paradigma baru pengelolaan madrasah

23
PARAD1GMA BARU PENGELOLAAN MADRASAH Supa'at 1 Abstrak This article discusses new paradigm in madrasah management. Based on UUSPN No. 2 Th. 1989 and UUSPN No. 20 Th. 2003 madrasah has been recognized as a sub-system of national education, and this means that madrasah has a legal formal status. The author argues that the new status of madrasah shows that this educational institution, as a public senior high school with Islamic character, not only equal but in some points better to that of general public school. Political reformation in the form of district autonomy gives impact to the management of madrasah. School-based management, as a manifestation of community-based education, requires madrasah to reform its management, otherwise it cannot implement this kind of management. As we know, school-based management needs community participation in terms of planning, implementing, monitoring, and evaluating school programs. To face a continuous changing society and to meet stakeholder expectation, it is necessary for the madrasah to change its academic and management vision, otherwise it will be marginalized in a competitive school world. Kata kunci: paradigma baru, globalisasi, otonomi, community based education, school based management, affirmative action, kualitas dan keunggulan lokal. A. Fendahuluan Ref ormasi yang ditandai demokratisasi dan transparansi telah membawa hikmah besar berupa kesadaran akan realitas objektif tentang sistem dan praktik pendidikan kita. Tanpa bermaksud menafikan sistem, praktik dan hasil pendidikan dimasa lalu, dalam konteks komparasi global pendidikan kita selama ini belum mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai tuntutan dan kebutuhan zaman. Secara spesifik hikmah besar bagi lembaga pendidikan madrasah adalah pengakuan yang semakin nyata dan kokoh atas eksistensi lembaga pendidikan ini sebagai sub sistem pendidikan nasional. Sebagaimana tersurat dalam UUSPN No. 20 th. 2003 pasal 17 ayat (2) dan pasal 18 ayat (2) eksistensi lembaga pendidikan madrasah 2 diakui lebih eksplisit kesamaan dan Dosen Fakultas Tarbiyah STAIN Kudus. 2 Madrasah yang dimaksud dan menjadi fokus dalam tulisan ini adalah Mad- rasah Aliyah (MA) yang menggunakan kurikulum pemerintah, atau yang sering disebut dengan Sekolah Menengah Umum Berciri Khas Agama Islam. Kepemliclikan Islam, Vol. 3, No. 1, Jamiari-Jimi 2008 35

Upload: lamtu

Post on 12-Jan-2017

246 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

PARAD1GMA BARU PENGELOLAAN MADRASAH

Supa'at1

Abstrak

This article discusses new paradigm in madrasah management. Based onUUSPN No. 2 Th. 1989 and UUSPN No. 20 Th. 2003 madrasah has been recognizedas a sub-system of national education, and this means that madrasah has a legalformal status. The author argues that the new status of madrasah shows that thiseducational institution, as a public senior high school with Islamic character, notonly equal but in some points better to that of general public school. Politicalreformation in the form of district autonomy gives impact to the management ofmadrasah. School-based management, as a manifestation of community-basededucation, requires madrasah to reform its management, otherwise it cannotimplement this kind of management. As we know, school-based management needscommunity participation in terms of planning, implementing, monitoring, andevaluating school programs. To face a continuous changing society and to meetstakeholder expectation, it is necessary for the madrasah to change its academicand management vision, otherwise it will be marginalized in a competitive schoolworld.

Kata kunci: paradigma baru, globalisasi, otonomi, communitybased education, school based management,affirmative action, kualitas dan keunggulan lokal.

A. Fendahuluan

Ref ormasi yang ditandai demokratisasi dan transparansi telahmembawa hikmah besar berupa kesadaran akan realitas objektiftentang sistem dan praktik pendidikan kita. Tanpa bermaksudmenafikan sistem, praktik dan hasil pendidikan dimasa lalu, dalamkonteks komparasi global pendidikan kita selama ini belum mampumenghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai tuntutandan kebutuhan zaman. Secara spesifik hikmah besar bagi lembagapendidikan madrasah adalah pengakuan yang semakin nyata dankokoh atas eksistensi lembaga pendidikan ini sebagai sub sistempendidikan nasional. Sebagaimana tersurat dalam UUSPN No. 20th. 2003 pasal 17 ayat (2) dan pasal 18 ayat (2) eksistensi lembagapendidikan madrasah2 diakui lebih eksplisit kesamaan dan

Dosen Fakultas Tarbiyah STAIN Kudus.2 Madrasah yang dimaksud dan menjadi fokus dalam tulisan ini adalah Mad-

rasah Aliyah (MA) yang menggunakan kurikulum pemerintah, atau yangsering disebut dengan Sekolah Menengah Umum Berciri Khas Agama Islam.

Kepemliclikan Islam, Vol. 3, No. 1, Jamiari-Jimi 2008 35

Page 2: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

kesejajarannya dengan sistem persekolahan yang selama ini dikenaldengan istilah "sekolah umum" (MI = SD, MTs = SMP, dan MA =SMA). Dengan undang-undang ini eksistensi lembaga pendidikanmadrasah telah menyatu dalam sistem pendidikan nasional dan tidakada lagi dikotomi pendidikan. Hal ini berbeda dengan UUSPN No.2 Th. 1989 di mana eksistensi lembaga pendidikan madrasah secarayuridis hanya diakui dalam rumusan kalimat "sekolah keagamaan".

Berangkat dari kesadaran akan rendahnya capaian (hasil)pendidikan dan tuntutan penciptaan sumberdaya manusiaberkualitas maka semua pihak harus segera mengubah cara pandangatau paradigma3 tentang pendidikan. Tanpa perubahan paradigma,sebagai bangsa kita akan selalu tertinggal dan kalah dalam percaturanuntuk merebut peluang dan memenangkan persaingan pada tatarannasional dan global. Yang dimaksud dengan paradigma baru dalamtutisan ini adalah perubahan mendasar cara pandang terhadap esensidan pokok persoalan yang dihadapi oleh Madrasah Aliyah (MA)sebagai lembaga pendidikan dalam konteks sebagai sub sistem pen-didikan nasional maupun konteks sosial dan politik. Hal ini pentingmengingat dari sudut legal formal eksistensi kelembagaan madrasahsaat ini telah mendapatkan apa yang selama ini diperjuangkan dantidak ada lagi diskriminasi. Meskipun demikian, bukan berartipersoalan yang dihadapi madrasah selesai, justru sebaliknya banyaktantangan yang dihadapi terutama terkait dengan pemenuhankebutuhan dan harapan umat pada satu sisi, dan tuntutan perubahanzaman pada sisi lain.

Fakta bahwa sebagian besar masyarakat maupun para pihakyang terkait dengan pengelolaan madrasah masih memiliki pema-haman yang kurang proporsional tidak bisa dipungkiri, di manamadrasah masih dipersepsi sebagai "sekolah keagamaan". Meskipunharus juga dimaklumi bahwa madrasah pada awalnya memang

Meskipun istilah paradigma yang dimaksud disini telah menyimpang darikonsep aslinya, namun semangat dan esensi dari konsep tersebut sangatrelevan untuk mengungkap dan menguraikan pentingnya perubahan dalamsistem dan praktik pendidikasn sebagai sebuah fenomena sosial. Sepertidijelaskan oleh Thomas Kuhn (1974) - tokoh yang membawa dan memper-kenalkan konsep paradigma baru - perkembangan ilmu sosial dan ilmu alamadalah sangat jauh berbeda. Perbedaan tersebut terutama terletak pada;kalau ilmu alam berkembang secara evolutif dan akumulatif sedangkan ilmusosial berkembang secara revolutif dan tidak secara akumulatif . Dalammenjelaskan perbedaan itulah Kuhn menggunakan konsep paradigma, yaitubahwa dalam masa tertentu ilmu sosial dikuasai oleh suatu paradigma,kemudian paradigma itu merosot dan digantikan oleh paradigma yang baruyang tidak ada kaitannya dengan paradigma lama yang digantikannya.

