mekanisme pengawasanrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/bab... · web viewbab iv...
TRANSCRIPT
BAB IV
EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
(STUDI DI KEPOLISIAN RESOR KOTA BOGOR)
Asas persamaan di hadapan hukum sesuai ketentuan dalam KUHAP, sudah
seharusnya diterapkan dalam proses penyidikan, terutama pada penyidikan tingkat
Polri. Untuk mengetahui eksistensi asas persamaan di hadapan hukum dalam proses
penyidikan Polri harus dilihat dari berbagai faktor yang ada dalam Institusi Polri terkait
dengan pelaksanaan penyidikan.
Dalam Bab III telah dibahas mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
eksistensi asas persamaan di hadapan hukum. Faktor-faktor tersebut adalah faktor
yuridis, faktor administratif, faktor fasilitatif, faktor sosiologis, dan faktor psikologis.
Pada setiap faktor tersebut dapat mendukung maupun menghambat eksistensi asas
persamaan di hadapan hukum. Setiap faktor memiliki kelemahan maupun kelebihan
yang dapat memberikan kontribusi pada eksistensi asas persamaan di hadapan hukum.
1. Faktor yuridis merupakan substansi yang menjadi pedoman bagi
terselenggaranya penyidikan demi tegaknya keadilan. Dengan demikian faktor
yuridis merupakan faktor pendukung sebagai dasar berpijak bagi para penegak
hukum maupun warga Negara yang berhadapan dengan hukum.
2. Faktor administratif yang meliputi kualitas dan kuantitas para penyidik Polri
serta birokrasi yang diterapkan dapat menjadi penghambat maupun pendukung.
Faktor administrasi sebagai penghambat yaitu apabila penempatan personel
sebagai penyidik tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan atau bahkan
tidak memiliki ilmu dan pengetahuan tentang penyidikan. Selain itu juga
birokrasi yang mengedepankan hierarkhi, mempengaruhi lambatnya
penyidikan. Penempatan penyidik Polri sebagian besar tidak konsisten dengan
latar belakang pendidikan, hal inilah yang menyebabkan para anggota harus
menyesuaikan dengan lingkungan dan pola kerja yang baru. Pergeseran ini bisa
saja terjadi karena kebutuhan organisasi ataupun jenjang kepangkatan sehingga
mengakibatkan para anggota tersebut harus menempati jabatan diluar penyidik
karena dalam lingkungan awal tidak ada posisi untuk jenjang kepangkatannya.
Dengan menempati posisi yang baru berarti adanya konsekuensi untuk segera
menyesuaikan diri karena pertimbangan setiap anggota Polri harus siap
ditempatkan dimana saja. Hal inilah yang dapat menjadi salah satu faktor tidak
maksimalnya pelaksaan tugas Polri sebagai penyidik, ditunjang dengan karakter
perorangan dari anggota yang mempengaruhi kinerja dari Institusi. Sedangkan
faktor administratif yang dapat menjadi penunjang adalah apabila personel Polri
yang bertugas sebagai penyidik mengedepankan dedikasi sebagai anggota Polri.
Ilmu sebagai penunjang pelaksanaan penyidikan dalam lingkungan Polri
muncul seiring dengan perkembangan tindak pidana yang ditangani, atau
dengan kata lain “learning by doing”. Hal tersebut ditunjang dengan minimnya
jumlah anggota yang dapat mengikuti program pendidikan pengembangan
untuk penyidik polri, mengingat jumlah penyidik polri tersebar dari Sabang
sampai Merauke, yang tersebar di setiap Polda, Polres dan Polsek. Namun
masih ada upaya untuk belajar ilmu hukum walaupun dengan biaya pribadi
dalam arti bahwa tidak didukung oleh Institusi Polri.
132
3. Faktor fasilitatif, sangat mendukung karena membantu mempercepat proses
identifikasi dalam penyidikan, sehingga penyidikan dapat di dukung oleh bukti-
bukti yang akurat. Namun menjadi penghambat karena fasilitas tersebut masih
terbatas di Mabes Polri, belum tersebar di seluruh Polda di Indonesia, sehingga
membutuhkan biaya tambahan bagi penyidik yang memerlukan fasilitas
tersebut sedangkan anggaran dalam penyidikan hanya dibedakan untuk kategori
kasus ringan, kasus sedang dan kasus berat. Benturan dengan anggaran inilah
yang menyebabkan para penyidik dituntut menyelesaikan perkara yang
ditanganinya sesuai ketentuan yang berlaku, namun tidak di dukung anggaran
tambahan. Untuk mendapatkan kekurangan anggaran tersebut yang memicu
terjadinya sikap yang tidak seharusnya bagi penyidik, yaitu dengan
mendahulukan korban yang memiliki kemampuan ekonomi atau yang memiliki
status sosial baik supaya dapat mendukung kedinasan. Hal ini juga
dilatarbelakangi oleh anggaran penyidikan baru bisa dicairkan setelah kasus
tersebut selesai dan dilimpahkan ke Kejaksaan dan dinyatakan P-21 oleh pihak
kejaksaan.
4. Faktor sosiologis, faktor ini dapat menjadi penghambat maupun penunjang
tergantung dari tanggapan sosial tentang proses penyidikan Polri. Menjadi
penghambat apabila telah terbentuk opini negatif dalam masyarakat mengenai
proses penyidikan Polri, baik itu tentang prosedur yang diterapkan maupun
perlakuan penyidik terhadap masyarakat yang berhadapan dengan hukum.
Namun apabila opini yang terbentuk sifatnya positif, maka menjadi penunjang.
