oftalmopati+graves.docx

29
Diskusi Topik Oftalmopati Graves Oleh: Dwi Wicaksono – 0906487764 Jody Felizio – 0906508213 Rombongan E Narasumber: dr. Anna P. Bani, SpM

Upload: jukunk

Post on 26-Oct-2015

94 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

graves

TRANSCRIPT

Page 1: oftalmopati+graves.docx

Diskusi Topik

Oftalmopati Graves

Oleh:

Dwi Wicaksono – 0906487764

Jody Felizio – 0906508213

Rombongan E

Narasumber:

dr. Anna P. Bani, SpM

Modul Praktik Klinik Ilmu Kesehatan Mata

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Jakarta 2013

Page 2: oftalmopati+graves.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Tirotoksikosis adalah keadaan hormon tiroid berlebih, berbeda dengan

hipertiroidisme yang merupakan hasil dari fungsi sekresi berlebih dari tiroid.

Tirotoksikosis disebabkan oleh hipertiroidisme, baik primer, sekunder, atau tanpa

hipertiroidisme. Hipertiroidisme primer dapat disebabkan oleh Graves disease, toksik

multinodular goiter, toksik adenoma, metastasis karsinoma tiroid fungsional,

pengaktifan mutasi reseptor TSH, pengaktifan mutasi Gsα (sindrom McCune-Albright),

struma ovarii, dan kelebihan yodium (fenomena Jod-Basedow). Namun, penyebab

utama dari tirotoksikosis adalah hipertiroidisme primer yang disebabkan oleh Graves

disease, MNG toksik, dan adenoma toksik.1

Graves disease adalah salah satu contoh hipertiroidisme yang cukup sering

diantara kejadian tirotoksikosis. Penyakit ini disebabkan oleh kombinasi dari faktor

genetik dan lingkungan. Manifestasi dari penyakit ini antara lain pembesaran kelenjar

tiroid, takikardia, tremor, miksedema pretibial, dan kelainan pada mata. Kelainan pada

mata (oftalmopati) ini meliputi keterlibatan jaringan lunak, retraksi kelopak mata,

proptosis, neuropati optik, dan myopati restriktif.1,2 Secara umum, mata pasien dengan

hipertiroidisme terlihat melotot. Gejala pada mata tersebut dapat diklasifikasikan

menjadi beberapa kelas dengan singkatan “NOSPECS”. Oftalmopati Graves terjadi

akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi

akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot

ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan

pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot

bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila

pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus

yang akan menimbulkan kebutaan.1,3

Hal tersebut merupakan suatu kondisi yang dapat mengancam nyawa dan

penglihatan pasien, sehingga dokter umum pun harus mengerti dan dapat memberikan

tatalaksana lini pertama sebelum merujuk ke dokter spesialis mata.

1

Page 3: oftalmopati+graves.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Graves Disease

Epidemiologi

Graves disease memiliki prevalensi sekitar 60-80% dari kejadian tirotoksikosis.

Prevalensinya bervariasi pada tiap populasi, terutama bergantung pada asupan yodium.

Penyakit ini timbul pada 2% wanita, namun hanya sepersepuluhnya saja pada pria.

Penyakit ini jarang timbul sebelum adolesens dan biasanya muncul antara usia 20

sampai 50 tahun, namun pada usia lebih tua juga dapat terjadi.1,2

Morfologi

Pada kasus Graves disease yang tipikal, kelenjar tiroid membesar secara difus

akibat adanya hipertrofi dan hiperplasia difus sel epitel folikel tiroid. Kelenjar biasanya

lunak dan licin, dan kapsulnya utuh.1,2 Secara mikroskopis, sel epitel folikel pada kasus

yang tidak diobati tampak tinggi dan kolumnar serta lebih ramai daripada biasa.

Meningkatnya jumlah sel ini menyebabkan terbentuknya papila kecil, yang menonjol ke

dalam lumen folikular. Papila ini tidak memiliki inti fibrovaskular, berbeda dengan

yang ditemukan pada karsinoma papilar. Koloid di dalam lumen folikel tampak pucat,

dengan tepi berlekuk-lekuk. Infiltrat limfoid, terutama terdiri atas sel T dengan sedikit

sel B dan sel plasma matang, terdapat di seluruh intersisium, pusat germinativum sering

ditemukan. Terapi praoperasi mengubah morfologi tiroid, sebagai contoh pemberian

yodium pascaoperasi menyebabkan involusi epitel dan akumulasi koloid akibat

terhambatnya sekresi tiroglobulin. Jika terapi dilanjutkan, kelenjar mengalami fibrosis.2

Kelainan di jaringan ekstratiroid adalah hiperplasia limfoid generalisata. Pada

pasien dengan oftalmopati, jaringan orbita tampak edematosa akibat adanya

glikosaminoglikan hidrofilik. Selain itu, terjadi infiltrasi oleh limfosit, terutama sel T.

