model dan implementasi pmt-as di wilayah kabupaten tangerang (studi multisenter)

20
Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang. 1 MODEL DAN IMPLEMENTASI PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI WILAYAH KABUPATEN TANGERANG Erry Yudhya Mulyani¹, Idrus Jus’at², Dudung Angkasa 3 , Nur Muizzah 4 Department of Nutrition Faculty of Health Sciences, Esa Unggul University Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510 [email protected] Abstract Background: Pemberian Makanan Tambahan (PMT) is one of the important components of Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). School children is a strategic target in the improvement of nutrition. Objective: To develop and implement a supplementary feeding model for primary school children (PMT-AS) age 6-12 years in the District of Tangerang. Methods: This study uses secondary data Riskesdas 2010 and primary data obtained from data retrieval. The difference in energy intake and protein seen using one way ANOVA test and T test, while the differences seen with the acceptance of the PMT test and one way ANOVA test cochran q. Preliminary test and the main organoleptic tests carried out to determine the most preferred models of PMT. Results: Of the respondents breakfast highest energy intake derived from carbohydrate food groups (cereals and dairy) 250.43 ± 163.23 cal, whereas the protein intake of food group sources of animal protein (meat, poultry, and dairy) at 16, 08 ± 8.33 g. Did not reveal any significant difference in energy intake at breakfast respondents by urban and rural areas (p ≥ 0.05), while according to the middle class and upper middle class reveal any significant difference (p <0.05), but it was found there were significant differences in protein intake from breakfast respondents according to city and rural areas of economically responders (p <0.05). For the acceptance of PMT models reveal any significant differences according to level of preference panelists from three groups PMT models for all three schools (p <0.05). Model PMT most preferably from the first school PMT model group is risoles yellow yam, for both schools is rice cake noodles, and three schools are cassava croquettes. Conclusion: It is expected that this study can enhance the growth and development and physical fitness, encourage interest and abilities and improve learning achievement of primary school children. Keywords: PMT-AS model, PMT-AS implementation, primary school children

Upload: nur-muizzah

Post on 25-Oct-2015

28 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pemberian Makanan Tambahan (PMT) is one of the important components of Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). School children is a strategic target in the improvement of nutrition.

TRANSCRIPT

Page 1: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

1

MODEL DAN IMPLEMENTASI PEMBERIAN MAKANAN

TAMBAHAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR

DI WILAYAH KABUPATEN TANGERANG

Erry Yudhya Mulyani¹, Idrus Jus’at², Dudung Angkasa3, Nur Muizzah4

Department of Nutrition Faculty of Health Sciences, Esa Unggul University

Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510

[email protected]

Abstract

Background: Pemberian Makanan Tambahan (PMT) is one of the important components of Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). School children is a strategic target in the improvement of nutrition. Objective: To develop and implement a supplementary feeding model for primary school children (PMT-AS) age 6-12 years in the District of Tangerang. Methods: This study uses secondary data Riskesdas 2010 and primary data obtained from data retrieval. The difference in energy intake and protein seen using one way ANOVA test and T test, while the differences seen with the acceptance of the PMT test and one way ANOVA test cochran q. Preliminary test and the main organoleptic tests carried out to determine the most preferred models of PMT. Results: Of the respondents breakfast highest energy intake derived from carbohydrate food groups (cereals and dairy) 250.43 ± 163.23 cal, whereas the protein intake of food group sources of animal protein (meat, poultry, and dairy) at 16, 08 ± 8.33 g. Did not reveal any significant difference in energy intake at breakfast respondents by urban and rural areas (p ≥ 0.05), while according to the middle class and upper middle class reveal any significant difference (p <0.05), but it was found there were significant differences in protein intake from breakfast respondents according to city and rural areas of economically responders (p <0.05). For the acceptance of PMT models reveal any significant differences according to level of preference panelists from three groups PMT models for all three schools (p <0.05). Model PMT most preferably from the first school PMT model group is risoles yellow

yam, for both schools is rice cake noodles, and three schools are cassava croquettes. Conclusion: It is expected that this study can enhance the growth and development and physical fitness, encourage interest and abilities and improve learning achievement of primary school children. Keywords: PMT-AS model, PMT-AS implementation, primary school children

Page 2: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

2

Pendahuluan

Program gizi pada kelompok anak sekolah memiliki dampak luas

yang tidak saja pada aspek kesehatan, gizi dan pendidikan masa kini tetapi juga secara langsung mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di masa mendatang. Anak sekolah merupakan sasaran strategis dalam perbaikan gizi masyarakat. Kecepatan pertumbuhan anak di rentang usia ini merupakan kecepatan genetis masing-masing anak, yang juga dipengaruhi faktor lingkungan, terutama makanan. Hasil dari perbedaan proses pertumbuhan mengakibatkan ada anak yang

berbadan pendek dan ada yang tinggi. Komposisi tubuh anak setelah umur 5 tahun mulai berubah. Perbedaan komposisi tubuh anak perempuan dengan anak laki-laki mulai tampak berbeda. Tubuh anak perempuan lebih banyak lemak, sedangkan tubuh anak laki-laki lebih banyak otot.

Disisi lain, sebagian besar waktu anak usia ini banyak dimanfaatkan dengan aktivitas di luar rumah, yakni sekitar 3-6 jam di sekolah, beberapa jam untuk bermain, berolahraga, dan sebagainya, sehingga anak memerlukan energi lebih banyak. Waktu yang lebih banyak digunakan bersama teman ini dapat mempengaruhi jadwal makan anak, bahkan terhadap pola makannya. Belum lagi karena pola makan salah di umur sebelumnya yang masih terbawa di usia ini; misal, anak lebih suka jajan, makanan kurang serat, suka makan dan minum yang manis, dan sebagainya. Akibatnya anak kurang mendapatkan pola makan ber-Gizi Seimbang dan aman, sehingga berdampak pada berat badan (BB) yang rendah karena kurang gizi dan sering sakit. Dapat pula terjadi akibat asupan energi berlebih selalu makan dan minum yang padat energi sehingga anak mengalami masalah obesitas

(kegemukan). Kegemukan pada anak erat berkaitan dengan munculnya penyakit-penyakit degeneratif, seperti

penyakit jantung dan pembuluh darah serta diabetes, dan bisa terjadi pada umur dewasa muda.

