meski langit runtuh

11
Meski Langit Runtuh Pengorbanan adalah hal yang tidak terelakkan di hidup ini dan aku sudah lama bisa menerima ini. Hidupku dipenuhi dengan premis-premis "bisa saja". Bisa saja aku sekarang sedang menempuh pendidikan doktorku di Swedia, tapi aku tunda untuk satu hal yang lebih besar. Bisa saja aku sedang bersama anakku, Chandra, yang sedang sekolah di Tanah Air sekarang, namun aku telah belajar untuk menempatkan kepentingan keluarga di nomor dua. Aku tidak menelantarkan, karena aku meninggalkan mereka di bawah naungan kecukupan dan keserbaadaan. Aku menutup pintu di belakangku dan langsung disambut wangi kayu mahoni yang melapisi bagian bawah tembok ruang kerjaku. Karpet persia hampir menutupi seluruh lantai yang juga terbuat dari kayu dan hanya menyisakan beberapa sentimeter di ujung- ujungnya. Aku berjalan ke seberang ruangan, melewati dua sofa kulit asli berwarna hitam dengan meja kayu ek di depannya yang biasa digunakan untuk menerima tamu-tamu kenegaraan maupun yang sekedar ingin bersilaturahmi. Meja kerjaku yang luar biasa besar dan tersusun rapi terletak di depan tiga buah jendela tiga meter yang membolehkan aku untuk melihat ke jalanan protokol di Washington, DC, yang selalu diramaikan oleh pejalan kaki dan orang-orang yang menunggu di halte bus. Baru saja aku duduk di kursi, pintu sudah diketuk. Aku mengizinkan masuk dan siluet wanita muda yang baru saja mendapatkan summa cum laude dari Harvard beberapa pekan yang lalu, dengan rambut panjang dan setelan blus rapi sambil mendekap tumpukan kertas masuk ke ruanganku. Dia menghampiri mejaku dengan kegesitannya yang membuktikan bahwa dia adalah sekretaris yang kompeten. "Pak Ali," katanya sambil mengangguk hormat, "ini dokumen dari Kedutaan Besar Swedia yang menawarkan beasiswa program S3 di negaranya lagi." Dia meletakkan map plastik berwarna biru di mejaku. "Kemudian ini undangan-undangan dari warga negara kita.

Upload: ananda-bibah

Post on 17-Jan-2016

221 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

karya tulis

TRANSCRIPT

Page 1: Meski Langit Runtuh

Meski Langit Runtuh

Pengorbanan adalah hal yang tidak terelakkan di hidup ini dan aku sudah lama bisa menerima ini. Hidupku dipenuhi dengan premis-premis "bisa saja". Bisa saja aku sekarang sedang menempuh pendidikan doktorku di Swedia, tapi aku tunda untuk satu hal yang lebih besar. Bisa saja aku sedang bersama anakku, Chandra, yang sedang sekolah di Tanah Air sekarang, namun aku telah belajar untuk menempatkan kepentingan keluarga di nomor dua. Aku tidak menelantarkan, karena aku meninggalkan mereka di bawah naungan kecukupan dan keserbaadaan.

Aku menutup pintu di belakangku dan langsung disambut wangi kayu mahoni yang melapisi bagian bawah tembok ruang kerjaku. Karpet persia hampir menutupi seluruh lantai yang juga terbuat dari kayu dan hanya menyisakan beberapa sentimeter di ujung-ujungnya. Aku berjalan ke seberang ruangan, melewati dua sofa kulit asli berwarna hitam dengan meja kayu ek di depannya yang biasa digunakan untuk menerima tamu-tamu kenegaraan maupun yang sekedar ingin bersilaturahmi. Meja kerjaku yang luar biasa besar dan tersusun rapi terletak di depan tiga buah jendela tiga meter yang membolehkan aku untuk melihat ke jalanan protokol di Washington, DC, yang selalu diramaikan oleh pejalan kaki dan orang-orang yang menunggu di halte bus.

Baru saja aku duduk di kursi, pintu sudah diketuk. Aku mengizinkan masuk dan siluet wanita muda yang baru saja mendapatkan summa cum laude dari Harvard beberapa pekan yang lalu, dengan rambut panjang dan setelan blus rapi sambil mendekap tumpukan kertas masuk ke ruanganku. Dia menghampiri mejaku dengan kegesitannya yang membuktikan bahwa dia adalah sekretaris yang kompeten.

