paper mata
DESCRIPTION
mataTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
2.1. Latar Belakang
Mata yang biasa kita gunakan untuk melihat suatu objek harus
menangkap pola pencahayaan di lingkungan sebagai “gambaran/bayangan optis”
di suatu lapisan sel yang peka sinar, retina. Citra yang tersandi di retina disalurkan
melalui serangkaian tahap pemprosesan visual yang rumit hingga akhirnya secara
sadar dipersepsikan sebagai kemiripan visual dari bayangan asli (Sherwood,
2011). Warna-warna yang dapat kita lihat dikarenakan pada retina mata terdapat
sel kerucut yang berbeda-beda peka terhadap warna cahaya yang berbeda-beda
pula (Guyton dan Hall, 2010).
Pada penderita buta warna, ia tidak mempunyai sekelompok sel kerucut
sebagai penerima warna pada retina matanya, sehingga orang tersebut tidak dapat
membedakan beberapa warna dari warna-warna lainnya (Guyton dan Hall, 2010).
Istilah buta warna umumnya digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang
mengalami kesulitan untuk membedakan warna merah dan hijau atau nuansa biru
dan kuning, meskipun hal tersebut bukan deskripsi akurat karena orang-orang ini
pada kenyataannya masih bisa melihat warna. Sehingga istilah defisiensi warna
menjadi lebih tepat dan lebih sesuai. Buta warna lengkap sangat langka terjadi
dimana dapat menyebabkan seseorang untuk melihat benda-benda hanya dalam
nuansa abu-abu ( Wagner, 2013).
Buta warna adalah cacat mata genetik yang belum dapat disembuhkan
dan hampir hanya pada laki-laki (Indrawan, 2008). Wanita secara genetik hanya
sebagai carrier buta warna yang diturunkan ke anak laki-lakinya (Guyton dan
Hall, 2010). Menurut US Department of Education, sekitar 14% dari siswa usia
sekolah di Amerika Serikat dianggap "cacat". Bagaimanapun, statistik ini tidak
termasuk sekitar 8% dari siswa (perkiraan berkisar 4-12%) yang sulit untuk
membedakan warna-warna tertentu (gangguan visual tercantum hanya 0,1% dari
populasi siswa). Sejauh ini, sebagian besar dari mereka yang terkena dampak
adalah laki-laki karena gangguan ini terkait dengan kromosom seks X
(Handayani, 2010).
Perbandingan angka kejadian buta warna yang terdapat pada jenis
kelamin laki-laki dibanding dengan buta warna yang terdapat pada perempuan
adalah 20:1. Buta warna mempengaruhi 13% populasi umum. Saat ini di Eropa
sekitar 8-12% pria dan 0,5-1% wanita menderita buta warna. Penelitian lain
menyatakan 1 dari 12 orang pria menderita buta warna, sedangkan wanita hanya 1
dari 200 orang saja yang menderita buta warna (Rahmadi, 2009). Di Australia
buta warna terjadi pada 8% laki-laki dan hanya sekitar 0,4% pada perempuan. Di
Iran, dari populasi anak-anak usia 12-14 tahun yang mengalami defek penglihatan
warna 8,18% laki-laki dan 0,43% perempuan, tidak didapatkan adanya penyakit
sistemik, penyakit mata, pengobatan kronis, dan tidak terdapat kelainan
penglihatan dengan visus 20/20 (emmetropia). Sedangkan di Amerika, sekitar 10
juta pria Amerika sepenuhnya 7% dari penduduk laki-laki tidak dapat
membedakan warna merah dari hijau, atau melihat merah dan hijau berbeda dari
kebanyakan orang. Ini adalah bentuk paling umum pada buta warna. Pada
perempuan hanya mempengaruhi 4%. Type yang paling sering adalah merah-hijau
(Handayani, 2010).
Dari data Riset Kedokteran Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 didapatkan
prevalensi nasional buta warna adalah 0,7% (berdasarkan keluhan responden).
Sebanyak 6 provinsi mempunyai prevalensi buta warna di atas prevalensi
nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Selatan,
Bangka Belitung, DKI Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat.
Penderita buta warna akan kesulitan dalam proses pendidikan karena
selalu dihadapkan pada kelemahannya untuk membedakan warna dari objek atau
benda yang ditemuinya dimana orang normal dapat membedakannya dengan
mudah. Hal ini menyebabkan sulitnya penderita buta warna dalam mengakses
informasi dalam suatu citra (Indrawan, 2008). Kelainan pada penglihatan warna
tidak banyak mempengaruhi kehidupan awal manusia seperti pada masa kanak-
kanak, karena tidak disertai oleh kelainan tajam penglihatan. Abnormalitas
penglihatan warna mulai mempengaruhi ketika anak dihadapkan pada persyaratan
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
untuk masuk jurusan tertentu yang buta warna menjadi salah satu kriteria seperti
kedokteran, teknik, design grafis, dan lain-lain. Oleh karena hal tersebut,
identifikasi dini kelainan buta warna perlu dilakukan untuk membimbing anak
dalam menentukan jenjang pendidikannya kelak (Ilyas, 2004).
