metabolisme lemak ayam broiler yang diberi … · metabolisme lemak ayam broiler yang diberi pakan...
TRANSCRIPT
METABOLISME LEMAK AYAM BROILER YANG DIBERI
PAKAN BERBASIS KARBOHIDRAT ATAU LEMAK
YANG DISUPLEMENTASI VITAMIN E DAN VITAMIN C
MELALUI AIR MINUM
WIRA WISNU WARDANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Metabolisme lemak ayam broiler yang
diberi pakan berbasis karbohidrat atau lemak yang disuplementasi vitamin E dan
vitamin C melalui air minum adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalm teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis
ini
Bogor, Agustus 2012
Wira Wisnu Wardani
NIM. D152100091
ABSTRACT
WIRA WISNU WARDANI. Lipid metabolism of broiler chickens fed carbohydrate or
fat based supplemented with vitamin E and vitamin C through drinking water. Under
the supervision KOMANG G WIRYAWAN and SUMIATI.
Indonesia as a tropical country potentially lead to a less comfortable conditions
for the production of broiler chickens. Stress conditions can stimulate cell membrane
and tissue damage, so it can give a negative impact on the chickens, for example the
liver. It is necessary to neutralize (antioxidants) lipid peroxidation and detoxification of
toxic metabolic products in an effort to maintain or increase fat metabolism in the liver.
Objectives of thus research were to evaluate the vitamin E and C supplementation
through drinking water to overcome the existence of free radicals and lipid metabolism
in the body. Research used the 160 male Ross broiler strain with weight of 38 ± 2 g with
a brand CP 707 (Ross strain). For the first week, the broiler chickens were fed a
commercial starter of PT Charoen Pokphand Indonesia, then followed by two types feed
namely carbohydrate-based (PC) and fat-based (PL) rations, depend of fat level content
in the feed. Vitamin C was given at 60 mg/l of drinking water and vitamin E at 8 mg/l
of drinking water of PT Trouw Nutrition Indonesia. Data collection were done for 21
days after the age of 8-28 days with 4 combination treatments, 4 replicates and 10
chickens per replicate. Research using factorial completely randomized design (CRD
factorial). The data were analyzed using ANOVA followed by orthogonal contrast test.
The data obtained were tested using the General Linear Model procedure using SAS
software version 9.1. Some aspects analyzed are the malonaldehid (MDA), blood
profile, blood chemistry, apparent metabolize energy, nitrogen retention, fat retention
and broiler performance. The results showed that blood profile, blood chemistry,
malonaldehid (MDA), relative liver weights and body weight gain were not affected (P
> 0.05) due to the treatments. On the other hand total cholesterol (P < 0.01) and HDL
cholesterol (P < 0.05) were significantly affected by the treatments. Feed intake and
feed conversion ratio significantly different (P < 0.01) caused by interaction of vitamin
supplementation through drinking water with fat based rations. In conclusion , fat based
rations is more profitable (IOFC) and improve feed conversion ratio of broiler chickens
during heat stress when supplemented with vitamin E and vitamin C through drinking
water.
Key words: broiler chicken, carbohydrates, lipid, vitamin C, vitamin E.
RINGKASAN
WIRA WISNU WARDANI. Metabolisme lemak ayam broiler yang diberi pakan
berbasis karbohidrat atau lemak yang disuplementasi vitamin E dan vitamin C melalui
air. Dibimbing oleh KOMANG G WIRYAWAN dan SUMIATI
Indonesia sebagai salah satu negara tropis memiliki suhu rata-rata siang hari
diatas 30 0C dan kelembaban berkisar diantara 60 – 90% dan berpeluang menyebabkan
kondisi yang kurang nyaman untuk produksi ayam broiler. Kondisi stress dapat
merangsang kerusakan membran sel dan jaringan tubuh sehingga bisa berdampak
negatif pada ayam, contohnya hati. Untuk itu perlu dilakukan netralisasi (antioksidasi)
peroksidasi lemak yang ada didalam tubuh dan produk metabolisme yang berasal dari
proses detoksifikasi racun sebagai usaha menjaga atau meningkatkan metabolisme
lemak yang terjadi di hati. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat
suplementasi vitamin E dan C melalui air minum dalam mengatasi radikal bebas dan
pengaruhnya terhadap metabolisme lemak di dalam tubuh pada ayam broiler yang
menggunakan ransum berbasis karbohidrat atau lemak sebagai sumber energi.
Penelitan menggunakan ayam broiler jantan strain Ross sebanyak 160 ekor
berbobot 38 ± 2 g dengan merk CP 707 (strain Ross). Satu minggu pertama ayam
diberikan ransum broiler starter komersial yang berasal PT Charoen Pokphand
Indonesia, kemudian selama proses penelitian berlangsung menggunakan ransum
berbasis karbohidrat (PC) dan lemak (PL) sebagai sumber energi yang dibedakan
berdasarkan kandungan lemak kasar dalam ransum. Pemberian vitamin C sebesar 60
mg/l air minum dan vitamin E sebesar 8 mg/l yang didapat dari PT Trouw Nutrition
Indonesia. Penelitian selama 21 hari saat ayam berumur 8 - 28 hari yang dibagi menjadi
4 perlakuan, 4 ulangan dan berjumlah 10 ekor setiap ulangan. Proses pemberian ransum
dilakukan pada pagi dan sore hari. Suplementasi vitamin diberikan pada jam 09.00 –
15.00 WIB dan diganti setiap 3 jam sekali. Penelitian menggunakan rancangan acak
lengkap faktorial (RAL Faktorial) dengan faktor utama sumber energi ransum dan
suplementasi vitamin sebagai faktor penunjang. Hasil yang didapatkan dianalisis
dengan ANOVA dilanjutkan dengan uji kontras orthogonal jika ada perbedaan. Data
yang didapatkan diuji menggunakan prosedur General Linier Model menggunakan
software SAS versi 9.1. Parameter yang diukur meliputi nilai malonaldehid (MDA),
profil darah, kimia darah, energi metabolis semu, retensi nitrogen, retensi lemak dan
penampilan ayam broiler.
Hasil uji statistik profil darah, kimia darah, nilai malonaldehid (MDA), bobot
relatif organ hati, total konsumsi air minum, dan pertambahan bobot badan
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P > 0.05) baik untuk perlakuan ransum
atau suplementasi vitamin melalui air minum. Sedangkan uji komponen total kolesterol
(P < 0.01) dan HDL kolesterol (P<0.05) berbeda disebabkan oleh perbedaan sumber
energi ransum. Konsumsi pakan dan konversi ransum berbeda sangat nyata (P < 0.01)
disebabkan oleh adanya interaksi suplementasi vitamin melalui air minum dengan
ransum yang diberikan. Kesimpulan penelitian ini adalah ransum berbasis lemak (PL)
memberikan nilai ekonomis (IOFC) yang lebih baik dan dapat memperbaiki konversi
ransum ayam broiler yang dipelihara pada lingkungan yang kurang nyaman ketika
diberi suplementasi vitamin E dan C melalui air minum.
Kata kunci : ayam broiler, karbohidrat, lemak, vitamin C, vitamin E
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB.
METABOLISME LEMAK AYAM BROILER YANG DIBERI
PAKAN BERBASIS KARBOHIDRAT ATAU LEMAK
YANG DISUPLEMENTASI VITAMIN E DAN VITAMIN C
MELALUI AIR MINUM
WIRA WISNU WARDANI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : Metabolisme lemak ayam broiler yang diberi pakan berbasis
karbohidrat atau lemak yang disuplementasi vitamin E dan
vitamin C melalui air minum.
Nama : Wira Wisnu Wardani
NIM : D152100091
Program Studi/Mayor : Ilmu Nutrisi dan Pakan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan Dr. Ir. Sumiati, M.Sc
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Nutrisi dan Pakan
Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 27 Juli 2012 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Sholawat serta salam penulis haturkan
kepada Rosulullah SAW.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir.
Komang G. Wiryawan dan Dr. Ir. Sumiati, M.Sc selaku pembimbing yang telah
memberikan banyak masukan selama penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih
kepada Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian
tesis. Terima kasih kepada civitas akademika Fakultas Peternakan IPB yang telah
banyak memberikan saran dan masukan selama penulis sekolah di IPB. Di samping itu
penulis ucapkan terima kasih kepada ayah, ibu, mertua, istri tercinta (Tutut), kedua buah
hati tercinta (Fawwaz dan Farras) dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih
sayangnya. Kepada Alivan, Febri dan Nikita (INMT 45) atas semangatnya selama
penelitian ini berlangsung.
Kepada pimpinan dan rekan-rekan PT Trouw Nutrition Indonesia yang telah
banyak memberikan inspirasi kepada penulis dan rekan-rekan bisnis peternakan di
Indonesia yang pantang menyerah dalam memenuhi kebutuhan protein bangsa
Indonesia tercinta.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2012
Wira Wisnu Wardani
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1982 dari pasangan
Bapak Wibowo Witono dan Ibu Pawiti. Penulis merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara. Penulis menikah dengan Tutut Bina Sulistiyowati dan sudah memiliki dua
orang putra.
Tahun 2000 penulis lulus dari SMU Perguruan Rakyat 2 Jakarta dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur UMPTN. Penulis memilih mayor Ilmu
Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan yang berhasil ditamatkan pada tahun
2004. Pada tahun 2010 diterima di program pascasarjana IPB dengan memilih mayor
Ilmu Nutrisi dan Pakan.
Penulis bekerja sebagai Technical Associate di PT Trouw Nutrition Indonesia
sejak tahun 2007 sampai dengan saat ini, sebagai Formulator dan Quality Assurance PT
Dipasena Feedmill pada tahun tahun 2006 - 2007, Formulator PT Sierad Feedmill pada
tahun 2005 – 2006 dan Quality Control PT Metro Feedmill pada tahun 2004.
xix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xxi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xxv
PENDAHULUAN....... ........................................................................................ 1
Latar Belakang ............................................................................................. 1
Tujuan ................ ......................................................................................... 3
Hipotesis ...................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 5
Karbohidrat atau Lemak sebagai Sumber Energi ........................................ 5
Stres pada Ayam Broiler .............................................................................. 6
Mekanisme Stres Oksidatif .......................................................................... 7
Lemak, Asam Lemak dan kolesterol ........................................................ 9
Biosintesis Kolesterol .................................................................................. 12
Lipid Peroksida ............................................................................................ 15
Darah ............................................................................................................ 17
SGOT dan SGPT .......................................................................................... 20
Sistem Kekebalan (Immune) Tubuh ............................................................ 21
Suplementasi Vitamin pada Ayam sebagai Antioksidan ............................ 22
BAHAN DAN METODE .................................................................................... 27
Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................................... 27
Bahan dan Alat .............................................................................................. 27
Metode Penelitian ......................................................................................... 30
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 39
Suhu dan Kelembaban Lingkungan Pemeliharaan ………………………… 39
Stabilitas Vitamin C dalam Air ….…………………………………………. 41
Energi Metabolis dan Retensi Nutrisi ……………………………………… 42
Profil Darah Ayam Broiler …………………………………………………. 44
Profile Organ Hati dan Kualitas Karkas Ayam Broiler ……………………. 49
Penampilan Ayam Broiler …………………………………………………. 51
Income Over Feed and Chick Cost (IOFC) ................................................... 57
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................ 56
Kesimpulan .................................................................................................... 56
Saran .............................................................................................................. 56
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 57
LAMPIRAN ........................................................................................................ 63
xxi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Pengelompokan jenis vitamin................................................................. 22
Tabel 2 Komposisi ransum penelitian (umur 8 – 33 hari).................................... 28
Tabel 3 Perlakuan penelitian................................................................................ 37
Tabel 4 Nilai energi metabolis semu terkoreksi nitrogen (EMSn), retensi
nitrogen dan retensi lemak ayam broiler umur 33 hari ……………...... 43
Tabel 5 Profil komponen darah ayam broiler umur 33 hari ..………………….. 45
Tabel 6 Hasil uji kimia darah ayam broiler.......................................................... 46
Tabel 7 Nilai malonaldehid (MDA) dan bobot relatif organ hati ayam broiler .. 50
Tabel 8 Persentase dan kualitas karkas ayam broiler …………………………. 50
Tabel 9 Penampilan ayam broiler (8 – 28 hari) ……………………………….. 51
Tabel 10 Temperatur dan nilai amper mesin pellet serta nilai kualitas fisik
ransum .................................................................................................... 56
Tabel 11 Income over feed and chick cost (IOFC) ransum penelitian .................. 57
xxiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Partisi energi pada unggas, A (konstan) dan B (dinamis)
(Latshaw & Moritz 2009) .............................................................. 5
Gambar 2 Hubungan lingkungan dengan produksi ternak (Hafez 1968) ....... 8
Gambar 3 Rumus molekul kolesterol (Lehninger 2005) ................................ 10
Gambar 4 Proses biosintesis kolesterol dalam 4 tahap (Lehninger 2004) ...... 12
Gambar 5 Mekanisme peroksida lipid ............................................................ 15
Gambar 6 Reaksi TBA dengan MDA ............................................................. 16
Gambar 7 Mekanisme kerja vitamin C sebagai antioksidan (Lehninger
2005) ............................................................................................. 23
Gambar 8 Regenerasi vitamin E (α-tokoferol) (Gropper et al. 2009) .......... 24
Gambar 9 Interaksi antara beberapa antioksidan untuk mencegah kerusakan
sel (Gropper et al. 2009) …………………..…………………….. 26
Gambar 10 Kandang penelitian ....................................................................... 27
Gambar 11 Proses produksi ransum di Putri Gunung Farm Feedmill .............. 29
Gambar 12 Roche Cobas Mira plus chemical analyzer .................................... 34
Gambar 13 Sysmex KX-21 ............................................................................... 35
Gambar 14 Rataan suhu (oC) kandang penelitian dan referensi Ross ……..... 39
Gambar 15 Nilai suhu siang hari (
oC) kandang penelitian dan referensi Ross 40
Gambar 16 Stabilitas vitamin C dalam air ........................................................ 42
Gambar 17 Bentuk dan fraksi lipoprotein (Gropper et al. 2009) ..................... 48
xxv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Foto – foto pelaksanaan penelitian …………………………. 67
Lampiran 2 Kurva standar MDA ............................................................... 70
Lampiran 3 Analisis ragam pertambahan bobot badan ………………….. 71
Lampiran 4 Analisis ragam konversi pakan ………….………………….. 71
Lampiran 5 Analisis ragam hemoglobin .………….…………………...... 71
Lampiran 6 Analisis ragam hematokrit ………….……………………..... 72
Lampiran 7 Analisis ragam eritrosit ………………….………………….. 72
Lampiran 8 Analisis ragam SGPT …………...……….………………….. 72
Lampiran 9 Analisis ragam trigliserida ……………....………………….. 72
Lampiran 10 Analisis ragam total kolesterol ………….………………….. 73
Lampiran 11 Analisis ragam HDL kolesterol …...…….………………….. 73
Lampiran 12 Analisis ragam LDL kolesterol ………….………………….. 73
Lampiran 13 Analisis ragam MDA hati ……………….………………….. 74
Lampiran 14 Analisis ragam kolesterol daging ayam …………………….. 74
Lampiran 15 Analisis ragam MDA karkas …………….………………….. 74
Lampiran 16
Analisis ragam % bobot hati …………….…………………..
74
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ayam broiler optimal diproduksi pada wilayah sub tropis atau berada pada
kisaran suhu 20 - 25 oC dengan kelembaban udara berkisar 60 -70% (Ross 2009).
Pada minggu pertama broiler memerlukan suhu yang lebih hangat dibanding
dengan minggu-minggu berikutnya. Semakin tua umur ayam maka suhu
lingkungan yang dibutuhkan semakin rendah atau sejuk untuk membantu proses
pelepasan panas dalam tubuh akibat adanya usaha menyeimbangkan suhu tubuh
dan lingkungan melalui mekanisme evaporasi yang ditandai dengan peningkatan
gerakan bernafas (panting).
Indonesia sebagai salah satu negara tropis memiliki suhu rata-rata siang hari
diatas 30 0C dan kelembaban berkisar diantara 60 – 90% (BMKG 2010), hal ini
berpeluang menyebabkan ayam kesulitan untuk melepaskan panas yang
dihasilkan selama proses metabolisme dalam tubuh dan terus meningkat seiring
dengan bertambahnya umur ayam. Cekaman panas ini bisa menyebabkan
gangguan pertumbuhan, penurunan nafsu makan, menurunnya kecernaan zat
nutrisi, penurunan sistem kekebalan tubuh bahkan sampai dengan peningkatan
angka kematian ternak (Sugito et al. 2007; Mashaly et al. 2004; Mckee et al.
1997), meningkatnya laju pernafasan yang menyebabkan kadar CO2 dalam darah
menurun (alkalosis) dan terjadinya perubahan keseimbangan asam basa darah
(Borges et al. 2003b).
Kondisi stress memacu pelepasan hormon kortikosteron, hormon
katekolamin dan memacu level peroksidasi lemak yang bisa merangsang
kerusakan membran sel dan jaringan tubuh sehingga bisa berdampak negatif pada
ayam. Peroksidasi lemak juga mempengaruhi kualitas lemak yang ada dalam
daging dan telur sehingga lebih mudah rusak dan memperpendek umur
penyimpanan. Jenis dan komposisi asam lemak (jenuh dan tidak jenuh) ransum
akan mempengaruhi kecepatan metabolisme energi, jumlah peroksidasi lemak
yang dihasilkan dan jumlah lemak yang bisa dideposit dalam daging atau telur.
Hasil metabolisme lemak akan menghasilkan asam lemak yang akan
2
dioksidasikan menjadi gliserol untuk biosintesis atau oksidasi trigliserida menjadi
acetyl CoA (Drackley 2000).
Ransum berbasis karbohidrat sebagai sumber energi akan menghasilkan
panas di dalam tubuh yang lebih tinggi dibanding dengan ransum berbasis lemak,
hal ini dikarenakan karbohidrat tergolong sumber energi yang mudah digunakan
akan tetapi tidak sebaik lemak dari nilai energi metabolis per satuan unit.
Karbohidrat merupakan sumber energi yang biasa digunakan pada ayam broiler
dengan sumber utamanya berasal dari jagung, dedak dan biji-bijian lainnya.
Meningkatnya harga biji-bijian di level lokal dan internasional memaksa ahli
nutrisi ransum untuk mencari sumber-sumber energi yang optimal, lebih efisien
dan berkesinambungan dalam hal ketersediannya. Salah satu sumber energi yang
perlu menjadi pertimbangan ialah lemak..
Proses metabolisme energi yang berasal dari lemak akan menghasilkan
sejumlah senyawa peroksida (radikal bebas) yang bisa bersifat merusak sel-sel
tubuh dan bisa mempengaruhi metabolisme nutrisi pada tingkat sel dan jaringan.
Senyawa radikal bebas akan meningkat lebih banyak ketika kondisi ayam stres,
karena pada kondisi stres tubuh ayam tidak bisa mensitesa asam askorbat (vitamin
C) yang bisa menetralisir senyawa-senyawa radikal bebas.
Senyawa-senyawa radikal bebas ini akan merusak dinding sel yang ada di
dalam tubuh terutama pada organ-organ yang berperan dalam sistem metabolisme
tubuh. Hati merupakan salah satu organ yang berperan cukup kompleks dalam
proses metabolisme zat-zat nutrisi di dalam tubuh. Organ hati berkaitan dengan
metabolisme lemak, protein, karbohidrat, proses detoksifikasi serta metabolisme
vitamin-vitamin larut lemak seperti vitamin A, D3, E dan K. Organ hati akan
memproduksi garam-garam empedu yang akan berperan dalam emulsifikasi
lemak agar lebih mudah untuk dimetabolisme. Metabolisme lemak akan
mempengaruhi jumlah energi, senyawa radikal bebas, komposisi trigliserida,
kolesterol dan asam lemak di dalam darah atau jaringan tubuh.