Frekuensi makan adalah 3 atau lebih kali per hari, tetapi harus dengan menu lengkap. Kebanyakan anak usia sekolah di daerah perkotaan sudah melaksanakan sarapan secara rutin. Akan tetapi didaerah pedesaan misalnya di Gianyar Bali masih terdapat 83% anak sekolah tidak sarapan. Menurut data RISKESDAS 2010 di propinsi Banten masih

terdapat anak usia 6-12 tahun yang berstatus gizi pendek (15,1%) dan kurus (9,5%). Sementara itu, dapat dilihat bahwa menurut jenis kelamin, prevalensi kependekan pada anak laki-laki lebih tinggi (36,5%) daripada anak perempuan (34,5%). Sedangkan menurut tempat tinggal, prevalensi anak kependekan di perkotaan (29,3%) lebih rendah dari anak di pedesaan (41,5%). Demikian pula halnya dengan prevalensi kekurusan, terlihat pada anak laki-laki lebih tinggi (13,2%) daripada anak perempuan (11,2%). Melihat prevalensi data diatas kiranya perlu dilakukan pemberian makanan tambahan pada anak sekolah dasar. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan tumbuh kembang dan ketahan fisik, mendorong minat dan kemampuan

serta meningkatkan prestasi belajar anak sekolah dasar. Karena dari itu tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengembangkan model dan mengimplementasikan pemberian makanan tambahan anak sekolah dasar (PMT-AS) di wilayah Kabupaten Tangerang.

Metode Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari data RIret

Page 3: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

3

Kesehatan Dasar tahun 2010 (Riskesdas 2010) yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan (Balitbangkes), Kementerian Kesehatan, dan juga data primer yang didapat dari pengambilan data melalui kuesioner dan juga uji citarasa/ uji organoleptik Populasi dan sampel penelitian adalah anak usia sekolah dasar yang berusia 6-12 tahun di Propinsi Banten yang berjumlah 1698 orang. Variabel yang dianalisa adalah asupan enegi, protein, lemak, karbohidrat, dan serat, serta wilayah pedesaan perkotaan, status ekonomi (kuintil 1-5, dimana

semakin tinggi kuintil semakin tinggi status ekonominya) yang kemudian digolongkan menjadi 2 golongan yaitu golongan menengah ke bawah (kuintil 1 dan 2) dan golongan menengah keatas (kuintil 3, 4 dan 5), serta wilayah Indonesia yang dikelompokkan kedalam 3 region, yaitu region 1 (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau), region 2 (Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, dan Bali) dan region 3 (Provinsi Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi

Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua). Selanjtunya data tersebut dianalisi secara univariat dan bivariat. Analisis univariat digunakan untuk mendapatkan gambaran dari masing-masing variabel yang dianalisa, dan analisis bivariat digunakan untuk melihat perbedaan asupan energi, protein, lemak, karbohidrat, dan serat, serta perbedaan daya terima panelis

terhadap PMT yang diujikan. Perbedaan asupan energi dan protein dilihat dengan menggunakan uji one way anova dan t test, sedangkan perbedaan daya terima PMT dilihat dengan uji one way anova dan uji cochran q. Skor dari uji pendahuluan dan uji organoleptik utama dengan analog visual scale serta uji cochran q dilakukan untuk mengetahui model PMT yang paling disukai. Hasil Responden dalam penelitian ini adalah anak usia sekolah dasar yang berumur antara 6-12 tahun di Provinsi Banten. Rata-rata umur responden adalah 8,91 tahun (±2,03) (gambar 1.1), dengan jumlah responden terbanyak adalah yang berusia 6 tahun yaitu sebanyak 16,4% (tabel 1.1). Tabel 1.1 Distribusi Frekuensi Responden

Menurut Umur di Provinsi Banten

Umur N %

6 278 16,4

7 255 15,0

8 219 12,9

9 224 13,2

10 254 15,0

11 241 14,2

12 227 13,4

Total 1698 100

Mean 8,91

Median 9,00

SD 2,03

Untuk gambaran jenis kelamin

responden, paling banyak responden penelitian yang berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 51,7%, sedangkan yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 48,3% (tabel 1.2).

Page 4: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

4

Gambar 1.1 Distribusi Umur Responden di Provinsi Banten

Tabel 1.2 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin, Tipe Daerah,

Status Ekonomi, dan Golongan Ekonomi di Provinsi Banten

Jenis Kelamin N %

Laki-laki 820 48,3

Perempuan 878 51,7

Total 1698 100

Daerah N %

Desa 842 49,59

Kota 856 50,41

Total 1698 100

Status Ekonomi N %

Kuintil 1 419 24,7

Kuintil 2 395 23,3

Kuintil 3 291 17,1

Kuintil 4 340 20,0

Kuintil 5 253 14,9

Total 1698 100

Golongan Ekonomi N %

Menengah keatas 884 52,06

Menengah kebawah 814 47,94

Total 1698 100

Untuk gambaran responden

berdasarkan wilayah desa kota, paling banyak responden penelitian yang bertempat tinggal di daerah perkotaan di Provinsi Banten, yaitu sebanyak 50,41% (tabel 1.2). sedangkan gambaran status ekonomi responden paling banyak yang masuk ke dalam

status ekonomi kuintil 1 (ekonomi sangat rendah) yaitu sebanyak 24,7% (tabel 1.2).

Selain dilihat berdasarkan 5

kategori kuintil tersebut, kategori

status ekonomi juga disederhanakan

menjadi 2 kelompok, yaitu golongan

ekonomi menengah kebawah, yang

terdiri dari kuintil 1 dan kuintil 2, dan

golongan ekonomi menengah ke atas,

yang terdiri dari kuintil 3, kuintil 4,

dan kuintil 5. Paling banyak responden

yang berada pada golongan ekonomi

menengah keatas, yaitu sebanyak 884

orang (52,06%) (tabel 1.2).

