pemberian belis (mahar) dalam adat perkawinan...
TRANSCRIPT
PEMBERIAN BELIS (MAHAR) DALAM ADAT PERKAWINAN SUKU FATALUKU
LOSPALOS TIMOR – LESTE
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Disusun Oleh:
Sarifah Dacosta Vidigal
NIM: 1112044100030
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H/2016 M.
i
ABSTRAK
Sarifah Dacosta Vidigal, NIM 1112044100030, Pemberian Belis (Mahar)
Dalam Adat Perkawinan Suku Fataluku Lospalos Timor-Leste, Jurusan Hukum
Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 1437 H/2016 M, 80 Halaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep dasar yang digunakan
masyarakat Fataluku dalam penentuan belis, serta tata cara atau praktek yang
digunakan masyarakat Fataluku sekaligus memahami sudut pandang masyarakat
dan makna filosofis yang terkandung dalam belis, yang menghubungkan dengan
kehidupan setiap hari sekaligus untuk mendapatkan pandangan masyarakat
mengenai kehidupan mereka yang berkaitan dengan belis, serta dikaitkan dengan
pandangan Islam mengenai belis dalam pemahaman masyarakat Fataluku.
Adapun penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan melakukan
pendekatan Antropologis. Penelitian ini juga dapat dikategorikan sebagai
penelitian lapangan (field research), dan merupakan kelanjutan dari penelitian
deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik saja,
melainkan juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu
terjadi. Kriteria data yang didapatkan berupa data primer dan sekunder dengan
teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, studi
dokumentasi dan studi pustaka.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan diketahui bahwa landasan yang
digunakan oleh masyarakat Fataluku dalam menentukan besarnya belis adalah
dengan melihat strata sosial penganti wanita, yang meliputi keturunan bangsawan,
jabatan, pekerjaan, jenjang pendidikan yang ditempuh serta kedekatan hubungan
antarkeluarga tersebut. Apabila semakin dekat hubungan kekerabatan, maka
semakin besar nilai belis yang harus diberikan. Ketidak mampuan memberi belis
menimbulkan sanksi sosial maupun psikologis diantaranya adalah dikucilkan dari
pergaulan, diperbincangkan oleh tetangga, ditegur oleh para pemuka adat, serta
menimbulkan rasa malu yang mendera. Selain itu, belis ini menciptakan keluarga
yang kukuh hingga akhir hayat dalam ikatan keluarga yang kuat.
Kata kunci : Belis, Tradisi, Masyarakat Fataluku Lospalos
Pembimbing : Arip Purkon, S.HI., MA.
Daftar Pustaka : 1999 Sampai 2016.
ii
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan
hidayah-Nya serta memberikan berkah, kasih sayang, dan karunianya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pemberian Belis (Mahar)
Dalam Adat Perkawinan Suku Fataluku Lospalos Timor-Leste”. Shalawat dan
salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan umatnya dari
kegelapan dunia ke zaman peradaban ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini.
Penulis sangat bahagia dan bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas
akhir dalam jenjang pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis tempuh telah
selesai. Serta penulis tak lupa meminta maaf apabila didalam penulisan skripsi ini
ada yang kurang berkanan dihati para pembaca, karena penulis menyadari bahwa
penulis masih jauh dari kesempurnaan.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin dapat
tercapai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai
ungkapan rasa hormat yang amat mendalam, penulis mengucapkan terima kasih
kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, P, hd. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil Dekan
I,II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
iii
3. Dr. H. Abdul Halim, M. Ag, dan Arip Purkon, S.HI., MA, Ketua Program
Studi Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga.
4. Pembimbing Akademik JM. Muslimin, MA., Ph.D, Dosen Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dosen pembimbing Skripsi Arip Purkon, S.HI., MA yang selalu memberi
pengarahan, pembelajaran yang baru bagi saya dengan penuh keikhlasan,
kesabaran, dan keistiqomahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Terimakasih kepada Dr. H. A. Djuaini Syukri, Lc., M.Ag. dan Hj. Hotnidah
Nasution, S.Ag., M.A. dosen penguji dalam munaqasah, para dosen yang
telah memberikan ilmunya kepada penulis, beserta seluruh staf dan karyawan
yang telah memberikan pelayanan maksimal.
7. Para narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan data-
data terkait penelitian ini, Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat Lospalos), Sr.
Carlos Dias Quintas, Sr. (Tokoh Masyarakat), Muhammad Anwar (Tokoh
Agama), beserta beberapa elemen masyarakat, Muhammad Ali, Lucia Martin,
Inacia Gutteres, Olga Dacosta, Fatimah da Silva dan Gabriela Araujo.
8. Paling istimewa untuk kedua orang tua penulis Ayahanda tercinta Sebastiao
Dacosta Vidigal dan ibunda tercinta Saudah binti Hamzah, yang tak pernah
jenuh dan tak menyerah untuk memberikan dukungan serta tak henti-hentinya
mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan. Adikku tersayang Jihan
Dacosta Vidigal dan Ete Marjani, serta seluruh Keluarga Besar Kampung
Alor Dili.
iv
9. Kepada kakek dan nenek tercinta Abdullah Balafif, Sazia Manduly loly,
Saleha dan Olandina yang selalu mendoakan Ananda dan selalu
mengingatkan ananda agar terus berjuang mencapai apa yang di impikan.
10. Kepada sahabat sekaligus teman sekamar, sekelas, seperjuangan terkhusus
Aprilia Farchataeni dan Nanik Maulidah yang selalu memberi semangat dan
selalu mengingatkan satu sama lain untuk terus maju dan berjuang
menyelesaikan penulisan skripi ini.
11. Teman seperjuangan Peradilan Agama 2012, khususnya kelas PA.A Nisa,
Putri, Aisyah, Deza, Nafis, Iffa dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu
persatu yang telah memberikan semangat untuk penulis.
12. Kepada sahabat-sahabat terbaikku Ara Dasopang, Navida, Syela, Ulan, Tyas,
Septian, Fatima wati, Anaqleto Marques, Custodio Agiar yang telah menjadi
saksi dari perjuanganku. Terimakasih telah banyak membuat cerita dalam
hidup penulis baik berupa canda tawa, tangis, dan pengorbanan. Tetap selalu
menjadi sahabat yang terbaik bagi penulis.
Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT.
Sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan
kebaikan yang berlipat ganda.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat pada saat ini, masa yang akan
datang. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih amat jauh dari
kesempurnaan karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi
kesempurnaan skripsi selanjutnya.
Jakarta, 05 Oktober 2016
Sarifah Dacosta Vidigal
v
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... ii
PERSETUJUAN PENGUJI ....................................................................... ..........ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 5
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah .......................................... 6
D. Tujuan dan Manfaat ................................................................... 6
E. Metode Penelitian ...................................................................... 7
F. Review Studi Terdahulu .......................................................... 11
G. Sistematika Penulisan .............................................................. 14
BAB II KONSEP DASAR BELIS (MAHAR) A. Pengertian Belis ....................................................................... 16
B. Sejarah Belis ............................................................................ 21
C. Syarat dan Jenis-Jenis Belis .................................................... 27
D. Bentuk dan Kadar Belis ........................................................... 33
E. Hikmah dan Tujuan Belis ........................................................ 38
BAB II PRAKTEK PEMBERIAN BELIS MASYARAKAT
FATALUKU
A. Potret Suku Fataluku ............................................................... 43
B. Budaya Sosial Masyarakat Fataluku ....................................... 47
C. Prosesi Pelaksanaan Perkawinan Adat Fataluku ..................... 47
D. Praktek Pemberian Belis Masyarakat Fataluku ....................... 52
BAB IV NILAI FILOSOFIS BELIS
A. Belis Dalam Prespsi Masyarakat Fataluku ............................ 62
B. Makna Filosofis Belis Dalam Sudut Pandang Masyarakat
Fataluku ................................................................................... 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 77
B. Saran-saran .............................................................................. 78
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 80
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemberian mahar dalam pernikahan tidak hanya sebatas budaya yang
berlaku dalam peradaban manusia, tata cara dan pemberian mahar bahkan diatur
dalam kitab suci al-Qur‟an. Pembayaran mahar pada isteri sudah dilakukan
orang Arab di zaman Jahiliyah, yakni sebelum datangnya Islam. Konsep yang
mendasarinya ialah bahwa perkawinan, menurut berbagai bentuk hukum adat
Arab,1 adalah transaksi jual beli, yakni jual beli antara suami selaku pembeli di
satu pihak dan ayah atau kerabat dekat laki-laki dari calon istri selaku pemilik
barang ( si calon isteri ) di pihak lain.2
Aturan al-Qur‟an yang begitu sederhana ternyata punya dampak yang cukup
berarti. Ia dapat mengubah kedudukan isteri dari sebagai barang dagangan
menjadi pihak yang ikut terlibat dalam kontrak. Wanita dapat meminta mahar
dalam bentuk harta dengan nilai nominal tertentu seperti uang tunai, emas,
tanah, rumah, kendaraan atau benda berharga lainnya. Mahar juga dapat berupa
mushaf al-Qur‟an serta seperangkat alat shalat. Agama Islam mengizinkan
mahar diberikan oleh pihak laki-laki dalam bentuk apapun ( cincin dari besi atau
1 Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2011), h.
151.
2 Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, (Inggris: Edinburg University Press,
1974), h. 17.
2
jasa ), namun demikian mempelai wanita sebagai pihak penerima memiliki hak
penuh untuk menerima ataupun menolak mahar tersebut.3
Mahar atau mas kawin adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh
laki-laki yang akan menikahinya. Mas kawin merupakan hak milik seorang isteri
dan tidak boleh seorangpun mengambilnya, baik sang ayah maupun selainnya,
kecuali jika diambilnya mas kawin itu dengan keridhaan hatinya. Syari‟ah Islam
tidak membatasi nominal sedikit banyaknya mas kawin, akan tetapi Islam
menganjurkan untuk meringankan mas kawin agar mempermudah proses
pernikahan dan tidak membuat para pemuda enggan untuk menikah karena
mahalnya mas kawin. Maka dari itu, Allah SWT telah berfirman dalam (QS.Al-
Nisa (4), bahwa mas kawin adalah kewajiban seorang pria yang harus dibayar
kepada calon isterinya.
Timor Timur atau Timor Leste merupakan sebuah negara yang terletak di
separuh bagian timur Pulau Timor. Kata Timor yang berasal dari bahasa Melayu
dan kata Leste yang berasal dari bahasa Portugis sama-sama berarti timur. Nama
itu tepat karena pulau ini terletak di bagian timur Kepulaun Indonesia.
Masyarakat Timor Leste semuanya pada dasarnya sangat ramah, suka belajar
sesuatu yang baru dan ceria. Mereka juga sangat menjunjung tinggi akan
masalah budaya dan tradisi. Selain itu, pola perkawinan yang disukai oleh orang
Timor adalah perkawinan antara seorang pemuda dengan anak gadis saudara
laki-laki ibu.Walaupun demikian seorang pemuda bisa kawin dengan gadis
manapun, asal bukan dengan anak saudara perempuan ibunya yang dianggap
3
Imam Al-Mundziri, Mukhtasar Sahih Muslim, (Riyadh: Dar Ibni
Khuzaimah,1414H/1994),446.
3
masih saudara. Ada dua macam sistem perkawinan adat yang dianut oleh
masyarakat Timor, yakni sistem perkawinan patrilineal (perkawinan yang
menganut garis keturunan ayah) dan sistem matrilineal (perkawinan yang
menganut garis keturunan ibu).4Dari kedua sistem perkawinan tersebut yang
paling menonjol adalah sistem perkawinan patrilineal. Sistem ini menjunjung
tinggi belis (mas kawin) karena sebelum pernikahan dilangsungkan, calon pria
menjalani rentetan adat perkawinan, dari meminang, memberikan belis, dan
terakhir dilakukan pengesahan.
Belis (Mahar) adalah sebutan untuk mahar atau mas kawin adat di Timor
Leste. 5
Seperti tradisi di daerah-daerah lain pada umumnya, para calon
mempelai laki-laki harus membayar belis kepada pihak orang tua calon
mempelai wanita sebelum meminang anak gadisnya. Belis ini telah ditentukan
oleh adat masyarakat Timor Leste, baik mulai dari jenis belis maupun nilai harga
belis. Di daerah Fataluku propinsi Lospalos (Timor Leste bagian Timur), jika
seorang laki-laki yang ingin meminang seorang wanita maka ia harus membayar
belis berupa 77 ekor kerbau kepada orang tua si wanita sebagai mas kawin. Belis
ini bisa digantikan dengan uang senilai 77 ekor kerbau, dan ini merupakan
tradisi atau peraturan adat yang harus diikuti oleh semua masyarakat Fataluku
propinsi Lospalos.
Belis ini bisa di hutang serta dicicil. Jika seorang laki-laki tidak atau belum
mampu membayar belis secara keseluruhan, maka ia hanya bisa menikahi si
wanita namun tidak berhak membawa pulang isterinya ke tempat tinggal lain
4 Dr.Joao Goncalves, Cu‟ Pede „Usa Sa‟e Pede Laru, (Timor Leste, 2007), h. 41.
5Dr.Joao Goncalves, Cu‟ Pede „Usa Sa‟e Pede Laru (Timor Leste, 2007), h. 43.
4
sampai “hutang belis“ tersebut lunas.6 Dan selama belis belum lunas menantu
laki-laki tersebut harus tinggal di rumah mertua dan harus mau membantu
menanggung sebagian atau seluruh biaya hidup mertua karena ia belum lunas
membayar belis. Setelah belis terbayar senilai 77 ekor kerbau, maka menantu
laki-laki berhak membawa isterinya pergi ke tempat tinggal lain dan ia tidak
diwajibkan lagi memenuhi permintaan mertua terkait biaya atau keuangan yang
mertua butuhkan.
Mahar harus ditunaikan dan dipenuhi oleh pihak calon suami sesuai dengan
persyaratan-persyaratan tertentu yang telah diajukan (telah ditentukan bentuk
dan kadarnya) dari pihak calon isteri sebelumnya yakni saat peminangan,
misalnya mengenai jenis dan jumlah dari belis (mahar) tersebut sebagai suatu
syarat perkawinan. Hal inilah yang menyebabkan praktek pemberian belis
(mahar) dalam adat perkawinan cenderung terkesan memberatkan pihak calon
suami, harta belis tersebut dari segi nilai dan bentuknya sangat berat dan sulit
untuk dipenuhi.
Agama Islam tidak menentukan suatu kadar dan bentuk mahar yang
mengikat, namun diserahkan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak baik
pihak laki-laki dengan syarat kepatutan, bermanfaat serta mahar itu mencakup
pengertian sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai, juga halal menurut
syari‟at Islam.7 Seperti halnya yang terjadi pada masa Rasulullah saw, yaitu
mahar berupa sebentuk cincin besi, sepasang sendal. Mengucapkan kalimat
6Dr.Joao Goncalves, Cu‟ Pede „Usa Sa‟e Pede Laru (Timor Leste, 2007), h. 43.
7 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Alih Bahasa Maskur A.B dkk, cet
ke-15 ( Jakarta : Lentera, 2005 ), hlm.367-368.
5
syahadatain dan mengajarkan Al-qur‟an.8 Hal ini menunujukkan bahwa Islam
tidak mempersulit proses akad nikah dan cenderung menyederhanakan serta
memudahkan penunaian suatu mahar.
Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk menelaah lebih jauh mengenai
pemberian belis menurut Masyarakat Fataluku Kabupaten Lautem Propinsi
Lospalos Timor Leste. Untuk itu penulis ingin meneliti lebih jauh lagi kedalam
bentuk penulisan skripsi dengan judul “Pemberian Belis ( Mahar) DalamAdat
SukuFatalukuKabupaten Lautem KotaLospalos Timor Leste“
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan muncul dalam
latar belakang diatas, akan penulis paparkan beberapa diantaranya, yaitu:
1. Bagaimana konsep pemberian belis (mahar) dalam perkawinan yang
terjadi pada masyarakat Suku Fataluku Kota Lospalos Timor Leste ?
2. Apakah jumlah belis 77 ekor kerbau masih berlaku di masyarakat
Suku Fataluku Lospalos?
3. Bagaimana prespektif hukum Islam terhadap pemberian belis (mahar)
dalam adat perkawinan masyarakat Fataluku ?
4. Apa yang menjadi konsep dasar dalam menetapkan belis oleh
masyarakat Fataluku di Kota Lospalos Timor leste ?
5. Bagaimana praktek belis masyarakat Fataluku di Kota Lospalos Timor
Leste ?
8 Muslim, Shahih Muslim, Jilid I (Jakarta : Dar Al-Kutub Al-„Arbiyah,t.t),hlm.596.
6
6. Apa nilai filosofis yang terkandung dari pemahaman masyarakat
Fataluku di Kota Lospalos Timor Leste mengenai belis (mahar) ?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar Pembahasan pada penelitian ini tidak melebar maka pembahasan
mahar (mas kawin yang diberikan calon suami kepada isteri) di tempat lain ,
maka dibatasi pada mahar dalam masyarakat Fataluku kota Lospalos saja.9
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut ;
1. Apa yang menjadi konsep dasar dalam menetapkan belis oleh
masyarakat Fataluku di Kota Lospalos Timor leste ?
2. Bagaimana praktek belis oleh masyarakat Fataluku di kota Lospalos
Timor Leste ?
3. Apa nilai filosofis yang terkandung dalam belis (mahar) ?
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari sebuah penelitian ialah mengungkapkan secara jelas sesuatu
yang hendak dicapai pada penelitian yang akan dilakukan. Dari pemahaman
tersebut maka tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Untuk menganalisis konsep dasar yang digunakan oleh masyarakat
Fataluku dalam menetapkan mahar.
9Terdapat lima Sub-Distrik di Lospalos dan masing-masing distrik memiliki sub-distrik,
diantaranya; Distrik Lospalos, Lautem, Tutuala, Iliomar dan Luro. Setiap Sub-Distrik dibagikan
dalam desa, yang disebut suco, yang dikelolai oleh Chefe de Suco atau kepala desa. Setiap Suco
terdiri dari Sub-desa, yang disebutkan Aldeia atau kampung, yang dikelolai oleh Chefe de Aldeia.
Yang termasuk Masyarakat Fataluku adalah Distrik lautem, Tutuala dan Lospalos.( Administrasi
Umum Timor Lorosae Lautem: Maret, 2002).
7
2. Untuk mengetahui tata cara praktek mahar yang digunakan oleh
masyarakat Fataluku.
3. Untuk memahami sudut pandang masyarakat Fataluku di Lospalos,
hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan prespektifnya
mengenai duniannya yang berkaitan dengan mahar.
Sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai, demikian pula
dengan penelitian yang penulis adakan diharapkan dapat bermanfaat sebagai
berikut;
1. Adapun manfaat yang didapat secara pribadi dari penulisan karya ilmiah
ini adalah sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang
lebih tinggi dan menjadikan pemberian belis (mahar) dalam adat
perkawinan Suku Fataluku Kota Lospalos ini sebagai konsentrasi yang
akan penulis dalami.
2. Sebagai kontribusi ilmiah dalam memperkaya khazanah kepustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum dengan pembahasan tentang pemberian
belis (mahar) dalam adat perkawinan Suku Fataluku kota Lospalos,
tidak hanya membahas itu melainkan memperkaya kaitannya dengan
hukum Islam.
3. Diharapkan dapat menjadi masukan dan sumbangan pemikiran kepada
orang-orang yang hendak menikah dalam penentuan mahar.
