mutiara terpendam dari zamrud sumatrataxus sumatrana: mutiara terpendam dari zamrud sumatra | v kata...
TRANSCRIPT
Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Asep Hidayat
Henti Hendalastuti Rachmat
Atok Subiakto
Penerbit
FORDA PRESS
2014
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra Penulis: Asep Hidayat, Henti Hendalastuti Rachmat, dan Atok Subiakto Reviewer: Supriyanto, Agung Endro Nugroho, dan Iskandar Zulkarnaen Siregar Editor:
Pujo Setio dan Harisetijono Desain Sampul dan Tata Letak: FORDA PRESS Copyright © 2014 Penulis Cetakan Pertama, Desember 2014 xviii + 130 halaman; 148 x 210 mm ISBN: 978-602-71770-5-5
Diterbitkan oleh:
FORDA PRESS (Anggota IKAPI No. 257/JB/2014)
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat 16610 Telp./Fax. +62251 7520093, Email: [email protected] Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh:
PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat 16610 Telp. +62251 8633234, 7520067 Fax. +62251 8638111
Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan TAXUS Sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra /
oleh Asep Hidayat … [et al.] ; Reviewer: Supriyanto, A.E. Nugroho, I.Z. Siregar. ; Editor: P. Setio, Harisetijono. -- Cet. 1. -- Bogor : FORDA Press, 2014 xviii, 130 hlm. : ill. ; 21 cm. ISBN: 978-602-71770-5-5
1. Taxus – Sumatra – Tanaman obat – Antikanker I. Rachmat, H.H. II. Subiakto, A. III. Judul
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | v
Kata Pengantar
Buku ini disusun dengan latar belakang dari catatan
sejarah panjang di bidang kehutanan Indonesia atas
ketertarikan terhadap sumber daya hutan yang telah sekian
lama terfokus hanya pada produk kayu (Wood is a crown of
forestry). Nilai-nilai sumber daya hutan lainnya
ditempatkan pada strata kedua dan dianggap sebagai
produk tambahan atau produk minor hutan (secondary
product). Dengan kata lain, ketertarikan dan perhatian
terhadap produk hutan bukan kayu (non timber forest
product) menjadi terabaikan. Untungnya, ketertarikan dan
perhatian atas hasil hutan bukan kayu pada akhir-akhir ini
terus meningkat dan mendapat dukungan. Faktor
pemicunya adalah meningkatnya kekhawatiran tentang
nilai-nilai biodiversitas yang terkandung di dalam hutan
akan musnah, berkembangnya mekanisme perdagangan
karbon dunia, dan jasa lingkungan dari hutan semakin
terasa.
Di antara sekian banyak pengelompokan jenis hasil
hutan bukan kayu, tumbuhan atau pohon yang memiliki
potensi sebagai sumber senyawa aktif obat-obatan (natural
product) merupakan salah satu kelompok yang sangat
menjanjikan. Sejak ribuan tahun yang lalu sampai dengan
sekarang di abad 21, tumbuhan telah dikenal sebagai
sumber penting dari berbagai senyawa yang bersifat obat.
Lebih dari 100.000 struktur metabolit sekunder yang
berbeda satu sama lain teridentifikasi, 80% di antaranya
vi | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
disintesis oleh tumbuhan, dan selanjutnya diekstraksi
untuk memenuhi berbagai keperluan umat manusia.
Hutan tropis Indonesia merupakan sumber tanaman
obat. Namun sayang, potensi tersebut hanya sedikit yang
diteliti, digali, dan dimanfaatkan secara optimal. Di negara
lain seperti Cina, lebih dari 7.000 spesies tanaman obat
sudah terdaftar; Korea telah melakukan standardisasi 530
jenis tanaman obat sejak tahun 1983; dan di Jerman,
penelitian dan pemanfaatan obat-obatan dari bahan alam
yang biasa disebut phytomedicines sudah jauh lebih maju.
Taxus sumatrana atau cemara Sumatra tumbuh di hutan
subtropis lembab dan hutan hujan pegunungan pada
ketinggian 1.400–2.800 m dpl. Secara alamiah, penyebaran-
nya meliputi Philiphina, Vietnam, Taiwan, Cina, dan
termasuk Indonesia. Di Indonesia, T. sumatrana tumbuh
secara alami sebagai subkanopi di hutan pegunungan
ataupun punggung pegunungan di Sumatra: Gunung
Kerinci, Jambi, Kawasan Hutan Lindung Dolok Sibuaton,
Sumatra Utara, dan Gunung Dempo, Sumatra Selatan.
Genus Taxus merupakan satu-satunya pohon cemara yang
penting secara ekonomi. Selama berabad-abad, masyarakat
di dunia menggunakan Taxus sebagai bahan baku obat-
obatan. Genus Taxus menjadi jenis yang sangat fenomenal
mulai tahun 1990-an dengan berhasil diidentifikasinya
Taxane, senyawa unik yang termasuk golongan diterpenoid.
Senyawa ini ditemukan pada seluruh bagian pohonnya;
baik pada bagian daun, kulit, akar, maupun biji. Senyawa
aktif ini berpotensi sebagai obat antikanker dan memiliki
risiko atau efek samping yang kecil. Taxane terbukti efektif
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | vii
dan efisien membunuh sel kanker sehingga dijadikan
sebagai obat yang paling populer dan paling dicari di
dunia. Kondisi seperti ini secara jelas telah memicu
eksploitasi berlebihan, diiringi dengan kerusakan habitat
yang menyebabkan penurunan tajam pada populasi Taxus
sehingga memicu terbentuknya fragmentasi populasi.
Untuk mengontrol status kelestarian terutama dalam
mekanisme perdagangannya, genus ini telah masuk ke
dalam Appendix II CITES Ann. # 10.
Sejarah perkembangan penelitian dan penggunaan
genus Taxus di wilayah bumi bagian Utara telah tercatat
dengan baik. Sejarah ini dimulai dari penemuan genus
Taxus sebagai sumber Taxol, distribusi dan status
kelangkaan, proses isolasi dan ekstraksi, pengembangan
teknik budi daya dan kultur sel, sampai dengan
pemanfaatan kalus dan jamur endofitik sebagai sumber
alternatif Taxol. Kondisi yang demikian bertolak belakang
sekali dengan T. sumatrana yang hidup dan tumbuh di
Indonesia. Jenis ini masih belum populer, baik bagi
instansi pemerintah, swasta, maupun masyarakat umum.
Oleh karenanya, hal yang wajar apabila sampai dengan
saat ini tidak banyak informasi yang dapat kita peroleh;
baik dari segi ekologi, silvikultur, maupun aplikasi
bioteknologi penggunaan yang dapat menjamin aspek
kelestarian jenis ini.
Buku ini mencoba memberikan gambaran secara
umum tentang genus Taxus; mulai dari pola penyebaran
populasi, teknik silvikultur, senyawa aktif Taxol, aplikasi
bioteknologi, dan strategi pengelolaan sumber daya
viii | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
genetik; dengan penekanan yang lebih detil pada jenis T.
sumatrana yang hidup di Indonesia. Selanjutnya, status riset
pada setiap aspek kegiatan diuraikan untuk mempertegas
minimnya informasi yang kita miliki sampai saat ini dan
memberikan gambaran tentang pentingnya T. sumatrana
sebagai sumber hasil hutan bukan kayu, baik dari aspek
kelestarian maupun potensinya secara ekonomis. Kami
juga berharap bahwa keberadaan populasi T. sumatrana
yang terbatas dapat dipertahankan, meskipun ancaman
yang besar terjadi pada habitatnya. Bioteknologi
merupakan aplikasi teknologi yang memungkinkan
kelestarian dan keseimbangan T. sumatrana tetap terjaga di
dalam hutan.
Bogor, Desember 2014
Penulis
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | ix
SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG KONSERVASI
DAN REHABILITASI
Hutan memiliki manfaat yang sangat penting bagi
kehidupan manusia. Hampir dapat dipastikan bahwa lebih
dari 95% manfaat tersebut berupa hasil hutan bukan kayu,
termasuk jasa lingkungan. Manfaat yang besar tersebut
masih terabaikan karena kita masih terfokus pada
pemanfaatan kayu, yang sebenarnya nilai manfaatnya jauh
lebih kecil, yaitu sekitar 5%. Kerusakan hutan sebenarnya
telah dimulai sejak pemberian konsesi dalam pengelolaan
hutan yang fokusnya hanya pada eksploitasi kayu. Kondisi
ini secara perlahan telah mengurangi potensi
keanekaragaman hayati, baik pada tingkat ekosistem, jenis
(flora dan fauna) maupun genetik, yang pada akhirnya nilai
hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan menjadi tiada.
Buku “Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari
Zamrud Sumatra” disusun berdasarkan suatu kenyataan
bahwa genus Taxus yang hidup di bagian Utara dunia telah
mengalami penurunan populasi yang tajam pada sebaran
alaminya dan telah terjadi fragmentasi populasi. Kondisi
ini pada akhirnya menyebabkan penurunan tingkat
keragaman genetik dan meningkatnya keterancaman jenis
tersebut. Hal ini terjadi karena genus Taxus adalah pohon
hutan yang paling diburu di dunia, sebagai konsekuensi
dari sebuah kenyataan bahwa genus Taxus berkhasiat
sebagai obat antikanker yang paling ampuh, efisien, dan
x | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
efektif. Sementara di Indonesia, genus Taxus ditemukan di
daerah Sumatra: Gunung Kerinci, Jambi, Kawasan Hutan
Lindung Dolok Sibuaton, Sumatra Utara, dan Gunung
Dempo, Sumatra Selatan, dengan sebutan Taxus sumatrana.
Keberadaan Taxus yang hidup di Indonesia ini perlu
mendapat perhatian khusus melalui upaya pelestarian agar
nasibnya tidak serupa dengan genus Taxus yang hidup di
dunia bagian Utara.
Saya berkeyakinan bahwa buku ini akan bermanfaat
bagi banyak pihak; baik pemerintah, swasta, maupun
masyarakan umum. Fakta yang dimuat dalam buku ini
dapat dijadikan sumber acuan, inspirasi, dan memperkaya
khasanah keilmuan. Informasi hasil penelitian dan
penggunaan genus Taxus yang diungkap di buku ini dapat
dijadikan pertimbangan kehati-hatian dalam pemanfaatan-
nya dengan mengedepankan pengetahuan bioteknologi
agar kelestarian jenis T. sumatrana terjamin.
Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan
kepada semua pihak yang bersedia menyusun buku ini.
Curahan tenaga, pikiran, dan kerja keras kita semua adalah
bagian dalam upaya untuk melestarikan dan melindungi T.
sumatrana di hutan dari kondisi keterancaman, sekaligus
memanfaatkannya dengan bijaksana.
Bogor, Desember 2014
Kepala Pusat,
Ir. Adi Susmianto, M.Sc.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | xi
SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN
TEKNOLOGI SERAT TANAMAN HUTAN
Kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan YME,
karena berkat hidayah dan karuniaNya, buku berjudul
“Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud
Sumatra” dapat disusun dan diterbitkan. Saya menyambut
baik hadirnya buku ini, dan dengan penuh keyakinan,
buku ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam
pengelolaan jenis Taxus sumatrana di Indonesia oleh
berbagai pihak.
T. sumatrana adalah jenis pohon hutan yang hidup di
Pulau Sumatra, Indonesia, dan memiliki nilai ekonomis
yang tinggi. Nilai yang tinggi ini dikarenakan senyawa
aktif yang terkandung di dalamnya berkhasiat sebagai obat
antikanker yang paling diburu. Akibatnya, keterancaman
terhadap keberadaan jenis ini sangat tinggi sehingga perlu
dicari beberapa alternatif penanganan, baik sebagai upaya
untuk memproduksi senyawa aktif maupun pelestarian
jenis. Buku ini menyajikan informasi mulai dari pola
penyebaran populasi, teknik silvikultur, senyawa aktif,
aplikasi bioteknologi, dan strategi pengelolaan sumber
daya genetik dari genus Taxus, termasuk informasi dari
jenis T. sumatrana yang hidup di Indonesia.
Ucapan terima kasih dan penghargaan, saya
sampaikan kepada kontributor, reviewer, editor, dan pihak
lain yang terlibat dalam proses penerbitan buku ini. Jerih
xii | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
payah yang telah kita lakukan mudah-mudahan mendapat
balasan dari Tuhan YME, dan tercapai keberhasilan upaya
menuju pengelolaan hutan yang lestari.
Kuok, Desember 2014
Kepala Balai,
Ir. R. Gunawan Hadi Rahmanto, M.Si.
Kuok, Desember 2014
Kepala Balai,
Ir. R. Gunawan Hadi Rah
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | xiii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................... v
Sambutan Kepala Pusat Litbang Konservasi dan
Rehabilitasi .......................................................................... ix
Sambutan Kepala Balai Penelitian Teknologi Serat
Tanaman Hutan .................................................................. xi
Daftar Isi ............................................................................... xiii
Daftar Tabel ......................................................................... xvi
Daftar Gambar .................................................................... xvii
Bab 1. Pendahuluan .......................................................... 1
Bab 2. Mengenal Taxus Lebih Dekat ............................... 7
2.1 Taxus sumatrana (Miq) de Laubenfels ......... 12
2.1.1 Penyebaran ................................................. 12
2.1.2 Habitus ......................................................... 14
2.1.3 Sistem Perbanyakan .................................... 15
2.1.4 Penggunaan ................................................. 15
2.2 Taxus brevifolia Nutt ....................................... 18
2.2.1 Penyebaran .................................................. 18
2.2.2 Habitus ......................................................... 18
2.2.3 Sistem Perbanyakan .................................... 19
2.2.4 Penggunaan ................................................. 22
2.3 Taxus baccata Linn ......................................... 23
2.3.1 Penyebaran .................................................. 23
2.3.2 Habitus ......................................................... 24
2.3.3 Sistem Perbanyakan .................................... 26
2.3.4 Penggunaan ................................................. 27
xiv | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
2.4 Taxus cuspidata Siebold & Zucc .................... 28
2.4.1 Penyebaran .................................................. 28
2.4.2 Habitus ......................................................... 28
2.4.3 Sistem Perbanyakan ................................... 29
2.4.4 Penggunaan ................................................. 29
2.5 Taxus canadensis Marsh ................................. 30
2.5.1 Penyebaran .................................................. 30
2.5.2 Habitus ......................................................... 30
2.5.3 Sistem Perbanyakan ................................... 31
2.5.4 Penggunaan ................................................. 31
Bab 3. Biologi dan Domestikasi Taxus ............................ 33
3.1 Biologi Taxus .................................................. 33
3.1.1 Pembungaan dan Pembuahan .................. 33
3.1.2 Pengumpulan Buah .................................... 35
3.1.3 Ekstraksi dan Pembersihan ....................... 36
3.1.4 Penyimpanan .............................................. 37
3.1.5 Perlakuan Praperkecambahan ................... 38
3.1.6 Perkecambahan dan Uji Viabilitas Benih .. 39
3.2 Pembibitan dan Pemuliaan .......................... 41
3.2.1 Seleksi Kultivar ........................................... 43
3.2.2 Teknik Perbanyakan Melalui Stek di
Persemaian .................................................. 44
3.2.3 Budi Daya dengan Persemaian Intensif .... 46
3.2.4 Kultur Jaringan ............................................ 48
3.2.5 Metode Kultur untuk Peningkatan
Produksi Taxane ........................................... 49
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | xv
Bab 4. Kandungan Senyawa Aktif .................................... 53
4.1 Sejarah Penemuan ......................................... 56
4.2 Produksi Taxane ............................................. 63
4.2.1 Ekstraksi Bagian Tanaman ........................ 63
4.2.2 Sintesis .......................................................... 67
4.2.3 Semisintesis .................................................. 68
4.2.4 Kultur Sel/Kalus ........................................ 68
4.2.5 Fermentasi Jamur Endofitik ...................... 81
4.3 Mekanisme Aksi Penghambatan Sel Kanker 86
Bab 5. Strategi Pengelolaan Sumber Daya Genetik
Taxus sumatrana ..................................................... 89
5.1 Keragaman Genetik dan Kelestarian Jenis ... 89
5.2 Keragaman Genus Taxus: Sejarah dan Rute
Penyebaran ..................................................... 90
5.3 Strategi Pelestarian Jenis .............................. 91
5.3.1 Konservasi Ex Situ ........................................ 91
5.3.2 Penelitian Dasar Sebagai Landasan
Penyusunan Strategi Konservasi yang
Komprehensif .............................................. 93
5.3.3 Konservasi In Situ: Pelestarian T.
sumatrana yang Wajib Dilakukan Secara
Konsisten ...................................................... 97
Bab 6. Penutup .................................................................. 101
Daftar Pustaka .................................................................... 103
xvi | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Daftar Tabel
Tabel 1. Data produksi benih ........................................ 34
Tabel 2. Periode skarifikasi dan kondisi uji
perkecambahan ................................................. 39
Tabel 3. Perjalanan penting dalam penemuan dan
perkembangan Taxol® di bidang biokimia,
bioteknologi, dan klinis ................................... 60
Tabel 4. Kandungan senyawa aktif dari bagian
tanaman Taxus .................................................. 64
Tabel 5. Perkembangan penelitian kultur sel dalam
produksi paclitaxel ............................................ 71
Tabel 6. Beberapa jamur endofitik penghasil paclitaxel
(>24 μg/L) …………………………………… 85
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | xvii
Daftar Gambar
Gambar 1. Biosintesis metabolit sekunder dan fungsi
interkasi antara tanaman dan lingkungan 3
Gambar 2. Evolusi angiosperms dan gymnosperms dari
Psiphytatae ..................................................... 8
Gambar 3. Sebaran alami Taxus di dunia ................... 9
Gambar 4. Genus Taxus: morfologi pohon, kulit
batang, daun, dan buah/aril ..................... 10
Gambar 5. Sebaran alami T. sumatrana di Indonesia
yang saat ini ditemukan ............................. 14
Gambar 6. T. sumatrana; A) tumbuh pada tempat
alaminya (TN. G. Kerinci Seblat), B)
tumbuh di Kebun Raya Cibodas (planted),
C) Batang/ ranting/percabangan, D)
Morfologi daun ........................................... 17
Gambar 7. Bonsai genus Taxus sebagai penggunaan
lainnya .......................................................... 23
Gambar 8. Perbanyakan T. sumatrana melalui stek: A)
Akar yang tumbuh dari jaringan kalus, B)
Akar adventif yang tumbuh secara spontan,
dan C) Penampang melintang akar (ep =
epidermis; kr = korteks; ph = phloem; ka =
kambium; aa = akar adventif) ..................... 51
xviii | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Gambar 9. Perbanyakan T. baccata dengan kultur
jaringan: A) Plantlet dari bagian tanaman
yang sudah dewasa, B) Sumber bagian
tanaman yang dihasilkan dari kalus biji T
baccata, C) Induksi pada media yang
mengandung IBA (8 mg/L), dan D)
Aklimatisasi plantlet di rumah kaca umur 6
bulan ............................................................. 52
Gambar 10. Struktur molekul dari 10-deacetylbaccatin III
(A), baccatin III (B), dan paclitaxel (C) ......... 54
Gambar 11. Biosintesis paclitaxel .................................... 83
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 1
Siapa yang tidak mengenal penyakit kanker; suatu
pertanyaan yang bagi setiap orang awam dapat menjadi
sebuah momok. Secara umum, kanker diartikan sebagai
penyakit kelainan siklus sel yang dicirikan dengan
meningkatnya kemampuan sel untuk tumbuh tidak
terkendali dan menyerang jaringan sel yang ada di
dekatnya, selanjutnya bermigrasi melalui proses metastasis.
Angka kematian penderita kanker menempati ranking ke-2
untuk skala dunia dan ranking ke-3 untuk skala Indonesia
(Dhama et al., 2013).
Sebagai upaya pengobatan penyakit kanker; Amerika
Serikat, melalui Institut Kanker Nasional (National Cancer
Institute [NCI]), membentuk sebuah lembaga khusus yang
dinamakan Cancer Chemotherapy National Service Center
(CCNSC) pada tahun 1956. Misi lembaga ini adalah sebagai
lembaga pendukung penelitian dalam penemuan obat
antikanker. Kegiatan lembaga tersebut diawali dengan
melakukan eksplorasi terhadap tumbuhan-tumbuhan asal
Amerika Serikat yang berpotensi sebagai sumber bahan
aktif antikanker.
Senyawa organik atau bahan aktif yang terdapat pada
tumbuhan akan secara alamiah dibentuk/dihasilkan
BAB 1
Pendahuluan
2 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
melalui proses fisiologis dan metabolisme dalam sistem
jaringan kehidupannya. Dalam sebuah ekosistem, mahluk
hidup akan membangun jaringan sebagai respons dalam
menghadapi perubahan kondisi fisik dan lingkungannya.
Hal ini diperlukan sebagai mekanisme untuk berkembang
dan bertahan hidup (proteksi diri). Salah satu respons
tersebut, yaitu dengan cara memproduksi senyawa organik
yang bersifat aktif. Hanson (2003) mengklasifikasikan
senyawa organik yang diproduksi tumbuhan menjadi tiga
kategori: 1) senyawa organik yang berperan dalam
metabolisme dan reproduksi, 2) senyawa organik yang
berperan dalam struktur seluler (lignin, selulosa dan
protein), dan 3) senyawa organik yang tidak berperan
langsung dalam metabolisme dan reproduksi, tetapi
diperlukan untuk memproteksi/mengontrol dirinya
terhadap perubahan kondisi lingkungan, atau lebih dikenal
dengan istilah secondary metabolism. Kelompok dan fungsi
secondary metabolism dijelaskan oleh Hartman (1996), yang
secara ringkas diuraikan dalam bentuk diagram sederhana,
sebagaimana terlihat pada Gambar 1.
Upaya mengeksplorasi dan mengoleksi contoh uji
untuk penyaringan (screening) bahan aktif antikanker telah
dilakukan oleh NCI yang bekerjasama dengan Departemen
Pertanian Amerika (US Department of Agriculture[USDA])
[dalam hal ini pengerjaan teknisnya dilakukan oleh USDA
Eastern Regional Research Laboratorium di bawah
pengawasan Monroe wall]. Melalui perjalanan panjang,
pada tahun 1972 telah teridentifikasi bahwa kelompok
tumbuhan pada genus Taxus mengandung bahan aktif
antikanker yang dikenal dengan senyawa paclitaxel (merek
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 3
dagang Taxol®), yang saat itu diekstraksi dari jenis cemara
Pasifik/Pasific yew (Taxus brevifolia Nutt). Tumbuhan
tersebut ditemukan di areal pegunungan North Western,
Amerika Serikat, dan Kanada bagian Barat (Farrar, 1995).
Bahkan dari hasil analisis terbaru, hampir semua bagian
tumbuhan (batang, kulit batang, bagian berkayu, dan akar)
diketahui mengandung bahan aktif antikanker.
Gambar 1. Biosintesis metabolit sekunder dan fungsi interaksi antara tanaman dan lingkungan (Sumber: Hartman, 1996)
Genus Taxus tersebar luas, terutama di zona
pertengahan di belahan bumi bagian Utara, Eropa, Asia,
dan Amerika Timur. Genus ini umumnya tumbuh pada
Photo-syntesis
METABOLISM
Carbohydrate
Nitrogen
Fatty acid
Tannins Coumarins
Quinones Flavonoids
Terpenes
Alkaloid
Glucosinolates
Polyketides
Proteksi serangan fisik 1. Suhu 2. Penguapan 3. Radiasi/sinar UV
Ancaman/stimulasi 1. Polinisasi 2. Penyebaran benih 3. Oviposition 4. Food-plant 5. Sequestration 6. Pharmacophagy 7. Simbiosis (N-
Fixation)
Pertahanan 1. Hewan 2. Jamur 3. Bakteri 4. Virus 5. Tanaman
4 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
kondisi habitat yang lembab dan dingin dengan kisaran
ketinggian 1.000–3.000 meter di atas permukaan laut (m
dpl), serta banyak dijumpai di bawah tegakan di tempat
yang memiliki iklim sedang dan subtropis (Price, 1990).
Di Asia, hanya sedikit negara yang memiliki sebaran
alami genus Taxus, antara lain Taxus cuspidata (ditemukan
di Jepang), Taxus chinensis (ditemukan di Cina), dan Taxus
sumatrana (ditemukan di Indonesia, Taiwan, Vietnam,
Nepal, dan Tibet), yang kondisi populasinya terancam
punah (Huang et al., 2007). Berdasarkan hasil survei
langsung di lapangan diketahui bahwa habitat alami T.
sumatrana di Indonesia saat ini berada di wilayah Gunung
(G.) Kerinci, Jambi, yaitu pada bagian punggung bukit,
lereng-lereng yang terjal, dan tepian jurang dengan
ketinggian lokasi 1.700–2.200 m dpl (Rachmat, 2008).
Kemudian, Pasaribu & Setyawati (2010) menemukan
sebaran populasi T. sumatrana di kawasan Hutan Lindung
(HL) Dolok Sibuaton pada ketinggian 1.300 m dpl. Begitu
pula di G. Dempo (Pagar Alam, Palembang), T. sumatrana
ditemukan pada ketinggian 1.800–2.200 m dpl.
