menelisik programpembangunan nasional di era pemerintahan …
TRANSCRIPT
P a g e | 71
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA
PEMERINTAHAN SOEHARTO
Yeby Ma’asan Mayrudin
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
Abstract
This article discusses the issue of the policies of the New Order government's
national development program based on concepts that are firmly held and always
socialized and doctrined during his reign, namely the Trilogy of Development
concept, which consists of three key points, namely development equality,
economic growth, and national stability. four main policies, namely
macroeconomic policy, economic structure reform policy, population policy, and
political stability policy.
Keywords: Development, New Order, Suharto, Economic and Political Policy
Abstrak
Artikel ini membahas persoalan kebijaksanaan program pembangunan
nasional pemerintahan Orde Baru berpedoman pada konsep yang dipegang
teguh dan selalu disosialisasikan dan didoktrinkan pada masa kekuasaannya
yaitu konsep Trilogi Pembangunan, yang terdiri tiga poin kunci, yaitu
pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional.Dan
memfokuskan pada empat kebijaksanaan utama, yaitu kebijaksanaan ekonomi
makro, kebijaksanaan perombakan struktur ekonomi, kebijaksanaan
kependudukan, dan kebijaksanaan stabilitas politik.
Kata Kunci: Pembangunan, Orde Baru, Soeharto, Kebijakan Ekonomi dan
Politik
P a g e | 72
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
A. Selayang Pandang
Pasca berakhirnya Perang Dunia Kedua, menurut Soemardjan (1976: 153)
di hampir semua negara, program pembangunan sosial-politik apalagi terkait
pembangunan ekonomi telah mendapat prioritas utama. Telah lama dikenal bahwa
pembangunan pada negara-negara maju terdiri dari proses akselerasi (percepatan)
kelangsungan pola-pola kehidupan dan pekerjaan pada masa sebelumnya.
Sedangkan, bagi negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia (di masa
Orde Baru), pembangunan merupakan proses penyisihan secara bertahap
beberapafaktor sosial-budaya yang disusul dengan usaha-usaha pelik dalam
menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru, teknologi-teknologi baru dan
cara-cara organisasi dan mekanisme kerja baru. Dalam proses ini masyarakat
sedang berkembang menyadari perlunya pembinaan lembaga-lembaga sosial baru,
masing-masing mengkhususkan diri dalam satu bidang pekerjaan atau
permasalahan, meskipun kesemuanya bersatu dalam pelaksanaan dalam program
pembangunan yang menyeluruh. Akan tetapi pembinaan lembaga-lembaga baru
menuntut waktu dan pandangan yang jitu mengenai masalah-masalah
pembangunan.
Berbicara konteks pembangunan, tak pelak membincang konsepsi Lucian
W. Pye (1976: 33-34) terkait tesis-nya yang menyatakan “pembangunan politik
sebagai prasyarat politik untuk pembangunan ekonomi.”Menurutnya, pemusatan
perhatian pada masalah-masalah pembangunan ekonomi dan perlunya merubah
perekonomian yang bersifat statis menjadi perekonomian terbuka yang dapat
meluncur sendiri.Bahkan, hal demikian juga ditawarkan oleh para ahli ekonomi
yang menunjukkan betapa kondisi-kondisi sosial dan politik dapat memainkan
peranan yang menentukan dalam menghambat atau memperlancar kemajuan
pendapatan per kapita.Oleh karena itu, wajar kalau pembangunan politik
dipandang sebagai keadaan masyarakat politik yang dapat memperlancar
pertumbuhan ekonomi.Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan pembangunan
nasional,pemerintah Orde Baru berpedoman pada konsep yang dipegang teguh
P a g e | 73
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
dan selalu disosialisasikan dan didoktrinkan pada masanya yaitu konsep Trilogi
Pembangunan, yang terdiri tiga poin kunci, yaitu: (1) Pemerataan pembangunan;
(2) Pertumbuhan ekonomi ; dan (3) Stabilitas nasional.
Ketiga poin tersebut adalah semboyan yang sangat mengakar dalam 32
tahun kepemimpinan Orde Baru di bawah Soeharto. Setelah dapat mengendalikan
stabilitas nasional yang merupakan lingkungan yang baik untuk tumbuhnya
perekonomian, kemudian pemerintah menarik para investor asing untuk
merangsang pertumbuhan perekonomian nasional.Setelah perekonomian tumbuh,
kesejahteraan diratakan ke seluruh pelosok Nusantara. Hal demikian, konsepsi
ideal Orde Baru terkait implikasi trilogi pembangunannya, akan tetapi berdampak
pada pelbagai hal antaranya, direnggutnya kebebasan berpolitik, eksploitasi
perekonomian bawah, dan eksklusi terhadap daerah-daerah pinggiran atau pelosok
kota dan daerah terluar di perbatasan.
