mita maryam m 260110070088 asma bronkhial
TRANSCRIPT
Komunikasi Sel Pada Penyakit
Asma BronkhialUntuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Biologi Sel dan Molekular
Disusun Oleh:
Mita Maryam M.
260110070088
Fakultas Farmasi Universias Padjadjaran
Jatinangor
2009
Komunikasi Sel Pada Penyakit Asma Bronkhial
1. Komunikasi Sel
Sel adalah bagian terkecil makhluk hidup yang berdiri sendiri.
Independen atau berdiri sendiri artinya harus mampu menangkap sinyal
yang ada di luar tubuhnya (sel) dan meneruskan ke dalam tubuhnya serta
memberikan respon terhadapnya. Berbagai jenis sinyal terdapat di luar sel
seperti sinyal kimia, cahaya (foton), panas, dsb. Walaupun demikian,
mekanisme pengenalan dan penerusan sinyal (transduksi sinyal) adalah
serupa. Pertama, sinyal tersebut dikenali oleh molekul protein yang ada di
permukaan sel. Protein ini dari jenis reseptor, protein pigmen, kanal ion,
dsb. Sinyal senyawa kimia, berikatan dengan protein reseptor, sinyal
cahaya dalam bentuk foton menubruk pigmen dalam protein seperti
rhodopsin, ion kalsium dan natrium membuka protein kanal, dsb. Reaksi
ini menimbulkan perubahan pada struktur lokal protein-protein tersebut
pada bagian yang terdapat dalam sel. Setelah sinyal ditangkap dan
informasinya masuk ke dalam sel, masih ada pekerjaan besar untuk
menghantarkannya ke pusat pemrosesan (CPU)-nya sel yaitu inti sel
(Farida, 2008).
Setelah protein reseptor menangkap sinyal, bagian dalam protein
itu dari meneruskan sinyal ke protein1 disampingnya, protein1 ini menjadi
tereksitasi dan mengalami fosforilasi atau penambahan asam fosfat pada
asam amino tertentu seperti tyrosine dan threonine. Protein2 yang berjaga
di bawah protein1 tadi berikatan dengan protein1 lalu sebagai tanda
bahwa dirinya telah menerima informasi sinyal, dia pun tereksitasi dan
menjadi terfosforilasi. Demikian berikutnya hal ini berulang sampai
akhirnya bola pun sampai ke inti sel berikutnya (Farida, 2008).
2. Definisi Asma Bronkhial
Asma bronkhial merupakan salah satu Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK) yang terdiri dari:
o Asma Bronkial (asma/bengek)
o Bronkitis kronis (radang saluran napas bagian bawah)
o Emfisema paru (penurunan daya elastisitas paru)
Asma bronkhial terjadi akibat spasmus otot bronkhus yang disertai
serangan sesak nafas akut secara berkala, mudah tersengal-sengal, dan
batuk dengan bunyi khas. Ciri lain adalah hipersekresi dahak yang
biasanya lebih parah pada malam hari dan meningkatnya ambang
rangsang bronkhi terhadap rangsangan alergis maupun non alergis
(Guyton,1987).
Obstruksi saluran nafas pada asma umumnya bersifat reversibel
dan berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam. Diantara
dua serangan, pasien tidak menunjukkan gejala apapun (Rahardja dan
Tan, 2007).
Yang utama secara klinis pada asma bronkhial adalah kesulitan
pernapasan yang parah dengan kurangnya oksigen dalam jaringan.
Penyaluran oksigen ke dalam darah menjadi sedemikian lemah sehingga
penderita membiru kulitnya (cyanosis). Sebaliknya, pengeluaran napas
dipersulit dengan meningkatnya kadar karbondioksida dalam darah.
Akibat spasmus otot polos bronkhioli dan bronkhus kecil dan akibat
adanya lendir yang kental dalam lumen bronkhus yang menyempit
ini,akan terjadi ekspirasi yang sulit dan berdengik serta diperlambat
(Sylvia & Lorraine, 2006).
3. Penyebab Penyakit Asma Bronkhial
Serangan asma disebabkan oleh peradangan steril kronis dari
saluran nafas dengan mastcells dan granulosit eosinofil seagai pemeran
penting. Pada penderita asma, mastcell bertambah banyak di sel-sel epitel
serta mukosa dan melepaskan mediator vasoaktif kuat pula, seperti
histamin, serotonin, dan bradikinin, yang mencetuskan reaksi asma akut.
