pasca undang-undang nomor 14 tahun...

165

Upload: others

Post on 14-Mar-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN
Page 2: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

iKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM

PEMERINTAHAN LOKALPasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008

Page 3: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

iiKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Page 4: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

iiiKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM

PEMERINTAHAN LOKALPasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008

Tim Peneliti

PratiknoAdam Wijoyo SukarnoAnnisa Gita Srikandini

Annisa RahmawatiArie Sujito

Erwan Agus PurwantoGabriel LeleHasrul Hanif

Hermin Indah WahyuniI Gusti Ngurah PutraKuskridho Ambardi

Nurul AiniRochdi Mohan Nazala

Subando Agus MargonoWidodo Agus Setianto

FISIPOL UGM YAYASAN TIFA

Page 5: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

ivKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKALPasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008

Tim Peneliti:PratiknoAdam Wijoyo SukarnoAnnisa Gita SrikandiniAnnisa RahmawatiArie SujitoErwan Agus PurwantoGabriel LeleHasrul HanifHermin Indah WahyuniI Gusti Ngurah PutraKuskridho AmbardiNurul AiniRochdi Mohan NazalaSubando Agus MargonoWidodo Agus Setianto

© peneliti, 2012

Desain Sampul : Adhi MegatamaSetting & Layout : Amirudin

Cetakan pertama: Mei 2012

Diterbitkan pertamakali dalam bahasa Indonesia oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakartabekerjasama denganYayasan TIFA

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Pratikno, dkkKajian Implementasi Keterbukaan Informasi dalam Pemerintahan Lokal Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008, Pratikno, dkk, Cetakan Pertama, FISIPOL UGM Yogyakarta

xx + 144 hlm.; 15 x 23 cm ISBN 978-979-8147-27-2

I. Judul

Penerbitan ini sebagian didukung oleh Yayasan TIFA Buku ini tidak dijual untuk umum.

Page 6: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

vKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

PENGANTAR PENULIS

Keterbukaan informasi publik menjadi fondasi penting demokrasi yang harus terus diperjuangkan. Bahkan, keterbukaan informasi telah dijadikan standar normatif untuk mengukur legitimasi sebuah pemerintahan di mata rakyatnya. Dalam payung besar demokrasi, hanya pemerintah yang senantiasa terbuka kepada rakyatnyalah yang dipandang memiliki legitimasi dalam arti yang lebih substantif.

Tema tersebut telah menjadi perhatian dan diadvokasi oleh berbagai pihak. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada pun telah menjadikan keterbukaan informasi publik sebagai salah satu komitmen kelembagaan yang sudah dan akan terus diperjuangkan. Komitmen tersebut telah diterjemahkan dalam berbagai aktivitas, baik dalam konteks pengajaran, penelitian, maupun pengabdian kepada masyarakat. Perhatian terhadap agenda tersebut semakin meningkat terutama jika dikaitkan dengan dua realitas kontradiktif. Di satu sisi, pemerintah nasional telah menetapkan keterbukaan informasi publik sebagai mandat nasional yang harus dipatuhi oleh semua badan publik dengan mengeluarkan UU Nomor 14 Tahun 2008. UU tersebut diikuti juga oleh sejumlah inisiatif kebijakan untuk memastikan tumbuh dan berkembangnya transparansi dan akuntabilitas di lingkungan badan publik. Namun di sisi lain, hingga kini, tingkat keterbukaan informasi publik di Indonesia masih menjadi persoalan serius. Sebagian besar badan publik bahkan belum mengetahui adanya mandat tersebut atau bahkan secara terang-terangan menentang pelaksanaannya. Bagi mayoritas badan publik, pelaksanaan keterbukaan informasi publik merupakan beban tambahan yang dapat membuka aibnya ketimbang sebagai kontrak demokrasi yang harus dipatuhinya.

Kontradiksi tersebut penting untuk dilacak akar penyebabnya untuk selanjutnya dicarikan jalan keluar yang lebih sistematis dan jangka panjang. Sebagai bagian integral dari gagasan besar good governance, pelaksanaan keterbukaan informasi publik ternyata mengalami sejumlah kendala.

Page 7: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

viKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Sebagian kendala tersebut bersifat idiosentrik dan sebagian lagi bersifat generik. Kendala-kendala tersebut penting untuk didiagnosis secara tuntas sebagai basis perumusan kebijakan alternatif untuk mengatasinya.

Berangkat dari komitmen dan keprihatinan tersebut, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Yayasan TIFA melakukan kajian pelaksanaan keterbukaan informasi publik di beberapa daerah, yakni Jawa Timur, Papua Barat, Aceh, dan DKI Jakarta. Kajian tersebut berusaha mengungkap tingkat capaian di masing-masing daerah berikut kendala serta peluang perbaikannya. Kajian ini menemukan adanya variasi yang tinggi dari sisi capaian, baik capaian kelembagaan melalui instalasi Komisi Informasi Daerah dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, maupun capaian substantif yang langsung berkaitan dengan ketersediaan informasi publik, sarana untuk mengakses serta tingkat aksesnya. Variasi capaian tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari terbatasnya sosialisasi terkait keterbukaan informasi publik, kapasitas implementor yang terbatas, hingga resistensi sistematis untuk menolak pelaksanaannya. Oleh karena itu dibutuhkan level dan jenis intervensi kebijakan yang berbeda untuk memperbaikinya, dan hal itu harus dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat. Apalagi, di luar berbagai kendala tersebut, kajian ini juga menemukan struktur peluang yang cukup besar untuk mendorong keterbukaan informasi publik.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Tifa yang telah mendukung pelaksanaan kajian ini. Kerjasama strategis semacam ini sangat penting untuk terus dikembangkan agar bisa mengakselerasi pelaksanaan keterbukaan informasi publik. Terima kasih juga kepada tim peneliti dan reviewer yang telah bekerja keras sehingga akumulasi pengalaman dari berbagai daerah dapat dilakukan dan dikonversi menjadi publikasi. Semoga inisiatif ini terus dikonsolidasi sehingga menjadi agenda kolektif secara lebih luas agar keterbukaan informasi publik dapat segera terwujud di masa yang akan datang.

Yogyakarta, 1 Mei 2012

PratiknoDekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

Page 8: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

viiKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

KATA PENGANTAR Yayasan TIFA

“Traditional forms of representative democracy have become a mechanism for granting legitimacy to decision makers rather than a strong mechanism for governmental accountability to citizens” (Stoker, 1994:12). Gerry Stoker adalah ahli ilmu politik dan pemerintah di Inggris yang riset dan publikasinya berfokus pada pemerintahan lokal dan pusat, politik demokrasi, politik perkotaan, partisipasi publik, dan reformasi pelayanan publik. Menurut Stoker, ini merupakan tantangan dari pemerintahan lokal yang memiliki gaya kurang lebih sama dengan pemerintahan di tingkat pusat yang merasa memiliki hak pada pemerintah itu sendiri untuk memformulasikan kebijakan tanpa membuka fakta-fakta yang menjadi dasar diambilnya kebijakan tersebut atau interpretasi masukan untuk fakta-fakta tersebut kepada publik secara luas. Padahal akses informasi yang lebih besar dibutuhkan tidak hanya untuk membuat publik memahami isu menyangkut kepentingan publik tetapi juga publik mampu memberikan kontribusi secara sadar terhadap keputusan yang akan secara langsung mempengaruhi komunitasnya.

Studi yang Anda baca saat ini berangkat dari kegelisahan betapa demokrasi di daerah berjalan sangat lamban utamanya terkait implementasi akses informasi publik yang telah dijamin oleh UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang telah berlaku efektif pada 30 April 2010 yang lalu. Sudah dua tahun UU ini berlaku, namun birokrasi terutama di daerah masih belum menjadikan akses informasi sebagai agenda prioritas. Studi ini memotret dari dekat dinamika dalam tubuh pemerintahan di daerah yang terpilih. Studi ini juga ingin mencari tahu apa saja yang menjadi hambatan dan kendala di samping tentunya mengidentifikasi capaian dan peluang.

Page 9: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

viiiKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Temuan studi ini mengkonfirmasi beberapa studi sebelumnya bahwa transparansi anggaran yang paling sulit dilakukan oleh pemerintah daerah. Masalah utama yang mendasar adalah anggapan bahwa akuntabilitas seharusnya diarahkan ke atasan atau lembaga negara yang mengawasi, bukan pada publik yang dalam demokrasi seharusnya berpartisipasi untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Di Jawa Timur dengan tingkat infrastruktur dan kesiapan pejabat publik untuk membuka informasi kepada publik, masih juga terjadi sengketa informasi tentang pengungkapan informasi anggaran yang seharusnya tidak masuk dalam informasi yang dikecualikan.

Hal lain yang membuat akses informasi lebih sulit diterapkan adalah di Papua dimana akses informasi dalam bentuk luas pun seperti informasi di media massa tidak bebas sehingga sangat sulit bagi media untuk berperan mendiseminasikan kepada masyarakat bahwa mereka memiliki hak untuk mengetahui informasi yang dimiliki oleh pemerintah daerahnya. Pengakuan dari jurnalis dan pemimpin redaksi yang menjadi narasumber di penelitian ini menunjukkan bahwa hampir seluruh jurnalis di kota besar di Papua Barat pernah ‘dianiaya’.

Kendala lebih berat di Papua adalah kesiapan untuk membuka informasi bertalian dengan kesiapan untuk membangun birokrasi formal yang modern dimana segala sesuatu terdokumentasi dengan baik dan dapat terlacak jika dibutuhkan. Kentalnya pengaruh kesukuan dalam rekrutmen dan pola interaksi di elit birokrasi Papua membuat implementasi akses informasi publik tidak hanya bukan prioritas bahkan dianggap sebagai sebuah ancaman. Dalam struktur yang patrimonial, keuntungan akses informasi tidak merata dan hanya dirasakan oleh elit yang dekat dengan birokrasi. Hal ini menyebabkan minimnya pengawasan atas kinerja dan kebijakan yang dihasilkan.

Tifa percaya bahwa mendorong peningkatan kualitas demokrasi adalah suatu proses dan sekaligus keniscayaan. Akan tetapi, mengingat sangat lambatnya respon dari pemerintah daerah khususnya untuk mengimplementasikan UU KIP yang diharapkan mampu menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik dan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik, upaya serius

Page 10: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

ixKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

tetap perlu didorong. Dibutuhkan upaya yang harus segera dilakukan ke depan selain menguatkan organisasi masyarakat sipil untuk menyadarkan atas haknya dan menggunakan akses informasi dalam advokasi untuk kepentingan publik. Secara bersamaan, perlu juga mendorong pemerintah pusat untuk segera melakukan penyadaran di tingkat kepala daerah dan pejabat kunci untuk memampukan mereka melihat sisi manfaat dari pelaksanaan akses informasi yaitu bagaimana kerja-kerja pemerintah bisa menjadi lebih efisien dan dapat dipertanggungjawabkan. Buku hasil penelitian ini semoga menginspirasi banyak pihak untuk melakukan agenda aksi percepatan implementasi akses informasi agar demokrasi di era otonomi daerah juga bisa menghasilkan kebijakan publik yang lebih melibatkan masyarakat di daerah.

Terima kasih kepada seluruh peneliti dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan para narasumber di daerah penelitian yang mau berbagi untuk studi ini. Semoga hasil penelitian ini memberikan kekayaan pemahaman permasalahan implementasi UU KIP yang penting untuk diselesaikan di tingkat daerah.

Jakarta, 8 Mei 2012

Tanti Budi Suryani Program Officer Kebebasan Informasi Yayasan TIFA

Page 11: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

xKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Page 12: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

xiKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS .................................................................. vKATA PENGANTAR YAYASAN TIFA ......................................... viiDAFTAR ISI ........................................................................................ xiDAFTAR TABEL ................................................................................ xvDAFTAR GAMBAR .......................................................................... xviiDAFTAR SINGKATAN .................................................................... xix

BAB 1 PENDAHULUAN: KETERBUKAAN INFORMASI DAN PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMERINTAHAN LOKAL ................................................................................................. 11.1. Konteks dan Relevansi .............................................................. 11.2. Kerangka Analisis dan Metode Kajian ................................... 5

BAB 2 CAPAIAN KETERBUKAAN INFORMASI DI PROVINSI DKI JAKARTA .............................................................. 112.1. Capaian Kelembagaan ............................................................... 112.2. Capaian Subtantif ...................................................................... 182.3. Kesimpulan ................................................................................ 22

BAB 3 KENDALA DAN PELUANG IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI DKI JAKARTA . 253.1. Kendala Implementasi ............................................................. 26

3.1.1. Badan Publik .................................................................... 263.1.2. Komisi Informasi Publik di tingkat Provinsi (KID) 283.1.3. Masyarakat (Warga Negara dan LSM) ......................... 283.1.4. Aktor Lain ........................................................................ 30

3.2. Peluang Implementasi .............................................................. 313.3. Kesimpulan ................................................................................. 32

Page 13: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

xiiKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

BAB 4 CAPAIAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PROVINSI JAWA TIMUR DAN KOTA SURABAYA ......... 354.1. Provinsi Jawa Timur .................................................................. 36

4.1.1. Capaian Kelembagaan .................................................... 364.1.2. Capaian Substantif .......................................................... 50

4.2. Kota Surabaya ............................................................................. 524.2.1. Capaian Kelembagaan .................................................... 524.2.2. Capian Substantif ............................................................ 54

4.3. Kesimpulan ................................................................................. 57

BAB 5 KENDALA DAN PELUANG IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PROVINSI JAWA TIMUR DAN KOTA SURABAYA .................................... 595.1. Provinsi Jawa Timur .................................................................. 60

5.1.1. Kendala Kelembagaan .................................................... 655.1.2. Kendala Substantif .......................................................... 68

5.2. Kota Surabaya ............................................................................. 725.2.1. Kendala Kelembagaan .................................................... 745.2.2. Kendala Substantif .......................................................... 76

5.3. Peluang Implementasi ............................................................... 785.4. Kesimpulan ................................................................................. 79

BAB 6 CAPAIAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PROVINSI PAPUA BARAT DAN KABUPATEN MANOKWARI ................................................................................... 816.1. Kondisi Umum dan Seting Sosial........................................... 82

6.1.1. Kondisi Demografis ........................................................ 826.1.2. Kultur Birokrasi ............................................................. 846.1.3. Konteks Relasi Kekuasaan ............................................. 85

6.2. Provinsi Papua Barat ................................................................. 866.2.1. Capaian Kelembagaan .................................................... 866.2.2. Capaian Substantif .......................................................... 87

6.3. Kabupaten Manokwari .............................................................. 906.3.1. Capaian Kelembagaan .................................................... 916.3.2. Capaian substantif .......................................................... 91

6.4. Kesimpulan ................................................................................ 94

Page 14: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

xiiiKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

BAB 7 KENDALA DAN PELUANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PROVINSI PAPUA BARAT DAN KABUPATEN MANOKWARI ............................................. 957.1. Kendala Implementasi ............................................................... 96

7.1.1. Provinsi Papua Barat ...................................................... 967.1.2. Kabupaten Manokwari ................................................... 99

7.2. Peluang Implementasi ............................................................... 1027.3. Kesimpulan ................................................................................. 102

BAB 8 CAPAIAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIKDI PEMERINTAH ACEH DAN KOTA BANDA ACEH ........ 1058.1. Pemerintah Aceh ........................................................................ 106

8.1.1. Capaian Kelembagaan .................................................... 1068.1.2. Capaian Substantif .......................................................... 110

8.2. Kota Banda Aceh ..................................................................... 1148.3. Kesimpulan ................................................................................. 124

BAB 9 KENDALA DAN PELUANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PEMERINTAH ACEH DAN KOTA BANDA ACEH .......................................................... 1259.1. Kendala Implementasi ............................................................... 125

9.1.1. Faktor Budaya .................................................................. 1259.1.2. Faktor Politik ................................................................... 127

9.2. Peluang Implementasi ............................................................... 1289.3. Kesimpulan ................................................................................ 130

BAB 10 PENUTUP: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI . 13310.1. Capaian Keterbukaan Informasi ............................................. 133

10.1.1. Capaian Kelembagaan .................................................. 13310.1.2. Capaian Substantif ........................................................ 134

10.2. Kendala Keterbukaan Informasi ............................................. 13510.3. Peluang Keterbukaan Informasi .............................................. 13810.4. Rekomendasi Strategis .............................................................. 140

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 143

Page 15: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

xivKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Page 16: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

xvKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

DAFTAR TABEL

Table 5.1. Perangkat Daerah Provinsi Jawa Timur ................ 61Table 5.2. Daftar Alamat Website Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur ................................................. 63Tabel 6.1 Pembagian Daerah Administratif menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2011 ................................................................ 82Tabel 6.2 Pembagian Daerah Administratif menurut Kecamatan, Kelurahan dan Kampung di Kabupaten Manokwari Tahun 2011 ..................... 83Tabel 8.1 Website Dinas dalam Lingkungan Pemerintah Aceh ............................................................................. 111Tabel 8.2 Website Badan dan Kantor di Lingkungan Pemerintah Aceh ....................................................... 112Tabel 8.3 Bentuk Keterbukaan Informasi Publik yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh .... 122Tabel 10.1. Capaian Kelembagaan ............................................. 134Tabel 10.2. Capaian Substansi ..................................................... 135Tabel 10.3. Kendala Umum ......................................................... 136Tabel 10.4. Kendala Spesifik ........................................................ 137Tabel 10.5. Peluang Keterbukaan Informasi............................. 138

Page 17: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

xviKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Page 18: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

xviiKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Aspek, Variabel dan Indikator Kajian ................... 7

Page 19: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

xviiiKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Page 20: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

xixKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

A3 Aifat, Aitinyo dan AyamaruAIPD Australia Indonesia Partnership for DecentralizationAPBD Anggaran Pendapatan dan Belanja DaerahBAPPEDA Badan Perencanaan Pembangunan DaerahBAPPEKO Badan Perencanaan Pembangunan KotaBCW Bangkalan Corruption WatchBLU Badan Layanan UmumBMCK Bina Marga dan Cipta KaryaBOP Bantuan Operasional PendidikanBOS Biaya Operasional SekolahBPK Badan Pemeriksa KeuanganBPPT Badan Pengkajian dan Penerapan TeknologiBPS Biro Pusat StatistikDishubkomintel Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi, dan

TelekomunikasiDISKOMINFOMAS Dinas Komunikasi, Informatika, dan KehumasanDKI Daerah Khusus IbukotaDPA Dokumen Pelaksanaan AnggaranDPR-A Dewan Perwakilan Rakyat AcehDPRD Dewan Perwakilan Rakyat DaerahDPU Dinas Pekerjaan UmumDOM Daerah Operasi MiliterE-KTP Electronic Kartu Tanda PendudukFGD Focused Group DiscussionFITRA Forum Indonesia untuk Transparansi AnggaranFMT Forum Masyarakat TransparasiGEBRAK Gerakan Bersama RakyatHUMAS Hubungan MasyarakatICW Indonesia Corruption WatchINPRES Instruksi PresidenIPC Indonesia Parlementary CenterJUKLAK Petunjuk PelaksanaanJUKNIS Petunjuk TeknisKAKP Koalisi Anti Korupsi PendidikanKBM Komunitas Busway ManiaKIA Komisi Informasi AcehKID Komisi Informasi DaerahKIP Komisi Informasi Pusat

Keterbukaan Informasi PublikKOMINFO Komunikasi dan InformatikaKPTSP Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu

DAFTAR SINGKATAN

Page 21: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

xxKAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

LAPESDAM Lembaga kajian dan Pengembangan SDMLHK Laporan Hasil PemeriksaanLPA Laporan Pelaksanaan AnggaranLPM Layanan Pengaduan MasyarakatLSM Lembaga Swadaya MasyarakatLPP RRI Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik IndonesiaMCW Malang Corruption Watch MENPAN Menteri Pendayagunaan Aparatur NegaraMIFE Merauke Integrated Food and EstateMUSRENA Musyawarah PerempuanMUSRENBANG Musyawarah Perencanaan PembangunanOTSUS Otonomi KhususPEMDA Pemerintah DaerahPEMKOT Pemerintah KotaPERDA Peraturan DaerahPERGUB Peraturan GubernurPERMEN Peraturan MenteriPP Peraturan PemerintahPPID Pejabat Pengelola Informasi dan DokumentasiPPID-P Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi

PembantuPTO Petunjuk Teknis OperasionalPTUN Pengadilan Tata Usaha NegaraPUSAKA JATIM Pusat Studi Kebijakan Anggaran Jawa TimurRKA Rencana Kerja AnggaranSETDA Sekretariat DaerahSK Surat KeputusanSKPD Satuan Kerja Perangkat DaerahSKPA Satuan Kerja Perangkat AcehSLTA Sekolah Lanjutan Tingkat AtasSMU Sekolah Menengah UmumSOP Standard Operating ProcedureSOS Semua Orang SorongSPJ Surat PertanggungJawabanSPK Sentral Pelayanan Kepolisian

Surat Perintah KerjaTI Teknologi InformasiTupoksi Tugas Pokok dan Fungsi UKM Usaha Kecil dan MenengahUKP4 Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan

pengendalian pembangunanUU Undang-Undang

Page 22: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

1KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

PENDAHULUAN:KETERBUKAAN INFORMASI DAN PARTISIPASI PUBLIK

DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

Konteks dan Relevansi1.1. Partisipasi publik dalam proses politik adalah keharusan yang

mutlak dipenuhi dalam sebuah pemerintahan yang demokratis. Partisipasi ini bisa mengambil bentuk pemberian dukungan atau penolakan terhadap kebijakan yang diambil pemerintah ataupun evaluasi terhadap kebijakan tersebut.

Untuk itu publik atau warga negara memerlukan sejumlah informasi yang yang berkaitan dengan proses dan substansi kebijakan itu. Tanpa pengetahuan yang memadai, partisipasi publik tidak lebih hanya sebuah seremoni politik yang dilakukan secara reguler. Agar partisipasi publik itu lebih bermakna, penyediaan informasi bagi publik harus mencakup agenda politik yang akan dijalankan pemerintah, berbagai kebijakan dan keputusan yang telah dibikin dan dilaksanakan, dan informasi tentang berbagai alternatif kebijakan – baik kebijakan yang dipilih maupun tidak dipilih (Curtin 1996, Heritier 2003).

Dalam empat tahun terakhir, ketersediaan informasi publik ini nampaknya telah menjadi narasi besar yang populer berpengaruh pada berbagai sektor dan urusan publik di Indonesia. Salah satu tema penting yang berkaitan dengan isu ini adalah perwujudan transparansi tata kelola keterbukaan informasi publik, dengan terbitnya payung regulasi yakni UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya disingkat: KIP). Konteks lahirnya UU ini secara substansial adalah memberikan jaminan konstitusional agar praktik demokratisasi dan good governance bermakna bagi proses pengambilan kebijakan terkait kepentingan publik, yang bertumpu pada partisipasi masyarakat maupun akuntabilitas lembaga penyelenggara kebutuhan publik.

B A B 1

Page 23: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

2KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Dalam Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 2008 misalnya tercantum beberapa tujuan sebagai berikut: (1) Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; (2) Mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; (3) Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik; (4) Mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan; (5) Mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak; (6) Mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau (7) Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.

Regulasi tersebut menekankan pentingnya akses dan partisipasi masyarakat agar terwujud transparansi publik, terutama mencakup sumber-sumber informasi publik melalui proses partisipasi aktif dengan derajat kesadaran politik yang tinggi. Melalui jaminan akses dan partisipasi masyarakat itulah dimungkinkan kebijakan banyak dipengaruhi oleh nalar publik sehingga memiliki legitimasi kuat sebagaimana diisyaratkan skema demokratisasi pengambilan keputusan publik.

Pengalaman sejauh ini menunjukkan bahwa proses perwujudan keterbukaan informasi publik cenderung dipengaruhi oleh seberapa besar kemauan dan komitmen dari pemegang otoritas dan penyedia informasi publik. Apakah mereka secara politik membuka diri agar akses publik atas informasi dalam tata kelola urusan publik bisa dilangsungkan. Keterbukaan informasi publik dapat bermakna dan dimungkinkan optimal, jika informasi yang disediakan pemegang otoritas dan penyedia informasi publik bersifat bukan hanya lengkap, namun juga terdapat garansi akurasi atau tidak manipulatif, bahkan relevan.

Perjalanan dan pengalaman kurang lebih dari tiga tahun implementasi UU KIP tersebut sejak ditetapkan pada tahun 2008 lalu tentu perlu dipelajari dan dikaji, apakah berhasil mendorong inisiatif dan inovasi dalam mewujudkan penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik ataukah belum. Paling tidak kita akan menemukan derajat keberhasilan, keterbatasan, peta masalah yang terjadi serta berbagai dinamika

Page 24: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

3KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

penyelenggaraan keterbukaan informasi untuk keperlukan pembenahan ke depan. Dalam konteks itulah kajian atau studi ini dilakukan.

Pertanyaan utama yang diajukan dalam kajian ini adalah apakah payung hukum regulasi tersebut mampu menjadi landasan penting dan kuat bagi upaya-upaya perwujudan transparansi publik dengan orientasi governance reform yang sesungguhnya? Atau, apakah regulasi itu belum efektif dan menghadapi kendala, baik secara substantif maupun teknis implementasi? Kajian ini bukan semata-mata terfokus pada aspek akses dan partisipasi (sisi demand), akan tetapi lebih menekankan pada aspek kesediaan dan komitmen pemegang otoritas dan penyedia informasi publik (sisi supply).

Secara substantif yang membedakan kajian ini dari studi-studi sejenis lainnya adalah cakupan kajian ini berusaha mendalami dinamika transparansi publik dalam tata kelola pemerintahan daerah dengan membahas derajat komitmen dan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah, baik di level pemerintah provinsi maupun level pemerintah kabupaten/kota pasca implementasi UU Nomor14 Tahun 2008 tentang KIP, dengan titik tekan pengalaman capaian-capaian transparansi publik di masing-masing daerah. Kajian ini juga berupaya mengidentifikasi berbagai keterbatasan, peluang, dan hambatan di masing-masing daerah yang membuat keterbukaan informasi publik berhasil atau gagal dilembagakan secara optimal.

Secara khusus, kajian ini berusaha untuk (1) memotret kemajuan dalam keterbukaan informasi publik; (2) melihat enabling and constraining faktors dalam implementasi keterbukaan informasi publik; (3) memetakan inovasi atau terobosan (breakthrough) di daerah terkait dengan keterbukaan informasi publik.

Lebih jauh, perkembangan implementasi keterbukaan informasi yang berhasil dicapai di masing-masing daerah bisa dilihat kedalamannya dengan meminjam konsep institusionalisasi atau pelembagaan unit pelaksana keterbukaan informasi di daerah. Dimensi pelembagaan ini bisa diteropong melalui empat dimensi, yakni (1) systemness, (2) value infusion, (3) decisional autonomy, dan (4) reification.

Systemness merujuk pada adanya regularitas interaksi berbagai kom-ponen organisasi secara internal. Dalam praktiknya, kita akan melihat keteraturan interaksi antara Komisi Informasi Publik daerah (KID),

Page 25: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

4KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) serta dengan pejabat di atasnya (gubernur, Bupati, atau walikota). Secara eksternal, keteraturan interaksi ini berkaitan dengan “konsumen” (pemohon atau pengguna informasi) atau publik yang memerlukan informasi publik (individu atau kolektivi-tas), di mana PPID dan unit-unit SKPD memberikan pelayanan dan mampu membuat keputusan untuk menyelesaikan kasus-kasus sepesifik yang berkaitan dengan rilis informasi publik. Istilah teknis untuk ini adalah hadirnya decisional autonomy. Dalam praktiknya, hal ini merujuk pada juklak dan juknis yang mencakup aturan atau kriteria yang menjadi basis pejabat yang bersangkutan untuk berinteraksi dengan konsumen. Namun aspek formal ini pada perkembangan selanjutnya harus menjadi rutin dan menumbuhkan kapasitas yang bersifat otonom untuk membuat sebuah keputusan. Dengan demikian, pada kasus-kasus yang spesifik, PPID dan publik mampu memilah mana informasi yang bisa dikonsumsi publik, tanpa harus terikat secara kaku pada juklak atau juknis.

Dua dimensi atau komponen pelembagaan lainnya adalah value infu-sion dan reification. Value infusion merujuk pada pengertian bahwa aktor-aktor organisasi memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi keperluan masing-masing yang berkaitan dengan implementasi keterbukaan informasi, dan pada saat yang sama, masing-masing mampu menumbuhkan komitmen untuk mewujudkan keterbukaan itu. Dalam praktik, PPID dan SKPD menghayati fungsi mereka untuk menyediakan informasi publik lebih dari sekedar tuntutan kewajiban, namun melihat fungsi itu sebagai tanggung jawab sosial yang memiliki nilai kebaikan tersendiri. Ini adalah aspek attitudinal atau sikap serta komitmen yan tumbuh secara internal. Secara eksternal, muncul di kalangan publik apa yang dinamakan reification. Artinya, publik melihat fungsi keterbukaan informasi yang dijalankan oleh organisasi tersebut sebagai kebajikan bersama dan produk organisasi itu sebagai bagian dari horizon politik mereka untuk memanfaatkan produk itu untuk kebaikan kolektif. Dalam praktik, publik memiliki horizon yang lebih luas untuk memanfaatkan informasi publik itu demi kepentingan kolektif yang terlepas dari kepent-ingan sempit individual.

Dengan keempat dimensi ini kita bisa memberikan perspektif yang lebih dalam tentang segala capaian, peluang, dan rute perbaikan selanjutnya terkait pelaksanaan keterbukaan informasi publik.

Page 26: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

5KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Kerangka Analisis dan Metode Kajian1.2. Kajian ini merupakan bagian dari analisis implementasi kebijakan

publik, yang lebih memfokuskan pada proses-proses yang bersifat administratif-teknokratis yang hadir dalam kerangka mengeksekusi keputusan-keputusan politis, mendayagunakan serangkaian instrumen kebijakan untuk menghasilkan sesuatu menuju arah yang akan dikehendaki. Di dalamnya juga berlangsung proses negosiasi antar pihak, terutama antara implementor dengan sasaran kebijakan, untuk memastikan tercapainya misi kebijakan (Santoso, 2010:126).

Sebagaimana ditegaskan oleh Merilee S. Grindle (1980:8-10), dalam analisis implementasi kebijakan, setidaknya ada dua aspek penting yang seyogyanya dilihat, yaitu: Pertama, isi kebijakan. Isi kebijakan berpengaruh bagi implementasi karena menentukan hal-hal apa saja yang akan diimplementasikan serta siapa yang akan melakukannya. Kedua, konteks kebijakan. Kondisi sosial-politik serta office politics dalam tubuh birokrasi akan menentukan bagaimana kebijakan akan diimplementasikan.

Terkait dengan implementasi kebijakan yang perlu menjadi perhatian adalah instrumen kebijakan. Ini adalah segala sarana atau alat serta aktivitas yang digunakan atau potensial digunakan oleh implementor untuk mencapai misi kebijakan. Instrumen tersebut bisa menunjuk pada sarana atau bisa juga menunjuk pada aktivitas, yang terdiri dari beberapa tipe, yaitu: (1) instrumen regulatif, (2) insentif finansial, dan (3) transfer informasi (Bruijn & Hufen, 1998: 12-13, 18).

Secara substantif kajian ini mempertimbangkan aspek capaian, kendala dan peluang yang terjadi selama implementasi kebijakan dilangsungkan. Dari gambaran tersebut dapat terpetakan problem utama implementasi, apakah berkaitan dengan masalah mendasar regulasi, desain kelembagaan penyelenggaraan, kapasitas aparat atau sumberdaya penyedia, ataukah sekadar teknis di lapangan. Selebihnya ragam inovasi dan terobosan positif yang berhasil dipotret memberi jejak pelajaran berharga yang memungkinkan direplikasi di daerah lain sesuai konteksnya.

Berbagai temuan berkenaan pencapaian implementasi undang-undang dapat dipilahkan secara sederhana menjadi dua: (1) pengembangan kelembagaan, dan (2) pencapaian substantif. Pada pengembangan kelembagaan tersusun dari tiga indikator, yakni (a) pembentukan Komisi

Page 27: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

6KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Informasi Daerah (KID), (b) penetapan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Publik (PPID), dan (c) peraturan dan petunjuk teknis untuk pelaksanaan keterbukaan informasi di daerah. Pengembangan kelembagaan perlu mendapatkan perhatian karena berfungsi memfasilitasi penerapan prinsip keterbukaan informasi yang pada gilirannya akan berkontribusi bagi peningkatan akuntabilitas pemerintahan.

Adapun pencapaian substantif berkaitan dengan produksi informasi publik yang wajib disediakan oleh satuan Pemda kepada khalayak di wilayahnya masing-masing. Aspek substantif ini tersusun atas tiga indikator, yakni (a) ketersediaan media penyampai, (b) produk dan jenis informasi yang sudah dipublikkan, dan (c) kemudahan akses bagi publik untuk mendapatkan informasi tersebut.

Perbandingan berikutnya adalah dengan melihat kendala dan peluang di masing-masing daerah. Pada kedua aspek ini juga akan dilakukan penajaman konseptualisasi, atau perspektif yang secara implisit dipakai sebagai kerangka analisis. Terkait kendala dan peluang dirumuskan dalam hubungan kausal, dimana masing-masing daerah ditelisik bagaimana memanfaatkan peluang optimalisasi kebijakan, sekaligus kemampuannya untuk mengatasi berbagai kendala. Dalam kaitan dengan itu, kendala yang dimaksud tidak lain adalah variabel negatif yang mempengaruhi implementasi ketentuan UU KIP.

Komponen dari variabel ini mencakup hal-hal yang bersifat eksternal seperti sosialisasi undang-undang yang seharusnya dijalankan oleh KIP dan pemerintahan pusat serta hal-hal yang bersifat internal seperti kualitas sumber daya manusia pada tingkat komisioner maupun pejabat pelaksananya. Di samping itu, problem khas atau spesifik di daerah juga bisa menjadi penyebab lemahnya implementasi UU KIP. Problem ini telah dilacak dan akan dideskripsikan pada masing-masing daerah.

Sedangkan peluang yang dimiliki masing-masing daerah juga bisa dirumuskan dalam hubungan terkait yang sifatnya positif, yakni variabel yang telah diidentifikasi secara positif mendorong implementasi UU KIP. Temuan pokok dari implementasi UU KIP yang terekam dari data empiris adalah, pressure atau tekanan yang disampaikan oleh pihak luar berupa permintaan informasi publik. Kendatipun dalam kajian ini sisi permintaan (demand) bukanlah fokus utama, akan tetapi sejumlah

Page 28: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

7KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

data tentang sisi permintaan begitu dominan dan memberi makna kuat bagaimana dinamika pelayanan informasi publik berproses di tata pemerintahan daerah.

Gambar 1.1.Aspek, Variabel dan Indikator Kajian

Pendekatan utama kajian ini adalah studi kasus “komparatif”. Konstruksi yang dibangun adalah perbandingan antara daerah dalam hal penyelenggaraan implementasi dengan ukuran yang sama dengan tetap mempertimbangkan konteks daerah dengan segala keunikannya. Pilihan metode ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kajian ini akan melihat dinamika unik sekaligus kemiripan di masing-masing daerah. Kajian dilakukan di level pemerintah provinsi dan level pemerintah kabupaten/kota di Pemerintah Aceh, Papua, DKI Jakarta dan Jawa Timur. Khusus Provinsi DKI Jakarta penelitian hanya difokuskan pada level pemerintah provinsi.

INDIKATORVARIABELASPEK

KAJIANIMPLEMENTASI

UU KIP

Capaian

Kendala (Variabel Negatif)

Indikator: 1. Pembentukan KID 2. Penetapan PPID 3. Peraturan dan juknis

Kelembagaan

Indikator: 1. Media penyampai 2. Produk dan jenis 3. Kemudahan akses

Subtantif

Indikator: 1. Sosialisasi oleh KIP 2. Sosialisasi oleh Pemerintah Pusat

Eksternal

Indikator: 1. Kualitas Komisioner 2. Kualitas PPID

Internal

Indikator: Pressure (tekanan) disampaikan oleh pihak luar dalam bentuk permintaan (demands) informasi publik

Eksternal

Internal Indikator: 1. Leadership 2. Inovasi

Peluang (Variabel Positif)

Provinsi: 1. Aceh 2. DKI Jakarta 3. Jawa Timur 4. Papua Barat

Kabupaten/kota: 1. Kota Banda Aceh 2. Kota Surabaya 3. Kab. Manokwari

Page 29: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

8KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Berturut-turut, proses penelusuran data dilakukan dengan beberapa metode, yaitu:

a) Desk Study. Penggalian data non-lapangan yang dilakukan melalui, pertama, tinjauan regulasi: melakukan tinjauan terhadap regulasi dan produk kebijakan yang terkait baik di tingkat nasional (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan sebagainya) maupun di tingkat daerah (Peraturan Daerah, Surat Keputusan/Peraturan Gubernur, Bupati, Walikota). Kedua, analisis berita, dilakukan terhadap berbagai berita yang terkait dengan dinamika keterbukaan informasi publik di daerah serta proses pembentukan dan aktivasi KID. Sumber informasi berupa surat kabar, majalah, maupun website.

b) Studi Lapangan (Field Study). Dilakukan untuk menggali informasi secara langsung di daerah terseleksi melalui: Pertama, observasi atau pemantauan langsung terhadap proses pelayanan informasi di badan publik atau kantor pemerintah. Pada saat melakukan observasi Tim Peneliti juga sekaligus melihat secara langsung mekanisme akses informasi publik.

Kedua, wawancara mendalam, yakni penggalian informasi mengenai faktor pendorong dan atau penghambat keterbukaan informasi publik dengan para stakeholders daerah seperti komisioner KID, para pengambil kebijakan daerah (eksekutif dan legislatif), pelaksana kebijakan di tingkat dinas, maupun media massa dan LSM yang selama ini berhadapan langsung atau terlibat dalam upaya promosi keterbukaan informasi publik.

Ketiga, Focused Group Discussion (FGD), dilakukan untuk memperoleh dan mengkonfirmasikan informasi secara bersamaan khususnya yang terkait dengan tingkat kebutuhan informasi publik di daerah, mekanisme akses terhadap informasi publik, faktor lingkungan pendukung maupun penghambat keterbukaan informasi publik, problema kelembagaan KID, dan lain sebagainya. FGD menghadirkan komisioner KID, wakil dari masyarakat, pemerintah (Sekda, Biro hukum, Pusat Data Elektronik, PPID/humas, SKPD), akademisi, LSM, dan media massa di tingkat lokal. FGD dilakukan di semua wilayah penelitian.

Page 30: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

9KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

c) Analisis dan lesson drawing. Di sini dilakukan analisis secara mendalam terhadap kerangka kebijakan (sistem), analisis faktor lingkungan pendukung dan penghambat implementasi kebijakan, dan analisis kinerja kelembagaan. Pendalaman kajian terkait proses pelembagaan dilakukan di sini.

d) Seminar dan diseminasi hasil. Hasil kajian ini didiskusikan dalam seminar publik yang mengundang perwakilan badan publik daerah di 4 provinsi, 2 kota dan 1 kabupaten serta beberapa provinsi lainnya dan juga mengundang dari Kementerian Komunikasi dan Informatika yang dapat mempengaruhi kebijakan di tingkat daerah di Indonesia. Seminar ini telah diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 26 Januari 2012 yang dihadiri oleh beberapa dari peserta kunci di atas.

Page 31: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

10KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Page 32: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

11KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

CAPAIAN KETERBUKAAN INFORMASI DI PROVINSI DKI JAKARTA

Bab ini akan mendeskripsikan capaian implementasi keterbukaan informasi di Provinsi DKI Jakarta, daerah yang memiliki posisi dan peran yang sangat strategis dalam mengimplementasikan UU KIP. Hal itu didasari pertimbangan bahwa sebagai ibukota negara, Jakarta memiliki kompleksitas permasalahan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Sebagai pusat pemerintahan di mana semua keputusan strategis dibuat, apa yang terjadi di DKI Jakarta akan sangat berpengaruh pada semua daerah lain di Indonesia, termasuk dalam konteks implementasi UU KIP. Dengan demikian, dinamika dan problematika implementasi UU KIP di Indonesia dapat dilacak dengan pertama-tama memotret apa yang terjadi di DKI Jakarta.

Capaian Kelembagaan2.1. Capaian kelembagaan dapat dilihat dari setidaknya 3 aspek, yakni

pembentukan Komisi Informasi Daerah (KID), penunjukkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), serta pembuatan juklak dan juknis sebagai acuan pelaksanaan. Pasal 60 UU Nomor 14 Tahun 2008 mengamanatkan dengan tegas bahwa paling lambat 2 tahun setelah UU ini disyahkan, Komisi Informasi Provinsi atau KID sudah harus dibentuk. Ini berarti bahwa Komisi Informasi Publik Provinsi harus sudah dibentuk selambat-lambatnya tanggal 30 April 2010. Namun, hingga batas waktu tersebut, baru beberapa daerah yang memiliki Komisi Informasi Publik tingkat provinsi (KID). Provinsi DKI Jakarta adalah salah satu daerah yang belum memiliki Komisi Informasi Publik Provinsi (KID). Hingga awal Desember 2011, pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui DPRD Provinsi baru melakukan fit and proper test untuk memilih calon anggota Komisi Informasi Daerah.

