pariwisata hijau sebagai alternatif …

15
1 PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN DESA WISATA DI INDONESIA Oleh: Ni Ketut Arismayanti ABSTRACT Village constitutions should be used as the initial momentum to organize and explore the potential of the village, as well as the planned construction of the ideal in each village in Indonesia. In the development of rural tourism of each village should have a characteristic unique potential tourism which distinguishes one village to another, so that the resulting product does not travel to compete with each other, but complementary. Green tourism as part of ecotourism, alternative tourism, the development certainly gives a different color than the development of other types of tourism. Green tourism development should take into consideration the development of tourism products that have high ecological value with a market share of special interest which have high levels of awareness and high loyalty. Likewise, the use of green products in the tourism lead to environmentally friendly products and at the same time made resource utilization efficiency and renewable energy. In the development of green tourism of course there are principles that must exist and be pursued on an ongoing basis. Tourist destinations which are used as a tourist attraction to the natural need and have the focus of environmental conservation. Direction of the development of tourism with the concept of green tourism should have a holistic planning by considering various aspects. The purpose of such development is done in order to minimize negative impacts by doing tourism development in an area. Development of tourism facilities in a tourist area with the concept of green tourism by building environmental awareness is high, not only by the local people as the host, but also by the tourists who visit. Environmental awareness will ensure sustainability and environmental sustainability for the future. Keywords: village constitution, tourism development, green tourism. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia merupakan negara yang luas dan besar terbentang dari Sabang hingga Merauke. Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat istiadat dan memiliki bahasa daerah masing- masing serta ciri khas budaya yang kaya dan unik. Indonesia memiliki potensi alam yang sangat besar dan luar biasa pada masing-masing propinsi, kabupaten maupun desanya. Masing-masing propinsi, kabupaten maupun desa di Indonesia memiliki ciri khas budaya dan adat istiadat yang unik dan menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia. Saat ini desa merupakan bagian terdepan dalam wilayah dan sistem kenegaraan kita, maka peranan desa tidak saja penting tetapi sangat strategis dalam pembangunan bangsa serta keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pola pembangunan lama yang terpusat di perkotaan telah digantikan dengan pola pembangunan di desa. Oleh karena itu, percepatan dan pemerataan pembangunan di seluruh perdesaan menjadi suatu hal yang diharapkan. Pola pembangunan yang terpusat di perkotaan menyisakan banyak persoalan. Sektor ekonomi yang berkembang di perkotaan menyebabkan terjadinya kesenjangan yang signifikan antara desa dengan kota. Hal tersebut memicu terjadinya urbanisasi dengan berbagai permasalahan kompleksnya, baik di desa maupun di kota.

Upload: others

Post on 29-Nov-2021

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF …

1

PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN DESA WISATA

DI INDONESIA

Oleh: Ni Ketut Arismayanti

ABSTRACT

Village constitutions should be used as the initial momentum to organize and explore the

potential of the village, as well as the planned construction of the ideal in each village in

Indonesia. In the development of rural tourism of each village should have a characteristic

unique potential tourism which distinguishes one village to another, so that the resulting product

does not travel to compete with each other, but complementary. Green tourism as part of

ecotourism, alternative tourism, the development certainly gives a different color than the

development of other types of tourism. Green tourism development should take into

consideration the development of tourism products that have high ecological value with a market

share of special interest which have high levels of awareness and high loyalty. Likewise, the use

of green products in the tourism lead to environmentally friendly products and at the same time

made resource utilization efficiency and renewable energy. In the development of green tourism

of course there are principles that must exist and be pursued on an ongoing basis. Tourist

destinations which are used as a tourist attraction to the natural need and have the focus of

environmental conservation. Direction of the development of tourism with the concept of green

tourism should have a holistic planning by considering various aspects. The purpose of such

development is done in order to minimize negative impacts by doing tourism development in an

area. Development of tourism facilities in a tourist area with the concept of green tourism by

building environmental awareness is high, not only by the local people as the host, but also by

the tourists who visit. Environmental awareness will ensure sustainability and environmental

sustainability for the future.

Keywords: village constitution, tourism development, green tourism.

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara

benua Asia dan Australia serta di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia

merupakan negara yang luas dan besar terbentang dari Sabang hingga Merauke. Masyarakat

Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat istiadat dan memiliki bahasa daerah masing-

masing serta ciri khas budaya yang kaya dan unik. Indonesia memiliki potensi alam yang sangat

besar dan luar biasa pada masing-masing propinsi, kabupaten maupun desanya. Masing-masing

propinsi, kabupaten maupun desa di Indonesia memiliki ciri khas budaya dan adat istiadat yang

unik dan menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia.

Saat ini desa merupakan bagian terdepan dalam wilayah dan sistem kenegaraan kita, maka

peranan desa tidak saja penting tetapi sangat strategis dalam pembangunan bangsa serta keutuhan

dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pola pembangunan lama yang

terpusat di perkotaan telah digantikan dengan pola pembangunan di desa. Oleh karena itu,

percepatan dan pemerataan pembangunan di seluruh perdesaan menjadi suatu hal yang

diharapkan. Pola pembangunan yang terpusat di perkotaan menyisakan banyak persoalan. Sektor

ekonomi yang berkembang di perkotaan menyebabkan terjadinya kesenjangan yang signifikan

antara desa dengan kota. Hal tersebut memicu terjadinya urbanisasi dengan berbagai

permasalahan kompleksnya, baik di desa maupun di kota.

Page 2: PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF …

2

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN DESA

Pemerintah saat ini telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

beserta seluruh Peraturan Pelaksanaan dan Penjabarannya yang implementasinya akan dimulai

pada Tahun 2015. Sejarah hubungan negara dan desa diawali dengan diterbitkannya Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Kemudian setelah 20 tahun,

diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang

menempatkan desa dalam bingkai otonomi daerah. Selanjutnya terbit Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pada akhirnya pada tahun 2014 muncul kebijakan baru

yang mengatur desa secara khusus, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Undang-undang Desa disahkan pada 18 Desember 2013 dan menjadi lembaran negara Nomor 6

Tahun 2014 pada 15 Januari 2014.