E. Metode Penelitian
Dalam membahas masalah-masalah dalam penelitian ini, diperlukan suatu
metode untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang dibahas
8
dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat dan akurat. Terdapat
beberapa metode yang akan penulis gunakan antara lain ;
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kualitatif yaitu penelitian
lapangan (field research ) yang sumber datanya terutama diambil dari obyek
penelitian (masyarakat atau komunitas sosial) secara langsung di daerah
penelitian.10
Penelitian ini merupakan penelitian etnografi. Tentu saja sebagai
suatu rancangan penelitian, metode etnografi dengan sendirinya menyediakan
perangkat-perangkat yang memungkinkan penelitian berlangsung secara baik.
Terdapat dua kelompok dalam memandang etnografi (etnografi sebagai
paradigma filosofis dan etnografi sebagai sebuah metode dalam penelitian).
Namun ada yang menganggap etnografi sebagai keduanya, artinya di satu sisi
sebagai paradigma filosofis, sedangkan di lain sisi merupakan rancangan
penelitian yang hendak dilakukan.11
2. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
antropologi, istilah antropologi adalah ilmu atau studi tentang manusia, atau
jelasnya ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia baik dari segi hayati
maupun dari segi budaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami tentang
asal usul terjadi dan perkembangan manusia secara evolsi.12
10
Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Buku Ajar ,2009),h.28. 11
Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Buku Ajar ,2009),h.28. 12
Hilman Handikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, Cet-3, (Bandung: P.T Alumni,
2010),h.1.
9
3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penelitian
deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik tertentu.
Tetapi juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu
terjadi.13
4. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis akan meniliti di Suku Fataluku Kota Lospalos
Timor Leste. Penulis mengambil lokasi ini dikarenakan lokasi tersebut merupakan
salah satu lokasi yang memakai belis atau mahar dengan 77 ekor kerbau.
5. Kriteria dan Sumber Data
a. Data Primer, data yang didapat dari hasil observasi, wawancara langsung
dengan masyarakat, tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama.
b. Data Sekunder, dalam penelitian ini data yang digunakan penulis adalah
data yang dikumpulkan oleh orang lain, pada waktu penelitian dimulai
data telah tersedia.14
Selain itu data yang memberikan bahan tidak
langsung atau data yang didapatkan selain primer. Data ini juga
dikumpulkan melalui studi pustaka yang berkaitan diantaranya buku-
buku fiqh, artikel, jurnal dan data lain yang terkumpul yang mempunyai
hubungan dengan tema ini.
13
Yayan Sopyan, Metode Penelitain Hukum, h.20. 14
Bambang sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum , (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007), h.37.
10
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang
dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Umumnya cara
mengumpulkan data dapat menggunakan teknik : wawancara (interview), angket
(quiestioner), pengamatan (observation), studi dokumentasi, dan fokus group
discussion (FGD).15
Penulisan ini menggunakan teknik sebagai berikut:
a. Teknik observasi, yaitu dengan cara mengadakan analisa, pengamatan
dan pencatatan secara terperinci serta sistematis tentang mahar di Suku
Fataluku Lospalos.
b. Teknik Interview (wawancara), selama ini metode wawancara dianggap
sebagai metode yang efektif dalam penggumpulan data primer di
lapangan. 16
menggunakan pedoman secara mendalam dengan pokok
permasalahan guna menghindari penyimpangan dari masalah penelitian
dan kevakuman selama wawancara. Adapun yang di wawancarai dalam
penulisan skripsi ini yaitu dengan tokoh adat, tokoh agama dan
masyarakat Fataluku.
c. Studi Dokumentasi, yaitu meliputi studi bahan hukum yang terdiri dari
bahan hukum primer dan hukum sekunder.17
Juga data yang diperoleh
dari referensi atau literatur yang berkaitan dengan tema penelitian ini.
d. Studi Pustaka, yaitu pengidentifikasian secara sistematis dan melakukan
analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang
15
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi dan Karya Ilmiah ,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2001),h. 138. 16
Bambang Waluyo, Penelitian Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h,. 57. 17
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2004),h.82.
11
berkaitan dengan tema, objek dan masalah penelitian yang akan
dilakukan. Terdiri dari dua langkah yaitu kepustakaan penelitian yang
meliputi laporan penelitian yang telah diterbitkan, dan kepustakaan
konseptual meliputi artikel atau buku-buku yang ditulis oleh para ahli
yang memberikan pendapat, pengalaman, teori-teori atau ide-ide tentang
apa yang baik dan buruk, hal-hal yang diinginkan dan tidak dalam bidang
masalah.18
e. Teknik Penulisan, adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi
ini mengacu kepada “Pedoman Penulisan Skripsi“ yang diterbitkan oleh
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2012.
F. Review Studi Terdahulu
Tinjauan (review) kajian terdahulu yang dimaksud adalah melihat data-data
skripsi tahun-tahun sebelumya dengan tujuan menganalisis skripsi yang berkaitan
dengan judul atau permasalahan penyusunan. Dari sekian banyak skripsi yang
penyusun temukan, diantara penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah
sebagai berikut :
Judul Skripsi Pembahasan Perbedaan
1. Yoseph Yapi
Taum/2015. Sastra lisan
Nololo Masyarakat
Penulis membahas
tentang tradisi Lisan
Nololo Termasuk
Perbedaann skripsi ini
dengan penulis adalah
skripsi ini lebih
18
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010),h.17-18.
12
Fataluku Timor-Timur puisi Nololo
masyarakat
Fataluku yang
melibatkan disiplin
ilmu-ilmu lain
seperti sosiologi,
studi perbandingan
agama, etika,
filsafat dan
historiografi
tradisional.
menekankan pada trasidi
lisan Nololo masyarakat
Fataluku yang merupakan
sebuah bentuk cipta sastra
berupa puisi rakyat yang
didalamnya mengandung
makna sejarah sedangkan
pembahasan penulis adalah
pemberian belis (mahar)
adat perkawinan Suku
Fataluku.
2. Edegas da
conceisao/2015.
Studi
sosiolinguistik
bahasa Fataluku di
Lautem
Penulis membahas
tentang
sosiolinguistik
bahasa Fataluku di
Lautem mengenai
kemahiran dan
penggunaan
berbagai bahasa dan
komunikasi baik
lisan maupun
tertulis.
Perbedaan skripsi ini
dengan penulis adalah
skripsi ini lebih
menekannkan pada
pendidikan keberaksaraan
orang desawa di Timor
Leste terutama bahasa
Fataluku yang digunakan
di Distrik Lautem
sedangkan
Pembahasan penulis
adalah pemberian belis
13
(mahar) adat perkawinan
Suku Fataluku.
3. Vladimir Ageu de
safi‟i/2013
Lukisan-lukisan
dinding Goa”ili
kere-kere”: awal
peradaban
masyarakat
Fataluku
Penulis membahas
tentang lukisan-
lukisan dinding goa
“ile kere-kere”:
awal peradaban
masyarakat
Fataluku yang
ditemukan di
gunung Tutuala.
Perebedaan artikel ini
dengan penulis adalah
artikel ini lebih
menekankan kepada
sejarah penemuan tulisan-
tulisan bersejarah yang
ditemukan di gunung
tutuala sedangkan
pembahasan penulis adalah
pemberian belis (mahar)
adat perkawinan suku
Fataluku.
G. Sistematika Penulisan
Agar dalam penulisan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengambang,
penulis membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Dalam skripsi ini
terdiri dari lima bab, dan setiap bab memiliki sub-bab yang menjadi penjelasan
dari masing-masing bab tersebut. Skripsi ini diakhiri dengan daftar pustaka yang
menjadi rujukan penulis dalam penulisan skripsi ini dan lampiran-lampiran.
Adapun sistematika penulisan tersebut ialah sebagai berikut :
14
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang diuraikan tentang latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
manfaat dan tujuan penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu, beserta
sistematika penulisan. Adapun pembahasan pada bab kedua mengenai konsep
dasar belis dalam perkawinan yang meliputi pengertian belis, sejarah belis, syarat
dan jenis belis, bentuk dan kadar belis serta hikmah atau tujuan belis.
Selanjutnya pada pembahasan bab ketiga membahas mengenai praktek
pemberian belis pada masyarakat Fataluku yang meliputi potret suku Fataluku,
budaya masyarakat Fataluku serta prosesi pelaksanaan perkawinan masyarakat
Fataluku dan praktek pemberian belis masyarakat Fataluku. Kemudian pada
pembahasan bab keempat mengenai nilai filosofis yang terkandung dalam
pemberian belis meliputi belis dalam prespektif masyarakat Fataluku, makna belis
dalam sudut pandang masyarakat Fataluku yang merupakan sebuah analisis dari
penulis, dan diakhiri dengan bab kelima yang merupakan bab penutup yang berisi
kesimpulan dan saran terkait kajian yang dimaksud dari awal sampai akhir
pembahasan beserta lampiran-lampiran terkait.
15
BAB II
KONSEP DASAR BELIS (MAHAR)
A. Pengertian Belis
Mahar dalam bahasa Tetum disebut dengan Belis, sedangkan dalam bahasa
Fataluku disebut Fa‟in. Menurut istilah berarti “pengumpulan mas kawin” adalah
mas kawin yang berlaku dalam suku Fataluku berupa hewan ternak jumlahnya
mencapai 77 ekor kerbau dan dilengkapi dengan kalung-kalung atau manik-manik
tradisional, yang disebut Paya dalam bahasa Fataluku.1
Belis atau barlake secara bahasa yang berasal dari kata bar-la-ke yang
berarti keberuntungan. Secara istilah yaitu beruntng seorang wanita yang akan
dinikahi seorang pria dengan memberi mahar. Belis ini adalah hak milik wanita
yang akan dinikahi, akan tetapi biasanya wanita tersebut sebelum meninggalkan
rumahnya ia akan memberikan belis atau barlake tersebut kepada kedua orang
tuanya.
Belis adalah hak mutlak (calon) mempelai wanita dan kewajiban mempelai
pria untuk memberikannya sebelum akad nikah dilangsungkan. Pelaksanaan dapat
dilakukan secara tunai dan boleh secara utang. Belis merupakan lambang
tanggung jawab mempelai pria terhadap mempelai wanita, yang kemudian
menjadi isterinya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) belis adalah harta yang
diberikan oleh pihak laki-laki kepada mempelai wanita pada saat
1 Ir. Domingos Cairesi Bendito Bere Mau Gomes, Cu‟ Pede U‟sa Sa‟e Pede Laru (Timor
Leste, 2007), h.41.
16
lamaran.2
Menurut pendapat umum belis mempunyai arti dalam hubungan
kekeluargaan sebagai suatu tanda terima kasih kepada wanita yang telah
merelakannya pindah tempat, juga sebagai hubungan keluarga baru untuk
seterusnya serta memberi nilai pada wanita.
Belis juga mempunyai arti untuk menentuhkan sahnya perkawinan sebagai
imbalan jasa atas jerih payah orang tua, serta sebagai tanda penggantian nama si
gadis, artinya menurunkan nama keluarga si gadis dan menaikkan nama keluarga
laki-laki.3
Belis memiliki beberapa fungsi sebagai berikut;4
a. Sebagai alat untuk mempererat hubungan keluarga
b. Sebagai alat penentu sahnya perkawinan
c. Sebagai penanda bahwa si gadis telah keluar dari keluarga asalnya
d. Sebagai alat menaikan nama keluarga laki-laki
Selain itu, terdapat beberapa dampak yang di dapat pada saat belis telah
diberikan yaitu dampak positif dan dampak negatif.
Adapun dampak positif dari pemberian belis yaitu;5
2Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005) h. 696.
3Ir. Domingos Cairesi Bendito Bere Mau Gomes, Cu‟ Pede U‟sa Sa‟e Pede Laru (Timor
Leste, 2007), h.42. 4Ir. Domingos Cairesi Bendito Bere Mau Gomes, Cu‟ Pede U‟sa Sa‟e Pede Laru, h.43-
45. 5Parera, A.D.M; Neonbosu, Gregor, Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor: suatu kajian
atas peta politik pemerintahan kerajaan-kerajaan di Timor sebelum kemerdekaan Rebublik
Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994).
17
a. Martabat keluarga laki-laki menjadi terhormat atau diangkat karena pihak
laki-laki dianggap mampu membayar belis yang ditentukan oleh pihak
wanita.
b. Pihak keluarga wanita merasa dihargai. Maksud dari pemberian belis ini
adalah sebagai imbalan jasa atau penghormatan atas kecapaian, kesakitan
dan jerih payah orang tua wanita selama melahirkan dan memelihara si
gadis sampai dewasa.
c. Munculnya sebuah kerabat baru. Dengan memberikan belis akan muncul
sebuah kekerabatan baru antara keluarga wanita dan keluarga pria. Belis
dijadikan sebagai pengikat.
d. Calon pengantin. Melalui pemberian belis calon pengantin pria dan wanita
sudah mendapatkan restu dari orang tua dan keluarga sehingga boleh
melanjutkan hubungan ke jenjang perkawinan.
Adapun dampak negatif dari pemberian belis antara lain;
a. Martabat wanita direndahkan
Dengan pemberian belis kepada keluarga wanita pihak laki-laki merasa
bisa bertindak bebas kepada wanita sehingga martabat wanita direndahkan
dan wanita kurang dihargai dalam hidup berumah tangga. Sehingga
banyak menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga.
b. Pihak laki-laki merasa malu
Jikap pihak laki-laki tidak mampu membayar belis maka laki-laki tersebut
akan tinggal dirumah keluarga wanita dan bekerja untuk keluarga wanita.
18
Wanita merasa statusnya lebih tinggi dari laki-laki itu sehingga laki-laki
akan merasa malu.
c. Pertentangan di antara kedua keluarga
Hal ini terjadi karena belis yang dituntut oleh pihak wanita terlalu tinggi
sehingga pihak laki-laki tidak mampu membayarnya.
d. Menimbulkan utang piutang
Karena tak mampu membayar belis maka pihak keluarga laki-laki
mengambil jalan pintas dengan meminjam uang pada pihak lain sehingga
menimbulkan utang.6
Belis juga diartikan sebagai ikatan yang sesungguhnya untuk ditaati dalam
mengikuti suatu hubungan pernikahan, serta menjadi jalan pembuka hubungan
baru untuk seterusnya dan memberi nilai kepada seorang wanita, juga
mempunyai nilai penting dalam rangkaian ikatan secara lahir batin bagi suami
isteri. Belis diberikan oleh keluarga pihak laki-laki kepada keluarga pihak
wanita dan kaum kerabat wanita.
Di masyarakat Fataluku penyebutan untuk mahar juga dikenal sebagai
barlake yang berarti beruntung. Beruntung seorang wanita yang akan dinikahi
oleh seorang laki-laki dengan memberikan belis atau barlake sebagai
penghargaan.7Belis atau barlake dalam adat Fataluku juga dianggap sebagai
suatu simbol untuk mempersatukan hubungan perkawinan seorang wanita
6 Triano, Perkawinan Adat Wulugiri Suku Tengger, h. 13.
7 Ir. Domingos Cairesi Bendito Bere Mau Gomes, Cu‟ Pede U‟sa Sa‟e Pede Laru (Timor
Leste, 2007), h.41.
19
dengan laki-laki, dengan demikian tidak akan terjadi perceraian dikemudian
hari.
Belis dalam masyarakat Fataluku merupakan suatu keharusan yang harus
ada dalam perkawinan. Karena dengan adanya belis wanita akan merasa
dihargai dan dihormati oleh laki-laki yang akan menikahinya. Belis sangat
penting bagi masyarakat Fataluku dan sudah menjadi aturan dalam adat
perkawinan.
Belis tidak hanya menjadi ikatan bagi pasangan wanita dan laki-laki secara
individu saja melainkan dengan adanya belis maka, kedua belah pihak keluarga
akan memiliki hubungan yang erat. Apabila salah satu keluarga baik dari pihak
perempuan maupun pihak laki-laki ada yang mengalami kesusahan atau kabar
duka maka kedua keluarga itu akan saling membantu dan berpastisipasi dengan
memberikan apa saja yang dibutuhkan oleh keluarga laki-laki maupun wanita
yang terkena masalah.
Sedangkan pengertian mahar dalam Islam secara etimologi mahar berasal
dari bahasa Arab dan termasuk kata benda yang berbentuk mashdar (سا( atau
kata kerja (فعو)dari mahara-yamharu-mahran سا –يس –س , sedangkan
digunakan dalam sebuah kalimat seperti س اىساة artinya (membayar mahar)
atau جعو ىا سا (memberi mahar).8 Adapun اىس (jamak: ز ) bermakna
.yang berarti maskawin اىصداق 9
Secara terminologis mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada
calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta
8 Ibrahim Madzkur, Al-Mu‟jam al-wasit, (Beirut: Dar al-Fikr,t.th.), Jilid ke-2,h. 899.
9 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997),h.1363.
20
kasih bagi calon isteri kepada calon suaminya10
, atau suatu pemberian yang
diwajibkan bagi calon suami kepada istrinya, baik dalam bentuk benda maupun
jasa (memerdekakan, mengajar, dan sebagainya).11
Mahar atau shadaq dalam hukum perkawinan Islam merupakan kewajiban
yang harus dibayarkan oleh seorang pengantin laki-laki kepada pengantin
perempuan.12
Mahar adalah satu diantara hak isteri yang didasarkan atas
kitabullah, Sunnah Rasul, dan Ijma‟ kaum muslimin.13
Mahar dalam bahasa
Indonesia dikenal atau disebut juga dengan maskawin. Maskawin atau mahar
menurut Abd.Shomad adalah:14
a. Pemberian seorang suami kepada isterinya sebelum, sesudah atau pada
waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib.
b. Sesuatu yang serahkan oleh calon suami kepada calon isteri dalam rangka
akad perkawinan antara keduanya, sebagai lambang kecintaan calon suami
terhadap calon isteri serta kesediaan calon isteri untuk menjadi isterinya.
Adapun mahar menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 1 huruf
(d) disebutkan; “pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai
wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam.
10
Slamet Abidin dan H.Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia,
1999),h.105. 11
M. Abdul Mujjeb et.al, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994),h.84. lihat
juga Zakiah Daradjat rt.al,Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: dana bhakti wakaf, 1995),h.83. dan
H.Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Gema Insane Pers, 1991), cet.ke-
2,h.133. 12
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI
Press, 1986),h.68. 13
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B.dkk.,
(Jakarta: Lentera, 1999),h.364. 14
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana Grup, 2010),h.299.
21
B. Sejarah Belis
Pada zaman animisme belis telah ada dan telah dilaksanakan pada setiap
tradisi pernikahan adat. Masyarakat Fataluku dipengaruhi oleh kehidupan pada
masa lalu, yang kemudian dia tumbuh dan berkembang dalam suatu wilayah
kerajaan. Terdapat banyak kerajaan di zaman dulu. Mulai dari Kerajaan Wehali,
Kerajaan Rote, Kerajaan Soe, Kerajaan Belu, Kerajaan Lautem dan lain-lain.15
Pada zaman dulu kerajaan yang paling eksis dan terkenal adalah kerajaan
wehali, kerajaan ini kaya akan kayu cendana, minyak wangi cendana, kudan dan
rempah-rempah. Dimana masing-masing kerajaan ini memiliki hewan ternak yang
begitu banyak. Selain itu pada zaman dulu juga ada pertukaran perdagangan
secara barter yang dimana pertukaran tersebut terjadi dikalangan para kerajaan.