Usaha untuk menjaga kesehatan organ hati sangat diperlukan agar proses
metabolisme zat-zat nutrisi dan penampilan ayam broiler ketika panen menjadi
optimal. Untuk itu pada penelitian ini akan dilihat pengaruh sumber energi yang
berbeda pada ayam broiler yang diberi suplementasi vitamin E dan C melalui air
3
minum terhadap status radikal bebas, profil organ hati, dan penampilan ayam
broiler selama 4 minggu pemeliharaan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati manfaat suplementasi vitamin E
dan C melalui air minum pada ayam broiler yang diberi ransum berbasis
karbohidrat atau lemak.
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini ialah :
1. Pemberian karbohidrat dan lemak sebagai sumber energi berpengaruh
terhadap kinerja hati, status radikal bebas dan penampilan ayam broiler
2. Suplementasi vitamin E dan vitamin C pada ayam broiler dapat memperbaiki
kinerja hati, status radikal bebas dan penampilan ayam broiler
3. Adanya interaksi antara perbedaan sumber energi ransum berbasis karbohidrat
dan lemak dengan suplementasi vitamin E dan vitamin C pada ayam broiler
dapat memperbaiki kinerja hati, status radikal bebas dan penampilan ayam
broiler.
4
5
TINJAUAN PUSTAKA
Karbohidrat atau Lemak sebagai Sumber Energi
Energi merupakan faktor pembatas pertama dalam manajemen nutrisi ayam
broiler yang akan mempengaruhi jumlah ransum yang dikonsumsi. Energi dalam
ransum dapat berasal dari karbohidrat, protein atau lemak yang dimetabolisme di
dalam tubuh. Energi metabolis itu sendiri diartikan sebagai total energi ransum
bahan dikurangi dengan kandungan energi yang terbuang dalam ekskreta (pada
unggas saluran feses dan urine menjadi satu) serta kandungan energi yang hilang
dalam bentuk gas (CO2). Partisi energi pada unggas disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Partisi energi pada unggas, A (konstan) dan B (dinamis) (Latshaw &
Moritz 2009)
Pada unggas, kandungan energi metabolis ransum dapat dinyatakan dengan
ada energi metabolis semu (EMS), energi metabolis semu terkoreksi nitrogen
(EMSn), energi metabolis murni (EMM) dan energi metabolis murni terkoreksi
nitrogen (EMMn). Nilai energi metabolis semu merupakan nilai energi yang
belum dikurangi oleh nilai energi endogenus, yaitu energi yang berasal dari
peluruhan sel-sel mukosa dan jaringan tubuh yang didapatkan ketika ayam
dipuasakan. Faktor koreksi terhadap nitrogen perlu diperhitungkan sebagai
pertimbangan ketika asam urat yang keluar di dalam ekskreta bisa dioksidasi
secara sempurna (Sibbald 1980). Lopez dan Leeson (2008) melaporkan bahwa
nilai EMSn ransum berbasis jagung sebesar 95 – 97% EMS dan pada ransum
berbasis bungkil kedelai sebesar 88 – 93% EMS.
6
Latshaw (2008) mencoba untuk membandingkan sumber energi ransum
kaya akan protein, lemak dan serat (karbohidrat) dengan berbasis pada jagung
dan bungkil kedele dengan penambahan lemak yang sudah terhidrolisa, terlihat
bahwa penambahan lemak sebesar 5% meningkatkan nilai energi metabolis
sebesar 10%, penambahan protein sebesar 2% meningkatkan nilai energi
metabolis sebesar 4% dan penambahan serat kasar 4% menurunkan nilai energi
metabolis sebesar 20%. Sementara itu Plavik et al. (1997) melaporkan bahwa
performa ayam yang dipelihara pada suhu 20 oC yang diberikan karbohidrat dan
lemak sebagai sumber energi tidak berbeda, termasuk persentase kandungan
lemak abdominal dan daging dada.
Stres pada Ayam Broiler
Suhu optimal untuk produksi ayam broiler ialah 20 - 25 oC dan kelembaban
60 -70% (Ross 2009). Suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi merupakan
kondisi yang membuat ayam tidak nyaman, laju pernafasan meningkat,
keseimbangan asam basa darah berubah menjadi lebih basa, lebih rentan terhadap
serangan bakteri patogen, metabolisme nutrisi terganggu, pertumbuhan terhambat
dan dapat menyebabkan kematian (Sugito et al. 2007; Mashaly et al. 2004;
Borges et al. 2003a; Borges et al. 2003b; Mckee et al. 1997). Cekaman panas
menyebabkan energi untuk produksi digunakan untuk homeostasis
(keseimbangan tubuh), hal ini biasanya dimulai dengan menurunnya konsumsi
ransum, menurunnya laju aliran darah dan berkurangnya energi yang
dimetabolisme (Mckee et al. 1997)
Puthpongsiriporn et al. (2001) melaporkan bahwa cekaman panas dapat
merangsang pelepasan kortikosteron dan katekolamine serta menginisiasi
peroksidasi lemak didalam sel membran termasuk sel membran T dan limposit B,
yang sangat erat kaitannya dengan sistem kekebalan tubuh. Cekaman panas
merangsang radikal bebas yang dapat merusak membran sel dengan cara
menginduksi peroksidasi asam lemak tidak jenuh rantai panjang sehingga
kekuatan membran sel tersebut menjadi berkurang dan mudah rusak. Asam
lemak tak jenuh merupakan salah satu target paling sensitif dari radikal bebas
yang dikenal dengan istilah lipid peroksida. Di dalam tubuh, lipid peroksida ini
7
menyebabkan kerusakan sel imun (kekebalan) serta dapat merusak komponen sel
seperti lemak, protein, karbohidrat dan DNA.
Mekanisme Stres Oksidatif
Tingginya suhu lingkungan, selain mengganggu tubuh melalui mekanisme
fisiologis, juga dapat merupakan salah satu penyebab terjadinya stres oksidatif
yakni kondisi aktivitas oksidan yang melebihi antioksidan. Oksidan atau oksigen
reaktif (radikal bebas) adalah molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron
yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya (Aruoma 1999; Miller et al. 1993).
Menurut Supari (1996), radikal bebas dibentuk melalui 2 cara yakni
melalui endogen dan eksogen. Cara endogen diproduksi di dalam sel oleh
mitokondria, membran plasma, lisosom, peroksisom, retikulum endoplasma dan
inti sel, sebagai respon normal dari peristiwa biokimia dalam tubuh. Cara
eksogen diperoleh dari polusi yang berasal dari luar, yang berasal dari tubuh
melalui inhalasi, digesti, injeksi dan penyerapan kulit. Radikal bebas
memungkinan mengambil partikel dari molekul lain kemudian menimbulkan
senyawa yang abnormal dan memulai reaksi berantai yang dapat merusak sel-sel
dengan menyebabkan perubahan yang mendasar pada materi genetis serta
bagian-bagian sel penting lainnya (Yashikawa & Naito 2002)
Asam lemak tak jenuh adalah senyawa yang paling sensitif terhadap
serangan radikal bebas yang disebut serangan lipid peroksida. Dalam tubuh,
terbentuknya lipid peroksida menyebabkan kerusakan sel seperti sel imun,
mencetuskan arteriosklerosis dan kanker serta dapat mengakibatkan
penggumpalan darah yang dapat memunculkan stroke dan penyakit jantung
koroner (Noda & Wakasugi 2001; Yamada 2001). Peroksidase lipid dapat
merusak lipid dengan menghasilkan malonaldehid (MDA) dan 4-
hidroksinonenal. Kedua senyawa tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada
protein dengan menghasilkan protein karbonil, hidroksileusin, hidrobvalin dan
nitrotirosin, sehingga menyebabkan protein mudah mengalami lisis (Supartondo
2002). Kerusakan lainnya terjadi pada DNA dengan hasil 8-oksoguanin dan timin
glikol (Yashikawa & Naito 2002) yang menyebabkan mutasi serta penuaan dini
(Yakode & Kita 2002).
8
Penelitian Takahashi dan Akiba (1999) membuktikan bahwa pemberian
lemak teroksidasi pada ayam broiler, nyata menurunkan konsumsi ransum,
pertambahan bobot badan serta konsentrsi vitamin C dan α-tokoferal plasma
darah. Hasil tersebut diikuti dengan meningkatnya MDA plasma dan rasio
heterofil dan limfosit darah sebagai indeks dari cekaman. Selanjutnya penelitian
Taniguchi et al. (1999) membuktikan bahwa stres oksidatif karena pemberian
hormon kortison, dapat meningkatkan kandungan lemak abdomen, MDA dan
kolesterol plasma ayam broiler. Skema hubungan antara suhu lingkungan dengan
produksi ternak disajikan pada Gambar 2.
Faktor Lingkungan
Reseptor Cahaya Suhu Tubuh Stress Oksidatif
Hipotalamus Peroksidasi Lemak
Pusat
Haus
Pusat
LaparPusat
Termoregulasi
Sistem
Hormon
Lemak & Kolesterol ↑
Sintesis Protein ↓
Minum Makan Kelenjar
Endokrin
Tiroid Adrena
Metabolisme
Nutrisi
Produksi
Substrat Enzim
Gambar 2 Hubungan lingkungan dengan produksi ternak (Hafez 1968)
9
Pada Gambar 2 terlihat bahwa suhu lingkungan akan sampai ke tubuh baik
melalui reseptor pada kulit maupun melalui pembuluh darah sehingga sampai ke
hipotalamus. Suhu lingkungan yang tinggi dapat merangasang pusat haus dan
sekresi hormon kortikosteron, sementara pusat lapar dan sekresi thyroid
stimulating hormone (TSH) yang berperan dalam sekresi hormon tiroid
dihambat, akibat terjadinya penurunan dalam metabolisme, sehingga produksi
menjadi turun. Selanjutnya suhu lingkungan yang tinggi dapat meningkatkan
radikal bebas baik berasal dari endogen maupun eksogen yang antara lain dapat
menyebabkan peroksidasi lipid terutama asam lemak tidak jenuh (ALTJ) serta
gangguan metabolisme lainnya seperti terserangnya DNA dan protein dalam sel.
Lemak, Asam Lemak dan Kolesterol
Lemak terdiri dari campuran asam lemak dan gliserol. Gliserol mempunyai
tiga gugus hidroksil yang masing-masing mengikat satu molekul asam lemak
yang disebut trigliserida. Asam lemak adalah komponen terbesar dari beberapa
lipida kompleks yang mengandung atom C yang sebagian besar umumnya
terdapat pada jaringan hewan (Enser 1984). Sifat asam lemak ditentukan oleh
komposisi asam lemak, panjang rantai karbon serta posisi ikatan rangkapnya
(Girindra 1988). Berdasarkan sifat-sifat tersebut, asam lemak dapat digolongkan
ke dalam asam lemak jenuh (tidak mengandung ikatan rangkap) dan asam lemak
tak jenuh (mengandung ikatan rangkap). Asam lemak yang mengandung satu
ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh tunggal (mono unsaturated fatty
acid) dan asam lemak yang mengandung lebih dari satu ikatan rangkap disebut
asam lemak tak jenuh ganda (poly unsaturated fatty acid/ PUFA). Asam lemak
jenuh memiliki titik didih yang lebih tinggi daripada asam lemak tidak jenuh
dengan jumlah atom karbon yang sama. Disamping itu terdapat istilah penamaan
asam lemak dengan omega atau ω yang ditandai dengan posisi ikatan rangkap
yang berdekatan dengan gugus metil (CH3). Asam linolenat (ω -3) adalah asam
lemak yang memiliki posisi ikatan rangkap pada rantai ketiga dari gugus metil
(CH3). Asam lemak linoleat (ω -6) dan oleat (ω -9) masing-masing memiliki
ikatan rangkap berjarak 6 dan 9 rantai dari gusus metil (CH3).
Komposisi asam lemak daging dipengaruhi oleh komposisi asam lemak
ransum disamping umur dan bangsa ternak, terutama pada ternak monogastrik.
10
Pada ternak monogastrik pemberian ransum dengan kandungan lemak jenuh
tinggi akan mengakibatkan kandungan lemak jenuh daging menjadi lebih tinggi.
Penurunan lemak kemungkinan sejalan dengan penurunan komposisi asam lemak
karena kecepatan penimbunan sangat berpengaruh terhadap komposisi asam
lemak ransum (Girindra 1988).
Kolesterol adalah sterol terpenting dari organ hewan, dan menyusun 17%
bahan kering otak (Tillman et al. 1991), serta terdapat dalam semua sel hewan,
sehingga tersebar luas dalam tubuh dan terdapat dalam darah serta cairan
empedu. Kolesterol mempunyai rumus molekul C27H45OH dan dapat dinyatakan
sebagai 3 hidroksi-5,6 kolesten, karena mempunyai satu gugus hidroksil pada
atom C3 dan ikatan rangkap pada atom C5 dan C6 serta percabangan pada C10 C13
C17 (Mayes 1995). Rumus molekul kolesterol disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Rumus molekul kolesterol (Lehninger 2005)
Menurut Sitepoe (1992) kolesterol diklasifikasikan ke dalam lipida
berkomponen alkohol steroid yang sebagian besar berfungsi sebagai penghasil
kalori serta memberikan nilai tambah terhadap cita rasa makanan. Fungsi
kolesterol dalam tubuh adalah sebagai prekusor pembentuk asam empedu oleh
hati, yang merupakan rute utama untuk katabolisme kolesterol; untuk
pembentukan hormon-hormon steroid seperti glukokortikosteroid dan aldosteron
dalam gonad dan beberapa jaringan lainnya; dan untuk pembentukan vitamin D
yang merupakan satu-satunya vitamin yang disintesis oleh tubuh dan tidak
dibutuhkan dalam makanan. Herman (1991) menyatakan bahwa kolesterol
berfungsi untuk membantu sel saraf dalam menjalankan fungsinya dimana tanpa
kolesterol koordinasi gerak tubuh dan kemampuan berbicara akan terganggu.
11
Kolesterol dalam tubuh berupa kolesterol eksogen dan kolesterol endogen
(Fransdson 1992). Kolesterol eksogen masuk ke dalam tubuh berasal dari
makanan dan sebaliknya kolesterol endogen dibentuk sendiri oleh sel-sel tubuh,
terutama di dalam hati. Di dalam tubuh tidak dapat dibedakan antara kolesterol
yang berasal dari sintesis dalam tubuh dan kolesterol yang berasal dari makanan.
Jika jumlah kolesterol dari makanan kurang, maka sintesis kolesterol di dalam
hati dan usus meningkat untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan organ lain.
Sebaliknya jika jumlah kolesterol di dalam makanan meningkat maka sintesis
kolesterol di dalam hati dan usus menurun (Muchtadi et al. 1993)
Kolesterol dalam darah berasal dari usus atau diproduksi oleh jaringan
tubuh dari asetat dan ditemui pada semua fraksi lipid darah. Piliang dan
Djojosoebagio (2002) melaporkan bahwa peningkatan kadar kolesterol dalam
serum disebabkan oleh terganggunya mekanisme dalam pengubahan kolesterol
menjadi asam empedu, dan Girindra (1988) menyatakan kadar kolesterol plasma
akan naik jika makan banyak kolesterol, obstruksi duktus empedu, fungsi usus
terganggu dan diabetes melitus. Tingginya masukan lemak jenuh, rendahnya
perbandingan lemak tak jenuh dan tingginya masukan kolesterol dalam darah
juga akan meningkatkan kolesterol dalam darah Herman (1991).
Kolesterol berhubungan erat dengan aterosklerosis, suatu keadaan di mana
kolesterol dan lipida yang lain masuk ke dinding pembuluh darah bagian dalam
(Frandson 1992). Lebih lanjut dikatakan bahwa aterosklerosis berkaitan dengan
makanan yang tinggi kadar kolesterolnya dan lemak yang jenuh. Tillman et al.
(1991) menyatakan bahwa aterosklerosis ditandai oleh penumpukan (deposisi)
ester kolesteril dan lipida lain dalam jaringan ikat dinding arteri, sehingga akan
menyebabkan penggumpalan dan dinding arteri dapat menebal serta pada
keadaan parah menyebabkan serangan jantung.
Beyne (1980) menyatakan bahwa jumlah kolesterol dalam tubuh tergantung
pada keadaan individu, dalam masa pertumbuhan atau tidak. Jumlah kolesterol
bervariasi baik untuk setiap individu maupun pada setiap organ tubuh.
Mekanisme pengaturan kolesterol di dalam tubuh hewan pada dasarnya
tergantung pada sintesis kolesterol dan eksresi steroid pada feses.
12
Biosintesis Kolesterol
Kolesterol disintesis dalam tubuh, terutama oleh sel-sel hati, usus halus dan
kelenjar andrenal. (Piliang & Djojosoebagio 2002). Lebih lanjut dikatakan bahwa
dengan melalui suatu rangkaian yang rumit, dua karbon fragmen sederhana, yaitu
Asetil CoA diubah menjadi 1 atau 2 gram kolesterol setiap hari. Proses
biosintesis kolesterol dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Proses biosintesis kolesterol dalam 4 tahap (Lehninger 2004)
Menurut Lehninger (2005) biosintesis kolesterol dapat dibagi menjadi 4
tahap, yaitu (1) sintesis mevalonat, yaitu suatu senyawa 6 karbon dari asetil-CoA,
terbentuk akibat reaksi kondensasi dan reduksi yang berlangsung di dalam
13
mitokondria; (2) Unit isoprenad dibentuk dari mevalonat melalui pelepasan CO2,
pada reaksi fosforilasi oleh ATP; (3) enam unit isopropenoid mengadakan
kondensasi untuk membentuk senyawa antara skualena; (4) Skualena
mengadakan siklisasi untuk menghasilkan senyawa steroid induk yaitu lanosterol,
yang berlangsung di dalam retikulum endoplasma; kolesterol dibentuk di dalam
membran retikulum endoplasma dari lanosterol setelah melewati sekitar 20
rangkaian reaksi, termasuk migrasi gugus metil dan pelepasan senyawa-senyawa
lainnya.
Menurut Muchtadi et al. (1993) dari strukturnya dapat diketahui bahwa
biosintesis kolesterol akan membutuhkan sumber atom karbon dan daya
pereduksi untuk menciptakan ikatan antara atom karbon hidrogen. Daya
pereduksi dalam bentuk NADPH dihasilkan hanya oleh enzim yang berasal dari
”hexose monophospate shunt”, yaitu glukosa 6 dehidrogenase dan 6
fosfoglukonat dehidrogenase. Untuk setiap molekul gula yang dioksidasi melalui
proses tersebut akan menghasilkan 2 NADPH. Semua atom karbon kolesterol
berasal dari asetat. Asetil Ko-A sebagai prekusor asam mevalonat diperoleh dari
berbagai sumber, yaitu: proses β-oksidasi asam lemak berantai panjang, oksidasi
asam amino ketogenik seperti leusin dan isoleusin, serta reaksi piruvat
dehidrogenase yang menghubungkan glikolisis dan siklus krebs.
Kolesterol tidak larut dalam sistem larutan, karena itu harus diangkut
melalui lipoprotein plasma, yang terdiri atas lemak polar, lesitin, apoprotein
spesifik dan kolesterol bebas, serta lipid non polar termasuk kolesterol ester dan
trigliserida. Lipoprotein plasma terdiri dari kilomikron, very low density
lipoprotein (VLDL), intermediate density lipoprotein (IDL), low density
lipoprotein (LDL) dan high density lipoprotein (HDL). Kilomikron dan VLDL
yang terbentuk dala mukosa usus diangkut ke dalam limfa dan sekresinya melalui
pembuluh darah. Hati juga mensintesis beberapa VLDL. Sekitar 75% dari
kolesterol diesterifikasi dengan asam lemak rantai panjang, kemudian
dihidrolisis dan kolesterol bebas dimanfaatkan oleh sel atau bergabung di dalam
membran sel, sedangkan kelebihannya dibuang. Kolesterol yang diekskresikan
mengalami siklus ulang ke dalam hati atau diangkut oleh HDL dan ditransfer ke
VLDL.
