optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di wilayah...
TRANSCRIPT
OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG
PROVINSI SULAWESI SELATAN
HASNI YULIANTI AZIS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2011 Hasni Yulianti Azis NIM. C261050101
ABSTRACT
HASNI YULIANTI AZIS. Optimized seaweed resources management in the coastal region of Bantaeng Regency, South Sulawesi Province. Supervised by FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G. BENGEN and WIDODO FARID MA’RUF. Seaweed culture has been growing fast in Bantaeng Regency as it creates benefits with small capital and low risks, making fishermen and fish farmers change their works to be seaweed farmers. Main problem in seaweed culture management is high enthusiasm of coastal community cause the uncontrolled seaweed culture development without concerning suitability principles and capacity region for seaweed culture. Besides un-optimum harvesting. The aims of the study were to evaluate suitability and carrying capacity of region; to study sustainability of seaweed culture management; to optimize seaweed culture management. The study was conducted in two disctricts within Bantaeng Regency, namely Bantaeng District and Bissapu District. Survey method was applied to evaluate biophysic characteristic of seaweed culture region as a basis for suitability and capacity determination of seaweed culture. Region suitability was analyzed by GIS and carrying capacity was measured based on two approaches, that are region capacity approach and N assimilation approach; optimized utilization with dynamic system and sustainability analysis with RAP-RL, modification of RAPFISH. Results of the study revealed that suitable region for seaweed culture in the study area was 2 313.29 ha, consisted of highly suitable region of 415.31 ha and conditional suitable region of 1 897.99 ha. Aquatic carrying capacity with marine waters capacity approach was 1 203.23 ha, which was equal to 5 942 units. Meanwhile, with assimilation capacity approach was 1 650.64 ha or 6 603 units for brown Kappaphycu alvarezii (doty) and 2 073.72 ha or 8 295 culture units for green Kappaphycu alvarezii (doty). Optimization analysis showed in optimistic scenario was anthropogenic waste input to the coastal waters environment of Bantaeng and Bissapu Districts increased 50% from beginning condition (current condition), and this provided best result compared to increased 10% and 25% anthropogenic waste input from beginning condition, either in production, income, income contribution to the government, and labour use aspects. Analysis results from RAP-RL showed that sustainability value index of ecology dimension was 67.95% and economy dimension was 67.95% (enough sustainable); socio-culture dimension was 56.47% (enough sustainable); technology dimension was 32.42% and institution dimension was 39.83% (less sustainable). While, index value of sustainable multidimensions was 54.11% (enough sustainable).
Key words: seaweed cultivation, area suitability, carrying capacity, Optimized and
sustainable.
RINGKASAN HASNI YULIANTI AZIS. Optimasi Pengelolaan Sumberdaya RL di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G BENGEN, dan WIDODO FARID MA’RUF.
Potensi budidaya rumput laut wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng tidaklah terlalu besar jika dibandingkan dengan potensi beberapa Kabupaten lain di Provinsi Sulawesi Selatan. Namun mempunyai kontribusi yang besar bagi masyarakat pesisir khususnya dan masyarakat umumnya bahkan Pemda Kabupaten Bantaeng dan Provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu produsen Kappaphycus alvarezii. Panjang garis pantainya secara keseluruhan hanya 21 km dan khusus untuk wilayah kajian panjang garis pantainya hanya 10.6 km.
Permasalahan utama dalam pengelolaan usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng adalah antusiasme masyarakat yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan pengembangan usaha budidaya rumput laut sangat pesat sehingga tidak terkendali akibatnya hampir semua wilayah pesisir telah ditanami rumput laut, menjorok ke laut hingga 3-4 km. Dan yang mengkhawatirkan bagi keberlanjutan usaha budidaya rumput laut ini adalah pengelolaan yang tidak memperhitungkan azas kesesuaian dan daya dukung kawasan budidaya.
Hal ini dapat diatasi dengan pemanfaatan lahan yang optimal dan pengelolaan budidaya rumput laut lebih ke arah peningkatan produktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lahan yang sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut, menentukan daya dukung lingkungan, optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut untuk keberlanjutan usaha budidaya rumput laut. Metoda dalam penelitian meliputi : (i) survei lapang untuk menilai kelayakan biofisik wilayah kajian; (ii) kesesuaian lahan dengan Sistem Informasi Geografis (GIS); (iii) daya dukung kawasan menggunakan 2 pendekatan; (iv) optimasi dengan sistem dinamik; dan (v) keberlanjutan dengan Rapfish. Hasil pengukuran parameter kualitas air masih layak atau mendukung untuk kegiatan budidaya rumput laut. Sementara kondisi oseanografi (kec.arus dan gelombang) hanya layak pada musim Barat dan musim Transisi.
Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut dengan masing-masing kategori kesesuaian diperoleh hasil sebagai berikut: lahan yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1 (sangat sesuai) = 415.31 ha dan S2 (sesuai bersyarat) = 1 897.99 ha. Kawasan perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut pada lokasi kajian telah dikelola seluas 1 214.7 ha atau sekitar 52.5 % dari 2 313.29 ha.
Daya dukung perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut di kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dengan menggunakan pendekatan kapasitas perairan adalah 1 203.23 ha. Dan jumlah unit usaha budidaya rumput laut yang dapat didukung untuk kegiatan budidaya tersebut sebanyak 5 942 unit. Sedangkan dengan pendekatan kapasitas asimilasi, diperoleh daya dukung kawasan sebesar 1 650.64 ha atau 6 603 unit untuk K.alvarezii (doty) coklat dan 2 073.72 ha atau 8 295 unit budidaya untuk K.alvarezii (doty) hijau. Penggunaan dua varietas rumput laut yakni
rumput laut berwarna coklat dan berwarna hijau karena nelayan rumput laut membudidayakan kedua jenis rumput laut tersebut.
Untuk analisis kelayakan usaha budidaya rumput laut digunakan Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BC Ratio). Biaya investasi Rp19 135 457; biaya operasional Rp3 324 764; biaya pemeliharaan Rp382 052; Pendapatan Rp33 659 130. Perhitungan analisis NPV menggunakan asumsi discount rate 7.75% memberikan nilai Rp18 040 887. Hasil perhitungan BCR memberikan nilai 9.58
Skenario yang paling optimal adalah skenario ke 4. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir wilayah kajian mulai hari ke-1 sampai akhir pemeliharaan sebesar 757.28 ton. Luas rumput laut yang dapat dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal – maksimal) untuk K.alvarezii jenis coklat seluas 1 978.03 ha–2 815.16 ha atau 7 912 unit–11 261 unit sedangkan untuk jenis hijau seluas 2 485.03 ha–3 536.73 ha atau 9 940 unit–14 147 unit. Luas rumput laut ini dapat meningkatkan kapasitas asimilasi perairan menjadi 1 312.94 ton/hari–1 868.59 ton N/hari. Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan pada kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 25 cm sebesar 11 216.59–16 013.12 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 12 45304–17 778.21 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 13 098.29–18 699.37 ton. Sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau dengan jarak tanam 25 cm sebesar 14 091.57–20 117.39 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 15 644.94–22 335.02 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 16 455.57–23 492.29 ton.
Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat: jarak tanam 25 cm sebesar Rp7 217 626 176.22–Rp10 272 233 877.83; jarak tanam 35 cm sebesar Rp7 278 792 499.74–Rp10 359 286 707.30; jarak tanam 45 cm sebesar Rp7 274 921 213.44–Rp10 353 777 034.55 dengan kontribusi pendapatan ke daerah masing-masing sebesar Rp721 762 617.62–Rp1 027 223 387.78; Rp727 879 249.97–Rp1 035 928 670.73; Rp727 492 121.34–Rp1 035 377 703.45
Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk K.alvarezii hijau: jarak tanam 25 cm sebesar Rp9 067 611 041.88; jarak tanam 35 cm sebesar Rp9 144 455 203.25–Rp13 014 525 862.06; jarak tanam 45 cm sebesar Rp9 139 591 648.73 – Rp13 007 603 978.30 dengan kontribusi pendapatan ke daerah masing-masing sebesar Rp906 761 104.19–Rp1 290 516 009.85; Rp914 445 520.32– Rp1 301 452 586.21; dan Rp913 959 164.87–Rp1 300 760 397.83
Tingkat serapan tenaga kerja untuk K.alvarezii jenis coklat sebanyak 23 736–33 781 orang atau 569 672–810 766.44 HOK/th. Sedangkan K.alvarezii jenis hijau sebanyak 29 820–42 440 orang atau 715 688–1 018 577 HOK/th.
Hasil analisis Rap-RP (adaptasi dari Rapfish) diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 67.95%, ekonomi sebesar 67.95%, sosial-budaya 56.47% dengan status cukup berkelanjutan, teknologi sebesar 32.42% dan kelembagaan 39.84% dengan status kurang berkelanjutan. Sedangkan nilai indeks multi-dimensi sebesar 54.11 % dengan status cukup berkelanjutan.
Kata kunci: rumput laut, kesesuaian kawasan, daya dukung perairan, Optimasi dan keberlanjutan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang – Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mencantumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG,
PROVINSI SULAWESI SELATAN
HASNI YULIANTI AZIS
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
Ujian Tertutup Tanggal 22 November 2010
Penguji Luar Komisi:
1. Dr. Ir. Etty Riani, MS (Staf Pengajar Departemen MSP IPB)
2. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si (Staf Pengajar Departemen MSP IPB)
Ujian Terbuka Tanggal 24 Januari 2011
Penguji Luar Komisi:
1. Dr. Ir. Etty Riani, MS (Staf Pengajar Departemen MSP IPB)
2. Prof. Ir. Nurdin Abdullah, MSc., Ph.D (Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bantaeng)
Judul Disertasi : Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan
Nama : Hansi Yulianti Azis
NIM : C261050101 Disetujui Komisi Pembimbing
Ketua Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Anggota Anggota
Ir. Widodo Farid Ma’ruf, M.Sc. Ph.D
Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian 22 November 2010 Tanggal Lulus....................
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini berjudul ” Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan”.
Disertasi ini memuat 9 bab yang terdiri atas pendahuluan; tinjauan pustaka; metodologi penelitian; kondisi lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi; kesesuaian dan daya dukung kawasan budidaya; optimasi pemanfaatan wilayah pesisir; keberlanjutan usaha budidaya rumput laut; arahan pengelolaan sumberdaya rumput laut dan kesimpulan dan saran. Bagian dari disertasi ini akan dimuat pada buletin penelitian Seri Sosial Budaya dan Humaniora serta jurnal Nusa Esda.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
o Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc., selaku ketua komisi pembimbing serta Prof.Dr.Ir.Dietriech G. Bengen, DEA dan Bapak Ir. Widodo Farid Ma’ruf, M.Sc., Ph.D masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing atas segala kebaikan dan kesabarannya dalam membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.
o Keluarga Bapak Drs.H.Nurland/Prof. Dr. Ir. Hj. Farida Nurland, MSi, Ketua Pusat Studi Gender Universitas Hasanuddin dan Keluarga Prof. Dr. Ir. H. Restu, Msi. Dekan Fak. Kehutanan Universitas Hasanuddin atas segala doa, semangat dan bantuan materi selama penulis dalam proses pendidikan Doktoral.
o Bapak Prof. Dr. Ir. Nurdin Abdullah, M.Sc. sekeluarga, Bupati Bantaeng atas segala fasilitas dan bantuan dana selama penulis melaksanakan penelitian di Kabupaten Bantaeng.
o Bapak Ir. Muh. Kasang, Msi, mantan Kepala Dinas Perikanan dan Kelauatan Kabupaten Bantaeng; Bapak Ir. Edy Wahyudi, KaSubdin Perikanan Kabupaten Bantaeng, atas segala bantuan dan kemudahan yang penulis alami selama penelitian.
o Dirjen DIKTI yang telah memberikan beasiswa BPPS selama tiga tahun. o Coremap yang telah memberikan bantuan penulisan disertasi o Pimpinan Universitas Hasanuddin dan Dekan FIKP Unhas yang telah
memberikan izin studi. o Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan atas perkenannya sehingga saya
bisa kuliah di sini. o Ketua Departemen MSP dan Ketua Program Studi SPL serta seluruh staf
Program Studi SPL atas segala pelayanan akademik yang bersahabat selama penulis mengikuti perkuliahan di Program Studi SPL.
o Rekan-rekan di FIKP Unhas yang selalu menyemangati supaya cepat selesai. Juga kepada Nur Ikhsan (Iccank) yang telah membatu selama survey dan pengambilan sampel di Laut serta Baharuddin yang sangat lihay mengendalikan
perahunya sehingga penulis tetap bisa mengukur dan mengambil sampel di tengah gelombang.
o Rekan – rekan pada Program Studi SPL dan terkhusus kepada Pak David Hermawan, Ibu Fatmawati, dan Ibu Nirmala atas segala persaudaraan, persahabatan dan kebersamaan selama mengikuti pendidikan di SPL serta adik Awir, Ir. Muh Yusuf Halim, MSi, Dr. Rahman Kurniawan, Dr. Muhammad Hery Riyadi Alauddin, Dr. Alimuddin Laapo, Ir. Dori Rachmawani, MSi atas segala bantuannya selama proses analisis data serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu selama kuliah dan pelaksanaan penelitian dan penyelesaian penulisan disertasi ini.
o Kepada Ibu Nadiarti, Kel. Bapak Haris Bahrun, Kel. Bapak Arif Nasution, Kel. Ibu Rosmawaty Anwar, teman dalam suka dan duka selama pendidikan.
o Khusus kepada “Pahlawanku” dan “Teladanku”, Ibundaku tercinta, Hanisa (almarhumah), yang single parent, dalam kondisi ekonomi yang sangat jauh dari mencukupi, berjuang dengan sekuat tenaga agar anak-anaknya bisa menempuh pendidikan tinggi semoga semuanya menjadi amal ibadah Ibunda disisiNya; untuk Ayahanda tercinta Abd. Azis (almarhum) yang telah pergi mendahului sejak kami kecil, atas semangat juang yang diwariskan kepada anak-anaknya; kepada Bapaknya anak-anak Ir. Syamsul Holiq dan anak-anakku tersayang Arga Probowisesa, Sudewo Were ri Langi dan Rio Priantoro, adik-adikku Ir. Muh. Natsir Azis sekeluarga dan Haslinda Azis, SE sekeluarga; keluarga besar Bapak Mayor (Purnawirawan) H.P. Jaya dan seluruh keluarga yang lain atas dukungan moril/materil, pengertian, kesabaran, doa, dan kasih sayang selama penulis mengikuti pendidikan di IPB serta yang tak kalah besar peranannya, Bi Tinah, yang setia membantu membereskan segala urusan rumah tangga sejak kami di Bogor.
Saya menyadari bahwa penelitian dan disertasi ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran untuk perbaikannya sangat kami hargai. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan bisa diaplikasikan oleh masyarakat nelayan rumput laut umumnya dan khususnya nelayan rumput laut Kabupaten Bantaeng.
Bogor, Januari 2011
Hasni Y. Azis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan pada 27 Juli 1964. Merupakan sulung dari tiga bersaudara, putri pasangan Hanisa (almarhumah) dan Abd. Azis (almarhum).
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Perikanan Universitas Hasanuddin dan Magister sains di Program Sistem-Sistem Pertanian Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Kemudian melanjutkan pendidikan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) di IPB sejak tahun 2005.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi budidaya Perairan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin sejak tahun 1991.
xv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................
DAFTAR TABEL .........................................................................................
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
ix
xvii
xix
xxvii
I
PENDAHULUAN………………………………………...…………
1.1 Latar Belakang …………………….…..………………………..
1.2 Rumusan Masalah …………………………….……...…………
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……………….………………
1.3.1 Tujuan Penelitian ………………………….……………
1.3.2 Kegunaan Penelitian ………………………….…………
1.4 Kerangka Pikir …………………………………………………
1.5 Novelty Penelitian ………………………………………………
1
1
3
4
4
4
5
7
II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………
2.1 Pengertian Wilayah Pesisir ……………………………………..
2.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu ………………………………
2.3 Rumput Laut …………………………………………………..
2.3.1 Deskripsi Kappaphycus alvarezii……………………….
2.3.2 Kondisi dan Persyaratan Tumbuh Rumput Laut …….…
2.3.3 Metode Budidaya Rumput Laut………………………
2.3.4 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Rumput Laut ..
2.3.5 Ketersediaan dan Permintaan Rumput Laut Indonesia …
2.4 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut …….………….
2.5 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut….……………
2.6 Pemodelan Sistem Dinamik ……………………………………
9
9
10
20
20
22
22
23
25
27
29
31
III METODOLOGI PENELITIAN ……………………………………
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………
3.2 Tahapan Penelitian ……………………………………………
3.3 Metode Penelitian ………………………………………………
37
37
38
38
xvi
3.3.1 Sumber Data dan Prosedur Penelitian ……………………
3.3.2 Karakteristik Biofisik Kawasan Pesisir …………………
3.4 Analisis Data ……………………………………………………
3.4.1 Analisis Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut .....
3.4.2 Analisis Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut..
3.4.3 Analisis Kelayakan Usaha.................................................
3.4.4 Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut dengan Pendekatan Sistem Dinamik ..................................
3.4.5 Analisis Keberlanjutan Usaha Rumput Laut ....................
38
38
40
40
42
44
45
52
IV
V
KONDISI LINGKUNGAN, SOSIAL-BUDAYA DAN EKONOMI KABUPATEN BANTAENG ………………………………………
4.1 Aspek Lingkungan (Ekologi) .....................................................
4.1.1 Administrasi ......................................................................
4.1.2 Topografi ...........................................................................
4.1.3 Iklim ..................................................................................
4.1.4 Kondisi Oseanografi ..........................................................
4.1.5 Parameter Kualitas Air ......................................................
4.2 Aspek Sosial-Budaya ..................................................................
4.2.1 Penduduk ...........................................................................
4.2.2 Pendidikan..........................................................................
4.2.3 Kesehatan...........................................................................
4.2.4 Kelembagaan .....................................................................
4.3 Aspek Perekonomian ..................................................................
4.3.1 Sumberdaya Perikanan.......................................................
4.3.2 Kegiatan Usaha Budidaya Rumput Laut............................
KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT ………………………………………………….
5.1 Kesesuaian Kawasa Budidaya Rumput Laut................................
5.2 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut ........................
5.2.1 Kelayakan Usaha Budidaya Rumput Laut..........................
59
59
59
60
60
63
66
73
73
75
78
79
83
84
87
91
91
93
96
xvii
VI
VII
OPTIMASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG ………………………………….……
6.1 Sub Model Produksi Budidaya Rumput Laut ………………….
6.2 Sub Model Daya Dukung Budidaya Rumput Laut ……………
6.3 Sub Model Ekonomi ……………………………………………
6.4 Sub Model Tenaga Kerja ……………………………………….
6.5 Simulasi Skenario Pemanfaatan Wilayah Pesisir Secara Optimal Sebagai Dasar Pengambilan Kebijakan Pengelolaan Budidaya Rumput Laut ………………………………………. KEBERLANJUTAN USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT ……
7.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi ........................................
7.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ......................................
7.3 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial-Budaya..............................
7.4 Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi.....................................
7.5 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan...............................
7.6 Status Keberlanjutan Multi-Dimensi............................................
99
101
102
103
104
104
129
129
132
135
137
141
144
VIII
IX
ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT……………………………………………………………….. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………
5.1 Kesimpulan …………………………………………………….
5.2 Saran ……………………………………………………………
149
155
155
155
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 157
xviii
DAFTAR TABEL
Halaman
1
2
3
4
5 6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Kondisi dan persyaratan tumbuh Kappaphycus alvarezii.............................
Proyeksi pengembangan rumput laut tahun 2006-2009 ...............................
Perkembangan produksi, volume ekspor dan nilai ekspor rumput laut Indonesia Tahun 2001-2004 ........................................................................ Produksi dan luas lahan budidaya rumput laut di Kabupaten. Bantaeng Tahun 2001-2008 ........................................................................................ Jenis, alat/cara analisis dan sumber data dalam rencana penelitian.............. Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut metode long line. ...................................................................................................... Analisis kebutuhan stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kab. Bantaeng ................................................................................... Pedoman penilaian prospektif dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut yang optimal di Kabupaten Bantaeng ......................................................... Pengaruh antar faktor dalam optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng.......................................................................... Keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor dominan pada optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng ...................................................................................................... Hasil analisis skenario optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng .................................................................................... Kriteria pembuatan skor atribut usaha rumput laut yang berkelanjutan …..
Nilai indeks keberlanjutan usaha rumput laut ……………………………..
Luas Wilayah Daratan dan Pembagian Wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Bantaeng 2007 ........................................................................... Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut status pendidikan dan jenis kelamin di Kabupaten Bantaeng 2007 ......................................................... Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut kemampuan membaca dan jenis kelamin di Kabupaten Bantaeng 2007........................................................... Tingkat pendidikan nelayan rumput laut yang menjadi responden, 2009.....
22
25
26
27
38
40
46
50
50
51
52
54
56
59
77
77
78
xix
18 19 20
21
22
23
24
Keluarga pra-sejahtera dan sejahtera menurut Kecamatan di Kabupaten Bantaeng 2007 ............................................................................................. Produksi perikanan di Kabupaten Bantaeng Tahun 2001-2008.................. Lahan potensial dan yang sudah dikelola di Kabupaten Bantaeng 2008 ........................................................................................................................ Hasil analisis usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng 2009 …. Nilai atau informasi dasar yang digunakan dalam sistem dinamik pengembangan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ……………………………………………………..…………… Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis MDS dan Monte Carlo.............................................................................................................. Hasil analisis Rap-RL untuk nilai stress dan Koefisin determinasi (R²)…..
84
85
87
96
100
147
147
xx
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Alur Pikir Optimasi Pengelolaanan Sumberdaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng………………………………. Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, 2001)...............
Kappaphycus alvarezii (doty) (Doty, 1985) ..........................................
Kawasan yang potensial untuk budidaya rumput laut K.alvarezii di Indonesia (Sumber gambar: Ma’ruf 2010)............................................. Produsen dan produksi rumput laut dunia Tahun 2002-2007................
Peta lokasi penelitian .............................................................................
Tahapan rencana penelitian ..................................................................
Skema unit budidaya rumput laut. …………………………………….
Diagam causal loop optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng.............................................................................. Diagram input-output (Hartrisari, 2007)................................................
Tahapan analisa sistem (Eriyatno, 1998) ..............................................
Penentuan faktor kunci optimasi pengelolaan sumberdaya rumput lautdi Kabupaten Bantaeng.................................................................... Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya rumput laut …………………………………………………………..
Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi usaha rumput lautn di Kabupaten Bantaeng………………………………………………….
Jumlah curah hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten Bantaeng................................................................................................. Jumlah hari hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten Bantaeng................................................................................................ Peta gelombang di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ……………
Peta arus di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng…………………….
Peta kecerahan perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng….
Peta salinitas perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng……..
Peta suhu perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………..
6
15
21
24
26
37
38
43
47
48
49
51
56
57
61
62
64
66
67
68
69
xxi
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
Peta pH perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………..
Peta substrat dasar perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng…
Peta kedalaman perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng…
Jumlah penduduk Kabupaten Bantaeng menurut jenis kelamin Tahun 2003-2007 .............................................................................................. Persentase penduduk usia 10 ke atas menurut status pendidikannya di Kabupaten Bantaeng ………………………………………………… Persentase mata pencaharian masyarakat pesisir yang menjadi responden………………………………………………………….. Persentase kisaran usia responden. ……………………………………
Peta kesesuaian lahan budidaya rumput Laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng…………………………………………………. Sub Model Produksi Budidaya Rumput Laut …………………………
Sub Model Daya Dukung Budidaya Rumput Laut …………………....
Sub Model Ekonomi Rumput Laut ……………………………..….…
Sub Model Tenaga Kerja budidaya Rumput Laut ………………..…..
Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari) ………………………………... Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………………………………………………… Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal – maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng …………………………………………..…….. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan …………………………………………………. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……………………………………………….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………………………………………………..
70
71
72
74
76
87
88
93
101
102
103
104
106
106
107
107
108
108
xxii
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal
selama pemeliharaan ………………………………………………..
Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm)………………………………………………………………….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm) ………………………………………………………………….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah …………………………… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (min– maks.)………………………………………………………………. Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) …………………………………………………………… Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari) ………………………………... Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal–maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng ………………………………………………….. Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng …………………………………………………. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan …………………………………………………. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……………………………………………….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………………………………………………….
108
109
110
110
111
111
112
112
112
113
113
114
xxiii
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……………………………………………….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25cm) Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm) …………………………………………………………………... Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah ……………………………. Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut 5jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) …………………………………………………………… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) …………………………………………………………… Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari) ………………………………... Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal – maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng ………………………………………………… Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ………………………………………………….. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan …………………………………………………. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……………………………………………….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………………………………………………... Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam
114
115
115
116
116
117
117
118
118
119
119
119
xxiv
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ………………………………………………… Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min - maks selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm)…… Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min- maks selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm)……… Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah …………………………… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) …………………………………………………………… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) …………………………………………………………… Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari) ………………………………... Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal – maksimal) sampai akhir pemeliharaan pada kondisi kapasitas asimilasi peraira pesisir Kabupaten Bantaeng ……………... Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ………………………………………………….. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ………………………………………………….. Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ……………………………………………….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan ……………………………………………….. Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan ………………………………….……………..
120
121
121
121
122
122
123
123
124
124
125
125
125
xxv
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitasasimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm) ………………………………………...……….. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm) …………………………………………………. Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontibusi pendapatan ke daerah ……………………………. Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) …………………………………………………………… Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal) …………………………………………………………… Indeks keberlanjutan dimensi ekologi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ..……………………………… Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai Root Mean Square (RMS).................................................. Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng …………………………………. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS).................................................... Indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng ………………………… Peran masing-masing atribut dimensi sosial-budaya yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)..................................... Indeks keberlanjutan dimensi teknologi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng …………………………………. Peran masing-masing atribut dimensi teknologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)....................................... Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng………………………….. Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan
126
127
127
128
128
130
131
133
134
136
137
138
142
143
xxvi
92
93
94
dalam bentuk nilai root mean square (RMS)......................................... Diagram layang-layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan dari lima dimensi usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng .............................................................................. Indeks keberlanjutan multidimensi usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng ………………………………………………… Peran masing-masing atribut multi-dimensi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)...................................................
144
145
146
147
xxviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Produsen dan jumlah produksi K.alvarezii dunia.................................
Jumlah curah hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten Bantaeng ............................................................................ Jumlah hari hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten Bantaeng ............................................................................................... Data oseanografi dan kualitas air wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng 2009 …………………………………………………………………... Unit pelayanan kesehatan menurut Kecamatan di Kabupaten. Bantaeng, 2007 …………………………………………………… Perkembangan personil lingkup kesehatan di Kabupaten Bantaeng 2002-2007 ……………………………………………..…………….. Produksi Subsektor Rumput Laut Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2000-2004 ........................................................................................... Identitas nelayan budidaya rumput laut (responden) ..........................
Luas lahan budidaya rumput laut per responden di Kabupaten Bantaeng 2009 ………………………………………………………. Layer/peta tematik analisis kesesuaian kawasan budidaya rumput alut di wilayah pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu……………………………………………………………...... Analisis daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut dengan pendekatan kapasitas perairan ………………………………………. Estimasi luas kawasan budidaya ruput laut berdasarkan kapasitas asimilasiperairan pesisir Kabupaten Bantaeng………………………. Biaya investasi budidaya rumput laut ………………………..………
Biaya operasional budidaya rumput laut ……………………….……
Biaya pemeliharaan budidaya rumput laut per panen ………………..
165
165
166
166
167
167
168
169
170
171
175
176
182
183
185
xxix
16
17
Analisis Biaya usaha budidaya rumput laut ………………….………
Analisis B/C Ratio budidaya rumput laut………………………….…
188
189
18
19
20
21
Model matematis sub produksi rumput laut..........................................
Model matematis sub daya dukung rumput laut...................................
Model matematis sub ekonomi rumput laut.........................................
Model matematis sub tenaga kerja usaha budidaya rumput laut........
191
194
197
199
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat produktif jika ditinjau
dari berbagai macam peruntukannya (Supriharyono 2000) dan sumberdaya yang
dimilikinya (Dahuri 2001). Kegiatan pembangunan yang dilakukan di wilayah
pesisir antara lain; pemukiman, industri, pengilangan minyak, rekreasi dan
pariwisata, perikanan budidaya dan perikanan tangkap (Bengen 2005), dan
sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi sumberdaya hayati,
sumberdaya nir-hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumberdaya
hayati terdiri dari berbagai jenis ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove
dan biota laut lain; sumberdaya nir-hayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar
laut; sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan
dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar
laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta
energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir (Undang undang Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2007).
Realitas sebagaimana dikemukakan di atas juga dijumpai di wilayah
pesisir Kabupaten Bantaeng, diantaranya saat ini masyarakat memanfaatkan
wilayah pesisir untuk kegiatan budidaya rumput laut. Kegiatan budidaya rumput
laut berkembang seiring dengan semakin menurunnya hasil tangkapan serta
mahalnya biaya operasional akibat harga bahan bakar minyak (BBM) yang terus
naik. Perkembangan kegiatan rumput laut yang terjadi di wilayah pesisir
Kabupaten Bantaeng bisa dilihat dari produksi dan area budidaya yang terus
meningkat. Pada tahun 2001, luas area yang dimanfaatkan sebesar 505.2 ha
dengan total produksi rumput laut yang dihasilkan sebesar 120.1 ton, sedangkan
pada tahun 2008 luas areal yang dimanfaatkan telah bertambah menjadi 3 792 ha
dengan produksi 7 677.55 ton (Dinas Perikanan dan Kelautan, Kabupaten
Bantaeng 2009). Dengan demikian, dalam kurun waktu dari tahun 2001-2008
untuk luas areal budidaya telah bertambah menjadi 3 286.8 ha (657%) dan untuk
produksi rumput laut yang dihasilkan telah bertambah menjadi 7 557.44 ton
(630%).
2
Terjadinya peningkatan budidaya rumput laut diantaranya diakibatkan oleh
meningkatnya permintaan pasar dunia terhadap karagenan (Ma’ruf 2005).
Karagenan dihasilkan dari rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii (K.alvarezii).
Permintaan pasar karagenan pada tahun 2005 adalah 260 571.05 ton dan
diproyeksikan pada tahun 2008 permintaan akan mencapai 1 643 561 ton.
Karagenan diperlukan sebagai stabilizer (penstabil), thickener (bahan pengental),
pembentuk gel, pengemulsi pada industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil,
cat, pasta gigi dan industri lainnya (Winarno 1996) dan menurut Ma’ruf (2005),
dari jumlah kebutuhan tersebut pada saat ini produsen rumput laut dunia baru
dapat memenuhi sekitar 70%. Dengan demikian, seiring dengan pertambahan
penduduk dunia, yang tentunya diikuti dengan peningkatan kebutuhkan pangan,
obat-obatan dan industri lainnya, maka pasar karagenan semakin terbuka lebar
baik untuk kebutuhan ekspor maupun domestik.
Indonesia merupakan produsen rumput laut K.alvarezii terbesar ke dua di
dunia setelah Filipina (Ma’ruf 2010). Adapun Provinsi Sulawesi Selatan
merupakan Provinsi penyumbang rumput laut K.alvarezii terbesar di Indonesia,
memiliki luas lahan yang potensial untuk budidaya rumput laut sekitar 250 000 ha
dengan prediksi produksi mencapai 1 250 000 ton berat kering/tahun (Dinas
Perikanan dan Kelautan Sulsel 2003). Produksi pada tahun 2003 mencapai 21 581
Ton berat kering. Menurut Subdin Perikanan dan Kelautan, Kabupaten Bantaeng
2006, dari produksi Provinsi Sulawesi Selatan tersebut, Kabupaten Bantaeng
menyumbang sekitar 720.4 ton berat kering yang diproduksi dari lahan seluas
1 875 ha Hasil penelitian Crawford (2002) di Sulawesi Utara dan Filipina,
mendapatkan kegiatan budidaya rumput laut telah menjadi mata pencaharian
alternatif bagi masyarakat pesisir dan nelayan skala kecil. Demikian halnya
dengan masyarakat pesisir Kabupaten Bantaeng. Saat ini kegiatan rumput laut
bukan lagi hanya sekedar pekerjaan sampingan untuk mendapatkan penghasilan
tambahan, akan tetapi telah menjadi salah satu mata pencaharian utama. Bahkan
kegiatan rumput laut menjadi tumpuan harapan baru untuk memperbaiki kondisi
ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan mereka yang selama ini identik
dengan kemiskinan.
3
Kegiatan budidaya rumput laut K.alvarezii dipilih oleh masyarakat karena
beberapa kelebihannya, antara lain: 1) masa panen relatif singkat yaitu 45 hari,
tanpa menggunakan pupuk dan bibit yang khusus, mempunyai nilai ekonomis
yang tinggi tanpa merusak lingkungan, 2) budidaya mudah dan biaya rendah, dan
3) pasar tersedia, terutama melalui ponggawa (Ma’ruf 2005).
Selain itu, antusiasme masyarakat terhadap kegiatan rumput laut juga
dipacu dengan tingginya harga rumput laut. Pada bulan Juli 2008, harga rumput
laut kering di tingkat petani Kabupaten Bantaeng, mencapai Rp8 000,- /kg berat
kering dan naik lagi menjadi sekitar Rp12 000,-/kg berat kering pada Mei 2010
(komunikasi pribadi).
Kondisi tersebut di atas, mengakibatkan kegiatan rumput laut di pesisir
Kabupaten Bantaeng, menjadi tidak terkendali. Masyarakat memanfaatkan setiap
jengkal laut pesisir untuk budidaya rumput laut, sehingga sepanjang garis pantai
Kabupaten Bantaeng, telah ditanami rumput laut hingga lebih 3 km ke arah laut
yang diduga tanpa memperhitungkan azas kesesuaian lahan dan daya dukung
lingkungan. Apabila hal ini terus berlanjut maka kemungkinan akan terjadi
degradasi lingkungan yang bisa menurunkan produktivitas dan kualitas rumput
laut yang dihasilkan sehingga kegiatan rumput laut yang saat ini telah menjadi
harapan baru bagi masyarakat pesisir untuk meningkatkan kesejahteraannya,
diduga bisa terancam keberlanjutannya. Karena itu, penelitian tentang kesesuaian
lahan dan daya dukung lingkungan untuk optimasi pengelolaan sumberdaya
rumput laut, perlu dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah
utama dalam upaya optimasi pengelolaan budidaya rumput laut di wilayah pesisir
Kabupaten Bantaeng, sebagai berikut:
1. Pengembangan yang tidak terencana dengan baik
2. Meningkatnya harga rumput laut akibat permintaan pasar
3. Dasar pengelolaan yang belum tepat
4
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan
penelitian yang dilakukan adalah:
1. Mengevaluasi kesesuaian dan daya dukung kawasan untuk pengembangan
rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng
2. Mengoptimasi pengelolaan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten
Bantaeng.
3. Menelaah keberlanjutan pengelolaan kegiatan rumput laut di wilayah pesisir
Kabupaten Bantaeng.
1.3.2 Kegunaan Penelitian.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi:
1. Ilmu Pengetahuan. Selama ini penelitian tentang kegiatan rumput laut
dilakukan secara parsial, sedangkan penelitian ini dilakukan dengan melihat
berbagai dimensi secara menyeluruh, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial-
budaya, teknologi dan kelembagaan. Karena itu, diharapkan dapat menjadi
acuan yang lebih komprehensif bagi penyelesaian permasalahan yang terjadi
dalam pengembangan kegiatan rumput laut yang berkelanjutan.
2. Nelayan rumput laut. Pengembangan kegiatan rumput laut oleh masyarakat
akan disesuaikan dengan daya dukung lahan, sehingga kegiatan mereka dapat
optimal dan berkelanjutan.
3. Pengusaha. Akan diperoleh bahan baku yang memiliki kualitas, kuantitas dan
kontinyuitas yang terjamin untuk industri pengolahan rumput laut.
4. Pemerintah. Pertama, suatu referensi tentang tata ruang terkait dengan
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan; kedua, mendukung pemerintah di
dalam penentuan produk unggulan daerah; dan ketiga, sebagai bahan acuan
dalam merumuskan kebijakan pada pengembangan kegiatan rumput laut agar
menjadi basis yang dapat diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir, utamanya bagi petani rumput laut yang selama ini masih
hidup dalam kemiskinan.
5
1.4 Kerangka Pikir
Kegiatan rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten
Bantaeng. Hal ini dapat dilihat dari pertambahan luas lahan budidaya rumput laut
setiap tahun, yakni pada tahun 2001 baru 505.2 ha; tahun 2002 menjadi 885.2 ha;
tahun 2003, 1 875 ha; tahun 2004, 1952 ha; dan pada tahun 2005 telah mencapai
1965 ha (Subdin Perikanan dan Kelautan 2006). Akan tetapi pengelolaannya
belum optimal, baik dilihat dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologinya
maupun kelembagaannya.
Penanaman rumput laut yang dilakukan di sepanjang wilayah pesisir yang
lebarnya mencapai 3-5 km ke arah laut tidak memperhatikan unsur kesesuaian
lahan dan daya dukung lingkungan sehingga bisa berakibat terjadinya degradasi
lahan budidaya jika dilihat dari dimensi ekologi. Efek selanjutnya kemungkinan
produktivitas dan kualitas bisa menurun yang berarti akan mempengaruhi dimensi
ekonomi dengan menurunnya pendapatan yang diperoleh petani rumput laut.