B A B 2

Page 33: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

12KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Kesulitan untuk melembagakan KID diakui oleh ketua Komisi Informasi Pusat.1 Salah satunya adalah rendahnya minat untuk menjadi anggota KID. Posisi DKI Jakarta sebagai ibukota negara menyebabkan terjadi tumpang tindih antara yang pusat dan provinsi. DKI Jakarta identik dengan pusat, karena itu tidak banyak yang berminat untuk bermain di level provinsi. Hal ini juga diakui oleh beberapa LSM yang memberikan perhatian pada isu keterbukaan informasi publik seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), atau IPC (Indonesia Parlementary Center). Mereka mengatakan bahwa tidak banyak yang mau menjadi anggota Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta karena dianggap kurang prestisius dibandingkan dengan menjadi anggota Komisi Informasi Pusat.

Kurangnya minat masyarakat pada DKI Jakarta sebagai provinsi menunjukkan bahwa DKI Jakarta selama ini lebih diidentikkan dengan pusat daripada sebagai provinsi. Implikasinya, setiap kali ada sengketa informasi, Komisi Informasi Pusat-lah yang kemudian menangani sengketa ini. Beratnya pekerjaan KIP diakui oleh ketuanya sebagai akibat dari kelambanan pemerintah provinsi DKI dalam menetapkan anggota KID.

Kelambanan dalam rekruitmen anggota Komisi Informasi tingkat Provinsi atau KID ini disebabkan karena beberapa hal, misalnya belum adanya peraturan gubernur dan petunjuk pelaksanaan (juklak) untuk rekruitment anggota. Isu penting lain terkait dengan KID ini adalah kualitas calon anggota. Sekedar sebagai gambaran, pada tahap proses fit and proper test tersedia daftar calon yang sempat ikut dalam proses seleksi sebagai berikut:

1Wawancara tim peneliti dengan Abdurrahman Ma’mun, ketua Komisi Informasi Pusat (KIP), 30 November 2011

Page 34: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

13KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Dalam wawancara dengan narasumber dari ICW didapatkan informasi bahwa banyak dari antara calon tersebut yang kurang berkualitas, karena bukan orang-orang yang selama ini dikenal sebagai pegiat advokasi atau yang lainnya. Diduga bahwa fenomena tersebut disebabkan kurangnya minat orang untuk menjadi anggota KID. Apalagi

Page 35: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

14KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

KID tidak menjanjikan pola karir yang jelas. Kalangan DPRD DKI Jakarta juga memberikan penilaian yang sama. Setelah dipublikasikan sekian lama, yang mendaftar hanya 49 orang. Selain itu, pendaftar yang memiliki latar belakang hukum dan komunikasi juga masih sangat sedikit. Pendaftar yang sedikit dan tidak memenuhi kualifikasi ini dikuatirkan akan mengganggu kinerja KID nantinya.

Selain KID, capaian kelembagaan berikutnya adalah penunjukkan PPID. Sama halnya dengan KID, UU KIP memberikan tenggang waktu dua tahun sejak UU tersebut disyahkan bagi pemerintah daerah untuk membentuk PPID. Dari aspek ini, DKI Jakarta menampilkan gambaran implementasi yang cukup terlambat. Penilaian seperti ini ini juga datang kalangan internal Pemda DKI Jakarta sendiri sebagaimana disampaikan Ketua Komisi A DPRD, Ida Mahmudah. Pemda DKI Jakarta baru merespon amanat UU tersebut setahun setelah batas waktu, tepatnya tanggal 18 April 2011 dengan mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 579 Tahun 2011.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menempuh langkah yang unik terkait pembentukan PPID. Melalui SK Gubernur Nomor 579 Tahun 2011 ditetapkan bahwa yang menjadi PPID adalah Kepala Bidang Informasi Publik Diskominfomas Provinsi DKI Jakarta. Dalam melaksanakan tugasnya, dibantu oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Pembantu (PPID-P) yang terdiri dari:

Sekretaris Inspektorat Provinsi DKI Jakarta;a. Para Sekretaris Badan Provinsi DKI Jakarta;b. Para Sekretaris Dinas Provinsi DKI Jakarta;c. Kepala Bagian Umum Sekretariat DPRD Provinsi DKI d. Jakarta;Kepala Bagian Tata Usaha Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi e. DKI Jakarta;Kepala Bagian Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas f. Pembantuan Biro Tata Pemerintahan Setda Provinsi DKI Jakarta;Kepala Bagian Dokumentasi dan Publikasi Hukum Biro Hukum g. Setda Provinsi DKI Jakarta;Kepala Bagian Informasi dan Pelaporan Biro Organisasi dan h. Tatalaksana Setda Provinsi DKI Jakarta;

Page 36: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

15KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Kepala Bagian Tata Usaha Pimpinan Biro Kepala Daerah dan i. Kerjasama Luar Negeri Setda Provinsi DKI Jakarta;Kepala Bagian Penanaman Modal, Promosi dan Badan Usaha j. Milik Daerah Biro Perekonomian Setda Provinsi DKI Jakarta;Kepala Bagian Pengamanan Balikota Biro Umum Setda Provinsi k. DKI Jakarta;Kepala Bagian Pengendalian dan Pemantauan Pembangunan Biro l. Prasarana dan Sarana Kota Setda Provinsi DKI Jakarta;Kepala Bagian Lingkungan Hidup Biro Tata Ruang dan m. Lingkungan Hidup Setda Provinsi DKI Jakarta;Kepala Bagian Sosial Biro Kesejahteraan Sosial Setda Provinsi n. DKI Jakarta;Kepala Bagian Olahraga dan Pemuda Biro Pendidikan dan Mental o. Spiritual Setda Provinsi DKI Jakarta;Para Kepala Bagian Umum dan Protokol, Sekretariat Kota p. Administrasi dan Kabupaten Administrasi.

Pada saat penelitian ini dilakukan, hampir semua badan publik di lingkungan pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum memiliki PPID-P untuk menjalankan fungsi sebagaimana diamanatkan UU KIP serta amanat SK Gubernur tersebut, kecuali Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan (Diskominfomas). Sementara peraturan gubernur (pergub) yang mewajibkan badan publik di lingkungan Provinsi DKI Jakarta untuk memiliki PPID dan menjawab permintaan atas informasi serta panduan operasional pengelolaan informasi dan dokumentasi dalam merespon tuntutan keterbukaan informasi belum disahkan.

Temuan lain yang juga menarik adalah respon dan persepsi aparat di lingkungan pemerintah Provinsi DKI Jakarta tentang badan publik dan PPID. Ketika tim peneliti mengunjungi Dinas Pendidikan, Bagian Humas dinas tersebut bahkan sama sekali tidak mengetahui bahwa ia adalah salah satu badan publik, dan oleh karenanya, harus membentuk dan memiliki PPID(P). PPID juga dipahami secara keliru sebagai sekedar bagian tata usaha yang menjalankan tugas-tugas teknis administratif. Unit pemerintahan yang nampaknya tahu dan relatif siap melaksanakan UU KIP hanyalah unit pemerintah yang memiliki keterkaitan langsung dengan isu keterbukaan informasi publik seperti Diskominfomas. Dinas

Page 37: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

16KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

tersebut sudah menunjuk Bagian Humas sebagai Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi.

Belum dipahami dan berfungsinya PPID menimbulkan kesan negatif bahwa pembentukan PPID ini tidak lebih dari sekadar penunjukan jabatan. Tetapi tentang bagaimana PPID tersebut bekerja belum diatur secara jelas. Menurut Staf Humas Dinas Komunikasi, Informatika, dan Kehumasan, peraturan gubernur-lah yang akan menjelaskan hal ini, namun sayangnya di dalam SK tersebut sama sekali tidak diatur bagaimana kelembagaan PPID tersebut harus dioperasionalkan.

Absennya petunjuk operasional ini menyebabkan munculnya perdebatan tentang unit mana dalam struktur Pemda yang sebenarnya paling bertanggung jawab dalam melaksanakan keterbukaan informasi publik. Sumber dari Dinas Komunikasi, Informatika, dan Kehumasan menjelaskan bahwa tata usaha adalah salah satu dari pendefinisian siapakah pejabat PPID itu. Dari penjelasan ini, terlihat bahwa ada tantangan besar bagi pejabat PPID. Apabila PPID hanya semata-mata didefinisikan sebagai tata usaha maka tentulah akan terjadi perubahan peran yang besar pada tata usaha yang selama ini hanya bertugas untuk mengurus administrasi internal.

Pemahaman yang berbeda-beda juga terungkap dalam wawancara dengan beberapa narasumber. Ketika dilakukan wawancara dengan staf Diskominfomas maupun staf Dinas Pendidikan, terlihat bahwa PPID dimaknai secara berbeda-beda antar lembaga. Ada semacam ketakutan bahwa apabila PPID dibentuk sebagai badan baru maka akan berpengaruh terhadap penganggaran karena hadirnya formasi baru. Tetapi apabila dimasukkan dalam struktur lama, ada kebingungan struktur lama apa yang dinilai tepat dalam menjalankan fungsi PPID.

Persepsi semacam ini menunjukkan bahwa ketentuan tentang struktur dan jabatan jauh lebih penting bagi aparat Pemda ketimbang fungsi itu sendiri. PPID idealnya lebih ditonjolkan sebagai fungsi yang melekat dengan badan publik yang strukturnya bisa diintegrasikan dengan struktur yang ada. Sudah menjadi gejala umum di lingkungan birokrasi bahwa proliferasi organisasi hampir pasti berakhir dengan disfungsi organisasi.

Kegamangan yang lain juga ditemukan terkait ketidaktahuan aparat Pemda sendiri tentang siapa yang menjadi PPID. Hal itu sebenarnya

Page 38: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

17KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

secara tidak langsung menunjukkan bahwa banyak badan publik yang merasa tidak siap untuk memberikan informasi publik kepada masyarakat. Ketiadaan PPID juga sering menjadi alasan badan publik tidak dengan segera memberikan informasi ketika ada permintaan informasi. Atau seringkali yang terjadi adalah sebaliknya, badan publik baru berpikir untuk menunjuk pejabat PPID ketika ada permintaan informasi dari masyarakat.

Informasi yang diberikan oleh staf Indonesia Corruption Watch (ICW),2 menyebutkan bahwa kesadaran lembaga publik untuk membentuk PPID juga ditentukan oleh adanya permintaan informasi dari masyarakat. Adanya permintaan informasi dan bahkan sengketa informasi ikut memberi andil yang mendorong badan publik untuk segera mendifinisikan dan menentukan siapa PPID itu.

Dari segi pembentukan PPID, sesungguhnya hal itu sudah bisa dilihat sebagai langkah yang positif dalam implementasi KIP. Namun informasi yang diperoleh dari Diskominfomas, isu utama yang diangkat dalam keputusan gubernur tersebut bukan tentang bagaimana PPID dilembagakan, namun terutama berkaitan dengan bagaimana memberikan ukuran tentang informasi yang dikategorikan terbuka dan rahasia. Nampaknya, isu kerahasiaan ini menjadi cara khas bagi birokrasi untuk bersikap defensif dalam kaitannya dengan setiap sengketa informasi yang diminta pihak eksternal.

Aspek kelembagaan yang ketiga yang menjadi ukuran kemajuan keterbukaan informasi publik adalah adanya regulasi yang jelas yang mengatur jenis informasi serta mekanisme riil pengelolaannya dalam bentuk juklak dan juknis. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, aspek-aspek operasional ini rencananya akan diatur melalui peraturan gubernur yang hingga saat ini belum dibuat. Pada saat penelitian ini dilakukan, badan publik di DKI Jakarta masih berdebat secara internal tentang kategori dan level akses informasi publik. Menurut penuturan seorang narasumber, sebagian masalah tersebut berasal dari atau disebabkan oleh belum adanya SK Gubernur yang mengatur tentang alur permintaan dan pemberian informasi, termasuk hasil interpretasi Undang-undang terhadap informasi apa yang harus, boleh, dan tidak boleh diberikan.

2Wawancara tim peneliti tanggal 30 November 2011.

Page 39: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

18KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Dalam kultur birokrasi sekarang ini, adanya regulasi yang tegas akan sangat membantu proses implementasi UU yang mengharuskan perubahan besar dengan tingkat resiko yang juga tinggi.

2.2. Capaian SubtantifSelain belum memiliki Komisi Informasi Provinsi atau Komisi

Informasi Daerah, capaian keterbukaan informasi juga dapat dilacak dari kesiapan badan publik untuk memberikan informasi. Kehadiran dan bekerjanya Badan Publik ini bahkan jauh lebih penting dari sekedar adanya Komisi Informasi. Hal itu disebabkan fungsi strategis yang diembannya, yakni menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan. Informasi tersebut harus disediakan dan diberikan secara akurat, benar, dan tidak menyesatkan. Oleh karena itu, Badan Publik harus memiliki system informasi dan dokumentasi yang baik dan efisien (Pasal 7).

Selain belum adanya kesepakatan terkait kategori informasi, penelitian ini menemukan bahwa Pemda DKI Jakarta belum memiliki sistem informasi dan dokumentasi yang dikelola secara rapih dan efisien. Sebagian data penting sudah tersedia tetapi sulit ditemukan sementara sebagian data lain sama sekali tidak tersedia. Ini disebabkan oleh belum tertatanya sistem database yang baik yang merupakan akumulasi dari semua jenis informasi dan dokumentasi pemerintah provinsi.

Gambaran tentang capaian implementasi KIP secara lebih mendalam sebenarnya terutama dapat dilihat dari cara badan publik mengelola informasi. Informasi yang didapatkan dari Diskominfomas serta Dinas Pendidikan menunjukkan bahwa badan publik masih bersifat pasif dan respsonsif. Ini berarti, informasi yang diberikan lebih didasarkan pada adanya permintaan. Misalnya, Diskominfomas pernah menerima permohonan dari ICW untuk mendapatkan informasi terkait pengelolaan anggaran Biaya Operasional Sekolah (BOS). Proses tersebut berakhir dengan sengketa informasi. Pada saat itu, ICW melalui Koalisi anti Korupsi Pendidikan (KAKP) dan para orang tua murid melaporkan Kadis Pendidikan DKI Jakarta dan lima Kepala Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN), yakni SMPN 190 Jakarta, SMPN 95 Jakarta, SMPN 48 Jakarta, SMPN 67 Jakarta dan SMPN 28 Jakarta, kepada Sentral

Page 40: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

19KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Pelayanan Kepolisian (SPK) setelah para pejabat itu tidak menyerahkan bukti SPJ dan kwitansi pengelolaan dana BOS dan Bantuan Operasi Pendidikan (BOP) pasca putusan Komisi Informasi Pusat yang telah diputuskan pada 15 Nopember 2010.

Kasus ini sebenarnya menunjukkan bahwa sebelum November 2010, DKI telah menghadapi sengketa informasi publik, dan dikalahkan, karena ketika tidak melakukan banding melalui PTUN, badan publik tersebut dilaporkan ke SPK. Dalam perjalanan selanjutnya, Kadis Pendidikan akhirnya mentaati keputusan tersebut, dan menyerahkan informasi yang diminta padahal sebelumnya berdalih SPJ dana BOS dan BOP hanya diserahkan pada lembaga pemeriksa, seperti BPK dan inspektorat lainnya. Dengan kata lain bisa disimpulkan sementara, bahwa meskipun Provinsi DKI Jakarta belum memiliki KID, sengketa tentang keterbukaan informasi sudah mereka hadapi dan bisa dikelola melalui mediasi dari KIP.

Beberapa kasus lain di bidang transportasi juga terjadi, misalnya Komunitas Busway Mania (KBM) yang mengadukan Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta ke Komisi Informasi Publik (KIP) yang enggan untuk memberikan laporan penggunaan anggaran, apalagi ketika pelayanan busway dianggap semakin tidak memuaskan. Pada saat itu, KIP Pusat yang menyelesaikan sengketa, dan berakhir dengan damai ketika permintaannya KBM dikabulkan.

Adanya desakan untuk mendapatkan informasi yang bermuara pada terjadinya sengketa informasi ini nampaknya telah menjadi semacam “shock therapy” bagi badan publik untuk berkomitmen memberikan informasi yang diminta oleh masyarakat. Namun, diakui bahwa belum banyak badan publik yang menunjukkan sikap responsif apalagi aktif dalam menyikapai keterbukaan informasi. Selain itu juga harus diakui bahwa belum banyak kelompok masyarakat di luar kelompok advokasi yang memanfaatkan hak untuk meminta informasi ini. Karena itu, LSM seperti ICW juga ikut mendorong implementasi UU KIP ini dengan meminta informasi, melakukan uji informasi dan beberapa diantaranya juga melakukan sengketa informasi. Sebagai LSM yang selama ini aktif melakukan uji informasi, ICW juga membangun kesadaran untuk mengimplementasikan UU itu dengan langsung membentuk PPID di lembaganya.

Page 41: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

20KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Sikap pasif yang ditunjukkan badan publik pemerintah dalam menyediakan informasi publik seperti ditemukan di DKI Jakarta ini sebenarnya belum mencerminkan amanat UU KIP. Badan publik melalui PPID juga harus menyediakan dan memberikan data/informasi/dokumen publik tanpa harus diminta oleh pemohon tertentu. Inilah yang dikenal dengan kategori informasi yang harus tersedia kapan saja. Informasi yang diperoleh dari Diskominfomas DKI Jakarta sebagai dinas yang dianggap paling dekat dengan isu keterbukaan informasi publik menyebutkan bahwa unit ini telah mencoba membuka informasi melalui berbagai macam media seperti website, media sosial, seperti facebook dan twitter, dan SMS. Namun ketika verifikasi lebih lanjut, tidak banyak informasi yang bisa diakses dari berbagai sarana tersebut, apalagi berkaitan dengan informasi dan dokumen keuangan. Data dan informasi yang tersaji bersifat statistik umum dengan tingkat akses yang juga sangat membingungkan.

Ketika hal yang sama ditanyakan kepada narasumber dari Dinas Pendidikan, informasi yang diperoleh bersifat normatif dan cenderung membingungkan. Adanya sengketa informasi dengan ICW berkait dengan penggunaan dana BOS ternyata tidak membuat Dinas Pendidikan DKI untuk segera melakukan pembenahan. Bagian Humas Dinas Pendidikan, misalnya, terkesan sama sekali tidak memahami UU KIP ini. Ketika ditanyakan perihal permintaan informasi dan ketersediaan formulir permintaan informasi di Dinas Pendidikan, staf tersebut justru menjawab bahwa ada surat-surat masuk tetapi jawaban yang diberikan sesungguhnya tidak memiliki hubungan sama sekali dengan UU KIP:

“Ada permintaan informasi keluar…bisa dilihat dari surat-surat yang masuk di situ….(sambil menunjuk meja tempat pegawai gol IV mengelola surat masuk –surat keluar). Di situ semua ada, nomornya juga ada, dan tentang PPI, di sini sudah ada tim yang melibatkan beberapa pejabat…..”.

Jawaban di atas menunjukkan bahwa ikhwal UU KIP belum sepenuhnya dipahami. Di sini terlihat bahwa bahkan dari sisi pemahaman terhadap UU KIP pun masih ditemukan masalah. UU ini hanya diidentikkan dengan adanya Komisi Informasi Publik dan Komisi Informasi Daerah di tingkat provinsi atau kabupaten dan keberhasilan implementasi ini hanya diukur dari terbentuknya lembaga ini. Padahal

Page 42: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

21KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

yang jauh lebih dibutuhkan adalah kesiapan badan publik dalam melaksanakan keterbukaan informasi yang dimulai dengan membentuk PPID menyediakan informasi dan dokumentasi, serta memastikan agar publik bisa mengaksesnya.

Sebagai salah satu aktor yang penting dalam implementasi UU ini, PPID adalah aktor yang sangat strategis. Sifat PPID adalah mengumpulkan, menyimpan, atau mendokumentasikan data. Tetapi PPID di dinas dipahami sebagai tata usaha. Padahal, dalam potret ideal KIP, PPID semestinya ditempatkan dalam posisi sendiri, meskipun itu tidak selalu berarti membentuk struktur baru dengan tenaga kerja yang baru. PPID bisa diintegrasikan dengan struktur lama tetapi dengan jenis pekerjaan yang baru, mengingat tidak semua badan publik bisa menganggarkan untuk struktur baru.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Provinsi DKI Jakarta belum melembagakan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dalam rangka meningkatkan akuntabilitas. Lebih dari itu, sejatinya implementasi KIP membutuhkan perubahan paradigma birokrasi yang besar dan bukan sekedar formalitas dengan mengoptimalkan peran tata usaha. Padahal dengan diimplementasikannya KIP, maka hal utama yang harus dilakukan birokrasi adalah mengubah paradigma birokrasi lama yang tadinya tertutup menjadi organisasi publik yang lebih terbuka dan responsif. Dengan KIP, birokrasi harus siap mempertanggungjawabkan akuntabilitasnya kepada masyarakat, berapa anggaran yang didapatkan dari publik serta bagaimana anggaran itu dikelola, diwujudkan, dan diupayakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik, baik berupa program, pelayanan maupun penguatan masyarakat.

Tuntutan besar yang harus diwujudkan birokrasi dalam rangka implementasi KIP adalah menanamkan tugas baru tentang pengelolaan informasi, yang tadinya hanya dimaknai sebagai pengelolaan arus data dari atas ke bawah secara internal di dalam birokrasi. Pemerintah daerah sudah saatnya menyiapkan infrastruktur untuk menyimpan, mengelola, dan menginformasikan segala sesuatu yang menyangkut proses, kinerja dan kebijakan ke publik. Dalam frame ini, publik ditempatkan sebagai Principal dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Jadi keberadaaan PPID harus setingkat dinas sebagaimana diungkapkan ketua KIP, dan bukan dioperasionalkan sebagai bagian tata

Page 43: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

22KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

usaha. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika penelitian memberikan penilaian bahwa DKI sangat lambat dalam implementasi KIP. Penilaian tersebut bisa jadi akan semakin buruk jika dikaitkan dengan kompleksitas persoalan DKI Jakarta seperti banjir, pendidikan, kependudukan, transportasi, dan sebagainya yang mendominasi isu keseharian di DKI dan semuanya itu melibatkan anggaran yang tidak kecil. Kebutuhan akan akuntabilitas sebagaimana sasaran yang ingin dicapai dari implementasi KIP, sama sekali tidak terposisikan sebagai isu yang penting.

2.3. Kesimpulan Paparan pada bagian ini memberikan gambaran yang menarik

tentang capaian implementasi UU KIP di Provinsi DKI Jakarta. Menariknya gambaran DKI Jakarta, sayangnya, justru disebabkan oleh kelemahan, keterbatasan atau kelambanan dalam mengimplementasikan UU KIP. Padahal, dengan posisinya yang strategis sebagai pusat pemerintahan, DKI Jakarta sangat diharapkan untuk menjadi barometer pelaksanaan keterbukaan informasi bagi Pemda lainnya di Indonesia. Posisi tersebut semakin strategis mengingat tingginya persinggungan interaksi antara pemerintah dan masyarakat terkait berbagai hal yang dikerjakan oleh pemerintah yang menyebabkan tingginya dinamika isu keterbukaan informasi. Singkatnya, Provinsi DKI Jakarta seharusnya dapat menjadi contoh Pemda yang responsif dalam melaksanakan UU Keterbukaan Informasi.

Dengan beberapa limitasi capaian tersebut, beberapa kesimpulan sementara dapat ditarik. Pertama, dari sisi pemahaman terhadap UU Keterbukaan Informasi, nampaknya Pemda DKI Jakarta secara umum belum memiliki pemahaman yang jelas. Ketidakjelasan pemahaman tersebut sebagian menyebabkan resistensi dan sebagian lagi menimbulkan kegamangan dalam implementasinya. Kegamangan itu misalnya dapat dilihat pada bagaimana Pemda DKI Jakarta memperlakukan PPID yang cenderung diidentikkan dengan fungsi tata usaha.

Kedua, pada level implementasi juga ditemukan sejumlah limitasi. Yang paling mudah dilacak adalah limitasi capaian dari sisi kelembagaan. PPID sebagai organ operasional pelaksanaan UU KIP di lingkungan Pemda DKI Jakarta baru dibentuk 3 tahun setelah UU tersebut disyahkan. Demikian halnya dengan Komisi Informasi daerah yang hingga saat ini

Page 44: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

23KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

belum terbentuk. Padahal tenggang waktu yang diamanatkan UU KIP hanya dua tahun, atau selambat-lambatnya April 2010.

Ketiga, limitasi yang lebih substantif ditemukan pada pelaksanaan keterbukaan informasi itu sendiri. Pemda DKI Jakarta terkesan masih sangat tertutup dalam membuka informasi publik. Beberapa informasi penting yang seharusnya bisa diakses publik kapan saja masih sangat sulit diperoleh. Media online tidak menjanjikan apa-apa selain informasi statistik dasar. Pemerintah daerah baru menyiapkan informasi ketika diminta pemohon yang seringkali bermuara pada munculnya sengketa informasi.

Page 45: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

24KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Page 46: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

25KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

KENDALA DAN PELUANG IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI DKI JAKARTA

Uraian pada bab sebelumnya menunjukkan bahwa secara umum capaian implementasi keterbukaan informasi di lingkungan Pemda Provinsi DKI Jakarta pasca lahirnya UU Nomor 14 tahun 2008 masih belum berjalan dengan baik. Hal ini bertolak belakang dengan ekspektasi banyak pihak terhadap Jakarta yang seharusnya menjadi motor implementasi berbagai kebijakan strategis pemerintah. Keterbatasan implementasi keterbukaan informasi publik ini pula yang mendorong beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di DKI Jakarta untuk melakukan uji informasi yang sebagian bermuara pada munculnya sengketa informasi.

Hasil penelusuran lapangan di lingkungan Pemda Provinsi DKI Jakarta berhasil mengidentifikasi beberapa kendala yang menjelaskan terbatasnya capaian tersebut. Namun terdapat pula beberapa struktur peluang yang dapat dioptimalkan untuk mengatasi kendala tersebut sekaligus mempercepat implementasi keterbukaan informasi publik.

Bab ini akan menguraikan beberapa kendala dan peluang yang terdapat dan dihadapi Pemda Provinsi DKI Jakarta dalam mengimplementasikan keterbukaan informasi publik. Uraian akan dilakukan berdasarkan peta aktor atau stakeholders yang berperan penting dalam implementasi UU KIP ini. Aktor atau stakeholders dimaksud adalah (1) Badan Publik, (2) Komisi Informasi Publik di tingkat Provinsi/ Kabupaten/ Komisi Informasi Daerah (KID), (3) masyarakat (warganegara, LSM) yang membutuhkan dan meminta informasi, dan (4) aktor lain terkait (misalnya DPRD). Dari keempat aktor ini, akan dianalisis bagaimana peluang dan kendala masing-masing aktor yang menentukan tingkat keberhasilan implementasi UU KIP.

B A B 3

Page 47: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

26KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

3.1. Kendala Implementasi Pelaksanaan keterbukaan informasi publik di Provinsi DKI Jakarta

mengalami sejumlah kendala. Kendala-kendala tersebut tersebar pada berbagai titik atau aktor sebagaimana diuraikan berikut ini.

3.1.1. Badan PublikBadan publik sebagaimana dimaksudkan dalam UU Nomor 14

tahun 2010 mencakup spektrum yang luas. Didefinisikan secara sempit, badan publik adalah semua organ pemerintah yang menggunakan anggaran negara. Pada titik ini ditemukan sejumlah kendala.

Pertama, tidak semua badan publik mendapatkan sosialisasi yang sama dan memadai mengenai UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Implikasinya, tingkat pemahaman dan kesiapan masing-masing badan publik berbeda-beda. Riset ini menunjukkan bahwa badan publik yang paling siap adalah badan publik yang terkait langsung dengan isu keterbukaan publik, yakni Diskominfomas. Beberapa badan publik telah mendengar adanya Undang-undang ini tetapi pejabat yang terkait kebanyakan belum membaca dan memahami detil undang-undang ini. Ini menjadi catatan yang sangat penting terkait kecukupan dan efektivitas sosialisasi UU KIP kepada semua badan publik. Jika badan publik di DKI Jakarta sendiri belum paham dan siap melaksanakan UU KIP, sulit dibayangkan bahwa UU tersebut akan dilaksanakan secara optimal di seluruh Indonesia.

Kedua, Badan Publik juga mengalami kendala dalam menerjemahkan siapa yang akan menjadi PPID. Ada anggapan bahwa PPID adalah struktur baru dengan tenaga kerja baru yang membawa implikasi pada anggaran. Penunjukan pejabat PPID akhirnya melekat pada struktur yang sudah ada. Keterbatasan pemahaman tentang peran strategis PPID menyebabkan PPID seringkali diterjemahkan sebagai humas atau tata usaha. Namun ketidakjelasan tentang fungsi dan tugas PPID akhirnya menjadikan humas atau tata usaha juga tidak menyadari fungsi dan tugasnya sebagai PPID. Implikasi lanjutannya adalah munculnya kebingungan dalam merespon permintaan informasi yang memicu sengketa informasi.

Ketiga, Petugas PPID mengalami kendala dalam mengidentifikasi informasi mana yang boleh, mana yang harus, dan mana yang tidak boleh

Page 48: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

27KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

diberikan. Meskipun dalam undang-undang telah ada kategorisasinya tetapi dalam pelaksanaannya masih dibutuhkan penerjemahan yang lebih detil tentang undang-undang ini. Apalagi UU juga memberikan ruang bagi setiap badan publik untuk menerjemahkan kategori informasi publik tersebut. Ketidaktegasan semacam ini menyebabkan kelambanan – jika bukan keenganan – badan publik untuk langsung melaksanakan amanat UU, apalagi terdapat resiko yang melekat pada setiap badan publik terkait implementasi ketentuan tersebut. Resiko tersebut seringkali menjadi pertimbangan utama bagi badan publik dan PPID untuk tidak segera mengeksekusi amanat UU.

Keempat, kendala lain yang muncul dari badan publik adalah tidak adanya sistem administrasi informasi dan dokumentasi yang baik dan efisien. Hal itu jelas ditegaskan dalam UU Nomor 14 Tahun 2008. Namun pemda Provinsi DKI Jakarta belum sepenuhnya mengembangkan sistem administrasi dimaksud. Hal itu terkait dengan sistem dan kultur pengarsipan dalam birokrasi Indonesia secara umum yang terkenal sangat tidak bisa diandalkan. Akibatnya, Pemda seringkali menemui kesulitan dalam memberikan informasi yang diminta pemohon, bukan karena badan publik dimaksud tidak mau memberikannya, tetapi karena tidak adanya sistem pengadministrasian data dan dokumen yang baik.

Kelima, tidak semua badan publik di DKI Jakarta memiliki perangkat teknologi yang memadai untuk mendukung keterbukaan informasi publik, misalnya website yang ter-update dengan baik, hotline telepon atau SMS. Informasi yang tersedia pada website Pemda DKI Jakarta sangat terbatas terutama berkaitan dengan informasi sensitif seperti APBD. Tingkat update-nya pun sangat lamban.

Keenam, prosedur permohonan informasi, hingga ke sengketa informasi harus melalui proses yang sangat panjang. Proses tersebut bisa mencapai 4 bulan. Padahal semestinya informasi tersebut secara otomatis disediakan untuk publik. Hal ini menjadi disinsentif tersendiri bagi pemohon informasi untuk mengajukan permohonan kepada badan publik kecuali untuk alasan dan tujuan yang sangat spesifik. Kendala yang terakhir ini tidak sepenuhnya merupakan kesalahan badan publik tetapi lebih merupakan akibat pengaturan dalam UU. Oleh karenanya, pengaturan terkait mekanisme dan prosedur pengajuan informasi, termasuk penyelesaian sengketa informasi, perlu lebih disederhanakan lagi.

Page 49: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

28KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

3.1.2. Komisi Informasi Publik di tingkat Provinsi (KID)KID sebagai lembaga yang dibentuk untuk merespon undang-

undang KIP juga bisa digunakan sebagai indikator apakah amanat undang-undang ini dapat dilaksanakan dengan baik atau tidak. Di lingkungan pemerintah Provinsi DKI Jakarta, hingga penelitian ini dilakukan, anggota KID masih dalam proses seleksi. Selama ini, belum atau tidak segera dibentuknya KID dianggap sebagai salah satu kendala dalam pencapaian pelaksanaan keterbukaan informasi publik. Kendala yang berhasil diidentifikasi berkait dengan aspek ini adalah:

Pertama, posisi Provinsi DKI Jakarta yang terletak di pusat pemerintahan seringkali membuat DKI Jakarta diidentikkan dengan pusat. Keberadaaan Komisi Informasi Publik Pusat yang melakukan hal-hal berkait dengan sengketa informasi di tingkat provinsi menjadikan urgensi KID dianggap rendah. Dengan kata lain, relatif tidak ada tekanan atau desakan, apalagi kebutuhan, untuk segera membentuk dan mengaktifkan KID.

Kedua, sejauh ini berdasarkan proses seleksi, minat untuk mengimplementasikan UU ini melalui terbentuknya KID dari segi kelembagaan dan sumberdaya dinilai masih rendah. Posisi DKI Jakarta sebagai pusat politik dan pemerintahan memunculkan pandangan bahwa menjadi anggota KID tidaklah terlalu bergengsi dan tidak strategis bagi karir seseorang. Oleh karena itu, dalam proses seleksi KID, kualitas calon yang mengajukan aplikasi relatif tidak sesuai dengan kualifikasi yang diharapkan. Posisi di dalam KIP dianggap lebih strategis daripada di KID.

Ketiga, belum adanya pembahasan penganggaran untuk biaya operasional KID yang dibahas oleh DPRD sebelum tahun 2011. Pada tahun 2011 penganggaran KID dimasukkan dalam revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada pertengahan tahun 2011. Anggaran untuk KID direncanakan ada sepenuhnya pada tahun penganggaran 2012. Hal ini menjadi kendala yang sangat serius. KID jelas tidak bisa bekerja jika tidak terdapat dukungan anggaran sama sekali. Aspek ini perlu mendapat perhatian serius pasca terbentuknya KID.

3.1.3. Masyarakat (Warga Negara dan LSM)Dari sisi masyarakat juga ditemukan beberapa kendala. Pertama,

masyarakat tidak bisa membedakan mana kewenangan Pusat, mana kewenangan Daerah. Permintaan informasi sering salah sasaran.

Page 50: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

29KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Misalnya, seharusnya ditujukan kepada Pemda provinsi tetapi justru ditujukan kepada pemerintah pusat. Hal ini jelas berkaitan dengan posisi Jakarta sebagai ibukota negara sekaligus ibukota provinsi.

Kedua, kelas menengah Jakarta yang pragmatis. Kelas menengah yang terdidik dan peduli sangat diharapkan perannya dalam setiap proses perubahan sosial termasuk terkait keterbukaan informasi publik. Untuk konteks DKI Jakarta, sayangnya, lebih banyak kelas menengah yang menganggap bahwa urusan keterbukaan informasi publik tidak berhubungan langsung dengan kehidupan mereka. Masyarakat kelas menengah Jakarta memang sangat aktif ketika membahas hal-hal yang langsung berhubungan dengan kehidupan mereka seperti persoalan banjir dan kemacetan. Namun, keterbukaan informasi publik belum dilihat sebagai sesuatu yang langsung berkaitan dengan nasib kelas menengah. Padahal jika dilacak lebih dalam, terdapat hubungan yang sangat erat antara keterbukaan informasi publik seperti kebijakan Pemda serta alokasi, utilisasi dan akuntabilitas APBD dengan kepentingan kelas menengah. Nampaknya upaya sosialisasi juga perlu diarahkan pada kelompok potensial ini.

Ketiga, adanya kebiasaan untuk mengakses informasi berdasarkan jaringan informal atau kedekatan dengan sumber informasi, tidak melalui jalur formal yang diisyaratkan dalam UU KIP ini. Mengakses informasi melalui jalur formal dianggap terlalu lama dan berbelit-belit, dan belum tentu jelas hasilnya. Ini menunjukkan bahwa praktek kolusi dan nepotisme juga terjadi dalam akses informasi publik. Oleh karena itu diperlukan upaya perombakan serius agar mengakses informasi melalui jalur formal adalah sama mudah dan cepatnya dengan ketika seseorang menggunakan jalur informal.

Keempat, masyarakat kelas bawah yang memiliki kebutuhan langsung terhadap informasi publik seperti informasi terkait anggaran dana pendidikan atau kesehatan tidak terlalu terinformasikan dengan baik terhadap undang-undang ini. Selain itu, prosedur yang harus ditempuh untuk mengakses informasi sesuai dengan ketentuan yang diamanatkan dalam undang-undang ini dinilai terlalu berbelit-belit, lama, dan menyulitkan khususnya bagi orang-orang yang berpendidikan rendah. Padahal seringkali informasi yang diminta adalah informasi yang memang sudah harus disediakan dan bisa diakses kapan saja.

Page 51: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

30KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Kelima, kalangan LSM di Jakarta lebih berfokus pada isu nasional di mana Jakarta adalah pusat politik dan pemerintahan, bukan Jakarta sebagai daerah atau provinsi. Akibatnya adalah persoalan-persoalan di tingkat provinsi menjadi kurang diperhatikan atau terwadahi. Implikasi lanjutannya adalah kurangnya kontrol masyarakat sipil terhadap persoalan di Provinsi DKI Jakarta. Oleh karena itu, dapat dipahami jika isu keterbukaan informasi publik di tingkat Provinsi DKI Jakarta menjadi tertutupi oleh persoalan keterbukaan informasi publik di tingkat pusat atau persoalan nasional lainnya. Singkatnya, posisi Jakarta sebagai ibukota justru menjadi nilai minus karena tertutupi isu nasional lainnya. Hal ini menjadi insentif bagi badan publik untuk tidak segera berbenah karena absennya tekanan dari publik.

3.1.4. Aktor LainDi samping ketiga aktor di atas, terdapat aktor lain yang juga

berperan dalam mendorong atau menghambat keterbukaan informasi publik. Pertama adalah DPRD Provinsi DKI Jakarta, khususnya Komisi A. Fungsi legislatif yang melekat dengan DPRD digunakan untuk mendorong percepatan implementasi terutama melalui pembentukan lembaga dan alokasi anggaran. Pada saat penelitian ini dilakukan DPRD sedang melakukan fit and proper test untuk calon anggota KID (diuraikan pada bab sebelumnya). Namun dari hasil wawancara dengan Ketua Komisi A terkuak kendala yang cukup serius di kalangan DPRD yakni terbatasnya pemahaman DPRD terhadap undang-undang KIP. Bagi DPRD, yang menjadi target akhir adalah terbentuknya KID. Tetapi untuk penyiapan badan publik secara keseluruhan sepertinya kurang diperhatikan. DPRD sangat aktif dalam mendorong KID dengan berupaya segera membentuk KID tetapi penunjukkan PPID di badan publik kurang mendapat perhatian memadai. Bahkan muncul kesan bahwa DPRD tidak mengetahui perlunya PPID di setiap badan publik. Sebagai badan publik, DPRD DKI Jakarta hingga saat ini juga belum memiliki PPID.

Kedua adalah media. Media bukanlah Kelompok yang memanfaatkan UU KIP untuk mendapatkan informasi publik. Hal itu disebabkan karena jika melalui prosedur formal maka data atau informasi yang diperoleh membutuhkan waktu yang cukup lama. Biasanya para wartawan

Page 52: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

31KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

bertanya langsung pada badan publik yang bersangkutan dan UU yang melindunginya adalah UU Pers.

3.2. Peluang Implementasi Di tengah berbagai kendala tersebut di atas, DKI Jakarta juga

sebenarnya memiliki sejumlah peluang yang dapat dioptimalkan untuk mendorong keterbukaan informasi publik. Beberapa peluang tersebut antara lain:

Pertama, posisi Provinsi DKI Jakarta yang ada di ibu kota negara sehingga akses terhadap teknologi dan informasi menjadi lebih cepat. DKI Jakarta memang seringkali lebih dikenal sebagai ibukota negara sekaligus pusat politik dan pemerintahan Indonesia ketimbang sebagai salah satu provinsi. Namun hal ini bisa menjadi keuntungan tersendiri jika dikaitkan dengan sejumlah peluang yang melekat dengan kedua posisi tersebut. Yang paling penting adalah besarnya perhatian, bahkan upaya kontrol, masyarakat, LSM, dan media terhadap apa yang terjadi di Jakarta, termasuk terhadap badan publik dalam menyelenggarakan keterbukaan informasi. Hadirnya masyarakat yang aktif dan siap mengawasi pemerintah merupakan peluang penting untuk mendorong pelaksanaan keterbukaan informasi publik, terutama dengan menghadirkan tekanan dan tuntutan, baik yang lahir karena kebutuhan maupun sebagai bagian dari upaya advokasi bagi pembenahan tata kelola pemerintahan.