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Fisiologi Penglihatan Warna
Fungsi utama mata adalah memfokuskan berkas cahaya dari lingkungan
ke sel fotoreseptor retina, yaitu sel batang dan sel kerucut. Fotoreseptor kemudian
mengubah energi cahaya menjadi sinyal listrik untuk ditransmisikan ke sistem
saraf pusat (Sherwood, 2011).
Pada gambar 2.1. jelas terlihat bagian saraf retina yang terdiri dari tiga
lapisan sel yang peka rangsang :
1. Lapisan paling luar (paling dekat dengan koroid) yang mengandung
sel batang dan sel kerucut,
2. Lapisan tengah sel bipolar,
3. Lapisan dalam sel ganglion. Akson-akson sel ganglion menyatu
membentuk saraf optik, yang keluar dari retina tidak tepat di bagian
tengah. Titik di retina tempat saraf optik keluar dan pembuluh darah
berjalan disebut diskus optikus (Sherwood, 2011).
Gambar 2.1. Anatomi Retina (Sherwood, 2011).
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
Bila sel batang ataupun sel kerucut terangsang, sinyal akan dijalarkan
melewati lapisan ganglion dan bipolar sebelum mencapai fotoreseptor di semua
bagian retina kecuali di fovea. Di fovea, yaitu cekungan yang terletak tepat di
tengah retina, lapisan ganglion dan bipolar tersisih ke tepi sehingga cahaya
langsung mengenai fotoreseptor (Sherwood, 2011). Fovea terutama berfungsi
untuk penglihatan cepat dan rinci. Fovea sentralis dengan diameter hanya 0,3
milimeter, hampir seluruhnya terdiri atas sel-sel kerucut (Guyton dan Hall, 2010).
Foveola adalah bagian paling tengah pada fovea, di sini fotoreseptornya adalah sel
kerucut, dan bagian retina paling tipis (Riordan-eva dan Witcher, 2010). Daerah
tepat di sekitar fovea, makula lutea juga memiliki konsentrasi sel kerucut yang
tinggi dan ketajaman lumayan. Namun, ketajaman makula lebih rendah daripada
fovea, karena ada lapisan sel ganglion dan bipolar di atasnya.
Fotoreseptor (sel batang dan sel kerucut) terdiri dari 3 bagian, yaitu :
1. Segmen luar (paling dekat dengan koroid), bagian ini mendeteksi
rangsangan cahaya. Segmen ini, berbentuk batang pada sel batang dan
kerucut pada sel kerucut,
2. Segmen dalam, yang terletak di bagian tengah fotoresetor. Bagian ini
mengandung perangkat metabolik sel,
3. Terminal sinaps, yang terletak paling dekat dengan bagian interior
mata, menghadap ke sel bipolar. Bagian ini menyalurkan sinyal yang
dihasilkan fotoreseptor karena stimulasi cahaya ke sel-sel selanjutnya
di jalur penglihatan (Sherwood, 2011).
Segmen luar terdiri dari tumpukan lempeng-lempeng membranosa
gepeng yang mengandung banyak molekul fotopigmen peka cahaya. Fotopigmen
mengalami perubahan kimiawi ketika diaktifkan oleh sinar. Perubahan yang
dipicu oleh cahaya dan pengaktifkan fotopigmen ini melalui serangkaian tahap
menyebabkan terbentuknya potensial reseptor yang akhirnya menghasilkan
potensial aksi. Potensial aksi menyalurkan informasi ini ke otak untuk
pemprosesan visual.
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
Fotopigmen terdiri dari dua komponen :
1. Opsin yang merupakan suatu protein,
2. Retinen, suatu turunan vitamin A yang terikat di bagian dalam
molekul opsin. Retinen adalah bagian fotopigmen yang menyerap
cahaya (Sherwood, 2011).
Terdapat empat fotopigmen berbeda, satu di sel batang dan masing-
masing satu di ketiga jenis sel kerucut. Keempat fotopigmen ini menyerap panjang
gelombang sinar yang berbeda-beda (Sherwood, 2011). Bahan kimia yang peka
cahaya dalam sel batang disebut rodopsin; tiga bahan kimia peka cahaya dalam sel
kerucut, disebut pigmen warna merah, hijau dan biru, mempunyai komposisi
sedikit berbeda dari rodopsin (Guyton dan Hall, 2010).
Substansi rodopsin pada sel batang merupakan kombinasi dari protein
skotopsin dengan pigmen karotenoid retinal. Retinal tersebut merupakan bentuk
tipe khusus yang disebut 11-cis retinal. Bentuk cis retinal adalah bentuk yang
penting sebab hanya bentuk ini saja yang dapat berikatan dengan skotopsin agar
dapat bersintesis menjadi rodopsin. Prinsip-prinsip fotokimiawi pada siklus
penglihatan rodopsin dan penguraiannya oleh energi cahaya (gambar 2), yang
sama pula dapat diterapkan pada pigmen sel kerucut (Guyton dan Hall, 2010).
