menelisik programpembangunan nasional di era pemerintahan …

20
Page | 71 Volume 4 | Nomor 1 | JuliDesember 2018 JURNAL OF GOVERNMENT - JOG (Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah) MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN SOEHARTO Yeby Ma’asan Mayrudin Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta [email protected] Abstract This article discusses the issue of the policies of the New Order government's national development program based on concepts that are firmly held and always socialized and doctrined during his reign, namely the Trilogy of Development concept, which consists of three key points, namely development equality, economic growth, and national stability. four main policies, namely macroeconomic policy, economic structure reform policy, population policy, and political stability policy. Keywords: Development, New Order, Suharto, Economic and Political Polic y Abstrak Artikel ini membahas persoalan kebijaksanaan program pembangunan nasional pemerintahan Orde Baru berpedoman pada konsep yang dipegang teguh dan selalu disosialisasikan dan didoktrinkan pada masa kekuasaannya yaitu konsep Trilogi Pembangunan, yang terdiri tiga poin kunci, yaitu pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional.Dan memfokuskan pada empat kebijaksanaan utama, yaitu kebijaksanaan ekonomi makro, kebijaksanaan perombakan struktur ekonomi, kebijaksanaan kependudukan, dan kebijaksanaan stabilitas politik. Kata Kunci: Pembangunan, Orde Baru, Soeharto, Kebijakan Ekonomi dan Politik

Upload: others

Post on 02-Nov-2021

25 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 71

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA

PEMERINTAHAN SOEHARTO

Yeby Ma’asan Mayrudin

Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

[email protected]

Abstract

This article discusses the issue of the policies of the New Order government's

national development program based on concepts that are firmly held and always

socialized and doctrined during his reign, namely the Trilogy of Development

concept, which consists of three key points, namely development equality,

economic growth, and national stability. four main policies, namely

macroeconomic policy, economic structure reform policy, population policy, and

political stability policy.

Keywords: Development, New Order, Suharto, Economic and Political Policy

Abstrak

Artikel ini membahas persoalan kebijaksanaan program pembangunan

nasional pemerintahan Orde Baru berpedoman pada konsep yang dipegang

teguh dan selalu disosialisasikan dan didoktrinkan pada masa kekuasaannya

yaitu konsep Trilogi Pembangunan, yang terdiri tiga poin kunci, yaitu

pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional.Dan

memfokuskan pada empat kebijaksanaan utama, yaitu kebijaksanaan ekonomi

makro, kebijaksanaan perombakan struktur ekonomi, kebijaksanaan

kependudukan, dan kebijaksanaan stabilitas politik.

Kata Kunci: Pembangunan, Orde Baru, Soeharto, Kebijakan Ekonomi dan

Politik

Page 2: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 72

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

A. Selayang Pandang

Pasca berakhirnya Perang Dunia Kedua, menurut Soemardjan (1976: 153)

di hampir semua negara, program pembangunan sosial-politik apalagi terkait

pembangunan ekonomi telah mendapat prioritas utama. Telah lama dikenal bahwa

pembangunan pada negara-negara maju terdiri dari proses akselerasi (percepatan)

kelangsungan pola-pola kehidupan dan pekerjaan pada masa sebelumnya.

Sedangkan, bagi negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia (di masa

Orde Baru), pembangunan merupakan proses penyisihan secara bertahap

beberapafaktor sosial-budaya yang disusul dengan usaha-usaha pelik dalam

menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru, teknologi-teknologi baru dan

cara-cara organisasi dan mekanisme kerja baru. Dalam proses ini masyarakat

sedang berkembang menyadari perlunya pembinaan lembaga-lembaga sosial baru,

masing-masing mengkhususkan diri dalam satu bidang pekerjaan atau

permasalahan, meskipun kesemuanya bersatu dalam pelaksanaan dalam program

pembangunan yang menyeluruh. Akan tetapi pembinaan lembaga-lembaga baru

menuntut waktu dan pandangan yang jitu mengenai masalah-masalah

pembangunan.

Berbicara konteks pembangunan, tak pelak membincang konsepsi Lucian

W. Pye (1976: 33-34) terkait tesis-nya yang menyatakan “pembangunan politik

sebagai prasyarat politik untuk pembangunan ekonomi.”Menurutnya, pemusatan

perhatian pada masalah-masalah pembangunan ekonomi dan perlunya merubah

perekonomian yang bersifat statis menjadi perekonomian terbuka yang dapat

meluncur sendiri.Bahkan, hal demikian juga ditawarkan oleh para ahli ekonomi

yang menunjukkan betapa kondisi-kondisi sosial dan politik dapat memainkan

peranan yang menentukan dalam menghambat atau memperlancar kemajuan

pendapatan per kapita.Oleh karena itu, wajar kalau pembangunan politik

dipandang sebagai keadaan masyarakat politik yang dapat memperlancar

pertumbuhan ekonomi.Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan pembangunan

nasional,pemerintah Orde Baru berpedoman pada konsep yang dipegang teguh

Page 3: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 73

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

dan selalu disosialisasikan dan didoktrinkan pada masanya yaitu konsep Trilogi

Pembangunan, yang terdiri tiga poin kunci, yaitu: (1) Pemerataan pembangunan;

(2) Pertumbuhan ekonomi ; dan (3) Stabilitas nasional.