Kedua, Jakarta memiliki masyarakat sipil yang aktif. Terdapat begitu banyak kelompok LSM yang bergerak di bidang advokasi kebijakan dengan variasi fokus perhatian yang cukup tinggi. Walaupun isu keterbukaan informasi publik belum menjadi perhatian dan agenda gerakan masyarakat sipil secara luas, namun sudah mulai muncul perhatian ke arah tersebut sebagaimana ditunjukkan oleh ICW. Hal ini menjadi pertanda positif bagi kemajuan implementasi keterbukaan informasi publik. Kelompok-kelompok advokasi lain juga dapat digerakkan untuk secara bersama-sama mendorong percepatan pelaksanaan agenda tersebut.

Ketiga, walaupun masih sangat awal dan belum memiliki bentuk yang mapan, DKI Jakarta telah memulai proses institusionalisasi dengan membentuk PPID dan KID. Kedua terobosan kelembagaan ini menjadi milestone penting pelaksanaan keterbukaan informasi. Capaian

Page 53: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

32KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

kelembagaan ini menjadi prasyarat awal yang masih harus didukung dan diperkuat dengan dukungan infastruktur dan teknologi yang memadai termasuk juklak dan juknis yang sejauh ini masih absen. Dengan kata lain, peluang pelaksanaan keterbukaan informasi di DKI Jakarta akan semakin terbuka lebar jika pemerintah daerahnya mulai memberikan perhatian yang lebih serius pada pengembangan dan instalasi sistem pendukung. Pada titik inilah terletak taruhan dalam meningkatkan kinerja substantif yang langsung berkaitan dengan tingkat akses informasi publik oleh masyarakat.

Keempat, berhadapan dengan tuntutan dan tekanan publik, Pemda Provinsi DKI Jakarta sebenarnya sudah menunjukkan sikap yang responsif. Responsivitas Pemda DKI Jakarta antara lain ditunjukkan dalam proses penyelesaian sengketa informasi terkait pengelolaan dana BOS dan Transjakarta. Walaupun pada awalnya enggan untuk meladeni permohonan informasi dari masyarakat, pada akhirnya Pemda menunjukkan kepatuhannya pada hukum dengan memberikan informasi yang tadinya tidak ingin diberikan kepada masyarakat. Sikap semacam ini patut diapresiasi sebagai langkah maju. Hal ini pula yang menempatkan DKI Jakarta pada ranking 2 (setelah Jawa Timur) dalam pelaksanaan keterbukaan informasi publik versi Komisi Informasi Pusat. Dengan sistem insentif tertentu, di samping disinsentif, capaian seperti ini niscaya bisa semakin ditingkatkan.

3.3. KesimpulanDari analisis di atas dapat disimpulkan sementara bahwa Pemda

Provinsi DKI Jakarta masih mengalami sejumlah kendala. Sebagian kendala tersebut berasal dari pemerintah daerah dan sebagian lagi berasal dari masyarakat. Namun dalam konteks kajian ini, kendala utama terletak pada faktor birokrasi pemerintah yang masih relatif tertutup. Faktor ketertutupan atau keengganan untuk berubah inilah yang menyebabkan munculnya sejumlah hambatan lain seperti institusionalisasi yang lemah serta hambatan-hambatan teknis lainnya.

Selain kesimpulan tersebut, penting juga untuk ditekankan kembali dua hal pokok. Pertama, pelaksanaan keterbukaan informasi publik harus dipahami dalam seting dinamika publik (demokrasi) yang lebih luas dan bukan sekedar secara formal yang semata-mata hanya ditandai

Page 54: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

33KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

dengan telah terbentuknya struktur pendukung seperti KID dan PPID. Sebaliknya, keberhasilan implementasi UU KIP harus dilihat juga dari adanya perubahan paradigma dalam birokrasi yang lebih berorientasi keluar/ publik dan lebih bersifat melayani masyarakat. Informasi publik karena itu tidak hanya dipenuhi oleh fungsi kehumasan atau tata usaha tetapi lebih berorientasi pada transparansi.

Kedua, bahwa informasi publik hanya diberikan jika ada permintaan informasi dari masyarakat adalah pandangan yang masih sering ditemui pada pejabat badan publik. Padahal untuk informasi yang masuk dalam kategori boleh dan harus diberikan, informasi wajib diumumkan dan disediakan secara berkala, seperti di dalam website atau media yang lain. Karena itu, dukungan juklak dan juknis yang operasional dan jelas serta teknologi informasi sangatlah diperlukan. Demikian halnya SDM pelaksana yang handal dan memahami betul filosofi dasar keterbukaan informasi publik serta menguasai perangkat pelaksanaannya. Bahkan, pada level substantif, kehadiran infrastruktur pendukung inilah yang justru jauh lebih penting sebagai penjelmaan kemauan politik pemerintah untuk semakin terbuka terhadap publik.

Page 55: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

34KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Page 56: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

35KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

CAPAIAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PROVINSI JAWA TIMUR DAN KOTA SURABAYA

Bab ini mendeskripsikan proses dan capaian Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya dalam mewujudkan keterbukaan informasi publik. Alasan pemilihan Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya adalah kenyataan bahwa kedua unit pemerintahan lokal ini sangat responsif terhadap amanat yang dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 dengan segera membentuk Komisi Informasi Daerah (KID).

Secara kelembagaan, Pemerintahan Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya berhasil menyediakan perangkat organisasi, menyelesaikan protokol yang berisi tatacara perolehan informasi publik serta mendelegasikan pengelolaan informasi publik kepada pejabat yang diberi wewenang. Secara substantif, kedua unit pemerintahan ini juga mampu merumuskan operasionalisasi kriteria informasi publik, mengeluarkan produk informasi publik untuk khalayak, dan menyelenggarakan kemudahan akses untuk perolehan informasi tersebut.

Faktor penting yang menjelaskan keberhasilan implementasi keterbukaan informasi publik di Jawa Timur dan Surabaya adalah kuatnya inisiatif pejabat puncak dan komitmen serta resourcefulness yang dimiliki oleh para pejabat penyelenggara dan pengelola yang menerima pendelegasian wewenang. Meskipun faktor eksternal seperti desakan publik (KIP, LSM, media massa, dan publik secara luas) juga memainkan peranan, pada kasus Jawa Timur dan Surabaya, keberhasilan implementasi informasi publik lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor internal itu. Karena itu pelacakan proses implementasi prinsip keterbukaan informasi di dua kasus tersebut menjadi penting untuk keperluan perbandingan dengan kasus-kasus di wilayah lain. Evaluasi yang berbasis teori tentang pelembagaan organisasi (politik) akan disampaikan juga pada bagian akhir bab ini.

B A B 4

Page 57: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

36KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

4.1. Provinsi Jawa TimurSebagaimana diterapkan pada kasus-kasus di daerah lain,

keberhasilan implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 oleh Provinsi Jawa Timur dapat dilihat dalam dua kategori, yakni capain pada level kelembagaan serta capaian pada level substantif.

4.1.1. Capaian Kelembagaan4.1.1.1. Komisi Informasi Daerah (KID) Jawa Timur

Pasca ditetapkannya undang-undang Nomor 14 Tahun 2008, langkah pertama yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk merespon peraturan tersebut adalah membentuk Tim Seleksi Calon Anggota Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur, melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/11/KPTS/013/2010 Tentang Tim Seleksi Calon Anggota Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur pada tanggal 18 Januari 2010. Setelah terbentuknya Tim Seleksi Calon Anggota Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur yang diketuai oleh Drs. Suko Widodo, M.A. dengan seorang wakil ketua dan tiga anggota, pada tanggal 15 Pebruari 2010 Tim dibuka pendaftaran bagi alon anggota Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur dengan mendasarkan pada Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor: 188/64/013/2010 Tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/11/KPTS/013/2010 Tentang Tim Seleksi Calon Anggota Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur tertanggal 11 Pebruari 2010.

Selisih waktu dua tahun sejak pemberlakukan undang-undang (2008) dengan surat keputusan gubernur (2010) untuk membentuk Komisi Informasi bisa ditafsirkan dengan dua cara. Pertama, selisih waktu itu menunjukkan kelambanan respon gubernur terhadap undang-undang. Kedua, selisih waktu tersebut juga bisa menunjukkan bahwa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis untuk implementasi undang-undang yang menjadi kewajiban pemerintah pusat belum tersedia.

Namun jika dibandingkan dengan wilayah lain yang dipilih dalam studi ini,1 respon pemerintah Jawa Timur adalah yang paling cepat. Dan respon Pemerintah Jawa Timur untuk memulai proses seleksi ini mendapat tanggapan antusias dari publik yang ingin berpartisipasi untuk mengisi posisi dalam Komisi Informasi Jawa Timur.

1Pemerintah Aceh dan Kota Banda Aceh, DKI Jakarta, Provinsi Papua Barat, dan Kota Manokwari.

Page 58: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

37KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Dari sejumlah calon anggota KID Jawa Timur (Jatim) yang mendaftarkan diri, setelah melalui rangkaian tahapan Seleksi Administrasi, Tes Tertulis, Tes Psikologi, Wawancara dan Uji Publik, tim seleksi melalui suratnya Nomor:065/876/105/2010 tertanggal 24 Maret 2010 mengumumkan 15 (lima belas) peserta Calon Anggota KID Jatim yang lolos dan dapat mengikuti tahap lanjut pemilihan yakni Uji Kepatutan dan Kelayakan sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008. Melalui surat Nomor 160/3774/060/2010 tertanggal 12 April 2010, tim seleksi mengumumkan pelaksanaan Uji Kepatutan dan Kelayakan terhadap 15 (lima belas) peserta Calon Anggota KID Jatim yang dilaksanakan pada hari Rabu, 14 April 2010 s/d Jum’at, 16 April 2010 bertempat di Ruang Rapat Paripurna DPRD Provinsi Jawa Timur. Setelah Uji Kepatutan dan Kelayakan dilakukan oleh Komisi A DPRD Provinsi Jawa Timur yang ternyata hanya diikuti oleh 14 (empat belas) Calon Anggota KID Jatim, maka pada tanggal 19 April 2010 melalui surat Nomor: 160/4025/060/2010, DPRD Provinsi Jawa Timur mengumumkan 5 (lima) anggota KID Jatim Masa Jabatan 2010-2014.2 Pelantikan Komisi Informasi provinsi yang telah terbentuk ini sedianya akan dilantik oleh Gubernur Jawa Timur pada tanggal 30 April 2010 sesuai dengan deadline yang ditetapkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, namun karena beberapa kendala, pelantikan tersebut baru dapat dilaksanakan pada tanggal 14 Mei 2010 oleh Gubernur Jawa Timur di kantor gubernur3.

Meskipun pelantikannya terlambat dari batas tenggat yang ditetapkan dalam Undang-Undang, KID Jatim yang telah dilantik ini bergerak cepat untuk melakukan tugasnya sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang komisioner terpilih yang kemudian terpilih menjadi Ketua KID Jatim. Meski belum memiliki kantor sekretariat yang representatif dan tidak memiliki dana operasional4, KID Jatim melakukan konsolidasi internal

2Nama-nama terpilih: 1. Imadoeddin, 2. Daan Rachmad Tanod, 3. Djoko Tetuko Abdul Latif, 4. Nurul Amalia, 5. Didik Prasetiyono yang masing-masing mewakili unsur pemerintahan, pers, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh masyarakat.3Dengan dilantiknya lima anggota KIP Jatim ini, maka Jatim menjadi provinsi kedua yang memiliki KIP setelah Provinsi Jawa Tengah. Sebelumnya, Jateng telah melakukan pelantikan KIP pada 27 April 2010 yang dilakukan oleh Gubernur Jateng Bibit Waluyo. Hingga kini, baru 27 % provinsi yang sudah membentuk Komisi Informasi Daerah (KID), sedangkan 73 % provinsi lainnya dapat dikategorikan belum membentuk, meski ada beberapa provinsi yang sedang berada dalam proses pembentukan.4Djoko Tetuko (Ketua KID Jatim) menceritakan bahwa awal terbentuknya KIP Jatim tidak memiliki

Page 59: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

38KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

untuk mempersiapkan tata kelola dan tata kerja dalam kerangka membangun mekanisme kerja, sosialisasi, dan penanganan penyelesaian sangketa informasi di Provinsi Jawa Timur yang diajukan ke Komisi Informasi Pusat ketika KID Jatim belum terbentuk5.

Tekad bergerak cepat untuk melaksanakan tugas tercermin dari sigapnya anggota komisioner melakukan sosialisasi kepada berbagai komponen masyarakat di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur dan juga penyelesaian sangketa informasi. Sejak dilantik tanggal 14 Mei 2010 hingga November 2010, meski belum mendapatkan dana dalam APBD 2010 yang berimplikasi pada kelancaran tugas, kegiatan dan operasionalisasi KID Jatim6, namun hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi anggota komisioner yang ada untuk menjalankan tugasnya. Selain dana patungan dari anggota komisioner, KID Jatim juga mengandalkan pinjaman dari sumber lain dalam membiayai operasional kantor dan pelaksanaan tugas-tugasnya. Berdasarkan informasi, pinjaman atau hutang KID Jatim pada pihak ketiga sampai bulan November 2010 mencapai sekitar 300 juta rupiah7.

Sampai dengan pelantikan KID Jatim, proses dan tahapan seleksi komisi terkesan bersifat mekanis. Namun setelahnya kita melihat bahwa inisiatif, komitmen, dan resourcefulness dari ketua dan anggota komisi bersifat sangat menentukan. Minimnya fasilitas dan dana tidak mengurangi antusiasme mereka untuk mulai bekerja. Tidak hanya

sekretariat sampai kemudian pemerintah daerah melalui Kominfo provinsi memberikan pinjaman sebuah ruang berukuran 4 x 2 meter dan 7 x 3 meter untuk sekretariat KIP Jatim yang ditempati 5 komisioner dan 3 staf administrasi yang diperbantukan dari Dinas Kominfo bertempat di kantor Dinas Kominfo Provinsi Jatim Jalan Rajawali. Saat ini KIP Jatim berkantor di Jalan Bandilan No. 4 Waru Sidoarjo. Wawancara dengan Djoko Tetuko ketua KIP Jatim tanggal 8 Desember 2011.5Sebelum Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur terbentuk, telah ada sangketa informasi yang diajukan komponen masyarakat terhadap instansi di Sumenep Madura. Karena KID Provinsi belum terbentuk, maka sangketa informasi yang masuk langsung ditangani oleh Komisi Informasi Pusat di Jakarta. Setelah KIP Jawa Timur terbentuk, KIP Jatim dilibatkan dalam proses penanganan sangketa informasi yang terjadi di Sumenep tersebut. 6Terbentuknya KIP Jatim ditengah APBD yang sudah berjalan, sehingga tidak ada ploting anggaran untuk KIP Jatim. Pada Bulan Mei-Juni 2010 pemerintah daerah meminta KIP Jatim untuk membuat semacam Rencana Kerja Anggaran untuk dimasukan dalam APBD perubahan tahun 2010. Pada bulan Agustus 2010 KIP Jatim disetujui mendapatkan anggaran melalui APBD perubahan sebesar Rp 1,25 Milyar yang anggarannya melalui Dinas Kominfo Provinsi. 7Sebagai ilustrasi, Djoko Tetuko dalam suatu kesempatan mengatakan ketika harus berangkat Rakornas ke Batam karena tidak ada dana maka mereka harus patungan untuk dapat menghadirinya. Sejak dilantik hingga bulan Oktober 2010, anggota komisioner belum menerima honor sebagai anggota komisioner. Informasi tentang hutang yang melilit KIP Jatim di peroleh dari Ali Mu’ti, SE., anggota Komisi A DPRD Jatim dari Fraksi PAN.

Page 60: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

39KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

mengupayakan kantor sementara, mereka juga menggalang dana pinjaman untuk menutupi biaya operasional. Komitmen ketua dan anggota komisi ini bahkan mendapatkan apresiasi istimewa dari pihak luar. Seorang anggota Komisi A DPRD Jawa Timur mengatakan:

“Untuk operasional, mereka kadang patungan tapi kualitas kerja dan kekompakkan merekanya sangat terjaga. Anggota KID Jatim bermental tangguh meski hanya memiliki kantor kecil dan menumpang pada sebuah dinas dengan pasukan inti 5 orang saja”8.

Tak hanya komitmen dan inisiatif semata, namun resourcefulness dari para anggota komisi juga terlihat nyata. Gerak cepat dalam melakukan tugas dalam kaitannya dengan sosialisasi keberadaan KID Jatim adalah dengan melakukan road show ke berbagai daerah kabupaten dan kota di Jawa Timur, melalui Bakorwil I, II, III dan IV (Badan koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan Jawa Timur)9 yang membawahi 29 kabupaten dan 9 kota di Jawa Timur. Selain road show melalui pertemuan dengan berbagai komponen masyarakat dan badan publik, sosialisasi juga dilakukan melalui media massa (radio, televisi dan surat kabar), penyebaran brosur dan penempelan poster-poster terkait dengan KID dan prosedur Alur Permohonan Informasi. Secara berkala KID Jatim juga membuat artikel di media cetak atau media pemerintah (seperti Koran Birawa misalnya) terkait dengan keberadaan dan peran KID, melakukan press gathering, menyurati bupati dan walikota, dan juga menerbitkan buku yang dibagikan merata di semua kabupaten dan kota. Hal ini dilakukan karena lebih dari 90 % pihak yang menjadi sasaran sosialisasi (baik badan publik pemerintah, badan publik umum maupun komponen masyarakat lainnya) pada awal sosialisasi umumnya tidak memahami bahkan tidak mengetahui sama sekali tentang keberadaan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008.

Komitmen dan inisiatif KID Jatim sebagaimana digambarkan di atas menghasilkan sebuah perencanaan menajerial yang sistematik

8Dikutip dari http://jurnalberita.com/2010/11/ali-mukti-soroti-penggembosan-peran-kip-jatim/ tanggal 12 Desember 2011.9Bakorwil Jatim atau Badan koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan Jawa Timur merupakan Perangkat Daerah Provinsi Jatim. Bakorwil merupakan eks Karesidenan di Jawa Timur yang dibagi pada 4 Bakorwil, yakni Bakorwil I eks Karesidenan Madiun, Bakorwil II eks Karesidenan Bojonegoro, Bakorwil III eks Karesidenan Malang, dan Bakorwil IV eks Karesidenan Madura.

Page 61: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

40KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

yang memerlukan kemampuan koordinasi. Dalam urusan leadership atau kepemimpinan, KID Jatim mampu menjalankannya dengan melibatkan semua unit pemerintahan di bawahnya, yakni di tingkat kabupaten dan kota yang berada di Jawa Timur. Sementara tingkat keberhasilan implementasi keterbukaan informasi di bawah koordinasi KID Jatim tergantung banyak faktor lain – dan tingkat keberhasilan ini bisa bervariasi di tiap kabupaten atau Kota – upaya KID Jatim sendiri untuk mendorong implementasi itu terlihat nyata.

Media koordinasi bisa beragam. Tetapi, pemanfaatan teknologi komunikasi oleh KID Jatim memudahkan proses itu. KID Jatim menggunakan website dalam sosialisasi dan sharing informasinya kepada masyarakat. Masyarakat dapat meng-input informasi apapun terkait dengan KID melalui alamat web: www.kip.jatimprov.go.id. Dalam laman web ini terdapat menu 1) Home yang merupakan halaman depan dari web, 2) Profil yang di dalamnya terdapat Komisioner KID dan Sekretariat KID, 3) Informasi yang di dalamnya terdapat: Badan Publik, Untuk Masyarakat, Kegiatan, Untuk Badan Publik, dan Penyelesaian Sangketa Informasi, 4) Mediasi yang di dalamnya terdapat Jadwal Mediasi, Rekap Mediasi Bulanan, Rekap Mediasi Tahunan, dan Kasus yang Belum Mediasi, 5) Ajudikasi yang merupakan laman forum litigasi sangketa informasi, 6) Regulasi, yang di dalamnya terdapat berbagai Undang-Undang, Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan KID menyangkut Keterbukaan Informasi Publik, 7) Kontak, yang merupakan laman masyarakat dalam berhubungan dengan KID Jatim, dan 8) PPID, yang didalamnya terdapat penjelasan tentang hal-hal terkait dengan keberadaan PPID beserta tugas, fungsi dan mekanismenya.

KID Jatim menyadari bahwa upaya sosialisasi yang dilakukannya belum optimal, sasaran sosialisasinya lebih pada menumbuhkan awareness dan edukasi pada masyarakat tentang hak masyarakat atas informasi publik. Belum ada upaya untuk mendorong masyarakat untuk menggunakan haknya atas informasi publik. Hal ini disebabkan karena singkatnya masa sosialisasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang waktunya hanya dua tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan. Di negara-negara maju, sosialisasi sebuah undang-undang yang menyangkut kehidupan publik memerlukan waktu antara 5-7 tahun sebelum diberlakukan. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar, tentu

Page 62: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

41KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

akan menjadi masalah tersendiri kalau masyarakat didorong atau memang sudah sadar untuk menggunakan haknya atas informasi publik pada badan publik di tengah ketidaksiapan dari badan publik itu sendiri.

Dalam mengantisipasi permasalahan tersebut, KID Jatim menggagas Forum Pejabat Pengelola Informasi Daerah (Forum PPID). Forum ini telah diselenggarakan dua kali dari tiga kali yang direncanakan dalam satu tahun oleh KIP Jatim yakni pada tanggal 27 Juni 2011 dan tanggal 23 Agustus 2011. Forum PPID ini dihadiri oleh seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) provinsi maupun kabupaten dan kota di Jawa Timur. Forum ini diadakan untuk memberikan pembekalan pada PPID di setiap SKPD di Jatim agar bisa menjadi PPID yang benar dan sesuai tujuan dalam melayani masyarakat untuk memperoleh informasi. Selain memberi pembekalan pada PPID, forum ini juga dimaksudkan untuk mendorong setiap SKPD yang belum membentuk PPID agar segera membentuk PPID, serta menjamin, mendorong dan meningkatkan peran serta masyarakat untuk ikut menentukan kebijakan publik. Informasi yang disampaikan PPID diharapkan mampu menjebatani antara masyarakat dan pemerintah.

Jika pelembagaan pada dasarnya merujuk pada rutinisasi tindakan,10 KID Jatim telah membentuk forum PPID yang bisa menjadi arena pertukaran pikiran dan diskusi perencanaan dan eksekusi kebijakan yang melibatkan para pejabat PPID di level pemerintahan kabupaten/kota di seluruh Jawa Timur. Rutinisasi tindakan ini membawa dampak positif dalam hal upaya kolektif para pejabat publik mewujudkan amanah keterbukaan informasi publik di setiap level pemerintahan. Selain itu, sebagaimana akan kita lihat nanti, proses rutinisasi ini diformalkan dalam berbagai petunjuk teknis dan pelaksanaan yang berkenaan dengan operasionalisasi keterbukaan informasi di Jawa Timur.

Pada titik ini, satu proses pelembagaan telah tercapai. Namun proses lain, value infusion, yakni munculnya nilai yang dihayati oleh para pejabat PPID dan para pemangku kepentingan tentang penting dan perlunya keterbukaan informasi sebagai hal yang membawa kebaikan bersama, masihlah berproses.

10Proses pelembagaan atau yang dalam leksikon politik dikenal dengan istilah teknis institusionalisasi memiliki empat komponon: (1) systemness, (2) value infusion, (3) decisional autonomy, dan reification. Komponen insitutionalisasi ini dipinjam dari Vicky Randall and Lars Svasan (2002), “Party Institutionalisation in New Democracies,” Party Politics, vol. 8, no. 1, pp. 5-29.

Page 63: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

42KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Hal lain yang perlu dicatat adalah, dalam kerangka menjamin keterbukaan informasi publik, maka PPID wajib melaporkan secara berkala kinerjanya kepada KID Jatim, dan KID Jatim berhak mengevaluasi kinerja PPID tersebut. Sebaliknya PPID boleh meminta pendapat KID Jatim terkait dengan Standard Operating Procedure (SOP) PPID Pembantu. PPID berperan untuk membantu tugas badan publik dalam mengelola informasi. Tugasnya antara lain menyediakan, memberikan, serta menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangan dan memberikan pelayanan informasi kepada para peminta informasi.

Forum PPID ini dibentuk dalam kerangka menindaklanjuti PP No 61 Tahun 2010, terkait keharusan segera membentuk PPID selambat-lambatnya satu tahun setelah diundangkan, yakni tanggal 23 Agustus 2011. Demikian juga terhadap Keputusan Gubernur No 188/415/KPTS/013/2011 tentang PPID Provinsi Jatim dan Peraturan Gubernur No 55 tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Jawa Timur. Dengan demikian seharusnya memang tidak ada alasan lagi bagi setiap SKPD untuk tidak membentuk PPID sebagaimana dimaksudkan pada ketentuan-ketentuan di atas. Namun hingga bulan Desember 2011 baru 10 kabupaten dan kota dari 38 kabupaten dan kota di Jawa Timur yang sudah membentuk PPID. Berarti masih ada 28 kabupaten dan kota yang belum membentuk PPID. Kabupaten/kota yang sudah membentuk PPID di antaranya adalah Kota Malang, Kota Surabaya, Kota Blitar, Kabupaten Blitar, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Jombang, Kabupaten Sampang, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Nganjuk, dan Kabupaten Madiun. Dua puluh satu kabupaten/kota masih dalam proses pembentukan PPID, sementara 7 kabupaten/kota lainnya akan membentuk PPID kalau semua PPID di Jawa Timur sudah terbentuk. 11

11Menurut Djoko Tetuko, Forum PPID yang digagas KID Jatim dimaksudkan untuk pembekalan PPID dan mempercepat proses terbentuknya PPID di setiap SKPD baik di provinsi maupun kabupaten/kota. Oleh karenanya forum ini rencananya diselenggarakan secara berkala 3 kali dalam setahun di tahun 2011 ini dan di tahun-tahun berikutnya. September 2011 diharapkan semua dinas di tingkat provinsi sudah membentuk PPID meski dalam pengamatan kami masih banyak SKPD provinsi yang masih sebatas proses pembentukan. Demikian juga halnya dengan di kabupaten dan kota. Namun menurut Djoko Tetuko, semuanya akan selesai di tahun 2012 meski terlambat dari batas waktu yang ditetapkan dalam PP No 61 Tahun 2010, terkait keharusan segera membentuk PPID selambat-lambatnya satu tahun setelah diundangkan, yakni tanggal 23 Agustus 2011. Wawancara dengan Djoko Tetuko tanggal 8 Desember 2011.

Page 64: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

43KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Sebagaimana telah diutarakan, pada tingkat kabupaten dan kota muncul variasi dalam hal implementasi proses keterbukaan informasi. Hanya sepertiga dari keseluruhan unit pemerintahan di Jawa Timur yang sudah membentuk PPID. Banyak faktor yang bisa menerangkan variasi ini. Namun, dari sudut upaya manajerial dan koordinasi, KID Jatim telah menjalankan peran yang signifikan dan variasi kinerja unit-unit pemerintahan di Jawa Timur tentu bukan seluruhnya terletak pada KID Jatim. Namun, sejauh berkaitan dengan upaya pelembagaan dan capaian kelembagaan, KID Jatim telah membangun perangkat pelembagaan dan berproses dengan melakukan rutinisasi. Dengan demikian, ada prediktabilitas dimana ekspektasi publik terhadap keterbukaan informasi dan penyediaan informasi itu bisa dipertemukan.

Terkait dengan jumlah kasus dan penyelesaian perkara, periode waktu Mei 2010 hingga Desember 2010 tercatat 21 sengketa informasi yang diajukan ke KID Jatim dengan rincian 18 perkara diselesaikan dengan mediasi, 1 perkara ajudikasi ke Komisi Informasi Pusat, dan 2 perkara dikembalikan karena berkas tidak lengkap. Periode Januari hingga Agustus 2011 tercatat 121 perkara sangketa informasi yang masuk ke KIP Jatim dengan rincian 46 perkara diselesaikan melalui mediasi, 3 perkara melalui ajudikasi, 52 perkara dikembalikan ke Komisi Informasi Kabupaten Bangkalan12. Periode Januari 2011 hingga November 2011 tercatat 170 kasus sangketa informasi, dengan perincian: Kaukus sebanyak 2 kasus, Ajudikasi sebanyak 14 kasus, Mediasi sebanyak 78 kasus, dalam proses sebanyak 9 kasus, batal sebanyak 5 kasus, dan dikembalikan oleh karena satu dan lain hal sebanyak 62 kasus. Dengan demikian sepanjang keberadaan KID Jatim sejak dilantik pada tanggal 14 Mei 2010 hingga November 2011 terdapat 191 kasus yang sudah ditangani.

Banyaknya penyelesaian perkara yang dilakukan oleh KID Jatim baik melalui mediasi ataupun ajudikasi patut mendapatkan apresiasi karena dilakukan melalui mekanisme peradilan sebagaimana praktek di lembaga peradilan pada umumnya. Meski tidak ada satupun anggota KID Jatim yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang hukum, namun keterampilan dalam penanganan sengketa diupayakan sedemikian

12Bangkalan merupakan satu-satunya kabupaten yang membentuk Komisi Informasi Daerah di Jawa Timur bahkan satu-satunya kabupaten di Indonesia yang membentuk Komisi Informasi Daerah sendiri.

Page 65: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

44KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

oleh para anggota komisi informasi ini untuk dapat mempelajarinya menurut kaedah hukum yang semestinya. Upaya yang dilakukan adalah mengirim anggota KID Jatim mengikuti kursus peradilan di Jakarta dan juga bekerjasama dengan Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Airlangga dalam membuat administrasi hukum, tuntutan dan putusan dalam penanganan sengketa.

Dalam kerangka meminimalisasi kesalahan dalam permohonan informasi yang disampaikan oleh publik yang dapat mengakibatkan terjadinya sengketa informasi publik, KID Jatim juga menggagas pembentukkan semacam lembaga bantuan permohonan informasi publik yang akan mendampingi pemohon informasi dalam merumuskan permohonan informasinya dan mendampinginya sampai kepada badan badan publik yang dimaksud.

Capaian kelembagaan itu sendiri, sebagaimana terekam dalam sejumlah kasus sengketa informasi publik, telah sampai pada isu yang bersifat substantif (akan dijelaskan lebih jauh pada bagian selanjutnya), yakni adanya permintaan dari publik, dan pemenuhannya yang dilakukan oleh PPID. Penciptaan sistem kelembagaan yang berbasis PPID bisa lebih rinci dilihat pada bagian berikut.

4.1.1.2. Pejabat Pengelola Informasi Daerah (PPID) Jawa TimurSeiring dengan terbentuknya Komisi Informasi Jawa Timur yang

dilantik tanggal 14 Mei 2010, maka langkah kedua yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur ialah menyiapkan jajarannya untuk melaksanakan keterbukaan informasi publik yang dituntut di lingkungan pemerintahannya selaku badan publik. Sebagai pedoman pelaksanaan keterbukaan informasi publik, maka Gubernur Jawa Timur mengeluarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 55 tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Jawa Timur tanggal 29 Juli 2011. Peraturan ini dimaksudkan sebagai acuan yang wajib dilaksanakan oleh setiap SKPD di lingkungan Pemerintahan Provinsi Jawa Timur dalam pengelolaan informasi publik, dokumentasi dan arsip, pelayanan informasi publik, penanganan pengaduan dan penyelesaian sangketa.

Pada dasarnya Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 55 tahun 2011 berkenaan dengan keberadaan institusi Pejabat Pengelola Informasi

Page 66: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

45KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

dan Dokumentasi (PPID) terutama terkait struktur organisasi, tugas dan fungsinya, serta alur kerjanya selaku pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan informasi dan dokumentasi di setiap SKPD di Pemerintahan Provinsi Jawa Timur. Oleh karenanyalah Peraturan ini menjadi pedoman yang jelas bagi pembentukan PPID di Provinsi Jawa Timur yang susunan organisasinya telah ditentukan sedemikian rupa sebagaimana terdapat pada Bab II tentang Struktur Organisasi Pelayanan Informasi, Sub A tentang Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), Point 3 tentang Susunan Organisasi PPID yang terdiri dari: a) Atasan PPID, B) Ketua, c) Sekretaris, d) Bidang Pelayanan dan Dokumentasi Informasi, e) Bidang Pengolahan Data dan Klasifikasi Informasi, f) Bidang Penyelesaian Sangketa Informasi, g) Pengelola Publikasi, h) Pengelola Data, i) Pengelola Penyelesaian Sangketa, dan j) Anggota.

Demikian juga dengan alur kerja PPID telah dibuat sedemikian rupa mekanismenya dalam bab II, Sub A, point 5 sebagai berikut:

Pemohon mengajukan permohonan layanan informasi kepada a. PPID.Sekretariat menerima permohonan, kemudian mencatat data b. pemohon dan data tentang informasi yang diminta.Sekretariat memberikan tanda bukti mengajukan permohonan c. kepada pemohon.Bidang Klarifikasi melakukan pengecekan apakah informasi d. yang diminta pemohon termasuk dalam kategori yang dikecualikan. Apabila termasuk yang dikecualikan, maka Bidang Klarifikasi mengembalikan ke Sekretariat untuk disampaikan kembali kepada pemohon. Sedangkan apabila informasi tidak termasuk yang dikecualikan maka permohonan diteruskan ke Bidang Layanan Dokumentasi Informasi.Bidang Layanan Dokumentasi Informasi menyiapkan materi e. jawaban.Berdasarkan bahan/data dari Bidang Layanan Dokumentasi f. Informasi, Sekretariat menyusun jawaban atas permohonan yang diterima.Sekretariat menyampaikan informasi kepada pemohon.g. Apabila pemohon menganggap informasi yang diperoleh tidak h. sesuai dengan yang diharapkan, maka pemohon dapat dapat

Page 67: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

46KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

mengajukan keberatan kepada atasan langsung PPID sehingga terjadi sangketa informasi. Dalam hal terjadi sangketa, Bidang Penyelesaian Sangketa melakukan upaya untuk menyelesaikan sangketa.Dalam hal informasi yang disampaikan oleh Sekretariat sudah i. sesuai dengan harapan pemohon atau hasil penyelesaian sangketa cukup memuaskan pemohon, maka pelayanan informasi selesai.Apabila hasil penyelesaian sangketa yang dilakukan oleh Bidang j. Penyelesaian sengketa dianggap oleh pemohon tidak memuaskan, maka dimintakan mediasi ke Komisi Informasi Provinsi.Dalam melaksanakan tugasnya Sekretariat dan Bidang-bidang k. dalam struktur PPID akan melakukan kordinasi dan konfirmasi kepada PPID Pembantu sesuai dengan lingkup kewenangan masing-masing.

Stabilisasi lembaga-lembaga yang berkait dengan pelaksanaan dan prosedur perolehan informasi publik tersebut dibakukan dalam protokol petunjuk teknis. Bahkan sengketa yang muncul antara pihak PPID dengan publik yang berkaitan dengan interaksi mereka telah dirumuskan pula dalam sebelas item teknis. Hierarki dan pengorganisasian pengelolaan fungsi pelayanan informasi publik itu pada akhirnya juga harus menyentuh personel pengelola.

Tugas PPID provinsi tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa bantuan atau kerjasama dengan PPID pembantu dari dinas atau SKPD terkait. Oleh karenanya Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 55 tahun 2011 juga mengatur tentang PPID Pembantu di lingkungan Pemerintahan Provinsi Jawa Timur yang diatur dalam Bab II, Sub B tentang Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Pembantu/SKPD, point 2 tentang Susunan Organisasi PPID Pembantu/SKPD yang terdiri dari:

Atasan PPID Pembantu/Kepala SKPD;a. Ketua PPID SKPD;b. Sekretaris;c. Bidang Pelayanan dan Dokumentasi Informasi;d. Bidang Pengolah Data dan Klasifikasi Informasi;e.

Page 68: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

47KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Bidang Penyelesaian Sangketa Informasi; danf. Anggota.g.

Untuk memperjelas siapa pejabat dimaksud yang berada pada masing-masing struktur PPID Provinsi, maka Gubernur Jawa Timur mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/415/KPTS/013/2011 Tanggal 2 Agustus 2011 tentang Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Provinsi Jawa Timur yang susunan keanggotaannya sebagaimana terdapat dalam lampiran Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur disebutkan sebagai berikut:

Atasan PPID adalah Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur.a. Ketua PPID adalah Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika b. Provinsi Jawa Timur.Sekretaris PPID adalah Kepala Bidang Diseminasi dan Informasi, c. Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Timur.Bidang-bidang:d.

Bidang Pelayanan dan Dokumentasi Informasi adalah Kepala • Bagian Media dan Dokumentasi, Biro Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur.Bidang Pengolah Data dan Klasifikasi Informasi adalah • Kepala Bidang Statistik dan Pelaporan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur.Bidang Penyelesaian Sangketa Informasi adalah Kepala • Bagian Hukum, Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur.

Anggota adalah PPID Pembantu seluruh SKPD Provinsi Jawa e. Timur.

Adapun konsekuensi pembiayaan terkait dengan pembentukan dan tugas kerja dari PPID Provinsi Jawa Timur sebagaimana dimaksudkan pada Diktum Kedua Surat Keputusan Gubernur diatur dalam Diktum Ketujuh Point a, yang menyatakan “Membebankan biaya pelaksanaan tugas PPID Provinsi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2011 Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Timur. Sedangkan untuk PPID Pembantu di Provinsi Jawa Timur biaya pelaksanaan tugas PPID Pembantu

Page 69: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

48KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

sebagaimana disebutkan dalam Diktum Kelima, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2011 masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Karena Surat Keputusan Gubernur tersebut baru ditetapkan pada tanggal 2 Agustus 2011, belum semua SKPD di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur membentuk PPID Pembantu di SKPD-nya. Meski belum membentuk PPID, pelayanan terhadap permintaan informasi dari masyarakat dapat berjalan tanpa hambatan. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur, misalnya, sampai pada saat penelitian ini dilakukan belum membentuk PPID. Pembentukan PPID di Bappeda Provinsi Jawa Timur masih dalam proses. Surat Keputusan Kepala Bappeda tentang Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi masih dalam bentuk draft, belum disahkan.

Mekanisme pelayanan terhadap permintaan informasi dari masyarakat sesuai dengan aturan surat masuk, diterimakan di bagian sekretaris. Oleh bagian sekretaris surat permintaan informasi tersebut kemudian disampaikan atau didistribusikan secara langsung pada bagian-bagian yang berwenang terhadap data dan informasi yang diminta. Jawabannya juga diberikan secara langsung oleh bagian dari yang menangani data atau informasi tersebut. Jadi selama ini tidak pernah ada persoalan di Bappeda Provinsi terkait dengan informasi yang diminta sehingga tidak ada sangketa informasi. 13

Pada masing-masing Biro di lingkungan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur juga sudah membentuk PPID. Pada Biro Organisasi Sekretariat Daerah misalnya, Kepala Biro Organisasi telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 188/1278/KPTS/041/2011 pada bulan Desember 2011 Tentang Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Biro Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur yang di dalamnya terdapat Susunan Keanggotaan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Biro Organisasi Sekretariat Provinsi Jawa Timur beserta tugas dan fungsi serta biaya pelaksanaan tugas PPID yang dibebankan pada APBD Tahun 2012 Biro Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur.14

13Wawancara dengan staf Beppeda Provinsi Jatim tanggal 7 Desember 2011.14Wawancara dengan staf Sekretariat Daerah provinsi Jatim tanggal 7 Desember 2011.

Page 70: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

49KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Berbeda dengan Biro Organisasi Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, Biro Humas dan Protokoler meski sama-sama bernaung di bawah Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur telah mengambil langkah lebih maju. Biro Humas dan Protokoler karena salah satu fungsinya adalah fungsi informasi kepada masyarakat, telah memiliki struktur yang tugas dan fungsinya relatif sama dengan tugas dan fungsi PPID. Sehingga sebelum keluarnya PP No 61 Tahun 2010, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 35 Tahun 2010, Peraturan Gubernur Jawa Timur No 55 Tahun 2011, dan Keputusan Gubernur Jawa Timur No 188 Tahun 2011, Biro Humas dan Protokoler telah memiliki Surat Keputusan tentang Tim Pelayanan Informasi. Setelah adanya ketentuan-ketentuan hukum di atas, maka pada bulan Desember 2011, Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi Jawa Timur mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 188/2/KPTS/043/2011 Tentang Tim Pengelola Pelayanan Informasi dan Dokumentasi (PPID) Biro Humas dan Protokoler Setda Provinsi Jawa Timur. Surat keputusan ini menggantikan surat keputusan sebelumnya, secara substansial isinya tidak berbeda, hanya melakukan penyesuaian terhadap dasar hukum dalam diktum Mengingat.15

Yang membedakan dengan surat keputusan pada SKPD lain, Surat Keputusan Kepala Biro Humas dan Protokoler ini secara eksplisit menyebutkan nama-nama personal beserta jabatannya dalam susunan PPID dan juga besaran tunjangan yang diperoleh yang berkisar antara 1 juta – 2 juta rupiah/bulan. Sementara dalam Surat Keputusan PPID lain tidak mencantumkan nama, hanya mencantumkan jabatannya saja dan tidak ada besaran tunjangan yang menyertainya. Yang juga berbeda dari SKPD lainnya adalah, dalam susunan Tim Pelayanan Informasi dan Dokumentasi (PPID) Biro Humas dan Protokoler mencantumkan adanya konsultan, yang tidak didapatkan pada Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188 Tahun 2011.