Undang-Undang Desa menjadi titik balik pengaturan desa di Indonesia. Undang-Undang Desa

menempatkan desa sesuai amanat konstitusi dengan mengacu pada pasal 18 B ayat 2 dan Pasal

18 ayat 7. Undang-Undang Desa membentuk tatanan desa sebagai self-governing community

(desa) dan local self-government (daerah). Tatanan tersebut diharapkan mampu mengakomodasi

kesatuan masyarakat hukum adat yang menjadi dasar keragaman NKRI. Dengan

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tersebut, maka telah digelontorkannya

sejumlah dana untuk pembangunan desa. Filosofi dari adanya dana desa adalah untuk

meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa melalui peningkatan pelayanan

publik di desa, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antar desa,

serta memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan. Jumlah alokasi anggaran

yang langsung ke desa ditetapkan 10% dari dan di luar dana transfer daerah. Hal lain yang

dipertimbangkan adalah jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan kesulitan

geografi. Guna memajukan desa, diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar 14

miliar berdasarkan perhitungkan dalam penjelasan Undang-Undang Desa, yaitu 10% dari dan

transfer daerah menurut Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk perangkat desa

sebesar 59,2 triliun ditambah dengan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sekitar

10 persen yang akan dibagi ke 72 ribu desa se-Indonesia.

Desa merupakan entitas penting dalam NKRI. Berdasarkan Undang-Undang Desa Nomor 6

Tahun 2014 yang menganut asas pengaturan desa sebagai berikut:

1) Recognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul.

2) Subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan

secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa.

3) Kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerjasama dengan prinsip

saling menghargai antara kelembagaan di tingkat desa dan unsur masyarakat desa dalam

membangun desa.

4) Keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di

masyarakat desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara.

5) Kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat desa sebagai bagian dari satu kesatuan

keluarga besar masyarakat desa.

6) Kegotong-royongan, yaitu kebiasaan saling tolong menolong untuk membangun desa.

Page 3: PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF …

3

7) Musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan

masyarakat desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan.

8) Demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat desa dalam suatu sistem

pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat desa atau dengan persetujuan masyarakat

desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa

diakui, ditata, dan dijamin.

9) Partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan.

10) Kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran.

11) Kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat

desa unuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan

kemampuan sendiri.

12) Pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa

melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah

dan prioritas kebutuhan masyarakat desa.

13) Keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan

berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan desa.

Menguatkan desa dan masyarakat desa serta pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di

perdesaan untuk mendorong keterkaitan desa-kota dan perdesaan berkelanjutan, melalui:

1) Pemenuhan SPM sesuai dengan kondisi geografis Desa.

2) Penanggulangan kemiskinan dan pengembangan usaha ekonomi masyarakat Desa.

3) Pembangunan Sumber Daya Manusia, meningkatkan keberdayaan, dan modal sosial

budaya masyarakat desa.

4) Penguatan pemerintahan desa dan lembaga kemasyarakatan desa.

5) Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup berkelanjutan, serta penataan ruang

kawasan perdesaan.

6) Pengembangan ekonomi kawasan perdesaan untuk mendorong keterkaitan desa-kota.

Adapun tujuan arah kebijakan pemerintah tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan dan

kualitas hidup masyarakat desa, dengan mendorong pembangunan desa-desa mandiri dan

berkelanjutan yang memiliki ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sasaran strategi dari

implementasi perundang-undangan tersebut adalah:

1) Berkurangnya jumlah desa tertinggal sedikitnya 5.000 desa atau meningkatnya jumlah

desa mandiri sedikitnya 2.000 desa.

2) Prioritas penggunaan dana desa untuk pembangunan desa dialokasikan untuk mencapai

tujuan pembangunan desa, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan

kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, melalui: pemenuhan

kebutuhan dasar; pembangunan sarana dan prasarana desa; pengembangan potensi

ekonomi lokal; dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

3) Prioritas penggunaan dana desa sebagaimana dimaksud dalam pemenuhan kebutuhan

dasar, meliputi: pengembangan pos kesehatan desa dan polindes; pengelolaan dan

pembinaan posyandu; dan pembinaan dan pengelolaan pendidikan anak usia dini.

4) Prioritas penggunaan dana desa sebagaimana dimaksud dalam pembangunan sapra desa

dan pengembangan potensi ekonomi lokal untuk mendukung target pembangunan sektor

unggulan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-

2019 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahunnya, yang diprioritaskan untuk:

Page 4: PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF …

4

mendukung kedaulatan pangan; mendukung kedaulatan energi; mendukung

pembangunan kemaritiman dan kelautan; dan; mendukung pariwisata dan industri.

5) Prioritas penggunaan dana desa sebagaimana dimaksud dalam pembangunan sapras desa

didasarkan atas kondisi dan potensi desa, sejalan dengan pencapaian target RPJM Desa

dan RKP Desa setiap tahunnya, yang diantaranya dapat meliputi: Pembangunan dan

pemeliharaan jalan desa; pembangunan dan pemeliharaan jalan usaha tani; pembangunan

dan pemeliharaan embung desa; pembangunan energi baru dan terbarukan; pembangunan

dan pemeliharaan sanitasi lingkungan; pembangunan dan pengelolaan air bersih berskala

desa; pembangunan dan pemeliharaan irigasi tersier; pembangunan dan pemeliharaan

serta pengelolaan saluran untuk budidaya perikanan; dan pengembangan sarana dan

prasarana produksi di desa.

