menggagas pembatasan pembentukan dan materi …
TRANSCRIPT
Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 1 (2018): 1-21
ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id
DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol.48.no.1.1593
MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI
MUATAN PERPPU: STUDI PERBANDINGAN PENGATURAN DAN
PENGGUNAAN PERPPU DI NEGARA-NEGARA PRESIDENSIAL
Fitra Arsil*
*Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Korespondensi: [email protected]
Naskah dikirim: 5 Januari2018
Naskah diterima untuk diterbitkan: 7 Maret 2018
Abstract
Government regulation in lieu of law or ‘Perppu’arrangement in Indonesia is
more limited than other types of emergency regulations issued by the president
in various countries. Such arrangement apprently is not sufficient to be
considered as limiting the issuance of the emergency regulations. Some
presidential state countries have made changes to provide sufficient restrictions
to presidential legislative power. The limitation is not only in terms of its
formation procedures but also on the material which can be regulated by the
Perppu. Therefore, lessons from other jurisdictionsindeed inspires Indonesia to
limit the pasage of Perppu
Keyword: Perppu, emergency decree, President’s legislative power,
relevance and urgency, presidential system
Abstrak
Pengaturan Perppu di Indonesia dapat dikategorikan cukup terbatas jika
dibandingkan pengaturan terhadap peraturan darurat yang diterbitkan presiden
di berbagai negara. Pengaturan yang ada belum dapat dianggap memberi batasan
bagi penerbitan peraturan darurat tersebut. Beberapa negara bersistem
presidensial telah melakukan perubahan terhadap konstitusinya demi
mendapatkan pengaturan yang memberikan batasan yang cukup memadai
terhadap penggunaan kekuasaan presiden di bidang legislatif ini (president’s
legislative power). Pembatasan tersebut bukan saja dari segi prosedur
pembentukannya namun juga pembatasan terhadap materi yang dapat diatur oleh
perppu. Pelajaran dari beberapa negara tersebut dapat menginspirasi sebuah
gagasan pembatasan perppu di Indonesia.
Kata kunci: Perppu, Pembatasan Perppu, Kekuasaan Presiden di Bidang Legislatif, kegentingan yang memaksa, sistem presidensial
Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 2
I. PENDAHULUAN
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sering kali
menimbulkan kontroversi ketika diterbitkan. Kontroversi sulit dihindari karena
penerbitan peraturan jenis ini menempatkan presiden dalam posisi yang proaktif
dan efektif dalam membuat suatu peraturan dan kebijakan. Sedangkan, berdasar
prinsip separation of powers, kekuasaan legislasi berada di tangan lembaga
legislatif. Ketika menerbitkan Perppu, presiden tampil layaknya kekusaan
legislatif. Presiden bukan saja sebagai pengambil inisiatif utama dalam
pembentukan kebijakan tetapi juga produk hukum tersebut langsung berlaku
efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga legislatif.
Dalam era pemerintahan Presiden Jokowi, kontroversi mengenai Perppu
yang paling hangat adalah ketika diterbitkannyaPeraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan, yang dikenal dengan sebutan Perppu Ormas. Perppu ini
memicu perdebatan hangat karena melalui Perppu ini dilakukan perubahan
terhadap UU Ormas yang belum lama diundangkan, khususnya ketentuan-
ketentuan mengenai prosedur pembubaran organisasi kemasyarakatan dan
perubahan tersebut dinilai tidak lebih demokratis.
Terlepas dari materi pengaturan dalam Perppu tersebut, menarik juga
dilihat adalah proses pembentukan Perppu ini dan persetujuannya di DPR untuk
menjadi undang-undang. Perppu Ormas diterbitkan untuk melakukan perubahan
terhadap undang-undang yang belum lama diterbitkan dan mekanisme
pembubaran organisasi kemasyarakatan yang terdapat dalam Undang-Undang
belum pernah dilakukan. Artinya, dapat ditangkap bahwa ada perubahan sikap
dari pemerintah dalam memahami kondisi aktual sehingga mengubah sikapnya
melakukan “persetujuan bersama” di DPR ketika membentuk undang-undang
tersebut. Bagaimanapun undang-undang di Indonesia merupakan produk hasil
persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah. Suatu RUU jika tidak
mendapatkan persetujuan dari salah satu pihak (pemerintah atau DPR), tidak
akan diundangkan dan tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat masa itu. (Lihat Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945). Melihat mekanisme di atas dapat juga dikatakan bahwa terdapat
suatu kondisi kegentingan yang memaksa sehingga pemerintah tidak dapat
menempuh jalur legislasi biasa untuk mengusulkan pengaturan atas pemahaman
pemerintah atas kondisi aktual saat itu.
Namun demikian dalam perspektif yang pesimistik, kondisi di atas dapat
juga ditafsirkan bahwa pemerintah ingin memimpin pembentukan kebijakan di
parlemen. Kekuasaan konstitusional presiden di bidang legislatif (president’s
legislative power) di berbagai negara presidensial memang sering digunakan
presiden untuk by pass pembahasan di parlemen dalam pembentukan kebijakan.
Sikap Presiden yang mengindikasikan pengabaian persetujuan bersama yang
telah dilakukannya kembali terlihat ketika presiden tidak menandatangani Revisi
UU MD3 (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
3 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah).1 Presiden sebelumnya juga mempertimbangkan
untuk menerbitkan Perppu untuk mengubah “persetujuan bersama” yang pernah
disampaikannya, walaupun akhirnya tidak dilakukan.2
Peristiwa penerbitan Perppu terhadap RUU yang sudah disetujui bersama
pernah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Perppu
tersebut diterbitkan ketika SBY mengubah sikapnya terhadap RUU Pilkada tidak
langsung yang baru saja disetujuinya dengan menerbitkan Perppu Nomor 1
Tahun 2014 yang mengembalikan Pilkada langsung.3
Opsi menerbitkan Perppu nampak memang semakin populer, bahkan
lembaga-lembaga negara juga beberapa kali mengusulkan penerbitan Perppu
kepada presiden dalam pembentukan peraturan atau kebijakan.4 Kemudahan
penerbitan Perppu tentu dapat menjadi masalah dalam relasi lembaga eksekutif
dan legislatif. Perlu diberi catatan bahwa cara presiden menghadapi lembaga
legislatif dengan penggunaan proactive power seperti emergency decree atau
Perppu tidak boleh dibudayakan karena tidak sesuai prinsip pembagian
kekuasaan. Dalam berbagai praktek penggunaan kekuasaan ini bukanlah
membuat hubungan eksekutif-legislatif menjadi semakin baik namun justru
menambah ketegangan antara dua kekuasaan ini. Jika presiden berhasil
menggunakannya, cenderung presiden menganggap cara tersebut merupakan
langkah yang tepat untuk menghadapi legislatif sehingga digunakan terus
menerus. Sementara parlemen menganggap penggunaan kekuasaan ini secara
berulang merupakan perlawanan terhadap eksistensi parlemen sebagai
pembentuk kebijakan utama dan sebagai pemegang kekuasaan pengawasan.
Bagir Manan menyebutkan bahwa Peraturan pemerintah sebagai
pengganti undang-undang harus dipandang sebagai “the necessary evil”,
sebagai sesuatu yang semestinya dijauhi, tetapi terpaksa ditempuh sebagai upaya
membentuk hukum yang tidak semestinya (abnormale rechtsvorming).5 Artinya,
tidak boleh terdapat sikap bagi pembentuknya, lembaga legislatif, lembaga
negara lainnya maupun rakyat yang terikat dengan peraturan tersebut untuk
menerima peraturan jenis ini sebagai kelaziman yang setiap saat dapat terjadi.
Negara-negara Amerika Latin yang bersistem presidensial dapat dijadikan
contoh mengenai cara menekan penggunaan peraturan darurat atau perppu.
Mereka memiliki pengalaman panjang tentang produktivitas tinggi kekuasaan
eksekutif dalam menerbitkan peraturan seperti perppu ini. Cara efektif yang
mereka tempuh adalah dengan memberikan regulasi bagi penerbitan perppu
1 http://ksp.go.id/presiden-tidak-menandatangani-uu-md3/index.html 2https://nasional.kompas.com/read/2018/03/06/19124111/jokowi-pertimbangkan-
keluarkan-perppu-untuk-batalkan-pasal-kontroverial-di 3https://nasional.kompas.com/read/2018/03/17/09425041/cerita-di-balik-perppu-
pilkada-langsung-dan-opsi-atas-uu-md3 4https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180112172226-32-268476/kpu-usul-
jokowi-keluarkan-perppu-verifikasi-faktual-parpol atau
https://nasional.kompas.com/read/2018/03/13/16522831/kpk-usul-pemerintah-terbitkan-
perppu-untuk-ganti-peserta-pilkada-yang-jadi 5http://www.perubahan.co/kolom/102/pasal-22-uud-1945-dan-ajaran-konstitusi%EF%
80%AA.html
Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 4
melalui peraturan perundang-undangan, khususnya melalui konstitusi. Mereka
melakukan perubahan konstitusi dalam rangka mengatur secaa lebih rinci proses
pembentukan perppu, kesementaraannya, hingga proses pembahasan dan
persetujuannya di parlemen.
