miastenia gravis & hubungannya dgn autoimmune thyroid disorder - a mawuntu

Upload: arthurmawuntu

Post on 13-Oct-2015

105 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

This article is in Bahasa Indonesia. It discussed the relationship between two autoimmune disorders, myasthenia gravis and autoimmune thyroid disorder (AITD)

TRANSCRIPT

REFERAT IPD

REFERAT IPD

23 Juni 2010

Miastenia Gravis dan Hubungannya dengan Penyakit Tiroid AutoimunPenyajiDr. Andrie Gunawan

Dr. Arthur H. P. Mawuntu

Dr. Ida Ratna Nurhidayati

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

JAKARTA 2010PENDAHULUANPenyakit autoimun adalah penyakit yang diakibatkan oleh aktivitas berlebihan respon imun tubuh terhadap zat dan jaringan yang normal berada di dalam tubuh seseorang. Dengan kata lain, tubuh menyerang sel tubuh sendiri. Sistem imun salah mengenali beberapa bagian tubuh sebagai patogen (zat asing) dan menyerangnya. Hal ini dapat terbatas pada organ tertentu maupun berbagai organ di dalam tubuh. Kita mengenal berbagai penyakit autoimun termasuk miastenia gravis. Miatenia gravis merupakan salah satu penyakit autoimun yang menyerang susunan saraf, khususnya taut neuromuskular. Kaskade patogenesis yang menyebabkan gangguan transmisi neuromuskular pada miastenia gravis telah cukup dimengerti. Meskipun demikian pemicu miastenia belum dipahami benar.Penyakit-penyakit autoimun mungkin memiliki keterkaitan satu sama lain. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara suatu penyakit autoimun dengan penyakit autoimun lainnya, salah satunya adalah penelitian mengenai hubungan antara penyakit autoimun miastenia gravis (MG) dan penyakit tiroid autoimun (AITD/autoimmune thyroid disease).Makalah ini akan membahas tentang miastenia gravis secara umum dan hubungannya dengan penyakit tiroid autoimun.

MIASTENIA GRAVIS

Sejarah

Jolly pada tahun 1895 ialah orang pertama yang menggunakan istilah miastenia gravis. Ia menemukan bahwa pada pasien MG terjadi kelemahan (pseudoparalytica) yang bisa dipicu dengan stimulasi faradik berulang pada saraf motorik yang mempersarafi otot terkait. Ia juga menemukan bahwa otot yang mengalami kelemahan tersebut masih berespon terhadap stimulasi galvanik langsung di membrannya. Jolly kemudian menganjurkan penggunaan fisostigmin sebagai terapi. Pada tahun 1905, Buzzard mempublikasikan penemuan analisis klinikopatologis mengenai penyakit tersebut. Menurut Buzzard, pada MG terjadi abnormalitas timus dan infiltrasi limfosit (lymphorrhages) pada otot. Ia mempostulasikan bahwa terdapat agen autotoksik yang menyebabkan kelemahan otot, lymphorrhages, dan lesi pada timus. Ia juga menyebutkan hubungan erat antara MG dan penyakit Grave (Graves disease = GD). Pada tahun 1973, Patrick dan Lindstrom menyimpulkan bahwa MG merupakan penyakit autoimun.Etiologi dan PatogenesisPatrick dan Lindstrom di tahun 1973 menunjukkan bahwa kelinci yang memperoleh injeksi protein reseptor asetilkolin (AChR) berulang yang didapat dari belut elektrik akan mengalami kelemahan otot. Fambrough dkk menunjukkan bahwa defek yang mendasar pada MG diakibatkan oleh berkurangnya AChR pada membran postsinaptik taut saraf otot.