Sebagai contoh Briptu Norman Kamaru. Pada awalnya Briptu Norman
terancam pemberhentian dengan tidak hormat, namun reaksi positif dari
masyarakat ditambah dengan hasil pemeriksaan Divisi Profesi Pengamanan
133
(Div. Propam) Mabes Polri yang menyatakan bahwa kegiatan tersebut
dilakukan Briptu Norman saat tidak menunaikan tugas, walaupun pada saat itu
Briptu Norman masih menggunakan pakaian dinas lengkap. Hal ini merupakan
wujud penerapan dari Grand Strategy Polri yang memasuki tahap kedua yaitu
partnership building (membangun kemitraan). Tahap ini merupakan kelanjutan
dari tahap pertama yaitu trust building (membangun kepercayaan). Sasarannya
adalah masyarakat. Dalam mengaplikasikan program kedua tersebut, Asisten
Sumber Daya Manusia (S SDM) Polri, membuat program melalui kesenian. Hal
tersebut bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat serta
membangun kemitraan dengan masyarakat supaya dapat membantu tugas-tugas
Polri, mengingat tugas Polri selalu berhubungan dengan masyarakat.
5. Faktor psikologis, faktor psikologis yang dapat menghambat eksistensi asas
persamaan di hadapan hukum adalah apabila kondisi psikis seseorang sedang
tidak baik dapat mempengaruhi sikap dan tutur kata seseorang, dalam arti
bahwa kondisi psikis dapat memberikan pengaruh terhadap kondisi fisik. Oleh
karena itu dalam setiap pemeriksaan, pertanyaan awal yang diberikan penyidik
adalah menanyakan kondisi yang diperiksa. Namun tidak menutup
kemungkinan bahwa terperiksa, baik saksi/korban maupun tersangka,
memainkan peran dengan tujuan supaya mendapat keringanan atau fasilitas
tertentu dari penyidik, yang tentunya memperlambat proses penyidikan. Oleh
karena itu para penyidik perlu juga dibekali pengetahuan tentang psikologi
terutama dalam melakukan pemeriksaan pada saat penyidikan.
Dalam sistem hukum, terbagi menjadi tiga bagian, yaitu struktur, substansi, dan
kultur hukum. Ketiga hal tersebut walaupun diklasifikasikan tersendiri, namun
ketiganya saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
134
1. Struktur adalah kerangka hukum yang meliputi Polri, Jaksa, Hakim, Advokat
dan Lembaga Pemasyarakatan. Struktur tersebut dipengaruhi oleh kelima
faktor. Keberadaan kelima faktor tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya
faktor yuridis merupakan pedoman bagi kelima kerangka hukum tersebut.
Tetapi keempat faktor lainnya justru lebih memberikan pengaruh kepada kelima
kerangka hukum tersebut dalam bertindak.
2. Substansi adalah aturan, norma dan perilaku manusia yang berada dalam sistem
tersebut. Dalam substansi, terfokus pada ketentuan-ketentuan yang telah ada,
dalam hal ini faktor yuridis mengendalikan sepenuhnya. Keempat faktor lainnya
hanya mendukung supaya faktor yuridis dapat terlaksana.
3. Kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum (kepercayaan), nilai,
pemikiran serta harapannya. Kultur hukum juga berarti suasana pikiran sosial
dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari
atau disalahgunakan. Faktor sosiologis memegang peranan dalam
mengendalikan kultur hukum, diantara keempat faktor lainnya. Faktor ini dapat
memberikan pengaruh positif maupun negatif dalam eksistensi asas persamaan
di hadapan hukum. Pengaruh positif maupun negatif tersebut tergantung pada
sudut pandang kelompok sosial menyikapi penerapan hukum demi tercapainya
keadilan. Bahkan tidak menutup adanya intervensi dari kelompok-kelompok
yang merasa memiliki kekuasaan atau pengaruh dalam masyarakat. Penegakan
hukum di wilayah Polresta Bogor jika ditinjau dari segi struktur, substansi,
maupun kultur hukum masih saling mendukung. Dalam hal ini bahwa, subtansi
dalam ketentuan yuridis masih diterapkan. Namun situasi di wilayah Polresta
Bogor berbeda dengan situasi di salah satu Polres di Pulau Bali, yaitu Polres
Tabanan. Kuatnya ikatan dalam lingkungan masyarakat menyebabkan faktor
135
yuridis tidak bisa sepenuhnya diterapkan. Contohnya kegiatan adat sabung
ayam yang merupakan rangkaian kegiatan upacara keagamaan, namun aktifitas
tersebut disertai dengan adanya taruhan sehingga secara hukum termasuk dalam
tindak pidana perjudian. Pada saat Polres Tabanan melakukan operasi
penertiban perjudian, dengan ditangkapnya pelaku-pelaku perjudian terselubung
dalam kegiatan sabung ayam, mengakibatkan Markas Komando Polres Tabanan
didatangi masyarakat dari desa tempat para pelaku berdomisili. Bahkan Kepala
Polisi Daerah (Kapolda) Bali, pada waktu itu adalah Inspektur Jenderal Polisi
Made Mangku Pastika, yang merupakan putra asli Bali, saat memberantas
perjudian juustru mendapat tudingan dan tanggapan negatif dari masyarakat
Bali, dianggap tidak melindungi masyarakat Bali. Peristiwa itu terjadi pada saat
Kapolri masih dijabat oleh Jenderal Polisi Sutanto dengan program prioritas
memberantas perjudian di seluruh wilayah Indonesia. Penekanan tersebut
disampaikan dalam arahan Kapolri melalui telekonferen dengan para Kapolda
dan pejabat-pejabat utama jajaran Polda. Aplikasi dari perintah Kapolri tersebut
justru menempatkan Kapolda pada posisi yang dihujat oleh masyarakat. Namun
tindakan tegas Kapolda tersebut diimbangi dengan berbagai pendekatan
terhadap masyarakat. Pendekatan tersebut terutama dari segi hukum dan sosial.