Bahkan secara rinci ditentukan materi-materi yang mungkin diatur
melalui peraturan darurat ini. Tidak semua masalah bisa diatur melalui perppu
karena terdapat materi-materi yang dianggap berpotensi disalahgunakan untuk
kepentingan politik kekuasaan eksekutif dan terdapat materi-materi yang
berpengaruh kepada nilai keadilan masyarakat akibat terbatasnya partisipasi
publik dalam pembentukan Perppu.
Tulisan ini berusaha melakukan kajian perbandingan pengaturan perppu
yang berlaku di Indonesia dengan beberapa negara bersistem presidensial di
Amerika Latin. Dibandingkan pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh
peraturan perundang-undangan baik secara formil pembentukan perppu maupun
urgensi dan argumentasi melakukan pembatasan dari materi muatan yang dapat
diatur melalui peraturan darurat yang diterbitkan presiden tersebut.
II. PEMBAHASAN
A. “Perppu” di Negara-Negara Presidensial
Kekuasaan presiden menerbitkan emergency decree terdapat di berbagai
negara di dunia. Dalam berbagai literatur jenis peraturan ini dikenal dengan
berbagai sebutan, antara lain disebut sebagai constitutional decree authority atau
beberapa penulis menyebutnya dengan executive decree authority atau
presidential decree authority. Secara khusus dapat disebutkan, Brazil menyebut
produk hukum ini dengan sebutan medidas provisorias (provisional measure)
atau dapat diterjemahkan sebagai “tindakan sementara”. Negara Argentina
dikenal dengan sebutan decreto de necesidad y urgencia (decree of necessity and
urgency). Untuk mempermudah sebutan peraturan tersebut dalam penulisan ini
digunakan istilah yang terdapat di Indonesia, yaitu perppu.
Pada negara-negara bersistem presidensial, kekuasaan jenis ini dikenal
dengan sebutan kekuasaan presiden di bidang legislatif (President’s legislative
power) yaitu kekuasaan presiden yang dijalankan di lembaga legislatif. Selain,
presidential decree atau emergency decree, kekuasaan yang dapat
dikelompokkan dalam jenis ini antara lain adalah kekuasaan presiden melakukan
veto terhadap proses legislasi di parlemen, kekuasaan mengajukan inisiatif
dalam rancangan undang-undang di bidang tertentu, kekuasaan untuk
menentukan prioritas pembahasan rancangan undang-undang, mengadakan
referendum atau plebisit, dan kekuasaan khusus dalam pembentukan anggaran
negara.6
6 J. Mark Payne, Daniel Zovatto G., dan Mercedes Mateo Díaz, Democracies in
Development: Politics and Reform in Latin America, (Washington: Inter-American
Development Bank, 2007) atau Gabriel L. Negretto, “Shifting Constitutional Designs in Latin
America: A Two-Level Explanation”, Texas Law Review, Volume 89, 1777, hlm. 1790-1791.
Payne hlm. 86
5 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018
Constitutional decree authority (CDA) di negara-negara bersistem
presidensial secara konsep dapat disebutkan sebagai kekuasaan konstitusional
presiden untuk menerbitkan peraturan yang memiliki daya ikat dan materi
muatan setingkat undang-undang, diterbitkan dalam kondisi tertentu dan
langsung berlaku tanpa melalui proses pembahasan di legislatif. Namun,
meskipun peraturan tersebut langsung berlaku efektif tetapi berlaku sementara
karena membutuhkan persetujuan parlemen untuk diberlakukan sebagai undang-
undang atau dicabut.
Menurut pengamatan Gabriel L. Negretto terhadap fenomena pengaturan
CDA di konstitusi berbagai negara terdapat beberapa ciri umum yaitu; Pertama,
kekuasaan eksekutif dalam menerbitkan CDA ini terdapat eksplisit pada
konstitusi atau berdasarkan putusan kekuasaan kehakiman. Kedua, peraturan
tersebut diterbitkan hanya dalam kondisi mendesak yang tidak mungkin untuk
menempuh proses legislasi biasa (normal). Ketiga, peraturan tersebut langsung
berlaku efektif ketika diterbitkan tanpa melalui pembahasan di legislatif.7
Kekuasaan Presiden Brazil untuk mengeluarkan peraturan setingkat
undang-undang dalam kondisi khusus, pertama kali diatur berdasarkan Article
62 Konstitusi Brazil 1988 yang menentukan bahwa Presiden Brazil memiliki
kekuasaan untuk melakukan tindakan yang proaktif dalam perundang-undangan
yaitu menerbitkan perppu (presidential legislative decree). Dengan kekuasaan
ini Presiden Brazil dapat mengeluarkan peraturan yang langsung berlaku tanpa
membutuhkan persetujuan parlemen. Namun, konstitusi membatasi kekuasaan
ini dengan memberikan syarat bahwa kekuasaan ini dapat dilakukan oleh
presiden dalam kondisi yang tepat dan mendesak (relevance and urgency).
Namun dalam waktu 30 hari setelah diterbitkan dekrit tersebut, parlemen harus
menentukan sikap untuk menerima dekrit itu yang berakibat menjadikannya
undang-undang ataupun menolak yang berakibat tidak berlakunya dekrit
tersebut.8
Ketentuan seperti di Brazil juga terdapat di Konstitusi Argentina
1994.Namun kekuasaan ini sebenarnya sudah digunakan oleh Presiden Raul
Alfonsin pada tahun 1983 dan ketika berkuasanya Presiden Carlos Menem pada
1990, kekuasaan membentuk emergency decree ini disahkan oleh Supreme
Court. Pada tahun 1994 kekuasaan ini resmi diatur dalam konstitusi. Di dalam
Konstitusi Argentina 1994, presiden diberikan kekuasaan untuk membuat dekrit
dalam suatu kondisi yang luar biasa (exceptional circumtances) yang dapat
7 Gabriel L. Negretto, “Government Capacities and Policy Making by Decree in Latin
America: The Cases of Brazil and Argentina”, Comparative Political Studies, Vol.37 No.5, June
2004, hlm. 535. 8 Secara lengkap Article 62 Konstitusi Brazil 1988 berbunyi:
“In relevant and urgent cases, the President of the Republic may adopt provisional measures
with the force of law and shall submit such measures to Congress immediately. If Congress is in
recess, an extraordinary session shall be called within five days.
Provisional measures lose their effectiveness as from the date of their issuance if they are not
converted into law within a period of thirty days as from their publication, and Congress
regulates the legal relations arising therefrom.”
Konstitusi Brazil http://www.servat.unibe.ch/icl/br00000_.html(diakses 6 Mei 2013,
PukuL 14.31 WIB)
Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 6
langsung berlaku. Sebagian besar bidang kebijakan dapat menjadi materi muatan
dari dekrit yang dikeluarkan presiden tersebut. Konstitusi hanya mengecualikan
masalah ketentuan pidana, perpajakan, masalah pemilihan umum dan sistem
kepartaian sebagai bidang yang tidak boleh diatur. Namun demikian 10 hari
setelah diterbitkan, dekrit tersebut harus disampaikan kepada parlemen untuk
dimulai pembahasan.9
Presiden Ekuador diberikan kekuasaan untuk menerbitkan langkah
ekonomi mendesak yang dalam 30 hari National Assembly harus menyetujui,
mengubah atau menolak rancangan tersebut. Jika National Assembly tidak juga
mengambil putusan selama waktu yang telah ditetapkan (30 hari) terhadap
“langkah ekonomi mendesak” yang dikirimkan presiden, maka presiden dapat
memberlakukan “langkah ekonomi mendesak” tersebut sebagai hukum yang
mengikat.10
B. Memahami Politik Perppu
9 Ketentuan mengenai hal ini terdapat dalam Article 99 ayat (3) Konstitusi Argentina 1994
yang secara lengkap berbunyi:
“Only when due to exceptional circumstances the ordinary procedures foreseen by this
Constitution for the enactment of laws are impossible to be followed, and when rules are not
referred to criminal issues, taxation, electoral matters, or the system of political parties, he shall
issue decrees on grounds of necessity and urgency, which shall be decided by a general
agreement of ministers who shall countersign them together with the Chief of the Ministerial
Cabinet.“
Within the term of ten days, the Chief of the Ministerial Cabinet shall personally submit the
decision to the consideration of the Joint Standing Committee of Congress, which shall be
composed according to the proportion of the political representation of the parties in each
House. Within the term of ten days, this committee shall submit its report to the plenary meeting
of each House for its specific consideration and it shall be immediately discussed by both
Houses. A special law enacted with the absolute majority of all the members of each House shall
regulate the procedure and scope of Congress participation.”