Berkurangnya jumlah reseptor asetilkolin dan aktivitas kompetitif dari antibodi anti-AChR menyebabkan potensial lempeng ujung (end-plate) menjadi tidak adekuat sehingga tidak mampu membangkitkan potensial aksi. Akibat blokade transmisi yang terjadi pada banyak paut saraf otot terjadi pengurangan kekuatan kontraktilitas otot. Defisiensi ini pertama kali terlihat pada otot okular dan kranial, yang merupakan daerah dengan otot yang aktif terus-menerus dan memiliki sedikit AChR per unit motor.Antibodi terhadap protein AChR ditemukan pada lebih >85% pasien miastenia umum (generalized myastehenia gravis = GMG) dan 60% pasien miastenia okular (ocular myasthenia gravis = OMG).

Transmisi neuromuskular mungkin terganggu melalui beberapa jalur:

1. Antibodi dapat memblok ikatan antara ACh dengan AChR

2. IgG serum pada pasien MG menginduksi 2 3 kali lipat laju degradasi AChR akibat dari kemampuan antibodi berikatan dengan reseptor sehingga membentuk gumpalan pada membran otot dan masuk ke dalam melalui proses endositosis dan mengalami degradasi.

3. Antibodi menyebabkan destrusi lipatan post sinaptik yang dimediasi komplemen

Proses kedua dan ketiga menyebabkan berkurangnya jumlah AChR pada sinaps.

Meski bukti menunjukkan bahwa mekanisme autoimun bertanggung jawab terhadap gangguan fungsi otot pada MG, namun sumber respon autoimun tersebut masih belum terjelaskan. Karena kebanyakan pasien MG memiliki abnormalitas timus dan respon baik terhadap timektomi, maka diduga bahwa reaksi limfoid pada kelenjar timus ikut terlibat dalam patogenesis MG. Sel T dan B dari timus miastenik responsif terhadap AChR. Scadding dkk menunjukkan bahwa limfosit timus pada pasien MG mampu mensintesis antibodi anti-AChR (baik secara kultur maupun spontan).Manifestasi Klinis

Pada MG terlihat adanya kelelahan atau penurunan kekuatan pada otot-otot yang mengalami aktivitas berulang atau menetap, akibatnya terjadi paresis bertahap, dan dengan istirahat terjadi perbaikan. Keluhan awalnya sering melibatkan otot kelopak mata dan penggerak bola mata, dan juga bisa melibatkan otot wajah, rahang, dan leher. Jarang keluhan awal terjadi di ekstremitas. Kelumpuhan otot-otot pengggerak bola mata dan ptosis (kelemahan saat membuka mata) biasanya disertai dengan kelemahan saat menutup mata. Diplopia diakibatkan oleh kelemahan asimetris beberapa otot pada kedua mata. Pada tahap lanjut, penyakit dapat menyebar hingga ke otot-otot anggota gerak, batang tubuh, dan pernafasan.

Epidemiologi

Insidens tahunan MG adalah 1 2 kasus per 100.000 penduduk sedangkan prevalensinya mencapai 20 50 per 100.000 penduduk. Distribusinya berhubungan dengan usia dan jenis kelamin. Kasus MG paling banyak ditemukan pada dua kelompok umur. Kelompok pertama adalah pada dekade ke dua dan ke tiga sedangkan kelompok kedua pada dekade ke enam dan ke tujuh. Di kelompok pertama, kasus didominasi oleh perempuan sedangkan di kelompok ke dua oleh laki-laki. Kasus MG jarang ditemukan pada anak berusia 95%) daripada RNS. Walaupun demikian, teknik SF-EMG memerlukan keterampilan khusus. SF-EMG digunakan untuk mengukur letupan relatif (relative firing) dari serat-serat otot yang berdekatan yang merupakan satu unit motorik. Variasi antar serat-serat otot ini disebut jitter. Pada MG terjadi peningkatan jitter atau terjadi blok cetusan dari satu serabut otot yang dimiliki oleh unit motorik yang sama. Tes ini memerlukan kerjasama yang tinggi dari pasien, sebab memerlukan kontraksi otot yang tetap pada amplitudo yang sama untuk mengisolasi cetusan serabut otot tunggal dari unit motorik yang sama. Perlu diingat juga bahwa tes ini tidak spesifik dan bisa abnormal pada sejumlah gangguan neuroatik atau miopatik. Jadi evaluasi klinis dan pemeriksaan elektrodiagnostik lain juga masih diperlukan untuk meningkatkan ketepatan diagnosis. Kecepatah hantar saraf (KHS) dan latensi distal (distal latency/ DL) normal kecuali terjadi bersamaan dengan neuropati.Tes edrofonium (Tensilon) dan Neostigmin