Otot orbita mengalami edema pada awalnya tetapi kemudian mengalami fibrosis pada

perjalanan penyakit tahap lanjut. Dermopati, jika ada, ditandai dengan menebalnya

dermis akibat pengendapan glikosaminoglikan dan infiltrasi limfosit.2,3

2

Page 4: oftalmopati+graves.docx

Patogenesis

Sama halnya dengan hipotiroidisme autoimun, kombinasi dari faktor lingkungan

dan genetik, misalnya polimorfisme gen HLA-DR, CTLA-4, dan PTPN22 (regulator sel

T) berkontribusi terhadap Graves disease. Kejadian penyakit ini pada kembar

monozigotik adalah 20-30%, sedangkan pada kembar dizigotik <5%. Bukti tak

langsung menunjukkan bahwa stress merupakan faktor penting yang memengaruhi

sistem neuroendokrin dan sistem imun. Merokok hanya menimbulkan risiko minor

terhadap Graves disease dan risiko mayor untuk pembentukan opthalmopati.

Peningkatan asupan yodium secara cepat akan memperburuk penyakit ini, dan peluang

meningkat tiga kali lipat pada periode post-partum.1,3

3

Page 5: oftalmopati+graves.docx

Hipertiroidisme pada Graves disease disebabkan oleh thyroid-stimulating

immunoglobulin (TSI) yang disintesis di kelenjar tiroid, seperti di nodus limpa dan

sumsum tulang. Antibodi tersebut dapat dideteksi dengan bioassay atau TSH-binding

inhibitor immunoglobulins (TBII) assay. Keberadaan TBII pada pasien dengan

tirotoksikosis mengaburkan keberadaan TSI, assay tersebut berguna untuk memantau

wanita hamil dengan Graves disease karena kadar TSI yang tinggi dapat melewati

plasenta dan menyebabkan tirotoksikosis neonatal. Antibodi TPO tampak pada 80%

kasus dan merupakan penanda siap ukur dari autoimunitas. Untuk jangka panjang,

hipotiroidisme autoimun spontan terjadi pada 15% kasus.1,4

Sitokin memegang peranan penting dalam opthalmopati terkait tiroid. Terdapat

infiltrasi otot ekstraokuler akibat aktivasi sel T, pelepasan sitokin (IFN-γ, TNF, dan IL-

1) menghasilkan aktivasi fibroblas dan peningkatan sintesis glikosaminoglikan yang

menangkap air, sehingga menuju pada bengkak otot. Pada kasus yang berkepanjangan,

dapat terbentuk fibrosis ireversibel pada otot. Fibroblas orbital cukup sensitif terhadap

sitokin. Patogenesis dari opthalmopati terkait tiroid sebenarnya masih belum jelas,

namun terdapat bukti TSH-R yang merupakan autoantigen yang diekspresikan pada

orbital dan dapat dikaitkan dengan penyakit tiroid autoimun. Peningkatan lemak adalah

penyebab tambahan dari ekspansi jaringan retrobulbar. Peningkatan tekanan intraorbital

dapat menuju pada proptosis, diplopia, dan neuropati optik.1

Manifestasi Klinis dan Patofisiologi

Gejala dan tanda pada Graves disease sangat mirip dengan tirotoksikosis.

Manifestasi klinis yang muncul bergantung pada keparahan tirotokskosis, lamanya

penyakit, toleransi individu terhadap kelebihan hormon tiroid, dan usia pasien. Pada

usia tua, ciri-ciri tirotoksikosis dapat tersembunyi, namun yang khas adalah kelelahan

dan penurunan berat badan, disebut tirotoksikosis apatetik.1,3,5

Tirotoksikosis dapat menyebabkan penurunan berat badan meskipun selera

makan meningkat akibat kenaikan laju metabolik. Kenaikan berat badan terjadi pada