Menurunnya tingkat pendapatan akan mempengaruhi kesejateraan keluarga petani
sehingga sulit memenuhi kebutuhan terhadap pendidikan anak-anaknya dan
kesehatan keluarga. Budidaya yang memanfaatkan wilayah pesisir secara
maksimal tanpa menyisakan jalur lalu lintas perahu dan ruang untuk kegiatan
memancing kadang-kadang menimbulkan konflik diantara stakeholder. Sampai
saat ini, belum ada kelembagaan yang bisa memfasilitasi petani rumput laut dalam
mengakses modal, keterampilan budidaya, peningkatan kualitas produk dan
informasi pasar.
Permasalahan rumput laut sampai saat ini di Kabupaten Bantaeng adalah
pemanfaatan lahan yang tidak terkendali akibat antusiasme masyarakat yang
sangat tinggi terhadap kegiatan rumput laut. Apabila hal ini terus berlanjut tanpa
adanya pengaturan, dikhawatirkan akan mengakibatan terlampauinya daya
dukung perairan terhadap budidaya rumput laut yang bisa menyebabkan degradasi
lahan yang pada akhirnya bisa berpengaruh terhadap produktivitas, kualitas dan
kontinuitas produksi rumput laut. Lebih ke belakang lagi, faktor-faktor penyebab
permasalahan ini disebabkan karena para stakeholder belum terkoordinir serta
belum mempunya visi yang sama pada pengelolaan kegiatan rumput laut, mulai
dari petani rumput laut sebagai produsen, pedagang pengumpul (ponggawa),
6
pedagang besar hingga ke pengusaha pengolah chip dan powder serta semua jasa
pendukungnya dalam rangka kemajuan bersama.
Gambar 1 Alur Pikir Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Rumput Laut di
Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng
Kawasan Pesisir Kabupaten Bantaeng
Analisis Pengelolaan RL di Kawasan pesisir Kab. Bantaeng
Kesesuaian Biofisik
1. Teknologi BD 2. Pascapanen 3. SDM 4. Kelembagaan
Akar Permasalahan 1. Antusiasme
masyarakat 2. Pengelolaan
belum tepat
1. Konflik Pemanfaatan Tata Ruang
2. Pencemaran
Analisis: 1. Kelayakan
Kegiatan 2. Teknologi BD 3. Kelembagaan 4. Kebutuhan
Daya Dukung Kawasan
Keberlanjutan
Kesesuaian Oseanografi
Kesesuaian Kualitas Air
Analisis Kesesuaian
MODEL OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBEDAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG
Ekologi Teknologi Kelembagaan Sosial-Budaya Ekonomi
7
Pengelolaan yang optimal dan terpadu diantara semua stakeholder,
merupakan salah satu konsep yang bisa mengatasi permasalahan tersebut dari
akarnya. Dan agar semua stakeholder bisa dikoordinir maka konsep pengelolaan
tersebut harus bisa memberikan keuntungan secara proporsional kepada setiap
stakeholder. Konsep pengelolaan yang terpadu dan bisa memberikan keuntungan
secara proporsional kepada setiap stakeholder, dengan dukungan data dari
berbagai hasil analisis seperti hasil analisis kesesuaian lahan, daya dukung
lingkungan, ekonomi, sosial budaya, supply-demand, teknologi budidaya dan
pasca panen, diharapkan akan bisa menjamin keberlanjutan kegiatan budidaya
rumput laut masyarakat, baik dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi
maupun kelembagaan.
1.5 Novelty Penelitian:
Hasil penelusuran pustaka yang telah dilakukan, diperoleh informasi
bahwa penelitian rumput laut yang telah dilakukan sudah sangat banyak, seperti
yang telah dilakukan oleh Syahputra (2005) tentang pertumbuhan dan kandungan
karaginan rumput laut K.alvarezii yang dibudidayakan pada kondisi lingkungan
dan jarak tanam yang berbeda; tentang pengelolaan sumberdaya perairan Teluk
Tamiang Kabupaten Kotabaru untuk pengembangan budidaya rumput laut
K.alvarezii (Amarullah 2007); Kajian pertumbuhan, produksi dan kandungan
karaginan rumput laut K.alvarezii pada berbagai bobot bibit dan asal tallus di
perairan desa Guruaping Oba Maluku Utara (Kusdi HI Iksan 2005); Kajian
ekologis dan biologi untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii di
kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang NTT (Kamlasi 2008); Kajian
ekologi-ekonomi kegiatan pembudidayaan rumput laut di kawasan terumbu
karang pulau Nain kabupaten Minahasa Sulawesi Utara (Lukas Lotharius Jansen
Josef Mondoringin 2005); Kajian pertumbuhan dan tentang kandungan karagenan
rumput laut K.alvarezii yang terkena penyakit ice-ice di perairan pulau Pari
Kepulauan Seribu (Amiluddin 2007) serta Kajian potensi sumberdaya untuk
pengelolaan budidaya rumput laut dan ikan kerapu di wilayah pesisir kecamatan
Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sallata 2007).
Penelitian yang telah dilakukan tersebut, adalah penelitian aspek-aspek
budidaya, ekonomi, ekologi, penanganan pascapanen dan pengolahan pasca panen
8
yang dilaksanakan secara parsial pada setiap aspek. Belum dilakukan secara
menyeluruh pada setiap aspek. Lokasi dari setiap penelitian di atas merupakan
daerah terlindung, seperti teluk, sesuai dengan referensi bahwa salah satu
kriteria/persyaratan lokasi budidaya rumput laut adalah wilayah yang terlindung
atau perairan pulau-pulau kecil yang tidak terlalu dipengaruhi oleh gelombang dan
arus kuat, pencemaran antropogenik dan limpasan air tawar dari aliran sungai.
Berbeda dengan wilayah kajian yang merupakan peraian terbuka yang berada
pada wilayah pesisir pulau besar.
Ditinjau dari aspek produksi rumput laut yang dihasilkan, produksi pada
perairan terbuka pada musim timur sama atau bahkan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan perairan terlindung. Produktivitas pada wilayah kajian
adalah 2-3 ton//ha/panen sementara hasil penelitian Kamlasi 2008, menemukan
1.5 ton/ha/panen; Budiyono 2003, mendapatkan 40-60 ton berat basah/ha/Tahun;
Mondoringi 2005, mendapatkan 3 093 ton berat kering/ha/panen
Novelty dari penelitian ini adalah:
1. Dilakukan secara terpadu dan menyeluruh dari berbagai aspek yaitu aspek
ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi dan kelembagaan mulai dari tahap
budidaya sampai tahap pemasaran.
2. Lokasi penelitian yang merupakan perairan terbuka menurut panduan teknis
budidaya tidak memenuhi syarat untuk kegiatan budidaya rumput laut ternyata
produktivitasnya sama bahkan lebih besar dibandingkan dengan perairan yang
terlindung
3. Lokasi penelitian merupakan perairan pulau besar (main land).
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Wilayah Pesisir
Menurut Dahuri et al. (1996), hingga saat ini belum ada definisi wilayah
pesisir yang baku. Namun demikian, berdasarkan beberapa literatur terdapat
kesepakatan bahwa wilayah pesisir adalah suatu daerah peralihan antara daratan
dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir
mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai
(long shore) dan batas yang tegak lurus pantai (cross shore). Dalam Undang
Undang No. 27 Tahun 2007, disebutkan bahwa Wilayah Pesisir adalah daerah
peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di
darat dan laut. Hampir sama dengan yang telah didefinisikan oleh Bengen
(2004a), yakni wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Dari daratan, batasnya meliputi daerah-daerah yang tergenang air dan yang tidak
tergenang tetapi masih dipengaruhi proses-proses laut seperti pasang surut, angin
laut dan intrusi air laut. Adapun batas di laut berupa daerah-daerah yang
dipengaruhi proses-proses laut seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke
laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di
daratan. Demikian juga menurut Carter (1988) dalam Haslett (2000) bahwa
wilayah pesisir adalah area arah ke darat yang masih dipengaruhi laut dan batas ke
arah laut yang masih dipengaruhi daratan serta menurut Beatley et al. (1994)
dalam Dahuri (2001) yang menyatakan bahwa wilayah pesisir didefinisikan
sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah
yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut dan ke arah laut
meliputi daerah paparan benua (continental shelf). Kay dan Alder (2005)
melaporkan bahwa ada beberapa definisi yang digunakan oleh berbagai
organisasi/pemerintahan internasional dan nasional, yanng secara garis besar
dapat dipilah dalam dua kecenderungan, yaitu: definisi berdasarkan pendekatan
biofisika dan definisi berdasarkan pendekatan kebijakan.
Ditinjau dari berbagai macam peruntukannya, wilayah pesisir merupakan
wilayah yang sangat produktif (Supriharyono 2000). Menurut Rokhmin (2001),
Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi
10
daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan
pendapatan penduduk. Sumberdaya pesisir tersebut mempunyai keunggulan
komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta
dapat dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah sehingga mampu
menciptakan kapasitas penawaran yang kompetitif. Di sisi lain, kebutuhan pasar
masih terbuka sangat besar karena kecenderungan permintaan pasar global yang
terus meningkat.
Kekayaan sumberdaya tersebut mendorong berbagai pihak terkait
(stakeholders) seperti instansi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk
meregulasi dan memanfaatkannya. Masing-masing pihak terkait tersebut
menyusun perencanaannya tanpa mempertimbangkan perencanaan yang disusun
pihak lain. Perbedaan fokus rencana tersebut memicu kompetisi pemanfaatan dan
tumpang tindih perencanaan yang bermuara pada konflik pengelolaan. Bila
konflik ini berlangsung terus akan mengurangi efektivitas pengelolaannya
sehingga sumberdaya pesisir akan mengalami degradasi biofisik.
Degradasi biofisik sumberdaya pesisir dibeberapa tempat, telah mencapai
tingkat yang mengkhawatirkan, antara lain: deforestasi hutan mangrove, rusaknya
terumbu karang, merosotnya kualitas taman bawah laut, tangkap ikan lebih
(overfishing), terancamnya berbagai spesies biota laut seperti penyu dan dugong;
meningkatnya laju pencemaran, berkembangnya erosi pantai, meluasnya
sedimentasi serta intrusi air laut (Kepmen Kelautan dan Perikanan No.10 Tahun
2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu). Sebab
itu, untuk mengeliminir degradasi biofisik di kawasan pesisir yang terus
berlangsung diperlukan suatu pengelolaan yang terpadu.
2.2 Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Wilayah
Pesisir Secara Terpadu
Pengelolaan adalah suatu upaya agar suatu perairan tetap memiliki
fungsi/kemampuan memproduksi secara berkelanjutan secara alami maupun
melalui pemanfaatan. Sedangkan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara
11
ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(Undang undang Republik Indonesia No. 27 Tahun 2007). Selanjutnya, Dahuri
(2001) mendefinisikan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu sebagai suatu
pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih
ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu
(integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.
Dalam konteks ini, keterpaduan mengandung tiga dimensi, yaitu: sektoral, bidang
ilmu dan keterkaitan ekologis.
Untuk mengelola wilayah pesisir sangat diperlukan batas wilayah yang
akan dikelola. Batas wilayah dipertimbangkan atas dasar biogeofisik kawasan
didalamnya termasuk faktor hidrologi, ekologis, maupun administratif. Batas
hidrologi dibutuhkan karena aliran air yang berasal dari daratan akan
mempengaruhi kawasan perairan. Batas ekologis diperlukan agar dalam
pengelolaan wilayah pesisir tidak memotong siklus hewan perairan, sedangkan
batas administratif dibutuhkan agar daerah yang terkena peraturan dapat diketahui
dengan jelas.
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, didefinisikan oleh Cicin-Sain
dan Knecht (1998), sebagai suatu proses dinamis dan kontinu dalam membuat
keputusan untuk pemanfaatan, pembangunan, dan perlindungan kawasan pesisir
dan lautan beserta sumberdaya alamnya secara berkelanjutan. Jadi pada dasarnya
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah bertujuan agar pemanfaatan
sumberdaya bisa berkelanjutan, yakni pemanfaatan (pembangunan) yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi
yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Secara ringkas Munasinghe
(2002) menyatakan bahwa Konsep pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial.
Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh the
World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987
dengan laporannya yang berjudul Our Common Future (Cicin-Sain dan Knecht,
1998; Kay dan Alder, 2005; Chua, 2006). Laporan ini sering disebut Laporan
Brundtland (The Brundtland Report) karena dibuat oleh tim ahli yang dipimpin
oleh Gro Harlem Brundtland. Di dalam laporan tersebut terdapat definisi
12
pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan
saat ini tanpa mengurangi peluang generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhannya. Banyak definisi tentang pembangunan berkelanjutan dalam
literatur, mencakup dimensi sosial, ekonomi, lingkungan dan kebijakan (Pizzey,
1989; Daly, 1994; Dixon dan Fallon, 1989; Turner et al., 1993; Tiesdal, 1991;
Cicin-Sain, 1993 dalam Haq, 1997).
Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju
kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan
alam, untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa
lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi
mendatang (Bengen 2003). Atau Pembangunan berkelanjutan adalah perubahan
sosioekonomi secara positif yang tidak merusak atau mengurangi sistem ekologi
dan sosial dimana masyarakat bergantung (Rees 1988 dalam Charles 2001).
Pembangunan berkelanjutan dalam konteks pengelolaan pembangunan
pesisir dan lautan secara teknis didefinisikan sebagai berikut: Suatu upaya
pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam
kawasan pesisir dan lautan untuk kesejahteraan manusia (terutama stakeholders)
sedemikian rupa, sehingga laju (tingkat) pemanfaatan sumberdaya alam dan
jasa-jasa lingkungan termaksud tidak melebihi daya dukung (carrying capacity)
kawasan pesisir dan lautan untuk menyediakannya (Dahuri 2001).
Debat tentang pengertian Pembangunan berkelanjutan melahirkan ratusan
definisi. Saat ini telah diterima secara luas bahwa konsep pembangunan
berkelanjutan adalah saling ketergantungan antara sosial, ekonomi dan lingkungan
(Chua 2006). Young (1992) dalam Key dan Alder (2005) mengemukakan adanya
3 tema yang mendasari konsep keberlanjutan, yang disarikan sebagai: 1) Integritas
lingkungan; 2) Efisiensi ekonomi; dan 3) keadilan, yang didefinisiskan sebagai
mencakup generasi kini dan masa datang serta mempertimbangkan dimensi
budaya selain dimensi ekonomi.
Dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga komponen utama yang
sangat diperhitungkan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Setiap komponen
tersebut saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu oleh kekuatan dan
tujuan. Sektor ekonomi untuk melihat pengembangan sumber daya manusia,
13
khususnya melalui peningkatan konsumsi barang-barang dan jasa pelayanan.
Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem ekologi.
Sedangkan sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia,
pencapaian aspirasi individu dan kelompok, dan penguatan nilai serta institusi
(Munasinghe 2002).
Budiharsono (2006) juga berpendapat sama, bahwa pembangunan
berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi penting, yakni ekonomi,
sosial (budaya), dan lingkungan. Dimensi ekonomi, antara lain berkaitan dengan
upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta
mengubah pola produksi dan konsumsi ke arah yang lebih seimbang. Dimensi
sosial bersangkutan dengan upaya pemecahan masalah kependudukan, perbaikan
pelayanan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan, dan lain-lain. Adapun
dimensi lingkungan, diantaranya mengenai upaya pengurangan dan pencegahan
terhadap polusi, pengelolaan limbah, serta konservasi/preservasi sumberdaya
alam. Adapun tujuan pembangunan berkelanjutan terfokus pada ke tiga dimensi
yaitu, keberlanjutan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth),
keberlanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress), serta
keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological
balance). Sangat sesuai dengan pendapat Bengen dan Rizal (2002) bahwa dimensi
sosial, ekonomi dan lingkungan merupakan tiga dimensi yang harus seimbang
dalam pembangunan berkelanjutan.
Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara
garis besar memiliki empat dimensi, yaitu: ekologis, sosial ekonomi budaya,
sosial politik serta hukum–kelembagaan (Dahuri 2001).
1) Dimensi ekologis. Terdapat 3 (tiga) persyaratan yang dapat menjamin
tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) keharmonisan spasial;
(ii) Kapasitas asimilasi; (iii) Pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan
spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan hendaknya
tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan, tetapi harus
dialokasikan juga untuk zona preservasi dan konservasi. Dimensi ekologis
seperti ini, pada dasarnya menyajikan informasi daya dukung (kemampuan
14
suplay) sistem alam wilayah pesisir dalam menopang segenap kegiatan
pembangunan dan kehidupan manusia (Dahuri et al., 1996).
2) Dimensi sosial ekonomi. Secara sosial ekonomi, pembangunan berkelanjutan
mensyaratkan bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan
penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus
diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan
tersebut, terutama mereka yang termasuk ekonomi lemah, guna menjamin
kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri.
3) Dimensi sosial politik. Dalam konteks ini, pembangunan berkelanjutan hanya
akan dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis
dan transparan. Tanpa kondisi politik yang demokratis dan transparan ini,
maka niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat
ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya.
4) Dimensi hukum dan kelembagaan . Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan
mensyaratkan pengendalian diri dari setiap masyarakat untuk tidak merusak
lingkungan. Persyaratan yang bersifat personal dapat dipenuhi melalui
penerapan sistem peraturan dan perundang–undangan yang berwibawa dan
konsisten serta dibarengi dengan penanaman etika pembangunan
berkelanjutan
Munasinghe (2002) menyatakan konsep pembangunan berkelanjutan harus
berdasarkan pada empat faktor yaitu (1) terpadunya konsep ”equity ’ lingkungan
dan ekonomi dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan secara khusus
dimensi ekonomi; (3) dipertimbangkan secara khusus dimensi lingkungan; dan (4)
dipertimbangkan secara khusus dimensi sosial budaya.
Selanjutnya Reid (1995) dalam Key dan Alder (2005) mengemukakan
persyaratan agar pembangunan berkelanjutan dapat terwujud, yaitu:
1) integrasi antara konservasi dan pengembangan;
2) pemenuhan kebutuhan dasar manusia;
3) peluang untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat non-materi;
4) berkembang ke arah keadilan sosial dan kesejahteraan;
5) penghormatan dan dukungan terhadap keragaman budaya;
15
6) memberikan peluang penentuan identitas diri secara sosial dan menumbuhkan
sikap percaya diri; dan
7) memelihara integritas ekologi.
Pitcher dan Preikshot (2001) membagi komponen pembangunan
berkelanjutan dalam lima dimensi, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan
etika. Sedangkan Charles (2001) mengemukakan konsep pembangunan
berkelanjutan mengandung dimensi :1) Keberlanjutan ekologi, yaitu: memelihara
keberlanjutan stok/biomass sehingga melewati daya dukungnya, serta
meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem sebagai perhatian utama, 2)
Keberlanjutan sosio-ekonomi, yaitu: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan
pelaku perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai tingkat
kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian keberlanjutan. 3)
Keberlanjutan komunitas, yaitu: keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas
atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang
berkelanjutan, dan 4) Keberlanjutan kelembagaan, yakni: menyangkut
pemeliharaan dimensi finansial dan administrasi yang sehat, seperti digambarkan
pada Gambar 2.
KEBERLANJUTAN EKOLOGI
KEBERLANJUTAN KEBERLANJUTAN SOSIAL EKONOMI KOMUNITAS
Gambar 2 Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, 2001)
Pendekatan dalam pembangunan berkelanjutan terus berkembang seiring
kemajuan jaman, sehingga perlu adanya perubahan-perubahan yang disesuaikan
dengan tempat. Secara ideal pembangunan berkelanjutan tujuannya sangat tidak
KEBERLANJUTAN INSTITUSI
16
tersentuh. Karena itu, berdasarkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan,
pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan harus memperhatikan dimensi
ekonomi, sosial, lingkungan, dan hukum. Hal ini berguna untuk menjamin
keberlanjutan sumber daya pesisir dan lautan yang efisien dan efektif
(Munasinghe 2002).
Bengen dan Rizal (2002) mengusulkan 6 hal yang perlu dikerjakan dalam
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan di Indonesia,
yaitu:
1) rehabilitasi kawasan pesisir dan lautan yang telah mengalami kerusakan;
2) internalisasi biaya eksternalitas ke dalam setiap kegiatan pembangunan;
3) penetapan retribusi atas setiap pemanfaatan sumberdaya kelautan;
4) laut dikelola secara co-management;
5) reorientasi laut sebagai milik negara ke milik rakyat;
6) laut harus dianggap sebagai bagian dari ekosistem global.
Kesimpulan umum yang dapat diambil dari diskusi-diskusi yang sedang
berlangsung saat ini bahwa penggunaan berkelanjutan terhadap barang dan jasa-
jasa lingkungan tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan dimensi sosial dan
ekonomi (Haq 1997).
Berbagai pendapat tentang dimensi keberlanjutan yang dijelaskan di atas
disarikan menjadi lima dimensi sesuai dengan kebutuhan untuk budidaya rumput
laut, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan. Dimensi ekologi
merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan
mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan
bagi generasi mendatang. Atribut-atribut dipilih dari setiap dimensi yang
mewakili dimensi tersebut secara kuat, tidak tumpang-tindih dengan atribut yang
lain dan mudah mendapatkan datanya, yang selanjutnya digunakan sebagai
indikator tingkat keberlanjutan.
Secara umum, kelima dimensi tersebut (diadaptasi dari Susilo 2003)
diuraikan sebagai berikut:
Atribut ekologis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam
dan lingkungan berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya
dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya,
17
misalnya untuk usaha budidaya rumput laut, dapat berkelanjutan pula. Sebab
praktek pemanfaatan sumberdaya yang melebihi daya dukungnya akan mengarah
kepada ketidakberlanjutan aktifitas tersebut. Tingkat ekploitasi atau tekanan
ekploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya
tersebut. Tingkat pemanfaatan yang melebihi daya dukung lingkungannya akan
membahayakan keberlanjutan sumberdaya tersebut yang ditandai dengan
menurunnya produktivitas rumput laut dan timbulnya penyakit ice-ice. Karena itu
penurunan produktifitas rumput laut dan penyakit ice-ice yang muncul dalam
kondisi lingkungan yang jelek dapat dijadikan indikator ekologis negatif tentang
keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya tersebut.
Atribut ekonomis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya
alam dan lingkungan pesisir berdampak secara ekonomi terhadap keberlanjutan
usaha rumput laut yang pada akhirnya juga berdampak pada keberlanjutan secara
ekologis. Suatu kegiatan yang menimbulkan kerugian secara ekonomis, misalnya
karena rendahnya produktifitas ataupun karena penyakit ice-ice, pasti tidak akan
berlanjut. Hal ini, berpotensi untuk merusak lingkungan sehingga juga berpotensi
mengancam keberlanjutan ekologis. Penurunan produktifitas dapat menjadi
indikator dimensi ekonomi, juga penyerapan tenaga kerja dan kontribusi terhadap
pendapatan asli daerah (PAD).
Atribut sosial mencerminkan bagaimana kegiatan budidaya rumput laut
berdampak terhadap keberlanjutan sosial budaya komunitas setempat yang pada
akhirnya juga akan berdampak terhadap keberlanjutan ekologis. Pemahaman
masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan, tingkat pendidikan yang tinggi,
tingkat kesehatan yang baik, bekerja dalam kelompok akan mendorong ke arah
keadilan sosial dan kemudahan pengelolaan pemanfaatan yang mengarah ke
keberlanjutan dimensi sosial. Tingkat pendidikan dan kesehatan yang baik serta
tingkat pendapatan yang memadai pada akhirnya juga akan berpengaruh positif
terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lingkungan (ekologis).
Sebaliknya, frekuensi konflik yang tinggi baik dalam sektor yang sama maupun
dengan sektor lain akan mengancam keberlanjutan sosial.
Atribut kelembagaan mencerminkan seberapa jauh tersedia perangkat
kelembagaan dan hukum yang dapat mendorong keberlanjutan pemanfaatan dan
18
pengelolaan sumberdaya rumput laut. Tersedianya peraturan pemerintah, aturan
adat dan agama/kepercayaan tentang pemanfaatan sumberdaya rumput laut,
adanya lembaga yang memfasilitasi petani rumput laut dalam mengakses lembaga
keuangan, informasi pasar dan peningkatan kapabilitas, secara langsung maupun
tidak langsung akan mendorong keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya. Bengen
dan Rizal (2002) menyatakan bahwa kearifan masyarakat adat telah menjadi pilar
yang mampu mempertahankan kelestarian sumberdaya alam.
Dimensi ekologi (lingkungan), ekonomi, sosial dan kelembagaan
merupakan empat dimensi yang harus seimbang dalam pembangunan
berkelanjutan (Charles 2001). Dan pada akhirnya, keberhasilan suatu pengelolaan
wilayah pesisir sangat ditentukan oleh kepatuhan masyarakat terhadap peraturan
yang telah dibuat (Susilo, 2003).
Beberapa indikator ekosistem wilayah pesisir dapat digunakan sebagai
salah satu cara memonitor keberhasilan implementasi kebijakan pembangunan
berkelanjutan. Menurut OECD (1993), indikator-indikator tersebut adalah:
1. Parameter fisik: luas lahan yang masih alami; luas lahan pemukiman,
industri, komersial, dan rekreasi; volume dan luas pembuangan sampah,
reklamasi, dan drainase tahunan; tingkat ekstraksi tahunan dari mineral, pasir,
kerikil, gas, dan minyak bumi; perubahan volume pasir pantai; tingkat abrasi
pantai; perubahan tingkat permukaan laut;
2. Parameter kimia/biologi: indikator kualitas air; kandungan klorofil;
distribusi vegetasi wilayah pesisir; persen habitat alami yang dilindungi;
jumlah species terancam punah;
3. Parameter Sosial: kepadatan populasi penduduk; perlindungan terhadap situs
yang bernilai budaya dan arkeologi; rasio lahan yang telah dikembangkan
terhadap yang belum dikembangkan; tingkat infrastruktur yang ada; peluang
akses publik terhadap pantai; partisipasi publik dan dunia usaha (industri)
dalam penentuan kebijakan dan tujuan pengelolaan; dan kemauan politik
pemerintah dan politikus.
Sedangkan yang diadaptasi dari Charles (2001) dan Susilo (2003), atribut-atribut
untuk rumput laut adalah:
19
1) Dimensi Ekologi: biofisik lingkungan, pertumbuhan rumput laut, kandungan
karagenan, luasan areal yang sesuai, ketersediaan dan mutu bibit.
2) Dimensi Ekonomi: keuntungan, kontribusi terhadap PAD, sistem permintaan
pasar (lokal, nasional dan internasional).
3) Dimensi Sosial budaya: kualitas SDM (tingkat pendidikan, persepsi
masyarakat), penyerapan tenaga kerja, sistem sosial dalam pengelolaan
budidaya rumput laut (gender, kemandirian, partisipasi keluarga dalam
pemanfaatan sumberdaya, jumlah rumah tangga petani rumput laut), alternatif
usaha selain menanam rumput laut.
4) Dimensi Kelembagaan: Perda tentang rumput laut, aturan adat/agama,
koperasi/kelompok tani rumput laut.
Bengen (2004) menyatakan bahwa, selain memiliki potensi sumberdaya
yang besar, wilayah pesisir juga memiliki kompleksitas yang cukup tinggi.
Kompleksitas yang dimaksud adalah 1) penentuan wilayah pesisir baik ke arah
darat maupun ke arah laut sangat bervariasi tergantung karakteristik lokal
kawasan tersebut; 2) adanya keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik
antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan
kawasan lahan atas dan laut lepas; 3) memiliki berbagai jenis sumberdaya dan jasa
lingkungan, sehingga menghadirkan berbagai penggunaan/pemanfaatan
sumberdaya pesisir yang dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor
pembangunan; 4) secara sosial ekonomi, wilayah pesisir biasa dihuni oleh lebih
dari satu kelompok masyarakat yang memiliki preferensi yang berbeda; 5) adanya
sifat common property dari sumberdaya pesisir yang dapat mengakibatkan
ancaman terhadap sumberdaya tersebut; dan 6) sistem sosial budaya masyarakat
pesisir memiliki ketergantungan terhadap fenomena alam. Karena kompleksitas
permasalahan di wilayah pesisir cukup tinggi, maka alternatif yang sesuai untuk
pengelolaannya adalah pengelolaan secara terpadu. Sebaliknya pengelolaan secara
sektoral hanya akan memperbesar ancaman terhadap kelangsungan sumberdaya
pesisir dan laut. Berkaitan dengan pengembangan rumput laut di wilayah pesisir,
maka pengelolaan yang dilaksanakan harus terpadu dengan sektor-sektor lain agar
tidak saling mematikan sehingga pengembangan rumput laut dapat berkelanjutan
dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan.
20
2.3 Rumput Laut
Rumput laut merupakan salah satu komoditi sub-sektor perikanan yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi karena menghasilkan alginat, agar-agar dan
karaginan. Alginat, agar-agar dan karaginan mempunyai tingkat kegunaan tinggi
dalam berbagai bidang, seperti industri makanan, farmasi, dan kosmetik. Seiring
dengan berkembangnya industri tersebut, menyebabkan permintaan rumput laut
terus meningkat baik untuk keperluan dalam negeri maupun ekspor.
Secara ekonomi rumput laut dapat memberikan sumbangan devisa bagi
negara dan meningkatkan pendapatan nasional. Di samping itu budidaya rumput
laut ternyata mampu mengubah tingkat sosial-ekonomi masyarakat pantai dan
meningkatkan pendapatan serta dapat melindungi sumberdaya pesisir melalui
pengalihan kegiatan yang dapat merusak lingkungan misalnya pengambilan
karang dan penggunaan bahan peledak untuk penangkapan ikan (Madeali et al.
1999).
Perairan Indonesia memiliki sumberdaya plasma nutfah rumput laut
kurang lebih 555 jenis (Basmal 2001). Beberapa jenis rumput laut tersebut telah
mampu dikembangkan untuk dimanfaatkan dalam berbagai bidang industri.
Rumput laut yang dikembangkan di Kabupaten Bantaeng adalah jenis K.alvarezii.
Jenis ini mempunyai nilai ekonomis penting karena merupakan penghasil
karaginan. Dalam dunia industri dan perdagangan, karaginan mempunyai manfaat
yang sama dengan agar-agar dan alginat, yakni digunakan sebagai bahan baku
untuk industri farmasi, kosmetik, makanan dan lain-lain (Mubarak et al. 1990).
2.3.1 Deskripsi Kappaphycus alvarezii
Menurut Doty (1985), K.alvarezii merupakan salah satu jenis rumput laut
merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi K.alvarezii karena karaginan
yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi
disebut K.alvarezii . Nama daerah ‘cottonii’ umumnya lebih dikenal dan biasa
dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional. Klasifikasi
K.alvarezii menurut Doty (1985) adalah sebagai berikut :
21
Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales
Famili : Solieracea Genus : Eucheuma
Species : Kappaphycus alvarezii (Doty)
Ciri fisik K.alvarezii adalah mempunyai tallus silindris, permukaan licin,
cartilogeneus. Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau,
hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena
faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu
penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan. Duri-
duri pada tallus runcing memanjang agak jarang-jarang dan tidak bersusun
melingkari tallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama
keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat
dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh
dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah
datangnya sinar matahari (Atmadja et al. 1996) (Gambar 3). Rumput laut
bereproduksi dengan tiga cara, yaitu: vegetatif, generatif dan pembelahan sel.
Berbagai faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam proses reproduksi rumput
laut seperti suhu, salinitas, cahaya, arus, dan unsur hara (Departemen Pertanian
2001).
Gambar 3 Kappaphycus alvarezii (Doty) (Sumber gambar: Yulianda 2003).
22
2.3.2 Kondisi dan Persyaratan Tumbuh Rumput Laut
Lokasi yang sesuai dengan persyaratan tumbuh merupakan salah satu
faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu budidaya rumput laut. Faktor-
faktor lainnya adalah teknis budidaya atau penanaman, bibit unggul, sosial
ekonomi dan pemasaran. Wilayah perairan pesisir Kabupaten Bantaeng, secara
umum dapat dikatakan cukup memenuhi syarat untuk pertumbuhan rumput laut,
walaupun berhadapan langsung dengan Laut Flores sehingga pada bulan
Desember-Februari ombak besar. Hal tersebut terbukti dengan semakin
berkembangnya usaha rumput laut di wilayah tersebut. Pertumbuhan K.alvarezii
membutuhkan kondisi perairan seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1 Kondisi dan persyaratan tumbuh K.alvarezii
No. Parameter Kondisi/Persyaratan Tumbuh
1. Kec. Arus (m/det.) 0.2-0.3
2. Substrat dasar Pasir, pecahan karang
3. Salinitas (‰) 28-34
4. Keterlindungan Terlindung
5. Tinggi gelombang (m) 0.20-0.30
6. Suhu (0 28-30 C)
7. Kecerahan (%) 80-100
8. Derajat keasaman 7.5-8.5
9. Kedalaman (m) 2-10
Sumber: Modifikasi dari Puslitbangkan (1991); Sulistijo (1996); Aslam (1998); FAO (2008).
2.3.3 Metode Budidaya Rumput Laut Di dalam teknik budidaya ada dua hal yang perlu diperhatikan. yaitu
pemilihan bibit dan metoda budidaya. Dikenal lima metode budidaya rumput laut,
yaitu: metode lepas dasar, metode rakit apung, metode long line, metode jalur dan
metode keranjang (kantung) (Direktorat Produksi Dirjen Perikanan Budidaya
2006). Penerapan metode tersebut harus disesuaikan dengan kondisi perairan
dimana rumput laut akan dibudidayakan. Di Kabupaten Bantaeng petani rumput
laut menggunakan metode long line karena dianggap cocok dengan kondisi
23
biofisik perairan serta biaya konstruksinya lebih murah bila dibandingkan dengan
metode lainnya. Metode long line menggunakan tali panjang yang dibentangkan,
pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar, setiap 25 m diberi
pelampung utama yang berupa drum plastik/styrofoam.
Aji dan Murdjani (1986) menyebutkan bahwa dengan sistem pemeliharaan
yang baik untuk budidaya tambak dapat dicapai produksi sebanyak 1 000 sampai
dengan 1 500 kg berat kering/ha/panen atau sekitar 6-9 ton/ha/tahun. Untuk
budidaya dengan sistem rakit dapat mencapai produksi sekitar 2 kg/m 2 /tahun.
Sedangkan untuk metode long line, rumput laut yang dipanen pada umur 45 hari
menghasilkan rumput laut basah antara 25 600 kg-51 200 kg/ha atau setara
dengan 2 800-5 600 kg/ha rumput laut kering (Direktorat Produksi Dirjen
Perikanan Budidaya 2006).
2.3.4 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Rumput Laut
Secara umum ada beberapa permasalahan pengembangan rumput laut di
Indonesia, antara lain: 1) sumberdaya manusia yang tersedia walaupun dalam
jumlah cukup namun dalam hal mutu masih relatif rendah akibatnya rumput laut
yang dihasilkan, produktivitas dan kualitasnya rendah; 2) belum menguasai
teknologi untuk mengolah rumput laut menjadi karaginan agar bisa memperoleh
nilai tambah; dan 3) petani rumput laut umumnya kesulitan dalam hal permodalan
karena belum tersentuh oleh lembaga keuangan yang ada sehingga kesulitan
dalam mengembangkan usahanya.
Disisi lain, Indonesia sangat berpeluang untuk mengembangkan rumput
laut karena didukung oleh potensi kawasan yang sesuai untuk budidaya hampir di
seluruh wilayah pesisir Indonesia. Gambar 4 memperlihatkan total luas lahan
perairan yang potensial dapat dimanfaatkan untuk usaha budidaya rumput laut
jenis K.alvarezii seluas 1 471 532 ha (Ma’ruf 2010). Bahkan Master Plan
Budidaya Laut tahun 2004 (Nurdjana 2006) menyatakan bahwa potensi indikatif
mencapai 4 720 000 ha dan potensi efektif 2 350 000 ha. Kemudian, sinar
matahari yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tersedia sepanjang tahun dan
sumberdaya manusia yaitu nelayan juga cukup tersedia, maka Indonesia
24
berpotensi besar untuk menimba untung dari bisnis ini. Proyeksi pengembangan
rumput Laut 2006-2009 adalah sebagai berikut (Tabel 2).
Sulawesi Selatan memiliki potensi budidaya laut sekitar 600 500 Ha. Dari
potensi tersebut sekitar 250 000 Ha dapat dimanfaatkan menjadi usaha budidaya
rumput laut dengan prediksi produksi mencapai 1 250 000 ton berat kering/tahun
(Anonim 2004). Jenis K.alvarezii merupakan salah satu komoditas ”unggulan
perikanan” Sulawesi Selatan yang cenderung mengalami peningkatan produksi
dan volume ekspor. Pada tahun 2003 volume ekspor mencapai 15 339 ton dengan
nilai US$ 5.7 juta dan mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar pada
sektor produksi, pengolahan dan pemasaran.
Gambar 4 Kawasan yang potensial untuk budidaya rumput laut K.alvarezii di
Indonesia (Sumber gambar: Ma’ruf 2010).
Kabupaten Bantaeng sebagai salah satu produsen rumput laut di Provinsi
Sulawesi Selatan mempunyai potensi lahan sekitar 6 000 ha dan sudah dikelola
seluas 1 965 ha. Adapun produksi rumput laut yang dihasilkan antara 1 000-1 500
kg/ha/siklus berat kering pada musim baik (Maret-Juli) dan dari segi kualitas,
rendemen yang dihasilkan berkisar 25-30% (Subdiskan Bantaeng 2006).