Pendekatan hukum dilakukan dengan memberikan sosialisasi-sosialisasi
mengenai perundang-undangan yang berlaku. Begitu pula dengan pendekatan
sosial. Pendekatan ini dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai pihak yang
berkompeten sehingga dapat memberikan wawasan kepada masyarakat
mengenai hukum yang berlaku dan dapat menjalin keakraban dengan
masyarakat supaya dapat menjalin kerjasama untuk mewujudkan keamanan dan
ketertiban di Bali. Di wilayah Polresta Bogor juga pernah terjadi hal yang sama
136
dengan versi yang berbeda. Perbedaan terletak pada pemahaman masyarakat
terhadap hukum. Masyarakat Kota Bogor dapat dikategorikan ke dalam
masyarakat kota besar, sehingga lebih memiliki pengetahuan dan pemahaman
terhadap hukum. Pemahaman terhadap hukum tersebut justru dimanfaatkan oleh
sekelompok orang-orang tertentu dengan mencari celah hukum sehingga sering
terjadi tindakan unjuk rasa, yang tidak jarang unjuk rasa tersebut berakhir
dengan tindakan anarkhis. Unjuk rasa yang terjadi, baik di Bali maupun di
Bogor, menuntut profesionalitas dari para penegak hukum, dalam hal ini adalah
Polri. Semakin tinggi pemahaman masyarakat terhadap hukum, maka para
anggota Polri, terutama penyidik, harus memiliki pemahaman yang lebih dari
masyarakat minimal sama. Di sisi lain pengaruh reformasi di Indonesia
terutama dalam bidang politik dapat memberikan dampak negatif yang besar.
Bukan hanya kuantitas penyidik yang belum terbekali ilmu penyidikan secara
keseluruhan dan posisi atau jabatan yang berpindah-pindah baik itu berubah bidang
tugas maupun wilayah tugas, juga latar belakang pendidikan pembentukan kepolisian
dapat mempengaruhi pribadi-pribadi insan Bhayangkara Polri. Pribadi-pribadi yang
memiliki pengendalian diri bagus akan segera menyesuaikan dengan program-progrram
pimpinan Polri menuju Polri yang Profesional, Proporsional, Bermoral, dan Modern.
Namun apabila budaya yang melekat pada diri pribadi anggota Polri adalah budaya
menyangkal (culture of denial), maka yang berlaku adalah kebiasaan sehingga muncul
arogan, tidak sabar bahkan dalam melakukan penyidikan mengupayakan supaya
tersangka segera mengaku untuk mempercepat proses penyidikan. Hal tersebut didasari
karena pelaksanaan penyidikan tidak didukung anggaran, kalaupun ada dukungan
anggaran dari pimpinan, anggaran tersebut diberikan setelah penanganan tindak pidana
tersebut selesai atau P-21. Begitu pula kondisinya akhir-akhir ini, anggaran untuk
137
penyidikan dibedakan antara perkara ringan, sedang dan berat, namun anggaran
tersebut baru bisa dicairkan setelah ada pertanggungjawaban dari perkara pidana yang
telah ditangani, sehingga para penyidik hanya menandatangani berkas untuk
mencairkan anggaran didukung laporan pelaksanaan penyidikan. Terbentuk image yang
kurang baik terhadap kinerja Polri selama ini, seiring dengan Reformasi di Indonesia,
sehingga menuntut Institusi Polri harus mengalami perubahan.
Perubahan dan penataan dalam Institusi Polri meliputi berbagai bidang, baik di
bidang pembinaan maupun operasional serta pembangunan kekuatan sejalan dengan
upaya Reformasi. Tugas tersebut dikaitkan dengan fungsi penegakan hukum, maka
dirasakan sangat kompleks. Namun dalam upaya penegakan hukum ada satu hal yang
menjadi sorotan publik supaya penegakan hukum tersebut dapat berjalan sesuai harapan
masyarakat, yaitu penerapan prinsip persamaan di hadapan hukum. Hal ini menuntut
polri untuk bersikap profesional dan proporsional dengan mengesampingkan segala hal
demi tercapainya keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Keamanan dalam negeri
merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil,
makmur dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk melihat apakah hukum sudah berjalan atau
tidak, maka tidak hanya terpaku pada rumusan ketentuan perundang-undangan saja
namun harus melihat bagaimana aplikasi hukum dalam masyarakat, yang terpenting
adalah bagaimana hukum itu dapat diterapkan/ditegakkan dalam kenyataan, karena
“Hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dijalankan, bukanlah apa yang tertulis
dengan indah dalam undang-undang, melainkan apa yang dilakukan oleh aparat
penyelenggara hukum”164, dalam hal ini adalah polisi. Polri sebagai salah satu
pelaksana hukum apakah sudah melaksanakan tugasnya sesuai asas praduga tak
164 Kadriah, “Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum”, Artikel, 2009.
138
bersalah dan asas persamaan kedudukan dalam hukum, ataukah asas tersebut hanya
dijalankan sepotong-sepotong untuk orang-orang tertentu saja. Dalam berbagai kasus,
seperti kasus Marsinah atau perselingkuhan anggota DPR dengan seorang Artis yang
hingga saat ini kasus tersebut tidak terdengar lagi tindak lanjutnya, mengingat kasus-
kasus tersebut telah diketahui publik, apalagi terhadap kasus-kasus yang tidak diketahui
publik. Proses beracaranya sering dipengaruhi ketentuan lama, yaitu HIR, penegak
hukum telah melakukan upaya paksa yang berlebihan dengan sistem pemeriksaan
inkuisitor sehingga menyebabkan terjadinya kesalahan dalam menghukum orang dan
salah dalam menerapkan hukumnya. Pada kasus Marsinah, disinyalir ada unsur
rekayasa sedemikian rupa sehingga menyebabkan orang yang seharusnya tidak bersalah
harus di hukum. Dari segelintir kasus di atas terlihat sering dilakukannya upaya paksa
dan kekerasan terhadap tersangka atau pelaku sedemikian rupa sehingga melanggar
HAM tersangka. Berkaitan dengan pelanggaran HAM tersebut terlihat bahwa para
penegak hukum maupun masyarakat belum memahami arti dan makna penegakan asas-
asas dalam KUHAP terutama asas persamaan kedudukan dalam hukum.