Dari kerajaan wehali memberikan rempah-rempah, sedangkan kerajaan lautem
memberikan hewan ternak seperti kerbau, sapi, kambing dan lain-lain. Sejak saat
itulah mereka menentukan untuk pemberian belis berupa hewan ternak pada
waktu itu, karena pada zaman dulu dari masing-masing kerajaan tersebut memiliki
banyak hewan ternak. Mereka memilih hewan ternak kerbau sebagai belis karena
di wilayah ini jarang ditemukan kerbau. Laki-laki yang berusaha untuk
mendapatkan kerbau atau laki-laki yang bisa memberikan keyakinan kepada
keluarga calon isterinya bahwa dia bisa memberi belis itu artinya dia laki-laki
yang sungguh-sungguh.16
15
Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), Lautem Lospalos, 28
Juli 2016. 16
Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), Lautem Lospalos, 28
Juli 2016.
22
Selain itu sejarah belis juga hadir bersamaan dengan kehadiran nenek moyang
suku Fataluku di Kabupaten Lautem Lospalos tersebut dalam kategori kasta,17
yakni; Ratu adalah kasta yang tertinggi, penguasa, raja, tuan tanah. Paca adalah
kasta biasa, rakyat biasa tapi juga bisa jadi tuan tanah. Akano adalah kasta paling
rendah, yaitu hamba sahaya, budak, mereka hanya boleh melayani para ratu dan
paca, biasanya dikalangan masing-masing rumah tangga ratu itu satu keluarga
akano yang melayani. Belis sudah menjadi tradisi masyarakat Fataluku, dan sudah
menjadi keharusan untuk memberikannya. Pada zaman dulu keluarga bangsawan
atau yang disebut ratu adalah keluarga yang susah untuk dinikahi oleh laki-laki
dari kalangan keluarga paca maupun akano. Sehingga pada zaman itu belis berupa
hewan ternak 77 ekor kerbau sudah menjadi turun temurun.18
Adat ini sudah
masuk dalam golongan masyarakat adat Fataluku secara total, masuk dalam klan
Fataluku dan tunduk pada hukum adat Fataluku meskipun secara suku kelompok
berdasarkan pulau, mereka tetap tunduk pada ketentuan adat lokal masing-masing
tetapi secara hukum seluruhnya tunduk kepada adat Fataluku. Salah satu adat
Fataluku itu adalah pada tataran perkawinan yaitu belis dalam hukum perkawinan
termasuk di dalamnya hukum Islam juga mengenal sistem perkawinan dengan
sistem belis. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem perkawinan dengan sistem
membayar belis ini dilakukan oleh seluruh masyarakat asli yang berada di Lautem
Lospalos. Walaupun terkadang ketentuan atau jumlah belis yang ditentukan
17
Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), Lautem Lospalos, 28
Juli 2016.
18
Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), Lautem Lospalos, 28
Juli 2016.
23
mengikuti suku atau kelompok berdasarkan pulau mereka masing-masing. Namun
keberlakuan belis ini ada disetiap suku dan wilayah kelompok yang ada di Lautem
Lospalos baik yang beragama Muslim maupun Non Muslim.
Sebenarnya belis itu adalah kesepakatan secara tradisi adat istiadat. Karena
kita hidup di dunia belum ada kesepakatan atau aturan yang mengatur kita, maka
kita sepakati bahwa di desa ini, dikampung ini, di wilayah ini, kita sepakati bahwa
melamar perempuan belisnya seperti ini. Belis itu sebenarnya atas dasar
kesepakatan desa tertentu atau komunitas, secara adat istiadat tententu untuk
menjadi pengikat hubungan perkawinan dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Adapun kesepakatan tersebut dicapai oleh musyawarah yang dilakukan oleh
keluarga calon mempelai pria dengan calon mempelai wanita. Ada tiga hal yang
harus dibicarakan;19
a. Selu be manas aitukan (pembayaran uang air susu ibu), yang dalam adat Jawa
disebut sebagai uang dapur. Uang ini akan dijadikan sebagai pemenuhan
kebutuhan primer rumah tangga baru mereka. Uang air susu ibu ini jumlahnya
ditentukan oleh ibu calon mempelai wanita yang akan menikah.
b. Selu loke oramatan (pembayaran pembukaan pintu) yang dilakukan oleh calon
mempelai wanita yang biasanya berupa kebutuhan rumah tangga. Loke
oramatan ini jenis dan jumlahnya ditentukan oleh saudara ibu atau paman dari
ibu calon mempelai wanita.
c. Kesepakatan Jumlah pembayaran belis yang berupa kerbau. Jumlah ini sangat
dipengaruhi oleh status sosial calon mempelai wanita. Jumlah kerbau yang
19
Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), Lautem Lospalos, 28
Juli 2016.
24
harus dibayarkan oleh calon memepelai laki-laki untuk belis wanita yang akan
dinikahinya sangat bergantung pada status sosial wanita tersebut.
Belis ini memiliki tingkatan berbeda-beda, jadi kalau wanita tersebut anak
keturunan raja atau ratu belisnya 77 ekor kerbau, kalau di bawah raja sedikit atau
tengah-tengah sekitar 55 ekor kerbau dan di bawahnya lagi sekitar 25 kerbau.20
Makanya di Lautem Lospalos banyak yang jadi perawan tua, bukan karena tidak
cantik tapi mereka cantik-cantik semua cuman orang tidak sentuh, orang tidak
berani bayar mahal karena belisnya terlalu mahal. Dengan belis yang begitu mahal
ini mereka tetap mewajibkan pada setiap lelaki yang ingin menikahi putri mereka
untuk membayar belisnya. Karena menurut tokoh adat Fataluku, belis ini
pemberian wajib dari calon mempelai laki-laki dan keluarganya.
Semua masyarakat Fataluku hingga saat ini masih memakai adat istiadat
tersebut karena sudah turun-temurun dari nenek moyang, sudah aturan adat yang
tidak boleh dipermainkan. Tokoh adat tersebut juga mempertegaskan bahwa belis
pada masyarakat Fataluku ini sangat kuat, karena itu tidak ada seorang pun laki-
laki yang menikah tanpa belis. Belis itu harga mati, jika seorang laki-laki tidak
memberi belis kepada calon isterinya maka dianggap tidak ada pengorbanan sama
sekali. Walaupun untuk saat ini belis berupa kerbau jarang ditemukan dan sangat
mahal, keberlakuannya tetap wajib bagi siapa saja yang ingin menikah dengan
putri-putri mereka. Karena dengan belis ini mereka anggap sebagai kesungguhan
dari pria yang ingin menikah dengan putri mereka. selain itu belis juga dianggap
sebagai penghormatan terhadap kaum wanita. Namun tetap ada pengecualian bagi
20
Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), Lautem Lospalos, 28
Juli 2016.
25
mereka yang menikah dengan orang dari luar adat masyarakat Fataluku dalam
membayar belis. Bagi mereka yang tidak menikahi wanita masyarakat adat
Fataluku tidak diwajibkan membayar belis, walaupun mereka adalah laki-laki dari
masyarakat adat Fataluku.
Adapun dasar hukum pemberian mahar dalam Islam adalah wajib.21
Adapun
perintah Allah mengenai mahar tersebut secara tegas tertuang dalam Al-Qur‟an,
antara lain;
1. Qs. An-Nisa‟ (4) : 4
)4 :4 /اىساء )
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”22
2. Qs.An-Nisa‟ (4) : 24 juga disebutkan;
(4:24 /)النساء
Artinya: “Dihalalkan bagimu (mengawini) perempuan-perempuan dengan
hartamu (mahar), serta beristeri dengan dia, bukan berbuat jahat.
Jika kamu telah menikmati (bersetubuh) dengan perempuan itu,
hendaklahkamu memberikan kepadanya mas kawin (ujur,faridhah)
yang telah kamu tetapkan.”
21
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam.h.68. 22
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta: Yayasan Penterjemah
Pentashih Al-Qur‟an, 1980),h.115.
26
Berangkat dari ayat-ayat ini para ulama telah menetapkan bahwa mahar itu
hukumnya wajib berdasarkan al-Qur‟an, sunnah dan ijma‟23
. Hadis Nabi Saw.;
ال هللا يا زسه هللا , فقاه : اذب اىي ايل فا ظس و تجد شيا : و عدك شيء ؟ قاه
زجع فقاه :ال هللا ا جدت شيا . فقاه زسه هللا : اظس ى خاتا حديد. .فرب ث
زجع فقاه:ال هللا يا زسه هللا ال خا تا حديد ىن را اشازي فيا صف فرب ث
صع با شازك ا ىبست ى ينين عييا شيء ا ىبست ى ين .فقاه زسه هللا :ا ت
عييا شيء.فجيس اىسجو حتي اذا طاه جيس قا فسا زسه هللا اىيا فاس فدعي,
ا جاء قاه: اذا عل اىقسآ ؟ قاه :عي سزة مرا مرا –عددا –في فقاه :تقسؤ
, فقد ينتنا با عل اىقسآع ظس قيبل ؟ قاه: ع. قو : اذب
Artinya: “Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar? tidak, demi
Allah wahai Rasulullah, jawabnya.”Pergilah ke keluargamu, lihatlah
mungkin engkau mendapatkan sesuatu” pinta Rasulullah. Laki-laki itu
pun pergi, tak berapa lama ia pun kembali,”Demi Allah, saya tidak
mendapatkan sesuatu pun” ujarnya. Rasulullah bersabda:”Carilah
walaupun hanya berupa cincin dari besi”. Laki-laki itu pergi lagi
kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah Wahai Rasulullah,
saya tidak mendapatkan walau cincin dari besi, tapi ini sarung saya,
setengahnya untuk wanita ini”. “ Apa yang dapat kau perbuat dengan
sarungmu ? jika kau memakianya maka wanita ini tidak mendapat
sarung itu, dan jika dia memakainya berarti kamu tidak memakai
sarung itu.” Laki-laki itu pun duduk hingga tatkala telah lama
duduknya, ia bbangkit. Rasulullah melihatnya berbalik pergi, maka
beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut,
ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah, beliau bertanya: “Apa yang
kau hafal dari Al-Qur‟an?”saya hafal surat ini dan surat itu
”jawabnya.”benar-benar engkau menghafalnya dalam hatimu?“tegas
Rasulullah ,iya jawabnya.“Bila demikian,baiklah,sungguh aku telah
menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-
surah Al-Qur‟an yang engkau hafal kata Rasulullah. (HR.Bukhari
No.5087).24
Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, yang berbunyi:
ع اب عباس زضي هللا ع قاه قاه زسه هللا صيي هللا عيي سي خيس اىساء أحس
(جا ازخصزا )زا اىبيقي
23
Wahbah al-Zuhailiy, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986),Juz
VII,h.252. 24
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Bait al-
Afkar ad-Dauliyyah, 1998),Juz II,h.251.
27
Artinya: “Dari ibnu Abbas r.a ia berkata telah bersabda Rasulullah Saw, sebaik-
baiknya wanita (istri adalah) yang tercantik wajahnya dan termurah
maharnya”.(HR.Baihaqi).25
C. Syarat dan Jenis-jenis Belis
Syarat belis sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak. Sebelum
ada pembicaraan mengenai jumlah belis biasanya dari pihak laki-laki akan
mengirim seorang juru bicara (lia lain) untuk menyelesaikan persoalan belis.26
Untuk mengetahui jumlah belis yang ditentukan maka ada beberapa tahap belis
yaitu;
1. Tahap pertama, yaitu dimana kedua keluarga baik dari pihak laki-laki
maupun wanita (familia rua husi feto no husi mane) terlebih dulu
melakukan perkenalan. Melalui jalan perkenalan ini maka dari keluarga
pihak laki-laki harus memberi satu ekor sapi/kerbau (inan ka aman) terlebih
dulu kepada keluarga pihak wanita. Namun, sebaliknya dari pihak keluarga
wanita juga akan memberikan satu buah kain tenun (tais feto) kepada
keluarga pihak laki-laki. Dengan diberikan satu ekor sapi kepada keluarga
pihak perempuan menunjukkan bahwa adanya rasa hormat kepada pihak
keluarga wanita. 27
25
Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Al-Baihaqi, Sunan al-kubra, (Beirut: Dar al-Fikr.t.th),Juz
3.h.13. 26
Parera, A.D.M; Neonbosu, Gregor, Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor: suatu
kajian atas peta politik pemerintahan kerajaan-kerajaan di Timor sebelum kemerdekaan Rebublik
Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994). 27
Iha prosesu ida ne „e familia rua (husi feto no husi mane) sei fo uluk koiesimentu ba
malu. Husi konese malu ne‟e liu husi dalan ida ne‟ebe mak hanesan, familia husi mane nia tenki fo
uluk karau (inan ka aman) ba iha familia husi feto nia, nune‟e mos familia husi feto nia mos sei
distribui mos tais feto ida ba nia familia mane nian. liu husi karau (inan ka aman) ne‟ebe mak fo
husi familia mane nian ne‟e ho sentidu respeito ba familia feto nian.
28
2. Tahap kedua atau disebut juga sebagai penggganti air susu ibu (aitukan no
be‟e manas).28
Dalam tahap ini keluarga dari pihak laki-laki akan
memberikan lagi satu ekor sapi/kerbau (inan ka aman) dan sebagian uang.
Sebagai simbol perkenalan sekaligus rasa terima kasih kepada kedua orang
tua wanita karena sudah membesarkan anaknya dan memberikan
pendidikan.
3. Tahap ketiga yang dinamakan juga sebagai pembayaran (hafolin), dari
keluarga pihak laki-laki akan memberikan belis/barlaki berupa pedang keris
(surik), pedang (samurai), uang logam putih (osan mutin), logam hitam
(osan metan), kalung manik-manik(mortel), kayu bambu (belak) dan yang
lainnya. Dan keluarga dari pihak laki-laki akan memberikan hewan ternak
berupa kambing (bibi), kuda, sapi (karau nia dikur) kepada keluarga pihak
wanita. Dengan begitu keluarga pihak wanita akan memberikan satu kain
tenun (tais feto) kepada keluarga pihak laki-laki.
Jika ada yang melamar anak gadis dari kalangan ratu maupun dari paca,
maka syaratnya harus membawa belis jenis kerbau sebanyak 77 ekor beserta
kalung manik-manik atau paya. Namun bagi kalangan paca biasanya
disesuaikan dengan pendidikan wanita.
Sedangkan syarat-syarat mahar dalam Islam yang harus diberikan kepada
calon isteri yaitu sebagai berikut:29
1. Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya.
28
Aitukan no be‟e manas artinya sebagai pengganti air susu ibu, dimana selama ini
seorang ibu telah merawat, menjaga serta memberi pendidikan kepada anak gadisnya, jika ada
seorang laki-laki datang untuk melamar anaknya maka harus memberikan uang ganti. 29
Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), cet.Pertama,h.87.
29
2. Harta atau bendanya berharga, tidak sah mahar dengan yang tidak berharga,
walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, akan tetapi
walaupun mahar itu sedikit namun mempunyai nilai maka mahar tersebut
tetap sah.
3. Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya, tidak sah mahar dengan
memberikan khamr,babi atau darah, karena semua itu haram dan tidak
berharga.
4. Barangnya bukan ghasab, ghasab artinya mengambil barang milik orang
lain tanpa seizinya, namun tetap tidak bermaksud untuk memilikinya karena
berniat mengembalikannya nanti, memberikan mahar dengan barang ghasab
tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
5. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya, tidak sah mahar dengan
memberikan barang yang tidak jelas keadaannya atau tidak disebutkan
jenisnya.
6. Dapat diserahkan pada waktu akad atau waktu yang dijanjikan, dalam arti
barang tersebut sudah berada di tangannya pada waktu diperlukan, barang
yang tidak dapat diserahkan tidak dapat dijadikan mahar, misalkan burung
yang terbang di udara.
Kemudian berdasarkan jenisnya, mahar dapat dibagi menjadi dua kategori,
yaitu;
30
a. Mahar musamma, adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan
perawan yang disebutkan dalam redaksi akad.30
b. Mahar mitsil, menurut Hanafi, mahar mitsil ditetapkan berdasarkan keadaan
wanita yang serupa dari pihak suku ayah, bukan suku ibunya. Tetapi
menurut Maliki, mahar diterapkan berdasarkan keadaan wanita tersebut baik
fisik maupun moralnya, sedangkan Syafi‟i menganalogikan dengan isteri
dari anggota keluarga, yaitu isteri saudara dan paman, kemudian dengan
saudara perempuan dan seterusnya. Bagi Hambali hakim harus menentukan
mahar mitsil dengan menganalogikannya pada wanita-wanita yang menjadi
kerabat wanita tersebut, misalnya ibu dan bibi. Sementara itu imamiyah
mengatakan bahwa, mahar mitsil tidak mempunyai ketentuan dalam syara‟.
Untuk itu, nilanya ditentukan oleh „urf yang paham ihwal wanita, baik
dalam hal nasab maupun kedudukan, juga mengetahui kedaan yang dapat
menambah atau berkurangnya mahar, dengan syarat tidak melebihi mahar
yang berlaku menurut ketentuan sunnah, yaitu senilai 500 dirham.31
Jenis barang yang dijadikan mahar, wujud dari sesuatu yang dapat dijadikan
mahar dapat berupa;32
a. Barang berharga baik berupa barang bergerak atau tetap
b. Pekerjaan yang dilakukan oleh calon suami untuk calon isteri
c. Manfaat yang dapat nilai dengan uang
30
Muhammad Jawad Mughnuyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif
Muhammad dan Idrus Al-Kaff.,h.364. 31
Muhammad Jawad Mughnuyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif
Muhammad dan Idrus Al-Kaff.,h.368. 32
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,
h.299.
31
Mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa,
harta perdagangan, atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga. Disyaratkan
bahwa mahar harus diketahui secara jelas dan detail, misalnya seratus lire, atau
secara global semisal sepotong emas, atau sekarung gandum. Kalau tidak bisa
diketahui dari berbagai segi yang memungkinkan diperoleh penetapan jumlah
mahar, maka menurut seluruh mazhab kecuali Maliki, akad tetap sah, tetapi
maharnya batal. Sedangkan Maliki berpendapat bahwa, akadnya fasid (tidak sah)
dan di fasakh sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila telah dicampuri, akad
dinyatakan sah dengan menggunakan mahar mitsil.33
Syarat lain bagi mahar adalah hendaknya yang dijadikan mahar itu barang
yang halal dan dinilai berharga dalam syariat Islam. Jadi, kalau mahar musamma
itu berupa khamr, babi atau bangkai dan benda-benda lain yang tidak bisa dimiliki
secara sah, maka Maliki mengatakan bahwa bila belum terjadi percampuran,
akadnya fasid. Tetapi bila terjadi percampuran, maka akad dinyatakan sah dan si
isteri berhak atas mahar mitsil. Sementara itu Syafi‟i, Hanafi, dan Hambali dan
Mayoritas Ulama‟ mazhab Imamiyah berpendapat bahwa, akad tetap sah dan isteri
berhak atas mahar mitsil. Sebagian ulama mazhab Imamiyah memberi batasan
bagi hak isteri atas mahar mitsil dengan adanya percampuran. Sedangkan sebagian
yang lain sependapat dengan empat mazhab, tidak memberi batasan.34
Jika mahar tersebut berupa barang rampasan, misalnya suami memberi
mahar berupa perabot rumah tangga milik ayahnya atau milik orang lain, maka
33
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif
Muhammad dan Idrus Al-Kaff.,h.366. 34
Muhammad Jawad Mughnuyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif
Muhammad dan Idrus Al-Kaff.,h.366.
