muhammad yamin adalah pahlawan nasional

11
Muhammad Yamin adalah pahlawan nasional, budayawan, dan aktivis hukum terkemuka Indonesia. Beliau di Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903 , meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 dan dimakamkan di Talawi, Sawahlunto Sumatera Barat. Beliau banyak menghasilkan karya tulis pada dekade 1920 yang sebagian berbahasa Melayu. Karya tulisnya diterbitkan dalam junal Jong Sumantra. Dibidang Sastra beliau adalah pelopor puisi modern. Riwayat pendidikan Muhammad Yamin tergolong lengkap, mulai dari Hollands Indlandsche School (HIS), Sekolah guru, Sekolah Menengah Pertanian Bogor, Sekolah Dokter Hewan Bogor, AMS, hingga sekolah kehakiman (Reeht Hogeschool) Jakarta. M Yamin termasuk salah satu pakar hukum dan penyair terkemuka angkatan pujangga baru. Taufik Abdullah bahkan menganggap Mr Muh Yamin sebagai sejarawan Indonesia terbesar abad ini. Kiprahnya dalam dunia politik mulai terlihat sejak M Yamin diangkat sebagai ketua Jong Sumatera Bond tahun 1926-1928. Tahun 1931M Yamin bergabung ke partai Indonesia. Setelah ini partai ini di bubarkan, ia mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia bersama Adam Malik , Wilopo, dan Amir Syarifuddin. M Yamin kemudian di angkat sebagai anggota Volksraad dan membentuk golongan nasional Indonesia. M Yamin merupakan anggota BPUPKI dan anggota panitia 9 yang akhirnya berhasil merumuskan piagam Jakarta dan menjadi dasar terbentuknya UUD 1945 dan Pancasila. M Yamin amat mencintai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Profesor M Yamin SH pernah diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Selain itu, ia juga pernah memegang jabatan berbagai macam menteri dalam kabinet diantaranya menteri pendidikan dan kebudayaan, menteri penerangan dan lain-lain. Sewaktu menjabat sebagai menteri penerangan beliau wafat. Yamin meninggal dunia di Jakarta dan dikebumikan di Talawi, sebuah kota kecamatan yang terletak 20 kilometer dari ibu kota Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Sebagai seorang sejarawan, M yamin banyak menulis buku sejarah dan sastra yang cukup di kenal diantaranya Gajah Mada (1945), Sejarah Peperangan Diponegoro, Tan Malaka (1945) Tanah Air (1922), Indonesia Tumpah Darahku (1928), Ken Arok dan Ken Dedes (1934), Revolusi Amerika, (1951). Berdasarkan SK Presiden RI

Upload: ganjo-kareh-hantak-anjiang

Post on 26-Nov-2015

58 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Muhammad Yamin adalah pahlawan nasional, budayawan, dan aktivis hukum terkemuka Indonesia. Beliau di Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903 , meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 dan dimakamkan di Talawi, Sawahlunto Sumatera Barat. Beliau banyak menghasilkan karya tulis pada dekade 1920 yang sebagian berbahasa Melayu. Karya tulisnya diterbitkan dalam junal Jong Sumantra. Dibidang Sastra beliau adalah pelopor puisi modern.

Riwayat pendidikan Muhammad Yamin tergolong lengkap, mulai dari Hollands Indlandsche School (HIS), Sekolah guru, Sekolah Menengah Pertanian Bogor, Sekolah Dokter Hewan Bogor, AMS, hingga sekolah kehakiman (Reeht Hogeschool) Jakarta. M Yamin termasuk salah satu pakar hukum dan penyair terkemuka angkatan pujangga baru. Taufik Abdullah bahkan menganggap Mr Muh Yamin sebagai sejarawan Indonesia terbesar abad ini.

Kiprahnya dalam dunia politik mulai terlihat sejak M Yamin diangkat sebagai ketua Jong Sumatera Bond tahun 1926-1928. Tahun 1931M Yamin bergabung ke partai Indonesia. Setelah ini partai ini di bubarkan, ia mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia bersama Adam Malik, Wilopo, dan Amir Syarifuddin. M Yamin kemudian di angkat sebagai anggota Volksraad dan membentuk golongan nasional Indonesia. M Yamin merupakan anggota BPUPKI dan anggota panitia 9 yang akhirnya berhasil merumuskan piagam Jakarta dan menjadi dasar terbentuknya UUD 1945 dan Pancasila. M Yamin amat mencintai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Profesor M Yamin SH pernah diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Selain itu, ia juga pernah memegang jabatan berbagai macam menteri dalam kabinet diantaranya menteri pendidikan dan kebudayaan, menteri penerangan dan lain-lain.

