nama-nama warna dalam bahasa madura di kabupaten …
TRANSCRIPT
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
i
NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA
DI KABUPATEN SUMENEP: SEBUAH KAJIAN ETNOLINGUISTIK
TESIS
Disusun untuk memenuhi sebagai persyaratan mencapai derajat Magister
Program Studi Linguistik
Minat Utama Linguistik Deskriptif
oleh
NURUL FADHILAH
S111708013
PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
iii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
iv
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
v
MOTO
Abhântal ombâ’ asapo’ angѐn, alako berrâ’ apello konѐng
‘Berbantal ombak berselimut angin, bekerja berat berpeluh kuning’
(Bekerja keraslah dan selalu berusaha hingga membuahkan hasil)
Bâdâ pakon, bâdâ pakan
‘Ada pekerjaan, ada makanan’
(Barang siapa berusaha, maka akan menuai hasil)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
vi
PERSEMBAHAN
Hasil penelitian tesis ini dipersembahkan kepada:
Masyarakat Madura, khususnya Kabupaten Sumenep
sebagai bentuk kontribusi dalam melestarikan bahasa dan budaya dari tanah
kelahiran tercinta.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis haturkan kepada Allah S.W.T, Tuhan Yang
Maha Pengasih dan Penyayang, karena atas limpahan rahmat, hidayah, dan rida-
Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis yang berjudul “Nama-Nama
Warna dalam Bahasa Madura: Sebuah Studi Etnolinguistik” ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa menyelesaikan penelitian ini tidaklah mudah karena
berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh penulis dan banyaknya rintangan yang
dihadapi. Namun, berbekal usaha, semangat, ketelatenan, dan ketawakalan
kepada Allah S.W.T serta bantuan dari berbagai pihak, akhirnya penulis bisa
melalui segala hambatan yang ada. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
rasa terima kasih yang tulus kepada:
1. Prof. Dr. Jamal Wihoho, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sebelas
Maret yang telah memberikan izin studi kepada penulis.
2. Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D., selaku Direktur Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan
penulis untuk menempuh studi di program pascasarjana ini.
3. Dr. F.X. Sawardi, M.Hum. dan pendahulunya Prof. Drs. M.R. Nababan,
M.Ed., M.A., Ph.D., selaku Kepala Program Studi Linguistik S-2 Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret beserta jajarannya yang telah
memfasilitasi aktifitas studi S-2 dan memberikan banyak ilmu, motivasi, dan
bimbingan selama penulis menjadi mahasiswi di jurusan ini hingga selesai.
4. Prof. Dr. Wakit Abdullah Rais, M.Hum., selaku dosen pembimbing pertama
yang telah memberikan banyak waktu, tenaga, dan ilmu untuk membimbing
penulis dengan sabar dari awal hingga selesai. Beliau sangat memotivasi
penulis untuk bersungguh-sungguh dan disiplin dalam menyelesaikan
penulisan tesis ini.
5. Dr. Dwi Purnanto, M.Hum., selaku dosen pembimbing kedua yang juga
turut memberikan banyak waktu, tenaga, dan ilmu untuk membimbing
penulis dengan sabar dari awal hingga selesai. Beliau sangat memotivasi
penulis untuk selalu cermat dalam menuliskan segala hal dalam tesis ini.
6. Dr. Inyo Yoz Fernandez (almarhum), selaku dosen yang pertama kali
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
viii
mengenalkan penulis terhadap kajian etnolinguistik. Beliau juga sempat
menjadi dosen pembimbing penulis dan sangat memotivasi agar penulis
terus belajar dengan selalu meminjamkan banyak buku di setiap
pertemuannya.
7. Dr. Miftah Nugroho, M.Hum., selaku sekretaris penguji yang telah banyak
memberikan masukan agar hasil penelitian tesis ini dapat disajikan dengan
lebih baik.
8. Segenap dosen Program Studi Linguistik Deskriptif yang sangat penulis
hormati atas segala ilmu yang telah diberikan selama penulis menjadi
mahasiswi di Program Studi Linguistik S-2 Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret.
9. Seluruh pegawai akademik kantor Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
yang telah memberikan kemudahan kepada penulis dalam mengurus hal-hal
administratif perkuliahan.
10. Moh. Saleh, S.Pd. dan Nunik Ganifiah S.Pd., selaku orang tua yang sangat
penulis hormati dan cintai. Terima kasih untuk segala dukungan, baik dalam
bentuk materi, semangat, dan doa yang terus mengalir tiada henti. Mereka
adalah dua sosok yang tidak pernah lelah menguatkan penulis ketika penulis
ingin menyerah. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih untuk
adik tersayang Putri Maulida beserta seluruh keluarga besar yang selalu
menjadi pelipur lara ketika penulis merasa jenuh. Terkhusus kepada sepupu
penulis, Rizki Amelia dan Dhaniar Chairunniza yang telah bersusah payah
membantu mencarikan informan dan menemani ketika sesi wawancara
berlangsung.
11. Para informan yang dengan sabar meluangkan waktu dan memberikan
banyak informasi kepada penulis, Bapak Moh. Taufik, S.Pd., (alm), Bapak
Ainur Rahmad, Bapak Mohammad Erfandi, S.Sos., Ibu Hamidah, Ibu
Meinarny Ferdiantina, S.Pd., Bapak R. Abdullah, Bapak RB. Nurul Hamzah,
S.Pd. M.Pd., Bapak Edhie Setiawan (alm), Bapak Akh. Darus, Bapak Zainal
Abidin, Bapak Taufan Febriyanto, Bapak Muhammad Imam, Bapak Slamet
Riady, Ibu Kisrawiyatun, Bapak Amin Jakfar, Bapak Amiluddin, Bapak
Mathor, dan Bapak Juma’en. Tidak lupa juga kepada teman-teman penulis
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ix
yaitu Dewi, Neno, Lita, Wenda, Luluk, Abang Tohir, Mbak Sinta, Vina, dan
Silvi yang telah membantu penulis dalam mencari, menghubungi, dan
menemani bertemu para informan.
12. Teman-teman seperjuangan mahasiswa Program Studi Linguistik Deskriptif
Universitas Sebelas Maret angkatan 2017 (Isa, Day, Rara, Ahfi, Mbak
Qonia, Mas Ian, Mas Nuz, Maz Zaki, Mas Felix, Mas Buyung, dan Faris)
yang selalu menyemangati dan mengingatkan untuk segera menyelesaikan
tesis ini.
13. Deretan para orang-orang terkasih atas pundak dan telinga yang selalu ada
untuk penulis. Terima kasih banyak Gita, Didin, Dila, Mia, Febi, Putri,
Maya, Deka, Niken, dan Tefur.
14. Segala pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih
atas perannya yang telah membantu, menyemangati, dan mendoakan sampai
penulisan tesis ini selesai.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan tesis ini merupakan
hasil kerja keras penulis dengan bantuan berbagai pihak. Namun, segala isi yang
terkandung di dalam tesis ini adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab
penulis. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun atas segala kekurangan, keterbatasan, dan kelemahan dalam
penulisan tesis ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga hasil kerja keras yang penulis lakukan
dengan dukungan berbagai pihak di atas dapat bermanfaat bagi ilmu
pengetahuan, khususnya dalam kajian etnolinguistik dan ilmu pengetahuan
lainnya yang masih terkait serta bagi masyarakat luas khususnya masyarakat
Madura.
Surakarta, 9 Desember 2019
Nurul Fadhilah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN TESIS ......................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI TESIS........................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN DAN PERSYARATAN PUBLIKASI ........ iv
MOTO ......................................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. vi
KATA PENGANTAR ................................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................... x
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii
DAFTAR BAGAN ...................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xvii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ............................................... xviii
ABSTRAK ................................................................................................... xx
ABSTRACT ................................................................................................ xxii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 8
D. Ruang Lingkup ...................................................................... 9
E. Manfaat Penelitian .................................................................. 9
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................... 12
A. Tinjauan Pustaka .................................................................... 12
1. Penelitian Terdahulu........................................................... 12
2. Penelitian Terkait ............................................................... 16
B. Landasan Teori....................................................................... 19
1. Etnolinguistik ..................................................................... 19
2. Kearifan Lokal dalam Etnolinguistik .................................. 20
3. Etnosains dalam Etnolinguistik ........................................... 22
4. Dimensi Makrolinguistik dam Mikrolinguistik
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xi
dalam Etnolinguistik........................................................... 23
5. Etnolinguistik Melalui Konsep Pola Pikir ........................... 24
6. Etnolinguistik Melalui Bahasa, Budaya,
dan Folklor ......................................................................... 25
7. Etnolinguistik Melalui Semantik ........................................ 28
8. Warna ................................................................................ 34
C. Kerangka Pikir ....................................................................... 38
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................ 40
A. Tempat Penelitian .................................................................. 40
B. Bahan dan Alat Penelitian ...................................................... 42
C. Jenis Penelitian....................................................................... 43
1. Data dan Sumber Data ........................................................ 44
2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data .............................. 46
3. Teknik Sampling ................................................................ 49
4. Validitas Data ..................................................................... 49
5. Prosedur Penelitian ............................................................. 50
6. Penyajian Hasil Analisis Data ............................................. 53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................ 54
A. Hasil Penelitian ...................................................................... 54
1. Satuan lingual penanda warna dalam bahasa Madura
di Kab. Sumenep ................................................................ 54
a. Nama-nama warna dasar dalam bahasa Madura
di Kab. Sumenep ......................................................... 55
b. Nama-nama warna nondasar dalam bahasa Madura
di Kab. Sumenep ......................................................... 59
c. Nama-nama warna turunan dari warna dasar dan
nondasar beserta bentuk penamaanya dalam bahasa Madura
di Kab. Sumenep .......................................................... 61
2. Makna kultural dari konsep penggunaan warna dalam
masyarakat Madura di Kab. Sumenep ................................. 147
a. Penggunaan warna dalam domain verbal ...................... 147
1) Parѐbhasan ‘peribahasa’ ........................................ 147
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xii
2) Oca’ kѐyasan ‘ungkapan’ ....................................... 158
3) Carѐta rakyat ‘cerita rakyat’ .................................. 162
b. Penggunaan warna dalam domain non-verbal ............... 166
1) Kesenian ................................................................ 166
2) Bangunan ............................................................... 178
3) Transportasi ........................................................... 181
4) Kegiatan ritual........................................................ 184
5) Kuliner ................................................................... 193
3. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya pola penamaan
warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep ................. 196
B. Pembahasan .......................................................................... 208
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 235
A. Simpulan ................................................................................ 235
B. Saran ...................................................................................... 236
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 238
LAMPIRAN ................................................................................................ 245
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Warna-warna turunan dari warna putih ....................................... 62
Tabel 2. Warna-warna turunan dari warna hitam ...................................... 72
Tabel 3. Warna-warna turunan dari warna merah ...................................... 81
Tabel 4. Warna-warna turunan dari warna hijau........................................ 93
Tabel 5. Warna-warna turunan dari warna kuning..................................... 100
Tabel 6. Warna-warna turunan dari warna cokelat .................................... 117
Tabel 7. Warna-warna turunan dari warna biru ......................................... 126
Tabel 8. Warna-warna turunan dari warna ungu ....................................... 136
Tabel 9. Warna-warna turunan dari warna abu-abu ................................... 141
Tabel 10. Perbandingan makna kultural warna pada domain
verbal dan nonverbal ................................................................... 225
Tabel 11. Perbandingan makna kultural gabungan warna pada domain
verbal dan nonverbal ................................................................... 226
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Konsep kearifan lokal Ahimsa-Putra ........................................... 21
Bagan 2. Segitiga semantik Richards dan Odgen ....................................... 33
Bagan 3. Hierarki implikasional warna dasar Berlin dan Kay .................... 34
Bagan 4. Kerangka pikir ........................................................................... 39
Bagan 5. Hierarki implikasional warna dasar Berlin dan Kay .................... 209
Bagan 6. Hierarki implikasional warna dasar dalam bahasa Madura .......... 209
Bagan 7. Hierarki implikasional warna dasar dalam bahasa Mandarin ....... 210
Bagan 8. Hierarki implikasional warna dasar dalam bahasa Indonesia ....... 211
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Decimal Code dalam Format Shape pada Microsoft Word ........ 42
Gambar 2. Penari Muwang Sangkal ........................................................... 167
Gambar 3. Rapè’ ‘pakaian bagian atas’ ...................................................... 168
Gambar 4. Lâ-jhilâ ‘ikat pinggang’ ............................................................ 169
Gambar 5. Bherrâs konѐng ‘beras kuning’ ................................................. 170
Gambar 6. Tari Ratib ................................................................................. 171
Gambar 7. Gatot Kaca ............................................................................... 173
Gambar 8. Kresna ...................................................................................... 174
Gambar 9. Arjuna ...................................................................................... 175
Gambar 10. Subadra .................................................................................... 176
Gambar 11. Bangunan Keraton Sumenep..................................................... 177
Gambar 12. Semar ....................................................................................... 177
Gambar 13. Lingkungan Keraton Sumenep.................................................. 178
Gambar 14. Labâng Mèsem ‘pintu tersenyum’ ............................................. 179
Gambar 15. Parao ‘perahu’ pesisir Ambunten ............................................. 181
Gambar 16. Bhâdhân parao ‘badan perahu’ ................................................. 182
Gambar 17. Kompleks pemakaman Anggasuto sekaligus
tempat upacara Nyadhar ........................................................... 184
Gambar 18. Cangghi ‘penutup sesajen’........................................................ 186
Gambar 19. Pakaian racok saѐbu ‘seribu warna’ .......................................... 188
Gambar 20. Pakaian pengantin leghâ ........................................................... 192
Gambar 21. Tajhin sanapora ‘bubur lima warna’ ......................................... 195
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xvi
Gambar 22. Kain batik Pekandangan Sumenep ............................................ 222
Gambar 23. Ukiran kayu Karduluk Sumenep ............................................... 222
Gambar 24. Pemain musik Saronѐn ............................................................. 220
Gambar 25. Hiasan di titik 0 kilometer Kabupaten Sumenep........................ 223
Gambar 26. Logo ‘Selamat Datang’ di Kabupaten Sumenep ........................ 223
Gambar 27. Taman kota Kabupaten Sumenep .............................................. 223
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Kabupaten Sumenep ....................................................... 242
Lampiran 2. Kartu warna ........................................................................... 246
Lampiran 3. Data informan ........................................................................ 251
Lampiran 4. Kisi-kisi pertanyaan informan ................................................ 257
Lampiran 5. Data kosa kata setiap informan ............................................... 273
Lampiran 6. Tabulasi data 1 ....................................................................... 283
Lampiran 7. Tabulasi data 2 ....................................................................... 328
Lampiran 8. Tabulasi data 3 ....................................................................... 339
Lampiran 9. Surat izin penelitian................................................................ 366
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xviii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
A. Daftar Singkatan
TB : Tabulasi data
In : Informan
PS : Pemeri sifat
U : Ukuran
W : Warna
CPL : Cerapan penglihatan
CPD : Cerapan pendengaran
CPC : Cerapan penciuman
CPB : Cerapan perabaan
CPR : Cerapan pencitarasaan
M : Manusia
H1 : Nama hewan
H2 : Bagian tubuh hewan
T : Tumbuh-tumbuhan
BH1 : Nama buah-buahan
BH2 : Bagian buah-buahan
BG : Bunga
PH1 : Nama pepohonan
PH2 : Bagian pohon
SB : Sayur dan biji-bijian
R : Rempah-rempah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xix
L : Lain-lain/dedaunan
LA : Benda lingkungan alam
IOP : Instansi, organisasi, profesi
MM : Makanan dan minuman
BR : Benda rumah
NB : Nama bulan
Kab : Kabupaten
B. Daftar Lambang
‘....’ : Menjelaskan terjemahan
+ : Menjelaskan pembentukan unsur sintaksis
/ : atau
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xx
ABSTRAK
Nurul Fadhilah. S111708013. 2019. Nama-Nama Warna dalam Bahasa
Madura di Kabupaten Sumenep: Sebuah Studi Etnolinguistik. Pembimbing:
(1) Prof. Dr. Wakit Abdullah Rais, M. Hum., (2) Dr. Dwi Purnanto M.Hum.
Tesis. Pascasarjana, Program Magister Linguistik, Minat Utama Linguistik
Deskriptif. Universitas Sebelas Maret.
Warna merupakan singkatan yang kuat untuk menyampaikan ide dan
informasi dari penggunanya. Begitu pula dengan kehidupan Suku Madura di Kab.
Sumenep yang tidak dapat dipisahkan dari warna. Hal ini terlihat dari kegemaran
mereka dalam mengkombinasikan warna secara mencolok serta terbentuknya
penamaan warna yang unik. Penelitian ini berjenis deskriptif kualitatif yang
bertujuan untuk mendeskripsikan (1) satuan lingual penanda warna, (2) makna
kultural dari konsep penggunaan warna, dan (3) faktor-faktor yang menyebabkan
munculnya penamaan warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep.
Data berupa satuan lingual penanda warna dan simbol warna yang diperoleh
dengan metode simak dengan teknik dasar yaitu teknik sadap dan teknik lanjutan
berupa teknik simak libat cakap (observasi partisipasi), teknik rekam, dan teknik
catat. Metode selanjutnya adalah metode cakap (wawancara) dengan teknik dasar
pancing dan teknik lanjutan berupa teknik cakap semuka, teknik rekam, dan
teknik catat. Data dianalisis menggunakan metode etnografi dengan analisis
etnosains untuk menemukan tema-tema budaya dan dibantu dengan metode padan
referensial dengan teknik dasar pilah unsur penentu (PUP) menggunakan daya
pilah referensial dan teknik lanjutan berupa teknik hubung banding menyamakan.
Hasilnya, satuan lingual warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep
umumnya berbentuk kata untuk menandai warna utama dan frasa untuk menandai
warna turunan. Warna utama terdiri dari 6 warna dasar yang memiliki urutan
hierarki implikasional yaitu potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’, bhiru
‘hijau’, konѐng ‘kuning’, dan sokklat ‘cokelat’, serta 3 warna nondasar yaitu
bhiru ‘biru’, bungo ‘ungu’, dan bu-abu ‘abu-abu’. Dari kesembilan warna tersebut
ditemukan 205 warna turunan dengan atribut adjektiva, nomina, dan verba. Lalu,
atribut warna yang paling mendominasi berasal dari nomina yaitu tumbuhan.
Kedua, makna kultural dari konsep penggunaan warna dalam masyarakat
Madura di Kab. Sumenep dibagi menjadi domain verbal dan nonverbal. Terdapat
5 warna yang digunakan dalam domain verbal, yaitu potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’,
mѐra ‘merah’, bhiru ‘hijau’ dan konѐng ‘kuning’. Lalu, ada 6 warna yang
digunakan dalam domain non-verbal, yaitu potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra
‘merah’, bhiru ‘hijau’, konѐng ‘kuning’, dan sokklat ‘cokelat’. Setiap warna yang
sama jika digunakan dalam jenis domain berbeda belum tentu memiliki makna
kultural yang sama pula. Beragamnya makna dalam satu warna dapat disebabkan
oleh faktor eksternal dan internal bahasa. Faktor eksternal berupa (1) pola pikir
manusia, (2) sifat warna, (3) sejarah, (4) lingkungan, (5) spiritual, (6) kebudayaan
asing, dan (7) warna-warna identik yang dikenal masyarakat Madura di Kab.
Sumenep. Selanjutnya, faktor internal bahasa berupa hubungan makna denotasi
dalam pembentukan makna baru (makna kultural).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xxi
Ketiga, munculnya pola penamaan warna dalam bahasa Madura di
Kabupaten Sumenep disebabkan oleh faktor-faktor, yaitu (1) faktor sosial
geografis kedekatan masyarakat Madura dengan alam, (2) faktor sosial
kemasyarakatan matapencaharian masyarakat Madura, (3) faktor spiritual
keislaman masyarakat Madura, dan (4) faktor tradisi yang dilakukan masyarakat
Madura.
Kata kunci: Nama warna, bahasa Madura, kabupaten Sumenep, etnolinguistik.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xxii
ABSTRACT
Nurul Fadhilah. S111708013. 2019. The Color Names of Maduranese
Language in Sumenep Regency: An Ethnolinguistic Study. Supervisors: (1)
Prof. Dr. Wakit Abdullah Rais, M. Hum., (2) Dr. Dwi Purnanto M.Hum. Thesis.
Postgraduate Programme of Descriptive Linguistics. Sebelas Maret University.
Color is a strong abbreviation for conveying ideas and information from the
users. Similarly, the life of the Maduranese in Sumenep Regency also cannot be
separated from color. This can be seen from their hobby for combining colors
prominently and the formation of unique color naming. This descriptive
qualitative research aims to describe (1) the lingual units of color markers, (2) the
cultural meaning of the color use concept, and (3) the factors that led to the
emergence of naming colors patterns of Maduranese language in Sumenep
Regency.
The data are lingual units of color markers and color symbols that obtained
by listening method with basic technique namely tapping technique and advanced
technique in the form of participatory observation technique, recording technique,
and taking notes technique. The next method is interview with the basic technique
namely interview inducement and advanced technique as direct interview
technique, recording technique, and taking notes technique. Data were analyzed
by using ethnographic method with ethnoscience analysis to find cultural themes
and also supported by the referential comparison method with the basic technique
of determining the element by using referential sorting and advanced techniques
in the form of equalizing comparative techniques.
The results, the lingual units of color names of Madurese language in
Sumenep Regency generally in the form of a word to mark the main colors, and
phrase to mark derivative colors. The main colors are divided into 6 basic colors
which have the sequence of implicational hierarchical namely potѐ ‘white’,
celleng ‘black’, mѐra ‘red’, bhiru ‘green’, konѐng ‘yellow’, and sokklat ‘brown’,
and 3 non-basic colors namely bhiru ‘blue’, bungo ‘purple’, and bu-abu ‘gray’.
From the ninth colors found, there are 205 derivative colors with attributes come
from the adjectives, nouns, and verbs word classes. Then, the most dominant color
attribute comes from nouns, namely plants.
Second, the cultural meaning of the color used concept of Madurese in
Sumenep Regency is divided into verbal and nonverbal domain. There are 5
colors of verbal domain, namely potѐ ‘white’, celleng ‘black’, mѐra ‘red’, bhiru
‘green’ dan konѐng ‘yellow’. Then, there are 6 colors of nonverbal domain,
namely potѐ ‘white’, celleng ‘black’, mѐra ‘red’, bhiru ‘green’, konѐng ‘yellow’,
dan sokklat ‘brown’. Every same color that is used in different types of domains
does not necessarily have the same cultural meaning. The variety of meanings in
one color can be caused by external and internal factors of the language. The
external factors include (1) human mindset, (2) color properties, (3) history, (4)
environment, (5) spiritual, (6) foreign culture, and (5) identical colors of Sumenep
society. Furthermore, the internal factor of language is the relation of denotation
meaning in the formation of new meanings (cultural meanings).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xxiii
Third, the emergence of color naming patterns of Madurese in Sumenep
Regency is caused by some factors, such as (1) geographical social factors of
Madurese closeness to nature, (2) social factors of Madurese livelihoods, (3)
Islamic spiritual factors of Madurese, and (4) traditional factors practiced by
Madurese.
Keywords: Color names, Maduranese language, Sumenep regency,
ethnolinguistics.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa dan budaya diibaratkan sebagai dua sisi mata koin yang tidak
mungkin bisa dipisahkan. Kedua aspek tersebut saling berkesinambungan dan
mempengaruhi satu sama lain. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan.
Lebih tepatnya, menurut Rahyono (2009: 77) bahasa merupakan salah satu
pintu masuk penelitian kebudayaan pemilik bahasa tersebut. Oleh sebab itu,
Ahimsa-Putra (1997: 4) turut menjelaskan bahwa dalam bahasa tercermin
pengetahuan masyarakat pemilik bahasa tersebut mengenai lingkungannya
sehingga lingkungan yang sama pada dasarnya tidak dilihat secara sama oleh
tiap-tiap suku bangsa atau masyarakat yang memiliki bahasa berbeda. Dengan
kata lain, manusia sebagai pemilik bahasa menggunakan bahasa sebagai suatu
identitas kebudayaan yang bertujuan untuk menjelaskan asal usul dirinya
beserta pandangan hidup yang dimiliki. Jadi, tidak ada yang lebih jelas dalam
mencerminkan kebudayaan suatu masyarakat selain melalui bahasa yang
mereka gunakan.
Bahasa sebagai penanda identitas budaya dapat dilihat dari penggunaan
aksen, kosakata, maupun pola wacana yang dikeluarkan melalui bahasa
tersebut. Jadi, antara masyarakat satu dengan masyarakat lain dapat
dibedakan ciri kebudayaannya melalui pemakaian bahasanya dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan mengetahui persamaan dan perbedaan
pemakaian bahasa akan dapat diketahui pula jarak antar suku-suku bangsa
dan bagaimana pola kebudayaan serta pandangan hidup masyarakat mampu
mempengaruhi sesuatu yang diacu. Salah satu contoh pemakaian bahasa yang
dapat mencerminkan identitas budaya suatu masyarakat ialah dalam
penyebutan leksikon warna.
Nugroho (2008: 2) menyatakan bahwa warna adalah spektrum tertentu
yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna. Selanjutnya, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2016: 1557), warna didefinisikan sebagai kesan
yang diperoleh mata dari cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2
dikenainya. Warna dapat merepresentasikan pandangan hidup, kepercayaan,
serta kebudayaan yang dimiliki. Hal ini selaras dengan pendapat Paterson
(2004: 3) bahwa warna menjadi suatu hal yang penting sebab warna
merupakan singkatan yang kuat untuk menyampaikan ide-ide dan informasi.
Jadi, warna menyimpan maksud tertentu yang ingin disampaikan oleh para
penggunanya. Bahkan, warna juga dapat menentukan emosi dan karakteristik
seseorang atau sekelompok masyarakat di dalam sebuah kebudayaan.
Setiap suku atau daerah di Indonesia memiliki caranya tersendiri dalam
membuat penamaan warna melalui bahasa. Bentuk penamaan terhadap
klasifikasi warna dalam bahasa tertentu bertujuan untuk membedakan
spektrum warna satu dengan warna lainnya. Menurut Yunyu (2015: 1),
bentuk bahasa yang digunakan untuk mengidentifikasi dan
mengklasifikasikan benda-benda merupakan kesepakatan dari masyarakat
penutur bahasa yang bersangkutan. Begitu pula dengan penamaan warna
dalam suatu bahasa. Biasanya, penamaan warna dalam suatu bahasa telah
terbentuk sejak lama, yaitu dari orang-orang terdahulu sehingga sejarah atau
latar belakang pembentukannya jarang diketahui. Walaupun demikian, tidak
menutup kemungkinan sejarah atau latar belakang penamaan warna tersebut
tetap dapat ditelusuri dengan menerapkan penelitian bahasa dan budaya.
Namun, pada era globalisasi seperti sekarang ini, ketertarikan masyarakat
untuk mendalaminya sangatlah minim. Padahal, penelitian mengenai kajian
nama-nama warna terbilang sangat menarik, seperti kajian nama-nama warna
dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep.
Di Pulau Madura khususnya Kab. Sumenep, penggunaan kosakata
warna dalam bahasa Madura mulai tidak dilirik dan tergantikan dengan
bahasa-bahasa lain, terutama bagi generasi milenial. Misalnya, dalam
kehidupan sehari-hari untuk menyebut warna merah muda. Kebanyakan
masyarakat lebih memilih menggunakan kosakata pink dalam bahasa Inggris
daripada ennyat yang merupakan bahasa Madura asli. Tidak dipungkiri,
pergeseran bahasa ini sedikit banyak juga dipengaruhi oleh mobilitas
pendatang luar Madura yang semakin mudah untuk masuk ke Pulau Madura
dengan adanya akses jembatan Suramadu. Menurut De Jonge (2011: xi),
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3
jembatan menimbulkan berbagai konsekuensi yang berjangkauan jauh bagi
penduduk wilayah-wilayah yang dihubungkan olehnya, bukan saja
menyangkut ikatan dan institusi sosial, ekonomi, dan politik. Jadi, selain
pengaruhnya dalam tiga aspek di atas, keberadaan jembatan juga
mempengaruhi perkembangan bahasa dan kebudayaan setempat.
Pulau Madura sendiri memiliki 4 kabupaten yaitu, Kab. Bangkalan,
Kab. Sampang, Kab. Pamekasan, dan Kab. Sumenep. Selain itu, Rifai (2007:
55) menjelaskan bahwa suku Madura juga memiliki 4 dialek utama dalam
pemakaian bahasanya, yaitu dialek Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, dan
Kangean. Namun, dalam pemakaian kosakata warna, masyarakat Madura
cenderung memiliki penyebutan yang sama atau bisa dikatakan mengacu pada
dialek Sumenep sebagai bahasa standar di Madura. Dialek Sumenep menjadi
bahasa standar karena juga dipengaruhi oleh berdirinya keraton di Kab.
Sumenep dan satu-satunya di Pulau Madura dengan Adipati terkenal bernama
Aria Wiraraja dan Adi Poday. Pada zaman dahulu, tingkatan bahasa Madura
berawal dari penggunaan bahasa antara kaum bangsawan Keraton Sumenep
dengan rakyatnya sehingga menjadikan dialek Sumenep sebagai dialek
bahasa Madura yang paling halus.
Menurut Rifai (2007: 56-57), bahasa Madura memiliki 10 istilah warna
dasar yaitu potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, bhiru ‘hijau’, mѐra ‘merah’, konѐng
‘kuning’, bȃlȃu ‘biru’, soklat ‘coklat’, ennyat ‘jambon’, bungo ‘ungu’, dan
bu-abu ‘kelabu’. Akan tetapi, jumlah warna tersebut belum tentu dapat
diterima oleh seluruh wilayah di Madura, seperti di Kab. Sumenep. Hal ini
dikarenakan setiap bahasa dan wilayah memiliki batasan, nama warna,
maupun jumlah warna dasar berbeda. Sebagai contoh, Leech (2003: 286)
memaparkan bahwa bahasa Jale (New Guinea) hanya memiliki dua warna
dasar yaitu putih dan hitam, bahasa Tiv (Nigeria) memiliki tiga warna dasar
yaitu putih, hitam, dan merah, bahasa Hanunoo (Filipina) memiliki empat
warna dasar yaitu putih, hitam, merah, dan hijau, sedangkan bahasa Tzeltal
(Meksiko) memiliki lima warna dasar yaitu putih, hitam, merah, hijau, dan
kuning. Dengan adanya perbedaan jumlah warna dasar di atas, muncul
peluang besar untuk mengembangkan penelitian warna di Kab. Sumenep.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4
Keberadaan warna tidak dapat dipisahkan dari kehidupan suku Madura.
Terlebih, suku Madura juga dikenal suka mengombinasikan warna-warna
secara berani dan mencolok. Kegemaran suku Madura dalam memadukan
atau bermain dengan warna tercermin pada beberapa ranah kehidupan,
misalnya dalam bangunan, pernak-pernik kesenian, batik, dan seni ukir kayu.
Pada perlengkapan tari Muwâng Sangkal, terdapat salah satu benda yang
wajib digunakan yaitu beras kuning atau bherrâs konѐng (TB.03.02/01).
Dalam proses tariannya, beras tersebut akan ditabur atau dibuang (muwâng)
dengan maksud menghalau musibah. Bagi masyarakat Madura, beras adalah
simbol kesuburan dan kemakmuran, sedangkan warna kuning diidentikkan
pada warna sinar matahari. Oleh sebab itu, jika tidak ada matahari dan beras
makhluk hidup tidak akan bisa melangsungkan hidupnya. Selanjutnya,
musibah yang ada di dalam kehidupan manusia dilambangkan dengan warna
gelap (hitam) karena ketika musibah datang sama halnya dengan tertutupnya
harapan atau kehidupan (cahaya). Oleh sebab itu, dengan membuang beras
kuning sama halnya dengan memberikan sinar kepada kegelapan sehingga
musibah tidak lagi mendatangi hidup manusia. Jadi, warna konѐng ‘kuning’
dalam bherrâs konѐng ‘beras kuning’ bermakna sinar matahari.
Selain contoh di atas, istilah warna juga terekspresikan dalam cerita
rakyat tersohor di Kab. Sumenep Madura. Dikisahkan oleh Suyami dalam
jurnalnya yang berjudul Cerita Jaka Tole dalam Kehidupan Masyarakat
Sumenep Madura (2009: 887-945), pangeran Sumenep bernama Secadingrat
menikah dengan Dewi Sarini dan mereka dikaruniai seorang putri bernama
Dewi Saini. Dewi Saini lebih dikenal dengan sebutan Raden Ayu Potre
Koneng. Dalam bahasa Madura, koneng berarti warna kuning. Kata koneng
disematkan kepada Sang Putri karena wajahnya yang sangat cantik, kulit
tubuhnya yang bersih dan bersinar, serta sifatnya yang sangat baik. Jadi,
warna konѐng ‘kuning’ di sini bermakna kecantikan fisik dan perilaku. Maka
dari itu, warna bukanlah sesuatu yang biasa dan meaningless bagi masyarakat
Madura. Keberadaan warna sangat dekat dengan kehidupan mereka dan
digunakan untuk merepresentasikan sesuatu berdasarkan dengan konteksnya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 5
Dengan kata lain, satu warna yang sama dapat memiliki makna yang berbeda-
beda.
Bahasa Madura memiliki penamaan warna yang unik. Warna sering
dimetaforakan atau dihubungkan dengan hal-hal yang berada di sekitar
masyarakat. Misalnya, nama warna yang disandingkan dengan atribut nomina
yaitu hewan seperti berikut:
(TB.01/121)
Cokklat sapѐ cokklat + sapѐ
cokelat sapi
Berdasarkan contoh data di atas, cokklat sapѐ ‘cokelat sapi’ adalah
warna turunan cokelat dengan atribut nomina dalam kelas hewan yaitu sapi.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa cokklat sapѐ adalah
warna cokklat ‘cokelat’, sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
cokklat sapѐ ‘cokelat sapi’. Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna cokelat disandingkan dengan bagian tubuh sapi,
yaitu cokelat pada kulit tubuh sapi. Secara sosiokultural, sapi khususnya sapi
jantan bagi orang Madura sama maknanya dengan kerbau bagi orang Jawa,
yaitu lambang kekuatan dan kemakmuran. Sapi selain digunakan untuk
membajak sawah atau diperjualbelikan juga digunakan sebagai tabungan
untuk mengantisipasi masa susah. Selain itu, orang Madura dapat
menunjukkan status atau kelas sosialnya melalui jumlah sapi yang dimiliki.
Orang Madura juga memperlakukan sapi layaknya anggota keluarga,
misalnya dengan rutin memberi jamu sapi-sapinya dan membuatkan kandang
khusus yang berdiri satu atap dengan pemiliknya. Dengan begitu, atribut yang
digunakan pada penamaan warna dalam bahasa Madura dapat mengacu pada
benda-benda yang familier dan dekat dengan masyarakat, seperti benda-benda
yang digunakan dalam tradisi mereka. Hal ini dikarenakan memiliki sapi dan
memperlakukannya sebaik mungkin sudah menjadi tradisi turun-temurun
bagi masyarakat Madura.
Keunikan lainnya ialah orang Madura sering mendapatkan stereotip
sebagai suku yang buta warna karena memiliki penyebutan yang sama untuk
menyebut warna hijau dan biru yaitu dengan leksikon bhiru. Jadi, masyarakat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 6
Madura dianggap tidak bisa membedakan spektrum warna antara hijau dan
biru. Padahal, persamaan penyebutan tersebut memiliki alasan tersendiri.
Selain contoh-contoh di atas, masih banyak lagi bentuk penamaan warna
dalam bahasa Madura yang sangat menarik untuk diteliti lebih dalam baik
dari segi penamaan warnanya hingga makna kultural yang terkandung di
dalam konsep penggunaan warna tersebut. Oleh sebab itu, muncullah
ketertarikan mendalam untuk mendeskripsikan nama-nama warna yang
berada di dalam bahasa Madura dengan menerapkan pendekatan
etnolinguistik.
Pendekatan etnolinguistik dianggap sesuai untuk diterapkan dalam
penelitian ini karena sesuai dengan pemahaman Foley (1997: 3) bahwa
etnolinguistik merupakan bagian dari linguistik yang menaruh perhatian pada
bahasa dalam konteks sosial budaya dan struktur sosial. Selaras dengan itu,
Saptarini (2016, 27-26) menjelaskan bahwa etnolinguistik yang juga memiliki
sebutan lain sebagai antropolinguistik ini mempelajari kebudayaan dari
sumber-sumber bahasa dan juga sebaliknya mempelajari bahasa yang
dikaitkan dengan kebudayaan. Adapun tujuan dari penerapan pendekatan
etnolinguistik pada penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan makna kultural
dari konsep penggunaan warna beserta faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi adanya penamaan warna tersebut.
Penelitian mengenai kajian warna sudah beberapa kali pernah
dilakukan. Pertama, jurnal yang ditulis oleh Budiono (2016) berjudul
Klasifikasi Warna Masyarakat Betawi di Marunda, Jakarta Utara. Kedua,
disertasi yang ditulis oleh Yunyu (2015) berjudul Warna dalam Bahasa
Mandarin dan Bahasa Indonesia: Sebuah Kajian Linguistik Antropologis.
Ketiga, jurnal yang ditulis oleh Nyamjav (2015) berjudul Color Naming
Experiment in Mongolian Language. Keempat, jurnal yang ditulis oleh
Kaskatayeva dan Mazhitayeva (2013) berjudul Color Semantics: Linguistic-
Cultural Aspect.
Penelitian yang dilakukan oleh Budiono (2016), Yunyu (2015),
Nyamjav (2015), Kaskatayeva dan Mazhitayeva (2013), serta penelitian saat
ini sama-sama mengkaji tentang kosakata warna dalam suatu bahasa.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7
Perbedaannya, Budiono (2016) menggunakan bahasa Betawi, Yunyu (2015)
menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia,
Nyamjav (2015) menggunakan bahasa Mongolia, Kaskatayeva dan
Mazhitayeva (2013) menggunakan bahasa Kazakhstan dan bahasa Rusia.
Penelitian yang dilakukan saat ini menggunakan bahasa Madura. Selanjutnya,
penelitian Budiono (2016) berserta Kaskatayeva dan Mazhitayeva (2013)
menggunakan pendekatan semantik, Nyamjav (2015) menggunakan
pendekatan psikolinguistik, sedangkan Yunyu (2015) dan penelitian saat ini
menggunakan pendekatan linguistik antropologis atau etnolinguistik. Namun,
penelitian saat ini menggunakan model analisis etnografi baru yang disebut
sebagai etnosains, sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Yunyu
(2015) tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai penggunakan model
analisisnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Budiono (2016) dan penelitian saat ini
sama-sama dilakukan di sebuah daerah di Indonesia. Namun, Budiono (2016)
hanya sebatas menggali kosakata warna dalam bahasa Betawi dari masyarakat
di pesisir Marunda, sedangkan penelitian saat ini tidak hanya berfokus pada
kosakata warna yang digunakan oleh masyarakat pesisir di Kab. Sumenep,
melainkan lebih luas. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Budiono
(2016) hanya berfokus pada konsep penamaan warna dengan
mendeskripsikan kosakata warna dalam bahasa Betawi yang selanjutnya
dilihat hubungan kosakata warnanya dengan lingkungan informan. Penelitian
Yunyu (2015) melihat satuan kebahasaan yang menandai warna, makna
konotasi dari kosakata warna yang berbentuk idiom, peribahasa, kiasan,
ungkapan, metafora, dan sejenisnya dalam bahasa Indonesia maupun
Mandarin, serta analisis kontrastif untuk menentukan persamaan dan
perbedaan dari kedua bahasa tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Nyamjav (2015) mendeskripsikan warna
dasar dan perbedaan klasifikasi warna turunan berdasarkan usia, pekerjaan,
serta jenis kelamin. Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Kaskatayeva
dan Mazhitayeva (2013) mendeskripsikan makna dari warna-warna dasar
yang digunakan dalam bahasa Kazakhstan dan perbandingannya dengan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8
bahasa Rusia. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan saat ini
mendeskripsikan satuan-satuan lingual penanda warna dalam bahasa Madura
di Kab. Sumenep beserta bentuk penamaan warnanya, makna kultural dari
konsep penggunaan warna dalam beberapa domain, serta faktor-faktor yang
menyebabkan adanya penamaan warna dalam bahasa Madura.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dan studi pustaka yang telah
dilakukan, penelitian mengenai kajian nama-nama warna dalam bahasa
Madura di Kab. Sumenep ini berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu
yang juga mengkaji tentang warna, baik dari segi pendekatan, lokasi
penelitian, bahasa yang diteliti, tujuan penelitian, dan metode penelitian. Oleh
sebab itu, terdapat ketertarikan mendalam untuk meneliti mengenai kajian
nama-nama warna dengan mengambil judul penelitian berupa Nama-nama
Warna dalam Bahasa Madura di Kab. Sumenep: Sebuah Kajian
Etnolinguistik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Apa sajakah satuan lingual dan bentuk penamaan warna yang digunakan
oleh penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep?
2. Bagaimanakah makna kultural dari konsep penggunaan warna dalam
masyarakat Madura di Kab. Sumenep?
3. Mengapa ada bentuk penamaan warna dalam bahasa Madura di
Kab.Sumenep?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini ialah
sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan satuan lingual dan bentuk penamaan warna yang
digunakan oleh penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep.
2. Mendeskripsikan makna kultural dari konsep penggunaan warna dalam
masyarakat Madura di Kab. Sumenep.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 9
3. Mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya bentuk
penamaan warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep.
D. Ruang Lingkup
Penelitian ini berada dalam ranah etnolinguistik. Adapun bahasa
Madura yang digunakan merupakan bahasa Madura dialek Sumenep sebagai
bahasa Madura standar. Data dalam penelitian ini berupa satuan-satuan
lingual penanda warna dalam bahasa Madura beserta simbol warna yang
digunakan dalam beberapa peristiwa budaya yang di dalamnya memiliki
kandungan makna.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai kajian nama-nama warna dalam bahasa Madura di
Kab. Sumenep ini memiliki manfaat baik secara teoretis maupun praktis yang
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan bagi kajian etnolinguistik. Selain itu, dokumen tertulis
mengenai kajian nama-nama warna dalam bahasa Madura khususnya di
Kab. Sumenep belum pernah ditemukan. Jadi, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan dokumentasi tertulis mengenai satuan-satuan lingual
penanda warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep, makna kultural
dari konsep penggunaan warna dalam masyarakat Madura di Kab.
Sumenep, serta faktor-faktor yang membentuk penamaan warna tersebut.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat, tenaga
pendidik, peneliti saat ini, dan peneliti selanjutnya.
Pertama, bagi masyarakat. Masyarakat dalam konteks ini
merupakan masyarakat Madura pada khususnya dan masyarakat luar
Madura pada umumnya. Bagi masyarakat Madura, penelitian ini dapat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10
menambah khazanah pengetahuan mereka mengenai kosakata warna
dalam bahasa Madura beserta makna kultural dari penggunaan warna
tersebut. Jadi, tidak hanya para sesepuh, budayawan, atau akademisi
sebagai pelaku penelitian yang mengetahui, melainkan seluruh lapisan
masyarakat terutama generasi muda. Selain itu, masyarakat dapat
mempertahankan dan melestarikan budaya Madura melalui bahasanya
dengan mengetahui dan mengaplikasikan kosakata warna dalam bahasa
Madura tersebut.
Lalu, bagi masyarakat luar Madura, penelitian ini dapat dijadikan
sebagai tambahan pengetahuan yang menarik mengenai salah satu bahasa
dan budaya Indonesia sehingga dapat menginspirasi mereka untuk
melakukan penelitian sejenis menggunakan bahasa daerahnya masing-
masing mengingat negara Indonesia memiliki banyak sekali bahasa
daerah yang perlu dipertahankan.
Kedua, bagi tenaga pendidik. Tenaga pendidik di sini adalah guru
muatan lokal bahasa Madura dan dosen yang memiliki fokus pada bidang
bahasa dan budaya Madura. Untuk guru, penelitian ini bisa dijadikan
salah satu materi ajar di kelas untuk menambah wawasan siswa mengenai
nama-nama warna dalam bahasa Madura beserta makna kultural
penggunaannya. Hal ini dilakukan agar generasi muda tetap mengetahui
sejarah bahasa dan budayanya sendiri. Selanjutnya untuk dosen,
penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu contoh dalam
penyampaian materi mengenai hubungan bahasa dan budaya Madura
dalam kajian etnolinguistik.
Ketiga, bagi peneliti saat ini. Berkat penelitiannya yang tidak
terlepas dari fakta bahasa dan fakta budaya Madura tentunya akan
meningkatkan rasa cinta peneliti terhadap lingkungannya sendiri. Selain
itu, penelitian ini juga memotivasi peneliti untuk terus mengeksplor
bahasa dan budaya Madura guna mempersiapkan diri untuk penelitian-
penelitian selanjutnya di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Keempat, bagi peneliti selanjutnya. Penelitian ini dapat dijadikan
sebagai studi pustaka atau referensi jika peneliti selanjutnya memiliki
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11
ketertarikan dalam bidang yang sama, yaitu perihal kajian nama-nama
warna dalam suatu bahasa.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Penelitian Terdahulu
a. Karya Ilmiah Terkait Warna dari Berbagai Macam Perspektif
di Luar Etnolinguistik
Pertama, artikel yang ditulis oleh Darmojuwono (1989)
mengkaji permasalahan warna terhadap persepsi penuturnya
dengan pendekatan psikolinguistik. Penelitian ini menggunakan 20
responden di Jerman yang terdiri dari 8 orang Jerman berbahasa ibu
Jerman dan tidak bisa berbahasa Indonesia, 8 orang Indonesia
berbahasa ibu Indonesia dan tidak bisa berbahasa Jerman, dan 4
orang Indonesia berbahasa ibu Indonesia dan bisa berbahasa
Jerman. Penelitian tersebut menggunakan 52 kartu warna menurut
Munsell dan melontarkan 2 tugas yaitu perintah untuk
menyebutkan warna yang terlihat pada kartu dan perintah untuk
mengelompokkan warna-warna tersebut sesuai dengan
pengetahuan responden. Hasilnya, responden Indonesia dalam
penamaan kartu warna banyak menggunakan tipe “warna
dasar+ke+warna dasar+an”, sedangkan responden Jerman banyak
menggunakan tipe “intensitas sinar+warna dasar”. Selanjutnya,
warna-warna tersebut menghasilkan 8 kelompok bagian baik dalam
bahasa Indonesia dan Jerman, yaitu merah (rot), hijau (grun), hijau
lumut (olivgrun), biru (grasgrun), ungu (turkis), abu-abu (blau),
hitam (violett), dan coklat (braun).
Kedua, artikel yang ditulis oleh Kaskatayeva dan
Mazhitayeva (2013). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa
makna warna dalam bahasa Kazakhtan dan Rusia serta
perbandingan keduanya ketika diterjemahkan. Data warna yang
digunakan adalah warna biru, merah, cokelat, kuning, hitam, dan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13
putih. Keenam warna tersebut adalah warna yang menarik
perhatian peneliti dari kelompok satuan lingual penanda warna.
Hasilnya, semantik warna dalam bahasa Kazaktan tidak selalu
dapat diterjemahkan dengan sempurna dalam bahasa Rusia. Hal ini
bisa disebabkan oleh faktor sejarah dan lingkungan hidup
masyarakatnya. Dari simbol warna dapat diketahui tradisi, karakter,
dan pandangan suatu etnis.
Ketiga, artikel yang ditulis oleh Farhia, Mita, dan Laura
(2014). Penelitian ini merupakan penelitian Pendidikan Desain
Komunikasi Visual (DKV) yang bertujuan untuk memberikan
wawasan warna-warna lokal di Pulau Jawa yaitu Jakarta, Bandung,
Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya berdasarkan aspek
kulturalnya menggunakan classroom research agar mahasiswa
memahami betul proses pembentukan warna yang sekarang banyak
mereka gunakan dalam dunia digital. Terdapat pengelompokan
warna dasar yang akan diteliti sesuai dengan 12 warna dalam
lingkaran warna Johannes Itten. Data berupa visual warna
kebudayaan dari tiap daerah atau wilayah yang dikomposisikan
sedemikian rupa sehingga terbentuklah 10 skema warna pada tiap
daerah. Ternyata, setiap daerah memiliki ciri khas warna yang
dapat dimanfaatkan dalam beberapa aspek, misalnya skema warna
dapat menjadi modul warna dasar dalam menciptakan suasana
(mood) suatu objek dan dalam bidang interior skema warna daerah
dapat membantu desainer interior untuk menciptakan suatu suasana
daerah tertentu sesuai dengan yang diinginkan pada suatu ruangan,
sehingga local content dapat dibentuk.
Keempat, artikel yang ditulis oleh MacDonald, Dimitris, dan
Galina (2014). Penelitian ini merupakan penelitian psikolinguistik
yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan perempuan dan laki-
laki dalam memberikan nama terhadap warna dengan
menggunakan eksperimen berbasis web dalam bahasa Inggris.
Hasilnya, perempuan dianggap lebih rumit namun cepat dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14
memberikan penamaan terhadap warna karena dapat
mendeskripsikan kosakata warna lebih banyak dari pada laki-laki.
Perempuan lebih fasih menyebutkan warna-warna dalam lingkaran
warm, sedangkan laki-laki cenderung menyebutkan warna-warna
dalam lingkaran cool.
Kelima, artikel yang ditulis oleh Nyamjav (2015). Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana masyarakat Mongolia
menentukan warna dasarnya dengan pendekatan psikolinguistik.
Data diperoleh dengan menyebar kuesioner dan responden dapat
menyebutkan berbagai macam nama warna sesuai dengan
pengetahuannya. Hasilnya, bahasa Mongolia memiliki 7 warna
dasar. Selain itu setiap responden menyebutkan beragam warna
turunan yang dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan pekerjaan.
Keenam, artikel yang ditulis oleh Yulianti (2016). Penelitian
tersebut mendekripsikan warna dalam bahasa Sunda yang
dipadankan dengan bahasa Indonesia. Data dikumpulkan dengan
melakukan studi pustaka tentang warna dalam bahasa Sunda dan
Bahasa Indonesia, serta memanfaatkan pengetahuan penulis
sebagai penutur asli bahasa Sunda. Bahasa Sunda memiliki 5
kosakata warna dasar, yaitu beureum (merah), bodas (putih),
hideung (hitam), koneng (kuning), dan hejo (hijau). Ada beberapa
kosakata warna dalam bahasa Sunda yang sulit dicarikan
padanannya dalam bahasa Indonesia karena memiliki ciri-ciri
kedaerahan yang kuat, misalnya ngagedod dan lestreng. Selain itu,
keadaan alam dan budaya masyarakat penutur sangat menentukan
konsep warna yang dimiliki oleh masyarakat Sunda.
Ketujuh, artikel yang ditulis oleh Sekarsari dan Nuria (2016).
Penelitian ini menganalisis kankyouku bahasa Jepang yang
berkaitan dengan warna menggunakan teori linguistik kognitif,
yaitu cabang linguistik yang menekankan hubungan dalam bahasa
yang mewakili informasi dalam otak manusia. Tujuan penelitian
ini, yaitu untuk (1) mengkaji makna leksikal dan makna idiomatikal
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15
pada kanyouku yang berkaitan dengan warna, (2) mengkaji
hubungan antara makna leksikal dan idiomatikal pada kanyouku
yang berkaitan dengan warna, dan (3) memperoleh data perihal ciri
khas makna yang terkandung dalam tiap warna yang digunakan
dalam kanyoku. Data dalam penelitian ini adalah 18 kanyouku yang
berkaitan dengan warna yang diambil dari Kamus Asutoro dan
Kamus Sanseidou. Warna yang muncul pada kanyouku memiliki
makna leksikal dan idiomatikal. Makna leksikal merupakan warna
yang diartikan sesuai dengan makna asli berdasarkan referensi
kamus, sedangkan makna idiomatikal merupakan makna khusus
yang muncul dari makna setiap kata yang membentuk kanyouku
tersebut. Misalnya, makna leksikal kanyouku ‘shiroi me de miru’
adalah melihat dengan mata putih, dan makna idiomatikalnya
adalah melihat dengan sinis.
Kedelapan, artikel yang ditulis oleh Budiono (2016).
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penamaan konsep
warna yang dimiliki oleh masyarakat Betawi di Marunda dengan
memaparkan karakteristik budaya dalam setiap warna. Untuk
memperoleh data digunakan teknik wawancara terhadap informan.
Hasilnya, masyarakat Betawi di Marunda memiliki 11 kategori
yang melekat pada 6 warna dasar yaitu buah, alat berat, minuman,
makanan, anggota atau bagian tubuh, bagian mobil, warna, wajah,
alam, tingkat kecerahan, dan tumbuhan.
Kesembilan, artikel yang ditulis oleh Indra (2017). Penelitian
ini meneliti keberadaan warna dan makna yang dikandung dalam
ekpresi metafora warna dalam bahasa Minangkabau. Data diambil
melalui wawancara dengan beberapa informan yang merupakan
penutur asli bahasa Minangkabau, Kamus Bahasa Minangkabau,
Kamus Ungkapan Bahasa Minangkabau, lirik lagu, randai,
peribahasa, dan pengetahuan dari peneliti sebagai penutur asli.
Pada analisisnya, konotasi metafora dalam istilah warna dianalisis
dengan menghubungkannya pada makna literal dari warna itu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16
sendiri yang juga dikaitkan dengan faktor-faktor lain, seperti
keadaan fisik, psikologi, sejarah, dan budaya yang
mempengaruhinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada enam
warna yang ditemukan dalam ekspresi metafora bahasa
Minangkabau, yaitu itam (hitam), putiah (putih), kulabu (abu-abu),
sirah (merah), kunyiang (kuning), dan ijau (hijau). Ekspresi
metafora yang menggunakan warna hitam, putih, merah, dan
kuning memiliki konotasi positif dan negatif. Akan tetapi, ekspresi
metafora yang menggunakan warna abu-abu dan hijau hanya
memiliki konotasi negatif.
Dari beberapa penelitian terdahulu di atas dapat diketahui
jika selama ini penelitian mengenai warna masih banyak dilakukan
dengan pendekatan di luar etnolinguistik. Hal ini tentu menjadi
peluang besar bagi penelitian saat ini untuk mengkaji warna dari
perspektif etnolinguistik guna mengungkap fakta bahasa dan
budaya dari satuan-satuan lingual penanda warna dalam suatu
bahasa. Walaupun demikian, penelitian-penelitian tersebut tetap
dibutuhkan sebagai referensi pendukung bahwa warna dapat diteliti
dari berbagai macam aspek dan masih dapat terus digali lebih
dalam lagi.
2. Penelitian Terkait
a. Karya Ilmiah Terkait Warna dari Perspektif Etnolinguistik
Pertama, artikel yang ditulis oleh Baehaqie (2014). Penelitian
ini merupakan penelitian etnolinguistik dengan menggunakan
metode observasi dan wawancara informan di Kab. Wonogiri.
Objek penelitian tersebut berupa jenang mancawarna sebagai
makanan yang digunakan untuk acara Daur Hidup masyarakat
setempat. Jenang mancawarna terdiri dari warna abang (merah),
ireng (hitam), kuning (kuning), dan putih (putih). Warna-warna
yang terkandung dalam jenang tersebut ternyata memiliki makna
tersendiri bagi masyarakat Jawa, seperti setiap warna
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17
melambangkan unsur alam, nafsu, kiblat papat lima pancer (arah
mata angin), dan kelahiran. Misalnya, warna merah dilambangkan
dengan unsur alam api, merepresentasikan nafsu berupa amarah,
memiliki arah mata angin selatan, dan dalam proses kelahiran
warna merah mendeskripsikan rasa khawatir seorang ibu serta
saudara sekandung yang memiliki hubungan darah.