5% pasien, karena peningkatan asupan makanan. Manifestasi lainnya adalah

hiperaktivitas, gelisah, takut, dan iritabilitas, menyebabkan mudah lelah pada beberapa

pasien. Insomnia dan gangguan konsentrasi sering terjadi, apatetik tirotoksikosis dapat

menjadi rancu pada depresi lansia. Tremor halus merupakan temuan yang sering

4

Page 6: oftalmopati+graves.docx

ditemukan, mudahnya dengan menarik jari sambil merasakan ujung jari pada telapak

tangan. Gangguan neurologis lainnya meliputi hiperrefleksia, lemah otot, dan myopati

proksimal tanpa fasikulasi. Chorea merupakan ciri yang sangat jarang. Tirotoksikosis

terkadang dikaitkan dengan paralisis periodik akibat hipokalemia, sering terjadi pada

pria Asia.1,4

Tirotoksikosis biasanya dikaitkan dengan kejadian:

- Peningkatan ekskresi kalsium dan fosfor di urin dan feses.

- Demineralisasi tulang, dipantau dengan densitometri tulang.

- Fraktur patologis pada wanita usia tua.

- Osteitis fibrosa, osteomalasia, dan osteoporosis.5

Hiperkalsemia dapat terjadi pada pasien dengan tirotoksikosis. Konsentrasi total

kalsium serum meningkat pada 27% pasien, dan terjadi kenaikan kalsium serum

terionisasi sekitar 47% pasien. Konsentrasi dari alkalin fosfatase serum yang tidak

tahan panas dan osteokalsin juga meningkat. Temuan ini menunjukkan

hiperparatiroidisme primer, namun konsentrasi dari PTH imunoreaktif di serum

menurun pada pasien tirotksik dengan hiperkalsemia.5

Fungsi kardiovaskular berubah akibat peningkatan kebutuhan sirkulasi yang

disebabkan oleh hipermetabolisme dan perlu mendisipasi panas yang terbentuk. Pada

saat istirahat, resistensi perifer vaskular menurun dan curah jantung meningkat sebagai

akibat peningkatan isi sekuncup dan denyut jantung. Hormon tiroid yang berlebih dapat

memberikan efek inotropik langsung. Keluhan kardiovaskular yang paling sering

terjadi adalah sinus takikardia, sering berkaitan dengan palpitasi, terkadang disebabkan

oleh takikardia supraventrikular. Curah jantung yang tinggi menyebabkan pulsasi

bounding, tekanan pulsasi melebar, dan murmur sistolik aorta yang dapat memperburuk

angina pada gagal jantung di usia tua atau usia muda dengan kelainan jantung. Fibrilasi

atrial sering terjadi pada pasien >50 tahun.5

Kulit biasanya hangat dan lembab, biasanya pasien mengeluh berkeringat dan

tidak tahan panas terutama pada cuaca panas/hangat. Selain itu dapat pula terjadi

eritema palmar, onikolisis, pruritus, urtikaria, dan hiperpigmentasi difus. Tekstur

rambut tetap baik, namun pada 40% pasien terjadi alopesia difus, yang menetap

meskipun telah dikembalikan ke eutiroid. Waktu transit gastrointestinal berkurang,

5

Page 7: oftalmopati+graves.docx

menyebabkan peningkatan frekuensi feses, seringkali diare atau steatorea ringan. Efek

langsung dari hormon tiroid pada resorpsi tulang menyebabkan osteopenia pada

tirotoksikosis lama. Hiperkalsemia ringan timbul pada 20% kasus, namun lebih sering

hiperkalsiuria. Terdapat peningkatan kejadian fraktur pada penderita dengan riwayat

tirotoksikosis.5,6

Laju konfersi androstenedion menjadi testosteron, estron, dan estradiol dan

testosteron menjadi DHT meningkat. Peningkatan konversi androgen menjadi estrogen

dapat diperkirakan sebagai mekanisme ginekomastia dan disfungsi seksual pada 10%

pria dengan tirotoksikosis dan mekanisme amenorrhea pada wanita. Mekanisme lain

yang menyebabkan perubahan menstruasi adalah disrupsi dari amplitudo dan frekuensi

dari pulsasi LH/FSH akibat pengaruh hormon tiroid pada pensinyalan GnRH. Selain itu

ada pula yang mengatakan sebagai akibat peningkatan prolaktin yang menekan hormon

seks.1,5

Tiroid akan membesar hingga dua sampai tiga kali normal, konsistensinya padat,

dan terdapat thrill atau bruit akibat peningkatan vaskularisasi kelenjar dan sirkulasi

hiperdinamik.1,3

Manifestasi Klinis pada Mata

Manifestasi klinis utama pada mata, antara lain keterlibatan jaringan lunak,

retraksi kelopak, proptosis, neuropati optik, dan myopati restriktif. Fase dari

perkembangan penyakit ini adalah fase kongestif dan fibrosis. Pada fase kongestif