Taxol® hanya dihasilkan dari genus Taxus (Kikuchi &
Yatagai, 2003). Merek dagang Taxol® dan hak
pemasarannya dipegang oleh Bristol-Myers Squibb sejak
tahun 1991. Semenjak itu, permintaan fenomenal terhadap
Taxol® terus meningkat dan diprediksi akan tetap tinggi
karena sampai sekarang diyakini bahwa Taxol® adalah obat
antikanker yang paling dicari di dunia, selain obat
antikanker lainnya, seperti Camptothecin, Topotecan,
Irinotecan, Decetaxel, Vinblastine, Podophyllotoxin, Etoposide,
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 5
Teniposide, Elliptinium, Homoharringtonine (Cragg &
Newman, 2005). Permintaan yang tinggi dalam dunia
perdagangannya menyebabkan penurunan populasi genus
Taxus di habitat alamnya. Sebagai gambaran, untuk
mendapatkan 1 kg Taxol®, bahan ekstrak yang dibutuhkan
adalah sebanyak 7.270–10.000 kg kulit batang pohon Taxus.
Jika kita mengasumsikan rendemen pada angka 0,01%
(Suffness, 1995) maka untuk mendapatkan 1 kg Taxol®
dibutuhkan sekitar 2.000 pohon Taxus (Nicolaou et al.,
1994). Padahal, seorang pasien penderita kanker
memerlukan 2–2.5 g Taxol® atau setara dengan sekitar 6–8
pohon Taxus (Malik et al., 2011). Kondisi seperti ini secara
otomatis memicu eksploitasi yang berlebihan terhadap
genus Taxus. Untuk mengontrol status kelestarian jenis dari
genus Taxus, jenis ini telah dimasukkan ke dalam Appendiks
II CITES Ann. #10 (CITES, 2005).
Sebaran Taxus di wilayah ekuator dengan kondisi
iklim hutan hujan tropis merupakan suatu fenomena
tersendiri. Sebarannya di Indonesia yang hanya terbatas
pada wilayah tertentu menyebabkan genus Taxus kurang
populer pada skala masyarakat umum. Oleh sebab itu,
buku ini disusun untuk memberikan gambaran singkat
tentang genus Taxus secara umum dengan penekanan yang
lebih detil pada jenis T. sumatrana sebagai satu-satunya
jenis Taxus yang wilayah penyebarannya sampai ke
Indonesia.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 7
Taxus adalah tanaman yang diperkirakan hidup sejak
200 juta tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya fosil Paleotaxus rediviva yang strukturnya
mirip dengan Taxus seperti jenis yang sekarang ada
(Waibel, 2010). Genus Taxus merupakan kelompok
Gymnospermae yang tidak memiliki saluran resin. Taxus
masuk ke dalam familiTaxaceae dan dalam subkelas Taxidae.
Gambar 2 menjelaskan bahwa pemisahan subkelas Taxidae
dan Pinidae dari Corditidae diperkirakan terjadi sekitar 300
juta tahun yang lalu (Sitte et al., 1991).
Cope (1998) & Price (1990) menyebutkan bahwa
genus Taxus tersebar luas, terutama di zona pertengahan di
belahan bumi bagian Utara. Daerah sebaran tersebut
membentang dari Amerika Utara menuju subtropika
Amerika Tengah dan dari Eurasia menuju subtropika Asia
Tenggara (Gambar 3), yang beriklim sedang dengan
kondisi habitat yang lembab dan dingin.
Arsitektur morfologi Taxus dapat berbentuk pohon
ataupun semak. Pada kondisi batang utama terluka, patah,
atau tumbang maka akan muncul percabangan-
percabangan baru sehingga bentuk pohon dapat berubah
BAB 2
Mengenal Taxus Lebih Dekat
8 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
menjadi semak karena tipe percabangannya yang terkulai.
Diameter tajuk dengan bentuk seperti semak ini dapat
mencapai 24 m. Ukuran batang utama dapat sangat besar
dengan sistem perakaran yang dalam sehingga bentuk
pohon terlihat kokoh jika dibandingkan dengan proporsi
tinggi pohon (Gambar 4). Ukuran diameter yang besar
dapat diperoleh dengan bersatunya/berimpitnya beberapa
cabang dalam waktu yang cukup lama.
Gambar 2. Evolusi angiosperms dan gymnosperms dari Psiphytatae (Sumber: Sitte et al., 1991)
GYM
NO
SPER
MA
E
Carboniferous 360 MYA
Triassic 248 MYA
Cretaceous 144 MYA
Taxus sp
Pine sp
A. Thaliana
Oryza sp
Pinopsida
Taxidae
Cordaitidae
Lyginopteriopsida
Eudicots
Monocots
Psilophytatae
Devonian 410 MYA
Permian 290 MYA
Cenozoic 65 MYA
Jurassic 213 MYA
Pinidae
AN
GIO
SPER
MA
E
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 9
Lux
em
bo
urg
Sw
itzerl
an
dF
ran
ce
Ko
rea
, R
epu
blic
of
Cyp
rus
Ja
pa
n
Bh
uta
n
We
ste
rn S
aha
raQ
ata
r
Un
ite
d A
rab
Em
ira
tes
Ta
iwa
n
Ma
li
Om
an
Nig
er
Ch
ad
Vie
tna
m
Cu
ba
Lao
sCh
ina
Ha
itiD
om
inic
an R
ep
ub
lic
Ph
ilip
pin
es
Pu
ert
o R
ico
Jam
aic
a
Bu
rkin
a F
as
oN
ica
rag
ua
Ca
mb
od
ia
Co
sta
Ric
a
Ce
ntr
al
Afr
ica
n R
ep
ub
lic
Sie
rra
Le
one
Sri
La
nka
Pa
na
ma
Gu
ya
na
Lib
eri
a
Za
ire
Ta
nza
nia
, U
nit
ed
Re
pu
blic
of
Rw
an
da
Bu
run
di
An
go
la
Za
mb
iaM
ala
wi
Bo
livia
Mo
zam
biq
ue
Ma
da
gas
car
Zim
ba
bw
e
Na
mib
ia
Ch
ile
Bo
tsw
ana
Pa
rag
ua
y
So
uth
Afr
ica
Sw
azi
lan
d
Les
oth
o
Ne
w Z
ea
lan
d
Arg
en
tin
a
Icela
nd
Es
ton
ia
La
tvia
Lith
ua
nia
Un
ited
Kin
gd
om
Ire
lan
d
Mo
ng
olia
Be
lgiu
m
Hu
ng
ary
Ro
ma
nia
Italy
Bu
lga
ria
Sp
ain
Ko
rea
, D
emo
cra
tic
Peo
ple
's R
ep
ub
lic o
fA
lba
nia
Yu
go
sla
via
Po
rtu
ga
lT
urk
ey
Gre
ec
e
Ira
n
Afg
ha
nis
tan
Ira
q
Sy
ria
Tu
nis
ia
Alg
eri
a
Mo
rocc
o
Leb
an
on
Me
xic
o
Ku
wa
it
Bu
rma
Ba
ng
lad
esh
Th
aila
nd
Be
lize
Gu
ate
ma
la Ho
nd
ura
sE
l S
alv
ad
or
Co
lom
bia
Be
nin
Gh
an
aTo
go
Ivory
Co
as
t
Ma
laysi
aS
uri
na
me
Fre
nch
Guia
na
Co
ng
oG
ab
on
Eq
ua
tori
al G
uin
ea
Ec
ua
do
r
Pe
ru
Bra
zil
Pa
pu
a N
ew
Guin
ea
Au
str
alia
Uru
gu
ay
De
nm
ark
Ge
rma
ny
Po
lan
dN
eth
erl
an
ds
Cze
ch
oslo
vak
ia
Au
str
ia
Nig
eri
a
Ca
me
roo
n
Pa
kis
tan
Ind
ia
Jord
an
Lib
ya
Isra
el
Sa
ud
i A
rab
ia
Eg
yp
t
Ne
pa
l
Ma
uri
tan
ia
Su
da
n
Ye
me
n
Se
ne
ga
l
Eth
iop
ia
Ga
mb
ia,
Th
e
Djib
ou
tiG
uin
ea
-Bis
sa
u Gu
ine
a
Ve
ne
zue
la
So
ma
lia
Tri
nid
ad
Bru
ne
i
Ke
ny
a
Ug
an
da
Ind
on
esi
a
Gre
en
lan
d
Un
ion
of
So
vie
t S
oc
ialis
t R
ep
ub
lic
s
No
rwa
yF
inla
nd
Sw
ed
en
An
tarc
tica
Un
ited
Sta
tes
Un
ite
d S
tate
s
Ca
na
da
PE
TA
SE
BA
RA
N T
AX
US 2
500
02
500
Kilo
mete
rs
T.
baccata
L
T.
bre
vifo
lia N
utt
T.
cana
densis
Ma
r- s
ha
ll
T.
cusp
idata
Sie
bold
& Z
ucc
T.
glo
bo
sa S
ch
ltdl
T.
sum
atr
ana (
Miq
.) d
e L
aub
T.
wa
llichia
na Z
ucc
SE
BA
RA
N T
AX
US
KE
TE
RA
NG
AN
:
Ga
mb
ar
3.
S
eba
ran
ala
mi
Tax
us
di
du
nia
10 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Gambar 4. Genus Taxus: morfologi pohon, kulit batang, daun, dan buah/aril
Ukuran tinggi dari kebanyakan genus Taxus rata-rata
6–12 m, namun pada kondisi lingkungan yang terbuka dan
kondisi kesuburan yang mendukung dapat mencapai 12–25
m. Namun demikian, ukuran tersebut akan bervariasi
untuk setiap jenis. Sebagai contoh pada Taxus floridana atau
yang dikenal dengan nama cemara Florida; jenis ini
berukuran kecil, bentuk tajuknya melebar, dan pada waktu
mencapai usia dewasa hanya memiliki tinggi 1–5 m.
Sebaliknya, Taxus brevifolia atau dikenal dengan nama
cemara Pasifik dapat tumbuh alami mencapai diameter 6
m dan tinggi lebih dari 18 m. Taxus tumbuh dengan
Foto: Tina Negus, 2011 (www.Flickr.com)
Foto: Ashey_wood, 2009 (www.Flickr.com)
Foto: Boubo_Bittern, 2012 (www.Flickr.com)
Foto: Esther Westerveld, 2007 (www.Flickr.com)
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 11
kerapatan 1,5–2,1 pohon/ha dengan kecepatan tumbuh
yang sangat lambat dan dapat hidup diperkirakan
mencapai umur 2.000–4.000 tahun, meskipun masih
menjadi bahan perdebatan (Hindson, 2000).
Berdasarkan karakteristik morfologi yang dipelajari
oleh Spjut (2007), Taxus dibagi menjadi 24 spesies dan 55
varietas. Jenis-jenis Taxus yang ditemukan terlebih dahulu
terdiri atas 15 spesies dan 6 varietas, yaitu T. baccata L. (var.
dovastoniana Leighton, var. elegantissima Hort. ex C. Lawson,
var. glauca Jacques ex Carrière, var. pyramidalis Hort. ex C.
Lawson, dan var. variegata Watson), T. brevifolia Nutt., T.
caespitosa Nakai, T. canadensis Marshall, T. celebica (Warb.)
H.L. Li, T. chinensis (Pilg.) Rehder, T. contorta Griff., T.
cuspidata Siebold & Zucc., T. fastigiata Lindl., T. globosa
Schltdl., T. mairei (Lemée & H. Lév.) S.Y. Hu ex T.S. Liu, T.
recurvata Hort. ex C. Lawson, T. sumatrana (Miq.) de Laub.,
T. umbraculifera (Siebold ex Endl.) C. Lawson, T. wallichiana
Zucc. dan var. yunnanensis (W.C. Cheng & L.K. Fu) C.T.
Kuan. Selanjutnya, diidentifikasi 6 spesies baru: T. biternata
Spjut, T. florinii Spjut, T. kingstonii Spjut, T. obscura Spjut, T.
phytonii Spjut, dan T. suffnessii Spjut; dan 4 variteas baru: T.
brevifolia Nutt. var. polychaeta Spjut, T. brevifolia Nutt. var.
reptaneta Spjut, T. caespitosa Nakai var. angustifolia Spjut,
dan T. contorta Griff. var. mucronata. Spjut (2007) juga
mendeskripsikan 8 jenis lainnya yang merupakan
kombinasi spesies dan varietas baru: T. caespitosa var.
latifolia (Pilg.) Spjut, T. canadensis var. adpressa (Carrière)
Spjut, T. canadensis var. minor (Michx.) Spjut, T. globosa var.
floridana (Nutt. ex Chapm.) Spjut, T. mairei (Lemée & H.
Lév.) S.Y. Hu ex T.S. Liu var. speciosa (Florin) Spjut, T.
12 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
umbraculifera var. hicksii (Hort. ex Rehder) Spjut, T.
umbraculifera var. microcarpa (Trautv.) Spjut, dan T.
umbraculifera (Siebold ex Endl.) C. Lawson var. nana
(Rehder) Spjut.
Sampai dengan saat ini, posisi taksonomi Taxus masih
sangat kontroversial karena klasifikasi jenis-jenis tersebut
lebih disebabkan isolasi geografis dan tidak diikuti dengan
adanya isolasi reproduksi antar spesies (Farjon, 1998; Silba,
1984). Namun di satu sisi, Collins et al. (2003) melaporkan
bahwa hybrids dari Taxus memiliki polen yang kurang
berfungsi secara fungsional dan gangguan pada tahapan
meiosis.
2.1 Taxus sumatrana (Miq) de Laubenfels
2.1.1 Penyebaran
Taxus sumatrana atau cemara Sumatra tumbuh di
hutan subtropis lembab dan hutan hujan pegunungan pada
ketinggian 1.400–2.800 m dpl (Spjut, 2003; Earle, 2013a;
Huang et al., 2007). Penyebaran alami jenis ini dilaporkan
terdapat di Philiphina, Vietnam, Taiwan, Cina, dan
Indonesia (de Laubenfels, 1988). Di Indonesia, T. sumatrana
tumbuh secara alami sebagai subkanopi di hutan
pegunungan ataupun punggung pegunungan di Pulau
Sumatra dan Sulawesi (Spjut, 2007).
Hasil survei langsung di lapangan yang dilakukan
Rachmat (2008) menunjukkan bahwa habitat alami cemara
Sumatra di Indonesia saat ini terdapat di wilayah G.
Kerinci, Jambi (Gambar 5). Jenis ini tumbuh alami sebagai
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 13
subkanopi di hutan pegunungan pada bagian punggung
bukit, lereng-lereng yang terjal, dan tepian jurang pada
ketinggian 1.700–2.200 m dpl. Pola penyebaran cemara
Sumatra yang tumbuh di G. Kerinci juga memiliki
kesamaan dengan pola penyebaran cemara Sumatra yang
tumbuh di Taiwan, yaitu terpencar mengelompok
(clustering). Berdasarkan kondisi tempat tumbuh alaminya
yang hanya dijumpai di wilayah punggung bukit, lereng,
dan tepian jurang; cemara Sumatra diketahui menyukai
tempat yang berdrainase baik (well drainage) dan tidak
pernah tergenang. Selain itu, hasil analisis tanah juga
menunjukkan bahwa jenis ini menyukai tanah dengan pH
rendah (masam), tekstur tanah geluh (lumpur) berpasir,
kandungan C organik sangat tinggi, dan rasio C/N yang
tinggi (Rachmat, 2008).
Berdasarkan data koleksi herbarium Bagian Botani
pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan
Rehabilitasi (PUSKONSER) di Bogor, herbarium T.
sumatrana berasal dari Karo leinden yang tidak lain adalah
Tana Karo di Sumatra Utara. Pasaribu & Setyawati (2010)
melakukan penelusuran ulang dan menemukan sebaran
populasi T. sumatrana di kawasan HL Dolok Sibuaton
dengan jumlah yang cukup banyak dan hidup soliter pada
ketinggian 1.300 m dpl (Gambar 5). Pada tahun 2014, tim
survei lapangan PUSKONSER Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan,
menemukan keberadaan T. sumatrana di G. Dempo (Pagar
Alam, Palembang) pada ketinggian 1.800–2.200 m dpl,
dengan diameter terbesar 120 cm dan pohon tertinggi 21 m
(Gambar 5). Hingga saat ini, kajian T. sumatrana mengenai
14 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
#
#
BALI
BANGKA-BELITUNG
BANTEN
BENGKULU
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
DKI JAKARTA
GORONTALO
IRIANJAYA BARATJAMBI
JAWA BARATJAWA TENGAH
JAWA TIMUR
KALIMANTAN BARAT
KALIMANTAN SELATAN
KALIMANTAN TENGAH
KALIMANTAN TIMUR
KEPULAUAN RIAU
LAMPUNG
MALUKU
MALUKU UTARA
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
NUSATENGGARA BARATNUSATENGGARA TIMUR
PAPUA
RIAU
SULAWESI BARAT
SULAWESI SELATAN
SULAWESI TENGAH
SULAWESI TENGGARA
SULAWESI UTARA
SUMATERA BARAT
SUMATERA SELATAN
SUMATERA UTARA
N
EW
S
250 0 250 500 Kilometers
MALAYSIA
TIMOR LESTE
PETA
SEBARAN TAXUS SUMATRANA
DI INDONESIA
Sebaran Taxus sumatrana
KETERANGAN :
MALAYSIA
aspek ekologis, kerapatan populasi, keragaman genetik,
budi daya, dan aspek pengelolaan lainnya di Indonesia
masih belum cukup tersedia.
Gambar 5. Sebaran alami Taxus sumatrana di Indonesia yang
saat ini ditemukan
2.1.2 Habitus
Habitus dari T. sumatrana berbentuk semak sampai
pohon dengan tinggi dapat mencapai 30 m (Gambar 6).
Daun berbentuk elips-lanset, berwarna hijau zaitun dengan
ukuran panjang 1,8–3,0 cm, lebar 2,0–2,5 mm, dan tebal
200–275 µm. Warna kulit batang merah keabu-abuan
dengan tebal kulit 0,5–0,8 cm. Bunga kerucut jantan
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 15
biasanya tidak terlihat, sedangkan bunga kerucut betina
berbentuk subsilindris dengan panjang 2 mm dan lebar 1
mm. Buah berbentuk kerucut kaku dengan panjang 4 mm
dan lebar 3 mm, mengerucut dari tengah ke puncak (Spjut,
2003; Earle, 2013a). Sampai dengan saat ini, tidak banyak
informasi yang dapat diperoleh mengenai T. sumatrana
yang tumbuh di Indonesia, baik dari segi ekologi maupun
silvikultur.
2.1.3 Sistem Perbanyakan
T. sumatrana dapat diperbanyak secara generatif
(dengan biji) dan vegetatif (umumnya stek). Hasil survei
langsung di lapangan ditemukan anakan yang menyebar
secara sporadis pada lahan hutan yang lebih terbuka. Hasil
penelitian Rachmat et al., (2010) menyatakan bahwa T.
sumatrana dapat diperbanyak secara vegetatif, dengan
kemampuan berakar 66,7% (28 minggu setelah tanam) pada
media sabut kelapa dan sekam padi (2 : 1 [v/v]).
2.1.4 Penggunaan
Kulit, daun, cabang, ranting, dan akar dari jenis
Taxus, termasuk T. sumatrana, merupakan sumber Taxane,
yaitu paclitaxel diekstraksi sebagai obat yang sangat sukses
digunakan dalam kemoterapi berbagai jenis kanker.
Hidayat & Tachibana (2013) melaporkan bahwa kulit
batang T. sumatrana yang berasal dari G. Kerinci
mengandung 10-deacetylbaccatin III dan baccatin III. Kedua
senyawa tersebut merupakan produk antara (precursor) dari
16 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
biosintesis Taxol®. 10-deacetylbaccatin III dan baccatin III
juga ditemukan pada daun dan batang muda T. sumatrana
(Kitagawa et al., 1995; Shen et al., 2005).
Populasi Taxus di dunia telah menurun secara drastis
seiring dengan tingginya tingkat eksploitasi yang
dilakukan untuk memperoleh bahan aktif kelompok Taxane
di dunia farmasi. Ancaman tersebut akibat penebangan
pohon dan pengulitan total batang, serta strategi
manajemen yang minim. Namun demikian, T. sumatrana
yang tumbuh di Indonesia sampai saat ini masih belum
tereksploitasi sebagai alternatif sumber Taxol®. Status
keterancaman jenis ini dalam IUCN Red List termasuk
dalam kategori memiliki risiko keterancaman yang masih
rendah (Least Concern/LC) (IUCN, 2014). Sementara itu,
masyarakat lokal umumnya menggunakan kayu T.
sumatrana untuk keperluan bahan baku pertukangan ringan
atau pembuatan alat-alat kebutuhan rumah tangga.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 17
Gambar 6. T. sumatrana; A) Tumbuh pada tempat alaminya (TN G. Kerinci Seblat), B) Tumbuh di Kebun Raya Cibodas (planted), C) Batang/ranting/percabangan, D) Morfologi daun
A
B
C
D
18 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
2.2 Taxus brevifolia Nutt
2.2.1 Penyebaran
Taxus brevifolia disebut juga dengan nama Pacific yew.
Jenis ini merupakan pohon berdaun jarum yang tumbuh
alami di barat laut Pasifik, Amerika Utara (Ferguson, 1978;
Hils, 1993). Jenis ini tersebar mulai dari bagian Selatan
Alaska sampai ke California bagian Tengah dan Montana.
Populasi terbanyak dijumpai di wilayah pantai Barat
Pasifik, tetapi ada satu populasi yang terisolasi khusus,
yaitu di Tenggara British Columbia dan Idaho bagian
Selatan sampai tengah.
2.2.2 Habitus
Pohon hijau sepanjang tahun dengan ukuran kecil
sampai sedang, tinggi mencapai 20 m dengan diameter 50
cm, dan jarang sekali diameter batang mencapai lebih dari
50 cm (Farrar, 1995). Tajuk melebar membentuk kerucut
dengan kulit batang berwarna cokelat sampai cokelat
kemerahan dan tekstur yang agak bersisik. Daun berbentuk
lanset, datar, berwarna hijau tua dengan panjang 1–3 cm
dan lebar 2–3 mm (Mitchell, 1998), serta tersusun secara
spiral pada cabang dengan bagian dasar daun melintir.
Percabangan yang menjulur ke atas akan terkulai pada
ujungnya (Spjut, 2007). Buah kerucut sangat termodifikasi;
tiap kerucut mengandung satu individu biji dengan
panjang 4–7 mm dan dikelilingi oleh sisik yang
termodifikasi; buah berkembang menjadi struktur yang
menyerupai buah beri dan disebut dengan aril. Aril yang
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 19
sudah masak berwarna merah cerah, bertekstur lembut
dengan ukuran panjang dan lebar 8–15 mm, dan ujung aril
merekah (Gambar 4). Aril akan masak sekitar 3–6 bulan
sejak penyerbukan (Maret dan April) dan jika aril sudah
masak (Juli–Oktober) maka aril rentan dimakan oleh
burung dan predator lainnya (Rudolf, 1974; Difazio et al.,
1996; Stephen et al., 1998).
Pemangsaan oleh burung dan predator merupakan
mekanisme penyebaran benih secara alamiah. Selama
penyebaran ini, benih tidak rusak karena memiliki kulit
yang cukup keras. Perkembangan embrio benih di dalam
aril akan mulai terjadi 2–3 bulan setelah penyebaran oleh
burung dan hal ini akan meningkatkan keberhasilan
penyebaran benih secara alami. Kerucut jantan berbentuk
membulat dengan diameter 3–6 mm dan tepung sarinya
akan menyebar pada awal musim semi.
T. brevifolia tumbuh baik di bawah naungan (Taylor &
Taylor, 1981). Karakter bunga berumah dua (dioecious),
tetapi pada suatu kondisi tertentu dapat ditemukan satu
individu yang memiliki sifat berumah satu (monocious),
atau bahkan, bertukar jenis kelamin seiring dengan waktu
(Keller & Tregunna, 1976; El-Kassaby & Yanchuck, 1994;
Stephen et al., 1998).
2.2.3 Sistem Perbanyakan
T. brevifolia dapat diperbanyak secara generatif
(dengan biji) dan vegetatif (umumnya stek). Salah satu hasil
penelitian yang cukup menyeluruh tentang teknik
20 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
perbanyakan T. brevifolia secara generatif diungkapkan oleh
Pilz (1996) dan secara vegetatif dilaporkan oleh Mitchell
(1998).
Pematangan buah T. brevifolia berlangsung selama 3–6
bulan, yaitu mulai Juli–Oktober. Buah yang masak
dicirikan dengan bentuk aril yang membengkak penuh,
berwarna merah dengan tekstur yang lembut. Kandungan
minyak pada aril menyebabkan buah agak sulit
dibersihkan (Earle, 2013b). Dengan demikian, stratifikasi
benih Taxus merupakan sebuah proses biologis aktif yang
membutuhkan waktu paling sedikit 12–18 bulan, atau
bahkan, seringkali lebih lama lagi (Pilz, 1996).
T. brevifolia yang baru saja dipetik atau jatuh dari
pohonnya (masih segar) memiliki embrio yang sangat kecil
yang sulit dikenali. Embrio berkembang atau membesar
jika telah dilakukan stratifikasi. Hal ini diduga benih Taxus
memiliki dormansi kulit atau dormansi embrio. Oleh sebab
itu, uji kualitas benih dilakukan terlebih dahulu sebelum
dikecambahkan untuk melihat hidup atau tidaknya embrio.
Cara yang paling mudah, murah, dan cepat adalah metode
pemotongan benih menjadi dua bagian dengan arah
longitudinal. Meskipun metode ini merupakan metode
destruktif, cara ini mampu memberikan hasil yang baik
secara visual terhadap kondisi embrio benih. Teknik lain
yang lebih modern untuk mengetahui kondisi embrio benih
adalah dengan x-ray atau ultrasound yang akan mampu
mengecek kondisi embrio, apakah hidup atau viable.
