naskah akademis ruu tentang hak kekayaan industri 2011
DESCRIPTION
Naskah Akademis RUU Tentang Hak Kekayaan Industri 2011TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR
NASKAH AKADEMIK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG
HAK KEKAYAAN INDUSTRI (PAKET PERUBAHAN UU NO. 31 TAHUN 2000 TENTANG
DESAIN INDUSTRI, UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DAN UU NO. 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK)
Disusun Oleh Tim Dibawah Pimpinan
Dr. Cita Citrawinda, SH.,MIP
PUSAT PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM R.I. TAHUN 2011
i
KATA PENGANTAR
Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor PHN-88-HN.01.03 Tahun 2011 tanggal 1 Maret 2011
telah dibentuk Tim Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-
undangan RUU tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan UU No.14
Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dan UU No.
31 Tahun 2000 tentang Desain industri), dengan susunan keanggotaan sebagai
berikut:
Ketua : DR. Cita Citrawinda, SH, MIP
Sekretaris : Masnur Tiurmaida Malau, SH, MH
Anggota : 1. Gunawan Suryomurcito, SH.
2. Bambang Iriana Djadjaatmadja, SH., LL.M
3. Rikson Sitorus, SH., CN., MH.
4. Amirullah, SH., MH.
5. Supriyatno, SH.,MH.
6. Rahendrojati, SH.,MS.i
7. Heru Bhaskoro, SH.,MH
8. Dadang Iskandar, S.Sos
9. Atiah
Dalam Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-
undangan RUU tentang tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan UU
No.14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dan
UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain industri) tersebut Tim ditugaskan untuk
menyusun Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan RUU tentang
ii
tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan UU No.14 Tahun 2001 tentang
Paten, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dan UU No. 31 Tahun 2000
tentang Desain industri) berupa rancangan ilmiah yang memuat gagasan
tentang perlunya materi-materi hukum yang bersangkutan diatur dengan
segala aspek yang terkait, dilengkapi dengan referensi yang memuat konsepsi,
landasan dan prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma-
normanya, yang disajikan dalam bab-bab yang dapat merupakan sistematika
suatu rancangan undang-undang.
Hasil Naskah Akademik menunjukkan bahwa dari sejumlah kendala
yang timbul dalam pelaksanaan UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No.
15 Tahun 2001 tentang Merek dan UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain
industri yang menjadi pokok permasalahan adalah, pertama Apakah
pengaturan tentang Paten, Merek dan Desain Industri dalam satu undang-
undang tentang Hak Kekayaan Industri yang mencakup revisi Undang-Undang
No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang
Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri dapat
memberikan perlindungan yang lebih efektif dan efisien serta lebih
meningkatkan perekonomian Indonesia, kedua, Hal-hal apa saja yang dapat
dijadikan masukan dalam revisi Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang
Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-
Undang No.31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri menjadi materi muatan
Rancangan Undang-Undang Hak Kekayaan Industri, ketiga, Apa yang menjadi
pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan
iii
Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri dan keempat Apa
sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah
pengaturan pembentukan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan
Industri.
Dalam penyusunan Naskah Akademik ini dengan berdasarkan pada
permasalahan, maka jangkauan atau arah pengaturan yang diusulkan dalam
RUU tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2000 adalah
membuat ketentuan mengenai definisi desain industri yang mengatur kreasi
apa saja yang mendapat perlindungan dan yang tidak mendapat perlindungan
dan kriteria syarat kebaruan suatu desain industri serta sistem pemeriksaan
substantif yang harus dilaksanakan walaupun tidak ada keberatan yang
diajukan terhadap aplikasi desain industri yang dimintakan pendaftarannya.
Tim mengucapkan terimakasih kepada Badan Pembinaan Hukum
Nasional yang telah memberikan kepercayaan untuk melaksanakan Kegiatan
Penyusunan Naskah Akademik ini, dan terimakasih pula kepada pihak-pihak
yang telah membantu sehingga dapat tersusun laporan ini.
Jakarta, November 2011
Ketua
DR. Cita Citrawinda, SH, MIP
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Identifikasi Masalah 15
C. Tujuan dan kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik 17
D. Metode 18
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN
INDUSTRI 21
A. Kajian Teoretis 22
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma 28
C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta
permasalahan yang dihadapi masyarakat 33
1. Implementasi Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten 35
2. Implementasi Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek 44
3. Implementasi Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri 52
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam RUU
Hak Kekayaan Industri terhadap aspek kehidupan masyarakat dan
dampaknya terhadap aspek beban keuangan Negara 66
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG
PATEN, UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK
DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI 71
A. Materi muatan dalam revisi Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang
Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang
v
No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri, sebagai materi muatan
Rancangan Undang-Undang Hak Kekayaan Industri 71
1. Permasalahan dalam Praktik Implementasi Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 Tentang Paten 71
2. Permasalahan dalam Praktik Implementasi Undang-Undang No. 15
Tahun 2001 Tentang Merek 75
3. Permasalahan dalam Implementasi Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2000 Tentang Desain Industri 79
B. Kompilasi Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang
No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000
Tentang Desain lndustri 86
C. Rancangan Undang-Undang tentang Hak Kekayaan Industri sebagai
strategi dan politik hukum yang dapat memberikan perlindungan yang
lebih efektif, efisien dan lebih meningkatkan perekonomian Indonesia 90
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS 100
A. Landasan Filosofis 100
B. Landasan Sosiologis 103
C. Landasan Yuridis 109
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN UNDANG-UNDANG HAK KEKAYAAN INDUSTRI 114
A. Arah dan Jangkauan Pengaturan Mengenai Perlindungan Hak
Kekayaan Industri 114
B. Ruang Lingkup Materi Muatan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak
Kekayaan Industri 117
vi
1. Materi Muatan untuk RUU tentang Perubahan Undang-undang Paten 117
2. Materi Muatan untuk RUU tentang Perubahan Undang-undang Merek 159
3. Materi Muatan Perubahan Undang-undang Desain Industri 182
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan 212
B. Saran 220
DAFTAR PUSTAKA 223
Lampiran
Rancangan Peraturan perundang-undangan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa tujuan dibentuknya pemerintah negara Indonesia antara lain
adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia. Pembukaan (Preambule) UUD 1945 tersebut mengandung banyak dimensi
antara lain meliputi kemanusiaan, sosial, ekonomi, hukum dan tata pergaulan
internasional yang harus dipelihara dan dikembangkan sesuai kebutuhan nasional.
Pada zaman modern saat ini dapat dipahami bahwa globalisasi ekonomi
dan perdagangan bebas telah mempengaruhi perubahan yang sangat besar terhadap
bidang hukum. Negara-negara di dunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi dan
perdagangan bebas, baik negara maju maupun sedang berkembang bahkan negara
yang terbelakang harus membuat standarisasi hukum dalam kegiatan ekonominya.
Globalisasi ekonomi semakin dikembangkan berdasarkan prinsip liberalisasi
perdagangan (trade liberalization) atau perdagangan bebas (free trade) lainnya yang
telah membawa pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat dalam globalisasi
ekonomi dan perdagangan bebas tersebut. Arus globalisasi ekonomi dan
perdagangan bebas sulit untuk ditolak dan harus diikuti karena globalisasi ekonomi
dan perdagangan bebas tersebut berkembang melalui perundingan dan perjanjian
2
internasional.1 Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum tidak dapat dihindari
karena globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut, secara substansi
berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melampaui batas-
batas negara (cross-border).2 Tepatlah pandangan Lawrence M. Friedman, yang
menyatakan hukum itu tidak bersifat otonom, tetapi sebaliknya hukum bersifat
terbuka setiap waktu terhadap pengaruh luar.3
Isu di bidang Hak Kekayaan Intelektual (disingkat HKI)4 merupakan isu yang
sangat penting karena berkaitan dengan perdagangan internasional dan
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Inovasi teknologi sebagaimana peningkatan
kekuatan ekonomi sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan masyarakat dan
pengembangan industri. Inovasi teknologi dapat mendatangkan kemakmuran bagi
kehidupan masyarakat, dan pengembangan teknologi mendorong pertumbuhan
masyarakat.
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property Rights (IPR)
adalah istilah yang sangat luas yang menunjukkan suatu kelompok dari bidang-
bidang Hak Kekayaan Intelektual, terdiri dari Copyright and Related Rights,
Trademarks, Geographical Indication, Industrial Design, Patents, Layout Designs of
1 John Braithwaite dan Peter Drahos, Global Business Regulation, (New York: Cambridge University Press, 2000), hal. 24-23.
2 Erman Rajagukguk, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia,” pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara Ke-44, Medan 20 Nopember 2001, hal. 4.
3 Lawrence M. Friedman, Legal Culture and the Welfare State: Law and Society-An Introduction, (Cambridge, Massachusetts, London: Harvard University Press, 1990), hal. 89.
4 Di Indonesia, untuk pertama kali istilah Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) digunakan sebagai istilah padanan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization yang digunakan dalam berbagai Undang-Undang yang mengatur jenis-jenis HAKI berikut peraturan pelaksanaannya yang disahkan dalam kurun waktu akhir 1980-an hingga akhir 1990-an, kemudian dalam perkembangannya sejak tahun 2000 berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.03.PR.07.10 Tahun 2000 dan juga dengan Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No.24/M/PAN/1/2000 ditetapkan penggunaan istilah Hak kekayaan Intelektual (HKI).
3
Integrated Circuit, Protection of Undisclosed Information dan Control of Anti
Competitive Practices in Contractual Licenses.5
Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah Indonesia menandatangani
persetujuan akhir yang memuat hasil-hasil Perundingan Perdagangan Multilateral
Putaran Uruguay (Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiation) dan meratifikasi
Persetujuan Pembentukan WTO (Agreement Establishing the World Trade
Organization) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 pada tanggal 2
November 1994, yang didalamnya memuat Lampiran Persetujuan Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) yang mengatur norma-
norma standar yang berlaku secara internasional tentang HKI. Persetujuan TRIPs
memperjelas kedudukan perlindungan HKI sebagai isu-isu yang terkait di bidang
perdagangan. Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan HKI dan prosedur
penegakan hak dengan menerapkan tindakan yang menuju perdagangan yang sehat.
Bagian II dari Persetujuan TRIPs mengatur tentang obyek HKI secara luas,6 yaitu:
1. Hak cipta dan hak terkait (copyright and related rights)
2. Merek (trademarks)
3. Indikasi geografis (geographical indications)
4. Desain industri (industrial designs)
5. Paten (patents)
6. Desain tata letak sirkuit terpadu (layout-designs of Intergrated Circuits; dan
7. Perlindungan rahasia dagang (protection of undisclosed information)
5 Lihat Persetujuan TRIPs
6 Lihat Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS Agreement) (1994). This
Agreement constitutes Annex 1C of the Marrakesh Agreement Establishing the World Trdae Organization (hereinafter referred to as the “WTO Agreement”, which was concluded on April 15, 1994, and entered into force on January 1, 1995. The TRIPS Agreement binds all Members of the WTO (lihat Pasal II.2 Perjanjian WTO).
4
Di sisi lain, Persetujuan TRIPs juga mengatur tentang larangan praktek
persaingan curang dan perjanjian lisensi.
Secara konvensional HKI dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu:7
1. Hak cipta (copyright);
2. Hak Kekayaan Industri (industrial property rights), yang mencakup:
a. Paten (patent)
b. Desain Industri (industrial design)
c. Merek (trademark)
d. Penanggulangan praktik persaingan curang (repression of unfair
competition)
e. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (layout design of integrated circuit)
3. Rahasia Dagang (trade secret).
Sebagaimana dinyatakan dalam Persetujuan TRIPs bahwa “intellectual
property rights are private rights”.8
Indonesia telah melakukan berbagai upaya dan langkah penyempurnaan
untuk meningkatkan pengaturan HKI agar sesuai dengan prinsip-prinsip dan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Persetujuan TRIPs/WTO,9 dan khusus
pada Naskah Akademik ini kajian dititikberatkan pada Paten, Merek dan Desain
Industri, yaitu sebagai berikut:
7 Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I., Buku
Panduan Hak Kekayaan Intelektual (Tangerang: DJHKI, 2003), hal. 3. 8 Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods.
9 Indonesia sebagai Negara berkembang telah diberi waktu transisi 5 tahun sejak berlakunya Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs (tanggal 1 Januari 1995) untuk mengimplementasikan Persetujuan TRIPs/WTO, yaitu sampai tahun 2000. Persetujuan TRIPs/WTO mulai berlaku efektif di Indonesia pada tanggal 1 Januari 2001.
5
1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten10 (menggantikan Undang-
Undang Nomor 13/1997 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
16/1989 Tentang Paten);
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek11 (menggantikan Undang-
Undang Nomor 14/1997 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
19/1992 Tentang Merek); dan
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri.12
Dengan keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO dan penandatangan
Persetujuan TRIPs, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi-konvensi
atau traktat-traktat Internasional di bidang HKI13, sebagai berikut:
1. Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention
Establishing the World Intellectual Property Organization (Keputusan Presiden RI
No. 15 Tahun 1997). 14
2. Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT (Keputusan
Presiden RI No. 16 Tahun 1997).
3. Trademark Law Treaty (Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun 1997).
10
Diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2001, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4130.
11 Diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2001, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 110,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4131. 12
Diundangkan pada tanggal 20 Desember 2000, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045.
13 Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman RI dan JICA, Buku Panduan Tentang Hak atas Kekayaan Intelektual (Tangerang: DJ HKI, 1999).
14 Lihat Cita Citrawinda, Hak Kekayaan Intelektual - Tantangan Masa Depan (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003) hal. 17-18 bahwa Konvensi Paris merupakan konvensi bagi perlindungan Hak Milik Industri, dan Indonesia pertama kali meratifikasi Konvensi Paris versi Stockholm 1967 yaitu pada tahun 1979 melalui Keputusan Presiden Nomor 24 tanggal 10 Mei 1979, namun menyatakan: “Republic of Indonesia declares that its ratification shall not apply to Article 1 to 12 of the Convention.” Dengan diratifikasinya kembali Konvensi Paris pada tanggal 7 Mei 1997, maka reservasi terhadap Pasal 1 sampai dengan Pasal 12 telah dihilangkan.
6
4. Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Keputusan
Presiden RI No. 18 Tahun 1997).
5. WIPO Copyright Treaty (Keputusan Presiden RI No. 19 Tahun 1997).
6. WIPO Performers and Phonograms Treaty, melalui Keputusan Presiden RI No. 74
Tahun 2004.15
Untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip HKI diimplementasikan
menurut tujuannya, perlu terlebih dahulu diketahui latar belakang pembentukan
doktrin-doktrin yang digunakan dalam implementasi prinsip-prinsip HKI tersebut.
Pemikiran-pemikiran yang dikembangkan sebagai doktrin bagi pengaturan norma-
norma HKI memiliki beberapa sifat khusus yang berkaitan dengan filsafat hukum dan
teori ekonomi. Sebagai contoh, sumbangan pemikiran Thomas Aquinas16 yang
membahas teori hukum alam, dan John Locke17 yang membahas hak individual atas
benda, dapat dijadikan landasan terhadap bagaimana doktrin dipergunakan dalam
kerangka implementasi prinsip-prinsip HKI, untuk selanjutnya memberikan jaminan
kepastian hukum melalui penentuan hak-hak yang melekat pada bagian-bagian
obyek hukum yang dianggap material maupun immaterial. Disamping itu, teori
ekonomi yang dikenal dengan the Theory of Bargaining18 dapat dijadikan materi
pembahasan yang diperlukan dalam urgensi praktik pengaturan HKI demi
tercapainya keseimbangan antara kepentingan ekonomi individual dan pemegang
15
Ditandatangani dan diberlakukan pada tanggal 10 September 2004. 16
W. Friedmann, “Legal Theory”, Fifth Edition Columbia University Press (Columbia, 1967), hal. 108. 17
Ibid. hal. 122. 18
Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics Third Edition, Addison-Wesley, (USA, 2000), hal. 75. Sebagaimana dikutip: “To develop an economic theory of property, we must first develop the economic theory of bargaining games. At first you may not see the relevance of this theory to property law, but later you will recognize that it is the very foundation of the economic theory of property. The elements of bargaining theory can be developed through an example of a familiar exchange-selling a used car.”
7
HKI, maupun keseimbangan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang
diakibatkan oleh implementasi atau eksploitasi dari HKI itu sendiri.
Selain itu, dalam Labour Theory juga telah dikemukakan tentang
pentingnya perlindungan HKI, yaitu:
“Patent and other types of intellectual property rights are intended to prevent people
from commercially exploiting ideas or inventions without fair compensation to the
originators. The concept comprises two competing social objectives: the need to
encourage technical innovations and the need to disperse the benefits of that
innovation throughout society.” 19
Dari uraian tersebut terlihat adanya pemikiran bahwa suatu karya
intelektual yang dihasilkan oleh seseorang atas dasar intelektualitasnya, baik berupa
invensi maupun karya intelektual lainnya perlu memperoleh perlindungan guna
mencegah segala bentuk eksploitasi secara komersial oleh pihak lain tanpa
kompensasi yang adil kepada pihak yang menghasilkan karya intelektual tersebut.
Konsep tersebut juga mengandung makna untuk mendukung dua tujuan sosial yang
saling berkompetisi, yaitu adanya kebutuhan untuk merangsang invensi-invensi baru
di satu sisi dan di sisi lain yaitu kebutuhan untuk menyebarluaskan karya intelektual
tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Indonesia
sebagai negara berkembang perlu menerapkan HKI secara maksimal agar dapat
memajukan sektor industri dan meningkatkan kemampuan daya saing di pasaran
internasional.
Peningkatan kemampuan daya saing sektor industri salah satunya adalah
melalui peningkatan perlindungan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual (pada
19
Justin Hughes, The Philosophy of Intellectual Property, 77 Geo.L.J.287 1988, hal. 21.
8
Naskah Akademik ini difokuskan pada Paten, Merek dan Desain Industri) bagi para
pelaku industri dengan menciptakan instrumen hukum yang berkaitan secara
langsung dengan sektor industri dan perdagangan yang mampu memberikan
perlindungan dan kemudahan akses serta efektifitas proses pendaftaran di bidang
Paten, Merek dan Desain Industri, maupun penegakan hukumnya dalam
mempertahankan hak-hak atas kepemilikan Paten, Merek dan Desain Industri serta
komersialisasi dari hak-hak tersebut. Dalam praktiknya, upaya penerapan instrumen
hukum di sektor industri mengalami berbagai kendala, baik dari sisi substansi hukum
yang diatur serta kendala teknis dalam pelaksanaannya.
Untuk menghindari perbedaan penafsiran mengenai istilah-istilah dalam
Naskah Akademik ini, definisi operasional yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Intellectual Property Rights (IPR) adalah istilah yang sangat luas yang
menunjukkan suatu kelompok dari bidang-bidang Hak Kekayaan Intelektual,
terdiri dari Copyright and Related Rights, Trademarks, Geographical Indication,
Industrial Design, Patents, Layout Designs of Integrated Circuit, Protection of
Undisclosed Information dan Control of Anti Competitive Practices in Contractual
Licenses.20
2. Paten adalah Hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil
Invensinya dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan
sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain
untuk melaksanakannya.21
20
Lihat Persetujuan TRIPs 21
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
9
3. Pemegang paten adalah Inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang
menerima hak tersebut dari Pemilik Paten atau pihak lain yang menerima lebih
lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten.22
4. Kebaruan atau Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu
kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa
produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau
proses.23
5. Suatu Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi seseorang
yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak
dapat diduga sebelumnya.24
6. Suatu Invensi dapat diterapkan dalam industri jika Invensi tersebut dapat
dilaksanakan dalam industri sebagaimana yang diuraikan dalam Permohonan.25
7. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain
berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk meniklmati manfaat ekonomi dari
suatu Paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.26
8. Lisensi wajib yaitu lisensi untuk melaksanakan paten yang diberikan berdasarkan
keputusan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual atas dasar permohonan
satu pihak.27
9. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka,
susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya
pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.28
22
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten 23
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten 24
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten 25
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten 26
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten 27
Pasal 74 Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten.
10
10. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan
oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum
untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.29
11. Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.30
12. Merek kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan
karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan
hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa
sejenis lainnya.31
13. Hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan oleh Negara kepada pemilik
Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu
dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada
pihak lain untuk menggunakannya.32
14. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain
melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan
hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis
barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.33
15. Persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya
unsur-unsur yang menonjol antara Merek yang satu dan Merek yang lain, yang
dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara
28
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 29
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 30
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 31
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 32
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 33
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
11
penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun
persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.34
16. Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu
barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor
manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan
kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.35
17. Merek terkenal (well-known trademark) adalah merek yang menjadi simbol
kebanggaan yang dapat diandalkan oleh konsumen walaupun konsumen tidak
mengetahui atau tidak menyadari siapa pemilik merek tersebut.36
18. Pelanggaran merek (trademark infringement) adalah pemakaian secara tidak sah
suatu merek yang menyerupai merek dari pemilik yang sah, termasuk merek
dagang, merek jasa, merek kolektif dan sertifikat merek dengan menciptakan
suatu persamaan yang membingungkan bagi para konsumen.37
19. Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi
garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang
berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estesis dan
dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai
untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan
tangan.38
34
Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 35
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek 36
James E. Inman, “Gray Marketing of Imported Trademarked Goods: Tariff and Trademark Issues” American Business Law Journal, Volume 31, No. 1 (May 1993), hal. 83 37
Donald S. Chisum and Michael A. Jacobs, Understanding Intellectual Property Law, New York: Matthew Bender & Co., Inc., 1995, hal 5-279. 38
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri
12
20. Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain
Industri.39
21. Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik
Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu
melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakan hak tersebut.40
22. Tanggal Penerimaan adalah tanggal Penerimaan Permohonan yang telah
memenuhi persyaratan administratif.41
23. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di
bidang Hak Kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa di bidang
pengajuan dan pengurusan permohonan Paten, Merek, Desain Industri serta
bidang-bidang Hak Kekayaan Intelektual lainnya dan terdaftar sebagai Konsultan
Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal.42
24. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Desain Industri kepada pihak
lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan
hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Desain Industri yang
diberikan perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.43
25. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang berasal
dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris untuk memperoleh pengakuan
bahwa Tanggal Penerimaan yang diajukannya ke negara tujuan, yang juga
anggota Konvensi Paris atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan
39
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri 40
Pasal 2 angka 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri 41
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri 42
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri 43
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri
13
Dunia, memiliki tanggal yang sama dengan Tanggal Penerimaan yang diajukan di
negara asal selama kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Konvensi
Paris.44
26. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha. 45
27. Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.46
Pada Naskah Akademik ini, regulasi yang hendak disusun adalah
Rancangan Undang-Undang Tentang Hak kekayaan industri yang mencakup
perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000
Tentang Desain Industri. Hal ini adalah sebagai tindak lanjut atas Instruksi Presiden
No. 11 Tahun 2011 yang mengamanahkan Kementerian Hukum dan HAM
bertanggung jawab atas pengembangan ekonomi khusus di bidang HKI. Kajian yang
menjadi pokok bahasan dalam penyusunan Naskah Akademik difokuskan pada
Paten, Merek dan Desain Industri sehubungan dengan rencana perubahan atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain
44
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri 45
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Lihat juga black’s Law Dictionary, yang dimaksud dengan Unfair Competition adalah dishonest or fraudulent rivalry in trade and commerce; especially the practice of trying to palm off one’s own goods or services for those of another by imitating or counterfeiting a competitor’s name, brand, or distinctive characteristic; and the body of law protecting the first user against an imitating or counterfeiting competitor. 46
Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang (PKPU). Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang.
14
Industri. Adapun ketiga Undang-Undang tersebut akan dikompilasi menjadi
Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan
Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun
2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain
Industri) dan diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif dan
efisien serta lebih meningkatkan perekonomian Indonesia.
Penggunaan istilah Hak Kekayaan industri dalam Naskah Akademik ini
mengacu pada ruang lingkup Hak Kekayaan Industri sebagaimana diatur dalam
Konvensi Paris yang mencakup Paten, Merek, dan Desain Industri, selain Rahasia
Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Secara substansi, istilah Hak Kekayaan
Industri ditujukan untuk memberikan perlindungan secara khusus kepada karya-
karya intelektual yang lahir karena intelektualitas manusia dalam bidang industri
sebagaimana tercakup dalam definisi HKI menurut World of Intellectual Property
Organization (WIPO), sebagai berikut:47
“Very broadly, intellectual property means the legal rights which result from
intellectual actitivity in the industrial, scientific, literary and artistic fields.”
Perubahan sistem Paten, Merek dan Desain Industri juga dapat
dipengaruhi karena adanya perubahan dalam sistem Paten, Merek, dan Desain
Industri secara internasional, atau konvensi-konvensi maupun traktat-traktat
internasional di bidang HKI, yaitu Paris Convention for the Protection of Industrial
Property Rights, Geneva Act, Patent Cooperation Treaty, Trademark Law treaty, dan
Madrid Protocol (sampai saat ini pemerintah Indonesia belum meratifikasi Geneva
Act dan Madrid Protocol). Pengaruh tersebut tidak dapat dipungkiri karena Indonesia
47
WIPO Intellectual Property Reading Material 1995
15
juga adalah salah satu anggota dari World Intellectual Property Organization (WIPO).
Ratifikasi beberapa konvensi Internasional di bidang HKI, khususnya Paten, Merek
dan Desain Industri merupakan kesadaran kita untuk menjadi bagian dari pergaulan
dunia dan kebutuhan yang diharapkan memberi manfaat lebih baik bagi
perkembangan perdagangan secara khusus dan perekonomian nasional pada
umumnya. Karena penerapan sistem HKI, khususnya sistem Paten, Merek dan Desain
Industri tentu tidak hanya mendasarkan pada kepentingan hukum semata, tetapi
juga perlu mengaitkannya dengan kepentingan ekonomi nasional.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
memandang perlu untuk melakukan kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan
Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun
2001 tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain
Industri) dalam rangka untuk mempersiapkan materi Rancangan Undang-Undang
Tentang Hak Kekayaan Industri. Penggunaan istilah Hak Kekayaan industri dalam
Naskah Akademik ini mengacu pada ruang lingkup HKI sebagaimana diatur dalam
Konvensi Paris yang mencakup Paten, Merek, dan Desain Industri selain Rahasia
Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang
Merek, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri yang
berlaku saat ini, dikaji dari aspek substansi, prosedur administrasi, dan efisiensi
16
masih terdapat kendala-kendala maupun hambatan dalam implementasinya,
khususnya bagi sektor industri dan perdagangan, sehingga ketiga undang-undang
tersebut perlu direvisi dan digabungkan ke dalam 1 (satu) paket undang-undang
Tentang Hak Kekayaan Industri.
Dalam rangka memberikan landasan ilmiah bagi penyusunan Rancangan
Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri, maka dalam Naskah Akademik ini
dilakukan pengkajian dan penelitian yang mendalam mengenai, yaitu sebagai
berikut:
1. Apakah pengaturan tentang Paten, Merek dan Desain Industri dalam satu
undang-undang tentang Hak Kekayaan Industri yang mencakup revisi Undang-
Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001
Tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain
lndustri dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif dan efisien serta
lebih meningkatkan perekonomian Indonesia.
2. Hal-hal apa saja yang dapat dijadikan masukan dalam revisi Undang-Undang
No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001
Tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain
lndustri, sebagai materi muatan Rancangan Undang-Undang Hak Kekayaan
Industri.
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri.
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan dalam pembentukan Rancangan Undang-
Undang Tentang Hak Kekayaan Industri.
17
C. Tujuan dan kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Maksud disusunnya Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan
tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri (Paket
Perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No.
15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang
Desain Industri) ini adalah sebagai landasan ilmiah bagi penyusunan perubahan atau
revisi terhadap ketiga Undang-undang ini agar visi dan misi ketiga Undang-undang ini
di masa mendatang dapat lebih melindungi kepentingan masyarakat.
Tujuan dibuatnya Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang
Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001
Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-
Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri) adalah sebagai berikut:
1. Merumuskan pengaturan tentang Paten, Merek dan Desain Industri dalam satu
undang-undang tentang Hak Kekayaan Industri yang mencakup revisi Undang-
Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001
Tentang Merek dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri,
yang dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif dan efisien serta lebih
meningkatkan perekonomian Indonesia.
2. Merumuskan hal-hal yang dapat dijadikan masukan dalam revisi Undang-Undang
No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang
Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri, sebagai
materi muatan Rancangan Undang-Undang Hak Kekayaan Industri.
3. Merumuskan landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan
Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri.
18
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan pembentukan Rancangan Undang-Undang
Tentang Hak Kekayaan Industri.
Kegunaan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Tentang Hak Kekayaan Industri ini adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan
dan pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri.
D. Metode
Metode penelitian dalam Penyusunan Naskah Akademik tentang
Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri (Paket Perubahan
Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun
2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain
Industri) menggunakan metode pendekatan deskriptif-analitis, yaitu
menggambarkan berbagai permasalahan secara utuh dan menyeluruh, selanjutnya
dilakukan analisis yang menjadi bagian-bagian sebagai sistem yang terbagi atas sub
sistem-sub sistem dari suatu ekosistem sebagai suatu kesatuan dalam merumuskan
penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan
Industri.
Hasil analisis tersebut menjadi landasan untuk mengenali hukum,
khususnya hukum tertulis yang berlaku yang diatur dalam peraturan Perundang-
undangan yang berkaitan dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang
Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang No.
31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, termasuk Persetujuan TRIPs dan konvensi-
konvensi atau traktrat-traktat internasional yang berhubungan dengan Paten, Merek
19
dan Desain Industri yaitu Patent Law Treaty, Trademark Law Treaty, dan Paris
Convention for the Protection of Industrial Property Rights.
Penelitian ini menggunakan pendekatan secara interdisipliner dan
multidisipliner, dan dengan pendekatan dari segi pengelolaannya secara terpadu.
Melalui pendekatan interdisipliner akan diketahui hukum dan ilmu hukum yang
mengatur tentang Hak Kekayaan Industri melalui pendekatan multi disipliner akan
diketahui ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang mendukung pengaturan penyusunan
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri.
Metode pendekatan sistemik ini digunakan sebagai konsekuensi dari
pengertian dan pemahaman tentang Hak Kekayaan Industri, dan penelitian ini harus
pula mendekati permasalahan tersebut di atas secara futuristik mengingat penelitian
ini menyangkut pembangunan yang berkelanjutan dalam sistem hukum Hak
Kekayaan Industri.
Pada dasarnya penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Tentang Hak Kekayaan Industri dilakukan dengan menggunakan metode penelitian
yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif-analitis yang berasal
dari data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer (peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan Paten, Merek dan Desain Industri) dan
bahan hukum sekunder serta bahan hukum tertier (hasil-hasil penelitian, pengkajian,
majalah hukum dan sebagainya) serta data-data yang diperoleh dari para anggota
tim.
Tahapan penelitian diawali dengan melakukan inventarisasi hukum,
khususnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Paten, Merek
dan Desain Industri hasil inventarisasi ini kemudian dianalisis secara kualitatif
20
berdasarkan norma-norma hukum yang berlaku dan disusun menjadi sub sistem
sebagai bagian dari sistem hukum nasional, dan diperlukannya bahan-bahan hukum
dalam mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Industri.
Sumber hukum materiil masalah Paten, Merek dan Desain Industri ini
mengacu pada inventarisasi permasalahan, kemudian diupayakan untuk menarik
azas-azas hukum dan rumusan norma yang akan dijadikan acuan penyusunan
Rancangan Undang-Undang Hak Kekayaan lndustri. Sedangkan inventarisasi dan
pengolahan data dilakukan melalui:
1. Penelusuran kepustakaan, dengan mengkaji berbagai peraturan perundang-
undangan yang sudah ada dan berlaku di Indonesia termasuk Persetujuan
TRIPs, konvensi dan traktat internasional yang terkait dengan Paten, Merek
dan Desain Industri;
2. Mengkaji bahan-bahan seminar, makalah, kertas kerja, putusan pengadilan
yang terkait dengan Paten, Merek dan Desain Industri;
3. Mengkaji Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-
Undang Nomor 15 Tahun Tentang Merek, dan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2000 Tentang Desain Industri mengenai bagaimana implementasi,
kendala-kendala dalam prakteknya, dan peraturan perundang-undangan yang
terkait; dan
4. Hasil Diskusi atau informasi sesama anggota tim.
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INDUSTRI
A. Kajian Teoretis
Sebagai suatu hak yang dihasilkan kemampuan intelektualita manusia, HKI
perlu mendapat perlindungan hukum yang memadai. Tanpa adanya perlindungan
hukum, para pesaing dapat meniru Paten, Merek dan Desain Industri orang lain
tanpa harus mengeluarkan biaya untuk proses penciptaannya atas Paten, Merek dan
Desain Industri.
Dalam Pasal 1 angka (2) Paris Convention for the Protection of Industrial
Property, dinyatakan bahwa: “The protection of industrial property has as its object
patents, utility models, industrial designs, trademarks, service marks, trade names,
indications of source or appellations of origin, and the repression of unfair
competition.” Dengan demikian, HKI menurut Konvensi Paris meliputi, yaitu Paten,
Paten Sederhana, Desain Industri, Merek Dagang, Merek Jasa, Nama Dagang, Indikasi
Asal dan Penanggulangan Persaingan Curang. Di dalam Persetujuan TRIPs, makna
merujuk pada semua kategori dari HKI yang meliputi, yaitu Copyright and Related
Rights, Trademarks, Geographical Indications, Industrial Designs, Patents, Layout
Design (topographies) of Integrated Circuits, and Protection of Undisclosed
Information. Persetujuan TRIPs memperjelas kedudukan perlindungan HKI sebagai
isu-isu yang terkait di bidang perdagangan. Tujuannya adalah untuk memberi
perlindungan HKI dan prosedur penegakan hak dengan menerapkan tindakan yang
menuju pada perdagangan yang sehat.
22
Mieke Komar dan Ahmad M. Ramli mengemukakan beberapa alasan
mengapa Hak Kekayaan Industri perlu dilindungi,48 yaitu: pertama, bahwa hak yang
diberikan kepada seorang pencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra atau
Inventor di bidang teknologi baru yang mengandung langkah inventif merupakan
wujud dari pemberian suatu penghargaan dan pengakuan atas keberhasilan manusia
dalam melahirkan karya-karya inovatifnya. Dengan demikian, sudah merupakan
konsekuensi hukum untuk diberikannya suatu perlindungan hukum bagi penemu
atau pencipta dan mereka yang melakukan kreatifitas dengan mengerahkan segala
kemampuan intelektual tersebut seharusnya diberikan suatu hak eksklusif untuk
mengeksploitasi HKI tersebut sebagai imbalan atas jerih payahnya itu; kedua,
Terdapat sistem perlindungan HKI yang dengan mudah dapat diakses pihak lain,
sebagai contoh dapat dikemukakan Paten yang bersifat terbuka. Seorang inventor
berkewajiban untuk menguraikan invensinya tersebut secara rinci, yang
memungkinkan orang lain dapat belajar atau melaksanakan invensi tersebut. Untuk
itu, merupakan suatu kewajaran dan keharusan untuk memberikan suatu hak
eksklusif kepada Inventor selama jangka waktu tertentu untuk menguasai dan
melakukan eksploitasi atas penemuannya itu (hak ekonomi); ketiga, HKI merupakan
hasil ciptaan atau penemuan yang bersifat rintisan dapat membuka kemungkinan
pihak lain untuk mengembangkan lebih lanjut penemuan yang dihasilkan oleh
Inventor. Oleh karena itu, invensi mendasar pun harus dilindungi meskipun mungkin
48
Mieke Komar dan Ahmad M. Ramli, Perlindungan Hak Atas Kepemilikan Intelektual Masa Kini dan Tantangan Menghadapi Era Globalisasi Abad 21, Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan Budaya Menghargai HAKI di Indonesia Menghadapi Era Globalisasi Abad ke-21, Lembaga Penelitian ITB-Ditjen HCPM Dep. Kehakiman RI, Sasana Budaya Ganesa, tanggal 28 Nopember 1998, hal. 2.
23
belum memperoleh perlindungan di bawah rezim hukum Paten, dapat dikategorikan
sebagai Rahasia Dagang atau informasi yang dirahasiakan.
Menurut Hikmahanto Juwana49, dalam melihat suatu kegiatan dari
perspektif hukum, maka perspektif hukum tersebut dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu:
1. kegiatan tersebut dilihat dari perspektif ilmu hukum; dan
2. kegiatan tersebut dilihat dari perspektif spesialisasi bidang hukum.
Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perspektif ilmu
hukum adalah perspektif yang melihat suatu kegiatan dari cabang ilmu hukum, yaitu
hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan
hukum internasional. Perbedaan antara satu cabang ilmu hukum dengan cabang
ilmu hukum lainnya dikarenakan adanya perbedaan tentang apa yang diatur, subyek
hukumnya, sifat hubungan antar subyek hukum, prinsip-prinsip yang dikenal dan lain
sebagainya. Dalam hukum perdata, misalnya yang menjadi subyek adalah orang
perorangan dan badan hukum. Sementara dalam hukum internasional yang menjadi
subyek hukum diantaranya adalah negara dan organisasi internasional. Jelas kedua
cabang ilmu hukum ini berbeda satu sama lain.
Adapun yang dimaksud dengan perspektif spesialisasi bidang hukum,
antara lain hukum perbankan, hukum pasar modal, hukum hak kekayaan intelektual,
dan hukum persaingan. Berbagai spesialisasi bidang hukum ini tidak menginduk pada
satu cabang ilmu hukum saja, melainkan kumpulan dari berbagai aspek cabang ilmu
hukum atas suatu kegiatan (misalkan perbankan, pasar modal, hak atas kekayaan
49
Hikmahanto Juwana, Bunga Rampai Hukum EKonomi dan Hukum Internasional, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), hal. 28-29.
24
intelektual, pertambangan) yang kemudian dirangkum menjadi satu. Spesialisasi
bidang hukum muncul karena adanya suatu kegiatan yang dilihat dari berbagai aspek
hukum dan mempunyai sifat khusus. Sebagai contoh kegiatan perbankan bisa dilihat
dari berbagai aspek hukum perdata, pidana, tata negara, administrasi negara dan
internasional yang keseluruhannya dimasukkan ke dalam satu kategori yang disebut
hukum perbankan. Demikian pula hukum hak kekayaan intelektual merupakan
berbagai aspek hukum dari kegiatan hak kekayaan intelektual yang bisa dilihat dari
berbagai aspek hukum perdata, pidana, tata negara, administrasi negara dan
internasional yang keseluruhannya dimasukkan ke dalam satu kategori yang disebut
hukum hak kekayaan intelektual.
Terdapat berbagai teori yang mendasari perlunya suatu bentuk
perlindungan hukum HKI, sebagaimana Reward Theory yang memiliki makna yang
sangat mendalam berupa pengakuan terhadap karya intelektual yang telah
dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada Inventor/pemilik merek atau Pendesain
harus diberikan penghargaan sebagai imbalan atas upaya-upaya kreatifnya dalam
menemukan/atau menciptakan karya-karya intelektual tersebut. Teori ini sejalan
dengan prinsip yang menyatakan bahwa Inventor/pemilik merek/Pendesain yang
telah mengeluarkan waktu, biaya serta tenaga dalam menghasilkan karya
intelektualnya harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkan tersebut, yang
dikenal dengan Recovery Theory. Teori lain yang sejalan dengan teori Reward adalah
Incentive Theory yang mengaitkan pengembangan kreativitas dengan memberikan
insentif bagi para penemu/pencipta atau Pendesain tersebut. Berdasarkan teori ini
25
insentif perlu diberikan untuk mengupayakan terpacunya kegiatan-kegiatan
penelitian yang berguna50.
Ketiga teori ini pada intinya memiliki visi yang sama, yaitu berupa
pemberian penghargaan kepada para Penemu/pemilik merek dan Pendesain atas
karya intelektual yang telah dihasilkannya. Dalam perkembangannya, pemberian
penghargaan tersebut harus dikaitkan dengan upaya untuk menciptakan iklim yang
kondusif agar masyarakat tetap kreatif. Penghargaan yang tidak memadai akan
membunuh kreativitas masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, teori-teori tersebut
perlu disempurnakan dengan memasukkan kepentingan makro sebagai upaya untuk
menumbuhkan kreativitas masyarakat sehingga penghargaan tidak dianggap sebagai
satu-satunya upaya memberikan keuntungan untuk individu Inventor atau pemilik
Paten/pemilik merek/Pendesain, tetapi lebih jauh adalah untuk menciptakan
kreativitas secara nasional. Dengan demikian, maka pemberian penghargaan
tersebut akan merupakan sumbangan konkret bagi negara dalam pembangunan
teknologi dan pembangunan ekonominya. Teori ini dinamakan Teori Kepentingan
Makro.51
Teori keempat yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood adalah Risk
Theory. Teori ini mengakui bahwa HKI merupakan suatu hasil karya yang
mengandung risiko yang dapat memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu
menemukan cara tersebut atau memperbaikinya, sehingga dengan demikian adalah
wajar untuk memberikan suatu bentuk perlindungan hukum terhadap upaya atau
kegiatan yang mengandung risiko tersebut. Sherwood berpendapat bahwa risiko
50
Robert M. Sherwood, Intellectual Property and EconomicDevelopment: Westview Special Studies in Science Technology and Public Policy, (San Fransisco: Westview Press Inc., 1990), hal. 39. 51
Dr. Ranti Fauza Mayana, S.H., Perlindungan Desain Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), hal. 45.
26
yang mungkin timbul dari penggunaan secara ilegal yang menimbulkan kerugian
secara ekonomis maupun moral bagi Inventor/Pencipta dan Pendesain tersebut
dapat dihindari jika terdapat landasan hukum yang kuat yang berfungsi untuk
melindungi HKI tersebut. Namun dalam kenyataannya, kesulitan mengatasi risiko ini
dapat pula timbul disebabkan karena lemahnya sistem penegakan hukum meskipun
peraturan perundang-undangan yang berlaku telah cukup memberikan
perlindungan. Oleh karena itu, teori Risk harus diartikan secara luas, tidak hanya
sekedar penyediaan perangkat hukum semata-mata, tetapi juga harus
mengakomodasi ketentuan-ketentuan tentang peran dan tanggung jawab aparat
penegak hukum dalam proses penegakan hukum dan langkah untuk membudayakan
perlindungan HKI di kalangan masyarakat, mengingat risiko pelanggaran HKI
berpotensi akan tetap terjadi jika budaya masyarakat tidak mendukung perlindungan
hukum di bidang HKI.
Teori terakhir yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood adalah
Economic Growth Stimulus Theory yang mengakui bahwa perlindungan atas HKI
merupakan suatu alat dari pembangunan ekonomi, dan yang dimaksud dengan
pembangunan ekonomi adalah keseluruhan tujuan dibangunnya suatu sistem
perlindungan HKI yang efektif. Menurut Sherwood, teori ini sangat relevan untuk
dijadikan dasar perlindungan HKI saat ini terutama dalam menghadapi era
perdagangan bebas dan konsekuensi diratifikasinya kesepakatan WTO oleh
Indonesia.
Disamping kelima teori perlindungan HKI tersebut di atas, dalam konteks
korelasi antara HKI nasional, HKI internasional, dan kegiatan ekonomi serta
perdagangan pasar global, Anthony D’Amato dan Doris Estelle Long berpendapat
27
bahwa perkembangan standar internasional bagi pengaturan HKI telah memberikan
dampak bagi perkembangan perdagangan dan teknologi, sehingga keadaan ini
sangat mendukung pembentukan suatu pasar global bagi produk-produk berbasis
HKI. Pada akhirnya pengaturan hukum nasional merupakan pengejewantahan dari
tujuan-tujuan kepentingan nasional suatu negara yang merupakan muara
keberhasilan agregat atas pengaturan HKI. Salah satu pertimbangan yang penting
untuk diperhatikan dalam interkoneksi pengaturan HKI dengan sistem hukum, sistem
perekonomian, dan sistem sosial budaya, yaitu tujuan dalam peningkatan
kesejahteraan sosial.
Sifat-sifat individualistis pengaturan HKI justru harus diinterpretasikan
sebagai upaya mendukung kesejehteraan sosial sebagaimana pendapat Anthony
D’Amato dan Doris Estelle Long sebagai berikut:52
“Demands for protection of intellectual property are often based (implicitly or explicitly) on a theory of natural law or moral right – the idea that intellectual property is naturally owned by the person who creates it and that appropriation from that person without compensation is wrongful (whether such appropriation is purely domestic or international). However, national policy on the scope of legitimized intellectual property right vary widely depending on the result of a cost/benefit analysis balancing the immediate public welfare against long - term interest in private capital formation).”
Labour Theory juga telah mengemukakan tentang pentingnya
perlindungan HKI, yaitu:
“Patent and other types of intellectual property rights are intended to prevent people from commercially exploiting ideas or inventions without fair compensation to the originators. The concept comprises two competing social objectives: the need to encourage technical innovations and the need to disperse the benefits of that innovation throughout society.”53
52
Anthony D’Amato & Doris Estelle Long, International Intellectual Property Anthology (Cincinati: Andersen Publising Co., 1996), hlm. 8. 53
Justin Hughes, The Philosophy of Intellectual Property, 77 Geo.L.J. 287 (1998), hal. 21.
28
Dari uraian tersebut terlihat adanya pemikiran bahwa suatu karya
intelektual yang dihasilkan oleh seseorang atas dasar intelektualitasnya, baik berupa
invensi maupun karya intelektual lainnya termasuk Paten, Merek dan Desain Industri
perlu mendapatkan perlindungan guna mencegah segala bentuk eksploitasi secara
komersial oleh pihak lain tanpa kompensasi yang adil kepada pihak yang
menghasilkan karya-karya intelektual tersebut. Konsep tersebut juga mengandung
makna untuk mendukung dua tujuan sosial yang saling berkompetisi, yaitu adanya
kebutuhan untuk merangsang invensi-invensi baru di satu sisi dan di sisi lain yaitu
kebutuhan untuk menyebarluaskan karya intelektual tersebut untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma
Efektifnya penegakan hukum sebuah undang-undang dalam suatu negara
menurut Antony Allott bukan merupakan kewajiban dari masyarakat yang diatur
oleh undang-undang tersebut, melainkan pada pembuat undang-undang.54 Dalam
membuat undang-undang, cenderung berdasarkan kemajuan yang dicapai di negara
lain - umumnya pada kemajuan yang dicapai negara-negara maju yang tertulis dalam
statuta-statuta. Sehingga seringkali dilewatkan peran hakim dalam menerapkan
hukum dan juga peran pembuat undang-undang itu sendiri.
Efektifitas undang-undang dalam sebuah negara diukur melalui tiga
derajat penerapan undang-undang tersebut:
1. Ketika undang-undang menjadi pencegah (preventive), apakah undang-undang
tersebut berhasil mencegah subyek hukumnya dari perbuatan yang dilarang.
54
Antony Allott, The Effectiveness of Law, Valparaiso University Law Review Volume 15, 1981, hal. 229 – 242.
29
2. Ketika undang-undang menjadi penyelesaian dari sengketa (currative) yang
timbul antara subyek hukumnya, apakah undang-undang berhasil memberikan
penyelesaian yang adil.
3. Ketika undang-undang menjadi penyedia kebutuhan subyek hukumnya untuk
melakukan perbuatan hukum (facilitative), apakah undang-undang berhasil
menyediakan aturan-aturan yang memfasilitasi kebutuhan mereka.
Peran hakim dan pembuat undang-undang dalam hal ini adalah untuk
menyelaraskan undang-undang yang dibuat dan diterapkan pada keadaan yang
sudah berlangsung serta bentuk perilaku mendasar masyarakat yang menjadi subyek
dari undang-undang tersebut. Sehingga ketika undang-undang menjadi satu dari tiga
bentuk penerapan di atas, undang-undang menjadi panduan dari norma hukum yang
telah dikenal secara jelas oleh masyarakat.
Tidak efektifnya sebuah undang-undang menurut Allott adalah:
1. Penyampaian maksud dari undang-undang tersebut yang tidak berhasil. Bentuk
dari undang-undang umumnya berupa peraturan-peraturan berbahasa baku
yang sulit dimengerti oleh masyarakat awam serta kurangnya badan pengawasan
dari penerimaan dan penerapan undang-undang tersebut.
2. Terdapat pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat undang-
undang dengan sifat dasar dari masyarakat.
3. Kurangnya instrumen pendukung undang-undang seperti peraturan pelaksana,
institusi-institusi atau proses yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penerapan
undang-undang tersebut.
Asas reward theory/incentive theory/recovery theory yakni diberikannya
hak eksklusif berupa perlindungan hukum dengan jangka waktu tertentu agar
30
penemu/pemilik merek/pendesain dapat mengeksploitasi kreasi yang dihasilkannya
sebagai suatu penghargaan atas jerih payah serta pengorbanan yang telah dilakukan
dalam penemuannya.
Reward/incentive/recovery yang diperoleh antara lain berupa:
a. Dicantumkannya kata “hak eksklusif” pada definisi Paten, Merek dan Desain
Industri;
b. Diberikannya jangka waktu sesuai Persetujuan TRIPs pada Paten (20 tahun
terhitung sejak tanggal penerimaan Paten), Merek (10 tahun dapat
diperpanjang) dan Desain Industri (10 tahun);
c. Ditetapkannya royalti sebagai hak dari penemu/ pemilik merek/pendesain;
d. Diterapkannya norma bahwa adalah pelanggaran hukum apabila
menggunakan Paten/Merek/Desain Industri milik orang lain. Dengan norma
ini maka dapat ditempuh upaya hukum secara perdata atau pidana atau
arbitrase dalam menyelesaikan sengketa ini;
e. Undang-Undang mengatur bahwa perlindungan Desain Industri diberikan
dalam bentuk pemberian hak Desain Industri kepada Pendesainnya atau
penerima hak atas desain tersebut. Hak yang dimaksud adalah hak untuk
melaksanakan sendiri hasil desainnya, atau memberikan kepada pihak lain
untuk melaksanakan hak tersebut, atau melarang pihak lain yang tanpa
persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor,
dan/atau mengedarkan barang yang diberi hak Desain Industri.
Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara
Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu
31
tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain
untuk melaksanakan hak tersebut.55
Sedangkan teori kepentingan makro yang menyatakan bahwa perlu
adanya kepentingan makro sebagai upaya untuk menumbuhkan kreativitas
masyarakat diterapkan dalam norma artinya menyatakan berlakunya hukum pidana
dalam pelanggaran di bidang HKI. Ini merupakan kebijakan Negara yang tidak
menganggap masalah Hak Kekayaan Industri merupakan hak privat/individual
semata.
Namun Negara juga menganggap perlu untuk menegakkan norma
disebabkan kepentingan menciptakan iklim yang kondusif bagi seluruh masyarakat
sehingga kreatifitas makin tumbuh. Walaupun Persetujuan TRIPs hanya mengatur
masalah pidana bagi Merek dan Hak Cipta akan tetapi Negara memiliki otoritas
untuk juga memperlakukan sistem pidana bagi jenis HKI lainnya. Teori makro ini
memiliki kemiripan dengan teori Robert M. Sherwood yaitu Economic Growth
Stimulus Theory yang memandang permasalahan HKI secara makro memiliki dampak
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Norma didalam Undang-Undang Paten,
Merek dan Desain Industri mensyaratkan adanya pencatatan lisensi pada Direktorat
Jenderal HKI.
Pencatatan lisensi ini dimaksudkan agar Pemerintah dapat meneliti
keabsahan perjanjian lisensi yang dilakukan para pihak, dimana bila di dalam
perjanjian lisensi tersebut dapat mengakibatkan kerugian bagi perekonomian Negara
maka Negara dapat menolak pencatatan lisensi yang demikian. Norma pencatatan
lisensi ini mendukung teori economic growth stimulus yang mendasarkan pentingnya 55
Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri.
32
perlindungan hukum diberikan atas karya intelektual penemu/pendesain/pemilik
Merek dimana perlindungan hukum yang memadai bukan saja akan meningkatkan
perekonomian pemegang hak akan tetapi juga meningkatkan perekonomian
nasional.
Teori risk dalam penerapan norma peraturan bidang HKI, khususnya
pemberian perlindungan hukum bahkan penegakan hukum yang lebih baik karena
menyadari karya-karya intelektual ini memiliki potensi ekonomi yang besar sehingga
rentan bagi para pelanggar hukum untuk melakukan peniruan demi memperoleh
keuntungan dengan cara yang singkat. Diperlukan pengaturan yang lebih lengkap
mengenai masalah injunction (penetapan sementara) yang intinya kecepatan
bertindak agar barang tiruan dapat dihentikan sebelum beredar di masyarakat.
Disamping itu untuk meningkatkan efek jera para pelanggar Merek khususnya Merek
untuk jenis obat-obatan maka sifat delik nya berubah menjadi delik biasa dengan
ancaman pidana yang lebih tinggi.