Di masa awalpemerintahannya, Orde Baru melakukan langkah
fundamental terkait penataan kembali kehidupan berbangsa dan bernegara di
segala bidang, meletakkan dasar-dasar untuk kehidupan nasional terkait politik,
hukum dan sosial.Di bidang ekonomi, upaya perbaikan dimulai dengan program
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Program ini dilaksanakan dengan skala
prioritas, di antaranya:
1. Pengendalian inflasi;
2. Pencukupan kebutuhan pangan;
3. Rehabilitasi prasarana ekonomi;
4. Peningkatan ekspor; dan
5. Pencukupan kebutuhan sandang.
Program-program pemerintah di masa awal berdirinya Orde Baru
berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha
mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan
kebutuhan pokok rakyat.Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional
P a g e | 74
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
periode 1968-1998 selama berkuasanya Soeharto adalah melalui ketetapan MPR –
yang dibentuk rejim Orba– dalam bentuk Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN).Berlandaskan padapenjelasan di GBHN, tujuan pembangunan nasional
adalah untuk menaikkan kualitas hidup secara bertahap agar pemanfaatkan
sumberdaya alam yang dimiliki negara dilakukan secara bijaksana sebagai
landasan pembangunan tahap berikutnya. Mengenai pentingnya peran serta
masyarakat tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara yang menyatakan
bahwa peran serta aktif segenap lapisan masyarakat dalam pembangunan harus
makin meluas dan merata, baik dalam memikul beban pembangunan maupun
dalam pertanggungjawaban atas pelaksanaan pembangunan ataupun pula di dalam
menerima kembali hasil pembangunan. Untuk itu perlu diciptakan suasana
kemasyarakatan yang mendukung cita-cita pembangunan, serta terwujudnya
kreativitas danaktivitas di kalangan masyarakat. Salah satu usaha untuk
menaikkan kualitas hidup adalah peningkatan peran serta masyarakat dalam
pembangunan, termasuk mulai dari proses perencanaan dan pelaksanaan terutama
yang menyangkut secara langsung kehidupan dan masa depan mereka.
GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden
untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan
(REPELITA), proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat top-down,
adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat
dan bersifat ekslusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama
out-put perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara
seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah
pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan di
daerah.Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan
mensejahterakan masyarakatnya.Distribusi anggaran negara ibarat piramida
terbalik, sedangkan komposisi masyarakat sebagai penikmat anggaran adalah
piramida seutuhnya.Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik
P a g e | 75
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
atau top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat
baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi.
Program pembangunan nasional yang dicanangkan oleh pemerintahan
Orde Baru dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu:
1. Jangka panjang, yang mencakup pencanangan pembangunan periode panjang
25 sampai 30 tahun;
2. Jangka pendek,mencakup periode 5 tahun yang terkenal dengan sebutan
“PELITA” (Pembangunan Lima Tahun).
Berikut perencanaan program pelita yang dicanangkan pemerintah Orde Baru:
1. Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974): Menekankan pada pembangunan
bidang pertanian;
2. Pelita II (1 April 1974– 31 Maret 1979): Tersedianya pangan, sandang,
perumahan, sarana dan prasarana, menyejahterakan rakyat, dan memperluas
kesempatan kerja;
3. Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984) :Menekankan pada perwujudan
Trilogi Pembangunan di Indonesia;
4. Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989): Menitik beratkan sektor pertanian
menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat
menghasilkan mesin industri sendiri;
5. Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994): Menitikberatkan pada sektor
pertanian dan industry;
6. Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999): Masih menitikberatkan
pembangunan pada sektor bidang ekonomi yang berkaitan dengan industri dan
pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia
sebagai pendukungnya.
Pembangunan ekonomi selama pemerintahan Soeharto menurut Santosa
(2004: 37) secara jujur ditilik dari aspek fiskal sebenarnya cukup baik, akan tetapi
P a g e | 76
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
dari aspek fundamental perekonomian menghasilkan fondasi yang sangat rapuh.
Walaupun strategi pembangunan waktu itu bertumpu pada Trilogi Pembangunan,
masing-masing pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas.Titik berat dari masing-
masing tahapan pembangunan dapat berubah-ubah disesuaikan dengan situasi dan
kondisi menurut kepentingan pemerintah.Secara konseptual strategi seperti itu
sangat baik, tetapi dalam implementasinya banyaklah terjadi persoalan. Kalau
yang dilihat tercapainya stabilitas nasional, memang terjadi pada masa Orde Baru,
akan tetapi sifatnya semu, yang berarti sebenarnya kita semua dibuat merasa takut
dan tunduk kepada pemerintahan Orde Baru di bawah kendali Soeharto.
Berdasarkan penelitian Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) pada
tahun 1993 (dalam Santoso, 2004) yang menyebutkan bahwa hanya 3 juta
penduduk Indonesia berpendapatan sebesar rata-rata US$ 20.000 per kapita per
tahun.Sementara 20 juta penduduk lainnya berpendapatan US$ 1.500 per kapita
per tahun, kemudian masih ada 140 juta penduduk dengan rata-rata pendapatan
US$ 380 per kapita per tahunnya dan terakhir 27 juta penduduk lagi masih berada
di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan per kapita per tahunnya hanya US$
190.Jika dilihat dalam penguasaan asset nasional, maka 80%perekonomian
Indonesia hanya dinikmati oleh sekitar 200 orang konglomerat, sementara yang
20% harus dibagi-bagi oleh 200 juta penduduk lainnya.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup besar tersebut dapat terjadi karena
modal berasal dari dalam negeri dan luar negeri (yang salah satunya berasal dari
hutang luar negeri). Pertumbuhan dari sektor industri cukup besar, di mana untuk
tahun 1990 sebesar 11,2%, tahun 1991-1993 antara 9,5-9,7% per tahun dan 1994
dan 1995 sama besar 11,2% per tahun, demikian juga untuk tahun 1991 dan 1993
juga sama besar yaitu 1,4% per tahun dan pada 1995 sebesar 3,0% per tahun
(Santoso, 2004: 38).
