buah handphone merek Nokia warna hitam silver tipe 2330
C, 1 (satu) lembar stiker berlogo BII @ Maybank bertuliskan
“CALL CENTER TEKNISI HUB: 08212012342”, 4 (empat)
batang potongan batang korek api; dirampas untuk dimusnakan.
4. 1 (satu) buah kartu kredit warna kuning emas nomor: 5452 9902 51
3001 An.SIWI CHANDRA I; dikembalikan kepada saksi korban
A.S..
5. 2 (dua) buah copy CD CCTV ATM BII SPBU Ovis Isdiman
Purwokerto tertanggal 1 Maret 2012 dan 28 Maret 2012, 1 (satu)
copy CD CCTV ATM BII SPBU Ovis Isdeman Pruwokerto
tertanggal 1 Maret 2012, 1 (satu) lembar keterangan dari BII
Purwokerto dikembalikan kepada BII cabang Purwokerto melalui
saksi Didik Budi Hasyono.
B. Pembahasan
1. Alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor
:85/Pid.B/2012/PN.Pwt jika dikaitkan terhadap Pasal 184 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
70
Keberadaan barang bukti sangat penting dalam investigasi kasus-
kasus computer crime maupun computer-related crime karena dengan
barang bukti inilah investigator dan analis forensik dapat mengungkap
kasus-kasus tersebut dengan kronologis yang lengkap, untuk kemudian
melacak keberadaan pelaku dan menangkapnya. Oleh karena posisi barang
bukti ini sangat strategis, investigator dan analis forensik harus paham jenis-
jenis barang bukti. Adapun klasifikasi barang bukti menurut Muhammad
Nuh Al-Azhar44
sebagai berikut:
3. Barang bukti elektronik
Barang bukti ini bersifat fisik dan dapat dikenali secara visual, sehingga
investigator dan anlis forensik harus sudah memahami serta mengenali
masing-masing barang bukti elektronik ini ketika sedang melakukan
proses pencarian (searching) barang bukti di TKP. Jenis-jenis barang
bukti elektronik adalah sebagai berikut:
1) Computer PC, laptop/notebook, netbook, tablet;
2) CD/DVD;
3) Kamera video, CCTV;
4) Kamera digital;
5) Digital recorder;
6) Music/video player, dan lain-lain.
4. Barang bukti digital
Barang bukti ini bersifat digital yang idekstrak atau di-recover dari
barang bukti elektronik. Barang bukti ini dalam Undang-Undang No.11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dikenal dengan
istilah informasi elektronik dan dokumen elektronik. Jenis barang bukti
inilah yang dicari oleh analis forensik untuk kemudian dianalisis secara
teliti keterkaitan masing-masing file dalam rangka mengungkap kasus
kejahatan yang berkaitan dengan barang bukti elektronik. Berikut adalah
contoh-contoh barang bukti digital.
a. Audio file, yaitu file yang berisikan suara, music, dan lain-lain, yang
biasanya berformat wav, mp3, dan lain-lain.
44
Muhammad Nuh Al-Azhar. 2012. “Digital Forensic Panduan Praktis Investigasi Komputer”.
Jakarta: Salemba Infotek. Hal 27-29.
71
b. Video file, yaitu file yang memuat rekaman video, baik dari kamera
digital, handphone, handycam, maupun CCTV. File video ini
sangat memungkinkan memuat wajah pelaku kejahatan sehingga
file ini perlu dianalisis secara detail untuk memastian bahwa yang
ada di file tersebut dalah pelaku kejahatan.
c. Image file, yaitu file gambar digital yang sangat memungkinkan
memuat informasi-informasi penting yang berkaitan dengan kamera
dan waktu pembuatannya (time stamps).45
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa ada
perbedaan antara barang bukti elektronik dengan barang bukti digital.
