nama-nama warna dalam bahasa madura di kabupaten …

266
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id i NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN SUMENEP: SEBUAH KAJIAN ETNOLINGUISTIK TESIS Disusun untuk memenuhi sebagai persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Linguistik Minat Utama Linguistik Deskriptif oleh NURUL FADHILAH S111708013 PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2019

Upload: others

Post on 25-Dec-2021

46 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

i

NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA

DI KABUPATEN SUMENEP: SEBUAH KAJIAN ETNOLINGUISTIK

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagai persyaratan mencapai derajat Magister

Program Studi Linguistik

Minat Utama Linguistik Deskriptif

oleh

NURUL FADHILAH

S111708013

PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2019

Page 2: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ii

Page 3: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

iii

Page 4: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

iv

Page 5: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

v

MOTO

Abhântal ombâ’ asapo’ angѐn, alako berrâ’ apello konѐng

‘Berbantal ombak berselimut angin, bekerja berat berpeluh kuning’

(Bekerja keraslah dan selalu berusaha hingga membuahkan hasil)

Bâdâ pakon, bâdâ pakan

‘Ada pekerjaan, ada makanan’

(Barang siapa berusaha, maka akan menuai hasil)

Page 6: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

vi

PERSEMBAHAN

Hasil penelitian tesis ini dipersembahkan kepada:

Masyarakat Madura, khususnya Kabupaten Sumenep

sebagai bentuk kontribusi dalam melestarikan bahasa dan budaya dari tanah

kelahiran tercinta.

Page 7: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis haturkan kepada Allah S.W.T, Tuhan Yang

Maha Pengasih dan Penyayang, karena atas limpahan rahmat, hidayah, dan rida-

Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis yang berjudul “Nama-Nama

Warna dalam Bahasa Madura: Sebuah Studi Etnolinguistik” ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa menyelesaikan penelitian ini tidaklah mudah karena

berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh penulis dan banyaknya rintangan yang

dihadapi. Namun, berbekal usaha, semangat, ketelatenan, dan ketawakalan

kepada Allah S.W.T serta bantuan dari berbagai pihak, akhirnya penulis bisa

melalui segala hambatan yang ada. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan

rasa terima kasih yang tulus kepada:

1. Prof. Dr. Jamal Wihoho, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sebelas

Maret yang telah memberikan izin studi kepada penulis.

2. Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D., selaku Direktur Pascasarjana Universitas

Sebelas Maret beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan

penulis untuk menempuh studi di program pascasarjana ini.

3. Dr. F.X. Sawardi, M.Hum. dan pendahulunya Prof. Drs. M.R. Nababan,

M.Ed., M.A., Ph.D., selaku Kepala Program Studi Linguistik S-2 Program

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret beserta jajarannya yang telah

memfasilitasi aktifitas studi S-2 dan memberikan banyak ilmu, motivasi, dan

bimbingan selama penulis menjadi mahasiswi di jurusan ini hingga selesai.

4. Prof. Dr. Wakit Abdullah Rais, M.Hum., selaku dosen pembimbing pertama

yang telah memberikan banyak waktu, tenaga, dan ilmu untuk membimbing

penulis dengan sabar dari awal hingga selesai. Beliau sangat memotivasi

penulis untuk bersungguh-sungguh dan disiplin dalam menyelesaikan

penulisan tesis ini.

5. Dr. Dwi Purnanto, M.Hum., selaku dosen pembimbing kedua yang juga

turut memberikan banyak waktu, tenaga, dan ilmu untuk membimbing

penulis dengan sabar dari awal hingga selesai. Beliau sangat memotivasi

penulis untuk selalu cermat dalam menuliskan segala hal dalam tesis ini.

6. Dr. Inyo Yoz Fernandez (almarhum), selaku dosen yang pertama kali

Page 8: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

viii

mengenalkan penulis terhadap kajian etnolinguistik. Beliau juga sempat

menjadi dosen pembimbing penulis dan sangat memotivasi agar penulis

terus belajar dengan selalu meminjamkan banyak buku di setiap

pertemuannya.

7. Dr. Miftah Nugroho, M.Hum., selaku sekretaris penguji yang telah banyak

memberikan masukan agar hasil penelitian tesis ini dapat disajikan dengan

lebih baik.

8. Segenap dosen Program Studi Linguistik Deskriptif yang sangat penulis

hormati atas segala ilmu yang telah diberikan selama penulis menjadi

mahasiswi di Program Studi Linguistik S-2 Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret.

9. Seluruh pegawai akademik kantor Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

yang telah memberikan kemudahan kepada penulis dalam mengurus hal-hal

administratif perkuliahan.

10. Moh. Saleh, S.Pd. dan Nunik Ganifiah S.Pd., selaku orang tua yang sangat

penulis hormati dan cintai. Terima kasih untuk segala dukungan, baik dalam

bentuk materi, semangat, dan doa yang terus mengalir tiada henti. Mereka

adalah dua sosok yang tidak pernah lelah menguatkan penulis ketika penulis

ingin menyerah. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih untuk

adik tersayang Putri Maulida beserta seluruh keluarga besar yang selalu

menjadi pelipur lara ketika penulis merasa jenuh. Terkhusus kepada sepupu

penulis, Rizki Amelia dan Dhaniar Chairunniza yang telah bersusah payah

membantu mencarikan informan dan menemani ketika sesi wawancara

berlangsung.

11. Para informan yang dengan sabar meluangkan waktu dan memberikan

banyak informasi kepada penulis, Bapak Moh. Taufik, S.Pd., (alm), Bapak

Ainur Rahmad, Bapak Mohammad Erfandi, S.Sos., Ibu Hamidah, Ibu

Meinarny Ferdiantina, S.Pd., Bapak R. Abdullah, Bapak RB. Nurul Hamzah,

S.Pd. M.Pd., Bapak Edhie Setiawan (alm), Bapak Akh. Darus, Bapak Zainal

Abidin, Bapak Taufan Febriyanto, Bapak Muhammad Imam, Bapak Slamet

Riady, Ibu Kisrawiyatun, Bapak Amin Jakfar, Bapak Amiluddin, Bapak

Mathor, dan Bapak Juma’en. Tidak lupa juga kepada teman-teman penulis

Page 9: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ix

yaitu Dewi, Neno, Lita, Wenda, Luluk, Abang Tohir, Mbak Sinta, Vina, dan

Silvi yang telah membantu penulis dalam mencari, menghubungi, dan

menemani bertemu para informan.

12. Teman-teman seperjuangan mahasiswa Program Studi Linguistik Deskriptif

Universitas Sebelas Maret angkatan 2017 (Isa, Day, Rara, Ahfi, Mbak

Qonia, Mas Ian, Mas Nuz, Maz Zaki, Mas Felix, Mas Buyung, dan Faris)

yang selalu menyemangati dan mengingatkan untuk segera menyelesaikan

tesis ini.

13. Deretan para orang-orang terkasih atas pundak dan telinga yang selalu ada

untuk penulis. Terima kasih banyak Gita, Didin, Dila, Mia, Febi, Putri,

Maya, Deka, Niken, dan Tefur.

14. Segala pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih

atas perannya yang telah membantu, menyemangati, dan mendoakan sampai

penulisan tesis ini selesai.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan tesis ini merupakan

hasil kerja keras penulis dengan bantuan berbagai pihak. Namun, segala isi yang

terkandung di dalam tesis ini adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab

penulis. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang

membangun atas segala kekurangan, keterbatasan, dan kelemahan dalam

penulisan tesis ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga hasil kerja keras yang penulis lakukan

dengan dukungan berbagai pihak di atas dapat bermanfaat bagi ilmu

pengetahuan, khususnya dalam kajian etnolinguistik dan ilmu pengetahuan

lainnya yang masih terkait serta bagi masyarakat luas khususnya masyarakat

Madura.

Surakarta, 9 Desember 2019

Nurul Fadhilah

Page 10: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN TESIS ......................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI TESIS........................................ iii

PERNYATAAN KEASLIAN DAN PERSYARATAN PUBLIKASI ........ iv

MOTO ......................................................................................................... v

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. vi

KATA PENGANTAR ................................................................................. vii

DAFTAR ISI ............................................................................................... x

DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii

DAFTAR BAGAN ...................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xix

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xvii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ............................................... xviii

ABSTRAK ................................................................................................... xx

ABSTRACT ................................................................................................ xxii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1

A. Latar Belakang ....................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................. 8

C. Tujuan Penelitian ................................................................... 8

D. Ruang Lingkup ...................................................................... 9

E. Manfaat Penelitian .................................................................. 9

BAB II LANDASAN TEORI ............................................................... 12

A. Tinjauan Pustaka .................................................................... 12

1. Penelitian Terdahulu........................................................... 12

2. Penelitian Terkait ............................................................... 16

B. Landasan Teori....................................................................... 19

1. Etnolinguistik ..................................................................... 19

2. Kearifan Lokal dalam Etnolinguistik .................................. 20

3. Etnosains dalam Etnolinguistik ........................................... 22

4. Dimensi Makrolinguistik dam Mikrolinguistik

Page 11: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

xi

dalam Etnolinguistik........................................................... 23

5. Etnolinguistik Melalui Konsep Pola Pikir ........................... 24

6. Etnolinguistik Melalui Bahasa, Budaya,

dan Folklor ......................................................................... 25

7. Etnolinguistik Melalui Semantik ........................................ 28

8. Warna ................................................................................ 34

C. Kerangka Pikir ....................................................................... 38

BAB III METODE PENELITIAN ........................................................ 40

A. Tempat Penelitian .................................................................. 40

B. Bahan dan Alat Penelitian ...................................................... 42

C. Jenis Penelitian....................................................................... 43

1. Data dan Sumber Data ........................................................ 44

2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data .............................. 46

3. Teknik Sampling ................................................................ 49

4. Validitas Data ..................................................................... 49

5. Prosedur Penelitian ............................................................. 50

6. Penyajian Hasil Analisis Data ............................................. 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................ 54

A. Hasil Penelitian ...................................................................... 54

1. Satuan lingual penanda warna dalam bahasa Madura

di Kab. Sumenep ................................................................ 54

a. Nama-nama warna dasar dalam bahasa Madura

di Kab. Sumenep ......................................................... 55

b. Nama-nama warna nondasar dalam bahasa Madura

di Kab. Sumenep ......................................................... 59

c. Nama-nama warna turunan dari warna dasar dan

nondasar beserta bentuk penamaanya dalam bahasa Madura

di Kab. Sumenep .......................................................... 61

2. Makna kultural dari konsep penggunaan warna dalam

masyarakat Madura di Kab. Sumenep ................................. 147

a. Penggunaan warna dalam domain verbal ...................... 147

1) Parѐbhasan ‘peribahasa’ ........................................ 147

Page 12: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

xii

2) Oca’ kѐyasan ‘ungkapan’ ....................................... 158

3) Carѐta rakyat ‘cerita rakyat’ .................................. 162

b. Penggunaan warna dalam domain non-verbal ............... 166

1) Kesenian ................................................................ 166

2) Bangunan ............................................................... 178

3) Transportasi ........................................................... 181

4) Kegiatan ritual........................................................ 184

5) Kuliner ................................................................... 193

3. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya pola penamaan

warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep ................. 196

B. Pembahasan .......................................................................... 208

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 235

A. Simpulan ................................................................................ 235

B. Saran ...................................................................................... 236

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 238

LAMPIRAN ................................................................................................ 245

Page 13: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Warna-warna turunan dari warna putih ....................................... 62

Tabel 2. Warna-warna turunan dari warna hitam ...................................... 72

Tabel 3. Warna-warna turunan dari warna merah ...................................... 81

Tabel 4. Warna-warna turunan dari warna hijau........................................ 93

Tabel 5. Warna-warna turunan dari warna kuning..................................... 100

Tabel 6. Warna-warna turunan dari warna cokelat .................................... 117

Tabel 7. Warna-warna turunan dari warna biru ......................................... 126

Tabel 8. Warna-warna turunan dari warna ungu ....................................... 136

Tabel 9. Warna-warna turunan dari warna abu-abu ................................... 141

Tabel 10. Perbandingan makna kultural warna pada domain

verbal dan nonverbal ................................................................... 225

Tabel 11. Perbandingan makna kultural gabungan warna pada domain

verbal dan nonverbal ................................................................... 226

Page 14: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

xiv

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Konsep kearifan lokal Ahimsa-Putra ........................................... 21

Bagan 2. Segitiga semantik Richards dan Odgen ....................................... 33

Bagan 3. Hierarki implikasional warna dasar Berlin dan Kay .................... 34

Bagan 4. Kerangka pikir ........................................................................... 39

Bagan 5. Hierarki implikasional warna dasar Berlin dan Kay .................... 209

Bagan 6. Hierarki implikasional warna dasar dalam bahasa Madura .......... 209

Bagan 7. Hierarki implikasional warna dasar dalam bahasa Mandarin ....... 210

Bagan 8. Hierarki implikasional warna dasar dalam bahasa Indonesia ....... 211

Page 15: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Decimal Code dalam Format Shape pada Microsoft Word ........ 42

Gambar 2. Penari Muwang Sangkal ........................................................... 167

Gambar 3. Rapè’ ‘pakaian bagian atas’ ...................................................... 168

Gambar 4. Lâ-jhilâ ‘ikat pinggang’ ............................................................ 169

Gambar 5. Bherrâs konѐng ‘beras kuning’ ................................................. 170

Gambar 6. Tari Ratib ................................................................................. 171

Gambar 7. Gatot Kaca ............................................................................... 173

Gambar 8. Kresna ...................................................................................... 174

Gambar 9. Arjuna ...................................................................................... 175

Gambar 10. Subadra .................................................................................... 176

Gambar 11. Bangunan Keraton Sumenep..................................................... 177

Gambar 12. Semar ....................................................................................... 177

Gambar 13. Lingkungan Keraton Sumenep.................................................. 178

Gambar 14. Labâng Mèsem ‘pintu tersenyum’ ............................................. 179

Gambar 15. Parao ‘perahu’ pesisir Ambunten ............................................. 181

Gambar 16. Bhâdhân parao ‘badan perahu’ ................................................. 182

Gambar 17. Kompleks pemakaman Anggasuto sekaligus

tempat upacara Nyadhar ........................................................... 184

Gambar 18. Cangghi ‘penutup sesajen’........................................................ 186

Gambar 19. Pakaian racok saѐbu ‘seribu warna’ .......................................... 188

Gambar 20. Pakaian pengantin leghâ ........................................................... 192

Gambar 21. Tajhin sanapora ‘bubur lima warna’ ......................................... 195

Page 16: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

xvi

Gambar 22. Kain batik Pekandangan Sumenep ............................................ 222

Gambar 23. Ukiran kayu Karduluk Sumenep ............................................... 222

Gambar 24. Pemain musik Saronѐn ............................................................. 220

Gambar 25. Hiasan di titik 0 kilometer Kabupaten Sumenep........................ 223

Gambar 26. Logo ‘Selamat Datang’ di Kabupaten Sumenep ........................ 223

Gambar 27. Taman kota Kabupaten Sumenep .............................................. 223

Page 17: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Kabupaten Sumenep ....................................................... 242

Lampiran 2. Kartu warna ........................................................................... 246

Lampiran 3. Data informan ........................................................................ 251

Lampiran 4. Kisi-kisi pertanyaan informan ................................................ 257

Lampiran 5. Data kosa kata setiap informan ............................................... 273

Lampiran 6. Tabulasi data 1 ....................................................................... 283

Lampiran 7. Tabulasi data 2 ....................................................................... 328

Lampiran 8. Tabulasi data 3 ....................................................................... 339

Lampiran 9. Surat izin penelitian................................................................ 366

Page 18: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

xviii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

A. Daftar Singkatan

TB : Tabulasi data

In : Informan

PS : Pemeri sifat

U : Ukuran

W : Warna

CPL : Cerapan penglihatan

CPD : Cerapan pendengaran

CPC : Cerapan penciuman

CPB : Cerapan perabaan

CPR : Cerapan pencitarasaan

M : Manusia

H1 : Nama hewan

H2 : Bagian tubuh hewan

T : Tumbuh-tumbuhan

BH1 : Nama buah-buahan

BH2 : Bagian buah-buahan

BG : Bunga

PH1 : Nama pepohonan

PH2 : Bagian pohon

SB : Sayur dan biji-bijian

R : Rempah-rempah

Page 19: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

xix

L : Lain-lain/dedaunan

LA : Benda lingkungan alam

IOP : Instansi, organisasi, profesi

MM : Makanan dan minuman

BR : Benda rumah

NB : Nama bulan

Kab : Kabupaten

B. Daftar Lambang

‘....’ : Menjelaskan terjemahan

+ : Menjelaskan pembentukan unsur sintaksis

/ : atau

Page 20: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

xx

ABSTRAK

Nurul Fadhilah. S111708013. 2019. Nama-Nama Warna dalam Bahasa

Madura di Kabupaten Sumenep: Sebuah Studi Etnolinguistik. Pembimbing:

(1) Prof. Dr. Wakit Abdullah Rais, M. Hum., (2) Dr. Dwi Purnanto M.Hum.

Tesis. Pascasarjana, Program Magister Linguistik, Minat Utama Linguistik

Deskriptif. Universitas Sebelas Maret.

Warna merupakan singkatan yang kuat untuk menyampaikan ide dan

informasi dari penggunanya. Begitu pula dengan kehidupan Suku Madura di Kab.

Sumenep yang tidak dapat dipisahkan dari warna. Hal ini terlihat dari kegemaran

mereka dalam mengkombinasikan warna secara mencolok serta terbentuknya

penamaan warna yang unik. Penelitian ini berjenis deskriptif kualitatif yang

bertujuan untuk mendeskripsikan (1) satuan lingual penanda warna, (2) makna

kultural dari konsep penggunaan warna, dan (3) faktor-faktor yang menyebabkan

munculnya penamaan warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep.

Data berupa satuan lingual penanda warna dan simbol warna yang diperoleh

dengan metode simak dengan teknik dasar yaitu teknik sadap dan teknik lanjutan

berupa teknik simak libat cakap (observasi partisipasi), teknik rekam, dan teknik

catat. Metode selanjutnya adalah metode cakap (wawancara) dengan teknik dasar

pancing dan teknik lanjutan berupa teknik cakap semuka, teknik rekam, dan

teknik catat. Data dianalisis menggunakan metode etnografi dengan analisis

etnosains untuk menemukan tema-tema budaya dan dibantu dengan metode padan

referensial dengan teknik dasar pilah unsur penentu (PUP) menggunakan daya

pilah referensial dan teknik lanjutan berupa teknik hubung banding menyamakan.

Hasilnya, satuan lingual warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep

umumnya berbentuk kata untuk menandai warna utama dan frasa untuk menandai

warna turunan. Warna utama terdiri dari 6 warna dasar yang memiliki urutan

hierarki implikasional yaitu potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’, bhiru

‘hijau’, konѐng ‘kuning’, dan sokklat ‘cokelat’, serta 3 warna nondasar yaitu

bhiru ‘biru’, bungo ‘ungu’, dan bu-abu ‘abu-abu’. Dari kesembilan warna tersebut

ditemukan 205 warna turunan dengan atribut adjektiva, nomina, dan verba. Lalu,

atribut warna yang paling mendominasi berasal dari nomina yaitu tumbuhan.

Kedua, makna kultural dari konsep penggunaan warna dalam masyarakat

Madura di Kab. Sumenep dibagi menjadi domain verbal dan nonverbal. Terdapat

5 warna yang digunakan dalam domain verbal, yaitu potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’,

mѐra ‘merah’, bhiru ‘hijau’ dan konѐng ‘kuning’. Lalu, ada 6 warna yang

digunakan dalam domain non-verbal, yaitu potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra

‘merah’, bhiru ‘hijau’, konѐng ‘kuning’, dan sokklat ‘cokelat’. Setiap warna yang

sama jika digunakan dalam jenis domain berbeda belum tentu memiliki makna

kultural yang sama pula. Beragamnya makna dalam satu warna dapat disebabkan

oleh faktor eksternal dan internal bahasa. Faktor eksternal berupa (1) pola pikir

manusia, (2) sifat warna, (3) sejarah, (4) lingkungan, (5) spiritual, (6) kebudayaan

asing, dan (7) warna-warna identik yang dikenal masyarakat Madura di Kab.

Sumenep. Selanjutnya, faktor internal bahasa berupa hubungan makna denotasi

dalam pembentukan makna baru (makna kultural).

Page 21: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

xxi

Ketiga, munculnya pola penamaan warna dalam bahasa Madura di

Kabupaten Sumenep disebabkan oleh faktor-faktor, yaitu (1) faktor sosial

geografis kedekatan masyarakat Madura dengan alam, (2) faktor sosial

kemasyarakatan matapencaharian masyarakat Madura, (3) faktor spiritual

keislaman masyarakat Madura, dan (4) faktor tradisi yang dilakukan masyarakat

Madura.

Kata kunci: Nama warna, bahasa Madura, kabupaten Sumenep, etnolinguistik.

Page 22: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

xxii

ABSTRACT

Nurul Fadhilah. S111708013. 2019. The Color Names of Maduranese

Language in Sumenep Regency: An Ethnolinguistic Study. Supervisors: (1)

Prof. Dr. Wakit Abdullah Rais, M. Hum., (2) Dr. Dwi Purnanto M.Hum. Thesis.

Postgraduate Programme of Descriptive Linguistics. Sebelas Maret University.

Color is a strong abbreviation for conveying ideas and information from the

users. Similarly, the life of the Maduranese in Sumenep Regency also cannot be

separated from color. This can be seen from their hobby for combining colors

prominently and the formation of unique color naming. This descriptive

qualitative research aims to describe (1) the lingual units of color markers, (2) the

cultural meaning of the color use concept, and (3) the factors that led to the

emergence of naming colors patterns of Maduranese language in Sumenep

Regency.

The data are lingual units of color markers and color symbols that obtained

by listening method with basic technique namely tapping technique and advanced

technique in the form of participatory observation technique, recording technique,

and taking notes technique. The next method is interview with the basic technique

namely interview inducement and advanced technique as direct interview

technique, recording technique, and taking notes technique. Data were analyzed

by using ethnographic method with ethnoscience analysis to find cultural themes

and also supported by the referential comparison method with the basic technique

of determining the element by using referential sorting and advanced techniques

in the form of equalizing comparative techniques.

The results, the lingual units of color names of Madurese language in

Sumenep Regency generally in the form of a word to mark the main colors, and

phrase to mark derivative colors. The main colors are divided into 6 basic colors

which have the sequence of implicational hierarchical namely potѐ ‘white’,

celleng ‘black’, mѐra ‘red’, bhiru ‘green’, konѐng ‘yellow’, and sokklat ‘brown’,

and 3 non-basic colors namely bhiru ‘blue’, bungo ‘purple’, and bu-abu ‘gray’.

From the ninth colors found, there are 205 derivative colors with attributes come

from the adjectives, nouns, and verbs word classes. Then, the most dominant color

attribute comes from nouns, namely plants.

Second, the cultural meaning of the color used concept of Madurese in

Sumenep Regency is divided into verbal and nonverbal domain. There are 5

colors of verbal domain, namely potѐ ‘white’, celleng ‘black’, mѐra ‘red’, bhiru

‘green’ dan konѐng ‘yellow’. Then, there are 6 colors of nonverbal domain,

namely potѐ ‘white’, celleng ‘black’, mѐra ‘red’, bhiru ‘green’, konѐng ‘yellow’,

dan sokklat ‘brown’. Every same color that is used in different types of domains

does not necessarily have the same cultural meaning. The variety of meanings in

one color can be caused by external and internal factors of the language. The

external factors include (1) human mindset, (2) color properties, (3) history, (4)

environment, (5) spiritual, (6) foreign culture, and (5) identical colors of Sumenep

society. Furthermore, the internal factor of language is the relation of denotation

meaning in the formation of new meanings (cultural meanings).

Page 23: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

xxiii

Third, the emergence of color naming patterns of Madurese in Sumenep

Regency is caused by some factors, such as (1) geographical social factors of

Madurese closeness to nature, (2) social factors of Madurese livelihoods, (3)

Islamic spiritual factors of Madurese, and (4) traditional factors practiced by

Madurese.

Keywords: Color names, Maduranese language, Sumenep regency,

ethnolinguistics.

Page 24: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa dan budaya diibaratkan sebagai dua sisi mata koin yang tidak

mungkin bisa dipisahkan. Kedua aspek tersebut saling berkesinambungan dan

mempengaruhi satu sama lain. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan.

Lebih tepatnya, menurut Rahyono (2009: 77) bahasa merupakan salah satu

pintu masuk penelitian kebudayaan pemilik bahasa tersebut. Oleh sebab itu,

Ahimsa-Putra (1997: 4) turut menjelaskan bahwa dalam bahasa tercermin

pengetahuan masyarakat pemilik bahasa tersebut mengenai lingkungannya

sehingga lingkungan yang sama pada dasarnya tidak dilihat secara sama oleh

tiap-tiap suku bangsa atau masyarakat yang memiliki bahasa berbeda. Dengan

kata lain, manusia sebagai pemilik bahasa menggunakan bahasa sebagai suatu

identitas kebudayaan yang bertujuan untuk menjelaskan asal usul dirinya

beserta pandangan hidup yang dimiliki. Jadi, tidak ada yang lebih jelas dalam

mencerminkan kebudayaan suatu masyarakat selain melalui bahasa yang

mereka gunakan.

Bahasa sebagai penanda identitas budaya dapat dilihat dari penggunaan

aksen, kosakata, maupun pola wacana yang dikeluarkan melalui bahasa

tersebut. Jadi, antara masyarakat satu dengan masyarakat lain dapat

dibedakan ciri kebudayaannya melalui pemakaian bahasanya dalam

kehidupan sehari-hari. Dengan mengetahui persamaan dan perbedaan

pemakaian bahasa akan dapat diketahui pula jarak antar suku-suku bangsa

dan bagaimana pola kebudayaan serta pandangan hidup masyarakat mampu

mempengaruhi sesuatu yang diacu. Salah satu contoh pemakaian bahasa yang

dapat mencerminkan identitas budaya suatu masyarakat ialah dalam

penyebutan leksikon warna.

Nugroho (2008: 2) menyatakan bahwa warna adalah spektrum tertentu

yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna. Selanjutnya, dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (2016: 1557), warna didefinisikan sebagai kesan

yang diperoleh mata dari cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang

Page 25: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2

dikenainya. Warna dapat merepresentasikan pandangan hidup, kepercayaan,

serta kebudayaan yang dimiliki. Hal ini selaras dengan pendapat Paterson

(2004: 3) bahwa warna menjadi suatu hal yang penting sebab warna

merupakan singkatan yang kuat untuk menyampaikan ide-ide dan informasi.

Jadi, warna menyimpan maksud tertentu yang ingin disampaikan oleh para

penggunanya. Bahkan, warna juga dapat menentukan emosi dan karakteristik

seseorang atau sekelompok masyarakat di dalam sebuah kebudayaan.

Setiap suku atau daerah di Indonesia memiliki caranya tersendiri dalam

membuat penamaan warna melalui bahasa. Bentuk penamaan terhadap

klasifikasi warna dalam bahasa tertentu bertujuan untuk membedakan

spektrum warna satu dengan warna lainnya. Menurut Yunyu (2015: 1),

bentuk bahasa yang digunakan untuk mengidentifikasi dan

mengklasifikasikan benda-benda merupakan kesepakatan dari masyarakat

penutur bahasa yang bersangkutan. Begitu pula dengan penamaan warna

dalam suatu bahasa. Biasanya, penamaan warna dalam suatu bahasa telah

terbentuk sejak lama, yaitu dari orang-orang terdahulu sehingga sejarah atau

latar belakang pembentukannya jarang diketahui. Walaupun demikian, tidak

menutup kemungkinan sejarah atau latar belakang penamaan warna tersebut

tetap dapat ditelusuri dengan menerapkan penelitian bahasa dan budaya.

Namun, pada era globalisasi seperti sekarang ini, ketertarikan masyarakat

untuk mendalaminya sangatlah minim. Padahal, penelitian mengenai kajian

nama-nama warna terbilang sangat menarik, seperti kajian nama-nama warna

dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep.

Di Pulau Madura khususnya Kab. Sumenep, penggunaan kosakata

warna dalam bahasa Madura mulai tidak dilirik dan tergantikan dengan

bahasa-bahasa lain, terutama bagi generasi milenial. Misalnya, dalam

kehidupan sehari-hari untuk menyebut warna merah muda. Kebanyakan

masyarakat lebih memilih menggunakan kosakata pink dalam bahasa Inggris

daripada ennyat yang merupakan bahasa Madura asli. Tidak dipungkiri,

pergeseran bahasa ini sedikit banyak juga dipengaruhi oleh mobilitas

pendatang luar Madura yang semakin mudah untuk masuk ke Pulau Madura

dengan adanya akses jembatan Suramadu. Menurut De Jonge (2011: xi),

Page 26: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3

jembatan menimbulkan berbagai konsekuensi yang berjangkauan jauh bagi

penduduk wilayah-wilayah yang dihubungkan olehnya, bukan saja

menyangkut ikatan dan institusi sosial, ekonomi, dan politik. Jadi, selain

pengaruhnya dalam tiga aspek di atas, keberadaan jembatan juga

mempengaruhi perkembangan bahasa dan kebudayaan setempat.

Pulau Madura sendiri memiliki 4 kabupaten yaitu, Kab. Bangkalan,

Kab. Sampang, Kab. Pamekasan, dan Kab. Sumenep. Selain itu, Rifai (2007:

55) menjelaskan bahwa suku Madura juga memiliki 4 dialek utama dalam

pemakaian bahasanya, yaitu dialek Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, dan

Kangean. Namun, dalam pemakaian kosakata warna, masyarakat Madura

cenderung memiliki penyebutan yang sama atau bisa dikatakan mengacu pada

dialek Sumenep sebagai bahasa standar di Madura. Dialek Sumenep menjadi

bahasa standar karena juga dipengaruhi oleh berdirinya keraton di Kab.

Sumenep dan satu-satunya di Pulau Madura dengan Adipati terkenal bernama

Aria Wiraraja dan Adi Poday. Pada zaman dahulu, tingkatan bahasa Madura

berawal dari penggunaan bahasa antara kaum bangsawan Keraton Sumenep

dengan rakyatnya sehingga menjadikan dialek Sumenep sebagai dialek

bahasa Madura yang paling halus.

Menurut Rifai (2007: 56-57), bahasa Madura memiliki 10 istilah warna

dasar yaitu potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, bhiru ‘hijau’, mѐra ‘merah’, konѐng

‘kuning’, bȃlȃu ‘biru’, soklat ‘coklat’, ennyat ‘jambon’, bungo ‘ungu’, dan

bu-abu ‘kelabu’. Akan tetapi, jumlah warna tersebut belum tentu dapat

diterima oleh seluruh wilayah di Madura, seperti di Kab. Sumenep. Hal ini

dikarenakan setiap bahasa dan wilayah memiliki batasan, nama warna,

maupun jumlah warna dasar berbeda. Sebagai contoh, Leech (2003: 286)

memaparkan bahwa bahasa Jale (New Guinea) hanya memiliki dua warna

dasar yaitu putih dan hitam, bahasa Tiv (Nigeria) memiliki tiga warna dasar

yaitu putih, hitam, dan merah, bahasa Hanunoo (Filipina) memiliki empat

warna dasar yaitu putih, hitam, merah, dan hijau, sedangkan bahasa Tzeltal

(Meksiko) memiliki lima warna dasar yaitu putih, hitam, merah, hijau, dan

kuning. Dengan adanya perbedaan jumlah warna dasar di atas, muncul

peluang besar untuk mengembangkan penelitian warna di Kab. Sumenep.

Page 27: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4

Keberadaan warna tidak dapat dipisahkan dari kehidupan suku Madura.

Terlebih, suku Madura juga dikenal suka mengombinasikan warna-warna

secara berani dan mencolok. Kegemaran suku Madura dalam memadukan

atau bermain dengan warna tercermin pada beberapa ranah kehidupan,

misalnya dalam bangunan, pernak-pernik kesenian, batik, dan seni ukir kayu.

Pada perlengkapan tari Muwâng Sangkal, terdapat salah satu benda yang

wajib digunakan yaitu beras kuning atau bherrâs konѐng (TB.03.02/01).

Dalam proses tariannya, beras tersebut akan ditabur atau dibuang (muwâng)

dengan maksud menghalau musibah. Bagi masyarakat Madura, beras adalah

simbol kesuburan dan kemakmuran, sedangkan warna kuning diidentikkan

pada warna sinar matahari. Oleh sebab itu, jika tidak ada matahari dan beras

makhluk hidup tidak akan bisa melangsungkan hidupnya. Selanjutnya,

musibah yang ada di dalam kehidupan manusia dilambangkan dengan warna

gelap (hitam) karena ketika musibah datang sama halnya dengan tertutupnya

harapan atau kehidupan (cahaya). Oleh sebab itu, dengan membuang beras

kuning sama halnya dengan memberikan sinar kepada kegelapan sehingga

musibah tidak lagi mendatangi hidup manusia. Jadi, warna konѐng ‘kuning’

dalam bherrâs konѐng ‘beras kuning’ bermakna sinar matahari.

Selain contoh di atas, istilah warna juga terekspresikan dalam cerita

rakyat tersohor di Kab. Sumenep Madura. Dikisahkan oleh Suyami dalam

jurnalnya yang berjudul Cerita Jaka Tole dalam Kehidupan Masyarakat

Sumenep Madura (2009: 887-945), pangeran Sumenep bernama Secadingrat

menikah dengan Dewi Sarini dan mereka dikaruniai seorang putri bernama

Dewi Saini. Dewi Saini lebih dikenal dengan sebutan Raden Ayu Potre

Koneng. Dalam bahasa Madura, koneng berarti warna kuning. Kata koneng

disematkan kepada Sang Putri karena wajahnya yang sangat cantik, kulit

tubuhnya yang bersih dan bersinar, serta sifatnya yang sangat baik. Jadi,

warna konѐng ‘kuning’ di sini bermakna kecantikan fisik dan perilaku. Maka

dari itu, warna bukanlah sesuatu yang biasa dan meaningless bagi masyarakat

Madura. Keberadaan warna sangat dekat dengan kehidupan mereka dan

digunakan untuk merepresentasikan sesuatu berdasarkan dengan konteksnya.

Page 28: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 5

Dengan kata lain, satu warna yang sama dapat memiliki makna yang berbeda-

beda.

Bahasa Madura memiliki penamaan warna yang unik. Warna sering

dimetaforakan atau dihubungkan dengan hal-hal yang berada di sekitar

masyarakat. Misalnya, nama warna yang disandingkan dengan atribut nomina

yaitu hewan seperti berikut:

(TB.01/121)

Cokklat sapѐ cokklat + sapѐ

cokelat sapi

Berdasarkan contoh data di atas, cokklat sapѐ ‘cokelat sapi’ adalah

warna turunan cokelat dengan atribut nomina dalam kelas hewan yaitu sapi.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa cokklat sapѐ adalah

warna cokklat ‘cokelat’, sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

cokklat sapѐ ‘cokelat sapi’. Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna cokelat disandingkan dengan bagian tubuh sapi,

yaitu cokelat pada kulit tubuh sapi. Secara sosiokultural, sapi khususnya sapi

jantan bagi orang Madura sama maknanya dengan kerbau bagi orang Jawa,

yaitu lambang kekuatan dan kemakmuran. Sapi selain digunakan untuk

membajak sawah atau diperjualbelikan juga digunakan sebagai tabungan

untuk mengantisipasi masa susah. Selain itu, orang Madura dapat

menunjukkan status atau kelas sosialnya melalui jumlah sapi yang dimiliki.

Orang Madura juga memperlakukan sapi layaknya anggota keluarga,

misalnya dengan rutin memberi jamu sapi-sapinya dan membuatkan kandang

khusus yang berdiri satu atap dengan pemiliknya. Dengan begitu, atribut yang

digunakan pada penamaan warna dalam bahasa Madura dapat mengacu pada

benda-benda yang familier dan dekat dengan masyarakat, seperti benda-benda

yang digunakan dalam tradisi mereka. Hal ini dikarenakan memiliki sapi dan

memperlakukannya sebaik mungkin sudah menjadi tradisi turun-temurun

bagi masyarakat Madura.

Keunikan lainnya ialah orang Madura sering mendapatkan stereotip

sebagai suku yang buta warna karena memiliki penyebutan yang sama untuk

menyebut warna hijau dan biru yaitu dengan leksikon bhiru. Jadi, masyarakat

Page 29: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 6

Madura dianggap tidak bisa membedakan spektrum warna antara hijau dan

biru. Padahal, persamaan penyebutan tersebut memiliki alasan tersendiri.

Selain contoh-contoh di atas, masih banyak lagi bentuk penamaan warna

dalam bahasa Madura yang sangat menarik untuk diteliti lebih dalam baik

dari segi penamaan warnanya hingga makna kultural yang terkandung di

dalam konsep penggunaan warna tersebut. Oleh sebab itu, muncullah

ketertarikan mendalam untuk mendeskripsikan nama-nama warna yang

berada di dalam bahasa Madura dengan menerapkan pendekatan

etnolinguistik.

Pendekatan etnolinguistik dianggap sesuai untuk diterapkan dalam

penelitian ini karena sesuai dengan pemahaman Foley (1997: 3) bahwa

etnolinguistik merupakan bagian dari linguistik yang menaruh perhatian pada

bahasa dalam konteks sosial budaya dan struktur sosial. Selaras dengan itu,

Saptarini (2016, 27-26) menjelaskan bahwa etnolinguistik yang juga memiliki

sebutan lain sebagai antropolinguistik ini mempelajari kebudayaan dari

sumber-sumber bahasa dan juga sebaliknya mempelajari bahasa yang

dikaitkan dengan kebudayaan. Adapun tujuan dari penerapan pendekatan

etnolinguistik pada penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan makna kultural

dari konsep penggunaan warna beserta faktor-faktor apa saja yang

mempengaruhi adanya penamaan warna tersebut.

Penelitian mengenai kajian warna sudah beberapa kali pernah

dilakukan. Pertama, jurnal yang ditulis oleh Budiono (2016) berjudul

Klasifikasi Warna Masyarakat Betawi di Marunda, Jakarta Utara. Kedua,

disertasi yang ditulis oleh Yunyu (2015) berjudul Warna dalam Bahasa

Mandarin dan Bahasa Indonesia: Sebuah Kajian Linguistik Antropologis.

Ketiga, jurnal yang ditulis oleh Nyamjav (2015) berjudul Color Naming

Experiment in Mongolian Language. Keempat, jurnal yang ditulis oleh

Kaskatayeva dan Mazhitayeva (2013) berjudul Color Semantics: Linguistic-

Cultural Aspect.

Penelitian yang dilakukan oleh Budiono (2016), Yunyu (2015),

Nyamjav (2015), Kaskatayeva dan Mazhitayeva (2013), serta penelitian saat

ini sama-sama mengkaji tentang kosakata warna dalam suatu bahasa.

Page 30: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7

Perbedaannya, Budiono (2016) menggunakan bahasa Betawi, Yunyu (2015)

menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia,

Nyamjav (2015) menggunakan bahasa Mongolia, Kaskatayeva dan

Mazhitayeva (2013) menggunakan bahasa Kazakhstan dan bahasa Rusia.

Penelitian yang dilakukan saat ini menggunakan bahasa Madura. Selanjutnya,

penelitian Budiono (2016) berserta Kaskatayeva dan Mazhitayeva (2013)

menggunakan pendekatan semantik, Nyamjav (2015) menggunakan

pendekatan psikolinguistik, sedangkan Yunyu (2015) dan penelitian saat ini

menggunakan pendekatan linguistik antropologis atau etnolinguistik. Namun,

penelitian saat ini menggunakan model analisis etnografi baru yang disebut

sebagai etnosains, sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Yunyu

(2015) tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai penggunakan model

analisisnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Budiono (2016) dan penelitian saat ini

sama-sama dilakukan di sebuah daerah di Indonesia. Namun, Budiono (2016)

hanya sebatas menggali kosakata warna dalam bahasa Betawi dari masyarakat

di pesisir Marunda, sedangkan penelitian saat ini tidak hanya berfokus pada

kosakata warna yang digunakan oleh masyarakat pesisir di Kab. Sumenep,

melainkan lebih luas. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Budiono

(2016) hanya berfokus pada konsep penamaan warna dengan

mendeskripsikan kosakata warna dalam bahasa Betawi yang selanjutnya

dilihat hubungan kosakata warnanya dengan lingkungan informan. Penelitian

Yunyu (2015) melihat satuan kebahasaan yang menandai warna, makna

konotasi dari kosakata warna yang berbentuk idiom, peribahasa, kiasan,

ungkapan, metafora, dan sejenisnya dalam bahasa Indonesia maupun

Mandarin, serta analisis kontrastif untuk menentukan persamaan dan

perbedaan dari kedua bahasa tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Nyamjav (2015) mendeskripsikan warna

dasar dan perbedaan klasifikasi warna turunan berdasarkan usia, pekerjaan,

serta jenis kelamin. Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Kaskatayeva

dan Mazhitayeva (2013) mendeskripsikan makna dari warna-warna dasar

yang digunakan dalam bahasa Kazakhstan dan perbandingannya dengan

Page 31: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8

bahasa Rusia. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan saat ini

mendeskripsikan satuan-satuan lingual penanda warna dalam bahasa Madura

di Kab. Sumenep beserta bentuk penamaan warnanya, makna kultural dari

konsep penggunaan warna dalam beberapa domain, serta faktor-faktor yang

menyebabkan adanya penamaan warna dalam bahasa Madura.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dan studi pustaka yang telah

dilakukan, penelitian mengenai kajian nama-nama warna dalam bahasa

Madura di Kab. Sumenep ini berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu

yang juga mengkaji tentang warna, baik dari segi pendekatan, lokasi

penelitian, bahasa yang diteliti, tujuan penelitian, dan metode penelitian. Oleh

sebab itu, terdapat ketertarikan mendalam untuk meneliti mengenai kajian

nama-nama warna dengan mengambil judul penelitian berupa Nama-nama

Warna dalam Bahasa Madura di Kab. Sumenep: Sebuah Kajian

Etnolinguistik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Apa sajakah satuan lingual dan bentuk penamaan warna yang digunakan

oleh penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep?

2. Bagaimanakah makna kultural dari konsep penggunaan warna dalam

masyarakat Madura di Kab. Sumenep?

3. Mengapa ada bentuk penamaan warna dalam bahasa Madura di

Kab.Sumenep?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini ialah

sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan satuan lingual dan bentuk penamaan warna yang

digunakan oleh penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep.

2. Mendeskripsikan makna kultural dari konsep penggunaan warna dalam

masyarakat Madura di Kab. Sumenep.

Page 32: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 9

3. Mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya bentuk

penamaan warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep.

D. Ruang Lingkup

Penelitian ini berada dalam ranah etnolinguistik. Adapun bahasa

Madura yang digunakan merupakan bahasa Madura dialek Sumenep sebagai

bahasa Madura standar. Data dalam penelitian ini berupa satuan-satuan

lingual penanda warna dalam bahasa Madura beserta simbol warna yang

digunakan dalam beberapa peristiwa budaya yang di dalamnya memiliki

kandungan makna.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai kajian nama-nama warna dalam bahasa Madura di

Kab. Sumenep ini memiliki manfaat baik secara teoretis maupun praktis yang

dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan bagi kajian etnolinguistik. Selain itu, dokumen tertulis

mengenai kajian nama-nama warna dalam bahasa Madura khususnya di

Kab. Sumenep belum pernah ditemukan. Jadi, penelitian ini diharapkan

dapat memberikan dokumentasi tertulis mengenai satuan-satuan lingual

penanda warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep, makna kultural

dari konsep penggunaan warna dalam masyarakat Madura di Kab.

Sumenep, serta faktor-faktor yang membentuk penamaan warna tersebut.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat, tenaga

pendidik, peneliti saat ini, dan peneliti selanjutnya.

Pertama, bagi masyarakat. Masyarakat dalam konteks ini

merupakan masyarakat Madura pada khususnya dan masyarakat luar

Madura pada umumnya. Bagi masyarakat Madura, penelitian ini dapat

Page 33: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10

menambah khazanah pengetahuan mereka mengenai kosakata warna

dalam bahasa Madura beserta makna kultural dari penggunaan warna

tersebut. Jadi, tidak hanya para sesepuh, budayawan, atau akademisi

sebagai pelaku penelitian yang mengetahui, melainkan seluruh lapisan

masyarakat terutama generasi muda. Selain itu, masyarakat dapat

mempertahankan dan melestarikan budaya Madura melalui bahasanya

dengan mengetahui dan mengaplikasikan kosakata warna dalam bahasa

Madura tersebut.

Lalu, bagi masyarakat luar Madura, penelitian ini dapat dijadikan

sebagai tambahan pengetahuan yang menarik mengenai salah satu bahasa

dan budaya Indonesia sehingga dapat menginspirasi mereka untuk

melakukan penelitian sejenis menggunakan bahasa daerahnya masing-

masing mengingat negara Indonesia memiliki banyak sekali bahasa

daerah yang perlu dipertahankan.

Kedua, bagi tenaga pendidik. Tenaga pendidik di sini adalah guru

muatan lokal bahasa Madura dan dosen yang memiliki fokus pada bidang

bahasa dan budaya Madura. Untuk guru, penelitian ini bisa dijadikan

salah satu materi ajar di kelas untuk menambah wawasan siswa mengenai

nama-nama warna dalam bahasa Madura beserta makna kultural

penggunaannya. Hal ini dilakukan agar generasi muda tetap mengetahui

sejarah bahasa dan budayanya sendiri. Selanjutnya untuk dosen,

penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu contoh dalam

penyampaian materi mengenai hubungan bahasa dan budaya Madura

dalam kajian etnolinguistik.

Ketiga, bagi peneliti saat ini. Berkat penelitiannya yang tidak

terlepas dari fakta bahasa dan fakta budaya Madura tentunya akan

meningkatkan rasa cinta peneliti terhadap lingkungannya sendiri. Selain

itu, penelitian ini juga memotivasi peneliti untuk terus mengeksplor

bahasa dan budaya Madura guna mempersiapkan diri untuk penelitian-

penelitian selanjutnya di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Keempat, bagi peneliti selanjutnya. Penelitian ini dapat dijadikan

sebagai studi pustaka atau referensi jika peneliti selanjutnya memiliki

Page 34: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11

ketertarikan dalam bidang yang sama, yaitu perihal kajian nama-nama

warna dalam suatu bahasa.

Page 35: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Penelitian Terdahulu

a. Karya Ilmiah Terkait Warna dari Berbagai Macam Perspektif

di Luar Etnolinguistik

Pertama, artikel yang ditulis oleh Darmojuwono (1989)

mengkaji permasalahan warna terhadap persepsi penuturnya

dengan pendekatan psikolinguistik. Penelitian ini menggunakan 20

responden di Jerman yang terdiri dari 8 orang Jerman berbahasa ibu

Jerman dan tidak bisa berbahasa Indonesia, 8 orang Indonesia

berbahasa ibu Indonesia dan tidak bisa berbahasa Jerman, dan 4

orang Indonesia berbahasa ibu Indonesia dan bisa berbahasa

Jerman. Penelitian tersebut menggunakan 52 kartu warna menurut

Munsell dan melontarkan 2 tugas yaitu perintah untuk

menyebutkan warna yang terlihat pada kartu dan perintah untuk

mengelompokkan warna-warna tersebut sesuai dengan

pengetahuan responden. Hasilnya, responden Indonesia dalam

penamaan kartu warna banyak menggunakan tipe “warna

dasar+ke+warna dasar+an”, sedangkan responden Jerman banyak

menggunakan tipe “intensitas sinar+warna dasar”. Selanjutnya,

warna-warna tersebut menghasilkan 8 kelompok bagian baik dalam

bahasa Indonesia dan Jerman, yaitu merah (rot), hijau (grun), hijau

lumut (olivgrun), biru (grasgrun), ungu (turkis), abu-abu (blau),

hitam (violett), dan coklat (braun).

Kedua, artikel yang ditulis oleh Kaskatayeva dan

Mazhitayeva (2013). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa

makna warna dalam bahasa Kazakhtan dan Rusia serta

perbandingan keduanya ketika diterjemahkan. Data warna yang

digunakan adalah warna biru, merah, cokelat, kuning, hitam, dan

Page 36: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13

putih. Keenam warna tersebut adalah warna yang menarik

perhatian peneliti dari kelompok satuan lingual penanda warna.

Hasilnya, semantik warna dalam bahasa Kazaktan tidak selalu

dapat diterjemahkan dengan sempurna dalam bahasa Rusia. Hal ini

bisa disebabkan oleh faktor sejarah dan lingkungan hidup

masyarakatnya. Dari simbol warna dapat diketahui tradisi, karakter,

dan pandangan suatu etnis.

Ketiga, artikel yang ditulis oleh Farhia, Mita, dan Laura

(2014). Penelitian ini merupakan penelitian Pendidikan Desain

Komunikasi Visual (DKV) yang bertujuan untuk memberikan

wawasan warna-warna lokal di Pulau Jawa yaitu Jakarta, Bandung,

Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya berdasarkan aspek

kulturalnya menggunakan classroom research agar mahasiswa

memahami betul proses pembentukan warna yang sekarang banyak

mereka gunakan dalam dunia digital. Terdapat pengelompokan

warna dasar yang akan diteliti sesuai dengan 12 warna dalam

lingkaran warna Johannes Itten. Data berupa visual warna

kebudayaan dari tiap daerah atau wilayah yang dikomposisikan

sedemikian rupa sehingga terbentuklah 10 skema warna pada tiap

daerah. Ternyata, setiap daerah memiliki ciri khas warna yang

dapat dimanfaatkan dalam beberapa aspek, misalnya skema warna

dapat menjadi modul warna dasar dalam menciptakan suasana

(mood) suatu objek dan dalam bidang interior skema warna daerah

dapat membantu desainer interior untuk menciptakan suatu suasana

daerah tertentu sesuai dengan yang diinginkan pada suatu ruangan,

sehingga local content dapat dibentuk.

Keempat, artikel yang ditulis oleh MacDonald, Dimitris, dan

Galina (2014). Penelitian ini merupakan penelitian psikolinguistik

yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan perempuan dan laki-

laki dalam memberikan nama terhadap warna dengan

menggunakan eksperimen berbasis web dalam bahasa Inggris.

Hasilnya, perempuan dianggap lebih rumit namun cepat dalam

Page 37: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14

memberikan penamaan terhadap warna karena dapat

mendeskripsikan kosakata warna lebih banyak dari pada laki-laki.

Perempuan lebih fasih menyebutkan warna-warna dalam lingkaran

warm, sedangkan laki-laki cenderung menyebutkan warna-warna

dalam lingkaran cool.

Kelima, artikel yang ditulis oleh Nyamjav (2015). Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana masyarakat Mongolia

menentukan warna dasarnya dengan pendekatan psikolinguistik.

Data diperoleh dengan menyebar kuesioner dan responden dapat

menyebutkan berbagai macam nama warna sesuai dengan

pengetahuannya. Hasilnya, bahasa Mongolia memiliki 7 warna

dasar. Selain itu setiap responden menyebutkan beragam warna

turunan yang dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan pekerjaan.

Keenam, artikel yang ditulis oleh Yulianti (2016). Penelitian

tersebut mendekripsikan warna dalam bahasa Sunda yang

dipadankan dengan bahasa Indonesia. Data dikumpulkan dengan

melakukan studi pustaka tentang warna dalam bahasa Sunda dan

Bahasa Indonesia, serta memanfaatkan pengetahuan penulis

sebagai penutur asli bahasa Sunda. Bahasa Sunda memiliki 5

kosakata warna dasar, yaitu beureum (merah), bodas (putih),

hideung (hitam), koneng (kuning), dan hejo (hijau). Ada beberapa

kosakata warna dalam bahasa Sunda yang sulit dicarikan

padanannya dalam bahasa Indonesia karena memiliki ciri-ciri

kedaerahan yang kuat, misalnya ngagedod dan lestreng. Selain itu,

keadaan alam dan budaya masyarakat penutur sangat menentukan

konsep warna yang dimiliki oleh masyarakat Sunda.

Ketujuh, artikel yang ditulis oleh Sekarsari dan Nuria (2016).

Penelitian ini menganalisis kankyouku bahasa Jepang yang

berkaitan dengan warna menggunakan teori linguistik kognitif,

yaitu cabang linguistik yang menekankan hubungan dalam bahasa

yang mewakili informasi dalam otak manusia. Tujuan penelitian

ini, yaitu untuk (1) mengkaji makna leksikal dan makna idiomatikal

Page 38: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15

pada kanyouku yang berkaitan dengan warna, (2) mengkaji

hubungan antara makna leksikal dan idiomatikal pada kanyouku

yang berkaitan dengan warna, dan (3) memperoleh data perihal ciri

khas makna yang terkandung dalam tiap warna yang digunakan

dalam kanyoku. Data dalam penelitian ini adalah 18 kanyouku yang

berkaitan dengan warna yang diambil dari Kamus Asutoro dan

Kamus Sanseidou. Warna yang muncul pada kanyouku memiliki

makna leksikal dan idiomatikal. Makna leksikal merupakan warna

yang diartikan sesuai dengan makna asli berdasarkan referensi

kamus, sedangkan makna idiomatikal merupakan makna khusus

yang muncul dari makna setiap kata yang membentuk kanyouku

tersebut. Misalnya, makna leksikal kanyouku ‘shiroi me de miru’

adalah melihat dengan mata putih, dan makna idiomatikalnya

adalah melihat dengan sinis.

Kedelapan, artikel yang ditulis oleh Budiono (2016).

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penamaan konsep

warna yang dimiliki oleh masyarakat Betawi di Marunda dengan

memaparkan karakteristik budaya dalam setiap warna. Untuk

memperoleh data digunakan teknik wawancara terhadap informan.

Hasilnya, masyarakat Betawi di Marunda memiliki 11 kategori

yang melekat pada 6 warna dasar yaitu buah, alat berat, minuman,

makanan, anggota atau bagian tubuh, bagian mobil, warna, wajah,

alam, tingkat kecerahan, dan tumbuhan.

Kesembilan, artikel yang ditulis oleh Indra (2017). Penelitian

ini meneliti keberadaan warna dan makna yang dikandung dalam

ekpresi metafora warna dalam bahasa Minangkabau. Data diambil

melalui wawancara dengan beberapa informan yang merupakan

penutur asli bahasa Minangkabau, Kamus Bahasa Minangkabau,

Kamus Ungkapan Bahasa Minangkabau, lirik lagu, randai,

peribahasa, dan pengetahuan dari peneliti sebagai penutur asli.

Pada analisisnya, konotasi metafora dalam istilah warna dianalisis

dengan menghubungkannya pada makna literal dari warna itu

Page 39: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16

sendiri yang juga dikaitkan dengan faktor-faktor lain, seperti

keadaan fisik, psikologi, sejarah, dan budaya yang

mempengaruhinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada enam

warna yang ditemukan dalam ekspresi metafora bahasa

Minangkabau, yaitu itam (hitam), putiah (putih), kulabu (abu-abu),

sirah (merah), kunyiang (kuning), dan ijau (hijau). Ekspresi

metafora yang menggunakan warna hitam, putih, merah, dan

kuning memiliki konotasi positif dan negatif. Akan tetapi, ekspresi

metafora yang menggunakan warna abu-abu dan hijau hanya

memiliki konotasi negatif.

Dari beberapa penelitian terdahulu di atas dapat diketahui

jika selama ini penelitian mengenai warna masih banyak dilakukan

dengan pendekatan di luar etnolinguistik. Hal ini tentu menjadi

peluang besar bagi penelitian saat ini untuk mengkaji warna dari

perspektif etnolinguistik guna mengungkap fakta bahasa dan

budaya dari satuan-satuan lingual penanda warna dalam suatu

bahasa. Walaupun demikian, penelitian-penelitian tersebut tetap

dibutuhkan sebagai referensi pendukung bahwa warna dapat diteliti

dari berbagai macam aspek dan masih dapat terus digali lebih

dalam lagi.

2. Penelitian Terkait

a. Karya Ilmiah Terkait Warna dari Perspektif Etnolinguistik

Pertama, artikel yang ditulis oleh Baehaqie (2014). Penelitian

ini merupakan penelitian etnolinguistik dengan menggunakan

metode observasi dan wawancara informan di Kab. Wonogiri.

