panduan praktikum petrografi 2016

134
KATA PENGANTAR Bismillaahirrohmaanirrohiim, Puji dan syukur atas karunia dan Rahmat Allah Subhanallahu Wa Ta’ala atas selesainya buku panduan praktikum petrografi ini, yang dibuat untuk membantu kelancaran praktikum mahasiswa STTNAS. Praktikum petrografi merupakan kelanjutan dari praktikum mata kuliah terkait yaitu mineral optik dan petrologi, yang diharapkan para praktikan petrografi telah menguasainya. Buku Panduan ini berisi 12 acara praktikum, yang akan dijabarkan dalam buku ini. Setiap acara akan dilaksanakan dalam satu kali pertemuan, dengan durasi sekitar 100 menit. Acara 10 dan 11 merupakan acara studi kasus, dan acara 12 adalah responsi. Target total sampel yang dianalisa oleh praktikan adalah 16 sampel batuan, dan 1 conto studi kasus serta 1 laporan akhir. Buku panduan ini, tentunya masih banyak kekurangan dan perlu revisi, maka masih perlu masukan ide bagi pihak-pihak yang menemukan kesalahan atau ada ide baru mengenai hal terkait praktikum. Yogyakarta, Maret 2016 Okki Verdiansyah, ST., MT.

Upload: ardhianfardli

Post on 08-Jul-2016

614 views

Category:

Documents


126 download

DESCRIPTION

SSttnas

TRANSCRIPT

Page 1: Panduan Praktikum Petrografi 2016

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrohmaanirrohiim,

Puji dan syukur atas karunia dan Rahmat Allah Subhanallahu Wa Ta’ala atas selesainya

buku panduan praktikum petrografi ini, yang dibuat untuk membantu kelancaran praktikum

mahasiswa STTNAS.

Praktikum petrografi merupakan kelanjutan dari praktikum mata kuliah terkait yaitu

mineral optik dan petrologi, yang diharapkan para praktikan petrografi telah menguasainya.

Buku Panduan ini berisi 12 acara praktikum, yang akan dijabarkan dalam buku ini. Setiap

acara akan dilaksanakan dalam satu kali pertemuan, dengan durasi sekitar 100 menit. Acara 10

dan 11 merupakan acara studi kasus, dan acara 12 adalah responsi.

Target total sampel yang dianalisa oleh praktikan adalah 16 sampel batuan, dan 1 conto

studi kasus serta 1 laporan akhir.

Buku panduan ini, tentunya masih banyak kekurangan dan perlu revisi, maka masih perlu

masukan ide bagi pihak-pihak yang menemukan kesalahan atau ada ide baru mengenai hal terkait

praktikum.

Yogyakarta, Maret 2016

Okki Verdiansyah, ST., MT.

i | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 2: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 3: Panduan Praktikum Petrografi 2016

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii

ACARA 1 PROSEDUR IDENTIFIKASI MINERAL DAN BATUAN.................................1

ACARA 2 PETROGRAFI KUALITATIF DAN KUANTITATIF.........................................3

ACARA 3 ANALISA JENIS TEKSTUR DAN REAKSI MINERAL DALAM

BATUAN BEKU DAN GUNUNGAPI 9

ACARA 4 ANALISA PETROGRAFI DAN PETROGENESA BATUAN BEKU DAN

GUNUNG API 13

ACARA 5 ANALISA JENIS TEKSTUR DAN REAKSI MINERAL DALAM

BATUAN METAMORF 22

ACARA 6 ANALISA PETROGRAFI DAN PETROGENESA BATUAN METAMORF .. 27

ACARA 7 ANALISA JENIS TEKSTUR DAN REAKSI MINERAL DALAM

BATUAN SEDIMEN 36

ACARA 8 ANALISA PETROGRAFI DAN PETROGENESA BATUAN SEDIMEN.......45

ACARA 9 ANALISA PETROGRAFI BATUAN ALTERASI.............................................51

ACARA 10 – 11 ANALISA PETROGRAFI BERDASARKAN STUDI KASUS......................52

ACARA 12 RESPONSI...........................................................................................................52

ii | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 4: Panduan Praktikum Petrografi 2016

SATUAN ACARA PRAKTIKUM

[1]. Prosedur identifikasi mineral dan batuan

[2]. Petrografi kualitatif dan kuantitatif

[3]. Analisa jenis tekstur dan reaksi mineral dalam batuan beku dan gunungapi

[4]. Analisa petrografi dan petrogenesa batuan beku - gunungapi

[5]. Analisa jenis tekstur dan reaksi mineral dalam batuan metamorf

[6]. Analisa petrografi dan petrogenesa batuan metamorf

[7]. Analisa jenis tekstur dan reaksi mineral dalam batuan sedimen

[8]. Analisa petrografi dan petrogenesa batuan sedimen

[9]. Analisa petrografi batuan teralterasi

[10]. Analisa petrografi dan petrogenesa pada studi kasus mahasiswa

[11]. Analisa petrografi dan petrogenesa pada studi kasus mahasiswa

[12]. Responsi

iii | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 5: Panduan Praktikum Petrografi 2016

ACARA 1

PROSEDUR IDENTIFIKASI MINERAL DAN BATUAN

1.1. Objektif praktikum

Mahasiswa diharapkan mengetahui dan memahami prosedur pengamatan dan identifikasi mineral

dan batuan dalam mikroskop polarisasi, yang sesuai dengan urutannya.

Materi ini merupakan review dan pemantapan mata kuliah Mineral Optik, yang dijadikan acuan

keahlian mahasiswa dalam Praktikum Petrografi.

1.2. Durasi praktikum

Praktikum dilaksanakan dalam ± 100 menit, yang terbagi menjadi : pembukaan (presensi) : 10 menit review materi praktikum : 20 menit Pre Test dan Kuis : 10 menit Pengamatan sayatan : 50 menit Penutupan dan tugas laporan : 10 menit

1.3. Target pencapaian praktikum

Mahasiwa mampu mengamati 2 conto sayatan tipis dan deskripsinya, sesuai prosedur yang

ditetapkan.

1.4. Prosedur Identifikasi

Prosedur identifikasi sayatan tipis dan deskripsi petrografi dapat dilihat pada referensi berikut :

1) Raith, MM., Raase. P., Reinhardt J., 2011, Guide to Thin Section Microscopy

2) Hartono, G.H., 2008, Buku Panduan Mineral Optik, Lab. Mineralogi – Petrologi, Sekolah

Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta.

3) Gill R, 2010, Igneous Rocks and Process : a practical guide

1 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 6: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Prosedur identifikasi dapat dilihat pada diagram 1.1 dibawah ini:

2 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 7: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 8: Panduan Praktikum Petrografi 2016

ACARA 2

PETROGRAFI KUALITATIF DAN KUANTITATIF

2.1. Objektif praktikum

Mahasiswa diharapkan mengetahui dan memahami konsep petrografi, dan perhitungan

volumetric (% vol.) dalam pengamatan petrografi baik secara kualitatif ataupun kuantitatif Materi

ini merupakan dasar dalam pengamatan petrografi, setiap jenis sayatan tipis. Volume komposisi

objek dalam sayatan tipis harus dapat diidentifikasi secara tepat karena sangat berpengaruh

terhadap penamaan dan petrogenesa nantinya.

2.2. Durasi praktikum

Praktikum dilaksanakan dalam ± 100 menit, yang terbagi menjadi : pembukaan (presensi) : 10 menit review materi praktikum : 10 menit Pre Test dan Kuis : 10 menit Pengamatan sayatan : 60 menit Penutupan dan tugas laporan : 10 menit

2.3. Target pencapaian praktikum

Mahasiwa mampu mengamati dan menghitung persentase komposisi beberapa objek dalam 1

(satu) conto sayatan tipis jenis batuan beku dan 1 (satu) sayatan tipis jenis batuan sedimen.

2.4. Referensi

1) Chayes, F., 1954. The theory of thin-section analysis. The Journal of Geology, pp.92-101.2) Jensen, V. and Sibbick, T., 2001. RILEM petrographic method: practical use and

comparison with other petrographic methods in use. 9th Euroseminar on Microscopy applied to building Materials.

3) Higgins, M.D., 2006. Quantitative textural measurements in igneous and metamorphic petrology. Cambridge University Press.

4) Larrea, M., Martig, S., Castro, S., Aliani, P. and Bjerg, E., 2010, May. Rock. AR–A Point Counting Application for Petrographic Thin Sections. In 26th Spring Conference on Computer Graphics, Budmerice, Slovakia (pp. 13-15).

5) Heilbronner, R., Barret, S., 2014, Image Analysis in Earth Science: Microstructure and textures of Earth Materials, Springer-Verlag Berlin, 520 p.

3 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 9: Panduan Praktikum Petrografi 2016

2.5. Perhitungan persentase volumetrik

Pada pengamatan petrografi, kita harus dapat menentukan jumlah komposisi secara volumetric

untuk menentukan secara tepat nama dan tekstur batuan. Pada dasarnya semua batuan dan konkrit

memiliki pendeskripsian secara volumetric sama, yaitu melihat beberapa komponen seperti

butiran atau fragmen, matriks atau masa dasar (material yang halus), pori (lubang), dan semen

(larutan). Perbedaan mendasar antara tipa batuan adalah komposisi penyusun dari tiap jenis

batuan yang berbeda-beda.

Hal – hal yang diperhatikan dalam pengamatan petrografi:

A. Tekstur Batuan

Tekstur batuan pada dasarnya adalah hubungan geometrik antara butiran, kristal, lubang, atau

gelas dalam batuan. Tekstur batuan juga dapat didefinisikan sebagai orientasi kristal dalam

batuan, atau orientasi butiran yang biasa juga disebut sebagai kemas (fabric).