Barang bukti elektronik berbentuk fisik, sementara barang bukti digital
memiliki isi yang bersifat digital.46
Dalam perkara Nomor:
85/PID.B/2012/PN.PWT terdapat barang bukti yaitu 3 buah CD berupa hasil
rekaman CCTV yang telah diekstrak dan dimuat dalam bentuk kepingan CD
yang berdasarkan penjelasan diatas termasuk kedalam jenis barang bukti
elektronik dan data ekstrakannya yang berupa video file yang berupa hasil
rekaman CCTV merupakan barang bukti digital.
Walaupun demikian, menurut Hakim Mohammed Chawki47
dari
Komputer Crime Research Center mengklasifikasikan bukti elektronik
menjadi 3 (tiga) kategori, sebagai berikut.
a. Real Evidence atau Physical Evidence
Bukti yang terdiri dari objek nyata atau berwujud yang dapat dilihat dan
disentuh. Real evidence juga merupakan bukti lansgung berupa rekaman
otomatis yang dihasilkan oleh komputer itu sendiri dengan menjalankan
45
Ibid. Hal 27-29. 46
Ibid. Hal 29. 47
http://tansrik.blogspot.com/2009/12/usulan-peneltian-kekuatan-pembuktian.html diakses pada
tanggal 1 Maret 2013.
72
software dan receipt dari informasi yang diperoleh dari alat yang lain,
misalnya computer log files.48
b. Testamentary Evidence
Dikenal dengan istilah hearsay evidence, dimana keterangan dari saksi
maupun ahli dapat diberikan selama persidangan, berdasarkan
pengalaman dan pengamatan individu. Perkembangan ilmu dan
teknologi sedikit banyak membawa dampak terhadap kualitas metode
kejahatan, memaksa kita untuk mengimbanginya dengan kualitas dan
metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan keahlian (skill
and knowledge).49
Kedudukan seorang ahli dalam memperjelas tindak
pidana yang terjadi serta menerangkan atau memperjelas bukti
elektronik sangat penting dalam memberikan keyakinan hakim dalam
memutus perkara kejahatan.
c. Circumstantial Evidence
Bukti elektronik terperinci yang diperoleh beradasarkan ucapan atau
pengamatan dari kejadian sebenarnya yang mendorong untuk
mendukung suatu kesimpulan, tetapi bukan untuk membuktikannya.
Circum evidence merupakan kombinasi dari real evidence dan hearsay
evidence.
Dari pendapat Hakim Mohammed Chawki lebih memperjelas
bahwa barang bukti kepingan CD rekaman CCTV yang terdapat dalam
perkara putusan Nomor: 85/PID.B/2012/PN.PWT yang merupakan barang
bukti elektronik, karena hasil ekstrakannya merupakan bukti langsung yang
berupa rekaman kronologi berlangsungnya kejadian pembobolan ATM
tersebut yang berupa video file yang merupakan barang bukti digital yang
termasuk kedalam kategori real evidence.
Pembuktian terhadap suatu tindak pidana akan selalu berkaitan
dengan alat bukti. Namun demikian, tidak ditemukan suatu definisi khusus
48
Edmon Makarim, Tindak Pidana Terkait dengan Komputer dan Internet: Suatu Kajian Pidana
Materiil dan Formil, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia, FHUI, Jakarta,
12 April 2008. 49
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I dan II, (Jakarta:
Sinar Grafika), hlm. 297.
73
mengenai apa itu alat bukti, namun secara umum yang dimaksud dengan
alat bukti adalah alat bukti yang tercanturn dalam Pasal 184 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai berikut:
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan
Fungsi dari alat bukti itu sendiri adalah untuk membuktikan adalah
benar terdakwa yang melakukan tindak pidana dan untuk itu terdakwa harus
mempertanggungiawabkan perbuatannya. Apabila berdasarkan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, maka yang
dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai "kekuatan
pembuktian" hanya terbatas kepada alat bukti yang tercantum dalam Pasal
184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. Dengan kata lain, sifat dari alat bukti menurut Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah limitatif atau
terbatas pada yang ditentukan saja, sehingga apabila ada barang bukti yang
tidak termasuk dalam klasifikasi alat bukti menurut pasal 184 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maka
barang bukti tersebut tidak sah menurut Undang-Undang tersebut. Seiring
berkembangnya teknologi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana mengenai alat bukti sudah tidak dapat lagi mengikuti
74
pesatnya perkembangan jaman. Oleh karena itu, diundangkannya Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik terdapat perluasan dari pengertian alat bukti
(limitatif) yang terdapat di Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk
setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun
di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah
hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentingan Indonesia.50
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan definisi
mengenai apa yang dimaksud dengan Informasi Elektronik, yaitu:
“satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange
(EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, angka, Kode Akses, symbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.”
Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa:
50
http://selalucintaindonesia.wordpress.com/2013/01/15/undang-undang-informasi-dan-transaksi-
elektronik/ diakses pada tanggal 1 Maret 2013
75
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya... merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.”
Ketentuan ini menegaskan bahwa alat bukti elektronik telah
diterima dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia di berbagai
peradilan, seperti peradilan pidana, perdata, agama, militer, tata usaha
negara, mahkamah konstitusi, termasuk arbitrase.51
Pemahaman “perluasan” tersebut haruslah dihubungkan dengan
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik. Perluasan yang dimaksud ialah sebagai berikut:
1. Memperluas jumlah alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana diatur 5
(lima) alat bukti. Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 maka alat bukti dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana ditambah satu alat bukti yaitu Alat Bukti
Informasi dan Transaksi Elektronik.
2. Memperluas cakupan alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang No
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hasil cetak dari Informasi
Elektronik atau Dokumen Elektronik secara hakiki ialah surat. Alat
51
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt502a53fad18dd/legalitas-hasil-cetak-tweet-sebagai-alat-bukti-penghinaan diakses pada tanggal 1 Maret 2013.
76
bukti surat telah diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
3. Perluasan juga dimaksudkan bahwa Informasi Elektronik atau Dokumen
Elektronik dapat dijadikan sumber petunjuk sebagaimana dimungkinkan
dalam beberapa Undang-Undang.52
Berdasarkan penjelasan diatas, ketentuan ini telah menegaskan
bahwa alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik yang berupa barang
bukti elektronik pada perkara Nomor : 85/Pid.B/2012/PN.Pwt yaitu 3 (tiga)
keping CD rekaman CCTV merupakan alat bukti yang berdiri sendiri atau
lebih tepatnya Lex Specialis Derogat legi Generalie dari pasal 184 Undang-
Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, hal ini juga
diperkuat pada Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa informasi elektronik dan
dokumen elektronik merupakan alat bukti lain, selain alat bukti yang
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang sudah
ada, sedangkan barang bukti digital berupa video file yang akan dilakukan
proses hashing untuk melihat keaslian dari suatu file maka banyak ahli yang
menyatakan bahwa hash sebagai digital fingerprint (sidik jari digital), hasil
dari proses tersebut akan dicetak menjadi alat bukti surat sebagai bukti
keotentikan dari alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut.
52
http://warungcyber.web.id/?p=84 diakses pada tanggal 1 Maret 2013
77
Apa yang dimaksud dengan digital signature/digital fingerprint
bukan merupakan digitized image of handwritten signature. Tanda Tangan
Elektronik (TTE) bukan tanda tangan yang dibubuhkan diatas kertas
sebagaimana lazimnya suatu tanda tangan. Tanda Tangan Elektronik adalah
tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan,
terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan
sebagai alat verifikasi dan autentikasi53
, agar suatu barang bukti elektronik
untuk dapat dikatagorikan alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik
yang sah.
Dalam pemanfaatannya, teknologi informasi dan transaksi
elektronik harus dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat,
kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral
teknologi berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dimana didalam penjelasan
undang-undang tersebut terdapat pengertian yang lebih rinci yaitu sebagai
berikut:
a. Asas kepastian hukum yang berarti landasan hukum bagi pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala sesuatu yang
mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum
di dalam dan di luar pengadilan.
b. Asas manfaat yang berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung proses
berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
53
Soemarno Partodihardjo. 2009. “Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang No.11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 86.