Di bidang Desain Industri diperlukan norma yang lebih terinci mengatur
masalah dalam penerimaan proses pendaftaran Desain termasuk kewajiban untuk
melakukan pemeriksaan substantif meskipun tidak ada oposisi sebagaimana
disyaratkan dalam ketentuan terdahulu. Dengan demikian tidak ada lagi desain yang
mestinya tidak baru dapat diberikan sertifikat. Sehingga akan membawa pengaruh
positif bagi masyarakat untuk tidak mendaftarkan desain yang bukan miliknya atau
tidak baru lagi, serta makin menggairahkan keinginan untuk berkreasi karena
diberikannya perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam penerimaan
permohonan desain.
33
C. Kajian terhadap praktik Penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta Permasalahan
yang dihadapi masyarakat
Sistem Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak privat (private rights) dan
hal ini diatur dalam Agreement on Trade Related Aspects of Industrial Property Rights
atau Persetujuan TRIPs yang menyatakan “recognizing that intellectual property
rights are private rights”.56
Indonesia telah melakukan berbagai upaya dan langkah penyempurnaan
terhadap pengaturan di bidang HKI. Langkah tersebut dilakukan untuk meningkatkan
pengaturan HKI sesuai dengan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam Persetujuan TRIPs/WTO.57 Dengan keikutsertaan Indonesia sebagai
anggota WTO dan penandatangan Persetujuan TRIPs, sebagai konsekuensinya
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi-konvensi atau traktat-traktat
internasional di bidang HKI pada tanggal 7 Mei 1997.58
Indonesia meratifikasi konvensi pembentukan World Intellectual Property
Organization (WIPO) pada tahun 1979 dan kemudian pada tahun 1997 diperbaharui
melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Perubahan Keputusan
Presiden Nomor 24 Tahun 1979 Tentang Pengesahan Paris Convention for the
Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual
Property Organization. Konvensi Paris merupakan konvensi pertama yang mengatur
56
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods. 57
Indonesia sebagai Negara berkembang telah diberi waktu transisi 5 tahun sejak berlakunya Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs (tanggal 1 Januari 1995) untuk mengimplementasikan Persetujuan TRIPs/WTO, yaitu sampai tahun 2000. Persetujuan TRIPs/WTO mulai berlaku efektif di Indonesia pada tanggal 1 Januari 2001. 58
Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman RI dan JICA, Buku Panduan Tentang Hak atas Kekayaan Intelektual (Tangerang: DJ HKI, 1999).
34
HKI yang meliputi Paten, Merek, dan Desain Industri. Konvensi tersebut memuat tiga
bagian penting, yaitu:
1. Ketentuan pokok mengenai prosedur, antara lain prosedur menjadi anggota Uni
(Paris).
2. Prinsip-prinsip yang menjadi pedoman wajib Negara anggota Uni, antara lain
national treatment, most favoured nation, dan independent protection.
3. Ketentuan-ketentuan mengenai materi Hak Kekayaan Industri yang meliputi
Paten, Merek, dan Desain Industri, antara lain hak prioritas dalam permohonan
Paten, Merek, dan Desain Industri, Lisensi Wajib pada Paten, dan sebagainya.
Masalah penyelesaian sengketa di bidang HKI memerlukan badan
peradilan khusus karena bidang HKI terkait erat dengan perekonomian dan
perdagangan. Perkara-perkara perdata di bidang HKI (kecuali bagi Rahasia Dagang
dimana merupakan kewenangan Pengadilan Negeri) menjadi kewenangan
Pengadilan Niaga, oleh karena itu perkara-perkara di bidang HKI harus diselesaikan
dalam waktu yang relatif cepat.
Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa atau ketentuan tentang
Arbitrase59 juga terdapat dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten,
Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang No. 30
Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Selain itu pada ketiga Undang-Undang tersebut
terdapat ketentuan yang memberikan upaya kepada pemilik Paten, Merek dan
Desain Industri, untuk memohon kepada Pengadilan Niaga untuk diterbitkan
Penetapan Sementara Pengadilan untuk mencegah kerugian yang lebih besar
terhadap pemilik pemilik Paten, Merek dan Desain Industri. Penetapan Sementara 59
Pada tanggal 21 April 2011 telah dibentuk suatu Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI)
35
Pengadilan ini merupakan hal yang baru dalam sistem hukum Indonesia, yaitu
penetapan yang diberikan oleh hakim sebelum ada perkara pokok, hal ini untuk
memenuhi standar ketentuan yang terdapat dalam Persetujuan TRIPs, khususnya
Pasal 44.
1. Implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
Penerapan Undang-Undang Paten di Indonesia bukan saja sejak Indonesia
menjadi anggota Organisasi perdagangan Dunia atau World Trade Organization,
namun jauh sebelumnya Indonesia telah menerapkan Undang-Undang Paten yakni
sejak masa penjajahan Belanda, yaitu melalui Reglement Industriele Eigendom 1912
yang mengesahkan pelaksanaan Paten, Merek dan Desain Industri yang mengacu
pada peraturan-peraturan yang serupa yang terjadi di Belanda. Sebelumnya juga
disahkan Octrooi Wet 1910 Nomor 136 yang mengatur mengenai Paten yang mulai
berlaku di Indonesia sejak 1 Juli 1912.60 Selanjutnya setelah Indonesia merdeka dan
berdaulat, ketentuan-ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan lagi, berhubung
proses permintaan Paten harus dilakukan di Negeri Belanda. Sebagai gantinya,
pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 12 Agustus 1953, melalui Menteri
Kehakiman mengeluarkan Pengumuman Nomor J.S.5/4114 Berita Negara Tahun
1953 Nomor 69 Tentang Permohonan Sementara Pendaftaran.61 Berdasarkan
pengumuman tersebut, untuk sementara Kementerian Kehakiman diperkenankan
menerima permintaan Paten dalam bahasa asing dengan keharusan dalam waktu
enam (6) bulan sudah disusulkan terjemahannya. Permintaan Paten tersebut baru
akan diproses setelah diberlakukannya Undang-Undang yang baru. Pengumuman ini
60
Rachmadi usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hal. 190. 61
Harsono Adisumarto, Hak Milik Intelektual, Khususnya Paten dan Merek: Hak Milik Perindustrian (Industrial Property), (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1990), hal. 9.
36
disusul lagi dengan Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.G. 1/2/17 yang
memungkinkan permintaan Paten dari luar negeri didaftarkan pula di Indonesia.62
Pengaturan mengenai Paten di Indonesia untuk pertama kalinya
diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1989, yaitu Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1989 Tentang Paten (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3398), yang berlaku pada tanggal 1 Agustus
1991. Bahwa pengundangan Undang-Undang Paten ini dimaksudkan sebagai langkah
awal dalam menciptakan suatu iklim atau suasana yang baik dan mampu mendorong
gairah atau semangat penemuan teknologi dan sekaligus didukung pula dengan
memberikan perlindungan hukum yang memadai.
Selanjutnya Undang-Undang No. 6 Tahun 1989 ini direvisi dengan Undang-
Undang Nomor 13 tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6
tahun 1989 Tentang Paten yang berlaku sejak tanggal 7 Mei 1997. Pengaturan
tentang ketentuan paten ini kemudian mengalami perubahan yang menyeluruh,
yakni dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
(Lembaran Negara tahun 2001 Nomor 109), Tambahan Lembaran Negara Nomor
4130), yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2001. Perubahan dimaksud adalah
untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi yang sedemikian pesat dan
makin tinggi kesadaran masyarakat untuk meningkatkan pendayagunaan teknologi
yang sederhana, juga dimaksudkan untuk mengatur beberapa aspek atau ketentuan
dalam Persetujuan TRIPs yang belum diatur dalam Undang-Undang Paten tahun
1989.
62
Rachmadi Usman, op.cit. hal 191.
37
Dalam pemberian Paten, tidak semua penemuan atau invensi akan
mendapatkannya. Untuk mendapatkan Paten suatu penemuan harus memiliki syarat
substantif tertentu yaitu “kebaruan” (novelty), bisa dipraktikkan dalam industri
(industrial applicability), mempunyai nilai langkah inventif (inventive step) dan juga
memenuhi syarat formal.
Paten adalah bagian dari Hak Kekayaan Intelektual, yang dalam kerangka
ini termasuk dalam kategori Hak Kekayaan Industri (industrial property right). Hak
Kekayaan Intelektual itu sendiri merupakan bagian dari benda, yaitu benda berwujud
(benda immaterial). Pengertian benda secara yuridis ialah segala sesuatu yang dapat
menjadi obyek hak. Sedangkan yang dapat menjadi obyek hak itu tidak hanya benda
berwujud tetapi juga benda tidak berwujud.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten
mengatur bahwa yang dimaksud Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh
Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama
waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan
persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Invensi adalah ide
inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik
di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan
pengembangan produk atau proses. Dengan demikian, Paten adalah hak istimewa
(exclusive) yang diberikan kepada seorang penemu (inventor) atas hasil penemuan
(invention) yang dilakukannya di bidang teknologi, baik yang berbentuk produk atau
proses saja. Atas dasar hak istimewa tersebut, orang lain dilarang untuk
mendayagunakan hasil penemuannya, terkecuali atas izinnya atau penemu sendiri
melaksanakan hasil penemuannya.
38
Menurut Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tentang Paten, jangka
waktu paten berlaku selama dua puluh (20) tahun terhitung sejak tanggal
penerimaan paten (filing date). Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu paten
dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten.
Salah satu pertimbangan untuk pemberian hak atas Paten adalah untuk
memberi imbalan kepada si penemu atas usaha dan investasi yang telah ditanamkan
dalam penemuannya itu, maka jangka waktu berlakunya Paten itu penting karena
masa itu si Pemegang Paten dapat memanfaatkan hak khususnya dengan cara
memberikan lisensi atau izin khusus kepada seseorang atau badan hukum, bahwa
pihak yang diberi izin itu boleh membuat barang, cara kerja atau melakukan
perbuatan-perbuatan mengenai penemuan si Pemegang Paten, sedangkan bagi
pihak lain yang tidak diberi ijin tidak diperkenankan melakukan hal yang sama. Ia
hanya dapat melakukan hal yang sama bila Paten itu menjadi public domain setelah
jangka waktu Paten itu berakhir.
Lisensi Paten adalah ijin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada
pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi
dari suatu Paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu
(Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001).
Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten mengatur pula tentang
lisensi wajib, yaitu lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan
keputusan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual atas dasar permohonan satu
pihak (Pasal 74 Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten).63 Ketentuan
lisensi wajib dikenal dalam Konvensi Paris Pasal 5 Act of London menyatakan dalam 63
Lihat juga Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hal.142
39
ayat (2), bahwa tiap negara anggota berhak untuk menentukan dalam perundang-
undangan nasionalnya bahwa penyalahgunaan hak Pemegang Paten ini, misalnya
karena tidak melakukan pelaksanaan Patennya dapat dihindarkan, antara lain
dengan memberikan lisensi wajib kepada pihak lain. Akan tetapi, ditentukan bahwa
pemberian lisensi wajib ini tidak boleh diadakan lebih cepat dari tiga (3) tahun
setelah hak Paten ini diberikan dan pihak Pemegang Paten tidak dapat memberikan
alasan yang sah mengapa ia tidak dapat menggunakannya.
Lisensi wajib hanya dapat terlaksana bila memenuhi kondisi dan syarat-
syarat tertentu, yaitu bila setelah lewat jangka waktu tiga (3) tahun terhitung sejak
tanggal pemberian Paten ternyata Paten yang bersangkutan tidak dilaksanakan di
Indonesia oleh Pemegang Paten, padahal kesempatan untuk melaksanakan sendiri
secara komersial sepatutnya di tempuh. Selain kondisi di atas, lisensi wajib hanya
diberikan apabila:64
a. Pihak yang mengajukan permintaan tersebut dapat menunjukkan bukti yang
meyakinkan bahwa ia:
1) mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri Paten yang
bersangkutan secara penuh;
2) mempunyai fasilitas sendiri untuk melaksanakan Paten yang bersangkutan
secepatnya; dan
3) telah berusaha mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu yang cukup
untuk mendapatkan lisensi dari Pemegang Paten atas dasar persyaratan dan
kondisi yang wajar, tetapi tidak memperoleh hasil.
64
Lihat Pasal 76 ayat (1) UU RI Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten.
40
b. Direktorat Jenderal berpendapat bahwa Paten tersebut dapat dilaksanakan di
Indonesia dalam skala ekonomi yang layak dan dapat memberi kemanfaatan
kepada sebagian besar masyarakat.
Paten dapat dilaksanakan oleh Pemerintah apabila Pemerintah
berpendapat bahwa suatu Paten di Indonesia sangat penting artinya bagi pertahanan
dan keamanan Negara serta adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk
kepentingan masyarakat. Paten yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah adalah
Paten di bidang farmasi atau obat-obatan. Untuk itu Pemerintah telah menerbitkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah dan selanjutnya menerbitkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Paten oleh
Pemerintah Terhadap Obat-obat Anti Retroviral untuk mengatasi kebutuhan yang
mendesak dalam upaya menanggulangi epidemi penyakit HIV/AIDS di Indonesia.
Bahwa pelaksanaan Paten oleh Pemerintah yang diatur dalam ketentuan
Pasal 99 sampai dengan Pasal 103 Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten adalah bukan pelanggaran terhadap hak eksklusif Pemegang Paten, tetapi
sejalan dengan tujuan dan peran Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam rangka
mengakomodasi kebutuhan untuk memproteksi kesehatan masyarakat dan nutrisi
serta untuk mendahulukan kepentingan publik pada sektor yang vital dan untuk
kepentingan pengembangan teknologi yang terkait dengan ketentuan dalam Pasal 8
dan Pasal 31 Persetujuan TRIPs, ketentuan mana wajib diimplementasikan oleh
Pemerintah Indonesia sebagai negara yang turut mengesahkan Pembentukan WTO
serta menandatangani Perjanjian Pembentukan WTO beserta seluruh persetujuan
yang dijadikan lampiran (termasuk lampiran Persetujuan TRIPs) sesuai dengan
41
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing
the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan
Dunia).
Deklarasi Doha telah memberikan mandat kepada Indonesia, suatu
kewenangan yang pasti dan fleksibilitas untuk secara cepat mengadopsi peraturan-
peraturan untuk pelaksanaan hak Lisensi Wajib dan memastikan bahwa peraturan-
peraturan ini dirancang untuk memaksimalkan manfaat dari fleksibilitas di bawah
Persetujuan TRIPs dan Undang-Undang Paten Indonesia.
Bahwa agar pelaksanaan Lisensi Wajib dapat berjalan dengan baik di
Indonesia, maka sudah selayaknya Pemerintah segera mengeluarkan Peraturan
Pemerintah yang mengatur tentang Lisensi Wajib, sehingga semua pihak baik swasta
maupun pemerintah dapat memohon Lisensi Wajib kepada Direktorat Jenderal hak
Kekayaan Intelektual apabila membutuhkan Paten farmasi tertentu untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat.
Dalam praktiknya setelah bertahun-tahun implementasi Undang-undang
Paten, sebagian materi dirasakan kurang memadai lagi sehingga perlu dilakukan
revisi atau perubahan. Adapun permasalahan yang perlu dilakukan revisi yaitu
mengenai prosedur administrasi dan pendaftaran, rumusan pasal-pasal agar tidak
menimbulkan multi tafsir, masalah Lisensi Wajib dalam pengadaan produk farmasi
untuk kesehatan masyarakat, pengungkapan dalam permohonan Paten tentang
sumber teknologi apabila teknologi tersebut berasal dari sumber daya genetik dari
masyarakat lokal, dan rumusan mengenai impor paralel. Mengenai penegakan
hukum antara lain tidak hanya dibatasi pada masalah substantif sehubungan dengan
penolakan permohonan Paten yang dapat diajukan ke Komisi Banding Paten,
42
melainkan dapat mencakup pula masalah-masalah administratif dan pembatalan
Paten (substansi) dan perlu dilakukannya penyempurnaan peraturan penetapan
sementara pengadilan agar dapat dilaksanakan dan/atau dapat berfungsi
sebagaimana seharusnya.
Penyempurnaan beberapa ketentuan yang kurang mendukung proses
penyelesaian permohonan Paten dan mengakomodasi perkembangan perlindungan
Paten dan penyempurnaan ketentuan-ketentuan yang dirasakan kurang mendukung
serta penyempurnaan beberapa rumusan pasal yang belum sesuai selama ini dalam
proses administrasi pemberian perlindungan Paten. Penyempurnaan terhadap
rumusan mengenai ketentuan impor atas produk farmasi atau yang lazim dikenal
dengan Parallel import tidak saja dikecualikan dari tuntutan pidana, tetapi juga
pengecualian terhadap gugatan perdata. Demikian pula halnya dengan penggunaan
Paten 2 (dua) tahun sebelum masa perlindungan Paten berakhir untuk tujuan
memperoleh ijin pemasaran yang lazim dikenal dengan istilah Bolar Provision.
Praktik implementasi Undang-undang Paten yang telah berlaku di
Indonesia sejak tahun 2001, namun dalam rentang waktu 10 tahun ini, keberadaan
Undang-Undang Paten tersebut, dirasakan sudah tidak mampu lagi mengayomi
permasalahan yang timbul dan berkembang di masyarakat.
Adapun beberapa masalah yang berkembang saat ini di masyarakat dan
perlu mendapat perlindungan hukum antara lain adalah:
a) Kemudahan Pelayanan Pendaftaran Paten secara elektronik (sistem E-filing).
Sistem pendaftaran paten ini sudah dikenal oleh Negara-negara maju termasuk
penataan sistem pendaftaran paten yang bersifat regional, namun belum
diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, sebab Pasal 20
43
menyebutkan “Paten diberikan atas dasar Permohonan”, sesuai ketentuan Pasal
24 “Permohonan ditulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal.
Permohonan itupun harus dilampiri sejumlah dokumen lain seperti surat kuasa
(jika dikuasakan), dan uraian mengenai invensi yang dipatenkan.
b) Paten yang berasal dari sumber daya genetik harus memberi manfaat bagi
masyarakat di lingkungan dimana sumberdaya genetik tersebut berasal, artinya
menyisihkan sebagian manfaat invensi bagi pemilik sumber daya genetik (benefit
sharing).
c) Perkembangan TRIPs khusus amandemen Article 31 bis huruf f, yang mengatur
tentang Lisensi Wajib.
d) Penambahan substansi untuk komisi banding Paten, yaitu masalah administratif
dan pembatalan paten.
Penetapan sementara Pengadilan yang lazim dikenal dengan Injunction
berasal dari sistem hukum Amerika Anglo Saxon yang berlainan dengan sistem Eropa
Continental yang merupakan sumber hukum Indonesia, dan Persertujuan TRIPs telah
mengaturnya dalam Pasal 44. Walaupun ketentuan mengenai penetapan sementara
Pengadilan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang
Paten maupun Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual lainnya, namun sampai
saat ini belum dapat diterapkan karena hukum acaranya belum diterbitkan. Dalam
hukum acara perdata yang berlaku saat ini tidak dikenal mengenai penetapan
sementara, yang ada adalah putusan Sela yang diajukan bersama dengan gugatan,
sehingga perlu dirumuskan hukum acaranya yang lebih lengkap agar ketentuan
tersebut dapat berjalan, yang pengaturannya meliputi tata cara permohonan, bentuk
keputusan, penetapan besarnya jaminan dan sebagainya.
44
Perkembangan kemajuan teknologi yang begitu cepat terutama dibidang
teknologi komunikasi yang membawa dampak cukup besar terhadap pola kehidupan
manusia, kemajuan dalam komunikasi melalui jaringan elektronik atau komputerisasi
telah mengubah pola berkomunikasi bahkan termasuk dalam bertransaksi melalui
mekanisme elektronik sudah hal yang biasa dilakukan, kemajuan tersebut
mengharuskan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dapat mengakomodasi
permohonan-permohonan yang diajukan melalui elektronik (electronic filing), hal
mana sistem tersebut sudah lazim digunakan di banyak Negara. Diharapkan
Indonesia pun dapat menerima pendaftaran Paten melalui elektronik dan hal ini
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
2. Implementasi Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Pendaftaran Merek merupakan hal yang sangat penting dalam rangka
memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas Merek. Pendaftaran
Merek dengan menggunakan sistem konstitutif (first to file) lebih menjamin adanya
kepastian hukum bagi pemegang hak atas merek, namun sampai saat ini sistem
pendaftaran first to file di Indonesia belum efektif menciptakan keselarasan jaminan
keadilan dan kemanfaatan, karena masih banyak merek-merek yang didaftarkan
bukan oleh pemilik Merek yang sebenarnya.
Mengacu pada Undang-Undang No.15 Tahun 2001 Tentang Merek, yang
dimaksud dengan merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dan unsur-unsur tersebut yang
45
memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau
jasa.65
Hak eksklusif Merek diberikan oleh Negara melalui peraturan perundang-
undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
Tentang Merek, yaitu “Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh
Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk
jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau
memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.” Penggunaan istilah Hak
Eksklusif dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek sejalan
dengan makna Article 16 ayat (1) Persetujuan TRIPs, yaitu:
“The owner of a registered trademark shall have the exclusive right to prevent all third parties not having his consent from using in the course or trade identical or similar signs for goods or services which are identical or similar to those in respect of which trademark is registered where such use would result in a likelihood of confusion.”
Beberapa dari ketentuan-ketentuan pokok Persetujuan TRIPs memerlukan
perhatian sehubungan dengan bidang pengaturan tentang Merek. Perlindungan
terhadap Merek Terkenal merupakan ketentuan penting yang diatur dalam Undang-
Undang Merek maupun secara internasional, yaitu dalam Konvensi Paris maupun
Persetujuan TRIPs. Adapun dasar pertimbangannya adalah bahwa peniruan Merek
Terkenal milik orang lain dilandasi itikad tidak baik, terutama untuk mengambil
kesempatan dari ketenaran Merek orang lain, sehingga tidak seharusnya mendapat
perlindungan hukum.66
65
Indonesia, Undang-Undang Tentang Merek, UU No. 15, LN No. 110, TLN, No. 4113, Pasal 1, ”merek sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini meliputi merek dagang, merek jasa dan merek kolektif.” 66
Lisbon, Paris Convention for the Protection of Industrial Property, 1883, Article 6bis (1): “The countries of the Union undertake, ex officio if their legislation so permnits, or at the request of an interested party, to refuse or
46
Pengaturan tentang Merek Terkenal terdapat pada Pasal 15 ayat (1)
Persetujuan TRIPs yang berbunyi sebagai berikut:
‘’Any sign or any combination of signs, capable of distinguishing the goods or services of one undertaking from those trademarks. Such signs, in particular words including personal names, letter, numeral, figurative elements and combinations colors as well as any combination of such signs, shall be eligible for registration as trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or services, Member may make registrability depend on distinctiveness acquired through use. Members may require, as a condition of registration, that signs be visually perceptible.” 67
Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Persetujuan TRIPs di atas, Merek
didefinisikan sebagai setiap tanda atau kombinasi dari beberapa tanda yang
membedakan barang dan jasa yang digunakan suatu usaha dengan usaha yang
lainnya. Tanda-tanda tersebut, terutama berupa kata-kata yang termasuk nama
pribadi, huruf, angka, lambang dan gabungan warna, serta gabungan dari tanda-
tanda yang memenuhi syarat untuk dapat didaftarkan sebagai Merek. Hal terpenting
dalam mendefinisikan merek sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1)
Persetujuan TRIPs adalah penekanan mengenai “unsur pembeda”. Menurut
Persetujuan TRIPs, pembedaan (sering kali disebut dengan “daya pembeda”) adalah
satu-satunya syarat substantif bagi perlindungan Merek, dimana adanya suatu
penolakan terhadap pendaftaran suatu Merek menurut Pasal 15 ayat (1) Persetujuan
TRIPs adalah berdasarkan alasan-alasan tidak adanya daya pembeda.
to cancel the registration, and to prohibit the use, of trademark which constitutes a reproduction, an imitation, or a translation, liable to create confusion, of a mark considered by the competent authority of the country of registration or use to be well known in that country as being already the mark of a person entitled to the benefits of this convention and used for identical or similar goods. These provisions shall also apply when the essential part of the mark constitutes a reproduction of any such well-known mark or an imitation liable to create confusion therewith.” 67
Marrakesh, Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, 1994, Article 15 (1).
47
Dalam Pasal 16 ayat (2) Persetujuan TRIPs dikatakan bahwa untuk
menentukan apakah suatu Merek adalah Merek Terkenal, maka pengetahuan dari
masyarakat konsumen pemakai Merek tersebut harus dipertimbangkan, termasuk
pengetahuan yang diperoleh dari anggota negara sebagai hasil promosi dari Merek
tersebut. Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, terdapat pula
mekanisme pemeriksaan substantif yang dilakukan setelah permohonan dinyatakan
memenuhi syarat administratif. Semula pemeriksaan substantif dilakukan setelah
selesainya masa pengumuman suatu permohonan atas Merek. Perubahan ini
dimaksudkan agar dapat lebih cepat diketahui apakah permohonan tersebut
disetujui atau ditolak dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan
keberatan terhadap permohonan yang telah disetujui untuk didaftar. Pemeriksaan
substantif diikuti dengan proses pengumuman yang dilaksanakan selama tiga (3)
bulan, lebih singkat dari jangka waktu pengumuman berdasarkan Undang-Undang
Merek lama. Dengan dipersingkatnya jangka waktu pengumuman, secara
keseluruhan akan dipersingkat pula jangka waktu proses dikabulkannya permohonan
atas Merek tersebut.
Berkaitan dengan penolakan suatu permohonan atas pendaftaran suatu
Merek, pada Pasal 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek diatur
mengenai permohonan pendaftaran Merek yang harus ditolak oleh Direktorat
Jenderal HKI, apabila Merek tersebut:
1. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek
pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang
sejenis; Persamaan pada pokoknya di sini adalah kemiripan yang disebabkan
oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara Merek yang satu dengan Merek
48
yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai
bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur
ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam Merek-merek tersebut
yang bersangkutan. Ketentuan ini dapat pula diberlakukan terhadap barang dan
atau jasa yang tidak sejenis, sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang
akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
2. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek
yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenis.
Pada Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b, disebutkan bahwa untuk menentukan
terkenalnya suatu Merek harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha
yang bersangkutan.
b. Reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan
besar-besaran.
c. Investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan
d. Disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa negara.
3. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi
geografis yang sudah dikenal.
Permohonan pendaftaran Merek juga harus ditolak oleh Direktorat
Jenderal HKI, apabila Merek tersebut:
1. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan
hukum yang digunakan sebagai Merek dan terdaftar dalam Daftar Umum Merek
yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak.
49
2. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera,
lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional (termasuk
organisasi masyarakat ataupun organisasi politik maupun international; kecuali
atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. Alasan untuk melarang
pemakaian dari tanda-tanda resmi kenegaraan/pemerintah, atau badan-badan
internasional maupun badan resmi nasional ialah karena pemakaian itu akan
memberi kesan yang keliru bagi khalayak ramai. Seolah-olah Merek itu memang
ada hubungannya dengan pemerintah atau badan-badan internasional maupun
badan resmi dari pemerintah itu. Oleh karena itu tidak dapat diperkenankan
pemakaian dari tanda-tanda yang bersangkutan untuk menghindarkan salah
paham dan kekeliruan.
3. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang
digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas persetujuan
tertulis dari pihak yang berwenang.
4. Perlindungan Indikasi Geografis.
Pada Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek diatur pula
perlindungan bagi Indikasi Geografis dan mengenai Indikasi Asal. Indikasi Geografis
adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal barang yang dikaitkan dengan
kualitas, reputasi atau karakteristik lain yang sesuai dengan asal geografis barang
tersebut.68 Hal yang membedakan antara Indikasi Geografis dan Indikasi Asal adalah
bagi Indikasi Asal tidak diperlukan adanya pendaftaran terlebih dahulu, karena
Indikasi Asal semata-mata hanya menunjukkan asal suatu barang atau jasa saja,
68
Tim Lindsey, ed., Hak kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, cet. 4 (Bandung: PT. Alumni, 2005, hal. 139-140
50
sedangkan Indikasi Geografis wajib didaftarkan terlebih dahulu untuk mendapatkan
perlindungan.69
Memperhatikan pokok-pokok pengaturan dalam Undang-undang Merek
maka diperlukan adanya perubahan yang pada prinsipnya untuk lebih meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat Pemohon Merek. Dalam hal ini, proses pendaftaran
Merek menjadi lebih singkat dan lebih menjamin kepastian hukum. Bahwa
Rancangan Undang-undang Merek yang baru ini tetap menganut prinsip first to file
sebagaimana yang dianut selama ini. Dengan demikian sistem konstitutif tetap
dipertahankan karena sistem itulah yang dirasakan dapat lebih memberikan
kepastian hukum dan dianut oleh banyak negara di dunia. Adanya perubahan dalam
mekanisme pemberian hak atas Merek dan penegakan hukumnya, adalah dalam
rangka untuk lebih memberikan pelayanan kepada masyarakat yang selama ini
dirasakan masih kurang memadai.
Indonesia telah pula meratifikasi Trademark Law Treaty pada tanggal 7
Mei 1997 yang tujuannya adalah menyederhanakan prosedur pendaftaran merek.
Permasalahan dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek juga
berkaitan dengan aspek substansi, prosedural dan penegakan hukum. Proses
pendaftaran merek selayaknya dapat dipermudah, bisa diajukan melalui jasa pos,
online system, agar dapat menghemat biaya dan mampu membantu usaha kecil dan
menengah, serta memperbanyak jumlah pendaftaran Merek. Tentu saja
permohonan secara konvensional dengan mengunjungi kantor Ditjen HKI.
Dalam Undang-undang Merek terdapat ketentuan mengenai lisensi.
Perjanjian lisensi kerap kali bersinggungan atau dapat melanggar tindakan yang
69
Indonesia, Undang-Undang Tentang Merek, UU No. 15, op.cit., Pasal 59.
51
diatur dalam Undang-undang Antimonopoli; oleh karena itu, ketentuan-ketentuan
tentang lisensi harus diperjelas. Mengenai Madrid Protokol, apakah sudah saatnya
Indonesia meratifikasi Madrid Protocol padahal pelaksanaan Trademark Law Treaty
saja belum berjalan secara efektif. Ketentuan mengenai jangka waktu penyelesaian
gugatan penghapusan, pembatalan, atau gugatan ganti rugi selayaknya diatur secara
jelas dan tegas. Pengecualian mengenai jangka waktu penyelesaian di Pengadilan
Niaga dapat saja diatur apabila pihak Tergugat berada di luar negeri. Atau jangka
waktu selama 90 hari itu dihitung dari dimulainya awal persidangan setelah para
pihak dipanggil secara patut, atau para pihak hadir dalam persidangan. Selama ini
penyelesaian jangka waktu selama 90 hari kadang-kadang tidak dapat dilaksanakan
karena pihak tergugat tidak diketahui alamatnya, atau berada di luar negeri.
Undang-Undang Merek Nomor 15 tahun 2001 masih menggunakan definisi
merek yang sama, yaitu Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-
huruf, angka-angka, susunan warna, bentuk, atau kombinasi dari unsur-unsur
tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang dan jasa. Padahal telah ada beberapa Negara yang mengembangkan definisi
merek yang memberikan perlindungan pula terhadap Merek dalam bentuk “tiga
dimensi atau kemasan” (misalnya: di Jepang, Korea) dan bahkan aroma pun
(misalnya di Inggris) dapat didaftarkan sebagai Merek. Salah satu pertimbangan
mengapa perlindungan Merek menjadi berkembang adalah untuk memberikan
perlindungan hukum yang lebih baik terhadap pemilik Merek dan konsumen, serta
mengatasi persaingan curang yang semakin bervariatif tindakannya. Selain itu juga,
inti dari perlindungan Merek adalah karena “adanya daya pembeda” dan selama
52
merek yang berupa “tiga dimensi, kemasan atau aroma” itu memiliki daya beda,
maka dapat didaftarkan.
Proses permohonan banding dan jangka waktu pengajuan banding telah
diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dengan
menyatakan bahwa Komisi Banding Merek akan memberikan keputusan menerima
atau menolak permohonan banding dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
penerimaan permohonan banding. Ternyata, peraturan yang secara jelas tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek juga belum dapat
dilaksanakan secara teguh oleh Komisi Banding Merek (KBM).
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek, bahwa putusan atas gugatan dilakukan dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari
setelah gugatan didaftarkan, pada umumnya dapat diselesaikan oleh Pengadilan
Niaga. Jangka waktu itu diperpanjang apabila tergugat berada di luar negeri. Untuk
mengantisipasi masalah ini maka dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek perlu ditambah pasal baru dengan menyatakan bahwa jangka
waktu itu dilaksanakan setelah sidang I (tingkat pertama) dimulai. Begitu juga jangka
waktu penyelesaian di tingkat Mahkamah Agung atas permohonan kasasi yang
seharusnya dapat diucapkan paling lama 90 hari setelah permohonan kasasi diterima
Mahkamah Agung, ternyata ketentuan itu sulit dilaksanakan secara teguh oleh
Mahkamah Agung.
3. Implementasi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri
Dengan telah diratifikasinya Persetujuan TRIPs oleh Pemerintah Indonesia,
pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang
53
Desain Industri pada tanggal 20 Desember 200070 dengan pertimbangan untuk
memajukan industri yang mampu bersaing dalam lingkup perdagangan nasional dan
internasional, sehingga dirasakan perlu untuk menciptakan iklim yang mendorong
kreasi dan inovasi masyarakat di bidang Desain Industri sebagai bagian dari sistem
Hak Kekayaan Industri dan juga didorong pula oleh kekayaan budaya bangsa dan
etnis bangsa yang sangat beraneka ragam yang merupakan sumber pengembangan
Desain Industri nasional.71
Dalam peraturan perundang-undangan mengenai Desain Industri
sebenarnya terdapat unsur perlindungan yang tidak terlepas dari Hak Cipta. Pada
awalnya pengaturan Desain Industri tidak dipisahkan dengan bidang Hak Cipta.
Desain Industri dianggap sebagai ciptaan keahlian dalam bidang artistik atau paling
tidak adalah bagian dari seni terapan (applied art). Hal ini dapat terjadi karena latar
belakang materi dan obyek dari Desain Industri itu sendiri yang tidak bisa terlepas
dari kerja cipta manusia yang pengaturannya secara tegas diatur melalui ketentuan
Hak Cipta, seperti misalnya seni lukis, seni patung dan seni rupa lainnya. Hal ini kita
lihat dari wujud Desain Industri itu sendiri yang memang tidak terlepas dari langkah
menggambar dan membentuk model72, sehingga dalam praktik di Indonesia pun
sebelum berlakunya Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri,
permohonan pendaftaran produk-produk yang sesungguhnya masuk dalam bidang
70
Pemerintah Indonesia pernah melakukan upaya untuk memberikan perlindungan hukum bagi desain industri melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian. Namun demikian, perlindungan terhadap desain industri berdasarkan Undang-Undang Perindustrian tersebut tidak terlaksana karena peraturan pelaksanaannya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 17 Undang-Undang Perindustrian belum diterbitkan. Lihat juga Cita Citrawinda, “Sisi Lemah UU Desain Industri”, Mahkamah Edisi 2 Oktober 2008, hal. 37. 71
Indonesia, Undang-Undang Tentang Desain Industri, UU No. 31 Tahun 2000, Lembaran Negara No. 243 Tahun 2000, Tambahan Lembaran Negara No. 4045, bagian pertimbangan butir a dan b. 72
Muhamad Djumhana dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia, cet. 3 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 212.
54
Desain Industri diterima oleh Direktorat Jenderal HKI dengan menggunakan sistem
perlindungan Hak Cipta.73
Perlindungan Desain Industri selain dilindungi oleh Undang-Undang dalam
negara masing-masing, secara internasional perlindungan atas Desain Industri diatur
dalam:
1. The Paris Convention for the Protection of Industrial Property of 1883
2. The Hague Agreement Concerning the International Classification for Industrial
Designs of 1925
3. The Locarno Agreement Establishing an International Classification for Industrial
Designs of 1968
4. TRIPs Agreement under the World Trade Organization Agreement
The Hague Agreement Concerning the International Deposit of Industrial
Designs adalah persetujuan internasional yang mengatur tentang Desain Industri
yang disepakati pada tanggal 6 November 1925 di Den Haag. Persetujuan ini
dinamakan pula dengan Persetujuan Den Haag yang berisikan beberapa kesepakatan
yang menyangkut Desain Industri, yakni London Act 1934, The Hague Act 1960,
Additional Act of Monaco 1961, Complementary Act of Stockholm 1967 dan Protocol
of Geneva 1975.74
Selain tercantum dalam The Hague Agreement Concerning the
International Deposit of Industrial Designs, ketentuan mengenai Desain Industri juga
tercantum dalam Part II, Section 4 Persetujuan TRIPs, yaitu tentang Standards
Concerning the Availability, Scope and Use of Intellectual Property Rights dalam
73
Lihat Pasal 2 butir 7 Konvensi Bern – “Works of applied art and industrial designs” 74
Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hal. 414.
55
Pasal 25 dan Pasal 26. Pasal 25 Persetujuan TRIPs (Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights) tentang Requirements for Protection
menyatakan bahwa:
“(a) Member shall provide for the protection of independently industrial designs that are new or original. Members may provide that designs are not new or original if they do not significantly differ from known designs or combinations of known design features. Members may provide that such protection shall not extend to designs dictated essentially by technical or functional considerations
(b) Each member shall ensure that requirements for securing protection for textile designs, in particular in regard to any cost, examination or publication, do not unreasonably impair the opportunity to seek and obtain such protection. Members shall be free to meet this obligation through industrial design law or through copyright law.”
Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain
Industri, dalam prakteknya terdapat berbagai permasalahan sehubungan dengan
substansi, implementasi dan penegakan hukum antara lain:
Ditinjau dari segi substansi kelemahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000
tentang Desain Industri adalah sebagai berikut:
1. Sistem perlindungan Desain Industri menganut sistem konstitutif, yaitu untuk
memperoleh perlindungan Desain Industri, Desain Industri tersebut harus
dimohonkan pendaftarannya pada Direktorat Jenderal HKI, Kementerian Hukum
dan HAM. Perlindungan atau hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri
yang baru sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31
Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Desain
Industri menyatakan bahwa hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang
diberikan Negara kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu
tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak
56
lain untuk melaksanakan hak tersebut.75 Hak Desain Industri diberikan atas dasar
permohonan diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Desain Industri, dan pihak
yang untuk pertama kali mengajukan permohonan dianggap sebagai Pemegang
Hak Desain Industri, kecuali jika terbukti sebaliknya (Pasal 12). Konsekuensi
yuridis dari tidak efektifnya ketentuan Pasal 10 jo Pasal 12 yang mengatur
perihal pendaftaran hak (first to file ) yaitu tidak dilakukannya pendaftaran hak
atas karya Desain Industri oleh Pendesainnya berakibat Pendesain tidak
mendapat perlindungan hukum dan secara yuridis tidak berhak atas karya
desainnya. Dengan didaftarnya Desain Industri, Pemegang Hak Desain Industri
mempunyai hak dan kewajiban tertentu.
2. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Desain Industri menentukan lingkup hak Desain
Industri, bahwa Pemegang Hak Desain Industri memiliki hak eksklusif untuk
melaksanakan Hak Desain Industri yang dimilikinya dan untuk melarang orang
lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor,
mengekspor dan/atau mengedarkan barang yang diberi hak Desain Industri. Hak
eksklusif tersebut diberikan kepada Pemegang Hak Desain Industri untuk dalam
jangka waktu sepuluh (10) tahun melaksanakan sendiri atau memberikan izin
kepada pihak lain untuk melaksanakan hak Desain Industri yang dimilikinya.
Dengan demikian, pihak lain dilarang melaksanakan hak Desain Industri tersebut
tanpa persetujuan pemegangnya. Namun Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang
Desain Industri menyatakan bahwa khusus pemakaian Desain Industri untuk
kepentingan penelitian dan pendidikan sepanjang tidak merugikan kepentingan
75
Ibid
57
yang wajar dari Pemegang Hak Desain Industri dapat dikecualikan dari lingkup
hak Desain Industri tersebut.
3. Publikasi permohonan pendaftaran Desain Industri dalam masa publikasi selama
3 (tiga) bulan itu dapat dilakukan secara nasional dan dapat diakses sehingga
dapat memberikan kesempatan bagi siapa saja melakukan pemantauan atau
pengawasan apakah permohonan Desain Industri itu memiliki “kebaruan” atau
tidak, dan apakah permohonan Desain Industri perlu dilakukan
oposisi/keberatan atau tidak. Dengan tindakan itu akan dapat dicegah atau
dikurangi kemungkinan pendaftaran Desain-desain Industri yang sebenarnya
tidak memiliki “kebaruan”, dan dapat dicegah kemungkinan sengketa Desain
Industri yang berupa pembatalan Desain Industri, dan atau tindakan
pelanggaran baik pidana atau perdata.
4. Masalah “kebaruan” atau “novelty” menjadi salah satu pertimbangan dalam
pemberian hak Desain Industri. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam
Undang-undang Hak Cipta yang menggunakan azas “orisinalitas” atau
“originality” dalam pemberian haknya.76 “Kebaruan” Desain Industri tidak diakui
apabila pemilik Desain Industri tersebut telah membuat dan memakainya
sebelum pendaftaran diajukan pada Direktorat Jenderal HKI. Penelusuran
terhadap Desain Industri yang telah ada sebelum Tanggal Penerimaan
permohonan menjadi langkah awal dalam pemeriksaan “kebaruan” Desain
Industri. Dalam melakukan penilaian “kebaruan” tidak terlepas dari definisi
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Desain
Industri, yaitu: 76
Andrieansjah Soeparman, “Jenis Permohonan, Penilaian Kebaruan, dan Penggunaan Hak Desain Industri di Indonesia”, Media HKI Vol. IV/No. 5/Oktober 2007 hal. 7
58
“Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.”
5. Selanjutnya dalam Pasal 12 ditentukan bahwa pihak yang untuk pertama kalinya
mengajukan Permohonan dianggap sebagai pemegang hak Desain Industri,
kecuali jika terbukti sebaliknya. “Kecuali jika terbukti sebaliknya” adalah
ketentuan yang merupakan pengejawantahan dari prinsip itikad baik yang
dianut dalam sistem hukum Indonesia. Hakikat dari bunyi Pasal 12 Undang-
Undang Desain Industri tersebut bahwa hak atas Desain Industri tersebut hanya
bersifat anggapan hukum yang setiap saat dapat digugat pembatalannya apabila
terdapat indikasi bahwa Desain Industri tersebut tidak baru. Unsur kreasi yang
memberikan kesan estetis dan produk harus dipakai dalam mempertimbangkan
“kebaruan” Desain Industri. Pasal 25 ayat (1) Persetujuan TRIPs menentukan
bahwa Desain Industri dianggap “baru” apabila berbeda secara signifikan dengan
pengungkapan sebelumnya atau kombinasi dari fitur-fitur desain sebelumnya
“…not new if they do not significantly differ from known design or combination
of known design features …”. Pasal 25 Persetujuan TRIPs tersebut mengatur
mengenai persyaratan untuk perlindungan Desain Industri. Desain Industri yang
dapat diberikan perlindungan hanyalah Desain Industri yang baru (novel). Suatu
Desain Industri dikatakan tidak baru bila desain yang bersangkutan tidak
berbeda dari desain lain yang telah dikenal atau kombinasi beberapa desain
yang telah dikenal. Selain itu, masing-masing negara anggota WTO diberikan hak
atau dapat menetapkan sendiri bahwa perlindungan Desain Industri yang
59
diberikan tidak mencakup desain yang pemakaiannya terkait dengan aspek
teknis atau fungsional. Negara-negara anggota WTO juga diwajibkan menjamin
persyaratan untuk memperoleh perlindungan terhadap desain tekstil, terutama
dalam kaitannya dengan biaya, pemeriksaan atau pengumuman tidak
menghambat secara tidak wajar kesempatan untuk memperoleh perlindungan.
Pasal 25 ayat (2) Persetujuan TRIPs mengatur masalah perlindungan produk
tekstil yang juga harus mendapatkan perlindungan baik melalui Undang-Undang
Desain Industri maupun Undang-undang Hak Cipta, sebagaimana berikut ini:
“Each member shall ensure that requirements for securing protection for textile designs, in particular in regard to any cost, examination or publication, do not unreasonably impair the opportunity to seek and obtain such protection. Members shall be free to meet this obligation through industrial design law or through copyright law.”
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 ayat (2) tersebut, Undang-undang
Desain Industri telah menerapkan ketentuan yaitu memberikan perlindungan
terhadap Desain Industri yang berbentuk dua dimensi termasuk memberikan
pula perlindungan tekstil melalui Hak Cipta. Pada Pasal 26 ayat (1) Persetujuan
TRIPs diatur ketentuan mengenai perlindungan terhadap pemegang hak desain,
yaitu bahwa:
“The owner of a protected industrial design shall have the right to prevent third parties not having the owner’s consent from making, selling or importing articles bearing or embodying a design which is a copy, or substantially a copy, of the protected design, when such acts are undertaken for commercial purposes.”
Menurut Pasal 26 Persetujuan TRIPs, pemilik suatu Desain Industri yang
dilindungi mempunyai hak untuk melarang pihak ketiga yang tidak memperoleh
izin darinya untuk membuat, menjual atau mengimpor benda yang mengandung
60
atau memuat desain yang merupakan tiruan, atau secara pokok merupakan
tiruan dari desain yang dilindungi apabila tindakan-tindakan tersebut dilakukan
untuk tujuan komersial. Pasal ini juga memberikan kebebasan kepada negara-
negara anggota WTO untuk menetapkan pengecualian secara terbatas terhadap
perlindungan yang diberikan terhadap Desain Industri dengan syarat sepanjang
pengecualian dimaksud tidak bertentangan secara tidak wajar dengan tata cara
pemanfaatan secara normal atas Desain Industri yang dilindungi dan tidak
mengurangi secara tidak wajar kepentingan sah pemilik dari desain yang
dilindungi, dengan memperhatikan kepentingan yang sah dari pihak ketiga.
Lamanya perlindungan menurut pasal ini adalah tidak kurang dari 10 (sepuluh)
tahun.
Pasal 26 Persetujuan TRIPs tersebut di atas mengatur mengenai ruang
termasuk dalam ruang lingkup Hak Cipta. Pasal 2 dan 3 Konvensi Paris memuat
prinsip perlakuan sama (national treatment).77 Prinsip national treatment juga
berlaku bagi Desain Industri. Berdasarkan prinsip ini yang mendapatkan
perlindungan adalah subyek hukum, yaitu Pendesain, dimanapun ia berada
asalkan di salah satu Negara Konvensi, ia berhak mendapatkan perlindungan
hukum atas desain-desainnya. Dalam hal pendesain bukan warga Negara dari
suatu Negara anggota Konvensi, namun apabila mempunyai usaha di salah satu
77
Lihat Part 1 Article 3 Persetujuan TRIPs. Penjelasannya dikutip dari Pusat Kajian APEC Universitas Indonesia bekerjasama dengan Badan Litbang Departemen Luar Negeri RI, Pemberlakuan Persetujuan Multilateral Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) dan Pengaruhnya Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia (Jakarta: 2000).
61
Negara anggota Konvensi, Pendesain tetap berhak untuk mendapatkan
perlindungan atas desain-desainnya tersebut.78
6. Dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Desain Industri ditentukan bahwa
dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap Permohonan hingga berakhirnya
jangka waktu pengajuan keberatan, Direktorat Jenderal menerbitkan dan
memberikan sertifikat Desain Industri paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal berakhirnya jangka waktu tersebut. Dengan tidak diperiksanya
permohonan karena tidak ada keberatan yang diajukan, maka tidak dapat
diketahui “kebaruan” dari Desain Industri yang dimohonkan pendaftarannya.
Pemberian hak Desain Industri tanpa melalui mekanisme proses pemeriksaan
substantif apabila tidak ada keberatan dari pihak lain berpotensi menimbulkan
masalah, sebagaimana bunyi ketentuan dalam Pasal 29 Undang-undang Desain
Industri, yaitu:
“Dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap permohonan hingga berakhirnya jangka waktu pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2), Direktorat Jenderal menerbitkan dan memberikan sertifikat Desain Industri paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu tersebut.”
Desain Industri yang mendapat perlindungan diberikan untuk Desain
Industri yang “baru”. Desain Industri dianggap “baru” apabila pada Tanggal
Penerimaan, desain tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada
sebelumnya. Maksud pengungkapan sebelumnya adalah pengungkapan Desain
Industri yang sebelum Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas apabila
78
Introduction to Intellectual Property, Theory and Practice, (London: Kluwer Law International, 1998), hal. 361-352.
62
permohonan diajukan dengan hak prioritas, telah diumumkan atau digunakan di
Indonesia atau di luar Indonesia.
7. Permasalahan selanjutnya yaitu ketentuan Pasal 28 Undang-undang Desain
Industri yang menyatakan apabila terdapat permohonan yang ditolak, maka
pemohon dapat mengajukan keberatan atas penolakan tersebut kepada
Direktorat Jenderal HKI. Dalam prakteknya, keberatan tersebut biasanya akan
dikembalikan kepada pemeriksa yang bersangkutan yang kemudian menentukan
dapat atau tidaknya permohonan keberatan tersebut diterima atau tetap
ditolak. Sistem ini kurang menjamin obyektifitas pemeriksa karena pemeriksaan
dilakukan bukan oleh lembaga yang independen atau oleh pemeriksa senior
sebagaimana halnya Komisi Banding yang diatur dalam Undang-undang Paten
maupun Undang-undang Merek.
Secara prosedur administrasi dan substantif, kelemahan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri adalah sebagai berikut:
1. Sistem pemeriksaan “kebaruan” yang tidak komprehensif, dimana Desain
Industri hanya diperiksa jika ada oposisi. Hal ini telah menjadi salah satu
permasalahan mendasar dalam implementasi Undang-Undang Desain Industri.
Dengan tidak adanya pemeriksaan substantif, berarti terhadap setiap
permohonan Desain Industri harus dikabulkan dan pemohon dapat menerima
sertifikat Desain Industri. Sistem yang demikian berpotensi menimbulkan banyak
kasus di bidang Desain Industri. Kelemahan substansi dari Undang-Undang
Desain Industri ini dalam prakteknya membuka peluang dan banyak
dimanfaatkan oleh para pemohon yang beritikad tidak baik yang dengan sengaja
mendaftarkan Desain Industri yang sudah tidak lagi memiliki “kebaruan”.
63
2. Prosedur pendaftaran yang kurang praktis dan waktunya terlalu panjang.
3. Prosedur dan administrasi belum disesuaikan dengan sistem pendaftaran Desain
Industri internasional (Hague Agreement – Geneva Act 1999).
4. Pengaturan jabatan fungsional Pemeriksa Desain Industri kurang optimal bagi
pemohon untuk mengajukan keberatan terhadap penolakan oleh Ditjen HKI,
dalam hal ini pemeriksa Desain Industri yang bersangkutan, karena tidak
dibentuk wadah khusus untuk menampung hal tersebut, seperti Komisi Banding.
Sistem ini kurang menjamin obyektifitas pemeriksa karena dilakukan bukan oleh
lembaga yang independen atau oleh pemeriksa senior sebagaimana halnya
Komisi Banding yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
Tentang Paten maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
Konvensi internasional di bidang Desain Industri yaitu Locarno Agreement
dan Geneva Act sampai saat ini belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia
walaupun dalam prakteknya Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual telah
menerapkan klasifikasi Desain Industri sebagaimana yang terdapat dalam Locarno
Agreement dalam pemeriksaan permohonan Desain Industri.
Sistem perlindungan hak Desain Industri menurut Undang-Undang Desain
Industri masih terdapat banyak kelemahan dalam prakteknya antara lain sebagai
berikut:
1. Sistem perlindungan Desain Industri yang diterapkan dalam Undang-Undang
Desain Industri ini secara eksplisit hanya mensyaratkan “kebaruan‟ saja tanpa
persyaratan keaslian atau originality.
2. Undang-Undang Desain Industri mengatur bahwa suatu perlindungan terhadap
suatu Desain Industri diberikan terhadap Desain Industri yang baru, dimana
64
pengertian baru adalah ketika suatu Desain Industri dimohonkan
pendaftarannya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Desain Industri tersebut
tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada terlebih dahulu. ”Kebaruan”
Desain Industri tidak diakui apabila si pemilik Desain Industri tersebut telah
membuat dan memakainya sebelum pendaftaran diajukan pada Ditjen HKI.
Beberapa isu terkait tentang “ketidakbaruan” diantaranya:
3. Tidak memiliki “kebaruan” karena sudah diproduksi oleh beberapa pihak
perusahaan yang berasal dari Indonesia maupun yang diproduksi di luar negeri,
sehingga sudah diketahui oleh umum.
4. Ada ”itikad tidak baik” sengaja mendaftarkan Desain Industri yang sudah tidak
memiliki ”kebaruan”, sudah diketahui oleh umum atau sudah beredar dalam
lingkungan bisnis serupa.
Kelemahan yang timbul dalam Undang-Undang Desain Industri dalam hal
penegakan hak atau hukum dapat adalah sebagai berikut:
1. Belum ada tata cara dan perhitungan ganti rugi dalam suatu perkara perdata
Desain Industri.