Gambar 2.2. Siklus Penglihatan Rodopsin-Retina Pada Sel Batang (Guyton Dan Hall, 2010)
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
Retina mengandung sel batang 30 kali lebih banyak daripada sel kerucut
(100 juta sel batang dibandingkan 3 juta sel kerucut per mata). Sel kerucut lebih
banyak di makula lutea pada bagian tengah retina. Dari titik ini keluar, konsentrasi
sel kerucut berkurang dan konsentrasi sel batang meningkat. Sel batang paling
banyak di perifer. Perbedaan antara sel batang dan sel kerucut adalah sel kerucut
memberi penglihatan warna sedangkan sel batang memberi penglihatan hanya
dalam bayangan abu-abu. Sel kerucut memiliki sensitivitas rendah terhadap
cahaya, “dinyalakan” hanya oleh sinar terang siang hari, tetapi sel ini memiliki
ketajaman (kemampuan membedakan titik yang berdekatan) tinggi. Manusia
menggunakan sel kerucut untuk penglihatan siang hari, yang berwarna dan tajam.
Sel batang memiliki ketajaman rendah tetapi sensitivitasnya tinggi sehingga sel ini
berespons terhadap sinar temaram malam hari (Sherwood, 2011).
Sel kerucut pada retina merupakan komponen penting untuk melihat
warna. Setiap jenis sel kerucut sensitif terhadap panjang gelombang yang berbeda.
Pada sel kerucut mata orang yang normal memiliki tiga jenis pigmen yang dapat
membedakan warna ( Wagner, 2013). Ketiga macam pigmen tersebut sensitif
terhadap cahaya. Penglihatan warna yang normal pada manusia ini disebut juga
dengan trikromatik. Sifat absorbsi dari pigmen yang terdapat di dalam ketiga
macam sel kerucut itu menunjukkan bahwa puncak absorbsi pada gelombang
cahaya berturut-turut sebagai berikut :
a) 420 nm: sel kerucut biru atau "S" kerucut untuk panjang gelombang
pendek (short-wavelength light),
b) 530 nm: sel kerucut hijau atau "M" kerucut untuk panjang
gelombang menengah (middle-wavelength light),
c) 560 nm: merah kerucut atau " L" kerucut untuk gelombang panjang
(long-wavelength light) (Deeb dan Motulsky, 2011).
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
Gambar 2.3. a. Spektrum penyerapan cahaya yang relatif terjadi pada tiga kelas
photopigment kerucut manusia pada penglihatan warna yang normal (trikromatik).
b. Penyerapan cahaya relatif digambarkan terhadap panjang gelombang dalam
nanometer (nm) (Deeb dan Motulsky, 2011).
Penglihatan warna, presepsi berbagai warna, bergantung pada berbagai
rasio stimulasi ketiga tipe sel kerucut terhdap bermacam-macam panjang
gelombang tertentu dari sinar yang sampai ke fotoreseptor retina (Sherwood,
2011). Panjang gelombang ini juga merupakan panjang gelombang untuk puncak
sensitivitas cahaya untuk setiap tipe sel kerucut, yang dapat mulai digunakan
untuk menjelaskan bagaimana retina dapat membedakan warna (Guyton dan Hall,
2010). Misalnya panjang gelombang yang terlihat sebagai biru tidak merangsang
sel kerucut merah atau hijau sama sekali tetapi merangsang sel kerucut biru secara
maksimal (Sherwood, 2011).
Bila panjang gelombang elektromagnetik yang diterima terletak di antara
kedua pigmen sel kerucut, maka akan terjadi penggabungan warna (Ilyas, 2008).
Masukan-masukan warna tersebut di kombinasikan dan diproses pada pusat
penglihatan warna di korteks penglihatan primer pada otak dan inilah yang akan
menghasilkan presepsi warna (Sherwood, 2011).
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
2.2. Buta Warna
2.2.1. Definisi
Buta warna adalah suatu keadaan dimana pasien mengalami
kelemahan/penurunan kemampuan untuk membedakan antara warna-warna
tertentu yang seharusnya dapat dibedakan oleh orang dengan penglihatan yang
normal (Jang et al., 2010).
Istilah buta warna atau colour blind sebenarnya kurang akurat, karena
seorang penderita buta warna tidak buta terhadap seluruh warna. Akan lebih tepat
bila disebut gejala defisiensi daya melihat warna atau colour vision dificiency
(Jubinville, 2014). Buta warna total sangat langka terjadi dan menyebabkan
seseorang untuk melihat benda dalam nuansa abu-abu (Stresing, 2014).
2.2.2. Etiopatogenesis
Ketiga macam pigmen warna pada retina membuat kita dapat
membedakan warna. Untuk dapat melihat normal, ketiga pigmen sel kerucut harus
bekerja dengan baik. Jika salah satu pigmen mengalami kelainan atau tidak ada,
maka terjadi buta warna (Ilyas, 2008). Kekurangan penglihatan warna terjadi
ketika salah satu atau lebih sel kerucut pada retina kurang berfungsi daripada
keadaan normal, atau tidak berfungsi sama sekali (Jang et al., 2010).