78
c. Asas kehati-hatian berarti landasan bagi pihak yang bersangkutan harus
memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian,
baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam pemanfaatan Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik.
d. Asas itikad baik berarti asas yang digunakan para pihak dalam
melakukan Transaksi Elektronik tidak bertujuan untuk secara sengaja
dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak
lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut.
e. Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi berarti asas
pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik tidak
terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti
perkembangan pada masa yang akan datang.
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat
informasi dunia;
b. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk
memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan
pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung
jawab; dan
e. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna
dan penyelenggara Teknologi Informasi.
Beberapa manfaat dari Undang-Undang. No 11 Tahun 2008 tentang
(ITE), diantaranya:
1. Menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi
secara elektronik.
2. Mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia
3. Sebagai salah satu upaya mencegah terjadinya kejahatan berbasis
teknologi informasi
79
4. Melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi
informasi.54
Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE), informasi
elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti
hukum yang sah. Yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap
informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.55
Menurut Pasal 5
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang sah sebagai berikut:
(1) Informasi dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat
bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah
apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk
tertulis; dan
b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus
dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat
pembuat akta.
54
http://christinamoetz.blogspot.com/2013/03/jelaskan-keterbatasan-uu-telekomunikasi.html diakses pada tanggal 1 Maret 2013.
55http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c47cc2381f7a/Talk!hukumonline-discussion.
Diakses pada tanggal 21 September 2012.
80
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik memberikan dasar penerimaan alat bukti elektronik
dalam hukum acara di Indonesia. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan
dasar hukum bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya ialah merupakan alat bukti hukum yang sah. Dari
ketentuan ini maka alat bukti dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu:
1. Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
2. Hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
Tidak sembarang informasi elektronik/dokumen elektronik dapat
dijadikan alat bukti yang sah. Menurut Pasal 16 Undang-Undang No 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, suatu informasi
elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti
apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu
sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan
minimum, sehingga dapat:
1. Menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan
dengan peraturan perundang-undangan;
2. Melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan
keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem
elektronik tersebut;
3. Beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan
bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang
bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,
kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Dengan diterapkannya unsur informasi maupun dokumen elektronik
yang mana melalui mekanisme sistem elektronik yang ketentuannya telah
81
diatur tersebut, maka sudahlah cukup memenuhi sebagai alat bukti yang sah
di persidangan melalui penerapan Undang-Undang No 11 Tahun 2008
tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik lebih-lebih jika digunakan
bersamaan dengan alat bukti lain dalam Pasal 184 Undang-Undang No 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.56
Disamping itu, ada beberapa jenis dokumen yang tidak dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang sah apabila dibuat dalam bentuk informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik berdasarkan Pasal 5 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;
dan
2. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat
dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat
akta.
Dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat ketentuan lain selain
yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang mensyaratkan bahwa suatu
informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum
56
http://tersaji.blogspot.com/2012/06/pengaruh-uu-no-11-tahun-2008-tentang.html diakses pada tanggal 1 Maret 2013.
82
didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Dalam penjelasan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, hanya disebutkan bahwa surat yang
menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis itu meliputi
namun tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat
yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana dan
administrasi Negara.57
Berdasarkan penjelasan diatas maka dalam perkara Putusan Nomor
: 85/Pid.B/2012/PN.Pwt terdapat 3 (tiga) keping CD rekaman CCTV yang
termasuk klasifikasi barang bukti elektronik yang hasil rekaman dapat
diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat
dipertanggungjawabkan berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik termasuk alat bukti
Informasi dan Transaksi Elektronik yang sah yang berdiri sendiri yang
diperkuat oleh pasal 44 Undang-Undang tersebut, sedangkan barang bukti
digital berupa video file yang menjelaskan mengenai kronologis terjadinya
tindak pidana pembobolan ATM tersebut yang didalamnya terekam
terdakwa bersama teman-temannya, barang bukti yang digunakan, serta
korban akan dilakukan proses hashing untuk melihat keaslian atau
57
http://arijuliano.blogspot.com/2008/04/apakah-dokumen-elektronik-dapat-menjadi.html.
diakses pada tanggal 21 September 2012.