Tes edrofonium (Tensilon) dan neostigmin memiliki nilai diagnostik yang setara dengan tes elektrodiagnostik. Obat-obat ini merupakan inhibitor antikolinesterase yang memperpanjang usia asetilkolin sehingga memperbesar efeknya di sinaps. Akibatnya kekuatan otot pasien MG mengalami perbaikan. Setelah edrofonium diinjeksikan secara intravena terlihat perbaikan klinis dari ptosis, pergerakan ekstraokular, fungsi orofaring, abduksi lengan dan bahu, atau kapasitas vital paru yang menetap selama 4 hingga 5 menit. Penggunaan neostigmin terkadang dipilih akibat durasinya yang lama. Neostigmin diinjeksikan secara intramuskular. Setelah injeksi, perbaikan terjadi 10-15 menit kemudian, mencapai puncak pada menit ke-20, dan menetap hingga 1 jam.

Hasil negatif tidak menyingkirkan MG, namun merupakan nilai yang cukup kuat untuk melawan diagnosis tersebut. Sayangnya tes tersebut membawa risiko terjadinya fibrilasi ventrikel dan henti jantung, sehingga tes tersebut harus dilakukan di tempat dengan emergency support yang dapat diakses dengan mudah.

Pengukuran Antibodi Reseptor Serum

Deteksi antibodi anti-AChR merupakan tes dengan sensitivitas dan spesifisitas tinggi terhadap diagnosis MG. Antibodi serum terhadap AChR dapat ditemukan pada 80-90% pasien GMG dan sekitar 60% OMG. Pasien dengan serum antibodi anti-AChR negatif tidak berbeda secara klinis dan elektrodiagnostik dari mereka yang positif. Tes antibodi AChR negatif yang menetap sering ditemukan pada pasien OMG. Pasien dengan timoma dan GMG berat hampir selalu seropositif.

Pasien seronegatif dikatakan berhubungan dengan produksi antibodi terhadap epitop yang tidak biasa yang berlokasi pada atau dekat dengan AChR sehingga memerlukan tes khusus. Baru-baru ini, mayoritas kasus tersebut diduga akibat adanya antibodi IgG dengan target langsung terhadap muscle-specific thyrosine kinase (MuSK). Enzim ini berperan dalam mempertahankan struktur normal membran postsinaptik dan mengatur AchR. Walaupun demikian MuSk mungkin terutama berperan dalam perkembangan diferensiasi sinaps.

Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Lain

CT scan toraks secara rutin penting pada pasien yang diduga MG untuk mendeteksi pembesaran timus atau timoma. Tes fungsi tiroid terkadang juga diperlukan, dan pada beberapa kasus dilakukan MRI (magnetic resonance imaging) kepala dan orbita untuk menyingkirkan lesi kompresi dan inflamasi saraf kranial dan otot-otot mata.

Terapi

Antikolinesterase

Obat-obat dengan hasil baik untuk mengurangi kelemahan MG adalah neostigmin (Prostigmin) dan piridostigmin (Mestinon). Piridostigmin oral diberikan dengan dosis 30 90 mg/ 6 jam dan neostigmin oral 7,5 45 mg/2 6 jam.

