organisasi islam di indonesia

24
serikat dagang islam sejarah dan latar belakang terbentuknya Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang- pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada 16 Oktober 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Tionghoa. Pada saat itu, pedagang-pedagang keturunan Tionghoa tersebut telah lebih maju usahanya dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk Hindia Belanda lainnya. Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda tersebut kemudian menimbulkan perubahan sosial karena timbulnya kesadaran di antara kaum pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders. SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh. R.M. Tirtoadisurjo pada tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Pada tahun 1910, Tirtoadisuryo mendirikan lagi organisasi semacam itu di Buitenzorg. Demikian pula, di Surabaya H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912. Tjokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang kelak kemudian memegang keuangan surat kabar SI, Oetusan Hindia. Tjokroaminoto kemudian dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI). Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar Said Tjokroaminoto, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik. tujuan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut: 1. Mengembangkan jiwa dagang. 2. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha. 3. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat. 4. Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam.

Upload: nofrianti3011

Post on 22-Dec-2015

37 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

islam

TRANSCRIPT

serikat dagang islam

sejarah dan latar belakang terbentuknya

Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-

pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada 16 Oktober 1905,

dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang

batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Tionghoa. Pada saat itu,

pedagang-pedagang keturunan Tionghoa tersebut telah lebih maju usahanya dan memiliki hak

dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk Hindia Belanda lainnya. Kebijakan yang sengaja

diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda tersebut kemudian menimbulkan perubahan sosial

karena timbulnya kesadaran di antara kaum pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders.

SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan perekonomian

rakyat sebagai dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini

berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh. R.M. Tirtoadisurjo pada

tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Pada tahun 1910, Tirtoadisuryo

mendirikan lagi organisasi semacam itu di Buitenzorg. Demikian pula, di Surabaya H.O.S.

Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912. Tjokroaminoto masuk SI bersama

Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang kelak kemudian memegang keuangan surat

kabar SI, Oetusan Hindia. Tjokroaminoto kemudian dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah

nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI). Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar

Said Tjokroaminoto, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar

organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti

politik.

tujuan

tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim

Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut:

1. Mengembangkan jiwa dagang.

2. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.

3. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat.

4. Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam.

5. Hidup menurut perintah agama.

perkembangan dan tokoh

Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim. Pada waktu SI mengajukan

diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya

diberikan pada SI lokal. Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik,

tapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan

menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya

SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah

Belanda.

Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum

pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik,

SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917, yaitu

HOS Tjokroaminoto; sedangkan Abdoel Moeis yang juga tergabung dalam CSI menjadi anggota

volksraad atas namanya sendiri berdasarkan ketokohan, dan bukan mewakili Central SI

sebagaimana halnya HOS Tjokroaminoto yang menjadi tokoh terdepan dalam Central Sarekat

Islam. Tapi Tjokroaminoto tidak bertahan lama di lembaga yang dibuat Pemerintah Hindia

Belanda itu dan ia keluar dari Volksraad (semacam Dewan Rakyat), karena volksraad

dipandangnya sebagai "Boneka Belanda" yang hanya mementingkan urusan penjajahan di

Hindia ini dan tetap mengabaikan hak-hak kaum pribumi. HOS Tjokroaminoto ketika itu telah

menyuarakan agar bangsa Hindia (Indonesia) diberi hak untuk mengatur urusan dirinya sendiri,

yang hal ini ditolak oleh pihak Belanda.

Kongres pertama diadakan pada bulan Januari 1913. Dalam kongres ini Tjokroaminoto

menyatakan bahwa SI bukan merupakan organisasi politik, dan bertujuan untuk meningkatkan

perdagangan antarbangsa Indonesia, membantu anggotanya yang mengalami kesulitan

ekonomi serta mengembangkan kehidupan relijius dalam masyarakat Indonesia.

Kongres kedua diadakan pada bulan Oktober 1917.

Kongres ketiga diadakan pada tanggal 29 September hingga 6 Oktober 1918 di Surabaya. Dalam

kongres ini Tjokroaminoto menyatakan jika Belanda tidak melakukan reformasi sosial berskala

besar, SI akan melakukannya sendiri di luar parlemen.

SI yang mengalami perkembangan pesat, kemudian mulai disusupi oleh paham sosialisme

revolusioner. Paham ini disebarkan oleh H.J.F.M Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV

(Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914. Pada mulanya ISDV sudah

mencoba menyebarkan pengaruhnya, tetapi karena paham yang mereka anut tidak berakar di

dalam masyarakat Indonesia melainkan diimpor dari Eropa oleh orang Belanda, sehingga

usahanya kurang berhasil. Sehingga mereka menggunakan taktik infiltrasi yang dikenal sebagai

"Blok di dalam", mereka berhasil menyusup ke dalam tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang

sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang

berbeda.

Dengan usaha yang baik, mereka berhasil memengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti Semaoen,

Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI pecah menjadi "SI

Putih" yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang dipimpin Semaoen. SI

merah berlandaskan asas sosialisme-komunisme.