Konstitusi Argentina http://www.senado.gov.ar/web/interes/constitucion/ english.php
(diakses 6 Mei 2013, Pukul 11:46 WIB). 10 Ketentuan tersebut terdapat di Article 140 Konstitusi Ekuador yang secara lengkap
menyebutkan
“The President of the Republic will be able to send to the National Assembly bills qualified as
urgent on economic matters. The Assembly must adopt, amend or turn them down within thirty
(30) days at the most as of their reception.
Procedures for submittal, discussion and adoption of these bills shall be the regular ones, except
with respect to the previously established time-limits. While a bill qualified as urgent is being
discussed, the President of the Republic will not be able to send another, unless a State of
Exception has been decreed.
When the Assembly does not adopt, amend or turn down the bill qualified as urgent in economic
matters within the stipulated time-limits, the President of the Republic shall enact it as a decree-
law or shall order its publication in the Official Register. The National Assembly shall be able,
at any time, to amend or repeal it, on the basis of the regular process provided for by the
Constitution.”
Konstitusi Ekuador http://pdba.georgetown.edu/Constitutions/Ecuador/ english08.html
(diakses 6 Mei 2013, Pukul 14:07 WIB)
7 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018
Para pengkaji relasi eksekutif dan legislatif dalam sistem presidensial,
khususnya yang mengamati fenomena divided government11 menemukan bukti
kuat bahwa memang terdapat hubungan erat antara kondisi divided government
dengan lahirnya banyak perppu dari tangan presiden. Pendapat tersebut antara
lain disampaikan Pereira, Powers, & Renno (2005) yang menemukan bahwa
dalamperiodedividedgovernment 1988-1998terdapat fenomena meningkatnya
penggunaan perppu di Brazil.Berdasar data yang ditampilkan oleh Negretto,
dalam periode 1988-1998 penerbitan Perppu oleh 5 Presiden Brazil, yakni Jose
Sarney, Fernando Collor de Mello, Itamar Franco dan Fernando Henrique
Cardoso I berjumlah 3415 Perppu.12
Schmidt (1998) juga menemukan fenomena yang paralel di Peru ketika
pemerintahan di bawah Presiden Fernando Belaunde dan Alberto Fujimori yang
relasi eksekutif dan legislatifnya dapat dikategorikan sebagai divided
government. Pada masa Belaunde terbit 667 Perppu dalam rentang 1980-1985
dan ketika Fujimori terbit 575 Perppu dalam 2 tahun kekuasaannya pada 1990-
1992.13
Penelitian Brian Crisp’s (1998) yang meneliti Venezuela dalam periode
1961-1994 menyampaikan indikasi bahwa Presiden Luis Herrera Campíns dan
Presiden Rafael Caldera juga bergantung kepada perppu selama periode divided
government. Pola ini juga dianggap tidak terjadi khusus di Amerika Latin namun
dapat juga ditampilkan fenomena Russia dan Perancis yang ditemukan kejadian
serupa sebagaimana ditampilkan dalam penelitian Parrish (1998) and Huber
(1998).14
Dalam kondisi divided government, relasi eksekutif dan legislatif
berlangsung secara konfrontatif. Sikap presiden terus menerus menerbitkan
perppu alih-alih menjadi jalan keluar mengatasi kondisi tersebut malahan
semakin memperburuk hubungan eksekutif dan legislatif. Salah satu yang
fenomenal untuk menggambarkan rusaknya hubungan eksekutif dan legislatif
dan penerbitan Perppu adalah pada masa Presiden ke-32 Brazil, Fernando
Affonso Collor De Mello. De Mello mengeluarkan tidak kurang dari 36 perppu
pada 15 hari pertama menjabat dan sekitar 160-an Perppu sepanjang tahun 1990.
De Mello terus mengeluarkan perppu-perppunya sepanjang tahun sampai di
11 Kondisi divided government merupakan situasi instabilitas dalam sistem presidensial
yang dapat terjadi ketika partai presiden tidak mayoritas di parlemen (minority president) dan
presiden gagal membentuk koalisi mayoritas yang kohesif. Lihat Fitra Arsil, Teori Sistem
Pemerintahan: Pergeseran Konsep dan Saling Kontribusi Antar Sistem Pemerintahan di
Berbagai Negara, (Depok: Rajawali Press, 2017), hlm. 185. 12 Negretto, “Government…, Loc. Cit., hlm. 543. 13 Gregory Schmidt. “Presidential Usurpation of Congressional Preference. The Evolution
of Executive Decree in Peru”dalam John M.Carey & Matthew Soberg Shugart [eds]. Executive
Decree Authority. (Cambridge, Cambridge University Press, 1998). 14 James Je Heon Kim, “Case for Constrained Unilateralism: Decree of Necessity and
Urgency in Argentina, 1916-2004”, paper was presented at the Annual Meetings of the
SouthernPolitical Science Association, American Political Science Association, and the
Quantitative Methods Seminar at Columbia University.September 21, 2007.
Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 8
awal tahun kedua kekuasaannya.15 De Mello memang menginginkan
menjalankan pemerintahannya dengan menghindari dari proses di legislatif.
Perppu-perppu yang dikeluarkannya membuat Ia tidak perlu terlibat dalam
proses di legislatif dalam membuat kebijakan. Ironisnya, langkah De Mello
memutuskan memerintah dengan mengabaikan legislatif ini berakhir dengan
keputusan impeachment terhadap dirinya. De Mello adalah contoh presiden yang
merasa kekuasaan yang diberikan konstitusi cukup untuk memerintah tanpa
dukungan legislatif. De Mello menganggap membangun dukungan di legislatif
akan membatasi otonominya dalam membuat kebijakan.
Namun demikian ditemukan fenomena yang berbeda di Amerika Latin,
khususnya di Brazil yang memperlihatkan bukti bahwa produktivitas Perppu
juga tinggi dalam kondisi dukungan presiden mayoritas di parlemen. Dapat
disebutkan dalam periode pemerintahan Presiden Lula yang pertama dimulai
pada tahun 2002, partainya juga merupakan pemenang pemilihan legislatif
dengan perolehan kursi 91 atau 17 % dari keseluruhan kursi parlemen. Lula juga
berhasil membangun koalisi pemerintahan dengan mengendalikan 318 kursi di
parlemen atau 62 % dari keseluruhan kursi di kongres. Dalam tahun 2002 Lula
mengeluarkan 82 Perppu, 58 pada tahun 2003 dan, 73 di tahun 2004.16 Membaca
fenomena ini Arberry menyebutkan bahwa Perppu di Brazil merupakan tindakan
rutin pemerintah dalam pembentukan kebijakan yang sudah membudaya sejak
waktu yang cukup panjang. Pendapat ini didukung oleh data yang ditampilkan
oleh Helena Zani Morgado dan Hugo Anciaes yang menghitung perppu yang
pernah terbit di Brazil dari tahun 1989 hingga tahun 2010. Data yang mereka
peroleh menunjukkan Presiden Brazil memang terbiasa memerintah dengan
mengeluarkan provisional decree atau perppu meskipun terdapat penurunan
signifikan setelah adanya pembatasan melalui amandemen konstitusi pada tahun
2001.17
Pendapat Argelina Cheibub Figuerido dan Fernando Limongi
berdasarkan penelitiannya terhadap fenomena sistem pemerintahan presidensial
di Brazil, dapat dikutip untuk memahami fenomena ini.18 Figuerido dan Limongi
memaparkan bahwa kondisi yang terjadi di sistem parlementer juga terjadi di
sistem presidensial. Dalam sistem parlementer pengendalian eksekutif terhadap
legislatif telah menjadi lazim terjadi, dimana eksekutif berinisiatif membuat
kebijakan dan legislatif tinggal menerima atau menolak proposal kebijakan yang
diajukan eksekutif.19 Penelitian Figuerido dan Limongi menunjukkan bahwa di
15 Octavio Armorim Neto, “Cabinets, Electoral Cycles, Coalition Discipline in Brazil”,
dalam Scott Morgenstern dan Benito Nacif, ed., Legislative Politics in Latin America
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), hlm. 76. 16 Lance L. Arberry, “The Evolving Executive: Provisional Decrees and Their Impact on
Brazil's Executive-Legislative Relationship”, theses University of Nevada, Las Vegas, 2013. 17 Helena Zani Morgado and Hugo Anciaes, “Provisional Measure: an urgent and relevant
subject” Revistada Faculdade de Direito da UERJ, V.2, n. 22, jul/dez.2012 18 Argelina Cheibub Figuerido dan Fernando Limongi, “ Presidential Power, Legislative
Organization, and Party Behavior in Brazil”, dalam Comparative Politics, Vol. 32, No.2 (Januari
2000), hlm. 168. 19 Diantara perbedaan penting antara sistem parlementer dan presidensial dapat dilihat
dari pihak mana yang memegang agenda. Dalam sistem parlementer eksekutif (pemerintah)
9 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018
sistem presidensial dapat terjadi hal yang sama. Kekuasaan presiden di bidang
legislatif telah membuat presiden menjadi pihak pembuat inisiatif kebijakan
bahkan pengendali agenda di lembaga legislatif. Dengan memiliki kekuasaan di
bidang legislatif tersebut membuat presiden dapat menarik para anggota
parlemen untuk bekerja sama menjadi pendukungnya.20 Figuerido dan Limongi
juga menambahkan bahwa kekuasaan presiden di bidang legislatif seperti
penerbitanperppu tidak hanya digunakan dalam kondisi darurat seperti pendapat
yang disampaikan para ahli lainnya.21 Presiden Brazil, dengan bekal kekuasaan
yang didapatnya dari ketentuan konstitusi, mengontrol agenda legislatif.