14
Fungsi masing-masing lipoprotein plasma dijelaskan oleh Piliang dan
Djojosoebagio (2002). Kilomikron protein dengan densitas terendah mempunyai
fungsi untuk mentransport trigliserida dan membawa sebagian kolesterol. VLDL
berfungsi sebagai pembawa trigliserida yang dibawa dari hati ke jaringan-
jaringan lain dalam tubuh, terutama jaringan adiposa untuk disimpan. LDL
berfungsi mentransport kolesterol, yaitu lebih dari setengahnya dalam bentuk
kolesterol ester. HDL untuk mentransport fosfolipida dan kolesterol ester dari
jaringan perifer kembali ke hati untuk diubah menjadi asam empedu. Kolesterol
yang tidak diperlukan akan dikeluarkan bersama-sama dengan feses dan lebih
kurang setengahnya dalam bentuk hormon-hormon steroid normal.
Dijelaskan oleh Muchtadi et al. (1993), jalur utama pembuangan kolesterol
dari tubuh adalah melalui konversi oleh hati menjadi asam empedu, yaitu asam
kholat dan ”chenodeoxycholic” yang berkaitan dengan glisin atau taurin
membentuk garam empedu, kemudian diekskresi di dalam empedu ke dalam
duodenum bersama-sama dengan kolesterol bebas. Sebagian besar asam empedu
direabsorbsi oleh hati melalui sirkulasi dan selanjutnya diekskresi kembali ke
dalam empedu. Asam empedu yang tidak diserap didegradasi oleh mikroba usus
besar dan diekskresikan ke dalam feses.
Kebutuhan pasti akan kolesterol tubuh belum diketahui. Tetapi para ahli
sependapat bahwa meskipun dalam bentuk sedikit saja kolesterol disintesis oleh
tubuh telah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Menurut Herman
(1991), kadar kolesterol di dalam darah menentukan besar kecilnya resiko
terkena penyakit kardiovaskular. Peningkatan kadar kolesterol dalam darah
dihubungkan dengan terjadinya artherosklerosis (Piliang & Djojosoebagio 2002;
Tillman et al. 1991), dimana terjadinya penimbunan bahan-bahan yang
mengandung kolesterol pada dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan
penggumpalan. Selanjutnya dinding pembuluh darah arteri dapat menebal dan
dalam keadaan parah dapat menyebabkan serangan jantung. Peningkatan kadar
kolesterol dalam serum darah dapat disebabkan oleh terganggunya mekanisme
pengubahan kolesterol menjadi asam empedu.
15
Lipid Peroksida
Lipid Peroksida merupakan hasil peroksidasi lipid, yaitu adalah reaksi yang
terjadi antara radikal bebas dengan PUFA (polyunsaturated fatty acid) yang
mengandung sedikitnya tiga ikatan rangkap. Reaksi ini diakibatkan oleh radikal
bebas, yaitu suatu atom atau molekul yang memiliki satu atau lebih elektron tidak
berpasangan dan sangat reaktif (Halliwell & Guteridge 1989).
Peroksidasi lipid dimulai dengan pemisahan sebuah atom hidrogen oleh
radikal bebas dari suatu grup metilena (-CH2-) PUFA. Reaksi ini menghasilkan
pembentukan suatu radikal bebas karbon (-CH-) pada PUFA. Radikal karbon
distabilkan melalui suatu pengaturan ulang ikatan rangkap yang menghasilkan
pembentukan diena terkonjugasi. Bila diena terkonjugasi berikatan dengan O2
akan terbentuk radikal peroksil lipid (ROO). Selanjutnya reaksi peroksil lipid ini
membentuk endoperoksida lipid atau lipid peroksida. Radikal peroksil lipid ini
dapat juga menghilangkan sebuah atom hidrogen dari molekul lipid lain yang
berdekatan untuk membentuk suatu hidroperoksil lipid dan juga membentuk
radikal karbon lain. Bila radikal karbon ini bereaksi dengan oksigen maka reaksi
peroksidasi lipid akan terus berlanjut. Pembentukan endoperoksida lipid pada
PUFA yang mengandung sedikitnya tiga ikatan rangkap akan mendorong
terbentuknya senyawa malonaldehid (MDA) (Sayogya 2002). Mekanisme reaksi
peroksidasi lipid ini disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Mekanisme peroksida lipid
Kadar lipid peroksida diukur dengan menggunakan metode TBARs dimana
digambarkan reaksi antara asam triarbiturat (TBA) dengan malonaldehid (MDA).
TBA akan bereaksi dengan gugus karbonil MDA, yaitu satu molekul TBA
16
berikatan dengan dua molekul MDA. Reaksi tersebut dapat dilihat pada Gambar
6.
Gambar 6 Reaksi TBA dengan MDA
Produk yang terbentuk berupa kromofor berwarna merah ungu yang diukur
serapannya pada =532 nm. Pada reaksi ini sejumlah senyawa lain juga dapat
bereaksi dengan TBA, namun karena jumlahnya kecil maka dapat diabaikan.
Senyawa-senyawa itu antara lain glukosa < 0,4 mg (2,2 ʋ mol) dan sukrosa <
8,56 mg (25,0 ʋ mol) (Ohkawa et al. 1979).
Beberapa penelitian menunjukkan peroksidasi lipid mengawali serangkaian
peristiwa yang berakibat peningkatan pemanfaatan LDL oleh makrofag dan
terbentuknya sel busa pertanda kerusakan dini lesi aterosklerosis pada intima
arteri. Membran-membran mikrosom hati menjalani peroksidasi lipid secara
enzimatis. Peroksidasi lipid yang bergantung kepada NADPH atau NADH.
Reaksi ini juga bergantung kepada Fe3+
(sebagai kompleks dengan ADP,
pirofosfat, dan EDTA). Dalam reaksi ini, NADPH atau NADH berperan sebagai
reduktor yang akan mereduksi Fe3+
menjadi Fe2+
proses reduksi ini dikarenakan
Fe2+
akan lebih menstimulasi peroksidasi lipid karena memiliki kecepatan reaksi
yang lebih besar, serta adanya reaktivitas yang tinggi dari radikal alkoksi (RO.)
yang dihasilkan (Halliwell & Gutteridge 1989).
Membran-membran mikrosom hati rentan terhadap peroksidasi lipid karena
banyaknya kandungan PUFA pada membran ini. Proses ini akan mengubah
kekentalan membran. Produksi MDA saat peroksidasi membran mikrosom
bervariasi pada tipe jaringan yang berbeda. Ini disebabkan oleh jumlah PUFA
yang tidak sama. Peroksidasi non enzimatis dari membran-membran mikrosom
17
kemungkinan disebabkan oleh hemoprotein endogen dan logam-logam transisi
(St. Angelo 1992).
Pada darah maupun organ, kadar lipid peroksida yang berlebih dapat
mengakibatkan berbagai penyakit degeneratif. Jika kadar lipid peroksida di hati
meningkat, maka lipid peroksida ini keluar dari hati menuju pembuluh darah, dan
akan merusak organ atau jaringan lain. Pada manusia kadar lipid peroksida akan
meningkat seiring dengan bertambahnya usia, tetapi jumlahnya tidak boleh
melebihi kadar normalnya yaitu 4 nmol/ml (Yagi 1994).
Darah
Darah terdiri dari sel-sel yang terendam dalam cairan yang disebut plasma
(Frandson 1992). Menurut Nielsen (1997) volume darah total pada burung
sebesar 5 - 40% dari berat badannya, dan menurut Swenson (1984) sebanyak 8%
dari berat badannya. Variasi volume darah dalam tubuh tergantung pada umur,
nutrisi, kesehatan ternak, aktivitas tubuh, jenis kelamin dan faktor lingkungan.
Menurut Post et al. (2002) peubah sel darah merupakan ukuran yang berguna
bagi penelitian kesehatan dan kesejahteraan hewan. Pemeriksaan darah
merupakan salah satu metode untuk menetapkan suatu diagnosis penyakit yang
dapat memberi gambaran tentang keadaan patologis dan fisiologis. Kelainan-
kelainan dalam darah atau organ-organ pembentuk tubuh ternak dapat diketahui
melalui pemeriksaan darah ini (Guyton 1986).
Frandson (1992) menyatakan bahwa darah pada hewan merupakan medium
transportasi. Beberapa fungsi darah yaitu (1) membawa nutrient dari saluran
pencernaan ke seluruh jaringan, (2) membawa produk akhir metabolisme dari sel
ke organ pengeluaran, (3) membawa O2 dari paru-paru ke jaringan, (4) membawa
CO2 dari jaringan ke paru-paru dan (5) mengandung faktor-faktor penting untuk
pertahanan tubuh terhadap penyakit. Menurut Strurkie dan Grimminger (1976),
darah terdiri atas cairan (plasma), garam-garam, zat-zat kimia dan butiran sel-sel
darah. Sel-sel tersebut terdiri atas eritrosit (sel darah merah) dan leukosit (sel
darah putih).
Eritrosit
Fungsi utama dari sel-sel darah merah atau eritrosit, adalah mengangkut
hemoglobin yang membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan (Guyton 1997).
18
Pada beberapa hewan tingkat rendah, hemoglobin ini beredar sebagai protein
bebas dalam plasma, tidak terbatas dalam sel darah merah. Selain mengangkut
hemoglobin, sel-sel darah merah mengandung banyak karbonik anhidrase yang
berperan dalam mengkatalisis reaksi antara karbon dioksida dan air, sehingga
meningkatkan kecepatan reaksi bolak balik menjadi beberapa ribu kali lipat.
Sel darah merah normal, berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter
kira-kira 7.8 mikrometer dan dengan ketebalan pada bagian yang paling tebal 2.5
mikrometer pada bagian tengah 1 mikrometer atau kurang. Cakram bikonkaf
tersebut mempunyai permukaan yang relatif luas untuk pertukaran oksigen
melintasi membran sel (Frandson 1992). Volume rata-rata sel darah merah adalah
90-95 mikrometer kubik. Bentuk sel darah merah dapat berubah-ubah ketika sel
berjalan melewati kapiler (Guyton 1997).
Hemoglobin
Hemoglobin mempunyai tugas pokok membawa atau mengangkut
oksigen dari paru-paru menuju kesemua jaringan tubuh hewan. Setelah sampai di
jaringan oksigen dibebaskan untuk diberikan kepada sel. Karbondioksida yang
dihasilkan oleh sel akan berdifusi ke dalam darah dan dibawa kembali ke paru-
paru untuk dibuang pada saat terjadi pernafasan (Frandson 1992). Besi di dalam
darah berada dalam bentuk hemoglobin yang terdapat dalam butir-butir darah
merah (eritrosit), dalam bentuk transferrin di dalam plasma darah dan dalam
bentuk ferritin. Meskipun tidak cukup banyak, ferritin juga didapati di dalam
butir-butir darah merah dan di dalam butir-butir darah putih (Piliang &
Djojosoebagio 2002).
Piliang dan Djojosoebagio (2002) menyatakan bahwa cadangan zat besi
tersimpan dalam bentuk ikatan ferritin dan hemosiderin. Kedua macam zat ini
terkumpul di dalam jaringan tubuh tetapi sebagian besar disimpan didalam hati,
limpa dan sumsum tulang. Mekanisme tentang penyerapan atau absorbsi besi
oleh usus ketika tubuh memerlukan tambahan besi dari luar dan menurunnya
efisiensi penyerapan besi oleh usus ketika tubuh mempunyai kelebihan besi
belum diketahui dengan pasti. Dalam keadaan normal fisiologis, besi dalam
tubuh melalui makanan dan setelah melewati saluran pencernaan besi akan
19
masuk ke dalam peredaran darah. Banyaknya besi yang diperoleh dari makanan
tidak selalu sama pada setiap individu.
Bila sel darah merah mencapai akhir usia hidupnya, globin akan diuraikan
menjadi asam amino (yang akan digunakan kembali dalam tubuh), besi
dilepaskan dari heme dan juga akan digunakan kembali dan komponen tetrapirol
pada heme diubah menjadi bilirubin, yang terutama dieksresikan ke dalam usus
lewat empedu.
Hematokrit
Hematokrit adalah fraksi darah yang terdiri dari sel-sel darah merah, yang
ditentukan melalui sentrifugasi darah dalam tabung hematokrit sampai sel-sel ini
benar-benar mampat pada bagian bawah tabung. Sangat sulit untuk
memampatkan semua sel darah merah; karenanya sekitar 3 - 4% plasma tetap
terjebak diantara sel, dan hematokrit sebenarnya hanya sekitar 96% dari
hematokrit yang terukur (Guyton 1997). Semakin besar persentase sel dalam
darah artinya semakin besar hematokrit, semakin banyak gesekan yang terjadi
antara berbagai lapisan darah, dan gesekan ini menunjukkan viskositas. Karena
itu viskositas darah meningkat hebat dengan meningkatnya hematokrit. Bila
hematokrit meningkat sampai 60 atau 70, yang seringkali terjadi pada
polisitemia, viskositas darah menjadi 10 kali lebih besar daripada air dan
alirannya melalui pembuluh darah menjadi sangat terhambat.
Nilai hematokrit atau volume sel packed, adalah suatu istilah yang artinya
persentase sel-sel darah merah dari total darah yang penentuannya dilakukan
dengan mengisi tabung hematokrit dengan darah yang diberi zat agar tidak
menggumpal (anti koagulan), kemudian dilakukan sentrifuge sampai sel-sel
mengumpul di bagian dasar tabung. Nilai hematokrit biasanya dianggap sama
manfaatnya dengan hitungan sel darah merah total (Frandson 1992). Piliang dan
Djojosoebagio (2002) mengemukakan bahwa kadar hematokrit ditentukan
dengan mensentrifuge darah yang terdapat di dalam tabung kapiler selama 10-15
menit kemudian mengukur tinggi butir-butir darah merah dan
membandingkannya dengan ketinggian butir-butir darah merah bersama
plasmanya.
20
SGOT dan SGPT
Jaringan hati mengandung enzim-enzim transaminase dalam jumlah yang
besar seperti Glutamat Piruvat Transaminase (GPT) dan Glutamat Oksaloasetat
Transaminase (GOT). Adanya kerusakan sel-sel parenkim hati atau permeabilitas
membran akan mengakibatkan enzim GOT dan GPT, arginase, Laktat
Dehydrogenase (LDH) dan Gamma Glutamil Transaminase (GGT) bebas keluar
sel, sehingga cairan masuk ke pembuluh darah melebihi keadaan normal dan
kadarnya dalam darah meningkat terlebih dahulu dan peningkatannya lebih nyata
bila dibandingkan dengan enzim-enzim lainnya (Callbreath 1982). Kenaikan
kadar transaminase dalam serum disebabkan oleh sel-sel yang kaya akan
transaminase mengalami nekrosis atau hancur. SGPT adalah ukuran nekrosis
hepatoseluler yang paling spesifik dan paling luas ditemukan. SGOT bekerja
serupa tetapi kurang spesifik (Sujono 2002).
Enzim GPT akan memindahkan gugus amino pada alanin ke gugus keto dari
α ketoglutarat membentuk glutamat dan piruvat. Selanjutnya piruvat diubah
menjadi laktat. Reaksi tersebut dikatalis oleh enzim Laktat Dehydrogenase
(LDH) yang membutuhkan NADH dalam reaksi yang dikatalisisnya. Enzim GPT
merupakan enzim yang spesifik ada pada hati. Persamaan reaksi dari aktivitas
GPT dan LDH terlihat pada reaksi sebagai berikut.
α -ketoglutarat+ L-alanin (GPT) piruvat+L-glutamat
Piruvat + NADH+H+ (LDH) L-laktat+NAD
+
Enzim GOT mengkatalisis pemindahan gugus amino pada L-aspartat ke
gugus keto dari α-ketoglutarat membentuk glutamat dan oksalat. Selanjutnya
oksaloasetat diubah menjadi malat. Reaksi tersebut dikatalisis oleh enzim malat
dehydrogenase (MDH) yang membutuhkan NADH dalam reaksi yang
dikatalisisnya. Enzim GOT tidak spesifik untuk disfungsi hati karena enzim ini
juga ditentukan pada otot rangka, ginjal, dan pankreas.Persamaan reaksi aktivitas
GOT sebagai berikut
α -ketoglutarat+ L-aspartat (GOT) L-glutamat + oksaloasetat
Oksaloasetat + NADH+H+ (MDH) L-malat+NAD
+
21
Sistem Kekebalan (Immune) Tubuh
Sistem pertahanan tubuh (kekebalan) pada unggas merupakan sistem
kompleks yang befungsi untuk menjaga stabilitas kesehatan tubuh ternak dari
infeksi dan juga meningkatkan level kesehatan ternak (Klasing 1998). Sistem ini
terdiri dari berbagai macam sel-sel tubuh dan berbagai macam jenis protein yang
bekerja dengan cara mengenali dan kemudian membunuh berbagai macam
bakteri patogen dan benda atau makhluk asing yang masuk ke dalam sistem
tubuh. Keberadaan sistem pertahanan tubuh terdapat pada berbagai macam
permukaan jaringan tubuh, terutama pada saluran pencernaan dan sistem kelenjar
getah bening. Sistem ini dapat bekerja secara spesifik dan non spesifik.
Sistem pertahanan tubuh ini bisa bekerja secara non spefisik yang
merupakan sistem pertahanan tubuh pertama dengan cara bereaksi terhadap
sesuatu yang asing (mikroba atau zat) dan masuk ke dalam tubuh. Sistem non
spesifik ini biasanya tidak meninggalkan memori sehingga tidak bersifat spesifik
terhadap bakteri tertentu, melainkan akan bersifat lebih luas terhadap semua
mikroba atau zat yang masuk yang bisa menginfeksi. Sistem ini bisa berupa
pagocytes yang dapat langsung memakan dan membunuh bakteri patogen,
menghasilkan bahan kimia (protein, asam organik atau bakteriosin) yang dapat
membunuh bakteri patogen dan juga makrofag sebagai pusat sistem kekebalan
(pertahanan tubuh) yang akan merangsang Sel B dan Sel T dalam menghasilkan
antibodi (Mashaly et al. 2004)
Sistem pertahanan tubuh spesifik merupakan lini pertahanan kedua jika
terjadi infeksi atau serangan benda atau mikroba asing dan biasanya memerlukan
waktu lebih lama dalam proses netralisasi atau penyembuhan infeksi jenis ini.
Sistem ini biasanya akan menghasilkan antigen yang bersifat spesifik terhadap
mikroba tertentu, sehingga sistem ini sangat dimungkinkan untuk meninggalkan
memori. Salah satu analogi dari sistem pertahanan tubuh spesifik ini ialah
program vaksinasi yang bermaksud untuk memberikan kuman patogen yang
sudah dilemahkan sehingga tidak berdampak negatif bagi tubuh namun akan
tetap merangsang makrofag agar menghasikan antigen yang dapat mengenali
kuman patogen sejenis dan kemudian bisa membunuhnya atau dengan cara
menstimulus sel B dan sel T agar dapat mengenalinya, menyimpan dalam
22
memori dan kemudian bisa membunuh kuman patogen yang sejenis tapi masih
berbahaya bagi tubuh ternak (Chae et al. 2006).
Suplementasi Vitamin pada Ayam sebagai Antioksidan
Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi stres cekaman panas,
antara lain dengan penambahan magnesium (Kusnadi 1993; Kusnadi 1990),
pemberian vitamin C (Habibie 1993), pemberian vitamin E (Dirican & Tas 1999)
dan pemberian bahan alami yang kaya akan zat antioksidan (Dalimartha 2000;
Pramono 1992). Vitamin merupakan salah satu bahan esensial yang tidak bisa
sepenuhnya diproduksi oleh tubuh, untuk itu suplementasi melalui makanan dan
air minum sangat diperlukan. Terdapat 2 golongan utama vitamin, yaitu vitamin
larut lemak yang meliputi vitamin A, D, E dan K; serta vitamin larut air yang
meliputi vitamin B komplek, choline, vitamin C dan carnitine. Choline dan
carnitine memiliki sedikit perbedaan dibandingkan dengan vitamin B kompleks
lainnya. Perbedaan dan pengelompokkan vitamin larut lemak dan vitamin larut
air dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Pengelompokkan jenis vitamin
Deskripsi Vitamin Larut Lemak Vitamin Larut Air
Komponen C, H, O C, H, O, Cl, N, Co, S
Deposit Jaringan adiposa Bukan jaringan adiposa
Ekskresi Melalui Feses Melalui urine
Prekursor Ada Tidak ada, koenzim
Fungsi Menghasilkan energi Transfer energi Sumber : DSM (2007)
Vitamin E termasuk vitamin larut lemak yang erat kaitannya dengan
metabolisme lemak, berfungsi sebagai antioksidan dalam pemecahan rantai asam
lemak, berperan dalam sistem kekebalan dan penuaan serta behubungan erat
dengan metabolisme mineral selenium. Selain sebagai proteksi dari peroksidasi
lemak, vitamin E berperan sebagai regulator sistem kekebalan tubuh di tingkat
sel dan suplemetasi vitamin E 100 mg/kg ransum dapat mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh ketika berlangsung stres panas (Niu et al. 2009). Sahin et al.