Ketiga poin tersebut adalah semboyan yang sangat mengakar dalam 32

tahun kepemimpinan Orde Baru di bawah Soeharto. Setelah dapat mengendalikan

stabilitas nasional yang merupakan lingkungan yang baik untuk tumbuhnya

perekonomian, kemudian pemerintah menarik para investor asing untuk

merangsang pertumbuhan perekonomian nasional.Setelah perekonomian tumbuh,

kesejahteraan diratakan ke seluruh pelosok Nusantara. Hal demikian, konsepsi

ideal Orde Baru terkait implikasi trilogi pembangunannya, akan tetapi berdampak

pada pelbagai hal antaranya, direnggutnya kebebasan berpolitik, eksploitasi

perekonomian bawah, dan eksklusi terhadap daerah-daerah pinggiran atau pelosok

kota dan daerah terluar di perbatasan.

Di masa awalpemerintahannya, Orde Baru melakukan langkah

fundamental terkait penataan kembali kehidupan berbangsa dan bernegara di

segala bidang, meletakkan dasar-dasar untuk kehidupan nasional terkait politik,

hukum dan sosial.Di bidang ekonomi, upaya perbaikan dimulai dengan program

stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Program ini dilaksanakan dengan skala

prioritas, di antaranya:

1. Pengendalian inflasi;

2. Pencukupan kebutuhan pangan;

3. Rehabilitasi prasarana ekonomi;

4. Peningkatan ekspor; dan

5. Pencukupan kebutuhan sandang.

Program-program pemerintah di masa awal berdirinya Orde Baru

berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha

mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan

kebutuhan pokok rakyat.Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional

Page 4: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 74

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

periode 1968-1998 selama berkuasanya Soeharto adalah melalui ketetapan MPR –

yang dibentuk rejim Orba– dalam bentuk Garis-garis Besar Haluan Negara

(GBHN).Berlandaskan padapenjelasan di GBHN, tujuan pembangunan nasional

adalah untuk menaikkan kualitas hidup secara bertahap agar pemanfaatkan

sumberdaya alam yang dimiliki negara dilakukan secara bijaksana sebagai

landasan pembangunan tahap berikutnya. Mengenai pentingnya peran serta

masyarakat tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara yang menyatakan

bahwa peran serta aktif segenap lapisan masyarakat dalam pembangunan harus

makin meluas dan merata, baik dalam memikul beban pembangunan maupun

dalam pertanggungjawaban atas pelaksanaan pembangunan ataupun pula di dalam

menerima kembali hasil pembangunan. Untuk itu perlu diciptakan suasana

kemasyarakatan yang mendukung cita-cita pembangunan, serta terwujudnya

kreativitas danaktivitas di kalangan masyarakat. Salah satu usaha untuk

menaikkan kualitas hidup adalah peningkatan peran serta masyarakat dalam

pembangunan, termasuk mulai dari proses perencanaan dan pelaksanaan terutama

yang menyangkut secara langsung kehidupan dan masa depan mereka.

GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden

untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan

(REPELITA), proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat top-down,

adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat

dan bersifat ekslusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama

out-put perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara

seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah

pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan di

daerah.Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan

mensejahterakan masyarakatnya.Distribusi anggaran negara ibarat piramida

terbalik, sedangkan komposisi masyarakat sebagai penikmat anggaran adalah

piramida seutuhnya.Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik

Page 5: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 75

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

atau top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat

baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi.

Program pembangunan nasional yang dicanangkan oleh pemerintahan

Orde Baru dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu:

1. Jangka panjang, yang mencakup pencanangan pembangunan periode panjang

25 sampai 30 tahun;

2. Jangka pendek,mencakup periode 5 tahun yang terkenal dengan sebutan

“PELITA” (Pembangunan Lima Tahun).

Berikut perencanaan program pelita yang dicanangkan pemerintah Orde Baru:

1. Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974): Menekankan pada pembangunan

bidang pertanian;

2. Pelita II (1 April 1974– 31 Maret 1979): Tersedianya pangan, sandang,

perumahan, sarana dan prasarana, menyejahterakan rakyat, dan memperluas

kesempatan kerja;

3. Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984) :Menekankan pada perwujudan

Trilogi Pembangunan di Indonesia;

4. Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989): Menitik beratkan sektor pertanian

menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat

menghasilkan mesin industri sendiri;

5. Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994): Menitikberatkan pada sektor

pertanian dan industry;

6. Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999): Masih menitikberatkan

pembangunan pada sektor bidang ekonomi yang berkaitan dengan industri dan

pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia

sebagai pendukungnya.

Pembangunan ekonomi selama pemerintahan Soeharto menurut Santosa

(2004: 37) secara jujur ditilik dari aspek fiskal sebenarnya cukup baik, akan tetapi

Page 6: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 76

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

dari aspek fundamental perekonomian menghasilkan fondasi yang sangat rapuh.

Walaupun strategi pembangunan waktu itu bertumpu pada Trilogi Pembangunan,

masing-masing pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas.Titik berat dari masing-

masing tahapan pembangunan dapat berubah-ubah disesuaikan dengan situasi dan

kondisi menurut kepentingan pemerintah.Secara konseptual strategi seperti itu

sangat baik, tetapi dalam implementasinya banyaklah terjadi persoalan. Kalau

yang dilihat tercapainya stabilitas nasional, memang terjadi pada masa Orde Baru,

akan tetapi sifatnya semu, yang berarti sebenarnya kita semua dibuat merasa takut

dan tunduk kepada pemerintahan Orde Baru di bawah kendali Soeharto.