Untuk gambaran asupan energi, protein, serta jenis bahan makanan yang dikonsumsi reponden pada waktu makan pagi, asupan energi tertinggi dari makan pagi responden didapat dari golongan bahan makanan sumber karbohidrat, yaitu serealia dan olahannya (250.43±163.23) kal. Asupan protein tertinggi didapat dari golongan bahan makanan sumber protein hewani, yaitu daging, unggas dan olahannya (16,08±8,33) gram. Sedangkan untuk golongan bahan makanan yang paling banyak dikonsumsi pada waktu makan pagi oleh responden adalah dari golongan gula, sirup, dan konfeksioneri

(185,42±111,58) gram (tabel 1.3).

Dalam analisis bivariat yang

dilakukan, dimana untuk melihat ada tidaknya perbedaan yang bermakna pada asupan energi makan pagi responden, diketahui bahwa asupan tertinggi energi dari makan pagi responden menurut wilayah desa kota yaitu pada responden yang tinggal di wilayah perkotaan dan terendah sisanya di wilayah pedesaan. Rata-rata asupan energi dari makan pagi responden di daerah perkotaan lebih

Page 5: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

5

tinggi 11,52 kal dibanding responden di pedesaan (gambar 1.2). Sedangkan untuk asupan protein dari makan pagi

tertinggi terdapat pada responden di wilayah perkotaan dan terendah di wilayah pedesaan. Rata-rata asupan protein dari makan pagi responden di daerah perkotaan lebih tinggi 1,27 gram dibanding responden di pedesaan (gambar 1.3).

Gambar 1.2 Asupan Energi Makan Pagi Responden di Desa Kota Provinsi Banten

Gambar 1.3 Asupan Protein Makan Pagi Responden di Desa Kota Provinsi Banten

Dari hasil Uji statistik t-test independen yang dilakukan, didapati bahwa nilai t=1,071 dan p=0,284 atau p>α (0,284>0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna asupan

energi dari makan pagi responden anak usia 6-12 tahun di daerah desa dan kota Provinsi Banten. Sedangkan

untuk asupan protein menurut umur, dari hasil Uji statistik t-test independen yang dilakukan, didapati bahwa nilai t=3,076 dan p=0,002 atau p<α (0,002<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang bermakna asupan protein dari makan pagi responden anak usia 6-12 tahun di daerah desa dan kota Provinsi Banten (tabel 1.4).

Sedangkan menurut golongan ekonomi responden, diketahui bahwa asupan energi tertinggi dari makan

pagi responden terdapat pada responden dengan golongan ekonomi menengah keatas dan terendah golongan ekonomi menengah kebawah. Rata-rata asupan energi dari makan pagi responden golongan ekonomi menengah keatas lebih tinggi 42 kal dibanding responden golongan ekonomi menengah kebawah (gambar 1.4). Untuk asupan protein dari makan pagi responden tertinggi terdapat pada responden dengan golongan ekonomi menengah keatas dan terendah golongan ekonomi menengah ke bawah. Rata-rata asupan protein dari makan pagi responden golongan ekonomi menengah keatas lebih tinggi 2,96 gr dibanding responden golongan ekonomi menengah kebawah (gambar 1.5)

Gambar 1.4 Asupan Energi Makan Pagi

Responden Menurut Golongan Ekonomi

Page 6: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

6

Gambar 1.5 Asupan Protein Makan Pagi

Responden Menurut Golongan Ekonomi

Dari hasil Uji statistik t-test

independen yang dilakukan, didapati

bahwa nilai t=-3,920 dan p=0,000 atau

p<α (0,000<0,05), sehingga dapat

disimpulkan bahwa ada perbedaan

yang bermakna asupan energi dari

makan pagi pada golongan ekonomi

responden anak usia 6-12 tahun di

Privinsi Banten. Sedangkan untuk

asupan protein menurut umur, dari

hasil Uji statistik t-test independen

yang dilakukan, didapati bahwa nilai

t=-7,284 dan p=0,000 atau p<α

(0,000<0,05), sehingga dapat

disimpulkan bahwa ada perbedaan

yang bermakna asupan protein dari

makan pagi pada golongan ekonomi

responden anak usia 6-12 tahun di

Provinsi Banten (tabel 1.4).

Dari uji organoleptik/ uji cita

rasa yang dilakukan terhadap model

PMT-AS yang dibuat, berikut ini adalah

hasil analisis bivariat dari skor mutu

uji organoleptik pada model PMT untuk

3 sekolah lokasi penelitian.

Tabel 1.3 Asupan Energi, Protein, dan Jumlah Konsumsi Bahan Makanan Responden pada Waktu Makan Pagi Berdasarkan 13 Golongan Bahan Makanan di Provinsi Banten

Jenis BM Energi (kal) Protein (gr) Jumlah Konsumsi (gr)

Mean SD Mean SD Mean SD

Serealia dan olahannya 250,43 163,23 4,35 2,72 148,31 73,54

Umbi-umbian dan olahannya 92,08 140,83 0,36 0,71 25,29 33,54

Kacang-kacangan dan olahannya

147,06 114,60 7,13 5,21 53,57 43,68

Sayuran dan olahannya 61,14 80,71 2,17 2,51 75,48 48,87

Buah-buahan dan olahannya 107,23 69,95 1,61 2,63 76,00 43,18

Daging, unggas dan olahannya

190,46 100,37 16,08 8,33 60,22 26,22

Ikan, kerang, udang dan olahannya

69,94 59,03 8,78 8,69 44,33 24,72

Telur dan olahannya 94,79 32,40 6,00 2,02 50,55 17,02

Susu dan olahannya 108,57 131,53 3,78 4,82 47,79 74,43

Lemak/minyak, dan olahannya

60,50 12,12 0,05 0,01 8,75 2,50

Gula, sirup dan konfeksioneri

84,09 173,07 0,28 1,33 185,42 111,58

Bumbu-bumbuan 14,87 11,02 0,88 0,95 17,06 11,67

Snack 214,33 169,51 6,19 7,95 82,28 76,46

Page 7: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

7

Tabel 1.4 Asupan Energi dan Protein dari Makan Pagi Responden Menurut Provinsi Lokasi (Desa/Kota) dan Golongan Ekonomi