(2002) melaporkan bahwa pemberian vitamin E 250 mg/kg ransum memperbaiki
performa ayam broiler dan menurunkan konsentrasi tryclicerida serta cholesterol
dalam plasma darah yang dipelihara dalam kondisi stres panas (32 oC). Rasio
heterophyl (H): lympocyte (L) meningkat yang menandakan kemampuan sistem
23
kekebalan dalam melakukan phagocytosis meningkat dengan pemberian vitamin
E 30 kali dosis normal (10 mg/kg ransum) pada ayam broiler (Boa et al. 2000).
Selain vitamin E, antioksidan yang sangat diperlukan dalam proses
metabolisme adalah vitamin C. Vitamin C bisa disintesa oleh tubuh pada kondisi
normal dan hewan dewasa, fungsinya ialah sebagai antioksidan dalam berbagai
reaksi yang bisa merugikan tubuh, sintesa vitamin C dalam tubuh erat kaitannya
dengan level glukosa tubuh dan akan berkurang ketika terjadi stres. Mckee et al.
(1997) melaporkan bahwa pemberian vitamin C 150 mg/kg ransum
mempengaruhi sistem penyimpanan energi di dalam tubuh yang bisa digunakan
ketika asupan energi berkurang saat stres panas berlangsung. Vitamin C bisa
teroksidasi, terdegradasi oleh enzim, tereduksi oleh trace mineral dan rusak oleh
suhu pemanasan. Mekanisme kerja vitamin C sebagai antioksidan tampak pada
Gambar 7.
Gambar 7 Mekanisme kerja vitamin C sebagai antioksidan (Lehninger 2005)
Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa mekanisme kerja vitamin C sebagai
antioksidan dibagi menjadi 3 tahap yaitu 1) selama oksidasi oleh asam askorbat,
sebuah radikal bebas disebut radikal asam semidehidroaskorbic dibentuk tetapi
memiliki paruh waktu yang pendek 2) Oksidasi senyawa radikal tersebut
membentuk asam dehidroaskorbic 3) asam dehidroaskorbik dapat dikurangi
dengan hidrogen yang berasal dari glutathione tereduksi.
24
Vitamin E dan vitamin C dapat melakukan sinergi dalam peranannya
sebagai antioksidan. Vitamin E yang terletak pada atau dekat dengan permukaan
membran dapat bereaksi dengan radikal peroxyl (LOO*), sebelum radikal
tersebut bereaksi dengan asam lemak pada membran sel atau komponen sel lain.
Vitamin E menghentikan reaksi pembentukan rantai, akan tetapi vitamin E
kurang efektif dalam menghentikan peroksidasi yang menghasilkan radikal
(*OH) atau radikal alkoxyl (RO*).
Vitamin E (dalam bentuk tereduksi) karena kereaktifan hydrogen fenolik
dan gugus karbon 6 hidroxyl dan kemampuan sistem cincin kromanol untuk
menstabilkan elektron tidak stabil, menyediakan hydrogen untuk reduksi radikal
peroxyl, sebagai berikut:
LOO* + EH ---------- > LOOH + E*
Vitamin E (EH) juga menyediakan hydrogen untuk mereduksi radikal lemak
yang terdapat senyawa karbon ditengahnya:
L*+ EH ---------- > LH + E•
E* mewakili vitamin E teroksidasi (juga disebut radikal alfa tokoferol atau
radikal alfa tokoperokxyl), proses ini disebut “mencari radikal bebas”. Proses ini
akan berhenti jika dua radikal bebas bersatu membentuk molekul yang bukan lagi
radikal bebas dan tidak dapat meneruskan reaksi.
Radikal tokoperoxyl yang dihasilkan dalam reaksi penghentian radikal
bebas harus direduksi untuk dapat digunakan kembali. Regenerasi menjadi
tokoperoxyl dari vitamin E tereduksi dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Regenerasi vitamin E (α-tokoferol) (Gropper et al. 2009)
Gambar 8 menunjukkan bahwa regenersasi vitamin E membutuhkan agen
pereduksi, termasuk vitamin C (asam askorbat), gluthation tereduksi (GSH),
NADPH, ubiquinol, dan asam dihidrolipoic. Selanjutnya, radikal tokoperoxyl
25
dapat bereaksi dengan radikal peroxyl untuk membentuk produk tidak aktif
seperti tokopherylquinon.
Puthpongsiriporn et al. (2001) melaporkan bahwa pemberian vitamin E (65
IU/kg ransum) dan C (1000 ppm melalui air minum) pada ayam petelur yang
mengalami stres panas tidak mempengaruhi parameter produksi, tetapi
mempengaruhi level status imunitas, kandungan antioksidan dalam kuning telur
dan kandungan antioksidan pada plasma darah. Kombinasi pemberian vitamin E
(240 mg/kg ransum) dengan vitamin C (240 mg/kg ransum) pada puyuh masa
pertumbuhan dan produksi telur yang mengalami stres cekaman panas berpotensi
untuk memperbaiki performa produktivitas dan memperbaiki efek negatif dari
stres panas (Ipek et al. 2007). Pemberian vitamin E (60 mg/kg ransum) yang
dikombinasikan dengan vitamin C (60 mg/kg ransum) pada hewan kesayangan
yang sehat tidak berdampak banyak pada sistem kekebalan dan parameter
antioksidan tubuh (Hesta et al. 2009). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan
suplementasi vitamin E yang dikombinasikan vitamin C lebih optimal ketika
ternak dalam kondisi stres, baik yang diakibatkan oleh lingkungan atau dalam
tubuh ternak itu sendiri, hal ini disebabkan ketika stres ternak akan mengalami
gangguan sintesa vitamin C dalam tubuh dan tingginya radikal bebas dalam
tubuh yang dapat merusak membran sel dan jaringan tubuh.
Vitamin E salah satu pertahanan melawan kerusakan jaringan secara
oksidatif. Perlindungan lain termasuk vitamin C, gluthation, karotenoid dan
enzim yang membutuhkan sejumlah mineral mikro (besi, selenium, zinc, copper
dan mangan) untuk aktivasinya. Oleh sebab itu, terdapat hubungan yang erat
antara vitamin E dan C, karotenoid, mineral-mineral tersebut pada aktivitas
antioksidan. Vitamin E dan C tampak bekerja secara sinergis dalam menghambat
oksidasi. Hubungan antara vitamin E dan nutrisi lain yang berfungsi sebagai
antioksidan disajikan pada Gambar 9.
26
Keterangan EH = Vitamin E L* = Carbon-centered lipid radical
AH2 = Vitamin C RH = Organic nonlipid compound
SOD = Superoxide dismutase R* = Carbon-centered nonlipid radical GSH = Reduced gluthatione H2O2 = Hydrogen peroxide
GSSG = Oxidizeg gluthatione ROO* = Nonlipid peroxy radical
O2 = Superoxide radical ROOH = Nonlipid peroxides LOO* = Peroxy radical LOOH = Lippid peroxides
LH = Unsaturated fatty acid
Gambar 9 Interaksi antara beberapa antioksidan untuk mencegah kerusakan sel
(Gropper et al. 2009)
27
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober – Desember 2011,
bertempat di laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Unggas dan kandang C Fakultas
Peternakan IPB, laboratorium Biokimia Pangan IPB, laboratorium kimia terpadu
PAU IPB serta laboratorium Mandapa, Bogor. Untuk proses pembuatan ransum
dilakukan di Putri Jaya Gunung Farm Bogor, sedangkan untuk uji kualitas fisik
ransum dilakukan di laboratorium Industri Pakan IPB.
Bahan dan Alat
Ternak
Penelitian menggunakan DOC ayam broiler jantan strain Ross sebanyak 160
ekor berbobot rataan 42 gram dengan merk CP 707 (strain Ross) yang ditetaskan
pada tanggal 31 Oktober 2011 dari hatchery di Sukabumi.
Kandang dan Perlengkapan
Kandang yang digunakan selama proses pemeliharaan ialah kandang
kelompok (pen) dengan ukuran 1 m x 1 m x 2 m yang berlokasi di laboratorium
lapang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas. Kandang ini dilengkapi dengan lampu 60
watt, tempat pakan dan air minum masing-masing berjumlah 1 buah disetiap pen.
Lantai kandang dialasi dengan sekam, dan dinding kandang terbuat dari kawat
yang memudahkan sirkulasi udara dan dilengkapi dengan penutup plastik (tirai)
yang dapat digunakan sewaktu hujan. Bentuk dan kandang penelitian dapat dilihat
pada Gambar 10.
Gambar 10 Kandang penelitian
28
Ransum
Selama satu minggu pertama ayam dipelihara menggunakan ransum broiler
starter komersial yang berasal dari PT Charoen Pokphand Indonesia (CP 611),
sedangkan untuk umur 8 – 33 hari ransum yang digunakan terdiri dari 2 jenis,
yaitu ransum berbasis karbohidrat (PC) dan ransum berbasis lemak (PL) sebagai
sumber energi dengan komposisi disajikan pada Tabel 2. Kedua ransum
penelitian ini dibedakan berdasarkan kandungan lemaknya.
Tabel 2 Komposisi ransum penelitian (umur 8 – 33 hari)
No Bahan C : karbohidrat L : lemak
1 Jagung (%) 60.30 46.06
2 Wheat Pollard (%) 1.40 8.20
3 Bungkil kedele argentina (%) 24.75 34.63
4 Tepung daging dan tulang (%) 4.85 1.10
5 Corn gluten meal (%) 4.75 1.00
6 Crude palm oil (%) 1.35 6.15
7 Premixa (%) 2.50 2.50
8 Tepung batu (%) 0.10 0.36
Total (%) 100.00 100.00
Kandungan nutrien (perhitungan) :
1 Kadar air (%) 11.75 11.15
2 Abu (%) 4.74 5.35
3 Serat kasar (%) 3.35 3.80
4 Lemak kasar (%) 4.50 9.00
5 Asam linoleat (%) 1.52 1.80
6 Protein kasar (%) 22.00 22.00
7 BETNb (%) 53.66 48.70
8 EM (kkal/kg) 3,080.00 3,080.00
9 Lysine (%) 1.28 1.28
10 Methionine (%) 0.49 0.49
11 Calcium (%) 0.95 0.96
12 Phospor (%) 0.77 0.78
13 Phospor tersedia (%) 0.40 0.40
14 Sodium (%) 0.16 0.16
15 Chloride (%) 0.26 0.26
Catatan : a setiap kg premix mengandung vitammin A 500 KIU, vitamin D3 140 KIU, vitamin E 3.2 g,
vitamin B1 120 mg, vitamin B2 320 mg, vitamin B6 160 mg, vitamin B12 0.8 mg, biotin 3.6 mg,
vitamin K3 120 mg, calcium d-pantothenate 480 mg, folic acid 40 mg, niacin 2 g, Fe 2.4 g, Cu
0.8 g, Zn 2.4 g, Mn 2.8 g, Se 6 mg, I 60 mg. Didapatkan dari PT Trouw Nutrition Indonesia. b % BETN = 100 – kadar air – abu – serat kasar – lemak kasar – protein kasar
Proses pembuatan ransum meliputi proses penimbangan, pencampuran
(mixing), pemasakan dengan steam (conditioning), pencetakan pellet, pendinginan
(cooler), crumbling, proses pemisahan produk tepung dan crumble (sieving),
penimbangan dan pengemasan (Gambar 11) yang bekerja secara otomatis
berkesinambungan dengan kapasitas mixer sebanyak 200 kg dan kapasitas mesin
29
pellet sebesar 500 kg per jam dan ukuran die mesin pellet sebesar 3 mm. Kedua
jenis ransum menggunakan kecepatan mesin pellet yang sama yaitu sebesar 400
rpm dan memiliki tekanan steam (uap) yang digunakan ketika proses conditioning
sebesar 3 kg/cm2.
Gambar 11 Proses produksi ransum di Putri Jaya Gunung Farm
Suplemen Vitamin E dan C
Suplemen vitamin E dalam bentuk tokoferol asetat dan vitamin C dalam
bentuk asam askorbat yang digunakan berasal dari PT Trouw Nutrition Indonesia.
Adapun acuan dalam pemberian vitamin C ialah sebesar 150 mg/kg ransum atau
setara dengan 60 mg/l air minum (Mckee et al. 1997) sedangkan untuk vitamin E
sebesar 100 mg/kg ransum atau setara dengan 8 mg/l air minum setelah dikurangi
kandungan yang ada dalam ransum (Niu et al. 2009). Jenis vitamin E dan vitamin
C yang digunakan dalam penelitian ini ialah jenis vitamin yang memiliki tingkat
kelarutan terbaik dan khusus diaplikasikan melalui air minum ternak. Adapun
kandungan vitamin E di dalam ransum sebesar 80 mg/kg dan vitamin C tidak
terkandung di dalam ransum.
Alat
Peralatan yang digunakan ialah kateter, tabung sampel darah, tabung sampel
darah EDTA, freezer, termohigrometer, pita ukur, timbangan, gelas ukur, pisau
bedah, penggaris, jangka sorong dan termos es (pendingin).
Penimbangan bahan baku
Pencampuran bahan-bahan
Conditioning
Pelleting
Coolling
Pengemasan
Crumbling Sieving
30
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan yang meliputi :
1. Tahap Persiapan
Vitamin C memiliki stabilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan
vitamin E (Coelho 1994), terutama ketika berhubungan dengan mikro mineral. Air
mengandung makro mineral dan mikro mineral yang bisa mempengaruhi stabilitas
vitamin setelah dilarutkan didalam air minum (kemasan isi ulang). Untuk itu uji
stabilitas vitamin C setelah dilarutkan didalam air minum dilakukan pada 0, 1, 2
dan 3 jam menggunakan metode HPLC pada panjang gelombang 243 nm (The
European Pharmacopoeia 2005) pada suhu 25 0C
Pada minggu pertama (umur : 0 – 7 hari) penelitian ini menggunakan
ransum crumble starter komersial yang dipelihara menggunakan pemanas buatan
secara berkelompok, pemberian ransum dan air minum ad libitum. Hal ini perlu
dilakukan mengingat pada minggu pertama kemampuan ayam dalam mencerna
lemak belum optimal yang disebabkan masih berkembangnya saluran pencernaan
terutama hati dan kantung empedu. Kemudian pada umur 7 hari dilakukan
penimbangan secara individu dan dilakukan pengacakan serta pengelompokan
sesuai dengan perlakuan yang diujikan
2. Tahap Pemeliharaan Ayam (perlakuan)
Penelitian ini dilangsungkan selama 21 hari dimulai pada ayam berumur 8
hari sampai dengan 28 hari, dibagi menjadi 4 perlakuan, 4 ulangan dan berjumlah
10 ekor setiap ulangan. Ransum perlakuan yang diberikan (Tabel 2) mengacu
pada kebutuhan Ross (2009) berbentuk crumble untuk ayam berumur 8 – 18 hari
dan berbentuk pellet (ukuran 3 mm) untuk ayam berumur 19 – 28 hari. Aktivitas
harian dimulai dengan membuka tirai penutup kandang dipagi hari agar sirkulasi
udara di dalam kandang menjadi lebih baik dan sehat untuk ayam.
Ransum penelitian diberikan 2 kali sehari, pagi sebanyak 40% dimulai pada
jam 06.30 WIB setelah kandang, perlengkapan ransum dan tempat air minum
dibersihkan, kemudian sebanyak 60% pada jam 16.00 WIB. Untuk perlakuan
pemberian vitamin melalui air minum (berasal dari galon isi ulang) dilakukan
pada jam 09.00 – 15.00 WIB, dimana dilakukan pergantian minuman bervitamin
31
setiap 3 jam. Setelah jam 15.00 WIB sampai esok pagi, air minum diberikan ad
libitum. Setiap minggu dilakukan pencatatan konsumsi ransum, konsumsi air
minum, pertambahan bobot badan, konversi ransum dan kematian. Suhu dan
kelembaban kandang dicatat sebanyak 3 kali sehari pada pagi (06.00 WIB), siang
(13.00 WIB) dan malam (23.00 WIB) selama proses penelitian menggunakan alat
termohigrometer.
3. Tahap Pengambilan Sampel
Proses pengambilan sampel darah dilakukan hari ke 33 sebanyak 4 ulangan
per perlakuan. Sampel darah diambil pada bagian sayap, kemudian darah
disimpan dalam tabung sampel darah dan termos es untuk mencegah kerusakan
sebelum dianalisa. Pengamatan organ dalam dilakukan pada hari ke 33
menggunakan 1 ekor ayam per ulangan yang meliputi hati, bursa fabricius,
thymus dan limpa. Proses pemotongan ayam juga dilakukan untuk mengambil
daging bagian dada dan paha yang akan dianalisa kandungan cholesterol dan
bilangan thio barbituric acid (TBA). Untuk uji retensi energi, lemak dan nitrogen
dilakukan pasca penelitian menggunakan ayam yang sama (umur 33 hari)
sebanyak 3 ekor per jenis ransum yang diujikan.
4. Tahap Analisis Sampel
1. Pengujian kualitas fisik ransum (Briggs et al. 1999)
Uji kualitas fisik ransum berkaitan dengan ketahanan ransum terhadap
benturan selama proses penyimpanan, pengiriman dan aplikasi pemberian
ransum dikandang yang dampak akhirnya mempengaruhi nilai konversi
ransum. Uji yang dilakukan meliputi uji pellet durability index (PDI) yaitu
kemampuan pellet dalam menghadapi benturan menggunakan metode
tumbling. Untuk uji kandungan debu (dust) menggunakan vibrator ball mill
dengan berbagai ukuran mesh 4, 8, 16, 30, 50, dan 100, sebanyak 100 gram
lalu diletakkan pada bagian paling atas ayakan (sieve), lalu dilakukan
penyaringan bahan yang tertinggal pada setiap saringan, nilai kandungan debu
ialah jumlah yang berada di mesh 50 dan 100.
32
2. Pengujian bilangan thio barbituric acid (TBA) pada daging ayam
Pengujian ini dilakukan dengan metode Tarlagdis (1960) dilakukan
dengan cara sampling per ekor per ulangan yang diambil pada umur 33 hari
dengan cara mengambil daging bagian dada sebanyak 10 g yang ditumbuk
secara halus dan ditambahkan aquades sebanyk 50 ml. Kemudian 47.5 ml
larutan diambil untuk ditambahkan HCL 4M sampai pH bernilai 1.5 sebelum
didestilasi menggunakan tabung destilasi selama 10 menit. Hasil destilasi
diambil 5 ml untuk dimasukkan kedalam tabung reaki untuk direaksikan
dengan 5 ml larutan TBA, lalu dipanaskan kembali selama 35 menit.