25
Tabel 2 Proyeksi pengembangan rumput laut tahun 2006-2009
No Parameter Tahun 2006 2007 2008 2009
1 Produksi (ton) 1 120 010 1 343 696 1 611 911 1 900 000 - Gracillaria sp. 235 800 282 880 339 360 400 000 - K.alvarezii. 884 210 1 060 816 1 272 631 1 500 000 2 Luas lahan (ha) 18 220 21 453 25 336 29 283 - Pengembangan Gracillaria sp. 5 895 7 072 8 484 10 000 - Pengembangan K.alvarezii. 8 842 10 608 12 726 15 000
- Tambahan Pengembangan K.alvarezii. 3 483 3 773 4 126 4 283
3 Pengembangan Kebun Bibit Rumput Laut 1 474 1 767 2 121 2 500
- Gracillaria sp. 590 707 848 1 000 - K.alvarezii. 884 1 060 1 273 1 500 4 Investasi dan Modal Kerja 46 231 54 747 65 662 70 484 - Gracillaria sp. (Rp. Juta) 1 912 1 765 2 118 2 274 - K.alvarezii. (Rp. Juta) 44 319 52 982 63 544 68 210
5 Kebutuhan Mesin Pre-Processing (unit) 88 106 127 150
6 Tenaga kerja (Orang) 150 315 180 336 216 342 255 000 Sumber: Nurdjana 2006.
2.3.5 Ketersediaan dan Permintaan Rumput Laut
Indonesia merupakan produsen rumput laut K.alvarezii terbesar ke dua di
dunia setelah Filipina (Ma’ruf 2010). Peningkatan produksi setiap tahun sangat
signifikan. Pada tahun 2002 produksi Indonesia baru 25 700 ton, merupakan 25 %
dari produksi Filipina tetapi pada tahun 2007 produksi K.alvarezii Indonesia
sudah hampir menyamai jumlah produksi Filipina (Gambar 5 dan Lampiran 1).
Produk rumput laut Indonesia mayoritas diekspor dalam bentuk kering
tanpa olahan lebih lanjut. Padahal beberapa pabrik pengolahan di dalam negeri
masih kekurangan bahan baku dan kebutuhan Indonesia terhadap produk olahan
rumput laut baik karaginan, alginat maupun agar-agar sangat tinggi (DKP 2006)
Kebutuhan karaginan untuk beberapa industri di Indonesia pada tahun 2002
adalah sebesar 1 864 ton dan baru sebagian kecil (740 ton) yang bisa dipasok oleh
industri pengolahan karaginan dalam negeri. Sisanya diimpor dari luar negeri
(DKP 2006). Tingginya pemanfaatan karaginan menyebabkan permintaan
terhadap rumput laut juga cenderung meningkat setiap tahun (Tabel 3)
26
Gambar 4 Produsen rumput laut (K.alvarezii) tahun 2002-2007
Gambar 5 Produsen dan produksi rumput laut dunia Tahun 2002-2007. Tabel 3 Perkembangan produksi, volume ekspor dan nilai ekspor rumput laut
Indonesia Tahun 2001-2004
No. Tahun Produksi (Ton) Volume Ekspor (Ton)
Nilai Ekspor (US$ 1000)
1. 2001 212 478 27 874 17 230 2. 2002 223 080 28 560 17 230 3. 2003 231 927 40 162 20 511 4. 2004 410 570 51 011 25 296
Sumber: Nurdjana 2006.
Potensi lahan budidaya untuk lingkup Provinsi Sulawesi Selatan ± 600 500
Ha, dari potensi tersebut sekitar 250 000 Ha dapat dimanfaatkan menjadi usaha
budidaya rumput laut dengan prediksi produksi mencapai 1 250 000 ton berat
kering/tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Sulsel 2003). Pemanfaatan lahan di
Sulawesi Selatan sampai saat ini masih kurang dari 50% dengan produksi pada
tahun 2003 mencapai 21 581 ton kering atau baru 20% dari produksi nasional.
Produksi dan luas lahan Kabupaten Bantaeng sejak tahun 2001 – 2008 tertera
pada Tabel 4.
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
2002 2003 2004 2005 2006 2007
96,12094,960102,820
96,60093,000
92,700
25,700
36,15045,000
62,300
86,00092,000
Pro
duks
i (To
n)
Tahun
Filipina
Indonesia
Malaysia
Afrika Timur
China
Vietnam
India
27
Tabel 4 Produksi dan luas lahan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng
Tahun 2001-2008
No. Tahun Produksi (ton) Luas Lahan (ha) 1 2001 120.10 505.20 2 2002 360.50 885.20 3 2003 720.40 1 875.00 4 2004 999.40 1 952.00 5 2005 1 395.00 1 965.00 6 2006 3 521.95 2 377.00 7 2007 5 700.25 3 102.00 8 2008 7 677.55 3 792.00
(Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009).
2.4 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut
Kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk tujuan
penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna
lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan
penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya
(Hardjowigeno 2001). Penilaian kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian
sistematik dari lahan dan menggolong-golongkannya ke dalam kategori
berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi kesesuaian
lahan bagi suatu usaha atau penggunaan tertentu (Hardjowigeno 2001). Proses
penilaian kesesuaian lahan budidaya rumput laut adalah membandingkan antara
syarat-syarat penggunaan lahan pesisir bagi peruntukan budidaya rumput laut
dengan kualitas lahan pesisir. Oleh karena itu, perlu dijelaskan syarat-syarat
penggunaan lahan pesisir bagi peruntukan budidaya rumput laut. Syarat-syarat
penggunaan lahan tersebut kadang-kadang memiliki parameter dengan nilai yang
berbeda dan tergantung pada letak geografis (Diadaptasi dari FAO 1976).
Pengembangan wilayah pesisir dengan sasaran penentuan kesesuaian lahan
untuk kegiatan budidaya rumput laut, klasifikasi kesesuaian lahannya ditujukan
untuk mengurangi atau mencegah berbagai dampak negatif yang mungkin
ditimbulkan, serta menjamin kegiatan budidaya rumput laut tersebut dapat
berlangsung secara optimal, terpadu dan berkelanjutan, ditinjau secara ekologis,
ekonomis, sosial, teknologi dan kelembagaan.
28
Langkah awal yang harus diperhatikan untuk memulai budidaya rumput
laut adalah pemilihan lokasi yang sesuai, terutama kesesuaian dari dimensi
ekologi. Akan tetapi menurut Aji dan Murdjani (1986), sangat sulit untuk
menetapkan batas dari masing-masing faktor ekologi yang dibutuhkan bagi
pertumbuhan rumput laut yang optimal. Karena faktor-faktor ekologis ini sangat
bervariasi dari suatu daerah dengan daerah lain. Faktor-faktor ekologi yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Terdapat gerakan air yang berbentuk arus. Arus air berperan dalam membawa
nutrien yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut dan
membersihkan rumput laut dari kotoran yang menempel.
2) Perairan terlindung dari tiupan angin dan ombak yang terlalu keras.
3) Airnya jernih dengan kecerahan yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan
kebutuhan terhadap sinar matahari untuk proses fotosintesis bagi
pertumbuhan rumput laut.
4) Pada saat surut terendah, masih tergenang air dengan kedalaman 30-60 cm
agar rumput laut tidak mengalami kekeringan.
5) Dasar perairan terdiri dari pasir dan pecahan karang namun tidak ada endapan
dan kotoran.
6) Tidak terdapat hewan-hewan pemangsa (ikan-ikan herbivora, penyu dan bulu
babi).
7) Terdapat bentos, teripang, kerang-kerangan dan lain-lain, yang tumbuh
dengan baik.
8) Perubahan kadar garam tidak telalu besar.
9) Kaya akan nutrien.
10) Derajat keasaman air antara netral sampai agak basa (pH 7-8).
11) Bebas dari aliran bahan pencemar.
Selain kesesuaian dari dimensi ekologi, penting juga diperhatikan
kesesuaian dari dimensi lingkungan sosial ekonomi agar usaha rumput laut bisa
optimal dan berkelanjutan. Adapun dimensi sosial ekonomi yang harus
diperhatikan (Deptan DKI, 2001), adalah sebagai berikut:
1) lokasi tersebut tidak termasuk dalam wilayah jalur pelayaran lalu lintas
laut.
29
2) lokasi tersebut tidak menjadi sengketa dengan kegunaan usaha lain.
3) tersedia banyak tenaga kerja karena usaha budidaya rumput laut
merupakan usaha yang padat karya.
4) Mudah terjangkau dengan alat transportasi.
Pemilihan lahan yang tidak sesuai akan berdampak pada berbagai dimensi
yang saling terkait, yakni: dari dimensi ekonomi akan menyebabkan
bertambahnya kebutuhan modal dan tingginya biaya operasional; dari dimensi
ekologi, kualitas dan produktivitas rumput laut yang dihasilkan rendah dan
kemungkinan akan terjadi degradasi lingkungan; dari dimensi kelembagaan,
tersedianya lembaga yang dapat membantu petani rumput laut dalam hal
permodalan, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, informasi pasar dan lain-
lain, akan berdampak terhadap pemanfaatan dan pengelolaan rumput laut yang
berkelanjutan.
2.5 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut
Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Konsep ini
dikembangkan untuk mencegah kerusakan atau degradasi sumberdaya alam dan
lingkungan. Sebagian besar permasalahan yang bertalian dengan pengelolaan
pembangunan wilayah pesisir, seperti pencemaran, overfishing, erosi dan
sedimentasi pantai, kepunahan jenis, dan konflik penggunaan ruang, merupakan
akibat dari terlampau tingginya tekanan lingkungan yang ditimbulkan oleh
penduduk beserta segenap kiprah kehidupan dan pembangunannya terhadap
lingkungan wilayah pesisir yang memiliki kemampuan terbatas (Dahuri 2001).
Daya dukung lingkungan atau kawasan sendiri didefinisikan sebagai kapasitas
yang dimiliki oleh suatu area yang penggunaan berbagai sumberdayanya tetap
berlanjut (aktivitas pembangunan) (Clark 1992). Atau menurut Turner (1988),
daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang dapat ditampung oleh
suatu kawasan atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan
mutu. Sedangkan Quano (1993), menyatakan daya dukung adalah kemampuan
perairan dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya
penurunan kualitas air yang ditetapkan. Mirip dengan pernyataan Krom (1986),
30
bahwa daya dukung lingkungan adalah kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk
menerima sejumlah limbah sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan.
Menurut Bengen (2002), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran
bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu
pertumbuhan organisme. Daya dukung dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
1. Daya dukung ekologis, yaitu tingkat maksimum (jumlah dan volume)
pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi;
2. Daya dukung fisik, adalah jumlah maksimum pemanfatan suatu sumberdaya
atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan tanpa menyebabkan
penurunan kualitas fisik;
3. Daya dukung sosial adalah tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu
sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan akibat adanya pengguna
lain dalam waktu bersamaan;
4. Daya dukung ekonomi adalah tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu
suatu sumber daya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara
berkesinambungan.
Daya dukung lingkungan menurut Scones (1993) dalam Asbar (2007)
dibagi atas dua, yaitu daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomi. Daya
dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme pada suatu lahan yang
dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta
tidak terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Daya dukung ekonomi
adalah tingkat produksi dari usaha yang memberikan keuntungan maksimum dan
ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi.
Daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh: (1) kondisi biogeofisik
wilayah, dan (2) permintaan manusia akan sumberdaya alam (SDA) dan jasa
lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, daya dukung
wilayah pesisir dapat ditentukan/diperkirakan (assessed) dengan cara
menganalisis: (1) kondisi (variabel) biogeofisik yang menyusun kemampuan
wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan SDA dan jasa lingkungan, dan
(2) variabel sosekbud yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di
wilayah pesisir tersebut atau yang tinggal di luar wilayah pesisir, tetapi
31
berpengaruh terhadap wilayah pesisir, akan SDA dan jasa lingkungan yang
terdapat di wilayah pesisir (Dahuri, 2001).
Lebih lanjut Dahuri (2001) menyatakan bahwa daya dukung suatu wilayah
tidak bersifat statis (a fixed amount), tetapi bervariasi sesuai dengan kondisi
biogeofisik (ekologis) wilayah termaksud dan juga kebutuhan (demand) manusia
akan SDA dan jasa lingkungan (goods and service). Daya dukung suatu wilayah
dapat menurun akibat kegiatan manusia maupun gaya-gaya alamiah (natural
forces), seperti bencana alam. Atau, dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan
melalui pengelolaan wilayah secara tepat (proper), masukan teknologi, dan impor
(perdagangan). Ketika SDA dan jasa lingkungan suatu wilayah dimanfaatkan
melebihi daya dukungnya, maka keuntungan pembangunan dari wilayah tersebut
secara keseluruhan mulai menurun, yang selanjutnya akan mengakibatkan
menurunnya perekonomian (economic decline) wilayah, serta penurunan
kesempatan kerja, pendapatan, dan devisa.
Fenomena yang terjadi di Kabupaten Bantaeng, dimana masyarakat begitu
antusias dalam pengembangan rumput laut menimbulkan kekhawatiran akan
terjadinya pemanfaatan yang melebihi daya dukung lingkungannya. Sehingga
kemungkinan hal tersebut di atas, yakni menurunnya keuntungan pembangunan
wilayah secara keseluruhan yang selanjutnya akan mengakibatkan penurunan
perekonomian wilayah serta penurunan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat
dan devisa, bisa terjadi.
2.6 Pemodelan Sistem Dinamik
Sistem didefiniskan sebagai suatu agregasi atau kumpulan objek yang
saling menerangkan dalam interaksi dan tergantung satu sama lain (Eriyatno dan
Sofyar 2007). Menurut Eriyatno (1998), sistem adalah totalitas himpunan elemen-
elemen yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional
terutama dimensi ruang dan waktu, dalam upaya mencapai suatu gugus tujuan
(goals). Pengertian sistem menurut Marimin (2007), adalah suatu kesatuan usaha
yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha
mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan yang kompleks. Menurut Handoko
(2005), sistem adalah suatu mekanisme dari interaksi berbagai komponen sebagai
32
suatu cara untuk membentuk sebuah fungsi. Dalam suatu sistem setiap komponen
dan fungsinya dapat diidentifikasi seperti interaksi diantara komponen dan di
dalam komponen. Demikian juga menurut Hartrisari (2007), bahwa sistem dapat
didefinisikan sebagai sekumpulan elemen (komponen) yang saling berinteraksi
dan bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya dijelaskan bahwa
sistem dapat digolongkan pada 2 jenis, yaitu:
• Sistem terbuka (open system)
• Sistem tertutup (closed system)
Sistem terbuka adalah sebuah sistem di mana output yang dihasilkan merupakan
tanggapan dari input, tetapi tidak ada pengaruhnya terhadap input. Atau Sistem
yang tidak menyediakan sarana koreksi, sehingga perlakuan koreksi
membutuhkan faktor eksternal. Sedangkan Sistem tertutup adalah sistem di mana
output yang dihasilkan akan merupakan tanggapan dari input, dan perilaku sistem
akan dipengaruhi output tersebut. Atau sistem yang menyediakan sarana koreksi
di dalam sistem itu sendiri dalam rangka pencapaian tujuan sistem
Para ahli sistem memberikan batasan permasalahan yang solusinya
sebaiknya menggunakan teori sistem adalah yang memenuhi karakteristik, 1)
kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; 2) dinamis, dalam arti
faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan;
dan 3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi
kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno dan Sofyar 2007). Manfaat utama dari
sistem dinamik menurut Coyle (1996) dalam Eriyatno dan sofyar (2007) adalah
mendapatkan kualitas yang dapat diperbandingkan dari rancangan maupun kinerja
dan sistem yang dapat dikelola.
Langkah pertama untuk melakukan permodelan sistem dinamis adalah
dengan menentukan struktur model. Struktur model akan memberikan gambaran
bentuk dan perilaku sistem. Perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku
simpal umpan balik (causal loop) yang menyusun struktur model. Perilaku model
dinamis ditentukan oleh keunikan dari struktur model yang dapat dipahami dari
hasil simulasi model. Dengan simulasi akan didapatkan perilaku dari suatu gejala
atau proses tersebut di masa depan. Dalam pendekatan analisis sistem dinamis,
struktur suatu sistem dijelaskan dengan jalan menentukan pengaruh ini akan
33
memberikan hubungan sebab akibat antara faktor-faktor yang ada (Eriyatno dan
sofyar 2007).
Hubungan sebab akibat yang dinyatakan dalam suatu diagram (causal loop
diagram) dapat menjelaskan dinamika yang berlaku pada sistem tersebut.
Hubungan sebab akibat dibedakan dua macam, yaitu:
1. Hubungan positif, dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin besar
pula nilai faktor akibat.
2. Hubungan negatif, yaitu makin besar nilai faktor penyebab akan makin kecil
nilai faktor akibat.
Dapat pula akibat dari suatu sebab mempengaruhi balik sebab tersebut, sehingga
terdapat hubungan sebab akibat yang memiliki arah berlawanan dengan sebab
akibat yang lain. Sehingga terbentuk suatu untaian tertutup, yang disebut loop.
Akibat dicatu balikkan ke penyebabnya, maka terbentuk untaian catu balik atau
feed back loop.
Konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu
kerangka analisa, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai
perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya. Sehingga kaitan antara
faktor-faktor ekologi, teknologi, ekonomi, sosial dan politik makin lama makin
erat sehingga gerakan disalah satu faktor akan mempunyai pengaruh pada faktor
lain (Marimin 2007).
Model merupakan representasi dari sistem. Model yang dibangun tidak
akan sama persis dengan sistem sebenarnya. Semakin banyak variabel yang
dimasukkan dalam model, semakin sulit untuk menjelaskan proses yang terjadi
(Forrester 1965 dalam Hartrisari 2007). Pemodelan dapat diartikan sebagai suatu
gugus aktivitas pembuatan model. Dari terminologi penelitian operasional, secara
umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah
obyek atau situasi aktual (Eriyatno 1998). Model memperlihatkan hubungan-
hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik yang
diistilahkan sebab akibat. Karena suatu model adalah suatu abstraksi dari realitas,
maka pada wujudnya kurang kompleks dari pada realitas itu sendiri. Model dapat
dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai dimensi dari realitas yang
sedang dikaji.
34
Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah untuk
menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Penemuan peubah
tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang
terdapat diantara peubah. Lebih lanjut Eriyatno (1998), menyatakan bahwa model
dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian atau
derajat keabstrakannya. Kategori umum adalah jenis model yang pada dasarnya
dapat dikelompokkan menjadi (1) model ikonik, adalah perwakilan fisik dari
beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda misalnya:
foto, peta, prototip, alat; (2) model analog, dapat mewakili situasi dinamik, yaitu
keadaan yang berubah menurut waktu, contohnya: kurva permintaan; (3) model
simbolik, pada hakekatnya ilmu sistem memusatkan perhatian pada model
simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji. Format model simbolik
dapat berupa angka, simbol dan rumus. Jenis model simbolik yang umum dipakai
adalah suatu persamaan (equation).
Sedangkan (Handoko 2005), membagi tipe model menjadi: (1) Fisik vs.
mental . Model fisik menggambarkan sistem secara nyata (fisik), seperti boneka,
prototipe pesawat terbang dan mobil sedangkan model mental menggambarkan
sistem melalui penjelasan secara deskriptif atau persamaan matematis; (2)
Deskriptif vs. numerik. Model deskriptif menjelaskan sistem tanpa menggunakan
hubungan kuantitatif, umumnya menggunakan diagram atau berupa konsep
sementara model numerik menggunakan persamaan matematis sehingga
mempunyai kemampuan prediksi; (3) Empirik vs. mekanistik. Model empirik juga
disebut model statistik, yang mengandalkan hubungan kausal berdasarkan
pengamatan empirik (hubungan input-output). Model ini kadang disebut ‘black
box’ karena tidak menjelaskan mekanisme proses yang terjadi. Sebaliknya model
mekanistik menjelaskan mekanisme proses yang terjadi, namun tergantung pada
level model tersebut. Model yang tingkatannya lebih tinggi akan menjadi model
‘empirik’ jika dibandingkan model dengan tingkat yang lebih rendah. Tidak ada
model yang benar-benar (100 %) mekanistik; (4) Statis vs. dinamis. Model statis
tidak memperhitungkan waktu yang selalu berubah, tidak ada fungsi waktu
sebaliknya model dinamis memperhitungkan waktu sebagai variabel. Dalam
model dinamis, variabel yang tidak berubah dengan waktu disebut ‘parameter’
35
atau ‘konstanta’ dan; (5) Deterministik vs. stokastik. Model deterministik
menghasilkan keluaran (output) yang pasti (determined) atau tunggal dan tidak
memperhitungkan berbagai kemungkinan lain akibat ketidak-pastian berbagai
faktor eksternal berbeda dengan keluaran model stokastik, dengan masukan
(input) yang sama dapat memiliki berbagai kemungkinan. Pada model semacam
ini, biasanya digunakan perhitungan peluang (probability) dari keluaran (output)
model.
Dalam proses membangun model simulasi komputer, terdapat enam tahap
yang saling berhubungan yang perlu diperhatikan (Djojomartono 1993), sebagai
berikut :
1) Identifikasi dan definisi sistem. Tahap ini mencakup pemikiran dan definisi
masalah yang dihadapi yang memerlukan pemecahan. Pernyataan yang jelas
tentang mengapa perlu dilakukan pendekatan sistem terhadap masalah
tersebut merupakan langkah pertama yang penting. Karakteristik pokok yang
menyatakan sifat dinamik atau stokastik dari permasalahan harus dicakup.
Batasan dari permasalahannya juga harus dibuat untuk menentukan ruang
lingkup sistem.
2) Konseptualisasi sistem. Tahap ini mencakup pandangan yang lebih dalam lagi
terhadap struktur sistem dan mengetahui dengan jelas pengaruh-pengaruh
penting yang akan beroperasi didalam sistem. Dalam tahap ini, sistem dapat
dinyatakan diatas kertas dengan beberapa cara, yaitu : (i) diagram lingkar
sebab akibat dan diagram kotak; (ii) menghubungkan secara grafis antara
peubah dengan waktu dan bagan alir komputernya. Struktur dan kuantitatif
dari model digabungkan bersama, sehingga akhirnya kedua-duanya akan
mempengaruhi efektivitas model.
3) Formulasi model. Berdasarkan asumsi bahwa simulasi model merupakan
keputusan, maka proses selanjutnya dalam pendekatan sistem akan diteruskan
dengan menggunakan model. Tahap ini biasanya model dibuat dalam bentuk
kode-kode yang dapat dimasukkan kedalam komputer. Penentuan akan
bahasa komputer yang tepat merupakan bagian pokok pada tahap formulasi
model.
36
4) Simulasi model. Tahap simulasi ini, model simulasi komputer digunakan
untuk menyatakan serta menentukan bagaimana semua peubah dalam sistem
berperilaku terhadap waktu. Ditetapkan periode waktu simulasi.
5) Evaluasi model. Berbagai uji harus dilakukan terhadap model yang telah
dibangun untuk mengevaluasi keabsahan dan mutunya. Uji berkisar
memeriksa konsistensi logis sampai membandingkan keluaran model dengan
data pengamatan, atau lebih jauh menguji secara statistik parameter-
parameter yang digunakan dalam simulasi. Analisis sensitivitas dapat
dilakukan setelah model divalidasi.
6) Penggunaan model dan analisis kebijakan. Tahap ini mencakup penggunaan
model dalam menguji dan mengevaluasi alternatif yang memungkinkan dapat
dilaksanakan.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir Kecamatan Bantaeng dan
Kecamatan Bissapu, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan (Gambar 6).
Penelitian dilaksanakan pada Februari 2009-Maret 2010.
PEMERINTAH KABUPATEN BANTAENGSULAWESI SELATAN
PETA WILAYAH ADMINISTRASI KABUPATEN BANTAENGSULAWESI SELATAN
Kab. Bantaeng
Ulu Ere
Sinoa
Tompobulu
Gantarangkeke
Bantaeng
Eremerasa
Pa'jukukang
Bissappu
Bonto Lojong
Labbo
Layoa
Tombolo
Onto
Kayuloe
Baji Minasa
Bonto Karaeng Bonto Bullaeng
Pattallassang
Barua
Pattaneteang
Kaloling
Pa'jukukangBorong Loe
Papan Loe
Baruga
Kampala
Pa'bumbungang
Lamalaka
Lonrong
Banyorang
Bonto Tallasa
Ulugalung
Parang Loe
Bonto Langkasa
Bonto Daeng
Bonto Loe
Bonto Tappalang
Nipa Nipa
Bonto Tiro
Bonto Tangnga
Lumpangang
Balumbung
Biang keke
Bonto Mate'ne
Karatuang
Pa'bentengang
Rappoa
Campaga
Bonto Jaya
Bonto Manai
Bonto Rannu
Mappilawing
Batu Karaeng
Tanah Loe
Bonto SungguBonto Rita
Lembang Gantareng Keke
Mallilingi
Gantareng Keke
Bonto Salluang
Ereng Ereng
Bonto Maccini
Bonto Lebang
Bonto Cinde
Bonto Bontoa
Biang Loe
Bonto Jai
Bonto Marannu
Bonto Majannang
Lembang
Pallantikang
Bonto Atu
Let ta
Mamampang
Tappanjeng
815000
815000
820000
820000
825000
825000
830000
830000
835000
835000
840000
840000
845000
8450009380000 9380000
9385000 9385000
9390000 9390000
9395000 9395000
9400000 9400000
9405000 9405000
2 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 KilometersSkala :
Sungai
Batas Kecamatan
Batas Desa
Jalan
Legenda :
N
EW
S
Gambar 6 Peta lokasi penelitian.
Lokasi penelitian L a u t F l o r e s
38
3.2 Tahapan Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan dalam beberapa tahap seperti tertera pada
Gambar 7 berikut.
Gambar 7 Tahapan rencana penelitian.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Sumber Data dan Prosedur Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan data primer dan data sekunder. Data
primer didapatkan melalui observasi, pengukuran langsung di lapangan maupun
analisa di laboratorium dan dari hasil wawancara langsung di lokasi penelitian.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai instansi pemerintah dan swasta
yang terkait dengan penelitian ini.
3.3.2 Karakteristik Biofisik Kawasan Pesisir.
Parameter biofisik yang akan diamati, seperti tertera pada Tabel 5.
Tabel 5 Jenis, alat/cara analisis, dan sumber data dalam rencana penelitian
No. Jenis data Alat /cara analisis Sumber I. Data Primer 1. Kelayakan lahan
- Suhu - Kecerahan - Salinitas - pH air - Kecepatan arus - Kedalaman
Water Quality Checker Secchi disk Water Quality Checker Water Quality Checker Layang-layang arus Eikman Grab
In situ In situ In situ In situ In situ In situ
Analisis Biofisik
Penentuan Kesesuaian Lahan
Penentuan Daya Dukung Lahan
Penentuan Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut
Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut
39
No. Jenis data Alat /cara analisis Sumber - Substrat - Tinggi gelombang - Hama/predator rumput laut
Eikman Grab/analisis tanah In situ In situ In situ
2.. Aspek ekologi - mutu dan ketersediaan bibit - pertumbuhan RL - luasan areal yang sesuai Aspek konomi - Kelayakan usaha - Keuntungan - Pendapatan petani - Sistem permintaan Pasar
(Domestik dan Ekspor), Aspek Sosial-budaya - Tingkat pendidikan, - Jumlah RT petani - Sistem sosial dalam
pengelolaan budidaya rumput laut
- Kemandirian petani, - Partisipasi keluarga - Sosialisasi pekerjaan - Alternatif usaha - Pemberdayaan masyarakat Aspek Teknologi - Sarana dan prasarana - Standarisasi mutu - Teknologi pengolahan - Ketersediaan informasi rl - Tingkat penguasaan teknologi
budidaya rl Aspek Kelembagaan. - Ada tidaknya kelompok tani - Zonasi peruntukan
lahan/perairan - Ketersediaan Perda - Ketersediaan hukum
adat/agama - Adanya tokoh masyarakat -
Wawancara langsung (kuesioner)
Ada tidaknya lembaga keuangan/sosial
Sampling
II. Data Sekunder 1. Citra Landsat ETM 7 Tahun
2005 Er Mapper 6.0 dan Arc View 3.3.
Biotrop,BPPT
2. Peta : - Peta rupa bumi - Peta lingkungan pantai
Arc View 3.3.
Bakosurtanal, BPN, BPPT,
40
No. Jenis data Alat /cara analisis Sumber (LPI)
- Peta kemampuan lahan - Peta batimetri - Peta administrasi
Puslitanak, BMG Maritim Makassar, Bappeda
3. Pustaka yang terkait dengan penelitian ini.
Instansi terkait
3.4 Analisis Data
3.4.1 Analisis Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut
Analisis kesesuaian lahan kawasan pesisir Kabupaten Bantaeng
dikhususkan pada kesesuaian lahan bagi peruntukan budidaya rumput laut jenis
K.alvarezii melalui analisis kondisi lingkungan perairan. Parameter lingkungan
perairan merupakan faktor pembatas dan menjadi pertimbangan utama dalam
penentuan tingkat kesesuaian lahan bagi budidaya rumput laut dengan metode
long line, seperti di tampilkan pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6 Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut metode long line.
No.
Parameter
Kriteria Kesesuaian
Sangat Sesuai Sesuai Bersyarat Tidak sesuai
1. Kec. Arus (m/det.) 0.2-0.3 0.10-<0.20; >0.30-≤0.40
<.10; >0.40
2. Substrat dasar Pasir,pecahan karang
Pasir sedikit berlumpur
berlumpur
3. Salinitas (‰) 28-34 25-<28; >34-≤35 <25; >35 4. Keterlindungan Terlindung Cukup terlindung terbuka 5. Tinggi gelombang (m) 0.20-0.30 0.10-<0.20;
>0.30-≤0.40 <0.10-≥0.40
6. Suhu (0 28-30 C) 26-<28; >34-≤35 <26; >35 7. Kecerahan (%) 80-100 60- <80 <60 8. Derajat keasaman 7.5-8.5 6.5-<7.5 <6.5->8.5 9. Kedalaman (m) 2-10 1-<2; >10-≤30 <1; >30 Sumber: Modifikasi dari Puslitbangkan (1991); Hidayat (1994); Sulistijo (1996);
Aslam (1998); Effendi (2004); FAO (2008).
Secara umum terdapat lima tahapan dalam melakukan analisis kesesuaian
lahan, yaitu: 1). Penetapan persyaratan (parameter dan kriteria), pembobotan dan
skoring. Parameter yang menentukan diberikan bobot terbesar sedangkan kriteria
41
yang sesuai diberikan skor tertinggi; 2). Penghitungan nilai dengan skor (S)
dijumlah secara keseluruhan sehingga didapat total nilai bobot-skor maksimal
dikurangi total nilai bobot-skor minimal, kemudian dibagi tiga kategori skor;
3). Pembagian kelas lahan dan nilainya. Pada penelitian ini kelas kesesuaian lahan
akan dibedakan pada tiga tingkatan kelas dan didefinisikan sebagai berikut:
Kelas S1 : Sangat sesuai. Lahan atau kawasan yang sangat sesuai untuk budidaya
rumput laut tanpa adanya faktor pembatas yang berarti, dimana
parameter-parameter fisika kimia dan biologi perairan memenuhi
persyaratan atau ketentuan yang ideal, atau memiliki faktor pembatas
yang bersifat minor dan tidak akan menurunkan produktivitasnya
secara nyata terhadap kegiatan atau produksi hasil. Lahan kelas S1
memiliki nilai sebesar 99-135 dari nilai maksimum peruntukan
budidaya rumput laut.
Kelas S2 : Sesuai Bersyarat. Lahan atau kawasan mempunyai pembatas
(Penghambat) yang serius, pembatas tersebut akan mengurangi
aktivitas/produktivitas rumput laut dan keuntungan serta
meningkatkan masukan yang diperlukan dimana parameter fisika,
kimia dan biologi perairan tidak terlalu memenuhi persyaratan /
ketentuan yang ideal. Di dalam pengelolaannya diperlukan tambahan
masukan (input) teknologi dan tingkatan perlakuan. Lahan kelas S2
memiliki nilai sebesar 62-98 dari nilai maksimum peruntukan
budidaya rumput laut.
Kelas S3 : Tidak Sesuai. Lahan atau kawasan yang tidak sesuai diusahakan
untuk budidaya rumput laut yang lestari karena mempunyai faktor
pembatas yang berat/bersifat permanen dimana parameter tidak
memenuhi persyaratan/ketentuan yang ideal. Lahan kelas S3
memiliki nilai di bawah 61 dari nilai maksimum peruntukan
budidaya rumput laut.
Sesuai dengan faktor pembatas dan tingkat keberhasilan yang dimiliki oleh
masing-masing kelas lahan, semakin kecil faktor pembatas dan semakin besar
peluang keberhasilan atau produksi suatu lahan, semakin besar pula nilainya;
4). Membandingkan nilai lahan dengan nilai masing-masing kelas lahan. Pada
42
cara ini, kelas kesesuaian lahan untuk penggunaan budidaya rumput laut
diperoleh; 5). Pemetaan kesesuaian lahan yang dilakukan dengan program spasial
Arc View 3.3. untuk memetakan kawasan ketiga kelas lahan tersebut dilakukan
operasi tumpang susun (overlaying) dari setiap tema yang dipakai sebagai kriteria.
Hasil perkalian antara bobot dan skor yang diterima oleh masing-masing coverage
tersebut disesuaikan berdasarkan tingkat kepentingannya terhadap penentuan
kesesuaian budidaya rumput laut. Hasil akhir dari analisa SIG melalui pendekatan
indeks overlay model adalah diperolehnya rangking (urutan) kelas kesesuaian
lahan untuk budidaya rumput laut tersebut.
3.4.2 Analisis Daya Dukung Kawasan untuk Budidaya Rumput Laut
Analisis daya dukung perairan untuk pengelolaan budidaya rumput laut di
Kabupaten Bantaeng dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan
kapasitas perairan dan pendekatan kapasitas asimilasi N.
Pertama; pendekatan kapasitas lahan sesuai dengan metode budidaya yang
diterapkan. Parameter yang menjadi acuan dalam penentuan daya dukung lahan
tersebut menurut Rauf (2007), adalah:
a. Luas perairan budidaya rumput laut yang sesuai
Luas perairan budidaya rumput laut yang sesuai dapat diperoleh dari hasil
analisis kesesuaian dengan menggunakan SIG.
b. Kapasitas perairan
Kapasitas perairan diartikan sebagai luasan lahan perairan yang dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya rumput laut secara terus menerus yang
secara sosial tidak menimbulkan konflik serta secara ekologis tidak
mengganggu ekosistem pesisir. Besarnya kapasitas lahan yang ditetapkan
dalam studi ini dianalisis dengan formula sebagai beriut:
Keterangan: KK = Kapasitas Perairan ℓ1 = lebar unit budidaya ℓ2 = lebar yang sesuai untuk satu unit budidaya p1 = panjang unit budidaya p2 = panjang yang sesuai untuk satu unit budidaya
43
Gambar 8 Skema unit budidaya rumput laut.
Kapasitas perairan ditentukan dari selisih antara luas perairan yang sesuai
dengan luas unit budidaya dibagi dengan luas perairan yang sesuai kali 100%.
Luas unit budidaya (L1) ditentukan berdasarkan luas rata-rata unit budidaya
yang ada di Kab. Bantaeng, yaitu 45x45 m. Luas yang sesuai untuk satu unit
budidaya (L2) ditentukan berdasarkan hasil survey lapang. Daerah yang
berwarna biru merupakan jarak antara unit budidaya yang diasumsikan 10 m
yaitu 2 x lebar maksimal badan perahu dengan penyeimbangnya yang dipakai
petani rumput laut dalam melakukan aktivitasnya di Kab. Bantaeng.
c. Luasan unit budidaya
Luasan unit budidaya adalah besaran yang menunjukkan luasan dari satu unit
budidaya rumput laut dengan setiap luasan unit budidaya berbeda-beda
tergantung dari metode budidaya yang diterapkan. Dalam kajian ini luasan
satu unit budidaya didasarkan pada metode long line dengan ukuran 45 m x 45
m = 2 025 m2
d. Daya dukung perairan
atau 0.2025 ha.
Daya dukung perairan menunjukkan kemampuan maksimal lahan untuk
mendukung aktivitas budidaya secara terus menerus tanpa menimbulkan
penurunan kualitas, baik lingkungan biofisik maupun sosial. Berdasarkan
pendekatan tersebut diatas maka daya dukung perairan untuk budidaya rumput
laut dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:
P2
ℓ2 L2 10m
p1
ℓ1 L1
DDPRL = LPS x KP
44
Keterangan:
DDPRLLPS = Luas perairan yang sesuai (ha)
= Daya dukung perairan budidaya rumput laut (ha)
KP = Kapasitas perairan (ha) Perhitungan berapa jumlah unit budidaya yang dapat didukung oleh perairan
berdasarkan daya dukung yang diperoleh, digunakan persamaan, sebagai
berikut:
JUBRL
Keterangan:
= DDK/LUB
JUBRL DDP = daya dukung perairan (ha)
= jumlah unit budidaya rumput laut (unit)
LUB = luas unit budidaya (unit/ha)
Kedua; pendekatan kapasitas asimilasi N perairan dengan rumus:
(N BM x Vtot x FT) x 10
Keterangan :
-6
NBM V
= N Baku Mutu (Kep.Men LH 2004) : 1.0 mg/l tot = Vps
FT = 1/D, D=koefisien flushing x2
3.4.3 Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Rumput Laut
Analisis kesesuaian ekonomi dilakukan pada pemanfaatan existing
sumberdaya di wilayah pesisir. Penekanan tujuan analisis ini pada kelayakan
usaha yang dilakukan, meliputi penentuan biaya investasi, biaya operasional, dan
penerimaan. Analisis ini menggunakan:
- Benefit Cost Ratio (R/C),
Analisis ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana usaha budidaya rumput
laut tersebut menguntungkan, dengan menggunakan rumus :
R/C = TR/TC
Keterangan: TR = Total penerimaan usaha (Rp/ha/tahun)
TC = Total biaya usaha (Rp/ha/tahun)
Kriteria pengambilan keputusannya adalah : R/C > 1, usaha budidaya menguntungkan R/C = 1, usaha budidaya impas (break even point) R/C < 1, usaha budidaya rugi.