Daerah Energi Makan Pagi (Kal)

t Sig. Mean N SD

Desa 345,51 813 208,86

1,071 0,284 Kota 357,03 831 226,69

Total 351,33 1644 218,06

Daerah Protein Makan Pagi (gr)

t Sig. Mean N SD

Desa 9,15 813 7,77

3,076 0,002 Kota 10,42 831 8,88

Total 9,79 1644 8,37

Golongan Ekonomi Energi Makan Pagi (kal)

t Sig. Mean N SD

Menengah Keatas 371,59 851 240,65

-3,920 0,000 Menengah Kebawah 329,59 793 188,60

Total 351,33 1644 218,06

Golongan Ekonomi Protein Makan Pagi (gr)

t Sig. Mean N SD

Menengah Keatas 11,22 851 9,52

-7,284 0,000 Menengah Kebawah 8,26 793 6,60

Total 9,79 1644 8,37

Dari gambar 1.6 dapat terlihat bahwa rata-rata skor warna pada penilaian mutu organoleptik untuk kelompok model PMT di sekolah pertama (SDN Tegal Angus), paling tinggi terdapat pada PMT jenis C (risoles ubi kuning), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT A (nugget tempe). Rata-rata skor warna PMT C lebih tinggi 20,19 dibandingkan PMT A.

Sedangkan untuk sekolah kedua (MI Nurul Hidayah), dari gambar 1.7 terlihat bahwa rata-rata skor warna pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi untuk PMT SD 2 terdapat pada PMT jenis C (lontong mie), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT A (schotel tempe). Rata-rata skor warna PMT C lebih tinggi 14,45 dibandingkan PMT A.

Untuk sekolah ketiga (SDN Mekar Bakti), dari gambar 1.8 menunjukkan bahwa rata-rata skor warna pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi untuk PMT SD 3 terdapat pada PMT jenis C (kroket singkong), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT B (nagasari ayam). Rata-rata skor warna PMT C lebih tinggi 14,53 dibandingkan PMT B.

Setelah dilakukan uji One way

Anova, hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor warna PMT untuk sekolah pertama, yang ditunjukkan oleh nilai F=11,042 dan p=0,000 dimana p<0,05 (tabel 1.5). Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor warna PMT pada jenis PMT A dan PMT B

Page 8: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

8

(p=0,001), serta skor warna PMT A dan PMT C (p=0,000) (tabel 1.6).

Untuk sekolah kedua, hasil uji

menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor warna PMT untuk sekolah kedua, yang ditunjukkan oleh nilai F=8,712 dan p=0,000 dimana p<0,05 (tabel 1.5). Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor warna PMT pada jenis PMT A dan PMT C (p=0,000) (tabel 1.6). Sedangkan untuk sekolah ketiga, uji

statistik One way Anova menunjukkan

bahwa ada perbedaan yang bermakna

pada skor warna PMT yang

ditunjukkan oleh nilai F=6,595 dan

p=0,002 dimana p<0,05 (tabel 1.5).

Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga

menunjukan bahwa ada perbedaan

yang bermakna skor warna PMT pada

jenis PMT A dan PMT C (p=0,010) serta

PMT B dan PMT C (p=0,003) (tabel 1.6).

Gambar 1.6 Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Warna PMT di SD 1

(SDN Tegal Angus)

Gambar 1.7 Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Warna PMT di SD 2

(MI Nurul Hidayah 2)

Gambar 1.8 Penilaian Mutu Organoleptik

Menurut Warna PMT di SD 3 (SDN Mekar Bakti)

Untuk skor aroma PMT dari

ketiga kelompok model untuk tiga sekolah tersebut, terlihat dari gambar 1.9 rata-rata skor aroma pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT jenis B (klepon ketan hitam), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT A

(nugget tempe). Rata-rata skor aroma PMT B lebih tinggi 2,61 dibandingkan PMT A.

Sedangkan untuk sekolah kedua (MI Nurul Hidayah), dari gambar 1.10 terlihat bahwa rata-rata skor aroma pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT jenis C (lontong mie), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT A (schotel tempe). Rata-rata skor aroma PMT C lebih tinggi 13,77 dibandingkan PMT A.

Page 9: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

9

Untuk sekolah ketiga (SDN Mekar Bakti), dari gambar 1.11 menunjukkan bahwa rata-rata skor

aroma pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT jenis C (kroket singkong), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT B (nagasari ayam). Rata-rata skor aroma PMT C lebih tinggi 13,35 dibandingkan PMT B.

Stelah dilakukan uji One way

Anova pada skor aroma PMT ini,

hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada skor aroma PMT yang ditunjukkan oleh

nilai F=0,855 dan p=0,428 dimana p>0,05 (tabel 1.5). Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna skor aroma PMT pada ketiga jenis PMT tersebut (p≥0,05) (tabel 1.6).

Untuk sekolah kedua, hasil uji menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor aroma PMT yang ditunjukkan oleh nilai F=8,682 dan p=0,000 dimana p<0,05 (tabel 1.5). Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor aroma PMT pada jenis PMT A dan PMT B (p=0,008) serta PMT A dan PMT C (p=0,000) (tabel 1.6). Sedangkan untuk sekolah ketiga, uji

statistik One way Anova menunjukkan

bahwa ada perbedaan yang bermakna

pada skor aroma PMT yang

ditunjukkan oleh nilai F=6,363 dan

p=0,002 dimana p<0,05 (tabel 1.5).

Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga

menunjukan bahwa ada perbedaan

yang bermakna skor aroma PMT pada

jenis PMT A dan PMT B (p=0,011) serta

PMT B dan PMT C (p=0,004) (tabel 1.6).