"Pak Ali," katanya sambil mengangguk hormat, "ini dokumen dari Kedutaan Besar Swedia yang menawarkan beasiswa program S3 di negaranya lagi." Dia meletakkan map plastik berwarna biru di mejaku. "Kemudian ini undangan-undangan dari warga negara kita. Yang ini undangan untuk mengisi kuliah umum di Universitas Yale tentang tugas sebagai duta besar. Kemudian dari senat."

Seketika kata 'senat' meluncur dari bibirnya, aku menoleh dari lamunanku."Senat?" tanyaku."Senat," ulangnya.Sebenarnya aku sedikit kesal ketika dia hanya mengulang kata yang baru kuucap karena

hal tersebut tidak menjelaskan apa-apa, namun rasa penasaranku duduk menjadi juara di antara ekspresi-ekspresi yang lain.

"Dari negara bagian apa?" tanyaku.Rembulan, si sekretaris, berkonsultasi dengan map yang masih dipegangnya sebelum

menjawab, "Dari Minnesota, Michael Franken.""Dan dia ingin bertemu denganku di Capitol?""Tidak, hanya undangan makan siang di rumah makan favoritnya," jelasnya. "Saya

menduga ini bersangkutan dengan kasus hukum Rendra.""Presiden sudah memberikan instruksi?" tanyaku.

Page 2: Meski Langit Runtuh

"Pak Tubagus berkata kemarin bahwa Presiden akan menelepon sekitar pukul –" Rembulan melihat jam yang terpampang di dinding dekat sofa dan melanjutkan, "– sebelas."

Aku teringat akan kasus Rendra yang daya tariknya bergema dan menghiasi halaman depan koran-koran baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, serta beberapa surat kabar milik negara-negara lain yang menaruh perhatian pada kasus ini. Diawali ketika I Made Rendra, seorang mahasiswa dari Pulau Dewata yang sedang kuliah di Stanford, didapati oleh Kepolisian Los Angeles membawa sejumlah dua kilogram mariyuana yang ditemukan di kopernya saat pemeriksaan keluar di Bandar Udara Internasional Los Angeles. Rendra langsung membantah kepemilikan zat itu, namun pihak kepolisian memintanya untuk memberi keterangan di kantor polisi.

Terakhir kali aku bertemu dengan Rendra, dia terlihat tegar. Yaitu dua pekan yang lalu, aku bertemu dengannya di Van Nuys. Cahaya penuh idealisme khas mahasiswa masih menghiasi matanya. Dari bola matanya lah aku yakin bahwa dia tak bersalah. Masalahnya adalah tidak akan ada yang percaya jika aku membuktikan keadaannya yang tidak bersalah hanya dari bola matanya. Visiku jelas: Aku harus mempertahankan cahaya itu di bola matanya.

Jika para personel polisi dan juri pengadilan sanggup membuka mata untuk kebenaran, mereka akan menemukan kejanggalan pada kasus ini. Bagaimana mungkin Rendra tidak ditangkap oleh petugas bandara transit di Dubai jika saja dia benar membawa mariyuana? Tentulah mereka tahu bahwa penjagaan di Dubai lebih ketat daripada di Kalifornia. Anehnya, mereka bertindak seolah-olah mereka adalah pahlawan yang berhasil menghentikan salah satu sindikat narkoba yang mencoba merusak lapisan generasi Paman Sam.

Banyak cara untuk menemukan jawaban dari seseorang. Banyak psikolog yang ahli dalam mengelabui orang agar tidak berbohong. Namun, ketika aku bertemu Rendra pada satu kesempatan di rutan Van Nuys, aku bertanya tanpa trik psikologis.

"Apakah kau melakukannya?"Kemudian Rendra waktu itu menjawab dengan pelan, "Tidak."Dan dengan demikian, plus menimbang kejanggalan yang tadi, aku yakin dia difitnah.