45
Selanjutnya, untuk menetukan kelayakan pengembangan usaha budidaya
rumput laut dilakukan penghitungan besar penerimaan (benefit) dan besarnya
biaya (cost) yang dihitung berdasarkan nilai kini (present value). Kriteria
kelayakan yang digunakan adalah:
- Net Present Value (NPV)
NPV adalah nilai kini dari keuntungan bersih yang akan diperoleh pada masa
yang akan datang, dengan menghitung selisih antara manfaat dan biaya kini.
Menggunakan persamaan sebagai berikut :
∑n
1=tttt
i)+(1C-B=NPV
Keterangan : Bt C
= benefit kotor tahunan, selama t tahun. t
1/(1+i)= biaya kotor tahunan, selama t tahun.
t
i = tingkat suku bunga bank (Discount rate) = discount factor (DF)
n = Umur ekonomis dari unit usaha r = discount rate t = 0, 1, 2, 3, …… tahun ke n
Kriteria pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut: NPV > 0 ; budidaya rumput laut layak diusahakan NPV = 0 ; budidaya rumput laut impas (break even point) NPV < 0 ; budidaya rumput laut tidak layak diusahakan
3.4.4 Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Rumput Laut
Analisis optimasi pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng untuk
pengembangan budidaya rumput laut dilakukan dengan pendekatan sistem
dinamik. Model sistem dinamik ini dibangun dan dikembangkan berdasarkan pada
data–data empiris sistem teknologi budidaya yang ada, faktor-faktor ekologis
perairan yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut, faktor-faktor ekonomi
dan sosial yang mempengaruhi pengembangan rumput laut, faktor kelembagaan.
Model sistem dinamik ini digunakan untuk optimasi pengelolaan sumberdaya
rumput laut berbasis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan di Kabupaten
Bantaeng.
Metode analisis data dalam model sistem dinamik optimasi pengelolaan
sumberdaya rumput laut terdiri atas analisis kebutuhan, formulasi masalah,
46
identifikasi sistem melalui diagram causal loop dan diagram input-output,
simulasi model, dan verifikasi dan validasi model.
a) Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan setiap
pelaku (stakeholders) yang terlibat dalam pemanfataan rumput laut. Berdasarkan
observasi dilapangan, stakeholders yang terlibat seperti terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Analisis kebutuhan stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng
No. Stakeholders Kebutuhan
1. Petani/Masyarakat 1.1 .............................. 1.2 .............................. 1.3 ..............................
2. Pemerintah 2.1 .............................. 2.2 .............................. 2.3 ..............................
3. Pedagang pengumpul/ 3.1 .............................. 3.2 .............................. 3.3 ..............................
4. Pedagang besar /Pengusaha 4.1 ............................. 4.2 ............................. 4.3 .............................
5. Lembaga keuangan 5.1 ............................ 5.2 .............................. 5.3 ...............................
6. Industri pengolahan 6.1 ............................... 6.2 ................................ 6.3 ................................
7. Penyedia jasa transportasi 7.1 ................................ 7.2 ................................. 7.3 ................................
8. LSM 8.1 ................................ 8.2 ................................ 8.3 ................................
b) Formulasi Masalah
Formulasi masalah merupakan identifikasi dari kebutuhan stakeholders
yang kontradiktif, yang dapat menyebabkan konflik pada pencapaian tujuan
(Hartrisari, 2007). Contoh kebutuhan stakeholders yang kontradiktif sehingga bisa
menimbulkan konflik adalah masalah harga komoditas rumput laut. Petani rumput
47
laut menginginkan harga yang tinggi sementara disisi lain, pedagang
pengumpul/pengusaha menginginkan harga yanng rendah.
c) Identifikasi Sistem
Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan
dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan
dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Identifikasi sistem bertujuan untuk
memberikan gambaran tentang hubungan antara faktor-faktor yang saling
mempengaruhi dalam kaitannya dengan pembentukan suatu sistem.
Hubungan antara faktor digambarkan dalam bentuk diagram lingkar
sebab-akibat (causal loop) seperti terlihat pada Gambar 9, kemudian dilanjutkan
dengan interpretasi diagram lingkar ke dalam konsep kotak gelap (black box) atau
diagram input-output (Gambar 10). Dalam menyusun black box, jenis informasi
dikategorikan kedalam tiga golongan yaitu peubah input, peubah output dan
parameter-parameter yang membatasi struktur sistem. salinitas kecerahan kecepatan
luas lahanyang sesuai
daya dukung
pertumbuhan RL
produksi
mutu bibitberat awal
bibit
kualitas RL
musimpemeliharaan
lama pemeliharaan
jarak tanam
kontribusiterhadap PAD
penerimaanpetani RL
harga RLpasar domestik
pasar ekspor
kontinyuitas
tingkat pendidikan
status kesehatan
penyerapantenaga kerja pekerjaan alternatif
jumlah RTpetani RL
pemberdayaanmasyarakat
++
+
+
+
luas unit usaha+
+
+
++
++
+
+
+
+
+
++
+
+
+
+
+
++ +
+
++
+
+
+
+
++
+
kuantitas RL+
+ ++
+
+
+
+
Ket:
Sub model ekologi (daya dukung)Sub model ekonomiSub model sosialSub model teknologi
+
Gambar 9 Diagam causal loop optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di
Kab. Bantaeng.
48
Gambar 10 Diagram input-output (Hartrisari 2007).
d) Simulasi Model
Simulasi model merupakan peniruan perilaku dari suatu proses atau
kecenderungan yang bertujuan untuk memahami gejala atau proses, membuat
analisis, dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan.
Tahapan-tahapan dalam simulasi model adalah: penyusunan konsep, pembentukan
model, simulasi, dan validasi hasil simulasi.
e) Verifikasi dan Validasi Model
Uji validasi perlu dilakukan untuk memenuhi kaidah keilmuan pada model
sistem. Validasi merupakan penilaian keobjektifan dari status pekerjaan ilmiah.
Validasi model akan menggambarkan sejauh mana status model dapat menirukan
fakta. Tahapan-tahapan pendekatan sistem secara sederhana dapat dilihat pada
Gambar 11.
Umpan Balik
Input Terkendali
• Jumlah pop. manusia• Limbah domestik• Masa tanam• Grazing oleh ikan
Output yang Dibutuhkan
•Kualitas RL baik•Produksi RL kontinyu•Kesejahteraan masy. meningkat•Ketrampilan dan wawasannelayan RL meningkat
Output yg tidak dibutuhkan• Konflik antar stakeholder• Produksi RL tidak kontinyu• Kualitas produksi RL
menurun
PengelolaanBudidaya RL
Input Lingkungan• Perda• Aturan lokal•UU No. 27/2007
Input Tak Terkendali
•Pencemaran non-point source•Arus dan gelombang•Penyakit
49
Gambar 11 Tahapan analisa sistem (Eriyatno, 1998).
f) Analisis Prospektif
Analisis prospektif dilakukan untuk menghasilkan skenario pengelolaan
sumberdaya rumput laut yang optimal dengan menetukan faktor yang dominan
yang berpengaruh terhadap kinerja sistem. Pengaruh antar faktor diberikan skor
dengan menggunakan pedoman penilaian analisis perospektif seperti pada Tabel
8 di bawah ini.
50
Tabel 8 Pedoman penilaian prospektif dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut yang optimal di Kabupaten Bantaeng
Skor Keterangan
0 Tidak ada pengaruh
1 Berpengaruh kecil
2 Berpengaruh sedang
3 Berpengaruh sangat kuat
Adapun pedoman pengisian pengaruh antar faktor berdasarkan pedoman penilaian
dalam analisis prospektif adalah sebagai berikut:
1. Apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain. Jika ya,
beri nilai 0.
2. Jika tidak, apakah pengaruhnya sangat kuat. Jika ya, beri nilai 3.
3. Jika tidak, baru dilihat apakah berpengaruh kecil = 1, atau sedang = 2.
Pengaruh antar faktor, selanjutnya disusun dengan menggunakan matriks
seperti pada Tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9 Pengaruh antar faktor dalam optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng.
Dari
terhadap
A
B
C
D
E
F
A
B
C
D
E
F
Kemungkinan-kemungkinan masa depan yang terbaik dapat ditentukan
berdasarkan hasil penentuan elemen kunci masa depan dari berbagai faktor-faktor
yang sangat berpengaruh terhadap optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut
51
yang menuntut untuk segera dilakukan tindakan. Adapun cara menentukan faktor
kunci, dapat dilihat seperti Gambar 12, di bawah ini.
Gambar 12 Penentuan faktor kunci optimasi pengelolaan sumberdaya rumput
lautdi Kabupaten Bantaeng.
Hasil analisis berbagai faktor seperti pada Gambar 12 di atas,
menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berada pada kwadran I berupa INPUT dan
pada kwadran II berupa STAKES, dapat dijadikan acuan dalam pengambilan
tindakan untuk optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di masa yang akan
datang. Berdasarkan faktor dominan yang berpengaruh terhadap sistem maka
dibangun keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor
tersebutsebagai alternatif penyusunan skenario pengelolaan sumberdaya rumput
laut yang optimal, seperti disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor dominan pada optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di
Kabupaten Bantaeng.
Faktor Keadaan 1A 1B 1C
Faktor 1 2A 2B 2C
Faktor 2 3A 3B 3C
Faktor 3 nA nB nC
Faktor n
Pengaruh
Ketergantungan
Faktor penentu INPUT
Faktor bebas UNUSED
Faktor terikat OUTPUT
Faktor penghubung STAKES
52
Berdasarkan Tabel 10 di atas, maka dibangun skenario optimasi
pengelolaan sumberdaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng. Selanjutnya disusun
tiga skenario yang mungkin terjadi di masa depan seperti terlihat pada Tabe 11.
Tabel 11 Hasil analisis skenario optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di
Kabupaten Bantaeng
3.4.5 Analisis Keberlanjutan Usaha Rumput Laut
Análisis keberlanjutan usaha rumput laut dilakukan dengan pendekatan
multidimensional scaling (MDS) yang disebut RAP-RL yang merupakan
pengembangan dari metode RAPFISH yang digunakan untuk menilai status
keberlanjutan perikanan tangkap (Pitcher dan Preikshot 2001; Kavanagh and
Pitcher 2004). Analisis keberlanjutan dinyatakan dalam indeks keberlanjutan
budidaya rumput laut (ikb-RL).
Analisis dilakukan melalui tiga tahapan:
1). Penentuan atribut usaha rumput laut yang mencakup lima dimensi, yaitu
dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan; Pada setiap
dimensi dipilih beberapa atribut yang mewakili dimensi yang bersangkutan
untuk selanjutnya digunakan sebagai indikator tingkat keberlanjutan dari
dimensi tersebut. Atribut pada setiap dimensi memang sangat banyak tetapi
untuk memudahkan analisis selanjutnya maka dipilih yang benar-benar secara
kuat mewakili dimensi yang bersangkutan, tidak tumpang tindih dengan
atribut yang lain dan mudah mendapatkan datanya.
Adapun atribut-atribut dari setiap dimensi yang akan digunakan untuk
menilai keberlanjutan usaha rumput laut adalah sebagai berikut (diadaptasi dari
Charles, 2001) :
(1) Dimensi Ekologi:
• Kualitas lingkungan • Mutu bibit, dan pertumbuhan RL
No. Skenario Urutan faktor
1. Konservatif-pesimistik 1A-2A-3A-4A
2. Moderat-optimistik 1B-2B-3B-4B
3. Progresif-optimistik 1C-2C-3C-4C
53
• Luasan areal yang sesuai
(2) Dimensi Ekonomi:
• Keuntungan • Pendapatan petani rumput laut • Sistem permintaan Pasar (domestik dan ekspor),
(3) Dimensi Sosial budaya:
• Kualitas SDM (tingkat pendidikan) • Penyerapan tenaga kerja, • Sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut (partisipasi
keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya,,jumlah RT petani rumput laut,) • Alternatif usaha selain menanam rumput laut,
(4) Dimensi Teknologi:
• Tingkat penguasaan teknologi budidaya RL • Ketersediaan informasi RL • Ketersediaan industri pengolahan hasil RL • Standarisasi mutu produk RL • Dukungan sarana dan prasarana
(5) Dimensi Kelembagaan:
• Lembaga ekonomi/sosial yang ada, • Adanya kelompok petani rumput laut • Ketersediaan Perda/aturan adat/ kepercayaan/agama • Adanya tokoh masyarakat yang disegani • Zonasi peruntukan lahan/perairan
2). Penilaian setiap atribut dalam skala ordinasi berdasarkan kriteria
keberlanjutan setiap dimensi; berdasarkan pengamatan di lapangan ataupun data
sekunder yang tersedia, yang sesuai dengan scientific judgment dari pembuat skor,
maka setiap atribut diberikan skor yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi
usaha rumput laut tersebut. Rentang skor berkisar antara 0-3 atau tergantung pada
keadaan masing-masing atribut yang dimulai dari nilai buruk (0) sampai baik (3).
Nilai ”buruk” mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi
pembangunan yang berkelanjutan. Sebaliknya nilai ”baik” mencerminkan kondisi
yang paling menguntungkan bagi keberlanjutan pembangunan. Diantara dua
ekstrim nilai ini terdapat satu atau lebih nilai antara, tergantung dari jumlah
peringkat pada setiap atribut. Jumlah peringkat pada setiap atribut akan sangat
ditentukan oleh tersedia tidaknya literatur yang dapat digunakan untuk menetukan
jumlah peringkat.
54
Tabel 12 Kriteria pembuatan skor atribut usaha rumput laut yang berkelanjutan Atibut Skor Baik Buruk Keterangan
Dimensi Ekologi (bobot: 5) Kualitas lingkungan: - Kecepatan arus - Salinitas (ppt)
- Kedalaman air pada saat surut (m)
- Substrat Dasar
- Kecerahan (m)
- keterlindungan
0; 1; 2 0; 1; 2 0; 1 0; 1; 2 0; 1; 2
0; 1
2 2 2 0 2
1
0 0 0 2 0
0
Mengacu pada Puslitbangkan, 1991. (0)tidak sesuai (< 20 m/dtk, atau >40 m/dtk) (1) sesuai (20-40 m/dtk)
(0) tidak sesuai (<26; >35); (1) cukup sesuai (25-<28; >34-35); (2) sesuai (28-34)
(0) tidak sesuai (<1; >30); (1)cukup sesuai (1-<2; >10-<30); (2) sesuai (2-10)
(0) lumpur; (1) pasir sedikit berlumpur (2) pasir, pecahan karang, karang, lamun.
0) tidak sesuai (<0.60); (1) cukup sesuai (0.60- <0.80); (2) sesuai (0.80-0.10)
0) tidak terlindung; (1) terlindung (Puslitbankan, 1991)
Mutu bibit ketersediaan bibit
0; 1; 2 0; 1; 2; 3
2 3
0 0
(0) jelek ; (1) sedang ; (2) baik (0) tidak tersedia; (1) jarang tersedia; (2) sering tersedia ; (3) selalu tersedia
Pertumbuhan RL 0; 1; 2 2 0 (0) jelek ; (1) sedang ; (2) baik Luasan areal yang sesuai untuk RL
0; 1; 2; 3 3 0 (0)<25%; (1) 26%-%50%; (2) 51%-75%; (3) >76%
Dimensi Ekonomi (bobot: 3,5) Kelayakan usaha 0; 1; 2 2 0 Mengacu pada.....
(0) tidak layak Net B/C=<1
(1) impas; (2) untung Kontribusi terhadap pendapatan asli daerah
0; 1 2 2 0 (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi
Pemasaran 0; 1; 2 2 0 (0) lokal; (1) nasional; (2) internasional (RAPFISH)
55
Atibut Skor Baik Buruk Keterangan Rantai pemasaran rumput laut
0; 1; 2 2 0 (0) tidak efisien; (1)cukup efisien; (2) sangat efisien
Dimensi Sosial (bobot: 3,5) Kualitas SDM: - Tingkat pendidikan
0; 1; 2; 3
3
0
(0) tidak tamat SD; (1) tamat SD-SMP; (2) tamat SMA; (3) S0-S1
jumlah rumah tangga petani rumput laut
0; 1; 2 2 0 (0) <1/3; (1) 1/3-2/3; (2) >2/3; dari total rumah tangga komunitasnya (RAPFISH)
Sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut:
kemandirian petani,
Partisipasi keluarga dalam usaha rumput laut
0; 1; 2
0; 1; 2 0;1; 2
2
2 2
0
0 0
(0) individual, (1) melibatkan keluarga; (2) kelompok
(0) sangat tergantung; (1) sedang; (2) mandiri (0) tidak berpartisipasi; (1) sebagian berpartisipasi; (2) semua berpartisipasi
Sosialisasi pekerjaan
0; 1; 2
2
0
(0) individual; (1) kerjasama keluarga; (2) kerjasama kelompok
Alternatif usaha selain menanam rumput laut,
0; 1; 2; 3
3
0
(0) tidak ada; (1) sedikit; (2) sedang; (3) banyak; (RAPFISH)
Pemberdayaan masyarakat
0; 1; 2 2 0 (0) tidak ada; (1) sedikit;(2) tinggi
Dimensi Kelembagaan (bobot: 1) Ada tidaknya kelompok tani
0; 1 1 0 (0) tidak ada; (1) ada
Zonasi peruntukan lahan/perairan
0; 1; 2 2 0 (0) tidak ada; (1) ada tapi tidak lengkap (2) baik/lengkap (RAPFISH)
Ketersediaan Perda 0; 1; 2 2 0 (0) tidak ada; (1) ada tapi tidak lengkap (2) baik/lengkap (RAPFISH)
Ketersediaan aturan adat dan agama/kepercayaan
0; 1; 2 2 0 (0) tidak ada; (1) ada tapi tidak lengkap; (2) baik/lengkap (RAPFISH)
Adanya tokoh panutan yang disegani
0; 1 1 0 (0) tidak ada; (1) ada
Ada tidaknya lembaga keuangan/lembaga sosial
0; 1 1 0 (0) tidak ada; (1) ada
(Diadaptasi dari Sulistijo (1996); Aslan (1998); Chales, AT (2001) dan Susilo, 2003).
56
3). Penyusunan indeks dan status keberlanjutan usaha rumput laut.
Nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multidimensional untuk
menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan
usaha rumput laut yang dikaji relatif terhadap titik acuan yaitu titik baik (good)
dan titik buruk (bad). Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat dilhat pada
Tabel 13.
Tabel 13 Nilai indeks keberlanjutan usaha rumput laut
Status Keberlanjutan Nilai Indeks Kategori
<50 buruk 50 – 75 baik
>75 Sangat baik Budiharsono (2002)
Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat
divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Dengan proses
rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai
indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) dan 100% (baik). Jika sistem
yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan ≥50% maka sistem dikatakan
berkelanjutan dan jika nilai indeks ≤50% berarti tidak berkelanjutan. Ilustrasi hasil
ordinasi nilai indeks berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 13, di bawah ini.
0% (buruk) 50% 100%(baik)
Gambar 13 Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya rumput laut
Nilai indeks keberlanjutan dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-
layang (kite diagram) seperti pada gambar 14.
57
Gambar 14 Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng.
Análisis sensivitas dapat memperlihatkan atribut yang paling sensitif
memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan usaha rumput
laut dengan melihat perubahan bentuk root mean square (RMS) ordinasi pada
sumbu x. Semakin besar perubahan
Dalam análisis tersebut akan terdapat pengaruh galat yang dapat
disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor karena
pemahaman terhadap atribut atau kondisi lapangan yang belum sempurna, variasi
skor akibat perbedaan opini atau penilaian peneliti, proses análisis MDS yang
berulang-ulang, kesalahan pemasukan data atau ada data yang hilang, dan
tingginya nilai stres (nilai stres dapat diterima jika nilainya <25% (Kavangh 2001;
Fauzi dan Anna 2002). Untuk menganalisis nilai galat pada pendugaan nilai
ordinasi optimasi pemanfaatan sumberdaya rumput laut digunakan análisis Monte
Carlo.
nilai RMS, maka semakin sensitif atribut
tersebut dalam pengelolaan usaha rumput laut.
IV. KONDISI LINGKUNGAN, SOSIAL, BUDAYA DAN EKONOMI KABUPATEN BANTAENG
4.1 Aspek Lingkungan (Ekologi)
4.1.1 Administrasi
Kabupaten Bantaeng secara geografis terletak ± 120 km arah selatan Kota
Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan dengan posisi 50 21’13” – 5o 35’ 26”
lintang selatan dan 119o 51’ 42” – 120o
Luas wilayahnya 539.3 km
05’ 27”bujur timur. Wilayah
administratifnya di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Gowa dan
Kabupaten Bulukumba, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores, sebelah
timur berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba dan sebelah barat berbatasan
dengan Kabupaten Jeneponto. 2, terdiri atas daratan seluas 395.83 km2 dan
lautan seluas 144 km2
Tabel 14 Luas wilayah daratan dan pembagian wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Bantaeng 2007
yang terbagi dalam 8 kecamatan, 111 Desa dan 42
kelurahan (Tabel 14). Tiga kecamatan diantaranya terletak di wilayah pesisir,
yaitu Kecamatan Bissapu, Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Pa’jukukang
dengan panjang garis pantai ± 21.5 km. Dalam penelitian ini wilayah yang
menjadi kajian adalah wilayah pesisir di Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan
Bissapu dengan panjang garis pantai 10,6 km.
No. Kecamatan Luas (km2) Jumlah Desa/Kelurahan 1. Bissapu 32.84 11 2. Bantaeng 28.85 9 3. Tompobulu 76.99 10 4. Uluere 67.29 6 5. Pajjukukang 48.90 10 6. Ere Merasa 45.01 9 7. Sinoa 43.00 6 8. Gantarang Keke 52.95 6
Jumlah 395.83 78
Sumber : BPS 2008.
Secara administratif Kecamatan Bantaeng beribu kota di Kelurahan
Pallantikang. Kecamatan Bantaeng memiliki batas sebelah utara berbatasan
dengan Kecamatan Eremerasa’, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan
Eremerasa’ dengan Kecamatan Pa’jukukang, sebelah selatan berbatasan dengan
Laut Flores dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Bissapu. Sedangkan
Kecamatan Bissapu batas wilayah administrasinya adalah sebelah utara
berbatasan dengan Kecamatan Uluere’, sebelah timur berbatasan dengan
Kecamatan Bissapu, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bantaeng dan
Laut Flores dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Uluere’ dan
Kabupaten Jeneponto (BPS Kecamatan 2008).
4.1.2 Topografi
Kondisi topografi Kabupaten Bantaeng terdiri atas pegunungan, lembah,
daratan dan pesisir pantai. Ketinggian wilayahnya antara 0 – 1 000 m di atas
permukaan laut, mulai dari tepi laut Flores sampai ke pegunungan sekitar Gunung
Lompobattang. Wilayah pesisir dengan ketinggian 0 -25 m di atas permukaan laut,
berada pada areal bagian selatan dengan luas sekitar 10.3 %, ketinggian 26-99 m
sekitar 19.5%, ketinggian 100-500 m sekitar 29.6 % dan ketinggian di atas 500
seluas 40.6 % dari luas daratan Kabupaten Bantaeng. Wilayah dengan kelerengan
0-2 % hanya seluas 14.9 %, kelerengan 2–15 % seluas 42.64 %, kelerengan 15-40
% 20.77 % sedangkan wilayah yang berlereng di atas 40%, tidak diusahakan,
seluas 21.69 % dari wilayah Kabupaten Bantaeng.
Wilayah Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu, masing-masing
dialiri 6 dan 4 sungai. Sungai yang mengalir di Kecamatan Bantaeng adalah
sungai Kassi-Kassi, Kayu Loe, Kariu, Calindu, Bialo dan Sungai Bolong Sikuyu,
sedangkan sungai yang mengalir di Kecamatan Bissapu adalah Sungai Tino,
Cabodo, Batu Rinring dan Sungai Lamosa.
4.1.3 Iklim
Iklim dipengaruhi oleh musim. Secara umum pergantian musim di
Kabupaten Bantaeng berlangsung dua kali, yaitu musim barat pada bulan
Oktober-Maret dan musim timur pada bulan April-September. Iklim di daerah ini
tergolong iklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata 71.8 mm/bulan dan
jumlah hari hujan berkisar 64 hari pada tahun 2007. Berdasarkan pencatatan
Subdin Pengairan Dinas PU Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten
Bantaeng pada tahun 2007, khusus untuk Kecamatan Bantaeng curah hujan sekitar
770 mm dengan rataan 10.40 mm/bulan, jumlah hari hujan 74 hari dan puncak
curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juni. Di Kecamatan Bissapu jumlah curah
hujan adalah 414 mm dengan jumlah hari hujan 107. Jumlah hari hujan tertinggi
terjadi pada bulan Februari dan Desember tetapi curah hujan tertinggi terjadi pada
bulan Maret.
Rincian jumlah curah hujan di Kabupaten Bantaeng tahun 2002-2007
memperlihatkan pada tahun 2002 curah hujan relatif lebih rendah dibandingkan
curah hujan tahun yang lain (Lampiran 2). Diantara data curah hujan selama enam
tahun, curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2005. Curah hujan pada tahun 2005
berpuluh kali lipat tingginya dibandingkan dengan curah hujan tiga tahun
sebelumnya maupun curah hujan dua tahun setelahnya. Curah hujan tertinggi
cenderung terjadi pada Januari, Februari dan Desember. Curah hujan rendah
cenderung terjadi pada Agustus, September, Oktober dan November, bahkan pada
September tahun 2002, 2006 dan 2007 tidak ada curah hujan sama sekali (Gambar
15). Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan berhubungan dengan musim, yang
ditunjukkan curah hujan rendah terjadi pada bulan musim timur/kemarau. Pada
bulan yang cenderung curah hujan rendah tersebut merupakan musim
timur/kemarau.
Gambar 15 Jumlah curah hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di
Kabupaten Bantaeng.
Selain curah hujan, jumlah hari hujan setiap bulan juga berpengaruh
terhadap kondisi perairan. Rincian hari hujan dalam enam tahun terakhir
(Lampiran 2), jumlah hari hujan tertinggi pada tahun 2005, jauh lebih tinggi dari
pada tahun-tahun yang lainnya. Frekuensi hari hujan umumnya tinggi pada bulan
Januari, Februari dan Desember dan cenderung rendah pada bulan Agustus,
September, Oktober dan November (Gambar 16).
Apabila dicermati, terdapat kesamaan antara jumlah curah hujan dengan
jumlah hari hujan, yakni bulan dengan curah hujan cenderung tinggi/rendah maka
jumlah hari hujan juga demikian. Fenomena ini terjadi tiap tahun. Akan tetapi
tetap ada pergeseran waktu puncak tertinggi curah hujan dan jumlah hari hujan
tiap tahun. Informasi tentang jumlah curah hujan, jumlah hari hujan dan
pergeseran waktu curah hujan tertinggi yang merupakan prediksi dari hasil
analisis Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) wajib disampaikan pemerintah
kepada nelayan rumput laut agar mereka bisa mengantisipasi kondisi tersebut.
Gambar 16 Jumlah hari hujan setiap bulan pada Tahun 2002-2007 di Kabupaten
Bantaeng.
Data curah hujan yang akurat, penting dan sangat dibutuhkan oleh nelayan
rumput laut untuk menentukan jadwal tanam. Curah hujan terkait erat dengan
salinitas perairan, khususnya di perairan Bantaeng yang menjadi muara banyak
sungai. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan salinitas perairan turun ke
level yang tidak sesuai untuk pertumbuhan rumput laut. Apabila nelayan
menanam pada bulan yang curah hujannya relatif tinggi maka produksinya akan
cenderung lebih rendah dibandingkan dengan menanam pada bulan yang curah
hujannya lebih rendah. Selain itu, musim hujan menyebabkan peningkatan
dinamika laut yang ditunjukkan oleh arus kuat dan gelombang tinggi yang dapat
menghambat pertumbuhan rumput laut. Nelayan rumput laut akan menyesuaikan
jadwal tanam dengan kondisi alam sehingga tidak akan mengalami kegagalan
dalam kegiatan budidaya rumput laut.
4.1.4 Kondisi Oseanografi
Kondisi oseanografi merupakan salah satu faktor yang menjadi
persyaratan untuk keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut. Kondisi
oseanografi, dalam hal ini gelombang dan arus, terkait dengan konstruksi unit
budidaya dan pertumbuhan rumput laut. Arus dan gelombang merupakan bentuk
pergerakan air di laut. Namun dibandingkan dengan gelombang, pergerakan air
yang disebabkan oleh arus dianggap lebih baik karena arus lebih dapat diprediksi
arah dan kekuatannya dan tidak terlalu merusak (Nugroho et al. 1986).
Pertumbuhan rumput laut yang baik membutuhkan kecepatan arus dan gelombang
tertentu.
4.1.4.1 Gelombang
Ketinggian gelombang yang diperoleh dari hasil pengukuran pada Musim
Timur berkisar antara 0.05 m sampai 0.45 m (Gambar 17). Pengukuran ini
dilakukan pada musim timur. Sedangkan pada musim barat gelombang bisa
mencapai ketinggian 1.5-2 meter yang berarti 3-4 kali lebih tinggi dari pada
musim timur. Tingginya gelombang ini disebabkan wilayah pesisir Kabupaten
Bantaeng posisinya terbuka dan berhadapan langsung dengan Laut Flores tanpa
adanya penghalang. Sehingga gelombang yang berasal dari arah laut dalam (Laut
Flores) akan berpengaruh pada kondisi perairan pantai. Kondisi ini menyebabkan
ketinggian gelombang meningkat pada musim barat. Gelombang yang
ketinggiannya melebihi dari persyaratan tumbuh rumput laut bisa merusak
budidaya rumput laut dan konstruksi unit budidaya.
Budidaya rumput laut membutuhkan gelombang dalam batas ketinggian
tertentu. Tinggi gelombang yang sesuai untuk budidaya rumput laut adalah 0.20-
0.30 m sangat sesuai; 0.10 m-<0.20 m; >0.30 m-≤0.40 m sesuai dan tidak sesuai
adalah 0,10 m->0.40 m (Puslitbangkan 1991; Hidayat 1994; Sulistijo 1996; Aslan
1998; Efendi 2004; FAO 2008). Di lapangan ditemukan hal yang agak berbeda
dengan referensi di atas. Pada lokasi yang tinggi gelombangnya melebihi 0.40,
pertumbuhan rumput laut justru lebih baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Doty 1971 dalam Sulistijo 2002 bahwa semakin cepat pergerakan air semakin
cepat pertumbuhan rumput laut. Pergerakan air dalam bentuk gelombang dan arus,
merupakan faktor yang penting dalam mempegaruhi pertumbuhan rumput laut
sebab gelombang dan arus memegang peranan penting dalam transportasi unsur
hara, menghidari adanya fluktuasi temperatur, pH, salinitas, oksigen terlarut dan
lain-lain.
Gambar 17 Peta gelombang di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng. 4.1.4.2 Arus
Kecepatan arus yang terjadi di perairan Bantaeng pada musim timur
berkisar antara 0.104-0.566 m/detik. Dinamika kecepatan arus berbeda sesuai
dengan lokasi titik sampling. Semakin jauh lokasinya ke arah laut semakin tinggi
kecepatan arus dan sebaliknya semakin mendekati pantai semakin berkurang
kecepatannya. Hal ini terjadi karena pengaruh jarak tempuh arus ke pantai dan
teredam oleh hamparan budidaya rumput laut (Gambar 18).
Rumput laut memerlukan kecepatan arus tertentu untuk pertumbuhannya.
Menurut Sulistijo 1997, kecepatan arus antara 0.20-0.30 m/detik adalah sangat
sesuai, sedangkan 0.30-0.40 m/detik adalah kategori sesuai. Arus yang terlalu
cepat akan mematahkan rumput laut dan merusak bentangan sedangkan arus yang
sangat lambat bisa menyebabkan rumput laut kekurangan nutrien yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan dan akan menyebabkan kotoran dan organisme pengganggu
(hama) gampang menempel. Organisme pengganggu atau hama bisa memakan
rumput laut atau bersaing dalam penggunaan nutrien sedangkan kotoran yang
menempel akan menyebabkan proses fotosintesa tidak maksimal karena
menghalangi penetrasi cahaya matahari sampai ke thallus. Namun yang
ditemukan di lapangan, pada kecepatan arus sekitar 0.57 m/detik pun
pertumbuhan rumput laut masih bagus dengan unit budidaya yang juga tetap
stabil. Hasil penelitian Mansyur (2010) juga menemukan laju pertumbuhan harian
tertinggi rumput laut adalah pada bagian terjauh dari pulau yang berarti lebih
tinggi terpapar arus yang kecepatannya lebih tinggi. Hal ini diperkuat dengan hasil
wawancara terhadap nelayan rumput laut di wilayah kajian. Menurut para nelayan
rumput laut, pada musim timur pertumbuhan rumput laut yang berada pada unit
budidaya di bagian luar arah ke laut, lebih bagus pertumbuhannya bila
dibandingkan dengan rumput laut yang ditanam di pinggir pantai karena yang
terdapat pada bagian luar selalu bergerak terkena arus dan gelombang.
Temuan ini sesuai dengan pendapat Doty 1971 dalam Sulistijo 2002,
bahwa semakin besar pergerakan air akan semakin cepat pertumbuhan rumput
laut, karena proses difusi makin banyak sehingga proses metabolisme bertambah
cepat. Difusi yang dimaksud adalah masuknya nutrien ke dalam sel tanaman dan
keluarnya hasil metabolisme.
Gambar 18 Peta arus di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
4.1.5 Parameter Kualitas Air
Kualitas air merupakan salah satu penentu utama keberhasilan suatu
kegiatan budidaya rumput laut, selain kondisi oseanografis. Kualitas air juga akan
menetukan daya dukung perairan terhadap kegiatan budidaya rumput laut.
Kualitas air yang rendah akan menyebabkan daya dukung perairan juga rendah.
Pada lokasi penelitian dari hasil pengukuran, didapatkan hasil sebagai berikut:
4.1.5.1 Kecerahan Perairan
Kondisi kecerahan daerah penelitian tergolong sangat tinggi, yakni berkisar
antara 0.2-2.98 m. tingkat kecerahan perairan semakin jauh ke arah laut semakin
tinggi. Di beberapa titik sampling terdapat kekeruhan terutama pada daerah yang
lebih dekat dengan pantai, hal ini dapat terlihat pada kondisi kecerahan yang
paling rendah yaitu hanya 0.2 m (Gambar 19).
Kecerahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kedalaman
penetrasi cahaya di dalam laut, selain absorpsi cahaya itu sendiri oleh air
(Nybakken 1988). Kecerahan tidak berdampak langsung pada pertumbuhan
rumput laut akan tetapi secara tidak langsung melalui penetrasi cahaya. Penetrasi
cahaya ke dalam perairan yang menyebabkan proses foto sintesis semakin tinggi
jika semakin tinggi tingkat kecerahannya semakin efektif untuk pertumbuhan
rumput laut. Tingkat kecerahan di kelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni
sangat sesuai 0.80-1.00 meter, sesuai bersyarat 0.60-0.80 meter dan tidak sesuai
jika kecerahan sudah di bawah 0.60 meter. (Puslitbangkan 1991; Hidayat 1994;
Sulistijo 1996; Efendi 2004; FAO 2008).
Gambar 19 Peta kecerahan perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng
4.1.5.2 Salinitas.
Hasil pengukuran di lapangan diperoleh data salinitas yang berkisar antara
26.7-30.6 ‰. Salinitas rendah terdapat pada daerah sekitar muara sungai dan
semakin ke tengah perairan salinitas semakin tinggi walaupun perbedaannya
relatif kecil (Gambar 20). Salinitas pada wilayah perairan Kabupaten Bantaeng
penting untuk diperhatikan perubahannya pada musim hujan karena banyaknya
aliran sungai yang bermuara pada perairan tersebut. Sepanjang 21 km garis pantai
terdapat 11 muara sungai dan khusus untuk wilayah kajian, pada dua kecamatan
tersebut mengalir 10 sungai sehingga pada musim hujan salinitas bisa turun sangat
rendah khususnya pada muara sungai dan bagian permukaan perairan.
Salinitas sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut. Apabila
salinitas rendah, jauh di bawah batas toleransinya maka rumput laut akan
berwarna pucat, gampang patah dan lunak akhirnya membusuk. Rumput laut jenis
K.alvarezii membutuhkan kisaran salinitas untuk pertumbuhan maksimal 29-
34‰. (doty 1987), 28-35‰ (Ditjenkan Budidaya 2005), 30-37‰ (Kadi dan
Atmadja 1988, Sulistijo 1997).