Parlemen dalam banyak kesempatan hanya berposisi memilih menerima atau
menolak.
Pereira, Power dan Renno mengajukan dua hipotesis teori untuk
berusaha menjelaskan hubungan produktivitas perppu dengan situasi relasi
eksekutif dan legislatif. Menurut mereka penerbitan Perppu di negara-negara
Amerika Latin dapat dianalisis berdasar (1) Teori Unilateralisme dan (2) Teori
Delegasi.22 Dalam perspektif unilaterisme, tindakanseorang presiden
menerbitkan perppu dilakukan dengan tujuan membuat kebijakan namun
menghindar dari proses pembahasan di parlemen (by pass). Langkah ini
dilakukan presiden ketika hanya mendapat dukungan minoritas di parlemen
(minority president) dan menolak bekerjasama dengan presiden atau dapat
dikatakan penerbitan perppu terjadi dalam kondisi divided government.
Implikasi meninjau dari perspektif ini adalah bahwa jumlah perppu pasti akan
meningkat ketika tingkat dukungan parlemen atas presiden menurun.
Dalam perspektif teori delegasi, penerbitan perppu bukan langkah yang
melemahkan parlemen atau berhadapan dengan parlemen. Tindakan presiden
tersebut justru disetujui oleh parlemen. Parlemen seperti mendelegasikan
fungsinya membentuk kebijakan atau membuat peraturan kepada presiden.
Dalam teori ini jika tingkat dukungan parlemen terhadap presiden tinggi
berimplikasi kepada meningkatnya penerbitan perppu.
Dengan demikian dapat dibaca bahwa memang ada fenomena yang
menonjol bahwa presiden dengan dukungan politik yang lemah di parlemen akan
cenderung mengeluarkan perppu agar kebijakannya lolos dengan mengabaikan
parlemen. Namun hal tersebut bukan satu-satunya motif dikeluarkannya perppu
jika dilihat dari relasi eksekutif dan legislatif. Melalui perppu yang merupakan
proactive power yang dimiliki presiden, presiden ingin memimpin bahkan
mengontrol agenda di parlemen. Situasi yang kedua ini tentu lebih mudah
mengatur agenda dan lembaga legislatif menerima atau menolak apa yang diusulkan lembaga
legislatif. Sedangkan dalam sistem presidensial, legislatif yang menentukan agenda dan
eksekutif (presiden) menentukan apakah akan menerima atau mengajukan veto terhadap usulan
legislatif tersebut. George Tsebelis, “Decision Making in Political System: Veto Players in
Presidentialism, Parliamentarism, Multicameralism, Multipartism,” British Journal of Political
Science, Vol. 25, no. 3 (Juli., 1995), hlm. 325 20 Figuerido dan Limongi Loc. Cit. 21 Ibid. 22 Carlos Pereira, Timothy J. Power and Lucio Renno, “Under What Condition Do
Presidents Resort to Decree Power? Theory and Evidence from the Brazilian Case”,dalam The
Journal of Politics, Vol.67, No.1. February 2005, hlm. 194
Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 10
dilakukan presiden dalam kondisi dukungan politik tinggi di parlemen. Presiden
yang memiliki kekuasaan di bidang legislatif yang besar, khususnya proactive
power cenderung memiliki posisi tawar yang besar di parlemen. Presiden dapat
menampilkan kekuasaannya ini untuk mendapatkan dukungan politik yang lebih
luas.23
Berdasar analisis di atas, situasi politik, khususnya relasi eksekutif dan
legislatif ketika penerbitan perppu, dapat dikatakan tidak memastikan tingkat
produktivitas penerbitan perppu oleh presiden. Meskipun secara menonjol
ditemukan fakta bahwa dalam situasi minority president yang berakibat
terjadinya divided government merupakan situasi paling kondusif bagi
meningkatnya produktivitas Perppu. Dalam perspektif pembatasan penerbitan
perppu dapat disimpulkan bahwa kongruensi komposisi politik eksekutif dan
legislatif tidak menjamin menekan penerbitan perppu, walaupun dalam kondisi
yang kongruen tingkat produktivitas penerbitan Perppu lebih menurun
kemungkinannya.
C. Pembatasan Perppu
Budaya presiden-presiden di negara-negara Amerika Latin menerbitkan
emergency decree dalam pembentukan kebijakan telah mendorong maraknya isu
pembatasan penggunaannya. Secara sporadis, misalnya, terdapat gerakan
pembatasan yang dilakukan oleh anggota parlemen dalam merespon penggunaan
perppu di Brazil. Langkah-langkah De Mello di Brazil yang terus menerus
mengeluarkan perppu, sebagaimana disebutkan di atas, ketika itu memicu
terjadinya banyak ketidakpuasan terutama di kalangan anggota parlemen.
Akibat ketidakpuasan yang besar, pada tahun 1991, parlemen menggagas sebuah
RUU yang mengatur mengenai pembatasan penerbitan perppu oleh Presiden
Brazil yang dikenal dengan Nelson Jobim Bill karena inisiator lahirnya RUU
ini adalah seorang politisi bernama Nelson Jobim.24 RUU ini hampir saja
berhasil disetujui oleh parlemen, namun akhirnya gagal karena kesulitan Jobim
dan kawan-kawannya meredefinisi ketentuan Article 62 dalam Konstitusi Brazil
yang menjadi landasan hukum yang memberi kekuasaan menerbitkan dekrit
kepada presiden.25
Namun demikian, menurut Timothy J. Power, meskipun Jobim dan
kawan-kawannya gagal, usaha mereka nampak berpengaruh bagi De Mello dan
para penasehatnya. Ketika Jobim Bill sedang dibahas oleh parlemen pada bulan
Februari, Maret dan April, De Mello tidak mengeluarkan sebuah perppu pun.
Jika melihat pengalaman di tahun pertamanya dimana dia sangat sering
23 Octavio Amorim Neto, “The Presidential Calculus Executive Policy Making and
Cabinet Formation in the Americas.” Comparative Political Studies, Volume 39 Number 4 May
2006 (Sage Publications, 2006) 24 Octavio Armorim Neto, “Cabinets, Electoral Cycles, Coalition Discipline in Brazil”,
dalam Scott Morgenstern dan Benito Nacif, ed., Legislative Politics in Latin America, (New
York: Cambridge University Press, 2002), hlm. 76 25 Timothy J. Power, “The Pen is Mightier Than the Congress: Presidential Decree Power
in Brazil.” dalam John M. Carey dan Matthew S. Shugart, ed., Executive Decree Authority, (New
York: Cambridge University Press, 1998), hlm. 211
11 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018
mengeluarkan perppu, hal ini sangat mengejutkan. Dari fakta ini, orang sulit
untuk tidak mengambil kesimpulan bahwa “kelakuan baik” Presiden De Mello
tersebut telah menyelamatkannya dari lahirnya UU yang membatasinya untuk
mengeluarkan perppu.26
Pembahasan Jobim Bill nampaknya menjadi titik balik bagi
kepemimpinan De Mello. Pasca proses Jobim Bill, De Mello merubah sikapnya
dalam proses pengambilan kebijakan. Di tahun 1991, Ia hanya mengeluarkan 8
decree saja. Ini sangat jauh dibandingkan tahun sebelumnya, saat De Mello
mengeluarkan 163 decree sepanjang tahun 1990. Sebagai perbandingan, Power
membuat hitungan rerata decree yang dikeluarkan De Mello per bulannya. Sejak
pelantikannya sebagai presiden pada bulan Maret 1990 hingga Januari 1991, De
Mello rata-rata menerbitkan 14 decree tiap bulannya. Sejak Februari 1991,
ketika dimulainya pembahasan Jobim Bill, sampai akhir masa jabatannya De
Mello hanya menerbitkan 0,6 decree tiap bulannya.27 Kasus Jobim Bill
mengindikasikan bahwa pembatasan perppu yang dilakukan melalui peraturan
perundang-undangan kelihatan efektif.