Berdasarkan penelitian Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) pada

tahun 1993 (dalam Santoso, 2004) yang menyebutkan bahwa hanya 3 juta

penduduk Indonesia berpendapatan sebesar rata-rata US$ 20.000 per kapita per

tahun.Sementara 20 juta penduduk lainnya berpendapatan US$ 1.500 per kapita

per tahun, kemudian masih ada 140 juta penduduk dengan rata-rata pendapatan

US$ 380 per kapita per tahunnya dan terakhir 27 juta penduduk lagi masih berada

di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan per kapita per tahunnya hanya US$

190.Jika dilihat dalam penguasaan asset nasional, maka 80%perekonomian

Indonesia hanya dinikmati oleh sekitar 200 orang konglomerat, sementara yang

20% harus dibagi-bagi oleh 200 juta penduduk lainnya.

Pertumbuhan ekonomi yang cukup besar tersebut dapat terjadi karena

modal berasal dari dalam negeri dan luar negeri (yang salah satunya berasal dari

hutang luar negeri). Pertumbuhan dari sektor industri cukup besar, di mana untuk

tahun 1990 sebesar 11,2%, tahun 1991-1993 antara 9,5-9,7% per tahun dan 1994

dan 1995 sama besar 11,2% per tahun, demikian juga untuk tahun 1991 dan 1993

juga sama besar yaitu 1,4% per tahun dan pada 1995 sebesar 3,0% per tahun

(Santoso, 2004: 38).

MenurutPrawirasoebrata (1998: 42) memang harus diakui bahwa untuk

memelihara pertumbuhan ekonomi, pemerintah Orde Baru waktu itu tidak

Page 7: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 77

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

mungkin lagi mungkin lagi untuk melaksanakan sendiri.Oleh karena itu, kekuatan

ekonomi di luar pemerintahan harus diikutsertakan dan aspirasinya perlu diberi

tempat.Jadi, swasta sangat diperlukan untuk berperan lebih besar.Selanjutnya,

Prawirasoebrata sebagai mantan Gubernur Lemhanas menegaskan perlunya

pengakuan secara terang bahwa perencanaan ekonomi era Orde Baru yang bersifat

sentralistik atau terpusat yang bertahan terlalu lama mengakibatkan para birokrat

menjadi kurang tanggap terhadap persoalan-persoalan yang menerjang bak

gelombang ketika tahun 1990-an.

Pembangunan Indonesia selama masa Orde Baru menurut Email Salim

(1997: 4) bertopang pada empat faktor kebijaksanaan utama, yaitu:

1. Kebijaksanaan ekonomi makro yang mencakup kebijakan anggaran

berimbang, kebijakan moneter dan perbankan yang bersifat prudent (hati-

hati), dan kebijaksanaan perdagangan luar negeri dan neraca pembayaran yang

berorientasi pada ekspor sebagi faktor pendorong pembangunan;

2. Kebijaksanaan perombakan struktur ekonomi dari pola ekonomi penghasil

bahan mentah menjadi ekonomi industri penghasil barang jadi. Dampak dari

hal tersebut adalah menghasilkan diversifikasi struktur masyarakat di

Indonesia;

3. Kebijaksanaan kependudukan yang tertuju pada pengendalian laju

pertumbuhan penduduk, meningkatkan harapan usia hidup penduduk berkat

peningkatan kesehatan penduduk, serta menaikkan tingkat pendidikannya agar

mampu menanggapi perubahan struktur ekonomi;

4. Kebijaksanaan stabilitas politik untuk menjamin iklim yang kondusif bagi

pembangunan, yang pada gilirannya diharapkan melanjutkan stabilitas politik.

B. Kebijaksanaan Ekonomi Makro Orde Baru

Kebijakan pembangunan nasional di bawah pemerintahan Orde Baru,

menurut Emil Salim (1997: 4) salah satunya sangat mementingkan aspek

perkembangan ekonomi makro yang mencakup beberapa hal, di antaranya:

Page 8: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 78

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

Pertama, kebijakan anggaran berimbang yang mempertautkan bantuan luar negeri

dalam anggaran dengan alokasi sektoral yang mengutamkan pengembangan

prasarana ekonomi dan sosial; Kedua, kebijakan moneter dan perbankan yag

bersifat hati-hati untuk memelihara nilai mata uang rupiah yang realistis dalam

sistem nilai tukar mata uang asing yang terbuka; Ketiga, kebijakan perdagangan

luar negeri dan neraca pembayaran yang berorientasi pada ekspor sebagai faktor

pendorong pembangunan.

Dengan keempat aspek di atas, Indonesia di bawah Orde Baru berhasil

melaju dengan rata-rata di atas 7% per tahun (1985-1995), dan akhirnya mampu

menempatkan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah. Kenaikan

pendapatan ini dimungkinkan berkat meningkatnya sumbangan industri

manufaktur pada Produk Domestik Bruto sehingga membawa Indonesia pada

masa itu ke pintu gerbang negara industri.Di samping itu, deregulasi dan

liberalisasiekonomi yang dipakai oleh pemerintahan ditujukan untuk menaikkan

daya saing produsen dalam negeri.Artinya, memperkecil intervensi pemerintah

dalam eknomi.Peranan pemerintahan adalah memelihara konsistensi dalam

kebijaksanaan ekonomi makro yang bermuara pada dikendalikannya inflasi

sedapat mungkin di bawah 5% per tahun (Salim, 1997: 4-6).