Benih yang tersimpan pada lahan hutan dapat
bertahan lebih dari tiga tahun. Hal ini dikarenakan
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 21
perkecambahannya baru akan terjadi setelah atau jika
anakan tanaman lainnya mati sehingga lantai hutan
menjadi terbuka (Minore et al., 1996). Oleh karenanya,
penyimpanan dingin (cold storage) benih jenis ini sangat
tidak menguntungkan. Untuk dapat bertahan lama (5–6
tahun), benih harus dikeringkan sampai kadar air mencapai
6–10% dan kemudian disimpan pada suhu 1–2oC (Rudolf,
1974).
Hanya sedikit benih yang mampu berkecambah pada
musim semi, sesaat setelah buah masak. Pada kondisi
alaminya, perkecambahan puncak terjadi pada musin semi
tahun berikutnya dan sebagian lagi pada musim semi dua
atau tiga tahun berikutnya setelah benih masak atau jatuh
(Rudolf, 1974). Lambatnya perkecambahan diduga ada
hubungannya dengan mekanisme dormansi benih.
Dormansi benih yang terdapat dalam T. brevifolia
diperkirakan menyangkut tiga mekanisme: kulit benih
mungkin mengandung senyawa penghambat (inhibitor);
ukuran embrio yang masih sangat kecil, meskipun benih
telah masak penuh; dugaan adanya dormansi genetik atau
dormansi fisiologis yang belum teridentifikasi letaknya.
Stratifikasi yang efektif untuk benih T. brevifolia
adalah penyimpanan benih di ruang dingin dan basah pada
musin dingin tahun pertama, penyimpanan pada suhu
hangat di tahun yang sama, kemudian penyimpanan
dingin dan basah kembali pada tahun berikutnya. Dengan
cara ini, perkecambahan dapat disingkat selama waktu 12–
18 bulan (Pilz, 1996). Lamanya stratifikasi yang dibutuhkan
untuk perkecambahan diduga berhubungan dengan
22 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
tingkat kemasakan biji pada waktu pengumpulan. Anakan
T. brefivolia sangat rentan terhadap penyakit dumping-off.
Pemberian naungan yang diperlukan pada saat benih
disemai dan dibiarkan akan menghasilkan daya berkecam-
bah sebesar 10–20%.
2.2.4 Penggunaan
Kayu T. brevifolia masih digunakan [dibatasi karena
kelangkaan] untuk busur panah, tombak, dayung kano,
peralatan rumah tangga, alat musik, ukiran patung,
furnitur, dan kayu bakar (Bolsinger & Jaramillo, 1990).
Bagian tanaman, daun, ranting, dan kulit batang digunakan
oleh penduduk asli Amerika untuk mengobati penyakit
paru-paru, perut, luka, dan nyeri (Moerman, 1986). T.
brevifolia digunakan juga untuk pohon hias, tanaman
fondasi, pagar, dan bonsai (Bolsinger & Jaramillo, 1990)
(Gambar 7). Meskipun sekarang sudah mulai ditemukan
teknologi yang mampu memproduksi paclitaxel secara
semisintetis dari pohon hasil budi daya, tingkat eksploitasi
yang sangat tinggi menyebabkan kekhawatiran yang
mendalam jika T. brevifolia akan menjadi langka. Tingkat
eksploitasi yang tinggi juga mulai dilakukan terhadap jenis
Taxus lainnya dengan tujuan yang sama, yaitu
mendapatkan paclitaxel. Kondisi seperti ini telah memicu
kelangkaan berbagai jenis Taxus di berbagai belahan bumi.
Status keterancaman T. brevifolia dalam IUCN Red List,
yaitu sebagai jenis dengan risiko mendekati keterancaman
(Near Threatened/NT) (IUCN, 2014).
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 23
Sumber: http://swindon-bonsai.co.uk/ (diakses 9 Maret 2014)
Gambar 7. Bonsai genus Taxus sebagai penggunaan lainnya
2.3 Taxus baccata Linn
2.3.1 Penyebaran
Taxus baccata disebut juga dengan nama English yew.
Jenis ini merupakan pohon berdaun jarum yang tumbuh
alami di Eropa (bagian Barat, Tengah, dan Selatan), Barat
Laut Afrika, Irak Utara, dan Barat Daya Asia (Zamani et al.,
2008; Spjut, 2007). Meskipun distribusi sebaran alaminya
sangat luas, jumlah individu setiap populasinya sangat
kecil sehingga mempertinggi risiko keterancamannya
(Lewandowski et al., 1995). Berbagai penemuan terhadap
jenis yang memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan
24 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
T. baccata menyebabkan terjadinya subpengelompokan
baru (Zamani et al., 2008).
Taxus baccata merupakan nama ilmiah yang merujuk
pada variasi atau kultivar untuk European yew, common yew,
dan English yew (Rushforth, 1999). Sudah sejak lama pohon
ini disebut sebagai “Pohon Kematian”; padahal, secara
alami memiliki sifat yang berumur panjang, kuat dan awet,
beracun, dan secara tradisional digunakan oleh penduduk
lokal sebagai obat nyeri/keluhan pada dada, serta simbol
kehidupan yang kekal (Hartzell, 1991).
2.3.2 Habitus
Pohon hijau sepanjang tahun dengan ukuran kecil
sampai sedang, tinggi mencapai 10–20 m, pada beberapa
individu dapat mencapai 30 m, dan tumbuh pada
ketinggian 2.000–4.000 m dpl (Lewandowski et al., 1995;
Orwa et al., 2009; Bondare, 2013; Sharma & Uniyal, 2010).
Jenis ini tumbuh sangat lambat, tetapi dapat hidup sangat
lama (Hartzell, 1991). Pohon terbesar yang tercatat dalam
sejarah untuk T. baccata, yaitu diperkirakan berumur
mencapai 2.000–4.000 tahun [meskipun secara historis
penentuan umur jenis Taxus dari spesimen kayu tidak
dapat diperkirakan secara tepat dan masih menjadi
perdebatan] (Hindson, 2000). Namun demikian, terdapat
satu kesepakatan umum di antara para botanis bahwa T.
baccata merupakan jenis pohon paling tua yang tumbuh di
Eropa.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 25
Morfologi lainnya terkait T. baccata adalah sebagai
berikut. Kulit batang berwarna cokelat kemerah-merahan
dan bersisik; daun berbentuk lanset, datar, berwarna hijau
tua dengan panjang 1–3 cm dan lebar 2–3 mm (Thomas &
Polwart, 2003; Hoffman, 2004); daun tersusun secara spiral
pada cabang dengan bagian dasar daun melintir (Edward
& Dennis, 1994). Buah kerucut sangat termodifikasi; tiap
kerucut mengandung satu individu biji yang sangat
beracun (Edward & Dennis, 1994) dengan panjang kurang
dari 1 cm dikelilingi oleh sisik yang termodifikasi dan
berkembang menjadi struktur yang juga menyerupai buah
beri (aril). Pembungaan terjadi pada bulan September dan
berbuah pada bulan Oktober. Buah akan dikelilingi oleh
aril dan apabila sudah masak akan berwarna merah cerah
dan bertekstur lembut dengan ukuran panjang dan lebar 8–
15 mm sehingga aril rentan dimakan oleh burung dan
mamalia (Sharma & Uniyal, 2010). Selama penyebaran ini,
benih tidak rusak karena memiliki kulit yang cukup keras
(Orwa et al., 2009). Seperti halnya T. brevifolia,
perkembangan embrio benih T. baccata di dalam aril akan
mulai terjadi 2–3 bulan setelah penyebaran oleh burung
atau mamalia sehingga membantu meningkatkan
keberhasilan penyebaran dan perkecambahan benih secara
alami. Kerucut jantan juga berbentuk membulat dengan
diameter 3–6 mm dan akan menyebarkan tepung sarinya
pada awal musim semi.
Pada umumnya, T. baccata juga berumah dua
(dioecious), tetapi pada suatu kondisi tertentu dapat
ditemukan pula satu individu yang bersifat berumah satu
(monocious), atau bahkan, bertukar jenis kelamin seiring
26 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
dengan waktu (Bondare, 2013). Semua bagian pohon sangat
beracun (toxic), kecuali aril yang berwarna merah cerah
yang menutupi biji yang memungkinkan terjadinya proses
pencernaan dan penyebaran biji oleh burung (Edward &
Dennis, 1994).
2.3.3 Sistem Perbanyakan
Seperti halnya Taxus yang lain, T. baccata dapat
diperbanyak secara generatif (dengan biji) dan vegetatif
(umumnya stek). Perbanyakan secara generatif banyak
mengalami kendala, seperti jumlah biji/buah yang tidak
melimpah akibat banyaknya satwa pemakan buah ini
(Daniel et al., 2000). Selain itu, pemecahan masa dormansi
sangat sulit dan daya viabilitas rendah (Khali, 2001).
Perbanyakan secara vegetatif memberikan peluang yang
sangat menjanjikan sebagai penyedia bibit tanaman untuk
proses regenerasi secara alami (Singh & Bhalla, 2006).
Penelitian tentang teknik propagasi secara vegetatif telah
dilakukan secara intensif oleh Nandi et al. (1996), Maden
(2003), dan Singh & Bhalla (2006). Hasil perbanyakan
vegetatif terhadap Taxus baccata dilaporkan bahwa jenis ini
memiliki kemampuan berakar 65–80% dengan panjang
akar sekitar 10–38 cm (14 minggu setelah tanam dengan
menggunakan hormon NAA 0,25 mM), dan 85–95%
dengan panjang akar 8–13 (IBA 0,25 mM) (Nandi et al.,
1996).
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 27
2.3.4 Penggunaan
T. baccata biasa ditanam di halaman-halaman gereja
di Inggris dan Irlandia sampai ke wilayah Austria. Di
kalangan petani pada komunitas tertentu, pohon ini
ditanam sebagai penyemangat keberhasilan ladang atau
lahan pertanian mereka. Jika dikaitkan secara rasional, hal
ini berhubungan dengan hampir semua bagian tanaman
yang beracun, kecuali aril, sehingga tidak akan ada
binatang pengganggu di ladang/wilayah pertanian
mereka. Aril buahnya secara turun-temurun digunakan
masyarakat lokal sebagai obat alami untuk mengobati
gigitan ular, kalajengking, anjing gila (rabies), penyakit
jantung, paru-paru, dan diabetes (Orwa et al., 2009; Sharma
& Uniyal, 2010). Daun Taxus sangat beracun, senyawa
alkaloid dan glukosida yang terkandung sangat beracun
bagi binatang, seperti kelinci dan kuda, serta bagi manusia
dapat mengganggu sistem pencernaan, gangguan saraf,
pernapasan dan jantung, yang berujung pada kematian.
Taxus baccata juga umum digunakan sebagai jenis
ornamental dalam landscaping tanaman hias di kebun.
Rantingnya yang hijau juga digunakan oleh penduduk
lokal di Nepal sebagai hiasan rumah selama festival
keagamaan (Orwa et al., 2009). Penggunaan penting lainnya
adalah di dunia farmasi. Ekstraksi terhadap Taxus jenis ini
menghasilkan docetaxel yang merupakan obat kemoterapi
untuk berbagai penyakit kanker. Status keterancaman jenis
ini dalam IUCN Red List, yaitu jenis dengan risiko
keterancaman yang masih rendah (IUCN, 2014). Namun
demikian, penelitian Lewandowski et al. (1995) menemukan
28 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
bahwa jenis ini memiliki keragaman genetik yang sangat
rendah yang berimplikasi pada peningkatan risiko
kepunahan jenis.
2.4 Taxus cuspidata Siebold & Zucc
2.4.1 Penyebaran
Taxus cuspidata disebut juga dengan nama Japanese
yew. Tumbuhan ini pertama kali ditemukan sekitar 80
tahun yang lalu di Jepang (Li, 1999). Kemudian, pohon
berdaun jarum ini mulai meyebar ke wilayah lain, seperti
Korea, Cina bagian Selatan, dan Rusia bagian Tenggara
(Spjut, 2007).
2.4.2 Habitus
Pohon hijau sepanjang tahun dengan ukuran daun
kecil (berbentuk jarum), tinggi mencapai 16–20, dan disebut
pohon dewasa jika umurnya mendekati 200 tahun
(Suffness, 1995). Pertumbuhan riap tahunan jenis ini relatif
kecil (Zu et al., 2006) dengan proses germinasi yang hampir
2 tahun (Hartzell, 1991). Daun berwarna hijau tua dengan
panjang 1,5–3,5 cm dan lebar 2–3 mm yang tersusun secara
spiral pada cabang dengan bagian dasar daun melintir
(Ohwi, 1965; Hoffman, 2004). Tumbuhan ini ditemukan
hidup pada ketinggian 1.000–3.000 m dpl (Waibel, 2010;
Allison et al., 2008). T. cuspidata juga ditemukan hidup di
luar habitat (areal terbuka, ketinggian 80 m dpl) dan
mampu hidup dengan tinggi hanya mencapai 2 m, mirip
seperti pohon kerdil atau semak (Allison et al., 2008).
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 29
T. cuspidata memiliki karakteristik daun dan
morfologi reproduksi yang hampir mirip dengan Taxus
yang lainnya. Benih hasil pembuahan dikelilingi oleh aril
dan berdaging buah berwarna merah jika sudah masak
(Allison et al., 2008).
2.4.3 Sistem Perbanyakan
Perbanyakan generatif merupakan mekanisme
perbanyakan Taxus secara alami. Namun dari aspek budi
daya, teknik perbanyakan melalui vegetatif dianggap
sebagai teknik perbanyakan yang paling efisien (Li et al.,
2006), termasuk juga untuk Taxus jenis ini.
2.4.4 Penggunaan
T. cuspidata merupakan jenis yang sangat umum
ditanam di Asia bagian Timur dan Amerika Selatan bagian
Timur sebagai tanaman hias/ornamental. Penggunaan
lainnya adalah sebagai sumber bahan aktif dalam dunia
farmasi. Sekitar 193 senyawa aktif telah ditemukan; baik
pada kulit batang, biji, kayu maupun akar Taxus cuspidata
(Wang et al., 2010). Senyawa yang paling penting saat ini
adalah Taxol® sebagai obat kanker payudara, ovarium, dan
jenis kanker lainnya. Sayangnya, permintaan taxol yang
tinggi tidak selaras dengan kemampuan regenerasinya
yang cenderung menurun (Zu et al., 2006), pertumbuhan
yang lambat (Hartzell, 1991), dan jumlah benih yang
terbatas (Daniel et al., 2000). Hal ini menjadikan populasi
Taxus di beberapa wilayah distribusi alaminya mengalami
30 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
penurunan drastis. Berdasarkan data yang dikeluarkan
oleh IUCN, T. cuspidata dikelompokkan sebagai tanaman
hutan yang populasinya terancam punah dengan tingkat
risiko yang rendah (IUCN, 2014).
2.5 Taxus canadensis Marsh
2.5.1 Penyebaran
Taxus canadensis disebut juga dengan nama Canadian
yew, American yew, dwarf yew,dan ground hemlock. Jenis ini
merupakan pohon berdaun jarum yang tumbuh alami di
Amerika Utara bagian Tengah dan Timur (Darbyshire,
2003). Tempat tumbuh terbaik adalah di daerah yang
basah, jurang-jurang, tepian sungai, dan juga tepian danau.
2.5.2 Habitus
Berbeda dengan Taxus lainnya, T. canadensis tumbuh
sebagai semak yang melebar yang tingginya tidak lebih
dari 4 m dengan diameter 9 cm (Pinto & Herr, 2005). Kulit
batang berwarna cokelat bersisik. Daun berbentuk lanset,
datar, dan berwarna hijau tua dengan panjang 1–2 cm dan
lebar 0,5–2 mm (Hoffman, 2004). Buah kerucut sangat
termodifikasi; tiap kerucut mengandung satu individu biji
yang dikelilingi oleh sisik yang termodifikasi dan
berkembang menjadi struktur yang menyerupai buah beri
(aril) (Wilson et al., 2006). Jenis ini ditemukan tumbuh pada
ketinggian kurang dari 1.500 m dpl dengan kondisi pH
tanah sekitar 5–7,5 (Comer et al., 2003; Pinto & Herr, 2005).
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 31
T. canadensis adalah tumbuhan yang hidup di bawah
naungan atau menempati strata kedua pada lantai hutan.
Untuk tumbuh dan bertahan hidup, tumbuhan ini hampir
tidak memerlukan cahaya matahari. Namun demikian,
cahaya pada ketinggian 1 m dapat dimanfaatkan sampai
95% untuk pertumbuhannya (Aubin et al., 2000). Jika
tumbuh pada lahan terbuka, kemampuan hidupnya akan
berkurang menjadi <50%. Untuk mencegah dehidrasi, jenis
ini akan mengendalikan kelembaban dan suhu melalui
sistem perakaran yang dimilikinya (Martell, 1974; Pothier &
Margolis, 1991).
2.5.3 Sistem Perbanyakan
T. canadensis dapat diperbanyak secara generatif
(dengan biji) dan vegetatif (umumnya stek). Namun,
perbanyakan secara generatif banyak mengalami kendala
sehubungan dengan karakteristik benih Taxus secara
umum sehingga perbanyakan vegetatif cukup menjanjikan
untuk memenuhi ketersedian bibit. Prosedur lengkap
teknik perbanyakan secara vegetatif diuraikan oleh Yeates
et al. (2005).
2.5.4 Penggunaan
T. canadensis memiliki tingkat toksikogenik yang lebih
rendah dibandingkan T. baccata. Namun demikian, seluruh
bagian tanaman tetap memiliki kandungan racun yang
cukup tinggi, kecuali bagian aril (Edward & Dennis, 1994;
Orwa et al., 2009; Sharma & Uniyal, 2010). Masyarakat lokal
32 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
setempat secara tradisional memanfaatkan daun T.
canadensis sebagai teh. Dalam dosis yang kecil, tumbuhan
ini digunakan untuk pengobatan berbagai macam keluhan
penyakit rematik. Cabang-cabang atau ranting-ranting juga
digunakan bersama dalam mandi uap untuk pengobatan
luar penyakit rematik. Namun demikian, [tetap harus
menjadi catatan] tumbuhan ini masih sangat toksik dan para
herbalis modern lebih menyukai penggunaan herbal lainnya
yang lebih aman digunakan untuk menggantikan T.
canadensis dalam mengobati suatu penyakit.
T. canadensis dipanen sebagai sumber penghasil
Taxane di bagian Utara Ontario, Quebec, dan Atlantik sejak
kelompok senyawa ini menjadi fokus utama dunia dalam
pengobatan berbagai penyakit kanker (Farr, 2008).
Kandungan bahan aktif pada T. canadensis jauh lebih besar
dibandingkan T. brevifolia. Selain itu, bagian daun T.
canadensis yang banyak mengandung kelompok senyawa
Taxane dapat dipanen secara berkala dan berkelanjutan
untuk diekstraksi setiap 5 tahun sekali tanpa menebang
pohon atau menguliti batangnya yang akan menimbulkan
kematian tanaman. Berdasarkan data yang tercatat,
pemanenan daun T. canadensis meningkat tajam dari sekitar
5.000 kg pada tahun 2003 menjadi 400.000 kg pada tahun
2005, dengan rasio Taxol® yang diperoleh adalah 30.000 : 1
(kg/kg) (Farr, 2008). Menurut data IUCN (2014), status
keterancaman jenis ini dalam IUCN Red List, yaitu sebagai
jenis dengan risiko keterancaman yang masih rendah.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 33
3.1 Biologi Taxus
3.1.1 Pembungaan dan Pembuahan
Hampir semua jenis Taxus berumah dua, namun T.
canadensis merupakan tumbuhan berumah satu (Wilson et
al., 1996). Bunga berukuran kecil dan soliter yang tumbuh
dari tunas aksila. Kuncup bunga betina terdiri atas ovul
tunggal yang dikelilingi oleh lima kelopak bunga (Difazio
et al., 1996). Anthesis diindikasikan dengan terdapatnya
mikropolar pada ovul yang terbuka, yang selanjutnya akan
berkembang menjadi satu benih (Allison et al., 2008; Difozio
et al., 1996). Kuncup bunga jantan biasanya mengelompok
di sepanjang bagian bawah percabangan (Difazio et al.,
1996). Bunga jantan memiliki 14 stamen (penghasil gamet
jantan), masing-masing dengan 5–9 mikrosporangia atau
kantong polen. Polen tersebar pada bulan Februari–Mei
dengan butir-butir polen berwarna kuning dan berdiameter
sekitar 19–26 m (Maguchi & Fukuda, 2001). Buah masak
pada akhir musim panas sampai musim gugur; susunan
luar buah berdaging dengan aril berbentuk seperti cangkir,
tumbuh tunggal, keras, berbentuk oval dengan panjang
mencapai lebih dari 6 mm (Wilson et al., 2006). Biji yang
matang memiliki lapisan luar berwarna cokelat keabuan
BAB 3
Biologi dan Domestikasi Taxus
34 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
sampai cokelat dan terisi dengan jaringan megagametofit
putih (kaya lemak).
Informasi mengenai frekuensi pemanenan benih
berkualitas baik hanya sedikit. Pembungaan dan produksi
buah akan dihasilkan pada pohon yang telah berumur 30–
35 (Thompson & Teoranto, 2014). Namun, terdapat indikasi
bahwa hampir seluruh jenis Taxus memproduksi benih
hampir setiap tahun, dengan jumlah benih/pohon yang
sangat bervariasi. Benih yang ditemukan pada lapisan atas
tanah tetap utuh dan memiliki viabilitas baik, meskipun
sudah jatuh bertahun-tahun (Minore et al., 1996).
Jumlah benih Taxus per kilogram sangat bervariasi
menurut jenis. Tabel 1 menunjukkan data jumlah benih
beberapa jenis Taxus.
Tabel 1. Data produksi benih
Jenis Lokasi pengumpulan
Produksi benih (buah) Jumlah contoh Jumlah/kg
Rata-rata/kg
T. baccata Eropa Barat 13.900-18.000 17.000 14 Amerika Serikat 13.200-15.000 14.100 3
T. brevifolia Carson & Skamania 32.400-36.200 33.100 2
South Cascade 23.800-25.900 24.950 10
Central Cascade 26.330-39.950 31.077 4
T. canadensis Upper Midwest 33.000-62.400 46.300 4
Minesota & Wincosin 35.700-38.460 37.000 4
T. cuspidata Jepang 24.700-43.000 31.300 7
Amerika Serikat 14.840-19300 16.300 3
Sumber: Vance & Rudolp (2000)
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 35
Berdasarkan data pada Tabel 1 terlihat bahwa data T.
sumatrana tidak ada. Hal ini berarti, T. sumatrana belum
dipelajari dengan baik tentang keberadaan dan
pemanfaatannya secara luas di Indonesia. Jumlah benih per
kilogramnya termasuk banyak sehingga benih-benih Taxus
termasuk kelompok benih berukuran sedang.
3.1.2 Pengumpulan Buah
Pematangan buah dan pemasakan aril (bentuk biji
penuh dengan warna aril merah–oranye) berlangsung
selama berbulan-bulan. Selama periode tersebut, peluang
hilangnya buah karena dimakan satwa mamalia cukup
tinggi, yaitu mencapai 75% hanya dalam beberapa hari
(Wilson et al., 1996; Sharma & Uniyal, 2010). Untuk
menghindari kehilangan akibat hama, pemetikan buah
harus dilakukan teratur dan dimulai saat satu per satu
buah tersebut mulai matang. Untuk menjamin terkumpul-
nya benih pada satu areal khusus, pemasangan kantong
plastik pada percabangan-percabangan yang berbuah
cukup efektif sehingga buah tidak jatuh akibat pergerakan
tupai atau hama lainnya. Jika pengunduhan buah secara
individual tersebut untuk setiap pohon dianggap tidak
praktis, pemanenan dapat dilakukan dengan membentang-
kan kantong plastik di bawah percabangan (Difazio et al.,
1996). Biasanya, pemasangan dimulai pada bulan Juli dan
pengecekan dilakukan pada akhir musim gugur.
Fenologi T. sumatrana hingga saat sekarang belum
terdokumentasikan dengan baik, apalagi Taxus pada
umumnya berumah dua. Dengan demikian, peluang untuk
36 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
mendapatkan pohon terisolasi dan tidak berbuah akan
sangat besar. Fenologi T. sumatrana harus diketahui dengan
baik agar dapat mengembangkan strategi perbanyakannya.
Teknik perbanyakan secara vegetatif untuk klon-klon
unggul merupakan salah satu teknik dalam pengadaan
benih.
3.1.3 Ekstraksi dan Pembersihan
Benih harus segera diekstraksi dari daging buah
setelah dipanen (Thompson & Teoranto, 2014). Penyimpan-
an dengan daging buah akan mengundang infeksi jamur.
Ekstraksi benih dilakukan dengan maserasi aril segar di
dalam air (Jaziri et al., 1996). Benih yang dimasukkan dalam
mesin pembersih berkecepatan rendah merupakan metode
pemisahan aril yang cukup praktis tanpa merusak benih.
Setelah ekstraksi selesai, benih harus dikeringkan. Langkah
selanjutnya setelah benih kering, antara lain penimbangan
berat benih, penyemaian langsung, stratifikasi, ataupun
penyimpanan dingin (cold storage). Kemurnian lot benih
biasanya berkisar 96–100% dan tingkat kesehatan 78–99%
(Vance & Rudolp, 2000).
