p-issn 2354-8568benih-bogor.litbang.menlhk.go.id/assets/files/jpth... · pola faktorial 2 x 3 pada...

86

Upload: others

Post on 18-Mar-2020

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

p-ISSN 2354-8568 e-ISSN 2527-6565

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

Vol.7 No.2, Desember 2019

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN adalah publikasi ilmiah resmi dari Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Hutan

(BP2TPTH). Jurnal ini mempublikasikan hasil-hasil penelitian dari berbagai aspek perbenihan tanaman hutan, meliputi pembangunan dan

pengelolaan sumber benih, biologi reproduksi, ekologi dan biologi benih, teknologi penanganan benih, teknologi perbanyakan vegetatif,

kesehatan benih, teknik persemaian, pengujian mutu benih dan bibit, sosial, ekonomi dan kebijakan perbenihan. Jurnal Perbenihan Tanaman

Hutan terbit dua kali setahun pada Bulan Agustus dan Desember, dan telah terakreditasi oleh Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan

Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Nomor: 30/E/KPT/2018) tanggal 24 Oktober

2018. Akreditasi berlaku dari Vol. 5 No. 2 Tahun 2017 sampai Vol. 10 No. 1 Tahun 2022.

Penanggung Jawab

Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi

Wakil Penanggung Jawab

Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Dewan Redaksi Ketua Merangkap Anggota

Dr. Ir. Yulianti Bramasto, M.Si (Silvikultur) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Anggota

Prof. Riset Dr. Dra. Dida Syamsuwida, M.Sc (Silvikultur / Produksi Benih) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Dr. Dede Jajat Sudrajat, S.Hut, MT (Silvikultur / Teknologi Benih) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Prof. Riset. Dr. Ir. Nina Mindawati, M.Si (Silvikultur) Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Prof. Riset. Dr. Ir. Budi Leksono, MP (Pemuliaan) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknogi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Dr. Sri Utami,SP, M.Si (Hama Hutan, Perlindungan Hutan) Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Mitra Bestari

Dato’ Dr. Marzalina Hj.Mansor (Genetik) Forest Research Institute Malaysia, Kepong, Malaysia Dr. Ir. Supriyanto (Fisiologi Pohon) Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Prof. Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar, M.Sc.F.Trop (Genetik) Institut Pertanian Bogor, Indonesia Dr. Ir. Muhdin, M.Sc (Statistika) Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Dr. Ir. Trimuji Ermayanti (Biotek) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indonesia Prof. Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS (Silvikultur) Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Dr. Darwo (Biometrika) Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi,

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia Dr.Ir. Nurul Khumaida, M.Si (Silvikultur) Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS (Ilmu Agroforestri) Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Indonesia Dr.Ir. Arum Sekar Wulandari, MS (Mikrobiologi, Kultur Jaringan dan Bioteknologi Hutan) Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Dr. Dede Rohadi (Ilmu Sosial) Center for International Forestry Research, Indonesia

Copyeditor

Ir. Danu, M.Si (Produksi Benih) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Ratna Uli Damayanti, S.Hut, M.Si (Kultur jaringan, Bioteknologi) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia Fifi Gus Dwiyanti, S.Hut, M.Agr., Ph. D (Genetik) Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Layout Editor

Tri Astuti Wisudayati, S.E, M.S.E

Sekretariat Dewan Redaksi

Redaksi Pelaksana Ketua Merangkap Anggota

Endah Nurhidajati, S.E., M.Si

(Kepala Seksi Data Informasi dan Sarana Penelitian)

Anggota

Wahyuni Munasri, A.Md

Diterbitkan oleh

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Terbit Pertama kali Agustus 1996 dengan judul Tekno Benih (ISSN 1410-1157), sejak Agustus 2003 berganti judul menjadi Info Benih (ISSN 1693-5314),

dan sejak Agustus 2013 berganti judul menjadi Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan (ISSN 2354-8568)

Alamat

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Jl. Pakuan Ciheuleut P0 Box 105 Bogor, Telp./fax : (0251)8327768 Website : benih-bogor.litbang.menlhk.go.id

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

Vol. 7 No. 2, Desember 2019

DAFTAR ISI

1. EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA TANAM DAN PUPUK

TERHADAP KEMAMPUAN BERTUNAS TANAMAN PANGKAS KESS

(Lophostemon suaveolens (Sol.ex Gaertn.) Peter G.Wilson & J.T. Waterh)

(The Effectivity of Planting Media and Fertilizer in Sprouting Ability of Kess

(Lophostemon suaveolens (Sol.ex Gaertn.) Peter G.Wilson & J.T. Waterh) Stool

Plant)

Dwi Kartikaningtyas, Teguh Setyaji, dan/and Surip .............................................. 67-76

2. PENGARUH UMUR TUNAS PANGKASAN TERHADAP PERTUMBUHAN

SETEK Hopea odorata Roxb.

(The Influence of Pruning Shoot Age on the Growth of Hopea odorata Roxb.

Cutting)

Nurmawati Siregar dan/and Kurniawati Purwaka Putri ......................................... 77-85

3. KARAKTERISASI PERTUMBUHAN AWAL BEBERAPA FAMILI

MANGLID PADA UJI KETURUNAN DI SUKAMANTRI, KABUPATEN

CIAMIS

(Characterization of Early Growth of Several Families of Manglid on Progeny

Test at Sukamantri, Ciamis District)

Asep Rohandi dan/and Dede J. Sudrajat ..................................................................... 87-100

4. KETAHANAN BIBIT SENGON (Falcataria moluccana (Miq) Barneby & J.W.

Grimes) TERHADAP CENDAWAN Uromycladium falcatarium

BERDASARKAN ASAL BENIH DAN JENIS PENGENDALI

(The Endurance of Sengon (Falcataria moluccana (Miq) Barneby & J.W.

Grimes) Seedling on Uromycladium falcatarium Fungus Based on Seed Source

and Controller Agent)

Tati Suharti, Kurniawati Purwaka Putri, dan/and Yulianti Bramasto .................. 101-111

5. TEKNIK PENYIMPANAN BENIH MERANTI BALAU (Shorea seminis (de

Vriese) Sloot)

(The technique of storage of meranti balau (Shorea seminis (de Vriese) Sloot))

Muhammad Zanzibar, Naning Yuniarti, dan/and Ratna Uli Damayanti S ........... 113-125

6. KERAGAMAN PERTUMBUHAN BIBIT NYAMPLUNG (Calophyllum

inophyllum) ASAL SUMENEP, MADURA

(Growth Diversity of Nyamplung (Calophyllum inophyllum) Seedling from

Sumenep, Madura)

Aam Aminah, Danu dan/and Yulianti Bramasto ..................................................... 127-138

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

p-ISSN 2354-8568 Vol.7 No.2, Desember 2019

e-ISSN 2527-6565

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh di copy tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*245.13

Dwi Kartikaningtyas, Teguh Setyaji, dan/and Surip (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan)

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA TANAM DAN PUPUK TERHADAP KEMAMPUAN

BERTUNAS TANAMAN PANGKAS KESS (Lophostemon suaveolens (Sol.ex Gaertn.) Peter G.Wilson &

J.T. Waterh))

J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.2 p. 67-76

Kebutuhan bibit dalam skala besar dibutuhkan untuk menunjang percepatan kegiatan rehabilitasi lahan

diantaranya pada lahan gambut. Untuk memenuhi kebutuhannya diperlukan teknik yang tepat, diantaranya

dengan perlakuan tanaman pangkas yang tepat sebagai penyedia materi genetik perbanyakan vegetatif.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh penggunaan media tanam dan pemberian

berbagai jenis pupuk pada tanaman pangkas Kess terhadap pertumbuhan dan penambahan tunas baru.

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan

pola faktorial 2 x 3 pada 2 jenis media tanam (pasir, cocopeat) dan 3 jenis pupuk (pelepasan terkendali,

majemuk,daun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan media memberikan pengaruh terhadap

pembentukan tunas baru dan penambahan panjang tunas, namun demikian perlakuan pupuk hanya

berpengaruh terhadap pembentukan tunas. Penggunaan kombinasi media pasir dan pupuk pelepasan

terkendali lebih efektif dibandingkan kombinasi lainnya

Kata kunci : kemampuan bertunas, Lophostemon suaveolens, media tanam, pupuk

UDC/ODC 630*232.5 Nurmawati Siregar dan/and Kurniawati Purwaka Putri (Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan) PENGARUH UMUR TUNAS PANGKASAN TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK

Hopea odorata Roxb.

J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.2 p. 77-85

Alternatif perbanyakan Hopea odorata Roxb. diantaranya melalui perbanyakan vegetative dengan setek.

Bahan setek dengan tingkat juvenilitas tinggi diperoleh dengan cara pemangkasan stock plant. Informasi

umur tunas pangkasan terbaik sebagai bahan setek masih terbatas. Tujuan penelitian adalah mengetahui

pengaruh umur tunas pangkasan atau trubusan setelah pemangkasan terhadap keberhasilan perbanyakan

setek H. odorata. Rancangan penelitian adalah Rancangan Acak Kelompok dengan perlakuan umur tunas

(3, 4, 5 dan 6 bulan). Masing-masing perlakuan terdapat dalam 5 kelompok dan setiap perlakuan terdiri atas

20 setek. Respon pertumbuhan setek yang diamati adalah persentase setek tumbuh, tinggi tunas, panjang

akar, berat kering akar, berat kering tunas dan kandungan karbon dan nitrogen. Hasil penelitian

menunjukkan umur tunas pangkasan berpengaruh nyata terhadap semua respon pertumbuhan setek yang

diukur. Setek H. odorata dari tunas orthotrop umur 4 dan 5 bulan setelah pemangkasan menghasilkan

setek dengan persentase tumbuh, tinggi tunas, panjang akar, berat kering tunas dan akar yang lebih tinggi

dibandingkan tunas orthotrop umur 3 dan 6 bulan setelah pemangkasan. Tunas pangkasan umur 6 bulan

menghasilkan nilai rasio C/N (18,14) dan kandungan karbon tertinggi (47,48 persen), tetapi kandungan

nitrogen terendah (2,62 persen). Batang stek dari tunas orthotrop umur 4 dan 5 bulan setelah pemangkasan

hampir 50 persen sudah berkayu, sedangkan tunas umur 6 bulan setelah pemangkasan seluruh bagian

batangnya telah berkayu. Pengambilan materi perbanyakan setek H. odorata sebaiknya dilakukan 5 bulan

setelah pemangkasan karena persentase setek tumbuh yang tinggi (94,18 persen). Selain itu nilai C/N dari

tunas umur 5 bulan (15,11) relatif lebih besar dibanding tunas umur 4 bulan (13,14).

Kata kunci: setek, juvenilitas, Hopea, tunas pangkasan, pohon induk

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

p-ISSN 2354-8568 Vol.7 No.2, Desember 2019

e-ISSN 2527-6565

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh di copy tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*25

Asep Rohandi1) dan/and Dede J. Sudrajat2) (1)Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry, 2)Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan)

KARAKTERISASI PERTUMBUHAN AWAL BEBERAPA FAMILI MANGLID PADA UJI

KETURUNAN DI SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS

J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.2 p. 87-100

Salah satu hambatan dalam pengembangan hutan rakyat manglid (Magnolia champaca (L.) Baill ex Pierre)

saat ini adalah besarnya keragaman pertumbuhan di lapangan. Oleh sebab itu, informasi karakteristik

morfologi sebagai penciri manglid berkualitas yang memiliki produktivitas tinggi sangat diperlukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi pertumbuhan awal beberapa famili manglid pada uji

keturunan di Sukamantri, Kabupaten Ciamis. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan

acak lengkap berblok terdiri dari 42 famili yang berasal dari Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang dan

Majalengka. Setiap famili terdiri dari 3 tanaman yang diulang sebanyak 7 ulangan (blok). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa karakteristik pertumbuhan manglid pada umur 1 tahun memiliki keragaman yang

cukup besar (17,96 persen−24,70 persen). Karakter tinggi dan diameter batang manglid memiliki hubungan

yang positif secara kuat dengan lebar tajuk sehingga karakter tersebut dapat dijadikan sebagai kriteria

seleksi genotif manglid dengan produktivitas tinggi. Famili asal Ciamis (101 dan 104) memiliki

keunggulan dalam karakter tinggi total dan tinggi bebas cabang, sedangkan famili 218 (Tasikmalaya) dan

406 (Majalengka) memiliki keunggulan dalam karakter diameter batang. Famili-famili tersebut cukup

potensial sebagai sumber genetik untuk dikembangkan meskipun masih memerlukan evaluasi lebih lanjut.

Kata kunci : karakteristik pertumbuhan, keragaman, manglid, produktivitas

UDC/ODC 630*443.2

Tati Suharti, Kurniawati Purwaka Putri, dan/and Yulianti Bramasto

(Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan)

KETAHANAN BIBIT SENGON (Falcataria moluccana (Miq) Barneby & J.W. Grimes) TERHADAP

CENDAWAN Uromycladium falcatarium BERDASARKAN ASAL BENIH DAN JENIS

PENGENDALI

J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.2 p. 101-111

Penyakit karat puru yang disebabkan cendawan Uromycladium falcatarium merupakan salah satu jenis

penyakit pada tanaman sengon (Falcataria moluccana) di persemaian dan di lapangan. Tujuan penelitian

ini adalah untuk mengetahui pengaruh asal benih dan jenis pengendali terhadap ketahanan bibit sengon

dari infeksi cendawan U. falcatarium di persemaian. Rancangan penelitian yang digunakan adalah

Rancangan Faktorial acak lengkap, terdiri dari 2 faktor, yaitu faktor Asal benih (A1 = Benih asal daerah

endemik karat puru/Kediri); A2 = benih asal bukan endemik karat puru/Cianjur) dan faktor jenis

pengendali (B1 = Kontrol; B2 = Pupuk hayati berupa PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacter) (5 g.l-

1); B3 = Biofungisida (5 g.l-1); B4 = Biofungisida berupa ekstrak daun sirsak (10 g.l-1); B5 = mankozeb (2

g.l-1). Setiap kombinasi perlakuan diulang 4 kali dan masing-masing ulangan terdiri dari 10 bibit. Variabel

pengamatan adalah insidensi, intensitas penyakit, jumlah teliospora dan ketebalan dinding sel epidermis.

Hasil peneltian menunjukkan bahwai interaksi asal benih dan jenis pengendali mempengaruhi jumlah

teliospora dan tebal epidermis. Jumlah teliospora (6,48 teliospora) terendah terdapat pada bibit asal benih

daerah bebas karat puru dengan jenis pengendali larutan ekstrak daun sirsak. Sel epidermis yang paling

tebal (5,43 μ – 5,84 μ) dihasilkan bibit asal benih daerah bukan endemik karat puru dengan jenis pengendali

larutan PGPR, ekstrak daun sirsak dan mankozeb. Intensitas penyakit pada bibit asal benih dari daerah

bukan endemik (3,5 persen) lebih rendah dibandingkan dari daerah endemik (5,2 persen). Larutan PGPR

dan mankozeb efektif mengurangi infeksi cendawan karena insidensi dan intensitas penyakit yang

ditimbulkannya relatif rendah setelah tahap pengendalian ke-3. Kata kunci : asal benih, bibit, epidermis, Falcataria moluccana, karat puru

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

p-ISSN 2354-8568 Vol.7 No.2, Desember 2019

e-ISSN 2527-6565

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh di copy tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*8232.315

Muhammad Zanzibar, Naning Yuniarti, dan/and Ratna Uli Damayanti S (Balai Penelitian dan

Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan)

TEKNIK PENYIMPANAN BENIH MERANTI BALAU (Shorea seminis (de Vriese) Sloot)

J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.2 p. 113-125

Permasalahan yang dihadapi dari benih meranti balau (Shorea seminis (de Vriese) Sloot) adalah benihnya

berwatak rekalsitran sehingga viabilitasnya cepat menurun selama penyimpanan. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui teknik penyimpanan terbaik benih meranti balau. Penelitian menggunakan

rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial dengan tiga faktor, yaitu faktor wadah simpan (kain belacu

dan kain belacu dalam kotak kayu), faktor ruang simpan (kamar dan AC), dan faktor periode simpan (0

hari, 3 hari, 6 hari, 9 hari, 12 hari, 15 hari dan 18 hari). Ulangan sebanyak 4 (empat) kali, @ 25 butir benih.

Parameter yang diamati adalah kadar air, daya berkecambah, dan nilai perkecambahan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa wadah, ruang, dan periode simpan berpengaruh terhadap nilai kadar air, daya

berkecambah dan nilai perkecambahan. Teknik penyimpanan terbaik untuk benih meranti balau adalah

menggunakan wadah kain blacu dalam kotak kayu, dimasukkan ke dalam ruang suhu kamar. Interaksi

penggunaan wadah kain belacu dalam kotak kayu dengan ruang suhu kamar dapat menekan laju penurunan

viabilitas benih meranti balau selama penyimpanan.

Kata kunci : Shorea seminis (de Vriese) Sloot, penyimpanan, viabilitas benih

UDC/ODC 630*24

Aam Aminah, Danu dan/and Yulianti Bramasto (Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Perbenihan Tanaman Hutan)

KERAGAMAN PERTUMBUHAN BIBIT NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) ASAL SUMENEP,

MADURA

J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.2 p. 127-138

Salah satu sumber bahan baku biofuel yang berpotensi di Indonesia adalah nyamplung (Calophyllum

inophylum). Kelebihan nyamplung adalah memiliki rendemen minyak yang tinggi sebesar 40 persen―73

persen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi keragaman pertumbuhan dan nilai

heritabilitas untuk karakter tinggi dan diameter bibit nyamplung umur enam bulan dari 26 pohon induk

asal Sumenep, Madura. Penelitian menggunakan Rancangan Lengkap Berblok dengan 26 famili asal

Sumenep Madura sebagai perlakuan, setiap perlakuan terdiri dari 3 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 8

bibit, sehingga jumlah bibit yang digunakan sebanyak 624 bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

terdapat keragaman pertumbuhan (tinggi dan diameter) pada tingkat bibit tanaman nyamplung asal

Sumenep, Madura. Pertumbuhan tinggi dan diameter bibit nyamplung dari 26 famili yang diuji bervariasi

antara 12,52 cm ―21,27 cm dan 3,04 mm ― 4,54 mm. Nilai heritabilitas individu pada tingkat bibit untuk

karakter tinggi dan diameter adalah 0,27 dan 0,16, sedangkan nilai heritabilitas famili adalah yaitu 0,65

untuk karakter tinggi dan 0,52 untuk diameter.

Kata kunci : famili, genetik, heritabilitas, Calophyllum inophyllum

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA TANAM DAN PUPUK TERHADAP KEMAMPUAN BERTUNAS

TANAMAN PANGKAS KESS (Lophostemon suaveolens) (Sol.ex Gaertn.) Peter G.Wilson & J.T. Waterh)

Dwi Kartikaningtyas, Teguh Setyaji dan Surip

Kontribusi penulis: Dwi Kartikaningtyas dan Teguh Setyaji sebagai kontributor utama

© 2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2019.7.2.67-76 67

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA TANAM DAN PUPUK TERHADAP

KEMAMPUAN BERTUNAS TANAMAN PANGKAS KESS (Lophostemon suaveolens (Sol.ex

Gaertn.) Peter G.Wilson & J.T. Waterh)

(The Effectivity of Planting Media and Fertilizer in Sprouting Ability of Kess (Lophostemon

suaveolens (Sol.ex Gaertn.) Peter G.Wilson & J.T. Waterh) Stool Plant)

*Dwi Kartikaningtyas, *Teguh Setyaji, dan/and Surip

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, 55582, Yogyakarta, Indonesia

e-mail: [email protected]

Naskah masuk: 25 Juni 2018; Naskah direvisi:18 Maret 2019; Naskah diterima: 19 Agustus 2019

ABSTRACT

The need for large-scale seedlings is needed to support the speed-up of land rehabilitation among others on

peatlands. To reach the needs, appropriate techniques are needed, as well as the appropriate of stool plant

as a provider of vegetative propagation genetic material. The purpose of the study was to determine the

influence of the planting media and the application of various types of fertilizer on Kess (Lophostemon

suaveolens) stool plant in shoots growth and shoots length. The research was designed by using the

Completely Randomized Design (CRD) with 2 x 3 factorial design on two types of planting media (sand,

cocopeat) and three types of fertilizer (slow release , compound and leaf fertilizer). The results showed that

the planting media gave a real effect to the shoots growth and increasing of shoots length, however the

application of fertilizer only had an effect on shoots growth. The combination of sand medium and controlled

release fertilizer has more effective compared to other combinations. Keywords: fertilizer, Lophostemon suaveolens, planting media, sprouting ability

ABSTRAK

Kebutuhan bibit dalam skala besar dibutuhkan untuk menunjang percepatan kegiatan rehabilitasi lahan

diantaranya pada lahan gambut. Untuk memenuhi kebutuhannya diperlukan teknik yang tepat, diantaranya

dengan perlakuan tanaman pangkas yang tepat sebagai penyedia materi genetik perbanyakan vegetatif.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh penggunaan media tanam dan pemberian

berbagai jenis pupuk pada tanaman pangkas Kess terhadap pertumbuhan dan penambahan tunas baru.

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan

pola faktorial 2 x 3 pada 2 jenis media tanam (pasir, cocopeat) dan 3 jenis pupuk (pelepasan terkendali,

majemuk,daun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan media memberikan pengaruh terhadap

pembentukan tunas baru dan penambahan panjang tunas, namun demikian perlakuan pupuk hanya

berpengaruh terhadap pembentukan tunas. Penggunaan kombinasi media pasir dan pupuk pelepasan

terkendali lebih efektif dibandingkan kombinasi lainnya. Kata kunci : kemampuan bertunas, Lophostemon suaveolens, media tanam, pupuk

I. PENDAHULUAN

Gambut merupakan sebuah ekosistem

rawa yang cukup dominan di beberapa wilayah

pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI)

khususnya Sumatera, Kalimantan dan Papua.

Keberadaan ekosistem hutan rawa gambut ini

terus mengalami degradasi dan kerusakan

akibat pola pemanfaatan yang tidak bijaksana

seperti terjadinya kebakaran hutan dan lahan

(Darmawan, Siregar, Sukendi, & Zahrah,

2016) maupun aktivitas penambangan

(Masganti, Wahyunto, Dariah, Nurhayati, &

Rachmiwati, 2014). Sebagai dampak dari

kerusakan tersebut, maka perlu adanya

kegiatan pemulihan ekosistem gambut.

Pemulihan fungsi ekosistem gambut dapat

dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya

adalah suksesi alam, restorasi dan rehabilitasi

Jurnal PerbenihanTanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019:67-76

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

68

(KLHK, 2017). Dalam peraturan menteri

tersebut dijelaskan bahwa salah satu kriteria

tanaman untuk rehabilitasi ekositem gambut

adalah mengutamakan jenis asli dan

kesesuaian lahan. Salah satu tanaman yang

dapat ditemui pada ekosistem gambut adalah

Kess (Lophostemon suaveolens (Sol.ex

Gaertn.) Peter G.Wilson & J.T. Waterh).

Tanaman ini tumbuh di daerah pesisir dan

sering di dataran berawa (Wilson &

Waterhouse, 1982). Kess berbuah secara

periodik setiap tahunnya pada sekitar bulan

Nopember―Desember dan mempunyai ukuran

benih yang kecil serta mudah berkecambah

(https://tropical.theferns.info). Pada kegiatan

rehabilitasi sangat dibutuhkan bibit dalam

skala besar dengan waktu yang cepat, sehingga

musim berbuah seringkali menjadi

penghambat. Selain ketersediaan bibit dalam

skala besar, diharapkan bibit yang tersedia

mempunyai kualitas yang baik.

Salah satu cara yang dapat digunakan

dalam pemenuhan bibit dalam skala besar

adalah dengan perbanyakan vegetatif, dimana

menurut Goh & Monteuuis (2016) dengan

perbanyakan vegetatif dapat dihasilkan

tanaman yang lebih unggul dan seragam. Cara

perbanyakan vegetatif yang dapat dilakukan

diantaranya adalah dengan menggunakan stek

pucuk, dimana materi stek pucuk didapatkan

dari kebun pangkas dengan menggunakan

tanaman hasil seleksi (Adinugraha, Hasnah, &

Waris, 2017). Langkah yang penting dalam

pembangunan kebun pangkas adalah persiapan

indukan/tanaman pangkas (Kartikaningtyas,

2013). Tanaman pangkas diharapkan

mempunyai kemampuan bertunas (sprouting

ability) yang baik sehingga mampu mencukupi

kebutuhan sebagai bahan perbanyakan

vegetatif. Tanaman pangkas dari pohon induk

yang secara fenotipik bagus, pertumbuhan

yang cepat dan dengan heterosigositas tinggi

diharapkan menghasilkan bibit berkualitas

bagus (Mashudi & Susanto, 2013).

Sampai saat ini data dan informasi

mengenai perbanyakan vegetatif jenis Kess

khususnya penambahan tunas baru pada

tanaman pangkas masih sangat terbatas.

Dengan permasalahan tersebut maka penelitian

ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

adanya pengaruh penggunaan media tanam

dan pemberian berbagai jenis pupuk pada

tanaman pangkas tanaman Kess terhadap

pembentukan dan penambahan tunas baru.

Hasil penelitian ini diharapkan mampu

memberikan informasi tentang media tanam,

jenis pupuk maupun kombinasi keduanya yang

efektif terhadap pertumbuhan tanaman

pangkas Kess.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat

Penelitian dilakukan di rumah kaca/

greenhouse Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA TANAM DAN PUPUK TERHADAP KEMAMPUAN BERTUNAS

TANAMAN PANGKAS KESS (Lophostemon suaveolens) (Sol.ex Gaertn.) Peter G.Wilson & J.T. Waterh)

Dwi Kartikaningtyas, Teguh Setyaji dan Surip

69

Tanaman Hutan Yogyakarta pada bulan Juni

sampai dengan September 2017. Bahan yang

dipergunakan pada penelitian ini adalah semai

Kess dan media tanam pasir dan cocopeat,

pupuk pelepasan terkendali (slow release

fertilizer), pupuk majemuk dan pupuk daun.

Pupuk pelepasan terkendali merupakan pupuk

dengan pelepasan nitrogen secara terkendali

sesuai dengan waktu dan jumlah yang

dibutuhkan oleh tanaman, sehingga dapat

mengoptimalkan penyerapan nitrogen oleh

tanaman (Nainggolan, Suwardi, & Darmawan,

2009). Kandungan utama unsur hara yang

terdapat pada masing-masing pupuk adalah

nitrogen, fosfat dan kalium dengan

perbandingan sebagai berikut;17-8-9+3MgO

untuk pupuk pelepasan terkendali; 16-16-16

untuk pupuk majemuk dan 32-10-10 pada

pupuk daun. Peralatan yang dipergunakan

dalam penelitian ini diantaranya adalah

gunting, cutter, mistar, dan alat tulis lainnya.

B. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tahapan

sebagai berikut:

1. Memilih bahan tanaman berupa semai

umur 3 bulan dengan ukuran seseragam

mungkin dengan diameter batang 2,0 mm

– 3,5 mm, yang kemudian dipergunakan

sebagai tanaman pangkas.

2. Semai yang dipergunakan sebagai tanaman

pangkas kemudian dipindah kedalam

polibag/plastik berukuran 18 cm x 18 cm

dengan menggunakan media pasir dan

cocopeat. Polibag/plastik yang

dipergunakan adalah polibag tanpa lubang,

dengan tujuan media cocopeat akan selalu

lembab dan mempunyai kondisi yang

hampir sama dengan gambut. Penyiraman

dilakukan menyesuaikan dengan kondisi

kelembaban media.

3. Perlakuan pupuk diberikan dengan

menggunakan 3 jenis pupuk, yaitu pupuk

pelepasan terkendali, pupuk majemuk dan

pupuk daun. Konsentrasi yang

dipergunakan untuk pupuk pelepasan

terkendali adalah 4,5 gram.liter-1 media,

pemberian pupuk adalah sekali pada awal

perlakuan dengan dicampur rata pada

media. Dosis ini mengacu pada dosis yang

dipakai oleh beberapa persemaian modern

yang dikembangkan oleh HTI (Setyaji,

komunikasi pribadi, 2017). Pupuk

majemuk menggunakan konsentrasi 5

gram.liter-1 dengan pemberian pupuk

seminggu sekali sebanyak 5ml/tanaman

pangkas. Hal ini mengacu pada dosis yang

biasa dipergunakan dalam pemeliharaan

tanaman pangkas dan penelitian

sebelumnya pada tanaman Eucalyptus

pellita oleh Kartikaningtyas (2018);

tanaman Meranti Tembaga oleh Mashudi

& Susanto (2013) dan pada tanaman Jati

(Suwandi & Adinugraha, 2016).

Sedangkan konsentrasi untuk pupuk daun

adalah 2 gram.liter-1 dengan pemberian

pupuk 2x seminggu sebanyak 5

Jurnal PerbenihanTanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019:67-76

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

70

ml/tanaman pangkas, sesuai dengan yang

tertera pada label aturan pakai.

4. Pemangkasan dilakukan setelah tanaman

pangkas tumbuh stabil.

5. Pengamatan dilakukan pada setiap

minggunya, dengan parameter yang

diamati adalah jumlah tunas dan panjang

tunas.

Rancangan penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak

Lengkap (RAL) faktorial 2 x 3 dengan 2 jenis

perlakuan yaitu jenis media tanam (2 taraf)

dan jenis pupuk (3 taraf) seperti tersaji pada

Tabel 1. Setiap kombinasi perlakuan diulang

sebanyak 3 kali/ulangan dengan jumlah semai

pada masing-masing ulangan adalah 5

tanaman pangkas, sehingga jumlah unit

pengamatan seluruhnya adalah sebanyak 90

tanaman pangkas.

C. Analisa Data

Data yang diperoleh dilakukan Analisis

Varians (ANOVA) dengan program SAS 9.0,

dan apabila terdapat perbedaan antar perlakuan

pada taraf kepercayaan 95% dilanjutkan

dengan menggunakan analisis DMRT

(Duncan’s Multiple Range Test). Tabel (Table) 1. Kombinasi perlakuan efektivitas media tanam dan pupuk terhadap pertumbuhan

tunas Kess(The combination of the effectivity of planting media and fertilizer on

the growth of Kess shoots)

Media(Media) Pupuk(Fertilizer)

Pelepasan terkendali (slow release) Majemuk(compound) Daun(leaf)

Pasir(sand) M1P1 M1P2 M1P3

Cocopeat(cocopeat) M2P1 M2P2 M2P3

Keterangan (Remark): M1P1: pasir +pupuk pelepasan terkendali; M2P1: cocopeat + pupuk pelepasan terkendali; M1P2

: pasir + pupuk majemuk; M2P2 : cocopeat + pupuk majemuk; M1P3 : pasir + pupuk daun;

M2P3 : cocopeat + pupuk daun(M1P1 : sand + slow release fertilizer ; M2P1 : cocopeat + slow

release fertilizer ; M1P2 : sand + compound fertilizer ; M21P2 : cocopeat + compound fertilizer

; M1P3 : sand + leaf fertilizer ; M2P3 : cocopeat + leaf fertilizer)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Efektivitas penggunaan media tanam dan

jenis pupuk yang berbeda terhadap

pertumbuhan tunas dilakukan pada tanaman

pangkas tanaman Kess. Untuk mengetahui

efektivitas penggunaan media tanam dan jenis

pupuk maka dilakukan analisis varians dengan

hasil sebagaimana tersaji pada Tabel 2.

Tabel (Table) 2. Hasil analisis varians efektivitas media tanam dan pupuk terhadap pertumbuhan

tunas Kess(Analysis of variance of the effectivity of planting media and fertilizer

on the growth of Kess shoots) Sumber Variasi

(Source of variation) db

Rerata kuadrat(Mean square)

Jumlah tunas (number of shoots) Panjang tunas (length of shoots)

Media(media) 1 15,769** 304,242***

Pupuk(fertilizer) 2 7,031** 4,005ns

Media*pupuk(mdia*fertilizer) 2 3,847ns 1,07ns

Keterangan (Remark) : ** : Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%; *** : beda nyata pada taraf

kepercayaan 1%;ns : Tidak berbeda nyata(** : significant at the 5% level; *** :

significant at the 1% level; ns : not significant)

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA TANAM DAN PUPUK TERHADAP KEMAMPUAN BERTUNAS

TANAMAN PANGKAS KESS (Lophostemon suaveolens) (Sol.ex Gaertn.) Peter G.Wilson & J.T. Waterh)

Dwi Kartikaningtyas, Teguh Setyaji dan Surip

71

Dari hasil analisis varians terlihat bahwa

media tanam dan jenis pupuk berpengaruh

terhadap jumlah tunas yang tumbuh, namun

demikian tidak ditemukan adanya interaksi

antara media tanam dan jenis pupuk. Berbeda

halnya dengan panjang tunas, dimana panjang

tunas hanya dipengaruhi oleh media tanam

(Tabel 2.). Untuk mengetahui lebih lanjut

pengaruh media tanam dan jenis pupuk maka

dilakukan uji lanjut dengan hasil sebagaimana

tertera pada Tabel 3.

Tabel (Table) 3. Hasil uji Duncan efektivitas media tanam dan pupuk terhadap pertumbuhan tunas

Kess (Result of Duncan’s multiple range test of the effectivity of planting media

and fertilizer on the growth of Kess shoots)

Perlakuan(Treatment)

Rerata(Mean)

Jumlah tunas (number

of shoots)(tunas± SD)

Panjang tunas(length of

shoots) (cm± SD)

Media(media) Pasir(sand) 2,8907 ± 1,56A 5,1521 ± 2,77A

Cocopeat(cocopeat) 1,8386 ± 1,09B 0,5307 ± 0,54B

Pelepasan terkendali(slow release) 3,1453 ± 0,96A 3,4659 ± 2,73A

Pupuk(fertilizer) Majemuk(compound) 2,1505±1,61B 2,3980 ± 3,74A

Daun(leaf) 1,9415±1,49B 2,8695±2,81A

Keterangan (Remark): Huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat beda nyata(Values followed by

the same letters are not significantly different)

Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa

penggunaan media pasir lebih efektif dalam

menstimulasi pertumbuhan tunas Kess, baik

jumlah tunas maupun panjang tunas

dibandingkan dengan penggunaaan media

cocopeat. Sedangkan penggunaan pupuk

pelepasan terkendali menunjukkan hasil yang

lebih baik pada jumlah tunas maupun panjang

tunas dibandingkan dengan pupuk majemuk

maupun pupuk daun.

Kombinasi antara media tanam dan jenis

pupuk yang berbeda memberikan hasil yang

bervariasi terhadap pertumbuhan tunas.