Komponen – komponen tekstur, dapat dibagi menjadi :

1. Ukuran butir, kristal atau gelembung

2. Bentuk dan batas butiran dan bentuk kristal

3. Orientasi dari butiran dan bentuk kristal

4. Posisi dan hubungan kontak antara butir atau kristal

5. Hubungan antara fase dalam batuan.

B. Batas pengamatan untuk perhitungan

Pengamatan petrografi hanya mewakili sekitar 3 – 5 cm, dari batuan yang akan diamati dari

singkapan Lapangan, sehingga perlu di perhatikan dimensi conto yang dihasilkan dalam sayatan

tipis.

Batas sayatan sering menampakan bentuk yang tidak beraturan, sehingga perlu penanganan

khusus dengan 2 (dua) cara (lihat Gambar 2.2), yaitu :

1. Membatasi manual, berdasarkan kesempurnaan bentuk butir dan kristal

2. Membuat kotak atau batasan simetri, sebagai batas pengamatan

4 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 10: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Gambar 2.1. Bentuk hubungan distribusi spasial antara butir atau kristal (Higgins, 2006)

Gambar 2.2. Metode pembatasan pengamatan pada sayatan tipis, (a). membatasi medan pengamatan berdasarkan kesempurnaan bentuk butir atau kristal, (b). membuat kotak, atau batasan simetri sebagai medan pengamatan (Higgins, 2006).

5 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 11: Panduan Praktikum Petrografi 2016

C. Modal Analysis

Penentuan proporsi volumetrik mineral atau butiran yang menyusun batuan atau disebut

komposisi modal, dapat dilakukan dengan berbagai teknik, tergantung dari presisi dan

akurasi yang diinginkan. Beberapa teknik yang digunakan yaitu :

1. Teknik paling cepat dan cenderung akurat adalah dengan estimasi visual yang dapat

digunakan pada conto setangan ataupun sayatan tipis.

2. Teknik lainnya adalah dengan menaruh grid pada sayatan tipis serta dengan teknik

point counting secara elektronik.

3. Analisis gambar pada perangkat elektronik

Penentuan volumetrik hanya berdasarkan satu sisi permukaan sayatan sehingga akan

terdapat masalah pada mineral pipih seperti biotit, maka itu perlu diperhatikan posisi

sayatan dari conto yang ada.

Teknik penyamaan visual (Kualitatif)

Cara perhitungan dengan teknik ini adalah dengan menyamakan secara visual sebaran dan

bentuk mineral (biasanya fenokris atau fragmen), dengan standar yang telah dibuat oleh

Terry & Chillingar, dalam Best, 2006). Lihat gambar 2.3.

Gambar 2.2. Penentuan volumetrik secara visual (dalam Best, 2013)

6 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 12: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Teknik Point Counting (Kuantitatif)

Teknik perhitungan kuantitatif berupa teknik point counting, berupa teknik perhitungan

dengan membuat titik titik berdasarkan grid yang disepakati.

Teknik ini dikembangkan sejak lama, mulai dari cara manual oleh [Delesse 1848],

Rosiwal [Rosiwal 1898], Shand [Shand 1916], Chayes [Chayes 1949] dan lainnya. Pada

tahun 1993 [Gatlin CL 1993] mengembangkan metode semi-otomatis dengan peralatan

elektro mekanik yang ditempatkan pada mikroskop. Saat ini teknik ini dikembangkan

dengan metode elektronik dan analisis gambar.

Teknik point counting dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

1. Buat titik (point), dari pertemuan garis-garis grid yang telah dibuat

Berdasarkan data statistik, maka diperlukan titik sebanyak 1000 titik untuk ukuran

butir < 2mm, dan 1500 titik (point) untuk ukuran 2 – 4 mm dan dilakukan pada satu

sayatan tipis [Danish Petrographic Methode TI B 52, dalam Jensen, 2001].

Gambar 2.3. Grid yang dibuat sebagai dasar perhitungan

2. Lakukan pengamatan di perbesaran objektif 4X

3. Sebelum perhitungan, tentukan jenis jenis mineral atau nama butiran utama yang akan

dilakukan perhitungan (>0.0625 mm).

4. Buat tabel komposisi mineral, seperti contoh dibawah ini

7 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 13: Panduan Praktikum Petrografi 2016

5. Lakukan perhitungan

Perhitungan point Counting, dilakukan dengan menentukan nama mineral atau

material di sayatan yang terkena titik, dimana pengamatan harus dilakukan secara

objektif. Mineral yang ditulis dalam perhitungan harus terkena titik grid yang telah

dibuat. Perhitungan dapat dilakukan secara manual dengan analisis gambar/foto atau

dengan bantuan program secara otomatis.

Gambar 2.4. Skema penentuan perhitungan point counting pada batuan (http://www.desert.com/petroweb)

8 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 14: Panduan Praktikum Petrografi 2016

ACARA 3

ANALISA JENIS TEKSTUR DAN REAKSI MINERAL

DALAM BATUAN BEKU DAN GUNUNGAPI

3.1. Objektif praktikum

Mahasiswa diharapkan mengetahui dan memahami jenis tekstur sebagai hasil reaksi mineral pada

kondisi tertentu, yang digunakan untuk mengetahui genesa terjadinya.

Materi berisikan beberapa jenis tekstur yang umum terdapat pada batuan beku dan gunungapi,

disertai pendekatan untuk petrogenesanya

3.2. Durasi praktikum

Praktikum dilaksanakan dalam ± 100 menit, yang terbagi menjadi : pembukaan (presensi) : 10 menit review materi praktikum : 10 menit Pre Test dan Kuis : 10 menit Pengamatan sayatan : 60 menit Penutupan dan tugas laporan : 10 menit

3.3. Target pencapaian praktikum

Mahasiwa mampu mengamati dan menghitung persentase komposisi beberapa objek dalam 1

(satu) conto sayatan tipis jenis batuan beku koheren dan 1 (satu) sayatan tipis jenis batuan

piroklastika.

3.4. Referensi

1) Bowen, N. L., 1928, The Reaction principle in petrogenesis, The Journal of Geology, Vol. 30, No. 3, pp. 177-198

2) Philpotts A.R., 1989, Petrografi of Igneous and Metamorphic Rocks, Prentice-Hall, Inc, Engewood Cliffs, New Jersey, 179 p.

3) Mackenzie, W., S., Donaldson, C.H., Guilford, C., 1982, Atlas of Igneous Rocks and their Texture.

4) McPhie, J., Doyle, M. & Allen, R., 1993, Volcanic Textures : A guide to the interpretation of textures in volcanic rocks, CODES, Univ. of Tasmania, Hobart, 196 p.

5) Best, M., G., 2003, Igneous and Metamorphic Petrology, Blackwell Science Ltd, 760 p.

9 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 15: Panduan Praktikum Petrografi 2016

6) Le Maitre, R., W., International Union of Geological Sciences, 2002, Igneous Rocks A Classification and Glossary of Terms, Cambridge University Press 252 p

3.5. Asosiasi mineral

Mineral dalam batuan hasil kristalisasi magma, dapat terjadi dengan berbagai cara

sehingga menghasilkan keberagaman. Batuan beku sub-alkalin yang berasosiasi dengan

fraksinasi kristalisasi seperti pada tataan tektonik subduksi akan menghadirkan mineralogi

―normal‖ seperti pada seri reaksi bowen (Bowen, 1922) yang merupakan rangkaian seri reaksi

mineral secara fisik dan kimia, yang saling berasosiasi. Konsep asosiasi mineral dalam batuan

beku lebih tepat menggunakan seri reaksi Bowen.

3.6. Tekstur batuan beku

Tekstur dalam batuan beku merupakan hubungan antar mineral atau mineral dengan

masa gelas yang membentuk masa yang merata pada batuan. Selama pembentukan tekstur

dipengarui oleh kecepatan dan stadia kristalisasi. Yang kedua tergantung pada suhu, komposisi

kandungan gas, kekentalan magma dan tekanan. Dengan demikian tekstur tersebut merupakan

fungsi dari sejarah pembentukan batuan beku. Dalam hal ini tekstur tersebut menunjukkan

derajat kristalisasi (degree of crystallinity), ukuran butir (grain size), granularitas dan kemas

(fabric), (Williams, 1982; Huang, 1962 ).

1. Derajat kristalisasi

Derajat kristalisasi merupakan keadaan proporsi antara masa kristal dan masa gelas dalam

batuan. Dikenal ada tiga kelas derajat kristalisasi, yaitu :

a ) Holokristalin : apabila batuan tersusun seluruhnya oleh masa kristal

b) Hipokristalin : apabila batuan tersusun oleh masa kristal dan gelas

c) Holohylalin : apabila batuan seluruhnya tersusum oleh masa gelas

2. Granularitas

Granularitas merupakan ukuran butir kristal dalam batuan beku, dapat sangat halus yang tidak

dapat dikenal meskipun menggunakan mikroskop, tetapi dapat pula sangat kasar. Umumnya

dikenal dua kelompok ukuran butir, yaitu afanitik dan fanerik.

10 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 16: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 17: Panduan Praktikum Petrografi 2016

a. Afanitik

Dikatakan afanitik apabila ukuran butir individu kristal sangat halus, sehingga tidak dapat

dibedakan dengan mata telanjang

b. Fanerik

Kristal individu yang termasuk kristal fanerik dapat dibedakan menjadi ukuran-ukuran :

- Halus, ukuran diameter rata-rata kristal individu < 1 mm- Sedang, ukuran diameter kristal 1 mm – 5 mm- Kasar, ukuran diameter kristal 5 mm – 30 mm- Sangat kasar, ukuran diameter kristal > 30 mm

3. Kemas

Kemas meliputi bentuk butir dan susunan hubungan kristal dalam suatu batuan.

a. Bentuk kristal

Ditinjau dari pandangan dua dimensi, dikenal tiga macam :- Euhedral, apabila bentuk kristal dan butiran mineral mempunyai bidang kristal yang

sempurna, dibatasi oleh bidang kristal mineral tersebut.