Menurut Salim (1997), dengan mendorong lebih aktifnya sektor swasta,

maka peranan kebijaksanaan moneter dan perkreditan menjadi lebih aktif

ketimbang kebijaksanaan anggaran. Anggaran yang berimbang tidak lagi

memadai dan diperlukan kebijaksanaan surplus anggaran.Ini adalah salah satu

contoh dan dampak perubahan globalisasi ekonomi pada kebijaksanaan ekonomi

dalam negeri.Dalam kontek ekternal, peranan pinjaman dari luar secara berangsur

cenderung berkurang sementara investasi asing semakin meningkat.Hal ini adalah

konsekuensi logis dari liberalisasi ekonomi.Dalam konteks ini mobilisasi

resources domestik, baik melalui pajak maupun tabungan, semakin mencuat ke

atas.

Page 9: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 79

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

Selain itu, sebagai pencipta iklim usaha yang merangsang pembangunan

berkat penetapan landasan fundamental kebijaksanaan ekonomi makro, maka

peranan pemerintah adalah terutama mengembangkan secara aktif program

pengentasan kemiskinan dan program mengurangi kesenjangan antara yang kaya

dengan yang miskin yang sulit dilaksanakan hanya oleh ekonomi pasar.

Pengurangan kesenjangan harus juga tertuju antar daerah. Dalam hubungan ini

sentralisasi kebijaksanaan dan implementasi pembangunan harus diganti dengan

desentralisasi ke daerah-daerah. Perimbangan keuangan pusat dan daerah perlu

ditangani sebagai bagian pokok pembangunan daerah (Salim, 1997: 6-7).

Mochtar Mas’oed (2008: 182-183) menilai persoalan pilihan

kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru.

Menurutnya, sejak pertengahan 1980-an pemerintah semakin tegas memilih jalan

‘liberal’ dalam artian menjalan logika ekonomi liberal. Secara sederhana, strategi

itu dapat dilihat sebagai kebijakan yang anti-Keynesianisme (misalnya,

pengurangan peran pemerintah dalam proses produksi dan investasi), pro-

Monetaris (misalnya, deregulasi perbankan dan berbagai paket kebijakan moneter

lainnya).Intensifikasi integrasi ekonomi Indonesia era Orde Baru ke dalam sistem

kapitalisme internasional (dalam bentuk liberalisasi perdagangan luar negeri dan

industrialisasi berorientasi ekspor).Menggalakkan sektor swasta, sehingga

mentolerir konglomerat dengan konsentrasi dan diversifikasi yang tinggi dan

meminggirkan kaum usahawan yang modalnya rendah.

Secara implisit, penentuan prioritas strategi pembangunan ekonomi selama

Orde Baru dapat digambarkan sebagai bandul jam bergerak dari satu sisi ke sisi

lain dan kembali lagi. Di masa awal Orde Baru, sampai dengan pertengahan 1970-

an, strategi diwarnai oleh “orientasi-keluar” mengintegrasikan ekonomi domestik

ke dalam sistem internasional berdasar prinsip “keunggulan

komparatif”.Semangatnya adalah untuk melakukan efisiensi. Kelangkaan berbagai

jenis sumber daya di dalam negeri yang berpuncak pada peristiwa Malari dan

tersedianya sumber daya akibat rejeki minyak pada tahun 1970-an mendorong

Page 10: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 80

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

pemerintah untuk menerapkan “orientasi-kedalam”, yaitu menempatkan

pemerintah sebagai manager utama kegiatan investasi, produksi dan distribusi

dengan memanfaatkan sumber daya materiil dan manusia yang ada di Indonesia.

Semangatnya adalah nasionalisme dan ketahanan nasional. Namun, krisis minyak

dan resesi dunia yang berkepanjangan pada awal 1980-an memaksa pemerintah

untuk menerapkan sekali lagi strategi “berorientasi ke dalam”. Akan tetapi pada

periode ini terasa sangat drastis. Sebagaian besar kebijaksanaan nasionalistis

tahun 1970-an beberapa dibatalkan. Walaupun masih terdengar perdebatan

mengenai keharusan menerapkan pertimbnagan ketahanan nasional dalam

beberapa sector yang dianggap strategis, seperti industri pesawatterbang dan kapal

laut.Namun, semangat yang begitu dominan pada waktu itu adalah liberalisasi,

bukan nasionalisme ekonomi.Sesudah penghapusan berbagai hambatan ekspor-

impor dan distribusi barang di dalam negeri, sasaran berikutnya adalah liberalisasi

industri mobil.Dan hal itu bukannya dilakukan oleh pemerintah dengan senang

hati, melainkan “terpaksa” oleh struktur ekonomi internasional yang

mengharuskan penyesuaian seperti itu (Mas’oed, 2008: 183-184).

Gejala tersebut sesungguhnya menandai menguatnya kecenderungan dari

proyek globalisasi. Perubahan paradigma tersebut merupakan penjabaran dari

kebijakan ekonomi makro Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1980-an

berupa berbagai penyesuaian struktural. Kebijakan makro ini mencakup

modernisasi yang setara dengan industrialisasi yang pertama berdasar pada

industri pengganti impor dan kemudian industrialisasi berorientasi ekspor.Dalam

pelaksanaannya, kebijakan makro dengan strategi industrialisasi salah satunya

mensyaratkan swasembada produksi pangan untuk memberi pangan bagi kelas

pekerja dan untuk menjaga stabilitas politik.konsekuensi utama dari kebijakan ini

adalah secara sengaja mengorbankan wilayah pedesaan bagi pertumbuhan wilayah

perkotaan, mengorbankan sektor pertanian demi pertumbuhan industri, dan

akhirnya mengorbankan kaum petani untuk kaum pekerja perkotaan (Wahono,

2001 dalam Abisono, 2002: 278-279).