Teknik ekstraksi benih T. sumatrana juga belum
banyak ditulis. Teknik ekstraksi basah akan lebih menjamin
persentase kesehatan benih yang lebih baik karena Taxus
mempunyai struktur daging buah yang mudah terkelupas
jika difermentasi terlebih dahulu.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 37
3.1.4 Penyimpanan
Benih Taxus termasuk dalam kelompok benih
ortodoks sehingga memiliki daya simpan yang cukup lama.
Penyimpanan pada suhu rendah dapat dilakukan dengan
tetap mempertahankan viabilitas pada angka rata-rata 50–
70% (Thompson & Teoranto, 2014). Untuk menjaga agar
viabilitas benih tetap tinggi pada periode penyimpanan
jangka panjang sampai 5–6 tahun, benih tersebut harus
segera dikeringanginkan selama 2 minggu sesaat setelah
diekstraksi dan dibersihkan, selanjutnya disimpan dalam
wadah tertutup dengan suhu 1–2oC (Rudolf, 1974). Pada
kondisi benih dikeringkan sampai kadar air 2–3% dengan
kelembaban realtif 12–25%, viabilitas benih sebesar 90%
dapat dipertahankan selama berminggu-minggu pada
penyimpanan suhu ruangan 25oC. Cara lain untuk
mempertahankan viabilitas benih yang cukup praktis dan
sederhana adalah dengan menyimpan benih tersebut pada
media pasir yang lembab dan gembur pada suhu rendah.
Dengan teknik sederhana seperti ini, benih dapat disimpan
selama 4 tahun (Thompson & Teoranto, 2014).
Teknik penyimpanan benih pada dasarnya bertujuan
untuk memperpanjang masa hidup atau viabilitas benih
agar ketika dikecambahkan akan memiliki persentase
tumbuh yang tinggi. Berbagai teknik penyimpanan benih T.
sumatrana masih perlu diteliti lebih lanjut.
38 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
3.1.5 Perlakuan Praperkecambahan
Secara umum, benih Taxus sangat lambat berkecam-
bah (Foster, 1993; Hartzell, 1991; Windels & Flaspohler,
2011). Perkecambahan alami biasanya tidak terjadi pada
satu tahun setelah benih jatuh, namun benih akan
berkecambah pada 2–4 tahun berikutnya (Minore et al.,
1996; Thompson & Teoranto, 2014). Benih yang masih viable
dapat ditemukan pada lapisan permukaan atas tanah/
serasah, meskipun benih tersebut sudah jatuh bertahun-
tahun sebelumnya. Data yang dilaporkan Minore et al.
(1996) menyebutkan bahwa 59% perkecambahan Taxus
secara alami terjadi dengan dipicu oleh kondisi kebakaran
yang menyebar dan 41% sisanya akan terjadi setelah
tersimpan lebih dari 3 tahun dalam lantai hutan. Mamalia
atau burung pemakan benih Taxus tidak akan membuat
benih tersebut cepat berkecambah, tetapi peran mereka
hanya sebatas dalam penyebaran benih (Linares, 2012). Hal
ini pun porsinya menjadi sedikit karena sebagian besar
buah yang dikonsumsi akan dimakan dan dicerna oleh
satwa tersebut. Sebagai contoh pada Taxus cuspidata,
mamalia dan burung mampu mengonsumsi 90% benih
jenis ini dan hanya menyisakan 10% benih yang jatuh ke
tanah dan tersebar (Minore et al., 1996).
Benih Taxus sangat kuat dengan masa dormansi yang
bervariasi dan umumnya pematahan dormansi dilakukan
dengan skarifikasi panas-dingin. Prosedur pematahan
dormansi untuk jenis Taxus yang direkomendasikan oleh
International Seed Testing Association (ISTA) berupa
perlakuan prechilling selama 270 hari pada suhu 3–5oC.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 39
Tabel 2 menggambarkan perlakuan skarifikasi untuk
beberapa jenis Taxus yang pernah dilakukan.
Tabel 2. Periode skarifikasi dan kondisi uji perkecambahan
Jenis
Kondisi perkecambahan Kemampuan berkecambah
rata-rata Stratifikasi (hari) Suhu (oC)
Panas Dingin Siang Malam
T. baccata - - 16 10 67
T. baccata 120 365 10–16 10–16 47
T. brevifolia - - 30 20 55
T. cuspidata 120 365 10–16 10–16 68
Sumber: Vance & Rudolp (2000)
Cara lain yang dilakukan oleh Zhiri et al., (1994)
untuk memecah masa dormansi adalah melakukan
pencucian dan perendaman selama 7 hari dan perlakuan
perkecambahan secara in vitro pada media MS (Murashige
dan Skoog) atau H (Heller) yang dimodikasi. Dengan
metode ini, benih akan berkecambah 100% dalam waktu 7
hari setelah penaburan. Perlakuan tersebut memberikan
kemungkinan bahwa dormansi kulit merupakan problem
utama sehingga penyerapan air secara imbibisi berjalan
sangat lambat dan membutuhkan nitrogen dari larutan MS.
3.1.6 Perkecambahan dan Uji Viabilitas Benih
Tipe perkecambahan benih Taxus adalah epigeal.
Perkecambahan jenis ini berlangsung secara sporadis (tidak
seragam) dalam beberapa tahap selama bertahun-tahun
40 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
(Thompson & Teoranto, 2014; Minore et al., 1996). Salah
satu penyebab hal ini adalah adanya dormansi yang sangat
tinggi. Persentase perkecambahan pada tahun pertama
tidak secara otomatis dapat mengindikasikan potensi
perkecambahan benih karena perkecambahan masih akan
berlangsung pada tahun-tahun berikutnya (Minore et al.,
1996). Teknik perkecambahan Taxus yang lebih cepat
memerlukan perlakuan awal (skarifikasi dan stratifikasi)
untuk melakukan pematahan dormansi, baik dormansi
fisik, fisiologis maupun embrio.
Uji perkecambahan benih untuk jenis-jenis Taxus
yang direkomendasikan sebagai pilihan pertama adalah
pewarnaan dengan tetrazolium. Berikutnya, uji dilanjutkan
dengan perkecambahan dalam media pasir pada suhu
lingkungan 30oC selama 28 hari setelah dilakukan
stratifikasi selama 270 hari (ISTA, 1993). Uji pemotongan
benih juga direkomendasikan sebagai teknik yang cepat
untuk mengecek viabilitas benih. Setelah benih dipotong
dengan pisau tajam menjadi dua bagian, pengujian dapat
dilakukan terhadap embrio dan megagametofit. Jika
embrio berkembang dan tidak berwarna (bening/
transparan) dengan kuncup kotiledon terlihat dan
megagametofit berwarna putih, benih dapat dikelompok-
kan sebagai benih dewasa dan viable. Uji viabilitas dengan
metode pewarnaan selama 24–28 jam, yang selanjutnya
diteruskan dengan pemotongan embrio, akan memberikan
hasil benih viable jika semua bagian embrio dan
endosperma berwarna cerah.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 41
3.2 Pembibitan dan Pemuliaan
Dalam pengelolaan sumber daya, secara garis besar
terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk menjamin
kelestarian suatu jenis atau produk: 1) penerapan dan
pengembangan tata cara yang dapat memberikan jaminan
tingkat pemanenan lestari terhadap populasi alam, dan 2)
optimalisasi produk atau hasil melalui program
domestikasi. Dalam hal ini, domestikasi mengacu pada
kegiatan mengonversi (merubah) suatu jenis liar menjadi
jenis budi daya/pemeliharaan, yang selanjutnya dapat
diperjualbelikan sesuai dengan peraturan yang berlaku
agar jenis yang tumbuh secara alami tidak punah.
Terminologi domestikasi pada sektor kehutanan lebih
dikenal dengan istilah pemuliaan pohon. Salah satu titik
berat dari tujuan domestikasi pada sektor kehutanan
adalah untuk menjamin kelestarian pemanenan kayu dan
mengakomodasi kebutuhan industri pengolahan hasil
hutan dan turunannya.
Domestikasi yang dilakukan pada beberapa jenis
Taxus dilakukan untuk menekan tingkat eksploitasi jenis ini
di alam dan menyuplai kebutuhan industri paclitaxel
dengan meningkatkan produksi perbanyakan secara
massal, cepat tumbuh, dan memiliki kandungan Taxane
yang tinggi (Smith et al., 2006). Program domestikasi Taxus
merupakan kegiatan pemuliaan pohon yang merubah
Taxus alam menjadi pohon yang dibudidayakan secara
intensif untuk memenuhi berbagai tujuan, namun akan
lebih diutamakan untuk klon-klon yang menghasilkan
Taxane tertinggi; baik pada kulit, daun maupun bagian
42 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
lainnya. Yeates et al. (2005) menyatakan bahwa untuk
mendukung keberhasilan domestikasi maka diperlukan
pendekatan multidisiplin yang terintegrasi dan diimple-
mentasikan dengan tiga kerangka model kegiatan
domestikasi. Untuk Taxus sumatrana, kerangka kegiatan
model domestikasi yang dapat dikembangkan, sebagai
berikut.
1) Seleksi individu dari keseluruhan sebaran populasi jenis
yang ada di Indonesia.
2) Pengujian dan skrining untuk menyeleksi klon-klon
dengan kandungan Taxane yang tinggi.
3) Implementasi program produksi skala besar dari pohon-
pohon elite atau klon terpilih.
Program produksi secara massal dapat dikerjakan
melalui stek, cangkok, sambungan, kultur jaringan, dan
kultur sel. Jika program tersebut dapat dikerjakan secara
sistematis, produksi Taxane tidak lagi mengandalkan
tegakan alami sehingga kelestarian produksi dan
kelestarian Taxus dapat dijaga dengan baik.
Taxane merupakan senyawa kimia yang terkandung
dalam semua jenis Taxus, namun konsentrasinya bervariasi
interindividu maupun antarindividu, dan varietas.
Pemanenan Taxane yang memiliki nilai ekonomi sangat
tinggi telah menjadi faktor penyebab langkanya berbagai
populasi Taxus di dunia. Sebagai konsekuensi dari
pertumbuhan yang lambat, tingkat pemanenan yang tinggi,
pemangsaan biji oleh binatang, dan konversi lahan hutan
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 43
untuk berbagai kepentingan mengakibatkan laju
kelangkaan Taxus menjadi semakin nyata dan semakin
cepat (Windels & Flaspohler, 2011; Linares, 2012). Oleh
karenanya, program domestikasi menjadi sebuah kegiatan
yang dinilai signifikan untuk dilaksanakan. Selama ini,
kegiatan domestikasi Taxus telah dimulai sejak tahun 1997
(Webster et al., 2005).
Untuk melaksanakan tiga model domestikasi Taxus
seperti yang telah dituliskan sebelumnya, program
pemuliaan Taxus yang dapat dilaksanakan (Smith et al.,
2003; Yeates et al., 2005) meliputi seleksi kultivar,
perbanyakan melalui stek di persemaian, manajemen budi
daya intensif, kultur jaringan, dan peningkatan kandungan
Taxane. Penjelasan setiap program pemuliaan tersebut
diuraikan sebagai berikut.
3.2.1 Seleksi Kultivar
Pada skema kegiatan ini semua genotipe dari suatu
jenis Taxus dikumpulkan dari sebaran alaminya dan
selanjutnya dilakukan perbanyakan. Salah satu teknik
perbanyakan yang dapat dilakukan dan telah terbukti
berhasil untuk berbagai jenis Taxus adalah dengan
penyetekan (Rachmat et al., 2010; Nandi et al., 1996; Maden,
2003; Singh & Bhalla, 2006; Li et al., 2006; Mitchell, 1998).
Setelah bibit dewasa, penanaman dilakukan di berbagai
lokasi untuk uji provenansi dengan jumlah klon yang
ditanam diusahakan sebanyak mungkin, atau minimal 100
klon per lokasi. Pengamatan dilakukan terhadap
pertumbuhan klon dan juga terhadap kemampuan
44 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
memproduksi Taxane untuk setiap klon yang berbeda. Uji
multilokasi akan memperkuat pengetahuan tentang
pengaruh interaksi potensi genetika dan lingkungan untuk
menghasilkan kandungan Taxane yang tertinggi.
Seleksi kultivar untuk T. canadensis telah berhasil
dilakukan dengan mengumpulkan 1.325 genotipe dari
berbagai sebaran habitat alaminya (Webster et al., 2005;
Smith et al., 2003). Meskipun masih sangat awal, hasil uji
provenansi sementara terlihat adanya variasi sifat
pertumbuhan, baik interpopulasi maupun antarpopulasi.
Variasi genetik intervariasi dan antarvariasi teramati secara
signifikan memiliki sebaran nilai 10–95% dan 25–85%. Total
produksi biomassa antarbagian tanaman juga bervariasi
secara signifikan antargenotipe yang dikumpulkan.
Individu atau klon yang memperlihatkan performa terbaik
dari keseluruhan populasi pengamatan dikembangkan
untuk menjadi sumber perbanyakan. Peranan dari tekanan
lingkungan (environmental stressing factors) juga perlu
dipelajari dalam rangka meningkatkan produksi Taxane
dalam lingkungan tertentu.
3.2.2 Teknik Perbanyakan Melalui Stek di Persemaian
Program domestikasi dinyatakan berhasil dilakukan
apabila periode waktu yang dibutuhkan mulai teridenti-
fikasinya klon atau individu elite (penghasil Taxane
tertinggi) sampai pada produksi skala besar terhadap
individu-individu elite tersebut dapat dicapai sesingkat
mungkin. Sampai dengan saat ini, kultur jaringan masih
belum cukup berkembang dan perbanyakan stek masih
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 45
harus dilakukan dengan berbagai perbaikan pada banyak
aspek untuk mendukung upaya produksi massal bahan
tanaman. Jika perbanyakan stek sukses dilakukan dengan
keberhasilan untuk mempersingkat waktu perbanyakan
dan menekan biaya produksi, jumlah potensi individu elite
hasil perbanyakan stek dapat ditingkatkan (Holloway,
2007).
Berbagai percobaan penyetekan telah dilakukan,
terutama dengan mempertimbangkan pengaruh berbagai
faktor, seperti musim saat dilakukannya penyetekan,
ukuran bahan stek, hormon tumbuh, media, intensitas
cahaya, suhu terhadap pertumbuhan dan kecepatan
perakaran (Rachmat et al., 2010; Nandi et al., 1996, Maden
2003; Singh & Bhalla, 2006; Webster et al., 2005; Yeates et al.,
2005). Hasil pengamatan terhadap beberapa jenis Taxus
diperoleh fakta bahwa untuk negara dengan empat musim,
perbanyakan dengan teknik stek dapat dilakukan di setiap
musim, hanya saja ada beberapa perbedaan perlakuan yang
harus diterapkan untuk setiap musim tertentu. Dengan
demikian, lokasi sebaran alami jenis Taxus yang
dikembangkan akan memengaruhi perlakuan yang harus
dikerjakan. Perlakuan terhadap T. sumatrana mungkin akan
lebih mudah karena tumbuh di hutan tropis yang lembab
tetapi dingin karena jenis tersebut tumbuh di dataran
tinggi, seperti di G. Kerinci, G. Dempo, dan kawasan HL
Dolok Sibuaton.
Meskipun ukuran bahan stek hanya memperlihatkan
pengaruh yang kecil terhadap kemampuan berakar,
terdapat indikasi bahwa keberhasilan stek semakin
46 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran bahan
stek (Rachmat et al., 2010). Hal tersebut terkait dengan C/N
di dalam bahan stek. Penambahan perendaman dalam
larutan yang mengandung nitrogen diharapkan dapat
meningkatkan persentase berakar bahan stek. Aplikasi
hormon untuk merangsang perakaran juga bervariasi
antarvarietas. Meskipun sampai dengan saat ini belum ada
laporan mengenai perbedaan bahan stek yang diberi
hormon dan yang tidak diberi hormon terhadap
kemampuan berakar, penelitian pada beberapa jenis Taxus
memperlihatkan hasil bahwa pemberian hormon akan
memperpendek inisiasi pembentukan kalus (Mitchell, 1998;
Kaul, 2008; Holloway, 2007). Gambar 8 adalah sistem
perakaran T. sumatrana yang diperbanyak melalui stek.
3.2.3 Budi Daya dengan Persemaian Intensif
Budi daya T. sumatrana dengan teknik persemaian
intensif merupakan suatu kebutuhan karena jenis ini
termasuk langka dan tumbuh lambat. Dalam hal ini, faktor
yang diperhatikan antara lain media tumbuh, pupuk,
mikoriza, lingkungan tumbuh, pemeliharaan, dan teknik
perbanyakannya.
Pada tahap awal, pencangkokan berulang (succesive
grafting) harus dilakukan dari pohon-pohon besar di
tegakan alami, kemudian dipindahkan ke persemaian.
Pencangkokan berulang dilakukan kembali di persemaian
sehingga akan didapat kebun pangkas yang memiliki sifat
juvenil. Hal ini dimaksudkan agar mudah untuk
melakukan perbanyakan dengan stek atau kultur jaringan.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 47
Sifat juvenil merupakan masalah utama dalam
pengembangan pohon hutan. Secara genetik, pohon tua
telah mengekspresikan potensi genetikanya, tetapi sangat
sulit untuk perbanyakannya. Sebaliknya, semai mudah
perbanyakannya, tetapi belum diketahui dengan baik
potensi genetikanya sebagai penghasil Taxane. Setelah
didapatkan materi juvenil yang secara genetik dianggap
tua, manajemen persemaian intensif dapat dilanjutkan.
Pada tahap yang lebih lanjut, kebun pangkas T. sumatrana
dapat dibangun pula.
Penelitian mengenai manajemen persemaian intensif
perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa responsif
jenis-jenis Taxus terhadap budi daya intensif di persemaian.
Berbagai jenis pupuk pada beberapa taraf pemberian juga
harus diujicobakan. Percobaan pemupukan dengan jenis
dan dosis yang bervariasi seyogyanya dikombinasikan pula
dengan berbagai kondisi lingkungan yang beragam untuk
mendapatkan kondisi yang paling optimal dalam
mendukung pertumbuhannya. Upaya ini diperlukan untuk
mendukung keberhasilan produksi skala besar tanaman
Taxus. Percobaan-percobaan lainnya yang dapat dilakukan
dalam manajemen budi daya intensif, antara lain
manipulasi lingkungan untuk memperlebar masa tanam di
semua musim, pemberian pupuk intensif, periode dan
intensitas penyiraman, serta prunning bagian atas tajuk.
Informasi terkait interaksi bibit T. sumatrana dengan
mikoriza atau mikroba lain masih sangat kurang. Studi
hubungan simbiosis mikoriza dengan beberapa jenis Taxus
sudah dilakukan oleh beberapa peneliti. Wubet et al. (2003)
48 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
mengidentifikasi bahwa T. baccata berasosiasi dengan
Vesicular-Arbuscular Mikorhiza (V-AM) jenis Glomus sp dari
tipe Paris. Sementara itu, Korouri et al. (2002) dapat
mengisolasi empat jenis mikoriza dari akar T. baccata, yaitu
kelompok Glomus, Acaulospora, Gigaspora, dan Sclerocysis.
Iglesias et al. (2000) melaporkan bahwa stek T. baccata
yang diinokulasi dengan Acaulospora scrobiculata atau
Glomus deserticola meningkatkan serapan hara P, K, Ca, Mg,
Cu, dan Zn pada umur 9 bulan. Sementara itu, inokulasi
jenis V-AM yang ditambah dengan pupuk dosis standar
menghasilkan kolonisasi pada akar T. occidentalis sebesar
91–99% (Falkowski & Matysiak, 2010). Inokulasi Glomus
intraradices juga dapat meningkatkan biomassa semai T.
baccata (Scagel et al., 2003). Walaupun penelitian pengaruh
inokulasi mikoriza telah nyata dapat meningkatkan
pertumbuhan semai Taxus, studi pengaruh mikoriza
terhadap kadar Taxane masih belum dilakukan.
3.2.4 Kultur Jaringan
Tujuan terpenting dari kegiatan kultur jaringan
adalah memproduksi bibit klonal elite dengan waktu yang
lebih cepat dan kuantitas yang lebih banyak jika
dibandingkan dengan teknik perbanyakan konvensional,
seperti penyetekan. Riset dengan metode ini juga dilakukan
untuk pengembangan metode embriogenesis somatik dan
bioreaktor mini untuk menghasilkan jaringan embrio-
genesis somatik bahan tanaman yang seragam.
Pengembangan embriogenesis somatik pada jenis T.
brevifolia sudah diketahui pada tahun 1996 pada media
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 49
Lloyd & McCown, yaitu sebanyak 5% dapat diregenerasi
menjadi tanaman (Chee, 1996). Abbasin et al. (2010)
berhasil membuat sebuah prosedur sederhana untuk
memperbanyak T. baccata melalui kultur jaringan dengan
pengembangan embriogenesis somatik (Gambar 9) yang
memungkinkan secara ekonomi dapat menyediakan
sumber produksi Taxol® dan menghindari bibit tanaman
Taxus dari keterancaman kelangkaan jenis. Hussain et al.
(2013) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kultur
kalus dari batang dan daun tidak cocok untuk
organogenesis dari Taxus wallichiana, namun kultur pucuk
sangat bagus untuk perpanjangan dan multiplikasi tunas
dalam kultur jaringan.
3.2.5 Metode Kultur untuk Peningkatan Produksi Taxane
Tujuan paling penting dalam sebuah proyek
domestikasi Taxus adalah terbentuknya individu-individu
dengan kandungan Taxane yang tinggi. Dengan demikian,
tanaman yang mampu tumbuh dua kali lebih cepat, tetapi
kandungan Taxane yang rendah akan memiliki nilai yang
lebih rendah jika dibandingkan dengan tanaman yang
tumbuh relatif lebih lambat namun memiliki kandungan
Taxane yang lebih tinggi. Selain itu, tanaman dengan
pertumbuhan yang cepat dan kandungan Taxane yang
rendah akan memerlukan biaya pengolahan dan
pemrosesan yang lebih tinggi karena untuk menghasilkan
Taxane yang banyak akan membutuhkan biomassa yang
lebih banyak untuk diolah dan diproses.
50 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Berdasarkan hal tersebut, semua klon yang ditanam
harus diamati dan diuji kandungan Taxane yang
dimilikinya. Kandungan Taxane akan bervariasi seiring
dengan variasi klon atau varietas. Variasi kandungan
Taxane juga dapat diamati berdasarkan variasi musim,
umur daun, dan pengaruh pengelolaan intensif. Untuk
mendapatkan individu dengan kandungan Taxane yang
tinggi dapat pula dilakukan dengan berbagai teknik
manipulasi selama di persemaian, elisitasi pada
prepemanenan dan pascapemanenan, screening berbagai
material, teknik kultur di laboratorium, dan optimasi
penanganan pascapanen dan pemrosesan biomassa.
Domestikasi merupakan sebuah proses panjang dan
berkelanjutan, terutama domestikasi untuk komoditas
kehutanan yang rata-rata berbentuk pohon dengan daur
hidup yang puluhan, bahkan ratusan tahun. Domestikasi
Taxus memerlukan waktu sedikitnya 5 tahun untuk
mendapatkan hasil atau informasi awal (Smith & Cameron,
2002). Oleh karenanya, sebelum domestikasi berhasil
dibangun dan dikembangkan, populasi Taxus di alam
sampai dengan saat ini masih menjadi sumber utama yang
dipanen untuk memproduksi berbagai senyawa Taxane.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 51
Gambar 8. Perbanyakan T. sumatrana melalui stek: A) Akar yang tumbuh dari jaringan kalus, B) Akar adventif yang tumbuh secara spontan, dan C) Penampang melintang akar (ep = epidermis, kr = korteks, ph = phloem, ka = kambium, aa = akar adventif) (Sumber: Rachmat, 2008)
A B
C
52 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Gambar 9. Perbanyakan T. baccata dengan kultur jaringan: A) Plantlet dari bagian tanaman yang sudah dewasa, B) Sumber bagian tanaman yang dihasilkan dari kalus biji T. baccata, C) Induksi pada media yang mengandung IBA (8 mg/L), dan D) Aklimatisasi plantlet di rumah kaca umur 6 bulan (Sumber: Abbasin et al., 2010)
A B
C D
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 53
Tumbuhan tingkat tinggi merupakan pabrik
biokimia yang dapat diperbaharui yang memanfaatkan
bahan bakar sinar matahari dan mampu memproduksi
metabolit primer ataupun sekunder dari bahan baku air,
udara, dan mineral-mineral. Kondisi seperti ini telah
mengantarkan manusia untuk memanipulasi dan
memodifikasi tumbuhan untuk menghasilkan produk yang
sesuai dengan kebutuhan di bidang industri, baik
kesehatan dan pangan (sebagai perasa, pewarna, dan obat-
obatan) maupun kosmetika.
Tumbuhan menyintesis berbagai senyawa kimia
dengan beragam manfaatnya masing-masing. Berbagai
senyawa kimia yang dihasilkan tumbuhan, secara garis
besar dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu
metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit
sekunder juga dikenal dengan “produk alami” (Gambar
10). Saat ini dipercaya bahwa terdapat lebih dari 100.000
struktur metabolit sekunder yang berbeda satu sama lain
dengan 80%-nya disintesis oleh tumbuhan dan digunakan
manusia untuk berbagai kepentingan. Padahal, metabolit
sekunder sebelumnya dipandang sebagai produk sisa
sampai tahun 1960-an.
