bab iii kewenangan penyidik pegawai …digilib.uinsby.ac.id/969/6/bab 3.pdf46 bab iii kewenangan...

28
BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN 2012 A. Pengertian Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Mengacu pada pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis Terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan bentuk-bentuk Pengamanan Swakarsa bahwa yang dimaksud dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang mejadi dasar hukumnya masing-masing. 1 B. Dasar Hukum Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) 1. Undang-undang Dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi 1 Lihat pasal I ayat (5) PP. No 43. Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-Bentuk Pengamanan Swakarsa. 46

Upload: phamngoc

Post on 24-Mar-2019

244 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

46

BAB III

KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI

MENURUT PP. No. 43 TAHUN 2012

A. Pengertian Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

Mengacu pada pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2012

tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis

Terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan bentuk-bentuk

Pengamanan Swakarsa bahwa yang dimaksud dengan Penyidik Pegawai Negeri

Sipil adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan

perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk

melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang mejadi

dasar hukumnya masing-masing.1

B. Dasar Hukum Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

1. Undang-undang

Dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) dalam pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa penyidik adalah

pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Polisi Negara

Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi

1 Lihat pasal I ayat (5) PP. No 43. Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi,

Pengawasan, dan Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-Bentuk Pengamanan Swakarsa.

46

Page 2: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

47

wewenang khusus oleh undang-undamg untuk melakukan penyidikan. Dan

dipertegas lagi pada pasal 6 ayat (1) huruf b yang berbunyi penyidik adalah

pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

undang-undang.2Dan dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal 1 ayat (11) menyebutkan

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil

tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku

penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak

pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-

masing.3

2. Peraturan pemerintah

Pada pasal 1 ayat (5) No. 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis terhadap

Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-Bentuk

Pengamanan Swarkasa, dalam peraturan ini menyebutkan bahwa Penyidik

Pegawai Negeri Sipil (PPNS) adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu

yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik

dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam

lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.4

2 Lihat UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 3 Lihat UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 4 Lihat PP. No. 43 Tahun 2012.

Page 3: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

48

C. Kewenangan dan Tugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

Kewenangan pejabat penyidik ditetapkan dalam pasal 7 KUHAP

(Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana). Kewengan

tersebut antara lain;

Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak

pidana, melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian, menyuruh

berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka,

melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, melakukan

pemeriksaan dan penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret seseorang,

memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi,

mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubunganya dengan

pemeriksaan perkara, mengadakan penghentian penyidikan dan mengadakan

tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.dari redaksi pasal 7 ayat

(1) ditas ternyata kewenangan yang diatur dalam pasal tersebut adalah

kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP,

yaitu polri, sedangkan kewenangan penyidik sebagaimana yang dinaksud pasal 6

ayat (1) huruf b Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) menurut ketentuan pasal

7 ayat (2) diatur dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-

masing yang dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi penyidik

Polri.5

5 Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan, 91-92.

Page 4: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

49

Berdasarkan pasal 7 ayat (2) KUHAP, Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mempunyai wewenang

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana

korupsi dilakuakn berdasrkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-

undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Dalam penjelasan pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun

2002 dijelaskan bahwa; yang dimaksud dengan “yang berkaitan dengan

penyelidikan, penyidikan, dan penuututan” dalam ketentuan ini antara lain,

kewenangan melakukan penangkapan, penahannan, penggeledahan, penyitaan,

dan pemeriksaan. Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas

nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi

berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyidikan, penyelidikan,

Page 5: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

50

dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakuakn bersama-sama oleh orang

yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.6

D. Kriteria Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR)

1. Pengertian tindak pidana korupsi (Tipikor)

Secara bahasa korupsi berasal dari kata Belanda yaitu corruption

(korruptie) yang artinya kebusukan, keburukan, kebejatan ketidak jujuran,

dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.7

Sedangkan menurut istilah sebagiaman dikutib oleh Andi Hamzah

yang disimpulkan oleh Poerdarwminta dalam kamus bahasa Indonesia:

korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan

uang suap dan sebagainya.8dan bila ditinjau secara yuridis korupsi adalah

setiap orang9 yang secara melawan hukum10 melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi11 yang dapat