Gambar 20 Peta salinitas perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
4.1.5.3 Suhu
Suhu perairan Kabupaten Bantaeng berkisar antara 29.5–32.7 °C. Perbedaan
suhu diantara titik sampling tidak berbeda jauh, hanya sekitar 2.2 °C, suhu
tertinggi terdapat pada daerah sekitar pantai (Gambar 21). Suhu secara tidak
langsung berhubungan dengan kedalaman. Makin dangkal perairan maka
cenderung semakin cepat terjadi perubahan suhu sebab dengan sumber panas yang
sama besarnya, perairan dangkal yang memiliki volume air yang lebih kecil akan
lebih cepat panas. Fenomena ini juga terjadi di perairan Bantaeng dimana perairan
di dekat pantai yang lebih dangkal memiliki suhu yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan perairan yang lebih dalam. Nontji (1987), menyebutkan
bahwa suhu air di perairan nusantara berkisar antara 28–38 °C dan suhu di dekat
pantai lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di laut lepas.
Suhu berpengaruh terhadap kecepatan metabolisme organisme. Setiap
organisme memiliki suhu optimal yang berbeda untuk pertumbuhannya. Menurut
Yulianda et al, (2001) untuk rumput laut jenis K.alvarezii kisaran suhu air laut
antara 27-30 ºC, sesuai dengan pendapat Kadi dan Atmadja (1988), bahwa rumput
laut, khususnya K.alvarezii tumbuh dengan baik pada suhu 27-30 °C. Jadi secara
umum suhu perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng berada dalam kisaran
yang sesuai untuk pertumbuhan rumput laut.
Gambar 21 Peta suhu perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng
4.1.5.4 Derajat Keasaman (pH)
Hasil pengukuran pH di perairan pesisir Kabupaten Bantaeng, berkisar
antara 6.82-8.14. Pada daerah sekitar muara sungai pHnya relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan lokasi lainnya (Gambar 22). Temuan ini menarik karena
umumnya daerah muara sungai mempunyai pH lebih rendah akibat penguraian
bahan organik yang biasanya menumpuk pada dasar muara sungai. Hal ini berarti
bahwa pada daerah muara sungai tidak terjadi penumpukan dan penguraian bahan
organik yang bersifat masam. Kemungkinan hal ini terjadi karena wilayah kajian
adalah perairan terbuka yang mempunyai waktu pembilasan (flushing time) relatif
cepat sehingga bahan organik tidak sempat menumpuk pada muara sungai sudah
mengalami pembilasan. Data substrat dasar juga menunjang penjelasan ini sebab
pada muara sungai di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng, substrat dasar
umumnya berupa karang, pecahan karang dan pasir bukan lumpur (bahan
organik).
Setiap organisme membutuhkan kondisi pH tertentu untuk kelangsungan
hidupnya, kondisi yang sama juga terjadi pada rumput laut jenis K.alvarezii.
Untuk pertumbuhan yang optimal, rumput laut K.alvarezii membutuhkan pH
antara 7-9 dengan kisaran optimum 7.3-8.2 (Zatnika dan Angkasa 1994).
Sehingga sebaiknya perairan budidaya mempunyai pH antara 7.8-8.2 (Indriani dan
Sumiarsih 1999).
Gambar 22 Peta pH perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
4.1.5.5 Substrat Dasar
Substrat dasar perairan Bantaeng umumnya terdiri dari karang, pecahan
karang dan pasir. Hanya sebagian kecil yang berupa lumpur. Hal yang menarik
dari hasil pengamatan dan analisis laboratorium adalah substrat dasar pada bagian
muara sungai bukan berupa lumpur seperti umummnya muara sungai akan tetapi
terdiri atas karang, pecahan karang dan pasir (Gambar 23).
Substrat dasar berhubungan dengan kecerahan perairan. Substrat yang
berupa lumpur apabila kedalamannya rendah gampang teraduk oleh arus dan
gelombang sehingga menyebabkan kekeruhan. Selanjutnya kekeruhan bisa
menghambat penetrasi cahaya matahari yang sangat dibutuhkan oleh rumput laut
dalam proses fotosintesis untuk pertumbuhan. Karena itu untuk pertumbuhan
rumput laut yang baik bagi lokasi budidaya yang tidak terlalu dalam, disyaratkan
substrat dasarnya berupa karang, pecahan karang, pasir atau campuran ke tiganya.
Sementara untuk lokasi budidaya yang mempunyai kedalaman tinggi, substrat
dasar tidak terlalu berpengaruh atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali karena
relatif stabil dari pengaruh pengadukan oleh gelombang maupun arus laut.
Gambar 23 Peta substrat dasar perairan di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
4.1.5.6 Kedalaman.
Hasil pengukuran kedalaman perairan pada kawasan budidaya rumput laut
di lokasi penelitian didapatkan kedalaman dari 1-21 m. Kedalaman tertinggi
cenderung berada pada perairan sebelah Barat kawasan dan perairan yang dangkal
berada pada bagian Timur arah ke pantai (Gambar 24). Kedalaman berhubungan
dengan penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan rumput laut. Dengan penggunaan metode long line pertambahan
kedalaman perairan tidak berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan rumput laut,
karena tanaman rumput laut tetap berada disekitar permukaan bagaimanapun
dalamnya perairan tersebut, berbeda apabila menggunakan metode lepas dasar.
Pada perairan yang dalam, pertumbuhannya malahan lebih baik sebab airnya
jernih sehingga penetrasi sinar matahari ke dalam perairan yang sangat
dibutuhkan oleh rumput laut untuk proses fotosintesa tidak terhalang. Namun dari
aspek ekonomi, tidak terlalu ideal karena membutuhkan biaya investasi, biaya
operasional dan biaya pemeliharaan yang relatif lebih tinggi.
Setiap metode budidaya rumput laut membutuhkan persyaratan kedalaman
yang berbeda. Metode lepas dasar membutuhkan kedalaman 0.3 – 0.6 m, metode
rakit 0.6-2 m dan metode long line 2-10 m (Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI
2002). Sedangkan menurut Yulianda et al, (2001) kedalaman perairan untuk jenis
K.alvarezii yaitu kedalaman air pada waktu surut terendah 50-100 cm, dan tidak
lebih dari 200-300 cm pada waktu pasang.
Gambar 24 Peta kedalaman perairan pada wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng
Pada metode long line, kedalaman perairan di kawasan budidaya tersebut
merupakan kisaran kedalaman yang masih sesuai untuk budidaya rumput laut dari
dimensi ekobiologi. Namun dari aspek ekonomi kisaran kedalaman tersebut tidak
terlalu ideal. Kedalaman yang tinggi tidak ekonomis karena membutuhkan biaya
investasi, biaya operasional dan biaya pemeliharaan yang relatif lebih tinggi.
Kebutuhan terhadap bahan konstruksi bentangan juga lebih banyak seperti tali,
pelampung, dan pemberat. Dalam hal aksespun lebih sulit dan lebih jauh dari
pantai sehingga membutuhkan bahan bakar minyak (BBM) yang lebih besar.
Namun secara biologis tidak berpengaruh buruk pada pertumbuhan rumput laut.
Kedalaman juga berhubungan dengan kecerahan. Pada perairan yang
dangkal besar kemungkinan terjadi pengadukan sampai ke dasar oleh gelombang
dan arus, sehingga bisa menyebabkan kekeruhan apabila dasar perairan berupa
lumpur. Kekeruhan yang terjadi menghambat menetrasi matahari ke dalaam
perairan sehingga bisa mengganggu proses fotosintesa pada rumput laut. Hal ini
sesuai dengan informasi yang didapatkan dari hasil wawancara bahwa semakin
keluar lokasi unit budidaya yang berarti semakin dalam perairannya maka
semakin baik pertumbuhan rumput laut, dengan syarat budidaya dilakukan pada
musim Timur.
4.1.5.7 Keterlindungan
Wilayah pesisir Bantaeng merupakan daerah terbuka yang berhadapan
langsung dengan laut Flores tanpa ada penghalang seperti pulau atau gusung. Jika
hanya dilihat dari aspek ini, kawasan tersebut tidak ideal untuk budidaya rumput
laut. Karena pada musim Barat areal budidaya rumput laut tidak terlindung sama
sekali dari hempasan gelombang dan arus yang kuat. Pada hal menurut
Puslitbangkan 1991; Hidayat 1994; Sulistijo 1996; Aslam 1998; Efendi 2004;
FAO 2008, salah satu persyaratan lokasi budidaya rumput laut adalah harus
terlindung dari hempasan gelombang atau arus yang kuat. Sehingga umumnya
lokasi budidaya rumput laut berada pada teluk atau perairan yang dihadapannya
terdapat pulau kecil atau gusung. Kondisi perairan wilayah pesisir Kabupaten
Bantaeng yang terbuka ternyata tetap dimanfaatkan oleh masyarakat. Hal ini
merupakan pertanda bahwa kegiatan budidaya rumput laut yang dilakukan tetap
menguntungkan. Namun nelayan rumput memang tidak bisa melakukan budidaya
rumput laut sepanjang tahun, mereka harus menyesuaikan jadwal tanamnya
dengan kondisi alam yang memenuhi persyaratan tumbuh rumput laut. Yakni pada
musim Timur dan musim transisi pada saat dimana kondisi kecepatan arus dan
gelombang memuungkinkan untuk budidaya rumput laut. Data pengukuran
oseanografi dan kualitas air secara lengkap terdapat pada Lampiran 4.
4.2 Aspek Sosial-Budaya
4.2.1 Penduduk
Penduduk merupakan faktor produksi dalam memanfaatkan potensi
sumberdaya perairan. Jumlah penduduk Kabupaten Bantaeng pada tahun 2007
tercatat sebanyak 173 308 jiwa. Penduduk perempuan lebih banyak jumlahnya
dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki, yakni 89 165 jiwa perempuan
dan penduduk laki-laki 84 143 jiwa (BPS 2008) (Gambar 25).
Berdasarkan catatan kependudukan Kecamatan Bantaeng dalam Angka
2008, bahwa jumlah penduduk Kecamatan Bantaeng sekitar 33 694 jiwa terdiri
dari laki-laki sebanyak 16 314 jiwa dan perempuan sebanyak 17 380 jiwa pada
tahun 2007. Diantara jumlah penduduk tersebut terdapat penduduk usia kerja
sebanyak 22 331 jiwa yang terdiri dari laki-laki 10 577 jiwa dan perempuan 11
754 jiwa. Penduduk Kecamatan Bissapu berjumlah 29 617 yang terdiri dari
perempuan 15 302 jiwa dan laki-laki 14 315 jiwa dan diantaranya terdapat
penduduk usia kerja sebanyak 21 652 jiwa yang terdiri dari laki-laki 10 183 jiwa
dan perempuan 11 469 jiwa. Mata pencaharian dari penduduk Kecamatan
Bantaeng sebagian besar adalah nelayan rumput laut dan yang lainnya sebagai
pedagang, tukang batu, buruh bangunan, pegawai negeri sipil dan penjual
makanan, demikian juga dengan mata pencaharian penduduk Kecamatan Bissapu
(BPS Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dalam Angka 2008).
Gambar 25 Jumlah penduduk Kabupaten Bantaeng menurut jenis kelamin Tahun
2003-2007.
Rumah tangga perikanan (RTP) di Kabupaten Bantaeng pada tahun 2002
sekitar 1 630 yang terdiri atas 8 032 jiwa yang tersebar pada tiga kecamatan yaitu
kecamatan Bissapu, kecamatan Bantaeng dan kecamatan Pajjukukang. Diantara
RTP tersebut, sebagian besar yaitu 1 448 (89 %) merupakan RTP penangkapan
(nelayan tangkap) dan sisanya, yakni 160 orang (11 %) adalah RTP nelayan
rumput laut. Enam tahun kemudian, yakni pada tahun 2008, RTP nelayan rumput
laut telah meningkat lebih dari 1 500 % menjadi 2.458 RTP (Dinas Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009). Konsekwensi dari semakin meningkatnya
jumlah RTP nelayan rumput laut adalah bertambahnya luasan kawasan budidaya
rumput laut. Apabila pertambahannya tidak terkendali dan tidak dikelola dengan
baik maka akan berdampak buruk terhadap kualitas kawasan budidaya yang pada
akhirnya juga akan mempengaruhi kegiatan budidaya rumput laut.
4.2.2 Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu penentu dari kualitas sumberdaya
nelayan rumput laut. Pendidikan formal maupun nonformal merupakan modal
dasar bagi nelayan rumput laut untuk dapat mengakses informasi melalui berbagai
media sehingga memudahkan mereka menyerap suatu perubahan atau inovasi
yang berhubungan dengan perilaku. Kemampuan dan keterampilan untuk berfikir
dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, sangat ditentukan oleh faktor
pendidikan yang dimiliki. Pendidikan merupakan proses pengetahuan,
keterampilan maupun sikap yang dapat dilakukan secara terencana sehingga
diperoleh perubahan dalam meningkatkan taraf hidup. Slamet (2003),
mendefinisikan pendidikan sebagai kegiatan untuk menghasilkan perubahan-
perubahan pada perilaku manusia.
Kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten Bantaeng, jika dilihat dari
tingkat pendidikan masih tergolong rendah. Penduduk usia 10 ke atas yang tidak
sekolah atau belum pernah sekolah persentasenya cukup tinggi, yakni 19.43%,
Sekolah Dasar 8.36 %, Sekolah Menengah Pertama 4.77 %, Sekolah Menengah
Atas 3.14%, Perguruan Tinggi 1.19% dan tidak bersekolah lagi 63.10% (Gambar
26).
Gambar 26 Persentase penduduk usia 10 ke atas menurut status pendidikannya di
Kabupaten Bantaeng.
Jika diasumsikan bahwa penduduk yang tidak sekolah atau belum pernah
sekolah tidak bisa baca tulis latin berarti angka tingkat buta huruf di Kabupaten
Bantaeng cukup tinggi, minimal 19.43%. Penduduk yang tidak sekolah/belum
pernah sekolah itu lebih dari 50% adalah perempuan, yakni 15 849 perempuan
dan 10 922 adalah laki-laki. Selain angka yang tidak/belum pernah sekolah cukup
tinggi, angka tidak bersekolah lagi (drop out) pun sangat tinggi, yakni mencapai
63.10%. Angka drop out ini tidak dirinci pada jenjang pendidikan apa yang paling
tinggi, apakah drop out pada jenjang SD, SMP, atau pada jenjang pendidikan
yang lebih tinggi. Jumlah perempuan juga lebih besar yang drop out dibandingkan
dengan laki-laki. Namun yang cukup menggembirakan pada level perguruan
tinggi, jumlah perempuan jauh lebih tinggi (954 jiwa) dibandingkan dengan laki-
laki (694 jiwa) (Tabel 15). Dengan pendidikan yang lebih tinggi maka kesempatan
perempuan berkiprah pada rana publik akan lebih terbuka pada masa yang akan
datang.
Tabel 15 Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut status pendidikan dan jenis
kelamin di Kabupaten Bantaeng 2007
No. Tingkat Pendidikan Laki Perempuan ∑ (Orang) 1. Tidak/blm pernah sekolah 10 922 15 849 26 771 2. S D / M I 5 775 5 736 11 511 3. S L T P 2 736 3 840 6 576 4. S M U / S M K 2 054 2 271 4 325 5. Perguruan Tinggi 694 954 1 648 6. Tidak bersekolah lagi 42 145 44 778 86 923
Jumlah 64 326 73 428 137 754 Sumber data: BPS 2008
Angka buta huruf atau tidak dapat membaca usia 10 tahun ke atas ternyata
lebih besar, yakni 29 920 orang dari pada penduduk yang tidak/belum pernah
sekolah yakni 26 771 orang. Selisih ke dua angka tersebut, yakni 3 149 orang,
bisa berarti bahwa penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak bersekolah lagi
(drop out) tidak punya kemampuan baca/tulis (buta huruf). Hal ini merupakan
angka buta huruf yang cukup tinggi, dan sekali lagi jumlah penduduk buta huruf
lebih banyak perempuan yakni 17 654 orang dan laki-laki hanya berjumlah 12 266
orang (Tabel 16).
Tabel 16 Penduduk usia 10 tahun ke atas menurut kemampuan membaca dan jenis kelamin di Kabupaten Bantaeng 2007
Kemapuan baca/tulis Laki-laki Perempuan Jumlah Huruf latin 512 453 55 293 106 746
Huruf lainnya 607 481 1 088
Tidak dapat 12 266 17 654 29 920
Jumlah 64 326 73 428 137 754
Sumber : BPS 2008.
Secara khusus, pendidikan dasar nelayan rumput laut lebih rendah
dibandingkan tingkat pendidikan masyarakat Bantaeng secara umum yakni: tidak
pernah sekolah-Sekolah Dasar (SD) 76.1%, Sekolah Menengah Pertama 6.52%,
Sekolah Menengah Atas 13.04% dan Dipl-S1 4.35% (Tabel 17). Hal ini sesuai
dengan hasil survey Bina Mitra (2004) yang mendapatkan, tingkat pendidikan
kepala keluarga nelayan rumput laut rata-rata tidak lulus Sekolah Dasar-lulus
Sekolah Dasar (57%), lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (33%), lulus
Sekolah Lanjutan Atas 10%.
Tabel 17 Tingkat pendidikan nelayan rumput laut yang menjadi responden, 2009
Tingkat pendidikan Jenis kelamin Jumlah Laki-laki perempuan orang %
Tidak pernah sekolah-SD 33 2 35 76.10 SMP 3 - 3 6.52 SMA 6 - 6 13.04 Dipl-S1 2 - 2 4.35
Total 44 2 46 100 Sumber data: Hasil wawancara responden nelayan rumput laut Kabupaten
Bantaeng 2009.
Tingkat pendidikan masyarakat selain sebagai penentu kualitas
sumberdaya manusia, juga merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan
masyarakat. Semakin baik tingkat kesejahteraan masyarakat maka semakin kecil
angka buta huruf dan semakin besar angka partisipasi sekolah masyarakat serta
semakin tinggi rata-rata tingkat pendidikan yang ditempuh.
Dalam rangka meningkatkan partisipasi sekolah masyarakat maka
pemerintah daerah Kabupaten Bantaeng menyediakan sarana dan prasarana yang
dibutuhkan, baik untuk pendidikan formal maupun non formal. Di Kabupaten
Bantaeng terdapat TK 39 buah, SD Negeri dan Swasta 143, SD Luar Biasa 1,
SLTP 61, SLTP Terbuka dan SLTA 38 yang ditunjang oleh Laboratorium dan
Perpustakaan.
4.2.3 Kesehatan
Aspek kesehatan merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan
masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat maka semakin
tinggi derajat kesehatannya. Masyarakat yang sudah sejahtera berarti kebutuhan
primernya sudah terpenuhi, termasuk aspek kesehatan. Kalaupun mereka sakit,
mereka punya kemampuan pendanaan untuk berobat.
Pembangunan bidang kesehatan di Kabupaten Bantaeng diarahkan agar
pelayanan kesehatan meningkat lebih luas, lebih merata dan lebih terjangkau oleh
masyarakat sehingga dapat menghasilkan derajat kesehatan masyarakat yang lebih
tinggi. Dan pada akhirnya setiap orang bisa hidup lebih produktif secara sosial
maupun secara ekonomis.
Penyediaan sarana pelayanan kesehatan berupa rumah sakit puskesmas
dan tenaga kesehatan semakin ditingkatkan sesuai dengan rencana pentahapannya.
Demikian juga dengan penyediaan obat-obatan, alat kesehatan, pemberantasan
penyakit menular dan peningkatan penyuluhan dibidang kesehatan. Sarana unit
pelayanan kesehatan yang tersedia sudah cukup memadai, dan lokasinya sudah
menjangkau seluruh wilayah Kabupaten Bantaeng ( Lampiran 5).
Demikian juga dengan berbagai jenis tenaga dalam lingkup kesehatan.
Dilihat dari jumlah dan jenisnya sudah cukup lengkap sesuai dengan kelas unit
pelayanan yang tersedia (Lampiran 6). Selain itu. juga terdapat terdapat aspek
penunjang di bidang kesehatan yakni apotek 5 buah dan toko obat 18 buah. Baik
personil lingkup kesehatan maupun unit pelayanannya cukup memadai dan akses
ke lokasinya terjangkau oleh transportasi umum.
4.2.4 Kelembagaan
Cooley dalam Soemardjan dan Soemardi (1964) mendefinisikan lembaga
sebagai Suatu norma dan tata cara yang bersifat tetap. Menurut Kartodiharjo et al.
(1999), kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak,
yang mencakup idiologi, hukum adat-istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak
terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang dilarang dikerjakan
oleh individu atau perorangan maupun organisasi. Oleh karena itu kelembagaan
adalah instrumen yang mengatur hubungan antara individu.
Sesuai dengan rumusan tersebut di atas maka kelembagaan yang dimaksud
adalah kelembagaan modern berupa Perda maupun kelembagaan tradisional yang
berupa aturan adat dan kehidupan sosial masyarakat. Kelembagaan yang
berhubungan langsung dengan kegiatan budidaya rumput laut di Kabupaten
Bantaeng berupa Peraturan Pemerintah (Perda) dan aturan lokal . Dalam bentuk
Perda yakni Perda No. 5 Tahun 2004 tentang perizinan dan retribusi kegiatan-
kegiatan di wilayah perairan Kabupaten Bantaeng. Perda ini belum secara spesifik
mengatur tentang budidaya rumput laut,dalam hal zonasi, waktu menanam agar
masyarakat tidak mengalami kerugian akibat musim yang tidak cocok untuk
budidaya rumput laut, ataupun hal-hal yang bisa berkontribusi untuk
mengembangkan dan memajukan kegiatan budidaya rumput laut. Perda tersebut
hanya terbatas pada peraturan pemungutan retribusi saja. Setiap lahan kegiatan
budidaya rumput laut seluas satu ha dikenakan retribusi Rp50 000/tahun. Aturan
lokal yang ada dan disepakati oleh nelayan rumput laut hanya mengatur tentang
ganti rugi. Nelayan rumput laut yang lahannya ataupun budidaya rumput lautnya
rusak akibat kelalaian pihak lain, karena tertabrak perahu misalnya, akan diganti
oleh orang yang menyebabkan kerusakan tersebut dengan nilai sesuai harga yang
dirusak dan hasil kesepakatan.
Lembaga (institusi) adalah sistem, norma untuk mencapai suatu tujuan
atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau sekumpulan
kebiasaan atau tata kelakuan yang berkisar pada suatu pokok manusia. (Horton
dan Hunt 1991; Cohen 1992). Lembaga (institusi) lingkungan yang dikemukakan
oleh Alikodra (2004) mencakup berbagai organisasi yang ada, seperti lembaga
formal yang memiliki fungsi dan peranan dibidang lingkungan, LSM, norma dan
nilai-nilai sosial, termasuk frame-work politik, program-program lingkungan, pola
komunikasi dan gerakan-gerakan sosial.
Ada beberapa macam lembaga yang berkaitan dengan kegiatan budidaya
rumput laut antara lain, lembaga sosial, lembaga ekonomi dan lembaga
penyuluhan. Lembaga sosial di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng yang
berkaitan dengan kegiatan budidaya rumput laut adalah kelompok nelayan rumput
laut.
Kelompok nelayan rumput laut terbentuk pertama kali pada tahun 1999 di
kecamatan Bissapu dengan nama kelompok nelayan rumput laut Mattoanging.
Namun kelompok nelayan rumput laut ini hanya aktif pada awal terbentuknya dan
pada saat akan ada bantuan dari pemerintah. Selebihnya hanya tinggal nama saja.
Kemudian pada tahun 2004, Mitra Bahari, salah satu LSM di Kabupaten Bantaeng
membentuk kelompok nelayan rumput laut untuk mewadahi pemberdayaan
masyarakat khususnya nelayan rumput laut yang difasilitasi oleh Bappenas dalam
bentuk program pengembangan masyarakat pesisir dan nelayan kecil (marginal
fishing community development pilot). Namun kelompok yang telah terbentuk ini
tidak bertahan lama. Nama kelompok nelayan rumput laut tetap ada akan tetapi
aktifitas kelompok tani rumput laut ini tersendat setelah proyek berakhir.
Kelembagaan ekonomi, seperti koperasi simpan pinjam, koperasi yang
menyediakan peralatan budidaya rumput laut, atapun lembaga perkreditan rakyat,
yang sangat dibutuhkan oleh nelayan rumput laut sampai saat ini belum tersedia.
Seperti umumnya masyarakat nelayan dan nelayan rumput laut di Indonesia,
nelayan rumput laut di Kabupaten Bantaeng juga mengalami kendala permodalan
untuk mengembangkan kegiatan budidayanya. Lembaga keuangan umum yang
ada seperti Bank sangat sulit bahkan tidak mungkin diakses oleh nelayan rumput
laut. Di samping karena persyaratan administrasi yang rumit juga karena harus
punya agunan. Nelayan rumput laut hanya punya lahan yang sampai saat ini masih
berupa hak pakai sehingga tidak ada nilai agunanannya. Sebab itu untuk
memenuhi segala kebutuhannya baik dalam hal permodalan, pemenuhan
kebutuhan sehari-hari ataupun bahan untuk konstruksi areal budidaya rumput laut,
nelayan rumput laut umumya meminjam pada rentenir dan pedagang pengumpul
rumput laut. Cara ini sebenarnya memberatkan dan merugikan nelayan rumput
laut karena mereka menjadi terikat, dalam menjual hasil produksi rumput laut.
Mereka harus menjualnya kepada sipemberi pinjaman dan harga produksi rumput
laut ditentukan oleh si pemberi pinjaman.
Tingkat penguasaan nelayan rumput laut terhadap teknologi kegiatan
budidaya rumput laut terbilang cukup lumayan. Tanpa mengurangi peran
pemerintah dalam membantu nelayan rumput laut untuk mengelola kegiatan
budidaya rumput lautnya, nelayan lebih banyak belajar secara otodidak dan
belajar dari sesama nelayan rumput laut. Mereka bisa melakukan hal-hal yang
benar untuk menyelamatkan kegiatan budidaya mereka. Misalnya pada saat
musim hujan mereka akan menenggelamkan bentangan rumput laut mereka
dengan cara mengisi air pada botol pelampungnya. Namun untuk masalah yang
lebih rumit dan pengetahuan yang masih baru mereka memerlukan penyuluh
budidaya rumput laut untuk membantu mereka. Akan tetapi sampai saat ini
pemerintah belum menyediakan tenaga kerja penyuluh yang khusus untuk
budidaya rumput laut.
Informasi yang didapatkan dari hasil wawancara terhadap responden,
bahwa sistem sosial dalam kegiatan budidaya rumput laut masih memiliki ikatan
yang sangat kuat. Secara umum kebiasaan bergotong royong dalam melakukan
suatu pekerjaan masih terpelihara dengan baik. Hanya sebagian kecil saja nelayan
rumput laut yang tidak mau repot, terutama yang mempunyai modal lumayan,
yang mengupahkan sebagian besar kegiatan budidayanya. Beberapa jenis kegiatan
dalam kegiatan budidaya rumput laut umumnya masih dilakukan secara gotong
royong oleh sesama nelayan rumput laut, misalnya, pemasangan bentangan bibit
(penanaman) pada areal budidaya dan pemanenan dilakukan dengan cara
bergiliran diantara para nelayan rumput laut tersebut. Pemilik yang sedang
dikerjakan lahannya hanya menyiapkan makanan, kopi dan rokok untuk para
nelayan rumput laut yang membantu. Pekerjaan lainnya seperti penjemuran dan
pengepakan rumput laut ke dalam karung, dilakukan bersama-sama dengan
anggota keluarga lainnya, sehingga yang diupahkan hanya pekerjaan pengikatan
bibit pada bentangan.
Kegiatan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng telah menjadi mata
pencaharian utama ribuan RTP sehingga mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Kegiatan budidaya juga sangat baik ditinjau dari aspek sosial karena mampu
mengurangi pengangguran, meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir
khususnya nelayan rumput laut dan berkontribusi terhadap PAD walaupun masih
kecil nilai nominalnya. Hal yang tak kalah pentingnya, kegiatan budidaya rumput
laut mampu diandalkan dalam upaya konservasi sumberdaya laut dengan
mengalihkan mata pencaharian yang selama ini merusak sumberdaya laut
tersebut.
Sebagai mata pencahariaan utama, tingkat ketergantungan masyarakat
wilayah pesisir khususnya nelayan rumput laut terhadap kegiatan budidaya
rumput laut cukup tinggi. Hal ini disebabkan relatif masih kurangnya pekerjaan
alternatif di wilayah pesisir. Selain itu, saat ini kegiatan budidaya rumput laut
merupakan mata pencaharian yang paling menguntungkan dan menjadi harapan
untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya
nelayan rumput laut di masa depan.
Budidaya rumput laut juga telah mengubah salah satu aspek sosial-budaya
dan ekonomi masyarakat. Masyarakat yang selama ini terpinggirkan dari kegiatan
penangkapan ikan yang menjadi mata pencaharian utama, seperti perempuan,
anak-anak dan orang tua, kini bisa terlibat dan mendapat manfaat langsung dalam
kegiatan budidaya rumput laut. Mereka mengerjakan pengikatan bibit rumput laut
pada bentangan yang akan ditanam. Upahnya memang relatif kecil namun bagi
mereka yang selama ini tidak berpendapatan, sudah sangat berarti untuk
membantu pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu mereka juga
memungut sisa panen yang banyak tercecer pada saat pemindahan rumput laut
dari perahu ke tempat penjemuran, kemudian dijual ke pedagang pengumpul.
Waktu mereka terisi dengan sesuatu yang produktif. Selama mereka mau bekerja
tidak ada lagi waktu yang terbuang percuma yang sebelumnya hanya diisi dengan
duduk-duduk tanpa penghasilan. Hasil wawancara dengan nelayan rumput laut
yang ditunjang dengan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa kegiatan
budidaya rumput laut memberikan keuntungan dan berkontribusi besar terhadap
tingkat kesejahteraan mereka.
4.3 Aspek Perekonomian
Kondisi perekonomian suatu daerah/wilayah sangat tergantung pada
potensi dan sumberdaya alam yang dimiliki dan kemampuan daerah itu untuk
mengembangkan segala potensi yang dimilki. Dalam untuk mengembangkan
potensi tersebut, pemerintah Kabupaten Bantaeng telah melakukan berbagai
upaya, langkah dan kebijakan.
Semua kebijakan dan upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah
Kabupaten Bantaeng telah menunjukkan hasil yang memadai. Hal tersebut dapat
dilihat dari besarnya nilai PDRB yang terus meningkat, yakni pada tahun 2006
nilai PDRB atas dasar harga berlaku mencapai Rp899.1 milyar. Nilai PDRB pada
saat penelitian sebesar Rp781.9 milyar, sehingga jika dibandingkan dengan tahun
2005, terjadi kenaikan sebesar 15%.
Struktur perekonomian Kabupaten Bantaeng masih didominasi oleh sektor
pertanian yang salah satu diantaranya adalah dari sub sektor perikanan, termasuk
komoditas rumput laut. Hal ini terlihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap
pembentukan total PDRB tahun 2006 sebesar 57.62%, urutan ke dua sektor jasa-
jasa sebesar 12.75% dan urutan ke tiga sektor perdagangan sebesar 10.07%.
Salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk suatu
wilayah/daerah adalah PDRB perkapita. PDRB perkapita penduduk Kabupaten
Bantaeng dari tahun 2001-2006 telah berkembang. Pada tahun 2001 PDRB
perkapita penduduk Kabupaten Bantaeng hanya mencapai Rp2 826 321 dan pada
tahun 2006 telah meningkat menjadi Rp5 267 781 (BPS 2008).
Walaupun PDRB telah meningkat dengan cepat yang berarti ada perbaikan
dan peningkatan kesejahteaan penduduk, namun jika dilihat dari angka keluarga
prasejahtera maka tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bantaeng, masih
tergolong rendah. Angka keluarga pra-sejahtera relatif lebih tinggi bila
dibandingkan dengan keluarga sejahtera I, II dan III apalagi dengan keluarga
sejatera III+ ( Tabel 18).
Tabel 18 Keluarga pra-sejahtera dan sejahtera menurut kecamatan di Kabupaten Bantaeng 2007
No. Kecamatan Pra sejaht Sejaht I Sejaht II Sejaht III Sejaht III+
1. Bissapu 2 828 1 844 1 496 1 246 727 2. Bantaeng 1 340 2 243 3 382 1 324 375 3. Tompo bulu 1 546 1 773 1 677 1 133 367 4. Ulu ere’ 797 1 057 635 301 21 5. Pa’jukukang 3 620 1 906 1 242 655 184 6. Eremerasa 2 518 1 285 557 371 151 7. Sinoa 1 438 965 600 283 26
8. Gantarang keke 1 240 1 631 1 072 717 148
Jumlah 15 327 12 704 10 661 6 030 1 999 Sumber : BPS 2008.
4.3.1 Sumberdaya Perikanan
Potensi sumberdaya perikanan dan kelautan di wilayah Kabupaten
Bantaeng terdapat pada bagian selatan dengan garis pantai sepanjang ±21.5 km
dan luas wilayah perairan ± 144 km2. Wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng
mencakup tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Bissapu, Kecamatan Bantaeng dan
Kecamatan Pa’jukukang. Hasil kajian penggunaan lahan perairan pada wilayah
studi lebih dominan pada penggunaan untuk budidaya rumput laut. Hanya
sebagian kecil lahan yang dimanfaatkan untuk budidaya tambak, itupun tidak
intensif dikelola pada saat ini.
Produksi perikanan laut pada tahun 2003 tercatat sebanyak 3 661 ton
dengan nilai produksi Rp9 152 milyar sementara produksi budidaya 124 ton
dengan nilai Rp5 580 milyar (Subdin Perikanan Dinas Peternakan Kabupaten
Bantaeng 2003). BPS 2008, mencantumkan data nilai produksi budidaya air payau
dan budidaya kolam, masing-masing sebesar Rp3 172 000 000 dan Rp51 450 000
(BPS 2008). Data dari Dinas Perikanan Kabupaten Bantaeng (2009), selain
mencantumkan data produksi perikanan payau dan tawar juga memasukkan data
produksi rumput laut (Tabel 19). Baik BPS Kabupaten Bantaeng 2008 maupun
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009, tidak mencantumkan
data tentang produksi ikan laut.
Tabel 19 Produksi perikanan di Kabupaten Bantaeng Tahun 2001-2008
Sumberdaya perikana
Tahun (Ton)
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Bandeng udang windu Ikan air tawar Rumput laut
45.0 39.9 - 120.1
58.5 65.3 - 360.5
65.0 67.1 0.5
170.4
72.0 69.3 1.5 988.4
70.1 69.2 3.5 2 334.6
202.6 97.8 1.7 3 521.95
131.7 50.74 0 5 700.25
104.9 31.3 0 7677.5
Sumber data: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009.
Data produksi ikan laut tidak tercatat sebab memang sudah tidak ada hasil
tangkapan yang didaratkan pada TPI di Kabupaten Bantaeng. Jumlah nelayan
tangkap yang melaut semakin sedikit dengan jumlah trip yang juga semakin kecil
karena umumnya sudah beralih menjadi nelayan rumput laut. Para nelayan
tangkap Kabupaten Bantaeng yang melautpun, hasil tangkapannya hanya untuk
dikonsumsi sendiri. Kalaupun ada yang dijual, jumlahnya sedikit dan pembeli
langsung mendatangi dan membelinya dipantai tempat pendaratan nelayan di luar
TPI, sehingga tidak tercatat.
Hal yang menarik dari hasil wawancara dengan masyarakat pesisir, bahwa
setelah beberapa tahun kegiatan rumput laut berjalan terjadi perubahan pada
keberadaan ikan di perairan pantai. Spesies ikan yang selama ini sudah jarang
bahkan sudah beberapa tahun tidak ditemukan, kembali bisa ditangkap dan itu
disekitar kawasan budidaya rumput laut. Ditemukannya kembali spesies ikan-ikan
yang pernah menghilang diduga ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama,
budidaya rumput laut menyebabkan kondisi perairan lebih baik. Munculnya
kembali spesies ikan-ikan tersebut merupakan salah satu indikator membaiknya
atau pulihnya kondisi habitat. Kedua, selama ini spesies ikan-ikan tersebut
sebenarnya tetap ada pada wilayah perairan tersebut, hanya populasinya sangat
sedikit akibat tekanan penangkapan yang tinggi sehingga kemungkinan
tertangkapnya sangat kecil. Begitu intensitas kegiatan penangkapan jauh
berkurang karena beralihnya nelayan menjadi nelayan rumput laut maka spesies
ikan-ikan tersebut bisa merecovery keberadaannya sehingga populasinya besar
kembali. Atau kemungkinan penyebabnya adalah kedua-duanya.
Produksi perikanan Kabupaten Bantaeng dari Tahun 2001-2008
berfluktuasi. Mulai tahun 2007 produksi ikan Bandeng dan Udang windu
menurun. Bahkan produksi ikan air tawar sudah menurun sejak tahun 2006 dan
tidak ada lagi produksi yang tercatat pada tahun 2007-2008. Hanya produksi
rumput laut yang terus meningkat sampai saat ini (Tabel 19). Produksi perikanan
payau maupun perikanan tawar yang menurun tersebut secara tidak langsung
berkaitan erat dengan semakin meningkatnya produksi rumput laut. Kegiatan
rumput laut yang lebih menguntungkan dengan resiko kegagalan yang lebih kecil
menyebabkan masyarakat yang sebelumnya memelihara Bandeng, udang windu
dan ikan air tawar beralih memelihara rumput laut. Hal ini dapat dilihat dari data
RTP rumput laut yang meningkat, yakni 160 RTP rumput laut pada tahun 2002
(Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2003) dan telah menjadi 2
458 RTP pada tahun 2008 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng
2009).