Malonaldehid (MDA) dapat bereaksi dengan 2-thiobarbituric acid (TBA)
membentuk warna merah yang dapat diukur pada panjang gelombang 528 nm
menggunakan spectrofotometer setelah larutan didinginkan (Apriyantono et
al., 1989)
Bilangan TBA (mg malonaldehid/kg) = 3 x absorbansi x 7.8
g sample
3. Pengujian malonaldehid (MDA) pada hati ayam (Conti dan
Sutherland 1991)
Prinsip ini berdasarkan pada kemampuan pembentukan kompleks
berwarna merah keunguan antara MDA dan asam tiobarbiturat (TBA). Hati
yang telah disimpan dalam freezer -20ºC dicairkan terlebih dahulu sebelum
dianalisis pada suhu ruang kemudian digerus dengan menggunakan lumpang
(dalam keadaan dingin), dengan ditambahkan 1,25 ml buffer fosfat yang
mengandung 11,5 g/L kalium klorida dalam kondisi dingin pH 7,4 (disimpan
pada suhu 5ºC). Campuran ini disentrifuse 4000 rpm selama 10 menit, diambil
supernatan keruh dan disentrifuse lagi 4000 rpm selama 10 menit, sebanyak 1
ml supernatan jernih diambil dan ditambahkan 1 ml campuran larutan asam
klorida dingin 0,25 N (2,23 ml asam klorida pekat/100 ml) yang mengandung
15 % asam trikloroasetat (w/v); 0,38 % asam tiobarbiurat dan 0,5% butilat
hidroksitoluen). Campuran larutan asam klorida dan supernatan tersebut
dipanaskan pada suhu 80ºC (inkubator) selama 1 jam, selanjutnya didinginkan
dengan air mengalir dan disentrifuse 3500 rpm selama 10 menit. Supernatan
33
hasil sentifuse tersebut kemudian diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 532 nm.
A = Kadar sampel
Fp = Faktor pengenceran
Kurva standar dibuat dengan mengencerkan larutan standar 1,1,3,3
tetraetoksipropana (TEP) hingga menghasilkan beberapa konsentrasi yaitu
500, 1000, 2000, 2500, 3000, 4000 dan 5000 pmol/50μL (Lampiran 2)
4. Pengujian kadar kolesterol daging ayam
Kadar kolesterol daging ayam diukur pada daging bagian dada dan paha
karkas ayam dengan perbandingan 1 : 1 yang digiling sampai halus dan
homogen dengan metode Leibermann-Burchard (Kleiner dan Dotti 1962).
Caranya adalah menimbang sampel daging sebanyak ± 0,2 gram dimasukkan
ke dalam tabung sentrifuse berskala 15 ml, kemudian ditambahkan campuran
alkohol eter (3:1) sebanyak 12 ml dan diaduk hingga merata. Larutan
didiamkan sambil dikocok sekali dua kali selama 30 menit. Pengaduk dibilas
dengan alkohol eter (3:1) dan volume disetarakan menjadi 15 ml, lalu
disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit.
Supernatan yang terbentuj dimasukkan ke dalam gelas piala 50 ml dan
dipanaskan pada penangas air sampai kering. Ekstrak residu dilarutkan dengan
2.5 khloroform sedikit demi sedikit atau dicuci sebanyak dua kali atau
dimasukkan ke dalam tabung reaksi 10 ml untuk disetarakan volumenya
menjadi 5 ml. 5 ml kolesterol standar (0,4 mg kolesterol dan 5 ml khloroform)
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang lain. Keduanya ditambahkan 2 ml
asetat anhidrida dan 10 ɥ l H2SO4 pekat, kemudian dikocok sampai timbul
warna hijau dan disimpan selama 15 menit di ruang gelap.
Selanjutnya dilakukan pembacaan dengan menggunakan spektrofotometer
pada panjang gelombang 420 nm. Nilai kolesterol diperoleh dari perhitungan
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Kolesterol (mg/100g) = absorbans sampel X 0,4 (konsentrasi standar) X 100
Absorbans standar berat sampel
Sampel Berat
Fp x 20000 x A (umol/L) MDA Kadar
34
5. Profil serum darah
Analisa darah meliputi kandungan triglicerida, kolesterol, HDL kolesterol,
LDL kolesterol dan SGPT mengunakan alat ukur Roche Cobas Mira plus
chemical analyzer. Uji triglicerida dan kolesterol darah menggunakan metode
kalorimetri enzimatis dengan prinsip bahwa triglycerida akan dipecah menjadi
glycerol dan asam lemak bebas oleh lipase lipoprotein, kemudian gliserol akan
mengalami phosporilisasi oleh ATP yang dibantu oleh kehadiran
glycerolkinease (GK) menjadi glycerol-3-phospate (G-3-P) dan ADP. G-3-P
akan teroksidasi oleh glicerolphosphate oxidase (GPO) menjadi
dihydroxyacetone phosphate (DHAP) dan hydrogen peroxida (H2O2).
Kromogen berwarna merah akan terbentuk akibat adanya reaksi antara 4-
amirioantipyrine (4-AA) dengan gugus phenol yang dibantu enzim
peroxidase (POD) dan H2O2 yang berasal dari proses oksidasi tryglicerida. Uji
kolesterol darah menggunakan metode kalorimetri enzimatis dengan prinsip
bahwa semua enzim yang berperan dalam proses oksidasi kolesterol menjadi
H2O2 dan H2O yang meliputi cholesterol esterase (CE), cholesterol oxidase
(CO) dan peroxidase (PO). 1 ml monoreagent (test kit) yang berasal dari AMS
diagnostic Spanyol di reaksikan dengan sampel serum darah yang akan diuji
sebanyak 10 ɥ L, aduk sampai rata selama 5 menit pada suhu 37 oC dan uji
pada absorbansi 500 ± 20 nm. Untuk uji kandungan HDL kolesterol dan LDL
kolesterol menggunakan tes kit yang berasal dari Sekusui Medical Co.Ltd.
Jepang yang dibaca pada absorbansi 550 nm. Alat yang digunakan untuk
analisa darah dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Roche Cobas Mira plus chemical analyzer
35
Enzim serum glutamic pirivuc transaminease (SGPT) atau alanine
aminotranferase (ALT) adalah dua enzim yang lazim berada di dalam hati,
sebagian berada di dalam serum darah dan akan meningkat konsentrasi diatas
normal di dalam darah ketika terjadi kerusakan hati. ALT merupakan
katalisator pembentukan glutamat dan piruvat dari reaksi antara alanin dengan
oxoglutarat. Kemudian piruvat yang bereaksi dengan nicotinamide adenine
dinucleotida (NADH) untuk direduksi menjadi laktat oleh enzim lactate
dehydrogenase (LDH). Selanjutnya sampel dan reagen (tes kit yang berasal
dari AMS diagnostic Spanyol) dipipet untuk dimasukkan ke dalam cuvette,
diaduk sehingga homogen, kemudian dilakukan pembacaan pada suhu 37 oC
dan absorbansi 340 nm.
Uji profile darah selanjutnya meliputi kandungan hemoglobin, hematokrit,
eritrosit (sel darah merah) dan leukosit (sel darah putih) menggunakan alat
ukur Sysmex KX-21 menggunakan metode flowcytometry (Gambar 13).
Gambar 13. Sysmex KX-21
36
6. Energi Metabolis Semu Terkoreksi Nitrogen (EMSn), Retensi Lemak
(RL) dan Retensi Nitrogen (RN)
Uji energi metabolis semu terkoreksi nitrogen, retensi lemak dan retensi
nitrogen (Sibbald 1983) dilakukan setelah perlakuan selesai menggunakan
ayam yang sama pada saat penelitian. Percobaan ini mengggunakan 6 ekor
ayam broiler berumur 35 hari dengan perincian 3 ekor media uji coba ransum
berbasis karbohidrat (PC) dan 3 ekor sebagai media uji ransum berbasis lemak
(PL). Sebelum dilakukan uji coba, ayam dipuasakan terlebih dahulu selama 24
jam namun tetap diberi air minum secara ad libitum, yang bertujuan untuk
mengurangai dampak ransum sebelumnya. Kemudian ayam diberi ransum
perlakuan masing-masing sebanyak 30 gram per ekor. Koleksi ekskreta
dilakukan selama 24 jam setelah pemberian ransum. Hasil koleksi ekskreta
dari setiap perlakuan dan ulangan dipisahkan sendiri-sendiri, dibersihkan dari
kotoran-kotoran dan bulu-bulu, kemudian ditimbang dan dikeringkan dengan
oven pada suhu 60 oC selama 24 jam. Selanjutnya ditimbang, digiling dan
dianalisis kandungan bahan kering, protein kasar, lemak kasar dan energi
bruto. Hasil yang didapat dilakukan perhitungan sebagai berikut :
EMSn (kkal/kg) = (X x EBp) – [(Y x EBe) + (8.22 x RN)
X
RL (%) = Retensi Lemak (g) x 100%
Konsumsi Lemak (g)
RN (%) = Retensi Nitrogen (g) x 100%
Konsumsi Nitrogen (g)
Dimana :
EMSn = Energi metabolis semu terkoreksi nitrogen (kkal/kg)
X = Bobot ransum yang dikonsumsi (g)
EBp = Energi bruto ransum (kkal/kg)
Y = Bobot ekskreta (g)
EBe = Energi bruto ekskreta (kkal/kg)
RN = Retensi nitrogen (g)
7. Income Over Feed and Chick Cost (IOFC)
Merupakan selisih dari penerimaan dikurangi biaya produksi selama
penelitian yang bertujuan untuk mengetahui dampak ekonomi dari penelitian
ini.
37
5. TahapAnalisis Data
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial (RAL Faktorial)
dengan faktor pertama ialah jenis ransum (PC = ransum berbasis karbohidrat; PL
= ransum berbasis lemak) dan faktor kedua ialah dosis suplemen vitamin E dan
vitamin C (0 = 0 gram/liter air minum, 1 = 1 gram/liter air minum). Total
perlakuan yang ada ialah 4 perlakuan seperti yang disajikan pada Tabel 3 (R1 =
PC0, R2 = PC1, R3 = PL0, R4 = PL1), masing-masing perlakuan diulang
sebanyak 4 kali dan masing-masing ulangan terdiri dari 10 ekor ayam.
Tabel 3 Perlakuan penelitian
Suplemen air minum
Ransum 0 : Tanpa Suplementasi 1: Vitamin E dan Vitamin Ca
PC : Karbohidrat R1 : PC0 R2 : PC1
PL : Lemak R3 : PL0 R4 : PL1
Catatan : aDosis suplementasi vitamin E dan C = 1 gram/liter (mengandung vitamin E 8 mg dan vitamin C
60 mg per liter air minum)
Hasil yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA (analysis of
variance) dan apabila terdapat perbedaan (p < 0.05) antar perlakuan, maka
dilanjutkan dengan uji kontras orthogonal (Mattjik & Sumertajaya 2002). Data
yang didapatkan diuji menggunakan prosedur General Linier Model
menggunakan software SAS versi 9.1.
Model linier yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yijk = ɥ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Dimana :
Yijk = Nilai hasil pengamatan pada faktor jenis ransum ke – i, dosis
suplementasi vitamin ke – j dan ulangan ke – k
I = Faktor jenis ransum
J = Dosis suplementasi vitamin E dan vitamin C
ɥ = Rataan umum
αi = Pengaruh faktor jenis ransum
βj = Pengaruh dosis suplementasi vitamin E dan vitamin C
(αβ)ij = Pengaruh interaksi jenis ransum dengan dosis suplementasi vitamin E
dan vitamin C
εijk = Galat percobaan
38
39
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemberian ransum berbasis karbohidrat sebagai sumber energi akan
menghasilkan panas di dalam tubuh yang lebih tinggi dibanding dengan ransum
berbasis lemak sebagai sumber energi, hal ini dikarenakan karbohidrat tergolong
sumber energi yang mudah digunakan akan tetapi tidak sebaik lemak dari nilai
energi metabolis per satuan unit.
Suhu dan Kelembaban Lingkungan Pemeliharaan
Proses pemeliharaan ayam dilakukan selama penelitian yang dimulai pada
tanggal 31 Oktober 2011, rataan suhu lingkungan kandang selama proses
pemeliharaan disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 Rataan suhu (oC) kandang penelitian ( ) dan referensi Ross ( )
Nilai rataan suhu lingkungan kandang selama proses pemeliharaan berkisar
25 – 30 oC, nilai rataan suhu pada pagi hari 25.67 ± 0.67
oC, nilai rataan suhu
pada siang hari 32.66 ± 1.8 oC dan dimalam hari sebesar 26.47 ± 0.94
oC. Nilai
kelembaban lingkungan bekisar 65 – 85% selama proses pemeliharaan, tertinggi
terjadi pada pagi hari 88.21 ± 3.37% dan terendah pada siang hari 57.76 ± 8.05%.
Besarnya variasi kelembaban pada siang hari disebabkan oleh terjadinya hujan
disaat siang hari selama proses pemeliharaan, dimana setelah hujan terjadi maka
nilai kelembaban lingkungan cenderung meningkat (Gambar 15).
40
Gambar 15 Nilai suhu siang hari (oC) kandang penelitian ( ) dan referensi Ross
( )
Suhu tubuh ayam sekitar 41 oC dengan suhu nyaman lingkungan
pemeliharaan berkisar pada 30 oC dengan kelembaban lingkungan sebesar 60 –
70% (Ross 2009) dan suhu nyaman pemeliharaan ayam akan menurun seiring
dengan bertambahnya umur ayam seperti tertera pada Gambar 14 dan 15.
Pertambahan umur ayam akan menyebabkan proses metabolisme dalam tubuh
meningkat yang berdampak pada bertambahnya panas yang dihasilkan selama
proses metabolisme zat-zat makanan, sehingga membutuhkan suhu lingkungan
yang lebih rendah agar proses pelepasan panas yang dihasilkan selama proses
metabolisme bisa ikut meningkat dan ayam terhindar dari stres yang bisa
mengganggu produktivitas dan bahkan menyebabkan kematian.
Rataan suhu selama penelitian (Gambar 14) berada di atas suhu ideal yang
disarankan oleh Ross (2009) dan semakin besar variasinya seiring dengan
bertambahnya usia ayam. Variasi suhu ideal dengan suhu lingkungan selama
proses pemeliharaan terlihat lebih besar pada siang hari (Gambar 15). Dengan
demikian penambahan vitamin E dan C melalui air minum sudah tepat dilakukan
pada jam 09.00 – 15.00 WIB, dengan tujuan untuk menanggulangi stres selama
proses pemeliharaan yang diakibatkan oleh variasi suhu tersebut. Gejala stres
dimulai dengan penurunan pembentukan vitamin C dalam tubuh, kemudian
penurunan konsumsi ransum, panting, gangguan proses metabolisme sampai
41
dengan kematian pada ternak. Salah satu gangguan metabolisme yang terjadi ialah
adanya serangkaian kerusakan sel-sel tubuh yang diakibat oleh adanya reaksi
radikal bebas (MDA) dalam tubuh. Dampak dari pemberian vitamin E dan C ini
terlihat dari nilai MDA hati (Tabel 7) dan nilai MDA karkas (Tabel 8) yang lebih
rendah ketika diberi suplementasi dibandingkan tidak diberi suplementasi vitamin
melalui air minum.Vitamin E dan C berperan sebagai antioksidan yang
menetralisir MDA di dalam tubuh (Gambar 9)
Variasi suhu lingkungan dengan suhu ideal (Gambar 14 dan 15)
menyebabkan energi untuk produksi digunakan untuk homeostasis, yang dimulai
dengan menurunnya konsumsi ransum, menurunnya laju aliran darah dan
berkurangnya energi yang dimetabolisme (Mckee et al. 1997). Kondisi yang tidak
nyaman ini untuk ayam menyebabkan laju pernafasan meningkat, keseimbangan
asam basa darah berubah, lebih rentan terhadap serangan bakteri patogen,
metabolisme nutrisi terganggu, pertumbuhan terhambat dan dapat menyebabkan
kematian (Sugito et al. 2007; Mashaly et al. 2004; Borges et al. 2003a; Borges et
al. 2003b; Mckee et al. 1997).
Stabilitas Vitamin C dalam Air
Vitamin C (ascorbic acid) termasuk vitamin larut air yang hanya
dibutuhkan ayam broiler pada kondisi stres, pada kondisi normal tubuh bisa
memproduksi vitamin C. Suplementasi vitamin C bisa dilakukan melalui ransum
atau melalui air minum untuk memudahkan aplikasi di lapangan. Vitamin C
terdiri dari berbagai macam bentuk sediaan, seperti vitamin C kristal, vitamin C
coated (ethyl cellusoe) dan vitamin C monophosphate. Masing-masing jenis
vitamin C tersebut memiliki kandungan bahan aktif, stabilitas dan aplikasi yang
berbeda. Vitamin C kristal tergolong yang paling tidak stabil, paling tinggi
kandungan bahan aktifnya, ekonomis harganya dan memiliki tingkat kelarutan
yang paling baik.
Hasil uji coba stabilitas vitamin C di dalam air minum (galon isi ulang)
(Gambar 16) pada suhu 25 oC menunjukkan bahwa sampai dengan 3 jam masih
memiliki potensi sebesar 82.58%, hal ini penting untuk menentukan efektifitas
dosis dan lama pemberian vitamin melalui air minum. Dengan kondisi tersebut
maka setelah 3 jam pemberian vitamin C perlu dikoreksi dengan cara
42
menambahkan dosis ekstra atau mengganti dengan yang baru. Vitamin C
memiliki stabilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan vitamin E dan jenis
vitamin lainnya (Coelho 1994), terutama ketika berhubungan dengan mikro
mineral. Faktor yang menyebabkan stabilitas vitamin C dalam air rendah ialah pH
dan mineral seperti besi dan perunggu yang bisa merangsang terjadinya oksidasi
(kerusakan) vitamin C. Stabilitas ini ditunjukkan oleh nilai konsentrasi vitamin C
yang tetap tinggi di dalam air.
Gambar 16 Stabilitas vitamin C dalam air
Energi Metabolis, Retensi Nitrogen dan Retensi Lemak
Energi merupakan parameter kehidupan dan proses metabolisme nutrisi
dalam tubuh yang akan menggerakkan sel, jaringan dan organ-organ vital ayam
broiler. Energi merupakan salah satu dasar dalam penyusunan ransum yang akan
diikuti dengan perhitungan pemenuhan kebutuhan asam amino, asam lemak,
vitamin dan mineral agar ransum menjadi seimbang sesuai dengan kebutuhan.
Konsumsi energi akan linier dengan jumlah kandungan energi ransum tercerna
yang dapat dikonversi dari karbohidrat, lemak dan protein dikalikan dengan
jumlah ransum yang dikonsumsi oleh ternak.
Hasil uji EMSn ransum pada ayam broiler menunjukkan bahwa ransum
berbasis karbohidrat (PC) memiliki nilai standar deviasi 23.84 kkal/kg yang lebih
besar dibanding ransum berbasis lemak (PL) 19.62 kkal/kg (Tabel 4), namun nilai
43
rataan energi metabolis ransum PC (2887.01 kkal/kg) lebih kecil dibanding
ransum PL (3091.61 kkal/kg).
Tabel 4 Nilai energi metabolis semu terkoreksi nitrogen (EMSn), retensi nitrogen
dan retensi lemak ayam broiler umur 33 hari
Peubah Ransum
PC PL
EMSn (kkal/kg) 2887.01 ± 23.84 3091.61 ± 19.62
Retensi Nitrogen (%) 80.57 ± 1.78 83.16 ± 3.26
Retensi Lemak (%) 79.05 ± 2.01 89.01 ± 1.75 Keterangan : PC = ransum berbasis karbohidrat; PL = ransum berbasis lemak
Hasil ini menunjukkan bahwa ransum berbasis karbohidrat kurang adaptif
bagi ayam ketika terjadi variasi suhu dan kelembaban lingkungan yang
disebabkan oleh tinggi panas yang dihasilkan selama proses metabolisme (heat
increment) dan cepatnya laju metabolisme dalam tubuh yang berdampak pada
terjadinya peningkatan konsumsi ransum agar kebutuhan energi tercukupi. Plavik
et al. (1997) melaporkan bahwa penampilan ayam yang dipelihara pada suhu 20
oC yang diberikan karbohidrat dan lemak sebagai sumber energi tidak berbeda,
termasuk persentase kandungan lemak abdominal dan otot dada, namun suhu
selama penelitian ini berlangsung berkisar diatas 25 oC dan berada diatas suhu
nyaman untuk ayam (Gambar 15) sehingga tingkat stres lingkungan berpengaruh
terhadap kemampuan metabolisme energi. Latshaw dan Moritz (2009)
mengemukakan bahwa proses metabolisme akan menghasilkan panas (heat
increment) sehingga akan berdampak pada kemampuan ayam dalam metabolisme
sejumlah nutrien menjadi energi dalam tubuh.