6) Prioritas penggunaan dana desa sebagaimana dimaksud dalam pengembangan potensi

ekonomi lokal didasarkan atas kondisi dan potensi desa, sejalan dengan pencapaian target

RPJM Desa dan RKP Desa setiap tahunnya, yang diantaranya dapat meliputi: pendirian

dan pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes); pembangunan dan pengelolaan

pasar desa dan kios desa; pembangunan dan pengelolaan tempat pelelangan ikan milik

desa; pembangunan dan pengelolaan keramba jaring apung dan bagan ikan;

pembangunan dan pengelolaan lumbung pangan desa; pembuatan pupuk dan pakan

organik untuk pertanian pertanian dan perikanan; pengembangan benih lokal;

pengembangan ternak secara kolektif; pembangunan dan pengelolaan energi mandiri;

pembangunan dan pengelolaan tambatan perahu; pengelolaan padang gembala;

Pengembangan Desa Wisata; pengembangan teknologi tepat guna pengolahan hasil dan

sehat; dukungan terhadap kegiatan desa dan masyarakat pengelolaan hutan desa dan

hutan kemasyarakatan; dan peningkatan kapasitas kelompok masyarakat. Penigkatan

kapasitas kelompok masyarakat dapat dilakukan melalui: Kelompok Usaha Ekonomi

Produktif; Kelompok Perempuan; Kelompok Tani; Kelompok Masyarakat Miskin;

Kelompok Nelayan; Kelompok Pengrajin; Kelompok Pemerhati Dan Perlindungan Anak;

Kelompok Pemuda; dan kelompok lain sesuai kondisi desa.

7) Prioritas penggunaan dana desa sebagaimana dimaksud dalam Pemanfaatan Sumber

Daya Alam (SDA) dan lingkungan secara berkelanjutan, didasarkan atas kondisi dan

potensi desa, sejalan dengan pencapaian target RPJM Desa dan RKP Desa setiap

tahunnya, yang diantaranya dapat meliputi: Komoditas Tambang Mineral bukan logam

(Zirkon, Kaolin, Zeolit, Bentonit, Silika / Pasir Kuarsa, Kalsit / Batu Kapur / Gamping,

Felspar; dan Intan); Komoditas Tambang Batuan (Onik, Opal, Giok, Agat, Topas, Perlit,

Toseki, Batu sabak, Marmer, Granit, Kalsedon, Rijang, asper, Krisopras, Garnet, dan

potensi komoditas tambang batuan lainnya); Rumput Laut; Hutan Milik Desa; dan

pengelolaan sampah.

PENGEMBANGAN DESA WISATA MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

DESA

Pengertian pariwisata dikemukakan oleh beberapa para ahli, yaitu Herman V. Schulalard (1910)

dalam Yoeti (1996), seorang ahli Ekonomi Bangsa Austria menyatakan “Tourism is the sum of

operations, mainly of an economic nature, which directly related to the entry, stay and movement

of foreigner inside certain country, city or region” (Kepariwisataan adalah sejumlah kegiatan,

terutama yang ada kaitannya dengan kegiatan perekonomian yang secara langsung berhubungan

Page 5: PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF …

5

dengan masuknya, adanya pendiaman dan bergeraknya orang-orang asing keluar masuk suatu

kota, daerah atau Negara). Sedangkan E. Guyer Freuler (dalam Yoeti, 1996) menyatakan

“Pariwisata dalam artian modern adalah merupakan phenomena dari jaman sekarang yang

didasarkan atas kebutuhan akan kesehatan dan pergantian hawa, penilaian yang sadar dan

menumbuhkan (cinta) terhadap keindahan alam dan pada khususnya disebabkan oleh

bertambahnya pergaulan berbagai bangsa dan kelas masyarakat manusia sebagai hasil daripada

perkembangan perniagaan, industri, perdagangan serta penyempurnaan daripada alat-alat

pengangkutan”.

Menurut Prof. Hunzieker dan Prof. K. Krapt (1942) dalam Yoeti (1996):“Tourism is the totally

of the relationship and phenomena arising from the travel and stay of strangers (Ortsfremde),

provide the stay does not imply the establishment of a permanent resident” (Kepariwisataan

adalah keseluruhan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan dan pendiaman orang-orang

asing serta penyediaan tempat tinggal sementara, asalkan pendiaman itu tidak tinggal menetap

dan tidak memperoleh penghasilan dari aktivitas yang bersifat sementara itu). Soekadijo (1997)

menyatakan “Pariwisata merupakan gejala yang kompleks dalam masyarakat, didalamnya

terdapat hotel, objek wisata, souvenir, pramuwisata, angkutan wisata, biro perjalanan wisata,

rumah makan dan banyak lainnya. Disamping itu pula terdapat wisatawan dengan berbagai

tingkah lakunya”.

Menurut WTO (1999), yang dimaksud dengan pariwisata adalah kegiatan manusia yang

melakukan perjalanan ke dan tinggal di daerah tujuan di luar lingkungan kesehariannya.

Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang

kepariwisataan dijelaskan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh

seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,

pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam

waktu sementara. Kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau

disediakan untuk memenuhi kebutuhan pengembangan pariwisata.

Pembangunan kepariwisataan diarahkan untuk mewujudkan prinsip pembangunan sesuai dengan

sila kelima Pancasila dan sejalan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan yang dalam pertimbangannya menyatakan, bahwa pembangunan kepariwisataan

diperlukan untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta

mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Pemberdayaan

masyarakat merupakan alat untuk memastikan pembangunan kepariwisataan memberikan

manfaat bagi masyarakat sekitar destinasi pariwisata. Dengan pariwisata, masyarakat diharapkan

mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari aktivitas pariwisata yang terdapat di

daerahnya.

Desa wisata merupakan suatu wilayah pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana

yang mencerminkan keaslian pedesaan, dilihat dari segi kehidupan sosial dan budayanya,

adat-istiadat kesehariannya, arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa, serta mempunyai

potensi untuk dikembangkan berbagai komponen kepariwisataan, misalnya atraksi, makanan

minuman, cinderamata, dan kebutuhan wisata lainnya. Pengertian desa wisata dikemukakan oleh

Inskeep (1999:166) menyebutkan bahwa Village Tourism is where small groups of tourist stay in

or near traditional, often remote villages and learn about village life and the local environment

(wisata pedesaan dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam atau dekat dengan suasana

Page 6: PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF …

6

tradisional, sering di desa-desa yang terpencil dan belajar tentang kehidupan pedesaan dan

lingkungan setempat).

Pengembangan suatu desa wisata harus direncanakan secara hati -hati agar dampak yang timbul

dapat dikontrol. Pada prinsipnya dalam pengembangan desa wisata yang dilakukan, hendaknya

memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:

1) Pengembangan fasilitas-fasilitas wisata dalam skala kecil beserta pelayanan di dalam atau

dekat dengan desa. Pengembangan fasilitas skala kecil dari segi permodalam lebih dapat

dijangkau oleh masyarakat lokal, demikian juga pelayanan tersedia langsung disediakan

di desa tersebut.