Rirndig'ma Bani Ffengelola.in Madrasah (Supa'ai)

Page 3: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

sekolah keagamaan yang hanya mengajarkan pengetahuan agamadengan penekanan pada aspek ubudiyyah. Persepsi yang lebihdipengaruhi oleh keterkaitan historis4 inilah yang menyebabkansulitnya mengubah kultur yang ada di madrasah untuk meresponstuntutan dan arah kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah.Meskipun sulit tapi bukan berarti tidak bisa, perubahan paradigmaterhadap madrasah sebagai lembaga pendidikan adalah suatu ke-niscayaan dan tuntutan sejarah yang tidak bisa ditawar lagi. Peru-bahan dimaksud adalah memposisikan madrasah tidak lagi sebagailembaga pendidikan keagamaan yang hanya berorientasi padapengajaran agama semata, namun harus diimbangi dengan pengu-saan pengetahuan dasar sains dan teknologi secara proporsional danseimbang. Untuk maksud tersebut maka perlu pembidangan/peng-elompokan ulang struktur ilmu dan kelembagaan yang dikembang-kan di MA. Dan dalam konteks manajemen para pengelola madrasahharus mampu menerapkan, atau lebih tepatnya mengadopsi teoridan prinsip-prinsip manajemen dan leadership modern yang telahberhasil diterapkan dalam organisasi yang berbasis profit oriented.

Cara pandang yang memposisikan lembaga pendidikan ha-nya sebagai organisasi non profit oriented haruslah dirubah dandidudukkan secara proporsional. Karena faktanya cara pandang initelah menjadikan lembaga pendidikan sebagai organisasi dan entitassosial kehilangan makna esensialnya karena kurang mampu meres-pon terhadap perubahan dan tuntutan zaman. Agar lembaga pen-

* Sejarah tentang madrasah dan pendidikan Islam pada umumnya dimasalalu adalah cerita buruk dan menyakitkan. Meskipun umat Islam adalahmayoritas di negeri ini, namun sejak zaman penjajahan sampai era tahun 80-an sejarah tentang pendidikan Islam adalah ceritera tentang diskriminasidan marginalisasi. Sebagai kontras pada saat yang sama sistem dan modelpendidikan yang dikembangkan oleh misionaris yang didukung oleh gerejadan penjajah berkembang pesat. Maka tidak mengherankan manakala saatini lembaga pendidikan Kristen lebih maju dan bermutu karena "early stater",dibandingkan dengan pendidikan yang dikembangkan oleh umat Islam yangbaru berkembang kemudian "very late stater". Imbas dari ini semua adalahumat Islam tidak memiliki kesemptan untuk mengisi peran-peran strategispada sektor formal, utamanya kegiatan pemerintahan, yang mempersyarat-kan kualifikasi dan kompetensi formal. Fakta inilah yang menyebabkan umatIslam yang mayoritas selalu kalah dalam percaturan dlbufang politik, ekonomi,sosial, budaya dan lain sebagainya. Namun secara jujur harus diakui bahwaketertinggalan umat Islam dalam bidang pendidikan dan sektor kehidupanlainnya tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal semata, yang tidakkalah krusialnya adalah faktor internal, yaitu paham tcologis atau keber-agamaan umat yang tidak proporsional. Karena terkait dengan keyakinanyang diimplementasikan dalam praktik kehidupan sehari-hari yang mentradisidan membudaya, maka untuk merubahnya bukanlah pekerjaan yang mudah.

KepeiicliJikan Islam, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2008 37

Page 4: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

didikan responsif terhadap perubahan, menurut Joyce (Stoll &Mortimore, 1997), para pengelola lembaga pendidikan harus mem-perhatikan faktor inside maupun outside. Salah satu faktor outsideyang perlu diperhatikan adalah quality approaches yang berasal daridunia industri dan bisnis. Dalam istilah Salisbury (1996), untuk mem-perbaiki proses dan hasilnya, lembaga pendidikan perlu menerapkanlima macam teknologi, satu di antaranya adalah teknologi yang dis-ebut dengan quality science. "Quality science is the technology ofproducing a product or service that meets the customer's demands andexpectation".5

Meskipun mengadopsi konsep manajemen profit oriented satuhal yang harus tetap dipegang teguh adalah bahwa lembaga pen-didikan adalah organisasi nirlaba, dalam istilah Etzioni (1987)dikategorikan sebagai normative organization6, yang misi utamanyaadalah melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur yangdiyakini dan dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dengan kata lainprofesionalisme dan proporsionalitas dalam pengelolaan madrasahharus mulai dikembangkan agar lembaga pendidikan madrasahmenjadi pendidikan alternatif karena kelebihan dan keunggulanyang dimiliki, tidak hanya menjadi keyakinan dan jargon keagamaansaja tetapi benar-benar menjadi kenyataan. Fakta bahwa madrasahadalah lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu pengatahunyang dijiwai nilai-nilai Islam adalah suatu kelebihan yang sesung-guhnya dibutuhkan oleh bangsa ini. Bukankah di berbagai kesem-patan kita selalu mengatakan bahwa krisis yang dihadapi oleh bangsaini bisa diselesaikan dengan "kembali pada ajaran Islam"?, inilahkesempatan bagi umat Islam, khususnya mereka yang mendapatamanat untuk mengelola madrasah, untuk membuktikan bahwaIslam sebagai agama benar-benar bisa menjadi "instrumentkehidupan".

Salisbury, C. S., 1996, Five technology for educational change, EducationalTechnology Publication Inc, Englewood Cliffs, New Jersey, Hal. 5.Amitai Etzioni (1987), membuat tipologi organisasi atas dasar anggota, tujuan,cara mencapai tujuan serta power organisasi menjadi tiga: (1) Coerciveorganization; (2) Remunerative organization; dan (3) Normative organization. Padatipe pertama, adalah organisai yang ada dan tegak berdiri karena didasarkanatas kekuatan paksa (ancaman) secara pisik terhadap anggota organisasi,sehingga dari sisi tujuan yang ingin dicapai menurut Etzioni diistilahkandengan order goals. Yang penting bagi organisasi adalah bagaimana caranyaagar anggota organisasi tidak melakukan aktivitas yang menyimpang (deviantactivities). Tipe kedua - Remunerative organization- adalah organisasi yang tujuanutamanya adalah untuk mencari untung (profit oriented). Oleh karenanya per-timbangan utama orang yang terlibat dalam organisasi jcnis ini adalah bagai-mana agar organisasi mendapat keuntungan (finasial). Etzioni menyebut

Riracligma Bam BeiigelolaanMadrasah (Sup<i'.it)

Page 5: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

B. Tantangan Globalisasi

Secara harfiyah globalisasi berarti menyatunya berbagainegara yang ada di globe ini menjadi satu entitas. Sebagai sebuahterm, menurut Azyumardi Azra & Jamhari, "globalisasi" adalah "peru-bahan-perubahan struktural dalam seluruh kehidupan negarabangsa yang mempengaruhi fundamen-fundamen dasar pengaturanhubungan antar manusia, organisasi-organisasi sosial, dan panda-ngan-pandangan dunia".7 Sebagai sebuah konsep globalisasi yangpada awalnya lahir dan bermula dari bidang ekonomi dan teknologi,dalam perkembangannya kemudian merasuk hampir keseluruhsendi-sendi kehidupan, mulai dari politik, sosial, budaya, gaya hidupdan lain sebaginya. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, sebagaiindividu maupun bangsa, mau tidak mau kita harus berhadapandengan berbagai pengaruh positif maupun negatif yang dibawa olehglobalisasi yang nota bene berasal dari Barat. Kemajuan dankecanggihnya teknologi telekomunikasi dan transportasi telah dansemakin menciutkan jarak dan waktu yang kemudian berimbas padasemakin kuatnya penetrasi budaya dan nilai-nilai Barat ke seluruhsendi kehidupan masyarakat di seluruh penjuru dunia, tidakterkecuali bidang pendidikan di Indonesia.

Para era tahun 1990-an di Indonesia kemudian bergulirwacana "paradigma baru" pendidikan nasional selaras dengansemangat reformasi yang sedang bergelora di seluruh negeri. Seolahmenemukan momemtumnya, para pakar, praktisi maupun birokratpendidikan kemudian merumuskan berbagai acuan sebagai respondan antisipasi penyiapan SDM untuk percaturan global. Paradigmabaru tersebut kemudian dirumuskan dalam prinsip-prinsip yangterkandung dalam arah baru pengembangan pendidikan nasional,secara garis besar mencakup hal-hal sebagai berikut: (1) kesetaraan

tujuan organisasi ini dengan istilah economic goals, karena proses yangdilaksanakan (production) tujuan utamanya dalah untuk mendapatkan profit.Sedangkan tipe ketiga, normatve organization adalah organisasi yang tujuanutamamnya adalah untuk pelestarian nilai-nilai yang dipandang penting danberharga bagi masyarakat (anggota organisasi), sehingga komitmen danmotivasi para anggotanya adalah didasarkan atas kesadaran yang tinggiakan perlunya suatu nilai dan norma yang diyakini kebenarannya itudilestarikan. Oleh karenanya, menurut Etzioni goals yang inggin dicapai dariorganisasi jenis ini adalah culture goals. Yang dimaksud dengan culture goalsadalah bahwa organisasi harus mampu "project creation, preservation, application,or reinforcement of symbolic object collectively known as "culture". Organisasipendidikan adalah salah satu bentuk organisasi dalam tipologi ini.