Kedua, disertasi yang ditulis oleh Yunyu (2015). Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui warna dasar dan warna turunan,
makna-makna konotasi warna (idiom, peribahasa, dan metafora),
dan persamaan serta perbedaan warna dalam bahasa Mandarin dan
bahasa Indonesia. Data dikumpulkan dengan menggunakan
observasi pustaka dan wawancara informan. Selain itu, digunakan
metode kontrastif untuk membandingkan warna dan budaya
tentang warna antara kedua bahasa. Hasilnya, warna dalam bahasa
Mandarin memiliki 8 warna dasar yaitu putih, hitam, merah,
kuning, hijau, biru, ungu, dan abu-abu, sedangkan bahasa Indonesia
hanya memiliki 6 warna dasar yaitu putih, hitam, merah, kuning,
hijau, dan biru. Setiap warna tersebut memiliki atribut masing-
masing seperti atribut alam dan benda. Selanjutnya, terdapat
banyak sekali makna konotasi warna pada setiap warna dasar
dalam kedua bahasa tersebut, misalnya makna bertentangan seperti
baik dan tidak baik. Terakhir, ada banyak persamaan dan
perbedaan dalam penamaan warna dari kedua bahasa tersebut yang
dipengaruhi oleh faktor internal bahasa, sejarah, politik, adat-
istiadat, teknologi, dan pengaruh bahasa asing.
b. Karya Ilmiah Terkait Bahasa dan Budaya Madura dari
Perspektif Etnolinguistik
Pertama, artikel yang ditulis oleh Fuad (2015). Penelitian
tersebut menggunakan teknik observasi partisipasi dengan turun
langsung ke lapangan untuk memperoleh data. Untuk menganalisis
data, digunakan metode analisis etnosains dengan 12 tahapan. Hasil
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18
dibagi ke dalam 4 jenis istilah, yaitu (1) istilah perangkat ritual, (2)
istilah senjata yang digunakan, (3) istilah cara carok, dan (4) istilah
sesudah carok. Setiap istilah dijelaskan berdasarkan makna
leksikalnya. Selanjutnya, pendeskripsian falsafah linguistik dibalik
carok dalam 5 unsur, yaitu (1) sebuah tindakan pembunuhan yang
dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap orang laki-laki, (2) harga
diri, (3) dorongan ego, (4) justifikasi, baik berupa kultural maupun
lingkungan sosial dan (5) perasaan bangga.
Kedua, artikel yang ditulis oleh Putri (2017). Penelitian ini
bersumber dari buku-buku bahasa Madura dan informasi dari
masyarakat tutur Madura. Metode padan referensial dan teknik
daya pilah sebagai pembeda referen, serta teknik hubung banding
dan menyamakan digunakan untuk menganalisis data. Hasilnya,
masyarakat Madura memiliki 49 metafora pengungkap kecantikan
perempuan, yang terdiri dari 39 metafora pengungkap kecantikan
fisik dan 10 metafora pengungkap kecantikan sikap perempuan.
Jenis-jenis pembanding yang digunakan dalam 49 metafora adalah
nama tumbuhan, peralatan, binatang, makanan, alam, dan lain-lain.
Metafora-metafora pengungkap kecantikan perempuan tersebut
ternyata juga merepresentasikan pandangan hidup dan pola berpikir
masyarakat Madura, seperti tata krama perempuan Madura sangat
ditekankan dan dijunjung tinggi kehadirannya.
Dari keempat penelitian terkait di atas dapat dilihat jika
sampai saat ini penelitian mengenai etnolinguistik yang dilakukan
dengan objek menggunakan bahasa Madura masih jarang.
Sekalipun ada, penelitian tersebut tidak mengkaji mengenai warna.
Jadi, sampai saat ini belum pernah ada penelitian mengenai warna
dari perspektif etnolinguistik dalam bahasa Madura. Di samping
itu, juga ditemukan sebuah disertasi dan jurnal yang turut mengkaji
warna dari perspektif etnolinguistik atau linguistik antropologis
namun dengan objek bahasa berbeda. Disertasi dari Yunyu (2015)
meneliti warna dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19
sedangkan jurnal dari Baehaqie (2014) meneliti warna dalam
bahasa Jawa yang terkandung dalam jenang. Selain objek bahasa
yang berbeda, penelitian tersebut juga berbeda dalam hal rumusan
masalah penelitian, tujuan penelitian, dan metode penelitian yang
digunakan. Oleh sebab itu, penelitian ini diyakini akan
memaparkan hasil berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh
Yunyu dan Baehaqie.
B. Landasan Teori
1. Etnolinguistik
Istilah ethnolinguistics atau etnolinguistik banyak digunakan di
Eropa, sedangkan di Amerika lebih memilih menggunakan istilah
linguistic anthropology dan varian lain berupa anthropological
linguistic yang dipelopori oleh Franz Boas. Duranti (1997: 1-3)
menyatakan bahwa orang-orang di Amerika baru mulai mengenal
penyebutan etnolinguistik pada akhir tahun 1940-an hingga awal 1950-
an. Di Indonesia sendiri, menurut Riana (2009: 54) istilah linguistik
antropologi digantikan dengan linguistik budaya.
Menurut Ahimsa-Putra (1997: 5) etnolinguistik berasal dari kata
etnologi dan linguistik, yang lahir karena adanya penggabungan antara
pendekatan yang biasa dilakukan oleh para etnologi (antropologi
budaya) dengan pendekatan linguistik. Dengan demikian, kajian
etnolinguistik ini dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu (1) kajian
linguistik yang memberikan sumbangan terhadap budaya (etnologi) dan
(2) kajian budaya (etnologi) yang memberikan sumbangan terhadap
linguistik. Penelitian ini menggunakan fokus yang pertama yaitu bahasa
dapat menjelaskan aspek budaya dalam masyarakat tutur. Hal ini sesuai
dengan penuturan Ahimsa-Putra (1997: 6) jika studi etnolinguistik
dapat membuktikan bahwa khasanah pengetahuan yang dimiliki suatu
masyarakat itu tersimpan dalam bahasa mereka. Bahasa digunakan
sebagai media untuk menjelaskan segala hal yang dihadapi dan dimiliki
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20
oleh masyarakat beserta cara untuk merepresentasikan perilaku dan pola
pikir masyarakat tersebut.
Di samping pendapat di atas, Foley (1997: 3-5) juga menyatakan
jika etnolinguistik atau linguistik antropologi adalah disiplin ilmu yang
bersifat interpretatif, yang secara lebih jauh mengkaji bahasa untuk
menemukan pemahaman budaya. Jadi, etnolinguistik bersumber dari
fakta bahasa yang kemudian diinterpretasikan dengan tujuan
memperoleh pemahaman budaya dari penggunaan bahasa tersebut.
Selain memberikan pemahaman budaya, fakta bahasa juga mampu
memberikan informasi mengenai segala bentuk perubahan yang telah
terjadi dalam masyarakat. Secara spesifik, perubahan tersebut dapat
dilihat dari bertambah atau berkurangnya kosakata yang ada di dalam
masyarakat beserta bentuk kosakata yang tetap digunakan oleh
masyarakat penutur bahasa.
Beragamnya istilah yang digunakan untuk menyebutkan
hubungan bahasa dan budaya di samping kata etnolinguistik sebenarnya
bukanlah hal yang perlu diperdebatkan. Hal ini dikarenakan setiap
istilah-istilah yang muncul memiliki persamaan secara konseptual.
2. Kearifan Lokal dalam Etnolinguistik
Abdullah (2017: 47) berpendapat bahwa kearifan lokal
merupakan sistem pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat
berdasarkan pengalaman diri dan petunjuk leluhurnya secara turun-
temurun yang bersifat lentur dalam mengatasi situasi dan kondisi
setempat tercermin dalam ekspresi verbal maupun nonverbal untuk
memperoleh ketenangan hidup bersama, manusiawi, dan bermartabat.
Selanjutnya, Ahimsa-Putra (2009: 39) juga berpendapat bahwa kearifan
lokal adalah konsep yang mencakup kearifan tradisional dan kearifan
kontemporer (masa kini).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21
Kearifan tradisional merupakan perangkat pengetahuan dan
praktik pada suatu komunitas untuk menyelesaikan secara baik dan
benar persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, serta diperoleh dari
generasi-generasi sebelumnya secara lisan atau melalui contoh
tindakan, yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak. Lalu,
kearifan kontemporer merupakan perangkat pengetahuan dan praktik
pada suatu komunitas untuk menyelesaikan secara baik dan benar
persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, yang diperoleh dari
komunitas, masyarakat atau suku-bangsa lain di masa kini, baik secara
lisan atau melalui contoh tindakan, yang memiliki kekuatan seperti
hukum maupun tidak. Poin penting dari keduanya ialah kearifan
tradisional berfokus pada pengetahuan dari generasi sebelumnya,
sedangkan kearifan kontemporer berfokus pada pengetahuan dari
masyarakat di masa kini.
Oleh sebab itu, kearifan lokal merupakan perangkat pengetahuan
dan praktik-praktik pada suatu komunitas, baik yang berasal dari
generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalamannya
berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya untuk
menyelesaikan secara baik dan benar persoalan dan/atau kesulitan yang
dihadapi, yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak.
Selanjutnya, Ahimsa-Putra juga menambahkan jika sebagian kearifan
lokal tersimpan dalam bahasa dan sastra (tertulis maupun lisan) suatu
masyarakat. Hal ini berarti bahwa dengan menganalisis bahasa dan
sastra akan dapat mengungkapkan berbagai kearifan lokal suatu
Bagan 1. Konsep Kearifan lokal (Ahimsa-Putra, 2009: 39).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22
masyarakat, yang kemudian akan dapat direvitalisasi untuk kepentingan
masyarakat itu sendiri.
Poespowardojo (1987: 30) merumuskan pokok-pokok pikiran
yang terkandung dalam definisi kearifan lokal sebagai (1) ciri-ciri
budaya, (2) sekelompok manusia sebagai pemilik budaya, serta (3)
pengalaman hidup yang menghasilkan ciri-ciri budaya tersebut. Dari
pokok-pokok tersebut Rahyono (2009: 7-8) menyimpulkan jika kearifan
lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh sekelompok
(etnis) manusia yang diperoleh melalui pengalaman hidupnya serta
terwujud dalam ciri-ciri budaya yang dimilikinya
Kearifan lokal dipandang sebagai sesuatu yang bernilai,
mempunyai manfaat bagi masyarakat, serta lahir dan berkembang dari
generasi ke generasi. Jika kearifan lokal hilang, maka musnahlah juga
kepribadian suatu masyarakat atau bangsa. Hal ini dikarenakan menurut
Poespowardojo (1986: 33) kearifan lokal memiliki berbagai faktor
strategis, seperti (1) kearifan lokal merupakan pembentuk identitas yang
inheren sejak lahir, (2) kearifan lokal bukan sebuah keasingan bagi
pemiliknya, (3) keterlibatan emosional masyarakat dalam penghayatan
kearifan lokal kuat, (4) pemelajaran kearifan lokal tidak memerlukan
pemaksaan, (5) kearifan lokal mampu menumbuhkan harga diri dan
percaya diri, serta (6) kearifan lokal mampu meningkatkan martabat
bangsa dan negara.
3. Etnosains dalam Etnolinguistik
Spradley (2007: xii) menyatakan bahwa etnosains mulai
berkembang pada tahun 1960-an dan memiliki beberapa penyebutan
lain seperti cognitive anthropology atau etnografi baru. Etnografi
sendiri didasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan dari semua
kebudayaan sangatlah tinggi nilainya. Selanjutnya, Ahimsa-Putra
(2003: 34-45) juga menyatakan bahwa etnosains atau etnografi baru
merupakan pengetahuan yang dimiliki suatu bangsa lebih tepat lagi
suku bangsa atau kelompok sosial tertentu.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23
Sebelum kemunculannya, penelitian etnolinguistik cenderung
menggunakan model etnografi modern (1915-1925). Menurut Spradley
(2007: xii), dalam etnografi modern, bentuk sosial dan budaya
masyarakat dibangun dan dideskripsikan melalui analisis dan nalar sang
peneliti. Jadi, segala hal yang didapat dalam budaya dan struktur sosial
masyarakat diuraikan berdasarkan interpretasi peneliti. Hal ini berbeda
dengan etnografi baru (etnosains).
Spradley (2007: xii) berpendapat bahwa budaya dan struktur
sosial dianggap merupakan susunan yang ada dalam pikiran (mind)
anggota masyarakat tersebut, dan tugas peneliti adalah mengoreknya
keluar dari pikiran. Lalu, Ahimsa-Putra (2007: 98) juga menambahkan
jika dalam etnosains, perhatian utama peneliti akan diarahkan pada
kesadaran atau pada pengetahuan subjek yang diteliti mengenai perilaku
dan tindakan yang dilakukan, serta pengetahuan mereka tentang
lingkungan yang mereka hadapi. Dengan kata lain, Ahimsa-Putra
(2007: 95) menyatakan bahwa makna-makna yang perlu ditampilkan,
pertama-tama, adalah makna yang dimiliki oleh para pelaku tersebut,
bukan makna yang diberikan oleh peneliti. Selain itu, etnosains juga
memberikan asumsi bahwa setiap masyarakat memiliki sistem unik
yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan segala hal yang berada di
sekitarnya. Dengan kata lain, pikiran manusia menyimpan sebuah
konsep kebudayaan dan untuk mengeluarkan konsep tersebut ialah
melalui bahasa.
4. Dimensi Makrolinguistik dan Mikrolinguistik dalam Etnolinguistik
Kajian etnolinguistik tidak bisa dipisahkan dari dimensi
makrolinguistik dan mikrolinguistik. Hal ini sesuai dengan pendapat
Abdullah (2017: 52) yang menyatakan bahwa etnolinguistik sebagai
jenis linguistik objek yang kajiannya lebih bersifat interpretatif yang
mempertimbangkan aspek makrolinguistik dan mikrolinguistik.
Menurut Chaer (2003: 16), makrolinguistik adalah bagian dari
linguistik yang menyelidiki bahasa dalam kaitannya dengan faktor-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24
faktor di luar bahasa. Selanjutnya, Abdullah (2017: 52) menyatakan
bahwa kajian etnolinguistik secara makrolinguistik mempelajari bahasa
dalam konteks budaya, dan secara interpretatif mencoba mencari makna
tersembunyi yang ada di balik pemakaian bahasa, dan mengupas bahasa
untuk mendapatkan pemahaman budaya yang bermula dari fakta
kebahasaan. Dalam penelitian ini, aspek makrolinguistik digunakan
untuk menguak fakta budaya melalui fakta bahasa yang terkandung
pada nama-nama warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep melalui
pandangan hidup serta pola berpikir dari masyarakat setempat.
Berbeda dari itu, Chaer (2003: 16) menyatakan jika
mikrolinguistik merupakan studi dasar linguistik sebab yang dipelajari
adalah struktur internal bahasa. Subdisiplin dari mikrolinguistik terdiri
dari fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikologi. Penelitian
ini menerapkan subdisiplin ilmu mikrolinguistik yaitu semantik.
Semantik digunakan untuk menganalisis makna secara leksikal,
denotatif, gramatikal, dan kultural dari data verbal maupun non-verbal.
Selain itu, metafora dalam semantik juga digunakan untuk menganalisis
bentuk penamaan warna yang ada.
5. Etnolinguistik Melalui Konsep Pola Pikir
Selain sebagai media komunikasi, bahasa juga berfungsi sebagai
alat berpikir. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sibarani (2004:
144) bahwa bahasa sebagai alat atau sarana berpikir merujuk pada
hubungan dengan diri sendiri dalam memandang dunia, sedangkan
bahasa sebagai alat komunikasi merujuk pada hubungan diri dengan
dunia di luar diri sendiri. Whorf (1957: 212) menyatakan bahwa sistem
latar belakang linguistik (struktur bahasa) tidak hanya sebagai alat
untuk menyuarakan gagasan melainkan juga pembentuk gagasan itu
sendiri. Hal ini dikarenakan pembentukan gagasan untuk menciptakan
suatu pola pikir bukanlah proses yang independen tetapi merupakan
bagian dari grammar atau tata bahasa tertentu. Dengan kata lain, cara
seseorang atau sekelompok orang memandang suatu hal dapat dilihat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25
dari caranya menggunakan bahasa. Abdullah (2017: 54) menyatakan
bahwa bahasa merupakan manifestasi terpenting dari kehidupan mental
penuturnya dan sebagai dasar pengklasifikasian pengalaman.
Menurut Ahimsa-Putra (1985: 107), pola pikir adalah
pengetahuan suatu masyarakat yang isinya antara lain klasifikasi-
klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip yang sebagaimana dinyatakan
melalui bahasa. Jadi, dari bahasa akan diketahui dasar atau landasan apa
yang digunakan pengguna bahasa dalam membentuk suatu konsep
kebahasaan. Selanjutnya, Ahimsa-Putra (1985: 121-122) kembali
menyatakan jika melalui bahasa inilah berbagai pengetahuan, baik yang
tersembunyi (tacit) maupun yang tidak (explicit) terungkap pada si
peneliti. Selain itu, Sibarani (2004: 147) juga mengimplikasikan dua hal
terkait bahasa dan pikiran, yaitu (1) melalui bahasa kemampuan
berpikir dapat ditingkatkan karena bahasa merupakan alat
memformulasikan pikiran, dan (2) melalui berpikir kemampuan
menggunakan bahasa dapat diperoleh dan dipelajari karena
menggunakan bahasa itu sendiri adalah bagian berpikir. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini, penamaan warna beserta penggunaannya
dalam kehidupan dapat memperlihatkan bagaimana pola pikir
masyarakat dalam memandang dunia atau hal di luar dirinya.
6. Etnolinguistik Melalui Bahasa, Budaya, dan Folklor
Goodenough (1957: 167) berpendapat jika kebudayaan suatu
masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui dan diyakini
manusia agar bertindak dengan suatu cara yang dapat diterima oleh
anggota-anggota masyarakat dan agar dapat berperan sesuai dengan
peran yang diterima anggota masyarakat. Selanjutnya, menurut
Abdullah (2017: 53) jalan paling mudah untuk memperoleh budaya
adalah melalui bahasa, khususnya melalui daftar kata-kata yang ada
dalam suatu bahasa. Hal ini dikarenakan bahasa digunakan sebagai
sarana ekspresi nilai-nilai budaya dalam masyarakat. Menurut Sibarani
(2004: 59), ada tiga jenis budaya yang dapat disampaikan melalui
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26
bahasa, yaitu (1) kebudayaan ekspresi, mencakup perasaan, keyakinan,
intuisi, ide, dan imajinasi kolektif, (2) kebudayaan tradisi, mencakup
nilai-nilai religi, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan, serta (3)
kebudayaan fisik, mencakup hasil-hasil karya asli yang dimanfaatkan
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Unsur-unsur kebudayaan
dapat disampaikan dan dimengerti apabila unsur kebudayaan itu
mempunyai nama atau istilah. Jadi, budaya yang tersimpan dalam
masyarakat Madura dapat dilihat dari nama-nama warna yang mereka
gunakan pada kehidupan sehari-hari atau yang melekat dalam peristiwa
budaya. Selain itu, Abdullah (2017: 53) menyatakan bahwa dari nama-
nama ini dapat diketahui patokan apa yang dipakai oleh suatu
masyarakat untuk membuat klasifikasi, yang berarti juga dapat
mengetahui pandangan hidup kebudayaan tersebut.
Salah satu cara lain untuk menangkap fenomena sosial-budaya
dalam sebuah masyarakat ialah melalui folklor. Sibarani (2013: 2)
menyatakan bahwa folklor merupakan sebagian kebudayaan suatu
kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara
kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda,
baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak
isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Dengan kata
lain, folklor merupakan sebuah cerminan diri dan kebiasaan manusia
secara kolektif sehingga mempelajari folklor sama halnya dengan
menyelami sejarah atau asal-usul kehidupan manusia.
Pada dasarnya, folklor merupakan wujud budaya yang diturunkan
dan atau diwariskan secara turun-temurun secara lisan (oral). Namun,
seiring berkembangnya zaman pewarisan folklor terdiri dari beberapa
jenis, seperti folklor lisan maupun folklor bukan lisan (tulis).
Danandjaya (1991: 22) membagi folklor lisan dalam 6 jenis yaitu,
bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, sajak dan
puisi rakyat, cerita prosa rakyat, serta nyanyian rakyat. Lalu, folklor
yang bukan lisan adalah makanan rakyat. Menurut Bascom (1965: 343-
346), folklor-folklor tersebut sama-sama memiliki fungsi yang sangat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27
penting dalam kehidupan manusia, yaitu (1) sebagai sistem proyeksi
(proyective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu
kolektif, (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-
lembaga kebudayaan (validating culture), (3) sebagai alat pendidikan
(pedagogical device), dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar
norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya
(maintaning conformity),
Di Madura, terdapat beberapa folklor yang masih hidup di tengah
masyarakatnya. Salah satu folklor yang memiliki hubungan dengan
nama warna adalah cerita rakyat Joko Tolѐ. Dikisahkan oleh Ahmad
(2018: 96-156), bahwa Joko Tolѐ merupakan raja Sumenep ke-13 yang
memerintah selama 45 tahun (1415-1460). Joko Tolѐ lahir dari seorang
ibu bernama Dewi Saini, seorang putri dari Pangeran Secadiningrat II.
Dewi Saini memiliki paras yang cantik dan berkulit kuning langsat.
Oleh sebab itu, beliau lebih dikenal dengan sebutan Potrѐ Konѐng
‘Putri Kuning’. Potrѐ Konѐng memiliki kegemaran bertapa di Gua
Pajudan Sumenep. Saat bertapa pada bulan purnama, beliau bermimpi
bertemu dan bersetubuh dengan seorang lelaki tampan yang juga
bertapa di Gunung Geger Bangkalan. Maka, timbullah keajaiban sang
putri hamil meskipun belum pernah mengenal lelaki tersebut.
Mendengar kehamilan itu sang raja menjadi murka hingga akhirnya
Potrѐ Konѐng diusir dan tinggal di suatu tempat bernama Pakandangan.
Di sanalah Joko Tolѐ lahir dan dibantu dibesarkan oleh keluarga pandai
besi bernama Mpu Keleng.
Dari cuplikan folklor di atas dapat diketahui jika warna adalah
sesuatu yang dekat dengan masyarakat Madura. Bahkan, untuk
menamai seorang putri pada zaman itu masyarakat Madura memilih
kata konѐng ‘kuning’ guna merepresentasikan keindahan fisik sang
putri. Hal ini sesuai dengan pendapat Abdullah (2017: 53) jika dalam
folklor terekam fenomena kontekstual terkait dengan struktur bahasa
seperti pada fenomena sintaksis (kalimat), wacana (teks), atau pada
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28
tataran kata (leksikon) dan dapat mengandung makna yang utuh serta
tergantung dari informasi yang didukungnya.
7. Etnolinguistik Melalui Semantik
Kajian etnolinguistik tidak bisa dipisahkan dari kajian semantik
karena untuk memperoleh makna di dalam bahasa dapat dilihat dengan
teori semantik. Verhaar (2016: 13) mengatakan semantik adalah cabang
ilmu linguistik yang membahas arti atau makna. Odgen dan Richards
(1923: 186) mengungkapkan bahwa makna adalah suatu
perbendaharaan kata yang intrinsik dan hubungan antara ha-hal unik.
Selanjutnya, dalam sebuah kelompok kata, arti ditentukan oleh makna
leksikal dan makna gramatikal. Penelitian ini menggunakan empat jenis
makna yaitu makna leksikal, makna gramatikal, makna denotatif, dan
makna kultural untuk menganalisis temuan data yang ada.
Pertama, Pateda (2010: 19) menyatakan bahwa makna leksikal
adalah makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, entah dalam bentuk
leksem atau bentuk berimbuhan yang maknanya kurang lebih tetap,
seperti yang dapat dibaca di dalam kamus bahasa tertentu. Misalnya,
makna leksem cѐlleng ‘hitam’ yang secara leksikal menurut kamus
bahasa Madura (Pawitra, 2009: 9) merupakan warna dasar serupa
dengan arang.
Kedua, Subroto (2011: 33) menyatakan bahwa makna gramatikal
adalah makna yang timbul karena relasi satuan gramatikal baik dalam
konstruksi morfologi, frasa, klausa, atau kalimat. Dengan kata lain,
makna gramatikal merujuk pada makna dari hubungan antarunsur
dalam sebuah bahasa. Data yang diperoleh dalam penelitian ini selain
merupakan kata yang berasal dari warna utama juga berupa gabungan
kata yaitu warna dasar atau nondasar yang mendapatkan atribut.
Gabungan antara warna dasar atau nondasar dengan atribut tersebut
akan membentuk sebuah frasa. Selanjutnya, atribut dalam nama warna
bisa berasal dari berbagai kelas kata. Setiap atribut dapat memberikan
makna yang berbeda dalam penentuan spektrum warna.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 29
Contoh:
1. Warna + atribut adjektiva
(TB.01/41)
Konѐng pocet konѐng + pocet
kuning pucat
2. Warna + atribut nomina
(TB.01/35)
Konѐng konyè’ konѐng + konyè’
kuning kunyit
Ketiga, makna denotatif adalah makna dasar, yaitu makna kata
yang masih menunjuk pada acuan dasarnya sesuai dengan konvensi
masyarakat pemakai bahasa. Menurut Suwandi (2011: 96), makna dasar
juga dapat dinyatakan mengenai hubungan antara kata dan
pengertiannya secara objektif. Misanya, makna denotatif frasa bherrâs
konѐng ‘beras kuning’ (TB.03.02/01) bherrâs konѐng atau beras kuning
adalah salah satu perlengkapan yang digunakan saat tari Muwang
Sangkal dimainkan. Beras ini nantinya akan ditabur oleh para penari.
Keempat, Subroto (2011: 36) menyatakan bahwa makna kultural
adalah arti secara khas yang mengungkapkan unsur-unsur budaya dan
keperluan budaya secara khas aspek kebudayaannya. Kemudian,
Abdullah (2017: 56) juga menyatakan bahwa makna kultural berfungsi
untuk menyoroti kearifan lokal yang berkaitan dengan beraneka ragam
corak aktivitas kehidupan bahasa dan budaya masyarakat. Misalnya,
makna kultural frasa bherrâs konѐng ‘beras kuning’ (TB.03.02/01)
adalah beras kuning ditabur atau dibuang (muwâng) dengan maksud
menghalau musibah. Warna kuning bermakna sinar matahari. Musibah
yang ada di dalam kehidupan manusia dilambangkan dengan warna
gelap (hitam). Oleh sebab itu, dengan membuang beras kuning sama
halnya dengan memberikan sinar kepada kegelapan sehingga musibah
tidak lagi mendatangi hidup manusia.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30
a. Metafora
Teori mengenai metafora dalam bidang semantik digunakan
untuk mendeskripsikan penamaan warna dalam bahasa Madura.
Menurut Knowles dan Moon (2006: 2), metafora adalah
penggunaan bahasa untuk merujuk kepada hal lain yang memiliki
kesamaan atau hubungan antara objek yang ditunjuk dan yang
menjadi penunjuk. Selaras dengan itu, Subroto (2011: 116)
menyatakan jika pada dasarnya metafora diciptakan berdasarkan
persamaan (similarity) antara dua satuan atau antara dua term.
Persamaan tersebut terdapat dalam beberapa aspek saja, bukan
keseluruhan. Misalnya, persamaan terhadap wujud fisik, karakter,
atau daya tangkap. Di antara beberapa persamaan yang digunakan
dalam metafora, persamaan terhadap wujud fisik biasanya dapat
diamati secara nyata dan paling mudah ditangkap. Subroto (2011:
126-127) mengungkapkan bahwa metafora sendiri berfungsi untuk
(1) mengatasi kekurangan atau keterbatasan leksikon, (2)
memberikan daya ekpresif, dan (3) mengurangi ketunggal-nadaan.
Penggunaan metafora dalam kehidupan sehari-hari dapat
mencerminkan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Duranti (1997: 38) bahwa metafora
dianggap sebagai situasi ketika suatu budaya dibawa dalam bentuk
linguistik dan digunakan dalam komunikasi.
Palmer (1999: 223) membagi metafora dalam 3 unsur, yaitu
(1) tenor, merupakan objek yang dikiaskan atau disebut pebanding,
(2) vehicle, merupakan konsep yang digunakan untuk
melambangkan tenor atau disebut pembanding, dan (3) ground,
merupakan persamaan yang muncul antara tenor dan vehicle.
Sebagai contoh, dalam data (TB.1/46) konѐng matta ‘kuning
mentah’. Unsur tenor dalam frasa tersebut adalah konѐng ‘kuning’.
Dengan demikian, warna konѐng merupakan objek yang kiaskan.
Matta ‘mentah’ merupakan unsur vehicle karena menjadi unsur
pembanding, sedangkan unsur ground merupakan interaksi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31
persamaan di antara kedua unsur tersebut yaitu warna kuning
disandingkan dengan adjektiva ‘mentah’ yang mana kata ‘mentah’
bermakna belum matang. Istilah konѐng matta digunakan untuk
menyebut warna kuning keputihan. Warna tersebut seperti pada
daging buah yang belum matang betul. Selanjutnya, penamaan
warna secara metaforik tersebut dapat dijelaskan lebih mendalam
melalui dimensi makrolinguistik untuk mengetahui faktor-faktor
pembentuk penamaan warnanya.
b. Hubungan Semantik dan Semiotik
Menurut Ratih (2016: 2), kata semiotik berasal dari bahasa
Yunani yaitu semion yang berarti tanda. Subroto (2011: 3)
menyatakan jika semantik merupakan bagian dari semiotik dan
semiotik mengkaji sistem penciptaan juga pengidentifikasian tanda
beserta lika-likunya. Selanjutnya, bagi Pateda (2010: 29),
masyarakat yang berwujud manusia dikelilingi oleh tanda, diatur
oleh tanda, ditentukan oleh tanda, bahkan dipengaruhi oleh tanda
sehingga dengan demikian terdapat kelompok semiotik. Tanda-
tanda yang berada di sekeliling manusia tersebut akan ditelaah
maknanya dalam bidang semantik. Jadi, Hidayat (2004: 78)
menyimpulkan bahwa semiotik adalah teori dan analisis berbagai
tanda (sign) dan pemaknaan (signification).
Ferdinand de Saussure (1959: 67) menyatakan bahwa konsep
tanda tergolong ke dalam model tanda diadik, yaitu signifier
‘penanda’ untuk sound-image ‘citra-bunyi’ dan signified ‘petanda’
untuk konsep. Berbeda dengan hal itu, Pierce (1998: 272-278)
menggambarkan tanda dalam tiga komponen atau biasa disebut
triadik Pierce, yaitu (1) representamen, (2) object, dan (3)
interpretant. Representamen adalah sesuatu yang berhubungan
dengan object, object adalah tanda yang berada di sekeliling
manusia, sedangkan interpretant merupakan tafsiran makna dari
hubungan antara representamen dan object.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32
Menurut teori semiotik Pierce (1998: 5), tanda dibedakan
menjadi tiga, yaitu (1) likeness or icons ‘ikon’, (2) indications
‘indeks’, dan (3) symbols ‘simbol’. Likeness or icons ‘ikon’
merupakan tanda yang terkait dengan objek berdasarkan
kemiripannya, seperti gambar, potret, atau patung. Indications
‘indeks’ merupakan tanda yang penanda dan petandanya
menunjukkan adanya hubungan alamiah yang bersifat kausalitas,
misalnya asap menandai api, mendung menandai hujan. Symbols
‘simbol’ merupakan tanda yang penanda dan petandanya tidak
menunjukkan adanya hubungan alamiah; hubungannya arbiter
(semau-maunya) berdasarkan konvensi, misalnya kata “ibu”
digunakan untuk menandai orang yang melahirkan kita. Warna
sendiri merupakan jenis tanda berupa simbol.
Selain teori diadik Saussure dan triadik Pierce di atas, tanda
juga digambarkan dalam segitiga semantik Odgen dan Richards
(1923: 11). Teori tanda Richards dan Odgen dirasa paling tepat
digunakan dalam analisis tanda karena hubungan antara tiga
komponen dalam segitiga semantik tersebut memiliki urutan
penafsiran tanda yang lebih jelas, lengkap, dan mudah dibedakan
daripada teori triadik Pierce dan diadik Saussure. Dalam triadik
Pierce, komponen representamen dan object merupakan dua hal
yang samar dan kadang sulit dibedakan. Menurut Nazaruddin
(2015: 12), representamen merupakan tanda yang dipersepsi oleh
orang. Hal tersebut akan tumpang tindih dengan keberadaan object.
Selanjutnya, teori diadik Saussure memaknai object sebagai
referent dan menyebutkannya hanya sebagai unsur tambahan dalam
proses penandaan. Dengan kata lain, tanda menurut Saussure
(1959: 66) adalah kombinasi dari sebuah konsep dan sebuah sound-
image ‘citra-bunyi’. Berbeda dengan segitiga semantik Odgen dan
Richards yang memaparkan 3 unsur penting dalam sebuah tanda
dan tidak hanya berhenti pada konsep thought saja.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33
Berdasarkan bagan di atas, A merupakan simbol (bunyi) yang
dinyatakan dengan garis lurus B, sedangkan B merupakan konsep
dalam pikiran. Hubungan antara A dan B bersifat kausatif yang
artinya terdapat hubungan sebab-akibat, yaitu konsep yang muncul
dalam pikiran manusia disebabkan karena adanya faktor sosial dan
psikologis dari penggunanya ketika mendengar A. Jadi, konsep
pikiran atau referensi satu individu dengan yang lain tidak bisa
disamakan. Selanjutnya, B memiliki hubungan dengan C yang
merupakan referen. Hubungan B dan C ini ibarat sebuah rantai
panjang yang bisa memiliki hubungan maupun tidak. Dengan kata
lain, dalam penggunaan bahasa, benda-benda sekitar dapat
diabstraksikan atau memiliki ciri-ciri. Lalu, hubungan A dan C
dinyatakan dengan tanpa garis karena tidak ada hubungan yang
relevan atau merupakan hubungan tidak langsung.
Sebagai contoh, kata konѐng merupakan simbol atau bentuk
kata (A) yang memiliki hubungan kausatif dengan (B) yaitu
merupakan salah satu warna dalam bahasa Madura yang
menyerupai bagian dalam dari kunyit. Secara kultural bagi
masyarakat Madura warna konѐng ‘kuning’ bisa bermakna sinar
matahari khususnya dalam domain kesenian tari Muwang Sangkal
yaitu atribut bherrâs konѐng ‘beras kuning’ karena mampu
menghalau musibah yang dilambangkan dengan warna gelap.
Bagan 2. Segitiga Semantik Odgen dan Richards (1923: 11)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34
Selanjutnya, konsep (B) memiliki hubungan dengan referent (C)
yaitu konsep yang sudah dijelaskan tersebut mengacu pada referent
. . Hubungan antara referent (C) dengan bentuk kata (A)
bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan tanda tersebut
merupakan simbol yang tidak memiliki hubungan alamiah.
Menurut Pateda (2010: 29-30), sekurang-kurangnya ada 9
macam semiotik. Penelitian ini menerapkan semiotik kultural.
Semiotik kultural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Hal ini
dikarenakan tanda (warna) yang akan diteliti makna kulturalnya
merupakan warna-warna yang terekspresikan dalam kehidupan dan
kebudayaan masyarakat Madura di Kab. Sumenep.
8. Warna
a. Teori Warna Dasar Berlin dan Kay
Berlin dan Kay (1969) pernah melakukan penelitian empiris
terhadap terminologi warna pada 20 bahasa ditambah literatur
bahasa lain mencapai 80 bahasa. Penelitian tersebut menghasilkan
dua konsep yaitu (1) setiap bahasa memiliki batasan dan aturan
tersendiri dalam membentuk istilah warna dan (2) bahasa akan
berubah dari waktu ke waktu sehingga berdampak pada
penambahan leksikon warna. Selain itu, penelitian Berlin dan Kay
juga menunjukkan sebelas kategori organisasi warna berdasarkan
hierarki implikasional yang diilustrasikan dalam gambar berikut.
Hierarki implikasional tersebut mengekspresikan “a<b” yang
bermakna “b” mengakibatkan “a”, yaitu “a is present in every
Bagan 3. Hierarki implikasional warna dasar Berlin dan Kay (1969: 3)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35
language in which b is present and also in some language in which
b is not present”. Dengan kata lain, jika sebuah bahasa memiliki
kosakata warna red, maka dalam bahasa tersebut pun harus ada
kosakata warna black dan white. Namun, kosakata warna black dan
white dapat muncul dalam bahasa yang tidak memiliki kosakata
warna red.
Untuk lebih spesifik, Berlin dan Kay (dalam Darmaprawira,
2002: 53) menjelaskan bahwa, (1) tidak ada bahasa yang memiliki
satu istilah warna, paling sedikit dua warna yaitu hitam dan putih,
(2) bila memiliki 3 istilah warna biasanya ditambah warna merah,
(3) bila memiliki 4 istilah warna biasanya ditambah warna kuning
atau hijau, (4) bila memiliki 6 istilah warna ditambah warna biru,
(5) bila memiliki 7 istilah warna ditambah warna cokelat, dan (6)
bila memiliki 8 atau lebih istilah warna biasanya ditambah ungu,
merah muda, oranye, atau abu-abu.
Berdasarkan uraian di atas, untuk melakukan kajian
mengenai warna, perlu diperhatikan terlebih dahulu warna apa saja
yang masuk dalam warna dasar. Menurut Berlin dan Kay (1969: 5)
warna dasar memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. It is mono-lexemic. Its meaning is not predictable from
meaning of its parts.
Nama warna bersifat monoleksemik dan makna warna dasar
tidak berasal dari makna bagiannya. Foley (1997: 153)
mencontohkan pada warna bluish yang ternyata jika dilihat
dalam A Dictionary of Colour (Paterson, 2003: 64) memiliki
arti yang sama dengan tinged with blue. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa warna bluish merupakan bagian dari warna
blue sehingga warna tersebut tidak termasuk dalam warna
dasar.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36
2. Its signification is not included in that of any other color term.
Makna warna tersebut tidak termasuk dalam istilah warna
lainnya. Foley (1997: 153) mencontohkan pada warna scarlet
yang ternyata merupakan bagian dari warna red. Hal ini
dibuktikan dalam A Dictionary of Colour (Paterson, 2003:
349) yang menyatakan bahwa scarlet merupakan a bright
orange-red.
3. Its application should not be restricted to a narrow class of
objects.
Nama warna tidak digunakan pada objek yang sempit. Dalam
kasus ini, Foley (1997: 153) memberikan contoh pada kosakata
warna blond (Paterson, 2003: 55) yang bermakna light or fair
in colour; especially as regards hair; a light golden colour.
Jadi, warna blond ini hanya bisa digunakan untuk
menunjukkan warna rambut dan kayu sehingga tidak bisa
digunakan untuk menunjukkan warna pada objek lain.
4. It must be salient for informants.
Nama warna harus dianggap penting, menonjol, dan familiar
bagi informan. Menurut Foley (1997: 153), nama warna dasar
akan disebutkan pertama kali di antara nama-nama yang lain
dan nama warna tersebut dikenal secara luas oleh informan.
Misalnya dalam bahasa Madura, mѐra cabbi dan mѐra
ngadarbhang. Kata mѐra (merah) merupakan kata yang
disebutkan pertama kali dan menandakan bahwa warna
tersebut dikenal luas dan bersifat menonjol sebelum diikuti
kata lain setelahnya. Selain itu, nama warna itu juga harus
dikenal luas yang bisa dimaknai sebagai satu warna memiliki
banyak warna turunan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37
b. Teori Psikologi Warna Marian L. David
Dari kacamata psikologi, pada dasarnya manusia melihat
warna tidak hanya sebagai suatu keindahan atau ketertarikan secara
pribadi, melainkan lebih dari itu. Manusia memilih warna
berdasarkan kesadaran, kebutuhan, dan perasaannya. Warna
merupakan sebuah proses intuisi yang dapat mempengaruhi
persepsi manusia. Menurut David (1987: 119), warna digolongkan
menjadi dua, yaitu warna eksternal dan internal. Warna eksternal
adalah warna yang bersifat fisika dan faali, sedangkan warna
internal adalah warna sebagai persepsi manusia, cara manusia
melihat warna kemudian mengolahnya di otak dan cara
mengekspresikannya. Penelitian ini lebih menekankan dalam
penggolongan warna secara internal karena warna akan dilihat
secara khusus berdasarkan penggunaannya dalam masyarakat
Madura di Kab. Sumenep.
Warna memiliki pengaruh terhadap emosi dan kepribadian
individu atau sekelompok orang. Oleh sebab itu, warna juga
banyak digunakan dalam ranah kepercayaan atau keagamaan, karya
sastra, dan kegiatan fisik maupun mental manusia. Bahkan,
menurut Darmaprawira (2002: 31), warna juga dapat digunakan
untuk menyembuhkan penyakit yang berhubungan dengan
kejiwaan. Selain itu, warna juga memiliki karakteristik dalam arti
perlambangannya. Darmaprawira (2002: 39) mengungkapkan
dalam skala yang menyeluruh warna memiliki arti perlambangan
yang spesifik dan bervariasi mulai dari situasi sosial yang satu ke
situasi sosial lainnya. Jadi, warna dapat digunakan untuk
menggambarkan sebuah situasi sosial dalam masyarakat, termasuk
kebudayaan yang dimilikinya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38
C. Kerangka Pikir
Kerangka penelitian ini berangkat dari data, yaitu (1) satuan-satuan
lingual penanda warna dalam bahasa Madura yang digunakan oleh
masyarakat di Kab. Sumenep dan (2) simbol warna yang terekspresikan pada
peristiwa budaya dalam masyarakatnya. Data-data tersebut diperoleh melalui
dua sumber data, yaitu sumber data primer berupa tuturan informan serta
peristiwa budaya, dan sumber data sekunder berupa sumber-sumber tertulis
seperti buku, kamus, jurnal, serta artikel dari internet. Masyarakat tutur yang
dijadikan sebagai informan akan diberikan instrumen penelitian berupa kartu
warna yang berasal dari standar nama warna pada web (Nugroho, 2008: 20-
23) berjumlah 139 warna untuk membantu memudahkan mereka dalam
memberikan informasi perihal satuan-satuan lingual penanda warna dalam
bahasa Madura sesuai dengan pengetahuannya. Dengan kata lain, instrumen
penelitian tersebut berfungsi sebagai alat pembangkit data.
Selanjutnya, nama-nama warna dalam bahasa Madura yang telah
terkumpul akan dianalisis terlebih dahulu dengan teori warna dasar dari
Berlin dan Kay (1969). Hal ini bertujuan untuk mengetahui warna dasar dan
nondasar apa saja yang dimiliki oleh bahasa Madura. Langkah berikutnya,
warna turunan akan dipetakan dari warna dasar dan nondasar yang telah
ditemukan. Kemudian, data yang ada akan dianalisis menggunakan
pendekatan semantik dengan metode padan referensial untuk membantu
mendeskripsikan penamaan warna secara metaforis. Selanjutnya, pendekatan
etnolinguistik menggunakan metode etnografi dijalankan dengan model
analisis etnosains yang bertujuan untuk memperoleh tema-tema budaya, yaitu
makna kultural dari konsep penggunaan warna dalam bahasa Madura pada
beberapa domain dalam kehidupan masyarakat setempat dan faktor-faktor
yang membentuk penamaan warna dalam bahasa Madura. Kerangka pikir
penelitian ini dapat digambarkan seperti bagan di bawah ini.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39
1. Satuan-satuan
lingual penanda warna dalam
bahasa Madura
2. Simbol warna dalam peristiwa
budaya
Sumber data primer:
1. Tuturan
informan 2. Peristiwa
budaya
Sumber data sekunder:
1. Kamus
2. Buku
3. Jurnal 4. Artikel dari
internet
Metode padan
referensial
Metode etnografi
Etnolinguistik
Analisis PUP dan
HBS
Makna kultural
penggunaan warna
Faktor pembentuk penamaan warna
dalam BM
Menemukan bentuk
penamaan warna
dalam BM
Menemukan tema
budaya
Simpulan
Bagan 4. Alur kerangka berpikir penelitian
Nama-nama warna
dalam BMS
Satuan lingual dan
bentuk penamaan warna Makna kultural
penggunaan warna
Faktor munculnya
penamaan warna
Analisis etnosains
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (fieldwork research) yang
dilakukan di Kab. Sumenep. Kab. Sumenep merupakan satu diantara empat
Kab. yang berada di Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur. Secara astronomis,
Kab. Sumenep terletak pada 1130 32’ 54” – 1160 16’ 48” Bujur Timur dan
40 55’ – 70 24’ Lintang Selatan. Secara administratif, Kab. Sumenep terbagi
dalam 27 Kecamatan, 328 Desa dan 4 Kelurahan dengan jumlah pulau
sebanyak 126 pulau yaitu 48 pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak
berpenghuni (Bappeda Jatim, 2013).
Secara geografis, menurut Bappeda Jatim (2013) kabupaten ini
memiliki luas wilayah sebesar 2.093,458 Km2 dengan batas wilayah sebagai
berikut: (1) sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, (2) sebelah selatan
berbatasan dengan Selat Madura, (3) sebelah timur berbatasan dengan Laut
Jawa atau Laut Flores, dan (4) sebelah barat berbatasan dengan Kab.
Pamekasan. Peta yang menunjukkan hal tersebut dapat dilihat pada lampiran
1 (halaman 245).
Beberapa pertimbangan yang mendasari penelitian ini untuk dilakukan
di Kab. Sumenep ialah sebagai berikut:
a. Sumenep merupakan kiblat kebudayaan karena merupakan satu-satunya
Kab. di Pulau Madura yang memiliki keraton. Keberadaan keraton di
Sumenep merupakan pemberian dari Raden Wijaya kepada Aria Wiraraja
yang telah membantu Majapahit dalam melawan pasukan Mongol Tartar.
Diceritakan (Ahmad, 2018: 90) bahwa pasukan Tartar datang ke Jawa
untuk melakukan balas dendam atas perlakuan tidak wajar terhadap
Meng Ch’i oleh Raja Jawa. Namun, atas kecerdikan Aria Wiraraja
pasukan Tartar tersebut dijebak dalam kawasan Majapahit hingga
menyerah dan kalah. Setelah perlawanan itu, berdasarkan “Perjanjian
Songennep” pada 10 November 1293, Raden Wijaya diangkat menjadi
Raja Majapahit dengan daerah kekuasaan wilayah-wilayah Malang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41
(bekas Kerajaan Singhasari) dan wilayah barat, sedangkan Aria Wiraraja
menagih janji untuk menguasai wilayah lainnya, termasuk Sumenep.
Hingga kini, keraton tersebut masih berdiri kokoh dan menjadi museum
sejarah serta pusat kebudayaan. Jadi, arsip-arsip mengenai kebudayaan
Madura masih tersimpan lengkap di Kab. ini. Dengan demikian akan
diperoleh informasi dari beberapa informan yang masih keturunan raja-
raja Sumenep untuk memperkaya penjelasan penelitian ini. Misalnya,
penjelasan mengenai Labâng Mѐsem ‘pintu tersenyum’ yang berada di
lingkungan keraton.
b. Bahasa Madura dialek Sumenep memiliki pelafalan yang dianggap
terdengar paling merdu, halus, dan jelas (Rifai, 2007: 55), karena setiap
suku kata diucapkan secara penuh dan tegas. Hal ini menurut Saidi
(2016) juga dipengaruhi oleh keberadaan Keraton Sumenep yang pada
masanya menerapkan ondhâgghâ bhâsa ‘tingkatan bahasa’ untuk
membangun komunikasi antara kaum bangsawan dengan rakyatnya
sehingga sopan santun dalam berbahasa sangat dijaga. Oleh sebab itu,
bahasa Madura dialek Sumenep dijadikan sebagai bahasa Madura standar
dan menjadi acuan dalam penulisan bahasa Madura secara umum, baik
dalam ranah akademis maupun perkantoran. Dengan adanya hal tersebut,
data yang diperoleh yaitu satuan lingual penanda warna dalam ekspresi
bahasa pada bahasa Madura akan berbentuk standar baik dilihat dari segi
pelafalan maupun penulisannya jika mengambil data di Kab. Sumenep.
c. Secara khusus, Kab. Sumenep memiliki beberapa desa yang aktivitas
keseharian atau matapencaharian penduduknya dekat dengan proses
pewarnaan. Dengan begitu, penduduk di desa tersebut familier dengan
warna dan memiliki pengetahuan lebih soal nama-nama warna dalam
bahasa Madura. Desa tersebut antara lain, (1) Desa Pakondang yang
merupakan sentra pembuatan batik, (2) Desa Karduluk yang merupakan
sentra ukir kayu, dan (3) Desa Ambunten yang merupakan pesisir dengan
mayoritas penduduk berprofesi sebagai nelayan dengan kreasi perahu
yang berwarna-warni.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42
d. Kab. Sumenep merupakan tanah kelahiran dan tempat dibesarkannya
penulis. Penulis beranggapan akan memiliki kedekatan yang lebih
dengan kehidupan masyarakat setempat baik dalam ranah bahasa maupun
kebudayaan. Hal tersebut tentunya akan memudahkan dalam melakukan
penelitian, seperti untuk mengajukan pertanyaan dan memahami
informasi dari informan yang disajikan dalam bahasa Madura.
B. Bahan dan Alat Penelitian
Untuk memperoleh data, digunakan bantuan 139 kartu warna (Nugroho,
2008: 20-23) yang diperoleh dari standar nama warna pada web. Jadi, dalam
dunia web, nama warna sudah mempunyai standar yang sama. Nantinya,
kartu-kartu warna tersebut akan ditunjukkan pada informan secara bergantian
dan para informan menyebutkan nama warna dari masing-masing kartu sesuai
dengan pengetahuannya. Hal ini digunakan untuk membantu menjawab
rumusan masalah pertama, yaitu mendeskripsikan satuan lingual penanda
warna yang digunakan oleh penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep.
Kartu warna akan dibuat dalam kertas yang mana masing-masing kartu
berukuran 3 x 3 cm. Pembuatan kartu warna tersebut dilakukan menggunakan
aplikasi microsoft word dengan cara memasukkan decimal code pada format
shape dari 139 warna (lihat lampiran 2). Pembuatan kartu warna berbasis
teknologi ini dianggap lebih akurat untuk menampilkan jenis-jenis warna. Hal
ini sesuai dengan pendapat Darmaprawira (2002: 170) yang menyatakan
bahwa dalam era komputerisasi ini, komposisi warna dapat dicapai dengan
bantuan komputer, dengan tingkat ketelitiannya yang lebih terukur dan akurat
sehingga hasil campurannya seperti yang diharapkan.
Gambar 1. Decimal code dalam format shape pada microsoft word
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 43
C. Jenis Penelitian
Penelitian ini mengkaji nama-nama warna dalam bahasa Madura di
Kab. Sumenep menggunakan kajian etnolinguistik. Jenis penelitian ini adalah
kualitatif. Menurut Moleong (2007: 6), penelitian kualitatif bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara
holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada
suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah. Selanjutnya, Santosa (2017: 31) menambahkan jika
penelitian kualitatif memiliki ciri khusus berupa bersifat deskriptif, induktif,
intuitif, etnografis dan melihat peneliti sebagai instumen, serta menggunakan
purposive sampling.
Penelitian kualitatif yang digunakan ini bersifat deskriptif karena
penelitian kualitatif (Santosa, 2017: 31) bertujuan untuk memahami dan
memaparkan fenomena budaya yang tersembunyi atau sedikit diketahui
orang. Sejalan dengan hal itu, penelitian deskriptif (Sutopo, 2006: 111)
adalah penelitian yang studi kasusnya mengarah pada pendeskripsian secara
rinci dan mendalam mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya
terjadi menurut apa adanya di lapangan studinya. Jadi, penelitian deskriptif
kualitatif ini sesuai dengan tujuan dari penelitian yang akan dilakukan yaitu
untuk mendeskripsikan satuan lingual penanda warna yang digunakan oleh
penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep, untuk mendeskripsikan makna
kultural dari konsep penggunaan warna dalam masyarakat Madura di Kab.
Sumenep, dan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan
munculnya penamaan warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep.
Penelitian deskriptif kualitatif ini menggunakan metode etnografi
dengan model analisis etnosains (etnografi baru). Metode etnografi (Spradley,
2007: 3) digunakan untuk mendeskripsikan suatu kebudayaan. Di dalam
kebudayaan tersebut terdapat prinsip-prinsip tersembunyi dari pandangan
hidup masyarakat yang perlu dikuak. Jadi, menurut Spradley (2007: 5) inti
dari etnografi adalah upaya memperhatikan makna-makna tindakan dari
kejadian yang menimpa informan. Beberapa makna tersebut terekspresikan
dalam bahasa.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 44
Kemudian, analisis etnosains menjelaskan jika manusia memiliki
kesadaran dan pengetahuan atas apa yang dilakukannya. Menurut Ahimsa-
Putra (2007: 95), kesadaran dalam diri manusia pada dasarnya merupakan
kesadaran yang bersifat sosial atau kolektif karena tercipta melalui
komunikasi dengan bahasa lisan sebagai sarana utamanya. Oleh karena itu,
bahasa merupakan wadah dari kesadaran kolektif tersebut. Analisis etnosains
dilakukan dengan menggunakan alur penelitian maju bertahap (The
Developmental Research Sequence) yang terdiri dari 12 tahap (Spradley,
2007: 63-312), yaitu (1) menetapkan informan, (2) mewawancarai informan,
(3) membuat catatan etnografis, (4) mengajukan pertanyaan deskriptif, (5)
melakukan analisis wawancara etnografis, (6) membuat analisis domain, (7)
mengajukan pertanyaan struktural, (8) membuat analisis taksonomik, (9)
mengajukan pertanyaan kontras, (10) membuat analisis komponen makna,
(11) menemukan tema-tema budaya, (12) menulis sebuah etnografi.
Selanjutnya, strategi berpikir yang digunakan dalam penelitian ini
bersifat fenomenologis (Moleong, 2007: 15), yaitu pandangan berpikir yang
menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia
dan interpretasi-interpretasi dunia. Interpretasi tersebut merupakan
interpretasi bahasa untuk mendeskripsikan kebudayaan. Selain itu, Subroto
(2007: 6) juga menambahkan jika fenomenologis berarti berusaha memahami
makna dari fenomena-fenomena, peristiwa-peristiwa dan kaitannya dengan
orang-orang atau masyarakat yang diteliti dalam konteks kehidupan dalam
situasi yang sebenarnya. Dengan kata lain, ada usaha untuk masuk dan
memahami dunia konseptual dari para informan yang diteliti agar mengetahui
pengetahuan yang dikembangkan oleh mereka dalam kehidupan.
1. Data dan Sumber Data
a. Data
Menurut Subroto (2007: 38), data adalah semua informasi atau
bahan yang disediakan oleh alam yang harus dicari atau
dikumpulkan dan dipilih oleh peneliti. Data harus dipilih karena
pada dasarnya data adalah bahan jadi dan bukan bahan mentah. Data
dapat terdapat pada wujud pemakaian bahasa, perilaku, kegiatan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 45
masyarakat, dan pada alam apapun dengan segala fenomenanya.
Pada wujud pemakaian bahasa, data dapat berupa perkataan-
perkataan, kalimat-kalimat, maupun wacana-wacana. Di luar itu,
data juga dapat berupa gambar-gambar, foto-foto, rekaman-rekaman,
dan lain-lain. Dalam penelitian ini, data yang digunakan dibagi
menjadi dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder.