Pertanyaan yang muncul kemudian diawali dengan kata 'siapa'.Rendra bilang dia tak tahu siapa yang melakukannya.Lalu segera muncul pertanyaan yang lain. Bagaimana kronologisnya?"Saya melalukan semua prosedur sesuai dengan peraturan, Pak Dubes. Saya membayar

fiskal di bandara Dubai. Saya mengizinkan semua barang saya dicek saat pemeriksaan. Tidak ada yang terjadi di kota yang panas itu. Namun ketika sampai di California, saya didapati membawa dua kilogram mariyuana," kata Rendra.

"Dua kilogram adalah tambahan yang signifikan di koper Anda. Anda tidak menceritakan apa yang terjadi di pesawat," kataku.

"Tak ada yang terjadi di pesawat," katanya.Aku mencatat semua yang kudengar dan yang kutangkap dari segala perubahan yang

terjadi pada dirinya di buku catatan yang biasa kubawa di saku jasku. Bila dibandingkan dengan penasihat hukum Rendra, catatanku masih lebih lengkap darinya.

Page 3: Meski Langit Runtuh

Telepon di meja kerjaku berdering. Sebelum Rembulan mengangkatnya, aku mengambil pesawat telepon dan memosisikannya di telinga kananku. Suara Tubagus Reski, Juru Bicara Presiden Bidang Hubungan Internasional, terdengar di seberang sana.

"Selamat malam, Pak Ali," katanya."Selamat pagi, Pak Bagus," kataku."Bapak Presiden ingin berbincang dengan Anda.""Saya tahu itu," kataku. "Maafkan saya berkata seperti ini, namun hari ini saya harus

bertemu dengan senator dari Minnesota secepatnya. Rendra membutuhkan saya.""Baik. Pak Presiden akan berbicara dengan Anda sekarang."Terdengar lagu yang menandakan bahwa pesawat telepon di Istana Negara sedang

ditutup untuk menunggu Presiden bersiap meneleponku. Aku terheran mengapa beliau membutuhkan lima menit penuh untuk mengangkat pesawat teleponnya. Hal ini sangat menyita waktuku yang seharusnya untuk memenuhi undangan dari Michael Franken.

"Selamat malam, Pak Ali," sapa Presiden. Suaranya sangat khas dengan citra politik: dalam dan lambat.

"Selamat malam. Bapak sudah mendengar tentang kasus ini dari Pak Tubagus, bukan?""Ya, betul. Saya ingin mendengar saran Anda sebelum saya memberikan instruksi,"

katanya."Saya pikir kasusnya jelas. Rendra tidak bersalah –"Presiden memotongku, "Pengadilan belum memberikan keputusan.""Pengadilan di sini disetir, Pak. Saya yakin mereka tidak akan melepaskan Rendra

sekalipun mereka pada akhirnya mengetahui bahwa dia tak bersalah. Ini masalah gengsi internasional, dan kita sedang membicarakan Amerika Serikat," kubilang. "Izinkan saya melanjutkan. Seperti yang saya bilang tadi, Rendra tidak bersalah. Saya sudah menulis surel untuk Bapak tentang lima alasan mengapa dia tidak bersalah dan saya berharap Bapak telah membacanya. Bertolak dari situ, kita harus sekuat tenaga membelanya."

Diam menghantui kami beberapa saat sebelum Presiden berkata, "Jadi, itu saranmu?"Aku tersenyum meskipun Presiden tidak dapat melihatnya. Aku berkata, "Bukan, Pak. Ini

bukan saran. Ini kebenaran."Lalu, diam kembali bergantung di antara kami untuk sesaat."Menhan dan Jaksa Agung menyarankan saya untuk menukar terdakwa mati Albert

Deano dengan I Made Rendra. Anda bisa menyampaikan ini dengan senator yang akan Anda temui. Dengan demikian, Rendra bebas," kata Presiden.

Kasus Albert Deano, dari Amerika Serikat, mirip dengan Rendra, yaitu tertangkap membawa sejumlah ekstasi di Bandara Ngurah Rai. Satu-satunya yang berbeda antara keduanya adalah Albert Deano memang membawa ekstasi dan bersalah karena itu, sementara Rendra tidak.

Senyumku hilang seketika. "Tidak, Pak. Saya tidak akan mencabuli hukum. Albert Deano bersalah dan itu jelas. Rendra tidak bersalah."