Objek penelitian tersebut berupa jenang mancawarna sebagai

makanan yang digunakan untuk acara Daur Hidup masyarakat

setempat. Jenang mancawarna terdiri dari warna abang (merah),

ireng (hitam), kuning (kuning), dan putih (putih). Warna-warna

yang terkandung dalam jenang tersebut ternyata memiliki makna

tersendiri bagi masyarakat Jawa, seperti setiap warna

Page 40: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17

melambangkan unsur alam, nafsu, kiblat papat lima pancer (arah

mata angin), dan kelahiran. Misalnya, warna merah dilambangkan

dengan unsur alam api, merepresentasikan nafsu berupa amarah,

memiliki arah mata angin selatan, dan dalam proses kelahiran

warna merah mendeskripsikan rasa khawatir seorang ibu serta

saudara sekandung yang memiliki hubungan darah.

Kedua, disertasi yang ditulis oleh Yunyu (2015). Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui warna dasar dan warna turunan,

makna-makna konotasi warna (idiom, peribahasa, dan metafora),

dan persamaan serta perbedaan warna dalam bahasa Mandarin dan

bahasa Indonesia. Data dikumpulkan dengan menggunakan

observasi pustaka dan wawancara informan. Selain itu, digunakan

metode kontrastif untuk membandingkan warna dan budaya

tentang warna antara kedua bahasa. Hasilnya, warna dalam bahasa

Mandarin memiliki 8 warna dasar yaitu putih, hitam, merah,

kuning, hijau, biru, ungu, dan abu-abu, sedangkan bahasa Indonesia

hanya memiliki 6 warna dasar yaitu putih, hitam, merah, kuning,

hijau, dan biru. Setiap warna tersebut memiliki atribut masing-

masing seperti atribut alam dan benda. Selanjutnya, terdapat

banyak sekali makna konotasi warna pada setiap warna dasar

dalam kedua bahasa tersebut, misalnya makna bertentangan seperti

baik dan tidak baik. Terakhir, ada banyak persamaan dan

perbedaan dalam penamaan warna dari kedua bahasa tersebut yang

dipengaruhi oleh faktor internal bahasa, sejarah, politik, adat-

istiadat, teknologi, dan pengaruh bahasa asing.

b. Karya Ilmiah Terkait Bahasa dan Budaya Madura dari

Perspektif Etnolinguistik

Pertama, artikel yang ditulis oleh Fuad (2015). Penelitian

tersebut menggunakan teknik observasi partisipasi dengan turun

langsung ke lapangan untuk memperoleh data. Untuk menganalisis

data, digunakan metode analisis etnosains dengan 12 tahapan. Hasil

Page 41: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18

dibagi ke dalam 4 jenis istilah, yaitu (1) istilah perangkat ritual, (2)

istilah senjata yang digunakan, (3) istilah cara carok, dan (4) istilah

sesudah carok. Setiap istilah dijelaskan berdasarkan makna

leksikalnya. Selanjutnya, pendeskripsian falsafah linguistik dibalik

carok dalam 5 unsur, yaitu (1) sebuah tindakan pembunuhan yang

dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap orang laki-laki, (2) harga

diri, (3) dorongan ego, (4) justifikasi, baik berupa kultural maupun

lingkungan sosial dan (5) perasaan bangga.

Kedua, artikel yang ditulis oleh Putri (2017). Penelitian ini

bersumber dari buku-buku bahasa Madura dan informasi dari

masyarakat tutur Madura. Metode padan referensial dan teknik

daya pilah sebagai pembeda referen, serta teknik hubung banding

dan menyamakan digunakan untuk menganalisis data. Hasilnya,

masyarakat Madura memiliki 49 metafora pengungkap kecantikan

perempuan, yang terdiri dari 39 metafora pengungkap kecantikan

fisik dan 10 metafora pengungkap kecantikan sikap perempuan.

Jenis-jenis pembanding yang digunakan dalam 49 metafora adalah

nama tumbuhan, peralatan, binatang, makanan, alam, dan lain-lain.

Metafora-metafora pengungkap kecantikan perempuan tersebut

ternyata juga merepresentasikan pandangan hidup dan pola berpikir

masyarakat Madura, seperti tata krama perempuan Madura sangat

ditekankan dan dijunjung tinggi kehadirannya.

Dari keempat penelitian terkait di atas dapat dilihat jika

sampai saat ini penelitian mengenai etnolinguistik yang dilakukan

dengan objek menggunakan bahasa Madura masih jarang.

Sekalipun ada, penelitian tersebut tidak mengkaji mengenai warna.

Jadi, sampai saat ini belum pernah ada penelitian mengenai warna

dari perspektif etnolinguistik dalam bahasa Madura. Di samping

itu, juga ditemukan sebuah disertasi dan jurnal yang turut mengkaji

warna dari perspektif etnolinguistik atau linguistik antropologis

namun dengan objek bahasa berbeda. Disertasi dari Yunyu (2015)

meneliti warna dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia,

Page 42: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19

sedangkan jurnal dari Baehaqie (2014) meneliti warna dalam

bahasa Jawa yang terkandung dalam jenang. Selain objek bahasa

yang berbeda, penelitian tersebut juga berbeda dalam hal rumusan

masalah penelitian, tujuan penelitian, dan metode penelitian yang

digunakan. Oleh sebab itu, penelitian ini diyakini akan

memaparkan hasil berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh

Yunyu dan Baehaqie.

B. Landasan Teori

1. Etnolinguistik

Istilah ethnolinguistics atau etnolinguistik banyak digunakan di

Eropa, sedangkan di Amerika lebih memilih menggunakan istilah

linguistic anthropology dan varian lain berupa anthropological

linguistic yang dipelopori oleh Franz Boas. Duranti (1997: 1-3)

menyatakan bahwa orang-orang di Amerika baru mulai mengenal

penyebutan etnolinguistik pada akhir tahun 1940-an hingga awal 1950-

an. Di Indonesia sendiri, menurut Riana (2009: 54) istilah linguistik

antropologi digantikan dengan linguistik budaya.

Menurut Ahimsa-Putra (1997: 5) etnolinguistik berasal dari kata

etnologi dan linguistik, yang lahir karena adanya penggabungan antara

pendekatan yang biasa dilakukan oleh para etnologi (antropologi

budaya) dengan pendekatan linguistik. Dengan demikian, kajian

etnolinguistik ini dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu (1) kajian

linguistik yang memberikan sumbangan terhadap budaya (etnologi) dan

(2) kajian budaya (etnologi) yang memberikan sumbangan terhadap

linguistik. Penelitian ini menggunakan fokus yang pertama yaitu bahasa

dapat menjelaskan aspek budaya dalam masyarakat tutur. Hal ini sesuai

dengan penuturan Ahimsa-Putra (1997: 6) jika studi etnolinguistik

dapat membuktikan bahwa khasanah pengetahuan yang dimiliki suatu

masyarakat itu tersimpan dalam bahasa mereka. Bahasa digunakan

sebagai media untuk menjelaskan segala hal yang dihadapi dan dimiliki

Page 43: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20

oleh masyarakat beserta cara untuk merepresentasikan perilaku dan pola

pikir masyarakat tersebut.

Di samping pendapat di atas, Foley (1997: 3-5) juga menyatakan

jika etnolinguistik atau linguistik antropologi adalah disiplin ilmu yang

bersifat interpretatif, yang secara lebih jauh mengkaji bahasa untuk

menemukan pemahaman budaya. Jadi, etnolinguistik bersumber dari

fakta bahasa yang kemudian diinterpretasikan dengan tujuan

memperoleh pemahaman budaya dari penggunaan bahasa tersebut.

Selain memberikan pemahaman budaya, fakta bahasa juga mampu

memberikan informasi mengenai segala bentuk perubahan yang telah

terjadi dalam masyarakat. Secara spesifik, perubahan tersebut dapat

dilihat dari bertambah atau berkurangnya kosakata yang ada di dalam

masyarakat beserta bentuk kosakata yang tetap digunakan oleh

masyarakat penutur bahasa.

Beragamnya istilah yang digunakan untuk menyebutkan

hubungan bahasa dan budaya di samping kata etnolinguistik sebenarnya

bukanlah hal yang perlu diperdebatkan. Hal ini dikarenakan setiap

istilah-istilah yang muncul memiliki persamaan secara konseptual.

2. Kearifan Lokal dalam Etnolinguistik

Abdullah (2017: 47) berpendapat bahwa kearifan lokal

merupakan sistem pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat

berdasarkan pengalaman diri dan petunjuk leluhurnya secara turun-

temurun yang bersifat lentur dalam mengatasi situasi dan kondisi

setempat tercermin dalam ekspresi verbal maupun nonverbal untuk

memperoleh ketenangan hidup bersama, manusiawi, dan bermartabat.

Selanjutnya, Ahimsa-Putra (2009: 39) juga berpendapat bahwa kearifan

lokal adalah konsep yang mencakup kearifan tradisional dan kearifan

kontemporer (masa kini).

Page 44: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21

Kearifan tradisional merupakan perangkat pengetahuan dan

praktik pada suatu komunitas untuk menyelesaikan secara baik dan

benar persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, serta diperoleh dari

generasi-generasi sebelumnya secara lisan atau melalui contoh

tindakan, yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak. Lalu,

kearifan kontemporer merupakan perangkat pengetahuan dan praktik

pada suatu komunitas untuk menyelesaikan secara baik dan benar

persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, yang diperoleh dari

komunitas, masyarakat atau suku-bangsa lain di masa kini, baik secara

lisan atau melalui contoh tindakan, yang memiliki kekuatan seperti

hukum maupun tidak. Poin penting dari keduanya ialah kearifan

tradisional berfokus pada pengetahuan dari generasi sebelumnya,

sedangkan kearifan kontemporer berfokus pada pengetahuan dari

masyarakat di masa kini.

Oleh sebab itu, kearifan lokal merupakan perangkat pengetahuan

dan praktik-praktik pada suatu komunitas, baik yang berasal dari

generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalamannya

berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya untuk

menyelesaikan secara baik dan benar persoalan dan/atau kesulitan yang

dihadapi, yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak.

Selanjutnya, Ahimsa-Putra juga menambahkan jika sebagian kearifan

lokal tersimpan dalam bahasa dan sastra (tertulis maupun lisan) suatu

masyarakat. Hal ini berarti bahwa dengan menganalisis bahasa dan

sastra akan dapat mengungkapkan berbagai kearifan lokal suatu

Bagan 1. Konsep Kearifan lokal (Ahimsa-Putra, 2009: 39).

Page 45: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22

masyarakat, yang kemudian akan dapat direvitalisasi untuk kepentingan

masyarakat itu sendiri.

Poespowardojo (1987: 30) merumuskan pokok-pokok pikiran

yang terkandung dalam definisi kearifan lokal sebagai (1) ciri-ciri

budaya, (2) sekelompok manusia sebagai pemilik budaya, serta (3)

pengalaman hidup yang menghasilkan ciri-ciri budaya tersebut. Dari

pokok-pokok tersebut Rahyono (2009: 7-8) menyimpulkan jika kearifan

lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh sekelompok

(etnis) manusia yang diperoleh melalui pengalaman hidupnya serta

terwujud dalam ciri-ciri budaya yang dimilikinya

Kearifan lokal dipandang sebagai sesuatu yang bernilai,

mempunyai manfaat bagi masyarakat, serta lahir dan berkembang dari

generasi ke generasi. Jika kearifan lokal hilang, maka musnahlah juga

kepribadian suatu masyarakat atau bangsa. Hal ini dikarenakan menurut

Poespowardojo (1986: 33) kearifan lokal memiliki berbagai faktor

strategis, seperti (1) kearifan lokal merupakan pembentuk identitas yang

inheren sejak lahir, (2) kearifan lokal bukan sebuah keasingan bagi

pemiliknya, (3) keterlibatan emosional masyarakat dalam penghayatan

kearifan lokal kuat, (4) pemelajaran kearifan lokal tidak memerlukan

pemaksaan, (5) kearifan lokal mampu menumbuhkan harga diri dan

percaya diri, serta (6) kearifan lokal mampu meningkatkan martabat

bangsa dan negara.

3. Etnosains dalam Etnolinguistik

Spradley (2007: xii) menyatakan bahwa etnosains mulai

berkembang pada tahun 1960-an dan memiliki beberapa penyebutan

lain seperti cognitive anthropology atau etnografi baru. Etnografi

sendiri didasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan dari semua

kebudayaan sangatlah tinggi nilainya. Selanjutnya, Ahimsa-Putra

(2003: 34-45) juga menyatakan bahwa etnosains atau etnografi baru

merupakan pengetahuan yang dimiliki suatu bangsa lebih tepat lagi

suku bangsa atau kelompok sosial tertentu.

Page 46: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23

Sebelum kemunculannya, penelitian etnolinguistik cenderung

menggunakan model etnografi modern (1915-1925). Menurut Spradley

(2007: xii), dalam etnografi modern, bentuk sosial dan budaya

masyarakat dibangun dan dideskripsikan melalui analisis dan nalar sang

peneliti. Jadi, segala hal yang didapat dalam budaya dan struktur sosial

masyarakat diuraikan berdasarkan interpretasi peneliti. Hal ini berbeda

dengan etnografi baru (etnosains).

Spradley (2007: xii) berpendapat bahwa budaya dan struktur

sosial dianggap merupakan susunan yang ada dalam pikiran (mind)

anggota masyarakat tersebut, dan tugas peneliti adalah mengoreknya

keluar dari pikiran. Lalu, Ahimsa-Putra (2007: 98) juga menambahkan

jika dalam etnosains, perhatian utama peneliti akan diarahkan pada

kesadaran atau pada pengetahuan subjek yang diteliti mengenai perilaku

dan tindakan yang dilakukan, serta pengetahuan mereka tentang

lingkungan yang mereka hadapi. Dengan kata lain, Ahimsa-Putra

(2007: 95) menyatakan bahwa makna-makna yang perlu ditampilkan,

pertama-tama, adalah makna yang dimiliki oleh para pelaku tersebut,

bukan makna yang diberikan oleh peneliti. Selain itu, etnosains juga

memberikan asumsi bahwa setiap masyarakat memiliki sistem unik

yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan segala hal yang berada di

sekitarnya. Dengan kata lain, pikiran manusia menyimpan sebuah

konsep kebudayaan dan untuk mengeluarkan konsep tersebut ialah

melalui bahasa.

4. Dimensi Makrolinguistik dan Mikrolinguistik dalam Etnolinguistik

Kajian etnolinguistik tidak bisa dipisahkan dari dimensi

makrolinguistik dan mikrolinguistik. Hal ini sesuai dengan pendapat

Abdullah (2017: 52) yang menyatakan bahwa etnolinguistik sebagai

jenis linguistik objek yang kajiannya lebih bersifat interpretatif yang

mempertimbangkan aspek makrolinguistik dan mikrolinguistik.

Menurut Chaer (2003: 16), makrolinguistik adalah bagian dari

linguistik yang menyelidiki bahasa dalam kaitannya dengan faktor-

Page 47: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24

faktor di luar bahasa. Selanjutnya, Abdullah (2017: 52) menyatakan

bahwa kajian etnolinguistik secara makrolinguistik mempelajari bahasa

dalam konteks budaya, dan secara interpretatif mencoba mencari makna

tersembunyi yang ada di balik pemakaian bahasa, dan mengupas bahasa

untuk mendapatkan pemahaman budaya yang bermula dari fakta

kebahasaan. Dalam penelitian ini, aspek makrolinguistik digunakan

untuk menguak fakta budaya melalui fakta bahasa yang terkandung

pada nama-nama warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep melalui

pandangan hidup serta pola berpikir dari masyarakat setempat.

Berbeda dari itu, Chaer (2003: 16) menyatakan jika

mikrolinguistik merupakan studi dasar linguistik sebab yang dipelajari

adalah struktur internal bahasa. Subdisiplin dari mikrolinguistik terdiri

dari fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikologi. Penelitian

ini menerapkan subdisiplin ilmu mikrolinguistik yaitu semantik.

Semantik digunakan untuk menganalisis makna secara leksikal,

denotatif, gramatikal, dan kultural dari data verbal maupun non-verbal.

Selain itu, metafora dalam semantik juga digunakan untuk menganalisis

bentuk penamaan warna yang ada.

5. Etnolinguistik Melalui Konsep Pola Pikir

Selain sebagai media komunikasi, bahasa juga berfungsi sebagai

alat berpikir. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sibarani (2004:

144) bahwa bahasa sebagai alat atau sarana berpikir merujuk pada

hubungan dengan diri sendiri dalam memandang dunia, sedangkan

bahasa sebagai alat komunikasi merujuk pada hubungan diri dengan

dunia di luar diri sendiri. Whorf (1957: 212) menyatakan bahwa sistem

latar belakang linguistik (struktur bahasa) tidak hanya sebagai alat

untuk menyuarakan gagasan melainkan juga pembentuk gagasan itu

sendiri. Hal ini dikarenakan pembentukan gagasan untuk menciptakan

suatu pola pikir bukanlah proses yang independen tetapi merupakan

bagian dari grammar atau tata bahasa tertentu. Dengan kata lain, cara

seseorang atau sekelompok orang memandang suatu hal dapat dilihat

Page 48: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25

dari caranya menggunakan bahasa. Abdullah (2017: 54) menyatakan

bahwa bahasa merupakan manifestasi terpenting dari kehidupan mental

penuturnya dan sebagai dasar pengklasifikasian pengalaman.

Menurut Ahimsa-Putra (1985: 107), pola pikir adalah

pengetahuan suatu masyarakat yang isinya antara lain klasifikasi-

klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip yang sebagaimana dinyatakan

melalui bahasa. Jadi, dari bahasa akan diketahui dasar atau landasan apa

yang digunakan pengguna bahasa dalam membentuk suatu konsep

kebahasaan. Selanjutnya, Ahimsa-Putra (1985: 121-122) kembali

menyatakan jika melalui bahasa inilah berbagai pengetahuan, baik yang

tersembunyi (tacit) maupun yang tidak (explicit) terungkap pada si

peneliti. Selain itu, Sibarani (2004: 147) juga mengimplikasikan dua hal

terkait bahasa dan pikiran, yaitu (1) melalui bahasa kemampuan

berpikir dapat ditingkatkan karena bahasa merupakan alat

memformulasikan pikiran, dan (2) melalui berpikir kemampuan

menggunakan bahasa dapat diperoleh dan dipelajari karena

menggunakan bahasa itu sendiri adalah bagian berpikir. Oleh karena

itu, dalam penelitian ini, penamaan warna beserta penggunaannya

dalam kehidupan dapat memperlihatkan bagaimana pola pikir

masyarakat dalam memandang dunia atau hal di luar dirinya.

6. Etnolinguistik Melalui Bahasa, Budaya, dan Folklor

Goodenough (1957: 167) berpendapat jika kebudayaan suatu

masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui dan diyakini

manusia agar bertindak dengan suatu cara yang dapat diterima oleh

anggota-anggota masyarakat dan agar dapat berperan sesuai dengan

peran yang diterima anggota masyarakat. Selanjutnya, menurut

Abdullah (2017: 53) jalan paling mudah untuk memperoleh budaya

adalah melalui bahasa, khususnya melalui daftar kata-kata yang ada

dalam suatu bahasa. Hal ini dikarenakan bahasa digunakan sebagai

sarana ekspresi nilai-nilai budaya dalam masyarakat. Menurut Sibarani

(2004: 59), ada tiga jenis budaya yang dapat disampaikan melalui

Page 49: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26

bahasa, yaitu (1) kebudayaan ekspresi, mencakup perasaan, keyakinan,

intuisi, ide, dan imajinasi kolektif, (2) kebudayaan tradisi, mencakup

nilai-nilai religi, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan, serta (3)

kebudayaan fisik, mencakup hasil-hasil karya asli yang dimanfaatkan

masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Unsur-unsur kebudayaan

dapat disampaikan dan dimengerti apabila unsur kebudayaan itu

mempunyai nama atau istilah. Jadi, budaya yang tersimpan dalam

masyarakat Madura dapat dilihat dari nama-nama warna yang mereka

gunakan pada kehidupan sehari-hari atau yang melekat dalam peristiwa

budaya. Selain itu, Abdullah (2017: 53) menyatakan bahwa dari nama-

nama ini dapat diketahui patokan apa yang dipakai oleh suatu

masyarakat untuk membuat klasifikasi, yang berarti juga dapat

mengetahui pandangan hidup kebudayaan tersebut.

Salah satu cara lain untuk menangkap fenomena sosial-budaya

dalam sebuah masyarakat ialah melalui folklor. Sibarani (2013: 2)

menyatakan bahwa folklor merupakan sebagian kebudayaan suatu

kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara

kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda,

baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak

isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Dengan kata

lain, folklor merupakan sebuah cerminan diri dan kebiasaan manusia

secara kolektif sehingga mempelajari folklor sama halnya dengan

menyelami sejarah atau asal-usul kehidupan manusia.

Pada dasarnya, folklor merupakan wujud budaya yang diturunkan

dan atau diwariskan secara turun-temurun secara lisan (oral). Namun,

seiring berkembangnya zaman pewarisan folklor terdiri dari beberapa

jenis, seperti folklor lisan maupun folklor bukan lisan (tulis).

Danandjaya (1991: 22) membagi folklor lisan dalam 6 jenis yaitu,

bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, sajak dan

puisi rakyat, cerita prosa rakyat, serta nyanyian rakyat. Lalu, folklor

yang bukan lisan adalah makanan rakyat. Menurut Bascom (1965: 343-

346), folklor-folklor tersebut sama-sama memiliki fungsi yang sangat

Page 50: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27

penting dalam kehidupan manusia, yaitu (1) sebagai sistem proyeksi

(proyective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu

kolektif, (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-

lembaga kebudayaan (validating culture), (3) sebagai alat pendidikan

(pedagogical device), dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar

norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya

(maintaning conformity),

Di Madura, terdapat beberapa folklor yang masih hidup di tengah

masyarakatnya. Salah satu folklor yang memiliki hubungan dengan

nama warna adalah cerita rakyat Joko Tolѐ. Dikisahkan oleh Ahmad

(2018: 96-156), bahwa Joko Tolѐ merupakan raja Sumenep ke-13 yang

memerintah selama 45 tahun (1415-1460). Joko Tolѐ lahir dari seorang

ibu bernama Dewi Saini, seorang putri dari Pangeran Secadiningrat II.

Dewi Saini memiliki paras yang cantik dan berkulit kuning langsat.

Oleh sebab itu, beliau lebih dikenal dengan sebutan Potrѐ Konѐng

‘Putri Kuning’. Potrѐ Konѐng memiliki kegemaran bertapa di Gua

Pajudan Sumenep. Saat bertapa pada bulan purnama, beliau bermimpi

bertemu dan bersetubuh dengan seorang lelaki tampan yang juga

bertapa di Gunung Geger Bangkalan. Maka, timbullah keajaiban sang

putri hamil meskipun belum pernah mengenal lelaki tersebut.

Mendengar kehamilan itu sang raja menjadi murka hingga akhirnya

Potrѐ Konѐng diusir dan tinggal di suatu tempat bernama Pakandangan.

Di sanalah Joko Tolѐ lahir dan dibantu dibesarkan oleh keluarga pandai

besi bernama Mpu Keleng.

Dari cuplikan folklor di atas dapat diketahui jika warna adalah

sesuatu yang dekat dengan masyarakat Madura. Bahkan, untuk

menamai seorang putri pada zaman itu masyarakat Madura memilih

kata konѐng ‘kuning’ guna merepresentasikan keindahan fisik sang

putri. Hal ini sesuai dengan pendapat Abdullah (2017: 53) jika dalam

folklor terekam fenomena kontekstual terkait dengan struktur bahasa

seperti pada fenomena sintaksis (kalimat), wacana (teks), atau pada

Page 51: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28

tataran kata (leksikon) dan dapat mengandung makna yang utuh serta

tergantung dari informasi yang didukungnya.

7. Etnolinguistik Melalui Semantik

Kajian etnolinguistik tidak bisa dipisahkan dari kajian semantik

karena untuk memperoleh makna di dalam bahasa dapat dilihat dengan

teori semantik. Verhaar (2016: 13) mengatakan semantik adalah cabang

ilmu linguistik yang membahas arti atau makna. Odgen dan Richards

(1923: 186) mengungkapkan bahwa makna adalah suatu

perbendaharaan kata yang intrinsik dan hubungan antara ha-hal unik.

Selanjutnya, dalam sebuah kelompok kata, arti ditentukan oleh makna

leksikal dan makna gramatikal. Penelitian ini menggunakan empat jenis

makna yaitu makna leksikal, makna gramatikal, makna denotatif, dan

makna kultural untuk menganalisis temuan data yang ada.

Pertama, Pateda (2010: 19) menyatakan bahwa makna leksikal

adalah makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, entah dalam bentuk

leksem atau bentuk berimbuhan yang maknanya kurang lebih tetap,

seperti yang dapat dibaca di dalam kamus bahasa tertentu. Misalnya,

makna leksem cѐlleng ‘hitam’ yang secara leksikal menurut kamus

bahasa Madura (Pawitra, 2009: 9) merupakan warna dasar serupa

dengan arang.

Kedua, Subroto (2011: 33) menyatakan bahwa makna gramatikal

adalah makna yang timbul karena relasi satuan gramatikal baik dalam

konstruksi morfologi, frasa, klausa, atau kalimat. Dengan kata lain,

makna gramatikal merujuk pada makna dari hubungan antarunsur

dalam sebuah bahasa. Data yang diperoleh dalam penelitian ini selain

merupakan kata yang berasal dari warna utama juga berupa gabungan

kata yaitu warna dasar atau nondasar yang mendapatkan atribut.

Gabungan antara warna dasar atau nondasar dengan atribut tersebut

akan membentuk sebuah frasa. Selanjutnya, atribut dalam nama warna

bisa berasal dari berbagai kelas kata. Setiap atribut dapat memberikan

makna yang berbeda dalam penentuan spektrum warna.

Page 52: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 29

Contoh:

1. Warna + atribut adjektiva

(TB.01/41)

Konѐng pocet konѐng + pocet

kuning pucat

2. Warna + atribut nomina

(TB.01/35)

Konѐng konyè’ konѐng + konyè’

kuning kunyit

Ketiga, makna denotatif adalah makna dasar, yaitu makna kata

yang masih menunjuk pada acuan dasarnya sesuai dengan konvensi

masyarakat pemakai bahasa. Menurut Suwandi (2011: 96), makna dasar

juga dapat dinyatakan mengenai hubungan antara kata dan

pengertiannya secara objektif. Misanya, makna denotatif frasa bherrâs

konѐng ‘beras kuning’ (TB.03.02/01) bherrâs konѐng atau beras kuning

adalah salah satu perlengkapan yang digunakan saat tari Muwang

Sangkal dimainkan. Beras ini nantinya akan ditabur oleh para penari.

Keempat, Subroto (2011: 36) menyatakan bahwa makna kultural

adalah arti secara khas yang mengungkapkan unsur-unsur budaya dan

keperluan budaya secara khas aspek kebudayaannya. Kemudian,

Abdullah (2017: 56) juga menyatakan bahwa makna kultural berfungsi

untuk menyoroti kearifan lokal yang berkaitan dengan beraneka ragam

corak aktivitas kehidupan bahasa dan budaya masyarakat. Misalnya,

makna kultural frasa bherrâs konѐng ‘beras kuning’ (TB.03.02/01)

adalah beras kuning ditabur atau dibuang (muwâng) dengan maksud

menghalau musibah. Warna kuning bermakna sinar matahari. Musibah

yang ada di dalam kehidupan manusia dilambangkan dengan warna

gelap (hitam). Oleh sebab itu, dengan membuang beras kuning sama

halnya dengan memberikan sinar kepada kegelapan sehingga musibah

tidak lagi mendatangi hidup manusia.

Page 53: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30

a. Metafora

Teori mengenai metafora dalam bidang semantik digunakan

untuk mendeskripsikan penamaan warna dalam bahasa Madura.

Menurut Knowles dan Moon (2006: 2), metafora adalah

penggunaan bahasa untuk merujuk kepada hal lain yang memiliki

kesamaan atau hubungan antara objek yang ditunjuk dan yang

menjadi penunjuk. Selaras dengan itu, Subroto (2011: 116)

menyatakan jika pada dasarnya metafora diciptakan berdasarkan

persamaan (similarity) antara dua satuan atau antara dua term.

Persamaan tersebut terdapat dalam beberapa aspek saja, bukan

keseluruhan. Misalnya, persamaan terhadap wujud fisik, karakter,

atau daya tangkap. Di antara beberapa persamaan yang digunakan

dalam metafora, persamaan terhadap wujud fisik biasanya dapat

diamati secara nyata dan paling mudah ditangkap. Subroto (2011:

126-127) mengungkapkan bahwa metafora sendiri berfungsi untuk

(1) mengatasi kekurangan atau keterbatasan leksikon, (2)

memberikan daya ekpresif, dan (3) mengurangi ketunggal-nadaan.

Penggunaan metafora dalam kehidupan sehari-hari dapat

mencerminkan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan.

Hal ini sesuai dengan pendapat Duranti (1997: 38) bahwa metafora

dianggap sebagai situasi ketika suatu budaya dibawa dalam bentuk

linguistik dan digunakan dalam komunikasi.

Palmer (1999: 223) membagi metafora dalam 3 unsur, yaitu

(1) tenor, merupakan objek yang dikiaskan atau disebut pebanding,

(2) vehicle, merupakan konsep yang digunakan untuk

melambangkan tenor atau disebut pembanding, dan (3) ground,

merupakan persamaan yang muncul antara tenor dan vehicle.

Sebagai contoh, dalam data (TB.1/46) konѐng matta ‘kuning

mentah’. Unsur tenor dalam frasa tersebut adalah konѐng ‘kuning’.

Dengan demikian, warna konѐng merupakan objek yang kiaskan.

Matta ‘mentah’ merupakan unsur vehicle karena menjadi unsur

pembanding, sedangkan unsur ground merupakan interaksi

Page 54: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31

persamaan di antara kedua unsur tersebut yaitu warna kuning

disandingkan dengan adjektiva ‘mentah’ yang mana kata ‘mentah’

bermakna belum matang. Istilah konѐng matta digunakan untuk

menyebut warna kuning keputihan. Warna tersebut seperti pada

daging buah yang belum matang betul. Selanjutnya, penamaan

warna secara metaforik tersebut dapat dijelaskan lebih mendalam

melalui dimensi makrolinguistik untuk mengetahui faktor-faktor

pembentuk penamaan warnanya.

b. Hubungan Semantik dan Semiotik

Menurut Ratih (2016: 2), kata semiotik berasal dari bahasa

Yunani yaitu semion yang berarti tanda. Subroto (2011: 3)

menyatakan jika semantik merupakan bagian dari semiotik dan

semiotik mengkaji sistem penciptaan juga pengidentifikasian tanda

beserta lika-likunya. Selanjutnya, bagi Pateda (2010: 29),

masyarakat yang berwujud manusia dikelilingi oleh tanda, diatur

oleh tanda, ditentukan oleh tanda, bahkan dipengaruhi oleh tanda

sehingga dengan demikian terdapat kelompok semiotik. Tanda-

tanda yang berada di sekeliling manusia tersebut akan ditelaah

maknanya dalam bidang semantik. Jadi, Hidayat (2004: 78)

menyimpulkan bahwa semiotik adalah teori dan analisis berbagai

tanda (sign) dan pemaknaan (signification).

Ferdinand de Saussure (1959: 67) menyatakan bahwa konsep

tanda tergolong ke dalam model tanda diadik, yaitu signifier

‘penanda’ untuk sound-image ‘citra-bunyi’ dan signified ‘petanda’

untuk konsep. Berbeda dengan hal itu, Pierce (1998: 272-278)

menggambarkan tanda dalam tiga komponen atau biasa disebut

triadik Pierce, yaitu (1) representamen, (2) object, dan (3)

interpretant. Representamen adalah sesuatu yang berhubungan

dengan object, object adalah tanda yang berada di sekeliling

manusia, sedangkan interpretant merupakan tafsiran makna dari

hubungan antara representamen dan object.

Page 55: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32

Menurut teori semiotik Pierce (1998: 5), tanda dibedakan

menjadi tiga, yaitu (1) likeness or icons ‘ikon’, (2) indications

‘indeks’, dan (3) symbols ‘simbol’. Likeness or icons ‘ikon’

merupakan tanda yang terkait dengan objek berdasarkan

kemiripannya, seperti gambar, potret, atau patung. Indications

‘indeks’ merupakan tanda yang penanda dan petandanya

menunjukkan adanya hubungan alamiah yang bersifat kausalitas,

misalnya asap menandai api, mendung menandai hujan. Symbols

‘simbol’ merupakan tanda yang penanda dan petandanya tidak

menunjukkan adanya hubungan alamiah; hubungannya arbiter

(semau-maunya) berdasarkan konvensi, misalnya kata “ibu”

digunakan untuk menandai orang yang melahirkan kita. Warna

sendiri merupakan jenis tanda berupa simbol.

Selain teori diadik Saussure dan triadik Pierce di atas, tanda

juga digambarkan dalam segitiga semantik Odgen dan Richards

(1923: 11). Teori tanda Richards dan Odgen dirasa paling tepat

digunakan dalam analisis tanda karena hubungan antara tiga

komponen dalam segitiga semantik tersebut memiliki urutan

penafsiran tanda yang lebih jelas, lengkap, dan mudah dibedakan

daripada teori triadik Pierce dan diadik Saussure. Dalam triadik

Pierce, komponen representamen dan object merupakan dua hal

yang samar dan kadang sulit dibedakan. Menurut Nazaruddin

(2015: 12), representamen merupakan tanda yang dipersepsi oleh

orang. Hal tersebut akan tumpang tindih dengan keberadaan object.

Selanjutnya, teori diadik Saussure memaknai object sebagai

referent dan menyebutkannya hanya sebagai unsur tambahan dalam

proses penandaan. Dengan kata lain, tanda menurut Saussure

(1959: 66) adalah kombinasi dari sebuah konsep dan sebuah sound-

image ‘citra-bunyi’. Berbeda dengan segitiga semantik Odgen dan

Richards yang memaparkan 3 unsur penting dalam sebuah tanda

dan tidak hanya berhenti pada konsep thought saja.

Page 56: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33

Berdasarkan bagan di atas, A merupakan simbol (bunyi) yang

dinyatakan dengan garis lurus B, sedangkan B merupakan konsep

dalam pikiran. Hubungan antara A dan B bersifat kausatif yang

artinya terdapat hubungan sebab-akibat, yaitu konsep yang muncul

dalam pikiran manusia disebabkan karena adanya faktor sosial dan

psikologis dari penggunanya ketika mendengar A. Jadi, konsep

pikiran atau referensi satu individu dengan yang lain tidak bisa

disamakan. Selanjutnya, B memiliki hubungan dengan C yang

merupakan referen. Hubungan B dan C ini ibarat sebuah rantai

panjang yang bisa memiliki hubungan maupun tidak. Dengan kata

lain, dalam penggunaan bahasa, benda-benda sekitar dapat

diabstraksikan atau memiliki ciri-ciri. Lalu, hubungan A dan C

dinyatakan dengan tanpa garis karena tidak ada hubungan yang

relevan atau merupakan hubungan tidak langsung.

Sebagai contoh, kata konѐng merupakan simbol atau bentuk

kata (A) yang memiliki hubungan kausatif dengan (B) yaitu

merupakan salah satu warna dalam bahasa Madura yang

menyerupai bagian dalam dari kunyit. Secara kultural bagi

masyarakat Madura warna konѐng ‘kuning’ bisa bermakna sinar

matahari khususnya dalam domain kesenian tari Muwang Sangkal

yaitu atribut bherrâs konѐng ‘beras kuning’ karena mampu

menghalau musibah yang dilambangkan dengan warna gelap.

Bagan 2. Segitiga Semantik Odgen dan Richards (1923: 11)

Page 57: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34

Selanjutnya, konsep (B) memiliki hubungan dengan referent (C)

yaitu konsep yang sudah dijelaskan tersebut mengacu pada referent

. . Hubungan antara referent (C) dengan bentuk kata (A)

bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan tanda tersebut

merupakan simbol yang tidak memiliki hubungan alamiah.

Menurut Pateda (2010: 29-30), sekurang-kurangnya ada 9

macam semiotik. Penelitian ini menerapkan semiotik kultural.

Semiotik kultural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem

tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Hal ini

dikarenakan tanda (warna) yang akan diteliti makna kulturalnya

merupakan warna-warna yang terekspresikan dalam kehidupan dan

kebudayaan masyarakat Madura di Kab. Sumenep.

8. Warna

a. Teori Warna Dasar Berlin dan Kay

Berlin dan Kay (1969) pernah melakukan penelitian empiris

terhadap terminologi warna pada 20 bahasa ditambah literatur

bahasa lain mencapai 80 bahasa. Penelitian tersebut menghasilkan

dua konsep yaitu (1) setiap bahasa memiliki batasan dan aturan

tersendiri dalam membentuk istilah warna dan (2) bahasa akan

berubah dari waktu ke waktu sehingga berdampak pada

penambahan leksikon warna. Selain itu, penelitian Berlin dan Kay

juga menunjukkan sebelas kategori organisasi warna berdasarkan

hierarki implikasional yang diilustrasikan dalam gambar berikut.

Hierarki implikasional tersebut mengekspresikan “a<b” yang

bermakna “b” mengakibatkan “a”, yaitu “a is present in every

Bagan 3. Hierarki implikasional warna dasar Berlin dan Kay (1969: 3)

Page 58: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35

language in which b is present and also in some language in which

b is not present”. Dengan kata lain, jika sebuah bahasa memiliki

kosakata warna red, maka dalam bahasa tersebut pun harus ada

kosakata warna black dan white. Namun, kosakata warna black dan

white dapat muncul dalam bahasa yang tidak memiliki kosakata

warna red.

Untuk lebih spesifik, Berlin dan Kay (dalam Darmaprawira,

2002: 53) menjelaskan bahwa, (1) tidak ada bahasa yang memiliki

satu istilah warna, paling sedikit dua warna yaitu hitam dan putih,

(2) bila memiliki 3 istilah warna biasanya ditambah warna merah,

(3) bila memiliki 4 istilah warna biasanya ditambah warna kuning

atau hijau, (4) bila memiliki 6 istilah warna ditambah warna biru,

(5) bila memiliki 7 istilah warna ditambah warna cokelat, dan (6)

bila memiliki 8 atau lebih istilah warna biasanya ditambah ungu,

merah muda, oranye, atau abu-abu.

Berdasarkan uraian di atas, untuk melakukan kajian

mengenai warna, perlu diperhatikan terlebih dahulu warna apa saja

yang masuk dalam warna dasar. Menurut Berlin dan Kay (1969: 5)

warna dasar memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. It is mono-lexemic. Its meaning is not predictable from

meaning of its parts.

Nama warna bersifat monoleksemik dan makna warna dasar

tidak berasal dari makna bagiannya. Foley (1997: 153)

mencontohkan pada warna bluish yang ternyata jika dilihat

dalam A Dictionary of Colour (Paterson, 2003: 64) memiliki

arti yang sama dengan tinged with blue. Jadi, dapat

disimpulkan bahwa warna bluish merupakan bagian dari warna

blue sehingga warna tersebut tidak termasuk dalam warna

dasar.

Page 59: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36

2. Its signification is not included in that of any other color term.

Makna warna tersebut tidak termasuk dalam istilah warna

lainnya. Foley (1997: 153) mencontohkan pada warna scarlet

yang ternyata merupakan bagian dari warna red. Hal ini

dibuktikan dalam A Dictionary of Colour (Paterson, 2003:

349) yang menyatakan bahwa scarlet merupakan a bright

orange-red.

3. Its application should not be restricted to a narrow class of

objects.

Nama warna tidak digunakan pada objek yang sempit. Dalam

kasus ini, Foley (1997: 153) memberikan contoh pada kosakata

warna blond (Paterson, 2003: 55) yang bermakna light or fair

in colour; especially as regards hair; a light golden colour.

Jadi, warna blond ini hanya bisa digunakan untuk

menunjukkan warna rambut dan kayu sehingga tidak bisa

digunakan untuk menunjukkan warna pada objek lain.

4. It must be salient for informants.

Nama warna harus dianggap penting, menonjol, dan familiar

bagi informan. Menurut Foley (1997: 153), nama warna dasar

akan disebutkan pertama kali di antara nama-nama yang lain

dan nama warna tersebut dikenal secara luas oleh informan.

Misalnya dalam bahasa Madura, mѐra cabbi dan mѐra

ngadarbhang. Kata mѐra (merah) merupakan kata yang

disebutkan pertama kali dan menandakan bahwa warna

tersebut dikenal luas dan bersifat menonjol sebelum diikuti

kata lain setelahnya. Selain itu, nama warna itu juga harus

dikenal luas yang bisa dimaknai sebagai satu warna memiliki

banyak warna turunan.

Page 60: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37

b. Teori Psikologi Warna Marian L. David

Dari kacamata psikologi, pada dasarnya manusia melihat

warna tidak hanya sebagai suatu keindahan atau ketertarikan secara

pribadi, melainkan lebih dari itu. Manusia memilih warna

berdasarkan kesadaran, kebutuhan, dan perasaannya. Warna

merupakan sebuah proses intuisi yang dapat mempengaruhi

persepsi manusia. Menurut David (1987: 119), warna digolongkan

menjadi dua, yaitu warna eksternal dan internal. Warna eksternal

adalah warna yang bersifat fisika dan faali, sedangkan warna

internal adalah warna sebagai persepsi manusia, cara manusia

melihat warna kemudian mengolahnya di otak dan cara

mengekspresikannya. Penelitian ini lebih menekankan dalam

penggolongan warna secara internal karena warna akan dilihat

secara khusus berdasarkan penggunaannya dalam masyarakat

Madura di Kab. Sumenep.

Warna memiliki pengaruh terhadap emosi dan kepribadian

individu atau sekelompok orang. Oleh sebab itu, warna juga

banyak digunakan dalam ranah kepercayaan atau keagamaan, karya

sastra, dan kegiatan fisik maupun mental manusia. Bahkan,

menurut Darmaprawira (2002: 31), warna juga dapat digunakan

untuk menyembuhkan penyakit yang berhubungan dengan

kejiwaan. Selain itu, warna juga memiliki karakteristik dalam arti

perlambangannya. Darmaprawira (2002: 39) mengungkapkan

dalam skala yang menyeluruh warna memiliki arti perlambangan

yang spesifik dan bervariasi mulai dari situasi sosial yang satu ke

situasi sosial lainnya. Jadi, warna dapat digunakan untuk

menggambarkan sebuah situasi sosial dalam masyarakat, termasuk

kebudayaan yang dimilikinya.

Page 61: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38

C. Kerangka Pikir

Kerangka penelitian ini berangkat dari data, yaitu (1) satuan-satuan

lingual penanda warna dalam bahasa Madura yang digunakan oleh

masyarakat di Kab. Sumenep dan (2) simbol warna yang terekspresikan pada

peristiwa budaya dalam masyarakatnya. Data-data tersebut diperoleh melalui

dua sumber data, yaitu sumber data primer berupa tuturan informan serta

peristiwa budaya, dan sumber data sekunder berupa sumber-sumber tertulis

seperti buku, kamus, jurnal, serta artikel dari internet. Masyarakat tutur yang

dijadikan sebagai informan akan diberikan instrumen penelitian berupa kartu

warna yang berasal dari standar nama warna pada web (Nugroho, 2008: 20-

23) berjumlah 139 warna untuk membantu memudahkan mereka dalam

memberikan informasi perihal satuan-satuan lingual penanda warna dalam

bahasa Madura sesuai dengan pengetahuannya. Dengan kata lain, instrumen

penelitian tersebut berfungsi sebagai alat pembangkit data.

Selanjutnya, nama-nama warna dalam bahasa Madura yang telah

terkumpul akan dianalisis terlebih dahulu dengan teori warna dasar dari

Berlin dan Kay (1969). Hal ini bertujuan untuk mengetahui warna dasar dan

nondasar apa saja yang dimiliki oleh bahasa Madura. Langkah berikutnya,

warna turunan akan dipetakan dari warna dasar dan nondasar yang telah

ditemukan. Kemudian, data yang ada akan dianalisis menggunakan

pendekatan semantik dengan metode padan referensial untuk membantu

mendeskripsikan penamaan warna secara metaforis. Selanjutnya, pendekatan

etnolinguistik menggunakan metode etnografi dijalankan dengan model

analisis etnosains yang bertujuan untuk memperoleh tema-tema budaya, yaitu

makna kultural dari konsep penggunaan warna dalam bahasa Madura pada

beberapa domain dalam kehidupan masyarakat setempat dan faktor-faktor

yang membentuk penamaan warna dalam bahasa Madura. Kerangka pikir

penelitian ini dapat digambarkan seperti bagan di bawah ini.

Page 62: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39

1. Satuan-satuan

lingual penanda warna dalam

bahasa Madura

2. Simbol warna dalam peristiwa

budaya

Sumber data primer:

1. Tuturan

informan 2. Peristiwa

budaya

Sumber data sekunder:

1. Kamus

2. Buku

3. Jurnal 4. Artikel dari

internet

Metode padan

referensial

Metode etnografi

Etnolinguistik

Analisis PUP dan

HBS

Makna kultural

penggunaan warna

Faktor pembentuk penamaan warna

dalam BM

Menemukan bentuk

penamaan warna

dalam BM

Menemukan tema

budaya

Simpulan

Bagan 4. Alur kerangka berpikir penelitian

Nama-nama warna

dalam BMS

Satuan lingual dan

bentuk penamaan warna Makna kultural

penggunaan warna

Faktor munculnya

penamaan warna

Analisis etnosains

Page 63: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (fieldwork research) yang

dilakukan di Kab. Sumenep. Kab. Sumenep merupakan satu diantara empat

Kab. yang berada di Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur. Secara astronomis,

Kab. Sumenep terletak pada 1130 32’ 54” – 1160 16’ 48” Bujur Timur dan

40 55’ – 70 24’ Lintang Selatan. Secara administratif, Kab. Sumenep terbagi

dalam 27 Kecamatan, 328 Desa dan 4 Kelurahan dengan jumlah pulau

sebanyak 126 pulau yaitu 48 pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak

berpenghuni (Bappeda Jatim, 2013).

Secara geografis, menurut Bappeda Jatim (2013) kabupaten ini

memiliki luas wilayah sebesar 2.093,458 Km2 dengan batas wilayah sebagai

berikut: (1) sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, (2) sebelah selatan

berbatasan dengan Selat Madura, (3) sebelah timur berbatasan dengan Laut

Jawa atau Laut Flores, dan (4) sebelah barat berbatasan dengan Kab.

Pamekasan. Peta yang menunjukkan hal tersebut dapat dilihat pada lampiran

1 (halaman 245).

Beberapa pertimbangan yang mendasari penelitian ini untuk dilakukan

di Kab. Sumenep ialah sebagai berikut:

a. Sumenep merupakan kiblat kebudayaan karena merupakan satu-satunya

Kab. di Pulau Madura yang memiliki keraton. Keberadaan keraton di

Sumenep merupakan pemberian dari Raden Wijaya kepada Aria Wiraraja

yang telah membantu Majapahit dalam melawan pasukan Mongol Tartar.

Diceritakan (Ahmad, 2018: 90) bahwa pasukan Tartar datang ke Jawa

untuk melakukan balas dendam atas perlakuan tidak wajar terhadap

Meng Ch’i oleh Raja Jawa. Namun, atas kecerdikan Aria Wiraraja

pasukan Tartar tersebut dijebak dalam kawasan Majapahit hingga

menyerah dan kalah. Setelah perlawanan itu, berdasarkan “Perjanjian

Songennep” pada 10 November 1293, Raden Wijaya diangkat menjadi

Raja Majapahit dengan daerah kekuasaan wilayah-wilayah Malang

Page 64: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41

(bekas Kerajaan Singhasari) dan wilayah barat, sedangkan Aria Wiraraja

menagih janji untuk menguasai wilayah lainnya, termasuk Sumenep.

Hingga kini, keraton tersebut masih berdiri kokoh dan menjadi museum

sejarah serta pusat kebudayaan. Jadi, arsip-arsip mengenai kebudayaan

Madura masih tersimpan lengkap di Kab. ini. Dengan demikian akan

diperoleh informasi dari beberapa informan yang masih keturunan raja-

raja Sumenep untuk memperkaya penjelasan penelitian ini. Misalnya,

penjelasan mengenai Labâng Mѐsem ‘pintu tersenyum’ yang berada di

lingkungan keraton.

b. Bahasa Madura dialek Sumenep memiliki pelafalan yang dianggap

terdengar paling merdu, halus, dan jelas (Rifai, 2007: 55), karena setiap

suku kata diucapkan secara penuh dan tegas. Hal ini menurut Saidi

(2016) juga dipengaruhi oleh keberadaan Keraton Sumenep yang pada

masanya menerapkan ondhâgghâ bhâsa ‘tingkatan bahasa’ untuk

membangun komunikasi antara kaum bangsawan dengan rakyatnya

sehingga sopan santun dalam berbahasa sangat dijaga. Oleh sebab itu,

bahasa Madura dialek Sumenep dijadikan sebagai bahasa Madura standar

dan menjadi acuan dalam penulisan bahasa Madura secara umum, baik

dalam ranah akademis maupun perkantoran. Dengan adanya hal tersebut,

data yang diperoleh yaitu satuan lingual penanda warna dalam ekspresi

bahasa pada bahasa Madura akan berbentuk standar baik dilihat dari segi

pelafalan maupun penulisannya jika mengambil data di Kab. Sumenep.

c. Secara khusus, Kab. Sumenep memiliki beberapa desa yang aktivitas

keseharian atau matapencaharian penduduknya dekat dengan proses

pewarnaan. Dengan begitu, penduduk di desa tersebut familier dengan

warna dan memiliki pengetahuan lebih soal nama-nama warna dalam

bahasa Madura. Desa tersebut antara lain, (1) Desa Pakondang yang

merupakan sentra pembuatan batik, (2) Desa Karduluk yang merupakan

sentra ukir kayu, dan (3) Desa Ambunten yang merupakan pesisir dengan

mayoritas penduduk berprofesi sebagai nelayan dengan kreasi perahu

yang berwarna-warni.

Page 65: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42

d. Kab. Sumenep merupakan tanah kelahiran dan tempat dibesarkannya

penulis. Penulis beranggapan akan memiliki kedekatan yang lebih

dengan kehidupan masyarakat setempat baik dalam ranah bahasa maupun

kebudayaan. Hal tersebut tentunya akan memudahkan dalam melakukan

penelitian, seperti untuk mengajukan pertanyaan dan memahami

informasi dari informan yang disajikan dalam bahasa Madura.

B. Bahan dan Alat Penelitian

Untuk memperoleh data, digunakan bantuan 139 kartu warna (Nugroho,

2008: 20-23) yang diperoleh dari standar nama warna pada web. Jadi, dalam

dunia web, nama warna sudah mempunyai standar yang sama. Nantinya,

kartu-kartu warna tersebut akan ditunjukkan pada informan secara bergantian

dan para informan menyebutkan nama warna dari masing-masing kartu sesuai

dengan pengetahuannya. Hal ini digunakan untuk membantu menjawab

rumusan masalah pertama, yaitu mendeskripsikan satuan lingual penanda

warna yang digunakan oleh penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep.

Kartu warna akan dibuat dalam kertas yang mana masing-masing kartu

berukuran 3 x 3 cm. Pembuatan kartu warna tersebut dilakukan menggunakan

aplikasi microsoft word dengan cara memasukkan decimal code pada format

shape dari 139 warna (lihat lampiran 2). Pembuatan kartu warna berbasis

teknologi ini dianggap lebih akurat untuk menampilkan jenis-jenis warna. Hal

ini sesuai dengan pendapat Darmaprawira (2002: 170) yang menyatakan

bahwa dalam era komputerisasi ini, komposisi warna dapat dicapai dengan

bantuan komputer, dengan tingkat ketelitiannya yang lebih terukur dan akurat

sehingga hasil campurannya seperti yang diharapkan.

Gambar 1. Decimal code dalam format shape pada microsoft word

Page 66: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 43

C. Jenis Penelitian

Penelitian ini mengkaji nama-nama warna dalam bahasa Madura di

Kab. Sumenep menggunakan kajian etnolinguistik. Jenis penelitian ini adalah

kualitatif. Menurut Moleong (2007: 6), penelitian kualitatif bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara

holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada

suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai

metode alamiah. Selanjutnya, Santosa (2017: 31) menambahkan jika

penelitian kualitatif memiliki ciri khusus berupa bersifat deskriptif, induktif,

intuitif, etnografis dan melihat peneliti sebagai instumen, serta menggunakan

purposive sampling.

Penelitian kualitatif yang digunakan ini bersifat deskriptif karena

penelitian kualitatif (Santosa, 2017: 31) bertujuan untuk memahami dan

memaparkan fenomena budaya yang tersembunyi atau sedikit diketahui

orang. Sejalan dengan hal itu, penelitian deskriptif (Sutopo, 2006: 111)

adalah penelitian yang studi kasusnya mengarah pada pendeskripsian secara

rinci dan mendalam mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya

terjadi menurut apa adanya di lapangan studinya. Jadi, penelitian deskriptif

kualitatif ini sesuai dengan tujuan dari penelitian yang akan dilakukan yaitu

untuk mendeskripsikan satuan lingual penanda warna yang digunakan oleh

penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep, untuk mendeskripsikan makna

kultural dari konsep penggunaan warna dalam masyarakat Madura di Kab.

Sumenep, dan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan

munculnya penamaan warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep.

Penelitian deskriptif kualitatif ini menggunakan metode etnografi

dengan model analisis etnosains (etnografi baru). Metode etnografi (Spradley,

2007: 3) digunakan untuk mendeskripsikan suatu kebudayaan. Di dalam

kebudayaan tersebut terdapat prinsip-prinsip tersembunyi dari pandangan

hidup masyarakat yang perlu dikuak. Jadi, menurut Spradley (2007: 5) inti

dari etnografi adalah upaya memperhatikan makna-makna tindakan dari

kejadian yang menimpa informan. Beberapa makna tersebut terekspresikan

dalam bahasa.

Page 67: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 44

Kemudian, analisis etnosains menjelaskan jika manusia memiliki

kesadaran dan pengetahuan atas apa yang dilakukannya. Menurut Ahimsa-

Putra (2007: 95), kesadaran dalam diri manusia pada dasarnya merupakan

kesadaran yang bersifat sosial atau kolektif karena tercipta melalui

komunikasi dengan bahasa lisan sebagai sarana utamanya. Oleh karena itu,

bahasa merupakan wadah dari kesadaran kolektif tersebut. Analisis etnosains

dilakukan dengan menggunakan alur penelitian maju bertahap (The

Developmental Research Sequence) yang terdiri dari 12 tahap (Spradley,

2007: 63-312), yaitu (1) menetapkan informan, (2) mewawancarai informan,

(3) membuat catatan etnografis, (4) mengajukan pertanyaan deskriptif, (5)

melakukan analisis wawancara etnografis, (6) membuat analisis domain, (7)

mengajukan pertanyaan struktural, (8) membuat analisis taksonomik, (9)

mengajukan pertanyaan kontras, (10) membuat analisis komponen makna,

(11) menemukan tema-tema budaya, (12) menulis sebuah etnografi.

Selanjutnya, strategi berpikir yang digunakan dalam penelitian ini

bersifat fenomenologis (Moleong, 2007: 15), yaitu pandangan berpikir yang

menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia

dan interpretasi-interpretasi dunia. Interpretasi tersebut merupakan

interpretasi bahasa untuk mendeskripsikan kebudayaan. Selain itu, Subroto

(2007: 6) juga menambahkan jika fenomenologis berarti berusaha memahami

makna dari fenomena-fenomena, peristiwa-peristiwa dan kaitannya dengan

orang-orang atau masyarakat yang diteliti dalam konteks kehidupan dalam

situasi yang sebenarnya. Dengan kata lain, ada usaha untuk masuk dan

memahami dunia konseptual dari para informan yang diteliti agar mengetahui

pengetahuan yang dikembangkan oleh mereka dalam kehidupan.

1. Data dan Sumber Data

a. Data

Menurut Subroto (2007: 38), data adalah semua informasi atau

bahan yang disediakan oleh alam yang harus dicari atau

dikumpulkan dan dipilih oleh peneliti. Data harus dipilih karena

pada dasarnya data adalah bahan jadi dan bukan bahan mentah. Data

dapat terdapat pada wujud pemakaian bahasa, perilaku, kegiatan

Page 68: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 45

masyarakat, dan pada alam apapun dengan segala fenomenanya.

