miastenia gravis

41
BAB I PENDAHULUAN Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah bahasa latin untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius. Myasthenia Gravis termasuk salah satu jenis penyakit autoimun. Menurut kamus kedokteran, penyakit autoimun itu sendiri adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah otot yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan juga dapat terserang 1,5 . Health Community dalam sebuah website-nya mendefinisikan Myasthenia Gravis sebagai penyakit autoimun kronis yang berakibat pada kelemahan otot 1

Upload: khanidya-noor-azziza

Post on 07-Feb-2016

232 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mg

TRANSCRIPT

Page 1: Miastenia Gravis

BAB IPENDAHULUAN

Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi

neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah bahasa

latin untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius. Myasthenia Gravis

termasuk salah satu jenis penyakit autoimun. Menurut kamus kedokteran, penyakit

autoimun itu sendiri adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang jaringan-

jaringannya sendiri. Myasthenia Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang

paling umum terserang adalah otot yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata,

mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg

mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan juga dapat

terserang1,5.

Health Community dalam sebuah website-nya mendefinisikan Myasthenia

Gravis sebagai penyakit autoimun kronis yang berakibat pada kelemahan otot skelet.

Otot-otot skelet adalah serabut-serabut otot yang terdiri dari berkas-berkas atau striasi

(striasi otot) yang berhubungan dengan tulang. Myasthenia Gravis menyebabkan

kelelahan yang cepat (fatigabilitas) dan kehilangan kekuatan pada saat beraktivitas,

dan membaik setelah istirahat3.

Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan

fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara

konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada

miastenia gravis telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana

1

Page 2: Miastenia Gravis

antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih

jauh5.

Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang

berbeda-beda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan

imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini. Ironisnya,

beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian tentang

imunopatogenesis masih sangat kurang5.

2

Page 3: Miastenia Gravis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu

kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-

menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas4.

Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan

pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic

transmission atau pada neuromuscular junction,2,4.

2.2 Epidemiologi

Myasthenia Gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang masih jarang

ditemukan. Umumnya menyerang wanita dewasa muda dan pria tua. Penyakit ini

bukan suatu penyakit turunan ataupun jenis penyakit yang bisa menular. Kasus MG

adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi per tahun, yang mengakibatkan kelaziman di

Amerika Serikat sekitar 25.000 kasus. MG betul-betul dipertimbangkan sebagai

penyakit yang jarang, artinya MG kelihatannya menyerang dengan sembarangan dan

tanpa disengaja dan tidak dalam hubungan keluarga. Tidak ada kelaziman rasial, tapi

orang-orang yang terkena MG pada usia < 40 tahun, 70 % nya adalah wanita. Yang >

40 tahun, 60 % nya adalah pria. Pola ini sering disimpulkan dengan menyebutkan

bahwa MG adalah penyakit wanita muda dan pria tua. Pada pasien yang mengalami

MG sebagai akibat karena memiliki thymoma, tidak ada kelaziman usia dan jenis

kelamin5.

3

Page 4: Miastenia Gravis

Menurut James F.Howard, Jr, M.D, kelaziman dari Myasthenia Gravis di

Amerika Serikat diperkirakan sekitar 14/100.000 populasi, kira-kira 36.000 kasus.

Tetapi Myasthenia Gravis dibawah diagnosa dan kelaziman, mungkin lebih tinggi.

Sebelum dipelajari, terlihat bahwa wanita lebih sering terserang disbanding pria. Usia

yang paling umum terserang adalah pada usia 20 dan 30-an pada wanita dan 70 dan

80-an pada pria. Berdasarkan populasi umur, rata-rata usia yang terserang meningkat,

dan sekarang pria lebih sering terserang dibanding wanita, dan permulaan munculnya

tanda-tanda biasanya setelah usia 505.

Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun (antibodi)

dari ibu yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasus-kasus dari Myasthenia

bayi adalah sementara dan gejala-gejala anak-anak umumnya hilang dalam beberapa

minggu setelah kelahiran. Myasthenia Gravis tidak secara langsung diwarisi ataupun

menular. Adakalanya, penyakit ini mungkin terjadi pada lebih dari satu orang dalam

keluarga yang sama5.

2.3 Anatomi, Fisiologis dan Biokimia Neuromuscular Junction

2.3.1 Anatomi Neuromuscular Junction

Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi

dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat

saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa

ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut

neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular9.