Page 11: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 81

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

Pada tahun 1997 merupakan titik balik bagi politik pembangunan

pemerintahan Orde Baru yang ditandai dengan krisis moneter.Momentum tersebut

bagi Abisono (2002: 288-289) dapat dipahami sebagai tekanan kuat kekuatan

global bagi pemerintah untuk segera menyelenggarakan perubahan yang sejalan

dengan agenda global.Namun yang patut dicatat adalah bahwa krisis moneter

tahun 1997 hanyalah faktor pemicu bagi keruntuhan ekonomi Indonesia.

Bangunan perekonomian Indonesia era Orde Baru sesungguhnya sejak lama

mengidap benih-benih krisis, pengandalan ekonomi terhadap hutang luar negeri

yang semakin membengkak, daya saing produk yang rendah akibat industri dalam

negeri yang tidak efisien, bergandengan dengan faktor kepemerintahan yang tidak

efektif (bad governance) menjadi karakter yang khas dalam pengelolaan ekonomi

Orde Baru. Kondisi demikian menjadikan Indonesia rentan terhadap tekanan

agenda ekonomi global yang secara mudah didesakkan oleh IMF. Melalui letter of

Intent pemerintah dengan sangat terpaksa menerima resep-resep ekonomi untuk

memulai reformasi pasar secara total yang sudah sangat terlambat. Krisis tersebut

diikuti dengan krisis sosial, dan politik yang secara efektif membentuk kondisi

bagi katalisator tergulingnya Soeharto pada Mei 1998.

C. Kebijaksanaan Perombakan Struktur Ekonomi Era Soeharto

Pemerintahan Orde Baru juga menekankan pentingnya implementasi

kebijakan perombakan struktur ekonomi dari pola ekonomi penghasil bahan

mentah menjadi ekonomi industri penghasil barang jadi.Dampak dari

kebijaksanaan ini adalah munculnya dan berkembangnya kelompok masyarakat

dengan profesi baru yang menghasilkan diversifikasi struktur masyarakat.Oleh

karena itu, kebijaksanaan pembangunan yang bertujuan untuk merombak struktur

ekonomi, memerlukan penyesuaian.Hal ini akibat dari gelombang globalisasi

ekonomi, maka perlu menjurus pada pola kebijaksanaanekonomi berorientasi

global (Salim, 1997: 4 dan 7).

Page 12: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 82

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

Apabila selama tahun 1970-1980-an pertanian menjadi motor penggerak

pembangunan Indonesia, dan di tahun 1990-an muncul industri manufaktur, maka

selanjutnya akan memunculkan perdagangan sebagai motor penggerak

pembangunan. Ini berarti keterampilan dan keahlian yang diperlukan tidak cukup

hanya padai memproduksi barang, tetapi juga harus mampu menjadikan pandai

memproduksi barang yang laku dipasaran.Maka arah pembangunan perlu

menjurus pada peningkatan kemampuan bersaing dalam pembangunan berkualitas

dengan nilai tambah yang semakin dominan berkat peningkatan produktifitas

sumber daya manusia (Salim, 1997: 8).

Rencana Pembangunan lima tahunan yang kita dikenal dengan sebutan

“Pelita” I-VI menjadi sumber bagaimana pemerintah melakukan perombakan

sistem pembangunannya. Pada Pelita I, pemerintah memfokuskan pada

peningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus peletakkan dasar-dasar bagi

pembangunan tahap berikutnya dengan titik berat pada pembangunan bidang

pertanian.Pelita II memiliki sasaran utama tersedianya pangan, sandang,

perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan rakyat yang juga masih terpaku

pada bidang pertanian.Pada Pelita III pemerataan pembangunan dan kesejahteraan

adalah konsen pemerintah.Dan pada Pelita IV mulai muncul keinginan pemerintah

untuk juga meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri

sendiri.Pelita V dan VI sudah tegas memposisikan perdagangan luar negeri yang

berbasis industrial sebagai fokus pemerintah yang akhirnya mau tidak mau harus

ada penyesuaian terhadap pembangunan yang ada di Indonesia yang akhirnya

berdampak terhadap semakin melebarnya kesenjangan antara penduduk.

Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi yang telah disebutkan di atas

menghasilkan penanaman modal asing yang mengakibatkan hutang luar

negeri.Serbuan para investor asing ini kemudian melambat ketika terjadi jatuhnya

harga minyak dunia, yang mana selanjutnya dirangsang ekstra melalui kebijakan

deregulasi (liberalisasi) pada tahun 1983-1988.Tanpa disadari, kebijakan

penarikan investor yang sangat liberal ini mengakibatkan undang-undang

Page 13: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 83

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

Indonesia yang mengatur arus modal menjadi yang sangat liberal di lingkup dunia

internasional. Namun kebijakan yang sama juga menghasilkan intensifikasi

pertanian di kalangan petani.