1) Data Primer
Menurut Santosa (2017: 52), data primer merupakan data
yang dikumpulkan oleh peneliti dari lokasi penelitian secara
langsung. Data primer dalam penelitian ini berupa (1) satuan-
satuan lingual penanda warna yang digunakan masyarakat
Madura di Kab. Sumenep yang tercermin dalam ekspresi
bahasa, seperti pada ungkapan sehari-hari, folklor, ungkapan,
dan peribahasa serta (2) simbol warna yang digunakan dalam
peristiwa budaya, seperti simbol-simbol warna pada domain
kesenian, bangunan, transportasi, upacara ritual, dan kuliner.
2) Data Sekunder
Menurut Santosa (2017: 52), data sekunder merupakan
data yang dikumpulkan oleh peneliti lain yang digunakan oleh
peneliti untuk mendukung penelitiannya. Selain itu, data
sekunder adalah data yang terkait dengan fokus penelitian.
Dalam penelitian ini, data sekunder merupakan data tertulis
meliputi (1) catatan mengenai nama-nama warna dalam bahasa
Madura dan (2) penjelasan berkaitan dengan makna kultural dari
leksikon yang diperoleh maupun penggunaan dari simbol warna
dalam masyarakat yang termuat dalam kamus, buku bacaan,
jurnal, artikel dari internet, dan catatan hasil dari penjelasan
informan dalam wawancara.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 46
b. Sumber Data
Menurut Santosa (2017: 52), sumber data dapat berupa tempat,
informan, kejadian, dokumen, situs, dan lain sebagainya. Sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder.
1) Sumber Data Primer
Sumber data primer dalam penelitian ini berasal dari (1)
ujaran atau tuturan informan yang memahami ekspresi bahasa
dan budaya pada penggunaan nama-nama warna dalam bahasa
Madura di Kab. Sumenep. Untuk memilih informan tersebut,
digunakan kriteria persyaratan minimal menurut Spradley
(2007: 68) yaitu enkulturasi penuh, keterlibatan langsung,
suasana budaya yang tidak dikenal, waktu yang cukup, dan non-
analitis. Selanjutnya, sumber data primer juga berasal dari (2)
peristiwa budaya, yaitu aktivitas atau domain tertentu dalam
masyarakat Madura di Kab. Sumenep yang memiliki
penggunaan warna, misalnya dalam proses pewarnaan batik dan
seni ukir Karduluk.
2) Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder berupa sumber data tertulis,
meliputi (1) kamus, (2) buku bacaan, (3) jurnal, (4) artikel dari
internet, dan (5) catatan hasil dari penjelasan informan dalam
wawancara.
2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data digunakan dua metode yaitu metode
simak dan metode cakap.
a. Metode Simak
Menurut Sudaryanto (2015: 203), metode simak merupakan
metode yang digunakan dengan menyimak penggunaan bahasa.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 47
Metode ini dijalankan dengan teknik dasar yaitu teknik sadap dan
teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap. Teknik simak libat
cakap juga dapat dikatakan sebagai teknik observasi partisipasi
karena peneliti terlibat langsung dalam dialog. Menurut Abdullah
(2017: 70), teknik observasi partisipasi merupakan teknik ketika
peneliti memasuki situasi mereka (partisipan) dan secara aktif
bertindak serta berperan sebagai pengamat, bersamaan dengan itu
berperan sebagai partisipan untuk mencermati data penelitian yang
diperlukan.
Spradley (2007: 87) menyatakan bahwa teknik observasi
partisipasi ini didahului oleh penetapan dan wawancara dengan
informan terpilih sembari peneliti membuat catatan etnografis,
petanyaan deskriptif, pertanyaan struktural, dan pertanyaan kontras.
Sejalan dengan hal tersebut, Abdullah (2017: 70) juga menggunakan
strategi terpilih untuk melaksanakan observasi partisipasi, yaitu (1)
menyampaikan identitas diri secara meyakinkan disertai dengan
bukti-bukti administratif guna mendapatkan kepercayaan informan,
(2) menyampaikan bahwa keterlibatan peneliti terhadap semua
aktivitas mereka tidak akan menimbulkan kerugian secara spiritual,
moral, material, formal, dan sosial-politik, (3) menempatkan diri
dalam rangka etis secara praktis, spiritualistis dan psikologis di
tengah kehidupan mereka, (4) memahami sensitivitas kondisi sosial-
budaya, sosial-politik, dan sosial-ekonomi untuk menghindari
kontraproduktif, (5) menempatkan mereka sebagai mitra peneliti
yang berperan penting, (6) peneliti mengatur strategi kapan harus
terbuka dan kapan berlaku sembunyi, (7) mencermati munculnya
ekspresi bahasa dan budaya. Terjadi pengamatan ekspresi bahasa dan
budaya pada nama-nama warna dalam bahasa Madura baik secara
satuan lingual maupun nonlingual, dan (8) menyiapkan daftar
pertanyaan deskriptif, struktural, dan kontras sesuai dengan
keperluan penelitian.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 48
Selain menggunakan teknik simak libat cakap atau observasi
partisipasi, juga digunakan teknik lanjutan lain berupa teknik rekam
dan teknik catat. Secara praktis, kejadian di lapangan direkam ketika
sedang mengumpulkan data dan satuan-satuan lingual penanda
warna dalam bahasa Madura dicatat beserta makna kultural dari
penggunaanya dalam peristiwa budaya yang ditemukan di lapangan
untuk memudahkan proses analisis data menggunakan model
etnosains.
b. Metode Cakap
Menurut Sudaryanto (2015: 208), metode cakap merupakan
metode yang menggunakan percakapan atau terjadi kontak antara
peneliti dengan penutur selaku narasumber. Metode ini dapat
disejajarkan dengan metode wawancara atau interview. Metode
tersebut dilakukan dengan teknik dasar pancing karena berupa
pancingan menggunakan daftar pertanyaan untuk mendapatkan data.
Pada penelitian ini, dibuat 3 klasifikasi pertanyaan yaitu, pertanyaan
deskriptif, struktural, dan kontras. Selanjutnya, teknik dasar tersebut
juga disandingkan dengan teknik lanjutan berupa teknik cakap
semuka karena dilakukan wawancara atau percakapan langsung,
secara lisan, dan tatap muka dengan para informan.
Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan
jenis wawancara mendalam (in-depth interviewing) karena peneliti
harus hadir langsung untuk menggali informasi dari informan
sedalam dan sebanyak mungkin. Dalam pelaksanaanya, wawancara
mendalam tersebut dilakukan dengan dukungan; (1) teknik rekam
menggunakan handphone recorder (audio) dan handycam (video),
serta (2) teknik catat menggunakan alat tulis berupa kertas dan
bolpoin untuk mencatat satuan-satuan lingual penanda warna dalam
bahasa Madura beserta informasi lainnya yang berhubungan dengan
data penelitian yang berasal dari informan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 49
3. Teknik Sampling
Untuk mendapatkan kelengkapan dan kedalaman data digunakan
teknik purposive sampling. Hal ini didasarkan pada pendapat Abdulllah
(2017: 69) yang menyatakan bahwa purposive sampling dipandang dapat
menangkap kelengkapan dan kedalaman data di dalam menghadapi
realitas yang tidak tunggal, dan diarahkan pada sumber data yang
memiliki data yang penting dan berkaitan dengan permasalahan yang
sedang diteliti. Jadi, data yang diambil adalah satuan lingual warna yang
menggunakan bahasa Madura. Jika saat proses wawancara informan
melontarkan nama warna dengan bahasa lain, maka satuan lingual warna
tersebut tidak akan dijadikan data. Kedua, simbol warna yang digunakan
adalah simbol warna yang melekat pada artefak dan memiliki makna
(warna motivasi). Jika ada warna yang melekat pada artefak dan tidak
memiliki makna (warna non-motivasi) atau digunakan untuk kebutuhan
estetika saja, maka simbol warna pada artefak tersebut tidak akan
digunakan sebagai data.
Selain itu, dalam kaitannya dengan penetapan informan, digunakan
teknik snowball sampling. Menurut Yin (dalam Sutopo, 2006: 65),
snowball sampling digunakan bilamana peneliti ingin mengumpulkan
data yang berupa informasi dari informan dalam salah satu lokasi, tetapi
tidak tahu siapa yang tepat untuk dipilih sebagai narasumber. Hal ini
dikarenakan peneliti belum mengenal keseluruhan sumber data yang
berupa informan. Jadi, dari informan pertama diperoleh rekomendasi
mengenai informan lain yang lebih mengetahui berbagai informasi yang
dibutuhkan dalam penelitian ini. Selain itu, informan pertama juga dapat
memberikan petunjuk atau saran mengenai cara mendapatkan data
selanjutnya. Proses tersebut akan terus berlangsung hingga data yang
diperoleh dirasa cukup.
4. Validitas Data
Data yang telah diperoleh tidak hanya dianalisis secara mendalam
tetapi juga harus teruji kebenaran atau kesahihannya. Oleh sebab itu,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 50
diperlukan validitas data untuk data-data dalam penelitiannya. Menurut
Sutopo (2006: 92) ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam uji
validitas data, yaitu (1) triangulasi (triangulation) dan (2) reviu
informan kunci (key informant review) dan member check.
Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi untuk menguji
kebenarannya. Menurut Paton (dalam Sutopo, 2006: 92-98), teknik
triangulasi terdiri dari triangulasi sumber/triangulasi data, triangulasi
metode, triangulasi peneliti, dan triangulasi teori. Namun, dalam
penelitian ini hanya digunakan 2 teknik triangulasi yaitu, (1) triangulasi
sumber/triangulasi data, artinya data yang sama atau sejenis akan lebih
mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber data yang
berbeda, dan (2) triangulasi metode, artinya mengumpulkan data sejenis
tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang
berbeda.
5. Prosedur Penelitian
Data penelitian yang telah diperoleh dianalisis mengarah pada
pengklasifikasian satuan-satuan lingual penanda warna dalam bahasa
Madura, bentuk penamaan warna, dan makna kultural dari konsep
penggunaan warna dalam masyarakat Madura di Kab. Sumenep
menggunakan sudut pandang etnolinguistik. Dengan menggunakan
metode penelitian etnografi dan model analisis etnosains yang terdiri dari
analisis domain, taksonomi, dan komponensial, (Spradley, 2007: 151,
189, 245), data dianalisis untuk menemukan tema-tema budaya dalam
konsep penggunaan warna bagi masyarakat Madura di Kab. Sumenep
beserta faktor pembentuk nama warna tersebut. Selain itu, untuk
menganalisis nama warna, digunakan pula dimensi mikrolinguistik
dengan menerapkan metode padan referensial dengan teknik dasar pilah
unsur penentu (PUP) menggunakan daya pilah referensial dan teknik
lanjutan berupa teknik hubung banding menyamakan oleh Sudaryanto.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 51
Analisis data penelitian mengenai kajian nama-nama warna dalam
bahasa Madura di Kab. Sumenep ini meliputi langkah-langkah analisis
data sebagai berikut:
a. Mentranskrip hasil wawancara dengan informan secara ortografis
dan menerjemahkan data verbal maupun nonverbal dalam bentuk
ekspresi bahasa.
b. Mengumpulkan nama-nama warna yang digunakan oleh penutur
bahasa Madura di Kab. Sumenep dan nama-nama warna yang
muncul dalam ekspresi verbal lain seperti peribahasa, ungkapan,
serta folklor. Selain itu, juga dikumpulkan peristiwa-peristiwa
budaya yang di dalamnya terdapat penggunaan warna oleh
masyarakat Madura di Kab. Sumenep, misalnya dalam domain
kesenian yaitu tarian Muwang Sangkal dan domain folklor non-lisan
yaitu makanan rakyat Tajhin Lѐma’ Bârna.
c. Membagi data yang besar ke dalam kelompok yang lebih kecil. Jadi,
warna utama memiliki anggota warna turunan. Misalnya untuk
warna dasar mѐra ‘merah’ terdapat klasifikasi warna turunan mѐra
cabbi ‘merah cabai’, mѐra sokkla ‘merah murni’, dan mѐra bhâta
‘merah bata’. Warna-warna turunan tersebut akan dianalisis secara
metaforik. Selain itu, warna-warna yang ada juga diklasifikasikan
berdasarkan domain penggunaannya. Misalnya, dalam domain
nonverbal pada bidang kesenian yaitu tari Muwang Sangkal terdapat
kelengkapan pakaian seperti rapè’ ‘pakaian’, lâ-jhilâ ‘ikat
pinggang’, dan bherrâs konѐng ‘beras kuning’ yang masing-masing
memiliki warna dengan makna kultural tertentu.
d. Sebelum data yang ada dianalisis menggunakan metode etnografi
untuk mendeskripsikan tema budaya, data-data tersebut dianalisis
menggunakan metode padan referensial dengan teknik dasar pilah
unsur penentu (PUP) menggunakan daya pilah referensial. Teknik
dasar tersebut berfungsi untuk menentukan referen dalam nama
warna seperti kata benda, sifat, dan verba. Selain itu, teknik dasar
dilengkapi dengan teknik lanjutan berupa teknik hubung banding
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 52
menyamakan. Teknik lanjutan tersebut berfungsi untuk
membandingkan kemudian mencari persamaan dari dua term
pembentuk metafora warna. Dengan kata lain, metode padan
digunakan sebagai cara untuk mengetahui hubungan bahasa yang
diteliti dengan hal-hal di luar bahasa yang bersangkutan.
e. Menganalisis dan mendeskripsikan makna kultural dari konsep
penggunaan warna dalam domain verbal dan nonverbal yang telah
ditentukan. Proses analisis tersebut tidak terlepas dari analisis
terhadap bahasa dan budaya masyarakat Madura di Kab. Sumenep.
Hal ini bertujuan untuk menginventarisasi, mengidentifikasi,
mendeskripsikan, memformulasikan, dan menginterpretasi hubungan
antara data-data verbal dan nonverbal dengan budaya yang dimiliki,
termasuk dengan seluruh aktivitas kehidupan yang mereka lakukan.
Dengan kata lain, budaya dan seluruh aktivitas kehidupan masyarakat
dapat dijadikan acuan untuk menafsirkan pandangan hidup,
pandangan terhadap dunia, dan pola pikir guna menguak kebudayaan
yang mereka miliki.
f. Menganalisis dan mendeskripsikan faktor-faktor pembentuk
penamaan warna dalam bahasa Madura. Proses analisis tersebut juga
meliputi analisis pola pikir dan pandangan masyarakat Madura di
Kab. Sumenep dengan mengamati ide dan konsep yang mereka miliki
ketika melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk aktivitas yang di
dalamnya berhubungan dengan warna. Hal ini bertujuan untuk
mengungkap alasan di balik keputusan mereka dalam menggunakan
warna atau leksikon warna tersebut.
g. Mendeskripsikan tema-tema budaya yang sebelumnya dilihat dari
beberapa aspek, yaitu bahasa dan budaya, pola pikir, serta pandangan
hidup masyarakat Madura di Kab. Sumenep dalam menggunakan
warna baik secara verbal maupun non-verbal. Dengan kata lain, untuk
memperoleh tema-tema budaya, temuan dari rumusan masalah
pertama hingga ketiga dihubungkan satu sama lain.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 53
6. Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan
metode formal dan informal. Sudaryanto (2015: 241) menyatakan bahwa
metode informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa, walaupun
dengan terminologi yang teknis sifatnya; sedangkan penyajian formal
adalah perumusan dengan apa yang umum dikenal sebagai tanda dan
lambang-lambang. Sejalan dengan pendapat tersebut, Abdullah (2017:
76) turut menjelaskan jika metode formal merupakan perumusan dengan
tanda dan lambang-lambang, seperti tanda kurung biasa ((....)), tanda
garis miring (/), dan tanda yang menyatakan terjemahan (‘....’), peta
wilayah, gambar, foto, bagan, tabel, dan sebagainya. Penyajian dengan
metode formal dan informal ini diharapkan dapat membantu untuk
memberikan penjelasan yang lengkap dan jelas dalam bentuk laporan
penelitian tesis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 54
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dikemukakan hasil penelitian dan pembahasan dari
rumusan masalah serta tujuan penelitian yang telah dikemukakan dalam bab I.
Hasil penelitian meliputi (1) satuan lingual penanda warna, (2) makna kultural
dari konsep penggunaan warna, dan (3) faktor-faktor yang menyebabkan
munculnya penamaan warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep.
Selanjutnya, pembahasan merupakan pemaparan benang merah atau hubungan
dari hasil penelitian, kajian pustaka, serta teori yang ada.
A. Hasil Penelitian
1. Satuan lingual penanda warna dalam bahasa Madura di Kab.
Sumenep
Satuan lingual atau satuan gramatikal dalam tata bahasa dapat
berupa kalimat, klausa, frasa, kata, atau morfem. Dalam penelitian ini,
satuan lingual yang digunakan untuk membentuk nama warna terdiri dari
dua jenis, yaitu kata dan frasa. Satuan lingual kata digunakan penutur
untuk menyebutkan warna utama (warna yang tidak memiliki atribut),
yaitu potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’, bhiru ‘hijau’, konѐng
‘kuning, cokklat ‘cokelat’, bhiru ‘biru’, bungo ‘ungu’, dan bu-abu ‘abu-
abu’. Selanjutnya, satuan lingual frasa digunakan penutur untuk
menyebutkan warna turunan dari warna utama yang berjumlah 205
warna. Untuk menentukan warna-warna dasar yang berada dalam bahasa
Madura di Kab. Sumenep diperlukan analisis warna dasar menggunakan
teori universal warna Berlin dan Kay (1969) terhadap nama-nama warna
yang telah dikumpulkan.
Dari penelitian lapangan yang dilakukan, ditemukan 6 warna dasar
yang digunakan oleh penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep, yaitu
potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’, bhiru ‘hijau’, konѐng
‘kuning, dan cokklat ‘cokelat’, serta 3 warna nondasar, yaitu bhiru ‘biru’,
bungo ‘ungu’, dan bu-abu ‘abu-abu’. Selanjutnya, kesembilan warna
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 55
tersebut akan dianalis satu per satu untuk membuktikan
pengklasifikasiannya dalam kategori warna dasar dan nondasar.
a. Nama-nama warna dasar dalam bahasa Madura di Kab.
Sumenep menurut teori universal warna Berlin dan Kay
Sesuai dengan teori warna Berlin dan Kay yang telah dipaparkan
dalam bab II, ada beberapa kriteria untuk menentukan warna dasar
dalam suatu bahasa. Kriteria tersebut adalah (1) monoleksem, (2)
bukan hiponim, makna warna bukan termasuk ke dalam nama warna
lain, (3) nama warna harus digunakan dalam objek yang luas, dan (4)
nama warna harus menonjol dan dikenal luas oleh penutur. Berikut
ini analisis warna-warna dasar dalam bahasa Madura di Kab.
Sumenep yang digunakan oleh penutur di Kab. Sumenep.
1) Potѐ ‘putih’
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia
(Pawitra, 2009: 322), potѐ merupakan warna dasar yang serupa
dengan warna kapas. Jika dianalisis berdasarkan kriteria teori
warna, pertama, potѐ merupakan leksem tunggal (monoleksem)
karena mengalami proses derivasi zero. Kedua, makna dari potѐ
tidak berasal dari bagian warna lain. Ketiga, warna potѐ dapat
digunakan pada objek yang luas dan data di lapangan
menunjukkan jika leksikon warna potѐ memiliki 25 warna
turunan, di antaranya potѐ bherrâs ‘putih beras’ (TB.01/111) dan
potѐ kapor ‘putih kapur’ (TB.01/105). Banyaknya leksikon warna
potѐ yang digunakan oleh penutur menunjukkan jika warna potѐ
dapat dikenal luas oleh penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep.
Sebagai hasil akhir, leksikon warna potѐ dapat memenuhi empat
kriteria dalam teori Berlin dan Kay sehingga warna potѐ
merupakan warna dasar dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 56
2) Celleng ‘hitam’
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia
(Pawitra, 2009: 109), celleng merupakan warna dasar serupa
dengan warna arang. Jika dianalisis berdasarkan kriteria teori
warna, pertama, celleng merupakan leksem tunggal
(monoleksem) karena mengalami proses derivasi zero. Kedua,
makna dari celleng tidak berasal dari bagian warna lain. Ketiga,
warna celleng dapat digunakan pada objek yang luas dan data di
lapangan menunjukkan jika leksikon warna celleng memiliki 20
warna turunan, di antaranya celleng matѐ ‘hitam mati’ (TB.01/75)
dan celleng bhâkoh ‘hitam tembakau’ (TB.01/81). Banyaknya
leksikon warna celleng yang digunakan oleh penutur
menunjukkan jika warna celleng dapat dikenal luas oleh penutur
bahasa Madura di Kab. Sumenep. Sebagai hasil akhir, leksikon
warna celleng dapat memenuhi empat kriteria dalam teori Berlin
dan Kay sehingga warna celleng merupakan warna dasar dalam
bahasa Madura di Kab. Sumenep.
3) Mѐra ‘merah’
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia
(Pawitra, 2009: 423), mѐra merupakan warna dasar yang serupa
dengan warna darah. Jika dianalisis berdasarkan kriteria teori
warna, pertama, mѐra merupakan leksem tunggal (monoleksem)
karena mengalami proses derivasi zero. Kedua, makna dari mѐra
tidak berasal dari bagian warna lain. Ketiga, warna mѐra dapat
digunakan pada objek yang luas dan data di lapangan
menunjukkan jika leksikon warna mѐra memiliki 29 warna
turunan, di antaranya mѐra mardâh ‘merah bara api’ (TB.01/23)
dan mѐra mettal ‘merah padam’ (TB.01/22). Banyaknya leksikon
warna mѐra yang digunakan oleh penutur menunjukkan jika
warna mѐra dapat dikenal luas oleh penutur bahasa Madura di
Kab. Sumenep. Sebagai hasil akhir, leksikon warna mѐra dapat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 57
memenuhi empat kriteria dalam teori Berlin dan Kay sehingga
warna mѐra merupakan warna dasar dalam bahasa Madura di
Kab. Sumenep.
4) Bhiru ‘hijau’
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia
(Pawitra, 2009: 68), bhiru adalah hijau bukan biru. Penekanan
definisi tersebut disebabkan karena banyak orang yang bukan
penutur bahasa Madura menganggap bhiru sama seperti ‘biru’
dalam bahasa Indonesia sehingga mereka juga sering berpikiran
jika orang Madura buta warna karena tidak bisa membedakan
antara hijau dan biru. Jika dianalisis berdasarkan kriteria teori
warna, pertama, bhiru merupakan leksem tunggal (monoleksem)
karena mengalami proses derivasi zero. Kedua, makna dari bhiru
tidak berasal dari bagian warna lain. Ketiga, warna bhiru dapat
digunakan pada objek yang luas dan data di lapangan
menunjukkan jika leksikon warna bhiru memiliki 18 warna
turunan, di antaranya bhiru butol ‘hijau botol’ (TB.01/179) dan
bhiru matta ‘hijau mentah’ (TB.01/181). Banyaknya leksikon
warna bhiru yang digunakan oleh penutur menunjukkan jika
warna bhiru dapat dikenal luas oleh penutur bahasa Madura di
Kab. Sumenep. Sebagai hasil akhir, leksikon warna bhiru dapat
memenuhi empat kriteria dalam teori Berlin dan Kay sehingga
warna bhiru merupakan warna dasar dalam bahasa Madura di
Kab. Sumenep.
5) Konѐng ‘kuning’
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia
(Pawitra, 2009: 322), konѐng merupakan warna yang serupa
dengan warna kunyit atau emas murni. Jika dianalisis berdasarkan
kriteria teori warna, pertama, konѐng merupakan leksem tunggal
(monoleksem) karena mengalami proses derivasi zero. Kedua,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 58
makna dari konѐng tidak berasal dari bagian warna lain. Ketiga,
warna konѐng dapat digunakan pada objek yang luas dan data di
lapangan menunjukkan jika leksikon warna konѐng memiliki 40
warna turunan, di antaranya konѐng pellay ‘kuning pucat’
(TB.01/40) dan konѐng bucco’ ‘kuning busuk’ (TB.01/42).
Banyaknya leksikon warna konѐng yang digunakan oleh penutur
menunjukkan jika warna konѐng dapat dikenal luas oleh penutur
bahasa Madura di Kab. Sumenep. Sebagai hasil akhir, leksikon
warna konѐng dapat memenuhi empat kriteria dalam teori Berlin
dan Kay sehingga warna konѐng merupakan warna dasar dalam
bahasa Madura di Kab. Sumenep.
6) Cokklat atau sokklat ‘cokelat’
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia
(Pawitra, 2009: 660), cokklat bisa juga disebut sebagai sokklat
yang merupakan perihal warna. Jika dianalisis berdasarkan
kriteria teori warna, pertama, cokklat atau sokklat merupakan
leksem tunggal (monoleksem) karena mengalami proses derivasi
zero. Kedua, makna dari cokklat atau sokklat tidak berasal dari
bagian warna lain. Ketiga, warna cokklat atau sokklat dapat
digunakan pada objek yang luas dan data di lapangan
menunjukkan jika leksikon warna cokklat atau sokklat memiliki
27 warna turunan, di antaranya cokklat jhâteh ‘cokelat jati’
(TB.01/132) dan sokklat salak ‘cokelat salak’ (TB.01/135).
Banyaknya leksikon warna cokklat atau sokklat yang digunakan
oleh penutur menunjukkan jika warna cokklat atau sokklat dapat
dikenal luas oleh penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep.
Sebagai hasil akhir, leksikon warna cokklat atau sokklat dapat
memenuhi empat kriteria dalam teori Berlin dan Kay sehingga
warna cokklat atau sokklat merupakan warna dasar dalam bahasa
Madura di Kab. Sumenep.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 59
b. Nama-nama warna nondasar dalam bahasa Madura di Kab.
Sumenep menurut teori universal warna Berlin dan Kay
Selain warna-warna yang dipaparkan di atas, ada beberapa
warna yang tidak termasuk ke dalam warna dasar menurut teori
universal warna Berlin dan Kay. Warna-warna tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1) Bhiru ‘biru’
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia
(Pawitra, 2009: 68), bhiru adalah hijau bukan biru. Selain itu,
bhiru juga dijelaskan dapat berarti ‘biru’ jika mendapatkan atribut
di belakangnya, seperti bhiru langngѐ (TB.01/142). Dengan kata
lain, untuk mendapatkan makna ‘biru’ maka leksem bhiru harus
berdampingan dengan atribut lain agar tidak terjadi ambiguitas
dengan warna hijau. Jadi, untuk kriteria pertama, yaitu leksem
tunggal (monoleksem) tidak dapat dipenuhi. Selanjutnya pada
kriteria kedua, makna bhiru di bahasa Madura lebih ditujukan
untuk warna hijau sehingga makna bhiru untuk ‘biru’ dapat
dikatakan merupakan bagian dari warna dasar lain yaitu hijau atau
meminjam leksem warna dasar lain dalam penyebutannya. Warna
bhiru ‘biru’ ini dapat digunakan pada objek yang luas dan data di
lapangan menunjukkan jika leksikon warna bhiru ‘biru’ memiliki
24 warna turunan, di antaranya bhiru tasѐ’ ‘biru laut’ (TB.01/46)
dan bhiru panci ‘biru panci’ (TB.01/165). Namun, walaupun
demikian, warna bhiru yang bermakna ‘biru’ ini bukanlah warna
dasar dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep karena poin
pertama dan kedua tidak bisa terpenuhi.
2) Bungo ‘ungu’
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia
(Pawitra, 2009: 92), bungo berarti ungu atau biru. Jika dianalisis
berdasarkan kriteria teori warna, pertama, bungo merupakan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 60
leksem tunggal (monoleksem) karena mengalami proses derivasi
zero. Namun untuk kriteria kedua, makna dari leksikon bungo
mencakup lebih dari satu warna yaitu ungu dan biru. Dari data
yang ditemukan di lapangan, penggunaan leksikon bungo terbukti
dapat digantikan dengan leksikon lain yaitu bhiru dalam bhiru
terong ‘biru terong’ (TB.01/162) yang sebenarnya maknanya
sama dengan bungo terong ‘ungu terong’ (TB.01/186). Umumnya
terong memiliki dua warna, yaitu hijau dan ungu. Orang Madura
menggunakan leksem bhiru karena mereka menganggap warna
bhiru ‘biru’ adalah bagian dari warna ungu, begitupun sebaliknya
sehingga keberadaan leksikon bungo dianggap dapat
menggantikan keberadaan dua warna, yaitu ungu dan biru. Jika
dibandingkan dengan warna lainnya, warna bungo memiliki lebih
sedikit warna turunan, yaitu hanya 11 warna yang beberapa di
antaranya bahkan bisa disubtitusikan dengan leksem bhiru seperti
bungo tasѐ’ ‘ungu laut’ (TB.01/184) dengan bhiru tasѐ’ ‘biru
laut’ (TB.01/146). Sebagai hasil akhir, leksikon warna bungo
tidak dapat dikatakan sebagai warna dasar dalam bahasa Madura
di Kab. Sumenep. Hal ini disebabkan leksikon bungo
mendeskripsikan dua makna warna dan penggunaannya belum
cukup luas di kalangan penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep.
3) Bu-abu ‘abu-abu’
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia
(Pawitra, 2009: 3), bu-abu adalah warna abu-abu atau kelabu. Jika
dianalisis berdasarkan kriteria teori warna, pertama, bu-abu bukan
merupakan leksem tunggal (monoleksem) karena mengalami
proses morfologis reduplikasi sehingga terdiri dari dua leksem.
Dalam bahasa Madura, bu-abu termasuk dalam reduplikasi suku
akhir dari sebuah kata dasar yaitu abu. Warna bu-abu ini dapat
digunakan pada objek yang luas. Namun warna turunan yang
dimiliki menunjukkan jika leksikon warna bu-abu lebih sedikit
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 61
daripada leksikon warna lain, yaitu hanya memiliki 11 warna
turunan, di antaranya bu-abu ketthe’ ‘abu-abu monyet’
(TB.01/2014) dan bu-abu busok ‘abu-abu kucing busok’
(TB.01/205). Oleh sebab itu, warna bu-abu bukanlah warna dasar
dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep.
c. Nama-nama warna turunan dari warna dasar dan nondasar
beserta bentuk penamaannya dalam bahasa Madura di Kab.
Sumenep
Warna turunan adalah jenis-jenis warna dari sebuah warna dasar
maupun nondasar yang biasanya digunakan oleh penutur dalam suatu
bahasa. Warna dasar maupun nondasar biasanya memiliki warna
turunan yang ditandai dengan peletakan atribut baik sebelum warna
dasar maupun setelahnya. Dari data yang diperoleh, warna turunan
dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep ditandai dengan peletakan
atribut setelah warna dasar atau nondasar, contohnya seperti pada
data TB.01/21 yaitu mѐra mabâr ‘merah mawar’. Warna dasar dari
frasa warna mѐra mabâr adalah mѐra ‘merah’, sedangkan unsur
atributnya adalah mabâr ‘mawar’ yang berasal dari kelas kata nomina
yaitu tumbuhan dalam kelas bunga. Atribut di dalam frasa warna
tersebut salah satunya berfungsi untuk menjelaskan spektrum dari
warna dasar yang dimaksud, yaitu warna merah seperti kelopak
bunga mawar. Dengan kata lain, warna merah dimetaforakan seperti
bagian dari bunga mawar, yaitu kelopaknya. Atribut yang melekat
dalam frasa warna sangat beragam atau tidak hanya berasal dari satu
kelas kata.
Selanjutnya, berdasarkan data yang diperoleh, ada beberapa
warna turunan dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep yang tidak
menggunakan unsur warna dasar di dalamnya, melainkan acuan
benda lain yang memiliki warna serupa. Sebagai contoh pada data
TB.01/141 yaitu sabu bucco’ ‘sawo busuk’. Jadi, frasa nomina
tersebut adalah warna turunan dari warna dasar cokelat. Sabu bucco’
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 62
‘sawo busuk’ digunakan untuk menjelaskan spektrum warna cokelat
tua seperti buah sawo yang sudah busuk. Berikut ini adalah
penjelasan warna turunan dari setiap warna dasar beserta struktur dan
metafora penamaan warnanya dalam bahasa Madura di Kab.
Sumenep.
1) Potѐ ‘putih’
Dari data yang diperoleh di lapangan, warna putih memiliki
25 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut memiliki atribut
dan penamaan yang beraneka ragam.
Tabel 1. Warna-warna turunan dari warna putih
No. Warna
Turunan Terjemahan Atribut
1. Potѐ tolang Putih tulang
Nomina
(bagian tubuh
manusia)
2. Potѐ tolang towa Putih tulang tua
Frasa Nomina
(bagian tubuh
manusia)
3. Potѐ tolang
ngodâ
Putih tulang
muda
Frasa Nomina
(bagian tubuh
manusia)
4. Potѐ molos Putih mulus
Adjektiva
(cerapan
perabaan)
5. Potѐ pellay Putih pucat Adjektiva
(pemeri sifat)
6. Potѐ tellor Putih telur Nomina
(makanan)
7. Potѐ ngetthak Putih terang
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
8. Potѐ beddheng Putih kusam
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
9. Potѐ susu Putih susu Nomina
(minuman)
10. Potѐ gheddung Putih tembok Nomina
(benda rumah)
11. Potѐ bhenning Putih bening Adjektiva
(cerapan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 63
penglihatan)
12. Potѐ olay Putih pucat Adjektiva
(pemeri sifat)
13. Potѐ mata Putih mata
Nomina
(bagian tubuh
manusia)
14. Potѐ salju Putih salju
Nomina
(benda
lingkungan alam)
15. Potѐ masѐn Putih asin
Adjektiva
(cerapan
pencitarasaan)
16. Potѐ kapor Putih kapur
Nomina
(benda
lingkungan alam)
17. Potѐ bhulus Putih mulus
Adjektiva
(cerapan
perabaan)
18. Potѐ bhâkoh Putih tembakau
Nomina
(tumbuhan kelas
dedaunan)
19. Potѐ bu-abu Putih abu-abu Adjektiva
(warna)
20. Potѐ sora Putih asyura Nomina
(nama bulan)
21. Potѐ koddhu’ Putih mengkudu
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
22. Potѐ bherrâs Putih beras Nomina
(makanan)
23. Potѐ nonit Putih mengkudu
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
24. Potѐ ngeplak Putih terang
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
25. Potѐ kalak Putih kalak
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
Tabel 1 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari
warna dasar putih memiliki atribut yang berasal dari satuan
lingual kata, yaitu nomina dan adjektiva, serta satuan lingual frasa
berupa frasa nomina. Selanjutnya, atribut-atribut tersebut akan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 64
diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan dianalisis secara
metaforik.
a) Atribut adjektiva
(1) Pemeri sifat
(a) Potѐ pellay dan potѐ olay ‘putih pucat’ merupakan
dua warna turunan dengan atribut adjektiva pellay
‘pucat’ dan olay ‘pucat’ yang termasuk ke dalam jenis
adjektiva pemeri sifat. Hal ini dikarenakan pellay
‘pucat’ dan olay ‘pucat’ menggambarkan suatu
intensitas yang bercorak fisik. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa potѐ pellay dan potѐ olay
adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah potѐ pellay dan potѐ olay.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna putih disandingkan
dengan adjektiva ‘pucat’ yang mana kata ‘pucat’
bermakna pudar. Jadi, potѐ pellay dan potѐ olay
berarti warna putih yang tidak secerah warna dasarnya
atau lebih kusam.
(2) Warna
(a) Potѐ bu-abu ‘putih abu-abu’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva bu-abu ‘abu-abu’
yang termasuk ke dalam jenis adjektiva warna. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa potѐ bu-
abu adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah potѐ bu-abu. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna putih disandingkan dengan warna lain,
yaitu abu-abu. Jadi, putih abu-abu adalah sebuah
warna hasil dari pencampuran putih dan hitam dengan
kuantitas putih yang lebih besar.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 65
(3) Cerapan (pancaindera)
(a) Potѐ ngetthak dan potѐ ngeplak ‘putih terang’
merupakan dua warna turunan dengan atribut
adjektiva ngetthak ‘terang’ dan ngeplak ‘terang’ yang
termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau
berhubungan dengan pancaindera yaitu penglihatan.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
potѐ ngetthak dan potѐ ngeplak adalah warna potѐ
‘putih’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah potѐ ngetthak dan potѐ ngeplak. Persamaan
atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna putih disandingkan dengan adjektiva
cerapan (pancaindera) ‘terang’ yang mana kata
‘terang’ bermakna cerah atau bersinar. Jadi, potѐ
ngetthak dan potѐ ngeplak berarti putih cerah.
(b) Potѐ beddheng ‘putih kusam’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva beddheng ‘kusam’
yang termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau
berhubungan dengan pancaindera yaitu penglihatan.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
potѐ beddheng adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah potѐ beddheng.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna putih disandingkan
dengan adjektiva ‘kusam’ yang mana kata ‘kusam’
bermakna tidak bercahaya sehingga warna putih ini
cenderung redup dari warna dasarnya.
(c) Potѐ bhenning ‘putih bening’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva bhenning ‘bening’
yang termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau
berhubungan dengan pancaindera yaitu penglihatan.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 66
potѐ bhenning adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah potѐ bhenning.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna putih disandingkan
dengan adjektiva ‘bening’ yang mana ‘bening’
bermakna bersih dan tidak kotor sehingga warna
putih yang dimaksud adalah putih bersih sesuai
dengan warna dasarnya.
(d) Potѐ masѐn ‘putih asin’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva masѐn ‘asin’ yang termasuk
ke dalam jenis adjektiva cerapan atau berhubungan
dengan pancaindera yaitu pencitarasaan. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa potѐ
masѐn adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan vehicle
atau pembandingnya adalah potѐ masѐn. Persamaan
atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna putih disandingkan dengan adjektiva
cerapan (pancaindera) ‘asin’ yang mana kata ‘asin’
bermakna berasa garam. Asin yang dimaksud adalah
rasa asin pada telur itik yang sudah dimasak. Jadi,
potѐ masѐn adalah putih kebiru-biruan seperti
cangkang telur itik.
(e) Potѐ molos dan potѐ bhulus ‘putih mulus’ merupakan
dua warna turunan dengan atribut adjektiva molos
‘mulus’ dan bhulus ‘mulus’ yang termasuk ke dalam
jenis adjektiva cerapan atau berhubungan dengan
pancaindera yaitu perabaan. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa potѐ molos dan potѐ
bhulus adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan vehicle
atau pembandingnya adalah adjektiva potѐ molos dan
potѐ bhulus. Persamaan atau ground yang terbentuk
dari kedua term tersebut adalah warna putih
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 67
disandingkan dengan adjektiva ‘mulus’ yang mana
kata ‘mulus’ bermakna bersih. Istilah potѐ molos dan
potѐ bhulus digunakan untuk menyebut warna putih
bersih.
b) Atribut nomina
(1) Bagian tubuh manusia
(a) Potѐ tolang ‘putih tulang’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina bagian tubuh manusia yaitu
tulang. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa potѐ tolang adalah warna potѐ ‘putih’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah potѐ
tolang. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna putih disandingkan
dengan putih pada bagian tubuh manusia yaitu pada
warna tulang. Selain potѐ tolang, informan juga
menggunakan frasa potѐ tolang towa ‘putih tulang
tua’ dan potѐ tolang ngodâ ‘putih tulang muda’.
Warna potѐ tolang towa adalah warna putih tulang
yang disandingkan dengan adjektiva ‘tua’ yang mana
kata ‘tua’ bermakna kehitam-hitaman atau sangat.
Jadi, potѐ tolang towa adalah warna putih yang lebih
kusam dari putih tulang biasa. Selanjutnya, warna
potѐ tolang ngodâ adalah warna putih tulang yang
disandingkan dengan adjektiva ‘muda’ yang mana
kata ‘muda’ bermakna kurang gelap atau agak pucat.
Jadi, potѐ tolang ngodâ adalah warna putih yang lebih
pucat dari putih tulang biasa.
(b) Potѐ mata ‘putih mata’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina bagian tubuh manusia yaitu
mata. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa potѐ mata adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 68
vehicle atau pembandingnya adalah potѐ mata.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna putih disandingkan
dengan putih pada bagian tubuh manusia yaitu selaput
putih (sklera) mata.
(2) Tumbuhan
(a) Potѐ koddhu’ ‘putih mengkudu’ dan potѐ nonit ‘putih
mengkudu’ adalah dua warna turunan bermakna sama
yang beratribut nomina dalam kelas tumbuhan yaitu
buah mengkudu. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa potѐ koddhu’ dan potѐ nonit
adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah potѐ koddhu’ dan potѐ nonit.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
frasa tersebut adalah warna putih disandingkan
dengan buah mengkudu, yaitu putih pada kulit buah
mengkudu yang matang. Putih yang dimaksud adalah
putih kusam.
(b) Potѐ kalak ‘putih kalak’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina dalam kelas tumbuhan yaitu
buah kalak. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa potѐ kalak adalah warna potѐ ‘putih’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah potѐ
kalak. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna putih disandingkan
dengan bagian dari buah kalak, yaitu warna putih
pada daging buah kalak.
(c) Potѐ bhâkoh ‘putih tembakau’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina dalam kelas tumbuhan
yaitu tembakau. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa potѐ bhâkoh adalah warna potѐ
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 69
‘putih’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah potѐ bhâkoh. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna putih
disandingkan dengan tembakau yang sudah
dikeringkan dengan kualitas super dan masuk ke
pabrik untuk dijadikan bahan membuat rokok.
Sebenarnya, potѐ bhâkoh adalah frasa yang digunakan
untuk menyebut warna cokelat yang sangat muda
menyerupai putih atau putih kecokelatan. Penutur
bahasa Madura di Kab. Sumenep menggunakan frasa
tersebut karena di masyarakat ada dua jenis tembakau,
yaitu tembakau hitam sehingga muncullah frasa
celleng bhâkoh ‘hitam tembakau’ dan tembakau putih
yang menciptakan frasa potѐ bhâkoh ‘putih
tembakau’.
(3) Lingkungan alam
(a) Potѐ salju ‘putih salju’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina dalam kelas lingkungan alam
yaitu salju. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa potѐ salju adalah warna potѐ ‘putih’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah potѐ
salju. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna putih disandingkan
dengan putih pada benda lingkungan alam, yaitu
butiran-butiran es salju.
(b) Potѐ kapor ‘putih kapur’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina dalam kelas lingkungan alam
yaitu kapur. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa potѐ kapor adalah warna potѐ ‘putih’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah potѐ
kapor. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 70
kedua term tersebut adalah warna putih disandingkan
dengan salah satu jenis bebatuan, yaitu warna putih
pada batu kapur (gamping) yang biasanya digunakan
untuk mewarnai dinding rumah.
(4) Makanan dan minuman
(a) Potѐ tellor ‘putih telur’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina nama makanan yaitu telur.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
potѐ tellor adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah potѐ tellor.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna putih disandingkan
dengan putih pada makanan yaitu putih pada telur
ayam rebus.
(b) Potѐ bherrâs ‘putih beras’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina jenis bahan makanan yaitu
beras. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa potѐ bherrâs adalah warna potѐ ‘putih’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah potѐ
bherrâs. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna putih disandingkan
dengan warna putih pada beras.
(c) Potѐ susu ‘putih susu’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina jenis minuman yaitu susu.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
potѐ susu adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah potѐ susu.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna putih disandingkan
dengan minuman, yaitu putih pada susu cair.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 71
(5) Benda rumah
(a) Potѐ gheddung ‘putih tembok’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina benda rumah yaitu
tembok. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa potѐ gheddung adalah warna potѐ ‘putih’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah potѐ
gheddung. Persamaan atau ground yang terbentuk
dari kedua term tersebut adalah warna putih
disandingkan dengan bagian dari bangunan rumah,
yaitu putih pada tembok. Hal ini dikarenakan
mayoritas tembok rumah masyarakat Madura di Kab.
Sumenep berwarna putih.
(6) Nama bulan
(a) Potѐ sora ‘putih asyura’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina nama hari kesepuluh pada
bulan Muharram yaitu Asyura. Secara metaforik,
tenor atau pebanding dalam frasa potѐ sora adalah
warna potѐ ‘putih’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah potѐ sora. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna putih disandingkan dengan nama hari
kesepuluh pada bulan Muharram dalam kalender
Islam. Setiap memperingati hari kesepuluh pada bulan
Muharram, masyarakat di Madura membuat bubur
nasi berwarna putih. Jadi, potѐ sora adalah warna
putih seperti bubur nasi yang dibuat saat hari
kesepuluh pada bulan Muharram.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 72
2) Celleng ‘hitam’
Dari data yang diperoleh di lapangan, warna merah memiliki
20 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut memiliki atribut
dan yang beraneka ragam.
Tabel 2. Warna-warna turunan dari warna hitam
No. Warna Turunan Terjemahan Atribut
1. Celleng molos Hitam mulus
Adjektiva
(cerapan
perabaan)
2. Celleng manѐs Hitam manis Adjektiva
(pemeri sifat)
3. Celleng seddhâ’ Hitam sedap
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
4. Celleng
calѐmodhân Hitam gelap
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
5. Celleng bâttheng Hitam gelap
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
6. Celleng matѐ Hitam mati Verba
(keadaan)
7. Celleng potton Hitam hangus Verba
(keadaan)
8. Celleng areng Hitam arang
Nomina
(benda
lingkungan alam)
9. Celleng calѐmot Hitam gelap
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
10. Celleng maghi’ Hitam biji buah
asam
Nomina
(tumbuhan
kelas bagian
buah)
11. Celleng pekkat Hitam pekat Adjektiva
(ukuran)
12. Celleng bhâkoh Hitam tembakau
Nomina
(tumbuhan
kelas dedaunan)
13. Celleng tabâr Hitam tawar
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
14. Celleng pacѐh Hitam mengkudu Nomina
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 73
(tumbuhan
kelas nama buah)
15. Celleng songko’ Hitam peci Nomina
(benda rumah)
16. Celleng ngalѐrѐng Hitam berkilauan
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
17. Celleng etter Hitam aspal
Nomina
(benda
lingkungan alam)
18. Celleng matteng Hitam pekat Adjektiva
(ukuran)
19. Celleng bungo Hitam ungu Adjektiva
(warna)
20. Celleng nonit Hitam mengkudu
Nomina
(tumbuhan
kelas nama buah)
Tabel 2 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari
warna dasar putih memiliki atribut yang berasal dari satuan
lingual kata, yaitu nomina, adjektiva, dan verba. Selanjutnya,
atribut-atribut tersebut akan diklasifikasikan berdasarkan jenisnya
dan dianalisis secara metaforik.
a) Atribut adjektiva
(1) Pemeri sifat
(a) Celleng manѐs ‘hitam manis’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva manѐs ‘manis’ yang
termasuk ke dalam jenis adjektiva pemeri sifat. Hal
ini dikarenakan kata manѐs ‘manis’ yang dimaksud
bermakna elok atau indah, bukan adjektiva cerapan
atau berhubungan dengan pancaindera yaitu
pencitarasaan. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa celleng manѐs adalah warna celleng
‘hitam’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah celleng manѐs. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna hitam
disandingkan dengan adjektiva pemeri sifat ‘manis’
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 74
yang mana kata ‘manis’ bermakna indah. Istilah
celleng manis biasanya digunakan untuk menunjuk
seseorang yang berkulit gelap namun bersih.
(2) Ukuran
(a) Celleng pekkat dan celleng matteng ‘hitam pekat’
merupakan dua warna turunan dengan atribut
adjektiva pekkat ‘pekat’ dan matteng ‘pekat’ yang
termasuk ke dalam jenis adjektiva ukuran sebab
tingkat kepekatan bisa diukur secara kuantitatif.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
celleng pekkat dan celleng matteng adalah warna
celleng ‘hitam’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah celleng pekkat dan celleng
matteng. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna hitam disandingkan
dengan adjektiva ‘pekat’ yang mana kata ‘pekat’
bermakna tidak jernih. Istilah celleng pekkat dan
celleng matteng digunakan untuk menyebut hitam
murni hitam tanpa terlihat campuran warna lain.
(3) Warna
(a) Celleng bungo ‘hitam ungu’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva bungo ‘ungu’ yang
termasuk ke dalam jenis adjektiva warna. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa celleng
bungo adalah warna bungo ‘ungu’, sedangkan vehicle
atau pembandingnya adalah celleng bungo.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna hitam disandingkan
dengan warna gelap lain, yaitu ungu dengan kuantitas
warna hitam yang lebih besar.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 75
(4) Cerapan (pancaindera)
(a) Celleng molos ‘hitam mulus’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva molos ‘mulus’ yang
termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau
berhubungan dengan pancaindera yaitu perabaan.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
celleng molos adalah warna celleng ‘hitam’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
celleng molos. Persamaan atau ground yang terbentuk
dari kedua term tersebut adalah warna hitam
disandingkan dengan adjektiva ‘mulus’ yang mana
kata ‘mulus’ bermakna bersih. Istilah celleng molos
digunakan untuk menyebut warna hitam bersih tanpa
ada campuran warna atau corak lain.
(b) Celleng seddhâ’ ‘hitam sedap’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva seddhâ’ ‘sedap’ yang
termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau
berhubungan dengan pancaindera yaitu penglihatan.
Hal ini dikarenakan makna kata seddhâ’ ‘sedap’
dalam frasa warna tersebut adalah bersih dan enak
dipandang mata, bukan soal kelezatan dalam indera
pencitarasaan. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa celleng seddhâ’ adalah warna
celleng ‘hitam’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah celleng seddhâ’. Persamaan
atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna hitam disandingkan dengan adjektiva
cerapan (pancaindera) ‘sedap’ yang mana kata ‘sedap’
bermakna bersih atau enak dipandang mata. Istilah
celleng seddhâ’ biasanya digunakan untuk menunjuk
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 76
seseorang yang berkulit gelap namun bersih sehingga
enak dipandang.
(c) Celleng calѐmodhân, celleng calѐmot, dan celleng
bâttheng ‘hitam gelap’ adalah tiga frasa warna yang
sama-sama memiliki arti hitam gelap. Atribut dalam
frasa warna tersebut termasuk ke dalam jenis
adjektiva cerapan atau berhubungan dengan
pancaindera yaitu penglihatan. Secara metaforik,
tenor atau pebanding dalam frasa celleng
calѐmodhân, celleng calѐmot, dan celleng bâttheng
adalah warna celleng ‘hitam’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah celleng calѐmodhân, celleng
calѐmot, dan celleng bâttheng. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari ketiga frasa tersebut
adalah warna hitam disandingkan dengan adjektiva
cerapan (pancaindera) ‘gelap’ yang mana kata ‘gelap’
bermakna tidak ada cahaya. Istilah celleng
calѐmodhân, celleng calѐmot, dan celleng bâttheng
digunakan oleh orang Madura untuk mengatakan
hitam setara dengan keadaan tanpa cahaya, misal
ketika listrik padam.
(d) Celleng tabâr ‘hitam tawar’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva tabâr ‘tawar’ yang
termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan
(pancaindera) yaitu penglihatan. Hal ini dikarenakan
makna kata tabâr ‘tawar’ dalam frasa warna tersebut
adalah hilangnya daya, bukan soal kelezatan dalam
indera pencitarasaan. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa celleng tabâr adalah warna
celleng ‘hitam’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah celleng tabâr. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 77
adalah warna hitam disandingkan dengan adjektiva
cerapan (pancaindera) ‘tawar’ yang mana kata ‘tawar’
bermakna hilang dayanya. Maksud dari celleng tabâr
ialah warna hitam yang kadar kehitamannya lebih
rendah dari warna dasarnya.
(e) Celleng ngalѐrѐng ‘hitam berkilauan’ merupakan
warna turunan dengan atribut adjektiva ngalѐrѐng
‘berkilauan’ yang termasuk ke dalam jenis adjektiva
cerapan (pancaindera) yaitu penglihatan. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa celleng
ngalѐrѐng adalah warna celleng ‘hitam’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah celleng
ngalѐrѐng. Persamaan atau ground yang terbentuk
dari kedua term tersebut adalah warna hitam
disandingkan dengan adjektiva cerapan (pancaindera)
yaitu ‘berkilauan’ yang mana kata ‘berkilauan’
bermakna gemerlap atau bercahaya. Jadi, warna
celleng ngalѐrѐng adalah warna hitam yang glossy
(mengkilat).
b) Atribut nomina
(1) Tumbuhan
(a) Celleng pacѐh ‘hitam mengkudu’ dan celleng nonit
‘hitam mengkudu’ adalah dua warna turunan
bermakna sama yang beratribut nomina dalam kelas
tumbuhan yaitu buah mengkudu. Secara metaforik,
tenor atau pebanding dalam frasa celleng pacѐh dan
celleng nonit adalah warna celleng ‘hitam’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah buah celleng
pacѐh dan celleng nonit. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua frasa tersebut adalah warna
hitam disandingkan dengan buah mengkudu, yaitu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 78
hitam pada kulit buah mengkudu yang sangat matang.
Selain itu, istilah celleng pacѐh biasanya digunakan
untuk menunjuk keadaan hitam pada awan ketika
akan turun hujan, yaitu hitam keputihan atau abu-abu.
(b) Celleng maghi’ ‘hitam biji buah asam’ merupakan
warna turunan dengan atribut nomina bagian buah
yaitu biji buah asam. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa celleng maghi’ adalah warna
celleng ‘hitam’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah celleng maghi’. Persamaan
atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna hitam disandingkan dengan bagian dari
buah asam, yaitu hitam pada biji buah asam. Hitam
yang dimaksud adalah hitam kecokelatan.
(c) Celleng bhâkoh ‘hitam tembakau’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina dalam kelas tumbuhan
yaitu tembakau. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa celleng bhâkoh adalah warna
celleng ‘hitam’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah tumbuhan celleng bhâkoh.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna hitam disandingkan
dengan tanaman tembakau, yaitu hitam pada daun
tembakau yang benar-benar kering. Hitam yang
dimaksud adalah hitam kecokelatan.
(2) Lingkungan alam
(a) Celleng areng ‘hitam arang’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina dalam kelas
lingkungan alam yaitu arang. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa celleng areng adalah
warna celleng ‘hitam’, sedangkan vehicle atau
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 79
pembandingnya adalah celleng areng. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna hitam disandingkan dengan hitam pada
hasil pembakaran kayu yang menjadi arang.
(b) Celleng etter ‘hitam aspal’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina dalam kelas lingkungan alam
yaitu aspal. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa celleng etter adalah warna celleng
‘hitam’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah celleng etter. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna hitam
disandingkan dengan hitam pada cairan pembuat
aspal jalan.
(3) Benda rumah
(a) Celleng songko’ ‘hitam peci’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina benda rumah yaitu
peci. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa celleng songko’ adalah warna celleng ‘hitam’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
celleng songko’. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna hitam
disandingkan dengan benda, yaitu hitam pada peci
yang biasanya digunakan oleh umat Islam untuk
beribadah. Di Madura, hampir semua lelaki dewasa
menggunakan peci tersebut dalam kehidupan sehari-
hari walaupun di luar hal ibadah.
c) Atribut verba
(1) Verba keadaan
(a) Celleng matѐ ‘hitam mati’ merupakan warna turunan
dengan atribut verba jenis verba keadaan yaitu mati.
Verba keadaan menyatakan adanya perubahan dari
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 80
suatu keadaan ke keadaan lainnya. Secara metaforik,
tenor atau pebanding dalam frasa celleng matѐ adalah
warna celleng ‘hitam’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah celleng matѐ. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna hitam disandingkan dengan verba
keadaan ‘mati’ yang mana kata ‘mati’ bermakna
padam. Istilah celleng matѐ digunakan oleh orang
Madura untuk mengatakan sesuatu yang benar-benar
hitam seperti tidak ada cahaya (padam).