Pada kasus yang manifestasi klinisnya ringan dan tanpa tumor timus, kasus remisi parsial setelah timektomi, serta OMG, penggunaan obat ini mungkin bisa diberikan dalam dosis tunggal untuk beberapa waktu. Meski obat-obat ini jarang meredakan gejala secara sempurna (biasanya gejala sisa berupa keluhan okular), kebanyakan pasien mapu kembali menjalankan aktivitasnya.Kortikosteroid

Kortikosteroid jangka panjang biasanya efektif pada pasien MG dengan gejala sedang hingga berat/umum yang berespon tidak adekuat terhadap obat antikolinesterase. OMG dapat dikontrol dengan pemberian kortikosteroid berupa prednison oral 15 20 mg/hari. Namun demikian, harus dipikirkan pula efek samping pada penggunaan steroid jangka panjang, terutama pada anak, atau pasien dengan diabetes yang tidak terkontrol. Prednison bisa dimulai dengan dosis 15 20 mg/hari hingga 50 60 mg/hari. Perbaikan dicapai lambat (beberapa minggu).Azathioprine (Imuran)

Azatioprin biasanya digunakan bersama dengan terapi steroid, atau dapat digunakan tunggal pada pasien yang tidak toleransi atau gagal respon dengan prednison. Terapi dimulai dengan 50 mg (1 tablet) 2x/hari selama beberapa hari; jika ditoleransi dosis dapat dinaikkan hingga 2-3 mg/kg/hari (150-250 mg/hari). Perbaikan terjadi lebih lambat, bahkan dapat bertahun-tahun. Fungsi hati dan hitung sel darah harus diperiksa rutin.Plasma Exchange dan IVIgPada MG yang refrakter terhadap terapi antikolinesterase dan prednison, atau selama perburukan akut, dapat dipertimbangkan plasma exchange dan IVIg. Plasmafaresis 2-3,5 l setiap kali (total 125 mL/kg) yang dilakukan selama satu minggu biasanya cukup efektif. Dikatakan bahwa setiap pertukaran 2 l mampu mengeluarkan 80% antibodi yang bersirkulasi, dan direfleksikan dengan berkurangnya kadar antibodi ACh dalam 3 5 hari. Imunoglobulin intravena (intravenous immunoglobulin = IVIg) juga bisa digunakan untuk mengontrol MG yang mengalami perburukan akut. Dosis 2 g/kg diberikan dalam dosis terbagi selama 3-5 hari. Beberapa studi menunjukkan bahwa IVIg ekuivalen dengan plasmafaresis.

Timektomi

Operasi dilakukan elektif dan tidak pada keadaan akut. Remisi setelah timektomi sekitar 25% dengan catatan bahwa operasi dilakukan dalam 1 2 tahun setelah onset ppenyakit. Respon terhadap timektomi biasanya baru dicapai dalam beberapa bulan sampai maksimal tiga tahun. Jika memungkinkan, operasi sebaiknya ditunda hingga pubertas karena pentingnya kelenjar timus dalam perkembangan sistem imunitas. Timektomi juga diindikasikan pada pasien dengan diagnosis timoma melalui CT scan.

Krisis Miastenik

Krisis miastenik adalah adanya perburukan MG yang cepat, dan mampu menyebabkan kegagalan pernapasan dan kuadriparesis dalam beberapa jam. Infeksi pernapasan atau penggunaan berlebihan obat sedatif yang bekerja menghambat transmisi neuromuskular dapat mempresipitasi krisis miastenik. Kegagalan pernapasan biasanya ditandai dengan pengurangan kapasitas vital, yang sering disertai dengan ansietas, diaforesis, atau tremor. Jika terjadi kegagalan diafragma, pergerakan dinding dada dan abdomen menjadi paradoks.PENYAKIT TIROID AUTOIMUN (AITD)

Penyakit tiroid autoimun (AITD) adalah penyakit autoimun yang menyebabkan stimulasi produksi hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis) atau mengakibatkan kerusakan kelenjar dan defisiensi hormon (hipotiroidisme). AITD yang dikenal antara lain adalah penyakit Grave (Graves disease = GD) dan tiroiditis Hashimoto (Hashimotos thyroiditis = HT). Penyakit Grave

Penyakit Grave adalah penyakit autoimun dengan aktivitas kelenjar tiroid berlebihan sehingga menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan. Kelebihan hormon tiroid menyebabkan ketidakseimbangan metabolik yang dikenal dengan hipertiroidisme dan tirotoksikosis. Sekitar 2% dari populasi perempuan menderita GD. Insiden perempuan:laki-laki adalah 5 10:1. Sekitar 20 25% pasien GD juga mengalami oftalmopati Grave (penonjolan salah satu atau kedua bola mata) yang disebabkan peradangan otot-otot penggerak bola mata akibat diserang oleh autoantibodi.Gambaran klinis GD sebagian besar berhubungan dengan hipertiroidisme meskipun demikian terdapat setidaknya dua tanda klinis yang tidak berhubungan dengan itu yaitu eksoftalmus dan miksedema pretibial. Kedua tanda ini ditemukan hanya pada GD.