32
Maliki berpendapat bahwa, kalau perabot itu barang yang dikenal oleh mereka
berdua, sedangkan kedua-duanya dewasa, maka akadnya dinyatakan fasid dan di
fasakh sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila sudah dicampuri, akad
dinyatakan sah dengan menggunakan mahar mitsil. Syafi‟i dan Hambali
menyatakan akad tetap sah dan isteri berhak atas mahar mitsil.35
D. Bentuk dan Kadar Belis
Bentuknya macam-macam sesuai dengan kesepakatan juru bicara (lia nain)
kedua belah pihak, belis bisa langsung dilunaskan dengan 77 ekor kerbau beserta
kalung manik-manik atau paya, atau bisa juga dengan dicicil tapi dalam bentuk
atau jumlah yang ganjil seperti36
satu, tiga, lima, tujuh, sembilan, sebelas, tiga
belas, lima belas, tujuh belas, sembilan belas, duapuluh satu, duapuluh tiga,
duapuluh lima, duapuluh tujuh, duapuluh sembilan, tigapuluh satu, dan
seterusnya. Akan tetapi jarang terjadi terhadap masyarakat Fataluku yang
langsung melunaskan belisnya. Karena butuh waktu untuk bisa melunasi belis
dalam waktu yang sangat singkat. Sehingga pihak keluarga laki-laki biasanya
mendapat keringan dalam membayar belis.
Mahar adalah pemberian sesuatu dari pihak pria sesuai dengan permintaan
perempuan dengan batas-batas yang ma‟ruf, besarnya mahar tidak dibatasi. Islam
35
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif
Muhammad dan Idrus Al-Kaff.,h.366-367. 36
Wawancara Pribadi dengan Sr Afonso Marques (Tokoh Adat), Lautem Lospalos, 28 Juli
2016.
33
memberikan prinsip pokok yaitu “secara ma‟ruf”. Artinya dalam batas yang wajar
sesuai kemampuan dan kedudukan suami yang dapat diperkirakan oleh isteri.37
Syariat tidak menetapkan bahasan minimal, tidak pula maksimal atas mahar
yang harus diberikan kepada pihak perempuan. Sebab, manusia memiliki
keberagaman dalam tingkat dan kemiskinan. Manusia pun berbeda-beda dari segi
kondisi sulit dan lapang, serta masing-masing komunitas memiliki kebiasaan dan
tradisi yang berbeda-beda. Dari itu, syariat tidak memberikan batasan tertentu atas
mahar, agar masing-masing memberi sesuai dengan kadar kemampuannya dan
sesuai dengan kondisi serta kebiasaan komunitasnya. Dari semua teks syariah
yang ada mensinyalir bahwasanya tidak ada syariat terkait jenis mahar selain
berupa sesuatu yang memiliki nilai tanpa memandang sedikit maupun banyak.
Dengan demikian, mahar boleh hanya berupa cincin dari besi, atau berupa
semangkuk korma, atau berupa jasa pengajaran kitab Allah, dan atau
semacamnya, jika kedua belah pihak yang melaksanakan akad nikah saling
meridhainya.38
Adapun benda atau uang pemberian itu adalah milik perempuan. Jika
dikehendaki olehnya atau atas inisiatif dari perempuan itu maka bolehlah suami
sekedar ikut memakan dan ikut hidup dari mahar yang ia berikan, yang telah
menjadi milik isteri.39
Mengenai ketentuan mahar, jumlahnya tergantung dari
37
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: PT. Rineke Cipta, 1991), h. 78-
79. 38
As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Kairo:Dar al-Fath li I‟lam al-„Arabi, 1999),h.101-
102. 39
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam, h. 68.
34
kemampuan calon suami atas persetujuan isteri, namun hendaklah tidak
berlebihan.40
Jabir ra. Menuturkan, Rasulullah bersabda; “Seandainya seorang pria
memberi makanan sepenuh dua tangannya saja untuk maskawin seorang wanita,
sesungguhnya wanita itu halal baginya.”(HR. Ahmad dan Abu Dawud )41
. Para
ulama mazhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mahar tersebut
karena adanya firman Allah QS. An-Nisa‟(4) : 4 yang berbunyi;
(: 20 /4)النساء
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya
barang sedikitpun.”42
Tetapi mereka berbeda pendapat tentang batas minimalnya. Syafi‟I,
Hambali dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar.
segala sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli boleh dijadikan mahar
sekalipun hanya satu qirsy. Sementara itu Hanafi mengatakan bahwa jumlah
minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kalau suatu akad dilakukan dengan mahar
kurang dari itu, maka akad tetap sah, dan wajib membayar mahar sepuluh dirham.
Maliki mengatakan, jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Kalau akad
40
Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, (Bogor: Cahaya Islam, 2006), h. 448. 41
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi as- Sijistani, Ensiklopedia Hadits 5;
Sunan Abu Dawud, Penerjemah Muhammad Ghazali dkk., (Jakarta: Almahira, 2013), Cet.I, h. 434. 42
Dari ayat ini dipahami bahwa tidak ada batas maksimal dari maskawin. Umar ibn al-
Khattab pernah mengumumkan pembatasan maskawin tidak boleh lebih dari empat puluh auqiyah
perak, tetapi seorang wanita menegurnya dengan berkata, “ Engkau tidak boleh membatasinya,
karena Allah berfirman: kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka qinthar
(harta yang banyak).” Umar ra. Membatalkan niatnya sambil berkata, “ seseorang wanita berucap
benar dan seorang pria keliru”. Lihat dalam M.Quraisy Shihabm Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan
dan keserasianAl-Qur‟an, Vol.II, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 366-367.
35
dilakukan dengan mahar kurang dari jumlah tersebut, kemudian terjadi
percampuran, maka suami harus membayar tiga dirham. Tetapi bila belum
mencampuri, suami boleh memilih antara tiga dirham dengan melanjutkan
perkawinan atau fasakh akad, lalu membayar separuh mahar musamma.43
Dalam hukum Islam tidak ditetapkan jumlah mahar tetapi didasarkan pada
kemampuan masing-masing orang keadaan dan tradisi keluarga. Dengan
ketentuan bahwa jumlah mahar merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang
akan melakukan akad nikah. Dalam syariat Islam hanya ditetapkan bahwa
maskawin harus berbentuk dan bermanfaat, tanpa melihat jumlahnya. Walau tidak
ada batas minimal dan maksimal namun hendaknya berdasarkan pada
kesanggupan dan kemampuan suami. Islam tidak menyukai mahar yang
berlebihan,44
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
ع اب عبا س زضي هللا ع قاه زسه هللا عيي صيي سي : خيس اىساء احس
زا)زا اابيقي( جا ازخص45
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a., telah berkata Rasulullah Saw: sebaik-baiknya
wanita(isteri) adalah yang tercantik wajahnya dan termurah maharnya.
(HR. Al-Baihaqi).
Berkaitan dengan pembayaran mahar terdapat beragam pendapat, Syafi‟I,
Malik, dan Dawud berpendapat suami tidak wajib memberikan mahar
seluruhnya, kecuali jika telah diawali dengan persetubuhan, dan jika masih
menyendiri atau belum melalukan persutubuhan, maka wajib membayar
setengahnya. 46
Dalam QS.Al-Baqarah (2) : 237 disebutkan;
43
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemh Masykur A.B.dkk.,
h.364-365. 44
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h.
301. 45
Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.),
Juz III, h. 13. 46
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h.
305.
36
( 237: /2)البقراة
Artinya:”Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya,
maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu,
kecuali jika isteri-isterimu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang
memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada
takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.”
Jika jumlah maharnya belum ditentukan dan isteri belum pernah dicampuri,
maka isteri hanya berhak mendapatkan pemberian menurut keadaan suaminya.
Pemberian ini sebagai ganti rugi dari apa yang diberikan oleh mantan isterinya,
hal ini berdasarkan firman Allah Swt. Dalam QS. Al-Baqarah (2) : 236.47
(236: /2)البقراة
Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar mahar atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum bercampur dengan mereka
dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu
berikan suatu mut‟ah kepada mereka. Orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
pula, yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu
ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
47
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h.
305.
37
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah
maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan
kemampuan manusia dalam memberinya. Orang yang kaya mempunyai
kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon
isterinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu
memberinya.48
Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan
yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang
akan menikah untuk menetapkan jumlahnya.
Mukhtar Kamal menyebutkan, “janganlah hendaknya ketidaksanggupan
membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi penghalang bagi
berlangsungnya suatu perkawinan,” sesuai dengan sabda Nabi yang menjadikan
A-lqur‟an sebagai mahar sebagaimana terdapat dalam hadis Sahal bin Sa‟adi
dalam bentuk muttafaq‟alaih , ujung dari hadis panjang yang dikutip di atas:
ع ظس قيبل سزة مرا ,زة مراقاه ادا عل اىقسا قاه عي س عددا.قاه تقسؤ
قاه ع:قاه : اذب فقر يننا با عل اىقسا49,
Artinya :”Nabi berkata ;”apakah kamu memiliki hafalan ayat-ayat al-Qur‟an? “
ia menjawab: “ ya. Surat ini, sambil menghitungnya?‟‟. Nabi berkata:
kamu menghafal surat-surat itu di luar kepala?” dia menjawab: ya.
Nabi berkata: pergilah, saya kawinkan engkau dengan perempuan itu
dengan mahar mengajarkan al-qur‟an.
48
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap,(Jakarta:
PT.Rajawali Pers,2009),h.40 lihat Mukhtar Kamal,Op.cit.,h.82. 49
Muhammad Nashiruddin Al-albani, Mukhtashar Sahih Muslim,cet.ke-1, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2003),h.572.
38
E. Hikmah dan Tujuan Belis
Dengan adanya belis maka akan timbul rasa saling menghargai satu sama
lain, baik dari keluarga laki-laki maupun dari keluarga perempuan. Dengan
adanya belis akan terlaksana tanggung jawab serta saling melayani satu sama lain.
Belis juga mempunyai beberapa manfaat untuk pihak laki-laki dan perempuan,
antara lain:50
a. Sebagai alat mempererat hubungan keluarga.
b. Sebagai alat penentun sahnya suatu perkawinan.
c. Sebagai penanda bahwa si gadis telah keluar dari keluarga asalnya.
d. Sebagai alat menaikan nama keluarga laki-laki.
Ada juga beberapa dampak positif dan negatif yang di dapat pada saat belis
telah diberikan oleh pihak laki-laki yaitu:
Dampak positif dari pemberian belis;
a. Martabat keluarga laki-laki menjadi terhormat; melalui pemberian “belis”,
martabat laki-laki menjadi terhormat atau diangkat karena pihak pria di
anggap mampu membayar belis yang ditentukan oleh pihak wanita.
b. Pihak keluarga wanita merasa dihargai; maksud dari pemberian belis ini
adalah imbalan jasa atau penghormatan atas kecapaian, kesakitan dan jerih
payah orang tua selama melahirkan dan memelihara si gadis sampai dewasa.
5050
Ir. Domingos Cairesi Bendito Bere Mau Gomes, Cu‟ Pede U‟sa Sa‟e Pede Laru
(Timor Leste, 2007), h.43-45.
39
c. Munculnya sebuah kerabat baru; dengan memberikan belis, calon pengantin
pria dan wanita sudah mendapat restu dari orang tua dan keluarga sehingga
boleh melanjutkan hubungan ke jenjang perkawinan.
Adapun dampak negatif dari pemberian belis tersebut antara lain:
a. Martabat wanita direndahkan; dengan pemberian belis kepada keluarga
wanita pria merasa bisa bertindak bebas kepada wanita sehingga martabat
wanita di rendahkan dan wanita kurang di hargai dalam hidup berumah
tangga.
b. Pihak laki-laki merasa malu; jika pihak pria tidak mampu membayar belis
maka pria akan tinggal dirumah keluarga wanita dan bekerja untuk wanita.
Wanita merasa statusnya lebih tinggi dari pria itu sehingga pria merasa
malu.
c. Pertentangan di antara kedua keluarga; hal ini terjadi karena belis yang di
tuntut oleh pihak wanita terlalu tinggi sehingga pihak pria tidak mampu
membayarnya.
d. Menimbulkan utang piutang; karena tidak mampu membayar belis maka
pihak keluarga laki-laki mengambil jalan pintas dengan meminjam uang
pada pihak lain sehingga menimbulkan piutang.
Sedangkan dalam Islam Mahar atau mas kawin merupakan hak perempuan
wajib diberikan oleh seorang laki-laki. Mahar bukanlah sebagai pembelian atau
ganti rugi. Karena itu, jika ia telah menerimanya, hal itu berarti ia suka dan rela
dipimpin oleh laki-laki yang baru saja mengawininya.51
Hal ini sekaligus
membuktikan bahwa mahar itu adalah lambang atau tanda cinta calon suami
51
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Mar‟a al-Muslimah, (Semarang: asy-
Syifa‟,1986),h.373.
40
terhadap calon isterinya, sekaligus berfungsi sebagai pertanda ketulusan niat dari
calon suami untuk membina kehidupan berumah tangga bersama calon isterinya.
Pada masa Jahiliyah, hak perempuan (berupa mahar) ini disia-siakan bahkan
dihilangkan, sehingga mahar yang seharusnya menjadi milik dari seorang
perempuan malah diserahkan kepada ayahnya (walinya) yang lalu
menggunakannya dengan semena-mena sesuai dengan keinginannya. Lalu Islam
datang menggugurkan kebiasaan tersebut yang sangat tidak patut dan salah.52
Menurut Wahbah al-Zuhailiy, salah satu hikmah pemberian mahar dalam
prosesi pernikahan kepada pihak perempuan ialah sebagai tanda akan adanya
mawaddah yang akan ditegakkan secara bersama oleh suami isteri, juga sebagai
simbol rasa cinta serta kasih sayang sang suami terhadap isterinya.53
Dengan
adanya kewajiban calon suami memberikan mahar kepada calon isterinya
merupakan indikasi bahwa setelah usai ijab qabl, maka seluruh beban
kekeluargaan termasuk memberi nafkah lahir batin kepada isteri adalah sudah
menjadi tanggungjawab sang suami. Juga dalam hal memberikan perlindungan
dan rasa aman kepada pendamping hidupnya, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, adalah juga sudah dibebankan kepada sang suami
Hikmah disyari‟atkan mahar menurut Dr.Yusuf Qardhawi54
adalah sebagai
berikut:
52
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,alih bahasa oleh Moh.Thalib dengan Judul Fikih Sunnah,
Jilid VII, (Bandung: al-Ma‟arif, 1996),h.52. 53
Wahbah al-Zuhailiy, Tafsir al-Munir al-Aqdah wa Syari‟ah wa Manhaj, Juz III (Beirut:
Dar al-Fikr al-Mu‟ashir, 1991),h.235. 54
Anugrah, Hendra. Hikmah di Syariatkan Mahar, dipublikasikan pada tanggal 15 april
2007.
41
1. Menunjukkan kemuliaan wanita, karena wanita yang dicari laki-laki bukan
laki-laki yang dicari wanita. Laki-laki yang berusaha untuk mendapatkan
wanita meskipun harus mengorbankan hartanya.
2. Menunjukkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada isterinya, karena
mas kawin itu sifatnya pemberian, hadiah atau hibah yang oleh Al-qur‟an
diistilahkan dengan nihlah (pemberian dengan penuh kerelaan), bukan
sebagai pembayar harta wanita. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa‟
(4) : 4.
(4 :/4النساء (
Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan[267].55
kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
3. Menunjukkan kesungguhan, karena nikah dan berumah tangga bukanlah
main-main dan perkara yang bisa dipermainkan.
4. Menunjukkan tanggung jawab suami dalam kehidupan rumah tangga
dengan memberikan nafkah, karenanya laki-laki adalah pemimpin atas
wanita dalam kehidupan rumah tangganya. Dan untuk mendapatkan hak itu,
wajar bila suami harus mengeluarkan hartanya sehingga ia harus lebih
bertanggung jawab dan tidak sewenang-wenang terhadap isterinya. Allah
SWT berfirman dalam QS. An-nisa(4) : 34 yang berbunyi:
55
Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua
pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
42
(4:34 /)النساء
Artinya : “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagahian mereka(laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan kerana mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri {289}56
ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) {290}57
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya {291}58
maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya {292}59
.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
56
Makdusnya tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya. 57
Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik. 58
Nusyuz yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nustuz dari pihak isteri seperti
meninggalkan rumah ranpa izin suaminya. 59
Maksudnya untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan
pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah
dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul
mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya
janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
42
BAB III
PRAKTEK PEMBERIAN BELIS MASYARAKAT FATALUKU
A. Potret Suku Fataluku Kabupaten Lautem Kecamatan Lospalos
Distrik Lautem adalah salah satu distrik yang terletak di ujung paling timur
pulau Timor. Distrik Lautem dibatasi oleh selat wetar di sebelah utara, laut Banda
di sebelah Timur Kabupaten Indonesia Maluku Barat Daya, Laut Timor di sebelah
dan berbatasan dengan Baucau dan Viqueque bagian barat.1
Distrik Lautem identik dengan nama salah satu dewan kotapraja zaman
Timor Portugis. Pada saat itu, banyak daerah memiliki nama Portugis, seperti Vila
Nova de Malac (sekalang Lautem), Nova Nazare (sekarang com), Nova Sagres
(sekarang Tutuala) dan Nova Ancora (sekarang Laivai).2
Distrik Lautem terdiri dari sebuah dataran tinggi yang dikelilingi
pegunungan. Dataran tinggi ini adalah padang rumput yang cukup subur. Distrik
ini merupakan daerah yang hujannya paling banyak di seluruh wilayah Timor-
Leste.
Lautem terletak di bagian paling timur pulau Timor. Distrik ini terletak
sekitar 215 kilo lewat jalan ke arah Timur dari Dili. Distrik ini berbatas di bagian
utara dan timur dengan Laut Water, di bagian selatan dengan Laut Timor di
1
Boaventura Aoares da Silva, Titolu Perfil Distritu Lautem, Direksaun Nacional
Administrasaun Local Rua de Belarmino Lobo, Dili Timor Leste 2012. 2
Boaventura Aoares da Silva, Titolu Perfil Distritu Lautem, Direksaun Nacional
Administrasaun Local Rua de Belarmino Lobo, Dili Timor Leste 2012.
43
bagian barat daya dengan distrik Viqueque dan di bagian barat-laut dengan distrik
Baucau.3
Sebagai salah satu dari tiga belas (13) distrik Timor Leste, distrik ini terdiri
dari 1,702.33 kilo persegi atau hampir 1/8 dari daerah tanah di tanah air. Distrik
ini juga hanya mempunyai salah satu dari hanya dua pulau di tanah air. Pulau
indah Jaco, yang terdiri dari daerah 8 kilo persegi terletak di ujung Timur, sub-
distrik Tutuala. Kota Lospalos adalah pusat administrasi dan ekonomi dan terletak
di pusat distrik, yang mudah dicapai.
Masa tanah Timor adalah fragmen benua. Sebagian besar dari dasar pulau
Timor terdiri dari batu gamping dan endapan sedimeter lainnya. Hal ini
membedakan pulau Timor dari tetangganya ke utara dan barat di rangkaian pulau
sunda, yang dibentuk oleh letusan gunung api.4
Topografi Timor Leste mempunyai rangkaian gunung Ramelau sebagai ciri
utama, sebuah tulang punggung pusat besar yang mencapai tingginya 3000 meter,
yang dibagikan oleh lembah yang dalam yang mudah dikenai banjir yang datang
sekonyol-konyol. Ke arah utara pulau Timor dari tetangganya ke utara, gunung
hampir mencapai pantai tanpa daratan yang luas. Malahan, ke arah selatan,
gunung turun jauh dari laut dan ada daratan pesisir, yang lebih untuk pertanian.
Distrik Lautem mempunyai ciri-ciri geologi dan geografi yang sama dengan
ciri-ciri yang ada di sebagian besar Timor Leste. Bagian pusat distrik terdiri dari
gunung dan bukit dari barat-daya ke timur-laut, dari pantai selatan ke pantai utara.