Prostaglandin dan leukotrien mulai dibentuk untuk dilepaskan kemudian.
Diperkirakan bahwa mastcell dapat didegranulasi pula oleh rangsangan
aspesifik,misalnya pada hawa dingin pelat darah bisa menggumpal yang
erakibat terbentuknya IgE atau IgM (Mutschler, 1991).
Disamping itu juga terdapat hiperreaktifitas bronchi terhadap
berbagai stimuli spesifik yang dapat memacu serangan. Stimuli terkenal
adalah zat-zat alergen, terutama partikel-partikel tinja dari tungau, pollen,
spora jamur (Aspergillus fumigatus), zat-zat perangsang (antara lain asap
rokok, uap, debu). Begitu pula hawa dingin (kering), emosi, kelelahan, dan
infeksi virus (misalnya rhinovirus dan virus parainfluenza), juga obat-obat
tertentu (asetosal, β-lockers, NSAIDs) (Guyton,1987).
Selain itu, kontak dengan zat-zat tertentu (misalnya bahan-bahan
kimia) di lingkungan pekerjaan dapat memicu timbulnya asma. Hal itu
disebabkan karena zat-zat tersebut dapat menimbulkan antibodi IgE
spesifik. Alergen tersebut mula-mula akan menyebabkan sensibilisasi
dengan pembentukan imunoglobulin E. Pada kontak alergen berikutnya,
alergen yang baru masuk akan bereaksi dengan antibodi Ig E pada
mastosit dan ini akan menyebabkan pembebasan zat mediator. Mediator
ini disatu pihak akan menyebabkan penciutan otot polos bronkhus,dipihak
lain karena peradangan menyebabkan pembengkakan udem serta diskrini
dan hiperkrini,artinya pembentukan terlalu anyak lendir yang kental dan
bening (Mutschler, 1991).
Mediator (zat perantara) yang berkhasiat vasokonstriktif terhadap
otot polos selain prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien juga
mencakup neuropeptida dan PAF (Platelet Activating Factor). PAF
berdaya menstimulir chemotaksis,artinya dapat menarik granulosit ke
tempat peradangan. Senyawa ini memegang peranan penting pada
proses patogenesisa asma (Rahardja dan Tan, 2007).
Di membran mukosa saluran napas dan alveoli terdapat banyak
makrofag dan limfosit. Makrofag berperan penting pada pengikatan
pertama alergen. Makrofag juga dapat melepaskan mediator peradangan
seperti prostaglandin, tromboksan, leukotrien, dan PAF. Aktifitas makrofag
dan limfosit tersebut dihambat oleh kortikosteroid,tetapi tidak oleh
adrenergik (Rahardja dan Tan, 2007).
4. Mekanisme Terjadinya Asma Bronkhial
Asma yang tidak disebabkan oleh alergi, mempunyai dasar
mekanisme patologik. Faktor utama adalah terganggunya keseimbangan
antara sistem saraf simpatis dan parasimpatis yang dlam halini tonus
parasimpatikus naik. Ini menyebabkan keterangsangan berlebihan sistem
bronkhial terhadap berbagai faktor lingkungan seperti asap rokok,udara
dingin, kaut, sulfur dioksida, amonia, dll. Oleh faktor-faktor ini dan akibat
stimulasi psikik atau penyesuaian, akan terjadi bronkhokonstriksi secara
reflex. Masing-masing tahap refleks bronkhokonstriksi digambarkan
secara skematis sebagai berikut:
(Mutschler, 1991).
Oleh karena adanya rangsangan dari partikel-partikel tersebut
secara terus menerus, maka timbul mekanisme rambut getar dari saluran
napas yang bergetar hingga partikel tersebut terdorong keluar sampai ke
arah kerongkongan yang seterusnya dikeluarkan dari dalam tubuh melalui
reflek batuk (Haryudi, 2007).