- Subhedral, apabila bentuk kristal dari butiran mineral dibatasi oleh sebagian bidang kristal

yang sempurna (bidang kristal mineral tersebut)

- Anhedral, apabila bentuk kristal dari butiran mineral dibatasi oleh sebagian bidang kristal yang

tidak sempurna, dan dibatasi oleh bidang kristal mineral lainnya.

Secara tiga dimensi dikenal :

- Equidimensional, apabila bentuk kristal ketiga dimensinya sama panjang.

- Tabular, apabila bentuk kristal dua dimensi lebih panjang dari satu dimensi lain.

- Irregular, apabila bentuk kristal tidak teratur.

b. Relasi

Merupakan hubungan antara kristal satu dengan yang lain dalam suatu batuan dari ukuran

dikenal :

1) Granularitas atau Equiqranular, apabila mineral mempunyai ukuran butir yang relatif

seragam, terdiri dari : Panidiomorfik granular, yaitu sebagian besar mineral berukuran seragam dan euhedral.Bentuk butir euhedral merupakan penciri mineral-mineral yang terbentuk paling awal, hal ini

11 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 18: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 19: Panduan Praktikum Petrografi 2016

dimungkinkan mengingat ruangan yang tersedia masih sangat luas sehingga mineral-mineral

tersebut sampai membentuk kristal secara sempurna.

Hipiodiomorfik granular, yaitu sebagian besar mineralnya berukuran relatif seragam dan subhedral. Bentuk butiran penyusun subhedral atau kurang sempurna yang merupakan penciri bahwa pada saat mineral terbentuk, maka rongga atau ruangan yang tersedia sudah tidak memadai untuk memadai untuk dapat membentuk kristal secara sempurna.

Allotiomorfik granular, yaitu sebagian besar mineralnya berukuran relatif seragam dan anhedral. Bentuk anhedral atau tidak beraturan sama sekali merupakan pertanda bahwa pada saat mineral-mineral penyusun ini terbentuk hanya dapat mengisi rongga yang tersedia saja. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa mineral-mineral anhedral tersebut terbentuk paling akhir dari rangkaian proses pembentukan batuan beku.

2) Inequigranular, apabila mineralnya mempunyai ukuran butir tidak sama , antara lain terdiri

dari : Porfiritik , adalah tekstur batuan beku dimana kristal besar (fenokris) tertanam dalam masa dasar kristal yang lebih halus.Vitrovirik , apabila fenokris tertanam dalam masa dasar berupa gelas.

3.5. Tekstur khusus batuan beku dan piroklastik

Tekstur dalam batuan beku dan piroklastik, memiliki beragam jenis yang terbentuk oleh kondisi

berbeda-beda dan asoisasi mineral yang berbeda juga. Hal inilah yang menjadikan pengamatan

tekstur pada batuan beku menjadi penting, untuk kegunaan lebih lanjut.

Tekstur – tekstur khusus batuan beku dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan lampiran 1, dan untuk

batuan piroklastik dapat dilihat pada tabel 2.2

Tabel 2.1. Beberapa jenis tekstur batuan beku, pada jenis vulkanik dan plutonik

Vulkanik Plutonik Lain - lainMikrolitik Subofitik Poikilitk Adkumulat ZoningSferulitik Ofitik Grafik Simplektik KoronaVitrofirik Diktitaksitik Ofitik Mirmekitik Kelphytic rimIntersertal Glomeroporfiritik Subofitik Seriate Rapikiviintergranular Piroklastik Diabasik Trasitoidal EpitaksialFelty Seriate Ortokumulat granofirikPilotaksitik Spinifex MesokumulatTrasitik

12 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 20: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 21: Panduan Praktikum Petrografi 2016

ACARA 4

ANALISA PETROGRAFI DAN PETROGENESA

BATUAN BEKU DAN GUNUNG API

4.1. Objektif praktikum

Mahasiswa diharapkan mengetahui dan memahami klasifikasi batuan beku dan piroklastik, sesuai

standar internasional.

Materi berisikan pengenalan klasifikasi dan tata cara penamaan batuan beku, dan menentukan

petrogenesa sederhana dari batuan yang ada.

4.2. Durasi praktikum

Praktikum dilaksanakan dalam ± 100 menit, yang terbagi menjadi : pembukaan (presensi) : 10 menit review materi praktikum : 10 menit Pre Test dan Kuis : 10 menit Pengamatan sayatan : 60 menit Penutupan dan tugas laporan : 10 menit

4.3. Target pencapaian praktikum

Mahasiwa mampu mengamati dan menghitung persentase komposisi beberapa objek dalam 1

(satu) conto sayatan tipis jenis batuan beku koheren dan 1 (satu) sayatan tipis jenis batuan

piroklastika.

4.4. Referensi

1) Gill, R., 2010, Igneous rocks and process a practical guide, Willey Blackwell, 415 p.2) Raith, MM., Raase. P., Reinhardt J., 2011, Guide to Thin Section Microscopy3) Mackenzie, W., S., Donaldson, C.H., Guilford, C., 1982, Atlas of Igneous Rocks and

their Texture.4) McPhie, J., Doyle, M. & Allen, R., 1993, Volcanic Textures : A guide to the interpretation

of textures in volcanic rocks, CODES, Univ. of Tasmania, Hobart, 196 p.5) Best, M., G., 2003, Igneous and Metamorphic Petrology, Blackwell Science Ltd, 760 p.6) Le Maitre, R., W., International Union of Geological Sciences, 2002, Igneous Rocks A

Classification and Glossary of Terms, Cambridge University Press 252 p

13 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 22: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 23: Panduan Praktikum Petrografi 2016

4.5. Prinsip Klasifikasi Batuan Beku

Batuan beku (igneous rocks) merupakan bersumber dari kristalisasi magma yang terbentuk secara

cumulate, deuteric, metasomatic atau proses metamorfosa. Klasifikasi utama batuan beku harus

di dasarkan pada keberadaan mineral atau mode, jika tidak memiliki kristal atau gelas maka

digunakan klasifikasi berdasarkan komposisi kimianya.

Beberapa istilah yang perlu diketahui adalah

Batuan Plutonik : tekstur faneritik, berukuran butir relatif kasar (>3 mm), dimana setiap mineral dapat dibedakan dengan mata telanjang.

Batuan Vulkanik : tekstur afanitik, rukuran butir relatif halus (<1 mm), diamana individu kristal mineral tidak dapat dibedakan dengan mata telanjang, dan biasanya mengandung gelas vulkanik.

Batuan harus dinamakan apa adanya, bukan berdasarkan kemungkinan.

Batuan dinamakan dengan klasifikasi QAPF (kuarsa, alkali feldspar, Plagioklas, Feldspatoid).

Akhiran –bearing (pembawa) dipakai dengan nama mineral penting dengan komposisi <5%, contoh plagioclase bearing ultramafic. Atau sampai 20 % jika gelas vulkanik

Akhiran –rich (kaya) dipakai dengan nama mineral, jika mineral lebih dari 20 %. Contoh gabbro kaya biotit.

Akhiran –mineral dipakai jika mineral selain QAPF sebanyak 5 – 20%, contoh Andesit Hornblenda

Awalan mikro -, dipakai untuk mengindikasikan batuan plutonik (intrusi) dengan ukuran butir lebih halus dari biasanya, contoh microdiorite (Diorit mikro). Kecuali diabas dan dolerit.

Klasifikasi batuan beku, selalu menggunakan parameter indeks mafik (M) yang terlihat sebagai tingkat kegelapan warna batuan. Batuan ultramafik mempunyai nilai M ≥ 90, sedangkan batuan lainnya mempunyai M < 90.

Pembeda nama batuan antara basal dan andesit, gabbro dan diorit adalah nilai M yang berbanding dengan nilai keasaman batuan (SiO2), lihat Gambar 4.1

14 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 24: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 25: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Gambar 4.1. Kategori pembagian parameter batuan beku, (a) parameter tekstur ukuran butir/ kristal, (b) parameter warna atau tingkat kecerahan batuan, (c) klasifikasi keasaman batuan beku berdasarkan kandungan SiO2 (Gill, 2010)

KLASIFIKASI BATUAN BEKU PLUTONIK

Klasifikasi ini dipakai untuk batuan faneritik (fanero-porfiritik) dengan ukuran > 3mm, dan untuk

batuan intrusi yang berukuran halus (mikro-).

Klasifikasi berdasarkan kehadiran mineral dilakukan dengan 3 tahap, yaitu :

1. Jika M (indeks mineral mafik) kurang dari 90% maka batuan diklasifikan dengan mineral

felsiknya, yaitu dengan QAPF diagram (Gambar 4.2).

15 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 26: Panduan Praktikum Petrografi 2016

2. Jika M lebih besar atau sama dengan 90%, maka batuan diklasifikasikan seagai

Ultramafik (Gambar 4.3)

3. Untuk Gabbro dan Diorit, dibedakan berdasarkan indeks M. Gabro mempunyai nilai M

>35%. (lihat kembali Gambar 4.1)

Gambar 4.2. Klasifikasi QAPF untuk batuan plutonik (Streckeisen, 1976 dalam Le Maitre, 2006). Q = kuarsa, A = Alkali feldspar, P = Plagioklas, F = Felsdpatoid.

