pembagian waris menurut islam

118
Pembagian Waris Menurut Islam oleh : Muhammad Ali ash-Shabuni penerjemah A.M.Basamalah Gema Insani Press, 1995 Diambil Dari : http://media.isnet.org/islam/Waris/Mukadimah.html

Upload: ridwan-setiawan

Post on 19-Jun-2015

2.553 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pembagian Waris Menurut Islam

Pembagian WarisMenurut Islamoleh :Muhammad Ali ash-ShabunipenerjemahA.M.BasamalahGema Insani Press,1995

Diambil Dari :http://media.isnet.org/islam/Waris/Mukadimah.html

Page 2: Pembagian Waris Menurut Islam

PENGANTAR PENERBIT

HUKUM waris Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. telah mengubah hukumwaris Arab pra-Islam dan sekaligus merombak struktur hubungan kekerabatannya,bahkan merombak sistem pemilikan masyarakat tersebut atas harta benda, khususnyaharta pusaka. Sebelumnya, dalam masyarakat Arab ketika itu, wanita tidakdiperkenankan memiliki harta benda --kecuali wanita dari kalangan elite-- bahkanwanita menjadi sesuatu yang diwariskan.

Islam merinci dan menjelaskan --melalui Al-Qur'an Al-Karim-- bagian tiap-tiap ahliwaris dengan tujuan mewujudkan keadilan didalam masyarakat. Meskipun demikian,sampai kini persoalan pembagian harta waris masih menjadi penyebab timbulnyakeretakan hubungan keluarga. Ternyata, disamping karena keserakahan danketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan oleh kekurangtahuan ahliwaris akan hakikat waris dan cara pembagiannya.

Kekurangpedulian umat Islam terhadap disiplin ilmu ini memang tidak kita pungkiri,bahkan Imam Qurtubi telah mengisyaratkannya: "Betapa banyak manusia sekarangmengabaikan ilmu faraid."

Atas dasar itulah kami terpacu untuk menerbitkan buku Pembagian Waris menurutIslam. Mudah-mudahan apa yang kami persembahkan kepada pembaca menjadi suatuamal kebajikan dan menjadi bukti ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Penerbit

SAMPUL BELAKANG

Dalam praktek kehidupan sehari-hari, persoalan waris sering kali menjadi krusialyang terkadang memicu pertikaian dan menimbulkan keretakan hubungan keluarga.Penyebab utamanya ternyata keserakahan dan ketamakan manusia, di samping karenakekurang-tahuan pihak-pihak yang terkait mengenai hukum pembagian waris.Padahal, Allah SWT di dalam Al-Qur'an mengatur pembagian waris secara lengkap.Sementara itu, di sisi lain, kita jumpai kenyataan bahwa beberapa kalangan --termasuk para pelajar di sekolah-sekolah Islam---menganggap faraid (ilmu yangmengatur pembagian harta pusaka) sebagai momok yang menakutkan.

Berawal dari beberapa keprihatinan itulah buku ini diwujudkan, yang sebelumnyahanya merupakan kumpulan materi perkuliahan untuk mata kuliah waris padaFakultas Syari'ah di Mekah al-Mukarramah. Muhammad Ali ash-Shabuni, penulisbuku ini, berusaha menghilangkan kesan "seram" tentang disiplin ilmu ini dengancara menyederhanakan berbagai istilah dan rumusan perhitungan yang selama inidianggap sebagai kendala.

Bukan hanya itu, sistematika penyajiannya pun sangat sederhana dan tidak bertele-tele. Kesederhanaan metode dan gaya bertutur memang menjadi keunggulan buku ini.

ISBN 979-561-321-9

Page 3: Pembagian Waris Menurut Islam

MUKADIMAH

Segala puji bagi Allah, pengatur alam semesta, seluruh isi langit dan bumi. DialahYang Maha Kekal, tidak akan rusak dan tidak akan mati, yang telah berfirman dalamAl-Qur'an:

"Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang yang ada di atasnya, danhanya kepada Kamilah mereka dikembalikan." (Maryam: 40)

Semoga shalawat dan salam tetap Allah anugerahkan kepada sang pembawa cahaya,perintis kemanusiaan dan penunjuk jalan, junjungan kita Muhammad saw.Dengannyalah Allah SWT menghilangkan kesesatan dan kegelapan, dandengannyalah Allah mengeluarkan umat manusia dari kegelapan kepada alam yangterang benderang.

Semoga shalawat dan salam juga Allah berikan kepada seluruh kerabatnya, parasahabatnya, dan siapa pun yang mengikuti jejaknya.

Buku ini merupakan kumpulan materi perkuliahan untuk mata kuliah waris yangpernah saya berikan kepada para mahasiswa Fakultas Syari'ah di Mekah al-Mukarramah. Kemudian saya tergerak untuk mengumpulkan dan menyatukannyahingga menjadi buku dengan harapan dapat dimanfaatkan secara lebih luas. Buku inisaya susun dengan sistematika yang sangat sederhana dan tidak bertele-tele.

Saya bermohon kepada Allah semoga buku ini dapat bermanfaat khususnya bagi paramahasiswa, dan umumnya bagi seluruh kaum muslim yang memiliki keinginan untukmengetahui dengan pasti mengenai faraid (ilmu yang mengatur pembagian hartapusaka).

Sesungguhnya Allah Maha Mendengar semua doa dan Maha Mampu untukmemenuhinya.

Mekah, Jumadil Akbir 1389 HMuhammad Ali ash-Shabuni

Page 4: Pembagian Waris Menurut Islam

I. AYAT-AYAT WARIS

ALLAH SWT berfirman

"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu,bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; danjika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dariharta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperolehseparo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dariharta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yangmeninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), makaibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudahdipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebihdekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 11)

"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, makakamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiatyang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperolehseperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamumempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamutinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidakmeninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudaralaki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudaraseibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudahdipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidakmemberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi MahaPenyantun." (an-Nisa': 12)

"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberifatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meningal dunia, dan ia tidakmempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yangperempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak;tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dariharta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiridari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-lakisebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."(an-Nisa': 176)

Page 5: Pembagian Waris Menurut Islam

A. Penjelasan

Allah SWT melalui ketiga ayat tersebut --yang kesemuanya termaktub dalam suratan-Nisa'-- menegaskan dan merinci nashih (bagian) setiap ahli waris yang berhakuntuk menerimanya. Ayat-ayat tersebut juga dengan gamblang menjelaskan danmerinci syarat-syarat serta keadaan orang yang berhak mendapatkan warisan danorang-orang yang tidak berhak mendapatkannya. Selain itu, juga menjelaskankeadaan setiap ahli waris, kapan ia menerima bagiannya secara "tertentu", dan kapanpula ia menerimanya secara 'ashabah.

Perlu kita ketahui bahwa ketiga ayat tersebut merupakan asas ilmu faraid, didalamnya berisi aturan dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian warissecara lengkap. Oleh sebab itu, orang yang dianugerahi pengetahuan dan hafal ayat-ayat tersebut akan lebih mudah mengetahui bagian setiap ahli waris, sekaligusmengenali hikmah Allah Yang Maha Bijaksana itu.

Allah Yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris.Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan pembagianhak setiap ahli waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Diamenerapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia,meniadakan kezaliman di kalangan mereka, menutup ruang gerak para pelakukezaliman, serta tidak membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hatiorang-orang yang lemah.

Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ketiga ayat tersebutmerupakan salah satu rukun agama, penguat hukum, dan induk ayat-ayat Ilahi. Olehkarenanya faraid memiliki martabat yang sangat agung, hingga kedudukannyamenjadi separo ilmu. Hal ini tercermin dalam hadits berikut, dari Abdullah IbnuMas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid danajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, danilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orangyang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namunkeduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. "(HR Daruquthni)

Lebih jauh Imam Qurthubi mengatakan, "Apabila kita telah mengetahui hakikat ilmuini, maka betapa tinggi dan agung penguasaan para sahabat tentang masalah faraid ini.Sungguh mengagumkan pandangan mereka mengenai ilmu waris ini. Meskipundemikian, sangat disayangkan kebanyakan manusia (terutama pada masa kini)mengabaikan dan melecehkannya."1

Perlu kita ketahui bahwa semua kitab tentang waris yang disusun dan ditulis oleh paraulama merupakan penjelasan dan penjabaran dari apa yang terkandung dalam ketigaayat tersebut. Yakni penjabaran kandungan ayat yang bagi kita sudah sangat jelas:membagi dan adil. Maha Suci Allah Yang Maha Bijaksana dalam menetapkan hukumdan syariat-Nya.

Page 6: Pembagian Waris Menurut Islam

Di antara kita mungkin ada yang bertanya-tanya dalam hati, adakah ayat lain yangberkenaan dengan waris selain dari ketiga ayat tersebut?

Di dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak warisbagi para kerabat (nasab), akan tetapi tentang besar-kecilnya hak waris yang mestiditerima mereka tidak dijelaskan secara rinci. Di antaranya adalah firman Allahberikut:

"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, danbagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetaplan. " (an-Nisa': 7)

"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhakterhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)

"... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak(waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu(seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)." (al-Ahzab: 6)

Itulah ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah hak waris, selaindari ketiga ayat yang saya sebutkan pada awal pembahasan.

Pada ayat kedua dan ketiga (al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6) ditegaskan bahwa kerabatpewaris (sang mayit) lebih berhak untuk mendapatkan bagian dibandingkan lainnyayang bukan kerabat atau tidak mempunyai tali kekerabatan dengannya. Mereka lebihberhak daripada orang mukmin umumnya dan kaum Muhajirin.

Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa itu kaummuslim saling mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah dan rasa persaudaraanyang dipertemukan oleh Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin dengan kaumAnshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum Muhajirin dan kaum Anshar salingmewarisi, namun justru saudara mereka yang senasab tidak mendapatkan warisan.Keadaan demikian berjalan terus hingga Islam menjadi agama yang kuat, kaummuslim telah benar-benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya, dan kaidah-kaidahagama telah begitu mengakar dalam hati setiap muslim. Maka setelah peristiwapenaklukan kota Mekah, Allah me-mansukh-kan (menghapuskan) hukum pewarisanyang disebabkan hijrah dan persaudaraan, dengan hukum pewarisan yang disebabkannasab dan kekerabatan.

Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT dengan tegas menghilangkanbentuk kezaliman yang biasa menimpa dua jenis manusia lemah, yakni wanita dananak-anak. Allah SWT menyantuni keduanya dengan rahmat dan kearifan-Nya sertadengan penuh keadilan, yakni dengan mengembalikan hak waris mereka secarapenuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan keadilan-Nya memberikan hak waris secaraimbang, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang besar, laki-laki ataupunwanita. Juga tanpa membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit, maupunpewaris itu rela atau tidak rela, yang pasti hak waris telah Allah tetapkan bagi kerabat

Page 7: Pembagian Waris Menurut Islam

pewaris karena hubungan nasab. Sementara di sisi lain Allah membatalkan hak salingmewarisi di antara kaum muslim yang disebabkan persaudaraan dan hijrah. Meskipundemikian, ayat tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan jumlah besar-kecilnya hak waris para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam ushul fiqh ayat inidisebut mujmal (global), sedangkan rinciannya terdapat dalam ayat-ayat yang sayanukilkan terdahulu (an-Nisa': 11-12 dan 176).

Masih tentang kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya dalam hati, mengapa bagian kaum laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita,padahal kaum wanita jauh lebih banyak membutuhkannya, karena di sampingmemang lemah, mereka juga sangat membutuhkan bantuan baik moril maupunmateriil?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu saya utarakan beberapa hikmah adanyasyariat yang telah Allah tetapkan bagi kaum muslim, di antaranya sebagai berikut:

1. Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalamhal nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya,anaknya, atau siapa saja yang mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya.

2. Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini.Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberinafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkanatasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.

3. Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaumwanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan danmemiliki harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan kaum wanita.

4. Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya,menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dansandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk memberinyasandang, pangan, dan papan.

5. Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) danlainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementarakaum wanita tidaklah demikian.

Itulah beberapa hikmah dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam perbedaanpembagian antara kaum laki-laki --dua kali lebih besar-- dan kaum wanita. Kalau sajatidak karena rasa takut membosankan, ingin sekali saya sebutkan hikmah-hikmahtersebut sebanyak mungkin. Secara logika, siapa pun yang memiliki tanggung jawabbesar --hingga harus mengeluarkan pembiayaan lebih banyak-- maka dialah yanglebih berhak untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun hukumIslam telah menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besardaripada bagian kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan rahmatdan keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum wanita melebihi apayang digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas bahwa kaum wanita justrulebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak dibandingkan kaum laki-laki.Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana halnya kaum laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggungnafkah keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris, tetapitidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.

Page 8: Pembagian Waris Menurut Islam

Syariat Islam tidak mewajibkan kaum wanita untuk membelanjakan harta miliknyameski sedikit, baik untuk keperluan dirinya atau keperluan anak-anaknya(keluarganya), selama masih ada suaminya. Ketentuan ini tetap berlaku sekalipunwanita tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan. Sebab, suamilah yangberkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan keluarganya, khususnya dalamhal sandang, pangan, dan papan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

"... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan carayang ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)

Untuk lebih menjelaskan permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu contohkasus supaya hikmah Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya akan terasa lebihjelas dan nyata. Contoh yang dimaksud di sini ialah tentang pembagian hak kaumlaki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari bagian kaum wanita.

Seseorang meninggal dan mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satuperempuan. Ternyata orang tersebut meninggalkan harta, misalnya sebanyak Rp 3juta. Maka, menurut ketetapan syariat Islam, laki-laki mendapatkan Rp 2 jutasedangkan anak perempuan mendapatkan Rp 1 juta.

Apabila anak laki-laki tersebut telah dewasa dan layak untuk menikah, maka iaberkewajiban untuk membayar mahar dan semua keperluan pesta pernikahannya.Misalnya, ia mengeluarkan semua pembiayaan keperluan pesta pernikahan itu sebesarRp 20 juta. Dengan demikian, uang yang ia terima dari warisan orang tuanya tidaktersisa. Padahal, setelah menikah ia mempunyai beban tanggung jawab memberinafkah istrinya.

Adapun anak perempuan, apabila ia telah dewasa dan layak untuk berumah tangga,dialah yang mendapatkan mahar dari calon suaminya. Kita misalkan saja mahar itusebesar Rp 1 juta. Maka anak perempuan itu telah memiliki uang sebanyak Rp 2 juta(satu juta dari harta warisan dan satu juta lagi dari mahar pemberian calon suaminya).Sementara itu, sebagai istri ia tidak dibebani tanggung jawab untuk membiayaikebutuhan nafkah rumah tangganya, sekalipun ia memiliki harta yang banyak danhidup dalam kemewahan. Sebab dalam Islam kaum laki-lakilah yang berkewajibanmemberi nafkah istrinya, baik berupa sandang, pangan, dan papan. Jadi, harta warisananak perempuan semakin bertambah, sedangkan harta warisan anak laki-laki habis.

Dalam keadaan seperti ini manakah di antara kaum laki-laki dan kaum wanita yanglebih banyak menikmati harta dan lebih berbahagia keadaannya? Laki-laki ataukahwanita? Inilah logika keadilan dalam agama, sehingga pembagian hak laki-laki duakali lipat lebih besar daripada hak kaum wanita.

1 Tafsir al-Qurthubi, juz V, hlm. 56.

B. Hak Waris Kaum Wanita sebelum Islam

Sebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untukmenerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun kerabatnya). Dengandalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya.Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, "Bagaimana mungkin kami

Page 9: Pembagian Waris Menurut Islam

memberikan warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidakpernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pulaberperang melawan musuh." Mereka mengharamkan kaum wanita menerima hartawarisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil.

Sangat jelas bagi kita bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab memperlakukankaum wanita secara zalim. Mereka tidak memberikan hak waris kepada kaum wanitadan anak-anak, baik dari harta peninggalan ayah, suami, maupun kerabat mereka.Barulah setelah Islam datang ada ketetapan syariat yang memberi mereka hak untukmewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuhkemuliaan, tanpa direndahkan. Islam memberi mereka hak waris, tanpa boleh siapapun mengusik dan menentangnya. Inilah ketetapan yang telah Allah pastikan dalamsyariat-Nya sebagai keharusan yang tidak dapat diubah.

Ketika turun wahyu kepada Rasulullah saw. --berupa ayat-ayat tentang waris--kalangan bangsa Arab pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangatberharap kalau saja hukum yang tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus(mansukh). Sebab menurut anggapan mereka, memberi warisan kepada kaum wanitadan anak-anak sangat bertentangan dengan kebiasaan dan adat yang telah lamamereka amalkan sebagai ajaran dari nenek moyang.

Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari Abdullah IbnuAbbas r.a.. Ia berkata: "Ketika ayat-ayat yang menetapkan tentang warisan diturunkanAllah kepada RasulNya --yang mewajibkan agar memberikan hak waris kepada laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri-- sebagian bangsa Arabmerasa kurang senang terhadap ketetapan tersebut. Dengan nada keheranan sambilmencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat bagian kepadakaum wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan setengah bagianharta peninggalan? Juga haruskah memberikan warisan kepada anak-anak ingusan?Padahal mereka tidak ada yang dapat memanggul senjata untuk berperang melawanmusuh, dan tidak pula dapat andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidakperlu membicarakan hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan danmengabaikannya, atau kita meminta kepada beliau agar berkenan untukmengubahnya.' Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah: 'Wahai Rasulullah,haruskah kami memberikan warisan kepada anak kecil yang masih ingusan? Padahalkami tidak dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah kami memberikanhak waris kepada anak-anak perempuan kami, padahal mereka tidak dapatmenunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan musuh?'"

Inilah salah satu bentuk nyata ajaran syariat Islam dalam menyantuni kaum wanita;Islam telah mampu melepaskan kaum wanita dari kungkungan kezaliman zaman.Islam memberikan hak waris kepada kaum wanita yang sebelumnya tidak memilikihak seperti itu, bahkan telah menetapkan mereka sebagai ashhabul furudh (kewajibanyang telah Allah tetapkan bagian warisannya). Kendatipun demikian, dewasa inimasih saja kita jumpai pemikiran yang kotor yang sengaja disebarluaskan oleh orang-orang yang berhati buruk. Mereka beranggapan bahwa Islam telah menzalimi kaumwanita dalam hal hak waris, karena hanya memberikan separo dari hak kaum laki-laki.

Page 10: Pembagian Waris Menurut Islam

Anggapan mereka semata-mata dimaksudkan untuk memperdaya kaum wanitatentang hak yang mereka terima. Mereka berpura-pura akan menghilangkankezaliman yang menimpa kaum wanita dengan cara menyamakan hak kaum wanitadengan hak kaum laki-laki dalam hal penerimaan warisan.

Mereka yang memiliki anggapan demikian sama halnya menghasut kaum wanita agarmereka menjadi pembangkang dan pemberontak dengan menolak ajaran dan aturanhukum dalam syariat Islam. Sehingga pada akhirnya kaum wanita akan menuntutpersamaan hak penerimaan warisan yang sama dan seimbang dengan kaum laki-laki.

Yang sangat mengherankan dan sulit dicerna akal sehat ialah bahwa mereka yangberpura-pura prihatin tentang hak waris kaum wanita, justru mereka sendiri sangatbakhil terhadap kaum wanita dalam hal memberi nafkah. Subhanallah! Sebagai bukti,mereka bahkan menyuruh kaum wanita untuk bekerja demi menghidupi diri mereka,di antara mereka bekerja di ladang, di kantor, di tempat hiburan, bar, kelab malam,dan sebagainya.

Corak pemikiran seperti ini dapat dipastikan merupakan hembusan dari Barat yangbanyak diikuti oleh orang-orang yang teperdaya oleh kedustaan mereka. Kulturseperti itu tidak menghormati kaum wanita, bahkan tidak menempatkan mereka padatimbangan yang adil. Budaya mereka memandang kaum wanita tidak lebih sebagaipemuas syahwat. Mereka sangat bakhil dalam memberikan nafkah kepada kaumwanita, dan mengharamkan wanita untuk mengatur harta miliknya sendiri, kecualidengan seizin kaum laki-laki (suaminya). Lebih dari itu, budaya merekamengharuskan kaum wanita bekerja guna membiayai hidupnya. Kendatipun telahnyata demikian, mereka masih menuduh bahwa Islam telah menzalimi danmembekukan hak wanita.

C. Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris

Banyak riwayat yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat-ayat waris, diantaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu ketika istriSa'ad bin ar-Rabi' datang menghadap Rasulullah saw. dengan membawa kedua orangputrinya. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, kedua putri ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi'yang telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putriSa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa meninggalkanbarang sedikit pun bagi keduanya." Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "SemogaAllah segera memutuskan perkara ini." Maka turunlah ayat tentang waris yaitu (an-Nisa': 11).

Rasulullah saw. kemudian mengutus seseorang kepada paman kedua putri Sa'ad danmemerintahkan kepadanya agar memberikan dua per tiga harta peninggalan Sa'adkepada kedua putri itu. Sedangkan ibu mereka (istri Sa'ad) mendapat bagianseperdelapan, dan sisanya menjadi bagian saudara kandung Sa'ad.

Dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwaAbdurrahman bin Tsabit wafat dan meninggalkan seorang istri dan lima saudaraperempuan. Namun, seluruh harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dandirebut oleh kaum laki-laki dari kerabatnya. Ummu Kahhah (istri Abdurrahman) lalu

Page 11: Pembagian Waris Menurut Islam

mengadukan masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah ayat waris sebagaijawaban persoalan itu.

Masih ada sederetan riwayat sahih yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayatwaris ini. Semua riwayat tersebut tidak ada yang menyimpang dari inti permasalahan,artinya bahwa turunnya ayat waris sebagai penjelasan dan ketetapan Allah disebabkanpada waktu itu kaum wanita tidak mendapat bagian harta warisan.

D. Kajian terhadap Ayat-ayat Waris

Pertama:

Firman Allah yang artinya "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua oranganak perempuan," menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:

1. Apabila pewaris (orang yang meninggal) hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untukkeduanya. Anak laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuansatu bagian.

2. Apabila ahli waris berjumlah banyak, terdiri dari anak laki-laki dan anakperempuan, maka bagian untuk laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan.

3. Apabila bersama anak (sebagai ahli waris) ada juga ashhabul furudh, sepertisuami atau istri, ayah atau ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalahashhabul furudh. Setelah itu barulah sisa harta peninggalan yang adadibagikan kepada anak. Bagi anak laki-laki dua bagian, sedangkan bagi anakperempuan satu bagian.

4. Apabila pewaris hanya meninggalkan satu anak laki-laki, maka anak tersebutmewarisi seluruh harta peninggalan. Meskipun ayat yang ada tidak secarasharih (tegas) menyatakan demikian, namun pemahaman seperti ini dapatdiketahui dari kedua ayat yang ada. Bunyi penggalan ayat yang dikutipsebelumnya (Butir 1) rnenunjukkan bahwa bagian laki-laki adalah dua kalilipat bagian anak perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat (artinya)"jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta".Dari kedua penggalan ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa bila ahli warishanya terdiri dari seorang anak laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh hartapeninggalan pewaris.

5. Adapun bagian keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris), jumlah bagianmereka sama seperti anak, apabila sang anak tidak ada (misalnya meninggalterlebih dahulu). Sebab penggalan ayat (artinya) "Allah mensyariatkan bagimutentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu", mencakup keturunan anakkandung. Inilah ketetapan yang telah menjadi ijma'.

Kedua:

Hukum bagian kedua orang tua. Firman Allah (artinya): "Dan untuk dua orang ibu-hapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yangmeninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anakdan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yangmeninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam."Penggalan ayat ini menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:

Page 12: Pembagian Waris Menurut Islam

1. Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam bagian apabila yangmeninggal mempunyai keturunan.

2. Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat bagiansepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua per tigamenjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi ayat yang hanyamenyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah tidakdisebutkan. Jadi, pengertiannya, sisanya merupakan bagian ayah.

3. Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai saudara (dua orang ataulebih), maka ibunya mendapat seperenam bagian. Sedangkan ayahmendapatkan lima per enamnya. Adapun saudara-saudara itu tidaklahmendapat bagian harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturanhukum waris dalam Islam dinyatakan sebagai hajib (penghalang). Jikamisalnya muncul pertanyaan apa hikmah dari penghalangan saudara pewaristerhadap ibu mereka --artinya bila tanpa adanya saudara (dua orang atau lebih)ibu mendapat sepertiga bagian, sedangkan jika ada saudara kandung pewarisibu hanya mendapatkan seperenam bagian? Jawabannya, hikmah adanya hajibtersebut dikarenakan ayahlah yang menjadi wali dalam pernikahan mereka,dan wajib memberi nafkah mereka. Sedangkan ibu tidaklah demikian. Jadi,kebutuhannya terhadap harta lebih besar dan lebih banyak dibandingkan ibu,yang memang tidak memiliki kewajiban untuk membiayai kehidupan mereka.

Ketiga:

Utang orang yang meninggal lebih didahulukan daripada wasiat. Firman Allah(artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya."Secara zhahir wasiat harus didahulukan ketimbang membayar utang orang yangmeninggal. Namun, secara hakiki, utanglah yang mesti terlebih dahulu ditunaikan.Jadi, utang-utang pewaris terlebih dahulu ditunaikan, kemudian barulah melaksanakanwasiat bila memang ia berwasiat sebelum meninggal. Inilah yang diamalkanRasulullah saw..

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: "Sesungguhnya kalian telah membaca firmanAllah [tulisan Arab] dan Rasulullah telah menetapkan dengan menunaikan utang-utang orang yang meninggal, lalu barulah melaksanakan wasiatnya."

Hikmah mendahulukan pembayaran utang dibandingkan melaksanakan wasiat adalahkarena utang merupakan keharusan yang tetap ada pada pundak orang yang utang,baik ketika ia masih hidup ataupun sesudah mati. Selain itu, utang tersebut akan tetapdituntut oleh orang yang mempiutanginya, sehingga bila yang berutang meninggal,yang mempiutangi akan menuntut para ahli warisnya.

Sedangkan wasiat hanyalah suatu amalan sunnah yang dianjurkan, kalaupun tidakditunaikan tidak akan ada orang yang menuntutnya. Di sisi lain, agar manusia tidakmelecehkan wasiat dan jiwa manusia tidak menjadi kikir (khususnya para ahli waris),maka Allah SWT mendahulukan penyebutannya.

Keempat:

Firman Allah (artinya) "orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapadi antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu." Penggalan ayat ini

Page 13: Pembagian Waris Menurut Islam

dengan tegas memberi isyarat bahwa Allah yang berkompeten dan paling berhakuntuk mengatur pembagian harta warisan. Hal ini tidak diserahkan kepada manusia,siapa pun orangnya, cara ataupun aturan pembagiannya, karena bagaimanapun bentukusaha manusia untuk mewujudkan keadilan tidaklah akan mampu melaksanakannyasecara sempurna. Bahkan tidak akan dapat merealisasikan pembagian yang adilseperti yang telah ditetapkan dalam ayat-ayat Allah.

Manusia tidak akan tahu manakah di antara orang tua dan anak yang lebih dekat ataulebih besar kemanfaatannya terhadap seseorang, tetapi Allah, Maha Suci Dzat-Nya,Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pembagian yang ditentukan-Nya pasti adil.Bila demikian, siapakah yang dapat membuat aturan dan undang-undang yang lebihbaik, lebih adil, dan lebih relevan bagi umat manusia dan kemanusiaan selain Allah?

Kelima:

Firman Allah (artinya) "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yangditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimuitu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yangditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudahdibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jikakamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istrimemperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiatyang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu." Penggalan ayat tersebutmenjelaskan tentang hukum waris bagi suami dan istri. Bagi suami atau istri masing-masing mempunyai dua cara pembagian.

Bagian suami:

1. Apabila seorang istri meninggal dan tidak mempunyai keturunan (anak), makasuami mendapat bagian separo dari harta yang ditinggalkan istrinya.

2. Apabila seorang istri meninggal dan ia mempunyai keturunan (anak), makasuami mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan.

Bagian istri:

1. Apabila seorang suami meninggal dan dia tidak mempunyai anak (keturunan),maka bagian istri adalah seperempat.

2. Apabila seorang suami meninggal dan dia mempunyai anak (keturunan), makaistri mendapat bagian seperdelapan.

Keenam:

Hukum yang berkenaan dengan hak waris saudara laki-laki atau saudara perempuanseibu. Firman-Nya (artinya): "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan,yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyaiseorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jikasaudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yangsepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayarutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). "

Page 14: Pembagian Waris Menurut Islam

Yang dimaksud ikhwah (saudara) dalam penggalan ayat ini (an-Nisa': 12) adalahsaudara laki-laki atau saudara perempuan "seibu lain ayah". Jadi, tidak mencakupsaudara kandung dan tidak pula saudara laki-laki atau saudara perempuan "seayah lainibu". Pengertian inilah yang disepakati oleh ulama.

Adapun yang dijadikan dalil oleh ulama ialah bahwa Allah SWT telah menjelaskan --dalam firman-Nya-- tentang hak waris saudara dari pewaris sebanyak dua kali. Yangpertama dalam ayat ini, dan yang kedua pada akhir surat an-Nisa'. Dalam ayat yangdisebut terakhir ini, bagi satu saudara mendapat seperenam bagian, sedangkan bilajumlah saudaranya banyak maka mendapatkan sepertiga dari harta peninggalan dandibagi secara rata.

Sementara itu, ayat akhir surat an-Nisa' menjelaskan bahwa saudara perempuan, jikasendirian, mendapat separo harta peninggalan, sedangkan bila dua atau lebih iamendapat bagian dua per tiga. Oleh karenanya, pengertian istilah ikhwah dalam ayatini harus dibedakan dengan pengertian ikhwah yang terdapat dalam ayat akhir suratan-Nisa' untuk meniadakan pertentangan antara dua ayat.

Sementara itu, karena saudara kandung atau saudara seayah kedudukannya lebihdekat --dalam urutan nasab-- dibandingkan saudara seibu, maka Allah menetapkanbagian keduanya lebih besar dibandingkan saudara seibu. Dengan demikian, dapatdipastikan bahwa pengertian kata ikhwah dalam ayat tersebut (an-Nisa': 12) adalah'saudara seibu', sedangkan untuk kata yang sama di dalam akhir surat an-Nisa'memiliki pengertian 'saudara kandung' atau 'saudara seayah'.

Rincian Beberapa Keadaan Bagian Saudara Seibu

A. Apabila seseorang meninggal dan mempunyai satu orang saudara laki-lakiseibu atau satu orang saudara perempuan seibu, maka bagian yang diperolehnyaadalah seperenam.

B. Jika yang meninggal mempunyai saudara seibu dua orang atau lebih, merekamendapatkan dua per tiga bagian dan dibagi secara rata. Sebab yang zhahirdari firman-Nya [tulisan Arab] menunjukkan adanya keharusan untuk dibagidengan rata sama besar-kecilnya. Jadi, saudara laki-laki mendapat bagian yangsama dengan bagian saudara perempuan.

Makna Kalaalah

Pengertian kalaalah ialah seseorang meninggal tanpa memiliki ayah ataupunketurunan; atau dengan kata lain dia tidak mempunyai pokok dan cabang. Katakalaalah diambil dari kata al-kalla yang bermakna 'lemah'. Kata ini misalnyadigunakan dalam kalimat kalla ar-rajulu, yang artinya 'apabila orang itu lemah danhilang kekuatannya'.

Ulama sepakat (ijma') bahwa kalaalah ialah seseorang yang mati namun tidakmempunyai ayah dan tidak memiliki keturunan. Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., ia berkata: "Saya mempunyai pendapat mengenai kalaalah. Apabilapendapat saya ini benar maka hanyalah dari Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Adapun bila pendapat ini salah, maka karena dariku dan dari setan, dan Allah

Page 15: Pembagian Waris Menurut Islam

terbebas dari kekeliruan tersebut. Menurut saya, Kalaalah adalah orang yangmeninggal yang tidak mempunyai ayah dan anak. "

Ketujuh:

Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sudahdibayar utangnya dengan tidak membebani mudarat (kepada ahli waris)". Ayattersebut menunjukkan dengan tegas bahwa apabila wasiat dan utang nyata-nyatamengandung kemudaratan, maka wajib untuk tidak dilaksanakan. Dampak negatifmengenai wasiat yang dimaksudkan di sini, misalnya, seseorang yang berwasiat untukmenyedekahkan hartanya lebih dari sepertiga. Sedangkan utang yang dimaksudberdampak negatif, misalnya seseorang yang mengakui mempunyai utang padahalsebenamya ia tidak berutang. Jadi, baik wasiat atau utang yang dapat menimbulkanmudarat (berdampak negatif) pada ahli waris tidak wajib dilaksanakan.