Dalam masa berikutnya keinginan untuk membatasi penerbitan melalui
peraturan perundang-undangan di Brazil benar-benar terjadi melalui
Amandemen ke-32 Konstitusi Brazil Tahun 2001. Amandemen ini memang
terjadi karena timbulnya kesadaran bahwa article 62 Konstitusi Brazil 1988 telah
melemahkan posisi Kongres dalam pembentukan hukum dan pengawasan.
Melalui Amandemen Konstitusi ke 32 Tahun 2001 diatur berbagai pembatasan
baik dari segi formil proses pembentukan perppu maupun pembatasan secara
materiil mengenai kemungkinan materi yang dapat diatur melalui penerbitan
perppu. Article 62 Konstitusi Brazil yang sebelumnya hanya terdiri dari 2 (dua)
ayat, seperti disebutkan di atas, setelah amandemen diubah menjadi 12 (dua
belas) ayat. Penambahan pengaturan-pengaturan mengenai perppu ini
menunjukkan bahwa konstitusi memang menginginkan banyak pembatasan
dalam penerbitan produk hukum luar biasa ini.
1. Pembatasan Melalui Frasa “relevance and urgency”, “necessity and
urgency” atau Frasa “Hal Ihwal Kegentingan yang Memaksa”
Sebagai peraturan yang lahir bukan dalam kondisi normal, perppu di
berbagai negara memang mensyaratkan situasi khusus sehingga presiden dapat
melakukan pembentukan kebijakan secara mandiri dan proaktif. Di Brazil
terdapat frasa “relevance and urgency” dan di Argentina terdapat frasa
“exceptional circumtances” atau “necessity and urgency” sebagai syarat
kondisi presiden dapat menerbitkan Perppu. Frasa tersebut kira-kira dapat
disejajarkan dengan frasa “hal ihwal kegentingan memaksa” di Indonesia.
Dalam prakteknya penggunaan frasa tersebut sebagai penafsiran kondisi oleh
presiden agar dapat diterbitkannya emergency decree relatif sama
permasalahannya di Indonesia. Peraturan perundang-undangan tidak menyebut
secara tegas syarat-syarat yang dikehendaki dari frasa tersebut. Dalam
26 Ibid., 27 Ibid.,
Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 12
Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 naskah asli disebutkan "Pasal ini mengenai
noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan
agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan
yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat..."
Presiden menafsirkan kondisi lazimnya dikaitkan dengan kebutuhan
melakukan pengaturan di satu sisi dan di sisi lain adalah terbatasnya waktu untuk
melakukan proses legislasi biasa. Menariknya, kondisi ini sama dengan makna
kata relevance di Brazil ataupun necessity di Argentina yang dapat dimaknai
terdapatnya kebutuhan karena adanya kondisi yang butuh pengaturan dan di sisi
lain terdapat urgency yang dikaitkan dengan terbatasnya waktu.
Dengan frasa tersebut di Amerika Latin, khususnya Brazil dan
Argentina, presiden menerbitkan perppu dalam jumlahnya yang besar dan
nampak seperti tindakan rutin presiden dalam pembentukan kebijakan. Artinya
frasa tersebut bukanlah pembatasan yang memadai dalam penggunaan perppu.
Konstitusi Brazil 1988 yang awalnya relatif membatasi penggunaan perppu
menyandarkan dengan frasa tersebut, pada gilirannya merasa frasa tersebut perlu
ditambah dengan pembatasan-pembatasan lain dalam konstitusi.
Di Indonesia frasa “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang
merupakan syarat situasi dapat diterbitkannya perppu nampak merupakan
pembatasan yang diandalkan dalam penerbitan perppu. Frasa tersebut relatif
tanpa penjelasan makna dalam seluruh peraturan perundang-undangan yang
mengatur soal perppu. Namun beruntung terdapat putusan Mahkamah Konstitusi
yang memberi panduan bagi penggunaan frasa kegentingan yang memaksa.
Berdasarkan Pertimbangan Mahkamah (ratio decidendi) dalam Putusan MK
No. 138/PUU-VII/2009, ada tiga syarat sebagai parameter adanya "kegentingan
yang memaksa" bagi Presiden untuk menetapkan perppu, yaitu: (i) Adanya
keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara
cepat berdasarkan Undang-Undang; (ii) Undang-Undang yang dibutuhkan
tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-
Undang tetapi tidak memadai; (iii) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat
diatasi dengan cara membuat Undang Undang secara prosedur biasa karena akan
memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak
tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dalam putusan yang lain juga disebutkan, yaitu putusan MK No.
003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005, MK berpendapat bahwa hal ihwal
kegentingan yang memaksa tidak harus disamakan dengan adanya keadaan
bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil, militer, atau keadaan perang.
Pada saat itu dinyatakan bahwa perihal "kegentingan yang memaksa" menjadi
hak subyektif Presiden untuk menentukannya yang kemudian akan menjadi
obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.
Walaupun terdapat panduan dalam putusan Mahkamah Konstitusi
norma-norma tersebut jika diperdebatkan di parlemen memiliki potensi besar
perbedaan pendapat. Potensi perdebatan tersebut antara lain; Pertama, mengenai
kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum. Presiden harus
dapat menjelaskan masalah yang dihadapi ketika lahirnya Perppu adalah
mendesak dan dibutuhkan peraturan setingkat undang-undang segera. Dalam
13 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018
hal, perppu yang diterbitkan mengubah atau menggantikan undang-undang yang
belum lama disetujui bersama antara presiden dan DPR, seperti ketika terbitnya
Perppu Ormas, maka presiden harus menjelaskan bahwa terdapat situasi berbeda
ketika diterbitkannya perppu dengan situasi ketika disetujuinya sebuah undang-
undang.
Kedua, diperlukan penilaian yang cukup mengenai makna kekosongan
hukum. Apa makna tidak ada undang-undang yang mengatur masalah tersebut
atau undang-undang yang ada dianggap tidak memadai. Jika perppu digunakan
untuk mengganti atau mengubah undang-undang yang masih berlaku asumsi
kekosongan hukum sulit untuk digunakan, apalagi jika undang-undang tersebut
belum lama diterbitkan. Tentang undang-undang tidak memadai dapat diajukan
pertanyaan tentang bagaimana menilai suatu undang-undang tidak memadai.
Padahal, misalnya, undang-undang tersebut belum pernah digunakan untuk
menghadapi masalah hukum yang ingin dihadapi oleh Perppu. UU No. 12 Tahun
2013 tentang Ormas, misalnya, belum pernah dijadikan dasar dalam pembubaran
organisasi kemasyarakatan atau ketika Presiden SBY menerbitkan Perppu
Pilkada Langsung untuk menggantikan UU Pilkada Tidak Langsung yang baru
aja disetujui bersama.28Ketiga, proses legislasi biasa dianggap tidak bisa
dilakukan karena alasan waktu juga memiliki potensi pertanyaan yang butuh
penjelasan presiden dengan meyakinkan. Dalam Perppu Ormas, misalnya,
nyatanya hanya ditambahkan beberapa pasal saja khususnya mengenai
pencabutan status badan hukum ormas. Jika urgensinya dipahami bersama oleh
presiden dan DPR tentu tidak akan panjang pembahasannya di DPR. DPR
bahkan punya sejarah dalam periode ini, membahas sebuah Revisi RUU lebih
kurang hanya 5 jam saja.29 Namun jika dimaksudkan Presiden ingin memimpin
pembentukan kebijakan di parlemen dan menunjukkan kemampuannya
mengontrol agenda parlemen, memang perppu menjadi pilihan.
Syarat “kegentingan yang memaksa” dalam prakteknya nampak
menjadi satu-satunya indikator pengujian terhadap suatu perppu oleh DPR
karena DPR tidak dapat melakukan perubahan terhadap materi perppu.
Ketentuan dalam Pasal 52 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa “DPR hanya memberikan
persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang”. Pengaturan ini jika dilihat dari konteks relasi
eksekutif dan legislatif seperti dianalisis di atas memang membuat posisi
presiden sebagai pengendali agenda legislasi di parlemen. Posisi parlemen
bahkan bukan saja pasif namun juga relatif hanya sebagai pemberi legitimasi
kehendak pemerintahan dalam membentuk kebijakan.