Dengan demikian masih sangat diperlukan adanya perbaikan menuju
kesempurnaan. Kesempurnaan dalam hal ini adalah sesuai dengan ketentuan Undang-
undang dan harapan masyarakat dengan kebutuhan akan keamanan dan ketertiban
dalam kehidupan. Oleh karenanya beberapa faktor yang perlu menjadi perhatian bagi
Polri sebagai aparat penegak hukum adalah :
1. Faktor Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia, dalam hal ini adalah personel Polri yang menjadi
penyidik, perlu diadakan peningkatan kemampuan Penyidik Polri, baik itu
dengan pendidikan interen Polri khusus sebagai Penyidik, maupun pendidikan
139
formal non Polri di Universitas. Upaya peningkatan sumber daya manusia
dalam hal para Penyidik Polri ini mulai mengalami kemajuan, dengan cara
sebagai berikut :
a. Pada proses rekruitmen anggota Polri, persyaratan pendidikan mulai
diperhatikan. Dalam hal ini rekruitmen menjadi anggota Polri melalui 3
(tiga) jalur yaitu :
1) Perwira Polri Sumber Sarjana, sesuai namanya maka personel
lulusan ini telah memiliki bekal sejak awal dengan berbagai
disiplin ilmu sesuai dengan kebutuhan Polri, seperti : Ilmu
Kedokteran, Kedokteran Gigi, Psikologi, Ilmu Hukum, Ilmu
Ekonomi, Penerbangan, Kelautan, Komputer, Antropologi, dan
masih banyak lagi disesuaikan dengan kebutuhan Polri sehingga
setiap tahun kadangkala tidak sama;
2) Akademi Kepolisian, awalnya direkrut dari lulusan SMU dan
sederajat, 2 (dua) tahun lalu dicoba untuk merekrut dari jalur
SMU dan sederajat, Diploma serta Strata I, namun dengan
berbagai pertimbangan dari pimpinan Polri, maka persyaratan
untuk Strata dalam pendidikan Akademi Kepolisian dihapuskan.
Lama pendidikan 3 (tiga) tahun selanjutnya berhak menyandang
pangkat Perwira yaitu Inspektur Dua (Ipda).
3) Brigadir Polri yang direkrut dari SMU dan sederajat, Diploma,
serta Strata I. Untuk menjadi seorang Brigadir Polri harus
menempuh pendidikan selama 7 (tujuh) bulan.
140
b. Pendidikan Formal Non Polri menjadi pilihan kedua bagi para anggota
Polri. Hal ini dikatakan sebagai pilihan kedua karena Institusi tidak
membiayai pelaksanaan pendidikan tersebut. Institusi Polri hanya dapat
membiayai pada program-program pendidikan tertentu sesuai kebutuhan
organisasi. Tuntutan pekerjaan sebagai Penyidik, menyadarkan para
anggota Polri secara individu untuk membekali diri dengan mengikuti
studi Ilmu Hukum. Untuk lulusan Akademi Kepolisian yang diakui
memiliki status Diploma III dapat melanjutkan untuk memperoleh Strata
Satu Hukum, sedangkan Penyidik Pembantu dalam hal ini anggota Polri
yang berpangkat Brigadir, maka harus mengikuti perkuliahan Hukum
dari awal.
c. Pendidikan Formal Polri meliputi bermacam metode. Untuk para
brigadir yang akan beralih golongan menjadi perwira maka harus
mengikuti pendidikan lanjutan brigadir (Selabrig atau yang dahulu
dikenal dengan Sekolah Calon Perwira/Secapa). Dalam Selabrig
diberikan pengetahuan-pengetahuan tentang kepemimpinan dan
pengetahuan hukum untuk menunjang penyidik-penyidik Polri. Sekolah
lanjutannya adalah Sekolah Staf dan Pimpinan Pertama (Sespimma atau
dulunya dikenal dengan Sekolah lanjutan Perwira/Selapa) atau Sekolah
tinggi Ilmu Kepolisian (dulunya bernama Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian/PTIK), yang kebanyakan diikuti oleh para alumni Akademi
Kepolisian yang diakui telah memiliki status Diploma III Kepolisian.
pendidikan tersebut masih berlanjut ke Sekolah Staf dan Pimpinan
Menengah (Sespimmen) dan berakhir pada Sekolah Staf dan Pimpinan
Tinggi (Sespimti yang dulunya dikenal dengan Sespati)
141
d. Pendidikan-pendidikan dalam Institusi Polri tidak dapat disamakan
dengan pelaksanaan pendidikan formal secara umum, karena pendidikan
berlangsung sesuai program yang berarti bahwa baik itu sumber daya
manusia memang benar-benar mampu atau tidak, apabila waktu program
pendidikan telah habis maka tetap akan lulus walaupun dengan standar
minimal. Apabila standar ditingkatkan, seperti yang pernah dilakukan
pada penerimaan Akademi Kepolisian tahun 2008, dengan menetapkan
kriteria Calon Taruna dan Taruni minimal Strata 1 dengan program yang
telah ditentukan dan tingkat akreditasi Universitas yang juga ditentukan,
maka kenyataan yang terjadi adalah rekruitmen hanya meliputi daerah
dengan tingkat akreditasi tinggi yang dapat diterima, sehingga tidak ada
kesamarataan. Hal tersebut menimbulkan protes bagi daerah dengan
tingkat akreditasi rendah, akhirnya ketentuan kembali semula yaitu
mengutamakan lulusan Sekolah Menengah Atas. Di satu sisi, ada
program rekruitmen Polri dari Sumber Sarjana. Polri dari Sumber
Sarjana lebih bisa dikedepankan untuk profesional karena disiplin ilmu
yang telah dimiliki, dengan syarat harus dihindari intervensi-intervensi
dari berbagai pihak dan berbagai kepentingan.
e. Latar belakang pendidikan yang menjadi bekal tiap-tiap personel Polri
harus diberdayakan semaksimal mungkin, dengan menempatkan
personel-personel pada jabatan atau posisi yang sesuai, dalam hal ini
prinsip “the right man in the right job” harus diutamakan. Prinsip
tersebut bukan berarti bahwa personel yang tidak memiliki latar
belakang pendidikan atau kemampuan dalam suatu bidang tertentu harus
disingkirkan dan tidak berdayaguna, tetapi dapat diberdayakan pada
142
bidang lain. Terutama pada bidang penyidikan, yang membutuhkan
personel-personel yang professional dalam bidang Hukum supaya dapat
melakukan penyidikan sesuai ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
f. Metode dalam Lembaga Pendidikan Polri juga mempengaruhi
karakteristik personel-personel Polri. Paradigma pendidikan militeristik
yang identik dengan kekerasan memberikan pengaruh yang besar
terhadap sikap dan perilaku anggota Polri dalam masa kedinasan. Hal
tersebut yang seringkali kurang dipahami oleh setiap anggota Polri.