(inflamasi), mata merah dan nyeri, dapat berulang selama 3 tahun dan hanya 10%

pasien yang mengalami masalah penglihatan jangka panjang yang serius. Pada fase

fibrosis, mata tenang, meskipun ada defek motilitas yang tidak nyeri.7

1. Keterlibatan Jaringan Lunak

Gejala meliputi grittiness (merasa seperti ada benda asing), fotofobia, lakrimasi, dan

rasa tidak nyaman di retrobulbar.7

Tanda yang dapat dilihat pada pasien antara lain:

- Hiperemia epibulbar.

6

Page 8: oftalmopati+graves.docx

- Periorbital swelling, disebabkan oleh edema dan infiltrasi dibalik septum

orbital, dapat disebabkan oleh kemosis dan prolaps lemak retroseptal ke

kelopak mata.

- Keratokonjungtivitis limbus superior.

2. Retraksi Kelopak

Retraksi kelopak mata atas dan bawah terjadi pada kurang lebih 50% pasien dengan

Graves disease dengan mekanisme:

- Kontraktur fibrosis dari levator yang berkaitan dengan perlekatan dengan

jaringan orbital. Fibrosis pada otot rektus inferior dapat menyebabkan retraksi

kelopak mata bawah.

- Reaksi berlebih terhadap levator rektus superior sebagai respons terhadap

hipotrofi akibat fibrosis dan kekakuan otot rektus inferior. Reaksi ini dapat pula

disebabkan secara tidak langsung oleh fibrosis otot rektus superior.

7

Page 9: oftalmopati+graves.docx

- Reaksi berlebih dari otot Muller sebagai akibat dari overstimulasi simpatis

karena kondisi hipertiroid.7

Tanda yang muncul yaitu ketika sklera terlihat di bawah limbus. Tanda lain yang

dapat ditemukan antara lain:

- Tanda Dalrymple

- Tanda Kocher

- Tanda Von Graefe

3. Proptosis

Propotosis dapat terjadi unilateral, bilateral, aksial, simetris, atau asimetris, dan

seringkali permanen. Proptosis berat dapat menyebabkan keratopati eksposur, ulkus

kornea, dan infeksi.7

8

Page 10: oftalmopati+graves.docx

4. Myopati Restriktif

Sebagian pasien (30-50%) dengan penyakit mata tiroid mengalami oftalmoplegia

dan dapat menjadi permanen. Motilitas okular dibatasi oleh edema inflamasi dan

fibrosis. Tekanan intraokular dapat meningkat karena adanya penekanan okular

oleh otot rektus inferior yang fibrosis.7 Bentuk kelainan motilitas okular antara lain:

- Defek elevasi akibat kontraktur fibrosis pada otot rektus inferior, yang

menyerupai kelumpuhan otot rektus superior.

- Defek abduksi akibat fibrosis otot rektus medialis, yang mencetuskan

kelumpuhan nervus VI.

9

Page 11: oftalmopati+graves.docx

- Defek depresi sebagai akibat tidak langsung dari fibrosis otot rektus superior.

- Defek aduksi akibat fibrosis otot rektus lateralis.7

5. Neuropati Optik

Neuropati optik jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang serius akibat

penekanan nervus optikus atau pembuluh darah pada apeks orbital akibat kongesti

dan pembesaran otot rektus. Penekanan tersebut dapat terjadi tanpa proptosis yang

signifikan, tetapi dapat menyebabkan gangguan penglihatan berat yang dapat

dicegah. Gangguan yang terjadi biasanya pada penglihatan sentral.7

Tanda-tanda yang dapat dilihat dari pasien antara lain:

- Penurunan visus, berkaitan dengan RAPD, desaturasi warna, dan penurunan

kemampuan membedakan terang.

- Gangguan lapang pandang dapat berupa sentral atau parasentral dan dapat pula

terjadi bersamaan dengan defek bundel serat saraf. Jika terdapat peningkatan

tekanan intraokular, sulit dibedakan dengan glaukoma sudut terbuka primer.