Buta warna merupakan penyakit keturunan yang terekspresi hampir
hanya pada para pria (Indrawan, 2008). Wanita secara genetik hanya sebagai
carrier buta warna yang diturunkan ke anak laki-lakinya (Guyton dan Hall, 2010).
Kelainan ini terjadi akibat defisiensi kongenital terkait-X kromosom pada salah
satu jenis fotoreseptor retina yang spesifik yaitu sel kerucut. Akibat faktor genetik
ini sel kerucut penderita buta warna tidak mampu untuk menangkap spektrum
warna tertentu (Riordan-eva dan Witcher, 2010).
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
Gen buta warna terkait dengan dengan kromosom X (X-linkedgenes) ini
memungkinkan seorang pria yang memiliki genotif XY untuk terkena buta warna
secara turunan lebih besar dibandingkan wanita yang bergenotif XX untuk terkena
buta warna. Jika hanya terkait pada salah satu kromosom X nya saja, wanita
disebut carrier atau pembawa, yang bisa menurunkan gen buta warna pada anak.
anaknya. Menurut salah satu riset 5-8% pria dan 0,5% wanita dilahirkan buta
warna. Dan 99% penderita buta warna termasuk dikromasi, protanopia, dan
deuteranopia (Situmorang, 2010).
Dengan adanya penemuan gen pada opsin sel kerucut manusia yang
mengkode panjang gelombang pendek (S), panjang gelombang menengah (M) dan
yang panjang (L), maka dihubungkanlah dengan dua hipotesis yang menyatakan
bahwa: (1) komposisi dan variasi dalam urutan rangkaian asam amino dari opsin
sel kerucut bertanggung jawab untuk perbedaan spektral antara photopigments (2)
perubahan gen pada opsin sel kerucut mendasari kekurangan penglihatan warna
diturunkan (Neitz, 2010).
Pola gen turunan untuk kelainan penglihatan warna, dari merah-hijau
dan biru-kuning untuk manusia, yaitu panjang gelombang yang panjang (L) dan
menengah (M) pada opsin sel kerucut yang diterjemahkan ke X-kromosom di
Xq28, dan gen untuk panjang gelombang pendek (S) pada opsin sel kerucut untuk
autosom, kromosom 7 pada 7q32. Sebutan untuk gen opsin L, M dan S masing-
masing adalah OPN1LW (Opsin 1 Long Wave), OPN1MW (Opsin 1 Middle
Wave), dan OPN1SW (Opsin 1 Short Wave) (Neitz, 2010).
Dua gen yang paling sering berhubungan dengan munculnya buta warna
adalah OPN1LW yang mengkode pigmen merah dan OPN1MW yang mengkode
pigmen hijau (Deeb dan Motulsky, 2005). Hal ini dikarenakan OPN1LW dan
OPN1MW hampir identik satu sama lain, keduanya berbagi lebih dari 98%
identitas urutan nukleotida, sedangkan mereka hanya berbagi sekitar 40%
nukleotida dengan OPN1SW. Karena kesamaan OPN1LW dan OPN1MW
mengakibatkan mereka rentan terhadap rekombinasi homolog yang tidak sama,
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
dan hal ini memiliki keterlibatan yang mendalam untuk fungsi visual (Neitz,
2010)
untuk mendiagnosis jenis dan tingkat keparahan cacat dan yang ketiga untuk
menilai dampak dari cacat pada profesi atau pekerjaan tertentu. Secara umum, tes
yang efektif adalah test yang tepat, mudah, dan biaya yang dibutuhkan untuk
mendiagnosa kelainan penglihatan warna yang akurat (Heidary et al., 2013).
Diagnosis buta warna dibuat berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis yang sesuai adalah terdapat riwayat buta warna di dalam
keluarga atau terdapat riwayat trauma kranial yang menyebabkan kelainan saraf
atau makula (Riordan-eva dan Witcher, 2010). Banyak tes untuk pemeriksaan
penunjang yang digunakan secara klinis untuk mendiagnosa kelainan penglihatan
warna, tes ini berkisar dari yang sederhana dengan buku Ishihara dan tes penilaian
yang lebih kompleks termasuk tes Farnsworth-Munsell 100-Hue (FM 100-Hue),
D-15 Farnsworth-Munsell (D-15), dan anomaloscope untuk diagnosis yang lebih
tepat dan akurat (Heidary et al., 2013).
Pada penelitian ini pemeriksaan dilakukan dengan test ishihara yang
paling populer dan digunakan secara luas untuk tujuan skrining. Penggunaan buku
ishihara juga dikarenakan tes ini harus dilakukan secara cepat, tepat, mudah dan
murah untuk menilai jenis dan tingkat keparahan cacat penglihatan warna
(Heidary et al., 2013). Metode ini dikembangkan menjadi Tes Buta Warna
Ishihara oleh Dr. Shinobu Ishihara. Tes ini pertama kali dipublikasi pada tahun
1917 di Jepang dan terus digunakan di seluruh dunia (Widianingsih et al., 2010).