Adapun faktor-faktor yang mempermudah infiltrasi ISDV ke dalam tubuh SI antar lain:

1. Centraal Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat memiliki kekuasaan yang

lemah. Hal ini dikarenakan tiap cabang SI bertindak sendiri-sendiri. Pemimpin cabang

memiliki pengaruh yang kuat untuk menentukan nasib cabangnya, dalam hal ini Semaoen

adalah ketua SI Semarang.

2. Peraturan partai pada waktu itu memperbolehkan keanggotaan multipartai, mengingat

pada mulanya organisasi seperti Boedi Oetomo dan SI merupakan organisasi non-politik.

Semaoen juga memimpin ISDV (PKI) dan berhasil meningkatkan anggotanya dari 1700

orang pada tahun 1916 menjadi 20.000 orang pada tahun 1917 di sela-sela kesibukannya

sebagai Ketua SI Semarang.

3. Akibat dari Perang Dunia I, hasil panen padi yang jelek mengakibatkan membumbungnya

harga-harga dan menurunnya upah karyawan perkebunan untuk mengimbangi kas

pemerintah kolonial mengakibatkan dengan mudahnya rakyat memihak pada ISDV.

4. Akibat kemiskinan yang semakin diderita rakyat semenjak Politik Pintu Terbuka (sistem

liberal) dilaksanakan pemerintah kolonialis sejak tahun 1870 dan wabah pes yang melanda

pada tahun 1917 di Semarang.

SI Putih (H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo)

berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta. Sedangkan SI Merah (Semaoen, Alimin, Darsono)

berhaluan kiri berpusat di kota Semarang. Sedangkan HOS Tjokroaminoto pada mulanya adalah

penengah di antara kedua kubu tersebut.

Jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin melebar saat keluarnya pernyataan Komintern

(Partai Komunis Internasional) yang menentang cita-cita Pan-Islamisme. Pada saat kongres SI

Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin, Wakil Ketua Muhammadiyah mengedarkan brosur

yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme tidak akan tercapai bila tetap bekerja sama dengan

komunis karena keduanya memang bertentangan. Di samping itu Agus Salim mengecam SI

Semarang yang mendukung PKI. Darsono membalas kecaman tersebut dengan mengecam

beleid (Belanda: kebijaksanaan) keuangan Tjokroaminoto. SI Semarang juga menentang

pencampuran agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu, Tjokroaminoto lebih condong ke SI

haluan kanan (SI Putih)

sebab berakhir

Pecahnya SI terjadi setelah Semaoen dan Darsono dikeluarkan dari organisasi. Hal ini ada

kaitannya dengan desakan Abdul Muis dan Agus Salim pada kongres SI yang keenam 6-10

Oktober 1921 tentang perlunya disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap. Anggota SI

harus memilih antara SI atau organisasi lain, dengan tujuan agar SI bersih dari unsur-unsur

komunis. Hal ini dikhawatirkan oleh PKI sehingga Tan Malaka meminta pengecualian bagi PKI.

Namun usaha ini tidak berhasil karena disiplin partai diterima dengan mayoritas suara. Saat itu

anggota-anggota PSI dari Muhammadiyah dan Persis pun turut pula dikeluarkan, karena disiplin

partai tidak memperbolehkannya.

Keputusan mengenai disiplin partai diperkuat lagi dalam kongres SI pada bulan Februari 1923

di Madiun. Dalam kongres Tjokroaminoto memusatkan tentang peningkatan pendidikan kader

SI dalam memperkuat organisasi dan pengubahan nama CSI menjadi Partai Sarekat Islam (PSI).

Pada kongres PKI bulan Maret 1923, PKI memutuskan untuk menggerakkan SI Merah untuk

menandingi SI Putih. Pada tahun 1924, SI Merah berganti nama menjadi "Sarekat Rakyat".

Partai Sarekat Islam Indonesia

Pada kongres PSI tahun 1929 menyatakan bahwa tujuan perjuangan adalah mencapai

kemedekaan nasional. Karena tujuannya yang jelas itulah PSI ditambah namanya dengan

Indonesia sehingga menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun itu juga PSII

menggabungkan diri dengan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan

Indonesia (PPPKI).

Akibat keragaman cara pandang di antara anggota partai, PSII pecah menjadi beberapa partai

politik, di antaranya Partai Islam Indonesia dipimpin Sukiman, PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno,

dan PSII sendiri. Perpecahan itu melemahkan PSII dalam perjuangannya. Pada Pemilu 1955 PSII

menjadi peserta dan mendapatkan 8 (delapan) kursi parlemen. Kemudian pada Pemilu 1971

pada zaman Orde Baru, PSII di bawah kepemimpinan H. Anwar Tjokroaminoto kembali menjadi

peserta bersama sembilan partai politik lainnya dan berhasil mendudukkan wakilnya di DPRRI

sejumlah 12 (dua belas orang).