4

Page 5: Miastenia Gravis

Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut

terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat

saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot),

dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction9.

2.3.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction

Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post

sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina

basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat

dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi6,9.

Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin

(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat

diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal

terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)6,9.

Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong

asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi

menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke

bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh

tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf

dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan

berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada

membran post sinaptik6,9.

Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap

berlangsung dalam 6 tahap, yaitu6:

5

Page 6: Miastenia Gravis

1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan

enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:

Asetil-KoA + Kolin à Asetilkolin + KoA

2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang

disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.

3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap

berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel

dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar

10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps)

akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate

miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat

transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang

sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari

ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial

dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke

dalam rongga sinaps.

4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke

dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang

menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR)

dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2

molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan

mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang

memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan

6

Page 7: Miastenia Gravis

menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate.

Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya

dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga

timbul kontraksi otot.

5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh

enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:

Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin

Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis

rongga sinaps

6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di

mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.

Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang

akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5

protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta,

dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara

mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari

membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial

setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential

(potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi,

maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya

menyebabkan kontraksi otot

7

Page 8: Miastenia Gravis

2.4 Patofisiologi

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada

patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup

timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia

gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,

dan lain-lain8.

Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum

penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah

yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia

gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin

merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis.

Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum

90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata8.

Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor

asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.

Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi

yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T

pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ

sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti

hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan

gejala miastenik5,8.

Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai

subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area

8

Page 9: Miastenia Gravis

imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari

asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan

mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara

lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan

mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara

menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi

area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang

baru disintesis8.

2.5 Manifestasi Klinis

Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang

berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang

beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan

kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat4. Gejala klinis miastenia

gravis antara lain4,5 :

a. Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis

Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing

menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis

otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih

bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi

akan melengkapi ptosis miastenia gravis7. Kelemahan otot bulbar juga sering

terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala4.

9

Page 10: Miastenia Gravis

b. Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan

tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke

otot ekstremitas4.

Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga

mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot

faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan

berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila

penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya4.

2.6 Klasifikasi Miastenia Gravis

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia

gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut7:

a. Klas I

Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan

kekuatan otot-otot lain normal.

b. Klas II

Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan

pada otot-otot lain selain otot okular.

c. Klas IIa

Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat

kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.

10

Page 11: Miastenia Gravis

d. Klas IIb

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan

pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.

e. Klas III

Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain

otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.

f. Klas IIIa

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara

predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.

g. Klas IIIb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara

predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau

keduanya dalam derajat ringan.

h. Klas IV

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat,

sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.

i. Klas IVa

Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial.

Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.

j. Klas IVb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara

predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-

11

Page 12: Miastenia Gravis

otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding

tube tanpa dilakukan intubasi.

k. Klas V

Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan

tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-

gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak

menurun

Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah

ini :

a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.

b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk

mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut

menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.

c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot

okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.

2.7 Diagnosis Miastenia Gravis

2.7.1 Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis

Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis

suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang

berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua

12

Page 13: Miastenia Gravis

anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas

normal4,8.

Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot

wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face

dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.

Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia

gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang

menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice)

serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,

penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta

menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan

penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia

gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita

harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan,

sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher8.

Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering

dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas

lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah.

Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan

sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan

otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan

fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan

melakukan plantarfleksi jari-jari kaki8.

13

Page 14: Miastenia Gravis

Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut,

dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat

sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat

menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya

hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran

napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia

gravis fase akut sangat diperlukan8.

Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.

Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak

hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan

tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan

pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu

pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan

adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi8.

Beberapa test yang dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnose penyakit

Myasthenia Gravis. Test-test yang dapat dilakukan itu antara lain5 :

1. Test Wartenberg, Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba

test Wartenberg. Penderita diminta untuk menatap tanpa kedip kepada suatu

benda yang terletak diatas dan diantara bidang kedua mata untuk beberapa waktu

lamanya. Pada Myasthenia Gravis, kelopak mata yang terkena akan

menunjukkan ptosis.