Test Ishihara didasarkan pada penggunaan kartu bertitik-titik yang
mempunyai bermacam-macam warna dan ukuran yang disusun dengan
menyatukan titik-titik yang berbeda tersebut (Guyton dan Hall, 2010). Warna-
warnanya dibuat sedemikian rupa membentuk pola titik-titik berbeda yang
disusun hingga membentuk lingkaran. Untuk orang yang defisiensi warna, semua
titik dalam satu atau lebih dari lempeng akan muncul mirip atau sama
"isokromatik". Untuk seseorang tanpa kekurangan warna, beberapa titik akan
muncul cukup berbeda dari titik-titik lain untuk membentuk sosok yang berbeda
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
pada masing-masing piring "Pseudoisochromatic" (Wagner, 2013).
Buku ishihara dapat mendiagnosa defek penglihatan warna dengan
klasifikasi, yaitu: orang dengan penglihatan normal/trikromat, buta warna Merah-
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
Hijau (red-green deficiency) [buta warna merah (protanopia/protanomalia) dan
buta warna hijau (deuteranopia/deuteranomalia)] dan buta warna
total/akromatopsia. Kelainan tritanomaly tidak dapat dilihat disini. Tes Ishihara
digunakan untuk mendiagnosis defek penglihatan warna kongenital, untuk
mengetahui penyebab yang didapat (saraf, kelainan macula, trauma kranial) perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (Riordan-eva dan Witcher, 2010).
Tes Ishihara ini mempunyai kelemahan yaitu berupa media tes. Media
yang digunakan adalah lembaran kertas bagi Ishihara. Media tes ini sendiri hanya
dapat dilakukan pada ruangan bercahaya putih dengan intensitas penerangan yang
cukup, sehingga melakukan tes buta warna ini tidak bisa di sembarang
tempat/ruangan dengan bercahaya redup dan menggunakan cahaya kemerahan
atau lampu pijar. Hal ini merupakan salah satu dari kelemahan tes konvensional,
karena jika penerangan ruangan tidak sesuai dengan ketentuan standar, maka
warna pada media tes pun akan berubah. Tes Ishihara pun mempunyai kelemahan
berupa pemudaran warna, mudah robek, dan bisa saja salah satu dari lembaran tes
terselip ataupun hilang (Agusta et al., 2012).
Tahapan dalam pemeriksaan buta warna dengan metode ishihara, yaitu :
1. Menggunakan buku Ishihara 14 plate
2. Dalam pemeriksaan buta warna hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Ruangan pemeriksaan harus cukup pencahayaannya
Tes Ishihara didesain agar dapat dilihat dengan jelas dengan
cahaya ruangan. Sinar matahari langsung atau penggunaan cahaya
lampu mengakibatkan ketidaksesuaian hasil karena perubahan
pada bayangan warna yang nampak. Namun, bila mudah nyaman
hanya dengan menggunakan cahaya lampu, maka dapat
ditambahakan cahaya lampu tersebut sampai menghasilkan efek
cahaya seperti cahaya alami. Kartu diletakkan pada jarak 75 cm
dari pasien sehingga bidang kertasnya pada sudut yang tepat
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
dengan garis penglihatan.
b. Angka-angka yang terlihat pada kartu disebutkan, dan setiap jawaban
diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 detik (Widianingsih et al. 2010).
3. Penjelasan pada tiap lembar gambar :
No.1. Setiap subjek, baik dengan penglihatan warna normal atau cacat
penglihatan warna akan membaca dengan benar angka "12". Plate ini
digunakan terutama untuk penjelasan awal dari proses tes untuk mata
pelajaran.
No.2. Subyek normal akan membaca "8" dan mereka dengan defisiensi warna
merah-hijau melihat angka "3".
No.3. Subyek normal akan membaca "5" dan mereka dengan defisiensi warna
merah-hijau melihat angka "2".
No.4. Subyek normal akan membaca "29" dan mereka dengan defisiensi warna
merah-hijau melihat angka "70".
No.5. Subyek normal akan membaca "74" dan mereka dengan defisiensi warna
merah-hijau melihat angka "21".
No.6-7. Dengan baik dipahami oleh subyek normal, tapi tidak atau sulit untuk
dibaca bagi mereka dengan defisiensi merah-hijau.
No.8. Subjek normal dengan jelas melihat angka "2" untuk tetapi tidak jelas
bagi mereka dengan defisiensi merah-hijau.
No.9. Subyek normal bisa sukar membacanya, tapi kebanyakan dari mereka
dengan kekurangan merah-hijau melihat angka "2" di dalamnya.
No.10. Subyek normal biasanya dapat membaca angka "16", tapi kebanyakan
dari mereka dengan kekurangan merah-hijau tidak bisa, No.11. Dalam
menelusuri garis berkelok-kelok antara dua x tersebut, orang yang normal
melihat garis hijau kebiruan, namun sebagian besar dari mereka dengan
kekurangan penglihatan warna tidak dapat mengikuti garis atau mengikuti
garis yang berbeda dari yang normal. No.12. Subyek normal dan orang-orang
dengan kekurangan merah-hijau ringan melihat angka-angka "35" tapi
protanopia dan
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
2.2.3. Klasifikasi Buta Warna.
Defek penglihatan warna atau buta warna dapat dikenal dalam bentuk :
2.2.3.1. Monochromacy
Monochromacy adalah keadaan dimana seseorang hanya memiliki sebuah
sel pigmen cones atau tidak berfungsinya semua sel cones (Kurnia, 2009).