Hukum Keadaan Saudara Kandung atau Seayah

Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa': 176 mengisyaratkan adanya beberapakeadaan tentang bagian saudara kandung atau saudara seayah.

A. Apabila seseorang meninggal dan hanya mempunyai satu orang saudarakandung perempuan ataupun seayah, maka ahli waris mendapat separo hartapeninggalan, bila ternyata pewaris (yang meninggal) tidak mempunyai ayah atauanak.B. Apabila pewaris mempunyai dua orang saudara kandung perempuan atau seayah

ke atas, dan tidak mempunyai ayah atau anak, maka bagian ahli waris adalah duaper tiga dibagi secara rata.

C. Apabila pewaris mempunyai banyak saudara kandung laki-laki dan saudarakandung perempuan atau seayah, maka bagi ahli waris yang laki-lakimendapatkan dua kali bagian saudara perempuan.

D. Apabila seorang saudara kandung perempuan meninggal, dan ia tidak mempunyaiayah atau anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian saudarakandung laki-lakinya. Apabila saudara kandungnya banyak --lebih dari satu--maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala. Begitulah hukum bagi saudaraseayah, jika ternyata tidak ada saudara laki-laki yang sekandung atau saudaraperempuan yang sekandung.

Page 16: Pembagian Waris Menurut Islam

II. WARIS DALAM PANDANGAN ISLAM

SYARIAT Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur danadil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hakpemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya,dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki danperempuan, besar atau kecil.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitandengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harusditerima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah diasebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatassaudara seayah atau seibu.

Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagianwaris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullahsaw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dansyariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail danrinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salahsatu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwaharta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompokmasyarakat

A. Definisi Waris

Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dariseseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitandengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'anbanyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allahberfirman:

"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)

"... Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)

Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:

'Ulama adalah ahli waris para nabi'.

Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialahberpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yangmasih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yangberupa hak milik legal secara syar'i.

Page 17: Pembagian Waris Menurut Islam

Pengertian Peninggalan

Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yangditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnyasegala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagaipeninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utangpiutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atauutang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan(misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).

Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan

Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan hartapeninggalan adalah:

1. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakanharta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluanpemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejakwafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kainkafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempatperistirahatannya yang terakhir.

Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluantersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segikemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.

2. Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebihdahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikankepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal iniberdasarkan sabda Rasulullah saw.:

"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."

Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia.Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayarzakat, atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka dikalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafiberpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya.Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannyasebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahliwarisnya.

Kalangan ulama mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebutmerupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggaldunia. Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niatdan keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudahmeninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagiorang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamatsebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu sajamerupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini, menurut saya, tentunya bila

Page 18: Pembagian Waris Menurut Islam

sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun,bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya.

Sedangkan jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untukmenunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama sajaseperti utang kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakanamalan yang tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapitermasuk hak yang menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahliwaris untuk menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.

Bahkan menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikansebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkanmazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajibditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utangpiutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab inilebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hambadaripada utang kepada Allah. Sementara itu, ulama mazhab Hambali menyamakanantara utang kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajibditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikankepada setiap ahli waris.

3. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertigadari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkanbagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkanseluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagianharta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambiluntuk membayar utangnya.

Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yangditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatansemua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawabpertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniatmenyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda:"... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan paraahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalamkemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."

4. Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahliwarisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma').Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahliwaris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, danlainnya), kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisaharta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).

Catatan:

Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang.Padahal secara syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan,baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutanwasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-

Page 19: Pembagian Waris Menurut Islam

benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utangpiutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayattersebut.

B. Derajat Ahli Waris

Antara ahli waris yang satu dan lainnya ternyata mempunyai perbedaan derajat danurutan. Berikut ini akan disebutkan berdasarkan urutan dan derajatnya:

1. Ashhabul furudh. Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan.Mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an,As-Sunnah, dan ijma'.

2. Ashabat nasabiyah. Setelah ashhabul furudh, barulah ashabat nasabiyahmenerima bagian. Ashabat nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) pewarisyang menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan. Bahkan, jika ternyatatidak ada ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan.Misalnya anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki pewaris, saudarakandung pewaris, paman kandung, dan seterusnya.

3. Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri). Apabilaharta warisan yang telah dibagikan kepada semua ahli warisnya masih jugatersisa, maka hendaknya diberikan kepada ashhabul furudh masing-masingsesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Adapun suami atau istri tidakberhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang ada. Sebab hak warisbagi suami atau istri disebabkan adanya ikatan pernikahan, sedangkankekerabatan karena nasab lebih utama mendapatkan tambahan dibandingkanlainnya.

4. Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat di sini ialah kerabatpewaris yang masih memiliki kaitan rahim --tidak termasuk ashhabul furudhjuga 'ashabah. Misalnya, paman (saudara ibu), bibi (saudara ibu), bibi (saudaraayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anakperempuan. Maka, bila pewaris tidak mempunyai kerabat sebagai ashhabulfurudh, tidak pula 'ashabah, para kerabat yang masih mempunyai ikatan rahimdengannya berhak untuk mendapatkan warisan.

5. Tambahan hak waris bagi suami atau istri. Bila pewaris tidak mempunyai ahliwaris yang termasuk ashhabul furudh dan 'ashabah, juga tidak ada kerabatyang memiliki ikatan rahim, maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadimilik suami atau istri. Misalnya, seorang suami meninggal tanpa memilikikerabat yang berhak untuk mewarisinya, maka istri mendapatkan bagianseperempat dari harta warisan yang ditinggalkannya, sedangkan sisanyamerupakan tambahan hak warisnya. Dengan demikian, istri memiliki seluruhharta peninggalan suaminya. Begitu juga sebaliknya suami terhadap hartapeninggalan istri yang meninggal.

6. Ashabah karena sebab. Yang dimaksud para 'ashabah karena sebab ialahorang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupunperempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai hartawarisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahliwarisnya, dan sebagai 'ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.

7. Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris. Yang dimaksud disini ialah orang lain, artinya bukan salah seorang dan ahli waris. Misalnya,

Page 20: Pembagian Waris Menurut Islam

seseorang meninggal dan mempunyai sepuluh anak. Sebelum meninggal iaterlebih dahulu memberi wasiat kepada semua atau sebagian anaknya agarmemberikan sejumlah hartanya kepada seseorang yang bukan termasuk salahsatu ahli warisnya. Bahkan mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat bolehmemberikan seluruh harta pewaris bila memang wasiatnya demikian.

8. Baitulmal (kas negara). Apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyaiahli waris ataupun kerabat --seperti yang saya jelaskan-- maka seluruh hartapeninggalannya diserahkan kepada baitulmal untuk kemaslahatan umum.

C. Bentuk-bentuk Waris

A. Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).B. Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).C. Hak waris secara tambahan.D. Hak waris secara pertalian rahim.

Pada bagian berikutnya butir-butir tersebut akan saya jelas secara detail.

D. Sebab-sebab Adanya Hak Waris

Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:

1. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak,saudara, paman, dan seterusnya.

2. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seoranglaki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim(bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak,tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.

3. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqidan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasanbudak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yangmembebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yangdinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telahmengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena ituAllah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yangdibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanyakekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.

E. Rukun Waris

Rukun waris ada tiga:

1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untukmewarisi harta peninggalannya.

2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima hartapeninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atauikatan pernikahan, atau lainnya.

3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkanpewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.

Page 21: Pembagian Waris Menurut Islam

F. Syarat Waris

Syarat-syarat waris juga ada tiga:

1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum(misalnya dianggap telah meninggal).

2. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggaldunia.

3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.

Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris

Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki ataupun secarahukum-- -ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahliwarisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadapseseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yanghilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakimmemvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.

Hal ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun keadaannya, manusia yangmasih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hakkepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelah iameninggal.

Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris

Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yangsecara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memilikihak untuk mewarisi.

Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisimeninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidakdiketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapatsaling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini olehkalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatukecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan,mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.

Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris

Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami,istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlahbagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukumwaris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sangpewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudaraseayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, adayang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena

Page 22: Pembagian Waris Menurut Islam

'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta adayang tidak terhalang.

G. Penggugur Hak Waris

Penggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi yang menyebabkan hak warisseseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga:

1. Budak

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisisekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsungmenjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar(budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budakyang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratanyang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugurhak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hakmilik.

2. Pembunuhan

Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuhayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabdaRasulullah saw.:

"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "

Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur dikalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang menyegerakanagar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkanbagiannya."

Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya,mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak warisadalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.

Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yangdirencanakan yang dapat menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapatbahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenispembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, ataumembayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.

Sedangkan menurut mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnyatetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsudalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian parasaksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya. Menurutsaya, pendapat mazhab Hambali yang paling adil. Wallahu a'lam.

Page 23: Pembagian Waris Menurut Islam

3. Perbedaan Agama

Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apapun agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:

"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafirmewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)

Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal iniberbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapatMu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orangkafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwaIslam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).

Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hakmewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orangmurtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalamkategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.

Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabatorang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkahseorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?

Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslimtidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka,orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatisorang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw.dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi hartakerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakatmengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnyayang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin AbiThalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.

Menurut penulis, pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat)dibanding yang lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harusdiserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita temui baitulmalyang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional.

Perbedaan antara al-mahrum dan al-mahjub

Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub, yangterkadang membingungkan sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karenaitu, ada baiknya saya jelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut.

Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapatmenggugurkan hak warisnya, seperti membunuh atau berbeda agama, di kalanganfuqaha dikenal dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub adalah hilangnya hakwaris seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat

Page 24: Pembagian Waris Menurut Islam

kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya. Sebagai contoh, adanya kakekbersamaan dengan adanya ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung.Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak mendapatkan bagian warisannyadikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris, yaituayah. Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh bagiandisebabkan adanya saudara kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalamhal ini disebut dengan istilah mahjub.

Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan contoh kasus darikeduanya.

Contoh Pertama

Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung,dan anak --dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannyasebagai berikut: istri mendapat bagian seperempat harta yang ada, karena pewarisdianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada,menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah

Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yangmahrum. Kalau saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istriseperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak mendapatkan bagian disebabkansebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yangada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.

Contoh Kedua

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung.Maka saudara kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter- mahjub olehadanya ahli waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayahpewaris.

H. Ahli Waris dari Golongan Laki-laki

Ahli waris (yaitu orang yang berhak mendapatkan warisan) dari kaum laki-laki adalima belas: (1) anak laki-laki, (2) cucu laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4)kakek (dari pihak bapak), (5) saudara kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki seayah,(7) saudara laki-laki seibu, (8) anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki, (9) anaklaki-laki dari saudara laki-laki seibu, (10) paman (saudara kandung bapak), (11)paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman (saudara kandungayah), (13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15) laki-laki yangmemerdekakan budak.

Catatan

Bagi cucu laki-laki yang disebut sebagai ahli waris di dalamnya tercakup cicit (anakdari cucu) dan seterusnya, yang penting laki-laki dan dari keturunan anak laki-laki.Begitu pula yang dimaksud dengan kakek, dan seterusnya.

Page 25: Pembagian Waris Menurut Islam

I. Ahli Waris dari Golongan Wanita

Adapun ahli waris dari kaum wanita ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3)anak perempuan (dari keturunan anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek(ibu dari bapak), (6) saudara kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8)saudara perempuan seibu, (9) istri, (10) perempuan yang memerdekakan budak.

Catatan

Cucu perempuan yang dimaksud di atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yangpenting perempuan dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksuddengan nenek --baik ibu dari ibu maupun ibu dari bapak-- dan seterusnya.

Page 26: Pembagian Waris Menurut Islam

III. PEMBAGIAN WARIS MENURUT AL-QUR'AN

JUMLAH bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu setengah(1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), danseperenam (1/6). Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahliwaris yang termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.

A. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah

Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalanpewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelimaashhabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunananak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah.Rinciannya seperti berikut:

1. Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan syaratapabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anakperempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun bukan. Dalilnyaadalah firman Allah:"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separo dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)

2. Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan pewaris,dengan dua syarat:

a. Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuantersebut tidak mempunyai saudara laki-laki, penj.).

b. Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal. Dalilnya adalahfirman Allah: "dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, makaia mendapat separo harta warisan yang ada". Bila kedua persyaratantersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris tidak mendapatbagian setengah.

3. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian separo, dengantiga syarat:

a. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dariketurunan anak laki-laki).

b. Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anaklaki-laki tersebut sebagai cucu tunggal).

c. Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.

Dalilnya sama saja dengan dalil bagian anak perempuan (sama dengan nomor 2).Sebab cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki sama kedudukannya dengananak kandung perempuan bila anak kandung perempuan tidak ada. Maka firman-Nya"yushikumullahu fi auladikum", mencakup anak dan anak laki-laki dari keturunananak, dan hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama.

Page 27: Pembagian Waris Menurut Islam

4. Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta warisan, dengantiga syarat:

a. Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.b. Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan).c. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai

keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan.

Dalilnya adalah firman Allah berikut:

"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberifatwa kepadamu tentang kalalah (yaituj: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidakmempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yangperempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya ...'" (an-Nisa': 176)

5. Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta warisanpeninggalan pewaris, dengan empat syarat:

a. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.b. Apabila ia hanya seorang diri.c. Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.d. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik

anak laki-laki maupun perempuan.

Dalilnya sama dengan Butir 4 (an-Nisa': 176), dan hal ini telah menjadi kesepakatanulama.

B. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat

Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari hartapeninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:

1. Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalanistrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-lakidari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnyaataupun dari suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:

"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari hartayang ditinggalkannya É" (an-Nisa': 12)

2. Seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalansuaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baikanak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan iniberdasarkan firman Allah berikut:

"... Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidakmempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)

Ada satu hal yang patut diketahui oleh kita --khususnya para penuntut ilmu-- tentangbagian istri. Yang dimaksud dengan "istri mendapat seperempat" adalah bagi seluruh

Page 28: Pembagian Waris Menurut Islam

istri yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan kata lain,sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetapmendapat seperempat harta peninggalan suami mereka. Hal ini berdasarkan firmanAllah di atas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna (dalam bentuk jamak) yangbermakna 'mereka perempuan'. Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri ataupunempat orang istri, bagian mereka tetap seperempat dari harta peninggalan.

C. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan

Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8)yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari hartapeninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebutlahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:

"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari hartayang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudahdibayar utang-utangmu ..." (an-Nisa': 12)

D. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga

Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalanpewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:

1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.2. Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.3. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.

Ketentuan ini terikat oleh syarat-syarat seperti berikut:

1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki,yakni anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:"... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan ..." (an-Nisa': 11)

Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam memahamihukum yang ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah 'anakperempuan lebih dari dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal inimerupakan kesepakatan para ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw.yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonisRasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimanadiungkapkan dalam bab sebelum ini.

Hadits tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat itsnatainiadalah 'dua anak perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksudayat tersebut adalah "anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan menyalahiijma' para ulama. Wallahu a'lam.

2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagiandua per tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai berikut:

Page 29: Pembagian Waris Menurut Islam

a. Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atauperempuan.

b. Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan.c. Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.

3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tigadengan persyaratan sebagai berikut:

a. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupunperempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.

b. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyaisaudara laki-laki sebagai 'ashabah.

c. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dariketurunan anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah:

"... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)

4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tigadengan syarat sebagai berikut:

a. Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.b. Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara laki-

laki seayah.c. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari

keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupunperempuan).

Persyaratan yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untukmendapatkan bagian dua per tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudarakandung perempuan, hanya di sini (saudara seayah) ditambah dengan keharusanadanya saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan). Dan dalilnya sama,yaitu ijma' para ulama bahwa ayat "... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang,maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal..." (an-Nisa': 176) mencakup saudara kandung perempuan dan saudara perempuanseayah. Sedangkan saudara perempuan seibu tidaklah termasuk dalam pengertian ayattersebut. Wallahu a'lam.

E. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga

Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanyadua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.

Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:

1. Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.

2. Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupunperempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnyaadalah firman Allah:

Page 30: Pembagian Waris Menurut Islam

"... dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi olehibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga..." (an-Nisa': 11)

Juga firman-Nya:

"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunyamendapat seperenam..." (an-Nisa': 11)

Catatan:

Lafazh ikhwatun bila digunakan dalam faraid (ilmu tentang waris) tidak berarti harusbermakna 'tiga atau lebih', sebagaimana makna yang masyhur dalam bahasa Arab --sebagai bentuk jamak. Namun, lafazh ini bermakna 'dua atau lebih'. Sebab dalambahasa bentuk jamak terkadang digunakan dengan makna 'dua orang'. Misalnya dalamistilah shalat jamaah, yang berarti sah dilakukan hanya oleh dua orang, satu sebagaiimam dan satu lagi sebagai makmum. Dalil lain yang menunjukkan kebenaran hal iniadalah firman Allah berikut:

"Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telahcondong (untuk menerima kebaikan) É" (at-Tahrim: 4)

Kemudian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akanmendapat bagian sepertiga dengan syarat sebagai berikut:

1. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan), jugatidak mempunyai ayah atau kakak.

2. Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.

Adapun dalilnya adalah firman Allah:

"... Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidakmeninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorangsaudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapijika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutudalam yang sepertiga itu ..." (an-Nisa': 12)

Catatan

Yang dimaksud dengan kalimat "walahu akhun au ukhtun" dalam ayat tersebut adalah'saudara seibu'. Sebab Allah SWT telah menjelaskan hukum yang berkaitan dengansaudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung dalam akhir surat an-Nisa'. Jugamenjelaskan hukum yang berkaitan dengan bagian saudara laki-laki dan perempuanseayah dalam ayat yang sama. Karena itu seluruh ulama sepakat bahwa yangdimaksud dengan "akhun au ukhtun" dalam ayat itu adalah saudara laki-laki dansaudara perempuan seibu.

Selain itu, ada hal lain yang perlu kita tekankan di sini yakni tentang firman "fahumsyurakaa 'u fits tsulutsi" (mereka bersekutu dalam yang sepertiga). Kata bersekutumenunjukkan kebersamaan. Yakni, mereka harus membagi sama di antara saudara

Page 31: Pembagian Waris Menurut Islam

laki-laki dan perempuan seibu tanpa membedakan bahwa laki-laki harus memperolehbagian yang lebih besar daripada perempuan. Kesimpulannya, bagian saudara laki-laki dan perempuan seibu bila telah memenuhi syarat-syarat di atas ialah sepertiga,dan pembagiannya sama rata baik yang laki-laki maupun perempuan. Pembagianmereka berbeda dengan bagian para saudara laki-laki/perempuan kandung dan seayah,yang dalam hal ini bagian saudara laki-laki dua kali lipat bagian saudara perempuan.

Masalah 'Umariyyatan

Pada asalnya, seorang ibu akan mendapat bagian sepertiga dari seluruh hartapeninggalan pewaris bila ia mewarisi secara bersamaan dengan bapak --seperti telahsaya jelaskan--- berdasarkan pemahaman bagian ayat (artinya) "jika orang yangmeninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), makaibunya mendapat sepertiga".

Akan tetapi, berkaitan dengan ini ada dua istilah yang muncul dan dikenal di kalanganfuqaha, yakni 'umariyyatan dan al-gharawaini. Disebut 'umariyyatan sebab kedua halini dilakukan oleh Umar bin Khathab dan disepakati oleh jumhur sahabatridhwanullah 'alaihim. Sedangkan al-gharawaini bermakna 'dua bintang cemerlang',karena kedua istilah ini sangat masyhur. Dalam kasus ini, ibu hanya diberi sepertigabagian dari sisa harta warisan yang ada, setelah sebelumnya dikurangi bagian suamiatau istri. Agar lebih jelas, saya sertakan contohnya.

Contoh Pertama

Seorang istri wafat dan meninggalkan suami, ibu, dan ayah. Suami mendapat bagiansetengah (1/2) dari seluruh harta warisan yang ada. Ibu mendapat sepertiga (1/3) darisisa setelah diambil bagian suami. Kemudian ayah mendapat seluruh sisa yang ada.Untuk lebih jelas lagi saya berikan tabelnya:

Pokok masalahnya dari 6

Keterangan Jumlah Bagian Nilai

Suami 1/2 3

Ibu 1/3 dari sisa setelah dikurangi bagian suami 1

Ayah Seluruh sisa peninggalan sebagai 'ashabah 2

Dalam contoh kasus ini ibu mendapatkan bagian sepertiga dari sisa setelah diambilbagian suami pewaris, sebab bila ia memperoleh sepertiga dari seluruh harta yang adamaka ia akan mendapat bagian dua kali lipat bagian ayah. Hal ini tentunyabertentangan dengan kaidah dasar faraid yang telah ditegaskan dalam Al-Qur'andalam bagian ayat "lidzdzakari mitslu hazhzhil untsayain". Karenanya untuk tetapmenegakkan kaidah dasar tersebut, ibu mendapat bagian sepertiga dari harta warisansetelah diambil hak suami pewaris. Dengan demikian, hak ayah menjadi dua kali lipatdari bagian yang diterima ibu.

Page 32: Pembagian Waris Menurut Islam

Contoh Kedua

Seorang suami meninggal dunia dan ia meninggalkan istri, ibu, dan ayah. Istrimendapat bagian seperempat (1/4) dari seluruh harta peninggalan suaminya,sedangkan ibu mendapat bagian tiga per empat dari sisa setelah diambil hak istri.Sedangkan bagian ayah adalah sisa harta yang ada sebagai 'ashabah.

Pokok masalahnya dari 4

Keterangan Jumlah Bagian Nilai

Isteri 1/4 1

Ibu 1/3 dari sisa setelah dikurangi bagian isteri 1

AyahMendapat bagian seluruh sisa peninggalan yang ada sebagai'ashabah

2

Dari kedua contoh tersebut tampak oleh kita bahwa pada hakikatnya bagian ibu padatabel pertama adalah seperenam (1/6), sedangkan pada tabel kedua adalah seperempat(1/4). Adapun penyebutannya dengan istilah sepertiga dari sisa setelah diambil haksuami atau istri adalah karena menyesuaikan adab qur'ani.

Masalah 'umariyyatan ini pernah terjadi pada masa sahabat, tepatnya masa Umar binKhathab r.a.. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang terkenal. Pendapatpertama dintarakan oleh Zaid bin Tsabit r.a. yang kemudian diambil oleh jumhurulama serta dikokohkan oleh Umar bin Khathab dengan menyatakan bahwa bagianibu adalah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri.

Sedangkan pendapat yang kedua diutarakan oleh Ibnu Abbas r.a.. Menurutnya, ibutetap mendapat bagian sepertiga (1/3) dari seluruh harta yang ditinggalkan suami atauistri (anaknya). Bahkan Ibnu Abbas menyanggah pendapat Zaid bin Tsabit: "Apakahmemang ada di dalam Al-Qur'an istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suamiatau istri?" Zaid menanggapinya dengan mengatakan: "Di dalam Kitabullah juga tidakdisebutkan bahwa bagian ibu sepertiga dari seluruh harta peninggalan yang ada bilaibu bersama-sama mewarisi dengan salah satu suami atau istri. Sebab yang disebutkandi dalam Al-Qur'an hanya "wawaritsahu abawahu".

Jadi, menurut hemat saya, apa yang dipahami Zaid dan dipilih oleh jumhur ulamaserta ditetapkan oleh Umar bin Khathab itulah pendapat yang sahih. Wallahu a'lam.

F. Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam

Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuhorang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucuperempuan keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli,(7) saudara laki-laki dan perempuan seibu.

1. Seorang ayah akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyaianak, baik anak laki-laki atau anak perempuan. Dalilnya firman Allah (artinya): "...

Page 33: Pembagian Waris Menurut Islam

Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yangditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (an-Nisa': 11)

2. Seorang kakek (bapak dari ayah) akan mendapat bagian seperenam (1/6) bilapewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari keturunananak --dengan syarat ayah pewaris tidak ada. Jadi, dalam keadaan demikian salahseorang kakek akan menduduki kedudukan seorang ayah, kecuali dalam tiga keadaanyang akan saya rinci dalam bab tersendiri.

3. Ibu akan memperoleh seperenam (1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris,dengan dua syarat:

a. Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki keturunan anak laki-laki.

b. Bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik saudaralaki-laki ataupun perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu.Dalilnya firman Allah (artinya):

"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunyamendapat seperenam ..." (an-Nisa': 11).

4. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapatbagian seperenam (1/6), apabila yang meninggal (pewaris) mempunyai satu anakperempuan. Dalam keadaan demikian, anak perempuan tersebut mendapat bagiansetengah (1/2), dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris mendapatseperenam (1/6), sebagai pelengkap dua per tiga (2/3). Dalilnya adalah hadits yangdiriwayatkan Imam Bukhari dalam sahihnya bahwa Abu Musa al-Asy'ari r.a. ditanyatentang masalah warisan seseorang yang meninggalkan seorang anak perempuan,cucu perempuan dari keturunan anak laki-lakinya, dan saudara perempuan. Abu Musakemudian menjawab: "Bagi anak perempuan mendapat bagian separo (1/2), dan yangsetengah sisanya menjadi bagian saudara perempuan."

Merasa kurang puas dengan jawaban Abu Musa, sang penanya pergi mendatangi IbnuMas'ud. Maka Ibnu Mas'ud berkata: "Aku akan memutuskan seperti apa yang pernahdiputuskan Rasulullah saw., bagi anak perempuan separo (1/2) harta peninggalanpewaris, dan bagi cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat bagianseperenam (1/6) sebagai pelengkap 2/3, dan sisanya menjadi bagian saudaraperempuan pewaris."

Mendengar jawaban Ibnu Mas'ud, sang penanya kembali menemui Abu Musa al-Asy'ari dan memberi tahu permasalahannya. Kemudian Abu Musa berkata:"Janganlah sekali-kali kalian menanyaiku selama sang alim ada di tengah-tengahkalian."

Catatan

Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian seperenam(1/6) dengan syarat bila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Sebab bila ada anaklaki-laki, maka anak tersebut menjadi penggugur hak sang cucu. Selain itu, pewarisjuga tidak mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang. Sebab jika lebih dari

Page 34: Pembagian Waris Menurut Islam

satu orang, anak-anak perempuan itu berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3), dansekaligus menjadi penggugur (penghalang) hak waris cucu perempuan dari keturunananak laki-laki pewaris.

5. Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih akan mendapat bagian seperenam(1/6), apabila pewaris mempunyai seorang saudara kandung perempuan. Hal inihukumnya sama denga keadaan jika cucu perempuan keturunan anak laki-lakibersamaan dengan adanya anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal dunia danmeninggalkan saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah ataulebih, maka saudara perempuan seayah mendapat bagian seperenam (1/6) sebagaipenyempurna dari dua per tiga (2/3). Sebab ketika saudara perempuan kandungmemperoleh setengah (1/2) bagian, maka tidak ada sisa kecuali seperenam (1/6) yangmemang merupakan hak saudara perempuan seayah.

6. Saudara laki-laki atau perempuan seibu akan mendapat bagian masing-masingseperenam (1/6) bila mewarisi sendirian. Dalilnya adalah firman Allah (artinya) "jikaseseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dantidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja)atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari keduajenis saudara itu seperenam harta". Dan persyaratannya adalah bila pewaris tidakmempunyai pokok (yakni kakek) dan tidak pula cabang (yakni anak, baik laki-lakiatau perempuan).

7. Nenek asli mendapatkan bagian seperenam (1/6) ketika pewaris tidak lagimempunyai ibu. Ketentuan demikian baik nenek itu hanya satu ataupun lebih (darijalur ayah maupun ibu), yang jelas seperenam itu dibagikan secara rata kepadamereka. Hal ini berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits sahihdan ijma' seluruh sahabat.

Ashhabus Sunan meriwayatkan bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. untuk menuntut hak warisnya. Abu Bakar menjawab: "Saya tidakmendapati hakmu dalam Al-Qur'an maka pulanglah dulu, dan tunggulah hingga akumenanyakannya kepada para sahabat Rasulullah saw." Kemudian al-Mughirah binSyu'bah mengatakan kepada Abu Bakar: "Suatu ketika aku pernah menjumpaiRasulullah saw. memberikan hak seorang nenek seperenam (1/6)." Mendengarpernyataan al-Mughirah itu Abu Bakar kemudian memanggil nenek tadi danmemberinya seperenam (1/6). Wallahu a'lam.

Page 35: Pembagian Waris Menurut Islam

IV. DEFINISI 'ASHABAH

KATA 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak.Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan danmelindungi. Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata 'ushbah sebagaiungkapan bagi kelompok yang kuat. Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata inisering kali digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:

"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yangkuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'" (Yusuf:14)

Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkanmereka melindungi dan menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa.

Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang tidakdisebutkan banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas.Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudarakandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah).Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.

Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yangmenguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia jugamenerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima danmengambil bagian masing-masing.

A. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah

Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan waris kita dapati didalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah (artinya): "danuntuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yangditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggaltidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunyamendapat sepertiga" (an-Nisa': 11).

Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapibila pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadimilik kedua orang tua. Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidakmempunyai anak, maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebuttidak menjelaskan berapa bagian ayah. Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelahdiambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian,penerimaan ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah.

Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah (artinya) "jika seorang meninggal dunia, dan iatidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranyayang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yanglaki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyaianak." (an-Nisa': 176).

Page 36: Pembagian Waris Menurut Islam

Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkanjustru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh hartapeninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan. Kemudian,makna kalimat "wahuwa yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalanmenjadi haknya. Inilah makna 'ashabah.

Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.:

"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisamenjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)

Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepadaahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yangpaling utama dari 'ashabah.

Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullahdengan menyebut "dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelasmenunjukkan makna seorang laki-laki. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salahpaham, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukupumur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai 'ashabah danmenguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian. Inilah rahasia maknasabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan kata "dzakar".

B. Macam-macam 'Ashabah

'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah sababiyah(karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Olehsebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yangdimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.

Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu: (1) 'ashabah bin nafs (nasabnyatidak tercampur unsur wanita), (2) 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yanglain), dan (3) 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain).

Catatan

Dalam dunia faraid, apabila lafazh 'ashabah disebutkan tanpa diikuti kata lainnya(tanpa dibarengi bil ghair atau ma'al ghair), maka yang dimaksud adalah 'ashabah binnafs.

'Ashabah bin nafs

'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampurikaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu:

1. Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu,cicit, dan seterusnya.

2. Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya daripihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.

Page 37: Pembagian Waris Menurut Islam

3. Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-lakiseayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-lakiketurunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbataspada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka,namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidaktermasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.

4. Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yangseayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.

Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anaklebih didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripadaarah saudara.

Hukum 'Ashabah bin nafs

Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajatkekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian)menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruhwarisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabulfurudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabulfurudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya,maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat danmeninggalkan suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah.

Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara perempuan mendapat bagiansetengah (1/2). Saudara seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudhtelah menghabiskannya.

Adapun bila para 'ashabah bin nafs lebih dari satu orang, maka cara pentarjihannya(pengunggulannya) sebagai berikut:

Pertama: Pertarjihan dari Segi Arah

Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa 'ashabah bin nafsih,maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukandibandingkan yang lain. Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada,atau akan menerima sisa harta waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh bagianmasing-masing. Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak bila anak tidak ada.Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah, dan saudarakandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi 'ashabah adalah anak laki-laki.Sebab arah anak lebih didahulukan daripada arah yang lain. Sedangkan ayah termasukashhabul furudh dikarenakan mewarisi bersama-sama dengan anak laki-laki.Sementara itu, saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan waris dikarenakanarahnya lebih jauh. Pengecualiannya, bila antara saudara kandung laki-laki maupunsaudara laki-laki seayah berhadapan dengan kakak. Rinciannya, insya Allah akan sayapaparkan pada bab tersendiri.

