organisasi islam di indonesia
DESCRIPTION
islamTRANSCRIPT
serikat dagang islam
sejarah dan latar belakang terbentuknya
Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-
pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada 16 Oktober 1905,
dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang
batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Tionghoa. Pada saat itu,
pedagang-pedagang keturunan Tionghoa tersebut telah lebih maju usahanya dan memiliki hak
dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk Hindia Belanda lainnya. Kebijakan yang sengaja
diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda tersebut kemudian menimbulkan perubahan sosial
karena timbulnya kesadaran di antara kaum pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders.
SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan perekonomian
rakyat sebagai dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini
berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh. R.M. Tirtoadisurjo pada
tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Pada tahun 1910, Tirtoadisuryo
mendirikan lagi organisasi semacam itu di Buitenzorg. Demikian pula, di Surabaya H.O.S.
Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912. Tjokroaminoto masuk SI bersama
Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang kelak kemudian memegang keuangan surat
kabar SI, Oetusan Hindia. Tjokroaminoto kemudian dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah
nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI). Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar
Said Tjokroaminoto, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar
organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti
politik.
tujuan
tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim
Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan jiwa dagang.
2. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.
3. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat.
4. Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam.
5. Hidup menurut perintah agama.
perkembangan dan tokoh
Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim. Pada waktu SI mengajukan
diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya
diberikan pada SI lokal. Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik,
tapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan
menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya
SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah
Belanda.
Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum
pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik,
SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917, yaitu
HOS Tjokroaminoto; sedangkan Abdoel Moeis yang juga tergabung dalam CSI menjadi anggota
volksraad atas namanya sendiri berdasarkan ketokohan, dan bukan mewakili Central SI
sebagaimana halnya HOS Tjokroaminoto yang menjadi tokoh terdepan dalam Central Sarekat
Islam. Tapi Tjokroaminoto tidak bertahan lama di lembaga yang dibuat Pemerintah Hindia
Belanda itu dan ia keluar dari Volksraad (semacam Dewan Rakyat), karena volksraad
dipandangnya sebagai "Boneka Belanda" yang hanya mementingkan urusan penjajahan di
Hindia ini dan tetap mengabaikan hak-hak kaum pribumi. HOS Tjokroaminoto ketika itu telah
menyuarakan agar bangsa Hindia (Indonesia) diberi hak untuk mengatur urusan dirinya sendiri,
yang hal ini ditolak oleh pihak Belanda.
Kongres pertama diadakan pada bulan Januari 1913. Dalam kongres ini Tjokroaminoto
menyatakan bahwa SI bukan merupakan organisasi politik, dan bertujuan untuk meningkatkan
perdagangan antarbangsa Indonesia, membantu anggotanya yang mengalami kesulitan
ekonomi serta mengembangkan kehidupan relijius dalam masyarakat Indonesia.
Kongres kedua diadakan pada bulan Oktober 1917.
Kongres ketiga diadakan pada tanggal 29 September hingga 6 Oktober 1918 di Surabaya. Dalam
kongres ini Tjokroaminoto menyatakan jika Belanda tidak melakukan reformasi sosial berskala
besar, SI akan melakukannya sendiri di luar parlemen.
SI yang mengalami perkembangan pesat, kemudian mulai disusupi oleh paham sosialisme
revolusioner. Paham ini disebarkan oleh H.J.F.M Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV
(Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914. Pada mulanya ISDV sudah
mencoba menyebarkan pengaruhnya, tetapi karena paham yang mereka anut tidak berakar di
dalam masyarakat Indonesia melainkan diimpor dari Eropa oleh orang Belanda, sehingga
usahanya kurang berhasil. Sehingga mereka menggunakan taktik infiltrasi yang dikenal sebagai
"Blok di dalam", mereka berhasil menyusup ke dalam tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang
sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang
berbeda.
Dengan usaha yang baik, mereka berhasil memengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti Semaoen,
Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI pecah menjadi "SI
Putih" yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang dipimpin Semaoen. SI
merah berlandaskan asas sosialisme-komunisme.
Adapun faktor-faktor yang mempermudah infiltrasi ISDV ke dalam tubuh SI antar lain:
1. Centraal Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat memiliki kekuasaan yang
lemah. Hal ini dikarenakan tiap cabang SI bertindak sendiri-sendiri. Pemimpin cabang
memiliki pengaruh yang kuat untuk menentukan nasib cabangnya, dalam hal ini Semaoen
adalah ketua SI Semarang.