Contoh SKPD lain yang telah memiliki fungsi PPID sebelum adanya PP No 61 Tahun 2010, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 35 Tahun 2010, Peraturan Gubernur Jawa Timur No 55 tahun 2011, Keputusan Gubernur Jawa Timur No 188/ Tahun 2011 adalah Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur

15Wawancara dengan staf Humas dan Protokoler Sekretariat Daerah Provinsi Jatim tanggal 7 Desember 2011.

Page 71: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

50KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

pada tanggal 1 Mei 2010 membentuk Klinik Pendidikan yang diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang fungsinya adalah sebagai media layanan informasi pendidikan kepada masyarakat secara maksimal, selain juga sebagai media informasi dan komunikasi antara Pemerintah Pusat/Provinsi Jawa Timur dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di Jawa Timur.

Meski sudah terdapat Peraturan Gubernur Nomor 55 dan Surat Keputusan Gubernur Nomor 188 yang mengatur tentang struktur organisasi, tugas dan fungsi PPID, namun Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur tidak mengubahnya dengan mengeluarkan surat keputusan baru, dan tidak juga menamakannya dengan PPID, namun tetap menggunakan nama Klinik Pendidikan yang fungsinya lebih dari pada sekedar keterbukaan informasi atau melayani informasi publik. Struktur organisasinya tetap dipertahankan pada struktur yang lama karena fungsional dan memenuhi kebutuhan tugas pokok dan fungsi yang diemban oleh Klinik Pendidikan. Struktur organisasinya selain melibatkan jajaran struktural, juga melibatkan tenaga professional/fungsional yang memang memiliki kualifikasi dalam menjalankan pekerjaannya yang diambil bukan dari kalangan pegawai negeri akan tetapi tenaga outsourcing. Semua beban pembiayaan termasuk tunjangan Tim Pengelola Klinik Pendidikan dibebankan pada APBD Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur16.

4.1.2. Capaian SubstantifSelain memberikan layanan terbuka terhadap permintaan informasi

oleh masyarakat, mekanisme informasi layanan publik dibuat sedemikian rupa agar mudah diperoleh masyarakat. Untuk Dinas Pendidikan dan Bappeda misalnya, selain menyediakan informasi yang memang dibutuhkan masyarakat melalui website, juga dibuka saluran informasi melalui layanan telepon. Dinas Pendidikan dan Biro Humas Provinsi selain memiliki buku pedoman alur permintaan dan pelayanan informasi, juga menyediakan front desk khusus untuk melayani permintaan informasi masyarakat. Pada front desk tersebut dilengkapi dengan poster prosedur layanan informasi, alamat yang bisa dihubungi, juga terdapat brosur terkait dengan profil dinas bersangkutan.

16Wawancara dengan staf Dinas Pendidikan Provinsi Jatim tanggal 6 Desember 2011.

Page 72: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

51KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Meski diakui bahwa semua upaya yang dilakukan belum optimal, namun upaya-upaya penyempurnaan terhadap akses pelayanan informasi publik terus dilakukan. Salah satu bentuk upaya yang dilakukan adalah dengan adanya kerjasama yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan Australia Indonesia Partnership for Decentralization (AIPD). AIPD sangat peduli terhadap pelaksanaan keterbukaan informasi publik di Jawa Timur, dan untuk itulah maka AIPD melakukan pendampingan terhadap Pemerintahan Provinsi Jawa Timur dalam melakukan implementasi keterbukaan informasi publik. Mitra kerja yang ditunjuk Pemprov Jatim dalam mendampingi kerja AIPD ini adalah Bappeda Provinsi Jawa Timur. AIPD bersama dengan Bappeda melakukan pendampingan pada setiap SKPD terutama berkaitan dengan pengklasifikasian jenis-jenis informasi. Saat ini, untuk membantu mempermudah tugas setiap SKPD di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, AIPD telah menyusun Buku Pedoman Umum Klasifikasi Informasi Publik Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur.

Mengamati capaian implementasi keterbukaan informasi publik pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 di Provinsi Jawa Timur, nampaknya Pemerintah Provinsi Jawa Timur memang memiliki kesiapan yang lebih baik dan lebih responsif terhadap perkembangan implementasi keterbukaan informasi publik di daerahnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan penghargaan yang diperoleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam hal implementasi keterbukaan informasi publik yang menempatkan Provinsi Jawa Timur sebagai provinsi terbaik di Indonesia yang diberikan oleh Komisi Informasi Pusat dalam hal pelaksanaan keterbukaan informasi publik melalui realisasi jumlah PPID dan dalam hal memberikan palayanan terbaik bidang informasi pelayanan publik. Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Badan Pendidikan dan Pelatihan (Bandiklat), merupakan SKPD dengan PPID yang berhasil mendapatkan penilaian tertinggi dari Komisi Informasi Pusat.

Berkaitan dengan isu substantif, UU KIP 2008 mengatur pemberian informasi pubik kepada khalayak melalui dua cara: (1) Pro-aktif dan (2) Reaktif. Cara pro-aktif adalah publikasi informasi publik yang dilaksanakan atas inisiatif pemerintah daerah melalui PPID tanpa

Page 73: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

52KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

menunggu adanya permintaan dari publik. Sementara cara reaktif adalah publikasi informasi yang dilakukan setelah ada permintaan dari publik.

Adapun informasi dasar yang masuk dalam kategori wajib dipenuhi mencakup lima jenis informasi. Pertama, profil organisasi pemerintahan yang meliputi alamat lengkap SKPD, nomer telepon dan faksimile, serta struktur organisasi. Kedua, informasi dasar ini juga harus menampilkan program pemerintah daerah yang sedang dilaksanakan, yakni nama kegiatan, sasaran, manfaat, personel yang bisa dikontak, dan nomor kontak telpon untuk kegiatan. Ketiga, informasi tentang seluk-beluk anggaran, mulai dari rencana dan alokasi anggaran kegiatan pada tahun berjalan, laporan keuangan tahun sebelumnya, serta daftar aset dan barang. Keempat, informasi dasar yang berkaitan dengan statistik permintaan informasi publik, pemenuhan dan penolakannya. Kelima, informasi tentang berbagai perundangan dan peraturan yang memiliki dampak ke publik berdasar tahun pengesahan.

Dari item-item informasi dasar ini, hampir semua item telah tersedia kecuali rincian anggaran yang mengikuti standar. Berbagai pencapaian ini (dan kekurangannya) bisa dijadikan perbandingan dengan unit pemerintahan Kota Surabaya – tetangga terdekat.

4.2. Kota SurabayaSebagai bagian dari proses penataan kelembagaan yang dilakukan

di tingkat provinsi, Pemda Kota Surabaya juga mencatat capaian yang kurang lebih sama – dengan sedikit variasi.

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya telah merespon secara cepat keluarnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sejak tahun 2009 baik dengan mempertegas struktur kelembagaan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), meningkatkan ketersedian jenis informasi serta memperluas aksesibilitasnya.

4.2.1. Capaian KelembagaanPada aspek kelembagaan, saat penelitian ini dijalankan, Pemkot

Surabaya telah menyusun struktur PPID dengan jelas disertai dengan pembagian tugas dan wewenangnya. Walikota Surabaya sebagai pembuat kebijakan tertinggi di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot)

Page 74: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

53KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Surabaya telah mengeluarkan Surat Keputusan Walikota Nomor 188.35/399/436.1.2/2009 pada tahun 2009 tentang Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di Lingkungan Pemerintah Kota Surabaya. Namun SK Walikota tahun 2009 ini kemudian ditinjau kembali dan mengalami penyempurnaan pasca keluarnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Penyempurnaan ini terutama terkait dengan struktur PPID maupun tugas dan wewenang yang dimiliki. Walikota Surabaya pada tanggal 17 Januari 2011 akhirnya mengeluarkan keputusan terbaru tentang PPID melalui SK Nomor 188.45/4/436.1.2/2011 tahun 2011.

Dalam SK tahun 2011 ini secara rinci diatur mengenai siapa pihak yang dimaksud sebagai PPID serta tugas maupun wewenang yang mereka miliki. Pada poin pertama, secara jelas ditunjuk Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Surabaya sebagai PPID. Dalam melaksanakan tugasnya, poin ketiga menjelaskan bahwa PPID dibantu oleh PPID pembantu yang berada di lingkungan Satuan Kerja perangkat Daerah (SKPD). Sebagaimana dijelaskan pada poin empat, PPID pembantu yang dimaksud dalam hal ini adalah:

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Sekretariat Daerah Kota a. Surabaya.Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Surabaya.b. Sekretaris Dinas, Badan, Inspektorat, Kecamatan Kota c. Surabaya.Kepala Bagian Tata Usaha pada Rumah Sakit Umum Daerah d. Bhakti Dharma Husada dan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Surabaya.Kepala Bagian Informasi dan Protokol pada Sekretariat Dewan e. Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surabaya.Kepala Bagian Umum pada Rumah Sakit Daerah Dokter f. Mohammad Soewandhie Kota Surabaya.Kepala Sub Bagian Tata Usaha pada Kantor Ketahanan Pangan g. Kota Surabaya.

Page 75: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

54KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Untuk menunjang kegiatan PPID serta dalam rangka memberikan pelayanan informasi dan komunikasi secara terpadu di kota Surabaya, Walikota Surabaya juga mengeluarkan SK Walikota nomor 188.45/53/436.1.2/2011 tentang Tim Pelayanan Keluhan/Pengaduan Masyarakat Kota Surabaya.17 Sebagaimana yang tertera dalam lampiran SK tersebut, dapat diidentifikasi ternyata keanggotaan Tim Pelayanan Keluhan/ Pengaduan Masyarakat Kota Surabaya tidak jauh berbeda dengan anggota PPID. Hampir seluruh sekretaris pada masing-masing SKPD di Pemkot Surabaya merupakan anggota tim. Berdasarkan poin dua dalam SK ini, tugas tim antara lain:

Mengkoordinasikan penyampaian keluhan, pengaduan, saran dan a. masukan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Kota SurabayaMenindaklanjuti keluhan dan/atau pengaduan masyarakat dengan b. cepat sesuai ketentuan yang berlaku kepada Dinas Komunikasi dan Informatoka Kota SurabayaMenyediakan dan/atau memberikan informasi tentang program-c. program Pemerintah Kota Surabaya serta Produk Hukum Daerah Kota Surabaya kepada masyarakat melalui website www.surabaya.go.id

4.2.2. Capian SubstantifAparatur Pemkot Surabaya sejauh ini rata-rata berpendapat bahwa

pihak Pemkot telah menjalankan undang-undang Keterbukaan Informasi Publik secara maksimal baik itu dari sisi substansial terkait dengan jenis informasi maupun dari sisi aksesibilitasnya. Mereka berpendapat bahwa segala informasi yang layak diketahui oleh publik telah di-upload pada website www.surabaya.go.id sehingga masyarakat Surabaya dapat mengakses data-data secara bebas sesuai dengan apa yang dibutuhkan.

Dinas Pekerjaan Umum Kota Surabaya, misalnya, telah memanfaatkan website tersebut untuk menyajikan informasi mengenai area mana di kota Surabaya yang telah disetujui untuk mendapat prioritas pembangunan atau perbaikan baik untuk jalan maupun infrastruktur umum lainnya sekaligus kapan pengerjaan pembangunan atau

17Sebagaimana yang dijelaskan oleh staf Dinas Kominfo Kota Surabaya tanggal 5 Desember 2011.

Page 76: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

55KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

perbaikan itu dimulai.18 Contoh lain adalah kesiapan Badan Perencanaan Pembangunan Kota (BAPPEKO) Surabaya untuk memanfaatkan sarana internet guna menyebarkan informasi mengenai rencana pembangunan Kota Surabaya kepada masyarakat melalui website mereka sendiri, yakni www.musrenbang.go.id, yang terkoneksi juga secara langsung ke www.surabaya.go.id. Sejauh ini BAPPEKO telah dan selalu memperbarui informasi secara berkala pada website mereka hasil-hasil Musyawarah Rencana Pembangunan (MUSRENBANG) agar masyarakat Surabaya dapat memonitor perkembangan program apa saja yang telah disetujui oleh Pemkot Surabaya untuk satu tahun anggaran.19

Namun perlu dipahami bahwa penggunaan internet sebagai cara untuk meningkatkan aksesibilitas publik Surabaya terhadap informasi mengenai program-program pembangunan maupun aktivitas rutin Pemkot Surabaya bukanlah sesuatu yang secara khusus dijalankan demi pelaksanaan Undang-undang nomor 14 tahun 2008. Berdasarkan penuturan Dinas Kominfo Kota Surabaya, sebenarnya Pemkot Surabaya telah mencanangkan pelayanan informasi berbasis internet seperti yang ada saat ini sejak tahun 2002. Sejak tahun tersebut, Pemda Surabaya secara perlahan telah membangun infrastruktur yang diperlukan dalam pengelolaan serta penyajian informasi yang berbasis e-government. Beberapa hal yang telah dilakukan antara lain membangun server terpadu, menugaskan setiap SKPD untuk mulai melakukan digitalisasi dokumen, pengadaan komputer hingga tingkat kelurahan serta meningkatkan koneksitas melalui pembangunan jaringan fiber optic antar instansi di lingkungan Pemkot Surabaya.

Penyajian informasi berbasis internet ini pada faktanya telah menjadi cara utama Pemkot Surabaya dalam merespon undang-undang mengenai Keterbukaan Informasi Publik. Dengan pengalaman lebih dari enam tahun sejak dicanangkan tahun 2002, Pemkot Surabaya cenderung menitikberatkan pengelolaan dan penyajian informasi berbasis e-government. Terdapat tiga alasan Pemkot melakukan hal ini20, yakni pertama, pengelolaan dan penyajian data secara e-government dipandang lebih efisien. Dari sisi hardware (perangkat keras), meskipun pada

18Wawancara dengan Staf Dinas Pekerjaan Umum Kota Surabaya tanggal 6 Desember 2011. 19Wawancara dengan Staf Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya tanggal 6 Desember 2011.20Wawancara dengan staf Dinas Kominfo Kota Surabaya tanggal 5 Desember 2011

Page 77: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

56KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

awalnya penggunaan teknologi informasi semacam ini terkesan sedikit lebih mahal, namun dalam jangka panjang akan jauh lebih murah ketika infratruktur telah terbangun lengkap. Kedua, dari sisi efektifitas, aktivitas dokumentasi dan pengarsipan akan jauh lebih mudah dilakukan dengan memanfaatkan teknologi daripada berbasis manual seperti yang telah dilakukan di masa lampau. Di samping itu, pengelolaan dan penyajian informasi berbasis elektronik akan memudahkan masyarakat untuk mengakses apapun data yang mereka perlukan secara cepat, langsung dan dari mana saja. Ketiga, Pemkot Surabaya berpendapat bahwa pelayanan penyajian data berbasis e-government merupakan cara yang paling sesuai dengan karakter masyarakat Surabaya yang kritis dan menginginkan adanya transparansi yang tinggi. Dengan memanfaatkan jalur elektronik, masyarakat dapat memonitor kapan saja perencanaan dan realisasi program Pemkot Surabaya serta memberikan masukan dan kritik atas program tersebut.

Selain melalui internet, Pemkot Surabaya juga mengembangkan pola komunikasi lain baik secara langsung maupun tidak untuk meningkatkan transparansi sekaligus aksesibilitas informasi publik bagi masyarakat Surabaya. Dinas Pekerjaan Umum (DPU) contohnya, telah mempersilahkan anggota masyarakat untuk datang langsung ke kantor DPU jika mereka merasa membutuhkan suatu informasi yang berhubungan dengan wilayah tugas DPU dan ternyata informasi tersebut tidak dapat diperoleh melalui website Pemkot Surabaya. Melengkapi pola komunikasi langsung, Dinas Kominfo telah lama mengembangkan kerja sama dengan media massa baik elektronik seperti stasiun televisi lokal dan radio serta cetak untuk penyebatan informasi kepada masyarakat. Dengan pihak televisi dan radio, Dinas Kominfo biasanya mengadakan talk show dalam rangka membahas suatu polemik atau permasalahan yang tengah berkembang di masyarakat. Selain itu, Dinas Kominfo juga menggunakan jalur media cetak lokal guna menyebarkan informasi lain yang dipandang perlu untuk diketahui masyarakat Surabaya secara luas.

Dengan kesiapan infrastruktur informasi publik yang ada, Surabaya termasuk kota yang minim sangketa informasi. Kalaupun ada persoalan di sekitar permohonan informasi publik yang belum dapat dipenuhi SKPD, maka persoalannya langsung ditangani Kepala

Page 78: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

57KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Dinas Kominfo Kota Surabaya selaku Ketua PPID.21 Ketua PPID akan memanggil pejabat yang bertanggungjawab mengenai informasi di SKPD dan menanyakan alasannya. Kemudian pejabat SKPD tersebut dipertemukan dengan pemohon informasi untuk dimediasi mengenai informasi yang diharapkan. Dengan pendekatan yang dilakukan oleh kepala Dinas Kominfo Surabaya selaku Ketua PPID ini, maka setiap potensi sangketa yang ada dapat diredam dan kepentingan kedua belah pihak dapat terpenuhi.

4.3. KesimpulanDari indikator capaian kelembagaan dan capaian yang bersifat

substantif, dapat disimpulkan bahwa Pemda Jawa Timur dan Kota Surabaya berhasil mewujudkan tatanan kelembagaan yang menjadi dasar bagi implementasi keterbukaan informasi publik sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang KIP 2008.

Pembentukan Komisi Informasi Daerah di level provinsi dan kota telah memungkinkan eksekusi kelembagaan dengan produk berupa protokol pengaksesan informasi publik, yang mencakup pemilahan informasi yang bisa diakses dan informasi yang tidak bisa diakses oleh publik. Sekaligus juga, dengan itu informasi publik bisa diproduksi.

Dua faktor internal, yakni kepemimpinan dan inovasi, menjadi pendorong utama proses pelembagaan dalam mewujudkan amanat undang-undang. Faktor ini sedikit banyak bersifat idiosyncratic yang mungkin melekat sebagai atribut personel para pejabat di Jawa Timur dan Kota Surabaya. Sama halnya dengan komitmen para pejabat yang menerima pendelegasian wewenang untuk mengelola penyelenggaraan informasi publik yang juga melekat pada personel ketimbang lembaga. Namun hal ini tidak berarti bahwa langkah-lankah yang telah diambil Pemda Jatim dan Kota Surabaya tidak bisa direplikasi. Semua proses – kecuali kemunculan komitmen yang tinggi – tetap bisa diterapkan di daerah lain.

Dalam perspektif yang lebih luas, upaya institusionalisasi atau pelembagaan harus mencakup tahapan value infusion di mana para pejabat pengelola dan para pemangku kepentingan publik di Jawa Timur dan

21Wawancara dengan staf Dinas Kominfo Kota Surabaya tanggal 5 Desember 2011

Page 79: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

58KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Surabaya bisa menginternalisasi pentingnya implementasi keterbukaan informasi bukan semata dipahami dan dihayati sebagai pelaksanaan kewajiban. Tetapi, lebih dalam lagi, bahwa keterbukaan informasi adalah keperluan kolektif untuk perbaikan tatacara yang akuntabel. Dan akuntabilitas adalah prinsip yang memiliki nilai sendiri yang terlepas dari aturan dan kewajiban. Proses institusionalisasi ini menjadi maksimal ketika keterbukaan informasi itu muncul dalam horizon publik sebagai prinsip yang dirayakan bersama.

Page 80: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

59KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

KENDALA DAN PELUANG IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI

PROVINSI JAWA TIMUR DAN KOTA SURABAYA

Bab ini secara khusus membahas kendala-kendala yang dihadapi oleh Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya dalam implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008. Keberhasilan Provinsi Jawa Timur secara umum dan Kota Surabaya secara khusus dalam hal capaian implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik tidak dapat dilepaskan dari komitmen yang tinggi dari pemerintah daerah di lingkungan Provinsi Jawa Timur untuk melaksanakan transparasi dan keterbukaan dalam pemerintahannya. Yakni mencapai tata kelola pemerintahan yang baik, yang berbasis keterbukaan informasi serta meningkatkan pelayanan penyediaan informasi publik kepada kahlayak. Sejak tahun 2003 Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah memulai program untuk mengembangkan sistem pengelolaan informasi pemerintahan berbasis jaringan melalui internet dengan mengembangkan e-government.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur yakin sebagaimana disebutkan dalam Inpres Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government bahwa pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi dalam proses pemerintahan akan meningkatkan efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan1. Berdasarkan Inpres Nomor 3 Tahun 2003 ini, maka Pemerintah Provinsi Jawa Timur bergerak cepat dengan mulai

1Inpres Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government merupakan lanjutan dari Inpres Nomor 6 Tahun 2001 tanggal 24 April 2001 Tentang Telematika (Telekomunikasi, Media dan Informatika) yang menyatakan bahwa aparat pemerintah harus menggunakan teknologi telematika untuk mendukung good governance dan mempercepat proses demokrasi. Kedua Inpres ini kemudian ditindaklanjuti dengan SK Menpan Nomor 13 Tahun 2003 Tentang perkantoran elektronik (e-office) di lingkungan instansi pemerintah termasuk pemerintahan Provinsi, Kota dan Kabupaten. Pemerintah mentargetkan di tahun 2005 seluruh administrasi pemerintahan mulai dari tingkat kecamatan sampai pusat sudah terjangkau internet dengan electronic government (e-government).

B A B 5

Page 81: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

60KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

mengembangkan e-government ini (early adopter). Hasilnya, hingga tahun 2005, sebagian besar Perangkat Daerah Pemerintahan Provinsi Jawa Timur dan kabupaten/kota di Jawa Timur telah memiliki/terkoneksi dengan e-government ini.

Meski beberapa Perangkat Daerah dan beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur masih kurang optimal dalam pengelolaan e-government tersebut khususnya dalam up-dating atau pemutakhiran informasi, secara keseluruhan Provinsi Jawa Timur menempati peringkat yang baik dalam pelaksanaan e-Government-nya. Hal ini dapat dilihat dari penghargaan yang diterima Pemerintahan Provinsi Jawa Timur dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dalam Pemeringkatan e-Government Indonesia (PeGI) 2011. Jawa Timur menempati peringkat kedua setelah Aceh dalam hal pengimplementasian sarana teknologi informasi dan komunikasi dengan baik sehingga dapat menjembatani antar pusat dan daerah. Namun demikian, berdasarkan penilaian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta, Jawa Timur merupakan provinsi terbaik dalam mengembangkan teknologi informasi untuk menunjang kinerja pemerintahan. Dan oleh karenanya BPPT bermaksud menjadikan Jatim sebagai benchmark pengembangan IT bagi daerah lain di Indonesia.2

5.1. Provinsi Jawa TimurDalam menerapkan informasi terpadu layanan publik, pemerintah Provinsi Jawa Timur membangun sistem jaringan di antara SKPD di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Sistem jaringan ini menjadi tulang punggung keterhubungan antar SKPD di lingkup Pemprov Jatim yang tujuannya agar bisa dijadikan sebagai media komunikasi data antar SKPD secara tertutup. Dalam kerangka keterbukaan informasi publik, sistem jaringan antar SKPD ini sangat membantu Dinas Kominfo Provinsi Jatim sebagai server pengelola informasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan sebagai ketua PPID Provinsi Jawa Timur. Dinas Kominfo Pemprov Jatim selain sebagai dinas yang mengelola informasi pemerintahan di lingkungan Pemprov Jatim melalui web dengan website www.jatimprov.go.id, sekaligus juga sebagai kantor PPID Provinsi dan Ketua PPID Provinsi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Gubernur

2 http://beritasurabaya.net/index_sub.php. dinukil tanggal 12 Desember 2011.

Page 82: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

61KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Nomor 55 Tahun 2011 dan SK Gubernur Nomor 188 Tahun 2011. Sistem jaringan di antara SKPD ini memudahkan dalam menghimpun dan mendiseminasi berbagai informasi kepada masyarakat.

Perangkat Daerah Provinsi Jawa Timur hampir semua bagian memiliki web site dan terkoneksi dengan sistem e-gov Pemerintah Provinsi.3 Hanya beberapa saja di antaranya yang belum mempunyai web atau terkoneksi dengan jaringan e-gov tersebut.

Table 5.1.Perangkat Daerah Provinsi Jawa Timur

Nama SKPD Alamat WebsiteBadan Kepegawaian Daerah http://bkd.jatimprov.go.idBadan Kesatuan Bangsa dan Politik http://bakesbangpol.jatimprov.go.idBadan Ketahanan Pangan http://bkp.jatimprov.go.idBadan Lingkungan Hidup http://blh.jatimprov.go.idBadan Pemberdayaan Masyarakat http://bapemasjatim.comBadan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana

-

Badan Penanaman Modal http://bpm.jatimprov.go.idBadan Penanggulangan Bencana Daerah

http://bpbd-jatim.com

Badan Pendidikan dan Pelatihan http://www.bandiklatjatim.go.idBadan Penelitian dan Pengembangan

http://www.balitbangjatim.com

Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah

-

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

http://bappeda.jatimprov.go.id

Badan Perpustakaan dan Kearsipan http://bapersip.jatimprov.go.idBAKORWIL – I http://bakorwilmadiun.jatimprov.

go.idBAKORWIL – II h t t p : / / b a k o r w i l b o j o n e g o r o .

jatimprov.go.idBAKORWIL – III http://bakorwilmalang.jatimprov.

go.id

3Yang sudah terkoneksi adalah Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD Provinsi Jatim, Dinas Daerah Provinsi Jawa Timur, Inspektorat Provinsi Jawa Timur, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur, Lembaga Teknis Daerah Provinsi Jawa Timur, Rumah Sakit Daerah Provinsi Jawa Timur, Badan koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan Jawa Timur, Lembaga Lain Provinsi Jawa Timur, Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Jawa Timur

Page 83: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

62KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Nama SKPD Alamat WebsiteBAKORWIL – IV h t t p : / / b a k o r w i l p a m e k a s a n .

jatimprov.go.idDinas Energi dan Sumberdaya Mineral

http://www.pertambangan-jatim.or.id

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata http://disbudpar.jatimprov.go.idDinas Kehutanan http://dishut.jatimprov.go.idDinas Kepemudaan dan Keolahragaan

http://dispora.jatimprov.go.id

Dinas Kesehatan http://dinkes.jatimprov.go.idDinas Komunikasi dan Informatika http://kominfo.jatimprov.go.idDinas Koperasi dan Usaha, Mikro, Kecil, Menengah(UMKM)

http://www.diskopjatim.go.id

Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga http://binamargajatim.netDinas Pekerjaan Umum Cipta karya dan Tata Ruang

http://pu-ciptakarya-tataruang.jatimprov.go.id

Dinas Pekerjaan Umum Pengairan http://www.dpuairjatim.comDinas Pendapatan http://www.dipendajatim.go.idDinas Pendidikan http://dindikjatim.netDinas Perhubungan dan Lalu Lintas Angkutan Jalan

http://dishubllaj.jatimprov.go.id

Dinas Perikanan dan Kelautan http://diskanlut.jatimprov.go.idDinas Perindustrian dan Perdagangan

http://disperindag.jatimprov.go.id

Dinas Perkebunan http://www.disbunjatim.go.idDinas Pertanian http://www.diperta-jatim.go.idDinas Peternakan http://www.disnak-jatim.go.idDinas Sosial http://dinsos.jatimrov.go.idDinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan

http://disnakertransduk.jatimprov.go.id

Inspektorat -Kantor Perwakilan http://perwakilan.jatimprov.go.idPelaksana Harian Badan Narkotika http://bnp.jatimprov.go.idRumah Sakit Jiwa Menur -Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Saiful Anwar

http://www.rssamalang.com

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soedono

-

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo

http://rsudrsoetomo.jatimprov.go.id

Rumah Sakit Umum Daerah Haji http://rsuhaji.jatimprov.go.idSatuan Polisi Pamong Praja -

Page 84: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

63KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Nama SKPD Alamat WebsiteSekretariat Daerah http://jdih.jatimprov.go.id

http://birohumas.jatimprov.go.idhttp://ro-ekonomi.jatimprov.go.idhttp://ro-organisasi.jatimprov.go.id

Sekretariat Dewan Pengurus KORPRI Provinsi

http://korpri.jatimprov.go.id

Sekretariat DPRD http://dprd.jatimprov.go.idSekretariat Komisi Informasi Publik Daerah

http://kip.jatimprov.go.id

Sekretariat Komisi Penyiaran Indonesia Daerah

http://www.kpidjatim

Sumber: Dinas Kominfo Pemprov Jatim.

Sedangkan dari 38 Daerah Tingkat II di Jawa Timur yang terdiri dari 29 Kabupaten dan 9 Kota, hanya 1 kabupaten saja yang belum memiliki alamat elektronik (website) yakni kabupaten Sampang Madura. Sementara 37 kabupaten/kota lainnya sudah memiliki website. Berikut adalah daftar kabupaten/kota di Propinvi Jawa Timur yang telah memiliki website di lingkungan pemerintahannya.

Table 5.2. Daftar Alamat Website Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa TimurNo Nama Daerah Alamat Website1 Kabupaten Banyuwangi http://www.banyuwangikab.go.id/ 2 Kabupaten Madiun http://www.madiunkab.go.id/

Kabupaten Ponorogo http://www.ponorogo.go.id/3 Kabupaten Magetan http://www.magetankab.go.id/4 Kabupaten Pacitan http://www.pacitankab.go.id/5 Kabupaten Ngawi http://www.ngawikab.go.id/6 Kabupaten Bangkalan http://www.bangkalankab.go.id/7 Kabupaten Kediri http://www.kedirikab.go.id8 Kabupaten Bondowoso http://www.bondowosokab.go.id/9 Kabupaten Blitar http://www.blitarkab.go.id/10 Kabupaten Trenggalek http://www.trenggalekkab.go.id/11 Kabupaten Tulungagung http://www.tulungagung.go.id/12 Kabupaten Nganjuk http://www.nganjukkab.go.id/13 Kabupaten Situbondo http://www.situbondokab.go.id/14 Kabupaten Malang http://www.malangkab.go.id/

Page 85: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

64KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

No Nama Daerah Alamat Website15 Kabupaten Jember http://www.jemberkab.go.id/16 Kabupaten Sumenep http://www.sumenep.go.id/17 Kabupaten Pasuruan http://www.pasuruankab.go.id/18 Kabupaten Pamekasan http://www.pamekasan.go.id/19 Kabupaten Probolinggo http://www.probolinggokab.go.id/21 Kabupaten Lumajang http://www.lumajang.go.id/22 Kabupaten Bojonegoro http://www.bojonegoro.go.id/23 Kabupaten Tuban http://www.tuban.go.id/24 Kabupaten Lamongan http://www.lamongan.go.id/25 Kabupaten Sidoarjo http://www.sidoarjokab.go.id/26 Kabupaten Sampang -27 Kabupaten Mojokerto http://www.mojokertokab.go.id/28 Kabupaten Gresik http://www.gresik.go.id/29 Kabupaten Jombang http://www.jombangkab.go.id/30 Kota Mojokerto http://www.mojokertokota.go.id/31 Kota Surabaya http://www.surabaya.go.id/32 Kota Madiun http://www.madiunkota.go.id/33 Kota Blitar http://www.blitar.go.id/34 Kota Malang http://www.malangkota.go.id/ 35 Kota Batu http://www.batukota.go.id/36 Kota Pasuruan http://www.pasuruan.go.id/37 Kota Kediri http://www.kotakediri.go.id/38 Kota Probolinggo http://www.probolinggokota.go.id/

Sumber: Dinas Kominfo Pemprov Jatim.

Ketika Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 hadir, pemerintah Provinsi Jawa Timur menyambutnya secara responsif karena menganggap bahwa ruh dari Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik tersebut sejalan dengan kebijakan yang telah dijalankan oleh Pemprov Jatim selama ini. Pemprov Jatim tinggal menyesuaikan saja dengan undang-undang yang ada. Hal ini yang mungkin dapat menjelaskan berbagai capaian tentang implementasi keterbukaan informasi publik di Jawa Timur yang oleh Komisi Informasi Pusat dinilai sebagai provinsi terbaik nomor satu di Indonesia dalam hal pelaksanaan keterbukaan informasi publik melalui realisasi jumlah PPID dan memberikan pelayanan terbaik bidang informasi pelayanan publik.

Untuk mendorong Jawa Timur sebagai model bagi pengembangan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 di Indonesia,

Page 86: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

65KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Komisi Informasi Jawa Timur secara aktif juga melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap SKPD di lingkungan Pemprov Jawa Timur dan Kabupaten/Kota di Jawa Timur agar memiliki standard layanan informasi yang baik. Untuk mewujudkan hal ini, Komisi Informasi Jawa Timur membentuk Forum PPID yang beranggotakan seluruh SKPD di jajaran Pemprov Jawa Timur dan Pemerintahan Kabupaten/Kota di Jawa Timur baik SKPD tersebut sudah membentuk PPID ataupun belum. Yang jelas Komisi Informasi Jawa Timur memberikan pembekalan kepada setiap perwakilan PPID ataupun SKPD untuk membuat standard pelayanan informasi yang baik. Harapan dari Ketua Komisi Informasi Jawa Timur, Djoko Tetuko, kalau hal ini terwujud, maka dalam waktu 10 tahun Jawa Timur akan menjadi provinsi yang benar-benar baik tata kelola pemerintahannya yang transparan, terbuka dan akuntabel4.

Namun implementasi keterbukaan informasi publik bukan sebatas seperti yang dipahami dan seperti yang telah dilakukan pemerintah selama ini. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 merupakan undang-undang yang cukup kompleks. Di dalamnya tidak hanya mengatur hak publik atas informasi, akan tetapi juga konsekuensi-konsekuensi dari tidak dipenuhinya hak informasi atas publik. Meski Pemprov Jawa Timur telah berupaya memberikan informasi publik, namun tak urung sengketa informasi publik tetap terjadi juga.

5.1.1. Kendala KelembagaanKendala atas keterbukaan informasi kepada publik di provinsi Jawa Timur terutama berasal dari badan publik, dimana dalam hal ini adalah pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik pada dasarnya adalah perubahan paradigma dalam pelayanan publik oleh badan publik. Kalau tadinya badan publik hanya bertanggungjawab secara internal, dengan adanya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik maka badan publik harus pula mempertanggungjawabkan kegiatannya kepada masyarakat secara eksternal. Berbagai informasi yang menyangkut kegiatan badan publik yang semula hanya menjadi bagian di dalam badan publik itu sendiri, sekarang harus disampaikan secara terbuka kepada publik.

4Wawancara dengan Djoko Tetuko, Ketua Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur tanggal 9 Desember 2011.

Page 87: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

66KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Masa dua tahun diberlakukannya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dari masa diundangkannya, merupakan masa yang terlalu singkat bagi badan publik untuk melakukan penyesuaian dan melakukan persiapan terkait dengan pelaksanaan undang-undang tersebut. Maka ketika undang-undang tersebut diberlakukan, secara internal badan publik belumlah siap untuk melaksanakannya, sementara permintaan informasi publik oleh komponen masyarakat sudah mulai berjalan.

Sampai pada titik ini, rutinisasi prosedur dan fungsi pelayanan dan penyediaan informasi publik masih belum optimal. Artinya, sebagian besar tata organisasi internal sudah terbentuk, namun pada saat yang sama interaksi antara PPID dengan SKPD belum sepenuhnya terlembaga. Waktu dua tahun sejak diberlakukannya Undang-undang KIP belum sampai pada pembentukan sikap: pelaksanaan fungsi pelayanan informasi publik dan interaksi yang relatif kontinyu belum terlembaga maksimal. Dengan kata lain, proses intitusionalisasi atau pelembagaan itu belum menyentuh dimensi value-infusion dan reification. Keduanya merujuk pada situasi dimana kedua belah pihak – pemda dan publik – sama-sama menghayati bahwa fungsi dan interaksi keduanya dalam mewujudkan keterbukaan informasi publik ada untuk tujuan lebih luas, yakni perbaikan sistem. Meskipun demikian, dari sisi para pejabat terkait, komitmen untuk menuju pada situasi yang ideal harus dipisahkan. Komitmen itu akan mendorong percepatan proses institusionalisasi keterbukaan informasi.

Di tengah-tengah centang perentangnya sistem birokrasi dan carut marutnya sistem pendokumentasian, maka permintaan informasi publik menjadi sesuatu yang menakutkan bagi badan publik. Apalagi ketika pertama kali Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik ini disosialisasikan, wacana dominan yang muncul adalah badan publik dapat disangketakan dan dapat dipidanakan terkait dengan informasi publik yang tidak diberikan/disembunyikan. Kondisi ini menjadikan badan publik sebagai pesakitan yang harus ditelanjangi atau terpaksa menelanjangi diri. Dapat dimengerti kalau kemudian banyak dari badan publik yang bersikap defensif terhadap permintaan informasi publik yang ditujukan pada instansinya.

Ketidaksiapan internal menciptakan ketakutan tersendiri bagi badan publik untuk memberikan informasinya kepada publik karena kekhawatiran kalau informasi yang diberikan justru akan menimbulkan

Page 88: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

67KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

persoalan atau kesulitan bagi diri dan instansinya. Kalaupun ingin memberikan informasi, seringkali masih terbentur pada persoalan teknis mengenai penafsiran informasi mana yang boleh dan informasi mana yang tidak boleh disampaikan. Pada akhirnya semua itu bergantung dan kembali pada kebijakan pimpinan.

Kekhawatiran badan publik atas kemungkinan munculnya kesulitan bagi diri mereka sendiri mengindikasikan, sekali lagi, mengindikasikan bahwa proses value-infusion dan reifikasi belumlah tercapai. Untuk itu, unit teknis di lingkungan SKPD memerlukan suatu standard operating procedure (SOP) terkait dengan layanan informasi publik ini khususnya rincian teknis mengenai informasi-informasi yang diwajibkan, informasi yang serta merta, informasi secara berkala dan informasi yang dikecualikan. Pendekatan ini kurang lebih bersifat formal. Namun ini tak menutup kemungkinan bahwa di masa mendatang pedoman formal itu bisa menjadi peluang untuk mengembangkan proses institusionalisasi.

Hal ini diperlukan agar pelaksana teknis memiliki pedoman dalam memberikan layanan informasi tanpa harus menafsirkan, berdebat, atau meminta petunjuk atasan atas informasi yang diminta. Tak terkecuali, rincian teknis informasi juga yang terkait dengan anggaran dan keuangan, mana yang harus/bisa disampaikan dan mana yang dikecualikan/tidak boleh disampaikan. Kalaupun ada yang harus disampaikan, format pelaporan keuangan yang seperti apakah yang seharusnya disampaikan kepada publik? Hal ini dilakukan untuk menghindari hal-hal yang dapat menyulitkan pemberi informasi karena ketidaksamaan persepsi dalam format pelaporan keuangan yang diketahui dan disampaikan pada publik.

Dapat disimpulkan bahwa persoalan sebenarnya adalah pada rincian teknis informasi yang harus diberikan dan kesiapan dari badan publik untuk menyiapkan dan menyampaikan informasi tersebut kepada publik. Kalau semua informasi badan publik sudah disampaikan secara terbuka, niscaya tidak akan terjadi sangketa informasi terkait dengan badan publik, dan tidak ada demo terhadap badan publik atau pejabat publik karena semua informasi sudah disampaikan secara terbuka.

Walaupun implementasi keterbukaan informasi publik di Jawa Timur masih memiliki beberapa kendala terkait dengan informasi publik itu sendiri, pemohon informasi, dan badan publik sebagai

Page 89: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

68KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

penyedia informasi, namun peluang bagi terciptanya implementasi keterbukaan informasi publik yang lebih baik masih terbuka lebar. Terlalu dini untuk mengatakan implementasi keterbukaan publik telah gagal, apalagi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 baru satu tahun lebih. Semua pihak yang berkompeten masih dalam masa transisi dalam konfigurasi menuju masyarakat yang terbuka. Baik masyarakat, komisi informasi, dan badan publik masih memerlukan saling penyesuaian dalam menerapkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik agar semuanya dapat berjalan dengan lancar sesuai yang diharapkan. Oleh karena itulah berbagai upaya perlu dilakukan oleh pihak yang berkompeten untuk memperlancar implementasi keterbukaan informasi publik yang kongkretnya adalah: 1) upaya untuk lebih mengoperasionalkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dalam bentuk pelaksanaan teknis dan standard operation procedure (SOP) pelaksanaan pelayanan informasi publik; 2) mengedukasi masyarakat dalam hal permohonan informasi publik; dan 3) melatih perangkat PPID dalam pelayanan informasi.

5.1.2. Kendala SubstantifSebagaimana telah disinggung pada bab 4 di atas, selama Mei

2010 hingga November 2011 tercatat ada 191 sangketa informasi yang masuk ke Komisi Informasi Jawa Timur. Besarnya jumlah sangketa informasi yang masuk menjadi suatu indikasi adanya kesenjangan dalam pemahaman terhadap pokok-pokok yang disengketakan. Sebagai ilustrasi beberapa masalah implementasi keterbukaan informasi publik di Jawa Timur adalah berikut5:

Sangketa informasi antara Ketua DPRD Kediri dengan LSM a. Forum Masyarakat Transparasi Kediri mengenai permintaan salinan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHK) BPK pengelolaan APBD tahun 2009-2010. Menurut FMT Kediri laporan penggunaan dan hasil audit pengelolaan APBD bukan rahasia dan bisa diketahui publik, namun Ketua DPRD tidak mau memberikannya.