Kedua: Pentarjihan secara Derajat

Page 38: Pembagian Waris Menurut Islam

Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa orang 'ashabah binafsihi, kemudian mereka pun dalam satu arah, maka pentarjihannya dengan melihatderajat mereka, siapakah di antara mereka yang paling dekat derajatnya kepadapewaris. Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan anak serta cucu keturunananak laki-laki. Dalam hal ini hak warisnya secara 'ashabah diberikan kepada anak,sedangkan cucu tidak mendapatkan bagian apa pun. Sebab, anak lebih dekat kepadapewaris dibandingkan cucu laki-laki.

Contoh lain, bila seseorang wafat dan meninggalkan saudara laki-laki seayah dananak dari saudara kandung, maka saudara seayahlah yang mendapat warisan. Sebab ialebih dekat kedudukannya dari pada anak saudara kandung. Keadaan seperti inidisebut pentarjihan menurut derajat kedekatannya dengan pewaris.

Ketiga: Pentarjihan Menurut Kuatnya Kekerabatan

Bila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat banyak 'ashabah bi nafsihi yangsama dalam arah dan derajatnya, maka pentarjihannya dengan melihat manakah diantara mereka yang paling kuat kekerabatannya dengan pewaris. Sebagai contoh,saudara kandung lebih kuat daripada seayah, paman kandung lebih kuat daripadapaman seayah, anak dari saudara kandung lebih kuat daripada anak dari saudaraseayah, dan seterusnya.

Catatan

Perlu untuk digarisbawahi dalam hal pentarjihan dari segi kuatnya kekerabatan di sini,bahwa kaidah tersebut hanya dipakai untuk selain dua arah, yakni arah anak dan arahbapak. Artinya, pentarjihan menurut kuatnya kekerabatan hanya digunakan untuk arahsaudara dan arah paman.

Mengapa Anak Lebih Didahulukan daripada Bapak?

Satu pertanyaan yang sangat wajar dan mesti diketahui jawaban serta hikmah didalamnya. Sebab, keduanya memiliki posisi sederajat dari segi kedekatan nasab padaseseorang, ayah sebagai pokok dan anak merupakan cabang. Berdasarkan posisi inisebaiknya garis anak tidak didahulukan daripada garis ayah.

Namun demikian, ada dua landasan mengapa garis anak lebih didahulukan. Landasanpertama berupa dalil Al-Qur'an, sedangkan yang kedua berupa dalil aqli. Firman-Nya(artinya) "dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dariharta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak." (an-Nisa: 11).

Dalam ayat tersebut Allah SWT menjadikan ayah sebagai ashhabul furudh bilapewaris mempunyai anak, sedangkan bagian anak tidak disebutkan. Dengandemikian, jelaslah bahwa anak akan mendapatkan seluruh sisa harta peninggalanpewaris, setelah masing-masing dari ashhabul furudh telah mendapatkan bagiannya.Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa garis anak lebih didahulukan daripada garisbapak.

Sedangkan secara aqli, manusia pada umumnya merasa khawatir terhadap anak(keturunannya), baik dalam hal keselamatannya maupun kehidupan masa depannya.

Page 39: Pembagian Waris Menurut Islam

Oleh sebab itu, orang tua berusaha bekerja keras untuk memperoleh harta danberhemat dalam membelanjakannya, semuanya demi kesejahteraan keturunannya.Bahkan, tidak sedikit orang tua yang bersikap bakhil, sangat kikir dalammembelanjakan hartanya, demi kepentingan masa depan anaknya. Maka sangat tepatapa yang disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya "al-waladu mabkhalahmajbanah" (anak dapat membuat seseorang berlaku bakhil dan pengecut).

Makna hadits tersebut sangat jelas bahwa orang tua menjadi kikir --bahkan pengecut--karena sangat khawatir terhadap masa depan anaknya. Karena itu mereka tidak segan-segan menimbun harta dan kekayaan demi menyenangkan keturunan pada masamendatang. Tidak sedikit orang tua yang menjadi pengecut hanya disebabkanmenjaga kemaslahatan keturunannya pada hari depannya. Dengan demikian, merekatakut berhadapan dengan musuh atau siapa pun yang mengganggu kemudahan jalanrezekinya. Inilah alasan bahwa hati seseorang cenderung lebih dekat kepada anaknyadibandingkan kepada ayahnya. Wallahu a'lam.

Catatan

Satu hal yang mesti kita ketahui bahwa 'ashabah bi nafsihi harus dari kalangan laki-laki, sedangkan dari kalangan wanita hanyalah wanita pemerdeka budak. Jikademikian berarti wanita tersebut sebagai 'ashabah bi nafsihi, bila budak yangdibebaskannya tidak mempunyai keturunan (kerabat).

'Ashabah bi Ghairihi dan Hukumnya

'Ashabah bi ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanyawanita:

1. Anak perempuan, akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki).

2. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan menjadi 'ashabah bilaberbarengan dengan saudara laki-lakinya, atau anak laki-laki pamannya (yaknicucu laki-laki keturunan anak laki-laki), baik sederajat dengannya atau bahkanlebih di bawahnya.

3. Saudara kandung perempuan akan menjadi 'ashabah bila bersama saudarakandung laki-laki.

4. Saudara perempuan seayah akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengansaudara laki-lakinya, dan pembagiannya, bagian laki-laki dua kali lipat bagianperempuan.

Syarat-syarat 'Ashabah bi Ghairihi

'Ashabah bi Ghairihi tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa persyaratanberikut:

Pertama: haruslah wanita yang tergolong ashhabul furudh. Bila wanita tersebut bukandari ashhabul furudh, maka tidak akan menjadi 'ashabah bi ghairih. Sebagai contoh,anak perempuan dari saudara laki-laki tidak dapat menjadi 'ashabah bi ghairih denganadanya saudara kandung laki-laki dalam deretan ahli waris. Sebab dalam keadaandemikian, anak perempuan saudara laki-laki bukanlah termasuk ashhabul furudh.

Page 40: Pembagian Waris Menurut Islam

Kedua: laki-laki yang menjadi 'ashabah (penguat) harus yang sederajat. Misalnya,anak laki-laki tidak dapat menjadi pen-ta'shih (penguat) cucu perempuan, dikarenakananak laki-laki tidak sederajat dengan cucu perempuan, bahkan ia berfungsi sebagaipen-tahjib (penghalang) hak waris cucu. Begitu juga anak laki-laki keturunan saudaralaki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara kandung perempuan disebabkan tidaksederajat.

Ketiga: laki-laki yang menjadi penguat harus sama kuat dengan ahli waris perempuanshahibul fardh. Misalnya, saudara laki-laki seayah tidak dapat men-ta'shih saudarakandung perempuan. Sebab saudara kandung perempuan lebih kuat kekerabatannyadaripada saudara laki-laki seayah.

Catatan

Setiap perempuan ahli waris berhak mendapat bagian setengah (1/2) jika sendirian, iaberhak mendapatkan bagian dua per tiga (2/3) bila menerima bersama saudaraperempuannya, dan akan menjadi 'ashabah bila mempunyai saudara laki-laki. Kaidahini hanya berlaku bagi keempat ahli waris dari kalangan wanita yang saya sebutkan(yakni anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandungperempuan, dan saudara perempuan seayah).

Dalil Hak Waris 'Ashabah bi Ghairihi

Dalil bagi hak waris para 'ashabah bi ghairih adalah firman Allah (artinya): "bagianseorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan" (an-Nisa': 11).Dan juga berlandaskan firman-Nya (artinya): "dan jika mereka (ahli waris itu terdiridari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-lakisebanyak bagian dua orang saudara perempuan" (an-Nisa': 176).

Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan "ikhwatan" dalam ayat tersebutadalah saudara laki-laki dan saudara kandung perempuan dan yang seayah. Merekaberpendapat bahwa kata ikhwatan tidak mencakup saudara laki-laki atau perempuanyang seibu, disebabkan hak waris mereka berdasarkan fardh (termasuk ashhabulfurudh) bukan sebagai 'ashabah. Selain itu, hak waris mereka pun antara laki-laki danperempuan-- sama rata, berdasarkan firman-Nya (artinya): "maka mereka bersekutudalam yang sepertiga itu" (an-Nisa': 12).

Sebab Penamaan 'Ashabah bi Ghairihi

Adapun sebab penamaan 'ashabah bi ghairihi adalah karena hak 'ashabah keempatwanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, akantetapi karena adanya 'ashabah lain ('ashabah bi nafsihi), seperti saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah mereka. Bila para 'ashabah bi nafsihi itu tidakada, maka keempat wanita tersebut mendapat hak warisnya secara fardh.

'Ashabah ma'al Ghair

'Ashabah ma'al Ghair ini khusus bagi para saudara kandung perempuan maupunsaudara perempuan seayah apabila mewarisi bersamaan dengan anak perempuan yang

Page 41: Pembagian Waris Menurut Islam

tidak mempunyai saudara laki-laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupunsaudara perempuan seayah bila berbarengan dengan anak perempuan --atau cucuperempuan keturunan anak laki-laki dan seterusnya-- akan menjadi 'ashabah. Jenis'ashabah ini di kalangan ulama dikenal dengan istilah 'ashabah ma'al ghair.

Satu hal yang perlu diketahui dalam masalah ini, seperti yang ditegaskan dalam kitabHasyiyatul Bajuri (hlm. 108): "Adapun saudara perempuan (kandung dan seayah)menjadi 'ashabah jika berbarengan dengan anak perempuan adalah agar bagiansaudara perempuan terkena pengurangan, sedangkan bagian anak perempuan tidakterkena pengurangan. Sebab bila kita berikan hak waris saudara perempuan secarafardh, maka akan naiklah pokok pembagiannya dan hak bagian anak perempuan akanberkurang. Kemudian, di segi lain tidaklah mungkin hak saudara perempuan itudigugurkan, karena itu dijadikanlah saudara kandung perempuan dan saudaraperempuan seayah sebagai 'ashabah agar terkena pengurangan."

Dalil 'Ashabah ma'al Ghair

Yang menjadi landasan bagi hak waris 'ashabah ma'al ghair adalah hadits yangdiriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya, bahwa Abu Musa al-Asy'ari ditanyatentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, dansaudara perempuan (sekandung atau seayah). Abu Musa menjawab: "Bagian anakperempuan separo, dan bagian saudara perempuan separo."

Penanya itu lalu pergi menanyakannya kepada Ibnu Mas'ud r.a., dan dijawab: "Akuakan memvonis seperti apa yang diajarkan Rasulullah saw., bagian anak perempuansetengah (1/2) dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki seperenam (1/6)sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), sedangkan sisanya menjadi hak saudaraperempuan kandung atau seayah."

Penanya itu pun kembali kepada Abu Musa al-Asy'ari dan menceritakan apa yangtelah diputuskan Ibnu Mas'ud. Lalu Abu Musa berkata: "Janganlah kalianmenanyakannya kepadaku selama sang alim (Ibnu Mas'ud) berada bersama kalian."

Dari penjelasan Ibnu Mas'ud dapat disimpulkan bahwa hak saudara perempuan bilamewarisi bersama-sama dengan anak perempuan mengambil sisa harta pembagianyang ada. Hal ini berarti saudara kandung perempuan atau saudara perempuan seayahsebagai 'ashabah ma'al ghair.

Catatan

Sangat penting untuk diketahui bersama bahwa bila seorang saudara kandungperempuan menjadi 'ashabah ma'al ghair, maka ia menjadi seperti saudara kandunglaki-laki sehingga dapat menghalangi hak waris saudara seayah, baik yang laki-lakimaupun yang perempuan. Selain itu, dapat pula menggugurkan hak waris yang dibawah mereka, seperti anak keturunan saudara (keponakan), paman kandung ataupunyang seayah.

Begitu juga saudara perempuan seayah, apabila menjadi 'ashabah ma'al ghair ketikamewarisi bersama anak perempuan pewaris, maka kekuatannya sama seperti saudaralaki-laki seayah hingga menjadi penggugur keturunan saudaranya dan seterusnya.

Page 42: Pembagian Waris Menurut Islam

Untuk lebih menjelaskan masalah tersebut saya sertakan contoh seperti berikut:

Contoh Pertama

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan,dan saudara laki-laki seayah, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:

Pokok masalahnya dari 2

Keterangan Jumlah Bagian Nilai

Anak perempuan 1/2 1

Saudara kandung perempuan 'ashabah ma'al ghair 1/2 1

Saudara laki-laki seayah gugur 0

Keterangan

Bagian anak perempuan adalah setengah secara fardh, dan sisanya merupakan bagiansaudara kandung perempuan disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair, yangkekuatannya seperti saudara kandung laki-laki. Sedangkan saudara laki-laki seayahterhalang karena saudara kandung perempuan menjadi 'ashabah.

Contoh Kedua

Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, cucu perempuan dariketurunan anak laki-laki, dua orang saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya seperti dalam tabel berikut:

Pokok masalahnya dari 4

Keterangan Jumlah Bagian Nilai

Suami 1/4 1

Cucu perempuan 1/2 2

Saudara kandung perempuan 'ashabah ma'al ghair 1

Saudara laki-laki seayah mahjub 0

Keterangan

Suami memperoleh seperempat bagian karena pewaris mempunyai cabang ahliwarisnya. Sedangkan cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagiansetengah secara fardh, kemudian sisanya yaitu seperempat-- menjadi hak dua saudarakandung perempuan pewaris sebagai 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan bagian saudaralaki-laki seayah gugur karena adanya dua saudara kandung.

Page 43: Pembagian Waris Menurut Islam

Contoh Ketiga

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan, saudaraperempuan seayah, dan anak laki-laki saudara laki-laki (kemenakan). Pembagiannyaseperti berikut:

Pokok masalahnya dari 3

Keterangan Jumlah Bagian Nilai

Dua anak perempuan 2/3 2

Saudara perempuan seayah 'ashabah ma'al ghair 1

Anak saudara laki-laki mahjub 0

Keterangan

Dua orang anak perempuan mendapatkan dua per tiga dan sisanya untuk saudaraperempuan seayah disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan anaksaudara laki-laki ter-mahjub oleh saudara perempuan seayah.

Contoh Keempat

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak perempuan, cucuperempuan keturunan anak laki-laki, seorang ibu, saudara perempuan seayah, danpaman kandung (saudara dari ayah kandung). Maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 6

Keterangan Jumlah Bagian Nilai

Anak perempuan 1/2 3

Cucu perempuan 1/6 1

Ibu 1/6 1

Saudara perempuan seayah 'ashabah ma'al ghair 1

Keterangan

Anak perempuan mendapat bagian setengah sebagai fardh, cucu perempuan keturunananak laki-laki mendapat seperenam bagian sebagai penyempurna dua per tiga, dan ibumendapatkan seperenam. Sedangkan sisanya untuk saudara perempuan seayahsebagai 'ashabah ma'al ghair, karena kekuatannya seperti saudara laki-laki seayahsehingga ia menggugurkan paman kandung. Begitulah seterusnya.

Catatan

Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu tidak berhak menjadi ahli waris bilapewaris mempunyai anak perempuan. Bahkan anak perempuan pewaris menjadi

Page 44: Pembagian Waris Menurut Islam

penggugur hak saudara (laki-laki/perempuan) seibu sehingga tidak dapat menjadi'ashabah.

C. Perbedaan 'Ashabah bil Ghair dengan 'Ashabah ma'al Ghair

Dari uraian sebelumnya dapat kita ketahui bahwa 'ashabah bil ghair adalah setiapwanita ahli waris yang termasuk ashhabul furudh, dan akan menjadi 'ashabah bilaberbarengan dengan saudara laki-lakinya. Misalnya, anak perempuan menjadi'ashabah bila bersama saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki pewaris). Saudarakandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah menjadi 'ashabah bil ghairdengan adanya saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah. Dalam halini bagi yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan.

Adapun 'ashabah ma'al ghair adalah para saudara kandung perempuan ataupunsaudara perempuan seayah bila berbarengan dengan anak perempuan, dan dalam halini mereka mendapatkan bagian sisa seluruh harta peninggalan sesudah ashhabulfurudh mengambil bagian masing-masing. Tampak semakin jelas perbedaan antaradua macam 'ashabah itu, pada 'ashabah bil ghair selalu ada sosok 'ashabah bi nafsih,seperti anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah. Sedangkan dalam 'ashabah ma'al ghair tidakterdapat sosok 'ashabah bi nafsih.

Jadi, secara ringkas, pada 'ashabah bil ghair para 'ashabah bi nafsih menggandengkaum wanita ashhabul furudh menjadi 'ashabah dan menggugurkan hak fardh-nya.Sedangkan 'ashabah ma'al ghair tidaklah demikian. Seorang saudara perempuansekandung atau seayah tidak menerima bagian seperti bagian anak perempuan ataucucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Akan tetapi, anak perempuan ataucucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian secara fardh, kemudiansaudara perempuan sekandung atau seayah mendapatkan sisanya. Inilah perbedaankeduanya.

Dapatkah Seseorang Mewarisi dari Dua Arah?

Kita mungkin sering mendengar pertanyaan seperti itu, dan tentu saja hal inimemerlukan jawaban. Maka dapat ditegaskan bahwa seseorang bisa saja mendapatkanwarisan dari dua arah yang berlainan, misalnya ia sebagai ashhabul furudh dan jugasebagai 'ashabah, atau satu dari arah fardh dan yang kedua dari arah karena rahim.Agar persoalan ini lebih jelas, saya sertakan contoh:

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang nenek, saudara laki-laki seibu,dan seorang suami, yang juga merupakan anak paman kandung pewaris. Makapembagiannya sebagai berikut: Untuk nenek seperenam (1/6), saudara laki-laki seibuseperenam (1/6), suami setengah (1/2) sebagai fardh-nya, dan sisanya untuk suamisebagai 'ashabah karena ia anak paman kandung.

Contoh lain: seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan dua anak perempuan,bibi (saudara ibu) yang salah satunya menjadi istrinya. Maka pembagiannya sepertiberikut: sang istri mendapat bagian seperempat sebagai fardh-nya karena adanyaikatan perkawinan, dan hak lainnya ialah ikut mendapat bagian sisa yang ada karenaikatan rahim.

Page 45: Pembagian Waris Menurut Islam

V. PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)

A. Definisi al-Hujub

Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang' atau 'penggugur'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:

"Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari(melihat) Tuhan mereka" (al-Muthaffifin: 15)

Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang benar-benar akan terhalang,tidak dapat melihat Tuhan mereka di hari kiamat nanti.

Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita kenal kata hajib yang bermakna 'tukang ataupenjaga pintu', disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentutanpa izin guna menemui para penguasa atau pemimpin.

Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul(objek) ialah mahjub. Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yangmenghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orangyang terhalang mendapatkan warisan.

Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkanhak ahli waris untuk menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian sajadisebabkan adanya orang yang lebih berhak untuk menerimanya.

V. PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)

A. Definisi al-Hujub

Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang' atau 'penggugur'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:

"Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari(melihat) Tuhan mereka" (al-Muthaffifin: 15)

Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang benar-benar akan terhalang,tidak dapat melihat Tuhan mereka di hari kiamat nanti.

Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita kenal kata hajib yang bermakna 'tukang ataupenjaga pintu', disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentutanpa izin guna menemui para penguasa atau pemimpin.

Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul(objek) ialah mahjub. Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yangmenghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orangyang terhalang mendapatkan warisan.

Page 46: Pembagian Waris Menurut Islam

Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkanhak ahli waris untuk menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian sajadisebabkan adanya orang yang lebih berhak untuk menerimanya.

B. Macam-macam al-Hujub

Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena orang lain).

Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub tersebut terhalang darimendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuhpewarisnya atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau terhalang.

Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorangdikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub biasy-syakhshi terbagi dua: hujub hirman dan hujub nuqshan. Hujub hirman yaitupenghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang. Misalnya, terhalangnyahak waris seorang kakek karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karenaadanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya saudara kandung,terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya.

Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak warisseseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalanganterhadap hak waris ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenamdisebabkan pewaris mempunyai keturunan (anak). Demikian juga sepertipenghalangan bagian seorang suami yang seharusnya mendapatkan setengah menjadiseperempat, sang istri dari seperempat menjadi seperdelapan karena pewarismempunyai anak, dan seterusnya.

Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujubdisebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Inimerupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian hujub nuqshan.

Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman

Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiridan enam orang yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebutadalah anak kandung laki-laki, anak kandung perempuan, ayah, ibu, suami, dan istri.Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, makasemuanya harus mendapatkan warisan.

Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman

Sederetan ahli waris yang dapat terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas terdiridari laki-laki dan lima dari wanita. Adapun ahli waris dari laki-laki sebagai berikut:

1. Kakek (bapak dari ayah) akan terhalang oleh adanya ayah, dan juga olehkakek yang lebih dekat dengan pewaris.

Page 47: Pembagian Waris Menurut Islam

2. Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya ayah, dan keturunanlaki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).

3. Saudara laki-laki seayah akan terhalang dengan adanya saudara kandung laki-laki, juga terhalang oleh saudara kandung perempuan yang menjadi 'ashabahma'al Ghair, dan terhalang dengan adanya ayah serta keturunan laki-laki (anak,cucu, cicit, dan seterusnya).

4. Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan terhalangi oleh pokok (ayah,kakek, dan seterusnya) dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, danseterusnya) baik anak laki-laki maupun anak perempuan.

5. Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, akan terhalangi oleh adanya anak laki-laki. Demikian juga para cucu akan terhalangi oleh cucu yang paling dekat(lebih dekat).

6. Keponakan laki-laki (anak saudara kandung laki-laki) akan terhalangi denganadanya ayah dan kakek, anak laki-laki, cucu kandung laki-laki, serta olehsaudara laki-laki seayah.

7. Keponakan laki-laki (anak dari saudara laki-laki seayah) akan terhalangidengan adanya orang-orang yang menghalangi keponakan (dari anak saudarakandung laki-laki), ditambah dengan adanya keponakan (anak laki-laki dariketurunan saudara kandung laki-laki).

8. Paman kandung (saudara laki-laki ayah) akan terhalangi oleh adanya anaklaki-laki dari saudara laki-laki, juga terhalangi oleh adanya sosok yangmenghalangi keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah.

9. Paman seayah akan terhalangi dengan adanya sosok yang menghalangi pamankandung, dan juga dengan adanya paman kandung.

10. Sepupu kandung laki-laki (anak paman kandung) akan terhalangi oleh adanyapaman seayah, dan juga oleh sosok yang menghalangi paman seayah.

11. Sepupu laki-laki (anak paman seayah) akan terhalangi dengan adanya sepupulaki-laki (anak paman kandung) dan dengan adanya sosok yang menghalangisepupu laki-laki (anak paman kandung).

Sedangkan lima ahli waris dari kelompok wanita adalah:

1. Nenek (baik ibu dari ibu ataupun dari bapak) akan terhalangi dengan adanyasang ibu.

2. Cucu perempuan (keturunan anak laki-laki) akan terhalang oleh adanya anaklaki-laki, baik cucu itu hanya seorang ataupun lebih. Selain itu, juga akanterhalangi oleh adanya dua orang anak perempuan atau lebih, kecuali jika ada'ashabah.

3. Saudara kandung perempuan akan terhalangi oleh adanya ayah, anak, cucu,cicit, dan seterusnya (semuanya laki-laki).

4. Saudara perempuan seayah akan terhalangi dengan adanya saudara kandungperempuan jika ia menjadi 'ashabah ma'al ghair. Selain itu, juga terhalang olehadanya ayah dan keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya, khusus kalanganlaki-laki) serta terhalang oleh adanya dua orang saudara kandung perempuanbila keduanya menyempurnakan bagian dua per tiga (2/3), kecuali bila adanya'ashabah.

5. Saudara perempuan seibu akan terhalangi oleh adanya sosok laki-laki (ayah,kakek, dan seterusnya) juga oleh adanya cabang (anak, cucu, cicit, danseterusnya) baik laki-laki ataupun perempuan.

Page 48: Pembagian Waris Menurut Islam

Saudara Laki-laki yang Berkah

Apabila anak perempuan telah sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3), gugurlahhak waris cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Kecuali bila ia mempunyaisaudara laki-laki (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki) yang sederajatataupun yang lebih rendah dari derajat cucu perempuan, maka cucu laki-laki dapatmenyeret cucu perempuan itu sebagai 'ashabah, yang sebelumnya tidak mendapatfardh. Keadaan seperti ini dalam faraid disebut sebagai kerabat yang berkah atausaudara laki-laki yang berkah. Disebut demikian karena tanpa cucu laki-laki, cucuperempuan tidak akan mendapat warisan.

Kemudian, apabila saudara kandung perempuan telah sempurna mendapat bagian duaper tiga (2/3), gugurlah hak waris para saudara perempuan seayah, kecuali bila adasaudara laki-laki seayah. Sebab saudara laki-laki seayah itu akan menggandengnyamenjadi 'ashabah. Keadaan seperti ini dinamakan sebagai saudara yang berkah, sebabtanpa keberadaannya para saudara kandung perempuan itu tidak akan menerima hakwaris mereka.

Saudara Laki-laki yang Merugikan

Kalau sebelumnya saya jelaskan tentang saudara laki-laki yang membawa berkah,maka kini saya akan menjelaskan kebalikannya, yakni saudara laki-laki yangmerugikan. Disebut saudara laki-laki yang merugikan karena keberadaannyamenyebabkan ahli waris dari kalangan wanita tidak mendapatkan warisan. Padahal,apabila saudara laki-laki itu tidak ada, ahli waris wanita itu akan mendapatkan waris.Agar lebih jelas saya berikan beberapa contoh kasus.

Pertama:

Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, bapak, anakperempuan, dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Maka pembagiannya sepertiberikut: suami seperempat (1/4) bagian, ibu seperenam (1/6) bagian, ayah jugaseperenam (1/6) bagian, anak perempuan setengah, dan cucu perempuan keturunananak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna saham dua pertiga (2/3) karena merupakan bagian wanita.

Seandainya dalam kasus ini terdapat cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, makagugurlah hak cucu perempuan tersebut. Oleh sebab itu, keberadaan saudara laki-lakidari cucu perempuan keturunan anak laki-laki itu merugikannya. Inilah rahasiamengapa ulama faraid mengistilahkannya sebagai "saudara laki-laki yang merugikan".

Kedua:

Untuk lebih memperjelas, dalam contoh berikut saya sertakan saudara laki-laki yangmerugikan. Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, ayah,anak perempuan, serta cucu laki-laki dan perempuan dari keturunan anak laki-laki.Maka pembagiannya seperti berikut: suami memperoleh seperempat (1/4) bagiankarena istri mempunyai anak (keturunan), ibu seperenam (1/6) bagian, ayahseperenam (1/6) bagian, sedangkan anak perempuan mendapat setengah (1/2) bagian

Page 49: Pembagian Waris Menurut Islam

karena tidak ada pen-ta'shih, sedangkan cucu laki-laki dan perempuan tidak mendapatbagian.

Itulah contoh tentang saudara laki-laki yang merugikan. Contoh pertama tidakmerugikan karena memang tidak ada cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, sehinggacucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagaipenyempurna saham dua per tiga (2/3). Sedangkan dalam contoh kedua, cucuperempuan dirugikan --tidak mendapat waris-- karena ia mempunyai saudara laki-lakiyang sederajat, yakni adanya cucu laki-laki keturunan dari anak laki-laki.

Ilustrasi seperti itu dapat kita ubah susunan ahli warisnya, misalnya posisi cucuperempuan keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara perempuan seayah danposisi cucu laki-laki keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara laki-laki seayah.Maka, saudara perempuan seayah akan mendapat waris bila tidak mempunyai saudaralaki-laki seayah yang masih hidup. Namun, bila mempunyai saudara laki-laki seayah,maka saudara perempuan seayah tidak mendapat bagian apa-apa.

C. Tentang Kasus Kolektif

Menurut kaidah yang biasa dikenal dan dipakai ulama faraid, pembagian harta warisdimulai dengan ashhabul furudh, kemudian baru kepada para 'ashabah. Para ulamamenyandarkan kaidah ini pada hadits Rasulullah saw. (artinya): "Berikanlah hak wariskepada ashhabul furudh, dan sisanya diberikan kepada kerabat laki-laki yang lebihdekat."

Namun demikian, dalam masalah ini ternyata terjadi sesuatu yang kontradiktif,sesuatu yang keluar dan menyimpang dari kaidah aslinya. Masalah ini dikenal jugadengan istilah "kasus musytarakah" (kasus kolektif). Sementara itu, di sisi lainmasalah ini telah memancing perbedaan pendapat sejak masa para sahabat, tabi'in,dan imam mujtahidin.

Contoh permasalahannya sebagai berikut; seorang wanita wafat dan meninggalkanseorang suami, ibu, dua saudara laki-laki seibu (atau lebih dari dua orang), dan duaorang saudara kandung laki-laki (atau lebih dari dua orang). Pembagiannya adalahseperti berikut: suami mendapat setengah (1/2) bagian dikarenakan pewaris tidakmempunyai anak secara fardh, ibu mendapat seperenam (1/6) bagian disebabkanpewaris mempunyai dua orang saudara laki-laki atau lebih, dan dua orang saudaraseibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Sedangkan saudara kandung laki-laki tidakmendapatkan bagian karena ia sebagai 'ashabah --sedangkan harta waris yangdibagikan telah habis.

Berdasarkan kaidah yang berlaku, saudara kandung laki-laki sebenamya memilikikekerabatan lebih kuat dibandingkan saudara laki-laki seibu, tetapi pada kasus inijustru terjadi sebaliknya. Karena, masalah ini merupakan kasus kolektif, selainsebagai masalah yang menyimpang dari kaidah aslinya, juga karena para sahabat,tabi'in, serta para imam mujtahidin --dalam contoh kasus seperti ini-- menyatakanbahwa saudara kandung laki-laki disamakan dengan saudara laki-laki yang seibu,hingga mereka mendapat sepertiga (1/3) bagian dan dibagikan secara rata di antaramereka (termasuk saudara kandung laki-laki). Di samping itu, masalah ini juga

Page 50: Pembagian Waris Menurut Islam

menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama, sejak masa parasahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin.

Perbedaan Pendapat Para Fuqaha

Dalam masalah musytarakah (kolektif) ini ada dua kubu pendapat yang masyhurdalam hal membagi hak waris sebagaimana contoh kasus tersebut. Pendapat pertamamenyatakan bahwa hak waris saudara kandung digugurkan sebagaimana mengikutikaidah yang ada. Pendapat ini pernah dilakukan oleh Abu Bakar, Ali, Ibnu Abbas, danlainnya.

Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa hak waris pada saudara kandungdikolektifkan dengan hak waris para saudara laki-laki seibu. Pendapat ini dilakukanoleh Zaid bin Tsabit, Utsman, Ibnu Mas'ud, dan lainnya. Pendapat pertama dianut dandiikuti oleh mazhab Hanafi dan Hambali, sedangkan pendapat yang kedua diikuti dandianut oleh mazhab Maliki dan Syafi'i.

Selain itu, masalah ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan "umariyah",karena Umar bin Khathab pernah memvonis masalah ini --juga pernah dikenal dengansebutan Himariyah, Hajariyah, dan Yammiyah.