Seseorang yang menderita monochromacy disebut monokromat (Indrawan, 2008).
Monochromacy ada dua jenis, yaitu :
a) Rod monochromacy (typical) adalah jenis buta warna yang sangat
jarang terjadi, yaitu ketidakmampuan dalam membedakan warna
sebagai akibat dari tidak berfungsinya semua sel kerucut retina.
Penderita rod monochromacy tidak dapat membedakan warna
sehingga yang terlihat hanya hitam, putih dan abu-abu,
b) Cone monochromacy (atypical) adalah tipe monochromacy yang
sangat jarang terjadi yang disebabkan oleh tidak berfungsinya dua sel
kerucut. Penderita nya masih dapat melihat warna tertentu, karena
masih memiliki satu sel kerucut yang berfungsi (Kurnia, 2009).
2.2.3.2. Dichromacy
Dichromacy adalah jenis buta warna dimana salah satu dari tiga sel
kerucut tidak ada atau tidak berfungsi. Akibatnya, seseorang yang menderita
dikromat akan mengalami gangguan penglihatan terhadap warna-warna tertentu
(Kurnia, 2009). Seseorang yang menderita dichromacy disebut juga dengan
dikromat (Indrawan, 2008). Dichromacy dibagi menjadi 3 bagian berdasarkan sel
pigmen yang rusak, yaitu:
a. Protanopia adalah gangguan penglihatan warna yang disebabkan
tidak adanya photoreseptor retina merah, mengakibatkan tidak
adanya penglihatan warna merah (Kurnia, 2009). Protanopia hanya
memiliki sel kerucut biru dan hijau saja (Dichromacy tipe ini terjadi
pada 1% dari seluruh pria) (Gambar 2.4.a.) (Deeb dan Motulsky,
2011). Orang yang menderita protanopia disebut protanope
(Indrawan,2008)
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
b. Deutanopia adalah gangguan penglihatan terhadap warna yang
disebabkan ketiadaan photoreseptor retina hijau. Hal ini
menimbulkan kesulitan dalam membedakan warna merah dan hijau
(red-green hue discrimination) (Kurnia, 2009). Pada Deuteranopia
hanya memiliki sel kerucut biru dan merah saja, tetapi tidak ada sel
kerucut hijau yang fungsional (terjadi pada 1 % dari laki-laki putih)
(Gambar 2.4.b.) (Deeb dan Motulsky, 2011). Orang yang menderita
deuteranopia disebut deuteranope (Indrawan, 2008),
c. Tritanopia adalah keadaan dimana seseorang tidak memiliki short-
wavelength cone yaitu warna biru, akibatnya penderita akan kesulitan
membedakan warna biru dan kuning dari spektrum cahaya tampak.
Tritanopia disebut juga buta warna biru-kuning dan merupakan tipe
dichromacy yang sangat jarang dijumpai. (Kurnia, 2009). Orang
yang menderita tritanopia disebut tritanope (Indrawan, 2008).
2.2.3.3. Anomalous Trichromacy
Penderita anomalous trichromacy memiliki tiga sel kerucut yang lengkap,
tetapi terjadi kerusakan mekanisme sensitivitas terhadap salah satu dari tiga sel
reseptor warna tersebut (Kurnia, 2009). Seseorang yang mengalami anomalous
trichromacy disebut anomali trikromat (Indrawan, 2008). Anomalous trichromacy
terdiri dari 3, yaitu :
a. Protanomalia mempengaruhi long-wavelength (red) pigment kerucut,
menyebabkan lemahnya sensitifitas terhadap cahaya merah.
Seseorang dengan protanomaly cenderung untuk melihat warna
merah, jingga, kuning, dan kuning-hijau menjadi warna kehijauan,
tetapi semua warna ini juga tampak lebih pucat dari biasanya. Warna
ungu dan ungu muda tampak seperti nuansa biru karena komponen
kemerahan berkurang (Wagner, 2013). (protanomalia terjadi pada 1
% dari laki-laki putih) (Gambar 2.4.c.) (Deeb dan Motulsky, 2011).
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
Seseorang yang menderita protanomalia disebut protanomalous (Indrawan,
2008),
b. Deuteranomalia disebabkan oleh kelainan pada bentuk pigmen middle-
wavelength (green). Sama halnya dengan protanomaly, deuteranomaly tidak
mampu melihat perbedaan kecil pada nilai warna dalam area spektrum untuk
warna merah, jingga, kuning, dan hijau. Penderita salah dalam menafsirkan
warna dalam region tersebut karena warnanya lebih mendekati warna merah.
