pelaksanaan asas ketertiban umum dalam penetapan …
TRANSCRIPT
PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN
ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA
Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MUHAMAD GUNTAR HARIYUDI
NIM: 11160480000098
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
i
PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN
ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA
Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MUHAMAD GUNTAR HARIYUDI
NIM: 11160480000098
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
ii
PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN
ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA
Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
MUHAMAD GUNTAR HARIYUDI
NIM: 11160480000098
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.
NIP. 19670203 201411 1 101
Nisrina Mutiara Dewi, S.E.Sy., M.H.
NUPN. 9920112862
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM
PENETAPAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA Studi Kasus:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016” telah diujikan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 November 2020.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, Januari 2021
Mengesahkan
Dekan,
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.
NIP. 19760807 200312 1 101
PANITIA UJIAN MUNAQASAH
1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. (…………….)
NIP. 19670203 201411 1 101
2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. (…………….)
NIP. 19650908 199503 1 001
3. Pembimbing I : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. (…………….)
NIP. 19670203 201411 1 101
4. Pembimbing II : Nisrina Mutiara Dewi, S.E.Sy., M.H. (…………….)
NUPN. 9920112862
5. Penguji I : Dr. Abdul Halim, M.Ag. (…………….)
NIP. 19670608 199403 1 005
6. Penguji II : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. (…………….)
NIDN. 2021088601
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Muhamad Guntar Hariyudi
NIM : 11160480000098
Program Studi : Ilmu Hukum
Alamat : Jl. Batu I/34, RT.007/RW.001, Kelurahan Pejaten Timur,
Kecamatan Pasar Minggu
E-Mail : [email protected]
No. Kontak : 0859-2120-0310
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
syarat memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan
hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 22 Januari 2021
Muhamad Guntar Hariyudi
v
ABSTRAK
MUHAMAD GUNTAR HARIYUDI, NIM 11160480000098,
“PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN
ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA Studi Kasus: Putusan
Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016”. Konsentrasi Hukum Bisnis,
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta 1441 H/2020 M.
Penelitian ini bertujuan agar orang memahami penyebab sulitnya pelaksanaan
eksekusi putusan arbitrase internasional di Indonesia. Sedangkan Negara Indonesia
telah mengakui putusan arbitrase asing melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 1990 dengan pemberian kewenangan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
sebagai pelaksana eksekusi di lapangan. Dalam hal ini dilihat melalui Putusan
Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Yuridis
normatif pada penelitian ini memiliki dua sumber hukum, yakni sumber hukum primer
dan sekunder. Sumber hukum primer merujuk pada Putusan Mahkamah Agung Nomor
67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 dan PERMA Nomor 1 Tahun 1990. Adapun sumber hukum
sekunder merujuk kepada buku karya Cut Memi berjudul Arbitrase Komersial
Internasional Penerapan Klausul dalam Putusan Pengadilan Negeri.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional
karena dianggap mengintervensi sistem hukum di Indonesia dan telah melanggar
ketertiban umum. Asas ketertiban umum yang dimaksud dalam hal ini adalah
pelanggaran hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia yang dapat
membahayakan kepentingan Indonesia dan melanggar kedaulatan Negara Republik
Indonesia.
Kata Kunci : Arbitrase Internasional/Asing, Asas Ketertiban Umum,
Eksekusi Lihat skripsi yang teknis
Pembimbing Skripsi : 1. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.
2. Nisrina Mutiara Dewi, S.E.Sy., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1979 sampai Tahun 2016
vi
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan nikmat dan karunia yang
tidak terhinggga. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi
Muhammad Saw, beserta seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau sampai
akhir zaman nanti. Dengan mengucap Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn, akhirnya peneliti
dapat menyelesaikan penelitian skripsi dengan judul “PELAKSANAAN ASAS
KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN ARBITRASE
INTERNASIONAL DI INDONESIA Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung
Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016”.
Skripsi ini tidak dapat peneliti selesaikan dengan baik tanpa selain Allah Swt
dan bantuan serta dukungan berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini berlangsung.
Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para
pihak yang telah memberikan peranan secara langsung maupun tidak langsung atas
pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Drs. Abu Tamrin, S.H.,
M.Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan untuk menyelesaikan skripsi
ini.
3. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. dan Nisrina Mutiara Dewi, S.E.Sy.,
M.H. Pembimbing Skripsi. Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H. Dosen
Penasehat Akademik yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan kesabaran
dalam membimbing peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
vii
4. Kepala Perpustakaan Pusat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan fasilitas dan mengizinkan peneliti untuk mencari dan meminjam buku-
buku referensi dan sumber-sumber data lainnya yang diperlukan.
5. Kepada kedua orang tua peneliti, Bapak Ir. Rudi Zainuddin dan Ibu Yulistiana S.E.
dan juga kepada adik peneliti Selina Juwita Putri dan Aqila Jelita Putri yang selalu
memberikan dukungan, baik materil maupun imateriil berupa motivasi, do’a,
bahkan kepercayaan untuk dapat duduk di bangku kuliah hingga menyelesaikan
gelar sarjana ini.
6. Pihak-pihak lainnya yang telah memberi kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini.
Demikian ucapan terima kasih ini, semoga Allah memberikan balasan yang
setara kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan skripsi ini
dan semoga pula skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, …………………..
Muhamad Guntar Hariyudi
NIM. 11160480000098
viii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………. 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah …………........ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………... 6
D. Metode Penelitian ………………………………………………... 7
E. Sistematika Pembahasan .………………………………………..10
BAB II TINJAUAN UMUM PELAKSANAAN ARBITRASE
INTERNASIONAL
A. Kerangka Konseptual …………………………………………… 13
1. Pengertian Arbitrase Internasional ………………………….. 13
2. Perjanjian Arbitrase ………………………………………… 14
3. Asas-Asas Pelaksanaan Arbitrase Internasional ……………. 16
4. Pengaturan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di
Indonesia ……………………………………………………. 18
5. Pengertian Umum Asas Ketertiban Umum di Indonesia ……. 21
B. Kerangka Teori …………………………………………………. 24
1. Doktrin Competence-Competence …………………………… 24
2. Teori Kepastian Hukum ……………………………………... 25
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu …………………………… 27
BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING PASCA
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 67 PK/Pdt.Sus-
Arbt/2016
A. Duduk Masalah Sengketa dan Hasil Putusan Arbitrase Internasional
…………………………………………………………………... 30
1. Duduk Masalah Sengketa …………………………………… 30
ix
2. Putusan Arbitrase Internasional …………………………….. 35
B. Penetapan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat ……………………………………………………. 36
1. Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan
Peraturan SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) … 36
2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010 ……... 37
3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016
………………………………………………………………. 38
4. Putusah Hakim Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung …. 38
BAB IV KEPASTIAN HUKUM ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM
PENETAPAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI
INDONESIA
A. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional/Asing dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 …………. 41
1. Bertentangan dengan Asas Ketertiban Umum ……………… 41
2. Tidak adanya Itikad Baik Para Pihak ……………………….. 51
B. Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-
Arbt/2016 ……………………………………………………….. 56
1. Pertimbangan Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ......... 56
2. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung Tingkat Kasasi
………………………………………………………………. 59
3. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan
Kembali ……………………………………………………... 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………... 67
B. Rekomendasi …………………………………………………… 68
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………... 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan globalisasi yang pesat saat ini telah membawa percepatan
dalam dunia bisnis. Perkembangan tersebut mendorong Negara Indonesia dalam
melakukan interaksi dengan pihak luar atau negara lain. Dalam menjalankan
hubungan bisnisnya dengan negara lain tentunya Negara Indonesia tidak terlepas
dari sebuah perjanjian internasional.
Perjanjian internasional menurut Boer Muana adalah instrumen yuridis yang
menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional
lainnya untuk mencapai tujuan bersama, yang mana pembuatannya diatur oleh
hukum internasional dan menimbulkan akibat hukum yang mengikat bagi para
pihak yang membuatnya.1 Dalam sebuah perjanjian internasional biasanya para
pihak melakukan langkah antisipatif dengan memilih forum (choice of forum)
dan/atau menyelesaikan masalah tersebut baik secara litigasi maupun non litigasi.
Secara konvensional, penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi adalah
penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di dalam pengadilan, dalam proses litigasi
menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain.2 Sedangkan,
penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi merupakan penyelesaian sengketa
di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
peniliaian ahli.
1 Boer Muana, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, (Bandung: PT. Alumni, 2008), h. 82.
2 Suyud Margono, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Bogor:
Ghalias Indonesia, 2004), h. 2.
2
Dalam penyelesaian sengketa para pelaku bisnis lebih memilih
menyelesaikan sengketanya dengan menggunakan jalur non litigasi karena beberapa
alasan yang diantaranya, sifatnya yang tertutup, dan cepatnya waktu penyelesaian
sengketa. Sehingga untuk menanggapi hal tersebut diperlukan sebuah alternatif
penyelesaian sengketa yang lebih efisien, efektif, dan cepat dalam menghadapi
cepatnya perkembangan perdagangan seperti penyelesaian non-litigasi melalui
arbitrase.
Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa melalui proses pemeriksaan dan
pengambilan putusan oleh arbiter tunggal atau majelis arbiter dari lembaga arbitrase,
baik oleh lembaga arbitrase yang berlingkup nasional maupun internasional,
demikian pula lembaga arbitrase yang bersifat permanen maupun sementara
(adhoc). Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
Arbitrase menjadi pilihan cara penyelesaian sengketa khususnya oleh pihak
asing karena. Pertama, pada umumnya pihak asing kurang mengenal sistem tata
hukum negara lain. Kedua, adanya keraguan akan sikap objektifitas pengadilan
setempat dalam memeriksa dan memutus perkara yang di dalamnya terlibat usur
asing. Ketiga, pihak asing masih ragu akan kualitas dan kemampuan pengadilan
negara berkembang dalam memeriksa dan memutus perkara yang berskala
internasional. Keempat, timbulnya dugaan dan kesan, penyelesaian sengketa
melalui jalur formal lembaga peradilan memakan waktu yang lama.3
3 Erman Rajagukguk, “Keputusan Arbitrase Asing mulai dapat dilaksanakan di Indonesia”,
Suara Pembaharuan, 7 Juni 1990, h. 11, sebagaimana dikutip M. Yahya Harahap, Arbitrase,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 4.
3
Dalam perjanjian perdagangan internasional klausul arbitrase internasional
menjadi hal yang biasa dalam aktivitas bisnis. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal
1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa bahwa Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa
klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para
pihak sebelum sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para
pihak setelah timbul sengketa. Dalam penyelesaian sengketanya para pihak dapat
menyelesaikannya melalui lembaga arbitrase internasional seperti Singapore
Internasional Arbitration Center (SIAC), London Court of International Arbitration
(LCIA), International Chamber of Commerce (ICC), dan lain-lain. Pemerintah
Indonesia menanggapi hal tersebut dengan meratifikasi Konvensi New York 1958
tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri yang disahkan
dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tentang mengesahkan Convention on the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards.
Namun bukan berarti dalam pelaksanaannya putusan arbitrase internasional
berjalan mudah tanpa adanya halangan. Karena apabila Putusan Arbitrase
Internasional tidak mendapatkan/ditolak oleh Pengadilan Negeri yang mempunyai
kewenangan pelaksanaan putusan tersebut, maka putusan tersebut tidak memiliki
kekuatan eksekusi. Adapun syarat putusan arbitrase internasional yang dapat
dilakukan eksekusinya di Indonesia diatur pertama kali di dalam Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia yang kemudian dituangkan di
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Syarat-syarat tersebut sebagaimana Pasal 66 Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diantaralain seperti asas
resiprositas, dan asas ketertiban umum. Sampai saat ini asas ketertiban umum belum
memiliki sebuah batasan tentang apa yang disebut dengan ketertiban umum, hal ini
4
kemudian dapat mengenyampingkan putusan arbitrase internasional. Karena di
dalam perjanjian arbitrase internasional para pihak memiliki kehendak yang berbeda
sebab para pihak berasal dari negara yang berbeda, serta sistem hukum yang
berbeda. Hal inilah yang kemudian membuat ketertiban umum menimbulkan
ketidakpastian hukum untuk pihak asing. Karena dalam praktiknya ketertiban umum
menjadi hak diskresi hakim di indonesia dalam memutus sebuah perkara.
Dalam hal ini penerapan Pasal 66 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat dilihat pada kasus PT. Astro
Nusantara Internasional BV, dkk melawan PT Ayunda Prima Mitra, dkk (Putusan
Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016), yang dinyatakan oleh PN
Jakarta Pusat mendapatkan penetapan non exequatur (ditolak) karena bertentangan
dengan asas ketertiban umum yang diperkuat pada Putusan Mahkamah Agung
dalam tingkat Kasasi.
Berdasarkan hal di atas dapat dinilai asas ketertiban umum di indonesia
menyebabkan ketidakjelasan dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional
yang menimbulkan ketidak pastian hukum bagi pihak yang mengajukan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional di indonesia. Ketidakpastian tersebut
timbul karena ketertiban umum dapat diketahui batasannya melalui putusan hakim.
Penolakan putusan arbitrase di Indonesia ini justru akan menghambat masuknya
investor asing untuk berinvestasi di Indonesia yang akan berdampak pada
perekonomian Negara Indonesia. Sedangkan sebagai suatu negara yang masih akan
terus melakukan pembangunan, tentunya saat ini Negara Indonesia membutuhkan
banyak dana dan dukungan dari pihak lain atau negara lain.4
4 M. Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari: Reglement Acara Perdata (Rv), Peraturan
Prosedur Bani, International Centre for the Settlement of Investment Disputes, UNICITRAL
Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, dan
PERMA No. 1 Tahun 1990, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2004), h. 4.
5
Berdasarkan latar belakang uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji
dan membahas permasalahan tersebut yang dituangkan dalam bentuk penulisan
skripsi yang berjudul “PELAKSANAAN ASAS KETERTIBAN UMUM
DALAM PENETAPAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA
Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat beberapa masalah yang dapat
diidentifikasikan yang terkait dengan tema yang diteliti, antara lain:
a. Pengaruh pemilihan dasar hukum dalam penyelesaian arbitrase internasional
terhadap eksekusi putusan arbitrase internasional/asing.
b. Kewenangan Pengadilan Negeri dalam menolak pelaksanaan putusan
arbitrase internasional/asing.
c. Pembatalan putusan arbitrase internasional/asing oleh pengadilan negeri di
Indonesia.
d. Multitafsir definisi asas ketertiban umum dalam pelaksanaan putusan arbitrase
internasional/asing di Indonesia.
e. Pertimbangan pelanggaran ketertiban umum dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016.
2. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan masalah dalam penelitian ini lebih fokus dan tidak
meluas, peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya
lebih jelas dan terarah sesuai yang diharapkan peneliti. Disini peneliti hanya akan
membahas terkait persyaratan penetapan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional/asing yakni asas ketertiban umum dari segi normatif serta
6
peanfsiran hakim dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional/asing di
Indonesia.
3. Perumusan Masalah
Masalah utama dari penelitian ini adalah adanya penolakan penetapan
putusan arbitrase internasional yang sering terjadi karena pertimbangan
melanggar ketertiban umum oleh hakim. Seperti didalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 sedangkan didalam kasus yang serupa
mendapatkan penetapan exequatur (diterima) oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Daft. No. 125/2011 Eks.Jo.No. SIAC ARB 102/10/MXM.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, perumusan masalah yang
diangkat adalah kepastian hukum dalam asas ketertiban umum dalam
pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia menurut Pasal 66 huruf
c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Untuk mempertegas perumusan masalah, peneliti
membahas rumusan masalah yang dituangkan dalam dua pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
a. Bagaimana pelaksanaan asas ketertiban umum dalam penetapan putusan
arbitrase asing di Indonesia?
b. Bagaimana penafsiran tentang ketertiban umum dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Untuk menjawab seluruh pertanyaan masalah di atas, maka tujuan
penelitian yang hendak dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
7
a. Untuk mengetahui dan menganalisa kepastian hukum pada asas ketertiban
hukum yang berlaku di Indonesia dalam pelaksanaan putusan arbitrase
internasional di Indonesia.
b. Untuk mengetahui pertimbangan dan peanfsiran hakim mengenai asas
ketertiban umum di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Memperoleh manfaat di bidang hukum pada umumnya maupun dalam
bidang hukum alternatif penyelesaian sengketa pada khususnya dengan
mempelajari literatur hukum yang ada serta perkembangan hukum yang
timbul di tengah-tengah masyarakat.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat
agar masyarakat memiliki pengetahuan lebih terkait dengan ketertiban
umum dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
2) Bagi Peneliti
Merupakan upaya pengembangan pengetahuan hukum alternatif
penyelesaian sengketa khususnya pelaksanaan putusan arbitrase
internasional di Indonesia melalui pertimbangan asas ketertiban umum
oleh hakim.
D. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, digunakan metode pengumpulan
data sebagai berikut:
8
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dikategorikan sebagai penelitian yang
bersifat Normatif Yurdis. Penelitian Normatif atau biasa disebut Dogmatika
Hukum adalah cara kerjanya sebuah ilmu, artinya apa dan bagaimana metodenya,
akan ditentukan oleh apa yang dicari oleh ilmu itu, atau dengan kata lain apa visi
dan misi dari ilmu yang bersangkutan, dan terkait padanya apa yang menjadi
persoalan pokok atau persoalan inti dalam ilmu tersebut.5 Pada penelitian hukum
jenis ini, hukum dikonsepkan seabagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan atau putusan pengadilan maupun sumber hukum lainnya
yang dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
berperilaku manusia yang dianggap pantas.6
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah
pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case
approach).7 Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-
aturan yang berkaitan dengan Penetepan Putusan Arbitrase Internasional antara
PT. Astro Nusantara Internasional B.V. dengan PT. Ayunda Prima Mitra, yakni
Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016.
3. Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber
pertama, yaitu bahan-bahan hukum seperti norma, peraturan dasar, peraturan
5 Bernard Arif Sidharta, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal dan
Dogmatikal”, dalam Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2009), h. 142. 6 Amiruddin dan Zainal Arifin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), h.13. 7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2005), h. 136.
9
perundang-undangan, hukum adat. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer
yang digunakan terdiri dari:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
3) Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitration
Awards (Konvensi New York Tahun 1958).
4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
5) Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC
Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) Tanggal 07 Mei 2009.
6) Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010.
7) Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu mencakup dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, jurnal, dan hasil penelitian lainnya yang berwujud laporan, yaitu
bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti
rancangan perundang-undangan, hasil penelitian atau pendapat pakar hukum.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu studi
kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari referensi untuk
mendukung materi penelitian ini melalui berbagai literatur seperti buku, bahan
10
ajar perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, tesis, dan peraturan perundang-undangan
di berbagai perpustakaan umum dan universitas.
5. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan kegiatan pendahuluan dari suatu analisis,
klasifikasi, disimpulkan lalu di intepretasi. Penelitian ini melakukan pengolahan
bahan hukum dengan menginterpretasi apa yang tertulis dalam literatur dan
sumber tertulis lainnya.
6. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis yang bersifat deskriptif
kualitatif yang berusaha menyimpulkan dengan menarik bagian atau hal yang
bersifat khusus dan berdasarkan kepada data yang bersifat umum. Dan karenanya
penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang (statutory approach)
maka dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
7. Teknik Penarikan Kesimpulan
Teknik penarikan kesimpulan pada penelitian ini digunakan dengan
melakukan pola pikir deduktif. Pola piker deduktif adalah pola pikir yang
menarik kesimpulan khusus dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum
mengenai topik penelitian.
E. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini terbagi dalam lima bab. Pada setiap bab terdiri dari sub bab yang
digunakan untuk memperjelas ruang lingkup dan inti dari permasalahan yang
diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta inti permasalahan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan, yang berisi Latar Belakang,
Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
11
Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Rancangan
Sistematika Penelitian.
BAB II : TINJAUAN UMUM PELAKSANAAN PUTUSAN
ARBITRASE INTERNASIONAL
Bab ini menyajikan kajian pustaka yang didahului dengan
konsep dasar dan kerangka teori serta kerangka konseptual
mengenai tinjauan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional. Pada bab ini juga dibahas tinjauan kajian
terdahulu yang relevan dengan tema penelitian dengan
menganalisi persamaan dan perbedaan studi-studi terdahulu.
BAB III : PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING
PASCA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 67
PK/Pdt.Sus-Arbt/2016
Bab ini berisikan data penelitian yang merupakan data yang
berkenaan dengan objek yang diteliti yaitu urgensi terhadap
penafsiran asas ketertiban umum di Indonesia. Data yang
dimaksud adalah penetapan putusan arbitrase internasional
oleh pengadilan negeri Jakarta pusat dan Putusan Mahakamah
Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016.
BAB IV : KEPASTIAN HUKUM ASAS KETERTIBAN UMUM
DALAM PENETAPAN PUTUSAN ARBITRASE
INTERNASIONAL DI INDONESIA
Bab ini merupakan analisis permasalahan yang akan
membahas dan menjawab permasalahan pada penelitian ini
diantaranya mengenai kepastian hukum dalam asas ketertiban
12
umum dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional di
Indonesia.
BAB V : PENUTUP
Bab ini merupakan penutup yang berisikan tentang
kesimpulan yang dapat ditarik yang mengacu pada hasil
penelitian sesuai dengan perumusan masalah yang telah
diterapkan dan pertanyaan penelitian yang akan lahir setelah
pelaksanaan penelitian dan pengulasannya dalam skripsi.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM PELAKSANAAN ARBITRASE INTERNASIONAL
A. Kerangka Konseptual
1. Pengertian Arbitrase Internasional
Istilah arbitrase berasal dari bahasa latin arbitrare yang berarti kekuasaan
untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.1 Definisi arbitrase diatur
di dalam Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menjelaskan bahwa
pengertian yuridis dari Arbitrase, yakni “Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.” Dalam
pelaksanaannya Arbitrase dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni Arbitrase Nasional
dan Arbitrase Internasional.
Dalam menentukan perbedaan dari Arbitrase Nasional dan Arbitrase
Internasional dapat dilihat pada ketentuan Pasal I Konvensi New York 1958
(Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards),
yakni
“This Convention shall apply to the recognition and enforcement of
arbitral awards made in the territory of a State other than the State where the
recognition and enforcement of such awards are sought, and arising out of
differences between persons, whether physical or legal. It shall also apply to
arbitral awards not considered as domestic awards in the State where their
recognition and enforcement are sought.”
Dari Pasal tersebut dapat diartikan bahwa Arbitrase Nasional adalah
setiap putusan yang diambil di dalam wilayah Republik Indonesia merupakan
Arbitrase Nasional. Suatu arbitrase dianggap “Internasional” apabila para pihak
pada saat dibuatnya perjanjian, yang bersangkutan mempunyai tempat usaha
1 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa: Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 36.
14
mereka (place of business) di negara-negara yang berbeda.2 Dapat disimpulkan
bahwa perbedaan yang terletak antara Arbitrase Nasional dan Arbitrase
Internasional terletak pada faktor wilayah (territory). Setiap putusan arbitrase
yang diambil di luar wilayah Repuplik Indonesia otomatis diklasifikasi putusan
arbitrase asing.3
Jika di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur di dalam
PERMA Nomor 1 Tahun 1990 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Pada
PERMA Nomor 1 Tahun 1990 mengenal istilah Putusan Arbitrase Asing,
sedangkan pada Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa menggunakan istilah Putusan Arbitrase Internasional.
Namun walaupun menggunakan istilah yang berbeda, keduanya memiliki
pengertian yang sama yakni putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau
putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan
hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase
Internasional/Asing.
2. Perjanjian Arbitrase
Perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu
perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Sebagai salah satu bentuk perjanjian, sah tidaknya perjanjian arbitrase juga
bergantung pada ketentuan dalam pasal 1320 KUH Perdata. Perjanjian arbitrase
2 Sudargo Gautama, Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di Indonesia,
(Bandung: PT Eresco, 1989), h. 3. 3 Yahya Harahap, Arbitrase (Ditinjau dari: Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan
Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), UNCITRAL
Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award,
PERMA No.1 Tahun 1990), (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 298.
15
tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya
mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan
perselisihan yang terjadi antara para pihak yang berjanji.4
Perjanjian arbitrase yang biasa disebut dengan klausula arbitrase
merupakan tambahan yang diletakan pada perjanjian pokok sehingga disebut
sebagai perjanjian aksesori. Sifatnya yang hanya sebagai perjanjian tambahan
dari perjanjian pokok membuat klasula arbitrase tidak berpengaruh terhadap
pemenuhan perjanjian pokok. Artinya dalam hal perjanjian pokok tersebut
berakhir atau batal, maka klausula atau pasal mengenai arbitrase tidak menjadi
serta-merta batal.
Di dalam Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa dikenal 2 (dua) bentuk perjanjian arbitrase, yaitu pactum
de compromittendo dan akta kompromis yang penjelasannya adalah sebagai
berikut.
a. Pactum de Compromittendo
Bentuk klausul ini diatur dalam pasal 2 Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam klausula
arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo, para pihak mengikat
kesepakatan akan menyelesaikan persengketaan yang mungkin timbul melalui
forum arbitrase.5 Dalam pembuatan perjanjian ini para pihak belum
dihadapkan dengan sengketa yang akan diselesaikan. Dapat dikatakan bahwa
klausula arbitrase ini dibuat untuk mengantisipasi permasalahan atau
persengketaan yang akan muncul dikemudian hari.
b. Akta Kompromis
4 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya,
(Jakarta: Kencana, 2015), h. 99. 5 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, …. h.
107.
16
Berbeda dengan bentuk pactum de compromittendo, akta kompromis
diatur dalam Pasal 9 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dari Pasal 9 tersebut diketahui bahwa akta
kompromis sebagai perjanjian arbitrase dibuat setelah timbul perselisihan
antara para pihak atau dengan kata lain dalam perjanjian tidak diadakan
persetujuan arbitrase.6
3. Asas-Asas Pelaksanaan Arbitrase Internasional
a. Asas Personalitas
Pelaksanaan putusan arbitrase internasional/asing pada dasarnya
ditentukan oleh negara yang menjadi tempat pelaksaan putusan arbitrase
tersebut. Hal ini dapat dibenarkan jika dilihat dati segi Keputusan Presiden
Nomor 34 Tahun 1981 dan Pasal III Konvensi New York 1958 yang di
dalamnya tersirat adanya asas ius sanguiis atau “asas personalitas” yang
menentukan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional/asing
dijalankan menurut tata cara hukum acara yang berlaku di negara dimana
eksekusi dimohon.7
b. Asas Executorial Kracht
Putusan arbitrase internasional/asing dianggap memiliki kekuatan
hukum yang tetap. Pasal 2 Perma Nomor 1 Tahun 1990 jo. Pasal 68 ayat (1)
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, dengan tegas mengakui bahwa setiap putusan arbitrase yang
diajukan permintaan pengakuan dan eksekusinya di Indonesia dianggap
sebagai putusan arbitrase internasional/asing yang berkekuatan hukum tetap.
Berarti setiap putusan arbitrase internasioanal/asing yang diajukan permintaan
6 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa: Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 40. 7 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa: Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional, …. h. 75.
17
eksekusinya di Indonesia harus diakui keabsahaanya (recognize), dan harus
dijalankan eksekusinya (enforcement).8
c. Asas Resiprositas
Asas resiprositas pada dasarnya merupakan prinsip saling harga-
menghargai dalam hubungan antar negara. Di dalam Pasal 3 ayat (1) Perma
Nomor 1 Tahun 1990 dijelaskan bahwa syarat putusan arbitrase asing dapat
dilaksanakan di Indonesia adalah putusan yang dijatuhkan oleh Badan
Arbitrase atau Arbiter perorangan di suatu Negara yang bersama dengan
Negara Indonesia terikat dalam sebuah konvensi internasional atau perjanjian
bilateral maupun multilateral.
d. Asas Pembatasan
Dalam pengakuan dan pelaksanaannya hanya meliputi bidang
persengketaan hukum tertentu, seperti Negara Indonesia yang hanya terbatas
dalam ruang lingkup hukum perdagangan. Asas pembatasan ini juga tercermin
di dalam Pasal 66 huruf (b) Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan bahwa arbitrase
internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia
termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. Batasan mengenai yang
dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan,” yaitu kegiatan-
kegiatan antara lain bidang, perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman
modal, industri, hak kekayaan intelektual.9
e. Asas Ketertiban Umum atau Public Order
Asas ketertiban umum atau public order merupakan pegangan utama
di setiap negara termasuk dalam pelaksanaan putusan arbitrase
8 Yahya Harahap, Arbitrase (Ditinjau dari: Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan
Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), UNCITRAL
Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award,
PERMA No.1 Tahun 1990), (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 34. 9 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, …. h.
107.