MenurutPrawirasoebrata (1998: 42) memang harus diakui bahwa untuk
memelihara pertumbuhan ekonomi, pemerintah Orde Baru waktu itu tidak
P a g e | 77
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
mungkin lagi mungkin lagi untuk melaksanakan sendiri.Oleh karena itu, kekuatan
ekonomi di luar pemerintahan harus diikutsertakan dan aspirasinya perlu diberi
tempat.Jadi, swasta sangat diperlukan untuk berperan lebih besar.Selanjutnya,
Prawirasoebrata sebagai mantan Gubernur Lemhanas menegaskan perlunya
pengakuan secara terang bahwa perencanaan ekonomi era Orde Baru yang bersifat
sentralistik atau terpusat yang bertahan terlalu lama mengakibatkan para birokrat
menjadi kurang tanggap terhadap persoalan-persoalan yang menerjang bak
gelombang ketika tahun 1990-an.
Pembangunan Indonesia selama masa Orde Baru menurut Email Salim
(1997: 4) bertopang pada empat faktor kebijaksanaan utama, yaitu:
1. Kebijaksanaan ekonomi makro yang mencakup kebijakan anggaran
berimbang, kebijakan moneter dan perbankan yang bersifat prudent (hati-
hati), dan kebijaksanaan perdagangan luar negeri dan neraca pembayaran yang
berorientasi pada ekspor sebagi faktor pendorong pembangunan;
2. Kebijaksanaan perombakan struktur ekonomi dari pola ekonomi penghasil
bahan mentah menjadi ekonomi industri penghasil barang jadi. Dampak dari
hal tersebut adalah menghasilkan diversifikasi struktur masyarakat di
Indonesia;
3. Kebijaksanaan kependudukan yang tertuju pada pengendalian laju
pertumbuhan penduduk, meningkatkan harapan usia hidup penduduk berkat
peningkatan kesehatan penduduk, serta menaikkan tingkat pendidikannya agar
mampu menanggapi perubahan struktur ekonomi;
4. Kebijaksanaan stabilitas politik untuk menjamin iklim yang kondusif bagi
pembangunan, yang pada gilirannya diharapkan melanjutkan stabilitas politik.
B. Kebijaksanaan Ekonomi Makro Orde Baru
Kebijakan pembangunan nasional di bawah pemerintahan Orde Baru,
menurut Emil Salim (1997: 4) salah satunya sangat mementingkan aspek
perkembangan ekonomi makro yang mencakup beberapa hal, di antaranya:
P a g e | 78
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
Pertama, kebijakan anggaran berimbang yang mempertautkan bantuan luar negeri
dalam anggaran dengan alokasi sektoral yang mengutamkan pengembangan
prasarana ekonomi dan sosial; Kedua, kebijakan moneter dan perbankan yag
bersifat hati-hati untuk memelihara nilai mata uang rupiah yang realistis dalam
sistem nilai tukar mata uang asing yang terbuka; Ketiga, kebijakan perdagangan
luar negeri dan neraca pembayaran yang berorientasi pada ekspor sebagai faktor
pendorong pembangunan.
Dengan keempat aspek di atas, Indonesia di bawah Orde Baru berhasil
melaju dengan rata-rata di atas 7% per tahun (1985-1995), dan akhirnya mampu
menempatkan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah. Kenaikan
pendapatan ini dimungkinkan berkat meningkatnya sumbangan industri
manufaktur pada Produk Domestik Bruto sehingga membawa Indonesia pada
masa itu ke pintu gerbang negara industri.Di samping itu, deregulasi dan
liberalisasiekonomi yang dipakai oleh pemerintahan ditujukan untuk menaikkan
daya saing produsen dalam negeri.Artinya, memperkecil intervensi pemerintah
dalam eknomi.Peranan pemerintahan adalah memelihara konsistensi dalam
kebijaksanaan ekonomi makro yang bermuara pada dikendalikannya inflasi
sedapat mungkin di bawah 5% per tahun (Salim, 1997: 4-6).
Menurut Salim (1997), dengan mendorong lebih aktifnya sektor swasta,
maka peranan kebijaksanaan moneter dan perkreditan menjadi lebih aktif
ketimbang kebijaksanaan anggaran. Anggaran yang berimbang tidak lagi
memadai dan diperlukan kebijaksanaan surplus anggaran.Ini adalah salah satu
contoh dan dampak perubahan globalisasi ekonomi pada kebijaksanaan ekonomi
dalam negeri.Dalam kontek ekternal, peranan pinjaman dari luar secara berangsur
cenderung berkurang sementara investasi asing semakin meningkat.Hal ini adalah
konsekuensi logis dari liberalisasi ekonomi.Dalam konteks ini mobilisasi
resources domestik, baik melalui pajak maupun tabungan, semakin mencuat ke
atas.