Pendidikan Pembentukan dan Pendidikan Pengembangan akan selalu
berbeda, karena dalam Pendidikan Pembentukan adalah membentuk
insan Bhayangkara dari masyarakat sipil. Oleh karena itu antara teori
dan praktek seimbang, terutama praktek yang dilengkapi dengan
program pembinaan fisik guna menumbuhkan kedisiplinan dan fisik
yang prima karena akan mengemban tugas yang mulia sebagai
pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat serta melaksanakan
penegakan hukum. Tuntutan tersebut harus dapat menekan ego pribadi
sebagai watak dasar dari manusia.
g. Watak dasar manusia sebagai individu yang memiliki kepribadian
sendiri-sendiri sehingga terjadi keanekaragaman karakter. Beragam
karakter ini mempengaruhi sikap kerja, termasuk sebagai penyidik.
Dalam melakukan penyidikan membutuhkan pengetahuan dan
keterampilan, karena apabila ketiga hal tersebut tidak dimiliki akan
terjadi ketidakseimbangan.
143
1) Pengetahuan, merupakan ilmu yang mutlak diperlukan sebagai
dasar hukum dalam setiap melakukan penyidikan, yaitu dengan
penguasaan perundang-undangan sebagai dasar dilakukannya
penyidikan dan pasal-pasal apa yang dapat diterapkan secara
tepat;
2) Keterampilan, merupakan hal yang erat kaitannya dengan
pengetahuan. Apabila beragam pengetahuan sudah diperoleh,
namun apabila personel tersebut tidak memiliki keterampilan
dalam melakukan penyidikan, maka proses penyidikan dapat
terhambat. Hal ini terjadi karena ada kelompok personel Polri
yang telah mengikuti berbagai pendidikan pengembangan dalam
bidang penyidikan, namun tidak pernah menjadi penyidik Polri
walaupun pernah menjadi staf dalam bidang penyidikan, namun
tidak pernah melakukan proses penyidikan, maka pada suatu saat
menjadi penyidik akan menemui hambatan. Apabila suatu
kegiatan dilakukan secara berulang-ulang maka akan menjadi
terbiasa, “ala bisa karena biasa”. Terampilnya personel tersebut
timbul dari pengalaman-pengalaman yang diperolehnya, baik itu
meliputi pengalaman pribadi dalam bermasyarakat maupun
pengalaman kedinasan dengan tetap mengedepankan logika.
Pengalaman kerja yang luas sebagai seorang anggota Polri akan
dapat mendukung terlaksananya penyidikan sesuai prosedur
yang telah ditetapkan dalam Institusi Polri, seperti tehnik dan
taktik dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan sehingga dapat
mengarahkan sesuai dengan tujuan pengungkapan kasus.
144
Satu hal yang patut di ingat, bahwa personel Polri telah menandatangani
pernyataan kesiapsiagaan untuk ditempatkan dimanapun sesuai
kebutuhan. Sehingga selalu ada perputaran penempatan bidang tugas.
Hal ini membawa pengaruh pada kelangsungan organisasi, karena
personel baru harus mempelajari situasi dan kondisi di tempat tugas
yang baru. Bahkan adanya fakta tentang personel Polri yang memiliki
kemampuan baik namun jenjang kepangkatannya terabaikan. Di lain
pihak, ada fakta bahwa personel dengan kemampuan terbatas justru
memiliki jenjang kepangkatan selalu lancar. Ketidakadilan ini dapat
mempengaruhi kinerja personel, terutama para penyidik. Slogan-slogan
yang muncul sebagai Polri yang humanis harus benar-benar diterapkan,
dengan standar kriteria humanisme.
2. Faktor Sarana dan Prasarana (fasilitas)
Sarana dan prasarana merupakan faktor penting yang mendukung terlaksananya
penyidikan. Fakta yang ditemui dibidang penyidikan khususnya pada Polresta
Bogor belum dapat mengakomodir kebutuhan para Penyidik untuk menunjang
proses penyidikan. Peralatan yang mendukung proses penyidikan, kondisinya
ada yang layak pakai bahkan ada yang tidak layak pakai. Akomodasi dan
transportasi yang digunakan oleh para Penyidik untuk mendatangi tempat
kejadian perkara ataupun mendatangkan para saksi, merupakan milik pribadi
dari para Penyidik. Oleh karena itu selayaknya sarana dan prasarana yang
menunjang proses penyidikan dipenuhi, sehingga para Penyidik dapat terfokus
dengan pelaksanaan penyidikan tanpa memikirkan sarana dan prasarana apa
yang dapat digunakan untuk penyidikan.
145
3. Faktor Anggaran
Anggaran merupakan faktor penggerak utama. Walaupun dalam Anggaran
Dasar dan Rumah Tangga Polri telah tercantum dalam Dipa setiap tahunnya,
disesuaikan dengan tingkat kasus yang ditangani, baik itu kasus ringan, kasus
sedang, maupun kasus berat dengan nominal yang berbeda, namun pada
pelaksanaannya anggaran tersebut tidak dapat diambil di awal proses
penyidikan. Dengan demikian anggaran yang dipergunakan berasal dari gaji
para penyidik. Gaji setiap anggota Polri hanya mencukupi untuk kesejahteraan
anggota Polri itu sendiri dan keluarganya, bukan untuk kepentingan institusi.