Intensitas gejala GD sering meningkat secara bertahap untuk waktu yang lama sebelum pasien akhirnya didiagnosis GD. Hipertiroidisme pada GD menyebabkan gambaran klinis yang cukup bervariasi. Gambaran klinis tersebut mencakup:

Goiter (pembesaran tiroid) : bila tiroid membesar, struktur ini bisa menekan n. laringeus rekurens sehingga menyebabkan paralisis pita suara yang kemudian menyebabkan disfonia dan stridor respiratorik. Sindron Honer juga bisa terjadi akibat penekanan saraf simpatis.

Mudah berkeringat.

Intoleransi panas.

Gangguan kardiovaskular : gangguan kardiovaskular mencakup hipertensi, peningkatan denyut nadi, dll.

Efek pada tulang : Hipertiroidisme berhubungan dengan peningkatan remodelling tulang, penurunan densitas tulang, osteporosis, dan peningkatan risiko fraktur. Kelemahan otot : Kelemahan otot biasanya sering terjadi pada otot-otot besar. Kelemahan ini jarang menjadi keluhan utama dan lebih sering muncul setelah usia 40 tahun. Degenerasi otot. Efek pada susunan saraf : memberi gambaran klinis bermacam-macam seperti paralisis periodik hipokalemia, neuropati jebakan akibat penekanan saraf oleh miksedema pretibial, neuropati tirotoksik, serta gangguan gerak. Ensefalopati tirotoksik sangat jarang ditemukan. Efek psikiatrik : Efek ini masih dipertentangkan. Beberapa efek yang dilaporkan adalah ansietas, iritabilitas, hiperaktivitas, agitasi, kegelisahan, kegugupan, serangan panik, insomnia, dll. Hiperrefleksia. Tremor : Tremor biasanya halus dan terlihat saat istirahat. Tremor mungkin terjadi akibat peningkatan kadar beta adrenergik atau peningkatan metabolisme dopamin. Penurunan berat badan. Peningkatan nafsu makan. Nafas pendek.

Rambut yang halus dan tipis. Jari Plummer, dll.

Gejala yang sangat sugestif untuk hipertiroidisme adalah perubahan reaksi terhadap suhu luar yang menyebabkan penderitanya lebih menyukai air dingin, suhu dingin, berpakaian longgar, dan tidak suka air hangat. Gambaran klinis lain yang juga sensitif adalah keringat berlebihan, denyut nadi yang kuat saat tidur, serta penurunan berat badan meski nafsu makan meningkat. Hipertiroidisme pada GD dikonfirmasi dengan pemeriksaan darah. Peningkatan kadar hormon-hormon tiroid utama dalam darah (T3 dan T4 bebas) dan penurunan TSH mendukung keadaan hipertiroidisme. Antibodi antitiroid perlu diperiksa untuk membedakan GD dengan penyebab hipertiroidisme lain. Pemeriksaan thyroid stimulating immunoglobulin (TSI) merupakan petanda antibodi antitiroid yang paling akurat. Pemeriksaan ini positif pada 60 90% anak-anak dengan GD. Bila TSI tidak meningkat, dilakukan pemeriksaa asupan iodium radioaktif (radioactive iodine uptake = RAI). Peningkatan RAI dengan pola difus khas untuk GD. Biopsi biasanya tidak dilakukan.Hingga saat ini, proses autoimun pada GD masih tidak diketahui. Terapi yang ada masih bersifat tidak langsung. Terapinya mencakup penggunaan obat antitiroid, destruksi sebagian atau seluruh kelenjar tiroid dengan pemberian iodium radioaktif, serta pengangkatan kelenjar tiroid sebagian atau seluruhnya.Tiroiditis Hashimoto (HT/Hashimotos Thyroiditis)