D. Kebijaksanaan Kependudukan di Masa Pemerintahan Soeharto

Kebijaksanaan kependudukan yang tertuju pada pengendalian laju

pertumbuhan penduduk, meningkatkan harapan usia hidup penduduk berkat

peningkatan kesehatan penduduk, serta menaikkan tingkat pendidikannya agar

mampu menanggapi perubahan struktur ekonomi.Kenyataan ini menimbulkan

keharusan untuk makin memberikan perhatian pada persoalan kebijaksanaan

kependudukan melalui program Keluarga Berencana (KB) di samping

perencanaan proyek-proyek yang dapat menimbulkan arus penawaran kesempatan

kerja yang baru dan strategis bagi keseluruhan perencanaan pembangunan

nasional. Menurut Moertopo (1981: 110) persoalan tersebut bagi suatu bangsa

bukanlah sekedar usaha yang bersifat teknis, sebab usaha menghindari dan

mengurangi implikasi sosial itu sendiri dapat menimbulkan implikasi-implikasi

baru.

Moertopo (1981:110) menekankan bahwa program Keluarga Berencana

(KB) merupakan program nasional yang menurut pemerintahan Orde Baru sangat

penting dan ditujukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat dengan cara

menurunkan angka kelahiran sehingga pertambahan penduduk tidak melebihi

kemampuan untuk menaikkan produksi. Kesejahteraan bangsa secara minimal

diartikan adanya keseimbangan antara jumlah jumlah penduduk dan produksi

nasional serta kesempatan yang cukup dan merata yang dimiliki oleh warga

negara dalam berbagai bidang kehidupan.

Program Keluarga Berecana (KB) dimulai ketika era pemerintahan Orde

Baru di bawah Soeharto yang hendak menanggulangi persoalan lendakan jumlah

penduduk di Indonesia. Di samping peran lembaga swadaya masyarakat yang

“ditopang” oleh pemerintah yaitu Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia

Page 14: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 84

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

(PKBI) yang melakukan sosialisasi luas ke lingkungan masyarakat sampai tingkat

bawah (RT/RW), pemerintah Orde Baru juga melalui organisasi formalnya yang

didirikan yakni badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk

mendukung program KB ini. Pada 1970-an, para ibu tidak hanya diharapkan

menjadi akseptor Keluarga Berencana, tetapi lebih daripada itu.Ada semacam

otoritas baru dari pemerintah agar mereka mendukung program ini secara luas.

Program KB menjadi propaganda nasional yang terstruktur top-down. Artinya,

pemerintah melalui BKKBN membentuk jaringan structural dari atas ke bawah,

dari tingkat pusat ke tingakt provinsi, kabupaten serta kota sampai ke kelurahan

dan posyandu-posyandu yang tersebar di tingkat-tingkat runkun tetangga (RT).

Para kaum perempuan dibawa ke lembaga pelaksana program KB dengan

penjabaran tentang orientasi ekonomi untuk itu disampaikan suggest bahwa “dua

anak cukup, laki-laki dan perempuan sama saja” (Lihat Udasmoro, 2004: 150).

Berbagai kalangan baik lokal maupun internasional mengapresiasi

program Keluarga Berencana yang dicanangkan oleh pemerintahan Orde Baru.

Salah satu tokoh internasional yang mengapresiasi adalah Benjamin White,

profesor sosiologi Amerika yang mengatakan bahwa implementasi terkait

program Keluarga Berencana berjalan sangat sukses di Indonesia (White, 1997:

129). Dan menurut Bank Dunia, Indonesia merupakan satu contoh impresif dalam

transisi demografik di antara negara-negara berkembang (Dweyer, 2000 dalam

Udasmoro, 2004: 150-151)

Pemerintahan Orde Baru, menurut White (1997) sebenarnya banyak

dianjurkan agar mampu menerjemahkan program KB ke dalam kebijakan yang

tujuan utamanya adalah tidak lagi untuk mencapai target penerima, melainkan

menyediakan pelayanan yang terpercaya dalam mendukung ‘pengendalian

kelahiran’, yaitu untuk mendukung kemampuan rakyat (dan secara khusus kaum

perempuan) untuk membuat pilihan-pilihan. Sebenarnya, pada titik ini terdapat

dua istilah yang diperdebatkan, yaitu istilah ‘pengendalian kelahiran’ dan

‘pengendalian penduduk’, meskipun dua hal tersebut sampai sekarang masih

Page 15: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 85

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

menjadi konsep yang banyak tidak disepakati oleh berbagai kalangan.

Pengendalian kelahiran menunjuk pada hak, atau kemampuan, individu-individu

dalam masyarakat untuk mengontrol kemampuan melahirkan (pengaturan waktu,

selang waktu, jumlah kelahiran, dan seterusnya) atas dasar pilihan individu, dan

perencanaan informasi, fasilitas dan asistensi yang diperlukan untuk membuat

kontrol kelahiran. Sedangkan istilah, pengendalian penduduk menunjuk pada

intervensi pihak-pihak luar (biasanya pemerintah, tetapi tidak eksklusif)

bermaksud mengontrol perilkau reproduksi atas dasar imperative demografis,

pada umumnya –tetapi tidak selalu– dengan tujuan untuk mengurangi fertilitas

dan tingkat pertambahan penduduk (lihat Smyth, 1991; Young, 1989 dalam

White, 1997: 129).Menurut Salim (1997: 10) gerak mobilitas penduduk

cenderung meningkat yang disebabkan pertambahan penduduk, aktivitas ekonomi,

dan urbanisasi.