BAB 4
Kandungan Senyawa Aktif
54 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Sumber: Sankawa & Itokawa (2003)
Gambar 10. Struktur molekul dari 10-deacetylbaccatin III (A), baccatin III (B), dan paclitaxel (C)
Sebagai salah satu produk dari metabolit sekunder
yang berpotensi memiliki aktivitas antikanker, paclitaxel
A
B
C
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 55
(golongan senyawa diterpen yang sangat kompleks)
diperoleh dari ekstraksi bagian tanaman genus Taxus. Tata
nama secara kimiawi adalah 5β, 20-epoxy-1,2 α,4,7 β,13 α -
hexahydroxytax-11-en-9one-4, 10-diacetate-2-benzoate 13 ester
dengan (2R,3S)-N-benzoyl-3-phenylisoserine. Formulasi dan
berat molekulnya adalah C47H5NO14 dan 853.9 Da
(Panchagnula, 1998). Pada struktur utama Taxol® terdapat
cincin A, B, dan C yang memiliki beberapa gugus fungsi,
seperti dua hidroksil, satu benzoil, dua asetil, dan satu cincin
oksetane. Ikatan pada C13 pada stuktur utama adalah C13
(2′R,3′S)-N-benzoyl-3′-phenylisoserine dengan satu gugus
hidroksil and benzoil (Gambar 10).
Malik et al. (2011) melaporkan proses biosintesis
Taxol® sebagai berikut. Pembentukan dimulai dari
geranylgeranyl diphosphate (GGPP) yang disintesis dari tiga
molekul isopentenyl pyrophosphate (IPP) dan isomer dimethyl
diphsophate (DMAPP) dengan bantuan enzim geranylgeranyl
diphosphate (Gambar 11). Langkah awal dalam biosintesis
Taxol® adalah kristralisasi geranylgeranyl diphosphate
(GGPP) menjadi taxa-(4,5),(11,12)-diene melalui kristalisasi
reaksi taxadiene synthase (TS). Setelah itu, gugus oksigen
dan acyl ditambahkan ke dalam struktur utama Taxane
melalui oksigenasi yang dikatalisasi oleh cytochrome P450
mono-oxygenases. Langkah kedua adalah hidroksilasi pada
C5 cincin Taxane dengan enzim cytochrome P450 taxadiene-5
α-hydroxylase (T5 α H) yang menghasilkan taxa-4(20),11(12)-
dien-5 α–ol. Langkah selanjutnya adalah katalisasi pada
acylates taxa-4(20),11(12)-dien-5 α-ol oleh taxadiene-5 α-ol-O-
acetyl transferase (TDAT) spesifik di posisi C5 sehingga
56 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
terbentuk taxa- 4(20),11(12)-dien-5 α-yl-acetate. Produk yang
terbentuk kemudian dihidroksilasi oleh taxoid 10 β-
hydroxylase (T10 β H) pada posisi C10. Setelah tahap ini,
jalur yang terjadi menjadi tidak linier, artinya masih
memungkinkan terbentuknya senyawa precursor yang lain,
seperti taxa-4(20),11(12)-dien-5 α-acetoxy-10 β-14 β-diol
(Hafner, 1996) sampai terbentuknya 2-debenzoylTaxane,
melalui aktivitas enzyme 2 α-O-benzoyl transferase (DBT), 10-
deacetylbaccatin III (10-DAB). Hidroksilasi pada C10 yang
dikalatalisasi oleh enzim 10-deacetyl-baccatin III-10-O-acetyl
transferase (DBAT) akan membentuk baccatin III.
Langkah terpenting dalam biosintesis paclitaxel
adalah esterifikasi C13 grup hidroksil dari baccatin III
dengan β-phenylalanine-CoA yang dikonjugasi melalui
katalisasi baccatin III 13-O-phenylpropanoyl-CoA transferase
(BAPT) dan menghasilkan 3′-N-debenzoyl-2′-deoxytaxol.
Produknya kemudian melalui aksi dari Cyt P450-dependent
hydroxylase menghidroksilasi C2′ dan enzim 3′ -N-debenzoyl-
2′-deoxytaxol N-benzoyl transferase (DBTNBT) mengkonjuga-
si benzoyl-CoA menjadi 3′-N-debenzoyl-2′-deoxytaxol, dan
pada akhirnya Taxol® akan terbentuk sebagai hasil akhir.
4.1 Sejarah Penemuan
Sejarah telah mencatat bahwa tanaman yang berasal
dari hutan telah digunakan secara tradisional sebagai obat
herbal untuk menjaga kesehatan dan vitalitas individu,
menyembuhkan penyakit, dan juga mencegah, menekan,
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 57
atau mengendalikan perkembangan penyakit. Sebenarnya,
pencarian senyawa aktif yang berpotensi sebagai obat
antikanker sudah dimulai sejak tahun 1950, kemudian
secara intensif dilakukan pada tahun 1956 di negara
Amerika Serikat melalui National Cancer Institute (NCI)
dengan membentuk sebuah lembaga khusus yang
dinamakan Cancer Chemotherapy National Service Center
(CCNSC).
Sejarah penemuan paclitaxel dimulai pada tahun 1956
saat NCI meminta ahli botani untuk mengumpulkan
berbagai contoh lebih dari 30.000 jenis tumbuhan dan
teridentifikasi lebih dari 110.000 senyawa hasil ekstraksi
untuk diuji kandungan dan aktivitas antikankernya (Jaziri
et al., 1996). Arthur S. Barclay, salah satu dari para botanis,
mengumpulkan 15 kg cabang, daun, dan kulit batang T.
brevifolia dari sebuah hutan di dekat Gunung Saint Helen.
Beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 1963, Monroe
E. Wall menemukan bahwa senyawa yang diekstraksi dari
kulit batang T. brevifolia menunjukkan aktivitas antikanker.
Selanjutnya, Wall dan partnernya, Mansukh C. Wani, giat
mengisolasi dan memurnikan senyawa tanaman tersebut,
serta mengadakan uji antikanker di Research Triangle Park,
Carolina Utara. Pada tahun 1967, tim tersebut berhasil
mengisolasi bahan aktif dan mengungkapkan hasilnya
pada pertemuan American Chemical Society di Miami Beach.
Tulisan mengenai bahan aktif berikut struktur kimianya
dipublikasikan pertama kali pada tahun 1971 dalam Journal
of American Chemical Society.
58 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Isi dari tulisan tersebut segera ditanggapi oleh Robert
A. Holton, seorang peneliti post doctoral di Universitas
Stanford pada bidang produk sintesis alami. Dia
menemukan bahwa T. brevifolia dengan tinggi 40 kaki yang
berumur lebih dari 200 tahun hanya menghasilkan 0,5 kg
paclitaxel saja. Penelitian yang dilakukan oleh Holton dan
kelompoknya berhasil mengungkap prosedur empat
langkah pengubahan 10-deacetylbaccatin III (senyawa
serupa yang terdapat pada berbagai jenis Taxus lain yang
tidak lengkap) menjadi paclitaxel.
Pada akhir 1970-an, Susan B. Horwits, seorang ahli
farmakologi molekuler dari Albert Einstein College of
Medicine di New York mengungkapkan kunci dari teka-teki
bagaimana kerja paclitaxel dalam melawan kanker. Sejak
saat itulah paclitaxel mulai menjadi obat yang populer bagi
para dokter dalam menangani pasien-pasien kanker
payudara, kanker ovarium, kanker paru-paru, dan bahkan
sarcoma kaposi.
Paclitaxel juga digunakan sebagai obat pencegah
restenosis atau pendangkalan stent coroner. Paclitaxel
diinduksikan secara lokal ke arteri koroner sehingga
pembungkusan atau pelapisan lokal oleh paclitaxel pada
jaringan ini akan membatasi tingkat pertumbuhan nointima
(jaringan luka) antar-stent.
Seiring dengan berkembangnya berbagai penelitian
di berbagai institusi, paclitaxel menjadi obat antikanker
paling poluler dan paling dicari di dunia karena efek
samping yang kecil, efektif, dan efisien dalam membunuh
sel kanker (Zhou et al., 2010). Paclitaxel dipasarkan dengan
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 59
nama dagang Taxol® dan hak pemasaran dipegang oleh
Bristol-Myers Squibb (BMS) mulai tahun 1991. Penjualan
Taxol® di tahun 1999 mencapai US$1.5 milyar (Malik et
al., 2011), tetapi ada indikasi penurunan penjualan 24%,
yaitu dari US$422 juta menjadi US$385 juta dari tahun 2006
hingga tahun 2007. Penurunan tersebut disebabkan masa
berlakunya hak pemasaran oleh BMS berakhir dan terjadi
peningkatan persaingan. Namun demikian, total market
penjualan Taxol® masih dapat mencapai US$1 milyar per
tahun.
Ketertarikan peneliti terhadap genus Taxus telah
meningkat tajam sejak tahun 1990-an, saat diketahui bahwa
jenis pohon dalam genus ini mengandung berbagai
senyawa fitokimia yang memperlihatkan aktivitas biologi
dalam melawan sel kanker. Paclitaxel (Taxol®), 10-DAB dan
Baccatin III, semuanya memperlihatkan aktivitas antitumor
dan antikanker, baik secara in vitro maupun in vivo. Minat
terhadap penelitian genus Taxus terus berkembang semakin
tinggi. Hal ini dibuktikan dengan telah dikeluarkannya
dana milyaran dolar untuk pengembangan produksi
Taxol®, baik melalui ekstraksi langsung dari kulit batang
Taxus maupun dengan metode kultur sel atau metode
sintesis lainnya. Aspek studi mengenai Taxus juga
terdiversifikasi lebih luas mencakup biokimia, bioteknologi,
dan kesehatan. Beberapa hasil penelitian penting
sehubungan dengan sejarah penemuan dan perkembangan
Taxol®, seperti tersaji pada Tabel 3 (Kulkarni, 2000).
60 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Tabel 3. Perjalanan penting dalam penemuan dan perkembang-an Taxol® di bidang biokimia, bioteknologi, dan klinis
Tahun Perkembangan/penemuan
1856 Isolasi substansi alkaloid yang diberi nama Taxane dari Taxus baccata oleh Lucas H.
1921, 1923 Penetapan struktur Asam Winterstein yang merupakan penyusun utama Taxane.
1925 Isolasi Taxane bebas nitrogen.
1953 Kultur gametofit Taxus spp yang diinisiasi oleh LaRue C.D.
1957, 1958 Pemurnian Taxane menjadi Taxane-A dan Taxane-B.
1959 Kultur polen Taxus spp yang diinisiasi oleh Tuleke W.
1963 Isolasi Baccatin-I.
1964 Deteksi 9 KB aktivitas sitotoksik dalam ekstrak kulit batang Taxus brevifolia.
1966 Isolasi Baccatin-III ditemukan, tetapi struktur kimia belum terdeterminasi.
1969–1975 Isolasi Taxane oleh beberapa peneliti.
1970–1975 Struktur dari Baccatin-I, III, IV, V, VI dan VII diketahui melalui x-ray kristalografi oleh Della Casa de Macano dan Halsall.
1971 Isolasi dan struktur Taxol® (prinsip aktivitas sitotoksisitas yang terjadi pada kuantitas yang sangat kecil dari 0,004% berat kering bahan tanaman) dari Taxus brevifolia dipublikasikan oleh Wani et al. (1971).
1970–1973 Serangkaian makalah mengenai perkecambahan embrio Taxus baccata dengan leaching ABA dari benih diterbitkan oleh Le Page-Degivry M.T.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 61
Tahun Perkembangan/penemuan
1974 Kultur kalus pertama dari Taxus baccata.
1975 Pengujian aktivitas Taxol® dalam melawan B16 melanoma oleh Institut Kanker Nasional, AS.
1977 Pengembangan preklinis Taxol® dimulai oleh Institut Kanker Nasional, AS.
1979 Ditemukan bahwa Taxol® mengikat mikrotubul dan menstabilisasinya melawan depolimerisasi.
1983 Tahap I uji klinis menunjukkan efektivitas Taxol® dalam melawan sejumlah tumor.
1985–sekarang
Tahap II uji klinis menunjukkan efektivitas Taxol® melawan sel-sel kanker payudara, ovarium, dan paru-paru.
1989 Produksi Taxol® secara in vitro melalui kalus dan kultur suspensi sel.
Perkembangan Taxol® baru analog: Taxtore, dengan proses semisintesis dari 10 DAB.
Laporan pertama tentang aktivitas klinis Taxol® terhadap pasien kanker ovarium.
1990–1994 Berbagai kelompok peneliti mengembangkan semisintesis Taxol® dari 10-deacetylbaccatin III (10-DAB).
1991 Paten pertama di AS yang dianugerahkan ke USDA untuk keberhasilannya memproduksi Taxol® melalui teknik in vitro dan kultur suspensi sel.
Ditemukan aktivitas Taxol® dalam melawan kanker payudara.
1992
Ditemukan aktivitas Taxol® dalam melawan sel kanker paru-paru.
Taxol® disetujui untuk pengobatan kanker ovarium oleh FDA USA.
Ditemukan kandungan radiosensitizing Taxol®.
62 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Tahun Perkembangan/penemuan
1993 Produksi Taxane dan Taxol® ditunjukkan dalam Taxomyces andreanae dan fungi endofit yang diisolasi oleh kulit batang bagian dalam Taxus brevifolia.
Taxol® memperlihatkan aktivitas yang cukup baik dalam melawan kanker di kepala dan leher.
1994 Sintesis total Taxol® oleh Nicolaou et al. (1994) dan Holton (1984).
Taxol® diproduksi dengan teknik semisintesis dari 10-DAB dan tersedia untuk penggunaan klinis.
Taxol® disetujui sebagai obat untuk pengobatan kanker payudara oleh FDA, USA.
1995–1996 Ditemukan bahwa Taxol® menghalangi resorpsi tulang osteoklastik.
Taxol® yang dihasilkan secara semisintesis disetujui diperdagangkan oleh FDA.
Ditemukan aktivitas sitotoksik Baccatin III melawan beberapa macam kanker.
1997 Ditemukannya efek antiproliferatif dan apoptotik dari Taxol® terhadap tumor prostat.
Taxol® yang diproduksi secara semisintetik disetujui sebagai pengobatan alternatif untuk AIDS dan Sarcoma Kaposi’s oleh FDA.
1997–2000 Banyak informasi baru dalam bentuk paten dan tidak diterbitkan.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 63
Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak ada Taxane yang
berasal dari T. sumatrana. Hal ini berarti penelitian T.
sumatrana untuk penghasil Taxane dengan berbagai
aspeknya masih sangat terbuka, terutama dari uji klinis.
4.2 Produksi Taxane
Genus Taxus merupakan salah satu jenis pohon
dengan laju pertumbuhan yang sangat lambat. Padahal,
terapi pengobatan seorang pasien penderita kanker dengan
menggunakan paclitaxel yang diekstraksi dari pohon jenis
ini sekurang-kurangnya membutuhkan penebangan dan
pemrosesan dari 6 pohon T. brevifolia berumur lebih dari
100 tahun. Meskipun senyawa yang serupa dengan
paclitaxel dapat diekstraksi dari berbagai jenis Taxus
lainnya, potensi dan efektivitasnya tidak setinggi paclitaxel
itu sendiri dengan rendemen 0,017% dari berat kering
(Jaziri et al., 1996).
4.2.1 Ekstraksi Bagian Tanaman
Hampir semua bagian tanaman: kayu, cabang muda,
kulit, daun, dan akar mengandung paclitaxel. Beberapa
penelitian yang berhubungan ekstraksi senyawa aktif dari
bagian tanaman genus Taxus tersaji pada Tabel 4.
64 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Tabel 4. Kandungan senyawa aktif dari bagian tanaman Taxus
No. Jenis Taxus Bahan Senyawa Aktif Referensi
1. T. sumatrana
Daun 1. Paclitaxel (0,006%) 2. Baccatin III (0,02%) 3. Taxane diterpenes
ester grup
Kitagawa et al., 1995; Shen et al., 2005
Kulit Baccatin II dan 10-deacetylbaccatin III (10-DAB III)
Hidayat & Tachibana, 2013
2. T. brevifolia Buah 1. Paclitaxel (0,0039%) 2. 10-BAD III (0,017%) 3. Baccatin III (0,003%)
Kwak et al., 1995
Kulit Taxol® (0,017%) Jarizi et al., 1996
3. T. baccata Buah 1. Paclitaxel (0,0039%) 2. 10-DAB III (0,017%) 3. Baccatin III (0,003%)
Kwak et al., 1995
Daun Paclitaxel (0,01%) Hokowa, 2003
4. T. cuspidata Kayu, cabang, kulit, akar, & daun
Paclitaxel, 10-DAB III, Baccatin III (Kandungan senyawa aktif akan bervariasi tergantung sumber bahan ekstrak, umur, dan musim)
Kikuchi & Yatagai, 2003
Buah 1. Paclitaxel (0,018%) 2. 10-DAB III (0,035%)
Kwak et al., 1995
5. T. canadensis
Daun 1. 9-dihydro-13-acetylbaccatin III (5-10 lebih tinggi dari precursor Taxol®) dan hanya ditemukan dengan jumlah yang sedikit di bagian kulit dan genus Taxus lainnya
2. Paclitaxel
Zhang et al., 1992; Guna-wardana et
al., 1992; Shi et al., 2002; Zamir et al., 1996
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 65
Metode yang digunakan untuk memurnikan paclitaxel
sangat sulit bila hanya menggunakan kromatografi silika.
Proses tersebut dimulai dengan ekstraksi menggunakan
metanol sebagai bahan pelarut, selanjutnya fraksinasi
dilakukan dengan metilen klorida dan air untuk
membuang senyawa lain selain Taxane. Fraksi yang terlarut
kemudian dimurnikan melalui beberapa tahap kromato-
grafi, dan pemurnian akhir dilakukan dengan kristalisasi
(Itokawa, 2003). Namun, bagaimana mendapatkan teknik
ekstraksi dan purifikasi yang lebih sederhana dengan
memaksimalkan hasil yang ingin dicapai dalam skala
produksi menjadi tantangan tersendiri. Hal ini karena
jumlah senyawa aktif yang dikandung sangat rendah dan
kemungkinan akan hilang selama proses pemurnian.
Kikuchi & Yatagai (2003) menjelaskan tiga metode
yang dapat digunakan secara efisien untuk memisahkan
paclitaxel, baccatin III, dan 10-deacetylbaccatin III dari daun T.
cuspidata, yaitu ordinary solvent extraction (OSE), supercritical
fluid extraction (SFE), dan accelerated solvent extraction (ASE)
methods. Mereka menemukan bahwa SFE sangat mahal
(sekitar US$935 ribu) dan akan menjadi lebih mahal bila
digunakan untuk produksi dalam skala industri. Selain itu,
pengoperasiannya juga sangat sulit dan rumit karena harus
berlangsung pada tekanan yang sangat tinggi. Sebaliknya,
ASE dioperasikan secara otomatis dan relatif mudah
digunakan, namun teknologi untuk skala produksi belum
tersedia. Selain itu, biayanya juga masih sangat mahal dan
memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam
perawatan. Untuk saat ini, metode yang paling
66 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
memungkinkan adalah OSE, meskipun dalam praktiknya
masih memerlukan perbaikan lebih lanjut.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, paclitaxel
diproduksi secara alami oleh tanaman genus Taxus, seperti
T. sumatrana yang tumbuh di Pulau Sumatra, Indonesia.
Meskipum permintaan paclitaxel akan terus meningkat,
keberadaannya yang bersumber dari alam sangat terbatas
(rendemen dan sumber bahan baku). Oleh sebab itu, teknik
budi daya dengan menyediakan anakan Taxus yang
memiliki kandungan paclitaxel tinggi melalui uji
domestikasi yang dilakukan secara intensif akan
memberikan peluang penyediaan sumber bahan esktraksi.
Namun demikian, penelitian tidak boleh berhenti sampai di
sini, tetapi harus terus diarahkan pada pencapaian hasil
yang berkelanjutan dan lestari. Pembanguan industri
kehutanan yang baru (misalnya Forest Factory) akan
memberikan peluang bagi para peneliti untuk melakukan
penelitian dan pengembangan baru melalui kolaborasi
penelitian dengan beberapa bidang keilmuan yang lain,
seperti botani, bio-engineering, kimia organik, dan farmasi.
Tabel 4 menunjukkan bahwa T. sumatrana dapat
menghasilkan Taxol® (0,006%), Baccatin III (0,02%), Taxane
diterpenes ester group yang diisolasi dari daun, serta Baccatin
II dan 10-deacetylbaccatin III (10-DAB III) dari bagian
kulitnya. Fakta ini sangat menjanjikan untuk pengembang-
an sumber bahan aktif yang bermanfaat untuk menang-
gulangi penyakit kanker. Jika bahan aktif tersebut
diproduksi dari daun, pengembangan kebun pangkas T.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 67
sumatrana menjadi pilihan utama dari pada memproduksi
bahan aktif dari kulit pohon.
4.2.2 Sintesis
Metode sintesis total senyawa paclitaxel telah berhasil
dilakukan, namun keberhasilan ini lebih menekankan pada
pencapaian untuk sebuah bidang keilmuan/akademik,
bukan untuk aplikasi praktis skala industri. Hal ini
dikarenakan proses sintesis total paclitaxel memerlukan
biaya yang mahal, rumit, dan hasil yang sedikit atau tidak
sesuai (Yuan et al., 2006; Malik et al., 2011).
Kompleksitas molekul Taxoid ternyata memberikan
tantangan tersendiri bagi para ahli kimia organik untuk
mengaplikasikan keilmuan yang mereka miliki dalam
menyintesis paclitaxel. Selain itu, terdapatnya tantangan
yang lain, seperti dimungkinkannya penemuan senyawa
Taxoids yang baru yang lebih menjanjikan bagi dunia
farmasi, menjadikan para ahli tetap melakukan berbagai
terobosan dalam penelitian-penelitian serupa.
Lebih dari lima puluh kelompok peneliti melakukan
serangkaian penelitian untuk menyintesis paclitaxel. Sebuah
Taxoid sederhana berhasil diperoleh setelah puluhan tahun
kegiatan sintesis dilakukan (Holton et al., 1988).
Keberhasilan ini kemudian dilanjutkan oleh Holton dan
kelompok penelitian yang dipimpin oleh Nicolaou yang
secara bersamaan menemukan total sintesis molekul
paclitaxel, yang kemudian dikenal sebagai jalur sintesis
paclitaxel Holton dan Nicolaou (Holton, 1984; Holton &
68 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Kennedy, 1984; Nicolaou et al., 1994, 1995a, 1995b, 1995c,
1995d). Setelah itu, beberapa kelompok lain berhasil
mengembangkan metoda yang berbeda dalam sintesis
paclitaxel (Masters et al., 1995; Danishefsky et al., 1996;
Wender et al., 1997; Mukaiyama et al., 1999; Kusama et al.,
2000; Kuwajima & Kusama, 2000a, 2000b). Dari segi jumlah
dan biaya produksi, prestasi penemuan ini tidak seimbang
dengan penemuan teknik peningkatan produksi paclitaxel
secara alami: kultur sel dan fermentasi jamur.
4.2.3 Semisintesis
Proses produksi yang selanjutnya dikembangkan
adalah proses ekstraksi semisintetis. Pada proses ini, 10-
deacetylbaccatin dan/atau baccatin III dapat diekstraksi dari
berbagai jenis Taxus dari bagian daun dan kulit dengan
jumlah yang relatif lebih banyak. Selanjutnya, 10-
deacetylbaccatin diubah menjadi paclitaxel melalui proses
sintesis organik. Produksi paclitaxel melalui semisintesis
telah dilakukan oleh Indena pada tahun 2007 dengan
melakukan penanaman besar-besaran T. baccata
(www.indena.com/news/, diakses 5 Maret 2014).
4.2.4 Kultur Sel/Kalus
Cara lain yang dikembangkan untuk mendapatkan
paclitaxel dan turunannya adalah dengan kultur sel. Cara
ini merupakan sebuah metode alternatif yang dinilai
banyak pihak lebih ramah lingkungan dan tidak
tergantung musim. Teknik kultur sel telah terbukti menjadi
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 69
alternatif penting untuk mendapatkan paclitaxel dari
berbagai genus Taxus secara in vitro. Kultur sejenis ini
dapat diperbesar sampai pada tingkat produksi paclitaxel
secara komersial. Kultur sel semakin menjadi alternatif
yang banyak dipilih dalam memproduksi paclitaxel
sehubungan dengan kenyataan bahwa populasi alamiah
Taxus spp. yang tumbuh secara alami memiliki banyak
variasi dalam kandungan paclitaxel-nya. Hal ini
dipengaruhi beberapa faktor, seperti iklim, musim, dan
variasi epigenetik. Dengan menggunakan kultur sel yang
kondisinya benar-benar tetap dan terkontrol, produksi
paclitaxel lebih mudah dikendalikan dengan kontinuitas
suplai dan kualitas produk yang lebih terjamin.
Beberapa keuntungan yang didapatkan dengan
dilakukannya kultur sel terhadap jenis pohon Taxus spp.
(Vongpaseuth & Roberts, 2007) adalah sebagai berikut.
1) Kultur sel mampu meniadakan kebutuhan berbagai jenis
pohon Taxus spp. sebagai bahan baku paclitaxel yang
keberadaannya di alam mulai langka.