83
keotentikan suatu alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut
yang kemudian hasilnya dicetak dalam bentuk surat, yang termasuk dalam
alat bukti surat yang terdapat didalam Pasal 184 Undang-Undang No 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
2. Kekuatan alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Tindak
Pidana Pencurian dengan pembobolan ATM terhadap Putusan Nomor :
85/Pid.B/2012/PN.Pwt.
Dalam perkara Nomor: 85/Pid.B/2012/PN.Pwt terdapat beberapa
barang bukti berupa 1 (satu) buah kartu ATM BII @ May bank
Nomor:5104811022101772 warna merah, 1 (satu) buah baju hem warna
abu-abu tua merek “GUESS”, 1 (satu) pasang sepatu merek FINZONI warna
hitam berikut kaos kakinya warna hitam dikembalikan kepada terdakwa, 1
(satu) buah handphone merek Nokia warna hitam silver tipe 2330 C, 1 (satu)
lembar stiker berlogo BII @ Maybank bertuliskan “CALL CENTER
TEKNISI HUB: 08212012342”, 4 (empat) batang potongan batang korek
api; dirampas untuk dimusnakan, 1 (satu) buah kartu kredit warna kuning
emas nomor: 5452 9902 51 3001 An.SIWI CHANDRA I; dikembalikan
kepada saksi korban A.S., dan 2 (dua) buah copy CD CCTV ATM BII
SPBU Ovis Isdiman Purwokerto tertanggal 1 Maret 2012 dan 28 Maret
2012, 1 (satu) copy CD CCTV ATM BII SPBU Ovis Isdeman Pruwokerto
tertanggal 1 Maret 2012, 1 (satu) lembar keterangan dari BII Purwokerto
84
dikembalikan kepada BII cabang Purwokerto melalui saksi Didik Budi
Hasyono.
Barang bukti yang dimaksud adalah barang bukti yang ada dan
ditemukan di TKP (Tempat Kejadian Perkara) pidana yang berkaitan
langsung mengenai tindak pidana yang terjadi kemudian diteliti lebih lanjut
oleh tim penyidik baik melalui pemeriksaan barang-barang yang ada di TKP.
Pada akhirnya ditemukan kesimpulan sementara mengenai proses terjadinya
tindak pidana dan penyidik dapat menemukan orang yang disangka
melakukan tindak pidana. Setelah ditemukan maka dilakukan penyitaan
terhadap barang bukti yang ditemukan di TKP oleh penyidik untuk diselidiki
lebih lanjut oleh tim ahli kepolisian yang berwenang.
Para ahli mencoba untuk mencari definisi mengenai barang bukti
dalam hukum acara pidana agar mempunyai batasan dan apa saja yang dapat
dikategorikan sebagai barang bukti.
a. Barang bukti adalah benda yang digunakan untuk meyakinkan atas
kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang dituduhkan
kepadanya; barang yang dapat dijadikan sebagai bukti dalam suatu
perkara.
b. Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam
penyitaan dan atau pengeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk
mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda
bergerak atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan dan peradilan.
c. Barang bukti adalah benda-benda yang biasa disebut Corpora Delicti
dan Instrumenta Delicti
d. Barang bukti adalah benda atau barang yang digunakan untuk
meyakinkan hakim atas kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana
yang diturunkan kepadanya.