3
Boaventura Aoares da Silva, Titolu Perfil Distritu Lautem, Direksaun Nacional
Administrasaun Local Rua de Belarmino Lobo, Dili Timor Leste 2012. 4 Laporan mengenai Kondisi Sosial dan Ekonomi di Timor Leste yang dipersiapkan di
bawah Program Penyelesaian Percekcokan Internasional (Universitas Columbia, New York, AS
dan FAFO Lembaga Ilmu Sosial Yang Terapan, Oslo, Norway).
44
Puncak yang paling tinggi distrik adalah gunung Legumaw di sub-distrik Luro,
dengan ketinggan 1297 meter.
Gunung dan bukit dikelilingi di pantai selatan oleh rawa, petak dan daratan
yang berbukit-bukit di bagian utara oleh petak-petak dan tanah daratan yang
melandai dan berbukit-bukit di bagian timur distrik ada daratan tinggi Fuiloro
yang tanahnya menurun ke arah selatan, dari 700 meter sampai 500 meter.
Lerengan daratan tinggi sampai Danau Ira Lalaro, dengan luasnya sekitar 2200
hektar.5
Pada umumnya, 20-3-% tanah di ditrik Lautem adalah tanah pertanian, 35%
tanah tinggi dan 35% pergunungan. Sebagian besar distrik mempunyai tanah
lembah dan tanah subur yang ideal untuk penanaman. Pertanian tradisional
dilakukan di distrik ini.6
Distrik Lautem hampir seluruhnya dikelilingi dengan laut, termasuk Laut
Ibu yang adalah laut utara Tasi-Feto dan Laut selatan Tasi-Mane. Dua laut ini
saling meliputi di Pulau Jaco, dan ini adalah salah satu alasan mengapa pulau ini
dianggap sebagai pulau suci.
Distrik Lautem mempunyai tiga (3) suku (suco) utama dan masing-masing
suku mempunyai bahasa sendiri, suku Fataluku (sub-distrik Lospalos, Tutuala dan
Lautem) suku Makassai, (Luro, Lautem dan Iliomar), dan suku Makalero
5Laporan mengenai Kondisi Sosial dan Ekonomi di Timor Leste yang dipersiapkan di
bawah Program Penyelesaian Percekcokan Internasional (Universitas Columbia, New York, AS
dan FAFO Lembaga Ilmu Sosial Yang Terapan, Oslo, Norway). 6Laporan mengenai Kondisi Sosial dan Ekonomi di Timor Leste yang dipersiapkan di
bawah Program Penyelesaian Percekcokan Internasional.
45
(Iliomar). 7Dan juga kelompok daerah Sa‟ane di daerah Luro atas dengan bahasa
yang dekat dengan bahasa Makalero. Asli tepat suku Fataluku dan suku Makassai
merupakan campuran orang Melanesia dan orang papua. Suku Fataluku dan suku
Makassai adalah petani, dan bukan penangkap ikan. Tarian budaya mereka masih
menerima kembali perbuatan berani pejuang.
Suku Fataluku adalah penganut animisme, dan kepercayaan animisme
mereka masih sebagian besar dari kehidupan sehari-hari penduduk distrik Lautem.
Menawarkan darah binatang sebagai korban adalah kejadian biasa di desa-desa.
Juga merupakan hal biasa menemukan lulik (sebuah ukiran yang mewakili orang
yang menangkal roh jahat) di beberapa desa. Di jalan com dari Lospalos ada
pemakaman tradisional yang berumur tiga ratus tahun. Pemakaman ini dibangun
untuk orang Timor-Leste yang dibunuh oleh orang Portugis.
B. Budaya Sosial Masyarakat Fataluku
Masyarakat Fataluku terbagi menjadi tiga lapisan sosial yaitu; pertama,
golongan raja-raja dan keluarganya yang disebut ratu. Biasanya merekalah yang
memerintah dalam setiap desa yang pada zaman dulu berbentuk kerajaan-kerajaan
tradisonal yang kecil-kecil. Kedua, golongan orang biasa yang disebut sebagai
pacak. Ketiga, golongan hamba sahaya yang disebut dengan akano.8 Golongan
ratu diperkuat dengan hak-hak dan simbol kebangsawanan.
Mereka umumnya memiliki ternak kerbau dan kuda yang banyak sampai
ratusan pada setiap keluarga. Mas kawin yang harus mereka bayar dan harus
7
Boaventura Aoares da Silva, Titolu Perfil Distritu Lautem, Direksaun Nacional
Administrasaun Local Rua de Belarmino Lobo, Dili Timor Leste 2012. 8Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), Lautem Lospalos, 28 Juli
2016.
46
mereka terima cukup tinggi, yaitu 77 ekor kerbau dan harus diimbali dengan
sejumlah kalung paya (manik-manik). 9Akibatnya golongan lain tidak ada yang
berani mengawini mereka. Arsitektur rumah adat mereka terkenal di Timor Leste,
karena khas dan tradisional masyarakat Fataluku di atas empat tiang kayu besar,
diberi atap ijuk yang menjulang tinggi. Rumah itu mereka sebut fiale (rumah ijuk
).10
Perbedaan fiale fatasiriko ( rumah ijuk biasa ) antara milik golongan ratu dan
pacak hanya pada jumlah tingkat yang terdapat di bawah atap yang tinggi itu.
Rumah ijuk kaum ratu biasa bertingkat sampai lima. Tingkat paling atas
digunakan untuk menyimpan benda-benda sakral. Setiap rumah dihuni oleh satu
keluarga batih.
C. Prosesi Pelaksnaan Perkawinan Adat Masyarakat Fataluku
Prosedur pelaksanaan perkawinan adat masyarakat Fataluku dilakukan
dengan berbagai urutan sebagai berikut;11
a. Perkenalan (conese mentu)
Tahap pertama yang dapat menjadi awal suatu perkawinan adalah
perkenalan antara seorang pria dan seorang wanita. Perkenalan ini biasanya terjadi
baik ditempat umum seperti pasar mingguan dikota ataupun ditempat-tempat
khusus seperti upacara adat atau keagamaan.
Pemuda-pemudi timor pada umumnya masih berpendidikan rendah,
malahan mereka pada umumnya masih buta aksara pemalu dan tertutup dalam
9Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), Lautem Lospalos, 28 Juli
2016. 10
Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), Lautem Lospalos, 28
Juli 2016. 11
Singh, Bilveer. Timor-Timur Indonesia dan Dunia. Penerjemah : Tim Institut for policy
studies ) IPS ) Jakarta : Institut for policy studies, 1998.
47
membicarakan hal-hal yang menyangkut perkawinan. Kehendak menjalin
hubungan ketingkat perkawinan biasanya dilakukan secara “simbolis” dengan
saling memberi dan menerima hadiah.
b. Peminangan (tama husu)
Setelah diadakan penjejakan dan dicapai kesimpulan perkawinan dapat
dilaksanakan, ayah si pemuda menyelenggarakan kunjungan resmi kepada orang
tua gadis. Pada kunjungan ini ia menyatakan keinginan anak laki-lakinya
memperistrikan anak gadis bapak tersebut. Menurut adat kebiasaan yang berlaku
penegasan keinginan ini harus dinyatakan dengan menyerahkan barang tertentu.
Jika barang ini diterima maka gadis yang bersangkutan telah terlarang bagi laki-
laki lain. Pemberian ini menurut David Hicks merupakan referensi terhadap mas
kawin (belis), karena pemberian ini akan dihimpun menjadi satu dalam segala
macam pemberian sebagai mas kawin yang diberikan kepada mertua laki-laki.12
c. Pertunangan (troka prenda)
Setelah pernyataan keinginan dari pihak laki-laki dinyatakan tegas dan
diterima pula oleh perempuan dengan tegas maka sipemuda mengunjungi orang
tua si gadis paling tidak dua kali. Setiap kali datang ia menghanturkan kelaki-laki
senior dari kalangan garis keturunan gadis dengan seekor kerbau susuan dan
sedikit uang sebagai tanda hormat pada kunjungan yang pertama sipemuda
menyerahkan hadiah yang berfungsi sebagai “pengetuk pintu“ untuk memasuki
rumah mertua.13
12
Ir. Domingos Cairesi Bendito Bere Mau Gomes, Cu‟ Pede U‟sa Sa‟e Pede Laru (Timor
Leste, 2007). 13
Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques(Tokoh Adat), Lautem Lospalos 28 Juli
2016.
48
Pada kunjungan berikutnya pemuda menyerahkan sesuatu yang berfungsi
sebagai “tali milik“(tara korenti) yang berarti pertunangan antara sigadis dan
sipemuda telah terjadi.14
Upacara ini berfungsi pula sebagai tanda penghubungan
pertama antara garis keturunan mereka masing-masing.
d. Upacara serah terima mas kawin tahap pertama
Setelah upacara perkawinan dan penetapan jumlah serta waktu pembayaran
mas kawin ditentukan. Proses selanjutnya adalah upacara serah terima mas kawin
(belis), saat upacara serah terima ini tergantung dari kesanggupan pengantin laki-
laki menggumpulkan mas kawin. upacara serah terima mas kawin ini dapat
dimulai walaupun yang terkumpul baru beberapa saja. Pada tahap ini barang lain
yang menjadi bagian mas kawin (belis) seperti; kerbau, sapi, kambing dan
beberapa kalung (mortel), tusuk konde (ulsukun), perak (dinel), emas (osan
mean), petaca (belak), di harapkan sudah diserahkan kepada mertua. Pada hari
pertemuan dari garis keturunan pengambil istri mengawal saudaranya ke rumah
mertuanya. Dirumah mertuanya rombongan disambut oleh keluarga patrilinear
pengantin perempuan. Seorang keluarga patrilinear pengantin perempuan ditunjuk
untuk memeriksa binatang yang dipegang oleh rombongan pengantin laki-laki.
Sesudah binatang-binatang itu diperiksa oleh tukang periksa dan diserah
terimakan, mertua menyampaikan terima kasih kepada kelompok pengambil istri
pemimpin upacara keluar dari rumah untuk mengantar sepupuh kedua belah pihak
memasuki rumah pada saat ini pemimpin upacara mengadakan persembahan
kepada roh nenek moyang.
14
Wawancara Pribadi dengan Sr.Afonso Marques(Tokoh Adat), Lautem Lospalos 28 Juli
2016.
49
e. Upacara serah terima mas kawin tahap kedua
Tahap ini merupakan acara puncak dari sekalian banyak upacara penyerahan
mas kawin yang tersisah pada acara sebelumnya dilakukan disini. Dalam
kenyataan ada beberapa kelompok garis keturunan yang kaya menyerahkan mas
kawin pada saat serah terima mas kawin tahap pertama, namun penyerahan yang
terlalu dini semacam itu dilarang. Jika dari awal mas kawin sudah siap, maka
serah terima mas kawin pada tahap ini dilakukan beberapa hari setelah terima mas
kawin yang pertama dilaksanakan. Penyerahan ini disertai dengan upacara
(kenduri) pelembagaan instansi kedua jenis kelamin, kedua jenis keturunan dari
nenek moyang dengan manusia.
f. Upacara perkawinan
Upacara perkawinan adat pada tahap ini ditandai oleh berbagai kegiatan;
pertama adalah penyampaian mas kawin yang telah terkumpul. Penyampaian mas
kawin ini kepada ayah gadis, kedua “ pergi untuk mencapai persetujuan”.
Beberapa mas kawin itu diberikan pada tahap ini, beberapa jumlah uang (osan)
sebagai “pembuka pintu rumah” (loke odamatan). 15
Dengan pemberian ini, berarti
pengambil isteri mendapat hak memasuki rahim rumah mertua, untuk
membicarakan besarnya mas kawin (folin atau belis) dan jangka waktu
pembayarannya. Upacara lain pada tahap ini adalah tindakan yang
mempersatukan, tidak hanya pengantin laki-laki dan pengantin perempuan dalam
satu ikatan, tapi juga sakaligus mempersatukan mereka dengan warga kelompok
pemberi isteri dan pengambil isteri serta persatuan manusia dengan arwah nenek
15
Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), Lautem Lospalos 28 Juli
2016.
50
moyang. Sesudah upacara ini, pengantin perempuan bebas tinggal di rumah
suaminya, atau tinggal di rumah ayahnya.
Pada saat itu perkawinan antara keduanya telah tercipta. Upacara ini dihadiri
oleh setiap laki-laki dari garis keturunan pengambil istri, selain itu juga hadir
orang-orang senior di tiap dukuh dari garis keturunan. Lambang persatuan dalam
upacara ini adalah sirih dan pinang (bua ho malus) yang saling ditukarkan oleh
pihak laki-laki kepada pihak perempuan.16
Upacara doa suci dan penyatuan ini
dipimpin oleh seorang pria yang dianggap sebagai wakil dunia suci. Kegiatan
selanjutnya adalah makan dan minum bersama. Pada tahap ini pihak perempuan
menghidangkan makanan dan minuman, sementara pihak laki-laki tawar menawar
mengenai besarnya mas kawin (folin atau belis) dan bagaimana cara
pembayaranya.
Setelah semua upacara perkawinan adat selesai kedua keluarga menyepakati
supaya melangsungkan upara perkawinan agama. Pada tahap ini pihak keluarga
laki-laki mempersiapkan perlengkapan pakaian pengantin wanita dan sebaliknya
pihak keluarga wanita menyiapkan perlengkapan pria. Sebelumnya kedua
mempelai masih berada di rumah masing-masing walaupun mereka telah
diizinkan untuk saling berkunjung, tetapi pada saat upacara perkawinan agama
akan dilangsungkan masing-masing di rumahnya dan didampingi oleh keluarga
masing-masing.
16
Wawancara Pribadi dengan Sr.Afonso Marques(Tokoh Adat), Lautem Lospalos 28 Juli
2016.
51
D. Praktek Pemberian Belis Pada Masyarakat Fataluku
Dalam praktek pemberian belis dalam masyarakat Fataluku, terlebih dahulu
diadakan pertemuan antara keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak wanita.
Pihak laki-laki akan mengirimkan seorang juru bicara(lia nain) untuk proses
negosiasi jumlah belis/barlaki, yang diawali dengan melemparkan biji jagung di
atas meja, kemudian juru bicara (lia lain) dari pihak laki-laki akan mengambil biji
jagung sesuai dengan kemampuannya. Dari situ akan diketahui berapa jumlah
kerbau/sapi yang akan diminta oleh pihak keluarga wanita.17
Dalam praktek
belis/barlaki dengan dua cara yaitu;
1. Pembayaran belis boleh secara bertahap, diangsur-angsur atau dicicil.
banyak masyarakat Fataluku yang membayar belis secara diangsur akan
tetapi dampak dari belum terlunasnya belis akan membawa laki-laki tinggal
dirumah keluarga wanita dan menghidupi semua keluarga wanita. Selain itu
juga terdapat hinaan bila belis tidak dilunaskan, keluarga dari pihak laki-laki
akan merasa malu.
2. Pembayaran belis secara tunai, tapi untuk pembayaran belis secara tunai
jarang sekali yang melakukannya. Namun ada sebagian laki-laki yang
langsung membayar belis secara tunai, karena menurut mereka jika belis
tidak terlunaskan atau dibayar cicil maka tanggung jawab meraka akan lebih
besar dan menambah beban serta timbul cacian dari keluarga wanita.
17
Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), Lautem Lospalos 28 Juli
2016.
52
Dalam praktek pemberian belis dalam masyarakat Fataluku terdapat dua
unsur atau nilai. Dimana ada nilai positif dan negatifnya.18
a. Nilai positifnya itu kita menganggap seperti menghargai wanita lebih relatif
dilihat dari derajat kekerabatan.
b. Dari aspek negatifnya kita menyamakan harga diri wanita sama dengan
penjualan barang. Dan mengganti harga diri wanita dengan barang dan
materi yang lain.
Tidak ada kebudayaan yang bersifat statis. Setiap individu dan setiap
generasi melakukan penyesuaian dengan semua perubahan kehidupan sesuai
dengan kepribadian dan tuntutan zaman. Terkadang diperlukan banyak
penyesuaian dan generasi baru tidak hanya mewarisi suatu edisi kebudayaan baru,
tetapi suatu versi kebudayaan yang direvisi.19
Seluruh kebudayaan merupakan proses belajar yang besar. Proses belajar
dalam bidang kebudayaan menghasilkan bentuk baru menimbun gerak
pendukungnya. Hal ini juga tercermin pada kehidupan bermasyarakat di Lospalos.
Penduduk yang beraneka ragam, baik budaya, agama, maupun pekerjaan yang
menimbulkan pengetahuan baru bagi orang-orang Fataluku untuk mencari solusi
pembayaran belis yang cukup tinggi.20
Hakikat belis berupa material, tetapi dibalik itu belis juga mempunyai
hakikat immaterial yang menyiratkan fungsi dan simbol. Simbol mahar berupa
18
Wawancara Pribadi dengan Afonso Marques (Tokoh Adat), 28 Juli 2016. 19
Ir. Domingos Cairesi Bendito Bere Mau Gomes, Cu‟ Pede U‟sa Sa‟e Pede Laru (Timor
Leste, 2007).
20
Ir. Domingos Cairesi Bendito Bere Mau Gomes, Cu‟ Pede U‟sa Sa‟e Pede Laru (Timor
Leste, 2007).
53
hewan ternak yaitu kerbau, sapi, kambing dan tanah pertanian dapat digantikan
dengan benda lain, yakni uang, yang difungsikan nilainya sama dengan bahan
mahar.Tetapi secara immateril atau arti simbol akan mengalami pemaknaan serta
cara baru yang akan dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan perkembangan
zaman.
Menurut R.Linton dalam Koentjaraningrat, unsur-unsur kebudayaan
universal ada yang mudah berubah dan ada yang sukar berubah serta sulit diganti
dengan unsur asing, yakni bagian inti dari suatu kebudayaan yang disebut Covert
Culture, yang terdiri dari sistem nilai budaya, keyakinan keagamaan yang
dianggap keramat. Beberapa adat yang sudah dipelajari sejak dini dalam proses
sosialisasi individu warga masyarakat dan beberapa adat yang mempunyai fungsi
yang terjaring luas dalam masyarakat.
Sedangkan unsur kebudayaan yang mudah berubah, yaitu bagian
perwujudan lahiriyah atau covert Culture adalah kebudayaan fisik seperti alat dan
beda bergunam tetapi juga ilmu pengetahuan, tata cara, gaya hidup dan rekreasi
yang memberi kenyamanan.
Dalam hal ini terlihat bagaimana perubahan yang terjadi dalam pembayaran
mahar di masyarakat Fataluku. Perubahan dapat dipandang sebagai suatu proses
yang berlangsung terus menerus dan bermakna masyarakat.
Menurut Soekanto, bahwa perubahan sosial dan kebudayaan selalu
berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi akan
mengakibatkan pula perubahan di dalam lembaga kemasyarakatan lainnya. Oleh
54
karena itu lembaga kemasyarakat tersebut selalu ada proses saling mempengaruhi
secara timbal balik.
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan berubahnya suatu unsur-
unsur kebudayaan antara lain:21
1. Perubahan lingkungan yang diikuti oleh perubahan adaptif dalam
kebudayaan.
2. Variasi perorangan mengenai cara orang di dalam kebudayaan memahami
karakteristik kebudayaan sendiri yang dapat menimbulkan perubahan cara
masyarakat pada umumnya menafsirkan norma dan nilai kebudayaan.
3. Kontak dengan kelompok lain yang menyebabkan masuknya gagasan dan
cara baru untuk mengerjakan sesuatu yang akhirnya menimbulkan
perubahan nilai perilaku tradisional.