7 J. Burhanudin&Dina A., Eds. 2006, Mencetak Muslim Modern: Peta PendidikanIslam Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 6.

KepemlidiUan Islam, Vol. 3, No. 1, Jaiiuari-Juiii 2008 3Q

Page 6: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

perlakuan sektor pendidikan dengan sektor lainnya; (2) pendidikanberorientasi rekonstruksi sosial; (3) pendidikan dalam rangkapemberdayaan bangsa; (4) pemberdayaan infrastuktur sosial untukkemajuan pendidikan nasional; (5) pembentukan kemandirin dankeberdayaan untuk mencapai keunggulan; (6) penciptaan iklim yangkondusif untuk tumbuhnya toleransi dan konsensus dalamkemajemukan; (7) perencanaan terpadu secara horizontal (antarsektor) dan vertikal (antar jenjang); (8) pendidikan berorientasipeserta didik; (9) pendidikan multi-kultural; dan (10) pendidikandengan perspektif global.8

Sebagai sub sistem pendidikan nasional, agar tidak tereli-minasi dari mainstream pendidikan nasional, lembaga pendidikanIslam khususnya madrasah harus segera mereposisi diri sesuaidengan semangat pembahan pada era globalisasi ini. Meskipun harusjujur diakui tantangan yang dihadapi oleh madrasah lebih besar danberat dibanding dengan sekolah umum, terutatama bila dikaitkandengan realitas objektifnya9, di mana secara umum lembaga pen-didikan Islam menghadapi problem internal yang belum terselesai-kan sampai sekarang. Menurut Azyumardi Azra & Jamhari, tantangandan problem internal madrasah pasca modernisasi dan tantanganglobalisasi saat ini dan masa depan, secara umum adalah terkaitdengan tiga hal; (1) jenis pendidikan yang dipilih dan dilaksanakan;(2) persoalan identitas kelembagaan; dan (3) penguatan kelembagaandan manajemen.10

Berdasarkan orientasi keilmuan, sistem dan substansipembelajarannya, jenis pendidikan Islam dapat dikelompokkanmenjadi empat macam; (1) pendidikan yang berorientasi padatafaqquh ft al-dm, seperh yang ada di pesantren-pesantren salafiyyahdengan kurikulum yang hampir semuanya agama. (2) Pendidikanmadrasah yang menggunakan kurikulum Diknas dan Depag. (3)Sekolah Islam "plus" atau "unggulan" yang mengikuti kurikulumDiknas yang pada dasarnya adalah "pendidikan umum plus agama".(4) Pendidikan keterampilan (vocational training) apakah mengikutimodel "STM" atau MA/SMU keterampilan.

Munculnya empat varian pendidikan tersebut sesungguhnyaadalah manifest-tasi dari komitmen untuk memenuhi keinginan dan

Ibid., hal. 12.Identifikasi Mastuhu (2004) menyebutkan madrasah lemah di hampir semuakomponennya; mulai dari ketidak jelasan visi, misi, tujuan, kurikulum, SDM,dana, sarana prasarana, metode belajar mengajar, perpustakaan, laborato-rium dan sistem evaluasinya./bid., hal. 12.

l*.ii-.i(lii;m.i Barn Peiig'eloliiail Maurasali (Siipa'at)

Page 7: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

harapan berbagai segmen masyarakat Islam. Hal ini pentingmengingat penguna pendidikan Islam saat ini tidak hanya darikalangan menengah kebawah saja, tetapi juga berasal dari kalanganmenengah keatas dari perkotaan. Perubahan formasi penggunalambaga pendidikan Islam ini terjadi karena pada satu dasawarsaterakhir ini telah terjadi perubahan yang signifikan di kalangan umatIslam yang ditandai dengan: (1) semakin meningkat new attachmentterhadap Islam di kalangan masyarakat Islam sejalan denganmembaiknya kesejahteraannya; (2) meningkatnya ketertarikan padaIslam ini kemudian melahir-kan kelas menengah baru dalamstruktur sosial masyarakat (Islam) Indonesia - Muslim rising middleclass. Fenomena ini pada satu sisi cukup menggembirakan, namunpada sisi lain ini adalah tantangan berat untuk memenuhi aspirasi,harapan dan kebutuhan mereka akan pendidikan yang berkualitas.

Meskipun ekpsresi aspirasi dan harapan umat tehadap pen-didikan Islam beragam, namun secara substansial dapat ditarikbenang merah kesamaannya. Harapan pertama dan utama masya-rakat terhadap pendidikan Islam adalah agar pendidikan Islam tetapmenjalankan peran dan fungsi utamanya yang meliputi: (1) transmisiilmu-ilmu dan pengetahuan Islam (transmission of Islamic knowledge);(2) pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition); (3)reproduksi (calon-calon) ulama' (reproduction of ulama'). Harapankedua adalah agar peserta didik tidak hanya mengetahui ilmu agama,tetapi juga ilmu umum - atau sebaliknya tidak hanya mengetahuipengetahuan umum, tapi juga unggul dalam ilmu agama. Harapanketiga, agar para anak didik memiliki keterampilan, keahlian ataulifeskill - khususnya dalam bidang-bidang sains dan teknologi yangmenjadi karakter dan ciri globalisasi yang pada gilirannya menjadi-kan mereka memiliki dasar-dasar competitive advantage dalamlapangan kerja, sebagaimana dituntut di era globalisasi.

Untuk mewujudkan madrasah yang berorientasi padacompetitive advantage atau competitive edge bukanlah perkara mudah,karena menuntut tidak hanya ketersediaan sarana-prasarana dansumberdaya yang memadai dan qualified, namun yang lebih pentingadalah adanya perubahan mendasar pada sikap teologis dan kultur.Bukan rahasia lagi, bahwa paham teologis yang dominan di jeba-nyakan umat Islam sampai saat ini masih cenderung kurang meng-apresiasi ilmu-ilmu yang berkenaan dengan sains dan teknologi. Halini terjadi karena, mereka beranggapan bahwa sains dan teknologi

Ke p e tut id i kan Islam, Vol. 3, No. 1, JaiiiiAri-Juni 2008

Page 8: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

adalah produk barat yang secara epistimologis11 kebenarannya di-tolak, bahkan ada yang secara ekstrim menyebut sains dan teknologisebagai tidak Islami. Akibat dari cara pandang ini hampir sebagianbesar umat Islam dan lembaga pendidikan Islam mengalami keter-tinggalan dalam penguasaan IPTEK yang nyata-nyata merupakankebutuhan dan keniscayaan yang inevitable. Pada skala mikro, pro-blem tersebut berakibat pada keterbatasan kapasitas kelembagaankarena tidak didukung oleh ketersediaan sumberdaya dan SDMyang memadai dan qualified untuk suatu proses pembelajaran yangberkualitas

Untuk tantangan kedua sesungguhnya adalah terkait erat ataubahkan akibat dari tantangan yang pertama, yaitu persoalan identitasdiri lembaga pendidikan Islam tertentu. Sejak Dikeluarkanya SKBtiga menteri tahun 1975 yang disusul dengan lahirnya UUSPN tahun1989 dan UUSPN tahun 2003 lembaga pendidikan Islam, khususnyamadrasah secara yuridis telah mendapatkan pengakuan dan kesetara-an. Pada satu sisi pengakuan dan penyetaraan ini telah membukapeluang untuk ter-selenggaranya baragam varian pendidikan Islam.Nanum pada sisi lain langkah ini mengakibatkan banyak lembagapendidikan Islam yang kehilangan atau bahkan mengorbankanidentitasnya seperti harapan yang telah terpatri di hampir sebagianbesar umat. Pada titik inilah kemudian terjadi "konflik" antara "socialexpectation" dengan "academic expectation". Problem ini menjadisemakin kompleks terutama bila dikaitkan dengan paradigma barupendidikan nasional yang semakin menekankan pentingnya com-munity-based education yang menuntut pemberdayaan dan partisipasimaksimal dari masyarakat. Meskipun konsep ini sesungguhnya bu-kan hal baru bagi madrasah, namun bila dikaitkan dengan kontribusiuntuk penyediaan sarana fisik untuk menyesuaikan dengan modelpersekolahan dan berorientasi pada kualitas (quality education) per-soalnya menjadi tidak sesederhana yang diharapkan. Karena untukmenyediakan fasilitas untuk sebuah proses pendidikan berkualitasmemerlukan dukungan dana yang tidak sedikit pada satu sisi, padasisi Iain kemampuan kontribusai orang tua murid yang sebagian be-sar dari kalangan menegah ke bawah (dari pedesaan) sangat minim.