18
internasional/asing yang dilaksanakan di Indonesia. Di dalam sebuah negara
arti dari ketertiban umum sendiri memiliki makna yang berbeda. Secara
umum, batasan pengertian mengenai definisi dari ketertiban umum adalah
sesuatu dianggap bertentangan dengan ketertiban umum pada suatu
lingkungan (negara), apabila di dalamnya terkandung sesuatu hal atau
keadaan yang bertentangan dengan sendi-sendi dan nilai-nilai asasi sistem
hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa.10
4. Pengaturan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia
a. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
Indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan
dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesai pada tanggal 5 Agustus
1981 melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 dan aksesinya di daftar
di Sekretaris Jendral PBB pada tanggal 7 Oktober 1981.11 Dalam menentukan
suatu putusan arbitrase asing dapat atau tidak dapat dilaksanakan di Indonesia,
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melakukan pertimbangan yang
merujuk kepada syarat-syarat yang diatur pada Pasal 3 Peraturan ini. Secara
umum, pasal ini merupakan guide lines dalam peraturan ini untuk
melaksanakan putusan arbitrase asing.12 Syarat-syarat tersebut adalah:
1) Putusan itu dijatuhkan oleh suatu badan arbitrase ataupun arbiter
perorangan di suatu negara yang dengan negara Indonesia ataupun
bersama-sama dengan negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi
internasional perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.
Pelaksanaannya didasarkan atas dasar asas timbal balik (resiprositas).
10 Yahya Harahap, Arbitrase (Ditinjau dari: Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan
Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), UNCITRAL
Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award,
PERMA No.1 Tahun 1990), (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 39. 11 Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta: RajaGrafindoPersada, 2002),
h. 119. 12 Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, …. h. 125.
19
2) Putusan-putusan arbitrase asing diatas hanyalah terbatas pada putusan-
putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang
lingkup hukum dagang.
3) Putusan-putusan arbitrase asing di atas hanya dapat dilaksanakan di
Indonesia terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum.
4) Suatu putusan arbitrase asing hanya dapat dilaksanakan di Indonesia
setelah memperoleh exequatur dari Mahkamah Agung RI.
Di dalam permohonannya untuk memperoleh exequatur pemohon
harus menyerahkan berkas-berkas seperti yang disebutkan pada Pasal 5 Ayat
(4) peraturan ini, yang diantaranya:
1) Asli putusan atau turunan putusan Arbitrase Asing yang telah diotentikasi
tersebut sesuai dengan ketentuan perihal otentikasi dokumen-dokumen
asing, serta naskah terjemahan resminya, sesuai ketentuan hukum yang
berlaku di Indonesia.
2) Asli perjanjian atau turunan perjanjian yang menjadi dasar putusan
Arbitrase Asing yang telah diotentikasi sesuai dengan ketentuan perihal
otentikasi dokumen-dokumen asing, serta naskah resminya, sesuai
ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
3) Keterangan dari perwakilan diplomatik Indonesia di negara di mana
putusan Arbitrase Asing tersebut diberikan, yang menyatakan bahwa
negara pemohon terikat secara bilateral dengan negara Indonesia ataupun
terikat secara bersama-sama dengan negara Indonesia dalam suatu
konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan suatu putusan
Arbitrase Asing.
b. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional Menurut Undang-Undang
Nomot 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Pengaturan tentang arbitrase internasional di Indonesia terdapat pada
Pasal 65 hingga Pasal 69 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
20
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Disebutkan bahwa putusan arbitrase
internasional tersebut hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum
Republik Indonesia jika putusan tersebut dijatuhkan oleh majelis arbitrase
Indonesia terkait dengan perjanjian bilateral dan/atau perjanjian multilateral
tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.13 Putusan
arbitrase internasional harus didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan dari putusan arbitrase
internasional, kecuali putusan arbitrase internasional yang menyangkut
kepentingan dan/atau Negara Republik Indonesia sebagai subjek perkara
maka Mahkamah agung yang mempunyai kewenangan tersebut.
Berdasarkan Pasal 66 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, putusan arbitrase
internasional dapat diakui dan dilaksanakan di wilayah hukum Republik
Indonesia, jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada
perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan
dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
2) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a
terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk
dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
3) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a
hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.
4) Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negerti Jakarta Pusat.
13 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa: Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 72.
21
5. Pengertian Umum Asas Ketertiban Umum di Indonesia
Asas ketertiban umum merupakan salah satu asas yang harus diperhatikan
dan sangat penting khususnya dalam ruang lingkup hukum perdata internasional.
Asas ini dikenal dalam setiap sistem hukum, baik common law maupun civil law.
Dalam sistem hukum common law asas ketertiban umum dikenal dengan istilah
public policy, sedangkan dalam sistem hukum civil law dikenal dengan istilah
ordre public, salah satunya di Perancis. Disamping itu masih banyak istilah lain
tentang asas ketertiban umum seperti dalam Bahasa Belanda openbare orde,
vorbehaltklausel dalam Bahasa Jerman, ordine publico dalam Bahasa Itali dan
orden publico dalam Bahasa Spayol.14
Black’s Law Dictionary mendefinisikan asas ketertiban umum sebagai
berikut:
Broadly, principles and standards regarded by the legislature or by the
courts as being of fundamental concern to the state and the whole society.
Courts sometimes use the term to justify their decisions, as when
declaring a contract void because it is “contrary to public policy” also
termed policy of the law.
Definisi tersebut mencoba menjelaskan bahwa asas ketertiban umum awalnya
merupakan asas yang dikenal dalam ruang lingkup hukum perjanjian atau hukum
kontrak. Asas ketertiban umum menjadi batasan dalam berlakunya asas
kebebasan berkontrak (contractvrijheid) yang telah dianut oleh setiap sistem
hukum baik common law maupun civil law.15
Ketertiban umum juga dibagi menjadi dua yakni; a.) ketertiban umum intern
adalah ketentuan-ketentuan yang hanya membatasi perseorangan; sedangkan b.)
14 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia Buku IV, (Bandung: Penerbit
Alumni, 1989), h. 3. 15 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993),
h. 41.
22
ketertiban umum ekstern adalah kaidah-kaidah yang bertujuan untuk melindungi
kesejahteraan negara dalam keseluruhannya.16
Indonesia mengenal asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam
Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”.
Asas kebebasan berkontrak tidak terlepas dari isi perjanjian dan dalam
penerapannya tidak boleh bertentangan dengan syarat-syarat sahnya perjanjian
terlepas dari adanya kebebasan para pihak dalam menentukan sendiri bentuk dan
isi dari perjanjian yang dibuat. Di Indonesia syarat sahnya perjanjian diatur dalam
Pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi:
Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat:
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2) Cakap untuk membuat suatu perikatan
3) Suatu hal tertentu
4) Suatu sebab yang halal
Syarat yang terakhir inilah yang akan di batasi kembali oleh asas
ketertiban umum. Terdapat beberapa unsur mengenai “suatu sebab yang halal”
ini diantaranya perjanjian tanpa causa (Pasal 1335 KUH Perdata), sebab yang
halal (Pasal 1336 KUH Perdata) dan yang paling berkaitan dengan ketertiban
umum adalah mengenai sebab yang terlarang yang diatur dalam Pasal 1337 KUH
Perdata.17
Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa juga mengatur tentang asas ketertiban umum
pada Pasal 66. Hal ini mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan eksekusi
16 Tuegeh Longdong, Tineke Louise, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958,
(Bandung, PT. Karya Kita, 2003), h. 81. 17 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2001), h. 80.
23
putusan arbitrase internasional, namun pasal tersebut tidak menjelaskan apa yang
dimaksud tentang ketertiban umum secara spesifik. Maka dalam hal ini terlihat
besarnya peran hakim dalam penentuan substansi ketertiban umum. Jadi,
kewenangan menilai suatu putusan arbitrase internasional apakah dianggap
bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak, termasuk dalam kewenangan
hakim (kewenangan diskresioner).
Untuk mempermudah menafsirkan apa yang dimaksud dengan ketertiban
umum M. Yahya Harahap mencoba memberikan ruang lingkup terhadap
ketertiban umum yang diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Penafsiran sempit, menurut penafsiran sempit arti dan lingkup ketertiban
umum:
1) Hanya terbatas pada ketentuan hukum positif saja;
2) Dengan demikian yang dimaksud dengan pelanggar/bertentangan dengan
ketertiban umum, hanya terbatas pada pelanggaran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan saja;
3) Oleh karena itu, putusan arbitrase yang bertentangan/melanggar ketertiban
umum, ialah putusan yang melanggar/bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan Indonesia.
b. Penafsiran luas. Penafsiran luas tidak membatasi lingkup dan makna
ketertiban umum pada ketentuan hukum positif saja:
1) Tetapi meliputi segala nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum yang hidup dan
tumbuh dalam kesadaran masyarakat;
2) Termasuk ke dalamnnya nilai-nilai kepatutan dan prinsip keadilan umum
(general justice principle);
3) Oleh karena itu, putusan arbitrase asing yang melanggar/bertentangan
dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang hidup dalam kesadaran dan
pergaulan lalu lintas masyarakat atau yang melanggar kepatutan dan
keadilan, tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.
24
Berdasarkan pemaparan diatas maka ketertiban umum dapat diartikan
sebagai bertentangan dengan undang-undang dan/atau hukum positif yang
berada di Indonesia, hal ini diperkuat dengan Putusan PN Jakarta Pusat Nomor
001/Pdt/Arb.Int/1999 Perkara antara E.D. &F. Man Sugar Ltd v. Yani Haryanto.
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak memberikan eksekusi terhadap
putusan Arbitrase London karena berdasarkan peraturan perundang-undangan
Indonesia yang berhak melakukan impor gula hanya Bulog sesuai dengan
Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1971 dan Keputusan Presiden Nomor 39
Tahun 1978 sehingga PN Jakarta Pusat memutuskan bahwa putusan Arbitrase
London bertentangan dengan ketertiban umum.
B. Kerangka Teori
1. Doktrin Competence-Competence
Sejalan dengan perkembangan masyarakat, berkembang pula juga
penyelesaian sengketa yang lebih modern yang dinamakan dengan arbitrase,
yang prinsip-prinsip dasarnya diambil dari kebiasaan-kebiasaan yang dipraktikan
dalam masyarakat di berbagai negara. Para pihak sepakat membuat Gentlement
Agreement guna memilih orang-orang netral untuk menyelesaikan sengketa
mereka di bidang privat (commercial matter) dan mereka sepakat untuk tunduk
pada perjanjian tersebut.18 Perjanjian yang dimaksud adalah klausul arbitrase.
Dalam perkembangan lebih lanjut, doktrin competence-competence ini
telah dijadikan sebagai prinsip dasar dalam modern law arbitration yang
menentukan bahwa pengadilan arbitrase berwenang untuk menentukan
yurisdiksi atau kompetensinya sendiri, oleh karena itu sudah semestinya bahwa
lembaga pertama yang menyatakan bahwa arbitrase itu berwenang adalah
arbitrase bukan pengadilan.
18 Cut Memi, Arbitrase Komersial Internasional Penerapan Klausul dalam Putusan
Pengadilan Negeri, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), h. 42.
25
Namun Husseyn Umar menegaskan bahwa dengan kewenangan arbitrase
seperti demikian, bukan berarti bahwa pengadilan sama sekali tidak berperan
penting dalam hal arbitrase.19 Pembatasan kewenangan itu terdapat dalam Pasal
61 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang mengatakan, “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan
arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua
Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.”
Berdasarkan doktrin competence-competence arbitrase berwenang untuk
menentukan yurisdiksinya sendiri, bukan berarti kewenangan itu juga mencakup
sampai ke tahap pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase.
Doktrin competence-competence ini tidak diatur secara eksplisit dalam
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, namun doktrin ini diatur pada Pasal 18 Rules and Procedures BANI
yang berisi poin-poin sebagai berikut. “Majelis berhak menyatakan keberatan
atas pernyataan bahwa ia tidak berwenang, termasuk keberatan yang
berhubungan dengan adanya atau keabsahan perjanjian arbitrase jika terdapat
alasan untuk itu.”
Dengan tidak adanya aturan tentang competence-competence dalam
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa menyebabkan terjadinya rechtsvacuum sehingga dapat dijadikan celah
bagi Pengadilan Negeri untuk tetap menyatakan berwenang dalam menentukan
keabsahan dari suatu klausul arbitrase.
2. Teori Kepastian Hukum
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan.
Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakuan dan
adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai
19 Cut Memi, Arbitrase Komersial Internasional Penerapan Klausul dalam Putusan
Pengadilan Negeri, …. h. 43.
26
wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat
menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya
bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.20
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu
pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang
boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.21
Kepastian hukum memiliki keterkaitan dengan positivisme hukum.
Benang merah yang menghubungkan asas kepastian hukum dengan positivisme
adalah pada tujuan memberi kejelasan terhadap hukum positif. Hukum dalam
aliran yang positivistic mengaharuskan adanya “keteraturan” (regularity) dan
“kepastian” (certainty) guna menyokong bekerjanya sistem hukum dengan baik
dan lancar. Sehingga tujuan kepastian hukum mutlak untuk dicapai agar dapat
melindungi kepentingan umum (yang mencakup juga kepentingan pribadi)
dengan fungsi sebagai motor utama penegak keadilan dalam masyarakat (order),
menegakkan kepercayaan warga negara kepada penguasa (pemerintah), dan
menegakkan wibawa penguasa dihadapan pandangan warga negara.22
Sejalan dengan hal di atas, dalam pembentukan aturan hukum, terbangun
asas yang utama agar tercipta suatu kejelasan terhadap peraturan hukum, asas
tersebut ialah kepastian hukum. Gagasan mengenai asas kepastian hukum ini
awalnya diperkenalkan oleh Gustav Radbruch dalam bukunya yang berjudul
”einführung in die rechtswissenschaften”. Radbruch menuliskan bahwa di dalam
20 Dominikus Rato, Pengantar Filsafat Hukum (Mencari, Menemukan, dan Memahami
Hukum), (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010), h. 59. 21 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999),
h. 23. 22 A. Ridwan Halim, Evaluasi Kuliah Filsafat Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987), h.
166.