Gambar 1.9 Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Aroma PMT di SD 1

(SDN Tegal Angus)

Gambar 1.10 Penilaian Mutu Organoleptik

Menurut Aroma PMT di SD 2 (MI Nurul Hidayah 2)

Gambar 1.11 Penilaian Mutu Organoleptik

Menurut Aroma PMT di SD 3 (SDN Mekar Bakti)

Untuk skor rasa pada ketiga kelompok model PMT untuk tiga

Page 10: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

10

sekolah tersebut, terlihat dari gambar 1.12 rata-rata skor rasa pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi

terdapat pada PMT jenis C (risoles ubi kuning), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT B (klepon ketan hitam). Rata-rata skor rasa PMT C lebih tinggi 9,07 dibandingkan PMT B.

Sedangkan untuk sekolah kedua (MI Nurul Hidayah), dari gambar 1.13 terlihat bahwa rata-rata skor rasa pada penilaian mutu organoleptik untuk PMT SD 2 paling tinggi terdapat pada PMT jenis C (lontong mie), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT A (schotel tempe). Rata-rata skor rasa

PMT C lebih tinggi 11,67 dibandingkan PMT A.

Untuk sekolah ketiga (SDN Mekar Bakti), dari gambar 1.14 menunjukkan bahwa rata-rata skor rasa pada penilaian mutu organoleptik untuk PMT SD 3 paling tinggi terdapat pada PMT jenis C (kroket singkong), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT B (nagasari ayam). Rata-rata skor rasa PMT C lebih tinggi 12,97 dibandingkan PMT B.

Setelah dilakukan uji One way Anova pada skor rasa PMT ini, hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada skor rasa PMT yang ditunjukkan oleh nilai F=2,559 dan p=0,082 dimana p≥0,05 (tabel 1.5). Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna skor rasa PMT pada ketiga jenis PMT tersebut. (tabel 1.6).

Untuk sekolah kedua, hasil uji menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor rasa PMT yang ditunjukkan oleh nilai F=6,310 dan p=0,002 dimana p<0,05 (tabel 1.5). Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor rasa PMT pada

jenis PMT A dan PMT C (p=0,001) (tabel 1.6).

Sedangkan untuk sekolah

ketiga, uji statistik One way Anova

menunjukkan bahwa ada perbedaan

yang bermakna pada skor rasa PMT

yang ditunjukkan oleh nilai F=6,310

dan p=0,002 dimana p<0,05 (tabel 1.5).

Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga

menunjukan bahwa ada perbedaan

yang bermakna skor rasa PMT pada

jenis PMT A dan PMT B (p=0,040), serta

PMT B dan PMT C (p=0,007) (tabel 1.6).

Gambar 1.12 Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Rasa PMT di SD 1

Gambar 1.13 Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Rasa PMT di SD 2

Gambar 1.14 Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Rasa PMT di SD 3

Page 11: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

11

Untuk skor tekstur pada ketiga kelompok model PMT untuk tiga

sekolah tersebut, terlihat dari gambar 1.15 rata-rata skor tekstur pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT jenis C (risoles ubi kuning), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT A (nugget tempe). Rata-rata skor tekstur PMT C lebih tinggi 28,86 dibandingkan PMT A.

Sedangkan untuk sekolah kedua (MI Nurul Hidayah), dari gambar 1.16 terlihat bahwa rata-rata skor tekstur pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT jenis C (lontong mie), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT A (schotel tempe). Rata-rata skor tekstur PMT C lebih tinggi 20,51 dibandingkan PMT A.

Untuk sekolah ketiga (SDN

Mekar Bakti), dari gambar 1.17 menunjukkan bahwa rata-rata skor tekstur pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT jenis A (cake singkong), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT C (kroket singkong). Rata-rata skor tekstur PMT A lebih tinggi 4,69 dibandingkan PMT C.

Setelah dilakukan uji One way Anova pada skor tekstur PMT ini, hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor

tekstur PMT yang ditunjukkan oleh nilai F=30,685 dan p=0,000 dimana p<0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor tekstur PMT pada jenis PMT A dan PMT B (p=0,000), serta skor warna PMT A dan PMT C (p=0,000) (tabel 1.6).

Untuk sekolah kedua, hasil uji menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada skor tekstur PMT yang ditunjukkan oleh nilai F=2,587 dan p=0,077 dimana p>0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna skor tekstur

PMT pada ketiga jenis PMT (tabel 1.6). Sedangkan untuk sekolah

ketiga, uji statistik One way Anova menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada skor tekstur PMT yang ditunjukkan oleh nilai F=2,587 dan p=0,077 dimana p>0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna skor tekstur PMT pada ketiga jenis PMT (tabel 1.6).

Gambar 1.15 Penilaian Mutu Organoleptik

Menurut Tekstur PMT di SD 1

Gambar 1.16 Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Tekstur PMT di SD 2

Page 12: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

12

Gambar 1.17 Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Tekstur PMT di SD 3

Selanjutnya untuk skor tingkat kesukaan pada ketiga kelompok model PMT di tiga sekolah tersebut, terlihat

dari gambar 1.18 rata-rata skor Tingkat Kesukaan pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT jenis C (risoles ubi kuning), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT B (klepon ketan hitam). Rata-rata skor Tingkat Kesukaan PMT C lebih tinggi 13,54 dibandingkan PMT B.

Sedangkan untuk sekolah kedua (MI Nurul Hidayah), dari gambar 1.19 terlihat bahwa rata-rata skor Tingkat Kesukaan pada penilaian mutu

organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT jenis C (lontong mie), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT

A (schotel tempe). Rata-rata skor Tingkat Kesukaan PMT C lebih tinggi 8,49 dibandingkan PMT A.

Untuk sekolah ketiga (SDN Mekar Bakti), dari gambar 1.20 menunjukkan bahwa rata-rata skor Tingkat Kesukaan pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT jenis C (kroket singkong), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT B (nagasari ayam). Rata-rata skor Tingkat Kesukaan PMT C lebih tinggi 13,16 dibandingkan PMT B.