16 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 27: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 28: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Gambar 4.3. Klasifikasi untuk batuan Ultramafik (Streckeisen, 1973 dalam Le Maitre, 2006). Ol (olivin), Px (piroksen), Cpx (klinopiroksen), Opx (ortopiroksen), Hbl (Hornblenda).

Cara penggunaan klasifikasi

Penggunaan klasifikasi QAPF, pada dasarnya merupakan diagram segitiga (Ternary) yang

mewajibkan mineral telah teridentifikasi dalam persen volum mineral felsik, yang kemudian di

kalkulasikan menjadi 100 %. Sebagai contoh : sebuah batuan memiliki komposisi kuarsa = 10%,

Ortoklas = 30 %, Plagioklas = 20 %, dan Mafik = 40% maka dikalkulasikan menjadi :

Q = 100 x (10/60) = 16.7; A = 100 x (30/60) = 50.0; P = 100 x (20/60) = 33.3, maka batuan

tersebut dinamakan Monzonit kuarsa.

Klasifikasi ternary lainnya seperti batuan feldspatoid dan ultramafic, diberlakukan cara yang

sama yaitu dengan penggunaan modal dari 3 mineral di kalkulasikan menjadi 100 %.

17 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 29: Panduan Praktikum Petrografi 2016

KLASIFIKASI BATUAN BEKU VULKANIK

Klasifikasi QAPF-vulkanik hanya dipakai untuk batuan dengan tekstur teridentifikasi sebagai

batuan vulkanik, dan jika mineral telah teridentifikasi kehadirannya.

Untuk kolom basalt dan andesit, maka penamaan dibedakan berdasarkan indeks warna dan

persentase SiO2

Gambar 4.4. Klasifikasi QAPF untuk batuan vulkanik (Streckeisen, 1976 dalam Le Maitre, 2006). Q = kuarsa, A = Alkali feldspar, P = Plagioklas, F = Felsdpatoid.

18 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 30: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 31: Panduan Praktikum Petrografi 2016

KLASIFIKASI BATUAN PIROKLASTIKA

Piroklastik atau piroklast didefinisikan sebagai fragmen produk langsung dari proses vulkanik,

yang terbagi menjadi kristal, gelas, atau fragmen batuan. Proses pembentukan batuan piroklastik

dan vulkaniklastik, terbagi menjadi beberapa jenis berdasarkan genesanya (Gambar 4.5, Mc phie,

1993).

Gambar 4.4. Pembagian genetik jenis batuan vulkaniklastik (Mc Phie, 1993).

Ukuran fragmen batuan gunung api terbagi menjadi Bomb dan blok (>64mm), Lapili (2 –

64mm), dan butiran abu (< 2mm).

Penamaan batuan piroklastik, menggunakan klasifikasi Fisher (1996) sebagaimana gambar 4.5,

19 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 32: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Gambar 4.5. Diagram ternary untuk klasifikasi piroklastik. a) berdasarkan tipe material, Pettijohn (1975) dan Harper & Row, Schmid (1981), (b) berdasarkan ukuran material, Fisher (1966).

Penamaan piroklastika dalam petrografi berlaku untuk batuan dengan kandungan > 75% material

piroklastik, jika terdapat pencampuran material lainnya maka dinamakan dengan klasifikasi

campuran piroklastik dan epiklastik (Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Istilah yang digunakan untuk batuan campuran piroklastik - epiklastik

20 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 33: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Penamaan Batuan Vulkaniklastik

Batuan vulkaniklastik, merupakan jenis batuan klastika dengan parameter tertentu, dan sering

di bingungkan dengan adanya transisi penamaan menuju epiklastik.

Dasar penamaan sebagai batuan piroklastik menggunakan ukuran butir pada Tabel 4.1 (Schmid,

1981) dan Gambar 4.5 (Fisher, 1966), dimana digunakan pada batuan dengan kandungan >75%

komponen piroklastika.

Penamaan batuan vulkaniklastik atau piroklastika dapat mengikuti beberapa parameter, yaitu :

1. Penamaan Lapangan :

a. Berdasarkan ukuran butir (Lihat Gambar 4.5), dan untuk batuan batuan

piroklastika dengan butiran fragmen <2 mm dinamakan Tuf, yang terbagi menjadi

Tuf kasar, Tuf sedang, dan Tuf halus.

b. Menggunakan parameter dan penamaan menurut Mc Phie (1996)

2. Penamaan petrografi :

a. Membagi berdasarkan kehadiran material penyusun : gelas, kristal mineral, dan

batuan (lihat kembali Gambar 4.5).

b. Menambahkan penamaan dengan tambahan tekstur – tekstur khusus pada batuan:

welded, alteration, diagenesa.

c. Menambahkan penamaan dengan tambahan sifat batuan, seperti : andesitik,

dasitik, riolitik, atau basaltik. Hal ini didasarkan kehadiran mineralogi atau litik

yang dominan. Dan juga berdasarkan kecerahan atau kimia batuan.

21 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 34: Panduan Praktikum Petrografi 2016

ACARA 5

ANALISA JENIS TEKSTUR DAN REAKSI MINERAL

DALAM BATUAN METAMORF

5.1. Objektif praktikum

Mahasiswa diharapkan mengetahui dan memahami jenis tekstur sebagai hasil reaksi mineral pada

kondisi tertentu, yang digunakan untuk mengetahui genesa terjadinya.

Materi berisikan beberapa jenis tekstur yang umum terdapat pada batuan beku dan gunungapi,

disertai pendekatan untuk petrogenesanya

5.2. Durasi praktikum

Praktikum dilaksanakan dalam ± 100 menit, yang terbagi menjadi : pembukaan (presensi) : 10 menit review materi praktikum : 10 menit Pre Test dan Kuis : 10 menit Pengamatan sayatan : 60 menit Penutupan dan tugas laporan : 10 menit

5.3. Target pencapaian praktikum

Mahasiwa mampu mengamati dan menentukan mineral-mineral beserta teksturnya dalam 1 (satu)

conto sayatan tipis jenis batuan metamorf foliasi dan 1 (satu) sayatan tipis jenis batuan metamorf

nonfoliasi.

5.4. Referensi

1) Philpotts A.R., 1989, Petrografi of Igneous and Metamorphic Rocks, Prentice-Hall, Inc, Engewood Cliffs, New Jersey, 179 p.

2) Raith, MM., Raase. P., Reinhardt J., 2011, Guide to Thin Section Microscopy3) Mackenzie, W., S., Donaldson, C.H., Guilford, C., 1982, Atlas of Igneous Rocks and

their Texture.4) Best, M., G., 2003, Igneous and Metamorphic Petrology, Blackwell Science Ltd, 760 p.5) Butcher, K., and Graper, R., 2011, Petrogenesis of metamorphic rock, 8 ed, Springer,

441 p.

22 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 35: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 36: Panduan Praktikum Petrografi 2016

5.5. Definisi, Kondisi dan tipe metamorfisme

Metamorfosa batuan adalah proses geologi yang mengubah mineralogi dan komposisi

kimia serta struktur batuan, yang biasanya berasosiasi dengan peningkatan suhu dan tekanan pada

kerak dan mantel bumi.

Kondisi metamorfisme terjadi pada pergerakan lempen, subduksi, koalisi dan

pemerkaran tengah samudera, yang kesemuanya berkosekuensi penambahan tekanan dan suhu.

Batasan suhu dan tekanan metamorfisme sangat tergantung pada material yang diamati.

Batasan suhu terbawah adalah diagenesa pada batuan sedimen atau perubahan mineralogi pada

batuan beku dan vulkanik, dengan umumnya dibatasi suhu terendah 150ºC ± 50ºC (dalam

diagram fase 200ºC). Indikator mineral awal metamorfisme seperti : carpholite, pyrophyllite, Na-

amfibol, lawsonit, paragonit, prehnit, pumpellyit, atau stilpnomelan. Mineral ini juga hadir

pada batuan detrital, namun dibedakan nantinya dengan tekstur dan formasi baru di sayatan tipis.

Batasan tekanan terbawah beberapa megapaskal, dan kedalaman dangkal yang terjadi pada

kontak aurola saat pelepasa panas intrusi.

Batasan teratas suhu adalah ketika dimulainya pelelehan (melt) pada 750 -850ºC, dalam

hal ini partial melting merupakan transisi metaorfisme dan aspek batuan beku, contoh migmatit.

Batasan tekanan tertinggi <1.0 GPa pada ketebelan kerak 30-40 km, namun terdapat data

stabilitas mineral yang terjadi pada Ultra-high-pressure (UHP) metamorphisme berupa

pembentukan kedalaman >100 km, seperti Eklogit (1.5 – 2.0 GPa), Gneis garnet (3.0 GPa),

Eklogit garnet-intan (6.0 GPa).

Tipe metamorfisme terbagi menjadi lokal dan kejadian regional, dengan penjabaran

seperti tabel dibawah ini :

5.6. Material primer Batuan Metamorf

Metamorfisme merupakan hasil dari penambahan (pemindahan) panas dan material

untuk pemadatan volum dari batuan sebelumnya (protolith) kerak atau mantel oleh tektonik atau

23 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 37: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 38: Panduan Praktikum Petrografi 2016

proses batuan beku. Proses metamorfik mengubah komposisi dari protolit, dengan penambahan

panas yang diikuti pelepasan volatil (H2O, CO2, dll) yang membentuk mineral hidrous (lempung, mika, amfibol), karbonat, dan mineral lainnya.

Proses metamorfik umumnya terjadi isokimia (isochemical), yang terjadi pada batuan

bebas volatile sperti batukalsit menjadi marmer. Pada proses lainya terjadi allochemical

metamorphism (metasomatism), yaiu proses perubahan komposisi kation seperti penurunan

alkali (Na,K) dari gneiss menuju amfibolit.