2. Tidak diatur secara jelas substansi seperti apa yang dianggap sebagai
pelanggaran hak (apakah identik atau ada kemiripan).
3. Belum diatur secara jelas mengenai penggunaan hak Desain Industri terkait
dengan jenis permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 (satu Desain
Industri, atau beberapa desain industri yang merupakan satu kesatuan) sehingga
memungkinkan batas hak yang tidak jelas.
65
Ditinjau dari aspek substansi Undang-undang Desain Industri, masih
terdapat pasal-pasal yang mengandung kelemahan dalam implementasinya.
Kelemahan lainnya yang dapat mempengaruhi implementasi Undang-Undang Desain
Industri yaitu masih banyak peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Desain
Industri yang belum diterbitkan oleh Pemerintah yaitu Keputusan Presiden Mengenai
Syarat dan Tata Cara Pemberian Salinan Desain Industri; Keputusan Presiden
Mengenai Pencatatan Perjanjian Lisensi; Keputusan Presiden mengenai Persyaratan,
Jangka Waktu dan Tata Cara Pembayaran Biaya; dan Pencatatan Perjanjian Lisensi
serta Permintaan lain-lain. Sedangkan peraturan pelaksanaan yang telah disahkan
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri yang merangkum mengenai
Pengajuan Permohonan, Pengajuan Keberatan atas Permohonan, Permintaan
Petikan Daftar Umum Desain Industri, Permintaan Dokumen Prioritas Desain
Industri, Permintaan Salinan Sertifikat Desain Industri, dan Pencatatan Pengalihan
Hak.
Permasalahan perlindungan hukum terhadap Desain Industri dalam
praktek bisnis di bidang kerajinan menjadi masalah tersendiri. Kondisi demikian
disebabkan oleh banyak faktor yang ada di masyarakat, diantaranya faktor yuridis
dan ekonomis. Secara yuridis dapat dikatakan bahwa terdapat banyak desain yang
dimiliki oleh Pendesain sekaligus pelaku usaha yang tidak didaftarkan, sehingga
mengakibatkan perlindungan hukum tidak optimal. Sebagai contoh adalah
masyarakat dari Usaha Kecil Menengah (UKM) belum sepenuhnya memahami
tentang pentingnya perlindungan hukum Desain Industri yang dihasilkan oleh UKM.
Sementara itu secara ekonomi ada kendala dari segi finansial pemilik desain untuk
66
membiayai pendaftaran desain mereka. Sebagai contoh adalah UKM menganggap
bahwa pendaftaran Desain Industri memerlukan biaya yang mahal, proses
pendaftarannya tidak mudah dan memakan waktu yang lama 79.
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam RUU Hak Kekayaan Industri terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan Negara
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan
peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan,
persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan dan penyebarluasan. Apabila dimungkinkan dilakukannya kompilasi
perubahan 3 (tiga) Undang-Undang Paten, Merek dan Desain Industri ke dalam satu
paket Undang-Undang Hak Kekayaan Industri, maka akan memberi dampak efisiensi
dan penghematan terhadap keuangan Negara. Dengan menempatkan 3 perubahan
undang-undang menjadi satu naskah maka dapat dikatakan bahwa waktu yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan menjadi jauh lebih singkat.
Mengenai sengketa yang terjadi dalam prakteknya yang saling tumpang
tindih mengenai jenis-jenis HKI dalam mendefinisikan obyek HKI, contohnya adalah:
Desain Industri yang mendaftarkan desain dengan ornamen, atau gambar atau
warna dan huruf tertentu, misalkan: desain helm dengan menggunakan gambar
karakter Micky Mouse. Desain dua dimensi ini dapat saja tumpang tindih dengan
perlindungan terhadap merek/ciptaan pihak lain sehingga menimbulkan sengketa.
Contoh lainnya adalah merek dengan ciptaan logo yang kerap terjadi, contohnya:
79
Budi Agus Riswandi, “Melindungi Desain Yang Tidak Terdaftar”, Majalah Handicraft Indonesia, edisi 40 Tahun VI/Mei 2007.
67
kasus Natasha. Contoh ini akan makin banyak bila suatu saat bentuk dapat juga
dilindungi sebagai merek yang tentu saja akan bertentangan dengan Desain Industri,
contohnya: bentuk coklat toblerone dapat didaftarkan sebagai merek di beberapa
negara. Seandainya kompilasi Undang-Undang Paten, Undang-undang Merek dan
Undang-undang Desain Industri ke dalam 1 naskah Undang-undang Hak Kekayaan
Industri dapat terwujud, diharapkan masalah ini dapat diminimalisasi. Perubahan
ketentuan ini juga diharapkan akan merubah proses penerimaan pendaftaran
sehingga masalah “grey area” diantara jenis-jenis hak kekayaan intelektual tidak
terjadi lagi.
Perubahan terhadap Undang-Undang Desain Industri diantaranya dengan
kewajiban melakukan pemeriksaan substantif sebelum diterbitkannya sertifikat
Desain Industri akan lebih memberi kepastian hukum akan jaminan kebaruan yang
wajib ada pada suatu desain. Dengan begitu diharapkan juga ada perlindungan
hukum yang lebih sehingga hak yang diberikan pemerintah memang diberikan
kepada pendesain yang sesungguhnya. Dengan demikian diharapkan akan semakin
meningkatkan jumlah pendaftaran yang berarti juga meningkatkan penerimaan
negara dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Dalam perubahan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 Tentang Merek
juga akan diadopsi pendaftaran secara internasional melalui ratifikasi terhadap
Protokol Madrid. Pendaftaran internasional ini juga diharapkan semakin
meningkatkan pendaftaran Merek dari luar negeri yang berarti akan meningkatkan
pemasukan Negara dan semakin tingginya reputasi Negara dalam pergaulan
internasional. Tujuan Protokol Madrid adalah membantu pemohon yang akan
mendaftarkan mereknya di beberapa negara anggota secara lebih mudah, lebih
68
murah dan lebih cepat karena cukup hanya dengan satu permohonan saja. Prinsip
dasarnya adalah: Easier, Simple and Faster. Berdasarkan data statistik WIPO tahun
2008 sekitar 975.000 permohonan Merek didaftarkan diseluruh dunia oleh “non-
residen” dimana 378.000 di antaranya mendaftarkan melalui sistem Madrid (sekitar
38,8%).
Tabel 3 berikut ini memperlihatkan jumlah permohonan Merek Tahun
2005 sampai Juli 2011 yang diajukan dari dalam negeri dan asing.
Tabel 3
STATISTIK PERMOHONAN MEREK (2005-Juli 2011)
DOMESTIK DAN ASING
Tahun\
Pemohon
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Domestik 27.592 37.964 39.161 41.617 37.853 21.318 28.284
Asing 2.638 4.792 4.220 4.032 4.964 2.551 1.342
Sumber: Statistik pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI
Berdasarkan Tabel 3 di atas maka permohonan pendaftaran Merek dari
dalam negeri cukup mendominasi permohonan pendaftaran Merek di Indonesia. Hal
ini merupakan kondisi yang tipikal bagi negara-negara berkembang. Disamping itu
pada statistik WIPO menunjukkan data yang dapat menginformasikan bahwa
keikutsertaan suatu negara dalam sistem Madrid akan meningkatkan jumlah
permohonan Merek di negara tersebut. Keikutsertaan suatu negara dalam Protokol
69
Madrid akan meningkatkan reputasi dan kredibilitas negara tersebut, sehingga
penerapan Madrid Protokol akan meningkatkan pemasukan negara.
Perubahan di bidang Paten khususnya dengan pengaturan yang lebih rinci
mengenai Lisensi Wajib, Paten untuk pertahanan dan keamanan serta perlunya
pengaturan yang lebih lengkap mengenai penetapan sementara (injunction) akan
memberi banyak keuntungan bagi Negara kita. Khususnya pengaturan akan Lisensi
Wajib dimana kebutuhan akan obat-obatan yang harganya mahal namun mendesak
dibutuhkan oleh masyarakat terutama yang tidak memiliki kemampuan membeli.
Dengan Lisensi Wajib, Pemerintah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan
tersedianya obat yang murah, tentu saja dengan tetap menghormati hak-hak
pemegang hak Paten dan membayar royalti. Permohonan Lisensi Wajib diajukan
oleh setiap orang dengan alasan bahwa Paten tersebut tidak dilaksanakan atau
dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia. Jangka waktu pengajuan permohonan
Lisensi Wajib ini dilakukan dalam jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan sejak
tanggal pemberian Paten. Akan tetapi dengan alasan bahwa Paten tersebut
menimbulkan kerugian bagi masyarakat (telah jatuh banyak korban misal-nya
sementara obat tersebut minim), maka permohonan Lisensi Wajib dapat diajukan
setiap saat. Pelaksanaan Lisensi Wajib ini disertai pembayaran royalti oleh penerima
lisensi dengan besar royalti sesuai tata cara yang lazim digunakan dalam perjanjian
lisensi. Pemberian Lisensi Wajib ini dapat saja dibatalkan dengan alasan-alasan
tertentu seperti bila alasan dasar bagi pemberian Lisensi Wajib tidak ada lagi
(misalkan kondisi penyakit sudah dapat diatasi). Perubahan dalam Undang-Undang
Paten akan menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada rakyat banyak khususnya
atas kebutuhan akan obat-obatan.
70
Masalah keseimbangan hak dan kewajiban harus memperoleh perhatian
yang sangat besar dalam Rancangan Undang-undang Hak Kekayaan Industri. Dari sisi
pemegang Desain Industri, selaku pemilik Desain Industri; dari sisi pemegang Paten,
selaku pemilik Paten dan pemegang Merek, selaku pemilik Merek atau orang lain
yang menerima hak dari pemilik, Negara telah memberikan hak yang bersifat khusus
atau eksklusif dan sekaligus perlindungan hukum selama jangka waktu yang
diberikan dalam Undang-undang Hak Kekayaan Industri. Dengan perlindungan
hukum tersebut, pemegang Paten, Merek maupun Desain Industri bukan saja
memperoleh semacam jaminan, tetapi juga memiliki dasar untuk mempertahankan
haknya.
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN, UNDANG-UNDANG NO. 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DAN UNDANG-UNDANG
NO. 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI
A. Materi muatan dalam revisi Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
1. Permasalahan dalam Praktik Implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
Secara umum Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten
antara lain mengatur tentang hak (Paten), cara memperoleh dan mempertahankan
hak, dan pembatasan-pembatasan untuk mewujudkan keseimbangan antara hak dan
kewajiban pemilik atau pemegang paten. Walaupun Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 Tentang Paten telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 2001, namun
dalam waktu 7 (tujuh) tahun ini, keberadaan Undang-Undang Paten tersebut
dirasakan sudah tidak mampu lagi mengatasi berbagai permasalahan tentang
perlindungan atas invensi yang timbul dan berkembang di masyarakat, serta
mengayomi berbagai kepentingan dari para pemangku kepentingan terkait dengan
kebutuhan akan perlindungan atas Paten dan kebebasan menggunakan teknologi
yang seharusnya menjadi milik umum. Hal ini diakibatkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan pengaruh perkembangan teknologi (IPTEK) yang sangat pesat.
Perkembangan itu tidak hanya di bidang teknologi tinggi seperti informasi,
telekomunikasi, serta bioteknologi, tetapi juga di bidang mekanik, kimia atau lainnya.
Di samping itu kesadaran masyarakat juga semakin tinggi untuk meningkatkan
pendayagunaan teknologi yang sederhana.
72
Sesuai dengan tujuan pemberian Paten yaitu untuk memberikan
penghargaan atas suatu hasil karya berupa penemuan baru yang dengan adanya
penghargaan dimaksud akan mendorong penemuan teknologi baru, maka sudah
sepatutnya undang-undang memberikan perlindungan atas Invensi dimaksud bagi
para Inventornya.
Kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
dapat ditinjau dari beberapa aspek, sebagai berikut:
a) Ditinjau dari aspek substansi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
Proses pelaksanaan Persetujuan TRIPs di Indonesia masih terhambat
beberapa kendala yang merupakan kelemahan, antara lain yaitu:
1. Ketentuan mengenai lingkup perlindungan Paten sehubungan dengan
penggunaan baru dari Paten yang sudah ada, baik mencakup proses maupun
produk, khususnya Paten di bidang farmasi.
2. Ketentuan mengenai Penetapan Sementara Pengadilan Niaga walaupun sudah
diakomodasi dalam Undang-undang Paten tetapi masih belum dapat diterapkan
karena belum ada hukum acara yang mengatur dengan jelas dan rinci tentang
syarat-syarat dan proses pengajuan Penetapan Sementara di Pengadilan Niaga.
3. Ketentuan mengenai Pasal 135 huruf a Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tidak
menjelaskan secara spesifik tentang prosedur dan persyaratan administrasi dan
teknis dari impor paralel.
4. Ketentuan Pasal 135 huruf (a) mengatur impor paralel dikecualikan dari
ketentuan pidana dan tidak mencakup pengecualian terhadap ketentuan
perdata.
73
5. Belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Lisensi Wajib, sehingga
penggunaan mekanisme lisensi wajib belum dimungkinkan.
6. Prosedur dan mekanisme pengeksporan obat-obatan ke negara-negara yang
belum memiliki kemampuan untuk memproduksi obat.
7. Ketentuan mengenai kewajiban pengungkapan dalam permohonan Paten
tentang sumber teknologi apabila teknologi tersebut berasal dari sumber daya
genetik dari masyarakat lokal. Paten yang berasal dari sumber daya genetik
harus memberi manfaat bagi masyarakat di lingkungan di mana sumber daya
genetik tersebut berasal, artinya menyisihkan sebagian manfaat invensi bagi
pemilik sumber daya genetik (benefit sharing).
8. Ketentuan mengenai lingkup perlindungan bagi Paten Sederhana
b) Ditinjau dari aspek Prosedural Substansi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
Adapun beberapa masalah yang berkembang saat ini di masyarakat dan
perlu mendapat perlindungan hukum antara lain adalah:
1. Kemudahan Pelayanan Pendaftaran Paten secara elektronik (sistem E-filing).
Sistem pendaftaran paten ini sudah dikenal oleh Negara-negara maju termasuk
penataan sistem pendaftaran Paten yang bersifat regional, namun belum
diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten, karena
Pasal 20 menentukan “Paten diberikan atas dasar Permohonan”, sesuai
ketentuan Pasal 24 “Permohonan ditulis dalam bahasa Indonesia kepada
Direktorat Jenderal. Permohonan itupun harus dilampiri sejumlah dokumen lain
74
seperti Surat Kuasa (jika Permohonan diajukan melalui Kuasa), dan uraian
mengenai invensi yang dipatenkan.
2. Ketentuan mengenai penyelesaian proses permohonan Paten supaya tepat
waktu, dan memberikan batasan waktu terhadap pemeriksaan substantif yang
sudah melewati jangka waktu 3 (tiga) tahun proses pemeriksaan substantif,
maka diambil yang paling menguntungkan terhadap pihak yang dirugikan
(granted).
3. Direktorat Paten masih sering mengeluarkan Surat Kekurangan Pemenuhan
Persyaratan Pendaftaran, sementara kekurangan sudah dilengkapi;
a. Hasil pemeriksaan substantif beberapa permohonan Paten telah melampaui
waktu 36 (tiga puluh enam) bulan;
b. Penerbitan Sertifikat Paten yang relatif lama;
c. Informasi pengalihan konsultan tidak sampai ke pihak Pemeriksa Paten
sehingga Hasil Pemeriksaan Substantif masih dikirimkan kepada konsultan
lama.
Pelaksanaan lisensi wajib Paten masih sulit dilakukan di Indonesia, karena
industri farmasi di Indonesia masih bersifat non-research based yang berakibat
Indonesia masih tergantung pada impor bahan baku obat dari negara lain untuk
memproduksi sendiri obat-obatan yang diperlukan. Sebagaimana Pemerintah
telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
yang merupakan penyempurnaan dari UU sebelumnya, oleh karena dirasakan
masih ada beberapa aspek dalam Persetujuan TRIPs yang belum diakomodasi,
sebaiknya Undang-Undang Paten No. 14 Tahun 2001 perlu disempurnakan lagi.
75
4. Belum diterbitkannya Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 tentang Paten.
Belum lengkapnya peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2001 Tentang Paten dapat memengaruhi pula pada sistem administrasi
pendaftaran Paten dan juga menghambat implementasi dan penegakan hukum
di bidang Paten, yaitu Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara untuk
Memperoleh Pengakuan Pemakai Terdahulu; Syarat-syarat mengenai
Pengecualian dan Tata Cara Pengajuan Tertulis mengenai Pengecualian
Kewajiban Pemegang Paten membuat produk atau menggunakan proses yang
diberi Paten di Indonesia; tentang Perjanjian Lisensi; tentang lisensi-wajib;
tentang Permohonan melalui Patent Cooperation Treaty (Traktat Kerja Sama
Paten); dan juga Keputusan Presiden tentang Perubahan Permohonan dari
Paten menjadi Paten Sederhana atau sebaliknya; tentang Penarikan Kembali
Permohonan; tentang Tata Cara dan Syarat-syarat Permohonan Pemeriksaan
Substantif; tentang Tata cara Permohonan, Pemeriksaan, serta Penyelesaian
Banding.
Ketiadaan Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
Tentang Paten memengaruhi efektifitas implementasi penegakan hukum
Undang-Undang Paten.
2. Permasalahan dalam Implementasi Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Indonesia telah menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia atau
World Trade Organization/Persetujuan TRIPs melalui Undang-Undang Nomor 7
76
Tahun 1994 tentang Pembentukan Pengesahan Organisasi Perdagangan Dunia dan
telah meratifikasi konvensi-konvensi maupun traktat internasional di bidang Merek,
yaitu Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property) dan
Trademark Law Treaty (Traktat Kerja Sama Merek).
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek,
dalam implementasinya masih terdapat berbagai kelemahan dalam Undang-undang
yang dapat ditinjau dari beberapa aspek, sebagai berikut:
a) Ditinjau dari aspek substansi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek masih
terdapat pengaturan yang belum sesuai dengan konvensi internasional yang telah
diratifikasi yaitu sebagai berikut:
a. Ketentuan mengenai perpanjangan waktu proses pemeriksaan substantif
b. Ketentuan mengenai mutasi atas Merek yang masih dalam Permohonan dan
Ketentuan mengenai perbaikan terhadap permohonan atau pendaftaran Merek
c. Ketentuan mengenai perbaikan terhadap permohonan atau pendaftaran Merek
d. Ketentuan mengenai perluasan definisi Merek yaitu mencakup “Non-Traditional
Marks” yang meliputi merek 3 dimensi, merek suara, aroma dan hologram
(rencana Indonesia meratifikasi Singapore Treaty);
e. Ketentuan tentang Pendaftaran Merek Internasional berdasarkan Protokol
Madrid (rencana Indonesia meratifikasi Madrid Protocol);
f. Ketentuan mengenai sanksi pidana pelanggaran Merek harus diperberat,
khususnya mengenai produk-produk tertentu yang dapat membahayakan
keselamatan jiwa manusia, dan sifat deliknya adalah delik biasa.
77
g. Ketentuan mengenai perbaikan atas Permohonan atau Pendaftaran Merek,
dalam hal ini misalnya, yaitu kesalahan penulisan, baik dari Pemohon atau
Direktorat Merek;
h. Ketentuan mengenai pencatatan perubahan kuasa atau Konsultan HKI;
b) Ditinjau dari aspek Prosedural Substansi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
Tentang Merek
Permasalahan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a. Pengiriman notifikasi status permohonan pendaftaran Merek yang melewati
batas waktu, tidak sesuai dengan status terakhir Merek tersebut.
b. Perubahan Nama dan/atau Alamat dan Pengalihan Hak walaupun telah diajukan
untuk dicatatkan, namun apabila diajukan permohonan perpanjangan Merek
dengan menggunakan nama dan/atau alamat yang baru, tetap mendapat
notifikasi untuk terlebih dahulu harus mengajukan perubahan nama dan/atau
alamat dan pengalihan hak tersebut.
c. Hasil pemeriksaan kembali terhadap pengajuan oposisi atau sanggahan
memakan waktu melebihi yaitu maximum 2 (dua) bulan terhitung sejak
berakhirnya jangka waktu pengumuman (Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek).
d. Tidak diterimanya Notifikasi Hasil Pemeriksaan Kembali atas
penolakan/penerimaan pengajuan keberatan/oposisi terhadap suatu Merek,
sebagaimana tercantum pada Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang No. 15 tahun
2001.
78
e. Proses Pencatatan Putusan Pembatalan Merek yang telah berkekuatan hukum
tetap dari Pengadilan Niaga dan oleh pihak Juru Sita Pengadilan telah diteruskan
ke Ditjen HKI, tetapi dalam hal ini Ditjen HKI tidak segera melakukan Pencoretan
Pembatalan atas Merek Terdaftar tersebut dari Daftar Umum Merek.
f. Dimungkinkannya permohonan perpanjangan batas waktu pemenuhan
kelengkapan persyaratan permohonan. Dalam hal ini pemohon dapat meminta
perpanjangan batas waktu pemenuhan kelengkapan persyaratan terkait dengan
Permohonan;
g. Dimungkinkannya permohonan pencatatan mutasi terhadap Merek yang masih
dalam permohonan. Dalam hal ini pencatatan pengalihan hak/perubahan nama
dan/atau alamat Pemohon dapat dilakukan terhadap Merek yang masih dalam
status Permohonan;
c) Belum diterbitkannya Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
Belum lengkapnya peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 Tentang Merek dapat memengaruhi pula pada sistem administrasi pendaftaran
Merek dan juga menghambat implementasi penegakan atas Undang-undang Merek.
Sampai saat ini masih terdapat beberapa peraturan pelaksana dari Undang-Undang
Merek yang belum diterbitkan oleh Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah tentang
Larangan Impor dan Larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang
yang menggunakan Merek yang bersangkutan; Keputusan Presiden mengenai Syarat
dan Tata Cara Permohonan Pencatatan Perjanjian Lisensi dan ketentuan mengenai
Perjanjian Lisensi, dan ketentuan tentang syarat-syarat dan proses pengajuan
Penetapan Sementara di Pengadilan Niaga.
79
Penetapan sementara Pengadilan Niaga dalam prakteknya sulit dilaksanakan karena
Pengadilan Niaga tidak memiliki acuan tentang Tata Cara pelaksanaan Penetapan
Sementara.
3. Permasalahan dalam Praktik Implementasi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000
Tentang Desain Industri
Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara
Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu
tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain
untuk melaksanakan hak tersebut.78
Sejak berlakunya Undang-undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain
Industri pada tanggal 20 Desember 2000, dalam prakteknya banyak ditemukan
kelemahan maupun kendala sehubungan dengan implementasi Undang-undang
Desain Industri. Kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang
Desain Industri dapat ditinjau dari beberapa aspek, 79 sebagai berikut:
a) Ditinjau dari aspek substansi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri
Sistem perlindungan Desain Industri yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri secara eksplisit hanya mensyaratkan
“kebaruan” saja tanpa persyaratan keaslian atau originality sebagaimana tercantum
dalam Pasal 2 Undang-Undang Desain Industri80 bahwa “Hak desain industri
diberikan untuk desain industri yang baru”, dan Pasal 2 ayat (2) mengatur bahwa
78
Lihat Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tentang Desain Industri 79
Op.Cit. Cita Citrawinda “Sisi Lemah UU Desain Industri” 80
Cita Citrawinda, “Perlindungan Hak Desain Industri di Indonesia”, makalah disampaikan dalam Seminar Setengah Hari “Hukum Desain Industri di Indonesia: Interpretasi dan Penegakan Hukumnya” diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara (November 2008).
80
“Desain industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan dan desain industri
tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya.” Maksud
pengungkapan sebelumnya dalam Pasal 2 ayat (3) adalah pengungkapan Desain
Industri yang sebelum tanggal penerimaan atau tanggal prioritas apabila
permohonan diajukan dengan hak prioritas,81 telah diumumkan atau digunakan di
Indonesia atau di luar Indonesia. Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Desain Industri
mengatur bahwa suatu Desain Industri tidak dianggap telah diumumkan apabila
dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal penerimaan, Desain
Industri tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran nasional maupun
internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi;
atau telah digunakan di Indonesia oleh pendesain dalam rangka percobaan dengan
tujuan pendidikan, penelitian atau pengembangan.
Ketentuan Pasal 2 dapat menimbulkan multi-interpretasi terkait dengan
arti “kebaruan”, dimana dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa Desain Industri
dianggap “baru” apabila pada tanggal penerimaan, Desain Industri tersebut “tidak
sama” dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya, tanpa penjelasan lebih
lanjut mengenai maksud kata “tidak sama” yang tertulis dalam Pasal 2 ayat (2)
tersebut. Pengertian “baru” adalah pada saat suatu Desain Industri dimohonkan
pendaftarannya pada Direktorat Jenderal HKI, Desain Industri tersebut “berbeda”
dengan pengungkapan yang telah ada terlebih dahulu. Penafsiran kata “berbeda”
dalam praktik selama ini tidak diartikan dengan “tidak sama secara signifikan”.
Dengan demikian, walaupun berbeda sedikit saja, maka hal tersebut dianggap tidak
sama sehingga dapat dianggap sebagai desain yang baru. Suatu desain dapat 81
Lihat Pasal 2 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2000 Tentang Desain Industri
81
dikatakan “sama” apabila dua desain yang diperbandingkan adalah benar-benar
100% sama. Apabila ada sedikit unsur yang berbeda, maka hal tersebut masih tetap
dapat dikatakan baru. Dengan kata lain, walaupun mirip, hal tersebut tetap dianggap
tidak sama. Dengan adanya penafsiran seperti ini, maka kriteria “kebaruan” yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri
berpotensi menimbulkan konflik karena banyak produk yang beredar memiliki
persamaan, tetapi pemegang sertifikat Desain Industri sulit menuntut pihak lain yang
dianggap melanggar, karena untuk dapat dikategorikan melanggar, desain pihak lain
tersebut harus benar-benar “sama” atau identik.
Dalam praktiknya terjadi dua penafsiran terhadap kata “tidak sama”
tersebut, dimana penafsiran pertama adalah “tidak sama” secara signifikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Persetujuan TRIPs yang memberikan
ketentuan bahwa Desain Industri dianggap “baru” apabila berbeda secara signifikan
dengan pengungkapan sebelumnya atau kombinasi dari fitur-fitur desain
sebelumnya, sedangkan penafsiran kedua adalah tidak sama persis (tidak identik).
Adapun bunyi ketentuan Pasal 25 ayat (1) Persetujuan TRIPs sebagai berikut:
“…Members may provide that designs are not new or original if they do not significantly differ from known designs or combinations of known design features. Members may provide that such protection shall not extend to designs dictated essentially by technical or functional considerations.”
Dalam melakukan penilaian “kebaruan” tentunya tidak terlepas dari
definisi Desain Industri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 yaitu Desain
Industri, yaitu suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau
warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga
dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan
82
dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan
suatu produk, barang komoditas industri, atau kerajinan tangan. Unsur kreasi yang
memberikan kesan estetis dan produk harus dipertimbangkan dalam menilai
“kebaruan” suatu Desain Industri. Unsur kreasi Desain Industri dapat berupa produk
dan pola, baik dalam wujud tiga dimensi maupun dua dimensi, sedangkan unsur
produk adalah jenis-jenis produk industri tempat diterapkannya kreasi Desain
Industri tersebut.82
Dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap permohonan hingga
berakhirnya jangka waktu pengajuan keberatan, Direktorat Jenderal menerbitkan
dan memberikan sertifikat Desain industri paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal berakhirnya jangka waktu tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 29
Undang-Undang Desain Industri, sebagai berikut:
“Dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap permohonan hingga berakhirnya jangka waktu pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2), Direktorat Jenderal menerbitkan dan memberikan sertifikat Desain Industri paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu tersebut.”
Tidak dilakukannya pemeriksaan substantif terhadap setiap permohonan
Desain Industri dikarenakan tidak adanya keberatan dari pihak lain telah menjadi
salah satu permasalahan mendasar dalam implementasi Undang-Undang Desain
Industri. Dengan tidak adanya pemeriksaan substantif, berarti terhadap setiap
82
Andrieansjah Soeparman, op.cit., hal. 12. Lihat juga Cita Citrawinda, “Sisi Lemah UU Desain Industri”, majalah Mahkamah Edisi 2 Oktober 2008 h. 37, bahwa “…panafsiran kata “berbeda” dalam praktik selama ini tidak diartikan dengan “tidak sama secara signifikan”…walaupun berbeda sedikit saja, maka hal tersebut dianggap tidak sama sehingga dapat dianggap sebagai desain yang baru. Suatu desain dapat dikatakan “sama” apabila dua desain yang diperbandingkan adalah benar-benar 100% sama. Apabila ada sedikit unsur yang berbeda, maka hal tersebut masih tetap dapat dikatakan baru. Dengan kata lain, walaupun mirip, hal tersebut tetap dianggap tidak sama. Dengan adanya penafsiran seperti ini, maka kriteria “kebaruan” yang diatur dalam Undang-Undang Desain Industri berpotensi menimbulkan konflik karena banyak produk yang beredar memiliki persamaan, tetapi pemegang sertifikat desain industri sulit menuntut pihak lain yang dianggap melanggar, karena untuk dapat dikategorikan melanggar, desain pihak lain tersebut harus benar-benar “sama”.
83
permohonan Desain Industri harus dikabulkan dan pendaftar dapat menerima
sertifikat Desain Industri. Sistem yang demikian berpotensi menimbulkan banyak
kasus di bidang Desain Industri karena banyak dimanfaatkan oleh para pemohon
yang beritikad tidak baik yang dengan sengaja mendaftarkan Desain Industri yang
sudah tidak lagi memiliki “kebaruan”. Pemeriksa Desain Industri hanya dapat
melakukan pemeriksaan substantif apabila ada keberatan dari pihak lain.
Kelemahan substansi ini merupakan kelemahan paling mendasar dari
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Desain Industri yang dalam
praktiknya membuka peluang dan banyak dimanfaatkan oleh para pemohon yang
beritikad tidak baik dengan sengaja mendaftarkan Desain Industri yang sudah tidak
memiliki “kebaruan”, dan kemudian berdasarkan sertifikat yang dimilikinya mulai
menggugat pihak-pihak pesaing bisnisnya.
b) Ditinjau dari aspek Prosedural Substansi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri
Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain
Industri mengatur bahwa “Permohonan yang telah memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 11 diumumkan oleh Direktorat
Jenderal dengan cara menempatkannya pada sarana yang khusus untuk itu yang
dapat dengan mudah serta jelas terlihat oleh masyarakat, paling lama 3 (tiga) bulan
terhitung sejak Tanggal Penerimaan”. Kendala yang dihadapi dalam praktiknya yaitu
bahwa pengumuman Desain Industri hanya ditempatkan pada suatu papan
pengumuman yang hanya tersedia di Direktorat Jenderal HKI, Tangerang, sehingga
tidak memungkinkan bagi mereka yang berkepentingan atau masyarakat untuk
datang ke Direktorat Jenderal HKI setiap kali ada pengumuman, khususnya bagi
84
mereka yang bertempat tinggal di luar Tangerang atau di luar provinsi. Sistem
manual yang menempatkan pada pengumuman secara konvensional pada papan
pengumuman di Direktorat Jenderal HKI tidak memungkinkan bagi masyarakat untuk
melihatnya, sehingga banyak permohonan harus dikabulkan karena tidak ada yang
mengajukan keberatan atau oposisi. Banyak Desain Industri yang tidak baru terpaksa
harus dikabulkan karena tidak dilakukan pemeriksaan substantif. Keterbatasan cara
pengumuman seperti ini dapat menimbulkan permasalahan mengenai apakah
Desain Industri yang diajukan permohonannya sungguh-sungguh baru atau tidak,
apabila tidak ada keberatan yang diajukan oleh pihak lain. Akibatnya Desain Industri
yang tidak layak untuk diberikan hak eksklusif dapat diberi hak Desain Industri oleh
Direktorat Jenderal HKI.83
Dalam Undang-undang Desain Industri tidak terdapat ketentuan tentang
Komisi Banding Desain yang berwenang menangani banding terhadap keputusan
penolakan permohonan Desain Industri yang diajukan oleh pemohon ataupun
keberatan terhadap keputusan pemberian Desain Industri oleh pihak lain yang
berkepentingan. Perlu adanya Komisi Banding untuk memberikan kemudahan
kepada pemohon dan masyarakat apabila permohonan pendaftaran Desain
Industrinya ditolak, dan apabila tidak puas dengan keputusan Komisi Banding
dimungkinkan untuk mengajukan keberatan melalui Pengadilan Niaga. Dalam
pengaturan pemeriksaan banding ini perlu diatur prosedur pemeriksaan, lamanya
waktu pemeriksaan, dan anggota Komisi Banding Desain Industri.
83 Ir. Robinson Sinaga., S.H., LL.M, op.cit., hal. 21. Pada kasus-kasus pelanggaran hak terhadap suatu
Desain Industri terdaftar diharapkan para penegak hukum dan pihak-pihak terkait dengan proses penegakan hukum dapat benar-benar melaksanakan penegakan hukum dengan mencari kebenaran materiil. Dalam praktiknya, seringkali para penegak hukum mendasarkan kebenaran hak atas desain industri hanya pada kebenaran formal berdasarkan pada sertifikat Desain Industri.
85
c) Belum diterbitkannya Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Desain Industri
Belum lengkapnya peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2000 Tentang Desain Industri dapat memengaruhi pula pada sistem administrasi
pendaftaran Desain Industri dan juga menghambat implementasi dan penegakan
hukum atas Undang-Undang Desain Industri, yaitu Keputusan Presiden Mengenai
Syarat dan Tata Cara Pemberian Salinan Desain Industri; Keputusan Presiden
Mengenai Pencatatan Perjanjian Lisensi; Keputusan Presiden mengenai Persyaratan,
Jangka Waktu dan Tata Cara Pembayaran Biaya; dan Peraturan Pemerintah
mengenai Pengajuan Permohonan, Pengajuan Keberatan atas Permohonan,
Permintaan Petikan Daftar Umum Desain Industri, Permintaan Dokumen Prioritas
Desain Industri, Permintaan Salinan Sertifikat Desain Industri, Pencatatan Pengalihan
Hak, Pencatatan Perjanjian Lisensi serta Permintaan lain-lain.
Sampai saat ini baru terdapat 1 peraturan pelaksana yang diterbitkan,
yaitu PP No. I Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000
tentang Desain Industri.
Konvensi internasional di bidang Desain Industri yaitu Locarno Agreement
dan Geneva Act sampai saat ini juga belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia
walaupun dalam prakteknya Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual telah
menerapkan klasifikasi Desain Industri dalam pemeriksaan permohonan Desain
Industri sebagaimana yang terdapat dalam Locarno Agreement.
Ketentuan Undang-Undang No 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri,
khususnya yang berkaitan dengan pendaftaran hak atas karya Desain Industri masih
86
belum efektif dilaksanakan. Kurang efektifnya pelaksanaan ketentuan di bidang
Desain Industri disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
1. Kurangnya pemahaman para pendesain tentang keberadaan Undang-Undang No
31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri dan bahkan banyak diantara mereka
yang tidak mengetahui bahwa sistem perlindungannya menganut sistem
pendaftaran first to file;
2. Faktor budaya hukum masyarakat Indonesia yang bersifat komunal berbeda
dengan sistem yang melandasi perlindungan HKI yang berakar dari budaya
hukum negara-negara Barat yang menganut konsep perlindungan hukum
individual right, hal ini cenderung menyulitkan penegakan hukum HKI dalam
praktik;
3. Kurangnya pemahaman para penegak hukum tentang substansi dan keberadaan
ketentuan hukum Desain Industri; serta
4. Faktor kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan Undang-
Undang Desain Industri.
B. Kompilasi Undang Undang-Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri.
Bidang Hak Kekayaan Industri, khususnya Paten, Merek dan Desain
Industri yang merupakan cabang pertama dari HKI memiliki peran yang sangat
penting dalam pembangunan bangsa, industri dan perdagangan internasional.
Kegiatan-kegiatan penelitian dan pengembangan yang menuntut adanya
kemampuan intelektual manusia untuk menjadikan karya yang dihasilkan
87
mempunyai nilai ekonomi bagi pemiliknya maupun bagi masyarakat luas. Dengan
adanya nilai ekonomi yang bisa dinominalkan dari teknologi itulah yang kemudian
menimbulkan konsep kekayaan (property) dan konsep mengenai hak-hak atas karya
itu.84 Konsep kekayaan yang mendorong pada kebutuhan akan pengamanannya yang
kemudian menimbulkan kepentingan untuk menumbuh kembangkan sistem
perlindungan hukum terhadap kekayaan tersebut yang dikenal dengan perlindungan
terhadap Hak Milik Intelektual, tujuannya adalah memberikan kejelasan hukum
mengenai hubungan antara kekayaan dengan pencipta atau penemu sebagai
pemiliknya, atau pihak lain yang menerima hak tersebut dari pemiliknya untuk
menikmati atau memetik manfaatnya selama jangka waktu tertentu.85
1. Substansi Hukum a. Perlunya perubahan Sistem dalam UU Desain Industri yang kurang dapat
Menjamin Kepastian Hukum.
Apabila kita menyimak tentang jumlah Undang-Undang yang mengatur
perlindungan terhadap desain industri, dalam praktiknya ternyata perlindungan
desain industri dapat diberikan berdasarkan UU Hak Cipta dan perlindungan secara
sui generis (secara khusus) berdasarkan UU Desain Industri.
Perlindungan melalui sistem pendekatan Hak Cipta didasarkan atas
persyaratan penerapan ciptaan langsung pada karya baik dua dimensi maupun tiga
dimensi. Perlindungan Hak Cipta terhadap Desain Industri tiga dimensi telah
dilakukan secara otomatis tanpa pendaftaran terhadap berbagai macam barang-
84
Kansil, Perlindungan Hak Milik Intelektual dan Pengaruhnya Terhadap Industri dan Perdagangan Internasional (Makalah Seminar Tentang Pengaruh Hak Milik Intelektual terhadap Industri dan Perdagangan Internasional di Jakarta, 1993), hal. 2. 85
Tim Kepres (1992), Strategi dan Peranan Hukum Hak Milik Intelektual dalam Menyongsong Era Globalisasi, Panel diskusi bidang hukum Hak Milik Intelektual di Jakarta tanggal 4 Februari, diadakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya.
88
barang kerajinan yang memiliki nilai seni (artistic work) maupun barang-barang dari
berbagai macam seni rupa itu sendiri.86
Sesuai dengan sifat dari hak Cipta, maka ciptaan yang merupakan karya
terapan (applied work) akan mendapatkan perlindungan secara otomatis begitu
ciptaan tersebut diumumkan. Pendaftaran ciptaan yang dilakukan melalui Ditjen HKI,
hanya bersifat anggapan hukum dalam arti barang siapa yang mengajukan
permohonan pendaftaran, maka ia dianggap sebagai pencipta atau pemegang hak
Cipta kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Jadi, walaupun sudah dikeluarkan Undang-
Undang khusus yang akan memberikan perlindungan terhadap Desain Industri
(dalam hal ini UU Desain Industri), dalam praktiknya secara tidak langsung UU Hak
Cipta juga masih tetap memberikan perlindungan terhadap Desain Industri yang
telah diwujudkan dalam bentuk nyata berupa ciptaan terapan (applied works).
Yang membedakan antara Hak Cipta dan Desain Industri dalam hal ini adalah:
1) Jangka Waktu Perlindungan
Untuk hak Cipta jangka waktu perlindungan adalah seumur hidup penciptanya
ditambah 50 (lima puluh) tahun,87 untuk perusahaan adalah 50 (lima puluh)
tahun sejak ciptaan dipublikasikan.88 Sedangkan perlindungan Desain Industri
menurut Undang-Undang Desain Industri, jangka waktu perlindungan adalah 10
(sepuluh) tahun sejak tanggal pendaftaran (registration date) dan tidak dapat
diperpanjang.89
2) Jumlah barang yang diproduksi.
86
Lihat Pasal 12 UU Hak Cipta tentang Ruang Lingkup atau Obyek-obyek yang dilindungi Hak Cipta. 87
Lihat Pasal 29 Ayat (2) UU Hak Cipta. 88
Lihat Pasal 30 Ayat (3) UU Hak Cipta 89
Lihat Pasal 5 Ayat (1) UU Desain Industri.
89
Menurut Undang-Undang hak Cipta maupun Desain industri, tidak pernah ada
satu pasal pun yang menentukan jumlah barang yang diproduksi. Artinya
seberapa banyakpun ciptaan dalam bentuk karya terapan yang dibuat, barang-
barang tersebut mendapat perlindungan undang-undang Hak Cipta. Sedangkan
UU Desain Industri pada Pasal 1 butir 1, tidak menyebutkan bahwa Desain
Industri akan dipakai untuk memproduksi barang dalam jumlah tertentu atau
secara massal. Yang disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 tersebut hanyalah Desain
Industri yang dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang,
komoditas industri atau kerajinan tangan.
3) Sistem Pemeriksaan
Menurut Undang-Undang Hak Cipta walaupun ada pendaftaran, akan tetapi
perlindungan Hak Cipta timbul secara otomatis pada saat ciptaan tersebut
diwujudkan dalam bentuk nyata. Berbeda dengan bidang HKI lainnya seperti hak
Merek, Paten, dan Desain Industri, pemberian hak memang dilakukan oleh
Negara melalui proses permohonan pendaftaran. Hak eksklusif atas suatu
ciptaan menurut sistem yang diterapkan oleh Berne Convention adalah
automatic protection. Dalam sistem perlindungan menurut Undang-Undang
Desain Industri, pemeriksaan substantif dilakukan apabila ada oposisi atau
keberatan dari pihak lain. Apabila tidak ada keberatan pada saat pengumuman
dalam waktu tiga bulan, maka sertifikat langsung diterbitkan oleh Ditjen HKI.
Penerapan sistem pemeriksaan substantif adalah wajib dan mutlak untuk
dilakukan sebelum diberikan sertifikat hak Desain Industri.
90
C. Rancangan Undang-Undang tentang Hak Kekayaan Industri sebagai strategi dan politik hukum yang dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif, efisien dan lebih meningkatkan perekonomian Indonesia.
Law as a tool of social engineering, demikian fungsi hukum menurut
Roscoe Pound, yaitu hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat merupakan
tujuan hukum yang filosofis, artinya bahwa hukum sebagai alat pembaharuan telah
berlaku, baik bagi negara sedang berkembang maupun negara modern. Hukum
sebagai alat pembaharuan itu sangat penting bagi negara berkembang, karena di
negara yang sedang berkembang hukum bukan hanya untuk memelihara ketertiban,
melainkan hukum itu sebagai alat pembaruan sikap mental masyarakat yang
tradisional ke arah sikap mental masyarakat yang modern. Dalam pengertian sebagai
sarana rekayasa sosial, maka hukum tidak pasif, hukum mampu dipakai untuk
mengubah suatu keadaan dan kondisi tertentu ke arah yang dituju sesuai dengan
kemauan masyarakatnya.90 Dengan demikian hukum menciptakan suatu kondisi dan
keadaan yang relatif sangat baru, jadi tidak hanya mengatur keadaan yang telah
berjalan.
Kualitas dan efektivitas pengelolaan sistem Hak Kekayaan Industri tampak
dalam penegakan hukumnya. Selain itu juga dapat dilihat dari kecepatan serta
ketetapan dalam menangani permasalahan atau pengaduan atas perkara yang
timbul. Bersamaan dengan itu, penilaian mengenai kurang efektifnya penegakan
hukum akan mendatangkan penilaian negatif dari negara lain.91 Karena itu
bagaimana penegakan peraturan perundang-undangan di bidang Hak Kekayaan
Industri dapat efektif di masyarakat, menurut Lawrence M. Friedman, tergantung
90
W. Friedman, “Legal Theory,” (London: Stevens & Sons Limited, 1960), hal. 293-296. 91
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual (Bandung: PT. Eresco, 1990), hal. 5
91
kepada 3 (tiga) faktor, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum
masyarakat bersangkutan.92
Mengingat bahwa Hak Kekayaan Industri merupakan Hak Kekayaan
Intelektual, maka pemegang hak tersebut memiliki hak eksklusif untuk menggunakan
dan memberikan ijin kepada pihak ketiga untuk mengeksploitasi hak tersebut. Oleh
karenanya tanpa hak eksklusif, maka orang lain bisa bebas meniru dan memalsukan
baik Merek, Paten maupun Desain Industri milik pemilik HKI. Keadaan ini akan
merugikan dua pihak, yaitu pemilik Paten, Merek, atau Desain Industri di satu pihak,
dan sekaligus masyarakat luas. Jadi salah satu fungsi utama pemberian hak eksklusif
oleh undang-undang kepada pemilik Paten, Merek maupun Desain Industri adalah
demi peran membina dan menyegarkan sistem perdagangan bebas yang bersih serta
persaingan usaha yang jujur dan sehat, sehingga kepentingan masyarakat luas
(konsumen) dapat terlindungi dari perbuatan curang dan itikad buruk.
Prinsip utama pada Hak Kekayaan Industri, yaitu bahwa hasil kreasi dari
karya-karya, invensi-invensi dengan menggunakan kemampuan intelektualnya, maka
pribadi yang menghasilkan karya-karya atau invensi-invensi mendapatkan
kepemilikannya berupa hak alamiah. Pada tingkat paling tinggi dari hubungan
kepemilikan tersebut adalah bahwa hukum akan memberikan jaminan bagi setiap
penguasaan dan untuk menikmati hasil dari benda atau ciptaannya tersebut dengan
bantuan negara. Gambaran ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum adalah
untuk kepentingan si pemilik, baik pribadi maupun kelompok yang merupakan
subyek hukum. Namun kepentingan tersebut juga tidak boleh merugikan
kepentingan orang lain sesama manusia. Oleh karena itu pelaksanaan kepentingan
92
Lawrence M. Friedman, American Law, (New York-London: W.W. Norton & Co., 1984), hal 5-8.
92
itu harus mampu menyeimbangkan kepentingan dan peran pribadi individu dengan
kepentingan masyarakat (orang lain), maka sistem HKI berdasarkan pada prinsip-
prinsip: 93
1. Prinsip Keadilan (the principle of natural justice)
Pencipta sebuah karya, atau orang lain yang bekerja membuahkan hasil dari
kemampuan intelektualnya, wajar memperoleh imbalan yang dapat berupa
materi maupun immaterial, misalnya rasa aman karena dilindungi dan diakui
atas hasil karyanya itu. Hukum memberikan perlindungan demi kepentingan
pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya
tersebut, yang disebut hak. 94 Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu
suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada
pemiliknya. Bagi Hak kekayaan Industri, peristiwa yang menjadi alasan
melekatnya hak terebut adalah penciptaan yang berdasarkan kemampuan
intelektual. Karena hak tersebut akan mewajibkan pihak lain untuk melakukan
sesuatu atau commission, atau tidak melakukan sesuatu perbuatan atau
omission.
2. Prinsip Ekonomi (the economic argument)
Karena HKI berasal dari proses kreatif yang memiliki manfaat serta berguna
dalam menunjang kehidupan manusia, maka kepemilikan itu wajar karena sifat
ekonomis manusia yang menjadikan hal itu satu keharusan untuk menunjang
kehidupannya dalam masyarakat. Dengan demikian HKI merupakan suatu
93
Loc. Cit., hal 20-22. 94
Menurut H.F.A.Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata (Jilid 1), (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996), hal 6 bahwa Hak dapat dibedakan atas, Hak Mutlak dan Hak Nisbi, Hak Kekayaan Industri adalah Hak Mutlak yang bersifat kebendaan.
93
bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Dari kepemilikan itu orang akan mendapatkan
keuntungan, misalnya royalti.
3. Prinsip Kebudayaan (the cultural argument)
Hasil ciptaan itu sejalan dengan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang besar
artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban, dan martabat manusia.
Selain itu juga akan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa dan
negara. Pengakuan atas karya dan karsa manusia yang dibakukan dalam sistem
HKI adalah suatu usaha untuk mewujudkan lahirnya semangat dan minat untuk
mendorong lahirnya ciptaan baru.
4. Prinsip Sosial (the social argument).
Hukum tidak mengatur manusia sebagai perseorangan yang berdiri sendiri,
terlepas dari manusia yang lain, akan tetapi hukum mengatur kepentingan
manusia sebagai warga masyarakat. Jadi manusia dalam hubungannya dengan
manusia lain, yang terikat dalam satu ikatan kemasyarakatan. Dengan demikian
hak apapun yang diakui oleh hukum dan diberikan kepada seseorang, tidak
boleh diberikan semata-mata demi kepentingan orang itu, namun demi
kepentingan seluruh masyarakat.
1. Paten sebagai Hak Kekayaan Industri
a. Mempunyai jangka waktu tertentu
Perlindungan Paten (dan Paten Sederhana) sebagai HKI mempunyai jangka
waktu perlindungan. Jangka waktu perlindungan Paten diberikan untuk
selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka
waktu itu tidak dapat diperpanjang (Pasal 8 Undang-undang Nomor 14 Tahun
94
2001). Sedangkan Paten Sederhana diberikan untuk jangka waktu 10
(sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu
tidak dapat diperpanjang.
b. Bersifat eksklusif
Bersifat eksklusif maksudnya hak tersebut dapat dipertahankan terhadap
siapapun. Siapapun yang memiliki hak itu dapat melarang orang lain
menggunakan Paten maupun Paten Sederhana miliknya. Karena itu hak
tersebut biasa disebut juga hak monopoli (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001).
c. Bersifat hak mutlak dan immaterial (bukan kebendaan, tidak bertubuh)
Dalam konteks perjanjian lisensi ini adalah merupakan perbuatan hukum
yang tidak termasuk dalam hal-hal yang dimaksud dalam Undang-Undang
Anti Monopoli. Bahwa dalam Rancangan Undang-undang ini harus memuat
suatu aturan bahwa Hak Kekayaan Industri tersebut apabila dialihkan dalam
konteks pemberian lisensi, maka ekspoitasi dari hak tersebut tidak boleh
memuat hal-hal yang baik langsung maupun tidak langsung dapat merugikan
perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat
kemampuan bangsa Indonesia dalam berkreasi serta tidak mengakibatkan
adanya persaingan usaha yang tidak sehat.
2. Merek sebagai Hak Kekayaan Industri Merek sebagai Hak Kekayaan Industri mempunyai sifat-sifat tertentu, yang tidak
dimiliki benda lain, yaitu:
a. Mempunyai jangka waktu tertentu
95
Perlindungan Merek sebagai HKI mempunyai jangka waktu atau batas
perlindungan. Jangka waktu perlindungan Merek diberikan untuk selama 10
(sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan (Pasal 28 Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001).
b. Bersifat eksklusif
Bersifat eksklusif, maksudnya hak tersebut dapat dipertahankan terhadap
siapapun. Siapapun yang memiliki hak atas Merek dapat melarang orang lain
menggunakan Mereknya. Karena itu hak tersebut biasa disebut juga hak
monopoli (vide Pasal 3 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001)
c. Bersifat hak mutlak dan immaterial (bukan kebendaan, tidak bertubuh)
3. Desain Industri sebagai Hak Kekayaan Industri
a. Mempunyai jangka waktu tertentu
Perlindungan Desain Industri sebagai HKI mempunyai jangka waktu atau
batas perlindungan. Jangka waktu perlindungan Desain Industri diberikan
untuk selama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan
jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang (Pasal 5 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2000).
b. Bersifat eksklusif
Bersifat eksklusif maksudnya hak tersebut dapat dipertahankan terhadap
siapapun. Siapapun yang memiliki hak atas Desain Industri dapat melarang
orang lain menggunakan Desain Industri tanpa ijin pemiliknya. Karena itu hak
tersebut biasa disebut juga hak monopoli (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001).
c. Bersifat hak mutlak dan immaterial (bukan kebendaan, tidak bertubuh)
96
Dalam konteks korelasi antara HKI nasional, HKI internasional dan kegiatan
ekonomi, serta perdagangan pasar global, perkembangan standar
internasional bagi pengaturan HKI telah memberikan dampak bagi
perkembangan perdagangan dan teknologi, sehingga keadaan ini sangat
mendukung pembentukan suatu pasar global bagi produk-produk berbasis
HKI.
Sebagaimana pendapat Anthony D’Amato and Doris Estelle Long, bahwa
pengaturan hukum nasional sendiri pada akhirnya merupakan pengejawantahan dari
tujuan-tujuan kepentingan nasional dari suatu negara. Salah satu pertimbangan yang
penting untuk diperhatikan dalam interkoneksi antara pengaturan HKI dengan sistem
hukum, sistem perekonomian, dan sistem sosial budaya adalah tujuan dalam
peningkatan kesejahteraan sosial. Sifat-sifat individualistis dari pengaturan HKI justru
harus diinterpretasikan sebagai upaya untuk mendukung kesejahteraan sosial.