5Kompilasi data sangketa informasi yang diperoleh dari Focus Group Discussion tanggal 8 Desember 2011, arsip sangketa informasi KIP Jatim serta keterangan dari wakil Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur dari salah seorang nara sumber FGD tanggal 9 Desember 2011.

Page 90: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

69KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Sangketa informasi antara Pemerintah Kota Malang dengan b. LSM Malang Corruption Watch (MCW) tentang penjabaran APBD 2011. Pemkot Malang tidak memberikan dengan alasan APBD produk bersama dengan DPRD sehingga pengajuannya seharusnya ke DPRD, lagi pula informasi yang diminta tentang penjabaran APBD 2011 terlalu banyak, seharusnya yang spesifik saja.Sangketa informasi antara 18 SKPD di lingkungan Pemerintah c. Daerah Tuban dengan LSM Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran (FITRA) dan LSM Bina Swagiri tentang Rencana Kerja Anggaran (RKA) dan Laporan Pelaksanaan Anggaran (LPA) tahun 2009 -2010 di masing-masing SKPD. Alasan tidak diberikannya informasi atas RKA dan LPA masing-masing SKPD karena tidak ada izin/perintah dari Bupati dan Sekda.Sangketa informasi antara 13 SKPD di lingkungan Pemerintah d. Daerah Sumenep dengan LSM Gerakan Bersama Rakyat (Gebrak) Sumenep tentang Daftar Pelaksanaan Anggaran (DPA) tahun 2010-2011, SPJ tahun 2010 dan dokumen kontrak. Alasan tidak diberikannya permintaan ini karena permintaannya dianggap tidak lazim.

Ilustrasi di atas merupakan beberapa contoh dari sangketa informasi publik yang melibatkan komponen masyarakat dengan badan publik sebagai identifikasi awal terhadap kendala atas implementasi keterbukaan informasi publik. Setidaknya ada tiga ranah yang dapat diidentifikasi dalam melihat faktor yang menjadi kendala dalam implementasi keterbukaan informasi publik. Pertama adalah ranah dari informasi publik itu sendiri, kedua adalah ranah dari pemohon informasi publik, dan ketiga adalah ranah dari badan publik sebagai pihak yang memiliki informasi publik.

Ranah yang paling banyak disangketakan dalam sangketa informasi publik adalah ranah informasi yang menyangkut keuangan atau anggaran. Ilustrasi di atas semuanya masuk dalam website keuangan dan anggaran, seperti Penjabaran APBD, laporan penggunaan dan hasil audit pengelolaan APBD, Rencana Kerja Anggaran (RKA) dan Laporan Pelaksanaan Anggaran (LPA), Daftar Pelaksanaan Anggaran (DPA),

Page 91: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

70KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Surat Pertanggung Jawaban (SPJ), Dokumen kontrak, penerima bantuan sosial, dan proses lelang suatu proyek, Surat Perintah Kerja (SPK) dan sejenisnya. Masalah yang menyangkut keuangan dan anggaran adalah masalah sensitif karena dapat menimbulkan banyak implikasi.

Hasil diskusi maupun wawancara dengan nara sumber dari komponen masyarakat dan pejabat badan publik/SKPD, menunjukkan belum adanya kesamaan persepsi mengenai informasi mana saja dari keuangan atau anggaran yang dapat diberikan pada masyarakat. Komponen masyarakat berpendapat bahwa dokumen anggaran apapun bentuknya merupakan informasi publik. Sedangkan pejabat badan publik berpendapat bahwa dokumen anggaran merupakan dokumen rahasia dan dikecualikan meski UU Nomor 14 Tahun 2008 menyatakannya sebagai informasi publik.

Ada beberapa aspek substantif dan teknis dalam kaitannya dengan keuangan dan anggaran. Secara substantif, masalah keuangan dan anggaran merupakan hal yang harus dijaga informasinya dan menjadi kewenangan dari pengelola keuangan untuk menjaganya. Pertimbangannya adalah kekhawatiran terjadinya implikasi yang tidak diharapkan apabila informasi terkait keuangan dan anggaran ini disampaikan kepada publik dan menjadi dokumen publik. Tidak setiap komponen masyarakat dapat membaca dan memiliki pengetahuan serta pemahaman tentang logika anggaran yang disusun oleh dinas pemerintah. Misalnya saja pengadaan barang dan jasa, setiap SKPD mungkin mengajukan barang yang sama tapi dengan anggaran yang berbeda. Apabila dokumen ini dibuka ke masyarakat umum dan komponen masyarakat memperbandingkan pada masing-masing SKPD, dikhawatirkan akan menimbulkan salah pengertian dan menyulitkan SKPD bersangkutan. Oleh karennya dalam kategori ini, informasi tentang keuangan dan anggaran menjadi sesuatu yang bersifat rahasia dan bukan menjadi informasi publik.

Sedangkan secara teknis yang menyangkut masalah keuangan dan anggaran adalah yang termasuk kategori informasi-informasi mana dari anggaran dan keuangan yang bisa diberikan pada publik sebagai informasi publik. Apakah informasi itu meliputi keuangan dan anggaran secara makro, ataukah hingga detail rincian dari keuangan dan anggaran tersebut. Demikian pula keuangan dan anggaran yang masih dalam perencanaan dengan kemungkinan perubahan, ataukah

Page 92: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

71KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

yang memang sudah menjadi rencana anggaran yang akan dilaksanakan. Namun sepanjang sudah diaudit oleh badan yang berwenang, secara teknis badan publik tidak berkeberatan memberikan kepada masyarakat informasi mengenai keuangan sejauh ada kejelasan informasi keuangan dan anggaran apa yang diminta dan akan dipergunakan untuk apa.

Masalah yang kedua adalah yang terkait dengan pemohon informasi publik. Meski Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 ditujukan untuk segenap komponen masyarakat dari berbagai lapisan masyarakat dalam kerangka mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut menentukan dalam kebijakan publik, namun pada kenyataannya hanya komponen masyarakat tertentu saja yang menggunakan hak konstitusional yang dijamin undang-undang ini mendapatkan informasi publik. Ilustrasi yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa komponen masyarakat yang banyak menggunakan hak atas informasi ini adalah lembaga swadaya masyarakat.

Delapan puluh persen kasus sangketa informasi di Jawa Timur melibatkan LSM dan didominasi oleh LSM lokal seperti: Pusat Studi Kebijakan Anggaran Jawa Timur (PUSAKA JATIM), Bangkalan Corruption Watch (BCW), Gerakan Bersama Rakyat (GEBRAK) Sumenep, Malang Corruption Watch (MCW), Forum Masyarakat Transparasi Kediri (FMT Kediri), Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran (FITRA), Lapesdam NU, dan Bina Swagiri. Sebagai contoh, 18 perkara sangketa informasi yang ditangani KIP Jatim pada tahun 2010, 17 perkara adalah merupakan perkara yang diajukan oleh 4 LSM (Bangkalan Corruption Watch, Gebrak Sumenep, Pusaka Bangkalan, dan Fitra Tuban). Hanya 1 perkara yang diajukan oleh individu.

Kondisi semacam ini membuat SKPD dari badan publik mempertanyakan motivasi dari LSM-LSM ini untuk mendapatkan informasi. Di samping curiga terhadap motivasi para LSM yang mengajukan informasi, informasi yang diminta pun sering menyulitkan SKPD badan publik itu untuk menyiapkannya. Misalnya saja permintaan informasi yang diajukan oleh Bangkalan Corruption Wacth kepada Dinas Sosial Provinsi Jatim. Data yang diminta sangat banyak, di antaranya adalah (1) Data jumlah pengungsi Sampit Kalimantan Tengah dan Sambas Kalimantan Barat tahun 2004 – 2005, (2) Data jumlah pengungsi penerima Bantuan Terminasi tahun 2004-2005, (3) Data jumlah pengungsi

Page 93: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

72KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

penerima Bantuan Pemulangan tahun 2004-2005, (4) Data besaran dana yang diberikan setiap Kepala Keluarga ke Pengungsi Sampit Kalteng dan Sambas Kalimantan Barat tahun 2004-2005, (5) Data Petunjuk Teknis Operasional (PTO) Penyerahan bantuan Terminasi dan Pemulangan Pengungsi Sampit Kalteng dan Sambas Kalbar th. 2004-2005, dan (6) Data jumlah penerima bantuan lauk-pauk dan beras pengungsi Sampit Kalteng dan Sambas Kalbar tahun 2004-2005. Karena Dinas Sosial Pemprov Jatim merasa terlalu banyak data yang diminta dan harus dicari, maka permohonan informasi tersebut tidak ditanggapi sehingga terjadi sangketa informasi publik.

Selain hal-hal di atas, masalah terkait dengan pemohon informasi publik adalah, pemohon informasi publik seringkali tidak jelas kepada siapa permohonan informasi publik itu ditujukan, tidak jelas pula jenis atau klasifikasi informasi yang dimohonkan, dan kesalahan dalam prosedur pengajuan permohonan. Hal-hal semacam ini pada akhirnya menimbulkan potensi dalam sangketa informasi publik.

Temuan ini mengindikasikan juga bahwa problem institusionalisasi tidak hanya terbatas pada sisi pemda dan badan publiknya saja, tetapi problem itu juga muncul pada sisi publik yang meminta informasi. Ekpektasi yang dikenakan pada masing-masing pihak belum bisa terprediksi sebagaimana idealnya. Namun, pemahaman tentang sisi permintaan dan karakter publik (individual dan kolektif) sebagai warganegara yang memerlukan informasi publik memerlukan penelitian yang berbeda.

5.2. Kota SurabayaSebagaimana diuraikan pada bab 4, Pemerintah Kota (Pemkot)

Surabaya telah melakukan serangkaian upaya dalam rangka implementasi undang-undang mengenai Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dari sisi kelembagaan, Walikota Surabaya telah mengeluarkan SK mengenai Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) serta menetapkan struktur PPID. Pada aspek subtantif terkait ketersediaan informasi, Pemkot Surabaya telah melakukan pengelolaan dan penyajian data mengenai hampir seluruh program maupun aktivitas pemkot Surabaya berbasis elektronik. Sisi aksesibilitas dalam arti keleluasaan masyarakat untuk memperoleh informasi-informasi tersebut juga telah diperhatikan

Page 94: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

73KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

dengan cara memanfaatkan jalur internet. Saat ini Pemkot Surabaya telah berupaya mengintegrasikan berbagai alamat website yang dimiliki oleh masing-masing SKPD di lingkungannya dalam satu alamat website yakni www.surabaya.go.id. Melalui penyatuan ini diharapkan masyarakat akan lebih mudah mengakses informasi mengenai beragam program maupun aktivitas Pemkot Surabaya. Jalur lain yang digunakan dalam penyajian informasi kepada publik adalah media cetak dan televisi serta tatap muka secara langsung.

Beragam upaya yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya dalam rangka memberikan akses informasi seluas-seluasnya kepada publik telah memberikan hasil yang positif setidaknya hingga saat ini. Misalnya, Ketua KID Jatim, Djoko Tetuko, memberikan keterangan bahwa sampai saat ini KID Jatim belum menerima adanya pengaduan terkait problem akses suatu informasi dari elemen masyarakat terhadap Pemkot Surabaya. Beberapa elemen masyarakat, terutama dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), juga memberikan apresiasi terhadap upaya Pemkot Surabaya untuk mengimplementasikan undang-undang KIP dan mengakui bahwa sejauh ini tidak ada persoalan yang cukup signifikan mengenai aksesibilitas terhadap informasi publik di Kota Surabaya.

Meski secara garis besar Pemkot Surabaya mendapat penilaian yang positif dalam hal keterbukaan informasi, terdapat dua persoalan yang sering dikeluhkan oleh masyarakat dan LSM terhadap Pemkot Surabaya. Pertama, Pemkot Surabaya dipandang terlalu sulit untuk mengeluarkan informasi yang terkait dengan realisasi anggaran sehingga terkesan tidak transparan. Menurut salah satu pengurus LAPESDAM NU kekurangan dalam implementasi undang-undang KIP di Surabaya adalah keengganan para pemangku kebijakan untuk membuka data jika sudah berkaitan dengan persoalan anggaran.6 Kedua, seringkali pejabat PPID tidak dapat berfungsi dengan baik dalam melayani permintaan data-data yang tidak tersedia di website Pemkot Surabaya. Menurut keterangan dari beberapa LSM, hal ini dibuktikan dengan seringnya para pemohon informasi tidak mendapat keterangan apapun terkait dengan permohonon mereka dalam waktu yang telah ditentukan sesuai undang-undang. Selain itu, jawaban

6Keterangan ini diperoleh pada saat diselenggarakannya Focus Group Discussion tanggal 3 Desember 2011. Salah seorang pengurus LSM Lapesdam NU menceritakan betapa sulitnya meminta informasi yang terkait dengan anggaran di setiap SKPD. Hal yang sama sebenarnya juga dialami oleh LSM Fitra yang melakukan uji akses informasi yang juga kesulitan untuk mendapatkan informasi tentang anggaran dari badan publik.

Page 95: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

74KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

yang diberikan oleh pihak Pemkot kadangkala tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh para pemohon.

Berdasarkan dua persoalan yang dirasakan oleh masyarakat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kendala implementasi undang-undang KIP pada Pemkot Surabaya terkait dua aspek sekaligus, yakni di bidang kelembagaan, termasuk di dalamnya persoalan teknis mengenai pembagian tugas dan fungsi dalam pengelolaan informasi, serta problema substansi berkaitan dengan ketersediaan suatu informasi. Keterlambatan untuk memberikan jawaban atas kebutuhan informasi serta ketidaksesuaian antara jawaban dengan maksud pemohon informasi misalnya, memiliki dua kemungkinan penyebabnya: apakah berkaitan dengan tidak maksimalnya peran PPID pembantu di masing-masing Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) dalam merespon suatu permohonan informasi atau ketiadaan informasi yang dimohon. Selain itu, adanya kesulitan untuk mengakses beberapa informasi, seperti realisasi anggaran dan detail anggaran suatu proyek pembangunan, memberikan indikasi adanya persoalan dalam hal identifikasi dan kategorisasi data yang terbuka dan tertutup.

5.2.1. Kendala Kelembagaan

Konfirmasi akar persoalan yang menyangkut aspek kelembagaan diatas diperoleh dari keterangan Dinas Kominfo Kota Surabaya. Dari penjelasan Siti Hindun7, Kepala Seksi Kelembagaan dan Komunikasi, kedua persoalan tersebut terutama amat berkaitan dengan tidak adanya suatu peraturan yang dapat dijadikan pedoman dalam pengelolaan informasi dan dokumentasi di lingkungan Pemkot Surabaya. Diakui bahwa meski SK tentang PPID telah terbit, hingga saat ini Pemkot Surabaya belum memiliki peraturan yang spesifik menjelaskan bagaimana alur kerja dalam penyajian informasi terkait pelaksanaan undang-undang nomor 14. Hal ini menyebabkan dua masalah pada sisi internal Pemkot Surabaya. Akibat langsung dari ketiadaan peraturan tersebut adalah hampir semua SKPD memiliki alur kerja yang berlainan mengenai penyajian informasi.

Pada Badan Perencanaan Pembangunan Kota (BAPPEKO), contohnya, setiap bagian merasa bahwa tugas pengelolaan dan penyajian informasi telah selesai setelah mereka melakukan proses upload pada

7Keterangan staf Dinas Kominfo Kota Surabaya pada acara Focus Group Discussion tanggal 8 Desember 2011.

Page 96: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

75KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

website milik mereka. Sedangkan di Dinas Pekerjaan Umum (DPU), penyajian informasi ditangani oleh bagian-bagian yang berbeda dengan cara-cara yang berlainan, baik itu melalui jalur internet, media dan tatap muka.

Kedua, karena ketiadaan pedoman, hingga saat ini tidak semua PPID pembantu di setiap SKPD membentuk struktur yang jelas di lingkungannnya masing-masing mengenai siapa yang bertanggung jawab apa berkaitan dengan pengelolaan informasi. Jika ada permohonan informasi yang mengajukan permohonan, pada umumnya PPID pembantu meresponnya secara ad hoc dengan jalan menyerahkan tanggung jawab pada bagian humas atau langsung menunjuk personal pada bagian tertentu dalam instansinya untuk menyediakan informasi yang dimohon. Tetapi disadari bahwa tidak semua permohonan informasi dapat diatasi dengan cara yang demikian. Persoalan muncul terutama ketika data yang dimohon bersifat kompleks karena melibatkan beberapa bagian dalam SKPD.8 Tidak jarang personil yang ditunjuk untuk melayani suatu permohonan informasi kesulitan jika harus mengakses atau meminta data dari bagian lain di luar tempat atau bagian di mana dia berkerja. Kesulitan yang sama juga terjadi jika ternyata personil yang ditunjuk memiliki pangkat yang rendah.

Konsekuensi dari dua permasalahan ini adalah respon permohonan informasi menjadi sedikit lama karena ketiadaan mekanisme kerja yang jelas serta proses yang sedikit panjang. Dalam beberapa hal, terbatasnya data yang dapat diperoleh pada akhirnya menyebabkan jawaban yang diberikan tidaklah tidak sesuai dengan permintaan atau kurang memuaskan bagi pemohon informasi.

Keterbatasan sumber daya manusia juga menjadi problem kelembagaan di lingkungan Pemkot Surabaya dalam menjalan keterbukaan informasi publik. Sumber daya manusia yang terbatas menyebabkan terkadang tugas-tugas pengumpulan informasi menjadi terbengkalai. Hingga saat ini, aktivitas pendokumentasian dan pengelolaan informasi sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 diberikan sebagai tugas tambahan pada setiap bagian di lingkungan Pemkot Surabaya. Akibatnya, para pegawai

8Wawancara dengan staf Dinas Kominfo Kota Surabaya tanggal 5 Desember 2011

Page 97: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

76KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

di lingkungan Pemkot Surabaya pada umumnya menganggap kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan implementasi dari undang-undang tersebut sebagai beban. Mereka rata-rata memahami bahwa keterbukaan informasi merupakan satu bentuk tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat. Tetapi tugas-tugas dan kewajiban yang telah mereka emban sudah demikian kompleks sehingga adanya undang-undang KIP ini justru menambah tanggung jawab mereka. Terdapat pemikiran untuk merekrut pegawai honorer untuk mengelola informasi di setiap SKPD. Namun usulan ini terkendala oleh persoalan berikutnya dalam implentasi undang-undang KIP, yaitu anggaran.

Anggaran merupakan titik persoalan berikutnya dalam implementasi undang-undang KIP di Pemkot Surabaya. Saat ini tidak ada pos anggaran belanja daerah yang secara spesifik dialokasikan untuk menunjang aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan implementasi undang-undang KIP. Akibatnya, ketika tuntutan penyediaan informasi bagi publik semakin tinggi, Pemkot Surabaya tidak dapat merekrut pegawai honorer yang khusus mengelola dan melayani permohonan informasi dari masyarakat. Selama ini, sebagaimana yang diuraikan oleh Dinas Kominfo Kota, para pegawai tidak mendapatkan tunjangan tambahan sebagai bentuk reward dalam melaksanakan undang-undang KIP. Konsekuensinya, para pegawai menjadikan tugas-tugas terkait implementasi undang-undang KIP sebagai prioritas kedua. Mereka akan melaksanakan fungsi pengelolaan dan pelayanan informasi jika tanggung jawab utama mereka sudah terlaksana.

5.2.2. Kendala SubstantifPersoalan berikut yang muncul dalam hal keterbukaan informasi

kepada publik terkait erat dengan ketiadaan peraturan mengenai pedoman pengelolaan informasi. Tanpa adanya pedoman tersebut, pihak aparatur pemerintah mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi mana informasi yang bersifat rahasia atau mana yang terbuka dan dapat diakes oleh publik. Hal ini terlihat misalnya dari keterangan yang diberikan oleh Bagian Perencanaan Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Saat ini DPU sedang merancang sebuah software yang dapat menyajikan beragam informasi yang kemungkinan dibutuhkan masyarakat. Tetapi hingga saat ini DPU sendiri belum memutuskan informasi apa yang nantinya dapat diakses oleh masyarakat awam secara bebas dan bagian mana yang tetap bersifat

Page 98: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

77KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

rahasia atau hanya untuk diketahui khalayak terbatas. Pertimbangan DPU Kota tentang pentingnya pengklasifikasian data seperti ini ternyata serupa dengan alasan yang ditemukan pada level provinsi. DPU Kota beranggapan bahwa kadangkala keterbukaan informasi yang terlalu lebar justru akan menjadi bumerang karena akan menimbulkan kesulitan-kesulitan terhadap dinas sendiri. Mereka takut jika masyarakat secara detail mengawasi setiap proyek, maka kekurangan sedikit saja yang tidak sesuai dengan perencanaan akan menimbulkan kritikan yang berujung pada munculnya masalah serius. Pihak DPU juga sedikit menaruh kecurigaan bahwa keterbukaan informasi seluas-luasnya justru akan dimanfaatkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat untuk memunculkan persoalan-persoalan yang dapat mengganggu kinerja DPU sendiri.

Namun demikian, terdapat beberapa SKPD yang tidak memiliki persoalan untuk membuka informasi yang mereka miliki. Di BAPPEKO contohnya, ada anggapan bahwa segala informasi yang mereka miliki dapat diketahui oleh masyarakat. Jika suatu informasi tidak dapat ditemukan di website milik BAPPEKO, masyarakat dapat datang secara langsung dan bertatap muka dengan pihak terkait untuk meminta penjelasan. Dari serangkaian wawancara pada instansi di lingkungan Pemkot Surabaya, terlihat kecenderungan bahwa anggota PPID telah mencapai konsensus untuk tidak mempermasalahkan permohonan informasi apapun selama permohonan informasi tersebut tidak berhubungan dengan masalah anggaran.

Selain berasal dari sisi penyedia informasi, yang dalam hal ini adalah Pemkot Surabaya, kendala implementasi undang-undang KIP berkaitan dengan sisi substantif juga berasal dari sisi pemohon informasi. Saat ini banyak dari anggota masyarakat dan LSM yang belum paham benar bagaimana alur permohonan informasi. Pada umumnya mereka beranggapan bahwa proses permohonan informasi terkait undang-undang KIP adalah sama sebagaimana proses permintaan keterangan pada bagian Hubungan Masyarakat (Humas). Hal ini berakibat masyarakat dan LSM cenderung menginginkan segala informasi yang dimohon dapat tersedia secara cepat. Selain itu, sebagaimana dikeluhkan oleh Dinas Kominfo Kota Surabaya, banyak dari permohonan informasi yang diajukan tidaklah spesifik baik itu terkait dengan jenih data yang diminta maupun kepada siapa permohonan tersebut diajukan. Kasus seperti ini sering terjadi dan konsekuensinya semakin menambah kesulitan bagi penyedia

Page 99: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

78KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

informasi untuk memberikan jawaban sesuai yang dimaksud oleh si pemohon. Tidak jarang pihak Pemkot Surabaya harus menjawab berulang kali permohonan informasi dari pihak yang sama berkenaan dengan satu informasi yang sebenarnya sama hanya dikarenakan keterangan yang diberikan Pemkot Surabaya pada permohonan sebelumnya tidaklah memuaskan si pemohon.

5.3. Peluang ImplementasiDi samping berbagai kendala tersebut, terdapat peluang-peluang untuk meningkatkan kualitas implementasi undang-undang KIP di lingkungan pemprov Jawa Timur dan Pemkot Surabaya. Beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain (1) memperjelas prosedur pengelolaan serta pelayanan informasi dan dokumentasi sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 14 tahun 2008; (2) meningkatkan sarana maupun prasarana untuk mendukung keterbukaan informasi publik, (3) melakukan edukasi baik untuk pegawai di lingkungan Pemda maupun elemen masyarakat baik itu mengenai undang-undang KIP secara khusus maupun secara lebih luas tentang isu keterbukaan informasi publik.

Untuk Jawa Timur dan Kota Surabaya, peluang penyempurnaan implementasi itu terlihat dari kesiapan keorganisasian Pemda Provinsi dan Pemda Kota. Komitmen tinggi dari para pejabat di kedua level tersebut menjadi faktor penting bagi kemajuan dan kesuksesan implementasi UU KIP. Namun kendala-kendala yang bersifat organisasional dan substantif perlu ditangani dengan seksama. Pada tahap berikutnya, agenda prioritas adalah bagaimana mendorong proses institusionalisasi itu sehingga pihak pemda dan publik mampu melihat kepentingan yang lebih besar dari sekadar menjalankan fungsi teknis, yakni bahwa keterbukaan informasi itu adalah untuk kebaikan kolektif – bukan untuk kepentingan kelompok semata.

5.4. KesimpulanMeskipun pelembagaan kebebasan informasi publik di Provinsi

Jawa Timur maupun di Kota Surabaya relatif berjalan dengan baik namun upaya untuk menjadikan kebebasan informasi publik sebagai bagian dari sistem nilai (values) yang melekat dalam daily politics penyelenggaraan pemerintahan masih mengalami berbagai kendala. Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, penekanan pada values ini penting karena

Page 100: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

79KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

membangun keterbukaan informasi publik bukan semata-mata menerapkan regulasi melainkan juga merubah paradigma aparat maupun masyarakat untuk mewujudkan tatakelola pemerintahan yang lebih baik. Dalam konteks ini harus diakui bahwa pengembangan keterbukaan informasi publik di Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya masih sebatas pada tataran prosedural. Di sisi lain upaya pengembangan keterbukaan informasi secara lebih substantif dan mengakar menghadapi sejumlah kendala baik dari aspek kelembagaan maupun substantif.

Kendala terberat pada aspek kelembagaan terutama terkait dengan kesiapan pemerintah dalam menerapkan akuntabilitas publik. Secara kelembagaan, kesiapan pemerintah dalam menerapkan akuntabilitas publik antara lain ditunjukkan dengan adanya pedoman yang jelas tentang tatakelola informasi. Dengan adanya pedoman atau standard operating procedure (SOP) tersebut kekhawatiran akan disinsentif penerapan KIP baik terhadap individu maupun institusi dapat dikesampingkan. Sementara publik memperoleh kejelasan akan alur dan proses dalam mengakses informasi, serta tersedianya informasi secara lebih cepat dan akurat. Belum tersedianya pedoman tatakelola informasi yang baku serta sistem informasi yang terintegrasi menjadi sandungan utama pelaksanaan KIP di Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya.

Persoalan lain dalam lingkup kelembagaan adalah minimnya anggaran. Guna mengembangkan sistem akuntabilitas publik diperlukan dukungan anggaran yang memadai. Penerapan KIP bagaimanapun mendorong munculnya aktivitas-aktivitas baru yang memerlukan dukungan anggaran. Selama ini proses pendokumentasian dan penyajian informasi cenderung hanya menjadi sub kegiatan dengan tingkat dukungan yang minimal, sehingga meskipun telah terdapat PPID pembantu di masing-masing SKPD namun tidak menjamin ketersediaan dan layanan informasi berlangsung optimal.

Persoalan kelembagaan juga sangat berpengaruh terhadap aspek substansi KIP. Di Jawa Timur dan Kota Surabaya, ketiadaan SOP tatakelola informasi menyebabkan ketidakjelasan klasifikasi informasi, akibatnya reduksi informasi menjadi tidak terhindarkan. Informasi tentang alokasi anggaran publik misalnya, dianggap sebagai barang rahasia yang harus ditutup rapat-rapat. Sementara untuk isu-isu dengan tingkat sensitivitas yang lebih rendah juga masih bergantung pada

Page 101: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

80KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

keputusan pimpinan. Hal-hal demikian sebenarnya dapat diselesaikan jika saja telah ada SOP yang jelas dan dipahami oleh seluruh aparat.

Di samping terkait dengan materi informasi, kendala substantif lainnya adalah terkait dengan pemohon informasi. Harus diakui bahwa meskipun tuntutan masyarakat terhadap akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan terus menguat, namun pada level praktis sedikit sekali masyarakat yang peduli dengan informasi-informasi kepemerintahan. Sehingga tidak mengherankan jika sejauh ini hanya LSM yang secara aktif menggunakan haknya atas informasi. Di satu sisi hal ini dapat dipahami mengingat dokumen-dokumen pemerintahan tidak cukup mudah dipahami oleh masyarakat. Namun dominasi akses informasi oleh LSM cenderung memperburuk relasi antara LSM dengan pemerintah, terlebih apabila keterbukaan informasi menjadi argumen untuk mencari-cari kesalahan pemerintah. Lebih jauh, hal-hal semacam ini berpotensi menimbulkan sengketa informasi publik.

Di tengah berbagai kendala tersebut, pengembangan KIP di Provinsi Jawa Timur maupun Kota Surabaya sesungguhnya memiliki potensi keberhasilan yang sangat kuat. Pada sisi supply, instrumen kelembagaan telah cukup terbangun dengan baik, mulai dari PPID, PPID pembantu, hingga keberadaan perangkat pendukung seperti website yang telah dimiliki oleh hampir seluruh badan publik di kedua daerah. Potensi tersebut didukung pula oleh tingginya komitmen pucuk pimpinan untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintahan. Sementara pada sisi demand, densitas Civil Society Organization (CSO) termasuk jaringan-jaringan media massa yang sangat aktif menjadi katalis bagi pengembangan KIP di kedua wilayah tersebut.

Page 102: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

81KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

CAPAIAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PROVINSI PAPUA BARAT

DAN KABUPATEN MANOKWARI

Dinamika persoalan Papua Barat dan Manokwari mengerucut pada dua isu penting, yaitu persoalan politik dan etnisitas. Kekuasaan dan konfigurasi etnis menyatu dan menjelma menjadi otoritas yang memiliki peran sentral di Papua Barat dan Manokwari. Hal ini dimaknai sebagai celah dan kesempatan untuk menguasai resources (dana otsus, dana tambahan infrastruktur dan sumber daya alam1) dengan menggunakan media kekuasaan formal. Melalui kekuasaan formal, resources lebih mungkin diakses dan dipergunakan untuk kepentingan pengembangan komunitas lokal (baca: etnis). Realitas inilah yang kemudian mendorong etnis tertentu menguasai dan mendudukkan wakilnya sebagai bentuk representasi kekuasaan lokal. Setidaknya di Papua Barat dan Manokwari terdapat dua istilah penting yang mengatasnamakan SOS (Semua Orang Sorong) dan A3 (Aifat, Aitinyo dan Ayamaru) meskipun pada praktiknya, kekuasaan tetap didominasi oleh elit lokal.2

Sementara itu, di tengah kucuran dana otonomi khusus yang mencapai Rp1,353 triliun dan dana tambahan infrastruktur sebesar Rp600 miliar pada tahun 20113, keberadaan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

1Potensi sumber daya alam di Papua dan Papua Barat sangat besar. Hal ini mendorong banyak perusahaan multinasional mengambil peran di Papua dan Papua Barat. Tercatat Freeport menguasai Papua Tengah, Merauke Integrated Food and Estad (MIFEE) beroperasi di Papua Selatan, BP di wilayah Papua Barat, Binladen Group di Papua Selatan. Perusahaan-perusahaan besar ini menjadi salah satu primadona elit lokal dalam membangun koneksi untuk memperoleh sumber daya (uang) bagi kepentingan pribadi. Cermati http://politik.kompasiana.com/2011/11/03/selamatkan-papua-dari-para-bandit/2Otonomi khusus mendorong pembentukan wilayah-wilayah pemekaran baru. Wilayah pemekaran baru merupakan peluang bagi elit lokal dalam mengeruk keuntungan melalui penguasaan sumber-sumber ekonomi dan pengembangan jejaring fam di pemerintahan. Cermati artikel Suryawan, I Ngurah, 2011, Komin Tipu Komin: Elit Lokal dalam Dinamika Otonomi Khusus dan Pemekaran Daerah di Papua, hal: 23http://economy.okezone.com/read/2011/01/11/20/412701/papua-papua-barat-dapat-dana-otsus-infrastruktur-di-2011. Diakses tanggal 25 Desember 2011

B A B 6

Page 103: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

82KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

dirasakan sebagai sebuah “ancaman”. Kewajiban melaporkan penggunaan anggaran, jenis kegiatan hingga perjanjian dengan pihak ketiga menjadi persoalan tersendiri bagi pengambil kebijakan di Papua Barat dan Manokwari. Iklim demokrasi yang belum sepenuhnya berkembang menempatkan isu keterbukaan informasi sebagai isu yang kurang mendapat perhatian, bahkan mengancam. Setidaknya, isu keterbukaan dianggap tidak memiliki manfaat langsung terhadap birokrasi di Papua Barat dan Manokwari. UU KIP yang seharusnya terimplementasi sejak tahun 2010, hingga saat ini belum dapat dijalankan di Papua Barat dan Manokwari. Persoalan teknis mulai dari sosialisasi regulasi dari pihak-pihak terkait sampai dengan resistensi badan publik pemerintah daerah dan rendahnya kesadaran masyarakat adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab tersendatnya pemberlakuan UU KIP.

6.1. Kondisi Umum dan Seting Sosial6.1.1. Kondisi Demografis

Provinsi Papua Barat merupakan wilayah pemekaran dari Provinsi Papua. Secara administratif, wilayah Provinsi Papua Barat terdiri atas 10 (sepuluh) kabupaten dan 1 (satu) kotamadya dan wilayah Kabupaten Manokwari terdiri dari 29 kecamatan dengan luas wilayah 14.250,94 km2.

Tabel 6.1Pembagian Daerah Administratif menurut Kabupaten/Kota

di Provinsi Papua Barat Tahun 20114

Kabupaten/ Kota IbukotaJumlah

KecamatanLuas(km2)

FakFak FakFak 9 11.036,48Kaimana Kaimana 7 16.241,84Teluk Wondama Wasior 13 3.959,53Teluk Bintuni Bintuni 24 20.840,83Manokwari Manokwari 29 14.250,94Sorong Selatan Teminabuan 13 3.946,94Sorong Aimas 18 7.415,29Raja Ampat Waisai 17 8.034,44Tambrauw Pef 7 5.179,65Maybrat 11 5.461,69Kota Sorong Sorong 6 656,64

4Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua Barat tahun 2011

Page 104: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

83KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Tabel 6.2Pembagian Daerah Administratif menurut Kecamatan,

Kelurahan dan Kampung di Kabupaten Manokwari Tahun 20115

Kecamatan Jumlah Kelurahan

JumlahKampung

Ransiki1. - 13

Momi Waren2. - 7

Nenei3. - 7Sururey4. - 12Tahota5. - 4Didohu6. - 14Dataran Isim7. - 12Anggi8. - 13Taige9. - 11Anggi Gida10. - 8Membey11. - 6

Oransbari12. - 14

Warmare 13. - 18

Prafi 14. - 16Menyambouw15. - 50Hingk16. - 29Catubouw17. - 21Manokwari Barat18. 6 4Manokwari Timur19. 1 6Manokwari Utara20. - 23 Manokwari Selatan21. 2 16Testega22. - 15Tanah Rubu23. - 24Kebar24. - 8Senopi25. - 3Amberbaken26. - 7Mubrani27. - 7Masni28. - 32Sidey29. - 12

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua Barat, 2011

5Ibid

Page 105: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

84KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Komposisi penduduk berdasarkan latar belakang agama merujuk data Tahun 2011 menunjukkan bahwa persentase terbesar pemeluk agama adalah Kristen Protestan (53,76%), selanjutnya Islam (38,4%), Kristen Katolik (7,03%), Hindu (0,61%), Budha (0,08%), Konghucu (0,01%), dan lainnya (0,11%).6

Sementara itu, tingkat pendidikan di Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Manokwari tergolong masih rendah. Berdasarkan data BPS (2011), pada tahun 2010 jumlah penduduk di Provinsi Papua Barat yang mampu menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SLTP hanya mencapai 4,13%. Persentase itupun lebih rendah dibandingkan persentase di tahun 2009 yang mencapai 4,48% dan bahkan di tahun 2008 yang pada saat itu mencapai 5,83%. Jumlah penduduk yang berhasil menyelesaikan pendidikan di tingkat SMU dan perguruan tinggi pun rendah. Pada tahun 2010, hanya 4,76% putra-putri di Provinsi Papua Barat yang berhasil menamatkan pendidikan di tingkat SMU dan hanya 1,97% yang melanjutkan ke perguruan tinggi.

Isu-isu penyelewengan kekuasaan oleh para elit kurang mendapatkan perhatian masyarakat sipil, sekalipun gerakan anti korupsi telah menjadi perhatian nasional. Nampaknya masih sulit untuk membangun critical mass yang diharapkan mampu melakukan fungsi kontrol dan penekan terhadap pemerintah.

6.1.2. Kultur Birokrasi Badan publik pemerintah daerah di Papua Barat dan Manokwari

sangat kental dengan ikatan etnis, dikenal stereotype SOS (Semua Orang Sorong) atau A3 (Aifat, Aitinyo dan Ayamaru).7 Pertarungan antar suku dalam struktur badan publik pemerintah daerah semakin nyata seiring bergulirnya otonomi khusus yang memicu terbentuknya wilayah pemekaran baru8 dan terbukanya peluang bagi elit-elit lokal untuk

6Ibid 7Selain itu, dalam konteks struktur etnis, keberadaan suku dan marga di wilayah Papua Barat dan Manokwari dapat dibedakan menjadi beberapa bagian yakni suku Arfak yang menjadi representasi masyarakat asli yang tinggal di wilayah Manokwari tepatnya di sekitar Pegunungan Arfak dan terbagi dalam lima Kecamatan yaitu Anggi, Warmare, Oransbari, Ransiki, dan Minyambou dan kota Manokwari. Suku Arfak terdiri atas empat sub-suku yaitu Hatam, Moule, Sough, dan Meyakh8Semangat pemekaran wilayah lebih merupakan upaya untuk menurunkan anggaran Otsus. Berbagai cara dilakukan diantaranya manipulasi data kependudukan di level kampung, sehingga kampung memenuhi syarat untuk dimekarkan.

Page 106: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

85KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

menguasai aspek ekonomi politik, pembentukan jejaring suku dan marga/fam di badan publik pemerintah daerah dan perebutan jabatan-jabatan kunci di pemerintahan daerah.9

Dari sudut pandang implementasi, keberadaan badan publik pemerintah daerah di Papua Barat dan Manokwari belum menjangkau fungsi dan tanggung jawab tersebut secara baik. Beberapa persoalan yang menghadang antara lain berkaitan dengan aspek sosio-kultural yang memposisikan badan publik pemerintah daerah sebagai kepanjangan tangan dari suku dan marga tertentu.

Dalam kasus lain, kontestasi politik lokal melalui pintu pemilihan kepala daerah juga berdampak kontra produktif. Misalnya, banyak ruang kantor kurang berfungsi optimal serta rotasi atau mutasi pejabat yang didasarkan pada afiliasi politik yang berbeda. Pergantian pejabat di lingkungan badan publik pemerintah daerah pun dilakukan tanpa melalui syarat yang ketat. Itulah bagian dari politisasi birokrasi sebagai dampak langsung pemilukada.10 Beberapa aspek di atas secara tidak langsung mengakibatkan badan publik pemerintah daerah tidak dapat melakukan fungsinya seperti fungsi pelayanan minimal untuk memenuhi kebutuhan publik. Benturan kepentingan antar suku, marga dan afiliasi politik mengakibatkan badan publik pemerintah daerah menjadi lumpuh.

6.1.3. Konteks Relasi KekuasaanRelasi kuasa yang terjalin antara state, intermediary actors, dan civil society

berjalan tidak seimbang. Hegemoni pemerintah yang menguasai berbagai resources ekonomi, politik dan fam (etnis) menjadi pengendali dalam berbagai lini kehidupan di Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Manokwari. Aktor intermediary, sebut saja LSM, akademisi dan media yang diharapkan memiliki peran kontrol dan penekan terhadap pemerintah ternyata justru pasif dan terkungkung karena derasnya tekanan. Tekanan itu muncul dalam bentuk ancaman dan pembreidelan khususnya kepada media massa yang yang ditujukan untuk menimbulkan ketakutan dan efek jera kepada pihak-pihak yang vokal dan kritis terlebih terkait dengan distribusi informasi UU KIP.

9Suryawan, I Ngurah, 2011, Komin Tipu Komin: Elit Lokal dalam Dinamika Otonomi Khusus dan Pemekaran Daerah di Papua, hal: 210Pergantian pejabat tersebut mengakibatkan kekecewaan pejabat lama sehingga mereka tidak pernah datang ke kantor.

Page 107: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

86KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Terkait UU KIP yang sejak awal diposisikan sebagai “musuh” pemerintah terkesan disakralkan penyebarluasannya.11

Lebih lanjut, media pun tidak memiliki keberanian menginformasikan kepada publik tentang eksistensi UU KIP dan mengedukasi publik tentang isi serta tujuan utama implementasi UU KIP tersebut. Oleh karenanya, minimnya peran aktor intermediary menyebabkan defisit informasi pemerintah ke masyarakat.