Perubahan tersebut merupakan salah satu untuk mengendalikan keadaan di
masyarakat yang merasa resah dan kesulitan dalam memperoleh bahan mahar.
Seperti pendapat R.Linton dalam Koentjaraningrat, bahwa perubahan dari suatu
masyarakat yang tradisional ke masyarakat masa kini tidak perlu menyebabkan
hilangnya keseimbangan sehingga timbul konflik yang merusak, asalkan
perubahan itu berlangsung lambat dan terarah.
Dalam sebuah acara perkawinan adat dalam masyarakat tradisional, akan ada
suatu hubungan timbal balik dari pemberian belis (mahar) dari pihak keluarga
laki-laki ke pihak keluarga wanita, dimana pihak keluarga laki-laki akan
memberikan sejumlah mahar berupa hewan ternak. Atas pemberian mahar dari
21
Ir. Domingos Cairesi Bendito Bere Mau Gomes, Cu‟ Pede U‟sa Sa‟e Pede Laru (Timor
Leste, 2007).
55
pihak keluarga laki-laki maka keluarga dari pihak wanita akan memberikan
sejumlah barang atau benda sebagai balasan pemberian belis dari keluarga laki-
laki, disini terciptanya sebuah hubungan timbal balik yang terus berkeseimbangan
antara kedua belah pihak keluarga.22
Pada upacara perkawinan inilah terdapat sistem tukar menukar yang
mempunyai daya pengikat dan daya gerak dari masyarakat di Lospalos.
Pemberian belis merupakan suatu bagian dari usaha untuk mendapatkan kembali
keseimbangan yang nyata terlihat dalam tukar menukar itu, dimana ada perubahan
materi, menerima dan mengembalikan, sistem menyumbang untuk menimbulkan
balasan itu mempunyai prinsip timbal balik (resiprositas) atau principle of
reciprocity.23
Hubungan timbal balik ini mengaktifkan hubungan ekonomi, penukaran
kewajiban terhadap kaum kerabat yang mengaktifkan kehidupan kekerabatan,
sistem penukaran mahar yang mengakibatkan hubungan antar kelompok
kekerabatan dan sebagainya. Dalam pembayaran mahar, kewajiban membantu
untuk menyumbang kerabatnya yang akan menikah secara tidak langsung
berfungsi mempererat kembali hubungan yang telah lama terjalin. Harta yang
disumbangkan akan dibayar kembali pada saat ia mengadakan acara serupa.
Pada dasarnya, rukun yang harus dipenuhi dalam perkawinan yang
dilaksanakan oleh agama Islam adalah lima hal yaitu; 24
22
Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), 28 Juli 2016. 23
Ir. Domingos Cairesi Bendito Bere Mau Gomes, Cu‟ Pede U‟sa Sa‟e Pede Laru
(Timor Leste, 2007), h.41. 24
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Anwar Dacosta (Tokoh Agama), 25 Juli 2016.
56
1. Mempelai pria
2. Mempelai wanita
3. Wali
4. Dua orang saksi
5. Ijab dan qabul
Adapun mahar dalam perkawinan diletakkan pada syarat perkawinan,
sehingga mahar yang telah disepakati boleh dibayar secara kontan saat akad
pernikahan dilaksanakan, atau dibayar nanti saat telah mampu. Begitupun
jumlahnya yang tidak dianjurkan terlalu berlebih-lebihan dan cenderung pada hal-
hal yang memiliki banyak manfaat dalam kehidupan. Sedangkan belis ini
bukanlah mahar dalam syarat perkawinan Islam, belis adalah pemberian untuk
keluarga mempelai wanita, seperti yang oleh tokoh adat fataluku, belis ini untuk
keluarga, sedangkan prinsip nikahnya tetap menggunakan sodaqoh. Jadi sang
isteri tetap menerima mahar sebagaimana apa adanya seperti biasa ditambah
dengan hak ibu itu, air susu ibu.
Dalam istilah fiqih belis ini termasuk dalam kategori hadiah seperti yang
terdapat pada kitab Fathul Mu‟in bab hibah sebagai berikut hadiah ialah hibah
yang pemberiannya dengan cara mengantarkan kepada yang diberi, guna
memuliakannya. Adapun hukum dari hadiah ialah sunnah.25
Menyikapi hal ini, tentu terdapat kontradiksi pandangan tokoh
masyarakat Fataluku dari sisi positif, maupun sisi negatifnya. Para narasumber
25
Aliy As‟ad tardjamah fathun mu‟in jilid 1-3 Jakarta: menara kudus, 1980 h.328.
57
pun memberikan pandangan mereka masing-masing dalam menjelaskan sisi
positif dan sisi negatif dalam sistem perkawinan dengan sistem belis ini.
a. Sisi Positif Belis
Belis memiliki sisi positif yang datang dari filosofis tradisional yaitu belis
yang syarak akan nilai, bukan sekedar soal jumlah besaran belis yang akan
diberikan melainkan melebihi itu. Dengan adanya belis maka akan mengangkat
derajat wanita, dan mengangkat harga dirinya, ibarat penghargaan bagi wanita.26
Belis yang dipertahankan dalam pernikahan masyarakat Fataluku ini
memiliki nilai positif yang sangat besar. Manfaatnya untuk menjaga martabat dan
harga diri perempuan ditengah-tengah kehidupan masyarakat, hal itu supaya
wanita tidak dipermainkan oleh laki-laki, karena dengan berlakunya belis itu
sebagai suatu sangsi dalam kehidupan di masyarakat itu, sebagai aturan yang
berlaku maka ketika siapa saja yang melanggar aturan itu, maka akan dikenakan
hukuman.27
Misalnya di masyarakat Fataluku anak perempuan mereka tidak
diganggu sembarangan, karena apabila kita menganggu anak gadisnya maka kita
akan dikenakan denda, apalagi sampai membawah lari anak gadis maka kita akan
didenda dengan sangat besar. Selain itu kita akan langsung dipertemukan dengan
orang tua wanita dan membicarakan kesepakatan belis yang diminta orang tua
wanita. Belis dipandang sebagai kiasan putri-putri mereka yang berharkat mahal
dan bermartabat tinggi. Sehingga pengaruhnya terhadap masyarakat Fataluku,
wanita sangat dijaga harkat dan martanatnya oleh masyarakat sekitar. Wanita
26
Wawancara Pribadi dengan Sr. Oracio Concencao da Savio (Tokoh Masyarakat ), 27
Juli 2016. 27
Wawancara Pribadi dengan Sr. Oracio Concencao da Savio (Tokoh Masyarakat), 27
Juli 2016.
58
Fataluku tidak sembarangan dipermainkan oleh laki-laki sebelum dan setelah
menikah. Selain itu belis juga berfungsi sebagai pengikat yang kuat bukan hanya
mengikat hubungan suami dan isteri, melainkan juga mengikat hubungan antara
keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Selain akad nikah dalam hukum
Islam, adat juga ikut mengikat. Maka sudah menjadi keharusan bagi laki-laki yang
akan menikahi perempuan dari masyarakat Fataluku. Sehingga sudut pandang
yang baik ini juga menjadi i‟tikad baik dalam belis di masyarakat Fataluku dalam
mewujudkan perkawinan yang baik. Sudah menjadi kewajiban bagi setiap laki-
laki yang ingin menikahi anak gadis mereka.28
Upaya yang dilakukan masyarakat Fataluku ini untuk mewujudkan
keluarga yang sakinah dengan meninggikan martabat wanita dan mengikat kedua
keluarga dengan belis. Hal ini menjadikan belis memiliki posisi yang sangat
penting dalam perkawinan masyarakat Fataluku. Dengan adanya peraturan belis
tersebut maka akan mendorong para laki-laki untuk bekerja lebih keras lagi, untuk
mengumpulkan uang yang banyak. Bahkan banyak dari mereka yang bekerja
sampai keluar negeri. selain itu belis dikalangan masyarakat Fataluku telah
membuat mereka tidak menjadikan sebuah pernikahan sebagai sesuatu yang
mudah, melainkan mereka akan sangat menghargai pernikahan tersebut. Belis itu
gunanya untuk melindungi isteri, baik keluarga sendiri maupun keluarga isteri
dalam berbagai bentuk dan sifat-sifatnya dan berbagai seginya itu harga mati.
28
Wawancara Pribadi dengan Sr. Oracio Concencao da Savio (Tokoh Masyarakat), 27
Juli 2016.
59
b. Sisi Negatif Belis
Adapun beberapa masalah yang timbul dari belis ini adalah karena
mahalnya belis. Sehingga bagi mereka yang kurang mampu atau ekonominya
kurang memadai akan mengalami kesulitan dalam hal pembayaran belis.
Namun banyak dari mereka yang memilih untuk menikah terlebih dahulu
dengan pembayaran belis secara utang lalu setelah menikah baru mereka pergi
untuk merantau mengumpulkan uang biar bisa bayar belisnya.29
Kalangan
rakyat biasa yang berada di posisi ekonomi lemah memiliki kesulitan dalam
membayar belis. Sehingga tidak jarang belis juga menghambat waktu
pernikahan bagi masyarakat Fataluku. Terlebih lagi jika putri mereka dari
keturunan raja, maka akan sangat jarang sekali yang datang melamar mereka
karea harga belisnya yang terlalu mahal. Karena belis yang mencapai 77 ekor
yang membuat mereka enggan untuk dihampiri oleh laki-laki. Belis itu punya
tingkatan yang berbeda-beda, jadi kalau diketurunan raja belis mencapai 77
ekor kerbau, kalau di bawah raja ditengah-tengah yaitu 55 ekor, sedangkan
yang paling bawah mencapai 25 ekor kerbau, makanya banyak yang jadi
perawan tua. Bukan mereka tidak cantik, melainkan karena belisnya sangat
mahal, jadi tidak ada yang berani mendekati atau menyentuh mereka.
Hambatan ini yang menjadi sisi negatif dari belis, jika ditinjau dari beratnya
belis masyarakat Fataluku. Sehingga bisa diperkirakan akan jarang sekali
masyarakat luar Fataluku yang mau menikah dengan wanita Fataluku, hal ini
29
Wawancara Pribadi dengan Sr. OrACIO Concencao da Savio (Tokoh Masyarakat), 27
Juli 2016.
60
semata karena mahalnya harga belis yang harus dibayar untuk menikah dengan
mereka.
Tokoh masyarakat Fataluku mengemukakan beberapa alasan dalam
mempertahankan belis sebagai syarat perkawinan mereka. yang pertama adalah
alasan untuk mempertahankan tradisi mereka yang telah ada sejak zaman nenek
moyang yang dulu. Karena pada dasarnya belis itu sudah tradisi masyarakat
Fataluku yang tidak bisa diubah-ubah, hanya bisa diringankan saja tidak untuk
dihilangkan.30
Esensi dari pada adat itu melainkan perempuan berada pada satu
sisi yang pantas kita posisikan untuk kemudian di perlakukan secara Ma‟ruf wa
asiruhunna bil ma‟ruf.
Masyarakat Fataluku memberi banyak pendapat, belis tidak harus
dihapuskan atau dihilangkan, melainkan diringakan saja, karena untuk saat ini
masyarakat Fataluku tidak banyak yang memiliki hewan ternak sehingga untuk
kerbau susah didapat, jadi belis bisa diganti dengan uang atau barang berharga
yang lain. 31
30
Wawancara Pribadi dengan Sr. Oracio Concencao da Savio (Tokoh Masyarakat), 27
Juli 2016. 31
Wawancara Pribadi dengan Sr. Oracio Concencao da Savio (Tokoh Masyarakat), 27
Juli 2016.
61
BAB IV
NILAI FILOSOFIS BELIS
A. Belis Dalam Presepsi Masyarakat Fataluku
Masyarakat Fataluku menjadikan belis sebagai syarat dalam tradisi
perkawinan mereka. keunikan dari belis ini adalah pembayarannya tidak
menggunakan uang atau emas, melainkan dengan hewan ternak seperti kerbau.
Belis ini wajib dibayarkan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita yang
nantinya menjadi isterinya. Jumlah belis ditentukan oleh kesepakatan dari
keluarga kedua calon mempelai.
Masyarakat Fataluku biasanya membayar belis mereka dengan sebelas ekor
kerbau sampai dua puluh lima , dan terkadang bisa sampai tujuh puluh tujuh ekor
kerbau walaupun itu jarang terjadi. Jumlah belis tersebut dipengaruhi oleh
keturunan, pendidikan, sosial, ekonomi, pekerjaan dan kecantikan putri-putri
mereka. sehingga, semakin tinggi strata mereka maka semakin banyak jumlah
kerbau yang harus dibayar oleh calon mempelai laki-laki untuk belisnya.1
Masyarakat Fataluku percaya bahwa perkawinan harus dilaksanakan dengan
membayar belis yang berupa kerbau agar bisa menikahi anak gadis mereka. Jika
tidak, maka perkawinan tersebut dianggap belum direstui oleh keluarga wanita
sebelum ada kata sepakat mengenai belis tersebut telah dilunasi. Sehingga belis
sangat diwajibkan bagi masyarakat Fataluku yang mau menikahi anak gadis
1 Wawancara Pribadi Dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh adat), 28 Juli 2016.
62
mereka. walaupun pembayaran belis ini terlambat dari pelaksanaan perkawinan
yang telah terjalin diantara kedua mempelai. 2
Belis atau mahar adalah pemberian pihak laki-laki kepada perempuan yang
akan dinikahinya, berupa benda atau barang yang terdiri dari peteca (belak), tusuk
konde (ulsukun), emas (osan mean), kalung (mortel), perak (dinel), kain
tradisional (tais). Bisa juga berupa ternak yang terdiri dari kerbau, kuda, sapi dan
kambing sebagai syarat salah satu syarat sahnya pernikahan.3
Jumlah belis sebagaimana diucapkan pihak laki-laki pada saat pernikahan
(akad nikah), menurut ketentuan adat jumlahnya bervariasi sesuai dengan
tingkatan strata sosial atau tingkatan sosial seseorang.4
Adapun menurut
masyarakat setempat berpendapat bahwa, mahar merupakan salah satu unsur yang
wajib ada dalam pernikahan. 5
Belis atau mahar telah menjadi fenomena sosial budaya bagi masyarakat
Fataluku, belis merupakan bagian yang tidak terlepas dari adat perkawinan dan
memiliki konsekuensi bila tidak dilaksanakan. Karena menjadi hal yang mengikat
maka pembayaran belis perkawinan ini bisa dilakukan dengan tunai saat akan
berlangsungnya upacara perkawinan atau dengan cara diangsur dalam atau tanpa
batas waktu. Karena belis yang telah ditetapkan menjadi utang maka wajib untuk
dibayarkan. Bilamana pihak laki-laki belum melunasi belisnya dan atau telah
meninggal dunia, maka pelunasannya akan menjadi tanggung jawab
2 Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), 28 Juli 2016.
3 Wawancara Pribadi denga Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), 28 Juli 2016.
4 Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), 28 Juli 2016.
5 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali (Masyarakat), 30 Juli 2016.
63
keturunannya. Bila belis masih belum juga dilunasi maka akan menerima sanksi
moral, sosial maupun psikologis di dalam lingkungan masyarakat.6
Selain uang, beragam belis di Fataluku adalah perhiasan emas atau perak,
ternak seperti kuda, kerbau sapi dan kambing.7
Sedangkan besarnya belis
ditentukan oleh keadaan status sosial pihak perempuan, semakin tinggi status
sosial seorang perempuan, maka semakin tinggi belisnya. Namun nilai besaran
belis bisa juga ditentukan oleh perundingan antara keluarga pihak laki-laki dan
perempuan. Suatu kebangaan bagi pihak laki-laki jika ia telah berhasil melunasi
belisnya baik saat perkawinan atau setelahnya, maka belis bisa dikatakan sebagai
simbol pemersatu laki-laki dan perempuan sebagai ikatan suami isteri, dan juga
menjadi bagian pengesahan perpindahan marga atau suku isteri ke marga atau
suku suami, serta sebagai kompensasi terhadap jasa orang tua mempelai
perempuan yang telah membesarkan anak gadisnya.
Belis juga bisa dipahami sebagai suatu hal yang positif atau negatif.
Determinasi ini bermula dari cara berfikir dan bertindak. Belis merupakan hal
esensial karena menyentuh martabat manusia. Belis tidak diartikan sebagai
“membeli gadis” baik secara kontan atau cicil, dan juga menjadi bagian skenario
ekonomi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi pihak keluarga
perempuan terhadap pihak keluarga laki-laki. Maupun beserta dengan dampak
bila belis belum atau sudah terlunasi baik untuk pihak laki-laki maupun untuk
pihak perempuan. Yang mana bila belis belum terlunasi maka pihak laki-laki akan
6Parera, A.D.M; Neonbosu, Gregor, Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor: suatu kajian
atas peta politik pemerintahan kerajaan-kerajaan di Timor sebelum kemerdekaan Rebublik
Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994). 7 Wawancara Pribadi Dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), 28 Juli 2016.
64
menjadi”tahanan” keluarga perempuan dan bila telah terlunasi, maka pihak
perempuan akan menjadi “harta milik” yang menjadi sepenuhnya milik pihak
laki-laki. Sehingga dapat menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Namun
dampak belis terhadap kekerasan di nilai sebagai kematian belis sebagai simbol
budaya, karena belis diarahkan pada wilayah ekonomis semata. Sedangkan belis
sebenarnya adalah sebuah simbol kebudayaan yang menjaga kehormatan seorang
perempuan yang memiliki nilai-nilai luhur sejak dahulu kala, di lain sisi belis juga
merupakan bentuk penghargaan terhadap perempuan melalui pertalian
kekeluargaan. Manusia hidup dibentuk dari simbol budaya, sehingga manusia
menjadi subjek sesungguhnya untuk menjadikan dirinya lebih beradab dan
bermartabat.
Adapun menurut masyarakat setempat bahwa, mahar merupakan salah satu
unsur yang wajib ada dalam pernikahan.8 Tidak boleh tidak ada.
9 Istilah lain yang
digunakan dalam menyebutkan mahar adalah belis atau barlake. Dan diberikan
oleh piha laki-laki kepada pihak perempuan menurut adat istiadat di Lospalos.
Pada zaman dahulu, memang belis atau barlake yang berlaku sejak lama di
distrit Lospalos dinilai dengan hewan ternak. Bagi bangsawan tinggi serupa raja
dan ratu maka maharnya dinyatakan dengan hewan peliharaan sebanyak 77 ekor,
ditambah dengan kalung manik-manik dan kain tenun (tais). Sedangkan bagi
perempuan dari kalangan bangsawan menegah kebawah maka hanya 55 ekor ,
sedangkan bagi kalangan biasa hanya beberapa.
8 Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques ( Tokoh Adat ). Lospalos, 28 Juli 2016.
9Parera, A.D.M; Neonbosu, Gregor, Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor: suatu kajian
atas peta politik pemerintahan kerajaan-kerajaan di Timor sebelum kemerdekaan Rebublik
Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994).