- Diskus optik biasanya normal, namun terkadang bengkak atau atrofi.7

10

Page 12: oftalmopati+graves.docx

Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid

Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS):

Kelas Uraian:

0 : No signs and symptoms. Tidak ada gejala dan tanda.

1 : Only signs no symptoms. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,

stare, lid lag)

2 : Soft tissue involvement with signs and symptoms. Perubahan jaringan lunak orbita,

dengan tanda dan gejala seperti lakrimasi, fotofobia, dan pembengkakan palpebra atau

konjungtiva.

3 : Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer).

4 : Extraocular muscles involvement. Keterlibatan otot-otot ekstra okular.

5 : Corneal involvement. Perubahan pada kornea (keratitis).

6 : Sight loss due to optic nerve involvement. Kebutaan (kerusakan nervus optikus)8

- Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra

superior dapat menyertai keadaan awal

tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh

spontan bila keadaan tirotoksikosisnya

diobati secara adekuat.

Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-

otot dan jaringan orbita.

- Kelas 2 ditandai dengan keradangan

jaringan lunak orbita disertai edema

periorbita, kongesti dan pembengkakan dari

konjungtiva (khemosis).

- Kelas 3 ditandai dengan adanya proptosis

yang dapat dideteksi dengan Hertel

exophthalmometer.

- Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama

pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan

11

Page 13: oftalmopati+graves.docx

bola mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi

kesukaran dalam menggerakkan bola mata kesamping.

- Kelas 5 ditandai dengan perubahan pada kornea ( terjadi keratitis).

- Kelas 6 ditandai dengan kerusakan nervus optikus, yang akan menyebabkan

kebutaan.1

Patofisiologi Oftalmopati Graves

- Inflamasi otot ekstraokular, yaitu adanya infiltrasi selular yang pleomorfik,

berhubungan dengan peningkatan sekresi glikosaminoglikan dan imbibisi osmotik

air. Otot-otot tersebut membesar hingga dapat mencapai 8 kali normal, lalu

menekan nervus optikus. Degenerasi dari serat otot menyebabkan fibrosis, sehingga

terjadi myopati restriktif dan diplopia.7

- Infiltrasi sel inflamasi, yaitu limfosit, sel plasma, makrofag, dan sel mast dari

jaringan intersisial, lemak orbital, dan kelenjar lakrimal dengan penumpukan

glikosaminoglikan dan retensi cairan. Hal ini menyebabkan volume orbital

meningkat dan secara tidak langsung meningkatkan tekanan intraorbital yang

menyebabkan retensi cairan berlebih.7

Diagnosis Banding

Diagnosis dari Graves disease langsung dilihat dari konfirmasi biokimia

tirotoksikosis, goiter difus pada palpasi, opthalmopati, TPO dan antibodi TSH-R positif,

dan sering dengan riwayat individu dan keluarga dengan penyakit autoimun. Untuk

pasien dengan tirotoksikosis yang tidak menunjukkan mayoritas gejala tersebut, maka

diagnostik yang paling penting adalah scan radionuklida (99mTc, 123I, atau 131I) pada

tiroid, yang membedakan difusnya dengan penyakit nodul tiroid, tiroiditis destruktif,

jaringan tiroid ektopik, dan tirotoksikosis tiruan. Pada hipertiroidisme sekunder akibat

tumor TSH penyekresi pituitari, terdapat pula goiter difus. Manifestasi klinis dari

tirotoksikosis dapat menyerupai kelainan lain, misalnya serangan panik, mania,

feokromositoma, dan penurunan berat badan yang disertai keganasan.1

12

Page 14: oftalmopati+graves.docx

Tatalaksana Oftalmopati Graves

Berdasarkan konsensus yang disepakati oleh European Group on Graves

Orbitopathy, penatalaksanaan dari oftalmopati Graves memiliki prinsip antara lain:

1. Merujuk pasien dengan oftalmopati Graves ke rumah sakit dengan spesialis mata

Pasien harus dirujuk dengan segera bila terdapat gejala yang bersifat sight

threatening seperti penurunan visus, perubahan intensitas dan kualitas warna,

corneal opacity, atau edema makula.

2. Manajemen masalah oleh kalangan nonspesialis

Faktor risiko yang dapat mengakibatkan oftalmopati Graves adalah merokok dan

disfungsi tiroid. Merokok diketahui dapat menurunkan efektivitas dari terapi, dan

meningkatkan progresi oftalmopati Graves setelah pemberian terapi radioiodin

untuk hipertiroid. Sebagai prevensi, faktor risiko dapat diminimalisasi melalui

edukasi.