Nilai rataan retensi nitrogen ransum PC (80.57%) lebih rendah dibanding
ransum PL (83.16%) dengan nilai standar deviasi ransum PC yang lebih baik
dibanding ransum PL (1.78% berbanding 3.26%). Nitrogen yang diretensi oleh
ayam berasal dari proses metabolisme asam amino yang bergantung pada
konsumsi asam amino, kualitas sumber asam amino dan umur ayam. Jika terjadi
kekurangan energi maka sebagian asam amino tersebut akan dikonversi menjadi
energi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Nitrogen yang diretensi akan
digunakan oleh tubuh untuk membangun jaringan tubuh, sintesis protein daging,
proses regenerasi sel-sel dan proses pembentukan enzim-enzim yang akan
berperan dalam metabolisme didalam tubuh.
44
Retensi lemak ransum PL (89.01 ± 1.75%) lebih baik dan lebih tidak
bervariasi dibanding ransum PC (79.05 ± 2.01) yang mengindikasikan bahwa
sebagian lemak digunakan oleh tubuh ayam untuk memenuhi kebutuhan
energinya, dengan cara merubah trigliserida menjadi asam lemak bebas yang siap
digunakan dalam proses pembentukan ATP. Lemak yang diserap akan digunakan
sebagai bahan pembetukan komponen sel membran, prekursor pembentukan
hormon, pelarut dan pembawa vitamin (vitamin A, D, E dan K) dan sebagai
sumber steroid yang akan dimanfaatkan dalam proses metabolisme. Faktor yang
mempengaruhi retensi lemak ialah jumlah lemak yang dikonsumsi, kualitas lemak
dalam ransum, jumlah lemak teroksidasi, dan tingkat stres ternak
Profil Darah Ayam Broiler
Darah merupakan komponen ayam broiler yang terdiri dari plasma darah
dan sel-sel darah. Komposisi dan volume darah ayam tergantung dari nutrisi yang
diberikan, tingkatan stres, aktivitas tubuh, jenis kelamin dan interaksi dengan
lingkungan sekitar. Pemeriksaan status darah ayam broiler merupakan salah satu
usaha untuk mengetahui ada atau tidaknya stres dan penyakit, mendapatkan
gambar fisiologis, mendeteksi adanya kelainan dan untuk mengetahui terjadinya
proses metabolisme nutrisi.
Komponen Darah
Hasil pengujian profil komponen darah ayam broiler disajikan pada Tabel
5. Uji statistik profil darah ayam broiler menunjukkan hasil yang tidak berbeda
nyata (P > 0.05). Kandungan hemoglobin, hematokrit dan eritrosit cenderung
menurun akibat perlakuan jenis ransum dan suplementasi vitamin E dan C melalui
air minum.
Hemoglobin merupakan sel darah merah yang mengandung komponen
mineral besi (Fe) yang befungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru menuju
semua jaringan tubuh. Setelah sampai di jaringan, oksigen dibebaskan untuk
diberikan kepada sel, sedangkan karbon dioksida yang dihasilkan oleh sel akan
berdifusi ke dalam darah dan dibawa kembali ke paru-paru untuk dibuang pada
saat terjadi pernafasan (Frandson 1992). Jumlah hemoglobin dalam tubuh terkait
dengan jumlah ketersediaan cadangan besi dalam bentuk ikatan ferritin dan
45
hemosderin yang sebagian besar berada dihati, limpa dan sumsum tulang
belakang (Piliang & Djojosoebagio 2006b). Nilai hemoglobin normal untuk ayam
broiler berkisar 7.0 – 13.0 (Bounous & Stedman, 2000) dan hasil pada Tabel 5
tergolong normal. Da silva et al. (2009) mengemukakan bahwa penambahan
vitamin E pada ayam broiler akan menurunkan konsentrasi hemoglobin dan
hematokrit namun masih dalam kisaran normal, karena stres pada ayam berkurang
ketika diberikan tambahan vitamin E.
Tabel 5 Profil komponen darah ayam broiler umur 33 hari
Peubah Vitamin
Rataan Ransum 0 1
Hemoglobin PC 10.33 ± 0.51 9.70 ± 0.67 10.01 ± 0.64
(g/dl) PL 9.58 ± 0.63 9.75 ± 0.73 9.66 ± 0.49
Rataan 9.95 ± 0.67 9.73 ± 0.50
Hematokrit PC 34.25 ± 1.50 32.00 ± 1.41 33.13 ± 1.81
(%) PL 32.00 ± 2.16 32.50 ± 1.29 32.25 ± 1.67
Rataan 33.13 ± 2.10 32.25 ± 1.28
Eritrosit PC 2.55 ± 0.06 2.45 ± 0.13 2.50 ± 0.11
( x 106) PL 2.48 ± 0.26 2.48 ± 0.13 2.48 ± 0.19
Rataan 2.51 ± 0.18 2.46 ± 0.12 Keterangan : PC = ransum berbasi karbohidrat, PL = ransum berbasis lemak, 0 = tanpa
suplemetasi vitamin E dan C melalui air minum, 1 = suplementasi vitamin E dan C
melalui air minum
Hematokrit merupakan salah satu uji untuk mengetahui rasio sel darah
merah dalam darah dibanding dengan komponen darah lainnya. Bounous dan
Stedman (2000) mengemukakan bahwa kisaran nilai hematokrit normal ayam
broiler ialah 22.0 – 35.0, sedangkan untuk eritrosit berkisar 2.5 – 3.5, sehingga
nilai hematokrit dan eritrosit pada Tabel 5 tergolong normal. Peningkatan nilai
hematokrit akan menyebabkan viskositas darah ikut meningkat dan jika viskositas
berlebihan akan menghambat peredaran darah dan distribusi oksigen didalam
tubuh yang berpeluang terjadinya hipoksemia (keadaan oksigen darah yang
menurun). Hipoksemia dapat terjadi ketika nilai hematokrit dan hemoglobin diatas
standar normal sehingga eritrosit menjadi lebih besar dan kaku (Tarmudji 2005).
Eritrosit berperan dalam mengangkut hemoglobin yang mendistribusikan oksigen
dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh. Selain itu kandungan karbonik anhidrase
pada eritrosit sangat penting dalam mengkatalis reaksi antara karbondioksida
dengan air (Guyton 1997).
46
Kimia Darah
Hasil uji statistik untuk kimia darah menunjukkan hasil yang tidak berbeda
nyata (P > 0.05) baik untuk perlakuan ransum atau suplementasi vitamin melalui
air minum, kecuali untuk komponen total cholesterol (P < 0.01) dan HDL
kolesterol (P < 0.05) berbeda akibat adanya perlakuan ransum (Tabel 6).
Tabel 6 Hasil Uji kimia darah ayam broiler
Peubah Vitamin
Rataan Ransum 0 1
Trigliserida PC 125.50 ± 57.25 132.50 ± 45.48 129.00 ± 48.01
(mg/dl) PL 141.75 ± 22.49 102.75 ± 36.73 122.25 ± 35.06
Rataan 133.63 ± 41.19 117.63 ± 41.44
Total kolesterol PC 150.00 ± 9.35 133.00 ± 14.54 141.50 ± 14.51A
(mg/dl) PL 107.75 ± 16.88 103.00 ± 8.04 105.38 ± 12.50B
Rataan 128.88 ± 21.87 118.00 ± 19.38
HDL kolesterol PC 77.75 ± 13.05 68.00 ± 13.09 72 88 ± 13.17a
(mg/dl) PL 60.75 ± 7.14 55.25 ± 8.50 58.00 ± 7.84b
Rataan 69.25 ± 12.28 61.63 ± 12.28
LDL kolesterol PC 31.75 ± 10.90 28.25 ± 6.95 30.00 ± 8.67
(mg/dl) PL 21.75 ± 5.74 24.25 ± 6.50 23.00 ± 5.83
Rataan 26.75 ± 9.68 26.25 ± 6.58
SGPT (ALT) PC 12.00 ± 2.83 12.25 ± 4.03 12.13 ± 3.23
(U/L) PL 11.50 ± 2.38 9.00 ± 0.82 10.25 ± 2.12
Rataan 11.75 ± 2.43 10.63 ± 3.20 Keterangan : PC = ransum berbasi karbohidrat, PL = ransum berbasis lemak, 0 = tanpa
suplemetasi vitamin E dan C melalui air minum, 1 = suplementasi vitamin E dan C
melalui air minum. Superskrip dengan huruf kecil menunjukkan perbedaan yang
nyata (P < 0.05) dan superskrip dengan huruf besar menunjukkan perbedaaan yang
sangat nyata (P < 0.01).
Pemberian ransum berbasis lemak nyata menurunkan (P < 0.01) nilai total
kolesterol dari 141.50 menjadi 105.38 mg/dl (penurunan sebesar 36.12 mg/dl atau
25.47%) dan HDL cholesterol dalam darah dari 72.88 menjadi 58.00 mg/dl
(penurunan sebesar 14.88 mg/dl atau 20.42%). Hasil ini menunjukkan bahwa
pakan berbasis lemak akan meningkatkan kebutuhan garam empedu yang
berperan dalam proses emulsifikasi lemak menjadi bentuk micell yang larut dalam
air agar lebih mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Garam empedu dihasilkan
dari hasil konversi dan reabsorbsi kolesterol yang diangkut oleh HDL dari
jaringan perifer atau darah ke dalam hati yang akan diekskresikan kedalam
47
kantung empedu dan duodenum (Muchtadi et al. 1993), sehingga kandungan total
kolesterol dan HDL kolesterol darah menurun.
Sumber energi pakan berbasis lemak menyebabkan pemanfaatan gliserol
dan asam lemak melalui proses β-oksidasi asam lemak dalam mitokondria
menjadi lebih intensif untuk memenuhi kebutuhan energi sel, jaringan dan tubuh
ayam broiler. Gliserol dan asam lemak didapatkan dari proses pemecahan
trigliserida dalam pakan secara lipolisis. β-oksidasi adalah proses perubahan asam
lemak bebas menjadi molekul asetil KoA sehingga bisa digunakan dalam siklus
trycarboxylic acid (TCA) untuk menghasilkan energi jika diperlukan oleh tubuh,
kelebihan asetil KoA akan dimanfaatkan dalam sintesis lemak tubuh. Salah satu
proses β-oksidasi asam lemak yang terjadi ialah proses oksidasi asam lemak jenis
palmitat (C 16 : 0) yang banyak terdapat dalam crude palm oil (CPO) yang
digunakan dalam penelitian ini.
Manfaat dari pemberian CPO ialah ketersediaan beta carotene yang tinggi,
kandungan energi yang tinggi dan ketersediaan di lokal yang cukup banyak.
Namun dari itu penggunaan CPO dapat merangsang terjadinya reaksi radikal
bebas yang berlebihan dikarena komposisi asam lemak yang terkandung didalam
nya. Dauqan et al. (2011) menyatakan bahwa CPO mengandung asam lemak
jenuh (SFA) yeng terdiri dari asam kapilat (C 8: 0) 0.034%, asam laurat (C 12: 0)
0.173%, asam miristat (C 14: 0) 0.961%, asam palmitat (C 16: 0) 42.465% dan
asam stearat (C 18: 0) 0.395; asam lemak tidak jenuh dengan satu ikatan rangkap
(MUFA) yang terdiri dari asam oleat (C 18: 1) 44.616%; dan asam lemak tidak
jenuh dengan banyak ikatan rangkap (PUFA) yang terdiri dari dari asam linoleat
(C 18: 2) 10.372% dan asam linolenat (C 18: 3) 0.257%. Ketersediaan MUFA
dan PUFA yang tinggi dibanding SFA pada pakan PL menyebabkan kandungan
cholesterol (Herman 1991) darah lebih rendah dibanding pakan PC (Tabel 6)
Proses metabolisme lemak selain menghasilkan energi juga akan
menghasilkan trigliserida, kolesterol dan fospolipid yang akan masuk dalam siklus
cylomicron untuk menjadi molekul komplek yang siap untuk di distribusikan ke
seluruh jaringan tubuh melalui pembuluh darah. Bentuk molekul yang lazim
dikenal ialah bentuk lipoprotein yang disintesis di dalam hati yang berasal dari
lemak endogenous dan apoprotein. Selain itu hati mampu melakukan proses
48
sintesis lemak baru yang berasal dari glukosa atau asam amino jika diperlukan dan
hati aktif mesintesis garam empedu untuk proses emulsifikasi lemak agar lebih
mudah di cerna oleh lipase sebelum diserap tubuh.
Bentuk lipoprotein yang dihasilkan oleh hati terdiri dari VLDL, IDL, LDL
dan HDL seperti disajikan pada Gambar 17. Masing-masing jenis lipoprotein
tersebut memiliki karakteristik dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan
struktur dan komposisi komponen pendukungnya. VLDL berperan dalam
distribusi trigliserida, LDL sebagai turunan dari VLDL berperan dalam distribusi
kolesterol dan HDL berperan dalam distribusi fospolipida dan kolesterol ester dari
jaringan perifer kembali ke hati (Piliang & Djojosoebagio 2002). Rasio HDL
dengan LDL kolesterol pada penelitian ini berkisar 2.28 – 2.79, dimana ransum
lemak dan suplementasi vitamin E dan C melalui air minum dapat menurunkan
rasio HDL dengan LDL kolesterol.
Gambar 17 Bentuk dan fraksi lipoprotein (Gropper et al. 2009)
49
SGPT adalah ukuran nekrosis hepatoseluler yang paling spesifik dan
paling luas ditemukan. SGOT bekerja serupa tetapi kurang spesifik (Sujono
2002) karena jaringan hati menghasilkan enzim glutamat piruvat transmirase
(GPT) yang akan mudah keluar sel masuk ke pembuluh darah melebihi keadaan
normal ketika terjadi kerusakan sel-sel hati dan berkonjugasi positif dengan bobot
relatif organ hati. Hasil uji nilai SGPT pada Tabel 6 terlihat bahwa nilai tersebut
masih berada dalam kisaran kandungan SGPT ayam broiler yang normal 9.5 –
14.3 U/L (Apata 2011) sehingga bisa disimpulkan kerusakan sel-sel hati pada
penelitian ini masih belum terjadi, hasil ini akan ditunjang oleh nilai MDA hati
(Tabel 7). MDA merupakan hasil lipid peroksidasi yang mengawali serangkaian
peristiwa yang berakibat peningkatan pemanfaatan LDL oleh makrofag dan
terbentuknya sel bursa pertanda kerusakan dini lesi aterosklerosis pada intima
arteri. Reaksi peroksidasi lipid akan berdampak negatif yang akan merangsang
stres oksidatif yang bisa menyebabkan ekstra stres pada ayam selain adanya stres
dari lingkungan selama proses pemeliharaan. Dengan demikian kosumsi lemak
sebagai sumber energi menjadi kurang menguntungkan jika tidak disiasati dengan
baik.
Profile Organ Hati dan Kualitas Karkas Ayam Broiler
Nilai malonaldehid (MDA) dan bobot relatif organ hati ayam broiler tidak
berbeda nyata (P > 0.05) yang disajikan pada Tabel 7. Nilai MDA merupakan
salah satu ciri kerusakan organ hati yang berkorelasi positif dengan nilai SGPT
(Tabel 6). MDA adalah senyawa yang terbentuk akibat adanya reaksi senyawa
peroksida lipid dengan PUFA yang banyak terkandung pada jaringan hati.
Suplementasi vitamin E dan C melalui air minum bisa menurunkan level MDA
pada hati karena vitamin E dan C berperan dalam menangkal reaksi radikal bebas
yang disebabkan oleh peroksidasi lemak agar kerusakan sel-sel hati bisa lebih
tereliminasi.
Bobot relatif organ hati ayam broiler yang diberikan ransum berbasis lemak
(PL) relatif lebih kecil dibanding ransum berbasis karbohidrat (PC). Hal ini
disebabkan kinerja hati dalam melakukan fungsi kerja berbanding terbalik dengan
kandungan lemak ransum dimana ransum PL memiliki kandungan lemak yang
lebih tinggi dibanding ransum PC. Suplementasi vitamin melalui air minum
50
menyebabkan organ hati menjadi lebih berat karena vitamin E tergolong vitamin
larut lemak yang erat kaitannya dengan metabolisme lemak dan organ hati.
Tabel 7 Nilai malonaldehid (MDA) dan bobot relatif organ hati ayam broiler
Peubah Vitamin
Rataan Ransum 0 1
MDA PC 859.73 ± 92.34 655.59 ± 83.79 757.66 ± 136.27
(x106) PL 752.64 ± 180.51 706.08 ± 188.58 729.36 ± 172.70
Rataan 806.18 ± 144.56 680.83 ± 137.76
Bobot Hati PC 2.69 ± 0.26 2.91 ± 0.55 2.80 ± 0.41
(%) PL 2.43 ± 0.13 2.56 ± 0.32 2.50 ± 0.24
Rataan 2.56 ± 0.24 2.73 ± 0.46 Keterangan : PC = ransum berbasi karbohidrat, PL = ransum berbasis lemak, 0 = tanpa
suplemetasi vitamin E dan C melalui air minum, 1 = suplementasi vitamin E dan C
melalui air minum
Tabel 8 Persentase dan kualitas karkas ayam broiler
Peubah Vitamin
Rataan Ransum 0 1
Karkas PC 67.13 ± 1.31 67.03 ± 2.67 67.08 ± 1.05
(%) PL 65.27 ± 1.90 67.66 ± 1.38 66.47 ± 2.00
Rataan 66.20 ± 1.81 67.35 ± 2.00
Lemak abdominal PC 0.77 ± 0.08 0.94 ± 0.50 0.86 ± 0.35
(%) PL 0.56 ± 0.22 0.89 ± 0.47 0.72 ± 0.38
Rataan 0.67 ± 0.19 0.92 ± 0.45
Kolesterol daging ayam PC 47.56 ± 11.73 58.11 ± 4.17 52.84 ± 9.91
(mg/100g) PL 61.34 ± 6.56 60.92 ± 11.40 61.13 ± 8.61
Rataan 54.45 ± 11.47 59.51 ± 8.09
MDA daging PC 0.07 ± 0.08 0.04 ± 0.02 0.06 ± 0.06
(mg/kg) PL 0.13 ± 0.18 0.09 ± 0.04 0.11 ± 0.12
Rataan 0.10 ± 0.13 0.07 ± 0.04 Keterangan : PC = ransum berbasi karbohidrat, PL = ransum berbasis lemak, 0 = tanpa
suplemetasi vitamin E dan C melalui air minum, 1 = suplementasi vitamin E dan C
melalui air minum
Persentase dan kualitas karkas ayam broiler tidak berbeda nyata (P > 0.05)
dan disajikan pada Tabel 8. Pakan berbasis lemak (PL) memiliki kecenderungan
persentase karkas yang lebih kecil, kandungan lemak abdominal yang lebih kecil,
kandungan kolesterol karkas yang lebih tinggi sehingga kandungan MDA
dagingnya menjadi lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena pakan berbasis lemak
51
(PL) akan menghasilkan deposit cadangan asam lemak dan biosíntesis lemak
daging yang lebih tinggi dibanding dengan pakan berbasis karbohidrat (PC).
Suplementasi vitamin E dan C melalui air minum memiliki kecenderungan
meningkatkan persentase karkas, kandungan lemak abdominal, kolesterol karkas,
namun menurunkan nilai MDA daging. Hal ini menunjukkan bahwa metabolisme
vitamin E sangat erat kaitannya dengan biosíntesis asam lemak dan lemak daging.
Adanya sejumlah vitamin E yang dideposisi pada bagian membran daging ikut
membantu mencegah kerusakan daging ayam akibat adanya reaksi dari
peroksidasi lipid sehingga nilai MDA daging ayam yang disuplementasi vitamin
menjadi lebih rendah.