Akan tetapi, yang sangat disayangkan adalah tindakan represif dari

pemerintah Orde Baru terkait adanya penolakan dari pelbagai kalangan terhadap

program KB. White (1997: 131-132) menuliskan bahwa:

“Di Indonesia, diskusi objektif dan terbuka tentang cara program

KB dilaksanakan itu sulit, sebagian karena kepentingan pribadi

yang kuat dan komitmen dari penguasa Orde Baru. Pemeintah tidak

mentolerir setiap oposisi terhadap program KB, dan peka terhadap

setiap implikasi bahwa program KB bisa jadi merupakan kekerasan

dalam berbagai bentuk atau berkualitas rendah.”

E. Kebijaksanaan Stabilitas Politik di Era Orde Baru

Kebijaksanaan stabilitas politik untuk menjamin iklim politik yang

kondusif bagi pembangunan yang pada gilirannya diharap dapat menciptakan

stabilitas politik.Stabilitas yang hanya merupakan stagnasi dan dukungan sepihak

terhadap status quo jelas bukan yang dimaksud dengan ‘pembangunan’, kecuali

kalau pilihannya adalah perwujudan keadaan yang lebih buruk. Akan tetapi

menurut Pye (1976: 42-43) stabilitas dapat dibenarkan karena dinilai ada

hubungannya dengan pembangunan dalam artian bahwa setiap bentuk kemajuan

Page 16: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 86

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

ekonomi dan sosial bergantung pada suatu lingkungan yang relatif aman, kondusif

dan terjamin.

Cara pandang pemerintahan Orde Baru yang menghendaki terciptanya

stabilitas politik agar mampu mewujudkan pembangunan nasional dengan

berbagai upaya seperti depolitisasi, deparpolisasi, deideologisasi, dan pembatasan

partisipasi masyarakat, adalah kecenderungan perilaku yang mencerminkan

dengan jelas arus peminggiran eksistensi partai-partai politik di

Indonesia.Pemerintahan Soeharto (Orde Baru) beranggapan bahwa ketidakstabilan

yang terjadi selama pemerintahan Soekarno menjadi tanggung jawab partai-partai

politik. Sistem multi-partai yang dianut Indonesia saat itu, memberi peluang bagi

terciptanya persaingan dan perebutan kekuasaan yang tidak sehat, karena didasari

oleh berbagai ideologi dan aliran. Akibatnya, partai-partai tidak sempat menyusun

rencana dan program pembangunan secara berencana dan sistematis (Haris dkk.,

1998: 94-97).

Berdasarkan pengalaman perjalanan bangsa Indonesia, Ali Moertopo

menyatakan bahwa proses pembangunan harus disertai dengan suatu kestabilan

(growth with stability). Keduanya tidak dapat dipisahkan, meskipun penekannya

pada suatu waktu mungkin bisa berbeda. Moertopo (1981: 80-81) menunjukkan

bahwa:

“[K]estabilan yang diperlukan bukan hanya kestabilan dalam harga-

harga, bukan hanya kestabilan dalam perekonomian, akan tetapi

kestabilan dalam kehidupan politik dan sosial pada umumnya.Bahkan

dapat dilihat bahwa keduanya memang saling kait-mengait.

Kestabilan dibutuhkan untuk memulai pembangunan, dan dalam

periode pembangunan ini makin dirasakan bahwa proses

pembangunan itu sendiri diperlukan dan merupakan suatu keharusan

untuk mempertahankan kestabilan yang telah diperoleh.”

Pada masa pemerintahan Orde Baru, dianggap merupakan masa yang

sangat menguntungkan bagi pemeliharaan strategi pembangunan nasional, karena

sebagian dari trilogi pembangunan, yaitu stabilitas yang mantap dan dinamis akan

Page 17: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 87

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

lebih mudah dilaksanakan, khususnya bagi aspek stabilitas nasional itu, yaitu

keamanan (Prawirasoebrata, 1998: 39). Pendekatan keamanan yang pernah

dipraktekkan oleh Orde Baru dianggap sebagai langkah strategis untuk mengatasi

persoalan keamanan saat ini.Hal demikian yang kemudian menimbulkan

pernyataan, mengapa pemerintahan Orde Baru walupun banyak dibenci juga

banyak dirindukan.Hal itu terbersik dari ungkapan A.M Fatwa (eks tahanan

politik) di masa Orde Baru.Strategi mampu menciptakan stabilitas sosial untuk

memicu pertumbuhan ekonomi sudah tepat, seperti strategi tangan besinya Lee

Kwan yu dari Singapura.Sayang Soeharto terlalu melibatkan militer dalam

pemerintahan.Langkah tangan besi Soeharto untuk menggebuk potensi-pontensi

subversif dan potensi-potensi gangguan keamanan memang kontroversial. Kita

pasti sudah sering mendengan tentang petrus (penembak misterius) yang dengan

sangat misterius membersihkan para preman yang meresahkan masyarakat. Sangat

efektif namun disisi lain sangat berlawanan dengan nilai-nilai HAM dan terlebih

fitrah kemanusiaan.

Kalau yang dilihat tercapainya stabilitas nasional, memang terjadi pada

masa Orde Baru, akan tetapi sifatnya semu, yang berarti sebenarnya kita semua

dibuat merasa takut dan tunduk kepada pemerintahan Orde Baru di bawah kendali

Soeharto. Segala persoalan-persoalan yang akan menghambat dan menjadi

ancaman bagi suatu pemerintahan menjadikan para penguasa cenderung

mengambil tindakan-tindakan kekerasan serta praktek-praktek pemerintahan

diktator lainnya secagai alat untuk membendung kekuatan-kekuatan yang hendak

melakukan konfrontasi dan resistensi terhadap pemerintah (LaPalombara, 1986).