Dalam kerangka berpikir sebagaimana diuraikan di atas dan dihadapkan
pada kenyataan bahwa kebutuhan untuk merevisi tiga undang-undang di bidang HKI
yaitu Undang-Undang Desain Industri, Undang-Undang Paten, dan Undang-Undang
Merek, apakah ketiga undang-undang tersebut dapat dikompilasikan dalam satu
undang-undang tentang Hak Kekayaan Industri. Kompilasi Undang-undang Paten,
Undang-undang Merek, dan Undang-undang Desain Industri ke dalam satu naskah
undang-undang dapat dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek sebagai
berikut:
a) Hak atas Paten, Merek dan Desain Industri merupakan hak eksklusif yang
diberikan oleh Negara berdasarkan permohonan dari pemohon yang
berkepentingan;
97
b) Sistem yang dianut sebagai dasar timbulnya hak adalah “First to File”
(timbulnya hak atas Paten, Merek dan Desain Industri karena adanya
pendaftaran yang diajukan oleh pemiliknya untuk memperoleh perlindungan
hukum);
c) Paten, Merek dan Desain Industri sebagai jenis HKI dapat berada secara
berdampingan dalam satu produk, misalnya produk telepon genggam yang di
dalamnya ada teknologi yang dilindungi Paten, tampilan estetisnya dilindungi
Desain Industri, dan tanda dagangnya dilindungi Merek;
d) Walaupun ada perbedaan dalam jangka waktu pemberian hak prioritas
sehubungan dengan permohonan yang diajukan apabila ingin mengklaim hak
prioritas, prosedur pengajuan atas hak prioritas diatur berdasarkan
permohonan di Negara asal bagi pemohon asing;
e) Terdapat pengaturan yang sama mengenai hal-hal yang berkenaan dengan
penegakan hukum, misalnya Penetapan Sementara Pengadilan, Banding ke
Komisi Banding, forum lembaga peradilan, hukum acara tentang gugatan
pembatalan, penghapusan pendaftaran, gugatan ganti rugi, Kasasi di
Mahkamah Agung, dan lain sebagainya.
f) Terdapat ketentuan-ketentuan internasional sehubungan dengan
pendaftaran Paten, Merek dan Desain Industri sebagai Hak Kekayaan Industri,
seperti Patent Cooperation Treaty untuk Paten, Madrid Protocol untuk
Merek, the Hague Aggreement untuk Desain Industri;
g) Penghematan biaya legislasi dari tiga RUU menjadi hanya satu RUU;
h) Penghematan biaya sosialisasi undang-undang karena sudah terintegrasi
menjadi tiga-dalam-satu (three in one);
98
i) Dan lain-lain.
Disadari pula bahwa wacana penyatuan tiga undang-undang tentang
Desain Industri, Paten, dan Merek menjadi satu naskah undang-undang yaitu
Undang-Undang Hak Kekayaan Industri dapat menimbulkan permasalahan-
permasalahan baru yang dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu:
a) Dari aspek Hak Kekayaan Industri yang menurut Paris Convention for the
Protection of Industrial Property diatur tidak hanya bidang Paten, Merek dan
Desain Industri, tetapi juga termasuk Rahasia Dagang dan Desain Tata Letak
Circuit Terpadu.
b) Dari aspek tehnik perundang-undangan, apakah dimungkinkan untuk membuat
Undang-undang Hak Kekayaan Industri yang memuat perubahan atas tiga (3)
RUU, yaitu RUU Paten, RUU Merek dan RUU Desain Industri kedalam satu
naskah UU Hak Kekayaan Industri; atau apakah membuat Undang-undang Hak
Kekayaan Industri yang memuat UU Paten, UU Merek dan UU Desain Industri
yang baru, bukan memuat perubahan UU Paten, UU Merek dan UU Desain
Industri.
c) Dari aspek penamaan undang-undang yaitu Undang-Undang Hak Kekayaan
Industri, diperkirakan dapat memunculkan wacana baru dalam rangka proses
legislasinya, khususnya dapat merupakan kewenangan komisi tertentu di DPR
RI, yaitu Komisi Perindustrian, bukan Komisi Hukum sehingga
pengadministrasian undang-undang termaksud diserahkan kepada Kementerian
Perindustrian.
d) Dari aspek sifat penggabungan undang-undang Paten, UU Merek dan UU Desain
Industri apakah dapat berupa kodifikasi atau kompilasi, oleh karena masing-
99
masing nomenklatur penamaan itu membawa dampak dalam format
penyusunan batang tubuh undang-undang termaksud;
e) Dari aspek organisasi kelembagaan di lingkungan Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual, apakah penggabungan ketiga UU Paten, UU Merek dan
UU Desain Industri juga berarti menimbulkan kebutuhan penyatuan tiga
direktorat (Paten, Merek dan Desain Industri).
f) Dari aspek perkembangan hukum Hak Kekayaan Industri yang relatif cepat, akan
berdampak pula terhadap kebutuhan perubahan undang-undang yang
mengaturnya, hal mana akan menjadi tidak praktis dan tidak efisien jika setiap
kali harus mengubah undang-undang Hak Kekayaan Industri padahal perubahan
yang dibutuhkan hanya mengenai salah satu undang-undang termaksud,
misalnya Paten, atau Merek, atau Desain Industri saja;
g) Aspek-aspek lainnya yang mungkin dapat merupakan kendala ataupun
hambatan dalam gerak dan dinamika perlindungan serta penegakan hukumnya.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
Dalam pelaksanaan perlindungan Hak Kekayaan Industri harus
memperhatikan beberapa asas sebagai landasan filosofis, yuridis dan sosiologis.
Beberapa asas yang perlu dipertimbangkan dan menjadi satu-kesatuan dalam Hak
Kekayaan Industri adalah asas kepastian hukum dan berkeadilan, asas efisien dan
efektif sehingga Hak Kekayaan Industri dapat memenuhi harapan para pelaku usaha
yang menggunakan dan mendaftar kekayaan industrinya secara jujur, serta
melindungi kepentingannya dalam kegiatan bisnisnya, juga melindungi kepentingan
masyarakat konsumen agar memperoleh produk kekayaan industri yang berasal dari
pemegang Hak Kekayaan Industri yang sebenarnya, dan mampu mencegah serta
mengatasi tindakan pelanggaran Hak Kekayaan Industri dari pihak yang curang.
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis perlindungan Hak Kekayaan Industri adalah Pancasila
yaitu rechtsidee (cita hukum) yang merupakan konstruksi pikir (ide) yang
mengarahkan hukum kepada apa yang dicita-citakan. Rudolf Stamler95 mengatakan
bahwa rechtsidee berfungsi sebagai leitsern (bintang pemandu) bagi terwujudnya
cita-cita sebuah masyarakat. Dari rechtsidee itulah disusun konsep dan politik hukum
dalam sebuah negara.
Cita hukum tersebut merupakan suatu yang bersifat normatif, dan juga
konstitutif. Normatif artinya berfungsi sebagai prasyarat transendental yang
95
Rudolf Steammler dalam Roscoe Pound, Hukum Dan Kedudukannya Dalam Masyarakat, Terj. Budiarto, (Jogyakarta: RadjaGrafindo, 1996) hal. 11
101
mendasari tiap hukum positif yang bermartabat, dan merupakan landasan moral
hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif. Cita hukum yang konstitutif
berarti rechtsidee berfungsi mengarahkan hukum pada tujuan yang ingin dicapai.
Gustaf Radbruch menyatakan bahwa “rechtsidee berfungsi sebagai dasar yang
bersifat konstitutif bagi hukum positif, memberi makna bagi hukum. Rechtsidee
menjadi tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu menguji apakah hukum positif adil
atau tidak.”96 Cita hukum akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum
yang memberikan pedoman (guiding principle), norma kritik (kaidah evaluasi), dan
faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan,
penerapan hukum dan perilaku hukum).
Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang
merupakan hukum dasar bagi pembentukan hukum positif mengandung empat ide
pokok, yang oleh para ahli disepakati sebagai cita hukum Indonesia, yaitu: pertama,
cita perlindungan yang terkandung dalam frasa “Negara melindungi segenap bangsa
Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan atas
persatuan”; kedua, cita keadilan sosial, yang terkandung dalam frasa “Negara berhak
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”; ketiga, cita kemanfaatan
yang terkandung dalam frasa “Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar
kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan”; dan keempat, cita keadilan umum,
yang terkandung dalam frasa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Cita perlindungan mengandung makna cita hukum yang menjamin
perlindungan segenap bangsa Indonesia, sesuai dengan prinsip keadilan kumulatif
96
Abdul M. Noor Syam, penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (Sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional) (Malang: Laboratotium Pancasila IKIP Malang, 2000) hal. xvi.
102
yang dikemukakan Thomas Aquinas dalam Franz L Neumann,97 yaitu hukum
memberi perlindungan kepada seluruh warga masyarakat tanpa memandang status
sosial, suku, budaya, politik, agama, dan ekonominya. Hal itu sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Jeremy Bentham, bahwa fungsi hukum yang utama adalah
memberi penghidupan, mendorong persamaan, dan memelihara keamanan bagi
semua orang.
Cita keadilan sosial mencerminkan hukum yang menjamin keadilan dalam
hidup bermasyarakat, yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat,
yang mengutamakan perlakuan adil bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang
ras, golongan, dan agama. Keadilan semacam ini oleh Aristoteles dan Thomas
Aquinas sebagai keadilan distributif, yaitu pembagian barang dan kehormatan pada
masing-masing anggota masyarakat sesuai dengan kedudukannya dalam
masyarakat.98
Cita kemanfaatan yang merupakan cita hukum dalam bernegara yakni cita
tentang kegunaan hukum dalam bernegara. Ada empat prinsip dasar cita
kemanfaatan, yaitu hukum yang berpihak pada kebutuhan rakyat, hukum harus
menjamin kesejahteraan rakyat, hukum harus dibuat oleh rakyat melalui wakil dalam
parlemen, dan hukum berfungsi mengontrol kekuasaan negara atas dasar supremasi
hukum. Prinsip pokoknya adalah kerakyatan, yang oleh Socrates dikatakan bahwa
97
Franz L. Neumann, The Ruke of Law, Political Theory and The Legal system in Modern Society, (USA: Berg Puolisher, 1994) hal. 54
98 Theo Huijbers, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Kanisius Press, 1997) Cetakan V, hal. 6.
103
penentuan tentang baik buruk, berhak dan tidak berhak jangan diserahkan kepada
penguasa semata, tetapi juga dicari ukuran-ukuran yang obyektif dari rakyat.99
Cita keadilan umum, berlaku prinsip keadilan ius pietatis atau ius
internum, yaitu hak dan kewajiban orang untuk beribadah pada Tuhan yang
dimaknai dengan hukum yang tidak bertentangan dengan nilai agama/kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Melalui hukum, masyarakat harus dibimbing untuk
bermoral.
Landasan filosofis perlindungan Desain Industri adalah Pancasila yaitu
rechtidee (cita hukum) yang merupakan konstruksi pikir (ide) yang mengarahkan
hukum kepada apa yang dicita-citakan.
B. Landasan Sosiologis
Penelitian terhadap efek suatu peraturan perundang-undangan didalam
masyarakat merupakan salah satu usaha untuk mengetahui apakah undang-undang
tersebut berfungsi atau tidak. Suatu peraturan perundang-undangan yang dikatakan
baik, belum cukup apabila hanya memenuhi persyaratan-persyaratan filosofis dan
yuridis saja, karena secara sosiologis peraturan tadi juga harus berlaku. Hal ini bukan
berarti setiap peraturan perundang-undangan harus segera diganti apabila ada
gejala bahwa peraturan tadi tidak hidup. Peraturan perundang-undangan tersebut
harus diberi waktu agar meresap dalam diri masyarakat. Apabila sering terjadi
pelanggaran-pelanggaran (tertentu) terhadap suatu peraturan perundang-undangan,
maka hal itu belum tentu berarti peraturan tersebut secara sosiologis tidak berlaku
dalam masyarakat.
99
Wolfang Friedman, Legal Theory, ed. Cunan (Boston., Masattchussetts, USA : Harvard University Press, 2000) hal. 211.
104
Landasan sosiologis, yaitu bahwa setiap norma hukum yang dituangkan
dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat
sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum
masyarakat. Karena itu, harus dirumuskan dengan baik pertimbangan-pertimbangan
yang bersifat empiris sehingga sesuatu gagasan normatif yang dituangkan dalam
undang-undang benar-benar didasarkan atas kenyataan yang hidup dalam kesadaran
hukum masyarakat. Dengan demikian, norma hukum yang dituangkan dalam
undang-undang itu kelak dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya ditengah-tengah
masyarakat hukum yang diaturnya.
Mieke Komar dan Ahmad M. Ramli mengemukakan beberapa alasan
mengapa HKI perlu dilindungi, yang pertama adalah bahwa hak yang diberikan
kepada seorang pencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, atau Inventor
di bidang teknologi baru yang mengandung langkah inventif merupakan wujud dari
pemberian suatu penghargaan dan pengakuan atas keberhasilan manusia dalam
melahirkan karya-karya inovatifnya. Dengan demikian, sudah merupakan
konsekuenasi hukum untuk diberikannya suatu perlindungan hukum bagi penemu
atau pencipta dan mereka yang melakukan kreativitas dengan mengerahkan segala
kemampuan intelektual tersebut seharusnya diberikan suatu hak eksklusif untuk
mengeksploitasi HKI tersebut sebagai imbalan atas jerih payahnya itu. 100
100
Mieke Komar dan Ahmad M. Ramli, “Perlindungan Hak Atas Kepemilikan Intelektual Masa Kini dan
Tantangan Menghadapi Era Globalisasi Abad 21”, Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan
Budaya Menghargai HAKI di Indonesia Menghadapi Era Globalisasi Abad ke-21, Lembaga Penelitian ITB-
Ditjen HCPM Dep. Kehakiman RI, Sasana Budaya Ganesa, tanggal 28 Nopember 1998, hal. 2.
105
Landasan sosiologis perlindungan Hak Kekayaan Industri adalah untuk
lebih meningkatkan pelayanan dan memberikan kepastian hukum bagi dunia
industri, perdagangan dan investasi sehingga tercipta iklim yang lebih mendorong
kreasi dan inovasi masyarakat di bidang Paten, Merek, dan Desain industri, yang
melahirkan industri yang maju dan mampu bersaing dalam perdagangan nasional
dan internasional. Hal tersebut akan dapat terwujud antara lain dengan
perlindungan dan kemudahan akses serta efektifitas proses pendaftaran di bidang
Paten, Merek dan Desain Industri. Secara umum, ketiga bidang HKI ini dalam
praktiknya menemui kendala perlindungan berupa prosedural dan harmonisasi
hukum. Kendala prosedural antara lain berupa proses dan prosedur pendaftaran hak
yang terlalu rumit dan lama (dalam bidang merek dan paten), atau bahkan terlalu
sederhana (desain industri). Kendala harmonisasi hukum antara lain berupa belum
meratifikasi konvensi internasional terkait yang akan lebih meningkatkan kualitas
dan kuantitas perlindungan hak, serta belum diimplementasikannya secara optimal
konvensi internasional yang sudah diratifikasi ke dalam regulasi nasional.
Tujuan utama Persetujuan TRIPs, sebagaimana tercantum dalam
pembukaannya adalah: ”untuk mengurangi distorsi dan halangan terhadap
perdagangan internasional, dengan memperhitungkan kebutuhan untuk
mempromosikan secara efektif dan memadai perlindungan HKI, dan untuk
memastikan agar ukuran dan prosedur HKI tidak menjadi halangan tersendiri bagi
berlangsungnya perdagangan yang sah.101
101
Southcentre, 1997, TRIPs Agreement: A Guide for the South, the Uruguay Agreement on TRIPs, Geneva,
hal. 55.
106
Pasal 7 Persetujuan TRIPs mengatur bahwa perlindungan dan pelaksanaan
hak-hak kekayaan intelektual harus memberikan sumbangan bagi kemajuan inovasi
teknologi serta pengalihan dengan penyebaran teknologi dengan memperhatikan
keseimbangan kepentingan antara produsen dan pengguna dari pengetahuan
teknologi serta dengan cara yang kondusif bagi kesejahteraan masyarakat dan
ekonomi, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Landasan sosiologis perlindungan Desain Industri adalah hukum yang
mengatur Desain Industri yang melindungi individu atau anggota masyarakat dalam
pergaulannya dengan masyarakat secara umum. Hukum yang dibentuk adalah
hukum yang responsif yang memaksimalkan potensi sosial melalui hukum Desain
Industri yang memperhatikan pemberdayaan masyarakat dan diterima secara sosial.
Orientasi pemikiran sosiologis antara lain menunjukkan adanya
perkembangan dinamika masyarakat, dan kecenderungan penilaiannya terhadap
pengalaman empiris pada Undang-undang Paten sebelumnya. Suasana masyarakat
peneliti, perekayasa dan litkayasa yang pada dasarnya para investor menghendaki
perbaikan-perbaikan dalam proses birokrasi untuk mendapatkan sertifikat Paten, tak
terkecuali perbaikan di bidang komersialisasi Paten dengan terhantarnya invensi ke
Industri, yang pada dasarnya komersialisasi Paten menuju pasar. Hal-hal yang
diinginkan diantaranya seperti perlunya diberikan kesempatan untuk mempercepat
proses pemberian paten, sehingga inovasi akan berkembang pesat, dan invensi
berbasis Paten dapat terwujud.
Perubahan dan perkembangan perlindungan Paten yang disuatu sisi
membawa dampak yang sangat baik dalam perkembangan teknologi, sehingga
107
mempermudah manusia dalam memenuhi kebutuhannya dalam segala aspek
kehidupan baik berupa sarana maupun berupa prasarana. Di sisi lain perlindungan
Paten juga membawa dampak yang baik bagi investor sehingga lebih banyak lagi
invensi-invensi yang dihasilkan, yang pada gilirannya juga akan menjamin investasi
dan penanaman modal, sehingga dengan investasi tersebut teknologi makin
berkembang dan hal tersebut akan memacu perkembangan perekonomian yang
pada akhirnya bermuara pada kesejahteraan umat manusia. Namun kondisi setiap
negara tidak sama terutama negara-negara berkembang (developing countries) dan
negara-negara yang tergabung least developed countries (negara-negara
terbelakang) perlindungan Paten membawa konsekwensi lain terhadap
kesejahteraan masyarakat tersebut, terutama karena teknologi tersebut (paten)
pada umumnya datang dari negara maju, terutama yang paling dirasakan dalam
kebutuhan di bidang farmasi khusus obat-obatan, dimana persediaannya terbatas
dan harganya relatip cukup mahal bagi masyarakat kedua golongan tersebut,
sekalipun dalam traktat-traktat dan konvensi-konvensi internasional sebelumnya
sudah diatur mekanisme untuk mempermudah untuk mendapatkan akses obat yang
mudah dan terjangkau baik melalui mekanisme lisensi wajib maupun melalui
mekanisme pelaksanaan paten oleh pemerintah, ketentuan tersebut belum dapat
mengatasi permasalahan tersebut di negara dimaksud, mengingat kemampuan
untuk memproduksi obat terutama pada Negara-negara terbelakang yang tidak
mampu untuk memproduksi obat sendiri.
Dampak dari hal tersebut tingkat kematian di negara-negara dimaksud
sangat tinggi, hal ini membuat ketidakadilan karena sistem Paten tersebut cenderung
108
hanya menguntungkan negara-negara maju, dengan adanya amandemen Article 31
bis huruf f Persetujuan TRIPs tersebut diharapkan mampu mengatasi permasalahan
tersebut, karena pelaksanaan lisensi wajib khusus di bidang produk farmasi
dimungkinkan melalui impor dan ekspor, asal dilakukan sesuai dengan mekanisme
kesepakatan internasional (Doha).
Penetapan Sementara Pengadilan (injunction) merupakan sarana penting
bagi pemegang hak yang ingin dilindungi haknya dari pihak-pihak yang sengaja
menggunakan Patennya tanpa hak beredar diwilayah Indonesia, hal mana apabila
terjadi pelanggaran Paten, sangat merugikan Pemegang Paten yang mungkin sudah
mengeluarkan banyak biaya dalam rangka riset atas invensi, dengan tidak
berfungsinya ketentuan dimaksud, maka hak Pemegang Paten tidak dapat segera
terlindungi dari hasil pelanggaran.
Impor atas suatu produk farmasi yang dilakukan oleh bukan Pemegang
Paten dapat dianggap sah saja sepanjang yang memproduksi barang tersebut di luar
negeri adalah pemegang hak yang sah dan dipasarkan juga olehnya, hal ini untuk
mengurangi proteksi/monopoli yang berlebihan, hal ini sangat penting agar
persaingan usaha lebih kompetitif dan masyarakat pengguna obat-obatan membeli
dengan harga yang layak sesuai dengan mekanisme pasar, sehingga tercipta rasa
keadilan, dengan demikian mekanisme impor yang demikian harus dibebaskan dari
tuntutan Pemegang Paten baik secara perdata maupun pidana.
Ijin untuk suatu produk obat memakan waktu hampir dua tahun karena
untuk beredarnya suatu obat harus melalui uji klinis, dengan adanya waktu uji klinis
yang panjang demikian, maka penggunaan Paten oleh pihak lain yang bukan
109
Pemegang Paten pada tahun ke-18 dengan tujuan untuk uji klinis dibenarkan dan hal
tersebut tidak merupakan pelanggaran sehingga yang bersangkutan terbebas dari
tuntutan pidana maupun perdata, hal ini lazim dilakukan perlindungan Paten hanya
20 tahun, apabila orang lain baru dapat menggunakan Paten tersebut setelah masa
perlindungan selesai maka perlindungan Paten akan menjadi 22 tahun.
Dengan memiliki asas-asas dan landasan yuridis, filososif, dan sosiologis
maka Rancangan Undang-Undang Merek telah memperhatikan 3 hal yaitu102:
1. kepentingan masyarakat sebagai konsumen dan meningkatkan kesadaran
konsumen untuk menggunakan atau mengonsumsi produk dengan Merek yang
benar;
2. memberikan perlindungan terhadap kepentingan pengusaha sebagai pemilik
dan/atau pemegang Merek, dan membangun kesadaran antar pengusaha lain
sebagai kompetitor untuk melaksanakan kegiatan bisnisnya secara jujur dan
bertanggung jawab kepada konsumen dengan tidak menggunakan Merek yang
sama atau serupa dengan Merek pengusaha lain yang telah dilindungi; dan
3. kewajiban para penegak hukum untuk melaksanakan penegakan hukum Merek
secara benar, jujur dan bertanggung jawab.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis perlindungan Hak Kekayaan Industri adalah aturan
hukum yang dijadikan pedoman utama dalam mekanisme pelaksanaan Hak
Kekayaan Industri agar dilakukan secara tertib. Produk Hak Kekayaan Industri dapat
dimanfaatkan oleh para penemu, pendesain, dan pemilik Merek, terutama yang
102
Naskah Akademik tentang RUU Merek, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, tahun 2006.
110
berkaitan dengan nilai ekonomis untuk kesejahteraan dapat berjalan secara adil.
Hukum yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut adalah hukum yang responsif
yang oleh Roscoe Pound, dan para penganut realism hukum adalah
mempertimbangkan kebutuhan sosial atau harus lebih responsif terhadap
kebutuhan masyarakat.103 Hukum yang responsif tersebut harus diarahkan oleh
landasan filosofis yang mengarahkan hukum pada perlindungan Hak Kekayaan
Industri yang adil, baik terhadap penemu, pendesain, dan pemilik Merek, baik yang
bermodal besar, menengah maupun yang bermodal kecil.
Perkembangan perdagangan internasional dewasa ini menuntut pula
kesiapan dan harmonisasi regulasi nasional dengan instrumen hukum internasional
di bidang HKI untuk memanfaatkan mekanisme perlindungan internasional bagi HKI
nasional. Sejak berlakunya Persetujuan TRIPs yang ditandatangani oleh pemerintah
Indonesia (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 pada tanggal 2
November 1994), sebagai anggota WTO, Indonesia harus menyesuaikan sistem HKI
nasional dengan Persetujuan TRIPs dan konvensi-konvensi maupun traktat-traktat
internasional di bidang Paten, Merek dan Desain Industri yang sudah diratifikasi oleh
Indonesia, sehingga Indonesia berkewajiban memasukan peraturan-peraturan
standar atau ketentuan minimal yang diatur dalam Persetujuan TRIPs dan Konvensi-
konvensi yang telah diratifikasi. Adapun Konvensi dan Traktat internasional di bidang
Paten, Merek dan Desain Industri yang sudah diratifikasi maupun yang akan
diratifikasi, yaitu sebagai berikut:
103
Roscoe Pound, Jurisprudence, (St. Paul, West Publishing, 1959), hal. 50.
111
1. The Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Konvensi Paris)
bertujuan untuk memfasilitasi hubungan perdagangan di antara negara-negara
anggota dengan mengembangkan perlindungan internasional bagi hak kekayaan
industri. Dalam Konvensi Paris ini negara-negara yang tergabung membentuk
suatu serikat negara atau union, dan peraturan hukum dan perundang-undangan
mengenai HKI harus disesuaikan, dan pada prinsipnya hak prioritas dan sistem
Paten masing-masing negara tetap berdiri sendiri.
2. Patent Cooperation Treaty (Traktat Kerja Sama Paten) berfungsi untuk
menyempurnakan perlindungan hukum bagi invensi, untuk 1) menyempurnakan
dan membuat lebih ekonomis cara mendapatkan perlindungan invensi; 2)
mendukung dan mempercepat akses oleh masyarakat mengenai data teknis yang
terdapat dalam dokumen yang menggambarkan teknologi baru, dan untuk
mendukung dan mempercepat pertumbuhan ekonomi negara-negara
berkembang.
3. Trademark Law Treaty
4. Protocol Relating to the Madrid Agreement Concerning the International
Registration of Marks
Permohonan pendaftaran Merek melalui sistem Madrid adalah permohonan
pendaftaran merek internasional berdasarkan “the Madrid Agreement Concerning
International Registration of Marks, and the Protocol relating to Madrid
Agreement (1989). Sistem pendaftaran merek internasional ini dibentuk
berdasarkan 2 (dua) traktat yaitu Madrid Agreement dan Madrid Protocol. Untuk
ikut serta dalam sistem pendaftaran merek internasional tersebut, suatu negara
112
terlebih dahulu harus menjadi salah satu anggota traktat dimaksud atau
keduanya.
5. The Locarno Agreement Establishing an International Classification for Industrial
Design (1968).
6. The Geneva Act 1999 of the Hague Agreement Concerning the International
Registration of Industrial Design
7. The Nice Agreement Concerning the International Classification of Goods and
Services for the Purpose of the Registration of Marks.
8. The Budapest Treaty on the Recognition of the Deposit for the Purpose of Patent.
Pada saat ini, walaupun Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor
14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang
Merek dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, tetapi
dalam prakteknya masih ditemui kendala atau kelemahan dalam aspek substansi dan
aspek prosedural yang dapat mempengaruhi pada kurang efektifnya perlindungan
dan penegakan hukum HKI, sehingga kurang mampu menciptakan iklim yang dapat
mendorong kreasi dan inovasi masyarakat, yang pada akhirnya menghambat
perkembangan industri dan daya saing dalam dunia perdagangan internasional.
Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Komitmen
Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2011 juga harus diperhatikan sebagai
landasan yuridis perlindungan Hak Kekayaan Industri, karena memberikan efek ke
dalam berupa kesiapan dan pembangunan regulasi nasional HKI, dan efek ke luar
berupa kebutuhan harmonisasi hukum dengan konvensi-konvensi internasional dan
regional.
113
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan juga dijadikan landasan yuridis perlindungan Hak Kekayaan
Industri ini dalam rangka teknik penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan
Undang-Undangan tentang Hak Kekayaan Industri.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG HAK KEKAYAAN INDUSTRI
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Industri
Perubahan pengaturan Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek
dan Undang-Undang Desain Industri ke dalam satu Rancangan Undang-Undang
(RUU) tentang Hak Kekayaan Industri sebagai sasaran yang hendak diwujudkan,
diarahkan kepada terbentuknya Undang-Undang tentang Hak Kekayaan Industri yang
lebih dapat meningkatkan efisiensi sistem dan prosedur pendaftaran, penegakan
hukum HKI yang lebih mampu mendorong dan memajukan sektor industri untuk
meluaskan penyebaran karya intelektual guna memenuhi kebutuhan dan
kepentingan masyarakat, serta regulasi yang mampu mendorong peningkatan
kemampuan daya saing produk kekayaan intelektual Indonesia di dunia
Internasional. Peningkatan kemampuan daya saing sektor industri tersebut salah
satunya melalui peningkatan perlindungan hukum bagi para pelaku industri dengan
menciptakan instrumen hukum yang berkaitan secara langsung dengan sektor
industri yang bukan hanya mampu memberikan perlindungan namun sekaligus
memberikan kemudahan akses dan efektifitas proses pendaftaran untuk
memperoleh status ataupun sertifikat hak atas suatu kekayaan intelektual khususnya
bagi sektor industri.
Perubahan pengaturan juga diarahkan demi tercapainya keseimbangan
antara kepentingan ekonomi individual dan pemegang HKI maupun keseimbangan
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang diakibatkan oleh implementasi
115
atau eksploitasi dari HKI itu sendiri. Hukum yang responsif tersebut harus diarahkan
oleh landasan filosofis yang mengarahkan hukum pada perlindungan HKI yang adil,
baik terhadap penemu, pendesain, dan pencipta, baik yang bermodal besar,
menengah maupun yang bermodal kecil. Hukum yang dibentuk adalah hukum yang
responsif yang memaksimalkan potensi sosial melalui hukum HKI yang
memperhatikan pemberdayaan masyarakat dan diterima secara sosial.
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses
penelusuran, pembuatan, pengembangan, administrasi pendaftaran, dan penegakan
hukum HKI juga dapat menjadi arah perubahan pengaturan Undang-Undang Paten,
Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri ke dalam satu RUU
tentang Hak Kekayaan Industri, yang bertujuan selain meningkatkan jumlah HKI
nasional, juga meningkatkan perlindungan HKI dengan negara lain yang sudah lebih
dahulu dan lazim menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam sistem
perlindungan HKI.
Perubahan pengaturan Undang-Undang Kekayaan Intelektual yang
bertujuan meningkatkan kemampuan daya saing sektor industri dengan memberikan
perlindungan hukum yaitu menciptakan instrumen hukum yang mempunyai
keterkaitan langsung dengan sektor industri di Indonesia dan sekaligus sebagai
konsekuensi keikutsertaan Indonesia sebagai anggota organisasi perdagangan dunia
dan sebagai penandatangan dari Perjanjian TRIPs, harus dilakukan secara
berkelanjutan dan berkesinambungan dalam hukum nasional. Hal ini ditujukan selain
agar regulasi nasional dapat harmonis dengan instrumen hukum internasional,
116
sekaligus juga agar produk-produk kekayaan intelektual nasional dapat masuk dalam
perdagangan bebas dunia dan dapat bersaing dengan produk negara-negara lain.
Kebutuhan hukum masyarakat Indonesia menuntut adanya perubahan
pengaturan Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang
Desain Industri, dalam satu RUU tentang Hak Kekayaan Industri antara lain
disebabkan adanya kendala penerapan instrumen hukum di sektor industri, baik dari
sisi substansi hukum yang diatur serta kendala teknis dalam pelaksanaannya.
Kendala dari sisi substansi hukum, perlindungan terhadap HKI masih diatur secara
tersendiri dalam Undang-Undang yang tersendiri pula sehingga para pelaku industri
yang pada umumnya pelaku ekonomi yang menitikberatkan efisiensi dan efektifitas
sering kali mengeluhkan prosedur yang memiliki banyak kesamaan pengaturan
dalam masing-masing Undang-Undang sehingga terjadi pengulangan prosedur yang
menjadikan ketidakefektifan masing-masing Undang-Undang ini.
Perubahan prosedur administrasi perlindungan HKI juga menjadi alasan
perubahan pengaturan Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-
Undang Desain Industri dalam satu RUU tentang Hak Kekayaan Industri yang
ditujukan antara lain agar terjadi peningkatan jumlah kekayaan intelektual nasional
yang terlindungi.
Alasan perubahan pengaturan lainnya adalah dampak kemajuan ilmu
pengetahuan dan pengaruh perkembangan teknologi (IPTEK) yang sangat pesat, yang
belum secara optimal dimanfaatkan Indonesia, baik dalam proses penelusuran HKI,
dalam proses pembuatan HKI baru, maupun dalam proses administrasi perlindungan
HKI. Perkembangan kemajuan teknologi yang begitu cepat terutama di bidang
117
teknologi komunikasi yang membawa dampak cukup besar terhadap pola kehidupan
manusia, kemajuan dalam komunikasi melalui jaringan elektronik atau komputerisasi
telah mengubah pola berkomunikasi bahkan termasuk dalam bertransaksi melalui
mekanisme elektronik sudah hal yang biasa dilakukan. Kemajuan tersebut memaksa
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual harus dapat mengakomodasi,
permohonan-permohonan yang diajukan melalui elektronik (electronic filing), hal
mana sistem tersebut sudah lazim digunakan di banyak negara, Indonesia pun
memungkinkan melakukan pendaftaran Paten melalui elektronik, hal ini sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
B. Ruang Lingkup Materi Muatan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Kekayaan Industri
1. Materi Muatan untuk RUU tentang Perubahan UU Paten 1. BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia
kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi.
2. Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan
pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk
atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.
Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara
bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang
menghasilkan Invensi.
118
3. Permohonan adalah permohonan Paten yang diajukan kepada Menteri.
4. Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan Paten.
5. Pemegang Paten adalah Inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang
menerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang menerima
lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten.
6. Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
7. Pemeriksa adalah seseorang yang karena keahliannya diangkat dengan
Keputusan Menteri sebagai pejabat fungsional Pemeriksa Paten dan ditugasi
untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
8. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia.
9. Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya Permohonan yang telah
memenuhi persyaratan administratif minimum.
10. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang
berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for the protection
of Industrial Property atau Agreement Establishing the World Trade
Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan di
negara asal merupakan Tanggal Prioritas di negara tujuan yang juga anggota
salah satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan
dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention
tersebut.
11. Lisensi adalah ijin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain
berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan Paten yang masih
dilindungi.
12. Hari adalah hari kerja.
13. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di
bidang Hak Kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa
pengajuan permohonan dan pengurusan Hak Kekayaan Intelektual, dan
diangkat oleh Menteri.
119
2. Judul Bagian Kesatu pada Bab II disesuaikan dengan tata urutan perundang-
undangan dan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan Pasal 1a, sehingga
judul Bagian Kesatu pada Bab II serta keseluruhan Pasal 1a berbunyi sebagai
berikut:
BAB II
LINGKUP PATEN
Bagian Kesatu
Lingkup Perlindungan
Pasal 1a
Lingkup perlindungan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah
a. Paten; dan
b. Paten Sederhana.
3. Penyesuaian urutan bagian pada Bagian Kedua, sebagai berikut:
Bagian Kedua
Invensi Yang Dapat Diberi Paten
Pasal 2
Paten diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif dan
dapat diterapkan dalam industri.
4. Penambahan paragraf dan judul paragraf, sebagai berikut:
Paragraf 1
Invensi Yang Baru
Pasal 3
(1) Suatu Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, Invensi tersebut
tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya.
(2) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar
Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan,
penggunaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk
melaksanakan Invensi tersebut sebelum:
a. tanggal Penerimaan; atau
b. tanggal prioritas.
120
(3) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang
dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang pemeriksaan
substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih
awal daripada Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas Permohonan.
5. Ketentuan Pasal 4 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yaitu
menambahkan ayat (1) huruf b1, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
(1) Suatu Invensi tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu
paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaan:
a. Invensi tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran
internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui
sebagai resmi atau dalam suatu pameran nasional di Indonesia yang
resmi atau diakui sebagai resmi;
b. Invensi tersebut telah digunakan di Indonesia oleh Inventornya dalam
rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan; atau
b1. Invensi tersebut telah dipublikasikan di salah satu jurnal ilmiah dan/atau
pertemuan ilmiah baik nasional maupun internasional oleh inventor
dan/atau Institusinya.
(2) Invensi juga tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan sebelum Tanggal Penerimaan, ternyata ada pihak lain
yang mengumumkan dengan cara melanggar kewajiban untuk menjaga
kerahasiaan Invensi tersebut.
6. Penambahan paragraf dan judul paragraf serta diantara Pasal 4 dan Pasal 5
disisipkan Pasal 4A, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
Paragraf 2
Invensi Yang mengandung Langkah Inventif
Pasal 4A
121
(1) Suatu Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi
seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan
hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.
(2) Penilaian bahwa suatu Invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga
sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada
pada saat Permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan
permohonan pertama dalam hal Permohonan itu diajukan dengan Hak
Prioritas.
7. Penambahkan paragraf dan judul paragraf pada Pasal 5, sebagai berikut:
Paragraf 3
Invensi Yang Dapat Diterapkan Dalam Industri
Pasal 5
Suatu Invensi dapat diterapkan dalam industri jika Invensi tersebut dapat
dilaksanakan dalam industri sebagaimana yang diuraikan dalam Permohonan.
8. Penambahan judul bagian dan penyempurnaan ketentuan Pasal 6, sehingga
keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
Bagian Ketiga
Paten Sederhana
Pasal 6
Paten Sederhana diberikan untuk setiap invensi berupa alat yang baru dan
mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi,
konstruksi, atau komponennya.
9. Ketentuan Pasal 7 diubah dengan menambahkan judul bagian dan menyisipkan
ketentuan baru pada huruf f sampai dengan k, sehingga keseluruhan Pasal 7
berbunyi sebagai berikut:
Bagian Keempat
Invensi yang Tidak Dapat Diberi Paten
Pasal 7
Paten tidak diberikan untuk Invensi tentang:
122
a. proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau
pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
b. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan
yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;
c. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika;
d. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik;
e. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan,
kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis;
f. kreasi estetika;
g. skema;
h. aturan dan metode untuk melakukan kegiatan:
1) yang melibatkan kegiatan mental, atau
2) permainan;dan/atau
3) bisnis.
i. aturan dan metode mengenai program komputer;
j. presentasi mengenai suatu informasi; atau
k. substansi yang diperoleh dengan cara transformasi nuklir.
10. Perubahan bagian dan judul bagian, sebagai berikut:
Bagian Kelima
Jangka Waktu Perlindungan
Pasal 8
(1) Paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung
sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang.
(2) Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu Paten dicatat dan diumumkan.
11. Penyesuaian urutan bagian, sebagai berikut:
Bagian Keenam
Subjek Paten
Pasal 10
(1) Yang berhak memperoleh Paten adalah Inventor atau yang menerima lebih
lanjut hak Inventor yang bersangkutan.
123
(2) Jika suatu Invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak
atas Invensi tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh para inventor yang
bersangkutan.
12. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Pihak yang melaksanakan suatu Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (1) hanya dapat diakui sebagai pemakai terdahulu apabila setelah
diberikan Paten terhadap Invensi yang sama, ia mengajukan permohonan
untuk itu kepada Menteri.
(2) Permohonan pengakuan sebagai pemakai terdahulu wajib disertai bukti
bahwa pelaksanaan Invensi tersebut tidak dilakukan dengan menggunakan
uraian, gambar, contoh, atau keterangan lainnya dari Invensi yang
dimohonkan Paten.
(3) Pengakuan sebagai pemakai terdahulu diberikan oleh Menteri dalam bentuk
surat keterangan pemakai terdahulu dengan membayar biaya.
(4) Surat keterangan pemakai terdahulu berakhir pada saat yang bersamaan
dengan saat berakhirnya Paten atas Invensi yang sama tersebut.
(5) Tata cara untuk memperoleh pengakuan pemakai terdahulu diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
13. Judul Bab IV menjadi “Hak dan Kewajiban Pemegang Paten”, dan ketentuan Pasal
16 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru ayat (1a), sehingga judul Bab IV
dan keseluruhan Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG PATEN
Pasal 16
(1) Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang
dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya, dalam hal:
a. Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor,
menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau
disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
124
b. Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk
membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
huruf a.
(1a) Pelaksanaan Paten-proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
yang menghasilkan produk yang dilindungi dalam Paten-produk
sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, harus seizin pemegang Paten-
produk.
(2) Dalam hal Paten-proses, larangan terhadap pihak lain yang tanpa
persetujuannya melakukan impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata
dihasilkan dari penggunaan Paten-proses yang dimilikinya.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (3)
apabila pemakaian Paten tersebut untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, percobaan, atau analisis sepanjang tidak merugikan
kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten.
14. Perubahan judul Bab dan judul Bagian, serta penghapusan ketentuan Pasal 22
dengan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan Pasal 22A dan Pasal 22B,
sehingga judul Bagian Kesatu dan keseluruhan Pasal 22A dan Pasal 22B berbunyi
sebagai berikut:
BAB V
PERMOHONAN PATEN
Bagian Kesatu
Tata Cara dan Syarat Permohonan
Pasal 20
Paten diberikan atas dasar Permohonan.
15. Ketentuan Pasal 22 dihapus
Pasal 22A
(1) Permohonan diajukan oleh Pemohon atau Kuasa secara tertulis dalam
bahasa Indonesia kepada Menteri dengan membayar biaya.
125
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
Pemohon atau Kuasa dan dapat disampaikan melalui jasa pos atau secara
elektronik.
(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas orang atau
badan hukum, baik sendiri maupun bersama-sama.
Pasal 22B
(1) Permohonan yang diajukan oleh pemohon secara bersama-sama, harus
mencantumkan nama dan alamat para pemohon dan memilih satu alamat
sebagai alamat surat menyurat Pemohon.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditandatangani
oleh salah satu dari Pemohon dengan melampirkan persetujuan tertulis dari
para Pemohon yang mewakilkan.
(3) Permohonan yang diajukan melalui kuasa, harus menyertakan surat kuasa
yang sudah ditanda tangani oleh pemohon.
(4) Dalam hal Permohonan diajukan oleh Pemohon yang bukan Inventor,
Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan surat pernyataan yang
membuktikan bahwa yang bersangkutan sebagai Pemohon yang sah.
(5) Inventor dapat meneliti Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang
bukan Inventor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan atas biayanya
sendiri dapat meminta salinan dokumen Permohonan tersebut.
16. Ketentuan Pasal 24 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yaitu ayat (2),
ayat (3), Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C, sehingga keseluruhan Pasal 24, Pasal
24A, Pasal 24B dan Pasal 24C berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada
Menteri.
(2) Permohonan harus memuat:
a. tanggal, bulan, dan tahun surat Permohonan;
b. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Inventor;
c. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pemohon;
d. nama, dan alamat lengkap Kuasa apabila Permohonan diajukan
126
melalui Kuasa; dan
e. nama negara, dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama
kali, dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:
a. judul Invensi;
b. deskripsi tentang Invensi, yang secara lengkap memuat keterangan
tentang cara melaksanakan Invensi;
c. klaim atau beberapa klaim yang terkandung dalam Invensi;
d. abstrak Invensi;
e. gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk
memperjelas Invensi;
f. surat kuasa, apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; dan
g. pernyataan permohonan untuk dapat diberi Paten
Pasal 24A
Deskripsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b harus
mengungkapkan secara cukup jelas dan lengkap tentang bagaimana invensi
tersebut dapat dilaksanakan oleh orang yang ahli di bidangnya.
Pasal 24B
Klaim atau beberapa klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf
c harus mengungkapkan batasan perlindungan dari invensi yang harus
diungkapkan secara jelas, konsisten, dan didukung sepenuhnya oleh deskripsi.
Pasal 24C
Ketentuan lebih lanjut tentang syarat dan tata cara pengajuan permohonan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
17. Ketentuan Pasal 25 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan
ayat (3a), sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
Bagian kedua
Konsultan Hak Kekayaan Intelektual
Pasal 25
(1) Permohonan dapat diajukan oleh Pemohon atau Kuasanya
127
(2) Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf d adalah
Konsultan Hak Kekayaan Intelektual yang diangkat Menteri.
(3) Terhitung sejak tanggal penerimaan kuasanya, Kuasa wajib menjaga
kerahasiaan Invensi dan seluruh dokumen Permohonan sampai dengan
tanggal diumumkannya Permohonan yang bersangkutan.
(3a)Alamat kuasa pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2)
huruf d menjadi domisili hukum pilihan pemohon di Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan Konsultan Hak
Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah.
18. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 28
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku secara mutatis
mutandis terhadap Permohonan yang menggunakan Hak Prioritas.
(2) Menteri dapat meminta agar Permohonan yang diajukan dengan
menggunakan Hak Prioritas tersebut dilengkapi:
a. salinan sah surat-surat yang berkaitan dengan hasil pemeriksaan
substantif yang dilakukan terhadap permohonan Paten yang pertama
kali di luar negeri;
b. salinan sah dokumen Paten yang telah diberikan sehubungan dengan
permohonan Paten yang pertama kali di luar negeri;
c. salinan sah keputusan mengenai penolakan atas permohonan Paten
yang pertama kali di luar negeri bilamana permohonan Paten tersebut
ditolak;
d. salinan sah keputusan pembatalan Paten yang bersangkutan yang
pernah dikeluarkan di luar negeri bilamana Paten tersebut pernah
dibatalkan;
e. dokumen lain yang diperlukan untuk mempermudah penilaian bahwa
Invensi yang dimintakan Paten memang merupakan Invensi baru dan
benar-benar mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan
dalam industri.
128
(3) Penyampaian salinan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat disertai tambahan penjelasan secara terpisah oleh Pemohon.
19. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan bukti Hak Prioritas dari Menteri
dan Permohonan yang diajukan dengan Hak Prioritas diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
20. Perubahan judul bagian, serta penyisipan ketentuan baru pada ayat (2), sehingga
keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
Bagian Keempat
Tanggal Penerimaan Permohonan
Pasal 30
(1) Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum diberikan Tanggal
Penerimaan oleh Menteri.
(2) Persyaratan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Data Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2);
b. Judul, deskripsi, klaim, abstrak, dan gambar jika ada sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3); dan
c. Bukti pembayaran biaya Permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22A ayat (1).
(3) Dalam hal deskripsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b ditulis
dalam bahasa Inggris, deskripsi tersebut harus dilengkapi dengan
terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan harus disampaikan paling lama
30 (tiga puluh) hari sejak Tanggal Penerimaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(4) Apabila terjemahan dalam bahasa Indonesia tidak diserahkan dalam jangka
waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Permohonan
tersebut dianggap ditarik kembali.
21. Ketentuan Pasal 31 diubah dengan menyesuaikan ayat rujukannya dan
perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” serta menyisipkan
129
ketentuan baru Pasal 31A, sehingga keseluruhan Pasal 31 dan Pasal 31A berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 31
Dalam hal terdapat kekurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)
dan Pasal 30 ayat (3), Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya seluruh
persyaratan minimum tersebut oleh Menteri.
Pasal 31A
Permohonan yang dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (4) dapat diajukan lagi tanpa memperluas lingkup invensinya paling
lambat 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal surat penarikan kembali yang
dikeluarkan Menteri dengan membayar biaya.
22. Ketentuan Pasal 32 ayat (1) diubah dengan menyempurnakan pasal-pasal
rujukannya dan perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sehingga
keseluruhan Pasal 32 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
(1) Apabila ternyata terdapat kekurangan dalam pemenuhan syarat-syarat dan
kelengkapan Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A, Pasal
22B, dan Pasal 24, Menteri memberitahukan kepada Pemohon atau
Kuasanya agar kekurangan tersebut dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan
terhitung sejak tanggal pengiriman permintaan pemenuhan seluruh
persyaratan tersebut.
(2) Berdasarkan alasan yang disetujui oleh Direktorat Jenderal, jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 2
(dua) bulan atas permintaan Pemohon.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang
paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya jangka waktu tersebut
dengan ketentuan bahwa Pemohon dikenai biaya.
23. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 33
130
Apabila seluruh persyaratan dengan batas jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 tidak dipenuhi, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada
Pemohon bahwa Permohonan dianggap ditarik kembali.
24. Judul Bagian Kelima diubah, sebagai berikut:
Bagian Kelima
Amandemen, Divisional, dan Pengubahan
25. Penambahan paragraf dan judul paragraf, sebagai berikut:
Paragraf 1
Amandemen
26. Penambahan paragraf dan judul paragraf serta penyisipan ayat baru yaitu ayat
(2) dan penyesuaian pasal rujukan sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai
berikut:
Paragraf 2
Divisional
Pasal 36
(1) Jika suatu Permohonan terdiri atas beberapa Invensi yang tidak merupakan
satu kesatuan Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pemohon
dapat mengajukan divisional Permohonan.
(2) Divisional permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
untuk permohonan Paten Sederhana.
(3) Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan
secara terpisah dalam satu Permohonan atau lebih dengan ketentuan
bahwa lingkup perlindungan yang dimohonkan dalam setiap Permohonan
tersebut tidak memperluas lingkup perlindungan yang telah diajukan dalam
Permohonan semula.
(4) Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan
paling lama sebelum Permohonan semula tersebut diberi keputusan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 atau Pasal 56.
(5) Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
131
dan Pasal 30, dianggap diajukan pada tanggal yang sama dengan Tanggal
Penerimaan semula.
(6) Dalam hal Pemohon tidak mengajukan Permohonan divisional dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pemeriksaan substantif atas
Permohonan hanya dilakukan terhadap Invensi sebagaimana dinyatakan
dalam urutan klaim yang pertama dalam Permohonan semula.
27. Penambahan paragraf dan judul paragraf serta penyisipan ayat baru, yaitu ayat
(1a), sebagai berikut:
Paragraf 3
Pengubahan
Pasal 37
(1) Permohonan dapat diubah dari Paten menjadi Paten Sederhana atau
sebaliknya oleh Pemohon dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
(1a)Pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
sebelum mulai dilakukannya pemeriksaan substantif.
28. Ketentuan Pasal 38 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38
Ketentuan lebih lanjut mengenai amandemen, divisonal, dan pengubahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 diatur dengan
Peraturan Pemerintah
29. Penyempurnaan judul Bagian dan perubahan ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan
ayat (2) dengan mengubah “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” serta
mengubah “Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah”, sehingga
keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
Bagian Keenam
Penarikan Kembali dan Perbaikan Permohonan
Pasal 39
132
(1) Penarikan kembali Permohonan dapat diajukan secara tertulis kepada
Menteri oleh Pemohon atau Kuasanya selama Permohonan tersebut belum
mendapat keputusan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penarikan kembali permohonan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
30. Diantara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan ketentuan baru, yaitu Pasal 39A,
sebagai berikut:
Pasal 39A
(1) Pemohon dapat mengajukan perbaikan atau perubahan terhadap data
Pemohon dengan membayar biaya.
(2) Perbaikan atau perubahan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
31. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Bagian Ketujuh
Larangan Mengajukan Permohonan dan Kewajiban Menjaga Kerahasiaan
Pasal 40
Selama masih terikat dinas aktif hingga selama satu tahun sesudah pensiun atau
sesudah berhenti karena alasan apa pun, pegawai atau orang yang karena tugas
pokok dan fungsinya bekerja untuk dan atas nama Menteri, dilarang mengajukan
Permohonan, memperoleh Paten, atau dengan cara apa pun memperoleh hak
atau memegang hak yang berkaitan dengan Paten, kecuali apabila pemilikan
Paten itu diperoleh karena pewarisan.
32. Penyesuaian judul Bab dan judul Bagian serta perubahan “Pengumuman”
menjadi “Publikasi”, sebagai berikut:
BAB IV
PUBLIKASI DAN PEMERIKSAAN SUBSTANTIF
Bagian Pertama
Publikasi Permohonan
33. Perubahan ”Direktorat Jenderal” menjadi ”Menteri” serta perubahan
”Pengumuman” menjadi Publikasi”, sebagai berikut:
Pasal 42
133
(1) Menteri mempublikasikan Permohonan yang telah memenuhi ketentuan
Pasal 4.
(2) Publikasi dilakukan:
a. dalam hal Paten, segera setelah 18 (delapan belas) bulan sejak Tanggal
Penerimaan atau segera setelah 18 (delapan belas) bulan sejak tanggal
prioritas apabila Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; atau
b. dalam hal Paten Sederhana, segera setelah 3 (tiga) bulan sejak Tanggal
Penerimaan.
(3) Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan lebih
awal atas pemintaan Pemohon dengan dikenai biaya.
(4) Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan 6 (enam)
bulan setelah pengajuan permintaan percepatan publikasi.
34. Perubahan ”Direktorat Jenderal” menjadi ”Menteri” serta perubahan
”Pengumuman” menjadi Publikasi”, sebagai berikut:
Pasal 43
(1) Publikasi dilakukan dengan :
a. menempatkannya dalam Berita Resmi Paten yang diterbitkan secara
berkala oleh Menteri; dan/atau
b. menempatkannya pada media khusus yang disediakan oleh Menteri
yang dengan mudah serta jelas dapat dilihat oleh masyarakat.
(2) Tanggal mulai dipublikasikannya Permohonan dicatat oleh Menteri.
35. Perubahan ”Pengumuman” menjadi ”Publikasi”, sebagai berikut:
Pasal 44
(1) Publikasi dilaksanakan selama :
a. 6(enam) bulan terhitung sejak tanggal dipublikasikannya Permohonan
Paten;
b. 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dipublikasikannya Permohonan
Paten Sederhana.