Dalam materi kebijakan yang terkandung di dalam Perppu, ketentuan
ini tentu problematik bagi DPR. DPR tidak dapat membuat opsi menerima
dengan perubahan terhadap Perppu yang telah diterbitkan pemerintah. Jadi DPR
hanya menguji syarat “kegentingan memaksa” suatu perppu, bukan materinya.
DPR tidak mungkin memiliki sikap menerima terjadinya “kegentingan
28 bagian pendahuluan tulisan ini. 29 https://news.detik.com/berita/2769496/jadi-alat-deal-kih-kmp-md3-jadi-uu-tercepat-
direvisi-dalam-sejarah
Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 14
memaksa” namun tidak menyetujui pengaturan yang dilakukan presiden dalam
menanganinya.30
Berdasar pengalaman fleksibilitas penggunaan frasa relevance and
urgency banyak yang menginginkan penilaian terhadap frasa ini digantungkan
ke kekuasaan kehakiman agar beban politik dari penilaian ini menjadi lebih
ringan. Relevance and Urgency disajikan sebagai konsep hukum namun
maknanya sangat luas oleh karena itu kontrol terhadap frasa ini seharusnya
dilakukan secara yuridis bukan politik. Konflik penafsiran di parlemen dapat
diatasi dengan terlibatnya kekuasaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi
Indonesia, dalam hal ini, dapat sekali lagi berperan dalam memberi tafsir
terhadap alasan “kegentingan memaksa” dalam pembentukan Perppu dengan
kaidah yang telah mereka buat sendiri.
Realitas penggunaan syarat “relevance and urgency” atau “necessity
and urgency” ataupun “kegentingan yang memaksa” tidak menunjukkan bahwa
syarat tersebut menjadi pembatasan yang efektif bagi penerbitan perppu oleh
kekuasaan eksekutif. Subyektivitas penafsiran syarat tersebut sangat tinggi dan
digantungkan kepada presiden yang melakukan penafsiran atas kondisi.
Pengujiannya di parlemen juga tidak akan terlepas dari negoisasi politik. Oleh
karena itu diperlukan tambahan pembatasan lain selain syarat kondisi
“kegentingan memaksa” tersebut dan beberapa negara di Amerika Latin telah
melakukannya akibat pengalaman mereka terhadap produktivitas penggunaan
perppu oleh presiden.
2. Pembatasan Masa Keberlakuan Perppu
Pada Pasal 22 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesita Tahun 1945
disebutkan bahwa perppu setelah diterbitkan harus mendapatkan persetujuan
DPR agar dapat menjadi undang-undang. Disebutkan bahwa “Peraturan
pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan rakyat dalam
persidangan yang berikut”. Ketentuan ini bukan saja mengatur mengenai syarat
persetujuan DPR, namun juga menunjukkan bahwa perppu merupakan peraturan
yang bersifat sementara, memiliki masa keberlakuan tertentu.
30 Dalam prakteknya pengaturan ini melahirkan sikap yang menarik dari fraksi-fraksi di
DPR yang membuktikan perlu pemahaman terhadap pengaturan ini ataupun perubahan
pengaturan. Dalam proses persetujuan Perppu Ormas di Sidang Paripurna DPR sesungguhnya
yang menerima pengesahan Perppu Ormas menjadi undang-undang hanya terdapat 4 (empat)
fraksi, yaitu PDIP, Golkar, Nasdem dan Hanura. Tiga fraksi tidak setuju DPR mengesahkan draf
yang mengalihkan Perppu Ormas ke bentuk undang-undang, yaitu Fraksi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Gerindra, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Sementara, tiga fraksi lainnya,
Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan, menyetujui
pengesahan Perppu Ormas dengan syarat. Mereka meminta pemerintah dan DPR langsung
merevisi setelah ketok palu. http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41731696
Sikap yang terakhir ini sebenarnya tidak jelas posisinya mengingat pengaturan tentang
sikap DPR tentang persetujuan perppu. Jika dianggap setuju sesungguhnya mereka mengajukan
syarat untuk sikap persetujuannya tersebut, sementara catatan harus segera direvisi sebenarnya
tidak mengikat untuk dilaksanakan. Apakah berarti mereka menarik persetujuannya jika ternyata
presiden tidak mengajukan revisi? Sejauh ini sejak Perppu Ormas disetujui DPR pada tanggal
24 Oktober 2017 hingga Maret 2018 belum ada pembahasan revisi seperti yang diinginkan.
15 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018
Masa keberlakuan perppu menurut aturan konstitusi tersebut adalah sejak
ditetapkan Presiden hingga pernyataan persetujuan DPR yang dilakukan pada
“persidangan berikut”. Penjelasan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan
bahwa Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang
pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
ditetapkan.
Kasus Penerbitan Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
dapat dijadikan contoh untuk menghitung masa keberlakuan suatu perppu.
Perppu ini ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 10 Juli 2017 menjelang
DPR menghadapi reses. Setelah masuk masa sidang, DPR mulai melakukan
pembahasan dan menyampaikan persetujuannya pada tanggal 24 Oktober 2017
di akhir masa sidangnya. Persetujuan DPR terhadap perppu yang mengakibatkan
perppu tersebut diterima menjadi undang-undang kemudian diundangkan pada
tanggal 22 November 2017. Dengan demikian, sejak pertama kali Perppu
tersebut ditetapkan dan diundangkan hingga diputuskan menjadi undang-undang
dan kemudian undang-undang tersebut diundangkan terdapat waktu selama 5
bulan 12 hari. Artinya masa keberlakuan perppu di Indonesia dapat diperkirakan
sekitar masa waktu tersebut.
Peraturan perundang-undang yang mengatur perppu di Indonesia tidak
secara definitif mengatur masa keberlakuan Perppu. Pengaturan seperti ini
berbeda dengan yang terdapat di negara-negara Amerika Latin. Konstitusi Brazil
1988 menyebutkan bahwa dalam waktu 30 hari setelah diterbitkanperppu,
parlemen harus menentukan sikap untuk menerimaPerppu itu yang berakibat
menjadikannya undang-undang ataupun menolak yang berakibat tidak
berlakunya Perppu tersebut. Ketentuan yang terdapat pada Article 62 Konstitusi
Brazil tersebut berbunyi: “(1) Provisional measures lose their effectiveness as
from the date of their issuance if they are not converted into law within a period
of thirty days as from their publication, and Congress regulates the legal
relations arising therefrom.”
Pengaturan yang tegas tentang batas waktu keberlakuan perppu yang
terdapat di Brazil ini masih dianggap belum cukup karena dalam prakteknya
Presiden Brazil sering kali melakukan reissue suatu perppu untuk
memperpanjang masa keberlakuan Perppu. Realitas yang seperti ini membuat
dilakukannya pengaturan yang lebih rinci lagi mengenai masa keberlakukan
perppu. Melalui Amandemen ke-32 pada tahun 2001 Konstitusi Brazil, perppu
atau Provisional decree memang mengalami penambahan waktu dalam
pemberlakuannya yaitu 60 hari sejak diterbitkan dan dapat diperpanjang sekali
lagi, namun peraturan ini tidak boleh diperpanjang lagi atau diterbitkan lagi oleh
presiden jika sudah kehabisan waktu atau karena ditolak oleh parlemen.
Pengaturan pelarangan reissue sebuah perppu terbilang merupakan aturan yang
penting dan membatasi praktek yang ada sebelumnya dimana presiden sering
mengulangi penerbitan decree yang ditolak parlemen meskipun sudah ditolak
berkali-kali.
Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 16
Keberadaan aturan batas waktu pemberlakuan dan larangan untuk
mengeluarkan kembali decree yang kehabisan waktu mengandung pesan dalam
prakteknya bahwa jika dalam 60 (enam puluh) hari dan perpanjangan satu kali
tidak juga dikeluarkan putusan penerimaan atau penolakan dari kongres berarti
perppu tersebut dianggap kehilangan keberlakuannya. Meskipun demikian
terdapat pula aturan agar kongres memprioritaskan pembahasan perppu atau
provisional decree tersebut di parlemen dengan menyebutkan bahwa jika dalam
45 (empat puluh lima) hari tidak ada putusan mengenai provisional decree yang
baru dikeluarkan presiden maka semua agenda pembahasan di parlemen ditunda.
Selain itu, jika sebuah provisional decree kehilangan keberlakuannya maka
kongres wajib mengeluarkan undang-undang yang mengatur mengenai
hubungan hukum yang sudah terjadi akibat diterbitkannya provisional decree
tersebut. Jika kongres belum mengeluarkan undang-undang tersebut maka
klausul-klausul dalam provisional decree mengenai hal tersebut tetap dianggap
berlaku.