2) Fasilitas-fasilitas dan pelayanan tersebut dimiliki dan dikerjakan oleh penduduk desa,

salah satu bisa dengan bekerjasama atau dimiliki oleh individu masyarakat desa.

3) Pengembangan desa wisata didasarkan pada salah satu “sifat” budaya tradisional yang

dekat dengan alam dengan pengembangan desa sebagai pusat pelayanan bagi wisatawan

yang mengunjungi atraksi tersebut.

Pariwisata dengan dominasi produk berupa jasa guna memenuhi kebutuhan dan keinginan

wisatawan menimbulkan multiflier effect atau aktivitas berantai. Hal tersebut sangat

menguntungkan berbagai usaha terkait maupun tidak terkait karena dengan adanya peningkatan

permintaan akan suatu produk, akan memicu meningkatkan aktivitas ekonomi, meningkatkan

peluang usaha, meningkatkan kewirausahaan, yang berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Nilai penting pengembangan wisata pedesaan atau desa wisata dalam kerangka

pemberdayaan masyarakat, yaitu:

1) Kegiatan pariwisata akan meningkatkan permintaan fasilitas kepariwisataan

(akomodasi/penginapan, makanan/minuman, dan sebagainya), sehingga mendorong

perlunya pengembangan dan peningkatan fasilitas-fasilitas pendukung pariwisata

tersebut.

2) Kegiatan pariwisata akan meningkatkan tambahan pendapatan bagi usaha ekonomi

setempat dan bentuk usaha jasa lainnya (misal seni kerajinan, pertunjukan, penyewaan

kendaraan, dan sebagainya)

3) Meningkatkan konsumsi terhadap produk lokal (misal sayuran dan buah-buahan, seni

kerajinan, makanan khas, dan sebagainya), sehingga akan mendorong kelangsungan

usaha yang berbasis tradisi dan kelokalan.

4) Mendorong pemberdayaan tenaga kerja setempat (misal pemandu wisata, karyawan hotel

dan rumah makan, pengrajin, seni pertunjukan, dan sebagainya).

5) Meningkatkan kesadaran masyarakat akan nilai-nilai tradisi dan budaya lokal serta

keunikan lingkungan alam yang dimilikinya.

Partisipasi masyarakat sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan pariwisata yang tidak melibatkan masyarakat sering menyebabkan adanya rasa

terpinggirkan di antara masyarakat setempat. Akibat lebih jauh adalah adanya konfrontasi antara

masyarakat lokal dengan kalangan industri, yang pada akhirnya mengancam keberlanjutan

pembangunan pariwisata itu sendiri. Untuk bisa meningkatkan partisipasi masyarakat, maka

sangat diperlukan agar program-program pembangunan atau inovasi-inovasi yang dikembangkan

mengandung unsur-unsur:

Page 7: PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF …

7

1) Memberikan keuntungan secara relatif, terjangkau secara ekonomi dan secara ekonomis

dianggap biaya yang dikeluarkan lebih kecil dari hasil yang diperoleh (relative

advantage).

2) Unsur-unsur dari inovasi dianggap tidak bertentangan dengan nilai -nilai dan kepercayaan

setempat (compatibility).

3) Gagasan dan praktek baru yang dikomunikasikan dapat dengan mudah dipahami dan

dipraktekkan (complexity and practicability).

4) Unsur inovasi tersebut mudah diobservasi hasilnya lewat demontrasi atau praktek

peragaan (observability).

Partisipasi masyarakat merupakan suatu keharusan di dalam setiap pembangunan, agar

pembangunan tersebut dapat berkelanjutan. Hal ini khususnya benar pada pembangunan

yang multidimensi. Woodly (dalam Pitana, 2006) menyatakan bahwa “Local people

participation is a prerequisite for sustainable tourism”. Dalam konsep pemberdayaan terdapat

tiga komponen yang harus ada, yaitu:

1) Enabling setting, yaitu memperkuat situasi kondisi ditingkat lokal menjadi baik, sehingga

masyarakat lokal bisa berkreativitas.

2) Empowering local community, artinya setelah local setting tersebut disiapkan,

masyarakat lokal harus ditingkatkan pengetahuan dan ketrampilannya, sehingga mampu

memanfatkan setting dengan baik. Hal ini antara lain dilakukan dengan melalui

pendidikan, pelatihan, dan berbagai bentuk pengembangan Sumber Daya Manusia

(SDM) lainnya.

3) Socio-political support, yaitu diperlukan adanya dukungan sosial, dukungan politik,

networking, dan sebagainya.

Meskipun mengakui bahwa terdapat hal positif pada pembangunan skala besar, dan ada juga

beberapa kelemahan dalam pembangunan skala kecil. Namun banyak ahli yang menyarankan

agar pariwisata yang dikembangkan adalah pariwisata skala kecil. Karena hanya pada skala kecil

partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan. Korten (1987) mengatakan bahwa pendekatan

teknokratik-sentralistik cenderung melupakan konsep dasar pembangunan, yaitu sebagai usaha

meningkatkan kualitas hidup manusia, dan lebih sering merugikan masyarakat lokal. Masyarakat

lokal sering mengalami marginalisasi yang mengakibatkan kualitas hidupnya justru menurun

setelah adanya pembangunan. Atas dasar itulah Korten (1987 dalam Pitana, 1999) dan beberapa

ahli lain menekankan pentingnya membalik paradigma yang sentralistik menjadi pembangunan

yang mulai dari bawah (bottom-up planning). Pembangunan sebagai "social learning" dan

pembangunan harus dari belakang (putting the last first).

Pariwisata kerakyatan (community based tourism) merupakan konsep pariwisata alternatif

sebagai antisipasi terhadap pariwisata konvensional. Pariwisata alternatif (alternative tourism)

mempunyai pengertian ganda, disatu sisi dianggap sebagai salah satu bentuk kepariwisataan

yang ditimbulkan sebagai reaksi terhadap dampak-dampak negatif dari pengembangan dan

perkembangan pariwisata konvensional. Di sisi lain, dianggap sebagai bentuk kepariwisataan

yang berbeda (yang merupakan alternatif) dari pariwisata konvensional untuk menunjang

kelestarian lingkungan (Kodyat,1997). Pariwisata alternatif memiliki karakteristik, yaitu:

berskala kecil, perkembangannya lambat dan terkontrol, perkembangannya dikontrol oleh

masyarakat lokal, meminimalkan dampak negatif, dan tidak merusak lingkungan.