Pada penderita asma bronkial karena saluran napasnya sangat peka
(hipersensitif) terhadap adanya partikel udara ini, sebelum sempat partikel
tersebut dikeluarkan dari tubuh, maka jalan napas (bronkus) memberi
reaksi yang sangat berlebihan (hiperreaktif), maka terjadilah keadaan
dimana:
Otot polos yang menghubungkan cincin tulang rawan akan
berkontraksi/memendek/mengkerut
Produksi kelenjar lendir yang berlebihan
Bila ada infeksi, misal batuk pilek (biasanya selalu demikian) akan
terjadi reaksi sembab/pembengkakan dalam saluran napas
(Haryudi, 2007)
Receptor Tyrosine Kinase (RTK) Merupakan protein dengan single
transmembrane yang memiliki extracellular ligand binding domain dan
juga memiliki intracellular tyrosinekinase/catalytic domain. Contoh reseptor
tyrosine kinase adalah receptor insulin, reseptor growth factors (PDGF,
EGF, NGF, etc), dan receptor cytokines. Reseptor yang berhubungan
dengan penyakit asma bronchial adalah reseptor cytokines yang berfungsi
mengontrol sintesis dan pelepasan berbagai mediator inflamasi (Sikawati,
2008). Transduksi sinyal pada Reseptor Tirosin Kinase dapat dijelaskan
pada bagan berikut:
(Sikawati, 2008).
Transduksi sinyal melalui Jak?Stat pathway
(Sikawati, 2008). Cytokines adalah protein dengan BM rendah (10-30 kDa) yang
memperantarai bermacam-macam fungsi yang terkait dengan sistem
imunitas. Sebagian besar sel-sel dalam tubuh dapat menghasilkan dan
berespon terhadap sitokin sebagai “alat komunikasi”.
(Sikawati, 2008).
Diduga bahwa reseptor akan bereaksi lebih kuat terhadap
rangsangan yang disebutkan dan menyebabkan rangsangan vagus. Ini
akan menyebabkan dibebaskannya asetilkolin, yang setelah bereaksi
dengan reseptor molekularnya akan menstimulasi otot polos bronkhus.
Kemungkinan pada saat yang bersamaan terjadi juga degranulasi
mastosit. Akibat dari reaksi ini juga terjadi obstruksi saluran nafas
(Mutschler, 1991).
Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran
napas. Akibatnya menjadi sesak napas, batuk keras bila paru mulai
berusaha untuk membersihkan diri, keluar dahak yang kental bersama
batuk, terdengar suara napas yang berbunyi yang timbul apabila udara
dipaksakan melalui saluran napas yang sempit. Suara napas tersebut
dapat sampai terdengar keras terutama saat mengeluarkan napas. Yang
paling ditakutkan adalah bila proses pertukaran gas O2 dan CO2 pada
alveolus terganggu suplainya untuk organ tubuh yang vital (tertutama
otak) yang sangat sensitif untuk hal ini, akibatnya adalah: muka menjadi
pucat, telapak tangan dan kaki menjadi dingin, bibir dan jari kuku
kebiruan, gelisah dan kesadaran menurun (Haryudi, 2007).
5. Pengobatan Penyakit Asma Bronkhial
Suatu terapi asma yang rasional dapat berdasarkan reaksi antigen-
antibodi dan ini merupakan tempat kausal, atau dapat pula mengurangi
atau menghamat akibat reaksi antigen –antibodi seperti pembebasan
mediator refleks konstriksi bronkhus. Dalam hal ini penanganan hanya
simpthomatis (Mutschler, 1991).
5.1. Terapi Kausal
Suatu terapi kausal mungkin dilakukan dengan:
Menjauhkan alergen dan
Desensibilisasi atau hiposensibilisasi
Menjauhi alergen hanya dapat dilakukan dalam waktu yang terbatas
misalnya dengan tinggal dipegunungan atau tepi pantai (Mutschler, 1991).
Pada Desensibilisasi atau hiposensibilisasi sebagai terapi kausal
kedua, tujuannya adalah membuat pasien tidak peka terhadap alergen
dan ini hanya bermanfaat pada asma karena alergi. Mula-mula dicari
terlebih dahulu alergen yang bertanggung jawab pada timbulnya asma,
kemudian alergen ini dalam bentuk vaksin khusus disuntikkan secara
subkutan dengan dosis meningkat (Mutschler, 1991).