Pada wujud pemakaian bahasa, data dapat berupa perkataan-

perkataan, kalimat-kalimat, maupun wacana-wacana. Di luar itu,

data juga dapat berupa gambar-gambar, foto-foto, rekaman-rekaman,

dan lain-lain. Dalam penelitian ini, data yang digunakan dibagi

menjadi dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder.

1) Data Primer

Menurut Santosa (2017: 52), data primer merupakan data

yang dikumpulkan oleh peneliti dari lokasi penelitian secara

langsung. Data primer dalam penelitian ini berupa (1) satuan-

satuan lingual penanda warna yang digunakan masyarakat

Madura di Kab. Sumenep yang tercermin dalam ekspresi

bahasa, seperti pada ungkapan sehari-hari, folklor, ungkapan,

dan peribahasa serta (2) simbol warna yang digunakan dalam

peristiwa budaya, seperti simbol-simbol warna pada domain

kesenian, bangunan, transportasi, upacara ritual, dan kuliner.

2) Data Sekunder

Menurut Santosa (2017: 52), data sekunder merupakan

data yang dikumpulkan oleh peneliti lain yang digunakan oleh

peneliti untuk mendukung penelitiannya. Selain itu, data

sekunder adalah data yang terkait dengan fokus penelitian.

Dalam penelitian ini, data sekunder merupakan data tertulis

meliputi (1) catatan mengenai nama-nama warna dalam bahasa

Madura dan (2) penjelasan berkaitan dengan makna kultural dari

leksikon yang diperoleh maupun penggunaan dari simbol warna

dalam masyarakat yang termuat dalam kamus, buku bacaan,

jurnal, artikel dari internet, dan catatan hasil dari penjelasan

informan dalam wawancara.

Page 69: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 46

b. Sumber Data

Menurut Santosa (2017: 52), sumber data dapat berupa tempat,

informan, kejadian, dokumen, situs, dan lain sebagainya. Sumber

data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu

sumber data primer dan sumber data sekunder.

1) Sumber Data Primer

Sumber data primer dalam penelitian ini berasal dari (1)

ujaran atau tuturan informan yang memahami ekspresi bahasa

dan budaya pada penggunaan nama-nama warna dalam bahasa

Madura di Kab. Sumenep. Untuk memilih informan tersebut,

digunakan kriteria persyaratan minimal menurut Spradley

(2007: 68) yaitu enkulturasi penuh, keterlibatan langsung,

suasana budaya yang tidak dikenal, waktu yang cukup, dan non-

analitis. Selanjutnya, sumber data primer juga berasal dari (2)

peristiwa budaya, yaitu aktivitas atau domain tertentu dalam

masyarakat Madura di Kab. Sumenep yang memiliki

penggunaan warna, misalnya dalam proses pewarnaan batik dan

seni ukir Karduluk.

2) Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder berupa sumber data tertulis,

meliputi (1) kamus, (2) buku bacaan, (3) jurnal, (4) artikel dari

internet, dan (5) catatan hasil dari penjelasan informan dalam

wawancara.

2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data digunakan dua metode yaitu metode

simak dan metode cakap.

a. Metode Simak

Menurut Sudaryanto (2015: 203), metode simak merupakan

metode yang digunakan dengan menyimak penggunaan bahasa.

Page 70: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 47

Metode ini dijalankan dengan teknik dasar yaitu teknik sadap dan

teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap. Teknik simak libat

cakap juga dapat dikatakan sebagai teknik observasi partisipasi

karena peneliti terlibat langsung dalam dialog. Menurut Abdullah

(2017: 70), teknik observasi partisipasi merupakan teknik ketika

peneliti memasuki situasi mereka (partisipan) dan secara aktif

bertindak serta berperan sebagai pengamat, bersamaan dengan itu

berperan sebagai partisipan untuk mencermati data penelitian yang

diperlukan.

Spradley (2007: 87) menyatakan bahwa teknik observasi

partisipasi ini didahului oleh penetapan dan wawancara dengan

informan terpilih sembari peneliti membuat catatan etnografis,

petanyaan deskriptif, pertanyaan struktural, dan pertanyaan kontras.

Sejalan dengan hal tersebut, Abdullah (2017: 70) juga menggunakan

strategi terpilih untuk melaksanakan observasi partisipasi, yaitu (1)

menyampaikan identitas diri secara meyakinkan disertai dengan

bukti-bukti administratif guna mendapatkan kepercayaan informan,

(2) menyampaikan bahwa keterlibatan peneliti terhadap semua

aktivitas mereka tidak akan menimbulkan kerugian secara spiritual,

moral, material, formal, dan sosial-politik, (3) menempatkan diri

dalam rangka etis secara praktis, spiritualistis dan psikologis di

tengah kehidupan mereka, (4) memahami sensitivitas kondisi sosial-

budaya, sosial-politik, dan sosial-ekonomi untuk menghindari

kontraproduktif, (5) menempatkan mereka sebagai mitra peneliti

yang berperan penting, (6) peneliti mengatur strategi kapan harus

terbuka dan kapan berlaku sembunyi, (7) mencermati munculnya

ekspresi bahasa dan budaya. Terjadi pengamatan ekspresi bahasa dan

budaya pada nama-nama warna dalam bahasa Madura baik secara

satuan lingual maupun nonlingual, dan (8) menyiapkan daftar

pertanyaan deskriptif, struktural, dan kontras sesuai dengan

keperluan penelitian.

Page 71: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 48

Selain menggunakan teknik simak libat cakap atau observasi

partisipasi, juga digunakan teknik lanjutan lain berupa teknik rekam

dan teknik catat. Secara praktis, kejadian di lapangan direkam ketika

sedang mengumpulkan data dan satuan-satuan lingual penanda

warna dalam bahasa Madura dicatat beserta makna kultural dari

penggunaanya dalam peristiwa budaya yang ditemukan di lapangan

untuk memudahkan proses analisis data menggunakan model

etnosains.

b. Metode Cakap

Menurut Sudaryanto (2015: 208), metode cakap merupakan

metode yang menggunakan percakapan atau terjadi kontak antara

peneliti dengan penutur selaku narasumber. Metode ini dapat

disejajarkan dengan metode wawancara atau interview. Metode

tersebut dilakukan dengan teknik dasar pancing karena berupa

pancingan menggunakan daftar pertanyaan untuk mendapatkan data.

Pada penelitian ini, dibuat 3 klasifikasi pertanyaan yaitu, pertanyaan

deskriptif, struktural, dan kontras. Selanjutnya, teknik dasar tersebut

juga disandingkan dengan teknik lanjutan berupa teknik cakap

semuka karena dilakukan wawancara atau percakapan langsung,

secara lisan, dan tatap muka dengan para informan.

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan

jenis wawancara mendalam (in-depth interviewing) karena peneliti

harus hadir langsung untuk menggali informasi dari informan

sedalam dan sebanyak mungkin. Dalam pelaksanaanya, wawancara

mendalam tersebut dilakukan dengan dukungan; (1) teknik rekam

menggunakan handphone recorder (audio) dan handycam (video),

serta (2) teknik catat menggunakan alat tulis berupa kertas dan

bolpoin untuk mencatat satuan-satuan lingual penanda warna dalam

bahasa Madura beserta informasi lainnya yang berhubungan dengan

data penelitian yang berasal dari informan.

Page 72: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 49

3. Teknik Sampling

Untuk mendapatkan kelengkapan dan kedalaman data digunakan

teknik purposive sampling. Hal ini didasarkan pada pendapat Abdulllah

(2017: 69) yang menyatakan bahwa purposive sampling dipandang dapat

menangkap kelengkapan dan kedalaman data di dalam menghadapi

realitas yang tidak tunggal, dan diarahkan pada sumber data yang

memiliki data yang penting dan berkaitan dengan permasalahan yang

sedang diteliti. Jadi, data yang diambil adalah satuan lingual warna yang

menggunakan bahasa Madura. Jika saat proses wawancara informan

melontarkan nama warna dengan bahasa lain, maka satuan lingual warna

tersebut tidak akan dijadikan data. Kedua, simbol warna yang digunakan

adalah simbol warna yang melekat pada artefak dan memiliki makna

(warna motivasi). Jika ada warna yang melekat pada artefak dan tidak

memiliki makna (warna non-motivasi) atau digunakan untuk kebutuhan

estetika saja, maka simbol warna pada artefak tersebut tidak akan

digunakan sebagai data.

Selain itu, dalam kaitannya dengan penetapan informan, digunakan

teknik snowball sampling. Menurut Yin (dalam Sutopo, 2006: 65),

snowball sampling digunakan bilamana peneliti ingin mengumpulkan

data yang berupa informasi dari informan dalam salah satu lokasi, tetapi

tidak tahu siapa yang tepat untuk dipilih sebagai narasumber. Hal ini

dikarenakan peneliti belum mengenal keseluruhan sumber data yang

berupa informan. Jadi, dari informan pertama diperoleh rekomendasi

mengenai informan lain yang lebih mengetahui berbagai informasi yang

dibutuhkan dalam penelitian ini. Selain itu, informan pertama juga dapat

memberikan petunjuk atau saran mengenai cara mendapatkan data

selanjutnya. Proses tersebut akan terus berlangsung hingga data yang

diperoleh dirasa cukup.

4. Validitas Data

Data yang telah diperoleh tidak hanya dianalisis secara mendalam

tetapi juga harus teruji kebenaran atau kesahihannya. Oleh sebab itu,

Page 73: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 50

diperlukan validitas data untuk data-data dalam penelitiannya. Menurut

Sutopo (2006: 92) ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam uji

validitas data, yaitu (1) triangulasi (triangulation) dan (2) reviu

informan kunci (key informant review) dan member check.

Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi untuk menguji

kebenarannya. Menurut Paton (dalam Sutopo, 2006: 92-98), teknik

triangulasi terdiri dari triangulasi sumber/triangulasi data, triangulasi

metode, triangulasi peneliti, dan triangulasi teori. Namun, dalam

penelitian ini hanya digunakan 2 teknik triangulasi yaitu, (1) triangulasi

sumber/triangulasi data, artinya data yang sama atau sejenis akan lebih

mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber data yang

berbeda, dan (2) triangulasi metode, artinya mengumpulkan data sejenis

tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang

berbeda.

5. Prosedur Penelitian

Data penelitian yang telah diperoleh dianalisis mengarah pada

pengklasifikasian satuan-satuan lingual penanda warna dalam bahasa

Madura, bentuk penamaan warna, dan makna kultural dari konsep

penggunaan warna dalam masyarakat Madura di Kab. Sumenep

menggunakan sudut pandang etnolinguistik. Dengan menggunakan

metode penelitian etnografi dan model analisis etnosains yang terdiri dari

analisis domain, taksonomi, dan komponensial, (Spradley, 2007: 151,

189, 245), data dianalisis untuk menemukan tema-tema budaya dalam

konsep penggunaan warna bagi masyarakat Madura di Kab. Sumenep

beserta faktor pembentuk nama warna tersebut. Selain itu, untuk

menganalisis nama warna, digunakan pula dimensi mikrolinguistik

dengan menerapkan metode padan referensial dengan teknik dasar pilah

unsur penentu (PUP) menggunakan daya pilah referensial dan teknik

lanjutan berupa teknik hubung banding menyamakan oleh Sudaryanto.

Page 74: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 51

Analisis data penelitian mengenai kajian nama-nama warna dalam

bahasa Madura di Kab. Sumenep ini meliputi langkah-langkah analisis

data sebagai berikut:

a. Mentranskrip hasil wawancara dengan informan secara ortografis

dan menerjemahkan data verbal maupun nonverbal dalam bentuk

ekspresi bahasa.

b. Mengumpulkan nama-nama warna yang digunakan oleh penutur

bahasa Madura di Kab. Sumenep dan nama-nama warna yang

muncul dalam ekspresi verbal lain seperti peribahasa, ungkapan,

serta folklor. Selain itu, juga dikumpulkan peristiwa-peristiwa

budaya yang di dalamnya terdapat penggunaan warna oleh

masyarakat Madura di Kab. Sumenep, misalnya dalam domain

kesenian yaitu tarian Muwang Sangkal dan domain folklor non-lisan

yaitu makanan rakyat Tajhin Lѐma’ Bârna.

c. Membagi data yang besar ke dalam kelompok yang lebih kecil. Jadi,

warna utama memiliki anggota warna turunan. Misalnya untuk

warna dasar mѐra ‘merah’ terdapat klasifikasi warna turunan mѐra

cabbi ‘merah cabai’, mѐra sokkla ‘merah murni’, dan mѐra bhâta

‘merah bata’. Warna-warna turunan tersebut akan dianalisis secara

metaforik. Selain itu, warna-warna yang ada juga diklasifikasikan

berdasarkan domain penggunaannya. Misalnya, dalam domain

nonverbal pada bidang kesenian yaitu tari Muwang Sangkal terdapat

kelengkapan pakaian seperti rapè’ ‘pakaian’, lâ-jhilâ ‘ikat

pinggang’, dan bherrâs konѐng ‘beras kuning’ yang masing-masing

memiliki warna dengan makna kultural tertentu.

d. Sebelum data yang ada dianalisis menggunakan metode etnografi

untuk mendeskripsikan tema budaya, data-data tersebut dianalisis

menggunakan metode padan referensial dengan teknik dasar pilah

unsur penentu (PUP) menggunakan daya pilah referensial. Teknik

dasar tersebut berfungsi untuk menentukan referen dalam nama

warna seperti kata benda, sifat, dan verba. Selain itu, teknik dasar

dilengkapi dengan teknik lanjutan berupa teknik hubung banding

Page 75: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 52

menyamakan. Teknik lanjutan tersebut berfungsi untuk

membandingkan kemudian mencari persamaan dari dua term

pembentuk metafora warna. Dengan kata lain, metode padan

digunakan sebagai cara untuk mengetahui hubungan bahasa yang

diteliti dengan hal-hal di luar bahasa yang bersangkutan.

e. Menganalisis dan mendeskripsikan makna kultural dari konsep

penggunaan warna dalam domain verbal dan nonverbal yang telah

ditentukan. Proses analisis tersebut tidak terlepas dari analisis

terhadap bahasa dan budaya masyarakat Madura di Kab. Sumenep.

Hal ini bertujuan untuk menginventarisasi, mengidentifikasi,

mendeskripsikan, memformulasikan, dan menginterpretasi hubungan

antara data-data verbal dan nonverbal dengan budaya yang dimiliki,

termasuk dengan seluruh aktivitas kehidupan yang mereka lakukan.

Dengan kata lain, budaya dan seluruh aktivitas kehidupan masyarakat

dapat dijadikan acuan untuk menafsirkan pandangan hidup,

pandangan terhadap dunia, dan pola pikir guna menguak kebudayaan

yang mereka miliki.

f. Menganalisis dan mendeskripsikan faktor-faktor pembentuk

penamaan warna dalam bahasa Madura. Proses analisis tersebut juga

meliputi analisis pola pikir dan pandangan masyarakat Madura di

Kab. Sumenep dengan mengamati ide dan konsep yang mereka miliki

ketika melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk aktivitas yang di

dalamnya berhubungan dengan warna. Hal ini bertujuan untuk

mengungkap alasan di balik keputusan mereka dalam menggunakan

warna atau leksikon warna tersebut.

g. Mendeskripsikan tema-tema budaya yang sebelumnya dilihat dari

beberapa aspek, yaitu bahasa dan budaya, pola pikir, serta pandangan

hidup masyarakat Madura di Kab. Sumenep dalam menggunakan

warna baik secara verbal maupun non-verbal. Dengan kata lain, untuk

memperoleh tema-tema budaya, temuan dari rumusan masalah

pertama hingga ketiga dihubungkan satu sama lain.

Page 76: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 53

6. Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan

metode formal dan informal. Sudaryanto (2015: 241) menyatakan bahwa

metode informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa, walaupun

dengan terminologi yang teknis sifatnya; sedangkan penyajian formal

adalah perumusan dengan apa yang umum dikenal sebagai tanda dan

lambang-lambang. Sejalan dengan pendapat tersebut, Abdullah (2017:

76) turut menjelaskan jika metode formal merupakan perumusan dengan

tanda dan lambang-lambang, seperti tanda kurung biasa ((....)), tanda

garis miring (/), dan tanda yang menyatakan terjemahan (‘....’), peta

wilayah, gambar, foto, bagan, tabel, dan sebagainya. Penyajian dengan

metode formal dan informal ini diharapkan dapat membantu untuk

memberikan penjelasan yang lengkap dan jelas dalam bentuk laporan

penelitian tesis.

Page 77: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 54

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dikemukakan hasil penelitian dan pembahasan dari

rumusan masalah serta tujuan penelitian yang telah dikemukakan dalam bab I.

Hasil penelitian meliputi (1) satuan lingual penanda warna, (2) makna kultural

dari konsep penggunaan warna, dan (3) faktor-faktor yang menyebabkan

munculnya penamaan warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep.

Selanjutnya, pembahasan merupakan pemaparan benang merah atau hubungan

dari hasil penelitian, kajian pustaka, serta teori yang ada.

A. Hasil Penelitian

1. Satuan lingual penanda warna dalam bahasa Madura di Kab.

Sumenep

Satuan lingual atau satuan gramatikal dalam tata bahasa dapat

berupa kalimat, klausa, frasa, kata, atau morfem. Dalam penelitian ini,

satuan lingual yang digunakan untuk membentuk nama warna terdiri dari

dua jenis, yaitu kata dan frasa. Satuan lingual kata digunakan penutur

untuk menyebutkan warna utama (warna yang tidak memiliki atribut),

yaitu potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’, bhiru ‘hijau’, konѐng

‘kuning, cokklat ‘cokelat’, bhiru ‘biru’, bungo ‘ungu’, dan bu-abu ‘abu-

abu’. Selanjutnya, satuan lingual frasa digunakan penutur untuk

menyebutkan warna turunan dari warna utama yang berjumlah 205

warna. Untuk menentukan warna-warna dasar yang berada dalam bahasa

Madura di Kab. Sumenep diperlukan analisis warna dasar menggunakan

teori universal warna Berlin dan Kay (1969) terhadap nama-nama warna

yang telah dikumpulkan.

Dari penelitian lapangan yang dilakukan, ditemukan 6 warna dasar

yang digunakan oleh penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep, yaitu

potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’, bhiru ‘hijau’, konѐng

‘kuning, dan cokklat ‘cokelat’, serta 3 warna nondasar, yaitu bhiru ‘biru’,

bungo ‘ungu’, dan bu-abu ‘abu-abu’. Selanjutnya, kesembilan warna

Page 78: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 55

tersebut akan dianalis satu per satu untuk membuktikan

pengklasifikasiannya dalam kategori warna dasar dan nondasar.

a. Nama-nama warna dasar dalam bahasa Madura di Kab.

Sumenep menurut teori universal warna Berlin dan Kay

Sesuai dengan teori warna Berlin dan Kay yang telah dipaparkan

dalam bab II, ada beberapa kriteria untuk menentukan warna dasar

dalam suatu bahasa. Kriteria tersebut adalah (1) monoleksem, (2)

bukan hiponim, makna warna bukan termasuk ke dalam nama warna

lain, (3) nama warna harus digunakan dalam objek yang luas, dan (4)

nama warna harus menonjol dan dikenal luas oleh penutur. Berikut

ini analisis warna-warna dasar dalam bahasa Madura di Kab.

Sumenep yang digunakan oleh penutur di Kab. Sumenep.

1) Potѐ ‘putih’

Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia

(Pawitra, 2009: 322), potѐ merupakan warna dasar yang serupa

dengan warna kapas. Jika dianalisis berdasarkan kriteria teori

warna, pertama, potѐ merupakan leksem tunggal (monoleksem)

karena mengalami proses derivasi zero. Kedua, makna dari potѐ

tidak berasal dari bagian warna lain. Ketiga, warna potѐ dapat

digunakan pada objek yang luas dan data di lapangan

menunjukkan jika leksikon warna potѐ memiliki 25 warna

turunan, di antaranya potѐ bherrâs ‘putih beras’ (TB.01/111) dan

potѐ kapor ‘putih kapur’ (TB.01/105). Banyaknya leksikon warna

potѐ yang digunakan oleh penutur menunjukkan jika warna potѐ

dapat dikenal luas oleh penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep.

Sebagai hasil akhir, leksikon warna potѐ dapat memenuhi empat

kriteria dalam teori Berlin dan Kay sehingga warna potѐ

merupakan warna dasar dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep.

Page 79: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 56

2) Celleng ‘hitam’

Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia

(Pawitra, 2009: 109), celleng merupakan warna dasar serupa

dengan warna arang. Jika dianalisis berdasarkan kriteria teori

warna, pertama, celleng merupakan leksem tunggal

(monoleksem) karena mengalami proses derivasi zero. Kedua,

makna dari celleng tidak berasal dari bagian warna lain. Ketiga,

warna celleng dapat digunakan pada objek yang luas dan data di

lapangan menunjukkan jika leksikon warna celleng memiliki 20

warna turunan, di antaranya celleng matѐ ‘hitam mati’ (TB.01/75)

dan celleng bhâkoh ‘hitam tembakau’ (TB.01/81). Banyaknya

leksikon warna celleng yang digunakan oleh penutur

menunjukkan jika warna celleng dapat dikenal luas oleh penutur

bahasa Madura di Kab. Sumenep. Sebagai hasil akhir, leksikon

warna celleng dapat memenuhi empat kriteria dalam teori Berlin

dan Kay sehingga warna celleng merupakan warna dasar dalam

bahasa Madura di Kab. Sumenep.

3) Mѐra ‘merah’

Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia

(Pawitra, 2009: 423), mѐra merupakan warna dasar yang serupa

dengan warna darah. Jika dianalisis berdasarkan kriteria teori

warna, pertama, mѐra merupakan leksem tunggal (monoleksem)

karena mengalami proses derivasi zero. Kedua, makna dari mѐra

tidak berasal dari bagian warna lain. Ketiga, warna mѐra dapat

digunakan pada objek yang luas dan data di lapangan

menunjukkan jika leksikon warna mѐra memiliki 29 warna

turunan, di antaranya mѐra mardâh ‘merah bara api’ (TB.01/23)

dan mѐra mettal ‘merah padam’ (TB.01/22). Banyaknya leksikon

warna mѐra yang digunakan oleh penutur menunjukkan jika

warna mѐra dapat dikenal luas oleh penutur bahasa Madura di

Kab. Sumenep. Sebagai hasil akhir, leksikon warna mѐra dapat

Page 80: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 57

memenuhi empat kriteria dalam teori Berlin dan Kay sehingga

warna mѐra merupakan warna dasar dalam bahasa Madura di

Kab. Sumenep.

4) Bhiru ‘hijau’

Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia

(Pawitra, 2009: 68), bhiru adalah hijau bukan biru. Penekanan

definisi tersebut disebabkan karena banyak orang yang bukan

penutur bahasa Madura menganggap bhiru sama seperti ‘biru’

dalam bahasa Indonesia sehingga mereka juga sering berpikiran

jika orang Madura buta warna karena tidak bisa membedakan

antara hijau dan biru. Jika dianalisis berdasarkan kriteria teori

warna, pertama, bhiru merupakan leksem tunggal (monoleksem)

karena mengalami proses derivasi zero. Kedua, makna dari bhiru

tidak berasal dari bagian warna lain. Ketiga, warna bhiru dapat

digunakan pada objek yang luas dan data di lapangan

menunjukkan jika leksikon warna bhiru memiliki 18 warna

turunan, di antaranya bhiru butol ‘hijau botol’ (TB.01/179) dan

bhiru matta ‘hijau mentah’ (TB.01/181). Banyaknya leksikon

warna bhiru yang digunakan oleh penutur menunjukkan jika

warna bhiru dapat dikenal luas oleh penutur bahasa Madura di

Kab. Sumenep. Sebagai hasil akhir, leksikon warna bhiru dapat

memenuhi empat kriteria dalam teori Berlin dan Kay sehingga

warna bhiru merupakan warna dasar dalam bahasa Madura di

Kab. Sumenep.

5) Konѐng ‘kuning’

Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia

(Pawitra, 2009: 322), konѐng merupakan warna yang serupa

dengan warna kunyit atau emas murni. Jika dianalisis berdasarkan

kriteria teori warna, pertama, konѐng merupakan leksem tunggal

(monoleksem) karena mengalami proses derivasi zero. Kedua,

Page 81: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 58

makna dari konѐng tidak berasal dari bagian warna lain. Ketiga,

warna konѐng dapat digunakan pada objek yang luas dan data di

lapangan menunjukkan jika leksikon warna konѐng memiliki 40

warna turunan, di antaranya konѐng pellay ‘kuning pucat’

(TB.01/40) dan konѐng bucco’ ‘kuning busuk’ (TB.01/42).

Banyaknya leksikon warna konѐng yang digunakan oleh penutur

menunjukkan jika warna konѐng dapat dikenal luas oleh penutur

bahasa Madura di Kab. Sumenep. Sebagai hasil akhir, leksikon

warna konѐng dapat memenuhi empat kriteria dalam teori Berlin

dan Kay sehingga warna konѐng merupakan warna dasar dalam

bahasa Madura di Kab. Sumenep.

6) Cokklat atau sokklat ‘cokelat’

Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia

(Pawitra, 2009: 660), cokklat bisa juga disebut sebagai sokklat

yang merupakan perihal warna. Jika dianalisis berdasarkan

kriteria teori warna, pertama, cokklat atau sokklat merupakan

leksem tunggal (monoleksem) karena mengalami proses derivasi

zero. Kedua, makna dari cokklat atau sokklat tidak berasal dari

bagian warna lain. Ketiga, warna cokklat atau sokklat dapat

digunakan pada objek yang luas dan data di lapangan

menunjukkan jika leksikon warna cokklat atau sokklat memiliki

27 warna turunan, di antaranya cokklat jhâteh ‘cokelat jati’

(TB.01/132) dan sokklat salak ‘cokelat salak’ (TB.01/135).

Banyaknya leksikon warna cokklat atau sokklat yang digunakan

oleh penutur menunjukkan jika warna cokklat atau sokklat dapat

dikenal luas oleh penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep.

Sebagai hasil akhir, leksikon warna cokklat atau sokklat dapat

memenuhi empat kriteria dalam teori Berlin dan Kay sehingga

warna cokklat atau sokklat merupakan warna dasar dalam bahasa

Madura di Kab. Sumenep.

Page 82: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 59

b. Nama-nama warna nondasar dalam bahasa Madura di Kab.

Sumenep menurut teori universal warna Berlin dan Kay

Selain warna-warna yang dipaparkan di atas, ada beberapa

warna yang tidak termasuk ke dalam warna dasar menurut teori

universal warna Berlin dan Kay. Warna-warna tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut.

1) Bhiru ‘biru’

Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia

(Pawitra, 2009: 68), bhiru adalah hijau bukan biru. Selain itu,

bhiru juga dijelaskan dapat berarti ‘biru’ jika mendapatkan atribut

di belakangnya, seperti bhiru langngѐ (TB.01/142). Dengan kata

lain, untuk mendapatkan makna ‘biru’ maka leksem bhiru harus

berdampingan dengan atribut lain agar tidak terjadi ambiguitas

dengan warna hijau. Jadi, untuk kriteria pertama, yaitu leksem

tunggal (monoleksem) tidak dapat dipenuhi. Selanjutnya pada

kriteria kedua, makna bhiru di bahasa Madura lebih ditujukan

untuk warna hijau sehingga makna bhiru untuk ‘biru’ dapat

dikatakan merupakan bagian dari warna dasar lain yaitu hijau atau

meminjam leksem warna dasar lain dalam penyebutannya. Warna

bhiru ‘biru’ ini dapat digunakan pada objek yang luas dan data di

lapangan menunjukkan jika leksikon warna bhiru ‘biru’ memiliki

24 warna turunan, di antaranya bhiru tasѐ’ ‘biru laut’ (TB.01/46)

dan bhiru panci ‘biru panci’ (TB.01/165). Namun, walaupun

demikian, warna bhiru yang bermakna ‘biru’ ini bukanlah warna

dasar dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep karena poin

pertama dan kedua tidak bisa terpenuhi.

2) Bungo ‘ungu’

Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia

(Pawitra, 2009: 92), bungo berarti ungu atau biru. Jika dianalisis

berdasarkan kriteria teori warna, pertama, bungo merupakan

Page 83: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 60

leksem tunggal (monoleksem) karena mengalami proses derivasi

zero. Namun untuk kriteria kedua, makna dari leksikon bungo

mencakup lebih dari satu warna yaitu ungu dan biru. Dari data

yang ditemukan di lapangan, penggunaan leksikon bungo terbukti

dapat digantikan dengan leksikon lain yaitu bhiru dalam bhiru

terong ‘biru terong’ (TB.01/162) yang sebenarnya maknanya

sama dengan bungo terong ‘ungu terong’ (TB.01/186). Umumnya

terong memiliki dua warna, yaitu hijau dan ungu. Orang Madura

menggunakan leksem bhiru karena mereka menganggap warna

bhiru ‘biru’ adalah bagian dari warna ungu, begitupun sebaliknya

sehingga keberadaan leksikon bungo dianggap dapat

menggantikan keberadaan dua warna, yaitu ungu dan biru. Jika

dibandingkan dengan warna lainnya, warna bungo memiliki lebih

sedikit warna turunan, yaitu hanya 11 warna yang beberapa di

antaranya bahkan bisa disubtitusikan dengan leksem bhiru seperti

bungo tasѐ’ ‘ungu laut’ (TB.01/184) dengan bhiru tasѐ’ ‘biru

laut’ (TB.01/146). Sebagai hasil akhir, leksikon warna bungo

tidak dapat dikatakan sebagai warna dasar dalam bahasa Madura

di Kab. Sumenep. Hal ini disebabkan leksikon bungo

mendeskripsikan dua makna warna dan penggunaannya belum

cukup luas di kalangan penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep.

3) Bu-abu ‘abu-abu’

Menurut Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia

(Pawitra, 2009: 3), bu-abu adalah warna abu-abu atau kelabu. Jika

dianalisis berdasarkan kriteria teori warna, pertama, bu-abu bukan

merupakan leksem tunggal (monoleksem) karena mengalami

proses morfologis reduplikasi sehingga terdiri dari dua leksem.

Dalam bahasa Madura, bu-abu termasuk dalam reduplikasi suku

akhir dari sebuah kata dasar yaitu abu. Warna bu-abu ini dapat

digunakan pada objek yang luas. Namun warna turunan yang

dimiliki menunjukkan jika leksikon warna bu-abu lebih sedikit

Page 84: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 61

daripada leksikon warna lain, yaitu hanya memiliki 11 warna

turunan, di antaranya bu-abu ketthe’ ‘abu-abu monyet’

(TB.01/2014) dan bu-abu busok ‘abu-abu kucing busok’

(TB.01/205). Oleh sebab itu, warna bu-abu bukanlah warna dasar

dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep.

c. Nama-nama warna turunan dari warna dasar dan nondasar

beserta bentuk penamaannya dalam bahasa Madura di Kab.

Sumenep

Warna turunan adalah jenis-jenis warna dari sebuah warna dasar

maupun nondasar yang biasanya digunakan oleh penutur dalam suatu

bahasa. Warna dasar maupun nondasar biasanya memiliki warna

turunan yang ditandai dengan peletakan atribut baik sebelum warna

dasar maupun setelahnya. Dari data yang diperoleh, warna turunan

dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep ditandai dengan peletakan

atribut setelah warna dasar atau nondasar, contohnya seperti pada

data TB.01/21 yaitu mѐra mabâr ‘merah mawar’. Warna dasar dari

frasa warna mѐra mabâr adalah mѐra ‘merah’, sedangkan unsur

atributnya adalah mabâr ‘mawar’ yang berasal dari kelas kata nomina

yaitu tumbuhan dalam kelas bunga. Atribut di dalam frasa warna

tersebut salah satunya berfungsi untuk menjelaskan spektrum dari

warna dasar yang dimaksud, yaitu warna merah seperti kelopak

bunga mawar. Dengan kata lain, warna merah dimetaforakan seperti

bagian dari bunga mawar, yaitu kelopaknya. Atribut yang melekat

dalam frasa warna sangat beragam atau tidak hanya berasal dari satu

kelas kata.

Selanjutnya, berdasarkan data yang diperoleh, ada beberapa

warna turunan dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep yang tidak

menggunakan unsur warna dasar di dalamnya, melainkan acuan

benda lain yang memiliki warna serupa. Sebagai contoh pada data

TB.01/141 yaitu sabu bucco’ ‘sawo busuk’. Jadi, frasa nomina

tersebut adalah warna turunan dari warna dasar cokelat. Sabu bucco’

Page 85: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 62

‘sawo busuk’ digunakan untuk menjelaskan spektrum warna cokelat

tua seperti buah sawo yang sudah busuk. Berikut ini adalah

penjelasan warna turunan dari setiap warna dasar beserta struktur dan

metafora penamaan warnanya dalam bahasa Madura di Kab.

Sumenep.

1) Potѐ ‘putih’

Dari data yang diperoleh di lapangan, warna putih memiliki

25 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut memiliki atribut

dan penamaan yang beraneka ragam.

Tabel 1. Warna-warna turunan dari warna putih

No. Warna

Turunan Terjemahan Atribut

1. Potѐ tolang Putih tulang

Nomina

(bagian tubuh

manusia)

2. Potѐ tolang towa Putih tulang tua

Frasa Nomina

(bagian tubuh

manusia)

3. Potѐ tolang

ngodâ

Putih tulang

muda

Frasa Nomina

(bagian tubuh

manusia)

4. Potѐ molos Putih mulus

Adjektiva

(cerapan

perabaan)

5. Potѐ pellay Putih pucat Adjektiva

(pemeri sifat)

6. Potѐ tellor Putih telur Nomina

(makanan)

7. Potѐ ngetthak Putih terang

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

8. Potѐ beddheng Putih kusam

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

9. Potѐ susu Putih susu Nomina

(minuman)

10. Potѐ gheddung Putih tembok Nomina

(benda rumah)

11. Potѐ bhenning Putih bening Adjektiva

(cerapan

Page 86: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 63

penglihatan)

12. Potѐ olay Putih pucat Adjektiva

(pemeri sifat)

13. Potѐ mata Putih mata

Nomina

(bagian tubuh

manusia)

14. Potѐ salju Putih salju

Nomina

(benda

lingkungan alam)

15. Potѐ masѐn Putih asin

Adjektiva

(cerapan

pencitarasaan)

16. Potѐ kapor Putih kapur

Nomina

(benda

lingkungan alam)

17. Potѐ bhulus Putih mulus

Adjektiva

(cerapan

perabaan)

18. Potѐ bhâkoh Putih tembakau

Nomina

(tumbuhan kelas

dedaunan)

19. Potѐ bu-abu Putih abu-abu Adjektiva

(warna)

20. Potѐ sora Putih asyura Nomina

(nama bulan)

21. Potѐ koddhu’ Putih mengkudu

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

22. Potѐ bherrâs Putih beras Nomina

(makanan)

23. Potѐ nonit Putih mengkudu

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

24. Potѐ ngeplak Putih terang

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

25. Potѐ kalak Putih kalak

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

Tabel 1 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari

warna dasar putih memiliki atribut yang berasal dari satuan

lingual kata, yaitu nomina dan adjektiva, serta satuan lingual frasa

berupa frasa nomina. Selanjutnya, atribut-atribut tersebut akan

Page 87: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 64

diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan dianalisis secara

metaforik.

a) Atribut adjektiva

(1) Pemeri sifat

(a) Potѐ pellay dan potѐ olay ‘putih pucat’ merupakan

dua warna turunan dengan atribut adjektiva pellay

‘pucat’ dan olay ‘pucat’ yang termasuk ke dalam jenis

adjektiva pemeri sifat. Hal ini dikarenakan pellay

‘pucat’ dan olay ‘pucat’ menggambarkan suatu

intensitas yang bercorak fisik. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa potѐ pellay dan potѐ olay

adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah potѐ pellay dan potѐ olay.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna putih disandingkan

dengan adjektiva ‘pucat’ yang mana kata ‘pucat’

bermakna pudar. Jadi, potѐ pellay dan potѐ olay

berarti warna putih yang tidak secerah warna dasarnya

atau lebih kusam.

(2) Warna

(a) Potѐ bu-abu ‘putih abu-abu’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva bu-abu ‘abu-abu’

yang termasuk ke dalam jenis adjektiva warna. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa potѐ bu-

abu adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah potѐ bu-abu. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna putih disandingkan dengan warna lain,

yaitu abu-abu. Jadi, putih abu-abu adalah sebuah

warna hasil dari pencampuran putih dan hitam dengan

kuantitas putih yang lebih besar.

Page 88: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 65

(3) Cerapan (pancaindera)

(a) Potѐ ngetthak dan potѐ ngeplak ‘putih terang’

merupakan dua warna turunan dengan atribut

adjektiva ngetthak ‘terang’ dan ngeplak ‘terang’ yang

termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau

berhubungan dengan pancaindera yaitu penglihatan.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

potѐ ngetthak dan potѐ ngeplak adalah warna potѐ

‘putih’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah potѐ ngetthak dan potѐ ngeplak. Persamaan

atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna putih disandingkan dengan adjektiva

cerapan (pancaindera) ‘terang’ yang mana kata

‘terang’ bermakna cerah atau bersinar. Jadi, potѐ

ngetthak dan potѐ ngeplak berarti putih cerah.

(b) Potѐ beddheng ‘putih kusam’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva beddheng ‘kusam’

yang termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau

berhubungan dengan pancaindera yaitu penglihatan.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

potѐ beddheng adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah potѐ beddheng.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna putih disandingkan

dengan adjektiva ‘kusam’ yang mana kata ‘kusam’

bermakna tidak bercahaya sehingga warna putih ini

cenderung redup dari warna dasarnya.

(c) Potѐ bhenning ‘putih bening’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva bhenning ‘bening’

yang termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau

berhubungan dengan pancaindera yaitu penglihatan.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

Page 89: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 66

potѐ bhenning adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah potѐ bhenning.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna putih disandingkan

dengan adjektiva ‘bening’ yang mana ‘bening’

bermakna bersih dan tidak kotor sehingga warna

putih yang dimaksud adalah putih bersih sesuai

dengan warna dasarnya.

(d) Potѐ masѐn ‘putih asin’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva masѐn ‘asin’ yang termasuk

ke dalam jenis adjektiva cerapan atau berhubungan

dengan pancaindera yaitu pencitarasaan. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa potѐ

masѐn adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan vehicle

atau pembandingnya adalah potѐ masѐn. Persamaan

atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna putih disandingkan dengan adjektiva

cerapan (pancaindera) ‘asin’ yang mana kata ‘asin’

bermakna berasa garam. Asin yang dimaksud adalah

rasa asin pada telur itik yang sudah dimasak. Jadi,

potѐ masѐn adalah putih kebiru-biruan seperti

cangkang telur itik.

(e) Potѐ molos dan potѐ bhulus ‘putih mulus’ merupakan

dua warna turunan dengan atribut adjektiva molos

‘mulus’ dan bhulus ‘mulus’ yang termasuk ke dalam

jenis adjektiva cerapan atau berhubungan dengan

pancaindera yaitu perabaan. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa potѐ molos dan potѐ

bhulus adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan vehicle

atau pembandingnya adalah adjektiva potѐ molos dan

potѐ bhulus. Persamaan atau ground yang terbentuk

dari kedua term tersebut adalah warna putih

Page 90: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 67

disandingkan dengan adjektiva ‘mulus’ yang mana

kata ‘mulus’ bermakna bersih. Istilah potѐ molos dan

potѐ bhulus digunakan untuk menyebut warna putih

bersih.

b) Atribut nomina

(1) Bagian tubuh manusia

(a) Potѐ tolang ‘putih tulang’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina bagian tubuh manusia yaitu

tulang. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa potѐ tolang adalah warna potѐ ‘putih’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah potѐ

tolang. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna putih disandingkan

dengan putih pada bagian tubuh manusia yaitu pada

warna tulang. Selain potѐ tolang, informan juga

menggunakan frasa potѐ tolang towa ‘putih tulang

tua’ dan potѐ tolang ngodâ ‘putih tulang muda’.

Warna potѐ tolang towa adalah warna putih tulang

yang disandingkan dengan adjektiva ‘tua’ yang mana

kata ‘tua’ bermakna kehitam-hitaman atau sangat.

Jadi, potѐ tolang towa adalah warna putih yang lebih

kusam dari putih tulang biasa. Selanjutnya, warna

potѐ tolang ngodâ adalah warna putih tulang yang

disandingkan dengan adjektiva ‘muda’ yang mana

kata ‘muda’ bermakna kurang gelap atau agak pucat.

Jadi, potѐ tolang ngodâ adalah warna putih yang lebih

pucat dari putih tulang biasa.

(b) Potѐ mata ‘putih mata’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina bagian tubuh manusia yaitu

mata. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa potѐ mata adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan

Page 91: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 68

vehicle atau pembandingnya adalah potѐ mata.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna putih disandingkan

dengan putih pada bagian tubuh manusia yaitu selaput

putih (sklera) mata.

(2) Tumbuhan

(a) Potѐ koddhu’ ‘putih mengkudu’ dan potѐ nonit ‘putih

mengkudu’ adalah dua warna turunan bermakna sama

yang beratribut nomina dalam kelas tumbuhan yaitu

buah mengkudu. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa potѐ koddhu’ dan potѐ nonit

adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah potѐ koddhu’ dan potѐ nonit.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

frasa tersebut adalah warna putih disandingkan

dengan buah mengkudu, yaitu putih pada kulit buah

mengkudu yang matang. Putih yang dimaksud adalah

putih kusam.

(b) Potѐ kalak ‘putih kalak’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina dalam kelas tumbuhan yaitu

buah kalak. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa potѐ kalak adalah warna potѐ ‘putih’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah potѐ

kalak. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna putih disandingkan

dengan bagian dari buah kalak, yaitu warna putih

pada daging buah kalak.

(c) Potѐ bhâkoh ‘putih tembakau’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina dalam kelas tumbuhan

yaitu tembakau. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa potѐ bhâkoh adalah warna potѐ

Page 92: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 69

‘putih’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah potѐ bhâkoh. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna putih

disandingkan dengan tembakau yang sudah

dikeringkan dengan kualitas super dan masuk ke

pabrik untuk dijadikan bahan membuat rokok.

Sebenarnya, potѐ bhâkoh adalah frasa yang digunakan

untuk menyebut warna cokelat yang sangat muda

menyerupai putih atau putih kecokelatan. Penutur

bahasa Madura di Kab. Sumenep menggunakan frasa

tersebut karena di masyarakat ada dua jenis tembakau,

yaitu tembakau hitam sehingga muncullah frasa

celleng bhâkoh ‘hitam tembakau’ dan tembakau putih

yang menciptakan frasa potѐ bhâkoh ‘putih

tembakau’.

(3) Lingkungan alam

(a) Potѐ salju ‘putih salju’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina dalam kelas lingkungan alam

yaitu salju. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa potѐ salju adalah warna potѐ ‘putih’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah potѐ

salju. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna putih disandingkan

dengan putih pada benda lingkungan alam, yaitu

butiran-butiran es salju.

(b) Potѐ kapor ‘putih kapur’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina dalam kelas lingkungan alam

yaitu kapur. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa potѐ kapor adalah warna potѐ ‘putih’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah potѐ

kapor. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

Page 93: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 70

kedua term tersebut adalah warna putih disandingkan

dengan salah satu jenis bebatuan, yaitu warna putih

pada batu kapur (gamping) yang biasanya digunakan

untuk mewarnai dinding rumah.

(4) Makanan dan minuman

(a) Potѐ tellor ‘putih telur’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina nama makanan yaitu telur.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

potѐ tellor adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah potѐ tellor.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna putih disandingkan

dengan putih pada makanan yaitu putih pada telur

ayam rebus.

(b) Potѐ bherrâs ‘putih beras’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina jenis bahan makanan yaitu

beras. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa potѐ bherrâs adalah warna potѐ ‘putih’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah potѐ

bherrâs. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna putih disandingkan

dengan warna putih pada beras.

(c) Potѐ susu ‘putih susu’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina jenis minuman yaitu susu.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

potѐ susu adalah warna potѐ ‘putih’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah potѐ susu.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna putih disandingkan

dengan minuman, yaitu putih pada susu cair.

Page 94: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 71

(5) Benda rumah

(a) Potѐ gheddung ‘putih tembok’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina benda rumah yaitu

tembok. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa potѐ gheddung adalah warna potѐ ‘putih’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah potѐ

gheddung. Persamaan atau ground yang terbentuk

dari kedua term tersebut adalah warna putih

disandingkan dengan bagian dari bangunan rumah,

yaitu putih pada tembok. Hal ini dikarenakan

mayoritas tembok rumah masyarakat Madura di Kab.

Sumenep berwarna putih.

(6) Nama bulan

(a) Potѐ sora ‘putih asyura’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina nama hari kesepuluh pada

bulan Muharram yaitu Asyura. Secara metaforik,

tenor atau pebanding dalam frasa potѐ sora adalah

warna potѐ ‘putih’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah potѐ sora. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna putih disandingkan dengan nama hari

kesepuluh pada bulan Muharram dalam kalender

Islam. Setiap memperingati hari kesepuluh pada bulan

Muharram, masyarakat di Madura membuat bubur

nasi berwarna putih. Jadi, potѐ sora adalah warna

putih seperti bubur nasi yang dibuat saat hari

kesepuluh pada bulan Muharram.

Page 95: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 72

2) Celleng ‘hitam’

Dari data yang diperoleh di lapangan, warna merah memiliki

20 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut memiliki atribut

dan yang beraneka ragam.

Tabel 2. Warna-warna turunan dari warna hitam

No. Warna Turunan Terjemahan Atribut

1. Celleng molos Hitam mulus

Adjektiva

(cerapan

perabaan)

2. Celleng manѐs Hitam manis Adjektiva

(pemeri sifat)

3. Celleng seddhâ’ Hitam sedap

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

4. Celleng

calѐmodhân Hitam gelap

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

5. Celleng bâttheng Hitam gelap

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

6. Celleng matѐ Hitam mati Verba

(keadaan)

7. Celleng potton Hitam hangus Verba

(keadaan)

8. Celleng areng Hitam arang

Nomina

(benda

lingkungan alam)

9. Celleng calѐmot Hitam gelap

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

10. Celleng maghi’ Hitam biji buah

asam

Nomina

(tumbuhan

kelas bagian

buah)

11. Celleng pekkat Hitam pekat Adjektiva

(ukuran)

12. Celleng bhâkoh Hitam tembakau

Nomina

(tumbuhan

kelas dedaunan)

13. Celleng tabâr Hitam tawar

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

14. Celleng pacѐh Hitam mengkudu Nomina

Page 96: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 73

(tumbuhan

kelas nama buah)

15. Celleng songko’ Hitam peci Nomina

(benda rumah)

16. Celleng ngalѐrѐng Hitam berkilauan

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

17. Celleng etter Hitam aspal

Nomina

(benda

lingkungan alam)

18. Celleng matteng Hitam pekat Adjektiva

(ukuran)

19. Celleng bungo Hitam ungu Adjektiva

(warna)

20. Celleng nonit Hitam mengkudu

Nomina

(tumbuhan

kelas nama buah)

Tabel 2 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari

warna dasar putih memiliki atribut yang berasal dari satuan

lingual kata, yaitu nomina, adjektiva, dan verba. Selanjutnya,

atribut-atribut tersebut akan diklasifikasikan berdasarkan jenisnya

dan dianalisis secara metaforik.

a) Atribut adjektiva

(1) Pemeri sifat

(a) Celleng manѐs ‘hitam manis’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva manѐs ‘manis’ yang

termasuk ke dalam jenis adjektiva pemeri sifat. Hal

ini dikarenakan kata manѐs ‘manis’ yang dimaksud

bermakna elok atau indah, bukan adjektiva cerapan

atau berhubungan dengan pancaindera yaitu

pencitarasaan. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa celleng manѐs adalah warna celleng

‘hitam’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah celleng manѐs. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna hitam

disandingkan dengan adjektiva pemeri sifat ‘manis’

Page 97: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 74

yang mana kata ‘manis’ bermakna indah. Istilah

celleng manis biasanya digunakan untuk menunjuk

seseorang yang berkulit gelap namun bersih.

(2) Ukuran

(a) Celleng pekkat dan celleng matteng ‘hitam pekat’

merupakan dua warna turunan dengan atribut

adjektiva pekkat ‘pekat’ dan matteng ‘pekat’ yang

termasuk ke dalam jenis adjektiva ukuran sebab

tingkat kepekatan bisa diukur secara kuantitatif.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

celleng pekkat dan celleng matteng adalah warna

celleng ‘hitam’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah celleng pekkat dan celleng

matteng. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna hitam disandingkan

dengan adjektiva ‘pekat’ yang mana kata ‘pekat’

bermakna tidak jernih. Istilah celleng pekkat dan

celleng matteng digunakan untuk menyebut hitam

murni hitam tanpa terlihat campuran warna lain.

(3) Warna

(a) Celleng bungo ‘hitam ungu’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva bungo ‘ungu’ yang

termasuk ke dalam jenis adjektiva warna. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa celleng

bungo adalah warna bungo ‘ungu’, sedangkan vehicle

atau pembandingnya adalah celleng bungo.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna hitam disandingkan

dengan warna gelap lain, yaitu ungu dengan kuantitas

warna hitam yang lebih besar.

Page 98: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 75

(4) Cerapan (pancaindera)

(a) Celleng molos ‘hitam mulus’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva molos ‘mulus’ yang

termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau

berhubungan dengan pancaindera yaitu perabaan.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

celleng molos adalah warna celleng ‘hitam’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

celleng molos. Persamaan atau ground yang terbentuk

dari kedua term tersebut adalah warna hitam

disandingkan dengan adjektiva ‘mulus’ yang mana

kata ‘mulus’ bermakna bersih. Istilah celleng molos

digunakan untuk menyebut warna hitam bersih tanpa

ada campuran warna atau corak lain.

(b) Celleng seddhâ’ ‘hitam sedap’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva seddhâ’ ‘sedap’ yang

termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau

berhubungan dengan pancaindera yaitu penglihatan.

Hal ini dikarenakan makna kata seddhâ’ ‘sedap’

dalam frasa warna tersebut adalah bersih dan enak

dipandang mata, bukan soal kelezatan dalam indera

pencitarasaan. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa celleng seddhâ’ adalah warna

celleng ‘hitam’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah celleng seddhâ’. Persamaan

atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna hitam disandingkan dengan adjektiva

cerapan (pancaindera) ‘sedap’ yang mana kata ‘sedap’

bermakna bersih atau enak dipandang mata. Istilah

celleng seddhâ’ biasanya digunakan untuk menunjuk

Page 99: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 76

seseorang yang berkulit gelap namun bersih sehingga

enak dipandang.

(c) Celleng calѐmodhân, celleng calѐmot, dan celleng

bâttheng ‘hitam gelap’ adalah tiga frasa warna yang

sama-sama memiliki arti hitam gelap. Atribut dalam

frasa warna tersebut termasuk ke dalam jenis

adjektiva cerapan atau berhubungan dengan

pancaindera yaitu penglihatan. Secara metaforik,

tenor atau pebanding dalam frasa celleng

calѐmodhân, celleng calѐmot, dan celleng bâttheng

adalah warna celleng ‘hitam’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah celleng calѐmodhân, celleng

calѐmot, dan celleng bâttheng. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari ketiga frasa tersebut

adalah warna hitam disandingkan dengan adjektiva

cerapan (pancaindera) ‘gelap’ yang mana kata ‘gelap’

bermakna tidak ada cahaya. Istilah celleng

calѐmodhân, celleng calѐmot, dan celleng bâttheng

digunakan oleh orang Madura untuk mengatakan

hitam setara dengan keadaan tanpa cahaya, misal

ketika listrik padam.

(d) Celleng tabâr ‘hitam tawar’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva tabâr ‘tawar’ yang

termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan

(pancaindera) yaitu penglihatan. Hal ini dikarenakan

makna kata tabâr ‘tawar’ dalam frasa warna tersebut

adalah hilangnya daya, bukan soal kelezatan dalam

indera pencitarasaan. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa celleng tabâr adalah warna

celleng ‘hitam’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah celleng tabâr. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

Page 100: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 77

adalah warna hitam disandingkan dengan adjektiva

cerapan (pancaindera) ‘tawar’ yang mana kata ‘tawar’

bermakna hilang dayanya. Maksud dari celleng tabâr

ialah warna hitam yang kadar kehitamannya lebih

rendah dari warna dasarnya.

(e) Celleng ngalѐrѐng ‘hitam berkilauan’ merupakan

warna turunan dengan atribut adjektiva ngalѐrѐng

‘berkilauan’ yang termasuk ke dalam jenis adjektiva

cerapan (pancaindera) yaitu penglihatan. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa celleng

ngalѐrѐng adalah warna celleng ‘hitam’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah celleng

ngalѐrѐng. Persamaan atau ground yang terbentuk

dari kedua term tersebut adalah warna hitam

disandingkan dengan adjektiva cerapan (pancaindera)

yaitu ‘berkilauan’ yang mana kata ‘berkilauan’

bermakna gemerlap atau bercahaya. Jadi, warna

celleng ngalѐrѐng adalah warna hitam yang glossy

(mengkilat).

b) Atribut nomina

(1) Tumbuhan

(a) Celleng pacѐh ‘hitam mengkudu’ dan celleng nonit

‘hitam mengkudu’ adalah dua warna turunan

bermakna sama yang beratribut nomina dalam kelas

tumbuhan yaitu buah mengkudu. Secara metaforik,

tenor atau pebanding dalam frasa celleng pacѐh dan

celleng nonit adalah warna celleng ‘hitam’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah buah celleng

pacѐh dan celleng nonit. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua frasa tersebut adalah warna

hitam disandingkan dengan buah mengkudu, yaitu

Page 101: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 78

hitam pada kulit buah mengkudu yang sangat matang.

Selain itu, istilah celleng pacѐh biasanya digunakan

untuk menunjuk keadaan hitam pada awan ketika

akan turun hujan, yaitu hitam keputihan atau abu-abu.

(b) Celleng maghi’ ‘hitam biji buah asam’ merupakan

warna turunan dengan atribut nomina bagian buah

yaitu biji buah asam. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa celleng maghi’ adalah warna

celleng ‘hitam’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah celleng maghi’. Persamaan

atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna hitam disandingkan dengan bagian dari

buah asam, yaitu hitam pada biji buah asam. Hitam

yang dimaksud adalah hitam kecokelatan.

(c) Celleng bhâkoh ‘hitam tembakau’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina dalam kelas tumbuhan

yaitu tembakau. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa celleng bhâkoh adalah warna

celleng ‘hitam’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah tumbuhan celleng bhâkoh.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna hitam disandingkan

dengan tanaman tembakau, yaitu hitam pada daun

tembakau yang benar-benar kering. Hitam yang

dimaksud adalah hitam kecokelatan.

(2) Lingkungan alam

(a) Celleng areng ‘hitam arang’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina dalam kelas

lingkungan alam yaitu arang. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa celleng areng adalah

warna celleng ‘hitam’, sedangkan vehicle atau

Page 102: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 79

pembandingnya adalah celleng areng. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna hitam disandingkan dengan hitam pada

hasil pembakaran kayu yang menjadi arang.

(b) Celleng etter ‘hitam aspal’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina dalam kelas lingkungan alam

yaitu aspal. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa celleng etter adalah warna celleng

‘hitam’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah celleng etter. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna hitam

disandingkan dengan hitam pada cairan pembuat

aspal jalan.

(3) Benda rumah

(a) Celleng songko’ ‘hitam peci’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina benda rumah yaitu

peci. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa celleng songko’ adalah warna celleng ‘hitam’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

celleng songko’. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna hitam

disandingkan dengan benda, yaitu hitam pada peci

yang biasanya digunakan oleh umat Islam untuk

beribadah. Di Madura, hampir semua lelaki dewasa

menggunakan peci tersebut dalam kehidupan sehari-

hari walaupun di luar hal ibadah.

c) Atribut verba

(1) Verba keadaan

(a) Celleng matѐ ‘hitam mati’ merupakan warna turunan

dengan atribut verba jenis verba keadaan yaitu mati.