Setelah dilakukan uji One way

Anova pada skor tekstur PMT ini, hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor Tingkat Kesukaan PMT yang ditunjukkan oleh nilai F=4,654 dan p=0,011 dimana p<0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor Tingkat Kesukaan PMT pada jenis PMT B dan PMT C (p=0,015) (tabel 1.6).

Untuk sekolah kedua, hasil uji menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor Tingkat Kesukaan PMT yang ditunjukkan oleh nilai F=4,243 dan p=0,015 dimana p<0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor Tingkat Kesukaan PMT pada jenis PMT A dan PMT C (p=0,021) (tabel 1.6).

Sedangkan untuk sekolah ketiga, uji statistik One way Anova menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor Tingkat Kesukaan PMT yang ditunjukkan oleh nilai F=5,954 dan p=0,003 dimana p<0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor Tingkat Kesukaan PMT pada jenis PMT A dan

Page 13: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

13

PMT B (p=0,014) serta PMT B dan PMT C (p=0,007) (tabel 1.6).

Untuk tingkat kesukaan panelis, selain menggunakan uji One way Anova digunakan juga uji Cochran Q. Hasil uji di SD 1 (SDN Tegal Angus), menunjukkan bahwa hasil perhitungan statistic Cochran’s Q= 7,22 dan nilai signifikansi = 0,027 < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada tingkat kesukaan panelis terhadap ketiga jenis PMT tersebut, dengan jenis yang paling disukai adalah PMT jenis C atau risoles ubi kuning.

Untuk kelompok PMT di sekolah kedua, didapati bahwa nilai Cochran’s Q= 31,182 dan nilai signifikansi = 0,000 < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada tingkat kesukaan panelis terhadap ketiga jenis PMT tersebut, dengan jenis yang paling disukai adalah PMT jenis C atau lontong mie.

Sedangkan untuk sekolah ketiga, didapati bahwa nilai Cochran’s Q= 2,817 dan nilai signifikansi = 0,245 < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada tingkat kesukaan panelis terhadap ketiga jenis PMT tersebut, tetapi jenis yang paling

disukai adalah PMT jenis C atau kroket singkong.

Gambar 1.18 Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Tingkat Kesukaan PMT di SD 1

Gambar 1.19 Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Tingkat Kesukaan PMT di SD 2

Gambar 1.20 Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Tingkat Kesukaan PMT di SD 3

Page 14: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

14

Tabel 1.5 Skor Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Warna, Aroma, Rasa, Tekstur, dan Tingkat Kesukaan PMT di SD 1,2, dan 3

Jenis PMT Skor Warna (Sekolah 1)

F Sig. Mean N SD

PMT A 59,37 41 21,66

11,042 0,000 PMT B 76,29 41 22,51

PMT C 79,56 41 18,25

Total 71,74 123 22,54

Jenis PMT Skor Warna (Sekolah 2)

F Sig. Mean N SD

PMT A 64,03 88 26,57

8,712 0,000 PMT B 70,16 88 21,96

PMT C 78,48 88 20,11

Total 70,89 264 23,71

Jenis PMT Skor Warna (Sekolah 3)

F Sig. Mean N SD

PMT A 63,27 71 25,45

6,595 0,002 PMT B 61,77 71 26,93

PMT C 76,30 71 26,23

Total 67,11 213 26,89

Jenis PMT Skor Aroma (Sekolah 1)

F Sig. Mean N SD

PMT A 77,56 41 18,98

0,855 0,428 PMT B 83,24 41 20,01

PMT C 81,10 41 20,60

Total 80,63 123 19,85

Jenis PMT Skor Aroma (Sekolah 2)

F Sig. Mean N SD

PMT A 63,67 88 25,26

8,682 0,000 PMT B 74,08 88 20,21

PMT C 77,44 88 22,83

Total 71,73 264 23,52

Jenis PMT Skor Aroma (Sekolah 3)

F Sig. Mean N SD

PMT A 76,80 71 23,26

6,363 0,002 PMT B 64,59 71 23,64

PMT C 77,94 71 27,09

Total 73,11 213 25,34

Jenis PMT Skor Rasa (Sekolah 1)

F Sig. Mean N SD

Page 15: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

15

PMT A 79,39 41 21,10

2,559 0,082 PMT B 79,22 41 22,13

PMT C 88,29 41 18,96

Total 82,30 123 21,04

Jenis PMT Skor Rasa (Sekolah 2)

F Sig. Mean N SD

PMT A 74,57 88 23,80

6,310 0,002 PMT B 79,86 88 22,86

PMT C 86,24 88 18,43

Total 80,22 264 22,26

Jenis PMT Skor Rasa (Sekolah 3)

F Sig. Mean N SD

PMT A 81,42 71 23,24

5,323 0,006 PMT B 70,85 71 29,00

PMT C 83,82 71 22,92

Total 78,69 213 25,72

Jenis PMT Skor Tekstur (Sekolah 1)

F Sig. Mean N SD

PMT A 57,68 41 22,53

30,685 0,000 PMT B 82,93 41 15,53

PMT C 86,54 41 15,55

Total 75,72 123 22,16

Jenis PMT Skor Tekstur (Sekolah 2)

F Sig. Mean N SD

PMT A 68,99 88 22,22

2,587 0,077 PMT B 76,01 88 20,97

PMT C 89,50 88 100,76

Total 78,17 264 61,16

Jenis PMT Skor Tekstur (Sekolah 3)

F Sig. Mean N SD

PMT A 77,68 71 21,90

0,996 0,371 PMT B 77,35 71 20,26

PMT C 72,99 71 24,65

Total 76,00 213 22,12

Jenis PMT Skor Kesukaan (Sekolah 1)

F Sig. Mean N SD

PMT A 85,07 41 19,47

4,654 0,011 PMT B 74,02 41 25,28

PMT C 87,56 41 18,81

Page 16: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

16

Total 82,22 123 22,02

Jenis PMT Skor Kesukaan (Sekolah 2)