5.7. Proses Metamorf

Metamorfisme batuan selalu berasosiasi dengan proses dan perubahan, dengan efek

perubahan terhadap batuan adalah :

Mineral dan kelompok mineral batuan sebelumnya sudah tidak hadir lagi (hilang) tergantikan yang baru. Seperti Gneis metapeliik dengan komposisi awal Sil+Grt+Bt berubah menjadi Crd+Grt+Bt dengan penambahan kuarsa dan feldspar.

Kehadiran relative suatu mineral terhadap lainnyam seperti Crd berlimpah terhadap Grt + Bt.

Berubah komposisi suatu mineral seperti Fe pada garnet

Struktr batuan berubah, seperti sebaran Bioti yang acak (random) menjadi parallel / sejajar

Komposisi keseluruhan batuan bisa berubah dengan penambahan dan pengurangan komponen seperti pemindahan K2O, MgO dan FeO pada larutan batuan Grt+Crd+Bt karena pembentukan Silimanit.

5.8. Prinsip dari Reaksi Metamorfik

Reakasi metamorfik pada dasarnya merupakan gabungan reaksi kimia dan

termodinamika yang terjadi pada mineral dan batuan. Proses metamorfisme adalah gabungan

antara perubahan suhu, tekanan, dan waktu.

Reaksi metamorfik terbagi menjadi

1. Equilibrium (Contoh gambar 5.2): dan

2. Disequillibrium (structural/textural disequllibrium, chemical disequillibrium).

24 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 39: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 40: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Gambar 5.2. Diagram tekanan – temperatur kesetimbangan jadeit dan albit. Albit – kuarsa yang terletak di kedalaman dengan Th : 1.25 GPa, 550ºC dengan penambahan temperature dan tekanan mencapai berada diatas garis kesetimbangan reaksi (G=0) menjadi Jadeit – Kuarsa, dengan energy perhitungan Galbit-kuarsa = Ga+Gk, Gjade-kuarsa = Gjd + 2Gk, yang disimpulkan menjadi reaksi A ke B: 1 NaAlSi2O6 (Jadeit) + 1 SiO2 (Kuarsa) = 1 NaAlSi3O8 (Albit)

5.9. Reaksi kimia dalam metamorfisme

Reaksi utama dalam metamorfisme adalah reaksi kimia, yang terbentuk pada dua jenis reaksi

yaitu

1. Fase Padat (Solid Phase)

Biasa disebut solid-solid reactions, yang bisa sebagai transisi dan reaksi polimorfik.

Atau dengan transfer komponen oleh mineral reaktan, membentuk kumpulan mineral baru

25 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 41: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 42: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Atau reaksi pertukaran ion antara paket mineral.

Atau proses eksolusi dan solvus (peluruhan)

2. Fase Melibatkan Volatil

Fase ini, terdiri dari reaksi dehidrasi, dekarbonisasi (i), pencampuran volatil (ii-iii).

oksidasi-reduksi (iv-v), reaksi dengan sulfur, reaksi dengan halogen, reaksi

kompleks (vi), dan reaksi melibatkan mineral – larutan (vii).

Cal + Qtz = Wo + C02 (i)

margarite + 2 quartz + calcite = 2 anorthite + 1 CO2 + 1 H2O (ii)

2 zoisite + 1 CO2 = 3 anorthite + calcite + 1 H2O (iii)

6 Fe2O3 = 4 Fe3O4 + O2 (iv)

(v)

(vi)

(vii)

26 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 43: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 44: Panduan Praktikum Petrografi 2016

ACARA 6

ANALISA PETROGRAFI DAN PETROGENESA BATUAN METAMORF

6.1. Objektif praktikum

Mahasiswa diharapkan mengetahui dan memahami jenis klasifikasi batuan metamorf dengan

melihat tekstur dan struktur sebagai hasil reaksi mineral pada kondisi tertentu, yang digunakan

untuk mengetahui genesa terjadinya.

Materi berisikan beberapa jenis tekstur dan struktur, serta mineral indeks yang umum terdapat

pada batuan metamorf, disertai pendekatan untuk petrogenesanya

6.2. Durasi praktikum

Praktikum dilaksanakan dalam ± 100 menit, yang terbagi menjadi : pembukaan (presensi) : 10 menit review materi praktikum : 10 menit Pre Test dan Kuis : 10 menit Pengamatan sayatan : 60 menit Penutupan dan tugas laporan : 10 menit

6.3. Target pencapaian praktikum

Mahasiwa mampu menentukan nama dan petrogenesa dalam 1 (satu) conto sayatan tipis jenis

batuan metamorf foliasi dan 1 (satu) sayatan tipis jenis batuan metamorf nonfoliasi.

6.4. Referensi

1) Raith, MM., Raase. P., Reinhardt J., 2011, Guide to Thin Section Microscopy2) Butcher, K., and Graper, R., 2011, Petrogenesis of metamorphic rock, 8 ed, Springer,

441 p.

6.7. Struktur batuan metamorf

Metamorfisme melibatkan reaksi kimia dalam batuan yang menggatikan mineral dan kelompok

mineral dari material aslinya. Orientasi pengarahan geometric dan mineral metamorfik yang tidak

seragam ini dikontrol oleh tekanan tidak seragam yang berasosiasi dengan proses tektonik. Pola

ini menghasilkan struktur metamorfik yang kemudian dipakai dalam penamaan batuan

27 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 45: Panduan Praktikum Petrografi 2016

metamorf. Istilah dalam metamorfisme sebagaimana tercantum dalam “International Union

Commission of Geological Sciences Subcommission on the Systematics of Metamorphic Rocks”

(Fettes and Desmonds 2007) adalah sebagai berikut :

Structure. The arrangement of parts of a rock mass irrespective of scale, including geometric interrelationships between the parts, their shapes and internal features. The terms micro-, meso- and mega-can be used as a prefix to describe the scale of the feature. Micro- is used for a thin-section scale, meso-for hand-specimen and outcrop scale, mega- for larger scales.

Fabric. The kind and degree of preferred orientation of parts of a rock mass. The tenn is used to describe the crystallographic and/or shape orientation of mineral grains or groups of grains, but can also be used to describe meso- and mega-scale features.

Layer. One of a sequence of near parallel tabular-shaped rock bodies. The sequence is referred to as being layered (equivalent expressions: bands, banded, laminated). Foliation. Any repetitively occurring or penetrative planar structural feature in a rock body. Some examples: (1). Regular layering on a cm or smaller scale, (2)Preferred planar orientation of inequant mineral grains, (3) Preferred planar orientation of lenticular (elongate) grain aggregates. More than one kind of foliation with more than one orientation may be present in a rock. Foliations may become curved (folded) or distorted. The surfaces to which they are parallel are designated s-surfaces (Gambar. 6.1).

Schistosity. A type of foliation produced by deformation and/or recrystallization resulting in a preferred orientation of inequant mineral grains. It is common practice in phyllosilicate-rich rocks to use the term slaty cleavage instead of schistosity when individual grains are too small to be seen by the unaided eye (Gambar. 6.1).

Cleavage. A type of foliation consisting of a regular set of parallel or subparallel closely spaced surfaces produced by deformation along which a rock body will usually preferentially split. More than one cleavage may be present in a rock.

Slaty cleavage. Perfectly developed foliation independent of bedding resulting from the parallel arrangement of very fine-grained phyllosilicates (Gambar. 6.1).

Fracture cleavage. A type of cleavage defined by a regular set of closely spaced fractures.

Crenulation cleavage. A type of cleavage related to microfolding (crenulation) of a pre-existing foliation. It is commonly associated with varying degrees of metamorphic segregation.

Gneissose structure. A type of foliation on hand-specimen scale, produced by deformation and recrystallization, defined by: (1) Irregular or poorly defined layering, (2) Augen and/or lenticular aggregates of mineral grains (augen structure, flaser structure), (3) Inequant mineral grains which are present, however, only in small amounts or which display only a weak preferred orientation, thus defining only a poorly developed schistosity

Lineation. Any repetitively occurring or penetrative visible linear feature in a rock body (Gambar.6.1). This may be defined by, for example:

Alignment of the long axes of elongate mineral grains (= mineral lineation) Alignment of elongate mineral aggregates Alignment of elongate objects, bodies (e.g. strongly defonned pebbles in a meta-conglomerate) Common axis of intersection of tabular mineral grains (or bodies) Intersection of two foliations (intersection lineation)

28 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 46: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 47: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Parallelism of hinge lines of small scale folds Slickenside striations, Striations due to flexural slip

Joint. A single fracture in a rock with or without a small amount (< 1 cm) of either dilatational or shear displacement (joints may be sealed by mineral deposits during or after their formation).

Cataclasis. Rock deformation accomplished by some combination of fracturing, rotation, and frictional sliding producing mineral grain and/or rock fragments of various sizes and often of angular shape.

Metamorphic differentiation. Redistribution of mineral grains and/or chemical components in a rock as a result of metamorphic processes. Metamorphic process by which mineral grains or chemical components are redistributed in such a way to increase the modal or chemical anisotropy of a rock (or portion of a rock) without changing the overall chemical composition.

Textural zones. Regional geological mapping of metamorphic terranes is typically based on criteria such as lithologic associations, metamorphic zones and structural zones. Field and petrographic subdivision of metamorphic rocks has also been made on the basis of textural zones that subdivide rocks in terms of the degree of recrystallization, e.g. foliation, mineral segregation, increasing grain size, with increasing metamorphism. B The macroscopic/microscopic criteria used to distinguish textural zones are essentially a mapping tool and cannot be used as a mineralogical or isochemical P—T indicator.