"Anda tidak dalam posisi untuk mengambil keputusan.""Saya sepenuhnya berada di posisi sebagai manusia utuh untuk menjalankan yang benar

dan meninggalkan yang salah," kataku. "Bertarung untuk Rendra adalah hal yang benar."

Page 4: Meski Langit Runtuh

"Kita bertarung untuk Rendra, Pak Ali.""Tapi dengan cara yang salah, bukan begitu, Pak? Salah cara berarti salah semuanya.""Manusia penuh dengan kesalahan, Pak Ali.""Bukan berarti kita membolehkan berbuat kesalahan," kataku. Aku lelah dengan diskusi

yang kurang bermanfaat, jadi kutambahkan, "Pak Presiden, saya akan berangkat menemui sang senator lima belas menit lagi. Saya memutuskan tidak akan membahas pertukaran terdakwa. Percayakan hal ini pada saya."

Aku membagi kepentinganku di Amerika Serikat menjadi dua: kenegaraan dan pribadi. Untuk urusan kenegaraan, aku menggunakan mobil dinas yang disediakan oleh kemurahan hati Republik Indonesia, diambil dari pajak yang dibayarkan oleh manusia-manusia penuh semangat nasionalis. Sering kali aku memperingati untuk tidak terperosok ke dalam kenistaan pemakaian mobil dinas yang bukan untuk tujuan kenegaraan. Gagal melaksanakan prinsipku akan mengakibatkanku dipanggil oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, temanku dulu waktu masih menempuh SMA di Jakarta, Muhammad Ramadhan.

Beda dengan kenegaraan, untuk urusan pribadi, aku menggunakan transportasi umum. Sangat jarang ditemukan seorang duta besar yang menggunakan kendaraan umum, dan aku bangga akan ketekunanku menjalani prinsip.

Yang membuatku agak bingung adalah menentukan apakah perjalananku bertemu dengan senator bersifat pribadi atau kenegaraan. Lagi-lagi hidupku digentayangi premis "bisa saja". Bisa saja disebut kenegaraan karena Presiden telah memberikan instruksi mengenai pertemuan ini, meskipun aku tidak akan menjalankannya. Namun bisa saja disebut pribadi karena pertemuan ini sebenarnya hanyalah makan siang biasa. Karena bimbang, aku memvonis bahwa aku akan menggunakan kendaraan umum.

Hal yang menarik adalah, ketika aku duduk di kereta Metro yang membawaku ke arah barat laut dan aku sedang berada di titik pincang antara sadar dan tidur, ada warga Indonesia yang mengenaliku sebagai duta besar petahana. Dia berusia sekitar lima puluh tahun, dua puluh tahun lebih tua daripada aku. Dia berkata bahwa dia baru saja dari kedutaan. Aku menyesal tidak menemuinya di gedung kedutaan. Ini membuatku mawas diri untuk membuka diri dengan warga negara asal lebih lebar karena sensasi ketika menjamu dan berbincang dengan mereka tak terkalahkan.

Dari stasiun terdekat dari kedutaan besar ke stasiun terdekat dari La Ami, restoran Prancis yang menjadi titik bertemu dengan Michael Franken, menghabiskan sekitar lima belas menit. Dari stasiun tersebut ke restoran yang dimaksud membutuhkan lima menit. Total waktu perjalanan adalah dua puluh menit.

Setelan jas yang kupakai pun merupakan yang terbaik di lemariku, dihadiahkan oleh Menteri Kehutanan saat aku ulang tahun yang ke-30. Sebagai wakil Indonesia, ketika aku menjalani tugas kenegaraan, selalu kukenakan setelan yang ini, bukan untuk citra diri, melainkan untuk Tanah Air tercinta.

Aku berjalan dengan membawa tas atase yang berisikan dokumen mengenai kasus ini. Pejalan kaki Washington, DC hari ini sangat ramai karena banyak insan yang ingin memenuhi

Page 5: Meski Langit Runtuh

hasrat makannya di pukul dua belas ini. Mayoritas memiliki tubuh yang lebih tinggi dari aku sehingga membuatku merasa seperti tenggelam di lautan manusia.