F Sig. Mean N SD

PMT A 76,31 88 24,62

4,243 0,015 PMT B 83,41 88 17,47

PMT C 84,80 88 19,46

Total 81,50 264 20,99

Jenis PMT Skor Kesukaan (Sekolah 3)

F Sig. Mean N SD

PMT A 84,13 71 24,58

5,954 0,003 PMT B 71,99 71 29,43

PMT C 85,15 71 21,18

Total 80,42 213 25,88

Tabel 1.6 Perbedaan Skor Penilaian Mutu Organoleptik

Menurut Warna, Aroma, Rasa, Tekstur, dan Tingkat Kesukaan PMT di SD 1, 2 dan 3 Skor Warna PMT (SD 1) Sig. Kesimpulan

PMT A PMT B

PMT C

0,001

0,000

Ada perbedaan

Ada perbedaan

PMT B PMT C 1,000 Tidak ada perbedaan

Skor Warna PMT (SD 2) Sig. Kesimpulan

PMT A PMT B

PMT C

0,237

0,000

Tidak ada perbedaan

Ada perbedaan

PMT B PMT C 0,052 Tidak ada perbedaan

Skor Warna PMT (SD 1) Sig. Kesimpulan

PMT A PMT B

PMT C

1,000

0,010

Tidak ada perbedaan

Ada perbedaan

PMT B PMT C 0,003 Ada perbedaan

Skor Aroma PMT (SD 1) Sig. Kesimpulan

PMT A PMT B

PMT C

0,594

1,000

Tidak ada perbedaan

Tidak ada perbedaan

PMT B PMT C 1,000 Tidak ada perbedaan

Skor Aroma PMT (SD 2) Sig. Kesimpulan

PMT A PMT B

PMT C

0,008

0,000

Ada perbedaan

Ada perbedaan

PMT B PMT C 0,990 Tidak ada perbedaan

Skor Aroma PMT (SD 3) Sig. Kesimpulan

Page 17: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

17

PMT A PMT B

PMT C

0,011

1,000

Ada perbedaan

Tidak ada perbedaan

PMT B PMT C 0,004 Ada perbedaan

Skor Rasa PMT (SD 1) Sig. Kesimpulan

PMT A PMT B

PMT C

1,000

0,164

Tidak ada perbedaan

Tidak ada perbedaan

PMT B PMT C 0,151 Tidak ada perbedaan

Skor Rasa PMT (SD 2) Sig. Kesimpulan

PMT A PMT B

PMT C

0,326

0,001

Tidak ada perbedaan

Ada perbedaan

PMT B PMT C 0,161 Tidak ada perbedaan

Skor Rasa PMT (SD 3) Sig. Kesimpulan

PMT A PMT B

PMT C

0,040

1,000

Ada perbedaan

Tidak ada perbedaan

PMT B PMT C 0,007 Ada perbedaan

Skor Tekstur PMT (SD 1) Sig. Kesimpulan

PMT A PMT B

PMT C

0,000

0,000

Ada perbedaan

Ada perbedaan

PMT B PMT C 1,000 Tidak ada perbedaan

Skor Tekstur PMT (SD 2) Sig. Kesimpulan

PMT A PMT B

PMT C

1,000

0,078

Tidak ada perbedaan

Tidak ada perbedaan

PMT B PMT C 0,427 Tidak ada perbedaan

Skor Tekstur PMT (SD 3) Sig. Kesimpulan

PMT A PMT B

PMT C

1,000

0,623

Tidak ada perbedaan

Tidak ada perbedaan

PMT B PMT C 0,722 Tidak ada perbedaan

Skor Kesukaan PMT (SD 1) Sig. Kesimpulan

PMT A PMT B

PMT C

0,063

1,000

Tidak ada perbedaan

Tidak ada perbedaan

PMT B PMT C 0,015 Ada perbedaan

Skor Kesukaan PMT (SD 2) Sig. Kesimpulan

PMT A PMT B

PMT C

0,072

0,021

Tidak ada perbedaan

Ada perbedaan

PMT B PMT C 1,000 Tidak ada perbedaan

Page 18: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

18

Skor Kesukaan PMT (SD 3) Sig. Kesimpulan

PMT A PMT B

PMT C

0,014

1,000

Ada perbedaan

Tidak ada perbedaan

PMT B PMT C 0,007 Ada perbedaan

Kesimpulan dan Saran Dari hasil analisis data

Riskesdas 2010, dapat disimpulkan bahwa rata-rata umur anak sekolah usia dasar yang berjumlah 1.698 orang di Provinsi Banten, paling banyak berusia 6 tahun yaitu 16,4%, dengan rata-rata usia adalah 8,91 tahun. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa paling banyak responden anak

usia sekolah dasar yang berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 51,7%. Dari hasil penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa paling banyak responden anak usia sekolah dasar yang bertempat tinggal di wilayah perkotaan yaitu sebesar 50,41%. Dari hasil penelitian terhadap anak usia sekolah dasar di Provinsi Banten dapat disimpulkan paling banyak yang masuk ke dalam status ekonomi kuintil 1 (ekonomi sangat rendah) yaitu sebanyak 24,7%. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa paling banyak responden anak usia sekolah dasar yang masuk ke dalam golongan ekonomi menengah keatas yaitu sebanyak 52,06%.

Dari hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa golongan bahan makanan yang paling banyak dikonsumsi pada waktu makan pagi oleh responden adalah dari golongan gula, sirup, dan konfeksioneri yaitu dengan rata-rata konsumsi 185,42 gram. Dari hasil penelitian juga disimpulkan bahwa asupan energi tertinggi dari makan pagi responden didapat dari golongan bahan makanan sumber karbohidrat (serealia dan olahannya) yaitu sebesar 250,43 kal. Sedangkan asupan protein tertinggi

dari makan pagi responden didapat dari golongan bahan makanan sumber protei hewani (daging, unggas dan olahannya) yaitu sebesar 16,08 gram.