3. Manajemen masalah oleh spesialis mata

Hal yang dapat dilakukan antara lain penilaian derajat keparahan dan progresivitas

dari oftalmopati Graves, manajemen oftalmopati yang mengancam penglihatan, dan

manajemen oftalmopati derajat sedang-berat.

4. Manajemen oftalmopati ringan

Didalamnya termasuk tatalaksana awal untuk mencegah terjadinya perburukan

penyakit.

5. Keadaan khusus

Keadaan seperti diabetes dan hipertensi harus dipertimbangkan bila tindakan

pembedahan dilakukan.9

Prinsip management dari penatalaksanaan oftalmopati yang timbul dapat

disingkat menjadi TEAR:

- T : Tobacco abstinence

- E : Euthyroidism must be achieved

- A : Artificial tears

- R : Referral to a specialist centre with experience10

Penatalaksanaan terhadap oftalmopati Graves yang timbul dapat dibagi

berdasarkan gejala yang dialami pasien antara lain:

13

Page 15: oftalmopati+graves.docx

1. Keterlibatan jaringan lunak

Gejala yang muncul berupa epibulbar yang hiperemis sebagai tanda dari adanya

proses inflamasi, edema periorbital, dan keratokonjungtivitis limbic superior.

a. Epibulbar hiperemis

Untuk mengatasi gejala ini dapat diberikan NSAID/steroid topikal maupun oral.

b. Keratokonjungtivitis limbus

Lubrikan dapat diberikan untuk mencegah kornea yang terpajan menjadi kering.

Lateral tarsorrhaphy dapat dilakkan untuk mengurangi keratopati eksposur bila

tidak berespon dengan lubrikan.7,11

2. Retraksi kelopak

Untuk retraksi kelopak ringan, tidak dibutuhkan penatalaksanaan karena dapat

membaik dengan spontan. Namun, pembedahan dapat menjadi solusi untuk

memperbaiki retraksi yang terjadi.

a. Mullerotomy

Mullerotomy merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan disinsersi

otot Muller.

b. Reseksi retraktor kelopak bawah.

c. Injeksi Botox

Injeksi botox pada levator aponeurosis dan otot Muller dapat digunakan sebagai

tatalaksana sementara untuk menunggu tatalaksana definitif.

d. Guanethidine 5% eyedrops

Guanethidine 5% eyedrops dapat digunakan untuk mengurangi retraksi akibat

reaksi berlebih dari otot Muller.

3. Proptosis

Tatalaksana untuk proptosis dapat dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana

medikamentosa dan pembedahan.

a. Terapi medikamentosa

- Steroid sistemik

Orbitopati fase akut akibat neuropati optik kompresif biasanya ditangani

dengan kortikosteroid oral. Dosis awal biasanya 1-1,5 mg/kgBB prednison.

14

Page 16: oftalmopati+graves.docx

Dosis ini dipertahankan selama 2 hingga 8 minggu sampai respon klinis

terlihat. Dosis kemudian dikurangi sesuai dengan kondisi pasien,

berdasarkan respon klinis dari fungsi saraf optik. Injeksi metilprednisolon

dengan dosis 500 mg dalam 200-500 ml cairan isotonis (normal saline) dapat

diberikan pada kompresi optik akut.

- Radioterapi

Radiasi dapat diberikan sebagai ajuvan dari penggunaan steroid, atau ketika

steroid menjadi kontraindikasi. Secara keseluruhan 60% hinggan 70%

pasien memiliki respon yang baik dengan radiasi, walaupun rekuren terjadi

lebih dari 25% pasien. Perbaikan diharapkan selama 6 minggu, dengan

perbaikan maksimal dalam 4 bulan.

- Terapi kombinasi

Penelitian menyatakan bahwa penggunaan Azothiaprine dengan prednisolon

dosis rendah lebih efektif daripada terapi tunggal.7,11

b. Dekompresi pembedahan

Dekompresi dengan cara pembedahan merupakan pilihan utama terapi ketika

terapi non invasif tidak efektif lagi. Dekompresi bertujuan untuk meningkatkan

volume orbit dengan membuang tulang dan lemak disekitar rongga orbital.