6.2. Provinsi Papua BaratPasca pemberlakuan UU KIP tahun 2010, secara faktual baik di

Provinsi Papua Barat maupun Kabupaten Manokwari banyak ditemukan masalah dalam pelaksanaan regulasi tersebut. Terdapat kesamaan faktor yang menyebabkan hal tersebut, baik di level provinsi maupun kabupaten, yakni (a) faktor teknis, (b) politis, (c) kultur birokrasi, (d) lemahnya political will serta (e) respon masyarakat. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan proses dan produk keterbukaan informasi publik belum juga menjadi sebuah bentuk pelayanan publik, kebutuhan maupun tuntutan dari masyarakat di Provinsi Papua Barat pada umumnya.

Di Provinsi Papua Barat, keberadaan dan pemberlakuan UU KIP tidak begitu terdengar, baik di level eksekutif maupun legislatif. Oleh karenanya, instrumen regulasi KIP belum dikenal dan indikator capaian seperti yang diatur dalam UU KIP pun tidak tersedia.

6.2.1. Capaian KelembagaanCapaian kelembagaan terkait pelaksanaan keterbukaan informasi publik

setidaknya dapat dilacak pada 3 aspek yakni pembentukan KID, penunjukkan PPID, dan perumusan juklak dan juknis. Dari ketiga aspek tersebut, secara cepat dapat disimpulkan bahwa Provinsi Papua Barat belum melakukan apa-apa. Capaian kelembagaan di Provinsi Papua Barat terkait UU KIP hanya sampai pada proses sosialisasi yang bersifat sangat terbatas. Sementara itu, pembentukan Komisi Informasi Daerah (KID) di level provinsi yang diwajibkan oleh UU KIP ini pun belum menjadi agenda prioritas pemerintah. Upaya-upaya instalasi KID di level provinsi hanya sampai pada forum diskusi yang hingga saat ini belum ada tindakan ataupun kegiatan lanjutan yang

11Berdasarkan hasil FGD di tingkat Kabupaten pada 10 Desember 2011 di Manokwari, Papua Barat

Page 108: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

87KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

serius dilakukan. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) pun belum terbentuk di masing-masing badan publik, terutama dinas-dinas di level pemerintahan provinsi. Apalagi jika menyinggung juklak dan juknis terkait pelaksanaan keterbukaan informasi publik.

6.2.2. Capaian SubstantifSecara substantif, upaya pengenalan atau sosialisasi UU KIP sudah

pernah dilakukan walaupun kini belum ada tindakan ataupun kegiatan lanjutan. Sosialisasi pertama diprakarsai oleh jaringan civil society (LSM, akademisi dan masyarakat sipil) pada tanggal 26 Maret 2010 di Mansinam Beach Hotel. Dalam kegiatan tersebut, jaringan civil society berusaha mendorong terbentuknya Komisi Informasi Provinsi di Papua Barat. Namun, pertemuan tersebut hanya berhenti di ruang diskusi karena beberapa aktor kunci di level pemerintah Provinsi Papua Barat yang pada saat itu diundang tidak berkenan hadir sehingga inisiatif tersebut menjadi pudar. Sementara sosialisasi kedua diprakarsai oleh pemerintah daerah Provinsi Papua Barat bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Komisi Informasi Pusat di Aston Niuw Hotel pada tanggal 3 September 2011. Forum tersebut menghadirkan narasumber dari Kominfo dan KIP namun tidak berlangsung sesuai rencana karena bencana gempa bumi yang melanda Manokwari dan sekitarnya yang mengakibatkan pertemuan tersebut berakhir setelah makan siang. Pada akhirnya kedua sosialisasi awal tersebut gagal dan berakibat pada tidak adanya pemahaman tentang keberadaan UU KIP, berikut hak dan kewajiban yang melekat di badan publik Provinsi Papua Barat.

Sementara itu, keterbatasan sosialisasi ini juga melingkupi kalangan internal DPRD Provinsi. Banyak anggota dewan yang justru belum mengetahui keberadaan UU KIP. Ketidaktahuan mereka menyebabkan tidak teragendakannya penyusunan perda Provinsi yang berisi juklak/juknis yang akan dijadikan acuan praktis peneraparan UU KIP. Fakta tersebut diperkuat dengan pernyataan dari angota Komisi D DPRD Provinsi Papua Barat yang mengakui kendala implementasi UU KIP di Papua Barat.

“Saya secara pribadi tahu tentang UU ini. Namun banyak teman-teman anggota dewan yang belum mengetahuinya. Ini adalah masalah bagi kita, soalnya saya tahu UU ini juga karena

Page 109: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

88KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

rasa keingintahuan saya pribadi. Karena itu, saya pribadi siap dengan kosekuensi ini. Tapi saya tidak tahu sikap teman-teman yang lain, karena kita disini ada mekanismenya, saya tidak bisa memutuskannya sendirian. Perda dan juklak/juknis juga masih belum dibuat, jadi memang masih belum bisa diimplementasikan untuk saat ini”.12

Kegagalan kedua sosialisasi di awal ini coba diatasi melalui sosialisasi

lanjutan UU KIP, sebagaimana pengakuan staf Biro Humas Provinsi Papua Barat. Sosialisasi lanjutan itu direncanakan pada tanggal 14 Desember 2011 dengan mengundang stakeholders terkait.

“Kami akan mengadakan sosialisasi lanjutan. Sekarang kami akan menitikberatkan pada substansi informasi. Ini berbeda dengan sosialisasi pertama yang lebih fokus ke pengenalan. Kita akan melibatkan lebih banyak stakeholder sehingga keterbukaan informasi dapat berjalan” 13.

Dengan demikian, capaian substantif yang ada di Provinsi Papua Barat hanya sampai pada tingkat pendistribusian informasi terkait UU KIP, sementara intensitas dan ketajaman substansinya masih sangat terbatas. Pemahaman dasar mengenai keterbukaan informasi publik belum terbangun secara optimal. Informasi publik selama ini hanya difokuskan, misalnya, pada informasi-informasi yang berkaitan dengan kegiatan pemerintah dan pencairan dana proposal dan sertifikasi guru. Selain itu, keterbukaan dipahami hanya sebatas upaya pemasangan informasi di papan pengumuman. Belum ada pemahaman utuh bahwa keterbukaan berarti kesediaan untuk mempublikasikan secara luas segala informasi yang berkaitan dengan publik melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik.

Dalam mendorong keterbukaan informasi publik, media massa sebenarnya sangat diharapkan perannya. Namun media komunikasi di Provinsi Papua Barat ternyata berperan secara substantif dan informatif. Faktanya, keberadaan media-media komunikasi tidak dimanfaatkan secara optimal untuk mendistribusikan informasi publik, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan regulasi, APBD dan tentunya dokumen-dokumen publik lainnya sebagai bentuk akuntabilitas pemerintah. Wajar

12Diskusi tim peneliti tanggal 8 Desember 2011 di ruang kerja Komisi D Provinsi Papua Barat13Wawancara tanggal 9 Desember 2011

Page 110: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

89KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

jika keberadaan UU KIP pun belum diketahui masyarakat Papua Barat pada umumnya, bahkan DPRD Provinsi sekalipun.

Mempertimbangkan tidak berfungsinya media di Provinsi Papua Barat, penting untuk menelusuri jenis media yang sering digunakan untuk berkomunikasi dan bargaining position media di hadapan penguasa. Terdapat beberapa media komunikasi yang digunakan di Provinsi Papua Barat, di antaranya adalah Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI), website pemerintah daerah provinsi dan pengumuman tempel yang terdapat di masing-masing dinas.

LPP RRI adalah media yang paling sering dipergunakan sebagai rujukan dalam menyampaikan informasi. Namun, terkait dengan sosialisasi keberadaan UU KIP, LPP RRI tidak pernah dimanfaatkan sebagai media untuk mendistribusikan informasi tersebut. Selain itu, LPP RRI juga tidak digunakan untuk menginformasikan hal-hal substantif berkaitan dengan keterbukaan informasi publik, misalkan informasi tentang tender, laporan pertanggungjawaban penggunaan dana oleh pemerintah provinsi, dan rincian pos-pos beserta besarannya dalam APBD provinsi. Faktor rendahnya political will pemerintah daerah untuk membuka kran keterbukaan informasi publik berdampak pada tidak berjalannya fungsi media komunikasi publik tersebut. Secara institusi, LPP RRI tidak memiliki daya tawar cukup untuk menjadi agen dan pendorong keterbukaan informasi publik di Provinsi Papua Barat.

Selain radio, pemerintah provinsi juga memiliki website yang sebenarnya berfungsi sangat efektif sebagai distributor informasi. Tetapi faktanya, website pemerintah daerah pun miskin informasi. Jenis informasi yang termuat di dalamnya pun tidak memuat hal-hal substantif terkait informasi publik sebagaimana diatur dalam UU KIP. Beberapa informasi yang ada hanya berkaitan dengan pemberitaan-pemberitaan biasa, seperti euforia Trio Papua dalam Timnas Sea Games. Tautan-tautan yang ditampilkan pun hanya berisi laman kosong yang tidak menyediakan informasi atau data yang penting untuk diketahui publik. Dokumen dan informasi-informasi publik yang sangat penting, khususnya hal-hal berkaitan dengan penggunaan dana yang seharusnya wajib dipublikasikan, justru tidak termuat dengan baik.

Website pemerintah daerah di level provinsi tidak lantas mendorong dinas-dinas di level provinsi melakukan hal yang sama. Kenyataanya,

Page 111: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

90KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

belum satupun dinas di Provinsi Papua Barat yang memiliki website sebagai sarana untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi-informasi publik. Alhasil, untuk dapat mengakses dokumen-dokumen publik, khususnya yang terkait dengan penggunaan dana, masyarakat harus secara langsung mendatangi dinas terkait dan membutuhkan proses yang lama untuk bisa mengaksesnya. Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan laporan pertanggungjawaban keuangan seperti Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) pun hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu, misalnya orang-orang yang memiliki kedekatan personal dengan pejabat. Jika tidak, bisa dipastikan dokumen tersebut tidak dapat diakses oleh masyarakat yang memintanya.

Sementara itu, informasi yang ditampilkan langsung melalui pengumuman tempel lebih banyak berisi pengumuman tentang proposal pencairan dana14 serta pengumuman sertifikasi guru15. Selain itu, papan pengumuman di badan publik hanya berisi informasi internal seperti pembuatan seragam bagi karyawan, jadwal kegiatan olahraga dan pengumuman libur cuti bersama.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa capaian substantif terkait implementasi keterbukaan informasi publik di Provinsi Papua Barat masih sangat terbatas. Informasi yang disajikan adalah informasi yang hanya berkaitan dengan urusan internal pemerintah sendiri. Sementara berbagai informasi yang langsung berkaitan dengan kepentingan publik belum tersedia untuk bisa diakses secara luas oleh publik. Informasi yang spesifik ini hanya bisa diakses dengan menggunakan jalur informal berbasis hubungan personal.

6.3. Kabupaten ManokwariDi level badan publik Pemerintah Kabupaten Manokwari, capaian

keterbukaan informasi publik pun masih belum ada. Embrio prinsip tranparansi di level pemerintahan kabupaten pun belum tercipta. Sama halnya dengan pemerintah Provinsi Papua Barat, upaya-upaya keterbukaan informasi publik selama ini hanyalah sebatas pada penyampaian informasi

14Sebagian besar pengumuman di badan publik pemerintah daerah hanya berisi pengumuman tentang penerimaan proposal dan teknis pengajuan proposal15Pengumuman sertifikasi yang berisi nama, asal sekolah dan status ditempelkan di dinas Pendidikan Kabupaten

Page 112: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

91KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

yang berkaitan dengan kegiatan atau rutinitas badan publik, sertifikasi guru dan beberapa hal terkait teknis pengajuan proposal.

6.3.1. Capaian KelembagaanDari sisi kelembagaan, capaian keterbukaan informasi di Kabupaten

Mankwari hampir menyerupai capaian Provinsi Papua Barat. Pada tiga aspek kelembagaan yang dikaji, yakni KID, PPID dan Juklak atau Juknis, tim peneliti tidak menemukan adanya inisiatif yang serius ke arah instalasinya. Pada saat kajian ini dilakukan, rencana pembentukan Komisi Informasi Daerah (KID) masih terbengkalai. Apalagi Pemerintah daerah melihat bahwa pembentukan KID ini bersifat opsional (tidak diwajibkan) bagi kabupaten/kota. Akibatnya, tidak ada daya dorong dari pemerintah untuk memenuhi agenda tersebut.

Jika pembentukan KID bisa diabaikan karena bersifat opsional, pelaksanaan keterbukaan informasi sangat tergantung pada ada dan bekerjanya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Pada aspek ini, seperti halnya di level pemerintah provinsi, PPID juga belum terbentuk di masing-masing badan publik, termasuk dinas-dinas di level pemerintah kabupaten. Demikian halnya dengan instalasi juklak dan juknis yang detil terkait fasilitasi dan akselerasi pelaksanaan keterbukaan informasi publik. Semuanya masih jauh dari harapan dan mandat UU KIP.

6.3.2. Capaian substantifDengan instalasi kelembagaan yang sangat tertinggal, capaian

substantif menjadi satu-satunya harapan. Tanpa topangan kelembagaan sebagaimana dimandatkan UU KIP, Pemda sebenarnya bisa melakukan terobosan dalam melaksanakan keterbukaan informasi publik dengan mengelola serta menyediakan berbagai informasi yang bisa diakses oleh publik. Hal itu melekat dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Dalam konteks Kabupaten Manokwari, diperoleh informasi bahwa bahkan sosialisasi keberadaan UU KIP pun belum dilakukan dengan serius. Kemacetan sosialisasi ini disebabkan karena keawaman keberadaan UU KIP yang terjadi di level eksekutif sekaligus legislatif. Hanya ada segelintir orang yang pernah mendengar UU KIP tetapi tidak memahami secara substantif sehingga konsekuensi logis regulasi

Page 113: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

92KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

ini belum ditindaklanjuti. Begitupun Perda Kabupaten yang mengatur tentang juklak/juknis sebagai acuan praktis penerapan UU KIP pun belum ada.

Ketidaktahuan badan publik pemerintah daerah Manokwari tersebut lebih disebabkan adanya keengganan pejabat dan birokrat untuk belajar hal-hal baru.

“Mengajar orang papua itu berbeda dengan orang Jawa. Orang Papua harus didik dengan keras. Dia harus dipaksa. Sekolah misalnya, mereka harus dipaksa tinggal di kelas dan belajar. Tidak bisa dengan seenaknya, datang kalau mau ujian. Apa yang mereka bisa dapatkan? Demikian juga dengan Undang-Undang. Kalau mereka mengaku tidak tahu, mereka harus dipaksa untuk belajar agar tahu...”.16

Di sisi lain, terdapat kalkulasi pragmatis yang memperhitungkan aspek untung-rugi. Dalam beberapa kesempatan, para pejabat mengaku lebih mengenal UU Otsus dari pada UU KIP. Hal ini logis karena Otsus memberikan korelasi langsung berupa bantuan dana di beberapa bidang seperti infrasruktur, pendidikan, kesehatan dan perempuan. Sementara UU KIP memberikan beban tambahan berupa kewajiban untuk menyiapkan database informasi hingga melayani permohonan informasi publik bagi pemohon informasi publik.

Terkait peran dan penggunaan media, seperti halnya yang terjadi di level provinsi, proses komunikasi vertikal terkait publikasi informasi-informasi publik belum berjalan maksimal. Selama ini peran media relatif pasif dan lebih memilih menjadi partner penguasa. Media komunikasi yang digunakan di Kabupaten Manokwari seperti Radio Matoa tidak berfungsi untuk mempublikasikan informasi subtantif terkait keterbukaan informasi publik. Kendala yang sama dengan situasi yang dihadapi LPP RRI di level provinsi, mengakibatkan isu keterbukaan informasi publik tidak terdengar di Manokwari.

Selain radio, terdapat beberapa media cetak (surat kabar) yang eksis di Manokwari, yakni surat kabar Media Papua, surat kabar Cahaya Papua serta tabloid Noken. Namun, dengan kondisi tingkat pendidikan dan budaya membaca yang relatif rendah mengakibatkan surat kabar

16Wawancara dengan Pejabat Dinas Pendidikan dan Olahraga Kabupaten Manokwari, Selasa 6 Desember 2011

Page 114: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

93KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

di Manokwari ‘terpaksa’ hidup dari sokongan pemerintah daerah. Hal itu mendorong media bertindak pragmatis dengan lebih memilih posisi sebagai corong pemerintah daerah. Maka tidak heran apabila substansi pemberitaan hanya terfokus kepada kegiatan seremonial dan melupakan berita-berita kritis yang berkaitan dengan kinerja, akuntabilitas dan transparansi pemerintah daerah. Hal itu juga didukung oleh kondisi lokal yang memposisikan jurnalis pada posisi minim perlindungan dan rawan tindak kekerasan.

“...kita semua tahu kalau semua wartawan senior pernah dianiaya. Coba tanya ke pak Mulyadi . Beliau pasti tahu dan pernah mengalaminya. Ini akibatnya, koran jadi tidak pernah kritis, selalu hanya memuat kegiatan seremonial pemerintah daerah”17.

Kabupaten Manokwari menjadi salah satu kabupaten yang memiliki website selain Kota Sorong, Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Sorong Selatan. Jadi dari total kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Papua Barat, hanya ada tiga kabupaten dan satu kota yang telah memiliki laman website. Sementara tujuh kabupaten lainnya yakni Kabupaten Sorong, Fakfak, Raja Ampat, Teluk Bintuni, Teluk Wondama, Maybrat dan Tambrauw masih belum memiliki website18. Dari sisi content, website ini telah menyediakan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penggunaan dana seperti laporan pertanggungjawaban pemerintah daerah beserta seluruh dinas yang ada, walaupunAPBD kabupaten lagi-lagi tidak termuat dalam website dan lebih banyak memuat data yang berkaitan dengan potensi dan karakteristik daerah. Meskipun laporan-laporan pertanggungjawaban keuangan tersebut telah termuat di laman website, content di dalamnya belum lengkap dan kurang detail. Selanjutnya, data-data keuangan tersebut tidak dapat di cross check kebenarannya karena link-link ke dinas-dinas terkait tidak ada. Sama halnya dengan problem pada level provinsi, belum satu dinas pun di Kabupaten Manokwari yang memiliki website.

Kesulitan akses terhadap dokumen-dokumen keuangan juga terjadi di level kabupaten. Lagi-lagi, hanya orang-orang tertentu yang dapat

17Pernyataan peserta FGD tanggal 9 Desember 2011 di Aston Niu Hotel Manokwari18Data yang diambil dari website Provinsi Papua Barat, http://papuabaratprov.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=62&Itemid=72, diakses pada 14 Januari 2012

Page 115: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

94KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

mengakses dokumen keuangan. Orang-orang yang memiliki kedekatan personal dengan pejabat daerah dan orang-orang yang dianggap bisa memberikan keuntungan dipastikan akan mendapat ijin untuk mengakses dokumen keuangan. Jika tidak ada “kedekatan”, pintu akses akan tertutup rapat. Dengan kata lain, dokumen tersebut memang tidak terbuka untuk umum.

6.4. Kesimpulan Dari indikator capaian kelembagaan dan capaian substantif,

dapat disimpulkan bahwa Pemda Papua Barat dan Manokwari masih sangat tertinggal dalam mengimplementasikan keterbukaan informasi publik. Hal-hal yang elementer seperti sosialisasi untuk membangun pemahaman yang baik tentang UU KIP juga masih menemui kendala. Dengan instalasi kelembagaan yang sangat tertinggal, pelaksanaan keterbukaan informasi secara substantif juga masih sangat rendah. Oleh karena itu diperlukan langkah serius dan cepat untuk segera membentuk tatanan kelembagaan penopang lalu diikuti dengan upaya serius untuk melembagaan keterbukaan informasi sebagai bagian dari keharusan, bahkan kebutuhan dalam berpemerintahan.

Page 116: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

95KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

B A B 7

KENDALA DAN PELUANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PROVINSI PAPUA BARAT

DAN KABUPATEN MANOKWARI

Implementasi UU KIP di ranah supply, baik di Provinsi Papua Barat maupun Kabupaten Manokwari masih sangat terbatas dan lemah. Hal tersebut terbukti dengan masih sangat terbatasnya ruang aksesbilitas publik terhadap informasi. Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pelayanan publik, khususnya soal penggunaan dana, sulit diakses oleh masyarakat umum. Hanya pihak-pihak tertentu yang diijinkan mengakses dokumen-dokumen tersebut, seperti pejabat, kontraktor, pengusaha, investor, dan konsultan.1 Jikalau dokumen tersebut ada dan bisa diakses oleh publik, content yang tertera hanyalah informasi yang bersifat umum. Tidak terdapat informasi detail, dan tidak dapat di cross-check tingkat akurasinya. Tingkat aksesibilitas dan ruang transparansi juga masih rendah di mana penyediaan dokumen-dokumen publik, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan dana, hanya dilakukan secara pasif atau diberikan jika ada permintaan saja. Hal itupun dilakukan secara manual dan tidak dipublikasikan melalui media.

Terlepas dari minimnya produk dan proses transparansi informasi publik, ternyata pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan keterbukaan informasi publik pun berbeda. Isu keterbukaan informasi publik yang dipahami oleh kebanyakan pejabat publik hanya sebatas pada pengumuman program atau kegiatan dinas, terutama yang berkaitan dengan pengajuan proposal pendanaan dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Oleh karenanya, permintaan informasi publik pun cenderung pada bentuk praktik yang berkaitan dengan potensi/

1Selain beberapa pihak tersebut, faktor kedekatan personal sangat berpengaruh bagi aksesbilitas dokumen publik. Dokumen RAPBD dan Rancangan Peraturan Bupati misalnya, dapat diakses karena kedekatan personal dengan salah seorang anggota DPRD

Page 117: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

96KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

peluang pencairan dana melalui pengajuan proposal, pekerjaan (formasi pengangkatan pegawai honorer, sertifikasi pendidik/ guru), dan beasiswa.

7.1. Kendala ImplementasiTerdapat serangkaian faktor yang melatarbelakangi kelambanan, atau

bahkan keengganan, pemerintah daerah dan bahkan masyarakat dalam merespon UU KIP sehingga menghambat implementasi keterbukaan informasi publik, baik di Provinsi Papua Barat maupun Kabupaten Manokwari. Faktor-faktor tersebut terbagi dalam ranah supply dan demand.

7.1.1. Provinsi Papua Barat7.1.1.1. Kendala supply

Faktor-faktor penghambat dari sisi supply di antaranya, pertama persoalan teknis terkait sosialisasi. Minimnya sosialisasi menjadi isu awal yang dilontarkan. Pengakuan dari para informan, tidak adanya distribusi informasi instrumen regulasi yang akurat dari pemerintah pusat menjadi faktor penyebab ketidaktahuan pemerintah provinsi terkait UU KIP tersebut.2 Berdasarkan hasil observasi lapangan, beberapa badan publik pemerintah daerah di level provinsi mengaku tidak tahu menahu dan justru menanyakan tentang prosedur dan pola koordinasi distribusi informasi dari pusat ke daerah. Demikian pula dalam pemahaman para anggota DPRD di level provinsi, mereka merasa awam terhadap UU KIP tersebut. Eksekutif dan legislatifpun akhirnya saling menyalahkan terkait macetnya sosialisasi UU KIP di kalangan internal pemerintah sendiri.

Kedua, kultur birokrasi yang belum mendukung berlangsungnya good governance. Melihat adanya komunikasi yang tidak efektif antara eksekutif dan legislatif di level provinsi menandakan bahwa koordinasi internal pemerintah tidak terjalin dalam sistem yang baik. Kultur birokrasi yang demikian dinilai belum siap mendukung terbentuknya karakteristik formal good governance. Minimnya komunikasi menjadi salah satu indikator lemahnya

2Dalam beberapa kali kesempatan wawancara, para pejabat badan publik pemerintah daerah mengaku tidak mengetahui UU KIP dan beberapa di antaranya menanyakan apakah instrumen regulasi ini berlaku untuk wilayah Papua Barat. Selain itu mereka juga mengaku tidak mendapat tembusan dari pihak-pihak terkait dengan pengesahan UU KIP oleh pemerintah.

Page 118: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

97KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

sistem kontrol, serta check and balances. Selain itu, pada umumnya birokrasi di Provinsi Papua Barat belum memiliki sistem pelayanan publik yang efisien, struktur kelembagaan yang beragam, sistem pengawasan (auditor) publik yang independen, dan akuntabilitas penggunaan dana-dana publik.

Ketiga, birokrasi yang sangat bias etnis. Persoalan etnis dalam struktur badan pubik pemerintah Papua Barat dan Kabupaten Manokwari sebenarnya berawal dari penetrasi kekuasaan negara dalam struktur sosial-budaya masyarakat asli Papua Barat dan Manokwari. Dalam konteks ini, upaya negara untuk mengkoordinasikan suku dan marga dalam sistem pemerintahan diwujudkan dalam konsep kepala suku.3

Selanjutnya, berawal kepala suku-kepala suku inilah yang kemudian muncul sebagai elit lokal dan memiliki otoritas sangat kuat karena kepala suku biasanya juga menjadi tokoh agama dan memperoleh wewenang untuk mengatur suku dan marga oleh negara. Dalam realitas terkini, kepala suku kemudian didaulat sebagai kepala kampung yang mempunyai otoritas penuh dalam membagi sumber daya (uang).

Dalam konsep tradisional masyarakat Papua Barat dan Manokwari, konsep Bigman telah terbentuk.4Bigman adalah tokoh kunci dalam suku/marga yang memiliki resources untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat dalam satu suku atau antar suku. Bigman dapat berperan menjadi jembatan yang menghubungkan fam-fam dalam satu suku, antara fam dalam satu suku dengan fam dari suku lain serta fam-fam antar suku. Dalam konteks tradisional, Bigman inilah yang menjadi tokoh kunci dalam berbagai hal yang menyangkut dinamika kehidupan sosial dalam suku dan marga.

Kompleksitas persoalan tersebut kemudian menyeruak masuk ke dalam struktur badan publik pemerintah daerah. Kepala suku yang menjadi representasi elit lokal baru tidak mau memperjuangkan masyarakat dan menyebabkan tidak berfungsinya badan publik pemerintah daerah sebagai ujung tombak pelayanan publik.5

3Dalam realitas sosiologis masyarakat Papua, konsep kepala suku tidak dikenal sebagai figur pemimpin suku. Konsep kepala suku muncul mulai dari zaman penjajahan Belanda untuk memudahkan koordinasi dalam masyarakat di Papua Barat.4Konsep Bigman dikenal di bidang antropologi sebagai konsep kepemimpinan pria berwibawa. Konsep ini berawal dari terjemahan bebas dari istilah-istilah lokal yang dipergunakan untuk menandai orang-orang penting dalam struktur kemasyarakatan di kawasan Melanisia. Lacak lebih jauh dalam http\\ www.papuawebs.orgdlibs123mansoben03.pdf5Persoalan paling besar yang mempengaruhi roda birokrasi adalah penetrasi etnis (suku dan marga) yang

Page 119: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

98KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Lebih jauh, ketidaksiapan badan publik pemerintah daerah Papua Barat dan Manokwari menyongsong pemberlakuan UU KIP disebabkan oleh lemahnya political will dari pemerintah dan resistensi badan publik pemerintah daerah. Lemahnya political will disinyalir karena adanya rangkaian problema berantai yang dilakukan secara terus-menerus oleh badan publik pemerintah daerah. Sebut saja, tender-tender gelap (tender di bawah tangan) yang seringkali dilakukan oleh badan publik pemerintah daerah.6 Hal tersebut menjadi beban/hambatan psikologis bagi pejabat publik untuk membuka informasi kepada publik, khususnya informasi dan data terkait penggunaan dana-dana publik. Selain itu, lemahnya political will pun disebabkan karena kurangnya “kepedulian” dan “kemauan” baik dari pemerintah provinsi untuk mempelajari dan memahami isi dan kewajiban yang tertuang dalam UU KIP. Hal tersebut semakin diperparah oleh minimnya kapasitas eksekutif dan legislatif baik di tingkat provinsi dan kabupaten untuk memahami dan mengimplementasikan UU KIP.

Sementara itu, resistensi terlihat ketika badan publik pemerintah daerah membangun sistem imun bagi setiap regulasi yang dipandang tidak menguntungkan, termasuk UU KIP. Dalam konteks ini, badan publik pemerintah daerah cenderung menutup diri terhadap regulasi yang tidak menguntungkan, apalagi yang jelas-jelas merugikan “kenyamanan penguasa”. Resistensi tidak hanya terlihat dari keengganan pemerintah dalam membuka informasi publik, tetapi juga dari kuatnya ancaman dan tekanan yang ditujukan kepada media dan LSM.

7.1.1.2. Kendala DemandDari sisi demand, terhambatnya implementasi UU KIP disebabkan

karena lemahnya demand dan pressure dari masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena minimnya sosialisasi kepada masyarakat sipil akibat proses pengkerdilan peran media oleh pemerintah. Hal ini diperparah dengan lemahnya bargaining position LSM/NGO dalam memberdayakan masyarakat untuk memahami pentingnya implementasi UU KIP karena

dikombinasi dengan isu agama dan politik. Tiga hal itu secara faktual telah mempengaruhi sumberdaya yang dimiliki oleh badan pubik pemerintah daerah dan mengakibatkan kinerja yang kontraproduktif.6Dalam sebuah kesempatan menunggu waktu wawancara dengan Kepala Dinas PU Kabupaten Manokwari, peneliti secara langsung mendengarkan transaksi proyek .

Page 120: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

99KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

jumlah mereka yang sangat sedikit. Hanya segelintir LSM yang memberi perhatian pada isu ini dan tidak mendapatkan dukungan dari pihak lain, seperti akademisi dan media.

Minimnya pengetahuan di kalangan masyarakat, menyebabkan tingkat antusiasme tuntutan terkait aksesibilitas informasi publik menjadi sangat lemah sehingga tekanan minimal pada badan publik pun tidak terwujud. Pada cakupan lebih luas, kultur masyarakat yang ‘tidak sabar’, tidak mau belajar, selalu ingin mencari kemudahan tidak menumbuhkan kesadaran kritis. Praktik yang terjadi hanyalah tuntutan informasi terkait dengan hal-hal pencairan dana proposal yang masyarakat ajukan (pragmatisme).

Sementara itu, kondisi geografis pun turut menjadi faktor penyebab lemahnya demand dari masyarakat. Kondisi yang sulit dan akses yang relatif terbatas mengakibatkan publik susah untuk mengetahui dinamika perkembangan pemerintahan daerah terutama yang terkait dengan pelayanan publik. Kondisi geografis seperti jarak antar lokasi masyarakat dengan pusat pemerintahan juga menimbulkan masalah dalam pembangunan infrastruktur komunikasi.

7.1.2. Kabupaten Manokwari

7.1.2.1. Kendala SupplyFaktor-faktor yang menjadi kendala dalam implementasi UU KIP

di Kabupaten Manokwari senada dengan faktor-faktor penghambat di Provinsi Papua Barat. Pertama, masalah pendistribusian informasi terkait UU KIP. Tidak efektifnya komunikasi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten menyebabkan informasi terkait UU KIP tidak tersosialisasikan dengan baik sampai pada tingkat kabupaten. Beberapa badan publik pemerintah di level kabupaten, seperti Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Bappeda, dan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) menyatakan tidak tahu menahu perihal UU KIP tersebut. Ketidaktahuan tersebut disebabkan karena tidak adanya sosialisasi dari Pemerintah Provinsi Papua Barat.7 Keawaman yang dialami kebanyakan dinas pemerintah di level kabupaten pun diperparah dengan ketidaktahuan DPRD di tingkat kabupaten perihal regulasi tersebut. Badan legislatif yang seharusnya dituntut untuk memahami

7Berdasarkan pengakuan beberapa narasumber dari Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas PU, dan Bappeda Kabupaten Manokwari.

Page 121: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

100KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

dan mendistribusikan regulasi dari pemerintah pusat justru memiliki kapasitas yang minim dan tidak tahu-menahu perihal UU KIP tersebut.

Kedua, penetrasi etnis dalam birokrasi. Sama halnya dengan yang terjadi di Provinsi Papua Barat, birokrasi di Kabupaten Manokwari juga masih sangat bias etnis. Elit-elit lokal baru, seperti kepala suku yang memiliki berbagai sumberdaya ekonomi, relasi dan kekuasaan telah masuk ke dalam struktur badan publik pemerintah dan menempati posisi-posisi strategis. Sayangnya, fungsi kepala suku tidak lagi untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat karena kini kepala suku justru lebih terobsesi dan berorientasi pada kepentingan pragmatis. Risikonya, badan publik daerah justru tidak mampu menjadi ujung tombak pelayanan publik. Badan publik sibuk mengurus “kepentingannya” sendiri dan terkesan mensakralkan data-data yang mereka miliki, terutama dokumen-dokumen berkaitan dengan aliran dan penggunaan dana.

Ketiga, rendahnya political will yang disusul dengan derasnya tindakan koersif pemerintah. Sama halnya dengan yang terjadi di level provinsi, badan publik di Kabupaten Manokwari memiliki tingkat political will yang sangat rendah. Tingkat kesadaran dan kepedulian aktor eksekutif dan legislatif di level kabupaten untuk mengenal UU KIP sangat lemah. Dapat dikatakan UU KIP ini masih asing bagi mereka. Keengganan pun muncul disebabkan karena tidak bersedianya mereka untuk bersusah payah menyediakan data, terutama berkaitan dengan penggunaan dana. Terdapat beberapa dinas yang tidak berkenan memperlihatkan dokumen-dokumen tersebut, misalnya Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari, DPU Kabupaten Manokwari, terutama Bappeda8. Pemerintah daerah seakan mengacuhkan UU KIP ini karena tidak bersedia untuk “membuka diri” dan menganggap UU KIP ini sebagai “ancaman” kenyamanan yang selama ini berlangsung9.

8Tim peneliti mendapat penolakan wawancara dan izin mengakses data/dokuemn dari Bappeda Kabupaten Manokwari dengan alasan tim peneliti menyalahi prosedur perizinan, padahal tim telah membawa surat izin dari KESBANGPOLINMAS Provinsi. Resistensi sangat jelas terekspresikan oleh badan publik yang banyak menerima aliran dana bantuan, salah satunya Bappeda. 9Berdasar pengakuan awak media yang hadir dalam FGD tingkat kabupaten pada 10 Desember 2011 di Aston Niu Hotel, Manokwari (Papua Barat)

Page 122: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

101KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

7.1.2.2. Kendala demandSejalan dengan fakta yang terjadi di level provinsi, dalam ranah

demand, implementasi UU KIP di Kabupaten Manokwari juga disebabkan karena lemahnya demand dan pressure dari masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena lagi-lagi tidak adanya distribusi informasi yang terpadu di kalangan masyarakat. Pemerintah dan DPRD pun memilih untuk pasif dan tidak menjalankan fungsi mereka dalam mensosialisasikan UU KIP tersebut. Media pun cenderung bungkam akibat berbagai ancaman. Akibatnya, masyarakat tidak mendapat edukasi yang baik terkait UU KIP tersebut dan akhirnya menyebabkan tidak berfungsinya kontrol masyarakat. Peran LSM/NGO pun menjadi mandul karena tidak mendapatkan dukungan dari akademisi maupun pemerintah. Dampaknya adalah soliditas LSM pun semakin terpecah karena adanya konflik kepentingan terkait dengan persoalan praktis pencairan dana dari pemerintah daerah.

Selain itu, tidak adanya edukasi yang baik untuk masyarakat sipil terkait UU KIP pada akhirnya menciptakan “keacuhan masyarakat”. Muncul anggapan bahwa keterbukaan informasi publik tidaklah penting karena tidak memberikan dampak langsung bagi kehidupan mereka. Tingkat pendidikan dan kemauan masyarakat untuk mempelajari sesuatu pun terhitung rendah.

Aksesbilitas informasi yang dibutuhkan masyarakat hanyalah sebatas pada informasi dana-dana bantuan yang bisa diperoleh dengan bermodalkan proposal yang mereka bawa. Tetapi, laporan atas pemberian dana-dana dan jumlahnya dana bantuan yang didapat oleh pemerintah menjadi tidak penting karena mereka berpikir itu urusan pemerintah, di mana mereka hanya berpikir keras bagaimana cara mendapatkan dana-dana tersebut dengan cepat guna memenuhi kebutuhan mereka.10

Ketidaksiapan pemerintah Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Manokwari, baik dalam segi kapasitas maupun instrumen regulasi, akhirnya menyebabkan inisiatif untuk membentuk Komisi Informasi Daerah (KID) dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di setiap badan publik pemerintah daerah masih belum menjadi

10 Berdasarkan hasil diskusi awal dengan peneliti lokal Bapak Sahat Saragih terkait karakteristik masyarakat Manokwari pada umumnya, ketika kita melihat banyak masyarakat yang datang ke kantor dinas dengan membawa proposal masing-masing.

Page 123: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

102KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

prioritas. Pemahaman yang lemah dari semua ranah baik di level eksekutif, legislatif, masyarakat, LSM, akademisi dan media terkait regulasi ini menyebabkan UU KIP tidak terimplementasi dengan baik.

7.2. Peluang Implementasi Dari sisi peluang implementasi UU KIP, pasca sosialisasi yang

dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, gerakan masyarakat sipil sebenarnya telah berupaya mendorong implementasi KIP melalui pembentukan Komisi Informasi Publik Daerah. Koalisi LSM, media, akademisi pernah mengadakan pertemuan di Mansinam Beach untuk membahas ide tersebut. Namun, pertemuan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti dan berhenti dalam ruang diskusi. Terdapat keinginan kuat dari peserta untuk menggelindingkan ide pembentukan Komisi Informasi Publik Daerah (KIPD) melalui serangkaian diskusi bulanan. Peserta FGD menyadari bahwa tanpa ada kesatuan pendapat, isu keterbukaan informasi publik tidak akan pernah tercipta di Papua Barat dan Manokwari. Dalam forum tersebut, Radio Matoa mengajukan diri sebagai sukarelawan dan menyediakan tempat untuk diskusi.11

Dalam konteks Papua Barat dan Manokwari, LSM, khususnya yang peduli terhadap isu keterbukaan informasi publik dan akademisi bisa menjadi aktor strategis yang mampu menggerakkan masyarakat. Para aktivis LSM dan akademisi dapat diposisikan sebagai ujung tombak dan kelompok penekan terhadap badan publik pemerintah daerah, Bupati, Gubernur dan DPRD. Bahkan sebenarnya dapat dijadikan tulang punggung pembentukan critical mass yang berperan sebagai pengawas badan publik pemerintah daerah.

7.3. KesimpulanEra otonomi khusus menghasilkan ruang-ruang baru dalam

dinamika politik lokal di Papua Barat dan Manokwari. Kucuran dana yang sangat besar berakibat pada munculnya semangat pemekaran wilayah. Mulai dari kabupaten/kota hingga kampung. Di satu sisi, pemekaran wilayah ini memiliki basis tujuan mulia sebagai sarana pemerataan dan pengembangan serta penguatan kapasitas masyarakat,

11Berdasarkan hasil FGD tingkat Kabupaten pada 10 Desember 2011 di Manokwari, Papua Barat

Page 124: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

103KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

termasuk pelayanan publik. Namun di sisi lain, praktik pemekaran hanya bermotifkan pada upaya meraih gelontoran dana otsus, penguasaan resources dan pengembangan jaringan fam di pemerintahan lokal. Banyak cara dilakukan untuk memekarkan wilayah, salah satunya dengan memanipulasi data kependudukan.

“...yang terjadi selama ini, pemekaran hanya sebagai upaya untuk meraih uang merah. Mereka tidak pernah pikir panjang, hanya sebatas bagaimana bisa dapat uang, berkuasa dan membangun jaringan suku. Caranya, yaaa...banyak, jumlah penduduk, syarat pembentukan kampung pun bisa dimanipulasi..”.12

Menjamurnya wilayah pemekaran baru mendorong tumbuhnya elit-elit lokal di Papua Barat dan Manokwari. Realitas ini menimbulkan persoalan tersendiri ketika bersentuhan dengan isu Otsus khususnya terkait transparansi kebijakan dan aspek pengelolaan anggaran daerah.13 Hal itu selaras dengan pandangan BPK yang menyatakan bahwa tidak ada korelasi peningkatan dana ini dengan peningkatan kesejahteraan.14

Lebih jauh, ruang-ruang kekuasaan lokal dari level paling bawah hingga paling atas secara praksis lebih dimaknai sebagai cara untuk menguasai anggaran. Karenanya, timbul ‘perlombaan’ antar suku untuk dapat mendudukkan wakilnya sebagai representasi suku dalam pemerintahan. Pada titik inilah kemudian muncul konstelasi politik berbasis suku di Papua Barat dan Manokwari, dengan benturan antar suku dalam merepresentasikan perwakilannya. Benturan yang terjadi seringkali menimbulkan efek kontraproduktif.15

Pada saat dinamika kontestasi politik lokal semakin semarak, kehadiran UU KIP beserta seluruh ketentuannya dipahami sebagai sebuah ancaman.16 Bagi elit-elit lokal yang kini menduduki posisi-posisi

12Pernyataan nara sumber dalam diskusi dengan tim peneliti hari Selasa tanggal 6 Desember 201113http://bintangpapua.com/headline/18347-sisa-10-tahun-pengelolaan-dana-otsus-jangan-digabung-dengan-apbd-14http://us.fokus.vivanews.com/news/read/216086-bpk--dana-otsus-gagal-sejaht, diakses 29 November 201115Konflik pilkada menjadi salah satu contoh paling menarik keputusan MK memenangkan pasangan Bram-Katjong disambut demonstrasi, pemblokiran, pemalangan jalan hingga pembakaran dan tuntutan pilkada ulang yang sebenarnya merugikan masyarakat Papua Barat dan Manokwari.16UU KIP dipandang tidak memberikan manfaat langsung sebagaimana UU Otsus. UU KIP justru dipandang membebani dengan berbagai kewajiban yang harus dilakukan oleh badan publik. Hal itu menjadi alasan elit

Page 125: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

104KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

strategis dalam struktur pemerintahan, kehadiran UU KIP dianggap semacam “penyakit” yang harus dihindari. Upaya penghindaran tersebut tercermin dari rangkaian sikap resistensi yang diekspresikan dengan “semakin menutup diri” dan melakukan berbagai tindakan koersif kepada pihak-pihak yang kritis. UU KIP yang dinilai sebagai senjata ampuh untuk memaksa pemerintah membuka diri justru tidak mendapatkan tempat perhatian. Bahkan keberadaan dan fungsi dari UU KIP tersebut mengalami kebekuan. Masyarakat yang seharusnya aktif justru memilih “acuh” dan tidak antusias menyambut keberadaan UU KIP tersebut.

lokal untuk tidak melaksanakan UU KIP di samping persoalan ketiadaan demand dari publik dan sosialisasi UU yang tidak efektif.