29 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 48: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 49: Panduan Praktikum Petrografi 2016

6.7. Klasifikasi dan penamaan batuan metamorf

Kriteria penamaan batuan metamorfik adalah

1) Kehadiran Komposisi mineral (lihat subbab 6.8)

2) Struktur mesoscopik (lihat subbab 6.7.1),

3) kemudian ditambahkan komposisi dan material asalnya (protolit).

Penamaan menggunakan : nama utama (root name) kemudian diberi prefix (awalan

dalam bahasa inggris) atau akhiran (dalam bahasa Indonesia).

1) dengan fasies metamorfisme (lihat subbab 6.8.2) seperti amfibolit-garnet berlapis

pembawa-epidot (banded epidote-bearing garnet-amfibolit)

2) atau berdasarkan strukturnya, seperti gneiss atau gneiss garnet-hornblenda leukrokratik

terlipatkan (folded leucocratic garnet-hornblende gneiss).

6.7.1. Nama berdasarkan struktur metamorfik

a) Gneiss. A metamorphic rock displaying a gneissose structure. The term gneiss may also be applied to rocks displaying a dominant linear fabric rather than a gneissose structure, in which case the term lineated gneiss may be used. This term gneiss is almost exclusively used for rocks containing abundant feldspar (=quartz), but may also be used in exceptional cases for other compositions (e.g. feldspar-free cordierite-anthophyllite gneiss). Examples: garnet-biotite gneiss, granitic gneiss, ortho-gneiss, migmatitic gneiss, banded gneiss, garnet-hornblende gneiss, malic gneiss.

b) Schist. A metamorphic rock displaying on the hand-specimen scale a pervasive, well-developed schistosity defined by the preferred orientation of abundant inequant mineral grains. For phyllosilicate-rich rocks the term schist is usually reserved for medium- to coarse-grained varieties, whilst finer-grained rocks are termed slates or phyllites. The term schist may also be used for rocks displaying a strong linear fabric rather than a schistose structure. Examples: epidote-bearing actinolite-chlorite schist (=greenschist), garnet-biotite schist, micaschist, calcareous micaschist, antigorite schist (=serpentinite), talc-kyanite schist (=whiteschist).

c) Phyllite. A fine-grained rock of low metamorphic grade displaying a perfect penetrative schistosity resulting from parallel arrangement of phyllosilicates. Foliation surfaces commonly show a lustrous sheen.

d) Slate. A very tine-grained rock of low metamorphic grade displaying slaty cleavage .

e) Granofels. A metamorphic rock lacking schistosity, gneissose structure, and mineral lineations.

30 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 50: Panduan Praktikum Petrografi 2016

6.7.2. Nama untuk jenis metamorf tegangan tinggi (high strain)

a) Mylonite. A rock produced by mechanical reduction of grain size as a result of ductile, non-cataclastic deformation in localized zones (shear zones, fault zones), resulting in the development of a penetrative fine-scale foliation, and often with an associated mineral and stretching lineation (Fig. 2.2).

b) Ultramylonite. A mylonite in which most of the megacrysts or lithic fragments have been eliminated (>9()% fine-grained matrix).

c) Augen mylonite (blastomylonite). A mylonite containing distinctive large crystals or lithic fragments around which the fine-grained banding is wrapped.

d) Cataclasite. A rock which underwent cataclasis.e) Fault breccia. Cataclasite with breccia-like structure formed in a fault zone.f) Pseudotachy life. Ultra-fine-grained vitreous-looking material, flinty in appearance, occurring as

thin veins, injection veins, or as a matrix to pseudo-conglomerates or -breccias, which seals dilatancy in host rocks displaying various degrees of fracturing.

6.7.3. Nama dengan istilah khusus

Mafic minerals. Collective expression for ferro-magnesian minerals. Felsic minerals. Collective tenn for quartz, feldspar, feldspathoids and scapolite. Mafic rock. Rock mainly consisting of mafic minerals (mainly = modally >50%). Felsic rock, rock mainly consisting of felsic minerals.

Meta-. If a sedimentary or igneous origin of a metamorphic rock can be identified, the original igneous or sedimentary rock term preceded by ―meta‖ may be used (e.g. metagabbro, metapelite, metasediment, metasupracrustal). Also used to generally indicate that the rock in question is metamorphic (e.g. metabasite).

Ortho- and para-. A prefix indicating, when placed in front of a metamorphic rock name, that the rock is derived from an igneous (ortho) or sedimentary (para) rock respectively (e.g. orthogneiss, paragneiss).

Acid, intermediate, basic, ultrabasic. Terms defining the Si02 content of igneous and metamorphic rocks (respectively, >63, 63-52, 52-45, <45 wt% Si02).

Greenschist and greenstone. Schistose (greenschist) or non-schistose (greenstone) metamorphic rock whose green color is due to the presence of minerals such as chlorite, actinolite, and epidote (greenschist e.g. epidote-bearing actinolite- chlorite schist; greenstone, e.g. chlorite-epidote granofels).

Blueschist. Schistose rock whose bluish color is due to the presence of sodic amphibole (e.g. glaucophane schist). However, the ―blue‖ color of a blueschist will not easily be recognized by a non-geologist (i.e. it is not really blue, although very rare outcrops of really blue glaucophanites do exist). Blueschists are schistose rocks containing amphibole with significant amounts of the M(4) cation position in the amphibole structure occupied by Na (glaucophane, crossite).

Amphibolite. Malic rock predominantly composed of hornblende (>40%) and plagioclase.

Granulite. Metamorphic rock in or from a granulite facies terrain exhibiting characteristic granulite facies mineral assemblages. Anhydrous mafic minerals are modally more abundant than hydrous mafic minerals. Muscovite is absent in such rocks. Characteristic is the occurrence of metamorphic orthopyroxene in both mafic and felsic rocks. The term is not used for marbles and ultramahc rocks in granulite facies terranes.

Charnockite, mangerite, jotunite, enderbyite. Terms applied to orthopyroxenebearing rocks with igneous texture and granitic (charnockite), monzonitic (mangerite, jotunite), and tonalitic (enderbyite) composition, irrespective of whether the rock is igneous or metamorphic.

31 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 51: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Eclogite. A plagioclase-free mafic rock mainly composed of omphacite and garnet, both of which are modally adundant.

Eclogitic rock. Rocks of any composition containing diagnostic mineral assemblages of the eclogite facies (e.g. jadeite-kyanite-talc granofels).

Marble. A metamorphic rock mainly composed of calcite and/or dolomite (e.g. dolomitic marble).

Calc-silicate rock. Metamorphic rock which, besides 0-50% carbonates, is mainly composed of Ca-silicates such as epidote, zoisite, vesuvianite, diopside- hedenbergite, Ca-garnet (grossular-andradite), wollastonite, anorthite, scapolite, Ca-amphibole.

Skarn. A metasomatic Ca-Fe-Mg-(Mn)-silicate rock often with sequences of compositional zones and bands, formed by the interaction of a carbonate and a silicate system in mutual contact. Typical skarn minerals include, wollastonite, diopside, grossular, zoisite, anorthite, scapolite, margarite (Ca skarns); heden- bergite, andradite, ilvaite (Ca-Fe skarns); forsterite, humites, spinel, phlogopite, clintonite, fassaite (Mg skarns); rhodonite, tephroite, piemontite (Mn skarns).

Blackball. A chlorite- or biotite-rich rock developed by metasomatic reaction between serpentinised ultramafic rocks and mafic rocks or quartzo-feldspathic rocks, respectively.

Rodingite. Calc-silicate rock, poor in alkalis and generally poor in carbonates, generated by metasomatic alteration of mafic igneous rocks enclosed in serpen- tinized ultramafic rocks. The process of rodingitization is associated with oceanic metamorphism (serpentinization of peridotite, rodingitization of enclosed basic igneous rocks such as gabbroic/basaltic dykes). Metarodingite is a prograde metamorphic equivalent of rodingite produced by oceanic metamorphism.

Quartzite or metachert. A metamorphic rock containing more than about 80% quartz. Serpentinite. An ultramafic rock composed mainly of minerals of the serpentine group (antigorite,

chrysotile, lizardite), e.g. diopside-forsterite-antigorite schist. Hornfels. Is a non-schistose very fine-grained rock mainly composed of silicate ± oxide minerals

that shows substantial recrystallization due to contact metamorphism. Hornfelses often retain some features inherited from the original rock such as graded bedding and cross-bedding in hornfelses of sedimentary origin.

Migmatite. Composite silicate rock, pervasively heterogeneous on a meso- to megascopic scale, found in medium- to high-grade metamorphic terrains (characteristic rocks for the middle and lower continental crust). Migmatites are composed of dark (mafic) parts (melanosome) and light (felsic) parts (leuco- some) in complex structural association. The felsic parts fonned by crystallization of locally derived partial melts or by metamorphic segregation, the mafic parts represent residues of the inferred partial melting process or are fonned by metamorphic segregation. Parts of the felsic phases may represent intruded granitic magma from a more distant source.

Restite. Remnant of a rock, chemically depleted in some elements relative to its protolith. The depletion is the result of partial melting of that rock, e.g. emery rock.

6.7.3. Nama berdasarkan modal komposisi pada batuanMerupakan penamaan pada awalan atau akhiran dari nama utamanya

1. Major constituent (Utama), kehadiran >5 % tapi dalam penamaannya tidak termasuk mineral utama batuannya. Seperti Gneis muskovit, Amfibol-epidot, Gneiss-garnet.

2. Minor constituent (sedikit), kehadiran < 5% maka ditulis sebagai ―—bearing‖ (dalam inggris), atau –pembawa (indonesia), contoh rutile-ilmenite bearing gneiss (artinya rutil lebih sedikit dari ilmenit) atau Gneis pembawa rutil-ilmenit.

3. Critical mineral (assemblages) kumpulan mineral dalam penamaan utama

Dalam penamaan disarankan untuk memberi singkatan sesuai standar yang ada, seperi Gneis Bt-Ms (Gneis biotit-muskovit)

32 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 52: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 53: Panduan Praktikum Petrografi 2016

6.8. DERAJAT METAMORFISME (METAMORPHIC GRADE)

Derajat metamorfisme merupakan intensitas metamorfisme yang tercermin dari perubahan metamorfik. Derajat metamorfisme adalah indicator kualitatiddari kondisi fisik yang mempengaruhi batuan, dengan penambahan P-T (suhu dan tekanan) meninggi menandakan derajat metamorfisme semakin tinggi.

6.8.1 Mineral indeks dan Zona mineral

Urutan mineral indeks untuk batuan pelitik, (Barrow, 1912) adalahKlorit Biotit Almandin-Garnet Staurolit Kyanit Sillimanit.

6.8.2 Fasies metamorfik

Dilihat dari kehadiran kumpulan mineral pada batuan yang berasosiasi, yang terjadi pada kondisi metamorfisme yang sama (P-T menurut Escola, 1915). Metamorfik fasies awalnya tidak dibuat sebagai nama batuan, namun dalam perkembangannya menjadi nama batuan. Fasies ini dibuat dengan konsep termodinamika mineral di batuan.

Namun terdapat beberapa kondisi batuan yang tidak menunjukan mineralogi sesuai dengan fasiesnya, contoh metapelites yang berada pada kondisi subgreenschist facies atau metacarbonates yang hadir pada kondisi eclogite facies.

Metamorfik fasies memiliki dua variable, yaitu : Tekanan lithostatis dan suhu.

33 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 54: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 55: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Gambar 6.1. Tekanan dan suhu pembentukan fasies metamorfik

Tabel 6.1. Mineralogi penciri fasies metamorfik berdasarkan protolitnya

34 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 56: Panduan Praktikum Petrografi 2016

6.9 Kristal Nuklei dan PertumbuhanKristalisasi pada batuan metamorfik dalam respon perubahan P-T membutuhkan kristalisasi dari mineral dengan nukleasi dan pertumbuhan (nucleation, growth).Pertumbuhan terbagi 2 :

- Homogen, membentuk spherical (melingkar)- Heterogen, biasanya terlihat ada kristalisasi mineral lain sekitar mineral sebelumnya.

Beberapa mineral mempunyai ukuran Kristal lebih besar dari sekitarnya pada batuan temperature tinggi seperti hornfels, granulit dan beberapa sekis. Tekstur ini disebut porfiroblastik, dengan mineral tersebut disebut porfiroblast

6.9 Bentuk KristalTerbagi menjadi Euhedral, subhedral, dan anhedral

Gambar 6.2. (atas, a-c). Bentuk Kristal pada batuan metamorfik, contoh bentuk porfiroblast. (a) euhedra porfiroblast garnet spessartin, (b) Subhedra, profiroblas garnet almandin. (c) anhedra porfiroblast garnet diantara matriks biotit- kuarsa. (bawah, d-f) beberapa bentuk mineral, (d) skeletal, (e) acicular, (f) roded dan acicular.

Fascicullar Granuloblastik Decussate

35 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 57: Panduan Praktikum Petrografi 2016

ACARA 7

ANALISA JENIS TEKSTUR DAN REAKSI MINERAL

DALAM BATUAN SEDIMEN

7.1. Objektif praktikum

Mahasiswa diharapkan mengetahui dan memahami jenis tekstur sebagai genesa mineral pada

kondisi tertentu, yang digunakan untuk mengetahui genesa terjadinya.

Materi berisikan beberapa jenis tekstur yang umum terdapat pada batuan sedimen disertai

pendekatan untuk petrogenesanya

7.2. Durasi praktikum

Praktikum dilaksanakan dalam ± 100 menit, yang terbagi menjadi : pembukaan (presensi) : 10 menit review materi praktikum : 10 menit Pre Test dan Kuis : 10 menit Pengamatan sayatan : 60 menit Penutupan dan tugas laporan : 10 menit

7.3. Target pencapaian praktikum

Mahasiwa mampu mengamati dan menentukan mineral-mineral beserta teksturnya dalam 1 (satu)

conto sayatan tipis jenis batuan sedimen slisiklastik foliasi dan 1 (satu) sayatan tipis jenis batuan

sedimen karbonat.

7.4. Referensi

1) Boggs, Jr., S. 2009, Petrology of Sedimentary Rocks, 2nd Edition, Cambridge University Press.

2) Scholle, P., A., Ulmer-Scholle, D., S., 2003, A Color Guide to the Petrography of Carbonate Rocks, AAPG MEMOIR 77.

36 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 58: Panduan Praktikum Petrografi 2016

7.5. Definisi Sedimen

Batuan sedimen terbentuk pada suhu rendah dan tekanan di permukaan bumi oleh proses deposisi (pengendapan) oleh air, angin atau es. Batuan sedimen biasanya terbentuk sebagai lapisan (layer) dengan komposisi mineral dan kimia serta fosil didalamnya.

Sedimen merupakan produk dari sesuatu yang kompleks, dan berisikan suksesi (urutan) kejadian yang bergantung dari Formation of source rock, weathering, transportation, deposition, dan diagenesis. Proses ini menghasilkan beragam jenis batuan sedimen dengan genesa secara umum berasal dari proses mekanis, kimiawi, dan organik (Gambar 7.1). Pada Praktikum akan dijelaskan tipe silisiklastik dan tipe karbonat.

Gambar 7.1. Diagram proses sedimentasi utama dan golongan batuan sedimen yang dihasilkan (Koesoemadinata, 1981)

37 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 59: Panduan Praktikum Petrografi 2016

7.5. Tekstur Sedimen (Epiklastika)

Tekstur sedimen merupakan bagian penting dari properti batuan sedimen yang terdiri dari ukuran

butir (grain size), bentuk butir (grain shape), dan kemas (fabric).

Pada Bab 7 ini, hanya dijelaskan tekstur berkenaan dengan batan silisiklastik.

7.5.1. Ukuran butir

Ukuran butir untuk batuan silisiklastik menggunakan skala Udden-Wentworth (Wentworth, 1922,

Tabel 7.1) yang umum digunakan oleh sedimentologis. Keragaman ukuran butir atau sortasi

dapat dihitung secara statistic, namun dapat uga menggunakan parameter Gambar 7.1.

Tabel 7.1. Udden-wentworth skala butir untuk sedimen (dalam Boggs, 2009)

38 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 60: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Gambar 7.1. Pembanding untuk sortasi ukuran butir pada batuan sedimen

Ukuran butir pada sedimentasi, dapat digunakan untuk :

- Interpretasi stratigrafi lingkungan pantai dan fluktuasi pasang-surut

- Mempermudah mengetahui fluxes, cycles, budget, sources, element di alam

- Untuk mengetahui fisika massa (geoteknik) dari lantai samudera seperti teradinya

slumping, sliding, dan lainnya.

7.5.2. Bentuk butir

Morfologi butiran atau partikel termasuk didalamnya bentuk, roundness, dan tekstur

permukaannya. Roundness adalah pengukuran dari ketajaman sudut pada butiran, yang diukur

dalam dua dimensi saja (Gambar 7.2). Tekstur permukaan mengacu pada kenampakan mikro-

relief. Perubahan morfologi butiran merupakan efek dari abrasi yang terjadi selama proses

sedimentasi.

39 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 61: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Gambar 7.2. Gambar butiran untuk menentukan roundness dari partikel sedimen (Powers, 1953

dalam Boggs, 2009).

7.5.3. Konsep kematangan tekstur (textural maturity)

Sedimentologis menggunakan istilah kematangan tekstur dalam hubungannya dengan karakter

tekstur pada butiran sedimen. Folk (1951) menduga bahwa kematangan tekstur pada batupasir

melewati tiga parameter : (1) jumlah dari partikel berukuran lempung dalam batuan, (2)

pensortiran hubungan keterkaitan antara butiran, (3) pembulatan dari butiran. Pembagian

kematangan tekstur yaitu : immature, submature, mature, dan supermature (lihat Gambar 7.3).

Gambar 7.3. Klasifikasi kematangan tekstur menurut Folk (1951) dalam Boggs, 2009.

40 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 62: Panduan Praktikum Petrografi 2016

7.5.4. Fabric

Fabric merupakan kareakter tekstur yang menggambarkan karakter kumpulan partikel,

yang terdiri dari dua sifat yaitu : kemas (grain packing) dan orientasi butir (grain orientation).

Kemas merupakan fungsi dari ukuran dan bentuk butiran dan kondisi fisik setelah

pengendapan, dan proses kimiawi yang terjadi saat diagenesa.

Orientasi butir utamanya merupakan fungsi dari proses fisika dan kondisi yang

mempengaruhi selama waktu pengendapan.

41 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 63: Panduan Praktikum Petrografi 2016

7.5.5. Porositas dan permeabilitas

Merupakan hasil sekunder dari karakter tekstur batuan sedimen, yang dapat mengontrol gerakan

fluida dan juga dapat terisi oleh semen kimiawi pada saat diagenesa.

Porositas terbagi menjadi

1. porositas primer (saat pengendapan)

a. intergranular atau interpartikel : pori diantara kontak butiran atau fosil

b. intragranular atau intrapartikel : pori didalam butir atau fosil, atau mineral

c. interkristalin : antara Kristal yang terbentuk kimiawi, sperti dolomit

2. dan porositas sekunder (setelah pengendapan).

a. Porositas larutan : pori akibat pelarutan semen atau butiran yang tidak stabil

b. Interkristalin : pada pori di semen atau pada mineral autigenik

c. Retakan : retakan pada butiran atau batuan akibat proses tektonik, kompaksi, atau

desikasi.