Di Argentina terdapat juga aturan-aturan waktu yang tegas mengatur
prosedur persetujuan suatu perppu di parlemen. 10 (sepuluh) hari setelah
diterbitkan, dekrit tersebut harus disampaikan kepada panitia di parlemen untuk
dimulai pembahasan dan dilakukan pembahasan juga dalam waktu 10 (sepuluh)
hari.31 Di Ekuador, Presiden diberikan kekuasaan untuk menerbitkan “langkah
ekonomi mendesak” yang dalam 30 hari National Assembly harus menyetujui,
mengubah atau menolak rancangan tersebut. Jika National Assembly tidak juga
mengambil putusan selama waktu yang telah ditetapkan (30 hari) terhadap
“langkah ekonomi mendesak” yang dikirimkan presiden, maka presiden dapat
memberlakukan “langkah ekonomi mendesak” tersebut sebagai hukum yang
mengikat.32
31 “Within the term of ten days, the Chief of the Ministerial Cabinet shall personally
submit the decision to the consideration of the Joint Standing Committee of Congress, which
shall be composed according to the proportion of the political representation of the parties in
each House. Within the term of ten days, this committee shall submit its report to the plenary
meeting of each House for its specific consideration and it shall be immediately discussed by
both Houses. A special law enacted with the absolute majority of all the members of each House
shall regulate the procedure and scope of Congress participation”. Konstitusi Argentina
http://www.senado.gov.ar/web/interes/constitucion/english.php (diakses 6 Mei 2013, Pukul
11:46 WIB). 32 Ketentuan tersebut terdapat di Article 140 Konstitusi Ekuador yang secara lengkap
menyebutkan
“The President of the Republic will be able to send to the National Assembly bills qualified as
urgent on economic matters. The Assembly must adopt, amend or turn them down within thirty
(30) days at the most as of their reception.
Procedures for submittal, discussion and adoption of these bills shall be the regular ones, except
with respect to the previously established time-limits. While a bill qualified as urgent is being
discussed, the President of the Republic will not be able to send another, unless a State of
Exception has been decreed.
When the Assembly does not adopt, amend or turn down the bill qualified as urgent in economic
matters within the stipulated time-limits, the President of the Republic shall enact it as a decree-
law or shall order its publication in the Official Register. The National Assembly shall be able,
at any time, to amend or repeal it, on the basis of the regular process provided for by the
Constitution.”
17 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018
Urgensi mengatur masa berlaku Perppu dengan waktu yang tegas adalah
untuk memberikan batasan terhadap ihwal kegentingan yang memaksa sebagai
syarat perppu. Semakin panjang atau semakin tidak tegas masa berlaku perppu
berarti semakin panjang masa kegentingan dan kegentingan tersebut diatur oleh
sebuah aturan sementara yang mengandung ketidakpastian. Selain itu,
pembatasan ini juga untuk memberi ruang yang terbatas bagi kekuasaan
eksekutif dalam membentuk aturan dari segi waktu. Bagaimanapun membentuk
undang-undang adalah kekuasaan legislatif, ketika kekuasaan tersebut dilakukan
oleh lembaga lain dengan alasan situasi yang tidak normal maka harus
mengandung berbagai pembatasan termasuk soal masa berlakunya.
3. Pembatasan Materi Muatan Perppu
Pengaturan mengenai Perppu di Indonesia sama sekali tidak memuat
pembatasan mengenai materi muatan yang dapat diatur. Artinya, semua materi
muatan undang-undang juga dapat menjadi materi muatan Perppu. Berbeda
dengan Indonesia, beberapa negara di Amerika Latin secara tegas melakukan
pembatasan materi yang dapat diatur dalam perppu-nya. Mereka menganggap
meskipun perppu setingkat dengan undang-undang, namun karena tidak
dibentuk melalui proses legislasi biasa maka tidak semua urusan dapat diatur
melalui perppu.
Brazil setelah memiliki pengalaman panjang dengan produktivitas tinggi
perppu yang diterbitkan Presiden, seperti disampaikan di atas, mengubah
pengaturan perppu bukan saja dalam hal prosedur pembentukannya tetapi juga
dari materi muatannya. Amandemen ke 32 tahun 2001 Konstitusi Brazil tidak
lagi membebaskan presiden untuk memuat semua materi undang-undang di
dalam perppu yang dibentuknya. Disebutkan bahwa pengaturan yang terdapat
dalam perppu di Brazil tidak boleh menyangkut kewarganegaraan, hak-hak
politik, partai politik, hukum pemilu, hukum pidana, hukum acara pidana,
hukum acara perdata, lembaga kekuasaan kehakiman, lembaga kejaksaan,
anggaran, bertujuan untuk penahanan, penyitaan, tabungan rakyat atau materi-
materi yang telah diatur dalam rancangan undang-undang yang sudah disetujui
Kongres namun masih menunggu pengundangan atau veto dari presiden.33 Di
Argentina juga terdapat pembatasan materi perppu dalam ruang lingkup yang
lebih kecil. Konstitusi Argentina 1994 mengecualikan masalah ketentuan
pidana, perpajakan, masalah pemilihan umum dan sistem kepartaian sebagai
bidang yang tidak boleh diatur.
Materi-materi di atas dianggap semuanya membutuhkan proses legislasi
biasa untuk diputuskan mengikat warga negara, rentan penyalahgunaan
kekuasaan jika diputuskan oleh kekuasaan eksekutif sendirian. Materi-materi
terkait politik dapat digunakan presiden untuk kepentingan kekuasaannya
terutama terkait menjalankan relasi eksekutif. Apalagi jika pola relasi yang
Konstitusi Ekuador http://pdba.georgetown.edu/Constitutions/Ecuador/ english08.html
(diakses 6 Mei 2013, Pukul 14:07 WIB) 33Article 62 Paragraph 1 Amandemen Ke-32 Tahun 2001 Konstitusi Brazil
Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 18
sedang terjadi adalah konfrontatif dimana dukungan politik presiden lemah di
parlemen.
Materi pidana dianggap sangat penting persetujuan wakil rakyat dalam
pengambilan putusannya. Ketika pembentuk peraturan memasukkan ketentuan
pidana dalam peraturannya maka pada saat itu mereka sedang melakukan
legalisasi terhadap penghilangan kemerdekaan atau pembebanan hak seseorang
yang langsung terkait dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu setiap
penempatan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan harus
dilakukan dengan cermat dan memiliki legitimasi kuat. Pencantuman sanksi
pidana sangat terkait dengan asas legalitas yang salah satu maknanya adalah
mengharuskan pencantuman ketentuan pidana dalam peraturan perundang-
undangan melalui proses legitimasi yang demokratis ke dalam undang-undang
dalam arti formal.
Hukum pidana baik hukum materilnya maupun hukum acaranya (hukum
formil) ke dalam perppu atau emergency decree harus sangat dibatasi karena
jenis peraturan ini minim kontrol publik dalam proses pembentukkannya.
Apalagi syarat kegentingan memaksa seperti disampaikan dalam putusan MK
No. 003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005, tidak harus disamakan dengan
adanya keadaan bahaya sehingga situasi yang dapat dipersepsi sebagai
kegentingan memaksa oleh presiden bisa sangat luas maknanya.
Selain itu, jenis peraturan ini memiliki sifat kesementaraan karena
walaupun langsung efektif berlaku namun masih memerlukan persetujuan DPR
dalam “persidangan berikutnya”. Kesementaraan ini tentu memiliki masalah jika
ditinjau dari asas kepastian hukum. Dalam kondisi yang ekstrim bisa saja terjadi
perppu memproduksi suatu jenis tindak pidana tertentu dengan sekaligus
memuat hukum acaranya yang menyimpangi KUHAP sehingga walaupun masih
memiliki sifat kesementaraan namun sudah dapat menghukum seseorang dengan
suatu sanksi pidana dan langsung memiliki kekuatan hukum mengikat (inkracht
van gewijsde) karena disederhanakan upaya hukum yang dimungkinkan.
Padahal dalam persidangan berikutnya perppu tersebut tidak disetujui DPR yang
artinya tindak pidana tersebut dinyatakan dihapus.