Page 8: PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF …

8

Pariwisata alternatif terkait dengan pembangunan berkelanjutan yang mencakup usaha untuk

mempertahankan integritas dan diversifikasi ekologis, memenuhi kebutuhan dasar manusia,

terbukanya pilihan bagi generasi yang akan datang, pengurangan ketidakadilan, dan peningkatan

penentuan nasib sendiri bagi masyarakat setempat. Dikatakan bahwa pembangunan

berkelanjutan adalah upaya mempertemukan kebutuhan masyarakat generasi yang akan datang.

Dalam kaitannya dengan pariwisata, maka istilah pembangunan pariwisata berkelanjutan sering

dikaitkan dengan pariwisata alternatif. Konsep pariwisata kerakyatan telah diaplikasikan dalam

bentuk desa wisata di Bali, seperti; Desa Wisata Sebatu, Jatiluwih, dan Penglipuran sebagai

proyek percontohan. Kemudian dilanjutkan dengan penelitian awal terhadap desa-desa di Bali

lainnya yang mempunyai keunikan untuk dijadikan Desa Wisata. Di masing-masing desa yang

diteliti menunjukan keanekaragaman potensi, sehingga akan terlihat bentuk Desa Wisata dengan

basis yang berbeda dan bervariasi.

Solusi lain untuk merealisasikan konsep pariwisata kerakyatan adalah dengan merencanakan

wisata pedesaan, artinya desa-desa yang potensial dipromosikan untuk kunjungan wisata dengan

berbagai aktivitas keasliannya. Dengan demikian masyarakat akan merasakan pemerataan hasil

dari pariwisata dan akan dapat menggugah masyarakat untuk membuka usaha pariwisata,

sehingga pendapatan meningkat dan berkurangnya kecemburuan sosial dalam masyarakat.

Sebaliknya, pariwisata kerakyatan justru ingin menyeimbangkan (harmonis) antara sumberdaya,

masyarakat, dan wisatawan. Dalam hal ini masyarakat lokal sebagai pelaku utama (actor)

pembangunan pariwisata kerakyatan, karena yang paling tahu potensi wilayahnya atau karakter

dan kemampun unsur-unsur yang ada dalam desa termasuk indigenous knowledge yang dimiliki

oleh masyarakat, sehingga pembangunan yang akan direncanakan sesuai keinginan masyarakat

lokal: dari, oleh, dan untuk rakyat.

Tolak ukur pembangunan pariwisata berbasis kerakyatan adalah terciptanya hubungan yang

harmonis antara masyarakat lokal, sumber daya alam/budaya, dan wisatawan. Hal ini dapat

dilihat dari (Natori, 2001):

1) Adanya peningkatan antusiasme pembangunan masyarakat melalui pembentukan suatu

wadah organisasi untuk menampung segala aspirasi masyarakat, melalui sistem

kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat lokal.

2) Adanya keberlanjutan lingkungan fisik yang ada di masyarakat, caranya adalah melalui

konservasi, promosi dan menciptakan tujuan hidup yang harmonis antara Sumber Daya

Alam, Sumber Daya Budaya, dan Sumber Daya Manusia. Penemuan kembali potensi

Sumber Daya Alam, dan Sumber Daya Budaya.

3) Adanya keberlanjutan ekonomi melalui pemerataan dan keadilan dalam menikmati hasil-

hasil pembangunan.

4) Membangun sistem yang menguntungkan masyarakat, seperti sistem informasi yang

dapat digunakan bersama-sama.

5) Menjaga kepuasan wisatawan melalui pelayanan yang lebih baik, pengadaan informasi

yang efektif, efisien, tepat guna serta mengutamakan kenyamanan bagi wisatawan.

Kemudian hubungan antara komponen pembangunan pariwisata berbasis kerakyatan seperti

tersebut di atas digambarkan pada Gambar 1.

Page 9: PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF …

9

Gambar 1. Pembangunan Pariwisata Berbasis Kerakyatan

Sumber: Natori, 2001.

Bentuk-bentuk pengembangan pariwisata kerakyatan dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu: (1)

swadaya (sepenuhnya dari masyarakat); (2) Kemitraan (melalui pengusaha besar/kecil atau

sistem bapak angkat); dan (3) pendampingan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau

pihak perguruan tinggi selama masyarakat dianggap belum mampu untuk mandiri, namun

apabila mereka sudah dianggap mampu mandiri, maka secara pelan-pelan ditinggalkan oleh

pendamping (Depbudpar, 2000 dalam Ardika, 2003).

Untuk mencapai pariwisata kerakyatan yang berkelanjutan dilakukan dengan berbagai

pendekatan sistem yang utuh dan terpadu, bersifat interdisipliner, participctory, dan holistik

antara komponen terkait. Menurut Dirjen Pembangunan Desa, wilayah pedesaan memiliki ciri-

ciri; (1) perbandingan tanah dan manusia (man land ratio) yang besar; (2) lapangan kerja agraris;

(3) hubungan penduduk yang akrab; dan (4) sifat yang menurut tradisi (tradisional). Akar budaya

desa ditunjukkan oleh adanya ciri-ciri kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotong-royongan,

sehingga pengembangan pedesaan sebagai daya tarik wisata biasanya menggunakan sumber daya

yang ada, seperti lahan, budaya, masyarakat dan alam. Pariwisata berkelanjutan adalah

pariwisata yang dikelola mengacu pertumbuhan kualitatif maksudnya adalah meningkatan

kesejahtraan, perekonomian, dan kesehatan masyarakat. Peningkatan kualitas hidup dapat

dicapai dengan meminimalkan dampak negatif Sumber Daya Alam yang tidak dapat

diperbaharui. Oleh karena itu, ada lima hal yang harus diperhatikan yaitu; (1) pertumbuhan

ekonomi yang sehat; (2) kesejaheraan masyarakat lokal; (3) tidak merubah struktur alam, dan

melindungi sumber daya alam; (4) kebudayaan masyarakat yang tumbuh secara sehat; (5)

memaksimalkan kepuasan wisatawan dengan memberikan pelayanan yang baik karena

wisatawan ekowisata pada umumnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan.

PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN DESA WISATA

Pada awalnya pariwisata dipandang dan dipuji sebagai industri bebas polusi. Berbeda halnya

dengan industri manufaktur, pertambangan, pengolahan kayu, garmen, dan lainnya yang

cenderung menimbulkan polusi. Sejak tahun 70-an, anggapan itu mulai diragukan karena

Sumber Daya

Wisatawan Masyarakat

Lokal

Page 10: PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF …

10

pariwisata dengan berbagai aktivitas ikutannya mempunyai dampak negatif yang sangat besar

terhadap lingkungan fisik, tinggalan arkeologi, kebudayaan, baik yang tangible maupun

intangible. Meskipun demikian, Pembangunan Nasional tetap mengarahkan pariwisata sebagai

sektor andalan yang mampu menggerakkan kegiatan ekonomi, termasuk kegiatan sektor lainnya

yang terkait, sehingga mampu memperluas lapangan kerja, meningkatkan pendapatan

masyarakat, pendapatan daerah, serta pendapatan negara, dan penerimaan devisa.

Bentuk pariwisata yang selama ini dikenal adalah pariwisata modern yang dipelopori oleh

Thomas Cook yang sudah berlangsung kurang lebih satu setengah abad, sering juga disebut

pariwisata konvensional atau pariwisata massal, karena perjalanan wisata dilakukan dalam

jumlah besar melalui Tour Operator. Dampak positif dari pariwisata massal ini memang besar,

terutama di bidang ekonomi, namun dampak negatifnya juga sangat banyak, terutama terhadap

kerusakan lingkungan dan degradasi sosial budaya. Untuk mengantipasi dampak negatifnya,

maka dicetuskanlah model pariwisata alternatif yaitu "Alternative tourism is a process which

promotes a just form, of travel between members of different communities. It seeks to achieve

mutual understanding, solidarity and equality among participants" (Kodyat,1997). Salah satu

bentuk pariwisata alternatif adalah ecotourism yang sering diidentikkan dengan nature tourism.

Ekowisata (ecotourism) atau wisata ekologis adalah jenis pariwisata yang berwawasan

lingkungan yang berkaitan erat dengan prinsip konservasi. Maksudnya, melalui aktivitas yang

berkaitan dengan alam, wisatawan diajak melihat alam dari dekat, menikmati keaslian alam dan

lingkungannya, sehingga membuat mereka tergugah untuk mencintai alam. Semuanya itu sering

disebut dengan istilah Back to Nature. Berbeda dengan pariwisata masal, dalam penyelenggaraan

ekowisata tidak menuntut tersedianya fasilitas akomodasi yang modern yang dilengkapi

peralatan yang serba mewah atau bangunan artifisial yang berlebihan.

Ekowisata mempunyai pengertian suatu perjalanan wisata ke daerah yang masih alami.

Meskipun perjalanan ini bersifat berpetualang, namun wisatawan dapat menikmatinya.

Ekowisata selalu menjaga kualitas, keutuhan dan kelestarian alam, serta budaya dengan

menjamin keberpihakan kepada masyarakat. Pada hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan

memanfaatkan alam dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan hanya

keberlanjutan. Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan jauh lebih terjamin hasilnya

dalam melestarikan alam dibandingkan dengan hanya keberlanjutan pembangunan. Sebab

ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan

masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik, dan psikologis wisatawan. Bahkan

dalam berbagai aspek ekowisata merupakan bentuk wisata yang mengarah ke metatourism.

Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi. Aspek ekowisata tidak akan mengenal

kejenuhan pasar. Apabila seluruh prisip dilaksanakan, maka ekowisata menjamin pembangunan

yang ecological friendly dari pembangunan berbasis kerakyatan (commnnity based).

Definisi ecotourism pertama kali diperkenalkan oleh Hector Ceballos dan Lascurain (1987) dan

kemudian disempurnakan oleh The Ecotourism Society (1993) dengan mendefinisikan

ecotourism sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang mendukung

konservasi dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Ecotourism sesungguhnya

adalah suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi,

dan sosial. The Ecotourism Society (Wood, 1999) menyebutkan ada delapan prinsip dalam

ecotourism, yaitu:

Page 11: PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF …

11

1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan

budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan

budaya setempat.

2. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan

pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam.

3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk

ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung

penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara

langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian

alam.

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan

pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat

diharapkan ikut secara aktif

5. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari

kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam.

6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk

pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam.

Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini.

Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta

menjaga keaslian budaya masyarakat.

7. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung

yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan

sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi.

8. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan

pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong

sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah

setempat.

Pada dasarnya, ekowisata dilakukan dengan kesederhanaan, memelihara keaslian alam dan

lingkungan, memelihara keaslian seni dan budaya, adat-istiadat, kebiasaan hidup (the way of

life), menciptakan ketenangan, kesunyian, memelihara flora dan fauna serta terpeliharanya

lingkungan hidup sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam

sekitarnya. Dalam ekowisata ada empat unsur penting, yaitu unsur pro-aktif (keterlibatan

wisatawan), kepedulian terhadap pelestarian lingkungan hidup, keterlibatan penduduk lokal dan

unsur pendidikan. Sedangkan kebijakan tentang pengembangan ekowisata dapat dilihat dari

ruang kepentingan nasional yang telah dituangkan ke dalam beberapa peraturan perundang-

undangan salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 1994 tentang

Pengelolaan Alam di Zona Pemanfaatan Kawasan Pelestarian Alam.

Pariwisata hijau (green tourism) merupakan salah satu bentuk ekowisata yang menitikberatkan

pada wisata yang berkelanjutan atau artinya tidak mengakibatkan kerusakan di lokasi wisata dan

cagar budaya yang sedang dikunjungi (ramah lingkungan). Beberapa aktivitas yang dilakukan

diantaranya adalah kegiatan hiking (gerak jalan dan mendaki), trekking, birding

atau birdwatching (pengamatan burung), snorkeling, dan diving. UNWTO menyatakan “Green

Tourism is environmentally sustainable travel to destinations where the flora, fauna, and

cultural heritage are the primary attractions and where environmental impacts are minimized”

(pariwisata hijau adalah perjalanan pada destinasi dengan lingkungan berkelanjutan dimana

Page 12: PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF …

12

flora, fauna dan warisan budaya merupakan atraksi utama dan adanya dampak lingkungan yang

minimal). Dikemukakan juga “Green tourism refers to tourism activities that can be maintained

or sustained, indefinitely in their social, economic, cultural and environmental contexts:

sustainable tourism …“ (pariwisata hijau berkenaan pada aktivitas pariwisata yang dapat

menjaga dan meneruskan, menyangkut konteks sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan).

Perbedaan mendasar antara pariwisata konvensional (mass tourism) dengan pariwisata hijau

(green tourism) antara lain dapat dilihat pada tabel berikut:

Mass Tourism Green Tourism

1) Uncontrolled

2) Unplanned

3) Short-term

4) Price-conscious

5) Growth-oriented

6) Large groups of tourists

7) Imported lifestyles

8) Build to peak capacity

9) Loss of the historic

1) Controlled

2) Planned

3) Long-term

4) Value-conscious

5) Managed, controlled development

6) Moderate to small tourist groups

7) Local lifestyles

8) More moderate development plans

9) Preserve the historic

Pariwisata konvensional (mass tourism) memiliki kecenderungan sulit untuk dikendalikan

pertumbuhannya, tidak memiliki perencanaan dan cenderung tumbuh sporadis. Dengan adanya

jumlah wisatawan yang banyak datang berkunjung, wisatawan dapat mempengaruhi budaya

lokal untuk ikut budaya wisatawan. Masyarakat kemudian berperilaku seperti perilaku turis di

daerahnya sendiri. Karakteristik wisatawan yang datang cenderung kurang tertarik dengan

sejarah dan kurang tertarik untuk mendalami budaya lokal. Berbeda dengan pengembangan

pariwisata hijau (green tourism) yang dalam pengembangan skala kecil, sehingga dampak-

dampak yang ditimbulkan dapat dikendalikan dan terencana. Karakteristik wisatawan yang lebih

banyak berkunjung secara individu maupun kelompok kecil dan konsen dengan kecintaan

budaya lokal, apresiasi terhadap kearifan lokal, konservasi lingkungan.

Pariwisata hijau (green tourism) merupakan istilah yang dipergunakan untuk praktek pariwisata

berkelanjutan yang secara substantif di dalamnya tercakup berkelanjutan secara lingkungan,

ekonomi, dan sosial budaya (Azam dan Sarker, 2011). Lebih lanjut menurut Ringbeck et al

(2010) menyatakan pariwisata hijau haruslah menerapkan empat pilar, yaitu:

1) Mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan kepariwisataan yang dilakukan.

2) Konservasi keanekaragaman hayati.

3) Manajemen pengelolaan sampah dan limbah yang baik.

4) Menjaga ketersediaan secara berkelanjutan sumber daya air.

Pada prinsipnya keempat pilar pariwisata hijau tersebut dapat diimplementasikan jika di dukung

oleh faktor-faktor: regulasi dan tata kelola yang baik, partisipasi semua pemangku kepentingan,

ketersediaan modal dan pembiayaan, pengembangan kapasitas dan pendidikan, pemasaran dan

hubungan masyarakat yang baik. Selain itu, mengacu pada kriteria yang disampaikan oleh Green

Tourism Bussiness Scheme, skema sertifikasi pariwisata terkemuka berkelanjutan di Inggris,

yaitu menyangkut:

Page 13: PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF …

13

1) Wajib artinya sesuai dengan undang-undang lingkungan dan komitmen untuk perbaikan

terus-menerus dalam kinerja lingkungan.

2) Manajemen dan Pemasaran artinya menunjukkan pengelolaan lingkungan yang baik,

termasuk kesadaran staf, pelatihan spesialis, pemantauan, dan pencatatan.

3) Keterlibatan sosial dan komunikasi tindakan lingkungan kepada pelanggan melalui

berbagai tindakan. Misalnya kebijakan hijau, promosi usaha lingkungan di website,

pendidikan, dan masyarakat dan proyek-proyek sosial.

4) Energi artinya adanya efisiensi pencahayaan, pemanasan dan alat, isolasi dan penggunaan

energi terbarukan.

5) Efisiensi air, misalnya pemeliharaan yang baik, pemakaian peralatan yang efisiensi,

pemanfaatan air hujan, serta menggunakan pembersih eco labeling.

6) Pembelian barang dan jasa yang ramah lingkungan. Misalnya produk yang terbuat dari

bahan daur ulang, penggunaan dan promosi makanan dan minuman lokal.

7) Meminimalisasi limbah artinya mengurangi dan mendaur ulang.

8) Transportasi umum yang bertujuan untuk meminimalkan pengunjung penggunaan mobil

pribadi dengan mempromosikan layanan transportasi umum lokal dan nasional,

menyediakan penyewaan, berjalan lokal dan bersepeda, dan penggunaan bahan bakar

alternatif.

9) Alam dan warisan budaya yang bertujuan untuk meningkatkan keanekaragaman hayati.

10) Inovasi artinya tindakan praktik yang baik dan terbaik untuk meningkatkan keberlanjutan

bisnis.

REFLEKSI

Dengan adanya Undang-Undang Desa sebaiknya dijadikan momentum awal untuk menata dan

menggali potensi desa, serta merencanakan pembangunan yang ideal pada masing-masing desa

di Indonesia. Dalam pengembangan desa wisata tentu masing-masing desa harus memiliki ciri

khas potensi kepariwisataan yang unik yang membedakan satu desa dengan desa lainnya,

sehingga produk wisata yang dihasilkan tidak untuk saling menyaingi, namun melengkapi.

Pariwisata hijau sebagai salah bagian dari ekowisata, pariwisata alternatif, dalam

pengembangannya tentu memberikan warna yang berbeda dibandingkan pengembangan jenis

pariwisata lainnya. Pengembangan pariwisata hijau harus mempertimbangkan pengembangan

produk wisata yang memiliki nilai ekologi yang tinggi dengan pangsa pasar special interest yang

memiliki tingkat kesadaran dan loyalitas yang tinggi. Demikian juga penggunaan produk dalam

pariwisata hijau mengarah pada produk ramah lingkungan serta dalam waktu bersamaan

dilakukan efisiensi pemanfaatan sumber daya dan energi terbarukan.

Dalam pengembangan pariwisata hijau tentu terdapat prinsip-prinsip yang harus ada dan

diupayakan secara terus-menerus. Tujuan-tujuan wisata yang dijadikan daya tarik wisata harus

ke tempat yang alami dan memiliki fokus konservasi lingkungan. Arah pengembangan

pariwisata dengan konsep pariwisata hijau harus memiliki perencanaan yang holistik dengan

memperhatikan berbagai aspek. Tujuan dari pengembangan seperti itu dilakukan untuk dapat

meminimalisir dampak negatif dengan dilakukannya pengembangan pariwisata pada suatu

daerah. Pembangunan sarana kepariwisataan pada suatu kawasan wisata dengan konsep

pariwisata hijau dengan membangun kesadaran lingkungan yang tinggi, tidak hanya dilakukan

oleh masyarakat lokal selaku tuan rumah (host), tapi juga oleh wisatawan yang berkunjung

(guest). Kesadaran lingkungan akan menjamin kelestarian dan keberlanjutan lingkungan untuk

Page 14: PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF …

14

masa yang akan datang.

Idealnya suatu pembangunan pariwisata adalah bermanfaat sebesar-besarnya demi kesejahteraan

masyarakat. Masyarakat lokal sebagai pemilik kebudayaan dan kearifan lokal yang ada dan

berkembang menjadi daya tarik wisata sepatutnya mendapatkan manfaat dengan keberadaan dan

berkembangnya pariwisata di daerahnya. Manfaat ekonomi yang dapat dikembangkan dengan

konsep pariwisata hijau tidak hanya sekedar menyediakan pekerjaan untuk masyarakat lokal,

namun lebih dari itu masyarakat dibentuk pola pikirnya dan diberdayakan dalam perencanaan,

pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Manfaat ekonomi dialokasikan dengan meningkatkan

kapasitas masyarakat lokal untuk mandiri, berdaya dan berhasil guna. Masyarakat lokal juga

diharapkan kreatif dalam menggali potensi dan kearifan lokal yang ada di daerahnya, sehingga

muncul ciri khas yang mampu membedakan satu desa wisata dengan desa wisata lainnya.

Manfaat ekonomi lainnya adalah adanya dana yang mampu dihasilkan ataupun disisihkan pada

aktivitas pariwisata untuk konservasi. Pengembangan pariwisata hijau diharapkan masyarakat

menghargai dan mencintai budaya yang dimilikinya, demikian juga dengan wisatawan yang

datang berkunjung untuk mampu menghormati budaya lokal masyarakat.

Segala dampak yang ditimbulkan dari pariwisata, dengan konsep pariwisata hijau diharapkan

mampu mengolah dampak negatif, baik dilihat dari aspek sosial, ekonomi, budaya, maupun

lingkungan. Sebagai contoh pengelolaan sampah yang ditimbulkan dari aktivitas pariwisata

harus dapat dikelola dengan baik, sehingga tidak merusak lingkungan. Pengembangan pariwisata

hijau diharapkan menjadi solusi terbaik untuk terjaganya sumber daya yang digunakan agar tetap

berkelanjutan, seperti sumber daya air, sumber daya alam, maupun sumber daya budaya. Konsep

pariwisata hijau juga harus mampu menjadi solusi konservasi lingkungan pada suatu destinasi

wisata.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

_______. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Alam di Zona

Pemanfaatan Kawasan Pelestarian Alam.

_______. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.

_______. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa.

_______. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

_______. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Ardika, I Wayan. 2003. Pariwisata Budaya Berkelanjutan: Refleksi dan Harapan di Tengah

Perkembangan Global. Denpasar: Universitas Udayana.

Azam, Mehdi dan Tapan Sarker. 2011. Green Tourism in The Context of Climate Change

Towards Sustainable Economic Development in The South Asian Region. Journal of

Enviromental Management and Tourism. Vol 2(3), pp.6-15.

Biro Pusat Statistik (BPS). 2004. Produk Domestik Regional Bruto Propinsi Bali Tahun 1999-

2003. Biro Pusat Statistik Propinsi Bali.

Cooper, Chris and Stephen Jackson. 1997. Destination Life Cycle: The Isle of Man Case Study.

Dalam the Earthscan Reader in Sustainable Tourism. United Kingdom: Earthscan

Publications Limited.

Wood, Megan Epler. 1999. Ecotourism, Principles, Practises and Policies for Sustainability.

UNEO and TIES Publication.

Page 15: PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF …

15

Inskeep, Edward. 1991. Tourism Plannning “An Integrated and Sustainable Development

Approach”. New York: Van Nostrand Reinhold.

Kodyat, H. 1997. “Hakekat dan Perkembangan Wisata Alternatif”. Dalam Prosiding Pelatihan

dan Lokakarya Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan, ed. Myra P. Gunawan. Bandung:

Penerbit ITB.

Korten, David. 1987. Community Management. New Delhi: Kumarian Press.

Natori, Nasahiko (ed). 2001. A Guide Book for Tourism Based Community Development.

Publisher APTE.

Pitana, I Gde. 1999. Pelangi Pariwisata Bali. Denpasar: Bali Post.

-----------------. 2006. Kepariwisataan Bali Dalam Wacana Otonomi Daerah. Jakarta: Puslitbang

Kepariwisataan.

Ringbeck, Jurgen, Amira El-Adawi, and Amit Gautam. 2010. Green Tourism: a Road Map for

Transformation. Booz & Company.

Soekadijo, R.G. 1997. Anatomi Pariwisata (Memahami Pariwisata Sebagai Systemic Linkage).

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Yoeti, Oka A. 1996. Pengantar Pariwisata. Edisi Revisi. Bandung: Angkasa.