Aktifitas kegiatan perikanan telah mengalami pergeseran orientasi dari
kegiatan penangkapan ikan ke kegiatan budidaya rumput laut sejak tahun 2002.
Dari hasil survey Bina Mitra (2004) yang tidak dipublikasikan didapatkan data
pada tahun 2002, sekitar 86% nelayan beralih profesi menjadi pembudidaya
rumput laut. Hal ini disebabkan semakin menurunnya hasil tangkapan dan
semakin tingginya biaya opersional melaut. Temuan Bina Mitra (2005) tersebut
ditunjang dengan data dari Balitbangda (2005) tentang produksi subsektor rumput
laut di Kabupaten Bantaeng yang mengalami peningkatan yang cukup tinggi pada
periode tersebut. Pada tahun 2002 produksi rumput laut hanya 39.4 ton dan
meningkat dengan tajam pada tahun 2003 menjadi 421.0 ton (Lampiran 3). Pada
daerah studi, hanya satu jenis rumput laut yang dibudidayakan, yaitu K.alvarezii
dengan metode budidaya yang hanya satu juga, yakni long line.
Luas lahan yang potensial untuk budidaya rumput laut di Kabupaten
Bantaeng sekitar 5 375 Ha dan sampai dengan tahun 2008 sudah dikelola seluas
3 792 Ha dengan jumlah nelayan rumput laut sebanyak 2 458 RTP. Khusus untuk
wilayah kajian yaitu Kecamatan Bissapu dan Kecamatan Bantaeng, luas lahan
yang potensial adalah 2 525 ha dan yang sudah dikelola seluas 1 214.7 ha (Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009) (Tabel 20).
Tabel 20 Lahan potensial dan yang sudah dikelola di Kabupaten Bantaeng 2008
No. Wilayah Panjang garis pantai (km)
Potensi (ha)
Sudah dikelola (ha)
Jumlah RTP
1. Kec. Bissapu 5.9 1 475 531.7 409 2. Kec. Bantaeng 4.2 1 050 683.0 899 3. Kec. Pa’jukukang 11.4 2 850 2 577.3 1 150
Sumber data: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng 2009.
4.3.2 Kegiatan Budidaya Rumput Laut
Kegiatan budidaya rumput laut yang dilakukan nelayan rumput laut di
wilayah pesisir Bantaeng diperoleh melalui survey terhadap rumah tangga nelayan
rumput laut. Masyarakat pesisir dalam penelitian ini, semuanya merupakan
nelayan rumput laut yang umumnya menjadikan kegiatan budidaya rumput laut
sebagai mata pencaharian utama. Dan untuk menopang kehidupannya, beberapa
masyarakat pesisir melakukan pekerjaan tambahan, seperti menangkap ikan,
membuat batu merah, buruh bangunan dan menjual makanan kecil . Hanya
beberapa nelayan yang mata pencaharian utamanya bukan kegiatan budidaya
rumput laut, seperti tertera pada Gambar 27, di bawah ini.
Gambar 27 Persentase mata pencaharian utama masyarakat pesisir yang menjadi
responden. Dilihat dari segi usia dalam hubungannya dengan usia produktif, usia
responden berberkisar antara 14–64 tahun (Lampiran 7). Terdapat seorang
nelayan rumput laut yang masih berusia 14 tahun sehingga tergolong masih anak-
anak. Responden yang masih tergolong anak-anak ini bekerja di bawah bimbingan
dan pantauan bapaknya dalam mengelola kegiatan budidaya rumput laut. Namun
bertanggung jawab dan mengelola kegiatan budidayanya sendiri. Kemudian satu
responden berusia di atas 60 tahun. Akan tetapi secara umum masih usia produktif
yakni 44 responden (95.5%), 1 orang (2.2%) responden yang berusia 14 tahun dan
1 orang (2.2%) berusia di atas 60 tahun ( Gambar 28).
Gambar 28 Persentase kisaran usia responden.
Luas kepemilikan lahan kegiatan budidaya rumput laut berkisar antara
60–1 000 bentang dan panjang satu bentangan adalah 15 meter dan jarak antar
bentangan 0.5-0.6 meter, diantara beberapa bentangan atau antara bentangan satu
pemilik dengan pemilik lain terdapat jalur perahu dengan lebar sekitar 10 m.
Sehingga setiap ha lahan berisi antara 300-350 bentangan. Rata-rata luas lahan
budidaya adalah 301 bentangan atau sekitar satu ha/orang (Lampiran 8)
Lahan budidaya rumput laut tersebut umumnya hanya diusahakan pada
musim Timur dan musim Transisi, dimana kondisi lingkungan terutama kecepatan
arus dan tinggi gelombang memungkinkan untuk melakukan budidaya. Adapun
nelayan rumput laut yang tetap menanam pada musim Barat, biasanya hanya
untuk persiapan bakal bibit pada musim berikutnya agar tidak mengalami
kesulitan bibit pada saat musim tanam.
Sampai saat ini, belum ada kegiatan pembibitan yang bisa mensuplai bibit
unggul untuk kegiatan budidaya rumput laut. Para nelayan rumput laut hanya
menggunakan bibit dari hasil panen yang disisihkan, secara terus menerus,
sehingga mutu bibit yang baik, yang merupakan salah satu faktor produksi, tidak
terpenuhi. Sebagaimana rekomendasi dari hasil penelitian Mubarak (1978), bahwa
penggunaan bibit rumput laut maksimal 4 kali sudah harus diganti dengan bibit
yang baru, sebab pemakaian lebih dari 4 kali akan menyebabkan produktivitas
rumput laut cenderung menurun.
Nelayan rumput laut mengetahui bahwa bibit unggul akan memberikan
produksi yang lebih tinggi akan tetapi mereka kesulitan mendapatkan bibit unggul
tersebut pada saat musim tanam. Kadang-kadang tersedia bibit unggul namun
harganya relatif mahal karena didatangkan dari Maumere, Nusa Tenggara Timur
dan jumlahnyapun tidak mencukupi kebutuhan.
Produktivitas rumput laut dalam sekali panen di kabupaten Bantaeng rata-
rata 500 kg berat kering/unit budidaya atau 2 000 kg berat kering/ha. Produktivitas
ini masih bisa ditingkatkan apabila menggunakan bibit unggul, teknik budidaya
dengan menggunakan berat bibit yang cukup yakni 100 g-125g/rumpun, sesuai
dengan hasil penelitian Iksan 2005, yang mendapatkan produksi tertinggi
dihasilkan dari penggunaan bibit seberat 125 g/rumpun, dan pemeliharaan yang
benar, panen pada umur 45 hari dan perlakuan pasca panen yang sesuai. Panen
dilakukan rata-rata 4 kali dalam setahun.
V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN
BUDIDAYA RUMPUT LAUT
5.1 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut
Keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh
faktor lahan perairan, oleh karena itu untuk memperoleh hasil yang optimal dari
kegiatan tersebut hendaknya dipilih lokasi yang sesuai dengan aspek
ekobiologinya (persyaratan tumbuhnya), seperti pemilihan bibit yang bagus,
perairan yang cukup tenang dan terlindung dari pengaruh angin, gelombang dan
arus yang kuat serta tingkat kecerahan perairan yang tinggi. Kondisi ini biasanya
ditemukan pada teluk-teluk yang agak tertutup atau di sekitar gugus pulau-pulau
kecil (Puslitbangkan 1991).
Kondisi yang ideal ini tidak ditemukan di wilayah pesisir Kabupaten
Bantaeng. Wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng merupakan laut terbuka yang
berhadapan langsung dengan Laut Flores tanpa adanya pelindung. Pada musim
Barat sangat dipengaruhi oleh angin, gelombang dan arus yang kuat. Untuk
menyiasati kondisi ini maka nelayan rumput laut umumnya hanya menanam pada
musim Timur dan musim transisi. Karena itu wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng
jika dilihat dari aspek keterlindungan maka dikategorikan ke dalam sesuai
bersyarat dimana persyaratannya adalah waktu penanaman harus pada musim
Timur atau musim transisi.
Bengen (2005) menyatakan bahwa proses penentuan kesesuaian lahan
harus dilakukan dengan membandingkan kriteria faktor-faktor penentu kesesuaian
lahan dengan kondisi eksisting, melalui teknik tumpang susun (overlay) dan
analisis tubular dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Selanjutnya hasil
analisis kesesuaian lahan menjadi bahan bagi analisis daya dukung perairan untuk
budidaya rumput laut.
Analisis kesesuian lahan yang dilakukan tidak mencakup seluruh
Kecamatan yang mempunyai garis pantai dan areal budidaya rumput laut.
Diantara tiga Kecamatan yang mempunyai areal budidaya rumput laut, hanya
dilakukan pada dua Kecamatan yakni Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan
Bissapu. Panjang garis pantai kedua Kecamatan tersebut masing-masing
Kecamatan Bissapu 5.9 km dan Kecamatan Bantaeng 4.2 km.
Penilaian kesesuaian lahan sebagai faktor penentu dalam pengembangan
kegiatan budidaya rumput laut di Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu
didasarkan atas beberapa parameter kesesuaian sebagai berikut: kecepatan arus,
kedalaman, kecerahan, gelombang, pH, salinitas, substrat, keterlindungan dan
suhu perairan (Lampiran 10). Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian perairan
untuk budidaya rumput laut dengan masing-masing kategori kesesuaian diperoleh
hasil sebagai berikut: lahan yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha yang terdiri dari S1
(sangat sesuai) seluas 415.31 ha dan S2 (sesuai bersyarat) seluas 1 897.99 ha.
Gambar 29, memperlihatkan hasil analisis kesesuaian lahan pada dua Kecamatan
lokasi studi penelitian, yakni Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu.
Kawasan perairan pada lokasi kajian telah dikelola seluas 1 214.7 ha atau
sekitar 52.5 % dari 2 313.29 ha. Walaupun kawasan yang sesuai untuk budidaya
rumput laut masih cukup luas belum dikelola akan tetapi untuk pengembangan
budidaya rumput laut ke depan yang perlu diperhitungkan adalah daya dukung
perairan. Sebab apabila daya dukung kawasan budidaya terlampaui maka kegiatan
budidaya rumput laut yang kini menjadi andalan masyarakat pesisir untuk
memperbaiki tingkat kesejahteraan mereka tidak akan berkelanjutan.
Luas kawasan yang sesuai secara ekologis untuk budidaya rumput laut
tidak digunakan semua untuk budidaya akan tetapi tetap disiapkan peruntukan
bagi kebutuhan stakeholders lainnya. Karena untuk keberlanjutan kegiatan
budidaya rumput laut bukan hanya dimensi ekologi saja yang berperan namun
dimensi-dimensi yang lainpun berperan tidak kalah pentingnya. Kalau dari aspek
ekologi sudah sesuai akan tetapi terjadi konflik diantara sesama stakeholders
karena tidak jelasnya zonasi dan aturan main dalam budidaya rumput laut maka
pada akhirnya kegiatan budidaya rumput laut tersebut akan mengalami kegagalan.
Oleh sebab itu semua dimensi perlu disinergikan untuk pengelolaan budidaya
rumput laut.
LETTA
LAMALAKALEMBANG
BONTO MANAI
BONTO SUNGGU
TAPPANJENGPALLANTIKANG
MALLILINGIBONTO LEBANGKec. Bantaeng
Kec. Bissapu#Y
#Y5°
36'00
"5°
34'30
"5°
33'00
"
5°36'00"5°34'30"
5°33'00"
119°55'30" 119°57'00" 119°58'30"
119°55'30" 119°57'00" 119°58'30" Peta KesesuaianBudidaya Rumput LautDi Pesisir Kab. Bantaeng
N
EW
S
1 0 1 km
Keterangan :
Kesesuaian Budidaya Rumput Laut:Sangat SesuaiSesuaiTidak Sesuai
Batas Desa/Kelurahan
Garis PantaiBatas Kecamatan
Hasni Yulianti AzisNRP. C261050101
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan LautanSekolah Pascasarjana
Institut Pertanian BogorSumber Peta :1. Peta Digital Baseline Sulawesi Selatan2. Survei Lapangan
Bantaeng
#Y Makassar
Peta Tunjuk :Sulawesi Selatan
Gambar 29 Peta kesesuaian lahan budidaya rumput laut di wilayah pesisir
Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu, Kabupaten Bantaeng.
5.2 Daya Dukung Kawasan Budidaya Rumput Laut
Melihat perkembangan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng
begitu pesat maka untuk pengembangan kawasan ke depan perlu dibuat model-
model estimasi daya dukung yang disesuaikan dengan kondisi wilayah.
Pengukuran daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa perairan pesisir
memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme.
Konsep daya dukung yang dikembangkan dalam budidaya rumput laut adalah
konsep daya dukung ekologis dengan tetap memperhatikan dimensi-dimensi yang
lain.
Penentuan daya dukung perairan secara ekologis ini tetap
mempertimbangkan status pemanfaatan, dimana dalam analisa spasial dapat
menghitung luasan dan jumlah unit budidaya maksimum dengan memperhatikan
dimensi teknologi dengan menyesuaikan antara metode budidaya yang digunakan
dengan kondisi kawasan budidaya, memperhatikan dimensi sosial-budaya dan
ekonomi seperti alur pelayaran, areal penangkapan/pemancingan ikan, arena olah
raga laut dan kawasan pelabuhan. Dengan maksud agar budidaya rumput laut
tidak mengganggu alur pelayaran dan akses nelayan pergi dan pulang melaut serta
pengguna lain sehingga menghindari terjadinya konflik kepentingan diantara
sesama stakeholders.
Daya dukung perairan sangat menentukan keberlanjutan kegiatan budidaya
rumput laut tersebut. Apabila kegiatan budidaya tersebut melampaui daya dukung
kawasan maka akan terjadi degradasi terhadap kualitas perairan kawasan tersebut
yang pada akhirnya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan rumput laut untuk
bertumbuh.
Analisis Daya dukung perairan pada daerah kajian menggunakan dua
pendekatan, yakni (1) pendekatan kapasitas perairan dan (2) pendekatan kapasitas
asimilasi N. Para peneliti sebelumnya, umumnya menggunakan pendekatan
kapasitas perairan dalam menghitung daya dukung perairan untuk budidaya
rumput laut. Pendekatan kapasitas perairan dipengaruhi oleh luas areal budidaya
yang sesuai (kategori sangat sesuai dan sesuai bersyarat) dan metode budidaya
yang diterapkan. Namun kondisi lokasi penelitian yang unik yakni merupakan
perairan yang terbuka tanpa terlindung, berbeda dengan lokasi budidaya yang
dikenal selama ini yakni, terlindung atau berada di daerah teluk, menimbulkan ide
untuk menggunakan pendekatan asimilasi dalam menghitung daya dukungnya.
Analisis daya dukung dengan pendekatan asimilasi N memperhitungkan flushing
time. Dan perairan terbuka memiliki flushing time yang lebih singkat
dibandingkan dengan perairan yang terlindung sehingga akan menghasilkan daya
dukung yang lebih besar.
Daya dukung perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut di kecamatan
Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dengan menggunakan pendekatan kapasitas
perairan adalah 1 203.23 ha (Lampiran 10). Jumlah unit kegiatan budidaya rumput
laut yang dapat didukung untuk kegiatan budidaya tersebut sebanyak 5 942 unit.
Sedangkan dengan pendekatan kapasitas asimilasi N, diperoleh daya dukung
kawasan sebesar 1 650.64 ha atau 6 603 unit untuk K.alvarezii (doty) coklat dan 2
073.72 ha atau 8 295 unit budidaya untuk K.alvarezii (doty) hijau. Jika luas lahan
yang sudah dikelola dikonversi ke dalam unit budidaya maka jumlah unit
budidaya yang operasional di wilayah kajian saat ini adalah sekitar 4 856.
Penggunaan dua varietas rumput laut yakni rumput laut berwarna coklat dan
berwarna hijau karena nelayan rumput laut membudidayakan kedua jenis rumput
laut tersebut.
Daya dukung perairan juga dapat diestimasi dengan mengkonversinya ke
dalam produksi rumput laut yang dihasilkan per unit budidaya. Estimasi produksi
rumput laut di Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dapat dihitung dari
jumlah produksi rumput laut per unit budidaya. Setiap unit budidaya berisi 75-90
bentangan dan setiap bentangan umumnya menghasilkan 5 kg berat kering rumput
laut. Beberapa nelayan rumput laut bahkan bisa menghasilkan 7 kg berat kering
per bentangan, dengan catatan mereka menggunakan bibit yang baik dengan berat
100-125 gram/ikatan serta dipanen pada saat cukup umur (45 hari). Jumlah unit
budidaya rumput laut yang dapat didukung tanpa menurunkan kualitas kawasan
budidaya adalah 5 942 unit budidaya atau dengan produksi 375-450 kg berat
kering perunit maka total produksi kawasan budidaya adalah 2 228 193.75-2 673
900 kg/panen. Frekuensi panen dalam setahun rata-rata empat kali panen.
Sehingga daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut dengan pendekatan
kapasitas perairan jika dikonversi ke dalam jumlah produksi tanpa menurunkan
kualitas perairan adalah 8 912 775-10 695 600 kg berat kering rumput laut
pertahun atau 8 912.78-10 695.6 ton/tahun. Sedangkan jika menggunakan analisis
daya dukung perairan dengan pendekatan kapasitas asimilasi N diperoleh 9 903.84
ton berat kering/tahun untuk K.alvarezii (doty) coklat dan 12 442.35 ton berat
kering/tahun untuk K.alvarezii (doty) hijau.
5.2.1 Kelayakan Kegiatan Budidaya Rumput Laut
Kegiatan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng menyerap banyak
tenaga kerja. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya Rumah Tangga Perikanan (RTP)
rumput laut, yakni sebanyak 2 458 dan bukan berarti yang terlibat hanya 2 458
orang itu sebab dari hasil wawancara pada responden, hampir semua anggota
keluarga terlibat. Kemudian tenaga lepas yang bukan termasuk RTP nelayan
rumput laut akan tetapi terlibat dalam proses budidaya sebagai pengikat bibit
rumput laut. Juga yang terlibat secara tidak langsung,yakni pedagang pengumpul,
penjual alat dan bahan konstruksi bentangan, pembuat konstruksi unit budidaya
dan sebagainya.
Kegiatan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng mulai dilakukan
sejak tahun 1998 dan pada tahun 2001 mulai berkembang. Jenis rumput laut yang
diusahakan hanya satu jenis yaitu K.alvarezii dengan metode budidaya juga hanya
satu yaitu long line. Pemilihan jenis rumput laut yang dibudidayakan oleh nelayan
rumput laut berdasarkan hasil dari pengalaman mereka selama ini. Produksi
terbaik dan menguntungkan diantara jenis rumput laut yang pernah mereka
budidayakan adalah jenis K.alvarezii. Demikian juga dengan pemilihan metode
budidaya. Mereka memilih metode long line, karena menurut mereka metode ini
lebih murah biaya investasinya, lebih mudah mendapatkan bahan konstruksi dan
pembuatan konstruksi unit budidayanya, serta lebih mudah pemeliharaannya.
Sementara itu harga rumput laut di tingkat nelayan rumput laut saat ini mencapai
Rp12 000/kg berat kering (komunikasi pribadi, 23 Mei 2010).
Saat ini kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat hal
ini dapat dilihat dari pertambahan luasan areal budidaya dan semakin banyaknya
RTP nelayan rumput laut (Tabel 4 dan Tabel 19).
Untuk mengetahui sejauh mana kegiatan budidaya rumput laut yang
dilakukan oleh masyarakat ini menguntungkan sehingga layak dikegiatankan atau
merugi secara ekonomi, dilakukan dengan menggunakan analisis kelayakan
kegiatan budidaya rumput laut. Untuk analisis kelayakan kegiatan budidaya
rumput laut harus didukung oleh data-data yang memadai seperti data pengeluaran
untuk berbagai sarana produksi, upah, biaya pemeliharaan dan ongkos yang
lainnya dan data-data pemasukan. Analisis yang digunakan meliputi analisis Net
Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BC Ratio).
(1) Net Present Value (NPV)
Perhitungan analisis NPV menggunakan asumsi discount rate 7.75%
memberikan nilai yang sangat signifikan keuntungannya. Nilai NPV yang
diperoleh adalah Rp18 040 887.11 (Tabel 21).
Tabel 21 Hasil analisis kegiatan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng 2009
(2) Benefit Cost Ratio (BCR)
No. Aspek Biaya 1. a. biaya investasi Rp19 135 457
b. Biaya operasional Rp3 324 764 c. Biaya pemeliharaan Rp382 052
Total biaya (a+b+c) Rp22 842 273 2. Pendapatan Rp33 659 130 3. discount rate 7.75% 4. present value Rp22 842 273.74 5. Net present value (10 tahun) Rp18 040 887.11 6. B/C 9.58
BCR menunjukkan ukuran berapa kali lipat keuntungan (benefit) yang
akan diperoleh dari biaya (cost) yang dikeluarkan. Hasil perhitungan BCR
kegiatan budidaya rumput laut di Bantaeng memberikan nilai BCR 9.58 (Tabel
21). Jadi kegiatan budidaya rumput laut memberikan keuntungan yang berlipat
dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan.. Sebab itu hal yang sangat wajar
apabila nelayan tangkap maupun nelayan pembudidaya ikan dan udang di
Kabupaten Bantaeng beralih menjadi nelayan rumput laut. Adapun perhitungan
biaya investasi, biaya operasional, biaya pemeliharaan, analisa biaya kegiatan dan
analisa B/C Ratio masing-masing di Lampiran 9, 10, 11, 12 dab 13.
VI. OPTIMASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG UNTUK
PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT
Pendekatan sistem dinamik ini digunakan sebagai alat analisis untuk dapat
dimanfaatkan oleh pengambil kebijakan dalam memformulasikan pengembangan
budidaya rumput laut yang berkelanjutan sesuai dengan kondisi kapasitas
asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng. Sistem dinamik dikembangkan
dengan mengacu dari beberapa parameter ilmiah yang diperoleh melalui hasil
penelitian serta menggunakan data dari referensi yang terkait. Sistem dinamik ini
dioperasionalkan pada berbagai skala waktu dan intensitas kegiatan budidaya
rumput laut sehingga dapat diprediksi konsekuensi atau respon dari sistem yang
dipelajari akibat intervensi manusia. Oleh karena itu, sistem dinamik dapat
digunakan untuk pemahaman, pendugaaan, dan alokasi budidaya rumput laut pada
batas maksimum dan minimum kapasitas asimilasi perairan pesisir, resiko
kerusakan lingkungan atau degradasi lingkungan yang lebih luas. Nilai atau
informasi dasar yang digunakan dalam sistem dinamik pengembangan budidaya
rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng dapat dilihat pada Tabel 22.
Beberapa asumsi yang digunakan dalam sistem dinamik pengembangan
budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan
Bissapu, yaitu :
◊ Tipe model yang digunakan adalah kompartemen yaitu variabel didefinisikan
dan dikuantifikasi dimana waktu sebagai faktor penentu.
◊ Berat biomassa rumput laut (awal tanam), lama pemeliharaan dan
pertumbuhan rumput laut sesuai yang terdapat dilokasi penelitian
◊ Buangan limbah antropogenik (external loading) di sekitar wilayah pesisir
Kabupaten Bantaeng memberikan pengaruh terhadap kapasitas asimilasi
perairan untuk pengembangan rumput laut (San Diego- McGlone et al. 1999)
◊ Rumput laut mempunyai kemampuan penyerapan terhadap beban limbah N
sehingga dapat meningkatkan kapasitas asimilasi perairan pesisir dan daya
dukung rumput laut
◊ Kapasitas asimilasi didasarkan pada nilai baku mutu air laut N minimal (0.5
mg/l) dan maksimal (1.0 mg/l) untuk kegiatan budidaya (Kep Men LH 2004).
◊ Dinamika yang ada merupakan nilai hasil pengamatan dari setiap parameter
selama penelitian.
Sub model pengembangan budidaya rumput laut di wilayah pesisir
Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu dapat dilihat pada Gambar 30-33
dan model persamaan matematisnya pada Lampiran 18-21.
Tabel 22 Nilai atau informasi dasar yang digunakan dalam sistem dinamik pengembangan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng
No Parameter Nilai Sumber data 1. Luas lahan layak 2 313.29 Penelitian ini 2. Kedalaman perairan 9.73 m (rata-rata) Penelitian ini 3. Pola pasang surut
2 kali pasang dan 2 kali surut
Penelitian ini
4. Volume total perairan pesisir (Vtot
438 251 599.40 m)
Penelitian ini 3
5. Pasang tertinggi (spring tide) (pt)
0.966 m Penelitian ini
6. Surut terendah (st) 0.21 m Penelitian ini 7. Berat RL awal tebar : a. Jarak tanam 25 cm 125 gram Penelitian ini b. Jarak tanam 35 cm 125 gram Penelitian ini c. Jarak tanam 45 cm 125 gram Penelitian ini 8. Laju penyerapan rumput laut
K.alvarezii 18.43779 mg/g berat kering/jam (jenis coklat)
Pong-Masak (2007); Herlinah (2008)
14.67609 mg/g berat kering/jam (jenis hijau)
Pong-Masak (2007); Herlinah (2008)
9. Biaya produksi RL Rp4 150 Penelitian ini 10. Harga jual RL di tingkat
pembudidaya Rp6 500 Penelitian ini
11. Tenaga kerja aktual 2 – 3 orang per unit RL Penelitian ini 12. Jam kerja efektif (JKE) 8 jam/hari Hasil wawancara
Panen RL1 coklat BM Maks
LBRL coklat BM Maks
~Wt 25 cm
~LPH 25 cm
Rearing Period
~wt 45 cm
Panen RL 2 BM Maks
LBRL1 coklat BM Maks
~wt35 cm Rearing Period
~LPH35cm
Panen RL3 BM Maks
LBRL2 coklat BM Maks
Rearing Period
~LPH45 cm
DDL RL Coklat BM Maks
~Wt 25 cm
~LPH 25 cm
DDL RL Coklat BM Min
Panen RL 1 coklat BM Min
LBRL coklat BM Min
~wt35 cm
~LPH35cm
Panen RL 2 BM min
LBRL1 coklat BM Min
~wt 45 cm
~LPH45 cm
Panen RL 3 BM Min
LBRL2 coklat BM Min
~Wt 25 cm
~LPH 25 cm
Panen RL hijau BM Maks
LBRL hijau BM MaksDDL RL Hijau Maks
Panen RL1 hijau BM Maks
LBRL1 hijau BM Maks
~wt35 cm
~LPH35cm
Panen RL 3 hijau BM Maks
LBRL 2 hijau BM Maks
~wt 45 cm
~LPH45 cm
~Wt 25 cm
~LPH 25 cm
Panen RL hijau BM Min
LBRL hijau BM Min
DDL RL Hijau Min
Panen RL1 hijau BM Min
LBRL 1hijau BM Min
~wt35 cm
~LPH35cm
Panen RL2 hijau BM Min
LBRL 2 hijau BM Min
~wt 45 cm
~LPH45 cm
SUB MODEL PRODUKSI
6.1 Sub Model Produksi Budidaya Rumput Laut ( SM PRL)
Sub model ini dibangun berdasarkan bobot (biomassa) rumput laut, laju
pertumbuhan rumput laut, SR, lama pemeliharaan dan jarak tanam.
Gambar 30 Konsep sub model produksi budidaya rumput laut.
LA Perikanan KLPt NKLP N
NBM Maksimal
NMB Minimal
KLPerik NT1LA 1
Antropogenik N
KLS N
TL Pertanian N
T2 T3KLT1 N KLT2 N KLT3 N
TLT N
TL Perikanan NLA pertanian
TRT N
Kum N Antropogenik
Antropogenik 1
LA 1KLP P
Kum P antropogenik
Antropogenik 2
KLS P KLT1 PT1 T2 KLT2 P T3 KLT3 P
TRT PTLT P
LA Perikanan KL Perik P
LA pertanianKLpt P
TL Perikanan PTL Pertanian P
Antropogenik P
KL Det
Pct Antropogenik
Total Antropogenik
Kum N Antropogenik
Kum P antropogenik
Luas SIG
KdlmPasut St
Pasut nt
Frekuensi pasut
Volume pasang
Volume surut
Vtot
Konv m2 Dillution Rate
FT
DDL RL Coklat BM Min
L Peny e RL Coklat
Kapasitas asimilasi maksimal BM
Kapasitas asimilasi minimal BM
Kapasitas RL Coklat
KPRL Coklat
Pen RL Coklat
L peny e RL Hijau
KPRL Hijau
Peny RL Hijau
Kapasitas RL Hijau
JTL Coklat BM Maks
JTL Hijau Maks
JTL Coklat BM Min
JTL Hijau Min
DDL RL Coklat BM MaksKg RL per ha
EC
Kg RL per ha
DDL RL Hijau Maks
DDL RL Hijau Min
Penurunan KA Maks
Penurunan KA Min
KABM Maks
KABM Min
Unit coklat BM Maks
Unit hijau BM Maks
Unit coklat Bm Min
Unit hijau BM Min
SUB MODEL DDL RUMPUT LAUT
6.2 Sub Model Daya Dukung Rumput Laut (DD RL)
Sub model ini dibangun berdasarkan volume total air laut tersedia (Vtot
),
kisaran pasang surut, frekuensi pasang surut, kemampuan penyerapan rumput laut,
kapasitas asimilasi perairan, baku mutu lingkungan, masukan limbah
antropogenik (external loading). Sub model ini menggambarkan kapasitas
asimilasi perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut.
Gambar 31 Konsep sub model daya dukung lingkungan.
Biay a Produksi RL Harga RL
LBRL coklat BM Maks
Prof it coklat 25 cm BM Maks
Total biay a produksiTotal pendapata RL
PD 25 cm coklat Maks
PPH
Prof it RL coklat 25 cm BM Min
Biay a Produksi RL LBRL coklat BM Min Harga RL
PD 25 cm coklat Min
LBRL1 coklat BM MaksBiay a Produksi RL Harga RL
Prof it coklat 35 cm BM Maks
PD 35 cm coklat MaksPPH
Biay a Produksi RL LBRL1 coklat BM Min
Prof it Coklat 35 cm BM Min
Harga RL
PD 35 cm coklat Min
Biay a Produksi RLHarga RL
PPH
Prof it coklat 45 cm BM MaksPD 45 cm coklat Maks
Biay a Produksi RL
Harga RLProf it Coklat 45 cm BM Min
PD 45 cm coklat MinLBRL2 coklat BM Maks
LBRL2 coklat BM Min
LBRL hijau BM MaksBiay a Produksi RL
Harga RL
Prof it hijau 25 cm BM Maks
PD 25 cm hijau Maks
PPH
PD 25 cm hijau Min
Biay a Produksi RL
Harga RL
LBRL hijau BM Min
Prof it hijau 25 cm BM Min
LBRL1 hijau BM MaksBiay a Produksi RL
Harga RL
Pf of it hijau 35 cm BM Maks
PD 35 cm hijau BM Maks
PPH
Biay a Produksi RL
Harga RL
Prof it hijau 35 cm BM Min
LBRL 1hijau BM Min
PD 35 cm hijau BM Min
Biay a Produksi RL
Harga RLLBRL 2 hijau BM Maks
Prof it hijau 45 cm BM Maks
PD 45 cm hijau BM Maks
Biay a Produksi RL
Harga RL
Prof it hijau 45 cm BM Min
LBRL 2 hijau BM Min
PD hijau 45 cm BM Min
SUB MODEL EKONOMI
6.3 Sub Model Ekonomi
Sub model ekonomi (pendapatan kegiatan) dibangun untuk memberikan
gambaran tingkat keuntungan (pendapatan kegiatan) budidaya rumput laut selama
satu siklus pemeliharaan (MT) yang dipengaruhi oleh tingkat produksi rumput
laut, biaya produksi (total cost), dan harga rumput laut ditingkat pembudidaya.
Gambar 32 Konsep sub model ekonomi.
KTK ha
JKEJMT ha th
TK RL 1
DDL RL Coklat BM Maks
KTK ha JKE JMT ha th
TK RL 2DDL RL Coklat BM Min
KTK ha JKE JMT ha th
DDL RL Hijau Maks
TK RL 3
KTK ha JKE JMT ha th
DDL RL Hijau MinTK RL 4
TK1
TK3
TK2
TK4
SUB MODEL TENAGA KERJA
6.4 Sub Model Tenaga Kerja
Sub model ini dibangun untuk menggambarkan total tenaga kerja (orang)
atau HOK/th yang dapat diserap secara aktual dari pengembangan budidaya
rumput laut yang dipengaruhi oleh jumlah jam kerja efektif per hari, kebutuhan
tenaga kerja aktual per ha, luas luas rumput laut, jumlah musim tanam per tahun,
dan lama pemeliharaan (rearing period).
Gambar 33 Konsep sub model tenaga kerja.
6.5 Simulasi Skenario Pemanfatan Wilayah Pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu Secara Optimal Sebagai Dasar Pengambilan Kebijakan Pengembangan Budidaya Rumput Laut
Skenario sebagai dasar pengambilan keputusan dilakukan dengan simulasi
sebagai rancangan kebijakan yang mungkin dilakukan dalam kondisi nyata (real
world) berdasarkan pada model sistem dinamik yang dibuat. Dalam hal ini
dilakukan perubahan pada peubah tertentu yang terdapat di dalam model sistem
dinamik, sehingga skenario yang dibuat dapat disimulasikan. Variabel indikator
(indicator variable) dalam simulasi model sistem dinamik yaitu perubahan luasan
rumput laut, produksi rumput laut (sub model produksi rumput laut), pendapatan
kegiatan dan pendapatan daerah (sub model ekonomi), dan tenaga kerja (sub
model tenaga kerja). Variabel pembatas (limiting variable) adalah kapasitas
asimilasi perairan (sub model daya dukung lingkungan). Variabel keputusan
(decision variable) adalah beban limbah antropogenik (external loading). Alasan
yang mendasari beban limbah antropogenik (external loading) yang menjadi
komponen dalam skenario pengembangan budidaya rumput laut karena masukan
limbah antropogenik (external loading) dapat memberikan pengaruh terhadap
kapasitas asimilasi perairan pesisir untuk pengembangan budidaya rumput laut.
Beberapa skenario yang dilakukan dalam simulasi sistem dinamik ini yaitu:
Skenario 1. Masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir pada
kondisi saat ini
Skenario 2. Masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir
Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu meningkat 10 % dari
kondisi saat ini
Skenario 3. Masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir
Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu meningkat 25 % dari
kondisi saat ini
Skenario 4. Masukan limbah antropogenik ke lingkungan perairan pesisir
Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu meningkat 50 % dari
kondisi saat ini.
Hasil simulasi dari beberapa skenario yang digunakan sebagai berikut :
Skenario 1. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik ke
lingkungan perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu mulai
hari ke-1 sampai akhir pemeliharaan sebesar 252.43 ton. Masukan limbah
antropogenik ini mempengaruhi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kecamatan
Bantaeng dan Kecamatan Bissapu untuk budidaya rumput laut. Pada skenario ini,
luas rumput laut yang dapat dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal –
maksimal) untuk K.alvarezii jenis coklat seluas 1 217.43 ha–2 054.56 ha atau
4 870 unit–8 218 unit sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau seluas 1 529.48 ha–
7:11 AM Tue, Aug 10, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
350
750
1150
-250
200
650
1: Penurunan KA Maks 2: Penurunan KA Min
1
1
1
1
2
2
2
2
7:19 AM Tue, Aug 10, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
1100
1250
1400
550
700
850
1: Kapasitas asimilasi maksimal BM 2: Kapasitas asimilasi minimal BM
1
1
1
1
2
2
2
2
2 581.18 ha atau 6 118 unit–10 325 unit. Luas rumput laut ini dapat meningkatkan
kapasitas asimilasi perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu
menjadi 808.08 ton/hari–1 363.74 ton N/hari.
Gambar 34 Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari)
Gambar 35 Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan
budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
7:12 AM Tue, Aug 10, 2010
Untitled
Page 1
0.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
1650
1900
2150
800
1050
1300
2100
2350
2600
1050
1300
1550
1: DDL RL Coklat BM Maks 2: DDL RL Coklat BM Min 3: DDL RL Hijau Maks 4: DDL RL Hijau Min
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
4
4
4
4
7:32 AM Wed, Aug 18, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
0
10000
20000
1: LBRL coklat BM Maks 2: LBRL1 coklat BM Maks 3: LBRL2 coklat BM Maks
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
Gambar 36 Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan
(minimal–maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari masa pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng.
Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan pada
kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 25 cm sebesar 7 374.25–12 473.39
ton, jarak tanam 35 cm sebesar 7 701.12–13 026.29 ton, dan jarak tanam 45 cm
sebesar 8 100.15–13 701.23 ton. Sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau dengan
jarak tanam 25 cm sebesar 9 264.38–15 670.50 ton, jarak tanam 35 cm sebesar
9 675.04–16 365.12 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 10 176.34–17 213.06 ton.
Gambar 37 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam
(25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.
7:43 AM Wed, Aug 18, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
0
4000
8000
0
4500
9000
1: LBRL coklat BM Min 2: LBRL1 coklat BM Min 3: LBRL2 coklat BM Min
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
7:45 AM Wed, Aug 18, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
0
10000
20000
1: LBRL hijau BM Maks 2: LBRL1 hijau BM Maks 3: LBRL 2 hijau BM Maks
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
7:47 AM Wed, Aug 18, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
500
5000
9500
500
5500
10500
1: LBRL hijau BM Min 2: LBRL 1hijau BM Min 3: LBRL 2 hijau BM Min
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
Gambar 38 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.