Restoran yang dimaksud adalah restoran mahal yang pengelolanya tidak akan memberi tempat duduk sebelum peminat memesan kursi dua hari sebelumnya. Pada kenyataannya, peminat ternyata harus memesan sepekan sebelumnya karena tingginya permintaan. Meski demikian, restoran ini tidak memberikan kesan mewah. Meja bundarnya terbuat dari kayu ringan dan begitu pula kursinya.

Di meja nomor tujuh, aku melihat seorang yang di umurnya yang berkepala empat, duduk sambil membaca koran. Meski dari jauh aku bisa melihat judul berita utamanya: "Ali Sesarianto: Rendra Tak Bersalah".

"Selamat siang, Pak Ali," kata Michael. Dia tersenyum dan berdiri, mengulurkan tangannya. Korannya dikepit di lengan kirinya. "Senang sekali bertemu dengan Anda."

Aku memaksa diri tersenyum dan menjabat tangannya. "Senang bertemu dengan Anda juga."

"Silakan duduk," kata Michael. Kami berdua pun duduk.Aku mencari segala jenis aura yang mungkin dipancarkan oleh matanya. Namun, yang

kutemukan hanyalah gelap. Tak ada yang terbaca. Manusia di depanku misterius.Kucoba untuk menghindari basa-basi, namun rupanya tak terelakkan. Michael bertanya

padaku tentang kehidupan menjadi duta besar. Agar sopan, aku juga bertanya padanya tentang suka duka menjadi senator.

Pelayan memberikan aku segelas Cola atas permintaanku yang tidak mengonsumsi minuman beretanol. Aku menangkap gelagat meremehkan dari Michael ketika dia mendengus, dan bisa saja aku menyerangnya dari sikapnya ini. Namun aku memutuskan untuk menyerangnya di lain waktu. Belum saatnya sekarang aku membuka permusuhan.

Tapi aku tahu, kita tidak akan mungkin bermutualisme."Pengadilan California akan menyidang Rendra pekan depan dan saya di sini ingin

menyampaikan apa yang saya telah perbincangkan dengan jaksa," mulainya.Bukan Ali namanya jika tidak menyanggah. Aku bilang, "Saya rasa tidak perlu ada

persidangan. Saya akan dengan senang hati membantu pengadilan California untuk menghemat waktu mereka. Rendra tidak bersalah."

"Biarkan pengadilan yang memutuskan ini, Pak Ali," kata Michael, lelah. "Jaksa menawarkan penjara seumur hidup alih-alih hukuman mati jika Rendra mengakui perbuatannya di depan juri."

"Perbuatan apa?" tanyaku.Michael tersenyum, yang mana membuatku juga tersenyum. Dia tahu kepura-puraanku

meski sebenarnya aku tidak berpura-pura. Aku memutuskan untuk meminum Colaku di antara momen tebar senyum ini.

"Fiat justitia, ruat caelum. Hukum harus tetap tegak meski langit runtuh," kata Michael."Saya setuju dengan Anda. Tapi kita sedang tidak berbicara masalah hukum, Pak. Kita

bicara tentang politik yudikatif. Politik ini kotor. Haruskah yang demikian tetap tegak meski langit runtuh?"

Page 6: Meski Langit Runtuh

Dia mengabaikan pertanyaanku. "Saya rasa presiden Anda menginginkan adanya barter terdakwa. Sejujurnya, kami juga menginginkan hal ini. Biarkan Albert Deano maka Rendra pun akan bebas."

Aku langsung menjawab, "Fiat justitia, ruat caelum. Fiat veritas, ruat caelum. Hukum harus tetap tegah meski langit runtuh. Kebenaran harus tetap tegak meski langit runtuh."

Diam sebentar, kemudian Michael berkata, "Rendra akan tetap menjalani proses pengadilan pekan depan."

Aku menghempaskan tubuhku ke belakang dan bersandar untuk mencegah kepenatanku memuncak. Gagal.

Aku berkata, "Bagaimana mungkin Rendra ditangkap oleh kepolisian Amerika Serikat karena membawa mariyuana sementara kepolisian Uni Emirat Arab tidak menemukan hal yang sama?"

Michael menempatkan kedua sikunya di atas meja dan mencondongkan tubuhnya ke arahku. "Mungkin saja di bandara di Dubai dia berkomplot dengan orang lain. Kasus penyelundupan adalah kasus yang sulit dan Amerika Serikat tidak ingin mengambil risiko dalam hal ini demi mencegah pencideraan kenegaraan."