Sewaktu menjabat sebagai menteri penerangan beliau wafat. Yamin meninggal dunia di Jakarta dan dikebumikan di Talawi, sebuah kota kecamatan yang terletak 20 kilometer dari ibu kota Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Sebagai seorang sejarawan, M yamin banyak menulis buku sejarah dan sastra yang cukup di kenal diantaranya Gajah Mada (1945), Sejarah Peperangan Diponegoro, Tan Malaka (1945) Tanah Air (1922), Indonesia Tumpah Darahku (1928), Ken Arok dan Ken Dedes (1934), Revolusi Amerika, (1951). Berdasarkan SK Presiden RI No.088/TK/1973, M yamin di anugerahi gelar pahlawan nasional.

Referensi: Pustaka Kawan

Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903. Ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang dikenal, yaitu Rahadijan Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta. Di zaman penjajahan, Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan menengah dan tinggi. Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya kesusastraan Belanda.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin sebagai seorang intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang didapatnya itu. Dia menerima konsep sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan budaya yang nasionalis.

Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS) di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS) Sekolah Menengah Umum di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang jarang dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak mendapat bantuan dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer.

Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul Yamin melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten Sarjana Hukum pada tahun 1932.

Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam perjuangan kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Yong Sumatramen Bond Organisasi Pemuda Sumatera (19261928). Dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama disepakati penggunaan bahasa Indonesia. Organisasi lain adalah Partindo (19321938).

Pada tahun 19381942 Yamin tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap sebagai anggotaVolksraad Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah kemerdekaan Indonesia terwujud, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara lain, adalah Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (19531955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (19611962).

Dari riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik maupun perjuangan kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang berwawasan luas. Walaupun pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima mentah-mentah apa yang diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya. Barangkali halini merupakan pengaruh lingkungan keluarganya karena ayah ibu Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau. Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun 1914. Dengan demikian, dapat dipahami apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya maupun sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya.

Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern (1981) menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa sebagai sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan syair yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu.Puisi Yamin itu dapat dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan syair, demikian Umar Junus. Karena itu, sajak-sajak Yamin dapat dikatakan lebih merupakan suatu pembaruan syair daripada suatu bentuk puisi baru. Akan tetapi, pada puisi Yamin seringkali bagian pertamanya merupakan lukisan alam, yang membawa pembaca kepada suasana pantun sehingga puisi Yamin tidak dapat dianggap sebagai syair baru begitu saja. Umar Junus menduga bahwa dalam penulisan sajak-sajaknya, Yamin menggunakan pantun, syair, dan puisi Barat sebagai sumber. Perpaduan ketiga bentuk itu adalah hal umum terjadi terjadi pada awal perkembangan puisi modern di Indonesia.

Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan Yamin dengan bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari tradisi sastra yang melingkungi Yamin pada waktu masih amat dipengaruhi pantun dan syair. Soneta yang dikenal Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata hanya menyentuh Yamin pada segi isi dan semangatnya saja. Karena itu, Junus menangkap kesan berkisah dari sajak-sajak Yamin itu terpancar sifat melankolik, yang kebetulan merupakan sifat dan pembawaan soneta. Sifat soneta yang melankolik dan kecenderungan berkisah yang terdapat didalamnya tidak berbeda jauh dengan yang terdapat dalam pantun dan syair. Dua hal yang disebut terakhir, yakni sifat melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan sesuai untuk gejolak perasaan Yamin pada masa remajanya. Karena itu, soneta yang baru saja dikenal Yamin dan yang kemudian digunakannya sebagai bentuk pengungkapan estetiknyha mengesankan bukan bentuk soneta yang murni.

Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada 23 Agustus 1903. Yamin merupakan putra pasangan Usman yang bergelar Bagindo Khatib dengan Lihat Daftar Tokoh Perempuan perempuan asal Padang Panjang bernama Siti Sa'adah. Yamin yang berdarah Minang kemudian menikah dengan seorang Lihat Daftar Tokoh Perempuan wanita Jawa bernama Raden Ajeng Sundari Merto Amodjo pada 1934. Dari hasil pernikahan beda suku tersebut, pasangan ini dikaruniai seorang putra bernama Dang Rahadian Sinajangsih Yamin.