(2) Publikasi dilakukan dengan mencantumkan:
a. nama dan kewarganegaraan Inventor;
b. nama dan alamat lengkap Pemohon dan Kuasa apabila Permohonan
134
diajukan melalui Kuasa;
c. judul Invensi;
d. Tanggal Penerimaan; dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak
Prioritas, tanggal prioritas, nomor, dan negara tempat Permohonan
yang pertama kali diajukan;
e. abstrak;
f. klasifikasi Invensi;
g. gambar, jika ada;
h. nomor pengumuman; dan
i. nomor Permohonan.
36. Diantara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan ketentuan baru, yaitu Pasal 45A dan
Pasal 45B, sebagai berikut:
Pasal 45A
Pemohon berhak mengajukan tanggapan dan/atau penjelasan secara tertulis
terhadap pandangan dan/atau keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (1) kepada Menteri.
Pasal 45B
Menteri menggunakan pandangan dan/atau keberatan, tanggapan, dan/atau
penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 45A sebagai
tambahan bahan pertimbangan dalam tahap pemeriksaan substantif.
37. Ketentuan Pasal 46 dihapus.
38. Ketentuan Pasal 47 dihapus.
39. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” serta perubahan
“Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah”, sebagai berikut:
Pasal 48
(1) Permohonan pemeriksaan substantif diajukan secara tertulis kepada
Menteri dengan dikenai biaya.
(2) Tata cara dan syarat-syarat permohonan pemeriksaan substantif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
40. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
135
Pasal 49
(1) Permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) diajukan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak
Tanggal Penerimaan.
(2) Apabila permohonan pemeriksaan substantif tidak diajukan dalam batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau biaya untuk itu tidak
dibayar, Permohonan dianggap ditarik kembali.
(3) Menteri memberitahukan secara tertulis Permohonan yang dianggap ditarik
kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemohon atau
Kuasanya.
(4) Apabila permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu publikasi yang
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), pemeriksaan itu dilakukan setelah
berakhirnya jangka waktu publikasi.
(5) Apabila permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan setelah berakhirnya jangka waktu publikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), pemeriksaan substantif dilakukan setelah
tanggal diterimanya permohonan pemeriksaan substantif tersebut.
41. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 50
(1) Untuk keperluan pemeriksaan substantif, Menteri dapat meminta bantuan
ahli dan/atau menggunakan fasilitas yang diperlukan dari instansi
Pemerintah terkait atau Pemeriksa Paten dari kantor Paten negara lain.
(2) Penggunaan bantuan ahli, fasilitas, atau Pemeriksa Paten dari kantor Paten
negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasiaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41.
42. Ketentuan Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) dihapus dan diantara Pasal 51 dan Pasal
52 disisipkan Pasal 51A, sebagai berikut:
Pasal 51
(1) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa.
136
(2) Dihapus
(3) Dihapus
Pasal 51A
Pemeriksaan substantif dilaksanakan berdasarkan pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 35, Pasal 37 dan Pasal 52.
43. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 52
(1) Dalam hal Invensi yang dimintakan Paten terdapat ketidakjelasan atau
kekurangan lain yang dinilai penting, Menteri memberitahukan secara
tertulis adanya ketidakjelasan atau kekurangan tersebut kepada Pemohon
atau Kuasanya guna meminta tanggapan atau kelengkapan atas kekurangan
tersebut.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus jelas dan rinci
serta mencantumkan hal yang dinilai tidak jelas atau kekurangan lain yang
dinilai penting dengan disertai alasan dan acuan yang digunakan dalam
pemeriksaan substantif, berikut jangka waktu pemenuhannya.
44. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 53
Dalam hal setelah pemberitahuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 ayat (1) Pemohon tidak memberikan tanggapan, atau tidak memenuhi
kelengkapan persyaratan, atau tidak melakukan perbaikan terhadap Permohonan
yang telah diajukannya dalam waktu yang telah ditentukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali
dan diberitahukan secara tertulis kepada Pemohon.
45. Perubahan ”Direktorat Jenderal” menjadi ”Menteri”, sebagai berikut:
Bagian Ketiga
Persetujuan atau Penolakan Permohonan
Pasal 54
Menteri berkewajiban memberikan keputusan untuk menyetujui atau menolak
Permohonan:
137
a. Paten, paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal
diterimanya surat permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 atau terhitung sejak berakhirnya jangka waktu
publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf a apabila
permohonan pemeriksaan itu diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu
publikasi tersebut.
b. Paten Sederhana, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak Tanggal
Penerimaan.
46. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 55
(1) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa
menyimpulkan bahwa Invensi tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal
Pasal 3, Pasal 5, dan ketentuan lain dalam Undang-undang ini, Menteri
memberikan Sertifikat Paten kepada Pemohon atau Kuasanya.
(2) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa
menyimpulkan bahwa Invensi tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 3,
Pasal 5, Pasal 6, dan ketentuan lain dalam Undang-undang ini, Menteri
memberikan Sertifikat Paten Sederhana kepada Pemohon atau Kuasanya.
(3) Paten yang telah diberikan dicatat dan diumumkan, kecuali Paten yang
berkaitan dengan pertahanan dan keamanan Negara.
(4) Menteri dapat memberikan salinan dokumen Paten kepada pihak yang
memerlukannya dengan membayar biaya, kecuali Paten yang tidak
diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.
47. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Paragraf 2
Penolakan Permohonan
Pasal 56
(1) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa
menunjukkan bahwa Invensi yang dimohonkan Paten tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 35, Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (2), atau yang dikecualikan
138
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7, Menteri menolak Permohonan
tersebut dan memberitahukan penolakan itu secara tertulis kepada
Pemohon atau Kuasanya.
(2) Menteri juga dapat menolak Permohonan yang dipecah jika pemecahan
tersebut memperluas lingkup Invensi atau diajukan setelah lewat batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) atau Pasal 36 ayat
(3).
(3) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh Pemeriksa
menunjukkan bahwa Invensi yang dimohonkan Paten tidak memenuhi
ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2), Menteri menolak sebagian dari
Permohonan tersebut dan memberitahukannya secara tertulis kepada
Pemohon atau Kuasanya.
(4) Surat pemberitahuan penolakan Permohonan harus dengan jelas
mencantumkan alasan dan pertimbangan yang menjadi dasar penolakan.
48. Diantara Pasal 56 dan Pasal 57 disisipkan ketentuan baru yaitu Pasal 56A, sebagai
berikut:
Pasal 56A
Dalam hal Permohonan ditolak, segala biaya yang telah dibayarkan kepada
Menteri tidak dapat ditarik kembali.
49. Diantara Bagian Ketiga dan Bagian Keempat disisipkan Bagian baru yaitu Bagian
Ketiga A, Bagian Ketiga B dan Bagian Ketiga C dengan judul-judul baru berikut
pasal-pasalnya, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
Bagian Ketiga A
Sertifikat Paten
Pasal 57
(1) Sertifikat Paten merupakan bukti hak atas Paten.
(2) Surat penolakan dicatat oleh Menteri.
(3) Sertifikat Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling
lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan Dapat Diberi Paten.
(4) Hak atas Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
berdasarkan invensi yang diuraikan dalam klaim.
139
Bagian Ketiga B
Perbaikan Sertifikat
Pasal 58A
(1) Pemegang Paten atau Kuasanya dapat mengajukan permohonan perbaikan
secara tertulis kepada Menteri dalam hal terdapat kesalahan Sertifikat
Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1).
(2) Permohonan perbaikan kesalahan sertifikat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk perbaikan data bibliografi dan bukan
untuk perbaikan deskripsi dan/atau klaim.
(3) Dalam hal kesalahan sertifikat Paten merupakan kesalahan Pemohon,
permohonan perbaikan sertifikat Paten sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikenai biaya.
Bagian Ketiga C
Perubahan Nama dan/atau Alamat Pemegang Paten
Pasal 59A
(1) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat Pemegang
Paten dapat diajukan kepada Menteri dengan dikenai biaya untuk dicatat
dalam Daftar Umum Paten dengan disertai salinan yang sah mengenai bukti
perubahan tersebut.
(2) Perubahan nama dan/atau alamat Pemegang Paten dicatat oleh Menteri
dan dipublikasikan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara permohonan pencatatan perubahan nama
dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
50. Penyempurnaan judul Bagian dan perubahan ketentuan Pasal 60, sehingga
keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
Bagian Keempat
Permohonan Banding Dan Majelis Banding
Pasal 60
(1) Permohonan banding dapat diajukan terhadap:
140
a. penolakan Permohonan yang berkaitan dengan alasan dan dasar
pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat substantif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49 atau Pasal 50;
b. perbaikan deskripsi dan klaim paten yang sudah diberikan.
c. pembatalan paten yang pemberiannya tidak memenuhi ketentuan
Pasal 31, Pasal 42, Pasal 49, Pasal 51 atau dapat dikategorikan
termasuk dalam Pasal 36.
d. pembatalan paten sederhana yang pemberiannya tidak memenuhi
ketentuan Pasal 32, Pasal 35, Pasal 42, Pasal 51, Pasal 65 atau dapat
dikategorikan termasuk dalam Pasal 36 huruf a.
(2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya
kepada Majelis Banding Paten dengan tembusan yang disampaikan kepada
Menteri dengan dikenai biaya.
(3) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus
diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan serta alasannya
terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil pemeriksaan substantif.
(4) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau
huruf c harus diajukan dengan menguraikan
(5) secara lengkap keberatan serta alasannya yang disertai dengan bukti yang
cukup.
(6) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak merupakan alasan atau
penjelasan baru sehingga memperluas lingkup Invensi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 atau Pasal 50 ayat (3).
51. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 61
(1) Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf
a harus diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
pengiriman surat pemberitahuan penolakan atau penarikan kembali
permohonan.
141
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf
b harus diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
penerbitan sertifikat.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat
tanpa adanya permohonan banding, maka penolakan atau penarikan
kembali permohonan dianggap diterima oleh Pemohon.
(4) Dalam hal penolakan permohonan telah dianggap diterima sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri mencatat dan mempublikasikannya.
52. Diantara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan Pasal 61A, sebagai berikut:
Pasal 61A
(1) Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf
c dapat diajukan paling lama 6 bulan sejak tanggal surat pemberitahuan
persetujuan pemberian paten.
(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat,
permohonan pembatalan Paten hanya dapat dilakukan dalam bentuk
Gugatan melalui Pengadilan Niaga.
53. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan ”Komisi
Banding” menjadi “Majelis Banding”, sebagai berikut:
Pasal 62
(1) Permohonan banding mulai diperiksa oleh Majelis Banding paling lama 1
(satu) bulan sejak tanggal penerimaan permohonan banding.
(2) Keputusan Majelis Banding ditetapkan paling lama 9 (sembilan) bulan
terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Dalam hal Majelis Banding menerima dan menyetujui permohonan banding,
Menteri wajib melaksanakan keputusan Majelis Banding.
(4) Dalam hal Majelis Banding menolak permohonan banding, pemohon atau
Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas keputusan tersebut ke Pengadilan
Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
diterimanya keputusan penolakan tersebut.
142
(5) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hanya
dapat diajukan kasasi.
54. Perubahan “Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah, sebagai
berikut:
Pasal 63
Tata cara permohonan, pemeriksaan, serta penyelesaian banding diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
55. Judul Bagian Kelima menjadi “Majelis Banding Paten” dengan ketentuan Pasal 64
diubah, sehingga judul bagian Kelima dan keseluruhan Pasal 64 berbunyi sebagai
berikut:
Bagian Kelima
Majelis Banding Paten
Pasal 64
(1) Majelis Banding Paten adalah badan khusus yang independen dan berada di
lingkungan kementerian yang membidangi Hak Kekayaan Intelektual.
Majelis Banding Paten terdiri atas seorang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, dan
(2) Anggota yang terdiri atas beberapa ahli di bidang yang diperlukan serta
Pemeriksa senior.
(3) Anggota Majelis Banding Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.
(4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding
Paten.
(5) Untuk memeriksa permohonan banding, Majelis Banding Paten membentuk
majelis yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, satu di
antaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak melakukan
pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
56. Perubahan “Komisi Banding” menjadi “Majelis Banding”, sebagai berikut:
Pasal 65
Susunan organisasi, tugas dan fungsi Majelis Banding Paten diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
143
57. Judul Bab V menjadi “Pengalihan Hak” dengan ketentuan Pasal 66 diubah,
sehingga judul Bab V dan keseluruhan Pasal 66 berbunyi sebagai berikut:
BAB V
PENGALIHAN HAK
Pasal 66
(1) Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian
karena:
a. pewarisan;
b. hibah;
c. wasiat;
d. wakaf;
e. perjanjian tertulis; atau
f. sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan
huruf c, harus disertai dokumen asli Paten berikut hak lain yang berkaitan
dengan Paten itu.
(3) Segala bentuk pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicatat dan dipublikasikan dengan dikenai biaya.
(4) Pengalihan Paten yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal ini tidak sah dan
batal demi hukum.
(5) Syarat dan tata cara pencatatan pengalihan Paten diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
58. Diantara Bab V dan Bab VI disisipkan Bab baru, yaitu Bab VA dengan judul baru
dan perubahan judul Bagian Kesatu menjadi “Lisensi dan Lisensi-Wajib” dengan
ketentuan Pasal 71 diubah, sehingga judul Bab VA dan keseluruhan Pasal 71
berbunyi sebagai berikut:
BAB VA
LISENSI DAN LISENSI-WAJIB
Bagian Kesatu
Lisensi
59. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
144
Pasal 71
(1) Perjanjian Lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun
tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau
memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia
dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang
berkaitan dengan Invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya.
(2) Permohonan pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditolak oleh Menteri.
60. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 72
(1) Perjanjian Lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya.
(2) Dalam hal perjanjian Lisensi tidak dicatat oleh Menteri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), perjanjian Lisensi tersebut tidak mempunyai akibat
hukum terhadap pihak ketiga.
61. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Bagian Kedua
Lisensi-Wajib
Pasal 74
Lisensi-wajib merupakan Lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan
berdasarkan keputusan Menteri atas dasar permohonan.
62. Ketentuan Pasal 75 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 75 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 75
(1) Setiap pihak dapat mengajukan permohonan lisensi-wajib kepada Menteri
dengan alasan Paten tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya
di Indonesia setelah lewat jangka waktu:
a. 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberian Paten;
atau
b. 48 (empat puluh delapan) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan.
(2) Permohonan lisensi-wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan dengan alasan bahwa Paten yang bersangkutan tidak
145
dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh
Pemegang Paten.
(3) Permohonan lisensi-wajib dapat pula diajukan setiap saat setelah Paten
diberikan atas alasan bahwa Paten telah dilaksanakan oleh Pemegang Paten
atau Penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan
kepentingan masyarakat.
63. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 76
(1) Selain kebenaran alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2),
lisensi-wajib hanya dapat diberikan apabila :
a. Pemohon dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan bahwa ia :
b. mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri Paten yang
bersangkutan secara penuh;
1) mempunyai sendiri fasilitas untuk melaksanakan Paten yang
bersangkutan dengan secepatnya; dan
2) telah berusaha mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu
yang cukup untuk mendapatkan lisensi dari Pemegang Paten atas
dasar persyaratan dan kondisi yang wajar, tetapi tidak
memperoleh hasil; dan
c. Menteri berpendapat bahwa Paten tersebut dapat dilaksanakan di
Indonesia dalam skala ekonomi yang layak dan dapat memberikan
manfaat kepada sebagian besar masyarakat.
(2) Lisensi-wajib diberikan untuk jangka waktu yang tidak lebih lama daripada
jangka waktu perlindungan Paten.
(3) Pemeriksaan atas permohonan lisensi-wajib dilakukan oleh Menteri dengan
mendengarkan pula pendapat dari instansi dan pihak-pihak terkait, serta
Pemegang Paten bersangkutan.
64. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 77
Apabila berdasarkan bukti serta pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
Menteri memperoleh keyakinan bahwa jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
146
Pasal 75 ayat (1) belum cukup bagi Pemegang Paten untuk melaksanakannya secara
komersial di Indonesia atau dalam lingkup wilayah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2), Menteri dapat menunda keputusan pemberian lisensi-wajib
tersebut untuk sementara waktu atau menolaknya.
65. Diantara Pasal 77 dan Pasal 78 disisipkan Pasal 77A, sebagai berikut:
Pasal 77A
(1) Berdasarkan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan bukti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) dan (3) Menteri dapat
menunda sementara waktu pemberian lisensi-wajib atau menolaknya apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1), bagi Pemegang
Paten belum cukup untuk melaksanakan secara komersial di Indonesia atau di
wilayah regional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau Pasal 62
ayat (2).
(2) Pemberian atau penolakan permohonan lisensi-wajib sebagaiman dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas)
bulan terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan lisensi-wajib.
(3) Terhadap keputusan pemberian atau penolakan permohonan lisensi-wajib
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara Jakarta Pusat atau Pengadilan lain yang ditunjuk dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya
keputusan tersebut.
66. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 78
(1) Pelaksanaan lisensi-wajib disertai pembayaran royalti oleh penerima lisensi-
wajib kepada Pemegang Paten.
(2) Besarnya royalti yang harus dibayarkan dan cara pemberiannya ditetapkan
oleh Menteri.
(3) Penetapan besaran royalti dilakukan dengan memperhatikan tata cara yang
lazim digunakan dalam perjanjian Lisensi atau perjanjian lain yang sejenis.
67. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
147
Pasal 79
Keputusan Menteri mengenai pemberian lisensi-wajib, memuat hal-hal:
a. lisensi-wajib bersifat non-eksklusif;
b. alasan pemberian lisensi-wajib;
c. bukti, termasuk keterangan atau penjelasan yang diyakini untuk dijadikan
dasar pemberian lisensi-wajib;
d. jangka waktu lisensi-wajib;
e. besaran royalti yang harus dibayarkan penerima lisensi-wajib kepada
Pemegang Paten dan cara pemberiannya;
f. syarat berakhirnya lisensi-wajib dan hal yang dapat membatalkannya;
g. lisensi-wajib terutama digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar di dalam
negeri; dan
h. lain-lain yang diperlukan untuk menjaga kepentingan para pihak yang
bersangkutan secara adil.
68. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 80
(1) Menteri. mencatat dan mempublikasikan pemberian lisensi-wajib.
(2) Pelaksanaan lisensi-wajib merupakan pelaksanaan Paten.
69. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 81
Keputusan pemberian lisensi-wajib dilakukan oleh Menteri paling lama 90
(sembilan puluh) hari sejak diajukannya permohonan lisensi-wajib yang
bersangkutan.
70. Ketentuan Pasal 82 dihapus.
71. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” sebagai berikut:
Pasal 83
(1) Atas permohonan Pemegang Paten, Menteri dapat membatalkan keputusan
pemberian Lisensi-wajib sebagaimana dimaksud dalam Bab VA Bagian Kedua
Undang-Undang ini apabila :
a. alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian Lisensi-wajib tidak ada lagi;
148
b. penerima Lisensi-wajib ternyata tidak melaksanakan Lisensi-wajib tersebut
atau tidak melakukan usaha persiapan yangvsepantasnya untuk segera
melaksanakannya;
c. penerima Lisensi-wajib tidak lagi menaati syarat dan ketentuan lainnya
termasuk pembayaran royalti yang ditetapkan dalam pemberian Lisensi-
wajib.
(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada
penerima Lisensi-wajib dan dicatat serta dipublikasikan.
72. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan
“mengumumkan” menjadi “mempublikasikan”, sebagai berikut:
Pasal 84
(1) Dalam hal Lisensi-wajib berakhir karena selesainya jangka waktu yang
ditetapkan atau karena pembatalan, penerima Lisensi-wajib menyerahkan
kembali Lisensi yang diperolehnya.
(2) Menteri mencatat dan mempublikasikan Lisensi-wajib yang telah berakhir.
73. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan
“diumumkan” menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut:
Pasal 86
(1) Lisensi-wajib tidak dapat dialihkan, kecuali karena pewarisan.
(2) Lisensi-wajib yang beralih karena pewarisan tetap terikat oleh syarat
pemberiannya dan ketentuan lain terutama mengenai jangka waktu, dan
harus dilaporkan kepada Menteri untuk dicatat dan dipublikasikan.
74. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan
“diumumkan” menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut:
Pasal 89
(1) Paten yang batal demi hukum diberitahukan secara tertulis oleh Menteri
kepada Pemegang Paten serta penerima Lisensi dan mulai berlaku sejak
tanggal pemberitahuan tersebut.
(2) Paten yang dinyatakan batal dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 88 dicatat dan dipublikasikan.
149
75. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan
“diumumkan” menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut:
Bagian Kedua
Batal atas Permohonan Pemegang Paten
Pasal 90
(1) Paten dapat dibatalkan oleh Menteri untuk seluruh atau sebagian atas
permohonan Pemegang Paten yang diajukan secara tertulis kepada Menteri.
(2) Pembatalan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dilakukan jika penerima Lisensi tidak memberikan persetujuan secara
tertulis yang dilampirkan pada permohonan pembatalan tersebut.
(3) Keputusan pembatalan Paten diberitahukan secara tertulis oleh Menteri
kepada penerima Lisensi.
(4) Keputusan pembatalan Paten karena alasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dicatat dan dipublikasikan.
(5) Pembatalan Paten berlaku sejak tanggal ditetapkannya keputusan Menteri
mengenai pembatalan tesebut.
76. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan
“mengumumkan” menjadi “mempublikasikan, sebagai berikut:
Pasal 93
(1) Isi putusan Pengadilan Niaga tentang pembatalan Paten disampaikan ke
Menteri paling lama 14 (empat belas) hari sejak putusan diucapkan.
(2) Menteri mencatat dan mempublikasikan putusan tentang pembatalan
Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
77. Ketentuan Pasal 96 diubah dengan menambahkan ayat (2), sehingga keseluruhan
Pasal 96 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 96
(1) Kecuali jika ditentukan lain dalam putusan Pengadilan Niaga, Paten batal
untuk seluruh atau sebagian sejak tanggal putusan pembatalan tersebut
mempunyai kekuatan hukum tetap.
150
(2) Dalam hal pembatalan sebagian klaim atau dalam hal Pengadilan Niaga
membatalkan sebagian klaim atas Paten, klaim tersebut disesuaikan dengan
tidak memperluas ruang lingkup klaim tersebut.
78. Ketentuan Pasal 99 diubah dengan menambahkan ayat (2) dan ayat (3), sehingga
keseluruhan Pasal 99 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 99
(1) Dalam hal Pemerintah berpendapat bahwa suatu Paten di Indonesia sangat
penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan kebutuhan sangat
mendesak untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah dapat melaksanakan
sendiri Paten yang bersangkutan.
(2) Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu Paten dalam hal menyangkut
Pertahanan Keamanan Negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden
setelah Presiden mendengarkan pertimbangan Menteri dan Menteri atau
pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang terkait.
(3) Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu Paten dalam hal kebutuhan
yang sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat ditetapkan dengan
Keputusan Menteri setelah mendengarkan pertimbangan berdasarkan
usulan menteri atau pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang
terkait.
79. Ketentuan Pasal 100 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 100 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 100
(1) Ketentuan Pasal 99 berlaku secara mutatis mutandis bagi Invensi yang
dimohonkan Paten, tetapi tidak diumumkan karena pengumuman Invensi
tersebut diperkirakan akan dapat mengganggu atau bertentangan dengan
kepentingan pertahanan keamanan Negara.
(2) Dalam hal Pemerintah tidak atau belum bermaksud untuk melaksanakan
sendiri Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan Paten
serupa itu hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Pemerintah.
151
(3) Pemegang Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebaskan dari
kewajiban pembayaran biaya tahunan sampai dengan Paten tersebut dapat
dilaksanakan.
80. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan
“diumumkan” menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut:
Pasal 106
(1) Paten Sederhana yang diberikan oleh Menteri dicatat dan dipublikasikan.
(2) Sebagai bukti hak, kepada Pemegang Paten Sederhana diberikan Sertifikat
Paten Sederhana.
81. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
BAB IX
ADMINISTRASI PATEN
Pasal 110
Penyelenggaraan administrasi Paten sebagaimana diatur dalam Undang-undang
ini dilaksanakan oleh Menteri dengan memperhatikan kewenangan instansi lain
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
82. Ketentuan Pasal 111 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 111 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 111
(1) Menteri menyelenggarakan dokumentasi dan pelayanan informasi Paten
dengan membentuk suatu sistem dokumentasi dan jaringan informasi Paten
yang bersifat nasional sehingga mampu menyediakan informasi seluas
mungkin kepada masyarakat mengenai teknologi yang diberi Paten.
(2) Menteri menetapkan untuk tidak menyediakan informasi Paten kepada
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila informasi tersebut
berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara, ketertiban umum, dan
moralitas.
83. Ketentuan Pasal 113 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 113 berbunyi sebagai
berikut:
BAB X
B I A Y A
152
Pasal 113
(1) Semua biaya yang wajib dibayar dalam Undang-Undang ini ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, jangka waktu, dan tata cara
pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(3) Institusi pengelola Hak Kekayaan Intelektual dengan persetujuan Menteri
dan Menteri Keuangan dapat menggunakan penerimaan yang berasal dari
biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
84. Ketentuan Pasal 115 ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 115 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 115
(1) Dalam hal selama 3 (tiga) tahun berturut-turut Pemegang Paten tidak
membayar biaya tahunan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 dan Pasal
114, Paten dinyatakan batal demi hukum terhitung sejak tanggal akhir batas
waktu kewajiban pembayaran untuk tahun ketiga tersebut.
(2) Dalam hal kewajiban pembayaran biaya tahunan tersebut berkaitan dengan
kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun kedelapan belas dan
untuk tahun-tahun berikutnya tidak dipenuhi, Paten dianggap batal demi
hukum pada akhir batas waktu kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk
tahun tersebut.
(3) Batalnya Paten karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dicatat dan dipublikasikan.
85. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 116
(1) Kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) dan Pasal
115 ayat (2), atas keterlambatan pembayaran biaya tahunan dari batas
waktu yang ditentukan dalam Undang-undang ini dikenai biaya tambahan
sebesar 2,5% (dua setengah perseratus) untuk setiap bulan dari biaya
tahunan pada tahun keterlambatan.
153
(2) Keterlambatan pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada Pemegang Paten
yang bersangkutan paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewat batas waktu
yang ditentukan.
(3) Tidak diterimanya surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) oleh yang bersangkutan tidak mengurangi berlakunya ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
86. Diantara Pasal 116 dan Pasal 117 disisipkan Pasal 116A, sebagai berikut:
Pasal 116A
Segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri sesuai dengan tata cara
ketentuan perundang-undangan, tidak dapat ditarik kembali.
87. Ketentuan Pasal 117 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 117 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 117
(1) Dalam hal suatu Paten diberikan kepada pihak lain selain dari yang berhak
berdasarkan Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, pihak yang berhak atas Paten
tersebut dapat menggugat kepada Pengadilan Niaga.
(2) Hak menggugat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku surut sejak
Tanggal Penerimaan.
(3) Pemberitahuan isi putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan kepada para pihak oleh Pengadilan Niaga paling lama 14
(empat belas) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan.
(4) Isi putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat dan dipublikasikan
oleh Menteri.
88. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 118
(1) Pemegang Paten atau penerima Lisensi berhak mengajukan gugatan ganti
rugi kepada Pengadilan Niaga setempat terhadap siapa pun yang dengan
sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16.
154
(2) Gugatan ganti rugi yang diajukan terhadap perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diterima apabila produk atau proses itu
terbukti dibuat dengan menggunakan Invensi yang telah diberi Paten.
(3) Salinan putusan Pengadilan Niaga tentang gugatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri paling lama 14 (empat belas)
hari sejak tanggal putusan diucapkan untuk dicatat dan dipublikasikan
89. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 123
(1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 diajukan paling
lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi
diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan
kepada panitera yang telah memutus gugatan tersebut.
(2) Panitera mendaftarkan permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang
bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis
yang ditandatangani oleh panitera dengan tanggal yang sama dengan
tanggal penerimaan pendaftaran.
(3) Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera dalam
waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal permohonan kasasi didaftarkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pihak termohon kasasi paling
lama 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan.
(5) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera
paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima
memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan panitera wajib
menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 2
(dua) hari setelah kontra memori diterimanya.
(6) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi dan/atau
kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada
Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewatnya jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
155
(7) Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas permohonan kasasi dan
menetapkan hari sidang paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal
permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.
(8) Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lama 60
(enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh
Mahkamah Agung.
(9) Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lama 180 (seratus
delapan puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh
Mahkamah Agung.
(10) Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (9)
yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan
tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
(11) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi
kepada panitera paling lama 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas
permohonan kasasi diucapkan.
(12) Juru sita wajib menyampaikan salinan putusan kasasi sebagaiman dimaksud
dalam ayat (1) kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi paling lama 2
(dua) hari setelah putusan kasasi diterima.
(13) Isi putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (11) disampaikan pula
kepada Menteri paling lama 2 (dua) hari sejak isi putusan kasasi diterima
oleh Pengadilan Niaga untuk dicatat dan diumumkan.
90. Diantara Pasal 125 dan Pasal 126 disisipkan ketentuan baru yaitu Pasal 125A, sehingga
keseluruhan Pasal 125A berbunyi sebagai berikut:
Pasal 125A
(1) Permohonan penetapan sementara diajukan secara tertulis kepada
Pengadilan Niaga dengan persyaratan sebagai berikut:
a. melampirkan bukti kepemilikan Paten;
b. melampirkan bukti adanya penunjuk awal yang kuat atas terjadinya
pelanggaran paten;
c. menyampaikan keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau
dokumen yang diminta, dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk
156
keperluan pembuktian;
d. menyampaikan pernyataan adanya kekhawatiran bahwa pihak yang
diduga melakukan pelanggaran Paten akan dapat dengan mudah
menghilangkan barang bukti; dan
e. membayar jaminan berupa uang tunai dan/atau jaminan bank.
(2) Dalam hal surat penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
125 telah dilaksanakan, Pengadilan Niaga segera memberitahukan kepada
pihak yang dikenai tindakan dan memberikan kesempatan kepada pihak
tersebut untuk didengar keterangannya.
91. Ketentuan Pasal 127 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 127 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 127
Dalam hal Pengadilan Niaga telah menerbitkan surat penetapan sementara,
hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa tersebut harus memutuskan
untuk mengubah, membatalkan, atau menguatkan penetapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 125 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
dikeluarkannya surat penetapan sementara pengadilan tersebut.
92. Ketentuan Pasal 128 diubah menjadi ayat (1) sampai dengan ayat (7), sehingga
keseluruhan Pasal 128 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 128
(1) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 125 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah
hukum tempat ditemukannya barang yang diduga merupakan hasil
pelanggaran Paten.
(2) Permohonan Penetapan Sementara Pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 125A.
(3) Panitera mencatat permohonan penetapan sementara pada tanggal
permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal
157
yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara
tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga.
(4) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal
diterimanya permohonan penetapan sementara sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Ketua Pengadilan Niaga menunjuk hakim untuk memeriksa
permohonan penetapan sementara.
(5) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal
penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hakim Pengadilan Niaga
harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut
diterima atau ditolak.
(6) Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim
Pengadilan Niaga menerbitkan Surat Penetapan Sementara Pengadilan.
(7) Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim Pengadilan
Niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan
sementara dengan disertai alasannya.
93. Diantara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan Pasal 128A, sebagai berikut:
Pasal 128A
(1) Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (6), Pengadilan Niaga
memanggil pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling
lama 7 (tujuh) hari untuk dimintai keterangan.
(2) Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan
dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak
tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang
telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan
pemohon penetapan harus segera mengajukan Gugatan Pelanggaran Paten
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 dan/atau membuat aduan atas
adanya pelanggaran hak atas Paten kepada Penyidik Kepolisian Republik
Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil Hak Kekayaan Intelektual.
158
(4) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang
telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai
penetapan sementara sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan
sementara tersebut.
94. Diantara Bab XV dan Bab XVI disisipkan Bab baru, yaitu Bab XVA dan ketentuan
Pasal 135 diubah, sehingga judul Bab XVA dan keseluruhan Pasal 135 berbunyi
sebagai berikut:
BAB XIV
KETENTUAN LAIN
Pasal 135
Dikecualikan dari ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab XV dan
tuntutan perdata dalam Undang-Undang ini adalah:
a. mengimpor suatu produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dan produk
tersebut telah dimasukkan ke pasar di suatu negara oleh Pemegang Paten yang
sah dengan syarat produk itu diimpor sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b. memproduksi produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dengan tujuan
untuk proses perizinan kemudian melakukan pemasaran setelah perlindungan
Paten tersebut berakhir.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 136
Dengan berlakunya Undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di
bidang Paten yang telah ada pada tanggal berlakunya Undang-undang ini, tetap
berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan
perundang-undangan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 137
Terhadap Permohonan yang diajukan sebelum diberlakukannya Undang-undang
ini, tetap diberlakukan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten.
159
2. Materi Muatan untuk RUU tentang Perubahan UU Merek
1. Ketentuan Pasal 1 diubah dan ditambahkan angka 15 baru, sehingga keseluruhan
Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek diubah sebagai berikut:
"Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-
angka, susunan warna, bentuk, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut
yang dapat ditampilkan secara grafis dan memiliki daya pembeda serta
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
2. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis
lainnya.
3. Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan
oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan
hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
4. Merek Kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa
dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang
atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang
dan/atau jasa sejenis lainnya.
5. Permohonan adalah permintaan pendaftaran Merek yang diajukan secara
tertulis kepada Menteri.
6. Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan.
160
7. Pemeriksa adalah Pemeriksa Merek yaitu pejabat yang karena keahliannya
diangkat dengan Keputusan Menteri, untuk melakukan pemeriksaan
substantif terhadap Permohonan pendaftaran Merek.
8. Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
9. Menteri adalah adalah menteri yang sebagian tugas dan tanggung jawabnya
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hak Kekayaan Intelektual.
10. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang
berada di bawah kementerian yang dipimpin oleh Menteri
11. Tanggal Penerimaan adalah tanggal penerimaan Permohonan yang telah
memenuhi persyaratan minimum Permohonan.
12. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di
bidang hak kekayaan intelektual dan secara khusus memberikan jasa di
bidang pengajuan dan pengurusan Permohonan Hak Kekayaan Intelektual
yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan terdaftar
sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual.
13. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak
lain berdasarkan perjanjian secara tertulis untuk menggunakan.
14. Hak Prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang
berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris atau Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia untuk memperoleh pengakuan
bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di
negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu, selama
pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan
berdasarkan Konvensi Paris.
15. Protokol Madrid adalah Protokol yang terkait dengan Perjanjian Madrid
mengenai pendaftaran merek internasional.
16. Hari adalah hari kerja.
2. Judul Bagian Kedua Bab II diubah sebagai berikut :
Bagian Kedua
161
Dasar Penolakan Permohonan
Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 5 dan Pasal 6
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Permohonan juga ditolak apabila Merek yang dimohonkan pendaftarannya
mengandung salah satu unsur di bawah ini:
a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
moralitas, agama, kesusilaan, atau kertertiban umum;
b. tidak memiliki daya pembeda;
c. dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kwalitas, jenis, ukuran, macam,
tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya
atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang
dan/atau jasa yang sejenis; dan/atau,
d. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya.
Pasal 6
(1) Permohonan juga harus ditolak oleh apabila Merek tersebut:
a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar atau sudah diajukan lebih
dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa
sejenis;
c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
indikasi- geografis yang sudah terdaftar.
d. Merupakan nama atau singkatan nama orang terkenal, foto, atau nama
badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis
dari yang berhak;
e. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama,
bendera, lambang atau simbol atau emblem suatu negara, atau baik
162
lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan
tertulis dari pihak yang berwenang; atau
f. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi
yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas
persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula
diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang
merek terkenal tersebut telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek.
(3) Ketentuan lebih lajut mengenai merek terkenal akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(4) Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
(1) Permohonan diajukan secara tertulis atau elektronik dalam bahasa
Indonesia kepada Menteri dengan mencantumkan:
a. tanggal, bulan, dan tahun;
b. nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat Pemohon;
c. nama lengkap dan alamat Kuasa apabila Permohonan diajukan
melalui Kuasa;
d. uraian warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya
menggunakan unsur-unsur warna;
e. nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam
hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas.
f. Kelas barang dan/atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/atau
jenis jasa.
(2) Permohonan ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasanya.
(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari satu orang
atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum.
(4) Permohonan dilampiri dengan etiket merek dan bukti pembayaran biaya.
163
(5) Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari satu Pemohon yang secara
bersama-sama berhak atas Merek tersebut, semua nama Pemohon
dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka.
(6) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Permohonan
tersebut ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang berhak atas
Merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para
Pemohon yang mewakilkan.
(7) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan
melalui Kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak
yang berhak atas Merek tersebut.
(8) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah Konsultan Hak Kekayaan
Intelektual.
(9) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pengangkatan Konsultan
Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3. Ketentuan Pasal 13 diubah dan ditambahkan 2 (dua) ayat baru, sehingga
keseluruhan Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Menteri melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan persyaratan
pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
(2) Dalam hal terdapat kekurangan dalam kelengkapan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri memberitahukan agar
kelengkapan persyaratan tersebut dipenuhi dalam waktu paling lama 2
(dua) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat permintaan untuk
memenuhi kelengkapan persyaratan tersebut.
(3) Dalam hal permohonan kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) belum dapat dipenuhi, pemohon atau kuasanya dapat
mengajukan permohonan secara tertulis mengenai perpanjangan jangka
waktu pemenuhan kelengkapan persyaratan untuk paling lama 1 (satu)
bulan.
164
(3b)Permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diajukan paling lama 15 (lima belas) hari sebelum jangka waktu
pemenuhan kelengkapan persyaratan berakhir.
(4) Dalam hal kekurangan tersebut menyangkut persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, jangka waktu pemenuhan kekurangan
persyaratan tersebut paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak berakhirnya
jangka waktu pengajuan Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas.
4. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 14 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Dalam hal kelengkapan persyaratan tersebut tidak dipenuhi dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), ayat (3a) atau ayat
(3b), Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau
Kuasanya bahwa Permohonannya dianggap ditarik kembali.
(2) Dalam hal Permohonan dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak
dapat ditarik kembali.
5. Judul Bagian keempat Bab III dirubah sebagai berikut:
Bagian Keempat
Tanggal Penerimaan Permohonan Pendaftaran Merek
6. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 15
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum diberikan Tanggal
Penerimaan.
(2) Persyaratan Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. surat permohonan;
b. etiket merek; dan
c. bukti pembayaran biaya.
7. Judul Bagian Kelima Bab III diubah sebagai berikut:
Bagian Kelima
165
Perbaikan dan Penarikan Kembali Permohonan Pendaftaran Merek
8. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 16 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
(1) Perbaikan atas Permohonan hanya diperbolehkan dalam hal terdapat
kesalahan penulisan nama dan/atau alamat Pemohon atau Kuasanya.
(2) Perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
sebelum diterbitkannya sertifikat Merek atau surat penolakan.
(3) Permohonan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
secara tertulis kepada Menteri dengan dilampiri bukti pembayaran biaya.
9. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Selama belum diterbitkannya sertifikat Merek atau surat penolakan dari
Menteri, Permohonan dapat ditarik kembali oleh Pemohon atau Kuasanya.
(2) Apabila penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Kuasanya, penarikan itu harus dilakukan berdasarkan surat kuasa
khusus untuk keperluan penarikan kembali tersebut.
(3) Dalam hal Permohonan ditarik kembali, segala biaya yang telah dibayarkan
kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali.
10. Judul Bagian Pertama pada Bab IV diubah sebagai berikut:
Bagian Pertama
Pengumuman Permohonan
11. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
Menteri mengumumkan Permohonan dalam Berita Resmi Merek dalam jangka
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
166
12. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 19 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1) Pengumuman Permohonan dalam Berita Resmi Merek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 berlangsung selama 3 (tiga) bulan.
(2) Berita Resmi Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan secara
berkala oleh Menteri dan/atau melalui sarana lainnya.
13. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 20 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
Berita Resmi Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 memuat:
a. nama dan alamat Pemohon, termasuk Kuasa apabila Permohonan diajukan
melalui Kuasa;
b. kelas dan uraian barang dan/atau jasa;
c. Tanggal Penerimaan;
d. nama negara dan tanggal penerimaan Permohonan yang pertama kali dalam
hal Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas; dan
e. etiket Merek, termasuk keterangan mengenai warna dan apabila etiket
Merek menggunakan bahasa asing dan/atau huruf selain huruf Latin
dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia, disertai
terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia, huruf Latin atau angka yang lazim
digunakan dalam Bahasa Indonesia, serta cara pengucapannya dalam ejaan
Latin.
14. Judul Bagian Kedua pada Bab IV diubah sebagai berikut:
Bagian Kedua
Keberatan dan Sanggahan
15. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai
berikut:
167
Pasal 21
(3) Selama jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19,
setiap pihak dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Menteri
terhadap Permohonan dengan dikenai biaya.
(4) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan apabila
terdapat alasan yang cukup disertai bukti bahwa Merek yang dimohonkan
pendaftarannya adalah Merek yang berdasarkan Undang-Undang ini tidak
dapat didaftar atau ditolak.
16. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 22 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
Dalam hal terdapat keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Menteri
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal
penerimaan keberatan, mengirimkan salinan surat yang berisikan keberatan
tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya.
17. Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 23
(5) Dalam hal terdapat keberatan, Pemohon atau Kuasanya berhak
menyampaikan sanggahan terhadap keberatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 kepada Menteri.
(6) Sanggahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis
dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya
salinan keberatan.
18. Judul Bagian Ketiga pada Bab IV diubah sebagai berikut:
Bagian Ketiga
Pemeriksaan Substantif
168
19. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 24 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
(1) Dalam hal tidak terdapat keberatan, dalam jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya Pengumuman, Menteri
melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
(2) Dalam hal terdapat keberatan, Pemeriksaan substantif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya batas waktu penyampaian
sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
(3) Pemeriksaan substantif dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan/atau Pasal 6.
(4) Dalam hal terdapat keberatan dan/atau Sanggahan, Pemeriksaan substantif
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga menggunakan keberatan
dan/atau sanggahan tersebut sebagai bahan pertimbangan.
(5) Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2)
diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(6) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa.
20. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
(1) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif Permohonan dapat disetujui
untuk didaftar, maka Menteri:
a. mendaftarkan merek tersebut dalam Daftar Umum Merek;
b. menerbitkan sertifikat merek dan memberitahukan pendaftaran
merek tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya; serta
c. mengumumkan pendaftaran Merek tersebut dalam Berita Resmi
Merek.
169
(2) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif Permohonan tidak dapat
didaftar atau ditolak, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada
Pemohon atau Kuasanya dengan menyebutkan alasannya.
(3) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif atas Permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) terdapat keberatan, Menteri
memberitahukan secara tertulis kepada pihak yang mengajukan keberatan
dengan menyebutkan alasannya.
(4) Dalam hal Permohonan tidak dapat didaftar atau ditolak, segala biaya yang
telah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali.
21. Judul Bagian Keempat pada Bab IV diubah sebagai berikut:
Bagian Keempat
Penerbitan Sertifikat Merek
22. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26
(1) Dalam hal Permohonan dapat disetujui untuk didaftar, Menteri
menerbitkan dan memberikan sertifikat merek kepada Pemohon atau
Kuasanya dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal Permohonan tersebut disetujui untuk didaftar dalam Daftar
Umum Merek.
(2) Sertifikat merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. nama dan alamat lengkap pemilik Merek yang didaftar;
b. nama dan alamat lengkap Kuasa, dalam hal Permohonan melalui kuasa;
c. Tanggal Penerimaan;
d. nama negara dan tanggal;
e. etiket Merek yang didaftarkan, termasuk keterangan mengenai macam
warna apabila Merek tersebut menggunakan unsur warna, dan apabila
Merek menggunakan bahasa asing dan/atau huruf selain huruf Latin
dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia
170
disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia, huruf Latin dan angka
yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia serta cara
pengucapannya dalam ejaan Latin;
f. nomor dan tanggal pendaftaran;
g. kelas dan jenis barang dan/atau jasa yang Mereknya didaftar; dan
h. jangka waktu berlakunya pendaftaran Merek.
23. Ketentuan Pasal 27 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 27 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 27
(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkannya
sertifikat merek, Menteri melakukan Pengumuman pendaftaran merek
tersebut dalam Berita Resmi Merek.
(2) Setiap pihak dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh petikan
resmi Sertifikat Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek dengan
membayar biaya.
24. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 29 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 29
(1) Permohonan banding dapat diajukan terhadap penolakan
Permohonan yang berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan
mengenai hal-hal yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6.
(2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau
Kuasanya kepada Majelis Banding Merek dengan tembusan yang
disampaikan kepada Menteri dengan dikenai biaya.
(3) Permohonan banding diajukan dengan menguraikan secara lengkap
keberatan serta alasan terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil
pemeriksaan substantif.
171
(4) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus tidak merupakan
perbaikan atau penyempurnaan atas Permohonan yang ditolak.
25. Ketentuan Pasal 30 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 30 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 30
(1) Permohonan banding diajukan paling lama dalam waktu 3 (tiga) bulan
terhitung sejak tanggal penerimaan surat pemberitahuan penolakan
Permohonan.
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat
tanpa adanya permohonan banding, penolakan Permohonan dianggap
diterima oleh Pemohon.
26. Ketentuan Pasal 31 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 31
(1) Keputusan Majelis Banding Merek diberikan dalam waktu paling lama 3
(tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan banding.
(2) Dalam hal Majelis Banding Merek mengabulkan permohonan banding,
Menteri melaksanakan keputusan Majelis Banding Merek.
(3) Dalam hal Majelis Banding Merek menolak permohonan banding, Pemohon
atau Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas putusan penolakan
permohonan banding kepada Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3
(tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan
tersebut.
(4) Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
hanya dapat diajukan kasasi.
27. Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 33 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
172
(1) Majelis Banding Merek adalah badan khusus yang independen dan berada
di lingkungan kementerian yang membidangi hak kekayaan intelektual.
(2) Majelis Banding Merek terdiri atas seorang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, dan anggota yang terdiri atas
beberapa ahli di bidang merek, serta Pemeriksa senior.
(3) Anggota Majelis Banding Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.
(4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding
Merek.
(5) Untuk memeriksa permohonan banding, Majelis Banding Merek
membentuk Tim Pemeriksa Banding yang berjumlah ganjil sekurang-
kurangnya 3 (tiga) orang, satu di antaranya adalah seorang Pemeriksa senior
yang tidak melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
28. Ketentuan Pasal 35 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 35 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
(1) Pemilik Merek terdaftar setiap kali dapat mengajukan permohonan
perpanjangan untuk jangka waktu yang sama kepada Menteri.
(2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
secara tertulis oleh pemilik Merek atau Kuasanya dalam jangka waktu 6
(enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi Merek
terdaftar tersebut dengan dikenakan biaya.
(3) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masih
dapat diajukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah
berakhirnya jangka waktu perlindungan Merek terdaftar tersebut dengan
dikenakan biaya dan denda.
29. Ketentuan Pasal 36 dan Pasal 37 dihapuskan.
30. Ketentuan Pasal 38 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyi
sebagai berikut:
173
Pasal 38
(1) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar dicatat dalam
Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.
(2) Pencatatan perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar
diberitahukan secara tertulis kepada pemilik Merek atau Kuasanya.
31. Ketentuan Pasal 39 diubah dan ditambahkan ayat baru, sehingga keseluruhan
Pasal 39 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39
(1) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat pemilik Merek
terdaftar diajukan kepada Menteri dengan dikenai biaya untuk dicatat
dalam Daftar Umum Merek dengan disertai salinan yang sah mengenai bukti
perubahan tersebut.
(1a) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat pula diajukan terhadap merek yang masih
dalam proses Permohonan.
(2) Perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (1a) yang telah dicatat oleh Menteri diumumkan dalam Berita Resmi
Merek.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan pencatatan
perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (1a), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
32. Judul Bab V diubah sebagai berikut:
BAB V
PENGALIHAN HAK DAN LISENSI
33. Diantara ketentuan Pasal 40 dengan Pasal 41 ditambahkan Pasal baru yaitu Pasal
40A, keseluruhan Pasal 40A berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40 A
174
Ketentuan mengenai Pengalihan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
berlaku pula terhadap merek yang masih dalam proses Permohonan.”
34. Ketentuan Pasal 41 dan Pasal 42 dihapus.
35. Ketentuan Pasal 43 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 43 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 43
(1) Pemilik Merek terdaftar berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain
dengan perjanjian bahwa penerima Lisensi akan menggunakan Merek
tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa.
(2) Perjanjian Lisensi berlaku di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia,
kecuali bila diperjanjikan lain.
(3) Perjanjian Lisensi wajib dimohonkan pencatatannya pada Menteri dengan
dikenai biaya dan akibat hukum dari pencatatan perjanjian Lisensi berlaku
terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga.
(4) Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat oleh Menteri
dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.
36. Ketentuan Pasal 48 dihapus.
37. Ketentuan Pasal 49 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 49 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
38. Di antara BAB VI dan BAB VII disisipkan BAB VIA, sebagai berikut:
BAB VI A
PENDAFTARAN MEREK INTERNASIONAL BERDASARKAN
PROTOKOL MADRID
Pasal 55 a
175
(1) Permohonan pendaftaran merek internasional diajukan berdasarkan
Protokol Madrid.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berasal dari
Indonesia hanya dapat diajukan oleh:
a. Pemohon yang memiliki kewarganegaraan Indonesia;
b. Pemohon yang memiliki domisili atau tempat kedudukan hukum di
Indonesia;
c. Pemohon yang memiliki kegiatan usaha industri atau komersial yang
nyata di Indonesia.
(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah mengajukan
Permohonan atau memiliki pendaftaran merek di Indonesia sebagai dasar
Permohonan pendaftaran merek internasional.
(4) Permohonan pendaftaran merek internasional berlaku bagi semua negara
anggota Protokol Madrid.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pendaftaran Merek Internasional
berdasarkan Protokol Madrid akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
39. Ketentuan Pasal 59 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 59 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 59
Indikasi-asal merupakan suatu tanda yang semata-mata menunjukkan asal suatu
barang atau jasa.
40. Ketentuan Pasal 60 dihapus.
41. Ketentuan Pasal 61 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 61 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 61
(1) Penghapusan pendaftaran Merek dari Daftar Umum Merek dapat dilakukan
berdasarkan permohonan oleh pemilik Merek atau Kuasanya kepada
Menteri.
176
(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimohonkan
untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa.
(3) Dalam hal pendaftaran Merek yang dimohonkan penghapusan masih terikat
perjanjian Lisensi, penghapusan hanya dapat dilakukan apabila hal tersebut
disetujui secara tertulis oleh penerima Lisensi.
(4) Pengecualian atas persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1b) hanya
dimungkinkan apabila dalam perjanjian Lisensi, penerima Lisensi dengan
tegas menyetujui untuk mengesampingkan adanya persetujuan tersebut.
(5) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dicatat dalam
Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.
42. Ketentuan Pasal 62 dihapus.
43. Ketentuan Pasal 63 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 63 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 63
(1) Penghapusan pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
dapat pula diajukan oleh pihak ketiga dalam bentuk gugatan kepada
Pengadilan Niaga berdasarkan alasan:
(2) Merek tersebut tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam
perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau
pemakaian terakhir.
(3) Penggunaan Merek tersebut tidak sesuai dengan pendaftarannya.
(4) Alasan Merek tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
tidak berlaku dalam hal adanya:
a. larangan impor
b. larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang
menggunakan Merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak
yang berwenang yang bersifat sementara; atau
c. larangan serupa lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
177
(5) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam Daftar
Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.
44. Ketentuan Pasal 66 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 66 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 66
(1) Menteri dapat menghapus pendaftaran Merek Kolektif atas dasar
permohonan sendiri dari pemilik Merek Kolektif dengan persetujuan tertulis
semua pemakai Merek Kolektif.
(2) Permohonan penghapusan pendaftaran Merek Kolektif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a diajukan kepada Menteri.
(3) Penghapusan pendaftaran Merek Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi
Merek.
45. Ketentuan Pasal 67 diubah, sehingga Pasal 67 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 67
Penghapusan pendaftaran Merek Kolektif dapat pula diajukan oleh pihak ketiga
dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Niaga berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1).
46. Ketentuan Pasal 69 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 69 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 69
(1) Gugatan pembatalan pendaftaran Merek hanya dapat diajukan dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran Merek.
(2) Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu apabila terdapat
unsur itikad tidak baik dan/atau Merek yang bersangkutan bertentangan
dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.
47. Ketentuan Pasal 75 ayat (2) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 75 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 75
178
(1) Untuk setiap pengajuan Permohonan atau permohonan perpanjangan
Merek, permohonan petikan Daftar Umum Merek, pencatatan pengalihan
hak, perubahan nama dan/atau alamat pemilik Merek terdaftar, pencatatan
perjanjian Lisensi, keberatan terhadap Permohonan, permohonan banding
serta lain-lainnya yang ditentukan dalam Undang-undang ini, wajib dikenai
biaya yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Dihapus.