"Mungkin? Anda bermain-main dengan saya. Saya tidak datang ke sini untuk menerima ketidakpastian. Buktikan pada saya bagaimana Rendra bisa lolos dari Dubai," kataku seraya menatap matanya. Aku menunggu jawaban. Kutambahkan, "Kalau Anda tidak bisa beralasan logis dengan saya, bagaimana Anda bisa meyakinkan pengadilan?"

"Kepolisian California berkesimpulan bahwa Rendra memasukkan mariyuana itu secara ilegal melalui kontaknya di Dubai. Saya tidak bisa membeberkan kronologis utuhnya kepada Anda, namun yang perlu Anda tahu adalah proses penyelundupan terjadi di Dubai. Itulah mengapa kepolisian di sana tidak menemukan keanehan."

"Namun Rendra transit untuk yang kedua kalinya di bandara JFK di New York bukan? Mengapa pihak keamanan tidak menangkapnya di sana bila benar ia membawa barang itu? Siapapun bisa menyangka ada main-main di sini."

Michael tersenyum lagi. Aku curiga bahwa aku sedang menuju ke arah yang dia rencanakan.

"Ini bukan main-main, Pak Ali. Ini adalah strategi," kata Michael.Sesaat aku merasa kalah, namun tiba-tiba ide muncul dalam kepalaku. Aku berkata, "Itu

berarti Anda menunda penangkapan dan ini jelas tidak diperbolehkan menurut pengadilan Amerika Serikat."

Pengadilan memutuskan bahwa prosedur penangkapan Rendra tidak sesuai prosedur dan dengan demikian kasus Rendra batal demi hukum. Sewaktu hal ini diumumkan oleh hakim, aku dan tim dari KBRI untuk Amerika Serikat langsung bersorak sorai di ruang sidang yang sepi.

Sang senator tidak terlalu senang dengan hal ini, begitu pula dengan sang hakim. Mereka berdua sangat menginginkan Rendra divonis bersalah oleh juri dan dijerat dengan hukuman apapun, baik penjara seumur hidup atau mati. Bagai makan buah simalakama, sang hakim tidak punya pilihan. Keputusan yang dipilih pun menurunkan derajat yudikatifnya.

Page 7: Meski Langit Runtuh

Rendra belum diperbolehkan untuk bertemu denganku di tempat. Pihak mahkamah berjanji akan mengantarkan Rendra ke kedutaan sehingga media tidak melihat, suatu hal yang tidak diinginkan oleh mereka. Yang meminta hal ini tentu saja sang senator dan juga hakim.

Karena perjalanan ke mahkamah adalah tugas kenegaraan, aku menggunakan jasa sopir kedutaan untuk bisa sampai ke sini. Pulangnya pun demikian. Aku duduk di kursi depan untuk menemani sang sopir dengan tangan bersandar di pegangan sambil aku tersenyum karena kebahagiaan dan kemenangan tak terbendung. Begitu aku melihat gedung kedutaan umurnya jauh lebih tua dariku, ingin rasanya aku bertemu langsung dengan Rendra dan berbincang mengenai kemenangan kami. Lebih suka kami menyebutnya kejayaan kebenaran.

Aku bergegas ke lantai bawah tanah untuk menemui Rendra yang, aku yakin, sedang beristirahat di kamar tidur yang biasa digunakan oleh pencari suaka sementara. Setiap anak tangga yang kupijak mendorong rasa penasaran dan bahagiaku lebih dalam lagi. Ini terus berlanjut sampai aku berada di depan kamarnya. Tertulis di pintu, nomor 227.

Ketukan pertamaku tidak membuat pintu dibuka olehnya. Selama tiga puluh tahun aku hidup, hampir tidak pernah aku disambut setelah ketukan pertama. Ketukan kedua, ketiga, dan keempat meluncur sebelum akhirnya rasa penasaranku mengalahkan kesabaranku. Aku membuka pintu yang ternyata tidak terkunci.

Kosong.Dan di tempat tidur kulihat ada seperangkat alat untuk mengonsumsi mariyuana.

Meski Langit Runtuh karya Kevin Ali Sesarianto