2. Test Prostigmin atau Test Neostigmin, Prostigmin 0.5-1.0 mg dicampur dengan

0.1 mg atropine sulfas kemudian disuntikkan kedalam pembuluh darah penderita

14

Page 15: Miastenia Gravis

(intramuskularis atau subcutan). Test dianggap positif apabila gejala-gejala

kelemahan menghilang dan tenaga membaik. Prostigmin secara oral juga bisa

diberikan sebagai dosis test. Efeknya masih perlahan pada permulaan dan

berakhir lebih dari 2 sampai 3 jam.

Raymon D. Adams, Maurice Victor dan Allan H. Ropper memberikan penjelasan

mengenai test neostigmin sebagai berikut : Neostigmin metilsulfat disuntikkan ke

dalam otot dengan dosis 1.5 mg. Atropin sulfat (0.8 mg) harus diberikan

beberapa menit terlebih dahulu untuk meniadakan efek muskarinik. Neostigmin

mungkin diberikan melalui pembuluh darah dengan dosis 5 mg, tapi penambahan

harus selalu diawali dengan atropine sulfat untuk menyingkirkan bahaya dari

ventricular fibrilitasi dan perhentian jantung. Kemajuan obyektif dan subyektif

terjadi dalam 10 sampai 15 menit, mencapai puncaknya pada 20 menit, dan

berakhir 2 atau 3 jam.

Test yang negatif, tidak meniadakan Myasthenia Gravis tapi ini adalah poin yang

kuat untuk mendiagnosa lagi. Percobaan neostigmin secara oral, 15 mg setiap 4

jam selama sehari, kadang direkomendasikan pada kasus-kasus yang meragukan,

tapi cara ini juga belum teruji akurasinya.

3. Test Edrophonium Chloride (Tensilon), Test ini akan bermanfaat apabila

pemeriksaan antibodi antireseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil

pemeriksaannya negatif, sementara secara klinis masih tetap diduga adanya

Myasthenia Gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah test 1-2 mg

intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila

ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit),

15

Page 16: Miastenia Gravis

menghilangkan ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih

lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih

lama dari 5 menit. Test ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.

Test Tensilon sering digunakan untuk mendiagnosa MG. Enzim

asetilkolineterase membongkar asetilkolin (ACh) setelah otot dirangsang,

mencegah perpanjangan respon otot ke impul syaraf tunggal. Edrophonium

chloride (Tensilon) adalah obat yang secara berkala merintangi aksi dari

asetilkolineterase. Pada MG, ada sedikit penerima asetilkolin (AChR) pada otot

dan asetilkoline dihancurkan sebelum bisa secara penuh menstimulasi otot,

sehingga menghasilkan kelemahan otot. Dengan merintangi aksi dari

asetilkolineterase, tensilon memperpanjang stimulasi otot dan secara berkala

memperbaiki kekuatan.

Pada test ini, tensilon diberikan melalui pembuluh darah (ke dalam urat darah

halus) dan respon otot akan dievaluasi. Test Tensilon paling efektif ketika dapat

dengan mudah terlihat kelemahan, dan sedikit kurang berguna untuk yang samar-

samar atau keluhan yang turun naik. Efek samping dari test ini adalah secara

temporer membuat irama jantung menjadi abnormal, seperti irama jantung yang

lebih cepat (atrial fibrilasi) dan irama jantung yang lambat (bradicardia).

4. Test Single Fiber Electromyography (EMG), Serabut otot dirangsang dengan

impul elektrik, bisa juga mendeteksi gangguan syaraf ke transmisi otot. EMG

mengukur potensi elektrik dari sel-sel otot. Serat-serat otot pada MG dan juga

pada penyakit neuromuskular lainnya, tidak memberi respon yang baik pada

rangsangan elektrik yang berulang-ulang dibanding dengan otot-otot pada

16

Page 17: Miastenia Gravis

individu yang normal. Test ini memiliki kesensitifan hingga 95 % secara sistem

dan 84 % pada MG ocular, membuat test ini menjadi yang paling sensitif untuk

penyakit ini.