Diriwayatkan bahwa masalah musytarakah ini pernah diajukan ke hadapan Umar binKhathab r.a.. Umar baru pertama kali menjumpai kasus seperti ini dan memvonis:saudara kandung tidak mendapat bagian hak waris sedikit pun. Kemudian pada tahunberikutnya, masalah ini diajukan kembali kepadanya. Ketika ia hendak memvonisseperti tahun lalu, proteslah salah seorang ahli warisnya: "Wahai Amirul Mukminin,sungguh mustahil bila ayah kami dianggap keledai atau batu yang terbuang di sungai.Bukankah kami ini anak dari seorang ibu?" Umar menyimak perkataan orang itu danberpikir bahwa apa yang diucapkannya benar dan tepat. Maka ia memvonis denganmemberi hak kepada mereka (saudara seibu dan saudara sekandung) secarabersamaan dan dibagi sama rata. Contohnya adalah sebagai berikut:

Asal masalah dari enam 6 naik menjadi 18

Suami 1/2 harta waris yang ada secara fardh 3 9

Ibu 1/6 harta waris yang ada secara fardh 1 3

Saudara seibu 1/3 secara fardh dan dibagi merata dengan saudara kandung 2 4

Saudara kandung dapat hak waris, karena dianggap seperti saudara seibudengan mendapat bagian sepertiga (1/3) dibagi adil

- 2

Persyaratan Masalah Kolektif

1. Jumlah saudara seibu dua orang atau lebih, baik laki-laki atau perempuan.2. Saudara yang ada benar-benar saudara kandung, sebab bila saudara seayah

maka gugurlah haknya secara ijma'. Dan dalam hal ini tidak berbeda apakahhanya satu orang atau banyak.

Page 51: Pembagian Waris Menurut Islam

3. Saudara kandung itu harus saudara laki-laki. Sebab bila perempuan, makaakan mewarisi secara fardh, dan masalahnya pun akan naik, serta kekolektifanini akan batal.

Beberapa Kaidah Penting

Hak waris banul a'yan (saudara kandung laki-laki/perempuan), dan banul 'allat(saudara laki-laki/perempuan seayah), serta banul akhyaf (saudara laki-laki/perempuan seibu) akan gugur (terhalangi) oleh adanya anak laki-laki pewaris,cucu laki-laki (keturunan anak laki-laki), dan ayah. Hal ini merupakan kesepakatanseluruh ulama.

Menurut mazhab Abu Hanifah hak mereka juga digugurkan oleh adanya kakekpewaris. Sedangkan menurut ketiga imam mazhab yang lain tidaklah demikian. Masihmenurut mazhab Hanafi, hak waris banul akhyaf digugurkan dengan adanya anakperempuan pewaris, cucu perempuan keturunan anak laki-laki pewaris, danseterusnya.

Kaidah yang lain ialah bahwa banul akhyaf mendapatkan hak waris secara meratapembagiannya antara yang laki-laki dengan yang perempuan. Hal ini berdasarkanfirman Allah (artinya) "mereka bersekutu dalam yang sepertiga."

Page 52: Pembagian Waris Menurut Islam

VI HAK WARIS KAKEK DENGAN SAUDARA

A. Pengertian Kakek yang Sahih

Makna kakek yang sahih ialah kakek yang nasabnya terhadap pewaris tidaktercampuri jenis wanita, misalnya ayah dari bapak dan seterusnya. Sedangkan kakekyang berasal garis wanita disebut sebagai kakek yang rusak nasabnya, misalnyaayahnya ibu, atau ayah dari ibunya ayah. Hal ini didasarkan sesuai dengan kaidahyang ada di dalam faraid: "bilamana unsur wanita masuk ke dalam nasab laki-laki,maka kakek menjadi rusak nasabnya. Namun bila tidak termasuki unsur wanita, itulahkakek yang sahih."

B. Hukum Waris antara Kakek dengan Saudara

Baik Al-Qur'an maupun hadits Nabawi tidak menjelaskan tentang hukum waris bagikakek yang sahih dengan saudara kandung ataupun saudara seayah. Oleh karena itu,mayoritas sahabat sangat berhati-hati dalam memvonis masalah ini, bahkan merekacenderung sangat takut untuk memberi fatwa yang berkenaan dengan masalah ini.Ibnu Mas'ud r.a. dalam hal ini pernah mengatakan: "Bertanyalah kalian kepada kamitentang masalah yang sangat pelik sekalipun, namun janganlah kalian tanyakankepadaku tentang masalah warisan kakak yang sahih dengan saudara."

Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Ali bin Abi Thalib:

"Barangsiapa yang ingin diceburkan ke dalam neraka Jahanam, maka hendaklah iamemvonis masalah waris antara kakek yang sahih dengan para saudara."

Ketakutan dan kehati-hatian para sahabat dalam memvonis masalah hak waris kakekdan saudara itu tentu sangat beralasan, karena tidak ada nash Al-Qur'an atau haditsNabi yang menjelaskannya. Dengan demikian, menurut mereka, masalah inimemerlukan ijtihad. Akan tetapi di sisi lain, ijtihad ini sangat mengkhawatirkanmereka, karena jika salah berarti mereka akan merugikan orang yang sebenarnyamempunyai hak untuk menerima warisan, dan memberikan hak waris kepada orangyang sebenamya tidak berhak. Terlebih lagi dalam masalah yang berkenaan denganmateri, atau hukum tentang hak kepemilikan, mereka merasa sangat takut kalau-kalauberlaku zalim dan aniaya.

Perlu saya tekankan bahwa masalah waris sangatlah berbahaya dan sensitif. Karenaitu Allah SWT tidak membiarkan begitu saja hukum yang berkenaan dengan masalahhak kepemilikan materi ini. Dia menjelaskannya di dalam Al-Qur'an dengan detailagar tidak terjadi kezaliman dan perbuatan aniaya di kalangan umat manusia,khususnya para ahli waris.

Namun demikian, masalah yang sangat dikhawatirkan itu hilang setelah munculnyaijtihad para salaf ash-shalih dan para imam mujtahidin. Ijtihad dan pendapat tersebutdijaga serta dibukukan secara lengkap dan detail beserta dalil-dalilnya. Hal ini akanmemudahkan setiap orang yang ingin mengetahuinya sambil bersandar kepada ijtihadyang dianggapnya lebih rajih (kuat dan tepat) serta dapat dijadikannya sandarandalam berfatwa.

Page 53: Pembagian Waris Menurut Islam

C. Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Kakek

Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai hak waris kakak bila bersamaandengan saudara, sama seperti perbedaan yang terjadi di kalangan para sahabatRasulullah saw.. Perbedaan tersebut dapat digolongkan ke dalam dua mazhab.

Mazhab pertama: mereka menyatakan bahwa para saudara --baik saudara kandung,saudara seayah, ataupun seibu-- terhalangi (gugur) hak warisnya dengan adanyakakek. Mereka beralasan bahwa kakek akan mengganti kedudukan ayah bila telahtiada, karena kakek merupakan bapak yang paling 'tinggi'. Hal ini sebagaimanaditegaskan dalam kaidah yang masyhur di kalangan fuqaha, seperti yang telah sayasebutkan sebelumnya. Yakni, bila ternyata 'ashabah banyak arahnya, maka yang lebihdidahulukan adalah arah anak (keturunan), kemudian arah ayah, kemudian saudara,dan barulah arah paman. Sekali-kali arah itu tidak akan berubah atau berpindahkepada arah yang lain, sebelum arah yang lebih dahulu hilang atau habis. Misalnya,jika 'ashabah itu ada anak dan ayah, maka yang didahulukan adalah arah anak. Bila'ashabah itu ada arah saudara dan arah paman maka yang didahulukan adalah arahsaudara, kemudian barulah arah paman.

Lebih lanjut golongan yang pertama ini menyatakan bahwa arah ayah --mencakupkakek dan seterusnya-- lebih didahulukan daripada arah saudara. Karena itu hak warispara saudara akan terhalangi karena adanya arah kakek, sama seperti gugurnya hakwaris oleh saudara bila ada ayah.

Mazhab ini merupakan pendapat Abu Bakar ash-Shiddiq, Ibnu Abbas, dan IbnuUmar. Pendapat ini diikuti oleh mazhab Hanafi.

Mazhab kedua: berpendapat bahwa para saudara kandung laki-laki/perempuan dansaudara laki-laki seayah berhak mendapat hak waris ketika bersamaan dengan kakek.Kakek tidaklah menggugurkan hak waris para saudara kandung dan yang seayah,sama seperti halnya ayah.

Alasan yang dikemukakan golongan kedua ini ialah bahwa derajat kekerabatansaudara dan kakek dengan pewaris sama. Kedekatan kakek terhadap pewaris melewatiayah, demikian juga saudara. Kakek merupakan pokok dari ayah, sedangkan saudaraadalah cabang dari ayah, karena itu tidaklah layak untuk mengutamakan yang satudari yang lain karena mereka sama derajatnya. Bila kita mengutamakan yang satu danmencegah yang lain berarti telah melakukan kezaliman tanpa alasan yang dapatditerima. Hal ini sama dengan memberikan hak waris kepada para saudara kandungkemudian di antara mereka ada yang tidak diberi.

Alasan lain yang dikemakakan mazhab ini ialah bahwa kebutuhan para saudara --yangjelas lebih muda daripada kakek--terhadap harta jauh lebih besar ketimbang parakakek. Sebagai gambaran, misalnya saja warisan pewaris ini dibagikan atau diberikankepada para kakek, kemudian ia wafat, maka harta peninggalannya akan berpindahkepada anak-anaknya yang berarti paman para saudara. Dengan demikian para pamanmenjadi ahli waris, sedangkan para saudara tadi hanya kebagian tangis, tidakmendapat warisan dari saudaranya yang meninggal.

Page 54: Pembagian Waris Menurut Islam

Pendapat ini dianut oleh ketiga imam, yaitu Imam Malik, Imam Syafi'i, dan ImamAhmad bin Hambal, dan diikuti oleh kedua orang murid Abu Hanifah, yaituMuhammad dan Abu Yusuf. Inilah pendapat yang dianut oleh jumhur sahabat dantabi'in, yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, asy-Syi'bi, dan AhliMadinah ridhwanullah 'alaihim.

D.Tentang Mazhab Jumhur

Untuk lebih menjelaskan pendapat yang rajih --yakni pendapat jumhur ulama-- makasaya perlu mengatakan bahwa sesungguhnya jika kakak mewarisi bersamaan dengansaudara, maka ia mempunyai dua keadaan, dan masing-masing memiliki hukumtersendiri.

Keadaan pertama: kakek mewarisi hanya bersamaan dengan para saudara, tidak adaahli waris lain dari ashhabul furudh, seperti istri atau ibu, atau anak perempuan, dansebagainya.

Keadaan kedua: kakak mewarisi bersama para saudara dan ashhabul furudh yanglain, seperti ibu, istri, dan anak perempuan.

Hukum Keadaan Pertama

Bila seseorang wafat dan meninggalkan kakek serta saudara-saudara tanpa ashhabulfurudh yang lain, maka bagi kakek dipilihkan perkara yang afdhal baginya --agarlebih banyak memperoleh harta warisan-- dari dua pilihan yang ada. Pertama dengancara pembagian, dan kedua dengan cara mendapatkan sepertiga (1/3) harta warisan.Mana di antara kedua cara tersebut yang lebih baik bagi kakek, itulah yang menjadibagiannya. Bila pembagian lebih baik baginya maka hendaklah dengan carapembagian, dan bila mendapatkan 1/3 harta warisan lebih baik maka itulah yangmenjadi haknya.

Makna Pembagian

Makna pembagian menurut ulama faraid adalah kakek dikategorikan seperti saudarakandung, ia mendapatkan bagian yang sama dengan bagian saudara kandung laki-laki.Apabila kakek berhadapan dengan saudara perempuan kandung, maka ia menempatiposisi yang sama seperti saudara kandung laki-laki. Berarti kakek mendapatkanbagian dua kali lipat bagian para saudara perempuan sekandung.

Bila cara pembagian tersebut kemungkinan merugikan kakek, maka diberikan denganmemilih cara mendapat sepertiga (1/3) harta waris yang ada.

Pembagian yang Lebih Menguntungkan Kakek

Ada lima keadaan yang lebih menguntungkan kakek bila menggunakan carapembagian. Kelima keadaan tersebut sebagai berikut:

1. Kakek dengan saudara kandung perempuan.2. Kakek dengan dua orang saudara kandung perempuan.

Page 55: Pembagian Waris Menurut Islam

3. Kakek dengan tiga orang saudara kandung perempuan.4. Kakek dengan saudara kandung laki-laki.5. Kakek dengan saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan.

Adapun penjelasannya seperti berikut:

Pada keadaan pertama kakak mendapat dua per tiga (2/3).

Pada keadaan kedua kakek mendapat setengah (1/2).

Pada keadaan ketiga kakek mendapat dua per lima (2/5).

Pada keadaan keempat kakek mendapat setengah (1/2).

Pada keadaan kelima kakek mendapat dua per lima (2/5).

Kelima keadaan itu lebih menguntungkan kakek jika menggunakan cara pembagian.

Pembagian dan Jumlah 1/3 yang Berimbang

Ada tiga keadaan yang menyebabkan kakek mendapatkan bagian yang sama baiksecara pembagian ataupun dengan mengambil sepertiga harta waris yang ada. Ketigakeadaan itu sebagai berikut:

1. Kakek dengan dua orang saudara kandung laki-laki.2. Kakek dengan empat orang saudara kandung perempuan.3. Kakek dengan seorang saudara kandung laki-laki dan dua orang saudara

kandung perempuan.

Pembagian Sepertiga Lebih Menguntungkan Kakek

Selain dari delapan keadaan yang saya kemukakan itu, maka pemberian sepertiga(1/3) kepada sang kakek lebih menguntungkannya. Misalnya, seseorang wafat danmeninggalkan seorang kakek dan tiga orang saudara, atau seorang kakek dan limasaudara kandung perempuan atau lebih. Dalam hal ini kakek mendapat sepertiga(1/3), dan sisanya dibagikan kepada para saudara, yang laki-laki mendapat dua kalilipat bagian wanita.

Kalau saja dalam keadaan seperti itu kita gunakan cara pembagian, maka kakek akandirugikan karena akan menerima kurang dari sepertiga harta warisan.

Catatan

Hukum tentang hak waris saudara laki-laki dan perempuan seayah ketika bersamadengan kakek --tanpa saudara kandung laki-laki atau perempuan-- maka hukumnyasama dengan hukum yang saya jelaskan di atas.

Page 56: Pembagian Waris Menurut Islam

Hukum Keadaan Kedua

Bila kebersamaan antara kakek dengan para saudara dibarengi pula dengan adanyaashhabul furudh yang lain --yakni ahli waris lainnya-- maka bagi kakek dapat memilihsalah satu dari tiga pilihan yang paling menguntungkannya. Yaitu, dengan pembagian,menerima sepertiga (1/3), atau menerima seperenam (1/6) dari seluruh harta warisyang ditinggalkan pewaris. Dan hal ini pun dengan syarat bagiannya tidak kurang dariseperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Kalau jumlah harta waris setelahdibagikan kepada ashhabul furudh tidak tersisa kecuali seperenam atau bahkankurang, maka tetaplah kakek diberi bagian seperenam (1/6) secara fardh, dan parasaudara kandung digugurkan atau dikurangi haknya. Ketetapan ini telah menjadikesepakatan bulat imam mujtahid.

Adapun bila cara pembagian --setelah para ashhabul furudh mengambil bagiannya--bagian sang kakek lebih menguntungkannya, maka hendaknya dibagi dengan cara itu.Dan jika sepertiga (1/3) sisa harta waris yang ada malah lebih menguntungkannya,maka itulah bagian kakek. Yang pasti, bagian kakek tidaklah boleh kurang dariseperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Sebab bagian tersebut adalah bagiannyayang telah ditentukan syariat.

Contoh Keadaan Kedua

Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan suami, kakak, dan saudarakandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami faradh-nya setengah(1/2) karena pewaris tidak mempunyai anak, dan sisanya dibagi dua, yakni kakakseperempat dan saudara kandung laki-laki juga seperempat.

Pada contoh kasus ini kakek lebih beruntung untuk menerima warisan dengan carapembagian. Sebab dengan pembagian ia mendapatkan bagian lebih dari seperenam(1/6).

Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, dua saudara kandunglaki-laki dan dua saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut:ibu mendapat seperenam (1/6) bagian, kakek mendapat sepertiga (1/3) dari sisa hartayang ada, dan sisanya dibagikan kepada saudara laki-laki dan perempuan, denganketentuan bagi laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan.

Dalam contoh kedua ini bagian kakek lebih menguntungkan, ia mendapatkansepertiga dari sisa harta setelah diambil hak sang ibu. Berarti kakek mendapatsepertiga (1/3) dari lima per enam (5/6).

Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan, nenek,kakek, dan tiga saudara kandung perempuan. Pembagiannya sebagai berikut: bagianak perempuan setengah (1/2), nenek seperenam (1/6), kakek seperenam (1/6), dansisanya dibagikan kepada para saudara kandung perempuan sesuai jumlah orangnyasecara rata.

Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan lima anak perempuan, suami,kakek, dan empat saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut:suami mendapat seperempat (1/4), lima anak perempuan mendapat dua per tiga (2/3),

Page 57: Pembagian Waris Menurut Islam

dan kakek mendapat seperenam (1/6), sedangkan empat saudara laki-laki tidakmendapatkan apa-apa. Hal ini telah disepakati ulama mujtahid.

Contoh kelima: seseorang wafat dan meninggalkan dua orang istri, seorang anakperempuan, seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, kakek, ibu, dansepuluh saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: untukkedua orang istri seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), dan cucuperempuan keturunan dari anak laki-laki seperenam (1/6) sebagai penyempurna duaper tiga (2/3), ibu mendapatkan seperenam (1/6), dan sang kakek juga seperenam.Sedangkan sepuluh saudara kandung perempuan tidak mendapatkan apa-apa sebabashhabul furudh telah menghabiskan bagian yang ada.

E. Bila Saudara Kandung dan Seayah Mewarisi bersama Kakek

Persoalan yang saya jelaskan sebelumnya berkisar mengenai bagian kakek bila hanyabersamaan dengan saudara kandung. Pada bagian ini akan dijelaskan bagian kakekjika ia tidak hanya bersama dengan saudara kandung, tetapi sekaligus bersama dengansaudara seayah. Untuk keadaan seperti ini, ulama faraid menyatakan bahwa parasaudara seayah dikategorikan sama dengan saudara kandung, mereka dianggap satujenis.

Apabila pemberian dilakukan secara pembagian, keberadaan saudara seayah dalamkeadaan seperti ini dikategorikan sebagai merugikan kakek. Meskipun setelah kakekmendapatkan bagian, seluruh sisa harta waris yang ada hanya menjadi hak parasaudara kandung -- sebab jika saudara kandung dan seayah bersama-sama, makasaudara seayah mahjub, haknya menjadi gugur.

Akan tetapi, jika saudara seayah mewarisi bersama kakek dan seorang saudarakandung perempuan, maka para saudara laki-laki seayah akan mendapatkan bagiansisa harta yang ada, setelah diambil hak saudara kandung perempuan (1/2) dan hakkakek (1/3).

Agar persoalan ini tidak terlalu kabur dan membingungkan saya sertakan beberapacontoh kasus.

Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan kakek, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya sebagai berikut: kakekmendapat sepertiga (1/3) bagian, dan saudara kandung laki-laki memperoleh dua pertiga (2/3) bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah mahjub (terhalangi) karenaadanya saudara kandung laki-laki.

Dalam contoh pertama, saudara laki-laki dikategorikan sebagai ahli waris, karena itubagian kakek sepertiga (1/3), hak saudara kandung laki-laki dua per tiga (2/3),sedangkan saudara laki-laki seayah terhalangi oleh adanya ahli waris yang lebih kuatdan dekat, yakni saudara kandung laki-laki.

Jumlah sepertiga (1/3) bagi kakek dalam contoh kasus ini sesuai dengan kaidah yangada: "hendaklah kakek diberi dengan salah satu dari dua cara yang palingmenguntungkannya, mendapat sepertiga harta waris atau dengan cara pembagian".

Page 58: Pembagian Waris Menurut Islam

Kebetulan dalam kasus ini kedua cara pemberian waris bagi kakek menghasilkanbagian yang sama, yaitu sepertiga.

Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan seorang saudara kandungperempuan, kakek, seorang saudara laki-laki seayah, dan dua orang saudaraperempuan seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: saudara kandung perempuanmendapat setengah (1/2) bagian, kakek mendapat sepertiga (1/3) bagian, sedangkansisanya diberikan kepada para saudara laki-laki dan perempuan seayah --denganketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.

Pada contoh kedua ini, saya langsung memberikan hak kakek sepertiga (1/3), tanpamenggunakan cara pembagian. Karena sebagaimana telah saya kemukakan bahwakeberadaan para saudara laki-laki/perempuan seayah sebagai perugi, yakni merugikankakek pada cara pembagian. Kalaulah pemberian kepada kakak dalam contoh inimenggunakan cara pembagian, tentu hal ini akan merugikannya karena ia akanmenerima bagian kurang dari sepertiga (1/3) harta waris yang ada. Oleh sebab itu,saya berikan haknya dengan cara yang paling menguntungkannya, yaitu sepertiga(1/3).

Setelah itu saya berikan hak waris saudara kandung perempuan setengah secara fardh,karena ia lebih kuat dan lebih dekat kekerabatannya terhadap pewaris dibandingkanpara saudara laki-laki/perempuan seayah. Sisanya barulah untuk mereka.

Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, seorang saudarakandung laki-laki, dan seorang saudara perempuan seayah. Maka pembagiannyaseperti berikut: ibu mendapat seperenam (1/6) bagian, kakek memperoleh dua perenam (2/6) bagian, dan sisanya diberikan kepada saudara kandung laki-laki. Dalamhal ini saudara perempuan seayah gugur sebab ada saudara kandung, dankeberadaannya hanya merugikan kakek bila menggunakan cara pembagian.

Catatan

Pada contoh ketiga --seperti telah diutarakan-- keberadaan saudara laki-laki/perempuan seayah merugikan kakek bila menggunakan cara pembagian.Kemudian, dalam masalah ini kita berikan nasib (bagian) saudara perempuan seayahsebanyak dua per enam (2/6), dan itu menjadi bagian saudara laki-laki kandung, sebabsaudara perempuan seayah gugur haknya oleh adanya saudara laki-laki kandung. Bilakita lihat secara seksama akan tampak oleh kita bahwa yang lebih menguntungkankakek dalam hal ini adalah cara pembagian, bukan dengan cara menerima sepertiga(1/3) sisa harta waris setelah diambil ashhabul furudh -- dalam contoh ini adalah ibu.

Barangkali untuk lebih memperjelas masalah ini perlu pula saya sertakan tabelnya.

Masalahnya 12

Bagian ibu 1/6 secara fardh 2

Bagian kakek 2/6 secara pembagian dengan saudara kandung laki-laki 4

Bagian saudara kandung (sisanya) 6

Bagian saudara perempuan seayah mahjub 0

Page 59: Pembagian Waris Menurut Islam

Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, kakek, saudarakandung perempuan, dan dua orang saudara seayah. Maka pembagiannya sepertiberikut: ibu memperoleh seperenam (1/6) bagian, kakek sepertiga (1/3), dan saudarakandung perempuan mendapat setengah (1/2), sedangkan bagian dua orang saudaraseayah sisanya. Tabelnya sebagai berikut:

Masalahnya 12 dan naik menjadi 36

Bagian ibu 1/6 6

Bagian kakek 1/3 (sisa setelah diambil ibu) 10

Bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) 18

Bagian dua orang saudara laki-laki seayah (sisanya) 2

Catatan

Apabila pewaris hanya meninggalkan kerabat seperti kakek dan saudara-saudara laki-laki/perempuan seibu saja, maka seluruh warisan merupakan bagian kakek. Sebab,seperti yang telah disepakati seluruh imam mujtahid, kakek dapat menggugurkan hakwaris saudara seibu. Dan hak waris saudara seibu hanyalah bila pewaris sebagaikalalah, yakni tidak mempunyai pokok (ayah dan seterusnya) dan tidak pulamempunyai cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).

Di samping itu, hal lain yang telah menjadi ijma' seluruh fuqaha ialah bahwa hakwaris dari keturunan para saudara kandung ataupun seayah menjadi gugur karenaadanya kakek. Misalnya, bila seseorang meninggal dan hanya meninggalkan kakekserta anak saudaranya, maka seluruh warisannya menjadi hak kakek.

F. Masalah al-Akdariyah

Istilah al-akdariyah muncul karena masalah ini berkaitan dengan salah seorang wanitadari bani Akdar.

Sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa penyebutan masalah ini dengan istilahal-akdariyah --yang artinya 'kotor' atau 'mengotori'-- disebabkan masalah ini cukupmengotori mazhab Zaid bin Tsabit (sosok sahabat yang sangat dipuji Rasulullah akankemahirannya dalam faraid, penj.). Dia pernah menghadapi masalah waris danmemvonisnya dengan melakukan sesuatu yang bertentangan (menyimpang) darikaidah-kaidah faraid yang masyhur.

Permasalahannya seperti berikut: bila seseorang wafat dan meninggalkan seorangsuami, ibu, kakek, dan seorang saudara kandung perempuan. Apabila berpegang padakaidah yang telah disepakati seluruh fuqaha --termasuk di dalamnya Zaid bin Tsabitsendirimaka pembagiannya adalah dengan menggugurkan hak saudara kandungperempuan. Sebab, suami mendapat setengah (1/2), bagian, ibu mendapat sepertiga(1/3) bagian, dan sisanya hanya seperenam (1/6) yang tidak lain sebagai bagian kakekyang tidak mungkin digugurkan --karena merupakan haknya secara fardh. Oleh sebabitu, sudah semestinya bagian saudara kandung perempuan digugurkan karena tidakada sisa harta waris.

Page 60: Pembagian Waris Menurut Islam

Akan tetapi, dalam kasus ini Zaid bin Tsabit r.a. memvonis dengan menyalahi kaidahyang ada. Dia memberi saudara kandung setengah (1/2) bagian, dan menaikkanmasalahnya dari enam (6) menjadi sembilan (9). Kemudian ia menyatukan haksaudara kandung perempuan dengan saham kakak, dan membaginya menjadi bagianlaki-laki dua kali lipat bagian wanita. Setelah ditashih, masalahnya menjadi dua puluhtujuh (27), dan pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan (9) bagian,ibu enam (6) bagian, kakek delapan (8) bagian, dan saudara kandung perempuanempat (4) bagian.

Dalam hal ini Imam Malik dan Imam Syafi'i mengikuti apa yang pernah dilakukanZaid bin Tsabit, sehingga menjadikannya sebagai keputusan ijtihad dalam fiqih keduaimam tersebut.

Berikut ini saya sertakan tabelnya, dari mulai yang sesuai dengan kaidah aslinyahingga setelah ditashih.

Masalahnya adalah dari enam (6)

Suami mendapat setengah (1/2) secara fardh 3

Ibu mendapat sepertiga (1/3) secara fardh 2

Kakek mendapat seperenam (1/6) sisanya/fardh-nya 1

Saudara kandung perempuan mahjub 0

Adapun tabel setelah ditashih menurut al-akdariyah seperti berikut:

Masalahnya naik dari enam (6) menjadi dua puluh tujuh (27)

Bagian suami menjadi 9

Bagian ibu menjadi 6

Bagian kakek menjadi 8

Bagian saudara kandung perempuan menjadi 4

Catatan

Dalam masalah al-akdariyah ini sosok ahli waris mutlak tidak dapat diubah. Bila adasalah satu yang diubah, maka berarti telah keluar dari hukum tersebut. Wallahu a'lam.

Page 61: Pembagian Waris Menurut Islam

VII. MASALAH AL 'AUL DANAR-RADD

A. Definisi al-'Aul

Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-zhulm(aniaya) dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:

"... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (an-Nisa': 3)

Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a yangartinya 'air yang naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti 'bertambah', seperti tampakdalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti 'berat timbangannya'.

Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagianfardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.

Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yangdibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalamkeadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehinggaseluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada -- meskibagian mereka menjadi berkurang.

Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapatberubah menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokokmasalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam halini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (setengah) hanyamemperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain,bagian mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau bertambah.

B. Latar Belakang Terjadinya 'Aul

Pada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.kasus 'aul atau penambahan --sebagai salah satu persoalan dalam hal pembagianwaris-- tidak pernah terjadi. Masalah 'aul pertama kali muncul pada masa khalifahUmar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata: "Orang yang pertama kali menambahkanpokok masalah (yakni 'aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketikafardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."

Secara lebih lengkap, riwayatnya dituturkan seperti berikut: seorang wanita wafat danmeninggalkan suami dan dua orang saudara kandung perempuan. Yang masyhurdalam ilmu faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah setengah (1/2),sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3). Dengandemikian, berarti fardh-nya telah melebihi peninggalan pewaris. Namun demikian,suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yangditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara kandung perempuan, mereka tetapmenuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.

Menghadapi kenyataan demikian Umar kebingungan. Dia berkata: "Sungguh akutidak mengerti, siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang

Page 62: Pembagian Waris Menurut Islam

diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara kandung perempuanpewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila akuberikan terlebih dahulu hak kedua saudara kandung perempuan pewaris maka akanberkuranglah nashib (bagian) suami." Umar kemudian mengajukan persoalan inikepada para sahabat Rasulullah saw.. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit danmenganjurkan kepada Umar agar menggunakan 'aul. Umar menerima anjuran Zaiddan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabatmenyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang 'aul (penambahan)fardh ini sebagai keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi saw.

C. Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-'aul- kan

Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-'aul-kan, sedangkan yang empat tidak dapat.

Ketiga pokok masalah yang dapat di-'aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan duapuluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-kan ada empat,yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).

Sebagai contoh pokok yang dapat di-'aul-kan: seseorang wafat dan meninggalkansuami serta seorang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagaiberikut: pokok masalahnya dari dua (2). Bagian suami setengah berarti satu (1), danbagian saudara kandung perempuan setengah, berarti mendapat bagian satu (1). Makadalam masalah ini tidak menggunakan 'aul.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiannya: ibumendapat sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh inipokok masalahnya tiga (3), jadi ibu mendapat satu bagian, dan ayah dua bagian.

Contoh lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara kandung laki-laki, dansaudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnyadari empat (4), bagian istri seperempat (1/4) berarti satu (1) bagian, sedangkan sisanya(yakni 3/4) dibagi dua antara saudara kandung laki-laki dengan saudara kandungperempuan, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.

Contoh kasus yang lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anakperempuan, dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut:pokok masalahnya dari delapan (8), bagian istri seperdelapan (1/8) berarti satu bagian,anak setengah (1/2) berarti empat bagian, sedangkan saudara kandung perempuanmenerima sisanya, yakni tiga per delapan (3/8).

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pokok masalah dalam contoh-contoh yang sayakemukakan semuanya tidak dapat di-'aulkan, sebab pokok masalahnya cocok atautepat dengan bagian para ashhabul furudh.

Pokok Masalah yang Dapat Di-'aul-kan

Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, angka-angka pokok masalah yangdapat di-'aul-kan ialah angka enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24).Namun, ketiga pokok masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat

Page 63: Pembagian Waris Menurut Islam

tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya dapat di-'aul-kan hingga angkasepuluh (10), yakni dapat naik menjadi tujuh, delapan, sembilan, atau sepuluh. Lebihdari angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkanempat kali saja.

Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas(17), namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih jelasnya, pokok masalah dua belas(12) hanya dapat dinaikkan ke tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17).Lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat di-'aul-kan tiga kalisaja.

Sedangkan pokok masalah dua puluh empat (24) hanya dapat di-'aul-kan kepada duapuluh tujuh (27) saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memangmasyhur di kalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah".

Untuk lebih menjelaskan dan memantapkan pemahaman kita terhadap pokok-pokokmasalah yang di-'aul-kan, perlu kita simak contoh-contohnya.

Beberapa Contoh Masalah 'Aul

1. Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, anak perempuan, dan cucuperempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut:pokok masalahnya dari enam (6). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satubagian, bagian ayah seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian anakperempuan tiga per enam (3/6) berarti tiga bagian, sedangkan bagian cucuperempuan dari keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) --sebagaipenyempurna dua per tiga-- berarti satu bagian. Dalam contoh ini tidak ada'aul, sebab masalahnya sesuai dengan fardh yang ada.

2. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dansaudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokokmasalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, bagiansaudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan bagiansaudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Dalam contohkasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalah, karenanya pokokmasalah enam harus dinaikkan menjadi tujuh (7). Dengan demikian, jumlahbagian (fardh-nya) cocok dengan pokok masalahnya.

3. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara kandung perempuan,dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibuseperenam (1/6) berarti satu bagian, saudara kandung perempuan setengah(1/2) berarti tiga, sedangkan saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berartisatu bagian. Bila demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pokokmasalah, yaitu delapan per enam (8/6). Oleh karena itu, asal pokok masalahenam dinaikkan menjadi delapan. Masalah ini oleh kalangan ulama faraiddikenal dengan istilah al-mubahalah.

4. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, dua orang saudarakandung perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Makapembagianya seperti berikut: pokok masalahnya enam (6). Bagian suamisetengah (1/2) berarti tiga bagian. Sedangkan bagian dua saudara kandungperempuan dua per tiga (2/3) berarti empat bagian, dan bagian dua saudara

Page 64: Pembagian Waris Menurut Islam

laki-laki seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.Dalam contoh ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalahnya, karenaitu pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi sembilan, sehingga jumlah bagiansesuai dengan pokok masalahnya. Masalah ini dikenal dengan sebutanmasalah marwaniyah.

5. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuanseayah, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagaiberikut: pokok masalahnya enam. Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibuseperenam (1/6) berarti satu, bagian dua orang saudara seayah dua per tiga(2/3) berarti empat, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibusepertiga (1/3) berarti dua bagian.

Dalam contoh tersebut jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaituenam banding sepuluh (6:10). Karena itu kita harus menaikkan pokok masalahnyayang semula enam menjadi sepuluh. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenaldengan istilah syuraihiyah.

Contoh 'Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)

Seperti telah saya kemukakan bahwa pokok masalah dua belas hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja, yaitu menjadi tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17).Berikut ini saya berikan contoh-contohnya:

1. Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara kandungperempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari duabelas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, bagian ibu seperenam(1/6) berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara kandungperempuan dua per tiga (2/3) berarti delapan bagian.Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya,yaitu tiga belas. Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehinggatepat sesuai dengan jumlah bagian yang ada.

2. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudarakandung perempuan, seorang saudara perempuan seayah, dan seorang saudaraperempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnyadua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, ibu mendapatseperenam (1/6) berarti dua bagian, saudara kandung perempuan memperolehsetengah (1/2) berarti enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayahseperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua pertiga-- berarti dua bagian, danbagian saudara perempuan seibu juga seperenam (1/6) berarti dua bagian.Jumlah bagian dalam contoh ini telah melebihi pokok masalah, yaitu limabelas bagian. Karena itu pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi lima belas(15).

3. Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapanorang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu.Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagianketiga orang istri adalah seperempat (1/4) berarti tiga bagian, sedangkanbagian kedua nenek adalah seperenam (1/6) yang berarti dua bagian, bagikedelapan saudara perempuan seayah dua per tiga (2/3)-nya, berarti delapanbagian, dan bagian keempat saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) yangberarti empat bagian.

Page 65: Pembagian Waris Menurut Islam

Dalam contoh ini tampak dengan jelas bahwa jumlah bagian ashhabul furudh telahmelampaui pokok masalahnya, yakni tujuh belas berbanding dua belas. Karena itupokok masalahnya harus di-'aul-kan dari dua belas menjadi tujuh belas.

Contoh 'Aul Dua Puluh Empat (24)

Pokok masalah dua puluh empat (24) --sebagaimana telah saya jelaskan-- hanya dapatdi-'aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh (27). Selain itu, pokok masalah ini hanyaada dalam kasus yang oleh ulama faraid dikenal dengan masalah al-mimbariyah.Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin Abi Thalib ketika memvonis masalahini sedang berada di atas mimbar (podium).

Contoh masalah ini seperti berikut: seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri,ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Makapembagiannya seperti ini: pokok masalahnya dua puluh empat (24). Ayah mendapatseperenam (1/6) berarti empat bagian, ibu memperoleh seperenam (1/6) berarti empatbagian, istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti tiga bagian, anak perempuanmendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempuanketurunan dari anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) --sebagai penyempurna duaper tiga (2/3)-- berarti empat bagian.

Dalam contoh tersebut tampak sangat jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atauyang menjadi hak ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itukita harus meng-'aul-kan pokok masalahnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yangharus diberikan kepada para ashhabul furudh. Sekali lagi ditegaskan, dalam masalahal-mimbariyyah ini pokok masalah dua puluh empat hanya bisa di-'aul-kan menjadiangka dua puluh tujuh.

Catatan

1. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yangberhak mendapatkan bagian setengah (1/2) dari harta waris, kemudian yanglain berhak mendapatkan sisanya, atau dua orang ahli waris yang masing-masing berhak mendapatkan bagian setengah (1/2), maka pokok masalahnyadari dua (2), dan tidak dapat di-'aul-kan.

2. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yangberhak mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang lain sisanya, atau dua orangahli waris yang satu berhak mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang lainnyadua per tiga (2/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3), dan tidak ada 'aul.

3. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yangberhak mendapat bagian seperempat (1/4) dan yang lain sisanya, atau duaorang ahli waris yang satu berhak mendapat seperempat (1/4) dan yang lainberhak mendapat setengah (1/2), maka pokok masalahuya dari empat (4), dandalam hal ini tidak ada 'aul.

4. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yangberhak mendapat bagian seperdelapan (1/8) dan yang lain sisanya, atau duaorang ahli waris yang satu berhak mendapat seperdelapan dan yang lainnyasetengah, maka pokok masalahnya dari delapan, dan tidak ada 'aul.

Page 66: Pembagian Waris Menurut Islam

D. Definisi ar-Radd

Ar-radd dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau juga bermakna'berpaling/palingkan'. Seperti terdapat dalam firman Allah berikut:

"Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari.' Lalu keduanya kembali, mengikutijejak mereka semula. " (al-Kahfi: 64)

"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuhkejengkelan ..." (al-Ahzab: 25)

Dalam sebuah doa disebutkan "Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya Allah,palingkanlah/halaulah tipu daya mereka terhadapku).

Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalahdan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakankebalikan dari al-'aul.

Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabulfurudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masihtersisa --sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai 'ashabah-- maka sisa hartawaris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh sesuai denganbagian mereka masing-masing.

E. Syarat-syarat ar-Radd

Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syaratseperti di bawah ini:

1. adanya ashhabul furudh2. tidak adanya 'ashabah3. ada sisa harta waris.

Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidakakan terjadi.

F. Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd

Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri.Artinya, suami atau istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian tambahandari sisa harta waris yang ada.

Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang:

1. anak perempuan2. cucu perempuan keturunan anak laki-laki3. saudara kandung perempuan4. saudara perempuan seayah5. ibu kandung6. nenek sahih (ibu dari bapak)

Page 67: Pembagian Waris Menurut Islam

7. saudara perempuan seibu8. saudara laki-laki seibu

Adapun mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudhdalam beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebabdalam keadaan bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya--ayah atau kakek-- -maka tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akanmenerima waris sebagai 'ashabah.

G. Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd

Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-raddhanyalah suami dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karenanasab, akan tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatantali pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itumereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapatbagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila dalam suatukeadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami atauistri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.

H. Macam-macam ar-Radd

Ada empat macam Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukumtersendiri. Keempat macam itu:

1. adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri2. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri3. adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri4. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri

Hukum Keadaan Pertama

Apabila dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari sahib fardh denganbagian yang sama --yakni dari satu jenis saja (misalnya, semuanya berhak mendapatbagian setengah, atau seperempat, dan seterusnya)-- dan dalam keadaan itu tidakterdapat suami atau istri, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahliwaris. Hal ini bertujuan untuk menghindari sikap bertele-tele dan agar lebih cepatsampai pada tujuan dengan cara yang paling mudah.

Sebagai misal, seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, makapokok masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuaifardh adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itupembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakanahli waris dari bagian yang sama.

Contoh lain, bila seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara kandungperempuan, maka pokok masalahnya dari sepuluh. Dan pembagiannya pun secarafardh dan ar-radd.

Page 68: Pembagian Waris Menurut Islam

Misal lain, seseorang wafat dan meningalkan seorang nenek dan saudara perempuanseibu. Maka pokok masalahnya dari dua, disebabkan bagiannya sama.

Hukum Keadaan Kedua

Apabila dalam suatu keadaan terdapat bagian ahli waris yang beragam --dan tidak adasalah satu dari suami atau istri-- maka cara pembagiannya dihitung dan nilaibagiannya, bukan dari jumlah ahli waris (per kepala). Sebagai misal, seseorang wafatdan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu. Makapembagiannya, bagi ibu seperenam (1/6), untuk kedua saudara laki-laki seibusepertiga (1/3). Di sini tampak jumlah bagiannya tiga, dan itulah angka yang dijadikanpokok masalah, yakni tiga.

Contoh-contoh keadaan kedua

1. Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucuperempuan keturunan anak lak-laki. Maka pokok masalahnya dari empat,karena jumlah bagiannya ada empat.

2. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, saudara kandung perempuan,serta saudara laki-laki seibu. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulahpokok masalahnya.

3. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang nenek, anak perempuan, sertaseorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka jumlahbagiannya adalah lima, dan itulah pokok masalahnya.

4. Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan serta saudaraperempuan seayah. Maka pokok masalahnya empat, karena jumlah bagiannyaempat.

5. Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudaraperempuan seayah, dan saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnyalima, karena jumlah bagiannya adalah lima.

Begitu seterusnya, yang penting tidak ada salah satu dari suami atau istri.

Hukum keadaan Ketiga

Apabila para ahli waris semuanya dari sahib fardh (bagian) yang sama, disertai salahsatu dari suami atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pokokmasalahnya dari sahib fardh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulahsisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan.Maka suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan sisanya (tiga per empat)dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Berarti bila pokokmasalahnya dari empat (4), suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian berarti satu,dan sisanya (yakni 3/4) merupakan bagian kedua anak perempuan dan dibagi secararata.

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-laki seibu, serta seorang saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya dari

Page 69: Pembagian Waris Menurut Islam

empat, karena angka itu diambil dari sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaituistri, yang bagiannya dalam keadaan demikian seperempat (1/4).

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang anakperempuan. Pokok masalahnya adalah delapan, angka ini diambil dari sahib fardhyang tidak dapat di-radd-kan (tidak berhak untuk ditambah). Maka istri mendapatkanseperdelapan (1/8) bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan sisanya tujuh perdelapan (7/8) merupakan bagian kelima anak perempuan dan dibagi secara merata diantara mereka. Hitungan ini perlu pentashihan, dan setelah ditashih pokok masalahnyamenjadi empat puluh, hitungan (bagiannya) sebagai berikut: ibu mendapatkanseperdelapan dari empat puluh, berarti lima bagian, sedangkan sisanya --tiga puluhlima bagian-- dibagikan secara merata kepada kelima anak perempuan pewaris,berarti masing-masing menerima tujuh bagian.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri dan empat anakperempuan. Dalam hal ini pokok masalahnya dari empat, diambil dari istri sebagaisahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan. Pembagiannya: istri mendapatkanseperempat (1/4) bagian, sedangkan sisanya --tiga per empat (3/4)-- dibagi secaramerata untuk keempat anak perempuan pewaris.

Dalam contoh ini juga harus ada pentashihan pada pokok masalahnya. Oleh karenaitu, pokok masalah yang mulanya empat (4) naik menjadi enam belas (16). Sehinggapembagiannya seperti berikut: bagian istri seperempat (1/4) dari enam belas berartiempat bagian. Sedangkan sisanya dua belas bagian dibagikan secara merata kepadakeempat anak perempuan pewaris. Dengan demikian, setiap anak memperoleh tigabagian.

Hukum keadaan Keempat

Apabila dalam suatu keadaan terdapat ashhabul furudh yang beragam bagiannya, dandi dalamnya terdapat pula suami atau istri, maka menurut kaidah yang berlaku kitaharus menjadikannya dalam dua masalah. Pada persoalan pertama kita tidakmenyertakan suami atau istri, dan pada persoalan kedua kita menyertakan suami atauistri. Kemudian kita buat diagramnya secara terpisah. Setelah itu barulah kita lihatkedua ilustrasi tersebut dengan salah satu dari tiga kriteria yang ada, mana yangpaling tepat. Sedangkan ketiga kriteria yang dimaksud ialah tamaatsul (kemiripan),tawaafuq (sepadan), dan tabaayun (perbedaan).

Untuk lebih memperjelas masalah yang rumit ini perlu saya sertakan contohkasusnya:

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuanseibu. Maka pembagiannya seperti berikut:

Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:Pokok masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari lima (yakni dari jumlahbagian yang ada).

Bagian nenek seperenam (1/6) berarti satu bagian.

Page 70: Pembagian Waris Menurut Islam

Bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian.

Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:

Pokok masalahnya dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang tidak dapatdi-radd-kan, yaitu istri.

Bagian istri seperempat (1/4) berarti memperoleh satu bagian.

Sisanya, yakni tiga bagian, merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuanseibu.

Dengan melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang sama antara bagiannenek dan bagian dua saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka tigatersebut berarti tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi.

Kemudian bila istri mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa hartawaris tinggal tiga bagian. Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama) denganmasalah ar-radd. Karenanya tidak lagi memerlukan tashih, dan cukuplah kita jadikanilustrasi masalah kedua itu sebagai pokok masalah.

Contoh lain: seseorang wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu.

Pada ilustrasi pertama --tanpa menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya darienam, dan dengan ar-radd menjadi dari lima, karena itulah jumlah bagian yang ada.

Sedangkan dalam ilustrasi kedua --menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnyadari delapan, karena merupakan fardh orang yang tidak dapat di-radd-kan, yakni istri.

Apabila istri mengambil bagiannya, yakni yang seperdelapan, maka sisanya tujuh perdelapan (7/8), dan sisa ini merupakan bagian dua anak perempuan dengan ibu, secarafardh dan radd.

Seperti kita ketahui bahwa antara tujuh dan lima itu tabaayun (berbeda). Kemudianlangkah berikutnya kita kalikan pokok masalah kedua (delapan) dengan pokokmasalah pertama (lima). Maka hasil perkalian antara kedua pokok masalah itu adalahpokok masalah bagi kedua ilustrasi tersebut.

Kini, setelah kita kenali pokok masalah dari kedua ilustrasi masalah tersebut, makabagian istri adatah seperdelapan dari empat puluh bagian yang ada, berarti iamendapat lima (5) bagian.

Bagian kedua anak perempuan dan ibu adalah sisa setelah diambil bagian istri --yangtersisa tiga puluh lima (35) bagian. Maka pembagiannya sebagai berikut: bagiankedua anak perempuan adalah hasil perkalian antara empat (bagiannya dalam ilustrasipertama) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian pada ilustrasi kedua) berarti duapuluh delapan (28) bagian.

Page 71: Pembagian Waris Menurut Islam

Adapun bagian ibu adalah hasil perkalian antara bagiannya dalam ilustrasi pertama(satu bagian) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian dalam ilustrasi kedua) berartitujuh (7) bagian.

Jadi, dari jumlah keseluruhan antara bagian istri, ditambah bagian kedua anakperempuan, ditambah bagian ibu adalah 5 + 28 + 7 = 40. Lihat tabel berikut:

Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami/istri

Pokok masalahnya aslinya dari 65, dengan radd, menjadi 5

Bagian kedua anak perempuan 2/3 berarti 4

Bagian ibu seperenam (1/6) berarti 1

Jumlah bagian 5

Ilustrasi kedua dengan menyertakan suami/istri

Pokok masalah dari delapan, diambil dari ahlul fardhyang tak dapat di-radd

setelah tashihmenjadi

40

Bagian istri 1/8, berarti 1 setelah tashih 5

Bagian dua anak perempuan dan ibu 7

setelah tashih bagian anak perempuan 4 x 7 28

bagian ibu 4 x 7 7

Page 72: Pembagian Waris Menurut Islam

VIII. PENGHITUNGAN DAN PENTASHIHAN

MENGETAHUI pokok masalah merupakan suatu keharusan bagi kita yang mengkajiilmu faraid. Hal ini agar kita dapat mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris,hingga pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau melebihkan hakmasing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini di kalangan ulama faraid dikenaldengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui pokok masalah. Dalamhal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh angka pembagianhak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulamailmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar(maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan, penj.).

Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahliwarisnya. Artinya, kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanyatermasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan antara'ashabah dengan ashhabul furudh.

Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok masalahnyadihitung per kepala --jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang wafatdan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima. Atauseseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokokmasalahnya dari sepuluh.

Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satuanak laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal inidiambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.

Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-lakidan tiga perempuan. Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bilamayit meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokokmasalahnya sebelas, dan demikian seterusnya.

Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yangsama, berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkanseorang suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua(2). Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan jugasetengah (1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama --misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok masalahnyadari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya daritiga (3). Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokokmasalahnya dari empat atau delapan, begitu seterusnya.

Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian --yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dansebagainya-- kita harus mengalikan dan mencampur antara beberapa kedudukan,yakni antara angka-angka yang mutamatsilah (sama) atau yang mutadaakbilah (salingberpadu), atau yang mutabaayinah (saling berbeda).

Page 73: Pembagian Waris Menurut Islam

Untuk memperjelas masalah ini, baiklah kita simak kaidah yang telah diterapkan olehpara ulama ilmu faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita untukmemahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh yangmempunyai bagian berbeda-beda.

Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi dua bagian:

Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).

Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2,1/4, 1/8), berarti pokok masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, biladalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat(1/4), maka pokok masalahnya dari empat (4).

Misal lain, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardhsetengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempatdengan seperdelapan-- maka pokok masalahnya dari delapan (8). Begitu juga biladalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) denganseperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokokmasalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam.Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.

Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib fardhkelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6)diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pokok masalahnya. Kaidah yangdimaksud seperti tersebut di bawah ini:

1. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah (1/2) --yang merupakankelompok pertama-- bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atausemuanya, maka pokok masalahnya dari enam (6).

2. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat (1/4) yang merupakankelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salahsatunya, maka pokok masalahnya dari dua belas (12).

3. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan (1/8) yang merupakankelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salahsatunya, maka pokok masalahnya dari dua puluh empat (24).

Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, perlu saya utarakan beberapa contoh.Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu, ibu, danpaman kandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: suami mendapat setengah(1/2), saudara laki-laki seibu seperenam (1/6), ibu sepertiga (1/3), sedangkan pamansebagai 'ashabah, ia akan mendapat sisa yang ada setelah ashhabul furudh menerimabagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak berhak menerima harta waris.

Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama (yakni 1/2)dengan sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua.Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh tersebut dari enam. Lihatdiagram:

Page 74: Pembagian Waris Menurut Islam

Pokok masalah dari enam (6)

Suami setengah (1/2) 3

Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6) 1

Ibu sepertiga (1/3) 2

Paman kandung, sebagai 'ashabah 0

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-lakiseibu, dan seorang saudara laki-laki kandung. Maka pembagiannya seperti berikut:bagian istri seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dua saudara laki-laki seibusepertiga (1/3), dan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.

Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) --yangtermasuk kelompok pertama-- dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Makaberdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebutmerupakan hasil perkalian antara empat (yang merupakan bagian istri) dengan tiga(sebagai bagian kedua saudara laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini:

Pokok masalah dari dua belas (12)

Istri seperempat (1/4)) 3

Ibu seperenam (1/6) 2

Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) 4

Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya) 3

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuanketurunan anak laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannyasebagai berikut: istri mendapat seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2),cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) sebagaipenyempurna dua per tiga (2/3), dan bagian ibu seperenam (1/6). Sedangkan saudarakandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat sisa harta waris bilaternyata masih tersisa.

Pada contoh ini tampak ada percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai kelompokpertama dengan seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka berdasarkan kaidahyang ada, pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah empat (24). Berikut initabelnya:

Pokok masalah dari 24

Bagian istri seperdelapan (1/8) berarti 3

Bagian anak perempuan setengah (1/2) berarti 12

Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6) berarti 4

Bagian ibu seperenam (1/6) berarti 4

Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa) 1

Page 75: Pembagian Waris Menurut Islam

Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagaihasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24).Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal sepertiini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan delapan) ada selisih,karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi, kemudian kita kalikandengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya.

A. Tentang Tashih

Agar kita dapat memahami dan menelusuri rincian pentashihan pokok masalah, makakita harus mengetahui nisbah-nya (koneksi) dengan keempat istilah perhitungan.Yaitu, at-tamaatsul (kemiripan/kesamaan), at-tadaakhul (saling terkait/salingbercampur), at-tawaafuq (saling bertautan), dan at-tabaayun (berbeda/salingberjauhan).

Apabila pokok masalah --harta waris-- dalam suatu pembagian waris cocok (sesuai)dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka kita tidak perlumenggunakan cara-cara yang berbelit dan memusingkan. Namun, bila harta waristersebut kurang dari jumlah bagian yang mesti diterima setiap ahli waris, atau jumlahbagian ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalah, maka dalam hal inimemerlukan pentashihan pokok masalahnya.

Definisi Tashih

Tashih dalam bahasa Arab berarti 'menghilangkan penyakit'. Sedangkan menurutulama ilmu faraid berarti mewujudkan jumlah yang kurang dari bagian setiap ahliwaris tanpa pecahan dalam pembagiannya.

Definisi at-Tamaatsul

At-Tamaatsul dalam bahasa Arab berarti at-tasyabuh, yakni 'sama bentuknya'.Sedangkan menurut ulama faraid berarti sama dalam jumlah atau nilai, yang satutidak lebih banyak atau lebih sedikit dari yang lain. Misalnya, angka tiga berarti samadengan tiga, dan lima sama dengan lima, dan seterusnya.

Definisi at-Tadaakhul

At-Tadaakhul dalam bahasa Arab berasal dari kata dakhala, yakni 'masuk', lawan katadari "keluar". Sedangkan menurut ulama faraid adalah pembagian angka yang besaroleh angka yang lebih kecil, sehingga dari pembagian itu tidak ada lagi angka ataujumlah yang tersisa. Misalnya, angka delapan (8) dengan angka empat (4), angkadelapan belas (18) dengan angka enam (6), angka dua puluh tujuh (27) dengan angkasembilan (9).

Definisi at-Tawaafuq

At-Tawaafuq dalam bahasa Arab berarti 'bersatu'. Sedangkan menurut istilah ilmufaraid ialah setiap dua angka yang dapat dibagi angka ketiga, sehingga menurut

Page 76: Pembagian Waris Menurut Islam

mereka di antara kedua bilangan itu ada tadaakhul. Misalnya, angka 8 dengan 6keduanya dapat dibagi oleh angka 2. Angka 12 dengan angka 30 sama-sama dapatdibagi oleh angka 6. Angka 8 dengan 20 sama-sama dapat dibagi oleh angka 4,demikian seterusnya.

Definisi at-Tabaayun

At-Tabaayun dalam bahasa Arab berarti tabaa'ud, yakni saling berjauhan atau salingberbeda. Sedangkan menurut kalangan ulama ilmu faraid ialah setiap bilangan yangsatu dengan lainnya tidak dapat membagi, dan tidak pula dapat dibagi oleh bilanganlain (ketiga). Misalnya angka 7 dengan angka 4, angka 8 dengan 11, angka 5 dengan9.

Untuk mengetahui secara tepat pengertian tabaayun, kita bandingkan pengertiannyadengan istilah lainnya. Apabila angka yang besar dibagi angka yang lebih kecil, makakedua bilangan itu tadaakhul. Apabila angka yang besar tidak dapat dibagi angkayang kecil --tetapi dibagi angka yang lain-- maka kedua bilangan itu ada tawaafuq.Sedangkan apabila suatu angka tidak dapat dibagi oleh bilangan lain, maka disebuttabaayun. Tetapi apabila kedua bilangan itu sama, maka di antara kedua bilangantersebut adalah mutamaatsilan.

B. Cara Mentashih Pokok Masalah

Setelah kita ketahui dengan baik makna-makna at-tamaatsul, attadaakhul, at-tawaafuq, dan at-tabaayun, maka kita perlu mengetahui kapan kita dapat ataumemungkinkan untuk mentashih pokok masalah? Dan apa tujuannya,

Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima permasalahanpembagian waris kecuali dengan angka-angka yang pasti (maksudnya tanpa pecahan,penj.). Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan keadilan yang optimal dalampembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan keadilan mereka berusahamengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidakmengurangi ataupun menambahkan. Hal ini merupakan satu perhatian yang sangatbaik dari para ulama faraid dalam usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yangmenyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki ad-Din al-Islam.

Cara pentashihan yang biasa dilakukan para ulama faraid seperti berikut: langkahpertama, melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya. Bila jumlah perkepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah bagian setiap ahli waris yangberhak untuk menerimanya, maka inilah yang sempurna dan sangat diharapkan.Namun, bila jumlah per kepalanya jauh lebih sedikit dari jumlah bagian ahli warisyang ada --jumlah pokok masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli waris yang belummendapat bagian-- maka kita harus melihat apakah ada kecocokan di antara kedua halitu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara bagian tiap ahli waris dengan jumlah perkepalanya, maka setiap anak berhak mendapat bagian sesuai dengan jumlah perkepalanya, dengan cara mengalikan jumlah per kepala dengan pokok masalah ataudengan meng-'aul-kannya. (Misalnya, empat anak perempuan, dan bagiannya 2/3 dari6, berarti 4, maka ada kesamaan. Sebab setiap anak mendapat bagian satu).

Page 77: Pembagian Waris Menurut Islam

Adapun bila terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan jumlah per kepalanyadengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka hasil dari perkalian ituyang menjadi pokok masalah sebenamya. Inilah yang disebut "pentashihan pokokmasalah" oleh kalangan ulama faraid.

Sedangkan mengenai bagian untuk mengalikan pokok masalah atau meng-'aul-kandengan tujuan mentashih pokok masalah, oleh ulama faraid disebut dengan juz'ussahm. Maksudnya, sebagai bagian khusus yang berkaitan dengan setiap bagian padapokok masalah.

Untuk lebih memperjelas masalah ini, perlu saya kemukakan contoh kasus sehinggapembaca dapat lebih memahaminya.

Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalah

Seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan tiga cucuperempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokokmasalahnya dari enam (6). Bagian keempat anak perempuan ialah dua per tiga (2/3)berarti empat (4) bagian. Sang ayah seperenam berarti satu bagian, dan sang ibu jugaseperenam berarti satu bagian. Sedangkan tiga cucu perempuan dari keturunan anaklaki-laki tidak mendapat bagian (mahjub karena anak pewaris lebih dari dua orang,penj.).

Dalam contoh tersebut kita lihat jumlah anak perempuan ada empat (4), dan bagianyang mereka peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi memerlukan pentashihanpokok masalah, sebab bagian yang mesti dibagikan kepada mereka (keempat anakperempuan itu) tidak lagi memerlukan pecahan-pecahan. Sehingga dalampembagiannya akan dengan pas dan mudah, setiap anak menerima satu bagian.

Contoh lain yang at-tamaatsul. Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudaraperempuan seibu, dan empat saudara kandung perempuan. Maka pembagiannyaseperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi tujuh(7). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, kemudian bagian kedua saudaraperempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian, sedangkan bagian keempatsaudara kandung perempuan adalah dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4) bagian.

Bila kita perhatikan baik-baik contoh ini, kita lihat bahwa pokok masalahnya tidakmemerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya sesuai dengan jumlah yangdibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu dua bagian, maka tiap orangmendapat satu bagian. Bagi keempat saudara kandung perempuan empat bagian,maka setiap orang mendapat satu bagian. Berarti kesesuaian pembagian tersebut tidakmemerlukan pentashihan pokok masalah. Dengan demikian, tahulah kita bahwacontoh masalah tersebut cenderung (bernisbat) pada at-tamaatsul.

Contoh masalah yang at-tawaafuq. Seseorang wafat dan meninggalkan delapan (8)anak perempuan, ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya seperti berikut:pokok masalahuya dari enam (6). Bagian kedelapan anak perempuan dua per tiga(2/3) berarti empat (4) bagian, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, dan sisanya(satu bagian) adalah bagian paman kandung sebagai 'ashabah.

Page 78: Pembagian Waris Menurut Islam

Kita lihat dalam contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala anakperempuan dengan jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2). Angka duaitulah yang menurut istilah ulama faraid sebagai bagian dari bagian juz'us sahmkemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok masalah, yakni angka enam(6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok masalah.

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara kandungperempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya sepertiberikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi sembilan (9).Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, sedangkan bagian keenam saudarakandung perempuan dua per tiga (2/3), berarti empat bagian, dan bagian keduasaudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), berarti dua bagian.

Dalam contoh di atas kita lihat ada tawaafuq antara jumlah bagian yang diterima parasaudara kandung perempuan dengan jumlah per kepala mereka, yaitu dua (2).Kemudian kita ambil separo jumlah per kepala mereka, berarti tiga (3), dan kitakalikan dengan pokok masalah setelah di-'aul-kan yakni angka sembilan (9), berarti 3x 9 = 27. Hasil dari perkalian itulah yang akhirnya menjadi pentashihan pokokmasalah. Setelah pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapatsembilan bagian (9), keenam saudara kandung perempuan mendapat dua belas bagian,dan kedua saudara laki-laki seibu mendapat enam bagian (9 + 12 + 6 = 27).

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan, tiga cucuperempuan dari keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung laki-laki. Makapembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12. Bagian suami 1/4 berartitiga (3) bagian, bagian anak perempuan 1/2 berarti enam (6) bagian, dan bagian cucuperempuan keturunan anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna 2/3 berarti 2 bagian,dan bagian saudara kandung laki-laki satu bagian (sisanya) sebagai 'ashabah binnafsihi. Inilah tabelnya:

3

12 36

Suami 1/4 3 9

Anak perempuan 1/2 6 18

Tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 2 6

Saudara kandung laki-laki ('ashabah) 1 3

Berdasarkan tabel tersebut kita lihat antara bagian cucu perempuan keturunan anaklaki-laki dengan jumlah per kepala mereka (yakni 2 dengan 3) ada tabaayun(perbedaan), karenanya kita kalikan angka 3 dengan pokok masalahnya, yakni 3 x 12= 36, maka angka 36 itu berarti pokok masalah hasil pentashihan.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah, ibu,dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian masing-masing seperti berikut: pokokmasalahnya dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi 27. Bagian istri 1/8 = 3, kelimaanak perempuan mendapat bagian 2/3 yang berarti 16, ayah memperoleh 1/6 berarti 4,dan ibu mendapat 1/6 yang berarti 4, sedangkan bagian saudara kandung laki-lakimahjub (terhalang). Inilah tabelnya:

Page 79: Pembagian Waris Menurut Islam

5

24 27 135

Istri 1/8 3 15

Lima anak perempuan 2/3 16 80

Ayah 1/6 4 20

Ibu 1/6 4 20

Saudara kandung laki-laki (mahjub) - -

Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian kelima anak perempuan tidak bisa dibagioleh jumlah per kepala mereka. Karenanya di antara keduanya ada tabaayun(perbedaan). Kemudian kita kalikan pokok masalahnya setelah di-'aul-kan (yakni 27)dengan jumlah per kepala mereka, yakni 27 x 5 = 135. Angka itu merupakan pokokmasalah setelah pentashihan. Dan angka lima (5) itulah yang dinamakan juz'us sahm.

Misal lain, seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak perempuan,dua orang nenek, empat saudara kandung laki-laki, dan saudara laki-laki seibu.Pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 24. Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak perempuanmendapat 2/3-nya = 16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat saudara kandung laki-laki (sisanya) yaitu 1 sebagai 'ashabah, sedangkan saudara seibu mahjub. Perhatikantabel berikut:

28

24 672

3 istri bagiannya 1/8 3 84

7 anak perempuan 2/3 16 448

2 orang nenek 1/6 4 112

saudara kandung laki-laki ('ashabah) 1 28

Saudara laki-lah seibu (mahjub - -

Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian anak perempuan (16) dengan jumlah perkepala mereka (7) ada perbedaan (tabaayun), begitu juga dengan bagian keempatsaudara kandung yang hanya satu bagian, dan jumlah per kepala mereka adaperbedaan (tabaayun). Untuk mentashih pokok masalah dari contoh ini, kita kalikanjumlah per kepala anak perempuan (yakni 7) dengan jumlah per kepala saudarakandung (yakni 4), berarti 7 x 4 = 28. Angka tersebut (yakni 28) merupakan juz'ussahm. Kemudian juz'us sahm tersebut kita kalikan dengan pokok masalahnya (28 x 24= 672) hasilnya itulah yang menjadi pokok masalah setelah pentashihan. Pentashihanseperti ini dapat diterapkan dalam contoh-contoh yang lain.