2) Kultur sel dapat menghasilkan keragaman genetik tinggi
selama proses pencarian varian yang memiliki
kandungan paclitaxel tinggi.
3) Kultur sel dapat menghasilkan satu atau beberapa
varian yang memiliki karakter super atau elite untuk
studi manipulasi genetik atau studi lainnya.
4) Kultur sel dapat digunakan sebagai bahan penelitian
dalam mempelajari jalur biosintesis paclitaxel sehingga
70 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
didapat teknik manipulasi khusus yang tepat dalam
meningkatkan kandungan paclitaxel.
Sampai saat ini, penggunaan media padat B5
(Gamborg et al.,1968), MS (Murashige & Skoog, 1962), SH
(Schenk & Hildebrandt, 1972), atau Woody Plant
Media/WPM (McCown & Lloyd, 1981) dengan penambahan
2,4 D (2,4-dichlorophenoxyacetic acid) atau NAA (1-
naphthaleneacetic acid), PVP (polyvinylpyrrolidone), TDZ
(Thidizuron), IAA (3-indoleacetic acid), BAP (6-
benzylaminopurine), IBA (indole-3-butyric acid), KIN (kinetin),
karbon aktif, sukrosa, LH (luitenizing hormone), dan
berbagai vitamin lainnya dengan konsentrasi yang berbeda
pada Taxus mairei, T. baccata, T. chinensis, dan T. cuspidata
telah terbukti mampu menginduksi pembentukan kalus
dan menghasilkan paclitaxel (Kulkarni, 2000; Zhang et al.,
2000; Jianfeng & Zhigang, 2006; Gong & Yuan, 2006; Wang
et al., 2003; Khoroushahi et al., 2006). Selanjutnya, tabel
berikut ini menunjukkan perkembangan dari beberapa
penelitian kultur sel yang dilakukan untuk menghasilkan
Taxol® secara in vitro (Kulkarni, 2000).
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 79
Orientasi penelitian pada berbagai Taxus dengan
menggunakan teknik kultur sel tidak hanya berhenti
sampai pada tahap pembentukan kalus. Kalus selanjutnya
harus diekstraksi dengan tujuan menghasilkan paclitaxel.
Kini, kultur sel lebih mengarah pada teknik untuk
peningkatan kandungan paclitaxel. Berbagai teknik telah
dilakukan untuk mendapatkan kandungan paclitaxel yang
lebih tinggi, antara lain 1) Penggunaan inhibitor dan elicitor
dalam jalur biosintesis paclitaxel dan baccatin III pada T.
baccata (Cusido et al., 2007); 2) Aktivasi extracelullar signal-
regulated kinase-like (ERK-like, 46 kDa) yang memegang
peranan penting dari proliferasi dan imobilisasi sel pada T.
cuspidata (Cheng et al., 2006); 3) Pemberian bahan yang
meningkatkan adaptabilitas terhadap stress chitosan pada T.
chinensis (Zhang et al., 2007); 4) Induksi methyl jasmonat
terhadap biosintesis Baccatin III pada T. cuspidata (Jianfeng
& Zhigang, 2006); 5) Pengayaan medium B5 dengan
berbagai macam induktor pertumbuhan biomassa (vanadil
sulfat, perak sitrat, kobal klorida, sukrosa, dan amonia
nitrat) dan penambahan campuran elicitor berupa methyl
jasmonat dan asam salisilat (Khoroushahi et al., 2006).
Perkembangan terkini produksi paclitaxel dilakukan
dengan teknik fermentasi sel tanaman atau plant cell
fermentation (PCF). Tahapan fermentasi sel seperti ini
memperbanyak kalus-kalus dari galur-galur Taxus tertentu
dengan menggunakan media cair di dalam wadah
fermentasi dengan kondisi lingkungan yang sangat
terkontrol, baik suhu maupun tekanannya. Cadangan
makanan untuk pertumbuhan sel dalam media yang terdiri
atas nutrisi: gula, asam amino, vitamin dan hara-hara
80 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
mikro. Selanjutnya, paclitaxel yang didapat akan diekstraksi
dari sel tanaman yang terbentuk dan dimurnikan dengan
teknik kromatografi, serta diisolasi dengan teknik
kristalisasi. Kultur sel yang menggantikan daun dan batang
tanaman Taxus sebagai sumber paclitaxel memiliki beberapa
keuntungan, seperti menjamin keberlanjutan dan
kontinuitas produksi paclitaxel, pemanenan paclitaxel yang
dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa henti, dan lebih
ramah lingkungan, baik terhadap kelestarian jenis maupun
dalam hal buangan/sampah padat berbahaya hasil kerja
selama di laboratorium. Dibandingkan dengan proses
semisintesis, PCF tidak melalui proses transformasi kimia
sehingga penggunaan bahan kimia berbahaya dan bahan
lainnya dapat dihindari, serta penggunaan energi yang
lebih hemat.
Untuk tujuan skala aplikasi industri, beberapa
bioreaktor seperti stirred, airlift, dan wave bioreaktor dapat
digunakan untuk memproduksi paclitaxel melalui teknik
kultur sel/PCF (Bentebibel et al., 2005). Kandungan
paclitaxel (43,43 mg/L) dan baccatin III (5,06 mg/L) dalam
immobilized cell yang diproduksi dalam stirred bioreaktor
lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa immobilized cell
pada hari ke 16 dan 8. Pada airlift bioreaktor, kandungan
paclitaxel (12,03 mg/L) lebih tinggi dibandingkan tanpa
immobilized cell (6,94 mg/L) pada hari ke 24. Begitu pula
halnya dengan kandungan paclitaxel (20,79 mg/L) dan
baccatin III (7,78 mg/L) yang diperoleh dari immobile cell
yang diproduksi pada wave bioreaktor. Produksi paclitaxel
menggunakan stirred bioreaktor menunjukkan hasil yang
menggembirakan jika dibandingkan dengan beberapa
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 81
laporan tentang produksi paclitaxel menggunakan
bioreaktor pada skala laboratorium (Bentebibel et al., 2005).
Produksi paclitaxel dengan bioreaktor dengan
kapasitas 880.000 liter per tahun (600 kg esktrak kotor atau
setara dengan 300 kg paclitaxel) dilakukan oleh Phyton
Biotech (Jerman) (http://www.phytonbiotech.com/images
/6169-Phyton_FINAL.jpg, diakses 6 Maret 2014), untuk
menyuplai kebutuhan Taxol® pada Bristol-Myers Squibb.
Produksi paclitaxel juga dilakukan oleh ESCAgenetic (CA,
USA), Samyang Genex (Taejon, Korea), Phyton (NY, USA)
(Frense, 2007). Namun demikian, kultur sel pada skala
besar masih memiliki keterbatasan karena rendemen yang
dihasilkan masih rendah, biaya produksi yang masih
mahal, dan stabilitas sel yang rendah (Yuan et al., 2006;
Malik et al., 2011). Sementara itu, Tabel 5 menunjukkan
bahwa kultur sel untuk T. sumatrana belum dikerjakan dan
sebagian besar menggunakan hormon NAA dan 2,4 D
untuk memproduksi kalus sebagai bahan dasar kultur sel.
4.2.5 Fermentasi Jamur Endofitik
Ketertarikan terhadap biosintesis Taxol® memberikan
isyarat bahwa paling tidak terdapat 19 enzim yang
berperan dalam setiap step biosintesis paclitaxel tersebut
(Jennewein et al., 2004). Hal ini menunjukkan bahwa
biosintesis paclitaxel terjadi dengan keterlibatan
mikrooganisme (jamur/bakteri) di dalamnya, satu dengan
yang lainnya saling membutuhkan, baik yang terlibat
dalam satu maupun semua biosintesis senyawa dimaksud.
Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, senyawa aktif
82 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
paclitaxel kelompok terpenes adalah hasil metabolit sekunder
yang prosesnya secara garis besar dapat terlihat pada
Gambar 11. Sebuah kenyataan lain menunjukkan bahwa
jamur endofitik, kelompok jamur yang hidup pada bagian
dalam jaringan tanaman dan tidak memiliki efek negatif
terhadap tanaman yang ditumpanginya/inang (host plants),
secara bersama-sama hidup dengan inang untuk periode
waktu yang lama sehingga memungkinkan untuknya
memproduksi senyawa aktif yang sama sebagaimana yang
diproduksi oleh inangnya (Zhou et al., 2010).
Stierle et al. (1993) mencoba mengisolasi jamur endofit
penghasil paclitaxel dari kulit bagian luar T. bevifolia dan
menemukan Taxomyces andeanae yang mampu menghasil-
kan Taxol® (24–25 ng/L) melalui mekanisme fermentasi.
Penemuan ini membuktikan sebuah sumber alternatif lain
penghasil paclitaxel. Lebih dari 20 genera jamur endofit
dilaporkan mampu memproduksi Taxol® (Zhou et al.,
2010). Jamur endofit dari T. sumatrana telah dicoba untuk
diisolasi oleh Kardono (peneliti dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia [LIPI]) beserta timnya yang
melakukan penelitian tentang kandungan paclitaxel dan
kegiatan ini masih terus berjalan. Hampir semua jamur
yang berhasil diisolasi dari Taxus sp. adalah endofitik,
meskipun ditemukan juga pada Justica gendarusa
(Gangadevi & Muthumary, 2008a), Aegle marmelos
(Gangadevi & Muthumary, 2008b), dan jenis lainnya. Hal
ini membuktikan bahwa pohon inang bagi jamur penghasil
paclitaxel memiliki keragaman (biodiversity) dan jamur
tersebut dikelompokkan ke dalam jamur ascomycetes (Yuan
et al., 2006).
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 83
Ga
mb
ar
11
. B
iosi
nte
sis
Pac
lita
xel
(S
um
ber
: M
ali
k e
t al
., 2
01
1)
84 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Beberapa faktor yang memengaruhi kandungan
paclitaxel yang dihasilkan adalah kondisi fermentasi, seperti
suhu, pH, jumlah inokulum, media, dan lamanya waktu
fermentasi (Zhou et al., 2010). Peningkatan produksi
paclitaxel dapat juga dicapai dengan beberapa metode,
seperti 1) proses mutasi, baik secara fisik (misalnya,
ultraviolet, sinar-X, laser, microwave) maupun kimiawi; 2)
fusi protoplasma atau genetic breeding; 3) perbaikan strain
melalui bioteknologi (Zhou et al., 2010). Pada Tabel 6
diuraikan beberapa jamur endofitik penghasil paclitaxel
dengan konsentrasi lebih dari 24 μg/L yang dirangkum
dari beberapa literatur.
Produksi paclitaxel untuk skala industri dengan jamur
endofit masih menemukan beberapa kendala, seperti 1)
biomassa yang dihasilkan selama ini masih rendah, 2)
paclitaxel yang dihasilkan dalam kultur media masih kecil,
dan 3) masih belum jelasnya beberapa tahapan biosintesis
paclitaxel sehingga kondisi yang optimal untuk fermentasi
belum ditemukan (Yuan et al., 2006). Namun demikian,
teknik produksi paclitaxel dengan jamur endofitik dinilai
cukup prospektif untuk pengembangan skala besar karena
biaya yang diperlukan relatif lebih sedikit dengan
kandungan paclitaxel yang lebih tinggi dan jumlah produksi
yang dihasilkan relatif stabil (Yuan et al., 2006; Zhou et al.,
2010).
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 85
Tabel 6. Beberapa jamur endofitik penghasil paclitaxel (>24 μg/L)
No. Jamur Asal Taxol® Referensi
1. Taxomyces andeanae
Kulit, T brevifolia
24–25 μg/L Strobel et al., 1993
2. Pestalotiopsi microspora
Kulit, T. wallichiana
60–70 μg/L Strobel et al., 1996a, 1996b
3. Tubercularia sp. Strain TF5
Kulit, T mairei
Identifikasi Taxol®: HPLC, UV, & MS
Wang et al., 2000
4. Nodulisporium sylviforme
T. cuspidata 51–126 μg/L Zhou et al., 2010
5. Strain IFBC-Z38 - 1000 μg/L Chen et al., 2002*
6. Phoma Strain Tax-X
- 33 μg/L Chen et al., 2003*
7. Altenaria alter-nate Strain TFP6
- 85 μg/L Tian et al., 2006*
8. Colletotrichum gloeosporioides
Daun, Justicia gendarusa
163 μg/L Gangadevi & Muthumary, 2008a
9. Bartalina robillardoides
Daun, Aegle marmelos
188 μg/L Gangadevi & Muthumary, 2008a
10. Fusarium solani Batang muda, T. celebia
1.6 μg/L Chakravarthi et al., 2008
11. Aspergillus niger T. cuspidata 273 μg/L Zhao et al., 2009 12. Cladosporium sp.
Strain MD2 - 800 μg/L Zhang et al.,
2009* 13. Pestalotiopsis
versicolor Kulit, T cuspidata
478 μg/L Kumaran et al., 2010
14. Pestalotiopsis neglecta
Daun, T cuspidata
375 μg/L Kumaran et al., 2010
15. Fusarium redolens
Kulit, T. baccata
66 μg/L Garyali et al., 2013
16. Diaporthe phaseolorum
T. wallichiana Baccatin III, 219 μg/L
Zaiyou et al., 2013
17. Jamur endophytes dari T. sumatrana masih dalam penelitian
Keterangan: Data pada baris yang diberi tanda asterisk (*) bersumber dari Zhou et al. (2010)
86 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Tabel 6 menunjukkan bahwa belum ada isolat
mikroba endofitik yang diisolasi dari T. sumatrana. Hal ini
memberi peluang besar kepada para peneliti untuk
mengeksplorasi keberadaan mikroba endofitik pada T.
sumatrana untuk menghasilkan bahan aktif melalui proses
fermentasi. Isolasi, pemurnian, dan perbanyakan mikroba
endofitik dengan fermentor yang diaplikasikan di
laboratorium akan lebih mempercepat proses pengembang-
an paclitaxel. Pertanyaannya adalah mungkinkah mikroba
tersebut bekerja sendiri (single species) atau bersifat
konsorsium. Kenyataannya, tidak ada mikroba endofitik
yang bekerja sendirian di alam, tetapi selalu terkait dengan
perubahan fungsi dan struktur dari sel dan jaringan
tanaman.
4.3 Mekanisme Aksi Penghambatan Sel Kanker
Sebagai penghambat mitosis, paclitaxel bekerja
dengan cara menghambat pembelahan sel dan perkem-
bangan sel kanker/tumor dengan menggangu mikrotubulin
dan stimulasi proses apoptosis yang sering terhambat dalam
sel kanker. Obat lain, seperti colchiline menyebabkan
depolimerisasi mikrotubulin, sedangkan paclitaxel menjalan-
kan mekanismenya dengan memberikan pengaruh yang
berlawanan, yaitu dengan mekanisme hiperstabilisasi
struktur mikrotubulin (memperpanjang atau memperpen-
dek mikrotubulin sesuai keperluan). Mekanisme seperti ini
menghancurkan kemampuan sel untuk menggunakan
rangka cys-nya secara fleksibel. Secara spesifik, paclitaxel
mengikat subunit -tubulin. Tubulin merupakan binding
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 87
block dari mikrotubul dan pengikatan oleh paclitaxel akan
mengunci building blok tersebut tetap pada tempatnya.
Kompleks mikrotubulin-paclitaxel yang terbentuk tidak
memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan
pembongkaran. Hal tersebut berimplikasi lebih luas
terhadap fungsi sel karena pemanjangan dan pemendekan
mikrotubulin merupakan fungsi penting sebagai mekanisme
pengangkutan dalam komponen selular lain. Hasil riset
lain menunjukkan bahwa paclitaxel menginduksi program
pembunuhan sel kanker secara nyata. Paclitaxel juga
merupakan obat untuk perawatan yang efektif terhadap
sel-sel kanker yang agresif karena dapat memengaruhi
proses pembelahan sel dengan mencegah restrukturisasi
sel. Oleh karenanya, paclitaxel adalah obat antikanker yang
paling ampuh (Onrubia et al., 2013).
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 89
5.1 Keragaman Genetik dan Kelestarian Jenis
Kelestarian keragaman genetik merupakan hal yang
sangat penting dalam mendukung daya hidup jangka
panjang suatu jenis, terlebih pada kondisi lingkungan yang
mengalami berbagai perubahan dinamis. Berkurangnya
tingkat keragaman genetik suatu jenis akan berimplikasi
negatif terhadap potensi adaptasi jenis yang bersangkutan.
Selain itu, keragaman genetik yang rendah juga diketahui
akan meningkatkan risiko inbreeding. Sebagai konsekuensi-
nya, pengelolaan keragaman genetik merupakan kompo-
nen yang sangat vital dalam menentukan strategi
konservasi dan pemulihan jenis-jenis terancam.
Taxus sumatrana (Miq.) de Laub. (Taxaceae)
merupakan jenis konifer selalu hijau (evergreen conifer) yang
terancam punah. Jenis ini tersebar di Philiphina, Vietnam,
Taiwan, Cina, dan Indonesia (de Laubenfels, 1988). Habitat
alami T. sumatrana adalah hutan subtropis lembab dan
hutan hujan pegunungan pada ketinggian 1.400–2.800 m
dpl dengan pola distribusi terpencar mengelompok di
bagian punggung bukit, lereng-lereng yang terjal, dan
tepian jurang (Spjut, 2003; Huang et al., 2007). Senyawa
diterpenoid golongan Taxane yang diekstraksi dari T.
BAB 5
Strategi Pengelolaan Sumber Daya Genetik Taxus sumatrana
90 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
sumatrana berpotensi sebagai senyawa antikanker yang
digunakan dalam proses kemoterapi bagi para pasien
pengidap kanker (Shen et al., 2005). Selama beberapa
dekade sebelumnya, kegiatan overeskploitasi jenis-jenis
Taxus yang diikuti dengan perusakan habitat telah
menyebabkan penurunan tajam dari berbagai populasi
Taxus di dunia dan juga memicu terbentuknya fragmentasi
populasi. Fragmentasi populasi merupakan salah satu
ancaman yang efektif dalam penurunan tingkat keragaman
genetik suatu jenis. Dengan kondisi keterancaman yang
tinggi, program pelestarian sumber daya genetik T.
sumatrana harus sudah dimulai dan dikembangkan.
5.2 Keragaman Genus Taxus: Sejarah dan Rute
Penyebaran
Penelitian yang paling komprehensif terhadap
berbagai jenis Taxus di seluruh sebaran alaminya dilakukan
oleh Spjut (2007) dengan menganalisis 845 spesimen Taxus
berdasarkan pada karakter anatomi daun, yang meliputi
jumlah baris stomata pada pita stomata dan sel epidermis.
Selanjutnya, spesimen-spesimen tersebut diurutkan
berdasarkan benua, negara, provinsi, dan spesies. Hasilnya
memperlihatkan bahwa Taxus di Amerika Utara memiliki
karakter keragaman anatomi yang tinggi, meskipun
keragaman jenis rendah; sedangkan Taxus di Barat Daya
China (Asia) memiliki keragaman jenis yang tinggi dengan
karakter keragaman anatomi yang rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa Taxus bermigrasi dari Asia ke
Amerika Utara melalui daratan penghubung Pasifik pada
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 91
era Cretaceous, sedangkan migrasi dari Eropa ke Amerika
Utara melalui daratan Atlantik Utara pada jaman Tersier. Di
Eropa–Mediterania, evolusi Taxus dimungkinkan sebagai
akibat dari kepunahan yang dipicu oleh perubahan iklim
pada masa zaman Tersier dan adanya hibridisasi pada
zaman Pleistosen. Keragaman yang tinggi di Asia (wilayah
Barat Daya Cina) mengindikasikan rendahnya laju
kepunahan di daerah tersebut, terjadinya proses hibridisasi
yang lebih intensif selama zaman Pleistosen, dan juga
didukung dengan kejadian geologis terangkatnya daratan
Himalaya.
T. baccata merupakan jenis yang dahulu penyebaran-
nya luas. Hal ini dicirikan dengan tingkat keragaman
intrapopulasi yang tinggi. Kondisi ini juga didukung oleh
data paleontologi (Ledig, 1986; Srodon, 1978). Namun
sejalan dengan sejarah perkembangannya; penggunaan
Taxus yang berlebihan, musnahnya habitat akibat
pembalakan hutan, dan perubahan struktur hutan telah
menyebabkan jenis ini menjadi langka di seluruh daratan
Eropa.
5.3 Strategi Pelestarian jenis
5.3.1 Konservasi Ex Situ
Merancang strategi konservasi genetik yang efisien
memerlukan informasi dasar dari aspek genetika populasi,
yaitu penelitian mengenai distribusi keragaman genetik
dari suatu jenis, baik keragaman genetik intrapopulasi
maupun antarpopulasi. Sayangnya, saat informasi dasar
92 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
sudah sedemikian berkembang dan tersedia untuk banyak
jenis Taxus, kondisi tersebut tidak berlaku untuk T.
sumatrana yang tumbuh di Indonesia. Studi keragaman
genetik T. sumatrana di P. Sumatra baru tercatat dilakukan
oleh Rachmat (2008) dengan menggunakan penanda
RAPD. Hal itu pun terbatas pada T. sumatrana yang
tumbuh di G. Kerinci dan tidak mencakup populasi yang
tumbuh alami di Tanah Karo, Sumatra Utara (HL Sibuaton,
Taman Simalem), G. Tujuh, dan G. Dempo. Meskipun studi
dimaksud baru dapat menggambarkan nilai keragaman
genetik pada populasi di G. Kerinci, hasil tersebut dapat
digunakan sebagai informasi dasar dalam penyusunan
strategi pelestarian sumber daya genetik T. sumatrana.
Pada beberapa kasus dilaporkan bahwa regenerasi
alami untuk jenis-jenis Taxus mengalami hambatan. Sebagai
contoh adalah T. bacata yang diketahui sebagai jenis yang
mengalami penurunan populasi (Krol, 1978), salah satunya
akibat serangan jamur patogen pada tingkat semai alami.
Habitat alami T. sumatrana di Indonesia yang diketahui
tumbuh pada hutan dengan status taman nasional (TN),
HL dan kawasan konservasi lainnya tidak serta-merta
menghilangkan ancaman terhadap jenis ini dari bentuk
gangguan dan hilangnya habitat alami. Kondisi tersebut
ditambah lagi dengan miskinnya informasi dasar mengenai
struktur tegakan dan berbagai ancaman terhadap
keberlangsungan regenerasi alami sehingga konservasi ex
situ masih merupakan strategi yang patut dilakukan. Hal
ini dapat dimulai dengan pembangunan hutan tanaman
atau plot konservasi ex situ T. sumatrana di luar habitat
aslinya, dan dibangun dari sumber-sumber genetik pada
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 93
semua sebaran alaminya di Indonesia. Pembangunan
kebun klonal dan gene-bank juga merupakan salah satu
bentuk konservasi ex situ yang memungkinkan untuk
dikembangkan. Konservasi ex situ T. sumatrana sebenarnya
sudah lama diinisiasi oleh LIPI yang diimplementasikan
dengan terbentuknya blok koleksi T. sumatrana di Kebun
Raya Cibodas (KRC), Cianjur, Jawa Barat. Blok konservasi
jenis T. sumatrana di KRC saat ini memiliki koleksi jumlah
individu lebih dari 20 pohon dengan tinggi tanaman ada
yang mencapai lebih dari 3 meter. Pembangunan blok
khusus T. sumatrana di KRC sudah mendukung upaya
pelestarian jenis ini di luar habitatnya. Hal ini didukung
dengan hasil penelitian genetik T. sumatrana yang ditanam
di KRC memiliki nilai heterozigositas yang sama tingginya
dengan nilai heterozigositas T. sumatrana pada sebaran
alami di G. Kerinci (Rachmat, 2008). Namun demikian,
masih banyak penelitian-penelitian dasar yang belum
dilakukan sehingga penyusunan strategi konservasi jenis
ini masih belum dapat dikatakan komprehensif.
5.3.2 Penelitian Dasar Sebagai Landasan Penyusunan
Strategi Konservasi yang Komprehensif
Untuk penyusunan strategi konservasi yang tepat
dan komprehensif diperlukan penelitian yang integratif
yang berguna dalam menyediakan informasi dasar
pengambilan kebijakan. Beberapa aspek penelitian yang
perlu dilakukan serta signifikansinya terhadap penyusunan
strategi konservasi jenis T. sumatrana, antara lain sebagai
berikut.
94 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
1) Regenerasi dan Sebaran Ukuran Pohon
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
struktur populasi pada tiap sebaran alami T. sumatrana.
Struktur populasi merupakan refleksi dari keberadaan
populasi T. sumatrana yang dipengaruhi oleh banyaknya
penyebaran pada suatu daerah dalam jangka waktu
tertentu. Data yang dikumpulkan mencakup jumlah dan
sebaran jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan
(semai, pancang, tiang, dan pohon) dan persentase
penutupan areal yang dihitung per hektar.
2) Struktur dan Tingkat Pembukaan Kanopi
Struktur kanopi mengacu pada jumlah dan struktur
material di atas tanah, termasuk di dalamnya ukuran
pohon, bentuk, dan orientasi organ tanaman (daun,
batang, bunga, dan buah) (Norman & Campbell, 1989).