Verba keadaan menyatakan adanya perubahan dari

Page 103: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 80

suatu keadaan ke keadaan lainnya. Secara metaforik,

tenor atau pebanding dalam frasa celleng matѐ adalah

warna celleng ‘hitam’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah celleng matѐ. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna hitam disandingkan dengan verba

keadaan ‘mati’ yang mana kata ‘mati’ bermakna

padam. Istilah celleng matѐ digunakan oleh orang

Madura untuk mengatakan sesuatu yang benar-benar

hitam seperti tidak ada cahaya (padam).

(b) Celleng potton ‘hitam hangus’ merupakan warna

turunan dengan atribut verba jenis verba keadaan

yaitu hangus. Verba keadaan menyatakan adanya

perubahan dari suatu keadaan ke keadaan lainnya.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

celleng potton adalah warna celleng ‘hitam’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

celleng potton. Persamaan atau ground yang terbentuk

dari kedua term tersebut adalah warna hitam

disandingkan dengan verba ‘hangus’ yang mana kata

‘hangus’ bermakna gosong. Istilah celleng potton

digunakan untuk menyebut hitam seperti masakan

yang hangus atau hitam seperti bagian bawah

peralatan dapur yang terlalu lama di atas api.

3) Mѐra ‘merah’

Dari data yang diperoleh di lapangan, warna merah

memiliki 29 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut

memiliki atribut dan yang beraneka ragam.

Page 104: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 81

Tabel 3. Warna-warna turunan dari warna merah

No. Warna Turunan Terjemahan Atribut

1. Mѐra towa Merah tua Adjektiva

(ukuran)

2. Mѐra ngodâ Merah muda Adjektiva

(ukuran)

3. Mѐra bhâta Merah bata

Nomina

(benda

lingkungan alam)

4. Mѐra dârâ Merah darah

Nomina

(bagian tubuh

manusia)

5. Mѐra atѐ Merah hati

Nomina

(bagian tubuh

manusia)

6. Mѐra jhambu Merah jambu

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

7. Mѐra sokkla Merah murni Adjektiva

(ukuran)

8. Mѐra cabbi Merah cabai

Nomina

(tumbuhan kelas

sayuran)

9. Mѐra

cabbi massa’

Merah

cabai matang

Frasa Nomina

(tumbuhan kelas

sayuran)

10. Mѐra

ngadhârbâng Merah terang

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

11. Mѐra mawar Merah mawar

Nomina

(tumbuhan kelas

nama bunga)

12. Mѐra nojeh Merah bunga

pukul empat

Nomina

(tumbuhan kelas

nama bunga)

13. Mѐra manggis Merah manggis

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

14. Mѐra delimah Merah delima

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

15. Mѐra saccang Merah secang

Nomina

(tumbuhan

kelas rempah-

rempah)

16. Mѐra arѐ Merah matahari Nomina

(benda

Page 105: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 82

lingkungan alam)

17. Mѐra abâng Merah merah Adjektiva

(warna)

18. Mѐra ennyat Merah muda Adjektiva

(warna)

19. Ennyat Merah muda -

20. Mѐra ghentѐng Merah genteng Nomina

(benda rumah)

21. Mѐra mabâr Merah mawar

Nomina

(tumbuhan kelas

nama bunga)

22. Mѐra mettal Merah padam

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

23. Mѐra mardâh Merah bara api

Nomina

(benda

lingkungan alam)

24. Mѐra kalompang Merah

kelumpang

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

25. Mѐra sѐrѐ Merah sirih

Nomina

(tumbuhan kelas

dedaunan)

26. Mѐra pѐnang Merah pinang

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

27. Mѐra tellor Merah telur

Nomina

(bagian tubuh

hewan)

28. Mѐra jhâgung Merah jagung

Nomina

(tumbuhan kelas

biji-bijian)

29. Mѐra tabâr Merah tawar

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

Tabel 3 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari

warna dasar merah memiliki atribut yang berasal dari satuan

lingual kata, yaitu nomina dan adjektiva, serta satuan lingual frasa

berupa frasa nomina. Selanjutnya, atribut-atribut tersebut akan

diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan dianalisis secara

metaforik.

Page 106: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 83

a) Atribut adjektiva

(1) Ukuran

(a) Mѐra towa ‘merah tua’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva towa yang termasuk ke

dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa mѐra towa adalah warna

mѐra ‘merah’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah mѐra towa. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna merah disandingkan dengan adjektiva

‘tua’ yang mana kata ‘tua’ bermakna kehitam-hitaman

atau sangat. Jadi, mѐra towa berarti warna merah

gelap.

(b) Mѐra ngodâ ‘merah muda’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva ngodâ yang termasuk ke

dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa mѐra ngodâ adalah warna

mѐra ‘merah’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah mѐra ngodâ. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna merah disandingkan dengan adjektiva

‘muda’ yang mana kata ‘muda’ berarti kurang gelap

atau agak pucat. Jadi, mѐra ngodâ berarti warna

merah yang memiliki kandungan merah lebih rendah

daripada warna merah pada umumnya sehingga

menghasilkan warna merah yang agak pucat.

(c) Mѐra sokkla ‘merah murni’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva sokkla yang termasuk ke

dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa mѐra sokkla adalah warna

mѐra ‘merah’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah mѐra sokkla. Persamaan atau

Page 107: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 84

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah Warna merah disandingkan dengan adjektiva

‘murni’ yang mana kata ‘murni’ bermakna tidak

bercampur dengan unsur lain. Jadi, mѐra sokkla

berarti merah sesuai dengan warna dasar atau merah

dengan kadar R tinggi berjumlah 255 dalam decimal

code, sedangkan kadar G dan B berjumlah 0.

(2) Warna

(a) Mѐra abâng ‘merah merah’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva warna yang sama dengan

warna dasarnya yaitu abâng ‘merah’. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa mѐra

abâng adalah warna mѐra ‘merah’, sedangkan vehicle

atau pembandingnya adalah mѐra abâng. Persamaan

atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna merah disandingkan dengan penyebutan

warna merah dalam bahasa Jawa yaitu abang yang

menunjukkan penekanan terhadap warna merah

tersebut. Dengan kata lain, warna merah yang

dimakud adalah sangat merah.

(b) Mѐra ennyat ‘merah muda’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva yaitu ennyat ‘merah muda’.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

mѐra ennyat adalah warna mѐra ‘merah’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah mѐra ennyat.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna merah disandingkan

dengan salah satu warna turunannya yaitu ennyat

yang berarti merah muda. Sebenarnya, tanpa

menggunakan istilah warna dasar mѐra maksud dari

warna tersebut sudah sama, yaitu merah muda.

Page 108: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 85

Namun, orang Madura lebih sering

menyandingkannya dengan warna dasar untuk lebih

menekankan maknanya.

(3) Cerapan

(a) Mѐra ngadhârbâng ‘merah terang’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva ngadhârbâng

‘terang’ yang termasuk ke dalam jenis adjektiva

cerapan atau berhubungan dengan pancaindera yaitu

penglihatan. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa mѐra ngadhârbâng adalah warna mѐra

‘merah’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah mѐra ngadhârbâng. Persamaan atau ground

yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

merah disandingkan dengan adjektiva cerapan

(pancaindera) ‘terang’ yang mana kata ‘terang’

bermakna cerah atau bersinar. Jadi, mѐra

ngadhârbâng berarti merah yang lebih cerah dari

warna dasarnya.

(b) Mѐra mettal ‘merah terang’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva mettal ‘terang’ yang

termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau

berhubungan dengan pancaindera yaitu penglihatan.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

mѐra mettal adalah warna mѐra ‘merah’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah mѐra mettal.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna merah disandingkan

dengan adjektiva cerapan (pancaindera) ‘terang’ yang

mana kata ‘terang’ bermakna cerah atau bersinar.

Jadi, mѐra mettal berarti merah yang lebih cerah dari

warna dasarnya.

Page 109: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 86

(c) Mѐra tabâr ‘merah tawar’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva tabâr ‘tawar’ yang termasuk

ke dalam jenis adjektiva cerapan (pancaindera) yaitu

penglihatan. Hal ini dikarenakan makna kata tabâr

‘tawar’ dalam frasa warna tersebut adalah hilangnya

daya, bukan soal kelezatan dalam indera

pencitarasaan. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa mѐra tabâr adalah warna mѐra ‘merah’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra

tabâr. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan

dengan adjektiva cerapan (pancaindera) ‘tawar’ yang

mana kata ‘tawar’ bermakna hilang dayanya. Maksud

dari mѐra tabâr ialah warna merah yang kadar

kemerahannya lebih rendah dari warna dasarnya.

b) Atribut nomina

(1) Bagian tubuh manusia

(a) Mѐra dârâ ‘merah darah’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina bagian tubuh manusia yaitu

darah. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa mѐra dârâ adalah warna mѐra ‘merah’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra

dârâ. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan

dengan cairan darah pada manusia, sehingga warna

merah yang dimaksud adalah warna merah serupa

dengan darah.

(b) Mѐra atѐ ‘merah hati’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina bagian tubuh manusia yaitu

hati. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa mѐra atѐ adalah warna mѐra ‘merah’,

Page 110: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 87

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra

atѐ. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna merah

disandingkan dengan salah satu organ tubuh

manusia yaitu hati. Hati memiliki warna agak gelap

yaitu merah kehitaman sehingga merah hati

merupakan merah gelap.

(2) Hewan

(a) Mѐra tellor ‘merah telur’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina bagian tubuh hewan yaitu

telur. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa mѐra tellor adalah warna mѐra ‘merah’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra

tellor. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan

dengan bagian dari telur ayam kampung, yaitu kuning

telur. Penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep

mengatakan merah telur sebab bagian kuning dari

telur ayam kampung terlihat lebih tua atau mendekati

merah dari pada kuning telur ayam biasa. Jadi, merah

telur bermakna merah kekuningan atau oranye.

(3) Tumbuhan

(a) Mѐra jhambu ‘merah jambu’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu

jambu. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa mѐra jhambu adalah warna mѐra ‘merah’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra

jhambu. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan

dengan bagian dari buah jambu air, yaitu warna merah

Page 111: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 88

pada warna kulit buah jambu air. Hal ini dikarenakan

di Madura jarang ditemui buah jambu biji berdaging

merah, melainkan lebih sering jambu biji berdaging

putih dan jambu air.

(b) Mѐra manggis ‘merah manggis’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu

manggis. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa mѐra manggis adalah warna mѐra

‘merah’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah mѐra manggis. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

merah disandingkan dengan bagian dari buah

manggis, yaitu warna merah yang terdapat dalam

bagian dalam kulit manggis sehingga merah yang

dimaksud adalah merah keunguan.

(c) Mѐra delimah ‘merah delima’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu

delima. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa mѐra delimah adalah warna mѐra ‘merah’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra

delimah. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan

dengan bagian dari buah delima, yaitu warna merah

yang terdapat dalam daging yang melekat pada biji

buah delima. Warna merah yang dimaksud adalah

merah tua.

(d) Mѐra kalompang ‘merah kelumpang’ merupakan

warna turunan dengan atribut nomina buah-buahan

yaitu kelumpang. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa mѐra kalompang adalah warna

mѐra ‘merah’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah mѐra kalompang. Persamaan

Page 112: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 89

atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna merah disandingkan dengan bagian dari

buah kelumpang, yaitu merah pada kulit buah

kelumpang yang sudah matang.

(e) Mѐra pѐnang ‘merah pinang’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu

pinang. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa mѐra pѐnang adalah warna mѐra ‘merah’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra

pѐnang. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan

dengan buah pinang, yaitu warna merah yang

dihasilkan dari racikan buah pinang bersama kapur

yang biasanya dikonsumsi oleh para ibu-ibu tua di

Madura. Racikan pinang tersebut biasanya

menghasilkan warna merah pada area mulut. Merah

yang dimaksud adalah merah kekuningan atau oranye.

(f) Mѐra mawar ‘merah mawar’ dan mѐra mabâr ‘merah

mawar’ adalah dua warna turunan dengan atribut

nomina bunga yaitu mawar. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa mѐra mawar dan mѐra

mabâr adalah warna mѐra ‘merah’, sedangkan vehicle

atau pembandingnya adalah mѐra mawar dan mѐra

mabâr. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan

dengan bagian dari bunga mawar, yaitu warna merah

pada warna kelopak bunga mawar. Merah yang

dimaksud adalah merah gelap.

(g) Mѐra nojeh ‘merah bunga pukul empat’ adalah warna

turunan dengan atribut nomina bunga yaitu bunga

pukul empat. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa mѐra nojeh adalah warna mѐra ‘merah’,

Page 113: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 90

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra

nojeh. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan

dengan bagian dari bunga pukul empat, yaitu warna

merah pada kelopak bunga pukul empat. Warna

merah yang dimaksud adalah merah keunguan.

Penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep

menggunakan frasa ini untuk mendeskripsikan warna

pink yang lebih tua dari biasanya.

(h) Mѐra cabbi ‘merah cabai’ adalah warna turunan

dengan atribut nomina dalam kelas tumbuhan yaitu

sayur cabai. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa mѐra cabbi adalah warna mѐra ‘merah’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra

cabbi. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan

dengan bagian dari cabai rawit, yaitu warna merah

pada warna kulit cabai rawit atau merah terang.

Selain itu, penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep

juga menggunakan frasa mѐra cabbi massa’ ‘merah

cabai matang’ yaitu mѐra cabbi yang mendapat

atribut adjektiva massa’ ‘matang’. Jadi, mѐra cabbi

massa’ sebenarya adalah warna merah cabai pada

umumnya. Hanya saja penutur menggunakan atribut

massa’ ‘matang’ karena menurut mereka cabai hijau

merupakan cabai mentah atau belum matang sehingga

perlu dibedakan.

(i) Mѐra jhâgung ‘merah jagung’ adalah warna turunan

dengan atribut nomina dalam kelas tumbuhan yaitu

biji jagung. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa mѐra jhâgung adalah warna mѐra

‘merah’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

Page 114: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 91

adalah mѐra jhâgung. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

merah disandingkan dengan bagian dari tanaman

jagung, yaitu biji jagung yang sudah tua. Jagung yang

sudah tua tidak lagi berwarna kuning, melainkan

berwarna oranye atau merah kekuning-kuningan.

(j) Mѐra saccang ‘merah secang’ adalah warna turunan

dengan atribut nomina tumbuhan yaitu jenis rempah

secang. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa mѐra saccang adalah warna mѐra ‘merah’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra

saccang. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan

dengan kayu secang, yaitu warna merah yang

dihasilkan dari air rebusan kayu secang. Merah yang

dimaksud adalah merah kecokelatan.

(k) Mѐra sѐrѐ ‘merah sirih’ warna turunan dengan atribut

nomina tumbuhan yaitu jenis tumbuhan lain sirih.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

mѐra sѐrѐ adalah warna mѐra ‘merah’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah mѐra sѐrѐ.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna merah disandingkan

dengan daun sirih merah, sehingga warna merah yang

dimaksud adalah warna merah gelap.

(4) Lingkungan alam

(a) Mѐra bhâta ‘merah bata’ adalah warna turunan

dengan atribut nomina lingkungan alam yaitu batu

bata. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa mѐra bhâta adalah warna mѐra ‘merah’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra

Page 115: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 92

bhâta. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan

dengan balok batu bata, sehingga warna merah yang

dimaksud adalah warna merah serupa dengan batu

bata atau menyerupai oranye.

(b) Mѐra arѐ ‘merah matahari’ warna turunan dengan

atribut nomina lingkungan alam yaitu matahari.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

mѐra arѐ adalah warna mѐra ‘merah’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah mѐra arѐ.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna merah disandingkan

dengan warna sinar matahari saat baru terbit yaitu

merah kekuning-kuningan.

(c) Mѐra mardâh ‘merah bara api’ warna turunan dengan

atribut nomina lingkungan alam yaitu bara api. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa mѐra

mardâh adalah warna mѐra ‘merah’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah mѐra mardâh.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna merah disandingkan

dengan warna bara api yang menyala ketika proses

pembakaran kayu, yaitu merah kekuning-kuningan

atau oranye.

(5) Benda rumah

(a) Mѐra ghentѐng ‘merah genteng’ adalah warna turunan

dengan atribut nomina benda rumah yaitu genteng.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

mѐra ghentѐng adalah warna mѐra ‘merah’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah mѐra

ghentѐng. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

Page 116: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 93

kedua term tersebut adalah warna merah disandingkan

dengan genteng, yaitu warna merah kekuning-

kuningan atau oranye.

c) Non-Atribut

(a) Ennyat ‘merah muda’ merupakan warna turunan atau

bagian dari warna dasar mѐra ‘merah’ yang tidak

memiliki atribut. Hal ini dikarenakan menurut Kamus

Lengkap Bahasa Madura Indonesia (2009:160) ennyat

bermakna merah muda (pink). Jadi, tanpa perlu memberi

atribut di belakangnya pun leksem ennyat sudah

bermakna merah muda dan merupakan bagian atau

warna turunan dari warna dasar merah.

4) Bhiru ‘hijau’

Dari data yang diperoleh di lapangan, warna hijau memiliki

18 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut memiliki atribut

dan yang beraneka ragam.

Tabel 4. Warna-warna turunan dari warna hijau

No. Warna Turunan Terjemahan Atribut

1. Bhiru dâun Hijau daun

Nomina

(tumbuhan kelas

bagian

pepohonan)

2. Bhiru ompos Hijau pupus

Nomina

(tumbuhan kelas

bagian

pepohonan)

3. Bhiru lomot Hijau lumut

Nomina

(tumbuhan kelas

bagian dedaunan)

4. Bhiru popos Hijau pupus

Nomina

(tumbuhan kelas

bagian

pepohonan)

5. Bhiru tentara Hijau tentara Nomina

(profesi)

Page 117: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 94

6. Bhiru arta’ Hijau

kacang hijau

Nomina

(tumbuhan kelas

biji-bijian)

7. Bhiru dhilâ Hijau pelita Nomina

(benda rumah)

8. Bhiru alam Hijau alam

Nomina

(benda lingkungan

alam)

9. Bhiru patayat Hijau fatayat Nomina

(organisasi)

10. Bhiru pandan Hijau pandan

Nomina

(tumbuhan kelas

rempah-rempah)

11. Bhiru ngodâ Hijau muda Adjektiva

(ukuran)

12. Bhiru towa Hijau tua Adjektiva

(ukuran)

13. Bhiru talosѐ Hijau pekat Adjektiva

(ukuran)

14. Bhiru butol Hijau botol Nomina

(benda rumah)

15. Bhiru rantѐh Hijau tomat

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

16. Bhiru matta Hijau mentah

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

17. Bhiru calattong Hijau kotoran

sapi

Nomina

(bagian tubuh

hewan)

18. Bhiru sѐnnam Hijau daun pupus

asam

Nomina

(tumbuhan kelas

bagian

pepohonan)

Tabel 4 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari

warna dasar hijau memiliki atribut yang berasal dari satuan

lingual kata, yaitu nomina dan adjektiva. Selanjutnya, atribut-

atribut tersebut akan diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan

dianalisis secara metaforik.

Page 118: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 95

a) Atribut adjektiva

(1) Ukuran

(a) Bhiru ngodâ ‘hijau muda’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva ngodâ ‘muda’ yang termasuk

ke dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik,

tenor atau pebanding dalam frasa bhiru ngodâ adalah

warna bhiru ‘hijau’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah bhiru ngodâ. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna hijau disandingkan dengan adjektiva

‘muda’ yang mana kata ‘muda’ berarti kurang gelap

atau agak pucat. Jadi, bhiru ngodâ berarti warna hijau

yang agak pucat dari biasanya.

(b) Bhiru towa ‘hijau tua’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva towa ‘tua’ yang termasuk ke

dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa bhiru towa adalah warna

bhiru ‘hijau’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah bhiru towa. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna hijau

disandingkan dengan Adjektiva ‘tua’ yang mana kata

‘tua’ bermakna kehitam-hitaman atau sangat. Jadi,

bhiru towa berarti warna hijau gelap.

(2) Cerapan

(a) Bhiru matta ‘hijau mentah’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva matta ‘mentah’ yang

termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau

berhubungan dengan pancaindera yaitu pencitarasaan.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

bhiru matta adalah warna bhiru ‘hijau’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah bhiru matta.

Page 119: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 96

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna hijau disandingkan dengan

adjektiva ‘mentah’ yang mana kata ‘mentah’

bermakna belum matang. Istilah bhiru matta

digunakan untuk menyebut warna hijau keputihan

atau hijau sangat muda seperti warna daging buah

yang belum matang.

b) Atribut nomina

(1) Hewan

(a) Bhiru calattong ‘hijau kotoran sapi’ adalah warna

turunan dengan atribut nomina bagian tubuh hewan

yaitu kotoran sapi. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa bhiru calattong adalah warna

bhiru ‘hijau’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah bhiru calattong. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna hijau

disandingkan dengan salah satu bagian dari sapi, yaitu

kotoran sapi. Umumnya kotoran sapi berwarna hijau

pekat yang disebabkan oleh makanan yang

dikonsumsi berupa tumbuh-tumbuhan. Jadi, bhiru

calattong merujuk pada warna hijau pekat.

(2) Tumbuhan

(a) Bhiru rantѐh ‘hijau tomat’ adalah warna turunan

dengan atribut nomina buah-buahan yaitu tomat.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

bhiru rantѐh adalah warna bhiru ‘hijau’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah bhiru rantѐh.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna hijau disandingkan dengan

Page 120: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 97

salah satu jenis buah dan sayuran, yaitu kulit tomat

hijau. Warna hijau yang dimaksud adalah hijau muda.

(b) Bhiru dâun ‘hijau daun’ adalah warna turunan dengan

atribut nomina bagian pohon yaitu daun. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru

dâun adalah warna bhiru ‘hijau’, sedangkan vehicle

atau pembandingnya adalah bhiru dâun. Persamaan

atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna hijau disandingkan dengan tumbuhan,

yaitu hijau pada warna daun.

(c) Bhiru ompos ‘hijau pupus’ dan bhiru popos ‘hijau

pupus’ adalah dua warna turunan dengan atribut

nomina bagian pohon yaitu daun pupus. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru

ompos dan bhiru popos adalah warna bhiru ‘hijau’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru

ompos dan bhiru popos. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna hijau

disandingkan dengan tumbuhan, yaitu hijau pada

warna daun yang baru tumbuh atau hijau muda.

(d) Bhiru sѐnnam ‘hijau daun pupus asam’ adalah warna

turunan dengan atribut nomina bagian pohon asam

yaitu daun pupus asam. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa bhiru sѐnnam adalah warna

bhiru ‘hijau’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah bhiru sѐnnam. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna hijau

disandingkan dengan daun asam yang masih muda

atau baru tumbuh sehingga warna hijau yang

dimaksud adalah hijau muda.

(e) Bhiru arta’ ‘hijau kacang hijau’ adalah warna turunan

dengan atribut nomina tumbuhan yaitu biji kacang

Page 121: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 98

hijau. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa bhiru arta’ adalah warna bhiru ‘hijau’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru

arta’. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna hijau disandingkan

dengan tumbuhan, yaitu hijau pada biji kacang hijau.

Warna hijau yang dimaksud adalah hijau gelap.

(f) Bhiru pandan ‘hijau pandan’ adalah warna turunan

dengan atribut nomina tumbuhan yaitu rempah

pandan. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa bhiru pandan adalah warna bhiru ‘hijau’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru

pandan. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna hijau disandingkan

dengan tumbuhan rempah, yaitu hijau pada daun

pandan.

(g) Bhiru lomot ‘hijau lumut’ adalah warna turunan

dengan atribut nomina tumbuhan yaitu jenis

tumbuhan lain lumut. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa bhiru lomot adalah warna

bhiru ‘hijau’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah bhiru lomot. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna hijau

disandingkan dengan tumbuhan, yaitu hijau pada

warna lumut.

(3) Lingkungan alam

(a) Bhiru alam ‘hijau alam’ warna turunan dengan atribut

nomina lingkungan alam yaitu alam itu sendiri.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

bhiru alam adalah warna bhiru ‘hijau’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah bhiru alam.

Page 122: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 99

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna hijau disandingkan dengan

keadaan alam. Alam yang dimaksud adalah tumbuh-

tumbuhan. Jadi, bhiru alam adalah hijau yang

mengacu pada warna tumbuhan pada umumnya.

(4) Instansi, Organisasi, dan Profesi

(a) Bhiru tentara ‘hijau tentara’ warna turunan dengan

atribut nomina yaitu profesi tentara. Secara metaforik,

tenor atau pebanding dalam frasa bhiru tentara

adalah warna bhiru ‘hijau’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah bhiru tentara. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna hijau disandingkan dengan benda, yaitu

hijau pada seragam tentara.

(b) Bhiru patayat ‘hijau fatayat’ warna turunan dengan

atribut nomina yaitu organisasi fatayat. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru

patayat adalah warna bhiru ‘hijau’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah bhiru patayat.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna hijau disandingkan dengan

benda yaitu warna hijau yang digunakan pada logo

Fatayat dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

(5) Benda rumah

(a) Bhiru dhilâ ‘hijau pelita’ adalah warna turunan

dengan atribut nomina benda rumah yaitu pelita atau

lampu. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa bhiru dhilâ adalah warna bhiru ‘hijau’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru

dhilâ. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

Page 123: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 100

kedua term tersebut adalah warna hijau disandingkan

dengan benda yaitu ‘pelita’. Pelita bermakna lampu.

Jadi, bhiru dhilâ adalah hijau terang (bercahaya).

5) Konѐng ‘kuning’

Dari data yang diperoleh di lapangan, warna kuning

memiliki 40 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut

memiliki atribut dan yang beraneka ragam.

Tabel 5. Warna-warna turunan dari warna kuning

No. Warna Turunan Terjemahan Atribut

1. Konѐng towa Kuning tua Adjektiva

(ukuran)

2. Konѐng tѐra’ Kuning terang

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

3. Konѐng ngodâ Kuning muda Adjektiva

(ukuran)

4. Konѐng emmas Kuning emas

Nomina

(benda

lingkungan alam)

5. Konѐng

ghâddhing Kuning gading

Nomina

(bagian tubuh

hewan)

6. Konѐng konye’ Kuning kunyit

Nomina

(tumbuhan kelas

rempah-rempah)

7. Konѐng tellor Kuning telur

Nomina

(bagian tubuh

hewan)

8. Konѐng mo-

remmo

Kuning sangat

indah

Adjektiva

(pemeri sifat)

9. Konѐng

kapodhâng

Kuning burung

kepodang

Nomina

(nama hewan)

10. Konѐng kananga Kuning kenanga

Nomina

(tumbuhan kelas

nama bunga)

11. Konѐng pellay Kuning pucat Adjektiva

(pemeri sifat)

12. Konѐng pocet Kuning pucat Adjektiva

(pemeri sifat)

13. Konѐng bucco’ Kuning busuk Adjektiva

(pemeri sifat)

Page 124: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 101

14. Konѐng keddeng Kuning pisang

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

15. Konѐng kalak Kuning kalak

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

16. Konѐng kalak

towa

Kuning

kalak towa

Frasa Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

17. Konѐng

kalak ngodâ

Kuning

kalak muda

Frasa Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

18. Konѐng ngettak Kuning terang

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

19. Konѐng

ngacornang Kuning terang

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

20. Konѐng langsat Kuning langsat

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

21. Konѐng dâun Kuning daun

Nomina

(tumbuhan kelas

bagian

pepohonan)

22. Konѐng kraè Kuning blewah

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

23. Konѐng dhâddhâr Kuning dadar Nomina

(makanan)

24. Konѐng tabâr Kuning tawar

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

25. Konѐng

temolabâk

Kuning

temulawak

Nomina

(tumbuhan kelas

rempah-rempah)

26. Konѐng nanas Kuning nanas

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

27. Konѐng

mantѐghâh Kuning mentega

Nomina

(makanan)

28. Konѐng matta Kuning mentah

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

29. Konѐng

ngamennyor

Kuning

berkilauan

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

30. Konѐng taѐ Kuning tahi Nomina

Page 125: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 102

(bagian tubuh

manusia)

31. Konѐng mondhu Kuning mundu

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

32. Konѐng jhâghung Kuning jagung

Nomina

(tumbuhan kelas

biji-bijian)

33. Konѐng dѐwi Kuning dewi Nomina

(profesi)

34. Konyѐ’ bucco’ Kunyit busuk -

35. Konѐng jherruk Kuning jeruk

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

36. Konѐng wortel Kuning wortel

Nomina

(tumbuhan kelas

sayuran)

37. Konѐng ngonyor Kuning mulus

Adjektiva

(cerapan

perabaan)

38. Konѐng nangka Kuning nangka

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

39. Konѐng manjhilân Kuning

biji nangka

Nomina

(tumbuhan kelas

bagian buah)

40. Konѐng dilla

matta

Kuning

buah maja

mentah

Frasa Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

Tabel 5 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari

warna dasar kuning memiliki atribut yang berasal dari satuan

lingual kata, yaitu nomina dan adjektiva, serta satuan lingual frasa

berupa frasa nomina. Selanjutnya, atribut-atribut tersebut akan

diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan dianalisis secara

metaforik.

a) Atribut adjektiva

(1) Pemeri sifat

(a) Konѐng mo-remmo ‘kuning sangat indah’ merupakan

warna turunan dengan atribut adjektiva mo-remmo

yang berasal dari kata dasar remmo ‘indah’ yang

Page 126: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 103

termasuk ke dalam jenis adjektiva pemeri sifat. Dalam

bahasa Madura, mo-remmo merupakan jenis kata

ulang atau reduplikasi suku akhir yang mana jenis

reduplikasi ini paling banyak digunakan dalam bahasa

Madura dialek Sumenep. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa konѐng mo-remmo adalah

warna konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah konѐng mo-remmo. Persamaan

atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna kuning disandingkan dengan adjektiva

mo-remmo yang bermakna enak dipandang atau elok.

Konѐng mo-remmo berarti kuning bersih yang

biasanya digunakan untuk menunjuk warna kulit

seorang perempuan.

(b) Konѐng pellay dan konѐng pocet ‘kunit pucat’

merupakan dua warna turunan dengan atribut

adjektiva pellay ‘pucat’ dan olay ‘pucat’ yang

termasuk ke dalam jenis adjektiva pemeri sifat. Hal

ini dikarenakan pellay ‘pucat’ dan olay ‘pucat’

menggambarkan suatu intensitas yang bercorak fisik.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

konѐng pellay dan konѐng olay adalah warna konѐng

‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah konѐng pellay dan konѐng olay. Persamaan

atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna kuning disandingkan dengan adjektiva

‘pucat’ yang mana kata ‘pucat’ bermakna agak putih.

Jadi, konѐng pellay dan konѐng pocet berarti kuning

keputih-putihan.

(c) Konѐng bucco’ ‘kuning busuk’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva bucco’ ‘busuk’ yang

termasuk ke dalam jenis adjektiva pemeri sifat.

Page 127: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 104

Sebenarnya, secara teoretis kata busuk termasuk ke

dalam jenis adjektiva pancaindera penciuman, tetapi

makna bucco’ dalam frasa warna ini adalah rusak atau

jelek. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa konѐng bucco’ adalah warna konѐng ‘kuning’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

konѐng bucco’. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

kuning disandingkan dengan adjektiva ‘busuk’ yang

mana kata ‘busuk’ bermakna rusak atau jelek. Jadi,

konѐng bucco’ berarti warna kuning tersebut sudah

tidak seperti warna dasarnya karena lebih kusam,

gelap, atau kecokelatan.

(2) Ukuran

(a) Konѐng towa ‘kuning tua’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva towa ‘tua’ yang termasuk ke

dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa konѐng towa adalah

warna konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah konѐng towa. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna kuning disandingkan dengan adjektiva

‘tua’ yang mana kata ‘tua’ bermakna kehitam-hitaman

atau sangat. Jadi, konѐng towa berarti kuning gelap.

(b) Konѐng ngodâ ‘kuning muda’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva ngodâ ‘muda’ yang

termasuk ke dalam jenis adjektiva ukuran. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa konѐng

ngodâ adalah warna konѐng ‘kuning’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah konѐng ngodâ.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

Page 128: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 105

term tersebut adalah warna kuning disandingkan

dengan adjektiva ‘muda’ yang mana kata ‘muda’

berarti kurang gelap atau agak pucat. Jadi, konѐng

ngodâ berarti warna kuning agak pucat.

(3) Cerapan

(a) Konѐng tѐra’, konѐng ngettak, dan konѐng

ngacornang ‘kuning terang’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva tѐra’, ngettak, dan

ngacornang yang sama-sama memiliki arti ‘terang’.

Ketiga adjektiva tersebut termasuk ke dalam jenis

adjektiva cerapan atau berhubungan dengan

pancaindera yaitu penglihatan. Secara metaforik,

tenor atau pebanding dalam frasa konѐng tѐra’,

konѐng ngettak, dan konѐng ngacornang adalah

warna konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah konѐng tѐra’, konѐng ngettak,

dan konѐng ngacornang. Persamaan atau ground

yang terbentuk dari dua term dalam tiga frasa tersebut

adalah warna kuning disandingkan dengan adjektiva

cerapan (pancaindera) ‘terang’ yang mana kata

‘terang’ bermakna cerah atau bersinar. Jadi, konѐng

tѐra’, konѐng ngettak, dan konѐng ngacornang berarti

kuning yang lebih cerah dari warna dasarnya.

(b) Konѐng tabâr ‘kuning tawar’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva tabâr ‘tawar’ yang

termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan

(pancaindera) yaitu penglihatan. Hal ini dikarenakan

makna kata tabâr ‘tawar’ dalam frasa warna tersebut

adalah hilangnya daya, bukan soal kelezatan dalam

indera pencitarasaan. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa konѐng tabâr adalah warna

Page 129: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 106

konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah konѐng tabâr. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna kuning disandingkan dengan adjektiva

cerapan (pancaindera) ‘tawar’ yang mana kata ‘tawar’

bermakna hilang dayanya. Maksud dari konѐng tabâr

ialah warna kuning yang kurang terang atau kuning

pucat. Masyarakat Madura di Kab. Sumenep

cenderung menggunakan istilah tersebut untuk

menunjukkan warna kuning keputihan atau kuning

muda.

(c) Konѐng matta ‘kuning mentah’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva matta ‘mentah’ yang

termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau

berhubungan dengan pancaindera yaitu pencitarasaan.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

konѐng matta adalah warna konѐng ‘kuning’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

konѐng matta. Persamaan atau ground yang terbentuk

dari kedua term tersebut adalah warna kuning

disandingkan dengan adjektiva ‘mentah’ yang mana

kata ‘mentah’ bermakna belum matang. Istilah konѐng

matta digunakan untuk menyebut warna kuning

keputihan atau kuning sangat muda seperti warna

daging buah yang belum matang.

(d) Konѐng ngamenyor ‘kuning berkilauan’ merupakan

warna turunan dengan atribut adjektiva ngamenyor

‘berkilauan’ yang termasuk ke dalam jenis adjektiva

cerapan atau berhubungan dengan pancaindera yaitu

penglihatan. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa konѐng ngamenyor adalah warna konѐng

‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

Page 130: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 107

adalah konѐng ngamenyor. Persamaan atau ground

yang terbentuk dari dua term dalam tiga frasa tersebut

adalah warna kuning disandingkan dengan adjektiva

cerapan (pancaindera) yaitu ‘berkilauan’ yang mana

kata ‘berkilauan’ bermakna gemerlap atau bercahaya.

Jadi, warna konѐng ngamennyor adalah warna kuning

terang.

(e) Konѐng ngonyor ‘kuning mulus’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva ngonyor ‘mulus’

yang termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau

berhubungan dengan pancaindera yaitu perabaan.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

konѐng ngonyor adalah warna konѐng ‘kuning’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

konѐng ngonyor. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

kuning disandingkan dengan adjektiva ‘mulus’ yang

mana kata ‘mulus’ bermakna bersih. Istilah konѐng

ngonyor digunakan untuk menyebut warna kuning

bersih.

b) Atribut nomina

(1) Bagian tubuh manusia

(a) Konѐng taѐ ‘kuning tahi’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina bagian tubuh manusia yaitu

kotoran. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa konѐng taѐ adalah warna konѐng

‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah konѐng taѐ. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

kuning disandingkan dengan warna kotoran manusia,

yaitu warna kuning kecoklatan.

Page 131: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 108

(2) Hewan

(a) Konѐng kapodhâng ‘kuning burung kepudang’

merupakan warna turunan dengan atribut nomina

hewan yaitu burung kepudang. Secara metaforik,

tenor atau pebanding dalam frasa konѐng kapodhâng

adalah warna konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle

atau pembandingnya adalah konѐng kapodhâng.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna kuning disandingkan

dengan bagian dari tubuh burung kepudang, yaitu

kuning pada bulu burung kepudang. Jadi, kuning yang

dimaksud adalah kuning cerah.

(b) Konѐng ghâddhing ‘kuning gading’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina bagian tubuh hewan

yaitu gading. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa konѐng ghâddhing adalah warna konѐng

‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah konѐng ghâddhing. Persamaan atau ground

yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

kuning disandingkan dengan bagian tubuh dari gajah,

yaitu warna kuning pada gading atau kuning keputih-

putihan.

(c) Konѐng tellor ‘kuning telur’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina bagian tubuh hewan

yaitu telur. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa konѐng tellor adalah warna konѐng

‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah konѐng tellor. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

kuning disandingkan dengan bagian kuning telur dari

telur ayam broiler (negeri). Hal ini dikarenakan

Page 132: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 109

bagian kuning telur ayam broiler berwarna kuning

muda, tidak seperti kuning telur ayam kampung yang

agak kemerahan.

(3) Tumbuhan

(a) Konѐng keddeng ‘kuning pisang’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu

pisang. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa konѐng keddeng adalah warna konѐng ‘kuning’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

konѐng keddeng. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

kuning disandingkan dengan bagian dari buah pisang,

yaitu warna kuning pada kulit buah pisang yang sudah

matang. Jadi, kuning yang dimaksud adalah kuning

cerah.

(b) Konѐng kalak ‘kuning kalak’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu

kalak. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa konѐng kalak adalah warna konѐng ‘kuning’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

konѐng kalak. Persamaan atau ground yang terbentuk

dari kedua term tersebut adalah warna kuning

disandingkan dengan bagian dari buah kalak, yaitu

warna kuning pada bagian atas dari kulit buah kalak

atau kuning keputihan. Selain itu, penutur bahasa

Madura di Kab. Sumenep juga menggunakan frasa

konѐng kalak towa ‘kuning kalak tua’ dan konѐng

kalak ngodâ ‘kuning kalak muda’ yang mana warna

konѐng kalak mendapatkan tambahan atribut tua dan

muda. Konѐng kalak towa adalah warna kuning yang

lebih gelap dari kuning kalak biasa, sedangkan

Page 133: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 110

konѐng kalak ngodâ adalah warna kuning yang lebih

pucat dari kuning kalak biasa atau hampir mendekati

putih.

(c) Konѐng langsat ‘kuning langsat’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu

langsat atau duku. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa konѐng langsat adalah warna

konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah konѐng langsat. Persamaan

atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna kuning disandingkan dengan bagian dari

buah langsat, yaitu warna kuning kulit buah langsat.

Kuning yang dimaksud adalah kuning muda yang

kecokelatan.

(d) Konѐng kraѐ ‘kuning blewah’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu

blewah. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa konѐng kraѐ adalah warna konѐng

‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah konѐng kraѐ. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

kuning disandingkan dengan bagian buah blewah,

yaitu warna kuning daging buah blewah. Warna

tersebut merupakan kuning kemerahan atau oranye.

(e) Konѐng nanas ‘kuning nanas’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu

nanas. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa konѐng nanas adalah warna konѐng ‘kuning’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

konѐng nanas. Persamaan atau ground yang terbentuk

dari kedua term tersebut adalah warna kuning

disandingkan dengan bagian buah nanas, yaitu warna

Page 134: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 111

kuning pada daging buah nanas. Kuning yang

dimaksud adalah kuning cerah.

(f) Konѐng mondhu ‘kuning mundu’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu

mundu. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa konѐng mondhu adalah warna konѐng ‘kuning’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

konѐng mondhu. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

kuning disandingkan dengan bagian dari buah mundu,

yaitu daging buah mundu yang sudah matang. Kuning

yang dimaksud adalah kuning agak gelap.

(g) Konѐng jherruk ‘kuning jeruk’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu

jeruk. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa konѐng jherruk adalah warna konѐng ‘kuning’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

konѐng jherruk. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

kuning disandingkan dengan bagian dari buah jeruk,

yaitu kulit buah jeruk. warna kuning yang dimaksud

adalah kuning kemerah-merahan atau oranye.

(h) Konѐng nangka ‘kuning nangka’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu

nangka. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa konѐng nangka adalah warna konѐng

‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah konѐng nangka. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

kuning disandingkan dengan bagian dari buah nangka,

yaitu warna kuning pada daging buah nangka.

Page 135: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 112

(i) Konѐng billeh matta ‘kuning buah maja mentah’

merupakan warna turunan dengan atribut nomina

buah-buahan yaitu buah maja. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa konѐng billeh matta

adalah warna konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle

atau pembandingnya adalah konѐng billeh matta.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna kuning disandingkan

dengan daging buah maja yang masih mentah. Kuning

buah maja yang masih mentah adalah kuning keputih-

putihan.

(j) Konѐng manjhilân ‘kuning biji nangka’ merupakan

warna turunan dengan atribut nomina bagian buah-

buahan yaitu biji nangka. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa konѐng manjhilân adalah

warna konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah konѐng manjhilân. Persamaan

atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna kuning disandingkan dengan bagian dari

buah nangka, yaitu biji nangka. Akan tetapi, biji

nangka yang dimaksud oleh penutur adalah biji

nangka yang masih dilekati oleh daging buah nangka.

Jadi, kuning biji nangka sama dengan warna kuning

pada daging buah nangka.

(k) Konѐng kananga ‘kuning kenanga’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina bunga yaitu kenanga.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

konѐng kananga adalah warna konѐng ‘kuning’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

konѐng kananga. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

kuning disandingkan dengan bagian dari bunga

Page 136: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 113

kenanga, yaitu warna kuning pada kelopak bunga

kenanga yang sudah tua.

(l) Konѐng dâun ‘kuning daun’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina bagian pohon yaitu

daun. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa konѐng dâun adalah warna konѐng ‘kuning’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

konѐng dâun. Persamaan atau ground yang terbentuk

dari kedua term tersebut adalah warna kuning

disandingkan dengan warna daun yang sudah tua

sehingga kuning yang dimaksud adalah kuning

kecokelatan.

(m) Konѐng jhâgung ‘kuning jagung’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina biji-bijian yaitu

jagung. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa konѐng jhâgung adalah warna konѐng ‘kuning’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

konѐng jhâgung. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

kuning disandingkan dengan bagian dari tanaman

jagung, yaitu biji jagung. Warna kuning yang

dimaksud adalah kuning kemerah-merahan atau

oranye.

(n) Konѐng wortel ‘kuning wortel’ merupakan warna

turunan dengan atribut sayuran yaitu wortel. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa konѐng

wortel adalah warna konѐng ‘kuning’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah konѐng wortel.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna kuning disandingkan

dengan bagian dari wortel, yaitu kulit dan daging

Page 137: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 114

wortel. Warna kuning yang dimaksud adalah kuning

kemerah-merahan atau oranye.

(o) Konѐng konyѐ’ ‘kuning kunyit’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina rempah-rempah yaitu

kunyit. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa konѐng konyѐ’ adalah warna konѐng ‘kuning’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

konѐng konyѐ’. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

kuning disandingkan dengan tanaman rempah, yaitu

warna kuning pada bagian dalam kunyit sehingga

kuning yang dimaksud adalah kuning terang.

(p) Konѐng temolabâk ‘kuning temulawak’ merupakan

warna turunan dengan atribut rempah-rempah yaitu

temulawak. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa konѐng temolabâk adalah warna konѐng

‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah konѐng temolabâk. Persamaan atau ground

yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

kuning disandingkan dengan tanaman rempah, yaitu

warna kuning pada bagian dalam temulawak. Kuning

yang dimaksud adalah kuning terang.

(4) Lingkungan alam

(a) Konѐng emmas ‘kuning emas’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina benda lingkungan

alam yaitu emas. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa konѐng emmas adalah warna

konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah konѐng emmas. Persamaan

atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna kuning disandingkan dengan salah satu

Page 138: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 115

benda hasil alam, yaitu warna kuning pada emas. Jadi,

kuning yang dimaksud adalah kuning metalik.

(5) Instansi, organisasi, dan profesi

(a) Konѐng dewi ‘kuning dewi’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina bunga yaitu kenanga.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

konѐng dewi adalah warna konѐng ‘kuning’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

konѐng dewi. Persamaan atau ground yang terbentuk

dari kedua term tersebut adalah warna kuning

disandingkan dengan dewi. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (2008:323) dewi bermakna dewa

perempuan atau perempuan yang cantik. Jadi, konѐng

dѐwi adalah warna kuning bersih. Bagi masyarakat

Madura di Kab. Sumenep umumnya frasa konѐng

dѐwi digunakan untuk menyebut kecantikan kulit

seorang perempuan.

(6) Makanan dan minuman

(a) Konѐng dhâddhâr ‘kuning dadar’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina makanan yaitu telur

dadar. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa konѐng dhâddhâr adalah warna konѐng

‘kuning’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah konѐng dhâddhâr. Persamaan atau ground

yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

kuning disandingkan dengan warna kuning pada telur

ayam yang sudah digoreng sehingga warna kuning

telur tersebut sudah dicampur dengan putih telur

untuk menghasilkan telur dadar. Kuning yang

dimaksud adalah kuning keputihan.

Page 139: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 116

(b) Konѐng mantѐghâh ‘kuning mentega’ merupakan

warna turunan dengan atribut nomina bahan makanan

yaitu mentega. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa konѐng mantѐghâh adalah

warna konѐng ‘kuning’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah konѐng mantѐghâh.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna kuning disandingkan

dengan bahan makanan, yaitu warna kuning pada

mentega. Kuning yang dimaksud adalah kuning pucat.

c) Tanpa menggunakan unsur warna

(1) Konyѐ’ bucco’ ‘kunyit busuk’ merupakan frasa warna

yang dalam unsur frasanya tidak menggunakan warna

dasar. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa konyѐ’ bucco’ adalah warna konѐng ‘kuning’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah konyѐ’

bucco’ ‘kunyit busuk’ itu sendiri. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna kuning disamakan dengan warna daging

pada kunyit. Selain itu, kata ‘busuk’ merupakan

adjektiva cerapan (pancaindera) yang bermakna rusak

atau jelek. Jadi, konyѐ’ bucco’ berarti warna kuning

tersebut sudah tidak seperti warna kuning pada

umumnya karena lebih kusam, gelap, atau

kecokelatan. Dengan kata lain, frasa konyѐ’ bucco’

digunakan untuk menggantikan warna kuning

kecokelatan.

Page 140: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 117

6) Cokklat atau Sokklat ‘Cokelat’

Dari data yang diperoleh di lapangan, warna cokelat

memiliki 27 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut

memiliki atribut dan penamaan yang beraneka ragam. Perlu

diketahui jika dalam bahasa Madura penyebutan warna cokelat

memiliki dua leksem yaitu sokklat dan cokklat (Pawitra,

2009:118). Keduanya sama-sama dipakai oleh penutur bahasa

Madura di Kab. Sumenep.

Tabel 6. Warna-warna turunan dari warna cokelat

No. Warna Turunan Terjemahan Atribut

1. Cokklat towa Cokelat tua Adjektiva

(ukuran)

2. Cokklat ngodâ Cokelat muda Adjektiva

(ukuran)

3. Sokklat susu Cokelat susu Nomina

(minuman)

4. Sokklat susu towa Cokelat susu tua Frasa Nomina

(minuman)

5. Sokklat susu

ngodâ

Cokelat

susu muda

Frasa Nomina

(minuman)

6. Cokklat susu Cokelat susu Nomina

(minuman)

7. Cokklat sapѐ Cokelat sapi Nomina

(nama hewan)

8. Cokklat kopi Cokelat kopi Nomina

(minuman)

9. Sokklat towa Cokelat tua Adjektiva

(ukuran)

10. Sokklat ngodâ Cokelat muda Adjektiva

(ukuran)

11. Sokklat kajhuh Cokelat kayu

Nomina

(tumbuhan kelas

bagian

pepohonan)

12. Cokklat kajhuh Cokelat kayu

Nomina

(tumbuhan kelas

bagian

pepohonan)

13. Cokklat

kajhuh ngodâ

Cokelat

kayu muda

Frasa Nomina

(tumbuhan kelas

bagian

Page 141: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 118

pepohonan)

14. Cokklat

kajhuh towa Cokelat kayu tua

Frasa Nomina

(tumbuhan kelas

bagian

pepohonan)

15. Sokklat tana Cokelat tanah

Nomina

(benda lingkungan

alam)

16. Cokklat tana Cokelat tanah

Nomina

(benda lingkungan

alam)

17. Cokklat

tana lempong Cokelat tanah liat

Frasa Nomina

(benda lingkungan

alam)

18. Cokklat jhâteh Cokelat jati

Nomina

(tumbuhan kelas

nama pepohonan)

19. Cokklat mahonѐ Cokelat mahoni

Nomina

(tumbuhan kelas

nama pepohonan)

20. Sokklat camplong Cokelat

nyamplung

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

21. Sokklat salak Cokelat salak

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

22. Sokklat bâta Cokelat bata

Nomina

(benda lingkungan

alam)

23. Sokklat accem Cokelat asam

Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

24. Sokklat

sabu massa’

Cokelat

sawo matang

Frasa Nomina

(tumbuhan kelas

nama buah)

25. Sabu matta Sawo mentah -

26. Sabu massa’ Sawo matang -

27. Sabu bucco’ Sawo busuk -

Tabel 6 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari

warna dasar cokelat memiliki atribut yang berasal dari satuan

lingual kata, yaitu nomina dan adjektiva, serta satuan lingual frasa

berupa frasa nomina. Selanjutnya, atribut-atribut tersebut akan

diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan dianalisis secara

metaforik.

Page 142: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 119

a) Atribut adjektiva

(1) Ukuran

(a) Cokklat towa dan sokklat towa ‘cokelat tua’

merupakan warna turunan dengan atribut Adjektiva

towa ‘tua’ yang termasuk ke dalam jenis adjektiva

ukuran. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa cokklat towa dan sokklat towa adalah warna

cokklat atau sokklat ‘cokelat’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah cokklat towa dan sokklat towa.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna cokelat disandingkan

dengan adjektiva ‘tua’ yang mana kata ‘tua’ bermakna

kehitam-hitaman atau sangat. Jadi, cokklat towa dan

sokklat towa berarti cokelat gelap .

(b) Cokklat ngodâ dan sokklat ngodâ ‘cokelat muda’

merupakan warna turunan dengan atribut adjektiva

ngodâ ‘muda’ yang termasuk ke dalam jenis adjektiva

ukuran. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa cokklat ngodâ dan sokklat ngodâ adalah warna

cokklat atau sokklat ‘cokelat’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah cokklat ngodâ dan sokklat

ngodâ. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna cokelat

disandingkan dengan adjektiva ‘muda’ yang mana

kata ‘muda’ berarti kurang gelap atau agak pucat.

Jadi, cokklat ngodâ dan sokklat ngodâ berarti warna

cokelat yang agak pucat.

b) Atribut nomina

(1) Hewan

(a) Cokklat sapѐ ‘cokelat sapi’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina hewan yaitu sapi. Secara

Page 143: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 120

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa cokklat

sapѐ adalah warna cokklat ‘cokelat’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah cokklat sapѐ.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna cokelat disandingkan

dengan bagian tubuh sapi, yaitu cokelat pada kulit

tubuh sapi.

(2) Tumbuhan

(a) Sokklat camplong ‘cokelat nyamplung’ merupakan

warna turunan dengan atribut nomina buah-buahan

yaitu nyamplung. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa cokklat camplong adalah

warna cokklat ‘cokelat’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah cokklat camplong. Persamaan

atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna cokelat disandingkan dengan bagian

dari tanaman nyamplung, yaitu warna cokelat pada

buah nyamplung yang sudah kering atau jatuh dari

pohonnya.

(b) Sokklat salak ‘cokelat salak’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu

salak. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa cokklat salak adalah warna cokklat ‘cokelat’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

cokklat salak. Persamaan atau ground yang terbentuk

dari kedua term tersebut adalah warna cokelat

disandingkan dengan bagian dari buah salak, yaitu

warna cokelat pada kulit buah salak yang berwarna

cokelat kehitaman atau cokelat tua.

(c) Sokklat accem ‘cokelat asam’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina buah-buahan yaitu

Page 144: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 121

asam. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa sokklat accem adalah warna sokklat ‘cokelat’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah sokklat

accem. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna cokelat

disandingkan dengan bagian dari buah asam, yaitu

daging buah asam. Daging buah asam berwarna

cokelat tua sehingga sokklat accem adalah warna

cokelat tua atau pekat.

(d) Sokklat sabu massa’ ‘cokelat sawo masak’ merupakan

warna turunan dengan atribut nomina buah-buahan

yaitu sawo. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa sokklat sabu massa’ adalah warna sokklat

‘cokelat’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah sokklat sabu massa’. Persamaan atau ground

yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

cokelat disandingkan dengan buah sawo yang telah

matang. Buah sawo yang telah matang umumnya

berwarna cokelat sempurna.

(e) Sokklat kajhuh ‘cokelat kayu’ dan cokklat kajhuh

‘cokelat kayu’ merupakan warna turunan dengan

atribut nomina bagian pohon yaitu kayu (batang

pohon). Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa cokklat kajhuh dan sokklat kajhuh adalah warna

cokklat atau sokklat ‘cokelat’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah cokklat kajhuh dan sokklat

kajhuh. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna cokelat

disandingkan dengan bagian pohon yaitu cokelat

batang pohon. Selain itu, penutur bahasa Madura di

Kab. Sumenep juga menggunakan frasa cokklat

kajhuh towa ‘cokelat kayu tua’ dan cokklat kajhuh

Page 145: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 122

ngodâ ‘cokelat kayu muda’ yang mana warna cokklat

kajhuh mendapatkan tambahan atribut tua dan muda.

Cokklat kajhuh towa adalah warna cokelat yang lebih

gelap dari cokelat kayu biasa, sedangkan cokklat

kajhuh ngodâ adalah warna cokelat yang lebih pucat

dari cokelat kayu biasa.

(f) Cokklat jhâteh ‘cokelat jati’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina pohon yaitu jati.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

cokklat jhâteh adalah warna cokklat ‘cokelat’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

cokklat jhâteh. Persamaan atau ground yang terbentuk

dari kedua term tersebut adalah warna cokelat

disandingkan dengan cokelat pada kayu jati. Warna

cokelat yang dimaksud adalah cokelat kekuningan

atau cokelat pucat.

(g) Cokklat mahonѐ ‘cokelat mahoni’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina pohon yaitu mahoni.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

cokklat mahonѐ adalah warna cokklat ‘cokelat’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

cokklat mahonѐ. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

cokelat disandingkan dengan cokelat pada biji pohon

mahoni, yaitu cokelat tua.

(3) Lingkungan alam

(a) Sokklat tana ‘cokelat tanah’ dan cokklat tana ‘cokelat

tanah’ merupakan dua warna turunan dengan atribut

nomina benda lingkungan alam yaitu tanah. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa cokklat

tana dan sokklat tana adalah warna cokklat atau

Page 146: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 123

sokklat ‘cokelat’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah cokklat tana dan sokklat tana.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna cokelat disandingkan

dengan benda pada lingkungan alam, yaitu cokelat

pada tanah. Warna cokelat yang dimaksud adalah

cokelat tua.

(b) Sokklat tana lempong ‘cokelat tanah liat’ merupakan

warna turunan dengan atribut nomina benda

lingkungan alam yaitu tanah lempung. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa sokklat

tana lempong adalah warna sokklat ‘cokelat’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah sokklat

tana lempong. Persamaan atau ground yang terbentuk

dari kedua term tersebut adalah warna cokelat

disandingkan dengan benda lingkungan alam, yaitu

cokelat pada tanah liat. Jadi, warna cokelat yang

dimaksud adalah warna cokelat keabu-abuan.

(c) Sokklat bâta ‘cokelat bata’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina benda lingkungan alam yaitu

batu bata. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa sokklat bâta adalah warna sokklat

‘cokelat’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah sokklat bâta. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

cokelat disandingkan dengan salah satu jenis

bebatuan, yaitu batu bata. Warna cokelat yang

dimaksud adalah warna cokelat kemerahan seperti

batu bata.