Page 126: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

105KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

B A B 8

CAPAIAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PEMERINTAH ACEH DAN KOTA BANDA ACEH

Bab ini akan mendiskusikan capaian pelaksanaan keterbukaan informasi publik di Pemerintah Aceh dan Kota Banda Aceh. Sebagai daerah yang berada dalam masa transisi pasca situasi konflik serta terkena bencana alam, implementasi UU KIP di Aceh memiliki dinamika tersendiri. Pelaksanaan UU ini di Aceh memang agak terlambat sesuai target perundangan. Sejalan dengan semakin normalnya situasi sosial, politik dan keamanan di Aceh, muncul harapan yang begitu besar agar pelaksanaan UU ini akan semakin baik.

Dalam rentang proses Pemilukada di Aceh yang tengah berlangsung yang direncanakan berlangsung bulan Februari 2012,1 meningkatnya eskalasi suhu politik cenderung mengabaikan agenda-agenda strategis lainnya termasuk pembentukan Komisi Informasi Aceh (KIA). Kendati demikian, pemerintah Aceh memiliki komitmen tinggi untuk pelaksanaan UU ini dengan telah terbentuknya PPID walaupun masih terbatas pada lingkup Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi, dan Telekomunikasi (Dishubkomintel). Proses yang sudah berlangsung terkait dengan pemantapan PPID dan pembentukan KIA dapat memperlancar pelaksanaan UU ini dalam waktu yang tidak terlalu lama. Jika ini dibarengi dengan meningkatnya tuntutan masyarakat dan semakin baiknya kemampuan teknis petugas PPID, dapat diharapkan pelaksanaan UU ini di Pemerintah Aceh akan berjalan lancar.

1Proses pencarian data primer penelitian dilakukan selama bulan Desember 2011.

Page 127: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

106KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

8.1. Pemerintah Aceh8.1.1. Capaian Kelembagaan

Implementasi UU KIP di Aceh sudah dimulai secara formal dengan terbitnya SK Gubernur Aceh Nomor 480/590/2010 tentang Tim Koordinasi Pengelola Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Pemerintah Aceh. Berdasarkan SK Gubernur ini Tim PPID ini masih terfokus pada PPID untuk membantu kantor Gubernur. SK Gubernur tertanggal 29 September 2010 ini membentuk Tim yang anggotanya berasal dari lingkungan Kantor Dishubkomintel, dinas yang menjadi ujung tombak implementasi UU KIP di Pemerintah Aceh. Tim ini terdiri atas Tim Pertimbangan Pelayanan Informasi dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi.

Setelah pembentukan Tim Koordinasi PPID ini, Pemerintah Aceh, melalui advokasi dan bantuan sejumlah LSM dimotori LOGICA2 menginiasi pembentukan Komisi Informasi Aceh (KIA) dengan membentuk tim panitia seleksi KIA mulai bulan Mei 2011.2 Tim seleksi yang terdiri atas wakil-wakil masyarakat sipil, wakil pemerintah, dan tokoh masyarakat, setelah bekerja sekitar 2 bulan berhasil memilih 15 calon anggota KIA dan menyerahkannya ke DPR Aceh pada bulan Juli 2011.3 Sampai saat ini DPR Aceh belum melakukan fit and proper test untuk memilih 5 orang komisioner KIA. Pelaksanaan fit and Proper test untuk pemilihan anggota KIA ini tertunda antara lain karena ketika diserahkan bertepatan dengan datangnya bulan puasa dan berlanjut dengan Hari Raya Idul Fitri. Setelah Hari Raya Idul Fitri, anggota DPR-A disibukkan dengan persiapan Pemilukada yang prosesnya tidak berjalan mulus karena adanya perbedaan intrepretasi tentang keberadaan calon independen. Oleh sebab itu, DPR-A belum melakukan fit and proper test apalagi menjelang akhir tahun anggaran 2011 yang merupakan saat-saat sibuk. Belum ada kejelasan tentang kapan DPR Aceh akan melakukan Fit and Proper test terhadap calon-calon anggota KIA.4 Apalagi akan berlangsung

2Wilda Anggraeni (2011). ‘Keterbukaan Informasi Publik Untuk Penyelenggaraan Negara yang Lebih Baik’ terarsip dalam http://www.logica.or.id/en/news.php?artid=86&arttype=13‘15 Calon Anggota Komisi Informasi Aceh Terpilih’ terarsip dalam http://harian-aceh.com/2011/07/12/15-calon-anggota-komisi-informasi-aceh-terpilih atau ‘Ini Dia 15 Calon Anggota Komisi Informasi Aceh’ terarsip dalam http://www.theglobejournal.com/kategori/varia/ini-dia-15-calon-anggota-komisi-informasi-aceh.php4Sampai pada saat penelitian ini dilakukan, Desember 2011. Firman Hidayat, (2011). ‘Uji Kelayakan Anggota

Page 128: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

107KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Pemilukada pada bulan Februari 2012, sehingga kemungkinan besar setelah Pemilukada baru DPR A bisa melakukan fit and proper test.

Sebenarnya sejumlah tokoh masyarakat berharap KIA segera terbentuk sehingga akan dapat menjadi lembaga yang menampung aduan masyarakat terkait dengan kesulitan mereka dalam mengakses beberapa informasi dari pemerintah. Sebagai contoh, walau Pemerintah Aceh sudah mengumumkan berbagai pelelangan barang dan jasa secara terbuka baik melalui media massa maupun melalui website, menurut mereka pelaksanaannya belum begitu transparan, terutama kalau sudah menyangkut hal-hal yang lebih detail dan spesifik tentang pelelangan barang dan jasa seperti soal spesifikasi, prosedur dan sebagainya. Ketiadaan KIA sebagai tempat warga masyarakat bisa mengadukan ketidaktransparanan pemerintah menyebabkan warga masyarakat bersikap menunggu saja KIA ini dan berharap DPR-A segera melakukan fit and proper test.5 Sayangnya, di kalangan DPR-A sendiri belum ada niat untuk segera melakukan fit and proper test untuk calon yang sudah diajukan oleh Panitia seleksi (pansel). Kalangan pansel sendiri merasa terbebani oleh tugas yang sebenarnya sudah selesai begitu mereka berhasil menyerahkan nama-nama calon anggota KIA dan berharap DPR-A segera melakukan fit and proper test. Tim Pansel harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari warga masyarakat, terutama calon komisioner pada KIA, terkait dengan pelaksanaan fit and proper test (FGD, 3 Desember 2011). Melihat sistem penganggaran yang ada dan kegiatan Pemilukada Aceh yang akan berlangsung pada bulan Februari, kemungkinan besar fit and proper test baru bisa diselenggarakan setelah Pemilukada Aceh atau setelah bulan Februari. Pada saat penelitian ini dilakukan, sebagian kalangan masyarakat sipil masih terus mendesak DPR-A agar segera melakukan fit and proper test sehingga KIA bisa segera dibentuk.6

Keberadaan KIA ini sebenarnya sangat krusial karena beberapa alasan. Pertama, dengan terbentuknya KIA, warga masyarakat yang merasa kesulitan memperoleh informasi publik dari Pemerintah Aceh dapat mengadu kepada KIA. Kedua, dengan terbentuknya KIA, akan

Komisi Informasi Aceh Mengambang’ The Globe Journal, terarsip dalam http://theglobejournal.com/kategori/varia/uji-kelayakan-anggota-komisi-informasi-aceh mengambang.php5FGD, 3 Desember 20116Radzie, (2011). ‘DPRA Didesak Segera Uji Calon Komisi Informasi.’ Terarsip dalam http://www.acehkita.com/berita/dpra-didesak-segera-uji-calon-komisi-informasi/

Page 129: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

108KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

ada dorongan bagi SKPD di Aceh (selanjutnya disebut SKPA) untuk segera membentuk PPID di masing-masing dinas untuk menanggapai berbagai pertanyaan warga masyarakat kepada dinas bersangkutan (FGD, 3 Desember 2011).

Sembari menunggu terbentuknya KIA, pemerintah Aceh setelah membentuk Tim Koordinasi PPID yang mempersiapkan lebih lanjut pembentukan dan penguatan PPID dengan menyusun standard operating procedure (SOP) yang akan memberi landasan kerja secara teknis kepada PPID melalui peraturan gubernur. Pada saat ini, sudah dibuat Rancangan Peraturan Gubernur tentang Pedoman Pelakasanaan Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Pemerintah Aceh yang sudah dipersiapkan oleh Kantor Dinas Perhubungan Komunikasi, Informasi dan Telematika.7 Namun, rancangan Pergub ini tampaknya masih pada tahap awal sehingga belum sampai kepada Bagian Peraturan Perundang-Undangan, Biro Hukum dan Humas Setda Pemerintah Aceh.8 Bagian Pemerintahan juga belum mengetahui rancangan Pergub yang sudah dipersiapkan oleh Tim Dinas Perhubungan Komunikasi, Informasi dan Telematika.9

Dalam Rancangan Pergub ini dikonsepkan adanya tiga jenis PPID yakni PPID utama, PPID Pelaksana dan PPID Pembantu. PPID utama akan dijabat secara ex officio oleh Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Infiormasi dan Telematika (Dishubkomintel), PPID Pelakasana adalah pejabat UPTD di Kantor Dishubkominfo, sedangkan PPID pembantu adalah PPID yang merupakan wakil-wakil SKPA di seluruh Aceh. Dengan konsep yang demikian ini diharapkan PPID memiliki akses terhadap berbagai SKPA melalui PPID Pembantu.10

Tim Koordinasi PPID sendiri saat ini sudah mulai menjalankan fungsinya terutama pada lingkup Dishubkominfo. Dalam perkembangan terakhir, tim sudah mempersiapkan berbagai mekanisme dan SOP

7Draft Rancangan Peraturan Gubernur Aceh tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Pemerintah Aceh.8Wawancara tim peneliti dengan Suhaemi, Kabag Organisasi, Biro Hukum dan Humas setda Pemerintah Aceh, 01 Desember 2011, di banda Aceh9Wawancara dengan Tabrani Usman, Kabag Kelembagaan, Biro Organisasi, Setda, Pemerintah Aceh, Kamis, 1 Desember 2011.10Wawancara tim peneliti dengan T. Robbi Ihza, Kasi Data dan Informasi, Dishubkomintel, Pemerintah Aceh, 29 November 2011 Banda Aceh.

Page 130: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

109KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

dalam pelayanan informasi publik. Warga masyarakat dapat mengetahui prosedur ini melalui leaflet yang sudah diterbitkan oleh Dishubkominfo. Loket pelayanan informasi pun sudah dibentuk yang dilengkapi dengan formulir Pemintaan Informasi yang ditujukan kepada Dishubkominfotel. Setelah menerima informasi, pemohon pun wajib mengisi dan menyerahkan tanda bukti penyerahan informasi publik kepada petugas pelayanan informasi publik di Dishubkomintel.11

Tim Koordinasi PPID ini juga sudah mulai melakukan sosialisasi dan rencana rekruitmen PPID Pembantu dengan meminta masing-masing SKPA untuk menunjuk pegawai di lingkungan SKPA untuk suatu saat ditugaskan sebagai PPID Pembantu mewakili SKPA-nya. Sayangnya respon dari SKPA sendiri sangat beragam terkait dengan petugas yang dikirim untuk menjadi calon PPID Pembantu. Orang yang dikirim tidak selalu sesuai dengan kriteria yang diharapkan oleh Tim Koordinasi. Di samping itu, mereka yang ditugaskan untuk mengikuti sosialisasi cenderung berganti-ganti sehingga tidak terfokus. Nama-nama yang diusulkan masing-masing SKPA juga memiliki variasi tingkat kapasitas dan status kepegawaian (ada yang honorer). Bahkan ada SKPA yang belum mengusulkan nama.12

Dishubkomintel saat ini juga sudah mempersiapkan berbagai perangkat untuk memperlancar tugas PPID pelaksana yang ditempatkan di Dishubkomintel. Lembaga ini sudah membentuk loket pelayanan informasi publik untuk lingkup Dishubkominfo. Warga masyarakat yang ingin memperoleh informasi yang terkait dengan Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika sudah dapat mengajukan permohonan informasi publik melalui loket yang telah dibuka.13

Pada tingkat SKPA sendiri tampaknya masing-masing SKPA belum memiliki kesiapan untuk pelaksanaan fungsi PPID Pembantu sehingga mereka masih menunggu lebih jauh Pergub atau petunjuk dari Gubernur Aceh. Dinas-dinas yang memiliki anggaran besar seperti Dinas Bina Marga dan Cipta Karya dan Dinas Pekerjaan Umum di samping SKPA yang memberi pelayanan kepada publik seperti Dinas Pendidikan dan Dinas

11Wawancara tim peneliti dengan Robby Ihza, Kasi Data dan Informasi, Dishubkomintel, Pemerintah Aceh, 6 Desember 2011, Banda Aceh.12Ibid.13Wawancara tim peneliti dengan Robby Ihza, 6 Desember 2011, Banda Aceh dan observasi lapangan

Page 131: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

110KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Kesehatan belum memiliki inisiatif untuk membentuk PPID Pembantu. Mereka cenderung menunggu inisiatif atau perintah atasan dalam membentuk PPID. Walaupun demikian, Dinas Pendidikan sudah memiliki bagian yang mengelola informasi publik, terutama terkait dengan informasi tentang pendidikan melalui UPTD Tekomdik.14

Sebenarnya, soal keterbukaan informasi publik ini sudah mendapat tanggapan dari Pemerintah Aceh ketika membuat Qanun Pelayanan Publik. Melalui Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pelayanan Publik sudah ditegaskan pentingnya keterbukaan publik dengan menjadikan dasar UU Nomor 14 tahun 2008 sebagai dasar hukum dalam membuat Qanun ini. Dalam Qanun ini secara eksplisit disebutkan pentingnya sistem informasi pelayanan sebagai bagian penting dari penyelenggaran pelayanan publik di Aceh (pasal 15, point d). Lebih jauh juga disebutkan bahwa penyelenggara pelayanan publik mengelola sistem informasi secara efisien, efektif dan mudah diakses. Sistem informasi yang dibuat juga harus menyediakan paling tidak hal-hal yang berkaitan dengan jenis pelayanan, persyaratan dan prosedur pelayanan, standar pelayanan, maklumat pelayanan, mekanisme pemantauan kinerja, penanganan keluhan, pembiayaan dan penyajian statistik kinerja pelayanan.

8.1.2. Capaian SubstantifCapaian substantif pelaksanaan keterbukaan informasi publik

dapat dilihat dari beberapa aspek seperti media atau sarana penyampaian informasi, produk informasi yang disampaikan dan kemudahan akses.

8.1.2.1. Sarana untuk Keterbukaan Informasi Publik Dengan adanya Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2008, masing-masing

SKPA yang memberikan pelayanan publik langsung harus menyediakan jenis-jenis informasi tersebut untuk masyarakat. Sebagian informasi tersebut bisa diakses melalui website masing-masing SKPA yang sudah dibuat. Sayangnya, kualitas beberapa wesbite dari dinas-dinas yang dibuat dengan anggaran yang besar relatif rendah dengan status “under construction” ketika penelitian ini sedang berlangsung. Beberapa website itu adalah website Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (BMCK) (http://bmck.acehprov.go.id/), Dinas Pengeloaan

14Wawancara dengan Pejabat Dinas Pendidikan, Pemerintah Aceh, Kamis, 1 Desember 2011, Banda Aceh.

Page 132: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

111KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Keuangan dan Kekayaan Aceh (http://dpkka.acehprov.go.id/) yang masih dalam kondisi tidak terakses ketika penelitian ini dilakukan. Dinas BMCK dikenal sebagai salah satu dinas yang memiliki alokasi anggaran sangat besar hampir sama dengan Dinas Pendidikan. Bedanya, Dinas Pendidikan mengelola dana yang besar yang unit-unit programnya berbasis anggaran yang relatif kecil, sedangkan anggaran di Dinas BMCK dialokasikan dengan unit anggaran program yang relatif besar.

Semua dinas atau SKPA di Aceh sudah memiliki website dengan website sesuai dengan Peraturan Menkominfo Nomor 28/PER/KOMINFO/9/2006 tentang kewajiban lembaga atau instansi pemerintah untuk menggunakan website “go.id”. Berikut beberapa Website Dinas dan Badan di lingkungan Pemerintah Aceh

Tabel 8.1Website Dinas dalam Lingkungan Pemerintah Aceh

No Nama Instansi Nama Website1 Bina Marga dan Cipta Karya http://bmck.acehprov.go.id/

2 Kebudayaan dan Pariwisata http://acehtourismagency.com/

3 Kehutanan dan Perkebunan http://dishutbun.acehprov.go.id/

4 Kelautan dan Perikanan http://dkp.acehprov.go.id/

5 Kesehatan http://dinkes.acehprov.go.id/

6Kesehatan Hewan dan Peternakan

http://dinkeswanak.acehprov.go.id/

7 Pemuda dan Olahraga http://www.disporaprov.nad.go.id/

8 Pendidikan http://disdik.acehprov.go.id/

9 Pengairan http://pengairan.acehprov.go.id/

10Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh

http://dpkka.acehprov.go.id/

11Perhubungan Komunikasi Informasi dan Telematika

http://dishubkomintel.acehprov.go.id/

12Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah

http://indagkopukm.acehprov.go.id/

13 Pertambangan dan Energi http://distamben.acehprov.go.id/

14 Pertanian Tanaman Pangan http://distan.acehprov.go.id/

15 Sosial http://dinsos.acehprov.go.id/

Page 133: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

112KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

No Nama Instansi Nama Website

16 Syariat Islam http://dinsyar.acehprov.go.id/

17Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk

http://disnakermobduk.acehprov.go.id/

Sementara website SKPA berbentuk Badan atau Kantor dalam Lingkungan Pemerintah Aceh sebagaimana ditampilkan pada tabel berikut.

Tabel 8.2Website Badan dan Kantor di Lingkungan Pemerintah Aceh

No Nama Badan Nama Website

1 Arsip dan perpustakaan http://bap-nad.pnri.go.id

2 Inspektorat Aceh http://inspektorat.acehprov.go.id

3 Investasi dan Promosi http://bisnisinvestasi.acehprov.go.id/

4Kantor Penghubung Pemerintah Aceh

http://kppaceh.acehprov.go.id/

5Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan

http://bkpp.acehprov.go.id/

6Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat

http://kesbangpolinmas.acehprov.go.id/

7Ketahanan Pangan dan Penyuluhan

http://bkp2.acehprov.go.id/

8 Pemberdayaan Masyarakat http://bpm.acehprov.go.id/

9Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

http://bppa.acehprov.go.id/

10Pembinaan Pendidikan Dayah

http://bppd.acehprov.go.id/

11Pengendalian Dampak Lingkungan

http://bapedalda.acehprov.go.id/

12Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)

http://bappeda.acehprov.go.id/v2/

13 Rumah Sakit Ibu dan Anak http://rsia.acehprov.go.id/

14 Rumah Sakit Jiwa http://rsj.acehprov.go.id/

15Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin

http://rsudza.acehprov.go.id/

Page 134: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

113KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

No Nama Badan Nama Website

16Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah

http://satpolppwh.acehprov.go.id/

17Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser

bpkel.acehprov.go.id

Dapat disimpulkan bahwa dari sisi sarana, sebenarnya Aceh sudah

memiliki infrastruktur yang memadai. Ruang keterbukaan informasi sudah disiapkan. Yang masih harus dibenahi adalah ketersediaan, akurasi, dan kemudahan akses informasi publik itu sendiri.

8.1.2.2. Level Keterbukaan Informasi PublikLevel keterbukaan informasi publik yang sudah dijalankan oleh

Pemerintah Aceh masih bersifat keterbukaan yang bersifat terbatas, normatif, dan belum sepenuhnya substantif.15 Dengan kata lain, keterbukaan informasi publik baru dalam tahap membangun sarana. Kalau sudah masuk substansi ini, banyak yang tidak boleh diakses. Yang coba ditonjolkan adalah transpransi dalam pelayanan, bukan keterbukaan informasi publik.16

Memang, jika mengacu pada Qanun Aceh, informasi yang disajikan oleh masing-masing dinas melalui websitenya hampir semuanya sudah tersedia terutama untuk website yang sudah berfungsi. Misalnya, untuk informasi rencana pengadaan barang dan jasa, sudah ada pengumuman kapan akan diadakan, tetapi informasi lanjutan tentang prosedur, dasar pengambilan keputusan dan hal-hal yang lebih detail menyangkut kebijakan publik oleh pemerintah belum tersedia. Warga masyarakat belum bisa mengetahui kenapa sebuah proyek pembangunan dimenangkan oleh kontraktor tertentu, bukan kontraktor lainnya. Sebagaimana diungkapkan seorang narasumber:

“Ada pengumuman tapi tak ada persyaratan teknis yang memadai. Saya lihat memang sudah mengadakan keterbukaan secara normatif.... Ketika kita datang ke SKPA-SKPA, mereka belum siap memberi informasi yang kita butuhkan.”17

15Wawancara tim peneliti dengan Pimpinan PT Reubee Counsultant, tanggal 2 Desember 2011, Banda Aceh dan juga hasil FGD, 3 Desember 2011.16Disampaikan peserta FGD tanggal 3 Desember 2011 di Banda Aceh.17Wawancara tim peneliti dengan Pimpinan PT Reubee Counsultant, tanggal 2 Desember 2011

Page 135: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

114KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Jika mengacu pada UU KIP, hal-hal demikian perlu juga disiapkan dan bisa diakses oleh publik. Hal yang sama juga terjadi pada sistem penerimaan siswa baru yang belum sepenuhnya terbuka.18

Di kalangan kepala dinas SKPA sendiri terdapat keraguan tentang batasan informasi publik. Mereka umumnya belum memiliki batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan informasi publik.19 Sebagian memahami informasi publik sebatas memberitakan seluruh aktivitas atau kegiatan SKPA kepada publik melalui pemberitaan di media massa atau website. Sebagian lainnya memahami seperti halnya apa yang diwajibkan dalam Qanun Aceh tentang Pelayanan Publik seperti menyediakan pengumuman tentang pelelangan, informasi tentang persyaratan dalam pengurusan berbagai surat-surat seperti KTP, Kartu Keluarga, Ijin usaha, dan sebagainya. Oleh karena itu, ketika mereka sudah menyediakan semua informasi itu, mereka menganggap mereka sudah menerapkan keterbukaan informasi publik.

Hampir tidak ada yang memahami bahwa keterbukaan informasi publik juga mencakup penyediaan informasi tentang dasar-dasar pengambilan keputusan publik yang dibuat oleh setiap pejabat atau pengelola badan publik yang menjadi tujuan dari UU KIP. Bagian Humas pun lebih berfokus kepada kegiatan penyampaian informasi kegiatan pemerintahan melalui media massa yang ada, baik melalui penulisan dan pengiriman siaran pers kepada media massa maupun undangan peliputan kepada berbagai media massa.20

8.2. Kota Banda Aceh Apa yang terjadi pada Pemerintah Aceh sedikit banyak berpengaruh

terhadap apa yang terjadi pada Pemerintah Kota Banda Aceh. Terkait kesadaran akan prinsip keterbukaan, Ir Zahruddin M.Si, Sekretaris Daerah Kota Banda Aceh saat ditemui di kantornya menyatakan bahwa sebagai kota yang merupakan ibukota dari Pemerintah Aceh, penyelenggaraan pemerintahan di Banda Aceh tidak bisa lepas dari

18Hal ini misalnya bisa dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta dengan melakukan pendaftaran siswa secara online real time sehingga warga masyarakat bisa mengetahui kenapa si A bisa diterima di sebuah SMA favorit, sementara si B sebaliknya.19Berbagai wawancara dengan staf UPTD Tekomdik, Dinas Pendidikan, tanggal 5 Desember 2011 dan staf Badan Kepegawaian dan Pelatihan, Pemerintah Aceh, 30 Nopember 201120Wawancara dengan staf Biro Hukum dan Humas Setda Aceh, Selasa, 29 November 2011, Banda Aceh.

Page 136: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

115KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

pengawasan masyarakat.21 Tuntutan akan transparansi dan akuntabilitas merupakan suatu keharusan. Masyarakat maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ada di Aceh sangatlah kritis. Hal ini menyebabkan tuntutan good governance menjadi agenda utama yang seringkali dikemukakan oleh elemen masyarakat. Penerapan prinsip keterbukaan di Pemerintah Kota Banda Aceh dikemukakan kembali oleh Ir Bahagia (Kepala Bappeda Kota Banda Aceh) dan Evi Marlina, SE (staf Program Bappeda Kota Banda Aceh). Dalam wawancara dengan tim peneliti, keduanya menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di lingkungan Kota Banda Aceh mengacu pada tiga prinsip yakni transparansi, partisipasi dan akuntabilitas.22 Prinsip-prinsip ini kemudian dijadikan landasan mekanisme keterbukaan informasi publik yang dibangun setidaknya pada delapan dinas Pemerintah Kota Banda Aceh:

Sekretariat Daerah;a. Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika;b. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM;c. Dinas Kesehatan;d. Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah;e. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga;f. Badan Kepegawaian, Pelatihan; dan g. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda).h.

Jika mengacu pada pernyataan pejabat Sekretaris Daerah dan Bappeda Kota Banda Aceh, dapat terbaca bahwa kesadaran akan kebutuhan penyelenggaran pemerintahan yang terbuka sudah menjadi bagian dari pelaksanaan pemerintahan di Kota Banda Aceh. Sekilas dapat dikatakan bahwa sudah terdapat value infusion di kalangan Pemda Kota Banda Aceh. Meskipun demikian, dalam rangka melihat pencapaian keterbukaan informasi publik, elaborasi terhadap dua hal dalam penyelenggaran pemerintahan di Kota Banda Aceh menjadi elemen penting yang harus dilakukan, yakni (1) mekanisme keterbukaan

21Hasil wawancara dengan Ir Zahruddin M.Si, Sekretaris Daerah Kota Banda Aceh pada November 2011 di Kantor Sekretariat Daerah Kota Banda Aceh.22Hasil wawancara dengan Ir Bahagia, Dipl SE (Kepala Bappeda Kota Banda Aceh) dan Evi Marlina, SE (staf Program Bappeda Kota Banda Aceh) yang dilakukan pada November 2011 di Kantor Bappeda Kota Banda Aceh.

Page 137: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

116KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

informasi publik (2) regulasi dan pejabat publik yang memiliki kewenangan utama dalam keterbukaan informasi publik.

Pertama, mekanisme keterbukaan informasi publik. Delapan dinas di atas memiliki Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) yang langsung berhubungan dengan publik. Dalam wawancara mendalam yang dilakukan dengan delapan dinas yang dilakukan pada 28 November – 2 Desember 2011, terungkap beberapa mekanisme yang dijalankan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dalam mengimplementasikan prinsip keterbukaan informasi publik. Di antaranya adalah:

Musrenbang (musyawarah antar desa dan kecamatan) dan Musrena a. (musyawarah perempuan).

Ir Bahagia, Dipl SE (Kepala Bappeda Kota Banda Aceh) dan Evi Marlina, SE (staff Program Bappeda Kota Banda Aceh) menyatakan bahwa Musrenbang dan Musrena merupakan salah satu mekanisme yang dijalankan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dalam mengumpulkan aspirasi masyarakat23. Beberapa tujuan dari Musrenbang dan Musrena ini adalah untuk:

Mencari masukan rancangan awal Rencana Kerja Pemerintah (1) Kota Banda Aceh yang memuat prioritas pembangunan kota;Membuat pagu indikatif pendanaan dinas – dinas di lingkungan (2) pemerintah Kota Banda Aceh;Membuat rancangan alokasi dana gampong (desa)(3)

Forum ini juga menjadi ajang sosialisasi langsung Pemerintah Kota Banda Aceh terhadap program yang dijalankannya. Pelaksanaan Musrenbang dan Musrena dilakukan pada bulan Maret dengan mengundang perwakilan masyarakat di tingkat gampong. Pelaksanaan Musrenbang dan Musrena di awal tahun bertujuan untuk mengumpulkan aspirasi masyarakat atas program tahun anggaran selanjutnya.24 Lebih jauh, pelaksanaan Musrena secara spesifik bertujuan untuk mengakomodasi pandangan dan

23Hasil wawancara dengan Ir Zahruddin M.Si, Sekretaris Daerah Kota Banda Aceh pada November 2011 di Kantor Sekretariat Daerah Kota Banda Aceh.

+Hasil wawancara dengan Ir Bahagia, Dipl SE (Kepala Bappeda Kota Banda Aceh) dan Evi Marlina, SE (staf Program Bappeda Kota Banda Aceh) yang dilakukan pada November 2011 di Kantor Bappeda Kota Banda Aceh.

Page 138: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

117KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

kepentingan perempuan atas program kerja dinas Pemerintah Kota Banda Aceh.25

Pelatihanb. Setidaknya ada tiga dinas di lingkungan Pemerintah Kota Banda

Aceh yang secara reguler mengadakan program pelatihan:Badan Kepegawaian, Pendidikan, dan Pelatihan(1)

Marwan (Sekretaris Badan Kepegawaian, Pendidikan, Pelatihan Pemerintah Kota Banda Aceh) menyatakan bahwa semenjak moratorium pegawai yang dilakukan pada tahun 2009, pelayanan terhadap publik tidak lagi menjadi Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) Badan Kepegawaian, Pendidikan, Pelatihan.26 Menurutnya, pelayanan lebih dilakukan kepada perangkat desa yang salah satunya dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Program pelatihan yang dilakukan oleh Badan Kepegawaian Pendidikan, dan Pelatihan pada tahun 2010-2011 yang berhubungan langsung dengan masyarakat adalah peningkatan kapasitas dan peranan perangkat gampong (desa), pelatihan tenaga teknis pelayanan e-KTP petugas kecamatan, dan peningkatan pelayanan publik. Pelaksanaan Diklat ini dilakukan melalui lembaga yang dikoordinasi oleh Badan Kepegawaian, Pendidikan, Pelatihan, yakni Banda Aceh Academy.

Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM(2) Hasan Sanusi (Sekretaris Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan,

Koperasi, UKM) menyatakan bahwa informasi yang diberikan oleh dinas kepada publik di antaranya adalah Program Pelatihan, Pemberdayaan Ekonomi seperti pelatihan langsung bagi asosiasi pedagang (pelatihan packaging, bordir, dan sebagainya) dan Perijinan Usaha. 27

+Ibid.26Hasil wawancara yang dilaksanakan pada November 2011 di Kantor Badan Kepegawaian, Pendidikan, Pelatihan . 27Hasil wawancara dengan Hasan Sanusi (Sekretaris Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, UKM) pada November 2011 di kantor Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, UKM

Page 139: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

118KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Dinas Kesehatan(3) Penyuluhan kesehatan yang dilakukan melalui Puskesmas.

Menurut dr Safriati, MKes (Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan), informasi kesehatan yang disediakan oleh dinas ini diberikan melalui pelatihan dan penyuluhan di Puskemas seperti penyuluhan penyakit dan penyuluhan hidup bersih. Meskipun begitu, beliau juga menyatakan bahwa tersedianya informasi publik ini kadang belum sepenuhnya bisa diakses oleh masyarakat karena terkadang jadwal penyuluhan kesehatan bertabrakan dengan waktu kerja masyarakat yang tidak bisa dikompromikan.28 Saat disingung soal media website yang dikelola oleh Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh sebagai alternatif untuk menyediakan informasi kepada publik, beliau menjelaskan bahwa belum ada website khusus Dinas Kesehatan untuk mengakomodasi hal tersebut. Ketersediaan dana dan sumber daya manusia menjadi kendala utama.

Websitec. Dari hasil wawancara ke delapan dinas terkait di lingkungan Kota Banda Aceh, penggunaan website khusus hanya dilakukan oleh Dinas Perhubungan (http://perhubungan.bandaacehkota.go.id/) dan Bappeda (http://bappeda.bandaaceh.go.id/). Selain kedua SKP-A itu, Pemerintah Kota Banda Aceh juga mengelola website lain (www.bandaacehkota.go.id) yang menjadi website utama bagi tersedianya informasi program dan pelayanan publik dinas-dinas di lingkungan Pemerintah Kota Banda Aceh. Ir Zahruddin M.Si selaku Sekretaris Daerah Kota Banda Aceh menyatakan bahwa pelaksanaan tender proyek pemerintah juga telah dilakukan secara online (Lembaga Pengadaan Sistem Informasi Tender).29 Informasi yang disediakan menyangkut procurement, siapa yang mengikuti tender, pihak yang menang dan kalah tender. Website ini juga menyediakan jenis informasi publik yang ditetapkan oleh Undang-Undang, yang meliputi asas dan tujuan; program dan kegiatan organisasi;

28Hasil wawancara dengan dr Safriati, MKes (Kepala Bidang Penelitian, Pengembangan Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh) pada November 2011 di kantor Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh.29Hasil wawancara dengan Ir Zahruddin M.Si, Sekretaris Daerah Kota Banda Aceh pada November 2011 di Kantor Sekretariat Daerah Kota Banda Aceh.

Page 140: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

119KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

nama, alamat, susunan kepengurusan, dan perubahannya; pengelolaan dan penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; serta sumbangan masyarakat, dan/atau sumber luar negeri;

Posterd. Menurut Kepala Bappeda Kota Banda Aceh, Ir Bahagia, informasi

mengenai anggaran daerah Pemerintah Kota Banda Aceh termasuk program kerja dinas-dinas di lingkungan pemerintah kota telah disampaikan melalui poster yang ditempelkan di pusat-pusat informasi yang dimiliki oleh gampong (desa). Bappeda menjadi dinas yang bertanggung jawab atas realisasi program informasi anggaran melalui poster ini. Pelaporan berkala mengenai realisasi anggaran diberikan kepada Bappeda oleh dinas-dinas dengan beberapa mekanisme:

Setiap minggu memberikan laporan ke Pemerintah Kota• Setiap bulan memberikan laporan ke Bappeda• Setiap tiga bulan memberikan laporan ke Provinsi dan Pusat•

Meskipun begitu, beliau juga menyatakan bahwa informasi anggaran yang diberikan dalam bentuk poster ini hanya terbatas pada penganggarannya saja. Informasi mengenai realisasi anggaran hanya dapat diakses jika masyarakat mengirimkan surat resmi permohonan atas informasi ini.30 Permintaan akan informasi penggunaan anggaran ini sering diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Gerakan Anti Korupsi (GERAK).

Mobil Unite. Dalam wawancara yang dilakukan dengan Dinas Perhubungan,

Komunikasi dan Informatika Kota Banda Aceh terungkap beberapa mekanisme yang dilakukan oleh dinas ini dalam mengelola informasi publik, salah satunya melalui mobil unit. Media ini merupakan media informasi publik yang hanya dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh. Mobil yang berkeliling ke desa-desa dan berhenti di titik keramaian ini memberikan informasi publik terkait himbauan

30Hasil wawancara dengan Ir Bahagia, Dipl SE (Kepala Bappeda Kota Banda Aceh) dan Evi Marlina, SE (staff Program Bappeda Kota Banda Aceh).yang dilakukan pada November 2011 di Kantor Bappeda Kota Banda Aceh.

Page 141: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

120KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

kesehatan dan ketertiban, penegakan syariah, penertiban parkir, dan kegiatan-kegiatan di Banda Aceh. Media ini dianggap efektif karena informasi dapat langsung diberikan kepada masyarakat.31 Informasi yang berkaitan dengan sosialisasi program dinas-dinas lain di lingkungan Kota Banda Aceh juga diakomodasi oleh Dinas Perhubungan melalui mobil unit ini.

Facebookf. Dikelola oleh Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika,

facebook menjadi media untuk menerima pengaduan dan melakukan sosialisasi program.

SMS g. Gateway SMS Gateway merupakan layanan yang dibuat oleh Pemerintah Kota

Banda Aceh untuk menerima pengaduan masyarakat secara cepat. Masyarakat dapat mengirimkan SMS berupa masukan, komentar dan kritik melalui SMS Gateway ini yang akan diteruskan secara otomatis kepada Walikota, Wakil Walikota, dan Sekeratis Daerah. Menurut Ir Zahruddin M.Si, Sekretaris Daerah Kota Banda Aceh, laporan follow-up atas pengaduan masyarakat ini dianalisa untuk menunjukkan mana SKP-A yang tanggap dalam merespon kebutuhan masyarakat.32 SMS Gateway merupakan bagian dari mekanisme Layanan Pengaduan Masyarakat (LPM) yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Banda Aceh. Terdapat peningkatan pengelolaan dan pelayanan informasi melalui SMS Gateway yang diterima secara langsung oleh Walikota, Wakil Walikota, Sekeratis Daerah, Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Layanan Pengaduan Masyarakat (LPM).

Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintuh. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik,

Pemerintah Kota Banda Aceh membentuk Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KTSP) yang menjadi pusat pelayanan publik. Menurut

31 Hasil wawancara dengan Bustami,SH (Kepala Bidang Komunikasi, Telekomunikasi dan Informatika) dan Raja Maghfirah (Kepala Seksi Diseminasi Informasi) pada November 2011 di kantor Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika.32Hasil wawancara dengan Ir Zahruddin M.Si, Sekretaris Daerah Kota Banda Aceh pada November 2011 di Kantor Sekretariat Daera

Page 142: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

121KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Ir Bahagia (Sekretaris Daerah Kota Banda Aceh), masyarakat yang membutuhkan layanan publik bisa langsug datang ke KTSP yang terletak di kantor Walikota Banda Aceh tanpa harus mendatangi dinas-dinas terkait. KTSP menjadi media untuk memberikan informasi publik terutama yang terkait dengan perijinan usaha.Brosuri.

Brosur menjadi salah satu media yang dipilih oleh Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah dalam mensosialisasikan program dan informasi publik kepada masyarakat. Maerulhadzmi (Kepala Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah) menyatakan bahwa beberapa informasi yang diberikan kepada masyarakat di antaranya mengenai restribusi daerah dan pajak33.

Himbauan melalui masjid dan warung kopij. Menurut Maerulhadzmi (Kepala Dinas Pengelola Keuangan

dan Aset Daerah), salah satu cara yang dianggap efektif dalam mendesiminisasikan informasi mengenai program kerja dinas adalah melalui himbauan yang diberikan di masjid dan warung kopi.34 Hal ini terkait dengan budaya bersosialisasi melalui warung kopi yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat warga Aceh.

33Hasil wawancara dengan Maerulhadzmi (Kepala Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah) pada November 2011 di Kantor Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah. 34Idem.