C. Pembagian Harta Peninggalan

At-tarikah (peninggalan) dalam bahasa Arab bermakna seluruh jenis kepemilikanyang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta, benda, atau tanah. Semua peninggalan

Page 80: Pembagian Waris Menurut Islam

itulah yang harus dibagikan kepada ahli waris yang ada sesuai dengan hak bagianyang harus mereka terima.

Untuk mengetahui pembagian harta waris kepada setiap ahlinya ada beberapa carayang harus ditempuh, namun yang paling masyhur di kalangan ulama faraid ada dua -- dalam hal yang berkenaan dengan harta yang dapat ditransfer.

Cara pertama: kita ketahui nilai (harga) setiap bagiannya, kemudian kita kalikandengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya merupakan bagian masing-masing ahli waris.

Cara kedua: kita ketahui terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara menyeluruh.Hal ini kita lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap ahli waris denganjumlah (nilai) harta peninggalan yang ada, kemudian kita bagi dengan angka pokokmasalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya merupakan bagian dari masing-masing ahliwaris.

Contoh Cara Pertama

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu. Sedangkanharta peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian, anakperempuan 1/2 berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4 bagian, sedangkansisanya (yakni 5 bagian) merupakan hak ayah sebagai 'ashabah.

Adapun nilai (harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris yang ada(480 dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar adalah harga perbagian.

Jadi, bagian istri 3 bagian x 20 dinar = 60 dinar

Anak perempuan 12 bagian x 20 dinar = 240 dinar

Ibu 4 bagian x 20 dinar = 80 dinar

Ayah ('ashabah) 5 bagian x 20 dinar = 100 dinar

Total = 480 dinar

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung perempuan,ibu, suami, cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta waris yang adasebanyak 960 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12kemudian di-tashikkan-kan menjadi 24. Cucu perempuan mendapatkan 1/2 yangberarti 12 bagian, suami mendapatkan 1/4 yang berarti 6 bagian, dan ibu memperoleh1/6 yang berarti 4 bagian. Sedangkan sisanya (dua bagian) untuk dua saudara kandungperempuan sebagai 'ashabah ma'al ghair. Tabelnya seperti berikut:

2

12 24

24 Cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/2 6 12

Page 81: Pembagian Waris Menurut Islam

Suami 1/4 1/4 3 6

Ibu 1/6 1/6 2 4

2 saudara perempuan kandung ('ashabah ma'al ghair) 1 2

Adapun nilai per bagian; 960 dinar: 24 = 40 dinar. Jadi, bagian masing-masing ahliwaris:

Jadi, Cucu pr. keturunan anak laki-laki 12 x 40 dinar = 480 dinar

Suami 6 x 40 dinar = 240 dinar

Ibu 4 x 40 dinar = 160 dinar

Dua saudara kandung perempuan 2 x 40 dinar = 80 dinar

Total = 960 dinar

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, dua anaklaki-laki, ayah, ibu, dan tiga saudara kandung laki-laki, dan harta peninggalannya3.000 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6 kemudianditashih menjadi 12. Sang ayah mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, ibu mendapatkan1/6 berarti 2 bagian, dan sisanya dibagikan kepada enam (6) anak, dengan ketentuanbagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan, berarti bagian anak perempuan 4bagian (masing-masing satu bagian), sedangkan bagian anak laki-laki juga 4 bagian(masing-masing 2 bagian), sedangkan saudara kandung laki-laki mahjub. Simak tabelberikut:

2

6 12

Empat anak perempuan 4 4

Dua anak laki-laki 3 4

Ayah 1/6 1 2

Ibu 1/6 1 2

Tiga saudara kandung laki-laki (mahjub) - -

Adapun nilai per bagiannya adalah 3.000:12 = 250 dinar

Jadi, Jadi bagian 4 anak perempuan 4 x 250 dinar = 1.000 dinar

dua anak laki-laki 4 x 250 dinar = 1.000 dinar

ibu 2 x 250 dinar = 500 dinar

ayah 2 x 250 dinar = 500 dinar

Total = 3.000 dinar

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan,dua saudara laki-laki seibu, dan nenek. Sedangkan harta peninggalan seluruhnya9.900 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6 kemudiandi-'aul-kan (dinaikkan) menjadi 9. Suami mendapat 1/2 yang berarti 3, saudara

Page 82: Pembagian Waris Menurut Islam

kandung perempuan 1/2 berarti 3, dua saudara laki-laki seibu memperoleh 1/3 berarti2, sedangan nenek mendapat 1/6 berarti satu (1). Perhatikan tabel berikut:

6 9

Suami 1/2 3

Saudara kandung perempuan 1/2 3

Saudara laki-laki seibu 1/3 2

Nenek 1/6 1

Adapun nilai per bagiannya adalah 9.900: 9 = 1.100 dinar

Jadi, Suami 3 x 1.100 dinar = 3.300 dinar

Saudara perempuan kandung 3 x 1.100 dinar = 3.300 dinar

Dua saudara laki-laki seibu 2 x 1.100 dinar = 2.200 dinar

Nenek 1 x 1.100 dinar = 2.200 dinar

Total = 9.000 dinar

Bila seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, 3 cucuperempuan keturunan anak laki-laki, satu cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki,sedangkan harta yang ditinggalkan sejumlah 585 dinar, maka pembagiannya sepertiberikut:

Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 13. Suami mendapatkan 1/4(berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), dan dua anak perempuan2/3 (berarti 8 bagian).

Sedangkan kedudukan para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga merekatidak memperoleh bagian karena harta waris telah habis dibagikan kepada ashhabulfurudh. Perhatikan tabel berikut:

12 13

Suami 1/4 3

Ibu 1/6 2

Dua anak perempuan 2/3 8

Tiga cucu perempuanDua cucu perempuan

'ashabah -

Jadi, Suami 3 x 585:13 dinar = 135 dinar

Ibu 2 x 585:13 dinar = 90 dinar

Dua anak perempuan 8 x 585:13 dinar = 360 dinar

Total = 585 dinar

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung, cucuperempuan keturunan anak laki-laki, ibu, suami, sedangkan harta warisnya berjumlah240 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian

Page 83: Pembagian Waris Menurut Islam

ditashih menjadi 24, cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapatkan 1/2(berarti 12 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), suami mendapatkan 1/4(berarti 6 bagian), dan dua saudara kandung 2 bagian sebagai 'ashabah.

12 24

Cucu pr. ket. anak laki-laki 1/2 6 12

Ibu 1/6 2 4

Suami 1/4 3 6

Dua saudara kandung ('ashabah) 1 2

Cucu pr. ket. anak laki-laki 12 x 240:24 dinar = 120 dinar

Ibu 4 x 240:24 dinar = 40 dinar

Suami 6 x 240:24 dinar = 60 dinar

Dua saudara kandung ('ashabah) 2 x 240:24 dinar = 20 dinar

Total = 240 dinar

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara kandung perempuan,saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seayah, dan cucu perempuan keturunananak laki-laki. Sedangkan harta peninggalan sebanyak 1.500 dinar. Makapembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6, ibu mendapatkan 1/6 (berartisatu bagian), cucu perempuan 1/2 (berarti 3 bagian), dan sisanya --dua bagian--menjadi hak kedua saudara perempuan kandung sebagai 'ashabah. Sedangkan ahliwaris yang lain ter- mahjub. Inilah tabelnya:

6

Ibu 1/6 1

Cucu pr. ket. anak laki-laki 1/2 3

Dua saudara kandung pr. ('ashabah) 2

Saudara perempuan seayah,Dua saudara laki-laki seayah (mahjub)

-

Masalah Dinariyah ash-Shughra

Ada dua masalah yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni istilah ad-dinariyahash-shughra dan ad-dinariyah al-kubra. Ad-dinariyah ash-shughra memilikipengertian seluruh ahli warisnya terdiri atas kaum wanita, dan setiap ahli waris hanyamenerima satu dinar.

Contoh masalahnya, seseorang wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri, dua (2)orang nenek, delapan (8) saudara perempuan seayah, dan empat (4) saudaraperempuan seibu. Harta peninggalannya: 17 dinar. Adapun pembagiannya sepertiberikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 17. Tiga orang istrimendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), dua orang nenek mendapatkan 1/6 (berarti 2bagian), kedelapan saudara perempuan seayah mendapatkan 2/3 (berarti 8 bagian),sedangkan keempat saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti 4 bagian).Jumlah harta peninggalannya ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli warisnya pun

Page 84: Pembagian Waris Menurut Islam

17, dengan demikian masing-masing mendapat satu dinar. Maka kasus seperti inidisebut ad-dinariyah ash-shughra. Berikut ini tabelnya:

12 17

Ke-3 istri 1/4 3 masing-masing 1 bagian = 1 dinar

Kedua nenek 1/6 2 masing-masing 1 bagian = 1 dinar

Ke-8 sdr. pr. seayah 2/3 8 masing-masing 1 bagian = 1 dinar

Ke-4 sdr. pr. seibu 1/3 4 masing-masing 1 bagian = 1 dinar

Masalah Dinariyah al-Kubra

Adapun masalah ad-dinariyah al-kubra memiliki pengertian bahwa ahli waris yangada sebagian terdiri dari ashhabul furudh dan sebagian lagi dari 'ashabah. Masing-masing ahli waris di antara mereka ada yang hanya mendapatkan bagian satu (1)dinar, sebagian ada yang mendapatkan dua (2) dinar, dan sebagian lagi ada yangmendapatkan lebih dari itu. Hal seperti ini di kalangan ulama faraid disebut ad-dinariyah al-kubra.

Contoh masalah ini sebagai berikut: misalnya, seseorang wafat meninggalkan istri,ibu, dua anak perempuan, dua belas saudara kandung laki-laki, dan seorang saudarakandung perempuan. Sedangkan harta peninggalannya 600 dinar. Makapembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 24 kemudian setelah ditashihmenjadi 600. Istri mendapatkan 1/8 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4bagian), kedua anak perempuan memperoleh 2/3 (16 bagian), dan sisanya satu (1)bagian merupakan bagian ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudarakandung perempuan sebagai 'ashabah.

Jadi, bagian Istri 3 x 600:24 dinar = 75 dinar

Ibu 4 x 600:24 dinar = 100 dinar

Kedua anak perempuan 16 x 600:24 dinar = 400 dinar

Total = 575 dinar

Sedangkan ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung perempuanmendapat sisanya, yakni 25 dinar sebagai 'ashabah, dengan ketentuan bagian anaklaki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Dengan demikian, yang 24 dinar dibagikankepada ke-12 saudara kandung laki-laki dan masing-masing mendapat dua (2) dinar,dan yang satu (1) dinar bagian saudara kandung perempuan. Berikut ini tabelnya:

25

24 600

Istri 1/8 3 75

Ibu 1/6 4 100

Kedua anak perempuan 2/3 16 100

12 saudara kandung laki-laki1 saudara kandung perempuan ('ashabah)

1 241

Page 85: Pembagian Waris Menurut Islam

Masalah ad-dinariyah al-kubra ini pernah terjadi pada zaman al-Qadhi Syuraih(seseorang mengajukan masalah kepadanya). Akhirnya Syuraih memvonis denganmemberikan hak saudara kandung perempuan pewaris hanya satu (1) dinar. Tetapi,wanita tersebut kemudian mengadukan hal itu kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a.yang menyebutkan bahwa Syuraih telah menzhaliminya, mengurangi hak warisnyahingga memberinya satu dinar dari peninggalan saudaranya yang 600 dinar itu.

Kendatipun wanita tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang berhakmenerima warisan, namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya, Ali bin AbiThalib bertanya, "Barangkali saudaramu yang wafat itu meninggalkan istri, dua anakperempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki, dan kemudian engkau?" Wanitatersebut menjawab, "Ya, benar." Ali berkata, "Itulah hakmu tidak lebih dan tidakkurang."

Kemudian Ali bin Abi Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut bahwahakim Syuraih telah berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara yangdiajukannya. Wallahu a'lam bish shawab

Page 86: Pembagian Waris Menurut Islam

IX. HUKUM MUNASAKHAT

A. Definisi Munasakhat

Al-munasakhat dalam bahasa Arab berarti 'memindahkan' dan 'menghilangkan',misalnya dalam kalimat nasakhtu al-kitaba yang bermakna 'saya menukil(memindahkan) kepada lembaran lain'; nasakhat asy-syamsu ash-zhilla yang berarti'sinar matahari menghilangkan bayang-bayang'.

Makna yang pertama --yakni memindahkan/menukil-- sesuai dengan firman AllahSWT berikut:

"... Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan." (al-Jatsiyah: 29)

Sedangkan makna yang kedua sesuai dengan firman berikut:

"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segalasesuatu?" (al-Baqarah: 106)

Adapun pengertian al-munasakhat menurut istilah ulama faraid ialah meninggalnyasebagian ahli waris sebelum pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindahkepada ahli warisnya yang lain. Bila salah seorang ahli waris meninggal, sedangkan iabelum menerima hak warisnya (karena memang belum dibagikan), maka hakwarisnya berpindah kepada ahli warisnya. Karenanya di sini akan timbul suatumasalah yang oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan al-jami'ah.

Al-munasakhat mempunyai tiga macam keadaan:

Keadaan pertama: sosok ahli waris yang kedua adalah mereka yang juga merupakansosok ahli waris yang pertama. Dalam kasus seperti ini masalahnya tidak berubah, dancara pembagian warisnya pun tidak berbeda. Misalnya, ada seseorang wafat danmeninggalkan lima orang anak. Kemudian salah seorang dari kelima anak itu adayang meninggal, tetapi yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris kecualisaudaranya yang empat orang, maka seluruh harta waris yang ada hanya dibagikankepada keempat anak yang tersisa, seolah-olah ahli waris yang meninggal itu tidakada dari awalnya.

Keadaan kedua: para ahli waris dari pewaris yang kedua adalah sosok ahli waris daripewaris pertama, namun ada perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab merekaterhadap pewaris. Misalnya, seseorang mempunyai dua orang istri. Dari istri yangpertama mempunyai keturunan seorang anak laki-laki. Sedangkan dari istri keduamempunyai keturunan tiga anak perempuan. Ketika sang suami meninggal, berarti iameningalkan dua orang istri dan empat anak (satu laki-laki dan tiga perempuan).Kemudian, salah seorang anak perempuan itu meninggal sebelum harta warispeninggalan ayahnya dibagikan. Maka ahli waris anak perempuan ini adalah sosokahli waris dari pewaris pertama (ayah). Namun, dalam kedua keadaan itu terdapat

Page 87: Pembagian Waris Menurut Islam

perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab kepada pewaris. Pada keadaan yangpertama (meninggalnya ayah), anak laki-laki menduduki posisi sebagai anak. Tetapidalam keadaan yang kedua (meninggalnya anak perempuan), anak laki-laki terhadapyang meninggal berarti merupakan saudara laki-laki seayah, dan yang perempuansebagai saudara kandung perempuan. Jadi, dalam hal ini pembagiannya akan berbeda,dan mengharuskan kita untuk mengamalkan suatu cara yang disebut oleh kalanganulama faraid sebagai masalah al-jami'ah.

Keadaan ketiga: para ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari pewarispertama. Atau sebagian ahli warisnya termasuk sosok yang berhak untuk menerimawaris dari dua arah, yakni dari pewaris pertama dan dari pewaris kedua. Dalam halseperti ini kita juga harus melakukan teori al-jama'iyah, sebab pembagian bagi tiap-tiap ahli waris yang ada berbeda dan berlainan.

B. Rincian Amaliah al-Munasakhat

Sebelum kita melakukan rincian tentang amaliah al-munasakhat, kita terlebih dahuluharus melakokan langkah-langkah berikut:

1. Mentashihkan masalah pewaris yang pertama dengan memberikan hak wariskepada setiap ahlinya, termasuk hak ahli waris yang meninggal.

2. Merinci masalah baru, khususnya yang berkenaan dengan kematian pewariskedua, tanpa mempedulikan masalah pertama.

3. Membandingkan antara bagian pewaris kedua dalam masalah pertama, denganpentashihan masalah dan para ahli warisnya dalam masalah kedua.

4. Perbandingan antara keduanya itu dalam kecenderungannya terhadap ketiganisbat, yaitu al-mumatsalah, al-muwafaqah, dan al-mubayanah. Bila antarakeduanya --yakni antara bagian pewaris yang kedua dan masalah ahli warisnyayang lain-- ada mumatsalah (kesamaan), maka dibenarkan kedua masalahhanya dengan tashih yang pertama (lihat tabel).

Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan tiga anak perempuan, dua saudarakandung perempuan, dan seorang saudara kandung laki-laki. Kemudian salah seorangsaudara kandung perempuan itu meninggal. Berarti ia meninggalkan seorang saudarakandung perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannyaseperti berikut: pokok masalahnya dari tiga (3). Ketiga anak perempuan mendapat 2/3(2 bagian). Dan sisanya (satu bagian) merupakan hak para 'ashabah (yakni duasaudara kandung perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki).

Kemudian kita lihat jumlah per kepalanya ada tabayun (perbedaan), maka 3 x 4 = 12.Kemudian angka ini kita kaLikan dengan pokok masalahnya, berarti 3 x 12 = 36.Bilangan inilah yang kemudian menjadi pokok masalah hasil pentashihan. Jadi,pembagiannya seperti berikut: ketiga anak perempuan mendapat 2/3 (24 bagian), dansisanya (12 bagian) dibagikan untuk dua orang saudara kandung perempuan danseorang saudara kandung laki-laki, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagiananak perempuan, jadi setiap saudara kandung perempuan mendapat tiga (3) bagian,dan saudara laki-laki kandung enam (6) bagian.

Page 88: Pembagian Waris Menurut Islam

Kemudian, kita lihat antara bagian pewaris kedua (yaitu 3) dengan pokok masalahnya(juga dari 3) ada kesamaan (tamatsul). Karena itu, al-jami'ah di sini sama dengan hasilpentashihan pada masalah yang pertama (yakni dari 36).

Kemudian, hak waris/bagian saudara kandung perempuan yang meninggal (3 bagian)hanya dibagikan kepada ahli waris, yaitu seorang saudara kandung perempuan danseorang saudara kandung laki-laki. Kemudian, hasil pembagian itu ditambahkan padahasil bagian mereka yang pertama. Maka, bagian saudara kandung perempuanmenjadi empat (4): tiga (3) bagian --yang diperolehnya dari masalah pertama--ditambah dengan bagian yang berasal dari saudara kandung perempuan yangmeninggal, yaitu satu (1) bagian (3 + 1 = 4).

Sedangkan saudara kandung laki-laki mendapatkan dua (2) bagian, yang kemudianditambahkan dengan perolehannya dari peninggalan pada masalah pertama, yaituenam (6) bagian. Maka saudara laki-laki kandung memperoleh delapan (8) bagian.

Adapun tiga anak perempuan pewaris pertama, dalam masalah kedua ini tidakmendapatkan hak waris, disebabkan kedudukannya hanyalah sebagai keponakanpewaris kedua, yakni anak perempuan dari saudara laki-laki pewaris kedua. Karenaitu, mereka mahjub. Berikut ini saya sertakan tabelnya:

Jumlah kepala Tashih masalah ke I al-Jami'ah

12 3 36 3 36

3 anak pr. 2/3 2 24 - 24

Sdr. kandung pr. 3 meninggal - -

Sdr. kandung pr. 1 3 Sdr. kandung pr. 1 3+1=4

Sdr. kandung lk. 6 Sdr. kandung lk. 2 6+2=8

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, ibu, cucu perempuanketurunan anak laki-laki. Kemudian cucu tersebut meninggal dengan meninggalkansuami, ibu, tiga anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Maka pembagiannya sepertiberikut:

Pokok masalahnya dari dua puluh empat (24). Istri mendapatkan 1/4 (3 bagian), ibu1/6 (4 bagian), cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/2 (12 bagian), sedangkansisanya (lima bagian) merupakan bagian ayah sebagai jumlah 'ashabah. Jumlahsemuanya adalah dua puluh empat (24) bagian.

Kemudian, kita lihat al-jami'ah dalam masalah ini sama dengan pokok masalahpertama, yaitu dua puluh empat (24). Hal ini karena kita dapati bagian pewaris kedua(cucu perempuan keturunan anak laki-laki) dalam masalah pertama ada tamatsul(kesamaan) dengan pokok masalah yang kedua. Dalam keadaan demikian, kaidahyang berlaku di kalangan ulama faraid adalah kita menjadikan pokok masalahpertama sebagai al-jami'ah, yang berarti bagian pewaris kedua hanya dibagikankepada ahli warisnya. Oleh sebab itu, kita tidak lagi membuat al-jami'ah yang baru,tetapi cukup menjadikan al-jami'ah yang pertama itu berlaku pada masalah kedua.Berikut ini tabelnya:

Page 89: Pembagian Waris Menurut Islam

Pokok MasalahI

Pokok MasalahII

al-Jami'ah

24 12 24

Istri 1/8 3 3

Ibu 1/6 4 - 4

Ayah ('ashabah) 5 - 5

Cucu pr. keturunan anak lk.1/2

12 meninggal -

Suami 1/4 3 3

Contoh yang memiliki kasus al-mubayanah: seseorang wafat dan meninggalkansuami, ayah, ibu, dan dua anak perempuan. Kemudian suami wafat dan meninggalkansaudara kandung perempuan, ibu, istri, dan saudara laki-laki seibu. Makapembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari dua belas (12) kemudian di-'aul-kan menjadi lima belas (15).Sedangkan pokok masalah yang kedua dari dua belas (12) yang di-'aul-kan menjaditiga belas (13).

Suami mendapatkan seperempat (1/4) berarti tiga bagian. Ayah mendapatkanseperenam (1/6) berarti dua bagian, begitu juga dengan bagian ibu yakni seperenam(1/6), berarti dua bagian.

Kemudian dua anak perempuan mendapatkan dua per tiga (2/3) berarti delapan (8)bagian. Jumlahnya lima belas (15) bagian.

Kemudian, antara masalah yang pertama dengan masalah yang kedua ada mubayanah(perbedaan), karenanya kita kalikan pokok masalah pertama (yakni 15) dengan pokokmasalah yang kedua (yakni 13). Maka hasil dari perkalian itu (yakni 15 x 13 = 195)merupakan al-jami'ah (penyatuan) antara dua masalah.

Lalu kita tempatkan bagian pewaris yang kedua (suami, yang mendapat tiga bagian)di atas pokok masalah kedua, dan ini merupakan juz'us sahm (bagian dari bagian hakwaris). Juz'us sahm ini kemudian kita kalikan dengan bagian tiap-tiap ahli waris yangada, maka akan merupakan hasil bagian ahli waris dari al-jami'ah (penyatuan dari duamasalah). Untuk lebih meyakinkan kebenaran masalah kedua ini, kita lihat hasilperkaliannya: perkalian antara juz'us sahm yaitu tiga (3) dengan pokok masalahnyasetelah di-'aul-kan, berarti 3 x 13 = 39. Maka angka 39 ini merupakan jumlah bagianseluruh ahli waris dalam masalah kedua. Lihat tabel berikut:

13 3

12 15 12 13 39

Suami 1/4 3 meninggal - -

Ayah 1/6 2 - 26

Ibu 1/6 2 - 26

Page 90: Pembagian Waris Menurut Islam

2 anakperempuan (2/3) 8 - 104

Sdr. Kandung perempuan (2/3) 6 18

Ibu 1/6 2 6

Istri 1/4 3 9

Sdr. laki-laki seibu 1/6 2 6

Catatan

Kemungkinan besar dapat pula terjadi adanya al-jami'ah lebih dari satu. Misalnya,dalam suatu keadaan pembagian waris salah seorang ahli warisnya wafat sebelumpembagian, kemudian ada lagi yang meninggal, dan seterusnya. Maka jika terjadi halseperti ini, kita tetap harus menempuh cara seperti yang telah kita tempuh dalam al-munasakhat, takni kita tempatkan tashih kedua pada posisi pertama, dan tashih ketigapada posisi kedua, dan seterusnya. Dan hasilnya dinamakan al-jami'ah kedua, al-jami'ah ketiga, dan seterusnya.

Untuk menjelaskan hal ini perlu kiranya saya kemukakan contoh tentang bentuk al-jami'ah yang lebih dari satu ini. Misalnya, seseorang wafat meninggalkan suami,saudara perempuan seibu, dan paman kandung (saudara ayah). Kemudian suami wafatdan meninggalkan anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ayah,dan ibu. Kemudian anak perempuan juga meninggal, dan meninggalkan nenek, duasaudara kandung perempuan, dan dua saudara laki-laki seibu. Perhatikan tabelberikut:

2 1 7 3 8

6 6 12 6 7 84

Suami 1/2 3 meninggal -

Sdr.pr. seibu 1/6 1 2 14

Paman ('ashabah) 2 4 28

Anak perempuan 1/2 3 3 meninggal

Cucu pr. 1/6 1 1 - 7

Ayah 1/6 1 1 - 7

Ibu 1/6 1 1 - 7

Nenek 1/6 1 3

2 sdr. kandung pr. 2/3 4 12

2 sdr. lk. saudara seibu 1/3 2 6

C. At-Takharuj min at-Tarikah

Yang dimaksud dengan at-takharuj min at-tarikah ialah pengunduran diri seorang ahliwaris dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagian (secara syar'i). Dalam halini dia hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari salahseorang ahli waris lainnya ataupun dari harta peninggalan yang ada. Hal ini dalamsyariat Islam dibenarkan dan diperbolehkan.

Page 91: Pembagian Waris Menurut Islam

Syariat Islam juga memperbolehkan apabila salah seorang ahli waris menyatakan diritidak akan mengambil hak warisnya, dan bagian itu diberikan kepada ahli waris yanglain, atau siapa saja yang ditunjuknya. Kasus seperti ini di kalangan ulama faraiddikenal dengan istilah "pengunduran diri" atau "menggugurkan diri dari hakwarisnya".

Diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf r.a. adalah seorang sahabat yangmempunyai empat orang istri. Ketika ia wafat, salah seorang istrinya, Numadhir bintial-Asbagh, menyatakan bahwa dirinya hanya akan mengambil hak waris sekadarseperempat dari seperdelapan yang menjadi haknya. Jumlah yang diambilnya --sebagaimana disebutkan dalam riwayat-- ialah seratus ribu dirham.

Tata Cara Pelaksanaannya

Apabila salah seorang ahli waris ada yang menyatakan mengundurkan diri, ataumenyatakan hanya akan mengambil sebagian saja dari hak warisnya, maka ada duacara yang dapat menjadi pilihannya. Pertama, ia menyatakannya kepada seluruh ahliwaris yang ada, dan cara kedua, ia hanya memberitahukannya kepada salah seorangdari ahli waris yang ditunjuknya dan bersepakat bersama.

Cara pertama: kenalilah pokok masalahnya, kemudian keluarkanlah bagian ahli warisyang mengundurkan diri, sehingga seolah-olah ia telah menerima bagiannya, dansisanya dibagikan kepada ahli waris yang ada. Maka jumlah sisa bagian yang adaitulah pokok masalahnya.

Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan ayah, anak perempuan, dan istri.Kemudian sebagai misal, pewaris meninggalkan sebuah rumah, dan uang sebanyakRp 42 juta. Kemudian istri menyatakan bahwa dirinya hanya akan mengambil rumah,dan menggugurkan haknya untuk menerima bagian dari harta yang berjumlah Rp 42juta itu. Dalam keadaan demikian, maka warisan harta tersebut hanya dibagikankepada anak perempuan dan ayah. Lalu jumlah bagian kedua ahli waris itulah yangmenjadi pokok masalahnya. Rincian pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari dua puluh empat (24), kemudian kita hilangkan (ambil) hakistri, yakni seperdelapan dari dua puluh empat, berarti tiga (3) saham. Lalu sisanya(yakni 24 - 3 = 21) merupakan pokok masalah bagi hak ayah dan anak perempuan.Kemudian dari pokok masalah itu dibagikan untuk hak ayah dan anak perempuan.Maka, hasilnya seperti berikut:

Nilai per bagian adalah 42.000.000: 21 = 2.000.000Bagian anak perempuan adalah 12 x 2.000.000 = 24.000.000Bagian ayah 9 x 2.000.000 = 18.000.000 Total = 24.000.000 + 18.000.000 = 42.000.000

Cara kedua: apabila salah seorang ahli waris menyerahkan atau menggugurkanhakuya lalu memberikannya kepada salah seorang ahli waris lainnya, makapembagiannya hanya dengan cara melimpahkan bagian hak ahli waris yangmengundurkan diri itu kepada bagian orang yang diberi. Misalnya, seseorang wafatdan meninggalkan seorang isteri, seorang anak perempuan, dan dua anak laki-laki.Kemudian anak perempuan itu menggugurkan haknya dan memberikannya kepada

Page 92: Pembagian Waris Menurut Islam

salah seorang dari saudara laki-lakinya, dengan imbalan sesuatu yang telah disepakatioleh keduanya. Dengan demikian, warisan itu hanya dibagikan kepada istri dan keduaanak laki-laki, sedangkan bagian anak perempuan dilimpahkan kepada salah seorangsaudara laki-laki yang diberinya hak bagian. Perhatikan tabel berikut:

Pokok masalah 8 Tashih 40 40

Isteri 1/8 1 5 5

Anak laki laki ('ashabah) 14 14

Anak laki laki ('ashabah) 7 14 14+14

Anak perempuan ('ashabah) 7 -

Maka, pokok masalahnya dari delapan, dan setelah ditashih menjadi empat puluh. Istrimendapat seperdelapan (1/8) berarti lima (5) bagian, dan bagian setiap anak laki-lakiempat belas (14) bagian, dan sisanya --yakni tujuh bagian-- adalah bagian anakperempuan. Kemudian, hak anak perempuan itu diberikan kepada salah seorangsaudara laki-lakinya yang ia tunjuk sebelumnya.

Page 93: Pembagian Waris Menurut Islam

X. HAK WARIS DZAWIL ARHAM

A. Definisi Dzawil Arham

Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun, yang asalnya dalam bahasa Arabberarti 'tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'. Kemudiandikembangkan menjadi 'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihakibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asalmereka. Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum digunakan dengan makna'kerabat', baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam. Allahberfirman:

"... Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamusaling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim.Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. " (an-Nisa': 1)

"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di mukabumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?" (Muhammad: 22)

Rasulullah saw. bersabda:

"Barangsiapa yang berkehendak untuk dilapangkan rezekinya dan ditangguhkanajalnya, maka hendaklah ia menyambung silaturrahmi (HR Bukhari, Muslim, danlainnya)

Adapun lafazh dzawil arham yang dimaksud dalam istilah fuqaha adalah kerabatpewaris yang tidak mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-Qur'anataupun Sunnah, dan bukan pula termasuk dari para 'ashabah. Maksudnya, dzawilarham adalah mereka yang bukan termasuk ashhabul furudh dan bukan pula 'ashabah.Jadi, dzawil arham adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan denganpewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara ashhabul furudh dan tidak pulasecara 'ashabah. Misalnya, bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman (saudaralaki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anakperempuan, dan sebagainya.

B. Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham

Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil arham, samahalnya dengan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullahsaw.. Dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama: golongan ini berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidakberhak mendapat waris. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidakada ashhabul furudh atau 'ashabah yang mengambilnya, maka seketika itudilimpahkan kepada baitulmal kaum muslim untuk disalurkan demi kepentinganmasyarakat Islam pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika hartatersebut diberikan kepada dzawil arham. Di antara mereka yang berpendapatdemikian ialah Zaid bin Tsabit r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat

Page 94: Pembagian Waris Menurut Islam

darinya, dan juga merupakan pendapat dua imam, yaitu Malik dan Syafi'irahimahumullah.