(b) Celleng potton ‘hitam hangus’ merupakan warna
turunan dengan atribut verba jenis verba keadaan
yaitu hangus. Verba keadaan menyatakan adanya
perubahan dari suatu keadaan ke keadaan lainnya.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
celleng potton adalah warna celleng ‘hitam’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
celleng potton. Persamaan atau ground yang terbentuk
dari kedua term tersebut adalah warna hitam
disandingkan dengan verba ‘hangus’ yang mana kata
‘hangus’ bermakna gosong. Istilah celleng potton
digunakan untuk menyebut hitam seperti masakan
yang hangus atau hitam seperti bagian bawah
peralatan dapur yang terlalu lama di atas api.
3) Mѐra ‘merah’
Dari data yang diperoleh di lapangan, warna merah
memiliki 29 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut
memiliki atribut dan yang beraneka ragam.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 81
Tabel 3. Warna-warna turunan dari warna merah
No. Warna Turunan Terjemahan Atribut
1. Mѐra towa Merah tua Adjektiva
(ukuran)
2. Mѐra ngodâ Merah muda Adjektiva
(ukuran)
3. Mѐra bhâta Merah bata
Nomina
(benda
lingkungan alam)
4. Mѐra dârâ Merah darah
Nomina
(bagian tubuh
manusia)
5. Mѐra atѐ Merah hati
Nomina
(bagian tubuh
manusia)
6. Mѐra jhambu Merah jambu
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
7. Mѐra sokkla Merah murni Adjektiva
(ukuran)
8. Mѐra cabbi Merah cabai
Nomina
(tumbuhan kelas
sayuran)
9. Mѐra
cabbi massa’
Merah
cabai matang
Frasa Nomina
(tumbuhan kelas
sayuran)
10. Mѐra
ngadhârbâng Merah terang
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
11. Mѐra mawar Merah mawar
Nomina
(tumbuhan kelas
nama bunga)
12. Mѐra nojeh Merah bunga
pukul empat
Nomina
(tumbuhan kelas
nama bunga)
13. Mѐra manggis Merah manggis
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
14. Mѐra delimah Merah delima
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
15. Mѐra saccang Merah secang
Nomina
(tumbuhan
kelas rempah-
rempah)
16. Mѐra arѐ Merah matahari Nomina
(benda
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 82
lingkungan alam)
17. Mѐra abâng Merah merah Adjektiva
(warna)
18. Mѐra ennyat Merah muda Adjektiva
(warna)
19. Ennyat Merah muda -
20. Mѐra ghentѐng Merah genteng Nomina
(benda rumah)
21. Mѐra mabâr Merah mawar
Nomina
(tumbuhan kelas
nama bunga)
22. Mѐra mettal Merah padam
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
23. Mѐra mardâh Merah bara api
Nomina
(benda
lingkungan alam)
24. Mѐra kalompang Merah
kelumpang
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
25. Mѐra sѐrѐ Merah sirih
Nomina
(tumbuhan kelas
dedaunan)
26. Mѐra pѐnang Merah pinang
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
27. Mѐra tellor Merah telur
Nomina
(bagian tubuh
hewan)
28. Mѐra jhâgung Merah jagung
Nomina
(tumbuhan kelas
biji-bijian)
29. Mѐra tabâr Merah tawar
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
Tabel 3 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari
warna dasar merah memiliki atribut yang berasal dari satuan
lingual kata, yaitu nomina dan adjektiva, serta satuan lingual frasa
berupa frasa nomina. Selanjutnya, atribut-atribut tersebut akan
diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan dianalisis secara
metaforik.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 83
a) Atribut adjektiva
(1) Ukuran
(a) Mѐra towa ‘merah tua’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva towa yang termasuk ke
dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa mѐra towa adalah warna
mѐra ‘merah’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah mѐra towa. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna merah disandingkan dengan adjektiva
‘tua’ yang mana kata ‘tua’ bermakna kehitam-hitaman
atau sangat. Jadi, mѐra towa berarti warna merah
gelap.
(b) Mѐra ngodâ ‘merah muda’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva ngodâ yang termasuk ke
dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa mѐra ngodâ adalah warna
mѐra ‘merah’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah mѐra ngodâ. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna merah disandingkan dengan adjektiva
‘muda’ yang mana kata ‘muda’ berarti kurang gelap
atau agak pucat. Jadi, mѐra ngodâ berarti warna
merah yang memiliki kandungan merah lebih rendah
daripada warna merah pada umumnya sehingga
menghasilkan warna merah yang agak pucat.
(c) Mѐra sokkla ‘merah murni’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva sokkla yang termasuk ke
dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa mѐra sokkla adalah warna
mѐra ‘merah’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah mѐra sokkla. Persamaan atau
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 84
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah Warna merah disandingkan dengan adjektiva
‘murni’ yang mana kata ‘murni’ bermakna tidak
bercampur dengan unsur lain. Jadi, mѐra sokkla
berarti merah sesuai dengan warna dasar atau merah
dengan kadar R tinggi berjumlah 255 dalam decimal
code, sedangkan kadar G dan B berjumlah 0.
(2) Warna
(a) Mѐra abâng ‘merah merah’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva warna yang sama dengan
warna dasarnya yaitu abâng ‘merah’. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa mѐra
abâng adalah warna mѐra ‘merah’, sedangkan vehicle
atau pembandingnya adalah mѐra abâng. Persamaan
atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna merah disandingkan dengan penyebutan
warna merah dalam bahasa Jawa yaitu abang yang
menunjukkan penekanan terhadap warna merah
tersebut. Dengan kata lain, warna merah yang
dimakud adalah sangat merah.
(b) Mѐra ennyat ‘merah muda’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva yaitu ennyat ‘merah muda’.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
mѐra ennyat adalah warna mѐra ‘merah’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah mѐra ennyat.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna merah disandingkan
dengan salah satu warna turunannya yaitu ennyat
yang berarti merah muda. Sebenarnya, tanpa
menggunakan istilah warna dasar mѐra maksud dari
warna tersebut sudah sama, yaitu merah muda.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 85
Namun, orang Madura lebih sering
menyandingkannya dengan warna dasar untuk lebih
menekankan maknanya.
(3) Cerapan
(a) Mѐra ngadhârbâng ‘merah terang’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva ngadhârbâng
‘terang’ yang termasuk ke dalam jenis adjektiva
cerapan atau berhubungan dengan pancaindera yaitu
penglihatan. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa mѐra ngadhârbâng adalah warna mѐra
‘merah’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah mѐra ngadhârbâng. Persamaan atau ground
yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
merah disandingkan dengan adjektiva cerapan
(pancaindera) ‘terang’ yang mana kata ‘terang’
bermakna cerah atau bersinar. Jadi, mѐra
ngadhârbâng berarti merah yang lebih cerah dari
warna dasarnya.
(b) Mѐra mettal ‘merah terang’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva mettal ‘terang’ yang
termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau
berhubungan dengan pancaindera yaitu penglihatan.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
mѐra mettal adalah warna mѐra ‘merah’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah mѐra mettal.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna merah disandingkan
dengan adjektiva cerapan (pancaindera) ‘terang’ yang
mana kata ‘terang’ bermakna cerah atau bersinar.
Jadi, mѐra mettal berarti merah yang lebih cerah dari
warna dasarnya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 86
(c) Mѐra tabâr ‘merah tawar’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva tabâr ‘tawar’ yang termasuk
ke dalam jenis adjektiva cerapan (pancaindera) yaitu
penglihatan. Hal ini dikarenakan makna kata tabâr
‘tawar’ dalam frasa warna tersebut adalah hilangnya
daya, bukan soal kelezatan dalam indera
pencitarasaan. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa mѐra tabâr adalah warna mѐra ‘merah’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra
tabâr. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan
dengan adjektiva cerapan (pancaindera) ‘tawar’ yang
mana kata ‘tawar’ bermakna hilang dayanya. Maksud
dari mѐra tabâr ialah warna merah yang kadar
kemerahannya lebih rendah dari warna dasarnya.
b) Atribut nomina
(1) Bagian tubuh manusia
(a) Mѐra dârâ ‘merah darah’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina bagian tubuh manusia yaitu
darah. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa mѐra dârâ adalah warna mѐra ‘merah’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra
dârâ. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan
dengan cairan darah pada manusia, sehingga warna
merah yang dimaksud adalah warna merah serupa
dengan darah.
(b) Mѐra atѐ ‘merah hati’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina bagian tubuh manusia yaitu
hati. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa mѐra atѐ adalah warna mѐra ‘merah’,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 87
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra
atѐ. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna merah
disandingkan dengan salah satu organ tubuh
manusia yaitu hati. Hati memiliki warna agak gelap
yaitu merah kehitaman sehingga merah hati
merupakan merah gelap.
(2) Hewan
(a) Mѐra tellor ‘merah telur’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina bagian tubuh hewan yaitu
telur. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa mѐra tellor adalah warna mѐra ‘merah’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra
tellor. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan
dengan bagian dari telur ayam kampung, yaitu kuning
telur. Penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep
mengatakan merah telur sebab bagian kuning dari
telur ayam kampung terlihat lebih tua atau mendekati
merah dari pada kuning telur ayam biasa. Jadi, merah
telur bermakna merah kekuningan atau oranye.
(3) Tumbuhan
(a) Mѐra jhambu ‘merah jambu’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu
jambu. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa mѐra jhambu adalah warna mѐra ‘merah’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra
jhambu. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan
dengan bagian dari buah jambu air, yaitu warna merah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 88
pada warna kulit buah jambu air. Hal ini dikarenakan
di Madura jarang ditemui buah jambu biji berdaging
merah, melainkan lebih sering jambu biji berdaging
putih dan jambu air.
(b) Mѐra manggis ‘merah manggis’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu
manggis. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa mѐra manggis adalah warna mѐra
‘merah’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah mѐra manggis. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
merah disandingkan dengan bagian dari buah
manggis, yaitu warna merah yang terdapat dalam
bagian dalam kulit manggis sehingga merah yang
dimaksud adalah merah keunguan.
(c) Mѐra delimah ‘merah delima’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu
delima. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa mѐra delimah adalah warna mѐra ‘merah’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra
delimah. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan
dengan bagian dari buah delima, yaitu warna merah
yang terdapat dalam daging yang melekat pada biji
buah delima. Warna merah yang dimaksud adalah
merah tua.
(d) Mѐra kalompang ‘merah kelumpang’ merupakan
warna turunan dengan atribut nomina buah-buahan
yaitu kelumpang. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa mѐra kalompang adalah warna
mѐra ‘merah’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah mѐra kalompang. Persamaan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 89
atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna merah disandingkan dengan bagian dari
buah kelumpang, yaitu merah pada kulit buah
kelumpang yang sudah matang.
(e) Mѐra pѐnang ‘merah pinang’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu
pinang. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa mѐra pѐnang adalah warna mѐra ‘merah’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra
pѐnang. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan
dengan buah pinang, yaitu warna merah yang
dihasilkan dari racikan buah pinang bersama kapur
yang biasanya dikonsumsi oleh para ibu-ibu tua di
Madura. Racikan pinang tersebut biasanya
menghasilkan warna merah pada area mulut. Merah
yang dimaksud adalah merah kekuningan atau oranye.
(f) Mѐra mawar ‘merah mawar’ dan mѐra mabâr ‘merah
mawar’ adalah dua warna turunan dengan atribut
nomina bunga yaitu mawar. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa mѐra mawar dan mѐra
mabâr adalah warna mѐra ‘merah’, sedangkan vehicle
atau pembandingnya adalah mѐra mawar dan mѐra
mabâr. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan
dengan bagian dari bunga mawar, yaitu warna merah
pada warna kelopak bunga mawar. Merah yang
dimaksud adalah merah gelap.
(g) Mѐra nojeh ‘merah bunga pukul empat’ adalah warna
turunan dengan atribut nomina bunga yaitu bunga
pukul empat. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa mѐra nojeh adalah warna mѐra ‘merah’,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 90
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra
nojeh. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan
dengan bagian dari bunga pukul empat, yaitu warna
merah pada kelopak bunga pukul empat. Warna
merah yang dimaksud adalah merah keunguan.
Penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep
menggunakan frasa ini untuk mendeskripsikan warna
pink yang lebih tua dari biasanya.
(h) Mѐra cabbi ‘merah cabai’ adalah warna turunan
dengan atribut nomina dalam kelas tumbuhan yaitu
sayur cabai. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa mѐra cabbi adalah warna mѐra ‘merah’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra
cabbi. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan
dengan bagian dari cabai rawit, yaitu warna merah
pada warna kulit cabai rawit atau merah terang.
Selain itu, penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep
juga menggunakan frasa mѐra cabbi massa’ ‘merah
cabai matang’ yaitu mѐra cabbi yang mendapat
atribut adjektiva massa’ ‘matang’. Jadi, mѐra cabbi
massa’ sebenarya adalah warna merah cabai pada
umumnya. Hanya saja penutur menggunakan atribut
massa’ ‘matang’ karena menurut mereka cabai hijau
merupakan cabai mentah atau belum matang sehingga
perlu dibedakan.
(i) Mѐra jhâgung ‘merah jagung’ adalah warna turunan
dengan atribut nomina dalam kelas tumbuhan yaitu
biji jagung. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa mѐra jhâgung adalah warna mѐra
‘merah’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 91
adalah mѐra jhâgung. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
merah disandingkan dengan bagian dari tanaman
jagung, yaitu biji jagung yang sudah tua. Jagung yang
sudah tua tidak lagi berwarna kuning, melainkan
berwarna oranye atau merah kekuning-kuningan.
(j) Mѐra saccang ‘merah secang’ adalah warna turunan
dengan atribut nomina tumbuhan yaitu jenis rempah
secang. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa mѐra saccang adalah warna mѐra ‘merah’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra
saccang. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan
dengan kayu secang, yaitu warna merah yang
dihasilkan dari air rebusan kayu secang. Merah yang
dimaksud adalah merah kecokelatan.
(k) Mѐra sѐrѐ ‘merah sirih’ warna turunan dengan atribut
nomina tumbuhan yaitu jenis tumbuhan lain sirih.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
mѐra sѐrѐ adalah warna mѐra ‘merah’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah mѐra sѐrѐ.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna merah disandingkan
dengan daun sirih merah, sehingga warna merah yang
dimaksud adalah warna merah gelap.
(4) Lingkungan alam
(a) Mѐra bhâta ‘merah bata’ adalah warna turunan
dengan atribut nomina lingkungan alam yaitu batu
bata. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa mѐra bhâta adalah warna mѐra ‘merah’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 92
bhâta. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan
dengan balok batu bata, sehingga warna merah yang
dimaksud adalah warna merah serupa dengan batu
bata atau menyerupai oranye.
(b) Mѐra arѐ ‘merah matahari’ warna turunan dengan
atribut nomina lingkungan alam yaitu matahari.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
mѐra arѐ adalah warna mѐra ‘merah’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah mѐra arѐ.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna merah disandingkan
dengan warna sinar matahari saat baru terbit yaitu
merah kekuning-kuningan.
(c) Mѐra mardâh ‘merah bara api’ warna turunan dengan
atribut nomina lingkungan alam yaitu bara api. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa mѐra
mardâh adalah warna mѐra ‘merah’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah mѐra mardâh.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna merah disandingkan
dengan warna bara api yang menyala ketika proses
pembakaran kayu, yaitu merah kekuning-kuningan
atau oranye.
(5) Benda rumah
(a) Mѐra ghentѐng ‘merah genteng’ adalah warna turunan
dengan atribut nomina benda rumah yaitu genteng.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
mѐra ghentѐng adalah warna mѐra ‘merah’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra
ghentѐng. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 93
kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan
dengan genteng, yaitu warna merah kekuning-
kuningan atau oranye.
c) Non-Atribut
(a) Ennyat ‘merah muda’ merupakan warna turunan atau
bagian dari warna dasar mѐra ‘merah’ yang tidak
memiliki atribut. Hal ini dikarenakan menurut Kamus
Lengkap Bahasa Madura Indonesia (2009:160) ennyat
bermakna merah muda (pink). Jadi, tanpa perlu memberi
atribut di belakangnya pun leksem ennyat sudah
bermakna merah muda dan merupakan bagian atau
warna turunan dari warna dasar merah.
4) Bhiru ‘hijau’
Dari data yang diperoleh di lapangan, warna hijau memiliki
18 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut memiliki atribut
dan yang beraneka ragam.
Tabel 4. Warna-warna turunan dari warna hijau
No. Warna Turunan Terjemahan Atribut
1. Bhiru dâun Hijau daun
Nomina
(tumbuhan kelas
bagian
pepohonan)
2. Bhiru ompos Hijau pupus
Nomina
(tumbuhan kelas
bagian
pepohonan)
3. Bhiru lomot Hijau lumut
Nomina
(tumbuhan kelas
bagian dedaunan)
4. Bhiru popos Hijau pupus
Nomina
(tumbuhan kelas
bagian
pepohonan)
5. Bhiru tentara Hijau tentara Nomina
(profesi)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 94
6. Bhiru arta’ Hijau
kacang hijau
Nomina
(tumbuhan kelas
biji-bijian)
7. Bhiru dhilâ Hijau pelita Nomina
(benda rumah)
8. Bhiru alam Hijau alam
Nomina
(benda lingkungan
alam)
9. Bhiru patayat Hijau fatayat Nomina
(organisasi)
10. Bhiru pandan Hijau pandan
Nomina
(tumbuhan kelas
rempah-rempah)
11. Bhiru ngodâ Hijau muda Adjektiva
(ukuran)
12. Bhiru towa Hijau tua Adjektiva
(ukuran)
13. Bhiru talosѐ Hijau pekat Adjektiva
(ukuran)
14. Bhiru butol Hijau botol Nomina
(benda rumah)
15. Bhiru rantѐh Hijau tomat
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
16. Bhiru matta Hijau mentah
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
17. Bhiru calattong Hijau kotoran
sapi
Nomina
(bagian tubuh
hewan)
18. Bhiru sѐnnam Hijau daun pupus
asam
Nomina
(tumbuhan kelas
bagian
pepohonan)
Tabel 4 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari
warna dasar hijau memiliki atribut yang berasal dari satuan
lingual kata, yaitu nomina dan adjektiva. Selanjutnya, atribut-
atribut tersebut akan diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan
dianalisis secara metaforik.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 95
a) Atribut adjektiva
(1) Ukuran
(a) Bhiru ngodâ ‘hijau muda’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva ngodâ ‘muda’ yang termasuk
ke dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik,
tenor atau pebanding dalam frasa bhiru ngodâ adalah
warna bhiru ‘hijau’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah bhiru ngodâ. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna hijau disandingkan dengan adjektiva
‘muda’ yang mana kata ‘muda’ berarti kurang gelap
atau agak pucat. Jadi, bhiru ngodâ berarti warna hijau
yang agak pucat dari biasanya.
(b) Bhiru towa ‘hijau tua’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva towa ‘tua’ yang termasuk ke
dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa bhiru towa adalah warna
bhiru ‘hijau’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah bhiru towa. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna hijau
disandingkan dengan Adjektiva ‘tua’ yang mana kata
‘tua’ bermakna kehitam-hitaman atau sangat. Jadi,
bhiru towa berarti warna hijau gelap.
(2) Cerapan
(a) Bhiru matta ‘hijau mentah’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva matta ‘mentah’ yang
termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau
berhubungan dengan pancaindera yaitu pencitarasaan.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
bhiru matta adalah warna bhiru ‘hijau’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah bhiru matta.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 96
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna hijau disandingkan dengan
adjektiva ‘mentah’ yang mana kata ‘mentah’
bermakna belum matang. Istilah bhiru matta
digunakan untuk menyebut warna hijau keputihan
atau hijau sangat muda seperti warna daging buah
yang belum matang.
b) Atribut nomina
(1) Hewan
(a) Bhiru calattong ‘hijau kotoran sapi’ adalah warna
turunan dengan atribut nomina bagian tubuh hewan
yaitu kotoran sapi. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa bhiru calattong adalah warna
bhiru ‘hijau’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah bhiru calattong. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna hijau
disandingkan dengan salah satu bagian dari sapi, yaitu
kotoran sapi. Umumnya kotoran sapi berwarna hijau
pekat yang disebabkan oleh makanan yang
dikonsumsi berupa tumbuh-tumbuhan. Jadi, bhiru
calattong merujuk pada warna hijau pekat.
(2) Tumbuhan
(a) Bhiru rantѐh ‘hijau tomat’ adalah warna turunan
dengan atribut nomina buah-buahan yaitu tomat.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
bhiru rantѐh adalah warna bhiru ‘hijau’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah bhiru rantѐh.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna hijau disandingkan dengan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 97
salah satu jenis buah dan sayuran, yaitu kulit tomat
hijau. Warna hijau yang dimaksud adalah hijau muda.
(b) Bhiru dâun ‘hijau daun’ adalah warna turunan dengan
atribut nomina bagian pohon yaitu daun. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru
dâun adalah warna bhiru ‘hijau’, sedangkan vehicle
atau pembandingnya adalah bhiru dâun. Persamaan
atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna hijau disandingkan dengan tumbuhan,
yaitu hijau pada warna daun.
(c) Bhiru ompos ‘hijau pupus’ dan bhiru popos ‘hijau
pupus’ adalah dua warna turunan dengan atribut
nomina bagian pohon yaitu daun pupus. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru
ompos dan bhiru popos adalah warna bhiru ‘hijau’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru
ompos dan bhiru popos. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna hijau
disandingkan dengan tumbuhan, yaitu hijau pada
warna daun yang baru tumbuh atau hijau muda.
(d) Bhiru sѐnnam ‘hijau daun pupus asam’ adalah warna
turunan dengan atribut nomina bagian pohon asam
yaitu daun pupus asam. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa bhiru sѐnnam adalah warna
bhiru ‘hijau’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah bhiru sѐnnam. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna hijau
disandingkan dengan daun asam yang masih muda
atau baru tumbuh sehingga warna hijau yang
dimaksud adalah hijau muda.
(e) Bhiru arta’ ‘hijau kacang hijau’ adalah warna turunan
dengan atribut nomina tumbuhan yaitu biji kacang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 98
hijau. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa bhiru arta’ adalah warna bhiru ‘hijau’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru
arta’. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna hijau disandingkan
dengan tumbuhan, yaitu hijau pada biji kacang hijau.
Warna hijau yang dimaksud adalah hijau gelap.
(f) Bhiru pandan ‘hijau pandan’ adalah warna turunan
dengan atribut nomina tumbuhan yaitu rempah
pandan. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa bhiru pandan adalah warna bhiru ‘hijau’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru
pandan. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna hijau disandingkan
dengan tumbuhan rempah, yaitu hijau pada daun
pandan.
(g) Bhiru lomot ‘hijau lumut’ adalah warna turunan
dengan atribut nomina tumbuhan yaitu jenis
tumbuhan lain lumut. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa bhiru lomot adalah warna
bhiru ‘hijau’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah bhiru lomot. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna hijau
disandingkan dengan tumbuhan, yaitu hijau pada
warna lumut.
(3) Lingkungan alam
(a) Bhiru alam ‘hijau alam’ warna turunan dengan atribut
nomina lingkungan alam yaitu alam itu sendiri.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
bhiru alam adalah warna bhiru ‘hijau’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah bhiru alam.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 99
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna hijau disandingkan dengan
keadaan alam. Alam yang dimaksud adalah tumbuh-
tumbuhan. Jadi, bhiru alam adalah hijau yang
mengacu pada warna tumbuhan pada umumnya.
(4) Instansi, Organisasi, dan Profesi
(a) Bhiru tentara ‘hijau tentara’ warna turunan dengan
atribut nomina yaitu profesi tentara. Secara metaforik,
tenor atau pebanding dalam frasa bhiru tentara
adalah warna bhiru ‘hijau’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah bhiru tentara. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna hijau disandingkan dengan benda, yaitu
hijau pada seragam tentara.
(b) Bhiru patayat ‘hijau fatayat’ warna turunan dengan
atribut nomina yaitu organisasi fatayat. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru
patayat adalah warna bhiru ‘hijau’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah bhiru patayat.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna hijau disandingkan dengan
benda yaitu warna hijau yang digunakan pada logo
Fatayat dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
(5) Benda rumah
(a) Bhiru dhilâ ‘hijau pelita’ adalah warna turunan
dengan atribut nomina benda rumah yaitu pelita atau
lampu. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa bhiru dhilâ adalah warna bhiru ‘hijau’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru
dhilâ. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 100
kedua term tersebut adalah warna hijau disandingkan
dengan benda yaitu ‘pelita’. Pelita bermakna lampu.
Jadi, bhiru dhilâ adalah hijau terang (bercahaya).
5) Konѐng ‘kuning’
Dari data yang diperoleh di lapangan, warna kuning
memiliki 40 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut
memiliki atribut dan yang beraneka ragam.
Tabel 5. Warna-warna turunan dari warna kuning
No. Warna Turunan Terjemahan Atribut
1. Konѐng towa Kuning tua Adjektiva
(ukuran)
2. Konѐng tѐra’ Kuning terang
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
3. Konѐng ngodâ Kuning muda Adjektiva
(ukuran)
4. Konѐng emmas Kuning emas
Nomina
(benda
lingkungan alam)
5. Konѐng
ghâddhing Kuning gading
Nomina
(bagian tubuh
hewan)
6. Konѐng konye’ Kuning kunyit
Nomina
(tumbuhan kelas
rempah-rempah)
7. Konѐng tellor Kuning telur
Nomina
(bagian tubuh
hewan)
8. Konѐng mo-
remmo
Kuning sangat
indah
Adjektiva
(pemeri sifat)
9. Konѐng
kapodhâng
Kuning burung
kepodang
Nomina
(nama hewan)
10. Konѐng kananga Kuning kenanga
Nomina
(tumbuhan kelas
nama bunga)
11. Konѐng pellay Kuning pucat Adjektiva
(pemeri sifat)
12. Konѐng pocet Kuning pucat Adjektiva
(pemeri sifat)
13. Konѐng bucco’ Kuning busuk Adjektiva
(pemeri sifat)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 101
14. Konѐng keddeng Kuning pisang
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
15. Konѐng kalak Kuning kalak
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
16. Konѐng kalak
towa
Kuning
kalak towa
Frasa Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
17. Konѐng
kalak ngodâ
Kuning
kalak muda
Frasa Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
18. Konѐng ngettak Kuning terang
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
19. Konѐng
ngacornang Kuning terang
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
20. Konѐng langsat Kuning langsat
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
21. Konѐng dâun Kuning daun
Nomina
(tumbuhan kelas
bagian
pepohonan)
22. Konѐng kraè Kuning blewah
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
23. Konѐng dhâddhâr Kuning dadar Nomina
(makanan)
24. Konѐng tabâr Kuning tawar
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
25. Konѐng
temolabâk
Kuning
temulawak
Nomina
(tumbuhan kelas
rempah-rempah)
26. Konѐng nanas Kuning nanas
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
27. Konѐng
mantѐghâh Kuning mentega
Nomina
(makanan)
28. Konѐng matta Kuning mentah
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
29. Konѐng
ngamennyor
Kuning
berkilauan
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
30. Konѐng taѐ Kuning tahi Nomina
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 102
(bagian tubuh
manusia)
31. Konѐng mondhu Kuning mundu
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
32. Konѐng jhâghung Kuning jagung
Nomina
(tumbuhan kelas
biji-bijian)
33. Konѐng dѐwi Kuning dewi Nomina
(profesi)
34. Konyѐ’ bucco’ Kunyit busuk -
35. Konѐng jherruk Kuning jeruk
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
36. Konѐng wortel Kuning wortel
Nomina
(tumbuhan kelas
sayuran)
37. Konѐng ngonyor Kuning mulus
Adjektiva
(cerapan
perabaan)
38. Konѐng nangka Kuning nangka
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
39. Konѐng manjhilân Kuning
biji nangka
Nomina
(tumbuhan kelas
bagian buah)
40. Konѐng dilla
matta
Kuning
buah maja
mentah
Frasa Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
Tabel 5 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari
warna dasar kuning memiliki atribut yang berasal dari satuan
lingual kata, yaitu nomina dan adjektiva, serta satuan lingual frasa
berupa frasa nomina. Selanjutnya, atribut-atribut tersebut akan
diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan dianalisis secara
metaforik.
a) Atribut adjektiva
(1) Pemeri sifat
(a) Konѐng mo-remmo ‘kuning sangat indah’ merupakan
warna turunan dengan atribut adjektiva mo-remmo
yang berasal dari kata dasar remmo ‘indah’ yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 103
termasuk ke dalam jenis adjektiva pemeri sifat. Dalam
bahasa Madura, mo-remmo merupakan jenis kata
ulang atau reduplikasi suku akhir yang mana jenis
reduplikasi ini paling banyak digunakan dalam bahasa
Madura dialek Sumenep. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa konѐng mo-remmo adalah
warna konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah konѐng mo-remmo. Persamaan
atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna kuning disandingkan dengan adjektiva
mo-remmo yang bermakna enak dipandang atau elok.
Konѐng mo-remmo berarti kuning bersih yang
biasanya digunakan untuk menunjuk warna kulit
seorang perempuan.
(b) Konѐng pellay dan konѐng pocet ‘kunit pucat’
merupakan dua warna turunan dengan atribut
adjektiva pellay ‘pucat’ dan olay ‘pucat’ yang
termasuk ke dalam jenis adjektiva pemeri sifat. Hal
ini dikarenakan pellay ‘pucat’ dan olay ‘pucat’
menggambarkan suatu intensitas yang bercorak fisik.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
konѐng pellay dan konѐng olay adalah warna konѐng
‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah konѐng pellay dan konѐng olay. Persamaan
atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna kuning disandingkan dengan adjektiva
‘pucat’ yang mana kata ‘pucat’ bermakna agak putih.
Jadi, konѐng pellay dan konѐng pocet berarti kuning
keputih-putihan.
(c) Konѐng bucco’ ‘kuning busuk’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva bucco’ ‘busuk’ yang
termasuk ke dalam jenis adjektiva pemeri sifat.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 104
Sebenarnya, secara teoretis kata busuk termasuk ke
dalam jenis adjektiva pancaindera penciuman, tetapi
makna bucco’ dalam frasa warna ini adalah rusak atau
jelek. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa konѐng bucco’ adalah warna konѐng ‘kuning’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
konѐng bucco’. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
kuning disandingkan dengan adjektiva ‘busuk’ yang
mana kata ‘busuk’ bermakna rusak atau jelek. Jadi,
konѐng bucco’ berarti warna kuning tersebut sudah
tidak seperti warna dasarnya karena lebih kusam,
gelap, atau kecokelatan.
(2) Ukuran
(a) Konѐng towa ‘kuning tua’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva towa ‘tua’ yang termasuk ke
dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa konѐng towa adalah
warna konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah konѐng towa. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna kuning disandingkan dengan adjektiva
‘tua’ yang mana kata ‘tua’ bermakna kehitam-hitaman
atau sangat. Jadi, konѐng towa berarti kuning gelap.
(b) Konѐng ngodâ ‘kuning muda’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva ngodâ ‘muda’ yang
termasuk ke dalam jenis adjektiva ukuran. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa konѐng
ngodâ adalah warna konѐng ‘kuning’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah konѐng ngodâ.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 105
term tersebut adalah warna kuning disandingkan
dengan adjektiva ‘muda’ yang mana kata ‘muda’
berarti kurang gelap atau agak pucat. Jadi, konѐng
ngodâ berarti warna kuning agak pucat.
(3) Cerapan
(a) Konѐng tѐra’, konѐng ngettak, dan konѐng
ngacornang ‘kuning terang’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva tѐra’, ngettak, dan
ngacornang yang sama-sama memiliki arti ‘terang’.
Ketiga adjektiva tersebut termasuk ke dalam jenis
adjektiva cerapan atau berhubungan dengan
pancaindera yaitu penglihatan. Secara metaforik,
tenor atau pebanding dalam frasa konѐng tѐra’,
konѐng ngettak, dan konѐng ngacornang adalah
warna konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah konѐng tѐra’, konѐng ngettak,
dan konѐng ngacornang. Persamaan atau ground
yang terbentuk dari dua term dalam tiga frasa tersebut
adalah warna kuning disandingkan dengan adjektiva
cerapan (pancaindera) ‘terang’ yang mana kata
‘terang’ bermakna cerah atau bersinar. Jadi, konѐng
tѐra’, konѐng ngettak, dan konѐng ngacornang berarti
kuning yang lebih cerah dari warna dasarnya.
(b) Konѐng tabâr ‘kuning tawar’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva tabâr ‘tawar’ yang
termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan
(pancaindera) yaitu penglihatan. Hal ini dikarenakan
makna kata tabâr ‘tawar’ dalam frasa warna tersebut
adalah hilangnya daya, bukan soal kelezatan dalam
indera pencitarasaan. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa konѐng tabâr adalah warna
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 106
konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah konѐng tabâr. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna kuning disandingkan dengan adjektiva
cerapan (pancaindera) ‘tawar’ yang mana kata ‘tawar’
bermakna hilang dayanya. Maksud dari konѐng tabâr
ialah warna kuning yang kurang terang atau kuning
pucat. Masyarakat Madura di Kab. Sumenep
cenderung menggunakan istilah tersebut untuk
menunjukkan warna kuning keputihan atau kuning
muda.
(c) Konѐng matta ‘kuning mentah’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva matta ‘mentah’ yang
termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau
berhubungan dengan pancaindera yaitu pencitarasaan.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
konѐng matta adalah warna konѐng ‘kuning’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
konѐng matta. Persamaan atau ground yang terbentuk
dari kedua term tersebut adalah warna kuning
disandingkan dengan adjektiva ‘mentah’ yang mana
kata ‘mentah’ bermakna belum matang. Istilah konѐng
matta digunakan untuk menyebut warna kuning
keputihan atau kuning sangat muda seperti warna
daging buah yang belum matang.
(d) Konѐng ngamenyor ‘kuning berkilauan’ merupakan
warna turunan dengan atribut adjektiva ngamenyor
‘berkilauan’ yang termasuk ke dalam jenis adjektiva
cerapan atau berhubungan dengan pancaindera yaitu
penglihatan. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa konѐng ngamenyor adalah warna konѐng
‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 107
adalah konѐng ngamenyor. Persamaan atau ground
yang terbentuk dari dua term dalam tiga frasa tersebut
adalah warna kuning disandingkan dengan adjektiva
cerapan (pancaindera) yaitu ‘berkilauan’ yang mana
kata ‘berkilauan’ bermakna gemerlap atau bercahaya.
Jadi, warna konѐng ngamennyor adalah warna kuning
terang.
(e) Konѐng ngonyor ‘kuning mulus’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva ngonyor ‘mulus’
yang termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau
berhubungan dengan pancaindera yaitu perabaan.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
konѐng ngonyor adalah warna konѐng ‘kuning’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
konѐng ngonyor. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
kuning disandingkan dengan adjektiva ‘mulus’ yang
mana kata ‘mulus’ bermakna bersih. Istilah konѐng
ngonyor digunakan untuk menyebut warna kuning
bersih.
b) Atribut nomina
(1) Bagian tubuh manusia
(a) Konѐng taѐ ‘kuning tahi’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina bagian tubuh manusia yaitu
kotoran. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa konѐng taѐ adalah warna konѐng
‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah konѐng taѐ. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
kuning disandingkan dengan warna kotoran manusia,
yaitu warna kuning kecoklatan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 108
(2) Hewan
(a) Konѐng kapodhâng ‘kuning burung kepudang’
merupakan warna turunan dengan atribut nomina
hewan yaitu burung kepudang. Secara metaforik,
tenor atau pebanding dalam frasa konѐng kapodhâng
adalah warna konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle
atau pembandingnya adalah konѐng kapodhâng.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna kuning disandingkan
dengan bagian dari tubuh burung kepudang, yaitu
kuning pada bulu burung kepudang. Jadi, kuning yang
dimaksud adalah kuning cerah.
(b) Konѐng ghâddhing ‘kuning gading’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina bagian tubuh hewan
yaitu gading. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa konѐng ghâddhing adalah warna konѐng
‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah konѐng ghâddhing. Persamaan atau ground
yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
kuning disandingkan dengan bagian tubuh dari gajah,
yaitu warna kuning pada gading atau kuning keputih-
putihan.
(c) Konѐng tellor ‘kuning telur’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina bagian tubuh hewan
yaitu telur. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa konѐng tellor adalah warna konѐng
‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah konѐng tellor. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
kuning disandingkan dengan bagian kuning telur dari
telur ayam broiler (negeri). Hal ini dikarenakan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 109
bagian kuning telur ayam broiler berwarna kuning
muda, tidak seperti kuning telur ayam kampung yang
agak kemerahan.
(3) Tumbuhan
(a) Konѐng keddeng ‘kuning pisang’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu
pisang. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa konѐng keddeng adalah warna konѐng ‘kuning’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
konѐng keddeng. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
kuning disandingkan dengan bagian dari buah pisang,
yaitu warna kuning pada kulit buah pisang yang sudah
matang. Jadi, kuning yang dimaksud adalah kuning
cerah.
(b) Konѐng kalak ‘kuning kalak’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu
kalak. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa konѐng kalak adalah warna konѐng ‘kuning’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
konѐng kalak. Persamaan atau ground yang terbentuk
dari kedua term tersebut adalah warna kuning
disandingkan dengan bagian dari buah kalak, yaitu
warna kuning pada bagian atas dari kulit buah kalak
atau kuning keputihan. Selain itu, penutur bahasa
Madura di Kab. Sumenep juga menggunakan frasa
konѐng kalak towa ‘kuning kalak tua’ dan konѐng
kalak ngodâ ‘kuning kalak muda’ yang mana warna
konѐng kalak mendapatkan tambahan atribut tua dan
muda. Konѐng kalak towa adalah warna kuning yang
lebih gelap dari kuning kalak biasa, sedangkan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 110
konѐng kalak ngodâ adalah warna kuning yang lebih
pucat dari kuning kalak biasa atau hampir mendekati
putih.
(c) Konѐng langsat ‘kuning langsat’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu
langsat atau duku. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa konѐng langsat adalah warna
konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah konѐng langsat. Persamaan
atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna kuning disandingkan dengan bagian dari
buah langsat, yaitu warna kuning kulit buah langsat.
Kuning yang dimaksud adalah kuning muda yang
kecokelatan.
(d) Konѐng kraѐ ‘kuning blewah’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu
blewah. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa konѐng kraѐ adalah warna konѐng
‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah konѐng kraѐ. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
kuning disandingkan dengan bagian buah blewah,
yaitu warna kuning daging buah blewah. Warna
tersebut merupakan kuning kemerahan atau oranye.
(e) Konѐng nanas ‘kuning nanas’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu
nanas. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa konѐng nanas adalah warna konѐng ‘kuning’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
konѐng nanas. Persamaan atau ground yang terbentuk
dari kedua term tersebut adalah warna kuning
disandingkan dengan bagian buah nanas, yaitu warna
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 111
kuning pada daging buah nanas. Kuning yang
dimaksud adalah kuning cerah.
(f) Konѐng mondhu ‘kuning mundu’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu
mundu. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa konѐng mondhu adalah warna konѐng ‘kuning’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
konѐng mondhu. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
kuning disandingkan dengan bagian dari buah mundu,
yaitu daging buah mundu yang sudah matang. Kuning
yang dimaksud adalah kuning agak gelap.
(g) Konѐng jherruk ‘kuning jeruk’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu
jeruk. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa konѐng jherruk adalah warna konѐng ‘kuning’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
konѐng jherruk. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
kuning disandingkan dengan bagian dari buah jeruk,
yaitu kulit buah jeruk. warna kuning yang dimaksud
adalah kuning kemerah-merahan atau oranye.
(h) Konѐng nangka ‘kuning nangka’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu
nangka. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa konѐng nangka adalah warna konѐng
‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah konѐng nangka. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
kuning disandingkan dengan bagian dari buah nangka,
yaitu warna kuning pada daging buah nangka.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 112
(i) Konѐng billeh matta ‘kuning buah maja mentah’
merupakan warna turunan dengan atribut nomina
buah-buahan yaitu buah maja. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa konѐng billeh matta
adalah warna konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle
atau pembandingnya adalah konѐng billeh matta.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna kuning disandingkan
dengan daging buah maja yang masih mentah. Kuning
buah maja yang masih mentah adalah kuning keputih-
putihan.
(j) Konѐng manjhilân ‘kuning biji nangka’ merupakan
warna turunan dengan atribut nomina bagian buah-
buahan yaitu biji nangka. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa konѐng manjhilân adalah
warna konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah konѐng manjhilân. Persamaan
atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna kuning disandingkan dengan bagian dari
buah nangka, yaitu biji nangka. Akan tetapi, biji
nangka yang dimaksud oleh penutur adalah biji
nangka yang masih dilekati oleh daging buah nangka.
Jadi, kuning biji nangka sama dengan warna kuning
pada daging buah nangka.
(k) Konѐng kananga ‘kuning kenanga’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina bunga yaitu kenanga.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
konѐng kananga adalah warna konѐng ‘kuning’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
konѐng kananga. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
kuning disandingkan dengan bagian dari bunga
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 113
kenanga, yaitu warna kuning pada kelopak bunga
kenanga yang sudah tua.
(l) Konѐng dâun ‘kuning daun’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina bagian pohon yaitu
daun. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa konѐng dâun adalah warna konѐng ‘kuning’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
konѐng dâun. Persamaan atau ground yang terbentuk
dari kedua term tersebut adalah warna kuning
disandingkan dengan warna daun yang sudah tua
sehingga kuning yang dimaksud adalah kuning
kecokelatan.
(m) Konѐng jhâgung ‘kuning jagung’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina biji-bijian yaitu
jagung. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa konѐng jhâgung adalah warna konѐng ‘kuning’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
konѐng jhâgung. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
kuning disandingkan dengan bagian dari tanaman
jagung, yaitu biji jagung. Warna kuning yang
dimaksud adalah kuning kemerah-merahan atau
oranye.
(n) Konѐng wortel ‘kuning wortel’ merupakan warna
turunan dengan atribut sayuran yaitu wortel. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa konѐng
wortel adalah warna konѐng ‘kuning’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah konѐng wortel.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna kuning disandingkan
dengan bagian dari wortel, yaitu kulit dan daging
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 114
wortel. Warna kuning yang dimaksud adalah kuning
kemerah-merahan atau oranye.
(o) Konѐng konyѐ’ ‘kuning kunyit’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina rempah-rempah yaitu
kunyit. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa konѐng konyѐ’ adalah warna konѐng ‘kuning’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
konѐng konyѐ’. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
kuning disandingkan dengan tanaman rempah, yaitu
warna kuning pada bagian dalam kunyit sehingga
kuning yang dimaksud adalah kuning terang.
(p) Konѐng temolabâk ‘kuning temulawak’ merupakan
warna turunan dengan atribut rempah-rempah yaitu
temulawak. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa konѐng temolabâk adalah warna konѐng
‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah konѐng temolabâk. Persamaan atau ground
yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
kuning disandingkan dengan tanaman rempah, yaitu
warna kuning pada bagian dalam temulawak. Kuning
yang dimaksud adalah kuning terang.
(4) Lingkungan alam
(a) Konѐng emmas ‘kuning emas’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina benda lingkungan
alam yaitu emas. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa konѐng emmas adalah warna
konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah konѐng emmas. Persamaan
atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna kuning disandingkan dengan salah satu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 115
benda hasil alam, yaitu warna kuning pada emas. Jadi,
kuning yang dimaksud adalah kuning metalik.
(5) Instansi, organisasi, dan profesi
(a) Konѐng dewi ‘kuning dewi’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina bunga yaitu kenanga.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
konѐng dewi adalah warna konѐng ‘kuning’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
konѐng dewi. Persamaan atau ground yang terbentuk
dari kedua term tersebut adalah warna kuning
disandingkan dengan dewi. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2008:323) dewi bermakna dewa
perempuan atau perempuan yang cantik. Jadi, konѐng
dѐwi adalah warna kuning bersih. Bagi masyarakat
Madura di Kab. Sumenep umumnya frasa konѐng
dѐwi digunakan untuk menyebut kecantikan kulit
seorang perempuan.
(6) Makanan dan minuman
(a) Konѐng dhâddhâr ‘kuning dadar’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina makanan yaitu telur
dadar. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa konѐng dhâddhâr adalah warna konѐng
‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah konѐng dhâddhâr. Persamaan atau ground
yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
kuning disandingkan dengan warna kuning pada telur
ayam yang sudah digoreng sehingga warna kuning
telur tersebut sudah dicampur dengan putih telur
untuk menghasilkan telur dadar. Kuning yang
dimaksud adalah kuning keputihan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 116
(b) Konѐng mantѐghâh ‘kuning mentega’ merupakan
warna turunan dengan atribut nomina bahan makanan
yaitu mentega. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa konѐng mantѐghâh adalah
warna konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah konѐng mantѐghâh.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna kuning disandingkan
dengan bahan makanan, yaitu warna kuning pada
mentega. Kuning yang dimaksud adalah kuning pucat.
c) Tanpa menggunakan unsur warna
(1) Konyѐ’ bucco’ ‘kunyit busuk’ merupakan frasa warna
yang dalam unsur frasanya tidak menggunakan warna
dasar. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa konyѐ’ bucco’ adalah warna konѐng ‘kuning’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah konyѐ’
bucco’ ‘kunyit busuk’ itu sendiri. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna kuning disamakan dengan warna daging
pada kunyit. Selain itu, kata ‘busuk’ merupakan
adjektiva cerapan (pancaindera) yang bermakna rusak
atau jelek. Jadi, konyѐ’ bucco’ berarti warna kuning
tersebut sudah tidak seperti warna kuning pada
umumnya karena lebih kusam, gelap, atau
kecokelatan. Dengan kata lain, frasa konyѐ’ bucco’
digunakan untuk menggantikan warna kuning
kecokelatan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 117
6) Cokklat atau Sokklat ‘Cokelat’
Dari data yang diperoleh di lapangan, warna cokelat
memiliki 27 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut
memiliki atribut dan penamaan yang beraneka ragam. Perlu
diketahui jika dalam bahasa Madura penyebutan warna cokelat
memiliki dua leksem yaitu sokklat dan cokklat (Pawitra,
2009:118). Keduanya sama-sama dipakai oleh penutur bahasa
Madura di Kab. Sumenep.
Tabel 6. Warna-warna turunan dari warna cokelat
No. Warna Turunan Terjemahan Atribut
1. Cokklat towa Cokelat tua Adjektiva
(ukuran)
2. Cokklat ngodâ Cokelat muda Adjektiva
(ukuran)
3. Sokklat susu Cokelat susu Nomina
(minuman)
4. Sokklat susu towa Cokelat susu tua Frasa Nomina
(minuman)
5. Sokklat susu
ngodâ
Cokelat
susu muda
Frasa Nomina
(minuman)
6. Cokklat susu Cokelat susu Nomina
(minuman)
7. Cokklat sapѐ Cokelat sapi Nomina
(nama hewan)
8. Cokklat kopi Cokelat kopi Nomina
(minuman)
9. Sokklat towa Cokelat tua Adjektiva
(ukuran)
10. Sokklat ngodâ Cokelat muda Adjektiva
(ukuran)
11. Sokklat kajhuh Cokelat kayu
Nomina
(tumbuhan kelas
bagian
pepohonan)
12. Cokklat kajhuh Cokelat kayu
Nomina
(tumbuhan kelas
bagian
pepohonan)
13. Cokklat
kajhuh ngodâ
Cokelat
kayu muda
Frasa Nomina
(tumbuhan kelas
bagian
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 118
pepohonan)
14. Cokklat
kajhuh towa Cokelat kayu tua
Frasa Nomina
(tumbuhan kelas
bagian
pepohonan)
15. Sokklat tana Cokelat tanah
Nomina
(benda lingkungan
alam)
16. Cokklat tana Cokelat tanah
Nomina
(benda lingkungan
alam)
17. Cokklat
tana lempong Cokelat tanah liat
Frasa Nomina
(benda lingkungan
alam)
18. Cokklat jhâteh Cokelat jati
Nomina
(tumbuhan kelas
nama pepohonan)
19. Cokklat mahonѐ Cokelat mahoni
Nomina
(tumbuhan kelas
nama pepohonan)
20. Sokklat camplong Cokelat
nyamplung
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
21. Sokklat salak Cokelat salak
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
22. Sokklat bâta Cokelat bata
Nomina
(benda lingkungan
alam)
23. Sokklat accem Cokelat asam
Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
24. Sokklat
sabu massa’
Cokelat
sawo matang
Frasa Nomina
(tumbuhan kelas
nama buah)
25. Sabu matta Sawo mentah -
26. Sabu massa’ Sawo matang -
27. Sabu bucco’ Sawo busuk -
Tabel 6 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari
warna dasar cokelat memiliki atribut yang berasal dari satuan
lingual kata, yaitu nomina dan adjektiva, serta satuan lingual frasa
berupa frasa nomina. Selanjutnya, atribut-atribut tersebut akan
diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan dianalisis secara
metaforik.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 119
a) Atribut adjektiva
(1) Ukuran
(a) Cokklat towa dan sokklat towa ‘cokelat tua’
merupakan warna turunan dengan atribut Adjektiva
towa ‘tua’ yang termasuk ke dalam jenis adjektiva
ukuran. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa cokklat towa dan sokklat towa adalah warna
cokklat atau sokklat ‘cokelat’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah cokklat towa dan sokklat towa.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna cokelat disandingkan
dengan adjektiva ‘tua’ yang mana kata ‘tua’ bermakna
kehitam-hitaman atau sangat. Jadi, cokklat towa dan
sokklat towa berarti cokelat gelap .
(b) Cokklat ngodâ dan sokklat ngodâ ‘cokelat muda’
merupakan warna turunan dengan atribut adjektiva
ngodâ ‘muda’ yang termasuk ke dalam jenis adjektiva
ukuran. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa cokklat ngodâ dan sokklat ngodâ adalah warna
cokklat atau sokklat ‘cokelat’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah cokklat ngodâ dan sokklat
ngodâ. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna cokelat
disandingkan dengan adjektiva ‘muda’ yang mana
kata ‘muda’ berarti kurang gelap atau agak pucat.
Jadi, cokklat ngodâ dan sokklat ngodâ berarti warna
cokelat yang agak pucat.
b) Atribut nomina
(1) Hewan
(a) Cokklat sapѐ ‘cokelat sapi’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina hewan yaitu sapi. Secara
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 120
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa cokklat
sapѐ adalah warna cokklat ‘cokelat’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah cokklat sapѐ.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna cokelat disandingkan
dengan bagian tubuh sapi, yaitu cokelat pada kulit
tubuh sapi.
(2) Tumbuhan
(a) Sokklat camplong ‘cokelat nyamplung’ merupakan
warna turunan dengan atribut nomina buah-buahan
yaitu nyamplung. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa cokklat camplong adalah
warna cokklat ‘cokelat’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah cokklat camplong. Persamaan
atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna cokelat disandingkan dengan bagian
dari tanaman nyamplung, yaitu warna cokelat pada
buah nyamplung yang sudah kering atau jatuh dari
pohonnya.
(b) Sokklat salak ‘cokelat salak’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu
salak. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa cokklat salak adalah warna cokklat ‘cokelat’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
cokklat salak. Persamaan atau ground yang terbentuk
dari kedua term tersebut adalah warna cokelat
disandingkan dengan bagian dari buah salak, yaitu
warna cokelat pada kulit buah salak yang berwarna
cokelat kehitaman atau cokelat tua.
(c) Sokklat accem ‘cokelat asam’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 121
asam. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa sokklat accem adalah warna sokklat ‘cokelat’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah sokklat
accem. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna cokelat
disandingkan dengan bagian dari buah asam, yaitu
daging buah asam. Daging buah asam berwarna
cokelat tua sehingga sokklat accem adalah warna
cokelat tua atau pekat.
(d) Sokklat sabu massa’ ‘cokelat sawo masak’ merupakan
warna turunan dengan atribut nomina buah-buahan
yaitu sawo. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa sokklat sabu massa’ adalah warna sokklat
‘cokelat’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah sokklat sabu massa’. Persamaan atau ground
yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
cokelat disandingkan dengan buah sawo yang telah
matang. Buah sawo yang telah matang umumnya
berwarna cokelat sempurna.
(e) Sokklat kajhuh ‘cokelat kayu’ dan cokklat kajhuh
‘cokelat kayu’ merupakan warna turunan dengan
atribut nomina bagian pohon yaitu kayu (batang
pohon). Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa cokklat kajhuh dan sokklat kajhuh adalah warna
cokklat atau sokklat ‘cokelat’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah cokklat kajhuh dan sokklat
kajhuh. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna cokelat
disandingkan dengan bagian pohon yaitu cokelat
batang pohon. Selain itu, penutur bahasa Madura di
Kab. Sumenep juga menggunakan frasa cokklat
kajhuh towa ‘cokelat kayu tua’ dan cokklat kajhuh
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 122
ngodâ ‘cokelat kayu muda’ yang mana warna cokklat
kajhuh mendapatkan tambahan atribut tua dan muda.
Cokklat kajhuh towa adalah warna cokelat yang lebih
gelap dari cokelat kayu biasa, sedangkan cokklat
kajhuh ngodâ adalah warna cokelat yang lebih pucat
dari cokelat kayu biasa.
(f) Cokklat jhâteh ‘cokelat jati’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina pohon yaitu jati.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
cokklat jhâteh adalah warna cokklat ‘cokelat’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
cokklat jhâteh. Persamaan atau ground yang terbentuk
dari kedua term tersebut adalah warna cokelat
disandingkan dengan cokelat pada kayu jati. Warna
cokelat yang dimaksud adalah cokelat kekuningan
atau cokelat pucat.
(g) Cokklat mahonѐ ‘cokelat mahoni’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina pohon yaitu mahoni.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
cokklat mahonѐ adalah warna cokklat ‘cokelat’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
cokklat mahonѐ. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
cokelat disandingkan dengan cokelat pada biji pohon
mahoni, yaitu cokelat tua.
(3) Lingkungan alam
(a) Sokklat tana ‘cokelat tanah’ dan cokklat tana ‘cokelat
tanah’ merupakan dua warna turunan dengan atribut
nomina benda lingkungan alam yaitu tanah. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa cokklat
tana dan sokklat tana adalah warna cokklat atau
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 123
sokklat ‘cokelat’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah cokklat tana dan sokklat tana.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna cokelat disandingkan
dengan benda pada lingkungan alam, yaitu cokelat
pada tanah. Warna cokelat yang dimaksud adalah
cokelat tua.
(b) Sokklat tana lempong ‘cokelat tanah liat’ merupakan
warna turunan dengan atribut nomina benda
lingkungan alam yaitu tanah lempung. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa sokklat
tana lempong adalah warna sokklat ‘cokelat’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah sokklat
tana lempong. Persamaan atau ground yang terbentuk
dari kedua term tersebut adalah warna cokelat
disandingkan dengan benda lingkungan alam, yaitu
cokelat pada tanah liat. Jadi, warna cokelat yang
dimaksud adalah warna cokelat keabu-abuan.