Page 143: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

122KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Tabel 8.3Bentuk Keterbukaan Informasi Publik yang dilakukan

oleh Pemerintah Kota Banda Aceh

No MekanismeJenis Informasi Publik menurut UU

Nomor 14 tahun 2008Dinas

1 Musrenbang (musyawarah antar desa dan kecamatan)

Musrena (musyawarah perempuan)

asas dan ujuan• program dan kegiatan organisasi• nama, alamat, susunan • kepengurusan, dan perubahannya;pengelolaan dan penggunaan • dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerahsumbangan masyarakat, dan/• atau sumber luar negeri;

Semua dinas

2 Pelatihan Program dan kegiatan organisasi Badan Kepegawaian, Pendidikan, Pelatihan

Program dan kegiatan organisasi Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, UKM

Program dan kegiatan organisasi Dinas Kesehatan

3 Websitewww.bandaacehkota.go.id

http://perhubungan.bandaacehkota.go.id/

asas dan ujuan• program dan kegiatan • organisasinama, alamat, susunan • kepengurusan, dan perubahannya;

Semua dinas di lingkungan pemerintah kota

Page 144: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

123KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

No MekanismeJenis Informasi Publik menurut UU

Nomor 14 tahun 2008Dinas

http://• bappeda.bandaaceh.go.id/

pengelolaan dan penggunaan dana • yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerahsumbangan masyarakat, dan/• atau sumber luar negeri;

4 Poster Program dan kegiatan • organisasiPengelolaan dan penggunaan • dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Bappeda

5 Mobil Unit Program dan kegiatan organisasi Dinas Perhubungan

6 Facebook Dinas Perhubungan

7 SMS Gateway yang diterima secara langsung oleh Walikota, Wakil Walikota, Sekeratis Daerah

Program dan kegiatan organisasi Semua Dinas

8 Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu

Program dan kegiatan organisasi Semua Dinas

9 Brosur misalnya restribusi daerah, pajak

Program dan kegiatan organisasi Semua Dinas

10 Himbauan melalui masjid dan warung kopi

Program dan kegiatan organisasi Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah

Page 145: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

124KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Kedua, Regulasi dan Pejabat Publik Keterbukaan Informasi Publik. Melalui Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, negara memberikan mandat kepada pemerintah untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat, dan sederhana dengan cara menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (Pasal 13 ayat 1). Dalam penyelenggaran fungsi keterbukaan informasi publik, Pemerintah Kota Banda Aceh belum memiliki peraturan kota dan pejabat publik yang mengurus secara khusus mengenai keterbukaan informasi publik. Ketiadaan regulasi dan pejabat informasi publik di level kota ini sebenarnya juga sangat berhubungan dengan tidak adanya peraturan di level pemerintah provinsi.

8.3. KesimpulanDari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, pertama,

pelaksanaan keterbukaan informasi publik di pemerintahan Pemerintah Aceh dapat dikatakan mengalami kemajuan di tengah konteks sosial dan politik yang masih belum stabil. Kecuali capaian kelembagaan yang masih terbatas, Pemerintah Aceh mencatat kemajuan penting secara substantif terkait pelaksanaan keterbukaan informasi publik. Terdapat infrastruktur keterbukaan informasi yang sudah dibangun walaupun belum sepenuhnya berfungsi. Yang masih menjadi pekerjaan rumah berat selain instalasi kelembagaan adalah mendefinisikan secara jelas jenis informasi dan derajat aksesnya serta memastikan agar masyarakat memiliki akses yang memadai atas informasi-informasi tersebut.

Kedua, pada level Kota Banda Aceh, tercatat juga kemajuan penting yang ditandai oleh sudah melekatnya fungsi informasi publik dalam setiap unit pemerintahan. Pemda Kota Banda Aceh juga sudah berupaya menyediakan berbagai sarana yang memungkinkan masyarakat bisa mengakses informasi publik. Sayangnya, informasi yang disajikan masih terbatas pada apa yang menjadi agenda rutin pemerintah. Informasi yang lebih spesifik, terutama berkaitan dengan penggunaan anggaran, belum tersedia secara memadai bagi masyarakat. Dengan kata lain, informasi yang tersedia lebih ditujukan pada sarana sosialisasi ketimbang sebagai bagian akuntabilitas pemerintah.

Page 146: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

125KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

KENDALA DAN PELUANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PEMERINTAH ACEH

DAN KOTA BANDA ACEH

Secara umum kendala dan peluang pelaksanaan UU KIP ini di Aceh tidak jauh berbeda dengan yang dialami daerah-daerah lain, walaupun ada beberapa yang bisa dikategorikan sebagai kendala dan peluang khas di Aceh. Situasi sosial politik yang berada pada masa transisi menuju ke situasi normal dan keadaan setelah bencana alam sedikit banyak mempengaruhi berbagai hal di Aceh, termasuk di dalamnya pelaksanaan keterbukaan informasi publik.

Masa transisi dan pemulihan pasca bencana menyebabkan fokus pemerintah maupun warga Aceh lebih diberikan kepada membangun masyarakat menjadi masyarakat yang damai, bisa hidup harmonis dan juga memulihkan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar warganya. Pemerintah pun lebih memfokuskan perhatian pada pemulihan kehidupan sosial politik dan penataan infrastruktur yang mengalami kerusakan berat setelah diguncang gempa besar 2004 silam. Organisasi masyarakat sipil dan berbagai LSM yang datang ke Aceh memfokuskan program kerjanya pada kedua masalah tersebut sehingga soal keterbukaan informasi publik belum menjadi prioritas walau lembaga donor yang datang ke Aceh sebenarnya membawa berkah tersendiri karena mereka sebagian pada dasarnya membawa agenda good governance. Terdapat beberapa kendala dan juga peluang untuk pelaksanaan Keterbukaan Informasi Publik ini di Aceh.

9.1. Kendala Implementasi9.1.1. Faktor Budaya

Budaya birokrasi yang masih cenderung tertutup dalam pengambilan kebijakan menjadi kendala dalam implementasi keterbukaan informasi publik. Para pejabat pengelola badan publik belum sepenuhnya siap untuk

B A B 9

Page 147: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

126KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

membuat keputusan yang obyektif, transparan, akuntabel, dan adil sehingga jika diakses publik, tidak akan merugikan dirinya. Mereka masih tetap berusaha untuk mengambil kebijakan publik tanpa harus menyediakan secara terbuka dasar-dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Diakui bahwa jika mereka terbuka, maka mereka malah akan mengalami kerugian karena belum tentu sebuah keputusan atau kebijakan yang diambilnya benar-benar obyektif, terlepas dari unsur-unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme.1 Oleh karena itu, keberhasilan pelaksanaan keterbukaan informasi publik sangat ditentukan oleh upaya untuk mengubah kultur birokrasi yang sangat tertutup.

Di kalangan masyarakat sendiri, tuntutan akan keterbukaan informasi juga masih relatif terbatas. Masyarakat biasanya hanya akan mempermasalahkan sebuah kebijakan ketika merasa dirugikan. Misalnya, dalam bidang pendidikan, kalau ada pungutan biaya pendidikan oleh sekolah, para orang tua baru mempermasalahkan karena mereka sudah tahu ada dana BOS. Pada kasus seperti inilah masyarakat baru menuntut keterbukaan informasi tentang biaya pendidikan. Di samping itu, warga masyarakat sendiri juga masih dihinggapi ketakutan untuk menuntut keterbukaan informasi akibat trauma masa lalu ketika berhadapan dengan pemerintah. Seorang narasumber bahkan menuturkan bahwa terdapat ancaman yang riil bagi mereka yang bersikap kritis. Dalam kasus pendidikan, ada ancaman terhadap guru. Apabila mereka kritis dan menimbulkan resiko bagi lembaga, maka guru tersebut diancam dipindah atau dipecat. Bahkan ada yang diturunkan pangkatnya dari 3C ke 3B karena menuntut keterbukaan informasi.2

Media massa sendiri juga tidak terlalu sering menulis mengenai keterbukaan informasi publik ini, sehingga belum banyak warga masyarakat yang mengetahui tentang pentingnya keterbukaan informasi publik. Belum ada kesadaran yang kuat untuk menuntut informasi terkait berbagai kebijakan yang diambil pemerintah.3 Tulisan-tulisan tentang keterbukaan informasi publik baru muncul secara kontinyu semenjak pembentukan Pansel KIA sekitar bulan April 2011.4

1Disimpulkan dari hasil FGD, 3 Desember 2011.2Disampaikan oleh Pengurus KOBAR GB, dalam FGD, 3 Desember 2011.3Selama ini hanya ada satu tulisan tentang mahalnya keterbukaan informasi publik yang dimuat di media massa di Banda Aceh. (FGD, 3 Desember 2011).4Jafaruddin (2011).‘Pelitnya Keterbukaan Informasi.’ Terarsip dalam http://aceh.tribunnews.com/2011/10/01/pelitnya-keterbukaan-informasi

Page 148: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

127KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

9.1.2. Faktor PolitikDalam politik yang berbiaya mahal tanpa adanya sumber pembiayaan

politik yang memadai bagi berbagai partai dan kandidat pejabat publik yang dipilih melalui jalan politik, ada kecenderungan bagi para politisi untuk tidak menjadikan agenda keterbukaan informasi publik ini sebagai agenda publik penting. Hal ini dapat dipahami karena keterbukaan informasi yang mereka perjuangkan jelas suatu saat akan mengancam kepentingan mereka sendiri. Sikap dan pandangan seperti ini tampaknya menjadi kendala bagi implementasi keterbukaan informasi publik di tingkat lokal. Tidak ada partai atau aktivis partai yang secara terang-terangan memperjuangkan pentingnya keterbukaan informasi publik. Dalam konteks Aceh, salah satu lembaga atau dinas yang wesbitenya masih dalam konstruksi sementara dinas itu memiliki alokasi anggaran yang besar dan kepala dinasnya justru menjadi cawagub untuk pilkada Aceh bisa dijadikan indikasi bahwa di kalangan politisi-birokrat pun, keterbukaan informasi mungkin menjadi wacana menarik tetapi bukan untuk diaplikasikan dalam praktek. Ini bisa dilihat dari ketiadaan staf yang ahli bidang yang terkait dengan keterbukaan informasi publik di lembaga pemerintah, seperti ahli TI.5Kepentingan politik para aktor politik menjadi kendala tersendiri bagi implementasi keterbukaan informasi publik. Dukungan pemerintah terhadap pembentukan KIA pun masih terlihat setengah hati baik dari dukungan dana yang hanya 35 juta rupiah, maupun dalam komitmen untuk mendorong percepatan pelaksanaan fit and proper test untuk memilih anggota KIA oleh DPRA.6

Selain elit politik, masyarakat sipil juga berperan. Komponen masyarakat sipil di Aceh belum sepenuhnya pulih sebagai konsekuensi dari pengalaman masa lalu DOM selama akhir masa Orde Baru dan awal reformasi yang dilanjutkan dengan bencana tsunami pada akhir 2004. Organisasi non-pemerintah baru mulai bergeliat setelah banyak mendapat dukungan dari LSM Jakarta dan Asing pasca tsunami. Para kombatan yang mengalami perubahan pola hidup pasca perjanjian Helsinki masih sangat menggantungkan hidupnya dari mereka yang memegang kekuasaan dengan menjadi kontraktor. Ini menyebabkan proyek-proyek pemerintah tidak sepenuhnya bisa dilelang secara terbuka mengingat

5Diungkapkan dalam FGD tanggal 3 Desember 2011.6Diungkapkan dalam FGD tanggal 3 Desember 2011.

Page 149: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

128KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

tidak semua mantan kombatan memiliki modal dan kemampuan serta kualifikasi teknis yang memadai untuk bersaing secara terbuka dalam memperebutkan proyek-proyek pemerintah. Sementara kelompok masyarakat sipil dalam bidang media juga masih banyak yang punya hubungan mutualistis sehingga tidak sepenuhnya bisa menjadi sandaran bagi usaha untuk percepatan penerapan keterbukaan informasi publik. Tulisan-tulisan tentang keterbukaan informasi publik di media massa di Aceh tidak begitu banyak sehingga pemahaman warga masyarakat tentang arti penting keterbukaan informasi publik belum dirasakan.

Birokrasi dan pegawainya juga memberikan andil atas relatif lambannya pelaksanaan keterbukaan informasi di Aceh. Kalangan birokrasi dan pegawai masih belum terlepas sepenuhnya dari kebiasaan-kebiasaan lama dalam pemerintahan yang tertutup. Para birokrat masih lebih mengedepankan kepentingan lembaganya atau pejabat masing-masing, bukan pelayanan kepada masyarakat. Sumpah jabatan bahkan menjadi hambatan untuk lebih terbuka karena tuntutan loyalitas vertikal terhadap atasan dan lembaga ketimbang keberpihakan pada kepentingan publik.7 Mereka masih cenderung tertutup terhadap pihak luar sehingga jika publik ingin mengakses sebuah lembaga, paling mudah kalau melalui orang yang dikenalnya. Ini menjadi ciri yang menunjukkan masih kuatnya mental tertutup kepada publik dan mereka masih belum memahami secara baik konsep KIP ini. Para birokrat di daerah Aceh juga cenderung untuk menunggu petunjuk pelaksanaan atau melihat contoh dari pemerintah pusat. Walaupun telah diterapkan otonomi yang merombak total postur pemerintahan di Indonesia, pemerintah pusat masih dianggap sebagai panutan. Ini menjadikan birokrasi di daerah menunggu dan melihat sejauh mana pemerintah pusat sudah menerapkan keterbukaan informasi publik ini.8

9.2. Peluang ImplementasiMasyarakat Aceh sebenarnya merupakan masyarakat terbuka.

Mereka sadar akan teknologi. Misalnya di daerah perkotaan mereka setiap saat bisa mengakses internet melalui warung kopi yang hampir semuanya

7FGD, 3 Desember 2011.8FGD, 3 Desember 2011.

Page 150: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

129KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

menyediakan fasilitas wi-fi. Mereka yang ingin mengakses internet dapat melakukannya melalui warung kopi hanya dengan membayar uang lima ribu rupiah. Kondisi ini menjadi peluang penting bagi implementasi keterbukaan informasi publik. Di samping itu, untuk hal yang terkait dengan kehidupan politik, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang punya keinginan besar dalam berpartisipasi dalam kehidupan politik, sehingga bagi mereka mengetahui berbagai urusan publik dan juga bagaimana pemerintahan dijalankan menjadi sebuah keharusan.

Selain itu, terdapat gerakan masyarakat sipil yang mengadvokasi keterbukaan informasi publik, baik secara langsung maupun tidak langsung. LSM seperti KOBAR GB dan GERAK telah memberikan perhatian serius pada isu keterbukaan informasi terutama pada sektor pendidikan dan korupsi secara umum. Semakin vibrannya masyarakat sipil ini diharapkan akan menjadi landasan yang kuat bagi pelaksanaan keterbukaan informasi publik. Demikian halnya dengan para pengusaha yang berusaha secara mandiri tanpa fasilitas pemerintah. Kelompok ini diharapkan dapat menjadi salah satu pendorong bagi penerapan keterbukaan informasi publik. Mereka berusaha memperjuangkan keterbukaan dalam pengelolaan proyek-proyek pemerintah agar proses penentuan pemenang lelangnya dilakukan secara terbuka, objektif dan adil di tengah tekanan politik dari kelompok berkuasa untuk melanjutkan praktek-praktek KKN. Mereka bisa diharapkan menjadi bagian masyarakat sipil yang akan menuntut penyediaan informasi yang transparan dari pemerintah walaupun mereka sendiri menyadari bahwa keterbukaan mungkin membawa konsekuensi tertentu seperti adanya persaingan yang belum tentu menguntungkan mereka.9 Kelompok ini membutuhkan semacam afirmative action ketika sudah menyangkut kompetisi yang terbuka yang terkait dengan keterbukaan informasi publik. Sebagai daerah yang lama berada dalam situasi darurat militer dan terkena bencana tsunami, para pengusaha Aceh banyak yang belum siap untuk berkompetisi secara terbuka.10

Para akademisi juga dapat menjadi penggerak bagi pelaksanaan keterbukaan informasi publik. Mereka melalui interaksi intensif dengan LSM, media, dan tokoh-tokoh masyarakat dapat memberi

9Wawancara tim peneliti dengan Pimpinan PT Reubee Counsultant, tanggal 2 Desember 201110Ibid.

Page 151: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

130KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

sumbangan dan menyediakan iklim dan tuntutan yang terus menerus bagi pelaksanaan informasi publik. Munculnya beberapa organisasi profesi seperti Barisan Guru Bersatu, yang antara lain memperjuangkan nasib para guru diharapkan mampu menjadi penggerak penting pelaksanaan keterbukaan informasi publik di Aceh.

Di lingkungan internal birokrasi juga terdapat peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong keterbukaan informasi. Peningkatan level pendidikan aparat birokrasi dan penajaman spesialisasi pendidikan yang diambil, dengan mengambil pendidikan bidang TI dan sistem informasi juga memberi peluang besar untuk implementasi keterbukaan informasi publik di Pemerintah Aceh. Sejumlah pegawai telah memiliki keahlian dalam bidang TI dan juga bidang komunikasi serta informasi dapat menjadi bagian penting dalam peningkatan keterbukaan informasi publik. Di beberapa SKPA seperti Dishubkomintel, Badan Kepegawaian, Dinas Pendidikan sudah terdapat tenaga-tenaga terdidik yang dapat membantu proses pelaksanaan keterbukaan informasi publik ini secara lebih cepat.

9.3. KesimpulanDari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi KIP di

Pemerintah Aceh dan Kota Banda Aceh sangat dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor budaya birokrasi dan faktor politik. Kedua faktor tersebut berpengaruh secara signifikan baik terhadap dimensi kelembagaan maupun subtantif pengembangan keterbukaan informasi publik.

Budaya birokrasi di Pemerintah Aceh dan Kota Banda Aceh yang cenderung tertutup berimplikasi pada lambannya proses pengembangan KIP. Sebagian besar aparat pemerintah sesungguhnya sadar bahwa keterbukaan informasi publik akan mendorong terbentuknya pemerintahan yang lebih trasparan dan akuntabel. Namun justru di situlah letak persoalannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa praktik penyelenggaraan pemerintahan selama ini sangat sarat dengan nuansa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Tidak ada yang benar-benar bisa menjamin bahwa sebuah kebijakan publik diambil dengan obyektif tanpa unsur-unsur KKN. Oleh karena itu, ketika pemerintah membuka diri dalam konteks KIP bisa berarti membuka kotak pandora persoalan yang selama ini tertutup rapat.

Page 152: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

131KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Dari sisi demand, tuntutan masyarakat akan kebebasan informasi juga masih relatif rendah. Hal ini bisa dipahami mengingat sebagian besar masyarakat Aceh dalam kurun waktu yang lama berhadapan dengan wajah represif negara. Sehingga tidak mengherankan apabila masyarakat cenderung menghindar “berurusan” dengan pemerintah. Masyarakat hanya akan bereaksi ketika kebijakan yang diambil pemerintah secara nyata benar-benar merugikan mereka.

Sementara dari sisi politik, keterbukaan informasi masih dipandang sebagai ancaman bagi eksistensi individu maupun kelompok. Dengan paradigma seperti itu pengembangan KIP mengalami kendala sangat berat dari sisi politik. Terlebih, fokus pembangunan politik di Aceh beberapa tahun ke depan sepertinya masih seputar upaya rekonsiliasi antara berbagai kelompok masyarakat Aceh maupun akselerasi pembangunan pasca tsunami, sehingga isu KIP belum menjadi agenda publik penting.

Di tengah potret buram tersebut, upaya pengembangan KIP di Aceh sebenarnya memiliki fondasi yang cukup kokoh. Secara kultural, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang ekskpresif dan lugas dalam menyuarakan kepentingan. Sebagai entitas yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai islam, masyarakat Aceh pada dasarnya memiliki semangat yang tinggi untuk mendorong tegaknya pemerintahan yang baik sesuai nilai-nilai keislaman. Dalam konteks ini, kejujuran, keadilan, dan penegakkan kebenaran, adalah nilai-nilai fundamental yang paralel dengan nilai-nilai akuntabilitas dan transparansi yang menjadi pilar bagi tata pemerintahan yang baik. Modal penting lainnya yang dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat Aceh adalah ketersediaan anggaran dan fasilitas yang memadai. Dengan status otonomi khusus serta besarnya perhatian dunia internasional terutama paca tsunami hingga saat ini, Aceh sesungguhnya berpeluang dalam mengembangkan pemerintahan yang lebih akuntabel serta masyarakat sipil yang lebih kritis sehingga dapat mengawal terwujudnya pemerintahan Aceh yang lebih baik.

Page 153: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

132KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Page 154: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

133KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

PENUTUP:KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bagian ini akan membahas kesimpulan kunci dari seluruh hasil kajian, yang memperbandingkan antar daerah sebagai rajutan dari bab sebelumnya, sekaligus merumuskan rekomendasi strategis sebagai bahan pertimbangan kebijakan. Secara berturut-turut dimulai dengan menjelaskan perbandingan temuan-temuan di setiap daerah, ditutup dengan rumusan kesimpulan dan saran yang relevan dengan cakupan kajian.

10.1. Capaian Keterbukaan Informasi10.1.1. Capaian Kelembagaan

Meskipun UU Nomor 14 Tahun 2008 memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah secara keseluruhan untuk mengimplementasikan ketentuan yang digariskan dalam undang-undang itu dalam jangka waktu dua tahun, kesiapan daerah dalam menjalankannya menunjukkan variasi yang sangat tinggi. Dari tujuh unit pemerintahan yang diteliti, hanya dua unit pemerintahan yang merespon sesuai jadwal dengan merumuskan aturan-aturan teknis yang memungkinkan pelaksanaan ketentuan undang-undang yakni Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya.

Selebihnya, kelima unit pemerintahan lainnya melampaui jadwal yang ditetapkan dalam proses implementasi. Tiga unit pemerintahan masih dalam proses pembuatan aturan teknis untuk menopang pemberlakukan ketentuan UU KIP 2008, yakni DKI Jakarta, Pemerintah Aceh, dan Kota Banda Aceh. Dua unit lainnya, Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Manokwari bahkan belum memulai proses perumusan aturan teknis tersebut berikut instalasi kelembagaannya.

Dalam praktiknya, aturan teknis tersebut memberikan landasan eksekusi atas pembentukan Komisi Informasi Daerah (KID) dan

B A B 10

Page 155: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

134KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

penetapan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Publik (PPID). Karena itu perkembangan aspek kelembagaan ini juga terlihat tidak merata dimana Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya memiliki pencapaian yang jauh melampaui daerah lain yang diteliti.

Secara lengkap, perbandingan perkembangan aspek kelembagaan dan organisasional ini bisa dilihat pada tabel berikut:

Tabel 10.1. Capaian KelembagaanPerkembangan Kelembagaan

Pembuatan Juklak dan Juknis

Pembentukan KID

Penunjukan PPID

Provinsi DKI Jakarta Dalam proses Dalam proses Belum dilakukanProvinsi Jawa Timur Ada Sudah terbentuk Sudah dilakukanKota Surabaya Ada Sudah terbentuk Sudah dilakukanProvinsi Papua Barat Belum ada Belum terbentuk Belum dilakukanKab. Manokwari Belum ada Belum terbentuk Belum dilakukanPemerintah Aceh Dalam proses Dalam proses Dalam prosesKota Banda Aceh Dalam proses Dalam proses Dalam proses

10.1.2. Capaian SubstantifCapaian kelembagaan seharusnya menjadi landasan bagi

pencapaian substantif. Dengan kata lain, jika perangkat kelembagaan atau organisasional sudah terbentuk, produk informasi publik segera bisa diwujudkan. Akan tetapi temuan di lapangan menggambarkan adanya variasi tingkat ketersediaan dan kelengkapan produk informasi publik. Beberapa daerah seperti Jawa Timur dan Kota Surabaya memang sudah melaksanakan keterbukaan informasi bahkan jauh mendahului lahirnya UU KIP, namun lebih banyak daerah lagi yang belum melaksanakannya. Ada juga daerah seperti Pemerintah Aceh dan Kota banda Aceh yang lebih mengedepankan capaian substantif ketimbang capaian kelembagaan. Di wilayah tersebut, website e-government dibuat mendahului pembentukan KID dan penetapan PPID atas inisiatif SKPD. Dengan demikian, penataan kelembagaan tidak selalu berhubungan secara linier dengan produksi informasi publik.

Jika dibandingkan lebih jauh, terdapat variasi pencapaian substantif antara unit pemerintahan yang diteliti. Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya tak hanya telah mengimplementasikan e-government namun

Page 156: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

135KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

juga telah menyediakan jenis informasi publik yang terakses oleh publik yang hampir mendekati ideal yang digariskan undang-undang. Demikian juga, dari segi kemudahan akses informasi publik yang disediakan, kedua unit pemerintahan ini juga menunjukkan capaian yang bagus. Publik relatif mudah mendapatkan informasi publik yang mereka perlukan. Perbandingan selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 10.2. Capaian Substansi

Pemenuhan SubstansiKetersedian

Media*Cakupan Informasi

Kemudahan Akses**

Provinsi DKI Jakarta Website Umum RendahProvinsi Jawa Timur Website Mendekati UU TinggiKota Surabaya Website Mendekati UU TinggiProvinsi Papua Barat Tidak jelas Belum ada Belum adaKab. Manokwari Tidak jelas Belum ada Belum adaPemerintah Aceh Website Belum sistematik SedangKota Banda Aceh Website Belum sistematik Sedang

* tidak berarti bahwa media lain tidak digunakan** tidak dimaksudkan sebagai pemeringkatan

Sebagaimana terlihat pada tabel tersebut, pencapaian Pemerintah Aceh dan Kota Banda Aceh di ketiga dimensi yang bersifat substantif tidaklah terlalu buruk. Website e-government tersedia di kedua unit pemerintahan ini sementara cakupan informasi yang bisa dijangkau publik realtif beragam. Akses publik terhadap informasi publik tersebut pun tidak terlalu rumit. Tiga unit pemerintahan lainnya, yakni DKI Jakarta, Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Manokwari tidak menunjukkan capaian yang lebih baik, bahkan jauh tertinggal, dibanding capaian unit-unit pemerintahan yang lain.

10.2. Kendala Keterbukaan InformasiKendala yang dihadapi pemda dalam mengimplementasikan

keterbukaan informasi publik dapat dibedakan atas kendala umum dan kendala spesifik. Kendala umum misalnya berkaitan dengan sosialisasi. Salah satu sebab yang menjelaskan munculnya variasi pencapaian implementasi UU KIP 2008 adalah tinggi rendahnya atau efektif tidaknya

Page 157: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

136KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

sosialisasi yang berjalan di masing-masing daerah. Sosialisasi ini bisa dilakukan oleh KIP Pusat yang berada di Jakarta maupun kementerian pemerintahan seperti Kemkominfo dan Kemendagri. Selain itu, sosialisasi bisa dilakukan oleh komunitas politik yang ada di tingkat lokal, termasuk kelompok LSM yang bergerak di bidang advokasi keterbukaan informasi. Jika ditelisik lebih dalam, nampak bahwa sosialisasi yang dijalankan oleh lembaga-lembaga terkait di pusat tidaklah berjalan sesuai yang diharapkan. Minimal, proses sosialisasi itu tidaklah dijalankan secara serentak.

Dalam kasus Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya, sosialisasi dilakukan di antara komunitas politik lokal dengan pembentukan Forum Komisi Informasi Daerah. Lembaga inilah yang mengenalkan, mendiskusikan, dan menyebarkan (sekaligus memberikan pressure) ke pejabat relevan di daerah sehingga pencapaian kedua unit pemerintahan tersebut bisa maksimal.

Kendala lainnya berkaitan dengan kualitas komisioner dan PPID. Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya memiliki komisioner yang inovatif dan visioner sehingga muncul banyak sekali terobosan. Unutk DKI Jakarta, muncul kekuatiran akan kualitas dan kapasitas komisioner KID yang sedang direkrut. Demikian halnya dengan PPID: ada yang benar-benar memahami tugas dan fungsinya dan ada yang kurang memahaminya.

Tabel 10.3. Kendala UmumKendala*

SosialisasiKualitas

KomisionerKualitas PPID

Provinsi DKI Jakarta Rendah Rendah Belum bisa dievaluasi

Provinsi Jawa Timur Tinggi Tinggi TinggiKota Surabaya Tinggi Tinggi TinggiProvinsi Papua Barat Rendah Belum bisa

dievaluasi Belum bisa dievaluasi

Kab. Manokwari Rendah Belum bisa dievaluasi

Belum bisa dievaluasi

Pemerintah Aceh Menengah-tinggi Menengah tinggi Menengah tinggiKota Banda Aceh Menengah tinggi Menengah tinggi Menengah tinggi

* Tidak dimaksudkan sebagai peringkatan, sebab evaluasi ini adalah self-assessment yang diperoleh melalui wawancara, tanpa membandingkan dengan daerah lain. Demikian juga dengan kolom-kolom di sebelahnya

Page 158: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

137KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Selain kendala yang bersifat umum di atas, di tiap daerah terdapat keunikan yang menghasilkan kendala yang spesifik atau bersifat khas daerah. Misalnya, DKI Jakarta. Hasil observasi menunjukkan bahwa tekanan politik di Jakarta sebagai panggung politik nasional sangat tinggi. Namun, justru karena Jakarta adalah pusat perhatian politik nasional, isu-isu lokal, termasuk urgensi implementasi UU KIP, tidak menjadi pusat perhatian para penggiat advokasi keterbukaan. Ini berbeda, misalnya, dengan ketika RUU diperdebatkan dan menyedot perhatian publik Jakarta. Bisa dikatakan bahwa ini problem khas Jakarta, sebab panggung politik nasional tak berlokasi di kota lain.

Problem spesifik kedaerahan ini juga muncul di Papua dan Manokwari. Dari sudut anggaran, berkat adanya Dana Khusus Otonomi, Papua Barat menerima triliunan rupiah setiap tahun dari pemerintah pusat. Umumnya, anggaran dan penggunaannya menjadi pintu masuk bagi para penggiat keterbukaan informasi untuk menuntut pemerintah daerah terbuka. Namun di Papua dan Manokwari situasi ini tidak secara otomatis berujung pada upaya untuk mengimplementasikan keterbukaan informasi (lihat tabel sebelumnya tentang capaian implementasi UU KIP). Salah satu penyebab hambatan ini adalah adanya konflik sub-etnik di Papua. Demikian halnya dengan penetrasi etnis dalam birokrasi yang menyebabkan tidak bekerjanya check and balance di wilayah tersebut.

Di luar Jakarta, Papua Barat, dan Kabupaten Manokwari, penelitian di lapangan tidak menemukan kendala khas daerah sebagaimana digambarkan pada tabel berikut:

Tabel 10.4. Kendala SpesifikKendala Khas Daerah

Provinsi DKI Jakarta Panggung politik nasional sehingga isyu lokal terabaikan Provinsi Jawa Timur Tidak terdeteksiKota Surabaya Tidak terdeteksiProvinsi Papua Barat Konflik elite berbasis pengelompokan sub-tenikKab. Manokwari Konflik elite berbasis pengelompokan sub-tenikPemerintah Aceh Tidak terdeteksiKota Banda Aceh Tidak terdeteksi

Page 159: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

138KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

10.3. Peluang Keterbukaan InformasiImplementasi UU KIP juga dipengaruhi sejumlah faktor lain,

yang dalam penelitian ini disebut sebagai peluang. Komponen peluang ini mencakup tiga hal: leadership atau kepemimpinan, demands atau tuntutan publik, dan inovasi atau inisiatif orisinal yang dilakukan di daerah dalam proses mengimplementasikan UU KIP. Tabel berikut menyajikan perbandingan terkait struktur peluang di setiap daerah.

Tabel 10.5. Peluang Keterbukaan InformasiLeadership Demand Inovasi/Terobosan

Provinsi DKI Jakarta Tidak teridentifikasi Tinggi Tidak adaProvinsi Jawa Timur Pro-aktif Tinggi AdaKota Surabaya Pro-aktif Tinggi AdaProvinsi Papua Barat Tidak teridentifikasi Rendah Tidak adaKab. Manokwari Tidak teridentifikasi Rendah Tidak adaPemerintah Aceh Memfasilitasi Tinggi Tidak teridentifikasi

Kota Banda Aceh Memfasilitasi Tinggi Tidak teridentifikasi

Di Jawa Timur dan Surabaya, sejak awal setelah UU KIP 2008 disahkan, komunitas politik di sana membentuk Forum PPID yang berfungsi untuk melakukan pembelajaran, sosialisasi, dan eksekusi ketentuan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. Pembentukan forum ini, sebagaimana dijelaskan lebih detail di bab sebelumnya, memfasilitasi proses implementasi keterbukaan informasi publik. Untuk satu hal, forum ini tidak dimandatkan dalam undang-undang. Karena itu forum seperti ini sepenuhnya merupakan inisiatif daerah. Adanya inisiatif yang bersifat lokal serta adanya faktor kepemimpinan yang memfasilitasi pembentukan forum tersebut telah menempatkan Jawa Timur sebagai daerah yang berada di garda depan dalam hal perwujudan keterbukaan informasi publik.

Komponen kedua yang memperbesar peluang Jawa Timur untuk terus memperbaiki kinerja dalam hal keterbukaan informasi adalah tingginya tuntutan masyarakat yang direpresentasikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk meminta informasi publik. Selain efek positif, tuntutan ini juga menghasilkan sengketa tentang batasan informasi publik yang harus disediakan dan boleh diakses oleh publik. Sampai saat

Page 160: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

139KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

penelitian ini dijalankan, sengketa tersebut masih berlangsung. Namun perselisihan ini pula yang akan menghasilkan kemajuan keterbukaan lebih luas karena respon Pemda Jawa Timur bersifat positif dengan cara mencoba merumuskan batas itu dengan merancang petunjuk teknis.

Kalau melihat tabel perbandingan, kecuali Papua Barat dan Manokwari, tuntutan yang berasal dari masyarakat sebenarnya cukup tinggi. Namun faktor-faktor lain juga ikut menentukan kemajuan dan perkembangan rezim keterbukaan informasi publik di setiap daerah.

Dari uraian tersebut terdapat beberapa poin penting yang perlu digarisbawahi, yakni:

Pencapaian keterbukaan informasi di tujuh daerah yang diteliti a. bervariasi dimana variasi ini ditentukan oleh beberapa sebab.Dalam hal pengembangan kelembagaan, hanya dua wilayah b. saja, yakni Jawa Timur dan Surabaya yang telah memenuhi jadwal pembentukan dua struktur kelembagaan yang menopang pelaksanaan UU KIP 2008 – Komisi Informasi Daerah dan PPID. Aturan pelaksanaan di daerah belum dibikin di semua daerah. Dalam variasi yang berbeda, DKI Jakarta, Pemerintah Aceh dan Kota Banda Aceh, Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Manokwari belum mampu memenuhi mandat UU KIP 2008.Dari sudut substantif, produksi informasi publik yang c. disediakan dan bisa diakses publik umumnya terbatas. Jawa Timur dan Surabaya, yang menjadi pilot project implementasi keterbukaan informasi publik telah mampu memproduksi jenis-jenis informasi publik yang ditentukan undang-undang untuk disediakan. Sementara, Pemerintah Aceh dan Kota Banda Aceh juga telah menujukkan kemampuan untuk melaksanakan ketentuan itu meskipun belum sistematik: perangkat kelembagaan belum terbentuk namun sejumlah informasi publik disediakan oleh Dinas atau SKPD.Dilihat dari penyebab variasi tersebut, secara umum faktor d. penyebabnya adalah rendahnya pengetahuan, kapasitas dan kemauan aparatur pemerintahan di daerah dalam memahami dan melaksanakan ketentuan yang digariskan oleh undang-undang. Sayangnya, sosialisasi UU saja belum dilakukan secara sistematik

Page 161: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

140KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

dan terarah meskipun upaya ke arah itu ada.Kendala khas daerah, meskipun tidak teridentifikasi semuanya e. adalah kenyataan bahwa isu keterbukaan informasi publik tidak menjadi pusat perhatian karena isu tersebut tertutupi oleh isu-isu lain. Selain itu, konfigurasi etnis dan kontestasi di antaranya juga ternyata mempengaruhi pelaksanaan keterbukaan informasi publik.Dari sudut peluang yang tersedia bagi masing-masing daerah, f. kapasitas leadership dan tekanan publik adalah dua variabel penting yang menentukan pencapaian keterbukaan informasi publik.

10.4. Rekomendasi StrategisBertolak dari temuan-temuan penting di atas, berikut dirumuskan

beberapa rekomendasi strategis. Rekomendasi strategis tersebut dirumuskan dengan memberikan perhatian pada 3 aspek penting dalam mendorong keterbukaan informasi publik, yakni pengetahuan, kemampuan atau kapasitas dan kemauan.

Pertama, diperlukan upaya strategis untuk meningkatkan pengetahuan pemerintah daerah dan masyarakat terkait UU KIP serta segala implikasinya. Sosialisasi yang dijalankan selama ini perlu dilakukan secara lebih sistematis dengan terutama memberikan perhatian pada urgensi keterbukaan informasi sebagai keharusan atau kebutuhan bagi pengembangan tata kelola yang semakin baik dan bukan semata-mata sebagai mandat formal UU. Kemasan sosialisasi juga perlu dilakukan secara lebih inovatif, baik untuk menjangkau pemerintah daerah maupun masyarakat. Yayasan TIFA juga diharapkan bisa memainkan peran dalam konteks ini melalui publikasi yang semakin gencar serta langkah-langkah promosi lainnya.

Kedua, diperlukan langkah yang serius untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam melaksanakan keterbukaan informasi publik. Instalasi regulasi nasional terkait pedoman operasional pelaksanaan keterbukaan informasi publik serta fasilitasi-fasilitasi peningkatan kapasitas KID dan PPID perlu dirancang dan dilaksanakan secara serius. Demikian halnya pada level provinsi dan kabupaten. Yayasan TIFA juga diharapkan perannya dengan memberikan pelatihan-pelatihan teknis bagi Pemda dan

Page 162: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

141KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

masyarakat terkait pelaksanaan keterbukaan informasi publik.Ketiga, diperlukan intervensi yang lebih sistematis untuk menciptakan

dan meningkatkan komitmen dan kemauan pemerintah daerah untuk melaksanakan keterbukaan informasi publik. Mekanisme regulasi yang bersifat memaksa perlu dibarengi dengan mekanisme insentif bagi Pemda sehingga keterbukaan informasi publik pada akhirnya menjadi bagian dari praktek pemerintahan sehari-hari. Pemberian penghargaan untuk Keterbukaan Informasi bagi Pemda yang berhasil melakukan terobosan, misalnya, bisa dilakukan dalam konteks ini. Inisiatif semacam ini bisa diselenggarakan oleh Yayasan TIFA bekerjasama dengan pemerintah, universitas dan media massa.

Keempat, sebagai suplemen terhadap kajian ini, diperlukan kajian lain yang melihat pelaksanaan keterbukaan informasi publik serta problematikanya dari sisi pengguna informasi (masyarakat). Kajian semacam ini akan memberikan basis intervensi yang kuat untuk menciptakan demand atau pressure dari masyarakat agar bisa menginduksi Pemda untuk segera melaksanakan keterbukaan informasi publik.

Page 163: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

142KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Page 164: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

143KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

DAFTAR PUSTAKA

Publikasi Buku

Badan Pusat Statistik, (2011), Papua Barat Dalam Angka 2011, BPS Provinsi Papua Barat.

Curtin, Deidre, (1996) ‘Betwixt and Between: Democracy and Transparency in the Governance of the European Union,’ in J Winter, D. Curtin, A. Kallermen. B. de Witte (eds), Reforming the Treaty of European Union – The Legal Debate. The Hague: Kluwer.

De Bruijn, Hans A. And Hans AM Hufen, (1998), ”The Traditional Approach to Policy Instruments” dalam B. Guy Peters and Frans KM van Nispen (eds), Public Policy Instruments: Evaluating the Tools of Public Administration, New York: Edward Elgar Pub.

Grindle, Merilee S, (1980), “Policy Content and Context in Implementation”, dalam Merilee S. Grindle (ed), Politics and Policy Implementation in the Third World, Princeton: Princeton University Press.

Heretier, Adrienne, (2003) Composite Democracy in Europe: The Role of Transparency and Access to Information. Journal of European Public Policy 10 (5), pp. 814-833.

Randall, Vicky and Lars Svasan, (2002), “Party Institutionalisation in New Democracies,” Party Politics, vol. 8, no. 1, pp. 5-29.

Stoker, Gerry, (1994), “The Role and Purpose of Local Government”, CLD Research Report, No. 4, Commision for Local Democracy.

Page 165: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008ppkk.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Kajian... · 2018. 1. 29. · vi KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN

144KAJIAN IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008

Santoso, (2010), Pembelajaran Analisis Kebijakan Publik, Research Center on Politics and Goverment, Universitas Gadjah Mada

Steffek, John, (2008), “Public Accountability and the Public Sphere of International Governance”, Working Paper, Recon online working paper 2008/03.

Zulkarnain, Sirajudin dan Aan EkoWidiarto, (2006), Menggagas Keterbukaan Informasi Publik: Upaya Kolektif Berantas Korupsi. Malang: Malang Corruption Watch dan YAPPIKA.

Publikasi Online

Anggraeni, Wilda, (2011), ”Keterbukaan Informasi Publik Untuk Penyelenggaraan Negara yang LebihBaik” terars ip dalam http://www.logica .or . id/en/news.php?artid=86&arttype=125/05/2011 04:47:52

”15 Calon Anggota Komisi Informasi Aceh Terpilih” terarsip dalam http://harian-aceh.com/2011/07/12/15-calon-anggota-komisi-informasi-aceh-terpilih

”Ini Dia 15 Calon Anggota Komisi Informasi Aceh” terarsip dalam http://www.theglobejournal.com/kategori/varia/ini-dia-15-calon-anggota-komisi-informasi-aceh.php

Hidayat, Firman, (2011), ”Uji Kelayakan Anggota Komisi Informasi Aceh Mengambang” terarsip dalam http://theglobejournal.com/kategori/varia/uji-kelayakan-anggota-komisi-informasi-aceh-mengambang.php.

Jafaruddin, (2011), ”Pelitnya Keterbukaan Informasi” terarsip dalam http://aceh.tribunnews.com/2011/10/01/pelitnya-keterbukaan-informasi