Kedua: golongan kedua ini berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat) berhakmendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun 'ashabah yang menerimaharta pewaris. Lebih jauh golongan kedua ini mengatakan bahwa dzawil arham adalahlebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan lainnya, sebab merekamemiliki kekerabatan dengan pewaris. Karena itu mereka lebih diutamakan untukmenerima harta tersebut daripada baitulmal. Pendapat ini merupakan jumhur ulama,di antaranya Umar bin Khathab, Ibnu Mas'ud, dan Ali bin Abi Thalib. Jugamerupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah.

Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh Imam Malik dan Syafi'i (golonganpertama) ialah:

1. Asal pemberian hak waris atau asal penerimaan hak waris adalah dengan adanyanash syar'i dan qath'i dari Al-Qur'an atau Sunnah. Dan dalam hal ini tidak ada satupun nash yang pasti dan kuat yang menyatakan wajibnya dzawil arham untukmendapat waris. Jadi, bila kita memberikan hak waris kepada mereka (dzawil arham)berarti kita memberikan hak waris tanpa dilandasi dalil pasti dan kuat. Hal seperti inimenurut syariat Islam adalah batil.

2. Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris bibi --baik dari garis ayah maupundari ibu-- beliau saw. menjawab: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahukankepadaku bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikit pun."

Memang sangat jelas betapa dekatnya kekerabatan saudara perempuan ayah ataupunsaudara perempuan ibu dibandingkan kerabat lainnya. Maka jika keduanya tidakberhak untuk menerima harta waris, kerabat lain pun demikian. Sebab, tidak mungkindan tidak dibenarkan bila kita memberikan hak waris kepada kerabat lain, sedangkanbibi tidak mendapatkannya. Hal demikian dalam dunia fiqih dikenal dengan istilahtarjih bilaa murajjih yang berarti batil. Dengan dasar ini dapat dipetik pengertianbahwa karena Rasulullah saw. tidak memberikan hak waris kepada para bibi, makatidak pula kepada kerabat yang lain.

3. Harta peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar --baikdari ashhabul furudh-nya ataupun para 'ashabahnya-- bila diserahkan ke baitulmalakan dapat mewujudkan kemaslahatan umum, sebab umat Islam akan ikut merasakanfaedah dan kegunaannya. Namun sebaliknya, bila diserahkan kepada kerabatnya,maka kegunaan dan faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan mereka sajayang merasakannya. Padahal dalam kaidah ushul fiqih telah ditegaskan bahwakemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan pribadi. Atasdasar inilah maka baitulmal lebih diutamakan untuk menyimpan harta waris yangtidak ada ashhabul furudh dan 'ashabahnya ketimbang para kerabat.

Adapun golongan kedua, yakni Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, menyatakanbahwa dzawil arham atau para kerabat berhak mendapatkan waris, mereka mendasaripendapatnya itu dengan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan logika. Dalil Al-Qur'an yangdimaksud ialah:

Page 95: Pembagian Waris Menurut Islam

"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhakterhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)

Makna yang mendasar dari dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah menyatakan ataubahkan menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa para kerabat lebih berhak untukmendapatkan atau menerima hak waris daripada yang lain. Di sini, lafazh arham yangberarti kerabat adalah umum, termasuk ashhabul furudh, para ''ashabah, serta selainkeduanya. Pendek kata, makna kata itu mencakup kerabat yang mempunyai hubunganrahim atau lebih umumnya hubungan darah.

Ayat tersebut seolah-olah menyatakan bahwa yang disebut kerabat --siapa punmereka, baik ashhabul furudh, para 'ashabah, atau selain dari keduanya-- merekalahyang lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang yang bukan kerabat. Bilapewaris mempunyai kerabat dan kebetulan ia meninggalkan harta waris, makaberikanlah harta waris itu kepada kerabatnya dan janganlah mendahulukan yang lain.Jadi, atas dasar inilah maka para kerabat pewaris lebih berhak untuk menerima hakwaris ketimbang baitulmal.

Hal ini juga berdasarkan firman-Nya yang lain:

"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, danbagi wanita ada hak bagian (pula) dan harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." (an-Nisa': 7)

Melalui ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa kaum laki-laki dan wanitamempunyai hak untuk menerima warisan yang ditinggalkan kerabatnya, baik sedikitataupun banyak. Seperti yang disepakati oleh jumhur ulama bahwa yang dimaksuddengan dzawil arham adalah para kerabat. Dengan demikian, mereka (dzawil arham)berhak untuk menerima warisan.

Kemudian sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas ulama bahwa ayat di atas me-mansukh (menghapus) kebiasaan pada awal munculnya Islam, pada masa itu kaummuslimin saling mewarisi disebabkan menolong dan hijrah. Dengan turunnya ayat ini,maka yang dapat saling mewarisi hanyalah antara sesama kerabat (dzawil arham).Oleh karena itu, para kerabatlah yang paling berhak untuk menerima hartapeninggalan seorang pewaris.

Adapun dalil dari Sunnah Nabawiyah adalah seperti yang diberitakan dalam sebuahriwayat masyhur, dalam riwayat ini dikisahkan. Ketika Tsabit bin ad-Dahjahmeninggal dunia, maka Rasulullah saw. bertanya kepada Qais bin Ashim, "Apakahengkau mengetahui nasab orang ini?" Qais menjawab, "Yang kami ketahui orang itudikenal sebagai asing nasabnya, dan kami tidak mengetahui kerabatnya, kecuali hanyaanak laki-laki dari saudara perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir.Kemudian Rasul pun memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada AbuLubabah bin Abdul Mundzir.

Keponakan laki-laki dari anak saudara perempuan tidak lain hanyalah merupakankerabat, yang bukan dari ashhabul furudh dan bukan pula termasuk 'ashabah. Denganpemberian Rasulullah saw. akan hak waris kepada dzawil arham menunjukkan

Page 96: Pembagian Waris Menurut Islam

dengan tegas dan pasti bahwa para kerabat berhak menerima harta waris bila ternyatapewaris tidak mempunyai ashhabul furudh yang berhak untuk menerimanya atau para'ashabah.

Dalam suatu atsar diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu ketika AbuUbaidah bin Jarrah mengajukan persoalan kepada Umar. Abu Ubaidah menceritakanbahwa Sahal bin Hunaif telah meninggal karena terkena anak panah yang dilepaskanseseorang. Sedangkan Sahal tidak mempunyai kerabat kecuali hanya paman, yaknisaudara laki-laki ibunya. Umar menanggapi masalah itu dan memerintahkan kepadaAbu Ubaidah untuk memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya. Karenasesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"(Saudara laki-laki ibu) berhak menerima waris bagi mayit yang tidak mempunyaiketurunan atau kerabat yang berhak untuk menerimanya."

Atsar ini --yang di dalamnya Umar al-Faruq memberitakan sabda Rasulullah saw.---merupakan dalil yang kuat bahwa kerabat lebih berhak menerima harta warispeninggalan pewaris ketimbang baitulmal. Kalaulah baitulmal lebih berhak untukmenampung harta peninggalan pewaris yang tidak mempunyai ahli waris dariashhabul furudh dan 'ashabah-nya, maka Umar bin Khathab pasti tidak akanmemerintahkan kepada Abu Ubaidah Ibnul Jarrah r.a. untuk memberikan kepadapaman Sahal tersebut. Sebab, Umar bin Khathab r.a adalah seorang khalifah Islamyang dikenal sangat mengu tamakan kepentingan umum daripada kepentinganpribadi. Dan hal ini terbukti seperti yang banyak dikisahkan dalam kitab-kitab tarikh.

Adapun dalil logikanya seperti berikut: sesungguhnya para kerabat jauh lebih berhakuntuk menerima harta warisan daripada baitulmal. Alasannya, karena ikatan antarabaitulmal dan pewaris hanya dari satu arah, yaitu ikatan Islam --karena pewarisseorang muslim. Berbeda halnya dengan seseorang yang memiliki hubungankekerabatan dengan pewaris, dalam hal ini ia mempunyai dua ikatan: ikatan Islam danikatan rahim.

Oleh sebab itu, ikatan dari dua arah sudah barang tentu akan lebih kuat dibandingkanikatan satu arah. Permasalahan ini sama seperti dalam kasus adanya saudara kandunglaki-laki dengan saudara laki-laki seayah dalam suatu keadaan pembagian harta waris,yang dalam hal ini seluruh harta waris menjadi hak saudara kandung laki-laki. Sebab,ikatannya dari dua arah, dari ayah dan dari ibu, sedangkan saudara seayah hanya dariayah.

Di samping itu, kelompok kedua (jumhur ulama) ini menyanggah dalil yangdikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi'i bahwa hadits itu kemungkinannyaada sebelum turunnya ayat di atas. Atau, mungkin juga bahwa bibi (baik dari ayahatau ibu) tidak berhak mendapat waris ketika berbarengan dengan ashhabul furudhatau para 'ashabah.

Jadi, yang jelas --jika melihat konteks hadits yang pernah dikemukakan-- jawabanRasulullah saw. tentang hak waris bibi ketika itu disebabkan ada ashhabul furudh atauada 'ashabah-nya. Inilah usaha untuk menyatukan dua hadits yang sepintasbertentangan.

Page 97: Pembagian Waris Menurut Islam

Setelah membandingkan kedua pendapat itu, kita dapat menyimpulkan bahwapendapat jumhur ulama (kelompok kedua) lebih rajih (kuat dan akurat), karenamemang merupakan pendapat mayoritas sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin. Disamping dalil yang mereka kemukakan lebih kuat dan akurat, juga tampak lebih adilapalagi jika dihubungkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini.

Sebagai contoh, kelompok pertama berpendapat lebih mengutamakan baitulmalketimbang kerabat, sementara di sisi lain mereka mensyaratkan keberadaan baitulmaldengan persyaratan khusus. Di antaranya, baitulmal harus terjamin pengelolaannya,adil, dan amanah; adil dalam memberi kepada setiap yang berhak, dan tepat gunadalam menyalurkan harta baitulmal.

Maka muncul pertanyaan, dimanakah adanya baitulmal yang demikian, khususnyapada masa kita sekarang ini. Tidak ada jawaban lain untuk pertanyaan seperti itukecuali: "telah lama tiada". Terlebih lagi pada masa kita sekarang ini, ketika musuh-musuh Islam berhasil memutus kelangsungan hidup khilafah Islam denganmemporakporandakan barisan, persatuan dan kesatuan muslimin, kemudianmembagi-baginya menjadi negeri dan wilayah yang tidak memiliki kekuatan.Sungguh tepat apa yang digambarkan seorang penyair dalam sebuah bait syairnya:"Setiap jamaah di kalangan kita mempunyai iman, namun kesemuanya tidakmempunyai imam."

Melihat kenyataan demikian, para ulama dari mazhab Maliki dan mazhab Syafi'imutakhir memberikan fatwa dengan mendahulukan para kerabat ketimbang baitulmal,khususnya setelah abad ketiga Hijriah, ketika pengelolaan baitulmal tidak lagi teratursehingga terjadi penyalahgunaan. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa keduakelompok ulama tersebut pada akhirnya bersepakat untuk lebih mengutamakanpemberian harta waris kepada kerabat ketimbang baitulmal. Hal ini dapat terlihattentunya dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan yang ada, dari mulaiakhir abad ketiga Hijriah hingga masa kita dewasa ini.

C. Cara Pembagian Waris Para Kerabat

Di antara fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hakwaris kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat.

1. Menurut Ahlur-Rahmi

Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwasemua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnyakekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.

Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunananak perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi(saudara perempuan ayah), bibi (saudara perempuan ibu), dan keponakan laki-lakiketurunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka mendapatkan bagianwaris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli warisyang ada.

Page 98: Pembagian Waris Menurut Islam

Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yangmenganut pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahliwaris yang lain dalam hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat sertalemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruhahli waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan.

Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pundari ulama atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapatini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yangmasyhur dalam disiplin ilmu mawarits.

2. Menurut Ahlut-Tanzil

Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahliwaris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka tidakmemperhitungkan ahli waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yanglebih dekat dari ashhabul furudh dan para 'ashabahnya. Dengan demikian, merekaakan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebihdekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, jugamerupakan pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.

Untuk memperjelas pemahaman tentang mazhab ini perlu saya kemukakan contoh-contoh seperti berikut:

1. Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anakperempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara kandung perempuan, dankeponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan inidapat dikategorikan sama dengan meninggalkan anak perempuan, saudarakandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Oleh karena itu,pembagiannya seperti berikut: anak perempuan mendapat setengah (1/2)bagian, saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian,sedangkan saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian (mahjub)disebabkan saudara kandung perempuan di sini sebagai 'ashabah, karena itu iamendapatkan sisanya. Inilah gambarannya:

Anak kandung pr. 1/2, Sdr. kandung pr. 1/2, Sdr. laki-laki seayah mahjub.2. Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan keturunan saudara

kandung perempuan, keponakan perempuan keturunan saudara perempuanseayah, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu, dan sepupuperempuan keturunan paman kandung (saudara laki-laki seayah). Makapembagiannya seperti berikut: keponakan perempuan keturunan saudarakandung perempuan mendapatkan setengah (1/2) bagian, keponakanperempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat seperenam(1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), keponakan laki-laki keturunansaudara perempuan seibu mendapatkan seperenam (1/6) bagian secara fardh,dan sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkanseperenam (1/6) bagian sebagai 'ashabah. Hal demikian dikarenakan sama sajadengan pewaris meninggalkan saudara kandung perempuan, saudaraperempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman kandung. Inilahgambarnya:

Page 99: Pembagian Waris Menurut Islam

Sdr. kand. Pr. 3/6, sdr. pr. seayah 1/6, sdr. pr. 1/6, seibu paman kand. 1/6

Begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat derajatkekerabatannya kepada pewaris.

Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu'(sampai sanadnya) kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepadaseorang bibi (saudara perempuan ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu) kebetulansaat itu tidak ada ahli waris lainnya-- maka beliau memberi bibi (dari pihak ayah)dengan dua per tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi diberikannya kepada bibi (daripihak ibu).

Selain itu, juga berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima pengaduantentang pembagian waris seseorang yang wafat dan meninggalkan cucu perempuanketurunan anak wanita, dan keponakan perempuan keturunan saudara kandungperempuan. Maka Ibnu Mas'ud memberikan setengah bagian untuk cucu perempuandan setengah bagian lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab inimenyatakan bahwa hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'udmenunjukkan betapa kuatnya pendapat mereka.

Adapun dalih orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangatlogis, adalah bahwa memberikan hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkankecuali dengan berlandaskan pada nash-nash umum --yang justru tidak memberikanrincian mengenai besarnya bagian mereka masing-masing dan tidak ada pentarjihansecara jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan kepada pokoknya --karenamemang lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris-- jauh lebih utama dan bahkanlebih berhak. Sebab, rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para 'ashabah telahdijelaskan. Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain untukmengenali dan menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan ataumenisbatkannya kepada pokok ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepadapewaris.

3. Menurut Ahlul Qarabah

Adapun mazhab ketiga menyatakan bahwa hak waris para dzawil arham ditentukandengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka,dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para 'ashabah, berarti yang palingberhak di antara mereka (para 'ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris darisegi dekat dan kuatnya kekerabatan.

Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris untukdzawil arham mazhab ini membaginya secara kelompok. Dalam prakteknya samaseperti membagi hak waris para 'ashabah, yaitu melihat siapa yang paling dekathubungan kekerabatannya dengan pewaris, kemudian barulah yang lebih kuat diantara kerabat yang ada. Selain itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umumpembagian waris: bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita.

Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulamamazhab Hanafi.

Page 100: Pembagian Waris Menurut Islam

Di samping itu, mazhab ketiga ini telah mengelompokkan dan membagi dzawil arhammenjadi empat golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyaicabang dan keadaannya. Lebih jauh akan dijelaskan hak masing-masing golongan dancabang tersebut akan hak warisnya. Keempat golongan tersebut adalah:

1. Orang-orang (ahli waris) yang bernisbat kepada pewaris.2. Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris.3. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris.4. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua nenek

pewaris.

Yang bernisbat kepada pewaris sebagai berikut:

a. Cucu laki-laki keturunan anak perempuan, dan seterusnya, baik laki-lakiataupun perempuan.

b. Buyut laki-laki dari keturunan cucu perempuan dan keturunan anak laki-laki,dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan.

Yang dinisbati oleh pewaris:

a. Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ayah dari ibu, ayah dariayahnya ibu (kakek dari ibu).

b. Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ibu dari ayahnya ibu, ibu dariibu ayahnya ibu.

Yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris:

a. Keturunan saudara kandung perempuan, atau yang seayah, atau yang seibu,baik keturunan laki-laki ataupun perempuan.

b. Keturunan perempuan dari saudara kandung laki-laki, atau seayah, seibu, danseterusnya.

c. Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya.

Yang bernisbat kepada kedua kakek atau nenek dari pihak ayah ataupun ibu:

a. Bibi (saudara perempuan ayah) pewaris, baik bibi kandung, seayah, atau seibu.Kemudian paman (saudara laki-laki ibu) pewaris, dan bibi (saudara perempuanibu), dan paman (saudara ayah) ibu.

b. Keturunan dari bibi (saudara perempuan ayah), keturunan dari pamannya(saudara laki-laki ibu), keturunan bibinya (saudara perempuan ibu), keturunanpaman (saudara laki-laki ayah) yang seibu, dan seterusnya.

c. Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah, ataupun seibu. Juga semuapamannya dan bibinya (paman dan bibi dari ayah). Juga pamannya (saudaraayah) yang seibu (mencakup semua paman dan bibi dari ibu, baik yangkandung maupun yang seayah).

d. Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan itu dan seterusnya, misalnyaketurunan laki-laki dan perempuan dari bibi sang ayah.

e. Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian paman dan bibi --baik dari ayah maupun ibu-- dari kakek dan nenek.

Page 101: Pembagian Waris Menurut Islam

f. Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan di atas (Butir e) danseterusnya.

Itulah keenam kelompok yang bernisbat kepada kedua kakek dan kedua nenekpewaris.

Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah

Dari uraian-uraian sebelumnya, ternyata kita menemukan beberapa perbedaan yangjelas antara mazhab ahlut-tanzil dengan ahlul qarabah:

1. Ahlut-tanzil tidak menyusun secara berurutan kelompok per kelompok, dantidak pula mendahulukan antara satu dari yang lain. Sedangkan ahlul qarabahmenyusun secara berurutan dan mendahulukan satu dari yang lain sebagaianalogi dari 'ashabah bi nafsihi..

2. Dasar yang dianggap oleh ahlut-tanzil dalam mendahulukan satu dari yanglain adalah "dekatnya keturunan" dengan sang ahli waris shahibul fardh atau'ashabah. Sedangkan oleh ahlul qarabah yang dijadikan anggapan ialah"dekatnya dengan kekerabatan", dan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagiankaum wanita sebagaimana yang berlaku pula dalam kalangan ahlul 'ashabah.

Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah

Telah saya kemukakan bahwa ahlul qarabah ini mengelompokkan dan memberikanurutan --dalam pembagian hak waris-- dengan mengqiyas pada jalur 'ashabah. Dengandemikian, menurut ahlul qarabah, yang pertama kali berhak menerima waris adalahketurunan pewaris (anak, cucu, dan seterusnya). Bila mereka tidak ada, makapokoknya: ayah, kakek, dan seterusnya. Jika tidak ada juga, maka barulah keturunansaudara laki-laki (keponakan). Bila mereka tidak ada, maka barulah keturunan paman(dari pihak ayah dan ibu). Jika tidak ada, maka barulah keturunan mereka yangsederajat dengan mereka, seperti anak perempuan dari paman kandung atau seayah.Dengan demikian, berdasarkan urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompokahli waris yang lebih awal disebutkan dapat menggugurkan kelompok berikutnya.

D. Syarat-syarat Pemberian Hak Waris bagi Dzawil Arham

1. Tidak ada shahibul fardh. Sebab, jika ada shahibul fardh, mereka tidak sekadarmengambil bagiannya, tetapi sisanya pun akan mereka ambil karenamerupakan hak mereka secara radd. Sedangkan kita ketahui bahwa kedudukanahli waris secara ar-radd dalam penerimaan waris lebih didahulukandibandingkan dzawil arham.

2. Tidak ada penta'shib ('ashabah). Sebab 'ashabah akan mengambil seluruh hakwaris yang ada, bila ternyata tidak ada shahibul fardh. Dan bila ada shahibulfardh, maka para 'ashabah akan menerima sisa harta waris yang ada, setelahdiambil hak para shahibul fardh.

Namun, apabila shahibul fardh hanya terdiri dari suami atau istri saja, maka ia akanmenerima hak warisnya secara fardh, dan sisanya diberikan kepada dzawil arham.Sebab kedudukan hak suami atau istri secara radd itu sesudah kedudukan dzawilarham. Dengan demikian, sisa harta waris akan diberikan kepada dzawil arham.

Page 102: Pembagian Waris Menurut Islam

Beberapa Catatan Penting:

Apabila dzawil arham (baik laki-laki maupun perempuan) seorang diri menjadi ahliwaris, maka ia akan menerima seluruh harta waris. Sedangkan jika dia berbarengandengan salah satu dari suami atau istri, maka ia akan menerima sisanya. Dan bilabersamaaan dengan ahli waris lain, maka pembagiannya sebagai berikut:

a. Mengutamakan dekatnya kekerabatan. Misalnya, pewaris meninggalkan ahliwaris cucu perempuan dari keturunan anak perempuan, dengan anak cucu perempuandari keturunan anak perempuan, maka yang didahulukan adalah cucu perempuan darianak perempuan. Begitu seterusnya.

b. Apabila ada kesamaan pada kedekatan derajat kekerabatan, maka yang lebihberhak untuk dintamakan adalah yang paling dekat dengan pewaris lewatshahibul fardh atau 'ashabah. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkancucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan cucu laki-laki dariketurunan anak perempuan, maka yang lebih didahulukan adalah cucuperempuan dari keturunan anak laki-laki.Dalam contoh ini, tampak ada kesamaan derajat di antara kedua ahli waris,keduanya memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris sama-sama sebagaicucu. Hanya saja, cucu perempuan keturunan anak laki-laki bernasab kepadapewaris lewat ahli waris, sedangkan cucu laki-laki dari keturunan anakperempuan melalui dzawil arham.

c. Apabila segi derajat dan kedekatannya kepada pewaris sama, maka haruslahmengutamakan mana yang lebih kuat kedekatan kekerabatannya. Misalnya,seseorang wafat dan meninggalkan anak perempuan dari saudara kandunglaki-laki (yakni keponakan kandung) dengan anak perempuan dari saudaralaki-laki seayah (keponakan bukan kandung), maka dalam keadaan seperti inikita harus mengutamakan keponakan kandung, dan berarti seluruh harta warismenjadi haknya. Yang demikian itu disebabkan keponakan kandung lebih kuatkekerabatannya. Begitulah seterusnya.

d. Apabila dalam suatu keadaan terjadi persamaan, maka pembagiannyadilakukan secara merata. Artinya, semua ahli waris dari dzawil arham berhakmenerima bagian. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang anakperempuan dari anak paman kandung, seorang anak perempuan dari anakpaman yang lain (kandung), dan seorang anak perempuan dari anak pamankandung yang lain. Atau dengan redaksi lain, orang yang wafat inimeninggalkan tiga putri keturunan anak paman kandung. Maka harta warisnyadibagi secara merata di antara mereka, karena ketiganya memiliki derajat yangsama dari segi kekerabatan.

Catatan lain

Di antara persoalan yang perlu saya kemukakan di sini ialah bahwa dalam pemberianhak waris terhadap para dzawil arham , bagian laki-laki dua kali lebih besar bagianperempuan, seperti halnya dalam pembagian para 'ashabah, sekalipun dzawil arhamitu keturunan saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu.

Page 103: Pembagian Waris Menurut Islam

Penutup

Itulah sekelumit mengenai hak waris para dzawil arham menurut mazhab ahlulqarabah yang merupakan mazhab imam Ali bin Abi Thalib r.a. dan para ulamamazhab Hanafi. Pendapat ini banyak diterapkan di sebagian negara Arab dan negaraIslam lainnya.

Sebenamya, di kalangan ulama mazhab ini banyak dijumpai perbedaan tentang carapembagian masing-masing kelompok tadi, terutama antara Imam Abi Yusuf danImam Muhammad (keduanya murid dan teman dekat Abu Hanifah, penj.). Namun,saya tidak mengemukakannya di sini sebab akan bertele-tele dan menjenuhkan. Olehkarenanya, bagi yang menghendaki pengetahuan lebih luas dalam masalah ini dapatmerujuknya pada kitab-kitab fiqih. Selain itu, pada prinsipnya yang banyak diamalkanadalah pandangan mazhab ahlut-tanzil sebagai mazhab Imam Ahmad, yang kemudiandianut oleh ulama muta'akhirin mazhab Maliki dan Syafi'i ---karena dari segipengamalannya memang lebih mudah.

Page 104: Pembagian Waris Menurut Islam

XI. HAK WARIS BANCI DAN WANITA HAMIL

A. Definisi Banci

Pengertian al-khuntsa (banci) dalam bahasa Arab diambil dari kata khanatsa berarti'lunak' atau 'melunak'. Misalnya, khanatsa wa takhannatsa, yang berarti apabilaucapan atau cara jalan seorang laki-laki menyerupai wanita: lembut dan melenggak-lenggok. Karenanya dalam hadits sahih dikisahkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupailaki-laki."

Adapun makna khanatsa menurut para fuqaha adalah orang yang mempunyai alatkelamin laki-laki dan kelamin wanita (hermaphrodit), atau bahkan tidak mempunyaialat kelamin sama sekali. Keadaan yang kedua ini menurut para fuqaha dinamakankhuntsa musykil, artinya tidak ada kejelasan. Sebab, setiap insan seharusnyamempunyai alat kelamin yang jelas, bila tidak berkelamin laki-laki berarti berkelaminperempuan.

Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas status hukumnya sehingga iaberhak menerima harta waris sesuai bagiannya.

Oleh karena itu, adanya dua jenis kelamin pada seseorang --atau bahkan sama sekalitidak ada-- -disebut sebagai musykil. Keadaan ini membingungkan karena tidak adakejelasan, kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi,misalnya dengan mencari tahu dari mana ia membuang "air kecil". Bila urinenyakeluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak warissebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina, iadivonis sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita. Namun, bilaia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secaraberbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa munsykil. Dan ia akantetap musykil hingga datang masa akil baligh.

Di samping melalui cara tersebut, dapat juga dilakukan dengan cara mengamatipertumbuhan badannya, atau mengenali tanda-tanda khusus yang lazim sebagaipembeda antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, bagaimana cara ia bermimpidewasa (maksudnya mimpi dengan mengeluarkan air mani, penj.), apakah ia tumbuhkumis, apakah tumbuh payudaranya, apakah ia haid atau hamil, dan sebagainya. Bilatanda-tanda tersebut tetap tidak tampak, maka ia divonis sebagai khuntsa musykil.

Dikisahkan bahwa Amir bin adz-Dzarb dikenal sebagai seorang yang bijak pada masajahiliah. Suatu ketika ia dikunjungi kaumnya yang mengadukan suatu peristiwa,bahwa ada seorang wanita melahirkan anak dengan dua jenis kelamin. Amirkemudian memvonisnya sebagai laki-laki dan perempuan.

Mendengar jawaban yang kurang memuaskan itu orang-orang Arabmeninggalkannya, dan tidak menerima vonis tersebut. Amir pun menjadi gelisah dantidak tidur sepanjang malam karena memikirkannya. Melihat sang majikan gelisah,budak wanita yang dimiliki Amir dan dikenal sangat cerdik menanyakan sebab-sebab

Page 105: Pembagian Waris Menurut Islam

yang menggelisahkan majikannya. Akhirnya Amir memberitahukan persoalantersebut kepada budaknya, dan budak wanita itu berkata: "Cabutlah keputusan tadi,dan vonislah dengan cara melihat dari mana keluar air seninya."

Amir merasa puas dengan gagasan tersebut. Maka dengan segera ia menemuikaumnya untuk mengganti vonis yang telah dijatuhkannya. Ia berkata: "Wahaikaumku, lihatlah jalan keluarnya air seni. Bila keluar dari penis, maka ia sebagai laki-laki; tetapi bila keluar dari vagina, ia dinyatakan sebagai perempuan." Ternyata vonisini diterima secara aklamasi.

Ketika Islam datang, dikukuhkanlah vonis tersebut. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.bahwa Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris seseorang yang dalamkeadaan demikian, maka beliau menjawab dengan sabdanya: "Lihatlah dari tempatkeluarnya air seni."

B. Perbedaan Ulama Mengenai Hak Waris Banci

Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian hak wariskepada banci musykil ini:

1. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hak waris banci adalah yang paling (lebih)sedikit bagiannya di antara keadaannya sebagai laki-laki atau wanita. Dan inimerupakan salah satu pendapat Imam Syafi'i serta pendapat mayoritas sahabat.

2. Mazhab Maliki berpendapat, pemberian hak waris kepada para bancihendaklah tengah-tengah di antara kedua bagiannya. Maksudnya, mula-mulapermasalahannya dibuat dalam dua keadaan, kemudian disatukan dan dibagimenjadi dua, maka hasilnya menjadi hak/bagian banci.

3. Mazhab Syafi'i berpendapat, bagian setiap ahli waris dan banci diberikandalam jumlah yang paling sedikit. Karena pembagian seperti ini lebihmeyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris. Sedangkan sisanya (dari harta warisyang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli warishingga telah nyata keadaan yang semestinya. Inilah pendapat yang dianggappaling rajih (kuat) di kalangan mazhab Syafi'i.

C. Hukum Banci dan Cara Pembagian Warisnya

Untuk banci --menurut pendapat yang paling rajih-- hak waris yang diberikankepadanya hendaklah yang paling sedikit di antara dua keadaannya --keadaan bila iasebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian untuk sementara sisa harta waris yangmenjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai adakesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau sampai banci itu meninggal hinggabagiannya berpindah kepada ahli warisnya.

Makna pemberian hak banci dengan bagian paling sedikit menurut kalangan fuqahamawarits mu'amalah bil adhar-- yaitu jika banci dinilai sebagai wanita bagiannyalebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya adalah hak waris wanita; danbila dinilai sebagai laki-laki dan bagiannya ternyata lebih sedikit, maka divonissebagai laki-laki. Bahkan, bila ternyata dalam keadaan di antara kedua status harusditiadakan haknya, maka diputuskan bahwa banci tidak mendapatkan hak waris.

Page 106: Pembagian Waris Menurut Islam

Bahkan dalam mazhab Imam Syafi'i, bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahliwaris gugur haknya dikarenakan adanya banci dalam salah satu dari dua status (yaknisebagai laki-laki atau wanita), maka gugurlah hak warisnya.

Beberapa Contoh Amaliah Hak Waris Banci

1. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki, seorang anakperempuan, dan seorang anak banci. Bila anak banci ini dianggap sebagai anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima (5), sedangkan bila dianggap sebagai wanitamaka pokok masalahnya dari empat (4). Kemudian kita menyatukan (al-jami'ah)antara dua masalah, seperti dalam masalah al-munasakhat. Bagian anak laki-lakiadalah delapan (8), sedangkan bagian anak perempuan empat (4), dan bagian anakbanci lima (5). Sisa harta waris yaitu tiga (3) kita bekukan untuk sementara hinggakeadaannya secara nyata telah terbukti.

2. Seseorang wafat meninggalkan seorang suami, ibu, dan saudara laki-laki banci.Pokok masalahnya dari enam (6) bila banci itu dikategorikan sebagai wanita,kemudian di-'aul-kan menjadi delapan (8). Sedangkan bila sang banci dianggapsebagai laki-laki, maka pokok masalahnya dari enam (6) tanpa harus di- 'aul-kan. Danal-jami'ah (penyatuan) dari keduanya, menjadilah pokok masalahnya dua puluh empat(24).

Sedangkan pembagiannya seperti berikut: suami sembilan (9) bagian, ibu enam (6)bagian, saudara laki-laki banci tiga (3) bagian, dan sisanya kita bekukan. Inilahtabelnya:

6 8 6 24

Suami 1/2 3 Suami 1/2 3 9

Ibu 1/3 2 Ibu 1/3 2 6

Banci 3 Banci kandung 1 4

Pada tabel tersebut sisa harta yang ada yaitu lima (5) bagian dibekukan sementara,dan akan dibagikan kembali ketika keadaan yang sebenamya telah benar-benar jelas.

3. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dansaudara laki-laki seayah banci. Maka pembagiannya seperti berikut:

Bila banci ini dikategorikan sebagai laki-laki, maka pokok masalahnya dua (2),sedangkan bila dikategorikan sebagai perempuan maka pokok masalahnya dari tujuh(7), dan penyatuan dari keduanya menjadi empat belas (14).

Bagian suami enam (6), saudara kandung perempuan enam (6) bagian, sedangkanyang banci tidak diberikan haknya. Adapun sisanya, yakni dua (2) bagian dibekukan.Ini tabelnya:

2 6 7 14

Suami 1/2 1 Suami 1/2 3 6

Page 107: Pembagian Waris Menurut Islam

Sdr. kdg. pr. 1/2 1 Sdr. kdg. pr. 1/2 3 6

Banci lk. - Sdr. pr. seayah 1/6 1 -

D. Definisi Hamil

Al-hamlu (hamil) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari katahamalat. Dikatakan: "al-mar'atu haamil ma haamilatun idsaa kaanat hublaa" (wanitaitu hamil apabila ia sedang mengandung janin).

Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengansusah payah (pula) ..." (al-Ahqaf: 15)

Sedangkan menurut istilah fuqaha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibunya,baik laki-laki maupun perempuan.

Dalam masalah hamil ini ada beberapa hukum yang berkaitan dengan hak waris, danpada kesempatan ini saya hanya akan utarakan secara global. Hanya kepada Allahsaya memohon pertolongan.

Pada pembahasan sebelumnya --tentang persyaratan hak waris/mewarisi-- telah sayakemukakan bahwa salah satu syarat yang harus terpenuhi oleh ahli waris adalahkeberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Dengan demikian, bagi janin yang masihdi dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya,karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi tersebut akan lahirselamat atau tidak, laki-laki atau perempuan, dan satu atau kembar. Setelah bayitersebut lahir dalam keadaan hidup, maka kita nyatakan bahwa ahli waris dalamkeadaan hidup pada saat pewaris wafat; demikian juga jika ia lahir dalam keadaanmati, maka kita nyatakan bahwa ahli waris tidak ada ketika pewaris wafat.

Secara ringkas dapat dikatakan, selama janin yang dikandung belum dapat diketahuidengan pasti keadaannya, maka mustahil bagi kita untuk menentukan jumlah bagianwaris yang harus diterimanya. Karena itu, untuk mengetahui secara pasti kita harusmenunggu setelah bayi itu lahir.

Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan kita dihadapkan pada keadaan darurat --menyangkut kemaslahatan sebagian ahli waris-- yang mengharuskan kita untuksegera membagi harta warisan dalam bentuk awal. Setelah itu, barulah kita bagikankepada masing-masing ahli waris secara lengkap setelah kelahiran bayi. Berkaitandengan hal ini, para pakar faraid menjelaskan hukum-hukum khusus secara rincidengan menyertakan berbagai pertimbangan demi menjaga kemaslahatan ahli warisyang ada.

E. Syarat Hak Waris Janin dalam Kandungan

Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan:

Page 108: Pembagian Waris Menurut Islam

1. Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunyaketika pewaris wafat.

2. Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapatdipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan.

Syarat pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Dankeluarnya bayi dari dalam kandungan maksimal dua tahun sejak kematian pewaris,jika bayi yang ada dalam kandungan itu anak pewaris. Hal ini berdasarkan pernyataanAisyah r.a.:

"Tidaklah janin akan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun sekalipunberada dalam falkah mighzal."

Pernyataan Aisyah r.a. tersebut dapat dipastikan bersumber dari penjelasan Rasulullahsaw.. Pernyataan ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satupendapat Imam Ahmad.

Adapun mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandunganmaksimal empat tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab ImamAhmad, seperti yang disinyalir para ulama mazhab Hambali.

Sedangkan persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaannyata-nyata hidup. Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru lahiradalah jika bayi tersebut menangis, bersin, mau menyusui ibunya, atau yangsemacamnya. Bahkan, menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan gerakanapa saja dari bayi tersebut.

Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahimibunya dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukupmenunjukkan adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak --seperti gerakanhewan yang dipotong-- maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengandemikian, ia tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

"Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), makahendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan Tirmidzi)

Namun, apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketikakeluar separo badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaanhidup tetapi tidak stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap tidakada.

F. Keadaan Janin

Ada lima keadaan bagi janin dalam kaitannya dengan hak mewarisi. Kelima keadaantersebut:

1. Bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apa pun, baik janin tersebutberkelamin laki-laki ataupun perempuan.

Page 109: Pembagian Waris Menurut Islam

2. Sebagai ahli waris dalam keadaan memiliki kelamin (laki-laki atauperempuan), dan bukan sebagai ahli waris dalam keadaan berkelamin ganda(banci).

3. Sebagai ahli waris dalam segala keadaannya baik sebagai laki-laki maupunperempuan.

4. Sebagai ahli waris yang tidak berbeda hak warisnya, baik sebagai laki-lakiataupun perempuan.

5. Sebagai ahli waris tunggal, atau ada ahli waris lain namun ia majhub(terhalang) hak warisnya karena adanya janin.

Keadaan Pertama

Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yangada secara langsung,tanpa harus menunggu kelahiran janin yang ada di dalam kandungan, disebabkanjanin tersebut tidak termasuk ahli waris dalam segala kondisi.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, dan ibu yang sedanghamil dari ayah tiri pewaris. Berarti bila janin itu lahir ia menjadi saudara laki-lakiseibu pewaris. Dalam keadaan demikian berarti mahjub hak warisnya oleh adanyaayah pewaris. Karenanya harta waris yang ada hanya dibagikan kepada istriseperempat (1/4), ibu sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil hak istri, dan sisanyamenjadi bagian ayah sebagai 'ashabah. Pokok masalahnya dari empat (4).

Keadaan Kedua

Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yang ada denganmenganggap bahwa janin yang dikandung adalah salah satu dari ahli waris, namununtuk sementara bagiannya dibekukan hingga kelahirannya. Setelah janin lahirdengan selamat, maka hak warisnya diberikan kepadanya. Namun, bila lahir danternyata bukan termasuk dari ahli waris, maka harta yang dibekukan tadi dibagikanlagi kepada ahli waris yang ada.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, paman (saudara ayah), danipar perempuan yang sedang hamil (istri saudara kandung laki-laki), makapembagiannya seperti berikut: istri mendapat seperempat (1/4), dan sisanya yang duaper tiga (2/3) dibekukan hingga janin yang ada di dalam kandungan itu lahir. Bilayang lahir anak laki-laki, maka dialah yang berhak untuk mendapatkan sisa harta yangdibekukan tadi. Sebab kedudukannya sebagai keponakan laki-laki (anak laki-lakiketurunan saudara kandung laki-laki), oleh karenanya ia lebih utama dibandingkedudukan paman kandung.

Namun, apabila yang lahir anak perempuan, maka sisa harta waris yang dibekukan itumenjadi hak paman. Sebab keponakan perempuan (anak perempuan keturunansaudara laki-laki) termasuk dzawil arham.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, tiga saudara perempuanseibu, dan istri ayah yang sedang hamil. Pembagiannya seperti berikut: apabila istriayah tersebut melahirkan bayi laki-laki, berarti menjadi saudara laki-laki seayah.Maka dalam keadaan demikian ia tidak berhak mendapatkan waris, karena tidak adasisa dari harta waris setelah diambil para ashhabul furudh yang ada.

Page 110: Pembagian Waris Menurut Islam

Namun, bila ternyata bayi tersebut perempuan, berarti ia menjadi saudara perempuanseayah, maka dalam hal ini ia berhak mendapat bagian separo (1/2), dan pokokmasalahnya dari enam (6) di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Setelah ashhabul furudhmenerima bagian masing-masing, kita lihat sisanya yang menjadi bagian bayi yangmasih dalam kandungan. Bila yang lahir bayi perempuan, maka sisa bagian yangdibekukan menjadi bagiannya, namun bila ternyata laki-laki yang lahir, maka sisaharta waris yang dibekukan tadi diberikan dan dibagikan kepada ahli waris yang ada.Tabelnya seperti berikut:

6 9

Suami 1/2 3

Ibu 1/6 1

3 sdr. pr. seibu 1/3 1

Sdr.pr.seayah (hamil) 1/2 1

Sisanya tiga (3), untuk sementara dibekukan hingga janin telah dilahirkan.

Keadaan Ketiga

Apabila janin yang ada di dalam kandungan sebagai ahli waris dalam segalakeadaannya --hanya saja hak waris yang dimilikinya berbeda-beda (bisa laki-laki danbisa perempuan)-- maka dalam keadaan demikian hendaknya kita berikan duailustrasi, dan kita bekukan untuk janin dari bagian yang maksimal. Sebab, boleh jadi,jika bayi itu masuk kategori laki-laki, ia akan lebih banyak memperoleh bagiandaripada bayi perempuan. Atau terkadang terjadi sebaliknya. Jadi, hendaknya kitaberikan bagian yang lebih banyak dari jumlah maksimal kedua bagiannya, danhendaknya kita lakukan pembagian dengan dua cara dengan memberikan bagian ahliwaris yang ada lebih sedikit dari bagian-bagian masing-masing.

Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ibu, danayah. Dalam keadaan demikian, bila janin dikategorikan sebagai anak laki-laki,berarti kedudukannya sebagai anak laki-laki pewaris, dan pembagiannya sepertiberikut: ibu seperenam (1/6), ayah seperenam (1/6), dan bagian istri seperdelapan(1/8), dan sisanya merupakan bagian anak laki-laki sebagai 'ashaloub.

Agar keadaan ketiga ini lebih jelas maka perlu saya kemukakan contoh tabel dalamdua kategori (laki-laki dan perempuan).

24 24 24

Istri 1/8 3 Istri 1/8 3 3

Ayah 1/6 4 Ayah 'ashabah 5 4

Ibu 1/6 4 Ibu 1/6 4 4

Janin lk. sbg. 'ashabah 13 Janin pr. 1/2 12 12

Sisanya satu (1), dibekukan.

Page 111: Pembagian Waris Menurut Islam

Keadaan Keempat

Bila bagian janin dalam kandungan tidak berubah baik sebagai laki-laki maupunperempuan, maka kita sisihkan bagian warisnya, dan kita berikan bagian para ahliwaris yang ada secara sempurna.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan,saudara perempuan seayah, dan ibu yang hamil dari ayah lain (ayah tiri pewaris).Apabila janin telah keluar dari rahim ibunya, maka bagian warisnya tetap seperenam(1/6), baik ia laki-laki ataupun perempuan. Sebab kedudukannya sebagai saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu dengan pewaris. Dengan demikian,kedudukan bayi akan tetap mendapat hak waris seperenam (1/6), dalam keduakeadaannya, baik sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan. Inilah tabelnya.

6 6

Sdr. kdg. pr. 1/2 3 Sdr. kdg. pr. 1/2 3

Sdr. pr. seayah 1/6 1 Sdr. pr. seayah 1/6 1

Ibu (hamil) 1/6 1 Ibu 1

(Janin) sdr. seibu 1/6 1 (Janin) sdr. seibu 1/6 1

Keadaan Kelima

Apabila tidak ada ahli waris lain selain janin yang di dalam kandungan, atau ada ahliwaris lain akan tetapi mahjub haknya karena adanya janin, maka dalam keadaanseperti ini kita tangguhkan pembagian hak warisnya hingga tiba masa kelahiran janintersebut. Bila janin itu lahir dengan hidup normal, maka dialah yang akan mengambilhak warisnya, namun jika ia lahir dalam keadaan mati, maka harta waris yang adaakan dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak untuk menerimanya.

Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan menantu perempuan yang sedanghamil (istri dan anak laki-lakinya) dan saudara laki-laki seibu. Maka janin yang masihdalam kandungan merupakan pokok ahli waris, baik kelak lahir sebagai laki-laki atauperempuan. Karenanya, akan menggugurkan hak waris saudara laki-laki pewaris yangseibu tadi. Sebab, bila janin tadi lahir sebagai laki-laki berarti kedudukannya sebagaicucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, dengan begitu ia akan mengambil seluruhsisa harta waris yang ada karena ia sebagai 'ashabah. Dan bila janin tadi lahir sebagaiperempuan, maka ia sebagai cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan akanmendapat bagian separo (1/2) harta \varis yang ada, dan sisanya akan dibagikansebagai tambahan (ar-radd) bila ternyata tidak ada 'ashabah.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil dan saudarakandung laki-laki. Maka bagian istri adalah seperdelapan (1/8), dan saudara laki-lakitidak mendapat bagian bila janin yang dikandung tadi laki-laki. Akan tetapi, bila bayitersebut perempuan maka istri mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian, anakperempuan setengah (1/2) bagian, dan sisanya merupakan bagian saudara kandunglaki-laki sebagai 'ashabah.

Page 112: Pembagian Waris Menurut Islam

XII HAK WARIS ORANG YANG HILANG,TENGGELAM, DAN TERTIMBUN

A. Definisi

Al-mafqud dalam bahasa Arab secara harfiah bermakna 'hilang'. Dikatakan faqadtuasy-syai'a idzaa adha'tuhu (saya kehilangan bila tidak mengetahui di mana sesuatu ituberada). Kita juga bisa simak firman Allah SWT berikut:

"Penyeru-penyeru itu berkata: 'Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapatmengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan akumenjamin terhadapnya." (Yusuf: 72)

Sedangkan menurut istilah para fuqaha, al-mafqud berarti orang yang hilang, terputusberitanya, dan tidak diketahui rimbanya, apakah dia masih hidup atau sudah mati.

Hukum Orang yang Hilang

Para fuqaha telah menetapkan beberapa hukum yang berkenaan dengan orang yanghilang/menghilang, di antaranya: istrinya tidak boleh dinikahi/dinikahkan, hartanyatidak boleh diwariskan, dan hak kepemilikannya tidak boleh diusik, sampai benar-benar diketahui keadaannya dan jelas apakah ia masih hidup atau sudah mati. Atautelah berlalu selama waktu tertentu dan diperkirakan secara umum -- telah mati, danhakim pun telah memvonisnya sebagai orang yang dianggap telah mati.

Kadang-kadang bisa juga ditetapkan sebagai orang yang masih hidup berdasarkanasalnya, hingga benar-benar tampak dugaan yang sebaliknya (yakni benar-benarsudah mati). Yang demikian itu berdasarkan ucapan Ali bin Abi Thalib r.a. tentangwanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui rimbanya. Ali berkata: "Dia adalahseorang istri yang tengah diuji, maka hendaknya dia bersabar, dan tidak halal untukdinikahi hingga ia mendapatkan berita yang meyakinkan akan kematian suaminya."

B. Batas Waktu untuk Menentukan bahwa Seseorang Hilang atauMati

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini terutama para ulamadari mazhab yang empat.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang hilang dan tidak dikenal rimbanyadapat dinyatakan sebagai orang yang sudah mati dengan melihat orang yang sebaya diwilayahnya --tempat dia tinggal. Apabila orang-orang yang sebaya dengannya sudahtidak ada, maka ia dapat diputuskan sebagai orang yang sudah meninggal. Dalamriwayat lain, dari Abu Hanifah, menyatakan bahwa batasnya adalah sembilan pulahtahun (90).

Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa batasnya adalah tujuh puluh tahun(70). Hal ini didasarkan pada lafazh hadits secara umum yang menyatakan bahwaumur umat Muhammad saw. antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun.

Page 113: Pembagian Waris Menurut Islam

Dalam riwayat lain, dari Imam Malik, disebutkan bahwa istri dari orang yang hilangdi wilayah Islam --hingga tidak dikenal rimbanya-- dibolehkan mengajukan gugatankepada hakim guna mencari tahu kemungkinan-kemungkinan dan dugaan yang dapatmengenali keberadaannya atau mendapatkan informasi secara jelas melalui sarana danprasarana yang ada. Apabila langkah tersebut mengalami jalan buntu, maka sanghakim memberikan batas bagi istrinya selama empat puluh tahun untuk menunggu.Bila masa empat puluh tahun telah usai dan yang hilang belum juga diketemukan ataudikenali rimbanya, maka mulailah ia untuk menghitung idahnya sebagaimanalazimaya istri yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari. Bila usaimasa idahuya, maka ia diperbolehkan untuk menikah lagi.

Sedangkan dalam mazhab Syafi'i dinyatakan bahwa batas waktu orang yang hilangadalah sembilan puluh tahun, yakni dengan melihat umur orang-orang yang sebaya diwilayahnya. Namun, pendapat yang paling sahih menurut anggapan Imam Syafi'iialah bahwa batas waktu tersebut tidak dapat ditentukan atau dipastikan. Akan tetapi,cukup dengan apa yang dianggap dan dilihat oleh hakim, kemudian divonisnyasebagai orang yang telah mati. Karena menurut Imam Syafi'i, seorang hakimhendaknya berijtihad kemudian memvonis bahwa orang yang hilang dan tidak lagidikenal rimbanya sebagai orang yang sudah mati, sesudah berlalunya waktu tertentu --kebanyakan orang tidak hidup melebihi waktu tersebut.

Sementara itu, mazhab Hambali berpendapat bahwa bila orang yang hilang itu dalamkeadaan yang dimungkinkan kematiannya seperti jika terjadi peperangan, ataumenjadi salah seorang penumpang kapal yang tenggelam-- maka hendaknya dicarikejelasannya selama empat tahun. Apabila setelah empat tahun belum jugadiketemukan atau belum diketahui beritanya, maka hartanya boleh dibagikan kepadaahli warisnya. Demikian juga istrinya, ia dapat menempuh masa idahnya, dan ia bolehmenikah lagi setelah masa idah yang dijalaninya selesai.

Namun, apabila hilangnya orang itu bukan dalam kemungkinan meninggal, sepertipergi untuk berniaga, melancong, atau untuk menuntut ilmu, maka Imam Ahmaddalam hal ini memiliki dua pendapat. Pertama, menunggu sampai diperkirakanumurnya mencapai sembilan puluh tahun Sebab sebagian besar umur manusia tidakmencapai atau tidak melebihi sembilan puluh tahun. Kedua, menyerahkan seluruhnyakepada ijtihad hakim. Kapan saja hakim memvonisnya, maka itulah yang berlaku.

Menurut hemat penulis, pendapat mazhab Hambali dalam hal ini lebih rajih (lebihtepat), dan pendapat inilah yang dipilih az-Zaila'i (ulama mazhab Hanafi) dandisepakati oleh banyak ulama lainnya. Sebab, memang tidak tepat jika hal ini hanyadisandarkan pada batas waktu tertentu, dengan alasan berbedanya keadaan wilayahdan personel. Misalnya, orang yang hilang pada saat peperangan dan pertempuran,atau banyak perampok dan penjahat, akan berbeda halnya dengan orang yang hilangbukan dalam keadaan yang demikian. Karena itu, dalam hal ini ijtihad dan usahaseorang hakim sangat berperan guna mencari kemungkinan dan tanda-tanda kuat yangdapat menuntunnya kepada vonis: masih hidup atau sudah mati. Inilah pendapat yanglebih mendekatkan kepada wujud kemaslahatan.

Page 114: Pembagian Waris Menurut Islam

C. Hak Waris Orang Hilang

Apabila seseorang wafat dan mempunyai ahli waris, dan di antara ahli warisnya adayang hilang tidak dikenal rimbanya, maka cara pemberian hak warisnya ada duakeadaan:

1. Ahli waris yang hilang sebagai hajib hirman bagi ahli waris yang lain.2. Bukan sebagai hajib (penghalang) bagi ahli waris yang ada, tetapi bahkan

sama berhak mendapat waris sesuai dengan bagian atau fardh-nya (yaknitermasuk ashhabul fardh)

Pada keadaan pertama: seluruh harta warisan peninggalan pewaris dibekukan --tidakdiberikan kepada ahli waris-- untuk sementara hingga ahli waris yang hilang munculatau diketahui tempatnya. Bila ahli waris yang hilang ternyata masih hidup, makadialah yang berhak untuk menerima atau mengambil seluruh harta warisnya. Namun,bila ternyata hakim telah memvonisnya sebagai orang yang telah mati, maka hartawaris tadi dibagikan kepada seluruh ahli waris yang ada dan masing-masingmendapatkan sesuai dengan bagian atau fardh-nya.

Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan seorang saudara kandung laki-laki, saudara kandung perempuan, dan anak laki-laki yang hilang. Posisi anak laki-laki dalam hal ini sebagai "penghalang" atau hajib hirman apabila masih hidup.Karena itu, seluruh harta waris yang ada untuk sementara dibekukan hingga anak laki-laki yang hilang telah muncul. Dan bila ternyata telah divonis oleh hakim sebagaiorang yang telah meninggal, maka barulah harta waris tadi dibagikan untuk ahli warisyang ada.

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung laki-laki, saudaralaki-laki seayah, dan dua saudara perempuan seayah. Posisi saudara kandung bilamasih hidup adalah sebagai haiib bagi seluruh ahli waris yang ada. Karenanya untuksementara harta waris yang ada dibekukan hingga hakikat keberadaannya nyatadengan jelas.

Sedangkan pada keadaan kedua, ahli waris yang ada berhak untuk menerima bagianyang paling sedikit di antara dua keadaan orang yang hilang (sebagai ahli waris yanghidup atau yang mati, atau mirip dengan pembagian hak waris banci). Maksudnya,bila ahli waris yang ada --siapa saja di antara mereka-- yang dalam dua keadaan orangyang hilang tadi sama bagian hak warisnya, hendaknya ia diberi hak waris secarasempurna (tanpa dikurangi atau dilebihkan, atau tanpa ada yang dibekukan). Namun,bagi ahli waris yang berbeda bagian hak warisnya di antara dua keadaan ahli warisyang hilang tadi (yakni keadaan hidup dan matinya), maka mereka diberi lebih sedikitdi antara kedua keadaan tadi. Namun, bagi siapa saja yang tidak berhak untukmendapatkan waris dalam dua keadaan orang yang hilang, dengan sendirinya tidakberhak untuk mendapatkan harta waris sedikit pun.

Sebagai contoh, seseorang wafat dan maninggalkan istri, ibu, saudara laki-laki seayah,dan saudara kandung laki-laki yang hilang. Dalam keadaan demikian, bagian istriadalah seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dan sisanya (yakni yang seperenam)lagi untuk sementara dibekukan hingga ahli waris yang hilang telah nyata benar

Page 115: Pembagian Waris Menurut Islam

keadaannya, atau telah divonis sebagai orang yang sudah meninggal. Sedangkansaudara laki-laki yang sesyah tidak mendapat hak waris apa pun.

Dalam contoh tersebut, tampak ada penyatuan antara ahli waris yang tidak berbedabagian warisnya dalam dua keadaan orang yang hilang --yaitu bagian istri seperempat(1/4)--dengan ahli waris yang berbeda hak warisnya di antara dua keadaan ahli warisyang hilang tadi, yaitu bagian ibu seperenam (1/6). Sebab bila ahli waris yang hilangtadi telah divonis hakim sebagai orang yang telah meninggal, maka ibu akanmendapat bagian sepertiga (1/3).

Contoh-contoh Kasus

Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudarakandung laki-laki yang hilang, maka pembagiannya sebagai berikut:

Dalam hal ini kita harus memboat dua cara pembagian, yang pertama dalam kategoriorang yang hilang tadi masih hidup, dan yang kedua dalam kategori sudah meninggal.Kemudian kita menggunakan cara al-jami'ah (menyatukan) kedua cara tadi. Darisinilah kita keluarkan hak waris masing-masing, kemudian membekukan sisanya.Tabelnya sebagai berikut:

4 7 8

Anggapan msh. hdp. 2 8 Anggapan sdh. mati 6 7 56

Suami 1/2 1 4 Suami 1/2 3 24

yang dibekukan 4

Sdr. kdg. pr 1 Sdr. kdg. pr 2 16

yang dibekukan 9

2/3

Sdr. kdg. pr 1 1 Sdr. kdg. pr 2 16

yang dibekukan 9

Sdr. kdg. lk. hlg 1 Sdr. kdg. lk. hlg - -

Misal lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, saudara kandung, dan cuculaki-laki dari keturunan anak laki-laki, maka bagian masing-masing ahli waris ituseperti berikut:

1 2

Anggapan msh. hdp. 24 Anggapan sdh. mati 12 24

Istri 1/8 3 Istri 1/4 3 6

yang dibekukan 3

Ibu 1/6 4 Ibu 1/3 4 8

yang dibekukan 4

Page 116: Pembagian Waris Menurut Islam

Sdr. lk. mahjub - Sdr.lk.kdg.'ashabah 5 10

yang dibekukan 10

Cucu lk. (hilang) 17 Cucu lk. (hilang)

Jumlah yang dibekukan 17

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, cucu perempuan keturunananak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan anak laki-laki yang hilang, makabagian masing-masing seperti berikut:

Anggapan msh. hdp. 4 Anggapan sdh. mati 4 4

Suami 1/4 1 Suami 1/4 1 1

Cucu pr.dr.anak.lk.(mahjub)

- Cucu pr.dr.anak.lk. 1/2 2 2

yang dibekukan 2

Sdr.kdg.pr. (mahjub) - Sdr.kdg.pr. 'ashabah 1 1

yang dibekukan 1

Anak lk. (hilang) 3 Anak lk. (hilang) - -

Contoh lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara laki-laki seibu, anakpaman kandung (sepupu), dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Makarincian pembagiannya seperti berikut:

Anggapan msh. hdp. 8 Anggapan sdh. mati 12 24

Istri 1/8 1 Istri 1/4 3 6

yang dibekukan 3

Sdr.lk.seibu (mahjub) - Sdr.lk. seibu 1/6 2 4

yang dibekukan 4

Sepupu. lk. 'ashabah 3 Sepupu. lk. 'ashabah 7 14

yang dibekukan 5

Cucu pr. (hilang) 4 Cucu pr. (hilang) - -

yang dibekukan 12

Demikianlah beberapa contoh tentang hak waris yang di antara ahli warisnya adayang hilang atau belum diketahui keadaannya.

D. Hak Waris Orang yang Tenggelam dan Tertimbun

Betapa banyak kejadian dan musibah yang kita alami dalam kehidupan di dunia ini.Sayangnya, sangat sedikit di antara kita yang mau mengambil i'tibar (pelajaran).Terkadang kejadian dan musibah itu tiba-tiba datangnya, tanpa diduga. Sehingga hal

Page 117: Pembagian Waris Menurut Islam

ini sering kali membuat manusia bertekuk lutut dan tidak berdaya, bahkan sebagianmanusia berani melakukan hal-hal yang menyimpang jauh dari kebenaran dalammenghadapinya.

Hanya orang-orang mukmin yang ternyata tetap bersabar dalam menghadapi musibah,ujian, dan cobaan, karena mereka selalu melekatkan kehidupannya dengan iman, danberpegang teguh pada salah satu rukunnya --yaitu iman kepada qadha dan qadar-Nya.Semua yang menimpa mereka terasa sebagai sesuatu yang ringan, sementara lisanmereka --jika menghadapi musibah-- senantiasa mengucapkan: "sesungguhnya kitaberasal dari Allah dan kepada-Nyalah kita kembali".

Begitulah kehidupan dunia yang selalu silih berganti. Kadangkadang manusia tertawadan merasa lapang dada, tetapi dalam sekejap keadaan dapat berubah sebaliknya.Oleh karenanya tidak ada sikap yang lebih baik kecuali berlaku sabar dan berserahdiri kepada-Nya. Perhatikan firman Allah SWT berikut:

"... Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar; (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapLan 'Innaa lillahi wa innaailaihi raaji'un.'" (al-Baqarah: 155-156)

Bukan sesuatu yang mustahil jika dalam suatu waktu dua orang bersaudara bepergianbersama-sama menggunakan pesawat terbang atau kapal laut, lalu mengalamikecelakaan. Atau mungkin saja terjadi bencana alam yang mengakibatkan rumah yangmereka huni runtuh, sehingga sebagian anggota keluarga mereka menjadi korban.Maka jika di antara mereka ada yang mempunyai keturunan, tentulah akan munculpersoalan dalam kaitannya dengan kewarisan. Misalnya, bagaimana cara pelaksanaanpemberian hak waris kepada masingmasing ahli waris?

Kaidah Pembagian Waris Orang yang Tenggelam dan Tertimbun

Kaidah yang berlaku dalam pembagian hak waris orang yang tenggelam dantertimbun yaitu dengan menentukan mana di antara mereka yang lebih dahulumeninggal. Apabila hal ini telah diketahui dengan pasti, pembagian waris lebihmudah dilaksanakan, yakni dengan memberikan hak waris kepada orang yangmeninggal kemudian. Setelah orang kedua (yang meninggal kemudian) meninggal,maka kepemilikan harta waris tadi berpindah kepada ahli warisnya yang berhak.Begitulah seterusnya.

Sebagai contoh, apabila dua orang bersaudara tenggelam secara bersamaan lalu yangseorang meninggal seketika dan yang seorang lagi meninggal setelah beberapa saatkemudian, maka yang mati kemudian inilah yang berhak menerima hak waris,sekalipun masa hidup yang kedua hanya sejenak setelah kematian saudaranya yangpertama. Menurut ulama faraid, hal ini telah memenuhi syarat hak mewarisi, yaituhidupnya ahli waris pada saat kematian pewaris.

Sedangkan jika keduanya sama-sama tenggelam atau terbakar secara bersamaankemudian mati tanpa diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, maka tidak adahak waris di antara keduanya atau mereka tidak saling mewarisi. Hal ini sesuaidengan kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama faraidh yang menyebutkan: "Tidakada hak saling mewarisi bagi kedua saudara yang mati karena tenggelam secara

Page 118: Pembagian Waris Menurut Islam

bersamaan, dan tidak pula bagi kedua saudara yang mati karena tertimbun reruntuhan,serta yang meninggal seketika karena kecelakaan dan bencana lainnya."

Hal demikian, menurut para ulama, disebabkan tidak terpenuhinya salah satupersyaratan dalam mendapatkan hak waris. Maka seluruh harta peninggalan yang adasegera dibagikan kepada ahli waris dari kerabat yang masih hidup.

Sebagai contoh, dua orang bersaudara mati secara berbarengan. Yang satumeninggalkan istri, anak perempuan, dan anak paman kandung (sepupu); sedangkanyang satunya lagi meninggalkan dua anak perempuan, dan anak laki-laki pamankandung (sepupu yang pertama disebutkan). Maka pembagiannya seperti berikut: istrimendapat seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan yang pertama setengah (1/2),dan sisanya untuk bagian sepupu sebagai 'ashabah.

Adapun bagian kedua anak perempuan (dari yang kedua) adalah dua per tiga (2/3),dan sisanya merupakan bagian sepupu tadi sebagai 'ashabah.

Misal lain, suami-istri meninggal secara bersamaan dan mempunyai tiga anak laki-laki. Suami-istri itu masing-masing mempunyai harta. Kemudian sang istri pernahmempunyai anak laki-laki dari suaminya yang dahulu, begitupun sang suami telahmempunyai istri lain dan mempunyai anak laki-laki. Maka pembagiannya sepertiberikut:

Harta istri yang meninggal untuk anaknya, sedangkan harta suami yang meninggalseperdelapannya (1/8) merupakan bagian istrinya yang masih hidup, dan sisanyaadalah untuk anak laki-lakinya dari istri yang masih hidup itu. Kemudian, harta ketigaanak laki-laki, seperenamnya (1/6) diberikan atau merupakan bagian saudara laki-lakimereka yang seibu, dan sisanya merupakan bagian saudara laki-lakinya yang seayahdengan mereka.

Pembahasan tentang hak waris-mewarisi bagi orang-orang yang mati tenggelam atautertimbun reruntuhan atau musibah lainnya merupakan bagian terakhir dari buku ini.Semoga apa yang saya lakukan dapat memberikan banyak manfaat bagi para penuntutilmu faraid, amin. Allahlah yang memberi taufik dan petunjuk kepada kita, dan sayaakhiri pembahasan ini dengan pujian kepada Rabb semesta alam.