Page 147: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 124

(4) Makanan dan minuman

(a) Sokklat susu ‘cokelat susu’ dan cokklat susu ‘cokelat

susu’ merupakan dua warna turunan dengan atribut

nomina minuman yaitu susu cokelat. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa sokklat

susu dan cokklat susu adalah warna sokklat atau

cokklat ‘cokelat’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah sokklat susu dan cokklat susu.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna cokelat disandingkan

dengan minuman, yaitu warna cokelat pada susu cair

rasa cokelat. warna cokelat yang dimaksud adalah

cokelat keputih-putihan atau cokelat muda. Selain itu,

penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep juga

mengenal frasa warna sokklat susu towa ‘cokelat susu

tua’ dan sokklat susu ngodâ ‘cokelat susu muda’ yang

mana sokklat susu mendapatkan tambahan atribut tua

dan muda. Sokklat susu towa adalah warna cokelat

seperti susu cair tetapi lebih pekat, sedangkan sokklat

susu ngodâ adalah warna cokelat seperti susu cair

tetapi lebih pucat atau kurang pekat.

(b) Cokklat kopi ‘cokelat kopi’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina bahan minuman yaitu kopi.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

cokklat kopi ‘cokelat kopi’ adalah warna cokklat

‘cokelat’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah cokklat kopi. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

cokelat disandingkan dengan biji kopi yang telah

disangrai. Warna cokelat yang dimaksud adalah

cokelat tua.

Page 148: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 125

c) Tanpa menggunakan unsur warna

(a) Sabu matta ‘sawo mentah’ merupakan frasa warna

yang dalam unsur frasanya tidak menggunakan warna

dasar. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa sabu matta adalah warna cokklat ‘cokelat’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah sabu

matta ‘sawo mentah’ itu sendiri. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah

warna cokelat disamakan dengan daging buah sawo.

Selain itu, kata ‘mentah’ merupakan adjektiva cerapan

(pancaindera) yang bermakna belum matang. Biasanya,

daging buah yang belum matang berwarna keputihan.

Jadi, sabu matta berarti warna cokelat keputihan atau

cokelat muda.

(b) Sabu massa’ ‘sawo matang’ merupakan frasa warna

yang dalam unsur frasanya tidak menggunakan warna

dasar. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa sabu massa’ adalah warna cokklat ‘cokelat’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah sabu

massa’ ‘sawo masak’ itu sendiri. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah

warna cokelat disamakan dengan daging buah sawo.

Selain itu, kata ‘matang’ merupakan adjektiva cerapan

(pancaindera) yang bermakna sudah tua. Umumnya,

warna daging buah sawo yang sudah matang adalah

cokelat sempurna. Jadi, sabu massa’ merupakan

sebutan untuk warna cokelat sempurna atau cokelat

pada umumnya.

(c) Sabu bucco’ ‘sawo busuk’ merupakan frasa warna yang

dalam unsur frasanya tidak menggunakan warna dasar.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

Page 149: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 126

sabu bucco’ adalah warna cokklat ‘cokelat’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah sabu bucco’ ‘sawo

busuk’ itu sendiri. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna cokelat

disamakan dengan daging buah sawo. Selain itu, kata

‘busuk’ merupakan adjektiva cerapan (pancaindera)

yang bermakna rusak atau jelek. Jadi, sabu bucco’

berarti warna cokelat tersebut sudah tidak seperti warna

dasarnya karena lebih kusam, gelap, atau pekat. Dengan

kata lain, frasa sabu bucco’ digunakan untuk

mendeskripsikan warna cokelat tua.

7) Bhiru ‘biru’

Dari data yang diperoleh di lapangan, warna biru memiliki

24 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut memiliki atribut

dan penamaan yang beraneka ragam.

Tabel 7. Warna-warna turunan dari warna biru

No. Warna Turunan Terjemahan Atribut

1. Bhiru langngѐ Biru langit

Nomina

(benda lingkungan

alam)

2. Bhiru laot Biru laut

Nomina

(benda lingkungan

alam)

3. Bhiru geddung Biru tembok Nomina

(benda rumah)

4. Bhiru SMP Biru SMP Nomina

(institusi)

5. Bhiru tasѐ’ Biru laut

Nomina

(benda lingkungan

alam)

6. Bhiru tellor Biru telur

Nomina

(bagian tubuh

hewan)

7. Bhiru tellor accѐn Biru telur asin Frasa Nomina

(makanan)

8. Bhiru tellor accѐn

towa

Biru telur asin

tua

Frasa Nomina

(makanan)

Page 150: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 127

9. Bhiru tellor accѐn

ngodâ

Biru telur asin

muda

Frasa Nomina

(makanan)

10. Bhiru tellor assѐn Biru telur asin Frasa Nomina

(makanan)

11. Bhiru tellor ѐtѐk Biru telur itik

Frasa Nomina

(bagian tubuh

hewan)

12. Bhiru masѐn Biru asin

Adjektiva

(cerapan

pencitarasaan)

13. Bhiru salju Biru salju

Nomina

(benda lingkungan

alam)

14. Bhiru ѐtѐk Biru itik Nomia

(nama hewan)

15. Bhiru ondem Biru mendung

Nomina

(benda lingkungan

alam)

16. Bhiru abu Biru abu Nomina

(benda rumah)

17. Bhiru abu tomang Biru abu tungku Frasa Nomina

(benda rumah)

18. Bhiru towa Biru tua Adjektiva

(ukuran)

19. Bhiru ngodâ Biru muda Adjektiva

(ukuran)

20. Bhiru dongker Biru dongker Adjektiva

(warna)

21. Bhiru terong Biru terong

Nomina

(tumbuhan kelas

sayuran)

22. Bhiru bungo Biru ungu Adjektiva

(warna)

23. Bhiru tabâr Biru tawar

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

24. Bhiru panci Biru panci Nomina

(benda rumah)

Tabel 7 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari

warna nondasar biru memiliki atribut yang berasal dari satuan

lingual kata, yaitu nomina dan adjektiva, serta satuan lingual frasa

berupa frasa nomina. Selanjutnya, atribut-atribut tersebut akan

diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan dianalisis secara

metaforik.

Page 151: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 128

a) Atribut adjektiva

(1) Ukuran

(a) Bhiru towa ‘biru tua’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva towa ‘tua’ yang termasuk ke

dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa bhiru towa adalah warna

bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah bhiru towa. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna biru

disandingkan dengan adjektiva ‘tua’ yang mana kata

‘tua’ bermakna kehitam-hitaman atau sangat. Jadi,

bhiru towa berarti biru gelap.

(b) Bhiru ngodâ ‘biru muda’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva ngodâ ‘muda’ yang termasuk

ke dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik,

tenor atau pebanding dalam frasa bhiru ngodâ adalah

warna bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah bhiru ngodâ. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna biru disandingkan dengan adjektiva

‘muda’ yang mana kata ‘muda’ berarti kurang gelap

atau agak pucat. Jadi, bhiru ngodâ berarti warna biru

yang agak pucat atau biru keputih-putihan.

(2) Warna

(a) Bhiru dongker merupakan warna turunan dengan

atribut adjektiva warna lain yaitu dongker. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru

dongker adalah warna bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle

atau pembandingnya adalah bhiru dongker.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna biru disandingkan dengan

Page 152: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 129

leksikon dongker yang sebenarnya berasal dari bahasa

Belanda yaitu donkerblaw ‘biru lebam’ (Teeuw, 2002:

106). Jadi, warna biru yang dimaksud adalah biru

gelap

(b) Bhiru bungo ‘biru ungu’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva warna lain yaitu bungo

‘ungu’. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa bhiru bungo adalah warna bhiru ‘biru’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru

bungo. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah leksikon bungo mencakup

lebih dari satu warna yaitu ungu dan biru, sedangkan

leksikon bhiru juga mencakup warna biru dan hijau.

Oleh sebab itu, untuk menandai spektrum warna yang

dimaksud dan untuk menghindari keambiguan mereka

memilih menggunakan istilah warna lain sebagai

atribut penjelasnya. Bhiru bungo menandakan warna

bhiru yang bermakna ‘biru’ bukan ‘hijau’. Hal ini

dikarenakan atribut penjelasnya adalah warna bungo

‘ungu’. Sebagian orang Madura menyebut biru

sebagai ungu ataupun sebaliknya ungu sebagai biru.

(3) Cerapan

(a) Bhiru tabâr ‘biru tawar’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva tabâr ‘tawar’ yang termasuk

ke dalam jenis adjektiva cerapan (pancaindera) yaitu

penglihatan. Hal ini dikarenakan makna kata tabâr

‘tawar’ dalam frasa warna tersebut adalah hilangnya

daya, bukan soal kelezatan dalam indera

pencitarasaan. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa bhiru tabâr adalah warna

bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

Page 153: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 130

adalah bhiru tabâr. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna biru

disandingkan dengan adjektiva cerapan (pancaindera)

‘tawar’ yang mana kata ‘tawar’ bermakna hilang

dayanya. Maksud dari bhiru tabâr ialah warna biru

yang kurang terang atau biru pucat.

(b) Bhiru masѐn ‘biru asin’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva masѐn ‘asin’ yang termasuk

ke dalam jenis adjektiva cerapan (pancaindera) yaitu

pencitarasaan. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa bhiru masѐn adalah warna

bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah bhiru masѐn. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna biru

disandingkan dengan adjektiva cerapan (pancaindera)

‘asin’ yang mana kata ‘asin’ bermakna berasa garam.

Asin yang dimaksud adalah rasa asin pada telur itik

yang sudah dimasak. Jadi, bhiru masѐn adalah biru

keputih-putihan seperti cangkang telur itik.

b) Atribut nomina

(1) Hewan

(a) Bhiru etѐk ‘biru itik’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina hewan yaitu itik. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru

etѐk adalah warna bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle

atau pembandingnya adalah bhiru etѐk. Persamaan

atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna biru disandingkan dengan bagian dari

hewan itik, yaitu biru pada kulit telur itik. Jadi, warna

biru yang dimaksud adalah biru keputih-putihan atau

biru muda.

Page 154: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 131

(b) Bhiru tellor ‘biru telur’ dan bhiru tellor etѐk ‘biru

telur itik’ merupakan warna turunan dengan atribut

nomina bagian tubuh hewan yaitu telur itik. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru

etѐk dan bhiru tellor etѐk adalah warna bhiru ‘biru’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru

etѐk dan bhiru tellor etѐk. Persamaan atau ground

yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

biru disandingkan dengan bagian dari telur itik, yaitu

cangkang telur itik. Jadi, warna biru yang dimaksud

adalah biru keputih-putihan atau biru muda.

(2) Tumbuhan

(a) Bhiru terong ‘biru terong’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina sayur yaitu terong. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru

terong adalah warna bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle

atau pembandingnya bhiru terong. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna biru disandingkan dengan salah satu

jenis sayuran, yaitu terong. Umumnya, terong

memiliki warna ungu dan hijau. Namun, sebagian

orang Madura menyebut ungu sebagai biru atau

sebaliknya. Dengan kata lain, orang Madura

menganggap ungu dan biru berada dalam satu

spektrum warna. Jadi, atribut terong digunakan untuk

menjelaskan bahwa biru yang dimaksud adalah

spektrum warna ungu.

(3) Lingkungan alam

(a) Bhiru langngѐ’ ‘biru langit’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina benda alam yaitu

Page 155: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 132

langit. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa bhiru langngѐ’ adalah warna bhiru ‘biru’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru

langngѐ’. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna biru disandingkan

dengan benda lingkungan alam, yaitu biru pada langit

di siang hari. Jadi, warna biru yang dimaksud adalah

warna biru muda.

(b) Bhiru laot ‘biru laut’ dan bhiru tasѐ’ ‘biru laut’

merupakan dua warna turunan dengan atribut nomina

benda alam yaitu laut. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa bhiru laot dan bhiru tasѐ’

adalah warna bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah bhiru laot dan bhiru tasѐ’.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna biru disandingkan dengan

benda lingkungan alam, yaitu biru pada refleksi langit

pada air laut di siang hari. Warna biru yang dimaksud

adalah biru tua.

(c) Bhiru salju ‘biru salju’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina benda alam yaitu salju. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru

salju adalah warna bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle

atau pembandingnya adalah bhiru salju. Persamaan

atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna biru disandingkan dengan benda pada

lingkungan alam, yaitu biru pada butiran-butiran salju

yang mendapatkan pantulan dari langit di siang hari.

Warna biru yang dimaksud adalah biru keputihan atau

biru muda.

(d) Bhiru ondem ‘biru mendung’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina benda alam yaitu

Page 156: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 133

mendung. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa bhiru ondem adalah warna bhiru ‘biru’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru

ondem. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna biru disandingkan

dengan benda pada lingkungan alam, yaitu biru pada

langit yang sedang mendung. Jadi, biru yang

dimaksud adalah biru keabu-abuan.

(4) Instansi, organisasi, dan profesi

(a) Bhiru SMP ‘biru SMP’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina instansi yaitu Sekolah

Menengah Pertama (SMP). Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa bhiru SMP adalah warna

bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah bhiru SMP. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna biru

disandingkan dengan benda, yaitu biru pada seragam

bawahan (rok atau celana) anak SMP. Warna biru

yang dimaksud adalah biru tua.

(5) Makanan dan minuman

(a) Bhiru tellor accѐn ‘biru telur asin’dan bhiru tellor

assѐn ‘biru telur asin’ merupakan dua warna turunan

dengan atribut nomina makanan yaitu telur asin.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

bhiru tellor accѐn dan bhiru tellor assѐn adalah warna

bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah bhiru tellor accѐn dan bhiru tellor assѐn.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna biru disandingkan dengan

telur asin (itik) yaitu biru pada cangkang telur asin.

Page 157: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 134

Jadi, warna biru yang dimaksud adalah biru keputih-

putihan atau biru muda. Selain itu, penutur bahasa

Madura di Kab. Sumenep juga menggunakan frasa

bhiru tellor accѐn towa ‘biru telur asin tua’ dan bhiru

tellor accѐn ngodâ ‘biru telur asin muda’ yang mana

bhiru tellor accѐn mendapatkan atribut tua dan muda.

Bhiru tellor accѐn towa adalah warna biru telur asin

yang lebih tua dari biru yang terdapat pada cangkang

telur itik pada umumnya, sedangkan bhiru tellor

accѐn ngodâ adalah warna biru telur asin yang lebih

muda dari biru yang terdapat pada cangkang telur itik

pada umumnya.

(6) Benda rumah

(a) Bhiru abu ‘biru abu’ dan bhiru abu tomang ‘biru abu

tungku’ merupakan dua warna turunan dengan atribut

nomina benda rumah yaitu abu tungku. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru

abu dan bhiru abu tomang adalah warna bhiru ‘biru’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bhiru

abu dan bhiru abu tomang. Persamaan atau ground

yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna

biru disandingkan dengan warna abu hasil dari

pembakaran kayu pada tungku yang secara umum

berwarna abu-abu. Sebagian orang Madura

menanggap warna biru berada dalam spektrum warna

yang sama dengan abu-abu dan ungu. Oleh sebab itu,

dibutuhkan atribut penjelas untuk membedakan ketiga

warna tersebut. Jadi, bhiru abu maupun bhiru abu

tomang digunakan untuk mendeskripsikan warna abu-

abu seperti abu hasil pembakaran kayu pada tungku

untuk memasak.

Page 158: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 135

(b) Bhiru panci ‘biru panci’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina benda rumah yaitu panci.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

bhiru panci adalah warna bhiru ‘biru’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah bhiru panci.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna biru disandingkan dengan

peralatan dapur yaitu panci. Umumnya, warna panci

adalah abu-abu. Sebagian orang Madura menanggap

warna biru berada dalam spektrum warna yang sama

dengan abu-abu dan ungu. Oleh sebab itu, dibutuhkan

atribut penjelas untuk membedakan ketiga warna

tersebut. Jadi, bhiru panci digunakan untuk merujuk

warna abu-abu, yaitu abu-abu muda.

(c) Bhiru geddung ‘biru tembok’ warna turunan dengan

atribut nomina benda rumah yaitu tembok. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bhiru

geddung adalah warna bhiru ‘biru’, sedangkan vehicle

atau pembandingnya adalah bhiru geddung.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna biru disandingkan dengan

salah satu bagian dari rumah, yaitu tembok. Warna

biru yang dimaksud adalah warna biru yang sangat

muda sehingga secara kasat mata jika diliat dari jauh

lebih mendekati warna putih. Frasa warna ini muncul

dari penutur yang di lingkungan tempat tinggalnya

memiliki tembok dengan warna serupa.

Page 159: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 136

8) Bungo ‘ungu’

Dari data yang diperoleh di lapangan, warna ungu memiliki

11 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut memiliki atribut

dan penamaan yang beraneka ragam.

Tabel 8. Warna-warna turunan dari warna ungu

No. Warna Turunan Terjemahan Atribut

1. Bungo tasѐ’ Ungu laut

Nomina

(benda lingkungan

alam)

2. Bungo dongker Ungu dongker Adjektiva

(warna)

3. Bungo terong Ungu terong

Nomina

(tumbuhan kelas

sayuran)

4. Bungo terong

towa Ungu terong tua

Frasa Nomina

(tumbuhan kelas

sayuran)

5. Bungo

terong ngodâ

Ungu

terong muda

Frasa Nomina

(tumbuhan kelas

sayuran)

6. Bungo langngѐ’ Ungu langit

Nomina

(benda lingkungan

alam)

7. Bungo ngodâ Ungu muda Adjektiva

(ukuran)

8. Bungo towa Ungu tua Adjektiva

(ukuran)

9. Bungo tѐra’ Ungu terang

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

10. Bungo pellay Ungu pucat Adjektiva

(pemeri sifat)

11. Bungo pettheng Ungu gelap

Adjektiva

(cerapan

penglihatan)

Tabel 8 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari

warna nondasar ungu memiliki atribut yang berasal dari satuan

lingual kata, yaitu nomina dan adjektiva, serta satuan lingual frasa

berupa frasa nomina. Selanjutnya, atribut-atribut tersebut akan

Page 160: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 137

diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan dianalisis secara

metaforik.

a) Atribut adjektiva

(1) Pemeri sifat

(a) Bungo pellay ‘ungu pucat’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva pellay ‘pucat’ yang termasuk

ke dalam jenis adjektiva pemeri sifat. Hal ini

dikarenakan pellay ‘pucat’ menggambarkan suatu

intensitas yang bercorak fisik. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa bungo pellay adalah

warna bungo ‘ungu’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah bungo pellay. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna ungu disandingkan dengan adjektiva

‘pucat’ yang mana kata ‘pucat’ bermakna agak putih.

Jadi, bungo pellay berarti ungu keputih-putihan atau

ungu muda.

(2) Ukuran

(a) Bungo ngodâ ‘ungu muda’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva ngodâ ‘muda’ yang termasuk

ke dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik,

tenor atau pebanding dalam frasa bungo ngodâ adalah

warna bungo ‘ungu’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah bungo ngodâ. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna ungu disandingkan dengan adjektiva

‘muda’ yang mana kata ‘muda’ berarti kurang gelap

atau agak pucat. Jadi, bungo ngodâ berarti warna

ungu yang agak pucat atau ungu keputih-putihan.

(b) Bungo towa ‘ungu tua’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva towa ‘tua’ yang termasuk ke

Page 161: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 138

dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa bungo towa adalah warna

bungo ‘ungu’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah bungo towa. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna ungu

disandingkan dengan adjektiva ‘tua’ yang mana kata

‘tua’ bermakna kehitam-hitaman atau sangat. Jadi,

bungo towa berarti ungu gelap.

(3) Warna

(a) Bungo dongker merupakan warna turunan dengan

atribut adjektiva warna lain yaitu dongker. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bungo

dongker adalah warna bungo ‘ungu’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah bungo dongker.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna ungu disandingkan dengan

leksikon dongker yang sebenarnya berasal dari bahasa

Belanda yaitu donkerblaw ‘biru lebam’ (Teeuw, 2002:

106). Makna leksikon bungo mencakup lebih dari satu

warna yaitu ungu dan biru. Sebagian orang Madura

menganggap dua warna tersebut saling dapat

menggantikan satu sama lain dan berada dalam satu

spektum. Oleh sebab itu, bungo dongker sebenarnya

memiliki arti yang sama dengan bhiru dongker, yaitu

warna biru gelap.

(4) Cerapan

(a) Bungo tѐra’ ‘ungu terang’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva tѐra’ ‘terang’ yang termasuk

ke dalam jenis adjektiva cerapan atau berhubungan

dengan pancaindera yaitu penglihatan. Secara

Page 162: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 139

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bungo

tѐra’ adalah warna bungo ‘ungu’, sedangkan vehicle

atau pembandingnya adalah bungo tѐra’. Persamaan

atau ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna ungu disandingkan dengan adjektiva

cerapan (pancaindera) ‘terang’ yang mana kata

‘terang’ bermakna cerah atau bersinar. Jadi, bungo

tѐra’ berarti ungu yang lebih cerah dari warna

dasarnya.

(b) Bungo pettheng ‘ungu gelap’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva pettheng ‘gelap’

yang termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau

berhubungan dengan pancaindera yaitu penglihatan.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

bungo pettheng adalah warna bungo ‘ungu’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bungo

pettheng. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna ungu disandingkan

dengan adjektiva cerapan (pancaindera) ‘gelap’ yang

mana kata ‘gelap’ bermakna tidak ada cahaya. Istilah

bungo pettheng digunakan oleh orang Madura untuk

mengatakan abu-abu gelap atau warna ungu yang

menyerupai hitam.

b) Atribut nomina

(1) Tumbuhan

(a) Bungo terong ‘ungu terong’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina sayur yaitu terong.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

bungo terong adalah warna bungo ‘ungu’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah bungo terong.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

Page 163: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 140

term tersebut adalah warna ungu disandingkan dengan

sayuran, yaitu ungu pada kulit terong. Selain itu,

penutur bahasa Madura di Kab. Sumenep juga

menggunakan frasa bungo terong towa ‘ungu terong

tua’ dan bungo terong ngodâ ‘ungu terong muda’

yang mana bungo terong mendapatkan atribut tua dan

muda. Bungo terong towa adalah warna ungu yang

lebih gelap dari ungu terong biasanya atau mendekati

hitam, sedangkan bungo terong ngodâ adalah warna

ungu yang lebih pucat dari ungu terong biasanya atau

ungu terong muda.

(2) Lingkungan alam

(a) Bungo tasѐ’ ‘ungu laut’ merupakan warna turunan

dengan atribut nomina benda lingkungan alam yaitu

laut. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa bungo tasѐ’ adalah warna bungo ‘ungu’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bungo

tasѐ’. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna ungu disandingkan

dengan laut, yaitu warna pantulan langit terhadap air

laut ketika menjelang gelap atau senja yang

menyerupai ungu.

(b) Bungo langngѐ’ ‘ungu langit’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina benda lingkungan

alam yaitu langit. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa bungo langngѐ’ adalah warna

bungo ‘ungu’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah bungo langngѐ’. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna ungu

disandingkan dengan benda lingkungan alam, yaitu

Page 164: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 141

warna langit ketika senja atau menjelang gelap.

Warna yang dimaksud adalah ungu kebiru-biruan.

9) Bu-abu ‘abu-abu’

Dari data yang diperoleh di lapangan, warna abu-abu

memiliki 11 warna turunan. Warna-warna turunan tersebut

memiliki atribut dan penamaan yang beraneka ragam.

Tabel 9. Warna-warna turunan dari warna ungu

No. Warna Turunan Terjemahan Atribut

1. Bu-abu tomang Abu-abu tungku Nomina

(benda rumah)

2. Abu tomang

ngodâ

Abu tungku

muda -

3. Bu-abu ngodâ Abu-abu muda Adjektiva

(ukuran)

4. Bu-abu towa Abu-abu tua Adjektiva

(ukuran)

5. Abu ngodâ Abu muda -

6. Abu towa Abu tua -

7. Bu-abu areng Abu-abu arang

Nomina

(benda lingkungan

alam)

8. Bu-abu pettheng Abu-abu gelap

Adjektiva

(cerapan

penghlihatan)

9. Bu-abu tѐra’ Abu-abu terang

Adjektiva

(cerapan

penghlihatan)

10. Bu-abu ketthe’ Abu-abu monyet Nomina

(nama hewan)

11. Bu-abu busok Abu-abu kucing

busok

Nomina

(nama hewan)

Tabel 9 di atas menunjukkan jika warna-warna turunan dari

warna nondasar cokelat memiliki atribut yang berasal dari satuan

lingual kata, yaitu nomina dan adjektiva. Selanjutnya, atribut-

atribut tersebut akan diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan

dianalisis secara metaforik.

Page 165: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 142

a) Atribut adjektiva

(1) Ukuran

(a) Bu-abu towa ‘abu-abu tua’ merupakan warna turunan

dengan atribut adjektiva towa ‘tua’ yang termasuk ke

dalam jenis adjektiva ukuran. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa bu-abu towa adalah warna

bu-abu ‘abu-abu’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah bu-abu towa. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna ungu disandingkan dengan adjektiva

‘tua’ yang mana kata ‘tua’ bermakna kehitam-hitaman

atau sangat. Jadi, bu-abu towa berarti abu-abu gelap

atau memiliki kadar warna hitam yang lebih besar

daripada abu-abu pada umumnya.

(b) Bu-abu ngodâ ‘abu-abu muda’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva ngodâ ‘muda’ yang

termasuk ke dalam jenis adjektiva ukuran. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa bu-abu

ngodâ adalah warna bu-abu ‘abu-abu’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah bu-abu ngodâ.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah warna abu-abu disandingkan

dengan adjektiva ‘muda’ yang mana kata ‘muda’

berarti kurang gelap atau agak pucat. Jadi, bu-abu

ngodâ berarti warna abu-abu yang memiliki

kandungan putih lebih tinggi daripada warna abu-abu

pada umumnya sehingga menghasilkan warna abu-

abu yang agak pucat.

(2) Cerapan

(a) Bu-abu pettheng ‘abu-abu gelap’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva pettheng ‘gelap’

Page 166: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 143

yang termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau

berhubungan dengan pancaindera yaitu penglihatan.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

bu-abu pettheng adalah warna bu-abu ‘abu-abu’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bu-abu

pettheng. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna abu-abu

disandingkan dengan adjektiva cerapan (pancaindera)

‘gelap’ yang mana kata ‘gelap’ bermakna tidak ada

cahaya. Istilah bu-abu pettheng digunakan oleh orang

Madura untuk mengatakan abu-abu gelap atau warna

yang mendekati hitam.

(b) Bu-abu tѐra’ ‘abu-abu terang’ merupakan warna

turunan dengan atribut adjektiva tѐra’ ‘terang’ yang

termasuk ke dalam jenis adjektiva cerapan atau

berhubungan dengan pancaindera yaitu penglihatan.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

bu-abu tѐra’ adalah warna bu-abu ‘abu-abu’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bu-abu

tѐra’. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna abu-abu

disandingkan dengan adjektiva cerapan (pancaindera)

‘terang’ yang mana kata ‘terang’ bermakna cerah atau

bersinar. Jadi, bu-abu tѐra’ berarti abu-abu yang lebih

cerah dari warna dasarnya atau memiliki kadar putih

lebih tinggi.

b) Atribut nomina

(1) Hewan

(a) Bu-abu ketthe’ ‘abu-abu monyet’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina hewan yaitu monyet.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

Page 167: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 144

bu-abu ketthe’ adalah warna bu-abu ‘abu-abu’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bu-abu

ketthe’. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna abu-abu

disandingkan dengan salah satu bagian dari hewan,

yaitu abu-abu pada bulu moyet. Warna abu-abu yang

dimaksud adalah abu-abu kecokelatan.

(b) Bu-abu busok ‘abu-abu kucing busok’ merupakan

warna turunan dengan atribut nomina hewan yaitu

kucing busok. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa bu-abu busok adalah warna bu-abu ‘abu-

abu’, sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

bu-abu busok. Persamaan atau ground yang terbentuk

dari kedua term tersebut adalah Warna abu-abu

disandingkan dengan salah satu jenis kucing, yaitu

kucing busok. Kucing busok merupakan kucing asli

Pulau Raas, Kab. Sumenep, Madura. Bulu kucing ini

berwarna abu-abu tua. Jadi, warna abu-abu yang

dimaksud adalah abu-abu tua.

(2) Benda rumah

(a) Bu-abu tomang ‘abu-abu tungku’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina benda rumah yaitu

tungku. Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam

frasa bu-abu tomang adalah warna bu-abu ‘abu-abu’,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah bu-abu

tomang. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna abu-abu

disandingkan dengan benda, yaitu abu-abu yang

dihasilkan dari pembakaran kayu pada tungku dapur

ketika memasak.

Page 168: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 145

(3) Lingkungan alam

(a) Bu-abu areng ‘abu-abu arang’ merupakan warna

turunan dengan atribut nomina benda lingkungan

alam yaitu arang. Secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa bu-abu areng adalah warna

bu-abu ‘abu-abu’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah bu-abu areng. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut

adalah warna abu-abu disandingkan dengan benda,

yaitu abu-abu yang terdapat pada arang. Warna abu-

abu yang dimaksud adalah abu-abu tua mendekati

hitam.

c) Non-atribut

(1) Abu tomang ngodâ ‘abu tungku muda’ merupakan frasa

warna yang dalam unsur frasanya tidak menggunakan

warna dasar. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa abu tomang ngodâ adalah warna bu-abu

‘abu-abu’, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah abu tomang ngodâ ‘abu tungku muda’ itu

sendiri. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna abu-abu disamakan

dengan abu yang dihasilkan dari proses pembakaran

kayu pada tungku ketika memasak. Selanjutnya, warna

tersebut juga disandingkan dengan adjektiva ‘muda’

yang mana kata ‘muda’ berarti kurang gelap atau agak

pucat. Jadi, abu tomang ngodâ adalah sebutan untuk

warna abu-abu yang lebih muda dari warna abu hasil

pembakaran pada tungku.

(2) Abu ngodâ ‘abu muda’ merupakan frasa warna yang

dalam unsur frasanya tidak menggunakan warna dasar.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa abu

Page 169: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 146

ngodâ adalah warna bu-abu ‘abu-abu’, sedangkan

vehicle atau pembandingnya adalah abu ngodâ ‘abu

muda’ itu sendiri. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah warna abu-

abu disamakan dengan abu yang dihasilkan dari proses

pembakaran kayu pada tungku ketika memasak.

Selanjutnya, warna tersebut juga disandingkan dengan

adjektiva ‘muda’ yang mana kata ‘muda’ berarti kurang

gelap atau agak pucat. Jadi, abu ngodâ adalah sebutan

untuk warna abu-abu yang lebih muda dari warna abu

hasil pembakaran pada tungku.

(3) Abu towa ‘abu tua’ merupakan frasa warna yang dalam

unsur frasanya tidak menggunakan warna dasar. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa abu towa

adalah warna bu-abu ‘abu-abu’, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah abu towa ‘abu tua’ itu sendiri.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua term

tersebut adalah warna abu-abu disamakan dengan abu

yang dihasilkan dari proses pembakaran kayu pada

tungku ketika memasak. Selanjutnya, warna tersebut

juga disandingkan dengan adjektiva ‘tua’ yang mana

kata ‘tua’ bermakna kehitam-hitaman atau sangat. Jadi,

abu towa adalah sebutan untuk warna abu-abu yang

lebih tua dari warna abu hasil pembakaran pada tungku.

Page 170: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 147

2. Makna kultural dari konsep penggunaan warna dalam masyarakat

Madura di Kab. Sumenep

Setelah mengetahui satuan-satuan lingual penanda warna dalam

bahasa Madura di Kab. Sumenep, selanjutnya akan dipaparkan

penggunaan warna-warna tersebut di dalam domain verbal dan nonverbal.

Tujuan dari pemaparan konsep penggunaan warna ini adalah untuk

mengetahui makna kultural yang tersimpan di balik penggunaan warna-

warna tersebut berdasarkan domain yang berbeda dan menurut keyakinan

masyarakat Madura di Kab. Sumenep itu sendiri.

Domain verbal merupakan warna yang melekat pada ujaran-ujaran

tertentu yang hidup di tengah masyarakat Madura di Kab. Sumenep. Dari

penelitian yang telah dilakukan, warna ditemukan melekat pada beberapa

domain verbal, yaitu parѐbhasan ‘peribahasa’, oca’ kѐyasan ‘ungkapan’,

dan carѐta rakyat ‘cerita rakyat’. Selanjutnya, domain nonverbal

merupakan warna yang melekat pada benda-benda di lingkungan

masyarakat Madura di Kab. Sumenep. Khusus untuk domain nonverbal,

warna-warna yang diambil hanya warna yang penggunaannya

mendeskripsikan sebuah makna khusus di luar fungsi untuk keindahan.

Dari penelitian yang telah dilakukan, warna ditemukan melekat pada

beberapa domain dalam bidang kesenian, bangunan, transportasi, upacara

ritual, dan kuliner.

a. Penggunaan warna dalam domain verbal

1) Parѐbhasan ‘peribahasa’

Dalam bahasa Madura parѐbhasan merupakan peribahasa

yang keberadaannya hanya berlaku di dalam sebuah masyarakat

tutur dari bahasa tersebut. Jadi, parѐbhasan tidak boleh menyalin

dari bahasa lain1. Berikut adalah parѐbhasan di dalam bahasa

Madura yang mengandung unsur nama warna.

1 Dikutip dari buku Kosa Kata Bahasa Madura (Fiandarti & Bastari, 2009: 151).

Page 171: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 148

a) Potѐ ‘putih’

(1) Potѐ tolang ‘putih tulang’ bermakna ‘mati’ dan potѐ mata

‘putih mata’ bermakna ‘malu’

[Data TB.03/01]

Lebbi bhâgus potѐ tolang ѐtembhâng potѐ mata

Lebih baik putih tulang daripada putih mata

Lebih baik putih tulang daripada putih mata

Peribahasa di atas bermakna lebih baik mati

daripada hidup menanggung malu. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa potѐ tolang adalah mati,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah potѐ tolang

‘putih tulang’ itu sendiri. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah ketika tubuh

manusia terluka dan mengakibatkan dagingnya menganga,

maka warna putih pada tulang akan jelas terlihat. Luka

tersebut biasanya diakibatkan oleh pertarungan atau

perkelaihan yang memungkinkan terjadinya kematian.

Jadi, warna putih tulang mengisyaratkan sebuah keadaan

yaitu mati.

Selanjutnya, secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa potѐ mata adalah malu, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah potѐ mata ‘putih mata’ itu sendiri.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua term

tersebut adalah umunya mata terdiri dari bagian hitam dan

putih. Namun, ketika seseorang hanya digambarkan

memiliki bagian putih mata, berarti orang tersebut tidak

bisa melihat. Jadi, orang Madura menganalogikan putih

mata sebagai keadaan ketika seseorang tidak mampu

bertemu orang lain karena malu akibat dicemooh atau

dilecehkan.

Page 172: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 149

Selain di Madura, peribahasa di atas juga digunakan

oleh suku Melayu dengan bentuk daripada berputih mata,

eloklah berputih tulang2. Persamaan bentuk peribahasa ini

juga dapat disebabkan oleh kekerabatan bahasa Madura

dengan bahasa Melayu. Sebagai rumpun bahasa

Austronesia, bahasa Madura memiliki kekerabatan dengan

bahasa Jawa, Sunda, dan Melayu. Namun, di antara ketiga

bahasa tersebut, kekerabatan bahasa Madura dengan

Melayu terbilang cukup besar yaitu sejumlah 51.2%3

sehingga tidak mengherankan jika terdapat kosakata

maupun peribahasa Madura yang mirip dengan bahasa

Melayu.

Suku Melayu memaknai peribahasa daripada

berputih mata, eloklah berputih tulang menjadi ‘lebih baik

mati daripada tidak mendapatkan sesuatu yang diidam-

idamkan’. Walaupun secara bentuk peribahasa sama,

namun pemaknaan peribahasa yang dilakukan oleh suku

Melayu dan Madura berbeda. Suku Melayu menggunakan

peribahasa ini agar masyarakatnya berusaha sekeras

mungkin untuk mencapai harapan-harapan hidup atau

impian. Berbeda dengan suku Madura yang menggunakan

peribahasa ini sebagai bentuk menjunjung tinggi harkat

dan martabatnya sebagai manusia agar tidak dipermalukan

atau dicemooh. Bagi masyarakat Madura, peribahasa di

atas selalu dihubungkan dengan tradisi carok4.

Orang Madura tidak pernah mau mengganggu

siapapun. “Namun, jika harga dirinya dilecehkan, maka

akan muncul Maduranya”5. Jadi, daripada mereka malu

karena harga dirinya direndahkan, orang Madura

2 Dikutip dari buku Koleksi Terindah Peribahasa Melayu (Hassan dan Mohd, 2006: 49). 3 Dyen (1962: 42). 4 Istilah carok hanya dipakai oleh orang Madura untuk menyebut pembunuhan dengan senjata

tajam (De Jonge, 2011: 127). 5 Penuturan informan: Bapak Nurul Hamzah, usia 61 tahun.

Page 173: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 150

cenderung akan membela mati-matian harga dirinya

walaupun sampai harus bertaruh nyawa. Melukai

kehormatan seseorang identik dengan menyakiti seseorang

secara fisik6. Misalnya, ada seorang suami yang istrinya

direbut oleh pria lain. Maka, suami tersebut akan

melakukan carok dengan pria tersebut untuk merebut

kembali istrinya. Hal ini dilakukan karena jika sang suami

hanya berdiam diri dan tidak bertindak apa-apa, kehidupan

suami tersebut akan menjadi bahan olok-olokan

masyarakat. Dengan kata lain, sang suami akan

menanggung malu.

Carok tidak hanya dilakukan ketika terjadi masalah

perzinahan, tetapi juga masalah pencurian dan penghinaan

(pencemaran nama baik). Oleh sebab itu, lebih baik mati

karena bertarung daripada hidup menangung malu dan

direndahkan orang lain. Bagi orang Madura, segalanya

akan dipertaruhkan untuk membela kehormatan.

(2) Potѐ kapor ‘putih kapur’ bermakna ‘suci’

[Data TB.03/04]

Tѐ-potѐanna kapor salaghi bâ’âng

Bagian putihnya kapur ada pahit

Seputih-putihnya kapur tetap ada pahitnya

Peribahasa di atas bermakna tidak ada sesuatu yang

seutuhnya suci, pasti tetap akan ada kesalahan di

dalamnya7. Dalam peribahasa tersebut, masyarakat Madura

menggambarkan sesuatu yang suci dengan warna kapur

yaitu putih kapur. Secara metaforik, tenor atau pebanding

dalam frasa potѐ kapor adalah suci, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah potѐ kapor ‘putih kapur’ itu

sendiri. Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

6 Dikutip dari buku Garam, Kekerasan, dan Aduan Sapi (De Jonge, 2011: 138). 7 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.

Page 174: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 151

term tersebut adalah kapur merupakan salah satu benda

alam yang sangat dekat dengan masyarakat Madura hingga

muncullah ujaran ‘Madura tanah kapur’8 yang diakibatkan

oleh susunan tanah di Madura yang mayoritas berbatu

kapur. Kapur tersebut menjadi bahan utama yang

digunakan oleh orang Madura untuk mewarnai tembok

rumahnya. Mereka menyebutnya sebagai ghâmpèn (batu

gampin). Orang Madura menggunakan adonan gampin

untuk mengecat rumahnya karena harganya lebih

terjangkau daripada cat kimia dan putihnya benar-benar

bersih. Jadi, penggunaan frasa potѐ kapor selain karena

kapur adalah benda alam yang sangat dekat dengan

mereka, kapur juga diyakini memiliki warna putih bersih

yang bermakna suci.

Peribahasa di atas mengingatkan orang Madura agar

tidak menjadi pribadi yang sombong dengan apa yang

dimiliki sebab tidak ada manusia yang sempurna.

“Manossa coma darma (manusia hanyalah titipan), jadi

jangan merasa sombong”9. Oleh sebab itu, sebagai

manusia tidak boleh terlena dengan adigang (kekuatan),

adigung (kekuasaan), dan adiguna (kepintaran). Hal ini

dikarenakan semua yang ada di muka bumi dan diwariskan

dalam diri manusia hanyalah titipan dan hasil dari

ketetapan Tuhan.

Tidak dapat dielak jika salah satu pembawaan orang

Madura khususnya mereka yang tinggal di pedesaan

adalah èbir ‘pamer’. “...Keinginan untuk menonjolkan

kelebihannya itu agak berlebihan ya. Kalau kita ke desa

zaman dulu di depan mesti ada lemari kan, kanan kiri, itu

kan dipamerkan, panci, piring, dan kamar tidur yang

8 Penuturan informan: Bapak Zainal Abidin, usia 67 tahun. 9 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.

Page 175: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 152

biasanya sifatnya pribadi è bukka’ sakonne’ biyasana kan

bâdâ kasorra (dibuka sedikit kan biasanya ada kasurnya),

untuk menunjukkan”10. Tujuan menunjukkan harta benda

bagi masyarakat Madura di pedesaan adalah agar semua

orang di lingkungannya dapat mengukur kehebatan harta

kekayaan yang dikuasai pemilik rumah tersebut11. Sikap

memamerkan sesuatu tentu bukan hanya dimiliki oleh

orang Madura. Namun, peribahasa di atas muncul sebagai

alat untuk mengontrol tingkat kepameran yang dimiliki

oleh orang Madura supaya sifat èbir ‘pamer’ tersebut tidak

melampaui batas.

(3) Potѐ ‘putih’ dan celleng ‘hitam’ bermakna ‘kekuasaan’

[Data TB.03/05]

Mapotѐya dângdâng potѐ macellengnga dhâlko celleng

Memutihkan gagak putih menghitamkan kuntul hitam

Memutihkan gagak putih menghitamkan kuntul hitam

Peribahasa di atas bermakna kekuasaan yang sangat

besar. Secara umum, burung gagak adalah salah satu

spesies burung yang memiliki warna bulu dominan hitam.

Sebaliknya, burung kuntul adalah spesies burung yang

memiliki warna bulu dominan putih. Dengan kata lain,

pernyataan dalam peribahasa di atas bersifat bertolak

belakang dengan keadaan sebenarnya pada wujud fisik dari

kedua burung tersebut. Penggambaran demikian bertujuan

untuk memperkuat pesan yang terkandung di dalam

peribahasa di atas, yaitu kekuasaan yang sangat besar

sehingga mampu merubah sesuatu yang terlihat mustahil

bagi akal manusia.

10 Penuturan informan: Bapak Edhie Setiawan, usia 73 tahun. 11 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 220).

Page 176: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 153

Berdasarkan informasi lain12, peribahasa di atas

menjelaskan mengenai kekuasaan seorang pemimpin yang

mampu menentukan nasib bawahannya. Jadi, pemimpin

tersebut mampu melakukan apa saja karena memiliki

kekuasaan yang besar. Menurut salah satu informan,

prinsip yang harus dipegang teguh oleh orang Madura

yang sedang menjadi pemimpin adalah bâdâ pakon, bâdâ

pakan ‘ada pekerjaan, maka ada makanan’13. Ujaran

tersebut bermakna seorang pemimpin harus menyelesaikan

tanggung jawabnya terlebih dahulu sebelum menuai hasil

atau mendapatkan upah. Bukan sebaliknya, ada pakan lalu

bâdâ pakon, yang artinya mengambil hak terlebih dahulu

sebelum menyelesaikan kewajibannya. Munculnya

peribahasa di atas juga merupakan pengingat bagi para

pemimpin khususnya di Madura agar tidak semena-mena

dalam menggunakan kekuasaannya, salah satunya adalah

menghindari korupsi.

b) Konѐng ‘kuning’

(1) Konѐng kalak ‘kuning kalak’ bermakna ‘rupawan’

[Data TB.03/02]

Nѐng-konѐng kalak, tekka’a konѐng katolak

Kuning-kuning kalak, walau kuning tertolak

Kuning kalak, walau kuning tertolak

Peribahasa di atas bermakna walaupun seorang

perempuan atau laki-laki memiliki paras yang rupawan

bisa saja kehadirannya tidak diterima karena sifat dan

perilakunya tidak serupawan parasnya14. Secara metaforik,

12 Dikutip dari laman internet https://kamuslengkap.com/kamus/madura-indonesia/arti-kata/celleng

(16 April 2019). 13 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun. 14 Dikutip dari laman internet https://kamuslengkap.com/kamus/madura-indonesia/arti-

kata/n%C3%A8ng-kon%C3%A8ng-kalak-tekkaa-kon%C3%A8ng-katolak (17 Juli 2019)

Page 177: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 154

tenor atau pebanding dalam frasa konѐng kalak adalah

rupawan, sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah

konѐng kalak ‘kuning kalak’ itu sendiri. Persamaan atau

ground yang terbentuk dari kedua term tersebut adalah

kalak merupakan buah yang bagian atas dari kulit buahnya

berwarna kuning. Warna kuning tersebut tampak muda dan

bersih sehingga diibaratkan dengan paras laki-laki atau

perempuan yang enak dipandang karena rupawan.

Peribahasa tersebut lebih tepat ditujukan kepada seseorang

yang belum berumah tangga, yaitu seorang calon menantu

yang ditolak calon mertuanya sebab tidak memiliki sifat

dan perilaku yang baik meskipun paras orang tersebut

cantik atau tampan.

Di dalam masyarakat Madura, orang yang memiliki

tabiat buruk disebut dengan bâbâtek motak ‘watak

monyet’. Hal ini dikarenakan monyet dianggap sebagai

hewan yang suka melakukan hal-hal merugikan, misalnya

suka mencuri makanan. Oleh sebab itu, untuk mengatasi

tabiat buruk manusia, para sesepuh tempo dulu di Madura

banyak mengamati sifat dan perilaku manusia sehingga

muncullah sifat dan perilaku positif yang dianggap

berterima dalam lingkungan masyarakat Madura. Perilaku-

perilaku15 tersebut di antaranya (1) mabuta, mabudek,

mabuwi yang bermakna tidak ikut campur urusan orang

lain, (2) bâdâ è tongka' bâdâ è dâi yang bermakna

memiliki sikap adil, (3) tao dhugâ kèra yang bermakna

tahu diri, (4) man-èman kolè'na geddhâng yang bermakna

hemat dan cermat, (5) macan ngerrep kokona yang

bermakna diam itu emas atau tidak berbicara hal-hal yang

tidak penting, (6) jha’ ghu’-tegghu’an sangghup yang

bermakna tidak mengumbar janji, (7) tangghâ' jhâ' opaè

15 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 237-291).

Page 178: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 155

yang bermakna tidak mudah menyikapi omongan orang,

(8) maddhung to’ot yang bermakna memiliki sopan santun,

(9) sèkot dâ’ abâ’na dhibi’ yang bermakna memiliki tepa

selira, dan (10) èkènnèng ghibâ ka sèmo yang bermakna

mudah bergaul.

Kesepuluh sifat dan perilaku di atas menjadi

penilaian penting bagi orang Madura dalam melihat suatu

individu. Jadi, walaupun seorang individu berparas

rupawan seperti warna konѐng ‘kuning’ pada bagian atas

buah kalak, tetaplah tidak ada artinya jika tidak diikuti oleh

sifat dan perilaku yang positif.

(2) Konѐng ‘kuning’ bermakna ‘berhasil’

[Data TB.03/03]

Abhântal ombâ’ asapo’ angѐn, alako berrâ’ apello konѐng Berbantal ombak berselimut angin, bekerja berat berpeluh kuning

Berbantal ombak berselimut angin, bekerja berat berpeluh kuning

Peribahasa di atas bermakna bekerja keras dan selalu

berusaha. Peribahasa tersebut muncul karena selain

bertani, mayoritas masyarakat Madura bekerja sebagai

nelayan. Para nelayan umumnya pergi melaut berhari-hari

dan meninggalkan anak istinya di rumah. Mereka

menggantungkan hidup pada alam, terutama lautan. Secara

metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa apello konѐng

adalah berhasil, sedangkan vehicle atau pembandingnya

adalah apello konѐng ‘berpeluh kuning’ itu sendiri.

Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua term

tersebut adalah orang yang sedang bekerja akan berpeluh

keringat. Keringat tersebut menjadi bukti sebuah usaha

untuk menuai keberhasilan sehingga mereka tidak hanya

berpangku tangan. Penggunaan warna kuning bertujuan

untuk mendeskripsikan noda kuning yang biasanya timbul

Page 179: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 156

akibat peluh yang sudah menempel di pakaian selama

berhari-hari. Dengan kata lain, para pekerja rela berhari-

hari membanting tulang dan tidak pulang ke rumah demi

mampu menafkahi keluarganya. Hal tersebut juga

mengisyaratkan bahwa warna kuning bagi masyarakat

Madura di Kab. Sumenep bermakna sebuah tanggung

jawab. Lebih tepatnya kesadaran untuk bertanggung jawab

menafkahi keluarga.

Bagi orang Madura, sesuatu yang kelihatannya

mustahil apabila terus diusahakan dengan kerja keras akan

menghasilkan sesuatu. “....Jadi, orang Madura itu gigih,

semangatnya tinggi dalam bekerja, dan bukan hanya

berpangku tangan”16. Pada akhirnya, peribahasa tersebut

tidak hanya berlaku bagi para nelayan, tetapi juga

diperuntukkan bagi mereka yang tengah bekerja keras

mencari nafkah dengan profesi apapun. Misalnya contoh

lain, pada tahun 1950-an di salah satu desa terpencil di

Madura terdapat seorang penjahit yang berhasil

menunaikan ibadah haji bersama istri dan seluruh anaknya.

Hal tersebut membuktikan, jika sifat bilet ‘ulet’ yang

dimiliki oleh orang Madura bukanlah sesuatu yang dapat

diremehkan. Keberhasilan seseorang tidak dapat dinilai

hanya dari jenis profesi yang dilakukan, melainkan dari

seberapa besar dan keras usahanya.

Sifat pekerja keras yang dimiliki oleh orang Madura

turut menimbulkan ca’-oca’an17 orèng Madhurâ ta’ tako’

matè, tapè tako’ kalaparan ‘orang Madura tidak takut

mati, tetapi takut kelaparan’18. Ca’-oca’an tersebut

menjelaskan bahwa orang Madura memiliki sikap pasrah

16 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun. 17 Ca’-oca’an adalah ujaran yang dipegang teguh oleh orang Madura dan dijadikan landasan dalam

menjalani kehidupan. 18 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 347).

Page 180: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 157

terhadap ketetapan Tuhan, salah satunya mengenai

kematian. Bagi orang Madura, kematian adalah hal mutlak

yang tidak bisa diubah, sedangkan kelaparan adalah sebuah

kondisi yang disebabkan oleh diri manusia itu sendiri yang

tidak bekerja keras untuk mencari nafkah. Oleh sebab itu,

orang Madura adalah masyarakat yang memiliki etos kerja

tinggi guna mencapai keberhasilan.

c) Celleng ‘hitam’

(1) Celleng ‘hitam’ bermakna ‘tidak bermoral’

[Data TB.03/06]

Jhârân celleng ghusèh, èsemma’è ngokop, èjhâuè ngette’

Kuda hitam gusi, didekati menggigit dijauhi menendang

Kuda gusi hitam, didekati menggigit dijauhi menendang

Peribahasa di atas bermakna bercampur gaul dengan

orang yang sudah terkenal bejat moral dan busuk tabiatnya

pasti akan mencelakakan keseluruhan lingkungannya.

Secara metaforik, tenor atau pebanding dalam frasa

celleng ghusèh adalah tidak bermoral, sedangkan vehicle

atau pembandingnya adalah celleng ghusèh ‘gusi hitam’

itu sendiri. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah gusi yang sehat dan normal

umumnya berwarna merah muda. Jika gusi pada makhluk

hidup berwarna selain merah muda, bisa dikatakan

terdapat suatu kelainan atau penyakit yang berakibat

buruk. Penggunaan frasa gusi hitam dalam peribahasa di

atas menggambarkan perilaku atau tutur kata tidak baik

yang keluar dari mulut.

Oleh sebab itu, peribahasa di atas menggambarkan

sebuah keadaan jika seorang manusia bergaul dengan

individu yang tidak baik, maka orang tersebut juga akan

turut menerima dampaknya. Dengan kata lain, orang

Page 181: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 158

tersebut memiliki peluang untuk terpengaruh sehingga

juga menjadi pribadi yang tidak bermoral dan merugikan

lingkungannya. Salah satu prinsip yang harus dipegang

oleh orang Madura adalah èkennèng ghibâ ka sèmo ‘dapat

dibawa bergaul’19. Artinya, orang Madura harus dapat

beradaptasi dengan lingkungan dan noro’ kapprana orèng

‘mengikuti kebiasaan orang banyak’ yaitu kebiasaan yang

baik dan dapat diterima, bukan bersifat malang serat

‘berlintang serat’ yang menandakan berperilaku berbeda

atau buruk dari lingkungannya.

Berhubungan dengan peribahasa di atas, salah satu

informan menjelaskan bahwa “...Orang Madura itu lèbur

ka rèng ngobbar dhupa. Dhupa itu kodhu jha’ loppa,

otabâ pètodhu kaangguy ta’ loppa. Dhupa itu ro’om...”

(orang Madura itu senang pada orang yang menggunakan

dupa. Dupa itu artinya jangan sampai lupa, atau petunjuk

agar tidak lupa. Dupa itu harum)20. Artinya, jika manusia

berkumpul dengan orang yang suka membakar dupa pasti

akan kebagian harumnya. Untuk menjadi orang yang baik,

maka harus berkumpul dengan orang baik. Sebaliknya,

jika manusia salah pergaulan dan berkumpul dengan orang

yang tidak bermoral, maka keburukan juga akan datang

menghampiri. Seperti pepatah Madura lainnya, yaitu

bhâbhâtang ngajhâk matè ‘bangkai akan mengajak mati’.

Jadi, orang buruk pasti akan mengajak orang lain untuk

menjadi buruk.

2) Oca’ kѐyasan ‘ungkapan’

Dalam bahasa Madura oca’ kѐyasan merupakan ujaran yang

tidak bermakna sebenarnya. Oca’ kѐyasan digunakan untuk

19 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 289). 20 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.

Page 182: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 159

menunjukkan tingkah pola manusia21. Berikut adalah oca’ kѐyasan

di dalam bahasa Madura yang mengandung unsur nama warna.

a) Bhiru ‘hijau’

(1) Bhiru ‘hijau’ bermakna ‘pendiam’

[Data TB.03/07]

Geddhâng bhiru Pisang hijau

Pisang hijau

Ungkapan di atas digunakan untuk mendeskripsikan

seseorang pendiam tetapi berilmu. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa geddhâng bhiru adalah orang

berilmu yang pendiam, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah geddhâng bhiru ‘pisang hijau’ itu

sendiri. Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah buah pisang yang kulitnya hijau sering

dianggap sebagai buah yang belum matang. Padahal, ada

salah satu jenis pisang yang matang walaupun kulitnya

masih berwarna hijau. Di Madura, pisang jenis ini disebut

geddhâng bhiru ‘pisang hijau’. Rasa pisang tersebut enak

dan juga manis. Jadi, orang awam yang tidak memahami

jenis pisang ini akan berpikiran bahwa pisang hijau adalah

buah yang belum matang dan belum waktunya dimakan.

Penggambaran tersebut disamakan dengan seseorang yang

berilmu atau memiliki kecerdasan luar biasa tetapi pendiam

sehingga tidak pamer dengan kemampuan yang

dimilikinya. Dengan kata lain, tanpa menggembar-

gemborkan kemampuannya orang tersebut sudah dikenal

berintelektual di kalangan masyarakat. Ibarat padi, semakin

berisi semakin merunduk. Begitulah makna yang

21 Dikutip dari buku Kosa Kata Bahasa Madura (Fiandarti & Bastari, 2009: 151).

Page 183: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 160

terkandung di dalam ungkapam geddhâng bhiru ‘pisang

hijau’.