(3) Menteri dengan persetujuan Menteri dan Menteri Keuangan dapat
menggunakan penerimaan yang berasal dari biaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
48. Diantara ketentuan Pasal 88 dengan Pasal 89 ditambahkan Pasal baru yaitu Pasal
88A dan Pasal 88B, keseluruhan Pasal 88A dan Pasal 88B berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 88A
(1) (Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah
hukum tempat diketemukannya barang yang berkaitan dengan pelanggaran
Merek.
(2) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 72.
(3) Panitera mendaftarkan permohonan penetapan sementara pada tanggal
permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal
yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara
tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga.
(4) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal
permohonan penetapan sementara didaftarkan, hakim Pengadilan Niaga
harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut
diterima atau ditolak.
179
(5) Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim
pengadilan niaga menerbitkan surat penetapan sementara pengadilan.
(6) Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim pengadilan
niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan
sementara dengan disertai alasannya.
Pasal 88B
(1) Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (5), Pengadilan Niaga
memanggil pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling
lama 7 (tujuh) hari untuk dimintai keterangan.
(2) Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan
dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak
tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
diterbitkannya surat penetapan sementara pengadilan, hakim Pengadilan
Niaga harus memutuskan untuk membatalkan atau menguatkan penetapan
sementara pengadilan.
(4) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang
telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan
pemohon penetapan harus segera mengajukan gugatan pelanggaran Merek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan/atau membuat aduan atas
adanya pelanggaran hak atas Merek kepada Penyidik Kepolisian Republik
Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
(5) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang
telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai
tindakan sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut.
49. Ketentuan Pasal 90 diubah, sehingga Pasal 90 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 90
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama
pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang
dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana
180
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp2.500.000.000,00 (Dua miliar lima ratus juta rupiah)”
50. Diantara Pasal 90 dan Pasal 91 disisipkan Pasal baru 90 A sebagai berikut:
Pasal 90 A
Dalam hal penggunaan merek secara tanpa hak sebagaimana dimaksud pada
pasal 90 jenis barangnya dapat membahayakan keselamatan jiwa manusia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima miliar rupiah)
51. Ketentuan Pasal 91 diubah, sehingga Pasal 91 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 91
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama
pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau
jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
52. Diantara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan Pasal 91 A sebagai berikut:
Pasal 91 A
Dalam hal penggunaan merek secara tanpa hak sebagaimana dimaksud pada
Pasal 91 jenis barangnya dapat membahayakan keselamatan jiwa manusia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah).
53. Ketentuan Pasal 94 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 94 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 94
(1) Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau
patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil
pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 90A, Pasal 91,
Pasal 91A, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah).
181
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
54. Diantara Pasal 95 dan Pasal 96 disisipkan Pasal 95A sebagai berikut:
Pasal 95 A
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 A merupakan delik biasa.
55. Ketentuan Pasal 98 diubah, sehingga Pasal 98 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 98
Sengketa Merek yang masih dalam proses di pengadilan pada saat Undang-
undang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 96
(1) Permohonan, perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar,
pencatatan pengalihan hak, pencatatan perubahan nama dan/atau alamat,
permintaan penghapusan atau pembatalan pendaftaran Merek yang
diajukan berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana
diubah dengan Undang-undang Nomor 14Tahun 1997 tentang Merek tetapi
belum selesai pada tanggal berlakunya undang-undang ini, diselesaikan
berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut.
(2) Semua Merek yang telah didaftar berdasarkan Undang-undang Nomor 19
Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun
1997 tentang Merek dan masih berlaku pada saat diundangkannya Undang-
undang ini dinyatakan tetap berlaku menurut Undang-undang ini untuk
selama sisa jangka waktu pendaftarannya.
Pasal 97
Terhadap Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) tetap dapat
diajukan gugatan pembatalan kepada Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 68, berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal
5 atau Pasal 6.
182
Pasal 98
Sengketa Merek yang masih dalam proses di pengadilan pada saat Undang-
undang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun
1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997
tentang Merek sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap.
56. Ketentuan Pasal 99 diubah, sehingga Pasal 99 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 99
Semua peraturan pelaksanaan yang dibuat berdasarkan Undang-undang Nomor
15 tahun 2001 tentang Merek yang telah ada pada tanggal berlakunya Undang-
undang ini dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum
diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang.
3. Materi Muatan untuk RUU tentang Perubahan UU Desain Industri 1.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Desain Industri adalah tampilan luar dari sebuah produk baik secara
keseluruhan maupun sebagian yang mempunyai kesan estetik, dan tampilan
tersebut dihasilkan dari fitur-fitur yang meliputi garis, warna, komposisi garis
dan warna, bentuk, konfigurasi, corak, dan/atau ornamentasi.
2. Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain
Industri.
3. Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik
Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu
melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain
untuk melaksanakan hak tersebut.
183
4. Permohonan adalah permintaan pendaftaran Desain Industri yang diajukan
kepada Menteri.
5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan.
6. Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam
Undang-undang ini.
7. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang
berada di bawah Kementerian yang dipimpin oleh Menteri.
8. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di
bidang Hak kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa
pengajuan permohonan dan pengurusan permohonan di bidang Hak
Kekayaan Intelektual dan diangkat oleh Menteri.
9. Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya permohonan yang telah
memenuhi persyaratan minimum.
10. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang
berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris untuk memperoleh
pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan yang diajukannya ke negara tujuan,
yang juga anggota Konvensi Paris atau Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia, memiliki tanggal waktu yang telah ditentukan
berdasarkan Konvensi Paris.
11. Pemeriksa Desain Industri adalah seorang yang karena keahliannya diangkat
dengan Keputusan Menteri sebagai pejabat fungsional pemeriksa Desain
Industri dan ditugasi untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap
Permohonan.
12. Pemegang Hak Desain Industri adalah Pendesain sebagai pemilik Desain
Industri atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik Desain Industri
atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam
Daftar Umum Desain Industri.
13. Lisensi adalah persetujuan yang diberikan oleh Pemegang Hak Desain Industri
kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan Desain
Industri yang masih dilindungi.
184
14. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, badan usaha baik yang
berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.
15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia.
16. Hari adalah hari kerja.
2. BAB II
LINGKUP DESAIN INDUSTRI
Bagian Kesatu
Desain Industri yang Diberikan Perlindungan
Pasal 2
(1) Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru.
(2) Desain Industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan Desain
Industri tersebut berbeda atau tidak mirip dengan pengungkapan Desain
Industri yang telah ada sebelumnya atau yang telah diketahui umum.
(3) Pengungkapan sebelumnya, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah
pengungkapan Desain Industri yang sebelum:
a. Tanggal Penerimaan; atau
b. tanggal prioritas apabila permohonan diajukan dengan Hak Prioritas;
c. telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia
Pasal 3
Suatu Desain Industri tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaannya, Desain
Industri tersebut:
a. telah dipertunjukkan dalam suatu uji pasar, pameran nasional ataupun
internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai
resmi; atau
b. telah digunakan di Indonesia oleh Pendesain dalam rangka percobaan
dengan tujuan pendidikan, penelitian, atau pengembangan.
Bagian Kedua
Desain Industri yang Tidak Diberikan Perlindungan
185
Pasal 4
Hak Desain Industri tidak diberikan apabila Desain Industri yang dimohonkan:
a. murni semata-mata karena pertimbangan fungsi atau teknis; atau
b. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban
umum, agama, dan/atau kesusilaan.
Bagian Ketiga
Jangka Waktu Perlindungan Hak Desain Industri
Pasal 5
(1) Perlindungan terhadap Hak Desain Industri diberikan untuk jangka waktu 10
(sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan.
(2) Jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diperpanjang sampai dengan 1 (satu) kali selama 5
(lima) tahun.
(3) Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita
Resmi Desain Industri.
Pasal 6
(1) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diajukan secara tertulis oleh pemegang Hak
Desain Industri atau Kuasanya kepada Menteri.
(2) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus diajukan paling lambat 6 (enam) bulan
sebelum berakhirnya perlindungan sampai dengan 6 (enam) bulan setelah
berakhirnya batas waktu perlindungan Hak Desain Industri.
(3) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri:
a. formulir permohonan perpanjangan;
b. fotokopi sertifikat Desain Industri; dan
c. bukti pembayaran biaya perpanjangan.
Pasal 7
186
(1) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri dicatat dalam
Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain
Industri.
(2) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri diberitahukan
secara tertulis kepada pemilik Hak Desain Industri atau Kuasanya.
Bagian Keempat
Subjek Desain Industri
Pasal 8
(1) Yang berhak memperoleh Hak Desain Industri adalah Pendesain atau yang
menerima hak tersebut dari Pendesain.
(2) Dalam hal Pendesain terdiri atas beberapa orang secara bersama, Hak
Desain Industri diberikan kepada mereka secara bersama, kecuali jika
diperjanjikan lain.
Pasal 9
(1) Jika suatu Desain Industri dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain
dalam lingkungan pekerjaannya, pemegang Hak Desain Industri adalah
pihak yang untuk dan/atau dalam dinasnya Desain Industri itu dikerjakan,
kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak
Pendesain apabila penggunaan Desain Industri itu diperluas sampai ke luar
hubungan dinas.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Desain
Industri yang dibuat orang lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam
hubungan dinas.
(3) Jika suatu Desain Industri dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan
pesanan, orang yang membuat Desain Industri itu dianggap sebagai
Pendesain dan Pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika diperjanjikan lain
antara kedua pihak.
Pasal 10
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak menghapus hak
Pendesain untuk tetap dicantumkan namanya dalam Sertifikat Desain Industri,
Daftar Umum Desain Industri, dan Berita Resmi Desain Industri.
187
Bagian Kelima
Pemegang Hak Desain Industri
Pasal 11
(1) Pemegang Hak Desain Industri memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan
Hak Desain Industri yang dimilikinya atau memberi persetujuan secara
tertulis kepada orang lain untuk membuat, menjual, dan/atau mengimpor,
produk yang diberi Hak Desain Industri.
(2) Kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendidikan, sepanjang tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Hak Desain Industri atau
tidak untuk kepentingan komersial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak
Desain Industri.
(3) Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Desain Industri, perbanyakan fitur-
fitur Desain Industri yang harus dengan tepat diproduksi dalam bentuk yang
tepat agar suatu produk dalam desain tersebut dihubungkan secara tepat
atau ditempatkan di dalam, di sekeliling, atau menyatu dengan produk lain
sehingga produk tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Pasal 12
Setiap orang dilarang untuk membuat, menjual, dan/atau mengimpor produk
yang sama atau mirip dengan Desain Industri terdaftar milik orang lain, kecuali
atas persetujuan Pemegang Hak Desain Industri.
3. BAB III
PERMOHONAN PENDAFTARAN HAK DESAIN INDUSTRI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
(1) Hak Desain Industri diberikan atas dasar Permohonan oleh Pemohon yang
beritikad baik.
(2) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri dikenakan biaya.
(3) Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
188
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) diajukan secara
tertulis atau secara elektronik dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh
Pemohon atau Kuasanya.
Catatan: Diberikan penjelasan mengenai elektronik, bisa melalui internet,
melalui digital device, contoh: USB, CD, DVD.
Pasal 15
(1) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 dapat diajukan oleh seorang atau beberapa orang Pemohon, atau
badan hukum.
(2) Dalam hal Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan secara bersama-sama oleh beberapa orang
Pemohon, Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah seorang
Pemohon dengan melampirkan persetujuan tertulis dari seluruh Pemohon
lainnya, dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat Pemohon.
(3) Dalam hal Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri diajukan oleh
bukan Pendesain, Permohonan Hak Desain Industri harus disertai
pernyataan yang dilengkapi dengan bukti yang cukup bahwa Pemohon
berhak atas Desain Industri yang dimohonkan.
Pasal 16
(1) Permohonan Hak Desain Industri memuat:
a. tanggal, bulan, dan tahun surat Permohonan;
b. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pendesain;
c. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pemohon;
d. nama dan alamat lengkap Kuasa apabila Permohonan diajukan
melalui Kuasa;
e. nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama
kali, dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas;
f. Judul atau nama produk; dan
g. Klasifikasi.
(2) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
189
a. Gambar dan/atau foto, dan
b. surat kuasa khusus, dalam hal Permohonan diajukan melalui Kuasa;
(3) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilampiri dengan uraian singkat dari Desain Industri yang
sedang diajukan pendaftarannya.
Pasal 17
(1) Uraian singkat Desain Industri yang dimohonkan pendaftarannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) meliputi:
a. judul atau nama produk;
b. keterangan gambar; dan
c. pernyataan bagian Desain Industri yang dianggap baru oleh Pemohon.
(2) Jika pernyataan bagian Desain Industri yang dianggap baru oleh Pemohon
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak disampaikan oleh
Pemohon kepada Menteri maka perlindungan Hak Desain Industri yang
dimintakan dianggap sesuai dengan yang diungkapkan dalam gambar.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Permohonan Pendaftaran Hak Desain
Industri diatur dengan Peraturan Pemerint
Pasal 19
Pihak yang untuk pertama kali mengajukan Permohonan dianggap sebagai
pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika terbukti sebaliknya.
Pasal 20
(1) Setiap Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri dapat diajukan untuk:
a. satu Desain Industri;
b. sebagian Desain Industri; atau
c. seperangkat produk atau barang yang memiliki fitur-fitur tampilan
yang sama.
(2) Apabila beberapa Desain Industri memiliki kemiripan, Permohonan harus
diajukan sebagai desain varian pada Tanggal Penerimaan yang sama oleh
Pemohon yang sama.
190
Pasal 21
(1) Pemohon yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia
harus mengajukan Permohonan melalui Kuasa.
(2) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyatakan dan
memilih domisili hukumnya di Indonesia.
Pasal 22
(1) Ketentuan mengenai syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak
Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan Konsultan Hak Kekayaan
Intelektual diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Kedua
Permohonan dengan Hak Prioritas
Pasal 23
(1) Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas harus diajukan dalam
waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan yang pertama kali diterima di negara lain yang merupakan
anggota Konvensi Paris atau anggota Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia.
(2) Permohonan dengan Hak Prioritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dilengkapi dengan dokumen prioritas yang disahkan oleh kantor yang
menyelenggarakan pendaftaran Desain Industri disertai terjemahannya
dalam bahasa Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung
setelah berakhirnya jangka waktu pengajuan Permohonan dengan Hak
Prioritas.
(3) Apabila syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak
dipenuhi, Permohonan tersebut dianggap diajukan tanpa menggunakan Hak
Prioritas.
Pasal 24
Selain Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), Menteri
dapat meminta agar Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas dilengkapi
dengan:
191
a. salinan lengkap Hak Desain Industri yang telah diberikan sehubungan dengan
pendaftaran yang pertama kali diajukan di negara lain; dan
b. salinan sah dokumen lain yang diperlukan untuk mempermudah penilaian
bahwa Desain Industri tersebut adalah baru.
Bagian Ketiga
Tanggal Penerimaan Permohonan dan Pemeriksaan Administratif
Pasal 25
(1) Menteri menetapkan Tanggal Penerimaan terhadap Permohonan yang telah
memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
a. menyampaikan data Pemohon;
b. melampirkan gambar dan/atau foto; dan
c. membayar biaya Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (2).
(2) Apabila persyaratan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dipenuhi, Menteri memberitahukan Pemohon untuk melengkapi
kekurangan.
(3) Tanggal Penerimaan ditetapkan setelah Pemohon memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 26
(1) Menteri melakukan pemeriksaan administratif berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 20, Pasal
21, Pasal 23, dan Pasal 24.
(2) Apabila Permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24,
Menteri memberitahukan kepada Pemohon atau Kuasanya untuk
memenuhi kekurangan tersebut dalam waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak
tanggal pemberitahuan.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
paling lama 1 (satu) bulan atas permintaan Pemohon atau Kuasanya secara
tertulis berdasarkan alasan yang dapat disetujui Menteri.
192
(4) Permintaan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 27
(1) Apabila kekurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) tidak
dipenuhi, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau
Kuasanya bahwa Permohonannya dianggap ditarik kembali.
(2) Dalam hal Permohonan dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak
dapat ditarik kembali.
Bagian Keempat
Penarikan Kembali Permohonan
Pasal 28
Permintaan penarikan kembali Permohonan dapat diajukan secara tertulis
kepada Menteri oleh Pemohon atau Kuasanya selama Permohonan tersebut
belum mendapat keputusan.
Bagian Kelima
Kewajiban Menjaga Kerahasiaan
Pasal 29
Selama masih terikat dinas aktif hingga selama 12 (dua belas) bulan sesudah
pensiun atau berhenti karena sebab apa pun dari Menteri, pegawai atau orang
yang karena tugasnya bekerja untuk dan/atau atas nama Menteri dilarang
mengajukan Permohonan, memperoleh, memegang, atau memiliki hak yang
berkaitan dengan Desain Industri, kecuali jika pemilikan tersebut diperoleh
karena pewarisan.
Pasal 30
(1) Terhitung sejak Tanggal Penerimaan, seluruh pegawai atau orang yang
karena tugasnya bekerja untuk dan/atau atas nama Menteri berkewajiban
menjaga kerahasiaan Permohonan sampai dengan diumumkannya
Permohonan yang bersangkutan.
193
(2) Konsultan Hak Kekayaan Intelektual berkewajiban menjaga kerahasiaan
Permohonan.
Bagian Keenam
Pemeriksaan Substantif
Pasal 31
(1) Menteri melakukan pemeriksaan substantif sejak persyaratan administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dipenuhi.
(2) Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1,
Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 dan Pasal 20.
(3) Keputusan Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 32
(1) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa pada Menteri.
(2) Kedudukan, jenjang, dan besaran tunjangan Pemeriksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundangan-undangan.
Pasal 33
(1) Untuk keperluan pemeriksaan substantif, Menteri dapat meminta bantuan
ahli dan/atau menggunakan fasilitas yang diperlukan dari instansi
Pemerintah terkait atau Pemeriksa dari negara lain.
(2) Penggunaan bantuan ahli, fasilitas, atau Pemeriksa dari negara lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
Pasal 34
(1) Apabila Pemeriksa melaporkan bahwa Desain Industri yang diperiksa tidak
jelas atau terdapat kekurangan lain yang dinilai penting sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), Menteri memberitahukan secara tertulis
adanya ketidakjelasan atau kekurangan tersebut kepada Pemohon atau
194
Kuasanya guna meminta tanggapan atau kelengkapan atas kekurangan
tersebut.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus jelas dan rinci
serta mencantumkan hal yang dinilai tidak jelas atau kekurangan lain yang
dinilai penting dengan disertai alasan dan acuan yang digunakan dalam
pemeriksaan substantif, berikut jangka waktu pemenuhannya.
(3) Apabila Pemeriksa melaporkan bahwa Desain Industri yang diperiksa bukan
merupakan seperangkat produk atau barang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) huruf c Menteri memberitahukan hal tersebut secara
tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya agar memecah menjadi
Permohonan yang baru dengan membayar biaya.
(4) Pengajuan permohonan yang baru hasil pemecahan permohonan yang
sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberi tanggal
penerimaan yang sama sesuai dengan permohonan yang sebelumnya harus
dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan sejak tanggal pengiriman surat
pemberitahuan.
(5) Terhadap Permohonan yang baru hasil pemecahan permohonan yang
sebelumnya sebagaimana dimakksud pada ayat (3) diberi tanggal
penerimaan yang sama sesuai dengan permohonan yang sebelumnya.
(6) Apabila setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
Pemohon tidak melakukan pemecahan Permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), permohonan dianggap ditarik kembali.
Pasal 35
Apabila setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1)
Pemohon tidak memberikan tanggapan atau tidak melakukan perbaikan
terhadap Permohonan yang telah diajukannya dalam waktu yang telah
ditentukan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2),
Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali dan diberitahukan secara tertulis
kepada Pemohon.
Bagian Ketujuh
Keputusan, Pemberian Sertifikat, dan Pengumuman
195
Pasal 36
(1) Desain Industri yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (2) dinyatakan dapat diterima dan diberitahukan secara
tertulis kepada pemohon dan diumumkan oleh Menteri.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. nama dan alamat lengkap Pemohon;
b. nama dan alamat lengkap Kuasa dalam hal Permohonan diajujan
melalui Kuasa;
c. tanggal penerimaan dan nomor Permohonan;
d. tanggal pemberian dan nomor pendaftaran;
e. nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali
apabila Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas;
f. uraian singkat Desain Industri; dan
g. gambar atau foto Desain Industri.
(3) Pemohon dapat meminta secara tertulis agar pengumuman sebagaimana
tersebut pada ayat (1) dapat ditunda selambat-lambatnya sebelum
dimulainya pemeriksaan subtantif sebagaimana dimaksud pada Pasal 31
ayat (1).
(4) Penundaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh
melebihi waktu 30 (tiga puluh) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan
atau terhitung sejak tanggal prioritas, apabila Permohonan diajukan dengan
menggunakan hak prioritas.
(5) Desain Industri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (2) dinyatakan ditolak dan diberitahukan secara tertulis
kepada pemohon dan diumumkan oleh Menteri dengan mencantumkan
nomor permohonan dan nama pemohon.
Pasal 37
(1) Menteri memberikan sertifikat Desain Industri kepada Pemohon dalam
waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan diterimanya
pendaftaran oleh Menteri.
(2) Sertifikat Desain Industri mulai berlaku terhitung sejak Tanggal Penerimaan.
196
Pasal 38
(1) Pihak yang memerlukan salinan Sertifikat Desain Industri dapat memintanya
kepada Menteri dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian salinan
Desain Industri diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedelapan
Permohonan Banding
Pasal 39
(1) Permohonan banding dapat diajukan terhadap penolakan Permohonan yang
berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang
bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan/atau
Pasal 32 ayat (1).
(2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya
kepada Majelis Banding Desain Industri dengan tembusan yang disampaikan
kepada Menteri.
(3) Permohonan banding diajukan dengan menguraikan secara lengkap
keberatan serta alasannya terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil
pemeriksaan substantif.
(4) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak merupakan alasan atau
penjelasan baru sehingga memperluas lingkup kreasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35.
Pasal 40
(1) Permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak
tanggal pengiriman surat pemberitahuan penolakan Permohonan
sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (5).
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat
tanpa adanya permohonan banding, penolakan Permohonan dianggap
diterima oleh Pemohon.
(3) Dalam hal penolakan Permohonan telah dianggap diterima sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri mencatat dan mengumumkannya.
197
Pasal 41
(1) Banding mulai diperiksa oleh Majelis Banding paling lama 1 (satu) bulan
sejak tanggal penerimaan permohonan banding.
(2) Keputusan Majelis Banding ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung
sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal Majelis Banding menerima dan menyetujui permohonan banding,
Menteri wajib melaksanakan keputusan Majelis Banding.
(4) Dalam hal Majelis Banding menolak permohonan banding, Pemohon atau
Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas keputusan tersebut ke Pengadilan
Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
diterimanya keputusan penolakan tersebut.
(5) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hanya
dapat diajukan kasasi.
Bagian Kesembilan
Pembatalan Pendaftaran
Pasal 42
(1) Dalam hal adanya keberatan terhadap keputusan diterimanya pendaftaran,
pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan pembatalan pendaftaran
ke Majelis Banding Desain Industri.
(2) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri mengabulkan pembatalan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang hak desain
industri dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga.
(3) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri menolak pembatalan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak lain yang
berkepentingan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga.
(4) Dalam hal adanya keberatan terhadap keputusan penolakan pendaftaran
Desain Industri, Pemohon dapat mengajukan keberatan atas penolakan ke
Majelis Banding Desain Industri.
(5) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri mengabulkan keberatan
sebagaimana pada ayat (4), pihak lain yang berkepentingan dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga.
198
(6) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri menolak keberatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Pemohon dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Niaga.
(7) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6)
diumumkan oleh Menteri setelah mendapat keputusan hukum yang tetap.
4. BAB IV
MAJELIS BANDING
Pasal 43
(1) Majelis Banding Desain Industri adalah badan khusus yang independen dan
berada di lingkungan departemen yang membidangi Hak Kekayaan
Intelektual.
(2) Majelis Banding Desain Industri terdiri atas seorang ketua merangkap
anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan anggota yang terdiri
atas beberapa ahli di bidang yang diperlukan serta Pemeriksa senior.
(3) Anggota Majelis Banding Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga)
tahun.
(4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding
Desain Industri.
(5) Untuk memeriksa permohonan banding, Majelis Banding Desain Industri
membentuk majelis yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga)
orang, satu di antaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak
melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
Pasal 44
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat keanggotaan, Susunan organisasi, tugas,
dan fungsi Majelis Banding Desain Industri diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Presiden.
5. BAB V
PERMOHONAN MELALUI PENDAFTARAN INTERNASIONAL
Pasal 45
(1) Permohonan dapat diajukan melalui pendaftaran internasional.
199
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
6. BAB VI
PENGALIHAN HAK DAN LISENSI
Bagian Kesatu
Pengalihan Hak
Pasal 46
(1) Hak Desain Industri dapat beralih atau dialihkan dengan :
a. pewarisan;
b. hibah;
c. wasiat;
d. wakaf;
e. perjanjian tertulis; atau
f. sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-
undangan.
(2) Pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak.
(3) Segala bentuk pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri pada Menteri
dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
(4) Pengalihan Hak Desain Industri yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum
Desain Industri tidak berakibat hukum pada pihak ketiga.
(5) Pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri.
Pasal 47
Pengalihan Hak Desain Industri tidak menghilangkan hak Pendesain untuk tetap
dicantumkan nama dan identitasnya, baik dalam Sertifikat Desain Industri, Berita
Resmi Desain Industri, maupun dalam Daftar Umum Desain Industri.
Bagian Kedua
Lisensi
Pasal 48
200
Pemegang Hak Desain Industri berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain
melaksanakan semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, kecuali
jika diperjanjikan lain.
Pasal 49
Dalam hal suatu Desain Industri menggunakan Hak Kekayaan Intelektual milik
pihak lain yang telah ada sebelum Tanggal Penerimaan, Pemegang Hak Desain
Industri tidak dapat melaksanakan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2), kecuali ada persetujuan dari pemilik hak tersebut.
Pasal 50
Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48,
pemegang Hak Desain Industri tetap dapat melaksanakan sendiri atau
memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, kecuali jika diperjanjikan lain.
Pasal 51
(1) Perjanjian Lisensi dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri pada
Menteri dengan dikenai biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang
ini.
(2) Perjanjian Lisensi yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri
tidak berlaku terhadap pihak ketiga.
(3) Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diumumkan dalam
Berita Resmi Desain Industri.
Pasal 52
(1) Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan
akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan
yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Menteri wajib menolak pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lisensi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
201
7. BAB VII
PEMBATALAN PENDAFTARAN HAK DESAIN INDUSTRI
Bagian Kesatu
Pembatalan Pendaftaran Hak Desain Industri
Berdasarkan Permintaan Pemegang Hak Desain Industri
Pasal 53
(1) Desain Industri terdaftar dapat dibatalkan oleh Menteri atas permintaan
tertulis yang diajukan oleh pemegang Hak Desain Industri.
(2) Pembatalan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dapat dilakukan apabila penerima Lisensi Hak Desain Industri yang tercatat
dalam Daftar Umum Desain Industri tidak memberikan persetujuan secara
tertulis, yang dilampirkan pada permohonan pembatalan pendaftaran
tersebut.
(3) Keputusan pembatalan Hak Desain Industri diberitahukan secara tertulis
oleh Menteri kepada:
a. pemegang Hak Desain Industri;
b. penerima Lisensi jika telah dilisensikan sesuai dengan catatan dalam
Daftar Umum Desain Industri;
c. pihak yang mengajukan pembatalan dengan menyebutkan bahwa Hak
Desain Industri yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku lagi
terhitung sejak tanggal keputusan pembatalan.
(4) Keputusan pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam
Berita Resmi Desain Industri.
Bagian Kedua
Pembatalan Pendaftaran Hak Desain Industri Berdasarkan Gugatan
Pasal 54
(1) Gugatan pembatalan pendaftaran Hak Desain Industri dapat diajukan oleh
pihak yang berkepentingan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 1, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 8 dan Pasal 9 kepada Pengadilan
Niaga terhadap Pemegang Hak Desain Industri dan Menteri.
202
(2) Putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tentang
pembatalan pendaftaran Hak Desain Industri disampaikan kepada Menteri
paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan diucapkan.
Bagian Ketiga
Tata Cara Gugatan
Pasal 55
(1) Gugatan pembatalan pendaftaran Desain Industri diajukan kepada Ketua
Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili
tergugat.
(2) Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia, gugatan
tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
(3) Panitera mendaftarkan gugatan pembatalan pada tanggal gugatan yang
bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima
tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan
tanggal pendaftaran gugatan.
(4) Panitera menyampaikan gugatan pembatalan kepada Ketua Pengadilan
Niaga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak gugatan
didaftarkan.
(5) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal gugatan
pembatalan didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari gugatan dan
menetapkan hari sidang.
(6) Sidang pemeriksaan atas gugatan pembatalan diselenggarakan dalam jangka
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah gugatan didaftarkan.
(7) Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7 (tujuh) hari
setelah gugatan pembatalan didaftarkan.
(8) Putusan atas gugatan pembatalan harus diucapkan paling lama 90 (sembilan
puluh) hari setelah gugatan didaftarkan dan dapat diperpanjang paling lama
30 (tiga puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(9) Putusan atas gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8)
yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan
tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat
203
dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan
suatu upaya hukum.
(10) Salinan putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (9)
wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat
belas) hari setelah putusan atas gugatan pembatalan diucapkan.
Pasal 56
Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat
(2) hanya dapat dimohonkan kasasi.
Pasal 57
(1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 diajukan paling
lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi
diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan
kepada panitera yang telah memutus gugatan tersebut.
(2) Panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang
bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis
yang ditandatangani oleh panitera dengan tanggal yang sama dengan
tanggal penerimaan pendaftaran.
(3) Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera dalam
waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) kepada pihak termohon kasasi paling
lama 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan.
(5) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera
paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima
memori kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan panitera wajib
menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 2
(dua) hari setelah kontra memori kasasi diterimanya.
(6) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi dan/atau
kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada
204
Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewatnya jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5).
(7) Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas permohonan kasasi dan
menetapkan hari sidang paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal
permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.
(8) Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lama 60
(enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh
Mahkamah Agung.
(9) Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lama 90 (sembilan
puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah
Agung.
(10) Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (9)
yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan
tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
(11) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi
kepada panitera paling lama 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas
permohonan kasasi diucapkan.
(12) Juru sita wajib menyampaikan salinan putusan kasasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (11) kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi
paling lama 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima.
Pasal 58
Menteri mencatat putusan atas gugatan pembatalan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dalam Daftar Umum Desain Industri dan
mengumumkannya dalam Berita Resmi Desain Industri.
Bagian Keempat
Akibat Pembatalan Pendaftaran
Pasal 59
Pembatalan pendaftaran Desain Industri menghapuskan segala akibat hukum
yang berkaitan dengan Hak Desain Industri dan hak-hak lain yang berasal dari
Desain Industri tersebut.
Pasal 60
205
(1) Dalam hal pendaftaran Desain Industri dibatalkan berdasarkan gugatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, penerima Lisensi tetap berhak
melaksanakan Lisensinya sampai dengan berakhirnya jangka waktu yang
ditetapkan dalam perjanjian Lisensi.
(2) Penerima Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak lagi wajib
meneruskan pembayaran royalti yang seharusnya masih wajib dilakukannya
kepada pemegang Hak Desain Industri yang haknya dibatalkan, tetapi wajib
mengalihkan pembayaran royalti untuk sisa jangka waktu Lisensi yang
dimilikinya kepada pemegang Hak Desain Industri yang sebenarnya.
8. BAB VIII
BIAYA
Pasal 61
(1) Semua biaya yang wajib dibayar dalam Undang-undang ini ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, jangka waktu, dan tata cara
pembayaran biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
(3) Menteri dengan persetujuan Menteri Keuangan dapat mengelola sendiri
biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9. BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Kesatu
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal 62
(1) Pemegang Hak Desain Industri atau penerima Lisensi dapat menggugat
siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, berupa :
a. gugatan ganti rugi; dan/atau
206
b. penghentian semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan ke Pengadilan
Niaga.
Bagian Kedua
Tata Cara Penyelesaian Sengketa
Pasal 63
Tata cara penyelesaian gugatan ganti rugi sebagaimana yang diatur dalam Pasal
61 dilakukan dengan menggunakan tata cara sebagaimana diatur dalam Hukum
Acara Perdata yang diberlakukan untuk gugatan pembatalan sesuai Pasal 54
Undang-undang ini.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan
Pasal 64
Selain penyelesaian gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 para pihak
dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa.
Pasal 65
Tata cara gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 dan 56 berlaku secara
mutatis mutandis terhadap gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal
42, dan Pasal 61.
10. BAB X
PENETAPAN SEMENTARA PENGADILAN
Pasal 66
Berdasarkan bukti yang cukup, pihak yang haknya dirugikan dapat meminta
hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara
tentang:
a. pencegahan masuknya produk yang berkaitan dengan pelanggaran Hak
Desain Industri;
b. penyimpanan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Desain Industri.
207
Pasal 67
(1) Permohonan penetapan sementara diajukan secara tertulis kepada
Pengadilan Niaga dengan persyaratan sebagai berikut :
a. melampirkan bukti kepemilikan Desain Industri;
b. melampirkan bukti adanya petunjuk awal yang kuat atas terjadinya
pelanggaran Desain Industri;
c. keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau dokumen yang
diminta, dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk keperluan
pembuktian;
d. adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga melakukan
pelanggaran Desain Industri akan dapat dengan mudah
menghilangkan barang bukti; dan
e. membayar jaminan berupa uang tunai atau jaminan bank.
(2) Dalam hal penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
telah dilaksanakan, Pengadilan Niaga segera memberitahukan kepada pihak
yang dikenai tindakan dan memberikan kesempatan kepada pihak tersebut
untuk didengar keterangannya.
Pasal 68
Dalam hal hakim Pengadilan Niaga telah menerbitkan surat penetapan
sementara, hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa tersebut harus
memutuskan untuk mengubah, membatalkan, atau menguatkan penetapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak dikeluarkannya surat penetapan sementara pengadilan tersebut.
Pasal 69
(1) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 65 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah
hukum tempat ditemukannya barang yang diduga merupakan hasil
pelanggaran Desain Industri.
(2) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 66.
208
(3) Panitera mencatat permohonan penetapan sementara pada tanggal
permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal
yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara
tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga.
(4) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal
diterimanya permohonan penetapan sementara sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Ketua Pengadilan Niaga menunjuk hakim untuk memeriksa
permohonan penetapan sementara.
(5) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal
penunjukkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hakim Pengadilan Niaga
harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut
diterima atau ditolak.
(6) Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim
pengadilan niaga menerbitkan Surat Penetapan Sementara Pengadilan.
(7) Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim Pengadilan
Niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan
sementara dengan disertai alasannya.
Pasal 70
(1) Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (6), Pengadilan Niaga memanggil
pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling lama 7 (tujuh)
hari untuk dimintai keterangan.
(2) Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan
dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak
tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
diterbitkannya surat penetapan sementara pengadilan, hakim Pengadilan
Niaga harus memutuskan untuk membatalkan, atau menguatkan penetapan
sementara pengadilan.
(4) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang
telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan
209
pemohon penetapan harus segera mengajukan Gugatan Pelanggaran Desain
Industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan/atau membuat aduan
atas adanya pelanggaran hak atas Desain Industri kepada Penyidik Kepolisian
Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
(5) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang
telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai
penetapan sementara sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara
tersebut.
11. BAB XI
PENYIDIKAN
Pasal 71
(1) Selain Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan departemen yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya meliputi bidang Hak Kekayaan Intelektual diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan tentang Hukum Acara Pidana yang berlaku untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang Desain Industri.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal dari tersangka;
d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan;
e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan;
210
i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab;
j. Meminta bantuan penangkapan, penahanan, penetapan daftar
pencarian orang (dpo) dan pencegahan dan penangkapan terhadap
pelaku tindak pidana dibidang Desain Industri kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
(3) Penyampaian hasil penyidikan oleh PPNS HKI untuk diserahkan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada Penyidik Pejabat POLRI.
12. BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 72
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta
rupiah).
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan
delik aduan.
13. BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 73
(1) Pemrosesan Permohonan, pencatatan pengalihan hak, pencatatan
perubahan nama dan/atau alamat, atau permintaan pembatalan hak Desain
Industri yang diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000
tentang Desain Industri, tetapi belum selesai pada tanggal berlakunya
Undang-Undang ini, diselesaikan dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun
terhitung sejak ditetapkannya Undang-Undang ini.
(2) Semua Desain Industri yang telah didaftar berdasarkan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dan masih berlaku pada saat
211
diundangkannya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku menurut
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri untuk
selama sisa jangka waktu pendaftarannya.
Pasal 74
Terhadap Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) tetap
dapat diajukan gugatan pembatalan kepada Pengadilan Niaga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000
tentang Desain Industri berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan Pasal 4.
Pasal 75
Sengketa Desain Industri yang masih dalam proses di Pengadilan pada saat
Undang-Undang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2000 tentang Desain Industri sampai mendapat putusan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 76
Semua peraturan pelaksanaan yang dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2000 tentang Desain Industri yang telah ada pada tanggal berlakunya
Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan atau
belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
14. IV. KETENTUAN PENUTUP
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian sebagaimana telah diuraikan pada Bab-bab terdahulu,
dapat ditarik kesimpulan atas empat identifikasi masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Pengaturan tentang perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang
Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain lndustri ke dalam satu naskah
RUU Hak Kekayaan Industri, harus mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu
sebagai berikut:
a. Ditinjau dari Aspek Ruang Lingkup Bidang Hukum
Ditinjau dari ruang lingkup bidang hukum, apabila perubahan Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001
Tentang Desain Industri, dikompilasi ke dalam 1 (satu) naskah RUU Tentang
Hak Kekayaan Industri, perlu dikaji hal-hal sebagai berikut:
(1) Penyusunan RUU Tentang Hak Kekayaan Industri harus memenuhi
ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yaitu bahwa “penamaan” RUU Tentang
Hak Kekayaan Industri yang memuat Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 Tentang Merek, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000
Tentang Desain Industri tidak tepat karena di bagian “penamaan”
213
mencakup kata “perubahan”, melainkan menggunakan Undang-Undang
baru yang didalamnya mencakup Undang-Undang Paten, Undang-
Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri (sebagai alternatif
mengenai “penamaan” RUU Hak Kekayaan Industri, tetap dapat
dipergunakan nomenklatur Hak Kekayaan Industri dengan menyebutkan
satu klausul pada Pasal terakhir, yaitu bahwa Undang-Undang Paten,
Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri yang
disatukan dalam satu naskah ini juga dinamakan Undang-Undang Hak
Kekayaan Industri).
(2) Kewenangan pembahasan bidang industri akan menjadi kewenangan
Komisi VI DPR (Perekonomian), sedangkan substansi RUU Hak Kekayaan
Industri merupakan kewenangan bidang Hukum yaitu Komisi III DPR.
Apabila pembahasan RUU Hak Kekayaan Industri menjadi kewenangan
Komisi VI DPR, maka pendefinisian Menteri menjadi Menteri
Perindustrian, bukan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini
berdampak pada status pemrakarsa RUU yang seharusnya adalah
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia beralih ke Menteri
Perindustrian.
(3) Apabila penyusunan RUU Hak Kekayaan Industri sesuai urutan Prolegnas
Prioritas Tahun 2011 Nomor 52 yang substansinya meliputi perubahan
terhadap 3 (tiga) Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Tentang Paten,
Undang-Undang Tentang Merek dan Undang-Undang Tentang Desain
Industri, bagaimana status RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten (Prolegnas Nomor 214), RUU
214
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 Tentang
Merek (Prolegnas Nomor 215), dan RUU tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 tahun 2000 tentang Desain Industri
(Prolegnas Nomor 217).
(4) Perkembangan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual sangat cepat
sehingga menyulitkan untuk melakukan perubahan ataupun
penyempurnaan hanya pada salah satu bidang Hak Kekayaan Industri.
(5) Sulitnya menyusun suatu RUU Hak Kekayaan Industri yang mencakup
Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang
Desain Industri ( dari segi tehnik penulisan atau drafting), apakah dalam
bentuk suatu kodifikasi, kompilasi atau luruh menjadi satu UU yang baru.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, diharapkan hukum di bidang
Hak Kekayaan Industri dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif,
efisien, lebih meningkatkan perekonomian Indonesia dan mendukung
peningkatan iklim investasi dan perdagangan serta meningkatkan daya saing
nasional menuju wilayah ekonomi yang berdaya saing tinggi.
2. Hal-hal yang dapat dijadikan masukan dalam Perubahan UU Nomor 14 Tahun
2001 Tentang Paten, UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, UU Nomor 31
Tahun 2000 Tentang Desain lndustri, menjadi materi muatan RUU Hak Kekayaan
Industri, yaitu sebagai berikut:
a. Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
1) Lingkup Paten
a) Lingkup perlindungan sebaiknya disatukan dalam satu pasal yaitu
mencakup Paten dan Paten Sederhana.
215
b) Invensi yang Tidak Dapat Diberi Paten sebaiknya diatur dalam satu pasal
(tidak dalam Penjelasan) sehingga mencakup semua pengecualian yang
didalamnya memuat kreasi estetika;skema;aturan dan metode untuk
melakukan kegiatan: yang melibatkan kegiatan mental, atau permainan;
dan/atau bisnis, aturan dan metode mengenai program
komputer;presentasi mengenai suatu informasi.
c) Perlindungan diberikan bagi perkembangan invensi yang berkaitan
dengan cara transformasi nuklir
2) Hak dan Kewajiban Pemegang Paten
Mengenai hak dan kewajiban pemegang paten dan hal-hal yang berkaitan
dengan pelaksanaan paten maupun pengecualiannya diatur dalam 1 Pasal
baru.
3) Penetapan Sementara Pengadilan Niaga
Dalam prakteknya Penetapan Sementara Pengadilan Niaga belum dapat
diterapkan sebagaimana mestinya, sebaiknya segera dikeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang mengatur tata-cara dan
prosedur Penetapan Sementara Pengadilan Niaga.
4) Pengecualian
Ketentuan dalam Pasal 135 mengenai pengecualian dari ketentuan pidana,
sebaiknya mencakup pula pengecualian dari tuntutan perdata.
5) Perlu diterbitkannya Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden.
a) Peraturan Pemerintah
(1) Tata cara untuk memperoleh pengakuan pemakai terdahulu;
(2) Permohonan bukti Hak Prioritas dari Menteri dan Permohonan
216
yang diajukan dengan Hak Prioritas;
(3) Tata cara dan syarat-syarat permohonan pemeriksaan substantif.
b) Ketentuan mengenai tata cara permohonan pencatatan perubahan
nama dan/atau alamat.
b. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
1) Merek yang tidak dapat di daftar
Ketentuan mengenai Merek yang Tidak Dapat didaftar ditambahkan ayat
baru yaitu ”dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kwalitas, jenis,
ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman
yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis”
2) Protokol Madrid
Pendaftaran Merek Internasional Berdasarkan Protokol Madrid yang
dapat diajukan oleh pemohon dengan kriteria Pemohon yang memiliki
kewarganegaraan Indonesia; Pemohon yang memiliki domisili atau
tempat kedudukan hukum di Indonesia; Pemohon yang memiliki kegiatan
usaha industri atau komersial yang nyata di Indonesia.
3) Penetapan Sementara Pengadilan
Kiranya harus ditambahkan suatu ketentuan yang mengatur bahwa
permasalahan penetapan sementara ini baru berlaku efektif setelah
adanya ketentuan pelaksana Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang
mengatur mengenai prosedur dan tata cara pengajuan permohonan
tersebut.
217
c. Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2001 Tentang Desain
Industri
1) Desain Industri yang tidak diberikan perlindungan
Perlu ditambahkan ayat baru mengenai Hak Desain Industri tidak
diberikan apabila Desain Industri yang dimohonkan yaitu karena murni
semata-mata karena pertimbangan fungsi atau teknis.
2) Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Permohonan Pendaftaran Hak
Desain Industri dan Permohonan Pendaftaran Internasional perlu diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
3) Penetapan Sementara Pengadilan
Kiranya harus ditambahkan suatu ketentuan yang mengatur bahwa
permasalahan penetapan sementara ini baru berlaku efektif setelah
adanya ketentuan pelaksana Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang
mengatur mengenai prosedur dan tata cara pengajuan permohonan
tersebut.
3. Adapun landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-
Undang Tentang Hak Kekayaan Industri sebagai berikut:
a. Landasan Filosofis
Landasan filosofis perlindungan Hak Kekayaan Industri, yaitu:
1) Pancasila yaitu rechtsidee (cita hukum)
2) Undang-Undang Dasar 1945
3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang Nomor 31
218
Tahubn 2001 Tentang Desain Industri yang merupakan hak eksklusif
diberikan oleh Negara kepada inventor dan/atau pemegang hak, dan
merupakan intangibleasset (benda bergerak) yang disamakan dengan
benda tidak bergerak, karena Paten/Merek/Desain Industri bersertifikat
maka dapat dialihkan haknya, dijual belikan, dihibahkan, dilisensikan dan
lain sebagainya.
b. Landasan Yuridis
1) Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945.
2) Pancasila.
3) Instruksi Presiden No.11 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Komitmen
Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2011 yang
mengamanahkan Kementerian Hukum & HAM bertanggung jawab atas
pengembangan ekonomi khusus di bidang HKI. Tujuannya adalah untuk
mendukung peningkatan iklim investasi dan perdagangan serta
meningkatkan daya saing nasional menuju wilayah ekonomi yang
berdaya saing tinggi.
4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement
Establishing the World Trade Organization atau Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, Lembaran Negara Tahun
1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564.
5) The Paris Convention for the Protection of Industrial Property yang
diratifikasi dengan Keppres No. 15 tahun 1997 tentang Perubahan
Keppres No. 24 tahun 1979.
219
6) Patent Cooperation Treaty yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden
No. 16 Tahun 1997.
7) Trademark Law Treaty yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden No.
17 Tahun 1997.
8) Nice Agreement concerning the International Classification of Goods
and Services for the Purpose of the Registration of Marks.
9) Protocol Relating to the Madrid Agreement Concerning the
International Registration of Mark.
10) Singapore Treaty of the Law of Trademark.
11) The Geneva Act 1999 of the Hague Agreement concerning the
International Registration of Industrial Design.
12) The Locarno Agreement Establishing an International Classification for
Industrial Designs.
13) The Budapest Treaty on the International Recognition of the Deposit of
Microorganism for the Purpose of Patent Procedure.
c. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis perlindungan Hak Kekayaan Industri di bidang Paten,
Merek dan Desain Industri adalah sebagai berikut:
1) Hukum yang responsif yang memaksimalkan potensi sosial melalui hukum
Hak Kekayaan Industri (Paten, Merek dan Desain Industri) yang
memperhatikan pemberdayaan masyarakat dan diterima secara sosial.
2) Melindungi individu atau anggota masyarakat dalam pergaulannya
dengan masyarakat secara umum.
220
3) Di bidang Paten, sebagaimana disepakati dalam deklarasi Doha yang
isinya setiap negara yang sedang mengalami emergensi karena mendapat
wabah penyakit, maka Negara tersebut dapat memperbanyak dan
memproduksi langsung obat untuk mengantisipasi penyakit yang
mengakibatkan wabah tersebut, tanpa sepengetahuan pemegang paten
artinya negara dibenarkan untuk melaksanakan lisensi wajib.
4. Sasaran yang akan diwujudkan dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang
Tentang Hak Kekayaan Industri yaitu:
1) Untuk lebih meningkatkan kepastian hukum di bidang Hak Kekayaan Industri
guna memperlancar dan merealisasikan penegakan hukum di bidang Hak
Kekayaan Intelektual.
2) Untuk meningkatkan iklim investasi dan perdagangan serta meningkatkan
daya saing nasional menuju wilayah ekonomi yang berdaya saing tinggi.
3) Untuk meningkatkan peran ekonomi kreatif dalam rangka mencapai
pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi demi peningkatan kesejahteraan
rakyat.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan saran-saran
sebagai berikut:
1. Perlu dipertimbangkan kembali mengenai rencana penyusunan RUU Hak
Kekayaan Industri yang akan mencakup perubahan dari 3 (tiga) Undang-Undang,
yaitu Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain
Industri karena ruang lingkup Hak Kekayaan Industri juga mencakup Rahasia
Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
221
2. Pengajuan RUU Tentang Hak Kekayaan Industri yang mencakup perubahan atas
Undang-Undang Paten, Undang-Undang Desain Industri, dan Undang-Undang
Merek dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2011 sebaiknya ditinjau ulang dan
dirundingkan kembali antar instansi pemerintah yaitu Ditjen HKI, BPHN dan Ditjen
PP, serta melibatkan Baleg DPR.
3. Dari segi teknik “penamaan” RUU Hak Kekayaan Industri yang berisi paket
perubahan atas Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-
Undang Desain Industri, sebaiknya tidak menggunakan kata “perubahan”
terhadap Undang-Undang Paten, Undang-Undang merek dan Undang-Undang
Desain Industri, melainkan menggunakan Undang-Undang baru yang didalamnya
mencakup Undang-Undang Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang
Desain Industri (sebagai alternatif mengenai “penamaan” RUU Hak Kekayaan
Industri, tetap dapat dipergunakan nomenklatur Hak Kekayaan Industri dengan
menyebutkan satu klausul pada Pasal terakhir, yaitu bahwa Undang-Undang
Paten, Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Desain Industri yang
disatukan dalam satu naskah ini juga dinamakan Undang-Undang Hak Kekayaan
Industri).
4. Terkait dengan Lisensi Wajib di bidang Paten, lisensi di bidang Merek dan Desain
Industri, sebaiknya pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah
tentang tata cara pencatatan perjanjian Lisensi dan Lisensi Wajib di bidang Paten,
Merek dan Desain Industri, Hak Pemakai Terdahulu, Pemohonan dengan Hak
Prioritas dan sebagainya yang sampai saat ini belum diatur.
222
5. Perlu segera diatur Peraturan Pemerintah tentang Tata cara dan Prosedur
Penetapan Sementara Pengadilan Niaga dan juga diterbitkan Peraturan Mahkamah
Agung mengenai tata-cara dan prosedur Penetapan Sementara Pengadilan Niaga.
6. Di bidang Merek, diperlukan langkah-langkah antisipasi sebelum diratifikasinya
Protokol Madrid, Singapore Treaty dan Nice Agreement.
7. Di bidang Industri, diperlukan langkah-langkah antisipasi sebelum diratifikasinya
Geneva Act 1999 of the Hague Agreement concerning the international Registration
of Industrial Design dan Locarno Agreement.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adisumarto, Harsono, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek: Hak Milik
Perindustrian (Industrial Property), Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1990.
Braithwaite, John dan Peter Drahos, Global Business Regulation, New York: Cambridge
University Press, 2000.
Chisum, Donald S, dan Michael A. Jacobs, Understanding Intellectual Property Law, New
York: Matthew Bender & Co., Inc., 1995.
Citrawinda Cita, Hak Kekayaan Intelektual – Tantangan Masa Depan, Jakarta: Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Cooter, Robert, dan Thomas Ulen, Law and Economics, Third Edition, USA: Addison-Wesley,
2000.
D’Amato, Anthony & Doris Estelle Long, International Intellectual Property Law, London:
Kluwer Law International, 1997.
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, Tangerang:
Direktorat Jenderal HKI, 2003.
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman Republik Indonesia
dan JICA, Buku Panduan Tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual, Tangerang:
Direktorat Jenderal HKI,1999.
Djumhana, Muhamad dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Praktiknya
di Indonesia cetakan 3, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
224
Fauza , Ranti Mayana, Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam Era Perdagangan
Bebas, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004.
Friedman, Lawrence M., Legal Culture and the Welfare State: Law and Society-An
Introduction, Cambridge Massachusetts, London: Harvard University Press, 1990.
Friedmann W, Legal Theory, Columbia: Fifthty Edition University Press, 1967.
Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung dalam Perkara HKI, Jakarta: Tatanusa, 2004.
Himpunan Putusan-putusan Pengadilan Niaga dalam Perkara Desain Industri, Jakarta:
Tatanusa, 2005.
Hughes, Justin, The Philosophy of Intellectual Property, 77 Geo. L.J, 1988.
Kansil, Perlindungan Hak Milik Intelektual dan Pengaruhnya terhadap Industri dan
Perdagangan Internasional, Disampaikan dalam Seminar tentang Pengaruh Hak Milik
Intelektual terhadap Industri dan Perdagangan Internasional, di Jakarta, 1993.
Kumpulan Perkara-perkara Desain Industri dari beberapa Praktisi Hukum Tahun 2008.
Kumpulan Putusan-putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Tahun 2008.
Lindsey, Tim ed, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: PT. Alumni, 2005
Michael, Blekeney, Priority Foreign Countries, EIPR, 1996.
Purba, Achmad Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual PascaTRIPs, Bandung: PT. Alumni,
2005.
Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi
Hukumnya di Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2003.
Rasjidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1993.
225
Sherwood, Robert M, Intellectual Property and Economic Development: Westview Special
Studies in Science Technology and Public Policy, San Francisco: Westview Press Inc,
1990.
Sinungan, Ansori, Perlindungan Desain Industri – Tantangan dan Hambatan dalam
Praktiknya di Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2011.
Usman, Rachmadi, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi
Hukumnya di Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2003.
Artikel/Makalah/Jurnal
James E. Inman, “Gray Marketing of Imported Trademarked Goods: Tariff and Trademark
Issues” American Business Law Journal, Volume 31, No. 1 (May 1993).
Soeparman, Andrieansjah, Jenis Permohonan Penilaian Kebaruan dan Penggunaan Hak
Desain Industri di Indonesia, Media HKI Vol. IV No. 5, Oktober 2007.
Agus Riswandi, Budi, Melindungi Desain yang tidak Terdaftar, Majalah Handicraft Indonesia
edisi 40 Tahun VI/Mei, 2007.
Citrawinda Cita, Perlindungan Hak Desain Industri di Indonesia, makalah disampaikan dalam
Seminar Setengah Hari “Hukum Desain Industri di Indonesia: Interpretasi dan
Penegakan Hukumnya, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, 2008.
Cita Citrawinda, Sisi Lemah UU Desain Industri, Majalah Mahkamah, 2008.
Erman Rajagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi
Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia, pidato pada Dies Natalis
Universitas Sumatera Utara ke-44, 2001.
226
Komar, Mieke dan Ahmad M. Ramli, Perlindungan Hak Atas Kepemilikan Intelektual Masa
Kini dan Tantangan Menghadapi Era Globalisasi Abad 21, Makalah disampaikan pada
Seminar Pengembangan Budaya Menghargai HAKI di Indonesia Menghadapi Era
Globalisasi Abad 21, Bandung, 1998.
Tim Kepres, Strategi dan peranan Hukum Hak Milik Intelektual dalam Menyongsong Era
Globalisasi, Panel Diskusi bidang Hukum Hak Milik Intelektual, Jakarta: Dewan
Pimpinan Pusat Golongan Karya, 1992.
Juwana, Hikmahanto, Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
Konvensi, Traktat, Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan lain
Indonesia, Undang-undang Tentang Perubahan UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundangan Nomor 12 Tahun 2011.
Indonesia, Undang-undang Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran
Utang (PKPU) Nomor 37 Tahun 2004
Indonesia, Undang-undang Tentang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002.
Indonesia, Undang-undang Tentang Merek Nomor 15 Tahun 2001.
Indonesia, Undang-undang Tentang Paten Nomor 14 Tahun 2001.
Indonesia, Undang-undang Tentang Desain Industri Nomor 31 Tahun 2000.
Indonesia, Undang-undang Tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization Nomor 7 Tahun 1994.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2005.
227
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 31 Tahun
2000 Tentang Desain Industri.
Keputusan Presiden, Rekapitulasi Bahan Laporan dari Markas Besar Kepolisian Republik
Indonesia selaku Instansi Anggota Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran HKI
kepada Presiden berdasarkan Keppres Nomor 4 Tahun 2006.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Perubahan
Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 Tentang Pengesahan Paris Convention for
the Protection of Industrial Property
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Patent Cooperation
Treaty
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Trademark Law
Treaty
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 Tentang the Berne
Convention for the Protection of Literary and Artistic Works
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs.
The Budapest Treaty on the Recognition of the Deposit for the Purpose of Patent Procedure
The Geneva Act concerning the Hague Agreement concerning the International Deposit of
Industrial Design
The Locarno Agreement Establishing an International Classification for Industrial Designs
The Madrid Protocol concerning the International Registration of Trademarks ………
The Nice Agreement concerning the International Classification of Goods and Services for the
Purpose of the Registration of Marks
WIPO Intellectual Property Reading Material 1995.
228
Internet
Anastasia Bibikova and VadimKotelnikov, Est Versus West: Philosophy, Cultural Values and
Mindset, http;//www.1000ventures.com/business_guide/crosscuttings/cultures_east-
west-phylosophy.
Mufti Taqi Usmani, Copyright According to Syariah: Albalagh News Letter,
http://www.albalagh.net/qa/copyright.shtml, 24 Juli 2008.
Murray Johannsen, The Global Leader: Understanding Eastern & Western Culture and
Business Practices, http://www.legacee.com/Culture/CultureOverview.thml.
1
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN… TENTANG
HAK KEKAYAAN INDUSTRI (PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN
INDUSTRI, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN, DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing dalam lingkup perdagangan nasional dan internasional perlu diciptakan iklim yang mendorong kreasi dan inovasi masyarakat di bidang Paten, Merek dan Desain Industri sebagai bagian dari sistem Hak Kekayaan Intelektual;
b. bahwa kekayaan hayati, budaya dan etnis bangsa Indonesia yang sangat beraneka ragam merupakan sumber daya yang perlu dikelola dan dimanfaatkan bagi pengembangan Hak Kekayaan Industri;
c. bahwa dalam rangka meningkatkan peran industri dalam negeri, perlu didorong peningkatan Hak Kekayaan Industri yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional;
d. bahwa Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Paten, Merek dan Desain Industri;
e. bahwa Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional di bidang Hak Kekayaan Intelektual, perlu melaksanakan ketentuan tersebut secara berkelanjutan dan berkesinambungan di dalam hukum nasional;
f. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan Paten, Merek dan Desain Industri menjadi sangat penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat;
g. bahwa untuk lebih meningkatkan pelayanan dan memberikan kepastian hukum bagi dunia industri, perdagangan, dan investasi dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu peraturan perundang-undangan di bidang Hak Kekayaan Industri yang lebih memadai;
2
h. bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia dan perkembangan hukum internasional sehingga perlu diganti;
i. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut dalam huruf a sampai dengan h, dengan memperhatikan penilaian terhadap segala pengalaman, khususnya kekurangan selama pelaksanaan, serta sudah tidak cukup memadai untuk menampung perkembangan perlindungan Paten, Merek dan Desain Industri saat ini, untuk memudahkan masyarakat memahami, sehingga dipandang perlu mengubah dan menyempurnakan beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dengan Undang-Undang yang baru dalam bentuk satu naskah yaitu Undang-undang Hak Kekayaan Industri.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564);
3. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 2429, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4045);
4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4130);
5. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4131);
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG HAK KEKAYAAN INDUSTRI (PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN, UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DAN
3
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI).
I. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 10 dihapuskan dan ditambahkan dengan ketentuan baru
Pasal 14a, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi.
2. Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.
3. Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi.
4. Permohonan adalah permohonan Paten yang diajukan kepada Menteri. 5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan Paten. 6. Pemegang Paten adalah Inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang
menerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten.
7. Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
8. Pemeriksa adalah seseorang yang karena keahliannya diangkat dengan Keputusan Menteri sebagai pejabat fungsional Pemeriksa Paten dan ditugasi untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
9. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia
10. Ketentuan angka 10 dihapus 11. Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya Permohonan yang telah
memenuhi persyaratan administratif minimum. 12. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang
berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for the protection of Industrial Property atau Agreement Establishing the World
4
Trade Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan di negara asal merupakan Tanggal Prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention tersebut.
13. Lisensi adalah ijin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan Paten yang masih dilindungi.
14. Hari adalah hari kerja. 14a. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di
bidang Hak Kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa pengajuan permohonan dan pengurusan Hak Kekayaan Intelektual, dan diangkat oleh Menteri.
2. Judul Bagian Kesatu pada Bab II disesuaikan dengan tata urutan perundang-
undangan dan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan Pasal 1a, sehingga judul Bagian Kesatu pada Bab II serta keseluruhan Pasal 1a berbunyi sebagai berikut:
BAB II
LINGKUP PATEN
Bagian Kesatu Lingkup Perlindungan
Pasal 1a
Lingkup perlindungan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah a. Paten; dan b. Paten Sederhana.
3. Penyesuaian urutan bagian pada Bagian Kedua, sebagai berikut:
Bagian Kedua
Invensi Yang Dapat Diberi Paten
Pasal 2 Paten diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri.
4. Penambahan paragraf dan judul paragraf, sebagai berikut:
Paragraf 1 Invensi Yang Baru
Pasal 3
(1) Suatu Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, Invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya.
5
(2) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya, sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, penggunaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum:
a. tanggal Penerimaan; atau b. tanggal prioritas.
(3) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih awal daripada Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas Permohonan.
5. Ketentuan Pasal 4 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yaitu menambahkan
ayat 1 huruf b1, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4 (1) Suatu Invensi tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu
paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaan: a. Invensi tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran
internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi atau dalam suatu pameran nasional di Indonesia yang resmi atau diakui sebagai resmi;
b. Invensi tersebut telah digunakan di Indonesia oleh Inventornya dalam rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan; atau
b1. Invensi tersebut telah dipublikasikan di salah satu jurnal ilmiah dan/atau pertemuan ilmiah baik nasional maupun internasional oleh inventor dan/atau Institusinya.
(2) Invensi juga tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebelum Tanggal Penerimaan, ternyata ada pihak lain yang mengumumkan dengan cara melanggar kewajiban untuk menjaga kerahasiaan Invensi tersebut.
6. Penambahan paragraf dan judul paragraf serta diantara Pasal 4 dan Pasal 5
disisipkan Pasal 4A, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
Paragraf 2 Invensi Yang mengandung Langkah Inventif
Pasal 4A
(1) Suatu Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.
(2) Penilaian bahwa suatu Invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat Permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan
6
permohonan pertama dalam hal Permohonan itu diajukan dengan Hak Prioritas.
7. Penambahkan paragraf dan judul paragraf pada Pasal 5, sebagai berikut:
Paragraf 3 Invensi Yang Dapat Diterapkan Dalam Industri
Pasal 5
Suatu Invensi dapat diterapkan dalam industri jika Invensi tersebut dapat dilaksanakan dalam industri sebagaimana yang diuraikan dalam Permohonan.
8. Penambahan judul bagian dan penyempurnaan ketentuan Pasal 6, sehingga
keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
Bagian Ketiga Paten Sederhana
Pasal 6
Paten Sederhana diberikan untuk setiap invensi berupa alat yang baru dan mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, konstruksi, atau komponennya.
9. Ketentuan Pasal 7 diubah dengan menambahkan judul bagian dan menyisipkan
ketentuan baru pada huruf f sampai dengan k, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Bagian Keempat Invensi yang Tidak Dapat Diberi Paten
Pasal 7
Paten tidak diberikan untuk Invensi tentang: a. proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau
pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
b. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;
c. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau d. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik; e. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan,
kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis. f. kreasi estetika; g. skema; h. aturan dan metode untuk melakukan kegiatan:
7
1. yang melibatkan kegiatan mental, atau 2. permainan;dan/atau 3. bisnis.
i. aturan dan metode mengenai program komputer; j. presentasi mengenai suatu informasi; atau k. substansi yang diperoleh dengan cara transformasi nuklir.
10. Perubahan bagian dan judul bagian, sebagai berikut:
Bagian Kelima Jangka Waktu Perlindungan
Pasal 8
(1) Paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang.
(2) Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu Paten dicatat dan diumumkan. 11. Penyesuaian urutan bagian, sebagai berikut:
Bagian Keenam
Subjek Paten
Pasal 10 (1) Yang berhak memperoleh Paten adalah Inventor atau yang menerima lebih
lanjut hak Inventor yang bersangkutan. (2) Jika suatu Invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak
atas Invensi tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh para inventor yang bersangkutan.
12. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 15 (1) Pihak yang melaksanakan suatu Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) hanya dapat diakui sebagai pemakai terdahulu apabila setelah diberikan Paten terhadap Invensi yang sama, ia mengajukan permohonan untuk itu kepada Menteri.
(2) Permohonan pengakuan sebagai pemakai terdahulu wajib disertai bukti bahwa pelaksanaan Invensi tersebut tidak dilakukan dengan menggunakan uraian, gambar, contoh, atau keterangan lainnya dari Invensi yang dimohonkan Paten.
(3) Pengakuan sebagai pemakai terdahulu diberikan oleh Menteri dalam bentuk surat keterangan pemakai terdahulu dengan membayar biaya.
(4) Surat keterangan pemakai terdahulu berakhir pada saat yang bersamaan dengan saat berakhirnya Paten atas Invensi yang sama tersebut.
(5) Tata cara untuk memperoleh pengakuan pemakai terdahulu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Judul Bab IV menjadi “Hak dan Kewajiban Pemegang Paten”, dan ketentuan Pasal 16
diubah dengan menyisipkan ketentuan baru ayat (1a), sehingga judul Bab IV dan
8
keseluruhan Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:
BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG PATEN
Pasal 16
(1) Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya, dalam hal:
a. Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
b. Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(1a) Pelaksanaan Paten-proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk yang dilindungi dalam Paten-produk sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, harus seizin pemegang Paten-produk
(2) Dalam hal Paten-proses, larangan terhadap pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan Paten-proses yang dimilikinya.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (3) apabila pemakaian Paten tersebut untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten.
14. Perubahan judul Bab dan judul Bagian, serta penghapusan ketentuan Pasal 22
dengan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan Pasal 22A dan Pasal 22B, sehingga judul Bagian Kesatu dan keseluruhan Pasal 22A dan Pasal 22B berbunyi sebagai berikut:
BAB V
PERMOHONAN PATEN Bagian Kesatu
Tata Cara dan Syarat Permohonan
Pasal 20 Paten diberikan atas dasar Permohonan. 15. Ketentuan Pasal 22 dihapus
Pasal 22A (1) Permohonan diajukan oleh Pemohon atau Kuasa secara tertulis dalam bahasa
Indonesia kepada Menteri dengan membayar biaya. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
Pemohon atau Kuasa dan dapat disampaikan melalui jasa pos atau secara elektronik.
9
(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas orang atau badan hukum, baik sendiri maupun bersama-sama.
Pasal 22B
(1) Permohonan yang diajukan oleh pemohon secara bersama-sama, harus mencantumkan nama dan alamat para pemohon dan memilih satu alamat sebagai alamat surat menyurat Pemohon.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon yang mewakilkan.
(3) Permohonan yang diajukan melalui kuasa, harus menyertakan surat kuasa yang sudah ditanda tangani oleh pemohon.
(4) Dalam hal Permohonan diajukan oleh Pemohon yang bukan Inventor, Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan surat pernyataan yang membuktikan bahwa yang bersangkutan sebagai Pemohon yang sah.
(5) Inventor dapat meneliti Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang bukan Inventor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan atas biayanya sendiri dapat meminta salinan dokumen Permohonan tersebut.
16. Ketentuan Pasal 24 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yaitu ayat (2), ayat
(3), Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C, sehingga keseluruhan Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24 (1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Menteri (2) Permohonan harus memuat:
a. tanggal, bulan, dan tahun surat Permohonan; b. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Inventor; c. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pemohon; d. nama, dan alamat lengkap Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui
Kuasa; dan e. nama negara, dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali,
dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:
a. judul Invensi; b. deskripsi tentang Invensi, yang secara lengkap memuat keterangan
tentang cara melaksanakan Invensi; c. klaim atau beberapa klaim yang terkandung dalam Invensi; d. abstrak Invensi; e. gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk
memperjelas Invensi; f. surat kuasa, apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; dan g. pernyataan permohonan untuk dapat diberi Paten
10
Pasal 24A Deskripsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b harus mengungkapkan secara cukup jelas dan lengkap tentang bagaimana invensi tersebut dapat dilaksanakan oleh orang yang ahli di bidangnya.
Pasal 24B
Klaim atau beberapa klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf c harus mengungkapkan batasan perlindungan dari invensi yang harus diungkapkan secara jelas, konsisten, dan didukung sepenuhnya oleh deskripsi.
Pasal 24C
Ketentuan lebih lanjut tentang syarat dan tata cara pengajuan permohonan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
17. Ketentuan Pasal 25 diubah dengan menyisipkan ketentuan baru yang dijadikan ayat
(3a), sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
Bagian kedua Konsultan Hak Kekayaan Intelektual
Pasal 25
(1) Permohonan dapat diajukan oleh Pemohon atau Kuasanya (2) Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf d adalah
Konsultan Hak Kekayaan Intelektual yang diangkat Menteri. (3) Terhitung sejak tanggal penerimaan kuasanya, Kuasa wajib menjaga
kerahasiaan Invensi dan seluruh dokumen Permohonan sampai dengan tanggal diumumkannya Permohonan yang bersangkutan.
(3a) Alamat kuasa pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf d menjadi domisili hukum pilihan pemohon di Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah.
18. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 28
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku secara mutatis mutandis terhadap Permohonan yang menggunakan Hak Prioritas.
(2) Menteri dapat meminta agar Permohonan yang diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas tersebut dilengkapi: a. salinan sah surat-surat yang berkaitan dengan hasil pemeriksaan substantif
yang dilakukan terhadap permohonan Paten yang pertama kali di luar negeri;
b. salinan sah dokumen Paten yang telah diberikan sehubungan dengan permohonan Paten yang pertama kali di luar negeri;
c. salinan sah keputusan mengenai penolakan atas permohonan Paten yang pertama kali di luar negeri bilamana permohonan Paten tersebut ditolak;
d. salinan sah keputusan pembatalan Paten yang bersangkutan yang pernah
11
dikeluarkan di luar negeri bilamana Paten tersebut pernah dibatalkan; e. dokumen lain yang diperlukan untuk mempermudah penilaian bahwa
Invensi yang dimintakan Paten memang merupakan Invensi baru dan benar-benar mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri.
(3) Penyampaian salinan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disertai tambahan penjelasan secara terpisah oleh Pemohon
19. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan bukti Hak Prioritas dari Menteri dan Permohonan yang diajukan dengan Hak Prioritas diatur dengan Peraturan Pemerintah.
20. Perubahan judul bagian, serta penyisipan ketentuan baru pada ayat (2), sehingga
keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
Bagian Keempat Tanggal Penerimaan Permohonan
Pasal 30
(1) Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum diberikan Tanggal Penerimaan oleh Menteri.
(2) Persyaratan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Data Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); b. Judul, deskripsi, klaim, abstrak, dan gambar jika ada sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3); dan c. Bukti pembayaran biaya Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22A ayat (1). (3) Dalam hal deskripsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b ditulis dalam
bahasa Inggris, deskripsi tersebut harus dilengkapi dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan harus disampaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Tanggal Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Apabila terjemahan dalam bahasa Indonesia tidak diserahkan dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali.
21. Ketentuan Pasal 31 diubah dengan menyesuaikan ayat rujukannya dan perubahan
“Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” serta menyisipkan ketentuan baru Pasal 31A, sehingga keseluruhan Pasal 31 dan Pasal 31A berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31
Dalam hal terdapat kekurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 30 ayat (3), Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya seluruh persyaratan minimum tersebut oleh Menteri..
12
Pasal 31A Permohonan yang dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) dapat diajukan lagi tanpa memperluas lingkup invensinya paling lambat 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal surat penarikan kembali yang dikeluarkan Menteri dengan membayar biaya.
22. Ketentuan Pasal 32 ayat (1) diubah dengan menyempurnakan pasal-pasal
rujukannya dan perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sehingga keseluruhan Pasal 32 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
(1) Apabila ternyata terdapat kekurangan dalam pemenuhan syarat-syarat dan kelengkapan Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A, Pasal 22B, dan Pasal 24, Menteri memberitahukan kepada Pemohon atau Kuasanya agar kekurangan tersebut dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman permintaan pemenuhan seluruh persyaratan tersebut.
(2) Berdasarkan alasan yang disetujui oleh Direktorat Jenderal, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 2 (dua) bulan atas permintaan Pemohon.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya jangka waktu tersebut dengan ketentuan bahwa Pemohon dikenai biaya.
23. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 33
Apabila seluruh persyaratan dengan batas jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak dipenuhi, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon bahwa Permohonan dianggap ditarik kembali.
24. Judul Bagian Kelima diubah, sebagai berikut:
Bagian Kelima Amandemen, Divisional, dan Pengubahan
25. Penambahan paragraf dan judul paragraf, sebagai berikut:
Paragraf 1 Amandemen
26. Penambahan paragraf dan judul paragraf serta penyisipan ayat baru yaitu ayat (2)
dan penyesuaian pasal rujukan sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
13
Paragraf 2 Divisional Pasal 36
(1) Jika suatu Permohonan terdiri atas beberapa Invensi yang tidak merupakan satu kesatuan Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pemohon dapat mengajukan divisional Permohonan.
(2) Divisional permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk permohonan Paten Sederhana.
(3) Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan secara terpisah dalam satu Permohonan atau lebih dengan ketentuan bahwa lingkup perlindungan yang dimohonkan dalam setiap Permohonan tersebut tidak memperluas lingkup perlindungan yang telah diajukan dalam Permohonan semula.
(4) Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan paling lama sebelum Permohonan semula tersebut diberi keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 atau Pasal 56.
(5) Permohonan divisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 30, dianggap diajukan pada tanggal yang sama dengan Tanggal Penerimaan semula.
(6) Dalam hal Pemohon tidak mengajukan Permohonan divisional dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pemeriksaan substantif atas Permohonan hanya dilakukan terhadap Invensi sebagaimana dinyatakan dalam urutan klaim yang pertama dalam Permohonan semula.
27. Penambahan paragraf dan judul paragraf serta penyisipan ayat baru, yaitu ayat
(1a), sebagai berikut:
Paragraf 3 Pengubahan
Pasal 37
(1) Permohonan dapat diubah dari Paten menjadi Paten Sederhana atau sebaliknya oleh Pemohon dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(1a) Pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan sebelum mulai dilakukannya pemeriksaan substantif.
28. Ketentuan Pasal 38 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyi sebagai
berikut: Pasal 38
Ketentuan lebih lanjut mengenai amandemen, divisonal, dan pengubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 diatur dengan Peraturan Pemerintah
29. Penyempurnaan judul Bagian dan perubahan ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat
(2) dengan mengubah “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” serta mengubah
14
“Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah”, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
Bagian Keenam
Penarikan Kembali dan Perbaikan Permohonan
Pasal 39 (1) Penarikan kembali Permohonan dapat diajukan secara tertulis kepada Menteri
oleh Pemohon atau Kuasanya selama Permohonan tersebut belum mendapat keputusan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penarikan kembali permohonan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
30. Diantara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan ketentuan baru, yaitu Pasal 39A, sebagai
berikut: Pasal 39A
(1) Pemohon dapat mengajukan perbaikan atau perubahan terhadap data Pemohon dengan membayar biaya.
(2) Perbaikan atau perubahan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
31. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Bagian Ketujuh
Larangan Mengajukan Permohonan dan Kewajiban Menjaga Kerahasiaan
Pasal 40 Selama masih terikat dinas aktif hingga selama satu tahun sesudah pensiun atau sesudah berhenti karena alasan apa pun, pegawai atau orang yang karena tugas pokok dan fungsinya bekerja untuk dan atas nama Menteri, dilarang mengajukan Permohonan, memperoleh Paten, atau dengan cara apa pun memperoleh hak atau memegang hak yang berkaitan dengan Paten, kecuali apabila pemilikan Paten itu diperoleh karena pewarisan.
32. Penyesuaian judul Bab dan judul Bagian serta perubahan “Pengumuman” menjadi
“Publikasi”, sebagai berikut:
BAB IV PUBLIKASI DAN PEMERIKSAAN SUBSTANTIF
Bagian Pertama
Publikasi Permohonan
33. Perubahan ”Direktorat Jenderal” menjadi ”Menteri” serta perubahan ”Pengumuman” menjadi Publikasi”, sebagai berikut:
15
Pasal 42 (1) Menteri mempublikasikan Permohonan yang telah memenuhi ketentuan
Pasal 4. (2) Publikasi dilakukan:
a. dalam hal Paten, segera setelah 18 (delapan belas) bulan sejak Tanggal Penerimaan atau segera setelah 18 (delapan belas) bulan sejak tanggal prioritas apabila Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; atau
b. dalam hal Paten Sederhana, segera setelah 3 (tiga) bulan sejak Tanggal Penerimaan.
(3) Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan lebih
awal atas pemintaan Pemohon dengan dikenai biaya. (3a) Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan 6 (enam) bulan
setelah pengajuan permintaan percepatan publikasi. 34. Perubahan ”Direktorat Jenderal” menjadi ”Menteri” serta perubahan
”Pengumuman” menjadi Publikasi”, sebagai berikut:
Pasal 43 (1) Publikasi dilakukan dengan :
a. menempatkannya dalam Berita Resmi Paten yang diterbitkan secara berkala oleh Menteri; dan/atau
b. menempatkannya pada media khusus yang disediakan oleh Menteri yang dengan mudah serta jelas dapat dilihat oleh masyarakat.
(2) Tanggal mulai dipublikasikannya Permohonan dicatat oleh Menteri.
35. Perubahan ”Pengumuman” menjadi ”Publikasi”, sebagai berikut:
Pasal 44 (1) Publikasi dilaksanakan selama :
a. 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal dipublikasikannya Permohonan Paten;
b. 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dipublikasikannya Permohonan Paten Sederhana.
(2) Publikasi dilakukan dengan mencantumkan: a. nama dan kewarganegaraan Inventor; b. nama dan alamat lengkap Pemohon dan Kuasa apabila Permohonan
diajukan melalui Kuasa; c. judul Invensi; d. Tanggal Penerimaan; dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas,
tanggal prioritas, nomor, dan negara tempat Permohonan yang pertama kali diajukan;
e. abstrak; f. klasifikasi Invensi; g. gambar, jika ada; h. nomor pengumuman; dan i. nomor Permohonan.
16
36. Diantara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan ketentuan baru, yaitu Pasal 45A dan Pasal
45B, sebagai berikut:
Pasal 45A Pemohon berhak mengajukan tanggapan dan/atau penjelasan secara tertulis terhadap pandangan dan/atau keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) kepada Menteri.
Pasal 45B
Menteri menggunakan pandangan dan/atau keberatan, tanggapan, dan/atau penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 45A sebagai tambahan bahan pertimbangan dalam tahap pemeriksaan substantif.
37. Ketentuan Pasal 46 dihapus. 38. Ketentuan Pasal 47 dihapus. 39. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” serta perubahan “Keputusan
Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah”, sebagai berikut: Pasal 48
(1) Permohonan pemeriksaan substantif diajukan secara tertulis kepada Menteri dengan dikenai biaya.
(2) Tata cara dan syarat-syarat permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
40. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 49
(1) Permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) diajukan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan.
(2) Apabila permohonan pemeriksaan substantif tidak diajukan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau biaya untuk itu tidak dibayar, Permohonan dianggap ditarik kembali.
(3) Menteri memberitahukan secara tertulis Permohonan yang dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemohon atau Kuasanya.
(4) Apabila permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu publikasi yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), pemeriksaan itu dilakukan setelah berakhirnya jangka waktu publikasi.
(5) Apabila permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan setelah berakhirnya jangka waktu publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), pemeriksaan substantif dilakukan setelah tanggal diterimanya permohonan pemeriksaan substantif tersebut.
41. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
17
Pasal 50 (1) Untuk keperluan pemeriksaan substantif, Menteri dapat meminta bantuan ahli
dan/atau menggunakan fasilitas yang diperlukan dari instansi Pemerintah terkait atau Pemeriksa Paten dari kantor Paten negara lain.
(2) Penggunaan bantuan ahli, fasilitas, atau Pemeriksa Paten dari kantor Paten negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan dengan memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41.
42. Ketentuan Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) dihapus dan diantara Pasal 51 dan Pasal 52
disisipkan Pasal 51A, sebagai berikut:
Pasal 51 (1) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa. (2) Dihapus (3) Dihapus
Pasal 51A Pemeriksaan substantif dilaksanakan berdasarkan pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 35, Pasal 37 dan Pasal 52.
43. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 52
(1) Dalam hal Invensi yang dimintakan Paten terdapat ketidakjelasan atau kekurangan lain yang dinilai penting, Menteri memberitahukan secara tertulis adanya ketidakjelasan atau kekurangan tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya guna meminta tanggapan atau kelengkapan atas kekurangan tersebut.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus jelas dan rinci serta mencantumkan hal yang dinilai tidak jelas atau kekurangan lain yang dinilai penting dengan disertai alasan dan acuan yang digunakan dalam pemeriksaan substantif, berikut jangka waktu pemenuhannya.
44. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 53 Dalam hal setelah pemberitahuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) Pemohon tidak memberikan tanggapan, atau tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, atau tidak melakukan perbaikan terhadap Permohonan yang telah diajukannya dalam waktu yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali dan diberitahukan secara tertulis kepada Pemohon.
45. Perubahan ”Direktorat Jenderal” menjadi ”Menteri”, sebagi berikut:
18
Bagian Ketiga Persetujuan atau Penolakan Permohonan
Pasal 54
Menteri berkewajiban memberikan keputusan untuk menyetujui atau menolak Permohonan:
a. Paten, paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat permohonan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 atau terhitung sejak berakhirnya jangka waktu publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf a apabila permohonan pemeriksaan itu diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu publikasi tersebut.
b. Paten Sederhana, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak Tanggal Penerimaan.
46. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 55 (1) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa
menyimpulkan bahwa Invensi tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, dan ketentuan lain dalam Undang-undang ini, Menteri memberikan Sertifikat Paten kepada Pemohon atau Kuasanya.
(2) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa menyimpulkan bahwa Invensi tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, dan ketentuan lain dalam Undang-undang ini, Menteri memberikan Sertifikat Paten Sederhana kepada Pemohon atau Kuasanya.
(3) Paten yang telah diberikan dicatat dan diumumkan, kecuali Paten yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan Negara.
(4) Menteri dapat memberikan salinan dokumen Paten kepada pihak yang memerlukannya dengan membayar biaya, kecuali Paten yang tidak diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.
47. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Paragraf 2 Penolakan Permohonan
Pasal 56
(1) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilaporkan oleh Pemeriksa menunjukkan bahwa Invensi yang dimohonkan Paten tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 35, Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (2), atau yang dikecualikan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7, Menteri menolak Permohonan tersebut dan memberitahukan penolakan itu secara tertulis kepada Pemohon atau
19
Kuasanya. (2) Menteri juga dapat menolak Permohonan yang dipecah jika pemecahan
tersebut memperluas lingkup Invensi atau diajukan setelah lewat batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (3).
(3) Apabila hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh Pemeriksa menunjukkan bahwa Invensi yang dimohonkan Paten tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2), Menteri menolak sebagian dari Permohonan tersebut dan memberitahukannya secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya.
(4) Surat pemberitahuan penolakan Permohonan harus dengan jelas mencantumkan alasan dan pertimbangan yang menjadi dasar penolakan.
48. Diantara Pasal 56 dan Pasal 57 disisipkan ketentuan baru yaitu Pasal 56A, sebagai
berikut:
Pasal 56A Dalam hal Permohonan ditolak, segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali.
49. Diantara Bagian Ketiga dan Bagian Keempat disisipkan Bagian baru yaitu Bagian Ketiga A, Bagian Ketiga B dan Bagian Ketiga C dengan judul-judul baru berikut pasal-pasalnya, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
Bagian Ketiga A Sertifikat Paten
Pasal 57
(1) Sertifikat Paten merupakan bukti hak atas Paten. (2) Surat penolakan dicatat oleh Menteri. (3) Sertifikat Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lama 3
(tiga) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan Dapat Diberi Paten. (4) Hak atas Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan
invensi yang diuraikan dalam klaim.
Bagian Ketiga B Perbaikan Sertifikat
Pasal 58A
(1) Pemegang Paten atau Kuasanya dapat mengajukan permohonan perbaikan secara tertulis kepada Menteri dalam hal terdapat kesalahan Sertifikat Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1).
(2) Permohonan perbaikan kesalahan sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk perbaikan data bibliografi dan bukan untuk perbaikan deskripsi dan/atau klaim.
20
(3) Dalam hal kesalahan sertifikat Paten merupakan kesalahan Pemohon, permohonan perbaikan sertifikat Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai biaya.
Bagian Ketiga C
Perubahan Nama dan/atau Alamat Pemegang Paten
Pasal 59A (1) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat Pemegang Paten
dapat diajukan kepada Menteri dengan dikenai biaya untuk dicatat dalam Daftar Umum Paten dengan disertai salinan yang sah mengenai bukti perubahan tersebut.
(2) Perubahan nama dan/atau alamat Pemegang Paten dicatat oleh Menteri dan dipublikasikan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
49. Penyempurnaan judul Bagian dan perubahan ketentuan Pasal 60, sehingga keseluruhanya berbunyi sebagai berikut:
Bagian Keempat
Permohonan Banding Dan Majelis Banding
Pasal 60 (1) Permohonan banding dapat diajukan terhadap:
a. penolakan Permohonan yang berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49 atau Pasal 50;
b. perbaikan deskripsi dan klaim paten yang sudah diberikan. c. pembatalan paten yang pemberiannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 31,
Pasal 42, Pasal 49, Pasal 51 atau dapat dikategorikan termasuk dalam Pasal 36.
d. pembatalan paten sederhana yang pemberiannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 32, Pasal 35, Pasal 42, Pasal 51, Pasal 65 atau dapat dikategorikan termasuk dalam Pasal 36 huruf a.
(2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Majelis Banding Paten dengan tembusan yang disampaikan kepada Menteri dengan dikenai biaya.
(3) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan serta alasannya terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil pemeriksaan substantif.
(4) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau huruf c harus diajukan dengan menguraikan
(5) secara lengkap keberatan serta alasannya yang disertai dengan bukti yang cukup.
21
(6) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak merupakan alasan atau penjelasan baru sehingga memperluas lingkup Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 atau Pasal 50 ayat (3).
50. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 61 (1) Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a
harus diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan penolakan atau penarikan kembali permohonan.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b harus diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan sertifikat.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat tanpa adanya permohonan banding, maka penolakan atau penarikan kembali permohonan dianggap diterima oleh Pemohon.
(4) Dalam hal penolakan permohonan telah dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mencatat dan mempublikasikannya.
51. Diantara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan Pasal 61A, sebagai berikut:
Pasal 61A (1) Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf c
dapat diajukan paling lama 6 bulan sejak tanggal surat pemberitahuan persetujuan pemberian paten.
(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, permohonan pembatalan Paten hanya dapat dilakukan dalam bentuk Gugatan melalui Pengadilan Niaga.
52. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan ”Komisi Banding” menjadi “Majelis Banding”, sebagai berikut:
Pasal 62
(1) Permohonan banding mulai diperiksa oleh Majelis Banding paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerimaan permohonan banding.
(2) Keputusan Majelis Banding ditetapkan paling lama 9 (sembilan) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal Majelis Banding menerima dan menyetujui permohonan banding, Menteri wajib melaksanakan keputusan Majelis Banding.
(4) Dalam hal Majelis Banding menolak permohonan banding, pemohon atau Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas keputusan tersebut ke Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan tersebut.
(5) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hanya dapat diajukan kasasi.
22
53. Perubahan “Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Pemerintah, sebagai berikut:
Pasal 63
Tata cara permohonan, pemeriksaan, serta penyelesaian banding diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
54. Judul Bagian Kelima menjadi “Majelis Banding Paten” dengan ketentuan Pasal 64
diubah, sehingga judul bagian Kelima dan keseluruhan Pasal 64 berbunyi sebagai berikut:
Bagian Kelima Majelis Banding Paten
Pasal 64
(1) Majelis Banding Paten adalah badan khusus yang independen dan berada di lingkungan kementerian yang membidangi Hak Kekayaan Intelektual. Majelis Banding Paten terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan
(2) anggota yang terdiri atas beberapa ahli di bidang yang diperlukan serta Pemeriksa senior.
(3) Anggota Majelis Banding Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.
(4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding Paten.
(5) Untuk memeriksa permohonan banding, Majelis Banding Paten membentuk majelis yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, satu di antaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
55. Perubahan “Komisi Banding” menjadi “Majelis Banding”, sebagai berikut:
Pasal 65
Susunan organisasi, tugas dan fungsi Majelis Banding Paten diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
56. Judul Bab V menjadi “Pengalihan Hak” dengan ketentuan Pasal 66 diubah, sehingga judul Bab V dan keseluruhan Pasal 66 berbunyi sebagai berikut:
BAB V
PENGALIHAN HAK
23
Pasal 66 (1) Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena:
a. pewarisan; b. hibah; c. wasiat; d. wakaf; e. perjanjian tertulis; atau f. sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, harus disertai dokumen asli Paten berikut hak lain yang berkaitan dengan Paten itu.
(3) Segala bentuk pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatat dan dipublikasikan dengan dikenai biaya.
(4) Pengalihan Paten yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal ini tidak sah dan batal demi hukum.
(5) Syarat dan tata cara pencatatan pengalihan Paten diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
57. Diantara Bab V dan Bab VI disisipkan Bab baru, yaitu Bab VA dengan judul baru dan
perubahan judul Bagian Kesatu menjadi “Lisensi dan Lisensi-Wajib” dengan ketentuan Pasal 71 diubah, sehingga judul Bab VA dan keseluruhan Pasal 71 berbunyi sebagai berikut:
BAB VA LISENSI DAN LISENSI-WAJIB
Bagian Kesatu
Lisensi
58. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 71 (1) Perjanjian Lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun tidak
langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan Invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya.
(2) Permohonan pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditolak oleh Menteri.
59. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 72 (1) Perjanjian Lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya. (2) Dalam hal perjanjian Lisensi tidak dicatat oleh Menteri sebagaimana
24
dimaksud pada ayat (1), perjanjian Lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.
60. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Bagian Kedua Lisensi-Wajib
Pasal 74
Lisensi-wajib merupakan Lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Menteri atas dasar permohonan.
61. Ketentuan Pasal 75 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 75 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 75 (1) Setiap pihak dapat mengajukan permohonan lisensi-wajib kepada Menteri
dengan alasan Paten tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia setelah lewat jangka waktu:
a. 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberian Paten; atau
b. 48 (empat puluh delapan) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan. (2) Permohonan lisensi-wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan dengan alasan bahwa Paten yang bersangkutan tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh Pemegang Paten.
(3) Permohonan lisensi-wajib dapat pula diajukan setiap saat setelah Paten diberikan atas alasan bahwa Paten telah dilaksanakan oleh Pemegang Paten atau Penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat.
62. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 76 (1) Selain kebenaran alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2),
lisensi-wajib hanya dapat diberikan apabila : a. Pemohon dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan bahwa ia :
1. mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri Paten yang bersangkutan secara penuh;
2. mempunyai sendiri fasilitas untuk melaksanakan Paten yang bersangkutan dengan secepatnya; dan
3. telah berusaha mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu yang cukup untuk mendapatkan lisensi dari Pemegang Paten atas dasar persyaratan dan kondisi yang wajar, tetapi tidak memperoleh hasil; dan
b. Menteri berpendapat bahwa Paten tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia dalam skala ekonomi yang layak dan dapat memberikan manfaat kepada sebagian besar masyarakat.
25
(2) Lisensi-wajib diberikan untuk jangka waktu yang tidak lebih lama daripada
jangka waktu perlindungan Paten. (3) Pemeriksaan atas permohonan lisensi-wajib dilakukan oleh Menteri dengan
mendengarkan pula pendapat dari instansi dan pihak-pihak terkait, serta Pemegang Paten bersangkutan.
63. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 77 Apabila berdasarkan bukti serta pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 Menteri memperoleh keyakinan bahwa jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) belum cukup bagi Pemegang Paten untuk melaksanakannya secara komersial di Indonesia atau dalam lingkup wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Menteri dapat menunda keputusan pemberian lisensi-wajib tersebut untuk sementara waktu atau menolaknya.
64. Diantara Pasal 77 dan Pasal 78 disisipkan Pasal 77A, sebagai berikut:
Pasal 77A
(1) Berdasarkan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) dan (3) Menteri dapat menunda sementara waktu pemberian lisensi-wajib atau menolaknya apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1), bagi Pemegang Paten belum cukup untuk melaksanakan secara komersial di Indonesia atau di wilayah regional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau Pasal 62 ayat (2).
(2) Pemberian atau penolakan permohonan lisensi-wajib sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan lisensi-wajib.
(3) Terhadap keputusan pemberian atau penolakan permohonan lisensi-wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Pusat atau Pengadilan lain yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan tersebut.
65. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 78
(1) Pelaksanaan lisensi-wajib disertai pembayaran royalti oleh penerima lisensi-wajib kepada Pemegang Paten.
(2) Besarnya royalti yang harus dibayarkan dan cara pemberiannya ditetapkan oleh Menteri.
(3) Penetapan besaran royalti dilakukan dengan memperhatikan tata cara yang lazim digunakan dalam perjanjian Lisensi atau perjanjian lain yang sejenis.
66. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
26
Pasal 79 Keputusan Menteri mengenai pemberian lisensi-wajib, memuat hal-hal:
a. lisensi-wajib bersifat non-eksklusif; b. alasan pemberian lisensi-wajib; c. bukti, termasuk keterangan atau penjelasan yang diyakini untuk dijadikan
dasar pemberian lisensi-wajib; d. jangka waktu lisensi-wajib; e. besaran royalti yang harus dibayarkan penerima lisensi-wajib kepada
Pemegang Paten dan cara pemberiannya; f. syarat berakhirnya lisensi-wajib dan hal yang dapat membatalkannya; g. lisensi-wajib terutama digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar di dalam
negeri; dan h. lain-lain yang diperlukan untuk menjaga kepentingan para pihak yang
bersangkutan secara adil. 67. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 80
(1) Menteri. mencatat dan mempublikasikan pemberian lisensi-wajib. (2) Pelaksanaan lisensi-wajib merupakan pelaksanaan Paten.
68. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 81 Keputusan pemberian lisensi-wajib dilakukan oleh Menteri paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak diajukannya permohonan lisensi-wajib yang bersangkutan.
69. Ketentuan Pasal 82 dihapus. 70. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” sebagai berikut:
Pasal 83 (1) Atas permohonan Pemegang Paten, Menteri dapat membatalkan keputusan
pemberian Lisensi-wajib sebagaimana dimaksud dalam Bab VA Bagian Kedua Undang-Undang ini apabila :
a. alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian Lisensi-wajib tidak ada lagi; b. penerima Lisensi-wajib ternyata tidak melaksanakan Lisensi-wajib tersebut
atau tidak melakukan usaha persiapan yangvsepantasnya untuk segera melaksanakannya;
b. penerima Lisensi-wajib tidak lagi menaati syarat dan ketentuan lainnya termasuk pembayaran royalti yang ditetapkan dalam pemberian Lisensi-wajib.
(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada penerima Lisensi-wajib dan dicatat serta dipublikasikan.
27
72. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan
“mengumumkan” menjadi “mempublikasikan”, sebagai berikut:
Pasal 84
(1) Dalam hal Lisensi-wajib berakhir karena selesainya jangka waktu yang ditetapkan atau karena pembatalan, penerima Lisensi-wajib menyerahkan kembali Lisensi yang diperolehnya.
(2) Menteri mencatat dan mempublikasikan Lisensi-wajib yang telah berakhir. 73. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan “diumumkan”
menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut:
Pasal 86 (1) Lisensi-wajib tidak dapat dialihkan, kecuali karena pewarisan. (2) Lisensi-wajib yang beralih karena pewarisan tetap terikat oleh syarat
pemberiannya dan ketentuan lain terutama mengenai jangka waktu, dan harus dilaporkan kepada Menteri untuk dicatat dan dipublikasikan.
74. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan “diumumkan”
menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut:
Pasal 89 (1) Paten yang batal demi hukum diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada
Pemegang Paten serta penerima Lisensi dan mulai berlaku sejak tanggal pemberitahuan tersebut.
(2) Paten yang dinyatakan batal dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dicatat dan dipublikasikan.
75. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan “diumumkan”
menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut:
Bagian Kedua Batal atas Permohonan Pemegang Paten
Pasal 90
(1) Paten dapat dibatalkan oleh Menteri untuk seluruh atau sebagian atas permohonan Pemegang Paten yang diajukan secara tertulis kepada Menteri.
(2) Pembatalan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan jika penerima Lisensi tidak memberikan persetujuan secara tertulis yang dilampirkan pada permohonan pembatalan tersebut.
(3) Keputusan pembatalan Paten diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada penerima Lisensi.
(4) Keputusan pembatalan Paten karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan dipublikasikan.
28
(5) Pembatalan Paten berlaku sejak tanggal ditetapkannya keputusan Menteri mengenai pembatalan tesebut.
.76. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan “mengumumkan” menjadi “mempublikasikan, sebagai berikut:
Pasal 93
(1) Isi putusan Pengadilan Niaga tentang pembatalan Paten disampaikan ke Menteri paling lama 14 (empat belas) hari sejak putusan diucapkan.
(2) Menteri mencatat dan mempublikasikan putusan tentang pembatalan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
77. Ketentuan Pasal 96 diubah dengan menambahkan ayat (2), sehingga keseluruhan
Pasal 96 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 96 (1) Kecuali jika ditentukan lain dalam putusan Pengadilan Niaga, Paten batal untuk
seluruh atau sebagian sejak tanggal putusan pembatalan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal pembatalan sebagian klaim atau dalam hal Pengadilan Niaga membatalkan sebagian klaim atas Paten, klaim tersebut disesuaikan dengan tidak memperluas ruang lingkup klaim tersebut.
78. Ketentuan Pasal 99 diubah dengan menambahkan ayat (2) dan ayat (3), sehingga
keseluruhan Pasal 99 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 99 (1) Dalam hal Pemerintah berpendapat bahwa suatu Paten di Indonesia sangat
penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah dapat melaksanakan sendiri Paten yang bersangkutan.
(2) Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu Paten dalam hal menyangkut Pertahanan Keamanan Negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah Presiden mendengarkan pertimbangan Menteri dan Menteri atau pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang terkait.
(3) Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu Paten dalam hal kebutuhan yang sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendengarkan pertimbangan berdasarkan usulan menteri atau pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang terkait.
79. Ketentuan Pasal 100 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 100 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 100 (1) Ketentuan Pasal 99 berlaku secara mutatis mutandis bagi Invensi yang
dimohonkan Paten, tetapi tidak diumumkan karena pengumuman Invensi tersebut diperkirakan akan dapat mengganggu atau bertentangan dengan kepentingan pertahanan keamanan Negara.
29
(2) Dalam hal Pemerintah tidak atau belum bermaksud untuk melaksanakan sendiri Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan Paten serupa itu hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Pemerintah.
(3) Pemegang Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebaskan dari kewajiban pembayaran biaya tahunan sampai dengan Paten tersebut dapat dilaksanakan.
80. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri” dan perubahan “diumumkan”
menjadi “dipublikasikan”, sebagai berikut:
Pasal 106 (1) Paten Sederhana yang diberikan oleh Menteri dicatat dan dipublikasikan. (2) Sebagai bukti hak, kepada Pemegang Paten Sederhana diberikan Sertifikat Paten
Sederhana. 81. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
BAB IX
ADMINISTRASI PATEN
Pasal 110 Penyelenggaraan administrasi Paten sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dilaksanakan oleh Menteri dengan memperhatikan kewenangan instansi lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
82. Ketentuan Pasal 111 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 111 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 111 (1) Menteri menyelenggarakan dokumentasi dan pelayanan informasi Paten
dengan membentuk suatu sistem dokumentasi dan jaringan informasi Paten yang bersifat nasional sehingga mampu menyediakan informasi seluas mungkin kepada masyarakat mengenai teknologi yang diberi Paten.
(2) Menteri menetapkan untuk tidak menyediakan informasi Paten kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila informasi tersebut berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara, ketertiban umum, dan moralitas.
83. Ketentuan Pasal 113 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 113 berbunyi sebagai
berikut: BAB X
B I A Y A
Pasal 113 (1) Semua biaya yang wajib dibayar dalam Undang-Undang ini ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, jangka waktu, dan tata cara
30
pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Institusi pengelola Hak Kekayaan Intelektual dengan persetujuan Menteri dan Menteri Keuangan dapat menggunakan penerimaan yang berasal dari biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan peraturan perundang-undangan.
84. Ketentuan Pasal 115 ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 115 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 115 (1) Dalam hal selama 3 (tiga) tahun berturut-turut Pemegang Paten tidak
membayar biaya tahunan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 dan Pasal 114, Paten dinyatakan batal demi hukum terhitung sejak tanggal akhir batas waktu kewajiban pembayaran untuk tahun ketiga tersebut.
(2) Dalam hal kewajiban pembayaran biaya tahunan tersebut berkaitan dengan kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun kedelapan belas dan untuk tahun-tahun berikutnya tidak dipenuhi, Paten dianggap batal demi hukum pada akhir batas waktu kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun tersebut.
(3) Batalnya Paten karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dicatat dan dipublikasikan
85. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 116 (1) Kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) dan Pasal
115 ayat (2), atas keterlambatan pembayaran biaya tahunan dari batas waktu yang ditentukan dalam Undang-undang ini dikenai biaya tambahan sebesar 2,5% (dua setengah perseratus) untuk setiap bulan dari biaya tahunan pada tahun keterlambatan.
(2) Keterlambatan pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada Pemegang Paten yang bersangkutan paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewat batas waktu yang ditentukan.
(3) Tidak diterimanya surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh yang bersangkutan tidak mengurangi berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
86. Diantara Pasal 116 dan Pasal 117 disisipkan Pasal 116A, sebagai berikut:
Pasal 116A Segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri sesuai dengan tata cara ketentuan perundang-undangan, tidak dapat ditarik kembali.
31
87. Ketentuan Pasal 117 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 117 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 117 (1) Dalam hal suatu Paten diberikan kepada pihak lain selain dari yang berhak
berdasarkan Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, pihak yang berhak atas Paten tersebut dapat menggugat kepada Pengadilan Niaga.
(2) Hak menggugat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku surut sejak Tanggal Penerimaan.
(3) Pemberitahuan isi putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada para pihak oleh Pengadilan Niaga paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan.
(4) Isi putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat dan dipublikasikan oleh Menteri.
88. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 118 (1) Pemegang Paten atau penerima Lisensi berhak mengajukan gugatan ganti rugi
kepada Pengadilan Niaga setempat terhadap siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
(2) Gugatan ganti rugi yang diajukan terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diterima apabila produk atau proses itu terbukti dibuat dengan menggunakan Invensi yang telah diberi Paten.
(3) Salinan putusan Pengadilan Niaga tentang gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal putusan diucapkan untuk dicatat dan dipublikasikan
89. Perubahan “Direktorat Jenderal” menjadi “Menteri”, sebagai berikut:
Pasal 123 (1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 diajukan paling
lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan kepada panitera yang telah memutus gugatan tersebut.
(2) Panitera mendaftarkan permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran.
(3) Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal permohonan kasasi didaftarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pihak termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan.
(5) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera
32
paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan panitera wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah kontra memori diterimanya.
(6) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi dan/atau kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewatnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.
(8) Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.
(9) Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.
(10) Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
(11) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi kepada panitera paling lama 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan.
(12) Juru sita wajib menyampaikan salinan putusan kasasi sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima.
(13) Isi putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (11) disampaikan pula kepada Menteri paling lama 2 (dua) hari sejak isi putusan kasasi diterima oleh Pengadilan Niaga untuk dicatat dan diumumkan.
90. Diantara Pasal 125 dan Pasal 126 disisipkan ketentuan baru yaitu Pasal 125A, sehingga
keseluruhan Pasal 125A berbunyi sebagai berikut:
Pasal 125A (1) Permohonan penetapan sementara diajukan secara tertulis kepada
Pengadilan Niaga dengan persyaratan sebagai berikut: a. melampirkan bukti kepemilikan Paten; b. melampirkan bukti adanya penunjuk awal yang kuat atas terjadinya
pelanggaran paten; c. menyampaikan keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau
dokumen yang diminta, dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk keperluan pembuktian;
d. menyampaikan pernyataan adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga melakukan pelanggaran Paten akan dapat dengan mudah menghilangkan barang bukti; dan
e. membayar jaminan berupa uang tunai dan/atau jaminan bank (2) Dalam hal surat penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33
125 telah dilaksanakan, Pengadilan Niaga segera memberitahukan kepada pihak yang dikenai tindakan dan memberikan kesempatan kepada pihak tersebut untuk didengar keterangannya.
91. Ketentuan Pasal 127 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 127 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 127 Dalam hal Pengadilan Niaga telah menerbitkan surat penetapan sementara, hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa tersebut harus memutuskan untuk mengubah, membatalkan, atau menguatkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dikeluarkannya surat penetapan sementara pengadilan tersebut.
92. Ketentuan Pasal 128 diubah menjadi ayat (1) sampai dengan ayat (7), sehingga
keseluruhan Pasal 128 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 128 (1) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 125 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat ditemukannya barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran Paten.
(2) Permohonan Penetapan Sementara Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125A.
(3) Panitera mencatat permohonan penetapan sementara pada tanggal permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga.
(4) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan penetapan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Ketua Pengadilan Niaga menunjuk hakim untuk memeriksa permohonan penetapan sementara.
(5) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut diterima atau ditolak.