65
Penentuan jumlah mahar berdasarkan tingkatan sosialnya dikuatkan oleh salah
satu tokoh adat setempat yang menegaskan bahwa memang hukum adat yang
berlaku di Fataluku, mahar harus berdasarkan tingkatan sosialnya. Tingkatan
sosialnya bukan hanya karena alasan dari golongan bangsawan, namun juga bisa
karena jabatan atau karena pendidikan yang telah ditempuh. Jenis mahar yang
biasa diberikan bisa menggunakan hewan ternak atau uang.10
Berikut penulis
menemukan jenis mahar yang diterima oleh lima orang informan atau narasumber
masyarakat Fataluku dalam prosesi pernikahan diantaranya;:
a. 31 ekor kerbau dengan beberapa kain tenun(tais) dan kalung manik-manik.11
b. 25 ekor kerbau dengan 2 kain tenun (tais)12
c. 15 ekor kerbau dengan 3 kalung manik-manik.13
d. 11 ekor kerbau dengan 1 kain tenun(tais) dan kalung manik-manik.14
e. 7 ekor kerbau dengan kalung manik-manik.15
Salah satu toko agama di Lospalos menyampaikan bahwa mahar memang
merupakan keharusan, meskipun terdapat beberapa perbedaan penadapat
ulama.16
Pada zaman orang tua terdahulu, (selain berupa nilai yang telah
disebutkan diatas) mereka selalu mengorientasikan mahar itu berupa hewan
ternak, namun kondisi yang ada pada masa kini dimana paradigma masyarakat
tentu telah bergeser, masyarakat mulai mengganti hewan ternak dengan sesuatu
10
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali (Masyarakat). Lospalos, 30 Juli 2016. 11
Wawancara Pribadi dengan Luis Martin (Masyarakat Fataluku), 26 Juli 2016. 12
Wawancara Pribadi dengan Inacio Guteres (Masyarakat Fataluku), 26 Juli 2016. 13
Wawancara Pribadi dengan Fatimah da Silva (Masyarakat Fataluku), 27 Juli 2016. 14
Wawancara Pribadi dengan Gabriela Araujo (Masyarakat Fataluku), 27 Juli 2016. 15
Wawancara Pribadi dengan Olga Dacosta ( Masyarakat Fataluku), 26 Juli 2016. 16
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Anwar da Costa ( Tokoh Agama), 25 Juli
2016.
66
yang bernilai seperti uang dan perhiasan emas. Demikian fenomena yang terjadi
di sepuluh kecamatan yang ada di provinsi Lospalos. Pada prakteknya ternyata
mahar itu tidak berdiri sendiri, terdapat unsur-unsur adat yang masuk kedalamnya
yang terkadang membuat orang salah presepsi terhadap masyarakat Fataluku.
Kondisi kekinian masyarakat Fataluku di Lospalos, mahar saat ini telah
menggunakan sistem pertukaran hewan ternak dengan sejumlah uang dikarenakan
pada zaman sekarang susah untuk menemukan hewan ternak yang banyak seperti
zaman dahulu dimana semua masyarakat Fataluku masing-masing mempunyai
hewan ternak. Meskipun begitu beberapa nilai tetap terjaga. Perubahan tersebut
hanya terjadi pada kebiasaan yang bersifat materi saja.17
Meskipun mahar bisa diberikan dengan nilai hewan ternak atau berupa
emas, ataupun (pada masa kini) bisa menggunakan uang, yang perlu ditekankan
bahwa setiap tingkatan strata sosial berbeda dalam penentuan jumlah maharnya.
Jika dianggap semakin tinggi strata sosialnya, semakin tinggi pula jumlah mahar
yang harus diberikan. Saat ini, khususnya pada masyarakat Fataluku jelas bahwa
jenis mahar pada masa lampau tersebut dinilai sudah tidak relevan karena
keberlakuannya pun sudah tidak diakui lagi. Hal ini mengindikasikan bahwa
masyarakat Fataluku jelas sangat merespon perkembangan zaman.
Jumlah mahar yang tinggi diberikan kepada pengantin perempuan pada
mulanya memang didasarkan pada strata atau derajat sosial yang dimilikinya,
ternyata telah terjadi pergeseran atau perubahan dalam hal ini. Strata sosial yang
dimaksud pada saat ini bukan hanya disebabkan karena darah kebangsawannnya,
17
Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), 28 Juli 2016.
67
melainkan juga bisa karena jabatan yang dimiliki, pekerjaan yang mapan ataupun
karena jenjang pendidikan yang telah ditempuh oleh calon mempelai perempuan.
Di samping mahar, pada prosesi penentuan hari pernikahan (loron kaben),
hal yang paling penting adalah besarnya uang pesta (osan festa) diberikan oleh
pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Besarnya uang pesta ditetapkan
berdasarkan kelaziman atau kesepakatn terlebih dahulu antar anggota keluarga
yang melaksanakan pernikahan.18
Para informan juga menyampaikan bahwa tidak seharunsya belis tersebut
memberatkan pihak laki-laki karena sifat kesiapan dari seorang laki-laki yang
datang untuk melamar saja sudah merupakan sesuatu yang luar biasa. Maka dari
itu tidak seharusnya belis itu memberatkan mereka. Tidak seharusnya besar
jumlah belis dipatokkan seperti itu, seharusnya jumlah belis disesuikan dengan
kemampuan pihak laki-laki. Karena kedepannya akan menyusahkan kedua
mempelai setelah berumah tangga, biasanya mereka akan terlilit hutang yang
banyak karena untuk memenuhi nilai belis yang terlampau sangat tinggi.19
B. Makna Filosofis Belis Dalam Sudut Pandang Masyarakat Fataluku
Banyak presepsi yang disampaikan oleh para informan, yang akan penulis
paparkan sebagai berikut:
Jika aturan mahar atau belis tersebut tidak ditaati maka terdapat sanksi
sosial dari kalangan masyarakat pada umumnya, khususnya keluarga besar kedua
pihak. Sanksi sosial yang terjadi misalnya tersisih dari keluarga besar dan
18
Parera, A.D.M; Neonbosu, Gregor, Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor: suatu
kajian atas peta politik pemerintahan kerajaan-kerajaan di Timor sebelum kemerdekaan Rebublik
Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994). 19
Wawancara Pribadi dengan Luis Martin (Masyarakat Fataluku), 26 Juli 2016.
68
masyarakat menggunjingkan hal itu yang kadang tiada hentinya. Sanksi yang
dapat diberikan memang hanya sebatas sanksi sosial, karena berupa praktek
sosial, sehingga tidak bisa dibuat semacam sanksi yang bersifat normatif. Tanpa
pemberian mahar seorang perempuan dianggap tidak memiliki kehormatan, mahar
dalam perspektif masyarakat Fataluku dianggap sebagai bentuk kompensasi
terhadap kehormatan seorang perempuan. Ada yang mengatakan bahwa itu
sebagai apresiasi terhadap harkat dan martabat seorang perempuan yang akan
dipinang juga sebagai bentuk penghormatan terhadap keluarga besar mempelai
perempuan.
Keberadaan ketentuan tersebut untuk menghormati asal-usul seseorang, dan
untuk menunjukkan bahwa seseorang berasal dari keturunan yang terhormat.
Makna filosofis yang terkandung di dalamnya yaitu untuk saling menjaga nama
baik keluarga dikarenakan status sosial yang dimilikinya. Meskipun bentuk
penghormatan itu misalnya tidak harus dengan bentuk mahar terlampau tinggi,
tetapi tidak tepat juga jika diberikan dalam bentuk yang sangat minim. Dalam
masyarakat Fataluku pada umumnya, dikenal adanya budaya (moe/orite) yang
tetap dipegang teguh hingga saat ini.20
Budaya malu (moe) dapat diaktualisasikan atau direpresentasikan dalam
berbagai pola kehidupan dalam masyarakat Fataluku, salah satunya dengan
adanya aturan adat mengenai jumlah mahar berdasarkan strata sosial yang ada di
tengah-tengah masyarakat. Malu itu ada yang bertujuan untuk memperlihatkan
status sosialnya, misalnya seseorang tidak akan mau anaknya jika dilamar oleh
20
Moe/orite adalah budaya masyarakat Fataluku apabila seorang laki-laki tidak
memberikan belis kepada wanita yang akan dinikahinya maka mereka akan merasa malu dan harga
diri mereka akan direndahkan di kalangan masyarakat lain.
69
seorang pria apabila jumlah yang diberikan lebih sedikit dari jumlah yang ia
dapatkan, karena ia kan malu (moe), terutama di hadapan keluarga besarnya. Ada
juga yang merepresentasikan malu (moe) untuk berbentuk penyebutkan jumlah
mahar dalam nominal yang besar, tetapi pada kenyataannya yang diberikan
kepada anak perempuannya tidak sesuai dengan yang disebutkan. Misalnya juga
karena mempunyai status jalur keturunan tertentu, ia merasa tidak nyaman jika
seseorang kemudian hendak menikahi anaknya dengan mahar hanya berupa
seperangkat alat shalat. Malunya (moe) dapat terganggu jika akan menikahkan
anaknya layaknya pernikahan orang biasa dalam jumlah mahar. dalam hal ini
penulis berpandangan bahwa malu (moe) bermakna sebagai gengsi atau harga diri.
Penulis juga menemukan beberapa makna dibalik penetapan jumlah mahar
dalam pernikahan masyarakat Fataluku. Tokoh adat dan tokoh agama yang
penulis temui untuk mencari tahu makna filosofis yang terkandung dalam
ketentuan adat tersebut menyatakan bahwa hal itu (jumlah mahar berdasarkan
strata sosial yang dimiliki) merupakan representasi dari prinsip budaya
(memanusiakan manusia/tahu diri, saling mengingatkan/ solidaritas/menasehati,
apresiasi/saling memuji).21
Belis dalam sudut pandang masyarakat Fataluku adalah suatu ikatan
keluarga kedua belah pihak sampai turun temurun, dan bisa mengawinkan turunan
satu sama lain agar turunan tidak terputus (sepupu menikah dengan sepupu).22
Tujuan perkawinan bagi orang Timor ada dua yaitu tidak sekedar
mempertemukan kedua anggota masyarakat yang berlainan jenis dan membentuk
21
Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), 28 Juli 2016. 22
Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), 28 Juli 2016.
70
keluarga tapi didalamnya ada maksud yang luhur untuk melanjutkan generasi
yang menyangkut individu dan masyarakat. Dua tujuan ini menyadarkan bahwa
perkawinan tidak hanya menyangkut kepentingan individu tetapi juga kepentingan
keluarga. Dengan demikian proses perkawinan melibatkan seluruh keluarga.
Upacara perkawinan tidaklah sederhana untuk dilaksanakan karena harus
melalui proses atau tahap-tahap perkawinan yang melibatkan seluruh anggota
keluarga. Baik tahap perkenalan, pertunangan maupun perkawinan mempunyai
makna yang penting untuk menjalin relasi antara pihak laki-laki dan perempuan
yang merupakan pola hidup masyarakat turun-temurun supaya kehidupan
berlangsung aman, tentram dan lancar. Upacara perkawinan ini diatur secara adat
karena mempunyai nilai yang luhur. Nilai luhur berarti nilai itu dinyatakan
sebagai pedoman tertinggi bagi tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat.23
Hal ini memberi arti bahwa perkawinan mempunyai tujuan penting karena
itu tahap perkawinan perlu disiapkan dengan matang.24
Persiapan ini tidak semata-
mata oleh kedua individu yang bersangkutan tetapi juga oleh kedua pihak
keluarga. Dengan persiapan yang baik dan adanya ikatan-ikatan dengan tanda
pembayaran belis (mas kawin), terkandung maksud bahwa perkawinan akan
berjalan dengan baik dan menghasilkan hubungan yang kekal. Secara adat, ikatan-
ikatan ini tidak mudah untuk dibatalkan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
adat perkawinan adalah segala adat kebiasaan yang dilazimkan dalam suatu
23
E.K.M.Masinambow, Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia, Jakarta
1997.h.101. 24
Wawancara Pribadi dengan Afonso Marques (Tokoh Adat), 28 Juli 2016.
71
masyarakat untuk mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan
perkawinan.25
Adat dan upacara perkawinan yang berlaku merupakan suatu manisfestasi
ikatan kekeluargaan dan kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat. Adat
perkawinan sebagai ikatan kekeluargaan maksudnya terjalin relasi antara keluarga
perempuan dan laki-laki. Dan sebagai ikatan kepercayaan berarti masyarakat
percaya bahwa dengan patuh dan setia terhadap adat maka mereka dapat hidup
aman dan tentram. Dengan demikian adat yang turun temurun dari nenek moyang
yang merupakan patokan atau peraturan-peraturan wajib untuk dilaksanakan.
Dengan upacara perkawinan secara adat terdapat aturan tertentu dalam
sistem kekeluargaan yang bersifat patrilineal artinya sesudah perkawinan maka
isteri keluar atau marga isteri diganti dengan marga suami.
Dalam upacara perkawinan nampak adanya nilai-nilai sosial yang dijunjung
tinggi dan bukanlah nilai-nilai individu yang ditonjolkan. Misalnya nilai gotong-
royongan yaitu bagaimana menyiapkan belis (mas kawin) ditanggung oleh
seluruh keluarga. Belis adalah mas kawin yang diserahkan oleh pihak laki-laki
kepada pihak pengantin perempuan.26
Makna belis sebagai penghormatan pada
pihak perempuan dan untuk membangun relasi kekeluargaan antara laki-laki dan
perempuan. Tuntunan pembayaran belis dalam proses perkawinan yang dikuti
dengan balas belis oleh pihak wanita mengandung nilai pendidikan moral yang
tinggi yaitu belis bukanlah merupakan harga dari wanita yang harus dibayar serta
wanita boleh diperlakukan seenaknya.
25
Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Timur, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Proyek Inventariasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Jakarta 1983,h.3. 26
Wawancara Pribadi dengan Afonso Marques (Tokoh Adat), 28 Juli 2016.
72
Dalam adat dan upacara perkawinan sebenarnya tidak ada perhitungan
untung rugi oleh karena itu tidak terlintas memperhitungkan secara ekonomis
berapa kerugian materi. Tetapi kemudian hal ini menjadi masalah bahwa makna
belis yang murni dimanipulasi. Pada kenyataan sekarang ini adat yang murni
dibisniskan atau dikomersialkan, misalnya soal belis (mas kawin). Tuntunan belis
sering amat tinggi dan hal ini dapat memberatkan pihak laki-laki dan
menyebabkan masyarakat menjadi miskin serta terlilit hutang.27
Selain tuntutan
belis terdapat juga biaya pesta perkawinan yang diadakan setelah nikah agama
sebagai rasa syukur karena kedua keluarga menjadi satu. Biaya pesta ini harus
ditanggung pihak laki-laki.
Berkaitan dengan manipulasi adat, memberikan pengaruh negatif terhadap
masyarakat. Pengaruh negatifnya adalah karena belis mahal sehingga
membutuhkan waktu lama untuk melunaskannya.
Belis mempunyai nilai-nilai antara lain:28
Belis mempunyai nilai sebagai tanda penghargaan. Belis ditetapkan dalam
sebuah adat perkawinan yang merupakan tanda penghargaan. Hal ini berkaitan
dengan adat menetap setelah menikah.
Belis sebagai pemersatu kedua belah pihak. Dengan belis hubungan
perkawinan yang terjadi sebagai pemersatu kedua belah pihak. Belis menjadi
sarana yang mempersatukan.
Nilai belis dilihat dari tujuan belis yaitu demi kehormatan bagi perkawinan dan
menerima.
27
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali (Masyarakat Fataluku), 30 Juli 2016. 28
Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), 28 Juli 2016.
73
Makna belis yang telah berubah ini pun lebih lanjut berdampak pada
kehidupan keluarga pengantin baru. Keluarga pengantin baru pun secara tidak
langsung dimiskinkan sejak awal. Itu terjadi karena mereka harus mengganti
sejumlah uang yang dipakai untuk belis kepada pihak yang meminjamkan
uangnya kepada mereka.
Tidak hanya itu, tingginya nilai belis rentan lahirnya konflik dalam rumah
tangga. Terkadang, sang isteri melalaikan kewajibannya dengan alasan suaminya
belum lunas membayarkan belis yang harus dibayarkan kepada orang tua isteri.
Sebaliknya, jika belis sudah dibayar lunas sang suami, ibarat api dalam sekam,
menjadikan belis sebagai senjata untuk menyudutkan isteri. Ungkapan-ungkapan
kasar, misalnya; “percuma belis mahal tetapi tidak bisa memasak” tak jarang
terjadi.29
Makna Filosofis belis sebagai berikut:30
1. Menghalalkan ikatan perkawinan dengan si perempuan
Seperti yang terkandung dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 yang
berbunyi perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan
Yang Maha Esa.31
2. Sebagai bayaran kecapean orang tua perempuan
Dengan membayar belis pihak laki-laki tidak hanya menghormati wanita
yang akan dinikahinya melainkan ia juga menghormati jerih payah kedua
29
Wawancara Pribadi dengan Fatimah da Silva (Masyarakat Fataluku), 27 Juli 2016. 30
Wawancara Pribadi dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat), 28 Juli 2016. 31
Alwi, Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, 9 Juni 2009.
74
orang tua wanita yang akan dinikahinya. Dengan membayar belis keluarga
wanita akan merasa dihormati karena dan merasa bangga kepada laki-laki
yang akan menikahi putrinya. Masyarakat Fataluku sangat menjunjung
tinggi belis tidak hanya sebagai penghormatan, melainkan belis juga
memberi nilai yang sangat besar serta pengaruh terhadap rumah tangga
anak perempuanya.
3. Sebagai tanda menyatukan kedua keluarga yang tadinya tidak ada
hubungan darah menjadi satu. Tidak hanya menyatukan kedua keluarga
dalam bentuk pernikahan melainkan ini akan berkesinambungan,bahkan
sampai ke persoalan rumah adat. Dimana ketika salah satu dari dua
keluarga baik dari pihak keluarga laki-laki maupun pihak dari keluarga
wanita yang terkena musibah atau mengalami suatu acara pernikahan
keluarga yang lain maka kedua keluarga ini akan ikut menyumbang. Yang
dalam adat Fataluku dikenal dengan feto sa no uma mane.32
4. Menunjukkan status sosial si calon suami lebih berwibawa di hadapan
keluarga isteri. Dengan pemberian belis maka wibawa suami akan terjaga
dan terlihat dihadapan keluarga mempelai wanita. Tidak hanya pada
keluarga pihak wanita melainkan juga di masyarakat Fataluku pada
umunya.
5. Sebagai tanda penjemputan calon isteri keluar rumahnya.
32
Feto sa keluarga dari pihak perempuan sedangkan uma mane itu keluarga dari pihak
laki-laki, dimana kedua keluarga ini akan terikat dengan hubungan belis, jadi selalu saling
membantu dalam hal apapun. Terutama dalam hal adat.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang terdapat pada beberapa bab sebelumnya maka
penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut, diantaranya:
1. Mahar dalam bahasa Tetum disebut dengan Belis, sedangkan dalam bahasa
Fataluku disebut Fa‟in atau yang lebih dikenal dengan barlake yang berarti
beruntung. Beruntung seorang wanita yang akan dinikahi seorang pri
dengan memberi haknya berupa mahar. masyarakat Fataluku memahami
bahwa untuk penentuan jumlah mahar atau konsep dasar yang digunakan
harus berdasarkan strata sosial yang dimiliki oleh pihak keluarga mempelai
perempuan yang tak hanya berasal dari bangsa bangsawan saja melainkan
juga berdasarkan tingginya pendidikan, status sosial dan jabatan pekerjaan.
Telah terjadi beberapa pergeseram dimasyaraat mengenai wujud mahar,
namun hanya pada tatanan materi saja sebab tuntutan zaman tidak pada
tataran nilai (Valor) yang dikandungnya.
2. Adapun praktek pemberian belis atau mahar yang dilakukan oleh
masyarakat Fataluku adalah dengan proses pembayaran tunai atau boleh
juga dengan dicicil. Semuanya tergantung dari kesepakatan kedua belah
pihak. Untuk itu ketika sebelum terjadi penentuan proses pembayaran mahar
biasanya pihak keluarga laki-laki mengirimkan seorang juru bicara (lia nain)
untuk menyepakati pembayaran belis.