Tabel (Table) 4. Rata-rata pertumbuhan tunas Kess pada masing-masing kombinasi(The growth

mean of Kess shoots on each combination)

Parameter(Trait) Media(Media)

Pupuk(Fertilizer)

Pelepasan terkendali

(slow release) Majemuk(compound) Daun(leaf)

Jumlah tunas (number of shoots)

(tunas± SD)

Pasir(sand) 3,666 ± 1,78 3,084 ± 1,56 2,000 ± 0,89

Cocopeat(cocopeat) 2,560 ± 1,25 1,883 ± 1,07 1,217 ± 0,55

Panjang tunas(length of shoots)

(cm± SD)

Pasir(sand) 5,892 ± 3,66 4,496 ± 2,61 5,142 ± 2,01

Cocopeat(cocopeat) 0,736 ± 0,79 0,597 ± 0,49 0,300 ± 0,24

B. Pembahasan

1. Pertumbuhan Indukan

Penelitian ini menggunakan semai umur 3

bulan yang diperlakukan sebagai

indukan/tanaman pangkas. Persentase hidup

tanaman pangkas pada akhir pengamatan

terendah adalah 80 persen dan tertinggi 100

persen. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan

media tanam dan pupuk yang diberikan pada

pelaksanaan penelitian sesuai dengan syarat

tumbuh tanaman pangkas tanaman Kess.

Selain adanya pertumbuhan yang baik pada

Jurnal PerbenihanTanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019:67-76

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

72

tanaman pangkas, selama pengamatan

berlangsung tidak ditemukan adanya serangan

hama maupun penyakit tanaman yang dapat

mengganggu pertumbuhan tanaman pangkas.

Pada penelitian ini tidak dilakukan kegiatan

pencegahan hama dan penyakit dengan

pemberian fungisida maupun insektisida di

awal penelitian. Dari hasil tersebut

menunjukkan bahwa tanaman pangkas

tanaman Kess mempunyai daya tahan terhadap

kondisi lingkungan dan hama penyakit

tanaman.

2. Jumlah Tunas

Efektivitas penggunaan media tanam dan

jenis pupuk yang dipergunakan pada penelitian

ini telah memberikan pengaruh terhadap

jumlah tunas yang terbentuk (Tabel 2). Jenis

media tanam maupun jenis pupuk yang

berbeda ternyata memberikan hasil yang

berbeda pula terhadap pembentukan tunas.

Pada penelitian ini pembentukan tunas pada

media pasir mempunyai rata-rata yang lebih

besar dibandingkan dengan media cocopeat

(Tabel 3). Demikian halnya dengan

penggunaan pupuk, dimana pupuk pelepasan

terkendali mempunyai kemampuan yang lebih

baik dalam pembentukan tunas dibandingkan

dengan pupuk majemuk dan pupuk daun

(Tabel 3). Pertumbuhan tunas dapat

dipengaruhi oleh faktor internal (genetik) dan

faktor eksternal (lingkungan). Adanya

perbedaan kondisi lingkungan, yaitu media

tanam, pada penelitian ini telah memberikan

hasil yang berbeda terhadap pembentukan

tunas baru pada stool plant. Selain itu adanya

kegiatan pemangkasan batang tanaman pada

bagian mampu meningkatkan jumlah tunas

yang tumbuh (Pramono & Danu, 2013).

Tekstur media tanam berpengaruh terhadap

kemampuan akar untuk menyerap unsur hara

yang tersedia. Sebagaimana diketahui bahwa

media pasir mempunyai porositas yang lebih

baik dibandingkan media cocopeat, sehingga

mempunyai drainase dan aerasi yang baik bagi

akar untuk menyerap unsur hara. Karakteristik

cocopeat sebagai media sapih/media tanam

adalah mampu menyimpan dan mengikat air

dengan kuat (Irawan & Hidayah, 2014). Media

sapih cocopeat memiliki kadar air dan daya

simpan air sebesar 119 persen dan 695,4

persen (Hasriani, Kalsim, & Sukendro, 2013)

dan memiliki pori mikro yang mampu

menghambat gerakan air lebih besar sehingga

menyebabkan ketersediaan air lebih tinggi

(Istomo & Valentino, 2012). Kemampuan

daya serap air yang tinggi akan menurunkan

kemampuan aerasi pada media tersebut,

sehingga akan menghambat akar untuk

menyerap oksigen. Selain itu kandungan

senyawa tanin yang terdapat pada cocopeat

menjadi penghalang mekanis dalam

penyerapan unsur hara (Irawan & Kafiar,

2015; Sukarman, Kainde, Rombang, &

Thomas, 2012).

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA TANAM DAN PUPUK TERHADAP KEMAMPUAN BERTUNAS

TANAMAN PANGKAS KESS (Lophostemon suaveolens) (Sol.ex Gaertn.) Peter G.Wilson & J.T. Waterh)

Dwi Kartikaningtyas, Teguh Setyaji dan Surip

73

Penggunaan pupuk pelepasan terkendali

terbukti lebih efektif dalam pembentukan

tunas pada penelitian ini. Sebagaimana

diketahui bahwa tidak semua pupuk yang

diaplikasikan akan diserap oleh tanaman,

namun terdapat sebagian yang hanyut oleh air

maupun terdegradasi. Salah satu kendala

efisiensi penggunaan nitrogen adalah adanya

sifat nitrogen yang mudah menguap (volatile)

sehingga terjadi volatilisasi (hilangnya

nitrogen dalam tanah) (Nainggolan et al.,

2009). Hal ini yang sering terjadi pada

pemberian pupuk majemuk atau pupuk daun,

dimana penguapan nitrogen melalui proses

evaporasi maupun penguapan lebih cepat

dibandingkan daya serap tanaman terhadap

pupuk. Slow release fertilizer merupakan

salah satu modifikasi pupuk yang ditujukan

untuk meningkatkan efisiensi unsur-unsur

yang terdapat di dalam pupuk dengan

mengatur pelepasannya secara lambat atau

bertahap (Pratomo, Suwardi, & Darmawan,

2009). Pupuk dalam bentuk pelepasan

terkendali dapat mengoptimalkan penyerapan

nitrogen oleh tanaman, karena pupuk tersebut

dapat mengendalikan pelepasan unsur nitrogen

sesuai dengan jumlah dan waktu yang

dibutuhkan oleh tanaman (Nainggolan et al.,

2009). Dengan sifat pupuk pelepasan

terkendali yang telah disebutkan maka

penggunaan pupuk ini mampu mengurangi

volatilisasi sehingga lebih efektif apabila

dibandingkan dengan pupuk majemuk maupun

pupuk daun. Nasrullah & Tunggalini (2000)

juga menyatakan bahwa pupuk quick release

dianggap tidak efesien karena tercuci oleh

irigasi dan air hujan sehingga dengan

quickrelease, pemupukan tidak efesien atau

diperlukan dosis dan frekuensi yang lebih

tinggi untuk mendapatkan hasil yang baik.

Kombinasi perlakuan media tanam pasir

dengan pemberian pupuk pelepasan terkendali

pada penelitian ini telah memberikan dampak

yang lebih terhadap pembentukan tunas baru

pada tanaman pangkas Kess dibandingkan

dengan kombinasi lainnya.

3. Panjang Tunas

Pertambahan panjang tunas merupakan

pemanjangan ruas-ruas yang merentang

diantara buku-buku tempat melekatnya daun

(Hidayat, Hendalastuti, & Nurohman, 2007).

Adanya pemanjangan tunas atau batang

merupakan akibat adanya peningkatan jumlah

sel dan meluasnya sel (Gardner, Pearce, &

Roger, 1985) dan pemanjangan tunas lateral

akibat pemangkasan (Irawati & Setiari, 2009).

Adanya pengaruh media tanam terhadap

pertambahan panjang tunas disebabkan karena

pada media tanam terdapat unsur hara,

drainase dan aerasi maupun faktor lingkungan

lainnya yang dapat memicu adanya

pertumbuhan tunas. Hal ini senada dengan

penelitian Mahfudz, Isnaini, & Moko (2006)

yang menunjukkan bahwa media tanam

berpengaruh terhadap tinggi tunas pada stek

pucuk Merbau, maupun panjang tunas stek

Jurnal PerbenihanTanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019:67-76

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

74

tanaman Jarak Pagar (Hayati, Sabaruddin, &

Rahmawati, 2012) dan stek tanaman Bambang

Lanang (Danu & Putri, 2015). Pada

pengamatan ini, media pasir lebih efektif

dibandingkan media cocopeat terhadap adanya

pertambahan panjang tunas. Seperti telah

dijelaskan pada paragrap sebelumnya bahwa

media pasir mempunyai drainase dan aerasi

yang lebih baik dibandingkan media cocopeat,

sehingga pada media pasir kemampuan akar

tanaman untuk menyerap unsur hara maupun

oksigen akan lebih baik.

Penambahan panjang tunas pada

penelitian ini tidak dipengaruhi perlakuan

pemupukan. Namun demikian dari ketiga

pupuk yang diberikan, pupuk pelepasan

terkendali mempunyai rata-rata panjang tunas

terbesar (3,4659 cm) dibandingkan dengan

pupuk lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa

pemberian pupuk pelepasan terkendali lebih

efektif dalam pertumbuhan panjang tunas

dibandingkan dengan pupuk majemuk dan

pupuk daun. Kombinasi media dan pupuk

yang paling efektif dalam penambahan

panjang tunas adalah kombinasi media pasir

dengan penambahan pupuk pelepasan

terkendali.

Pada penelitian Rugayah, Hermida,

Ginting, Agustian, & Agsya (2018), pemberian

pupuk pelepasan terkendali dan pupuk

Nitrogen lainnya dengan media tanah (sub

soil) tidak memberikan pengaruh yang nyata

terhadap pertumbuhan tanaman Kailan, tetapi

tidak demikian halnya dengan kombinasi

pupuk pelepasan terkendali dengan media

tanah yang telah diolah seperti yang dilakukan

oleh Gani (2009) pada tanaman padi dan

tanaman Krisan (Wasito & Komar, 2004).

Sedangkan penggunaan pupuk pelepasan

terkendali pada media pasir memberikan

pengaruh terhadap tinggi rumput bermuda dan

jumlah pucuk pada tanaman rumput

Cynodondactylon var. Tifdwarf (Nasrullah &

Tunggalini, 2000). Hal ini menunjukkan

bahwa media tanam memiliki peranan penting

dalam penyerapan unsur hara oleh akar

tanaman. Sebagaimana diketahui bahwa sub

soil merupakan lapisan tanah yang berada di

bawah lapisan top soil sehingga memiliki

struktur yang padat dan keras (Winarna &

Sutarta, 2003). Sehingga dibutuhkan media

tanam yang mempuyai aerasi dan drainase

yang baik untuk penyerapan unsur hara bagi

pertumbuhan tanaman seperti halnya media

pasir dengan penggunaan pupuk pelepasan

terkendali.

IV. KESIMPULAN

Media tanam dan pemupukan yang tepat

memberikan pengaruh terhadap pembentukan

dan pertumbuhan tunas pada tanaman pangkas.

Penggunaan media tanam pasir telah

mempengaruhi pembentukan tunas baru dan

pertambahan panjang tunas tanaman pangkas

Kess, begitu pula pemberian pupuk pelepasan

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA TANAM DAN PUPUK TERHADAP KEMAMPUAN BERTUNAS

TANAMAN PANGKAS KESS (Lophostemon suaveolens) (Sol.ex Gaertn.) Peter G.Wilson & J.T. Waterh)

Dwi Kartikaningtyas, Teguh Setyaji dan Surip

75

terkendali. Kombinasi antara media tanam

pasir dan pupuk pelepasan terkendali dengan

konsentrasi 4,5 gram.liter-1 media memberikan

pengaruh yang paling baik terhadap tunas

tanaman pangkas Kess dibandingkan

kombinasi lainnya.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

dengan melibatkan parameter lainnya yang

mampu menggambarkan pertumbuhan

tanaman lebih dalam, misalnya dengan

mengukur biomassa stool plant maupun

kemempuan berakar (rooting ability) stek hasil

pangkasan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih penulis sampaikan

kepada seluruh anggota Tim Peneliti Populasi

Pemuliaan untuk Unggulan Kayu Pulp di

BBPPBPTH atas bantuan dan kerjasamanya

dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adinugraha, H. A., Hasnah, T. M., & Waris.

(2017). Pertumbuhan tunas beberapa klon jati

terseleksi setelah pemangkasan di persemaian.

Jurnal Ilmu Kehutanan, 11(1), 109–117.

https://doi.org/10.22146/jik.24907

Danu, & Putri, K. P. (2015). Penggunaan media

dan hormon tumbuh dalam perbanyakan stek

Bambang Lanang (Michelia champaca L).

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan, 3(2), 61–

70.

Darmawan, B., Siregar, Y. I., Sukendi, & Zahrah,

S. (2016). Pengelolaan keberlanjutan

ekosistem hutan rawa gambut terhadap

kebakaran hutan dan lahan di Semenanjung

Kampar, Sumatera. Jurnal Manusia Dan

Lingkungan, 23(2), 195–205.

https://doi.org/10.22146/jml.18791

Gani, A. (2009). Keunggulan pupuk majemuk

NPK lambat urai untuk tanaman padi sawah.

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman

Pangan, 28(3), 148–157.

Gardner, F. P., Pearce, R. B., & Roger, L. M.

(1985). Physiologi of Crop Plants. USA: The

Iowa State University Press.

Goh, D., & Monteuuis, O. (2016). Teak. In Y.-S.

Park, J. Bonga, & K. M. Hyeun (Eds.),

Vegetative Propagation of Forest Trees

(Online Edi, pp. 425–440). Seoul, Korea:

National Institute Of Forest Science.

Hasriani, Kalsim, D. K., & Sukendro, A. (2013).

Kajian serbuk sabut kelapa (cocopeat) sebagai

media tanam.

Hayati, E., Sabaruddin, & Rahmawati. (2012).

Pengaruh jumlah mata tunas dan komposisi

media tanam terhadap pertumbuhan setek

tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.).

Jurnal Agrista, 16(3), 129–134.

Hidayat, A., Hendalastuti, H., & Nurohman, E.

(2007). Pengaruh ukuran diameter stek batang

Hopea odorata Rox b. dari kebun pangkas

terhadap kemampuan bertunas, berakar, dan

daya hidupnya. Jurnal Penelitian Hutan Dan

Konservasi Alam, 4(1).

Irawan, A., & Hidayah, H. N. (2014). Kesesuaian

penggunaan cocopeat sebagai media sapih

pada politube dalam pembibitan cempaka

(Magnolia elegans (Blume.) H.Keng). Jurnal

Wasian, 1(2), 73–76.

Irawan, A., & Kafiar, Y. (2015). Pemanfaatan

cocopeat dan arang sekam padi sebagai media

tanam bibit cempaka wasian (Elmerrilia

ovalis). In Prosiding Seminar Nasional

Masyarakat Biodiversitas Indonesia (pp. 805–

808).

https://doi.org/10.13057/psnmbi/m010423

Irawati, H., & Setiari, N. (2009). Pertumbuhan

tunas lateral tanaman nilam (Pogostemon

cablin Benth) setelah dilakukan pemangkasan

pucuk pada ruas yang berbeda. Buletin

Anatomi Dan Fisiologi, 17(2).

https://doi.org/10.14710/baf.v17i2.2558

Istomo, & Valentino, N. (2012). Pengaruh

Perlakuan Kombinasi Media terhadap

Pertumbuhan Anakan Tumih

(Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser).

Jurnal Silvikultur Tropika, 3(2), 81–84.

Jurnal PerbenihanTanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019:67-76

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

76

Kartikaningtyas, D. (2013). Pembangunan kebun

pangkas sebagai penyedia materi genetik

Eucalyptus pellita F. Muell. Informasi Teknis,

11(1), 25–30.

Kartikaningtyas, D. (2018). Respon tunas stool

plant Eucalyptus pellita terhadap variasi tinggi

pangkasan dan pemupukan pada media pasir.

Wana Benih, 19(2), 29–35.

KemenLHK. (2017). Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.

P.16/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2017 tentang

Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem

Gambut. Jakarta, Indonesia: Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Lophostemon suaveolens. (n.d.). Retrieved

February 15, 2019, from

http://tropical.theferns.info/viewtropical.php?i

d=Lophostemon+suaveolens

Mahfudz, Isnaini, & Moko, H. (2006). Pengaruh

zat pengatur tumbuh dan media tanam

terhadap pertumbuhan stek pucuk merbau.

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 3:1(1),

25–34.

Masganti, Wahyunto, Dariah, A., Nurhayati, &

Rachmiwati, Y. (2014). Karakteristik dan

potensi pemanfaatan lahan gambut

terdegradasi di provinsi Riau. Jurnal

Sumberdaya Lahan, 8(1).

https://doi.org/10.2018/jsdl.v8i1.6444.g5747

Mashudi, & Susanto, M. (2013). Kemampuan

Bertunas Stool Plants Meranti Tembaga

(Shorea leprosula Miq.) dari Beberapa

Populasi di Kalimantan. Jurnal Pemuliaan

Tanaman Hutan, 7(2), 119–132.

https://doi.org/10.20886/jpth.2013.7.2.119-

132

Nainggolan, G. D., Suwardi, & Darmawan. (2009).

Pola pelepasan nitrogen dari pupuk tersedia

lambat (Slow Release Fertilizer) Urea-Zeolit-

Asam Humat. Jurnal Zeolit Indonesia, 8(2),

89–96.

Nasrullah, N., & Tunggalini, N. K. W. (2000).

Pengaruh pemupukan urea dan nitrogen slow

release terhadap pertumbuhan dan kualitas

rumput lapangan golf. Jurnal Agronomi

Indonesai, 28(2), 62–65.

Pramono, A. A., & Danu. (2013). Pengaruh

pemangkasan dan pelengkungan terhadap

produksi tunas pada pohon pangkas kayu

bawang (Azadirachta exelsa). Jurnal

Perbenihan Tanaman Hutan, 1(2), 93–101.

Pratomo, K. R., Suwardi, & Darmawan. (2009).

Pengaruh pupuk slow release urea-zeolit-asam

humat (UZA) terhadap produktivitas tanaman

padi var. Ciherang. Jurnal Zeolit Indonesia,

8(2), 83–88.

Rugayah, Hermida, L., Ginting, Y. C., Agustian, J.,

& Agsya, M. P. (2018). Uji aplikasi berbagai

jenis pupuk urea lepas lambat (slow release

urea) terhadap pertumbuhan tanaman kailan

(Brassica oleraceae L.). In Seminar Nasional

SINTA Fakultas Teknik : Riset PT-Eksplorasi

Hulu Demi Hilirisasi Produk (pp. 42–48).

Bandar Lampung.

Sukarman, Kainde, R., Rombang, J., & Thomas, A.

(2012). Pertumbuhan bibit sengon

(Paraserianthes falcataria) pada berbagai

media tumbuh. Eugenia, 18(3).

Suwandi, & Adinugraha, H. A. (2016). Pembuatan

model kebun pangkas Jati di persemaian.

Informasi Teknis, 14(1), 1–10.

Wasito, A., & Komar, D. (2004). Pengaruh jenis

pupuk terhadap pertumbuhan dan produksi

tanaman Krisan. Jurnal Hortikultura, 14(3),

1–5.

Wilson, P. G., & Waterhouse, J. T. (1982). A

review of the genus Tristania R. Br.

(Myrtaceae): a heterogeneous assemblage of

five genera. Australian Journal of Botany,

30(4), 413–446.

https://doi.org/https://doi.org/10.1071/BT9820

413

Winarna, & Sutarta, E. S. (2003). Pertumbuhan

dan serapan hara bibit kelapa sawit pada

medium tanam sub soil tanah Typic Paleudult,

Typic Tropopsamment, dan Typic Hapludult.

Warta PPKS, 11(1).

PENGARUH UMUR TUNAS PANGKASAN TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK Hopea odorata Roxb.

Nurmawati Siregar dan Nurmawati Siregar

Kontribusi penulis: Nurmawati Siregar dan Kurniawati Purwaka Putri sebagai kontributor utama

© 2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2019.7.2.77-85 77

PENGARUH UMUR TUNAS PANGKASAN TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK

Hopea odorata Roxb.

(The Influence of Pruning Shoot Age on the Growth of Hopea odorata Roxb. Cutting)

*Nurmawati Siregar dan/and *Kurniawati Purwaka Putri

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Jl. Pakuan Ciheuleut PO.BOX 105 Telp/ Fax. 0251-8327768 Kode Pos 16001, Bogor, Jawa Barat, Indonesia

e-mail: [email protected]

Naskah masuk: 20 Juli 2019; Naskah direvisi: 10 September 2019; Naskah diterima: 21 Oktober 2019

ABSTRACT

Propagation of Hopea odorata Roxb. could be carried out through the vegetative methods by cuttings.

Material cuttings with a high juvenility are obtained by pruning a stock plant. Information on shoot age after

pruning as material cuttings were still limited. The purpose of this study was to determine the effect of shoot

age after pruning on the successful propagation of H. odorata cuttings. The study design was a randomized

block design with shoot age treatments of 3, 4, 5 and 6 months. Each treatment was placed in 5 blocks and

each treatment consisted of 20 cuttings. Growth response of cuttings observed was cutting survival

percentage, shoot height, root length, root dry weight, shoot dry weight, carbon, and nitrogen content. The

results showed that the age of pruning shoots had a significant effect on all measured growth response of

cuttings. H. odorata cuttings from orthotropic shoots aged 4 and 5 months after pruning showed cutting

survival percentage, shoot height, root length, shoot and root dry weight were higher than shoots aged 3 and

6 months after pruning. The age of 6 months pruning shoots showed the highest C/N ratio (18.14) and

carbon content (47.48 percent), but but the lowest nitrogen content (2.62 percent). The percentage of woody

on shoots aged 4 and 5 months after pruning was 50%, while almost all of the cuttings on shoots of the age

of 6 months were woody. The best propagation material for H. odorata cuttings was orthotropic shoots aged

5 months after pruning, because of the high cuttings survival percentage (94.18 percent). In addition C/N

ratio from shoot aged 5 months (15,11) was higher than from shoot aged 4 months (13,14). Keyword: cutting, juvenily, Hopea, shoot pruning, stock plant

ABSTRAK

Alternatif perbanyakan Hopea odorata Roxb. diantaranya melalui perbanyakan vegetative dengan setek.

Bahan setek dengan tingkat juvenilitas tinggi diperoleh dengan cara pemangkasan stock plant. Informasi

umur tunas pangkasan terbaik sebagai bahan setek masih terbatas. Tujuan penelitian adalah mengetahui

pengaruh umur tunas pangkasan atau trubusan setelah pemangkasan terhadap keberhasilan perbanyakan

setek H. odorata. Rancangan penelitian adalah Rancangan Acak Kelompok dengan perlakuan umur tunas (3,

4, 5 dan 6 bulan). Masing-masing perlakuan terdapat dalam 5 kelompok dan setiap perlakuan terdiri atas 20

setek. Respon pertumbuhan setek yang diamati adalah persentase setek tumbuh, tinggi tunas, panjang akar,

berat kering akar, berat kering tunas dan kandungan karbon dan nitrogen. Hasil penelitian menunjukkan

umur tunas pangkasan berpengaruh nyata terhadap semua respon pertumbuhan setek yang diukur. Setek H.

odorata dari tunas orthotrop umur 4 dan 5 bulan setelah pemangkasan menghasilkan setek dengan persentase

tumbuh, tinggi tunas, panjang akar, berat kering tunas dan akar yang lebih tinggi dibandingkan tunas

orthotrop umur 3 dan 6 bulan setelah pemangkasan. Tunas pangkasan umur 6 bulan menghasilkan nilai

rasio C/N (18,14) dan kandungan karbon tertinggi (47,48 persen), tetapi kandungan nitrogen terendah (2,62

persen). Batang stek dari tunas orthotrop umur 4 dan 5 bulan setelah pemangkasan hampir 50 persen sudah

berkayu, sedangkan tunas umur 6 bulan setelah pemangkasan seluruh bagian batangnya telah berkayu.

Pengambilan materi perbanyakan setek H. odorata sebaiknya dilakukan 5 bulan setelah pemangkasan karena

persentase setek tumbuh yang tinggi (94,18 persen). Selain itu nilai C/N dari tunas umur 5 bulan (15,11)

relatif lebih besar dibanding tunas umur 4 bulan (13,14). Kata kunci: setek, juvenilitas, Hopea, tunas pangkasan, pohon induk

I. PENDAHULUAN

Hopea odorata Roxb. merupakan salah

satu anggota famili Dipterocarpaceae yang

tersebar alami di beberapa negara di Asia

Tenggara dan Selatan (Dong, Beadle, Doyle,

& Worledge, 2014); (Sakai et al., 2009). Saat

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019:77-85

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

78

ini telah terjadi penurunan populasi H.

odorata yang sangat cepat di sebaran alaminya

akibat eksploitasi berlebihan yang terjadi

selama beberapa tahun (Dong et al., 2014).

Oleh karena itu dalam redlist IUCN

(International Union for Conservation of

Nature), H. odorata termasuk dalam kategori

spesies yang menghadapi resiko kepunahan di

alam dalam jangka waktu menengah

(vulnerable tree species) (Ly et al., 2017).

Untuk mempertahankan keberadaannya, maka

upaya konservasi harus dilakukan di antaranya

dengan penanaman baik in-situ maupun ek-

situ.

Ketersediaan bibit bermutu merupakan

salah satu faktor pendukung keberhasilan

konservasi H. odorata. Namun penyediaan

bibit melalui teknik perbanyakan generatif

terkendala karakter benihnya yang bersifat

rekalsitran, sehingga ketersediaan bibit

terbatas hanya sesaat setelah musim berbuah.

Perbanyakan vegetatif dengan menggunakan

setek menjadi salah satu alternatif dalam

pengadaan bibit H. odorata. Hal ini

disebabkan tingkat keberhasilan perbanyakan

setek H. odorata sangat tinggi dengan

persentase setek berakar lebih dari 90 persen

(Hidayat, Hendalastuti, & Nurohman, 2007).

Keberhasilan perbanyakan setek di

antaranya dipengaruhi tingkat juvenilitas

(kemudaan) pohon induk (stock plant) sebagai

sumber bahan setek. Bahan setek yang juvenil

(muda) secara kronologis dan fisiologis

menghasilkan persentase berakar yang lebih

tinggi dibandingkan bahan setek yang sudah

dewasa (Abdullateef & Osman, 2012; Danu &

Putri, 2017). (Hae & Funnah, 2011; Zhang et

al., 2013). Hal tersebut telah terbukti pada

beberapa jenis tanaman, antara lain: pinus

(Rasmussen & Hunt, 2010), Dalbergia

melanoxylon (Amri, Lyaruu, Nyomora, &

Kanyeka, 2010), Shorea leprosula (Danu,

Siregar, Wibowo, & Subiakto, 2010), Stevia

rebaudiana (Abdullateef & Osman, 2012),

Styrax benzoin (Putri & Danu, 2014),

Pongamia pinnata (Kurniaty, Putri, & Siregar,

2016) dan Voaconga africana (Kontoh, 2016).

Pemangkasan merupakan salah satu teknik

rejuvenasi stock plant untuk mendapatkan

bahan setek dengan tingkat juvenilitas tinggi

secara kronologis. Bagian tanaman yang dekat

dengan akar adalah bagian tanaman yang

tumbuh pada awal pertumbuhan, sehingga

secara kronologis bagian tanaman tersebut

paling muda (juvenil) (Danu & Putri, 2017).

Hidayat et al. (2007) melaporkan bahwa

rejuvenasi stock plant H. odorata umur 2

tahun dengan teknik pemangkasan setinggi 30

cm mampu menghasilkan tunas-tunas juvenil

dengan persentase setek berakar dengan

kisaran 92,31―95,59 persen. Namun,

informasi ilmiah mengenai umur bahan setek

setelah pemangkasan (rejuvenasi) yang terbaik

dengan tingkat juvenilitas bahan setek yang

PENGARUH UMUR TUNAS PANGKASAN TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK Hopea odorata Roxb.

Nurmawati Siregar dan Nurmawati Siregar

79

tinggi khususnya jenis H. odorata masih

terbatas. Informasi ini sangat dibutuhkan

terutama dalam kaitannya dengan manajemen

pengadaan bibit di persemaian. Tujuan

penelitian adalah mengetahui pengaruh umur

tunas pangkasan atau trubusan setelah

pemangkasan terhadap keberhasilan

perbanyakan setek H. odorata.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat

Kegiatan penelitian perbanyakan H.

odorata secara vegetatif (setek) dilakukan di

Persemaian Balai Penelitian dan

Pengembangan Teknologi Perbenihan

Tanaman Hutan (BP2TPH) yang terletak di

Desa Nagrak, Cimahpar, Bogor. Waktu

pelaksanaan kegiatan dimulai dari bulan

Maret sampai dengan Nopember 2015.

Bahan penelitian yang digunakan adalah

tunas orthotrop yang diambil dari trubusan

pada pohon indukan (stock plant) H. odorata

umur 8 tahun yang ditanam di persemaian

BP2TPH. Bahan lainnya adalah tanah dan

pasir sebagai media pengakaran setek.

Peralatan yang digunakan antara lain: polybag,

Rumah Tumbuh Model Sungkup (Gambar 1),

shading net, sprayer, gunting setek, ember,

timbangan, oven dan alat ukur.

B. Prosedur Penelitian

Pohon induk H. odorata dipangkas

dengan tinggi pangkasan 20 cm dari

permukaan tanah. Setelah pemangkasan

dilakukan pemeliharan pohon seperti

penyiangan dan pemupukan untuk

mendapatkan tunas-tunas orthotrop yang sehat

untuk bahan setek. Umur trubusan yang

tumbuh setelah pemangkasan digunakan

sebagai materi setek dalam penelitian ini.

Waktu pengambilan trubusan disesuaikan

dengan masing-masing perlakuan yaitu 3, 4, 5

dan 6 bulan setelah pemangkasan.

Gambar (Figure) 1. Rumah tumbuh model

sungkup untuk

pengakaran setek Hopea

odorata (root chamber

of Hopea odorata

cutting)

Tunas-tunas orthotrop sebagai bahan

setek dipilih dengan kriteria tunas dorman dan

sehat. Tunas terpilih dipotong-potong dengan

ukuran panjang ± 10 cm, dan mempunyai 2

mata tunas (node). Bagian bawah dari tangkai

setek dipotong miring 45°. Selanjutnya tunas-

tunas tersebut dikurangi jumlah daunnya

hingga tersisa 2 helai. Daun tersebut

kemudian dipotong hingga tersisa 1/3 bagian

luasannya.

Setek pucuk diakarkan dalam sungkup

plastik yang disimpan di bawah naungan

(Gambar 1). Media setek adalah campuran

tanah dan pasir steril dengan perbandingan 1 :

1 (v/v) dengan wadah potray ukuran 4,5 cm X

4,5 cm X 12 cm.

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019:77-85

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

80

Pengamatan pertumbuhan dan

perkembangan setek dilakukan setelah 12

minggu dari waktu penanaman setek. Peubah

yang diamati meliputi persentase setek tumbuh

(persen), tinggi tunas (mm), panjang akar

(cm), berat kering akar (g) dan berat kering

tunas (g). Kriteria setek tumbuh adalah

apabila akar dan tunas sudah tumbuh, Selain itu

juga dilakukan analisis kandungan nutrisi

bahan setek yaitu karbon dan nitrogen.

Analisis dilakukan di laboratorium SEAMEO

BIOTROP.

Rancangan percobaan yang digunakan

adalah Rancangan Acak Kelompok, dengan

perlakuan umur bahan setek (A) sebanyak 4

taraf perlakuan, yaitu: A1 = 3 bulan, A2 = 4

bulan, A3 = 5 bulan, dan A4 = 6 bulan setelah

pemangkasan. Masing-masing perlakuan

terdapat dalam 5 kelompok dan setiap

perlakuan terdiri atas 20 setek.

Pengelompokkan berdasarkan sungkup plastik.

Model linier dari Rancangan acak kelompok

adalah sebagai berikut:

ij i j ijУ µ τ β= + + +ò ......................................(1)

dimana:

Уij = Respon atau nilai pengamatan dari

perlakuan ke i dan ulangan ke j;

µ = Nilai tengah umum;

τj = Pengaruh perlakuan ke-i;

βj = Pengaruh blok ke-j;

ϵij = Pengaruh galat dari perlakuan ke-i

dan ulangan ke-j.

C. Analisis Data

Data hasil pengamatan kemudian

dianalisis dengan analisis ragam. Apabila

hasil analisis uji-F menunjukkan perbedaan,

maka dilanjutkan dengan uji Tukey (Uji Beda

Nyata Jujur).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

umur tunas sebagai bahan setek berpengaruh

terhadap semua respon pertumbuhan setek

yang diukur (Tabel 1). Rata-rata persentase

tumbuh, tinggi tunas, panjang akar, berat

kering akar dan tunas serta kandungan unsur

karbon, nitrogen dan C/N tersaji pada Tabel 2.

Tabel (Table) 1. Nilai F hitung pengaruh umur bahan setek terhadap pertumbuhan setek (F value of

the influence of cutting age on the cutting growth).

Parameter (Parameters) F. hitung (F-calculation)

Persentase tumbuh (survival percentage) (%) 16,72 *

Tinggi tunas (shoots height) (cm) 18,15 *

Panjang akar (roots length) (cm) 28,01 *

Berat kering tunas (dry weight of shoots) (g) 13,43 *

Berat kering akar (dry weight of roots) (g) 14,49 *

Kandungan karbon (carbon content) (%)

Kandungan nitrogen (nitrogen content) (%)

C/N (ratio C/N) (%/%)

40,42 *

61,25 *

266,05 *

Keterangan (Remarks): tn = tidak nyata pada taraf uji 0,05 (not significantly at 0,05 level); * =

nyata pada taraf uji 0,05 (significantly at 0,05 level)

PENGARUH UMUR TUNAS PANGKASAN TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK Hopea odorata Roxb.

Nurmawati Siregar dan Nurmawati Siregar

81

Tabel (Table) 2. Hasil uji beda pengaruh umur bahan setek terhadap pertumbuhan setek H. odorata

(Difference test of the shoot age effect on the cutting growth of H. odorata)

Parameter

(Parameters)

Umur tunas (shoot old) (bulan/months)

3 4 5 6

Persentase tumbuh (survival percentage) (%) 85,74 b 94,18 a 94,18 a 85,74 b

Tinggi tunas (shoots height) (cm) 5,48 b 7,28 a 7,18 a 5,46 b

Panjang akar (roots length) (cm) 5,32 c 7,22 a 7,28 a 6,26 b

Berat kering tunas (dry weight of shoots) (g) 0,1988 b 0,2436 a 0,2452 a 0,1982 b

Berat kering akar (dry weight of roots) (g) 0,1358 b 0,1766 a 0,1856 a 0,1344 b

Kandungan karbon (carbon content) (%) 39,80 c 44,42 b 45,57 b 47,48 a

Kandungan nitrogen (nitrogen content) (%) 3,92 a 3,38 b 3,02 c 2,62 d

C/N (ratio C/N) (%/%) 10,16 d 13,14 c 15,11 b 18,14 a

Keterangan (Remarks) : Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata

pada selang kepercayaan 99% (Values followed by the same letters on the same rows

were not significantly different)

Persentase setek tumbuh tertinggi

ditunjukkan oleh setek H. odorata yang

berasal dari tunas-tunas orthotrop umur 4 dan

5 bulan setelah pemangkasan. Hasil yang sama

ditunjukkan untuk respon tinggi tunas, panjang

akar, berat kering tunas dan akar serta

kandungan karbon. Umur tunas 3 bulan dan 6

bulan setelah pemangkasan menunjukkan

persentase tumbuh, tinggi tunas, berat kering

tunas dan berat kering akar setek yang sama.