85
e. Barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tanda sesuatu perbuatan
(kejahatan dan sebagainya).58
Antara barang bukti dan alat bukti itu berbeda alat bukti ialah
sesuatu yang jika dihadirkan ke hadapan hakim dipersidangan yang dapat
bercerita sendiri karena mempunyai kekuatan pembuktian sesuai dalam
Pasal 184 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
sedangkan barang bukti belum bisa bercerita sendiri di persidangan karena
sebelumnya pada proses penyidikan dan penuntutan sebelumnya harus
diproses terlebih dahulu agar menjadi alat bukti yang sah dipengadilan,
barang bukti belum bisa “bercerita” sendiri, maka yang dapat menceritakan
keterkaitan barang tersebut dengan perkara yang disidangkan adalah
terdakwa, saksi, atau ahli. Keterangan terdakwa, saksi, ahli, surat dan
petunjuk itulah yang kelak akan menjadi alat bukti, yang dapat dipergunakan
oleh hakim sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan dan barang bukti dapat
dihadirkan dipersidangan untuk memperkuat keterangan dari saksi, terdakwa
yang diperiksa secara langsung di persidangan oleh hakim.
Menurut Andi Hamzah bahwa barang bukti adalah sesuatu untuk
meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian atau dakwaan. Sedangkan
alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang
diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara
pidana dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa,
kesaksian, keterangan ahli, surat dan petunjuk sedang dalam perkara
perdata termasuk persangkaan dan sumpah.59
58
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum09/205711025/bab2.pdf, hal 31-32 59
Andi Hamzah, Op. Cit, hal.34.
86
Dalam beberapa barang bukti tersebut terdapat 2 (dua) buah copy
CD CCTV ATM BII SPBU Ovis Isdiman Purwokerto tertanggal 1 Maret
2012 dan 28 Maret 2012, 1 (satu) copy CD CCTV ATM BII SPBU Ovis
Isdeman Pruwokerto tertanggal 1 Maret 2012 yang termasuk klasifikasi
barang bukti elektronik. Sedangkan, pada proses pemeriksaan acara pidana
diperlukan ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana yang dalam acara
pemeriksaan biasa terkesan sulit dalam pembuktiannya dan membutuhkan
penerapan hukum yang benar dan pembuktian yang obyektif agar terhindar
dari rekayasa-rekayasa pada pelaksana persidangan. Untuk menemukan
suatu kebenaran yang obyektif diperlukan suatu pembuktian yang obyektif
juga salah satunya dengan menggunakan alat bukti. Melalui pembuktian
inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak, M. Yahya
Harahap mendefinisikan pembuktian sebagai;
“pembuktian adalah ketentuan yang beisi penggarisan dan pedoman
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga
merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
undang-undang yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan
kesalahan yang didakwakan.60
”
Selain itu dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan
keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan
terdakwalah yang melakukan tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut
60
M. Yahya harahap, 2002, pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaaan
sidang Pengadilan Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.252.
87
hakim tidak menemukan keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa
dijadikan acuan untuk membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana.
Urutan dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana bukan merupakan urutan kekuatan
pembuktian. Kekuatan pembuktian diatur pada Pasal 183 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan asas unus testis
nullus testis. Ketentuan tersebut menjadikan hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seseorang, apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah dan dengan itu hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana
tersebut apakah benar-benar terjadi dan terdakwa benar-benar terbukti
melakukan apa yang didakwakan ataupun dakwaan tersebut tidak benar
terjadi (Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana). Pembuktian tersebut harus didasarkan kepada Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu alat bukti
yang sah yang terdapat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ketentuan Pasal 183 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam membuat keputusan harus
didasarkan dengan alat-alat bukti dipersidangan dan dengan alat bukti
88
tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang tindak pidana tersebut,
karena apabila alat bukti tersebut tidak dapat meyakinkan hakim bahwa
benar terdakwa bersalah maka alat bukti tersebut dianggap hanya sekedar
barang bukti yang tidak mempunyai kekuatan pembuktian.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana tidak mengambil pengetahuan hakim sebagai alat bukti karena sistem
pembuktian yang dianut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana mencakup dubbelen grondslag dengan adanya elemen
keyakinan terhadap pembuktian berdasar undang-undang secara negatif
(negatief wetteljike bewijs theorie). Dengan itu, pengetahuan hakim menjadi
nyata di dalam keyakinan yang dirumuskan sebagai dasar pertimbangan
untuk menilai apakah alat-alat bukti untuk menghukum atau membebaskan
sudah terpenuhi.61
Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut
sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua
komponen yaitu :
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang;
2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan
subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada
yang paling dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah satu
diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian
kesalahan terdakwa.62
61
Nikolas Simanjuntak, 2009, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia,
hal 263. 62
Yahya Harahap, Op.cit, Hal.279.