Tiroiditis Hashimoto adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh kehancuran kelenjar tiroid secara gradual oleh sel tertentu dan antibodi yang diperantarai proses imun. Antibodi terhadap peroksidase tiroid (anti-tyhroid peroxidase antibody = anti-TPO), tiroglobulin, dan/atau reseptor TSH menyebabkan destruksi gradual folikel kelenjar tiroid sehingga menyebabkan hipotiroidisme. Antibodi-antibodi ini dapat ditemukan bersirkulasi di dalam darah. Tiroiditis Hashimoto dialami sekitar 1 4 dari 1000 orang/tahun. Lebih sering terjadi pada wanita (10 : 1 dan 20 : 1), dan prevalensi terbanyak ditemukan pada usia 45-65 tahun. Gejala HT diakibatkan oleh hipotiroidisme yang terjadi. Gejalanya mencakup penurunan berat badan, depresi, sensitif terhadap suhu, bradikardia, hipoglikemia reaktif, kelemahan otot, dll. Pada pemeriksaan laboratorium bisa ditemukan peningkatan TSH dan free T4. Anti-TPO ditemukan pada 90 95% pasien HT.

Hingga saat ini masih belum ditemukan terapi spesifik. Terapi yang ada adalah terapi pengganti hormon untuk mengatasi gejala hipotiroidisme dengan obat seperti levotiroksin.

HUBUNGAN MIASTENIA GRAVIS DAN AITDPandangan Umum

Kejadian miastenia gravis diketahui berhubungan dengan penyakit autoimun lain seperti AITD, artritis rematoid, sindrom Sjgren, dan lupus eritematosus sistemik. AITD merupakan yang paling sering ditemukan. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa AITD terdapat pada sekitar 5-10% pasien MG, sebaliknya MG terdapat pada sekitar 0.2% pasien AITD. Secara umum, adanya MG dan AITD ini menyimpan masalah diagnosis dan terapi yang cukup sulit. Gambaran klinis MG sering menyerupai AITD dan bisa juga gambaran klinis yang ada merupakan interaksi kedua penyakit ini. Pemberian terapi untuk salah satu penyakit mampu memperburuk penyakit lain atau memperbaiki penyakit lain. Tindakan operatif untuk salah satu penyakit (timektomi atau tiroidektomi) juga harus mempertimbangkan efeknya terhadap penyakit lain. Dalam literatur yang kami pelajari lebih banyak disinggung hubungan MG dengan GD daripada hubungan MG dengan jenis AITD lain.

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan PenunjangGambaran klinis MG bisa menyerupai penyakit lain termasuk AITD. Keterlibatan okular MG misalnya, bisa membingungkan jika terdapat oftalmopati Grave. Kelemahan otot-otot ekstremitas dapat ditemukan akibat MG atau gangguan tiroid. Gambaran klinis juga bisa jadi merupakan interaksi dari kedua penyakit ini.

Membedakan MG dengan GD dapat dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik untuk menemukan gambaran klinis yang khas. Beberapa contoh akan diperlihatkan di sini.