6 Ermansjah Djaja, Meredesaian Pengadilan Tindak Pidana korupsi , (Jakarta: Sinar Grafika,

2010), 168-170. 7 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, 5-6. 8 Ibid. 9 Perseorangan atau termasuk korporasi, lihat Bab I ketentuan umum pasal 1 ayat (3) UU

No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi. 10 Baik dalam arti formil maupun materil, dalam hal ini termasuk dalam arti materil, yakni

meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dipidana. (Lihat penjelasan pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

11 Suatu kumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (personal) sebagai pengemban hak dan kewajiban memiliki hak menggugat ataupun digugat dimuka pengadilan. (Yan Pramady Puspa, Kamus Hukum, (Semarang: CV Aneka, 1977), 256. Dan lihat pasal 1 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Page 6: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

51

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.12dan atau setiap

orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain suatu

korporasi, menyalagunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara.

2. Dasar hukum pelanggaran tindak pidana korupsi (Tipikor)13

a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif

Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (wetboek van strafrecht) 1 Januari 1918,

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (wetboek van strafrecht ) sebagai

suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia

sesuai dengan asas konkordasi dan diundangkan dalam staatblad 1915

Nomor 752, tanggal 15 Okotober.

Keberadaan tindak pidana korupsi dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415,

416, 417, 418, 419, 420, 423, 425,dan 435, yang telah diadopsi oleh

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan diharmonisasikan dalam

pasal-pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, dan 13, yang selanjutnya juga diadopsi

12 Lihat pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. 13 Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, 31-40.

Page 7: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

52

oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dan diharmonisasikan dalam

pasal-pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12 A, 12 B, dan 23.14

b. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Rumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1971 mencakup perbutan-perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan secara melawan

hukum yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat merugikan

negara dan perekonoian negara. Pengertian tindak pidana korupsi

menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, dapat dilihat di dalam Bab I tentang Ketentuan

Umum, pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), sebagai berikut:15

1) Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah:

a) barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang

secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan

negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui patut

disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara;

14 Ibid. 15 Ibid.

Page 8: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

53

b) barang siapa dengan bertujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

c) barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam pasal-pasal

209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435

Kuhap.

d) barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri

seperti dimaksud pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan

sesuatu kewenangan yang melekat pada jabatan atau

kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap

melekat pada jabatan atau kedudukan itu;

e) barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang

sesingkat-sin gkatnya setelah memnerima pemberian atau janji

yang diberikan kepada seperti yang tersebut dalam pasal-pasal

418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji

tersebut kepada yang berwajib.

2) Barang siapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk

melakukan tindak pidana tersebut dalam ayat (1) angka a, angka b,

angka c, angka d, dan angka e.

Page 9: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

54

c. Ketetapan Majelis Permusyawartan Rakyat Republik Indonesia Nomor

XI/MPR/1998 tentang Penyelengara Negara yang Bersih dan Bebas

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Menurut ketetapan MPR Nomor XI /1998, bahwa dalam

penyelengaraan negara pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan

yudikatif, harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan

bertanggung jawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Untuk

menjalankan fungsinya dan tugasnya tersebut, penyelenggara negara

harus jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri

dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.

d. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara yang

Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Sebagaiman diamanatkan didalam pasal 1 angka 1 sampai dengan

angka 6 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara

Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan Asas

Umum Pemerintahan yang Baik.

e. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Rumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor

31 Tahun 1999 sebaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor

20 Tahun 2001, terdapat pada pasal-pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12

Page 10: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

55

A, 12 B, 13, 14, 15, 16, 20, 21, 23, 22, 23, selain memperluas pengertian

perbuatan korupsi yang dapat dikualifikasikan sebagai korupsi, undang-

undang juga menegaskan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara

atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidanannya pelaku

tindak pidana korupsi (pasal 4). Dengan ketentuan itu, perbuatan pidana

korupsi tidak dapat dihapuskan sekalipun kemudian unsur kerugian

negara tidak terbukti dipengadilan karena telah dikembalikan oleh

tersangka.

f. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasa

Tindak Pidana Korupsi

Pemberantasa korupsi yang sudah akut, dirasakan tidak cukup

hanya dengan memperluas perbuatan yang dirumuskan sebagai korupsi

serta cara-cara yang konvensional, diperlukan metode dan cara tertentu

agar mampu membendung meluasnya korupsi. Karena itu diperlukan

metode penegakan hukum penegakan hukum secara luar biasa melalui

pembentukan suatu badan khusus yang menangani pemberantasan tindak

pidana korupsi. Kewenangan badan tersebut harus bersifat independen

serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak

pidana korupsi, yamg pelaksanaanya dilakukan secara maksimal, optimal,

intensif, efektif, profosional, dan berkesinambungan. Badab khusus itu

desibut Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam

Page 11: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

56

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

3. Macam-macam tindak pidana korupsi (Tipikor)

Merujuk pada UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001,

ruang lingkup Tipikor dapat dikelompokan kedalam beberapa rumusan delik

sebagai berikut;16

a. Kelompok delik/Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dapat merugikan

keuangan negara/perekonomian negara (pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun

1999)

b. Kelompok delik/ Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam hal Penyuapan,

baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang menerima suap) (pasal 5,

6, 11, 12, dan 12 B UU No. 20 Tahun 2001)

c. Kelompok delik/Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam hal Penggelapan

dalam jabatan (pasal 8, 9, dan 10 UU No. 20 Tahun 2010)

d. Kelompok delik/Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam hal Pemerasan

dalam jabatan (pasal 12 E dan f UU No. 20 Tahun 2001)

e. Kelompok delik/Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang berkaitan dengan

perbuatan curang (pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001)

16 Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, 146

Page 12: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

57

f. Kelompok delik/Tindak Pidana Korupsi dalam hal pengadaan (pasal 12

huruf I UU No. 20 Tahun 2001).17

g. Gratifikasi (pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001)

Selain definisi tindak pidana yang telah dijelaskan diatas, masih ada

tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jenis tindak

pidana lain itu tertuang pada pasal 21, 22, 23, dan 24 Bab III Undang –

undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jenis tindak pidana lain yang

berkaitan dengan tindak pidan korupsi diatas:18

a. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (pasal 21)

b. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar

(pasal 22 jo. pasal 28)

c. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka (pasal 22 jo.

Pasal 29)

d. Saksi atau saksi ahli yang memberi keterangan atau memberi keterangan

palsu (pasal 22 jo. pasal 35)

e. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan

atau memberi keterangan palsu (pasal 22 jo. pasal 36)

f. Saksi yang membuka identitas pelapor (pasal 24 jo. pasal 31)

17 Ermansjah Djaja, Membrantas Korupsi Bersama KPK, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 54. 18 Ibid.55.

Page 13: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

58

4. Sanksi hukum pelaku tindak pidana korupsi (Tipikor)

Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, jenis penjatuhan

pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi

adalah sebagi berikut:19

a. Pidana mati

Dapat dipidana mati kepada setiap orang yang secara melawan

hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara sebagaimana ditentukan pasal 2 ayat (2) Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dilakuka dalam keadan tertentu.

Adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah pemberatan bagi

pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana terebut dilakukan

pada waktu negara dalam keadan bahaya sesuai dengan undang-undang

yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagaimana

pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada saat negara dalam kedaan

krisis ekonomi (moneter).

b. Pidana penjara.

Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4

tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

19 Evi hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 12-15.

Page 14: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

59

Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) bagi setiap orang yang secara

melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugukan keuangan negara

atau perekonomian negara.

c. Pidana tambahan

1) Perampsan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud

atau barang yang tidak bergeraj yang digunakan untuk atau yang

diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik

terpidana dimana tindak pdana korupsi dilakukan, begitu pula dari

barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

2) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya

sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

3) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama 1

tahun.

4) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan

seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat

diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Page 15: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

60

d. Gugatan perdata kepada ahli warisnya

Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakuakn

pemeriksaan sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada

kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan

salinan berkas berita acara sidang pengadilan tersebut kepada jaksa

pengacara negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk

dilakukan gugatan kepada ahli warisnya.

E. Kriteria Alat Bukti Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada dasarnya dilakukan sesuai dengan Hukum

Acara Pidana yang berlaku, yakni Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. Undang-undang 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi20, dan Undang-

undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, yang menentukan:21

Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasrakan Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun

20 Samsuddin, Tindak Pidana Khusus, 165-166. 21 Djaja, Memberantas Korupsi, 171.

Page 16: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

61

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam ndang-undang ini. Yang dimaksud “hukum acara pidana yang berlaku” dalam pasal 26

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan pasal 39 ayat (1) Undang-undang

Nomor 30 Tahun 2002 adalah:

1. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap tindak pidana korupsi yang

statusnya adalah masyarakat sipil.

2. Ketentuan-ketenuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun

1997 tentang Peradilan Militer terhadap tersangka tindak pidana korupsi

yang statusnya adalah anggota militer.

Adapun yang dumaksu dengan “kecuali ditentukan lain dalam pasal ini”

pasal 26 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan pasal 39 ayat (1) Undang-

undang Nomor 30 Tahun 2002

Mengenai alat-alat yang sah telah dirumuskan dalam Undang-undang No.

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu terdapat 5 alat

yang sah sebagai mana diatur dalam pasal 184 Undang-unang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu:.22

1. Keterangan saksi

Dirumuskan didalam pasal 1 angka 27 Kuhap, yang dimaksud dengan:

“keterangan saksi” adalah salah satu alat bukti dalam piadana yang berupa

22 Djaja. Meredesain Pengadilan, 97.

Page 17: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

62

keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuanya itu.

Dari rumusan pasal 1 angka 27 Kuhap tersebut dapat disimpulkan

mengenai unsur-unsur penting dari alat bukti keterangan saksi, yaitu:

a. keterangan dari orang (saksi)

b. mengenai suatu peristiwa pidana

c. yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

Mengenai siapa yang disebut sebagai saksi, pasal 1 angka 26 Kuhap

menyebutkan: “saksi adalah orang yang dapat orang yang dapat memberikan

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang

suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami

sendiri. Pengecualian-pengecualian pasal 1 angka 26 Kuhap orang tertentu

yang tidak dapat memberikan keterangan dengan status sebagi saksi.

Pengecualian-pengecualian untuk menjadi saksi telah diatur dalam pasal 168,

170, dan 171 kuhap, yaitu;

a. Pasal 168 Kuhap “kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini,

maka tidak dapat disengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri

sebagai saksi”

Page 18: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

63

1) Keluarga sedarah atau semendah dalam garis lurus keatas atau

kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-

sama sebagai terdakwa;

2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakw,

saudara ibu atau saudar bapak, juga mereka yang mempunyai

hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai

derajat ketiga;

3) Suami atau istri terdakwa miskipun sudah bercerai atau yang bersam-

sama sebagai terdakwa”.

Pasal 170 KUHAP

“1). Mereka yang karenapekerjaan, harkat martabat atau jabatannya

menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk

memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang

dipercayakan kepada mereka.

2). Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan

tersebut.”

Pasal 171 KUHAP

“yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah”.

a.) Anak yang umumnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernar

kawin.

Page 19: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

64

b.) Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang

ingatannya baik kembali”.

Pasal 171 KUHAP

“mengingat bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian

juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun hanya

kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat,

mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam

hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam

memmberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai

sebgai petunjuk saja”.

Kekuatan pembuktian saksi

Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan

terdakwa, kecuali disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya,

sebagaimana ditentukan dalam pasal 185 ayat (2)23 dan ayat (3)24 Kuhap.

2. Keterangan ahli

Pengertian atau apa yang dimaksud “keterangan ahli”, telah

ditentukan di dalam Bab I tentang ketentuan umum Kuhap, pasal 1 angka

28, yaitu: keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang

yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat

terang suatu perkara pidana guana kepentingan pemeriksaan.

23 Lihat pasal 185 ayat (2) Kuhap 24 Lihat pasal 185 ayat (3) Kuhap

Page 20: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

65

Pasal 179 ayat (1) Kuhap

“Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman

atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi

keadilan”. Persyaratan keterangan ahli selain keahlian khusus untuk dapat

disebut sebagai keterangan ahli harus di ucapkan di depan sidang

pengadilan.25

3. Surat

Alat bukti surat berda dalam urutan ketiga dari alat-alat bukti lain

yang sah sebagaimana ditentukan didalam pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Kualifikasi dan klafikasi bukti surat seperti dimaksud dalam pasal 184 ayat

(1) huruf c diatur dalam pasal 184 Kuhap, dengan persaratan bahwa surat-

surat sebagai alat bukti yang sah harus dibuat atas sumpah jabatan atau

kekuatan dengan sumpah.

Pasal 187 KUHAP

Surat sebagaimana tersebut dalam pasal 184 ayat (1) huruf c , dibuat atas

sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat

dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan

yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan

alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

25 Lihat pasal 186 Kuhap

Page 21: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

66

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau

surat yang dibuat pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana

yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi

pembuktian sesuatu hal suatau keadaan;

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan

keahliaanya mengenai suatu hal atau suatu kedaan yang diminta secara

resmi daripadanya;

d. Surat lain yang dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi alat

pembuktian yang lain.

Surat-surat sebagaimana dimaksud pasal 187 huruf a dan huruf b Kuhap

adalah sebagai akta autentik (authentieke akten), contoh akta notaris

pasal 187 huruf a, dan berita acara pemeriksaan, putusan pengadilan,

sertifikat tanah untuk pasal 187 huruf b. sedangkan untuk contoh pasal

187 huruf c adalah visum et repertum yang dibuat dokter, dan untuk

contoh pasal 187 huruf d adalah surat-surat dibawah tangan yang

mempunyai hubungan dengan isi dari alat pembuktian yang lain.26

4. Petunjuk

Pengertian tentang petunjuk dalam pasal 188 ayat (1) Kuhap

menentukannya sebagai perbuatan, kejadian atau keadan yang karena

persesuainnya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan

26 Djaja, Membrantas Korupsi, 375-376.

Page 22: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

67

tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa terjadi suatu tindak pidana dan

siapa pelakunya.

Pasal 188 Kuhap

“(1) petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun tindak

pidana itu sendiri, menandakan bahwa terjadi suatu tindak pidana dan siapa

pelakunya.

(2) petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh

dari:

a). keterangan saksi;

b). Surat;

c). keterangan terdakwa.

(3) penilain atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap

keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijak sana, setelah ia

mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan

berdasarkan hati nuraninya.

5. Keterangan terdakwa

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) keterangan

terdakwa dirumuskan dalam pasal 189 ayat (1) Kuhap. Yaitu “keterangan

terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang

perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri, alami sendiri”.

Page 23: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

68

Mengenai kekuatan pembuktian atas keterangan terdakwa pasal 189 ayat (3)

dan ayat (4) Kuhap dapat dijadikan sebagai dasar.

Pasal 189 ayat (3) Kuhap

“keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”.

Pasal 189 ayat (4) Kuhap

“keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus

disertai dengan alat bukti lainnya.

Maksud rumusan pasal 189 Kuhap tersebut adalah bahwa keterangan

terdakwa tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan orang

lain., kecuali disertai dengan alat-alat bukti lain. Sedangkan maksud rumusan

dalam pasal 189 ayat (4) Kuhap tersebut bahwa disamping keterangan itu

bukan sebagai pengakuan terdakwa serta berdasrkan pasal 183 Kuhap maka

keterangan terdakwa tidak dapat dijadikan alat bukti untuk membuktikan

terdakwa bersalah, kecuali disertai alat bukti lain yang sah.

Selain diperoleh dari keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa,

khusus perkara tipikor juga dapat diperoleh dari:

1) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,

atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa

dengan itu; tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik, surat

elektronik, telegram, teleks, dan faksimili; dan

Page 24: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

69

2) Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,

dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa

bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik

apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang

berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, dan tanda,

angka, atau proforasi yang mempunyai makna.

F. Pembuktian dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

Sistem pembuktian dalam perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

selain berdasarkan kepada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana juga berdasarkan kepada hukum pidana formil sebagai mana diatur

didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.27

Hal tersebut sebagai mana ditentukan dalam pasal 38 ayat (1) dan ayat

(2), dan pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002,

yang rumusan pasalnya sebagai berikut:28

27 Ermansjah Djaja, Membrantas Korupsi Bersama KPK, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 348. 28 Ibid., 348-349.

Page 25: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

70

Pasal 38

(1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Tindak Pidana

berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntu umum pada

Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi

sebagaimana ditentukan dalam udang-undang ini.

Pasal 39

(1) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana

korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku

dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undang-

undang ini.

Page 26: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

71

(2) Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagimana dimaksud

pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak atas

nama Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ada hal yang tidak lazim dalam sistem pembuktian perkara tindak pidana

korupsi karena tidak diatur didalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Tindak Pidana, yaitu sistem pembuktian terbalik, seperti

terdapat dalam pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 huruf

a “yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah atau lebih, pembuktian

bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima

gratifikasi dan pasal 37 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001:29

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan

tindak pidana korupsi.

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak

pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan

sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

Di dalam penjelasan pasal 37 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

dijelaskan sebagai berikut.30

Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menentukan bahwa jaksa

yang wajib membuktiakan dilakukannya tindak pidana., bukan terdakwa.

29 Ibid.,349. 30 Ibid.,350.

Page 27: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

72

Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak terbukti melakukan

korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkuwajiban untuk membuktikan

dakwaanya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas,

karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaanya.

Demikian juga dalam penjelasan pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) Undang-

undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.31

1. Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik

terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang

berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan

asas praduga takbersalah dan menyalakan diri sendiri.

2. Ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut

undang-undang (negatife wettelijk)

Demikian juga pada alinea ke-13 penjelasan umum Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 dijelaskan sebagai berikut.32

Disamping itu, undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik

yang bersifat terbatas atau berimbang., yakni terdakwa mempunyai hak untuk

membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib

memberikan keterangan tentang seluruh harta benda istri atau suami, anak, dan

harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan

31 Ibid.,350 32 Ibid.,351

Page 28: BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI …digilib.uinsby.ac.id/969/6/Bab 3.pdf46 BAB III KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI MENURUT PP. No. 43 TAHUN

73

dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkuwajiban

membutikan dakwaanya.

Selanjutnya tentang pembuktian terbalik yang berkaitan dengan tindak

pidana korupsi didalam alinea ke-5 dan ke-6 Penjelasan Umum Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001 dijelaskan sebagai berikut.33

Ketentuan mengenai pembuktian terbalik perlu ditambahkan dalam

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan korupsi sebagai

ketentuan yang bersifat premium remedium dan sekaligus mengandung sifat

prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 2

Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak melakukan

tindak pidana korupsi.

33 Ibid.