Membahas mengenai anggaran tidak terlepas dari isu korupsi yang merebak.
Namun anggaran tetap harus diberikan sepenuhnya sesuai pendistribusian
anggaran Satuan Kerja masing-masing, dalam hal ini adalah Satuan Kerja
Fungsi Reserse Kriminal, dengan segera begitu ada laporan, baik dari
masyarakat maupun ditemukan oleh anggota Polri, tentang suatu tindak pidana.
Hal akhir yang harus dipenuhi adalah laporan penggunaan anggaran dari Satuan
Kerja yang menggunakan alokasi anggaran tersebut, sebagai
pertanggungjawaban penggunaan anggaran.
Dengan dipenuhinya faktor-faktor tersebut diatas, diharapkan dapat
menyempurnakan kinerja Polri sesuai harapan dan kenyataan. Sebelum melangkah
pada faktor-faktor yang muncul akibat pengaruh dari luar institusi Polri, maka faktor
interen Polri memerlukan pembenahan secara optimal sebagai konsekuensi dari
pelaksanaan Reformasi Birokrasi dalam Institusi Polri.
Faktor eksteren Polri berarti menyangkut hubungan kerja antara Institusi Polri
dengan Institusi di luar Polri baik itu dalam Negeri maupun Luar Negeri. Apabila
146
faktor interen kurang baik, secara logika dapat dipastikan bahwa faktor eksteren dapat
terganggu. Hal ini disebabkan karena baiknya kinerja Institusi Polri harus didukung
oleh kinerja dari para Personel Polri secara komprehensif, bukan hanya karena kinerja
satu atau beberapa personel Polri belaka. Fenomena tersebut dapat ditemukan
diberbagai pemberitaan di media massa, sebagai akibat seorang personel Polri yang
bertindak atas nama pribadi karena sifat tindakan tersebut negatif, maka merusak citra
Institusi Polri. Pemberitaan juga tidak seharusnya langsung menghakimi bahwa
tindakan tersebut mencerminkan kinerja Polri, karena masih banyak personel Polri
yang baik jika dibandingkan dengan yang tidak baik. Ibarat pepatah melayu
mengatakan bahwa “Karena Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga”. Sebagai contoh
pernyataan Susno Duadji, ketika menjabat sebagai Kabareskrim Polri, mengungkapkan
tentang “Cicak melawan Buaya”. Statemen seperti itu tidak boleh langsung disikapi
sebagai pernyataan sebagai seorang anggota Polri atau pribadi, sebelum ada konfirmasi
untuk kejelasan. Status yang melekat dalam personel Polri, tidak sepenuhnya sebagai
personel Polri. Pada jam dan saat bertugas, maka status Polri melekat pada individu
tersebut, namun diluar jam tugas, maka yang melekat adalah pribadi. Untuk itulah perlu
adanya kejelasan supaya tidak menimbulkan persepsi yang berbeda. Walaupun
pernyataan tersebut pada akhirnya dipertanggungjawabkan oleh seorang Susno Duadji,
namun opini publik sudah terbentuk bahwa Polri yang mengeluarkan pernyataan
tersebut. Pernyataan-penyataan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya diskresi dalam
Polri. Pendapat Roscoe Pound, sebagaimana dikutip oleh R. Abdussalam mengartikan
“diskresi kepolisian adalah suatu tindakan pihak yang berwenang berdasarkan hukum
untuk bertindak pasti atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan
keputusan nuraninya sendiri“165. Jadi diskresi merupakan kewenangan Polri untuk
mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah 165 R. Abdussalam, Op.cit, hlm. 25-26.
147
pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Sekalipun diskresi polri
bukan merupakan tindakan yang menyimpang, namun dalam praktek penyelenggaraan
tugas-tugas polri, masih banyak anggota Polri yang ragu untuk menggunakan
wewenangnya terutama dalam penanganan perkara. Diskresi dipergunakan dengan
pertimbangan demi kepentingan umum. Namun seringkali disalahgunakan oleh
anggota-anggota yang kurang bertanggung jawab untuk mendapatkan keuntungan
pribadi dengan pihak tertentu atau beberapa pihak, bahkan tidak menutup kemungkinan
ada pihak yang dirugikan.
Berbagai faktor baik itu faktor interen maupun eksteren Polri yang dapat
menjadi penunjang maupun penghambat dalam pelaksanaan proses penyidikan Polri
harus mendapatkan perhatian personel Polri supaya segera mengalami perubahan.
Perubahan tidak hanya bersifat Up to down tetapi justru mengutamakan Botton Up, hal
ini dikarenakan unsur pelayanan langsung diterapkan oleh para personel Polri yang
berada di posisi terdepan, yaitu Polisi Sektor (Polsek), Polisi Resor (Polres) dan Polisi
Daerah (Polda). Oleh karena itu segala kekurangan perlu segera diperoleh solusi untuk
mengatasinya, mengingat tugas pokok Polri adalah melindungi, mengayomi, dan
melayani masyarakat serta penegakan hukum, sehingga dapat meminimalisir adanya
kritik/komplain dari masyarakat.
Dalam pandangan ahli hukum semestinya “concept of law” ini dijadikan
sebagai suatu konsep yang dapat diidentifikasi, di mana titik beratnya pada prosedur
dan pengaturan pembentukan serta penegakan hukum. Di dalam concept rule of law
sendiri dikenal kewenangan diskresi yang pada hakekatnya tidak konsisten dengan ide
rule of law. Oleh karena itu, kewenangan diskresi seharusnya dapat diuji dan dipandu
oleh prinsip-prinsip hukum secara umum.