89
Dalam perkara Nomor 85/Pid.B/2012/PN.Pwt terdapat barang bukti
elektronik berupa 3 (tiga) kepingan CD rekaman CCTV yang hasil
ekstraknya merupakan barang bukti digital berupa video file yang memuat
rekaman kronologis kejadian tindak pidana pencurian dengan pembobolan
ATM yang termasuk dalam kategori Real Evidence, sedangkan suatu alat
bukti Informasi dan Transaksi Elektronik untuk dapat dijadikam alat bukti
hukum yang sah harus konsisten anatara sumber yang menghasilkan dengan
print out atau digital fingerprint. Sumber dari alat bukti digital adalah
penting untuk menjamin keabsahan dan keaslian suatu alat bukti digital,
dikarenakan alat bukti digital sangat rentan untuk dilakukan perubahan oleh
siapapun sehingga dapat menyesatkan pembuktian perkara. Dalam perkara
Nomor: 85/Pid.B/2012/PN.Pwt tidak diajukannya alat bukti surat yang
merupakan hasil proses hashing yang sanagt vital untuk melihat keaslian
dari suatu file pada barang bukti elektronik berupa 3 keping CD rekaman
CCTV yang dicetak kedalam bentuk surat, sehingga tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat karena peraturan yang mengatur mengenai
barang bukti digital yang akan diajukan di persidangan harus mempunyai
sidik jari digital atau digital fingerprint yang diatur didalam peraturan RFC
3227 yang sudah berlaku secara internasional.63
63
O. C. Kaligis. 2012. “Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Dalam Prateknya”, Yarsif Watampone, Jakarta. Hal 153.
90
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Setelah dilakukan analisis dari hasil penelitian dan pembahasan maka
penulis mendapat kesimpulan sebagai berikut:
1. Alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik didalam perkara
Nomor:85/Pid.B/2012/PN.Pwt merupakan perluasan dari pasal 184 ayat (1)
Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
mengenai alat bukti yang sah. Perluasan yang dimaksud ialah:
a. Memperluas jumlah alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang No 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam Undang-Undang No
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana diatur 5 (lima) alat bukti.
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik maka alat bukti dalam Undang-
Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ditambah satu
alat bukti yaitu Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik. Inilah
yang disebut dengan Alat Bukti Elektronik.
b. Memperluas cakupan alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang No
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hasil cetak dari Informasi
Elektronik atau Dokumen Elektronik secara hakiki ialah surat. Alat
90
91
Bukti surat telah diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
2. Dalam perkara Nomor 85/Pid.B/2012/PN.Pwt terdapat barang bukti
elektronik berupa 3 (tiga) kepingan CD rekaman CCTV yang tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dikarenakan tidak diajukannya
alat bukti surat yang merupakan hasil proses hashing yang dicetak dalam
bentuk surat untuk melihat keaslian dari suatu file.
B. Saran
Seharusnya diatur lebih terperinci atau khusus dan tegas mengenai alat
bukti Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan “perluasan” dari alat
bukti didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana yang bersifat limitatif tersebut, agar tidak ada kerancuan dan multitafsir
dalam menjelaskan mengenai alat bukti Informasi dan Transaksi Elektronik sah
atau tidak jika dikaitkan dengan alat bukti yang ada didalam Undang-Undang No
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
92
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Al-Azhar, Muhammad Nuh. 2012. Digital Forensic Panduan Praktis Investigasi
Komputer. Jakarta: Salemba Infotek.