(6) Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim Pengadilan Niaga menerbitkan Surat Penetapan Sementara Pengadilan.
(7) Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim Pengadilan Niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan sementara dengan disertai alasannya.
93. Diantara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan Pasal 128A, sebagai berikut:
Pasal 128A (1) Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara
34
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (6), Pengadilan Niaga memanggil pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dimintai keterangan.
(2) Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan pemohon penetapan harus segera mengajukan Gugatan Pelanggaran Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 dan/atau membuat aduan atas adanya pelanggaran hak atas Paten kepada Penyidik Kepolisian Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil Hak Kekayaan Intelektual.
(4) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai penetapan sementara sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut.
93. Diantara Bab XV dan Bab XVI disisipkan Bab baru, yaitu Bab XVA dan ketentuan
Pasal 135 diubah, sehingga judul Bab XVA dan keseluruhan Pasal 135 berbunyi sebagai berikut:
BAB XIV
KETENTUAN LAIN
Pasal 135 Dikecualikan dari ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab XV dan tuntutan perdata dalam Undang-Undang ini adalah:
a. mengimpor suatu produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dan produk tersebut telah dimasukkan ke pasar di suatu negara oleh Pemegang Paten yang sah dengan syarat produk itu diimpor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. memproduksi produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dengan tujuan untuk proses perizinan kemudian melakukan pemasaran setelah perlindungan Paten tersebut berakhir.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 136 Dengan berlakunya Undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di bidang Paten yang telah ada pada tanggal berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 137
Terhadap Permohonan yang diajukan sebelum diberlakukannya Undang-undang ini, tetap diberlakukan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten sebagaimana
35
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten. II. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah dan ditambahkan angka 15 baru, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, bentuk, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang dapat ditampilkan secara grafis dan memiliki daya pembeda serta digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
2. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
3. Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
4. Merek Kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.
5. Permohonan adalah permintaan pendaftaran Merek yang diajukan secara tertulis kepada Menteri.
6. Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan.
7. Pemeriksa adalah Pemeriksa Merek yaitu pejabat yang karena keahliannya diangkat dengan Keputusan Menteri, untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan pendaftaran Merek.
8. Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
9. Menteri adalah adalah menteri yang sebagian tugas dan tanggung jawabnya menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hak Kekayaan Intelektual.
10. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah kementerian yang dipimpin oleh Menteri
11. Tanggal Penerimaan adalah tanggal penerimaan Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum Permohonan.
36
12. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di bidang hak kekayaan intelektual dan secara khusus memberikan jasa di bidang pengajuan dan pengurusan Permohonan Hak Kekayaan Intelektual yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan terdaftar sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
13. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain berdasarkan perjanjian secara tertulis untuk menggunakan
14. Hak Prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu, selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Konvensi Paris.
15. Protokol Madrid adalah Protokol yang terkait dengan Perjanjian Madrid mengenai pendaftaran merek internasional.
16. Hari adalah hari kerja 2. Judul Bagian Kedua Bab II diubah sebagai berikut :
Bagian Kedua
Dasar Penolakan Permohonan
3. Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 5 dan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
”Pasal 5
Permohonan juga ditolak apabila Merek yang dimohonkan pendaftarannya mengandung salah satu unsur di bawah ini:
a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas, agama, kesusilaan, atau kertertiban umum;
b. tidak memiliki daya pembeda; c. dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kwalitas, jenis, ukuran, macam,
tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; dan/atau,
d. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
“Pasal 6
(1) Permohonan juga harus ditolak oleh apabila Merek tersebut: a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek
milik pihak lain yang sudah terdaftar atau sudah diajukan lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
37
b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi- geografis yang sudah terdaftar.
d. Merupakan nama atau singkatan nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
e. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem suatu negara, atau baik lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang; atau
f. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan
terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang merek terkenal tersebut telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek.
(3) Ketentuan lebih lajut mengenai merek terkenal akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 7
(1) Permohonan diajukan secara tertulis atau elektronik dalam bahasa Indonesia kepada Menteri dengan mencantumkan: a. tanggal, bulan, dan tahun; b. nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat Pemohon; c. nama lengkap dan alamat Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; d. uraian warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya
menggunakan unsur-unsur warna; e. nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal
Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas. f. Kelas barang dan/atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/atau jenis jasa.
(2) Permohonan ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasanya.
(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum.
(4) Permohonan dilampiri dengan etiket merek dan bukti pembayaran biaya.
(5) Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari satu Pemohon yang secara bersama-sama berhak atas Merek tersebut, semua nama Pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka.
(6) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang berhak atas Merek
38
tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon yang mewakilkan.
(7) Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan melalui Kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas Merek tersebut.
(8) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual.
(9) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pengangkatan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
5. Ketentuan Pasal 13 diubah dan ditambahkan 2 (dua) ayat baru, sehingga keseluruhan
Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 13
(1) Menteri melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan persyaratan pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
(2) Dalam hal terdapat kekurangan dalam kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri memberitahukan agar kelengkapan persyaratan tersebut dipenuhi dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat permintaan untuk memenuhi kelengkapan persyaratan tersebut.
(3a) Dalam hal permohonan kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dapat dipenuhi, pemohon atau kuasanya dapat mengajukan permohonan secara tertulis mengenai perpanjangan jangka waktu pemenuhan kelengkapan persyaratan untuk paling lama 1 (satu) bulan.
(3b) Permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan paling lama 15 (lima belas) hari sebelum jangka waktu pemenuhan kelengkapan persyaratan berakhir.
(3) Dalam hal kekurangan tersebut menyangkut persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, jangka waktu pemenuhan kekurangan persyaratan tersebut paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu pengajuan Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas.”
6. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 14 berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 14
(1) Dalam hal kelengkapan persyaratan tersebut tidak dipenuhi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), ayat (3a) atau ayat (3b), Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya bahwa Permohonannya dianggap ditarik kembali.
39
(2) Dalam hal Permohonan dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali.”
7. Judul Bagian keempat Bab III dirubah sebagai berikut:
“Bagian Keempat Tanggal Penerimaan Permohonan Pendaftaran Merek”
8. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 15
berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 15
(1) Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum diberikan Tanggal Penerimaan.
(2) Persyaratan Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. surat permohonan; b. etiket merek; dan c. bukti pembayaran biaya.”
9. Judul Bagian Kelima Bab III diubah sebagai berikut:
“Bagian Kelima
Perbaikan dan Penarikan KembaliPermohonan Pendaftaran Merek”
10. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 16
(1) Perbaikan atas Permohonan hanya diperbolehkan dalam hal terdapat kesalahan penulisan nama dan/atau alamat Pemohon atau Kuasanya.
(2) Perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan sebelum diterbitkannya sertifikat Merek atau surat penolakan.
(3) Permohonan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Menteri dengan dilampiri bukti pembayaran biaya.”
11. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17 berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 17
(1) Selama belum diterbitkannya sertifikat Merek atau surat penolakan dari Menteri, Permohonan dapat ditarik kembali oleh Pemohon atau Kuasanya.
40
(2) Apabila penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kuasanya, penarikan itu harus dilakukan berdasarkan surat kuasa khusus untuk keperluan penarikan kembali tersebut.
(3) Dalam hal Permohonan ditarik kembali, segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali.”
12. Judul Bagian Pertama pada Bab IV diubah sebagai berikut:
“ Bagian Pertama Pengumuman Permohonan”
13. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 18
Menteri mengumumkan Permohonan dalam Berita Resmi Merek dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.”
14. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 19
(1) Pengumuman Permohonan dalam Berita Resmi Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 berlangsung selama 3 (tiga) bulan.
(2) Berita Resmi Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan secara berkala oleh Menteri dan/atau melalui sarana lainnya.”
15. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 20
Berita Resmi Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 memuat: a. nama dan alamat Pemohon, termasuk Kuasa apabila Permohonan diajukan
melalui Kuasa;
b. kelas dan uraian barang dan/atau jasa;
c. Tanggal Penerimaan;
d. nama negara dan tanggal penerimaan Permohonan yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas; dan
e. etiket Merek, termasuk keterangan mengenai warna dan apabila etiket Merek menggunakan bahasa asing dan/atau huruf selain huruf Latin dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia, disertai terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia, huruf Latin atau angka yang lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia, serta cara pengucapannya dalam ejaan Latin.”
16. Judul Bagian Kedua pada Bab IV diubah sebagai berikut:
41
“Bagian Kedua Keberatan dan Sanggahan”
17. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 21 (1) Selama jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19,
setiap pihak dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Menteri terhadap Permohonan dengan dikenai biaya.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan apabila terdapat alasan yang cukup disertai bukti bahwa Merek yang dimohonkan pendaftarannya adalah Merek yang berdasarkan Undang-Undang ini tidak dapat didaftar atau ditolak.”
18. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 22
Dalam hal terdapat keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Menteri dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penerimaan keberatan, mengirimkan salinan surat yang berisikan keberatan tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya.”
19. Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 23
(1) Dalam hal terdapat keberatan, Pemohon atau Kuasanya berhak menyampaikan sanggahan terhadap keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 kepada Menteri.
(2) Sanggahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan keberatan.”
20. Judul Bagian Ketiga pada Bab IV diubah sebagai berikut:
“Bagian Ketiga Pemeriksaan Substantif”
21. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 24
(1) Dalam hal tidak terdapat keberatan, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya Pengumuman, Menteri melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
(2) Dalam hal terdapat keberatan, Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
42
terhitung sejak tanggal berakhirnya batas waktu penyampaian sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
(3) Pemeriksaan substantif dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan/atau Pasal 6.
(4) Dalam hal terdapat keberatan dan/atau Sanggahan, Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga menggunakan keberatan dan/atau sanggahan tersebut sebagai bahan pertimbangan.
(5) Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(6) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa.”
22. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 25
(1) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif Permohonan dapat disetujui untuk didaftar, maka Menteri:
a. mendaftarkan merek tersebut dalam Daftar Umum Merek;
b. menerbitkan sertifikat merek dan memberitahukan pendaftaran merek tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya; serta
c. mengumumkan pendaftaran Merek tersebut dalam Berita Resmi Merek.
(2) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif Permohonan tidak dapat didaftar atau ditolak, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya dengan menyebutkan alasannya.
(3) Dalam hal dari hasil pemeriksaan substantif atas Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) terdapat keberatan, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada pihak yang mengajukan keberatan dengan menyebutkan alasannya.
(4) Dalam hal Permohonan tidak dapat didaftar atau ditolak, segala biaya yang telah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali.”
23. Judul Bagian Keempat pada Bab IV diubah sebagai berikut:
“Bagian Keempat Penerbitan Sertifikat Merek”
24. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 26
(1) Dalam hal Permohonan dapat disetujui untuk didaftar, Menteri menerbitkan dan memberikan sertifikat merek kepada Pemohon atau Kuasanya dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Permohonan tersebut disetujui untuk didaftar dalam Daftar Umum Merek.
(2) Sertifikat merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
43
a. nama dan alamat lengkap pemilik Merek yang didaftar; b. nama dan alamat lengkap Kuasa, dalam hal Permohonan melalui kuasa; c. Tanggal Penerimaan; d. nama negara dan tanggal; e. etiket Merek yang didaftarkan, termasuk keterangan mengenai macam
warna apabila Merek tersebut menggunakan unsur warna, dan apabila Merek menggunakan bahasa asing dan/atau huruf selain huruf Latin dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia, huruf Latin dan angka yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia serta cara pengucapannya dalam ejaan Latin;
f. nomor dan tanggal pendaftaran; g. kelas dan jenis barang dan/atau jasa yang Mereknya didaftar; dan h. jangka waktu berlakunya pendaftaran Merek.”
25. Ketentuan Pasal 27 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 27
(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkannya sertifikat merek, Menteri melakukan Pengumuman pendaftaran merek tersebut dalam Berita Resmi Merek.
(2) Setiap pihak dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh petikan resmi Sertifikat Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek dengan membayar biaya.”
26. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 29 berbunyi sebagai
berikut: “Pasal 29
(1) Permohonan banding dapat diajukan terhadap penolakan Permohonan yang berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6.
(2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Majelis Banding Merek dengan tembusan yang disampaikan kepada Menteri dengan dikenai biaya.
(3) Permohonan banding diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan serta alasan terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil pemeriksaan substantif.
(4) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus tidak merupakan perbaikan atau penyempurnaan atas Permohonan yang ditolak.”
27. Ketentuan Pasal 30 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 30 berbunyi sebagai
berikut: “Pasal 30
(1) Permohonan banding diajukan paling lama dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan surat pemberitahuan penolakan Permohonan.
44
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat tanpa adanya permohonan banding, penolakan Permohonan dianggap diterima oleh Pemohon.”
28. Ketentuan Pasal 31 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 berbunyi sebagai
berikut: “Pasal 31
(1) Keputusan Majelis Banding Merek diberikan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan banding.
(2) Dalam hal Majelis Banding Merek mengabulkan permohonan banding, Menteri melaksanakan keputusan Majelis Banding Merek.
(3) Dalam hal Majelis Banding Merek menolak permohonan banding, Pemohon atau Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas putusan penolakan permohonan banding kepada Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan tersebut.
(4) Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hanya dapat diajukan kasasi.”
29. Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 33 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 33
(1) Majelis Banding Merek adalah badan khusus yang independen dan berada di lingkungan kementerian yang membidangi hak kekayaan intelektual.
(2) Majelis Banding Merek terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan anggota yang terdiri atas beberapa ahli di bidang merek, serta Pemeriksa senior.
(3) Anggota Majelis Banding Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.
(4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding Merek.
(5) Untuk memeriksa permohonan banding, Majelis Banding Merek membentuk Tim Pemeriksa Banding yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, satu di antaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.”
30. Ketentuan Pasal 35 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 35 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 35
(1) Pemilik Merek terdaftar setiap kali dapat mengajukan permohonan perpanjangan untuk jangka waktu yang sama kepada Menteri.
(2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis oleh pemilik Merek atau Kuasanya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
45
sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi Merek terdaftar tersebut dengan dikenakan biaya.
(3) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masih dapat diajukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah berakhirnya jangka waktu perlindungan Merek terdaftar tersebut dengan dikenakan biaya dan denda.”
31. Ketentuan Pasal 36 dan Pasal 37 dihapuskan.
32. Ketentuan Pasal 38 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 38
(1) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.
(2) Pencatatan perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar diberitahukan secara tertulis kepada pemilik Merek atau Kuasanya.”
33. Ketentuan Pasal 39 diubah dan ditambahkan ayat baru, sehingga keseluruhan Pasal
39 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 39
(1) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat pemilik Merek terdaftar diajukan kepada Menteri dengan dikenai biaya untuk dicatat dalam Daftar Umum Merek dengan disertai salinan yang sah mengenai bukti perubahan tersebut.
(1a) Permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula diajukan terhadap merek yang masih dalam proses Permohonan.
(2) Perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) yang telah dicatat oleh Menteri diumumkan dalam Berita Resmi Merek.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan pencatatan perubahan nama dan/atau alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a), diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
34. Judul Bab V diubah sebagai berikut:
“BAB V PENGALIHAN HAK DAN LISENSI”
35. Diantara ketentuan Pasal 40 dengan Pasal 41 ditambahkan Pasal baru yaitu Pasal
40A, keseluruhan Pasal 40A berbunyi sebagai berikut:
46
“Pasal 40 A Ketentuan mengenai Pengalihan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 berlaku pula terhadap merek yang masih dalam proses Permohonan.”
36. Ketentuan Pasal 41 dan Pasal 42 dihapus.
37. Ketentuan Pasal 43 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 43 berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 43
(1) Pemilik Merek terdaftar berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain dengan perjanjian bahwa penerima Lisensi akan menggunakan Merek tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa.
(2) Perjanjian Lisensi berlaku di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali bila diperjanjikan lain.”
(3) Perjanjian Lisensi wajib dimohonkan pencatatannya pada Menteri dengan dikenai biaya dan akibat hukum dari pencatatan perjanjian Lisensi berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga.
(4) Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat oleh Menteri dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.”
38. Ketentuan Pasal 48 dihapus.
39. Ketentuan Pasal 49 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 49 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
40. Di antara BAB VI dan BAB VII disisipkan BAB VIA, sebagai berikut:
“BAB VI A PENDAFTARAN MEREK INTERNASIONAL BERDASARKAN
PROTOKOL MADRID
Pasal 55 a (1) Permohonan pendaftaran merek internasional diajukan berdasarkan Protokol
Madrid.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berasal dari Indonesia hanya dapat diajukan oleh: a. Pemohon yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; b. Pemohon yang memiliki domisili atau tempat kedudukan hukum di
Indonesia
47
c. Pemohon yang memiliki kegiatan usaha industri atau komersial yang nyata di Indonesia
(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah mengajukan Permohonan atau memiliki pendaftaran merek di Indonesia sebagai dasar Permohonan pendaftaran merek internasional.
(4) Permohonan pendaftaran merek internasional berlaku bagi semua negara anggota Protokol Madrid.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pendaftaran Merek Internasional berdasarkan Protokol Madrid akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
41. Ketentuan Pasal 59 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 59 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 59 Indikasi-asal merupakan suatu tanda yang semata-mata menunjukkan asal suatu barang atau jasa.”
42. Ketentuan Pasal 60 dihapus.
43. Ketentuan Pasal 61 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 61 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 61
(1) Penghapusan pendaftaran Merek dari Daftar Umum Merek dapat dilakukan berdasarkan permohonan oleh pemilik Merek atau Kuasanya kepada Menteri.
(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimohonkan untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa.
(3) Dalam hal pendaftaran Merek yang dimohonkan penghapusan masih terikat perjanjian Lisensi, penghapusan hanya dapat dilakukan apabila hal tersebut disetujui secara tertulis oleh penerima Lisensi.
(4) Pengecualian atas persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1b) hanya dimungkinkan apabila dalam perjanjian Lisensi, penerima Lisensi dengan tegas menyetujui untuk mengesampingkan adanya persetujuan tersebut.
(5) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.”
44. Ketentuan Pasal 62 dihapus.
45. Ketentuan Pasal 63 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 63 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 63
(1) Penghapusan pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dapat pula diajukan oleh pihak ketiga dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Niaga berdasarkan alasan:
48
a. Merek tersebut tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir.
b. Penggunaan Merek tersebut tidak sesuai dengan pendaftarannya.
(2) Alasan Merek tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak berlaku dalam hal adanya: a. larangan impor b. larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang
menggunakan Merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak yang berwenang yang bersifat sementara; atau
c. larangan serupa lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.”
46. Ketentuan Pasal 66 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 66 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 66 (1) Menteri dapat menghapus pendaftaran Merek Kolektif atas dasar permohonan
sendiri dari pemilik Merek Kolektif dengan persetujuan tertulis semua pemakai Merek Kolektif;
(2) Permohonan penghapusan pendaftaran Merek Kolektif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a diajukan kepada Menteri.
(3) Penghapusan pendaftaran Merek Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.”
47. Ketentuan Pasal 67 diubah, sehingga Pasal 67 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 67
Penghapusan pendaftaran Merek Kolektif dapat pula diajukan oleh pihak ketiga dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Niaga berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1).”
48. Ketentuan Pasal 69 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 69 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 69
(1) Gugatan pembatalan pendaftaran Merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran Merek.
(2) Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu apabila terdapat unsur iktikad tidak baik dan/atau Merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.”
49
49. Ketentuan Pasal 75 ayat (2) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 75 berbunyi sebagai
berikut: “Pasal 75
(1) Untuk setiap pengajuan Permohonan atau permohonan perpanjangan Merek, permohonan petikan Daftar Umum Merek, pencatatan pengalihan hak, perubahan nama dan/atau alamat pemilik Merek terdaftar, pencatatan perjanjian Lisensi, keberatan terhadap Permohonan, permohonan banding serta lain-lainnya yang ditentukan dalam Undang-undang ini, wajib dikenai biaya yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Dihapus
(3) Menteri dengan persetujuan Menteri dan Menteri Keuangan dapat menggunakan penerimaan yang berasal dari biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
50. Diantara ketentuan Pasal 88 dengan Pasal 89 ditambahkan Pasal baru yaitu Pasal
88A dan Pasal 88B, keseluruhan Pasal 88A dan Pasal 88B berbunyi sebagai berikut:
Pasal 88A
(1) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat diketemukannya barang yang berkaitan dengan pelanggaran Merek.
(2) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72.
(3) Panitera mendaftarkan permohonan penetapan sementara pada tanggal permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga.
(4) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal permohonan penetapan sementara didaftarkan, hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut diterima atau ditolak.
(5) Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim pengadilan niaga menerbitkan surat penetapan sementara pengadilan.
(6) Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim pengadilan niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan sementara dengan disertai alasannya.
Pasal 88B
(1) Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (5), Pengadilan Niaga memanggil pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dimintai keterangan.
50
(2) Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat penetapan sementara pengadilan, hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan untuk membatalkan atau menguatkan penetapan sementara pengadilan.
(4) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan pemohon penetapan harus segera mengajukan gugatan pelanggaran Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan/atau membuat aduan atas adanya pelanggaran hak atas Merek kepada Penyidik Kepolisian Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
(5) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai tindakan sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut.
51. Ketentuan Pasal 90 diubah, sehingga Pasal 90 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 90
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (Dua miliar lima ratus juta rupiah)”
52. Diantara Pasal 90 dan Pasal 91 disisipkan Pasal baru 90 A sebagai berikut:
“Pasal 90 A
Dalam hal penggunaan merek secara tanpa hak sebagaimana dimaksud pada pasal 90 jenis barangnya dapat membahayakan keselamatan jiwa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima miliar rupiah)”
53. Ketentuan Pasal 91 diubah, sehingga Pasal 91 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 91
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
54. Diantara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan Pasal 91 A sebagai berikut:
51
“Pasal 91 A
Dalam hal penggunaan merek secara tanpa hak sebagaimana dimaksud pada pasal 91 jenis barangnya dapat membahayakan keselamatan jiwa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah)”
55. Ketentuan Pasal 94 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 94 berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 94
(1) Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 90A, Pasal 91, Pasal 91A, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.”
56. Diantara Pasal 95 dan Pasal 96 disisipkan Pasal 95A sebagai berikut:
“Pasal 95 A
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 A merupakan delik biasa.”
57. Ketentuan Pasal 98 diubah, sehingga Pasal 98 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 98
Sengketa Merek yang masih dalam proses di pengadilan pada saat Undang-undang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.”
BAB XV KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 96
(1) Permohonan, perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar, pencatatan pengalihan hak, pencatatan perubahan nama dan/atau alamat, permintaan penghapusan atau pembatalan pendaftaran Merek yang diajukan berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 14Tahun 1997 tentang Merek tetapi belum selesai pada tanggal berlakunya undang-undang ini, diselesaikan berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut.
(2) Semua Merek yang telah didaftar berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997
52
tentang Merek dan masih berlaku pada saat diundangkannya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku menurut Undang-undang ini untuk selama sisa jangka waktu pendaftarannya.
Pasal 97
Terhadap Merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) tetap dapat diajukan gugatan pembatalan kepada Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 atau Pasal 6.
Pasal 98 Sengketa Merek yang masih dalam proses di pengadilan pada saat Undang-undang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 58. Ketentuan Pasal 99 diubah, sehingga Pasal 99 berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 99
Semua peraturan pelaksanaan yang dibuat berdasarkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek yang telah ada pada tanggal berlakunya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.”
III. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : 1. Desain Industri adalah tampilan luar dari sebuah produk baik secara keseluruhan
maupun sebagian yang mempunyai kesan estetik, dan tampilan tersebut dihasilkan dari fitur-fitur yang meliputi garis, warna, komposisi garis dan warna, bentuk, konfigurasi, corak, dan/atau ornamentasi.
2. Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain Industri. 3. Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik
Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.
4. Permohonan adalah permintaan pendaftaran Desain Industri yang diajukan kepada Menteri.
5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan. 6. Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam
Undang-undang ini.
53
7. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah Kementerian yang dipimpin oleh Menteri.
8. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di bidang Hak kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa pengajuan permohonan dan pengurusan permohonan di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan diangkat oleh Menteri.
9. Tanggal Penerimaan adalah tanggal diterimanya permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum.
10. Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris untuk memperoleh pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan yang diajukannya ke negara tujuan, yang juga anggota Konvensi Paris atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, memiliki tanggal waktu yang telah ditentukan berdasarkan Konvensi Paris.
11. Pemeriksa Desain Industri adalah seorang yang karena keahliannya diangkat dengan Keputusan Menteri sebagai pejabat fungsional pemeriksa Desain Industri dan ditugasi untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
12. Pemegang Hak Desain Industri adalah Pendesain sebagai pemilik Desain Industri atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik Desain Industri atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Desain Industri.
13. Lisensi adalah persetujuan yang diberikan oleh Pemegang Hak Desain Industri kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan Desain Industri yang masih dilindungi.
14. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, badan usaha baik yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.
15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia.
16. Hari adalah hari kerja.
BAB II
LINGKUP DESAIN INDUSTRI
Bagian Kesatu Desain Industri yang Diberikan Perlindungan
Pasal 2
(1) Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru. (2) Desain Industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan Desain Industri
tersebut berbeda atau tidak mirip dengan pengungkapan Desain Industri yang telah ada sebelumnya atau yang telah diketahui umum.
(3) Pengungkapan sebelumnya, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pengungkapan Desain Industri yang sebelum: a. Tanggal Penerimaan; atau b. tanggal prioritas apabila permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia
54
Pasal 3 Suatu Desain Industri tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaannya, Desain Industri tersebut: a. telah dipertunjukkan dalam suatu uji pasar, pameran nasional ataupun internasional
di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi; atau b. telah digunakan di Indonesia oleh Pendesain dalam rangka percobaan dengan tujuan
pendidikan, penelitian, atau pengembangan.
Bagian Kedua Desain Industri yang Tidak Diberikan Perlindungan
Pasal 4
Hak Desain Industri tidak diberikan apabila Desain Industri yang dimohonkan: a. murni semata-mata karena pertimbangan fungsi atau teknis; atau b. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum,
agama, dan/atau kesusilaan.
Bagian Ketiga Jangka Waktu Perlindungan Hak Desain Industri
Pasal 5
(1) Perlindungan terhadap Hak Desain Industri diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan.
(2) Jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang sampai dengan 1 (satu) kali selama 5 (lima) tahun.
(3) Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri.
Pasal 6
(1) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diajukan secara tertulis oleh pemegang Hak Desain Industri atau Kuasanya kepada Menteri.
(2) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya perlindungan sampai dengan 6 (enam) bulan setelah berakhirnya batas waktu perlindungan Hak Desain Industri.
(3) Permohonan perpanjangan perlindungan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri: a. formulir permohonan perpanjangan; b. fotokopi sertifikat Desain Industri; dan c. bukti pembayaran biaya perpanjangan.
Pasal 7
(1) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri.
(2) Perpanjangan jangka waktu perlindungan Hak Desain Industri diberitahukan secara tertulis kepada pemilik Hak Desain Industri atau Kuasanya.
55
Bagian Keempat
Subjek Desain Industri
Pasal 8 (1) Yang berhak memperoleh Hak Desain Industri adalah Pendesain atau yang
menerima hak tersebut dari Pendesain. (2) Dalam hal Pendesain terdiri atas beberapa orang secara bersama, Hak Desain
Industri diberikan kepada mereka secara bersama, kecuali jika diperjanjikan lain.
Pasal 9 (1) Jika suatu Desain Industri dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam
lingkungan pekerjaannya, pemegang Hak Desain Industri adalah pihak yang untuk dan/atau dalam dinasnya Desain Industri itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pendesain apabila penggunaan Desain Industri itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Desain Industri yang dibuat orang lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas.
(3) Jika suatu Desain Industri dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, orang yang membuat Desain Industri itu dianggap sebagai Pendesain dan Pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika diperjanjikan lain antara kedua pihak.
Pasal 10 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak menghapus hak Pendesain untuk tetap dicantumkan namanya dalam Sertifikat Desain Industri, Daftar Umum Desain Industri, dan Berita Resmi Desain Industri.
Bagian Kelima Pemegang Hak Desain Industri
Pasal 11
(1) Pemegang Hak Desain Industri memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Hak Desain Industri yang dimilikinya atau memberi persetujuan secara tertulis kepada orang lain untuk membuat, menjual, dan/atau mengimpor, produk yang diberi Hak Desain Industri.
(2) Kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendidikan, sepanjang tidak merugikan
kepentingan yang wajar dari Pemegang Hak Desain Industri atau tidak untuk kepentingan komersial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Desain Industri.
(3) Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Desain Industri, perbanyakan fitur-fitur
Desain Industri yang harus dengan tepat diproduksi dalam bentuk yang tepat agar suatu produk dalam desain tersebut dihubungkan secara tepat atau ditempatkan di
56
dalam, di sekeliling, atau menyatu dengan produk lain sehingga produk tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Pasal 12 Setiap orang dilarang untuk membuat, menjual, dan/atau mengimpor produk yang
sama atau mirip dengan Desain Industri terdaftar milik orang lain, kecuali atas persetujuan Pemegang Hak Desain Industri.
BAB III PERMOHONAN PENDAFTARAN HAK DESAIN INDUSTRI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13 (1) Hak Desain Industri diberikan atas dasar Permohonan oleh Pemohon yang beritikad
baik. (2) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri dikenakan biaya. (3) Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) diajukan secara tertulis atau secara elektronik dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasanya. Catatan: Diberikan penjelasan mengenai elektronik, bisa melalui internet, melalui digital device, contoh: USB, CD, DVD.
Pasal 15 (1) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 dapat diajukan oleh seorang atau beberapa orang Pemohon, atau badan hukum.
(2) Dalam hal Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara bersama-sama oleh beberapa orang Pemohon, Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah seorang Pemohon dengan melampirkan persetujuan tertulis dari seluruh Pemohon lainnya, dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat Pemohon.
(3) Dalam hal Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri diajukan oleh bukan
Pendesain, Permohonan Hak Desain Industri harus disertai pernyataan yang dilengkapi dengan bukti yang cukup bahwa Pemohon berhak atas Desain Industri yang dimohonkan.
57
Pasal 16 (1) Permohonan Hak Desain Industri memuat:
a. tanggal, bulan, dan tahun surat Permohonan; b. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pendesain; c. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pemohon; d. nama dan alamat lengkap Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa; e. nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali, dalam hal
Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; f. Judul atau nama produk; dan g. Klasifikasi.
(2) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan: a. Gambar dan/atau foto, dan b. surat kuasa khusus, dalam hal Permohonan diajukan melalui Kuasa;
(3) Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilampiri dengan uraian singkat dari Desain Industri yang sedang diajukan pendaftarannya.
Pasal 17
(1) Uraian singkat Desain Industri yang dimohonkan pendaftarannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) meliputi:
a. judul atau nama produk; b. keterangan gambar; dan c. pernyataan bagian Desain Industri yang dianggap baru oleh Pemohon.
(2) Jika pernyataan bagian Desain Industri yang dianggap baru oleh Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak disampaikan oleh Pemohon kepada Menteri maka perlindungan Hak Desain Industri yang dimintakan dianggap sesuai dengan yang diungkapkan dalam gambar.
Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Pihak yang untuk pertama kali mengajukan Permohonan dianggap sebagai pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika terbukti sebaliknya.
Pasal 20
(1) Setiap Permohonan Pendaftaran Hak Desain Industri dapat diajukan untuk: a. satu Desain Industri; b. sebagian Desain Industri; atau c. seperangkat produk atau barang yang memiliki fitur-fitur tampilan yang sama.
(2) Apabila beberapa Desain Industri memiliki kemiripan, Permohonan harus diajukan sebagai desain varian pada Tanggal Penerimaan yang sama oleh Pemohon yang sama.
58
Pasal 21
(1) Pemohon yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia harus mengajukan Permohonan melalui Kuasa.
(2) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyatakan dan memilih domisili hukumnya di Indonesia.
Pasal 22
(1) Ketentuan mengenai syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Kedua Permohonan dengan Hak Prioritas
Pasal 23
(1) Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas harus diajukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali diterima di negara lain yang merupakan anggota Konvensi Paris atau anggota Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia.
(2) Permohonan dengan Hak Prioritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilengkapi dengan dokumen prioritas yang disahkan oleh kantor yang menyelenggarakan pendaftaran Desain Industri disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung setelah berakhirnya jangka waktu pengajuan Permohonan dengan Hak Prioritas.
(3) Apabila syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dipenuhi, Permohonan tersebut dianggap diajukan tanpa menggunakan Hak Prioritas.
Pasal 24 Selain Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), Menteri dapat meminta agar Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas dilengkapi dengan: a. salinan lengkap Hak Desain Industri yang telah diberikan sehubungan dengan
pendaftaran yang pertama kali diajukan di negara lain; dan b. salinan sah dokumen lain yang diperlukan untuk mempermudah penilaian bahwa
Desain Industri tersebut adalah baru.
Bagian Ketiga Tanggal Penerimaan Permohonan dan Pemeriksaan Administratif
Pasal 25
(1) Menteri menetapkan Tanggal Penerimaan terhadap Permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut: a. menyampaikan data Pemohon; b. melampirkan gambar dan/atau foto; dan
59
c. membayar biaya Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). (2) Apabila persyaratan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi,
Menteri memberitahukan Pemohon untuk melengkapi kekurangan. (3) Tanggal Penerimaan ditetapkan setelah Pemohon memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 26
(1) Menteri melakukan pemeriksaan administratif berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24.
(2) Apabila Permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24, Menteri memberitahukan kepada Pemohon atau Kuasanya untuk memenuhi kekurangan tersebut dalam waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan atas permintaan Pemohon atau Kuasanya secara tertulis berdasarkan alasan yang dapat disetujui Menteri.
(4) Permintaan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 27
(1) Apabila kekurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) tidak dipenuhi, Menteri memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya bahwa Permohonannya dianggap ditarik kembali.
(2) Dalam hal Permohonan dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), segala biaya yang telah dibayarkan kepada Menteri tidak dapat ditarik kembali.
Bagian Keempat
Penarikan Kembali Permohonan
Pasal 28
Permintaan penarikan kembali Permohonan dapat diajukan secara tertulis kepada Menteri oleh Pemohon atau Kuasanya selama Permohonan tersebut belum mendapat keputusan.
Bagian Kelima Kewajiban Menjaga Kerahasiaan
Pasal 29
Selama masih terikat dinas aktif hingga selama 12 (dua belas) bulan sesudah pensiun atau berhenti karena sebab apa pun dari Menteri, pegawai atau orang yang karena tugasnya bekerja untuk dan/atau atas nama Menteri dilarang mengajukan Permohonan,
60
memperoleh, memegang, atau memiliki hak yang berkaitan dengan Desain Industri, kecuali jika pemilikan tersebut diperoleh karena pewarisan.
Pasal 30
(1) Terhitung sejak Tanggal Penerimaan, seluruh pegawai atau orang yang karena tugasnya bekerja untuk dan/atau atas nama Menteri berkewajiban menjaga kerahasiaan Permohonan sampai dengan diumumkannya Permohonan yang bersangkutan.
(2) Konsultan Hak Kekayaan Intelektual berkewajiban menjaga kerahasiaan Permohonan.
Bagian Keenam
Pemeriksaan Substantif
Pasal 31
(1) Menteri melakukan pemeriksaan substantif sejak persyaratan administrative sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dipenuhi.
(2) Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 dan Pasal 20.
(3) Keputusan Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 32
(1) Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh Pemeriksa pada Menteri. (2) Kedudukan, jenjang, dan besaran tunjangan Pemeriksa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangan-undangan.
Pasal 33
(1) Untuk keperluan pemeriksaan substantif, Menteri dapat meminta bantuan ahli dan/atau menggunakan fasilitas yang diperlukan dari instansi Pemerintah terkait atau Pemeriksa dari negara lain.
(2) Penggunaan bantuan ahli, fasilitas, atau Pemeriksa dari negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan dengan memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga kerahasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
Pasal 34
(1) Apabila Pemeriksa melaporkan bahwa Desain Industri yang diperiksa tidak jelas
61
atau terdapat kekurangan lain yang dinilai penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), Menteri memberitahukan secara tertulis adanya ketidakjelasan atau kekurangan tersebut kepada Pemohon atau Kuasanya guna meminta tanggapan atau kelengkapan atas kekurangan tersebut.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus jelas dan rinci serta mencantumkan hal yang dinilai tidak jelas atau kekurangan lain yang dinilai penting dengan disertai alasan dan acuan yang digunakan dalam pemeriksaan substantif, berikut jangka waktu pemenuhannya.
(3) Apabila Pemeriksa melaporkan bahwa Desain Industri yang diperiksa bukan merupakan seperangkat produk atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf c Menteri memberitahukan hal tersebut secara tertulis kepada Pemohon atau Kuasanya agar memecah menjadi Permohonan yang baru dengan membayar biaya.
(4) Pengajuan permohonan yang baru hasil pemecahan permohonan yang sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberi tanggal penerimaan yang sama sesuai dengan permohonan yang sebelumnya harus dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan.
(5) Terhadap Permohonan yang baru hasil pemecahan permohonan yang sebelumnya sebagaimana dimakksud pada ayat (3) diberi tanggal penerimaan yang sama sesuai dengan permohonan yang sebelumnya.
(6) Apabila setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemohon tidak melakukan pemecahan Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), permohonan dianggap ditarik kembali.
Pasal 35
Apabila setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) Pemohon tidak memberikan tanggapan atau tidak melakukan perbaikan terhadap Permohonan yang telah diajukannya dalam waktu yang telah ditentukan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), Permohonan tersebut dianggap ditarik kembali dan diberitahukan secara tertulis kepada Pemohon.
Bagian Ketujuh Keputusan, Pemberian Sertifikat, dan Pengumuman
Pasal 36
(1) Desain Industri yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (2) dinyatakan dapat diterima dan diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dan diumumkan oleh Menteri.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. nama dan alamat lengkap Pemohon; b. nama dan alamat lengkap Kuasa dalam hal Permohonan diajukan melalui
Kuasa; c. tanggal penerimaan dan nomor Permohonan;
62
d. tanggal pemberian dan nomor pendaftaran; e. nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali apabila
Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas; f. uraian singkat Desain Industri; dan g. gambar atau foto Desain Industri.
(3) Pemohon dapat meminta secara tertulis agar pengumuman sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat ditunda selambat-lambatnya sebelum dimulainya pemeriksaan subtantif sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (1).
(4) Penundaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh melebihi waktu 30 (tiga puluh) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan atau terhitung sejak tanggal prioritas, apabila Permohonan diajukan dengan menggunakan hak prioritas.
(5) Desain Industri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dinyatakan ditolak dan diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dan diumumkan oleh Menteri dengan mencantumkan nomor permohonan dan nama pemohon.
Pasal 37
(1) Menteri memberikan sertifikat Desain Industri kepada Pemohon dalam waktu 2
(dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan diterimanya pendaftaran oleh Menteri.
(2) Sertifikat Desain Industri mulai berlaku terhitung sejak Tanggal Penerimaan.
Pasal 38
(1) Pihak yang memerlukan salinan Sertifikat Desain Industri dapat memintanya
kepada Menteri dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian salinan Desain Industri diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedelapan Permohonan Banding
Pasal 39
(1) Permohonan banding dapat diajukan terhadap penolakan Permohonan yang
berkaitan dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan/atau Pasal 32 ayat (1).
(2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Majelis Banding Desain Industri dengan tembusan yang disampaikan kepada Menteri.
63
(3) Permohonan banding diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan serta alasannya terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil pemeriksaan substantif.
(4) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak merupakan alasan atau penjelasan baru sehingga memperluas lingkup kreasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
Pasal 40
(1) Permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
pengiriman surat pemberitahuan penolakan Permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (5).
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat tanpa adanya permohonan banding, penolakan Permohonan dianggap diterima oleh Pemohon.
(3) Dalam hal penolakan Permohonan telah dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mencatat dan mengumumkannya.
Pasal 41
(1) Banding mulai diperiksa oleh Majelis Banding paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerimaan permohonan banding.
(2) Keputusan Majelis Banding ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal Majelis Banding menerima dan menyetujui permohonan banding, Menteri wajib melaksanakan keputusan Majelis Banding.
(4) Dalam hal Majelis Banding menolak permohonan banding, Pemohon atau Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas keputusan tersebut ke Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan tersebut.
(5) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hanya dapat diajukan kasasi.
Bagian Kesembilan Pembatalan Pendaftaran
Pasal 42
(1) Dalam hal adanya keberatan terhadap keputusan diterimanya pendaftaran, pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan pembatalan pendaftaran ke Majelis Banding Desain Industri.
(2) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri mengabulkan pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang hak desain industri dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga.
(3) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri menolak pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga.
(4) Dalam hal adanya keberatan terhadap keputusan penolakan pendaftaran Desain Industri, Pemohon dapat mengajukan keberatan atas penolakan ke Majelis Banding Desain Industri.
64
(5) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri mengabulkan keberatan sebagaimana pada ayat (4), pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga.
(6) Dalam hal Majelis Banding Desain Industri menolak keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemohon dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga.
(7) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diumumkan oleh Menteri setelah mendapat keputusan hukum yang tetap.
BAB IV
MAJELIS BANDING
Pasal 42 (1) Majelis Banding Desain Industri adalah badan khusus yang independen dan berada di
lingkungan departemen yang membidangi Hak Kekayaan Intelektual. (2) Majelis Banding Desain Industri terdiri atas seorang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, dan anggota yang terdiri atas beberapa ahli di bidang yang diperlukan serta Pemeriksa senior.
(3) Anggota Majelis Banding Desain Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.
(4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Majelis Banding Desain Industri.
(5) Untuk memeriksa permohonan banding,Majelis Banding Desain Industri membentuk majelis yang berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, satu di antaranya adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat keanggotaan, Susunan organisasi, tugas, dan fungsi Majelis Banding Desain Industri diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden
BAB V
PERMOHONAN MELALUI PENDAFTARAN INTERNASIONAL
Pasal 44
(1) Permohonan dapat diajukan melalui pendaftaran internasional. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PENGALIHAN HAK DAN LISENSI
Bagian Kesatu Pengalihan Hak
65
Pasal 45
(1) Hak Desain Industri dapat beralih atau dialihkan dengan : a. pewarisan; b. hibah; c. wasiat; d. wakaf; e. perjanjian tertulis; atau f. sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak.
(3) Segala bentuk pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri pada Menteri dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
(4) Pengalihan Hak Desain Industri yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri tidak berakibat hukum pada pihak ketiga.
(5) Pengalihan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri.
Pasal 46
Pengalihan Hak Desain Industri tidak menghilangkan hak Pendesain untuk tetap dicantumkan nama dan identitasnya, baik dalam Sertifikat Desain Industri, Berita Resmi Desain Industri, maupun dalam Daftar Umum Desain Industri.
Bagian Kedua Lisensi
Pasal 47
Pemegang Hak Desain Industri berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain melaksanakan semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, kecuali jika diperjanjikan lain.
Pasal 48 Dalam hal suatu Desain Industri menggunakan Hak Kekayaan Intelektual milik pihak lain yang telah ada sebelum Tanggal Penerimaan, Pemegang Hak Desain Industri tidak dapat melaksanakan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), kecuali ada persetujuan dari pemilik hak tersebut.
Pasal 49
Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, pemegang Hak Desain Industri tetap dapat melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, kecuali jika diperjanjikan lain.
66
Pasal 50 (1) Perjanjian Lisensi dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri pada Menteri
dengan dikenai biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. (2) Perjanjian Lisensi yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri tidak
berlaku terhadap pihak ketiga. (3) Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diumumkan dalam Berita
Resmi Desain Industri.
Pasal 51 (1) Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang
merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Menteri wajib menolak pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII PEMBATALAN PENDAFTARAN HAK DESAIN INDUSTRI
Bagian Kesatu
Pembatalan Pendaftaran Hak Desain Industri Berdasarkan Permintaan Pemegang Hak Desain Industri
Pasal 52
(1) Desain Industri terdaftar dapat dibatalkan oleh Menteri atas permintaan tertulis yang diajukan oleh pemegang Hak Desain Industri.
(2) Pembatalan Hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan apabila penerima Lisensi Hak Desain Industri yang tercatat dalam Daftar Umum Desain Industri tidak memberikan persetujuan secara tertulis, yang dilampirkan pada permohonan pembatalan pendaftaran tersebut.
(3) Keputusan pembatalan Hak Desain Industri diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada: a. pemegang Hak Desain Industri; b. penerima Lisensi jika telah dilisensikan sesuai dengan catatan dalam Daftar
Umum Desain Industri; c. pihak yang mengajukan pembatalan dengan menyebutkan bahwa Hak Desain
Industri yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku lagi terhitung sejak tanggal keputusan pembatalan.
(4) Keputusan pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri.
67
Bagian Kedua Pembatalan Pendaftaran Hak Desain Industri Berdasarkan Gugatan
Pasal 53
(1) Gugatan pembatalan pendaftaran Hak Desain Industri dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 8 dan Pasal 9 kepada Pengadilan Niaga terhadap Pemegang Hak Desain Industri dan Menteri.
(2) Putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tentang pembatalan pendaftaran Hak Desain Industri disampaikan kepada Menteri paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan diucapkan.
Bagian Ketiga
Tata Cara Gugatan
Pasal 54
(1) Gugatan pembatalan pendaftaran Desain Industri diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat.
(2) Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia, gugatan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
(3) Panitera mendaftarkan gugatan pembatalan pada tanggal gugatan yang bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran gugatan.
(4) Panitera menyampaikan gugatan pembatalan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak gugatan didaftarkan.
(5) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal gugatan pembatalan didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari gugatan dan menetapkan hari sidang.
(6) Sidang pemeriksaan atas gugatan pembatalan diselenggarakan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah gugatan didaftarkan.
(7) Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7 (tujuh) hari setelah gugatan pembatalan didaftarkan.
(8) Putusan atas gugatan pembatalan harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah gugatan didaftarkan dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(9) Putusan atas gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum.
(10) Salinan putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan atas gugatan pembatalan diucapkan.
68
Pasal 55
Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) hanya dapat dimohonkan kasasi.
Pasal 56
(1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 diajukan paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan kepada panitera yang telah memutus gugatan tersebut.
(2) Panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran.
(3) Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) kepada pihak termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan.
(5) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan panitera wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi diterimanya.
(6) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi dan/atau kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewatnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5).
(7) Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.
(8) Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.
(9) Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.
(10) Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
(11) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi kepada panitera paling lama 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan.
(12) Juru sita wajib menyampaikan salinan putusan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (11) kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima.
69
Pasal 57
Menteri mencatat putusan atas gugatan pembatalan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam Daftar Umum Desain Industri dan mengumumkannya dalam Berita Resmi Desain Industri.
Bagian Keempat Akibat Pembatalan Pendaftaran
Pasal 58
Pembatalan pendaftaran Desain Industri menghapuskan segala akibat hukum yang berkaitan dengan Hak Desain Industri dan hak-hak lain yang berasal dari Desain Industri tersebut.
Pasal 59
(1) Dalam hal pendaftaran Desain Industri dibatalkan berdasarkan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, penerima Lisensi tetap berhak melaksanakan Lisensinya sampai dengan berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian Lisensi.
(2) Penerima Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak lagi wajib meneruskan
pembayaran royalti yang seharusnya masih wajib dilakukannya kepada pemegang Hak Desain Industri yang haknya dibatalkan, tetapi wajib mengalihkan pembayaran royalti untuk sisa jangka waktu Lisensi yang dimilikinya kepada pemegang Hak Desain Industri yang sebenarnya.
BAB VIII
BIAYA
Pasal 60
(1) Semua biaya yang wajib dibayar dalam Undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, jangka waktu, dan tata cara pembayaran biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
(3) Menteri dengan persetujuan Menteri Keuangan dapat mengelola sendiri biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Kesatu Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
70
Pasal 61
(1) Pemegang Hak Desain Industri atau penerima Lisensi dapat menggugat siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, berupa : a. gugatan ganti rugi; dan/atau b. penghentian semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan ke Pengadilan Niaga.
Bagian Kedua Tata Cara Penyelesaian Sengketa
Pasal 62
Tata cara penyelesaian gugatan ganti rugi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 61 dilakukan dengan menggunakan tata cara sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata yang diberlakukan untuk gugatan pembatalan sesuai Pasal 54 Undang-undang ini.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan
Pasal 63
Selain penyelesaian gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.
Pasal 64
Tata cara gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 dan 56 berlaku secara mutatis mutandis terhadap gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 61.
BAB X
PENETAPAN SEMENTARA PENGADILAN
Pasal 65
Berdasarkan bukti yang cukup, pihak yang haknya dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara tentang:
a. pencegahan masuknya produk yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Desain Industri;
b. penyimpanan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Desain Industri.
Pasal 66 (1) Permohonan penetapan sementara diajukan secara tertulis kepada Pengadilan
Niaga dengan persyaratan sebagai berikut :
71
a. melampirkan bukti kepemilikan Desain Industri; b. melampirkan bukti adanya petunjuk awal yang kuat atas terjadinya
pelanggaran Desain Industri; c. keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau dokumen yang diminta,
dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk keperluan pembuktian; d. adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga melakukan pelanggaran Desain
Industri akan dapat dengan mudah menghilangkan barang bukti; dan e. membayar jaminan berupa uang tunai atau jaminan bank.
(2) Dalam hal penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 telah dilaksanakan, Pengadilan Niaga segera memberitahukan kepada pihak yang dikenai tindakan dan memberikan kesempatan kepada pihak tersebut untuk didengar keterangannya.
Pasal 67
Dalam hal hakim Pengadilan Niaga telah menerbitkan surat penetapan sementara, hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa tersebut harus memutuskan untuk mengubah, membatalkan, atau menguatkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dikeluarkannya surat penetapan sementara pengadilan tersebut.
Pasal 68
(1) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 65 diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat ditemukannya barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran Desain Industri.
(2) Permohonan penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66.
(3) Panitera mencatat permohonan penetapan sementara pada tanggal permohonan penetapan sementara tersebut diajukan dan pada tanggal yang sama panitera menyampaikan permohonan penetapan sementara tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga.
(4) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan penetapan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Ketua Pengadilan Niaga menunjuk hakim untuk memeriksa permohonan penetapan sementara.
(5) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal penunjukkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan apakah permohonan penetapan sementara tersebut diterima atau ditolak.
(6) Dalam hal permohonan penetapan sementara dapat diterima, hakim pengadilan niaga menerbitkan Surat Penetapan Sementara Pengadilan.
(7) Dalam hal permohonan penetapan sementara ditolak, hakim Pengadilan Niaga memberitahukan penolakan tersebut kepada pemohon penetapan sementara dengan disertai alasannya.
72
Pasal 69 (6) Dalam hal Pengadilan Niaga menerbitkan surat penetapan sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68 ayat (6), Pengadilan Niaga memanggil pihak yang dikenai penetapan sementara dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dimintai keterangan.
(7) Pihak yang dikenai penetapan sementara dapat menyampaikan keterangan dan bukti-bukti dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(8) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat penetapan sementara pengadilan, hakim Pengadilan Niaga harus memutuskan untuk membatalkan, atau menguatkan penetapan sementara pengadilan.
(9) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dikuatkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan pemohon penetapan harus segera mengajukan Gugatan Pelanggaran Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan/atau membuat aduan atas adanya pelanggaran hak atas Desain Industri kepada Penyidik Kepolisian Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
(10) Dalam hal penetapan sementara pengadilan dibatalkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai penetapan sementara sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut.
BAB XI
PENYIDIKAN
Pasal 70
(1) Selain Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang Hak Kekayaan Intelektual diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang Hukum Acara Pidana yang berlaku untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Desain Industri.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari
tersangka; d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan; e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab; j. Meminta bantuan penangkapan, penahanan, penetapan daftar pencarian orang
73
(dpo) dan pencegahan dan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana dibidang Desain Industri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Penyampaian hasil penyidikan oleh PPNS HKI untuk diserahkan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada Penyidik Pejabat POLRI.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 71
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan delik aduan.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 72 (1) Pemrosesan Permohonan, pencatatan pengalihan hak, pencatatan perubahan
nama dan/atau alamat, atau permintaan pembatalan hak Desain Industri yang diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, tetapi belum selesai pada tanggal berlakunya Undang-Undang ini, diselesaikan dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak ditetapkannya Undang-Undang ini.
(2) Semua Desain Industri yang telah didaftar berdasarkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2000 tentang Desain Industri dan masih berlaku pada saat diundangkannya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri untuk selama sisa jangka waktu pendaftarannya.
Pasal 73
Terhadap Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) tetap dapat diajukan gugatan pembatalan kepada Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4.
Pasal 74 Sengketa Desain Industri yang masih dalam proses di Pengadilan pada saat Undang-Undang ini berlaku tetap diproses berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000
74
tentang Desain Industri sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 75
Semua peraturan pelaksanaan yang dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri yang telah ada pada tanggal berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
IV. Ketentuan Penutup Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal…
PRESIDEN REPUBLIK INDONERSIA,
ttd
DR H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal… SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd
SUDI SILALAHI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN… NOMOR…