jam’iyyatul khair

sejarah dan latar belakang terbentuknya

tujuan

perkembangan dan tokoh

sebab berakhir

persis sejarah dan latar belakang terbentuknya

tujuan

perkembangan dan tokoh

peranan dalam

al washliyah

sejarah dan latar belakang terbentuknya

tujuan

Menjadi pembaharu pendidikan islam dengan menggabungkan dua system, antara tradisional

dan modern di tanah sumatera

perkembangan dan tokoh

peran

masyumi

sejarah dan latar belakang terbentuknya

Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi adalah sebuah partai politik yang

berdiri pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta. Partai ini didirikan melalui sebuah

Kongres Umat Islam pada 7-8 November 1945

Masyumi pada awalnya didirikan 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI (Madjlisul Islamil

A'laa Indonesia) karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan

masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Meskipun demikian, Jepang tidak terlalu

tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada pada zaman Belanda yang kebanyakan

berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga pada minggu-minggu pertama,

Jepang telah melarang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII).

Selain itu Jepang juga berusaha memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan

para kyai di pedesaan. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang

karena dapat menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh

maupun tentara. Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalam

Putera (Pusat Tenaga Rakyat), akhirnya Jepang mendirikan Masyumi.

Masyumi pada zaman pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan federasi

dari empat organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU),

Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.[1] Setelah

menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian Abadi pada tahun 1947.

Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam

pembentukan Masyumi. Tokoh NU, KH Hasyim Asy'arie, terpilih sebagai pimpinan tertinggi

Masyumi pada saat itu. Tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam kepengurusan

Masyumi dan karenanya keterlibatan NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari.

Nahdlatul Ulama kemudian ke luar dari Masyumi melalui surat keputusan Pengurus Besar

Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tanggal 5 April 1952 akibat adanya pergesekan politik di antara

kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama saja.

Hubungan antara Muhammadiyah dengan Masyumi pun mengalami pasang-surut secara

politis dan sempat merenggang pada Pemilu 1955. Muhammadiyah pun melepaskan

keanggotaan istimewanya pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun 1960.

tujuan

sebagai partai politik yang dimiliki oleh umat Islam dan sebagai partai penyatu umat Islam

dalam bidang politik.

perkembangan dan tokoh

Hasil penghitungan suara pada Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara

yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu.[2] Masyumi menjadi partai Islam

terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan,

termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara,

Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa

Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI dan di Jawa

Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional

tak terjadi.

Berikut Hasil Pemilu 1955:

1. Partai Nasional Indonesia (PNI) - 8,4 juta suara (22,3%)

2. Masyumi - 7,9 juta suara (20,9%)

3. Nahdlatul Ulama - 6,9 juta suara (18,4%)

4. Partai Komunis Indonesia (PKI) - 6,1 juta suara (16%)

Melalui Pemilu 1955 ini Masyumi mendapatkan 57 kursi di Parlemen.

Di antara tokoh-tokoh Masyumi yang dikenal adalah:

Hasyim Asy'arie

Wahid Hasjim, putra KH Hasyim Asy'arie.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), wakil Masyumi dalam Konstituante

Muhammad Natsir, Menteri Penerangan dalam beberapa kabinet pada masa revolusi,

Perdana Menteri Pertama NKRI, terkenal dengan Mosi Integral Natsir yang mengubah

Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia

Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran dalam beberapa kabinet pada masa

revolusi, Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Gubernur Bank Indonesia Pertama,

terkenal dengan kebijakan Gunting Sjafrudin

Mr. Mohammad Roem, Diplomat ulung yang dikenal lewat inisiatifnya dalam perundingan

yang kemudian dikenal sebagai Perundingan Roem - Royen

Muhammad Isa Anshari, Ketua Partai Masyumi di Parlemen yang dikenal lantang dan tegas

dalam memegang teguh prinsip perjuangan, termasuk saat polemik tentang dasar negara

berlangsung di Majelis Konstituante sebelum akhirnya dibubarkan dengan Dekrit Presiden

tanggal 5 Juli 1959.

Kasman Singodimedjo, Daidan PETA daerah Jakarta, yang menjamin keamanan untuk

diselenggarakannya Proklamasi Kemerdekaan NKRI dan Rapat Umum IKADA.

Dr. Anwar Harjono, merupakan juru bicara terakhir Partai Masyumi yang dibekukan oleh

Pemerintah Orde Lama, sehingga lahirlah Keluarga Besar Bulan Bintang dan pada masa

Orde Baru mendirikan Organisasi Dakwah, yakni Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)

yang pada masa Reformasi menjadi inspirator bagi lahirnya kekuatan politik baru penerus

perjuangan Masyumi, yakni Partai Bulan Bintang (PBB).

sebab berakhir

Masyumi pada akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960 dikarenakan

tokoh-tokohnya dicurigai terlibat dalam gerakan pemberontakan dari dalam Pemerintahan

Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

al irsyad al Islamiyah

sejarah dan latar belakang terbentuknya

tujuan

perkembangan dan tokoh

sebab berakhir

nahdatul ulama

sejarah dan latar belakang terbentuknya

tujuan

perkembangan dan tokoh

peranan