(c) Sokklat bâta ‘cokelat bata’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina benda lingkungan alam yaitu
batu bata. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa sokklat bâta adalah warna sokklat
‘cokelat’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah sokklat bâta. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
cokelat disandingkan dengan salah satu jenis
bebatuan, yaitu batu bata. Warna cokelat yang
dimaksud adalah warna cokelat kemerahan seperti
batu bata.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 124
(4) Makanan dan minuman
(a) Sokklat susu ‘cokelat susu’ dan cokklat susu ‘cokelat
susu’ merupakan dua warna turunan dengan atribut
nomina minuman yaitu susu cokelat. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa sokklat
susu dan cokklat susu adalah warna sokklat atau
cokklat ‘cokelat’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah sokklat susu dan cokklat susu.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna cokelat disandingkan
dengan minuman, yaitu warna cokelat pada susu cair
rasa cokelat. warna cokelat yang dimaksud adalah
cokelat keputih-putihan atau cokelat muda. Selain itu,
penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep juga
mengenal frasa warna sokklat susu towa ‘cokelat susu
tua’ dan sokklat susu ngodâ ‘cokelat susu muda’ yang
mana sokklat susu mendapatkan tambahan atribut tua
dan muda. Sokklat susu towa adalah warna cokelat
seperti susu cair tetapi lebih pekat, sedangkan sokklat
susu ngodâ adalah warna cokelat seperti susu cair
tetapi lebih pucat atau kurang pekat.
(b) Cokklat kopi ‘cokelat kopi’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina bahan minuman yaitu kopi.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
cokklat kopi ‘cokelat kopi’ adalah warna cokklat
‘cokelat’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah cokklat kopi. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
cokelat disandingkan dengan biji kopi yang telah
disangrai. Warna cokelat yang dimaksud adalah
cokelat tua.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 125
c) Tanpa menggunakan unsur warna
(a) Sabu matta ‘sawo mentah’ merupakan frasa warna
yang dalam unsur frasanya tidak menggunakan warna
dasar. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa sabu matta adalah warna cokklat ‘cokelat’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah sabu
matta ‘sawo mentah’ itu sendiri. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah
warna cokelat disamakan dengan daging buah sawo.
Selain itu, kata ‘mentah’ merupakan adjektiva cerapan
(pancaindera) yang bermakna belum matang. Biasanya,
daging buah yang belum matang berwarna keputihan.
Jadi, sabu matta berarti warna cokelat keputihan atau
cokelat muda.
(b) Sabu massa’ ‘sawo matang’ merupakan frasa warna
yang dalam unsur frasanya tidak menggunakan warna
dasar. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa sabu massa’ adalah warna cokklat ‘cokelat’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah sabu
massa’ ‘sawo masak’ itu sendiri. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah
warna cokelat disamakan dengan daging buah sawo.
Selain itu, kata ‘matang’ merupakan adjektiva cerapan
(pancaindera) yang bermakna sudah tua. Umumnya,
warna daging buah sawo yang sudah matang adalah
cokelat sempurna. Jadi, sabu massa’ merupakan
sebutan untuk warna cokelat sempurna atau cokelat
pada umumnya.
(c) Sabu bucco’ ‘sawo busuk’ merupakan frasa warna yang
dalam unsur frasanya tidak menggunakan warna dasar.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 126
sabu bucco’ adalah warna cokklat ‘cokelat’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah sabu bucco’ ‘sawo
busuk’ itu sendiri. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna cokelat
disamakan dengan daging buah sawo. Selain itu, kata
‘busuk’ merupakan adjektiva cerapan (pancaindera)
yang bermakna rusak atau jelek. Jadi, sabu bucco’
berarti warna cokelat tersebut sudah tidak seperti warna
dasarnya karena lebih kusam, gelap, atau pekat. Dengan
kata lain, frasa sabu bucco’ digunakan untuk
mendeskripsikan warna cokelat tua.
7) Bhiru ‘biru’
Dari data yang diperoleh di lapangan, warna biru memiliki
24 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut memiliki atribut
dan penamaan yang beraneka ragam.
Tabel 7. Warna-warna turunan dari warna biru
No. Warna Turunan Terjemahan Atribut
1. Bhiru langngѐ Biru langit
Nomina
(benda lingkungan
alam)
2. Bhiru laot Biru laut
Nomina
(benda lingkungan
alam)
3. Bhiru geddung Biru tembok Nomina
(benda rumah)
4. Bhiru SMP Biru SMP Nomina
(institusi)
5. Bhiru tasѐ’ Biru laut
Nomina
(benda lingkungan
alam)
6. Bhiru tellor Biru telur
Nomina
(bagian tubuh
hewan)
7. Bhiru tellor accѐn Biru telur asin Frasa Nomina
(makanan)
8. Bhiru tellor accѐn
towa
Biru telur asin
tua
Frasa Nomina
(makanan)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 127
9. Bhiru tellor accѐn
ngodâ
Biru telur asin
muda
Frasa Nomina
(makanan)
10. Bhiru tellor assѐn Biru telur asin Frasa Nomina
(makanan)
11. Bhiru tellor ѐtѐk Biru telur itik
Frasa Nomina
(bagian tubuh
hewan)
12. Bhiru masѐn Biru asin
Adjektiva
(cerapan
pencitarasaan)
13. Bhiru salju Biru salju
Nomina
(benda lingkungan
alam)
14. Bhiru ѐtѐk Biru itik Nomia
(nama hewan)
15. Bhiru ondem Biru mendung
Nomina
(benda lingkungan
alam)
16. Bhiru abu Biru abu Nomina
(benda rumah)
17. Bhiru abu tomang Biru abu tungku Frasa Nomina
(benda rumah)
18. Bhiru towa Biru tua Adjektiva
(ukuran)
19. Bhiru ngodâ Biru muda Adjektiva
(ukuran)
20. Bhiru dongker Biru dongker Adjektiva
(warna)
21. Bhiru terong Biru terong
Nomina
(tumbuhan kelas
sayuran)
22. Bhiru bungo Biru ungu Adjektiva
(warna)
23. Bhiru tabâr Biru tawar
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
24. Bhiru panci Biru panci Nomina
(benda rumah)
Tabel 7 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari
warna nondasar biru memiliki atribut yang berasal dari satuan
lingual kata, yaitu nomina dan adjektiva, serta satuan lingual frasa
berupa frasa nomina. Selanjutnya, atribut-atribut tersebut akan
diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan dianalisis secara
metaforik.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 128
a) Atribut adjektiva
(1) Ukuran
(a) Bhiru towa ‘biru tua’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva towa ‘tua’ yang termasuk ke
dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa bhiru towa adalah warna
bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah bhiru towa. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna biru
disandingkan dengan adjektiva ‘tua’ yang mana kata
‘tua’ bermakna kehitam-hitaman atau sangat. Jadi,
bhiru towa berarti biru gelap.
(b) Bhiru ngodâ ‘biru muda’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva ngodâ ‘muda’ yang termasuk
ke dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik,
tenor atau pebanding dalam frasa bhiru ngodâ adalah
warna bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah bhiru ngodâ. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna biru disandingkan dengan adjektiva
‘muda’ yang mana kata ‘muda’ berarti kurang gelap
atau agak pucat. Jadi, bhiru ngodâ berarti warna biru
yang agak pucat atau biru keputih-putihan.
(2) Warna
(a) Bhiru dongker merupakan warna turunan dengan
atribut adjektiva warna lain yaitu dongker. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru
dongker adalah warna bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle
atau pembandingnya adalah bhiru dongker.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna biru disandingkan dengan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 129
leksikon dongker yang sebenarnya berasal dari bahasa
Belanda yaitu donkerblaw ‘biru lebam’ (Teeuw, 2002:
106). Jadi, warna biru yang dimaksud adalah biru
gelap
(b) Bhiru bungo ‘biru ungu’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva warna lain yaitu bungo
‘ungu’. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa bhiru bungo adalah warna bhiru ‘biru’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru
bungo. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah leksikon bungo mencakup
lebih dari satu warna yaitu ungu dan biru, sedangkan
leksikon bhiru juga mencakup warna biru dan hijau.
Oleh sebab itu, untuk menandai spektrum warna yang
dimaksud dan untuk menghindari keambiguan mereka
memilih menggunakan istilah warna lain sebagai
atribut penjelasnya. Bhiru bungo menandakan warna
bhiru yang bermakna ‘biru’ bukan ‘hijau’. Hal ini
dikarenakan atribut penjelasnya adalah warna bungo
‘ungu’. Sebagian orang Madura menyebut biru
sebagai ungu ataupun sebaliknya ungu sebagai biru.
(3) Cerapan
(a) Bhiru tabâr ‘biru tawar’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva tabâr ‘tawar’ yang termasuk
ke dalam jenis adjektiva cerapan (pancaindera) yaitu
penglihatan. Hal ini dikarenakan makna kata tabâr
‘tawar’ dalam frasa warna tersebut adalah hilangnya
daya, bukan soal kelezatan dalam indera
pencitarasaan. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa bhiru tabâr adalah warna
bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 130
adalah bhiru tabâr. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna biru
disandingkan dengan adjektiva cerapan (pancaindera)
‘tawar’ yang mana kata ‘tawar’ bermakna hilang
dayanya. Maksud dari bhiru tabâr ialah warna biru
yang kurang terang atau biru pucat.
(b) Bhiru masѐn ‘biru asin’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva masѐn ‘asin’ yang termasuk
ke dalam jenis adjektiva cerapan (pancaindera) yaitu
pencitarasaan. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa bhiru masѐn adalah warna
bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah bhiru masѐn. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna biru
disandingkan dengan adjektiva cerapan (pancaindera)
‘asin’ yang mana kata ‘asin’ bermakna berasa garam.
Asin yang dimaksud adalah rasa asin pada telur itik
yang sudah dimasak. Jadi, bhiru masѐn adalah biru
keputih-putihan seperti cangkang telur itik.
b) Atribut nomina
(1) Hewan
(a) Bhiru etѐk ‘biru itik’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina hewan yaitu itik. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru
etѐk adalah warna bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle
atau pembandingnya adalah bhiru etѐk. Persamaan
atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna biru disandingkan dengan bagian dari
hewan itik, yaitu biru pada kulit telur itik. Jadi, warna
biru yang dimaksud adalah biru keputih-putihan atau
biru muda.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 131
(b) Bhiru tellor ‘biru telur’ dan bhiru tellor etѐk ‘biru
telur itik’ merupakan warna turunan dengan atribut
nomina bagian tubuh hewan yaitu telur itik. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru
etѐk dan bhiru tellor etѐk adalah warna bhiru ‘biru’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru
etѐk dan bhiru tellor etѐk. Persamaan atau ground
yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
biru disandingkan dengan bagian dari telur itik, yaitu
cangkang telur itik. Jadi, warna biru yang dimaksud
adalah biru keputih-putihan atau biru muda.
(2) Tumbuhan
(a) Bhiru terong ‘biru terong’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina sayur yaitu terong. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru
terong adalah warna bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle
atau pembandingnya bhiru terong. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna biru disandingkan dengan salah satu
jenis sayuran, yaitu terong. Umumnya, terong
memiliki warna ungu dan hijau. Namun, sebagian
orang Madura menyebut ungu sebagai biru atau
sebaliknya. Dengan kata lain, orang Madura
menganggap ungu dan biru berada dalam satu
spektrum warna. Jadi, atribut terong digunakan untuk
menjelaskan bahwa biru yang dimaksud adalah
spektrum warna ungu.
(3) Lingkungan alam
(a) Bhiru langngѐ’ ‘biru langit’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina benda alam yaitu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 132
langit. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa bhiru langngѐ’ adalah warna bhiru ‘biru’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru
langngѐ’. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna biru disandingkan
dengan benda lingkungan alam, yaitu biru pada langit
di siang hari. Jadi, warna biru yang dimaksud adalah
warna biru muda.
(b) Bhiru laot ‘biru laut’ dan bhiru tasѐ’ ‘biru laut’
merupakan dua warna turunan dengan atribut nomina
benda alam yaitu laut. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa bhiru laot dan bhiru tasѐ’
adalah warna bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah bhiru laot dan bhiru tasѐ’.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna biru disandingkan dengan
benda lingkungan alam, yaitu biru pada refleksi langit
pada air laut di siang hari. Warna biru yang dimaksud
adalah biru tua.
(c) Bhiru salju ‘biru salju’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina benda alam yaitu salju. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru
salju adalah warna bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle
atau pembandingnya adalah bhiru salju. Persamaan
atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna biru disandingkan dengan benda pada
lingkungan alam, yaitu biru pada butiran-butiran salju
yang mendapatkan pantulan dari langit di siang hari.
Warna biru yang dimaksud adalah biru keputihan atau
biru muda.
(d) Bhiru ondem ‘biru mendung’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina benda alam yaitu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 133
mendung. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa bhiru ondem adalah warna bhiru ‘biru’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru
ondem. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna biru disandingkan
dengan benda pada lingkungan alam, yaitu biru pada
langit yang sedang mendung. Jadi, biru yang
dimaksud adalah biru keabu-abuan.
(4) Instansi, organisasi, dan profesi
(a) Bhiru SMP ‘biru SMP’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina instansi yaitu Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa bhiru SMP adalah warna
bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah bhiru SMP. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna biru
disandingkan dengan benda, yaitu biru pada seragam
bawahan (rok atau celana) anak SMP. Warna biru
yang dimaksud adalah biru tua.
(5) Makanan dan minuman
(a) Bhiru tellor accѐn ‘biru telur asin’dan bhiru tellor
assѐn ‘biru telur asin’ merupakan dua warna turunan
dengan atribut nomina makanan yaitu telur asin.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
bhiru tellor accѐn dan bhiru tellor assѐn adalah warna
bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah bhiru tellor accѐn dan bhiru tellor assѐn.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna biru disandingkan dengan
telur asin (itik) yaitu biru pada cangkang telur asin.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 134
Jadi, warna biru yang dimaksud adalah biru keputih-
putihan atau biru muda. Selain itu, penutur bahasa
Madura di Kab. Sumenep juga menggunakan frasa
bhiru tellor accѐn towa ‘biru telur asin tua’ dan bhiru
tellor accѐn ngodâ ‘biru telur asin muda’ yang mana
bhiru tellor accѐn mendapatkan atribut tua dan muda.
Bhiru tellor accѐn towa adalah warna biru telur asin
yang lebih tua dari biru yang terdapat pada cangkang
telur itik pada umumnya, sedangkan bhiru tellor
accѐn ngodâ adalah warna biru telur asin yang lebih
muda dari biru yang terdapat pada cangkang telur itik
pada umumnya.
(6) Benda rumah
(a) Bhiru abu ‘biru abu’ dan bhiru abu tomang ‘biru abu
tungku’ merupakan dua warna turunan dengan atribut
nomina benda rumah yaitu abu tungku. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru
abu dan bhiru abu tomang adalah warna bhiru ‘biru’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru
abu dan bhiru abu tomang. Persamaan atau ground
yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna
biru disandingkan dengan warna abu hasil dari
pembakaran kayu pada tungku yang secara umum
berwarna abu-abu. Sebagian orang Madura
menanggap warna biru berada dalam spektrum warna
yang sama dengan abu-abu dan ungu. Oleh sebab itu,
dibutuhkan atribut penjelas untuk membedakan ketiga
warna tersebut. Jadi, bhiru abu maupun bhiru abu
tomang digunakan untuk mendeskripsikan warna abu-
abu seperti abu hasil pembakaran kayu pada tungku
untuk memasak.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 135
(b) Bhiru panci ‘biru panci’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina benda rumah yaitu panci.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
bhiru panci adalah warna bhiru ‘biru’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah bhiru panci.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna biru disandingkan dengan
peralatan dapur yaitu panci. Umumnya, warna panci
adalah abu-abu. Sebagian orang Madura menanggap
warna biru berada dalam spektrum warna yang sama
dengan abu-abu dan ungu. Oleh sebab itu, dibutuhkan
atribut penjelas untuk membedakan ketiga warna
tersebut. Jadi, bhiru panci digunakan untuk merujuk
warna abu-abu, yaitu abu-abu muda.
(c) Bhiru geddung ‘biru tembok’ warna turunan dengan
atribut nomina benda rumah yaitu tembok. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru
geddung adalah warna bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle
atau pembandingnya adalah bhiru geddung.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna biru disandingkan dengan
salah satu bagian dari rumah, yaitu tembok. Warna
biru yang dimaksud adalah warna biru yang sangat
muda sehingga secara kasat mata jika diliat dari jauh
lebih mendekati warna putih. Frasa warna ini muncul
dari penutur yang di lingkungan tempat tinggalnya
memiliki tembok dengan warna serupa.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 136
8) Bungo ‘ungu’
Dari data yang diperoleh di lapangan, warna ungu memiliki
11 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut memiliki atribut
dan penamaan yang beraneka ragam.
Tabel 8. Warna-warna turunan dari warna ungu
No. Warna Turunan Terjemahan Atribut
1. Bungo tasѐ’ Ungu laut
Nomina
(benda lingkungan
alam)
2. Bungo dongker Ungu dongker Adjektiva
(warna)
3. Bungo terong Ungu terong
Nomina
(tumbuhan kelas
sayuran)
4. Bungo terong
towa Ungu terong tua
Frasa Nomina
(tumbuhan kelas
sayuran)
5. Bungo
terong ngodâ
Ungu
terong muda
Frasa Nomina
(tumbuhan kelas
sayuran)
6. Bungo langngѐ’ Ungu langit
Nomina
(benda lingkungan
alam)
7. Bungo ngodâ Ungu muda Adjektiva
(ukuran)
8. Bungo towa Ungu tua Adjektiva
(ukuran)
9. Bungo tѐra’ Ungu terang
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
10. Bungo pellay Ungu pucat Adjektiva
(pemeri sifat)
11. Bungo pettheng Ungu gelap
Adjektiva
(cerapan
penglihatan)
Tabel 8 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari
warna nondasar ungu memiliki atribut yang berasal dari satuan
lingual kata, yaitu nomina dan adjektiva, serta satuan lingual frasa
berupa frasa nomina. Selanjutnya, atribut-atribut tersebut akan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 137
diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan dianalisis secara
metaforik.
a) Atribut adjektiva
(1) Pemeri sifat
(a) Bungo pellay ‘ungu pucat’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva pellay ‘pucat’ yang termasuk
ke dalam jenis adjektiva pemeri sifat. Hal ini
dikarenakan pellay ‘pucat’ menggambarkan suatu
intensitas yang bercorak fisik. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa bungo pellay adalah
warna bungo ‘ungu’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah bungo pellay. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna ungu disandingkan dengan adjektiva
‘pucat’ yang mana kata ‘pucat’ bermakna agak putih.
Jadi, bungo pellay berarti ungu keputih-putihan atau
ungu muda.
(2) Ukuran
(a) Bungo ngodâ ‘ungu muda’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva ngodâ ‘muda’ yang termasuk
ke dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik,
tenor atau pebanding dalam frasa bungo ngodâ adalah
warna bungo ‘ungu’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah bungo ngodâ. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna ungu disandingkan dengan adjektiva
‘muda’ yang mana kata ‘muda’ berarti kurang gelap
atau agak pucat. Jadi, bungo ngodâ berarti warna
ungu yang agak pucat atau ungu keputih-putihan.
(b) Bungo towa ‘ungu tua’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva towa ‘tua’ yang termasuk ke
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 138
dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa bungo towa adalah warna
bungo ‘ungu’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah bungo towa. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna ungu
disandingkan dengan adjektiva ‘tua’ yang mana kata
‘tua’ bermakna kehitam-hitaman atau sangat. Jadi,
bungo towa berarti ungu gelap.
(3) Warna
(a) Bungo dongker merupakan warna turunan dengan
atribut adjektiva warna lain yaitu dongker. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bungo
dongker adalah warna bungo ‘ungu’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah bungo dongker.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna ungu disandingkan dengan
leksikon dongker yang sebenarnya berasal dari bahasa
Belanda yaitu donkerblaw ‘biru lebam’ (Teeuw, 2002:
106). Makna leksikon bungo mencakup lebih dari satu
warna yaitu ungu dan biru. Sebagian orang Madura
menganggap dua warna tersebut saling dapat
menggantikan satu sama lain dan berada dalam satu
spektum. Oleh sebab itu, bungo dongker sebenarnya
memiliki arti yang sama dengan bhiru dongker, yaitu
warna biru gelap.
(4) Cerapan
(a) Bungo tѐra’ ‘ungu terang’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva tѐra’ ‘terang’ yang termasuk
ke dalam jenis adjektiva cerapan atau berhubungan
dengan pancaindera yaitu penglihatan. Secara
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 139
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bungo
tѐra’ adalah warna bungo ‘ungu’, sedangkan vehicle
atau pembandingnya adalah bungo tѐra’. Persamaan
atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna ungu disandingkan dengan adjektiva
cerapan (pancaindera) ‘terang’ yang mana kata
‘terang’ bermakna cerah atau bersinar. Jadi, bungo
tѐra’ berarti ungu yang lebih cerah dari warna
dasarnya.
(b) Bungo pettheng ‘ungu gelap’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva pettheng ‘gelap’
yang termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau
berhubungan dengan pancaindera yaitu penglihatan.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
bungo pettheng adalah warna bungo ‘ungu’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bungo
pettheng. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna ungu disandingkan
dengan adjektiva cerapan (pancaindera) ‘gelap’ yang
mana kata ‘gelap’ bermakna tidak ada cahaya. Istilah
bungo pettheng digunakan oleh orang Madura untuk
mengatakan abu-abu gelap atau warna ungu yang
menyerupai hitam.
b) Atribut nomina
(1) Tumbuhan
(a) Bungo terong ‘ungu terong’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina sayur yaitu terong.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
bungo terong adalah warna bungo ‘ungu’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah bungo terong.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 140
term tersebut adalah warna ungu disandingkan dengan
sayuran, yaitu ungu pada kulit terong. Selain itu,
penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep juga
menggunakan frasa bungo terong towa ‘ungu terong
tua’ dan bungo terong ngodâ ‘ungu terong muda’
yang mana bungo terong mendapatkan atribut tua dan
muda. Bungo terong towa adalah warna ungu yang
lebih gelap dari ungu terong biasanya atau mendekati
hitam, sedangkan bungo terong ngodâ adalah warna
ungu yang lebih pucat dari ungu terong biasanya atau
ungu terong muda.
(2) Lingkungan alam
(a) Bungo tasѐ’ ‘ungu laut’ merupakan warna turunan
dengan atribut nomina benda lingkungan alam yaitu
laut. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa bungo tasѐ’ adalah warna bungo ‘ungu’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bungo
tasѐ’. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna ungu disandingkan
dengan laut, yaitu warna pantulan langit terhadap air
laut ketika menjelang gelap atau senja yang
menyerupai ungu.
(b) Bungo langngѐ’ ‘ungu langit’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina benda lingkungan
alam yaitu langit. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa bungo langngѐ’ adalah warna
bungo ‘ungu’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah bungo langngѐ’. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna ungu
disandingkan dengan benda lingkungan alam, yaitu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 141
warna langit ketika senja atau menjelang gelap.
Warna yang dimaksud adalah ungu kebiru-biruan.
9) Bu-abu ‘abu-abu’
Dari data yang diperoleh di lapangan, warna abu-abu
memiliki 11 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut
memiliki atribut dan penamaan yang beraneka ragam.
Tabel 9. Warna-warna turunan dari warna ungu
No. Warna Turunan Terjemahan Atribut
1. Bu-abu tomang Abu-abu tungku Nomina
(benda rumah)
2. Abu tomang
ngodâ
Abu tungku
muda -
3. Bu-abu ngodâ Abu-abu muda Adjektiva
(ukuran)
4. Bu-abu towa Abu-abu tua Adjektiva
(ukuran)
5. Abu ngodâ Abu muda -
6. Abu towa Abu tua -
7. Bu-abu areng Abu-abu arang
Nomina
(benda lingkungan
alam)
8. Bu-abu pettheng Abu-abu gelap
Adjektiva
(cerapan
penghlihatan)
9. Bu-abu tѐra’ Abu-abu terang
Adjektiva
(cerapan
penghlihatan)
10. Bu-abu ketthe’ Abu-abu monyet Nomina
(nama hewan)
11. Bu-abu busok Abu-abu kucing
busok
Nomina
(nama hewan)
Tabel 9 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari
warna nondasar cokelat memiliki atribut yang berasal dari satuan
lingual kata, yaitu nomina dan adjektiva. Selanjutnya, atribut-
atribut tersebut akan diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan
dianalisis secara metaforik.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 142
a) Atribut adjektiva
(1) Ukuran
(a) Bu-abu towa ‘abu-abu tua’ merupakan warna turunan
dengan atribut adjektiva towa ‘tua’ yang termasuk ke
dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa bu-abu towa adalah warna
bu-abu ‘abu-abu’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah bu-abu towa. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna ungu disandingkan dengan adjektiva
‘tua’ yang mana kata ‘tua’ bermakna kehitam-hitaman
atau sangat. Jadi, bu-abu towa berarti abu-abu gelap
atau memiliki kadar warna hitam yang lebih besar
daripada abu-abu pada umumnya.
(b) Bu-abu ngodâ ‘abu-abu muda’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva ngodâ ‘muda’ yang
termasuk ke dalam jenis adjektiva ukuran. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bu-abu
ngodâ adalah warna bu-abu ‘abu-abu’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah bu-abu ngodâ.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah warna abu-abu disandingkan
dengan adjektiva ‘muda’ yang mana kata ‘muda’
berarti kurang gelap atau agak pucat. Jadi, bu-abu
ngodâ berarti warna abu-abu yang memiliki
kandungan putih lebih tinggi daripada warna abu-abu
pada umumnya sehingga menghasilkan warna abu-
abu yang agak pucat.
(2) Cerapan
(a) Bu-abu pettheng ‘abu-abu gelap’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva pettheng ‘gelap’
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 143
yang termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau
berhubungan dengan pancaindera yaitu penglihatan.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
bu-abu pettheng adalah warna bu-abu ‘abu-abu’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bu-abu
pettheng. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna abu-abu
disandingkan dengan adjektiva cerapan (pancaindera)
‘gelap’ yang mana kata ‘gelap’ bermakna tidak ada
cahaya. Istilah bu-abu pettheng digunakan oleh orang
Madura untuk mengatakan abu-abu gelap atau warna
yang mendekati hitam.
(b) Bu-abu tѐra’ ‘abu-abu terang’ merupakan warna
turunan dengan atribut adjektiva tѐra’ ‘terang’ yang
termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau
berhubungan dengan pancaindera yaitu penglihatan.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
bu-abu tѐra’ adalah warna bu-abu ‘abu-abu’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bu-abu
tѐra’. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna abu-abu
disandingkan dengan adjektiva cerapan (pancaindera)
‘terang’ yang mana kata ‘terang’ bermakna cerah atau
bersinar. Jadi, bu-abu tѐra’ berarti abu-abu yang lebih
cerah dari warna dasarnya atau memiliki kadar putih
lebih tinggi.
b) Atribut nomina
(1) Hewan
(a) Bu-abu ketthe’ ‘abu-abu monyet’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina hewan yaitu monyet.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 144
bu-abu ketthe’ adalah warna bu-abu ‘abu-abu’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bu-abu
ketthe’. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna abu-abu
disandingkan dengan salah satu bagian dari hewan,
yaitu abu-abu pada bulu moyet. Warna abu-abu yang
dimaksud adalah abu-abu kecokelatan.
(b) Bu-abu busok ‘abu-abu kucing busok’ merupakan
warna turunan dengan atribut nomina hewan yaitu
kucing busok. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa bu-abu busok adalah warna bu-abu ‘abu-
abu’, sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
bu-abu busok. Persamaan atau ground yang terbentuk
dari kedua term tersebut adalah Warna abu-abu
disandingkan dengan salah satu jenis kucing, yaitu
kucing busok. Kucing busok merupakan kucing asli
Pulau Raas, Kab. Sumenep, Madura. Bulu kucing ini
berwarna abu-abu tua. Jadi, warna abu-abu yang
dimaksud adalah abu-abu tua.
(2) Benda rumah
(a) Bu-abu tomang ‘abu-abu tungku’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina benda rumah yaitu
tungku. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam
frasa bu-abu tomang adalah warna bu-abu ‘abu-abu’,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bu-abu
tomang. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna abu-abu
disandingkan dengan benda, yaitu abu-abu yang
dihasilkan dari pembakaran kayu pada tungku dapur
ketika memasak.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 145
(3) Lingkungan alam
(a) Bu-abu areng ‘abu-abu arang’ merupakan warna
turunan dengan atribut nomina benda lingkungan
alam yaitu arang. Secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa bu-abu areng adalah warna
bu-abu ‘abu-abu’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah bu-abu areng. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut
adalah warna abu-abu disandingkan dengan benda,
yaitu abu-abu yang terdapat pada arang. Warna abu-
abu yang dimaksud adalah abu-abu tua mendekati
hitam.
c) Non-atribut
(1) Abu tomang ngodâ ‘abu tungku muda’ merupakan frasa
warna yang dalam unsur frasanya tidak menggunakan
warna dasar. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa abu tomang ngodâ adalah warna bu-abu
‘abu-abu’, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah abu tomang ngodâ ‘abu tungku muda’ itu
sendiri. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna abu-abu disamakan
dengan abu yang dihasilkan dari proses pembakaran
kayu pada tungku ketika memasak. Selanjutnya, warna
tersebut juga disandingkan dengan adjektiva ‘muda’
yang mana kata ‘muda’ berarti kurang gelap atau agak
pucat. Jadi, abu tomang ngodâ adalah sebutan untuk
warna abu-abu yang lebih muda dari warna abu hasil
pembakaran pada tungku.
(2) Abu ngodâ ‘abu muda’ merupakan frasa warna yang
dalam unsur frasanya tidak menggunakan warna dasar.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa abu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 146
ngodâ adalah warna bu-abu ‘abu-abu’, sedangkan
vehicle atau pembandingnya adalah abu ngodâ ‘abu
muda’ itu sendiri. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna abu-
abu disamakan dengan abu yang dihasilkan dari proses
pembakaran kayu pada tungku ketika memasak.
Selanjutnya, warna tersebut juga disandingkan dengan
adjektiva ‘muda’ yang mana kata ‘muda’ berarti kurang
gelap atau agak pucat. Jadi, abu ngodâ adalah sebutan
untuk warna abu-abu yang lebih muda dari warna abu
hasil pembakaran pada tungku.
(3) Abu towa ‘abu tua’ merupakan frasa warna yang dalam
unsur frasanya tidak menggunakan warna dasar. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa abu towa
adalah warna bu-abu ‘abu-abu’, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah abu towa ‘abu tua’ itu sendiri.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua term
tersebut adalah warna abu-abu disamakan dengan abu
yang dihasilkan dari proses pembakaran kayu pada
tungku ketika memasak. Selanjutnya, warna tersebut
juga disandingkan dengan adjektiva ‘tua’ yang mana
kata ‘tua’ bermakna kehitam-hitaman atau sangat. Jadi,
abu towa adalah sebutan untuk warna abu-abu yang
lebih tua dari warna abu hasil pembakaran pada tungku.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 147
2. Makna kultural dari konsep penggunaan warna dalam masyarakat
Madura di Kab. Sumenep
Setelah mengetahui satuan-satuan lingual penanda warna dalam
bahasa Madura di Kab. Sumenep, selanjutnya akan dipaparkan
penggunaan warna-warna tersebut di dalam domain verbal dan nonverbal.
Tujuan dari pemaparan konsep penggunaan warna ini adalah untuk
mengetahui makna kultural yang tersimpan di balik penggunaan warna-
warna tersebut berdasarkan domain yang berbeda dan menurut keyakinan
masyarakat Madura di Kab. Sumenep itu sendiri.
Domain verbal merupakan warna yang melekat pada ujaran-ujaran
tertentu yang hidup di tengah masyarakat Madura di Kab. Sumenep. Dari
penelitian yang telah dilakukan, warna ditemukan melekat pada beberapa
domain verbal, yaitu parѐbhasan ‘peribahasa’, oca’ kѐyasan ‘ungkapan’,
dan carѐta rakyat ‘cerita rakyat’. Selanjutnya, domain nonverbal
merupakan warna yang melekat pada benda-benda di lingkungan
masyarakat Madura di Kab. Sumenep. Khusus untuk domain nonverbal,
warna-warna yang diambil hanya warna yang penggunaannya
mendeskripsikan sebuah makna khusus di luar fungsi untuk keindahan.
Dari penelitian yang telah dilakukan, warna ditemukan melekat pada
beberapa domain dalam bidang kesenian, bangunan, transportasi, upacara
ritual, dan kuliner.
a. Penggunaan warna dalam domain verbal
1) Parѐbhasan ‘peribahasa’
Dalam bahasa Madura parѐbhasan merupakan peribahasa
yang keberadaannya hanya berlaku di dalam sebuah masyarakat
tutur dari bahasa tersebut. Jadi, parѐbhasan tidak boleh menyalin
dari bahasa lain1. Berikut adalah parѐbhasan di dalam bahasa
Madura yang mengandung unsur nama warna.
1 Dikutip dari buku Kosa Kata Bahasa Madura (Fiandarti & Bastari, 2009: 151).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 148
a) Potѐ ‘putih’
(1) Potѐ tolang ‘putih tulang’ bermakna ‘mati’ dan potѐ mata
‘putih mata’ bermakna ‘malu’
[Data TB.03/01]
Lebbi bhâgus potѐ tolang ѐtembhâng potѐ mata
Lebih baik putih tulang daripada putih mata
Lebih baik putih tulang daripada putih mata
Peribahasa di atas bermakna lebih baik mati
daripada hidup menanggung malu. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa potѐ tolang adalah mati,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah potѐ tolang
‘putih tulang’ itu sendiri. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah ketika tubuh
manusia terluka dan mengakibatkan dagingnya menganga,
maka warna putih pada tulang akan jelas terlihat. Luka
tersebut biasanya diakibatkan oleh pertarungan atau
perkelaihan yang memungkinkan terjadinya kematian.
Jadi, warna putih tulang mengisyaratkan sebuah keadaan
yaitu mati.
Selanjutnya, secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa potѐ mata adalah malu, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah potѐ mata ‘putih mata’ itu sendiri.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua term
tersebut adalah umunya mata terdiri dari bagian hitam dan
putih. Namun, ketika seseorang hanya digambarkan
memiliki bagian putih mata, berarti orang tersebut tidak
bisa melihat. Jadi, orang Madura menganalogikan putih
mata sebagai keadaan ketika seseorang tidak mampu
bertemu orang lain karena malu akibat dicemooh atau
dilecehkan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 149
Selain di Madura, peribahasa di atas juga digunakan
oleh suku Melayu dengan bentuk daripada berputih mata,
eloklah berputih tulang2. Persamaan bentuk peribahasa ini
juga dapat disebabkan oleh kekerabatan bahasa Madura
dengan bahasa Melayu. Sebagai rumpun bahasa
Austronesia, bahasa Madura memiliki kekerabatan dengan
bahasa Jawa, Sunda, dan Melayu. Namun, di antara ketiga
bahasa tersebut, kekerabatan bahasa Madura dengan
Melayu terbilang cukup besar yaitu sejumlah 51.2%3
sehingga tidak mengherankan jika terdapat kosakata
maupun peribahasa Madura yang mirip dengan bahasa
Melayu.
Suku Melayu memaknai peribahasa daripada
berputih mata, eloklah berputih tulang menjadi ‘lebih baik
mati daripada tidak mendapatkan sesuatu yang diidam-
idamkan’. Walaupun secara bentuk peribahasa sama,
namun pemaknaan peribahasa yang dilakukan oleh suku
Melayu dan Madura berbeda. Suku Melayu menggunakan
peribahasa ini agar masyarakatnya berusaha sekeras
mungkin untuk mencapai harapan-harapan hidup atau
impian. Berbeda dengan suku Madura yang menggunakan
peribahasa ini sebagai bentuk menjunjung tinggi harkat
dan martabatnya sebagai manusia agar tidak dipermalukan
atau dicemooh. Bagi masyarakat Madura, peribahasa di
atas selalu dihubungkan dengan tradisi carok4.
Orang Madura tidak pernah mau mengganggu
siapapun. “Namun, jika harga dirinya dilecehkan, maka
akan muncul Maduranya”5. Jadi, daripada mereka malu
karena harga dirinya direndahkan, orang Madura
2 Dikutip dari buku Koleksi Terindah Peribahasa Melayu (Hassan dan Mohd, 2006: 49). 3 Dyen (1962: 42). 4 Istilah carok hanya dipakai oleh orang Madura untuk menyebut pembunuhan dengan senjata
tajam (De Jonge, 2011: 127). 5 Penuturan informan: Bapak Nurul Hamzah, usia 61 tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 150
cenderung akan membela mati-matian harga dirinya
walaupun sampai harus bertaruh nyawa. Melukai
kehormatan seseorang identik dengan menyakiti seseorang
secara fisik6. Misalnya, ada seorang suami yang istrinya
direbut oleh pria lain. Maka, suami tersebut akan
melakukan carok dengan pria tersebut untuk merebut
kembali istrinya. Hal ini dilakukan karena jika sang suami
hanya berdiam diri dan tidak bertindak apa-apa, kehidupan
suami tersebut akan menjadi bahan olok-olokan
masyarakat. Dengan kata lain, sang suami akan
menanggung malu.
Carok tidak hanya dilakukan ketika terjadi masalah
perzinahan, tetapi juga masalah pencurian dan penghinaan
(pencemaran nama baik). Oleh sebab itu, lebih baik mati
karena bertarung daripada hidup menangung malu dan
direndahkan orang lain. Bagi orang Madura, segalanya
akan dipertaruhkan untuk membela kehormatan.
(2) Potѐ kapor ‘putih kapur’ bermakna ‘suci’
[Data TB.03/04]
Tѐ-potѐanna kapor salaghi bâ’âng
Bagian putihnya kapur ada pahit
Seputih-putihnya kapur tetap ada pahitnya
Peribahasa di atas bermakna tidak ada sesuatu yang
seutuhnya suci, pasti tetap akan ada kesalahan di
dalamnya7. Dalam peribahasa tersebut, masyarakat Madura
menggambarkan sesuatu yang suci dengan warna kapur
yaitu putih kapur. Secara metaforik, tenor atau pebanding
dalam frasa potѐ kapor adalah suci, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah potѐ kapor ‘putih kapur’ itu
sendiri. Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
6 Dikutip dari buku Garam, Kekerasan, dan Aduan Sapi (De Jonge, 2011: 138). 7 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 151
term tersebut adalah kapur merupakan salah satu benda
alam yang sangat dekat dengan masyarakat Madura hingga
muncullah ujaran ‘Madura tanah kapur’8 yang diakibatkan
oleh susunan tanah di Madura yang mayoritas berbatu
kapur. Kapur tersebut menjadi bahan utama yang
digunakan oleh orang Madura untuk mewarnai tembok
rumahnya. Mereka menyebutnya sebagai ghâmpèn (batu
gampin). Orang Madura menggunakan adonan gampin
untuk mengecat rumahnya karena harganya lebih
terjangkau daripada cat kimia dan putihnya benar-benar
bersih. Jadi, penggunaan frasa potѐ kapor selain karena
kapur adalah benda alam yang sangat dekat dengan
mereka, kapur juga diyakini memiliki warna putih bersih
yang bermakna suci.
Peribahasa di atas mengingatkan orang Madura agar
tidak menjadi pribadi yang sombong dengan apa yang
dimiliki sebab tidak ada manusia yang sempurna.
“Manossa coma darma (manusia hanyalah titipan), jadi
jangan merasa sombong”9. Oleh sebab itu, sebagai
manusia tidak boleh terlena dengan adigang (kekuatan),
adigung (kekuasaan), dan adiguna (kepintaran). Hal ini
dikarenakan semua yang ada di muka bumi dan diwariskan
dalam diri manusia hanyalah titipan dan hasil dari
ketetapan Tuhan.
Tidak dapat dielak jika salah satu pembawaan orang
Madura khususnya mereka yang tinggal di pedesaan
adalah èbir ‘pamer’. “...Keinginan untuk menonjolkan
kelebihannya itu agak berlebihan ya. Kalau kita ke desa
zaman dulu di depan mesti ada lemari kan, kanan kiri, itu
kan dipamerkan, panci, piring, dan kamar tidur yang
8 Penuturan informan: Bapak Zainal Abidin, usia 67 tahun. 9 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 152
biasanya sifatnya pribadi è bukka’ sakonne’ biyasana kan
bâdâ kasorra (dibuka sedikit kan biasanya ada kasurnya),
untuk menunjukkan”10. Tujuan menunjukkan harta benda
bagi masyarakat Madura di pedesaan adalah agar semua
orang di lingkungannya dapat mengukur kehebatan harta
kekayaan yang dikuasai pemilik rumah tersebut11. Sikap
memamerkan sesuatu tentu bukan hanya dimiliki oleh
orang Madura. Namun, peribahasa di atas muncul sebagai
alat untuk mengontrol tingkat kepameran yang dimiliki
oleh orang Madura supaya sifat èbir ‘pamer’ tersebut tidak
melampaui batas.
(3) Potѐ ‘putih’ dan celleng ‘hitam’ bermakna ‘kekuasaan’
[Data TB.03/05]
Mapotѐya dângdâng potѐ macellengnga dhâlko celleng
Memutihkan gagak putih menghitamkan kuntul hitam
Memutihkan gagak putih menghitamkan kuntul hitam
Peribahasa di atas bermakna kekuasaan yang sangat
besar. Secara umum, burung gagak adalah salah satu
spesies burung yang memiliki warna bulu dominan hitam.
Sebaliknya, burung kuntul adalah spesies burung yang
memiliki warna bulu dominan putih. Dengan kata lain,
pernyataan dalam peribahasa di atas bersifat bertolak
belakang dengan keadaan sebenarnya pada wujud fisik dari
kedua burung tersebut. Penggambaran demikian bertujuan
untuk memperkuat pesan yang terkandung di dalam
peribahasa di atas, yaitu kekuasaan yang sangat besar
sehingga mampu merubah sesuatu yang terlihat mustahil
bagi akal manusia.
10 Penuturan informan: Bapak Edhie Setiawan, usia 73 tahun. 11 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 220).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 153
Berdasarkan informasi lain12, peribahasa di atas
menjelaskan mengenai kekuasaan seorang pemimpin yang
mampu menentukan nasib bawahannya. Jadi, pemimpin
tersebut mampu melakukan apa saja karena memiliki
kekuasaan yang besar. Menurut salah satu informan,
prinsip yang harus dipegang teguh oleh orang Madura
yang sedang menjadi pemimpin adalah bâdâ pakon, bâdâ
pakan ‘ada pekerjaan, maka ada makanan’13. Ujaran
tersebut bermakna seorang pemimpin harus menyelesaikan
tanggung jawabnya terlebih dahulu sebelum menuai hasil
atau mendapatkan upah. Bukan sebaliknya, ada pakan lalu
bâdâ pakon, yang artinya mengambil hak terlebih dahulu
sebelum menyelesaikan kewajibannya. Munculnya
peribahasa di atas juga merupakan pengingat bagi para
pemimpin khususnya di Madura agar tidak semena-mena
dalam menggunakan kekuasaannya, salah satunya adalah
menghindari korupsi.
b) Konѐng ‘kuning’
(1) Konѐng kalak ‘kuning kalak’ bermakna ‘rupawan’
[Data TB.03/02]
Nѐng-konѐng kalak, tekka’a konѐng katolak
Kuning-kuning kalak, walau kuning tertolak
Kuning kalak, walau kuning tertolak
Peribahasa di atas bermakna walaupun seorang
perempuan atau laki-laki memiliki paras yang rupawan
bisa saja kehadirannya tidak diterima karena sifat dan
perilakunya tidak serupawan parasnya14. Secara metaforik,
12 Dikutip dari laman internet https://kamuslengkap.com/kamus/madura-indonesia/arti-kata/celleng
(16 April 2019). 13 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun. 14 Dikutip dari laman internet https://kamuslengkap.com/kamus/madura-indonesia/arti-
kata/n%C3%A8ng-kon%C3%A8ng-kalak-tekkaa-kon%C3%A8ng-katolak (17 Juli 2019)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 154
tenor atau pebanding dalam frasa konѐng kalak adalah
rupawan, sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah
konѐng kalak ‘kuning kalak’ itu sendiri. Persamaan atau
ground yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah
kalak merupakan buah yang bagian atas dari kulit buahnya
berwarna kuning. Warna kuning tersebut tampak muda dan
bersih sehingga diibaratkan dengan paras laki-laki atau
perempuan yang enak dipandang karena rupawan.
Peribahasa tersebut lebih tepat ditujukan kepada seseorang
yang belum berumah tangga, yaitu seorang calon menantu
yang ditolak calon mertuanya sebab tidak memiliki sifat
dan perilaku yang baik meskipun paras orang tersebut
cantik atau tampan.
Di dalam masyarakat Madura, orang yang memiliki
tabiat buruk disebut dengan bâbâtek motak ‘watak
monyet’. Hal ini dikarenakan monyet dianggap sebagai
hewan yang suka melakukan hal-hal merugikan, misalnya
suka mencuri makanan. Oleh sebab itu, untuk mengatasi
tabiat buruk manusia, para sesepuh tempo dulu di Madura
banyak mengamati sifat dan perilaku manusia sehingga
muncullah sifat dan perilaku positif yang dianggap
berterima dalam lingkungan masyarakat Madura. Perilaku-
perilaku15 tersebut di antaranya (1) mabuta, mabudek,
mabuwi yang bermakna tidak ikut campur urusan orang
lain, (2) bâdâ è tongka' bâdâ è dâi yang bermakna
memiliki sikap adil, (3) tao dhugâ kèra yang bermakna
tahu diri, (4) man-èman kolè'na geddhâng yang bermakna
hemat dan cermat, (5) macan ngerrep kokona yang
bermakna diam itu emas atau tidak berbicara hal-hal yang
tidak penting, (6) jha’ ghu’-tegghu’an sangghup yang
bermakna tidak mengumbar janji, (7) tangghâ' jhâ' opaè
15 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 237-291).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 155
yang bermakna tidak mudah menyikapi omongan orang,
(8) maddhung to’ot yang bermakna memiliki sopan santun,
(9) sèkot dâ’ abâ’na dhibi’ yang bermakna memiliki tepa
selira, dan (10) èkènnèng ghibâ ka sèmo yang bermakna
mudah bergaul.
Kesepuluh sifat dan perilaku di atas menjadi
penilaian penting bagi orang Madura dalam melihat suatu
individu. Jadi, walaupun seorang individu berparas
rupawan seperti warna konѐng ‘kuning’ pada bagian atas
buah kalak, tetaplah tidak ada artinya jika tidak diikuti oleh
sifat dan perilaku yang positif.
(2) Konѐng ‘kuning’ bermakna ‘berhasil’
[Data TB.03/03]
Abhântal ombâ’ asapo’ angѐn, alako berrâ’ apello konѐng Berbantal ombak berselimut angin, bekerja berat berpeluh kuning
Berbantal ombak berselimut angin, bekerja berat berpeluh kuning
Peribahasa di atas bermakna bekerja keras dan selalu
berusaha. Peribahasa tersebut muncul karena selain
bertani, mayoritas masyarakat Madura bekerja sebagai
nelayan. Para nelayan umumnya pergi melaut berhari-hari
dan meninggalkan anak istinya di rumah. Mereka
menggantungkan hidup pada alam, terutama lautan. Secara
metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa apello konѐng
adalah berhasil, sedangkan vehicle atau pembandingnya
adalah apello konѐng ‘berpeluh kuning’ itu sendiri.
Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua term
tersebut adalah orang yang sedang bekerja akan berpeluh
keringat. Keringat tersebut menjadi bukti sebuah usaha
untuk menuai keberhasilan sehingga mereka tidak hanya
berpangku tangan. Penggunaan warna kuning bertujuan
untuk mendeskripsikan noda kuning yang biasanya timbul
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 156
akibat peluh yang sudah menempel di pakaian selama
berhari-hari. Dengan kata lain, para pekerja rela berhari-
hari membanting tulang dan tidak pulang ke rumah demi
mampu menafkahi keluarganya. Hal tersebut juga
mengisyaratkan bahwa warna kuning bagi masyarakat
Madura di Kab. Sumenep bermakna sebuah tanggung
jawab. Lebih tepatnya kesadaran untuk bertanggung jawab
menafkahi keluarga.
Bagi orang Madura, sesuatu yang kelihatannya
mustahil apabila terus diusahakan dengan kerja keras akan
menghasilkan sesuatu. “....Jadi, orang Madura itu gigih,
semangatnya tinggi dalam bekerja, dan bukan hanya
berpangku tangan”16. Pada akhirnya, peribahasa tersebut
tidak hanya berlaku bagi para nelayan, tetapi juga
diperuntukkan bagi mereka yang tengah bekerja keras
mencari nafkah dengan profesi apapun. Misalnya contoh
lain, pada tahun 1950-an di salah satu desa terpencil di
Madura terdapat seorang penjahit yang berhasil
menunaikan ibadah haji bersama istri dan seluruh anaknya.
Hal tersebut membuktikan, jika sifat bilet ‘ulet’ yang
dimiliki oleh orang Madura bukanlah sesuatu yang dapat
diremehkan. Keberhasilan seseorang tidak dapat dinilai
hanya dari jenis profesi yang dilakukan, melainkan dari
seberapa besar dan keras usahanya.
Sifat pekerja keras yang dimiliki oleh orang Madura
turut menimbulkan ca’-oca’an17 orèng Madhurâ ta’ tako’
matè, tapè tako’ kalaparan ‘orang Madura tidak takut
mati, tetapi takut kelaparan’18. Ca’-oca’an tersebut
menjelaskan bahwa orang Madura memiliki sikap pasrah
16 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun. 17 Ca’-oca’an adalah ujaran yang dipegang teguh oleh orang Madura dan dijadikan landasan dalam
menjalani kehidupan. 18 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 347).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 157
terhadap ketetapan Tuhan, salah satunya mengenai
kematian. Bagi orang Madura, kematian adalah hal mutlak
yang tidak bisa diubah, sedangkan kelaparan adalah sebuah
kondisi yang disebabkan oleh diri manusia itu sendiri yang
tidak bekerja keras untuk mencari nafkah. Oleh sebab itu,
orang Madura adalah masyarakat yang memiliki etos kerja
tinggi guna mencapai keberhasilan.
c) Celleng ‘hitam’
(1) Celleng ‘hitam’ bermakna ‘tidak bermoral’
[Data TB.03/06]
Jhârân celleng ghusèh, èsemma’è ngokop, èjhâuè ngette’
Kuda hitam gusi, didekati menggigit dijauhi menendang
Kuda gusi hitam, didekati menggigit dijauhi menendang
Peribahasa di atas bermakna bercampur gaul dengan
orang yang sudah terkenal bejat moral dan busuk tabiatnya
pasti akan mencelakakan keseluruhan lingkungannya.
Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa
celleng ghusèh adalah tidak bermoral, sedangkan vehicle
atau pembandingnya adalah celleng ghusèh ‘gusi hitam’
itu sendiri. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah gusi yang sehat dan normal
umumnya berwarna merah muda. Jika gusi pada makhluk
hidup berwarna selain merah muda, bisa dikatakan
terdapat suatu kelainan atau penyakit yang berakibat
buruk. Penggunaan frasa gusi hitam dalam peribahasa di
atas menggambarkan perilaku atau tutur kata tidak baik
yang keluar dari mulut.
Oleh sebab itu, peribahasa di atas menggambarkan
sebuah keadaan jika seorang manusia bergaul dengan
individu yang tidak baik, maka orang tersebut juga akan
turut menerima dampaknya. Dengan kata lain, orang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 158
tersebut memiliki peluang untuk terpengaruh sehingga
juga menjadi pribadi yang tidak bermoral dan merugikan
lingkungannya. Salah satu prinsip yang harus dipegang
oleh orang Madura adalah èkennèng ghibâ ka sèmo ‘dapat
dibawa bergaul’19. Artinya, orang Madura harus dapat
beradaptasi dengan lingkungan dan noro’ kapprana orèng
‘mengikuti kebiasaan orang banyak’ yaitu kebiasaan yang
baik dan dapat diterima, bukan bersifat malang serat
‘berlintang serat’ yang menandakan berperilaku berbeda
atau buruk dari lingkungannya.
Berhubungan dengan peribahasa di atas, salah satu
informan menjelaskan bahwa “...Orang Madura itu lèbur
ka rèng ngobbar dhupa. Dhupa itu kodhu jha’ loppa,
otabâ pètodhu kaangguy ta’ loppa. Dhupa itu ro’om...”
(orang Madura itu senang pada orang yang menggunakan
dupa. Dupa itu artinya jangan sampai lupa, atau petunjuk
agar tidak lupa. Dupa itu harum)20. Artinya, jika manusia
berkumpul dengan orang yang suka membakar dupa pasti
akan kebagian harumnya. Untuk menjadi orang yang baik,
maka harus berkumpul dengan orang baik. Sebaliknya,
jika manusia salah pergaulan dan berkumpul dengan orang
yang tidak bermoral, maka keburukan juga akan datang
menghampiri. Seperti pepatah Madura lainnya, yaitu
bhâbhâtang ngajhâk matè ‘bangkai akan mengajak mati’.
Jadi, orang buruk pasti akan mengajak orang lain untuk
menjadi buruk.
2) Oca’ kѐyasan ‘ungkapan’
Dalam bahasa Madura oca’ kѐyasan merupakan ujaran yang
tidak bermakna sebenarnya. Oca’ kѐyasan digunakan untuk
19 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 289). 20 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 159
menunjukkan tingkah pola manusia21. Berikut adalah oca’ kѐyasan
di dalam bahasa Madura yang mengandung unsur nama warna.
a) Bhiru ‘hijau’
(1) Bhiru ‘hijau’ bermakna ‘pendiam’
[Data TB.03/07]
Geddhâng bhiru Pisang hijau
Pisang hijau
Ungkapan di atas digunakan untuk mendeskripsikan
seseorang pendiam tetapi berilmu. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa geddhâng bhiru adalah orang
berilmu yang pendiam, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah geddhâng bhiru ‘pisang hijau’ itu
sendiri. Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah buah pisang yang kulitnya hijau sering
dianggap sebagai buah yang belum matang. Padahal, ada
salah satu jenis pisang yang matang walaupun kulitnya
masih berwarna hijau. Di Madura, pisang jenis ini disebut
geddhâng bhiru ‘pisang hijau’. Rasa pisang tersebut enak
dan juga manis. Jadi, orang awam yang tidak memahami
jenis pisang ini akan berpikiran bahwa pisang hijau adalah
buah yang belum matang dan belum waktunya dimakan.
Penggambaran tersebut disamakan dengan seseorang yang
berilmu atau memiliki kecerdasan luar biasa tetapi pendiam
sehingga tidak pamer dengan kemampuan yang
dimilikinya. Dengan kata lain, tanpa menggembar-
gemborkan kemampuannya orang tersebut sudah dikenal
berintelektual di kalangan masyarakat. Ibarat padi, semakin
berisi semakin merunduk. Begitulah makna yang
21 Dikutip dari buku Kosa Kata Bahasa Madura (Fiandarti & Bastari, 2009: 151).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 160
terkandung di dalam ungkapam geddhâng bhiru ‘pisang
hijau’.
Bagi masyarakat Madura, seseorang yang berilmu
tetapi tidak menyombongkan kemampuannya diibaratkan
sebagai macan ngerrep kokona ‘macan menyembunyikan
kukunya’. Macan tidak akan mengeluarkan kukunya begitu
saja, melainkan ia akan mengeluarkan kukunya jika
memang dibutuhkan, seperti untuk melindungi diri dari
serangan musuh atau mencabik makanan. Hal tersebut juga
mengiaskan sikap manusia, yaitu lebih memilih untuk diam
sampai diperlukan untuk berbicara atau mengeluarkan
pendapat. Orang Madura sangat memegang teguh
comantaka ‘mulutmu harimaumu’22.
b) Mѐra ‘merah’
(1) Mѐra ‘merah’ bermakna ‘logam’
[Data TB.03/07]
Pѐssѐ mѐra Uang merah
Uang merah
Ungkapan di atas digunakan untuk mendeskripsikan
uang logam bagi orang Madura. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa pѐssѐ mѐra adalah uang logam,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah pѐssѐ mѐra
‘uang merah’ itu sendiri. Persamaan atau ground yang
terbentuk dari kedua term tersebut adalah berdasarkan
informasi23 pѐssѐ mѐra bermakna pѐssѐ dhimbhâgâ ‘uang
tembaga’. Warna termbaga adalah cokelat kemerahan.