4. Miopati Restriktif

Penatalaksanaan miopati restriktif adalah dengan pembedahan. Tujuan pembedahan

adalah untuk memperoleh pandangan binokuler dan kemampuan stereoskopik.

Pembedahan dilakukan dengan indikasi bila diplopia menetap dengan sudut deviasi

yang tidak berubah selama 6 bulan.7

5. Neuropati Optik

Penatalaksanaan neuropati optik adalah dengan steroid sistemik, jika tidak berhasil

atau steroid menjadi kontraindikasi, dapat dilakukan dekompresi orbital.7

15

Page 17: oftalmopati+graves.docx

Komplikasi

Krisis Tiroid (Thyroid Storm)

Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat

sehingga dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus terjadinya krisis

tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain :

- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain.

- Terapi yodium radioaktif.

- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara

adekuat.

- Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut,

alergi obat yang berat atau infark miokard.1,5

Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme

berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi :

- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai 41°C disertai

dengan flushing dan hiperhidrosis.

- Takikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.

- Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma.

- Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah, diare, dan ikterus.1

Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan

hormon tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa

kadar T4 dan T3 didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi

dibandingkan dengan kadarnya pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid. Juga

tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan produksi

triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi

peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan jaringan

syaraf lebih sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi.1,5

Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh

kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis

tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian intrauterin. Selain itu hipertiroidisme

dapat juga menimbulkan preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan

16

Page 18: oftalmopati+graves.docx

jantung kongestif, tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir

rendah serta peningkatan angka kematian perinatal.1,5

17

Page 19: oftalmopati+graves.docx

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan tinjauan pustaka dari makalah ini, dapat disimpulkan bahwa:

- Kondisi hipertiroid dapat menimbulkan tirotoksikosis primer, dengan prevalensi

terbanyak adalah Graves disease.

- Graves disease memiliki manifestasi klinis pada berbagai sistem seperti metabolik,

kardiovaskular, dan mata.

- Manifestasi klinis utama pada mata, antara lain keterlibatan jaringan lunak, retraksi

kelopak, proptosis, neuropati optik, dan myopati restriktif.

- Derajat dari gejala oftalmopati Graves adalah “NOSPECS”.

- Mekanisme utama terjadinya oftalmopati Graves adalah inflamasi otot ekstraokular

dan infiltrasi sel inflamasi.

- Penatalaksanaan utama pada kasus oftalmopati Graves adalah menentukan

derajatnya dan kapan waktu merujuk.

- Prinsip penatalaksanaan pada kasus oftalmopati Graves adalah kendalikan pajanan,

turunkan kadar hormon tiroid, pemberian antiinflamasi, dan pembedahan.

18

Page 20: oftalmopati+graves.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the thyroid gland. In: Kasper DL, Fauci AS,

Longo DL, et al. Harrison’s principles of internal medicine. 17 th ed. USA: McGraw

Hill Medical. 2008; 2233-37.

2. Maitra A, Kumar V. Sistem endokrin. Dalam: Kumar V, Cotran R, Robbins SL.

Buku ajar patologi. 7th ed. Penerjemah: Prasetyo A, Pendit BU, Priliono T. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007; 813-15.

3. Moeljanto RD. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Dalam: Sudoyo

AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit

dalam. Edisi kelima. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Universitas Indonesia. 2009; 2009-15.

4. Matfin G, Kuenzi JA, Guven S. Disorders of endocrine control of growth and

metabolism. In: Porth CM. Pathophysiology-concepts of altered health states. 7 th ed.

USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2005; 975.

5. Thyrotoxicosis. In: Larsen, Kronenberg, Melmed, Polonsky. Williams textbook of

endocrinology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2003.

6. The thyroid gland. In: Gardner DG, Shoback D. Greenspan’s basic & clinical

endocrinology. 8th ed. McGraw Hill. 2007.

7. Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophtalmology: a systematic approach. 7th ed. China:

Elsevier. 2011. [ebook]

8. Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology. New Delhi: New Age International.

2007; 390-2.

9. Bartalena L, Baldeschi L, Dickinson A et al. Consensus statement of the European

Group on Graves’ Orbitopathy (EUGOGO) on management of GO. Eur J

Endocrinol. 2008; 158: 273-285.

10. Bartalena L, Marcocci C, Tanda L, et al. Management of thyroid eye disease. Eur J

Med Mol Imaging. 2002;29:S458-65.

11. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 17th ed. USA:

Mc Graw-Hill. 2007. [ebook]

19