76
3. Makna filosofis yang terkandung dalam adat Lospalos mengenai penetapan
jumlah mahar yaitu aturan tersebut berkaitan dengan budaya moe. Makna
filosofis belis sebagai ikatan pengesahan perkawianan si perempuan,
sebagai pembayaran rasa capek kedua orang tua wanita yang selama ini
merawatnya, mempersatu dua hubungan keluarga yang tadinya tidak saling
kenal, dan mengangkat wibawa suami dihadapan keluarga wanita.
Masyarakat Fataluku masih mempertahankan belis dalam perkawinan
mereka selain sebagai upaya untuk mempertahankan tradisi mereka, juga
sebagai cara memuliakan para wanita dan meninggikan derajat wanita.
B. Saran-saran
1. Hendaknya belis ini diringankan atau disederhanakan dengan alasan
semakin seulitnya kerbau. Alangkah baiknya belis ini diganti dengan uang
atau barang berharga lainnya.Bagi masyarakat, hendaknya berupaya
mempertahankan tradisi atau adat istiadat dan kebudayaan mereka sebagai
salah satu identitas kebangsaan yang mengandung norma kearifan lokal dan
berusaha untuk lebih memahami relasi antara ajaran agama dengan tradisi-
tradisi yang terdapat dalam perkawinan, agar kiranya setiap perkembangan
zaman dapat direspon dengan baik tanpa harus meninggalkan nilai-nilai
luhur yang telah lama adanya.
2. Nilai utama yang terkandung dalam kebudayaan Fataluku hendaknya mampu
menjadi one of solution dalam menyikapi dampak perkembangan teknologi
dan globalisasi supaya tidak kehilangan identitas atau jati diri. Ilmuwan dan
ulama memiliki kewajiban untuk memberikan penjelasan mengenai nilai
77
kearifan lokal yang terintegrasi dengan Islam, tanpa menghindari
perkembangan zaman, karena justru nilai utama kebudayaan Fataluku
seiring dengan semangat ajaran Al-quran yang mendorong masyarakat
untuk menjadi garda terdepan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Hal
demikian tentunya bukan hanya berlaku pada masyarakat Fataluku saja, tapi
setiap entitas kebudayaan yang begitu banyak di Indonesia, dimana masing-
masing dari entitas tersebut memiliki nilai-nilai kearian budaya yang
kiranya dapat diintegrasikan dengan nilai Islam untuk dipraktekkan dalam
kehidupan.
3. Bagi seluruh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta, hendaknya agar lebih intens melakukan penelitian di
bidang etnografism untuk mencapai pemahaman mengenai Islam dan
korelasinya dengan budaya lokal, sehingga dapat menemukan jawaban
mengenai makna dari tradisi yang berjalan dan dipraktekkan di tengah-
tengan masyarakat, khususnya dalam tradisi perkawinan, serta memahami
dan menganalisa maksud dan tujuan dari fenomena tersebut sebagai sebuah
pengetahuan yang baru dan tinggi nilainya.
80
DAFTAR PUSTAKA
Al Quranul Karim dan Terjemahannnya.Jakarta : Departemen Agama RI
Ayyub,Syaikh Hasan.Fikih Keluarga. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006. Cet.
Ke-5
Ali hasan.M.pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam. Jakarta : Prenada
Media, 2003
Al-asqalani, Ibnu Hajar.Bulughul Maram ( kumpulan dalil-dalil hukum ) Bab
Mahar. Jakarta : Pustaka as-sunnah, 2007. Cet ke-1.
Asmawi, Mohammad. Nikah dalam Perbincangan dan perbedaan.Yogyakarta :
PT. Darussalam, 2004. Cet.ke-I
Asikin, Zainal dan Amiruddin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. 2004.
Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr,
2004.
Ali, Zainuddin. Antropologi Hukum. Palu: Yayasan Indonesia Baru.2013
As-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi. Ensiklopedia Hadists
5; Sunan Abu Dawud. Penerjemah Muhammad Ghazali dkk. Jakarta:
Almahira. 2013
Departemen Kehakiman RI.Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam
Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
2005.
Ghazali, Abdurahrahman. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana. 2006.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti.
1990.
Hamid, Syamsul Rijal. Buku Pintar Agama Islam, Bogor: Cahaya Islam.2006
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Yogyakarta:
GrahaIlmu, 2011.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Penerjemah : Masykur
A.B.dkk..Jakarta : Lentera, 1999
81
Muhammad, Bushar. Asas-Asasa Hukum Adat. Cet-14. Jakarta: PT Balai Pustaka.
2013.
Mukhtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta:PT.
Bulan Bintang. 1974
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab- Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progresif. 1997.
Nurudin, Amiur. Dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana. 2004
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah Abdul
Rasyad Shiddiq. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2013
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta : kencana,
2007.
Shihab,M. Quraisy. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
Vol.II, Ciputat: Lentera Hati. 2000.
Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
2003.
Singh, Bilveer. Timor-Timur Indonesia dan Dunia. Penerjemah : Tim Institut for
policy studies ) IPS ) Jakarta : Institut for policy studies, 1998.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2007
Tihami, M.A dan Sohari Sahroni, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah
Lengkap. T.tp:t.th.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :
Balai Pustaka. 2005
Wahid, Abdurrahman. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan
Transformasi Kebudayaan.Jakarta: The Wahid Institute. 2007
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika.
2008.
Yanggo, Huzaimah Tahido. Masail Fiqhiyyah: Kajian Hukum Islam
Kontemporer. Bandung: Penerbit Angkasa. 2005.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: PT. Hidakarya Agung. 1990.
Yelipele, Adnan. Hukum Islam Dan Adat di Papua, Ciputat : Cinta Buku Media,
2015
82
Artikel dan Wawancara
Lestari, Mustiana. “Tradisi Belis, Budaya Mencekik Leher Warga NTT”, artikel
diakses pada 05 Juli 2016 dari http://www.merdeka.com/peristiwa/tradisi-belis-
budaya-mencekik-leher-warga-ntt.html
Zoditama, Bella.” Belis dan Tradisi Pernikahan Ala Maumere”, artikel diakses
pada 05 Juli 2016 dari http://www.goodnewsfromindonesia.org/2016/06/03/belis-
tradisi-pertunangan-dari-maumere
Ama, Kornelis Kewa.”Mahar Kawin yang Membebani Keluarga”, artikel diakses
pada 15 Juli 2016 dari http://lipsus.kompas.com/jejakperadabantt/read/2010/12/10
/08361911/mahar.kawin.yang.membebani.keluarga
Wawancara Pribadi Dengan Sr. Afonso Marques (Tokoh Adat Lospalos)
Wawancara Pribadi Dengan Muhammad Anwar da Costa ( Tokoh Agama)
Wawancara Pribadi Dengan Sr. Oracio da Conceicao Savio (Tokoh Masyarakat)
Wawancara Pribadi Dengan Elemen Masyarakat ( Muhammad Ali,Olga Dacosta,
Fatima da Silva, Luis Martin, Inacio Guteres dan Gabriela Araujo)
HASIL WAWANCARA
DENGAN TOKOH ADAT SUKU FATALUKU PROVINSI LAUTEM
LOSPALOS
Sr. AFONSO MARQUES
1. Menurut bapak apakah masyarakat Fataluku masih memegang kuat adat
istiadat ? kalau iya seberapa kuat?
Jawaban : Tentu saja masyarakat Fataluku masih memegang kuat adat
istiadat di sini karena mereka percaya bahwa adat merupakan aturan yang
sudah ada sejak nenek moyang mereka dan diturunkan kepada keturunan
selanjutnya.
2. Menurut bapak apa yang dimaksud dengan belis dalam masyarakat
Fataluku?
Jawaban : Belis adalah hak mutlak calon mempelai wanita dan kewajiban
mempelai pria untuk memberikannya sebelum akad nikah dilangsungkan.
3. Apakah bapak tahu sejarah adanya belis ?
Jawaban : kalau untuk tradisi belis ini sudah turun temurun dari nenek
moyang dan menjadi tradisi masyarakat Fataluku.
4. Bagaimana praktek pemberian belis masyarakat Fataluku, mohon
penjelasan Bapak?
Jawaban : Untuk praktek pemberian belis terlebih dahulu diadakan
pertemuan antara kedua belah pihak baik keluarga wanita maupun pihak
keluarga laki-laki, dimana pihak laki-laki akan mengirimkan seorang juru
bicara (lia nain) untuk proses negosiasi jumlah belis yang diawali dengan
pelemparan biji jagung di agtas meja, kemudian juru bicara (lia nain) dari
pihak laki-laki akan mengambil biji jagung sesuai dengan kemampuannya.
Dari situ akan diketahui berapa jumlah belis yang akan diminta oleh
keluarga wanita. Untuk praktek pemberian belis sendiri terdapat dua cara
yaitu bisa dibayar secara langsung atau tunai, atau bisa juga dengan cara
utang atau dicicil.
5. Apakah ada syarat dalam pemberian belis pada masyarakat Fataluku ?
Jawaban : untuk syarat belis biasanya sesuai dengan kesepakatan bersama
dari kedua pihak keluarga. Dan untuk mengetahui jumlah besarnya belis
dari keluarga pihak laki-laki biasanya mengirim juru bicara(lia nain) untuk
menyelesaikan persoalan belis.
6. Bagaimana dengan bentuk dan kadar belis yang ditentukan masyarakat
saat ini, apakah untuk bentuk dan kadar belis mengalamai perubahan ?
Jawaban: untuk bentuk belis bermacam-macam sesuai dengan kesepakatan
juru bicara (lia nain) kedua belah pihak belis bisa langsung dibayar tunai
dengan dilengkap kalung-kalung manik atau paya, bisa juga dengan dicicl
tapi dalam bentuk ganjil seperti satu, tiga, lima dan seterusnya.
7. Menurut Bapak apakah penetapan belis yang begitu besar tidak
memberatkan pihak laki-laki ?
Jawaba : tidak karena semua laki-laki suku Fataluku sudah mengetahui
dengan benar bahwa belis sudah menjadi suatu keharusan untuk diberikan
kepada wanita yang akan dinikahinya. Jadi tidak ada masalah hanya saja
jarang yang langsung melunaskan belis.
8. Jika dalam pernikahan tidak memberikan belis atau melunasinya apakah
ada sanksi-sanksi tertentu yang dijatuhkan kepada kedua pihak keluarga ?
Jawabnnya : ada sanksi-sanksi tertentu dimana pihak keuarga laki-laki
akan diperbincangkan masyarakt setempat, berupa sanksi sosial dari
kalangan masyarakat pada umumnya, khsusunya keluarga besar kedua
pihak sehingga keluarga pihak laki-laki akan merasa malu(moe) dan untuk
pihak perempuan juga akan merasa terhina.
9. Apa makna filosofis yang terkandung dalam pemberian belis ?
Jawaban : banyak makna filosofis yang terkadung dalam belis merupakan
representasi dari prinsip budaya (memanusiakan manusia/ tahu diri, saling
mengingatkan/ solidaritas/ menasehati, apresiasi/saling memuji). Selain itu
juga terdapat nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi dan bukanlah nilai-
nilai individu yang ditonjolkan. Misalnya nilai gotong royong yaitu
bagaimana menyikapi belis yang ditanggung oleh seluruh keluarga. Selain
itu dengan pemberian belis dapat menghalalkan ikatan perkawinan dengan
wanita tersebut, sebagai bayaran atas rasa capek kedua orang wanita yang
telah merawatnya, sebagai tanda menyatukan kedua keluarga yang tadinya
tidak ada hubungan jadi ada, selain itu menunjukkan status sosial calon
suami lebih berwibawa di hadapan keluarga wanita dan sebagai tanda
penjemputan isteri atau berpindahnya marga isteri ke dalam marag suami.
10. Apakah ada dampak atau manfaat dari pemberian belis ?
Jawaban : untuk pemberian belis sendiri terdapat beberapa dampak positif
dan negatifnya. Untuk dampak positifnya dimana martabak keluarga laki-
laki menjadi terhormat, begitu pula pihak keluarga wanita merasa dihargai,
terjalingnya hubungan baru. Namun dibalik nilai positif ada juga nila
negatifnya dimana martabat wanita direndahkan apalagi kalau laki-laki
berhasil melunasi belisnya dia akan memperlakukan isterinya dengan
sesuak hati, bagi mereka yang kurang mampu maka akan menimbulkan
utang piutang untuk membayar belis.
Lospalos, 28 Juli 2016
Peneliti Tokoh Adat
Sarifah Dacosta Vidigal Sr. Afonso Marques
HASIL WAWANCARA
DENGAN TOKOH AGAMA LOSPALOS
MUHAMMAD ANWAR DA COSTA
1. Bagaimana kehidupan keagamaan di suku Fataluku Lospalos ?
Jawaban : untuk kehidupan di masyarakat fataluku sendiri kebanyakan
beragama kristen tapi juga banyak yang Islam dimana untuk soal adat baik
agama Islam maupun Kristen tetap mengikuti dan menjalankannya karena
sudah terikat dengan aturan adat yang sejak ada pada jaman nenek
moyang.
2. Menurut bapak seberapa kuatkah masyarakat di desa ini memegang adat
istiadat ?
Jawaban : masih sangat kuat, karena masyarakat Fataluku sampai sekarang
masih menggunakan tradisi jaman dahulu. Dengan menjalankan tradisi
pemberian belis atau barlake.
3. Menurut bapak bagaimana sebenarnya posisi Islam terhadap adat istiadat?
Jawaban : Menurut saya untuk soal hukum adat dan hukum Islam tidak
bisa dipisahkan dimana suatu hukum adat itu bisa dilestarikan serta dapat
menopang kehidupan umat Islam. Maka dari itu menurut saya tidak ada
perbedaan karena dalam hukum Islam terkait dengan angka-angka
sedangkan dalam adat disesuaikan dengan strata serta kemampuan
seseorang dalam memberikan belis, serta salin memberi satu sama lain.
kalau ada adat yang bertentangan dengan syariat , jelas sekuat apapun adat
tersebut harus ditinggalkan sebab adat itu bukanlah agama, adat adalah
kebiasaan seklompok orang atau seklompok daerah sedangkan agama
adalah sifatnya universal untuk rahmatan lil’alamin, sehingga kalau
dilihat seberapa kuat adat mempengaruhi agama, tidak boleh jika adat
mendominasi agama. Bahkan jika ada adat yang bertetangan dengan
syariat, maka adat tersebut tidak boleh dilakukan .
4. Bagaimana bentuk mahar yang terdapat pada masyarakat Fataluku saat ini,
sepengetahuan bapak, mohon penjelasannya mengenai belis ?
Jawaban : kalau untuk bentuk belis di masyarakat Fataluku bermacam-
macam, tapi lebih terkenal dengan hewan ternak berupa kerbau, sapi,
kambing dan lain-lain. dan dalam pemberiannya pun harus dengan ganjil
seperti, satu, tiga, lima dan seterusnya.
5. Menurut pandangan bapak bagaimana mengenai beratnya belis yang
diminta keluarag pihak perempuan apakah tidak bertentang dengan Islam?
Jawaban : menurut saya belis ini kan sudah menjadi keharusan bagi laki-
laki yang ingin menikahi wanita dari suku Fataluku jadi wajar saja, dengan
begitu akan terlihat siapa yang serius dan siapa yang main-main dalam
ikatan perkawinan. Jadi menurut saya tidak bertentang hanya saja jangan
terlalu besar karena akan berdampak kurang baik kepada wanitanya atau
sebaliknya takutnya menimbulkan hal-hal yang tidak diinginka.
6. Menurut bapak, bagaimana sebenarnya posisi Islam terhadap adat istiadat?
Jawaban : selama adat tidak menyeleweng dari ajaran Islam menurut saya
tidak masalah, karena adat bisa dikembangkan sesuai dengan ajaran Islam/
7. Bagaimana menurut bapak sebagai masyarakat Fataluku, apakah adat ini
perlu dihapus atau tidak ?
Jawaban : kalau dihapus sih tidak, karena tradisi belis ini sudah ada sejak
jaman nenek moyang, hanya saja diringankan untuk jumblanya saja,
karena tidak semua mampu membayar sesuai dengan yang minta,
kalaupun iya dibayar akan tetapi biasanya dengan mengutang terlebih
dahulu.
8. Apakah ada makna filosofis yang terkandung dalam penetapan jumlah
belis tersebut, menurut bapak?
Jawaba: dengan memberi belis maka akan timbul rasa saling mengormati
satu sama lain serta salimg menolong.
9. Menurut bapak bagaiaman kiranya Islam memandang terhadap tingginya
belis seorang perempuan?
Jawaban : sebenarnya pada zaman dahulu masyarakat Arab memandang
wanita seperti barang namun Rasulullah datang dan mengajarkan kepada
kita bahwa wanita harus dihormati, maka dari itu untuk menikahi seorang
wanita diwajibkan memberi belis bedanya belis dalam Islam kalau bisa
tidak memberatkan calon suami, kalau bisa yang mudah-mudah saja,
berbeda dengan adat dimana belis itu harus sesuai dengan permintaan
keluarga wanita. Semakin mahal belis dan ada seorang laki-laki yang
benar-benar serius ingin menikahi anak gadis dari masyarakat Fataluku
maka ia tidak peduli dengan mahalnya belis tersebut.
Lautem, Lospalos, 25 Juli 2016
Peneliti Tokoh Agama
Sarifah Dacosta Muhammad Anwar Da Costa
HASIL WAWANCARA
DENGAN TOKOH MASYARAKAT
Sr. Oracio Concencao da Savio
1. Apakah bapak mengerti tentang sejarah Suku Fataluku ?
Jawaban : kalau untuk soal belis sudah ada sejak jaman nenek moyang
dimana menjalankannya merupakn suatu keharusan.
2. Menurut bapak seberapa kuatkah masyarakat di desa ini memegang
adat istiadat ?
Jawaban : yaa sebagian besar masyarakat disini masih menggunakan
adat turun-temurun dari nenek moyang, seperti adat yang ada pada
pernikahan, manaqiban, keba, muputi,selametan dan lain-lain.
3. Bagaimana menurut bapak dengan penentuan belis yang sangat mahal?
Apakah tidak memberatkan keluarga pihak laki-laki?
Jawab : sebenarnya iya, tapi itu sudah merupakan adat yang harus
dilakukan karena mesipun mahal, terdapat nilai-nilai positif di
dalamnya. Dengan belis yang mahal maka akan menutup kemukinan
orang akan menikah lagi, sebaliknya meraka akan berusaha keras
untuk melunasi belisnya.
4. Apa tujuan belis menurut pandangan bapak?
Jawaban : dengan adanya belis maka akan timbul rasa saling
menghargai satu sama lain, baik dari keluarga laki-laki maupun dari
keluarga perempuan. Tak hanya itu dengan adanya belis akan
terlaksana tanggung jawab serta saling melayani satu sama lain.
5. Apakah belis memiliki peranan penting dalam pernikahan adat?
Jawaban : belis sangat berpengaruh dalam adat pernikahan, karena
belis dinilai dapat mempersatukan kedua keluarga tak hanya pada saat
pernikahan saja, melainkan ketika mendegar berita duka dari salah satu
keluarga maka semuanya akan berpartisipasi terhadapnya. Dengan
begitu peranan belis sangatlah penting dan sangat berpengaruh.
Lautem,Lospalos 27 Juli 2016
Peneliti Tokoh Masyarakat
Sarifah Dacosta V Sr.Orasio Concenc Savio
Bersama Tokoh Masyarakat Sr. Oracio Concencao da Savio
Bersama Tokoh Agama Sr. Afonso Marques
Rumah Adat Masyarakat Fataluku Lospalos
Pakaian Adat Masyarakat Fatalouku Lospalos