Pasien MG murni biasanya memiliki refleks tendon dalam yang normal sedangkan pasien GD sering memperlihatkan hiperrefleksia. Keterlibatan okular pada MG biasanya bersifat hilang timbul di awal penyakit dan tidak disertai proptosis. Kelemahan otot pada pasien MG sering terjadi di siang hari dan fluktuasinya dipengaruhi oleh aktivitas dan istirahat. Kelemahan otot pada gangguan tiroid tidak mengikuti pola ini dan sering disertai hipokalemia. Pada MG tidak ditemukan gangguan gerak seperti tremor atau korea atau gambaran miopati sedangkan pada GD, hal-hal tersebut sering ditemukan.Walaupun demikian, gambaran klinis ini akan menjadi tidak jelas pada pasien-pasien dengan koeksistensi MG dan GD. Sebagai contoh, Vargas dkk (1993) menemukan ptosis yang disertai proptosis dan edema kelopak pada pasien-pasien MG dan GD. Selain itu, kelelahan pada miopati tirotoksik juga berhubungan dengan adanya MG (Tsuda dkk, 2008).Manifestasi klinis yang lebih ringan terlihat pada pasien MG dengan AITD dibanding dengan pasien MG dengan penyakit tiroid bukan autoimun (nonautoimmune thyroid disease = N-AITD). Manifestasi klinis pasien MG dengan AITD lebih sering terbatas pada otot-otot mata (OMG), sebaliknya, GMG lebih sering terdapat pada pasien MG dengan N-AITD atau tanpa penyakit tiroid. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah GMG dan OMG merupakan entitas klinis yang sama atau tidak. Jawaban atas pertanyaan tersebut belum jelas hingga sekarang.

Abnormalitas timus lebih jarang ditemukan pada pasien MG dengan AITD dibanding pada pasien MG dengan N-AITD. Frekuensi abnormalitas timus yang lebih rendah juga terlihat pada pasien AITD dengan OMG. AchR-Ab serum lebih rendah pada pasien MG dengan AITD dibanding pasien MG lainnya. Koeksistensi N-AITD tidak mempengaruhi tipe atau perjalanan penyakit MG, dan adanya N-AITD pada pasien MG harus dipikirkan sebagai kebetulan saja. Hubungan OMG dan AITD mungkin diakibatkan oleh mekanisme imunopatogenetik yang sama yang bekerja melalui antigen yang sama pada otot-otot mata dan tiroid, namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Antibodi tiroid yang lebih tinggi terlihat pada pasien dengan OMG dibanding GMG. Interaksi PenyakitPada 75% pasien, gejala hipertiroidisme bisa terjadi sebelum atau bersamaan dengan gejala MG. Hiperplasia timus biasanya berhubungan dengan hipertiroidisme. Terdapat hubungan positif antara antibodi terhadap reseptor TSH dan asetilkolin dalam sirkulasi. Hubungan ini bisa mempengaruhi gambaran klinis kedua penyakit. Efek terapi hipertiroidisme terhadap pengendalian MG belum dimengerti benar. Kebanyakan laporan menyebutkan bahwa terapi farmakologis hipertiroidisme menyebabkan perbaikan gejala miastenia dan pengecilan hiperplasia timus yang terjadi bersamaan dengan normalisasi fungsi tiroid. Meskipun demikian ada juga laporan yang melaporkan fenomena paradoks yang disebut hubungan gigi gergaji (see-saw relationship). Saat manifestasi MG meningkat, gejala tirotoksikosis menurun dan sebaliknya. Fenomena ini tidak dapat dikonfirmasi oleh beberapa peneliti.Kuroda dkk melaporkan hubungan gigi gergaji yang terjadi segera setelah dimulainya terapi hipertiroidisme dengan methimazole. Mereka berpendapat bahwa perburukan MG mungkin diakibatkan sifat imunomodulatorik methimazole yang mirip dengan kortikosteroid.

Terapi antikolinesterase menyebabkan keadaan eutiroid sulit dicapai pada pasien AITD dengan hipertiroidisme seperti GD. Hal ini menyulitkan tindakan operasi.Tindakan Operasi dan AnestesiPada pasien MG dengan GD, efek timektomi terhadap fungsi tiroid masih kontroversial. Kadar imunoglobulin pengikat TSH dan TSI menurun setelah timektomi.