Rasio C/N (18,14) dan kandungan karbon

tertinggi (47,48 persen) dihasilkan tunas

pangkasan umur 6 bulan, tetapi kandungan

nitrogennya terendah (2,62 persen).

Hasil pengamatan secara visual terhadap

bagian batang setek yang berkayu

menunjukkan bahwa trubusan umur 6 bulan

setelah pemangkasan hampir seluruh bangian

batangnya telah berkayu. Sedangkan trubusan

umur 4 dan 5 bulan setelah pemangkasan

mengandung bagian berkayu ± 50 persen dari

panjang batang setek. Bagian berkayu pada

tunas atau trubusan umur 3 bulan setelah

pemangkasan hanya sebesar ± 25 persen dari

keseluruhan panjang batang setek. Bagian

berkayu pada setek tersebut dicirikan dengan

warna batang kecoklatan-coklatan.

B. Pembahasan

Kandungan nutrisi bahan setek khususnya

karbohidrat dan nitrogen mempengaruhi

keberhasilan pembentukan akar setek (Zhang

et al., 2013). Karbohidrat dengan karbon

sebagai penyusun utamanya merupakan

sumber energi terbesar dalam proses

pembentukan akar adventif (rizogenesis)

(Aslmoshtaghi & Shahsavar, 2010; Kontoh,

2016). Kandungan karbohidrat terbukti

berkaitan langsung dengan keberhasilan

pembentukan akar stek Ceratonia siliqua L.

(Essahibi et al., 2016) dan Olea europaea L.

(Aslmoshtaghi & Shahsavar, 2010). Berbeda

halnya dengan keberadaan nitrogen dalam

bahan setek, kandungan nitrogen yang

berlebihan menyebabkan keberhasilan

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019:77-85

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

82

perakaran setek menurun. Untuk itu

keseimbangan karbohidrat tinggi dan nitrogen

rendah sangat diperlukan untuk keberhasilan

perakaran setek yang sering dinyatakan

dengan perbandingan antara persediaan

karbohidrat dan nitrogen (C/N ratio).

Penelitian menunjukkan bahwa trubusan

H. odorata umur 4 dan 5 bulan setelah

pemangkasan menghasilkan nilai rasio C/N

yang lebih tinggi dibandingkan dengan

trubusan umur 3 bulan setelah pemangkasan.

Kondisi ini seiring dengan tingginya

persentase tumbuh, panjang tunas, panjang

akar dan bobot kering (biomassa) yang

dihasilkan trubusan H. odorata umur 4 dan 5

bulan setelah pemangkasan. Zhang et al.,

(2013) menyebutkan bahwa bahan setek

dengan rasio C/N yang tinggi cenderung akan

lebih mudah berakar. Pengaruh nilai rasio C/N

terhadap persentase keberhasilan berakar setek

juga dilaporkan untuk jenis S. leprosula (Danu

et al., 2010), Calophyllum inophyllum (Danu,

Subiakto, & Abidin, 2011), dan Robinia

pseudoacacia Linn (Ling & Zhong, 2012),

Sanseviera cylindrical (Rapilah, Rahayu, &

Rochman, 2016).

Namun tidak demikian halnya dengan

trubusan H. odorata umur 6 bulan setelah

pemangkasan, Rasio C/N yang dihasilkan

trubusan umur 6 bulan setelah pemangkasan

relatif tinggi tetapi persentase tumbuh setek

yang dihasilkannya relatif rendah. Persentase

tumbuh setek yang berasal trubusan umur 6

bulan setelah pemangkasan sebesar 85,74

persen sedangkan persentase tumbuh stek

setek yang berasal dari trubusan umur 4 dan 5

bulan setelah pemangkasan sebesar 94,18

persen. Hasil tersebut kemungkinan berkaitan

dengan kandungan nitrogen pada bahan setek.

Korelasi kandungan nitrogen dengan

perakaran setek seringkali tidak konsisten,

namun umumnya berkorelasi negatif (Ling &

Zhong, 2012), sehingga tidak dapat

diperkirakan secara pasti nilai C/N yang

terbaik untuk perakaran setek (Danu et al.,

2010). Walaupun demikian keberadaan

nitrogen sangat penting karena nitrogen

berperan dalam sintesis asam nukleat dan

protein, yang diperlukan untuk diferensiasi

akar.

Umur fisiologis bahan setek juga

ditunjukkan oleh kandungan lignin

(Nurhasybi, Danu, Sudrajat, & Dharmawati,

2003). Meskipun terjadi peningkatan kadar

karbohidrat tetapi apabila diikuti dengan

tingginya kandungan lignin maka proses

pembentukan tunas akan terhambat.

Kandungan lignin yang tinggi dicirikan dari

kondisi bahan setek yang sudah berkayu

(keras) dan berwarna coklat (Hidayat et al.,

2007; Santoso & Parwata, 2014). Dalam

penelitian ini trubusan umur 6 bulan

menunjukkan persentase bagian berkayu lebih

besar dibandingkan trubusan umur 4 dan 5

PENGARUH UMUR TUNAS PANGKASAN TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK Hopea odorata Roxb.

Nurmawati Siregar dan Nurmawati Siregar

83

bulan. Selain itu produksi biomassa bahan

setek dari trubusan umur 6 bulan lebih rendah

dibandingkan trubusan umur 4 dan 5 bulan.

Produksi biomassa rendah dapat dikaitkan

bahwa setek lebih berkayu, karena sebagian

besar bahan makanan digunakan untuk proses

lignifikasi yang mengakibatkan batang lebih

tinggi mengandung liqnin sebagaimana yang

juga terjadi pada setek Jaropa curcas (Santoso

& Parwata, 2014). Perbedaan kandungan

lignin pada bahan setek inilah kemungkinan

yang menyebabkan terjadinya perbedaan

persentase tumbuh setek H. odorata.

Dipterocarpaceae termasuk kelompok

tanaman dengan tingkat juvenilitas rendah,

sehingga tidak mampu menghasilkan trubusan

atau tunas apabila sudah mencapai umur

kronologis dewasa (Danu & Putri, 2017).

Stock plant Dipterocarpaceae umur 3 tahun―7

tahun akan mulai mengalami penurunan

kualitas dan kuantitas tunas (Nurhasybi et al.,

2003). Akan tetapi dalam penelitian ini

ditunjukkan bahwa dengan teknik rejuvenasi

pemangkasan setinggi 20 cm, tanaman (stock

plant) H. odorata umur 8 tahun dapat

menghasilkan bahan perbanyakan setek yang

bersifat juvenile dengan rata-rata persentase

berakar setek secara keseluruhan mencapai

89,96 persen. Sebagai ilustrasi, dengan teknik

rejuvenilisasi yang sama, persentase setek

berakar yang dihasilkan dari stock plant H.

odorata umur 2 rata-rata mencapai lebih dari

90 persen (Hidayat et al., 2007) dan stock

plant H. odorata umur 5 tahun mencapai 76,6

persen (Nurhasybi et al., 2003).

Berkaitan dengan hasil penelitian ini

secara keseluruhan, maka pengambilan materi

perbanyakan setek H. odorata dapat dilakukan

pada waktu 5 bulan setelah pemangkasan.

Bertambahnya umur tunas pangkasan

cenderung akan mengurangi daya perakaran

setek H. odorata yang dihasilkan. Berbeda

halnya untuk jenis pulai, persentase setek

berakar dari umur pangkas 5 bulan lebih baik

dibandingkan dengan umur pangkas 3 bulan

(Mashudi, 2013). Sedangkan umur tunas

sungkai yang terbaik adalah 10 bulan setelah

pemangkasan dengan pertimbangan materi

setek relatif keras dan berkayu dengan

cadangan makanan relatif banyak (Sahwalita,

2017).

IV. KESIMPULAN

Tunas pangkasan Hopea odorata umur 5

bulan setelah pemangkasan menghasilkan

bahan setek juvenil yang terbaik dengan

persentase setek berakar sebesar 94,18 persen.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang

telah berpartisipasi dalam pelaksanaan

kegiatan penelitian ini, terutama untuk Bapak

H. Mufid Sanusi dan Bapak Ateng Rahmat

Hidayat yang telah membantu penyiapan

media dan bahan tanaman di persemaian serta

rekan-rekan yang telah memberikan masukan

dan saran dalam pelaksanaan dan penulisan.

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019:77-85

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

84

DAFTAR PUSTAKA

Abdullateef, R. A., & Osman, M. (2012). Effects

of stem cutting types, position and hormonal

factors on rooting in Stevia Rebaudiana

Bertoni. Journal of Agricultural Science, 4(1),

49–57. http://doi.org/10.5539/jas.v4n1p49

Amri, E., Lyaruu, H. V. M., Nyomora, A. S., &

Kanyeka, Z. L. (2010). Vegetative

propagation of African Blackwood (Dalbergia

melanoxylon Guill. & Perr.): Effects of age of

donor plant, IBA treatment and cutting

position on rooting ability of stem cuttings.

New Forests, 39, 183–194.

http://doi.org/10.1007/s11056-009-9163-6

Aslmoshtaghi, E., & Shahsavar, A. R. (2010).

Endogenous Soluble Sugars, Starch Contents

and Phenolic Compounds in Easy - and

Difficult – to – Root Olive Cuttings.

J.BioL.Environ.Sci., 4(11), 83–86.

Danu, D., Subiakto, A., & Abidin, A. Z. (2011).

Pengaruh umur pohon induk terhadap

perakaran stek nyamplung(Calophyllum

inophyllum L.). Jurnal Penelitian Hutan

Tanaman, 8(1), 41–49.

http://doi.org/10.20886/jpht.2011.8.1.41-49

Danu, & Putri, K. . (2017). Prinsip pembibitan

secara vegetatif. In I. Z. Siregar & N.

Mindawati (Eds.), Karakteristik dan prinsip

penanganan benih tanaman hutan berwatak

intermediet dan rekalsitran (pp. 187–197).

Bogor: IPB Press.

Danu, Siregar, I. ., Wibowo, C., & Subiakto, A.

(2010). Pengaruh umur bahan stek terhadap

keberhasilan stek pucuk meranti tembaga

(Shorea leprisula MIQ.). Jurnal Penelitian

Hutan Tanaman, 7(3), 1–14.

Dong, T. ., Beadle, C. ., Doyle, R., & Worledge, D.

(2014). Site conditions for regeneration of

hopea odorata in natural evergreen

dipterocarp forest in Southern Vietnam.

Journal of Tropical Forest Science, 26(4),

532–542.

Essahibi, A., Benhiba, L., Fouad, M. O., Babram,

M. A., Ghoulam, C., & Qaddoury, A. (2016).

Initial nutritional status and exogenous IBA

enhanced the rooting capacity of carob

(Ceratonia siliqua L .) cuttings under mist

system . J.Mater.Environ.Sci., 7(11), 4144–

4150.

Hae, M., & Funnah, S. M. (2011). The effect of

propagation media and growth regulars on

rooting potential of kei apple (dovyalis caffra)

stem cuttings at different physiological ages.

Life Science Journal, 8, 91–99.

Hidayat, A., Hendalastuti, H., & Nurohman, E.

(2007). Pengaruh ukuran diameter stek batang

Hopea odorata Roxb. dari kebun pangkas

terhadap kemampuan bertunas, berakar dan

daya hidupnya. Jurnal Penelitian Hutan

Tanaman, 4(1), 1–12.

Kontoh, I. H. (2016). Effect of growth regulators

and soil media on the propagation of

Voacanga africana stem cuttings.

Agroforestry Systems, 90, 479–488.

http://doi.org/10.1007/s10457-015-9870-2

Kurniaty, R., Putri, K. P., & Siregar, N. (2016).

Pengaruh bahan setek dan zat pengatur

tumbuh terhadap keberhasilan setek pucuk

malapari (Pongamia pinnata). Jurnal

Perbenihan Tanaman Hutan, 4(1), 1–8.

http://doi.org/10.20886/jpth.2016.4.1.1-10

Ling, W. X., & Zhong, Z. (2012). Seasonal

variation in rooting of the cuttings from

tetraploid locust in relation to nutrients and

endogenous plant hormones of the shoot.

Turkish Journal of Agriculture and Forestry,

36(2), 257–266. http://doi.org/10.3906/tar-

1011-1511

Ly, V., Newman, M., Khou, E., Barstow, M.,

Hoang, V. S., Nanthavong, K., & Pooma, R.

(2017). Hopea odorata. The IUCN red list of

threatened species 2017:e.T32305A2813234.

Mashudi. (2013). Pengaruh provenan dan

komposisi media terhadap keberhasilan teknik

penunasan pada stek pucuk pulai darat (

Alstonia angustiloba Miq.). Jurnal Penelitian

Hutan Tanaman, 10(1), 25–32.

Nurhasybi, Danu, Sudrajat, D., & Dharmawati.

(2003). Kajian Komprehensif benih tanaman

hutan jenis-jenis Dipterocarpaceae. (D.

Budiantho, Ed.). Bogor: Balai Penelitian dan

Pengembangan Teknologi Perbenihan.

Putri, K. P., & Danu. (2014). Pengaruh umur bahan

stek dan zat pengatur tumbuh terhadap

keberhasilan stek kemenyan ( Styrax benzoin

Dryand ). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman,

PENGARUH UMUR TUNAS PANGKASAN TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK Hopea odorata Roxb.

Nurmawati Siregar dan Nurmawati Siregar

85

11(3), 141–147.

Rapilah, Rahayu, A., & Rochman, N. (2016).

Pertumbuhan setek Sansvieria cylindrica

“Skyline” pada berbagai ukuran bahan

tanaman dan komposisi media tanam. Jurnal

Agronida, 2(1), 29–36.

Rasmussen, A., & Hunt, M. A. (2010). Ageing

delays the cellular stages of adventitious root

formation in pine. Australian Forestry, 73(1),

41–46.

http://doi.org/10.1080/00049158.2010.106763

08

Sahwalita. (2017). Pengaruh bahan setek terhadap

keberhasilan perbanyakan sungkai dan potensi

setek yang dihasilkan dari kebun pangkas.

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan, 5(1), 23–

34.

Sakai, A., Visaratana, T., Vacharangkura, T., Thai-

ngam, R., Tanaka, N., Ishizuka, M., &

Nakamura, S. (2009). Effect of species and

spacing of fast-growing nurse trees on growth

of an indigenous tree, Hopea odorata Roxb.,

in northeast Thailand. Forest Ecology and

Management, 257, 644–652.

http://doi.org/10.1016/j.foreco.2008.09.048

Santoso, B. B., & Parwata, I. A. (2014). Seedling

growth from stem cutting with different

physiological ages of Jatropha curcas L . of

West Nusa Tenggara genotypes The

University of Mataram. Int. Journal of App.

Scie and Tech., 4(6), 5–10.

Zhang, J., Chen, S., Liu, R., Jiang, J., Chen, F., &

Fang, W. (2013). Chrysanthemum cutting

productivity and rooting ability are improved

by grafting. The Scientific World Journal,

2013. http://doi.org/10.1155/2013/286328

KARAKTERISASI PERTUMBUHAN AWAL BEBERAPA FAMILI

MANGLID PADA UJI KETURUNAN DI SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS

Asep Rohandi dan Dede J. Sudrajat

Kontribusi penulis: Asep Rohandi sebagai kontributor utama

© 2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2019.7.2.87-100 87

KARAKTERISASI PERTUMBUHAN AWAL BEBERAPA FAMILI MANGLID PADA UJI

KETURUNAN DI SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS

(Characterization of Early Growth of Several Families of Manglid on Progeny Test at Sukamantri,

Ciamis District)

*Asep Rohandi dan/and Dede J. Sudrajat 1)Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry

Jalan Raya Ciamis - Banjar Km 4, Pamalayan, Ciamis, Jawa Barat, Indonesia 2)Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Jl. Pakuan Ciheuleut PO.BOX 105 Telp/ Fax. 0251-8327768 Kode Pos 16001, Bogor, Jawa Barat, Indonesia

e-mail: [email protected]

Naskah masuk: 20 Februari 2019; Naskah direvisi: 14 Juni 2019; Naskah diterima: 6 November 2019

ABSTRACT

One of the obstacles in the development of private forest of manglid (Magnolia champaca (Linn.) Baill ex

Pierre) is the large diversity of growth in the field. Therefore, information on morphological characteristics

as a quality manglid character with high productivity is needed. This study aims to characterize the early

growth of several manglid families in progeny test at Sukamantri, Ciamis District. The experimental design

used was a completely randomized block design consisting of 42 families from Ciamis, Tasikmalaya,

Sumedang and Majalengka. Each family consists of 3 plants (3-tree plot) and 7 replications (blocks). The

results showed that the growth characteristics of manglid at 1 year old had a fairly large diversity (17.96

percent−24,70 percent). The characters of the height and stem diameter have the strong positive correlation

with the crown width so that the characters can be used as the criteria for selection of high productivity

manglid genotypes. Families from Ciamis (101 and 104) have superiority in the character of branch-free

height and total height, while families 218 (Tasikmalaya) and 406 (Majalengka) have advantages in stem

diameter character. These families are quite potential as genetic sources to be developed even though they

still need further evaluation. Keywords : diversity, growth characteristics, manglid, productivity

ABSTRAK

Salah satu hambatan dalam pengembangan hutan rakyat manglid (Magnolia champaca (L.) Baill ex Pierre)

saat ini adalah besarnya keragaman pertumbuhan di lapangan. Oleh sebab itu, informasi karakteristik

morfologi sebagai penciri manglid berkualitas yang memiliki produktivitas tinggi sangat diperlukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi pertumbuhan awal beberapa famili manglid pada uji

keturunan di Sukamantri, Kabupaten Ciamis. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak

lengkap berblok terdiri dari 42 famili yang berasal dari Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang dan Majalengka.

Setiap famili terdiri dari 3 tanaman yang diulang sebanyak 7 ulangan (blok). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa karakteristik pertumbuhan manglid pada umur 1 tahun memiliki keragaman yang cukup besar (17,96

persen−24,70 persen). Karakter tinggi dan diameter batang manglid memiliki hubungan yang positif secara

kuat dengan lebar tajuk sehingga karakter tersebut dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi genotif manglid

dengan produktivitas tinggi. Famili asal Ciamis (101 dan 104) memiliki keunggulan dalam karakter tinggi

total dan tinggi bebas cabang, sedangkan famili 218 (Tasikmalaya) dan 406 (Majalengka) memiliki

keunggulan dalam karakter diameter batang. Famili-famili tersebut cukup potensial sebagai sumber genetik

untuk dikembangkan meskipun masih memerlukan evaluasi lebih lanjut. Kata kunci : karakteristik pertumbuhan, keragaman, manglid, produktivitas

I. PENDAHULUAN

Manglid (Magnolia champaca (L.) Baill

ex Pierre) merupakan jenis asli Jawa Barat

yang mempunyai pertumbuhan relatif cepat

(Ahmad, 2016) dengan tinggi rata-rata pada

umur 8 tahun mencapai 13 m dan diameter 14

cm. Jenis ini merupakan kayu tropis penting

dengan nilai komersial cukup tinggi

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019:87-100

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

88

(Fernando, Jayasuriya, Walck, & Wijetunga,

2013). Manglid mempunyai nilai ekonomi

cukup baik bagi masyarakat karena pemasaran

kayunya mudah, relatif lebih tahan hama dan

penyakit serta kualitas kayunya relatif lebih

baik (kelas awet II, kelas kuat III-IV)

dibandingkan kayu-kayu yang sudah banyak

dibudidayakan di masyarakat, seperti sengon,

mahoni dan jabon (Sudomo & Mindawati,

2013). Kayu manglid banyak digunakan

sebagai bahan konstruksi ringan, kayu

pertukangan, kerajinan, perabot rumah tangga

dan potensial sebagai baku industri pulp dan

kertas (Siarudin, Sudomo, Indrjaya,

Puspitojati, & Mindawati, 2016). Hingga saat

ini, manglid menjadi jenis andalan setempat di

Jawa Barat dan menjadi salah satu unggulan

untuk hutan rakyat khususnya di wilayah Jawa

Barat Bagian Timur (Rohandi & Gunawan,

2014; Winara, Hani, & Pieter, 2016; Indrjaya,

2016).

Salah satu hambatan dalam

pengembangan hutan rakyat manglid saat ini

adalah besarnya keragaman pertumbuhan di

lapangan yang sangat berpengaruh terhadap

produktivitas dan pendapatan yang diperoleh

masyarakat. Berdasarkan perbedaan

morfologi, masyarakat menggolongkan

manglid dengan beberapa sebutan, seperti

campaka dan baros, yang memiliki

pertumbuhan relatif berbeda. Meskipun

demikian, Winara et al. (2016) melaporkan

bahwa semua manglid yang dikenal dan

dibudidayakan masyarakat hanya terdiri dari

satu jenis dengan nama latin Magnolia

champaca (L.) Baill ex Pierre dan satu variasi

manglid pada tingkat varietas yaitu Magnolia

champaca var. Pubinervia (Blume) Figlar &

Noot. Namun, keragaman antar sub-sub galur

manglid ini belum diketahui termasuk

karakteristik morfologinya sehingga banyak

petani yang menanam manglid mempunyai

pertumbuhan tidak sesuai dengan yang

diharapkan. Keragaman morfologi antar jenis

manglid yang dikenal di masyarakat ini terjadi

pada bagian batang, bunga, daun, tajuk dan

pola pertumbuhannya. Keragaman

pertumbuhan awal juga dilaporkan terjadi pada

beberapa famili Neolamarckia cadamba

(Sudrajat et al., 2016) dan Nuclea orientalis

(Riany, Siregar, & Sudrajat, 2018).

Keragaman tersebut menjadi dasar untuk

melakukan seleksi parameter-parameter yang

diinginkan.

Untuk memberikan informasi karakteristik

morfologi sebagai penciri manglid yang

memiliki pertumbuhan awal tinggi dan

sekaligus mengidentifikasi karakteristik

morfologi manglid untuk mempermudah

penjarangan seleksi pada uji keturunan

manglid di Kabupaten Ciamis, maka penelitian

karakterisasi morfologi manglid ini sangat

diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk

mengkarakterisasi pertumbuhan awal beberapa

KARAKTERISASI PERTUMBUHAN AWAL BEBERAPA FAMILI

MANGLID PADA UJI KETURUNAN DI SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS

Asep Rohandi dan Dede J. Sudrajat

89

famili manglid pada uji keturunan di

Sukamantri, Kabupaten Ciamis. Penelitian ini

diharapkan dapat mengidentifikasi famili-

famili manglid yang memiliki karakter

pertumbuhan unggul yang dapat dijadikan

dasar untuk penjarangan seleksi dan sebagai

sumber bahan tanaman untuk pengembangan

jenis ini dalam komersial dalam bentuk hutan

tanaman atau hutan rakyat.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat

Materi genetik manglid yang digunakan

terdiri dari 42 famili dan berasal dari 4 lokasi,

yaitu Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang dan

Majalengka (Tabel 1). Sementara itu, alat yang

digunakan meliputi peta tanaman, alat ukur

tinggi, kaliper digitaldan lain-lain. Demplot uji

keturunan manglid berlokasi di Desa

Sukamantri, Kecamatan Sukamantri,

Kabupaten Ciamis. Lokasi tersebut terletak

antara 108°16’24,3” BT sampai 07°04’36,6”

LS dengan ketinggian 957 m dpl. Penelitian

dilaksanakan pada bulan Februari sampai

Maret 2016. Tanaman manglid ditanam pada

bulan Februari 2015 sehingga pada saat

pengamatan tanaman berumur 1 tahun.

Tabel (Table) 1. Lokasi pengumpulan materi genetik manglid untuk pembangunan uji keturunan

di Sukamantri, Kabupaten Ciamis (Locations of genetic material collection of

Magnolia champaca used for progeny test establishment in Sukamantri, Ciamis

District)

Asal pohon induk

(Mother tree origin)

Jumlah famili

(Number of family)

Posisi Koordinat

(Coordinat Position)

Elevasi

(Elevation) (m dpl)

Ciamis 18 7o07’0,09” LS - 108o14’25,3” BT 536

Tasikmalaya 11 7o30’26,6” LS - 108o05’14,3” BT 628

Sumedang 9 6o41’63,7” LS - 107o51’43,9” BT 553

Majalengka 4 6o55’38,3” LS - 108o20’59,5” BT 1157

Keterangan (Remark) : Pengumpulan materi genetik manglid diperoleh dari tegakan hutan tanaman (hutan rakyat)

(Genetic material collection of manglid is obtained from planting forest (cammunity forest).

B. Prosedur Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan

adalah rancangan acak lengkap berblok

(Randomized Complete Block Design).

Penanaman menggunakan 42 famili manglid

yang berasal dari pohon induk di Ciamis,

Tasikmalaya, Sumedang dan Majalengka.

Setiap famili terdiri dari 3 tanaman (3-tree

plot) yang diulang sebanyak 7 ulangan (blok)

dengan jarak tanam 2 m x 3 m. Pengamatan

karakter pertumbuhan manglid dilakukan pada

3 blok yaitu bok 1, 3 dan 5.

Pengamatan dilakukan terhadap beberapa

parameter pertumbuhan awal tegakan manglid

yang meliputi diameter pangkal batang, tinggi

total, tinggi bebas cabang dan lebar tajuk.

Pengukuran diameter batang dilakukan pada

pangkal batang dengan ketinggian 10 cm dari

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019:87-100

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

90

pangkal batang (Hadiyan, 2010), sedangkan

tinggi total diukur mulai pangkal batang

sampai pucuk serta tinggi bebas cabang diukur

mulai pangkal batang sampai cabang pertama.

Sementara itu, lebar tajuk merupakan rata-rata

hasil pengukuran tajuk terlebar dan terpendek

(Buba, 2013).

C. Analisis Data

Data pengamatan dianalisis dengan

menggunakan analisis ragam (ANOVA) untuk

mengetahui pengaruh perbedaan famili

terhadap pertumbuhan tanaman. Jika

perlakuan berpengaruh nyata dilanjutkan

dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT)

pada α 0,05. Analisis klaster hierarki dan

analiasis komponen utama (Principle

Component Analysis) digunakan untuk

mengelompokkan seluruh famili berdasarkan

parameter yang diamati. Hubungan antar

karakteristik pertumbuhan dianalisis dengan

analisis korelasi sederhana (Pearson).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Keragaman karakteristik pertumbuhan

Karakterisasi sifat morfologis maupun

fisiologis pada tanaman manglid perlu

dilakukan agar dapat dideskripsikan dan

dimanfaatkan dalam kegiatan seleksi dan

selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber

genetik dalam program pengembangan jenis

ini. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

perbedaan famili berpengaruh sangat nyata

terhadap semua karakteristik pertumbuhan

manglid umur 1 tahun (Tabel 2). Hasil

penelitian terhadap 42 famili tanaman manglid

menunjukkan adanya keragaman karakteristik

morfofisiologi yang cukup besar. Nilai

koefisien keragaman tertinggi diperoleh

karakter tinggi bebas cabang (24,70),

sedangkan koefisien keragaman terendah

diperoleh pada karakter tinggi total (17,96

persen) (Tabel 2).

Tabel (Table) 2. Karakteristik morfologi manglid pada uji keturunan umur 1 tahun di Sukamantri,

Ciamis (Morphological characteristics of manglid on the progeny test at 1 year

age old at Sukamantri, Ciamis)

Parameter

(Parameters)

Maksimum

(Maximum)

Minimum

(Minimum)

Rataan

(Mean)

Standar deviasi

(Standard of

deviation)

Koefisien keragaman

(Coefficient of

variance)

F-Hitung

(F-test)

Diameter batang

(stem diameter) (mm)

45,50 21,00 32,26 5,10 21,02 2,95**

Tinggi bebas cabang

(clear bole height) (cm)

116,40 27,50 58,93 22,95 24,70 13,21**

Tinggi total

(total height) (cm)

226,00 107,00 152,15 22,83 17,96 3,78**

Lebar tajuk

(Crown width) (cm)

183,75 76,50 119,28 18,75 20,37 2,58**

Keterangan (Remark) : ** = berpengaruh sangat nyata pada p = 0.01, * = berpengaruh nyata pada p = 0.05, ns= tidak

berbeda nyata (* = significant at P < 0.05, ** = significant at P > 0.01, ns = no significant)

KARAKTERISASI PERTUMBUHAN AWAL BEBERAPA FAMILI

MANGLID PADA UJI KETURUNAN DI SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS

Asep Rohandi dan Dede J. Sudrajat

91

Keragaman pertumbuhan sifat diameter

batang, tinggi total, tinggi bebas cabang dan

lebar tajuk berbeda sangat nyata antar famili

yang diuji (Tabel 2). Sifat-sifat tersebut

terutama sifat diameter dan tinggi sangat

penting diketahui sejak awal mengingat tujuan

penanaman manglid adalah sebagai kayu

pertukangan. Variasi pertumbuhan diameter

batang, tinggi total dan tinggi bebas cabang

antar famili yang diuji disajikan pada Gambar

1.

0

10

20

30

40

50

60

101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 112 113 115 116 117 118 119 121 201 202 210 211 212 215 216 217 218 219 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 401 402 403 406

Dia

met

er B

atan

g (

Ste

m D

iam

eter

) (m

m)

Famili (Family)

0

50

100

150

200

250

300

101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 112 113 115 116 117 118 119 121 201 202 210 211 212 215 216 217 218 219 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 401 402 403 406

Tin

ggi

To

tal (

Tota

l Hei

ght)

(cm

)

Famili (Family)

Gambar (Figure) 1. Variasi karakter diameter batang (DB), tinggi total (TT) dan tinggi bebas

cabang (TBC) antar famili pada uji keturunan di Sukamantri, Ciamis

(Variations in stem diameter, total height (TT), and clear bole height (TBC)

among families of manglid on the progeny test at Sukamantri, Ciamis)

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019:87-100

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

92

Berdasarkan data pada Tabel 2 dan

Gambar 1 menunjukkan bahwa rata-rata

pertumbuhan diameter batang manglid umur 1

tahun sebesar 32,26 mm dengan nilai tertinggi

dicapai oleh famili 406 (Majalengka) sebesar

45,50 mm serta nilai terendah sebesar 21,00

mm dicapai famili 109 (Ciamis) yang tidak

berbeda nyata dengan famili 216

(Tasikmalaya). Rata-rata pertumbuhan tinggi

bebas cabang sebesar 27,50 cm dengan nilai

tertinggi dicapai famili 104 (Ciamis) sebesar

116,40 cm dan nilai terendah dicapai famili

212 (Tasikmalaya) sebesar 58,93 cm.

Sementara itu, rata-rata pertumbuhan tinggi

total sebesar 107,00 cm dengan nilai tertinggi

sebesar 226,00 cm dicapai famili 101 (Ciamis)

dan nilai terendah sebesar 152,15 cm dicapai

famili 212 (Tasikmalaya).

2. Hubungan antar karakteristik

pertumbuhan

Keeratan hubungan antar karakter

pertumbuhan dengan morfologi tanaman

manglid dilihat dengan menggunakan analisis

korelasi sederhana (Pearson). Analisis korelasi

digunakan untuk mengukur kekuatan

hubungan antara dua peubah melalui koefsien

korelasi. Hubungan antara karakteristik

pertumbuhan tanaman manglid umur 1 tahun

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel (Table) 3. Korelasi antar karakteristik morfologi tanaman manglid umur 1 tahun

(Correlation between morphological characteristics of manglid at 1 year age old)

DB TBC TT TJ

DB 0,106 0,547** 0,721**

TBC 0,768** -0,249

TT 0,222

TJ

Keterangan (Remark ): DB = diameter batang, TBC = tinggi bebas cabang, TT = tinggi total, TJ = lebar tajuk, * =

nyata pada tingkat kepercayaan 95%, **=sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%

(DB=stem diameter, TBC=clear bole height, TT=total height, and TJ=crown width * =

Significant at P < 0.05, ** = Significant at P > 0.01)

Data pada Tabel 3 menunjukkan

terjadinya hubungan yang nyata antar sebagian

karakteristik pertumbuhan tanaman manglid

umur 1 tahun. Tinggi total memiliki hubungan

positif dengan diameter pangkal batang

(0,547) dan tinggi bebas cabang (0,768).

Selain berkorelasi positif dengan tinggi total,

diameter pangkal batang juga memiliki

hubungan positif dengan lebar tajuk (0,721).

3. Pengelompokkan famili berdasarkan

karakteristik pertumbuhan

Pengelompokkan famili manglid

menggunakan diagram biplot berdasarkan

analisis klaster hierarki (Gambar 2.a) dan

KARAKTERISASI PERTUMBUHAN AWAL BEBERAPA FAMILI

MANGLID PADA UJI KETURUNAN DI SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS

Asep Rohandi dan Dede J. Sudrajat

93

analisis komponen utama (Gambar 2.b)

menunjukkan bahwa karakter pertumbuhan

manglid umur 1 tahun mempunyai pola yang

hampir sama. Pengelompokkan tersebut

menghasilkan kecenderungan klasifikasi

genetik 42 famili dalam 4 kelompok (klaster).

Kelompok pertama terdiri dari 2 famili (famili

101 dan 104) yang memiliki keunggulan pada

tinggi total dan tinggi bebas cabang.

Kelompok kedua memiliki 2 anggota yaitu

famili 218 dan 406 yang menunjukkan

keunggulan dalam diameter pangkal batang

yang besar dengan tajuk yang lebar. Kelompok

ketiga terdiri dari 12 famili (famili 107, 109,

115, 118, 119, 211, 212, 215, 216, 217, 219

dan 401) merupakan kelompok famili yang

memiliki nilai di bawah rata-rata dari semua

parameter yang diamati. Kelompok keempat

merupakan kelompok yang memiliki jumlah

famili terbanyak (26 famili). Kelompok ini

memiliki nilai rata-rata untuk semua parameter

pertumbuhan yang diamati.

Gambar (Figure) 2. Pengelompokkan 42 famili manglid berdasarkan diameter pangkal batang

(DB), tinggi total (TT), tinggi bebas cabang (TBC), dan lebar tajuk (TJ)

dengan menggunakan a) analisis hirarki (kaster) dan b) analisis biplot PCA

(Grouping of 42 families of manglid based on stem diameter (DB), total

height (TT), clear bole height (TBC), and crown width (TJ) using a)

hierarchical cluster and b) principal component analysis biplot graphical).

(a)

(b)

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019:87-100

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

94

B. Pembahasan

Secara umum, koefisien keragaman

karakteristik pertumbuhan tanaman manglid

umur 1 tahun cukup besar (>20 persen). Hal

tersebut menggambarkan data yang diperoleh

cukup beragam (Widodo et al., 2004) kecuali

untuk karakter tinggi total. Berdasarkan

karakteristik pertumbuhan yang diamati

menunjukkan bahwa famili 406 memiliki nilai

tertinggi untuk dua karakteristik, yaitu

diameter pangkal batang dan lebar tajuk.

Famili 101 memiliki tinggi total tertinggi,

sedangkan famili 104 memiliki nilai tertinggi

untuk tinggi bebas cabang (Lampiran 1).

Hadiyan (2010) menjelaskan bahwa sumber

benih/provenans dan keragaman pada individu

famili menjadi salah satu faktor penting

timbulnya variasi sifat pertumbuhan.

Selanjutnya Setiadi (2011) melaporkan bahwa

adanya variasi sumber benih telah

berkontribusi terhadap pertumbuhan tinggi dan

diameter batang Araucaria cunninghamii umur

1 tahun. Variasi pertumbuhan sifat diameter

dan tinggi dari pohon induk yang berbeda juga

dilaporkan terjadi pada tanaman manglid umur

4 bulan (Pudjiono, 2018) dan tegakan hutan

rakyat manglid pada beberapa lokasi di

wilayah Priangan Timur (Rohandi, 2018).

Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh

perbedaan genetik antar pohon, perbedaan

lingkungan tempat tumbuh ataupun interaksi

antara keduanya (Nai’em, 2004). Perbedaan

morfologi antar populasi untuk jenis-jenis

tanaman hutan, seperti jabon putih (Sudrajat,

2016), suren (Djaman & Sudrajat, 2017) dan

pongamia (Supriyanto, Siregar, Suryani,

Aminah, & Sudrajat, 2017), lebih disebabkan

oleh besarnya kontribusi ragam genetik

dibandingkan ragam lingkungan.

Koefsien korelasi berperan penting dalam

kegiatan seleksi yang dapat digunakan untuk

mengestimasi secara tidak langsung karakter

yang lain. Semakin besar nilai koefisien

korelasi antar karakter maka hubungan antar

karakter tersebut semakin erat (Dermail et al.,

2016). Korelasi antara sifat dengan sifat

lainnya perlu dilakukan sehingga perbaikan

suatu sifat sudah mencakup perbaikan sifat-

sifat yang lain (Mahfudz, Na’iem, Sumardi, &

Hardiyanto, 2010; Sudrajat, Siregar,

Khumaida, Siregar, & Mansur, 2016).

Berdasarkan hubungan antar karakter

pertumbuhan menunjukkan bahwa terjadi

korelasi positif antara tinggi total dengan

diameter batang tanaman manglid umur 1

tahun. Tanaman manglid yang memiliki tinggi

total yang tinggi memiliki diameter batang

yang besar. Hasil yang sama dilaporkan

Hadiyan (2010) pada kebun benih semai

sengon (Falcataria moluccana) umur 4 bulan

yang menunjukkan adanya korelasi yang kuat

antara karakter tinggi dan diameter pangkal

batang sehingga perbaikan satu sifat tersebut

akan memperbaiki sifat lainnya. Hasil lainnya

KARAKTERISASI PERTUMBUHAN AWAL BEBERAPA FAMILI

MANGLID PADA UJI KETURUNAN DI SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS

Asep Rohandi dan Dede J. Sudrajat

95

dilaporkan Setiadi (2011) pada jenis A.

cunninghamii umur 1 tahun dan Halawane,

Kinho & Irawan (2015) pada jenis nyatoh

(Palaquium obtusifolium) umur 1,5 tahun.

Selanjutnya Handayani, Kartikaningtyas,

Setyaji, Sunarti, & Nirsatmanto (2018)

menjelaskan bahwa terdapat korelasi genetik

yang tinggi antara tinggi dengan diameter dan

bentuk batang jenis Acacia magium sehingga

seleksi berdasarkan tinggi mampu memberikan

tambahan perolehan genetik pada sifat

diameter dan bentuk batang. Korelasi positif

yang sangat nyata antara tinggi dan diameter

batang juga ditunjukkan pada jenis

Calycophyllum spruceanum (Weber, &

Montes, 2005) dan Neolamarckia cadamba

(Chaerani, Sudrajat, Siregar, & Siregar, 2019).

Hasil lain memperlihatkan bahwa

perbaikan pada karakter lebar tajuk akan

diikuti oleh peningkatan karakter tinggi dan

diameter pangkal batang tanaman manglid,

meskipun asumsi tersebut perlu diteliti lebih

lanjut. Hubungan positif antara lebar tajuk

dengan tinggi dan diameter batang juga

dilaporkan terjadi pada beberapa jenis pohon

di wilayah savana (Arzai, & Aliyu, 2010;

Buba, 2013). Selanjutnya Mahfudz et al.

(2010) menyebutkan bahwa variasi

pertumbuhan tinggi, diameter dan percabangan

merbau (Instia bijuga) pada tingkat individu

dan famili dipengaruhi kuat oleh faktor

genetik. Hal yang sama terjadi pada karakter

lebar tajuk yang juga lebih kuat dipengaruhi

oleh faktor genetik (Priyono, Sumirat, &

Crouzillat, 2011). Karakter-karakter tersebut

potensial digunakan sebagai kriteria seleksi

untuk mendapatkan tanaman manglid yang

adaptif dengan produktivitas tinggi.

Karakter yang digunakan sebagai kriteria

seleksi harus berkorelasi positif dengan

karakter terkait (Wirnas, Widodo, Sobir,

Trikoesoemaningtyas, & Sopandie, 2007).

Sementara itu, Lubis, Sutjahjo, Syukur, &

Trikoesoemaningtyas (2014) menjelaskan

bahwa karakter yang dapat digunakan sebagai

kriteria seleksi selain berkorelasi positif

dengan hasil juga harus memiliki nilai

koefisien keragaman genetik dan heritabilitas

tinggi, agar dapat diwariskan ke generasi

berikutnya. Seleksi tanaman manglid dari

berbagai lokasi di antaranya ditujukan untuk

mendapatkan tanaman manglid yang adaptif,

cepat tumbuh dan memiliki produktivitas

tinggi. Hal tersebut sangat penting untuk

pengembangan jenis ini dalam skala luas

(komersial).

Karakteristik morfologi yang

dikombinasikan dengan metode statistik

multivariate, seperti PCA, sangat umum

digunakan untuk memilih aksesi atau asal

tanaman terbaik pada suatu lokasi (Chalak et

al., 2007; Sorkheh et al., 2010). Hasil

pengelompokkan berdasarkan analisis klaster

hirarki (Gambar 2.a) dan analisis komponen

utama (Gambar 2.b), kelompok pertama

(famili 101 dan 104) dan kedua (famili 218

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019:87-100

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

96

dan 406) memiliki potensi yang cukup baik

sebagai kayu pertukangan karena memiliki

keunggulan pada karakter tinggi dan diameter.

Hadiyan (2010) menyebutkan bahwa

keragaman sifat diameter dan tinggi tanaman

sangat penting bagi plot pemuliaan tanaman

hutan untuk tujuan kayu pertukangan,

meskipun beberapa sifat lain seperti tinggi

bebas cabang, bentuk batang, sifat kayu dan

ketahanan serangan hama penyakit

kemungkinan besar akan menjadi variabel

signifikan untuk diintegrasikan dalam proses

seleksi. Hal tersebut didukung laporan

Rohandi (2018) yang menyebutkan bahwa

selain karakter tinggi dan diameter batang,

penampilan tanaman manglid di lapangan juga

memperlihatkan variasi pada karakter bentuk

dan ukuran (morfologi) daun, bentuk batang,

percabangan serta ketahanan terhadap hama

dan penyakit. Karakter-karakter kualitatif

seperti warna batang dan warna daun mungkin

perlu pertimbangkan dalam proses seleksi

sebagai penciri sehingga akan memudahkan

dalam pemilihan manglid berkualitas unggul.

Berdasarkan hasil pengamatan

pertumbuhan manglid umur 1 tahun belum

terlihat adanya famili yang memiliki

keunggulan pada karakter tinggi sekaligus

diameter batang. Hal tersebut diduga karena

potensi genetik dari famili-famili yang diuji

belum dapat diekspresikan dengan baik akibat

masih mudanya umur tanaman. Hadiyan

(2010) menyebutkan bahwa pengaruh faktor

genetik pada tanaman sengon muda (umur 4

bulan) masih belum terekspresi dengan baik.

Hasil penelitian Muslimin, Sofyan, & Islam,

(2013) mengindikasikan bahwa pengaruh

faktor genetik terhadap pertumbuhan klon jati

(Tectona grandis) umur 5,5 tahun relatif masih

sangat kecil. Sementara itu, Susanto &

Baskorowati (2018) melaporkan bahwa

pengaruh faktor genetik (aditif) maupun faktor

lingkungan terhadap keragaman pertumbuhan

sengon ras lahan Jawa berubah-ubah setiap

tahun. Selain itu, pada tanaman jabon putih,

tidak ada korelasi yang signifikan antara

pertumbuhan awal (< 1 tahun) dengan

pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman

umur 4 tahun (Sudrajat, Yulianti, Danu,

Rustam, & Suwandhi, 2019). Meskipun

demikian, diketahuinya informasi sejak awal

adanya keragaman karakter tinggi dan

diameter sangat penting untuk mencari

individu-individu unggul jenis kayu

pertukangan (Hadiyan, 2010). Oleh sebab itu,

evaluasi secara periodik perlu terus dilakukan

sehingga dapat ditemukan famili-famili yang

memiliki karakter unggul sebagai sumber

genetik untuk dikembangkan secara luas

(komersial).

IV. KESIMPULAN

Pertumbuhan manglid pada umur 1 tahun

memiliki keragaman yang cukup besar.

KARAKTERISASI PERTUMBUHAN AWAL BEBERAPA FAMILI

MANGLID PADA UJI KETURUNAN DI SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS

Asep Rohandi dan Dede J. Sudrajat

97

Karakter pertumbuhan tinggi dan diameter

batang manglid memiliki hubungan positif

yang kuat dengan karakter lebar tajuk.

Terdapat variasi pada karakter diameter

batang, tinggi total dan tinggi bebas cabang

sehingga menjadi peluang untuk dilakukan

seleksi untuk menghasilkan individu-individu

unggul. Famili asal Ciamis (101 dan 104)

memiliki keunggulan dalam karakter tinggi

total dan tinggi bebas cabang, sedangkan

famili 218 (Tasikmalaya) dan 406

(Majalengka) memiliki keunggulan dalam

karakter diameter batang. Famili-famili

tersebut cukup potensial untuk dikembangkan

meskipun perlu dievaluasi lebih lanjut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan

kepada Balai Penelitian dan Pengembangan

Teknologi Agroforestry, Ciamis yang telah

memberikan dana untuk pelaksanaan kegiatan

penelitian ini. Ucapan terima kasih juga

disampaikan kepada Budi Rahmawan,

Gunawan, Darsono Priono dan Kurniawan

serta semua pihak atas dedikasinya sehingga

penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, B. (2016). Perkembangan Tegakan

Manglid (Magnolia champaca) pada Hutan

Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya. In Hutan

Rakyat Manglid (Status Riset dan

Pengembangan) (pp. 19–31). Bogor: FORDA

PRESS.

Arzai, A. H., & Aliyu, B. S. (2010). The

relationship between canopy width , height

and trunk size in some tree species growing

in the savana zone of Nigeria. Bayero

Journal of Pure and Applied Sciences, 3(1):

260-263.

Buba, T. (2013). Relationships between stem

diameter at breast height ( DBH ), tree height

, crown length , and crown ratio of Vitellaria

paradoxa C . F . Gaertn in the Nigerian

Guinea Savanna. African Journal of

Biotechnology, 12 (22) : 3441-3446.

https://doi.org/10.5897/AJB12.463

Chaerani, N., Sudrajat, D. J., Siregar, I. Z., &

Siregar, U. J. (2019). Growth performance

and wood quality of white jabon

(Neolamarckia cadamba) progeny testing at

Parung Panjang, Bogor, Indonesia.

Biodiversitas, 20(8), 2295–2301.

https://doi.org/10.13057/biodiv/d200826

Chalak, L, Chehade A., & Kadri, A. 2007.

Morphological characterization of cultivated

almonds in Lebanon, Fruits, 62 (3) : 177-186.

Dermail, A., Maryamah, U., Harahap, Y. P.,

Basrowi, H. A., Anggraeni, D. P., &

Suwarno, W. B. (2016). Seleksi Genotipe

Jagung Berkadar Amilopektin dan Padatan

Terlarut Total Tinggi untuk Mendukung

Diversifkasi Pangan. In Prosiding Seminar

Nasional dan Kongres Perhimpunan

Agronomi Indonesia 27 April 2016. Bogor.

Djaman, D. F., & Sudrajat, D. J. (2017).

Keragaman morfo-fisiologi benih suren

(Toona sinensis) dari berbagai tempat tumbuh

su Sumatera dan Jawa. Jurnal Pemuliaan

Tanaman Hutan, 11 (2), 139–150.

Fernando, M. T. R., Jayasuriya, K. M. G. G.,

Walck, J. L., & Wijetunga, A. S. T. B.

(2013). Identifying dormancy class and

storage behaviour of champak (Magnolia

champaca) seeds, an important tropical

timber tree. Journal of the National Science

Foundation of Sri Lanka, 41 (2) : 141-146.

https://doi.org/10.4038/jnsfsr.v41i2.5708

Hadiyan, Y. (2010). Evaluasi pertumbuhan awal

kebun benih semai uji keturunan sengon

(Falcataria moluccana sinonim :

Paraserianthes falcataria) umur 4 bulan di

Cikampek Jawa Barat. Jurnal Pemuliaan

Tanaman Hutan, 7 (2), 85–91.

Halawane, J., Kinho, J., & Irawan, A. (2015).

Variasi Genetik Pertumbuhan Tanaman Uji

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019:87-100

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

98

Keturunan Nyatoh (Palaquium obtusifolium)

umur 1,5 tahun di Hutan Penelitian

Batuangus, Sulawesi Utara. In Prosiding

Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas

Indonesia.

https://doi.org/10.13057/psnmbi/m010426

Handayani, B. R., Kartikaningtyas, D., Setyaji, T.,

Sunarti, S., & Nirsatmanto, A. (2018).

Keragaman Genetik Jenis Introduksi Acacia

auriculiformis Pada Uji Keturunan Generasi

Kedua di Gunungkidul. In Prosiding Seminar

Nasional Masyarakat Biodiversitas

Indonesia. Yogyakarta.

Indrjaya, Y. (2016). Pengaruh Jasa Lingkungan

Karbon Terhadap Daur Optimal Tegakan

Manglid dalam Proyek Aforestasi. In Hutan

Rakyat Manglid (Status Riset dan

Pengembangan) (pp. 115–127). Bogor:

FORDA PRESS.

Lubis, K., Sutjahjo, S. H., Syukur, M., &

Trikoesoemaningtyas. (2014). Pendugaan

parameter genetik dan seleksi karakter

morfofisiologi galur jagung introduksi di

lingkungan tanah masam. Penelitian

Pertanian Tanaman Pangan, 33 (2), 122–

128.

Mahfudz, Na’iem, M., Sumardi, & Hardiyanto, E.

B. (2010). Variasi pertumbuhan pada uji

keturunan merbau (Intsia bijuga O.Ktze) di

Sobang, Banten. Jurnal Pemuliaan Tanaman

Hutan, 4 (3), 157–165.

Muslimin, I., Sofyan, A., & Islam, S. (2013).

Parameter genetik pada uji klon jati (Tectona

grandis L. F) umur 5,5 tahun di Sumatera

Selatan. Pemuliaan Tanaman Hutan, 7 (2),

97–106.

Naiem, M. (2004). Keragaman Genetik, Pemuliaan

Pohon dan Peningkatan Produktivitas Hutan

di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan

Guru Besar pada Fakultas Kehutanan.

Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Priyono, Sumirat, U., & Crouzillat, D. (2011).

Identification of quantitative trait loci

determining vegetative growth traits in

Coffea canephora. Pelita Perkebunan, 27(3),

150–167.

Pudjiono, S. (2018). Pertumbuhan Tanaman

Manglid ( Magnolia champaca ( L ) Baill Ex

Pierre ) Umur Empat Bulan Dari Beberapa

Pohon Induk di Trenggalek Jawa Timur. In

Prosiding Seminar Pendidikan dan Saintek

III. pp. 15–21.

Riany, F., Siregar, I. Z., & Sudrajat, D. J. (2018).

The growth and genetic potentials of gempol

(Nauclea orientalis L .) as shading trees in

urban landscapes. IOP Conf. Series: Earth

and Environmental Science 203 (2018)

012002, 1–14. https://doi.org/10.1088/1755-

1315/203/1/012002

Rohandi, A. (2018). Keragaman Pertumbuhan

Tegakan Manglid : Peluang dan Tantangan

Untuk Peningkatan Produktivitas Hutan

Rakyat di Jawa Barat. Jatinangor.

Rohandi, A., & Gunawan. (2014). Sebaran dan

Karakteristik Hutan Rakyat Manglid serta

Potensinya untuk Pengembangan Sumber

Benih di Wilayah Priangan Timur.

Yogyakarta.

Setiadi, D. (2011). Evaluasi awal kombinasi uji

provenans dan keturunan Araucaria

cunninghamii umur 12 bulan di Bondowoso,

Jawa Timur. Jurnal Ilmu Kehutanan, 5 (1) :

1-8.

Siarudin, M., Sudomo, A., Indrjaya, Y.,

Puspitojati, T., & Mindawati, N. (2016).

Hutan Rakyat Manglid (Status Riset dan

Pengembangan). Bogor : FORDA PRESS.

Sorkheh, K., Shiran, B., Khodambashi, M.,

Moradi, H., Gradziel, T. M., & Martínez-

gómez, P. (2010). Correlations between

quantitative tree and fruit almond traits and

their implications for breeding. Scientia

Horticulturae, 125, 323–331.

https://doi.org/10.1016/j.scienta.2010.04.014

Sudomo, A., & Mindawati, N. (2013). Penggunaan

zat pengatur tumbuh rootone-f pada stek

pucuk manglid (Manglieta glauca BI). Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 10 (2), 57–63.

Sudrajat, D. J. (2016). Genetic variation of fruit,

seed, and seedling characteristics among 11

populations of white jabon in Indonesia.

Forest Science and Technology, 12 (1), 9–15.

https://doi.org/https://doi.org/10.1080/215801

03.2015.1007896

Sudrajat, D. J., Nurhasybi, N., Siregar, I. Z.,

Siregar, U. J., Mansur, I., & Khumaida, N.

(2016). Intraspecific variation on early

KARAKTERISASI PERTUMBUHAN AWAL BEBERAPA FAMILI

MANGLID PADA UJI KETURUNAN DI SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS

Asep Rohandi dan Dede J. Sudrajat

99

growth of Neolamarckia cadamba MIQ. In

provenance-progeny tests in West Java

Province, Indonesia. Biotropia, 23 (1).

https://doi.org/10.11598/btb.2016.23.1.439

Sudrajat, D. J., Siregar, I. Z., Khumaida, N.,

Siregar, U. J., & Mansur, I. (2016).

Keragaman antar populasi dan korelasi antar

karakter bibit jabon putih (Neolamarckia

cadamba (Roxb.) Bosser) pada cekaman

kekeringan dan genangan air. Jurnal

Penelitian Kehutanan Wallacea, 5(1), 13–24.

Sudrajat, D. J., Yulianti, Danu, Rustam, E., &

Suwandhi, I. (2019). Genetic diversity in the

growth of white jabon (Neolamarckia

cadamba) provenance-progeny test:

Comparing study in the nursery and field.

Biodiversitas, 20(5), 1325–1332.

Supriyanto, Siregar, I. Z., Suryani, A., Aminah, A.,

& Sudrajat, D. J. (2017). Keragaman

morfologi buah, benih dan bibit pongamia

(Pongamia pinnata (L) Pierre) di Pulau Jawa.

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan, 5(2),

103–114.

Susanto, M., & Baskorowati, L. (2018). Pengaruh

genetik dan lingkungan terhadap

pertumbuhan sengon (Falcataria Molucanna)

ras lahan Jawa. Jurnal Bioeksperimen, 4 (2),

35–41.

Weber, J. C., & Montes, C. S. (2005). Variation

and correlations among stem growth and

wood traits of variation and correlations

among stem growth and wood traits of

Calycophyllum spruceanum Benth . from the

Peruvian Amazon. Silvae Genetica, 5 (1) :

31-41. https://doi.org/10.1515/sg-2005-0005

Widodo, Chozin, M., & Mahmudin. (2004).

Hubungan pertumbuhan dan hasil beberapa

kultivar padi lokal pada tanah gambut dengan

pemberian dolomit. Jurnal Ilmu-Ilmu

Pertanian Indonesia, 6 (2), 75–82.

Winara, A., Hani, A., & Pieter, L. A. G. (2016).

Status Taksonomi dan Morfologi Manglid. In

Hutan Rakyat Manglid (Status Riset dan

Pengembangan) (pp. 11–18). Bogor: FORDA

PRESS.

Wirnas, D., Widodo, I., Sobir,

Trikoesoemaningtyas, & Sopandie, D.

(2007). Pemilihan karakter agronomi untuk

menyusun indeks seleksi pada 11 populasi

kedelai generasi F6. Buletin Agronomi, 34

(1), 19–24.

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019:87-100

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

100

Lampiran (Appendix) 1. Karakteristik morfologi tanaman manglid pada umur 1 tahun pada

demplot uji keturunan di Sukamantri, Ciamis (Morphological

characteristics of manglid on the progeny test at 1 year age old at

Sukamantri, Ciamis)

Famili (Lokasi)

Families (Location)

DB

(mm)

TBC

(cm)

TT

(cm)

TJ

(cm)

101 (Ciamis) 33.67 b-h 112.33 a-b 226.00 a 114.00 c-i

102 (Ciamis) 29.00 c-i 99.00 a-c 159.33 b-h 91.17 ij

103 (Ciamis) 29.75 c-i 83.75 c-f 160.50 b-g 102.00 d-j

104 (Ciamis) 34.80 b-g 116.40 a 200.60 ab 123.50 b-i

105 (Ciamis) 33.00 b-h 95.50 b-d 174.33 b-d 117.89 c-i

106 (Ciamis) 30.22 c-i 89.67 c-e 169.67 b-e 112.28 c-j

107 (Ciamis) 24.43 g-i 78.43 c-f 143.43 c-j 95.29 g-j

108 (Ciamis) 38.86 a-c 69.43 e-i 177.14 bc 131.00 b-h

109 (Ciamis) 21.00 i 52.00 h-m 147.00 c-j 76.50 j

110 (Ciamis) 31.00 c-i 74.44 e-g 150.33 c-i 115.61 c-i

112 (Ciamis) 38.14 a-d 44.14 j-n 157.29 c-i 138.43 b-d

113 (Ciamis) 34.33 b-g 47.00 j-n 156.67 c-i 141.92 bc

115 (Ciamis) 27.00 e-i 32.50 mn 117.25 h-j 99.00 e-j

116 (Ciamis) 30.40 c-i 49.20 i-n 145.00 c-j 133.00 b-g

117 (Ciamis) 32.75 b-h 45.00 j-n 150.88 c-i 132.38 b-h

118 (Ciamis) 27.13 e-i 42.13 k-n 128.63 e-j 121.25 b-i

119 (Ciamis) 26.25 f-i 42.25 k-n 128.50 e-j 118.75 c-i

121 (Ciamis) 35.56 b-f 46.67 j-n 149.89 c-i 134.50 b-f

201 (Tasikmalaya) 32.14 b-h 76.00 d-g 153.64 c-i 106.14 c-j

202 (Tasikmalaya) 31.50 b-h 84.13 c-f 173.00 b-d 130.44 b-h

210 (Tasikmalaya) 32.00 b-h 43.22 j-n 142.00 c-j 126.33 b-i

211 (Tasikmalaya) 30.75 c-i 37.00 l-n 124.88 f-j 116.25 c-i

212 (Tasikmalaya) 30.25 c-i 29.00 n 107.00 j 119.50 b-i

215 (Tasikmalaya) 23.50 hi 36.00 l-n 124.42 f-j 115.38 c-i

216 (Tasikmalaya) 21.00 i 35.20 l-n 116.40 ij 97.10 f-j

217 (Tasikmalaya) 26.67 f-i 34.11 l-n 128.50 e-j 119.72 b-i

218 (Tasikmalaya) 41.56 ab 45.89 j-n 166.44 b-f 156.33 ab

219 (Tasikmalaya) 28.43 c-i 35.14 l-n 134.71 c-j 114.21 c-i

301 (Tasikmalaya) 33.57 b-h 73.14 e-h 156.57 c-i 98.00 e-j

302 (Sumedang) 37.57 a-e 62.71 f-k 143.79 c-j 115.71 c-i

303 (Sumedang) 33.33 b-h 64.17 f-k 161.00 b-g 130.75 b-h

304 (Sumedang) 37.67 a-e 70.00 e-i 169.67 b-e 135.58 b-e

305 (Sumedang) 34.20 b-g 64.00 f-k 160.60 b-g 105.80 c-j

306 (Sumedang) 33.00 b-h 55.20 g-l 158.20 c-i 105.00 c-j

307 (Sumedang) 38.50 a-c 64.63 f-j 173.50 b-d 113.63 c-i

308 (Sumedang) 35.44 b-f 55.11 g-l 169.78 b-e 111.17 c-j

309 (Sumedang) 30.00 c-i 83.60 c-f 168.80 b-e 102.20 d-j

310 (Sumedang) 29.63 c-i 65.00 f-j 146.38 c-j 107.38 c-j

401 (Majalengka) 27.67 d-i 29.67 n 120.33 g-j 94.50 h-j

402 (Majalengka) 34.86 b-g 46.43 j-n 142.00 c-j 128.93 b-i

403 (Majalengka) 34.67 b-g 42.50 k-n 139.50 c-j 129.92 b-h

406 (Majalengka) 45.50 a 27.500 n 171.50 b-d 183.75 a

Rata-rata (Average) 32,26 58,93 152,15 119,28

F-hit : Blok (Block) 6,30* 6,07* 12,18** 0,68ns

Famili (Family) 2,78** 13,55** 3,37** 2,67**

CV (%) 21,02 24,70 17,96 20,37

Keterangan (Remark ): DB = diameter batang, TBC = tinggi bebas cabang, TT = tinggi total, TJ = lebar tajuk, * =

nyata pada tingkat kepercayaan 95%, **=sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%

(DB=stem diameter, TBC = clear bole height, TT = total height, and TJ = crown width, * =

Significant at P < 0.05, ** = Significant at P > 0.01)

KETAHANAN BIBIT SENGON (Falcataria moluccana (Miq) Barneby & J.W. Grimes)

TERHADAP CENDAWAN Uromycladium falcatarium BERDASARKAN ASAL BENIH DAN JENIS PENGENDALI

Tati Suharti, Kurniawati Purwaka Putri, dan Yulianti Bramasto

Kontribusi penulis: Tati Suharti, Kurniawati Purwaka Putri, dan Yulianti Bramasto sebagai kontributor utama

© 2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2017.5.2.101-111 101

KETAHANAN BIBIT SENGON (Falcataria moluccana (Miq) Barneby & J.W. Grimes)

TERHADAP CENDAWAN Uromycladium falcatarium BERDASARKAN ASAL BENIH

DAN JENIS PENGENDALI

(The Endurance of Sengon (Falcataria moluccana (Miq) Barneby & J.W. Grimes) Seedling against

Uromycladium falcatarium Fungus Based on Seed Source and Controller Agent)

Tati Suharti, Kurniawati Purwaka Putri, dan/and Yulianti Bramasto

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Jl. Pakuan Ciheuleut PO Box 105; Telp. (0251) 8327768, Bogor, Jawa Barat, Indonesia

e-mail: [email protected]

Naskah masuk: 2 September 2019; Naskah direvisi: 16 Oktober 2019; Naskah diterima: 18 November 2019

ABSTRACT

Gall rust disease caused by Uromycladium falcatarium fungus is one of sengon (Falcataria moluccana)

diseases in the nursery and field. The purpose of this study was determining the effect of seed sources and

controller type against the resistance of sengon seedlings from infection of Uromycladium falcatarium in the

nursery. The research design used a factorial completely randomized design with two 2 factors i.e sources of

the seed (A1 = seed from the endemic area of gall rust/Kediri; A2 = seed from non-endemic of gall

rust/Cianjur) and the type of cotrollers (B1 = no treatment l; B2 = biological fertilizer of Plant Growth

Promoting Rhizobacteria (PGPR) (5 g.l-1); B3 = Biofungicide (5 g.l-1); B4 = biofungicide of soursop leaf

extract (10 g.l-1); B5 =mancozeb (2 g.l-1). Each treatment combination consisted of 10 seedlings repeated 4

times. The observation variables were the disease incidence and intensity, the number of teliospores and

thickness of the epidermal cell wall. The results of the study showed that the interaction of seed sources and

type of controller affected the number of teliospores and thickness of the epidermis. The lowest number of

teliospores (6.48 teliospores) was found in seedlings from non endemic gall rust areas with the controller of

soursop leaf extract. The thickest epidermal cells (5.43 μ - 5.84 μ) were produced from seedlings from gall

rust-free area with PGPR solution controller, soursop leaf extract and mancozeb. The disease intensity in

seedlings originating from gall-free areas (3.5 percent) is lower than endemic areas (5.2 percent). PGPR

and mancozeb were effective to the infection of fungus because the disease incidence and intensity were low

after the 3rd control stage. Keywords: epidermis, Falcataria moluccana, gall rust, seedling, seed source

ABSTRAK

Penyakit karat puru yang disebabkan cendawan Uromycladium falcatarium merupakan salah satu jenis

penyakit pada tanaman sengon (Falcataria moluccana) di persemaian dan di lapangan. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui pengaruh asal benih dan jenis pengendali terhadap ketahanan bibit sengon dari

infeksi cendawan U. falcatarium di persemaian. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan

Faktorial acak lengkap, terdiri dari 2 faktor, yaitu faktor Asal benih (A1 = Benih asal daerah endemik karat

puru/Kediri); A2 = benih asal bukan endemik karat puru/Cianjur) dan faktor jenis pengendali (B1 = Kontrol;

B2 = Pupuk hayati berupa PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacter) (5 g.l-1); B3 = Biofungisida (5 g.l-

1); B4 = Biofungisida berupa ekstrak daun sirsak (10 g.l-1); B5 = mankozeb (2 g.l-1). Setiap kombinasi

perlakuan diulang 4 kali dan masing-masing ulangan terdiri dari 10 bibit. Variabel pengamatan adalah

insidensi, intensitas penyakit, jumlah teliospora dan ketebalan dinding sel epidermis. Hasil peneltian

menunjukkan bahwai interaksi asal benih dan jenis pengendali mempengaruhi jumlah teliospora dan tebal

epidermis. Jumlah teliospora (6,48 teliospora) terendah terdapat pada bibit asal benih daerah bebas karat puru

dengan jenis pengendali larutan ekstrak daun sirsak. Sel epidermis yang paling tebal (5,43 μ – 5,84 μ)

dihasilkan bibit asal benih daerah bukan endemik karat puru dengan jenis pengendali larutan PGPR, ekstrak

daun sirsak dan mankozeb. Intensitas penyakit pada bibit asal benih dari daerah bukan endemik (3,5 persen)

lebih rendah dibandingkan dari daerah endemik (5,2 persen). Larutan PGPR dan mankozeb efektif

mengurangi infeksi cendawan karena insidensi dan intensitas penyakit yang ditimbulkannya relatif rendah

setelah tahap pengendalian ke-3. Kata kunci : asal benih, bibit, epidermis, Falcataria moluccana, karat puru

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019: 101-111

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

102

I. PENDAHULUAN

Sengon (Falcataria moluccana (Miq)

Barneby & J.W. Grimes) dari family Fabaceae

merupakan salah satu jenis tanaman di hutan

rakyat bernilai ekonomis. Hal tersebut

didasarkan dari manfaat kayu sengon yang

beragam antara lain untuk konstruksi ringan

,bahan kemasan ringan, korek api, bahan baku

triplex, kayu lapis, papan partikel dan papan

blok (Krisnawati, Varis, Kallio, & Kanninen,

2011).

Tanaman sengon merupakan jenis cepat

tumbuh dan mempunyai banyak manfaat

sehingga pengusahaan tanaman sengon

meningkat dari tahun ke tahun terbukti dengan

perluasan hutan tanaman sengon di hutan

rakyat sudah ke luar Jawa (Anggraeni, 2018).

Namun saat ini serangan berbagai jenis hama

dan penyakit pada berbagai fase pertumbuhan

tanaman menjadi salah satu faktor pembatas

produktivitas tanaman sengon. Penanaman

sengon umumnya dilakukan secara

monokultur sehingga kondisi ini akan

menyebabnya cepatnya perkembangan hama

atau penyakit termasuk karat puru.

Tahap pertumbuhan tanaman yang sangat

penting adalah saat tanaman ditumbuhkan di

persemaian. Pada tahap tersebut, salah satu

jenis penyakit yang sering ditemukan yaitu

penyakit karat puru yang disebabkan

cendawan Uromycladium tepperianum

(Rahayu, Nor, See, & Saleh, 2009). Penyakit

karat puru dapat menghambat pertumbuhan

bibit dan mematikan bibit (Putri, 2018) bahkan

dapat mematikan pohon sengon (Nurrohmah

& Baskorowati, 2011). Selain pada bibit,

penyakit karat puru ini juga terdapat pada

tanaman muda hingga tegakan di lapangan

yang menyebabkan batang menjadi cacat

sehingga volume dan kualitas kayu berkurang,

bahkan dapat menyebabkan kematian

tanaman hingga 90 persen (Corryanti &

Novitasari, 2015). Oleh karena itu perlu

adanya pengelolaan penyakit salah satunya di

tingkat benih dan bibit untuk mencegah atau

mengurangi perkembangan karat puru.

Penggunaan fungisida kimia efektif

mengurangi keparahan karat sengon di tingkat

bibit namun tidak efektif untuk pengendalian

karat sengon di tegakan (Wiryadiputra, 2007).

Penggunaan fungisida kimia dapat berbahaya

bagi kesehatan manusia dan lingkungan

sehingga perlu mencari alternatif pengendalian

karat puru di tingkat bibit yang ramah

lingkungan.

Alternatif pengendalian karat puru di bibit

sengon sebaiknya menggunakan fungisida

nabati seperti penggunaan daun sirsak.

Ekstrak daun sirsak disamping potensinya

yang besar sebagai obat untuk penyakit pada

manusia, juga dilaporkan dapat mengatasi

serangan hama dan penyakit pada tanaman

(Coria-Téllez, Montalvo-Gónzalez, Yahia, &

Obledo-Vázquez, 2018). Daun sirsak (Annona

KETAHANAN BIBIT SENGON (Falcataria moluccana (Miq) Barneby & J.W. Grimes)

TERHADAP CENDAWAN Uromycladium falcatarium BERDASARKAN ASAL BENIH DAN JENIS PENGENDALI

Tati Suharti, Kurniawati Purwaka Putri, dan Yulianti Bramasto

103

muricata L.) mengandung senyawa aktif

acetogenin yang dapat menghambat dan

membunuh sel kanker (Moghadamtousi,

Fadaeinasab, Nikzad, Mohan, Ali, & Kadir,

2015). Acetogenin yang terkandung dalam

sirsak dapat juga digunakan sebagai pestisida

(Shibula & Velavan, 2015). Bahan-bahan

pengendali lainnya yang ramah lingkungan

seperti Plant Growth Promoting Rhizobacter

(PGPR), dan biofungisida baik yang berasal

dari tanaman maupun mikroorganisme. Hasil

penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa

PGPR dan biofungisida mampu menghambat

perkembangan spora U. tepperianum (Putri &

Bramasto, 2017). Pengendalian penyakit karat

puru dapat juga melalui pemilihan asal benih

yang sehat yaitu tegakan sengon yang tidak

terkena karat puru. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui pengaruh asal benih

dan jenis pengendali terhadap ketahanan bibit

sengon dari serangan cendawan

Uromycladium falcatarium di persemaian.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah benih

sengon asal dari Kabupaten Kediri (Jawa

Timur) yang merupakan sumber benih

endemik karat puru dan asal Kecamatan

Sindangbarang Kabupaten Cianjur (Jawa

Barat) yang diambil dari tegakan yang sehat

dan bebas karat puru. Bahan lainnya adalah

biofungisida yang mengandung Cryptococcus

terreus, C. Albidus dan Candida edax; PGPR

yang mengandung Rhizobium sp. Bacillus

polymixa dan Pseudomonas flourescens;

fungisida kimia (mankozeb); larutan ekstrak

daun sirsak; haemacytometer untuk

menghitung teliospora; larutan tween;

suspensi teliospora karat puru untuk inokulasi

ke bibit serta tanah, pasir, sekam padi, arang

sekam padi dan kompos sebagai bahan media

tabur dan sapih. Peralatan yang digunakan

diantaranya mikroskop, laminar airflow,

autoclave, oven, caliper, polybag, kamera.

B. Prosedur Penelitian

Benih sengon direndam terlebih dahulu

dalam air mendidih dan dibiarkan sampai

dingin selama 24 jam sebelum ditabur di atas

media tabur (Nusantara, 2002). Media tabur

yang digunakan adalah campuran tanah dan

pasir (1:1,v/v) steril. Bibit siap sapih setelah

± 3- 4 minggu dari penaburan atau setelah

muncul sepasang daun (kecambah normal).

Media sapih yang digunakan adalah campuran

tanah dengan sekam padi, arang sekam padi

dan kompos (3:1:1:1,v/v).

Bibit sengon yang segar dan sehat

diinfeksi teliospora karat puru (U. falcatarium)

pada umur ± 8 minggu dari penyapihan. Proses

inokulasi teliospora dengan cara

menyemprotkan suspensi teliospora sebanyak

± 1 ml per bibit diatas permukaan daun secara

merata dan dibiarkan selama 1 minggu.

Suspensi teliospora cendawan U. falcatarium

diperoleh dengan cara mencampurkan

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019: 101-111

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

104

teliospora ke dalam 200 ml aquadest yang

ditambahkan dengan 4 ml larutan tween 20

(konsentrasi 2 persen). Dalam ± 1 ml suspensi

U. falcatarium mengandung 1,18 x 107

teliospora. Menurut (Putri, Baskorowati,

Nurhidayati, Herawan & Nurrohmah, 2016),

inokulasi spora karat puru pada bibit sengon

menggunakan konsentrasi minimal 1x105

teliospora.

Pemberian perlakuan pengendali penyakit

setelah 1 minggu dari infeksi teliospora

cendawan dengan cara penyiraman yang

dilakukan setiap 2 minggu yaitu pada saat bibit

berumur 9, 11, 13, 15 dan 17 minggu. Larutan

pengendali penyakit karat puru yang

digunakan adalah larutan PGPR (5 g.l-1);

biofungisida (5 g.l-1); ekstrak daun sirsak (10

g.l-1) dan mankozeb (2 g.l-1). Konsentrasi yang

digunakan untuk PGPR, bofungsida dan

mankozeb adalah sesuai dengan petunjuk

penggunaan yang terdapat di kemasan

formulasi sedangkan untuk konsentrasi sirsak

berdasarkan Zulkipli, Marsuni dan Rosa

(2018).

Rancangan penelitian yang digunakan

adalah Rancangan Faktorial dalam acak

lengkap, terdiri dari 2 faktor, yaitu faktor asal

benih dan faktor jenis pengendali. Faktor asal

benih terdiri dari 2 taraf, yaitu:

A1 = Benih asal daerah endemik karat

puru/Kediri

A2 = Benih asal daerah bukan endemik karat

puru/Cianjur

Faktor aplikasi pengendali terdiri dari 5 taraf

yaitu: B1 = Kontrol

B2 = Pupuk hayati berupa PGPR (5 g.l-1)

B3 = Biofungisida (5 g.l-1)

B4 = Biofungisida nabati berupa ekstrak

daun sirsak (10 g.l-1)

B5 = Mankozeb (2 g.l-1)

Setiap kombinasi perlakuan terdiri dari 10

bibit diulang 4 kali.

Variabel pengamatan adalah insidensi dan

intensitas penyakit serta jumlah teliospora

yang diamati secara periodik setiap 1 minggu

setelah dilakukan penyemprotan larutan

pengendali yaitu pada saat bibit berumur

10,12, 14, 16 dan 18 minggu. Selain itu pada

akhir penelitian diamati ketebalan dinding sel

epidermis. Pengamatan intensitas penyakit

dengan melakukan skoring/penilaian (Tabel

1).

Tabel (Table) 1. Klasifikasi tingkat keparahan penyakit (Classification level of disease severity)

Tingkat keparahan (severity level) Intensitas penyakit (disease intensity) Nilai

(score)

Sehat (healthy) Tidak ada penyakit (0%) 0

Ringan (light) Intensitas penyakit (≤ 10 %) 1

Agak berat (bit heavy) Intensitas penyakit 10% < X ≤ 25% 2

Berat (heavy) Intensitas penyakit 25% < X ≤ 45% 3

Sangat berat (very heavy) Intensitas penyakit >45% < X ≤ 75% 4

Gagal (failed) Intensitas penyakit X > 75 % 5

Sumber (Source) : Asmaliyah, Lukman, & Mindawati (2016)

KETAHANAN BIBIT SENGON (Falcataria moluccana (Miq) Barneby & J.W. Grimes)

TERHADAP CENDAWAN Uromycladium falcatarium BERDASARKAN ASAL BENIH DAN JENIS PENGENDALI

Tati Suharti, Kurniawati Purwaka Putri, dan Yulianti Bramasto

105

Berdasarkan hasil pengamatan dan

skoring penyakit pada bibit sengon, dihitung

insidensi penyakit dan intensitas penyakit

dengan menggunakan rumus berikut ini

(Lestari, Rahayu, Wdiyatno, 2013) :

Jumlah tanaman yang terkena penyakitInsidensi penyakit= X 100%

jumlah keseluruhan tanaman

...(1)

( )Intensitas penyakit= %

X 100

Ni x Vj

Z x N

∑ ……......... (2)

Keterangan:

Ni = Jumlah tanaman yang terkena

penyakit dengan klasifikasi tertentu

Vj = Nilai untuk klasifikasi tertentu

Z = Nilai tertinggi dalam klasifikasi

N = Jumlah bibit seluruhnya dalam petak

contoh

C. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan

analisis sidik ragam kemudian apabila

signifikan maka akan dilanjutkan dengan

dengan uji lanjut Duncan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

terjadi interaksi nyata perlakuan asal sumber

benih dan jenis larutan pengendali terhadap

jumlah teliospora setelah pengendalian ke-1

dan tebal epidermis (Tabel 2). Secara umum

rata-rata jumlah teliospora yang ditemukan

pada bibit yang benihnya asal Cianjur relatif

lebih sedikit dibanding benih asal Kediri. Bibit

yang benihnya asal Cianjur memiliki

epidermis yang lebih tebal dibandingkan bibit

yang benihnya asal Kediri.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

tidak terjadi interaksi nyata antara asal benih

dan jenis larutan pengendali terhadap insidensi

dan intensitas penyakit (Tabel 3).

Tabel (Table) 2. Rata-rata jumlah teliospora dan tebal epidermis sebagai pengaruh dari interaksi

asal benih dan jenis pengendali (The average number of teliospores and epidermis

thicknesses as an effect of seed sources and controller type treatments).

Interaksi

Jumlah teliospora setelah pengendalian ke- (number of teliospores after controlling at weeks to-)

Tebal epidermis

(epidermis thickness) 1 2 3

Kediri – Kontrol

(Kediri-control)

17,90 a 8,34 a 1,67 a 2,17 f

Kediri- PGPR

(Kediri-PGPR)

9,73 bcd 5,09 a 0,5 a 2,72 ed

Kediri- Biofungisida

(Kediri- biofungicide)

10,13 bc 5,11 a 0,5 a 2,42 ef

Kediri- Ekstrak daun sirsak

(Kediri-soursop leaf extract)

7,58 cde 4,15 a 0 a 2,74 ed

Kediri –Mankozeb

(Kediri-Mankozeb)

8,76 bcde 5,32 a 0,88 a 2,92 d

Cianjur-PGPR

(Cianjur-PGPR)

9,55 bcd 5,45 a 0,07 a 5,43 a

Cianjur- Biofungisida

(Cianjur- biofungicide)

7,29 cde 4,32 a 0 a 4,84 b

Cianjur-Ekstrak daun sirsak

(Cianjur-soursop leaf extract)

6,48 e 3,56 a 0 a 5,47 a

Cianjur-Mankozeb (Cianjur-Mankozeb)

7,15 de 4,32 a 0 a 5,84 a

Nilai F hitung (F-test) 3,85 * 2,14 ns 2,3 ns 1,80*

Keterangan (Remarks): Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (Values followed

by the same letters on the same colom are not significantly different at the test level 5%); * = berbeda nyata pada taraf uji 5% (significantly different at the test level 5%); ns = tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (different not significant

at test level 5%)

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019: 101-111

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

106

Tabel (Table) 3. Rata-rata insidensi dan intensitas penyakit karat puru (The average of disease

incidence and intensity).

Interaksi (Interaction)

Insidensi penyakit setelah pengendalian pada

minggu ke- (Disease incidence after

controlling time at weeks to-)

Intensitas penyakit setelah pengendalian pada

minggu ke-(Disease intensity after contrrolling

time at weeks to-)

10 12 14 1 2 3

Kediri – Kontrol

(Kediri-control)

45,0 a 62,5 a 77,5 a 4,4 a 8,55 a 8,38 a

Kediri- PGPR (Kediri-PGPR)

42,5 a 42,5 a 40,0 a 4,13 a 3,13 a 3,63 a

Kediri- Biofungisida

(Kediri- biofungicide)

40,0 a 60,0 a 37,5 a 3,13 a 5,13 a 3,25 a

Kediri- Ekstrak daun sirsak (Kediri-soursop leaf extract)

42,5 a 42,5 a 72,5 a 3,75 a 5,0 a 7,87 a

Kediri –Mankozeb

(Kediri-Mankozeb)

20,0 a 55,0 a 32,5 a 2,5 a 4,13 a 2,75 a

Cianjur-Kontrol (Cianjur-control)

27,5 a 30,0 a 45,0 a 3,13 a 4,13 a 5,5 a

Cianjur-PGPR

(Cianjur-PGPR)

30,0 a 35,0 a 27,5 a 2,88 a 2,13 a 2,5 a

Cianjur- Biofungisida (Cianjur- biofungicide)

47,5 a 47,5 a 45,0 a 3,5 a 3,88 a 3,63 a

Cianjur-Ekstrak daun sirsak

(Cianjur-soursop leaf extract)

57,5 a 52,5 a 47,5 a 4,4 a 3,38 a 3,0 a

Cianjur-Mankozeb (Cianjur-Mankozeb)

37,5 a 37,5 a 40,0 a 2,25 a 2,0 a 2,88 a

Rata-rata (Average) 39,0 46,5 46,5 3,4 4,1 4,3

Nilai F hitung (F test) 1,55 tn 1,23 tn 2,18 tn 0,30 tn 1,20 tn 2,15 tn

Keterangan (Remarks): Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (Values

followed by the same letters on the same colom are not significantly different at the test level 5%); * = berbeda nyata pada taraf uji 5% (significantly different at the test level 5%); ns = tidak berbeda nyata pada

taraf uji 5% (no significant different at test level 5%)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

asal benih berpengaruh nyata terhadap

intensitas penyakit pada pengendalian ke-2

dan ke-3, jumlah teliospora pada ketiga waktu

pengendalian dan tebal epidermis. Asal benih

tidak berpengaruh nyata terhadap insidensi

penyakit untuk ketiga waktu pengendalian dan

intensitas penyakit pada pengendalian minggu

ke-1 (Tabel 4 ).

Tabel (Table) 4. Rataan insidensi penyakit, intensitas penyakit, jumlah teliospora dan tebal sel

epidermis bibit sengon berdasarkan asal benih (The average of disease incidence

and intensity, number of teliospores and thickness of epidermis based on seeds

sources)

Respon (Response) Pengendaliaan ke-

(control to-)

Asal benih (seed sources) F-hit

(F-test) Kediri Cianjur

Insidensi penyakit

(disease incidence) (%)

1 38,0 a 40,0 a 0,12 tn

2 52,5 a 40,0 a 3,71 tn 3 52,0 a 41,0 a 3,92 tn

Intensitas penyakit

(disease intensity) (%)

1 3,6 a 3,2 a 0,23 tn

2 6,8 a 3,1 b 4,60 * 3 5,2 a 3,5 b 6,21 *

Jumlah teliospora (number of teliospores)

1 10,8 a 8,4 b 19,08 **

2 5,5 a 4,5 b 4,55 * 3 0,7 a 0,3 b 9,39 **

Tebal epidermis (thickness of epidermis) - 2,59 b 5,186 a 687,75 **

Keterangan (Remarks): Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 99%

(Values followed by the same letters on the same row are not significantly different); ** = berbeda nyata pada taraf uji 1%; * = berbeda nyata pada taraf uji 5 %; tn = tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (** = significantly different at the test

level of 1%; * = significantly different at the test level of 5%; ns= no significant different at test level of 5%)

KETAHANAN BIBIT SENGON (Falcataria moluccana (Miq) Barneby & J.W. Grimes)

TERHADAP CENDAWAN Uromycladium falcatarium BERDASARKAN ASAL BENIH DAN JENIS PENGENDALI

Tati Suharti, Kurniawati Purwaka Putri, dan Yulianti Bramasto

107

Jenis pengendali berpengaruh nyata

terhadap insidensi dan intensitas penyakit pada

waktu pengendalian ke-3 serta berpengaruh

sangat nyata terhadap jumlah teliospora pada

semua waktu pengendalian dan tebal

epidermis (Tabel 5). Hasil uji beda

menunjukkan bahwa pada pengendalian ke-3,

pemberian PGPR, biofungisida dan mankozeb

menurunkan insidensi penyakit. Sedangkan

ekstrak daun sirsak (60 persen) tidak berbeda

nyata dengan kontrol (61,3 persen).

Pengendalian pada minggu ke-14, perlakuan

PGPR, biofungisida, ekstrak daun sirsak dan

mankozeb dapat mengurangi insidensi dan

intensitas penyakit, serta meningkatkan tebal

epidermis bibit sengon. Secara umum keempat

jenis pengendali yang digunakan akan

menurunkan jumlah teliospora yang terdapat

pada bibit sengon.

Tabel (Table) 5. Rataan insidensi dan intensitas penyakit, jumlah teliospora dan tebal sel epidermis

bibit sengon berdasarkan jenis pengendali (The average of incidence and disease

intensity, number of teliospores and thickness of epidermis based on controller

types)

Respon (Response)

Pengendaliaan ke-

(Controlling to-) Jenis pengendali (Thypes of controller)

F-hit

(F-test)

1 2 3 4 5

Insidensi penyakit

(disease incidence) (%)

1 36,2 a 36,2 a 43,7 a 50,0 a 28,7 a 1,59 tn

2 46,2 a 38,7 a 53,7 a 47,5 a 46,2 a 0,59 tn

3 61,3 a 33,7 b 41,2 b 60,0 a 36,2 b 4,51*

Intensitas penyakit

(disease intensity) (%)

1 3,7 a 3,5 a 3,1 a 4,1 a 2,4 a 0,62 tn

2 10,1 a 2,6 a 4,5 a 4,2 a 3,1 a 2,38 tn

3 6,94 a 3,1 c 3,4 bc 5,4 ab 2,8 c 5,64*

Jumlah teliospora

(number of teliospores)

1 14,7 a 9,6 b 8,7 bc 7,0 c 7,9 bc 22,90 **

2 6,7 a 5,0 b 4,7 b 3,9 b 4,7 b 4,23 **

3 1,7 a 0,2 bc 0,2 bc 0,0 c 0,4 b 26,84 **

Tebal epidermis

(thickness of epidermis) - 3,25 c 4,07 a 3,63 b 4,10 a 4,38 a 16,18 **

Keterangan (Remarks): (1) kontrol; 2 PGPR; 3 Biofungisida; 4 ekstrak daun sirsak; 5 mankozeb

Jenis pengendali hanya berpengaruh nyata

terhadap insidensi dan intensitas penyakit pada

pengendalian ke-3. Setelah pengendalian ke-3,

insidensi penyakit pada bibit kontrol dan

perlakuan sirsak berbeda nyata dengan

perlakuan lainnya. Insidensi penyakit yang

paling tinggi yaitu pada kontrol (61,26 persen).

Begitu pula dengan intensitas penyakit setelah

pengendalian ke-3, bibit kontrol mempunyai

intensitas penyakit yang paling tinggi (6,94

persen). Intensitas penyakit kontrol dan

perlakuan sirsak berbeda nyata dengan

perlakuan PGPR dan mankozeb.

B. Pembahasan

Asal benih (endemik, bukan endemik) dan

jenis larutan pengendali terbukti secara

sinergis menurunkan jumlah teliospora U.

falcatarium setelah satu kali dilakukan aplikasi

pengendalian. Secara umum bibit asal benih

Cianjur yang diberi larutan pengendali

cenderung menghasilkan jumlah spora

(teliospora) yang lebih rendah dibandingkan

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019: 101-111

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

108

kombinasi bibit asal benih Kediri dengan

larutan pengendali. Dalam hal ini asal sumber

benih berperan dalam menghambat proses

perkembangan teliospora, sehingga menjadi

faktor penting dalam kaitannya dengan

kemampuan menahan infeksi patogen.

Sebagaimana diketahui bahwa kemampuan

tanaman untuk bertahan terhadap penyakit

akan bervariasi diantara berbagai asal sumber

benih (Rahayu et al., 2009; Nurrohmah &

Baskorowati, 2011; Baskorowati, Rohandi &

Gunawan, 2012).

Dalam penelitian ini intensitas penyakit

karat puru pada bibit sengon dari kedua lokasi

masih di bawah ≤ 10 persen, sehingga tingkat

keparahan masih ringan (Asmaliyah et al.,

2016). Namun, secara umum intensitas

penyakit pada bibit asal Kediri lebih tinggi 1,7

persen pada pengendalian ke-3 dibanding bibit

asal benih Cianjur. Perbedaan intensitas

penyakit tersebut menunjukkan bahwa kedua

asal benih mempunyai daya tahan berbeda.

Bibit dengan benih asal Kediri diduga

memiliki tingkat ketahanan terhadap infeksi

cendawan U. falcatarium yang lebih rendah

dibanding benih asal Cianjur. Nurrohmah &

Baskorowati (2011) menyatakan bahwa

perbedaan ketahanan penyakit disebabkan

adanya keragaman genetik pada tanaman

sengon yang dibawa oleh benih. Benih asal

Kediri dikumpulkan dari wilayah yang

merupakan daerah endemik karat puru,

sedangkan benih asal sumber benih Cianjur

dikumpulkan dari tegakan sengon yang berada

< 5 km dari pinggir pantai serta kondisi

tegakan sehat dan bebas dari serangan

penyakit terutama cendawan karat puru. Hasil

yang sama ditunjukkan pada bibit yang berasal

dari Wamena lebih kecil intensitas

penyakitnya dibanding asal Kediri (Rahayu et

al., 2009). Oleh karena itu salah satu

pengendalian hama dan penyakit dapat

dilakukan antara lain dengan menggunakan

benih tanaman yang tidak hanya memiliki

pertumbuhan bagus tetapi juga tahan terhadap

serangan hama dan penyakit (Nurrohmah &

Baskorowati, 2011).

Interaksi asal sumber benih dan jenis

larutan pengendali juga mempengaruhi

ketebalan sel epidermis bibit sengon.

Ketebalan dinding sel epidermis tanaman

inang menyebabkan hifa cendawan kesulitan

pada saat penetrasi sehingga menjadi salah

satu faktor teknis yang dapat mempertahankan

tanaman dari serangan cendawan. (Gil &

Chang-Duck, 2015) melaporkan bahwa

epidermis yang tebal dapat meningkatkan

ketahanan tumbuhan terhadap infeksi patogen

Uromyces truncicola pada pohon Sophora

japonica. Tanaman dapat ditingkatkan

ketahanannya antara lain melalui ketahanan

struktural yaitu penghalang yang bersifat fisik

seperti penebalan dinding sel dengan

pemberian elisitor/inducer biotik atau abiotik

KETAHANAN BIBIT SENGON (Falcataria moluccana (Miq) Barneby & J.W. Grimes)

TERHADAP CENDAWAN Uromycladium falcatarium BERDASARKAN ASAL BENIH DAN JENIS PENGENDALI

Tati Suharti, Kurniawati Purwaka Putri, dan Yulianti Bramasto

109

seperti mikroorganisme, bahan tanaman atau

senyawa kimia (Inayati, 2016). Hasil analisis

mikroskopis menunjukkan bahwa sel

epidermis pada bibit sengon Cianjur dan

Kediri yang tidak diberi larutan pengendali

relatif lebih tipis dibanding bibit yang diberi

larutan pengendali. Larutan PGPR, mankozeb,

dan ekstrak daun sirsak dapat meningkatkan

tebal sel epidermis. Shanmugaiah, Ramesh,

Jayaprakashvel, & Mathivanan (2006)

melaporkan bahwa PGPR yang berasal dari

Pseudomonas sp. dapat menginduksi

ketahanan tanaman terhadap patogen salah

satunya menyebabkan modifikasi struktur dan

biokimia/fisiologi dinding sel.

Larutan PGPR dan mankozeb dalam

penelitian ini diketahui sebagai pengendali

yang efektif mengurangi insidensi dan

intensitas penyakit karat puru pada bibit

sengon. PGPR yang digunakan mengandung

bakteri yang bersifat antagonis seperti B.

polymixa dan P. flourescens. Untuk itu PGPR

dapat menjadi salah satu alternatif

pengendalian U. falcatarium yang ramah

lingkungan. Sejalan dengan penelitian

(Pracoyo, 2013) yang melaporkan bahwa

PGPR yang mengandung B. polymixa dan P.

flourescens dapat mengurangi insidensi dan

intensitas karat puru pada tegakan sengon.

Kavitha, Senthilkumar, Gnanamanickam,

Inayathullah, & Jayakumar (2005) melaporkan

B. polymixa dapat menyebabkan perubahan

bentuk sel sehingga hifa menjadi membengkak

dan membulat. Kemampuan P. flourescens

dalam menghambat pertumbuhan cendawan

salah satunya karena menghasilkan antibiotik

yaitu phenazine 1- carboxylic acid, 2, 4-

diacetylphloroglucinol, pyoluteorin and

pyrrolnitrin (Prabhukarthikeyan &

Raguchander, 2016).

Aplikasi mankozeb, P. fluorescens dapat

meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang

terlibat dalam ketahanan tanaman seperti

enzymes peroxidase (PO) dan polyphenol

oxidase (PPO) (Anand, Chandrasekaran,

Kuttalam, Raguchander, Prakasam, &

Samiyappan, 2007). Menurut Ghosh (2015),

peroxidase (PO) mengoksidasi fenol menjadi

quinone dan menghasilkan peroksida (H2O2)

yang berperan sebagai antimikroba,

selanjutnya terjadi polimerasi fenol menjadi

senyawa lignin yang akan tersimpan di

dinding sel dan selanjutnya berperan dalam

menghambat perkembangan patogen. Aktivitas

PPO yang meningkat juga akan menghasilkan

senyawa-senyawa beracun sehingga

ketahanan inang terhadap infeksi patogen

meningkat.

Perkembangan jumlah teliospora

cenderung menurun dengan semakin seringnya

pemberian larutan pengendali. Namun

efektivitasnya terhadap insidensi dan intensitas

penyakitnya baru menampakkan perbedaan

dengan kontrol setelah pengendalian ke-3.

Menurut Widyastuti, Harjono, & Surya (2013),

kegagalan teliospora dalam proses infeksi

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019: 101-111

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

110

disebabkan oleh adanya senyawa penghambat

salah satunya senyawa fenol.

IV. KESIMPULAN

Insidensi dan intensitas penyakit karat

puru lebih tinggi pada bibit asal Kediri

dibandingkan asal Cianjur berkaitan dengan

kondisi sel epidermis bibit Cianjur yang lebih

tebal dibandingkan Kediri. Pengendalian

penyakit karat puru pada tingkat bibit dapat

dilakukan dengan pemberian larutan PGPR (5

g.l-1), mankozeb (2 g.l-1), atau biofungisida (5

g.l-1). Pengendalian terbaik yang mampu

menurunkan insidensi, intensitas karat puru

dan menghambat perkembangan teliospora

yang ramah lingkungan adalah pemberian

larutan PGPR.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada Dr. Ratih Damayanti,

S.Hut., M.Si peneliti bidang anatomi kayu di

Puslitbang Hasil Hutan atas bimbingan dan

arahan yang diberikan sehingga pengamatan

sel epidermis bibit dapat terlaksana. Ucapan

terima kasih juga disampaikan kepada Ibu

Dina Agustina, S.Si, Bapak Emuy, Bapak

Suherman dan Ibu Wildani Asfari Hanifah atas

kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat

dilaksanakan dan diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Anand, T., Chandrasekaran, A., Kuttalam, S.,

Raguchander, T., Prakasam, V., &

Samiyappan, R. (2007). Association of some

plant defense enzyme activities with systemic

resistance to early leaf blight and leaf spot

induced in tomato plants by azoxystrobin and

Pseudomonas fluorescens. Journal of Plant

Interactions, 2(4), 233–244.

Anggraeni, I. (2018). Penyakit karat tumor pada

sengon (Paraserianthes falcataria (L)

Nielsen) DI perkebunan Glenmore

Banyuwangi, Jawa Timur. Jurnal Penelitian

Hutan Tanaman, 6(5), 311–321.

Asmaliyah, A., Lukman, A. H., & Mindawati, N.

(2016). Perkembangan serangan hama dan

penyakit pada tanaman bambang lanang pada

berbagai sistem persiapan lahan. Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 13(2), 139–155.

Baskorowati, L., Rohandi, A., & Gunawan.

(2012). Proceeding of International

Conference on The Impact of Climate

Change to Forest Pests and Diseases in The

Tropics. In Response of young Falcataria

moluccana to gall rust. (pp. 162-168).

Coria-Téllez, A. V., Montalvo-Gónzalez, E.,

Yahia, E. M., & Obledo-Vazquez, E. N.

(2018). Annona muricata: A comprehensive

review on its traditional medicinal uses,

phytochemicals, pharmacological activities,

mechanisms of action and toxicity. Arabian

Journal of Chemistry, 11(5), 662–691.

Corryanti, & Novitasari. (2015). Sengon dan

Penyakit Karat Tumor. Puslitbang Perum

Perhutani, Cepu. 29 p.

Ghosh, R. ( 2015). Enzymatic responses of ginger

plants to Pythium infection after sar

induction. Journal of Plant Pathology and

Microbology, 6(7).

Gill, Hee-Young, & Chang-Duck K. (2015).

Morphological characteristic of the rust fungi,

Uromyces truncicola, and histological

changes in the infected host tree, Sophora

japonica. Journal of Korean Forest Society,

99(3), 277-284.

Inayati, A. (2016). Ketahanan terimbas tanaman

kacang-kacangan. Iptek Tanaman Pangan

11(2), 175–186.

Kavitha, S., Senthilkumar, S., Gnanamanickam,

S., Inayathullah, M., & Jayakumar, R. (2005).

Isolation and partial characterization of

KETAHANAN BIBIT SENGON (Falcataria moluccana (Miq) Barneby & J.W. Grimes)

TERHADAP CENDAWAN Uromycladium falcatarium BERDASARKAN ASAL BENIH DAN JENIS PENGENDALI

Tati Suharti, Kurniawati Purwaka Putri, dan Yulianti Bramasto

111

antifungal protein from Bacillus polymyxa

strain VLB16. Process Biochemistry, 40(10),

3236-3246.

Krisnawati, H., Varis, E., Kallio, M. dan

Kanninen, M. (2011). Paraserienthes

falcataria (L.) Nielsen: Ekologi, Silvikultur

\dan Produktivitas. CIFOR, Bogor,

Indonesia.

Lestari, P., Rahayu, S., & Widiyatno. (2013).

Dynamics of gall rust disease on sengon

(Falcataria moluccana) in various

agroforestry patterns. Procedia

Environmental Sciences, 17,167 – 171.

Moghadamtousi, S. Z., Fadaeinasab, M., Nikzad,

S., Mohan, G., Ali, H. M., & Kadir, H. A.

(2015). Annona muricata (Annonaceae): A

review of its traditional uses, isolated

acetogenins and biological activities.

International Journal of Molecular Sciences,

16(7), 15625–15658.

Nurrohmah, S. H., & Baskorowati, L. (2011).

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan

Biologi dan Saintek II 49. Serangan awal

penyakit karat tumor pada tanaman sengon

di plot uji provenan sengon Candiroto, Jawa

Tengah. (pp 48-61).

Nusantara, A. D. (2002). Tanggap semai sengon

(Paraserianthes falcataria L. Nielsen)

terhadap inokulasi ganda cendawan mikoriza

arbuskular dan Rhizobium sp. Jipi, 4(2), 62–

70.

Prabhukarthikeyan S.R., & Raguchander, T.

(2016). Antifungal metabolites of

Pseudomonas fluorescens against Pythium

aphanidermatum. Journal of Pure and

Applied Microbiology, 10(1), 579-584.

Pracoyo, A. (2013). Pengaruh plant growth

promoting rhizobacter (PGPR) dan pupuk

mikro terhadap penyakt karat puru dan

pertumbuhan tanaman sengon

(Paraserianthes falcataria) di lapangan.

Skripsi. Departemen Proteksi Tanaman.

Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian

Bogor.

Putri, A.I., Baskorowati, L., Nurhidayati,

Herawan, T., & Nurrohmah, S. T. (2016).

Proceedings of the International Conference

of Indonesia Forestry Researchers III. Effect

filter cover of seedling in direct inoculation

screening of Uromycladium tepperianum for

Falcataria moluccana disease tolerant. (pp

11-18).

Putri, A.I. (2018). Microscopic callus selection of

sengon tree (Falcataria moluccana) putative

tolerant to Uromycladium falcatarium). IOP

Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 183 012006. 6

p.

Putri, K. P., & Bramasto, Y. (2017). Pengendalian

cendawan Uromycladium tepperianum pada

bibit sengon (Falcataria moluccana (Miq.)

Barneby & J. W. Grimes ). JPTH, 5(1):13-22.

Rahayu, S., Nor, N. A., See, L. S., & Saleh, G.

(2009). Responses of Falcataria moluccana

seedlings of different seed sources to

inoculation with Uromycladium tepperianum.

Silvae Genetica, 58(1–2), 62–68.

Shanmugaiah, V., Ramesh, S., Jayaprakashvel,

M., & Mathivanan, N. (2006). Proceedings of

the 1st International Symposium on

Biological Control of Bacterial Plant

Diseases. In Biocontrol and plant growth

promoting potential of Pseudomonas sp.

MML2212 from the rice rhizosphere.

(pp.320-324).

Shibula, K., & Velavan, S. (2015). Determination

of phytocomponents in methanolic extract of

Annona muricata leaf using GC-MS

technique. International Journal of

Pharmacognosy and Phytochemical

Research, 7(6), 1251–1255.

Wiryadiputra, S. (2007). Epidemi penyakit tumor

pada sengon (Paraserianthes falcataria) di

Jawa Timur, Indonesia. Jurnal Ilmu

Kehutanan 1(1): 31-39.

Widyastuti, S. M., Harjono, H., & Surya, Z. A.

(2013). Initial infection of Falcataria

moluccana leaves and Acacia mangium

phyllodes by Uromycladium tepperianum

fungi in a laboratory trial. Jurnal Manajemen

Hutan Tropika, 19(3), 187–193.

Zulkipli, S., Marsuni, Y., & Rosa, H. O. (2018).

Uji lapangan beberapa pestisida nabati untuk

menekan perkembangan penyakit antraknosa

pada tanaman cabai besar. Proteksi Tanaman

Tropika 1(2): 31-34.

TEKNIK PENYIMPANAN BENIH MERANTI BALAU (Shorea seminis (de Vriese) Sloot)

Muhammad Zanzibar, Naning Yuniarti, dan Ratna Uli Damayanti S

Kontribusi penulis: Muhammad Zanzibar sebagai kontributor utama

© 2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2019.7.2.113-125 113

TEKNIK PENYIMPANAN BENIH MERANTI BALAU (Shorea seminis (de Vriese) Sloot)

(The Technique of Storage of Meranti Balau (Shorea seminis (de Vriese) Sloot))

*Muhammad Zanzibar, Naning Yuniarti, dan/and Ratna Uli Damayanti S

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Jl. Pakuan Ciheuleut PO Box 105; Telp. (0251) 8327768, Bogor, Jawa Barat, Indonesia

e-mail: [email protected]

Naskah masuk: 25 Januari 2019; Naskah direvisi:30 Juli 2019; Naskah diterima: 29 November 2019

ABSTRACT

The problem faced by meranti balau (Shorea seminis (de Vriese) Sloot) seed is the recalcitrant seed

character so that the viability of the seeds rapidly decreases during the storage. The purpose of this research

was to determine the best storage technique for meranti balau seed. This research was used factorial

randomized complete design with three factors, namely the storage container factor (calico cloth and calico

cloth in a wooden box), the storage room factor (ambient and AC), and the storage period factor (0 day, 3

days, 6 days, 9 days, 12 days, 15 days and 18 days). Each treatment consisted of 25 seeds, repeated 4 (four)

times. The observed responses in this research were moisture content, germination percentage, and

germination value. The results showed that the container, the storage room, and period of storage influenced

the seed moisture content, germination percentage and germination value. The best storage technique is to

use a container of calico cloth in a wooden box inserted into the ambient room condition. The interaction of

the container of calico cloth in a wooden box with the ambient room can reduce the rate of meranti balau

seed deterioration during storage.

Keywords: Shorea seminis (de Vriese) Sloot), storage, seed viability

ABSTRAK

Permasalahan yang dihadapi dari benih meranti balau (Shorea seminis (de Vriese) Sloot) adalah benihnya

berwatak rekalsitran sehingga viabilitasnya cepat menurun selama penyimpanan. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui teknik penyimpanan terbaik benih meranti balau. Penelitian menggunakan

rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial dengan tiga faktor, yaitu faktor wadah simpan (kain belacu dan

kain belacu dalam kotak kayu), faktor ruang simpan (kamar dan AC), dan faktor periode simpan (0 hari, 3

hari, 6 hari, 9 hari, 12 hari, 15 hari dan 18 hari). Ulangan sebanyak 4 (empat) kali, @ 25 butir benih.

Parameter yang diamati adalah kadar air, daya berkecambah, dan nilai perkecambahan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa wadah, ruang, dan periode simpan berpengaruh terhadap nilai kadar air, daya

berkecambah dan nilai perkecambahan. Teknik penyimpanan terbaik untuk benih meranti balau adalah

menggunakan wadah kain blacu dalam kotak kayu, dimasukkan ke dalam ruang suhu kamar. Interaksi

penggunaan wadah kain belacu dalam kotak kayu dengan ruang suhu kamar dapat menekan laju penurunan

viabilitas benih meranti balau selama penyimpanan. Kata kunci :Shorea seminis (de Vriese) Sloot), penyimpanan, viabilitas benih

I. PENDAHULUAN

Meranti balau (Shorea seminis (de Vriese)

Sloot) termasuk ke dalam famili

Dipterocarpaceae. Jenis ini sebaran alaminya

terdapat di Kalimantan, Sarawak, Sabah,

Brunei, dan Filipina. Tumbuh berkelompok

sepanjang daerah aliran sungai (Maharani,

Handayani, & Hardjana, 2013). Meranti balau

merupakan salah satu jenis meranti penghasil

tengkawang (Saridan, Fernandes, & Noor,

2013) Tengkawang merupakan marga dari

meranti (Shorea) yang bijinya dapat dipakai

sebagai sumber penghasil minyak nabati.

Kayunya mempunyai nilai ekonomi tinggi dan

sangat baik untuk mebel, panel, lantai, langit-

langit dan juga untuk kayu lapis (Puspitasari,

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019: 113-125

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

114

2011). Menurut Muslich dan Sumarni (2018)

kayu meranti balau mempunyai berat jenis 0,9

g.cm-3, kelas ketahanan IV dan kelas awet I-II.

Dilihat dari potensi yang dimiliki, baik

dari kegunaan kayunya, manfaat bijinya

maupun dari nilai ekonominya, maka meranti

balau sangat baik untuk dikembangkan.

Keberhasilan program penanaman dipengaruhi

oleh banyak faktor. Salah satu di antaranya

adalah pengadaan benih berkualitas yang

didukung penguasaan teknologi penanganan

benih secara tepat. Teknik penanganan benih

adalah semua tahap kegiatan penanganan

mulai dari benih dipanen sampai dengan

penyimpanan benih (Suita, 2013; Yuniarti,

Syamsuwida, & Aminah, 2013). Untuk

berhasilnya usaha penyimpanan benih, maka

watak dari benih harus diketahui. Berdasarkan

watak/karakteristiknya, benih dikelompokkan

menjadi 3, yaitu rekalsitran, ortodok dan

intermediate. Dilihat dari permasalahan yang

serius mengenai penyimpanannya, maka benih

rekalsitran yang paling bermasalah, karena

benih rekalsitran akan mengalami kemunduran

benih yang cepat selama penyimpanan

(Aminah, 2011). Salah satu famili yang

memiliki sifat rekalsitran adalah famili

Dipterocarpaceae (Schmidt, 2000), contohnya

benih meranti balau. Jadi permasalahan yang

dihadapi dari benih meranti balau adalah

benihnya berwatak rekalsitran sehingga

viabilitas benihnya cepat menurun selama

proses penyimpanan. Untuk menjamin

ketersediaan benih bermutu sampai waktu

penanaman, maka diperlukan teknik

penyimpanan secara tepat. Tujuan

penyimpanan benih adalah diperolehnya

ketersediaan benih yang berdaya hidup tinggi

dalam jangka waktu tertentu hingga saatnya

diperlukan untuk penanaman.

Penurunan mutu benih dapat diperlambat

melalui metode penyimpanan yang tepat

(Suita, 2013). Dalam penentuan metode

penyimpanan yang menjadi pertimbangan

utama adalah daya simpan benih (Yuniarti et

al., 2013). Teknik penyimpanan yang kurang

tepat akan mempercepat penurunan viabilitas

benih (Zanzibar & Widodo, 2011).

Pengemasan benih rekalsitran untuk

penyimpanan adalah menggunakan wadah

yang bersifat tidak kedap terhadap uap air dan

gas tetapi cukup dapat mempertahankan

kelembapan, misalnya kantong katun, karung

goni, kantong kertas, kantong plastik

berlubang, kotak kardus dan kotak kayu.

Bahan pencampur selama penyimpanan

tersebut dapat menggunakan serbuk gergaji

lembap, serbuk sabut kelapa lembap, batu

perlite dan bahan lainnya. Selain itu, benih

rekalsitran memerlukan penyimpanan yang

cukup lembap dan sejuk, dikombinasikan

dengan aerasi yang baik (pertukaran udara)

serta diupayakan tidak terjadi pemanasan yang

berlebihan akibat kelembapan benih dan

TEKNIK PENYIMPANAN BENIH MERANTI BALAU (Shorea seminis (de Vriese) Sloot)

Muhammad Zanzibar, Naning Yuniarti, dan Ratna Uli Damayanti S

115

respirasi. Ruang simpan yang dapat digunakan

adalah ruang simpan suhu kamar (suhu

27ºC―30ºC dan kelembapan nisbi udara 70

persen―80 persen) dan kering sejuk/ AC

(suhu 18ºC―20ºC, kelembaban nisbi 50

persen―60 persen) (Schmidt, 2000).

Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui teknik penyimpanan yang terbaik

untuk benih meranti balau (Shorea seminis (de

vriese) Sloot). Diharapkan dengan teknik

penggunaan kombinasi wadah dan ruang

simpan yang tepat dapat mempertahankan

viabilitas benih dengan waktu/periode simpan

yang lebih panjang.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat

Pengunduhan buah dilakukan di KHDTK

Haurbentes-Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa

Barat pada bulan Maret 2012. Pengujian benih

dan perkecambahan dilakukan di laboratorium

dan rumah kaca Fakultas Kehutanan IPB di

Darmaga. Pelaksanaan penelitian dilakukan

selama 3 (tiga) bulan, yaitu bulan Maret―Mei

2012.

Bahan dan alat yang digunakan dalam

penelitian ini adalah benih meranti balau,

media tanah dan pasir, bak kecambah, kotak

kayu, karung goni, kain belacu, oven, cawan

petri, timbangan analitik, desikator, cawan

porselen, ruang simpan suhu kamar, dan ruang

simpan suhu AC.

B. Prosedur Penelitian

1. Pengunduhan dan Ekstraksi

Buah diperoleh dengan cara memanjat

pohon induk dan dikumpulkan dari lantai

hutan. Sebelum pengumpulan buah, terpal

dibentangkan pada lantai hutan dan buah

dikumpulkan pada wadah karung goni. Buah

yang digunakan dalam penelitian ini adalah

buah yang sudah masak fisiologis yang

dicirikan dengan sayap berwarna cokelat.

Ekstraksi benih dilakukan dengan cara

memotong sayap hingga pangkal.

2. Perlakuan Benih

Benih dikemas dimasukkan ke dalam kain

belacu dan kain belacu dalam kotak kayu.

Kotak kayu dibuat dari kayu sengon,

berukuran 30 cm (panjang) x 20 cm (lebar) x

20 cm (tinggi), antar penyekat pada ke empat

sisinya dibuat renggang sebesar 2 cm sehingga

memungkinkan terjadinya pertukaran udara

dari dalam/keluar wadah kayu, atau ke dalam

benih. Wadah berisi benih kemudian

ditempatkan ke dalam ruang simpan suhu

kamar (suhu = 25ºC ―27ºC, kelembapan = 65

persen ―70 persen ), dan ruang ber-AC (suhu

= 18ºC ―22ºC, kelembapan = 70 persen ― 80

persen). Lama penyimpanan terdiri dari 0, 3, 6,

9, 12, 15 dan 18 hari. Metode pengujian kadar

air benih menggunakan suhu 105ºC, selama 18

jam (ISTA, 2010). Penaburan benih pada bak

kecambah dilakukan di rumah kaca dengan

menggunakan campuran media pasir dan tanah

yang telah disterilisasi (1 : 1, v/v).

Rancangan percobaan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah rancangan acak

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019: 113-125

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

116

lengkap (RAL) pola faktorial dengan tiga

faktor. Faktor pertama adalah wadah simpan

(A), terdiri dari 2 perlakuan, yaitu: kain belacu

(A1) dan kain belacu dalam kotak kayu (A2).

Faktor kedua adalah ruang simpan (B), yang

terdiri dari 2 perlakuan, yaitu: ruang simpan

suhu kamar (B1) dan ruang simpan suhu AC

(B2). Sedangkan faktor ketiga adalah periode

simpan (C), terdiri dari 6 perlakuan, yaitu : 0

hari (C0), 3 hari (C1), 6 hari (C2), 9 hari, 12

hari (C3), 15 hari (C4) dan 18 hari (C5).

Ulangan sebanyak 4 (empat) kali, masing-

masing ulangan terdiri dari 25 butir benih.

Untuk perlakuan kontrol (0 hari), benih

langsung diukur kadar airnya dan benih

langsung dikecambahkan. Parameter yang

diamati adalah kadar air, daya berkecambah,

dan nilai perkecambahan. Rumus dari masing-

masing parameter adalah sebagai berikut :

a. Kadar air benih

Kadar air benih adalah banyaknya

kandungan air dalam benih yang diukur

berdasarkan hilangnya kandungan air tersebut

dan dinyatakan dalam persen (%) terhadap

berat asal contoh (ISTA, 2010).

(%) 100%b c

KA a Xb

−= − ..............................(1)

Keterangan:

KA = kadar air

a = berat wadah + tutup

b = berat wadah + tutup + berat contoh

awal

c = berat wadah + tutup + berat contoh

setelah pengeringan

b. Daya berkecambah

Daya berkecambah adalah kemampuan benih

untuk tumbuh dan berkembang menjadi

kecambah normal (ISTA, 2010). Kriteria

kecambah normal adalah telah tumbuh/muncul

sepasang daun.

(%) 100%KN

DB XJB

= .....................................(2)

Keterangan:

DB = daya berkecambah

KN = jumlah kecambah normal

JB = jumlah benih yang ditabur

c. Nilai perkecambahan

Nilai perkecambahan merupakan jumlah

kecambah yang diperkirakan akan diperoleh

dari penaburan benih di persemaian

(Djavanshir & Pourbeik, 1976).

( 10)KBH

NK PK XF

=∑ ……….................….(3)

Keterangan:

NK = Nilai Perkecambahan

= Kecepatan berkecambah harian

F = Frekuensi (jumlah kecepatan

berkecambah harian yang

dihitung selama pengujian)

PK = Proses berkecambah pada saat

pengujian

10 = Konstanta

C. Analisis Data

Data-data hasil penelitian (kadar air,

daya berkecambah, nilai perkecambahan)

dianalisis secara statistik dengan menggunakan

rancangan acak lengkap pola faktorial untuk

mendapatkan analisis ragam (ANOVA).

Analisis menggunakan software program

Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1.3

TEKNIK PENYIMPANAN BENIH MERANTI BALAU (Shorea seminis (de Vriese) Sloot)

Muhammad Zanzibar, Naning Yuniarti, dan Ratna Uli Damayanti S

117

(SAS Institute, 2004). Apabila berpengaruh

nyata maka untuk mengetahui perbedaan

perlakuan dan interaksi lebih lanjut dilakukan

uji Duncan pada selang kepercayaan 95

persen.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Kadar air

Analisis ragam menunjukkan bahwa

perlakuan faktor utama periode simpan, ruang

simpan dan waktu simpan berpengaruh nyata

terhadap kadar air benih meranti balau.

Interaksi periode dan ruang, periode dan

wadah, ruang dan wadah serta interaksi

periode, ruang dan wadah juga memberikan

pengaruh yang nyata terhadap kadar air benih

meranti balau (Tabel 1). Untuk mengetahui

lebih lanjut perlakuan yang menimbulkan

perbedaan yang nyata, dilakukan uji beda

Duncan (Tabel 2).

Tabel (Table)1. Analisis ragam pengaruh wadah, ruang dan periode simpan terhadap nilai kadar air

benih meranti balau (Analysis of variance for the effect of the container, storage

room, and storage period on the moisture content of meranti balau seeds)

Sumber keragaman

(Source of variation)

Derajat

bebas

(Degree of

freedom)

Jumlah

kuadrat

(Sum of

square)

Kuadrat

tengah

(Mean of

square)

F hitung

(F-calculation)

F tabel (F-table)

5%

Wadah (container)/A

Ruang (room)/B

Interaksi (interaction)/AB

Periode (period)/C

Interaksi (interaction)/AC)

Interaksi(interaction)/BC

Interaksi(interaction)/ABC

Sisa (residual)

1

1

1

6

6

6

6

56

2399,80

1779,65

397,46

7214,42

834,02

675,12

256,32

10,77

1202,40

1779,65

397,46

1202,40

139,00

112,52

42,72

0,19

6251,63*

9252,88*

2066,50*

6251,63*

722,72*

585,03*

222,11*

2,27

4,01

4,01

2,27

2,27

2,27

2,27

Total (total) 83 13567.56

Keterangan (Remarks): * = berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95% (Significant at 95 percent confidence

level)

Tabel (Table) 2. Pengaruh wadah, ruang dan periode simpan terhadap kadar air benih meranti balau

(The effect of the container, the storage room, and the storage period on the

moisture content of meranti balau seed)

Periode simpan

(Period of storage)

Wadah (Container)

Kain belacu (Calico cloth)

Kain belacu dalam kotak kayu

(The calico cloth in a wooden box)

Ruang simpan (Room of storage) Ruang simpan (Room of storage)

AC (AC) Kamar (Ambient) AC (AC) Kamar (Ambient)

0 hari (day) 55,20 a 55,20 a 55,20 a 55,20 a

3 hari (days) 46,69 f 49,47 d 50,89 c 52,88 b

6 hari (days) 31,68 m 45,47 gh 48,66 e 52,62 b

9 hari (days) 27,58 n 44,17 i 46,02 fg 52,42 b

12 hari (days) 19,14 p 40,05 k 44,17 i 45,04 h

15 hari (days) 14,17 q 39,60 k 32,58 l 42,16 j

18 hari (days) 8,76 r 24,17 o 30,98 m 42,17 j

Keterangan (Remarks) : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak adanya

perbedaan nyata pada tingkat kepercayaan 95% (Values followed by the same

letter are not significantly different at 95% confidence level)

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019: 113-125

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

118

2. Daya berkecambah

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

perlakuan faktor tunggal wadah, ruang dan

periode simpan, interaksi wadah dan ruang

simpan, interaksi ruang dan periode simpan,

serta interaksi wadah dan periode simpan,

berpengaruh nyata terhadap nilai daya

berkecambah benih meranti balau. Sedangkan

interaksi wadah, ruang dan periode simpan

tidak berpengaruh nyata (Tabel 3). Untuk

mengetahui lebih lanjut perlakuan yang

menimbulkan perbedaan yang nyata,

dilakukan uji beda Duncan, yang disajikan

pada Tabel 4, Tabel 5, dan Tabel 6.

Tabel (Table) 3. Analisis ragam pengaruh wadah, ruang dan periode simpan terhadap daya

berkecambah benih meranti balau (Analysis of variance for the effect of the

container, storage room, and storage period on the germination percentage of

meranti balau seed)

Sumber keragaman

(Source of variation)

Derajat

bebas

(Degree of

freedom)

Jumlah

kuadrat

(Sum of

square)

Kuadrat

tengah

(Mean of

square)

F hitung (F-

calculation)

F tabel

(F-table)

5%

Wadah (container)/A

Ruang (room)/ B

Interaksi A dan B (interaction A and B)

Periode (period)/C

Interaksi A dan C (interaction A and C)

Interaksi B dan C (interaction B and C)

Interaksi A, B dan C (interaction A, B and C)

Sisa (residual)

1

1

1

6

6

6

6

56

11386,1

2368,05

1491,86

52361,81

4189,62

1085,62

660,4

4076.67

8726,97

2368,05

1491,86

8726,97

698,27

180,94

110,08

72.80

119,88*

32,53*

20,49*

119,88*

9,59*

2,49*

1,51tn

2,27

4,01

4,01

2,27

2,27

2,27

2,27

Total (total) 83 77620.81 Keterangan (Remarks): * = berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95% (Significant at 95% confidence level), tn

= tidak berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95% (Not significant at 95% confidence

level)

Tabel (Table) 4. Pengaruh interaksi ruang simpan dan periode simpan terhadap daya berkecambah

benih meranti balau (The effect of storage room interaction and storage period on

the germination percentage of meranti balau seed) (Uji Duncan)

Periode simpan

(Period of storage)

Ruang simpan (Room of storage)

AC (AC) Kamar (Ambient)

0 hari (day) 96,00a 96,00a

3 hari (days) 83,33b 86,00ab

6 hari (days) 72,00c 80,00bc

9 hari (days) 46,00e 57,33d

12 hari (days) 34,67fg 56,00d

15 hari (days) 24,33gh 42,67ef

18 hari (days) 18,67h 31,33g Keterangan (Remarks) : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak

adanya perbedaan nyata pada tingkat kepercayaan 95% (Values

followed by the same letter are not significantly different at 95%

confidence level)

TEKNIK PENYIMPANAN BENIH MERANTI BALAU (Shorea seminis (de Vriese) Sloot)

Muhammad Zanzibar, Naning Yuniarti, dan Ratna Uli Damayanti S

119

Tabel (Table) 5. Pengaruh interaksi wadah dan periode simpan terhadap daya berkecambah benih

meranti balau (The effect of container interaction and storage period on the

germination percentage of meranti balau seed) (Uji Duncan) Periode simpan

(Period of storage)

Wadah (Container)

Kain belacu dalam kotak kayu (The calico

cloth is in a wooden box)

Kain belacu (Calico cloth)

0 hari (day) 96,00a 96,00a

3 hari (days) 87,33ab 82,00b

6 hari (days) 86,00ab 66,00c

9 hari (days) 68,67c 34,67ef

12 hari (days) 64,67c 26,00fg

15 hari (days) 49,67d 17,33gh

18 hari (days) 41,33de 8,67h

Keterangan (Remarks) : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak adanya

perbedaan nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen (Values followed by the same

letter are not significantly different at 95 percent confidence level)

Tabel (Table) 6. Pengaruh interaksi wadah dan ruang simpan terhadap daya berkecambah benih

meranti balau (The effect of the interaction of the container and the storage room

on the germination percentage of meranti balau seeds) (Uji Duncan) Ruang simpan

(Storage room)

Wadah (Container)

Kain belacu dalam kotak kayu (The

calico cloth is in a wooden box)

Kain belacu (Calico cloth)

AC (AC) 69,43a 37,71c

Kamar (ambient) 71,62a 56,76b

Keterangan (Remarks) : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak adanya

perbedaan nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen (Values followed by the

same letter are not significantly different at 95 percent confidence level) 3. Nilai perkecambahan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

perlakuan faktor periode simpan, ruang simpan

dan waktu simpan berpengaruh nyata terhadap

nilai perkecambahan benih. Interaksi periode

dan wadah, ruang dan wadah serta periode,

ruang dan wadah, juga memberikan pengaruh

yang nyata terhadap nilai perkecambahan

benih, sementara interaksi periode dan ruang

tidak berpengaruh nyata terhadap nilai

perkecambahan benih (Tabel 7). Untuk

mengetahui lebih lanjut perlakuan yang

menimbulkan perbedaan yang nyata,

dilakukan uji beda Duncan (Tabel 8).

Tabel (Table) 7. Analisis ragam pengaruh wadah, ruang dan periode simpan terhadap nilai

perkecambahan benih meranti balau (Analysis of variance for the effect of the

container, storage room, and the storage period on the germination value of meranti

balau seed)

Sumber keragaman

(Source of variation)

Derajat bebas (Degree of

freedom)

Jumlah kuadrat

(Sum of square)

Kuadrat tengah

(Mean of square)

F hitung

(F-calculation)

F tabel

(table) 5%

Wadah (container)/A

Ruang (room)/ B

Interaksi (interaction)/ AB

Periode (period)/C)

Interaksi A dan C (interaction A and C)

Interaksi B dan C (interaction B and C)

Interaksi A, B dan C (interaction A, B, and C)

1

1

1

6

6

1

6

1390,72

253,31

158,24

15514,29

520,67

68,89

334,31

1390,72

253,31

158,24

2585,72

86,78

11,48

55,72

77,07*

14,04*

8,77*

143,3*

4,81*

0,64tn

3,09*

2,27

4,01

4,01

2,27

2,27

2,27

2,27

Sisa (residual) 56 1010,47 18,04

Total (total) 83 19250,90

Keterangan (Remarks): * = berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen (Significant at 95persen convident

level) tn = tidak berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen (Not significant at 95

percent confidence level)

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019: 113-125

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

120

Tabel (Table) 8. Pengaruh wadah, ruang dan periode simpan terhadap nilai perkecambahan benih

meranti balau (The effect of the container, storage room, and storage period on the

germination value of meranti balau seed) (Uji Duncan)

Periode simpan

(Period of storage)

Wadah (Container)

Kain belacu

(Calico cloth)

Kain belacu dalam kotak kayu

(The calico cloth is in a wooden box)

Ruang simpan (Storage room) Ruang simpan (Room of storage)

AC (AC) Kamar (Ambient) AC (AC) Kamar (Ambient)

0 hari (day) 44,09 a 44,09 a 44,09 a 44,09 a

3 hari (days) 20,12 cd 30,11 b 29,85 b 29,43 b

6 hari (days) 10,12 fgh 23,99 bc 38,13 a 29,19 b

9 hari (days) 2,06 ij 8,38 ghi 14,23 defg 18,64 cde

12 hari (days) 0,24 j 7,21 ghij 12,86 defgh 16,71 cdef

15 har (days) 0,00 j 5,12 hij 8,85 ghi 11,18 efgh

18 hari (days) 0,00 j 1,26 ij 4,79 hij 8,67 ghi

Keterangan (Remarks) : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan

nyata pada tingkat kepercayaan 95% (Values followed by the same letter are not

significantly different at 95% confidence level).

B. Pembahasan

1. Kadar air

Benih meranti balau mempunyai nilai

rata-rata kadar air awal benih sebesar 55,20

persen. Benih rekalsitran merupakan benih

dengan kadar air tinggi dan peka terhadap

pengeringan, dan tidak dapat disimpan dalam

waktu lama. Dalam proses penyimpanan

benih, kadar air benih merupakan faktor kritis

yang berpengaruh terhadap proses penurunan

mutu benih (Raka, Astiningsih, Nyana, &

Siadi, 2012).

Perlakuan interaksi antara penggunaan

kain belacu dalam kotak kayu yang disimpan

pada ruang kamar, hingga periode

penyimpanan 9 hari, kadar air benih masih

tetap tinggi (> 52 persen) dan kehilangan

kadar air lebih kurang 3 persen dibanding

kadar air awal (55,20 persen) Setelah benih

disimpan (hingga 18 hari) laju penurunan

kadar benih terendah diperoleh pada interaksi

penggunaan wadah kain belacu dalam kotak

kayu dan benih disimpan pada ruang suhu

kamar (suhu = 25ºC―27ºC, kelembapan= 90

persen), sedangkan laju penurunan kadar air

tertinggi diperoleh pada interaksi antara

penggunaan kain belacu yang disimpan pada

ruang suhu AC (suhu = 18ºC―22ºC,

kelembapan = 70 persen ― 80 persen).

Benih yang berwatak rekalsitran seperti

benih meranti balau, penurunan kadar air yang

drastis dan kondisi penyimpanan dengan suhu

rendah akan menyebabkan kerusakan pada sel

sehingga hilangnya viabilitas benih.

Penurunan kadar air selama penyimpanan

merupakan faktor kritis yang mempengaruhi

viabilitas benih (Sukesh & Chandrashekar,

2013). Wadah simpan yang tepat untuk

penyimpanan benih meranti balau yang dapat

menekan laju penurunan kadar air adalah

wadah kain belacu dalam kotak kayu.

Sedangkan ruang simpannya yang cocok yaitu

TEKNIK PENYIMPANAN BENIH MERANTI BALAU (Shorea seminis (de Vriese) Sloot)

Muhammad Zanzibar, Naning Yuniarti, dan Ratna Uli Damayanti S

121

ruang suhu kamar. Kondisi suhu dan

kelembapan wadah kain belacu dalam kotak

kayu berbeda dengan wadah kain blacu. Pada

wadah kain belacu dalam kotak kayu

mempunyai suhu 30,4ºC dan kelembapan 63

persen. Sedangkan suhu pada wadah kain

belacu 30,7ºC dan kelembapan 61 persen. Jadi

wadah kain belacu dalam kotak kayu lebih

cocok untuk menyimpan benih balau, karena

mempunyai suhu lebih rendah dan kelembapan

yang lebih tinggi dibandingkan dengan wadah

kain belacu.

Penurunan kadar air selama proses

penyimpanan menyebabkan gangguan

metabolisme, terjadinya kemunduran benih

dan akhirnya benih mengalami kematian

(Halimursyadah, 2012). Penurunan kadar air

merupakan faktor penyebab terjadinya

kemunduran benih rekalsitran (Tresniawati,

Murniati, & Widajati, 2014). Selama periode

simpan, viabilitas benih dipengaruhi oleh

beberapa faktor, salah satunya adalah kadar

air, karena kadar air merupakan faktor yang

paling penting dalam kemunduran benih.

Sutopo (2010), dan Mahjabin dan Abidi

(2015) menjelaskan bahwa selama

penyimpanan, kadar air benih bertanggung

jawab terhadap kerusakan benih. Menurut

Nurhasybi dan Suita (2012), kadar air benih

dapat dipertahankan tetap tinggi dengan

menggunakan wadah yang sarang seperti kain

belacu yang tidak kedap, agar pertukaran

udara tetap terjadi dengan bebas sehingga

terhindar dari terjadinya panas yang

berlebihan. Lodong et al. (2015) menyatakan

bahwa usaha untuk mempertahankan viabilitas

benih rekalsitran agar tetap optimal, yaitu

dengan menyimpan benih pada wadah tidak

kedap dan media simpan yang berkelembapan

tinggi.

2. Daya berkecambah

Rata-rata daya berkecambah awal benih

meranti balau sebesar 89 persen. Ruang kamar

lebih dapat menekan laju penurunan daya

berkecambah pada semua wadah. Wadah

terbaik adalah kain belacu dalam kotak kayu.

Hingga hari ke-3 penyimpanan, ke dua wadah

tersebut relatif sama pengaruhnya, namun

setelahnya (hingga hari ke -18) wadah kain

belacu dalam kotak kayu selalu lebih baik

pengaruhnya dibanding hanya menggunakan

kain belacu. Laju penurunan daya

berkecambah menggunakan kain belacu dalam

kotak kayu dapat dipertahankan tetap tinggi

hingga hari ke 6, dan sampai akhir

penyimpanan hari ke 18 daya berkecambah

masih dapat dipertahankan hampir separuhnya

(41,33 persen).

Semakin lama disimpan, viabilitas benih

meranti balau semakin menurun. Solikin

(2016) juga menyebutkan bahwa lama

penyimpanan berpengaruh nyata terhadap

persentase perkecambahan. Siahaan (2017)

melaporkan bahwa mutu benih akan

mengalami penurunan secara linear dengan

waktu, sehingga tempat penyimpanan yang

tepat untuk menjaga mutu benih penting

diketahui. Menurut Sulaiman, Harun, dan

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019: 113-125

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

122

Kurniawan (2010) menurunnya daya

berkecambah dan semakin lamanya waktu

penyimpanan disebabkan oleh cadangan

makanan dalam benih yang semakin menurun

termasuk kadar air sebagai bahan dari proses

metabolisme.

3. Nilai perkecambahan

Nilai perkecambahan menunjukkan

jumlah benih berkecambah dalam persen hari

sampai akhir pengujian yang merupakan

pencerminan daya tumbuh benih (Payung et

al., 2012). Benih meranti balau mempunyai

rata-rata nilai perkecambahan awal sebesar

44,09±0,60. Nilai perkecambahan tertinggi

setelah 18 hari penyimpanan yaitu 8,67±3,08

diperoleh pada perlakuan benih yang disimpan

di ruang suhu kamar dengan menggunakan

wadah kain belacu dalam kotak kayu (Tabel

8). Sedangkan nilai perkecambahan yang

terendah (0) dihasilkan dari perlakuan benih

yang disimpan di ruang AC dengan

menggunakan wadah kain belacu.

Nilai perkecambahan yang tinggi

menunjukkan vigor benih yang baik. Nilai

perkecambahan mengindikasikan

kesempurnaan dari viabilitas benih. Nilai

puncak perkecambahan menunjukkan energi

(daya) kecambah maksimum yang dicapai

benih pada waktu tertentu. Pada prinsipnya

energi perkecambahan dari suatu lot benih

mengikuti pola kurva normal, pada fase awal

akan meningkat secara signifikan sampai

mencapai titik maksimal kemudian menurun

kembali. Nilai puncak perkecambahan tersebut

menunjukkan vigor dari benih. Benih yang

memiliki vigor yang bagus ditandai dengan

nilai puncak perkecambahan yang tinggi yang

dicapai pada waktu yang relatif cepat

(Hidayat, 2007).

Wadah kain belacu dalam kotak kayu,

baik pada ruang AC dan ruang kamar relatif

lebih dapat mempertahankan vigor benih

hingga akhir periode pengamatan dan masih

tetap tinggi bila dibandingkan dengan interaksi

lainnya. Setelah penyimpanan hari ke 6, nilai

perkecambahan benih pada semua interaksi

perlakuan menurun dan kehilangan nilai

perkecambahan benih, yang paling drastis

menurun yaitu pada perlakuan interaksi

penggunaan wadah kain belacu yang disimpan

pada ruang AC.

Wadah kain belacu dalam kotak kayu

merupakan wadah tidak kedap yang

merupakan wadah yang tepat untuk

menyimpan benih rekalsitran seperti pada

benih meranti balau. Wadah kain belacu

dalam kotak kayu lebih cocok untuk

menyimpan benih balau, karena mempunyai

suhu lebih rendah (30,4ºC) dan kelembapan

yang lebih tinggi (61 persen) dibandingkan

dengan wadah kain belacu (suhu 30,7ºC dan

kelembapan 78 persen). Hal ini disebabkan

karena wadah yang tidak kedap mampu

menjaga kelembaban yang baik pada

TEKNIK PENYIMPANAN BENIH MERANTI BALAU (Shorea seminis (de Vriese) Sloot)

Muhammad Zanzibar, Naning Yuniarti, dan Ratna Uli Damayanti S

123

penyimpanan, kebutuhan benih terhadap air

tetap terpenuhi sampai akhir periode

penyimpanan sehingga menghasilkan daya

berkecambah benih lebih cepat untuk tumbuh

dan mampu menghadapi kondisi lapangan

yang sub optimum serta menghasilkan vigor

benih semakin tinggi (Lodong, Tambing, &

Adrianto, 2015).

Pada umumnya semakin lama benih

disimpan maka viabilitasnya dan vigor akan

semakin menurun. Benih akan mengalami

kemunduran benih dengan bertambahnya

waktu penyimpanan. Kemunduran viabilitas

benih adalah sesuatu proses yang tidak dapat

dicegah (Widajati et al., 2012). Selama

penyimpanan, benih akan mengalami penuaan

dan kemunduran. Kemunduran benih dapat

ditinjau dari aspek fisiologi yang diindikasikan

dengan penurunan daya berkecambah dan

vigor (Rohandi & Widyani, 2016). Demikian

halnya dengan benih meranti balau.

Kemunduran benihnya juga dicirikan dengan

adanya penurunan daya berkecambah dan

vigor benih.

Interaksi faktor perlakuan yang meliputi

wadah, ruang, dan periode simpan

berpengaruh nyata terhadap nilai

perkecambahan. Wadah yang terbaik untuk

benih meranti balau adalah wadah kain belacu

dalam kotak kayu dan ruang simpannya yang

cocok adalah AC. Dengan perlakuan ini dapat

mempertahankan viabilitas benih meranti

balau selama penyimpanan 18 hari. Jadi untuk

teknik penyimpanannya, benih meranti balau

memerlukan wadah yang tidak kedap dan suhu

ruang penyimpanannya berkisar 18 ºC ―22ºC

dengan kelembabannya berkisar 70

persen―80 persen.

IV. KESIMPULAN

Interaksi perlakuan wadah, ruang, dan

periode simpan berpengaruh nyata terhadap

nilai kadar air, dan nilai perkecambahan benih

meranti balau (Shorea seminis (de Vriese)

Sloot). Sedangkan interaksi perlakuan periode

dan ruang simpan, periode dan wadah simpan,

serta ruang dan wadah simpan berpengaruh

nyata terhadap daya berkecambah benih

meranti balau. Teknik penyimpanan yang

terbaik untuk benih meranti balau adalah

menggunakan wadah kain belacu dalam kotak

kayu yang disimpan dalam ruang suhu kamar.

Interaksi penggunaan wadah kain belacu

dalam kotak kayu dengan ruang suhu kamar

dapat menekan laju penurunan daya

berkecambah benih meranti balau selama

penyimpanan. Dengan perlakuan tersebut

benih dapat disimpan dengan baik selama 18

hari.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada

Agung Supriyanto yang telah banyak

membantu dalam pengambilan data penelitian

di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, A. (2011). Pengaruh penyimpanan

terhadap perubahan fisiologis, biokimia dan

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019: 113-125

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

124

kandungan minyak benih keranji (pongamia

pinnata Merr). In teknologi perbenihan untuk

meningkatkan produktivitas hutan rakyat di

propinsi jawa tengah. Semarang: Balai

Penelitian Teknologi Perbenihan tanaman

Hutan.

Djavanshir, K., & Pourbeik, H. (1976).

Germination value- a new formula. Silvae

Genetica, 25(2), 79–83.

Halimursyadah. (2012). Pengaruh kondisi simpan

terhadap viabilitas dan vigor benih Avicenia

marina (Forsk.) Vierh pada beberapa periode

simpan. Jurnal Agrotropika, 17(2), 43–51.

Hidayat, Y. (2007). Pengaruh waktu penyimpanan

buah terhadap viabilitas benih gmelia

(Gmelina arborea Roxb). Jurnal Wana Mukti,

5(1), 27–36.

ISTA. (2010). Rules Proposals for the

International Rules for Seed Testing 2014

Edition (2010th ed.). Canada: Canadian Food

Inspection Agency.

Lodong, O., Tambing, Y., & Adrianto. (2015).

Peranan kemasan dan media simpan terhadap

ketahanan viabilitas dan vigor benih namgka

(Artocarpus heterophyllus Lamk) kultivar

tulo-5 selama penyimpanan. Jurnal

Agrotekbis, 3(3), 303–315.

Maharani, R., Handayani, P., & Hardjana, A.

(2013). Panduan Identifikasi Jenis Pohon

Tengkawang. Balai Besar Penelitian

Dipterokarpa, Badan Litbang Kehutanan.

Samarinda, Indonesia: Departemen

Kehutanan, Bekerjasama Dengan ITTO

PROJECT PD 586/10 Rev.1 (F).

Mahjabin, S. B., & Abidi, A. B. (2015).

Physiological and biochemical changes during

seed deterioration: a review. International

Journal of Recent Scientific Research, 6(4),

3416–3422.

Muslich, M. & Sumarni, G. (2008). Standardisasi

Mutu Kayu Berdasarkan Ketahanannya

Terhadap Penggerek di Laut. Prosiding PPI

Standardisasi, 25 November 2008.

Nurhasybi, & Suita, E. (2012). Perkecambahan dan

vigor benih suren (Toona sureni (blume))

pada berbagai metode perkecambahan dan

pengeringan. In Teknologi perbenihan jenis-

jenis potensial untuk rehabilitasi lahan bekas

tambang di provinsi kepulauan Bangka

Belitung. Pangkal Pinang: Balai Penelitian

Teknologi Perbenihan tanaman Hutan.

Payung, D., E. Prihatiningtyas & S. H. Nisa.

(2012). Uji Daya Kecambah Benih Sengon

(Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) di

Green House. Jurnal Hutan Tropis, 13 (2) :

133-138

Puspitasari, D. (2011). Identifikasi Jenis

Shorea Menggunakan Jaringan Syaraf

Tiruan Propogasi Balik Berdasarkan

Karakteristik Morfologi Daun. Skripsi.

Departemen Ilmu Komputer Fakultas

Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam.

IPB. Bogor.

Raka, I. G. N., Astiningsih, A. A. M., Nyana, I. D.

N., & Siadi, I. K. (2012). Pengaruh dry heat

treatment terhadap daya simpan benih cabai

rawit (Capsicum frutescens L.). J. Agric. Sci.

and Biotechnol, 1(1), 1–11.

Rohandi, A., & Widyani, N. (2016). Perubahan

fisiologis dan biokimia benih tengkawang

selama penyimpanan. Jurnal Penelitian

Ekosistem Dipterokarpa, 2(1), 9–20.

Saridan, A., Fernandes, A., & Noor, M. (2013).

Sebaran dan potensi pohon tengkawang di

Hutan Penelitian Labanan, Kalimantan Timur.

Jurnal Penelitian Dipterokarpa, 7(2), 101–

108. Retrieved from http://ejournal.forda-

mof.org/ejournal-

litbang/index.php/JPED/article/view/1360

SAS Institute Inc. (2004). SAS/INSIGHT 9.1

User’s Guide. Volume 1 and 2. Cary, NC:

SAS Institute Inc.

Schmidt, L. (2000). Pedoman Penanganan Benih

Tanaman Hutan Tropis dan Sub tropis.

(Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan

Perhutanan Sosial- Indosesia Forest Seed

Project, Ed.). Jakarta: PT. Gramedia

Indobnesia.

Siahaan, F. A. (2017). Pengaruh kondisi dan

periode simpan terhadap perkecambahan

benih kesambi (Schleichera oleosa (Lour.)

Merr). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan,

5(1), 1–11.

Solikin. (2016). Pengaruh lama penyimpanan

terhadap perkecambahan biji sambiloto

(Andrographis paniculata (Burm.F.) Wallich

TEKNIK PENYIMPANAN BENIH MERANTI BALAU (Shorea seminis (de Vriese) Sloot)

Muhammad Zanzibar, Naning Yuniarti, dan Ratna Uli Damayanti S

125

ex Nees). Berita Biologi, 15(2), 201–206.

Suita, E. (2013). Pengaruh Pengusangan Terhadap

Viabilitas Benih Weru (Acacia procera

Benth.). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan,

1(1), 37–42.

Sukesh & K.R. Chandrashekar. (2013). Effect of

Temperature on Viability and Biochemical

Changes During Storage of Recalcitarant

Seeds of Vatica chinensis L. International

Journal of Botany, 9 (3) : 73-79.

Sulaiman, F., Harun, M.., & Kurniawan, A. (2010).

Perkecambahan benih tanaman karet (Hevea

brasiliensis Muell. Arg) yang disimpan pada

suhu dan periode yang berbeda. In Prosiding

Seminar Nasional (pp. 1593–1603).

Palembang.

Sutopo, L. (2010). Teknologi benih. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada.

Tresniawati, C., Murniati, E., & Widajati, E.

(2014). perubahan fisik, fisiologi dan

biokimia selama pemasakan benih dan studi

rekalsitransi benih kemiri sunan. Jurnal

Agronomi Indonesia, 42(1), 74–79.

Widajati, E., Murniaty, E., Palupi, E.., Kartika, T.,

Suhartanto, M., & Qadir, A. (2012). Dasar

Ilmu dan Teknologi Benih. Bogor Indonesia:

IPB Press.

Yuniarti, N., Syamsuwida, D., & Aminah, A.

(2013). Dampak perubahan fisiologi dan

biokimia benih eboni (Diospyros celebica

Bakh.) selama penyimpanan. Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 10(2), 65–71.

Zannzibar, M., & Widodo, W. (2011). Metoda

pengeringan dan penyimpanan benih mahoni

(Swietenia macrophylla King). In Teknologi

Perbenihan untuk meningkatkan produktivitas

hutan rakyat di Propinsi Jawa Tengah.

Semarang: Balai Penelitian Teknologi

Perbenihan tanaman Hutan.

KERAGAMAN PERTUMBUHAN BIBIT NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) ASAL SUMENEP, MADURA

Aam Aminah, Danu dan Yulianti Bramasto

Kontribusi penulis: Aam Aminah, Danu dan Yulianti Bramasto sebagai kontributor utama

© 2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2019.7.2.127-138 127

KERAGAMAN PERTUMBUHAN BIBIT NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) ASAL

SUMENEP, MADURA

(Growth Diversity of Nyamplung (Calophyllum inophyllum) Seedling from Sumenep, Madura)

*Aam Aminah, *Danu, dan/and *Yulianti Bramasto

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Jl. Pakuan Ciheuleut PO Box 105; Telp. (0251) 8327768, Bogor, Jawa Barat, Indonesia

e-mail: [email protected]

Naskah masuk: 14 Agustus 2018; Naskah direvisi: 26 November 2018; Naskah diterima: 12 Desember 2019

ABSTRACT

One source of potential biofuel feedstock in Indonesia is nyamplung (Calophyllum inophyllum). Superiority

of nyamplung is having a high oil content of 40 percent ―73percent. The purpose of this study was to

identify growth variation and heritability value for the height and diameter characters of nyamplung

seedlings at six months old from 26 parent trees from Sumenep, Madura. The research used Randomized

Complete Block Design with 26 families from Sumenep Madura as treatment, each treatment consisted of 3

replications,each replication consisted of 8 seedlings, so the number of seedlings used was 624 seedlings.

The results showed that there were diversity in growth (height and diameter) at the level of nyamplung

seedling from Sumenep, Madura. The height and diameter of nyamplung seedlings of 26 families tested

varied between 12.52 cm ― 21.27 cm and 3.04 mm ―4.54 mm. Individual heritability values for seedling

height and diameter are 0.27 and 0.16, while family heritability values are 0.65 for height and 0.52 for

diameter

Keyword: Calophyllum inophyllum , family, genetic, heritability

ABSTRAK

Salah satu sumber bahan baku biofuel yang berpotensi di Indonesia adalah nyamplung (Calophyllum

inophylum). Kelebihan nyamplung adalah memiliki rendemen minyak yang tinggi sebesar 40 persen―73

persen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi keragaman pertumbuhan dan nilai

heritabilitas untuk karakter tinggi dan diameter bibit nyamplung umur enam bulan dari 26 pohon induk asal

Sumenep, Madura. Penelitian menggunakan Rancangan Lengkap Berblok dengan 26 famili asal Sumenep

Madura sebagai perlakuan, setiap perlakuan terdiri dari 3 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 8 bibit,

sehingga jumlah bibit yang digunakan sebanyak 624 bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat

keragaman pertumbuhan (tinggi dan diameter) pada tingkat bibit tanaman nyamplung asal Sumenep,

Madura. Pertumbuhan tinggi dan diameter bibit nyamplung dari 26 famili yang diuji bervariasi antara 12,52

cm ―21,27 cm dan 3,04 mm ― 4,54 mm. Nilai heritabilitas individu pada tingkat bibit untuk karakter tinggi

dan diameter adalah 0,27 dan 0,16, sedangkan nilai heritabilitas famili adalah yaitu 0,65 untuk karakter

tinggi dan 0,52 untuk diameter. Kata kunci : Calophyllum inophyllum, famili, genetik, heritabilitas

I. PENDAHULUAN

Kebutuhan manusia akan energi saat ini

semakin meningkat sejalan dengan

pertumbuhan penduduk yang semakin pesat.

Sumber energi yang saat ini digunakan adalah

sumberdaya alam yang keberadaannya

semakin berkurang di alam (minyak bumi, gas

bumi, batu bara dan lain-lain), sedangkan

sumber daya alam terbarukan masih belum

optimal dalam pengelolaan dan

penggunaannya. Pemerintah merencanakan

penggunaan biodiesel, sebagai energi baru

terbarukan untuk mengurangi ketergantungan

terhadap bahan bakar fosil. Menurut

Tampubolon (2008) penggunaan energi

terbarukan dalam konteks diversifikasi energi

sangat strategis karena sejalan dengan

pembangunan berkelanjutan dan ramah

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019: 127-138

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

128

lingkungan (emisi gas rumah kaca relatif

rendah). Pemanfaatan sumber daya alam

terbarukan ini memungkinkan untuk dikelola

dalam jangka waktu yang relatif panjang

dibandingkan dengan penggunaan minyak

bumi dan bahan tambang sejenisnya

(Bustomi, Rostiwati, Sudrajat, Kosasih &

Effendi, 2009).

Nyamplung sebagai bahan baku biofuel

memiliki kelebihan di antaranya memiliki

rendemen minyak yang tinggi. Bustomi et al.

(2009) melaporkan bahwa nyamplung

memiliki rendemen minyak 40 persen―73

persen. Leksono Windyarini & Hasnah (2014)

melaporkan kandungan minyak buah

nyamplung dari Sumenep 53 persen dan

Gunung Kidul (DIY) 50 persen. Kandungan

minyak nyamplung lebih besar bila

dibandingkan dengan Tanaman lain, yaitu

malapari yang mengandung 23 persen ―26

persen minyak (Aminah, 2017). Selain itu

dalam pemanfaatannya, buah nyamplung tidak

berkompetisi dengan kebutuhan pangan.

Sebagai energi terbarukan, ketersediaan bahan

baku baik dari buah, maupun biomas atau

limbah kayu memiliki jaminan kelestarian.

Pengembangan energi alternatif terbarukan

akan mampu menciptakan lapangan kerja bagi

masyarakat di sekitar hutan. Dari berbagai

tahap kegiatan dapat menyerap tenaga kerja

cukup tinggi: pembangunan hutan tanaman,

pemeliharaan tahunan, pengolahan

biodiesel/biokerosin, pembangunan pabrik,

instalasi mesin, pasokan bahan baku,

tumbuhnya industri pendukung (kompos,

briket, gliserol dsb).

Mengingat potensi yang dimiliki jenis

tersebut maka pengembangan jenis nyamplung

sebagai jenis alternatif penghasil energi

merupakan salah satu solusi untuk mengatasi

ketidakseimbangan antara kebutuhan bioenergi

dengan produktivitasnya. Bustomi et al.

(2009) mengemukakan apabila seluruh

kebutuhan biodesel dipenuhi dari nyamplung,

akan dibutuhkan biodesel 720.000 kilo liter

atau setara dengan 5,1 juta ton biji nyamplung

dengan asumsi 2,5 kg biji nyamplung

menghasilkan 1 liter minyak nyamplung.

Bustomi et al. (2009) melaporkan bahwa

nyamplung memiliki produktivitas buah yang

tinggi yaitu 20 ton/ha. Untuk memenuhi

kebutuhan 5,1 jt ton biji nyamplung, maka

diperlukan tegakan nyamplung seluas 255.000

ha.

Untuk menyediakan bahan baku biodiesel

berbasis buah nyamplung, maka diperlukan

kebun benih nyamplung yang memiliki

produktivitas tinggi. Nyamplung yang berasal

dari Sumenep merupakan salah satu provenan

nyamplung yang memiliki kandungan minyak

yang tinggi (Leksono et al., 2014).

Pembangunan hutan tanaman nyamplung yang

mempunyai produktivitas tinggi memerlukan

bibit unggul, dalam hal ini adalah

KERAGAMAN PERTUMBUHAN BIBIT NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) ASAL SUMENEP, MADURA

Aam Aminah, Danu dan Yulianti Bramasto

129

menghasilkan produksi buah yang tinggi

dengan kandungan minyak yang tinggi pula.

Untuk mengetahui variasi genetik dapat

dilakukan studi marka genetik maupun sifat-

sifat kuantitatif. Tujuan penelitian ini untuk

mengidentifikasi keragaman pertumbuhan

tinggi dan diameter serta menduga nilai

heritabilitas bibit nyamplung umur 6 bulan di

persemaian yang berasal dari 26 pohon induk

asal Sumenep, Madura.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah buah

nyamplung yang berasal dari 26 pohon induk

yang tumbuh tersebar dibeberapa Kecamatan

di wilayah Kabupaten Sumenep, Madura.

Letak geografis Kabuapaten Sumenep adalah

pada 113º 32’ ― 116º 16’ Bujur Timur dan 4º

55’ ― 7º 24’ Lintang Selatan. Pohon induk

yang diunduh buahnya terletak di Kecamatan

Batuputih, Kecamatan Batang, Kecamatan

Gapura, Kecamatan Saronggi, Kecamatan

Manding, Kecamatan Dasuk, dan Kecamatan

Ambunten, Kabupeten Sumenep, Madura.

Tegakan nyamplung yang diunduh buahnya

sebanyak 40 pohon induk yang memiliki tinggi

pohon antara 9 m ―15 m dan diameter batang

antara 21,02 cm ― 63,69 cm, namun yang

dianalisis dalam penelitian adalah bibit

nyamplung yang berasal dari 26 pohon induk.

Adapun bahan lainnya yang digunakan adalah

media perkecambahan dan semai, yaitu pasir,

tanah, pupuk kandang, arang sekam padi dan

polibag ukuran 12 cm x 15 cm.

Peralatan yang digunakan adalah bak

kecambah, penggaris, kaliper, kamera dan alat-

alat tulis. Penelitian dilakukan di persemaian

Stasiun Penelitian Nagrak, Balai Penelitian

dan Pengembangan Teknologi Perbenihan

Tanaman Hutan Bogor pada ketinggian tempat

200 m dpl. Pembuatan persemaian dimulai

pada bulan Maret 2017 dan pengamatan

dilakukan saat tanaman berumur 6 bulan.

B. Prosedur Penelitian

1. Rancangan penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan

Acak Lengkap Blok (Randomized Complete

Blok Design) dengan 26 famili asal Sumenep,

Madura dengan ulangan sebanyak 3 blok.

Setiap ulangan terdiri atas 8 bibit, sehingga

jumlah bibit yang digunakan sebanyak 624

bibit.

Family

Family

Family

1 2 3 . . . . 26 1 2 3 . . . . 26 1 2 3 . . . . 26

Tree plot

1

2

3

.

.

.

8

Blok 1

Blok 2

Blok 3

Gambar (Figure) 1. Desain plot semai nyamplung di persemaian (Plot design of

nyamplung seedling in nursery)

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019: 127-138

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

130

2. Pembuatan bibit

Buah nyamplung setiap famili diekstraksi

dengan cara dipukul untuk mengeluarkan biji

dari cangkang buahnya. Benih dikecambahkan

dalam bak kecambah berisi campuran media

pasir dan tanah (1:1v/v), kemudian diletakkan

di rumah kaca dan diberi label nomor pohon

induk atau famili. Pemeliharaan semai dalam

bentuk penyiraman dan penyiangan gulma

dilakukan setiap hari hingga benih

berkecambah.

Semai yang telah berumur 5 minggu ―6

minggu disapih ke dalam polibag ukuran 12

cm x 15 cm yang berisi media campuran tanah

+ pupuk kandang + arang sekam padi (3:1:1,

v/v/v) dan diberi label nomor famili. Bibit

disimpan di bedeng semai selama 6 bulan dan

disiram satu kali setiap hari.

3. Karakter yang diamati

Karakter yang diamati adalah tinggi dan

diameter bibit, tinggi bibit diukur dari pangkal

batang sampai dengan pucuk dan diameter

diukur pada pangkal batang di permukaan

tanah di polibag.

C. Analisis Data

Data hasil pengukuran dianalisis

menggunakan analisis varian untuk

memperoleh data pengaruh famili (Fj) dan

blok terhadap pertumbuhan tinggi dan

diameter semai (µ). Model analisis varian yang

digunakan sebagai berikut (O’Neill, 2010):

ijk i j ijkY µ B F E= + + + ..................................1)

dimana:

Yijk : pengamatan pada individu ke-k dari

famili ke-j, dalam blok ke-i;

µ : rerata umum hasil pengukuran;

Bi : pengaruh blok ke-i

Fj : pengaruh famili ke-j;

Eijk : galat

Apabila terdapat pengaruh famili terhadap

karakter yang diamati yang nyata, maka

dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan

untuk mengetahui perbedaan antar famili yang

diuji. Untuk mengetahui pengaruh faktor

genetik terhadap fenotipe dilakukan dengan

menghitung heritabilitas. Pendugaan nilai

heritabilitas famili dan individu dihitung

berdasarkan komponen ragam pada setiap

parameter yang diukur yaitu tinggi dan

diameter bibit nyamplung. Komponen ragam

famili (σ2f), komponen ragam plot (σ2p) dan

komponen ragam galat (σ2e) merupakan

turunan dari nilai kuadrat tengah harapan hasil

analisis ragam. Komponen ragam famili

diasumsikan sebesar 1/4 ragam genetik aditif

(σ2A), karena benih dikumpulkan dari pohon

induk dengan penyerbukan terbuka secara

alami di hutan rakyat. Nilai heritabilitas

individu (h2i) dan heritabilitas famili (h2f)

dihitung menggunakan rumus heritabilitas

yang telah disusun oleh Zobel & Talbert,

(1984):

2 2

2 2 2

4

fh i

f f p e

σ

σ σ σ=

+ +

dan2

2

2 2 2

fh f

f f pe

n jn

σ

σ σσ

=

+ +

...2)

KERAGAMAN PERTUMBUHAN BIBIT NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) ASAL SUMENEP, MADURA

Aam Aminah, Danu dan Yulianti Bramasto

131

Tin

gg

i (c

m)

Famili

Keterangan:

h2 i : heritabilitas individu

h2 f : heritabilitas famili

4σ2 f : ragam famili

σ2 f p : ragam interaksi antara famili dan

plot/blok

σ2 e : ragam kesalahan percobaan

J : jumlah plot /blok

n : jumlah tanaman per plot

Semua pengaruh kecuali rata-rata

diasumsikan bersifat acak. Pengolahan data

menggunakan SAS procedur VARCOMP

(AICPA, 2002) masing-masing digunakan

untuk menduga komponen ragam setiap

sumber keragaman.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Hasil pengukuran tinggi dan diameter

bibit nyamplung umur 6 bulan asal Sumenep,

Madura tersaji dalam Gambar 2 dan 3. Rata-

rata tinggi bibit nyamplung bervariasi mulai

dari 12,52 cm (famili no 31) sampai dengan

21,27 cm (famili no 38), sedangkan diameter

bibit nyamplung mulai dari 3,04 mm (famili

no 31) sampai dengan 4,54 mm (famili no 9).

Gambar (Figure) 2. Rata-rata tinggi bibit

nyamplung umur 6 bulan asal

Sumenep, Madura (The average of

height of nyamplung seedlings at 6

months old from Sumenep, Madura)

Gambar (Figure) 3. Rata-rata diameter bibit

nyamplung umur 6 bulan asal

Sumenep, Madura (The average of

diameter of nyamplung seedlings at

6 months old from Sumenep,

Madura)

Hasil rekapitulasi analisis ragam tinggi

dan diameter bibit nyamplung di persemaian

berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%.

Hasil tersebut tersaji dalam Tabel 1.

Tabel (Table) 1. Rekapitulasi analisis

keragaman tinggi dan diameter bibit

nyamplung di persemaian

(Recapitulation of the variance

analysis of height and diameter of

nyamplung seedlings in the nursery)

Parameter (Parameters) F hitung (Fcalculate)

Tinggi (Height) 8.95*

Diameter (Diameter) 5.70* Keterangan (Remarks) * = berbeda nyata pada selang

kepercayaan 95% (significantly

difference at 95%)

Untuk mengetahui keragaman karakter

tinggi dan diameter bibit nyamplung

selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan, hasil

uji lanjut tersaji pada Tabel 2 dan 3. Hasil uji

lanjut Duncan menunjukkan rata-rata

pertumbuhan tinggi bibit nyamplung pada

famili 38 dan 40 tidak berbeda nyata, dan

Dia

met

er

(cm

)

Famili

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019: 127-138

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

132

untuk pertumbuhan diameter kedua famili

tersebut tidak berbeda nyata dengan famili no

9, dan menunjukkan pertumbuhan tertinggi

untuk kedua karakter tersebut dibanding famili

lainnya, sedangkan famili 31 memperlihatkan

nilai terendah untuk pertumbuhan tinggi

maupun diameter (Tabel 2 dan 3).

Tabel (Table) 2. Rata-rata tinggi bibit nyamplung umur 6 bulan di persemaian (The average of

seedling height at 6 months old seedling in the nursery)

Nomor pohon induk/Famili

(Number of parent trees/Family)

Rata-rata (Average)

cm

Nomor pohon induk/Famili

(Number of parent

trees/Family)

Rata-rata (Average)

cm

38 21.27 a 15 15.62 defg

40 20.75 ab 32 15.35 defg

23 19.87 ab 25 15.29 defg

17 18.41 bc 21 14.75 defgh

13 17.33 cd 35 14.62 efgh

16 18.58 bc 3 14.62 efgh

11 18.41 bc 8 14.29 efgh

12 17.33 cd 4 14.29 efgh

18 16.87 cde 6 14.12 fgh

22 16.79 cdef 5 13.95 gh

10 16.75 cdef 24 13.91 gh

14 16.69 cdef 36 13.37 gh

9 15.79 defg 31 12.52 h

Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda tidak nyata pada taraf 5 % (The

numbers follow by the same letter are not significantly diffrerent at 5 %)

Tabel (Table) 3. Rata-rata diameter bibit nyamplung umur 6 bulan di persemaian (The average

seedling diameter is 6 months old in the nursery)

Nomor pohon induk/Famili

(Number of parent trees/Family)

Rata-rata (Average)

mm

Nomor pohon induk/Famili

(Number of parent trees/Family)

Rata-rata (Average)

mm

9 4.54 a 6 3.83 bcdefg

38 4.45 a 32 3.83 bcdefg

40 4.41 ab 5 3.79 cdefgh

11 4.36 abc 3 3.75 defgh

13 4.35 abcd 8 3.70 efgh

14 4.25 abcde 18 3.67 efgh

12 4.20 abcde 24 3.41 fghi

16 4.08 abcde 22 3.39 fghi

15 4.08 abcde 10 3.34ghi

23 4.05abcde 36 3.30 ghi

17 4.03 abcde 21 3.24 ghi

25 4.02 abcde 35 3.20 hi

4 3.94 abcdef 31 3.04 i

Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5 % (The

numbers follow by the same letter are not significantly diffrerent at 5 %)

Pendugaan nilai heritabilitas individu dan

famili bibit nyamplung umur 6 bulan di

persemaian untuk karakter pertumbuhan

diameter maupun tinggi tersaji pada Tabel 4.

KERAGAMAN PERTUMBUHAN BIBIT NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) ASAL SUMENEP, MADURA

Aam Aminah, Danu dan Yulianti Bramasto

133

Tabel (Table) 4. Nilai Heritabilitas Tinggi dan diameter bibit nyamplung umur 6 bulan di

persemaian (Heritabity value of height and diameter of 6 months old nyamplung

seedling in nursery)

Karakter

(Characters)

Komponen Varian

(Variance Component)

Nilai heritabilitas (Heritability values)

Individu (h2 i) Famili (h2 f)

Diameter

(diameter)

Var (Rep) -0.002996 0.159513 0.519012

Var (Family) 0.034073

Var (Rep *Fam) 0.04919

Var (Error) 0.77115

Tinggi

(height)

Var (Rep) -0.05319 0.274094 0.654305

Var (Family) 1.169645

Var (Rep *Fam) 0.97991

Var (Error) 14.91968

Nilai heritabilitas individu untuk diameter

adalah 0,16 sedangkan untuk tinggi adalah

0,27 dan nilai heritabilitas famili untuk

diameter adalah 0,52 sedangkan untuk tinggi

sebesar 0,65.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis ragam (Tabel

1), terdapat adanya keragaman pertumbuhan

tinggi dan diameter pada bibit nyamplung

umur 6 bulan yang benihnya berasal dari 26

pohon induk di Kabupaten Sumenep Madura.

Untuk selanjutnya dalam pembahasan ini,

istilah pohon induk disesuaikan menjadi

famili. Keragaman pertumbuhan antar famili

ditunjukkan pada Gambar 2 dan Gambar 3,

terlihat bahwa bibit yang berasal dari famili no

31 mempunyai pertumbuhan tinggi dan

diameter rata-rata terendah bila dibandingkan

dengan famili-famili yang lain. Sedangkan

pertumbuhan bibit yang benihnya berasal dari

famili no 38 dan 40 mempunyai pertumbuhan

tinggi dan diameter tertinggi. Tinggi bibit

nyamplung umur 6 bulan di persemaian

berkisar antara 12,52 cm hingga 21,27 cm dan

diameter berkisar antara 3,04 mm hingga 4,54

mm. Keragaman pertumbuhan pada tingkat

bibit merupakan hasil interaksi antara

pengaruh lingkungan (suhu, kelembaban,

media bibit) dan genetik (asal benih atau

pohon induk). Adanya keragaman

pertumbuhan pada bibit yang benihnya berasal

dari 26 famili atau pohon induk nyamplung,

diduga karena adanya pengaruh lingkungan

dan pengaruh genetik yang diturunkan dari

induknya. Pohon induk yang digunakan dalam

penelitian ini tumbuh tersebar di 7 Kecamatan,

di Kabupaten Sumenep Madura. Menurut

pendapat Zobel & Talbert (1984) dikatakan

bahwa adanya perbedaan kondisi tempat

tumbuh setiap pohon induk dalam provenan

akan mempengaruhi sifat genetiknya.,

terutama sifat tinggi dan diameter. Untuk

menduga seberapa besar faktor lingkungan dan

genetik mempengaruhi karakter pertumbuhan

tinggi dan diameter bibit nyamplung umur 6

bulan di persemaian, dapat diduga dengan

menghitung nilai heritabitabilitas

Nilai heritabilitas adalah parameter yang

menunjukkan kuat atau lemahnya suatu

karakter dipengaruhi oleh faktor lingkungan

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019: 127-138

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

134

atau faktor genetik. Pendugaan nilai

heritabilitas individu dan famili untuk

diameter bibit nyamplung masing-masing

sebesar 0,16 dan 0,52, sedangkan untuk tinggi

sebesar 0,27 dan 0,65 (Tabel 4). Merujuk

pendapat (Satriawan, Sugiharto & Ashari,

2017), maka nilai heritabilitas individu untuk

tinggi bibit nyamplung termasuk kategori

rendah (0,16), dan untuk diameter bibit

termasuk kategori sedang (0,27), sedangkan

nilai heritabilitas famili termasuk kategori

tinggi (0,52 dan 0,65). Pendugaan nilai

heritabilitas merupakan bagian dalam

pemuliaan, karena informasi ini dibutuhkan

dalam seleksi tanaman, sehingga akan

diperoleh hasil yang sesuai dengan yang

diinginkan (Zobel & Talbert, 1984). Tinggi

rendahnya heritabilitas ini berhubungan

dengan strategi seleksi, dan kemajuan genetik

yang diperoleh dari masing-masing strategi

yang nanti digunakan. Menurut Akhtar, Oki ,

Adachi & Khan (2007) dikatakan bahwa nilai

heritabilitas yang rendah berpengaruh

terhadap respon seleksi, rendahnya nilai

heritabilitas maka rendah pula responnya

terhadap seleksi.

Nilai heritabilitas merupakan suatu

petunjuk seberapa besar suatu karakter atau

sifat dipengaruhi oleh faktor genetik atau

lingkungan (Herawati, Purwoko & Dewi,

2009). Nilai heritabilitas dapat digunakan

untuk mengetahui tingkat keterwarisan sifat

tetua kepada keturunannya dan untuk

mengetahui proporsi genetik terhadap fenotip.

Menurut Putri, Aswidinnoor & Asmono

(2009) nilai duga heritabilitas yang tinggi

untuk suatu karakter menggambarkan karakter

tersebut penampilannya lebih ditentukan oleh

faktor genetik dibandingkan dengan faktor

lingkungan.

Penelitian tentang keragaman

pertumbuhan pada tingkat bibit telah

dilakukan pada beberapa jenis tanaman hutan,

diantaranya untuk jenis gempol (Putri, Yulianti

& Danu, 2016), meranti (Sulistyawati, P.,

Widyatmoko, AYPB & Nurtjahjaningsih,

2014), araucaria (Setiadi, 2018) dan jabon

putih (Yudohartono & Herdiyanti, 2013)

Penelitian tersebut sebagai awal untuk

mengetahui ada tidaknya pengaruh pohon

induk terhadap pertumbuhan tingkat bibit,

yang selanjutnya dapat menjadi bahan

pertimbangan dalam kegiatan seleksi. Seleksi

merupakan salah satu proses dalam program

pemuliaan tanaman untuk perbaikan karakter.

Kegiatan seleksi sangat ditentukan oleh

tersedianya keragaman genetik yang luas

dengan heritabilitas tinggi. Dalam suatu

populasi tanaman, hanya nilai fenotipik yang

dapat diamati dan diukur secara langsung.

Ragam fenotip dari suatu populasi

menunjukkan tingkat perbedaan fenotipik

antar kelompok individu yang timbul akibat

adanya ragam genetik dan atau lingkungan

KERAGAMAN PERTUMBUHAN BIBIT NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) ASAL SUMENEP, MADURA

Aam Aminah, Danu dan Yulianti Bramasto

135

(Falconer & Mackay, 1996). Jika ragam

genetik yang membentuk suatu karakter

diketahui, maka heritabilitas dari karakter

tersebut dapat diduga. Heritabilitas merupakan

penduga yang penting dari derajat respons

suatu populasi terhadap seleksi alami maupun

seleksi buatan. Pendugaan heritabilitas sangat

berguna untuk melihat nilai relatif dari seleksi

yang dilakukan berdasarkan ekspresi fenotipik

dari karakter-karakter yang berbeda (Razzaq

Hammad, Tahir & Sadaqat, 2014). Falconer &

Mackay (1996) menyatakan bahwa suatu

karakter yang mempunyai nilai duga

heritabilitas tinggi menandakan bahwa

penampilan karakter tersebut kurang

dipengaruhi oleh lingkungan. Seleksi dapat

berlangsung lebih efektif pada karakter yang

memiliki nilai duga heritabilitas tinggi karena

pengaruh lingkungan sangat kecil. Namun

demikian nilai heritabilitas dapat berubah

sesuai dengan kondisi pertumbuhan dan

perlakuan (Sumardi, 2016). Dalam penelitian

ini karena yang dianalisis adalah pada tingkat

bibit, maka nilai heritabilitas yang telah

diperoleh belum dapat digunakan sebagai

dasar dalam kegiatan seleksi di lapangan.

Selain itu karakter atau sifat yang akan

diseleksi pada nyamplung adalah produktivitas

buah serta kandungan minyaknya, dan karakter

ini baru bisa terlihat setelah uji keturunan di

lapangan.

Berdasarkan hasil analisis ragam terdapat

pengaruh yang nyata pada karakter tinggi dan

diameter bibit nyamplung yang diduga

diakibatkan oleh perbedaan antara famili,

sehingga terdapat keragaman yang tinggi pada

karaketer tinggi dan diameter bibit nyamplung

di persemaian. Hal ini diduga adanya

keragaman antara 26 famili atau pohon induk

nyamplung yang digunakan dalam penelitian

ini, sehingga berpengaruh nyata terhadap

tinggi dan diameter bibit nyamplung. Pohon

induk nyamplung yang digunakan berasal dari

7 populasi yang berbeda, dalam hal ini adalah

7 kecamatan di Kabupaten Sumenep, Madura.

Tinggi dan diameter pohon induk yang

tersebar di 7 kecamatan tersebut berkisar

antara 9 m – 15 m dan 21,02 cm - 63,69 cm

sehingga diduga hal ini yang mempengaruhi

ekspresi pertumbuhan yang berbeda pada

tingkat bibit. Keragaman pada tingkat bibit

juga terlihat pada jenis gempol, meranti dan

araukaria yang disebabkan oleh perbedaan

pohon induk atau sumber benih (Putri, et al.,

2016; Sulistyawati, et al., 2014 dan Setiadi,

2018). Keragaman yang timbul akibat

perbedaan famili atau pohon induk, juga

terlihat dari nilai pendugaan heritabilitas famili

(h2f) yang cukup tinggi untuk karakter tinggi

dan diameter bibit nyamplung umur 6 bulan di

persemaian. Nilai h2f untuk tinggi dan

diameter adalah 0,65 dan 0,52, yang berarti

bahwa lebih dari 50 persen faktor famili atau

pohon induk, dalam hal ini adalah faktor

genetik mempengaruhi ekspresi sifat tinggi

dan diameter bibit nyamplung umur 6 bulan.

Hasil serupa juga diperlihatkan pada bibit

nyawai umur 8 bulan di persemaian (Haryjanto

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019: 127-138

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

136

& Prastyono, 2014), yaitu nilai heritabilitas

famili untuk karakter tinggi dan diameter bibit

masing-masing adalah 0.98 dan 0,91.

Demikian pula hasil perhitungan nilai

heritabilitas famili pada bibit mahoni umur 5

bulan di persemaian (Mashudi, Susanto &

Darwo, 2017), nilai heritabilitas famili untuk

karakter tinggi dan diameter adalah 0,74 dan

0,75. Pendugaan keragaman genetik telah

dilakukan pula pada tanaman eboni umur 12

bulan di persemaian (Kinho, Halawane,

Irawan & Kafiar, 2015), nilai heritabilitas

famili untuk tinggi dan diameter eboni umur

12 bulan adalah 0,97 dan 0,89. Tingginya

nilai heritabilitas famili pada bibit

dipersemaian, diduga karena faktor lingkungan

di persemaian relatif seragam, sehingga variasi

yang terjadi lebih dominan dipengaruhi oleh

pohon induk.