148
Perbedaan pokok antara rechtstaat dengan rule of law ditemukan pada unsur
peradilan administrasi. Di dalam unsur rule of law telah ditemukan adanya unsur
peradilan administrasi, sebab di negara-negara Anglo Saxon penekanan terhadap
prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law) lebih ditonjolkan,
sehingga dipandang tidak perlu menyediakan sebuah peradilan khusus untuk pejabat
administrasi negara. Prinsip equality before the law menghendaki agar prinsip
persamaan antara rakyat dengan pejabat administrasi negara, harus juga tercermin
dalam lapangan peradilan. Pejabat administrasi atau pemerintah atau rakyat harus
sama-sama tunduk kepada hukum dan bersamaan kedudukannya di hadapan hukum.
Berbeda dengan negara Eropa Kontinental yang memasukkan unsur peradilan
administrasi sebagai salah satu unsur rechtsstaat. Dimasukkannya unsur peradilan
administrasi ke dalam unsur rechtsstaat, maksudnya untuk memberikan perlindungan
hukum bagi warga masyarakat terhadap sikap tindakan pemerintah yang melanggar hak
asasi dalam lapangan administrasi negara. Kecuali itu kehadiran peradilan administrasi
akan memberikan perlindungan hukum yang sama kepada administrasi negara yang
bertindak benar dan sesuai dengan hukum. Dalam negara hukum harus diberikan
perlindungan hukum yang sama kepada warga dan pejabat administrasi negara.
Dari latar belakang dan dari sistem hukum yang menopang perbedaan antara
konsep ”rechtstaat” dengan konsep ”the rule of law” meskipun dalam perkembangan
dewasa ini tidak dipermasalahkan lagi perbedaan antara keduanya. Karena pada
dasarnya kedua konsep itu mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama yaitu
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Meskipun dengan
sasaran yang sama tetapi keduanya tetap berjalan dengan sistem hukum sendiri.
149
Konsep “rechtstaat” lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme
sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep ”the rule of law” berkembang secara
evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria rechtsstaat dan kriteria the rule of law.
Konsep rechtsstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut “civil law”
atau “Modern Roman Law” sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem
hukum yang disebut “common law”. Karakteristik “civil law” adalah “administratif”
sedangkan karakteristik “common law” adalah “judicial”.
Perbedaan karakteristik yang demikian disebabkan karena latar belakang
daripada kekuasaan raja. Pada zaman Romawi kekuasaan yang menonjol dan raja ialah
pembuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada
pejabat-pejabat administratif sehingga pejabat administratif yang membuat pengarahan-
pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu sengketa. Begitu
besarnya peranan Administrasi Negara sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam
sistem kontinental mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut “droit
administratif” yaitu hubungan antara administrasi negara dengan rakyat.
Perumusan tentang konsep negara hukum juga pernah dilakukan oleh
International Commission of Jurist, yakni organisasi ahli hukum internasional pada
tahun 1965 di Bangkok. Organisasi ini merumuskan tentang pengertian dan syarat bagi
suatu negara hukum/pemerintah yang demokratis yang diperkenalkan ulang oleh
Dahlan Thaib, yakni: 1) Adanya proteksi konstitusional, 2) Pengadilan yang bebas dan
tidak memihak, 3) Pemilihan umum yang bebas, 4) Kebebasan untuk menyatakan
pendapat, 5) Kebebasan berserikat/berorganisasi dan oposisi, 6) Pendidikan
kewarganegaraan
150
Teori fiktie memang bersifat fiktie (fiksi) atau khayalan saja, demikian yang
disampaikan Jimly Asshiddiqie dalam buku “Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia”. Hal ini dikarenakan teori tersebut tidak mencerminkan realitas yang
sebenarnya. Menurut Jimly, untuk lingkungan negara-negara maju dan kecil seperti
Belanda dengan tingkat kesejahteraan dan pengetahuan masyarakatnya yang merata,
tentu tidak ada persoalan dengan teori fiktie itu. Dalam masyarakat homogen seperti itu
informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat bersifat simetris. Akan tetapi di
negara yang demikian besar wilayahnya dan banyak pula jumlah penduduknya, serta
miskin dan terbelakang kondisi kesejahteraan dan pendidikannya (seperti Indonesia),
sudah tentu sistem informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat tidak bersifat
simetris. Dengan kata lain, adagium tersebut tidaklah adil bagi kebanyakan warga
negara Indonesia yang kurang mendapat informasi.
J.C.T Simorangkir dalam buku “Hukum dan Konstitusi Indonesia”,
menarasikan “rasa kurang adil tersebut” dengan sangat baik. Kalau seorang anggota
DPR yang bersama Pemerintah membentuk undang-undang, lalu ia sendiri melanggar
undang-undang, maka penghukuman itu tidaklah terlalu mengganggu rasa keadilan,
karena seolah-olah hanya menunaikan ketentuan Undang-undang secara formalitas.
Akan tetapi bila ada seorang petani yang bertempat tinggal jauh di pelosok tanah air,
tidak punya radio, tidak mendapat kesempatan untuk menonton televisi, tidak
berlangganan koran, sebab masih buta huruf, lalu tanpa disadarinya ia melanggar
undang-undang yang tidak pernah ia dengar/baca/tahu kemudian ia di tuntut dan di
hukum, maka kondisi ini terasa tidak adil. Bagi sesosok petani yang awam akan
pengetahuan hukum, dipanggil menjadi saksi, merupakan kondisi yang menakutkan di
dukung dengan biaya transportasi yang harus membebaninya. Walau begitu, menurut
Simorangkir, adagium yang menyatakan setiap orang dianggap tahu hukum harus tetap
151
dipertahankan. Jika adagium itu tidak ada, maka kita akan menghadapi suatu situasi
hukum yang justru tidak dikehendaki. Sebagai ilustrasi, kita bayangkan bila ada
seorang tersangka yang mengaku di depan hakim bahwa dirinya tidak mengetahui
hukum dan dirinya kemudian dibebaskan, maka setiap tersangka manapun bisa
menggunakan alasan tersebut. Karenanya dibutuhkan kompensasi terhadap rasa tidak
adil akibat penerapan teori fiktie. Salah satunya menurut Simorangkir adalah sistem
“hukuman maksimal” dalam hukum pidana kita. Sistem tersebut memberikan
keleluasaan pada hakim untuk menjatuhkan hukuman yang maksimal atau menjatuhkan
hukuman yang paling ringan sampai pada pembebasan. Sehingga seseorang yang
dengan sadar serta tahu, bila melanggar suatu peraturan dapatlah dihukum lebih berat
daripada seseorang yang melanggarnya tanpa mengetahui serta menyadari apa yang
dilanggarnya.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah pembudayaan, pemasyarakatan, dan
pendidikan hukum (law socialization and law education). Sebagai contoh, tidak
cukuplah para administrator hukum memasyarakatkan hukum/peraturan perundang-
undangan dengan hanya menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah
secara formal (publication of law). Seharusnya semua pihak merasa terikat akan
tanggung jawab yang lebih luas untuk menyebarluaskan dan memasyarakatkan aturan-
aturan ke seluruh lapisan masyarakat (promulgation of law). Mengikuti perkembangan
Zaman, saat ini perlu diterapkan pengelolaan informasi hukum (law information
management) berbasis teknologi informasi. Salah satunya adalah dengan
menggunakan website , sehingga setiap orang, kapanpun, di manapun, dapat
menemukan berbagai informasi hukum dengan segera dan murah. Sehingga setiap
orang benar-benar tahu hukum.