Perbedaan antara keduanya yaitu penderita deuteranomalia tidak memiliki
masalah dalam hilangnya penglihatan terhadap kecerahan (brigthness)
(Kurnia, 2009). Deuteranomalia terjadi pada 5% dari laki-laki berkulit putih
(Gambar 2.4.d.) (Deeb dan Motulsky, 2011). Seseorang yang menderita
deuteranomalia disebut deuteranomalous (Indrawan, 2008),
c. Tritanomalia adalah tipe anomolous trichromacy yang sangat jarang terjadi,
baik pada pria maupun wanita. Pada tritanomaly, kelainan terdapat pada
short-wavelength pigment (blue). Pigmen biru ini bergeser ke area hijau dari
spektrum warna. Tidak seperti protanomalia dan deuteranomalia, tritanomalia
diwariskan oleh kromosom 7. Inilah alasan mengapa penderita tritanomalia
sangat jarang ditemui (Kurnia, 2009). Orang-orang ini mengalami kesulitan
membedakan hijau, cyan, dan biru. Mereka juga mungkin mengalami
kesulitan membedakan kuning dari ungu dan juga sering kebingungan dengan
warna merah jambu, jingga, dan coklat (Wagner, 2013). Seseorang yang
menderita tritanomalia disebut tritanomalous (Indrawan, 2008).
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
Gambar 2.4. a. Protanopia b. Deutanopia c. Protanomalia d. Deuteranomalia
(Deeb dan Motulsky, 2011).
2.2.4. Diagnosis
Para peneliti menyimpulkan bahwa skrining untuk buta warna dapat
dimulai pada usia 4 tahun. Pengujian pada usia dini sangat penting karena anak-
anak dengan buta warna sering melakukan hal buruk pada tes atau tugas yang
menampilkan warna-warna. Anak-anak dengan buta warna membutuhkan
berbagai jenis rencana pelajaran yang tidak memerlukan kemampuan untuk
melihat warna dengan benar. Pemeriksaan harus dimulai sejak dini karena label
anak tidak pintar adalah stigma besar bagi anak dan menyebabkan kecemasan
yang signifikan bagi orang tua dan keluarga (Thai News Service Group, 2014).
Tes buta warna saat ini juga sangat dibutuhkan bagi dunia industri,
pendidikan, maupun pemerintahan. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan
manusia dalam pekerjaan atau pendidikan yang erat sekali berhubungan dengan
warna (Agusta et al., 2012).
Pemeriksaan buta warna ini dilakukan sebagian besar untuk tiga tujuan :
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
pertama untuk skrining apakah cacat bawaan atau yang diperoleh, yang kedua
protanomalia kuat akan membaca "5" saja, dan deuteranopia dan
deuteranomalia kuat "3" saja.
No.13. Subyek normal dan orang-orang dengan kekurangan merah-
hijau ringan melihat angka-angka "96" tapi protanopia dan
protanomalia kuat akan membaca "6" saja, dan deuteranopia dan
deuteranomalia kuat "9" saja.
No.14. Dalam menelusuri garis berkelok-kelok antara dua x itu, jejak
yang normal yaitu sepanjang garis ungu dan merah. Dalam protanopia
dan protanomalia kuat hanya garis ungu ditelusuri, dan dalam hal
protanomalia ringan kedua baris adalah ditelusuri tetapi garis ungu
adalah lebih mudah untuk mengikuti. Dalam deuteranopia dan
deuteranomalia kuat hanya garis merah ditelusuri dan dalam hal
deuteranmalia ringan kedua baris adalah ditelusuri tetapi garis merah
lebih mudah untuk mengikuti (Ishihara, 1994).
2.2.5. Manajemen
Deteksi dini cacat visi warna merah-hijau yang parah pada usia sekolah
menengah harus dikomunikasikan kepada orang tua dan anak-anak yang
terkena dampak karena temuan ini mungkin relevan untuk pilihan pekerjaan
tertentu. Konseling genetik juga diperlukan untuk mengurangi resiko dan
mengevaluasi kemungkinan resiko terkena buta warna yang terdiri dari:
evaluasi untuk mengkonfirmasi, mendiagnosa, atau mengecualikan kondisi
genetik pasien, sindrom malformasi, atau cacat lahir terisolasi seperti peran
hereditas, komunikasi risiko genetik, dan penyediaan atau rujukan untuk
dukungan psikososial (Deeb dan Motulsky, 2011).
Tidak ada obat untuk penyakit buta warna yang herediter. Meskipun
sebagian besar buta warna tidak dapat disembuhkan atau diobati, penderita
dapat mempelajari cara-cara sederhana untuk mengelola kesulitan anda melihat
perbedaan warna. Beberapa kasus buta warna dapat menunjukkan penyakit lain
yang akan membutuhkan pengobatan (Stresing, 2010).
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
Kebanyakan orang dengan buta warna belajar untuk membedakan
antara warna. Beberapa cara yang dapat digunakan sebagai alat bantu
penglihatan warna dalam beberapa kasus, yaitu :
• Lensa kontak dan kacamata specially tinted, yang dapat membantu uji
warna namun tidak memperbaiki penglihatan warna.
• Kacamata yang memblokade glare, karena orang dengan masalah
penglihatan warna masih dapat membedakan sedikit warna saat tidak
terlalu terang (Kartika et al., 2014).