Meski lahir di zaman kolonial, Yamin termasuk salah satu dari segelintir orang yang beruntung karena mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan hingga tingkat tinggi. Boleh jadi ini disebabkan oleh kedudukan sang ayah sebagai mantri kopi, jabatan yang pada masa penjajahan Belanda tergolong cukup terpandang.

Yamin menempuh pendidikan dasarnya di Hollands Inlands School (HIS) di Palembang, kemudian ia tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, selama lima tahun. Setelah itu dilanjutkan ke sekolah Belanda setingkat SMA yang dulu dikenal dengan sebutan Algemene Middelbare School (AMS) di Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta. Di sekolah tersebut, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala.

Yamin yang tergolong siswa cerdas berhasil menguasai empat mata pelajaran tersebut hanya dalam tempo tiga tahun saja. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak menimba ilmu dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan untuk bahasa Latin, ia banyak dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer. Studi di AMS merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden, Belanda.

Setelah tamat AMS, Yamin pun bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat berangkat, sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun.

Setelah gagal sekolah ke luar negeri, Yamin melanjutkan studi ke Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932. Dengan gelar tersebut, Yamin menjalani profesinya sebagai seorang advokat di Jakarta hingga tahun 1942.

Pelopor Soneta

Pendidikan dasar hingga tingkat tinggi yang dilaluinya di sekolah Belanda, membuat Yamin banyak menyerap kesusastraan asing. Akan tetapi sebagai seorang intelektual, ia tidak begitu saja menelan segala hal yang didapatnya, melainkan memadukan konsep sastra Barat dengan gagasan budaya Indonesia yang nasionalis.

Mungkin hal tersebut dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya, mengingat kedua orangtua Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau. Oleh karena itu, tak heran bila sejak kecil hingga beranjak remaja, Yamin dibekali pendidikan adat dan agama. Sehingga ia tidak hanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra maupun sistem pendidikan Barat yang dipelajarinya. Prinsip itulah yang terus dipertahankannya termasuk saat menjalani perannya sebagai seorang sastrawan. Yamin juga dikenal sebagai Penyair Legendaris Indonesia penyair yang pertama kali menggunakan bentuk soneta di tahun 1921 sekaligus pelopor Angkatan Wakil Pemerintah RI untuk Langkat yang berkedudukan di Binjai (1945-1946) Pujangga Baru yang secara resmi berdiri tahun 1933. Kerinduan terhadap tanah kelahirannya sewaktu ia merantau ke Jawa, kecintaannya pada tanah kelahirannya dan masa lampau, menjadikan karyanya berciri romantis dan sentimentil, penuh kata-kata indah yang sebagian diantaranya diambil dari bahasa daerahnya, Minangkabau.

Di dunia sastra, nasionalisme seorang Muhammad Yamin dibuktikan dengan menghindari pemakaian kata-kata Barat-Belanda. Sikapnya ini telah dipegang sejak ia memimpin majalah Jong Sumatra. Meski pada kenyataaannya, dalam majalah itu terdapat dua kubu yang berbeda pendapat soal bahasa pengantar yang akan digunakan. Di satu sisi, kubu pimpinan Dr. M. Amir menghendaki Bahasa Belanda. Sementara kubu Yamin ingin memakai bahasa Melayu. Jejak Yamin menggunakan bahasa Melayu kemudian diikuti oleh Sastrawan, Redaktur Balai Pustaka (1941) Sanusi Pane dan M. Hatta yang menulis soneta bertajuk Beranta Indera dalam majalah Jong Sumatra edisi November 1921.

Ayah satu anak ini pertama kali muncul sebagai Penyair Legendaris Indonesia penyair di tahun 1922 dengan puisi berjudul Tanah Air, terdiri dari 30 bait dan tiap bait terdiri 9 baris. Yang dimaksud "Tanah Air" di sini ialah Sumatera. "Tanah Air" yang kini tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastrawan, Pendiri PDS H.B. Jassin HB Jassin ini merupakan kumpulan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.

Sebagai Penyair Legendaris Indonesia penyair, gaya puisi Yamin masih terikat pada pola pantun dan syair yang masih menekankan persamaan bunyi, sehingga kadang memasang kata-kata yang tidak perlu hanya sekadar memenuhi syarat bilangan kata dan sajak akhir saja. Namun demikian, Yamin dengan ciri khasnya tersebut berhasil memperbaharui puisi lama. Pembaharuannya terletak pada variasi sajak akhir dan jumlah baris.

Yamin juga dikenal sebagai penyair yang pertama kali menggunakan bentuk soneta di tahun 1921 sekaligus pelopor Angkatan Wakil Pemerintah RI untuk Langkat yang berkedudukan di Binjai (1945-1946) Pujangga Baru yang secara resmi berdiri tahun 1933. Kerinduan terhadap tanah kelahirannya sewaktu ia merantau ke Jawa, kecintaannya pada tanah kelahirannya dan masa lampau, menjadikan karyanya berciri romantis dan sentimentil, penuh kata-kata indah yang sebagian diantaranya diambil dari bahasa daerahnya, Minangkabau.

Kumpulan puisi karya Yamin berikutnya berjudul Tumpah Darahku yang terdiri dari 88 bait dan tiap bait terdiri dari 7 baris. Puisi tersebut ditampilkan pada 28 Oktober 1928, bertepatan dengan peristiwa bersejarah yakni Kongres Sumpah Pemuda. Karya ini menjadi amat penting karena pada momen itu, Yamin dan beberapa orang pejuang memutuskan untuk bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu, Indonesia.

Dalam Tumpah Darahku, Yamin tak lagi menyanyikan Pulau Perca atau Sumatera saja, melainkan menyanyikan kebesaran dan keagungan sejarah berbagai kerajaan dan suku bangsa di Nusantara seperti kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Pasai. Semua itu terlukis dalam sajak-sajaknya. Dalam salah satu baitnya, Yamin mengatakan: ".. kita sedarah sebangsa/Bertanah air di Indonesia". Di tahun yang sama, Yamin meluncurkan sebuah drama yang berdasarkan sejarah Jawa dengan judul Ken Arok dan Ken Dedes.

Yamin juga menaruh minat pada sejarah, terutama sejarah nasional. Karena baginya sejarah adalah salah satu cara mewujudkan cita-cita Komponis Indonesia Raya. Dua karya Yamin yang mengangkat tema sejarah adalah Gadjah Mada (1946) dan Pangeran Pemimpin Perang Diponegoro Diponegoro (1950). Selain puisi, drama, dan novel sejarah, Yamin juga banyak menerbitkan esai, serta menerjemahkan karya-karya pujangga dunia seperti drama Julius Caesar karya William Shakespeare, serta dua karya milik sastrawan India Rabindranath Tagore yang masing-masing berjudul Menantikan Surat dari Raja dan Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga.

Kiprah Sebagai Politikus

Semangat nasionalisme Muhammad Yamin sudah mulai berkobar sejak duduk di bangku kuliah dengan aktif berjuang melawan penjajah lewat sejumlah organisasi yang akhirnya membawanya ke panggung politik. Tahun 1926-1928, Yamin ditunjuk menjadi ketua Jong Sumatera Bond. Ketertarikannya terhadap pergerakan kepemudaan berawal saat salah seorang anggota Jong Soematraen Bond bernama Nazir Dt. Pamuntjak datang ke Padang.

Nazir yang ketika itu hendak berangkat ke Belanda untuk bersekolah, pelayarannya terhambat karena Perang Dunia I (1914-1918). Ia kemudian menunda keberangkatannya dan pulang ke Padang. Saat itulah Nazir memberikan penjelasan tentang rencana pendirian cabang Jong Soematraen Bond di Padang dan Bukittinggi. Dibantu Mohammad Taher Marah Sutan, Nazir menyelenggarakan rapat dengan para pemuda pelajar di gedung Syarikat Usaha di Padang. Dalam rapat tersebut, Nazir berpidato menggunakan bahasa Belanda. Sebab, saat itu bahasa Indonesia belum lazim dipergunakan.

Dalam pidatonya, ia memberikan semangat kepada para pemuda pelajar Sumatera untuk segera bangkit. Kebangkitan tersebut ditandai dengan mendirikan perkumpulan atau organisasi kepemudaan. Pidato Nazir saat itu berhasil menggugah semangat berjuang para pemuda yang ditandai dengan berdirinya cabang Jong Soematraen Bond di Padang dan Bukittinggi.

Di perkumpulan pemuda se-Sumatera itulah, Yamin mulai meniti karirnya di bidang organisasi bersama dengan Proklamator, Wakil Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1956) Mohammad Hatta yang kelak menjadi wakil Lihat Daftar Presiden Republik Indonesia Presiden RI yang pertama. Jong Soematraen Bond kemudian berubah nama menjadi Pemuda Sumatera.