Gambar 39 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.
Gambar 40 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.
11:48 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
4e+009.
8e+009.
0
2.5e+009
5e+009.
0
400000000
800000000
0
250000000
500000000
1: Prof it coklat 25 cm B… 2: Prof it RL coklat 25 c… 3: PD 25 cm coklat Maks 4: PD 25 cm coklat Min
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya
rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp5 580 903 051.72
dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp558 090 305.17–
Rp941 845 210.84. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan
budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 35 cm) sebesar
Rp5 628 198 840.29–Rp9 498 269 499.11 dengan kontribusi pendapatan ke
daerah sebesar Rp562 819 884.03–Rp949 826 949.91. Sedangkan tingkat
keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii
jenis hijau (jarak tanam 45 cm) diperoleh sebesar Rp5 626 205 435.95–
Rp9 493 217 765.52 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar
Rp562 819 884.03–Rp949 321 776.55. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk
pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak tanam 25 cm)
sebesar Rp4 442 280 526.48– 7 496 888 228.09 dengan kontribusi pendapatan ke
daerah sebesar Rp444 228 052.65–Rp749 688 822.81. Tingkat keuntungan yang
diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak
tanam 35 cm) sebesar Rp4 479 926 971.62–Rp7 560 421 179.17 dengan
kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp447 992 697.16–Rp756 042 117.92.
Sedangkan tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya
rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak tanam 45 cm) diperoleh sebesar Rp4 477
544 285.22–Rp7 556 400 106.32 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar
Rp447 754 428.52–Rp755 640 010.63.
Gambar 41 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm).
11:49 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
4e+009.
8e+009.
0
2.5e+009
5e+009.
0
400000000
800000000
0
250000000
500000000
1: Prof it coklat 35 cm B… 2: Prof it Coklat 35 cm … 3: PD 35 cm coklat Maks 4: PD 35 cm coklat Min
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
11:50 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
4e+009.
8e+009.
0
2.5e+009
5e+009.
0
400000000
800000000
0
250000000
500000000
1: Prof it coklat 45 cm B… 2: Prof it Coklat 45 cm … 3: PD 45 cm coklat Maks 4: PD 45 cm coklat Min
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
Gambar 42 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm)
Gambar 43 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontribusi pendapatan ke daerah.
Tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya rumput laut
K.alvarezii jenis coklat sebanyak 14 609–24 654 orang atau 350 620–591 714.08
HOK/thn. Sedangkan tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya
rumput laut K.alvarezii jenis hijau sebanyak 18 353–30 974 orang atau 440 489–
743 379 HOK/thn.
11:50 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
20000
40000
0
10000
20000
0
400000
800000
0
250000
500000
1: TK3 2: TK4 3: TK RL 3 4: TK RL 4
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
11:50 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
15000
30000
0
10000
20000
0
300000
600000
0
200000
400000
1: TK1 2: TK2 3: TK RL 1 4: TK RL 2
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
Gambar 44 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (min– maks.)
Gambar 45 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).
Skenario 2. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik ke
lingkungan perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu mulai
hari ke-1 sampai akhir pemeliharaan sebesar 353.40 ton. Masukan limbah
antropogenik ini mempengaruhi kapasitas asimilasi perairan pesisir wilayah
kajian untuk budidaya rumput laut. Pada skenario ini, luas rumput laut yang dapat
dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal–maksimal) untuk K.alvarezii
jenis coklat seluas 1 369.55–2 206.68 ha atau 5 478.20–8 826.73 unit sedangkan
untuk K.alvarezii jenis hijau seluas 1 720.59–2 772.29 ha atau 6 882.35– 11 089.15
unit. Luas rumput laut ini dapat meningkatkan kapasitas asimilasi perairan pesisir
Kabupaten Bantaeng menjadi 909.05 ton N/hari–1 464.71 ton N/hari.
11:27 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
450
800
1150
-150
250
650
1: Penurunan KA Maks 2: Penurunan KA Min
1
1
1
1
2
2
2
2
11:28 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 1
0.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
1650
1950
2250
800
1100
1400
2100
2450
2800
1050
1400
1750
1: DDL RL Coklat BM Maks 2: DDL RL Coklat BM Min 3: DDL RL Hijau Maks 4: DDL RL Hijau Min
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
4
4
4
4
11:29 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
1100
1300
1500
550
750
950
1: Kapasitas asimilasi maksimal BM 2: Kapasitas asimilasi minimal BM
1
1
1
1
2
2
2
2
Gambar 46 Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari).
Gambar 47 Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal–maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng.
Gambar 48 Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
11:30 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
0
10000
20000
1: LBRL coklat BM Maks 2: LBRL1 coklat BM Maks 3: LBRL2 coklat BM Maks
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
11:31 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
0
4000
8000
0
4500
9000
0
5000
10000
1: LBRL coklat BM Min 2: LBRL1 coklat BM Min 3: LBRL2 coklat BM Min
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan pada
kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 25 cm sebesar 7 792.50 – 12 588.93
ton, jarak tanam 35 cm sebesar 8 651.51–13 976.67 ton, dan jarak tanam 45 cm
sebesar 9 099.78–14 700.86 ton. Sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau dengan
jarak tanam 25 cm sebesar 9 789.89–15 815.80 ton, jarak tanam 35 cm sebesar
10 869.02–17 559.10 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 11 432.19–18 468.91
ton.
Gambar 49 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.
Gambar 50 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.
11:32 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
0
10000
20000
1: LBRL hijau BM Maks 2: LBRL1 hijau BM Maks 3: LBRL 2 hijau BM Maks
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
11:32 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
500
5500
10500
0
10000
20000
1: LBRL hijau BM Min 2: LBRL 1hijau BM Min 3: LBRL 2 hijau BM Min
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
Gambar 51 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.
Gambar 52 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.
Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput
laut K.alvarezii jenis coklat jarak tanam 25 cm sebesar Rp4 997 349 656.43– Rp8
051 957 358.04 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp499 734
965.64–Rp805 195 735.80; jarak tanam 35 cm sebesar Rp5 039 700 077.24–Rp8
120 194 284.80 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp503 970
007.72–Rp812 019 428.48. Sedangkan jarak tanam 45 cm sebesar Rp5 037 019
670.75– Rp8 115 875 491.97 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar
Rp503 701 967.09 – Rp811 587 549.20.
Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya
rumput laut K.alvarezii hijau (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp6 278 244 649.75–
11:41 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
4.5e+009
9e+009.
0
3e+009.
6e+009.
0
450000000
900000000
0
300000000
600000000
1: Prof it coklat 35 cm B… 2: Prof it Coklat 35 cm … 3: PD 35 cm coklat Maks 4: PD 35 cm coklat Min
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
11:42 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
4.5e+009
9e+009.
0
2.5e+009
5e+009.
0
450000000
900000000
0
250000000
500000000
1: Prof it coklat 25 cm B… 2: Prof it RL coklat 25 c… 3: PD 25 cm coklat Maks 4: PD 25 cm coklat Min
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
Rp10 115 793 706.39 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar
Rp627 824 464.98–Rp1 011 579 370.64. Tingkat keuntungan yang diperoleh
untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 35
cm) sebesar Rp6 331 450 112.88–Rp10 201 520 771.70 dengan kontribusi
pendapatan ke daerah sebesar Rp633 145 011.29–Rp1 020 152 077.17.
Sedangkan tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya
rumput laut K.alvarezii hijau (jarak tanam 45 cm) diperoleh sebesar Rp6 328 082
678.51–Rp10 196 095 008.07 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar
Rp632 808 267.85–Rp1 019 609 500.81.
Gambar 53 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm).
Gambar 54 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm)
11:39 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
4.5e+009
9e+009.
0
3e+009.
6e+009.
0
450000000
900000000
0
300000000
600000000
1: Prof it coklat 45 cm B… 2: Prof it Coklat 45 cm … 3: PD 45 cm coklat Maks 4: PD 45 cm coklat Min
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
11:44 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
15000
30000
0
10000
20000
0
350000
700000
0
200000
400000
1: TK1 2: TK2 3: TK RL 1 4: TK RL 2
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
Gambar 55 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontribusi pendapatan ke daerah
Tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya rumput laut
K.alvarezii coklat sebanyak 16 434–26 480 orang atau 394 430–635 524 HOK/th.
Sedangkan tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya rumput
laut K.alvarezii jenis hijau sebanyak 20 647–33 267 orang atau 495 529–798 418
HOK/th.
Gambar 56 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).
11:45 AM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
20000
40000
0
15000
30000
0
400000
800000
0
250000
500000
1: TK3 2: TK4 3: TK RL 3 4: TK RL 4
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
12:49 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
600
900
1200
50
350
650
1: Penurunan KA Maks 2: Penurunan KA Min
1
1
1
1
2
2
2
2
Gambar 57 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).
Skenario 3. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik ke
lingkungan perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu mulai
hari ke-1 sampai akhir pemeliharaan sebesar 504.86 ton. Masukan limbah
antropogenik ini mempengaruhi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten
Bantaeng untuk budidaya rumput laut. Pada skenario ini, luas rumput laut yang
dapat dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal–maksimal) untuk jenis
coklat seluas 1 597.73–2 434.86 ha atau 6 390.92–9 739.45 unit sedangkan untuk
K.alvarezii jenis hijau seluas 2 007.25–3 058.95 ha atau 8 029.01–12 235.81 unit.
Luas rumput laut ini dapat meningkatkan kapasitas asimilasi perairan pesisir
Kabupaten Bantaeng menjadi 1 060.51 ton/hari–1 616.17 ton N/hari.
Gambar 58 Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari).
12:50 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 1
0.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
1650
2050
2450
800
1200
1600
2100
2600
3100
1050
1550
2050
1: DDL RL Coklat BM Maks 2: DDL RL Coklat BM Min 3: DDL RL Hijau Maks 4: DDL RL Hijau Min
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
4
4
4
4
12:50 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
1100
1400
1700
550
850
1150
1: Kapasitas asimilasi maksimal BM 2: Kapasitas asimilasi minimal BM
1
1
1
1
2
2
2
2
Gambar 59 Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal–maksimal) sampai akhir pemeliharaan (45 hari pemeliharaan) pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng
Gambar 60 Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan pada
kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 25 cm sebesar 9 076.54–13 872.97
ton, jarak tanam 35 cm sebesar 10 077.08–15 402.25 ton, dan jarak tanam 45 cm
sebesar 15 599.22–16 200.30 ton. Sedangkan untuk jenis hijau dengan jarak
tanam 25 cm sebesar 11 402.99–17 428.81 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 12
659.99–19 350.07 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 13 315.96–20 352.68 ton.
12:51 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
0
10000
20000
1: LBRL coklat BM Maks 2: LBRL1 coklat BM Maks 3: LBRL2 coklat BM Maks
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
12:52 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
0
5000
10000
0
5500
11000
0
10000
20000
1: LBRL coklat BM Min 2: LBRL1 coklat BM Min 3: LBRL2 coklat BM Min
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
12:52 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
0
10000
20000
0
15000
30000
1: LBRL hijau BM Maks 2: LBRL1 hijau BM Maks 3: LBRL 2 hijau BM Maks
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
Gambar 61 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan
Gambar 62 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan
Gambar 63 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.
12:52 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
0
5000
10000
0
5500
11000
0
10000
20000
1: LBRL coklat BM Min 2: LBRL1 coklat BM Min 3: LBRL2 coklat BM Min
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
Gambar 64 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan
Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya
rumput laut K.alvarezii coklat (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp5 829 953 351–
Rp8 884 561 052.04 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp582 995
335.13–Rp888 456 105.30. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk
pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak tanam 35 cm)
sebesar Rp5 879 359 735.68–Rp8 959 853 943.29 dengan kontribusi pendapatan
ke daerah sebesar Rp587 935 973.57–Rp895 985 394.32. Sedangkan tingkat
keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii
jenis coklat (jarak tanam 45 cm) diperoleh sebesar Rp5 876 232 749.33–
Rp8 955 088 570.43 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar
Rp587 623 274.93–Rp895 508 857.04
Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya
rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp7 324 257 046.80
–Rp11 161 806 103.44 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar
Rp732 425 704.68 – Rp1 116 180 610.34. Tingkat keuntungan yang diperoleh
untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 35
cm) sebesar Rp7 386 327 021.77–Rp11 256 397 680.59 dengan kontribusi
pendapatan ke daerah sebesar Rp738 632 702.18–Rp1 125 639 768.06.
Sedangkan tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya
rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 45 cm) diperoleh sebesar
Rp7 382 398 542.34–Rp11 250 410 871.91 dengan kontribusi pendapatan ke
daerah sebesar Rp738 239 854.23–Rp1 125 041 087.19
12:54 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
4.5e+009
9e+009.
0
3e+009.
6e+009.
0
450000000
900000000
0
300000000
600000000
1: Prof it coklat 25 cm B… 2: Prof it RL coklat 25 c… 3: PD 25 cm coklat Maks 4: PD 25 cm coklat Min
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
12:54 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
4.5e+009
9e+009.
0
3e+009.
6e+009.
0
450000000
900000000
0
300000000
600000000
1: Prof it coklat 45 cm B… 2: Prof it Coklat 45 cm … 3: PD 45 cm coklat Maks 4: PD 45 cm coklat Min
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
12:54 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
4.5e+009
9e+009.
0
3e+009.
6e+009.
0
450000000
900000000
0
300000000
600000000
1: Prof it coklat 35 cm B… 2: Prof it Coklat 35 cm … 3: PD 35 cm coklat Maks 4: PD 35 cm coklat Min
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
Gambar 65 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min - maks selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm).
Gambar 66 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi min- maks selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm).
Gambar 67 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal - maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontribusi pendapatan ke daerah
12:54 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
15000
30000
0
10000
20000
0
400000
800000
0
250000
500000
1: TK1 2: TK2 3: TK RL 1 4: TK RL 2
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
12:54 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
20000
40000
0
15000
30000
0
450000
900000
0
300000
600000
1: TK3 2: TK4 3: TK RL 3 4: TK RL 4
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
Tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya rumput laut
K.alvarezii jenis coklat sebanyak 19 172–29 218 orang atau 460 146–701 240
HOK/th. Sedangkan tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya
rumput laut K.alvarezii jenis hijau sebanyak 24 087–36 707 orang atau 578 088–
880 978 HOK/th.
Gambar 68 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).
Gambar 69 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).
3:03 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
850
1000
1150
300
450
600
1: Penurunan KA Maks 2: Penurunan KA Min
1
1
1
1
2
2
2
2
3:04 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 1
0.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
1500
2500
3500
500
1500
2500
2000
3000
4000
1000
2000
3000
1: DDL RL Coklat BM Maks 2: DDL RL Coklat BM Min 3: DDL RL Hijau Maks 4: DDL RL Hijau Min
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
4
4
4
4
Skenario 4. Hasil simulasi menunjukkan, masukan limbah antropogenik ke
lingkungan perairan pesisir Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Bissapu mulai
hari ke-1 sampai akhir pemeliharaan sebesar 757.28 ton. Masukan limbah
antropogenik ini mempengaruhi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten
Bantaeng untuk budidaya rumput laut. Pada skenario ini, luas rumput laut yang
dapat dikembangkan pada batasan baku mutu N (minimal – maksimal) untuk
K.alvarezii jenis coklat seluas 1978.03 ha–2815.16 ha atau 7912.12 unit–
11 260.65 unit sedangkan untuk jenis hijau seluas 2485.03 ha–3536.73 ha atau
9940.11 unit–14 146.92 unit. Luas rumput laut ini dapat meningkatkan kapasitas
asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng menjadi 1312.94 ton/hari–
1868.59 ton N/hari.
Gambar 70 Penurunan kapasitas asimilasi akibat masukan limbah antropogenik selama masa pemeliharaan (45 hari).
Gambar 71 Luas/unit rumput laut jenis coklat dan hijau yang dapat diusahakan (minimal–maksimal) sampai akhir pemeliharaan pada kondisi kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Bantaeng.
3:05 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
1100
1500
1900
550
950
1350
1: Kapasitas asimilasi maksimal BM 2: Kapasitas asimilasi minimal BM
1
1
1
1
2
2
2
2
3:06 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
0
10000
20000
1: LBRL coklat BM Maks 2: LBRL1 coklat BM Maks 3: LBRL2 coklat BM Maks
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
.
Gambar 72 Peningkatan kapasitas asimilasi perairan pesisir akibat pengembangan budidaya rumput laut pada kondisi daya dukung di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
Produksi biomassa rumput laut K.alvarezii jenis coklat yang dihasilkan
pada kondisi kapasitas asimilasi untuk jarak tanam 25 cm sebesar 11 216.59–16
013.12 ton, jarak tanam 35 cm sebesar 12 45304–17 778.21 ton, dan jarak tanam
45 cm sebesar 13 098.29–18 699.37 ton. Sedangkan untuk K.alvarezii jenis hijau
dengan jarak tanam 25 cm sebesar 14 091.57–20 117.39 ton, jarak tanam 35 cm
sebesar 15 644.94–22 335.02 ton, dan jarak tanam 45 cm sebesar 16 455.57–23
492.29 ton.
Gambar 73 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.
3:07 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
0
10000
200001: LBRL coklat BM Min 2: LBRL1 coklat BM Min 3: LBRL2 coklat BM Min
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
3:07 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
0
10000
200001: LBRL hijau BM Min 2: LBRL 1hijau BM Min 3: LBRL 2 hijau BM Min
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
3:07 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
0
15000
300001: LBRL hijau BM Maks 2: LBRL1 hijau BM Maks 3: LBRL 2 hijau BM Maks
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
Gambar 74 Produksi biomassa rumput laut jenis coklat berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.
Gambar 75 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam (25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi maksimal selama pemeliharaan.
Gambar 76 Produksi biomassa rumput laut jenis hijau berdasarkan jarak tanam ( 25 cm, 35 cm, dan 45 cm) pada kondisi kapasitas asimilasi minimal selama pemeliharaan.
3:07 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
1e+010.
2e+010.
0
4e+009.
8e+009.
0
1e+009.
2e+009.
0
400000000
800000000
1: Prof it coklat 25 cm B… 2: Prof it RL coklat 25 c… 3: PD 25 cm coklat Maks 4: PD 25 cm coklat Min
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya
rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp7 217 626
176.22–Rp10 272 233 877.83 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar
Rp721 762 617.62–Rp1 027 223 387.78. Tingkat keuntungan yang diperoleh
untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis coklat (jarak tanam
35 cm) sebesar Rp7 278 792 499.74–Rp10 359 286 707.30 dengan kontribusi
pendapatan ke daerah sebesar Rp727 879 249.97–Rp1 035 928 670.73.
Sedangkan tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya
rumput laut K.alvarezii coklat (jarak tanam 45 cm) sebesar Rp7 274 921 213.44 –
Rp10 353 777 034.55 dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar
Rp727 492 121.34–Rp1 035 377 703.45
Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan budidaya
rumput laut K.alvarezii hijau (jarak tanam 25 cm) sebesar Rp9 067 611 041.88
dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp906 761 104.19–
Rp1 290 516 009.85. Tingkat keuntungan yang diperoleh untuk pengembangan
budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 35 cm) sebesar
Rp9 144 455 203.25–Rp13 014 525 862.06 dengan kontribusi pendapatan ke
daerah sebesar Rp914 445 520.32–Rp1 301 452 586.21. Sedangkan tingkat
keuntungan yang diperoleh untuk K.alvarezii jenis hijau (jarak tanam 45 cm)
diperoleh sebesar Rp9 139 591 648.73 –Rp13 007 603 978.30 dengan kontribusi
pendapatan ke daerah sebesar Rp913 959 164.87 – Rp1 300 760 397.83
Gambar 77 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 25 cm).
3:07 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
1e+010.
2e+010.
0
4e+009.
8e+009.
0
1e+009.
2e+009.
0
400000000
800000000
1: Prof it coklat 45 cm B… 2: Prof it Coklat 45 cm … 3: PD 45 cm coklat Maks 4: PD 45 cm coklat Min
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
3:07 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
1e+010.
2e+010.
0
4e+009.
8e+009.
0
1e+009.
2e+009.
0
400000000
800000000
1: Prof it coklat 35 cm B… 2: Prof it Coklat 35 cm … 3: PD 35 cm coklat Maks 4: PD 35 cm coklat Min
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
Gambar 78 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 35 cm).
Gambar 79 Keuntungan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi minimal-maksimal selama pemeliharaan (jarak tanam 45 cm) dan kontribusi pendapatan ke daerah.
Tingkat serapan tenaga kerja untuk pengembangan budidaya rumput laut
K.alvarezii jenis coklat sebanyak 23 736–33 781 orang atau 569 672–
810 766.44 HOK/th. Sedangkan tingkat serapan tenaga kerja untuk
pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii jenis hijau sebanyak 29 820–
42 440 orang atau 715 688–1 018 577 HOK/th.
3:07 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
20000
40000
0
15000
30000
0
450000
900000
0
300000
600000
1: TK1 2: TK2 3: TK RL 1 4: TK RL 2
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
3:07 PM Fri, Aug 20, 2010
Untitled
Page 10.00 14.00 28.00 42.00 56.00
Day s
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
25000
50000
0
15000
30000
0
1000000
2000000
0
400000
800000
1: TK3 2: TK4 3: TK RL 3 4: TK RL 4
1 1 1 12 2 2 23 3 3 34 4 4 4
Gambar 80 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis coklat pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).
Gambar 81 Tingkat penyerapan tenaga kerja pengembangan budidaya rumput laut jenis hijau pada kondisi kapasitas asimilasi perairan (minimal – maksimal).
Hasil simulasi ke 4 skenario memperlihatkan peningkatan limbah
antropogenik yang masuk ke dalam kawasan budidaya rumput laut belum
berpengaruh negatif terhadap budidaya rumput laut. Hal ini dapat dilihat dari
peningkatan produksi biomassa secara linear sesuai dengan semakin
meningkatnya limbah antropogenik. Ini bisa diasumsikan bahwa rumput laut
masih mampu menyerap limbah yang masuk dan memanfaatkannya sebagai
sumber nutrient. Sebab itu, sampai batas tertentu rumput laut mampu
meningkatkan kapasitas asimilasi perairan, sehingga skenario ke 4 merupakan
kondisi yang paling optimal.
VII. KEBERLANJUTAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT
Analisis keberlanjutan kegiatan rumput laut dilakukan dengan pendekatan
multidimensional scaling (MDS) yang disebut Rap-RL. Rap-RL ini merupakan
pengembangan dari metode Rapfish yang digunakan untuk menilai status
keberlanjutan perikanan tangkap (Pitcher dan Preikshot 2001). Hasil analisis
keberlanjutan ini dinyatakan dalam indeks keberlanjutan kegiatan budidaya
rumput laut (ikb-RL), dimana indeks keberlanjutan ini mencerminkan status
keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut yang sedang diteliti berdasarkan
kondisi yang ada (existing). Nilai indeks berkelanjutan pada setiap dimensi
keberlanjutan, ditentukan dengan cara memberikan nilai skoring pada masing-
masing dimensi yang merupakan hasil dari pendapat pakar. Nilai skoring indeks
berkelanjutan pada setiap dimensi berkisar antara 0 -100% dengan kriteria tidak
berkelanjutan (buruk) jika nilai indeks terletak antara 0–24.99%, kurang
berkelanjutan jika nilai indeks terletak antara 25–49.99, cukup berkelanjutan jika
nilai indeks terletak antara 50–74.99 dan berkelanjutan (baik) jika nilai indeks
terletak antara 75–100%. Penelitian optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut
di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng, indeks keberlanjutannya ditetapkan dalam
lima dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya,
dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan dengan atribut dan nilai skoring hasil
pendapat pakar.
7.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Rap-RL (MDS)
terhadap sepuluh atribut dimensi ekologi diperoleh nilai indeks keberlanjutan
untuk dimensi ekologi sebesar 67.95% dengan status cukup berkelanjutan
(Gambar 82). Nilai indeks keberlanjutan ini menunjukkan bahwa apabila
pengelolaan dan pemanfaatan tetap seperti saat ini maka kegiatan budidaya
rumput laut, dilihat dari aspek ekologinya akan tetap bisa berkelanjutan tanpa
mendegradasi kualitas kawasan perairan. Karena itu, atribut-atribut yang
mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan aspek ekologi yang berdampak positif
tetap harus dijaga atau bahkan ditingkatkan dan atribut yang berdampak negatif
ditekan.
Gambar 82 Indeks keberlanjutan dimensi ekologi kegiatan budidaya rumput laut
di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi ekologi terdiri dari sepuluh atribut, yakni: (1)
kecepatan arus; (2) substrat dasar; (3) salinitas; (4) keterlindungan; (5) Ketinggian
gelombang; (6) kecerahan; (7) kedalaman; (8) mutu bibit; (9) ketersediaan bibit
dan (10) ketersediaan bibit bermutu baik. Atribut-atribut yang sensitif
memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi dapat
diketahui dengan melakukan analisis Leverage. Berdasarkan hasi analisis
Leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan
dimensi ekologi yaitu (1) keterlindungan; (2) kecerahan dan (3) mutu bibit. Hasil
analisis Leverage (Gambar 83).
Gambar 83 Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam
bentuk nilai root mean square (RMS).
Berdasarkan hasil survey, wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng merupakan
perairan terbuka yang berhadapan langsung dengan Laut Flores tanpa adanya
pelindung seperti pulau kecil atau gusung. Hasil analisis Leverage
mengindikasikan bahwa keterlindungan adalah atribut yang paling sensitif untuk
memberikan pengaruh pada nilai indeks keberlanjutan apabila dilakukan
treatment. Akan tetapi sampai saat ini masih belum ditemukan teknologi yang
bisa berfungsi sebagai pelindung seperti pulau atau gusung. Adapun solusi dari
masalah ini adalah dengan menjadwalkan waktu tanam, yakni melakukan
penanaman pada musim timur dan peralihan yang kondisi kecepatan arus dan
ketinggian gelombangnya masih dalam batas-batas yang sesuai untuk
pertumbuhan rumput laut.
Atribut selanjutnya yang sensitif untuk mengubah nilai indeks
keberlanjutan dimensi ekologi adalah kecerahan. Secara umum kecerahan pada
lokasi penelitian tinggi, hanya ada beberapa spot yang mengalami sedikit
kekeruhan. Namun ternyata hal ini menjadi atribut yang sensitif. Tingkat
kecerahan yang rendah berada pada posisi sekitar pantai yang kedalaman
perairannya rendah sehingga pengadukan terjadi sampai ke dasar perairan. Atribut
mutu bibit bisa dipahami kalau menjadi atribut yang perlu dibenahi sebab sampai
saat ini belum ada kegiatan pembibitan yang mampu menyiapkan bibit yang
bermutu baik. Masyarakat hanya menggunakan bibit yang disisihkan dari hasil
panen dan digunakan berulang-ulang. Pada hal Mubarak (1978) memperkirakan
bahwa paling lama 6 bulan bibit sudah harus diganti dengan bibit yang baru sebab
menggunakan bibit lebih dari 6 bulan produksi cenderung menurun. Salah satu
faktor produksi yang menentukan keberhasilan suatu kegiatan budidaya adalah
penggunaan bibit yang bermutu baik. Kalau nelayan rumput laut atau pihak
swasta belum mampu membuat pembibitan untuk menyiapkan bibit yang
bermutu, seharusnya pihak pemerintahlah dalam hal ini Dinas Perikanan dan
Kalautan Kabupaten Bantaeng yang menanganinya.
Upaya perbaikan tidak hanya dilakukan terhadap atribut yang sensitif
memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi akan
tetapi juga diupayakan mempertahankan atau meningkatkan atribut-atribut yang
berdampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan dimensi
ekologi kegiatan budidaya rumput laut untuk lebih meningkatkan status
keberlanjutan.
7.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi
Hasil analisis Rap-RL terhadap enam atribut dari dimensi ekonomi
memberikan nilai indeks keberlanjutan sebesar 67.95% dengan status cukup
berkelanjutan (Gambar 84). Posisi titik nilai indeks keberlanjutan ekonomi berada
pada kwadran positif, hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan yang dilakukan
selama ini cenderung ke arah yang baik. atribut-atribut yang berdampak negatif
terhadap nilai indeks harus lebih diperbaiki dan atribut-atribut yang berdampak
positif tetap dipertahankan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan nilai
indeks keberlanjutan tersebut maka. Atribut yang diperkirakan sensitif
memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi ekonomi adalah
(1) kelayakan kegiatan budidaya rumput laut; (2) keuntungan kegiatan budidaya
rumput laut; (3) kontribusi terhadap PAD; (4) pasar rumput laut; (5) rantai
pemasaran; dan (6) jumlah pasar.
Gambar 84 Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi kegiatan budidaya rumput
laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
Besarnya nilai indeks keberlanjutan ekonomi dipengaruhi oleh atribut-
atribut keberlanjutan seperti telah disebutkan di atas. Atribut-atribut tersebut
memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks
keberlanjutan. Analisis Leverage dilakukan untuk memperoleh atribut-atribut
yang lebih sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan
ekonomi. Adapun hasil dari analisis Leverage yang dilakukan diperoleh tiga
atribut yang paling sensitif mempengaruhi dimensi ekonomi, yaitu (1) kontribusi
terhadap PAD; (2) pasar rumput laut; dan (3) rantai pemasaran. Hasil analisis
Leverage ditampilkan pada Gambar 85.
Gambar 85 Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan
dalam bentuk nilai Root Mean Square (RMS).
Kontribusi budidaya rumput laut terhadap pendapatan asli daearah (PAD)
merupakan atribut yang paling sensitif. Melihat kondisi di lapangan, hal ini bisa
difahami. Sampai saat ini, kontribusi kegiatan budidaya rumput laut terhadap
PAD Kabupaten Bantaeng masih rendah. Kontribusi langsung kegiatan budidaya
rumput laut hanya berupa retribusi lahan sebesar Rp50 000/ha/tahun dan retribusi
angkutan produksi rumput laut sebesar Rp20 000/truk dan satu truk berisi 10-12
ton rumput laut kering. Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang bisa
membantu pengembangan kegiatan budiaya rumput laut untuk meningkatkan
kontribusi terhadap PAD. Sebaiknya rumput laut diolah dulu menjadi bahan
setengah jadi atau bahan jadi sebelum dijual sehingga ada nilai tambah bagi
Pemda Kabupaten Bantaeng. Jika dilihat pada aspek pasar, komoditas ini tidak
perlu dipasarkan jauh-jauh karena pembeli siap mendatangi nelayan rumput laut
yang sudah panen setiap waktu. Masalahnya adalah cara pembeli atau pedagang
pengumpul mengendalikan harga komoditi. Nelayan rumput laut yang meminjam
uang pada pedagang pengumpul harus menjual rumput lautnya pada pedagang
tersebut. Harga penjualan ditentukan oleh pedagang pengumpul dan umumnya
dengan harga yang lebih rendah dibandingkan jika nelayan menjual ke pedagang
lain. Nelayan rumput laut tidak memiliki posisi tawar sebab selain mereka telah
berhutang mereka juga tidak mempunyai akses terhadap informasi harga
komoditas.
Rantai pemasaran rumput laut masih tergolong panjang sehingga
keuntungan yang ada harus dibagi ke lebih banyak pihak. Untuk sampai ke pabrik
pengolahan, rumput laut mengalami beberapa kali pindah tangan baru kemudian
sampai di tangan eksportir atau pabrik pengolahan di Kabupaten Takalar atau
Makassar. Sebagai akibatnya nelayanlah menjadi pihak yang paling sedikit
menikmati pembagian keuntungan tersebut.
7.3 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial-Budaya
Dimensi sosial budaya yang telah dianalisis dengan Rap-RL memberikan
nilai indeks keberlanjutan sebesar 56.47% dengan status cukup berkelanjutan
(Gambar 86). Posisi titik nilai indeks yang berada pada sumbu x, merupakan
indikasi bahwa pengelolaan yang dilakukan sekarang cenderung ke arah yang
kurang baik walaupun masih dalam kategori cukup berkelanjutan. Karena itu
perlu upaya pengelolaan yang lebih baik untuk memperbaiki atribut-atribut yang
berpengaruh negatif terhadap nilai indeks tersebut. Sedangkan artribut yang
berpengaruh positif terhadap nilai indeks keberlanjutan harus dipertahankan atau
bahkan lebih ditingkatkan.
Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan dimensi social-budaya, adalah: (1) tingkat pendidikan; (2) jumlah
rumah tangga nelayan rumput laut; (3) sistem sosial dalam pengelolaan budidaya
rumput laut; (4) kemandirian nelayan; (5) partisipasi keluarga dalam pengelolaan
budidaya rumput laut; (6) alternatif kegiatan selain budidaya rumput laut; (7)
tingkat pemberdayaan nelayan rumput laut. Berdasarkan hasil analisis Leverage
diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi
sosial-budaya, yakni: (1) sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut;
(2) kemandirian nelayan; dan (3) jumlah rumah tangga nelayan rumput laut.
Atribut-atribut tersebut perlu dikelola dengan baik agar nilai indeks keberlanjutan
dimensi sosial-budaya meningkat pada masa yang akan datang.
Gambar 86 Indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya kegiatan budidaya
rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng
Pengelolaan atribut dilakukan dengan cara meningkatkan peran setiap
atribut yang memberikan dampak positif dan menekan setiap atribut yang yang
dapat berdampak negatif terhadap indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya
dalam optimasi pengelolaan sumberdaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten
Bantaeng. Hasil analisis Leverage untuk dimensi sosial-budaya, dapat dilihat pada
Gambar 87.
Sistem sosial-budaya dalam pengelolaan sumberdaya rumput laut di
Kabupaten Bantaeng umumnya masih mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia, yakni gotong royong. Sebagian besar pekerjaan dilakukan masih secara
gotong royong. Kecuali pada jenis kegiatan tertentu dalam kegiatan budidaya,
seperti pengikatan bibit pada bentangan.
Gambar 87 Peran masing-masing atribut dimensi sosial-budaya yang dinyatakan
dalam bentuk nilai root mean square (RMS).
Bagi masyarakat pesisir, tidak terlalu banyak pilihan pekerjaan yang bisa
diperoleh untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecuali jika nelayan rumput laut
mencari pekerjaan diluar wilayahnya sehingga tingkat ketergantungan terhadap
kegiatan budidaya rumput laut cukup tinggi. Saat ini, pekerjaan yang paling
memberikan harapan perbaikan tingkat kesejahteraan bagi masyarakat pesisir
adalah kegiatan budidaya rumput laut. Kegiatan budidaya rumput laut mempunyai
kelebihan-kelebihan yang tidak dipunyai oleh mata pencaharian lain antara lain,
modal relatif kecil, teknologi yang digunakan sederhana dan pasarnya selalu
tersedia. Karena itu jumlah rumah tangga nelayan rumput laut setiap tahun
semakin bartambah banyak. Hasil penelitian menunjukkan populasi RTP nelayan
rumput laut lebih 75% dari komunitas penduduk wilayah pesisir. Pertambahan
RTP nelayan rumput laut ini harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan
masalah dikemudian hari.
7.4 Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi
Hasil analisis Rap-RL dari enam atribut dimensi teknologi memberikan
nilai indeks keberlanjutan sebesar 32.42% dengan status kurang berkelanjutan
(Gambar 88). Nilai indeks keberlanjutan yang rendah ini menunjukkan perlunya
segera dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut yang berpengaruh
negatif terhadap nilai indeks. Tanpa perbaikan yang signifikan maka kegiatan
budidaya rumput laut di masa yang akan datang akan mengalami stagnasi dalam
upaya memperbaiki tingkat kesejahteraan nelayan rumput laut.
Gambar 88 Indeks keberlanjutan dimensi teknologi kegiatan budidaya rumput
laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan dimensi teknologi, adalah (1) Tingkat penguasaan teknologi
budidaya RL; (2) Ketersediaan teknologi informasi RL; (3) Ketersediaan industri
pengolahan hasil RL; (4) Standarisasi mutu produk RL; (5) Standarisasi mutu
produk RL; dan (6) Dukungan sarana dan prasarana. Analisis Leverage dilakukan
untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai
indeks keberlanjutan dimensi teknologi. Hasilnya diperoleh tiga atribut yang
paling sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan sebagai
berikut: (1) Dukungan sarana dan prasarana; (2) Ketersediaan teknologi informasi
RL; dan (3) Ketersediaan industri pengolahan hasil RL.
Kondisi sarana dan prasarana untuk menunjang perkembangan kegiatan
budidaya rumput laut masih minim di Kabupaten Bantaeng. Namun satu
keuntungan bagi wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng karena dilewati oleh sarana
jalan antar kabupaten dan provinsi. Tetapi parasarana jalan ini hanya terbatas pada
jalanan poros, tidak menjangkau sampai ke jalan-jalan desa sehingga tetap
diperlukan prasarana jalan-jalan yang menjangkau sampai ke sentra produksi
rumput laut untuk mempermudah transportasi produksi.
Ketersediaan teknologi informasi khusus untuk kegiatan budidaya rumput
laut, sampai saat ini belum tersedia. Nelayan rumput laut melakukan kegiatannya
berdasarkan naluri, kebiasaan dan informasi sesama nelayan rumput laut yang
belum tentu benar. Informasi tentang harga pasar terhadap komoditas yang
mereka hasilkan tidak ada akibatnya, harga sangat ditentukan oleh pembeli.
Nelayan hanya menerima harga tersebut tanpa berdaya untuk menegosiasikannya.