5. Test Darah, Test darah dilakukan untuk menentukan tingkatan serum dari

beberapa antibodi (seperti, AChR-pengikat antibodi, AChR-modulasi antibodi,

antitriasional antibodi). Tingkat yang tinggi dari antibodi-antibodi ini dapat

mengindikasikan MG. 80 % dari semua pasien dengan MG memiliki peningkatan

serum antibodi yang tidak normal. Tapi hasil test yang positif, mungkin kurang

disukai oleh pasien dengan MG ocular murni. Peluang untuk menerima hasil test

positif yang salah dari laboratorium yang ternama adalah kecil, akan tetapi garis

batas test-test harus diulang-ulang.

6. Computed Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging

(MRI), Digunakan untuk mengidentifikasi kelenjar thymus yang tidak normal

atau keberadaan dari thymoma.

7. Pulmory Function Test (Test Fungsi Paru-Paru), Test mengukur kekuatan

pernafasan untuk memprediksikan apakah pernafasan akan gagal dan membawa

kepada krisis Myasthenia.

2.7.2 Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti4,7

2.7.2.1 Pemeriksaan Laboratorium

a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia

gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita

miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni

17

Page 18: Miastenia Gravis

menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien

thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody

b. Antistriated muscle (anti-SM) antibody

Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini

menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam

usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40

tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.

c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab

negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-

MuSK Ab.

d. Antistriational antibodies

Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody

yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung

penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan

ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan

miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu

kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia

gravis.

2.7.2.2 Imaging

a. Chest x-ray (foto roentgen thorak)

Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,

thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.

18

Page 19: Miastenia Gravis

b. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma

ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk

mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada

penderita dengan usia tua.

c. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin.

MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan

dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada

saraf otak.

2.7.2.3 Pendekatan Elektrodiagnostik

Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi

neuromuscular melalui 2 teknik :

a. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,

sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

b. Single-fiber Electromyography (SFEMG)

Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam

serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval

interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan

suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam

oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada

neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.

19

Page 20: Miastenia Gravis

2.7.3 Diagnosis Banding

Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara

lain8:

1. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada

beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain :

a. Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)

b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring

c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii

d. Paralisis pasca difteri

e. Pseudoptosis pada trachoma

2. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu

sklerosis multipleks.

3. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot

anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otot-otot

ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik

awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali

dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.

EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada

transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi

ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia

gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi

pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan

20

Page 21: Miastenia Gravis

normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik

tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.

2.8 Penatalaksanaan4,5,7

1. Antikolinesterase

Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin

bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara

lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila

diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau

intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis),

didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat

menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak

segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal,

sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian

antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan

IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi

parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,

berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro

intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan

pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien

untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat

yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari

krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek

21

Page 22: Miastenia Gravis

muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti

bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.

2. Steroid

Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan

diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari

efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap

(5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila

obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala

terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang

berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari,

dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat

segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat

kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara

perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang

efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.

3. Azatioprin

Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang

baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama

berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini

diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu

harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu

pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon

bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.

22

Page 23: Miastenia Gravis

4. Timektomi

Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan

kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita

beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase

sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera

diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.

5. Plasmaferesis

Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg

BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat.

Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan

sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang

jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga

penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif

padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada

reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.

23

Page 24: Miastenia Gravis

KESIMPULAN

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu

kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-

menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena

adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.

Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi

dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Membran

presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah

sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction4.

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi

miastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan

reseptor asetilkolin

Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan,

thymomectomy ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat

memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis.

24

Page 25: Miastenia Gravis

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, Myasthenia Gravis. Available at:

http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd . Diakses pada

tanggal 08 April, 2013.

2. Frotscher, M., M. Baehr. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS : Anatomi,

Fisiologi, Tanda dan Gejala, Ed. 4. EGC. Jakarta.

3. Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :

http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.h

tm. Diakses pada tanggal 08 April, 2013.

4. Mardjono, M., 2004. Neurologi Klinis Dasar 9th ed. Dian Rakyat, Jakarta.

5. Miastenia Gravis Indonesia. 2013. http://www.mgindonesia.org/myasthenia-

gravis.html. Diakses pada tanggal 08 April 2013.

6. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar Biokimia

Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 29. EGC. Jakarta.

7. Ngoerah, I. G. N. G, 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University

Press.

8. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit ed. 6 vol.2. EGC. Jakarta.

9. Snell, Richard S., 2007. Neuro Anatomi Klinik ed. 5. EGC. Jakarta.

25