27
hukum terdapat 3 (tiga) nilai dasar, yakni: (1) Keadilan (Gerechtigkeit); (2)
Kemanfaatan (Zweckmassigkeit); dan (3) Kepastian Hukum (Rechtssicherheit).23
Jika dikaitkan teori kepastian hukum dalam suatu pelaksanaan putusan
arbitrase internasional sesuai Pasal 66 huruf c Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa tidak memberikan definisi atau arti yang pasti tentang
ketertiban umum kepada pemohon untuk melakukan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional. Arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian
sengketa seharusnya memberikan kepastian hukum kepada pihak yang terikat di
dalam perjanjian arbitrasenya mengingat Arbitrase yang memiliki sifat putusan
final dan binding.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam penulisan skripsi ini, penulis merujuk kepada skripsi, buku, maupun
jurnal terdahulu, dengan mencari apa yang menjadi persamaan dan perbedaan dalam
rumusan masalah yang dikaji dalam rujukan dengan yang dikaji oleh penulis,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Skripsi ditulis oleh Atiek Af’idata24
Skripsi ini membahas mengenai prosedur dalam pembatalan putusan
arbitrase internasional oleh lembaga peradilan di Indonesia terutama terkait
hukum acara arbitrase asing. Prosedur pembatalan putusan arbitrase di Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa menyatakan pelaksanaan beracara yang tumpang tindih antara putusan
arbitrase lokal atau internasional.
23 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), h. 19. 24 Atiek Af’idata, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis Pututsan No.
613/K/Pdt.Sus/2012 Mahkamah Agung), (Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, 2014)
28
Persamaannya dengan penelitian ini yaitu membahas mengenai putusan
arbitrase internasional di Indonesia. Di dalam skripsi di atas, menjelaskan
prosedur pembatalan, sedangkan penelitian peneliti membahas persyaratan yang
harus dipenuhi sebuah putusan arbitrase internasional/asing agar mendapatkan
kekuatan eksekutorial di Indonesia.
2. Buku Karya Cut Memi25
Buku ini berisi penjelasan mengenai kewenangan Pengadilan Negeri
dalam mengadili sengketa dengan klausul arbitrase, buku ini mencoba
mengungkapkan alasan-alasan mengapa pengadilan negeri memutus perkara
yang sudah ditangani oleh lembaga arbitrase dengan mengkaji kebenaran dari
pertimbangan hukum hakim dalam beberapa perkara yang ada di Indonesia.
Persamaannya dengan penelitian ini yaitu membahas mengenai
pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Sedangkan dalam penelitian peneliti
tidak membahas tentang kewenangan pengadilan negeri dalam mengadili perkara
dengan klausul arbitrase, namun secara khusus memfokuskan penelitian pada
asas ketertiban umum yang menjadi persyaratan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional/asing di Indonesia.
3. Artikel dalam Jurnal oleh Mutiara Hikmah26
Jurnal ini membahas mengenai syarat-syarat pelaksanaan putusan
arbitrase internasional/asing sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
di Indonesia melalui Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan
Peraturan SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) dalam Putusan
Nomor 05/Pdt/ARB-INT/2009/PNJP.
25 Cut Memi, Arbitrase Komersial Internasional: Penerapan Klausul dalam Putusan
Pengadilan Negeri, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017) 26 Mutiara Hikmah, Penolakan Putusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Astro All Asia
Network PLC, Jurnal Yudisial, April 2012, Vol. 5, No. 1.
29
Persamaan peneliti dan jurnal yang ditulis oleh Mutiara Hikmah adalah
keduanya sama-sama membahas mengenai putusan pelaksanaan arbitrase
internasional di Indonesia oleh Astro All Asia Network Plc oleh lembaga
peradilan di Indonesia. Sedangkan perbedaan antara penelitian penulis dan jurnal
di atas terletak pada objek penelitiannya yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor
67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 yang merupakan hasil putusan peninjauan kembali dari
kasus ini. Peneliti dalam hal ini juga memfokuskan kepada pertimbangan
penolakan dengan menggunakan asas ketertiban umum di dalam putusan ini.
30
BAB III
PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING PASCA
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016
A. Duduk Masalah Sengketa dan Hasil Putusan Arbitrase Internasional
1. Duduk Masalah Sengketa
Perkara permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asing pada tingkat
peninjauan kembali dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-
Arbt/2016 terdapat kasus posisi sebagai berikut:1
a. Identitas Para Pihak
Perkara proses kasasi pada permohonan pelaksanaan putusan arbitrase
asing terjadi antara:
1) ASTRO NUSANTARA INTERNASIONAL BV (Perseroan Terbatas yang
berkedudukan di Belanda);
2) ASTRO NUSANTARA HOLDING BV (Perseroan Terbatas yang
berkedudukan di Belanda);
3) ASTRO MULTIMEDIA CORPORATION N.V (Pesereoan Terbatas yang
berkedudukan di Belanda);
4) ASTRO MULTIMEDIA N.V (Perseroan Terbatas yang berkedudukan di
Belanda);
5) ASTRO OVERSEAS LIMITED (Perseroan Terbatas yang berkedudukan
di Bermuda);
6) ASTRO ALL ASIA NETWORK PLC (Perseroan Terbatas yang
berkedudukan di Inggris);
7) MEASAT BROADCAST NETWORK SYSTEM SDN BHD (Perseroan
Terbatas yang berkedudukan di Malaysia);
1 Salinan Putusan MA Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010, h. 1.
31
8) ALL ASIA MULTIMEDIA NETWORK FZ-LLC (Perseroan Terbatas
yang berkedudukan di Uni Emirates Arab).
Kemudian disebut sebagai Astro Group, sebagai para Pemohon Arbitrase.
Melawan:
1) PT. AYUNDA PRIMA MITRA (PT APM), (Perseroan Terbatas yang
berkedudukan di Indonesia);
2) PT. FIRST MEDIA TBK (Perseroan Terbatas yang berkedudukan di
Indonesia)
3) PT. DIRECT VISION (PT DV), (Perseroan Terbatas yang berkedudukan
di Indonesia).
Selanjutnya disebut sebagai para termohon dalam Singapore Internasional
Arbitrase Centre (SIAC)2
b. Duduk Perkara
Salah satu kasus yang menggunakan ketertiban umum sebagai dasar
untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia adalah kasus
Astro Nusantara International BV. v PT. Ayunda Primamitra sebagaimana
telah diputus oleh Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 pada 1 September 2016.
Dalam putusan yang dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Singapura, yang
memerintahkan PT. Ayunda Primamitra (yang selanjutnya disebut PT APM)
untuk tidak melanjutkan proses perkara yang ada di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan karena perkara tersebut merupakan yurisdiksi arbitrase untuk
menyelesaikannya sesuai dengan kesepakatan para pihak.3
Para pemohon yang kemudian disebut sebagai “Astro Group”
merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pertelevisian. Pada tanggal 1
2 Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 3 Diangsa Wagian, M. Yazid Fathoni, Penyelesaian Sengketa Kontraktual Pemerintah
Melalui Arbitrase Internasional dan Berbagai Permasalahannya, Jurnal IUS Universitas Nahdlatul
Wathan Mataram-NTB Vol. 2, No. 6, Desember 2014, h. 583.
32
September 2009, Astro Group mendaftarkan Putusan Arbitrase Internasional
berdasarkan Peraturan SIAC Nomor 062 of 2008 (ARB062/08/JL) ke Panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk dimintakan pelaksanaan putusannya.
Permohonan yang dimintakan merupakan hasil dari Permohonan Arbitrase
sesuai Notice of Arbitration tertanggal 6 Oktober 2008 yang isinya adalah
menuntut pembayaran restitusi dan/atau kuantum merit (quantum merit)
sebesar kurang lebis US$ 245 juta kepada PT. Ayunda Primamitra, dan PT.
Direct Vision berikut ganti rugi atas Gugatan Perdata yang berlangsung di
Indonesia.
Permohonan Arbitrase berdasarkan kepada Subscription and
Shareholders Agreement (selanjutnya disebut SSA) pada tanggal 11 Maret
2005, dimana Astro Multimedia Corporation N.V. dan Astro Multimedia N.V.
dengan PT. APM sepakat dalam waktu dua tahun sejak SSA ditandatangani,
Astro All Asia Networks Plc Ltd akan turut menjadi pemegang saham di PT.
Direct Vision (yang selanjutnya disebut PT. DV) dengan cara mengambil alih
kepemilikan saham Silver Concord Holding Limited. Yang kepemilikan
sahamnya menjadi 51% (lima puluh satu per seratus) saham PT. DV menjadi
milik Astro All Asia Networks Plc Ltd dan 49% (empat puluh sembilan per
seraturs) saham sisanya dimiliki oleh PT. APM.
Pada tanggal 16 Maret 2005, Pemerintah Indonesia mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran
Swasta sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran. Yang pada intinya mengatur bahwa modal yang
berasal dari modal asing baik melalui investasi langsung pada lembaga
penyiaran swasta yang berbentuk PT tertutup maupun melalui pasar modal
pada lembaga penyiaran swasta yang berbentuk PT terbuka hanya dibatasi
sebesar 20% (dua puluh per seratus) dari seluruh total saham.
Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang
Lembaga Penyiaran Swasta, membuat PT. DV menyesuaikan ijin
33
penyelenggaraan penyiaran berdasarkan batas waktu lima tahun sejak
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang
Lembaga Penyiaran Swasta. PT. APM dan Pihak Astro membicarakan lebih
lanjut tentang rencana restrukturisasi PT. DV agar dapat memnuhi ketentuan
peraturan pemerintah yang kemudian disetujui oleh Badan Koordinasi
Penanaman Modal, bahwa hingga tahun 2010 Pemegang Saham Astro
diperbolehkan memiliki 51% (lima puluh satu per serratus) saham.
Hingga 7 Mei 2007 Pihak Astro sudah mengeluarkan biaya sekitar
US$ 107,6 juta dalam bentuk pendanaan awal dan penyediaan jasa. Namun
hingga Agustus 2007, masih belum ada kata sepakat antara Para Pihak
sehingga Para Pihak mulai memikirkan untuk mengakhiri SSA. Pihak Astro
menyatakan tidak akan melanjutkan memberi dukungan berupa dana maupun
jasa pada PT. DV. Dan pada bulan Juli dan Agustus 2008 Pihak Astro
menerbitkan dan mengirimkan tagihan kepada PT. DV atas jasa dan dana yang
telah diberikan Pihak Astro.
PT. DV justru menyatakan bahwa Pihak Astro berkewajiban untuk
pemberian dana dan jasa pada PT. DV. Sehingga PT. APM mengajukan
Gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
pada tanggal 4 Agustus 208 yang kemudian ditarik kembali. Tanggal 3
September 2008, PT. APM kembali mengajukan gugatan perdata pada
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan register perkara nomor:
1100/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel. gugatan didasarkan atas perbuatan melawan
hukum berkenaan dengan pendanaan dan pengaturan PT. DV dengan petitum
pada Astro All Asia Networks Plc Ltd, Measat Broadcast Networks Systems
Sdn Bhd, All Asia Multimedia Networks Fz-Llc untuk meneruskan membayar
US$ 1,62 miliar atas pencemaran nama baik PT APM. Tanggal 13 Mei 2009
dikeluarkan putusan sela.
Dilain pihak pada tanggal 6 Oktober 2008, Pihak Astro mengajukan
gugatan wanprestasi pada SIAC melawan PT. APM, PT. First Media Tbk.,
34
dan PT. DV sebagai Para Tergugat. Pengajuan perkara ini didasarkan pada
Pasal 17.4 SSA tentang prosedur penyelesaian sengketa berbunyi sebagai
berikut:
If the Parties in dispute are unable to resolve the subject matter of
dispute amicably within thirty (30) days, then any Party in dispute may
commence binding arbitration through the Singapore International
Arbitration Centre (SIAC) and in accordance except as herin stated,
with all the rules of SIAC. The arbitration shall take place at the
Singapore International Arbitration Centre and the award of the
arbitrators shall be final and binding upon the Parties………
Terjemahan bebas dari penulis: Jika para Pihak yang berperkara tidak
dapat menyelesaikan perkara mereka secara mufakat dalam waktu tiga puluh
hari, maka semua pihak yang berperkara dapat memulai proses arbitrase pada
SIAC sesuai dengan Rules of SIAC, kecuali ditentukan lain pada Perjanjian
ini. Pemeriksaan Arbitrase, termasuk pengambilan putusan, dilaksanakan di
SIAC, dan putusan arbitrase adalah final dan mengikat terhadap para Pihak.
Pada tanggal 1 September 2009 Pihak Astro kemudian mendaftarkan
Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC Nomor: 062
Tahun 2008 (ARB062/08/JL) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada
tanggal 2 September 2009 dilain pihak PT. DV mengajukan permohonan
pembatalan atas Pelaksanaan Putusan Arbitrase SIAC No. 062 Tahun 2008
tertanggal 7 Mei 2009 (ARB062/008/JL) dengan Nomor Register
177/Pdt.P/2009/PN.Jkt.Pst dan pihak PT APM dengan Nomor Register
178/Pdt.P/2009/PN.Jkt.Pst.4 Kemudian PT. DV dan PT. APM mencabut
permohonannya. Selanjutnya pada tanggal 28 Oktober 2009 Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa
permohonan yang diajukan oleh Pihak Astro melalui Penetapan Putusan
Arbitrase SIAC No.062 of 2008 (ARB062/08/JL) yang diputuskan pada 7 Mei
2009, tidak dapat dilaksanakan (non eksekuatur).
4 Salinan Putusan MA Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010, h. 8.
35
Pihak Astro kemudian mengajukan Permohonan Kasasi pada tanggal
16 November 2009. Yang melahirkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 01
K/Pdt.Sus/2010 dengan isi menguatkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Dan kembali dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 67
PK/Pdt.Sus-Arbt/2016.
2. Putusan Arbitrase Internasional
Pada 7 Mei 2009, SIAC mengeluarkan putusan SIAC Nomor 062 Tahun
2008 terkait permasalahan pendahuluan mengenai kewenangan mengadili,
putusan provisi, penghentian gugatan dan penggabungan gugatan (Award on
Preliminary Issues of Jurisdiction, Interim Anti Suit Injunction and Joinder). Isi
Putusan:
i. Forthwith discontinue the Indonesian Proceedings (Case No.
1100/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel) in so far as they concern C.6 (Astro All Asia
Network plc), C.7 (Measat Broadcast Network System Sdn Bhd), C.8 (All Asia
Multimedia Networks Fz-Llc) and Mr. Marshall:
ii. Take no further steps in the Indonesian Proceedings save to discontinue them
as set out in (i) in so far as they concern C.6, C.7, C.8, and Mr. Marshall;
iii. Be prohibited from bringing any further proceedings against C.6, C.7, C.8,
and Mr. Marshall in so far as they relate to the joint venture relationship other
than by way of arbitration pursuant to clause 17.4 of the SSA until further
Order.
Terjemahan bebas dari penulis:
1. Menghentikan proses peradilan di Indonesia (kasus No.
1100/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel) sepanjang berkaitan dengan Astro All Asia
Networks plc, Measat Broadcast Network Systems Sdn Bhd, All Asia
Multimedia Networks Fz-Llc dan Mr. Marshall;
2. Tidak mengambil lankah lebih lanjut dalam peradilan di Indonesia, kecuali
untuk menghentikan pemeriksaan seperti tertuang dalam angka 1 sepanjang
berkaitan dengan Astro All Asia Networks plc, Measat Broadcast Network
Systems Sdn Bhd, All Asia Multimedia Networks Fz-Llc dan Mr. Marshall;
36
3. Dilarang membawa proses peradilan lebih lanjut terhadap Astro All Asia
Networks plc, Measat Broadcast Network Systems Sdn Bhd, All Asia
Multimedia Networks Fz-Llc dan Mr. Marshall sejauh mereka berkaitan
dengan hubungan usaha patungan kecuali melalui arbitrase berdasarkan Pasal
17.4 dari SSA hingga putusan lebih lanjut.
B. Penetapan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Putusan Mahkamah
Agung
1. Penetapan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Pada tanggal 28 Oktober 2009, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
mengeluarkan Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan
SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) tanggal 7 Mei 2009, yang isi
putusannya adalah:5
a. Menimbang, bahwa substansi Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan
Peraturan SIAC No. 062 of 2008 (ARB062/08/JL) tersebut diatas adalah
melebihi kewenangan yang sudah ditetapkan yaitu telah menginterfensi
pelaksanaan proses peradilan di Indonesia yang telah berjalan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (sesuai tertib hukum), maka
Putusan Arbitrase Internasional dimaksud tidak dapat dijalankan (Non
Eksekutorial);
b. Menimbang, bahwa setelah diteliti dan dipelajari permasalahan dalam berkas
perkara Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC No. 062
of 2008 (ARB062/08/JL) yang diputuskan tanggal 07 Mei 2009 adalah
ternyata Putusan Arbitrase Internasional tersebut bukan merupakan putusan
akhir/final;
5 Salinan Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC Nomor:
062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) tanggal 7 Mei 2009, h. 4.
37
c. Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
berpendapat, maka untuk mencegah kekeliruan yang timbul di kemudian hari,
apabila permohonan eksekuatur tersebut tetap dilaksanakan, maka Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat memandang perlu untuk menyatakan bahwa putusan
Arbitrase SIAC No.062 of 2008 (ARB062/08/JL) yang diputuskan tanggal 07
Mei 2009, tidak dapat dilaksanakan (non eksekuatur).
2. Pertimbangan Hukum oleh Hakim Mahkamah Agung Nomor 01 K/Pst.Sus/2010
Pada tanggal 24 Februari 2010, Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010 terkait kasasi yang diajukan
pemohon atas Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan
SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) tanggal 7 Mei 2009, yang isi
putusannya adalah:6
1. Judex Facti (Pengadilan Negeri) tidak salah menerapkan hukum:
a. Dari segi hukum acara:
1) Walaupun Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase tidak mengatur pihak III
boleh memberikan bantahan selama proses pendaftaran untuk
memperoleh pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing,
namun asas hukum acara yang berlaku di Indonesia memberi hak
kepada setiap orang yang berkepentingan untuk mempertahankan hak-
haknya yang dilanggar atau terancam dalam asas “Poin’t de Interest
Poin’t de action” memberikan hak kepada pihak yang bersangkutan
dengan putusan arbitrase tersebut untuk memberikan sanggahan atas
kemungkinan eksekusi yang akan merugikan dirinya.
b. Dari segi hukum materiil:
1) Bahwa penolakan pemberian eksekuator oleh Judex Facti adalah sudah
benar dan tepat karena:
6 Salinan Putusan MA Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010, h. 36.
38
2) Perintah dalam putusan arbitrase tersebut untuk menghentikan proses
peradilan di Indonesia, adalah melanggar asas souvereignty dari Negara
Republik Indonesia tidak ada sesuatu kekuatan asing pun yang dapat
mencampuri proses hukum yang seadng berjalan di Indonesia.
3) Hal ini jelas melanggar ketertiban umum (public orde) di Indonesia;
4) Materi yang termuat dalam putusan arbitrase SIAC tersebut bukan
termasuk dalam bidang perdagangan tetapi dalam hukum acara.
3. Pertimbangan Hukum oleh Hakim Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-
Arbt/2016
a. Menimbang, bahwa alasan-alasan peninjauan kembali tidak dapat dibenarkan,
karena di dalam putusan Judex Juris tidak terdapat kekhilafan Hakim atau
suatu kekeliruan yang nyata, dengan pertimbangan asas hukum acara perdata
yang berlaku di Indonesia suatu pemeriksaan perkara yang sedang berjalan
hanya dapat dihentikan atas kesepakatan kedua belah pihak yang berperkara,
tidak dapat dihentikan secara paksa oleh pihak lain.
b. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung
berpendapat permohonan pemeriksaan peninjauan kembali yang diajukan
oleh Para Pemohon Peninjauan Kembali: PT. Astro Nusantara International
BV, dan kawan-kawan, tidak beralasan, sehingga harus ditolak
c. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali dari Para
Pemohon Peninjauan Kembali ditolak, maka Para Pemohon Peninjauan
Kembali harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan
peninjauan kembali.
4. Putusan Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: 67 PK/Pdt.Sus-
Arbt/2016 serta Putusan Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: 01
K/Pdt.Sus/2010 dan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam
39
Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC Nomor:
062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL)
Putusan yang dikeluarkan Majelis Hakim Mahkamah Agung pada tingkat
Peninjauan Kembali melalui H. Suwardi, S.H., M.H. sebagai ketua Majelis
Hakim yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 1 September
2016 menghasilakan putusan sebagai berikut:
a. Menolak permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan
Kembali Astro Grup.
b. Menghukum Para Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya
perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali yang ditetapkan sejumlah Rp.
2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Putusan yang dikeluarkan Majelis Hakim Mahkamah Agung pada tingkat
Kasasi melalui Dr. Harifin A. Tumpa, S.H, M.H sebagai ketua Majelis Hakim
yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 24 Februari 2010
menghasilkan putusan sebagai berikut:
a. Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi: 1. ASTRO
NUSANTRARA INTERNASIONAL B.V, 2. ASTRO NUSANTARA
HOLDING B.V, 3. ASTRO MULTIMEDIA CORPORATION N.V., 4.
ASTRO MULTIMEDIA N.V., 5. ASTRO OVERSEAS LIMITED, 6.
ASTRO ALL ASIA NETWORK PLC, 7. MEASAT BROADCAST
NETWORK SYSTEM SDN BHD, 8. ALL ASIA MULTIMEDIA
NETWORK FZ-LLC;
b. Menghukum para Pemohon Kasasi/para Pemohon untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini senilai Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
Maka dengan kata lain Putusan Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi
memperkuat putusan Judex Facti dalam Penetapan Putusan Arbitrase
40
Internasional berdasarkan Peraturan SIAC Nomor: 062 Tahun 2008
(ARB062/08/JL), yaitu:
Penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
melalui H. Syahrial Sidik, S.H., M.H. sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat pada tanggal 28 Oktober 2009 menghasilkan putusan sebagai berikut:
a. Menyatakan permohonan Pemohon tersebut diatas tidak dikabulkan;
b. Menyatakan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC
Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) yang diputuskan tanggal 07 Mei
2009, Non Eksekuatur (tidak dapat dilaksanakan);
c. Memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengiripkan
turunan penetapan non eksekuatur ini kepada para pihak yang berperkara.
41
BAB IV
KEPASTIAN HUKUM ASAS KETERTIBAN UMUM DALAM PENETAPAN
PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA
A. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016
Pada penelitian ini peneliti menemukan beberapa alasan yang menjadikan
putusan arbitrase internasional/asing di Indonesia sulit untuk mendapatkan kekuatan
eksekusi, yang mana diantaranya adalah:
1. Bertentangan dengan Asas Ketertiban Umum
Asas ketertiban umum sebagai alasan penolakan pelaksanaan eksekusi
putusan arbitrase internasional sampai saat ini belum memiliki definisi yang pasti
atau jelas. Bahkan, dalam Pasal V ayat (2) huruf (b) Konvensi New York 1958
yang menyatakan, “the recognition of enforcement of the award would be
contrary to the public policy of that country.” Tidak memberikan definisi
terhadap asas ketertiban umum. Hal ini, karena manifestasi dari asas ketertiban
umum dapat bervariasi antara satu jurisdiksi dengan jurisdiksi lainnya. Maka,
definisi dari asas ketertiban umum merupakan konsep yang ditentukan oleh
masing-masing negara anggota Konvensi New York 1958.
Konvensi New York 1958 yang kemudian diratifikasi Negara Indonesia
melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 yang pelaksanaannya diatur
dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing juga mengatur tentang syarat-syarat yang
harus dipenuhi agar putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan pada Pasal 3,
yang terdiri dari asas resiprositas, asas ruang lingkup hukum perdagangan, asas
ketertiban umum, dan memperoleh exequatur dari Mahkamah Agung. Pasal 3
ayat (3) yang mengatur tentang ketertiban umum tidak menjelaskan definisi dari
42
ketertiban umum itu, melainkan hal ini dijelaskan pada Pasal 4 ayat (2) yang
menyatakan: “Exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase Asing
itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi azasi dari seluruh system hukum
dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum).”
Pada tanggal 12 Agustus 1999 diundangkannya Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pengaturan secara khusus (lex specialis) mengatur tentang arbitrase di Indonesia
pun tidak memberikan titik terang tentang definisi dari asas ketertiban umum,
yang pada Undang-Undang ini diatur pada Pasal 66 huruf (c). Hal ini terlihat
pada bagian penjelasan yang mengatakan bahwa Pasal 66 huruf (c) dianggap
jelas, namun nyatanya justru tidak memberikan kepastian hukum, karena
menyerahkan kewenangan penafsiran kepada hakim untuk
menginterpretasikannya.
Namun peneliti menilai bahwa peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang arbitrase di Indonesia, terutama dalam pelaksanaan putusan
arbitrase asing di Indonesia menjadikan arbitrase sebagai sebuah sarana
penyelesaian sengketa yang tidak memiliki kepastian hukum. Kepastian hukum
merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam hal penegakan hukum,
dimana kepastian hukum yang dimaksud adalah perlindungan hukum terhadap
tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.1 Kepastian hukum
tidak terbatas oleh perbedaan negara, karena kepastian hukum merupakan hak
dan kepentingan suatu subjek hukum yang terdapat dalam suatu negara maupun
subjek hukum dari negara lain.
1 E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat dan
Antinomi Nilai, (Jakarta: Kompas, 2007), h. 92.
43
Kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto sebagaimana
dikutip oleh Sidharta yang relevan atas permasalahan di atas, yaitu bahwa
kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut:2
a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah
diperoleh (accessible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
b. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan
hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
c. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu
menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
d. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka
menyelesaikan sengketa hukum; dan
e. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
Dalam hal ini maka hakim diberikan hak diskresi terhadap dirinya untuk
mempertimbangkan asas ketertiban umum untuk menerima atau menolak
pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Pada Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan
“bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Para hakim dianggap tahu
hukum (ius curianovit), dan hakim bukan hanya sekedar corong dari undang-
undang (la Bouche de la Loi).
Istilah lain diskresi yaitu freies ermessen, kata frei berarti bebas, lepas,
tidak terikat, dan merdeka, serta ermessen yang berarti mempertimbangkan,
menilai, menduga, dan memperkirakan. Jika melihat dari pengertian etimologi
yang ada, istilah freies ermessen atau diskresi mengandung arti kemerdekaan
2 Shidarta, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, (Bandung: Refika
Aditama, 2006), h. 85.
44
atau kebebasan untuk membuat pertimbangan, penilaian, dan perkiraan.
Tentunya pertimbangan, penilaian, dan perkiraan tersebut dibuat oleh seseorang
atau suatu jabatan dalam hubungan dengan suatu keadaan, situasi, hal atau
masalah tertentu.3 Diskresi dapat menjadi sebuah sarana untuk mengisi
kekosongan aturan dalam sebuah mekanisme terntentu, namun disisi lain juga
dapat menjadi biang malapetaka jika digunakan untuk tujuan yang tidak sesuai.
Hakim dalam menafirkan asas ketertiban umum haruslah melihat pada
hukum yang berlaku seiring dengan perkembangan jaman. Hal ini sejalan dengan
faham hukum progresif sebagaimana yang digagas oleh Satjipto Raharjo, bahwa
hukum hendaknya mengikuti perkembangan jaman dengan segala dasar di
dalamnya. Maka tidaklah haram bagi hakim untuk menyimpangi undang-
undang, jika keadilan dapat diperoleh dengan jalan menyimpangi tersebut dan
justru keadilan akan muncul jika aturan undang-undang diterapkan.4 Maka
menurut peneliti penting untuk menggali bagaimana asas ketertiban umum yang
berlaku dan hidup di Indonesia.
Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 asas
ketertiban umum menjadi alasan hakim untuk menolak pelaksanaan putusan
arbitrase internasional/asing tersebut. Terlihat bahwa hakim memperkuat Judex
Juris dan Judex Factie pada Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 01
K/Pdt.Sus/2010 dan Putusan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor:
Putusan Arbitrase Internasional berdasaran Nomor : 32 Tahun 2009 bahwa Astro
Group tidak memenuhi persyaratan pada Pasal 66 huruf c Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yakni tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.
3 Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Pemerintah, Asas-Asas Hukum
Pemerintah yang Baik, (Jakarta: Erlangga,2010), h. 70. 4 Darmoko Yuti Witanto, Arya Putra, Diskresi Hakim sebuah Instrumen Menegakkan
Keadilan Substatif dalam Perkara-Perkara Pidana, (Bandung: Alfabeta Bandung, 2013), h. 123.
45
Keputusan tersebut mempertegas bahwa putusan arbitrase tersebut untuk
menghentikan proses peradilan di Indonesia adalah melanggar asas Souvereignty
dari Negara Republik Indonesia, karena tidak ada sesuatu kekuatan asing pun
yang dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan di Indonesia. Hal ini
jelas melanggar ketertiban umum (public orde) di Indonesia.5
Hakim mempertimbangkan bahwa sesuai dengan asas hukum acara
perdata yang berlaku di Indonesia sesuatu pemeriksaan perkara yang sedang
berjalan hanya dapat dihentikan atas kesepakatan kedua belah pihak yang
berperkara, tidak dapat dihentikan secara paksa oleh pihak lain.6 Hal tersebut
sebagaiman telah diatur pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Pada putusan ini peneliti menemukan bahwa yang dimaksud dengan
bertentangan dengan asas ketertiban umum apabila bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan di Indonesia, serta telah melanggar kedaulatan
negara dan kedaulatan hukum Negara Republik Indonesia. Hal ini sejalan dengan
ruang lingkup ketertiban umum yang diklasifikasikan menjadi dua oleh M.
Yahya Harahap; a.) Penafsiran sempit yang berarti ketertiban umum hanya
terbatas pada ketentuan hukum positif yang ada; dan b.) Penafsiran luas dimana
ketertiban umum adalah nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum yang hidup dan
tumbuh dalam kesadaran masyarakat.
Maka dalam menggali definisi asas ketertiban umum lebih lanjut, peneliti
juga akan melihat putusan-putusan hakim yang menolak pelaksanaan putusan
arbitrase internasional/asing di Indonesia yang dianggap bertentangan dengan
ketertiban umum. Dalam hal ini diantaranya adalah sengketa bisnis antara
5 Salinana Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010, h. 37. 6 Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016, h. 16.
46
Bankers Trust dan Mayora Indah/Jakarta Internasional Hotels & Development
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 04 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, dan
sengketa bisnis antara E.D. & F Man Sugar Ltd dan Yani Haryanto dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen. Ex’r/Arb.Int/Pdt/91.
Sengketa bisnis antara E.D. & F Man Sugar Ltd melawan Yani Haryanto
pada intinya terjadi karena perjanjian (irrevocable letter of credit) yang
disepakati kedua belah pihak pada tahun 1982, dalam perjanjian ini Yani
Haryanto sepakat untuk membeli 300.000 ton gula dari E.D. & F Man Sugar Ltd
dimana keseluruhan gula akan diterima Yani pada tahun 1983/1984. Para pihak
sepakat untuk menggunakan lembaga arbitrase di London dan mendasarkan
kepada hukum Inggris jika suatu saat terjadi sengketa.
Namun harga gula pasir di Indonesia mengalami penurunan harga pada
tahun 1982/1983 yang membuat yani membatalkan perjanjian yang telah
disepakati di awal secara sepihak. Sayangnya F Man telah membeli gula pasir
dari pihak ketiga demi memenuhi prestasi yang timbul karena perjanjian tersebut.
Pada bulan Juni 1984 karena merasa dirugikan maka F Man mengajukan gugatan
Arbitrase ke London Court of Arbitration untuk menuntut kerugian sebesar US$
146,300,000 karena wanprestasi yang dilakukan oleh Yani yang tuntutan tersebut
dikabulkan oleh pengadilan London, kemudian Yani melakukan banding dengan
alasan tidak paham dengan Bahasa yang digunakan yang kemudian ditolak oleh
Pengadilan Tinggi Inggris.
Pada tanggal 7 Juli 1986, para pihak akhirnya mengadakan negosiasi yang
disepakati dengan pembayaran US$ 27,000,000 oleh Yani kepada F Man, namun
sayangnya hingga 31 Juli 1987 Yani hanya dapat membayar total sebesar US$
5,000,000 kepada F Man. Yani kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat untuk meminta pembatalan perjanjian dengan alasan
perjanjian tersebut bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun
1971 dan Nomor 39 Tahun 1978 yang mengatur bahwa hanya Badan Urusan
47
Logistik (BULOG) yang dapat melakukan kegiatan impor gula di Indonesia.
Gugatan tersebut dikabulkan dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat.
Sementara itu F Man mengajukan permohonan eksekuatur atas putusan
arbitrase asing yang dikeluarkan oleh London Court of Arbitration, dan
berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen. Ex’r/Arb.Int/Pdt/91
mengabulkan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, namun Pegadilan Negeri
Jakarta Pusat memutuskan untuk menunda terlebih dahulu pelaksanaan tersebut
dengan alasan masih berlanjutnya proses kasasi di Mahkamah Agung Republik
Indonesia tentang pembatalan perjanjian oleh Yani.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1205 K/Pdt/1990 dan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1203 K/Pdt/1990 memberikan putusan yang
sama dengan menyatakan bahwa perjanjian antara F Man dan Yani batal demi
hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Putusan ini kemudian
memberikan dampak pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen.
Ex’r/Arb.Int/Pdt/91 yang dikoreksi dan menjatuhkan putusan menolak eksekusi
putusan arbitrase London tersebut dengan pertimbangan hukum bahwa
mengingat perjanjian tersebut telah batal demi hukum yang menjadikan putusan
ini yang telah mengabulkan pelaksanaan putusan arbitrase asing sebelumnnya
menjadi tidak relevan lagi.
Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen. Ex’r/Arb.Int/Pdt/91 dapat
kita lihat hakim menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional/asing
dengan alasan bertentangan dengan asas ketertiban umum. Hal ini didasarkan
pada Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan dasar perjanjian arbitrase
tersebut batal demi hukum karena mengandung sebab yang tidak halal. Dimana
isi perjanjian tersebut bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun
1971 dan Nomor 39 Tahun 1978. Maka perjanjian ini telah melanggar Pasal 1320
KUH Perdata tentang syarat sah perjanjian. Pasal 1320 KUH Perdata
menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni: Pertama,
adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya; Kedua, kecakapan
48
para pihak untuk membuat suatu perikatan; Ketiga, suatu hal tertentu; Keempat,
suatu sebab (causa) yang halal. Dengan demikian pada kasus ini yang dianggap
bertentangan dengan ketertiban umum adalah pelanggaran hukum dan peraturan
yang berlaku di Indonesia.7
Selanjutnya pada sengketa bisnis antara Bankers Trust dan Mayora
Indah/Jakarta Internasional Hotels & Development dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 04 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000. Perkara ini diawali dari
ditandatanganinya Perjanjian International Swaps and Derivatives Association
(ISDA) Master Agreement pada tanggal 25 April 1997 antara PT. Mayora dan
PT. BTI. Seiring dengan berjalannya waktu PT. Mayora tidak dapat memenuhi
prestasi sesuai dengan perjanjian, maka PT. BTI kemudian menggugat PT.
Mayora ke hadapan lebaga The London Court of International Arbitration di
London Inggris. Lembaga arbitrase ini akhirnya memutuskan berdasarkan
Putusan Nomor 8119 tertanggal 8 Agustus 1999 dan 19 Agustus 1999,
menyatakan bahwa pihak PT. Mayora bersalah karena lalai dalam melakukan
pembayaran kepada PT. BTI dan oleh karena itu PT. BTI berhak atas ganti rugi
berdasarkan Pasal 11 Master Agreement dan terhadap biaya-biaya yang telah
dikeluarkan.
Disaat yang sama, PT. Mayora mengajukan gugatan yang berisi
permohonan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar perjanjian ISDA
Master Agreement yang telah dibuat kedua belah pihak dapat dibatalkan dengan
alasan karena menurut pihak Penggugat (PT. Mayora), penggugat tidak
menandatangani ISDA Master Agreement tanpa schedule pada tanggal 25 April
1997 sebagaimana yang tertera dalam perjanjian, melainkan ditandatangani pada
18 Agustus 1997 sehingga perjanjian tersebut dianggap cacat secara hukum.8
7 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2003), h. 330. 8 Cut Memi, Arbitrase Komersial Internasional Penerapan Klausul dalam Putusan
Pengadilan Negeri, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), h. 67.
49
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian menolak eksepsi yang
diberikan oleh PT. BTI dengan menimbang, bahwa para pihak harus
menundukkan diri pada English Court di London atau pada yurisdiksi
noneksklusif dari Pengadilan Negara bagian New York, tetapi di bagian akhir
dari Pasal 13 (b) (iii) itu terdapat pula klausul yang disepakati oleh masing-
masing pihak di dalam perjanjian tersebut, yang bunyinya sebagai berikut.
“Perjanjian ini tidak akan merintangi salah satu pihak untuk mengajukan gugatan
pada yurisdiksi lain (bagian luar, jika perjanjian ini dinyatakan tunduk pada
Hukum Inggris, Negara dari pihak yang mengadakan perjanjian sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 1 (3) Civil Jurisdiction dan Act of 1982 atau pada
perubahan-perubahannya yang dibuat terhadapnya) juga pengajuan pada satu
atau lebih yurisdiksi tidak akan merintangi pengajuan gugatan pada yurisdiksi
lain.”
Akhirnya, pada tanggal 5 Oktober 1999 hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan telah memutuskan perkara ini dengan memenangkan pihak PT. Mayora
dan membatalkan perjanjian antara PT. Mayora dan PT. BTI. Akibatnya
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarakan penetapan yang menolak
permohonan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase London yang bersangkutan
di Indonesia. Pihak BTI kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Akan tetapi, Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 04
K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000 telah menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh
pihak PT BTI dengan pertimbangan hukum “Bahwa oleh karena itu maka
permohonan exequatur harus ditolak, karena bertentangan dengan tertib hukum
yang berlaku, khususnya tertib beracara. Pemohon exequatur seharusnya
mengetahui bahwa hubungan hukum yang menjadi dasar putusan arbitrase
internasional tidak dapat dibenarkan karena pemohon sendiri sebagai pihak
dalam perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut.”
Putusan Nomor 04 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000 pun menolak pelaksanaan
eksekusi putusan arbitrase internasional/asing dikarenakan adanya hubungan
50
hukum yang masih menjadi sengketa dalam perkara yang diputus Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor: 489/Pdt.G/1998. Hal ini dianggap melanggar
sistem hukum di Indonesia, yakni tertib hukum beracara di Indonesia.
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 1990
“Exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata
bertentangan dengan sendi-sendi azasi dari seluruh sistem hukum dan
masyarakat di Indonesia (ketertiban umum).
Dari beberapa putusan yang menolak eksekusi putusan arbitrase
internasional dengan alasan bertentangan dengan ketertiban umum, peniliti
menarik kesimpulan bahwa sesuatu hal dianggap bertentangan dengan ketertiban
umum apabila bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum
dan masyarakat di Indonesia, bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia, dan telah melanggar kedaulatan negara dan
kedaualatan hukum Negara Republik Indonesia. Maka Negara Republik
Indonesia adalah negara yang menganut paham ketertiban umum secara sempit.
Dr. Tineke Louise Tuegeh Longdong menyatakan bahwa terdapat negara yang
lebih mementingkan ketertiban umum intern, yang beranggapan bahwa
perjanjian luar negeri yang mengandung klausula arbitrase tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum intern negara tersebut.9
Beberapa putusan diatas juga menandakan bahwa asas ketertiban umum
dapat berbeda pemahaman dan artinya dalam rentang dimensi waktu, ruang,
tempat, dan subjek yang berbeda.10 Kesimpulan peneliti ini dipertegas oleh Frans
Winarta di dalam Report on the Public Policy Exeption in the New York
Convention dengan mengatakan Pengadilan cenderung mengklasifikasikan
pelanggaran ketertiban umum ke dalam tiga kategori: 1) pelanggaran hukum dan
9 Tuegeh Longdong, Tineke Louise, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958,
(Bandung: PT. Karya Kita, 2003), h. 234. 10 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase Dan Penerapan Hukumnya,
(Jakarta: Kencana, 2015), h. 420.
51
peraturan yang berlaku di Indonesia; 2) bahaya bagi kepentingan Indonesia,
termasuk ekonominya; dan 3) pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia.11
2. Tidak adanya Itikad Baik Para Pihak
Arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa pada
dasarnya memiliki banyak kelebihan sebagai sarana penyelesaian sengketa,
namun dalam hal ini ternyata arbitrase masih memiliki kekurangan seperti, para
pihak yang tidak secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase internnasional
tersebut yang mengharuskan penetapan eksekusi ke Pengadilan Negeri, serta
permasalahan pelaksanaan dan pengakuan keputusan arbitrase
internasional/asing.
Maka apabila para pihak tidak beritikad baik untuk melaksanakan putusan
arbitrase tersebut dibutuhkan penetapan eksekusi sebuah putusan arbitrase
internasional/asing melalui Pengadilan Negeri di Indonesia. Dalam hal ini Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diberikan kewenangan untuk menolak dan
menerima pelaksanaan putusan arbitrase Internasional. Hal ini telah jelas
dinyatakan di dalam Pasal 65 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yakni, “Yang berwenang menangani
masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”.
Berdasarkan penjelasan di atas maka perlu diketahui prosedur eksekusi
putusan arbitrase internasional di Indonesia, diantaranya melalui tahap:12
a. Tahap penyerahan dan pendaftaran putusan
Permohonan pelaksanaan putusan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya
kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (Pasal 67 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999).
11 IBA Subcommittee on Recognition and Enforcement of Arbitral Awards: Report on the
Public Policy Exception in the New York Convention, October 2015, h. 9. 12 Prasetyo Budi Sunarso, Sugijono, Emi Zulaika, Pelaksanaan Arbitrase Internasional di
Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Jember, h. 9.
52
b. Tahap permohonan pelaksanaan putusan, berkas permohonan meliputi:
1) Permohonan pelaksanaan eksekusi oleh arbiter atau kuasanya;
2) Lembar asli atau Salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai
kekuatan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan
resminya dalam Bahasa Indonesia;
3) Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan
Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen
asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
4) Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara
tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang
menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal
pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. (Pasal 67
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
c. Tahap perintah pelaksanaan oleh Ketua Pengadilan Negeri (eksekuatur),
dengan tahapan sebagai berikut:
1) Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengirimkan berkas permohonan
eksekusi kepada Panitera/Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung untuk
memperoleh eksekuatur (Pasal 5 Ayat (2) Perma 1/1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing);
2) Putusan Eksekuatur diberikan oleh Mahkamah Agung dan pelaksanaan
selanjutnya diserahkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
3) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi.
d. Tahap pelaksanaan putusan arbitrase:
1) Tata cara peyitaan dan pelaksanaan putusan mengikuti tata cara
sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata (Pasal 69 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999);
53
2) Pelaksanaan eksekusi selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang secara relative berwenang melaksanakannya. (Pasal 69 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016
pihak pemohon yaitu Astro Group telah memenuhi berkas-berkas sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 67 ayat (2) Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun Putusan Arbitrase yang
didaftarkan tidak mendapatkan perintah eksekusi dari Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat karena dinilai tidak sesuai dengan salah satu persyaratan pengakuan
pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional yang diatur dalam Pasal 66 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Peneliti dalam melihat bahwa penolakan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional/asing dalam putusan ini tidak terlepas dari tidak adanya itikad baik
dari pihak termohon. Hal ini dapat dilihat Ketika termohon melakukan gugatan
perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sedangkan
para pihak telah menyetujui Subscription and Shareholders Agreement (SSA)
yang di dalamnya mengatur klausul arbitrase.