Melihat perkembangan kegiatan budidaya rumput laut yang pesat dan
produksi yang dihasilkan cukup lumayan maka pemerintah seharusnya
membangun pabrik pengolahan rumput laut. Dengan adanya pabrik pengolahan
rumput laut di Kabupaten Bantaeng maka akan ada nilai tambah untuk Pemerintah
Daerah dan masyarakat di wilayah pesisir. Bagi nelayan rumput laut, harga
komoditasnya bisa lebih tinggi dihargai oleh pedagang karena tidak lagi
diperhitungkan ongkos transportasi. Di samping itu, produksi rumput laut dari
kabupaten tetangga seperti dari Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Selayar dan
Kabupaten Jeneponto, yang juga belum memiliki sarana pengolahan rumput laut,
dan selama ini mengolahnya di Kabupaten Takalar atau di makassar bisa beralih
mengolahnya di Kabupaten Bantaeng.
Tingkat penguasaan nelayan rumput laut terhadap teknologi kegiatan
budidaya rumput laut cukup memadai di Kabupaten Bantaeng. Menyiasati kondisi
perairan yang tidak kondusif mereka telah memiliki pengetahuan sendiri,
misalnya pada saat curah hujan tinggi sehingga kemungkinan salinitas akan turun
ke level yang tidak aman bagi budidaya rumput laut, mereka akan mengisi air
pada botol-botol pelampung sehingga bentangan yang berisi rumput laut
tenggelam pada kedalaman yang tidak dipengaruhi air tawar (air hujan).
Pengalaman mereka menunjukkan bahwa kedalaman air tawar berkisar 10-20 cm
pada bagian permukaan. Mereka bisa membedakan antara lapisan air tawar
dengan lapisan air laut dari perbedaan suhu kedua lapisan tersebut, suhu air tawar
lebih rendah bila dibandingkan dengan suhu air asin.
Standarisasi mutu rumput laut belum berjalan di Kabupaten Bantaeng.
Nelayan rumput laut tidak mengetahui dengan pasti perbedaan penampilan fisik
rumput laut yang bermutu baik atau yang bermutu jelek tetapi informasi yang
mereka peroleh dari pemerintah mereka tahu bahwa rumput laut yang dipanen
pada masa pemeliharaan 45 hari lebih bagus mutunya dibandingkan dengan yang
dipanen pada masa pemeliharaan 40 hari atau kurang. Masalahnya bagaimanapun
kondisi/kualitas rumput laut yang mereka hasilkan pedagang pengumpul tetap
membelinya dengan harga yang sama, rumput laut yang dipanen tepat waktu atau
45 hari masa pemeliharaan dengan yang dipanen 40 hari masa pemeliharaan atau
bahkan kurang dari itu harganya tetap sama demikian juga dengan rumput laut
yang dijemur menggunakan para-para sehingga pengeringannya lebih baik dan
lebih bersih dibandingkan dengan yang dijemur di atas pasir begitu saja tanpa
alas, harganya juga tetap sama. Karena itu nelayan rumput laut akan memanen
lebih awal apalagi kalau dipicu dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga
sehari-hari yang mendesak. Akibatnya nelayan rumput laut tidak terlalu
mementingkan masa pemeliharaan dan cara penjemuran sehingga mutu produk
yang dihasilkanpun bermutu rendah.
Fenomena ini terjadi sebab nelayan rumput laut masih fokus pada rumput
laut sebagai komoditas belum melihat rumput laut sebagai bahan baku industri
sehingga yang dipentingkan adalah bobot produksi bukan kualitasnya. Pada hal
untuk prospek ke depan, budidaya rumput laut harus lebih berorientasi kepada
kualitas karagenan yang dihasilkan untuk bahan baku industri agar bisa bersaing
dengan produksi Filipina dan China. Pada saat ini karagenan produksi Filipina
dan China yang dijual di Indonesia harganya lebih murah dibandingkan dengan
karagenan produksi Indonesia, padahal bahan baku rumput lautnya berasal dari
Indonesia. Hal ini bisa terjadi sebab kegiatan rumput laut dari hulu sampai ke hilir
di Filipina dan China disuport secara total oleh semua lini dan sektor mulai dari
unsur pemerintah dari berbagai departemen yang ada kaitannya dengan segala
proses rumput laut menjadi karagenan sampai kepada pemasaran, perbankan dan
swasta. Sehingga produksi karagenan dan produksi hilir rumput laut lainnya
harganya bisa lebih murah. Sementara di Indonesia rumput laut hanya mendapat
perhatian khusus dari kemeterian Dinas Kelautan dan Perikanan. Sektor lain
seperti Kementerian perindustrian dan perdagangan, Perhubungan, Perbankan,
swasta dan stakeholders lain saat ini belum betul-betul terlibat secara intensif.
Apabila atribut-atribut tersebut dikelola dengan baik maka nilai indeks
keberlanjutan bisa lebih meningkat dari status kurang berkelanjutan menjadi status
berkelanjutan. Pengelolaan atribut dilakukan dengan cara meningkatkan peran
setiap atribut yang memberikan dampak positif dan menekan setiap atribut yang
memberikan dampak negatif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi
teknologi. Hasil analisis Leverage untuk dimensi teknologi, dapat dilihat pada
Gambar 89.
Gambar 89 Peran masing-masing atribut dimensi teknologi yang dinyatakan
dalam bentuk nilai root mean square (RMS).
7.5 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan
Dimensi kelembagaan dengan tujuh atribut yang telah dianalisis Rap_RL
menghasilkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 39.84% dengan status kurang
berkelanjutan (Gambar 90). Walaupun posisi titik nilai indeks keberlanjutan
berada pada kwadran positif yang berarti kecenderungan pengelolaan sekarang ke
arah baik, akan tetapi nilai indeks yang rendah yang berada pada status kurang
berkelanjutan mengindikasikan adanya atribut-atribut yang perlu perbaikan
dengan segera. Apabila hal ini tidak dilakukan maka kegiatan budidaya rumput
laut yang eksis saat ini bisa mengalami penurunan nilai manfaat.
Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan dimensi kelembagaan, adalah (1) Ketersediaan lembaga kelompok
tani RL; (2) Ketersediaan zonasi peruntukan lahan wilayah pesisir; (3)
Ketersediaan Perda; (4) Ketersediaan aturan adat dan agama/kepercayaan; (5)
Adanya tokoh panutan yang disegani; (6) Ketersediaa lembaga keuangan/sosial;
(7) Keberadaan Balai Penyuluh pertanian untuk rumput laut.
Gambar 90 Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan kegiatan budidaya rumput
laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
Analisis Leverage dilakukan untuk melihat atribut-atribut yang sensitif
memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan.
Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh tiga atribut paling sensitif diantara
atribut lainnya, yakni (1) Ketersediaan Perda; (2) Ketersediaan lembaga kelompok
tani; dan (3) Ketersediaan lembaga ekonomi/sosial (Gambar 91).
Secara khusus, belum ada Perda di Kabupaten Bantaeng yang mengatur
kegiatan budidaya rumput laut padahal kegiatan budidaya rumput laut telah
berkembang dengan pesat. Sehingga perlu aturan-aturan agar ke depan kegiatan
budidaya rumput laut bisa berkembang dan berkelanjutan tanpa menimbulkan
konflik yang bisa merugikan bukan hanya bagi nelayan rumput laut itu sendiri tapi
juga masyarakat umum dan pemerintahan secara keseluruhan. Perda yang sudah
ada hanya mengatur pemungutan retribusi. Belum ada Perda yang mengatur
zonasi peruntukan perairan pesisir agar semua stakeholders bisa mengakses
perairan tersebut secara adil dan bisa berkelanjutan, khususnya dalam pengelolaan
kegiatan budidaya rumput laut. Tata letak unit budidaya rumput laut belum
teratur, jalur-jalur untuk lalu lalang perahu nelayan dan untuk para nelayan
rumput laut sendiri serta stakeholders lainya belum ditata dengan baik. Sehingga
kadang-kadang menyulitkan bagi stakeholders lain untuk memanfaatkan
sumberdaya wilayah pesisir. Untuk mengeliminir konflik yang bisa terjadi,
terdapat aturan adat yang mengatur tentang ganti rugi bagi nelayan rumput laut
yang rusak lahan maupun rumput lautnya karena kelalaian pihak lain, misalnya
tertabrak perahu nelayan atau perahu sesama nelayan rumput laut. Ganti rugi
disesuaikan dengan nilai kerusakan yang disepakati bersama diantara mereka.
Namun aturan lokal ini belum cukup memadai, dibutuhkan Perda yang lebih
mengikat dan komprehensif untuk mengatasi masalah-masalah yang mungkin
terjadi pada masa yang akan datang.
Gambar 91 Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan
dalam bentuk nilai root mean square (RMS).
7.6 Status Keberlanjutan Multidimensi
Perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terutama
terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan
perlu ditingkatkan agar nilai indeks ini dimasa yang akan datang terus meningkat
sampai mencapai status berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan ke dua dimensi
tersebut berada pada status kurang berkelanjutan. Bukan hanya nilai indeks
keberlanjutan dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan yang perlu diperbaiki
akan tetapi nilai indeks keberlanjutan tiga dimensi yang lain juga masih bisa
ditingkatkan sehingga statusnya berubah dari cukup berkelanjutan menjadi
berkelanjutan. Adapun nilai indeks lima dimensi keberlanjutan hasil analisis Rap-
RL seperti disajikan pada Gambar 92, di bawah ini.
Gambar 92 Diagram layang-layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan dari
lima dimensi kegiatan budidaya rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
Hasil analisis Rap-RL multidimensi keberlanjutan kegiatan budidaya
rumput laut di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng berdasarkan kondisi yang ada,
diperoleh nilai 54.11 % yang berarti termasuk kedalam status cukup
berkelanjutan. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian 36 atribut dari 5 dimensi
yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi dan kelembagaan. Posisi
titik nilai indeks keberlanjutan tersebut berada pada kwadran positif yang berarti
pengelolaan berjalan ke arah yang baik. Nilai indeks keberlanjutan tersebut
disajikan pada Gambar 93. Nilai indeks keberlanjutan sudah cukup bagus namun
tetap harus ada upaya untuk memperbaiki atribut-atribut yang berdampak negatif
terhadap nilai indeks keberlanjutan serta mempertahankan bahkan meningkatkan
atribut-atribut yang selama ini telah berdampak positif terhadap nilai indeks
keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut.
Gambar 93 Indeks keberlanjutan multidimensi kegiatan budidaya rumput laut di
wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng.
Atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks
keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil analisis Leverage dari kelima
dimensi sebanyak 16 atribut (Gambar 94). Perbaikan pada atribut-atribut tersebut
perlu dilakukan untuk meningkatkan status keberlanjutan kegiatan budidaya
rumput laut. Atribut yang berdampak positif terhadap peningkatan nilai indeks
keberlanjutan ditingkatkan kapasitasnya dan sebaliknya menurunkan atau
menekan kapasitas atribut yang berdampak negatif terhadap nilai indeks
keberlanjutan.
Hasil analisis Monte Carlo pada taraf kepercayaan 95 % menunjukkan nilai
indeks keberlanjutan pengelolaan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng
tidak banyak berbeda dengan hasil analisis Rap-RL. Hal ini berarti bahwa
kesalahan analisis dapat diperkecil dalam hal skoring setiap atribut, variasi
pemberian skoring karena perbedaan opini relatif kecil, proses analisis data yang
dilakukan secara berulang-ulang stabil, dan kesalahan dalam memasukka data dan
data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil
analisis MDS dan Monte Carlo disajikan pada Tabel 23.
Gambar 94 Peran masing-masing atribut multi-dimensi yang dinyatakan dalam
bentuk nilai root mean square (RMS).
Tabel 23 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis MDS dan Monte Carlo
Dimensi keberlanjutan Nilai indeks keberlanjutan (%) MDS Monte Carlo perbedaan
Ekologi Ekonomi Sosial-budaya Teknologi Kelembagaan Multi-Dimensi
67.94 67.54 56.47 32.41 39.62 54.11
65.85 65.83 56.35 31.20 39.13 53.43
2.09 1.71 0.12 1.21 0.49 0.68
Hasil analisis Rap-RL menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji
terhadap status keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut cukup akurat. Ini
terlihat dari nilai stress yang berkisar antara 12-15 % dan nilai koefisien
determinasi (R²) berkisar antara 0.91-0.95. Hasil analisis cukup memadai apabila
nilai stress lebih kecil dari 0.25 (25 %) dan nilai R² mendekati nilai 1.0, (Fisheries
1999), (Tabel 24).
Tabel 24 Hasil analisis Rap-RL untuk nilai stress dan Koefisin determinasi (R²) Parameter Dimensi keberlanjutan
A B C D E F Stress R² Iterasi
0.14 0.92
3
0.14 0.92
3
0.15 0.91
3
0.15 0.94
2
0,15 0.94
2
0,12 0.95
2
VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT
Kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten
Bantaeng. Indikasinya dapat dilihat dari hamparan budidaya rumput laut yang telah
memenuhi sepanjang wilayah laut pesisir sejauh 3-5 km ke arah laut dan
produksinyapun cenderung terus meningkat setiap tahun. Kesesuaian lahan
merupakan hal penting dan pertama yang harus diperhatikan sebelum melakukan
budidaya rumput laut. Kesuksesan usaha budidaya sangat tergantung dari faktor
tersebut dan beberapa faktor lain. Bagaimanapun bermutunya bibit yang digunakan
kalau lahannya tidak sesuai dengan karakteristik yang dibutuhkan oleh rumput laut
maka hasilnya pasti tidak seperti yang diharapkan. Berdasarkan hasil evaluasi
kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut dengan masing-masing kategori
kesesuaian diperoleh hasil sebagai berikut: lahan yang sesuai sebanyak 2 313.29 ha
yang terdiri dari S1 (sangat sesuai) seluas 415.31 ha dan S2 (sesuai bersyarat) seluas
1 897.99 ha. Kawasan perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut pada lokasi
kajian telah dikelola seluas 1 214.7 ha atau sekitar 52.5 % dari 2 313.29 ha.
Dilihat dari aspek kesesuaian kawasan, masih cukup luas lahan yang belum
dikelola, akan tetapi untuk pengembangan budidaya rumput laut ke depan yang perlu
diperhitungkan adalah daya dukung perairan. Apabila daya dukung kawasan
budidaya terlampaui maka usaha budidaya rumput laut yang kini menjadi andalan
masyarakat pesisir untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan mereka tidak akan
berkelanjutan.
Pengukuran daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa perairan pesisir
memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme.
Konsep daya dukung yang dikembangkan dalam budidaya rumput laut adalah konsep
daya dukung ekologis dengan tetap memperhatikan dimensi-dimensi yang lain. Dua
pendekatan digunakan untuk menghitung daya dukung perairan daerah kajian, yakni
pendekatan kapasitas perairan dan pendekatan kapasitas asimilasi N. Daya dukung
perairan yang dihitung dengan pendekatan kapasitas perairan adalah tersebut
sebanyak 5 942 unit. Sedangkan dengan pendekatan kapasitas asimilasi, diperoleh
daya dukung kawasan sebesar 6 603 unit budidaya untuk K.alvarezii (Doty) coklat
dan 8 295 unit budidaya untuk K.alvarezii (Doty) hijau. Areal budidaya yang sudah
150
dikelola menurut data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng (2009)
adalah 1 214.7 ha.
Dilihat dari tingkat produktifitas, masih jauh dibawah daya dukung produksi.
Produktifitas rumput laut di Kabupaten Bantaeng pada tahun 2008 baru 2
ton/ha/tahun atau produksi 7 677.55 ton dari luas lahan 3 792 ha (Dinas Perikanan
dan Kelautan, Kabupaten Bantaeng 2009) dan dari hasil wawancara dengan
responden nelayan rumput laut, produktivitas sekitar 6-8.4 ton/ha/tahun. Sementara
daya dukung produksi sekitar 9 ton berat kering/ha/tahun dengan pendekatan luas
kawasan, bahkan dengan pendekatan kapasitas asimilasi N daya dukung mencapai
sekitar 12 500 ton berat kering/ha/tahun. Analisis optimasi dengan menggunakan
sistem dinamik memberikan hasil paling optimal pada skenario 4. Berbeda dengan
komoditas perikanan lainnya yang memberikan limbah pada proses budidayanya,
rumput laut justru memanfaatkan limbah organik yang masuk ke perairan sebagai
nutrient. Secara umum usaha budidaya rumput laut berada pada taraf berkelanjutan,
namun perlu perbaikan pada aspek/dimensi teknologi dan kelembagaan yang nilai
indeks keberlanjutannya berada pada status tidak berkelanjutan.
Berbagai alat analisis yang digunakan tersebut pada akhirnya
memperlihatkan bahwa usaha budidaya rumput laut di wilayah kajian secara umum
berada pada status cukup berkelanjutan walaupun dimensi teknologi dan dimensi
kelembagaan belum cukup berkelanjutan. Dengan mengacu pada atribut-atribut yang
sensitif dari hasil analisis Leverage maka untuk pengembangan kegiatan budidaya
rumput laut di Kabupaten Bantaeng, arahan pengelolaannya, adalah:
a. Dimensi Ekologi
1. Penyediaan bibit bermutu baik dan cukup melalui pengadaan pembibitan yang
profesional baik oleh pemerintah maupun swasta dan LSM. Sampai saat ini
nelayan rumput laut hanya menggunakan bibit yang berasal dari hasil panen
yang disisihkan padahal bibit merupakan salah satu penentu keberhasilan
suatu budidaya. Itulah sebabnya produktivitas rumput laut di wilayah kajian
masih tergolong rendah.
2. Menyiasati kondisi perairan yang tidak terlindung dengan mengatur jadwal
tanam pada musim Timur dan peralihan. Sebab pada musim barat kecepatan
151
arus dan tinggi gelombang melampaui kondisi persyaratan tumbuh rumput
laut. Hal tersebut bisa menyebabkan rumput laut yang dibudidayakan patah-
patah demikian juga dengan konstruksi unit budidaya.
3. Tidak menanam rumput laut pada perairan yang tingkat kecerahannya tidak
memenuhi syarat tumbuh rumput laut. Pertumbuhan rumput laut pada perairan
yang keruh tidak akan maksimal sebab cahaya matahari yang dibutuhkan
untuk proses fotosintesa tidak optimal.
b. Dimensi Ekonomi
Ada beberapa solusi yang bisa ditempuh untuk mengatasi masalah ini, antara
lain:
1. Koperasi. Koperasi rumput laut yang didirikan beranggotakan nelayan rumput
laut. Berfungsi untuk memberikan pinjaman modal kepada nelayan rumput
laut dan membeli semua produksi rumput laut dengan harga yang
menguntungkan bagi nelayan rumput laut. Namun dengan syarat produksi
rumput laut yang dihasilkan bermutu baik. Hal ini bisa memotong rantai
pemasaran rumput laut dan sekaligus berdampak pada jual beli yang lebih adil
bagi para pelaku;
2. Pembangunan dan perbaikan prasarana jalan dan transportasi agar
memperlancar pendistribusian bahan-bahan kebutuhan yang berkaitan dengan
kegiatan budidaya rumput laut dan pengangkutan produksi rumput laut.
3. Pabrik pengolahan. Pemerintah ataupun swasta membangun pabrik
pengolahan rumput laut di Kabupaten Bantaeng. Hal ini akan menyebabkan
efek ganda. Antara lain, mengurangi pengangguran, biaya trasportasi untuk
mengangkut produksi rumput laut ke pabrik/eksportir bisa berkurang sehingga
harga yang diperoleh nelayan rumput laut bisa lebih tinggi, pemerintah daerah
bisa mendapatkan nilai tambah dari pajak pertambahan nilai, kegiatan industri
makanan kecil dari bahan rumput laut yang sudah diolah bisa tumbuh dan
berkembang, tercipta kegiatan informal untuk menunjang keberadaan
karyawan pabrik, seperti pemondokan, penjual makanan dan minuman serta
kebutuhan sehari-hari yang lain. Sehingga perekonomian masyarakat bisa
berkembang.
152
4. Kebijakan. Pemerintah mengintervensi pasar rumput laut dengan menentukan
harga dasar rumput laut, mendorong kemajuan budidaya rumput laut sehingga
bisa berkontribusi lebih besar terhadap PAD, kebijakan pemberian bantuan
modal atau mempermudah nelayan rumput laut mengakses sumber modal
(misalnya, Bank Pembangunan Daerah) sehingga mengurangi peranan
tengkulak/ponggawa dan nelayan rumput laut bisa lebih mandiri dalam
menjual dan mempunyai posisi tawar terhadap tengkulak dalam menentukan
harga komoditasnya.
c. Dimensi Sosial-Budaya
1. Sifat gotong royong diantara para nelayan tetap harus dijaga agar
kesejahteraan sosial masyarakat bisa tercapai
2. Perlu diciptakan alternatif pekerjaan selain budidaya rumput laut untuk
mengurangi ketergantungan masyarakat secara langsung terhadap kegiatan
budidaya rumput laut
3. Anggota keluarga diupayakan terlibat secara aktif dalam kegiatan budidaya
rumput laut agar tercipta suasana yang harmonis.
d. Dimensi Teknologi
1. Perlu ketersediaan prasarana jalan yang bisa menjangkau kesemua sentra
produksi rumput laut untuk mempermudah transportasi dan pemasaran.
2. Informasi teknologi tepat guna bagi pengelolaan kegiatan budidaya rumput
laut perlu disiapkan untuk mempermudah nelayan rumput laut
mengaksesnya.
3. Industri pengolahan rumput laut perlu diupayakan ketersediaannya agar
nelayan rumput laut tidak lagi menjual produksinya hanya dalam bentuk
rumput laut kering dan ada nilai tambah bagi Pemda.
e. Dimensi Kelembagaan
1. Perlu Perda yang bisa mengatur kegiatan budidaya rumput laut baik dari segi
zonasi maupun pengaturan unit-unit budidaya untuk mengatisipasi
kemungkinan terjadinya konflik kepentingan diantara stakeholders.
153
2. Kelompok tani yang sudah ada perlu diaktifkan dan diberdayakan untuk
mempermudah kegiatan penyuluhan dan tukar menukar informasi tentang
masalah-masalah dan kemajuan-kemajuan yang mereka alami.
3. Koperasi khusus untuk nelayan rumput laut untuk membantu kebutuhan
permodalan bagi pengembangan kegiatan budidaya rumput laut maupun
kebutuhan sehari-hari nelayan rumput laut.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan
1. Kawasan yang sesuai untuk budidaya rumput laut pada wilayah kajian adalah
2 313.29 ha dan sudah dikelola seluas 1 214.70 ha.
2. Daya dukung kawasan kajian adalah 5 941.85 unit budidaya atau setara dengan
produksi rumput laut 8 912.77 ton berat kering/tahun dengan pendekatan kapasitas
lahan. Sedangkan dengan pendekatan kapasitas asimilasi N, diperoleh daya
dukung perairan sebesar 6 603 unit setara 9 903.84 ton bk/thn untuk K.alvarezii
(doty) coklat dan 8 295 unit budidaya yang setara dengan 12 442.35 ton berat
kerig/tahun untuk K.alvarezii (doty) hijau.
3. Optimalisasi terhadap pengelolaan sumberdaya rumput laut memberikan hasil
yang paling optimal pada skenario ke empat, yakni asumsi penambahan limbah
organik ke dalam perairan sebesar 50% dari kondisi saat ini.
4. Dimensi teknologi dan kelembagaan nilai indeksnya belum berkelanjutan dan
atribut yang harus diperbaiki pada: dimensi teknologi : sarana dan prasarana,
informasi teknologi tepat guna dan industri pengolahan dan dimensi kelembagaan :
ketersediaan Perda, kelompok nelayan RL dan lembaga ekonomi & sosial
9.2 Saran
1. Masih memungkinkan penambahan sekitar 1 000-3 400 unit budidaya namun
sebaiknya lebih difokuskan kepada peningkatan produktivitas dan kualitas rumput
laut
2. Perlu Perda untuk mengatur zonasi, tata letak unit budidaya dan harga dasar
rumput laut
3. Perlu pengadaan bibit bermutu dalam jumlah yang cukup untuk meningkatkan
produktivitas rumput laut
4. Perlu disusun kriteria persyaratan lokasi budidaya, khusus untuk budidaya rumput
laut pada kawasan perairan terbuka.
DAFTAR PUSTAKA Aji, N dan M. Murdjani. 1986. Budidaya Rumput Laut. Indonesian Fisheries
Information System, manual seri no. 32. Direktorat Jenderal Perikanan-International Development Research Center. Jakarta.
Amarullah. 2007. Pengelolaan sumberdaya perairan Teluk Tamiang Kabupaten
Kotabaru untuk pengembangan budidaya rumput laut K.alvarezii. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Amiluddin. 2007. Kajian pertumbuhan dan tentang kandungan karagenan rumput
laut K.alvarezii yang terkena penyakit ice-ice di perairan pulau Pari Kepulauan Seribu. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Anggadiredja, J., Zatnika, A dan Istini, S. 1996. Potensi dan Manfaat Rumput
Laut Indonesia dalam Bidang Farmasi. Seminar Nasional Industri Rumput laut. Jakarta.
Asbar, 2007. Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir untuk Pengembangan
Budidaya Tambak Berkelanjutan di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.
Aslan, LM. 1998. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius.Yogyakarta. Atmadja, WS, A. Kadi, Sulistijo dan R Satari. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis
Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseonologi Lipi. Jakarta. Basmal, J. 2001. Perkembangan Teknologi Riset Penanganan Pasca Panen dan
Industri Rumput Laut. Forum Rumput Laut. Jakarta: Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Bengen, DG. 2002. Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir. Prosiding Pelatihan
untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Penyunting: DG, Bengen. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB.
Bengen, DG. 2004a. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut
serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.
Bengen, DG. 2004b. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut
Berkelanjutan Berbasis Eko-sosiosistem. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor.
Bengen DG dan A. Rizal. 2002. Pembangunan Wilayah Pesisir: Antara
Pembangunan Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan. Warta Pesisir dan Lautan, No. 02/ Th. IV.
158
Bengen DG dan A. Rizal. 2002. Menyoal Pengaturan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan.INCUNE,No. 01/Th. II: 2-5.
Bengen DG dan A. Rizal. 2002. Menelusuri Peran Masyarakat Adat dalam
Pengelolaan Sumberdaya Alam. Warta Pesisir dan Lautan, No. 04/Th. III. Bengen, DG., A. Tahir, dan B. Wiryawan. 2003. Program Daerah Perlindungan
Laut Pulau Sebesi, Lampung Selatan: Tinjauan Aspek Keberlanjutan, Akuntabilitas dan Replikabilitas. Proyek Pesisir PKSPL-IPB.
Bengen, DG. 2005. Pentingnya Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis
Kesesuaian Lingkungan bagi Keberlanjutan Pembangunan Kelautan. Perspektif Keterpaduan dalam Penataan Ruang Darat-Laut. Merajut Inisiatif Lokal Menuju Kebijakan Nasional. Mitra Pesisir (CRMP II). Jakarta.
BPS (Biro Pusat Statistik) Sulawesi Selatan. 2002. Kabupaten Bantaeng dalam
Angka. BPS Provinsi Sulawesi Selatan. Budiharsono, S. 2006. Konsep Perencanaan Pembangunan Kelautan dan
Perikanan Berkelanjutan. Dalam: Sistem Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Sekjen DKP Jakarta.
Charles, AT. 2001. Sustainable Fishery Systems. Balckwell Science. Saint Mary’s
University Halifax, Nova Scotia, Canada. Chua, TE. 2006. The Dynamics of Integrated Coastal Management: Practical
Application in Sustainable Coastal Development in East Asia. Partnership in Enviromental Management for the Seas of East Asia.
Cicin-Sain, B dan RW Knecht. 1998. Integrated Coartal and Ocean Management.
Island Press, Washington DC. Crawford, B. 2002. Seaweed Farming: An Alternative Livelihood Small-Scale
Fishers? Working Paper. Coastal Resources Center, Unversity of Rhode Island. http://www.google.com. (Tgl. 01 September 2008).
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber
Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. PT Pradnya Paramita.
Dahuri, R. 2005. Potensi Ekonomi Kelautan (Menyambut Hari Nusantara 13
Desember). Republika, Selasa, 13 Desember 2005. http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Kebijakan DKP: Pengelohan dan
Pemasaran. Produk Olahan Rumput Laut Indonesia. www.dkp.go.id. Departemen Perdagangan. 1989. Ekspor Rumput Laut Indonesia. Jakarta
159
Departemen Pertanian Kanwil DKI. 2001. Rumput Laut: Cara Budidaya dan
Pengolahannya. Jakarta. Djojomartono, M. 1993. Pengantar umum analisis sistem. Makalah pelatihan
analisis sistem dan informasi pertanian. Kerjasama BPP Teknologi-Fakultas Teknologi Pertanian IPB. 29 Juni – 26 Juli 199
Doty, MS. 1985. Eucheuma alvarezii sp. Nov (Gigartinales, Rhodophyta) from
Malaysia In. I.A Abbot and J.N. Norris Eds. Taxonomy Economic Seaweeds. California Sea Grant College Program.
Doty, MS. 1987. The Production and Uses of Eucheuma Di dalam: Doty MS,
Caddy JF, Santelices B (editors). Case Studies of Seven Commercial Seaweed Resources. FAO Fish Techn. Paper 281. Rome.
Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB
Press. Bogor. Eriyatno dan F. Sofyar. 2007. Riset Kebijakan Metode Penelitian untuk
Pascasarjana. IPB Press. Bogor. FAO, 2008. Cultured Aquatic Species Information Programme: Eucheuma spp.
Fisheries and Aquaculture Department. Fauzi, A. dan Anna, S. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan
Perikanan. Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol. 4930.
Fisheries. 1999. Rapfish Softwere for Exel. The Fisheries Centre, University of
British Columbia, Fisheries Center Research Reports. Glicksman M. 1983. Food Hydrocolloids. Vol 2. CRC Press, Inc.Florida. Handoko. 2005. Quantitative Modelling of System Dynamics for Natural
Resources Management. SEAMEO BIOTROP. Haq, SM. 1997. Ecology and Economic: Implication for Integrated Coastal Zone
Management. Dalam: Bilal UH, SM Haq, G.Kullemberg dan JH. Stel (Editor): Coastal Zone Management Imperative for Maritime Developing Nations. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
Hardjowigeno S, Widiatmaka, 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata
Guna Tanah. Fakultas Pertanian . IPB. Hartrisari, 2007. Sistem dinamik. Konsep system dan pemodelan untuk industri
dan lingkungan. SEAMEO BIOTROP Haslett, SK. 2000. Coastal Systems. Routledge Introductions to Environment
Series. London and New York.
160
Herlinah. 2008. Laju Penyerapan Nitrat dan Fosfat oleh Rumput Laut
Kappaphycus alvarezii (Doty) di Perairan Kabupaten Takalar. Tesis Program Pascasarjana UNHAS.
Iksan, Kusdi HI. 2005. Kajian pertumbuhan, produksi dan kandungan karaginan
rumput laut K.alvarezii pada berbagai bobot bibit dan asal tallus di perairan desa Guruaping Oba Maluku Utara. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Kay, R. dan J. Alder. 2005. Coastal Planning and Management. Taylor and
Francis. London and York. (KPP RI) Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. 2003.
Bahan Pembelajaran Analisis Gender dalam Rangka Penyusunan Kebijakan, Program, Proyek dan Kebijakan yang Responsif Gender. Jakarta. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia.
Kadi,A. dan Atmadja, WS. 1988. Rumput Laut Jenis Algae: Reproduksi,
Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Kamlasi. 2008. Kajian ekologis dan biologi untuk pengembangan budidaya
rumput laut K.alvarezii di kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang NTT. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Kavanagh, P and Tony J. Pitcher. 2004. Implementing Microsoft Excel Software
For Rapfish: A Technique For the Rapid Appraisal of Fisheries Status. The Fisheries Centre, University of British Columbia, 2259 Lower Mall. Fisheries Centre Research Reports 12(2).
Kepmen Kelautan dan Perikanan No.10-2002 - Pedoman Umum Perencanaan.
www.dkp.go.id. Krom, MD. 1986. An Evaluation of the Concept of assimilative Capacity as
Appliedto Marine water. Ambio XV (4). Luthfy S. 1988. Mempelajari ekstraksi karagenan dengan metode semi refined.
[skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ma’ruf, WF. 2005. Alih Teknologi Industri Rumput Laut Terpadu. Pusat Riset
dan Pengelolaan Produk dan Sosial ekonomi Kelautan dan Perikanan (PRPPSE), Departemen Kelautan dan Perikanan.
Ma’ruf, WF. 2007. Klaster Industri Perumputlautan untuk Produk Karagenan
yang Kompetitif. craby & starky, Buletin Pengolahan dan Pemasaran Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Edisi juli 2007.
161
Ma’ruf, FW. 2010. Isu Aktual Industri Rumput Laut Internasinal. Makalah pada SEABFEX III. Surabaya.
Madeali, M.I, M. Amin, dan E. Ratnawati. 1999. Budidaya Rumput Laut
Eucheuma sp dengan Sistem Rakit dan Lepas Dasar Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Balai Penelitian Perikanan Pantai. Maros.
Mansyur, Akhmad. 2009. Pengelolaan perairan pesisir gugus pulau Kaledupa
untuk usaha budidaya rumput laut. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Marimin. 2007. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial.
IPB Press. Bogor. Mondoringin, Lukas Lotharius Jansen Josef. 2005. Kajian ekologi-ekonomi
kegiatan pembudidayaan rumput laut di kawasan terumbu karang pulau Nain kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Moser, CON. 1993. Gender Planning and Developmen. Theory, Practice and
Training. Routledge. London. Mubarak, H. 1975. Budidaya Rumput Laut. Lembaga Penelitian Perikanan Laut.
Jakarta. Mubarak, 1978. Kemungkinan-Kemungkinan Budidaya Rumput Laut di
Kepulauan Aru, Maluku. Simposium Modernisasi Perikanan Rakyat. Jakarta. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. BadanLitbang Pertanian Departemn Pertanian.
Mubarak H, Soegiarto A, Sulistyo, Atmadja WS. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Puslitbangkan. IDRC-INFIS. Munasinghe, M. 2002. Environmental Economic and Sustainable development.
World Bank Environment Paper No. 3 The World Bank. Washington. Nurdjana, Made.L. 2006. Kebijakan dan Program Menuju Kejayaan perikanan
Budidaya. Makalah. Disampaikan pada Kuliah Umum di Departemen Budidaya, IPB.
OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). 1993.
Coastal Zone management: Integrated Policies. Organization for Economic Co-operation and Development. Paris.
Pamungkas, KT. 1987. Mempelajari Hubungan antara Umur Panen dengan
Kandungan Karagenan dan Senyawa-Senyawa Lainnya pada Eucheuma cottonii dan Eucheuma spnosum. [skripsi]. Bogor. Jurusan Pengelolaan Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
Pitcher TJ dan D.Preikshot. 2001. RAPFISH: a Rapid Appraisal Technique to
Evaluate the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49
162
Pong-Masak PR. 2007. Hubungan Penyerapan Nitrogen dan Fosfat dalam Tallus Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut di Perairan Kabupaen Bantaeng, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros.
Pusat Penelitian Oseanografi. 2002. Penelitian Budidaya Rumput Laut (Alga
Makro/Seaweed) di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.
2001. Laporan Forum Rumput Laut. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Puslitbangkan,1991. Budidaya Rumput Laut (Eucheuma sp) Dengan Rakit dan
Lepas Dasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian Pengembangan Pertanian. Jakarta. 9 hal.
Quano, 1993. Training Manual on Assesment of the Quantity ang Type of Land
Based Pollutant Discharge into the Marine and Coastal Environmental, UNEF. Bangkok.
Rauf, Abd. 2007. Pengembangan Terpadu Pemanfaatan Ruang Kepulauan
Tanakeke Berbasis Daya dukung. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Sallata. 2007. Kajian potensi sumberdaya untuk pengelolaan budidaya rumput laut
dan ikan kerapu di wilayah pesisir kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Slamet,M. 2003. Membentuk Pola Prilaku Pembangunan. Editor. Ida Yustina dan
Adjat Sudradjat. Bogor. IPB Press. Sulistijo, Atmajaya WS. 1996. Perkembangan Budidaya Rumput Laut di
Indonesia. Jakarta. Puslitbang-Oseanografi LIPI. Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah
Pesisir Tropis. PT Gamedia Pustaka Utama. Jakarta. Suryaningrum, TD. 1988. Kajian sifat-sifat mutu komoditas rumput laut budidaya
jenis Eucheuma cottonii dan eucheuma spnosum. [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sushil 1993. Systems dynamics. A practical approach for managerial problems.
Wiley Eastern Limited, New Delhi. Susilo, SB. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus
Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepualauan Seribu, DKI Jakarta. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
163
Syahputra (2005). Pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut K.alvarezii yang dibudidayakan pada kondisi lingkungan dan jarak tanam yang berbeda. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Turner, GE. 1988. Codes of Practice and Manual of Procedures for Consideration
on Introduction and Transfer of Marine and Freshwater Organisms, EIFAC/CECPI, Occasional Paper No. 23.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 27.Tahun 2007. Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Winarno, FG. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta. Yulianda, F. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Hayati Pesisir dan Lautan. Materi
Kuliah Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Zatnika, A dan Angkasa, WI. 1994. Teknologi Budidaya Rumput Laut. Makalah
pada Seminar Pekan Akuakultur V. Tim Rumput Laut BPP Teknologi Jakarta. Jakarta.
.