Brazil dan Argentina mengecualikan hukum pidana sebagai bagian yang
dapat dimuat dalam perppu atau emergency decree, bahkan Konstitusi Brazil
lebih luas lagi menyebut juga larangan memuat ketentuan mengenai penahanan
dan jenis perampasan hak warga negara yang lainnya. Prinsip pembebanan
terhadap rakyat mengharuskan melibatkan proses representasi (no tax without
representation) nampak menjadi pertimbangan dalam hal ini. Dalam konstitusi
kedua negara tersebut masalah pajak juga yang dikecualikan dari ketentuan yang
dapat dimuat dalam emergency decree.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ketika diminta untuk
melakukan perumusan dari perbuatan yang dapat dipidana melalui perluasan
makna di KUHP, melalui Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 MK menghindar
untuk memasuki wilayah kebijakan pidana (criminal policy). Menurut MK
“sepanjang berkenaan dengan kebijakan pidana atau politik hukum pidana, hal
itu adalah sepenuhnya berada dalam wilayah kewenangan pembentuk undang-
19 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018
undang”.34 MK menganggap hukum pidana berbeda dengan bidang hukum
lainnya karena hukum pidana dengan sanksinya yang keras yang dapat
mencakup perampasankemerdekaan seseorang, bahkan nyawa seseorang, maka
legitimasi negara dibutuhkan untuk mengkonstruksi perbuatan yang dapat
dipidana. Bentuk dari legitimasi tersebut datang dari persetujuan rakyat melalui
presiden dan DPR. MK juga mengutip Pasal 15 dan Lampiran II, C.3. angka 117
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menegaskan bahwa materi muatan mengenai pidana hanya
dapat dimuat dalam produk perundang-undangan yang harus mendapatkan
persetujuan wakil rakyat di lembaga perwakilan, yaitu DPR atau DPRD, seperti
Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
Mengamati perbandingan pengaturan di beberapa negara dan
pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan MK nampak hukum pidana
memang memiliki kekhususan. Pembentukan delik pidana membutuhkan proses
legitimasi yang kuat sehingga seharusnya tidak menempatkannya dalam produk
hukum yang memiliki sifat kesementaraan dan proses legislasi yang tidak
normal.
III. PENUTUP
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) diterbitkan
dalam kondisi khusus dan dimaksudkan sementara karena menunggu
persetujuan DPR untuk dilanjutkan menjadi undang-undang atau harus dicabut.
Peraturan dengan karakter tersebut lazim terdapat di berbagai negara khususnya
negara-negara bersistem presidensial. Praktek penggunaan perppu ini di
berbagai negara tersebut menunjukkan bahwa presiden memiliki potensi besar
mengambil alih proses pembentukan kebijakan atau peraturan dari tangan
legislatif atau minimal tampil sebagai pengambil inisiatif utama dan melakukkan
kontrol terhadap agenda di parlemen. Tindakan tersebut pada gilirannya dapat
mengganggu bukan saja relasi eksekutif dan legislatif tetapi juga
penyalahgunaan kekuasaan dan kualitas putusan yang merugikan rakyat. Oleh
karena itu berdasar perbandingan beberapa negara, terjadi inisiatif untuk
melakukan pembatasan-pembatasan terhadap jenis kekuasaan presiden di bidang
legislatif ini (president’s legislative power).
Pembatasan-pembatasan yang efektif dilakukan dengan membentuk
kerangka hukum melalui peraturan perundang-undangan yang mengikat semua
pihak. Pembatasan-pembatasan tersebut berisikan prosedur pembentukan yang
harus ditempuh dengan tidak mudah dan memberikan berbagai materi muatan
yang tidak boleh diatur oleh peraturan darurat tersebut.
Pengaturan mengenai perppu di Indonesia dapat dikatakan sangat
terbatas ruang lingkupnya. Prosedur pembentukan perppu relatif hanya
bergantung kepada penafsiran terhadap frasa “kegentingan memaksa.”
Perdebatan penerimaan dan penolakan perppu hanya mengenai frasa tersebut
karena memang mengenai materi perppu merupakan bagian yang tidak dijadikan
34 Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, hlm. 442
Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 20
dasar persetujuan DPR. Sikap DPR terhadap perppu menurut peraturan
perundang-undangan adalah menerima seluruhnya atau menolak seluruhnya.
Realitas pengaturan yang ada ini tidak dapat dianggap sebagai bentuk
pembatasan perppu dan diperlukan aturan-aturan lain, bahkan diperlukan juga
batasan mengenai materi yang mungkin diatur dalam perppu. Sejauh ini tidak
ada materi muatan tertentu yang dilarang diatur dalam perppu. Pelajaran yang
terdapat dalam pengalaman-pengalaman negara-negara lain termasuk akibat
pengaturan yang telah dilakukan dapat dijadikan gagasan menarik untuk
diangkat sebagai wacana publik yang pada gilirannya dapat meregulasi perppu
dengan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku, Jurnal dan Karya Tulis Lain
Arberry, Lance L. “The Evolving Executive: Provisional Decrees and Their
Impact on Brazil's Executive-Legislative Relationship”, theses
University of Nevada, Las Vegas, 2013.
Arsil, Fitra. Teori Sistem Pemerintahan: Pergeseran Konsep dan Saling
Kontribusi Antar Sistem Pemerintahan di Berbagai Negara, (Depok:
Rajawali Press, 2017).
Figuerido, Argelina Cheibub dan Fernando Limongi, “Presidential Power,
Legislative Organization, and Party Behavior in Brazil”, dalam
Comparative Politics, Vol. 32, No.2 (Januari 2000).
Kim, James Je Heon. “Case for Constrained Unilateralism: Decree of Necessity
and Urgency in Argentina, 1916-2004”, paper was presented at the
Annual Meetings of the Southern Political Science Association,
American Political Science Association, and the Quantitative Methods
Seminar at Columbia University. September 21, 2007.
Morgado, Helena Zani and Hugo Anciaes, “Provisional Measure: anUrgent and
Relevant Subject” Revistada Faculdade de Direito da UERJ, V.2, n. 22,
jul/dez.2012.
Gabriel L. Negretto, “Shifting Constitutional Designs in Latin America: A Two-
Level Explanation”, Texas Law Review, Volume 89, 1777, June2011.
------------------------, “Government Capacities and Policy Making by Decree in
Latin America: The Cases of Brazil and Argentina”, Comparative
Political Studies, Vol.37 No.5, June 2004.
Neto, Octavio Armorim. “Cabinets, Electoral Cycles, Coalition Discipline in
Brazil”, dalam Scott Morgenstern dan Benito Nacif, ed., Legislative
Politics in Latin America, (New York: Cambridge University Press,
2002).
------------------------. “The Presidential Calculus Executive Policy Making and
Cabinet Formation in the Americas.” Comparative Political Studies,
Volume 39 Number 4 May 2006 (Sage Publications, 2006).
21 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018
Payne, J. Mark., Daniel Zovatto G., dan Mercedes Mateo Díaz, Democracies in
Development: Politics and Reform in Latin America, (Washington: Inter-
American Development Bank, 2007).
Pereira, Carlos. Timothy J. Power and Lucio Renno, “Under What Condition
Do Presidents Resort to Decree Power? Theory and Evidence from the
Brazilian Case”, dalam The Journal of Politics, Vol.67, No.1. February
2005.
Power, Timothy J. “The Pen is Mightier Than the Congress: Presidential Decree
Power in Brazil.” dalam John M. Carey dan Matthew S. Shugart, ed.,
Executive Decree Authority, (New York: Cambridge University Press,
1998).
Schmidt, Gregory. “Presidential Usurpation of Congressional Preference. The
Evolution of Executive Decree in Peru” dalam John M. Carey &
Matthew Soberg Shugart [eds]. Executive Decree Authority. (Cambridge,
Cambridge University Press, 1998).
Tsebelis, George. “Decision Making in Political System: Veto Players in
Presidentialism, Parliamentarism, Multicameralism, Multipartism,”
British Journal of Political Science, Vol. 25, no. 3 (Juli., 1995).
B. Peraturan dan Putusan
Konstitusi Argentina http://www.senado.gov.ar/web/interes/constitucion/
english.php (diakses 6 Mei 2013, Pukul 11:46 WIB).
Konstitusi Brazil http://www.servat.unibe.ch/icl/br00000_.html (diakses 6 Mei
2013, Pukul 14.31 WIB).
Konstitusi Ekuador http://pdba.georgetown.edu/Constitutions/Ecuador/
english08.html (diakses 6 Mei 2013, Pukul 14:07 WIB).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016.
C. Internet
http://www.perubahan.co/kolom/102/pasal-22-uud-1945-dan-ajaran-
konstitusi%EF%80%AA.html
http://ksp.go.id/presiden-tidak-menandatangani-uu-md3/index.html
https://nasional.kompas.com/read/2018/03/06/19124111/jokowi-
pertimbangkan-keluarkan-perppu-untuk-batalkan-pasal-kontroverial-di
https://nasional.kompas.com/read/2018/03/17/09425041/cerita-di-balik-
perppu-pilkada-langsung-dan-opsi-atas-uu-md3
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180112172226-32-268476/kpu-
usul-jokowi-keluarkan-perppu-verifikasi-faktual-parpolatau
https://nasional.kompas.com/read/2018/03/13/16522831/kpk-usul-
pemerintah-terbitkan-perppu-untuk-ganti-peserta-pilkada-yang-jadi