Tingkat kerusakan kanopi diindikasikan memiliki
konsekuensi serius terhadap biomassa, tingkat survival,
dan regenerasi alami melalui pengaruhnya dalam
menentukan kualitas dan kuantitas benih yang
dihasilkan dari kanopi yang masih tersisa. Informasi
mengenai konsekuensi keterbukaan kanopi dan
pengetahuan tentang teknik propagasi sederhana
merupakan syarat dasar dalam menumbuhkembangkan
tanaman dari berbagai provenans yang berbeda untuk
berbagai tujuan, seperti transplantasi dan reforestasi.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 95
3) Studi Populasi Genetik T. sumatrana
Formulasi strategi konservasi T. sumatrana yang tepat
harus berdasarkan pada pengetahuan dasar tentang
struktur genetik jenis T. sumatrana. Strategi konservasi
ex situ maupun in situ tidak terlepas dari karakteristik
genetik yang dimiliki jenis ini. Dalam pembangunan dan
pengembangan strategi konservasi ex situ, informasi
mengenai karakteristik dan keragaman genetik akan
sangat diperlukan sebagai dasar dalam penentuan
bagaimana material genetik dari setiap populasi yang
ada tersebut harus ditanam, berapa jumlah individu
minimal yang harus ditanam untuk menjaga
keterwakilan keragaman genetik dari tiap populasi, dan
berapa luasan minimal plot yang harus disediakan
untuk pembangunan plot konservasi ex situ dimaksud.
Sementara itu, informasi mengenai keragaman genetik
antarpopulasi akan menjadi dasar pertimbangan
pengelola untuk mengambil kebijakan bagaimana
memperlakukan setiap subpopulasi yang ada dan sejauh
mana aliran gen antarpopulasi harus dikontrol.
4) Teknik Perbanyakan dan Ekologi Reproduksi Jenis
Terkait dengan teknik perbanyakan vegetatif jenis T.
sumatrana, hasil penelitian Rachmat et al. (2010)
menunjukkan tingkat keberhasilan berakar terbaik yang
diperoleh dari perlakuan stek pucuk dengan
menggunakan media cocopeat-sekam pada perbandingan
2 : 1 (v/v) dengan metode KOFFCO. Sampai sejauh ini,
kemampuan berakar dengan teknik tersebut masih yang
96 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
tertinggi (67,7%). Namun, bibit yang dihasilkan dengan
metode stek pucuk ini masih memiliki kelemahan untuk
aplikasi yang sifatnya segera. Hal ini dikarenakan bibit
yang dihasilkan dari stek pucuk berukuran kecil dan
memerlukan waktu pemeliharaan yang lama untuk
mencapai ukuran bibit siap tanam di lapangan. Oleh
karena itu, metode perbanyakan vegetatif lainnya
diperlukan agar mampu menghasilkan bibit dengan
persentase berakar yang lebih tinggi dan bibit yang
dihasilkan lebih besar sehingga tidak memerlukan
waktu lama bagi bibit untuk beraklimatisasi dan siap
ditanam di lapangan. Tidak seperti jenis Taxus lainnya
yang tersebar di bagian Asia lainnya, Eropa, dan
Amerika; hasil penelitian dasar tentang fenologi
berbunga dan berbuah, karakteristik benih, perkecam-
bahan, dan aspek lainnya terkait regenerasi alami untuk
jenis T. sumatrana belum tersedia sehingga penelitian di
bidang ini masih menyisakan ruang yang cukup besar
untuk dilakukan.
5) Preferensi Terhadap Kondisi Tempat Tumbuh Mikro
Studi semacam ini biasa dilakukan untuk semua jenis
tumbuhan, baik untuk jenis yang berdaun lebar maupun
berdaun jarum. Suatu jenis tertentu umumnya memiliki
preferensi tertentu pula terhadap suatu lokasi mikro
yang spesifik sehingga memungkinkan jenis dimaksud
tumbuh dan berkembang di spot tersebut. Kondisi semai
alam T. sumatrana secara jelas mengindikasikan bahwa
keberadaannya selalu tidak jauh dari pohon induknya
dengan kondisi penutupan tajuk yang rapat dan kondisi
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 97
lantai hutan yang lembab. Hal ini cukup sejalan dengan
karakteristik jenis-jenis lainnya pada genus Taxus
(Troup, 1921). Sebaran pohon T. sumatrana dewasa
umumnya ditemukan di lereng-lereng bukit di tepian
sungai dengan drainase yang baik (Rachmat et al., 2010).
Kondisi lokasi mikro yang disukai tersebut kelihatannya
merupakan tipikal kondisi mikro yang mempersyarat-
kan lokasi spesifik untuk tumbuh dan berkembangnya
berbagai jenis Taxus. Seperti juga T. bacata, jenis Taxus
asal Amerika yaitu T. brevifolia juga ditemukan tumbuh
di lokasi yang menghadap lereng dengan kondisi tanah
bertekstur halus dan berdrainase baik (Fites, 1993).
Penelitian-penelitian semacam ini sangat diperlukan
dalam manajemen pelestarian T. sumatrana, antara lain
dalam kegiatan pemilihan lokasi plot konservasi ex situ
yang sesuai, monitoring, pengelolaan anakan alam,
reintroduksi, dan pengayaan.
5.3.3 Konservasi In Situ: Pelestarian T. sumatrana yang
Wajib Dilakukan Secara Konsisten
Konservasi in situ secara sederhana didefinisikan
sebagai proses perlindungan flora dan fauna pada habitat
alaminya. Kegiatan ini umumnya dilakukan melalui
pembentukan kawasan konservasi dengan berbagai status
seperti TN, Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa (SM),
Taman Wisata Alam (TWA), Taman Hutan Raya (Tahura),
dan Taman Buru (TB). Strategi konservasi in situ secara
umum diyakini akan memberikan aspek pelestarian yang
lebih optimal dengan konsekuensi finansial yang lebih
98 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
efisien dibandingkan penerapan strategi konservasi ex situ.
Cairns (1986) menyatakan bahwa tantangan terbesar dari
kegiatan konservasi in situ adalah memperluas cara
pandang pengelolaan, salah satunya dengan menerapkan
penggunaan multifungsi kawasan konservasi yang diikuti
dengan pengembangan potensi ekonomi yang
memungkinkan. Namun demikian, pengembangan potensi
ekonomi yang memungkinkan pada kawasan TN di
Indonesia hanya dapat dilakukan pada daerah penyangga,
tidak pada zona inti.
Konservasi in situ untuk T. sumatrana merupakan
strategi pelestarian jenis yang mutlak dilakukan. Ada
beberapa dasar yang menjadikan strategi ini paling tepat
dilakukan saat ini, antara lain sebagai berikut.
1) Habitat Alami
Berdasarkan data sebaran dan survei lapangan (Rachmat
et al., 2010; Pasaribu & Setyawati, 2010), T. sumatrana
tumbuh di TN Kerinci Seblat (G. Kerinci dan G. Tujuh),
Tanah Karo (HL Sibuaton), dan Pagar Alam (G. Dempo).
Secara alami, jenis ini sudah tumbuh dan berkembang di
suatu kawasan dengan status kawasan konservasi
sehingga tidak diperlukan adanya penetapan kawasan
konservasi baru dalam upaya pelestarian in situ jenis ini.
Namun demikian, tidak berarti bahwa pengelolaan in
situ jenis ini menjadi lebih mudah dengan kondisi di
atas. Tidak jarang, kawasan konservasi berada dalam
kondisi yang tidak optimal, terlebih pada kondisi
masyarakat sekitar dengan tingkat dependensi yang
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 99
tinggi terhadap ekstraksi sumber daya hutan.
Mempertahankan dan menjaga keamanan dan kondisi
habitat dari gangguan-gangguan yang sifatnya
eksternal–terlebih antropogenik–memerlukan strategi
dan pendekatan tersendiri.
2) Minimnya Pengetahuan Dasar Terhadap Jenis
Kurangnya pengetahuan dasar tentang berbagai aspek
terkait jenis T. sumatrana akan menyebabkan kesulitan
dalam memformulasikan strategi konservasi yang
paling tepat. Pembangunan kawasan konservasi in situ
untuk jenis ini akan menyediakan sebuah ruang yang
akan melindungi sistem dan berbagai jenis yang
terkandung di dalamnya secara menyeluruh. Hal ini
akan sangat berguna, terutama perlindungan terhadap
suatu jenis yang minim informasi ilmiahnya. Burley
(1988) mendeskripsikan bahwa konservasi in situ sangat
tepat diaplikasikan pada kondisi belum ditemukannya
metode investigasi dan manfaat penggunaan dari suatu
jenis tertentu. Sebagai gambaran, membangun kawasan
pelestarian T. sumatrana yang tepat di luar habitat
aslinya (ex situ) tidak dapat dilakukan secara serta-merta
begitu saja. Secara otomatis, pembangunan kawasan
seperti ini akan memerlukan data dasar genetik
sehingga dapat ditentukan daerah yang cocok, populasi
prioritas, tingkat keragaman yang harus dipertahankan,
luasan wilayah minimal, dan lain-lain.
100 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
3) Viabilitas
Selama tidak terjadi gangguan keseimbangan pada
habitat alami sebagai akibat adanya kekuatan eksternal
yang masuk ke dalam sistem, konservasi in situ akan
menjamin keberlangsungan berbagai proses alami yang
terjadi di dalam kawasan. Seleksi alam dan evolusi
komunitas akan terus berlangsung; komunitas baru,
sistem baru, dan materi genetik baru akan terus
dihasilkan (Soule, 1985).
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 101
Kekayaan jenis hutan tropis Indonesia salah satunya
menyimpan komoditas penting yang signifikan dalam
dunia kesehatan. Tidak sama dengan sejarah perkembang-
an Taxus yang begitu intensif dieksploitasi di berbagai
belahan dunia, T. sumatrana di Indonesia tercatat tidak
mengalami fenomena seperti ini. Sebagai implikasinya,
penelitian dan pengembangan jenis ini pun sama
minimnya dibandingkan jenis-jenis lain dalam satu genus
yang tumbuh di belahan bumi Utara. Namun demikian,
perhatian terhadap jenis ini mulai meningkat yang diikuti
dengan beberapa upaya pelestarian jenis. Upaya
pelestarian jenis melalui strategi konservasi ex situ sudah
mulai dikembangkan sejak awal tahun 2000-an yang
diinisiasi oleh LIPI dengan pembangunan blok T. sumatrana
di Kebun Raya Cibodas. Yang tidak kalah signifikan adalah
upaya pelestarian jenis secara in situ dengan keamanan dan
kemantapan wilayah pelestarian menjadi perhatian utama.
Pelestarian jenis secara in situ akan menjaga keberadaan
populasi T. sumatrana di wilayah habitat aslinya, berikut
segala sistem yang menyertai di dalamnya.
BAB 6
Penutup
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 103
DAFTAR PUSTAKA
Abbasin, Z., S. Zamani, S. Movahedi, G. Khaksar and B.E.
Sayed-Tabatabaei. 2010. In vitro micropropagation
of Yew (Taxus baccata) and Production of Plantlet.
Biotechnology, 9: 48–54.
Allison, T.D., S. Tatemi, O. Masashi and Y. Norikazu. 2008.
Variation In Sexual reproduction in Taxus cuspidata
Sieb. & Zucc. Plant Species Biology, 23: 25–32.
Aubin, I., M. Beaudet and C. Messier. 2000. Light extinction
coefficients specific to the understory vegetation of
the southern boreal forest, Quebec. Can. J. For. Res.
30(1): 168–177.
Bentebibel, S., E. Moyano, J. Palazon, R.M. Cusido, M.
Bonfill and R. Eibl. 2005. Effects of immobilization
by entrapment in alginate and scale-up on paclitaxel
and baccatin III production in cell suspension
cultures of Taxus baccata. Biotechnol. Bioeng., 89: 647–
55.
Bolsinger, C.L. and A.E. Jaramillo. 1990. Taxus brevifolia
Nutt., Pacific yew. In: Burns, R.M. and B.H. Honkala
(eds). Silvics of North America. Agriculture
Handbook 654. Forest Service, U.S. Department of
Agriculture, Washington, DC. p. 573–579.
Bondare, I. 2013. Population of yew tree Taxus baccata L. in
Latvia. BIOLOGIJA, 59: 287–293.
104 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Burley, F.W. 1988. Monitoring Biological Diversity for
Setting Priorities in Conservation. In: Wilson, E.O.
(ed.), Biodiversity. Washington, D.C. National
Academy Press, pp. 227–230.
Cairns, J.Jr. 1986. The myth of the most sensitive species.
BioSciences, 36: 670–672.
Chakravarthi, B.V., P. Das, K. Surendranath, A.A. Karande
and C. Jayabaskaran. 2008. Production of paclitaxel
by Fusarium solani isolated from Taxus celebica. J.
Biosci., 33: 259–267.
Chee P.P. 1996. Plant regeneration from somatic embryos of
Taxus brevifolia. Plant Cell Report, 16: 184–187
Cheng J-S., De-Ming Y., Shu-Ying L. and Ying-Jin Y. 2006.
Activation of ERK-like MAP kinase involved in
regulating the cellular proliferation and
differentiation of immobilized Taxus cuspidata cells.
Enzyme and Microbial Technology, 39: 1250–1257.
CITES. 2005. Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora:
Thirtheen meeting of the Conference of the Parties.
[http:// www.cites.org., diakses 26 Februari 2006]
Collins, D., R.R. Mill and M. Möller. 2003. Species
separation of Taxus baccata, T. canadensis, and T.
cuspidata (Taxaceae) and origins of their reputed
hybrids inferred from RAPD and cpDNA data.
Amer. J. Bot., 90: 175–182.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 105
Comer, P., D. Faber-Langendoen, R. Evans, S. Gawler, C.
Josse, G. Kittel, S. Menard, M. Pyne, M. Reid, K.
Schulz, K. Snow and J. Teague. 2003. Ecological
systems of the United States: A working classification of
U.S. terrestrial systems. Nature Serve, Arlington, Va.
Cope, E.A. 1998. Taxaceae: The genera and cultivated
species. Bot. Rev., 64: 291–322.
Cragg, G.M. and D.J. Newman. 2005. Plants as a source of
anti-cancer agents-Perspective paper. Journal of
Ethnopharmacology, 100: 72–79.
Cusido, R.M., J. Palazón, M. Bonfill, O. Expósito, E. Moyano
and M.T. Pinol. 2007. Source of isopentenyl
diphosphate for Taxol and baccatin III biosynthesis in
cell culturesof Taxus baccata. Biochem. Eng. J., 33:
159–67.
Daniel, G., Z. Regino, A. Joseâ, D. Hoâ, M. Joseâ, M. Goâ
and C. Jorge. 2000. Yew (Taxus baccata L.)
regeneration is facilitated by fleshy-fruited shrubs in
Mediterranean environments. Biological Conser-
vation, 95: 31–38.
Danishefsky, S.J., J.J. Masters, W.B. Young, J.T. Link, L.B.
Snyder, T.V. Magee and Jung D.K. 1996. Total
synthesis of baccatin III and Taxol. J. Am. Chem. Soc.,
118: 2843–2859.
Darbyshire, S.J. 2003. Inventory of Canadian Agricultural
Weeds. Agriculture and Agrifood Canada.
Available from http://res2. [agr.ca/ecorc/weeds_
herbes/title-titre_e.htm, diakses 10 March 2014].
106 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
de Laubenfels. 1988. Coniferales. In: David, J. (eds.) Flora
Malesiana, Series I, Vol. 10. Dordrecht: Kluwer
Academic. p 337–453.
Dhama, K., S. Mani, S. Chakraborty, R. Tiwari, A. Kumar, P.
Selvaraj and R.B. Rai. 2013. Herbal Remedies To
Combat Cancers In Humans And Animals – A
Review. International Journal of Current Research, 5:
1908–1919.
Difazio, S.P., N.C. Vance and M.V. Wilson. 1996. Variation
in expression of Taxus brevifolia in western Oregon.
Canadian Journal of Botany, 74: 1943–1946.
Earle, C.J. 2013a. Taxus sumatrana (Miquel) de Laubenfels
1978. [http://www.conifers.org/ta/Taxus_
sumatrana.php, diakses, 8 Maret 2014].
Earle, C.J. 2013b. Taxus brevifolia Nutt all 1849.
[http://www.conifers.org/ta/Taxus_brevifolia.php,
diakses, 8 Maret 2014].
Edward, F.G. and G.W. Dennis. 1994. This document is
adapted from Fact Sheet ST-624, a series of the
Environmental Horticulture Department, Florida
Cooperative Extension Service, Institute of Food and
Agricultural Sciences, University of Florida.
Publication date: October 1994.
El-Kassaby, Y.A. and A.D. Yanchuk. 1994. Genetic
diversity, differentiation, and Inbreeding in Pasific
Yew from Bristish Colombia. Journal of Heredity, 85:
112–117.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 107
Falkowski, G. and B. Matysiak. 2010. The use of arbuscular
mycorrhizal fungi in container production of
selected ornamental conifers under organic-mineral
fertilization level. Journal of Fruit and Ornamental
Plant Research, 18: 335–248.
Farjon, A. 1998. World checklist and bibliography of conifers.
The Royal Botanic Gardens, Kew.
Farr, K. 2008. Genus level approach to Taxus species. In:
International Expert Workshop on CITES Non-
Detriment Findings. Working Group 1, Case Study
6, Cancun, Mexico, November 17–21, 2008.
Farrar, J.L. 1995. Trees in Canada. Canadian Forest Service
and Fitzhenry & Whiteside Ltd. Markham ON. 502
p.
Ferguson, D.K. 1978. Some current research on fossil and
recent taxads. Rev. Palaeobot. Palynol., 26: 213–226.
Fites, J. 1993. Ecological guide to mixed conifer plant
associations, northern Sierra Nevada and Southern
Cascades: Lassen, Plumas, Tahoe, and Eldorado National
Forests. U.S.D.A. Forest Service, Pacific Southwest
Region. R5-ECOL-TP-001.
Foster, D.K. 1993. The ecology and distribution of Taxus
canadensis Marshall in the State of Wisconsin. M.S.
thesis, Department of Botany, University of
Wisconsin–Madison, Madison, Wisc.
Frense, D. 2007. Taxanes: perspectives for biotechnological
production. Appl. Microbiol. Biot., 73: 1233–1240.
108 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Gamborg, O.L., R.A. Miller and K .Ojima. 1968. Nutrient
requirements of suspension culture of soybean root
cell. Exp. Cell Res., 50: 151–158.
Gangadevi, V. and J. Muthumary. 2008a. Isolation of
Colletotrichum gloeosporioides, a novel endophytic
Taxol-producing fungus from the leaves of a
medicinal plant, Justicia gendarussa. Mycologia
Balcanica, 5: 1–4.
Gangadevi, V. and J. Muthumary. 2008b. Taxol, an
anticancer drug produced by an endophytic fungus
Bartalinia robillardoides Tassi, isolated from a
medicinal plant, Aegle marmelos Correa ex Roxb. J.
Microbiol. Biotechnol., 24: 717–724.
Garyali, S., A. Kumar and M.S.R. Reddy. 2013. Taxol
Production by an Endophytic Fungus, Fusarium
redolens, Isolated from Himalayan Yew. J. Microbiol.
Biotechnol., 23: 1372–1380.
Gong, Y.W. and Yuan, Y.J. 2006. Nitric oxide mediates
inactivation of glutathione S-transferase in
suspension culture of Taxus cuspidata during shear
stress. Journal of Biotechnology, 123: 185–192.
Gunawardana, G.P., P. Usha, S. Neal, D. Burres, N.
Whittern, H. Rodger, S. Stephen and J.B. Mcalpine.
1992. Isolation Of 9-Dihydro-13-Acetylbaccatin III
From Taxus Canadensis. Journal of Natural Products,
55: 1686–1689.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 109
Hanson, J.R. 2003. Natural Product, The Secondary
Metabolites. The Royal Society of Chemistry,
Cambridge-UK.
Hartman, T. 1996. Diversity and variability of plant
secondary metabolism: a mechanistic view.
Entomologia Experimentalis et Applicata, 80: 177–188.
Hartzell, J.R. 1991. The Yew Tree: A Thousand Whispers.
Eugene, Oregon: Hulogosi.
Hidayat, A. and S. Tachibana. 2013. Taxol and Its Related
Compound from the Bark of Taxus sumatrana.
Makalah, dipresentasikan pada International
Seminar of Forest and Medicinal Plants for better
human welfare, Bogor, 10–12 September 2013.
Hils, M. 1993. Taxaceae Gray. Yew family. Fl. North
America, 2: 423–427.
Hindson, T. 2000. The Growth Rate of Taxus baccata: An
Empirically Generated Growth Curve. The Alan
Mitchell Memorial Lecture 2000 (diakses 20 Februari
2014).
Hoffman, M.H.A. 2004. Cultivar Classification of Taxus L.
(Taxaceae). In: Davidson, C.G. and P. Trehane. Proc.
XXVI IHC- IVth Int. Symp. Taxonomy of Cultivated
Plants. Acra Hort, ISHS.
Holloway, L. 2007. Developing improved nursery culture
for the production of rooted cuttings of Canada yew
(Taxus canadensis). Thesis, The University Of New
Brunswick.
110 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Holton, R.A. 1984. Synthesis of the Taxane ring system.
Journal of the American Chemical Society, 106: 5731–
5732.
Holton, R.A., R.R. Juo, H.B. Kim, A.D. Williams, S.
Harusawa, R.E. Lowenthal and S. Yogai. 1988. A
synthesis of Taxus. Journal of the American Chemical
Society, 110: 6558–6560.
Holton, R.A. and R.M. Kennedy. 1984. Stereochemical
requirements for fragmentation of homoallylic
epoxy alcohols. Tetrahedron Letters, 25: 4455–4458.
Huang C-C., Chiang T-Y. and Hsu T-W. 2007. Isolation and
characterization of microsatellite loci in Taxus
sumatrana (Taxaceae) using PCR-based isolation of
microsatellite arrays (PIMA). Conserv. Genetic. DOI
10.1007/s10592-007-9341-z.
Hussain, A., I.Q. Ahmed, H. Nazir, I. Ullah, M. Rashid and
Z.S. Khan. 2013. In vitro callogenesis and
organogenesis in Taxus wallichiana ZUCC, The
Himalayan Yew. Pak. J. Bot., 45: 1755–1759.
Iglesias, M.I., M.J. Sainz, A.Vilariño, M.E. López Mosquera,
C. Pintos and J.P. Mansilla. 2000. Mineral nutrition
of taxus baccata l as affected by inoculation with
arbuscular mycorrhizal fungi. ISHS Acta
Horticulturae 630: XXVI International Horticultural
Congress: Nursery Crops; Development,
Evaluation, Production and Use.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 111
ISTA [International Seed Testing Association]. 1993.
International rules for seed testing: rules 1993. Seed
Science and Technology, 21 (Suppl.): 1–259.
Itokawa. 2003. Introduction. In: Itokawa, H. and Lee K.H.
(eds.). Taxus. Taylor & Francis, London, UK, and
New York, NY.
IUCN. 2014. The IUCN Red List of Threatened Species.
Jaziri, M., A. Shiri, Guo Y-M., Dupant J-P., K. Shimomura,
H. Hamada, M. Vanhaelen and J. Homes. 1996.
Taxus sp. cell, tissue and organ cultures as
alternative source for toxoids production: a
literature survei. Plant Cell, Tissue and Organ Culture,
46: 59–75.
Jennewein, S., M.R. Wildung and Chau M. 2004. Random
sequencing of an induced Taxus cell cDNA library
for identification of clones involved in Taxol
biosynthesis. PNAS, 101: 9149–9154.
Jianfeng Z. and Zhigang G. 2006. Effect of Methyl Jasmonic
Acid on Baccatin III Biosynthesis. Tsinghua Science
and Technology, 11: 363–367.
Kaul, K. 2008. Variation in rooting behavior of stem
cuttings in relation to their origin in Taxus
wallichiana Zucc. New Forests, 36: 217–224.
Keller, R.A. and E.B. Tregunna. 1976. Effects of exposure on
water relations and photosynthesis of western
hemlock in habitat forms. Can. J. For. Res., 6: 40–48.
112 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Khali, R.P. 2001. Ecological studies on Taxus baccata L. in
relation to regeneration and conservation. Ph.D.
Thesis, FRI Deemed University, Dehra Dun.
Khoroushahi, A.Y., M. Valizadeh, A. Ghasempour, M.
Khosrowshahli, H. Naghdibadi, M.R. Dadpour and
Y. Omidi. 2006. Improved Taxol production by
combination of inducing factors in suspension cell
culture of Taxus baccata. Cell Biology International, 30:
262–269.
Kikuchi, Y. and M. Yatagai. 2003. The commercial
cultivation of Taxus species. In: Itokawa, H. and Lee
K.H. (eds.). Taxus. Taylor & Francis, London, UK,
and New York, NY.
Kitagawa, I., T. Mahmud, M. Kobayashi, Roemanto and H.
Shibuya. 1995. Taxol and its related taxoid from the
needles of Taxus sumatrana. Chem. Pham. Bull., 43:
365–367.
Korouri, S.A.A., M. Matinizadeh, T. Maryam and M.
Khoushnevis. 2002. Recognition of vesicular
arbuscular mycorrhizal fungi in Taxus baccata from
Vaz Forest. In: Pajouhesh-Va-Sazandegi, In 55
Agronomy And Horticulture, Summer 2002, 15, 2, p
30–35.
Krol, S. 1978. An outline of ecology. The Yew – Taxus baccata
L. In: Bartkowiak S., W. Bugala, A. Czartoryski, A.
Hejnowicz, S. Król, A. Środoń and R.K. Szaniawski.
(eds). Foreign Scientific Publications, Department of
the National Center for Scientific and Technical, and
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 113
Economic Information (for the Department of
Agriculture and the National Science Foundation,
Washington, DC), Warsaw, Poland, pp. 65–86.