Oleh sebab itu, orang Madura menyebut uang tersebut
sebagai uang merah. Selanjutnya, uang tembaga digunakan
22 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 253). 23 Dikutip dari buku Kosa Kata Bahasa Madura (Fiandarti & Bastari, 2009: 222)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 161
untuk merujuk uang logam karena pada kenyataannya
hanya ada dua jenis uang yang digunakan untuk
bertransaksi, yaitu uang kertas dan uang logam. Jenis uang
logam24 bermacam-macam, di antaranya uang logam
tembaga, uang logam perak, dan uang logam emas.
c) Konѐng ‘kuning’
(1) Konѐng mondhu ‘kuning mundu’ bermakna ‘kulit bersih
dan cerah’
[Data TB.03/08]
Konѐng mondhu
Kuning Mundu
Kuning mundu
Ungkapan di atas digunakan untuk mendeskripsikan
warna kulit seorang perempuan, yaitu berwarna kuning
bersih dan cerah bagi orang Madura. Secara metaforik,
tenor atau pebanding dalam frasa konѐng mondhu adalah
kulit bersih dan cerah, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah konѐng mondhu ‘kuning mundu’ itu
sendiri. Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua
term tersebut adalah kulit perempuan disamakan dengan
warna kulit dan daging buah mundu. Jadi, warna kulit yang
dimaksud adalah warna kuning bersih seperti buah mundu.
d) Celleng ‘hitam’
(1) Celleng mangghis ‘hitam manggis’ bermakna ‘kulit gelap
namun manis’
[Data TB.03/09]
Celleng mangghis
Hitam manggis
24 Dikutip dari laman internet https://rifathul.wordpress.com/2009/02/23/warna-logam-tembaga-
perak-dan-emas/ (24 juli 2019).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 162
Hitam manggis
Ungkapan di atas digunakan untuk mendeskripsikan
warna kulit seorang perempuan yaitu berwarna gelap
namun manis bagi orang Madura. Secara metaforik, tenor
atau pebanding dalam frasa celleng mangghis adalah kulit
gelap namun manis, sedangkan vehicle atau
pembandingnya adalah celleng mangghis ‘hitam manggis’
itu sendiri. Persamaan atau ground yang terbentuk dari
kedua term tersebut adalah warna kulit perempuan
disamakan dengan kulit buah manggis. Jadi, walaupun
warna kulit manggis hitam, tetapi rasa buah manggis
manis. Hal tersebut sama dengan kulit perempuan, yaitu
hitam manis.
3) Carѐta rakyat ‘cerita rakyat’
Selain ungkapan-ungkapan tradisional di atas, penggunaan
warna dalam domain verbal juga ditemukan dalam folklor lisan25
lainnya, yaitu cerita rakyat Putri Kuning.
a) Potrѐ Konѐng ‘Putri Kuning’
(1) Konѐng ‘kuning’ bermakna ‘kecantikan fisik dan perilaku’
Dikisahkan26 bahwa zaman dahulu terdapat seorang
raja bernama Secadiningrat II atau biasa disebut sebagai
Raden Agung Rawit. Raja tersebut memiliki seorang putri
cantik bernama Dewi Saini yang juga disebut sebagai
Potrѐ Konѐng ‘Putri Kuning’. Dewi Saini memiliki hobi
bertapa di dalam Gua Pajudan Sumenep. Suatu hari, ketika
ia bertapa saat bulan purnama, Dewi Saini bermimipi
25 Danandjaya (1991: 22) membagi folklor lisan dalam 6 jenis yaitu, bahasa rakyat, ungkapan
tradisional, pertanyaan tradisional, sajak dan puisi rakyat, cerita prosa rakyat, serta nyanyian
rakyat. 26 Dikutip dari buku Babad Modern Sumenep (Sebuah Telaah Histografi) (Ahmad, 2018: 149).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 163
bertemu dan bersetubuh dengan seorang lelaki bernama
Adi Poday yang di saat bersamaan juga sedang bertapa di
Gunung Geger Bangkalan. Setelah mimpi itu, Dewi Saini
hamil walaupun belum pernah mengenal lelaki tersebut
secara langsung.
Raja menjadi murka mendengar kehamilan putrinya
dan berkeinginan untuk membunuh Dewi Saini. Namun,
niat itu berhasil dicegah oleh keluarga besar hingga
akhirnya Dewi Saini diusir dan tinggal di sebuah tempat
bernama Pekandangan di Kecamatan Bluto. Akhirnya,
Dewi Saini tinggal bersama keluarga Mpu Keleng yang
berprofesi sebagai pembuat alat-alat pertanian dari besi.
Setelah Dewi Saini melahirkan, bayi tersebut diberi nama
Joko Tole dan diasuh oleh keluarga Mpu Keleng yang
kebetulan juga belum memiliki keturunan. Dikarenakan
Mpu Keleng memiliki aktifitas yang berhubungan dengan
pembuatan besi, sedari kecil Joko Tole juga memiliki
ketertarikan dengan profesi tersebut. Tidak disangka
ternyata Joko Tole memiliki kesaktian yang luar biasa
karena ia mampu membentuk besi hanya menggunakan
jemarinya.
Suatu hari, seorang raja dari Majapahit bernama
Raja Brawijaya ingin membangun sebuah pintu gerbang
yang terbuat dari besi. Raja mengundang seluruh ahli
pandai besi di wilayah Majapahit, salah satunya adalah
Mpu Keleng dari Kab. Sumenep. Setelah beberapa minggu
Mpu Keleng mencoba menyelesaikan pintu tersebut,
ternyata Mpu Keleng tidak bisa menyelesaikannya dan
menderita sakit. Mendengar kabar tersebut akhirnya Joko
Tole menyusul ke Majapahit. Dalam perjalanan menuju
Majapahit, Joko Tole bertemu dengan pamannya bernama
Adi Rasa untuk diberi wejangan dan ilmu kadigjayaan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 164
Singkat cerita, setibanya di Majapahit Joko Tole
menggantikan Mpu Keleng untuk menyelesaikan
pekerjaan membuat pintu gerbang besi. Seluruh pandai
besi yang melihat sangat meragukan kemampuannya.
Namun, Joko Tole tetap berusaha dan berpesan agar
orang-orang di sana membakar tubuhnya. Setelah badan
Joko Tole dibakar ia juga berpesan bahwa akan ada cairan
berwarna putih yang keluar dari pusarnya. Cairan tersebut
dapat digunakan sebagai bahan penyambung atau las pintu
gerbang. Akhirnya, para pekerja menuruti perintah dari
Joko Tole hingga pintu gerbang tersebut berhasil
didirikan. Atas jasanya, Joko Tole memperoleh hadiah
dari Raja Brawijaya dan dinikahkan dengan putri raja
tersebut.
Bagi masyarakat Madura khususnya di Kab.
Sumenep, cerita mengenai Joko Tole dipercaya benar-
benar terjadi sebagai legenda dan bukan hanya dongeng
semata. Hal ini dikarenakan ditemukannya makam Joko
Tole di Dusun Saasa, Desan Lanjuk, Kecamatan Manding,
Kab. Sumenep. Selain Joko Tole, sosok ibunda Joko Tole
yang bernama Dewi Saini juga mencuri perhatian
masyarakat. Hal ini dikarenakan Dewi Saini mendapatkan
julukan sebagai Potrѐ Konѐng ‘Putri Kuning’.
Apabila dianalisis secara metaforik, tenor atau
pebanding dalam frasa Potrѐ Konѐng adalah Dewi Saini,
sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah Potrѐ
Konѐng ‘Putri Kuning’ itu sendiri. Persamaan atau ground
yang terbentuk dari kedua term tersebut berhasil
diungkapkan oleh empat informan, yaitu 1) penuturan dari
pemandu wisata di lingkungan Keraton Sumenep, menurut
beliau “Potre Konèng itu kata konèngnya itu disematkan
karena beliau merupakan orang yang ayu, cantik, lemah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 165
lembut. Jadi, warna kuning di sini kan kelihatan anggun
ya, jadi dari kata tersebut, dari kata konèng itu, itu
menyimbolkan kepribadian dan fisik dari si Putri Raja
tersebut”27, (2) penuturan ketua tim penyusun buku
muatan lokal bahasa Madura, menurut beliau “...karena
memang potre itu ayu dan kulitnya kuning, justru ada
semacam mengatakan sampai dari kuningnya itu
gherungannya (kerongkongannya) kelihatan katanya.
Jadi, kulitnya halus, katanya begitu”28, (3) penuturan
Kepala Museum Keraton Sumenep, menurut beliau
“Sebenarnya kan putri Madura ini yang dikenal kan Putri
Kuning, ketulusan, tutur katanya baik, jalannya juga
cantik, jadi semuanya baik, menjaga perasaan orang biar
tidak menyakitkan. Mangkanya sekarang orang itu
diajarkan hati-hati kalau ngomong, begitu. Kalau
sekiranya menyakiti orang, lebih baik diam daripada
banyak ngomong”29, dan (4) penuturan budayawan
Sumenep, menurut beliau “Potrè konèng aslina nyamana
bânnè Potrè Konèng, Dewi Saini. Konèng jarèya bânnè
polana anu, dâri raddinna pas ejhajhuluk potrè konèng.
Sampe è dâlem salokana sapa sè ngabes potrè konèng
langsung semaput sakeng raddinna istilahna roh. Bânnè
jhu polana konèng, salaènna konèng jhugân raddin.
Nyamana dhibi’ Dewi Saini”30 (Putri Kuning bernama asli
Dewi Saini. Warna kuning tersebut disematkan karena
parasnya yang sangat cantik. Sampai-sampai dalam
legendanya, siapa yang memandang Putri Kuning bisa
pingsan karena terlalu cantik. Jadi, kuning tersebut karena
cantik).
27 Penuturan informan: Ibu Meinarny Ferdiantina, usia 27 tahun. 28 Penuturan informan: Bapak Nurul Hamzah, usia 61 tahun. 29 Penuturan informan: Bapak Erfandi, usia 52 tahun. 30 Penuturan informan: Bapak Zainal Abidin, usia 67 tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 166
Dari keempat informan di atas yang
mendeskripsikan hubungan antara leksem warna kuning
dengan seorang tokoh bernama Dewi Saini dapat
disimpulkan bahwa penggunaan leksem kuning ini
bertujuan untuk mendeskripsikan kecantikan fisik dan
perilaku dari tokoh tersebut. Secara fisik, penyematan
warna kuning bertujuan untuk mendeskripsikan Dewi
Saini yang memiliki paras cantik dengan kulit bersih dan
halus berwarna kuning langsat. Selanjutnya, penyematan
warna kuning juga mendeskripsikan perilaku dari sang
putri, yaitu memiliki ketulusan hati dan tutur kata yang
baik karena beliau merupakan sosok yang jarang berbicara
terutama jika memang tidak dibutuhkan guna
menghindari menyakiti perasaan orang lain dengan
lisannya.
b. Penggunaan warna dalam domain nonverbal
Selain dalam domain verbal seperti pada poin sebelumnya,
penggunaan warna juga ditemukan dalam domain nonverbal pada
ranah kesenian, bangunan, transportasi, kegiatan ritual, dan kuliner.
1) Kesenian
Di dalam ranah kesenian ditemukan empat jenis kesenian
yang di dalamnya memiliki penggunaan warna dengan makna dan
tujuan khusus. Empat kesenian tersebut yaitu:
a) Tari Muwang Sangkal
Tari Muwang Sangkal adalah sebuah tarian yang
digunakan untuk menghalau musibah. Hal ini dikarenakan kata
muwang bermakna membuang, sedangkan sangkal31 adalah
kegelapan atau sesuatu yang berhubungan dengan setan atau
31 Dikutip dari buku Panduan Wisata Sumenep The Soul of Madura (Muslim et al., 2018: 98).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 167
jin. Pada zaman dahulu, cara masyarakat Madura di Kab.
Sumenep untuk menghalau musibah adalah dengan cara
menabur bherrâs konèng ‘beras kuning’. Namun, karena
proses menabur beras tersebut dianggap kurang indah,
akhirnya dibuatlah sebuah persembahan berupa tarian yang
gerak-geriknya mengambil dari
sinden dan topeng. Di dalam
tarian tersebut ada beberapa
gerakan, dua gerakan
pentingnya adalah gerak
muwang ‘membuang’ beras
kuning yang melambangkan
membuang musibah dan gerak
sompèng lanjâng yang ditandai
dengan tangan kanan ke arah
luar untuk menolak hal-hal buruk serta tangan kiri diletakkan
di dada yang bermakna hal-hal baik harus dimasukkan ke
dalam hati dan bukan sebaliknya.
Di dalam tari Muwang Sangkal terdapat atribut-atribut
yang berwarna dan warna tersebut menyimpan makna khusus
yang diyakini oleh masyarakat Madura di Kab. Sumenep.
Selanjutnya, atribut-atribut terpilih akan dianalisis
menggunakan segitiga semantik Richards dan Odgen untuk
mengetahui hubungan antara aspek bentuk dan aspek makna
yang terbentuk dalam atribut tersebut.
(1) Rapè’ ‘pakaian bagian atas’ berwarna kuning dan hijau
Bentuk kata rapè’ memiliki konsep yang dapat
dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara
denotatif, rapè’ merupakan pakaian bagian atas (atasan)
berbentuk susun yang digunakan oleh penari Muwang
Sangkal. Pakaian tersebut terbuat dari kain berbahan satin
Gambar 2. Penari Muwang Sangkal,
dok. Sanggar Tari Tresna Paddusan
Sumenep.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 168
dan berbentuk menyerupai gaun yang panjangnya
menyentuh lutut atau betis. Lumrahnya, pakaian ini
berwarna kuning dan hijau. Namun, ada juga penari yang
menggunakan perpaduan warna merah dan kuning
walaupun pemakaiannya jarang.
Secara kultural, warna
yang lumrah digunakan dalam
rapè’ adalah hijau dan kuning
karena kedua warna tersebut
memiliki filosofi penting bagi
orang Madura. Menurut salah
satu budayawan dan pemilik
sanggar seni yang di dalamnya
juga mengkhususkan pelatihan tari
Muwang Sangkal, “...bârna bhiru
konèng artèna warna matahari dan
bumi, arè bhumi” (warna hijau dan kuning bermakna
warna bumi dan matahari)32. Hal ini dikarenakan tari
Muwang Sangkal adalah tari penolak bala dan bala
dilambangkan dengan warna gelap atau hitam. Oleh sebab
itu, untuk melawan kegelapan dibutuhkan sesuatu yang
terang atau cahaya matahari sehingga digunakanlah warna
kuning. Selanjutnya, warna hijau merupakan lambang
tumbuh-tumbuhan yang hidup di bumi. Bumi adalah
tempat manusia hidup. Jadi, proses menolak bala dilakukan
agar manusia dapat hidup dengan tenang dan lancar di
muka bumi.
(2) Lâ-jhilâ ‘ikat pinggang’ berwarna hitam
Bentuk kata lâ-jhilâ memiliki konsep yang dapat
dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara
32 Penuturan informan: Bapak Akh. Darus, usia 63 tahun.
Gambar 3. Kalambhi
‘pakaian’, dok. penulis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 169
denotatif, lâ-jhilâ merupakan atribut yang diikatkan di
pinggang penari Muwang Sangkal. Sabuk ini berwarna
dasar hitam dengan bagian tengah menjulur panjang seperti
lidah sehingga disebut sebagai lâ-jhilâ ‘menyerupai lidah’.
Secara kultural, warna
hitam pada lâ-jhilâ disamakan
dengan warna bayangan dan
organ tubuh manusia, yaitu hati
(berwarna gelap). Bayangan
adalah sesuatu yang ada namun
tidak bisa ditangkap atau
dipegang dengan tangan, “jâng-
bâjângan rèya bâdâ tapè tadâ’
(bayangan itu ada tetapi
tiada)”33. Bayangan yang dimaksud adalah bayangan milik
manusia. Hal ini dimaksudkan bahwa setiap manusia
memiliki hati dan perasaan. Namun, isi hati manusia tidak
bisa ditebak atau tidak ada yang tahu selain manusia itu
sendiri. Selanjutnya, apa yang dikatakan oleh manusia
tidak ada yang tahu kebenarannya. Oleh sebab itu,
janganlah berprasangka buruk atau menilai orang lain
dengan cepat sebab dapat mendatangkan pertikaian
(musibah).
(3) Bherrâs konѐng ‘beras kuning’ berwarna kuning
Bentuk frasa bherrâs konѐng memiliki konsep yang
dapat dideskripsikan secara denotatif maupun kultural.
Secara denotatif, beras kuning adalah salah satu
perlengkapan yang digunakan saat tari Muwang Sangkal
dimainkan. Beras kuning ini dimasukkan ke dalam bokor
lalu dipegang oleh para penari. Lalu, beras tersebut akan
33 Penuturan informan: Bapak Akh. Darus, usia 63 tahun.
Gambar 4. Lâ-jhilâ ‘ikat
pinggang’, dok. penulis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 170
ditabur oleh para penari ketika memasuki gerakan muwang
‘membuang’. Proses menaburkan beras kuning merupakan
inti dari tarian Muwang Sangkal.
Secara kultural, beras
merupakan simbol dari
kesuburan dan warna kuning
pada bherrâs konѐng tersebut
bermakna sinar matahari,
“...konèng rèya bârna arè,
bârna sènar (kuning ini adalah
warna matahari, warna sinar)34”.
Jika tidak ada matahari dan
beras, maka makhluk hidup
tidak akan bisa melangsungkan
hidupnya. Selanjutnya, musibah yang ada di dalam
kehidupan manusia dilambangkan dengan warna gelap
(hitam) karena ketika musibah datang sama halnya dengan
tertutupnya harapan atau kehidupan (cahaya). Oleh sebab
itu, dengan membuang beras kuning sama halnya dengan
memberikan sinar kepada kegelapan sehingga manusia
dapat melanjutkan hidupnya dan terhindar dari musibah.
Dengan kata lain, membuang beras kuning sama halnya
dengan membuang malapetaka dan berharap datangnya
hal-hal baik pada kehidupan manusia.
b) Tari Ratib
Tari Ratib merupakan sebuah tarian khas Sumenep yang
dilakukan untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa agar
diturunkan hujan di atas tanah yang gersang. Tarian ini
dilakukan oleh masyarakat Desa Banasare, Kecamatan Rubaru.
Biasanya, tari Ratib dilakukan ketika masyarakat tengah
34 Penuturan informan: Bapak Akh. Darus, usia 63 tahun.
Gambar 5. Bherrâs konѐng
‘beras kuning’, dok. penulis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 171
menanam jagung tetapi saat biji jagung mulai tumbuh, hujan
mendadak berhenti dan tidak kunjung datang kembali selama
beberapa waktu. Jadi, apabila curah hujan normal dan tidak
terjadi kekeringan, maka tarian Ratib tidak akan dilakukan.
Di dalam tari Ratib terdapat atribut yang berwarna dan
warna tersebut menyimpan makna khusus yang diyakini oleh
masyarakat setempat. Selanjutnya, atribut-atribut terpilih akan
dianalisis menggunakan segitiga semantik Richards dan Odgen
untuk mengetahui hubungan antara aspek bentuk dan aspek
makna yang terbentuk dalam atribut tersebut.
1. Kalambhi ‘pakaian’ berwarna hitam
Bentuk kata kalambhi memiliki konsep yang dapat
dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara
denotatif, kalambhi merupakan pakaian berwarna gelap
(hitam) yang dikenakan oleh penari Ratib. Pakaian ini
terdiri dari celana, baju, dan aksesoris kepala dengan warna
senada gelap.
Secara kultural,
warna gelap pada
pakaian penari Ratib
memiliki makna
khusus sehingga tidak
boleh diganti dengan
warna lain. Dalam
bahasa Madura, hitam
itu adalah celleng.
Kata celleng merupakan gabungan dari cel dan pelleng.
Cel adalah celleng ‘hitam’ yang mana “celleng itu
tatebbeng oleh bânnya’na dhusa. Tadhungdung oleh
rajâna maksiat. Katopoan belet dari tompo’anna dârâka
(hitam itu adalah hasil dari banyaknya dosa. Semakin
Gambar 6. Tari Ratib, dok. www.
lontarmadura.com
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 172
tumbuh dengan besarnya maksiat. Tertutup dengan
setumpuk kedurhakaan)”35. Selanjutnya, pelleng bermakna
menuju kepada Yang Maha Kuasa.
Oleh karena itu, manusia sebagai tempatnya dosa
memohon ampunan kepada Tuhan sembari memohon agar
diturunkan hujan di atas tanah mereka. Selanjutnya, setelah
permohonan itu disampaikan, mereka mengembalikan
segala sesuatu hanya kepadaNya (pasrah).
c) Tokop ‘topeng’
Sama seperti beberapa daerah di Indonesia lainnya,
Pulau Madura khususnya Kab. Sumenep juga memiliki
kesenian topengnya sendiri. Pertunjukan topeng di Sumenep
umumnya disebut sebagai Topeng Dhalang ‘Topeng Dalang’.
Cerita yang diangkat dalam pertunjukan topeng tersebut adalah
seputar cerita rakyat dan pewayangan seperti Ramayana atau
Mahabrata.
Selain topeng Madura, di Provinsi Jawa Timur sendiri
juga terdapat seni topeng terkenal lainnya, yaitu topeng
Malangan. Topeng Madura dan topeng Malangan sebetulnya
hampir sama karena antara Madura dan Malang memiliki latar
kerajaan yang sama pada abad ke-13, yaitu kerajaan Singosari.
Namun walaupun demikian, kedua topeng tersebut tetap
memiliki perbedaan, seperti (1) cerita yang diangkat dalam
topeng Malangan umumnya adalah kisah hidup Panji,
sedangkan topeng Madura menceritakan cerita perwayangan
Ramayana dan Mahabrata, (2) layar yang digunakan saat
pertunjukan topeng Malangan umumnya polos, sedangkan
topeng Madura menggunakan layar dengan gambar semarak
untuk mendukung cerita yang diangkat, (3) para pemain
topeng Madura menggunakan ghungseng ‘gelang kaki’ yang
35 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 173
berbunyi untuk membuat pergerakan tokoh lebih ekspresif,
sedangkan pada topeng Malangan tidak ada. Selanjutnya, hal
yang paling membedakan adalah warna topeng yang
digunakan beserta karakter penokohan di baliknya.
Bagi masyarakat Madura khususnya di Kab. Sumenep,
lima warna dalam topeng dipercaya merupakan representasi
dari prinsip hidup masyarakat Madura di Kab. Sumenep. Lima
warna topeng beserta penokohannya tersebut dapat dijelaskan
menggunakan segitiga semantik Richards dan Odgen untuk
mengetahui hubungan antara aspek bentuk dan aspek makna
yang terbentuk di dalamnya.
(1) Gatot Kaca berwarna merah
Bentuk frasa Gatot Kaca memiliki konsep yang
dapat dideskripsikan secara denotatif maupun kultural.
Secara denotatif, Gatot Kaca adalah seorang karakter laki-
laki dalam topeng Madura yang dilambangkan dengan
warna merah.
Secara kultural, bagi orang
Madura, mèra ‘merah’
merupakan keratabasa yang
bermakna “maranta pangara,
maranta dunya akherat. Jadi,
barang siapa sè tako’ dha’ sokma
sè tèngghi kaanghuy atakwa ka
sè Kobhâsa, jerèya bakal ollè
duwa’ suarga, suarga dunnya
bân suarga akherat (merah
bermakna menyiapkan sesuatu untuk dunia dan akhirat.
Jadi, barang siapa takut akan Tuhan, maka ia akan
memperoleh dua surga, yaitu surga dunia dan surga
Gambar 7. Gatot Kaca, dok.
penulis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 174
akhirat)”36. Dengan kata lain, manusia harus takut akan
Tuhan namun berani untuk membela kebenaran. Oleh
sebab itu, tokoh Gatot Kaca dilambangkan dengan warna
merah karena memiliki sifat pemberani dan tegas dalam
membela kebenaran. Sifat berani menjadi yang utama
dalam prinsip orang Madura. Hal ini jelas berbeda dengan
topeng Yogya karena karakter Gatot Kaca dilambangkan
dengan warna putih.
(2) Kresna berwarna hitam
Bentuk kata Kresna memiliki konsep yang dapat
dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara
denotatif, Kresna merupakan seorang karakter laki-laki
dalam topeng Madura yang dilambangkan dengan warna
hitam.
Secara kultural, Kresna
dalam perwujudannya di bumi
merupakan simbol dari Yang
Maha Kuasa. Hal ini dikarenakan
warna hitam bagi orang Madura
merupakan warna yang agung37.
Kata celleng ‘hitam’ merupakan
gabungan dari cel yang
bermakna hitam dan pelleng
yang bermakna menyatu kepada
Yang Maha Kuasa. Dalam budaya lain, warna hitam
identik dengan duka cita, namun bagi masyarakat Madura
di Kab. Sumenep hitam adalah warna yang agung karena
dipakai untuk mendeskripsikan sesuatu yang kuasanya
besar tetapi kasat mata. Salah satu informan
menyampaikan bahwa makna dari “Kres” itu adalah
36 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun. 37 Penuturan informan: Bapak Edhie Setiawan, usia 73 tahun.
Gambar 8. Kresna, dok.
penulis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 175
menuju pada satu titik38. Titik yang dimaksud adalah
Tuhan sehingga hal-hal yang tujuannya tidak untuk Tuhan
ia tinggalkan. Dikarenakan kepatuhannya terhadap Tuhan
itulah Kresna menjadi sosok sakti dengan kemampuan
ma’rifatullah yang mampu menembus apapun.
(3) Arjuna berwarna hijau
Bentuk kata Arjuna memiliki konsep yang dapat
dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara
denotatif, Arjuna adalah seorang karakter laki-laki dalam
topeng Madura yang dilambangkan dengan warna hijau.
Secara kultural, menurut
orang Madura, Arjuna bisa
disebut sebagai Janoko atau
Janaka yang berasal dari kata
bahasa Arab jannatuka, suarga
odhi’na ba’na (surga
hidupmu)39. Arjuna akan
memperoleh kehidupan surga di
dunia maupun akhirat
dikarenakan Arjuna selalu
berjalan didampingi oleh sosok Semar. Bagi orang Madura
Semar merupakan keratabasa yang bermakna masemma’
ka sè samar atau mendekatkan dengan yang samar.
Maksud dari samar di sini adalah Tuhan, karena Tuhan
tidak berwujud dan tidak terlihat sehingga dikatakan
sesuatu yang samar namun sosokNya selalu ada. Dengan
sikap Arjuna yang selalu dekat dengan Tuhan, maka
Arjuna memiliki karakter-karakter yang dipercaya
membawa pada kebaikan, seperti bijaksana, jujur, dan adil.
Jadi, warna hijau yang melekat pada karakter Arjuna
38 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun. 39 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.
Gambar 9. Arjuna, dok.
penulis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 176
direpresentasikan sebagai kehidupan yang harus selalu
memiliki hubungan unsur terhadap Yang Maha Kuasa.
“Bhiru urusan keakheratan, keagamaan. Labâng masjid,
keranda katèl. (Hijau urusan akhirat dan keagamaan.
Dipakai pada pintu masjid dan keranda)40”. Dengan kata
lain, orang Madura menganggap warna hijau sebagai
warna yang berhubungan dengan keagamaan atau
keakhiratan karena warna hijau banyak digunakan dalam
atribut keagamaan, seperti keranda tempat diletakkannya
jenazah sebelum menuju pada peristirahatan terakhir.
(4) Subadra berwarna kuning emas
Bentuk kata Subadra memiliki konsep yang dapat
dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara
denotatif, Subadra adalah seorang karakter perempuan
dalam topeng Madura yang dikisahkan dalam cerita
Mahabrata dan dilambangkan dengan warna kuning emas.
Berdasarkan cerita
dalam Mahabrata, Subadra
adalah sosok perempuan yang
cantik dan memiliki kekuasaan
besar. Subadra adalah lambang
keduniawian41. Hal ini
dikarenakan semua yang ada di
dalam diri Subadra merupakan
impian hampir semua manusia
terutama kaum perempuan,
yaitu memiliki paras yang
cantik, kaya, dan suami yang
tampan. Jadi, warna kuning emas yang melekat pada
Subadra bermakna keberhasilan duniawi.
40 Penuturan informan: Bapak R. Abdullah, usia 65 tahun. 41 Penuturan informan: Bapak Edhie Setiawan, usia 73 tahun.
Gambar 10. Subadra, dok. laman
internet
http://lakoci234.blogspot.com/201
2/11/face-of-indonesia.html
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 177
Selain warna kuning
emas yang melambangkan
keduniawian, warna kuning juga
banyak dipakai sebagai warna
kebesaran bagi raja-raja di
Sumenep, misalnya dalam
lingkungan kerajaan Keraton
Sumenep yang ornamen-
ornamennya didominasi oleh
warna kuning. Dengan kata lain,
warna kuning emas dan kuning merupakan representasi
keberhasilan duniawi, kekuasaan, dan kejayaan dalam
hidup manusia.
(5) Semar berwarna putih
Bentuk kata Semar memiliki konsep yang dapat
dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara
denotatif, Semar adalah seorang karakter laki-laki dalam
topeng Madura yang dilambangkan dengan warna putih.
Secara kultural, bagi orang
Madura potè ‘putih’ merupakan
keratabasa yang bermakna penter
soccè budhi tèngghi ajhilarang
kakabhi monjhung (pintar, suci,
dan berbudi pekerti tinggi)42.
Oleh sebab itu, dalam penokohan
topeng Madura, Semar
merupakan sosok yang sangat
dijunjung tinggi dan diibaratkan
layaknya Ratoh Mâdhurâ ‘Raja Madura’ karena budi
pekerti atau akhlaknya yang sangat bagus, salah satunya
42 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.
Gambar 12. Semar, dok.
penulis.
Gambar 11. Bangunan Keraton
Sumenep, dok. penulis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 178
perihal kejujuran yang patut dicontoh. Hal inilah yang juga
menjadikan Semar memiliki keratabahasa bagi orang
Madura yang bermakna masemma’ ka sè samar
‘mendekatkan dengan yang samar (Maha Pencipta)’ karena
orang-orang yang dekat dan dilindungi Tuhan adalah mere
ka yang berakhlak baik seperti sosok Semar.
2) Bangunan
Di dalam ranah bangunan ditemukan satu jenis bangunan
yang memiliki warna dengan makna dan tujuan khusus. Bangunan
tersebut ada dalam lingkungan Keraton Sumenep.
a) Keraton Sumenep
Kab. Sumenep merupakan satu-satunya Kab. di Pulau
Madura yang pada zaman dahulu memiliki bentuk
pemerintahan berupa kerajaan sehingga terdapat bangunan
keraton yang digunakan untuk tempat tinggal raja beserta
keluarganya. Adat istiadat atau kebiasan yang berlaku di
kalangan keraton atau priyayi Sumenep sangat kental dengan
kebiasaan kalangan keraton Surakarta dan Yogyakarta43. Hal
inilah yang mengakibatkan Kab. Sumenep dijuluki sebagai
Solonya Madura karena pengaruh keraton mengakibatkan
43 Dikutip dari buku Babad Modern Sumenep (Sebuah Telaah Historiografi) (Ahmad, 2018: 62).
Gambar 13. Lingkungan Keraton Sumenep, dok. penulis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 179
masyarakat Sumenep menjadi masyarakat paling ramah dan
halus jika dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Madura.
Keramahan yang dimiliki oleh masyarakat Sumenep juga
direpresentasikan dalam lingkungan keraton, salah satunya
dengan adanya bangunan bernama Labâng Mѐsem yang
diterjemahkan sebagai pintu tersenyum.
(1) Labâng Mѐsem ‘pintu tersenyum’ berwarna kuning
Bentuk frasa Labâng Mèsem memiliki konsep yang
dapat dideskripsikan secara denotatif maupun kultural.
Secara denotatif, Labâng Mèsem merupakan sebuah pintu
gerbang utama yang digunakan untuk masuk ke dalam
lingkungan keraton Sumenep. Labâng Mèsem berasal dari
gabungan kata labâng yang bermakna pintu dan mèsem
yang bermakna tersenyum.
Secara kultural, pintu
tersebut dikatakan sebagai pintu
tersenyum karena bersinggungan
dengan prinsip masyarakat
Sumenep, yaitu “sapa-sapa sè
maso’a ka bengkona sapa’a bhâi
kodhu senyum ramah. Mangkana
bâdâ konèngnga. Kodhu ramah.
Harus senyum. Bahasa Arabba
assalamua’alaikum. Sè ajawab bân sè aberri’ salam pada-
pada ta’ makalowar gigi. Artèna, senyum. Artèna, mèsem
bhâsa Madhurana. (siapapun yang masuk ke rumah orang
harus tersenyum ramah. Itulah sebabnya bangunan tersebut
ditandai dengan warna kuning, harus ramah dan harus
senyum. Bahasa Arabnya assalamua’alaikum. Barang
siapa yang menjawab dan memberi salam setelahnya sama-
sama tidak menampakkan gigi yang artinya senyum dan
Gambar 14. Labâng Mèsem
‘pintu tersenyum’, dok. penulis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 180
dalam bahasa Madura adalah mèsem)44”. Jadi, ketika
selesai memberi salam assalamua’alaikum dan menjawab
salam wa’alaikumsalam, posisi bibir yang memberi dan
menjawab salam adalah menutup atau tidak menampakkan
gigi pada penyebutan kum dan lam sehingga bagi
masyarakat Sumenep dianggap sebagai sebuah tanda
senyum keramahan.
Hal ini juga berlaku ketika masa pemerintahan raja
yang mana saat itu ketika ada tamu yang berkunjung ke
keraton, maka para abdi dalem akan berdiri di depan pintu
dan menyambut para tamu dengan senyuman. Senyuman
melambangkan bahwa orang Sumenep ini adalah orang
yang ramah dan bisa menerima perubahan45. Selain itu,
dalam filosofi Madura tamu adalah sesuatu yang harus
dihormati asalkan punya niatan baik46. Jadi, ramah
merupakan sikap yang wajib dimiliki oleh masyarakat
Sumenep terutama ketika harus menjamu tamu, baik tamu
yang berasal dari suku yang sama maupun tidak. Dengan
kata lain, bersikap ramah dilakukan dalam segala hal,
sekalipun menghadapi perbedaan dan keberagaman.
Oleh sebab itu, warna ornamen kuning pada
bangunan keraton selain bermakna kekuasaan dan kejayaan
juga memiliki makna keramahan, terutama warna kuning
yang melekat pada bangunan Labâng Mèsem. Warna
kuning yang bermakna kekuasaan dan kejayaan mengacu
pada karakter topeng Subadra, sedangkan warna kuning
yang bermakna keramahan mengacu pada keratabasa dari
kata konèng yaitu kolbu sè bennèng ‘hati yang bersih’47.
Salah satu bentuk dari kepemilikan hati yang bersih adalah
44 Penuturan informan: Bapak R. Abdullah, usia 65 tahun. 45 Penuturan informan: Ibu Meinarny Ferdiantina, usia 27 tahun. 46 Penuturan informan: Bapak Edhie Setiawan, usia 73 tahun. 47 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 181
dengan bersikap ramah terhadap orang lain dan tidak ngo’-
marongo’ atau ketus.
3) Transportasi
Di dalam ranah transportasi ditemukan satu jenis transportasi
laut yang memiliki warna dengan makna dan tujuan khusus, yaitu:
a) Parao ‘perahu’
Perahu merupakan alat transportasi yang digunakan oleh
orang Madura untuk melangsungkan hidup. Hal ini
dikarenakan matapencaharian utama mayoritas masyarakat
Madura di Kab. Sumenep dari zaman dahulu adalah nelayan
dan petani. Bahkan, orang Madura merupakan pelaut yang
tangguh. Pada abad ke 14 hingga 15, perahu-perahu orang
Madura sudah banyak terlihat di Malaka. Selain untuk
keperluan mencari ikan, perahu mereka juga dipercaya untuk
membawakan kayu dan hasil pertanian lainnya ke seluruh
penjuru negeri bahkan luar negeri.
Penggunaan perahu yang tidak serta-merta dalam jarak
dekat dan waktu yang sebentar membuat masyarakat Madura
di Kab. Sumenep sangat cermat dalam membuat perahunya.
Mereka masih mempercayai para leluhur untuk tidak
sembarangan dalam memilih kayu yang akan digunakan saat
membuat perahu. Orang Madura khususnya di pesisir
Gambar 15. Parao ‘perahu’ pesisir Ambunten, dok.
penulis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 182
Ambunten sangat menghindari penggunaan kayu dari pohon
nangka untuk bahan perahu mereka. Hal ini dikarenakan di
dalam masyarakat Madura di Kab. Sumenep ada ca’-oca’an
‘ujaran’ nangka bhellis yang berupa keratabasa bermakna
nyangka sè mapeggelli ‘sangkaan yang membuat orang marah’
sehingga diyakini jika menggunakan kayu dari pohon nangka
maka akan abet sè ollèya ‘menghambat proses pencarian ikan
di laut’48 karena penuh dengan pikiran-pikiran negatif. Oleh
sebab itu, para nelayan yang membuat perahu cenderung
menggunakan kayu lain, seperti kayu jati.
Selain kayu yang digunakan dalam pembuatan perahu,
nelayan di pesisir Ambunten juga memperhatikan penggunaan
warna dari perahu mereka, terutama pada bagian bhâdhân
‘badan perahu’ yang didominasi oleh warna putih.
(1) Bhâdhân ‘badan perahu’ berwana putih
Bentuk kata bhâdhân memiliki konsep yang dapat
dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara
denotatif, bhâdhân atau badan merupakan bagian terluar
dari sebuah perahu. Di pesisir Ambunten, badan perahu
didominasi dengan warna putih.
Secara kultural, penggunaan warna putih pada badan
perahu di pesisir Ambunten dikarenakan mereka
memegang teguh filosofi Madura tanah kapur. Hal ini
48 Penuturan informan: Bapak Ainur Rahmad, usia 39 tahun.
Gambar 16. Bhâdhân parao ‘badan perahu’, dok.
penulis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 183
dikarenakan tanah di Madura umumnya didominasi oleh
Kompleks Mediteran Merah dan Litosol yang berbahan
induk Batu Kapur dan Batu Pasir49. Tanah yang berbahan
induk batu kapur umumnya bersifat kering karena
persediaan air di dalamnya yang minim. Oleh sebab itu,
tidak semua jenis tanaman bisa tumbuh di tanah Madura
yang gersang. Namun, kondisi tersebut tidak menjadi
penghalang bagi masyarakat Madura di Kab. Sumenep
untuk memanfaatkan keadaan alam yang ada. Masyarakat
Madura di Kab. Sumenep menggali batu kapur dan
memanfaatkannya untuk kehidupan sehari-hari, salah
satunya untuk keperluan mewarnai dinding rumah dan
perahu.
Pada zaman dahulu orang Madura belum mengenal
alat pewarna kimia sehingga mereka memilih
menggunakan ghâmpèn ‘batu gamping’ atau batu kapur
untuk proses pewarnaan. Leluhur mereka yang menjadi
nelayan menggunakan adonan batu gamping untuk
memberikan warna dasar pada perahu. Adonan batu
gamping tersebut ternyata juga bermanfaat untuk menjaga
ketahanan kayu perahu supaya tidak cepat keropos dan
tidak ditumbuhi oleh lumut.
Selain untuk melestarikan tradisi dari para leluhur,
warna putih menjadi warna utama pada perahu di pesisir
Ambunten karena menurut salah satu informan50, “warna
putih lebih menyatu dengan laut, kemudian pantulan
cahayanya tidak menimbulkan rasa panas. Warna lain itu
cuma sebagai hiasan. Semua pada dasarnya putih”.
Dengan kata lain, prinsip hidup para nelayan di pesisir
Madura adalah ingin menyatu dengan laut (alam) sebab
49 Dikutip dari Supriyadi (2007: 124). 50 Penuturan informan: Bapak Akh. Darus, usia 63 tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 184
mereka menggantungkan hidup dan memperoleh
penghidupan dari laut (alam) tersebut.
Hingga saat ini para nelayan di pesisir Ambunten
masih mewarnai badan perahu mereka dengan dominasi
dasar warna putih karena dianggap sebagai adat istiadat
para leluhur yang harus tetap diikuti. Selanjutnya, warna-
warna lain yang mendampingi warna putih hanyalah
sebagai hiasan yang disesuaikan dengan selera pemilik
perahu.
4) Kegiatan ritual
Di dalam ranah kegiatan ritual ditemukan dua jenis ritual
yang di dalamnya memiliki penggunaan warna dengan makna dan
tujuan khusus. Dua kegiatan tersebut yaitu:
a) Upacara Nyadhar
Di Kab. Sumenep khususnya
di Desa Kebundadap bagian barat
dan Desa Pinggir Papas setiap
tahunnya diadakan upacara
Nyadhar. Nyadhar sendiri berasal
dari kata nazar yang artinya janji
hendak berbuat sesuatu jika suatu
keinginan tercapai. Namun, kata
nazar tersebut oleh orang Madura
disebut sebagai nyadhar.
Upacara Nyadhar merupakan
bentuk tasyakuran yang dilakukan oleh masyarakat yang
berprofesi sebagai petani garam atas limpahan garam yang
diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Pada zaman dahulu, ada
seseorang bernama Anggasuto yang memohon kepada Tuhan
agar anak cucunya kelak bisa mendapatkan rezeki dan
Gambar 17. Kompleks
pemakaman Anggasuto
sekaligus tempat upacara
Nyadhar, dok. penulis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 185
kehidupan yang layak. Anggasuto memohon petunjuk kepada
Tuhan dengan cara apa sumber penghidupan tersebut dapat
diberikan. Akhirnya, Anggasuto mendapat petunjuk dari
Tuhan untuk berjalan ke arah laut. Dengan izin Tuhan, bekas
kaki Anggasuto di pasir pantai berubah menjadi garam. Garam
tersebut lalu dikumpulkan sedikit demi sedikit hingga menjadi
banyak. Dari sanalah akhirnya Anggasuto bersama
keluarganya membuat tambak-tambak garam dan selanjutnya
juga mengajak penduduk sekitar untuk bertani garam. Setelah
kejadian tersebut Anggasuto bernazar jika hingga bulan depan
tambak-tambak air tersebut bisa menjadi garam, maka ia akan
membuat tasyakuran. Ternyata, selama tiga bulan berturut-
turut tambak air tersebut berhasil berubah menjadi garam. Hal
inilah yang menyebabkan upacara Nyadhar dilakukan selama
tiga kali dalam setahun.
Setiap tahunnya, upacara Nyadhar dilakukan pada
bulan ketujuh, kedelapan, dan kesembilan. Upacara tersebut
biasanya dilakukan pada hari Jumat dan Sabtu yang ditentukan
oleh para penghulu sesuai dengan pergeseran bintang yang
menandakan datangnya musim kemarau. Namun, penentuan
tanggal tidak boleh mendahului tanggal Maulid Nabi yang
menandakan bahwa acara yang paling utama adalah Maulid
Nabi daripada acara ritual lainnya.
Di dalam pelaksanaannya, upacara Nyadhar memiliki
beberapa atribut pendukung yang memiliki warna. Warna
tersebut tidak serta merta digunakan tanpa tujuan, melainkan
memiliki makna tertentu yang diyakini oleh para peserta
upacara Nyadhar.
(1) Cangghi ‘penutup sesajen’ berwarna merah
Bentuk kata cangghi memiliki konsep yang dapat
dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara
denotatif, cangghi merupakan penutup makanan yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 186
dijadikan sebagai sesajen dalam upacara Nyadhar.
Cangghi terbuat dari anyaman rotan berwarna merah.
Pada hari pertama upacara Nyadhar, peserta ritual
melakukan ziarah di lingkungan pemakaman Anggasuto.
Kemudian, pada malam harinya para wanita akan
bersama-sama memasak nasi dan lauk-pauk yang
keesokan harinya akan digunakan sebagai sesajen. Nasi
tersebut nantinya akan diletakkan di atas panjeng
‘nampan’ serta ditutup dengan cangghi ‘penutup’ dan
selanjutnya pada esok hari akan diletakkan di area
pemakaman untuk didoakan bersama-sama. Setelah proses
selesai, sesajen akan dibagikan kepada peserta upacara.
Namun, nasi sesajen akan disisakan dan dikeringkan
menjadi karak. Karak tersebut nantinya akan dicampur
dalam beras yang dimasak setiap hari oleh masyarakat
agar berkah dari upacara Nyadhar terus mengalir setiap
harinya.
Secara kultural, penggunaan warna merah pada
cangghi dilatarbelakangi oleh beberapa tujuan. Pertama,
warna merah melambangkan keberanian dari Anggasuto
“...berani, bengal atarong, bengal aperang. Mbah
Anggasuto rèya bangal aperang, cara jarèya. (berani
Gambar 18. Cangghi ‘penutup sesajen’, dok. Dinas
Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kab.
Sumenep
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 187
bertarung. Mbah Anggasuto ini berani bertarung)51”. Hal
ini dikarenakan pada zaman dahulu pasukan Bali datang
ke Sumenep untuk melakukan balas dendam atas
terbunuhnya Raja Blambangan bernama Menak
Jayengpanti yang tewas terbunuh karena tidak sudi
membayar upeti kepada Majapahit. Pasukan Bali tersebut
melakukan berbagai kekacauan hingga menjatuhkan
banyak korban. Namun, rakyat Sumenep tetap melakukan
perlawanan meskipun rajanya telah gugur dalam perang
tersebut. Hingga akhirnya pemimpin pasukan Bali
bernama Kebo Jawu dan raja Bali tewas terbunuh di
tangan pasukan Sumenep. Melihat pemimpinnya terbunuh,
pasukan tentara Bali yang tersisa ketakutan hingga banyak
di antara mereka memilih untuk bunuh diri dan sisanya
melarikan diri ke daerah Pinggir Papas. Di Pinggir Papas
pasukan Bali ditolak karena masyarakat takut jika mereka
kembali membuat kekacauan. Namun, Anggasuto
memberanikan diri untuk menjamin dan melindungi
mereka hingga akhirnya pasukan Bali tersebut
diikutsertakan menjadi petani garam dan juga diislamkan.
Kedua, warna merah pada cangghi mengibaratkan
nafsu amarah yang dimiliki oleh manusia. “Maksoddhâ
rowa nak, bârna mèra rowa anggap amarah, napso
amarah. Essena dâlem rowa kan nasè’. Nah rowa ibarat
ummat. Amarahna manossa kan pada andhi’ kabbi napso
amarah. (Maksudnya, warna merah itu mengibaratkan
nafsu amarah. Yang ditutupi cangghi itu kan nasi, nasi
ibarat manusia. Jadi, amarah yang dimiliki oleh
manusia)52”. Setiap manusia diyakini memiliki nafsu
amarah yang setiap hari menyelimuti kehidupannya. Agar
nafsu amarah tersebut bisa dikendalikan dan tidak
51 Penuturan informan: Bapak Mathor, usia 76 tahun. 52 Penuturan informan: Bapak Amiluddin, usia 53 tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 188
menimbulkan hal-hal negatif, maka perlu adanya
salameddân ‘selamatan’ dengan menghaturkan doa
kepada Yang Maha Kuasa. Hal ini juga dilakukan agar
para petani garam tidak sombong atas limpahan hasil yang
didapatkan, serta tidak berburuk sangka pada Tuhan dan
selalu bersabar jika hasil yang didapatkan tidak sesuai
keinginan.
(2) Racok saѐbu ‘pakaian seribu warna’ berwarna merah,
cokelat tua, cokelat muda, hitam, dan bintik merah
Bentuk frasa racok
saѐbu memiliki konsep
yang dapat
dideskripsikan secara
denotatif maupun
kultural. Secara
denotatif, racok saѐbu
merupakan sebutan
untuk pakaian yang
dikenakan oleh para
penghulu dalam upacara
Nyadhar. Racok bermakna campuran, sedangkan saѐbu
bermakna seribu. Jadi, racok saѐbu merupakan sebuah
pakaian yang memiliki banyak perpaduan warna, yaitu
merah, cokelat tua, cokelat muda, hitam, dan bintik-bintik
merah.
Dalam upacara Nyadhar ada empat penghulu yang
berfungsi untuk menentukan waktu dilaksanakannya
upacara Nyadhar. Selain itu, para penghulu tersebut juga
bertugas untuk menghitung jumlah panjeng ‘nampan’
yang dikeluarkan sebagai sesajen. Konon katanya, dengan
menghitung panjeng ‘nampan’, para penghulu dapat
Gambar 19. Pakaian Racok Sѐbu ‘seribu
warna’ yang dikenakan oleh penghulu,
dok. Dinas Pariwisata, Kebudayaan,
Pemuda dan Olahraga Kab. Sumenep.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 189
mengetahui siapa saja yang tidak hadir dan melakukan
upacara Nyadhar sendiri di rumah.
Keempat penghulu tersebut mengenakan pakaian
bernama racok saѐbu dengan berbagai warna yang
memiliki maksud. “Rasogan racok saѐbu. Menangka
arowa nak, menangka ekaghabay apa ye ѐkaghabay nger-
tatènger. (Pakaian racok saѐbu digunakan sebagai
tanda)53”. Tanda yang ingin disampaikan dari penggunaan
tersebut adalah tanda untuk menggambarkan keadaan alam
dan dunia yang dihuni oleh manusia. “Maksoddhâ sè
kalambi rowa èpamacem warna èssèena alam dunnya kan
amacem-macem. (Berbagai macam warna tersebut
menggambarkan keadaan alam dunia yang beragam)54”.
Pertama, warna merah merupakan simbol matahari yang
memiliki arti adanya kehidupan. Hal ini dikarenakan
ketika matahari terbit, warna cahayanya adalah kuning
kemerahan. Kedua, cokelat tua merupakan simbol tanah
tempat manusia berpijak. Ketiga, warna cokelat muda atau
krem merupakan simbol dari musim kemarau yang
biasanya ditandai dengan mengeringnya dedaunan
sehingga berubah warna menjadi cokelat. Keempat, warna
hitam merupakan simbol musim penghujan yang biasanya
ditandai oleh awan yang menghitam. Terakhir, warna
putih bintik-bintik merah merupakan simbol dari
pancaroba atau pergantian musim dari hujan ke kemarau.
Hal ini dikarenakan merah menggambarkan terbitnya
matahari (musim kemarau).
Kelima warna di atas merepresentasikan unsur-unsur
yang selalu dihadapi oleh para petani garam. Dalam proses
pembuatan garam, para petani sangat bergantung pada
53 Penuturan informan: Bapak Mathor, usia 76 tahun. 54 Penuturan informan: Bapak Amiluddin, usia 53 tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 190
cuaca (musim kemarau), matahari, dan tanah untuk dapat
menghasilkan garam yang melimpah. Namun, terkadang
dalam prosesnya, para petani juga mengalami hambatan,
seperti tadâ’ nèmor ‘tidak ada kemarau’ karena curah
hujan yang tinggi hingga mengakibatkan tidak adanya
produksi garam dalam waktu tertentu.
b) Upacara pernikahan
Budaya Madura menggariskan bahwa untuk memasuki
lingkungan sosialnya setiap insan manusia Madura perlu
menjalani serangkaian upacara peralihan kehidupan55. Upacara
peralihan kehidupan tersebut meliputi upacara yang berkaitan
dengan kelahiran, perkawinan, dan kematian. Upacara
perkawinan menjadi salah satu upacara yang sangat penting
bagi masyarakat Madura karena dianggap merupakan prosesi
untuk memperluas persaudaraan.
Prosesi pernikahan di Madura terdiri dari beberapa
tahapan56, antara lain (1) ngangini yaitu keluarga pihak pria
mencari tahu apakah pihak wanita yang diinginkan masih
belum memiliki pasangan, (2) arabhâs paghâr yaitu keluarga
calon mempelai pria untuk pertama kalinya bertandang ke
rumah calon mempelai wanita, (3) alamar yaitu rombongan
keluarga calon mempelai pria akan mengantar barang bawaan
ke rumah calon mempelai wanita, (4) ater tolo yaitu calon
mempelai pria mengantarkan hadiah lebaran kepada calon
mempelai wanita pada saat masa bertunangan dan memasuki
hari lebaran, (5) nyeddek temmo yaitu keluarga calon
mempelai pria mengutus sesepuh untuk berkunjung ke rumah
calon mempelai wanita untuk membicarakan waktu
pernikahan, (6) sè-bhersè yaitu perawatan untuk calon
55 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 83). 56 Dikutip dari rangkuman Upacara Perkawinan Adat Madura (Khas Keraton Sumenep) (Tim
Penggerak PKK Kab. Sumenep, 2016: 3-12).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 191
pengantin wanita sekaligus prosesi siraman, (7) malem ngin-
tanggin yaitu acara yang dilakukan oleh pihak mempelai
wanita berupa berkumpul bersama keluarga dan kerabat untuk
doa bersama dan persiapan sebelum acara inti, (8) akad nikah
yaitu calon mempelai pria diarak menuju rumah calon
mempelai wanita, dan (9) resepsi pernikahan.
Resepsi pernikahan yang diadakan oleh masyarakat
Sumenep terbilang cukup beragam jika dilihat dari pakaian
yang dikenakan. Namun, salah satu pakaian adat Sumenep
dalam pernikahan yang paling tersohor adalah leghâ. Warna
pakaian leghâ memiliki makna filosofis yang diyakini oleh
masyarakat Sumenep.
(1) Leghâ berwarna kuning dan merah
Bentuk kata leghâ memiliki konsep yang dapat
dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara
denotatif, leghâ merupakan pakaian adat dalam pernikahan
Sumenep yang berkembang dari zaman keraton. Pakaian
ini memiliki dua jenis perpaduan warna, yaitu kuning dan
merah, serta kuning dan hijau. Pakaian leghâ mirip dengan
kostum penari Muwang Sangkal karena memang kostum
Muwang Sangkal mengacu pada pakaian adat tertinggi di
Sumenep, yaitu pakaian adat pernikahan leghâ.Terciptanya
pakaian leghâ bermula ketika pada zaman dahulu ada
seorang raja Madura yang akan alalampan ‘mengikuti’
perang ke tanah Jawa. Raja tersebut memiliki seorang putri
yang sudah bertunangan. Sang raja khawatir akan terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan (tewas dalam medan perang)
saat meninggalkan putrinya untuk berperang. Akhirnya,
sang raja segera menikahkan putrinya tersebut secara
sederhana dan tidak banyak diketahui orang. Sepulangnya
dari medan perang, sang putri ternyata hamil. Namun, sang
putri tidak mau mengumumkan kehamilannya sebelum
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 192
mengadakan acara resepsi atau diarak berkeliling kota
karena khawatir rakyatnya akan berpikiran negatif,
misalnya menduga sang putri hamil di luar nikah.
Akhirnya, sang raja mengutus patinya untuk menciptakan
sebuah pakaian
pernikahan yang tidak
akan menampakkan jika
sang putri sedang
mengandung. Oleh sebab
itu, terciptalah sebuah
pakaian bernama leghâ
yang berbentuk rapѐ’
‘susun’ sehingga tidak
akan menampakkan
kondisi perut yang sudah
membesar walaupun
sedang mengandung
hingga 5 bulan. Namun, saat ini pakaian leghâ dapat
digunakan oleh siapa saja dan tidak harus pengantin
perempuan yang sudah hamil dan menunda acara resepsi
seperti cerita di atas. Pakaian leghâ pun kini menjadi
pakaian adat tertinggi yang diagungkan oleh masyarakat
Sumenep dalam adat pernikahan.