Tabel 7.2. Mineral umum dan fragmen batuan di batuan silisiklastik

42 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 64: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 65: Panduan Praktikum Petrografi 2016

7.6. Prinsip batuan Karbonat

Batuan karbonat terdiri dari mineral – mineral karbonat yang memiliki anion CO32-

sebagai unsur utamanya, yang dapat terikat dengan kation Ca, Mg, Fe, Mn, dan Zn. Grup utama karbonat adalah kalsit, dolomit, dan aragonite (Lihat lampiran 3_common mineral carbonates).

Komposisi batuan karbonat adalah mineral karbonat, baik sebagai mikrit atau sparit,

didalam atau diluar fosil, serta mineral non-karbonat (<5%) seperti kuarsa, feldspar, mika,

mineral lempung, dan mineral berat.

43 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 66: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 67: Panduan Praktikum Petrografi 2016

44 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 68: Panduan Praktikum Petrografi 2016

ACARA 8

ANALISA PETROGRAFI DAN PETROGENESA BATUAN SEDIMEN

8.1. Objektif praktikum

Mahasiswa diharapkan mengetahui dan memahami jenis klasifikasi batuan sedimen dengan

melihat komposisi, tekstur dan struktur sebagai hasil proses sedimentasi pada kondisi tertentu,

yang digunakan untuk mengetahui genesa terjadinya.

Materi berisikan beberapa jenis klasifikasi batuan silisiklastika dan karbonat disertai pendekatan

untuk petrogenesanya

8.2. Durasi praktikum

Praktikum dilaksanakan dalam ± 100 menit, yang terbagi menjadi : pembukaan (presensi) : 10 menit review materi praktikum : 10 menit Pre Test dan Kuis : 10 menit Pengamatan sayatan : 60 menit Penutupan dan tugas laporan : 10 menit

8.3. Target pencapaian praktikum

Mahasiwa mampu menentukan nama dan petrogenesa dalam 1 (satu) conto sayatan tipis jenis

batuan sedimen silisiklastik dan 1 (satu) sayatan tipis jenis batuan sedimen karbonat.

8.4. Referensi

1) Boggs, Jr., S. 2009, Petrology of Sedimentary Rocks, 2nd Edition, Cambridge University Press.

2) Scholle, P., A., Ulmer-Scholle, D., S., 2003, A Color Guide to the Petrography of Carbonate Rocks, AAPG MEMOIR 77.

45 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 69: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 70: Panduan Praktikum Petrografi 2016

8.5. Klasifikasi dan cara penamaan batuan Silisiklastik

Silisiklastik atau epiklastik terbentuk dari perombakan batuan sebelumnya oleh

pelapukan dan erosi, yang bersosiasi dengan mineral silikat dan batuan (litik). Perbedaan dengan

batuan vulkaniklastik adalah kehadiran glas vulkaniknya.

Dalam penamaan batuan sedimen, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :

1. Ukuran : fragmen / butiran biasanya berupa feldspar, kuarsa, dan litik, dan matriks adalah

butiran halus berukuran <0.03 mm yang berada diantara atau sebagai penghubung

butiran/fragmen.

2. tipe material detrital (rombakannya), keberadaan mineral autigenik. Jenis – jenis partikel

terdiri dari mineral feldspar, kuarsa, litik batuan yang diikuti pembentukan semen (lihat

Lampiran 2).

Klasifikasi batuan sedimen, utamanya batupasir dapat dilihat pada Gambar 8.1 dan 8.2 dibawah

ini :

Gambar 8.1

46 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 71: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 72: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Gambar 8.2

47 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 73: Panduan Praktikum Petrografi 2016

8.6. Klasifikasi dan cara penamaan batuan Karbonat

Klasifikasi batuan karbonat umumnya melihat dari tekstur yang merupakan hubungan

antara fragmen (cangkang fosil) dan matriksnya.

Petrografi batuan karbonat tidak sekompleks batuan epiklastik, karena pada dasarnya

hanya ada dua mineral umum yaitu kalsit dan dolomit, hanya sedikit mineral lainnya yaitu silica,

fosfat, litik, glaukonit, dan mineral evaporit. Di sisi lain, petrografi karbonat bisa sangat

membingungkan ketika diperlukan untuk membedakan variasi morfologi cangkang dan dinding

dari aneka ragam organisme penyusun batuan karbonat, serta diagenesa dari mineral karbonat

yang intensif. Petrografi karbonat, bersifat kualitatif dan pengetahuan membedakan jenis

cangkang atau fosil yang dapat dijadikan objek pengamatan detil, sehingga pengetahuan

mengenai fosil dan morfologinyasangat diperlukan dalam petrografi.

Hal – hal yang perlu diketahui

1. Jenis – jenis skeletal grain / bioclast (bioklastika) : Alga, foraminifera, mikrofosil,

nanofosil, annelida, sponges, koral, hydrozoa, briozoa, brachiopoda, moluska,

echinoderma, artropoda, problematika, vertebrata, dan sisa tumbuhan.

2. Jenis non-skeletal : ooid, pisoid, coated grain, intraklas, ekstraklas

3. Jenis matriks : mikrit, mikrospar, presipitasi mikrit

4. Struktur sedimen primer : burrow, boring, geopetal, fenestral, lamination.

5. Perhitungan persentase grain/butiran dapat menggunakan perhitungan kuantitatif atau

dengan kualitatif secara visual. Parameter visual dilihat pada gambar 8.3.

Gambar 8.3. Parameter perhitungan persentase butiran (grain) secara visual untuk batuan karbonat.

48 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 74: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 75: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Klasifikasi batuan karbonat telah banyak dibuat, namun secara umum hanya dua

klasifikasi yang terpakai secara luas yaitu Folk (1959/62) dan Dunham (1962) dengan berbagai

variasi dan modifikasi sampai saat ini. Klasifikasi ini berdasarkan 3 hal mendasar yaitu : butiran

(fragmen), matriks atau lumpur karbonat, dan pori (terbuka atau terisi sparit, lihat

Gambar 8.4). Folks menggunakan parameter butiran dan matriks, sedangkan Dunham (+ Embry

& Klovan) menggunakan parameter kecenderungan fabrik antara lumpur dan butiran. Dalam

praktikum kali ini, digunakan penamaan klasifikasi menurut Folk (1962), pada Gambar 8.5.

Gambar 8.4. Tipe – tipe bentuk porositas oleh Choquette & Pray (1970)

49 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 76: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 77: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Gambar 8.4. Klasifikasi batuan karbonat menurut Folk (1962)

50 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 78: Panduan Praktikum Petrografi 2016

ACARA 9

ANALISA PETROGRAFI BATUAN ALTERASI

9.1. Objektif praktikum

Mahasiswa diharapkan mengetahui dan memahami jenis-jenis mineral alterasi, baik tekstur dan

diagenesa.

Materi berisikan deskripsi batuan alterasi, baik ubahan karena diagenesa maupun akibat

hidrotermal

9.2. Durasi praktikum

Praktikum dilaksanakan dalam ± 100 menit, yang terbagi menjadi : pembukaan (presensi) : 10 menit review materi praktikum : 10 menit Pre Test dan Kuis : 10 menit Pengamatan sayatan : 60 menit Penutupan dan tugas laporan : 10 menit

9.3. Target pencapaian praktikum

Mahasiwa mampu menentukan nama dan jenis alterasi yang terdapat pada batuan.

9.4. Referensi

1) Thompson, A.J Thompson, A.J.B. and Thompson, J.F.H., 1998. Atlas of alteration: A field guide to hydrothermal alteration minerals. Alpine, Vancouver.

9.5. Penamaan dan klasifikasi

----- praktikan langsung mengamati dan mendeskripsi dari sayatan yang ada, panduan akan

diberikan saat praktikum oleh asisten atau dosen. -----

Alterasi hidrotermal menggunakan tabel mineral alterasi menurut Corbett & Leach, 1997

51 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A SRev : Maret 2016

Page 79: Panduan Praktikum Petrografi 2016

ACARA 10 - 11

ANALISA PETROGRAFI BERDASARKAN STUDI KASUS

1. Objektif praktikum

Mahasiswa diharapkan menerapkan petrografi dan petrogenesa batuan dari data lapangan.

2. Durasi praktikum

Praktikum dilaksanakan dalam ± 100 menit, yang terbagi menjadi : pembukaan (presensi) : 10 menit Pengamatan sayatan : 80 menit Penutupan dan tugas laporan : 10 menit

3. Target pencapaian praktikum

Mahasiwa mampu menentukan nama batuan, deskripsi batuan, petrogenesa batuan dan

menghubungkan dengan kondisi geologi daerah yang terkait.

ACARA 12

RESPONSI

1. Objektif praktikum

Mahasiswa dapat menjawab pertanyaan, menjelaskan, dan mempraktekan hasil praktikum

petrografi mulai acara 1 sampai 11.

2. Durasi praktikum

Praktikum dilaksanakan dalam ± 100 menit, yang terbagi menjadi : pembukaan (presensi) : 10 menit Responsi : 80 menit Penutupan : 10 menit

3. Target pencapaian praktikum

------ ujian tertulis, peraga, dan wawancara --------52 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 80: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016

Page 81: Panduan Praktikum Petrografi 2016

LAMPIRAN

53 | P r a k t i k u m P e t r o g r a f i S T T N A S

Page 82: Panduan Praktikum Petrografi 2016

Rev : Maret 2016