Tidak ada perbedaan yang bermakna asupan energi dari makan pagi responden anak usia sekolah dasar 6-12 tahun di daerah desa kota di Provinsi Banten. Ada perbedaan yang bermakna asupan protein dari

makan pagi responden anak usia 6-12 tahun di daerah desa kota di Provinsi Banten. Ada perbedaan yang bermakna asupan energi dari makan pagi responden menurut golongan ekonomi menengah keatas dan menengah kebawah. Ada perbedaan yang bermakna asupan protein dari makan pagi responden menurut golongan ekonomi menengah keatas dan menengah kebawah.

Menurut penilaian mutu skor organoleptik, ada perbedaan yang bermakna skor warna pada kelompok PMT sekolah 1, sekolah 2 dan sekolah 3. Tidak ada perbedaan yang bermakna skor aroma pada kelompok PMT sekolah 1. Ada perbedaan yang bermakna skor aroma pada kelompok

PMT sekolah 2 dan 3. Tidak ada perbedaan yang bermakna skor rasa pada kelompok PMT sekolah 1. Ada perbedaan yang bermakna skor rasa pada kelompok PMT sekolah 2 dan 3. Ada perbedaan yang bermakna skor tekstur pada kelompok PMT sekolah 1, serta tidak ada perbedaan pada sekolah 2 dan sekolah 3. Ada perbedaan yang bermakna skor tingkat kesukaan pada kelompok PMT sekolah 1, sekolah 2 dan sekolah 3.

Page 19: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

19

Dari ke Sembilan jenis PMT, pada tiga kelompok PMT untuk tiga sekolah tersebut, risoles ubi kuning

adalah PMT yang paling disukai oleh panelis dari model PMT kelompok sekolah pertama. Lontong mie adalah PMT yang paling disukai oleh panelis dari model PMT kelompok sekolah kedua. Sedangkan kroket singkong adalah PMT yang paling disukai oleh panelis dari model PMT kelompok sekolah ketiga.

Berdasarkan penelitian ini, maka perlu dilakukan kembali uji daya terima dalam skala yang lebih besar pada penelitian di tahun ke dua

terhadap model PMT yang telah dibuat dalam uji pendahuluan sebelumnya untuk penyempurnaan kedepannya. Daftar Pustaka 1. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan, 2010. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010. Penerbit: Kemenkes RI. Jakarta.

2. Bharati P., Bharati S., et al. 2009. Growth and Nutritional Status of Preschool Children in India: rural-urban and gender differences. US National Library of Medicine National Institutes of Health. 33(1):7-21.

3. Hardiansyah. 2004. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI.

4. Judiono, dkk. (2003). Gizi Anak Sekolah. Jakarta: Bina Dinnakes.

5. Jukes, Matthew. The Long-Term Impact of Preschool Health and Nutrition on Education. Food and Nutrition Bulletin, vol. 26, no.2 (supplement 2) 2005, The United Nations University.

6. Kaziangan, H, Walque D, dan Alderman H. Educational and Health Impact of Two School Feeding Schemes: Evidence from a Randomized Trial in Rural Burkina Faso. Retrieved December 2008 from http://www.agecon.purdue.edu/news/seminarfiles/BurkinaSchoolFeeding_12_01_08.pdf

7. Khor, Geok Lin. Micronutrient Status and Intervention Programs in Malaysia. Food and Nutrition Bulletin, vol. 26, no.2 (supplement 2) 2005, The United Nations University.

8. Levinger, Beryl. School Feeding, School Reform, and Food Security: Connecting the Dots. Food and Nutrition Bulletin, vol. 26, no.2 (supplement 2) 2005, The United Nations University.

9. Louicaides, C. A., Chedzoy, S. M., Bennetett, N. 2003. Differences In Physical Activity Levels Between Urban And Rural School Children In Cyprus, Oxford Journal. 19(2):138-147.

10. Sediaoetama, A. D. (2006). Ilmu Gizi untuk Profesi dan Mahasiswa. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 2006.

11. Sigman, Marian, Shannon E. Whaley, Charlotte G. Neumann, Nimrod Bwibo, Donald Guthrie, Robert E. Weiss, Li-Jung Liang, and Suzanne P. Murphy. Diet Quality Affects The Playground Activities of Kenyan Children. Food and Nutrition Bulletin, vol. 26, no.2 (supplement 2) 2005, The United Nations University.

12. Sulistyoningsih, H. (2011). Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.

13. Tomlinson, Mark (2007, March). School Feeding in East and Southern Africa: Improving Food Sovereignty or Photo Opportunity? Equinet Discussion Paper Number 46. Retrieved April 8, 2008 from http://www.equinetafrica.org/bibl/results.php?keywords=0&wherefrom=pub

14. Van Stuijvenberg, Martha E. Using the School Feeding System as a Vehicle for Micronutrient Fortification: Experience from South Africa. Food and Nutrition Bulletin, vol. 26, no.2 (supplement 2) 2005, The United Nations University.

15. WFP (2004). School Feeding Programs: Why They Should be Scaled Up Now

16. WFP (2004). Improving Food and Nutrition Security Through Food for Education Programs in Africa 2004. Retrieved April 8, 2008 from http://www.wfp.org/food_aid/school_feeding/LearnMore_Publications.asp?section=12&sub_section=3

17. WFP, UNESCO and WHO (1999). School Feeding Handbook. Retrieved April 8,

Page 20: Model dan Implementasi PMT-AS di Wilayah Kabupaten Tangerang (Studi Multisenter)

Model dan Implementasi Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar (PMT-AS) di Wilayah Kabupaten Tangerang.

20

2008 from http://portal.unesco.org/education/en/ev.php-URL_ID=36315&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.html

18. WHO. Energy and Protein Requirements. World Health Organization, Geneva, 1985. (WHO Technical Report Series No. 724).

19. Wikipedia. (2012). Banten, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Banten

20. Yayasan Institut Danone. 2010. Sehat & Bugar Berkat Gizi Seimbang. Penerbit: PT. Gramedia. Jakarta.

21. Yuniastuti, A. 2008. Gizi dan Kesehatan. Penerbit: Graha Ilmu. Yogyakarta.