Bagi masyarakat Madura, seseorang yang berilmu

tetapi tidak menyombongkan kemampuannya diibaratkan

sebagai macan ngerrep kokona ‘macan menyembunyikan

kukunya’. Macan tidak akan mengeluarkan kukunya begitu

saja, melainkan ia akan mengeluarkan kukunya jika

memang dibutuhkan, seperti untuk melindungi diri dari

serangan musuh atau mencabik makanan. Hal tersebut juga

mengiaskan sikap manusia, yaitu lebih memilih untuk diam

sampai diperlukan untuk berbicara atau mengeluarkan

pendapat. Orang Madura sangat memegang teguh

comantaka ‘mulutmu harimaumu’22.

b) Mѐra ‘merah’

(1) Mѐra ‘merah’ bermakna ‘logam’

[Data TB.03/07]

Pѐssѐ mѐra Uang merah

Uang merah

Ungkapan di atas digunakan untuk mendeskripsikan

uang logam bagi orang Madura. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa pѐssѐ mѐra adalah uang logam,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah pѐssѐ mѐra

‘uang merah’ itu sendiri. Persamaan atau ground yang

terbentuk dari kedua term tersebut adalah berdasarkan

informasi23 pѐssѐ mѐra bermakna pѐssѐ dhimbhâgâ ‘uang

tembaga’. Warna termbaga adalah cokelat kemerahan.

Oleh sebab itu, orang Madura menyebut uang tersebut

sebagai uang merah. Selanjutnya, uang tembaga digunakan

22 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 253). 23 Dikutip dari buku Kosa Kata Bahasa Madura (Fiandarti & Bastari, 2009: 222)

Page 184: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 161

untuk merujuk uang logam karena pada kenyataannya

hanya ada dua jenis uang yang digunakan untuk

bertransaksi, yaitu uang kertas dan uang logam. Jenis uang

logam24 bermacam-macam, di antaranya uang logam

tembaga, uang logam perak, dan uang logam emas.

c) Konѐng ‘kuning’

(1) Konѐng mondhu ‘kuning mundu’ bermakna ‘kulit bersih

dan cerah’

[Data TB.03/08]

Konѐng mondhu

Kuning Mundu

Kuning mundu

Ungkapan di atas digunakan untuk mendeskripsikan

warna kulit seorang perempuan, yaitu berwarna kuning

bersih dan cerah bagi orang Madura. Secara metaforik,

tenor atau pebanding dalam frasa konѐng mondhu adalah

kulit bersih dan cerah, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah konѐng mondhu ‘kuning mundu’ itu

sendiri. Persamaan atau ground yang terbentuk dari kedua

term tersebut adalah kulit perempuan disamakan dengan

warna kulit dan daging buah mundu. Jadi, warna kulit yang

dimaksud adalah warna kuning bersih seperti buah mundu.

d) Celleng ‘hitam’

(1) Celleng mangghis ‘hitam manggis’ bermakna ‘kulit gelap

namun manis’

[Data TB.03/09]

Celleng mangghis

Hitam manggis

24 Dikutip dari laman internet https://rifathul.wordpress.com/2009/02/23/warna-logam-tembaga-

perak-dan-emas/ (24 juli 2019).

Page 185: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 162

Hitam manggis

Ungkapan di atas digunakan untuk mendeskripsikan

warna kulit seorang perempuan yaitu berwarna gelap

namun manis bagi orang Madura. Secara metaforik, tenor

atau pebanding dalam frasa celleng mangghis adalah kulit

gelap namun manis, sedangkan vehicle atau

pembandingnya adalah celleng mangghis ‘hitam manggis’

itu sendiri. Persamaan atau ground yang terbentuk dari

kedua term tersebut adalah warna kulit perempuan

disamakan dengan kulit buah manggis. Jadi, walaupun

warna kulit manggis hitam, tetapi rasa buah manggis

manis. Hal tersebut sama dengan kulit perempuan, yaitu

hitam manis.

3) Carѐta rakyat ‘cerita rakyat’

Selain ungkapan-ungkapan tradisional di atas, penggunaan

warna dalam domain verbal juga ditemukan dalam folklor lisan25

lainnya, yaitu cerita rakyat Putri Kuning.

a) Potrѐ Konѐng ‘Putri Kuning’

(1) Konѐng ‘kuning’ bermakna ‘kecantikan fisik dan perilaku’

Dikisahkan26 bahwa zaman dahulu terdapat seorang

raja bernama Secadiningrat II atau biasa disebut sebagai

Raden Agung Rawit. Raja tersebut memiliki seorang putri

cantik bernama Dewi Saini yang juga disebut sebagai

Potrѐ Konѐng ‘Putri Kuning’. Dewi Saini memiliki hobi

bertapa di dalam Gua Pajudan Sumenep. Suatu hari, ketika

ia bertapa saat bulan purnama, Dewi Saini bermimipi

25 Danandjaya (1991: 22) membagi folklor lisan dalam 6 jenis yaitu, bahasa rakyat, ungkapan

tradisional, pertanyaan tradisional, sajak dan puisi rakyat, cerita prosa rakyat, serta nyanyian

rakyat. 26 Dikutip dari buku Babad Modern Sumenep (Sebuah Telaah Histografi) (Ahmad, 2018: 149).

Page 186: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 163

bertemu dan bersetubuh dengan seorang lelaki bernama

Adi Poday yang di saat bersamaan juga sedang bertapa di

Gunung Geger Bangkalan. Setelah mimpi itu, Dewi Saini

hamil walaupun belum pernah mengenal lelaki tersebut

secara langsung.

Raja menjadi murka mendengar kehamilan putrinya

dan berkeinginan untuk membunuh Dewi Saini. Namun,

niat itu berhasil dicegah oleh keluarga besar hingga

akhirnya Dewi Saini diusir dan tinggal di sebuah tempat

bernama Pekandangan di Kecamatan Bluto. Akhirnya,

Dewi Saini tinggal bersama keluarga Mpu Keleng yang

berprofesi sebagai pembuat alat-alat pertanian dari besi.

Setelah Dewi Saini melahirkan, bayi tersebut diberi nama

Joko Tole dan diasuh oleh keluarga Mpu Keleng yang

kebetulan juga belum memiliki keturunan. Dikarenakan

Mpu Keleng memiliki aktifitas yang berhubungan dengan

pembuatan besi, sedari kecil Joko Tole juga memiliki

ketertarikan dengan profesi tersebut. Tidak disangka

ternyata Joko Tole memiliki kesaktian yang luar biasa

karena ia mampu membentuk besi hanya menggunakan

jemarinya.

Suatu hari, seorang raja dari Majapahit bernama

Raja Brawijaya ingin membangun sebuah pintu gerbang

yang terbuat dari besi. Raja mengundang seluruh ahli

pandai besi di wilayah Majapahit, salah satunya adalah

Mpu Keleng dari Kab. Sumenep. Setelah beberapa minggu

Mpu Keleng mencoba menyelesaikan pintu tersebut,

ternyata Mpu Keleng tidak bisa menyelesaikannya dan

menderita sakit. Mendengar kabar tersebut akhirnya Joko

Tole menyusul ke Majapahit. Dalam perjalanan menuju

Majapahit, Joko Tole bertemu dengan pamannya bernama

Adi Rasa untuk diberi wejangan dan ilmu kadigjayaan.

Page 187: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 164

Singkat cerita, setibanya di Majapahit Joko Tole

menggantikan Mpu Keleng untuk menyelesaikan

pekerjaan membuat pintu gerbang besi. Seluruh pandai

besi yang melihat sangat meragukan kemampuannya.

Namun, Joko Tole tetap berusaha dan berpesan agar

orang-orang di sana membakar tubuhnya. Setelah badan

Joko Tole dibakar ia juga berpesan bahwa akan ada cairan

berwarna putih yang keluar dari pusarnya. Cairan tersebut

dapat digunakan sebagai bahan penyambung atau las pintu

gerbang. Akhirnya, para pekerja menuruti perintah dari

Joko Tole hingga pintu gerbang tersebut berhasil

didirikan. Atas jasanya, Joko Tole memperoleh hadiah

dari Raja Brawijaya dan dinikahkan dengan putri raja

tersebut.

Bagi masyarakat Madura khususnya di Kab.

Sumenep, cerita mengenai Joko Tole dipercaya benar-

benar terjadi sebagai legenda dan bukan hanya dongeng

semata. Hal ini dikarenakan ditemukannya makam Joko

Tole di Dusun Saasa, Desan Lanjuk, Kecamatan Manding,

Kab. Sumenep. Selain Joko Tole, sosok ibunda Joko Tole

yang bernama Dewi Saini juga mencuri perhatian

masyarakat. Hal ini dikarenakan Dewi Saini mendapatkan

julukan sebagai Potrѐ Konѐng ‘Putri Kuning’.

Apabila dianalisis secara metaforik, tenor atau

pebanding dalam frasa Potrѐ Konѐng adalah Dewi Saini,

sedangkan vehicle atau pembandingnya adalah Potrѐ

Konѐng ‘Putri Kuning’ itu sendiri. Persamaan atau ground

yang terbentuk dari kedua term tersebut berhasil

diungkapkan oleh empat informan, yaitu 1) penuturan dari

pemandu wisata di lingkungan Keraton Sumenep, menurut

beliau “Potre Konèng itu kata konèngnya itu disematkan

karena beliau merupakan orang yang ayu, cantik, lemah

Page 188: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 165

lembut. Jadi, warna kuning di sini kan kelihatan anggun

ya, jadi dari kata tersebut, dari kata konèng itu, itu

menyimbolkan kepribadian dan fisik dari si Putri Raja

tersebut”27, (2) penuturan ketua tim penyusun buku

muatan lokal bahasa Madura, menurut beliau “...karena

memang potre itu ayu dan kulitnya kuning, justru ada

semacam mengatakan sampai dari kuningnya itu

gherungannya (kerongkongannya) kelihatan katanya.

Jadi, kulitnya halus, katanya begitu”28, (3) penuturan

Kepala Museum Keraton Sumenep, menurut beliau

“Sebenarnya kan putri Madura ini yang dikenal kan Putri

Kuning, ketulusan, tutur katanya baik, jalannya juga

cantik, jadi semuanya baik, menjaga perasaan orang biar

tidak menyakitkan. Mangkanya sekarang orang itu

diajarkan hati-hati kalau ngomong, begitu. Kalau

sekiranya menyakiti orang, lebih baik diam daripada

banyak ngomong”29, dan (4) penuturan budayawan

Sumenep, menurut beliau “Potrè konèng aslina nyamana

bânnè Potrè Konèng, Dewi Saini. Konèng jarèya bânnè

polana anu, dâri raddinna pas ejhajhuluk potrè konèng.

Sampe è dâlem salokana sapa sè ngabes potrè konèng

langsung semaput sakeng raddinna istilahna roh. Bânnè

jhu polana konèng, salaènna konèng jhugân raddin.

Nyamana dhibi’ Dewi Saini”30 (Putri Kuning bernama asli

Dewi Saini. Warna kuning tersebut disematkan karena

parasnya yang sangat cantik. Sampai-sampai dalam

legendanya, siapa yang memandang Putri Kuning bisa

pingsan karena terlalu cantik. Jadi, kuning tersebut karena

cantik).

27 Penuturan informan: Ibu Meinarny Ferdiantina, usia 27 tahun. 28 Penuturan informan: Bapak Nurul Hamzah, usia 61 tahun. 29 Penuturan informan: Bapak Erfandi, usia 52 tahun. 30 Penuturan informan: Bapak Zainal Abidin, usia 67 tahun.

Page 189: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 166

Dari keempat informan di atas yang

mendeskripsikan hubungan antara leksem warna kuning

dengan seorang tokoh bernama Dewi Saini dapat

disimpulkan bahwa penggunaan leksem kuning ini

bertujuan untuk mendeskripsikan kecantikan fisik dan

perilaku dari tokoh tersebut. Secara fisik, penyematan

warna kuning bertujuan untuk mendeskripsikan Dewi

Saini yang memiliki paras cantik dengan kulit bersih dan

halus berwarna kuning langsat. Selanjutnya, penyematan

warna kuning juga mendeskripsikan perilaku dari sang

putri, yaitu memiliki ketulusan hati dan tutur kata yang

baik karena beliau merupakan sosok yang jarang berbicara

terutama jika memang tidak dibutuhkan guna

menghindari menyakiti perasaan orang lain dengan

lisannya.

b. Penggunaan warna dalam domain nonverbal

Selain dalam domain verbal seperti pada poin sebelumnya,

penggunaan warna juga ditemukan dalam domain nonverbal pada

ranah kesenian, bangunan, transportasi, kegiatan ritual, dan kuliner.

1) Kesenian

Di dalam ranah kesenian ditemukan empat jenis kesenian

yang di dalamnya memiliki penggunaan warna dengan makna dan

tujuan khusus. Empat kesenian tersebut yaitu:

a) Tari Muwang Sangkal

Tari Muwang Sangkal adalah sebuah tarian yang

digunakan untuk menghalau musibah. Hal ini dikarenakan kata

muwang bermakna membuang, sedangkan sangkal31 adalah

kegelapan atau sesuatu yang berhubungan dengan setan atau

31 Dikutip dari buku Panduan Wisata Sumenep The Soul of Madura (Muslim et al., 2018: 98).

Page 190: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 167

jin. Pada zaman dahulu, cara masyarakat Madura di Kab.

Sumenep untuk menghalau musibah adalah dengan cara

menabur bherrâs konèng ‘beras kuning’. Namun, karena

proses menabur beras tersebut dianggap kurang indah,

akhirnya dibuatlah sebuah persembahan berupa tarian yang

gerak-geriknya mengambil dari

sinden dan topeng. Di dalam

tarian tersebut ada beberapa

gerakan, dua gerakan

pentingnya adalah gerak

muwang ‘membuang’ beras

kuning yang melambangkan

membuang musibah dan gerak

sompèng lanjâng yang ditandai

dengan tangan kanan ke arah

luar untuk menolak hal-hal buruk serta tangan kiri diletakkan

di dada yang bermakna hal-hal baik harus dimasukkan ke

dalam hati dan bukan sebaliknya.

Di dalam tari Muwang Sangkal terdapat atribut-atribut

yang berwarna dan warna tersebut menyimpan makna khusus

yang diyakini oleh masyarakat Madura di Kab. Sumenep.

Selanjutnya, atribut-atribut terpilih akan dianalisis

menggunakan segitiga semantik Richards dan Odgen untuk

mengetahui hubungan antara aspek bentuk dan aspek makna

yang terbentuk dalam atribut tersebut.

(1) Rapè’ ‘pakaian bagian atas’ berwarna kuning dan hijau

Bentuk kata rapè’ memiliki konsep yang dapat

dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara

denotatif, rapè’ merupakan pakaian bagian atas (atasan)

berbentuk susun yang digunakan oleh penari Muwang

Sangkal. Pakaian tersebut terbuat dari kain berbahan satin

Gambar 2. Penari Muwang Sangkal,

dok. Sanggar Tari Tresna Paddusan

Sumenep.

Page 191: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 168

dan berbentuk menyerupai gaun yang panjangnya

menyentuh lutut atau betis. Lumrahnya, pakaian ini

berwarna kuning dan hijau. Namun, ada juga penari yang

menggunakan perpaduan warna merah dan kuning

walaupun pemakaiannya jarang.

Secara kultural, warna

yang lumrah digunakan dalam

rapè’ adalah hijau dan kuning

karena kedua warna tersebut

memiliki filosofi penting bagi

orang Madura. Menurut salah

satu budayawan dan pemilik

sanggar seni yang di dalamnya

juga mengkhususkan pelatihan tari

Muwang Sangkal, “...bârna bhiru

konèng artèna warna matahari dan

bumi, arè bhumi” (warna hijau dan kuning bermakna

warna bumi dan matahari)32. Hal ini dikarenakan tari

Muwang Sangkal adalah tari penolak bala dan bala

dilambangkan dengan warna gelap atau hitam. Oleh sebab

itu, untuk melawan kegelapan dibutuhkan sesuatu yang

terang atau cahaya matahari sehingga digunakanlah warna

kuning. Selanjutnya, warna hijau merupakan lambang

tumbuh-tumbuhan yang hidup di bumi. Bumi adalah

tempat manusia hidup. Jadi, proses menolak bala dilakukan

agar manusia dapat hidup dengan tenang dan lancar di

muka bumi.

(2) Lâ-jhilâ ‘ikat pinggang’ berwarna hitam

Bentuk kata lâ-jhilâ memiliki konsep yang dapat

dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara

32 Penuturan informan: Bapak Akh. Darus, usia 63 tahun.

Gambar 3. Kalambhi

‘pakaian’, dok. penulis.

Page 192: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 169

denotatif, lâ-jhilâ merupakan atribut yang diikatkan di

pinggang penari Muwang Sangkal. Sabuk ini berwarna

dasar hitam dengan bagian tengah menjulur panjang seperti

lidah sehingga disebut sebagai lâ-jhilâ ‘menyerupai lidah’.

Secara kultural, warna

hitam pada lâ-jhilâ disamakan

dengan warna bayangan dan

organ tubuh manusia, yaitu hati

(berwarna gelap). Bayangan

adalah sesuatu yang ada namun

tidak bisa ditangkap atau

dipegang dengan tangan, “jâng-

bâjângan rèya bâdâ tapè tadâ’

(bayangan itu ada tetapi

tiada)”33. Bayangan yang dimaksud adalah bayangan milik

manusia. Hal ini dimaksudkan bahwa setiap manusia

memiliki hati dan perasaan. Namun, isi hati manusia tidak

bisa ditebak atau tidak ada yang tahu selain manusia itu

sendiri. Selanjutnya, apa yang dikatakan oleh manusia

tidak ada yang tahu kebenarannya. Oleh sebab itu,

janganlah berprasangka buruk atau menilai orang lain

dengan cepat sebab dapat mendatangkan pertikaian

(musibah).

(3) Bherrâs konѐng ‘beras kuning’ berwarna kuning

Bentuk frasa bherrâs konѐng memiliki konsep yang

dapat dideskripsikan secara denotatif maupun kultural.

Secara denotatif, beras kuning adalah salah satu

perlengkapan yang digunakan saat tari Muwang Sangkal

dimainkan. Beras kuning ini dimasukkan ke dalam bokor

lalu dipegang oleh para penari. Lalu, beras tersebut akan

33 Penuturan informan: Bapak Akh. Darus, usia 63 tahun.

Gambar 4. Lâ-jhilâ ‘ikat

pinggang’, dok. penulis.

Page 193: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 170

ditabur oleh para penari ketika memasuki gerakan muwang

‘membuang’. Proses menaburkan beras kuning merupakan

inti dari tarian Muwang Sangkal.

Secara kultural, beras

merupakan simbol dari

kesuburan dan warna kuning

pada bherrâs konѐng tersebut

bermakna sinar matahari,

“...konèng rèya bârna arè,

bârna sènar (kuning ini adalah

warna matahari, warna sinar)34”.

Jika tidak ada matahari dan

beras, maka makhluk hidup

tidak akan bisa melangsungkan

hidupnya. Selanjutnya, musibah yang ada di dalam

kehidupan manusia dilambangkan dengan warna gelap

(hitam) karena ketika musibah datang sama halnya dengan

tertutupnya harapan atau kehidupan (cahaya). Oleh sebab

itu, dengan membuang beras kuning sama halnya dengan

memberikan sinar kepada kegelapan sehingga manusia

dapat melanjutkan hidupnya dan terhindar dari musibah.

Dengan kata lain, membuang beras kuning sama halnya

dengan membuang malapetaka dan berharap datangnya

hal-hal baik pada kehidupan manusia.

b) Tari Ratib

Tari Ratib merupakan sebuah tarian khas Sumenep yang

dilakukan untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa agar

diturunkan hujan di atas tanah yang gersang. Tarian ini

dilakukan oleh masyarakat Desa Banasare, Kecamatan Rubaru.

Biasanya, tari Ratib dilakukan ketika masyarakat tengah

34 Penuturan informan: Bapak Akh. Darus, usia 63 tahun.

Gambar 5. Bherrâs konѐng

‘beras kuning’, dok. penulis.

Page 194: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 171

menanam jagung tetapi saat biji jagung mulai tumbuh, hujan

mendadak berhenti dan tidak kunjung datang kembali selama

beberapa waktu. Jadi, apabila curah hujan normal dan tidak

terjadi kekeringan, maka tarian Ratib tidak akan dilakukan.

Di dalam tari Ratib terdapat atribut yang berwarna dan

warna tersebut menyimpan makna khusus yang diyakini oleh

masyarakat setempat. Selanjutnya, atribut-atribut terpilih akan

dianalisis menggunakan segitiga semantik Richards dan Odgen

untuk mengetahui hubungan antara aspek bentuk dan aspek

makna yang terbentuk dalam atribut tersebut.

1. Kalambhi ‘pakaian’ berwarna hitam

Bentuk kata kalambhi memiliki konsep yang dapat

dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara

denotatif, kalambhi merupakan pakaian berwarna gelap

(hitam) yang dikenakan oleh penari Ratib. Pakaian ini

terdiri dari celana, baju, dan aksesoris kepala dengan warna

senada gelap.

Secara kultural,

warna gelap pada

pakaian penari Ratib

memiliki makna

khusus sehingga tidak

boleh diganti dengan

warna lain. Dalam

bahasa Madura, hitam

itu adalah celleng.

Kata celleng merupakan gabungan dari cel dan pelleng.

Cel adalah celleng ‘hitam’ yang mana “celleng itu

tatebbeng oleh bânnya’na dhusa. Tadhungdung oleh

rajâna maksiat. Katopoan belet dari tompo’anna dârâka

(hitam itu adalah hasil dari banyaknya dosa. Semakin

Gambar 6. Tari Ratib, dok. www.

lontarmadura.com

Page 195: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 172

tumbuh dengan besarnya maksiat. Tertutup dengan

setumpuk kedurhakaan)”35. Selanjutnya, pelleng bermakna

menuju kepada Yang Maha Kuasa.

Oleh karena itu, manusia sebagai tempatnya dosa

memohon ampunan kepada Tuhan sembari memohon agar

diturunkan hujan di atas tanah mereka. Selanjutnya, setelah

permohonan itu disampaikan, mereka mengembalikan

segala sesuatu hanya kepadaNya (pasrah).

c) Tokop ‘topeng’

Sama seperti beberapa daerah di Indonesia lainnya,

Pulau Madura khususnya Kab. Sumenep juga memiliki

kesenian topengnya sendiri. Pertunjukan topeng di Sumenep

umumnya disebut sebagai Topeng Dhalang ‘Topeng Dalang’.

Cerita yang diangkat dalam pertunjukan topeng tersebut adalah

seputar cerita rakyat dan pewayangan seperti Ramayana atau

Mahabrata.

Selain topeng Madura, di Provinsi Jawa Timur sendiri

juga terdapat seni topeng terkenal lainnya, yaitu topeng

Malangan. Topeng Madura dan topeng Malangan sebetulnya

hampir sama karena antara Madura dan Malang memiliki latar

kerajaan yang sama pada abad ke-13, yaitu kerajaan Singosari.

Namun walaupun demikian, kedua topeng tersebut tetap

memiliki perbedaan, seperti (1) cerita yang diangkat dalam

topeng Malangan umumnya adalah kisah hidup Panji,

sedangkan topeng Madura menceritakan cerita perwayangan

Ramayana dan Mahabrata, (2) layar yang digunakan saat

pertunjukan topeng Malangan umumnya polos, sedangkan

topeng Madura menggunakan layar dengan gambar semarak

untuk mendukung cerita yang diangkat, (3) para pemain

topeng Madura menggunakan ghungseng ‘gelang kaki’ yang

35 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.

Page 196: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 173

berbunyi untuk membuat pergerakan tokoh lebih ekspresif,

sedangkan pada topeng Malangan tidak ada. Selanjutnya, hal

yang paling membedakan adalah warna topeng yang

digunakan beserta karakter penokohan di baliknya.

Bagi masyarakat Madura khususnya di Kab. Sumenep,

lima warna dalam topeng dipercaya merupakan representasi

dari prinsip hidup masyarakat Madura di Kab. Sumenep. Lima

warna topeng beserta penokohannya tersebut dapat dijelaskan

menggunakan segitiga semantik Richards dan Odgen untuk

mengetahui hubungan antara aspek bentuk dan aspek makna

yang terbentuk di dalamnya.

(1) Gatot Kaca berwarna merah

Bentuk frasa Gatot Kaca memiliki konsep yang

dapat dideskripsikan secara denotatif maupun kultural.

Secara denotatif, Gatot Kaca adalah seorang karakter laki-

laki dalam topeng Madura yang dilambangkan dengan

warna merah.

Secara kultural, bagi orang

Madura, mèra ‘merah’

merupakan keratabasa yang

bermakna “maranta pangara,

maranta dunya akherat. Jadi,

barang siapa sè tako’ dha’ sokma

sè tèngghi kaanghuy atakwa ka

sè Kobhâsa, jerèya bakal ollè

duwa’ suarga, suarga dunnya

bân suarga akherat (merah

bermakna menyiapkan sesuatu untuk dunia dan akhirat.

Jadi, barang siapa takut akan Tuhan, maka ia akan

memperoleh dua surga, yaitu surga dunia dan surga

Gambar 7. Gatot Kaca, dok.

penulis.

Page 197: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 174

akhirat)”36. Dengan kata lain, manusia harus takut akan

Tuhan namun berani untuk membela kebenaran. Oleh

sebab itu, tokoh Gatot Kaca dilambangkan dengan warna

merah karena memiliki sifat pemberani dan tegas dalam

membela kebenaran. Sifat berani menjadi yang utama

dalam prinsip orang Madura. Hal ini jelas berbeda dengan

topeng Yogya karena karakter Gatot Kaca dilambangkan

dengan warna putih.

(2) Kresna berwarna hitam

Bentuk kata Kresna memiliki konsep yang dapat

dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara

denotatif, Kresna merupakan seorang karakter laki-laki

dalam topeng Madura yang dilambangkan dengan warna

hitam.

Secara kultural, Kresna

dalam perwujudannya di bumi

merupakan simbol dari Yang

Maha Kuasa. Hal ini dikarenakan

warna hitam bagi orang Madura

merupakan warna yang agung37.

Kata celleng ‘hitam’ merupakan

gabungan dari cel yang

bermakna hitam dan pelleng

yang bermakna menyatu kepada

Yang Maha Kuasa. Dalam budaya lain, warna hitam

identik dengan duka cita, namun bagi masyarakat Madura

di Kab. Sumenep hitam adalah warna yang agung karena

dipakai untuk mendeskripsikan sesuatu yang kuasanya

besar tetapi kasat mata. Salah satu informan

menyampaikan bahwa makna dari “Kres” itu adalah

36 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun. 37 Penuturan informan: Bapak Edhie Setiawan, usia 73 tahun.

Gambar 8. Kresna, dok.

penulis.

Page 198: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 175

menuju pada satu titik38. Titik yang dimaksud adalah

Tuhan sehingga hal-hal yang tujuannya tidak untuk Tuhan

ia tinggalkan. Dikarenakan kepatuhannya terhadap Tuhan

itulah Kresna menjadi sosok sakti dengan kemampuan

ma’rifatullah yang mampu menembus apapun.

(3) Arjuna berwarna hijau

Bentuk kata Arjuna memiliki konsep yang dapat

dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara

denotatif, Arjuna adalah seorang karakter laki-laki dalam

topeng Madura yang dilambangkan dengan warna hijau.

Secara kultural, menurut

orang Madura, Arjuna bisa

disebut sebagai Janoko atau

Janaka yang berasal dari kata

bahasa Arab jannatuka, suarga

odhi’na ba’na (surga

hidupmu)39. Arjuna akan

memperoleh kehidupan surga di

dunia maupun akhirat

dikarenakan Arjuna selalu

berjalan didampingi oleh sosok Semar. Bagi orang Madura

Semar merupakan keratabasa yang bermakna masemma’

ka sè samar atau mendekatkan dengan yang samar.

Maksud dari samar di sini adalah Tuhan, karena Tuhan

tidak berwujud dan tidak terlihat sehingga dikatakan

sesuatu yang samar namun sosokNya selalu ada. Dengan

sikap Arjuna yang selalu dekat dengan Tuhan, maka

Arjuna memiliki karakter-karakter yang dipercaya

membawa pada kebaikan, seperti bijaksana, jujur, dan adil.

Jadi, warna hijau yang melekat pada karakter Arjuna

38 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun. 39 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.

Gambar 9. Arjuna, dok.

penulis.

Page 199: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 176

direpresentasikan sebagai kehidupan yang harus selalu

memiliki hubungan unsur terhadap Yang Maha Kuasa.

“Bhiru urusan keakheratan, keagamaan. Labâng masjid,

keranda katèl. (Hijau urusan akhirat dan keagamaan.

Dipakai pada pintu masjid dan keranda)40”. Dengan kata

lain, orang Madura menganggap warna hijau sebagai

warna yang berhubungan dengan keagamaan atau

keakhiratan karena warna hijau banyak digunakan dalam

atribut keagamaan, seperti keranda tempat diletakkannya

jenazah sebelum menuju pada peristirahatan terakhir.

(4) Subadra berwarna kuning emas

Bentuk kata Subadra memiliki konsep yang dapat

dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara

denotatif, Subadra adalah seorang karakter perempuan

dalam topeng Madura yang dikisahkan dalam cerita

Mahabrata dan dilambangkan dengan warna kuning emas.

Berdasarkan cerita

dalam Mahabrata, Subadra

adalah sosok perempuan yang

cantik dan memiliki kekuasaan

besar. Subadra adalah lambang

keduniawian41. Hal ini

dikarenakan semua yang ada di

dalam diri Subadra merupakan

impian hampir semua manusia

terutama kaum perempuan,

yaitu memiliki paras yang

cantik, kaya, dan suami yang

tampan. Jadi, warna kuning emas yang melekat pada

Subadra bermakna keberhasilan duniawi.

40 Penuturan informan: Bapak R. Abdullah, usia 65 tahun. 41 Penuturan informan: Bapak Edhie Setiawan, usia 73 tahun.

Gambar 10. Subadra, dok. laman

internet

http://lakoci234.blogspot.com/201

2/11/face-of-indonesia.html

Page 200: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 177

Selain warna kuning

emas yang melambangkan

keduniawian, warna kuning juga

banyak dipakai sebagai warna

kebesaran bagi raja-raja di

Sumenep, misalnya dalam

lingkungan kerajaan Keraton

Sumenep yang ornamen-

ornamennya didominasi oleh

warna kuning. Dengan kata lain,

warna kuning emas dan kuning merupakan representasi

keberhasilan duniawi, kekuasaan, dan kejayaan dalam

hidup manusia.

(5) Semar berwarna putih

Bentuk kata Semar memiliki konsep yang dapat

dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara

denotatif, Semar adalah seorang karakter laki-laki dalam

topeng Madura yang dilambangkan dengan warna putih.

Secara kultural, bagi orang

Madura potè ‘putih’ merupakan

keratabasa yang bermakna penter

soccè budhi tèngghi ajhilarang

kakabhi monjhung (pintar, suci,

dan berbudi pekerti tinggi)42.

Oleh sebab itu, dalam penokohan

topeng Madura, Semar

merupakan sosok yang sangat

dijunjung tinggi dan diibaratkan

layaknya Ratoh Mâdhurâ ‘Raja Madura’ karena budi

pekerti atau akhlaknya yang sangat bagus, salah satunya

42 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.

Gambar 12. Semar, dok.

penulis.

Gambar 11. Bangunan Keraton

Sumenep, dok. penulis.

Page 201: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 178

perihal kejujuran yang patut dicontoh. Hal inilah yang juga

menjadikan Semar memiliki keratabahasa bagi orang

Madura yang bermakna masemma’ ka sè samar

‘mendekatkan dengan yang samar (Maha Pencipta)’ karena

orang-orang yang dekat dan dilindungi Tuhan adalah mere

ka yang berakhlak baik seperti sosok Semar.

2) Bangunan

Di dalam ranah bangunan ditemukan satu jenis bangunan

yang memiliki warna dengan makna dan tujuan khusus. Bangunan

tersebut ada dalam lingkungan Keraton Sumenep.

a) Keraton Sumenep

Kab. Sumenep merupakan satu-satunya Kab. di Pulau

Madura yang pada zaman dahulu memiliki bentuk

pemerintahan berupa kerajaan sehingga terdapat bangunan

keraton yang digunakan untuk tempat tinggal raja beserta

keluarganya. Adat istiadat atau kebiasan yang berlaku di

kalangan keraton atau priyayi Sumenep sangat kental dengan

kebiasaan kalangan keraton Surakarta dan Yogyakarta43. Hal

inilah yang mengakibatkan Kab. Sumenep dijuluki sebagai

Solonya Madura karena pengaruh keraton mengakibatkan

43 Dikutip dari buku Babad Modern Sumenep (Sebuah Telaah Historiografi) (Ahmad, 2018: 62).

Gambar 13. Lingkungan Keraton Sumenep, dok. penulis.

Page 202: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 179

masyarakat Sumenep menjadi masyarakat paling ramah dan

halus jika dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Madura.

Keramahan yang dimiliki oleh masyarakat Sumenep juga

direpresentasikan dalam lingkungan keraton, salah satunya

dengan adanya bangunan bernama Labâng Mѐsem yang

diterjemahkan sebagai pintu tersenyum.

(1) Labâng Mѐsem ‘pintu tersenyum’ berwarna kuning

Bentuk frasa Labâng Mèsem memiliki konsep yang

dapat dideskripsikan secara denotatif maupun kultural.

Secara denotatif, Labâng Mèsem merupakan sebuah pintu

gerbang utama yang digunakan untuk masuk ke dalam

lingkungan keraton Sumenep. Labâng Mèsem berasal dari

gabungan kata labâng yang bermakna pintu dan mèsem

yang bermakna tersenyum.

Secara kultural, pintu

tersebut dikatakan sebagai pintu

tersenyum karena bersinggungan

dengan prinsip masyarakat

Sumenep, yaitu “sapa-sapa sè

maso’a ka bengkona sapa’a bhâi

kodhu senyum ramah. Mangkana

bâdâ konèngnga. Kodhu ramah.

Harus senyum. Bahasa Arabba

assalamua’alaikum. Sè ajawab bân sè aberri’ salam pada-

pada ta’ makalowar gigi. Artèna, senyum. Artèna, mèsem

bhâsa Madhurana. (siapapun yang masuk ke rumah orang

harus tersenyum ramah. Itulah sebabnya bangunan tersebut

ditandai dengan warna kuning, harus ramah dan harus

senyum. Bahasa Arabnya assalamua’alaikum. Barang

siapa yang menjawab dan memberi salam setelahnya sama-

sama tidak menampakkan gigi yang artinya senyum dan

Gambar 14. Labâng Mèsem

‘pintu tersenyum’, dok. penulis.

Page 203: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 180

dalam bahasa Madura adalah mèsem)44”. Jadi, ketika

selesai memberi salam assalamua’alaikum dan menjawab

salam wa’alaikumsalam, posisi bibir yang memberi dan

menjawab salam adalah menutup atau tidak menampakkan

gigi pada penyebutan kum dan lam sehingga bagi

masyarakat Sumenep dianggap sebagai sebuah tanda

senyum keramahan.

Hal ini juga berlaku ketika masa pemerintahan raja

yang mana saat itu ketika ada tamu yang berkunjung ke

keraton, maka para abdi dalem akan berdiri di depan pintu

dan menyambut para tamu dengan senyuman. Senyuman

melambangkan bahwa orang Sumenep ini adalah orang

yang ramah dan bisa menerima perubahan45. Selain itu,

dalam filosofi Madura tamu adalah sesuatu yang harus

dihormati asalkan punya niatan baik46. Jadi, ramah

merupakan sikap yang wajib dimiliki oleh masyarakat

Sumenep terutama ketika harus menjamu tamu, baik tamu

yang berasal dari suku yang sama maupun tidak. Dengan

kata lain, bersikap ramah dilakukan dalam segala hal,

sekalipun menghadapi perbedaan dan keberagaman.

Oleh sebab itu, warna ornamen kuning pada

bangunan keraton selain bermakna kekuasaan dan kejayaan

juga memiliki makna keramahan, terutama warna kuning

yang melekat pada bangunan Labâng Mèsem. Warna

kuning yang bermakna kekuasaan dan kejayaan mengacu

pada karakter topeng Subadra, sedangkan warna kuning

yang bermakna keramahan mengacu pada keratabasa dari

kata konèng yaitu kolbu sè bennèng ‘hati yang bersih’47.

Salah satu bentuk dari kepemilikan hati yang bersih adalah

44 Penuturan informan: Bapak R. Abdullah, usia 65 tahun. 45 Penuturan informan: Ibu Meinarny Ferdiantina, usia 27 tahun. 46 Penuturan informan: Bapak Edhie Setiawan, usia 73 tahun. 47 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.

Page 204: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 181

dengan bersikap ramah terhadap orang lain dan tidak ngo’-

marongo’ atau ketus.

3) Transportasi

Di dalam ranah transportasi ditemukan satu jenis transportasi

laut yang memiliki warna dengan makna dan tujuan khusus, yaitu:

a) Parao ‘perahu’

Perahu merupakan alat transportasi yang digunakan oleh

orang Madura untuk melangsungkan hidup. Hal ini

dikarenakan matapencaharian utama mayoritas masyarakat

Madura di Kab. Sumenep dari zaman dahulu adalah nelayan

dan petani. Bahkan, orang Madura merupakan pelaut yang

tangguh. Pada abad ke 14 hingga 15, perahu-perahu orang

Madura sudah banyak terlihat di Malaka. Selain untuk

keperluan mencari ikan, perahu mereka juga dipercaya untuk

membawakan kayu dan hasil pertanian lainnya ke seluruh

penjuru negeri bahkan luar negeri.

Penggunaan perahu yang tidak serta-merta dalam jarak

dekat dan waktu yang sebentar membuat masyarakat Madura

di Kab. Sumenep sangat cermat dalam membuat perahunya.

Mereka masih mempercayai para leluhur untuk tidak

sembarangan dalam memilih kayu yang akan digunakan saat

membuat perahu. Orang Madura khususnya di pesisir

Gambar 15. Parao ‘perahu’ pesisir Ambunten, dok.

penulis.

Page 205: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 182

Ambunten sangat menghindari penggunaan kayu dari pohon

nangka untuk bahan perahu mereka. Hal ini dikarenakan di

dalam masyarakat Madura di Kab. Sumenep ada ca’-oca’an

‘ujaran’ nangka bhellis yang berupa keratabasa bermakna

nyangka sè mapeggelli ‘sangkaan yang membuat orang marah’

sehingga diyakini jika menggunakan kayu dari pohon nangka

maka akan abet sè ollèya ‘menghambat proses pencarian ikan

di laut’48 karena penuh dengan pikiran-pikiran negatif. Oleh

sebab itu, para nelayan yang membuat perahu cenderung

menggunakan kayu lain, seperti kayu jati.

Selain kayu yang digunakan dalam pembuatan perahu,

nelayan di pesisir Ambunten juga memperhatikan penggunaan

warna dari perahu mereka, terutama pada bagian bhâdhân

‘badan perahu’ yang didominasi oleh warna putih.

(1) Bhâdhân ‘badan perahu’ berwana putih

Bentuk kata bhâdhân memiliki konsep yang dapat

dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara

denotatif, bhâdhân atau badan merupakan bagian terluar

dari sebuah perahu. Di pesisir Ambunten, badan perahu

didominasi dengan warna putih.

Secara kultural, penggunaan warna putih pada badan

perahu di pesisir Ambunten dikarenakan mereka

memegang teguh filosofi Madura tanah kapur. Hal ini

48 Penuturan informan: Bapak Ainur Rahmad, usia 39 tahun.

Gambar 16. Bhâdhân parao ‘badan perahu’, dok.

penulis.

Page 206: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 183

dikarenakan tanah di Madura umumnya didominasi oleh

Kompleks Mediteran Merah dan Litosol yang berbahan

induk Batu Kapur dan Batu Pasir49. Tanah yang berbahan

induk batu kapur umumnya bersifat kering karena

persediaan air di dalamnya yang minim. Oleh sebab itu,

tidak semua jenis tanaman bisa tumbuh di tanah Madura

yang gersang. Namun, kondisi tersebut tidak menjadi

penghalang bagi masyarakat Madura di Kab. Sumenep

untuk memanfaatkan keadaan alam yang ada. Masyarakat

Madura di Kab. Sumenep menggali batu kapur dan

memanfaatkannya untuk kehidupan sehari-hari, salah

satunya untuk keperluan mewarnai dinding rumah dan

perahu.

Pada zaman dahulu orang Madura belum mengenal

alat pewarna kimia sehingga mereka memilih

menggunakan ghâmpèn ‘batu gamping’ atau batu kapur

untuk proses pewarnaan. Leluhur mereka yang menjadi

nelayan menggunakan adonan batu gamping untuk

memberikan warna dasar pada perahu. Adonan batu

gamping tersebut ternyata juga bermanfaat untuk menjaga

ketahanan kayu perahu supaya tidak cepat keropos dan

tidak ditumbuhi oleh lumut.

Selain untuk melestarikan tradisi dari para leluhur,

warna putih menjadi warna utama pada perahu di pesisir

Ambunten karena menurut salah satu informan50, “warna

putih lebih menyatu dengan laut, kemudian pantulan

cahayanya tidak menimbulkan rasa panas. Warna lain itu

cuma sebagai hiasan. Semua pada dasarnya putih”.

Dengan kata lain, prinsip hidup para nelayan di pesisir

Madura adalah ingin menyatu dengan laut (alam) sebab

49 Dikutip dari Supriyadi (2007: 124). 50 Penuturan informan: Bapak Akh. Darus, usia 63 tahun.

Page 207: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 184

mereka menggantungkan hidup dan memperoleh

penghidupan dari laut (alam) tersebut.

Hingga saat ini para nelayan di pesisir Ambunten

masih mewarnai badan perahu mereka dengan dominasi

dasar warna putih karena dianggap sebagai adat istiadat

para leluhur yang harus tetap diikuti. Selanjutnya, warna-

warna lain yang mendampingi warna putih hanyalah

sebagai hiasan yang disesuaikan dengan selera pemilik

perahu.

4) Kegiatan ritual

Di dalam ranah kegiatan ritual ditemukan dua jenis ritual

yang di dalamnya memiliki penggunaan warna dengan makna dan

tujuan khusus. Dua kegiatan tersebut yaitu:

a) Upacara Nyadhar

Di Kab. Sumenep khususnya

di Desa Kebundadap bagian barat

dan Desa Pinggir Papas setiap

tahunnya diadakan upacara

Nyadhar. Nyadhar sendiri berasal

dari kata nazar yang artinya janji

hendak berbuat sesuatu jika suatu

keinginan tercapai. Namun, kata

nazar tersebut oleh orang Madura

disebut sebagai nyadhar.

Upacara Nyadhar merupakan

bentuk tasyakuran yang dilakukan oleh masyarakat yang

berprofesi sebagai petani garam atas limpahan garam yang

diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Pada zaman dahulu, ada

seseorang bernama Anggasuto yang memohon kepada Tuhan

agar anak cucunya kelak bisa mendapatkan rezeki dan

Gambar 17. Kompleks

pemakaman Anggasuto

sekaligus tempat upacara

Nyadhar, dok. penulis.

Page 208: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 185

kehidupan yang layak. Anggasuto memohon petunjuk kepada

Tuhan dengan cara apa sumber penghidupan tersebut dapat

diberikan. Akhirnya, Anggasuto mendapat petunjuk dari

Tuhan untuk berjalan ke arah laut. Dengan izin Tuhan, bekas

kaki Anggasuto di pasir pantai berubah menjadi garam. Garam

tersebut lalu dikumpulkan sedikit demi sedikit hingga menjadi

banyak. Dari sanalah akhirnya Anggasuto bersama

keluarganya membuat tambak-tambak garam dan selanjutnya

juga mengajak penduduk sekitar untuk bertani garam. Setelah

kejadian tersebut Anggasuto bernazar jika hingga bulan depan

tambak-tambak air tersebut bisa menjadi garam, maka ia akan

membuat tasyakuran. Ternyata, selama tiga bulan berturut-

turut tambak air tersebut berhasil berubah menjadi garam. Hal

inilah yang menyebabkan upacara Nyadhar dilakukan selama

tiga kali dalam setahun.

Setiap tahunnya, upacara Nyadhar dilakukan pada

bulan ketujuh, kedelapan, dan kesembilan. Upacara tersebut

biasanya dilakukan pada hari Jumat dan Sabtu yang ditentukan

oleh para penghulu sesuai dengan pergeseran bintang yang

menandakan datangnya musim kemarau. Namun, penentuan

tanggal tidak boleh mendahului tanggal Maulid Nabi yang

menandakan bahwa acara yang paling utama adalah Maulid

Nabi daripada acara ritual lainnya.

Di dalam pelaksanaannya, upacara Nyadhar memiliki

beberapa atribut pendukung yang memiliki warna. Warna

tersebut tidak serta merta digunakan tanpa tujuan, melainkan

memiliki makna tertentu yang diyakini oleh para peserta

upacara Nyadhar.

(1) Cangghi ‘penutup sesajen’ berwarna merah

Bentuk kata cangghi memiliki konsep yang dapat

dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara

denotatif, cangghi merupakan penutup makanan yang

Page 209: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 186

dijadikan sebagai sesajen dalam upacara Nyadhar.

Cangghi terbuat dari anyaman rotan berwarna merah.

Pada hari pertama upacara Nyadhar, peserta ritual

melakukan ziarah di lingkungan pemakaman Anggasuto.

Kemudian, pada malam harinya para wanita akan

bersama-sama memasak nasi dan lauk-pauk yang

keesokan harinya akan digunakan sebagai sesajen. Nasi

tersebut nantinya akan diletakkan di atas panjeng

‘nampan’ serta ditutup dengan cangghi ‘penutup’ dan

selanjutnya pada esok hari akan diletakkan di area

pemakaman untuk didoakan bersama-sama. Setelah proses

selesai, sesajen akan dibagikan kepada peserta upacara.

Namun, nasi sesajen akan disisakan dan dikeringkan

menjadi karak. Karak tersebut nantinya akan dicampur

dalam beras yang dimasak setiap hari oleh masyarakat

agar berkah dari upacara Nyadhar terus mengalir setiap

harinya.

Secara kultural, penggunaan warna merah pada

cangghi dilatarbelakangi oleh beberapa tujuan. Pertama,

warna merah melambangkan keberanian dari Anggasuto

“...berani, bengal atarong, bengal aperang. Mbah

Anggasuto rèya bangal aperang, cara jarèya. (berani

Gambar 18. Cangghi ‘penutup sesajen’, dok. Dinas

Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kab.

Sumenep

Page 210: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 187

bertarung. Mbah Anggasuto ini berani bertarung)51”. Hal

ini dikarenakan pada zaman dahulu pasukan Bali datang

ke Sumenep untuk melakukan balas dendam atas

terbunuhnya Raja Blambangan bernama Menak

Jayengpanti yang tewas terbunuh karena tidak sudi

membayar upeti kepada Majapahit. Pasukan Bali tersebut

melakukan berbagai kekacauan hingga menjatuhkan

banyak korban. Namun, rakyat Sumenep tetap melakukan

perlawanan meskipun rajanya telah gugur dalam perang

tersebut. Hingga akhirnya pemimpin pasukan Bali

bernama Kebo Jawu dan raja Bali tewas terbunuh di

tangan pasukan Sumenep. Melihat pemimpinnya terbunuh,

pasukan tentara Bali yang tersisa ketakutan hingga banyak

di antara mereka memilih untuk bunuh diri dan sisanya

melarikan diri ke daerah Pinggir Papas. Di Pinggir Papas

pasukan Bali ditolak karena masyarakat takut jika mereka

kembali membuat kekacauan. Namun, Anggasuto

memberanikan diri untuk menjamin dan melindungi

mereka hingga akhirnya pasukan Bali tersebut

diikutsertakan menjadi petani garam dan juga diislamkan.

Kedua, warna merah pada cangghi mengibaratkan

nafsu amarah yang dimiliki oleh manusia. “Maksoddhâ

rowa nak, bârna mèra rowa anggap amarah, napso

amarah. Essena dâlem rowa kan nasè’. Nah rowa ibarat

ummat. Amarahna manossa kan pada andhi’ kabbi napso

amarah. (Maksudnya, warna merah itu mengibaratkan

nafsu amarah. Yang ditutupi cangghi itu kan nasi, nasi

ibarat manusia. Jadi, amarah yang dimiliki oleh

manusia)52”. Setiap manusia diyakini memiliki nafsu

amarah yang setiap hari menyelimuti kehidupannya. Agar

nafsu amarah tersebut bisa dikendalikan dan tidak

51 Penuturan informan: Bapak Mathor, usia 76 tahun. 52 Penuturan informan: Bapak Amiluddin, usia 53 tahun.

Page 211: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 188

menimbulkan hal-hal negatif, maka perlu adanya

salameddân ‘selamatan’ dengan menghaturkan doa

kepada Yang Maha Kuasa. Hal ini juga dilakukan agar

para petani garam tidak sombong atas limpahan hasil yang

didapatkan, serta tidak berburuk sangka pada Tuhan dan

selalu bersabar jika hasil yang didapatkan tidak sesuai

keinginan.

(2) Racok saѐbu ‘pakaian seribu warna’ berwarna merah,

cokelat tua, cokelat muda, hitam, dan bintik merah

Bentuk frasa racok

saѐbu memiliki konsep

yang dapat

dideskripsikan secara

denotatif maupun

kultural. Secara

denotatif, racok saѐbu

merupakan sebutan

untuk pakaian yang

dikenakan oleh para

penghulu dalam upacara

Nyadhar. Racok bermakna campuran, sedangkan saѐbu

bermakna seribu. Jadi, racok saѐbu merupakan sebuah

pakaian yang memiliki banyak perpaduan warna, yaitu

merah, cokelat tua, cokelat muda, hitam, dan bintik-bintik

merah.

Dalam upacara Nyadhar ada empat penghulu yang

berfungsi untuk menentukan waktu dilaksanakannya

upacara Nyadhar. Selain itu, para penghulu tersebut juga

bertugas untuk menghitung jumlah panjeng ‘nampan’

yang dikeluarkan sebagai sesajen. Konon katanya, dengan

menghitung panjeng ‘nampan’, para penghulu dapat

Gambar 19. Pakaian Racok Sѐbu ‘seribu

warna’ yang dikenakan oleh penghulu,

dok. Dinas Pariwisata, Kebudayaan,

Pemuda dan Olahraga Kab. Sumenep.

Page 212: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 189

mengetahui siapa saja yang tidak hadir dan melakukan

upacara Nyadhar sendiri di rumah.

Keempat penghulu tersebut mengenakan pakaian

bernama racok saѐbu dengan berbagai warna yang

memiliki maksud. “Rasogan racok saѐbu. Menangka

arowa nak, menangka ekaghabay apa ye ѐkaghabay nger-

tatènger. (Pakaian racok saѐbu digunakan sebagai

tanda)53”. Tanda yang ingin disampaikan dari penggunaan

tersebut adalah tanda untuk menggambarkan keadaan alam

dan dunia yang dihuni oleh manusia. “Maksoddhâ sè

kalambi rowa èpamacem warna èssèena alam dunnya kan

amacem-macem. (Berbagai macam warna tersebut

menggambarkan keadaan alam dunia yang beragam)54”.

Pertama, warna merah merupakan simbol matahari yang

memiliki arti adanya kehidupan. Hal ini dikarenakan

ketika matahari terbit, warna cahayanya adalah kuning

kemerahan. Kedua, cokelat tua merupakan simbol tanah

tempat manusia berpijak. Ketiga, warna cokelat muda atau

krem merupakan simbol dari musim kemarau yang

biasanya ditandai dengan mengeringnya dedaunan

sehingga berubah warna menjadi cokelat. Keempat, warna

hitam merupakan simbol musim penghujan yang biasanya

ditandai oleh awan yang menghitam. Terakhir, warna

putih bintik-bintik merah merupakan simbol dari

pancaroba atau pergantian musim dari hujan ke kemarau.

Hal ini dikarenakan merah menggambarkan terbitnya

matahari (musim kemarau).

Kelima warna di atas merepresentasikan unsur-unsur

yang selalu dihadapi oleh para petani garam. Dalam proses

pembuatan garam, para petani sangat bergantung pada

53 Penuturan informan: Bapak Mathor, usia 76 tahun. 54 Penuturan informan: Bapak Amiluddin, usia 53 tahun.

Page 213: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 190

cuaca (musim kemarau), matahari, dan tanah untuk dapat

menghasilkan garam yang melimpah. Namun, terkadang

dalam prosesnya, para petani juga mengalami hambatan,

seperti tadâ’ nèmor ‘tidak ada kemarau’ karena curah

hujan yang tinggi hingga mengakibatkan tidak adanya

produksi garam dalam waktu tertentu.

b) Upacara pernikahan

Budaya Madura menggariskan bahwa untuk memasuki

lingkungan sosialnya setiap insan manusia Madura perlu

menjalani serangkaian upacara peralihan kehidupan55. Upacara

peralihan kehidupan tersebut meliputi upacara yang berkaitan

dengan kelahiran, perkawinan, dan kematian. Upacara

perkawinan menjadi salah satu upacara yang sangat penting

bagi masyarakat Madura karena dianggap merupakan prosesi

untuk memperluas persaudaraan.

Prosesi pernikahan di Madura terdiri dari beberapa

tahapan56, antara lain (1) ngangini yaitu keluarga pihak pria

mencari tahu apakah pihak wanita yang diinginkan masih

belum memiliki pasangan, (2) arabhâs paghâr yaitu keluarga

calon mempelai pria untuk pertama kalinya bertandang ke

rumah calon mempelai wanita, (3) alamar yaitu rombongan

keluarga calon mempelai pria akan mengantar barang bawaan

ke rumah calon mempelai wanita, (4) ater tolo yaitu calon

mempelai pria mengantarkan hadiah lebaran kepada calon

mempelai wanita pada saat masa bertunangan dan memasuki

hari lebaran, (5) nyeddek temmo yaitu keluarga calon

mempelai pria mengutus sesepuh untuk berkunjung ke rumah

calon mempelai wanita untuk membicarakan waktu

pernikahan, (6) sè-bhersè yaitu perawatan untuk calon

55 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 83). 56 Dikutip dari rangkuman Upacara Perkawinan Adat Madura (Khas Keraton Sumenep) (Tim

Penggerak PKK Kab. Sumenep, 2016: 3-12).

Page 214: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 191

pengantin wanita sekaligus prosesi siraman, (7) malem ngin-

tanggin yaitu acara yang dilakukan oleh pihak mempelai

wanita berupa berkumpul bersama keluarga dan kerabat untuk

doa bersama dan persiapan sebelum acara inti, (8) akad nikah

yaitu calon mempelai pria diarak menuju rumah calon

mempelai wanita, dan (9) resepsi pernikahan.

Resepsi pernikahan yang diadakan oleh masyarakat

Sumenep terbilang cukup beragam jika dilihat dari pakaian

yang dikenakan. Namun, salah satu pakaian adat Sumenep

dalam pernikahan yang paling tersohor adalah leghâ. Warna

pakaian leghâ memiliki makna filosofis yang diyakini oleh

masyarakat Sumenep.

(1) Leghâ berwarna kuning dan merah

Bentuk kata leghâ memiliki konsep yang dapat

dideskripsikan secara denotatif maupun kultural. Secara

denotatif, leghâ merupakan pakaian adat dalam pernikahan

Sumenep yang berkembang dari zaman keraton. Pakaian

ini memiliki dua jenis perpaduan warna, yaitu kuning dan

merah, serta kuning dan hijau. Pakaian leghâ mirip dengan

kostum penari Muwang Sangkal karena memang kostum

Muwang Sangkal mengacu pada pakaian adat tertinggi di

Sumenep, yaitu pakaian adat pernikahan leghâ.Terciptanya

pakaian leghâ bermula ketika pada zaman dahulu ada

seorang raja Madura yang akan alalampan ‘mengikuti’

perang ke tanah Jawa. Raja tersebut memiliki seorang putri

yang sudah bertunangan. Sang raja khawatir akan terjadi

sesuatu yang tidak diinginkan (tewas dalam medan perang)

saat meninggalkan putrinya untuk berperang. Akhirnya,

sang raja segera menikahkan putrinya tersebut secara

sederhana dan tidak banyak diketahui orang. Sepulangnya

dari medan perang, sang putri ternyata hamil. Namun, sang

putri tidak mau mengumumkan kehamilannya sebelum

Page 215: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 192

mengadakan acara resepsi atau diarak berkeliling kota

karena khawatir rakyatnya akan berpikiran negatif,

misalnya menduga sang putri hamil di luar nikah.