Dalam penggunaannya, pakaian leghâ memiliki dua
jenis perpaduan warna pada bagian rapѐ’-nya, yaitu kuning
dan merah, serta kuning dan hijau. Makna yang terkandung
dalam perpaduan warna tersebut adalah57 perpaduan warna
kuning dan merah disebut sebagai podang nyocco’ sarѐ
‘burung kepudang memakan sari’. Jadi, warna kuning
menggambarkan burung kepudang yang memiliki bulu
indah berwarna kuning, sedangkan warna merah
57 Penuturan informan: Bapak Amin Jakfar, usia 64 tahun.
Gambar 20. Pakaian pengantin leghâ,
dok. pernikahan R. Gita Yulianugerah
Defi dan Mohammad Iqbal Alma'ruf.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 193
menggambarkan sari-sari bunga. Perpaduan warna tersebut
merepresentasikan seorang raja yang sedang bersenang-
senang karena menemukan sari bunga yang rasanya manis.
Selanjutnya, perpaduan warna kuning dan hijau disebut
sebagai podang nyocco’ dâun ‘burung kepudang memakan
daun’. Jadi, warna kuning menggambarkan burung
kepudang yang memiliki bulu indah berwarna kuning,
sedangkan warna hijau menggambarkan dedaunan.
Perpaduan warna tersebut merepresentasikan seorang raja
yang sedang marah atau tidak bahagia karena rasa daun
yang pahit dan tidak memiliki rasa manis seperti sari
bunga. Oleh sebab itu, dalam acara pernikahan banyak
pengantin yang lebih memilih menggunakan rapѐ’
berwarna kuning dan merah karena mengetahui makna
filosofisnya. Namun, juga ada beberapa pengantin yang
memilih perpaduan kuning dan hijau karena faktor
keindahan warnanya dan tidak begitu mempermasalahkan
makna yang terkandung.
5) Kuliner
Di dalam ranah kuliner ditemukan satu jenis makanan yang di
dalamnya memiliki penggunaan warna dengan makna dan tujuan
khusus, yaitu:
a) Bubur
Bagi masyarakat Madura, makanan bukan hanya untuk
mengobati rasa lapar semata, melainkan bisa juga dijadikan
sebagai atribut untuk tujuan tertentu. Salah satu jenis makanan
yang banyak digunakan dalam acara-acara penting seperti
acara ritual atau selamatan adalah bubur. Umumnya, bubur
yang digunakan oleh masyarakat Madura adalah bubur yang
terbuat dari beras putih atau yang biasa disebut sebagai tajhin
ghendar ‘bubur beras putih’. Jenis-jenis bubur yang sering
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 194
digunakan oleh masyarakat Madura khususnya di Kab.
Sumenep dalam memperingati hari penting antara lain ialah (1)
tajhin mèra potè ‘bubur merah putih’ untuk memperingati
masuknya bulan Safar, (2) tajhin sora ‘bubur sura’ dari untuk
memperingati masuknya bulan Muharam, dan (3) tajhin
sanapora (lѐma’ bârna) ‘bubur lima warna’ untuk
memperingati beberapa acara penting, seperti ketika akan
membuat rumah dan turun ke sawah. Di antara ketiga jenis
bubur tersebut, bubur lima warna diyakini oleh masyarakat
Sumenep melambangkan unsur-unsur kehidupan dalam diri
manusia.
(1) Tajhin sanapora atau lѐma’ bârna ‘bubur lima warna’
berwarna hitam, putih, merah, kuning, dan hijau
Bentuk frasa tajhin sanapora memiliki konsep yang
dapat dideskripsikan secara denotatif maupun kultural.
Secara denotatif, tajhin sanapora adalah bubur yang
terbuat dari beras dan terdiri dari lima warna, yaitu hitam,
putih, merah, kuning, dan hijau. Bubur ini biasanya
disajikan untuk beberapa acara seperti, selamatan rumah,
selamatan desa, selamatan kelahiran bayi, selamatan
memulai menanam di sawah dan lain-lain. Bubur ini
nantinya diletakkan berdasarkan titik mata angin. Secara
alamiah, warna pada bubur putih terbuat dari beras, warna
pada bubur merah terbuat dari campuran kunyit dan batu
kapur, warna pada bubur kuning terbuat dari kunyit, warna
pada bubur hijau terbuat dari pandan, dan warna pada
bubur hitam terbuat dari ketan hitam atau arang yang
dihaluskan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 195
Peletakan kelima
bubur tersebut ditentukan
oleh filosofis orang
Madura dalam memaknai
arah mata angin. Pertama,
arah utara bagi orang
Madura disebut sebagai
dâjâ atau olo ‘hulu’,
sedangkan selatan disebut
sebagai lao’ atau onjhur
‘hilir’. Bagi orang Madura
terdapat ujaran tadâ’ aѐng aghili ka olo ‘tidak ada air
mengalir ke hulu’ karena air pasti akan mengalir ke hilir.
Oleh sebab itu, bubur berwarna hitam diletakkan di utara
atau hulu, sedangkan bubur berwarna merah diletakkan di
selatan atau hilir. Hal ini dikarenakan semua yang ada di
dalam hidup manusia berasal atau mengalir dari Tuhan.
Bagi orang Madura, celleng selain bermakna hitam juga
bermakna pelleng yang berarti menyatu pada Yang Maha
Kuasa. Dengan kata lain, hitam bermakna Tuhan.
Selanjutnya, bubur warna merah diletakkan di selatan
karena mѐra ‘merah’ bagi orang Madura bermakna
apangara ‘membuat usaha atau berusaha’. Dalam hidup ini
manusialah yang harus berusaha dan selalu semangat
dalam menjalani hidup. Jadi, arah mata angin dan
peletakan bubur warna tersebut menggambarkan bahwa
apapun yang terjadi di dalam hidup manusia asalnya dari
Tuhan dan manusia dalam menjalani hidup harus terus
berusaha serta memasrahkan hasilnya pada Yang Maha
Kuasa.
Kemudian, arah timur dalam bahasa Madura disebut
sebagai tèmor yang bermakna kehidupan karena
Gambar 21. Tajhin Sanapora ‘bubur
lima warna’, dok. penulis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 196
merupakan arah terbitnya matahari. Bubur warna putih
diletakkan pada arah ini karena potè ‘putih’ bermakna
bersih dan suci layaknya seorang bayi yang baru lahir,
karena memang tidak punya apa-apa. Lalu, arah barat
dalam bahasa Madura disebut sebagai bârâ’ yang
bermakna kematian karena merupakan arah terbenamnya
matahari. Bubur warna kuning diletakkan pada arah ini
karena bagi orang Madura konèng merupakan keratabasa
yang bermana kolbu sè bennèng ‘hati yang bersih’. Jadi,
manusia diharapkan sebelum menemui ajalnya sudah
mempersiapkan amal kebaikan dengan cara memelihara
hati yang bersih semasa hidupnya. Terakhir, bagian tengah
dalam bahasa Madura disebut sebagai tengnga. Pada
bagian ini bubur yang diletakkan adalah bubur berwarna
bhiru ‘hijau’ karena orang Madura memaknai bhiru
dengan meminjam makna kosakata bahasa Arab yang
hampir menyerupai yaitu al-birr yang bermakna kebajikan.
Dengan demikian, di harapkan kehidupan manusia
berpusat pada kebaikan.
Jadi, penggunaan bubur sanapora adalah sebagai
simbol atau perwujudan untuk meminta kepada Yang
Kuasa agar apa yang dilakukan mendatangkan kebaikan,
misalnya saat selesai membangun rumah baru atau ketika
akan memulai menggarap sawah.
3. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya penamaan warna
dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep
Munculnya penamaan warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep
tidak serta merta terjadi begitu saja. Penamaan tersebut dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Dalam hal ini, faktor tersebut dibagi menjadi 4
bagian, yaitu faktor geografis, faktor kemasyarakatan, faktor spiritual, dan
faktor tradisi.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 197
a. Faktor geografis kedekatan masyarakat Madura di Kab. Sumenep
dengan alam
Pulau Madura adalah pulau yang memiliki panjang ± 190 km2
dan jarak terlebar pulau 40 km2 serta 5.304 km2 sebagai luasnya58.
Batas Pulau Madura di sebelah utara dan timur adalah Laut Jawa,
sedangkan di sebelah selatan dan barat adalah Selat Madura. Kab.
Sumenep sendiri memiliki batas wilayah sebelah selatan dengan Selat
Madura, sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah barat dengan Kab.
Pamekasan, dan sebelah timur dengan Laut Jawa dan Laut Flores59.
Tanah di Pulau Madura berbahan induk dari batu kapur, batu pasir,
dan batuan endapan. Oleh sebab itu, tanah di pulau tersebut cenderung
kering dan tandus. Bahkan, curah air hujan di Madura terbilang lebih
rendah dari daerah lain sehingga untuk bercocok tanam pun harus
benar-benar teliti dalam memilih jenis tumbuhan yang akan ditanam.
Namun, walaupun keadaan tanah kurang subur, masyarakat
Madura tidak kehabisan akal untuk tetap memanfaatkan keadaan alam
yang ada. Bagi mereka, bagaimanapun keadaan alam adalah
pemberian dari Yang Maha Kuasa sehingga harus disyukuri dengan
cara dimanfaatkan sebaik mungkin. Jadi, di tanah yang kurang subur
tersebut mereka membuat sawah tadah hujan yang ditanami oleh
tembakau untuk keperluan industri kretek. Selain itu, karena besarnya
tekanan penduduk yang haus akan lahan pertanian, di penghujung
abad XIX sebagian besar pulau termasuk puncak-puncak
bebukitannya telah dikonversikan menjadi tegalan untuk
membudidayakan tanaman pangan seperti jagung, ubi kayu, kacang-
kacangan, dan palawija lainnya60. Berbanding terbalik dengan
keadaan lahan pertanian yang kurang subur, keadaan ekosistem laut di
Pulau Madura justru sangat baik. Bahkan, Kab. Sumenep merupakan
Kab. di Madura yang memiliki potensi perikanan dan kelautan yang
58 Menurut Syamsuddin (2007: 150) 59 Dikutip dari laman http://sumenepkab.go.id/page/letak-geografis (11 Agustus 2019). 60 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 25).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 198
cukup besar61. Hal ini tentu turut dipengaruhi oleh letak geografis
Pulau Madura dan Kab. Sumenep yang berbatasan langsung dengan
laut dan selat.
Pengaruh letak geografis tersebut juga membuat masyarakat
Madura di Kab. Sumenep sangat bersahabat dengan alam. Bagi
mereka yang hidup di pesisir, laut ibarat milik mereka karena dalam
kesehariannya mereka abhântal ombâ’ asapo’ angѐn ‘berbantal
ombak berselimut angin’ yaitu “...odhi’na neng tasè’ dhâddhi ngakan
è tasè’, mandi è tasè’, cara jarèya maksudnya, semuanya dengan
alam. Di dekatnya, nyarè kakan è tasè’, tedhung è jadiya kèya. (hidup
di laut, makan di laut, mandi di laut, semuanya di alam. Mencari
makanpun di laut, tidur pun di laut)62. Begitu pula dengan mereka
yang hidup jauh dari laut dan memilih untuk bercocok tanam.
Bercocok tanam bukan hanya perihal menanam, tetapi juga kembali
kepada Yang Maha Kuasa63. Dengan kata lain, filosofi menanam
adalah bersyukur atas apa yang telah Tuhan beri dengan
memanfaatkan, merawat, dan mengembalikan hasilnya kepada Sang
Maha Pemberi.
Kedekatan masyarakat Madura di Kab. Sumenep dengan alam
juga menambah sistem pengetahuan mereka, seperti ilmu
perbintangan untuk melaut, ilmu perikliman untuk bercocok tanam,
dan penggunaan penamaan warna dalam kehidupan sehari-hari. Dari
205 satuan lingual warna yang ditemukan di lapangan, ada 88 nama
warna yang beratribut alam atau dimetaforakan dengan alam meliputi
nama buah, bunga, pepohonan, sayuran, biji-bijian, rempah, dedaunan,
dan benda lingkungan alam. Misalnya, (1) nama warna beratribut
buah pada frasa konѐng kraè ‘kuning blewah’, (2) nama warna
beratribut bunga pada frasa mѐra nojeh ‘merah bunga pukul empat’,
(3) nama warna beratribut pohon pada frasa cokklat jhâteh ‘cokelat
jati’, (4) nama warna beratribut sayuran pada frasa bungo terong
61 Menurut Suhartatik (2018: 109). 62 Penuturan informan: Bapak Zainal Abidin, usia 67 tahun. 63 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 199
‘ungu terong’, (5) nama warna beratribut biji-bijian pada frasa mѐra
jhâgung ‘merah jagung’, (6) nama warna beratribut rempah pada frasa
konѐng temolabâk ‘kuning temulawak’, (7) nama warna beratribut
dedaunan pada frasa potѐ bhâkoh ‘putih tembakau’, serta (8) nama
warna beratribut benda lingkungan alam pada frasa potѐ kapor ‘putih
kapur’, bhiru laot ‘biru laut’, dan mѐra arѐ ‘merah matahari’. Selain
itu, ada juga nama warna yang dalam penyebutannya tidak
menggunakan unsur warna, melainkan dimetaforakan pada rempah
seperti konyѐ’ bucco’ ‘kunyit busuk’ dan buah seperti sabu matta
‘sawo mentah’.
Mendominasinya leksikon warna beratribut alam dalam bahasa
Madura di Kab. Sumenep tentu tidak semata-mata terjadi begitu saja.
Orang Madura memahami dunianya melalui apa-apa yang ada di
sekitarnya64. Salah satunya adalah melalui tumbuhan atau alam yang
ada dan hidup di sekeliling mereka. Orang Madura menyukai warna-
warna terang atau mencolok juga karena berhubungan dan berkiblat
pada alam. “...kodhuna. Alam, èntar ka alam. Tekka’ penter aghâbây
kapal ta’ èkakan, sè èkakan alam. Kakabbi, jenderal bân presiden
ngakan tombuna? Tombu ka tana. Pakanna padâ. (semua harus
kembali pada alam. Filosofinya, walaupun hebat dalam membuat
kapal, kapal tidak bisa dimakan, yang bisa dimakan adalah hasil alam.
Semua, termasuk jendral dan presiden yang dimakan adalah alam. Ke
manakah nanti mereka akan bermuara? Sama-sama bermuara di tanah,
kembali pada tanah, jenis makanannya sama dari alam)65. Jadi,
munculnya penamaan warna yang berhubungan dengan alam
disebabkan masyarakat Madura di Kab. Sumenep keberadaannya
secara geografis dekat dengan alam dan filosofi hidup mereka sangat
berpegang teguh pada alam. Bahkan, ada satuan lingual penanda
warna yang disebut sebagai bhiru alam ‘hijau alam’66 untuk
mendeskripsikan warna hijau seperti warna tumbuh-tumbuhan yang
64 Menurut Azhar (2017: 230). 65 Penuturan informan: Bapak R. Abdullah, usia 65 tahun. 66 Penuturan informan: Bapak Taufan Febriyanto, usia 33 tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 200
ada di sekitar mereka. Dengan kata lain, munculnya penamaan warna
dapat mengacu pada hal-hal yang paling dekat dengan tempat mereka
tinggal, salah satunya keberadaan alam.
b. Faktor kemasyarakatan matapencaharian masyarakat Madura di Kab.
Sumenep
Sejak dulu, matapencaharian utama masyarakat Madura adalah
bertani. Biasanya, mereka bertani ketika musim penghujan untuk
menanam padi dan palawija seperti jagung serta kacang-kacangan di
sawah tadah hujan. Namun, karena curah hujan di Pulau Madura tidak
terlalu tinggi dan tanahnya tandus sehingga masyarakat Madura perlu
mencari matapencaharian lain ketika memasuki musim kemarau. Jadi,
para petani biasanya juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai
peternak seperti beternak sapi, kambing, ayam, dan itik. Lalu, sebagai
masyarakat yang mendapatkan sebutan sebagai suku bangsa keturunan
Sang Segara67 karena sangat dekat dengan laut, maka
matapencaharian lain yang ditekuni oleh masyarakat Madura adalah
melaut terutama bagi mereka yang bermukim di daerah pesisir.
Selanjutnya, matapencaharian lain yang ditekuni oleh
masyarakat Madura adalah berdagang. Matapencaharian ini tidak
hanya dilakukan di Pulau Madura itu sendiri, melainkan menjadi
pekerjaan utama bagi para perantau Madura. Biasanya, mereka
menjual apa saja mulai dari bidang kuliner seperti soto dan sate,
hingga baju serta besi tua. Selain itu, matapencaharian lain yang juga
banyak ditekuni oleh orang Madura adalah menjadi guru. Hal ini
dikarenakan salah satu prinsip hidup orang Madura ialah bhuppa’
bhâbbu’ ghuru rato ‘bapak, ibu, guru, ratu’. Artinya, selain taat
kepada Tuhan dan orang tua, masyarakat Madura wajib taat kepada
guru. “...bilâ can guru sènga’ kana’, itu semua taat. (kalau kata guru
tidak boleh, maka semua akan patuh)68. Jadi, guru dianggap sebagai
profesi yang sangat mulia dan terhormat sehingga banyak orang tua
67 Dikutip dari buku Manusia Madura (2007: 66). 68 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 201
berbondong-bondong ingin menjadikan anaknya sebagai tenaga
pendidik. Selain beberapa matapencaharian di atas, hingga saat ini
masyarakat Madura terus mengeksplor diri sehingga banyak menekuni
profesi-profesi lain sesuai dengan keahliannya.
Selain sebagai sarana untuk menafkahi diri dan keluarga,
ternyata matapencaharian yang ditekuni oleh masyarakat Madura di
Kab. Sumenep juga berdampak pada penamaan warna yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terbukti dari leksikon yang
digunakan oleh para informan ketika menyebut nama warna yang
mana turut mencerminkan lingkungan atau profesi yang sedang
ditekuni. Misalnya, pada informan [In.03/21.11.2018] yang berprofesi
sebagai petani. Dari 26 leksikon warna yang berhasil disebutkan, ada
6 leksikon warna yang berhubungan dengan tanaman yang ditaman
oleh petani tersebut dan leksikon tersebut tidak ditemukan pada
informan lain, yaitu mèra jhâghung ‘merah jagung’, bhiru arta’ ‘hijau
kacang hijau’, bhiru rantѐh ‘hijau tomat’, potè bhâkoh ‘putih
tembakau’, konѐng jhâghung ‘kuning jagung’, dan celleng bhâkoh
‘hitam tembakau’.
Selanjutnya, pada informan [In.06/22.11.2018] yang berprofesi
sebagai pengusaha batik dan pembatik. Dari 26 leksikon warna yang
disebutkan, ada 2 leksikon yang berhubungan dengan hal-hal yang
digunakan dalam dunia perbatikan, yaitu bhiru alam ‘hijau alam’
karena proses pewarnaan batik yang bersifat alami mengambil bahan-
bahan dari alam seperti dedaunan dari daun ketapang, daun tarum, dan
lainnya, sehingga leksikon tersebut sangat familier di kalangan
pembatik. Selain itu ditemukan pula leksikon cokklat mahoni ‘cokelat
mahoni’ yang disebabkan pewarnaan alami batik untuk menciptakan
warna cokelat tua adalah menggunakan kulit pohon mahoni.
Kemudian, pada informan [In.10/23.11.2018] yang berprofesi
sebagai ibu rumah tangga. Dari 58 leksikon warna yang disebutkan
ada 9 leksikon yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari
informan sebagai ibu rumah tangga. Misalnya, bhiru SMP ‘biru rok
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 202
SMP’ yaitu warna biru yang terinspirasi dari warna rok atau celana
siswa SMP. Pada bagian ini diinterpretasikan warna bhiru SMP ‘biru
rok SMP’ muncul karena informan tersebut sering memiliki interaksi
dengan seragam sekolah, seperti mencuci, menyetrika, atau sering
melihat seragam yang dikenakan oleh anggota keluarga lain
mengingat informan tersebut berada dalam satu rumah dengan anak-
anak (cucu) yang sedang bersekolah. Selain itu, ditemukan leksikon
warna konèng jherruk ‘kuning jeruk’ dan konèng wortel ‘kuning
wortel’ yang sering digunakan untuk membuat makanan atau
minuman di rumah. Selanjutnya, dari 10 leksikon warna tersebut
tersisa 6 leksikon yang beratribut tomang ‘tungku’ dan abu ‘abu’ pada
warna bhiru abu tomang ‘biru abu tungku’, abu towa ‘abu tua’, abu
ngodâ ‘abu muda’, abu tomang ngodâ ‘abu tungku muda’, dan bu-abu
tomang ‘abu-abu tungku’. Penggunaan atribut tomang ‘tungku’ dan
abu ‘abu’ pada beberapa leksikon tersebut dipengaruhi oleh kebiasaan
informan yang masih menggunakan tungku ketika memasak sehingga
tungku dan abu hasil pembakaran kayu memiliki intensitas tinggi
untuk dilihat setiap harinya.
Berikutnya, pada informan [In.18/17.02.2019] yang berprofesi
sebagai perias pengantin. Dari 45 leksikon warna yang disebutkan,
ada 5 leksikon yang berhubungan dengan warna pakem dalam merias,
yaitu mèra kalompang ‘merah kelumpang’ untuk menyebut warna pipi
seorang perempuan yang sudah dirias menggunakan blush on, mèra
sèrè ‘merah sirih’ merupakan pakem untuk warna blush on ‘pemerah
pipi’, mèra cabbi ‘merah cabai’ merupakan pakem untuk warna
lipstick ‘pemerah bibir’, bhiru sennam ‘hijau pupus daun asam’
merupakan pakem untuk warna rambai yang digunakan pada
perlengkapan baju adat pernikahan leghâ, dan konèng gading ‘kuning
gading’ merupakan pakem untuk warna riasan bayangan mata pada
pengantin tradisional zaman dulu.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan jika munculnya
penamaan warna juga mengacu pada profesi atau matapencaharian
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 203
dari informan. Hal ini dikarenakan tiap informan memberikan ciri
pada leksikon warna yang disebutkan sehingga mencerminkan apa
yang sedang ditekuni dalam kesehariannya.
c. Faktor spiritual keislaman masyarakat Madura di Kab. Sumenep
Sebelum agama Islam masuk dan menjadi agama mayoritas bagi
masyarakat Madura, agama Hindu Budha menjadi kepercayaan
masyarakat di pulau tersebut. Hal ini dibuktikan dengan adanya
hegemoni dari dinasti Kerajaan Hindu selama 600 tahun yang ditandai
dengan munculnya peninggalan candi dan vihara di Madura69.
Kemudian, ditemukan pula peninggalan bangunan megalitik berupa
batu kenong atau batu gong dan menhir di Pulau Sepudi, Madura70.
Agama Islam masuk ke Madura sekitar abad ke XV yang dibawa oleh
sektor perdagangan yaitu pedagang-pedagang Islam Gujarat yang
berhenti di pelabuhan-pelabuhan Madura, terutama di wilayah Madura
bagian timur atau Kab. Sumenep. Selanjutnya, perkembangan Islam
menjadi semakin kokoh semenjak Walisongo melakukan islamisasi
dengan strategi dakwah yang dapat diterima oleh masyarakat di Pulau
Jawa, termasuk Madura.
Dalam menjalankan keislamannya, masyarakat Madura sendiri
merupakan etnik yang memegang kultur paternalistik, yaitu kepatuhan
santri kepada kiai yang sudah mengkristal dan sudah menjadi tarekat
dalam kebiasaan hidup sehari-hari yang diamalkan secara konsisten
dan terus-menerus baik selama ia berada di pesantren, maupun setelah
kembali ke masyarakat71. Seperti yang disampaikan pada faktor
sebelumnya jika orang Madura memegang prinsip bhuppa’ bhâbbu’
ghuru rato ‘bapak, ibu, guru, ratu’, maka posisi guru yang dimaksud
selain merupakan tenaga pendidik di sekolah juga merupakan ulama
atau kiai di pesantren.
69 Menurut Amrullah (2015: 57). 70 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 42). 71 Menurut Haryono (2014 :339).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 204
Bagi masyarakat Madura, keberadaan agama merupakan suatu
alat untuk menyeimbangkan hidup. Hal ini juga tercermin dari ujaran
orang Madura yaitu abhântal sadek pajung Allah sapo’ iman sanding
rasulullah ‘berbantal syahadat, berpayung Allah, berselimut iman,
berpegang teguh pada Rasulullah’72. Jadi, pondasi hidup orang
Madura adalah agamanya, yaitu dengan selalu beriman pada Allah dan
Rasul agar hidupnya selalu diberkahi dan seimbang karena tidak
hanya memikirkan urusan dunia semata. Selanjutnya, untuk
memfasilitasi keislamannya tersebut, orang Madura umumnya
mengikuti organisasi-organisasi keislaman, misalnya Muhammadyah
dan Nadlatul Ulama (NU)73.
Fungsi spiritual keislaman selain sebagai pondasi dan pedoman
hidup ternyata juga berdampak pada pembentukan penamaan warna
dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep. Hal ini dibuktikan pada
informan [In.08/25.11.2018], dari 36 leksikon warna yang disebutkan,
ada 1 leksikon yang berhubungan dengan sisi spiritual orang Madura,
yaitu bhiru patayat ‘hijau fatayat’. Fatayat merupakan salah satu
bagian dari organisasi Nadlatul Ulama (NU) yang berfokus pada
pemberdayaan perempuan. Tujuan berdirinya organisasi Fatayat NU
bukan hanya ingin memperbaiki pendidikan perempuan muda
terutama lapisan bawah atau santri, melainkan ingin perempuan
memiliki kemampuan dalam berbicara di ruang publik74. Munculnya
atribut ormas Fatayat pada nama warna dalam bahasa Madura di Kab.
Sumenep turut mengingatkan kembali bahwa mayoritas masyarakat
Madura adalah anggota organisasi Nadlatul Ulama (NU). Bahkan, ada
sebuah anekdot yang muncul bahwa ketika orang Madura ditanya
perihal agamanya, maka mereka akan menjawab agama NU. Hal ini
bukan tanpa alasan, melainkan karena NU mampu tumbuh subur di
Pulau Madura semenjak awal kelahirannya. Tumbuhnya NU di Pulau
Madura tidak terlepas dari peran pendiri dan pioner NU yang salah
72 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun. 73 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 42). 74 Menurut Naziyah & Shinta (2015: 176).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 205
satunya adalah Syaikh KH. Muhammad Khalil bin Abdul Latif atau
disapa Mbah Kholil dari Bangkalan yang menyebabkan pondasi kuat
berdirinya NU di tanah garam75. Selain itu, mayoritas para kiai yang
turut mendirikan NU di Pulau Madura juga pernah menimbah ilmu
pada Mbah Kholil tersebut.
Selanjutnya, data leksikon warna yang berhubungan dengan sisi
spiritual masyarakat Madura di Kab. Sumenep juga ditemukan pada
informan [In.10/26.01.2019]. Dari 58 leksikon warna yang disebutkan,
ada 1 leksikon yang berkaitan dengan spiritual keislaman masyarakat
Madura di Kab. Sumenep, yaitu potѐ sora ‘putih asyura’ atau warna
putih yang terinspirasi dari warna pada bubur yang selalu dibuat untuk
memperingati hari kesepuluh pada bulan Muharram dalam kalender
hijriyah. Bagi masyarakat Madura di Kab. Sumenep, bulan Sora
bermakna suci sebagai simbol manusia dibekali fitrah kesucian atau
potensi manusia untuk berbuat baik sehingga disimbolisasi dengan
warna putih76. Selain itu, bubur asyura dibuat juga untuk merayakan
tanggal 10 Muharram, antara lain untuk mengenang kematian Husain
(cucu Nabi Muhammad SAW) dalam perang di Karbala77.
Lalu, pada informan [In.06/22.11.2018] yang berhasil
menyebutkan 26 leksikon warna, ada 1 leksikon yang juga
mendeskripsikan sisi spiritual masyarakat Madura di Kab. Sumenep,
yaitu celleng songko’ ‘hitam peci’. “...orang Madura memiliki ciri
islami agamis selain ditentukan dari akhlak juga ditandai dengan
berkopyah dan bersarung78. Selain itu, Buya Hamka dalam salah satu
bukunya menulis : “Tatkala pada tanggal 25 November 1959, saya
sempat menziarahi Madura kembali, sesudah ziarah pertama 25 tahun
silam (1934) nampak bahwa tradisi-tradisi yang ditanamkan islam
sejak zaman bahari masih banyak yang belum dapat dibongkar oleh
tradisi-tradisi modern pengaruh Barat yang di daerah lain sudah
75 Dikutip dari laman http://www.jurnas.com/artikel/31972/Menakar-Masa-Depan-NU-di-Madura/
(13 Agustus 2019). 76 Menurut Mulyadi (2018: 128). 77 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 47). 78 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 206
banyak luntur. Misalnya saja, tidak memakai peci atau kopiah jika
sembahyang di masjid masih akan mendapat teguran keras....”79. Bagi
orang Madura, peci atau kopiah adalah simbol religiositas dan
menggambarkan bagaimana mereka selalu membawa keimanan
kepada Sang Pencipta. Oleh sebab itu, selain digunakan untuk
beribadah, peci juga digunakan untuk kegiatan lain, seperti ketika
bekerja, menghadiri ritual adat (misalnya pernikahan dan kematian),
bahkan ketika sedang tidak melakukan apa-apa di rumah pun peci
masih tetap digunakan. Jadi, penggunaan atribut yang berhubungan
dengan sisi spiritual keislaman masyarakat Madura dalam
kesehariannya dapat mempengaruhi pembentukan penamaan warna
yang digunakan oleh penutur.
d. Faktor tradisi yang dilakukan masyarakat Madura di Kab. Sumenep
Selain 3 faktor di atas, terbentuknya penamaan warna dalam
bahasa Madura di Kab. Sumenep juga dipengaruhi oleh tradisi yang
dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Tradisi merupakan adat
kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan
dalam masyarakat80. Masyarakat Madura merupakan masyarakat yang
cukup memegang teguh tradisi dari nenek moyang. Hal ini bisa dilihat
dari bagaimana mereka membangun model rumah, memperlakukan
hewan, dan memegang prinsip ca’-oca’an dalam kehidupan sehari-
hari.
Unsur tradisi yang ditemukan pada penamaan warna dalam
masyarakat Madura di Kab. Sumenep, misalnya pada leksikon warna
cokklat sapѐ ‘cokelat sapi’ dan bhiru calattong ‘hijau kotoran sapi’.
Sapi, khususnya sapi jantan bagi orang Madura sama maknanya
dengan kerbau bagi orang Jawa: lambang kekuatan dan
kemakmuran81. Biasanya, para petani di Madura selain bercocok
tanam juga memelihara sapi, baik sapi milik sendiri ataupun sapi
79 Menurut Sadik (2011: 98). 80 Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016: 1483). 81 Dikutip dari buku Garam, Kekerasan, dan Aduan Sapi (De Jonge, 2011: 89).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 207
titipan milik orang lain. Sapi selain digunakan untuk membajak sawah
atau diperjualbelikan juga digunakan sebagai tabungan untuk
mengantisipasi masa susah. Selain itu, orang Madura dapat
menunjukkan status atau kelas sosialnya melalui jumlah sapi yang
dimiliki. Hal ini karena harga sapi tidaklah murah sehingga orang
yang mampu membeli banyak sapi dianggap sebagai orang berada.
Orang Madura memperlakukan sapi layaknya anggota keluarga.
“...dhâddhi odhi’na, sapè saja sapè kadang-kadang dirumat lebih dari
dirinya sendiri, èjamoè tellor, èjamoè ini. Dekat dengan alam. Sapè
sampe’ apapun, pangapora sampe’ ka calattongnga dibutuhkan,
sampè’ ka kemmèna dibutuhkan, kemmèna sapè. Padahal kemmèna
orèng gak dibutuhkan. Iya kan? (Sapi adalah hidup, bahkan sapi
dirawat lebih dari dirinya sendiri, diberi minum jamu telur dan
lainnya. Dekat dengan alam. Apapun bagian dari sapi sangat
dimanfaatkan, maaf sampai pada kotoran dan air kencingnya
dibutuhkan. Padahal air kencing manusianya saja tidak dipakai)82”.
Selain itu, kandang sapi diletakkan dekat dengan rumah pemiliknya,
misalnya di dekat dapur dan di depan rumah. Hal ini dilakukan agar
sapi-sapi tersebut tetap dalam pengawasan si pemilik dan tidak hilang
diambil maling mengingat angka pencurian sapi dan hewan ternak lain
di Madura masih cukup tinggi. Rasa cinta seorang laki-laki Madura
terhadap sapinya memunculkan pernyataan di masyarakat jika laki-
laki Madura lebih menyayangi sapi daripada istrinya sendiri.
Pernyataan tersebut sebenarnya menunjukkan betapa sapi sangat
diagungkan bagi masyarakat Madura.
Unsur tradisi lain yang ditemukan pada penamaan warna dalam
masyarakat Madura di Kab. Sumenep adalah pada leksikon mèra
dubbâng ‘merah pada ludah orang memakan kapur sirih’. Dari zaman
dahulu, masyarakat Madura di Kab. Sumenep khususnya para orang
tua di pedesaan suka amina ‘mengkonsumi kapur sirih’. Mina terdiri
dari kapur, gambir, dan pinang. Selanjutnya, bahan-bahan tersebut
82 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 208
dibungkus menggunakan daun sirih dan dikunyah sampai
menimbulkan warna merah pada area gigi dan mulut. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan di Inggris pada imigran dari Asia Selatan
yang mengunyah sirih pinang, didapati bahwa mereka mengunyah
sirih pinang karena memberikan rasa yang menyegarkan, sebagai
makanan ringan, membantu menghilangkan stress, dan dipercaya
dapat memperkuat gigi dan gusi83. Selanjutnya, selain bermanfaat
dalam dunia medis, masyarakat Madura di Kab. Sumenep memiliki
filosofi penting mengenai memakan kapur siirih yang erat kaitannya
dengan kehidupan. “Itu filosofinya dalam kehidupan ini tidak
selamanya orang mengalami senang, suatu saat mengalami pahit.
Diibaratkan orang memakan sekapur siri, kadang pahit, kadang
manis. Kalau pahit saja buat apa orang amina. Itu simbol dari
kehidupan sehari-hari, ada pahit, manis, getir. Kalau kapur itu
pahit”84. Oleh sebab itu muncullah ujaran di Madua yaitu sè ngakan
kaporra sè ba’ang ‘yang memakan kapur yang merasakan pahitnya’.
Jadi, baik buruknya manusia akan kembali kepada dirinya sendiri.
Jadi, penggunaan atribut yang berhubungan dengan kebiasaan
masyarakat Madura di Kab. Sumenep dalam kesehariannya dapat
mempengaruhi pembentukan penamaan warna yang digunakan oleh
penutur.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan dalam subbab di
atas, maka terdapat tiga poin pembahasan yang mengacu pada rumusan
masalah dalam penelitian ini. Tiga poin pembahasan tersebut meliputi (1)
satuan lingual penanda warna, (2) makna kultural dari konsep penggunaan
warna, dan (3) faktor-faktor yang menyebabkan munculnya penamaan warna
dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep.
83 Menurut Flora et al., (dalam Iptika, 2014: 65). 84 Penuturan informan: Bapak Amin Jakfar, usia 64 tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 209
Bagan 5. Hierarki implikasional warna dasar Berlin dan Kay dalam bahasa Inggris
Bagan 6. Hierarki implikasional warna dasar dalam bahasa Madura di
Kab. Sumenep
1. Satuan lingual penanda warna dalam bahasa Madura di Kab.
Sumenep
Pada hasil penelitian, telah dideskripsikan warna dasar dan warna
turunan dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep yang digunakan oleh
penutur di Kab. Sumenep. Bahasa Madura di Kab. Sumenep memiliki 6
warna dasar, yaitu potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’, bhiru
‘hijau’, konѐng ‘kuning’, dan sokklat ‘cokelat’. Keenam warna dasar
tersebut ditentukan berdasarkan kriteria warna dasar yang dicetuskan
dalam teori universal warna Berlin dan Kay (1969). Selanjutnya, terdapat
3 warna yang tidak termasuk ke dalam warna dasar jika dianalisis
menggunakan teori universal warna tersebut, yaitu bhiru ‘biru’, bungo
‘ungu’, dan bu-abu ‘abu-abu’. Berdasarkan hasil tersebut, warna dasar
dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep dapat mengikuti urutan warna
dasar Berlin dan Kay secara garis besar, tetapi belum sepenuhnya. Di
bawah ini merupakan bagan hierarki implikasional warna dasar Berlin
dan Kay dalam bahasa Inggris yang dibandingkan dengan bagan hierarki
implikasional warna dasar dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep yang
juga ditulis menggunakan terjemahan bahasa Inggris.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 210
Bagan 7. Hierarki implikasional warna dasar dalam bahasa Mandarin
Seperti yang terlihat pada dua bagan tersebut, terdapat perbedaan
jumlah warna dasar yang signifikan di antara bahasa Inggris dan bahasa
Madura di Kab. Sumenep. Bahasa Inggris memiliki 8 warna dasar,
sedangkan bahasa Madura di Kab. Sumenep hanya memiliki 6 warna
dasar. Selanjutnya, bahasa Madura di Kab. Sumenep memiliki urutan
warna dasar berbeda dengan hierarki implikasional Berlin dan Kay.
Berlin dan Kay menjelaskan jika urutan warna setelah green ‘hijau’ dan
yellow ‘kuning’ adalah blue ‘biru’. Namun, dalam bahasa Madura di
Kab. Sumenep urutan warna setelah bhiru ‘hijau’ dan konѐng ‘kuning’
langsung pada warna sokklat ‘cokelat’ dan melewati warna bhiru ‘biru’.
Dalam teorinya, Berlin dan Kay mengungkapkan bahwa a<b atau b
mengakibatkan a. Jadi, jika sebuah bahasa memiliki leksem warna biru
maka bahasa tersebut pasti memiliki warna lain yang berkedudukan di
sebelah kirinya seperti putih, hitam, merah, hijau, atau kuning. Namun,
hal ini tidak berlaku di dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep
mengingat warna bhiru ‘biru’ bukan termasuk ke dalam warna dasar dan
bahasa Madura di Kab. Sumenep masih tetap bisa memiliki warna dasar
yang berkedudukan di sebelah kirinya, yaitu putih, hitam, merah, hijau,
dan kuning. Oleh karena itu, urutan warna dasar yang dikemukakan oleh
Berlin dan Kay tidak bisa sepenuhnya diterapkan dalam bahasa lain.
Untuk membuktikan hal tersebut, penelitian saat ini dibandingkan
dengan hasil penelitian sejenis yang dilakukan oleh Yunyu (2015) dalam
bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 211
Bagan 8. Hierarki implikasional warna dasar dalam bahasa Indonesia
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yunyu (2015) dapat
diketahui jika bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia juga memiliki
jumlah warna dasar dan urutan warna yang berbeda dengan Berlin dan
Kay. Tampak pada bagan bahwa bahasa Indonesia memiliki 6 warna
dasar, sedangkan bahasa Mandarin memiliki 8 warna dasar dengan
melewati warna cokelat dan langsung pada urutan warna ungu serta abu-
abu setelah warna biru. Jadi, dari hasil perbandingan hierarki warna dasar
dalam 3 bahasa (Madura, Indonesia, dan Mandarin) dengan hierarki
warna dasar Berlin dan Kay dapat disimpulkan bahwa setiap bahasa
memiliki jumlah warna dasar dan urutan warna dasar yang berbeda. Hal
tersebut sejalan dengan telaah tradisional mengenai istilah warna yang
menghasilkan kesimpulan bahwa tiap bahasa memiliki jumlah warna
yang berbeda dan memiliki batas warna yang berlainan walaupun semua
bahasa memiliki fokus awal sama yaitu pada warna hitam dan putih85.
Perbedaan jumlah warna dasar dan batasan warna dapat
dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat tutur pengguna bahasa tersebut.
Misalnya, salah satu syarat untuk menjadi warna dasar adalah warna
tersebut harus menonjol dan dikenal luas oleh penutur. Pada bahasa
Madura di Kab. Sumenep, keberadaan warna bungo ‘ungu’ kurang
menonjol dan dikenal luas oleh masyarakat dengan hanya memiliki 11
leksikon warna turunan yang jauh lebih sedikit dari warna lainnya.
Selanjutnya, di dalam bahasa Mandarin warna ungu dikatakan sebagai
warna dasar karena memiliki warna turunan cukup banyak berjumlah 27
85 Dikutip dari buku Linguistik Bandingan Tipologis (Keraf, 1990: 184).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 212
leksikon warna. Jumlah leksikon warna turunan pada setiap warna
bergantung pada acuan yang digunakan oleh masyarakat tutur. Pada
bahasa Madura di Kab. Sumenep, warna turunan ungu antara lain bungo
ngodâ ‘ungu muda’, bungo towa ‘ungu tua’, bungo tѐra’ ‘ungu terang’,
bungo pellay ‘ungu pucat’, bungo pettheng ‘ungu gelap’, bungo tasѐ’
‘ungu laut’, bungo terong ‘ungu terong’, bungo terong towa ‘ungu terong
tua’, bungo terong ngodâ ‘ungu terong muda’, dan bungo langngѐ’ ‘ungu
langit’. Dari data tersebut dapat diketahui jika penggunaan atribut pada
warna ungu dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep hanya sebatas
adjektiva dan nomina yang berada di sekitar masyarakat Madura di Kab.
Sumenep, seperti terong, laut, dan langit. Sebaliknya, di dalam bahasa
Mandarin atribut atau acuan warna ungu lebih luas atau bervariasi seperti
qīng lián zǐ ‘ungu bunga teratai’ dan lóng dǎn zǐ ‘ungu bunga gentian’
yang mana kedua bunga tersebut jarang ditemui di Pulau Madura
sehingga masyarakat Madura di Kab. Sumenep tidak memiliki acuan itu
dalam mendeskripsikan warna ungu. Bahasa dapat mencerminkan
lingkungan suatu kelompok masyarakat. Dalam bidang warna, walaupun
warna yang ditunjuk sama, tetapi kosakata warna yang digunakan setiap
kelompok berbeda86.
Rifai dalam bukunya yang berjudul Manusia Madura (2007: 56-57)
memetakan warna pada bahasa Madura menjadi 10 warna yang berselisih
satu warna dengan hasil penelitian saat ini. Kesepuluh warna tersebut
ialah potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, bhiru ‘hijau’, mѐra ‘merah’, konѐng
‘kuning’, bȃlȃu ‘biru’, soklat ‘coklat’, ennyat ‘jambon’, bungo ‘ungu’,
dan bu-abu ‘kelabu’. Satu warna tambahan yang ditemukan oleh Rifai
ialah warna ennyat ‘jambon’ atau merah muda. Dari hasil penelitian yang
dilakukan saat ini di lapangan, masyarakat Madura khususnya di Kab.
Sumenep juga mengenal leksem warna ennyat ‘merah muda’ tersebut.
Namun, karena makna dari ennyat sendiri adalah merah muda, maka
leksem ennyat dijadikan sebagai warna turunan dari warna mѐra ‘merah’
dan tidak berdiri sendiri. Selanjutnya, hal yang membedakan dari
86 Menurut Yunyu (2015: 38).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 213
pemetaan warna yang dilakukan oleh Rifai ialah penyebutan warna biru
dengan menggunakan leksem bȃlȃu ‘biru’, sedangkan hasil penelitian
saat ini menggunakan leksem bhiru ‘biru’. Menurut Kamus Lengkap
Bahasa Madura Indonesia (Pawitra, 2009: 40) bȃlȃu bermakna warna
biru yang berasal dari pewarna berupa batang kecil seperti sabun
berbentuk kotak. Dengan kata lain, leksem bȃlȃu tersebut sebenarnya
lebih tepat digunakan untuk merujuk pada bahan pewarna biru, bukan
warna biru. Namun, jika leksem tersebut berada di dalam kamus bahasa
Madura, maka diperkirakan jika ada orang Madura yang masih
menggunakan bȃlȃu untuk mendeskripsikan warna biru mengingat
leksem warna biru dan hijau dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep
umumnya memiliki penyebutan yang sama, yaitu bhiru. Jadi, untuk
membedakan kedua warna tersebut selain menggunakan bantuan atribut
yang melekat pada warna dasar juga dapat dilakukan dengan mengganti
penyebutan bhiru ‘biru’ menjadi bȃlȃu.
Nama warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep dapat
terbentuk dari dua satuan lingual, yaitu kata dan frasa. Satuan lingual
kata umumnya menandai warna utama. Warna dasar bersifat
monoleksem atau terbentuk dari leksem tunggal, sedangkan dalam warna
nondasar terdapat kata yang terdiri dari dua leksem membentuk kata
reduplikasi suku akhir87 yaitu bu-abu ‘abu-abu’. Selanjutnya, satuan
lingual frasa menandai warna turunan, yaitu warna dasar maupun
nondasar yang mendapatkan atribut tertentu misalnya potѐ tolang ‘putih
tulang’ atau warna dasar putih yang mendapat atribut nomina bagian
tubuh manusia ‘tulang’. Namun, data di lapangan juga menunjukkan ada
satu warna turunan yang berbentuk satuan lingual kata, seperti warna
87 Reduplikasi suku akhir adalah jenis reduplikasi yang paling pro dalam bahasa Madura dialek
Sumenep (Ghazali et al., 1979: 81). Selain itu, reduplikasi suku akhir bagi masyarakat Madura
berhubungan dengan pola pikir mereka sebagai masyarakat yang terkenal memiliki pembawaan
ta’-karata’an ‘lantang’. Menurut Rifai (2007: 235), gaya berbicara orang Madura terkesan polos,
terus terang, dan lugu. Akan tetapi, keterusterangan tersebut umumnya disampaikan dengan pola
sebagaimana kebiasaan mereka berbicara sehari-hari, yaitu dengan suara ta’-karata’an ‘lantang’
dan keras. Cara berbicara mereka juga bertempo cepat sehingga diibaratkan pangoca’na mara
kѐlap ‘bicaranya seperti halilintar’. Hal tersebut juga tercermin ketika mereka menggunakan
perulangan suku akhir, misalnya tѐ-satѐ ‘sate-sate’. Penggunaan reduplikasi suku akhir tersebut
dianggap lebih terang, jelas, dan cepat daripada reduplikasi sempurna atau bukan sebagian.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 214
turunan dari merah, yaitu ennyat ‘merah muda’. Selanjutnya, satuan
lingual frasa juga menandai warna yang dalam penggunaannya tidak
menggunakan unsur warna dasar maupun nondasar, melainkan
dimetaforakan dengan bentuk lain, seperti (1) konyѐ’ bucco’ ‘kunyit
busuk’ untuk warna kuning, (2) sabu matta ‘sawo mentah’, sabu massa’
‘sawo masak’, dan sabu bucco’ ‘sawo busuk’ untuk warna cokelat, (3)
abu tomang ngodâ ‘abu tungku muda’ abu ngodâ ‘abu muda’, dan abu
towa ‘abu tua’ untuk warna abu-abu.
Pengklasifikasian atribut pada warna turunan dalam bahasa Madura
di Kab. Sumenep secara garis besar terdiri dari kelas kata adjektiva,
nomina, dan verba. Lalu, setiap kelas kata tersebut dibagi lagi ke dalam
bagian-bagian kecil. Pertama, atribut adjektiva terdiri dari (1) adjektiva
pemeri sifat (PS), yaitu adjektiva yang dapat memerikan kualitas dan
intensitas yang bercorak fisik atau mental. Dalam nama warna, atribut
adjektiva pemeri sifat meliputi mo-remmo ‘indah’, pellay ‘pucat’, pocet
‘pucat’, bucco’ ‘busuk’, manѐs ‘manis’, dan olay ‘pucat’. (2) Adjektiva
ukuran (U), yaitu adjektiva yang mengacu pada kualitas yang dapat
diukur dengan ukuran yang sifatnya kuantitatif. Dalam nama warna
atribut adjektiva ukuran meliputi towa ‘tua’, ngodâ ‘muda’, sokkla
‘murni’, pekkat ‘pekat’, dan talosѐ ‘pekat’. (3) Adjektiva warna (W),
yaitu adjektiva yang mengacu ke berbagai warna. Dalam nama warna
atribut adjektiva warna meliputi abâng ‘merah’, ennyat ‘merah muda’,
bungo ‘ungu’, bu-abu ‘abu-abu’, dan dongker ‘dongker’. (4) Adjektiva
cerapan, yaitu adjektiva yang berhubungan dengan indera manusia
seperti penglihatan (CPL), pendengaran (CPD), penciuman (CPC),
perabaan (CPB), dan pencitarasaan (CPR)). Dalam nama warna atribut
adjektiva cerapan penglihatan meliputi ngadhârbâng ‘terang’, mettal
‘padam’, tabâr ‘tawar’, tѐra’ ‘terang’, ngettak ‘terang’, ngacornang
‘terang’, matta ‘mentah’, ngamennyor ‘berkilauan’, seddhâ’ ‘sedap’,
bâttheng ‘gelap’, calѐmot ‘gelap’, ngalѐrѐng ‘berkilauan’, beddheng
‘kusam’, bhenning ‘bening’, ngeplak ‘terang’, dan pettheng ‘gelap’.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 215
Adjektiva cerapan perabaan meliputi molos ‘mulus’, bhulus ‘mulus’, dan
adjektiva pencitarasaan meliputi masѐn ‘asin’.
Dari klasifikasi di atas terdapat atribut adjektiva yang
penggunaannya disesuaikan dengan konteks dalam masyarakat Madura
di Kab. Sumenep dan bukan makna leksikal yang diketahui secara
umum. Atribut tersebut antara lain seddhâ’ ‘sedap’, manѐs ‘manis’,
matta ‘mentah’, bucco’ ‘busuk’, dan tabâr ‘tawar’. Pertama, secara
umum seddhâ’ ‘sedap’ bermakna lezat yang berhubungan dengan indera
pencitarasaan, namun dalam masyarakat Madura di Kab. Sumenep
seddhâ’ ‘sedap’ bermakna bersih dan enak dipandang sehingga lebih
tepat berhubungan dengan indera penglihatan. Kedua, secara umum
manѐs ‘manis’ bermakna rasa seperti rasa gula yang berhubungan dengan
indera pencitarasaan, namun dalam masyarakat Madura di Kab. Sumenep
manѐs ‘manis’ bermakna indah sehingga lebih tepat berhubungan dengan
adjektiva pemeri sifat. Ketiga, secara umum matta ‘mentah’ bermakna
belum masak yang berhubungan dengan indera pencitarasaan, namun
dalam masyarakat Madura di Kab. Sumenep matta ‘mentah’ lebih
merujuk pada warna daging buah dan bukan rasa dari daging yang belum
matang (pencitarasaan) sehingga lebih tepat jika berhubungan dengan
indera penglihatan. Keempat, secara umum bucco’ ‘busuk’ bermakna
berbau tidak sedap yang berhubungan dengan indera penciuman, namun
dalam masyarakat Madura di Kab. Sumenep bucco’ ‘busuk’ bermakna
rusak atau jelek sehingga lebih dengan dengan adjektiva pemeri sifat.
Terakhir, secara umum tabâr ‘tawar’ bermakna tidak ada rasanya yang
berhubungan dengan indera pencitarasaan, namun dalam masyarakat
Madura di Kab. Sumenep tabâr ‘tawar’ bermakna hilangnya daya
sehingga lebih tepat berhubungan dengan indera penglihatan.
Selanjutnya, atribut nomina terdiri dari bagian tubuh manusia (M),
hewan (H), tumbuhan (T), lingkungan alam (LA), instansi organisasi
profesi (IOP), makanan & minuman (MM), benda rumah (BR), dan nama
bulan (NB). Selanjutnya, atribut tumbuhan dipilah kembali berdasarkan
jenisnya, yaitu buah-buahan (BH), bunga (BG), pepohonan (PH), sayur
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 216
& biji-bijian (SB), rempah (R), dan lain-lain (L) yang biasanya
merupakan jenis dedaunan atau yang tidak masuk dalam jenis yang telah
disebutkan. Selain berbentuk satuan lingual kata, dalam atribut nomina
juga ditemukan satuan lingual frasa yaitu frasa nomina seperti pada bhiru
tellor accѐn ‘biru telur asin’, potѐ tolang towa ‘putih tulang tua’, dan
mѐra cabbi massa’ ‘merah cabai matang’.
Warna turunan dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep didominasi
oleh nomina dalam kelas tumbuhan. Mendominasinya leksikon warna
beratribut tumbuhan dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep tentu tidak
semata-mata terjadi begitu saja. Apalagi mengingat bahwa bahasa
sebagai penanda identitas budaya dapat dilihat salah satunya dari
penggunaan kosakata dalam sebuah bahasa yang diteliti. Dengan kata
lain, bahasa merupakan produk budaya dan sekaligus wadah penyampai
kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan88. Jadi,
penggunaan atribut tumbuhan yang ditemukan pada leksikon warna
dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep tentu juga dapat
merepresentasikan kehidupan sosial dan budaya dari penuturnya, yaitu
suku Madura.
Orang Madura memahami dunianya melalui apa-apa yang ada di
sekitarnya89, salah satunya adalah melalui tumbuhan yang hidup di
sekeliling mereka. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui jika
kehidupan masyarakat Madura di Kab. Sumenep sangat dekat dengan
alam. Bahkan, mereka menggantungkan hidup kepada alam. Oleh sebab
itu, mendominasinya atribut tumbuhan pada leksikon warna
menunjukkan bahwa benda-benda yang diasosiasikan tersebut sering
dijumpai dan masyarakat sering berinteraksi di dalamnya, misalnya
ketika membuat jamu dan memasak, mereka cenderung menggunakan
bahan tradisional dari rempah-rempah. Dengan begitu, dapat dikatakan
jika bahasa mampu mendeskripsikan kehidupan sosial dan budaya dari
suatu masyarakat. Lalu, di antara sembilan warna dalam bahasa Madura
88 Menurut Devianty (2017: 227). 89 Menurut Azhar (2017: 230).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 217
di Kab. Sumenep, warna konѐng ‘kuning’ memiliki jumlah warna
turunan beratribut tumbuhan paling banyak yaitu berjumlah 18 leksikon
warna. Kedelapan belas leksikon warna beratribut tumbuhan tersebut
didominasi oleh jenis buah-buahan. Hal ini dapat disebabkan karena
buah-buahan didominasi oleh warna kuning, baik kulit maupun daging
buahnya ketika sudah matang. Jadi, masyarakat Madura di Kab.
Sumenep merujuk sebuah warna menggunakan benda-benda yang sangat
familier dengan mereka. Hasil penelitian tersebut juga membuktikan
bahwa walaupun warna merah diketahui sebagai warna yang paling
identik dengan masyarakat Madura, namun ternyata secara kuantitas
warna kuning memiliki jumlah warna turunan yang lebih besar
dibandingkan warna merah. Dengan kata lain, penggunaan warna kuning
dalam tuturan sehari-hari memiliki referen yang lebih luas dari warna
merah. Walaupun demikian, kedua warna tersebut tetap menjadi warna-
warna identik bagi suku Madura terutama masyarakat di Kab. Sumenep.