Secara epistimologis ilmu dan teknologi yang berkembang dari barat adalahproduk rasio dan pengujian empiris yang secara ontologis hanya mengakuiyang ada adalah yang empri sensual saja (paham filsafat positivisme). Halini berbeda dengan epistimologi ilmu Islam yang mengakui yang ada tidakhanya yang empiri sensual saja tapi menjangkau sampai yang transendental- wahyu dan yang gaib.

Riradigma Baru Rngelotaan Madrasah (Supa'at)

Page 9: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

Sedangkan tantangan ketiga adalah terkait dengan penguatankelembagaan dan manajemen. Sejalan dengan kecendurungandeinokratisasi dengan otonomisasi-nya meniscayakan peran lembagapendidikan berbasis pada masyarakat (community-based education)dengan segala konsekwensinya. Untuk maksud ini maka tidak adapilihan lain bagi lembaga pendidikan Islam kecuali memperkuatdan memberdayakan kelembagaannya. Sebagai public institution lem-baga pendidikan Islam hams menerapkan prisip-prinsip manajemenkelembagaan yang menekankan pada kemandirian (otonomi),profesionalitas, akuntabilitas dan kredibilitas. Hal ini penting meng-ingat untuk bisa survive pada era kompetisi seperti saat ini lembagapendidikan harus mampu memenuhi harapan dan kebutuhanmasyakarat penggunanya. Untuk meme-nuhi harapan tersebutmaka para kepala sekolah/madrasah harus diberi keleluasaan(descretion) dan kewenagan (authority) yang memadai untukmelakukan kreasi dan inovasi demi terciptanya program unggulan.Dan yang tidak kalah pentingnya adalah para kepala sekolah/madrasah harus memiliki dan menguasai prinsip-prinsip manajemenmodern seperti TQM (total quality management) atau corporate goodgovernance dan Iain-lain. Dan itu artinya para kepala madrasah harusmemiliki kemampuan manajerial dan leadership yang memadai agarmampu menjawab berbagai tantangan sekaligus harapan tersebut.

C. Konteks Otonomi

Secara harh'yah kata 'otonomi' adalah serapan dari bahasaInggris "autonomy" atau dari bahasa Yunani 'outonomia'. DalamWebster's English Dictionary, kata 'autonomy', diartikan; (1) the poweror right of self government; (2) the quality or condition of beingoutonomous; self government (2) any state that govern itself.12 DalamKamus Besar Bahasa Indonesia, kata 'otonomi' diartikan 'peme-rintahan sendiri'.13 Selanjutnya ungkapan 'otonomi daerah' diartikansebagai "hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengaturdan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturanperundangan yang berlaku".

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, istilah otonomisesungguhnya bukan merupakan hal baru karena sejak zaman OrdeLama maupun Orde Baru undang-undang yang mengatur tentang

12 Webster's new dictionary and thesaurus, 1990, Geddes & Grosset Ltd, New Lanark- Scotland, hal. 49.

13 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesi,Edisi II, Balai Pustaka, Jakarta, Hal. 709.

Kepeniiiclikan Islam, Vol. 3, No. 1, Jaiuutri-Juiii 2008

Page 10: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

itu sudah pernah ada. Namun karena berbagai kondisi yang adapada saat itu implemtasi undang-undang tersebut tidak bisa berjalan.Pada era Orde Lama telah lahir undang-undang No. 1 Th. 1957 ten-tang pemerintahan daerah (dengan otonomi yang seluas-luasnya).Namun pada kenyataannya undang-undang ini tidak dapat diimple-mentasikan karena ketika itu presiden Soekarno justru meluncurkankonsep "demokrasi terpimpin". Pada era Orde Baru undang-undangyang sama juga dikeluarkan, yaitu undang-undang No. 5 Th. 1974tentang pemerintahan daerah. Undang-undang inipun juga tidakdapat dilaksanakan karena dalam prakteknya yang terjadi justru se-baliknya, di mana pemerintah pusat melakukan sistem pemerinta-han yang sentralistik, sehingga outonomi sebagai salah satu pilardemokrasi tidak dapat terwujud. Pada era ini yang berkembang jus-tru jargon-jargon politik yang sangat bertentangan dengan semangatdan nilai-nilai demokrasi dan otonomi, seperti "demokrasi Pancasila","musyawarah untuk mufakat", "bebas dan bertanggung jawab" danlain lain yang dirnaknai secara sepihak oleh penguasa.

Sejalan dengan semangat reformasi dan tuntutan demokrati-sasi, pada tahun 1999 dikeluarkan undang-undang No. 22 Th. 1999tentang pemerintahan daerah, yang kemudian disusul denganundang-undang No, 25 Th. 1999 tentang perimbangan keuangandaerah dan pusat. Dalam undang-undang ini selain masalah/bidangkeamanan/pertahanan, politik luar negeri, agama, peradilan, dankeuangan/monoter/ fiskal pengelolaannya diserahkan kepadapemerintah kabupaten/kota. Kedudukan propinsi menurut undang-undang ini adalah sebagai daerah otonom dan sekaligus sebagai gatradekonsentrasi^ di mana Gubernur tetap masih menyandang sebagaikepala daerah (menjadi wakil pemerintah pusat). Aparat dekonsen-trasi yang berada di daerah-daerah sebelumnya (instansi vertikal),dilebur dalam dinas daerah propinsi. Sehingga tidak akan ada lagiKanwil dan Kandep, kecuali bidang tertentu yang masih tetapmenjadi kewenangan pusat.

Bidang pendidikan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 11ayat (2) undang-undang No. 22 Th. 1999, adalah termasuk satubidang yang diotonomikan; "bidang pendidikan dan kebudayaanmerupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakanoleh daerah Kabupaten". Dengan mengacu pada pasal 8 ayat (1), makapenyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerahdalam rangka desentralisasi ini memiliki konsekwensi logis berupapenyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, sertasumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan.Urusan "agama" adalah termasuk bidang yang tidak diotonomikan,

Ru-ftiligma Bani Ifeiigelolaiiii Madrasah (Supa'al)

Page 11: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

arttnya untuk urusan yang satu ini tetap ditangani oleh pemerintahpusat dalam hal ini adalah Departemen Agama yang tugas pokoknyaadalah "melaksanakan sebagian urusan pemerintah dalam bidangagama". Lalu bagaimana dengan "madrasah" yang saat ini masihdiurus oleh Departemen Agama? Secara sederhana bila dipahamidari sudut tugas pokok Departemen Agama, maka madrasah dapatdikatakan sebagai sebuah aktivitas keagamaan seperti urusan haji,majlis ta'lim dan lain sebagainya. Artinya dari sudut ini makamadrasah tidak bisa dikategorikan sebagai lembaga pendidikan,padahal senyatanya madrasah dilihat sudut manapun adalahlembaga pendidikan. Kerancuan ini kemudian berimbas signifikanpada pembiayaan pendidikan, karena alokasi dana dari APBN untukmadrasah adalah bersumber dari "anggaran sektor agama". Hal iniberbeda dengan pembiayaan pendidikan untuk sekolah yangbersumber dari APBN dan APBD dalam format "anggaran sektorpendidikan". Disamping jumlahnya yang kecil (bila dibandingdengan anggaran untuk sekolah), pada kenyataannya tidak semuapemerintah daerah mengalokasikan anggaran pendidikan untukmadrasah, dengan alasan madrasah adalah institusi vertikal yangpembiayaannya ditanggung oleh pusat. Hal ini lebih diperparahdengan kenyataan bahwa 85% madrasah adalah swasta dengankontribusi finansiil dari orang tua dan masyarakat relatif kecil untukpembiayaan sebuah peoses pendidikan yang berkualitas.