Penampilan Ayam Broiler
Penampilan ayam broiler yang meliputi konsumsi air minum , konsumsi
ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum (Tabel 9) dilakukan
pencatatan dan analisa untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perlakuan.
Tabel 9 Penampilan ayam broiler (8 – 28 hari)
Peubah Vitamin
Rataan Ransum 0 1
Konsumsi air
minum PC 4481.43 ± 240.87 4721.61 ± 197.61 4601.52 ± 241.00
(ml/ekor) PL 4660.86 ± 207.61 4612.88 ± 93.88 4636.87 ± 151.35
Rataan 4571.15 ± 229.21 4667.25 ± 154.57
Konsumsi ransum PC 1836.68 ± 31.08D
1955.88 ± 71.67A
1916.28 ± 99.28
(g/ekor) PL 1952.41 ± 43.77B
1922.16 ± 46.53C
1937.28 ± 44.84
Rataan 1894.54 ± 71.14b
1959.02 ± 68.43a
Pertambahan PC 1187.11 ± 28.23 1239.85 ± 55.62 1213.84 ± 49.62
Bobot badan PL 1231.68 ± 18.45 1251.73 ± 21.44 1241.70 ± 21.39
(g/ekor) Rataan 1209.40 ± 32.48 1245.79 ± 39.53
Konversi ransum PC 1.439 ± 0.03B
1.494 ± 0.01D
1.466 ± 0.03
PL 1.475 ± 0.02C
1.431 ± 0.01A
1.453 ± 0.03
Rataan
1.457 ± 0.03 1.462 ± 0.03 Keterangan : PC = ransum berbasi karbohidrat, PL = ransum berbasis lemak, 0 = tanpa
suplementasi vitamin E dan C melalui air minum, 1 = suplementasi vitamin E dan
C melalui air minum. Superskrip dengan huruf kecil menunjukkan perbedaan yang
nyata (P < 0.05) dan superskrip dengan huruf besar menunjukkan perbedaaan yang
sangat nyata (P < 0.01)
52
Konsumsi air minum
Minum merupakan salah satu paramater kesehatan ayam broiler karena air
memiliki banyak fungsi seperti pelarut vitamin, komponen pengisi sel dan
jaringan tubuh, termoregulasi tubuh dan pelarut penting dalam proses
metabolisme tubuh. Uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh
nyata terhadap total konsumsi air minum selama 21 hari penelitian (Tabel 9)
namun berkorelasi positif dengan konsumsi pakan selama penelitian. Ross (2009)
menyarankan konsumsi air minum pada suhu pemeliharaan 21 oC sebesar 1.6 –
1.8 kali konsumsi pakan, sedangkan nilai konsumsi air minum selama penelitian
dengan suhu 25 – 30 oC menjadi sebesar 2.3 – 2.4 kali konsumsi pakan. Hal ini
normal mengingat suhu lingkungan yang lebih tinggi akan menyebabkan ayam
lebih banyak untuk mengkonsumsi air minum membantu melepaskan panas
tubuhnya sebagai usaha untuk menyeimbangkan suhu tubuh dengan suhu
lingkungan.
Umur ayam, status kesehatan ayam, tingkat produktivitas ayam, jumlah
tempat air minum, jenis tempat air minum dan kualitas air minum adalah faktor-
faktor yang mempengaruhi konsumsi air minum selain suhu lingkungan dan juga
konsumsi ransum. Jumlah konsumsi air minum ini akan berdampak pada fungsi
air sebagai pelarut beberapa jenis vitamin larut air, pelarut zat-zat nutrisi penting,
penyusun struktur jaringan tubuh, termoregulator dan sebagai penanda ketika
terjadi gangguan proses metabolisme atau kesehatan pada ayam.
Konsumsi ransum
Konsumsi ransum merupakan usaha ayam untuk memenuhi kebutuhan
energi dan nutrisi selama proses pertumbuhan. Hasil uji statistik konsumsi pakan
pada Tabel 9 berbeda nyata (P < 0.01) dengan nilai terbesar pada R2 (1955.88 ±
71.67 g/ekor) yang diikuti oleh R3 (1952.41 ± 43.7 g/ekor), R4 (1922.16 ± 46.53
g/ekor) dan R1 (1836.68 ± 31.08 g/ekor) secara berturut-turut. Hal ini
mengindikasikan bahwa adanya sumber energi pakan yang berbeda dan
suplementasi vitamin melalui air minum memiliki interaksi dalam mempengaruhi
konsumsi ransum.
Secara umum pakan berbasis lemak memberikan dampak pada peningkatan
konsumsi ransum dibanding pakan berbasis karbohidrat. Nilai konsumsi ransum
53
ini erat kaitannya dengan nilai energi metabolis ransum berbasis lemak yang lebih
tinggi dibanding ransum berbasis karbohidrat (Tabel 4). Semakin tinggi nilai
energi metabolis ransum maka ayam akan mengkonsumsi ransum lebih rendah.
Suplementasi vitamin melalui air minum juga ikut meningkatkan konsumsi
ransum dibanding yang tidak diberi suplementasi vitamin melalui air minum. Hal
ini mengindikasikan bahwa suplementasi vitamin melalui air minum berdampak
positif dalam proses metabolisme nutrisi karbohidrat dan lemak untuk dikonversi
menjadi energi. Proses ini berhubungan erat dengan peranan vitamin E dan C
sebagai antioksidan untuk menanggulangi stres selama proses pemeliharaan.
Mckee et al. (1997) melaporkan bahwa pemberian vitamin C 150 mg/kg ransum
mempengaruhi sistem penyimpanan energi di dalam tubuh yang bisa digunakan
ketika asupan energi berkurang saat stres panas berlangsung. Kombinasi
pemberian vitamin E (240 mg/kg ransum) dengan vitamin C (240 mg/kg ransum)
pada puyuh masa pertumbuhan dan produksi telur yang mengalami stres cekaman
panas berdampak memperbaiki penampilan produktivitas dan memperbaiki efek
negatif dari stres panas (Ipek et al. 2007)
Nilai konsumsi ransum berhubungan dengan konsumsi air minum,
pertambahan bobot badan dan konversi pakan karena konsumsi ransum diatur
oleh pusat lapar dibawah koordinasi hipotalamus yang sama dengan pengaturan
konsumsi minum, termoregulasi dan juga sistem hormon (Hafez 1968). Jumlah
konsumsi ini akan menghasilkan nilai nutrisi termetabolis yang berhubungan
dengan tingkat stres dan ketersediaan enzim-enzim.
Pertambahan Bobot Badan
Sejumlah ransum yang dimakan akan dimetabolisme untuk menghasilkan
pertambahan bobot badan pada ayam broiler. Pertambahan bobot badan meliputi
pertambahan daging, tulang dan bulu. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
perlakuan tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan. Konsumsi ransum yang
tinggi tidak langsung berkorelasi positif terhadap pertambahan bobot badan,
karena jumlah yang bisa dimetabolisme dan diserap yang akan langsung
berdampak pada pertambahan bobot badan, sehinga nilai energi metabolis, retensi
nitrogen dan retensi lemak yang tertera pada Tabel 4, lebih berhubungan dengan
pertambahan bobot badan dibanding dengan konsumsi ransum. Nilai metabolisme
54
nutrisi erat kaitannya dengan ketersediaan enzim-enzim dan juga status kesehatan
(stres) pada ayam. Hafez (1968) mengemukakan bahwa pada saat stres oksidatif
akan menghasilkan sintesis lemak dan kolesterol yang meningkat dan sintesis
protein yang menurun yang berindikasi pada penampilan ayam broiler.
Suhu lingkungan yang kurang nyaman (Gambar 14 dan 15) menyebabkan
energi untuk produksi digunakan untuk homeostasis (keseimbangan tubuh), hal ini
biasanya dimulai dengan menurunnya konsumsi ransum, menurunnya laju aliran
darah dan berkurangnya energi yang dimetabolisme (Mckee et al. 1997).
Penurunan pemanfaatan energi untuk produksi akan mempengaruhi pertambahan
bobot badan yang dihasilkan. Latshaw & Moritz (2009) mengemukakan bahwa
partisi energi netto yang masuk ke dalam tubuh ayam sebagian akan dikonversi
menjadi panas tubuh selain untuk kebutuhan produksi dan menjaga aktivitas
harian ayam
Konversi Ransum
Konversi ransum atau yang lebih dikenal sebagai FCR (feed coversion
ratio) merupakan hasil pembagian antara pertambahan bobot badan dengan
konsumsi ransum. Hasil uji statistik konversi ransum menunjukkan hasil yang
berbeda nyata (P < 0.01) seperti tertera pada Tabel 9. Nilai konversi ransum
terbaik secara berurutan ialah R4 (1.431 ± 0.01), R1 (1.439 ± 0.03), R3 (1.475 ±
0.02) dan R2 (1.4394± 0.01). Nilai ini menunjukkan efisiensi penggunaan nutrisi
ransum untuk diubah menjadi komponen daging. Hasil ini dipengaruhi oleh
komposisi sumber energi dan tingkat kecernaan ransum, status stres dan kesehatan
ayam serta suhu dan kelembaban lingkungan pemeliharaan.
Komposisi lemak ransum mempengaruhi nilai konversi ransum, dimana
ransum PL lebih baik dibanding ransum PC (Tabel 9). Hal ini disebabkan oleh
ransum PC memiliki sumber energi (glukosa dari karbohidrat) yang lebih cepat
dicerna dibanding PL sehingga heat increment yang dihasilkan lebih tinggi dan
menyebabkan pelepasan panas di dalam tubuh terhambat yang berdampak pada
penurunan konsumsi ransum (Tabel 9), peningkatan oksigen dalam darah yang
ditandai dengan peningkatan konsentrasi hemoglobin darah (Tabel 5),
peningkatan konsentrasi trigliserida dan kolesterol darah (Tabel 6) serta peluang
55
terjadinya stres yang bisa diperparah oleh kondisi lingkungan pemeliharaan yang
kurang nyaman
Status stres dan kesehatan ayam bisa diwakili oleh komponen dan susunan
kimia darah serta status organ hati. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
selama proses penelitian ayam berada dalam kondisi sehat dengan tingkat
kenyaman yang berbeda (Gambar 14 dan 15). Tingkat kenyamanan yang berbeda
dimulai dengan adanya pengaruh lingkungan yang diakibatkan oleh perbedaan
suhu nyaman (termonetral) dengan suhu lingkungan pemeliharaan, sehingga
hipotalamus akan mempengaruhi pusat lapar, pusat minum, pusat termoregulasi
dan keseimbangan sistem hormon. Dampak dari stress ini akan menyebabkan
suplai dan pemanfaatan nutrisi menjadi berubah dibanding dengan kondisi normal
seperti dikemukakan oleh Mckee et al. (1997).
Stres lingkungan juga berdampak pada stres oksidatif yaitu stres yang
diakibatkan oleh banyak molekul reaktif (radikal bebas) yang diartikan sebagai
molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada
orbit terluarnya (Aruoma 1999; Miller et al. 1993). Radikal bebas
berkemungkinan mengambil partikel dari molekul lain kemudian menimbulkan
senyawa yang abnormal dan memulai reaksi berantai yang dapat merusak sel-sel
dengan menyebabkan perubahan yang mendasar pada materi genetis serta bagian-
bagian sel penting lainnya (Yashikawa & Naito 2002). Stres ini dimulai dari
tingkat kerusakan sel, jaringan, organ dan ayam itu sendiri. Salah satu organ yang
menjadi target dari stres oksidatif ialah organ hati yang ditandai dengan senyawa
malonaldehid (MDA) yang lebih tinggi (Tabel 7).
MDA merupakan senyawa yang terbentuk akibat reaksi radikal bebas
dengan PUFA yang mengandung sedikitnya tiga ikatan rangkap. Reaksi ini
diakibatkan oleh radikal bebas, yaitu suatu atom atau molekul yang memiliki satu
atau lebih elektron tak berpasangan dan sangat reaktif (Halliwell & Guteridge
1989). Hati merupakan organ yang kaya akan poly unsaturated fatty acid (PUFA)
sehingga menjadi salah satu target perusakan dari radikal bebas, dan jika
kandungan MDA dalam hati berlebih akan ditransfer menuju ke darah dan organ
lainnya. Kerusakan hati akan berdampak sangat signifikan terhadap metabolisme
asam lemak dan biosintesis kolesterol. Kolesterol dan asam lemak sangat erat
56
kaitannya dengan sistem hormon tubuh yang mengatur berbagai macam reaksi
metabolisme nutrisi.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Takahashi dan Akiba (1999),
bahwa pemberian lemak teroksidasi pada ayam broiler, nyata menurunkan
konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, penurunan level vitamin C dan α-
tokoferal plasma darah. Hasil tersebut ternyata diikuti dengan meningkatnya
MDA plasma darah sebagai indeks dari cekaman. Selanjutnya penelitian
Taniguchi et al. (1999) membuktikan bahwa stres oksidatif karena pemberian
hormon kortison, dapat meningkatkan kandungan lemak abdomen, MDA dan
kolesterol plasma ayam broiler.
Nilai konversi ransum ikut dipengaruhi oleh kualitas fisik pakan yang
dihasilkan seperti disajikan pada Tabel 10, Nilai kualitas fisik ransum berbasis
lemak (PL) memiliki nilai pellet durability index (PDI) dan kadar debu yang lebih
baik dibanding dengan ransum berbasis karbohidrat (PC). Nilai PDI
menggambarkan kemampuan pellet dalam menahan benturan, nilai PDI yang
tinggi akan memberikan kadar debu yang lebih rendah baik dan akan berdampak
pada income over feed and chick cost (IOFC : Tabel 11) karena dapat mengurangi
jumlah sisa ransum yang terbuang selama proses produksi dan pemberian di
kandang, salah satu parameter terjadinya proses gelatinisasi pati yang terkandung
dalam ransum lebih baik, memperbaiki kecernaan ransum, mengurangi stres pada
ayam dan memperbaiki nilai konversi ransum.
Tabel 10 Temperatur dan nilai amper mesin pellet serta nilai kualitas fisik ransum
Suhu (oC) Amper (A) Debu
a (%) PDI (%)
PC 79.67 ± 1.15 26.67 ± 0.58 2.76 ± 0.01 82.15 ± 1.64
PL 77.33 ± 1.53 20.67 ± 0.58 2.33 ± 0.01 88.10 ± 2.09 Keterangan : PC (ransum berbasi karbohidrat), PL (ransum berbasis lemak); PDI = Pellet
Durability Index; a ukuran partikel ≤ 0.3 mm
Nilai suhu dan amper pada proses produksi pellet merupakan salah satu
parameter efisiensi proses produksi ransum yang akan berdampak pada harga jual
ransum dan nilai IOFC, karena kedua parameter ini berkaitan erat dengan
konsumsi energi oleh mesin produksi. Kedua ini juga berkaitan erat dengan
kualitas ransum itu sendiri, terutama dalam hal kualitas fisik dan kimia ransum.
Suhu yang mencukupi selama proses produksi ransum akan mendukung proses
57
terjadinya gelatinisasi pati yang terkandung di dalam ransum ternak sehingga
kualitas fisik ransum bisa lebih baik dan tingkat kecernaan nutrisi menjadi lebih
baik. Lee et al. (2006) mengemukakan bahwa suhu yang optimal sangat
menentukan terjadinya peningkatan kecernaan nutrisi bahan ransum
meminimalisir kandungan anti nutrisi dan memberikan efek pertumbuhan yang
lebih baik, namun suhu yang kurang atau berlebihan justru akan berdampak
negatif.
Income Over Feed and Chick Cost (IOFC)
Nilai IOFC berdasarkan waktu pelaksanaan penelitian disajikan pada Tabel
11. Hasil ini menunjukkan bahwa ransum berbasis lemak (PL) lebih
menguntungkan sebesar Rp 292.13 per ekor ayam dibanding dengan ransum PC,
dimana hasil ini ditunjang oleh konversi ransum yang lebih baik (Tabel 9),
kandungan energi serta retensi nutrisi yang lebih tinggi (Tabel 4). Keuntungan
ini menunjang bahwa ransum PL lebih adaptif untuk ayam broiler yang dipelihara
pada lingkungan kurang nyaman dan akan lebih efektif ketika diberi suplementasi
vitamin E dan C melalui air minum agar penampilannya lebih baik.
Tabel 11 Income over feed and chick cost (IOFC) ransum penelitian
Ransum
Harga Jual Ayam
(Rp)
Harga Beli DOC
(Rp)
Biaya Produksi a
(Rp)
IOFC
(Rp)
PC 16,389.00 4,000.00 11,254.28 1,134.72
PL 16,753.50 4,000.00 11,326.66 1,426.85 Keterangan :
a Meliputi biaya ransum, sekam dan pemeliharaan.
Nilai ini diharapkan bisa mendukung keberlanjutan ketersediaan ransum
nasional berbasis bahan baku yang memiliki ketersediaan lokal cukup banyak,
dalam hal ini crude palm oil (CPO).
58
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ransum berbasis lemak (PL) dapat memberikan nilai keuntungan ekonomis
yang lebih baik (IOFC) dan menurunkan nilai total kolesterol dan HDL kolesterol
masing-masing sebesar 25.47% dan 20.42% pada ayam broiler. Suplementasi
vitamin E dan C melalui air minum diperlukan untuk ayam broiler yang
menggunakan sumber energi ransum berbasis lemak (R4) untuk memperbaiki
konsumsi dan konversi ransum ayam broiler yang dipelihara pada lingkungan
yang kurang nyaman.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap sistem bioenergetik ayam
broiler dengan berbagai dosis suplementasi vitamin E dan C yang berbeda melalui
air minum.
61
DAFTAR PUSTAKA
Allen PC, Danforth HD, Augustine PC. 1998. Dietary modulation of avian
coccidiosis. Int J Parasitol 28 : 1131 – 1140.
Apata DF. 2011. Effect of Terminalia catappa fruit meal fermented by
Aspergillus niger as replacement of maize on growth performance,
nutrient digestibility and serum biochemical profile of broiler chickens.
Biotechnol Res Int, Vol (2011) : 1 – 6.
Aruoma OI.1999. Free radicals, antioxidants and international nutrition. Asia
pacific. J Clin Nutr 8 :53-63.
St. Angelo. 1992. Lipid Oxidation in Food. American Chemical Society, New
York
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitassari NL, Sedarnawati, Budiyono S. 1989.
Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas dan Gizi. Institut
Pertanian Bogor.
Beynen AC 1980. Animal models for cholesterol metabolism studies, In A.C
beynen ed. New Developments in Biosciences; their Implications for
Laboratory Animal Science. Martinus Nijhoff Publishers, Boston. Pp. 279-
294.
[BMKG] Badan Metereolog, Klimatologi dan Geofisika. 2011. Prakiraan cuaca
Indonesia. http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Meteorologi/cuaca-
indo.bmkg [17 Sep 2011].
Borges SA, Fischer da Silva AV, Ariki J, Hooge DM, Cummings KR. 2003a.
Dietary electrolyte balance for broiler chickens under moderately high
ambient temperatures and relative humilities. Poultry Sci 82 : 301 – 308.
Borges SA, Fischer da Silva AV, Ariki J, Hooge DM, Cummings KR.. 2003b.
Dietary electrolyte balance for broiler chickens exposed to thermo neutral
or heat stress environments. Poultry Sci 82 : 428 – 435.
Bounous DI, Stedman NL. (2000). Normal Avian Hematology: Chicken and
Turkey. Feldman BF, Zinkl JG, Jain NC, eds. Schalm’s Veterinary
Hematology, 5th ed. Philadelphia, Lea & Febiger : 1147 – 1154 .
Brenes AA et al. 2008. Effect of grape pomace concentration and vitamin E on
digestibility of polyphenols and antioxidant activity in chickens. Poultry
Sci 87 : 307 – 316.
Briggs JL, Maier DE, Watkins BA, Behnke KC. 1999. Effect of ingredients and
processing parameters on pellet quality. Poultry Sci 78 : 1464 – 1471.
Cha BJ et al. 2006. Effects of supplementation of β-glucan on the growth
performance and immunity on broilers. Res Vet Sci 80 : 291 – 298.