Akhirnya, sang raja mengutus patinya untuk menciptakan

sebuah pakaian

pernikahan yang tidak

akan menampakkan jika

sang putri sedang

mengandung. Oleh sebab

itu, terciptalah sebuah

pakaian bernama leghâ

yang berbentuk rapѐ’

‘susun’ sehingga tidak

akan menampakkan

kondisi perut yang sudah

membesar walaupun

sedang mengandung

hingga 5 bulan. Namun, saat ini pakaian leghâ dapat

digunakan oleh siapa saja dan tidak harus pengantin

perempuan yang sudah hamil dan menunda acara resepsi

seperti cerita di atas. Pakaian leghâ pun kini menjadi

pakaian adat tertinggi yang diagungkan oleh masyarakat

Sumenep dalam adat pernikahan.

Dalam penggunaannya, pakaian leghâ memiliki dua

jenis perpaduan warna pada bagian rapѐ’-nya, yaitu kuning

dan merah, serta kuning dan hijau. Makna yang terkandung

dalam perpaduan warna tersebut adalah57 perpaduan warna

kuning dan merah disebut sebagai podang nyocco’ sarѐ

‘burung kepudang memakan sari’. Jadi, warna kuning

menggambarkan burung kepudang yang memiliki bulu

indah berwarna kuning, sedangkan warna merah

57 Penuturan informan: Bapak Amin Jakfar, usia 64 tahun.

Gambar 20. Pakaian pengantin leghâ,

dok. pernikahan R. Gita Yulianugerah

Defi dan Mohammad Iqbal Alma'ruf.

Page 216: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 193

menggambarkan sari-sari bunga. Perpaduan warna tersebut

merepresentasikan seorang raja yang sedang bersenang-

senang karena menemukan sari bunga yang rasanya manis.

Selanjutnya, perpaduan warna kuning dan hijau disebut

sebagai podang nyocco’ dâun ‘burung kepudang memakan

daun’. Jadi, warna kuning menggambarkan burung

kepudang yang memiliki bulu indah berwarna kuning,

sedangkan warna hijau menggambarkan dedaunan.

Perpaduan warna tersebut merepresentasikan seorang raja

yang sedang marah atau tidak bahagia karena rasa daun

yang pahit dan tidak memiliki rasa manis seperti sari

bunga. Oleh sebab itu, dalam acara pernikahan banyak

pengantin yang lebih memilih menggunakan rapѐ’

berwarna kuning dan merah karena mengetahui makna

filosofisnya. Namun, juga ada beberapa pengantin yang

memilih perpaduan kuning dan hijau karena faktor

keindahan warnanya dan tidak begitu mempermasalahkan

makna yang terkandung.

5) Kuliner

Di dalam ranah kuliner ditemukan satu jenis makanan yang di

dalamnya memiliki penggunaan warna dengan makna dan tujuan

khusus, yaitu:

a) Bubur

Bagi masyarakat Madura, makanan bukan hanya untuk

mengobati rasa lapar semata, melainkan bisa juga dijadikan

sebagai atribut untuk tujuan tertentu. Salah satu jenis makanan

yang banyak digunakan dalam acara-acara penting seperti

acara ritual atau selamatan adalah bubur. Umumnya, bubur

yang digunakan oleh masyarakat Madura adalah bubur yang

terbuat dari beras putih atau yang biasa disebut sebagai tajhin

ghendar ‘bubur beras putih’. Jenis-jenis bubur yang sering

Page 217: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 194

digunakan oleh masyarakat Madura khususnya di Kab.

Sumenep dalam memperingati hari penting antara lain ialah (1)

tajhin mèra potè ‘bubur merah putih’ untuk memperingati

masuknya bulan Safar, (2) tajhin sora ‘bubur sura’ dari untuk

memperingati masuknya bulan Muharam, dan (3) tajhin

sanapora (lѐma’ bârna) ‘bubur lima warna’ untuk

memperingati beberapa acara penting, seperti ketika akan

membuat rumah dan turun ke sawah. Di antara ketiga jenis

bubur tersebut, bubur lima warna diyakini oleh masyarakat

Sumenep melambangkan unsur-unsur kehidupan dalam diri

manusia.

(1) Tajhin sanapora atau lѐma’ bârna ‘bubur lima warna’

berwarna hitam, putih, merah, kuning, dan hijau

Bentuk frasa tajhin sanapora memiliki konsep yang

dapat dideskripsikan secara denotatif maupun kultural.

Secara denotatif, tajhin sanapora adalah bubur yang

terbuat dari beras dan terdiri dari lima warna, yaitu hitam,

putih, merah, kuning, dan hijau. Bubur ini biasanya

disajikan untuk beberapa acara seperti, selamatan rumah,

selamatan desa, selamatan kelahiran bayi, selamatan

memulai menanam di sawah dan lain-lain. Bubur ini

nantinya diletakkan berdasarkan titik mata angin. Secara

alamiah, warna pada bubur putih terbuat dari beras, warna

pada bubur merah terbuat dari campuran kunyit dan batu

kapur, warna pada bubur kuning terbuat dari kunyit, warna

pada bubur hijau terbuat dari pandan, dan warna pada

bubur hitam terbuat dari ketan hitam atau arang yang

dihaluskan.

Page 218: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 195

Peletakan kelima

bubur tersebut ditentukan

oleh filosofis orang

Madura dalam memaknai

arah mata angin. Pertama,

arah utara bagi orang

Madura disebut sebagai

dâjâ atau olo ‘hulu’,

sedangkan selatan disebut

sebagai lao’ atau onjhur

‘hilir’. Bagi orang Madura

terdapat ujaran tadâ’ aѐng aghili ka olo ‘tidak ada air

mengalir ke hulu’ karena air pasti akan mengalir ke hilir.

Oleh sebab itu, bubur berwarna hitam diletakkan di utara

atau hulu, sedangkan bubur berwarna merah diletakkan di

selatan atau hilir. Hal ini dikarenakan semua yang ada di

dalam hidup manusia berasal atau mengalir dari Tuhan.

Bagi orang Madura, celleng selain bermakna hitam juga

bermakna pelleng yang berarti menyatu pada Yang Maha

Kuasa. Dengan kata lain, hitam bermakna Tuhan.

Selanjutnya, bubur warna merah diletakkan di selatan

karena mѐra ‘merah’ bagi orang Madura bermakna

apangara ‘membuat usaha atau berusaha’. Dalam hidup ini

manusialah yang harus berusaha dan selalu semangat

dalam menjalani hidup. Jadi, arah mata angin dan

peletakan bubur warna tersebut menggambarkan bahwa

apapun yang terjadi di dalam hidup manusia asalnya dari

Tuhan dan manusia dalam menjalani hidup harus terus

berusaha serta memasrahkan hasilnya pada Yang Maha

Kuasa.

Kemudian, arah timur dalam bahasa Madura disebut

sebagai tèmor yang bermakna kehidupan karena

Gambar 21. Tajhin Sanapora ‘bubur

lima warna’, dok. penulis.

Page 219: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 196

merupakan arah terbitnya matahari. Bubur warna putih

diletakkan pada arah ini karena potè ‘putih’ bermakna

bersih dan suci layaknya seorang bayi yang baru lahir,

karena memang tidak punya apa-apa. Lalu, arah barat

dalam bahasa Madura disebut sebagai bârâ’ yang

bermakna kematian karena merupakan arah terbenamnya

matahari. Bubur warna kuning diletakkan pada arah ini

karena bagi orang Madura konèng merupakan keratabasa

yang bermana kolbu sè bennèng ‘hati yang bersih’. Jadi,

manusia diharapkan sebelum menemui ajalnya sudah

mempersiapkan amal kebaikan dengan cara memelihara

hati yang bersih semasa hidupnya. Terakhir, bagian tengah

dalam bahasa Madura disebut sebagai tengnga. Pada

bagian ini bubur yang diletakkan adalah bubur berwarna

bhiru ‘hijau’ karena orang Madura memaknai bhiru

dengan meminjam makna kosakata bahasa Arab yang

hampir menyerupai yaitu al-birr yang bermakna kebajikan.

Dengan demikian, di harapkan kehidupan manusia

berpusat pada kebaikan.

Jadi, penggunaan bubur sanapora adalah sebagai

simbol atau perwujudan untuk meminta kepada Yang

Kuasa agar apa yang dilakukan mendatangkan kebaikan,

misalnya saat selesai membangun rumah baru atau ketika

akan memulai menggarap sawah.

3. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya penamaan warna

dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep

Munculnya penamaan warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep

tidak serta merta terjadi begitu saja. Penamaan tersebut dapat dipengaruhi

oleh beberapa faktor. Dalam hal ini, faktor tersebut dibagi menjadi 4

bagian, yaitu faktor geografis, faktor kemasyarakatan, faktor spiritual, dan

faktor tradisi.

Page 220: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 197

a. Faktor geografis kedekatan masyarakat Madura di Kab. Sumenep

dengan alam

Pulau Madura adalah pulau yang memiliki panjang ± 190 km2

dan jarak terlebar pulau 40 km2 serta 5.304 km2 sebagai luasnya58.

Batas Pulau Madura di sebelah utara dan timur adalah Laut Jawa,

sedangkan di sebelah selatan dan barat adalah Selat Madura. Kab.

Sumenep sendiri memiliki batas wilayah sebelah selatan dengan Selat

Madura, sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah barat dengan Kab.

Pamekasan, dan sebelah timur dengan Laut Jawa dan Laut Flores59.

Tanah di Pulau Madura berbahan induk dari batu kapur, batu pasir,

dan batuan endapan. Oleh sebab itu, tanah di pulau tersebut cenderung

kering dan tandus. Bahkan, curah air hujan di Madura terbilang lebih

rendah dari daerah lain sehingga untuk bercocok tanam pun harus

benar-benar teliti dalam memilih jenis tumbuhan yang akan ditanam.

Namun, walaupun keadaan tanah kurang subur, masyarakat

Madura tidak kehabisan akal untuk tetap memanfaatkan keadaan alam

yang ada. Bagi mereka, bagaimanapun keadaan alam adalah

pemberian dari Yang Maha Kuasa sehingga harus disyukuri dengan

cara dimanfaatkan sebaik mungkin. Jadi, di tanah yang kurang subur

tersebut mereka membuat sawah tadah hujan yang ditanami oleh

tembakau untuk keperluan industri kretek. Selain itu, karena besarnya

tekanan penduduk yang haus akan lahan pertanian, di penghujung

abad XIX sebagian besar pulau termasuk puncak-puncak

bebukitannya telah dikonversikan menjadi tegalan untuk

membudidayakan tanaman pangan seperti jagung, ubi kayu, kacang-

kacangan, dan palawija lainnya60. Berbanding terbalik dengan

keadaan lahan pertanian yang kurang subur, keadaan ekosistem laut di

Pulau Madura justru sangat baik. Bahkan, Kab. Sumenep merupakan

Kab. di Madura yang memiliki potensi perikanan dan kelautan yang

58 Menurut Syamsuddin (2007: 150) 59 Dikutip dari laman http://sumenepkab.go.id/page/letak-geografis (11 Agustus 2019). 60 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 25).

Page 221: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 198

cukup besar61. Hal ini tentu turut dipengaruhi oleh letak geografis

Pulau Madura dan Kab. Sumenep yang berbatasan langsung dengan

laut dan selat.

Pengaruh letak geografis tersebut juga membuat masyarakat

Madura di Kab. Sumenep sangat bersahabat dengan alam. Bagi

mereka yang hidup di pesisir, laut ibarat milik mereka karena dalam

kesehariannya mereka abhântal ombâ’ asapo’ angѐn ‘berbantal

ombak berselimut angin’ yaitu “...odhi’na neng tasè’ dhâddhi ngakan

è tasè’, mandi è tasè’, cara jarèya maksudnya, semuanya dengan

alam. Di dekatnya, nyarè kakan è tasè’, tedhung è jadiya kèya. (hidup

di laut, makan di laut, mandi di laut, semuanya di alam. Mencari

makanpun di laut, tidur pun di laut)62. Begitu pula dengan mereka

yang hidup jauh dari laut dan memilih untuk bercocok tanam.

Bercocok tanam bukan hanya perihal menanam, tetapi juga kembali

kepada Yang Maha Kuasa63. Dengan kata lain, filosofi menanam

adalah bersyukur atas apa yang telah Tuhan beri dengan

memanfaatkan, merawat, dan mengembalikan hasilnya kepada Sang

Maha Pemberi.

Kedekatan masyarakat Madura di Kab. Sumenep dengan alam

juga menambah sistem pengetahuan mereka, seperti ilmu

perbintangan untuk melaut, ilmu perikliman untuk bercocok tanam,

dan penggunaan penamaan warna dalam kehidupan sehari-hari. Dari

205 satuan lingual warna yang ditemukan di lapangan, ada 88 nama

warna yang beratribut alam atau dimetaforakan dengan alam meliputi

nama buah, bunga, pepohonan, sayuran, biji-bijian, rempah, dedaunan,

dan benda lingkungan alam. Misalnya, (1) nama warna beratribut

buah pada frasa konѐng kraè ‘kuning blewah’, (2) nama warna

beratribut bunga pada frasa mѐra nojeh ‘merah bunga pukul empat’,

(3) nama warna beratribut pohon pada frasa cokklat jhâteh ‘cokelat

jati’, (4) nama warna beratribut sayuran pada frasa bungo terong

61 Menurut Suhartatik (2018: 109). 62 Penuturan informan: Bapak Zainal Abidin, usia 67 tahun. 63 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun

Page 222: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 199

‘ungu terong’, (5) nama warna beratribut biji-bijian pada frasa mѐra

jhâgung ‘merah jagung’, (6) nama warna beratribut rempah pada frasa

konѐng temolabâk ‘kuning temulawak’, (7) nama warna beratribut

dedaunan pada frasa potѐ bhâkoh ‘putih tembakau’, serta (8) nama

warna beratribut benda lingkungan alam pada frasa potѐ kapor ‘putih

kapur’, bhiru laot ‘biru laut’, dan mѐra arѐ ‘merah matahari’. Selain

itu, ada juga nama warna yang dalam penyebutannya tidak

menggunakan unsur warna, melainkan dimetaforakan pada rempah

seperti konyѐ’ bucco’ ‘kunyit busuk’ dan buah seperti sabu matta

‘sawo mentah’.

Mendominasinya leksikon warna beratribut alam dalam bahasa

Madura di Kab. Sumenep tentu tidak semata-mata terjadi begitu saja.

Orang Madura memahami dunianya melalui apa-apa yang ada di

sekitarnya64. Salah satunya adalah melalui tumbuhan atau alam yang

ada dan hidup di sekeliling mereka. Orang Madura menyukai warna-

warna terang atau mencolok juga karena berhubungan dan berkiblat

pada alam. “...kodhuna. Alam, èntar ka alam. Tekka’ penter aghâbây

kapal ta’ èkakan, sè èkakan alam. Kakabbi, jenderal bân presiden

ngakan tombuna? Tombu ka tana. Pakanna padâ. (semua harus

kembali pada alam. Filosofinya, walaupun hebat dalam membuat

kapal, kapal tidak bisa dimakan, yang bisa dimakan adalah hasil alam.

Semua, termasuk jendral dan presiden yang dimakan adalah alam. Ke

manakah nanti mereka akan bermuara? Sama-sama bermuara di tanah,

kembali pada tanah, jenis makanannya sama dari alam)65. Jadi,

munculnya penamaan warna yang berhubungan dengan alam

disebabkan masyarakat Madura di Kab. Sumenep keberadaannya

secara geografis dekat dengan alam dan filosofi hidup mereka sangat

berpegang teguh pada alam. Bahkan, ada satuan lingual penanda

warna yang disebut sebagai bhiru alam ‘hijau alam’66 untuk

mendeskripsikan warna hijau seperti warna tumbuh-tumbuhan yang

64 Menurut Azhar (2017: 230). 65 Penuturan informan: Bapak R. Abdullah, usia 65 tahun. 66 Penuturan informan: Bapak Taufan Febriyanto, usia 33 tahun.

Page 223: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 200

ada di sekitar mereka. Dengan kata lain, munculnya penamaan warna

dapat mengacu pada hal-hal yang paling dekat dengan tempat mereka

tinggal, salah satunya keberadaan alam.

b. Faktor kemasyarakatan matapencaharian masyarakat Madura di Kab.

Sumenep

Sejak dulu, matapencaharian utama masyarakat Madura adalah

bertani. Biasanya, mereka bertani ketika musim penghujan untuk

menanam padi dan palawija seperti jagung serta kacang-kacangan di

sawah tadah hujan. Namun, karena curah hujan di Pulau Madura tidak

terlalu tinggi dan tanahnya tandus sehingga masyarakat Madura perlu

mencari matapencaharian lain ketika memasuki musim kemarau. Jadi,

para petani biasanya juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai

peternak seperti beternak sapi, kambing, ayam, dan itik. Lalu, sebagai

masyarakat yang mendapatkan sebutan sebagai suku bangsa keturunan

Sang Segara67 karena sangat dekat dengan laut, maka

matapencaharian lain yang ditekuni oleh masyarakat Madura adalah

melaut terutama bagi mereka yang bermukim di daerah pesisir.

Selanjutnya, matapencaharian lain yang ditekuni oleh

masyarakat Madura adalah berdagang. Matapencaharian ini tidak

hanya dilakukan di Pulau Madura itu sendiri, melainkan menjadi

pekerjaan utama bagi para perantau Madura. Biasanya, mereka

menjual apa saja mulai dari bidang kuliner seperti soto dan sate,

hingga baju serta besi tua. Selain itu, matapencaharian lain yang juga

banyak ditekuni oleh orang Madura adalah menjadi guru. Hal ini

dikarenakan salah satu prinsip hidup orang Madura ialah bhuppa’

bhâbbu’ ghuru rato ‘bapak, ibu, guru, ratu’. Artinya, selain taat

kepada Tuhan dan orang tua, masyarakat Madura wajib taat kepada

guru. “...bilâ can guru sènga’ kana’, itu semua taat. (kalau kata guru

tidak boleh, maka semua akan patuh)68. Jadi, guru dianggap sebagai

profesi yang sangat mulia dan terhormat sehingga banyak orang tua

67 Dikutip dari buku Manusia Madura (2007: 66). 68 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.

Page 224: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 201

berbondong-bondong ingin menjadikan anaknya sebagai tenaga

pendidik. Selain beberapa matapencaharian di atas, hingga saat ini

masyarakat Madura terus mengeksplor diri sehingga banyak menekuni

profesi-profesi lain sesuai dengan keahliannya.

Selain sebagai sarana untuk menafkahi diri dan keluarga,

ternyata matapencaharian yang ditekuni oleh masyarakat Madura di

Kab. Sumenep juga berdampak pada penamaan warna yang digunakan

dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terbukti dari leksikon yang

digunakan oleh para informan ketika menyebut nama warna yang

mana turut mencerminkan lingkungan atau profesi yang sedang

ditekuni. Misalnya, pada informan [In.03/21.11.2018] yang berprofesi

sebagai petani. Dari 26 leksikon warna yang berhasil disebutkan, ada

6 leksikon warna yang berhubungan dengan tanaman yang ditaman

oleh petani tersebut dan leksikon tersebut tidak ditemukan pada

informan lain, yaitu mèra jhâghung ‘merah jagung’, bhiru arta’ ‘hijau

kacang hijau’, bhiru rantѐh ‘hijau tomat’, potè bhâkoh ‘putih

tembakau’, konѐng jhâghung ‘kuning jagung’, dan celleng bhâkoh

‘hitam tembakau’.

Selanjutnya, pada informan [In.06/22.11.2018] yang berprofesi

sebagai pengusaha batik dan pembatik. Dari 26 leksikon warna yang

disebutkan, ada 2 leksikon yang berhubungan dengan hal-hal yang

digunakan dalam dunia perbatikan, yaitu bhiru alam ‘hijau alam’

karena proses pewarnaan batik yang bersifat alami mengambil bahan-

bahan dari alam seperti dedaunan dari daun ketapang, daun tarum, dan

lainnya, sehingga leksikon tersebut sangat familier di kalangan

pembatik. Selain itu ditemukan pula leksikon cokklat mahoni ‘cokelat

mahoni’ yang disebabkan pewarnaan alami batik untuk menciptakan

warna cokelat tua adalah menggunakan kulit pohon mahoni.

Kemudian, pada informan [In.10/23.11.2018] yang berprofesi

sebagai ibu rumah tangga. Dari 58 leksikon warna yang disebutkan

ada 9 leksikon yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari

informan sebagai ibu rumah tangga. Misalnya, bhiru SMP ‘biru rok

Page 225: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 202

SMP’ yaitu warna biru yang terinspirasi dari warna rok atau celana

siswa SMP. Pada bagian ini diinterpretasikan warna bhiru SMP ‘biru

rok SMP’ muncul karena informan tersebut sering memiliki interaksi

dengan seragam sekolah, seperti mencuci, menyetrika, atau sering

melihat seragam yang dikenakan oleh anggota keluarga lain

mengingat informan tersebut berada dalam satu rumah dengan anak-

anak (cucu) yang sedang bersekolah. Selain itu, ditemukan leksikon

warna konèng jherruk ‘kuning jeruk’ dan konèng wortel ‘kuning

wortel’ yang sering digunakan untuk membuat makanan atau

minuman di rumah. Selanjutnya, dari 10 leksikon warna tersebut

tersisa 6 leksikon yang beratribut tomang ‘tungku’ dan abu ‘abu’ pada

warna bhiru abu tomang ‘biru abu tungku’, abu towa ‘abu tua’, abu

ngodâ ‘abu muda’, abu tomang ngodâ ‘abu tungku muda’, dan bu-abu

tomang ‘abu-abu tungku’. Penggunaan atribut tomang ‘tungku’ dan

abu ‘abu’ pada beberapa leksikon tersebut dipengaruhi oleh kebiasaan

informan yang masih menggunakan tungku ketika memasak sehingga

tungku dan abu hasil pembakaran kayu memiliki intensitas tinggi

untuk dilihat setiap harinya.

Berikutnya, pada informan [In.18/17.02.2019] yang berprofesi

sebagai perias pengantin. Dari 45 leksikon warna yang disebutkan,

ada 5 leksikon yang berhubungan dengan warna pakem dalam merias,

yaitu mèra kalompang ‘merah kelumpang’ untuk menyebut warna pipi

seorang perempuan yang sudah dirias menggunakan blush on, mèra

sèrè ‘merah sirih’ merupakan pakem untuk warna blush on ‘pemerah

pipi’, mèra cabbi ‘merah cabai’ merupakan pakem untuk warna

lipstick ‘pemerah bibir’, bhiru sennam ‘hijau pupus daun asam’

merupakan pakem untuk warna rambai yang digunakan pada

perlengkapan baju adat pernikahan leghâ, dan konèng gading ‘kuning

gading’ merupakan pakem untuk warna riasan bayangan mata pada

pengantin tradisional zaman dulu.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan jika munculnya

penamaan warna juga mengacu pada profesi atau matapencaharian

Page 226: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 203

dari informan. Hal ini dikarenakan tiap informan memberikan ciri

pada leksikon warna yang disebutkan sehingga mencerminkan apa

yang sedang ditekuni dalam kesehariannya.

c. Faktor spiritual keislaman masyarakat Madura di Kab. Sumenep

Sebelum agama Islam masuk dan menjadi agama mayoritas bagi

masyarakat Madura, agama Hindu Budha menjadi kepercayaan

masyarakat di pulau tersebut. Hal ini dibuktikan dengan adanya

hegemoni dari dinasti Kerajaan Hindu selama 600 tahun yang ditandai

dengan munculnya peninggalan candi dan vihara di Madura69.

Kemudian, ditemukan pula peninggalan bangunan megalitik berupa

batu kenong atau batu gong dan menhir di Pulau Sepudi, Madura70.

Agama Islam masuk ke Madura sekitar abad ke XV yang dibawa oleh

sektor perdagangan yaitu pedagang-pedagang Islam Gujarat yang

berhenti di pelabuhan-pelabuhan Madura, terutama di wilayah Madura

bagian timur atau Kab. Sumenep. Selanjutnya, perkembangan Islam

menjadi semakin kokoh semenjak Walisongo melakukan islamisasi

dengan strategi dakwah yang dapat diterima oleh masyarakat di Pulau

Jawa, termasuk Madura.

Dalam menjalankan keislamannya, masyarakat Madura sendiri

merupakan etnik yang memegang kultur paternalistik, yaitu kepatuhan

santri kepada kiai yang sudah mengkristal dan sudah menjadi tarekat

dalam kebiasaan hidup sehari-hari yang diamalkan secara konsisten

dan terus-menerus baik selama ia berada di pesantren, maupun setelah

kembali ke masyarakat71. Seperti yang disampaikan pada faktor

sebelumnya jika orang Madura memegang prinsip bhuppa’ bhâbbu’

ghuru rato ‘bapak, ibu, guru, ratu’, maka posisi guru yang dimaksud

selain merupakan tenaga pendidik di sekolah juga merupakan ulama

atau kiai di pesantren.

69 Menurut Amrullah (2015: 57). 70 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 42). 71 Menurut Haryono (2014 :339).

Page 227: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 204

Bagi masyarakat Madura, keberadaan agama merupakan suatu

alat untuk menyeimbangkan hidup. Hal ini juga tercermin dari ujaran

orang Madura yaitu abhântal sadek pajung Allah sapo’ iman sanding

rasulullah ‘berbantal syahadat, berpayung Allah, berselimut iman,

berpegang teguh pada Rasulullah’72. Jadi, pondasi hidup orang

Madura adalah agamanya, yaitu dengan selalu beriman pada Allah dan

Rasul agar hidupnya selalu diberkahi dan seimbang karena tidak

hanya memikirkan urusan dunia semata. Selanjutnya, untuk

memfasilitasi keislamannya tersebut, orang Madura umumnya

mengikuti organisasi-organisasi keislaman, misalnya Muhammadyah

dan Nadlatul Ulama (NU)73.

Fungsi spiritual keislaman selain sebagai pondasi dan pedoman

hidup ternyata juga berdampak pada pembentukan penamaan warna

dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep. Hal ini dibuktikan pada

informan [In.08/25.11.2018], dari 36 leksikon warna yang disebutkan,

ada 1 leksikon yang berhubungan dengan sisi spiritual orang Madura,

yaitu bhiru patayat ‘hijau fatayat’. Fatayat merupakan salah satu

bagian dari organisasi Nadlatul Ulama (NU) yang berfokus pada

pemberdayaan perempuan. Tujuan berdirinya organisasi Fatayat NU

bukan hanya ingin memperbaiki pendidikan perempuan muda

terutama lapisan bawah atau santri, melainkan ingin perempuan

memiliki kemampuan dalam berbicara di ruang publik74. Munculnya

atribut ormas Fatayat pada nama warna dalam bahasa Madura di Kab.

Sumenep turut mengingatkan kembali bahwa mayoritas masyarakat

Madura adalah anggota organisasi Nadlatul Ulama (NU). Bahkan, ada

sebuah anekdot yang muncul bahwa ketika orang Madura ditanya

perihal agamanya, maka mereka akan menjawab agama NU. Hal ini

bukan tanpa alasan, melainkan karena NU mampu tumbuh subur di

Pulau Madura semenjak awal kelahirannya. Tumbuhnya NU di Pulau

Madura tidak terlepas dari peran pendiri dan pioner NU yang salah

72 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun. 73 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 42). 74 Menurut Naziyah & Shinta (2015: 176).

Page 228: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 205

satunya adalah Syaikh KH. Muhammad Khalil bin Abdul Latif atau

disapa Mbah Kholil dari Bangkalan yang menyebabkan pondasi kuat

berdirinya NU di tanah garam75. Selain itu, mayoritas para kiai yang

turut mendirikan NU di Pulau Madura juga pernah menimbah ilmu

pada Mbah Kholil tersebut.

Selanjutnya, data leksikon warna yang berhubungan dengan sisi

spiritual masyarakat Madura di Kab. Sumenep juga ditemukan pada

informan [In.10/26.01.2019]. Dari 58 leksikon warna yang disebutkan,

ada 1 leksikon yang berkaitan dengan spiritual keislaman masyarakat

Madura di Kab. Sumenep, yaitu potѐ sora ‘putih asyura’ atau warna

putih yang terinspirasi dari warna pada bubur yang selalu dibuat untuk

memperingati hari kesepuluh pada bulan Muharram dalam kalender

hijriyah. Bagi masyarakat Madura di Kab. Sumenep, bulan Sora

bermakna suci sebagai simbol manusia dibekali fitrah kesucian atau

potensi manusia untuk berbuat baik sehingga disimbolisasi dengan

warna putih76. Selain itu, bubur asyura dibuat juga untuk merayakan

tanggal 10 Muharram, antara lain untuk mengenang kematian Husain

(cucu Nabi Muhammad SAW) dalam perang di Karbala77.

Lalu, pada informan [In.06/22.11.2018] yang berhasil

menyebutkan 26 leksikon warna, ada 1 leksikon yang juga

mendeskripsikan sisi spiritual masyarakat Madura di Kab. Sumenep,

yaitu celleng songko’ ‘hitam peci’. “...orang Madura memiliki ciri

islami agamis selain ditentukan dari akhlak juga ditandai dengan

berkopyah dan bersarung78. Selain itu, Buya Hamka dalam salah satu

bukunya menulis : “Tatkala pada tanggal 25 November 1959, saya

sempat menziarahi Madura kembali, sesudah ziarah pertama 25 tahun

silam (1934) nampak bahwa tradisi-tradisi yang ditanamkan islam

sejak zaman bahari masih banyak yang belum dapat dibongkar oleh

tradisi-tradisi modern pengaruh Barat yang di daerah lain sudah

75 Dikutip dari laman http://www.jurnas.com/artikel/31972/Menakar-Masa-Depan-NU-di-Madura/

(13 Agustus 2019). 76 Menurut Mulyadi (2018: 128). 77 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 47). 78 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.

Page 229: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 206

banyak luntur. Misalnya saja, tidak memakai peci atau kopiah jika

sembahyang di masjid masih akan mendapat teguran keras....”79. Bagi

orang Madura, peci atau kopiah adalah simbol religiositas dan

menggambarkan bagaimana mereka selalu membawa keimanan

kepada Sang Pencipta. Oleh sebab itu, selain digunakan untuk

beribadah, peci juga digunakan untuk kegiatan lain, seperti ketika

bekerja, menghadiri ritual adat (misalnya pernikahan dan kematian),

bahkan ketika sedang tidak melakukan apa-apa di rumah pun peci

masih tetap digunakan. Jadi, penggunaan atribut yang berhubungan

dengan sisi spiritual keislaman masyarakat Madura dalam

kesehariannya dapat mempengaruhi pembentukan penamaan warna

yang digunakan oleh penutur.

d. Faktor tradisi yang dilakukan masyarakat Madura di Kab. Sumenep

Selain 3 faktor di atas, terbentuknya penamaan warna dalam

bahasa Madura di Kab. Sumenep juga dipengaruhi oleh tradisi yang

dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Tradisi merupakan adat

kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan

dalam masyarakat80. Masyarakat Madura merupakan masyarakat yang

cukup memegang teguh tradisi dari nenek moyang. Hal ini bisa dilihat

dari bagaimana mereka membangun model rumah, memperlakukan

hewan, dan memegang prinsip ca’-oca’an dalam kehidupan sehari-

hari.

Unsur tradisi yang ditemukan pada penamaan warna dalam

masyarakat Madura di Kab. Sumenep, misalnya pada leksikon warna

cokklat sapѐ ‘cokelat sapi’ dan bhiru calattong ‘hijau kotoran sapi’.

Sapi, khususnya sapi jantan bagi orang Madura sama maknanya

dengan kerbau bagi orang Jawa: lambang kekuatan dan

kemakmuran81. Biasanya, para petani di Madura selain bercocok

tanam juga memelihara sapi, baik sapi milik sendiri ataupun sapi

79 Menurut Sadik (2011: 98). 80 Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016: 1483). 81 Dikutip dari buku Garam, Kekerasan, dan Aduan Sapi (De Jonge, 2011: 89).

Page 230: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 207

titipan milik orang lain. Sapi selain digunakan untuk membajak sawah

atau diperjualbelikan juga digunakan sebagai tabungan untuk

mengantisipasi masa susah. Selain itu, orang Madura dapat

menunjukkan status atau kelas sosialnya melalui jumlah sapi yang

dimiliki. Hal ini karena harga sapi tidaklah murah sehingga orang

yang mampu membeli banyak sapi dianggap sebagai orang berada.

Orang Madura memperlakukan sapi layaknya anggota keluarga.

“...dhâddhi odhi’na, sapè saja sapè kadang-kadang dirumat lebih dari

dirinya sendiri, èjamoè tellor, èjamoè ini. Dekat dengan alam. Sapè

sampe’ apapun, pangapora sampe’ ka calattongnga dibutuhkan,

sampè’ ka kemmèna dibutuhkan, kemmèna sapè. Padahal kemmèna

orèng gak dibutuhkan. Iya kan? (Sapi adalah hidup, bahkan sapi

dirawat lebih dari dirinya sendiri, diberi minum jamu telur dan

lainnya. Dekat dengan alam. Apapun bagian dari sapi sangat

dimanfaatkan, maaf sampai pada kotoran dan air kencingnya

dibutuhkan. Padahal air kencing manusianya saja tidak dipakai)82”.

Selain itu, kandang sapi diletakkan dekat dengan rumah pemiliknya,

misalnya di dekat dapur dan di depan rumah. Hal ini dilakukan agar

sapi-sapi tersebut tetap dalam pengawasan si pemilik dan tidak hilang

diambil maling mengingat angka pencurian sapi dan hewan ternak lain

di Madura masih cukup tinggi. Rasa cinta seorang laki-laki Madura

terhadap sapinya memunculkan pernyataan di masyarakat jika laki-

laki Madura lebih menyayangi sapi daripada istrinya sendiri.

Pernyataan tersebut sebenarnya menunjukkan betapa sapi sangat

diagungkan bagi masyarakat Madura.

Unsur tradisi lain yang ditemukan pada penamaan warna dalam

masyarakat Madura di Kab. Sumenep adalah pada leksikon mèra

dubbâng ‘merah pada ludah orang memakan kapur sirih’. Dari zaman

dahulu, masyarakat Madura di Kab. Sumenep khususnya para orang

tua di pedesaan suka amina ‘mengkonsumi kapur sirih’. Mina terdiri

dari kapur, gambir, dan pinang. Selanjutnya, bahan-bahan tersebut

82 Penuturan informan: Bapak Moh. Taufik, usia 59 tahun.

Page 231: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 208

dibungkus menggunakan daun sirih dan dikunyah sampai

menimbulkan warna merah pada area gigi dan mulut. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan di Inggris pada imigran dari Asia Selatan

yang mengunyah sirih pinang, didapati bahwa mereka mengunyah

sirih pinang karena memberikan rasa yang menyegarkan, sebagai

makanan ringan, membantu menghilangkan stress, dan dipercaya

dapat memperkuat gigi dan gusi83. Selanjutnya, selain bermanfaat

dalam dunia medis, masyarakat Madura di Kab. Sumenep memiliki

filosofi penting mengenai memakan kapur siirih yang erat kaitannya

dengan kehidupan. “Itu filosofinya dalam kehidupan ini tidak

selamanya orang mengalami senang, suatu saat mengalami pahit.

Diibaratkan orang memakan sekapur siri, kadang pahit, kadang

manis. Kalau pahit saja buat apa orang amina. Itu simbol dari

kehidupan sehari-hari, ada pahit, manis, getir. Kalau kapur itu

pahit”84. Oleh sebab itu muncullah ujaran di Madua yaitu sè ngakan

kaporra sè ba’ang ‘yang memakan kapur yang merasakan pahitnya’.

Jadi, baik buruknya manusia akan kembali kepada dirinya sendiri.

Jadi, penggunaan atribut yang berhubungan dengan kebiasaan

masyarakat Madura di Kab. Sumenep dalam kesehariannya dapat

mempengaruhi pembentukan penamaan warna yang digunakan oleh

penutur.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan dalam subbab di

atas, maka terdapat tiga poin pembahasan yang mengacu pada rumusan

masalah dalam penelitian ini. Tiga poin pembahasan tersebut meliputi (1)

satuan lingual penanda warna, (2) makna kultural dari konsep penggunaan

warna, dan (3) faktor-faktor yang menyebabkan munculnya penamaan warna

dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep.

83 Menurut Flora et al., (dalam Iptika, 2014: 65). 84 Penuturan informan: Bapak Amin Jakfar, usia 64 tahun.

Page 232: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 209

Bagan 5. Hierarki implikasional warna dasar Berlin dan Kay dalam bahasa Inggris

Bagan 6. Hierarki implikasional warna dasar dalam bahasa Madura di

Kab. Sumenep

1. Satuan lingual penanda warna dalam bahasa Madura di Kab.

Sumenep

Pada hasil penelitian, telah dideskripsikan warna dasar dan warna

turunan dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep yang digunakan oleh

penutur di Kab. Sumenep. Bahasa Madura di Kab. Sumenep memiliki 6

warna dasar, yaitu potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’, bhiru

‘hijau’, konѐng ‘kuning’, dan sokklat ‘cokelat’. Keenam warna dasar

tersebut ditentukan berdasarkan kriteria warna dasar yang dicetuskan

dalam teori universal warna Berlin dan Kay (1969). Selanjutnya, terdapat

3 warna yang tidak termasuk ke dalam warna dasar jika dianalisis

menggunakan teori universal warna tersebut, yaitu bhiru ‘biru’, bungo

‘ungu’, dan bu-abu ‘abu-abu’. Berdasarkan hasil tersebut, warna dasar

dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep dapat mengikuti urutan warna

dasar Berlin dan Kay secara garis besar, tetapi belum sepenuhnya. Di

bawah ini merupakan bagan hierarki implikasional warna dasar Berlin

dan Kay dalam bahasa Inggris yang dibandingkan dengan bagan hierarki

implikasional warna dasar dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep yang

juga ditulis menggunakan terjemahan bahasa Inggris.

Page 233: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 210

Bagan 7. Hierarki implikasional warna dasar dalam bahasa Mandarin

Seperti yang terlihat pada dua bagan tersebut, terdapat perbedaan

jumlah warna dasar yang signifikan di antara bahasa Inggris dan bahasa

Madura di Kab. Sumenep. Bahasa Inggris memiliki 8 warna dasar,

sedangkan bahasa Madura di Kab. Sumenep hanya memiliki 6 warna

dasar. Selanjutnya, bahasa Madura di Kab. Sumenep memiliki urutan

warna dasar berbeda dengan hierarki implikasional Berlin dan Kay.

Berlin dan Kay menjelaskan jika urutan warna setelah green ‘hijau’ dan

yellow ‘kuning’ adalah blue ‘biru’. Namun, dalam bahasa Madura di

Kab. Sumenep urutan warna setelah bhiru ‘hijau’ dan konѐng ‘kuning’

langsung pada warna sokklat ‘cokelat’ dan melewati warna bhiru ‘biru’.

Dalam teorinya, Berlin dan Kay mengungkapkan bahwa a<b atau b

mengakibatkan a. Jadi, jika sebuah bahasa memiliki leksem warna biru

maka bahasa tersebut pasti memiliki warna lain yang berkedudukan di

sebelah kirinya seperti putih, hitam, merah, hijau, atau kuning. Namun,

hal ini tidak berlaku di dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep

mengingat warna bhiru ‘biru’ bukan termasuk ke dalam warna dasar dan

bahasa Madura di Kab. Sumenep masih tetap bisa memiliki warna dasar

yang berkedudukan di sebelah kirinya, yaitu putih, hitam, merah, hijau,

dan kuning. Oleh karena itu, urutan warna dasar yang dikemukakan oleh

Berlin dan Kay tidak bisa sepenuhnya diterapkan dalam bahasa lain.

Untuk membuktikan hal tersebut, penelitian saat ini dibandingkan

dengan hasil penelitian sejenis yang dilakukan oleh Yunyu (2015) dalam

bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia.

Page 234: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 211

Bagan 8. Hierarki implikasional warna dasar dalam bahasa Indonesia

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yunyu (2015) dapat

diketahui jika bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia juga memiliki

jumlah warna dasar dan urutan warna yang berbeda dengan Berlin dan

Kay. Tampak pada bagan bahwa bahasa Indonesia memiliki 6 warna

dasar, sedangkan bahasa Mandarin memiliki 8 warna dasar dengan

melewati warna cokelat dan langsung pada urutan warna ungu serta abu-

abu setelah warna biru. Jadi, dari hasil perbandingan hierarki warna dasar

dalam 3 bahasa (Madura, Indonesia, dan Mandarin) dengan hierarki

warna dasar Berlin dan Kay dapat disimpulkan bahwa setiap bahasa

memiliki jumlah warna dasar dan urutan warna dasar yang berbeda. Hal

tersebut sejalan dengan telaah tradisional mengenai istilah warna yang

menghasilkan kesimpulan bahwa tiap bahasa memiliki jumlah warna

yang berbeda dan memiliki batas warna yang berlainan walaupun semua

bahasa memiliki fokus awal sama yaitu pada warna hitam dan putih85.

Perbedaan jumlah warna dasar dan batasan warna dapat

dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat tutur pengguna bahasa tersebut.

Misalnya, salah satu syarat untuk menjadi warna dasar adalah warna

tersebut harus menonjol dan dikenal luas oleh penutur. Pada bahasa

Madura di Kab. Sumenep, keberadaan warna bungo ‘ungu’ kurang

menonjol dan dikenal luas oleh masyarakat dengan hanya memiliki 11

leksikon warna turunan yang jauh lebih sedikit dari warna lainnya.

Selanjutnya, di dalam bahasa Mandarin warna ungu dikatakan sebagai

warna dasar karena memiliki warna turunan cukup banyak berjumlah 27

85 Dikutip dari buku Linguistik Bandingan Tipologis (Keraf, 1990: 184).

Page 235: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 212

leksikon warna. Jumlah leksikon warna turunan pada setiap warna

bergantung pada acuan yang digunakan oleh masyarakat tutur. Pada

bahasa Madura di Kab. Sumenep, warna turunan ungu antara lain bungo

ngodâ ‘ungu muda’, bungo towa ‘ungu tua’, bungo tѐra’ ‘ungu terang’,

bungo pellay ‘ungu pucat’, bungo pettheng ‘ungu gelap’, bungo tasѐ’

‘ungu laut’, bungo terong ‘ungu terong’, bungo terong towa ‘ungu terong

tua’, bungo terong ngodâ ‘ungu terong muda’, dan bungo langngѐ’ ‘ungu

langit’. Dari data tersebut dapat diketahui jika penggunaan atribut pada

warna ungu dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep hanya sebatas

adjektiva dan nomina yang berada di sekitar masyarakat Madura di Kab.

Sumenep, seperti terong, laut, dan langit. Sebaliknya, di dalam bahasa

Mandarin atribut atau acuan warna ungu lebih luas atau bervariasi seperti

qīng lián zǐ ‘ungu bunga teratai’ dan lóng dǎn zǐ ‘ungu bunga gentian’

yang mana kedua bunga tersebut jarang ditemui di Pulau Madura

sehingga masyarakat Madura di Kab. Sumenep tidak memiliki acuan itu

dalam mendeskripsikan warna ungu. Bahasa dapat mencerminkan

lingkungan suatu kelompok masyarakat. Dalam bidang warna, walaupun

warna yang ditunjuk sama, tetapi kosakata warna yang digunakan setiap

kelompok berbeda86.

Rifai dalam bukunya yang berjudul Manusia Madura (2007: 56-57)

memetakan warna pada bahasa Madura menjadi 10 warna yang berselisih

satu warna dengan hasil penelitian saat ini. Kesepuluh warna tersebut

ialah potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, bhiru ‘hijau’, mѐra ‘merah’, konѐng

‘kuning’, bȃlȃu ‘biru’, soklat ‘coklat’, ennyat ‘jambon’, bungo ‘ungu’,

dan bu-abu ‘kelabu’. Satu warna tambahan yang ditemukan oleh Rifai

ialah warna ennyat ‘jambon’ atau merah muda. Dari hasil penelitian yang

dilakukan saat ini di lapangan, masyarakat Madura khususnya di Kab.

Sumenep juga mengenal leksem warna ennyat ‘merah muda’ tersebut.

Namun, karena makna dari ennyat sendiri adalah merah muda, maka

leksem ennyat dijadikan sebagai warna turunan dari warna mѐra ‘merah’

dan tidak berdiri sendiri. Selanjutnya, hal yang membedakan dari

86 Menurut Yunyu (2015: 38).

Page 236: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 213

pemetaan warna yang dilakukan oleh Rifai ialah penyebutan warna biru

dengan menggunakan leksem bȃlȃu ‘biru’, sedangkan hasil penelitian

saat ini menggunakan leksem bhiru ‘biru’. Menurut Kamus Lengkap

Bahasa Madura Indonesia (Pawitra, 2009: 40) bȃlȃu bermakna warna

biru yang berasal dari pewarna berupa batang kecil seperti sabun

berbentuk kotak. Dengan kata lain, leksem bȃlȃu tersebut sebenarnya

lebih tepat digunakan untuk merujuk pada bahan pewarna biru, bukan

warna biru. Namun, jika leksem tersebut berada di dalam kamus bahasa

Madura, maka diperkirakan jika ada orang Madura yang masih

menggunakan bȃlȃu untuk mendeskripsikan warna biru mengingat

leksem warna biru dan hijau dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep

umumnya memiliki penyebutan yang sama, yaitu bhiru. Jadi, untuk

membedakan kedua warna tersebut selain menggunakan bantuan atribut

yang melekat pada warna dasar juga dapat dilakukan dengan mengganti

penyebutan bhiru ‘biru’ menjadi bȃlȃu.

Nama warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep dapat

terbentuk dari dua satuan lingual, yaitu kata dan frasa. Satuan lingual

kata umumnya menandai warna utama. Warna dasar bersifat

monoleksem atau terbentuk dari leksem tunggal, sedangkan dalam warna

nondasar terdapat kata yang terdiri dari dua leksem membentuk kata

reduplikasi suku akhir87 yaitu bu-abu ‘abu-abu’. Selanjutnya, satuan

lingual frasa menandai warna turunan, yaitu warna dasar maupun

nondasar yang mendapatkan atribut tertentu misalnya potѐ tolang ‘putih

tulang’ atau warna dasar putih yang mendapat atribut nomina bagian

tubuh manusia ‘tulang’. Namun, data di lapangan juga menunjukkan ada

satu warna turunan yang berbentuk satuan lingual kata, seperti warna

87 Reduplikasi suku akhir adalah jenis reduplikasi yang paling pro dalam bahasa Madura dialek

Sumenep (Ghazali et al., 1979: 81). Selain itu, reduplikasi suku akhir bagi masyarakat Madura

berhubungan dengan pola pikir mereka sebagai masyarakat yang terkenal memiliki pembawaan

ta’-karata’an ‘lantang’. Menurut Rifai (2007: 235), gaya berbicara orang Madura terkesan polos,

terus terang, dan lugu. Akan tetapi, keterusterangan tersebut umumnya disampaikan dengan pola

sebagaimana kebiasaan mereka berbicara sehari-hari, yaitu dengan suara ta’-karata’an ‘lantang’

dan keras. Cara berbicara mereka juga bertempo cepat sehingga diibaratkan pangoca’na mara

kѐlap ‘bicaranya seperti halilintar’. Hal tersebut juga tercermin ketika mereka menggunakan

perulangan suku akhir, misalnya tѐ-satѐ ‘sate-sate’. Penggunaan reduplikasi suku akhir tersebut

dianggap lebih terang, jelas, dan cepat daripada reduplikasi sempurna atau bukan sebagian.

Page 237: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 214

turunan dari merah, yaitu ennyat ‘merah muda’. Selanjutnya, satuan

lingual frasa juga menandai warna yang dalam penggunaannya tidak

menggunakan unsur warna dasar maupun nondasar, melainkan

dimetaforakan dengan bentuk lain, seperti (1) konyѐ’ bucco’ ‘kunyit

busuk’ untuk warna kuning, (2) sabu matta ‘sawo mentah’, sabu massa’

‘sawo masak’, dan sabu bucco’ ‘sawo busuk’ untuk warna cokelat, (3)

abu tomang ngodâ ‘abu tungku muda’ abu ngodâ ‘abu muda’, dan abu

towa ‘abu tua’ untuk warna abu-abu.

Pengklasifikasian atribut pada warna turunan dalam bahasa Madura

di Kab. Sumenep secara garis besar terdiri dari kelas kata adjektiva,

nomina, dan verba. Lalu, setiap kelas kata tersebut dibagi lagi ke dalam

bagian-bagian kecil. Pertama, atribut adjektiva terdiri dari (1) adjektiva

pemeri sifat (PS), yaitu adjektiva yang dapat memerikan kualitas dan

intensitas yang bercorak fisik atau mental. Dalam nama warna, atribut

adjektiva pemeri sifat meliputi mo-remmo ‘indah’, pellay ‘pucat’, pocet

‘pucat’, bucco’ ‘busuk’, manѐs ‘manis’, dan olay ‘pucat’. (2) Adjektiva

ukuran (U), yaitu adjektiva yang mengacu pada kualitas yang dapat

diukur dengan ukuran yang sifatnya kuantitatif. Dalam nama warna

atribut adjektiva ukuran meliputi towa ‘tua’, ngodâ ‘muda’, sokkla

‘murni’, pekkat ‘pekat’, dan talosѐ ‘pekat’. (3) Adjektiva warna (W),

yaitu adjektiva yang mengacu ke berbagai warna. Dalam nama warna

atribut adjektiva warna meliputi abâng ‘merah’, ennyat ‘merah muda’,

bungo ‘ungu’, bu-abu ‘abu-abu’, dan dongker ‘dongker’. (4) Adjektiva

cerapan, yaitu adjektiva yang berhubungan dengan indera manusia

seperti penglihatan (CPL), pendengaran (CPD), penciuman (CPC),

perabaan (CPB), dan pencitarasaan (CPR)). Dalam nama warna atribut

adjektiva cerapan penglihatan meliputi ngadhârbâng ‘terang’, mettal

‘padam’, tabâr ‘tawar’, tѐra’ ‘terang’, ngettak ‘terang’, ngacornang

‘terang’, matta ‘mentah’, ngamennyor ‘berkilauan’, seddhâ’ ‘sedap’,

bâttheng ‘gelap’, calѐmot ‘gelap’, ngalѐrѐng ‘berkilauan’, beddheng

‘kusam’, bhenning ‘bening’, ngeplak ‘terang’, dan pettheng ‘gelap’.

Page 238: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 215

Adjektiva cerapan perabaan meliputi molos ‘mulus’, bhulus ‘mulus’, dan

adjektiva pencitarasaan meliputi masѐn ‘asin’.

Dari klasifikasi di atas terdapat atribut adjektiva yang

penggunaannya disesuaikan dengan konteks dalam masyarakat Madura

di Kab. Sumenep dan bukan makna leksikal yang diketahui secara

umum. Atribut tersebut antara lain seddhâ’ ‘sedap’, manѐs ‘manis’,

matta ‘mentah’, bucco’ ‘busuk’, dan tabâr ‘tawar’. Pertama, secara

umum seddhâ’ ‘sedap’ bermakna lezat yang berhubungan dengan indera

pencitarasaan, namun dalam masyarakat Madura di Kab. Sumenep

seddhâ’ ‘sedap’ bermakna bersih dan enak dipandang sehingga lebih

tepat berhubungan dengan indera penglihatan. Kedua, secara umum

manѐs ‘manis’ bermakna rasa seperti rasa gula yang berhubungan dengan

indera pencitarasaan, namun dalam masyarakat Madura di Kab. Sumenep

manѐs ‘manis’ bermakna indah sehingga lebih tepat berhubungan dengan

adjektiva pemeri sifat. Ketiga, secara umum matta ‘mentah’ bermakna

belum masak yang berhubungan dengan indera pencitarasaan, namun

dalam masyarakat Madura di Kab. Sumenep matta ‘mentah’ lebih

merujuk pada warna daging buah dan bukan rasa dari daging yang belum

matang (pencitarasaan) sehingga lebih tepat jika berhubungan dengan

indera penglihatan. Keempat, secara umum bucco’ ‘busuk’ bermakna

berbau tidak sedap yang berhubungan dengan indera penciuman, namun

dalam masyarakat Madura di Kab. Sumenep bucco’ ‘busuk’ bermakna

rusak atau jelek sehingga lebih dengan dengan adjektiva pemeri sifat.

Terakhir, secara umum tabâr ‘tawar’ bermakna tidak ada rasanya yang

berhubungan dengan indera pencitarasaan, namun dalam masyarakat

Madura di Kab. Sumenep tabâr ‘tawar’ bermakna hilangnya daya

sehingga lebih tepat berhubungan dengan indera penglihatan.

Selanjutnya, atribut nomina terdiri dari bagian tubuh manusia (M),

hewan (H), tumbuhan (T), lingkungan alam (LA), instansi organisasi

profesi (IOP), makanan & minuman (MM), benda rumah (BR), dan nama

bulan (NB). Selanjutnya, atribut tumbuhan dipilah kembali berdasarkan

jenisnya, yaitu buah-buahan (BH), bunga (BG), pepohonan (PH), sayur

Page 239: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 216

& biji-bijian (SB), rempah (R), dan lain-lain (L) yang biasanya

merupakan jenis dedaunan atau yang tidak masuk dalam jenis yang telah

disebutkan. Selain berbentuk satuan lingual kata, dalam atribut nomina

juga ditemukan satuan lingual frasa yaitu frasa nomina seperti pada bhiru

tellor accѐn ‘biru telur asin’, potѐ tolang towa ‘putih tulang tua’, dan

mѐra cabbi massa’ ‘merah cabai matang’.

Warna turunan dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep didominasi

oleh nomina dalam kelas tumbuhan. Mendominasinya leksikon warna

beratribut tumbuhan dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep tentu tidak

semata-mata terjadi begitu saja. Apalagi mengingat bahwa bahasa

sebagai penanda identitas budaya dapat dilihat salah satunya dari

penggunaan kosakata dalam sebuah bahasa yang diteliti. Dengan kata

lain, bahasa merupakan produk budaya dan sekaligus wadah penyampai

kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan88. Jadi,

penggunaan atribut tumbuhan yang ditemukan pada leksikon warna

dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep tentu juga dapat

merepresentasikan kehidupan sosial dan budaya dari penuturnya, yaitu

suku Madura.

Orang Madura memahami dunianya melalui apa-apa yang ada di

sekitarnya89, salah satunya adalah melalui tumbuhan yang hidup di

sekeliling mereka. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui jika

kehidupan masyarakat Madura di Kab. Sumenep sangat dekat dengan

alam. Bahkan, mereka menggantungkan hidup kepada alam. Oleh sebab

itu, mendominasinya atribut tumbuhan pada leksikon warna

menunjukkan bahwa benda-benda yang diasosiasikan tersebut sering

dijumpai dan masyarakat sering berinteraksi di dalamnya, misalnya

ketika membuat jamu dan memasak, mereka cenderung menggunakan

bahan tradisional dari rempah-rempah. Dengan begitu, dapat dikatakan

jika bahasa mampu mendeskripsikan kehidupan sosial dan budaya dari

suatu masyarakat. Lalu, di antara sembilan warna dalam bahasa Madura

88 Menurut Devianty (2017: 227). 89 Menurut Azhar (2017: 230).

Page 240: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 217

di Kab. Sumenep, warna konѐng ‘kuning’ memiliki jumlah warna

turunan beratribut tumbuhan paling banyak yaitu berjumlah 18 leksikon

warna. Kedelapan belas leksikon warna beratribut tumbuhan tersebut

didominasi oleh jenis buah-buahan. Hal ini dapat disebabkan karena

buah-buahan didominasi oleh warna kuning, baik kulit maupun daging

buahnya ketika sudah matang. Jadi, masyarakat Madura di Kab.

Sumenep merujuk sebuah warna menggunakan benda-benda yang sangat

familier dengan mereka. Hasil penelitian tersebut juga membuktikan

bahwa walaupun warna merah diketahui sebagai warna yang paling

identik dengan masyarakat Madura, namun ternyata secara kuantitas

warna kuning memiliki jumlah warna turunan yang lebih besar

dibandingkan warna merah. Dengan kata lain, penggunaan warna kuning

dalam tuturan sehari-hari memiliki referen yang lebih luas dari warna

merah. Walaupun demikian, kedua warna tersebut tetap menjadi warna-

warna identik bagi suku Madura terutama masyarakat di Kab. Sumenep.