2. Peraturan partai pada waktu itu memperbolehkan keanggotaan multipartai, mengingat
pada mulanya organisasi seperti Boedi Oetomo dan SI merupakan organisasi non-politik.
Semaoen juga memimpin ISDV (PKI) dan berhasil meningkatkan anggotanya dari 1700
orang pada tahun 1916 menjadi 20.000 orang pada tahun 1917 di sela-sela kesibukannya
sebagai Ketua SI Semarang.
3. Akibat dari Perang Dunia I, hasil panen padi yang jelek mengakibatkan membumbungnya
harga-harga dan menurunnya upah karyawan perkebunan untuk mengimbangi kas
pemerintah kolonial mengakibatkan dengan mudahnya rakyat memihak pada ISDV.
4. Akibat kemiskinan yang semakin diderita rakyat semenjak Politik Pintu Terbuka (sistem
liberal) dilaksanakan pemerintah kolonialis sejak tahun 1870 dan wabah pes yang melanda
pada tahun 1917 di Semarang.
SI Putih (H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo)
berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta. Sedangkan SI Merah (Semaoen, Alimin, Darsono)
berhaluan kiri berpusat di kota Semarang. Sedangkan HOS Tjokroaminoto pada mulanya adalah
penengah di antara kedua kubu tersebut.
Jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin melebar saat keluarnya pernyataan Komintern
(Partai Komunis Internasional) yang menentang cita-cita Pan-Islamisme. Pada saat kongres SI
Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin, Wakil Ketua Muhammadiyah mengedarkan brosur
yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme tidak akan tercapai bila tetap bekerja sama dengan
komunis karena keduanya memang bertentangan. Di samping itu Agus Salim mengecam SI
Semarang yang mendukung PKI. Darsono membalas kecaman tersebut dengan mengecam
beleid (Belanda: kebijaksanaan) keuangan Tjokroaminoto. SI Semarang juga menentang
pencampuran agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu, Tjokroaminoto lebih condong ke SI
haluan kanan (SI Putih)
sebab berakhir
Pecahnya SI terjadi setelah Semaoen dan Darsono dikeluarkan dari organisasi. Hal ini ada
kaitannya dengan desakan Abdul Muis dan Agus Salim pada kongres SI yang keenam 6-10
Oktober 1921 tentang perlunya disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap. Anggota SI
harus memilih antara SI atau organisasi lain, dengan tujuan agar SI bersih dari unsur-unsur
komunis. Hal ini dikhawatirkan oleh PKI sehingga Tan Malaka meminta pengecualian bagi PKI.
Namun usaha ini tidak berhasil karena disiplin partai diterima dengan mayoritas suara. Saat itu
anggota-anggota PSI dari Muhammadiyah dan Persis pun turut pula dikeluarkan, karena disiplin
partai tidak memperbolehkannya.
Keputusan mengenai disiplin partai diperkuat lagi dalam kongres SI pada bulan Februari 1923
di Madiun. Dalam kongres Tjokroaminoto memusatkan tentang peningkatan pendidikan kader
SI dalam memperkuat organisasi dan pengubahan nama CSI menjadi Partai Sarekat Islam (PSI).
Pada kongres PKI bulan Maret 1923, PKI memutuskan untuk menggerakkan SI Merah untuk
menandingi SI Putih. Pada tahun 1924, SI Merah berganti nama menjadi "Sarekat Rakyat".
Partai Sarekat Islam Indonesia
Pada kongres PSI tahun 1929 menyatakan bahwa tujuan perjuangan adalah mencapai
kemedekaan nasional. Karena tujuannya yang jelas itulah PSI ditambah namanya dengan
Indonesia sehingga menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun itu juga PSII
menggabungkan diri dengan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI).
Akibat keragaman cara pandang di antara anggota partai, PSII pecah menjadi beberapa partai
politik, di antaranya Partai Islam Indonesia dipimpin Sukiman, PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno,
dan PSII sendiri. Perpecahan itu melemahkan PSII dalam perjuangannya. Pada Pemilu 1955 PSII
menjadi peserta dan mendapatkan 8 (delapan) kursi parlemen. Kemudian pada Pemilu 1971
pada zaman Orde Baru, PSII di bawah kepemimpinan H. Anwar Tjokroaminoto kembali menjadi
peserta bersama sembilan partai politik lainnya dan berhasil mendudukkan wakilnya di DPRRI
sejumlah 12 (dua belas orang).