P a g e | 79
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
Selain itu, sebagai pencipta iklim usaha yang merangsang pembangunan
berkat penetapan landasan fundamental kebijaksanaan ekonomi makro, maka
peranan pemerintah adalah terutama mengembangkan secara aktif program
pengentasan kemiskinan dan program mengurangi kesenjangan antara yang kaya
dengan yang miskin yang sulit dilaksanakan hanya oleh ekonomi pasar.
Pengurangan kesenjangan harus juga tertuju antar daerah. Dalam hubungan ini
sentralisasi kebijaksanaan dan implementasi pembangunan harus diganti dengan
desentralisasi ke daerah-daerah. Perimbangan keuangan pusat dan daerah perlu
ditangani sebagai bagian pokok pembangunan daerah (Salim, 1997: 6-7).
Mochtar Mas’oed (2008: 182-183) menilai persoalan pilihan
kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru.
Menurutnya, sejak pertengahan 1980-an pemerintah semakin tegas memilih jalan
‘liberal’ dalam artian menjalan logika ekonomi liberal. Secara sederhana, strategi
itu dapat dilihat sebagai kebijakan yang anti-Keynesianisme (misalnya,
pengurangan peran pemerintah dalam proses produksi dan investasi), pro-
Monetaris (misalnya, deregulasi perbankan dan berbagai paket kebijakan moneter
lainnya).Intensifikasi integrasi ekonomi Indonesia era Orde Baru ke dalam sistem
kapitalisme internasional (dalam bentuk liberalisasi perdagangan luar negeri dan
industrialisasi berorientasi ekspor).Menggalakkan sektor swasta, sehingga
mentolerir konglomerat dengan konsentrasi dan diversifikasi yang tinggi dan
meminggirkan kaum usahawan yang modalnya rendah.
Secara implisit, penentuan prioritas strategi pembangunan ekonomi selama
Orde Baru dapat digambarkan sebagai bandul jam bergerak dari satu sisi ke sisi
lain dan kembali lagi. Di masa awal Orde Baru, sampai dengan pertengahan 1970-
an, strategi diwarnai oleh “orientasi-keluar” mengintegrasikan ekonomi domestik
ke dalam sistem internasional berdasar prinsip “keunggulan
komparatif”.Semangatnya adalah untuk melakukan efisiensi. Kelangkaan berbagai
jenis sumber daya di dalam negeri yang berpuncak pada peristiwa Malari dan
tersedianya sumber daya akibat rejeki minyak pada tahun 1970-an mendorong
P a g e | 80
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
pemerintah untuk menerapkan “orientasi-kedalam”, yaitu menempatkan
pemerintah sebagai manager utama kegiatan investasi, produksi dan distribusi
dengan memanfaatkan sumber daya materiil dan manusia yang ada di Indonesia.
Semangatnya adalah nasionalisme dan ketahanan nasional. Namun, krisis minyak
dan resesi dunia yang berkepanjangan pada awal 1980-an memaksa pemerintah
untuk menerapkan sekali lagi strategi “berorientasi ke dalam”. Akan tetapi pada
periode ini terasa sangat drastis. Sebagaian besar kebijaksanaan nasionalistis
tahun 1970-an beberapa dibatalkan. Walaupun masih terdengar perdebatan
mengenai keharusan menerapkan pertimbnagan ketahanan nasional dalam
beberapa sector yang dianggap strategis, seperti industri pesawatterbang dan kapal
laut.Namun, semangat yang begitu dominan pada waktu itu adalah liberalisasi,
bukan nasionalisme ekonomi.Sesudah penghapusan berbagai hambatan ekspor-
impor dan distribusi barang di dalam negeri, sasaran berikutnya adalah liberalisasi
industri mobil.Dan hal itu bukannya dilakukan oleh pemerintah dengan senang
hati, melainkan “terpaksa” oleh struktur ekonomi internasional yang
mengharuskan penyesuaian seperti itu (Mas’oed, 2008: 183-184).
Gejala tersebut sesungguhnya menandai menguatnya kecenderungan dari
proyek globalisasi. Perubahan paradigma tersebut merupakan penjabaran dari
kebijakan ekonomi makro Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1980-an
berupa berbagai penyesuaian struktural. Kebijakan makro ini mencakup
modernisasi yang setara dengan industrialisasi yang pertama berdasar pada
industri pengganti impor dan kemudian industrialisasi berorientasi ekspor.Dalam
pelaksanaannya, kebijakan makro dengan strategi industrialisasi salah satunya
mensyaratkan swasembada produksi pangan untuk memberi pangan bagi kelas
pekerja dan untuk menjaga stabilitas politik.konsekuensi utama dari kebijakan ini
adalah secara sengaja mengorbankan wilayah pedesaan bagi pertumbuhan wilayah
perkotaan, mengorbankan sektor pertanian demi pertumbuhan industri, dan
akhirnya mengorbankan kaum petani untuk kaum pekerja perkotaan (Wahono,
2001 dalam Abisono, 2002: 278-279).
P a g e | 81
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
Pada tahun 1997 merupakan titik balik bagi politik pembangunan
pemerintahan Orde Baru yang ditandai dengan krisis moneter.Momentum tersebut
bagi Abisono (2002: 288-289) dapat dipahami sebagai tekanan kuat kekuatan
global bagi pemerintah untuk segera menyelenggarakan perubahan yang sejalan
dengan agenda global.Namun yang patut dicatat adalah bahwa krisis moneter
tahun 1997 hanyalah faktor pemicu bagi keruntuhan ekonomi Indonesia.
Bangunan perekonomian Indonesia era Orde Baru sesungguhnya sejak lama
mengidap benih-benih krisis, pengandalan ekonomi terhadap hutang luar negeri
yang semakin membengkak, daya saing produk yang rendah akibat industri dalam
negeri yang tidak efisien, bergandengan dengan faktor kepemerintahan yang tidak
efektif (bad governance) menjadi karakter yang khas dalam pengelolaan ekonomi
Orde Baru. Kondisi demikian menjadikan Indonesia rentan terhadap tekanan
agenda ekonomi global yang secara mudah didesakkan oleh IMF. Melalui letter of
Intent pemerintah dengan sangat terpaksa menerima resep-resep ekonomi untuk
memulai reformasi pasar secara total yang sudah sangat terlambat. Krisis tersebut
diikuti dengan krisis sosial, dan politik yang secara efektif membentuk kondisi
bagi katalisator tergulingnya Soeharto pada Mei 1998.
C. Kebijaksanaan Perombakan Struktur Ekonomi Era Soeharto
Pemerintahan Orde Baru juga menekankan pentingnya implementasi
kebijakan perombakan struktur ekonomi dari pola ekonomi penghasil bahan
mentah menjadi ekonomi industri penghasil barang jadi.Dampak dari
kebijaksanaan ini adalah munculnya dan berkembangnya kelompok masyarakat
dengan profesi baru yang menghasilkan diversifikasi struktur masyarakat.Oleh
karena itu, kebijaksanaan pembangunan yang bertujuan untuk merombak struktur
ekonomi, memerlukan penyesuaian.Hal ini akibat dari gelombang globalisasi
ekonomi, maka perlu menjurus pada pola kebijaksanaanekonomi berorientasi
global (Salim, 1997: 4 dan 7).
P a g e | 82
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
Apabila selama tahun 1970-1980-an pertanian menjadi motor penggerak
pembangunan Indonesia, dan di tahun 1990-an muncul industri manufaktur, maka
selanjutnya akan memunculkan perdagangan sebagai motor penggerak
pembangunan. Ini berarti keterampilan dan keahlian yang diperlukan tidak cukup
hanya padai memproduksi barang, tetapi juga harus mampu menjadikan pandai
memproduksi barang yang laku dipasaran.Maka arah pembangunan perlu
menjurus pada peningkatan kemampuan bersaing dalam pembangunan berkualitas
dengan nilai tambah yang semakin dominan berkat peningkatan produktifitas
sumber daya manusia (Salim, 1997: 8).
Rencana Pembangunan lima tahunan yang kita dikenal dengan sebutan
“Pelita” I-VI menjadi sumber bagaimana pemerintah melakukan perombakan
sistem pembangunannya. Pada Pelita I, pemerintah memfokuskan pada
peningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus peletakkan dasar-dasar bagi
pembangunan tahap berikutnya dengan titik berat pada pembangunan bidang
pertanian.Pelita II memiliki sasaran utama tersedianya pangan, sandang,
perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan rakyat yang juga masih terpaku
pada bidang pertanian.Pada Pelita III pemerataan pembangunan dan kesejahteraan
adalah konsen pemerintah.Dan pada Pelita IV mulai muncul keinginan pemerintah
untuk juga meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri
sendiri.Pelita V dan VI sudah tegas memposisikan perdagangan luar negeri yang
berbasis industrial sebagai fokus pemerintah yang akhirnya mau tidak mau harus
ada penyesuaian terhadap pembangunan yang ada di Indonesia yang akhirnya
berdampak terhadap semakin melebarnya kesenjangan antara penduduk.
Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi yang telah disebutkan di atas
menghasilkan penanaman modal asing yang mengakibatkan hutang luar
negeri.Serbuan para investor asing ini kemudian melambat ketika terjadi jatuhnya
harga minyak dunia, yang mana selanjutnya dirangsang ekstra melalui kebijakan
deregulasi (liberalisasi) pada tahun 1983-1988.Tanpa disadari, kebijakan
penarikan investor yang sangat liberal ini mengakibatkan undang-undang
P a g e | 83
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
Indonesia yang mengatur arus modal menjadi yang sangat liberal di lingkup dunia
internasional. Namun kebijakan yang sama juga menghasilkan intensifikasi
pertanian di kalangan petani.
D. Kebijaksanaan Kependudukan di Masa Pemerintahan Soeharto
Kebijaksanaan kependudukan yang tertuju pada pengendalian laju
pertumbuhan penduduk, meningkatkan harapan usia hidup penduduk berkat
peningkatan kesehatan penduduk, serta menaikkan tingkat pendidikannya agar
mampu menanggapi perubahan struktur ekonomi.Kenyataan ini menimbulkan
keharusan untuk makin memberikan perhatian pada persoalan kebijaksanaan
kependudukan melalui program Keluarga Berencana (KB) di samping
perencanaan proyek-proyek yang dapat menimbulkan arus penawaran kesempatan
kerja yang baru dan strategis bagi keseluruhan perencanaan pembangunan
nasional. Menurut Moertopo (1981: 110) persoalan tersebut bagi suatu bangsa
bukanlah sekedar usaha yang bersifat teknis, sebab usaha menghindari dan
mengurangi implikasi sosial itu sendiri dapat menimbulkan implikasi-implikasi
baru.
Moertopo (1981:110) menekankan bahwa program Keluarga Berencana
(KB) merupakan program nasional yang menurut pemerintahan Orde Baru sangat
penting dan ditujukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat dengan cara
menurunkan angka kelahiran sehingga pertambahan penduduk tidak melebihi
kemampuan untuk menaikkan produksi. Kesejahteraan bangsa secara minimal
diartikan adanya keseimbangan antara jumlah jumlah penduduk dan produksi
nasional serta kesempatan yang cukup dan merata yang dimiliki oleh warga
negara dalam berbagai bidang kehidupan.
Program Keluarga Berecana (KB) dimulai ketika era pemerintahan Orde
Baru di bawah Soeharto yang hendak menanggulangi persoalan lendakan jumlah
penduduk di Indonesia. Di samping peran lembaga swadaya masyarakat yang
“ditopang” oleh pemerintah yaitu Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
P a g e | 84
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
(PKBI) yang melakukan sosialisasi luas ke lingkungan masyarakat sampai tingkat
bawah (RT/RW), pemerintah Orde Baru juga melalui organisasi formalnya yang
didirikan yakni badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk
mendukung program KB ini. Pada 1970-an, para ibu tidak hanya diharapkan
menjadi akseptor Keluarga Berencana, tetapi lebih daripada itu.Ada semacam
otoritas baru dari pemerintah agar mereka mendukung program ini secara luas.
Program KB menjadi propaganda nasional yang terstruktur top-down. Artinya,
pemerintah melalui BKKBN membentuk jaringan structural dari atas ke bawah,
dari tingkat pusat ke tingakt provinsi, kabupaten serta kota sampai ke kelurahan
dan posyandu-posyandu yang tersebar di tingkat-tingkat runkun tetangga (RT).
Para kaum perempuan dibawa ke lembaga pelaksana program KB dengan
penjabaran tentang orientasi ekonomi untuk itu disampaikan suggest bahwa “dua
anak cukup, laki-laki dan perempuan sama saja” (Lihat Udasmoro, 2004: 150).
Berbagai kalangan baik lokal maupun internasional mengapresiasi
program Keluarga Berencana yang dicanangkan oleh pemerintahan Orde Baru.
Salah satu tokoh internasional yang mengapresiasi adalah Benjamin White,
profesor sosiologi Amerika yang mengatakan bahwa implementasi terkait
program Keluarga Berencana berjalan sangat sukses di Indonesia (White, 1997:
129). Dan menurut Bank Dunia, Indonesia merupakan satu contoh impresif dalam
transisi demografik di antara negara-negara berkembang (Dweyer, 2000 dalam
Udasmoro, 2004: 150-151)
Pemerintahan Orde Baru, menurut White (1997) sebenarnya banyak
dianjurkan agar mampu menerjemahkan program KB ke dalam kebijakan yang
tujuan utamanya adalah tidak lagi untuk mencapai target penerima, melainkan
menyediakan pelayanan yang terpercaya dalam mendukung ‘pengendalian
kelahiran’, yaitu untuk mendukung kemampuan rakyat (dan secara khusus kaum
perempuan) untuk membuat pilihan-pilihan. Sebenarnya, pada titik ini terdapat
dua istilah yang diperdebatkan, yaitu istilah ‘pengendalian kelahiran’ dan
‘pengendalian penduduk’, meskipun dua hal tersebut sampai sekarang masih
P a g e | 85
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
menjadi konsep yang banyak tidak disepakati oleh berbagai kalangan.
Pengendalian kelahiran menunjuk pada hak, atau kemampuan, individu-individu
dalam masyarakat untuk mengontrol kemampuan melahirkan (pengaturan waktu,
selang waktu, jumlah kelahiran, dan seterusnya) atas dasar pilihan individu, dan
perencanaan informasi, fasilitas dan asistensi yang diperlukan untuk membuat
kontrol kelahiran. Sedangkan istilah, pengendalian penduduk menunjuk pada
intervensi pihak-pihak luar (biasanya pemerintah, tetapi tidak eksklusif)
bermaksud mengontrol perilkau reproduksi atas dasar imperative demografis,
pada umumnya –tetapi tidak selalu– dengan tujuan untuk mengurangi fertilitas
dan tingkat pertambahan penduduk (lihat Smyth, 1991; Young, 1989 dalam
White, 1997: 129).Menurut Salim (1997: 10) gerak mobilitas penduduk
cenderung meningkat yang disebabkan pertambahan penduduk, aktivitas ekonomi,
dan urbanisasi.
Akan tetapi, yang sangat disayangkan adalah tindakan represif dari
pemerintah Orde Baru terkait adanya penolakan dari pelbagai kalangan terhadap
program KB. White (1997: 131-132) menuliskan bahwa:
“Di Indonesia, diskusi objektif dan terbuka tentang cara program
KB dilaksanakan itu sulit, sebagian karena kepentingan pribadi
yang kuat dan komitmen dari penguasa Orde Baru. Pemeintah tidak
mentolerir setiap oposisi terhadap program KB, dan peka terhadap
setiap implikasi bahwa program KB bisa jadi merupakan kekerasan
dalam berbagai bentuk atau berkualitas rendah.”
E. Kebijaksanaan Stabilitas Politik di Era Orde Baru
Kebijaksanaan stabilitas politik untuk menjamin iklim politik yang
kondusif bagi pembangunan yang pada gilirannya diharap dapat menciptakan
stabilitas politik.Stabilitas yang hanya merupakan stagnasi dan dukungan sepihak
terhadap status quo jelas bukan yang dimaksud dengan ‘pembangunan’, kecuali
kalau pilihannya adalah perwujudan keadaan yang lebih buruk. Akan tetapi
menurut Pye (1976: 42-43) stabilitas dapat dibenarkan karena dinilai ada
hubungannya dengan pembangunan dalam artian bahwa setiap bentuk kemajuan
P a g e | 86
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
ekonomi dan sosial bergantung pada suatu lingkungan yang relatif aman, kondusif
dan terjamin.
Cara pandang pemerintahan Orde Baru yang menghendaki terciptanya
stabilitas politik agar mampu mewujudkan pembangunan nasional dengan
berbagai upaya seperti depolitisasi, deparpolisasi, deideologisasi, dan pembatasan
partisipasi masyarakat, adalah kecenderungan perilaku yang mencerminkan
dengan jelas arus peminggiran eksistensi partai-partai politik di
Indonesia.Pemerintahan Soeharto (Orde Baru) beranggapan bahwa ketidakstabilan
yang terjadi selama pemerintahan Soekarno menjadi tanggung jawab partai-partai
politik. Sistem multi-partai yang dianut Indonesia saat itu, memberi peluang bagi
terciptanya persaingan dan perebutan kekuasaan yang tidak sehat, karena didasari
oleh berbagai ideologi dan aliran. Akibatnya, partai-partai tidak sempat menyusun
rencana dan program pembangunan secara berencana dan sistematis (Haris dkk.,
1998: 94-97).
Berdasarkan pengalaman perjalanan bangsa Indonesia, Ali Moertopo
menyatakan bahwa proses pembangunan harus disertai dengan suatu kestabilan
(growth with stability). Keduanya tidak dapat dipisahkan, meskipun penekannya
pada suatu waktu mungkin bisa berbeda. Moertopo (1981: 80-81) menunjukkan
bahwa:
“[K]estabilan yang diperlukan bukan hanya kestabilan dalam harga-
harga, bukan hanya kestabilan dalam perekonomian, akan tetapi
kestabilan dalam kehidupan politik dan sosial pada umumnya.Bahkan
dapat dilihat bahwa keduanya memang saling kait-mengait.
Kestabilan dibutuhkan untuk memulai pembangunan, dan dalam
periode pembangunan ini makin dirasakan bahwa proses
pembangunan itu sendiri diperlukan dan merupakan suatu keharusan
untuk mempertahankan kestabilan yang telah diperoleh.”
Pada masa pemerintahan Orde Baru, dianggap merupakan masa yang
sangat menguntungkan bagi pemeliharaan strategi pembangunan nasional, karena
sebagian dari trilogi pembangunan, yaitu stabilitas yang mantap dan dinamis akan
P a g e | 87
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
lebih mudah dilaksanakan, khususnya bagi aspek stabilitas nasional itu, yaitu
keamanan (Prawirasoebrata, 1998: 39). Pendekatan keamanan yang pernah
dipraktekkan oleh Orde Baru dianggap sebagai langkah strategis untuk mengatasi
persoalan keamanan saat ini.Hal demikian yang kemudian menimbulkan
pernyataan, mengapa pemerintahan Orde Baru walupun banyak dibenci juga
banyak dirindukan.Hal itu terbersik dari ungkapan A.M Fatwa (eks tahanan
politik) di masa Orde Baru.Strategi mampu menciptakan stabilitas sosial untuk
memicu pertumbuhan ekonomi sudah tepat, seperti strategi tangan besinya Lee
Kwan yu dari Singapura.Sayang Soeharto terlalu melibatkan militer dalam
pemerintahan.Langkah tangan besi Soeharto untuk menggebuk potensi-pontensi
subversif dan potensi-potensi gangguan keamanan memang kontroversial. Kita
pasti sudah sering mendengan tentang petrus (penembak misterius) yang dengan
sangat misterius membersihkan para preman yang meresahkan masyarakat. Sangat
efektif namun disisi lain sangat berlawanan dengan nilai-nilai HAM dan terlebih
fitrah kemanusiaan.
Kalau yang dilihat tercapainya stabilitas nasional, memang terjadi pada
masa Orde Baru, akan tetapi sifatnya semu, yang berarti sebenarnya kita semua
dibuat merasa takut dan tunduk kepada pemerintahan Orde Baru di bawah kendali
Soeharto. Segala persoalan-persoalan yang akan menghambat dan menjadi
ancaman bagi suatu pemerintahan menjadikan para penguasa cenderung
mengambil tindakan-tindakan kekerasan serta praktek-praktek pemerintahan
diktator lainnya secagai alat untuk membendung kekuatan-kekuatan yang hendak
melakukan konfrontasi dan resistensi terhadap pemerintah (LaPalombara, 1986).
Pencanangan trilogi pembangunan ini, akhirnya menuai kontroversi karena
pada pelaksanaannya mengakibatkan persoalan-persoalan, di
antaranyaterenggutnya kebebasan berpendapat, berserikat, dan
mengaktualisasikan diri.Kehidupan yang sangat dikekang oleh negara merupakan
bentuk kesewenangan dan kediktatoran yang tidak sesuai dengan nilai negara
demokrasi.
P a g e | 88
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
F. Kesimpulan
Kebijaksanaan ekonomi makro yang menekankan pada terciptanya iklim
liberalisasi ekonomi menjadi pendorong bagi perombakan struktur pembangunan
nasional, dan ternyata memiliki dampak bagi golongan atau masyarakat kecil di
pedesaan.Tergerusnya alokasi sektor ekonomi pedesaan melalui pertanian yang
dipinggirkan dengan diutamakannya sektor industri menjadi boomerang bagi
kebijaksanaan pembangunan pemerintahan Orde Baru. Kebijaksanaan ekonomi
makro yang menekankan pada terjaganya atau stabilnya inflasi menjadi fokus
pemerintahan Orde Baru.Dengan itu, berakibatkan terabaikannya pertumbuhan
ekonomi pada sektor riil yang mengakibatkan kemunculan benih-benih
kebobrokan pengelolaan perekonomian nasional.Pada titik ini, pemerintah
mencoba mengendorkan kontrolnya terhadap pasar (ekonomi) dan diserahkan
kepada mekanisme ekonomi.Peran swasta genjar didorong pemerintah untuk
melakukan pembangunan yang bersifat industrial.Dan sayangnya, sektor
fundamental negara Indonesia, yaitu pertanian tergerus dan terabaikan oleh
industrialisasi.
Kebijaksanaan kependudukan sebenarnya memiliki tujuan baik, yang
berharap mampu melakukan distribusi sumber daya yang dimiliki negara dapat
efisiensi dan bukan sebaliknya. Ledakan penduduk yang besar juga akan
berdampak bagi pola kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Walaupun
kebijakan ini diawalnya banyak yang menentang, baik berdasarkan pada nilai
asasi maupun religi masyarakat, akan tetapi karena pemerintah bertindak represif
atas resistensi terhadap program ini, maka gelombang resistensi itu semakin kecil.
Kebijaksanaan stabilitas politikyang dicanangkan oleh pemerintahan Orde baru di
bawah Soeharto sebenarnya mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi proses
pembangunan yang sedang dikerjakan dan juga mampu merangsang para investor
untuk juga berinvestasi di negara Indonesia yang terjamin keamanannya.
Meskipun demikian, kebijaksanaan tersebut pada akhirnya membuat masyarakat
terkekang dan dipaksa tunduk oleh pemerintah melalui cara-cara represif.
P a g e | 89
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
DAFTAR PUSTAKA
Abisono, Fatih Gama. “Dinamika Kebijakan Pangan Orde Baru: Otonomi
Negara Vs. Pasar Global.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fisipol
UGM, Vol. 5, No. 3 (Maret 2002)
Haris, Syamsuddin,dkk.Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru: Sebuah Bunga
Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.
LaPalombara, Joseph. “Distribusi dan Pembangunan” dalam Myron Weiner, ed.,
Modernisasi: Dinamika Pertumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1986.
Mas’oed, Mochtar. Ekonomi-Politik Internasional dan Pembangunan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Moertopo, Ali. Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta: CSIS, 1981.
Prawirasoebrata, Soebijakto. “Demokrasi dan Stabilitas Nasional dalam
Dinamika Perubahan” dalam Syarofin Arba, ed., Demitologisasi Politik
Indonesia: Mengusung Elitisme dalam Orde Baru. Jakarta: PT Pustaka
Cidesindo, 1998.
Pye, Lucian W. “Pengertian Pembangunan Politik” dalam Jowono Sudarsono,
ed., Pembangunan Politik dan Perubahan Politik. Jakarta: PT Gramedia,
1976.
Santosa, Purbayu Budi. “Strategi Pembangunan Pertanian dalam Era
Globalisasi.”Jurnal Dinamika Ekonomi dan Bisnis, Vol. 1, No. 1 (Maret
2004).
Soemardjan, Selo. “Ketimpangan-ketimpangan dalam Pembangunan:
Pengalaman di Indonesia” dalam Jowono Sudarsono,ed.,Pembangunan
Politik dan Perubahan Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1976.
Udasmoro, Wening. “Konsep Nasionalisme dan Hak Reproduksi
Perempuan.”Jurnal HumanioraFakultas Ilmu Budaya UGM Vol. 16, No.
2 (Juni 2004)
P a g e | 90
Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018
JURNAL OF GOVERNMENT - JOG
(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)
White, Benjamin. “Persoalan dan Kebijakan kependudukan di Indonesia: Sebuah
Sudut Pandang Non-Malthusian” dalam Frans Husken dkk, ed.,
Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial: Indonesia di Bawah Orde Baru .
Jakarta: PT Grasindo dan KITLV, 1997.