Coelho M. 1994. Vitamin stability in premix and feeds : A practical approach in
ruminants diets. Proceeding 13th
Annual Florida Ruminant Nutrition
Symposium : 127 – 145.
62
Conti M, Sutherland MD. 1991. Improve flurometric determination of
malonaldehyde. J Clin Chem. 37 : 1273-1275.
Dalimartha S. 2000. Pegagan Kecil, mungil dan Sakti. Nirmala, Majalah Hidup
Sehat Alami. 10/11/Oktober : 57-59.
Dasilva ICM et al. 2009. Broiler chicken responses to immunological stimuli as
mediated by different levels of vitamin E in the diets. J Appl Poult Res 18
: 752 – 760.
Dauqan EMA, Aminah HAS, Adullah, Kasim ZM. 2011.Fatty acid composition
of four different vegetable oil (red palm oil, palm olein, corn oil and
coconut oil) by gas chromatography. 2nd
International conference on
chemistry and chemical engineering. IACSIT Press, Singapore. IPCBEE
vol. 14 : 31 – 34.
Dellman HD, Brown EM. 1989. Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-3
Jakarta. Iowa State University. Ames Iowa. Terjemahan. UI Press.
Drackley JK. 2000. Lipid metabolism. Di dalam : D’Mello JPF, editor. Farm
Animal Metabolism and Nutrition. Ed ke-1. Wallingford : CABI
International. hlm 97 – 119.
DSM. 2007. Vitamin Basics : The Fact about Vitamins in Nutrition. Ed ke-3.
Germany.
Enser M. 1984. The Chemistry, Biochemistry and Nutritional Importance of
animal Fats in Animal Nutrition. Wiseman J, editor. London:
Butterworths.
Fransdson RD 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi IV. Penerjemah B.
Srigandono dan K . Praseno. Gajah Mada university Press, Yogyakarta.
Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-14. Jakarta
Terjemahan. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Girindra A. 1988. Biokimia I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Gowda NKS, Ledoux DR, Rottinghaus GE, Bermudez AJ, Chen YC. 2009.
Antioxidant efficacy of curcuminoids from turmeric (Curcuma longa L.)
powder in broiler chickens fed diets containing aflatoxin B1. Br J Nutr 102
: 1629 – 1634.
Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2009. Advanced Nutrition and Human
Metabolism. 5th
Edition. Wadsworth Cengage Learning, Belmont USA
Gross WB, Dunnington EA, Siegel PB. 1984. Environmental Effects on the will
Being of Chickens from Lines Selected for Responses to Sosial Strife.
Arch. Geflugelled. 48 : 3-7.
Gross WB, Siegel HS. 1983. Evaluation of Heterofil/Limphocyte Ratio as
Measure of Stress Chickens. Avi Dis 27 : 972-979.
Guyton AC. 1986. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-5. Jakarta.
Terjemahan. EGC.
63
Habibie A. 1993. Pengaruh cekaman panas terhadap kebutuhan vitamin C pada
ayam petelur komersial yang sedang berproduksi [disertasi]. Bogor :
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hafez ESE. 1968. envirponmental effects on animal productivity, in Adaptation
of domestic animal. Edited by E.S.E hafez, Washingtone State University,
Pullman-Washingtone.
Halliwell B, Gutteridge JMC. 1989. Free Radicals in Biology and Medicine, Ed
ke-2. Oxford University Press, New York.
Herman S. 1991. Pengaruh gizi terhadap penyakit kardiovasculer. Cermin Dunia
Kedokteran. 73: 12-16.
Hesta M et al. 2009. The effect of vitamin C supplementation on healthy dogs on
antioxidative capacity and immune parameters. J Anim Physiol Ani Nutr
93 : 26 – 34.
Ipek A, Canbolat O, Karabulut A. 2007. The effect vitamin E and vitamin C on
the performance of Japanese quail (Coturnix Coturnix Japonica) reared
under heat stress during growth and egg production period. Asian Aust J
Anim Sci 20 (2) : 252 – 256.
Klasing KC. 1998. Nutritional modulation of resistance to infectious diseases.
Poultry Sci 77 : 1119 – 1125.
Kusnadi E. 1990. Pengaruh pemberian megnesium sebagai penangkal cekaman
suhu terhadap respons fisiologis kelinci (Oryctolagus cuniculus) [thesis].
Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kusnadi E. 1993. Pengaruh penambahan magnesioum terhadap respons fisiologis
ayam pedaging. J Penelitian Andalas 13:56-69.
Latshaw JD, Moritz JS. 2009. The partitioning of metabolizable energy by broiler
chickens. Poultry Sci 88 : 98 – 105.
Latshaw JD. 2008. Daily energy intake of broiler chickens in altered by proximate
nutrient content and form of the diet. Poultry Sci 87 : 89 – 95.
Lehninger AL. 2005. Principles of Biochemistry. 4th
Edition. W.H. Freeman
Publisher. USA
Lee HS et al. 2007. Comparison of laboratory analytical value and in vivo
soybean meals quality on pigs by employing soyflakes heat-treated under
different conditions. J Ani Feed Sci Tech 134 : 337 – 346 .
Lopez G, Lesson S. 2008. Assessment of nitrogen correction factor in evaluating
metabolizable energy of corn and soybean meal in diets for broiler. Poultry
Sci 87 : 298 – 306.
Mashaly MM et al. 2004. Effect of heat stress on production parameters and
immune responses of commercial laying hens. Poultry Sci 83 : 889 – 894.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab, Jilid I. IPB Press. Bogor.
64
Maxwell MH. 1993. Avian blood leucocytes responses to stress. Poultry Sci 49
(1) : 39-43.
Mayes PA 1995. Sintesis Pengangkutan dan Ekskresi Kolesterol. Biokimia Harper
(Harper’s Biochemistry). Edisi 22. Alih Bahasa: dr. Andry Hartono.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 303-312.
McDowell LR. 2006. Vitamin nutrition of livestock animals : overview from
vitamin discovery to today. Can J Anim Sci 86 : 171 – 179.
Mckee JS, Harrison PC, Riskowski L. 1997. Effects of supplemental ascorbic acid
on the energy conversion of broiler chicks during heat stress and feed
withdrawal. Poultry Sci 76 : 1278 – 1286.
Miller JK, Slebodzinska EB, Madsen FC. 1993. Oxidative stress, antioxidant, and
animal function. J Dairy Sci 76 : 2812 - 2823.
Muchtadi D, Sri PN, Astawan M. 1993. Metabolisme Zat Gizi. Sumber, Fungsi
dan Kebutuhan bagi Tubuh Manusia. Jilid II. Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta. Hal 48-50.
Muhammad I. 2009. Efek antiokasidan vitamin C terhadap tikus (Rattus
nevergicus L) jantan akibat pemaparan rokok. (tesis). Bogor : Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Nielsen KS. 1997. Animal Physiology, Adaptation and Environmental. Ed. Ke-5.
New York. Cambridge University Press.
Niu ZY, Liu FZ, Yan QL, Li WC. 2009. Effects of different levels of vitamin E
on growth performance and immune responses of broilers under heat
Stress. Poultry Sci 88 : 2101 – 2107.
Nguyen P et al. 2008. Liver lipid metabolism. J Anim Physiol Anim Nutr 92 : 272
– 283.
Noda N, Wakasugi H. 2001. Cancer and oxidative stress. JMAJ 44 : 529 – 534.
Ohkawa B, Gutterdge JMC. 1989. Assays for lipid peroxide in animal tissue by
thiobarbituric acid reaction. Anal Biochem 95 : 351-358.
Pantazis PA et al. 2010. Curcumin and turmeric attenuate arsenic-induced
angiogenesis in ovo. Alternatives Therapies 16 (2) : 12 – 14.
Piliang WG, Djojosoebagio SAH. 2002. Fisiologi Nutrisi. Vol I. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Bogor
: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Plavik I, Was E, Saklan D, Barbatov I, Hurwitz S. 1997. The response of broiler
chickens and turkey poults to dietary energy supplied either by fat or
carbohydrate. Poultry Sci 76 : 1000 – 1005.
Post J, Rebel MJ, Huurne HM. 2002. Automated Blood Cell Count : A sensitive
and reliable method to study corticosterone-related stress in broilers.
Poultry Sci 82 : 591-595.
Pramono S. 1992. Profil Kromatogram ekstrak herba pegagan yang berefek
antihipertensi. Di dalam: Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1 : 37 - 39.
65
Puthpongsiriporn U, Scheideler, Sell JL, Beck MM. 2001. Effects of vitamin E
and C supplementation on performance, in vitro lymphocyte proliferation,
and antioxidant status of laying hens during heat stress. Poultry Sci 80 :
1190 – 1200.
Ross. 2009. Broiler Management Manual. Alabama : Aviagen
Roy S, Maiti SK, Aliand SL, Sharda R. 1996. Study on Efficacy of Zeetress, an
antistress in layers during summer. Indian Vet J 73 : 662 – 664.
Sahin N, Orhan C, Tuzcu M, Sahin K, Kucuk O. 2008. The effect of tomato
powder supplementation on performance and lipid peroxidation on quail.
Poultry Sci 87 : 276 – 283.
Sahin K, Kucuk O, Sahin N, Gursu MF. 2002. Optimal dietary concentration of
vitamin E for alleviating the effect of heat stress on performance, thyroid
status, ACTH and some serum metabolite and mineral concentration in
broiler. Vet Med-Czech 47 (4) : 110 – 116.
Sayogya PA. 2002. Efek senyawa antioksidan biological response modifier
(BRMTM
) terhadap kadar lipid peroksida hati tikus [skripsi]. Bogor :
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Sibbald IR. 1980. A new technique for estimating the energy metabolizable
content of feeds for poultry. International Development Research Centre.
Canada.
Siegel HS. 1980. Physiological stress in birds. Bioscience 30 (8) : 529 – 533.
Sturkie PD. 1976. Avian Physiology. Ed ke-3. New York. Spinger Verlag
Sturkie PD, Grimminger P. 1976. Blood : Physical Characteristic, Forme
Elements, Haemoglobin and Coagulation. Ed-ke 3. Sturkie PD (Editor).
Avian Physiology. New York. Springer Verlag.
Sugito, Manalu W, Astuti DA, Handharyani E, Chairul. 2007. Morfometrik usus
dan performa ayam broiler yang diberi cekaman panas dan ekstrak n-
heksana kulit batang “jaloh” (Salix tetrasperma Roxb). Media Peternakan,
30 (3) : 198 – 206.
Supari, F. 1996. Radikal bebas dan Patofisiologi beberapa penyakit. Di dalam
Prosiding Seminar Senyawa dan Sistem Pangan, Reaksi Biomolekuler,
dampak terhadap Kesehatan dan Penangkalan. Kerjasama Pusat studi
pangan dan Gizi-IPB dengan Kedutaan Beasr Perancisd, Jakarta.
Supartondo. 2002. Antioksidan dan proses menua. Di dalam: Penatalaksanaan
Pasien Geriatri/usia Lanjut secara Terpadu dan Paripurna. Prosiding Temu
Ilmiah Geriatri 2002, Jakarta 25 Mei 2002. Pusat informasi dan Penerbitan
bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fak Kedokteran UI. Jakarta. Hlm 1-6
Swenson MJ. 1977. Physiology of Domestic Animals.Ed ke-9. Comstoc
Publishing Associates. Comell University Press, Itacha.
Takahashi K, Akiba Y. 1999. Effect of oxidized fat on performance and some
physiological response in broiler chickens. J Poultry Sci 6 : 304 – 310.
66
Taniguchi N, Ohsutka A, Hayashi K, 1999. effect of dietary corticosteron and
vitamin E on growth and oxidative stress in broiler chickens. Anim Sci J 70
: 105 – 200.
Tarmudji. 2005. Asites pada ayam pedaging. Wartazoa 15 (1) : 38 – 48
The European Pharmacopoeia. 2005. Edisi ke 5. hlm 1025 – 1026.
Tillman, AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prowirokusumo S, Lebdosukodjo L.
1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press.
Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta. Hal 158-159.
Tizzard I. 1987. Immunologi Veteriner. Surabaya. Ed ke-3. Terjemahan Airlangga
University Press.
Wang L et al. 2008. Effects of Forsythia suspensa extract on growth performance,
nutrient digestibility and antioxidant activities in broiler chickens under
high ambient temperature. Poultry Sci 87 : 1287 – 1294.
Yagi K. 1994. Lipid peroxides in hepatic, gastrointestinal, and pancreatic disease.
Free Radicals in Diagnostic Medicine. Plenum Press, New York
Yokode M, Kita T. 2002. Aging and Oxidative stress. JMAJ 45 : 277 – 282.
Yoshikawa T, Naito, Y. 2002. What is oxidative stress. JMAJ 45 : 271 – 276.
Zulkifli I, Siegel TB. 1995. Is There of Positive Side to Stress. Poultry Sci 51 : 63
– 76.
67
Lampiran 1 Foto – foto pelaksanaan penelitian
1. Proses Fumigasi Kandang
2. Kandang Penelitian
68
3. Periode Brooder
69
4. Pen perlakuan
70
Lampiran 2 Kurva standar MDA
No Konsentrasi
(ρmol/50 ɥ L)
Absorbansi
532 nm
1 500 0.047
2 1000 0.058
3 1500 0.084
4 2000 0.110
5 2500 0.137
6 3000 0.169
7 3500 0.204
8 4000 0.226
9 5000 0.298
71
Lampiran 3 Analisis ragam pertambahan bobot badan
Sumber Keragaman DB JK KT F P
PAKAN 1 2934.930625 2934.930625 2.38 0.1488
VITAMIN 1 5036.031225 5036.031225 4.08 0.0662
PAKAN*VITAMIN 1 1222.201600 1222.201600 0.99 0.3391
Galat 12 14796.29825 1233.02485
Total 15 23989.46170
Lampiran 4 Analisis ragam konversi pakan
Sumber Keragaman DB JK KT F P
PAKAN 1 0.00062500 0.00062500 1.95 0.1881
VITAMIN 1 0.00010000 0.00010000 0.31 0.5869
PAKAN*VITAMIN 1 0.01102500 0.01102500 34.36 <.0001
Galat 12 0.00385000 0.00032083
Total 15 0.01560000
Uji lanjut kontras orthogonal
Variabel dependen
Kontras DB Kontras SS KT F P
PC0 VS PC1 1 0.00661250 0.00661250 20.61 0.0007
PC0 VS PL0 1 0.00320000 0.00320000 9.97 0.0082
PC0 VS PL1 1 0.00011250 0.00011250 0.35 0.5647
PC1 VS PL0 1 0.00061250 0.00061250 1.91 0.1922
PL0 VS PL1 1 0.00451250 0.00451250 14.06 0.0028
Lampiran 5 Analisis ragam hemoglobin
Sumber Keragaman DB JK KT F P
PAKAN 1 0.49000000 0.49000000 1.57 0.2341
VITAMIN 1 0.20250000 0.20250000 0.65 0.4362
PAKAN*VITAMIN 1 0.64000000 0.64000000 2.05 0.1777
Galat 12 3.74500000 0.31208333
Total 15 5.07750000
R-Square Coeff Var Root MSE Konversi Pakan Mean
0.753205 1.226837 0.017912 1.460000
72
Lampiran 6 Analisis ragam hematokrit
Sumber Keragaman DB JK KT F P
PAKAN 1 3.06250000 3.06250000 1.16 0.3031
VITAMIN 1 3.06250000 3.06250000 1.16 0.3031
PAKAN*VITAMIN 1 7.56250000 7.56250000 2.86 0.1167
Galat 12 31.75000000 2.64583333
Total 15 45.43750000
Lampiran 7 Analisis ragam eritrosit
Sumber Keragaman DB JK KT F P
PAKAN 1 0.00250000 0.00250000 0.10 0.7629
VITAMIN 1 0.01000000 0.01000000 0.38 0.5486
PAKAN*VITAMIN 1 0.01000000 0.01000000 0.38 0.5486
Galat 12 0.31500000 0.02625000
Total 15 0.33750000
Lampiran 8 Analisis ragam SGPT
Sumber Keragaman DB JK KT F P
PAKAN 1 14.06250000 14.06250000 1.84 0.2000
VITAMIN 1 5.06250000 5.06250000 0.66 0.4317
PAKAN*VITAMIN 1 7.56250000 7.56250000 0.99 0.3396
Galat 12 91.7500000 7.6458333
Total 15 118.4375000
Lampiran 9 Analisis ragam trigliserida
Sumber Keragaman DB JK KT F P
PAKAN 1 0.00175659 0.00175659 0.01 0.9103
VITAMIN 1 0.07254124 0.07254124 0.55 0.4737
PAKAN*VITAMIN 1 0.18246408 0.18246408 1.38 0.2635
Galat 12 1.59094701 0.13257892
Total 15 1.84770892
73
Lampiran 10 Analisis ragam total kolesterol
Sumber Keragaman DB JK KT F P
PAKAN 1 5220.062500 5220.062500 32.21 0.0001
VITAMIN 1 473.062500 473.062500 2.92 0.1133
PAKAN*VITAMIN 1 150.062500 150.062500 0.93 0.3549
Galat 12 1944.750000 162.062500
Total 15 7787.937500
Contrast DF Contrast SS Mean Square F Value Pr > F
PC vs PL 1 5220.062500 5220.062500 32.21 0.0001
0 vs 1 1 473.062500 473.062500 2.92 0.1133
Lampiran 11 Analisis ragam HDL kolesterol
Sumber Keragaman DB JK KT F P
PAKAN 1 885.0625000 885.0625000 7.62 0.0173
VITAMIN 1 232.5625000 232.5625000 2.00 0.1826
PAKAN*VITAMIN 1 18.0625000 18.0625000 0.16 0.7003
Galat 12 1394.250000 116.187500
Total 15 2529.937500
Contrast DF Contrast SS Mean Square F Value Pr > F
PC vs PL 1 885.0625000 885.0625000 7.62 0.0173
0 vs 1 1 232.5625000 232.5625000 2.00 0.1826
Lampiran 12 Analisis ragam LDL kolesterol
Sumber Keragaman DB JK KT F P
PAKAN 1 0.21999092 0.21999092 2.41 0.1469
VITAMIN 1 0.00019428 0.00019428 0.00 0.9640
PAKAN*VITAMIN 1 0.03185671 0.03185671 0.35 0.5660
Galat 12 1.09735857 0.09144655
Total 15 1.34940048
74
Lampiran 13 Analisis ragam MDA hati
Sumber Keragaman DB JK KT F P
PAKAN 1 3.3984308E15 3.3984308E15 0.94 0.3514
VITAMIN 1 2.2741534E14 2.2741534E14 0.06 0.8062
PAKAN*VITAMIN 1 1.6022631E14 1.6022631E14 0.04 0.8368
Galat 12 4.3388104E16 3.6156754E15
Total 15 4.7174177E16
Lampiran 14 Analisis ragam kolesterol daging ayam
Sumber Keragaman DB JK KT F P
PAKAN 1 274.8135063 274.8135063 3.35 0.0921
VITAMIN 1 102.4650063 102.4650063 1.25 0.2856
PAKAN*VITAMIN 1 120.2860562 120.2860562 1.47 0.2492
Galat 12 984.414475 82.034540
Total 15 1481.979044
Lampiran 15 Analisis ragam MDA karkas
Sumber Keragaman DB JK KT F P
PAKAN 1 0.00233445 0.00233445 1.08 0.3195
VITAMIN 1 0.00110458 0.00110458 0.51 0.4887
PAKAN*VITAMIN 1 0.00000658 0.00000658 0.00 0.9569
Galat 12 0.02597354 0.00216446
Total 15 0.02941916
Lampiran 16 Analisis ragam % bobot hati
Sumber Keragaman DB JK KT F P
PAKAN 1 0.00003691 0.00003691 3.02 0.1077
VITAMIN 1 0.00001173 0.00001173 0.96 0.3463
PAKAN*VITAMIN 1 0.00000086 0.00000086 0.07 0.7957
Galat 12 0.00014650 0.00001221
Total 15 0.00019599