152
Prinsip kesamaan di muka hukum (the equality before the law), prinsip ini
memberi jaminan bahwa di muka hukum prinsip ini juga banyak mendapatkan
tantangan di lapangan, karena pelaksanaannya belum bisa sepenuhnya berjalan dengan
ideal. “Keluhan para yustisiabel (pencari keadilan) tentang diskriminasi perlakuan
dengan pelaku kejahatan yang satu terhadap yang lain masih sering tidak sama (antara
penjahat kelas teri dengan kelas berdasi atau pejabat relatif berbeda).”166
Polri yang mandiri, secara sederhana, adalah Polri yang dapat berdiri sendiri
dan bertindak sendiri, tidak bergantung pada institusi ABRI. Kemandirian Polri tidak
mungkin mandiri dalam arti mandiri dari institusi pemerintah atau mandiri dari
kekuasaan Eksekutif. Polri tidak mungkin terpisah dari kekuasaan eksekutif seperti
badan peradilan, DPR, Badan Pemeriksa Keuangan atau Bank Indonesia. Kemandirian
yang dimaksud di sini lebih mengacu pada aspek formal, yaitu ketentuan-ketentuan
yang mengatur serta mendasari status mandiri yang dimaksud.
Kemandirian suatu institusi sering dicampur-aduk secara kurang tepat dengan
kata independensi, dan oleh karenanya kemandirian banyak disamakan dengan
independensi. “Suatu institusi yang mandiri dengan sendirinya independen.”
Pernyataan tersebut mungkin benar, namun mungkin lebih banyak tidak benarnya,
karena independensi lebih berkaitan dengan aspek kewenangan, tugas serta fungsi suatu
organisasi. Independensi menyangkut pelaksanaan kerja dalam upaya mengemban misi
untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian, independensi suatu organisasi
sesungguhnya lebih ditentukan oleh para pelaku dalam organisasi itu sendiri.
Independensi diciptakan, dilakukan, dibina serta dikembangkan dan kemudian
166 Ilham Bisri, Sistem Hukum Indonesia, Prinsip-prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Rajagrafido Persada, 2005), hal 48.
153
dihasilkan oleh mereka sendiri. Hal ini agak lain dengan kemandirian yang lebih
banyak ditentukan oleh unsur luar atau eksternal.
Suatu institusi yang mandiri belum tentu independen, karena dalam pelaksanaan
tugas, wewenang serta fungsi mereka, kebanyakan pelakunya cenderung tidak mau
independen. Mereka lebih sering dipengaruhi, di dikte serta menjadi alat pihak-pihak
luar institusi tersebut. Independensi ditangani melalui suatu proses, program dan
konsepsi yang terarah serta konsisten.
Kemandirian lebih mudah diperoleh karena berasal dari pemberian eksternal,
sedangkan independensi lebih sulit diperoleh karena amat tergantung dari political will
serta proses internal action. Namun kemandirian merupakan faktor yang teramat
penting dalam proses untuk menciptakan suatu independensi, karena melalui
kemandirian itu, campur tangan struktural-institusional jelas secara formal perundang-
undangan sama sekali tidak dimungkinkan.
Berdasarkan uraian diatas, maka mudah bagi Polri untuk merealisasikan
menjadi institusi yang mandiri, karena cukup dengan merubah Undang-Undang
Kepolisian dari Undang-Undang Nomor 13 tahun 1961 menjadi Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1997, hingga pembaharuan terakhir menjadi Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002. Tetapi problematika atau kendala yang dihadapi oleh organisasi Polri
serta masyarakat tidak secara otomatis dapat terselesaikan. Kemandirian Polri
merupakan titik penting untuk membangun institusi Polri yang independen, bebas dari
pengaruh-pengaruh yang mengeliminir misi yang diembannya. Setelah lembaga
Kepolisian mandiri, maka institusi itu sendirilah yang mengembangkan serta memberi
isi kemandiriannya sehingga tercermin dalam pelaksanaan tugas, wewenang serta
fungsinya dalam mengembangkan misi untuk mencapai tugas organisasi. Asas
154
Persamaan di Hadapan Hukum merupakan salah satu aspek penting menuju
independensi, sehingga perlu mendapat perhatian utama dengan melakukan perubahan
terhadap budaya dalam membentuk karakter kerja dalam lingkungan Kepolisian
menuju pada profesional, proporsional dan modern. Dengan demikian tercapai
keinginan masyarakat terhadap Institusi Polri yaitu terbentuk karakteristik Polisi yang
dapat memberikan : “Pelayanan gratis, Kesantunan dan sikap melindungi, Memiliki
sifat tidak korup, dan profesionalisme”167,
167 Antonius Sujata, Op.cit, hal.213.
155