al washliyah
sejarah dan latar belakang terbentuknya
tujuan
Menjadi pembaharu pendidikan islam dengan menggabungkan dua system, antara tradisional
dan modern di tanah sumatera
masyumi
sejarah dan latar belakang terbentuknya
Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi adalah sebuah partai politik yang
berdiri pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta. Partai ini didirikan melalui sebuah
Kongres Umat Islam pada 7-8 November 1945
Masyumi pada awalnya didirikan 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI (Madjlisul Islamil
A'laa Indonesia) karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan
masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Meskipun demikian, Jepang tidak terlalu
tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada pada zaman Belanda yang kebanyakan
berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga pada minggu-minggu pertama,
Jepang telah melarang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII).
Selain itu Jepang juga berusaha memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan
para kyai di pedesaan. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang
karena dapat menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh
maupun tentara. Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalam
Putera (Pusat Tenaga Rakyat), akhirnya Jepang mendirikan Masyumi.
Masyumi pada zaman pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan federasi
dari empat organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.[1] Setelah
menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian Abadi pada tahun 1947.
Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam
pembentukan Masyumi. Tokoh NU, KH Hasyim Asy'arie, terpilih sebagai pimpinan tertinggi
Masyumi pada saat itu. Tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam kepengurusan
Masyumi dan karenanya keterlibatan NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari.
Nahdlatul Ulama kemudian ke luar dari Masyumi melalui surat keputusan Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tanggal 5 April 1952 akibat adanya pergesekan politik di antara
kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama saja.
Hubungan antara Muhammadiyah dengan Masyumi pun mengalami pasang-surut secara
politis dan sempat merenggang pada Pemilu 1955. Muhammadiyah pun melepaskan
keanggotaan istimewanya pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun 1960.
tujuan
sebagai partai politik yang dimiliki oleh umat Islam dan sebagai partai penyatu umat Islam
dalam bidang politik.
perkembangan dan tokoh
Hasil penghitungan suara pada Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara
yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu.[2] Masyumi menjadi partai Islam
terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan,
termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa
Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI dan di Jawa
Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional
tak terjadi.
Berikut Hasil Pemilu 1955:
1. Partai Nasional Indonesia (PNI) - 8,4 juta suara (22,3%)
2. Masyumi - 7,9 juta suara (20,9%)
3. Nahdlatul Ulama - 6,9 juta suara (18,4%)
4. Partai Komunis Indonesia (PKI) - 6,1 juta suara (16%)
Melalui Pemilu 1955 ini Masyumi mendapatkan 57 kursi di Parlemen.
Di antara tokoh-tokoh Masyumi yang dikenal adalah:
Hasyim Asy'arie
Wahid Hasjim, putra KH Hasyim Asy'arie.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), wakil Masyumi dalam Konstituante
Muhammad Natsir, Menteri Penerangan dalam beberapa kabinet pada masa revolusi,
Perdana Menteri Pertama NKRI, terkenal dengan Mosi Integral Natsir yang mengubah
Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia
Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran dalam beberapa kabinet pada masa
revolusi, Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Gubernur Bank Indonesia Pertama,
terkenal dengan kebijakan Gunting Sjafrudin
Mr. Mohammad Roem, Diplomat ulung yang dikenal lewat inisiatifnya dalam perundingan
yang kemudian dikenal sebagai Perundingan Roem - Royen
Muhammad Isa Anshari, Ketua Partai Masyumi di Parlemen yang dikenal lantang dan tegas
dalam memegang teguh prinsip perjuangan, termasuk saat polemik tentang dasar negara
berlangsung di Majelis Konstituante sebelum akhirnya dibubarkan dengan Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959.
Kasman Singodimedjo, Daidan PETA daerah Jakarta, yang menjamin keamanan untuk
diselenggarakannya Proklamasi Kemerdekaan NKRI dan Rapat Umum IKADA.
Dr. Anwar Harjono, merupakan juru bicara terakhir Partai Masyumi yang dibekukan oleh
Pemerintah Orde Lama, sehingga lahirlah Keluarga Besar Bulan Bintang dan pada masa
Orde Baru mendirikan Organisasi Dakwah, yakni Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)
yang pada masa Reformasi menjadi inspirator bagi lahirnya kekuatan politik baru penerus
perjuangan Masyumi, yakni Partai Bulan Bintang (PBB).
sebab berakhir
Masyumi pada akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960 dikarenakan
tokoh-tokohnya dicurigai terlibat dalam gerakan pemberontakan dari dalam Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).