Kemudian, atribut yang juga ditemukan pada penamaan warna
dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep ialah atribut verba, yaitu verba
jenis keadaan. Verba sendiri berdasarkan segi perilaku semantisnya
dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu verba perbuatan, verba proses, dan
verba keadaan. Leksikon warna berverba keadaan tersebut adalah celleng
matѐ ‘hitam mati’ dan celleng potton ‘hitam hangus’. Salah satu ciri
penting verba keadaan ialah tidak dapat diberi prefiks ter- yang berarti
‘paling’90. Keberadaan atribut verba dalam nama warna menjadi
keunikan sendiri di dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep mengingat
penelitian yang dilakukan oleh Yunyu (2015) tidak ditemukan nama
warna beratribut verba dalam bahasa Mandarin maupun bahasa
Indonesia, begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Budiono
(2016) dalam bahasa Betawi.
Selain nama warna beratribut verba, bahasa Madura di Kab.
Sumenep juga memiliki keunikan lain perihal penamaan warnanya.
Pertama, orang Madura menggunakan leksem bhiru untuk merujuk pada
90 Dikutip dari buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi et al., 2003: 87).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 218
2 warna, yaitu hijau dan biru. Hal inilah yang mengakibatkan munculnya
stereotip bahwa masyarakat Madura adalah masyarakat buta warna yang
tidak bisa membedakan antara warna hijau dan biru. Mereka mengira
leksem bhiru sama dengan ‘biru’ dalam bahasa Indonesia sehingga ketika
mendengar orang Madura menyebut hijau sebagai bhiru terkesan kurang
tepat dan menganggapnya tidak memiliki term khusus untuk menyebut
warna hijau tersebut. Padahal, di dalam Kamus Lengkap Bahasa Madura
Indonesia91 bhiru adalah penyebutan untuk hijau bukan biru. Dengan
kata lain, warna biru dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep meminjam
leksem bhiru yang sebenarnya bermakna hijau. Berdasarkan penelusuran
bahasa yang dilakukan, sebenarnya warna biru dalam bahasa Madura
memiliki term tersendiri yaitu bȃlȃu. Menurut Kamus Lengkap Bahasa
Madura Indonesia (Pawitra, 2009: 40) bȃlȃu bermakna warna biru yang
berasal dari pewarna berupa batang kecil seperti sabun berbentuk kotak.
Selain itu, penyebutan warna bȃlȃu ini juga digunakan dalam nama-
nama warna yang ditulis oleh Rifai (2007: 57) dalam bukunya berjudul
Manusia Madura. Dengan begitu, dapat disimpulkan jika pada zaman
dahulu leksem bȃlȃu ini sudah digunakan untuk menyebut warna biru
walaupun pada kenyataannya kini jarang sekali penutur bahasa Madura
di Kab. Sumenep yang tetap menggunakan leksem tersebut. Hal ini dapat
disebabkan karena penutur cenderung menganggap leksem bhiru mirip
dengan ‘biru’ dalam bahasa Indonesia daripada leksem bȃlȃu sehingga
dianggap lebih mudah untuk merujuk makna warna biru. Peminjaman
leksem bhiru untuk merujuk ‘biru’ secara terus menerus mengakibatkan
masyarakat Madura maupun luar Madura tidak mengetahui jika
sebenarnya bhiru adalah leksem awal untuk warna hijau.
Oleh sebab itu, kini untuk membedakan penggunaan bhiru ‘hijau’
dan ‘biru’ dibuat lebih jelas, yaitu dengan menambah atribut di belakang
leksem warna utama tersebut, misalnya bhiru lomot ‘hijau lumut’ untuk
merujuk bhiru bermakna hijau karena warna lumut sendiri adalah hijau
dan bhiru laot ‘biru laut’ untuk merujuk bhiru bermakna biru karena
91 Menurut Pawitra (2009: 68).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 219
warna pantulan air laut sendiri adalah biru. Jadi, jika ada penutur bahasa
Madura menyebutkan bhiru dâun ‘hijau daun’ merupakan suatu hal yang
lumrah untuk merujuk warna hijau dan bukan sesuatu yang lucu seperti
anggapan orang luar Madura yang mengira bahwa bhiru dâun adalah
‘biru daun’. Dengan kata lain, makna dari bhiru disesuaikan dengan
warna fisik dari atribut yang melekat pada warna utama. Maka, penutur
bahasa Madura tentu bisa membedakan antara warna hijau dan biru.
Hanya saja, pengucapan bhiru yang hampir sama dengan ‘biru’ dalam
bahasa Indonesia memicu munculnya anggapan bahwa suku Madura
adalah suku buta warna. Selain itu, salah satu informan mengungkapkan
“Mengapa tidak mengatakan hijau? karena itu berkaitan dengan
filosofis. Kalau hijau tidak ada filosofisnya, tetapi kalau bhiru itu kolbu
assobiru, jadi latifatul kolbi. Jadi, kolbi ini yang punya kesabaran yang
tinggi. Kalau hijau, apa hijau? Itu orang Madura memberikan nama
menyesuaikan dengan makna filosofis yang mau dituturkan”92. Jadi,
pemilihan nama warna dalam masyarakat Madura di Kab. Sumenep juga
mementingkan makna yang terkandung di dalamnya sebab mereka
percaya apa yang dikatakan sama halnya dengan doa.
Kedua, masyarakat Madura di Kab. Sumenep biasa
mendeskripsikan warna langit dengan leksem bungo ‘ungu’ daripada
leksem bhiru ‘biru’ sehingga muncullah frasa bungo langngѐ’ ‘ungu
langit’ yang menurut penuturnya sama dengan bhiru langngѐ’ ‘biru
langit’. Hal ini dikarenakan menurut pandangan mereka, warna langit
selalu berubah dan tidak selalu biru. Ada satu waktu ketika warna langit
terlihat keunguan seperti ketika menjelang senja dan warna itulah yang
terus melekat dalam pandangan mereka. Selain itu, dalam Kamus
Lengkap Bahasa Madura Indonesia93, bungo berarti ungu atau biru. Jadi,
orang Madura menganggap warna bhiru ‘biru’ adalah bagian dari warna
ungu, begitupun sebaliknya sehingga keberadaan leksem bungo dianggap
dapat menggantikan keberadaan dua warna. Sebagai contoh penggunaan
92 Penuturan informan: Bapak Taufiq, usia 59 tahun. 93 Menurut Pawitra (2009: 92).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 220
leksikon bungo terbukti dapat digantikan dengan leksikon lain yaitu
bhiru dalam bhiru terong ‘biru terong’. Frasa bhiru terong bermakna
ungu karena terdapat atribut terong yang melekat di dalamnya. Oleh
karena itu, salah satu fungsi dari adanya atribut dalam nama warna ialah
untuk membedakan antara leksem warna yang memiliki bentuk
pengucapan sama.
Ketiga, walaupun orang Madura menggunakan leksikon bu-abu
untuk merujuk warna abu-abu, sebenarnya orang-orang Madura kuno
lebih familier menyebut abu yang bermakna abu tungku. Jadi, warna
abu-abu mengacu pada abu yang dihasilkan dari pembakaran kayu pada
tungku ketika memasak sebab masih banyak orang Madura yang
memasak menggunakan alat tradisional tungku hingga saat ini. Dengan
begitu, penggunaan leksikon abu-abu tidak begitu luas seperti warna-
warna lainnya karena acuannya terbatas.
Selanjutnya, orang Madura terkenal menyukai warna-warna
mencolok. Ada beberapa faktor yang mendasari kegemaran orang
Madura tersebut, pertama jika dilihat dari letak geografisnya, daratan
Madura sangat dekat dengan bibir pantai, tanahnya gersang, dan curah
hujannya rendah. Hal ini mengakibatkan cuaca di Pulau Madura sangat
panas sehingga masyarakatnya suka mengenakan pakaian atau atribut
warna-warna mencolok agar tidak menyerap sinar matahari. Ternyata,
hitam menyerap warna dan menciutkan ukuran karena hitam menyerap
cahaya94. Oleh sebab itu, masyarakat Madura di Kab. Sumenep meyakini
jika menggunakan pakaian berwarna mencolok akan mengurangi tingkat
kepanasan udara. Faktor kedua ialah warna mencolok merepresentasikan
karakter orang Madura
Pertama, kegemaran orang Madura dalam mengenakan warna-
warna mencolok merepresentasikan diri mereka sebagai seorang
pemberani. Pemberani yang dimaksud adalah bersifat tegas dalam
membela kebenaran dan harga diri. Namun, hal ini justru disalahartikan
oleh masyarakat luar yang menilai orang Madura sebagai pribadi yang
94 Dikutip dari buku Warna: Teori dan Kreativitas Penggunaanya (Darmaprawira, 2002: 59).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 221
keras dan selalu merujuk pada kekerasan atau suka berbuat onar.
Sebenarnya, kerasnya orang Madura adalah tegas. “Jadi kalau orang
Madura itu punya filosofis lebih baik putih tulang dari pada putih mata.
Artinya, orang Madura ini tidak pernah mau mengganggu siapapun.
Tetapi begitu juga sebaliknya, kalau harga dirinya juga dilecehkan,
maka akan muncul Maduranya, siapapun itu. Jadi, kan kerasnya
pakerres, keras tetapi ada tempatnya di mana digunakan”95. Pembawaan
berani pada orang Madura adalah berani karena benar sehingga mampu
menjadikan orang Madura tersebut sebagai individu yang tegas dalam
menjalani kehidupan. Jika orang lain mengidentikkan karakter keras
orang Madura karena tradisi carok-nya, maka yang perlu diketahui
adalah bahwa carok dilakukan satu lawan satu dengan kesepakatan
kedua belah pihak. Dengan kata lain, carok adalah tindakan pilih-pilih
bulu, bukan penyerangan secara tiba-tiba karena carok memiliki tata cara
khusus. “Madura itu sebenarnya ada filosofisnya. Keras pakerres, gaga’
pasogha’. Pakerres ini artinya kerasnya orang Madura itu tidak keras
kasar, tetapi keras santun, disesuaikan dengan kondisinya seperti apa.
Jadi jangan kita konotasikan dengan carok”96. Selanjutnya jika
dihubungkan dengan warna, menurut salah satu tokoh budayawan
Sumenep97, orang yang wataknya berani dan tegas akan menyukai warna
yang berani dan tegas pula, seperti merah, kuning, hijau, dan biru.
Kedua, kegemaran orang Madura dalam mengenakan warna-warna
mencolok juga merepresentasikan diri mereka sebagai seorang yang
saduhuna ‘apa adanya’ dan tidak mau basa-basi. Jika orang lain berpikir
bahwa warna-warna mencolok yang terlihat saling menabrak itu
kampungan, justru bagi orang Madura hal tersebut adalah penjelmaan
dari sifat apa adanya. Jadi, masyarakat Madura di Kab. Sumenep
meyakini bahwa manusia itu tidak perlu menjadi sosok lain hanya karena
ingin dinilai bagus atau indah di mata sesama manusia, melainkan cukup
menjadi diri sendiri dan apa adanya. Ketiga, warna-warna mencolok
95 Penuturan informan: Bapak Taufiq, usia 59 tahun. 96 Bapak Nurul Hamzah, usia 61 tahun. 97 Penuturan informan: Bapak Akh. Darus, usia 63 tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 222
merepresantikan sikap optimisme dan semangat tinggi untuk menjalani
hidup. Hal tersebut juga berhubungan dengan mobilitas suku Madura
yang tinggi atau gemar merantau untuk mencari nafkah. Kenyataan ini
dapat dibuktikan dengan keberadaan suku Madura yang hampir ada di
setiap penjuru negeri, baik itu berdagang ataupun menyediakan jasa.
Keempat, bagi orang Madura warna-warna mencolok tersebut
terlihat selalu di depan. Hal ini dikarenakan jika ada banyak pilihan
warna, baik warna terang dan warna soft, maka warna terang akan lebih
dulu terlihat. Begitupula dengan orang Madura yang ingin menonjol.
Misalnya ketika ada acara karapan sapi, para pemain musik saronѐn akan
mengenakan pakaian warna-warni agar bisa mencuri perhatian penonton
atau ketika membuat pewarnaan batik para pembatik Madura akan
menggunakan warna-warna terang. Sejalan dengan kegemaran
masyarakat Madura di Kab. Sumenep dengan warna-warna terang, kini
pemerintah daerah Kab. Sumenep juga telah menetapkan warna kuning
dan hijau sebagai warna resmi di Kab. Sumenep sehingga banyak
digunakan dalam arsitektur-arsitektur di pusat kota sebagai ciri khas
warna terang Madura, khususnya Sumenep98.
98 Penuturan informan: Ibu Meinarny Ferdiantina, usia 27 tahun.
Gambar 22. Kain batik Pekandangan
Sumenep, dok. penulis. Gambar 23. Ukiran kayu Karduluk Sumenep,
dok. penulis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 223
2. Makna kultural dari konsep penggunaan warna dalam masyarakat
Madura di Kab. Sumenep
Pada hasil penelitian, penggunaan warna dibagi dalam masyarakat
Madura di Kab. Sumenep menjadi dua jenis, yaitu penggunaan dalam
domain verbal dan nonverbal. Domain verbal yang di dalamnya
ditemukan penggunaan nama warna adalah parѐbhasan ‘peribahasa’, oca’
kѐyasan ‘ungkapan’, dan carѐta rakyat ‘cerita rakyat’. Selanjutnya,
domain nonverbal yang di dalamnya terdapat makna khusus dari
penggunaan warna adalah rapè’ ‘pakaian bagian atas’ tari Muwang
Sangkal, lâ-jhilâ ‘ikat pinggang’ tari Muwang Sangkal, bherrâs konѐng
‘beras kuning’ tari Muwang Sangkal, kalambhi ‘pakaian’ tari Ratib,
topeng tokoh Gatot Kaca, topeng tokoh Kresna, topeng tokoh Arjuna,
topeng tokoh Subadra, topeng tokoh Semar, bangunan keraton Labâng
Mѐsem ‘pintu tersenyum’, alat transportasi bhâdhân ‘badan perahu’,
cangghi ‘penutup sesajen’ pada ritual Nyadhar, racok saѐbu ‘pakaian
Gambar 25. Hiasan di titik 0 kilometer Kab.
Sumenep, dok. penulis. Gambar 24. Pemain musik Saronѐn, dok.
Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan
Olahraga Kab. Sumenep
Gambar 26. Logo ‘Selamat Datang’ di Kab.
Sumenep, dok. penulis.
Gambar 27. Taman kota Kab. Sumenep, dok.
penulis.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 224
seribu warna’ pada ritual Nyadhar, pakaian adat pernikahan leghâ, dan
kuliner tajhin sanapora atau lѐma’ bârna ‘bubur lima warna’.
Dari kesembilan warna yang dikenal oleh masyarakat Madura di
Kab. Sumenep, hanya ada 5 warna yang digunakan dalam domain verbal
tersebut, antara lain potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’, bhiru
‘hijau’ dan konѐng ‘kuning’. Lalu, ada 6 warna yang digunakan dalam
domain nonverbal, antara lain potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’,
bhiru ‘hijau’, konѐng ‘kuning’, dan sokklat ‘cokelat’. Hasil penelitian di
lapangan membuktikan bahwa tidak semua warna memiliki makna dalam
penggunaannya baik dalam domain verbal maupun nonverbal. Hal ini
dikarenakan warna terbagi menjadi 2 jenis, yaitu warna motivasi dan
warna nonmotivasi. Warna motivasi adalah warna yang digunakan
dengan maksud tertentu atau warna yang dianggap memiliki makna oleh
penggunanya. Sebaliknya, makna nonmotivasi adalah warna yang
digunakan hanya untuk unsur estetika (keindahan) atau tanpa makna. Di
dalam domain verbal, warna nonmotivasi terdiri dari sokklat ‘cokelat’,
bhiru ‘biru’, bhiru ‘hijau’, bungo ‘ungu’, dan bu-abu ‘abu-abu’.
Selanjutnya, warna nonmotivasi pada domain nonverbal terdiri dari bhiru
‘biru’, bungo ‘ungu’, dan bu-abu ‘abu-abu’.
Setiap warna yang sama jika digunakan dalam jenis domain verbal
maupun nonverbal berbeda belum tentu memiliki makna kultural yang
sama pula. Dengan kata lain, tiap warna memiliki ciri khas atau makna
khusus yang disesuaikan dengan atribut yang melekat pada warna utama
serta konteks dari penggunaan warna yang turut mempengaruhi pesan
yang ingin disampaikan. Berikut adalah perbandingan makna tiap warna
dalam domain verbal dan nonverbal.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 225
Tabel 10. Perbandingan makna kultural warna pada domain verbal dan
nonverbal
Warna Domain
Verbal Nonverbal
Potѐ ‘putih’
-
Berbudi pekerti
Tanah kapur
Menyatu dengan
alam
Bersih
Suci
Potѐ tolang
‘putih tulang’ Mati
-
Potѐ mata ‘putih
mata’ Malu
-
Potѐ kapor
‘putih kapur’ Suci
-
Konѐng ‘kuning’ Berhasil
Kecantikan fisik
Kecantikan
perilaku
Sinar matahari
Keberhasilan
duniawi
Keramahan
Burung
kepudang
Hati yang bersih
Konѐng kalak
‘kuning kalak’ Rupawan
-
Konѐng mondhu
‘kuning mundu’ Kulit cerah
-
Celleng ‘hitam’ Tidak bermoral Hati manusia
Yang Maha
Kuasa
Musim
penghujan
Celleng
mangghis ‘hitam
manggis’
Kulit gelap -
Bhiru ‘hijau’ Pendiam Bumi
Unsur
kerohanian
Dedaunan
Baik atau bagus
Mѐra ‘merah’ Logam Keberanian
Matahari
Kehidupan
Nafsu amarah
Sari bunga
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 226
Berusaha
Sokklat ‘cokelat’ - -
Sokklat towa
‘cokelat tua’ -
Tanah tempat
manusia berpijak
Sokklat ngodâ
‘cokelat muda’ -
Musim kemarau
Selain makna pada warna-warna di atas, dalam bahasa Madura di
Kab. Sumenep juga terdapat gabungan dua warna yang memiliki makna
kultural berbeda dengan warna dasarnya. Makna gabungan warna
tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
Tabel 11. Perbandingan makna kultural gabungan warna pada domain
verbal dan nonverbal
Gabungan Warna Domain
Verbal Nonverbal
Potѐ ‘putih’ + celleng
‘hitam’ Kekuasaan
-
Mѐra ‘merah’ +
konѐng ‘kuning’ -
Bahagia
Mѐra ‘merah’ + bhiru
‘hijau’ -
Marah
Mѐra bâlurik ‘putih
bintik-bintik merah’ - Pegantian musim
dari hujan ke
kemarau
Dari data di atas dapat dilihat jika satu lingual warna dapat
memiliki makna yang bertentangan atau berbeda. Misalnya, dalam
peribahasa lebbi bhâgus potѐ tolang ѐtembhâng potѐ mata ‘lebih baik
putih tulang daripada putih mata’, warna potѐ ‘putih’ yang mendapatkan
atribut tolang ‘tulang’ bermakna ‘mati’, sedangkan dalam peribahasa tѐ-
potѐanna kapor salaghi bâ’âng ‘seputih-putihnya kapur tetap ada
pahitnya’, warna potѐ ‘putih’ yang mendapatkan atribut kapor ‘kapur’
bermakna ‘suci’. Begitu pula dengan penggunaan warna dalam domain
nonverbal. Misalnya, warna konѐng ‘kuning’ pada bherrâs konѐng ‘beras
kuning’ bermakna ‘sinar matahari’, sedangkan warna konѐng ‘kuning’
pada baju adat pernikahan leghâ bermakna ‘burung kepudang’. Selain
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 227
itu, ada juga warna yang maknanya berlawanan di dalam domain yang
berbeda, misalnya warna celleng ‘hitam’ dalam domain verbal bermakna
‘tidak bermoral’, sebaliknya warna celleng ‘hitam’ dalam domain
nonverbal bermakna ‘Tuhan’.
Perbedaan makna dalam warna yang sama disebabkan oleh
beberapa faktor. Zhāng Wàngxī99 menyebutkan ada 2 faktor yang
mempengaruhi hal tersebut, pertama manusia memiliki pikiran yang
berlawanan ketika dihadapkan dengan lingkungan luar. Kedua, warna
sendiri memiliki sifat yang berlawanan. Warna terdiri dari tiga elemen
yang merupakan komposisi dari satu warna, yaitu gelombang warna,
kejenuhan warna, dan intensitas warna. Misalnya, warna kuning memiliki
intensitas sinar yang tinggi, maka akan berdampak dapat membuat orang
merasa tinggi, mulia, dan penuh harapan. Namun, di sisi lain warna
kuning memiliki gelombang warna yang pendek sehinga warna tersebut
tidak mudah dilihat daripada gelombang warna panjang seperti merah.
Akibatnya, warna kuning juga dapat membuat orang merasa gagal, sakit,
dan sebagainya.
Selain itu, juga diyakini ada beberapa faktor eksternal bahasa yang
mempengaruhi munculnya makna kultural pada warna-warna tersebut.
Pertama, faktor sejarah. Sejak zaman dahulu bangunan Keraton Sumenep
bernuansa kuning. Keraton sendiri merupakan tempat kediaman para raja
dan keluarganya selama memerintah di Sumenep. Dengan begitu, salah
satu makna kultural dari warna konѐng ‘kuning’ yang dipercaya oleh
masyarakat Sumenep ialah keberhasilan duniawi. Hal ini dikarenakan
para raja umumnya memiliki hidup yang nyaman dengan harta yang
berlimpah serta memiliki kekuasaan yang besar. Kemudian, di Kab.
Sumenep sendiri terdapat legenda Dewi Saini yang mendapatkan julukan
sebagai Putri Kuning karena merupakan seorang putri raja dengan paras
dan perilaku yang rupawan sehingga makna kultural lain dari warna
konѐng ‘kuning’ mengacu pada kecantikan seseorang.
99 Dalam penelitiannya berjudul Makna Konotasi Warna (dalam Yunyu, 2015: 263).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 228
Faktor kedua adalah pengaruh lingkungan atau benda-benda sekitar
yang familer dengan masyarakat Madura di Kab. Sumenep Misalnya,
warna potѐ ‘putih’ memiliki makna ‘Madura tanah kapur’ karena
keadaan tanah di Madura sebagian besar tersusun dari batu kapur dan
batu tersebut banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti
untuk pewarnaan tembok rumah, pewarnaan perahu, dan juga sebagai
bahan membuat kapur sirih pinang. Kemudian, warna bhiru ‘hijau’
memiliki makna ‘bumi’ dan ‘dedaunan’ karena kehidupan masyarakat
Madura di Kab. Sumenep sangat dekat dengan alam, warna sokklat
‘cokelat’ memiliki makna ‘tanah’ dan ‘musim kemarau’ karena salah satu
tanda dari musim kemarau ialah dedaunan yang mulai mengering dan
berwarna cokelat, warna konѐng ‘kuning’ bermakna ‘sinar matahari’ dan
bulu pada ‘burung kepudang’, serta warna mѐra ‘merah’ menyerupai
putik bunga yang menyimpan ‘sari bunga’. Faktor ketiga adalah
pengaruh spiritual yang diyakini oleh masyarakat Madura di Kab.
Sumenep. Misalnya, warna bhiru ‘hijau’ bermakna unsur kerohanian dan
keakhiratan karena warna tersebut sama dengan kain penutup keranda
ketika mengantarkan jenazah pada peristirahatan terakhir.
Faktor keempat adalah pengaruh kebudayaan luar. Misalnya, warna
bhiru ‘hijau’ dimaknai sebagai sesuatu yang baik atau bagus karena
masyarakat Madura di Kab. Sumenep meminjam makna dari kosakata
yang hampir menyerupai penyebutan bhiru dalam bahasa Madura
tersebut dengan al-birr dalam bahasa Arab yang artinya ‘kebajikan’. Jadi,
di antara keempat warna identik yang dipegang teguh oleh orang Madura
khususnya di Kab. Sumenep, bhiru tidak memiliki keratabasa seperti
lainnya. Oleh sebab itu, untuk tetap memberikan makna khususnya
makna yang positif agar dapat dijadikan bagian dari prinsip hidup seperti
warna lainnya, maka dicarilah kosakata dalam bahasa lain yang
menyerupai bhiru, yaitu al-birr ‘kebajikan’. Jadi, bukan leksem bhiru
berasal dari bahasa Arab, melainkan maknanya dipinjam dari kosakata
sejenis dari bahasa Arab. Peminjaman makna dari bahasa Arab ini dapat
disebabkan karena setelah menganut animisme pada zaman purba kala,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 229
masyarakat Madura secara luas mengenal Islam sejak pada abad ke XV
bahkan pada abad XVI kerajaan-kerajaan Islam sempat bejaya di
Madura. Lalu, dari situlah bahasa Madura menyerap ratusan kosakata
dari bahasa Arab (Kiliaan, 1904-1905) terutama dalam istilah keagamaan
(monajat ‘munajat’, molod ‘maulid’, mortad ‘murtad’, dll). Dengan kata
lain, ketika warna bhiru itu belum memiliki makna khusus, maka bahasa
lain pertama yang dicari padanannya adalah bahasa Arab karena
pengaruh keislaman yang sangat kuat. Hal ini sesuai dengan pendapat
Rifai (2007: 44) yang menyatakan bahwa berkembangnya ungkapan,
peribahasa, atau kosakata yang bernuansa atau mengacu pada makna
keislaman dalam jumlah banyak adalah sebagai bentuk penghayatan dan
pengamalan mereka (masyarakat Madura) yang membudaya dan
melembaga terhadap agamanya (Islam).
Faktor kelima adalah pengaruh warna-warna identik orang Madura
yang berhubungan dengan prinsip hidup mereka, biasanya disebut
sebagai abârna lèma’ ‘berwarna lima’100. Warna pertama ialah konѐng
‘kuning’. Dalam keratabasa bahasa Madura di Kab. Sumenep, konèng itu
kolbu sè bennèng ‘hati yang bersih’. Ketika orang memiliki hati yang
bersih, baik dia adalah orang kecil atau besar, tua atau muda, maka
hidupnya akan moljâ ‘mulia’ dan berkah. Warna kedua ialah potѐ ‘putih’.
Bagi masyarakat Madura di Kab. Sumenep, warna potѐ ‘putih’ dikaitkan
dengan potѐ atѐ ‘putih hati’ yang bermakna penter soccè budhi tèngghi
ajhilarang kakabhi monjhung ‘pintar, suci, dan berbudi pekerti tinggi’.
Warna ketiga ialah mѐra ‘merah’. Dalam keratabasa bahasa Madura di
Kab. Sumenep, mѐra itu maranta pangara ‘mempersiapkan segela
sesuatu’ atau ‘berusaha’. Oleh sebab itu, orang Madura harus memiliki
semangat tinggi dan jiwa pemberani dalam menjalani hidup, terutama
menafkahi diri serta keluarga. Jadi, orang Madura tidak boleh berpangku
tangan, melainkan abhântal ombâ’ asapo’ angѐn ‘berbantal ombak
berselimut angin’, yaitu bekerja keras. Hal tersebut dikarenakan sapa sè
atanè atana’, sapa sè adagang adaging ‘siapa yang bertani akan
100 Penuturan informan: Bapak Taufiq, usia 59 tahun.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 230
menanak nasi, siapa yang berdagang akan memakan daging’. Dengan
kata lain, tidak ada proses yang mengkhianati hasil. Manusia harus
berikhtiar dan semangat jika ingin memperoleh sesuatu. Warna keempat
ialah celleng ‘hitam’. Bagi masyarakat Madura di Kab. Sumenep, celleng
terdiri dari dua suku kata, yaitu cel yang bermakna celleng ‘hitam’ dan
pel singkatan dari pelleng yang bermakna ‘menuju kepada Yang Maha
Kuasa’. Selain itu, warna celleng ‘hitam’ juga dimaknai sebagai ‘hal
buruk’ karena hitam mengacu pada hitamnya hati manusia yang penuh
dosa. Terakhir ialah warna bhiru yaitu ‘hijau’ atau ‘biru’. Menurut salah
satu informan, makna leksem bhiru diambil dari bahasa Arab yang
hampir menyerupai penyebutan bhiru dalam bahasa Madura yaitu al-birr
yang artinya ‘kebajikan’ serta assobhiru yang artinya ‘sabar’ dalam
menerima segala ujian Tuhan. Dari penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa warna dapat mencerminkan makna kultural dan tèn-
atènna ‘karakter hidup’ orang Madura. Terlebih, warna yang tersimpan
di dalam domain verbal dijadikan sebagai pedoman dalam bersifat dan
berperilaku101.
Selanjutnya, selain faktor eksternal bahasa, munculnya makna
konotasi atau makna kultural yang beragam dalam satu warna juga bisa
disebabkan oleh faktor internal bahasa itu sendiri. Yunyu (2015) dalam
penelitiannya menjelaskan jika makna denotasi dapat sedikit demi sedikit
merujuk dan membentuk makna konotasi baru. Untuk membuktikan hal
tersebut, nama-nama warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep
tururt mengaplikasikan pernyataan tersebut. Warna konѐng ‘kuning’
memiliki makna denotasi sebagai warna yang serupa dengan warna
kunyit atau emas murni. Dari makna tersebut muncul pola pemikiran
baru bahwa emas murni adalah sesuatu yang berharga dan tidak semua
orang mampu membelinya karena harganya yang mahal. Dengan kata
lain, orang-orang yang memiliki kemampuan finansial lebih dapat
membeli emas murni. Bagi masyarakat Madura di Kab. Sumenep,
keberhasilan membeli emas murni, bahkan hingga mampu
101 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 236).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 231
mengoleksinya adalah salah satu bentuk keberhasilan duniawi atau
kesuksesan. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan makna
warna kuning, yaitu:
kuning emas; emas keberhasilan duniawi
Contoh lainnya, warna mѐra ‘merah’ memiliki makna denotasi
sebagai warna dasar yang serupa dengan warna darah. Dari makna
tersebut muncul pola pemikiran baru bahwa darah bisa muncul karena
adanya pertumpahan darah yang disebabkan oleh peperangan. Dalam
berperang seorang kesatria harus terus berusaha keras di medan perang
dan memiliki keberanian untuk melawan musuh walaupun nyawa
menjadi taruhannya. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan
makna warna merah, yaitu:
merah darah; darah peperangan; peperangan berusaha
keberanian
Dari penjelasan di atas dapat diketahui jika makna konotasi
maupun kultural dalam warna dipengaruhi oleh faktor eksternal dan
internal bahasa. Hal ini juga sesuai dengan teori psikologi warna oleh
David (1987) yang menjelaskan bahwa manusia memiliki cara dalam
melihat warna kemudian mengolahnya di otak dan mengekspresikannya.
Warna dapat mengekspresikan isi hati dan kepala manusia. Selain itu,
warna memiliki arti perlambangan yang spesifik dan bervariasi mulai
dari situasi sosial yang satu ke situasi sosial yang lainnya102.
102 Dikutip dari buku Warna: Teori dan Kreativitas Penggunaanya (Darmaprawira, 2002: 39).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 232
3. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya penamaan warna
dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep
Dari hasil penelitian, dipetakan faktor-faktor yang menyebabkan
munculnya penamaan warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep
menjadi 4 faktor, yaitu (1) faktor geografis kedekatan masyarakat Madura
di Kab. Sumenep dengan alam, (2) faktor kemasyarakatan
matapencaharian masyarakat Madura di Kab. Sumenep, (3) faktor
spiritual keislaman masyarakat Madura di Kab. Sumenep, dan (4) faktor
tradisi yang dilakukan masyarakat Madura di Kab. Sumenep.
Pandangan Sapir menyatakan bahwa analisis terhadap kosakata
suatu bahasa sangat penting untuk menguak lingkungan fisik dan sosial di
mana penutur bahasa bermukim103. Dengan kata lain, terbentuknya
kosakata dalam suatu bahasa dapat dipengaruhi oleh wilayah dan
lingkungan hidup penuturnya. Misalnya, leksikon warna bu-abu busok
‘abu-abu kucing busok’ tidak akan dipahami oleh masyarakat luar Madura
karena kucing busok adalah kucing khas Sumenep tepatnya dari Pulau
Raas yang hanya berada di Sumenep. Contoh lainnya, suku Madura yang
dekat dengan alam mengakibatkan perbendaharaan nama warna
didominasi oleh warna yang beratribut tumbuhan. Selain pada suku
Madura, suku Eskimo yang wilayah tempat tinggalnya di kutub memiliki
perbendaharaan nama warna yang berlimpah dengan atribut es dan salju,
penduduk padang pasir memiliki perbendaharaan nama warna yang cukup
banyak pada rentang warna kuning hingga cokelat yang mendekati warna
pasir, dan suku Maori di Selandia Baru memiliki lebih dari seratus nama
warna untuk merah serta perbendaharaan yang banyak mengenai warna
tumbuhan. Dengan begitu, perkembangan lingkungan budaya masyarakat
ternyata mempengaruhi perkembangan ‘kamus warna’104.
Menurut Yunyu (2015), cara pertama dan terpenting yang
digunakan oleh manusia untuk mendeskripsikan warna adalah dengan
meminjam benda yang ada di sekitarnya untuk membentuk warna
103 Dikutip dari buku Kearifan Lokal dalam Bahasa dan Budaya Jawa (Abdullah, 2017: 49). 104 Dikutip dari buku Warna: Teori dan Kreativitas Penggunaanya (Darmaprawira, 2002: 52).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 233
spesifik. Oleh sebab itu, selain kedekatan secara geografis, aktifitas
keseharian manusia juga dapat mempengaruhi pembentukan nama warna.
Misalnya, orang-orang yang berprofesi sebagai petani akan cenderung
melekatkan atribut-atribut dari tanaman yang setiap hari ditemui untuk
membentuk nama warna. Sebaliknya, orang-orang yang berprofesi
sebagai ibu rumah tangga cenderung membentuk nama warna dari benda-
benda di lingkungan rumah yang juga familier dengan mereka. Oleh
sebab itu, di dalam bahasa tersimpan nama-nama berbagai benda yang ada
di lingkungan manusia, sebab melalui proses ini manusia lantas dapat
menciptakan keteraturan dalam persepsinya atas lingkungan105. Selain itu,
dari nama-nama benda yang digunakan tersebut dapat diketahui pula
acuan yang digunakan oleh sekelompok masyarakat untuk membuat
penamaan warna.
Bahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam sebuah masyarakat
merupakan hasil pengetahuan atau cognition terhadap lingkungan
sekitarnya. Menurut Goodenough106, sistem kognisi atau cognition
tersebut merupakan kebudayaan yang terdiri dari pengetahuan,
kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota
individual masyarakat. Oleh sebab itu, terbentuknya penamaan warna
juga bisa dipengaruhi oleh tradisi dan kepercayaan spiritual dari
masyarakat tuturnya. Dalam ranah tradisi, jika masyarakat tidak
menjalankan tradisi tersebut, maka tidak akan muncul pemahaman
mengenai kosakata yang digunakan, misalnya warna cokklat sapѐ ‘cokelat
sapi’ dan bhiru calattong ‘hijau kotoran sapi’ yang digunakan oleh
masyarakat Madura di Kab. Sumenep. Hal tersebut dikarenakan sapi
adalah hewan yang menjadi bagian hidup dari orang Madura, mulai dari
untuk membajak sawah, diperjualbelikan, hewan aduan kerapan sapi,
hingga bukti status sosial seorang individu di Madura. Begitu pula perihal
kepercayaan, masyarakat Madura di Kab. Sumenep yang mayoritasnya
beragama muslim dan mengikuti organisasi keislaman Nadlatul Ulama
(NU) memberikan dampak kepada bahasa yang mereka gunakan,
105 Dikutip dari buku Kearifan Lokal dalam Bahasa dan Budaya Jawa (Abdullah, 2017: 49). 106 Dikutip dari buku Tubuh dan Bahasa (Istiyani, 2004: 23).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 234
misalnya pada leksikon warna bhiru patayat ‘hijau fatayat’ yang
mendeskripsikan salah satu bagian dari organisasi NU tersebut.
Jadi, bahasa mampu mendeskripsikan bagaimana pandangan hidup
masyarakat terhadap budayanya sebab jalan paling mudah untuk
memahami suatu kebudayaan adalah melalui bahasa, terutama melalui
daftar kosakata yang ada di dalam suatu bahasa, seperti daftar nama
warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep ini. Hal tersebut juga
diperkuat oleh Masinawbow (1997) yang menyatakan bahwa tiap leksem
merupakan representasi dari satu unit pengetahuan budaya yang disebut
sebagai konsep budaya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 235
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Bab penutup ini berisi simpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah
dilakukan. Adapun deskripsi lengkap simpulan dan saran dari hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut.
A. Simpulan
1. Masyarakat Madura di Kab. Sumenep mengenal 9 nama warna yaitu potѐ
‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’, bhiru ‘hijau’, konѐng ‘kuning’,
dan sokklat ‘cokelat’, serta 3 warna nondasar yaitu bhiru ‘biru’, bungo
‘ungu’, dan bu-abu ‘abu-abu’. Dari kesembilan warna tersebut ditemukan
205 warna turunan dengan atribut adjektiva, nomina, dan verba. Atribut
yang paling mendominasi ialah atribut nomina tumbuhan yang secara
sosiokultural merepresentasikan kedekatan masyarakat Madura di Kab.
Sumenep dengan alam, baik secara letak geografis maupun
matapencahariannya. Masyarakat Madura di Kab. Sumenep merujuk
sebuah warna menggunakan benda-benda yang sangat familier dan dekat
dengan mereka. Selain itu, atribut-atribut yang melekat pada nama warna
juga memiliki fungsi (1) untuk membedakan antara leksem warna yang
memiliki bentuk pengucapan sama, dan (2) sebagai alat bantu untuk
merepresentasikan kehidupan sosial dan budaya dari penuturnya.
2. Makna kultural dari konsep penggunaan warna dalam masyarakat
Madura di Kab. Sumenep dibagi menjadi domain verbal dan nonverbal.
Terdapat 5 warna yang digunakan dalam domain verbal, antara lain potѐ
‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’, bhiru ‘hijau’ dan konѐng
‘kuning’. Lalu, ada 6 warna yang digunakan dalam domain nonverbal,
antara lain potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’, bhiru ‘hijau’,
konѐng ‘kuning’, dan sokklat ‘cokelat’. Warna yang memiliki makna
tersebut adalah warna motivasi, sedangkan warna yang tidak ditemukan
adalah warna nonmotivasi yang penggunaannya hanya sebagai unsur
estetika. Setiap warna yang sama jika digunakan dalam jenis domain
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 236
berbeda belum tentu memiliki makna kultural yang sama pula.
Beragamnya makna dalam satu warna dapat disebabkan oleh faktor
eksternal dan internal bahasa. Faktor eksternal berupa (1) pola pikir
manusia, (2) sifat warna, (3) sejarah, (4) lingkungan, (5) spiritual, (6)
kebudayaan asing, dan (7) warna-warna identik yang dikenal masyarakat
Madura di Kab. Sumenep. Selanjutnya, faktor internal bahasa berupa
hubungan makna denotasi dalam pembentukan makna baru (makna
kultural).
3. Terdapat empat faktor yang menyebabkan munculnya penamaan warna
dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep, yaitu (1) kedekatan masyarakat
Madura di Kab. Sumenep dengan alam, (2) matapencaharian masyarakat
Madura di Kab. Sumenep, (3) spiritual keislaman masyarakat Madura di
Kab. Sumenep, dan (4) tradisi yang dilakukan masyarakat Madura di
Kab. Sumenep. Manusia cenderung meminjam atau mengacu pada
benda-benda yang sering ditemui di sekitarnya untuk mendeskripsikan
sebuah warna secara spesifik. Selanjutnya, bahasa yang dimiliki oleh
seseorang dalam sebuah masyarakat merupakan hasil pengetahuan atau
cognition terhadap lingkungan sekitarnya. Sistem kognisi atau cognition
tersebut merupakan kebudayaan yang terdiri dari pengetahuan,
kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota
individual masyarakat. Oleh sebab itu, selain wilayah dan
matapencaharian, terbentuknya penamaan warna juga bisa dipengaruhi
oleh tradisi dan kepercayaan spiritual dari masyarakat tutur.
B. Saran
Hasil penelitian tentang nama-nama warna dalam bahasa Madura di
Kab. Sumenep dari perspektif kajian etnolinguistik ini mengarahkan saran
penelitian seperti berikut.
1. Untuk pemerintah daerah dan masyarakat Madura
Kajian terhadap nama-nama warna dalam bahasa Madura di Kab.
Sumenep ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor salah satunya ialah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 237
kurangnya pengetahuan generasi muda di Pulau Madura dalam
menggunakan kosakata warna sehingga kosakata warna dalam bahasa
Madura tergeser posisinya dengan bahasa Indonesia bahkan bahasa
Inggris. Berdasarkan hal tersebut, disarankan kepada pemerintah daerah
khususnya Dinas Pendidikan agar menambah bahan ajar dalam buku
muatan lokal bahasa Madura salah satunya dengan pengenalan kosakata
warna dalam bahasa Madura. Sebelumnya telah diamati bahwa buku-
buku muatan lokal bahasa Madura tingkat SD dan SMP di Kab. Sumenep
belum diberikan materi perihal kosakata warna ini.
Selanjutnya, penelitian ini diharapkan juga dapat dijadikan
sebagai sarana agar masyarakat Madura khususnya di Kab. Sumenep
dapat menambah khazanah pengetahuan mereka mengenai kosakata
warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep beserta makna kultural
dari penggunaan warna tersebut. Jadi, tidak hanya para sesepuh,
budayawan, atau akademisi sebagai pelaku penelitian yang
mengetahuinya, melainkan seluruh lapisan masyarakat terutama generasi
muda.
2. Untuk peneliti selanjutnya
Penelitian yang dilakukan ini masih memiliki keterbatasan ruang
dan waktu. Oleh sebab itu, penelitian ini diyakini masih bisa terus
dikembangkan dan disempurnakan.
Untuk peneliti selanjutnya yang masih tertarik untuk mengkaji
nama-nama warna dalam bahasa Madura, disarankan agar memperluas
tempat penelitian yaitu Kab. lain di Pulau Madura atau keseluruhan Kab.
di Madura yang masih belum diteliti. Dengan begitu, selain
menyempurnakan penelitian yang sudah ada, hasil penelitian terbaru
nantinya dapat dijadikan perbandingan untuk mencari ragam bahasa dan
budaya di Pulau Madura, yaitu dari segi penggunaan kosakata warna dan
makna kultural penggunaan warna dari masyarakatnya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 238
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Wakit. 2017. Kearifan Lokal dalam Bahasa dan Budaya Jawa
Masyarakat Nelayan di Pesisir Selatan Kebumen (Sebuah Kajian
Etnolinguistik). Surakarta: UNS Press.
Ahimsa-Putra, Heddy S. 1985. “Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah
Perbandingan Masyarakat Indonesia”. Jurnal Masyarakat Indonesia,
Vol.2, No.12, hlm. 103-133.
____________________. 1997. “Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian”. Temu
Ilmiah Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: 26-27 Maret 2018.
____________________. 2003. “Etnosains Mengungkap Pengetahuan
Masyarakat Pedesaan”. Dinamika Pedesaan dan Kawasan, Vol. 4, No. 4,
hlm. 34-35.
____________________. 2007. “Etnosains Untuk Etnokoreologi Nusantara
(Antropologi dan Khasanan Tari)”, hlm. 86-110. dalam Pramutomo
(edt.). Etnokoreologi Nusantara (Batasan Kajian, Sistematika, dan
Aplikasi Keilmuannya). Surakarta: ISI Press.
____________________. 2009. “Bahasa, Sastra, dan Kearifan Lokal di
Indonesia”. Jurnal Mabasan, Vol.3, No.1, hlm. 30-57.
Ahmad, Zainollah. 2018. Babad Modern Sumenep Sebuah Telaah Historiografi.
Yogyakarta: Araska.
Amrullah. 2015. “Islam di Madura”. Jurnal Islamuna, Vol.2, No.1, hlm. 57-69.
Azhar, Iqbal. 2017. “Prinsip-Prinsip Hidup Masyarakat Madura seperti Terkisah
dalam Cerita Rakyatnya”. Jurnal Atavisme, Vol.20, No.2, hlm. 224–236.
Baehaqie, Imam. 2014. “Jenang Mancawarna Sebagai Simbol Multikulturalisme
Masyarakat Jawa”. Jurnal Komunitas, Vol.6, No.1, hlm. 180-188.
Bappeda Jatim. 2013. Kab. Sumenep. Diakses 30 Juni 2018, dari
http://bappeda.jatimprov.go.id/bappeda/wp-content/uploads/potensi-kab-
kota-2013/kab-sumenep-2013.pdf.
Bascom, William. 1965. “Four Function of Folklore”. The Journal of American
Folklore, Vol.67, No.226, hlm. 333-349.
Berlin, B. dan Kay, P. 1969. Basic Color Terms: Their Universality and
Evolution. Berkeley: University of California Press.
Budaya Indonesia. 2012. Kenalkan Wajahku Pada Mereka. Diakses 23 Juli 2019,
dari http://lakoci234.blogspot.com/2012/11/face-of-indonesia.html.
Budiono, Satwiko. 2016. “Klasifikasi Warna Masyarakat Betawi di Marunda,
Jakarta Utara”. Jurnal Sirok Bastra, Vol.4, No.2, hlm. 101-110.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 239
Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: PT Grafiti.
Darmaprawira, Sulasmi. 2002. Warna Teori dan Kreativitas Penggunaannya.
Bandung: Penerbit ITB.
Darmojuwono, Setiawati. 1989. “Pengaruh Klasifikasi Semantis Bidang Warna
Kepada Persepsi Manusia”. Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia,
Vol.7, No.14, hlm. 31-43.
Davis, Marian. 1987. Visual Design in Dress. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Dinas Komunisasi dan Informatika Kab. Sumenep. 2017. Pemerintah Kab.
Sumenep: Letak Geografis. Diakses 11 Agustus 2019, dari
http://sumenepkab.go.id/page/letak-geografis.
De Jonge, Huub. 2011. Garam Kekerasan dan Aduan Sapi. Yogyakarta: LKiS
Printing Cemerlang.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Devianty, Rina. 2017. “Bahasa Sebagai Cermin Kebudayaan”. Jurnal Tarbiyah,
Vol.24, No.2, hlm. 226-245.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistics Anthropolgy. New York: Cambridge
University Press.
Dyen, Isidore. 1962. “The Lexicostatistical Classification of the
Malayopolynesian Languages”. Language Journal, Vol.38, No.1, hlm.
38-46.
Faizin, Nur. 2018. Menakar Masa Depan NU di Madura. Diakses 13 Agustus
2019, dari http://www.jurnas.com/artikel/31972/Menakar-Masa-Depan-
NU-di-Madura/.
Farhia, Mita, dan Laura. 2014. “Analisis Asosiasi Kultural Atas Warna”. Jurnal
Humaniora, Vol.5, No.1, hlm. 172-184.
Fiandarti, Y. dan Bastari. 2009. Kosa Kata Bahasa Madura Lengkap. Surabaya:
Karya Simpati Mandiri.
Foley, William. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. London:
Oxford Blackwell.
Gazali, Moehnilabib, Abdul, Sasmidi, dan Nuril. 1979. Morfologi Sintaksis
Bahasa Madura. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Goodenough, Ward H. (1957). Cultural Anthropology and Linguistics, hlm. 167-
177. dalam P. L. Garvin (edt.). Report of the Seventh Round Table
Meeting on Linguistics and Language Study. Washington, DC:
Georgetown University Press.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 240
Haryono, Akhmad. 2014. “Kisah Ulama/Kiai Sebagai Strategi Penyampaian
Pesan Warga Nadhlatul Ulama Etnik Madura”. Jurnal Humaniora,
Vol.26, No.3, hlm. 337-350.
Hassan, A. dan Mohd, A. 2006. Koleksi Terindah Peribahasa Melayu. Kuala
Lumpur: PTS Millennia Sdn. Bhd.
Hidayat, Rahayu. 2004. Semiotika Budaya. Depok: UI Press.
Indra, Yulino. 2017. “Analisis Semantik Metafora Warna Bahasa Minangkabau”.
Jurnal Metalingua, Vol.5, No.1, hlm. 117-128.
Iptika, Amalisa. 2014. “Keterkaitan Kebiasaan dan Kepercayaan Mengunyah
Kapur Sirih Pinang dengan Kesehatan Gigi”. Jurnal Universitas
Airlangga, Vol.3, No.1, hlm. 64-69.
Istiyani, Chatarina. 2004. Tubuh & Bahasa. Yogyakarta: Galang Press.
Kamus Lengkap. 2019. Madura-Indonesia. Diakses 17 Juli 2019, dari
https://kamuslengkap.com/kamus/madura-indonesia/arti-
kata/n%C3%A8ng-kon%C3%A8ng-kalak-tekkaa-kon%C3%A8ng-
katolak.
_______________. 2019. Madura-Indonesia. Diakses 16 April 2019, dari
https://kamuslengkap.com/kamus/madura-indonesia/arti-kata/celleng.
Kaskatayeva dan Mazhitayeva. 2013. “Color Semantics: Linguistic-Cultural
Aspect”. International Journal of Language and Linguistics, Vol.1, No.1,
hlm. 34-37.
Keraf, Gorys. 1990. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta: PT Gramedia.
Knowles, M. dan Moon, R. 2006. Introducing Metaphor. London dan New York:
Routledge Taylor & Francis Group.
Leech, Geoffrey. 2003. Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lontar Madura. 2013. Tradisi Berloberen Harapan Minta Hujan Masyarakat
Langsar. Diakses 24 Juli 2019, dari http://www.lontarmadura.com/ritual-
berloberen-harapan-minta-hujan-masyarakat-langsar/.
MacDonald, Dimitris, dan Galina. 2014. “Gender Differences in Colour Naming”.
Colour Studies: A Broad Spectrum, hlm. 225-239.
Mualisah, Rifathul. 2009. Warna Logam. Diakses 24 Juli 2019, dari
https://rifathul.wordpress.com/2009/02/23/warna-logam-tembaga-perak-
dan-emas/.
Mulyadi, Achmad. 2018. “Memaknai Praktik Tradisi Ritual Masyarakat Muslim
Sumenep”. Jurnal Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, Vol.1,
No.2, hlm. 124-135.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 241
Muslim, Mohammad, dan Ike. 2018. Panduan Wisata Sumenep The Soul of
Madura. Sumenep: Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan
Olahraga.
Moleong, Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Moeliono, Hasan, Soenjono, dan Hans. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Nazaruddin, Kahfie. 2015. Pengantar Semiotika. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nugroho, Eko. 2008. Pengenalan Teori Warna. Yogyakarta: Andi Offset.
Nyamjav, Nansalmaa. 2015. “Color Naming Experiment In Mongolian
Language”. International Journal of Applied Linguistics & English
Literature, Vol.4, No.6, hlm. 58-63.
Odgen, C.K. dan Richards. 1923. The Meaning of Meaning. New York: Harcourt,
Brace, & World, Inc.
Palmer, Garry B. 1999. Toward A Theory of Cultural Linguistics. Austin:
University of Texas Press.
Parera, Jos Daniel. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.
Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Paterson, Ian. 2003. A Dictionary of Colour. London: Replika Press.
Pawitra, Adrian. 2009. Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia. Jakarta: Dian
Rakyat.
Peirce, Charles. 1998. The Essential Peirce Selected Philosophical Writings
(Volume 2 1893-1913). Bloomington: Indiana University Press.
Putri, Nur Awaliyah. 2017. “Metafora Pengungkap Kecantikan dalam Masyarakat
Madura”. Jurnal Etnolingual, Vol.1, No.2, hlm. 73-74.
Poespowardojo, Soerjanto. 1986. Pengertian Local Genius dan Relevansinya
dalam Modernisasi. dalam Ayatrohaedi (edt.), Kepribadian Budaya
Bangsa (Local Genius). Pustaka Jaya, Jakarta.
Rahayu, Santhi. dan Nailin, Naziyah. 2015. “Fatayat NU dalam Aspek
Kemasyarakatan di Surabaya Tahun 1959-1967”. Jurnal Verleden, Vol.3,
No.2, hlm. 175-182.
Rahyono, FX. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama
Widyasastra.
Ratih, Rina. 2016. Teori dan Aplikasi Semiotik Michael Riffaterre. Depok:
Pustaka Pelajar.
Riana, I. Ketut. 2009. Linguistik Budaya: Kedudukan dan Ranah Pengkajiannya,
hlm. 54-82. dalam Windia et al. (edt.), Pemikiran Kritis Guru Besar
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 242
Universitas Udayana Bidang Sastra & Budaya. Udayana University
Press, Bali.
Rifai, Mien Ahmad. 2007. Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar Media.
Sadik, Sulaiman. 2011. “Kearifan Lokal dalam Sastra Madura dan Aplikasinya
dalam Kehidupan Sehari-hari”. Jurnal Okara, Vol.1, No.6, hlm. 88-106.
Saussure, Ferdinand. 1959. Course in General Linguistics. New York: The
Philosophical Library.
Santosa, Riyadi. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif Kebahasaan. Surakarta:
UNS Press.
Saptarini. 2016. Nama Tempat di Jawa Barat yang Berhubungan dengan
Pancaindra: Tinjauan Antropolinguistik. Bandung: Balai Bahasa Jawa
Barat.
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Poda.
_____________. 2013. Folklor Sebagai Media dan Sumber Pendidikan: Sebuah
Ancangan Kurikulum dalam Pembentukan Karakter Siswa Berbasis Nilai
Budaya Batak Toba, hlm. 1-25. dalam Endraswara S (edt.). Folklor
Nusantara Hakikat, Bentuk, dan Fungsi. Yogyakarta: Ombak.
Suhartatik. 2018. “Makna Leksikal Bahasa Madura Keadaan Nelayan di Pesisir
Kepulauan Sumenep”. Jurnal Aksis, Vol.2, No.1, hlm. 107-126.
Supriyadi, Slamet. 2007. “Kesuburan Tanah di Lahan Kering Madura”. Jurnal
Embryo, Vol.4, No.2, hlm. 124-131.
Sekarsari Widi dan Haristiani Nuria. 2016. “Analisis Makna Kanyouku yang
Berkaitan dengan Warna: Kajian Linguistik Kognitif”. Jurnal Pendidikan
Bahasa dan Sastra, Vol.16, No.1, hlm. 96-109.
Subroto, Edi. 2011. Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakarta:
Cakrawala Media.
__________. 2007. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta:
UNS Press.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Sananta
Dharma University Press.
Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya
dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Suyami. 2009. “Cerita Jaka Tole dalam Kehidupan Masyarakat Sumenep
Madura”. Jurnal Patrawidya, Vol.10, No.4, hlm. 887-945.
Suwandi. 2011. Semantik Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta: Media Perkasa.
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 243
Syamsuddin, Muh. 2018. “Orang Madura Perantauan di Daerah Istimewa
Yogyakarta”. Jurnal Aplikasia, Vol.18, No.1, hlm. 1-22.
Tim Penggerak PKK Kab. Sumenep. 2016. Upacara Perkawinan Adat Madura
(Khas Keraton Sumenep). Sumenep: Dinas Kebudayaan, Pariwisata,
Pemuda dan Olahraga.
Teeuw, A. 2002. Kamus Indonesia Belanda. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Verhaar, J.W.M. 2016. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Whorf, Benyamin L. 1956. Language, Thought, and Reality: Selected Writings of
Benyamin Lee Whorf. Massachusetts: Massachusetts Institute of
Technology Cambriedge.
Yulianti, Santy. 2016. “Kosakata Warna Bahasa Sunda (Pendekatan Metabahasa
Semantik alami)”. Jurnal Ranah, Vol.5, No.1, hlm. 74-86.
Yunyu, Xu. 2015. “Warna dalam Bahasa Mandarin dan Bahasa Indonesia: Sebuah
Kajian Linguistik Antropologis”. Disertasi, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.