Dari sekian banyak bentuk perjuangannya, yang paling melekat dengan sosok Muhammad Yamin adalah perannya sebagai perumus ikrar Sumpah Pemuda yang lahir dari Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Kongres tersebut dihelat setelah pemuda-pemudi dari berbagai daerah berkumpul dan menyatakan keinginannya untuk bersatu. Selain itu, semangat persatuan bangsa juga digaungkan Perhimpunan Indonesia di Belanda. Yamin berpandangan bahwa masa depan Indonesia akan direkatkan oleh satu bahasa, yakni bahasa Indonesia.

Kemudian dalam pidatonya, Yamin menyampaikan pesan untuk generasi muda, yakni ada hak bagi para pemuda Indonesia untuk mendekatkan diri dengan tanah airnya, dengan bangsanya yang telah melahirkannya. Pemuda merupakan tempat yang sebaik-baiknya untuk menanam segala cita-cita dan tujuan, di dalam dada pemuda tersimpan kemauan zaman baru, zaman yang akan datang; dan kemauan pemuda adalah banjir yang tak boleh dihambat. Yamin sangat yakin akan cita-citanya untuk mewujudkan Komponis Indonesia Raya bukanlah suatu hal yang mustahil, melainkan suatu bangunan dengan tiang yang kokoh.

Terinspirasi oleh Sumpah Palapa Gajah Mada, Muhammad Yamin membuat konsep ikrar Sumpah Pemuda untuk dibacakan sebagai hasil Kongres Pemuda II. Konsep tersebut kemudian disetujui oleh Soegondo sebagai ketua dan Amir Syarifuddin sebagai bendahara. Kemudian, konsep tersebut dibacakan di depan kongres dan disetujui oleh seluruh peserta. Rumusan hasil Kongres Pemuda II 1928 yang dibuat Muhammad Yamin tersebut sekarang dikenal dengan ikrar Sumpah Pemuda yang sangat menjiwai semangat pemuda Indonesia selanjutnya.

Di kemudian hari, 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Peringatan tersebut selalu dimeriahkan pula dengan kegiatan Bulan Bahasa dan Sastrawan, Pendiri PDS H.B. Jassin sastra Indonesia sebagai bentuk kebanggaan dan kecintaan rakyat terhadap bahasa Indonesia. Sebab, dalam kongres itulah, bahasa Indonesia mulai diakui secara de facto sebagai bahasa persatuan.

Setelah turut terlibat menyatukan para pemuda lewat Kongres Pemuda II, Yamin melebarkan perjuangannya ke ranah politik. Pada tahun 1931, ia tercatat sebagai anggota Partai Indonesia, meski belakangan partai tersebut dibubarkan. Setelah itu bersama Wakil Presiden Republik Indonesia (1978-1983) Adam Malik, Wilopo, dan Amir Syarifuddin, Yamin mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia. Yamin secara resmi masuk ke dalam pemerintahan setelah diangkat sebagai anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) hingga tahun 1942.

Semasa pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945, Yamin bertugas di Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1945, Yamin mendirikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), dibantu Ir. Soekarno. Yamin, bersama anggota panitia 9 BPUPKI kemudian berhasil merumuskan piagam Jakarta dan menjadi dasar terbentuknya UUD 1945 serta Pancasila.

Figur yang amat mencintai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia ini juga pernah ditunjuk sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Setelah proklamasi kemerdekaan, ia memangku sejumlah jabatan penting dalam pemerintahan, antara lain sebagai Lihat Daftar Menteri Menteri Kehakiman (1951), Lihat Daftar Menteri Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961-1962).

Jabatan terakhirnya sebagai pembantu presiden adalah Lihat Daftar Menteri Menteri Penerangan. Saat masih mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai menteri itulah, sastrawan dan negarawan yang banyak berjasa pada negara ini tutup usia di Jakarta, pada 17 Oktober 1962, di usia 59 tahun. Jasadnya kemudian dikebumikan di Talawi, sebuah kota kecamatan yang terletak 20 kilometer dari ibu kota Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Atas dedikasi dan kontribusinya, pemerintah RI menganugerahkan gelar Lihat Daftar Pahlawan Nasional pahlawan Nasional kepada Muhammad Yamin berdasarkan SK Lihat Daftar Presiden Republik Indonesia Presiden RI No.088/TK/1973. eti | muli, red ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/3673-perumus-ikrar-sumpah-pemudaCopyright tokohindonesia.com