Padahal sudah sangat jelas dijelaskan pada Pasal 3 jo. Pasal 11 Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
bahwa dengan adanya perjanjian arbitrase maka hal ini telah menghapus
kewenangan pengadilan negeri untuk menyelesaikan sengketa yang ada.
Selanjutnya pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen.
Ex’r/Arb.Int/Pdt/91. Pihak termohon Yani Haryanto setelah dinyatakan kalah
pada putusan arbitrase internasional/asing, justru melakukan upaya pembatalan
perjanjian yang menjadi dasar putusan arbitrase internasional/asing.
Pada tanggal 7 Juli 1986, para pihak akhirnya mengadakan negosiasi yang
disepakati dengan pembayaran US$ 27,000,000 oleh Yani kepada F Man, namun
sayangnya hingga 31 Juli 1987 Yani hanya dapat membayar total sebesar US$
54
5,000,000 kepada F Man. Yani kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat untuk meminta pembatalan perjanjian dengan alasan
perjanjian tersebut bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun
1971 dan Nomor 39 Tahun 1978 yang mengatur bahwa hanya Badan Urusan
Logistik (BULOG) yang dapat melakukan kegiatan impor gula di Indonesia.
Gugatan tersebut dikabulkan dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat.
Tidak adanya itikad baik pihak termohon terlihat jelas pada penggalan
kronologi di atas. Dimana para pihak setuju untuk menandatangani perjanjian
(irrevocable letter of credit) yang disepakati kedua belah pihak pada tahun 1982,
namun ketika termohon dinyatakan bersalah dan harus mengganti sejumlah uang
pada putusan London Court of Arbitration. Termohon justru meminta
pembatalan perjanjian dengan alasan perjanjian tersebut bertentangan dengan
Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1971 dan Nomor 39 Tahun 1978.
Dari beberapa kasus di atas dapat dilihat bahwa tidak adanya itikad baik
para pihak dalam menjalankan perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase
merupakan ikatan dan kesepakatan di antara para pihak, bahwa mereka akan
menyelesaikan perselisihan yang timbul dari perjanjian oleh badan arbitrase. Para
pihak sepakat untuk tidak mengajukan persengketaan yang terjadi ke badan
peradilan.13 Namun salah satu pihak justru mengajukan penyelesaian ke badan
peradilan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nili Cohen mengenai
itikad baik sebagai pembatasan kebebasan berkontrak yang setidaknya didasari
oleh dua hal, yaitu: a) semakin berpengaruhnya ajaran itikad baik di mana itikad
baik tidak hanya ada pada pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus ada pada saat
13 M. Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari : Reglement Acara Perdata (Rv), Peraturan
Prosedur Bani, International Centre for the Settlement of Investment Disputes, UNICITRAL
Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, dan
PERMA No. 1 Tahun 1990, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2004), h. 62.
55
dibuatnya kontrak; b) semakin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan
(misbruik van omstandigheden atau undue influenze).14
Jika memang pihak termohon memiliki itikad baik, terdapat beberapa
upaya yang dapat dilakukan oleh termohon dalam membatalkan putusan arbitrase
internasional/asing, maupun membatalkan perjanjian yang menjadi dasar
putusan itu sendiri.
Permohonan pembatalan putusan arbitrase berkaitan dengan hukum dari
negara dimana putusan arbitrase dijatuhkan atau disebut lex arbitri sebagaimana
diatur dalam Pasal V ayat (1) huruf (e) Konvensi New York 1958 yang pada
pokoknya menegaskan bahwa pembatalan putusan arbitrase internasional hanya
dapat diajukan di pengadilan di negara mana dan berdasarkan hukum negara
mana putusan arbitrase internasional tersebut dijatuhkan.15 Sebagai contoh lex
arbitri untuk membatalkan sebuah putusan arbitrase internasional/asing di
Indonesia terdapat pada Pasal 70 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal ini kemudian banyak
dijadikan landasan dalam pengajuan pembatalan putusan arbitrase internasional
di Indonesia.
Lex arbitri adalah hukum yang berkaitan dengan arbitrase, dari negara
mana tempat arbitrase diselenggarakan. Lex arbitri ini menentukan beberapa hal,
seperti apakah perjanjian arbitrase sah; apakah sengketa tertentu dapat
diselesaikan melelui arbitrase; apakah pengadilan akan memberikan upaya
hukum provisional/sementara; apakah harus ada putusan yang berdasarkan
pertimbangan yang beralasan; apakah keputusan arbitrase dapat ditinjau kembali
mengenai materi atau dasar-dasar lainnya.16 Dari penjelasan di atas peneliti
14 Luh Nila Winarni, Prinsip Itikad Baik dalam Pembuatan dan Pelaksanaan Kontrak,
(Bali: Udayana University Press, 2016), h. 41. 15 Yuanita Permatasari, Kewenangan Pengadilan Dalam Pembatalan Putusan Arbitrase
Internasional Di Indonesia, Jurnal Privat Law, Juli-Desember 2017, Vol. V, No. 2, h. 29. 16 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001), h. 51-52.
56
berpendapat bahwa pembatalan putusan arbitrase internasional bukanlah
wewenang dari pengadilan negeri di Indonesia selama dasar hukum yang
digunakan dalam pembuatan perjanjiannya adalah hukum yang berada di luar
wilayah negara Republik Indonesia. Berbeda halnya dengan kewenangan
pengadilan negeri untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional
sebagai bentuk dari kedaulatan sebuah negara yang diatur secara khusus di
bagian arbitrase internasional pada Pasal 65 Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
B. Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016
Berangkat dari serangkaian pemahaman sebagaimana yang telah peneliti
paparkan di atas, maka dapat peneliti jabarkan hal substansial dalam analisis
penelitian ini, yaitu:
Analisis Pertimbangan Hukum Putusan Hakim Mahkamah Agung Nomor 67
PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 Juncto Putusan Hakim Mahkamah Agung Nomot 01
K/Pdt.Sus/2010 dan Penetapan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan
Peraturan SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) Tanggal 07 Mei 2009
1. Analisis Pertimbangan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Guna keperluan penelitian agar lebih menyeluruh maka kiranya dalam hal
ini peneliti akan menganalisis hal-hal yang menjadi pertimbangan Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam penetapan permohonan pelaksanaan
eksekusi putusan arbitrase internasional oleh Astro Grup sebagai pemohon.
a. Menimbang permohonan yang diajukan pada intinya berisi:
1) Karena di dalam Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan
SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB 062 / 08 / JL) melebihi kewenangan
yang sudah ditetapkan yaitu menginterfensi pelaksanaan proses peradilan
di Indonesia untuk menghentikan proses peradilan di Indonesia (kasus No.
1100/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL) dan tidak mengambil langkah lebih lanjut
dalam proses peradilan di Indonesia.
57
Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang pada intinya,
yakni:
1) Perjanjian tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa akan dan timbul dalam perjanjian ke Pengadilan
Negeri;
2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak mencampuri dalam suatu
penyelesaian sengketa yang telah diperjanjikan untuk diselesaikan
melalui arbitrase.
Adapun pihak pemohon Astro Group dan termohon PT. Ayunda
Prima Mitra, PT. First Media, Tbk, dan PT. Direct Vision telah terikat pada
Perjanjian Subscription and Shareholders Agreement (SSA) yang memiliki
klausula arbitrase pada Pasal 17.4 mengenai prosedur penyelesaian
sengketa berbunyi sebagai berikut:
If the Parties in dispute are unable to resolve the subject matter of dispute
amicably within thirty (30) days, then any Party in dispute may commence
binding arbitration through the Singapore International Arbitration
Centre (SIAC) and in accordance except as herein stated, with all the rules
of SIAC. The arbitration shall take place at the Singapore International
Arbitration Centre and the award of the arbitrators shall be final and
binding upon the Parties.
(Terjemahan bebas dari penulis: Jika para pihak yang berperkara tidak
dapat menyelesaikan perkara mereka secara mufakat dalam waktu tiga
puluh hari, maka semua pihak yang berperkara dapat memulai proses
arbitrase pada SIAC sesuai dengan Rules of SIAC, kecuali ditentukan lain
pada Perjanjian ini. Pemeriksaan Arbitrase, termasuk pengambilan pada
putusan, dilaksanakan di SIAC, dan putusan arbitrase adalah final dan
mengikat terhadap para Pihak.)
Peneliti menilai bahwa pertimbangan yang dilakukan Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat keliru, disamping karena para pihak telah
sepakat untuk menyelesaikan perkara yang akan timbul di arbitrase, para
58
pihak juga diperkuat asas pacta sunt servanda yang tercermin dalam Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata. Dengan asas ini hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat para pihak, sebagaimana
layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.17
2) Karena Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC
No.062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) bukan merupakan putusan
akhir/final.
Berdasarkan Pasal V ayat (1) huruf (e) New York Convention: “The
award has not yet become binding on the parties or has been set aside or
suspended by a competent authority of the country in which, or under the
law of which, that award was made.” Suatu putusan yang belum
mengikat/binding di bidang arbitrase, pada dasarnya merujuk kepada
ketentuan rules yang menjadi sumber proses penyelesaian yang disepakati.
Dimana dalam putusan ini adalah peraturan SIAC, maka Putusan Arbitrase
ini dinyatakan bersifat akhir dan mengikat (final and binding) bagi para
pihak yang mengikatkan diri di dalamnya.
Karena para Pemohon telah melampirkan dokumen-dokumen
pendukung yang diajukan oleh Pemohon Eksekuatur seperti:
1) Klarifikasi dari tribunal arbitrase bahwa Putusan SIAC Arbitration
No.062/08 bukan putusan sela (interim) namun merupakan putusan
akhir.
2) Bahwa Putusan SIAC Arbitration No. 062/08 masuk dalam lingkup
sengketa dagang karena berisi hukuman atas pelanggaran klausula non
17 Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Praktik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,
2015), h. 10.
59
litigation (larangan membawa perselisihan ke Pengadilan) yang diatur
dalam Pasal 17.4 SSA, suatu perjanjian yang mengatur mengenai usaha
patungan (Joint Venture).
3) Kemudian juga diklarifikasikan bahwa Putusan SIAC Arbitration No.
062/08 tersebut tidak memerintahkan Pengadilan Indonesia untuk
menghentikan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun
memerintahkan agar termohon di dalam arbitrase yaitu PT Ayunda
Prima Mitra untuk menghentikan gugatannya terhadap Pemohon yang
mana hal tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 3 jo. Pasal 11
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa jo. Pasal 134 HIR sehingga tidak bertentangan
dengan tertib hukum di Indonesia.
Dari dokumen-dokumen pendukung di atas maka dapat dikatakan
bahwa putusan arbitrase yang dikeluarkan SIAC merupakan putusan
akhir/final karena telah sesuai dengan Keppres No. 34 Tahun 1981 yang
telah diatur dalam Pasal 2 PERMA Nomor 1 Tahun 1990 yang
menjelaskan: “Yang dimaksud dengan Putusan Arbitrase Asing adalah
putusan yang dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter
perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan
suatu Badan Arbitrase ataupun Arbitre perorangan yang menurut ketentuan
hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan Arbitrase
Asing, yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres No. 34
Tahun 1981 Lembaran Negara Tahun 1981 No. 40 tanggal 5 Agustus
1981.”
2. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi adalah:
Adapun pertimbangannya sebagai berikut:18
18 Salinan Putusan MA Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010, h. 36-37.
60
1) Menimbang bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung
berpendapat sebagai berikut:
Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat diterima oleh karena:
1. Judex Facti (Pengadilan Negeri) tidak salah menerapkan hukum:
1. Dari segi hukum acara:
- Walaupun Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase tidak mengatur pihak
III boleh memberikan bantahan selama proses pendaftaran untuk
memperoleh pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing,
namun asas hukum acara yang berlaku di Indonesia memberi hak
kepada setiap orang yang berkepentingan untuk mempertahankan
hak-haknya yang dilanggar atau terancam dalam Azas “Poin’t de
Interest Poin’t de action” memberikan hak kepada pihak yang
bersangkutan dengan putusan arbitrase tersebut untuk memberikan
sanggahan atas kemungkinan eksekusi yang akan merugikan dirinya.
- Tindakan eksekuator oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 66 huruf d Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 adalah langkah awal untuk dilaksanakannya (eksekusi)
putusan arbitrase internasional sehingga pihak Termohon eksekusi
putusan arbitrase SIAC mempunyai kepentingan atas Permohonan
eksekuator oleh Pemohon;
Adapun peneliti setuju dengan alasan pemohon bahwa judex facti (Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) telah keliru dengan mempertimbangkan surat
dan permohonan yang diajukan oleh pihak lain selain pihak pemohon eksekuatur
dalam mengeluarkan penetapan non eksekuatur. Proses pemeriksaan dalam
sebuah permohonan pada dasarnya dilakukan secara ex-parte yang berarti
bersifat, hanya mendengat keterangan pemohon atau kuasanya sehubungan
dengan permohonan, memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan pemohon,
dan tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan. Dalam prosesnya permohonan
61
tidak ditegakkan asas mendengar jawaban atau bantahan pihak lawan/asas audi
et alteram partem.
Proses tersebut nyatanya juga diterangkan di dalam Pasal 59 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi: “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara
sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri
atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.”
Namun walaupun Pasal 66 Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mengatur tentang
penolakan oleh pihak termohon namun penolakan dari pihak termohon dapat
dilakukan berdasarkan Pasal V ayat (1) Konvensi New York 1958 dengan
membuktikan alasan-alasan pernolakan tersebut. Alasan penolakan pelaksanaan
suatu keputusan arbitrase internasional, yang antara lain:19
1) Bahwa para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut ternyata menurut
hukum nasionalnya tidak mampu, atau menurut hukum yang mengatur
perjanjian tersebut dibuat, apabila tidak ada petunjuk hukum mana yang
berlaku;
2) Pihak terhadap mana keputusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang
sepatutnya tentang penunjukan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak
dapat mengajukan kasusnya;
3) Keputusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk
diputuskan oleh arbitrase, atau keputusan tersebut mengandung hal-hal yang
berada di luar dari hal-hal yang seharusnya diputuskan; atau
4) Komposisi wewenang arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan
persetujuan para pihak, atau tidak sesuai dengan hukum nasional tempat
arbitrase berlangsung; atau
19 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya,
(Jakarta: Kencana, 2015), h. 394-395.
62
5) Keputusan tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan
atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara di mana keputusan
dibuat.
Namun jika dilihat dari alasan penolakan termohon sebagaimana yang
dijelaskan oleh pemohon yang antara lain:
- Bahwa sengketa dalam perkara arbitrase tersebut di atas oleh para
pemohon/penggugat baru didaftarkan pada SIAC tanggal 6 Oktober 2008
sedangkan sebelumnya termohon PT Ayunda Prima Mitras sudah
mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap para
pemohon/penggugat di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada
tanggal 2 september 2008 Nomor 1100/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL.
- Bahwa sengketa dalam Putusan Arbitrase SIAC No. 062 (ARB062/08/JL),
bukanlah sengketa mengenai ruang lingkup hukum perdagangan sebagaimana
ditentukan dalam pasal 66 ayat b Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
- Bahwa sengketa dalam Putusan Arbitrase SIAC No. 062 (ARB062/08/JL),
adalah intervensi terhadap berlakunya tertib hukum acara Perdata di
Indonesia, yaitu dapat dilihat dalam amarnya yang berbunyi “Segera
menghentikan proses peradilan di Indonesia (kasus
No.1100/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL) sepanjang berkaitan dengan C6, C7, C8
dan Mr Ralp Marshall.
Dari alasan para termohon diatas dapat disimpulkan bahwa pemohon
tidak berhak untuk melakukan penolakan atas putusan arbitrase internasional di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini dikarenakan, alasan termohon untuk
menolak putusan arbitrase internasional tersebut tidak memenuhi syarat-syarat
yang ada dalam Pasal V ayat (1) Konvensi New York 1958.
2. Dari segi hukum materil:
- Bahwa penolakan pemberian eksekuator oleh Judex Facti adalah
sudah benar dan tepat karena:
63
- Perintah dalam putusan arbitrase tersebut untuk mengehentikan
proses peradilan di Indonesia, adalah melanggar asas Souvereignty
dari Negara Republik Indonesia tidak ada sesuatu kekuatan asing pun
yang dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan di
Indonesia. Hal ini jelas melanggar ketertiban umum;
- Materi yang termuat dalam putusan arbitrase SIAC tersebut bukan
termasuk bidang perdagangan tetapi termasuk dalam hukum acara;
Pada kasus perdata yang digugat oleh termohon dalam gugatannya pada
dasarnya merupakan gugatan wansprestasi bukan perbuatan melawan hukum,
karena isi dari gugatannya adalah permasalahan pemberian modal dari Astro
Grup yang ada di dalam perjanjian SSA. Menurut subekti, wanprestasi (kealpaan
atau kelalaian) seorang debitur dapat berupa empat macam:20
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukannya;
2) Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Maka yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa adalah SIAC
sebagaimaa telah tertuang pada klausula arbitrase di Pasal 17.4 SSA yang
disepakati oleh kedua pihak. Menurut Jerzy Jakubowski, yang menjadi dasar
arbitrase adalah authority (kewenangan, bukan kekuasaan). Kewenangan
arbitrase tersebut lahir karena adanya penerimaan, kepercayaan dan apresiasi
para pihak terhadap arbitrase.21
Maka jelaslah menurut peniliti bahwa apa yang dilakukan Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mempertimbangkan permohonan
penolakan putusan arbitrase internasional tersebut merupakan kekeliruan dan
tidak dapat dibenarkan.
20 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1979), h. 45. 21 Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama,
2000), h. 52.
64
3. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung pada tingkat Peninjauan Kembali
adalah:
Menimbang, bahwa salah satu amar Putusan Arbitrase Internasional
berdasarkan Peraturan SIAC Nomor 62 of 2008 (ARB062/08/JL) yang diputus
tanggal 7 Mei 2009 adalah segera menghentikan proses peradilan di Indonesia
(kasus Nomor 1100/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Sel) sepanjang berkaitan dengan c.6,
C.7, C.8 dan Mr Marshall;
Bahwa sesuai dengan asas hukum acara perdata yang berlaku di
Indonesia suatu pemeriksaan perkara yang sedang berjalan hanya dapat
dihentikan atas kesepakatan kedua belah pihak yang berperkara, tidak dapat
dihentikan secara paksa oleh pihak lain;
Hakim dalam menimbang putusan diatas melihat kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dimana syarat ketertiban umum
diatur dalam Pasal 66 huruf (c), yang mengatur bahwa “Putusan Arbitrase
Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di
Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban
umum”. Hal ini dikarenakan Negara Indonesia lebih mementingkan ketertiban
umum intern. Negara seperti ini berpendapat bahwa perjanjian dengan luar negeri
yang mengandung klausula arbitrase tidak boleh bertentangan dengan ketertiban
umum intern yang berlaku.22
Definisi ketertiban umum yang ditafsirkan oleh hakim terletak dalam
Putusan Penetapan Arbitrase Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang merujuk pada
definisi ketertiban umum dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
yang menyatakan exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase
22 Tuegeh Longdong, Tineke Louise, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958,
(Bandung; PT. Karya Kita, 2003), h. 234.
65
Asing itu ternyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem
hukum dan masyarakat di Indonesia.23
Hakim mempertimbangkan bahwa sesuai dengan asas hukum acara
perdata yang berlaku di Indonesia sesuatu pemeriksaan perkara yang sedang
berjalan hanya dapat dihentikan atas kesepakatan kedua belah pihak yang
berperkara, tidak dapat dihentikan secara paksa oleh pihak lain. Hal tersebut
sebagaiman telah diatur pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Jika berkaca dari putusan Mahkamah Agung Amerika dalam kasus antara
Scherk (Jerman) melawan Alberto-Culver (Amerika Serikat). Pada perjanjian
dagang internasional menyangkut saham-saham yang disepakati, kedua pihak
akan menyelesaikan sengketa di International Chamber of Commerce di Paris.
Akan tetapi Alberto justru membawa sengketa tersebut ke Pengadilan District
Illionis, dengan dalil sales of securities tidak termasuk dalam ruang lingkup
arbitrase (securities exchange Act 1933). Pihak Scherk keberatan karena proses
arbitrase sedang berjalan di Paris-Perancis.
Alberto dikuatkan oleh putusan pengadilan banding, namun Mahkamah
Agung Amerika Serikat berpendapat lain dengan berpendapat bahwa perjanjian
tersebut merupakan perjanjian internasional dan penolakan untuk
memberlakukan arbitrase internasional adalah perbuatan picik pengadilan suatu
negara, yang membuat frustrasi tujuan-tujuan internasional. Mahkamah Agung
Amerika Serikat juga menegaskan bahwa tujuan Konvensi New York 1958
adalah untuk mendorong pengakuan dan pelaksanaan perjanjian arbitrase
internasional, dengan menjalankan perjanjian arbitrase dan keputusan arbitrase
di negara-negara penandatangan.
23 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1990
66
Dari kasus diatas dapat dilihat walaupun asas ketertiban umum di
Amerika Serikat tidak memperbolehkan penyelesaian arbitrase terhadap
sengketa penjualan saham-saham. Namun Mahkamah Agung Amerika Serikat
mengenyampingkan hal tersebut dengan pertimbangan untuk kepentingan
perdangan internasional dan mengatakan “… we can not trade and commerce in
world markets and in international markets exclusively on our terms, governed
by our laws and resolved in our courts.”24
Karena apabila penolakan terus dilakukan dengan dasar asas ketertiban
umum yang belum memiliki definisi yang pasti di Indonesia, maka negara
Indonesia tidak dapat memberikan kepastian hukum terhadap pihak-pihak yang
terikat dalam putusan arbitrase internasional. Menurut Apeldoorn, kepastian
hukum mempunyai dua segi:25
1) Mengenai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal
yang konkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui
apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus, sebelum ia memulai
perkara.
2) Kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya, perlindungan bagi para
pihak terhadap kesewenangan hakim.
Dari kasus di atas dapat dilihat bahwa ketertiban umum berbeda dari satu
negara dengan negara lainnya sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal V
ayat (2) Konvensi New York 1958. Karena ketertiban umum (public policy) itu
berbeda-beda dari negara yang satu ke negara yang lain dan juga dari waktu ke
waktu.26
24 Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama,
2000), h. 61 dan 88. 25 L.J van Apeldoorn dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berfikir, (Bandung: PT. Revika Aditama, 2006), h. 82-83. 26 Tuegeh Longdong, Tineke Louise, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958,
(Bandung; PT. Karya Kita), h. 233.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah peneliti kaji pada
setiap sub bab pembahasan, maka kemudian peneliti dapat memberikan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Asas ketertiban umum sebagai salah satu syarat dalam pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional/Asing di Indonesia telah dilaksanakan sebagaimana
mestinya, hal ini terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 67
PK/Pdt.Sus-Arbt/2016, juga Putusan Mahkamah Agung Nomor 04
K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Pen.
Ex’r/Arb.Int/Pdt/91 yang menggunakan asas ketertiban umum sebagai alasan
penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional/asing di Indonesia.
Bahwa putusan arbitrase yang dianggap melanggar ketertiban umum
dikategorikan pelanggaran hukum dan pelanggaran peraturan yang berlaku di
Indonesia yang dapat membahayakan kepentingan Indonesia dan melanggar
kedaulatan Indonesia.
2. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016 hakim
menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional/asing karena bertentangan
dengan asas ketertiban umum. Dengan pertimbangan hukum melihat kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yakni Pasal 66 huruf
c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Maka Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan
Peraturan SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB062/08/JL) yang memerintahkan
termohon untuk menghentikan proses hukum yang berlangsung di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan dianggap telah melebihi kewenangannya dalam memutus
perkara dan telah melanggar kedaulatan Negara Republik Indonesia.
68
B. Rekomendasi
Berdasar pada permasalahan yang telah peneliti paparkan di atas, maka
peneliti mencoba memberi beberapa rekomendasi berupa:
1. Mengenai syarat penolakan pelaksanaan eksekusi yang dalam hal ini adalah asas
ketertiban umum harus diberikan definisi yang jelas dan spesifik dalam sebuah
peraturan perundang-undangan, agar Pengadilan Negeri sebagai otoritas yang
memiliki wewenang dapat memberikan kepastian hukum terhadap para pihak
yang mengikatkan diri dalam perjanjian arbitrase.
2. Diharapkan adanya pemisahan peraturan perundang-undangan berupa Undang-
Undang antara Arbitrase Nasional dan Arbitrase Internasional. Hal ini ditujukan
untuk memperjelas kewenangan pengadilan di Indonesia dalam menetapkan dan
membatalkan sebuah putusan arbitrase di Indonesia.
69
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adolf, Huala. 2002. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Amiruddin dan Zainal Arifin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Badrulzaman, Mariam Darus. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Gautama, Sudargo. 1989. Hukum Perdata Internasional Indonesia Buku IV. Bandung:
Penerbit Alumni.
Gautama, Sudargo. 1989. Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di
Indonesia. Bandung: PT Eresco.
Halim, A. Ridwan. 1987. Evaluasi Kuliah Filsafat Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Harahap, M. Yahya. 2004. Arbitrase ditinjau dari : Reglement Acara Perdata (Rv),
Peraturan Prosedur Bani, International Centre for the Settlement of Investment
Disputes, UNICITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards, dan PERMA No. 1 Tahun 1990.
Jakarta: Penerbit Sinar Grafika.
Harahap, M. Yahya. 2006. Arbitrase. Jakarta: Sinar Grafika.
Manullang, E. Fernando M. 2007. Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum
Kodrat dan Antinomi Nilai. Jakarta: Kompas.
70
Margono, Suyud. 2004. ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum.
Bogor: Ghalias Indonesia.
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group.
Memi, Cut. 2017. Arbitrase Komersial Internasional Penerapan Klausul dalam
Putusan Pengadilan Negeri. Jakarta: Sinar Grafika.
Muana, Boer. 2008. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni.
Nugroho, Susanti Adi. 2015. Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan
Hukumnya. Jakarta: Kencana.
Rahardjo, Satjipto. 2012. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Rajagukguk, Erman. 2000. Arbitrase dalam Putusan Pengadilan. Jakarta: Chandra
Pratama.
Rato, Dominikus. 2010. Pengantar Filsafat Hukum (Mencari, Menemukan, dan
Memahami Hukum). Yogyakarta: Laksbang Pressindo.
Salim. 2015. Hukum Kontrak: Teori dan Praktik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar
Grafika.
Shidarta. 2006. Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir.
Bandung: Refika Aditama.
Sibuea, Hotma P. 2010. Asas Negara Hukum, Peraturan Pemerintah, Asas-Asas
Hukum Pemerintah yang Baik. Jakarta: Erlangga.
71
Sidharta, Bernard Arif. 2009. “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian
Filosofikal dan Dogmatikal”, dalam Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan
Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sjahdeini, Sutan Remy. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia.
Jakarta: Institut Bankir Indonesia.
Subekti dan Tjitrosudibio. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Subekti. 1979. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa.
Syahrani, Riduan. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Tuegeh Longdong, Tineke Louise. 2003. Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New
York 1958. Bandung: PT. Karya Kita.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2001. Hukum Arbitrase. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Winarni, Luh Nila. 2016. Prinsip Itikad Baik dalam Pembuatan dan Pelaksanaan
Kontrak. Bali: Udayana University Press.
Winarta, Frans Hendra. 2013. Hukum Penyelesaian Sengketa: Arbitrase Nasional
Indonesia dan Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Witanto, Darmoko Yuti dan Arya Putra. 2013. Diskresi Hakim sebuah Instrumen
Menegakkan Keadilan Substatif dalam Perkara-Perkara Pidana. Bandung:
Alfabeta Bandung.
72
JURNAL
“IBA Subcommittee on Recognition and Enforcement of Arbitral Awards: Report on
the Public Policy Exception in the New York Convention”. October 2015.
Hikmah, Mutiara. “Penolakan Putusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Astro All
Asia Network PLC”. Jurnal Yudisial, April 2012, Vol. 5, No. 1.
Permatasari, Yuanita. “Kewenangan Pengadilan Dalam Pembatalan Putusan Arbitrase
Internasional Di Indonesia”. Jurnal Privat Law, Juli-Desember 2017, Vol. V,
No. 2.
Sunarso, Prasetyo Budi, dkk. “Pelaksanaan Arbitrase Internasional di Indonesia”.
Fakultas Hukum Universitas Jember.
Wagian, Diangsa dan M. Yazid Fathoni. “Penyelesaian Sengketa Kontraktual
Pemerintah Melalui Arbitrase Internasional dan Berbagai Permasalahannya”.
Jurnal IUS Universitas Nahdlatul Wathan Mataram-NTB Vol. 2, No. 6,
Desember 2014.
SKRIPSI
Af’idata, Atiek. “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis Pututsan No.
613/K/Pdt.Sus/2012 Mahkamah Agung)”. Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2014.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
73
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing
Putusan Mahkamah Agung Nomor 67 PK/Pdt.Sus-Arbt/2016