Lensa kontak bernama Chromagen ™, yang dirancang oleh David Harris
dari Liverpool Laser Treatment Centre. Ia menjelaskan bahwa lapisan pigmen di
tengah lensa akan dipilih sesuai dengan setiap pasien, nantinya akan mengeset
otak untuk melihat warna berbeda. Biasanya pigmen yang dibutuhkan hanya pada
satu lensa agar otak membuat gambar yang benar dari gambar yang diterima oleh
kedua mata. Meskipun tidak untuk mengubah cacat di retina, memungkinkan
penderita untuk melihat warna yang lebih hidup. Uji klinis pada 275 orang
meningkatkan penglihatan warna mereka di 96,7% dari subyek (Roger, 1997).
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
DAFTAR PUSTAKA
1. Agusta, S., Tony, M., dan M, Sidik., 2012. “Instrumen Pengujian Buta Warna Otomatis.” Jurnal Ilmiah Elite Elektro, Vol. 3, No. 1.
2. Deeb, S.S., and Arno, G.M., 2011. “Red-green color vision defects.” In GeneReviews.
3. Departemen Kesehatan. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan. Jakarta.
4. Guyton, A.C., and Hall, J.E., 2010. Mata : II. Reseptor dan Fungsi Neural Retina.
In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC, 654-679.
5. Handayani, E., 2010. Gambaran Pengetahuan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara Stambuk 2008-2010 Mengenai Buta Warna. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.
6. Heidary, F., MD, FICO and Reza, G., 2013. “A Modified Pseudoisochromatic Ishihara Colour Vision Test Based on Eastern Arabic Numerals.” Med Hypothesis Discov Innov Ophthalmol, Vol. 2, No. 3.
7.Ilyas, S., 2011. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
8.Indrawan, E., 2008. Perangkat Lunak Transformasi Warna Untuk Penderita Buta Warna. Tesis. Program Studi Rekayasa Perangkat Lunak Program Magister Informatika Institut Teknologi Bandung. Medan.
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
9. ISHIHARA S., 1994. The Series of Plates Designed as a test for colour Deficiency. 14 Plates Edition. Tokyo Japan : Kanehara Trading Inc.
10. Jang, Y.G., Hoon, I.C., Kyoung, S.H., 2010. Visual contents adaptation for colour vision deficiency using customised ICC profile. Department C and I. Eng., Chongju University 36, Naedok-Dong, Sangdang-Gu, Chongju, Republic of Korea and National Information Society Agency, Seoul, Republic of Korea, Vol. 5, No. 4.
11. Jubinville, M., 2014. “Shades of Gray? The Facts of Color-blindness.” EBSCO Publishing.
12. Kartika, Keishatyanarsha, K., Yenni, Yohanie, H., 2014. “Patofisiologi dan Diagnosis Buta Warna.” CDK, Vol. 41, No. 4.
PAPERDEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : ACHMAD RIFQY RNIM : 100 100 225
13. Kurnia, R., 2009. Penentuan Tingkat Buta Warna Berbasis His pada Citra Ishihara.Yogyakarta : Jurusan Elektro Fakultas Teknik Universitas Andalas, 1907-5022.
14. Milner, H.R., 2010. “What does teacher education have to do with teaching? Implications for diversity studies.” Gale Light Arts, Economy, Education, Humanities & Social Science, Vol. 6, No. 1.
15. Neitz, J., and Maureen, N., 2010.” The genetics of normal and defective color vision.” University of Washington, Dept. Of Ophtalmology, Vol. 12, No. 2.
16. Riordan-Eva, P., dan J.P. Whitcher. 2009. Vaughan & Asbury’s general opthalmology. Edisi 17. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Alih bahasa, Brahm U. Pendit ; editor edisi bahasa Indonesia, Diana Susanto. Edisi 17. Jakarta : EGC, 2009.
17. Roger. 1997. “Pigmented contact lenses can correct for color blindness.” Trade Journals, Vol. 33.
18. Sherwood, L., 2011. Mata : Penglihatan. In :Fisiologi Manusia dari Sel ke Sel. Edisi 5. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 211-230.
19. Situmorang, M. A., 2010. Prevalensi Buta Warna Pada Siswa-Siswi SMA di Kecamatan Medan Helvetia. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.
20. Stiles, J., 2006. “Colorblindness Invisible Dissability.” Iowa Science Teachers Journal, Vol. 33, No. 1.
21. Stresing, D., 2010. “Color Blindness (Color Vision Problem; Color Vision Deficiency).” Medical Encyclopedia Article.
22.Thai News Service Group. 2014. Caucasian Boys Most Prone to Color Blindness, Study Finds. Dalam : (ProQuest). Available from : : http://search.proquest.com/docview/1513223470/F510F9B8901747B2 P Q/15?accountid=5025 7 . 01 Juni 2014 (22:55)
23. Wagner, K., 2013.”Spinning the colour wheel: methods for teaching the color-blind student.” TD&T (Theatre Design & Technology. Vol. 49. No. 2.
1. Widianingsih, R., Kridalaksana, A.H., Hakim, A.R., 2010. “Aplikasi Tes Buta
Warna Dengan Metode Ishihara Berbasis Komputer.” Jurnal Informatika
Mulawarman, Vol. 5, No. 1.
29