Kulkarni, A.A. 2000. Micropropagation and Secondary
Metabolites Studies in Taxus spp. and Withania
somnifera (L) Dunal. Disertation, The University of
Pune, India.
Kumaran, R.S.,
Kim J.K. and
Hur B-K. 2010. Taxol
promising fungal endophyte, Pestalotiopsis species
isolated from Taxus cuspidata. Journal of Bioscience
and Bioengineering, 110: 541–546.
Kusama, H., R. Hara, S. Kawahara, T. Nishimori, H.
Kashima, N. Nakamura, K. Morihira and I.
Kuwajima. 2000. Enantioselective total synthesis of
Taxol. J. Am. Chem. Soc., 122: 3811–3820.
Kuwajima, I. and H. Kusama. 2000a. Enantioselective total
synthesis of Taxus in and Taxol. J. Syn. Org.Chem.
Jpn., 58: 172–182.
Kuwajima I. and H. Kusama. 2000b. Synthesis studies on
taxoids. Enantioselective total synthesis of (+)-Taxus
in and (-)-Taxol. Synlett., 10: 1385–1401.
Kwak S-S., Myung-Sukchoi, Park Y-G, Yoo J-S. and Liu J-R.
1995. Taxol Content in the Seeds of Taxus spp.
Phytochemistry, 40: 29–32.
Ledig, F.T. 1986. Heterozygosity, heterosis, and fitness in
outbreeding plants. In: Soule, M.E. (Eds).
Conservation Biology: The Sciences of Scarcity and
114 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Diversity. Sinauer Associates, Sunderland,
Massachusetts. p 77–104.
Lewandowski, A., J. Burczyk and L. Mejnartowicz. 1995.
Genetic Structure of English Yew (Taxus baccata L.)
in the Wierzchlas Reserve: Implications for genetic
conservation. Forest Ecology and Management, 73:
221–227.
Li X.L., Yu X.M., Guo W.L., Li Y.D., Liu X.D., Wang N.N.
and Liu B. 2006. Genomic Diversity within Taxus
cuspidata var. nana Revealed by Random Amplified
Polymorphic DNA Markers. Russian in Fiziologiya
Rastenii, 53(5): 771–776.
Li Z.W. 1999. Maps of Ornamental Plants in Northeast of
China, Shenyang: People’s Press of Liaoning.
Linares, J.C. 2012. Shifting limiting factor for population
dynamics and conservation status of endangered
English yew (Taxus baccata L., Taxaceae). Forest
Ecology and Management, [in Press].
Maden, K. 2003. Community trial on the propagation and
conservation of Taxus baccata L. Our Nature, 1: 30–32.
Maguchi, S. and S. Fukuda. 2001. Taxus cuspidata (Japanese
yew) pollen nasal allergy. Auris Nasus Larynx, 38:
43–47.
Malik, S., R.M. Cusidó, M.H. Mirjalili, E. Moyano, J.
Palazón and M. Bonfill. 2011. Production of the
anticancer drug Taxol in Taxus baccata suspension
cultures: A review. Process Biochemistry, 46: 23–34.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 115
Martell, D.L. 1974. Canada yew Taxus canadensis Marsh.
USDA For. Serv. Gen. Tech. Rep. NE-1974. pp. 158–
160.
Masters, J.J., J.T. Link, L.B. Snyder, W.B. Young and S.J.
Danishefsky. 1995. A total synthesis of Taxol. Angew.
Chem. Int. Ed. Engl., 34: 1723–1726.
McCown, B.H. and G. Lloyd. 1981. Woody plant medium
(WPM) – a mineral nutrient formulation for
microculture for wood plant species. Hortic sci., 16:
453.
Minore, D., G.W. Howard and C. Maria. 1996. Seeds,
Seedlings, and Growth of Pasific Yew (Taxus
brevifolia). Northweat Science, 70: 223–229
Mitchell, A.K. 1998. Acclimation of Pacific yew (Taxus
brevifolia) foliage to sun and shade. Tree Physiology,
18: 749–757.
Moerman, D.E. 1986. Medicinal plants of Native America.
Technical Reports 19. University of Michigan
Museum of Anthropology, Ann Arbor, MI. 534 p.
Mukaiyama, T., I. Shiina, H. Iwadare, M. Saitoh, T.
Nishimura, N. Ohkawa and H. Sakoh. 1999.
Asymmetric total synthesis of Taxol. Chem. Eur. J., 5:
121–161.
Murashige, T. and F. Skoog. 1962. A revised medium for
rapid growth and bioassays with tabacco tissue
culture. Physiol. Plantarum, 15: 473-497.
116 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Nandi, S.K., L.M.S. Palai and H.C. Rikhari. 1996. Chemical
induction of adventitious root formation in Taxus
baccata cuttings. Plant Growth Regulation, 19: 117–122.
Nicolaou, K.C., Dai W.M. and R.K. Guy. 1994. Chemistry
and biology of Taxol. Angew. Chem., Int. Ed. Engl., 33:
15–44.
Nicolaou, K.C., H. Ueno, Liu J.J., P.G. Nantermet, Yang Z.
and J. Renaud. 1995a. Total synthesis of Taxol. 4. The
final stages and completion of the synthesis. J. Am.
Chem. Soc., 117: 653–659.
Nicolaou, K.C., Liu J.J., Yang Z., H. Ueno, E.J. Sorensen,
C.F. Claiborne and R.K. Guy. 1995b. Total synthesis
of Taxol. 2. Construction of A and C ring
intermediates and initial attempts to construct the
ABC ring system. J. Am. Chem. Soc., 117: 634–644.
Nicolaou, K.C., P.G. Nanterme., H. Ueno, R.K. Guy, E.A.
Couladouros and E.J. Sorensen. 1995c. Total
synthesis of Taxol. 1. Retrosynthesis, degradation
and reconstitution. J. Am. Chem. Soc., 117: 624 –633.
Nicolaou, K.C., Yang Z., Liu J.J., P.G. Nantermet, C.F.
Claiborne, J. Renaud and R.K. Guy. 1995d. Total
synthesis of Taxol. 3. Formation of Taxol’s ABC ring
skeleton. J. Am. Chem. Soc., 117: 645–652.
Norman, J.M. and G.S. Campbell. 1989. Canopy structure.
In: Pearcy R.W., J.R. Ehleringer, H.A. Mooney and
P.W. Rundel. (Eds). Plant Physiology Ecology. Field
Methods and Instrumentation, Champman and
Hall, London, p. 301–325.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 117
Ohwi, J. 1965. Flora of Japan, Washington: Smithsonian
Institution.
Onrubia, M., R.M. Cusidó, K. Ramirez, L. Hernández-
Vázquez, E. Moyano, M. Bonfill and J. Palazon.
2013. Bioprocessing of Plant In Vitro Systems for the
Mass Production of Pharmaceutically Important
Metabolites: Paclitaxel and its Derivatives. Current
Medicinal Chemistry, 20: 880–891.
Orwa et al., 2009. Taxus baccata, Agroforestry Database 4.0
(www.worldagroforestry.org/treedb/AFTPDFS/Ta
xus_baccata.pdf, diakses 8 Maret 2014).
Panchagnula, R. 1998. Pharmaceutical aspects of paclitaxel.
Int. J. Pharm., 172: 1–15.
Pasaribu, G. and T. Setyawati. 2010. Status riset Taxus
sumatrana. Prosiding, seminar Bersama BPK Aek
Nauli, BPK Palembang dan BPHPS Kuok. Peran
Litbang Kehutanan dalam Implementasi RSPO
Pekanbaru, 4–5 November 2010.
Pilz, D. 1996. Propagation of Pacific Yews from seed. Am.
Con. Soc. Bull. [Winter Issue], 13: 13–18.
Pinto, F. and D. Herr. 2005. Autoecology of Canada Yew
(Taxus canadensis Marsh.). Southern Science and
Information Section Technical, Note #12. Ontario
Ministry of Natural Resources, North Bay, Ont.
118 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Pothier, D. and A. Margolis. 1991. Analysis of growth and
light interception of balsam fir and white birch
saplings following precommercial thinning. Ann.
Sci. For., 48(2): 123–132.
Price, R.A. 1990. The genera of Taxaceae in the southeastern
United States. J.Arnold Arbor., 71: 69–71.
Rachmat, H.H. 2008. Variasi genetik dan teknik
perbanyakan vegetatif cemara Sumatra (Taxus
sumatrana). Thesis, Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor, Indonesia.
Rachmat, H.H., A. Subiakto, I.Z. Siregar and Supriyanto.
2010. Uji Pertumbuhan stek cemara Sumatra Taxus
sumatrana (miquel) de Laub. Jurnal Penelitian dan
Konservasi Alam, (7): 289–298.
Rudolf, P.O. 1974. Taxus L., yew. In: Schopmeyer, C.S., tech.
coord. Seeds of woody plants in the United States.
Agriculture Handbook 450. U.S. Department of
Agriculture, Forest Service, Washington, DC. p 799–
802.
Rushforth, K. 1999. Genomic Diversity among Yew (Taxus
baccata) Genotypes of Iran Revealed by Random
Amplified Polymorphism DNA Markers. Trees of
Britain and Europe. Collins ISBN 0-00- 220013-9.
Sankawa, U. and H. Itokawa. 2003. Biosyenthesis of
toxoids. In: Itokawa, H. and Lee K.H. (eds.). Taxus.
Taylor & Francis, London, UK, and New York, NY.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 119
Scagel, C.F., K. Reddy and J.M. Armstrong. 2003.
Mycorrhizal fungi in rooting substrate influences
the quantity and quality of roots on stem cuttings of
Hick`s Yew. Hort. Technology, 13: 62–66.
Schenk, R.U. and A.C. Hildebrandt. 1972. Medium and
techniques for induction and growth of
monocotyledonous and dicotyledonous plant cell
cultures. Can. J. Bot., 50: 199–204.
Sharma, P. and P.L. Uniyal. 2010. Traditional knowledge
and conservation of Taxus baccata in Sikkim
Himalaya. NeBIO, 1: 55–59.
Shen Y-C., Lin Y-S., Cheng
Y-B., Cheng
K-C., T.K. Khalil,
Kuo Y-H., Chien C-T. and Lin Y-C. 2005. Novel
Taxane diterpenes from Taxus sumatrana with the
first C-21 Taxane ester. Tetrahedron, 61: 1345–1352.
Shi Q-W., S. Franc’oise, M. Orval and O.Z. Lolita. 2002. A
novel minor metabolite (Taxane?) from Taxus
canadensis needles. Tetrahedron Letters, 43: 6869–6873.
Silba, J. 1984. An international census of the coniferae, I.
Phytologia Mem., 7: 1–79.
Singh, M.B. and P.L. Bhalla. 2006. Plant stem cells carve
their own niche. Trends Plant Sci., 11: 241–246.
Sitte, P., H. Ziegler, F. Ehrendorfer and A. Bresinsky. 1991.
Strasburger Lehrbuch der Botanik. Gustav Fisher
Verlag: Stuttgart, Jena, New York.
Smith, R.F. and S.I. Cameron. 2002. Domesticating ground
hemlock (Taxus canadensis) for producing Taxanes: a
120 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
case study In: Proc. 29th Annual Mtg. Plant Growth
Reg. Soc. Amer. Halifax N.S. July 28–Aug 1, 2002.
pp 40–45.
Smith, R.F., S.I. Cameron, J. Letourneau, M. Duffy, D.
Fleming, F. McBain-Hogg, C. McLaughlin, J.
Phillips, P. Stewart-Leblanc and L.D. Yeates. 2003.
Genetics of ground hemlock (Taxus canadensis). In:
Simpson, J.D. (eds.) Proc. 28th Meet. Can. Tree Imp.
Assoc., Part 1, 22–25 July 2002, Edmonton, AB. p 30–
31.
Smith, R.F., SI. Cameron, J. Letourneau, T. Livingstone and
K. Livingstone. 2006. Assessing the effects of mulch,
compost tea, and chemical fertilizer on soil
microorganisms and early growth, biomass
partitioning, and nutrition of field-grown rooted
cuttings of Canada Yew (Taxus canadensis). PGRSA
2006 Annual Meeting, July 8–12, Quebec City,
Canada.
Soule, M.E. 1985. What is conservation biology? BioSciences,
35: 727–734.
Spjut, R.W. 2003. Nomenclatural and taxonomic review of
three species and two varieties of Taxus (Taxaceae)
in Asia. www.worldbotanical.com (accepted for J.
Bot Res. Inst. Texas in 2006).
Spjut, R.W. 2007. A phytogeographical analysis of Taxus
(Taxaceae) based on leaf anatomical characters. J.
Bot. Res. Inst. Texas, 1: 291–332.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 121
Srodon, A. 1978. History of the yew in Poland. The Yew –
Taxus baccata L. In: Bartkowiak, S., W. Bugala, A.
Czartoryski, A. Hejnowicz, S. Król, A. Środoń and
R.K. Szaniawski (eds). Foreign Scientific
Publications, Department of the National Center for
Scientific and Technical, and Economic Information
(for the Department of Agriculture and the National
Science Foundation, Washington, DC), Warsaw,
Poland, pp. 5–14.
Stephen, P.D., V.W. Mark and Nan C.V. 1998. Factors
limiting seed production of Taxus brevifolia
(Taxaceae) in Western Oregon. American Journal of
Botany, 85: 910–918.
Stierle, A., G. Strobel and D. Stierle. 1993. Taxol and Taxane
production by Taxomyces andreanae, an endophytic
fungus of Pasific yew. Science., 260: 214–216.
Strobel, G.A., A. Stierle and D. Stierle. 1993. Taxomyces
andreanae, a proposed new taxon for a bulbilliferous
hyphomycete associated with Pacific yew.
Mycotaxon, 47: 71–78.
Strobel, G.A., W.M. Hess, E.J. Ford, R.S. Sidhu and Yang X.
1996a. Taxol from fungal endophytes and issue of
biodiversity. J. Indust. Microbiol., 17: 417–423.
Strobel, G., Yang X.S. and J. Sears. 1996b. Taxol from
Pestalotiopsis microspora, an endophytic fungus of
Taxus walachiana. Microbiology, 142: 435–440.
Suffness, M.V. 1995. Taxol: science and applications. USA:
CRC Press Inc., Boca Raton, FL.
122 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Taylor, R.L. and S. Taylor. 1981. Taxus brevifolia in British
Columbia. Davidsonia, 12: 89–94.
Thomas, P.A. and A. Polwart. 2003. Taxus baccata L.
biological flora of the British Isles 229. J. Ecol., 91:
489–524.
Thompson, D. and C. Teoranto. 2014. Cultivation of Irish
Yew. Tree Improvement Section, Kilnacurra Park,
Co. Wicklow. [http://www.woodlandrestoration.ie
/Userfiles/david-thomson.pdf/, diakses 21 Maret
2014].
Troup, R.S. 1921. Silviculture of Indian Tree. Vol.I-III.
Calendon Press, Oxford.
Vance, N.C. and P.O. Rudolp. 2000. Taxus L.
[http://www.enensl.fs.fed.us/wpsmn/Taxus.pdf,
diakses, 25 Maret 2005].
Vongpaseuth, K. and S.C. Roberts. 2007. Advancements in
the understanding of paclitaxel metabolism in tissue
culture. Curr. Pharm. Biotechnol., 8: 219–36.
Waibel, T. 2010. Transcriptional regulation of TaxolTM
biosynthesis in Taxus cuspidata procambium cells.
Disertation, Institute of Melucular Palnt Sciences,
School of Biological Sciences, The University of
Edinburgh, Jerman.
Wang J., Guiling L., Huaying L., Zhonghui Z., Yaojian H.
and Wenjin S. 2000. Taxol from Tubercularia sp.
strain TF5, an endophytic fungus of Taxus mairei.
FEMS Microbiology Letters, 193: 249–253.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 123
Wang Y.J., Yuan M., Lu J.C., Wu and Jiang J.L. 2003.
Inhibitor studies of isopentenyl pyrophosphate
biosynthesis in suspension cultures of the yew Taxus
chinensis var. mairei. Biotechnology and Applied
Biochemistry, 37: 39–43.
Wang Y-F., Yu S-H., Dong M., Zhang M-L., Huo C-H. and
Shi Q-W. 2010. Chemical Studies on Taxus cuspidata.
Chemistry & Biodiversity, 7: 1698–1716.
Wani, M.C., H.L. Taylor, M.E. Wall, P. Coggon and A.T.
McPhail. 1971. Plant antitumor agents. VI. Isolation
and structure of Taxol, a novel antileukemic and
antitumor agent from Taxus brevifolia. J. Am. Chem.
Soc., 93: 2325–2327.
Webster, L., R.F. Smith, S.I. Cameron and M. Krasowski.
2005. Developing improved nursery culture for the
production of rooted cuttings of Canada Yew (Taxus
canadensis Marsh.). In: Potter, M.A. and B.E. Quill.
(eds). Proceedings of the 32nd Annual Meeting of the
Plant Growth Regulation Society of America,
Newport Beach, California, USA, 24–27 July, 2005,
pp. 95–100.
Wender, P.A., N.F. Badham, S.P. Conway, P.E. Floreancig,
T.E. Glass, C. Gränicher and J.B. Houze. 1997. The
pine path to Taxanes. 5. Stereocontrolled synthesis of
a versatile Taxane precursor. J. Am. Chem. Soc., 119:
2755–2756.
124 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Wilson, C.R., J-M. Sauer and S.B. Hooser. 2006. Taxines: a
review of the mechanism and toxicity of yew (Taxus
spp.) alkaloids. Toxicon, 39: 175–185.
Wilson, P., M. Buonopane and T.D. Allison. 1996.
Reproductive biology of the monoecious clonal
shrub Taxus canadensis. Bull. Torrey Bot. Club, 123: 7–
15.
Windels, S.K. and D.J. Flaspohler. 2011. The ecology of
Canada Yew (Taxus canadensis Marsh.): A review.
Botany, 89: 1–17.
Wubet, T., M. Weiß, I. Kottke and F. Oberwinkler. 2003.
Morphology and molecular diversity of arbuscular
mycorrhizal fungi in wild and cultivated yew (Taxus
baccata). Canadian Journal of Botany, 81: 255–266.
Yeates, L.D., R.F. Smith, S.I. Cameron and J. Letourneau.
2005. Recommended Procedures for Rooting Ground
Hemlock (Taxus canadensis) Cuttings. Natural
Resources Canada Canadian Forest Service -
Atlantic Forestry Centre, Fredericton, New
Brunswick, CANADA.
Yuan J.I., Jian-Nan B.I., Yan B. and Zhu X-D. 2006. Taxol-
producing Fungi: A New Approach to Industrial
Production of Taxol. Chinese Journal of Biotechnology,
22: 1–6.
Zaiyou J., Meng L., Xu G. and Zhou X. 2013. Isolation of an
endofitik fungus producing baccatin III from Taxus
wallichiana var. mairei. J. Ind. Microbiol. Biotechnol.,
40: 1297–1302.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 125
Zamani, S., Z. Abbasian, G. Khaksar, S. Movahedi, M.
Talebi and B.E.S. Tabatabaei., 2008. Genomic
diversity among yew (Taxus baccata L) genotypes of
Iran revealed by random amplified polymorphism
DNA markers. Int. J. Agri. Biol., 10: 648–652.
Zamir, L.O., Zheng Y.F., G. Caron, F. Sauriol and O.
Mamer. 1996. Rearrangement of the major Taxane
from T. Canadensis. Tetrahedron Letters, 37: 6435–
6438.
Zhang C., Mei X., Liu L. and Yu L. 2000. Enhanced
paclitaxel production induced by the combination of
elicitors in cell suspension cultures of Taxus
chinensis. Biotechnology Letters, 22: 1561–1564
Zhang C.H., S.F. Pedro, Guangyuan H. and Zhenjia C. 2007.
Enhanced paclitaxel productivity and release
capacity of Taxus chinensis cell suspension cultures
adapted to chitosan. Plant Science, 172: 158–163.
Zhang S., Chen W.M. and Chen Y.H. 1992. Isolation and
identification of two new Taxane diterpenes from
Taxus chinensis (Pilger) Rehd. Yaoxue Xuebao, 27:
268–270.
Zhao K., Ping W., Li Q., Hao S., Zhao L., Gao T. and Zhou
D.P. 2009. Aspergillus niger var. taxi, a new species
variant of Taxol-producing fungus isolated from
Taxus cuspidata in China. Journal of Applied
Microbiology, 107: 1202–1207.
126 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Zhiri, A., M. Jaziri, J. Homes, M. Vanhaelen and K.
Shimomura. 1994. Factors affecting the in vitro rapid
germination of Taxus embryos and the evaluation of
Taxol content in the planflets. Plant Cell Tiss. Org.
Cult., 39: 261–263.
Zhou X., Zhu H., Liu L., Lin J. and Tang K. 2010. A review:
recent advances and future prospects of Taxol-
producing endofitik fungi. Appl. Microbiol.
Biotechnol., 86: 1707–1717.
Zu Y-G., Chen H-F., Wang W-J. and Nie S-Q. 2006.
Population structure and distribution pattern of
Taxus cuspidata in Muling region of Heilongjiang
Province, China. Journal of Forestry Research, 17: 80–
82.
Riwayat Penulis
Asep Hidayat, S.Hut, M.Agr,
Ph.D.; dilahirkan di Lembang,
Bandung, tanggal 26 Juni 1977.
Pendidikan Strata-1 jurusan
Teknologi Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor (IPB) diselesaikan pada
Tahun 2000. Tahun 2002 mulai
bekerja sebagai peneliti di Balai
Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian
Kehutanan. Pada tahun 2007 mendapat kesempatan
menjadi research student yang dilanjutkan dengan
pendidikan Strata-2 dan Strata-3 di Ehime University,Japan
dengan beasiswa dari Monbukagakusho, MEXT (Ministry of
Education Culture, Sports, Sciences and Technology). Gelar
Master of Agriculture (M.Agr) diperolehnya tahun 2010 dan
Doctor of Philosophy (Ph.D) pada tahun 2013. Kini penulis
kembali aktif menjadi peneliti dengan ketertarikan pada
bidang biodegradasi polutan organik (tumpahan minyak,
PAHs, PCbs, dyes, plastik biopolymer, dan lain-lain),
teknologi enzimatik, mikrobiologi, bioresources science, dan
sintesa bahan alam.
Selama masa pendidikan dan menjadi peneliti,
penulis cukup aktif memublikasikan karya ilmiahnya pada
jurnal nasional maupun internasional yang terakreditasi,
antara lain lebih dari 10 karyanya telah terbit pada jurnal
nasional, lebih dari 5 karyanya terbit pada jurnal
internasional, dan lebih dari 15 hasil penelitiannya telah
dipresentasikan di berbagai seminar nasional maupun
internasional. Satu penemuannya berupa jamur pendegra-
dasi tumpahan minyak mentah telah berhasil dipatenkan
(JP2011067199) pada tahun 2011. Penulis juga aktif di
berbagai organisasi profesi, seperti Wakil Sekretaris
Jenderal Himpunan Peneliti Indonesia (Himpenindo) tahun
2013–2018, Sekretaris 1 Forum Bioremediasi Indonesia (FBI)
tahun 2013–2018, Anggota Masyarakat Peneliti Kayu
Indoensia (MAPEKI), dan Anggota Japan Wood Research
Sciences (JWRS), Japan tahun 2009–2013.
Henti Hendalastuti Rachmat,
S.Hut, M.Si, Ph.D.; dilahirkan di
Sumedang, Jawa Barat pada
tanggal 8 Agustus 1978. Pendidik-
an sarjana ditempuh di Jurusan
Manajemen Hutan, Fakultas
Kehutanan, IPB, lulus pada bulan
April 2001. Sejak tahun 2002,
penulis bekerja sebagai peneliti
pada Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,
Kementerian Kehutanan. Kesempatan untuk melanjutkan
ke program master pada Progran Studi Ilmu Pengetahuan
Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB dan gelar Magister
Sains diperoleh pada tahun ajaran 2006/2007 dengan
beasiswa yang diperoleh dari Departemen Kehutanan.
Pada tahun 2013, penulis menyelesaikan pendidikan Strata-
3 di Ehime University, Japan dan mendapakan gelar Doctor of
Philosophy (Ph.D) dengan spesifikasi bidang keahlian
konservasi genetik di bawah bimbingan Prof. Ko. Harada.
Sampai dengan saat ini, penulis telah memubli-
kasikan lebih dari 15 karya ilmiahnya pada beberapa jurnal
nasional dan internasional, serta aktif menghadiri
pertemuan ilmiah nasional maupun internasional.
Ir. Atok Subiakto, M.Sc.; dilahirkan
pada tahun 1958 di Kota Bogor, Jawa
Barat. Sejak tahun 1983 mulai bekerja
sebagai peneliti pada Pusat Litbang
Konservasi dan Rehabilitasi, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehu-
tanan, Kementerian Kehutanan.
Pendidikan sarjana ditempuh di
Fakultas Kehutanan, UGM dan lulus pada tahun 1983.
Pendidikan master ditempuh di Royal Melbourne Institute
Technology, Melbourne, Australia pada tahun 1997.
Selama bekerja sampai dengan saat ini, penulis telah
terlibat di 6 proyek riset internasional. Penulis juga ikut
aktif dalam pertemuan ilmiah nasional dan internasional,
serta sebanyak >30 karya ilmiahnya telah dipublikasikan
pada beberapa jurnal nasional dan internasional.