Cara pandang yang tidak proporsional terhadap madrasahinilah yang perlu diluruskan dalam konteks otomoni daerah. Carapandang yang cenderung menafikan keragaman ini sesungguhnyaberlawanan dengan semangat dan esensi demokrasi dan otonomi.Bukankah peserta didik yang belajar di madrasah adalah juga anakbangsa yang memiliki hak yang sama untuk memperoleh pelayananpendidikan dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupunpemerintah daerah. Jangan hanya karena mereka belajar di madrasahkemudian hak mereka untuk mendapatkan pelayanan pendidikanmenjadi hilang, hanya karena adanya kekhawatiran akan terjadinyadobel anggaran. Untuk menghilangkan berbagai kekhawatiran ini -yang sesungguhnya lebih bersifat teknis - sudah sepantasnya parapengambil kebijakan (Bupati/DPRD, Departemen pendidikan Nasi-onal/Dinas Pendidikan Kabupaten/kota, dan Departemen AgamaPusat) mengambil langkah affirmative action dalam merumuskankebijakan pendidikan, terutama terkait dengan pembiayaan untukmadrasah. Bila 'diskriminasi' ini dapat dihilangkan (dengan modelkebijakan affirmative action) maka sesungguhnya pemerintah daerahtelah melindungi kelompok disadvantage yang mayoritas belajar dimadrasah.

Kepeiiuul uraii Islam, Vol. 3, No. 1, Jamiari-Juni 2008 45

Page 12: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

Meskipun bukan hal baru bagi madrasah, otonomi pendidikandengan community based education, adalah tantangan besar terutamabila dikaitkan dengan penyelenggraan pendidikan berkualitas. Halini lebih disebabkan karena selama ini sudah terpola dengan modelkebijakan sentralistik -top down, sehingga para praktisi pendidikandan masyarakat terbiasa dengan regulasi (public policy) yang cende-rung bersifat penyeragaman. Hal ini berbeda dengan ide dan konsepotonomi di mana public policy atau social policy bertumpu padakonsep community based atau bottom up. Pemerintah dalam hal inihanya berperan sebagai fasilitator dan mediator untuk menjembatanikemauan dan aspirasi masyarakat. Secara operasional pemerintah(pusat) dalam regulasi yang dibuat lebih bersif at standarisasi. Dengandemikian diharapkan akan lahir kearifan lokal yang bermuara padalahirnya keunggulan lokal.

Terkait dengan perubahan sistem pemerintahan dan modelkebijakan tersebut, pada skala mikro pendidikan menuntut peru-bahan paradigma dalam pengelolaan sekolah/madrasah. Tentang halini, sesuai dengan semangat otonomi dengan konsep communitybased-nya, maka pengelolaan pendidikan yang paling cocok adalahditerapkannya sistem menajemen yang bertumpu pada sekolah(school based management - SBM). Asumsi dasar konsep ini adalahbahwa sekolah/madrasah akan lebih efektif dan efisien manakalapengelolaannya diserahkan kepada sekolah/ madrasah, karenamerekalah yang lebih tau tentang berbagai masalah yang dihadapidan bagaimana memecahkannya. Seperti dikatakan Baker; "overcentralised system do not cope well with rapid change; local managementof schools ...will help them to cope".u Lebih jauh tentang SBM iniAllan Dornseif mengatakan: "School based management is a collectionof practices which more people at the school level make decesion for theschool. SBM often begin with desentralization; a delegation of certainpowers from central office to the school that may include any range ofpower from few, limited area to nearly every thing".15

Terkait dengan implementasi konsep SBM ini, ada beberapahal perlu ada perubahan; pertama, penganggaran sekolah. Dalamskema SBM, pendanaan tidak hanya diarahkan untuk menunjangkegiatan-kegiatan operasioanal yang bersifat rutin, tetapi jugadialokasikan untuk kegiatan-kegiatan menuju proses kreatif inovatifbaik bagi kepala madrasah itu sendiri, maupun guru dan siswa.

'•* Baker, 1989, Change in out ally: Education and Training, 31 (6), hal. 12.15 Allan Dornseif, 1996, School Based Management, Assosiation for supervision and

Curriculum development, Alexandria, Virginia, hal. Hi.

AIR IVraJigma Bam IVngelolaaii Maclrasan (Supa'al)

Page 13: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

Konsekwensi dari pemikiran tersebut adalah, tersedianya dua jenisdana yang diperlukan untuk mendukung kegiatan pendidikan disekolah, yaitu (1) dana rutin (recurrent budget), dan (2) dana programinovatif. Dana rutin (recurrent budget), adalah ditujukan untuk mem-biayai pengeluaran gaji (termasuk insentif) guru, pembelian ATK,pemeliharaan gedung, dan Iain-lain. Dana jenis ini relatif stabil daritahun ke tahun, perubahan terjadi terutama berkaitan perubahanharga dan pertambahan jumlah siswa. Sedangkan dana programinovatif, merupakan dana yang bersifat non-budgeter yang me-mungkinkan anggota sekolah/madrasah (kepala sekolah/madrasah,guru, dan siswa) melakukan berbagai inovasi untuk meningkatkanmutu proses belajar mengajar. Jadi penggunaan dana ini adalah diluar yang dicakup pada kegiatan rutin, karena fokus dan alokasinyaadalah ditujukan untuk penyelenggaraan sarana untuk kegiatan inovatif.Hal penting yang perlu dirubah terkait dengan pendanaan ini - terutamadana inovatif -adalah dana tersebut harus diberikan dalam bentuk blockgrand bukan dalam bentuk itemized. Karena dengan model block grandproses pengelolaan akan menjadi fleksibel dalam hal alokasi dan relokasidana dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pencapaianprogram pendidikan di tingakat sekolah.

Kedua, mekanisme pengambilan keputusan. Bagi sebuahorganisasi, apapun bentuk organisasi itu, pengambilan keputusanmerupakan dasar atau nadi bagi berfungsinya suatu organisasi. Da-lam skema SBM kepala sekolah/madrasah merupakan aktor utamadalam pengambilan keputusan. Kemampuan dan efektivitas dalampengambilan keputuan sangat ditentukan dan dipengaruhi olehkemampuan untuk melakukan analisis sesuatu dan karakter wisdomyang dimiliki oleh kepala sekolah/madrasah. Hal ini penting karenadalam skema SBM kepala sekolah mermiliki discretion (keleluasaan)untuk; (1) menentukan visi/misi, (2) memilih dan menetukan pro-gram pendidikan, (3) inovasi dan kreasi dalam proses belajar meng-ajar, dan (4) recruitmen system. Keputusan yang diambil oleh kepalasekolah/ madrasah dalam skema SBM haruslah mampu menunjangfungsi organisasi sekolah/ madrasah secara keseluruhan. Oleh karen-anya setiap keputusan harus selalu mempertimbangkan aspirasi darianggota organisasi, yaitu para guru dan staf administrasi, di manamereka adalah orang yang terlibat langsung dalam proses pengam-bilan keputusan dan skaligus pelaksana dari suatu keputusan.

Ketiga, pengembangan sistim pendukung. Sebagai sebuahsistem sosial yang terbuka (open system), organisasi sekolah/madrasahtidak mungkin berdiri sendiri tanpa dukungan dari lingkungannya.Lingkungan sekolah/madrasah dapat berupa sekolah/madrasah,

KepeiidiJikan Islam, Vol. 3, No. 1, Januari-Juiii 2008

Page 14: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

individu, orgnisasi profesi, atau bahkan anggota masyarakat.Disamping itu sistem pendukung dapat berupa kemampuan-kemampuan kepala sekolah untuk menjamin bahwa visi dan misiakan dapat dicapai. Menurut Bambang Idrianto (2000), paling tidakada tiga aspek sistem pendukung dalam skema SBM, yaitu;

1. Kemampuan Managerial skill,Dalam kapasitasnya sebagai manajer, kepala sekolah/madra-

sah harus memiliki pengetahuan dan kemampuan (managerial skill)untuk meningkatkan efektifitas dan produktivitas sekolah/madrasah.Kemampuan tersebut meliputi:a. Mengatur sumber dana dan sarana yang tersedia sehingga proses

belajar mengajar dapat berjalan dengan efektif. Indikator utamadari hal tersebut adalah terciptanya suasana belajar-mengajaryang enjoyable.

b. Mengatur sistem insentif bagi semua tenaga pendukung berlang-sungnya proses belajar mengajar. Tujuan utama dari sistim in-sentif adalah untuk memotivisir SDM yang ada agar mempunyaikomitmen dan loyal terhadap tugas.

c. Melakukan fungsi akomodatif bila terjadi konflik atau friksidalam sekolah.

d. Memberikan bimbingan kepada tenaga guru dan staf adminis-tratif terkait dengan tugas pokoknya.

e. Menyediakan akses informal kepada semua staf sebagai saranauntuk mengembangkan profesionalisme dalam rangka mendu-kung pencapaian misi madrasah.

f. Memberikan kesempatan kepada staf untuk mengembangkankreativitasnya sehingga pelaksanaan program pendidikan dapatdilakukkan secara inovatif dan efektif.

2. Informatical skillsKetersediaan data yang akurat merupakan prasyarat bagi

setiap pengambilan keputusan dan pelaksanaan dari suatu keputusanoleh kepala sekolah/madrasah. Peranan data di sini dapat digunakansebagai titik tolah dalam menentukan keputusan dan kebijakan dimasa yang akan datang. Dalam skema SBM keberadaan dan pe-manfaatan data menjadi semakin penting dan mendesak sebagaibahan pendukung untuk peningkatan kualitas pendidikan. Kepalasekolah/madrasah dan para guru dituntut untuk dapat mengartikul-asikan data menjadi informasi yang dapat dijadikan sebagai dasardalam pengambilan keputusan. Dalam konteks ini maka mempe-lajari fenomena dan kecenderungan yang ada dalam masyarakat

l*.(r«iaig'iiw Baru IViigcloLtAii Madrasah (Supa'at)

Page 15: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

menjadi sangat penting artinya. Terkait dengan hal tersebut parakepala madrasah secara ideal hams memiliki kemampuan yangterkait dengan teknologi informasi, paling tidak familier denganteknologi tersebut.

3. Community based relation.Lingkungan sekolah/madrasah yang paling dekat adalah

masyarakat sekitar sekolah. Dari hasil berbagai peneliti an menunjuk-kan bahwa pada masyarakat miskin ada kecenderungan mutu pen-didikan pada sekolah tersebut cenderung rendah. Dari kesimpulantersebut dapat ditarik pemahaman bahwa pada dasarnya masyarakatsangat mempunyai potensi untuk mendukung penyelenggraan pen-didikan di sekolah. Salah satu alasan dibentuknya community basedrelation adalah karena minim atau lemahnya kemampuan finasialsekolah/madrasah. Namun ada satu hal yang perlu diingat bahwapemerintah tetap masih merupakan sumber dana utama bagi ber-langsungnya program pendidikan di sekolah/madrasah. Dukunganmasyarakat bersifat complementer!/ terhadap pelakanaan pendidikan.Kualitas adalah pertimbangan utama dalam menjalin hubungandengan anggota masyarakat.

Kerja sama antara sekolah/madrasah dengan masyarakat seki-tar juga di dasarkan pada adanya faktor atau manfaat exsternalities.Artinya hasil pencapaian pendidikan seorang peserta didik tidakhanya dinikmati oleh penyandang pendidikan tersebut, tetapi ang-gota masyarakat juga mendapat keuntungan terhadap hasil pendidi-kan seseorang. Misalnya keamanan di suatu lingkungan masyarakatakan lebih terjamin kalau sebagian anggota masyarakat mempunyaijenjang pendidikan yang lebih Hnggi.

Sebagai konsekwensi terciptanya exsternalities ini maka ang-gota masyarakat juga bertanggung jawab terhadap keberlangsunganpendidikan. Dengan terjalinnya kerjasama dan hubungan baik antarasekolah dan masyarakat, maka keterbatasan dan kekurangan yangada pada suatu sekolah akan dapat dicarikan solusi pemecahannyasecara bersama. Karena dasar kerja sama antara sekolah dan masya-rakat adalah kepentingan bersama (common interest). Berdasarkankepetingan bersama ini maka inisiatif untuk melakukan kerja samatidak saja dimulai dari pihak sekolah tetapi juga pihak anggotamasyarakat.

SBM sebagai salah satu bentuk/kiat manajemen, maka dalamskema SBM tetap menerapkan prinsip-prinsip manajemen padaumumnya. Hal yang menonjol pada SBM adalah pemberian kewe-nangan (delegation of authorities) yang lebih besar kepada kepala

KepeiiJwlikaii Islam, Vol. 3, No. 1, Januari-Jutii 2008 49

Page 16: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

sekolah/madrasah dalam kapasitasnya sebagai manajer dan sekaligusleader program pendidikan pada unit pendidikan yang palingrendah. Atas dasar pemahaman ini maka dalam melaksanakan tu-gasnya seorang kepala sekolah/ madrasah tetap harus memperhati-kan dan menggunakan prinsip-prinsip manajemen pada umumnya.Secara spesifik prinsip-prinsip manajemen yang perlu dilaksanakandalam pengelolaan sekolah dengan skema SBM antara lain:

1. Sekolah sebagai learning organization.Sebagai learning organization sekolah harus senantiasa sensitif

dengan perubahan yang terjadi, tidak hanya yang terjadi disekitarsekolah, tetapi juga perubahan-perubahan yang terjadi pada tingkatmikro.16 Karena kesusksesan sekolah dalam melaksanakan misipendidikan pada dasarnya tidak didasarkan pada ukuran-ukurandi tingkat sekolah, tetapi pada standar yang lebih makro. Dalambanyak hal keberhasilan pendidikan diukur sampai seberapa jauhpendidikan menunjang pertumbuhan ekonomi suatu negara. Olehkarenanya cukup beralasan apa yang dikatakan oleh Gestener (1994)bawa permasalahan pendidikan yang dihadapi lembaga pendidikanbukannya tidak adanya kemajuan yang dicapai, tetapi kemajuantersebut kemajuan tersebut tidak dapat mengimbangi perubahanatau kemajuan bidang lain.17 Sebagai learning organization, makasekolah/madrasah dituntut untuk mampu merumuskan tujuan atauprogram secara terukur.18

Keterukuran dalam penentuan program merupakan pedo-man bagi guru dan kepala sekolah/madrasah sendiri dalam men-jalankan fungsi dan alokasi dana.

2. Struktur organisasi.Dalam perspektif teori orgnisasi, struktur kelembagaan suatu

organisasi dapat dibedakan menjadi dua; (1) tall organization, yaitustruktur organisasi yang mempunyai struktur berlapis dari ataskebawah yang sangat panjang/banyak, dan (2) short organization,yaitu struktur organisasi dengan struktur simple/tidak berlapis-lapissehingga jarak antara top dan button tidak jauh.

Organisasi sekolah seyogyanya adalah menggunakan tipe yangkedua, di mana kepala sekolah sebagai top teader/manajer harus

Marquardt, 1996, Building the learning organization, Mcgrow-Hill, New York.Gestener, 1994, Reinventing Education: entrepreneurship in America's public school,A plume book, Middlesex, England.Hanuzek, 1987, Education production Function, dalam George Psacharopoulos.Econmics of education: Research and studies, Oxford, Pergamon Press, London.

R»raJigma Barn Rengelolaan Madrasah (Supa'at)

Page 17: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

mengetahui secara persih apa dan bagaimana yang terjadi pada;guru, siswa, staf administrasi sampai pada janitor. Dengan strukturtersebut dihararapkan intensitas komunikasi dapat berlansung secaraoptimal. Dengan demikian interaksi yang terjadi tidak hanya bersifatsatu arah berupa perintah dari kepala sekolah tetapi dua arah, gurukepada kepala sekolah dalam bentuk saran/masukan.

3. Pembagian Kerja (division of labour)Division of labour merupakan proses penyederhanaan

program kerja suatu organisasi yang kompleks menjadi lebihsederhana. Dengan demikian, program kerja yang disusun dapatdicapai secara simultan rnaupun beruntun. Untuk mencapai haltersebut struktur organisasi harus ada pembagian kerja bagi setiapindividu. Pembagian kerja ini akan tercermin dalam pendelegasiandari atasan kepada bawahan dan juga tercermin dalam kerjasamaantar teman sejawat. Dalam konteks ini atasan bertugas sebagaipengontrol pelaksanaan tugas dan menilai hasil kerja.

4. Penentuan Target Sekolah (benchmarking)Benchmarking tidak identik dengan program, akan tetapi

untuk mencapai target yang telah di benchmark perlu didukung olehprogram-program pendidikan. Dalam benchmarking tidak hanyaberisi program-program yang bersifat operasional, tetapi jugamembuat target-target jangka panjang, menengah, rnaupun pendeksepanjang target-target tersebut, baik secara kuantitatif rnaupunkualitatif, tetapi juga dari segi waktu pencapaian.

Dalam melakukan benchmarking kepala madrasah, mendasar-kan diri pada kecenderungan yang terjadi (konteks) dan potensi yangdimiliki oleh madrasah. Hal ini dimaksudkan agar benchmarking yangdisusun bener-benar layak dan dapat terjangkau oleh madrasah(visible). Ada beberapa stategi perlu ditempuh dalam benchmarking,yaitu:a. Internal bench-marking, target yang dicapai pada saat sekarang

dibanding dengan target periode sebelumnyab. External bench-marking, target kebijakan dengan target kebijakan

organisasi lain.c. Functional bench-marking, penetapan target kebijakan didasarkan

pada misi organisasi.d. Generic bench-marking, penetapan target kebijakan didasarkan

pada kapasitas dan sumberdaya yang dimiliki oleh suatuorganisasi.

Kepeiiclttlikaii Islnni, Vol. 3, No. 1, J.iiiiiari-Jmii 2008

Page 18: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

D. Keunggulan Lokal

Secara historis hampir semua MA yang ada saat ini lahir,tumbuh dan berkembang di berbagai daerah adalah atas ide danupaya dari masyarakat yang ingin memberikan pendidikan, ter-utama pendidikan agama bagi para generasi muda. Oleh karenan-nya, kehadiran MA di berbagai daerah secara historis tidak bisadilepaskan dari penyebaran agama Islam, baik dalam konteks ajaran(transfer of values) maupun sebagai kekuatan sosial politik. Karenalahir dan tumbuh atas inisiatif masyarakat maka ±85% dari jumlahmadrasah saat ini berstatus swasta, dari ±15% yang berstatus negeri,itupun sebagian besar melalui proses penegrian, artinya sebelumberstatus negeri sebagian besar madrasah tersebut berstarus swasta.Dari fakta tersebut maka bergulirnya konsep community based schoolsaat ini sesungguhnya bukan merupakan hal baru bagi madrasah.Persoalannya sekarang adalah terletak pada bagimana madrasahmampu bersaing dengan lembaga pendidikan lain ditengahmunculnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikanberkualitas. Seperti dikatakan oleh Winarno Surakhmad (2000),Pendidikan Berbasis Masyarakat adalah usaha untuk menumbuh-kan pendidikan dari bawah, agar pendidikan berakar dari ma-syarakat, dengan inisatif dari masayarakat, dikelola oleh masyarakat,dan untuk kepentingan masayarakat.

Implikasi dari konsep ini adalah mayarakat perlu diberdaya-kan, diberi peluang kemampuan dan kebebasan untuk mendesain,merencanakan, membiayai, mengelola, dan memelihara sendiri apayang diperlukan secara spesifik. Dengan konsep ini diharapkan,tidak hanya titik tumbuh pendidikan berada pada masyarakat, tetapijuga keberhasilan serta kemantapan pendidikan nasional sangat di-tentukan oleh masyartakat. Asusmsi dasar konsep ini dalam konteksIndonesia adalah; pertama, luasnya wilayah Indonesia dan lingku-ngan (sosial, budaya maupun geofisik) yang bervariasi, tidakmemungkinkan adanya pendekatan pendidikan yang seragam, baikdalam tujuan maupun dalam implementasinya. Kedua, Pendidikanyang bersifat kontekstual hanya dapat diciptakan apabila situasi dankondisi masyarakat yang sangat berbeda-beda dimanfaatkansepenuhnya sebagai unsur yang penting dalam pengembanganpendidikan.

Atas dasar asumsi tersebut maka dalam implementasinyauntuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, PendidikanBerbasis Masyarakat harus memiliki ciri-ciri sebagi berikut; pertama,pola pengembangan yang melibatkan seluruh potensi di dalammasyarakat untuk turut bertanggung jawab mengenai mutu

52 Para<ligma Baru Pengelolaan Madrasah (Supa'at)

Page 19: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

pendidikan pada wilayah setempat khususnya, dan mutu pendidi-kan nasional umumnya. Kedua, pola swadaya yang mengutamakanpengelolaan sendiri pendidikan di dalam konteks masyarakat,meliputi antara lain: (a) penentuan prioritas pendidikan yang khas,(b) penyediaan dana operasional dan infrastructural, (c) pengadaantenaga-tenaga yang kompeten, (d) Pelaksanaan dan pemantauansecara menyeluruh, (e) Penilaian dan peningkatan efisiensi dan efek-tifitas. Ketiga, Pola program pendidikan dan pelaksanaannya secaraumum merujuk pada pedoman dasar yang bersumber dari Undang-undang sistem pendidikan nasional, serta dari ketentuan hukumlainnya yang dinilai perlu untuk pengembangan pendidikan secaranasional.

Berangkat dari f akta dan kerangka pikir tersebut maka konsepkeunggulan lokal yang sedang digulirkan saat ini bagi MA sesung-guhnya juga bukan merupakan hal baru, dan seharusnya bukanhal yang sulit. Bukankah selama ini madrasah telah berjalan sesuaidengan kemampuan/potensi dan karakteristik daerah dan masya-rakat di mana madrasah itu ada, terutama para figur sentral pendirimasing-masing madrasah. Bahkan karena heterogintas inilah prosesdan hasil pendidikan madrasah sulit bahkan tidak bisa diukur denganstandar yang sama. Keragaman inilah sesungguhnya yang dapatdijakdikan dan dimaknai sebagai embrio keunggulan lokal dalamperspektif saat ini. Hal ini sejalan dengan tujuan mulia yang ingindicapai dari konsep keunggulan local, yaitu upaya nyata untukmendorong percepatan pembangunan daerah berdasarkan potensiyang dimiliki oleh masyarakat di suatu daerah. Semangat otonomidalam wujud perwilayahan komoditas harus dibarengi denganlokalisasi pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Terjemahkongkrit lokalisasi pendidikan ini harus tercermin tidak hanya dalamwujud kurikulum yang harus memperhatikan potensi lokal, namunyang lebih penting adalah desin kurikulum yang benar-benarmampu memperjelas spesialisasi peserta didik sesuai tuntutan duniakerja di lingkungan terdekatnya, dan juga ahli dalam bidang tersebut.Secara substansial muara dari konsep keunggulan lokal ini adalahtersedianya tenaga kerja secara mudah dengan kompetensi sesuaituntutan pasar. Namun perlu ditandaskan disini bahwa dengankeunggulan lokal bukan berarti standar pendidikan ditentukansecara eksklusif oleh masing-masing daerah dengan tolok ukur danparameter daerah, namun tetap berpegang pada standar nasionaldengan tetap mengacu pada keunggulan kompetitif dan komperatifpada skala nasional maupun global.

KepencliJikan Islam, Vo\. 3, No. 1, Januari-Juni 2008 53

Page 20: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

Pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untukmengurus pendidikan dikandung maksud agar pengembangan pen-didikan pada tingkat lokal akan lebih efektif manakala dikembang-kan oleh pemerintah daerah bersama kelompok masyarakat. Sebabjenis kompetensi yang yang dibutuhkan oleh masing-masing daerahberbeda antara satu dengan lainnya. Hal ini sejalan dengan amanatpasal 50 ayat (4) UUSPN No. 20 Th. 2003: "pemerintah kabupaten/kota berkewajiban mengelola satuan pendidikan yang berbasiskeunggulan lokal".

Ruh dan semangat keunggulan lokal tersebut adalah agarpeserta didik akrab dengan Hngkungan terdekatnya, sehinggadiharapkan akan terlahir lulusan yang siap mengembangkan potensilokal, dan dengan keunggulan lokal itu dapat memenangkan kom-petisi pada era global ini. Dampak positif yang strategis dari konsepkeunggulan lokal ini adalah penyerapan tenagan kerja di daerah,sehingga dapat mencegah urbanisasi dan mendorong ekonomi lokalyang bekerja secara global melalui pemanfaatan jaring informasiteknologi informasi. Dengan demikian akan tercipta konseppendidikan yang berbasis lokal namun menggunakan parameterglobal - think globally act locally.

Meskipun harus jujur diakui bahwa beban pemerintah daerahdengan konsep ini akan semakin berat, terutama untuk daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya maupun SDM yang me-madai. Untuk menghindari kesenjangan antara daerah satu dengandengan daerah lainnya, karena perbedaan kemampuan atau potensidaerah, pemerintah pusat harus mampu menjadi fasilitator dansekaligus mediator dalam bentuk standadrisasi dan pendistribusianpotensi secara berimbang untuk tiap-tiap daerah. Mekanisme tentanghal ini sesungguhnya telah terantispasi dalam pasal 49 ayat (5)UUSPN di mana alokasi dana untuk pendidikan bersumber dariAPBN dan APBD. Dan pada pasal 49 ayat (1)_ disebutkan: "danapendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasandialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan danAPBD. Agar beban APBD tidak teralalu berat, dalam ayat (2)disebutkan: "gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintahdialokasikan dalam APBN". Dengan demikian maka semua gurudan dosen yang diangkat oleh pemerintah dapat dibiayai dan diatursecara nasional sebagai perekat kesatuan bangsa.

Pada dataran praktis dan kongkrit, implementasi ide keung-gulan lokal untuk madrasah dapat diwujudkan dalam bentukperumusan program-program yang memiliki value added yang tidakada atau tidak dimiliki oleh madrasah atau sekolah lain. Kelebihan

Ruadigma Bam Peiigelolaan Maurasali (Supa'at)

Page 21: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

ini pada akhirnya akan menjadi ciri khas bagi masing-masing ma-drasah, dan sekaligus menjadi daya tarik bagi masyarakat dan men-jadi icon bila berbicara masalah pendidikan. Untuk sekedar menyebutcontoh, model pendidikan pada Pondok Modern "Darussalam"Gontor Ponorogo dengan ciri khasnya pada penguasaan dua bahasa(Arab dan Inggris), Bila berbicara masalah Gontor orang akan sertamerta ingat (dan percaya) akan kemampuan para alumninya dalamberbicara bahasa Arab dan Inggris, dan tentu pengetahuan agamanya.Dari sudut manajemen, sebagai lembaga pendidikan pondokpesantren Gontor memiliki akuntabilitas dan kredibilitas yang tinggidimata masyarakat (horizontal accountability).

E. Penutup

Reformasi telah membawa hikmah besar dan sekaligusmenjadi titik awal untuk perbaikan sistem dan praktik pendidikankita. Salah satu agenda penting dalam reformasi adalah tuntutandemokratisasi dalam sistem pemerintahan dan ketatanega-raan.Otonomi adalah salah satu pilar penting dalam mewujudkan tatananpemerintahan yang demokratis. Dari keselurahan urusan pemerintahhanya lima bidang yang tidak diotonomikan - politik luar negeri,hukum, pertahanan, monoter/keuangan, agama - pendidikan adalahtermasuk bidang yang diotonomikan. Madrasah sebagai lembagapendidikan, meskipun secara yuridis telah menyatu sebagai subsistem pendidikan nasional namun pada kenyataannya dalam kon-teks otonomi daerah menghadapi problem dan dilema.

Tantangan lain yang dihadapi oleh dunia pendidikan padaumumnya dan madrasah khusunya, adalah kecenderungan globa-lisasi yang tidak jarang membawa dampak negatif. Sebagai kenis-cayaan sejarah, tidak ada kata lain bagi lembaga pendidikan kecualimenyikapi dengan cerdas dalam bentuk menyiapkan sumberdayamanusia yang berkualitas melalui pendidikan. Sumberdaya manusiaberkualitas, yang siap bersaing pada level nasional maupun inter-nasional, hanya akan lahir dari proses pendidikan berkualitas. Bilatidak, maka lembaga pendidikan akan kehilangan makna esensilanyakarena tidak mampu merespon dan memenuhi harapan parastakehoder sejalan dengan perubahan zaman. Ja>vaban atas itu semuaadalah semua pihak yang terlibat dan berkepentingan terhadapmadrasah harus mampu mengubah paradigma lama dan merumus-kan paradima baru. Tanpa perubahan paradigma madrasah hanyaakan menjadi "cagar budaya" yang tidak memiliki daya tarik karenatidak memiliki kelebihan.

KepeiiJiJikau Islam, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2008 55

Page 22: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

Pada skala mikro, upaya untuk meningkatkan kualitas ma-drasah adalah melalui pemberdayaan masyarakat dengan konsepcommunity based education dan meningkatkan kapasitas para pe-ngelola madrasah dengan konsep school based management. Dengandua konsep tersebut diharapkan akan lahir kearifan lokal yangbermuara pada tumbuhnya keunggulan lokal pada setiap madrasahdengan spirits think globally act locally. Sebagai lembaga pendidikanyang mengajarkan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi yangdijiwai dengan nilai-nilai Islam, sudah selayaknya madrasah menjadilembaga pendidikan alternatif ditengah kegelisaham dan carut ma-rutnya tatanan kehidupan sebagai dampak dari krisis multi dimensi.Faktor internal lain yang perlu dirubah sesuai dengan semangat dantantangan globalisasi adalah paham teologis atau keberagamaan umatyang cenderung kurang mengapresiasi IPTEK. Dengan perubahantersebut diharapkan Islam sebagai agama akan memberi doronganbagi umatnya untuk menguasai IPTEK, sehingga Islam sebagai agamabener-benar menjadi "instrument kehidupan".

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, A. (2003). Memahami paradigma baru Pendidikan NasionaLJakarta: Ditjen Bagais.

Baker .K. (1989). Change in out ally: Education and Training. 31 (6)Burhanudin, J. & Dina A., Eds. (2006). Mencetak Muslim Modern: Peta

Pendidikan Islam Indonesia. Jakarta: FT Raja Grafindo Persada.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995). Kamus Besar

Bahasa Indonesia. Edisi II. Jakarta: Balai Pustaka.Dornseif , Allan (1996). School Based Management. Alexandria,

Virginia: Assosiation for supervision and Curriculumdevelopment.

Etzioni, A. (1961). A comparative analysis of complex organization.New York: Free Press.

Gestener, LV. JR. (1994). Reinventing Education: entrepreneurship inAmerica's public school, Middlesex, England; A plume book

Hanuzek, E.A. (1987). Education production Function, dalam GeorgePsacharopoulos. Econmics of education: Research and studies.London: Oxford; Pergamon Press.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolution (2nd ed.).London: The University of Chicago Press.

Marquardt, MJ. (1996) Building the learning organization, New York;Mcgrow-Hill.

Paracligma Baru Pengelolaan Madrasah (Supa'at)

Page 23: Paradigma Baru Pengelolaan Madrasah

Mastuhu (1994). Dinamika sistem pendidikan pesantren: Suatu kajiantentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren. Jakarta: INIS.

Salisbury, C. S. (1996). Five technology for educational change.Englewood Cliffs, New Jersey: Educational TechnologyPublication Inc.

Squires, D. A,, et al. (1983). Effective school and classroom: A research-based perspective. Alexandria: association for supervision andcurriculum development.

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistempendidikan Nasional.

Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1957 tentang PemerintahDaerah,

Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem pendidikanNasional.

Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang PemerintahDaerah.

Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 1999 tentang PerimbanganKeuangan Daerah dan Pusat.

Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1974 tentang PemerintahDaerah.

Webster's new dictionary and thesaurus (1990). New Lanark - Scotland,Geddes & Grosset Ltd.

Indrianti, B. (2000). Manajemen berbasis sekolah sebagai upayapeningkatan kualitas pendidikan dalam otonomi daerah (makalahsemiloka). Yogyakarta.

Windham, D.M. (1988). Indicator of Educational effectiveness andefficiency, Tallahassee, FL: IEES Project.

Surakhmad, W. (2000). Pendidikan berbasis masyarakat sebagai wujudotonomi dalam pendidikan: Sebuah titik balik dalam reformasipendidikan. Jakarta: Lembaga Manajemen Universitas NegeriJakarta.

KepeniliJinan IsU.ni, \5»l. 3, No. 1, Jamiari-Juiii 2008 57