Efek tiroidektomi terhadap MG dikatakan tidak membawa efek yang spesifik meski gambaran klinis secara keseluruhan bisa membaik.Tindakan yang biasa dilakukan pada pasien MG dengan tirotoksikosis adalah pengendalian hipertiroidisme dengan neocarbazole yang diikuti timektomi adan tiroidektomi subtotal. Dengan persiapan preoperatif, penataksanaan anestetik, dan perawatan respiratorik perioperatif yang baik, operasi bisa dilakukan dalam satu tahap. Bila status eutiroid bisa dicapai sebelum operasi, tiroidektomi dapat dilakukan dengan pemantauan yang ketat.Optimalisasi keadaan miastenik pada pasien mampu secara nyata menurunkan risiko operasi dan memperbaiki keluaran. Agen antitiroid, penyekat beta (untuk meringankan gejala-gejala akibat ketidakseimbangan adrenergik pada tirotoksikosis), serta terapi antiasetilkolinesterase harus diberikan dalam masa perioperatif. Thiopentone, agen anestetik yang memiliki sifat antitiroid, dapat dipertimbangkan untuk menginduksi anestesi. Hipotensi sering terjadi saat induksi anestesi pada pasien ini. Selain itu, pasien MG sangat sensitif terhadap pelemas otot nondepolarisasi. Meski demikian, terapi dengan neostigmin atau piridostigmin bisa mengurangi efek pelemas otot tersebut. Sevofluran banyak dipilih sebagai agen anestetik tunggal dalam masa rumatan anestesi untuk pasien yang menjalani timektomi transsternal.

Penggunaan obat-obatan perioperatif seperti golongan benzodiazepin, penyekat beta, pelemas otot nondepolarisasi, dan antibiotika mampu menginduksi krisis miastenia. Dengan demikian, ventilasi elektif pasca operasi mungkin diperlukan.KESIMPULANBeberapa studi epidemiologi telah menunjukkan adanya hubungan antara MG dan AITD. Meski mekanisme imunopatogenetik yang mendasari keterkaitan keedua penyakit autoimun ini belum bisa dijelaskan, namun dengan adanya hubungan ini maka pada pasien MG layak dilakukan pemeriksaan secara lebih rinci untuk mendeteksi adanya AITD dan sebaliknya sebagai deteksi dini. Dengan adanya deteksi dini tersebut, diharapkan terapi terhadap kedua penyakit tersebut bisa diberikan secara tepat. Penatalaksanaan koeksistensi kedua penyakit ini perlu memperhitungkan beberapa hal seperti fenomena gigi gergaji serta tindakan operatif.DAFTAR PUSTAKA1. Datt V, Tempe DK, Singh B, Tomar AS, Banerjee A, Dutta D, Bhandari H. Anesthetic management of patient with myasthenia gravis and uncontrolled hyperthyroidism for thymectomy. Ann Card Anaesth 2010;13:49-522. Graves disease [homepage on the internet]. Available from www.wikipedia.com. Cited June 20, 2010.

3. Hashimotos thyroiditis [homepage on the internet]. Available from www.wikipedia.com. Cited June 20, 2010.

4. Jameson JL, Dluhy RG. Disorders of the thyroid gland. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrisons principles of internal medicine. 16-th ed. 2005, Philadelphia:McGraw-Hill. p. 2104 27.

5. Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the thyroid gland. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, et al. Harrisons principles of internal medicine. 16th edition. New York: The McGraw-Hill Companies;2005:2104-27.6. Kothari MJ. Myasthenia gravis. JAOA 2004(104);9:377 84.

7. Marino M, Ricciardi R, Pinchera A, Barbesino G, Manetti L, Chiovato L, et al. Mild clinical espression of myasthenia gravis associated with autoimmune thyroid diseases. J Clin Endocrinal Metab 1997;82:438-43.8. Reid DRK. Hashimotos disease: a review. Postgrad med J 1951:185 95.

9. Ropper AH, Brown RH. Myasthenia gravis and related disorders of the neuromuscular junction. In: Ropper AH, Brown RH. Adams and Victors principles of neurology. 8th edition. New York: The McGraw-Hill Companies;2005:1250-64.

10. Tsuda E, et al. Thyrotoxic myopathy mimicking myasthenic syndrome associated with thymic hyperplasia. Inter Med 2008;47: 445 7.11. Vargas ME, Warreen FA, Kupersmith MJ. Exotropia as a sign of myasthenia gravis in dysthyroid ophtalmopathy. Brit J Ophtalmolol 1993;77:822 3.