Pencanangan trilogi pembangunan ini, akhirnya menuai kontroversi karena

pada pelaksanaannya mengakibatkan persoalan-persoalan, di

antaranyaterenggutnya kebebasan berpendapat, berserikat, dan

mengaktualisasikan diri.Kehidupan yang sangat dikekang oleh negara merupakan

bentuk kesewenangan dan kediktatoran yang tidak sesuai dengan nilai negara

demokrasi.

Page 18: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 88

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

F. Kesimpulan

Kebijaksanaan ekonomi makro yang menekankan pada terciptanya iklim

liberalisasi ekonomi menjadi pendorong bagi perombakan struktur pembangunan

nasional, dan ternyata memiliki dampak bagi golongan atau masyarakat kecil di

pedesaan.Tergerusnya alokasi sektor ekonomi pedesaan melalui pertanian yang

dipinggirkan dengan diutamakannya sektor industri menjadi boomerang bagi

kebijaksanaan pembangunan pemerintahan Orde Baru. Kebijaksanaan ekonomi

makro yang menekankan pada terjaganya atau stabilnya inflasi menjadi fokus

pemerintahan Orde Baru.Dengan itu, berakibatkan terabaikannya pertumbuhan

ekonomi pada sektor riil yang mengakibatkan kemunculan benih-benih

kebobrokan pengelolaan perekonomian nasional.Pada titik ini, pemerintah

mencoba mengendorkan kontrolnya terhadap pasar (ekonomi) dan diserahkan

kepada mekanisme ekonomi.Peran swasta genjar didorong pemerintah untuk

melakukan pembangunan yang bersifat industrial.Dan sayangnya, sektor

fundamental negara Indonesia, yaitu pertanian tergerus dan terabaikan oleh

industrialisasi.

Kebijaksanaan kependudukan sebenarnya memiliki tujuan baik, yang

berharap mampu melakukan distribusi sumber daya yang dimiliki negara dapat

efisiensi dan bukan sebaliknya. Ledakan penduduk yang besar juga akan

berdampak bagi pola kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Walaupun

kebijakan ini diawalnya banyak yang menentang, baik berdasarkan pada nilai

asasi maupun religi masyarakat, akan tetapi karena pemerintah bertindak represif

atas resistensi terhadap program ini, maka gelombang resistensi itu semakin kecil.

Kebijaksanaan stabilitas politikyang dicanangkan oleh pemerintahan Orde baru di

bawah Soeharto sebenarnya mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi proses

pembangunan yang sedang dikerjakan dan juga mampu merangsang para investor

untuk juga berinvestasi di negara Indonesia yang terjamin keamanannya.

Meskipun demikian, kebijaksanaan tersebut pada akhirnya membuat masyarakat

terkekang dan dipaksa tunduk oleh pemerintah melalui cara-cara represif.

Page 19: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 89

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

DAFTAR PUSTAKA

Abisono, Fatih Gama. “Dinamika Kebijakan Pangan Orde Baru: Otonomi

Negara Vs. Pasar Global.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fisipol

UGM, Vol. 5, No. 3 (Maret 2002)

Haris, Syamsuddin,dkk.Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru: Sebuah Bunga

Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.

LaPalombara, Joseph. “Distribusi dan Pembangunan” dalam Myron Weiner, ed.,

Modernisasi: Dinamika Pertumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 1986.

Mas’oed, Mochtar. Ekonomi-Politik Internasional dan Pembangunan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Moertopo, Ali. Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta: CSIS, 1981.

Prawirasoebrata, Soebijakto. “Demokrasi dan Stabilitas Nasional dalam

Dinamika Perubahan” dalam Syarofin Arba, ed., Demitologisasi Politik

Indonesia: Mengusung Elitisme dalam Orde Baru. Jakarta: PT Pustaka

Cidesindo, 1998.

Pye, Lucian W. “Pengertian Pembangunan Politik” dalam Jowono Sudarsono,

ed., Pembangunan Politik dan Perubahan Politik. Jakarta: PT Gramedia,

1976.

Santosa, Purbayu Budi. “Strategi Pembangunan Pertanian dalam Era

Globalisasi.”Jurnal Dinamika Ekonomi dan Bisnis, Vol. 1, No. 1 (Maret

2004).

Soemardjan, Selo. “Ketimpangan-ketimpangan dalam Pembangunan:

Pengalaman di Indonesia” dalam Jowono Sudarsono,ed.,Pembangunan

Politik dan Perubahan Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1976.

Udasmoro, Wening. “Konsep Nasionalisme dan Hak Reproduksi

Perempuan.”Jurnal HumanioraFakultas Ilmu Budaya UGM Vol. 16, No.

2 (Juni 2004)

Page 20: MENELISIK PROGRAMPEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA PEMERINTAHAN …

P a g e | 90

Volume 4 | Nomor 1 | Juli– Desember 2018

JURNAL OF GOVERNMENT - JOG

(Kajian Manajemen Pemerintahan & Otonomi Daerah)

White, Benjamin. “Persoalan dan Kebijakan kependudukan di Indonesia: Sebuah

Sudut Pandang Non-Malthusian” dalam Frans Husken dkk, ed.,

Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial: Indonesia di Bawah Orde Baru .

Jakarta: PT Grasindo dan KITLV, 1997.