Informasi tentang keragaman dan nilai

heritabilitas untuk karakter tinggi dan diameter

di tingkat bibit pada nyamplung dapat

digunakan sebagai informasi awal untuk

mengetahui adanya keragaman serta

mengetahui berapa besar sifat-sifat induk

diturunkan kepada keturunanya (faktor

genetik). Informasi ini diperlukan untuk

membangun tanaman uji keturunan yang

nantinya dapat dikonversi menjadi sumber

benih nyamplung. Keragaman pertumbuhan

yang terekspresikan pada tingkat bibit

merupakan hasil interaksi antara pengaruh

lingkungan dan genetik, namun untuk

mengetahui pengaruh yang dominan, dapat

diduga dari nilai heritabilitas. Nilai

heritabilitas individu untuk sifat tinggi dan

diameter bibit nyamplung umur 6 bulan

tergolong rendah yaitu 0,27 dan 0,16, hal ini

mengindikasikan keragaman tersebut kuat

dipengaruhi oleh faktor lingkungan (kondisi

lingkungan persemaian) dan pengaruh faktor

genetiknya lemah. Rendahnya nilai

heritabilitas indvidu dapat disebabkan

beberapa faktor, antara lain sistem

penyerbukan atau sistem perkawinan pada

jenis nyamplung yang terbatas. Hasil

penelitian (Yudohartono, T.P & Fambayun,

2012) menyatakan bahwa dalam program

pemuliaan jenis binuang keragaman genetik

yang tinggi sangat penting karena optimalisasi

perolehan genetik akan dapat dicapai dengan

semakin besarnya peluang untuk seleksi

terhadap sifat-sifat yang diinginkan. Oleh

karena itu strategi seleksi yang harus

dilakukan tergantung sifat yang diinginkan.

Seleksi dapat dilakukan pada tanaman uji

keturunan, khusus pada nyamplung seleksi

dapat dilakukan pada saat pohon tersebut

sudah berbuah. Data yang diperoleh tersebut

dapat menunjukkan pohon induk mana yang

mempunyai produksi buah dan kandungan

minyak yang paling tinggi sehingga dapat

dikembangkan dan dipilih pohon-pohon induk

yang mempunyai potensi yang paling baik dari

KERAGAMAN PERTUMBUHAN BIBIT NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) ASAL SUMENEP, MADURA

Aam Aminah, Danu dan Yulianti Bramasto

137

segi produktivitas buah dan kandungan

minyaknya.

IV. KESIMPULAN

Pertumbuhan tinggi dan diameter bibit

nyamplung umur 6 bulan di persemaian yang

berasal dari Sumenep, Madura, menunjukkan

keragaman yang cukup tinggi. Variasi

pertumbuhan tinggi diantara 26 famili yang

diuji adalah berkisar antara 12,52 cm – 21, 27

cm dan variasi pertumbuhan diameter adalah

3,04 mm hingga 4,54 mm. Terlihat ada

kecenderungan bahwa famili yang terendah

pertumbuhan tinggi, juga terendah dalam

pertumbuhan diameternya, demikian pula

terlihat konsistensi untuk famili dengan

pertumbuhan tinggi dan diameter tertingginya.

Keragaman tersebut sangat dipengaruhi oleh

perbedaan pohon induk atau famili, yang

ditunjukkan pula dengan tingginya nilai

heritabiltas famili dibandingkan heritabilitas

individu pada tingkat bibit, akan tetapi

kegiatan seleksi untuk pencarian famili terbaik

untuk nyamplung sebaiknya dilakukan pada

tingkat lapang dengan mempertimbangkan

produktivitas buah dan kandungan minyak

pada buah dari setiap famili karena hal ini

sesuai dengan tujuan dari penanaman

nyamplung, yaitu sebagai bahan baku biofuel.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan

kepada Ir. Rina Kurniaty, Prof. Riset. Dr. Dida

Syamsuwida, Ir. Naning Yuniarti, Ir.

Nurmawati Siregar, M.Si., Bapak Ateng

Rahmat Hidayat dan Bapak Sutrisno yang

telah bekerja sama dalam Tim Energi.

DAFTAR PUSTAKA

Akhtar, M.S., Oki Y., Adachi, T. & Khan, H.

(2007). analyses of the genetic parameters (

variability, heritability, genetic advance,

relationship of yield and yield contributing

characters) for some plant traits among

brassica cultivars under phosphorus starved

environmental cues. Journal of the Faculty of

Environmental Science and Technology, 12(l),

91–98.

American Institute of Certified Public Accountant

(AICPA). (2002). Statement on Auditing

Standards (SAS) No. 99: Consideration of

Fraud in a Financial Staetement Audit,

AICPA”. New York.

Aminah, A. (2017). Karakterisasi morfologi,

genetik, kandungan minyak dan evaluasi awal

pertumbuhan bibit pongamia (Pongamia

pinnata (L.) Pierre) di Pulau Jawa. Disertasi.

Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut

Pertanian Bogor,

Bustomi, S., Rostiwati, T., Sudrajat, R., Kosasih,

S., …. & Effendi, R. (2009). Nyamplung

(Calophyllum inophyllum L) Sumber Energi

Biofuel yang Potensial. Ed revisi. Bogor:

Badan Litbang Kehutanan.

Falconer, Douglas S. & Mackay, T. F. C. (1996).

Introduction to Quantitative Genetics (4th

Edition). Longman.

Haryjanto, L & Prastyono (2014) Pendugaan

parameter genetik semai Nyawai (Ficus

variegata blume) asal pulau Lombok. Jurnal

Penelitian Kehutanan Wallacea, 3(1), 37-45

Herawati, R., Purwoko, B. S., & Dewi, I. S.

(2009). Keragaman genetik dan karakter

agronomi galur haploid ganda padi gogo

dengan sifat-sifat tipe baru hasil kultur antera.

J. Agron. Indonesia, 37(2), 87–94.

Kinho, J., Halawane, J., Irawan, A., & Kafiar, Y.

(2015, Juli). Prosiding Seminar Nasional

Masyarakat Biodiversitas Indonesia.

Evaluation of plant growth on progeny test

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 2 Desember 2019: 127-138

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

138

ebony (Diospyros rumphii) age one year in

the nursery (Vol. 1, No. 4, pp. 800-804).

Leksono, B., Windyarini, E., & Hasnah, T. M.

(2014). Budidaya Nyamplung (Calophyllum

inophyllum L.) untuk Bioenergi dan Prospek

Pemanfaatan Lainnya. Bogor: IPB Press.

Mashudi, M., Susanto, M., & Darwo, D. (2017).

Keragaman dan estimasi parameter genetik

bibit mahoni daun lebar (Swietenia

macropylla King.) di Indonesia. Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 14(2), 115-125.

O’Neill, M. (2010). Anova & reml A Guide to

linear mixed models in an experimental

design context. Training.

Putri, L.A.P., Aswidinnoor, H., & Asmono, D.

(2009). Keragaan genetik dan pendugaan

heritabilitas pada komponen hasil dan

kandungan β-karoten progeni kelapa sawit

genetics performance and heritability

estimations on yield component and β-

carotene content of oil palm progenies. J.

Agron. Indonesia, 37(2), 145–151.

Putri, KP., Yulianti & Danu. (2016). Keragaman

pertumbuhan bibit gempol (Nauclea orientalis

L.) dari beberapa pohon induk. Jurnal Hutan

Tropis,4(1),8-13.

DOI:http://dx.doi.org/10.20527/jht.v4i1.2876

Razzaq, H., Hammad, M., Tahir, N., & Sadaqat, H.

A. (2014). Genetic variability in sunflower

(Helianthus annuus L .) for achene yield and

morphological characters. International

Journal of Science and Nature, 5(4), 669–676.

Satriawan I.B, Sugiharto, A. N. & Ashari S.

(2017). Heritabilitas dan kemajuan genetik

harapan populasi F 2 pada tanaman cabai

besar (Capsicum annuum L.). Jurnal Produksi

Tanaman, 5(2), 343–348.

Setiadi, D. (2018, Oktober). In Proceeding Biology

Education Conference: Biology, Science,

Enviromental, and Learning. Keragaman

genetik araucaria cunninghamii sumber asal

benih kepulauan Papua pada pertumbuhan di

tingkat semai. (Vol. 15, No. 1, pp. 785-790).

Sumardi, S. (2016). Variasi genetik pada

pertumbuhan tanaman konservasi sumberdaya

genetik cendana (Santalum album Linn.)

populasi pulau Timor bagian timur. Jurnal

Ilmu Lingkungan, 14(1), 27.

https://doi.org/10.14710/jil.14.1.27-31

Sulistyawati, P., Widyatmoko, AYPB. &

Nurtjahjaningsih. (2014). Keragaman genetik

anakan Shorea leprosula berdasarkan penanda

mikrosatelit. Jurnal Pemuliaan Tanaman

Hutan, 8(3), 171-183.

Tampubolon, A. P. (2008). Kajian kebijakan energi

biomassa kayu bakar. Analisis Kebijakan

Kehutanan, 5(1), 29–37.

Yudohartono, T.P & Fambayun, R. A. (2012).

Karakteristik pertumbuhan semai binuang asal

provenan Pasaman Sumatera Barat. Jurnal

Pemuliaan Tanaman Hutan, 6(3), 143–156.

Yudohartono, T. P., & Herdiyanti, P. R. (2013).

Variasi karakteristik pertumbuhan bibit jabon

dari dua provenanberbeda. Jurnal Penelitian

Hutan Tanaman, 10(1), 7-16.

Zobel, B.J. & Talbert, J. (1984). Applied Forest

Tree Improvement. New York: Jonhn Wiley.

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

ISI VOLUME 7

Nomor 1

Ganis Citra Purmadewi, Arum Sekar Wulandari dan/and Ratna Uli Damayanti

PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI TERHADAP

KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.)................ 1-12

Rina Laksmi Hendrati and/ dan Siti Husna Nurrohmah

BREEDING FOR BETTER GROWTH OF Calliandra calothyrsus Meissn., A FAST

GROWING LEGUME FOR WOOD-ENERGY ......................................................................... 13-20

Nurmawati Siregar dan/and Aam Aminah

PENGARUH WAKTU PENGUNDUHAN DAN WARNA KULIT BUAH TERHADAP

DAYA BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT MINDI (Melia azadarech Linn ... 21-30

Dewi Ayu Lestari

TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN Mesua ferrea L. DAN Swinglea

glutinosa (Blanco) Merr............................................................................................................... 31-44

Y.M.M. Anita Nugraheni, Ratna Uli Damayanti Sianturi dan/and Yulianti Bramasto

PENGARUH PRA-STERILISASI TERHADAP KEBERHASILAN INISIASI EKSPLAN

YANG BERASAL DARI PUCUK SENGON ............................................................................ 45-54

Arif Irawan dan/and Hanif Nurul Hidayah

PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN

BENIH CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy) ........................................ 55-65

Nomor 2

Dwi Kartikaningtyas, Teguh Setyaji, dan/and Surip

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA TANAM DAN PUPUK TERHADAP

KEMAMPUAN BERTUNAS TANAMAN PANGKAS KESS (Lophostemon suaveolens

(Sol.ex Gaertn.) Peter G.Wilson & J.T. Waterh) ......................................................................... 67-76

Nurmawati Siregar dan/and Kurniawati Purwaka Putri

PENGARUH UMUR TUNAS PANGKASAN TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK

Hopea odorata Roxb. .................................................................................................................. 77-85

Asep Rohandi dan/and Dede J. Sudrajat

KARAKTERISASI PERTUMBUHAN AWAL BEBERAPA FAMILI MANGLID PADA UJI

KETURUNAN DI SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS ................................................... 87-100

Tati Suharti, Kurniawati Purwaka Putri, dan/and Yulianti Bramasto

KETAHANAN BIBIT SENGON (Falcataria moluccana (Miq) Barneby & J.W. Grimes)

TERHADAP CENDAWAN Uromycladium falcatarium BERDASARKAN ASAL BENIH

DAN JENIS PENGENDALI .................................................................................................. 101-111

Muhammad Zanzibar, Naning Yuniarti, dan/and Ratna Uli Damayanti S

TEKNIK PENYIMPANAN BENIH MERANTI BALAU (Shorea seminis (de Vriese) Sloot) 113-125

Aam Aminah, Danu dan/and Yulianti Bramasto

KERAGAMAN PERTUMBUHAN BIBIT NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) ASAL

SUMENEP, MADURA .............................................................................................................. 127-138

INDEX KATA KUNCI VOLUME 7

Anthocepalus macrophyllus

arabic gum

asal benih

benih

bibit

biocontrol

budidaya

busuk pangkal batang

Calophyllum inophyllum

CMC

daun

daya berkecambah

daya simpan

dormansi benih

dosis

epidermis

Eucalyptus pellita

family

Falcataria moluccana

fotosintesis

gaharu

genetik

gypsum

heritabilitas

Hibiscus macrophyllus

Hopea

hormon

hutan penelitian Parungpanjang

in vitro

indeks stomata

juvenilitas

karakteristik pertumbuhan

karat puru

kayu energi

keragaman

kerapatan stomata

kemampuan bertunas

Kilemo

klon unggul

41

131

101

173

101, 173

131

145

131

127

131

159

49

49, 173

49

145

101

1

127

101

159

119

127

131

127

49

77

145

61

1

159

77

87

101

15

87

159

67

103

1

kompos

kultur mata tunas

Leucaena leucochepala

Litsea cubeba

Lophostemon suaveolens

Mancozeb

manglid

materi genetik

media tanam

modal sosial

naungan

penyimpanan

pemberdayaan masyarakat

pemuliaan

perbanyakan vegetatif

perkecambahan

pertumbuhan

petani penggarap

pohon induk

produktivitas

pupuk

rotary shaker

sekam

setek

setek pucuk

Shorea seminis (de Vriese) Sloot

sumber benih bersertifikat

Syzygium cumini

Trema orientalis L.

Trichoderma sp.

tunas pangkasan

variasi

viabilitas benih

zat pengatur tumbuh

41

1

15

103

67

41

87

15

67, 103, 119

61

103

113

61

15

119

173

103, 173

61

77

87

67

1

41

77

31

113

159

145

31

41

77

15

113

31

INDEX PENULIS VOLUME 7

Aam Aminah

Agus Astho Pramono

Aris Sudomo

Asep Rohandi

Budi Leksono

Danu

Dede J. Sudrajat

Desmiwati

Dida Syamsuwida

Dwi Kartikaningtyas

Endah Retno Palupi

Eni Widajati

Evayusvita Rustam

Ganik Jawak

Kun Estri Maharani

Kurniawati Purwaka Putri

Maman Turjaman

Mirna Aulia Pribadi

Muhammad Zanzibar

127

159

145

87

1

31, 127

31, 87, 173

61

159

67

131

131

173

131

61

77, 101, 119, 159

145

61

113

Naning Yuniarti

Nur Hidayati

Nurmawati Siregar

Nutrita Toruan Mathius

Rahmad Suhartanto

Ratna Uli Damayanti S

Retno Agustarini

Rina Laksmi Hendrati

Surip

Tati Suharti

Tatiek K. Suharsi

Teguh Setyaji

Toni Herawan

Y.M.M. Anita Nugraheni

Yetti Heryati

Yulianti Bramasto

49, 113

15

31, 77

131

173

113

103

15

67

49, 101

173

67

1

119

103

49, 101, 127

JUDUL

Penulis

© 2017 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2017.5.2.95-102 95

Times New Roman 9,

italic, huruf kecil

Times New Roman 8,

Bold, huruf kapital

JUDUL

( Title)

Penulis Pertama1, Penulis Kedua2, dan/and Penulis Ketiga3

1)Institusi asal penulis 2)Institusi asal penulis 3)Institusi asal penulis

Alamat; Telp/Fax, Kota, Negara e-mail: salah satu penulis sebagai koresponden

Naskah masuk: ....; Naskah direvisi: ...........; Naskah diterima: ..........(diisi oleh sekretariat redaksi)

ABSTRACT

Abstract should be written in Indonesia and English using Time New Roman font, size 11 pt, italic, single space. Abstract is not a merger of several paragraphs, but it is a full and complete summary that describe

content of the paper it should contain background, objective, paragraph and should be no more than 200 words

in English.

Keyword: 3-5 keywords

ABSTRAK

Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jenis huruf Times New Roman, ukuran

11 pt, spasi tunggal. Abstrak bukanlah penggabungan beberapa paragraf, tetapi merupakan ringkasan yang

utuh dan lengkap yang menggambarkan isi tulisan. Sebaiknya abstrak mencakup latar belakang, tujuan,

metode, hasil, serta kesimpulan dari penelitian. Abstrak tidak berisi acuan atau tidak menampilkan

persamaan matematika dan singkatan yang tidak umum. Abstrak terdiri dari satu paragraf dengan jumlah kata paling banyak 250 kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Kata kunci : 3-5 kata kunci

I. PENDAHULUAN

Pendahuluan mencakup hal-hal berikut ini: Latar Belakang, berisi uraian permasalahan dan

alasan pentingnya masalah tersebut diteliti. Permasalahan dirumuskan secara jelas, penjelasan

ditekankan pada rencana pemecahan masalah dan keterkaitan dengan pencapaian luaran yang

telah ditetepkan. Tujuan, berisi pernyataan secara jelas dan singkat tentang hasil yang ingin

dicapai dari serangkaian kegiatan penelitian yang akan dilakukan. Sasaran atau luaran

menjelaskan secara spesifik yang merupakan hasil antara dalam rangka mencapai tujuan penelitian.

Hasil yang dicapai, dijelaskan kaitannya dengan kegiatan yang dilaksanakan (khusus untuk

kegiatan penelitian lanjutan).

Kosong satu spasi tunggal

Kosong 2 (dua) spasi tunggal

Kosong satu spasi tunggal

Kosong 1 (satu )spasi tunggal

Kosong 1 (satu) spasi tunggal

Kosong 1 (satu) spasi tunggal

Kosong 2 (dua) spasi tunggal

Kosong 1 (satu) spasi tunggal

Kosong 1 (satu) spasi tunggal

Kosong 2 (dua) spasi tunggal

Commented [U1]: Times New Roman 12, bold, centered, huruf

kapital, spasi tunggal, maksimum dua baris, ≤ 15kata

Commented [U2]: Times New Roman 12, italic, centered, huruf

kecil diawali huruf kapital tiap kata, spasi tunggal,tanda buka dan

tutup kurung

Commented [U3]: Times New Roman 11, tegak, centered, huruf

kecil,spasi tunggal, tanda 1) 2) dst digunakan hanya jika penulis satu

dengan yang lainnya berbeda asal instasi, jika masih satu instansi

tidak perlu menggunakan tanda 1) 2) dst

Commented [U4]: Times New Roman11, huruf kapital,

italic,bold

Commented [U5]: Times New Roman 11, spasi tunggal, italic,

apabila ada nama ilmiah menjadi tegak & underline

Commented [U6]: Times New roman 11, bold, italic, urutkan

sesuai abjad

Commented [U7]: Times New Roman 11,huruf kapital,tegak,

bold

Commented [U8]: Times New Roman 11, bold, tegak, urutkan

sesuai abjad

Commented [U9]: Times New Roman 12, tegak, bold, centered

Commented [U10]: Times New Roman 12, spasi 1,5 fist line 0,75

cm

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.5 No 2 Desember 2017: 95-102

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

96

II. BAHAN DAN METODE

Metode Penelitian yang digunakan harus ditulis sesuai dengan cara ilmiah, yaitu rasional,

empiris dan sistematis. Tanaman dan binatang ditulis lengkap dengan nama ilmiah.

Menggunakan tolak ukur internasional, system matrix dan standar nomenklatur. Metode

penelitian dijelaskan sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan. Jika metode merupakan kutipan

harus dicantumkan dalam referansi. Jika dilakukan perubahan terhadap metode kutipan atau

standar harus disebutkan perubahannya. Bila diperlukan dengan disajikan dalam tabel..

Untuk Bab dan Sub Bab secara konsisten ditulis rata di batas kiri tulisan, sebagaimana berikut:

A. Bahan dan Alat

Mengemukakan semua bahan yang digunakan seperti tumbuhan kayu, bahan kimia, alat dan

lokasi penelitian, waktu penelitian.

B. Prosedur Penelitian

Mengemukakan tahapan kerja dan beberapa pengujian yang dilakukan. Pelaksanaan penelitian

disusun berurutan menurut waktu, ukuran dan kepentingan. Untuk Sub Sub Bab secara konsisten

ditulis rata di batas kiri tulisan, sebagaimana berikut:

1. Penyiapan contoh kerja

2. Pengujian perkecambahan benih standar di laboratorium

Untuk Sub Sub Sub Bab secara konsisten ditulis, sebagaimana berikut:

a. Indeks perkecambahan (Gi)

b. Uji tetrazolium

C. Analisis Data

Metode statistik (bila ada) harus disebutkan dengan singkat.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Hasil disajikan dalam bentuk uraian umum. Disusun secara berurutan sesuai dengan tujuan

penelitian. Jika tujuan penelitian tidak tercapai perlu dikemukakan alasan dan penyebabnya.

Tabulasi, grafik, analisis statistik dilengkapi dengan tafsiran yang benar. Judul, keterangan tabel

dan gambar dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris dengan huruf miring atau sebaliknya.

Angka yang tercantum dalam tabel tidak perlu diuraikan lagi, tetapi cukup dikemukakan makna

atau tafsiran masalah yang diteliti; dalam bagian ini juga dapat disajikan ilustrasi dalam bentuk

grafik bagan, pictogram dan sebagainya. Dapat mengemukakan perbandingan hasil yang

Kosong 2 (dua) spasi tunggal

Commented [U11]: Times New Roman12, tegak bold, centered

Commented [U12]: Times New Roman 12, spasi 1,5 fist line 0,75

cm

Commented [U13]: Times New Roman 12, bold, huruf kecil,

awal huruf besar kecuali kata hubung

Commented [U14]: Times New Roman 12, huruf kecil semua,

hanya awal kalimat huruf besar, bold

Commented [U15]: Times New Roman 12, huruf kecil semua,

hanya awal kalimat huruf besar

JUDUL Penulis

97

berlainan dan beberapa perlakuan. Metode statistik yang digunakan dalam pengolahan data harus

dikemukakan, sehingga tingkat kebenaran harus dapat ditelusuri. Prinsip dasar metode

harus diterangkan dengan mengacu pada referensi atau keterangan lain mengenai masalah ini.

Penulis mengemukakan pendapatnya secara objektif dengan dilengkapi data kuantitatif.

TABEL: Diberi nomor, judul, dan keterangan yang diperlukan, ditulis dalam bahasa Indonesia

dan Inggris. Tabel ditulis dengan Times New Roman ukuran 12 pt dan berjarak satu spasi di

bawah judul tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf berukuran 12 pt, rata kiri dan ditempatkan di

atas tabel. Penomoran tabel menggunakan angka (1, 2, ......). Apabila tabel memiliki lajur/kolom

cukup banyak, dapat digunakan format satu kolom atau satu halaman penuh. Apabila judul pada

lajur tabel terlalu panjang, maka lajur diberi nomor dan keterangannya di bawah tabel.

Keterangan (Remarks) dan sumber (Source) ditulis di kiri bawah tabel ditulis dengan Times New

Roman ukuran 10 pt dan berjarak satu spasi. Tabel diletakkan segera setelah disebutkan dalam

naskah.

GAMBAR: Gambar, grafik, dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus berwarna kontras (hitam

putih atau arsir), masing-masing harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam

bahasa Indonesia dan Inggris. Gambar diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah dari

setiap halaman. Gambar diletakkan simetris dalam kolom. Apabila gambar cukup besar, bisa

digunakan format satu kolom. Penomoran gambar menggunakan huruf Times New Roman ukuran

12 pt dan berjarak satu spasi rata kiri dan ditempatkan di bagian bawah, seperti pada contoh di

bawah. Gambar diletakkan segera setelah disebutkan dalam naskah.

Tabel (Table) 1. Hasil uji beda Duncan pengaruh lama pengeringan terhadap kadar air polong,

kadar air benih dan daya berkecambah sengon laut (The results of Duncan test of

the effect drying treatment on the pod, seed moisture content and germination

percentage of sengon laut)

Perlakuan pengeringan(Drying treatment)

Kadar air

polong(Pod moisture content

%

Kadar air

benih(Seed moisture content)

%

Daya

berkecambah/%

(Germination

percentage) %

Kontrol (Control) (7,76 + 0,13 )a (7,93 + 0,36) a (77,00+4,36) Penjemuran 1 hari (Sun drying for 1 day) (7,78+0,65) a (7,95 + 0,29) a (78,66+ 4,16)

Penjemuran 2 hari (Sun drying for 2 days) (5,72+ 0,69) b (5,98 + 0,10) b (73,66 + 1,53)

Penjemuran 3 hari (Sun drying for 3 days) (5,52 + 0,47 ) b (5,77 + 0,09) b (76,00 + 1,00)

Penjemuran 4 hari (Sun drying for 4 days) (5,53+0,19) b (5,77 + 0,19) b (77,33+2,31) Penjemuran 5 hari (Sun drying for 5 days) (5,53 + 0,23) b (5,59 + 0,51) b (78,66+ 1,53)

Alat pengering 4 jam (Seed drier for 4 hours) (7,70+ 0,09) a (7,94 + 0,05) a (76,33+9,07)

Alat pengering 8 jam (Seed drier for 8 hours) (7,43 + 0,35) a (7,52 +0,03) a (81,66+3,21)

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.5 No 2 Desember 2017: 95-102

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

98

Alat pengering 12 jam (Seed drierfor 12 hours) (7,46+ 0,14) a (7,56 + 0,11) a (74,44+ 3,21)

Alat pengering 16 jam (Seed drier for 16 hours) (7,47 + 0,41) a (7,49+ 0,29) a (79,00+ 6,24)

Alat pengering 20 jam (Seed drier for 20 hours) (7,51+ 0,44) a (7,56 + 0,12) a (77,66 + 6,81)

Alat pengering 24 jam (Seed drier for 24 hours) (7,52 + 0,42) a (7,53 + 0,21) a (78,00+ 7,21) Alat pengering 28 jam (Seed drier for 28 hours) (7,44 + 0,11) a (7,59 + 0,08) a (77,33+ 4,04)

Alat pengering 32 jam (Seed drier for 32 hours) (5,73 + 0,38) b (6,04 +0,03) b (78,66+ 4,62)

Alat pengering 36 jam (Seed drier for 36 hours) (5,79+ 0,16) b (6,05+ 0,07) b (78,66+ 3,06)

Alat pengering 40 jam (Seed drier for 40 hours) (5,75+ 0,43) b (6,11+0,14) b (77,00+ 1,53)

Alat pengering 44 jam (Seed drier for 44 hours) (5,77+ 0,45) b (6,07 + 0,09) b (77,66+ 4,62) Alat pengering 48 jam (Seed drier for 48 hours) (5,74+ 0,69) b (6,09 +0,11) b (76,66+ 9,07)

Rata-rata (average) 6,70 6,79 77,50

SD 0,95 0,89 4,44

Nilai F hitung (F test) 25,48** 74,14** 0,39

Keterangan (Remarks): Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada

selang kepercayaan 99% (Values followed by the same letters on the same colm are not

significantly different : a > b > c < d, etc.P = 99%). ** berbeda sangat nyata pada selang

kepercayaan 99% (significant effect, P = 99%)

Gambar (Figure) 1. Pengaruh skarifikasi benih terhadap waktu berkecambah, kecepatan

berkecambah dan daya berkecambah pada benih kayu kuku (Effect of seed scarification to

germination time, germination speed and germination rate of P. mooniana seeds)

B. Pembahasan

Pembahasan dapat menjawab apa arti hasil yang dicapai dan apa implikasinya. Dapat

menafsirkan hasil dan menjabarkannya, sehingga dapat dimengerti pembaca. Mengemukakan

hubungan dengan hasil penelitian sebelumnya. Bila berbeda tunjukkan, bahas dan jelaskan

penyebab perbedaan tersebut. Hasil penelitian ditafsirkan dan dihubungkan dengan hipotesis dan

tujuan penelitian. Mengemukakan fakta yang ditemukan dan alasan mengapa hal tersebut terjadi.

Menjelaskan kemajuan penelitian dan kemungkinan pengembangan selanjutnya. Simbol/lambang

ditulis dengan jelas dan konsisten. Istilah asing ditulis dengan huruf italic. Singkatan harus

dituliskan secara lengkap pada saat disebutkan pertama kali, setelah itu dapat ditulis kata

Kosong 1 (satu) spasi tunggal

JUDUL Penulis

99

singkatannya.

Apabila terdapat persamaan reaksi atau matematis, diletakkan simestris pada kolom.

Nomor persamaan diletakkan diujung kanan dalam tanda kurung dan penomoran dilakukan secara

berurutan. Apabila terdapat rangkaian persamaan yang lebih dari satu baris, maka penulisan

nomor diletakkan pada baris terakhir. Penunjukan persamaan dalam naskah dalam bentuk

singkatan, seperti persamaan berikut.

).................................................(1)

Keterangan:

Gt = persen kecambah hari ke-n

Tt = hari uji perkecambahan

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan memuat hasil yang telah dibahas. Hal yang perlu diperhatikan adalah segitiga

konsistensi (masalah-tujuan-kesimpulan harus konsisten). Saran dapat dikemukakan untuk

dipertimbangkan pembaca.

UCAPAN TERIMA KASIH

Merupakan bagian yang wajib ada dalam sistematika karya tulis ilmiah. Suatu penelitian

tidak akan berhasil tanpa melibatkan pihak- pihak yang telah membantu, baik berperan secara

finansial, teknis, maupun substantif. Ucapan terima kasih merupakan sebuah kewajiban, bukan

pilihan (opsional).

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Pustaka merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah. Format penulisan Daftar

Pustaka mengacu pada American Psychological Association (APA) style. Referensi terdiri dari

acuan primer dan/atau acuan skunder. Sumber acuan primer adalah sumber acuan yang langsung

merujuk pada bidang ilmiah tertentu, sesuai topik penelitian dan sudah teruji. Sumber acuan primer

dapat berupa: tulisan dalam makalah ilmiah dalam jurnal internasional maupun nasional

terakreditasi, hasil penelitian di dalam disertai, tesis, maupun skripsi. Buku (textbook), termasuk

dalam sumber acuan sekunder. Semua karya yang dikutip dalam penulisan karya tulis harus

dimuat dalam daftar pustaka (dan sebaliknya).

Pustaka minimal 15,80% dari pustaka merupakan acuan primer, dan 80% dari acuan primer

Commented [A16]: Times New Roman12, spasi 1

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.5 No 2 Desember 2017: 95-102

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

100

merupakan publikasi 10 tahun terakhir. Pengelolaan pustaka dalam Jurnal Perbenihan Tanaman

Hutan menggunakan aplikasi software Mendeley, untuk itu disarankan agar penulis menggunakan

software yang sama. Jarak antar pustaka (after spacing) adalah 6 pt. Inden (hanging) pada baris

kedua dengan jarak 0,75 cm. Daftar pustaka harus disusun berdasarkan alphabet nama

pengarang. Penulisan situasi dan daftar pustaka diharuskan menggunakan aplikasi referensi

seperti Mendeley. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Berdasarkan APA style:

1. Paper dalam jurnal

a. Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (1 penulis)

Bonner, F. T. (1998). Testing tree seeds for vigor: A review. Seed Tehcnology, 20(1), 5–17.

b. Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (2-6 penulis)

Vieira, R. D., Paiva, A. J. A., & Perecin, D. (1999). Electrical conductivity and field performance of soybean seeds. Seed Technology, 21, 15–24.

2. Buku

Chakraverty, A., & Singh, R. (2001). Postharvest Technology Cereals, Pulses, Fruit, and Vegetables. New

Hampshire (US): Science Publishers, Inc.

3. Prosiding

Gill, N. S., & Delouche, J. (1973). Proceedings of the Association of Official Seed Analysts 63. In

Deterioration of seed corn during storage. (pp. 35–50).

4. Makalah Seminar dan Lokakarya

DBPTH. (2014). Lokakarya penyusunan Standar Mutu Benih dan Mutu Bibit Tanarnan Hutan. In Kebijakan

pengujian benih. Solo, 4-7 November 2014: Direktorat Bina Perbenihan Tanaman Hutan. Jakarta.

5. Skripsi, tesis dan disertasi

Sudrajat, D. J. (2014). Keragaman populasi, uji provenansi dan adaptasi jabon (Neolamarckia cadamba

(Roxb.) Bosser). Disertasi. Sekolah Pascasrjana. Bogor: Insitut Pertanian Bogor.

6. Laporan penelitian

Aminah, A., & Budiman, B. (2009). Teknik penanganan benih kranji (Pongamia pinnata) sebagai sumber

energi terbarukan. Laporan Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Bogor (ID): Kementerian Kehutanan.

7. Artikel dari internet

Graham, P., Reedman, L., Rodriguez, L., Raison, J., Braid, A., Haritos, V., Adams, P. (2011). Sustainable

aviation fuels road map: Data assumptions and modelling, (May), 1–104. Retrieved from

http://www.csiro.au/en/Outcomes/Energy/Powering-Transport/Sustainable-Aviation-Fuels.aspx#

CATATAN:

1. Petunjuk penulisan ini dibuat untuk keseragaman format penulisan dan kemudahan bagi penulis dapat diakses di http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/BPTPTH.

2. Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4 (210 mmx 297 mm) dengan margin atas 2,5 cm,

margin bawah 2,5 cm, margin kiri dan kanan masing-masing 2 cm. Bentuk naskah berupa 2 kolom

dengan jarak antar kolom 1 cm. Panjang naskah hendaknya maksimal 12 halaman, termasuk

lampiran Times New Roman, font 12, kecuali Abstrak, kata kunci dan daftar Pustaka font 11.

Pengutipan pustaka di dalam naskah berdasarkan sistem penulisan referensi APA Style,

sebagai berikut :

JUDUL Penulis

101

· Karya dengan dua pengarang.

....seperti yang dilakukan oleh Gill dan Delouche (1973)..... atau (Gill & Delouche, 1973)

· Karya tiga sampai lima pengarang.

(Kernis, Cornel, Sun, Berry, & Harlow, 1993) atau Kernis, Cornel, Sun, Berry, & Harlow (1993) menjelaskan... Dalam kutipan berikutnya, (Kernis et al., 1993) atau Kernis et al. (1993) argued...

· Enam pengarang atau lebih.

Harris et al. (2001) mengasumsikan... atau (Harris et al., 2001)

3. Penggunaan titik dan koma dalam penulisan angka : Naskah (teks) bahasa Indonesia: titik (.) menunjukkan kelipatan ribuan dan koma (,) menunjukkan pecahan.

4. Dewan Redaksi berhak mengubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya dan juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Penulis wajib Authorship Ethical Statement dan Copyright Agreement Form.