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, M. Yahya. 2001. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Dalam Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Dalam Penyidikan dan penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
Ibrahim, Johnny. 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang :
Bayu Media Publising.
Kaligis, O. C. 2012. Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik Dalam Prateknya. Yarsif
Watampone, Jakarta.
Makarao, Mohammad Taufik, 2011, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek.
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Martika, I Ketut & Djoko Prakoso, 1992, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman,
Rineka Cipta
Marzuki, Peter Mahmud. 2008. Penelitian Hukum. Edisi Pertama Cetakan Ke-7.
Jakarta. Kencana.
Pangaribuan, Luhut MP. 2005. Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di
Pengadilan oleh Advocat. Djambatan. Jakarta
Partodihardjo, Soemarno. 2009. “Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang No.11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Simanjuntak, Nikolas, 2009, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
93
Salami, Mochamad Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana dan Prektik. Mandar Maju.
Bandung.
Soekanto, Soerjono, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 2010. Penelitian Hukum Normatif, suatu
Tinjauan Singkat. Rajawali Pers. Jakarta.
Soeparmono, R. 2002, Keterangan Ahli & Visum et repertum dalam aspek hukum
acara pidana, Mandar Maju, Bandung.
Waluyadi. 1999. Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan
Khusus). Mandar Maju. Bandung.
Peraturan Perundang-undangan :
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana.
, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pengadilan Negeri Purwokerto, Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.85/Pid.
B/20l2/PN. Pwt.
Sumber-Sumber Lain:
Analisis Dokumen Elektronik oleh Ari Juliano diakses melalui
http://arijuliano.blogspot.com/2008/04/apakah-dokumen-elektronik-
dapat-menjadi.html. pada tanggal 21 September 2012.
Diskusi Hukum mengenai faksimili sebagai alat bukti oleh Hukum Online diakses
melalui
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d4134d98d224/faksimili-
sebagai-alat-bukti. pada tanggal 21 September 2012.
94
Edmon Makarim, Tindak Pidana Terkait dengan Komputer dan Internet: Suatu Kajian
Pidana Materiil dan Formil, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber
Crime di Indonesia, FHUI, Jakarta, 12 April 2008.
Hukum Online mengenai legalitas hasil cetak tweet sebagai alat bukti penghinaan
oleh Joshua Sitompul diakses melalui
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt502a53fad18dd/legalitas-
hasil-cetak-tweet-sebagai-alat-bukti-penghinaan pada tanggal 1 Maret
2013.
OpenMind diakses melalui http://tersaji.blogspot.com/2012/06/pengaruh-uu-no-11-
tahun-2008-tentang.html pada tanggal 1 Maret 2013.
Pengaturan Alat Bukti Elektronik dalam UU ITE oleh Joshua Sitompul diakses
melalui http://warungcyber.web.id/?p=84. pada tanggal 1 Maret 2013
Rikhtan Website diakses melalui http://tansrik.blogspot.com/2009/12/usulan-
peneltian-kekuatan-pembuktian.html pada tanggal 1 Maret 2013.
Selalucintaindonesia wordpress diakses melalui
http://selalucintaindonesia.wordpress.com/2013/01/15/undang-undang-
informasi-dan-transaksi-elektronik/ pada tanggal 1 Maret 2013.
Sharing Informasi diakses melalui
http://christinamoetz.blogspot.com/2013/03/jelaskan-keterbatasan-uu-
telekomunikasi.html pada tanggal 1 Maret 2013.
TalkShow mengenai Alat Bukti Informasi dan Transaksi Elektronik oleh Hukum
Online diakses melalui
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c47cc2381f7a/Talk!hukumo
nline-discussion. pada tanggal 21 September 2012.
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum09/205711025/bab2.pdf pada tanggal 25
Juni 2013.