Mekanisme kerjanya adalah bahwa dengan diberikannya antigen
secara terus menerus, disamping antibodi IgE juga terbentuk antibodi IgG
yang semakin lama semakin banyak. Antibodi ini tidak ereaksi dengan sel
mastosit melainkan bersirkulasi dalam darah. Antibodi ini akan
menangkap alergen dan dengan demikian akan mencegah reaksi alergen
tersebut dengan antibodi IgE yang terdapat dalam mastosit, seperti
diperlihatkan pada gambar berikut:
(Mutschler, 1991).
5.2. Terapi Simptomatik
5.2.1 Blokade pembebasan mediator
Sebagai penghambat pembebasan mediator digunakan asam
kromoglikat.sebagian kerja kelompok β-simpatomimetika dan turunan
xanthin juga didasarkan pada hambatan degranulasi mastosit. Jika
digunakan secara profilaktik senyawa ini dapat mencegah reaksi alergi
segera yang disebabkan histamin, demikian pula obstruksi bronkhus yang
tidak timbul segera dan diinduksi oleh leukotrien (Mutschler, 1991).
5.2.2. Bronkhospasmolitika
Yang digunakan sebagai bronkhopasmolitika adalah:
Simpatomimetika langsung dan tak langsung
Parasimpatolitika
Antihistamin
Turunan xanthin
β2-simpatomimetika dengan merangsang reseptor β2 akan
menyebabkan relaksasi otot bronkhus dan dengan demikian
menanggulangi bronkhospasmus. Senyawa ini juga merangsang gerakan
flimer silia sehingga bersihan mukus silier meningkat. Dengan
menghambat pembebasan mediator, senyawa ini bekerja profilaktik
terhadap asma. Dari simpatomimetika tidak langsung,yang digunakan
untuk asma bronkhial adalah efedrin. Efedrin bekerja membebaskan
adrenalin dari granul cadangan di saraf simpatikus. Jadi kerja antiasmatik
sesungguhnya dilakukan oleh noradrenalin (Mutschler, 1991).
Parasimpatolitika walaupun bekerja bronkhospasmolitik, tetapi jika
diberikan dalam sediaan oral yang dapat diabsorpsi akan memperkuat
diskrini dan mempersulit pengeluaran riak. Ini terjadi karena kerjanya
menghambat sekresi bronkhus dan melumpuhkan epitel penggerak.
Antihistamin pada asma tidak mempunyai efek yang cukup, walaupun
histamin merupakan salah satu mediator yang dibebaskan pada
degranulasi mastosit. Untuk indikasi ini antihistamin dapat digunakan
dalam bentuk kombinasi dengan obat lain. Turunan xanthin, teofilin
demikian juga garamnya dengan basa organik yang larut dalam
air,misalnya dengan etilendiamin seperti pada β-simpatomimetika
merupakan bronkhospasmolotika yang kuat (Mutschler, 1991).
5.2.3 Glukokortikoid
Kortisol dan turunannya mengurangi pembengkakan mukosa serta
infiltrasi radang dan diskrini. Disamping itu, obat ini meninggikan juga
kepekaan reseptor β-adrenergik terhadap obat β-simpatomimetika. Pada
dosis tinggi bekerja bronkhospasmolitik juga (Mutschler, 1991).
5.2.4 Ekspektoransia
Jika diskrini dan hiperkrini berhasil diperbaiki dengan
mengencerkan lendir yang kental sehingga lebih mudah dikeluarkan,maka
penyebab terjadinya obstruksi bronkhus dan batuk dapat dihilangkan
(Mutschler,1991).
DAFTAR PUSTAKA
Farida, Resty.2008. Pembelahan sel, sinyal kimia, sinyal sel. http://www.beritaiptektopik.com/sinyal_kimia_sel/file.doc.
Guyton, Arthur C.1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Haryudi. 2007. asma bronkhial. http://www.medicastore.com/infoasma/
asma_bronkhial.html.
Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi.Edisi
Kelima. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Rahardja, Kirana dan Tan Hoan Tjay. 2007. Obat-obat Penting. Edisi
Keenam. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Sikawati, Zullie.2008. Receptor Tyrosine Kinase (RTK).http://www.
zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp.../tyrosine-kinase-receptor1.pdf
Sylvia, Price dan Lorraine M. Wilson.2006.Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit.Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran