pemberdayaan melalui agen peralihan : retorika dalam clothesline project

12
Pemberdayaan Melalui Agen Peralihan : Retorika dalam Clothesline Project

Upload: societo-sineklub

Post on 11-Jul-2015

170 views

Category:

Education


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pemberdayaan Melalui Agen Peralihan : Retorika dalam Clothesline Project

Pemberdayaan Melalui Agen

Peralihan :

Retorika dalam Clothesline

Project

Page 2: Pemberdayaan Melalui Agen Peralihan : Retorika dalam Clothesline Project

O Clothesline Project ialah suatu agenda proyekpublik yang dibuat oleh Cape Cod Women’s.mereka membuat proyek tersebut agarmendidik, menggerakan orang, danmendorong kesaksian pada kekerasanterhadap wanita. Proyek ini dibuat karenawanita menuntut adanya skap tepatterhadapgendernya.

O Clothesline Project menggunakan kaosdengan pesan kekerasan rumah tangga diarea publik, sebagai cerminan kepada publiksecara visual.

Page 3: Pemberdayaan Melalui Agen Peralihan : Retorika dalam Clothesline Project

Penggagas proyek mengemukakan empat tujuan

dari Clothesline Project:

a. Untuk mempertebal kemauan kesaksian korban

kekerasan terhadap wanita.

b. Membantu proses penyembuhan orang yang

kehilangan orang yang dicintai atau korban dari

kekerasan.

c. Untuk mendidik, mendokumentasikan, dan

meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap

kondisi masalah kekerasan terhadap wanita.

d. Memberikan network dukungan, dorongan, dan

informasi bagi komunitas lain yang bermaksud

mengawali Clothesline Project.

Page 4: Pemberdayaan Melalui Agen Peralihan : Retorika dalam Clothesline Project

O Ide penggunaan image visual sebagai sumber

persuasi mulai dipertimbangkan para pakar

retorika di akhir 1960-an. Yang paling terkait

dengan Clothesline Project adalah Edelman

(1995) dengan From Art to Politics yang

menghasilkan koneksi antara argumen dalam

image visual dan konstruksi argumen sosial dan

politik. Ini adalah tujuan bab ini untuk membahas

Clothesline Project sebagai retorika visual.

O Pesan pada kaos disampaikan dalam dua cara,

yaitu kata dan gambar.

Page 5: Pemberdayaan Melalui Agen Peralihan : Retorika dalam Clothesline Project

O Burke mengatakan bahwa pernyataan tentangmotif ini bisa memberikan beberapa jenisjawaban ke 5 pertanyaan berikut:

1. apa yang dilakukan (aksi),

2. kapan/dimana dilakukan (tempat),

3. siapa yang melakukan (agen),

4. bagaimana dia melakukan (agensi),

5. mengapa (tujuan).

O Burke juga mengatakan bahwa aksi juga selalumenjadi komponen central dari analisispentadiknya.

Page 6: Pemberdayaan Melalui Agen Peralihan : Retorika dalam Clothesline Project

Clothesline ProjectO Sebagai sarana mengangkat kesadaran publik

mengenai kejaman domestik, organisasi wanita di kotadan kota kecil mengundang pra wanita dari komunitasmereka untuk membuat kaos. Kaos yang dibahasuntuk proyek ini dari tiga dari instalasi ini, satu diAshlan, Oregon, satu di Corvalis, Oregon, dan satu diFairfax, Virginia. Korban diberi pedoman untuksimbolisme di balik baju ini: merah, pink, atau orangeuntuk wanita yang dipukul atau diperkosa, kuning atauabu-abu coklat untuk wanita yang dipukul, biru atauhijau untuk wanita yang diserang karena orientasiseksualnya, dan putih untuk wanita yang telahmeninggal karena kekerasan. Wanita berdiskusibahwa kaos tidak harus mengikuti skema warna inijika warna atau kaos tertentu memiliki arti untuk wanitaini.

Page 7: Pemberdayaan Melalui Agen Peralihan : Retorika dalam Clothesline Project

The Before Narrative

O Cerita dibalik kekerasan yang dianalisadengan konteks pentadiks, yaitu aksi, pelakukekerasan, cara pelaku, tempat kejadian,tempat tujuan aman untuk mengungkaptindak kekerasan. Naratif dari bagiankekerasan selalu konsisten dengan agen.Wanita jarang menjadi pelaku. Wanita seringmengalihkan tanggung jawab ke pria karenadisini wanita ingin mengontrol situasinya.Karena pelaku menjadi istilah akar daripentadik ini, maka kita perlu menekankanpada aspek ini.

Page 8: Pemberdayaan Melalui Agen Peralihan : Retorika dalam Clothesline Project

After Narrative

Menempatkan korban sebagai kontrol

dirinya sendiri dan situasinya. Elemen

pentadiknya adalah aksi, korban, cara

korban, tempat pemberdayaan dan tujuan

tempat untuk mengembalikan kontrol

kehdupan korban. Dalam pentadik ini

korban ingin menujukan diri dan

kehidupannya dengan identifikasi yang kuat.

Page 9: Pemberdayaan Melalui Agen Peralihan : Retorika dalam Clothesline Project

TransformasiO David dan Bass mengatakan bahwa penyembuhan butuh

beberapa tahapan yaitu mengingat, mengakui terjadinya

kekerasan, memberikan kesalahan, dan penyelesaian dan

tindak lanjut. Ketika wanita bisa melewati tahapan ini, mereka

tidak lagi diam. Wanita mampu menjelaskan dan mengenali

naratif dominasi pelaku dan mengalahkan dominasi guna

meraih kontrol kepada kehidupannya.

O Cara ini menghasilkan pemberdayaan atau empowerment.

Wanita ditahap akhir penyembuhan melihat kaos tersebut

sebagai penyembuhan awal dan ingin melihat seberapa jauh

dia bisa melakukan penyembuhan.

Page 10: Pemberdayaan Melalui Agen Peralihan : Retorika dalam Clothesline Project

Implikasi

O Analsis clothesline project memberikan

implikasi bagi proyek itu sendiri, gagasan

Burke, dan retorika visual sebagai bentuk

persuasifnya. Clothesline project seperti

memberikan lampu penerang bagi

masalah masyarakat dengan cara meraih

perhatian publik, sekaligus menggunakan

cara komunikasi publik alternatif.

Page 11: Pemberdayaan Melalui Agen Peralihan : Retorika dalam Clothesline Project

Kesimpulan

Clothesline Project adalah alat retorika dalam tradisi

panjang kelompok marjinal, tepatnya sebagai alat

bantu visual. Dengan mengenali potensi image

visual ini dalam menggerakkan audiens, wanita

memilih membawa cerita kekerasan rumah-

tangganya ke lingkup publik untuk meraih

keuntungannya sendiri dan keuntungan publik

secara keseluruhan. Naratif memunculkan dua

cerita yang berbicara tentang korban dan publik

secara keseluruhan.

Page 12: Pemberdayaan Melalui Agen Peralihan : Retorika dalam Clothesline Project

O Naratif pertama menggambarkan pelaku

kejahatan yang memegang kontrol ke situasi.

Naratif kedua mengalihkan kontrol ke tangan

korban, ketika dia menginginkan hidup dan ingin

merasakan masa depan yang positif. Clothesline

Project memberikan harapan ke korban dan

mendorong masyarakat untuk memahami

masalah kekerasan rumah-tangga. Lewat

instalasi ini, kita akan mempelajari power visual

dalam merubah bukan hanya korban kekerasan

rumah-tangga, tapi juga masyarakat

keseluruhan.