Kemudian, atribut yang juga ditemukan pada penamaan warna

dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep ialah atribut verba, yaitu verba

jenis keadaan. Verba sendiri berdasarkan segi perilaku semantisnya

dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu verba perbuatan, verba proses, dan

verba keadaan. Leksikon warna berverba keadaan tersebut adalah celleng

matѐ ‘hitam mati’ dan celleng potton ‘hitam hangus’. Salah satu ciri

penting verba keadaan ialah tidak dapat diberi prefiks ter- yang berarti

‘paling’90. Keberadaan atribut verba dalam nama warna menjadi

keunikan sendiri di dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep mengingat

penelitian yang dilakukan oleh Yunyu (2015) tidak ditemukan nama

warna beratribut verba dalam bahasa Mandarin maupun bahasa

Indonesia, begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Budiono

(2016) dalam bahasa Betawi.

Selain nama warna beratribut verba, bahasa Madura di Kab.

Sumenep juga memiliki keunikan lain perihal penamaan warnanya.

Pertama, orang Madura menggunakan leksem bhiru untuk merujuk pada

90 Dikutip dari buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi et al., 2003: 87).

Page 241: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 218

2 warna, yaitu hijau dan biru. Hal inilah yang mengakibatkan munculnya

stereotip bahwa masyarakat Madura adalah masyarakat buta warna yang

tidak bisa membedakan antara warna hijau dan biru. Mereka mengira

leksem bhiru sama dengan ‘biru’ dalam bahasa Indonesia sehingga ketika

mendengar orang Madura menyebut hijau sebagai bhiru terkesan kurang

tepat dan menganggapnya tidak memiliki term khusus untuk menyebut

warna hijau tersebut. Padahal, di dalam Kamus Lengkap Bahasa Madura

Indonesia91 bhiru adalah penyebutan untuk hijau bukan biru. Dengan

kata lain, warna biru dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep meminjam

leksem bhiru yang sebenarnya bermakna hijau. Berdasarkan penelusuran

bahasa yang dilakukan, sebenarnya warna biru dalam bahasa Madura

memiliki term tersendiri yaitu bȃlȃu. Menurut Kamus Lengkap Bahasa

Madura Indonesia (Pawitra, 2009: 40) bȃlȃu bermakna warna biru yang

berasal dari pewarna berupa batang kecil seperti sabun berbentuk kotak.

Selain itu, penyebutan warna bȃlȃu ini juga digunakan dalam nama-

nama warna yang ditulis oleh Rifai (2007: 57) dalam bukunya berjudul

Manusia Madura. Dengan begitu, dapat disimpulkan jika pada zaman

dahulu leksem bȃlȃu ini sudah digunakan untuk menyebut warna biru

walaupun pada kenyataannya kini jarang sekali penutur bahasa Madura

di Kab. Sumenep yang tetap menggunakan leksem tersebut. Hal ini dapat

disebabkan karena penutur cenderung menganggap leksem bhiru mirip

dengan ‘biru’ dalam bahasa Indonesia daripada leksem bȃlȃu sehingga

dianggap lebih mudah untuk merujuk makna warna biru. Peminjaman

leksem bhiru untuk merujuk ‘biru’ secara terus menerus mengakibatkan

masyarakat Madura maupun luar Madura tidak mengetahui jika

sebenarnya bhiru adalah leksem awal untuk warna hijau.

Oleh sebab itu, kini untuk membedakan penggunaan bhiru ‘hijau’

dan ‘biru’ dibuat lebih jelas, yaitu dengan menambah atribut di belakang

leksem warna utama tersebut, misalnya bhiru lomot ‘hijau lumut’ untuk

merujuk bhiru bermakna hijau karena warna lumut sendiri adalah hijau

dan bhiru laot ‘biru laut’ untuk merujuk bhiru bermakna biru karena

91 Menurut Pawitra (2009: 68).

Page 242: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 219

warna pantulan air laut sendiri adalah biru. Jadi, jika ada penutur bahasa

Madura menyebutkan bhiru dâun ‘hijau daun’ merupakan suatu hal yang

lumrah untuk merujuk warna hijau dan bukan sesuatu yang lucu seperti

anggapan orang luar Madura yang mengira bahwa bhiru dâun adalah

‘biru daun’. Dengan kata lain, makna dari bhiru disesuaikan dengan

warna fisik dari atribut yang melekat pada warna utama. Maka, penutur

bahasa Madura tentu bisa membedakan antara warna hijau dan biru.

Hanya saja, pengucapan bhiru yang hampir sama dengan ‘biru’ dalam

bahasa Indonesia memicu munculnya anggapan bahwa suku Madura

adalah suku buta warna. Selain itu, salah satu informan mengungkapkan

“Mengapa tidak mengatakan hijau? karena itu berkaitan dengan

filosofis. Kalau hijau tidak ada filosofisnya, tetapi kalau bhiru itu kolbu

assobiru, jadi latifatul kolbi. Jadi, kolbi ini yang punya kesabaran yang

tinggi. Kalau hijau, apa hijau? Itu orang Madura memberikan nama

menyesuaikan dengan makna filosofis yang mau dituturkan”92. Jadi,

pemilihan nama warna dalam masyarakat Madura di Kab. Sumenep juga

mementingkan makna yang terkandung di dalamnya sebab mereka

percaya apa yang dikatakan sama halnya dengan doa.

Kedua, masyarakat Madura di Kab. Sumenep biasa

mendeskripsikan warna langit dengan leksem bungo ‘ungu’ daripada

leksem bhiru ‘biru’ sehingga muncullah frasa bungo langngѐ’ ‘ungu

langit’ yang menurut penuturnya sama dengan bhiru langngѐ’ ‘biru

langit’. Hal ini dikarenakan menurut pandangan mereka, warna langit

selalu berubah dan tidak selalu biru. Ada satu waktu ketika warna langit

terlihat keunguan seperti ketika menjelang senja dan warna itulah yang

terus melekat dalam pandangan mereka. Selain itu, dalam Kamus

Lengkap Bahasa Madura Indonesia93, bungo berarti ungu atau biru. Jadi,

orang Madura menganggap warna bhiru ‘biru’ adalah bagian dari warna

ungu, begitupun sebaliknya sehingga keberadaan leksem bungo dianggap

dapat menggantikan keberadaan dua warna. Sebagai contoh penggunaan

92 Penuturan informan: Bapak Taufiq, usia 59 tahun. 93 Menurut Pawitra (2009: 92).

Page 243: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 220

leksikon bungo terbukti dapat digantikan dengan leksikon lain yaitu

bhiru dalam bhiru terong ‘biru terong’. Frasa bhiru terong bermakna

ungu karena terdapat atribut terong yang melekat di dalamnya. Oleh

karena itu, salah satu fungsi dari adanya atribut dalam nama warna ialah

untuk membedakan antara leksem warna yang memiliki bentuk

pengucapan sama.

Ketiga, walaupun orang Madura menggunakan leksikon bu-abu

untuk merujuk warna abu-abu, sebenarnya orang-orang Madura kuno

lebih familier menyebut abu yang bermakna abu tungku. Jadi, warna

abu-abu mengacu pada abu yang dihasilkan dari pembakaran kayu pada

tungku ketika memasak sebab masih banyak orang Madura yang

memasak menggunakan alat tradisional tungku hingga saat ini. Dengan

begitu, penggunaan leksikon abu-abu tidak begitu luas seperti warna-

warna lainnya karena acuannya terbatas.

Selanjutnya, orang Madura terkenal menyukai warna-warna

mencolok. Ada beberapa faktor yang mendasari kegemaran orang

Madura tersebut, pertama jika dilihat dari letak geografisnya, daratan

Madura sangat dekat dengan bibir pantai, tanahnya gersang, dan curah

hujannya rendah. Hal ini mengakibatkan cuaca di Pulau Madura sangat

panas sehingga masyarakatnya suka mengenakan pakaian atau atribut

warna-warna mencolok agar tidak menyerap sinar matahari. Ternyata,

hitam menyerap warna dan menciutkan ukuran karena hitam menyerap

cahaya94. Oleh sebab itu, masyarakat Madura di Kab. Sumenep meyakini

jika menggunakan pakaian berwarna mencolok akan mengurangi tingkat

kepanasan udara. Faktor kedua ialah warna mencolok merepresentasikan

karakter orang Madura

Pertama, kegemaran orang Madura dalam mengenakan warna-

warna mencolok merepresentasikan diri mereka sebagai seorang

pemberani. Pemberani yang dimaksud adalah bersifat tegas dalam

membela kebenaran dan harga diri. Namun, hal ini justru disalahartikan

oleh masyarakat luar yang menilai orang Madura sebagai pribadi yang

94 Dikutip dari buku Warna: Teori dan Kreativitas Penggunaanya (Darmaprawira, 2002: 59).

Page 244: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 221

keras dan selalu merujuk pada kekerasan atau suka berbuat onar.

Sebenarnya, kerasnya orang Madura adalah tegas. “Jadi kalau orang

Madura itu punya filosofis lebih baik putih tulang dari pada putih mata.

Artinya, orang Madura ini tidak pernah mau mengganggu siapapun.

Tetapi begitu juga sebaliknya, kalau harga dirinya juga dilecehkan,

maka akan muncul Maduranya, siapapun itu. Jadi, kan kerasnya

pakerres, keras tetapi ada tempatnya di mana digunakan”95. Pembawaan

berani pada orang Madura adalah berani karena benar sehingga mampu

menjadikan orang Madura tersebut sebagai individu yang tegas dalam

menjalani kehidupan. Jika orang lain mengidentikkan karakter keras

orang Madura karena tradisi carok-nya, maka yang perlu diketahui

adalah bahwa carok dilakukan satu lawan satu dengan kesepakatan

kedua belah pihak. Dengan kata lain, carok adalah tindakan pilih-pilih

bulu, bukan penyerangan secara tiba-tiba karena carok memiliki tata cara

khusus. “Madura itu sebenarnya ada filosofisnya. Keras pakerres, gaga’

pasogha’. Pakerres ini artinya kerasnya orang Madura itu tidak keras

kasar, tetapi keras santun, disesuaikan dengan kondisinya seperti apa.

Jadi jangan kita konotasikan dengan carok”96. Selanjutnya jika

dihubungkan dengan warna, menurut salah satu tokoh budayawan

Sumenep97, orang yang wataknya berani dan tegas akan menyukai warna

yang berani dan tegas pula, seperti merah, kuning, hijau, dan biru.

Kedua, kegemaran orang Madura dalam mengenakan warna-warna

mencolok juga merepresentasikan diri mereka sebagai seorang yang

saduhuna ‘apa adanya’ dan tidak mau basa-basi. Jika orang lain berpikir

bahwa warna-warna mencolok yang terlihat saling menabrak itu

kampungan, justru bagi orang Madura hal tersebut adalah penjelmaan

dari sifat apa adanya. Jadi, masyarakat Madura di Kab. Sumenep

meyakini bahwa manusia itu tidak perlu menjadi sosok lain hanya karena

ingin dinilai bagus atau indah di mata sesama manusia, melainkan cukup

menjadi diri sendiri dan apa adanya. Ketiga, warna-warna mencolok

95 Penuturan informan: Bapak Taufiq, usia 59 tahun. 96 Bapak Nurul Hamzah, usia 61 tahun. 97 Penuturan informan: Bapak Akh. Darus, usia 63 tahun.

Page 245: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 222

merepresantikan sikap optimisme dan semangat tinggi untuk menjalani

hidup. Hal tersebut juga berhubungan dengan mobilitas suku Madura

yang tinggi atau gemar merantau untuk mencari nafkah. Kenyataan ini

dapat dibuktikan dengan keberadaan suku Madura yang hampir ada di

setiap penjuru negeri, baik itu berdagang ataupun menyediakan jasa.

Keempat, bagi orang Madura warna-warna mencolok tersebut

terlihat selalu di depan. Hal ini dikarenakan jika ada banyak pilihan

warna, baik warna terang dan warna soft, maka warna terang akan lebih

dulu terlihat. Begitupula dengan orang Madura yang ingin menonjol.

Misalnya ketika ada acara karapan sapi, para pemain musik saronѐn akan

mengenakan pakaian warna-warni agar bisa mencuri perhatian penonton

atau ketika membuat pewarnaan batik para pembatik Madura akan

menggunakan warna-warna terang. Sejalan dengan kegemaran

masyarakat Madura di Kab. Sumenep dengan warna-warna terang, kini

pemerintah daerah Kab. Sumenep juga telah menetapkan warna kuning

dan hijau sebagai warna resmi di Kab. Sumenep sehingga banyak

digunakan dalam arsitektur-arsitektur di pusat kota sebagai ciri khas

warna terang Madura, khususnya Sumenep98.

98 Penuturan informan: Ibu Meinarny Ferdiantina, usia 27 tahun.

Gambar 22. Kain batik Pekandangan

Sumenep, dok. penulis. Gambar 23. Ukiran kayu Karduluk Sumenep,

dok. penulis.

Page 246: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 223

2. Makna kultural dari konsep penggunaan warna dalam masyarakat

Madura di Kab. Sumenep

Pada hasil penelitian, penggunaan warna dibagi dalam masyarakat

Madura di Kab. Sumenep menjadi dua jenis, yaitu penggunaan dalam

domain verbal dan nonverbal. Domain verbal yang di dalamnya

ditemukan penggunaan nama warna adalah parѐbhasan ‘peribahasa’, oca’

kѐyasan ‘ungkapan’, dan carѐta rakyat ‘cerita rakyat’. Selanjutnya,

domain nonverbal yang di dalamnya terdapat makna khusus dari

penggunaan warna adalah rapè’ ‘pakaian bagian atas’ tari Muwang

Sangkal, lâ-jhilâ ‘ikat pinggang’ tari Muwang Sangkal, bherrâs konѐng

‘beras kuning’ tari Muwang Sangkal, kalambhi ‘pakaian’ tari Ratib,

topeng tokoh Gatot Kaca, topeng tokoh Kresna, topeng tokoh Arjuna,

topeng tokoh Subadra, topeng tokoh Semar, bangunan keraton Labâng

Mѐsem ‘pintu tersenyum’, alat transportasi bhâdhân ‘badan perahu’,

cangghi ‘penutup sesajen’ pada ritual Nyadhar, racok saѐbu ‘pakaian

Gambar 25. Hiasan di titik 0 kilometer Kab.

Sumenep, dok. penulis. Gambar 24. Pemain musik Saronѐn, dok.

Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan

Olahraga Kab. Sumenep

Gambar 26. Logo ‘Selamat Datang’ di Kab.

Sumenep, dok. penulis.

Gambar 27. Taman kota Kab. Sumenep, dok.

penulis.

Page 247: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 224

seribu warna’ pada ritual Nyadhar, pakaian adat pernikahan leghâ, dan

kuliner tajhin sanapora atau lѐma’ bârna ‘bubur lima warna’.

Dari kesembilan warna yang dikenal oleh masyarakat Madura di

Kab. Sumenep, hanya ada 5 warna yang digunakan dalam domain verbal

tersebut, antara lain potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’, bhiru

‘hijau’ dan konѐng ‘kuning’. Lalu, ada 6 warna yang digunakan dalam

domain nonverbal, antara lain potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’,

bhiru ‘hijau’, konѐng ‘kuning’, dan sokklat ‘cokelat’. Hasil penelitian di

lapangan membuktikan bahwa tidak semua warna memiliki makna dalam

penggunaannya baik dalam domain verbal maupun nonverbal. Hal ini

dikarenakan warna terbagi menjadi 2 jenis, yaitu warna motivasi dan

warna nonmotivasi. Warna motivasi adalah warna yang digunakan

dengan maksud tertentu atau warna yang dianggap memiliki makna oleh

penggunanya. Sebaliknya, makna nonmotivasi adalah warna yang

digunakan hanya untuk unsur estetika (keindahan) atau tanpa makna. Di

dalam domain verbal, warna nonmotivasi terdiri dari sokklat ‘cokelat’,

bhiru ‘biru’, bhiru ‘hijau’, bungo ‘ungu’, dan bu-abu ‘abu-abu’.

Selanjutnya, warna nonmotivasi pada domain nonverbal terdiri dari bhiru

‘biru’, bungo ‘ungu’, dan bu-abu ‘abu-abu’.

Setiap warna yang sama jika digunakan dalam jenis domain verbal

maupun nonverbal berbeda belum tentu memiliki makna kultural yang

sama pula. Dengan kata lain, tiap warna memiliki ciri khas atau makna

khusus yang disesuaikan dengan atribut yang melekat pada warna utama

serta konteks dari penggunaan warna yang turut mempengaruhi pesan

yang ingin disampaikan. Berikut adalah perbandingan makna tiap warna

dalam domain verbal dan nonverbal.

Page 248: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 225

Tabel 10. Perbandingan makna kultural warna pada domain verbal dan

nonverbal

Warna Domain

Verbal Nonverbal

Potѐ ‘putih’

-

Berbudi pekerti

Tanah kapur

Menyatu dengan

alam

Bersih

Suci

Potѐ tolang

‘putih tulang’ Mati

-

Potѐ mata ‘putih

mata’ Malu

-

Potѐ kapor

‘putih kapur’ Suci

-

Konѐng ‘kuning’ Berhasil

Kecantikan fisik

Kecantikan

perilaku

Sinar matahari

Keberhasilan

duniawi

Keramahan

Burung

kepudang

Hati yang bersih

Konѐng kalak

‘kuning kalak’ Rupawan

-

Konѐng mondhu

‘kuning mundu’ Kulit cerah

-

Celleng ‘hitam’ Tidak bermoral Hati manusia

Yang Maha

Kuasa

Musim

penghujan

Celleng

mangghis ‘hitam

manggis’

Kulit gelap -

Bhiru ‘hijau’ Pendiam Bumi

Unsur

kerohanian

Dedaunan

Baik atau bagus

Mѐra ‘merah’ Logam Keberanian

Matahari

Kehidupan

Nafsu amarah

Sari bunga

Page 249: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 226

Berusaha

Sokklat ‘cokelat’ - -

Sokklat towa

‘cokelat tua’ -

Tanah tempat

manusia berpijak

Sokklat ngodâ

‘cokelat muda’ -

Musim kemarau

Selain makna pada warna-warna di atas, dalam bahasa Madura di

Kab. Sumenep juga terdapat gabungan dua warna yang memiliki makna

kultural berbeda dengan warna dasarnya. Makna gabungan warna

tersebut dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 11. Perbandingan makna kultural gabungan warna pada domain

verbal dan nonverbal

Gabungan Warna Domain

Verbal Nonverbal

Potѐ ‘putih’ + celleng

‘hitam’ Kekuasaan

-

Mѐra ‘merah’ +

konѐng ‘kuning’ -

Bahagia

Mѐra ‘merah’ + bhiru

‘hijau’ -

Marah

Mѐra bâlurik ‘putih

bintik-bintik merah’ - Pegantian musim

dari hujan ke

kemarau

Dari data di atas dapat dilihat jika satu lingual warna dapat

memiliki makna yang bertentangan atau berbeda. Misalnya, dalam

peribahasa lebbi bhâgus potѐ tolang ѐtembhâng potѐ mata ‘lebih baik

putih tulang daripada putih mata’, warna potѐ ‘putih’ yang mendapatkan

atribut tolang ‘tulang’ bermakna ‘mati’, sedangkan dalam peribahasa tѐ-

potѐanna kapor salaghi bâ’âng ‘seputih-putihnya kapur tetap ada

pahitnya’, warna potѐ ‘putih’ yang mendapatkan atribut kapor ‘kapur’

bermakna ‘suci’. Begitu pula dengan penggunaan warna dalam domain

nonverbal. Misalnya, warna konѐng ‘kuning’ pada bherrâs konѐng ‘beras

kuning’ bermakna ‘sinar matahari’, sedangkan warna konѐng ‘kuning’

pada baju adat pernikahan leghâ bermakna ‘burung kepudang’. Selain

Page 250: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 227

itu, ada juga warna yang maknanya berlawanan di dalam domain yang

berbeda, misalnya warna celleng ‘hitam’ dalam domain verbal bermakna

‘tidak bermoral’, sebaliknya warna celleng ‘hitam’ dalam domain

nonverbal bermakna ‘Tuhan’.

Perbedaan makna dalam warna yang sama disebabkan oleh

beberapa faktor. Zhāng Wàngxī99 menyebutkan ada 2 faktor yang

mempengaruhi hal tersebut, pertama manusia memiliki pikiran yang

berlawanan ketika dihadapkan dengan lingkungan luar. Kedua, warna

sendiri memiliki sifat yang berlawanan. Warna terdiri dari tiga elemen

yang merupakan komposisi dari satu warna, yaitu gelombang warna,

kejenuhan warna, dan intensitas warna. Misalnya, warna kuning memiliki

intensitas sinar yang tinggi, maka akan berdampak dapat membuat orang

merasa tinggi, mulia, dan penuh harapan. Namun, di sisi lain warna

kuning memiliki gelombang warna yang pendek sehinga warna tersebut

tidak mudah dilihat daripada gelombang warna panjang seperti merah.

Akibatnya, warna kuning juga dapat membuat orang merasa gagal, sakit,

dan sebagainya.

Selain itu, juga diyakini ada beberapa faktor eksternal bahasa yang

mempengaruhi munculnya makna kultural pada warna-warna tersebut.

Pertama, faktor sejarah. Sejak zaman dahulu bangunan Keraton Sumenep

bernuansa kuning. Keraton sendiri merupakan tempat kediaman para raja

dan keluarganya selama memerintah di Sumenep. Dengan begitu, salah

satu makna kultural dari warna konѐng ‘kuning’ yang dipercaya oleh

masyarakat Sumenep ialah keberhasilan duniawi. Hal ini dikarenakan

para raja umumnya memiliki hidup yang nyaman dengan harta yang

berlimpah serta memiliki kekuasaan yang besar. Kemudian, di Kab.

Sumenep sendiri terdapat legenda Dewi Saini yang mendapatkan julukan

sebagai Putri Kuning karena merupakan seorang putri raja dengan paras

dan perilaku yang rupawan sehingga makna kultural lain dari warna

konѐng ‘kuning’ mengacu pada kecantikan seseorang.

99 Dalam penelitiannya berjudul Makna Konotasi Warna (dalam Yunyu, 2015: 263).

Page 251: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 228

Faktor kedua adalah pengaruh lingkungan atau benda-benda sekitar

yang familer dengan masyarakat Madura di Kab. Sumenep Misalnya,

warna potѐ ‘putih’ memiliki makna ‘Madura tanah kapur’ karena

keadaan tanah di Madura sebagian besar tersusun dari batu kapur dan

batu tersebut banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti

untuk pewarnaan tembok rumah, pewarnaan perahu, dan juga sebagai

bahan membuat kapur sirih pinang. Kemudian, warna bhiru ‘hijau’

memiliki makna ‘bumi’ dan ‘dedaunan’ karena kehidupan masyarakat

Madura di Kab. Sumenep sangat dekat dengan alam, warna sokklat

‘cokelat’ memiliki makna ‘tanah’ dan ‘musim kemarau’ karena salah satu

tanda dari musim kemarau ialah dedaunan yang mulai mengering dan

berwarna cokelat, warna konѐng ‘kuning’ bermakna ‘sinar matahari’ dan

bulu pada ‘burung kepudang’, serta warna mѐra ‘merah’ menyerupai

putik bunga yang menyimpan ‘sari bunga’. Faktor ketiga adalah

pengaruh spiritual yang diyakini oleh masyarakat Madura di Kab.

Sumenep. Misalnya, warna bhiru ‘hijau’ bermakna unsur kerohanian dan

keakhiratan karena warna tersebut sama dengan kain penutup keranda

ketika mengantarkan jenazah pada peristirahatan terakhir.

Faktor keempat adalah pengaruh kebudayaan luar. Misalnya, warna

bhiru ‘hijau’ dimaknai sebagai sesuatu yang baik atau bagus karena

masyarakat Madura di Kab. Sumenep meminjam makna dari kosakata

yang hampir menyerupai penyebutan bhiru dalam bahasa Madura

tersebut dengan al-birr dalam bahasa Arab yang artinya ‘kebajikan’. Jadi,

di antara keempat warna identik yang dipegang teguh oleh orang Madura

khususnya di Kab. Sumenep, bhiru tidak memiliki keratabasa seperti

lainnya. Oleh sebab itu, untuk tetap memberikan makna khususnya

makna yang positif agar dapat dijadikan bagian dari prinsip hidup seperti

warna lainnya, maka dicarilah kosakata dalam bahasa lain yang

menyerupai bhiru, yaitu al-birr ‘kebajikan’. Jadi, bukan leksem bhiru

berasal dari bahasa Arab, melainkan maknanya dipinjam dari kosakata

sejenis dari bahasa Arab. Peminjaman makna dari bahasa Arab ini dapat

disebabkan karena setelah menganut animisme pada zaman purba kala,

Page 252: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 229

masyarakat Madura secara luas mengenal Islam sejak pada abad ke XV

bahkan pada abad XVI kerajaan-kerajaan Islam sempat bejaya di

Madura. Lalu, dari situlah bahasa Madura menyerap ratusan kosakata

dari bahasa Arab (Kiliaan, 1904-1905) terutama dalam istilah keagamaan

(monajat ‘munajat’, molod ‘maulid’, mortad ‘murtad’, dll). Dengan kata

lain, ketika warna bhiru itu belum memiliki makna khusus, maka bahasa

lain pertama yang dicari padanannya adalah bahasa Arab karena

pengaruh keislaman yang sangat kuat. Hal ini sesuai dengan pendapat

Rifai (2007: 44) yang menyatakan bahwa berkembangnya ungkapan,

peribahasa, atau kosakata yang bernuansa atau mengacu pada makna

keislaman dalam jumlah banyak adalah sebagai bentuk penghayatan dan

pengamalan mereka (masyarakat Madura) yang membudaya dan

melembaga terhadap agamanya (Islam).

Faktor kelima adalah pengaruh warna-warna identik orang Madura

yang berhubungan dengan prinsip hidup mereka, biasanya disebut

sebagai abârna lèma’ ‘berwarna lima’100. Warna pertama ialah konѐng

‘kuning’. Dalam keratabasa bahasa Madura di Kab. Sumenep, konèng itu

kolbu sè bennèng ‘hati yang bersih’. Ketika orang memiliki hati yang

bersih, baik dia adalah orang kecil atau besar, tua atau muda, maka

hidupnya akan moljâ ‘mulia’ dan berkah. Warna kedua ialah potѐ ‘putih’.

Bagi masyarakat Madura di Kab. Sumenep, warna potѐ ‘putih’ dikaitkan

dengan potѐ atѐ ‘putih hati’ yang bermakna penter soccè budhi tèngghi

ajhilarang kakabhi monjhung ‘pintar, suci, dan berbudi pekerti tinggi’.

Warna ketiga ialah mѐra ‘merah’. Dalam keratabasa bahasa Madura di

Kab. Sumenep, mѐra itu maranta pangara ‘mempersiapkan segela

sesuatu’ atau ‘berusaha’. Oleh sebab itu, orang Madura harus memiliki

semangat tinggi dan jiwa pemberani dalam menjalani hidup, terutama

menafkahi diri serta keluarga. Jadi, orang Madura tidak boleh berpangku

tangan, melainkan abhântal ombâ’ asapo’ angѐn ‘berbantal ombak

berselimut angin’, yaitu bekerja keras. Hal tersebut dikarenakan sapa sè

atanè atana’, sapa sè adagang adaging ‘siapa yang bertani akan

100 Penuturan informan: Bapak Taufiq, usia 59 tahun.

Page 253: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 230

menanak nasi, siapa yang berdagang akan memakan daging’. Dengan

kata lain, tidak ada proses yang mengkhianati hasil. Manusia harus

berikhtiar dan semangat jika ingin memperoleh sesuatu. Warna keempat

ialah celleng ‘hitam’. Bagi masyarakat Madura di Kab. Sumenep, celleng

terdiri dari dua suku kata, yaitu cel yang bermakna celleng ‘hitam’ dan

pel singkatan dari pelleng yang bermakna ‘menuju kepada Yang Maha

Kuasa’. Selain itu, warna celleng ‘hitam’ juga dimaknai sebagai ‘hal

buruk’ karena hitam mengacu pada hitamnya hati manusia yang penuh

dosa. Terakhir ialah warna bhiru yaitu ‘hijau’ atau ‘biru’. Menurut salah

satu informan, makna leksem bhiru diambil dari bahasa Arab yang

hampir menyerupai penyebutan bhiru dalam bahasa Madura yaitu al-birr

yang artinya ‘kebajikan’ serta assobhiru yang artinya ‘sabar’ dalam

menerima segala ujian Tuhan. Dari penjelasan tersebut dapat

disimpulkan bahwa warna dapat mencerminkan makna kultural dan tèn-

atènna ‘karakter hidup’ orang Madura. Terlebih, warna yang tersimpan

di dalam domain verbal dijadikan sebagai pedoman dalam bersifat dan

berperilaku101.

Selanjutnya, selain faktor eksternal bahasa, munculnya makna

konotasi atau makna kultural yang beragam dalam satu warna juga bisa

disebabkan oleh faktor internal bahasa itu sendiri. Yunyu (2015) dalam

penelitiannya menjelaskan jika makna denotasi dapat sedikit demi sedikit

merujuk dan membentuk makna konotasi baru. Untuk membuktikan hal

tersebut, nama-nama warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep

tururt mengaplikasikan pernyataan tersebut. Warna konѐng ‘kuning’

memiliki makna denotasi sebagai warna yang serupa dengan warna

kunyit atau emas murni. Dari makna tersebut muncul pola pemikiran

baru bahwa emas murni adalah sesuatu yang berharga dan tidak semua

orang mampu membelinya karena harganya yang mahal. Dengan kata

lain, orang-orang yang memiliki kemampuan finansial lebih dapat

membeli emas murni. Bagi masyarakat Madura di Kab. Sumenep,

keberhasilan membeli emas murni, bahkan hingga mampu

101 Dikutip dari buku Manusia Madura (Rifai, 2007: 236).

Page 254: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 231

mengoleksinya adalah salah satu bentuk keberhasilan duniawi atau

kesuksesan. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan makna

warna kuning, yaitu:

kuning emas; emas keberhasilan duniawi

Contoh lainnya, warna mѐra ‘merah’ memiliki makna denotasi

sebagai warna dasar yang serupa dengan warna darah. Dari makna

tersebut muncul pola pemikiran baru bahwa darah bisa muncul karena

adanya pertumpahan darah yang disebabkan oleh peperangan. Dalam

berperang seorang kesatria harus terus berusaha keras di medan perang

dan memiliki keberanian untuk melawan musuh walaupun nyawa

menjadi taruhannya. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan

makna warna merah, yaitu:

merah darah; darah peperangan; peperangan berusaha

keberanian

Dari penjelasan di atas dapat diketahui jika makna konotasi

maupun kultural dalam warna dipengaruhi oleh faktor eksternal dan

internal bahasa. Hal ini juga sesuai dengan teori psikologi warna oleh

David (1987) yang menjelaskan bahwa manusia memiliki cara dalam

melihat warna kemudian mengolahnya di otak dan mengekspresikannya.

Warna dapat mengekspresikan isi hati dan kepala manusia. Selain itu,

warna memiliki arti perlambangan yang spesifik dan bervariasi mulai

dari situasi sosial yang satu ke situasi sosial yang lainnya102.

102 Dikutip dari buku Warna: Teori dan Kreativitas Penggunaanya (Darmaprawira, 2002: 39).

Page 255: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 232

3. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya penamaan warna

dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep

Dari hasil penelitian, dipetakan faktor-faktor yang menyebabkan

munculnya penamaan warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep

menjadi 4 faktor, yaitu (1) faktor geografis kedekatan masyarakat Madura

di Kab. Sumenep dengan alam, (2) faktor kemasyarakatan

matapencaharian masyarakat Madura di Kab. Sumenep, (3) faktor

spiritual keislaman masyarakat Madura di Kab. Sumenep, dan (4) faktor

tradisi yang dilakukan masyarakat Madura di Kab. Sumenep.

Pandangan Sapir menyatakan bahwa analisis terhadap kosakata

suatu bahasa sangat penting untuk menguak lingkungan fisik dan sosial di

mana penutur bahasa bermukim103. Dengan kata lain, terbentuknya

kosakata dalam suatu bahasa dapat dipengaruhi oleh wilayah dan

lingkungan hidup penuturnya. Misalnya, leksikon warna bu-abu busok

‘abu-abu kucing busok’ tidak akan dipahami oleh masyarakat luar Madura

karena kucing busok adalah kucing khas Sumenep tepatnya dari Pulau

Raas yang hanya berada di Sumenep. Contoh lainnya, suku Madura yang

dekat dengan alam mengakibatkan perbendaharaan nama warna

didominasi oleh warna yang beratribut tumbuhan. Selain pada suku

Madura, suku Eskimo yang wilayah tempat tinggalnya di kutub memiliki

perbendaharaan nama warna yang berlimpah dengan atribut es dan salju,

penduduk padang pasir memiliki perbendaharaan nama warna yang cukup

banyak pada rentang warna kuning hingga cokelat yang mendekati warna

pasir, dan suku Maori di Selandia Baru memiliki lebih dari seratus nama

warna untuk merah serta perbendaharaan yang banyak mengenai warna

tumbuhan. Dengan begitu, perkembangan lingkungan budaya masyarakat

ternyata mempengaruhi perkembangan ‘kamus warna’104.

Menurut Yunyu (2015), cara pertama dan terpenting yang

digunakan oleh manusia untuk mendeskripsikan warna adalah dengan

meminjam benda yang ada di sekitarnya untuk membentuk warna

103 Dikutip dari buku Kearifan Lokal dalam Bahasa dan Budaya Jawa (Abdullah, 2017: 49). 104 Dikutip dari buku Warna: Teori dan Kreativitas Penggunaanya (Darmaprawira, 2002: 52).

Page 256: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 233

spesifik. Oleh sebab itu, selain kedekatan secara geografis, aktifitas

keseharian manusia juga dapat mempengaruhi pembentukan nama warna.

Misalnya, orang-orang yang berprofesi sebagai petani akan cenderung

melekatkan atribut-atribut dari tanaman yang setiap hari ditemui untuk

membentuk nama warna. Sebaliknya, orang-orang yang berprofesi

sebagai ibu rumah tangga cenderung membentuk nama warna dari benda-

benda di lingkungan rumah yang juga familier dengan mereka. Oleh

sebab itu, di dalam bahasa tersimpan nama-nama berbagai benda yang ada

di lingkungan manusia, sebab melalui proses ini manusia lantas dapat

menciptakan keteraturan dalam persepsinya atas lingkungan105. Selain itu,

dari nama-nama benda yang digunakan tersebut dapat diketahui pula

acuan yang digunakan oleh sekelompok masyarakat untuk membuat

penamaan warna.

Bahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam sebuah masyarakat

merupakan hasil pengetahuan atau cognition terhadap lingkungan

sekitarnya. Menurut Goodenough106, sistem kognisi atau cognition

tersebut merupakan kebudayaan yang terdiri dari pengetahuan,

kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota

individual masyarakat. Oleh sebab itu, terbentuknya penamaan warna

juga bisa dipengaruhi oleh tradisi dan kepercayaan spiritual dari

masyarakat tuturnya. Dalam ranah tradisi, jika masyarakat tidak

menjalankan tradisi tersebut, maka tidak akan muncul pemahaman

mengenai kosakata yang digunakan, misalnya warna cokklat sapѐ ‘cokelat

sapi’ dan bhiru calattong ‘hijau kotoran sapi’ yang digunakan oleh

masyarakat Madura di Kab. Sumenep. Hal tersebut dikarenakan sapi

adalah hewan yang menjadi bagian hidup dari orang Madura, mulai dari

untuk membajak sawah, diperjualbelikan, hewan aduan kerapan sapi,

hingga bukti status sosial seorang individu di Madura. Begitu pula perihal

kepercayaan, masyarakat Madura di Kab. Sumenep yang mayoritasnya

beragama muslim dan mengikuti organisasi keislaman Nadlatul Ulama

(NU) memberikan dampak kepada bahasa yang mereka gunakan,

105 Dikutip dari buku Kearifan Lokal dalam Bahasa dan Budaya Jawa (Abdullah, 2017: 49). 106 Dikutip dari buku Tubuh dan Bahasa (Istiyani, 2004: 23).

Page 257: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 234

misalnya pada leksikon warna bhiru patayat ‘hijau fatayat’ yang

mendeskripsikan salah satu bagian dari organisasi NU tersebut.

Jadi, bahasa mampu mendeskripsikan bagaimana pandangan hidup

masyarakat terhadap budayanya sebab jalan paling mudah untuk

memahami suatu kebudayaan adalah melalui bahasa, terutama melalui

daftar kosakata yang ada di dalam suatu bahasa, seperti daftar nama

warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep ini. Hal tersebut juga

diperkuat oleh Masinawbow (1997) yang menyatakan bahwa tiap leksem

merupakan representasi dari satu unit pengetahuan budaya yang disebut

sebagai konsep budaya.

Page 258: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 235

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Bab penutup ini berisi simpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah

dilakukan. Adapun deskripsi lengkap simpulan dan saran dari hasil penelitian ini

adalah sebagai berikut.

A. Simpulan

1. Masyarakat Madura di Kab. Sumenep mengenal 9 nama warna yaitu potѐ

‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’, bhiru ‘hijau’, konѐng ‘kuning’,

dan sokklat ‘cokelat’, serta 3 warna nondasar yaitu bhiru ‘biru’, bungo

‘ungu’, dan bu-abu ‘abu-abu’. Dari kesembilan warna tersebut ditemukan

205 warna turunan dengan atribut adjektiva, nomina, dan verba. Atribut

yang paling mendominasi ialah atribut nomina tumbuhan yang secara

sosiokultural merepresentasikan kedekatan masyarakat Madura di Kab.

Sumenep dengan alam, baik secara letak geografis maupun

matapencahariannya. Masyarakat Madura di Kab. Sumenep merujuk

sebuah warna menggunakan benda-benda yang sangat familier dan dekat

dengan mereka. Selain itu, atribut-atribut yang melekat pada nama warna

juga memiliki fungsi (1) untuk membedakan antara leksem warna yang

memiliki bentuk pengucapan sama, dan (2) sebagai alat bantu untuk

merepresentasikan kehidupan sosial dan budaya dari penuturnya.

2. Makna kultural dari konsep penggunaan warna dalam masyarakat

Madura di Kab. Sumenep dibagi menjadi domain verbal dan nonverbal.

Terdapat 5 warna yang digunakan dalam domain verbal, antara lain potѐ

‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’, bhiru ‘hijau’ dan konѐng

‘kuning’. Lalu, ada 6 warna yang digunakan dalam domain nonverbal,

antara lain potѐ ‘putih’, celleng ‘hitam’, mѐra ‘merah’, bhiru ‘hijau’,

konѐng ‘kuning’, dan sokklat ‘cokelat’. Warna yang memiliki makna

tersebut adalah warna motivasi, sedangkan warna yang tidak ditemukan

adalah warna nonmotivasi yang penggunaannya hanya sebagai unsur

estetika. Setiap warna yang sama jika digunakan dalam jenis domain

Page 259: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 236

berbeda belum tentu memiliki makna kultural yang sama pula.

Beragamnya makna dalam satu warna dapat disebabkan oleh faktor

eksternal dan internal bahasa. Faktor eksternal berupa (1) pola pikir

manusia, (2) sifat warna, (3) sejarah, (4) lingkungan, (5) spiritual, (6)

kebudayaan asing, dan (7) warna-warna identik yang dikenal masyarakat

Madura di Kab. Sumenep. Selanjutnya, faktor internal bahasa berupa

hubungan makna denotasi dalam pembentukan makna baru (makna

kultural).

3. Terdapat empat faktor yang menyebabkan munculnya penamaan warna

dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep, yaitu (1) kedekatan masyarakat

Madura di Kab. Sumenep dengan alam, (2) matapencaharian masyarakat

Madura di Kab. Sumenep, (3) spiritual keislaman masyarakat Madura di

Kab. Sumenep, dan (4) tradisi yang dilakukan masyarakat Madura di

Kab. Sumenep. Manusia cenderung meminjam atau mengacu pada

benda-benda yang sering ditemui di sekitarnya untuk mendeskripsikan

sebuah warna secara spesifik. Selanjutnya, bahasa yang dimiliki oleh

seseorang dalam sebuah masyarakat merupakan hasil pengetahuan atau

cognition terhadap lingkungan sekitarnya. Sistem kognisi atau cognition

tersebut merupakan kebudayaan yang terdiri dari pengetahuan,

kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota

individual masyarakat. Oleh sebab itu, selain wilayah dan

matapencaharian, terbentuknya penamaan warna juga bisa dipengaruhi

oleh tradisi dan kepercayaan spiritual dari masyarakat tutur.

B. Saran

Hasil penelitian tentang nama-nama warna dalam bahasa Madura di

Kab. Sumenep dari perspektif kajian etnolinguistik ini mengarahkan saran

penelitian seperti berikut.

1. Untuk pemerintah daerah dan masyarakat Madura

Kajian terhadap nama-nama warna dalam bahasa Madura di Kab.

Sumenep ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor salah satunya ialah

Page 260: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 237

kurangnya pengetahuan generasi muda di Pulau Madura dalam

menggunakan kosakata warna sehingga kosakata warna dalam bahasa

Madura tergeser posisinya dengan bahasa Indonesia bahkan bahasa

Inggris. Berdasarkan hal tersebut, disarankan kepada pemerintah daerah

khususnya Dinas Pendidikan agar menambah bahan ajar dalam buku

muatan lokal bahasa Madura salah satunya dengan pengenalan kosakata

warna dalam bahasa Madura. Sebelumnya telah diamati bahwa buku-

buku muatan lokal bahasa Madura tingkat SD dan SMP di Kab. Sumenep

belum diberikan materi perihal kosakata warna ini.

Selanjutnya, penelitian ini diharapkan juga dapat dijadikan

sebagai sarana agar masyarakat Madura khususnya di Kab. Sumenep

dapat menambah khazanah pengetahuan mereka mengenai kosakata

warna dalam bahasa Madura di Kab. Sumenep beserta makna kultural

dari penggunaan warna tersebut. Jadi, tidak hanya para sesepuh,

budayawan, atau akademisi sebagai pelaku penelitian yang

mengetahuinya, melainkan seluruh lapisan masyarakat terutama generasi

muda.

2. Untuk peneliti selanjutnya

Penelitian yang dilakukan ini masih memiliki keterbatasan ruang

dan waktu. Oleh sebab itu, penelitian ini diyakini masih bisa terus

dikembangkan dan disempurnakan.

Untuk peneliti selanjutnya yang masih tertarik untuk mengkaji

nama-nama warna dalam bahasa Madura, disarankan agar memperluas

tempat penelitian yaitu Kab. lain di Pulau Madura atau keseluruhan Kab.

di Madura yang masih belum diteliti. Dengan begitu, selain

menyempurnakan penelitian yang sudah ada, hasil penelitian terbaru

nantinya dapat dijadikan perbandingan untuk mencari ragam bahasa dan

budaya di Pulau Madura, yaitu dari segi penggunaan kosakata warna dan

makna kultural penggunaan warna dari masyarakatnya.

Page 261: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 238

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Wakit. 2017. Kearifan Lokal dalam Bahasa dan Budaya Jawa

Masyarakat Nelayan di Pesisir Selatan Kebumen (Sebuah Kajian

Etnolinguistik). Surakarta: UNS Press.

Ahimsa-Putra, Heddy S. 1985. “Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah

Perbandingan Masyarakat Indonesia”. Jurnal Masyarakat Indonesia,

Vol.2, No.12, hlm. 103-133.

____________________. 1997. “Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian”. Temu

Ilmiah Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: 26-27 Maret 2018.

____________________. 2003. “Etnosains Mengungkap Pengetahuan

Masyarakat Pedesaan”. Dinamika Pedesaan dan Kawasan, Vol. 4, No. 4,

hlm. 34-35.

____________________. 2007. “Etnosains Untuk Etnokoreologi Nusantara

(Antropologi dan Khasanan Tari)”, hlm. 86-110. dalam Pramutomo

(edt.). Etnokoreologi Nusantara (Batasan Kajian, Sistematika, dan

Aplikasi Keilmuannya). Surakarta: ISI Press.

____________________. 2009. “Bahasa, Sastra, dan Kearifan Lokal di

Indonesia”. Jurnal Mabasan, Vol.3, No.1, hlm. 30-57.

Ahmad, Zainollah. 2018. Babad Modern Sumenep Sebuah Telaah Historiografi.

Yogyakarta: Araska.

Amrullah. 2015. “Islam di Madura”. Jurnal Islamuna, Vol.2, No.1, hlm. 57-69.

Azhar, Iqbal. 2017. “Prinsip-Prinsip Hidup Masyarakat Madura seperti Terkisah

dalam Cerita Rakyatnya”. Jurnal Atavisme, Vol.20, No.2, hlm. 224–236.

Baehaqie, Imam. 2014. “Jenang Mancawarna Sebagai Simbol Multikulturalisme

Masyarakat Jawa”. Jurnal Komunitas, Vol.6, No.1, hlm. 180-188.

Bappeda Jatim. 2013. Kab. Sumenep. Diakses 30 Juni 2018, dari

http://bappeda.jatimprov.go.id/bappeda/wp-content/uploads/potensi-kab-

kota-2013/kab-sumenep-2013.pdf.

Bascom, William. 1965. “Four Function of Folklore”. The Journal of American

Folklore, Vol.67, No.226, hlm. 333-349.

Berlin, B. dan Kay, P. 1969. Basic Color Terms: Their Universality and

Evolution. Berkeley: University of California Press.

Budaya Indonesia. 2012. Kenalkan Wajahku Pada Mereka. Diakses 23 Juli 2019,

dari http://lakoci234.blogspot.com/2012/11/face-of-indonesia.html.

Budiono, Satwiko. 2016. “Klasifikasi Warna Masyarakat Betawi di Marunda,

Jakarta Utara”. Jurnal Sirok Bastra, Vol.4, No.2, hlm. 101-110.

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Page 262: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 239

Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: PT Grafiti.

Darmaprawira, Sulasmi. 2002. Warna Teori dan Kreativitas Penggunaannya.

Bandung: Penerbit ITB.

Darmojuwono, Setiawati. 1989. “Pengaruh Klasifikasi Semantis Bidang Warna

Kepada Persepsi Manusia”. Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia,

Vol.7, No.14, hlm. 31-43.

Davis, Marian. 1987. Visual Design in Dress. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Dinas Komunisasi dan Informatika Kab. Sumenep. 2017. Pemerintah Kab.

Sumenep: Letak Geografis. Diakses 11 Agustus 2019, dari

http://sumenepkab.go.id/page/letak-geografis.

De Jonge, Huub. 2011. Garam Kekerasan dan Aduan Sapi. Yogyakarta: LKiS

Printing Cemerlang.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia

Edisi IV. Jakarta: Balai Pustaka.

Devianty, Rina. 2017. “Bahasa Sebagai Cermin Kebudayaan”. Jurnal Tarbiyah,

Vol.24, No.2, hlm. 226-245.

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistics Anthropolgy. New York: Cambridge

University Press.

Dyen, Isidore. 1962. “The Lexicostatistical Classification of the

Malayopolynesian Languages”. Language Journal, Vol.38, No.1, hlm.

38-46.

Faizin, Nur. 2018. Menakar Masa Depan NU di Madura. Diakses 13 Agustus

2019, dari http://www.jurnas.com/artikel/31972/Menakar-Masa-Depan-

NU-di-Madura/.

Farhia, Mita, dan Laura. 2014. “Analisis Asosiasi Kultural Atas Warna”. Jurnal

Humaniora, Vol.5, No.1, hlm. 172-184.

Fiandarti, Y. dan Bastari. 2009. Kosa Kata Bahasa Madura Lengkap. Surabaya:

Karya Simpati Mandiri.

Foley, William. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. London:

Oxford Blackwell.

Gazali, Moehnilabib, Abdul, Sasmidi, dan Nuril. 1979. Morfologi Sintaksis

Bahasa Madura. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Goodenough, Ward H. (1957). Cultural Anthropology and Linguistics, hlm. 167-

177. dalam P. L. Garvin (edt.). Report of the Seventh Round Table

Meeting on Linguistics and Language Study. Washington, DC:

Georgetown University Press.

Page 263: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 240

Haryono, Akhmad. 2014. “Kisah Ulama/Kiai Sebagai Strategi Penyampaian

Pesan Warga Nadhlatul Ulama Etnik Madura”. Jurnal Humaniora,

Vol.26, No.3, hlm. 337-350.

Hassan, A. dan Mohd, A. 2006. Koleksi Terindah Peribahasa Melayu. Kuala

Lumpur: PTS Millennia Sdn. Bhd.

Hidayat, Rahayu. 2004. Semiotika Budaya. Depok: UI Press.

Indra, Yulino. 2017. “Analisis Semantik Metafora Warna Bahasa Minangkabau”.

Jurnal Metalingua, Vol.5, No.1, hlm. 117-128.

Iptika, Amalisa. 2014. “Keterkaitan Kebiasaan dan Kepercayaan Mengunyah

Kapur Sirih Pinang dengan Kesehatan Gigi”. Jurnal Universitas

Airlangga, Vol.3, No.1, hlm. 64-69.

Istiyani, Chatarina. 2004. Tubuh & Bahasa. Yogyakarta: Galang Press.

Kamus Lengkap. 2019. Madura-Indonesia. Diakses 17 Juli 2019, dari

https://kamuslengkap.com/kamus/madura-indonesia/arti-

kata/n%C3%A8ng-kon%C3%A8ng-kalak-tekkaa-kon%C3%A8ng-

katolak.

_______________. 2019. Madura-Indonesia. Diakses 16 April 2019, dari

https://kamuslengkap.com/kamus/madura-indonesia/arti-kata/celleng.

Kaskatayeva dan Mazhitayeva. 2013. “Color Semantics: Linguistic-Cultural

Aspect”. International Journal of Language and Linguistics, Vol.1, No.1,

hlm. 34-37.

Keraf, Gorys. 1990. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta: PT Gramedia.

Knowles, M. dan Moon, R. 2006. Introducing Metaphor. London dan New York:

Routledge Taylor & Francis Group.

Leech, Geoffrey. 2003. Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lontar Madura. 2013. Tradisi Berloberen Harapan Minta Hujan Masyarakat

Langsar. Diakses 24 Juli 2019, dari http://www.lontarmadura.com/ritual-

berloberen-harapan-minta-hujan-masyarakat-langsar/.

MacDonald, Dimitris, dan Galina. 2014. “Gender Differences in Colour Naming”.

Colour Studies: A Broad Spectrum, hlm. 225-239.

Mualisah, Rifathul. 2009. Warna Logam. Diakses 24 Juli 2019, dari

https://rifathul.wordpress.com/2009/02/23/warna-logam-tembaga-perak-

dan-emas/.

Mulyadi, Achmad. 2018. “Memaknai Praktik Tradisi Ritual Masyarakat Muslim

Sumenep”. Jurnal Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, Vol.1,

No.2, hlm. 124-135.

Page 264: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 241

Muslim, Mohammad, dan Ike. 2018. Panduan Wisata Sumenep The Soul of

Madura. Sumenep: Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan

Olahraga.

Moleong, Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya.

Moeliono, Hasan, Soenjono, dan Hans. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa

Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Nazaruddin, Kahfie. 2015. Pengantar Semiotika. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Nugroho, Eko. 2008. Pengenalan Teori Warna. Yogyakarta: Andi Offset.

Nyamjav, Nansalmaa. 2015. “Color Naming Experiment In Mongolian

Language”. International Journal of Applied Linguistics & English

Literature, Vol.4, No.6, hlm. 58-63.

Odgen, C.K. dan Richards. 1923. The Meaning of Meaning. New York: Harcourt,

Brace, & World, Inc.

Palmer, Garry B. 1999. Toward A Theory of Cultural Linguistics. Austin:

University of Texas Press.

Parera, Jos Daniel. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.

Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

Paterson, Ian. 2003. A Dictionary of Colour. London: Replika Press.

Pawitra, Adrian. 2009. Kamus Lengkap Bahasa Madura Indonesia. Jakarta: Dian

Rakyat.

Peirce, Charles. 1998. The Essential Peirce Selected Philosophical Writings

(Volume 2 1893-1913). Bloomington: Indiana University Press.

Putri, Nur Awaliyah. 2017. “Metafora Pengungkap Kecantikan dalam Masyarakat

Madura”. Jurnal Etnolingual, Vol.1, No.2, hlm. 73-74.

Poespowardojo, Soerjanto. 1986. Pengertian Local Genius dan Relevansinya

dalam Modernisasi. dalam Ayatrohaedi (edt.), Kepribadian Budaya

Bangsa (Local Genius). Pustaka Jaya, Jakarta.

Rahayu, Santhi. dan Nailin, Naziyah. 2015. “Fatayat NU dalam Aspek

Kemasyarakatan di Surabaya Tahun 1959-1967”. Jurnal Verleden, Vol.3,

No.2, hlm. 175-182.

Rahyono, FX. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama

Widyasastra.

Ratih, Rina. 2016. Teori dan Aplikasi Semiotik Michael Riffaterre. Depok:

Pustaka Pelajar.

Riana, I. Ketut. 2009. Linguistik Budaya: Kedudukan dan Ranah Pengkajiannya,

hlm. 54-82. dalam Windia et al. (edt.), Pemikiran Kritis Guru Besar

Page 265: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 242

Universitas Udayana Bidang Sastra & Budaya. Udayana University

Press, Bali.

Rifai, Mien Ahmad. 2007. Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar Media.

Sadik, Sulaiman. 2011. “Kearifan Lokal dalam Sastra Madura dan Aplikasinya

dalam Kehidupan Sehari-hari”. Jurnal Okara, Vol.1, No.6, hlm. 88-106.

Saussure, Ferdinand. 1959. Course in General Linguistics. New York: The

Philosophical Library.

Santosa, Riyadi. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif Kebahasaan. Surakarta:

UNS Press.

Saptarini. 2016. Nama Tempat di Jawa Barat yang Berhubungan dengan

Pancaindra: Tinjauan Antropolinguistik. Bandung: Balai Bahasa Jawa

Barat.

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Poda.

_____________. 2013. Folklor Sebagai Media dan Sumber Pendidikan: Sebuah

Ancangan Kurikulum dalam Pembentukan Karakter Siswa Berbasis Nilai

Budaya Batak Toba, hlm. 1-25. dalam Endraswara S (edt.). Folklor

Nusantara Hakikat, Bentuk, dan Fungsi. Yogyakarta: Ombak.

Suhartatik. 2018. “Makna Leksikal Bahasa Madura Keadaan Nelayan di Pesisir

Kepulauan Sumenep”. Jurnal Aksis, Vol.2, No.1, hlm. 107-126.

Supriyadi, Slamet. 2007. “Kesuburan Tanah di Lahan Kering Madura”. Jurnal

Embryo, Vol.4, No.2, hlm. 124-131.

Sekarsari Widi dan Haristiani Nuria. 2016. “Analisis Makna Kanyouku yang

Berkaitan dengan Warna: Kajian Linguistik Kognitif”. Jurnal Pendidikan

Bahasa dan Sastra, Vol.16, No.1, hlm. 96-109.

Subroto, Edi. 2011. Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakarta:

Cakrawala Media.

__________. 2007. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta:

UNS Press.

Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar

Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Sananta

Dharma University Press.

Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya

dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Suyami. 2009. “Cerita Jaka Tole dalam Kehidupan Masyarakat Sumenep

Madura”. Jurnal Patrawidya, Vol.10, No.4, hlm. 887-945.

Suwandi. 2011. Semantik Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta: Media Perkasa.

Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Page 266: NAMA-NAMA WARNA DALAM BAHASA MADURA DI KABUPATEN …

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 243

Syamsuddin, Muh. 2018. “Orang Madura Perantauan di Daerah Istimewa

Yogyakarta”. Jurnal Aplikasia, Vol.18, No.1, hlm. 1-22.

Tim Penggerak PKK Kab. Sumenep. 2016. Upacara Perkawinan Adat Madura

(Khas Keraton Sumenep). Sumenep: Dinas Kebudayaan, Pariwisata,

Pemuda dan Olahraga.

Teeuw, A. 2002. Kamus Indonesia Belanda. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Verhaar, J.W.M. 2016. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Whorf, Benyamin L. 1956. Language, Thought, and Reality: Selected Writings of

Benyamin Lee Whorf. Massachusetts: Massachusetts Institute of

Technology Cambriedge.

Yulianti, Santy. 2016. “Kosakata Warna Bahasa Sunda (Pendekatan Metabahasa

Semantik alami)”. Jurnal Ranah, Vol.5, No.1, hlm. 74-86.

Yunyu, Xu. 2015. “Warna dalam Bahasa Mandarin dan Bahasa Indonesia: Sebuah

Kajian Linguistik Antropologis”. Disertasi, Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta.